Peran dan Fungsi Masjid (bagian3)

Peran dan Fungsi Masjid (bagian3)0%

Peran dan Fungsi Masjid (bagian3) pengarang:
: Tanpa Nama
: Tanpa Nama
Kategori: Sejarah & Biografi

Peran dan Fungsi Masjid (bagian3)

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: irib indonesia
: Tanpa Nama
: Tanpa Nama
Kategori: Pengunjung: 845
Download: 1509

Komentar:

Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 10 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 845 / Download: 1509
Ukuran Ukuran Ukuran
Peran dan Fungsi Masjid (bagian3)

Peran dan Fungsi Masjid (bagian3)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Fungsi dan Peran Masjid

Fungsi dan Peran Masjid (21)

Pada beberapa sesi sebelumnya, kita telah mengetahui tentang fungsi masjid sebagai pusat pendidikan. Mungkin fungsi sekunder masjid, terutama pada empat abad pertama permulaan Islam adalah untuk pusat kegiatan pendidikan. Kegiatan ini biasanya diadakan di ruang utama masjid. Para guru bersandar di pilar masjid, sementara para pelajar berkumpul mengelilingi mereka.

Siapa saja dari pria dan wanita bisa mengikuti kegiatan tersebut, dan bahkan bebas mengajukan pertanyaan dan sanggahan kepada guru. Hal ini bermanfaat bagi guru, karena dia bisa lebih mempersiapkan materi pelajarannya. Muhammad al-Muqaddasi, pakar geografi abad ke-10, telah mencatat 120 kelas pendidikan seperti itu di Masjid Jami' Kairo.

Masjid di sepanjang Abad Pertengahan hingga sekarang, masih melestarikan hubungan eratnya dengan para ulama, guru, dan kitab. Di masjid, para pelajar berkumpul untuk mengikuti kegiatan diskusi serta mendengarkan ceramah dan informasi tentang kitab-kitab baru. Sebelum ada penerbitan, seorang penulis atau wakilnya akan memperkenalkan kitab baru kepada pelajar dan masjid dipandang sebagai tempat yang tepat untuk kegiatan ini.

Setelah munculnya penerbitan dan percetakan di Dunia Islam, para penulis Muslim mendedikasikan karya mereka untuk masjid sehingga bisa dinikmati oleh publik. Di masjid, selain al-Quran yang mudah diakses publik, juga tersedia kitab-kitab hadis, tafsir, sejarah, yurisprudensi, dan ushuluddin. Sumbangan buku untuk masjid meningkat sejak pertengahan abad pertama Hijriyah, dan karena tidak punya kapasitas yang cukup untuk menampung buku-buku itu, maka selanjutnya sebuah ruangan khusus dibangun di dalam masjid sebagai perpustakaan.

Dalam perkembangannya, setiap masjid besar harus memiliki perpustakaan sehingga orang-orang bisa menyumbangkan buku mereka ke masjid. Banyak ulama dan penulis mendedikasikan buku-buku mereka untuk masjid jami'. Pemilik buku-buku ini berharap agar karya mereka dijaga dengan baik dan diwariskan untuk para cendekiawan periode berikutnya.

Beberapa masjid besar bahkan mengoleksi karya-karya agung, yang terkenal di Dunia Islam. Dengan demikian, masjid selain berfungsi sebagai tempat ibadah dan kegiatan ilmiah dan budaya, juga menjadi perpustakaan umum yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat Muslim.

Perpustakaan Masjidil Haram atau Maktabah Makkah Al Mukarramah adalah salah satu perpustakaan terpenting di Dunia Islam. Perpustakaan ini mengoleksi lebih dari 350.000 manuskrip dan kitab-kitab langka.

Menurut dokumen sejarah, perpustakaan Masjidil Haram merupakan bekas rumah tempat kelahiran Nabi Muhammad Saw. Rumah ini ditempatkan oleh Aqil bin Abu Thalib, saudara laki-laki Imam Ali as setelah Rasulullah Saw hijrah ke Madinah. Anak-anak Aqil kemudian menempati rumah tersebut sampai ia dibeli oleh Muhammad ibn Yusuf al-Tsaqafi dan menambahkan sebuah ruangan baru yang disebut "Dar Ibn Yusuf."

Pada tahun 1370 Hijriyah, Sekretaris Dewan Makkah Al Mukarramah menjadikan tempat tersebut sebagai perpustakaan, karena letaknya yang dekat dengan Masjidil Haram setelah perluasan bangunan masjid. Dalam beberapa tahun terakhir, dengan dalih perluasan Masjidil Haram, perpustakaan tersebut juga ingin dihancurkan, namun dibatalkan karena banyaknya protes dari kaum Muslim.

Di antara masjid lain yang memiliki perpustakaan penting adalah Masjid Jami' Umawi di Suriah, Masjid Jami' Al Zaytuna di Tunisia, Masjid Jami' Baghdad di Irak, dan masjid-masjid di Kairo, Najaf, dan Karbala.

Madrasah dan Masjid Sultan Hassan Mesir

Masjid penting lainnya di Mesir adalah Madrasah dan Masjid Sultan Hassan. Masjid ini mulai dibangun pada tahun 1356 dan berakhir tiga tahun kemudian setelah tanpa henti satu hari pun. Madrasah dan Masjid Sultan Hassan dibangun di era Dinasti al-Mamalik (Mamluk) dan terletak di dekat Benteng Salahuddin di Kairo.

Masjid ini merupakan salah satu masjid terbesar di Dunia Islam dengan area seluas 7.906 meter persegi. Ketinggian dindingnya mencapai 36 meter dan menara tertingginya 68 meter. Bangunan masjid dan madrasah ini berbentuk persegi panjang melengkung.

Bangunan masjid besar ini memiliki empat beranda (ruang beratap besar) di empat sudut halaman masjid untuk empat mazhab Sunni yaitu; Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan Hanbali. Ini menunjukkan bahwa Sultan Hassan berusaha untuk menciptakan persatuan di antara empat mazhab tersebut.

Beranda yang mengarah ke kiblat lebih penting dari tiga beranda lain, dan semua orang memenuhi ruangan ini pada waktu shalat. Seluruh tembok kiblat yang terletak di ruang utama Masjid Sultan Hassan, dilapisi dengan marmer khas era Dinasti al-Mamalik. Pembangunan masjid ini melibatkan para seniman asing dari Suriah dan Iran. Karya artistik mereka dapat disaksikan dalam sentuhan halus hiasan dan dekorasi masjid.

Hingga kini, Masjid Sultan Hassan masih merupakan salah satu masjid terbesar di dunia. Namun, kegiatan pendidikan formal atau madrasah sudah tak seaktif pada masa silam. Hanya rutinitas shalat lima waktu, shalat Jumat, dan ibadah-ibadah lainnya yang masih terus dilangsungkan di sini. Di sisi barat kompleks Masjid Sultan Hassan, terdapat bazar yang berdiri di atas tanah wakaf Sultan Hassan.

Seperti yang disebutkan pada seri sebelumnya, masjid dibangun sangat sederhana pada masa Rasulullah Saw, sebab rumah Tuhan adalah tempat untuk mengingat Allah Swt dan melupakan selain-Nya. Oleh karena itu, sangat pantas untuk menghindari apapun yang akan mengalihkan perhatian kita kepada selain Allah dan dunia. Sayangnya, setelah wafatnya Nabi Saw, kesederhanaan itu perlahan memudar. Tentu saja, prinsip penghormatan terhadap sakralitas masjid tetap dijaga sampai sekarang.

Para arsitek Masjid Sultan Hassan, seperti banyak bangunan lain di negara-negara Muslim, memanfaatkan pintu masuk (ruang depan), koridor dan beberapa lorong lain sehingga pengunjung – yang memasuki ruang depan masjid – tidak dapat menyaksikan seluruh sudut ruangan secara bersamaan.

Di Masjid Sultan Hassan, setelah pintu masuk, ada sebuah ruang kecil yang mengarah ke koridor dan lorong-lorong pintu untuk masuk ke ruang utama. Langit-langit gerbang pintu masuk ke masjid dibangun dengan pola sarang lebah atau muqarnas dengan rangkaian berukir hexagonal. Konstruksi muqarnas dianggap sebagai ciri khas arsitektur Islami, dan dipakai untuk menghiasi bagian atas dinding atau menyembunyikan sudut.

Muqarnas adalah sebentuk ragam dekoratif dalam arsitektur tradisional Islam dan Persia. Hiasan Muqarnas menampilkan sistem proyeksi, pengulangan, dan penggandaan berbentuk ceruk, yang berfungsi sebagai dekorasi untuk bagian-bagian peralihan dalam arsitektur.

Di luar keindahan dan kemegahan yang diperlihatkan oleh bangunan masjid ini, tersimpan kisah kelam yang meliputi proses pembangunannya. Dalam perencanaan awal, di atas gerbang utama pintu masuk Masjid Sultan Hassan akan didirikan menara. Namun, karena salah satu menara yang sudah dibangun runtuh, akhirnya rencana tersebut tidak jadi direalisasikan.

Runtuhnya bangunan menara tersebut menewaskan sekitar 300 orang pekerja. Musibah ini dipandang sebagai pertanda jatuhnya sultan, dan pertanda tersebut terbukti dengan kematian Sultan Hassan selang tiga bulan kemudian setelah peristiwa runtuhnya bangunan menara masjid. Namun, beberapa versi lain menyebutkan Sultan Hassan dibunuh sebelum masjid itu selesai oleh pihak-pihak yang memang tidak menyukai kepemimpinannya.

Fungsi dan Peran Masjid (22)

Dalam beberapa program sebelumnya, kita telah menyebutkan fungsi sekunder terpenting masjid sebagai pusat pendidikan, dan mencatat bahwa masjid telah berfungsi sebagai madrasah sejak awal kehadirannya di era Rasulullah Saw.

Sebelum dibuatkan mimbar, Rasulullah biasanya menjelaskan hukum-hukum Allah dan makrifat agama dengan bersandar pada sebatang pohon kurma yang ada di dalam masjid. Kuliah ini terus berjalan dan menjadikan kegiatan akademik sebagai bagian tak terpisahkan dari masjid.

Kegiatan lain yang dilakukan di masjid pada era permulaan Islam adalah mengumpulkan orang-orang di sana untuk mendengarkan keluhan mereka dan menyelesaikan persoalan sosial masyarakat. Pada dasarnya, kehadiran mereka di masjid telah memperkuat persatuan dan menumbuhkan kesepahaman di antara individu masyarakat.

Terlebih setelah deklarasi persaudaraan antar individu Muslim seperti pada ayat 10 surat al-Hujurat, "Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu…" Masyarakat Muslim akhirnya mencapai sebuah pemahaman bahwa mereka tidak boleh mengabaikan penderitaan dan kesusahan saudaranya se-agama.

Sikap empati dan simpati dengan sesama saudara dalam Islam adalah awal dari sebuah kebijaksanaan, dan hal ini ditekankan dalam sumber-sumber riwayat setelah iman kepada Allah Swt. Seperti kita ketahui, empati dan simpati dianggap sebagai sebuah keutamaan dan ibadah, sebagaimana sabda Nabi Saw, "Mengatasi kesusahan masyarakat dan berempati dengan mereka lebih baik daripada puasa dan i'tikaf satu bulan."

Rasa simpati dan empati muncul ketika seseorang menyadari dan memahami penderitaan dan kesusahan yang diderita saudaranya. Rasa ukhuwah ini akan lebih tampak dalam kegiatan shalat jamaah, karena mereka berdiri berdekatan. Selain melaksanakan ibadah, mereka jadi saling mengetahui kondisi masing-masing dan jika ada yang absen, jemaah lain akan menanyakan keberadaan orang tersebut dan jika ia sedang ada masalah, mereka akan berusaha untuk mengatasinya atas dasar kewajiban agama dan kemanusiaan.

Islam menganggap empati dengan orang lain sebagai perkara yang penting dan hal ini akan menciptakan stabilitas dan kedamaian masyarakat. Tidak diragukan lagi, kehadiran rutin orang-orang di masjid akan memperkuat pondasi kesehatan mental masyarakat dan menyelamatkan mereka dari penyakit egoisme dan individualisme.

Imam Ali as berkata, "Orang mukmin itu bersaudara, dan karena dia adalah satu raga dan jika salah satu bagiannya merasa sakit, maka bagian tubuh lain juga ikut merasakannya, dan jiwa mereka juga berasal dari jiwa yang satu."

Oleh karena itu, semua individu Muslim harus saling peduli terhadap sesama dan masjid adalah tempat terbaik untuk menunjukkan rasa simpati dan empati seperti ini. Di antara berkah lain kehadiran di masjid adalah untuk memperkuat dan menyebarkan budaya pengorbanan dan infak, di mana fenomena ini kadang ditemukan dalam bentuk yang sempurna di tengah para ahli masjid.

Secara alamiah bahwa informasi tentang sebuah desa terpencil dan kondisi masyarakat yang hidup di sana kadang sangat sulit diperoleh. Namun, kehadiran rutin orang-orang di masjid akan membuat pekerjaan ini mudah dan seperti pada permulaan Islam, masjid adalah tempat untuk berbagi informasi tentang kondisi sosial masyarakat Muslim dan membantu sesama manusia.

Seorang mufassir Sunni, Abu Ishaq ibn Ibrahim ats-Tsa'labi dalam bukunya, Tafsir ats-Tsa'labi menulis, "Abu Dzar berkata; 'Suatu hari, aku mengerjakan shalat dzuhur bersama Rasulullah Saw dan tiba-tiba datang seorang pengemis ke masjid, dan tak seorang pun yang memberikan sedekah kepadanya. Ali as yang sedang ruku' kemudian memberi isyarat kepada pengemis itu agar mengambil cicin di jari kelingking tangan kanannya. Pengemis itu pun mendekati dan mengambil cincin tersebut dari jari Ali.'"

"Kejadian ini terjadi di depan Rasulullah Saw. Jadi begitu selesai shalat, beliau mengangkat kepalanya ke langit dan berseru, 'Ya Allah, sesungguhnya saudaraku, Musa as memohon kepadamu sembari berkata, ‘Wahai Tuhanku, lapangkanlah untukku hatiku, mudahkanlah urusanku, dan bukalah ikatan lisanku agar mereka dapat memahami ucapanku. Dan jadikanlah untukku seorang wazir dari keluargaku yaitu; saudaraku, Harun. Bantulah aku dengannya dan sertakanlah dia dalam urusanku.'"

“Ketika itu turunlah ayat kepadanya, 'Kami akan membantumu dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar.' Ya Allah, aku ini adalah Muhammad, hamba dan nabi-Mu. Maka lapangkanlah hatiku, mudahkanlah urusanku, dan jadikanlah untukku seorang wazir dari keluargaku yaitu; Ali. Dan kokohkanlah punggungku dengannya.'"

Abu Dzar kemudian berkata, “Demi Allah, Jibril turun kepadanya sebelum beliau sempat menyelesaikan doanya itu dan menurunkan ayat wilayah."

Sejarah Masjid Al Hakim di Mesir

Pada sesi ini, kami akan memperkenalkan Masjid Al Hakim sebagai salah satu masjid terkenal di Mesir. Mesir adalah salah satu pusat penyebaran ilmu pengetahuan pada lima abad pertama Hijriyah, dan banyak pelajar datang ke masjid-masjid di negara itu untuk menimba ilmu. Masjid Al Hakim Mesir adalah salah satu masjid besar dan sebuah masjid peninggalan era Dinasti Fatimiyah. Masjid ini mulai dibangun pada tahun 380 Hijriyah (990 M) atas perintah Al 'Aziz Billah.

Al 'Aziz Billah adalah khalifah kelima dari Dinasti Fatimiyah dan sultan ke delapan dari para sultan Mesir. Atas perintahnya, Universitas Al Azhar di Kairo didirikan, dan juga sebuah perpustakaan dibangun di Kairo dan Alexandria.

Pasca kematian Al 'Aziz Billah, putranya, Al Hakim menyelesaikan pembangunan masjid tersebut pada 393 Hijriyah (1003 M), dan kemudian dia mempercantiknya dengan sebuah mimbar pada tahun 403 H, dan menunjuk sebuah badan untuk menjamin dana operasional masjid. Karena masjid ini selesai dibangun pada masa kekuasaan Al Hakim, maka ia dikenal dengan Masjid Al Hakim. Masjid ini juga disebut Jami' al-Khutba, Jami' al-Anwar, dan karena letaknya yang dekat dengan Bab al-Futuh di Kairo, disebut juga Masjid Jami' Bab al-Futuh.

Masjid Al Hakim telah menyaksikan banyak peristiwa selama berabad-abad. Pada masa pemerintahan Sultan Baibars al-Jashnakir atau Baibars II, mata pelajaran milik empat mazhab Sunni diajarkan di masjid tersebut. Selama Perang Salib pada tahun 1212, Perancis menggunakan Masjid Al Hakim sebagai barak militer. Pada akhir abad ke-13 (abad ke-19 M), museum pertama Islam Mesir didirikan di masjid ini.

Gaya arsitektur Masjid Al Hakim merupakan perpaduan antara arsitektur masjid-masjid di Barat dan arsitektur periode Fatimiyah. Masjid ini memiliki tujuh pintu masuk. Pintu masuk utama berada di tengah sisi utara dan terdapat dua pintu masuk di masing-masing sisinya. Sebuah pintu juga dibangun di masing-masing sisi timur, barat dan selatan masjid.

Masjid ini dilengkapi dengan pelataran besar berbentuk persegi panjang yang dikelilingi oleh rangkaian serambi yang bertiang, tiang-tiang ini dipakai untuk menopang atap. Pelataran besar dan luas dikelilingi oleh empat ruwaq (ruangan) dan yang paling besar adalah ruwaq qiblat (arah shalat). Semua ruwaq itu memiliki atap yang terbuat dari kayu.

Gerbang utama berjarak enam meter dari dinding masjid dan dihiasi dengan dekorasi ceruk. Di bagian atas terdapat ukiran kaligrafi yang berisi nama arsitek dan tanggal konstruksi bangunan tersebut. Pada awal abad ke-10, sebuah kubah yang disebut Kubah Qurqumas dibangun di dekat pintu masuk ini, tapi kemudian dirobohkan.

Masjid Al Hakim memiliki tiga kubah batu bata; satu di atas mihrab dan dua kubah lain terletak di sudut kiri dan kanan bangunan. Kubah-kubah ini pada awalnya berbentuk persegi empat dan kemudian berubah menjadi oktagonal atau segi delapan. Di dua sudut pintu masuk masjid, ada dua menara megah yang terbuat dari batu. Menara di bagian utara Masjid Al Hakim memiliki ketinggian 23 meter dan berbentuk silindris.

Tinggi menara di bagian barat mencapai 24 meter dengan bagian atas yang mengerucut. Menara ini memiliki beberapa tingkat dan dipercantik dengan kubah seperti menara utara.

Masjid Al Hakim digunakan sebagai sekolah pada masa mantan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser. Saat ini, masjid tersebut menerima banyak pengunjung dari seluruh dunia untuk melihat arsitektur Islam kuno yang mengagumkan. Masjid ini juga masih digunakan untuk shalat sampai hari ini.

Fungsi dan Peran Masjid (23)

Sebelumnya, kita sudah mengetahui bahwa sejak dulu masjid selain menjadi tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat untuk kegiatan sosial. Partisipasi perempuan dan laki-laki serta sharing informasi seputar kondisi kaum Muslim, hanyalah sebuah sisi dari kapasitas besar masjid. Di tempat ini, individu Muslim akan memiliki kesempatan untuk mengenal satu sama lain dan membentuk kelompok-kelompok sosial yang harmonis.

Salah satu hubungan sosial terpenting manusia adalah komitmen persahabatan. Tak seorang pun dalam kehidupan sosial tidak membutuhkan teman baik. Teman baik adalah penolong manusia di jalan menuju kebahagiaan dan penguat dalam menghadapi kesulitan dan kesusahan. Memiliki teman yang baik akan menyebabkan kesehatan mental dan membentuk karakter sosial yang terpuji. Salah satu tempat – menurut beberapa riwayat – untuk menemukan teman yang baik dan saleh adalah masjid.

Oleh karena itu, salah satu kriteria sosial masjid adalah bahwa para jemaah shalat sedang membangun hubungan dengan orang-orang yang saleh dan baik. Menurut para ulama akhlak, teman baik memainkan peran penting dalam kebahagiaan manusia. Masjid adalah lokasi yang tepat untuk membangun ukhuwah antara orang-orang yang saleh dan mukmin, dan menciptakan iklim bagi pengembangan aspek spiritual dan moral manusia.

Masjid adalah basis agama dan budaya bagi para ahli shalat dan berkumpul bersama mereka akan memiliki dampak positif bagi kehidupan. Ketika ukhuwah di antara individu muslim sudah terjalin, maka iklim yang tepat bagi pengembangan moral dan pembinaan manusia akan tercipta. Dalam banyak ayat dan hadis tentang masjid, ada penekanan khusus pada dimensi sosial rumah Allah Swt, termasuk perkenalan di antara masyarakat muslim, sharing informasi, kepedulian untuk mengatasi kesulitan antar-sesama, dan pada akhirnya menjalin keakraban.

Pada satu kesempatan, Imam Ali as berbicara tentang delapan manfaat penting dari kegiatan meramaikan masjid, dan yang pertama adalah menemukan persaudaraan religius di mana akan membantu seseorang untuk memperkuat imannya. Individu yang bergaul dengan orang saleh meskipun ia tidak mencapai derajat kesempurnaan yang sama, tapi setidaknya ia tidak akan terseret ke dalam dosa karena rasa takut akan Allah Swt, dan tidak memilih jalan menyimpang karena rasa malu dengan sosok saleh tersebut.

Imam Jakfar Shadiq as berkata, "Ahli masjid tidak akan pulang dari masjid kecuali membawa paling sedikit tiga hal, salah satunya adalah persahabatan yang dapat dipakai di jalan Allah Swt."

Sejarah Masjid Ra'sul Husein Kairo

Kali ini, kami akan mengenalkan Masjid Agung Kairo yang dikenal sebagai Mashad Ra'sul Husein dan Masjid Sayidah Zainab. Salah satu masjid terbesar di Kairo adalah Masjid Ra'sul Husein as, yang populer di tengah masyarakat Mesir sebagai Mashad Ra'sul Husein. Banyak sejarawan percaya bahwa Yazid ibn Mu'awiyah memerintahkan untuk mengarak kepala suci Imam Husein as – cucu baginda Rasulullah Saw – sebagai simbol kemenangan pasukannya, dan juga untuk menebarkan teror di berbagai kota. Kota Asqalan, yang berada di antara Mesir dan Syam adalah titik akhir dari arak-arakan ini.

Amir Asqalan meminta izin untuk mengubur kepala Imam Husein as, dan kemudian ketika Dinasti Fatimiyah mulai berkuasa di Mesir, mereka – setelah melakukan penyelidikan detil – membawa kepala tersebut ke Kairo dalam sebuah upacara khusus. Para ulama, tokoh masyarakat dan tentara dengan kaki telanjang, membawa kepala Imam Husein as ke arah Istana Zamrud dan kemudian menguburkannya di Qubbat al-Daylam.

Seorang sejarawan terkenal, Maqrizi mengisahkan bahwa saat pemindahan dilakukan, darah kepala suci Imam Husein as terlihat masih segar dan tidak pernah mengering dan terus menebarkan wewangian seharum minyak misk.

Masjid Ra'sul Husein telah menjadi tempat ziarah dan ibadah bagi jutaan Muslim Syiah dan Sunni Mesir. Setelah berakhirnya Dinasti Fatimiyah, masjid ini juga terus mengalami pemugaran dan perluasan selama periode yang berbeda. Mihrab baru yang terbuat dari batu putih dan merah dibangun pada tahun 1303 Masehi. Menara masjid di sebelah barat awalnya berbentuk silindris, dan kemudian dirubah menjadi kerucut dan menyerupai menara-menara era Ottoman.

Masjid Ra'sul Husein memiliki tiga pintu (Bab), satu di bagian barat, yang lain mengarah ke arah kiblat, dan yang terakhir mengarah ke halaman masjid.

Sejarah Masjid Sayidah Zainab di Mesir

Masjid Sayidah Zainab terletak di Kairo, Mesir. Wanita mulia ini tidak hidup lama setelah kesyahidan Imam Husein as dan berakhirnya masa penawanan. Rasa sakit dan penderitaan yang ditanggung oleh wanita agung ini sungguh sangat berat dan menurut riwayat yang masyhur, beliau wafat pada tahun 62 Hijriah atau satu tahun setelah peristiwa Asyura. Namun, ada perbedaan pendapat mengenai lokasi makam Sayidah Zainab.

Menurut beberapa sejarawan, keberadaan Sayidah Zainab – setelah syahidnya Husein ibn Ali as – di Madinah, telah mengobarkan bara api tangisan dan membangkitkan orang-orang untuk melawan kejahatan rezim Umayyah. Oleh karena itu, gubernur Madinah menulis surat kepada Yazid dan menjelaskan kondisi Madinah serta peran Zainab dalam membangkitkan kemarahan warga. Yazid kemudian menulis surat balasan yang memerintahkan pengusiran Zainab dari Madinah.

Sayidah Zainab hijrah ke Mesir, negara yang memiliki banyak pecinta Ahlul Bait Nabi as dan tinggal di sana sampai akhirnya meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 62 Hijriyah. Menurut catatan sejarah, Zainab dimakamkan di sebuah tempat yang dikenal sekarang sebagai Masjid Sayidah Zainab.

Mengenai sejarah pembangunan masjid, beberapa pakar sejarah berkata bahwa pada tahun 85 Hijriyah (703 M), bangunan pertama didirikan untuk makam Sayidah Zainab. Pada abad keenam Hijriyah, penguasa Kairo, Fakhr al-Din Tsu'lab Ja'fari – sebagai salah satu tokoh dan bangsawan pada masa itu – membangun sebuah bangunan di tempat tersebut.

Masjid ini dipugar oleh gubernur Mesir pada abad kesepuluh Hijriyah, bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Suleiman Qanuni, Raja ke-10 Dinasti Ottoman. Pada tahun 1174 Hijriyah (1760 M), Masjid Sayidah Zainab direnovasi oleh Abd al Rahman Katkhuda, salah satu dari penguasa Mesir, di mana dia mencurahkan perhatian khusus untuk mengembangkan masjid tersebut sebagai tempat ziarah dan situs budaya. Pada 1210 H (1795 M), zarih (pagar makam) diganti dengan bahan dari tembaga.

Pada tahun 1294 H (1877 M), Muhammed Tewfik Pasha melapisi sebuah pintu di seberang kubah Makam Sayidah Zainab dengan marmer Mesir dan Istanbul. Tiga tahun kemudian, penguasa Mesir meluncurkan proyek renovasi kubah, masjid dan menara dan selesai dikerjakan pada tahun 1320 H (1902 M).

Tentu saja, seperti yang kita katakan sebelumnya, ada tiga pandangan mengenai lokasi pemakaman Sayidah Zainab as. Menurut pendapat yang masyhur, wanita mulia ini dimakamkan di Syam dan di selatan kota Damaskus. Beberapa sejarawan menganggap makamnya berada di Mesir di daerah al-Sayyida Zaynab, selatan Kairo, yang merupakan lokasi pembangunan Masjid Sayidah Zainab.

Pendapat ketiga menyebut bahwa Sayidah Zainab dimakamkan di Pemakaman Baqi' di Madinah. Tapi yang penting adalah bahwa tempat-tempat tersebut adalah rumah di mana nama Allah Swt diagungkan, dan para pecinta Ahlul Bait as dengan niat yang tulus, mengungkapkan kecintaan mereka kepada Sayidah Zainab yang mereka yakini dikuburkan di situ.

Muhammad Bahrul Ulum, seorang ulama besar dalam bukunya, "Fi Rihab as-Sayidah Zainab" menulis, "Tidak peduli di mana titik akhir perjalanan Zainab, Damaskus atau Mesir. Tidak peduli di mana matahari terbenam. Yang penting adalah radius pancaran sinar matahari itu, yang tidak tenggelam seiring berjalannya waktu. Kata-kata yang keluar dari lisan Zainab telah mengancam kekuasaan dan wibawa Bani Umayyah dan setiap kebatilan untuk selamanya. Kalimat itu selalu hidup di setiap waktu dan tempat di bumi, dan kematian tidak bisa membungkam pekikan ini."

Sayidah Zainab as berkata, "Aku bersumpah kepada Dzat yang telah memuliakan kami dengan wahyu dan kenabian, apapun yang engkau lakukan, engkau tidak akan mampu menghapus nama dan pengingat kami dari memori semesta dan kehinaan ini (tragedi Asyura) dari pangkuanmu. Ketahuilah bahwa pandanganmu sangat lemah, waktumu sedikit, dan pengikutmu tertekan."

Fungsi dan Peran Masjid (24)

Masjid adalah tempat yang tepat untuk berbagai kegiatan keagamaan seperti, menyampaikan khutbah dan siraman rohani, membaca al-Quran, melaksanakan ritual-ritual agama, melakukan i'tikaf dan sebagainya.

Tempo dulu, masjid juga menjadi tempat berteduh bagi orang asing, orang miskin dan gelandangan. Setiap ada orang asing atau perantau masuk ke satu daerah, masjid akan menjadi tempat berteduh baginya. Pada permulaan Islam, kaum muslim yang hijrah ke Madinah dan tidak memiliki tempat tinggal, berlindung di masjid.

Mereka tinggal di sebelah utara Masjid Nabawi, di sebuah tempat yang luas dan beratap di luar masjid, namun masih terhubung ke masjid dengan nama al-Suffah, yaitu beranda atau tempat berteduh. Para muhajirin yang tinggal di sana kemudian dikenal sebagai Ashab al-Suffah, dan mereka menjadi teladan dari pola hidup sederhana dan meninggalkan kemegahan dunia demi akhirat.

Di siang hari, Ashab al-Suffah berlindung di bawah atap untuk menghindari teriknya matahari, tapi di malam hari mereka bisa tidur di mana saja di masjid. Tentu saja, sebagaimana kita tahu, masjid atau rumah Allah Swt memiliki kesucian, dan jika tidak darurat, kita tidak boleh tidur di tempat suci ini. Dalam sebuah hadis, Rasul Saw bersabda, "Siapa saja yang tidur di masjid tanpa uzur, Allah akan menimpanya sebuah penyakit, yang tidak memiliki penawar." (Mustadrak al-Wasail wa Mustanbat al-Masail, jilid 3. Bab ahkam al-Masjid, riwayat ke-3)

Tidur di tempat-tempat yang paling suci seperti Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, akan memiliki derajat makruh yang lebih besar. Namun, perlu dicatat bahwa kasus tidurnya Ashab al-Suffah di masjid, tidak bertentangan dengan hukum Islam ini, karena mereka termasuk dari golongan muslim yang telah kehilangan segalanya setelah hijrah ke Madinah. Mereka memilih masuk Islam dan menerima hidup miskin. Oleh karena itu, keberadaan Ashab al-Suffah di masjid memiliki uzur syar'i dan darurat.

Masjid adalah rumah berteduh bagi orang asing dan miskin. Tapi, bagaimana pun, ia bukan tempat untuk mengemis dan meminta-minta. Karena Rasulullah Saw melarang Ashab al-Suffah dan orang miskin untuk meminta-minta di masjid. Dalam banyak riwayat, Islam melarang keras perbuatan mengemis di masjid dan secara terang-terangan meminta sedekah kepada masyarakat, sebab masjid adalah tempat khusus untuk kegiatan ibadah dan ritual keagamaan.

Jadi mengemis di masjid ketika waktu shalat atau bukan, bertentangan dengan fungsi masjid itu sendiri. Namun, harus dibedakan antara hukum "mengemis dan meminta-minta" dengan hukum "bersedekah kepada peminta-minta." Dalam sebuah riwayat disebutkan, seorang fakir masuk ke masjid dan meminta-minta kepada orang yang ada di sana. Namun tak seorang pun memberikan sesuatu kepadanya. Waktu itu, Imam Ali as sedang melakukan shalat dan ketika sedang ruku', beliau memberikan cincin-nya kepada si fakir tersebut. Allah Swt kemudian menurunkan ayat 55 surat al-Maidah kepada Nabi Saw sebagai pujian atas perbuatan tersebut.

Selain itu, Islam juga tidak melarang kegiatan mengumpulkan bantuan, sedekah, dan infak masyarakat di masjid untuk membantu fakir-miskin, karena ini tidak termasuk kategori mengemis, tapi merupakan bentuk kepedulian dan bantuan kepada sesama.

Sejarah Masjid Jami' al-Kabir Sana'a, Yaman

Pada kesempatan ini, kami akan mengenalkan Masjid Jami' al-Kabir di Ibukota Yaman, Sana'a. Menurut riwayat, Rasulullah Saw pada abad keenam Hijriyah (630 M), sebelum penaklukan Mekkah, memerintahkan pembangunan Masjid Jami' al-Kabir di Kota Tua Sana'a. Para sejarawan berkata, Nabi Saw sendiri telah menetapkan secara akurat batasan masjid dan arah kiblat.

Untuk itu, masjid tersebut dianggap sebagai tempat ibadah tertua di era Islam, dan merupakan masjid pertama yang dibangun di Yaman. Penggalian arkeologi menemukan beberapa sisa peninggalan masjid yang masih utuh dan tidak berubah. Beberapa arkeolog percaya bahwa masjid tersebut dibangun di samping reruntuhan Istana Ghumdan. Istana ini dianggap sebagai salah satu ikon paling populer di Yaman, di mana para perawi berbeda pendapat tentang pendiri Istana Ghumdan. Sekelompok orang percaya istana ini dibangun oleh Sulaiman Ibn Daud untuk Ratu Balqis.

Walid Ibn Abdul Malik, dari Khalifah Umayyah, memperluas Masjid Jami' Sana'a pada tahun 79 Hijriyah (707 M). Selanjutnya, bagian-bagian baru ditambahkan ke bangunan asli masjid dari waktu ke waktu. Seperti bangunan lainnya di Kota Tua, dinding masjid ini dibangun dari batu bata berwarna cokelat dengan jendela qamariya dan dengan pinggiran berwarna putih.

Masjid Jami' al-Kabir ini memiliki dua menara yang terletak di sisi timur dan barat, dan keduanya direnovasi pada abad ke-12 Masehi. Masjid ini juga memiliki tiga perpustakaan besar. Perpustakaan pertama disebut al-Maktabah al-Sharqiyah dan dibangun pada masa pemerintahan Yahya Hamiduddin, pemimpin Zaidiyah Yaman yang paling kuat, pada abad ke-20. Yang kedua adalah perpustakaan al-Maktabah al-Gharbiyah untuk menyimpan berbagai manuskrip. Kedua perpustakaan ini berada di sudut selatan masjid.

Perpustakaan ketiga atau yang terbaru disebut Maktabah al-Auqaf, untuk menyimpan manuskrip Islam yang paling langka di dunia dan beberapa naskah al-Quran tertua. Manuskrip-manuskrip ini meliputi teologi, yurisprudensi, ulumul Quran, tafsir, hadis, sejarah, kamus bahasa Arab, kitab-kitab sastra, sejarah, politik, filsafat, mantik, astronomi, kedokteran dan pertanian.

Masjid tua ini menyimpan sekitar 15.000 keping kulit yang bertuliskan 950 naskah Quran kuno. Harta karun ini diperoleh pada tahun 1972 ketika merenovasi sisi barat Masjid Jami' Sana'a yang hancur akibat diterjang banjir hebat. Pada 1972, pekerja yang merenovasi dinding di loteng masjid, menemukan sejumlah besar manuskrip kuno. Mereka tidak menyadari apa yang mereka temukan dan mengumpulkan dokumen-dokumen tersebut, dan memasukkannya ke dalam 20 karung kentang, kemudian meninggalkannya di salah satu tangga menara masjid.

Beberapa manuskrip tersebut merupakan contoh langka yang ditulis dalam bahasa Arab Hijazi awal. Walaupun bagian-bagian yang ditemukan ini berasal dari sebuah al-Quran tertua yang pernah ditemukan, bagian-bagian ini juga merupakan sebuah palimpsest, dengan tulisan-tulisan baru yang menggantikan versi al-Quran yang bahkan lebih tua lagi.

Khat yang digunakan populer dengan nama Hijazi, karena Mekkah dan Madinah – sebagai pusat penulisan al-Quran – berada di Tanah Hijaz. Khat Hijazi sudah digunakan pada saat kemunculan Islam. Hijazi ialah skrip melengkung, mudah, dan biasanya tanpa tanda diakritik (tanda baca tambahan). Khat Hijazi sudah sangat langka dan beberapa museum di seluruh dunia masih menyimpan beberapa lembar dari model khat ini.

Ada beberapa peninggalan dengan khat Hijazi yang ditemukan di Masjid Agung Sana'a. Tentu saja, sebagian besar manuskrip di masjid tersebut menggunakan khat Kufi. Di antara koleksi manuskrip di Masjid Agung Sana'a, ditemukan sebuah salinan Quran dengan tulisan tangan Imam Ali ibn Abi Thalib as, Zaid ibn Tsabit, dan Salman al-Farisi dalam dua bagian, masing-masing terdiri dari 150 halaman dengan khat Kufi yang besar dan tanpa tanda baca.

UNESCO telah merilis sebuah CD berisi beberapa manuskrip kuno Sana'a sebagai bagian dari program Memory of the World. CD ini memperkenalkan lebih dari 40 manuskrip al-Qur'an dari abad pertama Hijriyah baik khat Hijazi maupun khat Kufi. Perlu dicatat bahwa para orientalis – yang mengklaim al-Quran telah berubah sepanjang sejarah – dengan mengamati manuskrip ini, mereka akan memahami bahwa al-Quran tetap terjaga sepanjang sejarah tanpa perubahan sedikit pun.

Fungsi dan Peran Masjid (25)

Di edisi sebelumnya, kami telah menyebutkan beberapa fungsi sosial masjid, dan kami katakan bahwa di masa lalu, seseorang yang terlantar di jalan atau terasing di sebuah kota, ia akan menjadikan masjid sebagai tempat berlindung. Pada kesempatan ini, kita akan membahas salah satu fungsi lain masjid di bidang ekonomi.

Masjid – sebagai basis utama masyarakat – adalah tempat terbaik untuk memperkuat iman dan pusat terpenting untuk memperluas kegiatan sosial, politik, budaya, dan bahkan ekonomi kaum Muslim. Menurut catatan sejarah era permulaan Islam, masjid merupakan tempat untuk mengumpulkan harta dan kemudian mendistribusikannya kepada masyarakat.

Harta rampasan perang juga disimpan di masjid, dan kemudian dibagikan di antara para pejuang. Berdasarkan catatan sejarah, langkah pertama Rasulullah Saw mengenai rampasan Perang Badr adalah menunjuk seseorang bernama, Abdullah ibn Ka'ab untuk mengumpulkan dan mendata rampasan perang. Kemudian Rasulullah Saw membagikan harta itu kepada para pejuang.

Kegiatan itu telah menginspirasi pembangunan pusat perbendaharaan atau Baitul Mal di kompleks masjid pada abad-abad berikutnya. Sebab, semua orang memandang masjid sebagai tempat yang tepat dan aman untuk menyimpan kekayaan publik umat Islam. Biasanya ada banyak masjid di setiap kota, sesuai dengan luas dan populasi kota tersebut. Masjid Jami' umumnya terletak di pusat kota, tempat konsentrasi masyarakat untuk berbagai kegiatan ibadah khusus, terutama shalat Jum'at, shalat Idul Fitri dan Idul Adha.

Masjid yang lebih kecil juga dibangun di dekat pasar atau biasa disebut Masjid Bazar, yang umum dipakai oleh para pedagang untuk mendirikan shalat. Ketika tiba waktu shalat, mereka akan meliburkan kegiatan jual-beli dan bergegas menuju ke Masjid Bazar. Setelah shalat selesai, imam biasanya akan menjelaskan perkara jual-beli dan urusan berdagang kepada jemaah. Di masa lalu, komunitas pedagang juga meluangkan waktu mereka untuk belajar hukum jual-beli di Masjid Bazar.

Oleh karena itu, Masjid Bazar memberikan nuansa ibadah dan identitas Ilahi bagi kegiatan jual-beli di tengah masyarakat. Masjid ini mengajarkan pedagang tentang kejujuran, amanah, dan menghindari perbuatan curang dalam jual-beli. Dan masjid semacam ini memberikan identitas religius pada pasar. Di sisi lain, sebagian besar pedagang langsung menuju Masjid Bazar begitu mereka tiba di sebuah kota. Kehadiran mereka menandakan adanya barang baru yang masuk, dan setelah selesai shalat, mereka akan terlibat dalam kegiatan tawar-menawar barang dengan mitranya.

Di masa lalu, para pedagang dan masjid memberikan pelayanan timbal-balik. Artinya, masjid membantu pedagang dan saudagar dalam urusan ekonomi, dan mereka juga memainkan peran penting dalam menyebarkan Islam dan membangun masjid selama menjalankan kegiatan bisnisnya, dan bahkan di daerah yang jauh sekali pun. Jika kafilah pedagang Muslim singgah di suatu tempat untuk beberapa kali, mereka membangun sebuah masjid sebagai tempat beribadah dan berkumpul. Masyarakat setempat juga berduyun-duyun mendatangi masjid dan memilih masuk Islam. Para saudagar bahkan telah menyebarkan Islam ke benua Asia dan Afrika.

Saat ini, masjid juga memainkan peran penting dalam mengumpulkan bantuan kemanusiaan untuk meringankan beban orang miskin dan membiayai pembangunan sekolah, rumah sakit, fasilitas publik, dan kegiatan dakwah, ilmiah, dan budaya. Beberapa masjid dengan fasilitas pemberian utang (Qardan Hasanah), akan memberikan pinjaman tanpa bunga kepada warga yang membutuhkan. Dengan demikian, masjid berkontribusi untuk membantu kegiatan ekonomi masyarakat.

Sejarah Singkat Beberapa Masjid di Yaman

Pada bagian ini, kami akan memperkenalkan secara singkat beberapa masjid di Yaman. Beberapa percaya bahwa negara ini disebut Yaman karena berada di sebelah kanan (yamin) Ka'bah dan sebuah negeri yang diberkahi. Salah satu kebanggaan warga Yaman adalah bahwa mereka menganggap dirinya sebagai satu-satunya daerah yang memilih Islam tanpa perang dan pertumpahan darah, dan dengan kedatangan Imam Ali as sebagai utusan khusus Nabi Muhammad Saw ke negeri ini.

Menurut sebuah catatan sejarah di abad kedelapan, setelah penaklukan Mekkah, Rasulullah mengutus Imam Ali ke Bani Hamdan di Yaman untuk mengajak mereka masuk Islam. Ketika Imam Ali as tiba di Yaman, ia mengumpulkan masyarakat dan kemudian membacakan surat Rasulullah Saw kepada mereka. Bani Hamdan – salah satu suku terbesar di Yaman – sangat gembira sehingga mereka memeluk agama Islam dalam satu hari. Keputusan suku ini mendorong semua orang Yaman secara bertahap masuk Islam.

Menurut beberapa sumber, Ummu Said al-Barzakhiyah adalah orang pertama dari penduduk Yaman yang masuk Islam berkat Ali bin Abi Thalib. Perempuan ini mengubah kediamannya sebagai masjid dan menamakannya Masjid Ali as. Ialah masjid yang populer sampai sekarang.

Masjid-masjid Yaman sebagian besar berbentuk persegi panjang atau trapesium, dengan halaman yang luas dan serambi yang beratap. Keindahan masjid-masjid di Yaman terletak pada dekorasi dan ornamennya. Prasasti berukir, desain geometris dan vegetasi, serta atap kayu berukir, termasuk di antara dekorasi unik masjid di negara bersejarah itu. Menara masjid-masjid di Yaman termasuk di antara menara yang paling indah dan unik di Dunia Islam.

Salah satu dari masjid tersebut adalah Masjid Agung Al Bakiriyya di Sana'a, ibukota Yaman. Masjid Al Bakiriyya adalah salah satu karya terindah era Ottoman di Yaman yang dibangun pada tahun 1594 oleh Hasan Pasha di kota Sana'a. Masjid agung ini itu terdiri atas sebuah ruangan dengan kubah besar di atasnya dan tiga kubah kecil di sisi timurnya.

Di sisi selatan masjid juga ada sebuah ruangan dengan tiga kubah, yang dihiasi dengan ornamen-ornamen yang indah. Menara berbentuk tower dibangun di bagian timur masjid. Di sisi barat, terdapat pintu masuk yang indah dengan sebuah kubah di tengah dan dua sisanya di pinggir, yang ditambahkan pada abad ke-19.

Masjid Al Hadi Yahya di kota Sa'ada, adalah salah satu masjid kuno lainnya di Yaman berusia 1.200 tahun. Masjid ini terletak di bagian tenggara kota tua Sa'ada, dan dibangun pada tahun 290 Hijriyah oleh Yahya ibn Hussein, yang disebut Al Hadi ila’l-Haqq, pendiri pemerintahan Zaidi di Yaman pada abad keempat Hijriyah (abad ke-10 Masehi).

Masjid Al Hadi – pusat pendidikan Syiah Zaidi tertua di Yaman – dibom oleh koalisi pimpinan Arab Saudi pada Mei 2015 dan bangunan bersejarah ini mengalami rusak parah.

Di bagian akhir, kita akan berkenalan dengan Masjid Jami' Al Saleh yang terletak di bagian selatan Sana'a, dan dianggap sebagai simbol kekuatan Islam di Yaman. Bangunan megah ini terbilang unik dari segi arsitektur dan merupakan salah satu bangunan Islam terbesar di negara-negara Arab. Masjid ini dibangun pada tahun 2008 atas perintah mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, dan mampu menampung 45.000 jemaah.

Masjid Jami' Al Saleh memiliki enam menara, di mana tinggi empat menaranya mencapai 100 meter dan tinggi dua menara lainnya 80 meter, dan dianggap sebagai menara tertinggi di Asia Barat. Arsitektur Masjid Al Saleh juga dipercantik dengan kubah-kubah besar. Kubah utama berdiameter 28 meter dengan tinggi 22 meter. Pada atap utama terdapat lima kubah dan empat di antaranya berdiameter 15,6 meter serta tinggi 20,35 meter di atas atap masjid. Sedangkan kubah yang tersisa memiliki diameter 27,4 meter serta tinggi 39,6 meter di atas atap.

Pembangunan Masjid Al Saleh menelan biaya 60 juta dolar. Hal ini menimbulkan kontroversi. Sebab, bangunan ini menelan biaya yang sangat tinggi ketika banyak rakyat Yaman hidup di bawah garis kemiskinan.

Fungsi dan Peran Masjid (26)

Fungsi asli masjid adalah tempat ibadah, tetapi ia juga memainkan fungsi khusus di bidang politik, budaya, pendidikan, militer, pengadilan, dan lain-lain. Uniknya, semua kegiatan ini terpusat pada keberadaan seorang pemimpin yang akan mengatur semua urusan di masjid.

Seperti ketika Rasulullah Saw di Madinah, beliau bertanggung jawab untuk memanajemen urusan masjid. Jadi, perlu seorang tokoh di masjid yang menjadi pusat rujukan urusan agama dan politik, selain sebagai pemimpin dan pengelola kegiatannya.

Selain sebagai basis utama kegiatan ibadah, fungsi politik masjid juga tampak dominan pada awal permulaan Islam. Perlu dicatat bahwa Ka'bah – sebagai poros kegiatan ibadah – juga memiliki kedudukan istimewa sebelum terbit fajar Islam. Masjidil Haram memainkan fungsi sebagai basis politik masyarakat Hijaz sebelum pengutusan Nabi Muhammad Saw.

Oleh karena itu, para kabilah dan faksi-faksi politik Mekkah selalu bersaing dan kadang juga terlibat konflik demi meraih posisi sebagai juru kunci Ka'bah dan pengelola Masjidil Haram.

Di awal permulaan Islam, masjid adalah simbol utama dari perpaduan agama dan politik, dan kedua prinsip integral ini ditampilkan untuk pertama kalinya di Masjid Nabawi. Kediaman dan kehadiran rutin Rasulullah Saw – sebagai imam dan pemimpin masyarakat – di masjid Madinah telah menyita perhatian semua orang.

Dengan kehadirannya di masjid yang menjadi pusat konsentrasi masyarakat, Rasulullah Saw mengajarkan kepada para sahabat bahwa pemimpin adalah pelayan rakyat. Pekerjaan Nabi adalah memberikan pelayanan yang semata-mata untuk Allah Swt, dan tidak ditujukan untuk kedudukan, kekayaan, ambisi kekuasaan, atau pencitraan.

Beliau melakukan pekerjaan ini karena kecintaannya kepada Islam dan masyarakat Muslim, dan demi mencari keridhaan Allah Swt; sebuah kegiatan yang benar-benar selaras dengan agama.

Di awal permulaan Islam, masjid juga berfungsi sebagai basis politik, tempat untuk mengambil baiat dari masyarakat, dan pusat kantor pemerintahan. Sejarah mencatat bahwa setelah pembangunan Masjid Nabawi di Madinah, orang-orang yang baru masuk Islam menyatakan baiat kepada Rasulullah Saw di masjid.

Pada masa khalifah pertama, Abu Bakar, meskipun baiat awal dilakukan di Saqifah Bani Sa’idah, namun baiat publik dengan khalifah terjadi pada hari berikutnya di masjid. Ketika itu, Abu Bakar naik ke atas mimbar untuk menyampaikan pidato politik dan ia berdiri satu tingkat lebih rendah dari anak tangga yang biasa dipakai Rasul. Setelah memuji Allah, Abu Bakar berkata, "Sesungguhnya aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian meski aku bukan yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat benar, dukunglah aku, dan jika aku berbuat salah, luruskanlah aku." (Tarikh al-Yaqubi, jilid 2)

Imam Ali as setelah desakan masyarakat untuk menerima posisi khalifah, juga pergi ke masjid untuk dibaiat oleh masyarakat dan menyampaikan khutbah. Dalam pidatonya, beliau menjelaskan program-program pemerintah dan masalah penegakan hukum.

Sejarah Dua Masjid Termegah di Maroko

Pada bagian ini, kami akan memperkenalkan secara singkat dua masjid yang terkenal dari Maroko; Masjid Hassan (Menara Hassan) dan Masjid Hassan II (Masjid Hassan Ath-Thani).

Masjid Menara Hassan di kota Rabat, adalah salah satu monumen bersejarah di Maroko yang dibangun oleh Sultan Yaqub Al Mansur, khalifah ketiga Dinasti Almohad pada tahun 1184 (592 Hijriyah). Setelah kemenangan dalam pertempuran dengan Raja Kastilia, Al Mansur ingin membangun sebuah masjid yang lebih megah dari Masjid Cordoba di Spanyol dan menjadi basis untuk pasukan Muslim.

Al Mansur telah menyusun banyak rencana untuk masjid ini, namun semua itu terhenti setelah kematiannya pada tahun 1199. Pembangunan masjid ini tidak rampung pada tahun-tahun berikutnya, dan sampai sekarang masih berdiri seperti awalnya. Jika pembangunannya sempurna kala itu, Masjid Menara Hassan akan menjadi masjid terbesar kedua di dunia Islam pada abad ke-12 setelah Masjid Samara di Irak.

Dikatakan bahwa Masjid Menara Hassan dirancang oleh kakek Al Mansur sebagai benteng pertahanan untuk melindungi diri dan pasukannya dari serangan musuh. Luas ruang utama untuk shalat saja mencapai lebih dari 1.932 meter. Ruangan ini dibangun berbentuk huruf T.

Tidak seperti masjid lain yang umumnya memiliki sebuah halaman, Masjid Hassan memiliki beberapa halaman yang luas dan salah satunya yang berada di dekat menara yang diapit oleh banyak tiang. Panjang tiang-tiang itu antara 2,5 sampai 6,5 meter dan dibangun dengan bentuk lingkaran. Kumpulan tiang yang melingkari masjid ini merupakan salah satu daya tarik Masjid Menara Hassan.

Tiang-tiang yang terbuat dari marmer itu dihias dengan indah. Masjid ini memiliki sekitar 400 tiang dan juga 16 pintu; enam buah di bagian barat, empat di bagian timur, dua di bagian selatan, dan empat sisanya di bagian utara. Panjang mihrab masjid mencapai 3 meter, tetapi saat ini hanya tersisa bekas tempat mihrab. Mihrab ini dikelilingi oleh tembok yang sangat besar dan posisinya persis di hadapan menara.

Meski tidak selesai dibangun, saat ini Masjid Menara Hassan dengan lantai marmer yang luas, tiang-tiang yang megah dan dinding yang masih berdiri tegak, menegaskan betapa besarnya masjid tersebut. Menara Hassan sekarang menjadi salah satu monumen bersejarah paling megah di Maroko. Menara yang dipercantik oleh taman-taman menawan di sekitarnya ini, terdaftar sebagai warisan dunia UNESCO pada tahun 1995.

Masjid lain yang sangat populer di Casablanca, Maroko adalah Masjid Hassan II (Masjid Hassan Ath-Thani). Masjid ini mulai dibangun tahun 1980 dan peresmiannya dilakukan pada Agustus 1993. Dengan luas yang mencapai 20.000 meter per segi, Masjid Hassan II dianggap sebagai masjid terbesar ketiga setelah Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Sebagian dari bangunan masjid ini menjorok ke pantai kota Casablanca dan berada di atas perkumaan laut.

Dinding Masjid Hassan II terbuat dari beton dan marmer serta dihiasi dengan ornamen yang sangat indah di bagian interiornya. Semua batu granit, marmer, kayu, dan bahan lain yang digunakan dalam konstruksi, berasal dari Maroko, dengan pengecualian beberapa tiang granit putih impor dari Italia.

Masjid Hassan II dengan kapasitas 25,000 jemaah, terletak di pinggir Samudera Atlantik dan dijuluki sebagai masjid terapung terbesar di dunia. Ruangan shalat membentuk persegi panjang yang ditopang oleh 78 pilar, dan panjang ruangan mencapai 200 meter dengan lebar 100 meter dan tinggi 60 meter. Bagian tengahnya lebih besar dan lebih tinggi dari yang lain. Atap ruangan dibangun berombak-ombak dengan kubah beraneka ragam.

Bangunan megah ini dilengkapi dengan peralatan modern, termasuk pintu otomatis dan atap yang bisa dibuka atau digeser dengan ubin hijau zamrud. Dalam Islam, warna hijau menunjukkan kebaikan dan aura spiritualitas.

Menara masjid ini merupakan yang paling tinggi di dunia dan dari puncaknya akan terlihat sinar laser terang yang mengarah ke kiblat di kota Mekkah. Tinggi menara masjid ini mencapai 200 meter dan karena tingginya yang luar biasa, teknologi canggih dan teknik konstruksi modern digunakan untuk memperkokoh menara. Ia diperkuat dengan beton bertulang yang mampu menahan terhadap efek gabungan dari angin dan gempa bumi.

Di kompleks masjid juga terdapat madrasah untuk belajar al-Quran dan ilmu-ilmu agama. Madrasah ini mencakup perpustakaan, museum, dan ruang serba guna untuk seminar dan konferensi. Ruangan ini semua dilengkapi dengan peralatan audiovisual yang canggih.

Pekerjaan konstruksi Masjid Hassan II melibatkan sekitar 35.000 pekerja dan 10.000 pekerja profesional. Mereka bekerja siang dan malam selama enam tahun untuk merampungkan bangunan tersebut. Masjid ini diperkirakan menelan biaya sampai 800 juta dolar AS.

Masjid Hassan II adalah lambang dari segenap bangsa. Ia melambangkan solidaritas, komitmen, kreativitas, dan pengabdian religius rakyat Maroko. Ia merupakan elemen fundamental dari warisan nasional Maroko. Sebagai hasilnya, ia terkenal di dunia sebagai contoh menakjubkan dari seni Islam.