• Mulai
  • Sebelumnya
  • 12 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 1975 / Download: 1553
Ukuran Ukuran Ukuran
Peran dan Fungsi Masjid (bagian4)

Peran dan Fungsi Masjid (bagian4)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Fungsi dan Peran Masjid

Fungsi dan Peran Masjid (31)

Masjid adalah rumah Allah Swt dan tempat untuk berkumpulnya berbagai lapisan masyarakat. Mereka berkumpul bersama untuk menunaikan kewajiban agama dan bertukar pandangan seputar persoalan umat Islam sehingga masjid menemukan dimensi agama-politik. Oleh karena itu salah satu fungsi masjid adalah berkiprah di bidang politik.

Di tengah masyarakat Muslim, tidak boleh ada jarak antara masyarakat dan para pemimpin. Dengan demikian, masyarakat Muslim dapat mengawasi dengan baik arah kebijakan pemerintah dan urusan-urusan publik serta menyuarakan sikapnya dalam masalah politik. Mereka dapat membantu pemerintahan Islam dengan memberikan gagasan dan program-program yang efektif.

Setelah mendirikan pemerintahan Islam di Madinah, Rasulullah Saw menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan pemerintah dan tempat untuk menunaikan kewajiban agama. Beliau mengajak partisipasi masyarakat Muslim dalam urusan pemerintah dan mengajari mereka tentang tujuan-tujuan politik Islam. Masjid berfungsi sebagai tempat kegiatan ibadah dan basis pemerintah dan lembaga-lembaga politik Islam.

Perlu dicatat bahwa masjid masih mempertahankan fungsinya di bidang politik pada periode setelah Rasulullah Saw. Kegiatan yang berhubungan dengan persoalan politik dan negara seperti, pengangkatan dan pengambilan sumpah khalifah, penunjukan atau pemecatan gubernur dan para pejabat lain, rapat kabinet, mempersiapkan masyarakat Muslim untuk jihad, dan lain-lain, semuanya dilakukan di masjid.

Masjid memulai kehidupan politiknya sejak masa Rasulullah Saw hingga permulaan Dinasti Abbasiyah. Selama periode itu, masjid menjadi pusat untuk seluruh kegiatan politik Dunia Islam. Sebagai contoh, Sayidah Fatimah Zahra as menyampaikan kasus Tanah Fadak di masjid dan terang-terangan mengkritik khalifah pertama.

Rasulullah melakukan semua kegiatan politiknya di masjid semenjak berdirinya pemerintahan Islam di Madinah. Di tempat itu pula, beliau menerima kunjungan delegasi dan utusan negara lain yang datang ke Madinah. Pembicaraan formal dilakukan di masjid dan salah satu tema utama yang diangkat oleh Rasulullah adalah kemunculan agama baru Islam dan politik yang bersandar pada ajaran baru itu.

Oleh sebab itu, salah satu tiang Masjid Nabawi dikenal sebagai Usthuwaanah al-Wufud, tempat Rasulullah menerima para tamu dan melakukan pembicaraan dengan berbagai delegasi kabilah, pemerintah asing, dan agama lain.

Setelah Islam tersebar ke berbagai negara, masjid menjadi simbol dari tegaknya pemerintahan Islam di kota dan desa-desa. Setelah setiap penaklukan, masyarakat Muslim membangun masjid jami' di pusat kota dan kemudian mendirikan tempat tinggal pemimpin yang lazim disebut Dar al-Imarah di sampingnya.

Di sebagian kota, masjid dibangun sangat dekat dengan Dar al-Imarah (kantor pemerintah) dan tampak kedua bangunan ini saling menempel. Kedekatan ini ingin mempertegas bahwa seluruh kekuatan politik dan agama berada di tangan pemimpin.

Pada dasarnya, hakikat intrinsik Islam adalah agama dan politik tidak dapat dipisahkan. Setiap pemimpin bertugas menjalankan kedua perkara itu secara beriringan, dan masjid berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan kegiatan agama. Mengenai hubungan masjid dan pusat kegiatan politik juga dapat dilihat dari keberadaan baitul mal, yang selalu terletak di masjid jami' setiap kota.

Sejarah Masjid 'Adzam Qum

Masjid 'Adzam Qum adalah salah satu monumen tertua dan terbesar di kota suci Qum, Iran, yang selalu dipadati oleh masyarakat untuk mendirikan shalat. Masjid ini dibangun di samping komplek Makam Sayidah Maksumah as atas perintah Marja' Besar Syiah Ayatullah Sayid Husain Thabathabai Burujerdi pada tahun 1954 Masehi.

Arsitektur masjid ini dirancang oleh Hussein bin Muhammad Me'mar yang dikenal sebagai Master Lorzadeh. Masjid ini diberi nama 'Adzam karena ukurannya besar dan megah. Bangunan ini menjadi salah satu pusat penting untuk kegiatan pendidikan Hauzah Ilmiah Qum dan para ulama besar biasanya memberikan kuliah di tempat itu. Masjid 'Adzam juga dipakai untuk acara tahlilan para ulama, tempat i'tikaf, dan tempat belajar para santri di kota Qum.

Ayatullah Burujerdi percaya bahwa di samping komplek Makam Sayidah Maksumah as harus dibangun sebuah masjid seperti Masjid Goharshad di dekat komplek Makam Imam Ali Ridha as. Dia juga yakin bahwa Hauzah Ilmiah Qom ke depan membutuhkan tempat yang lebih luas untuk kegiatan belajar-mengajar dan alangkah baiknya jika tempat itu dibangun di samping komplek Makam Sayidah Maksumah dengan nama masjid.

Ayatullah Burujerdi kemudian melakukan pembebasan tanah dan meresmikan pembangunan Masjid 'Adzam Qum pada tahun 1954. Beliau menanggung sebagian dari dana pembangunan masjid ini dan sisanya bersumber dari sumbangan masyarakat. Pembangunan masjid selesai pada tahun 1961 dan sejak itu, kegiatan shalat dan ritual keagamaan lainnya secara teratur diadakan di tempat ini.

Masjid 'Adzam Qum memiliki luas total 12.000 meter persegi dan dibangun dengan gaya arsitektur Islam. Kubah besar masjid memiliki diameter 30 meter dan tingginya dari dasar atap masjid mencapai 15 meter dan 35 meter dari lantai. Tinggi menara masjid mencapai 45 meter dari ruang bawah tanah. Bagian atas menara memiliki ruangan sebagai tempat azan dengan ketinggian 5 meter. Sebuah menara jam terletak di utara masjid dan menara ini dapat dilihat dari semua empat sisi masjid.

Masjid 'Adzam memiliki empat aula dan luas ruangan di kolong kubah mencapai 400 meter persegi, sementara aula-aula di sekitarnya masing-masing berukuran 900 meter persegi. Di sisi utara masjid, terdapat sebuah ruangan di bawah menara jam dengan luas sekitar 300 meter persegi. Tinggi setiap atap ruangan sekitar 10 meter.

Sisi barat Masjid 'Adzam Qum dilengkapi dengan tempat wudhu dan toilet serta tempat istirahat untuk para pengurus. Di sisi ini juga dibangun sebuah perpustakaan yang sangat luas dengan dua ruang belajar. Ayatullah Burujerdi awalnya ingin membangun perpustakaan terpisah di kota Qom, tetapi setelah Masjid 'Adzam rampung, para ulama mengusulkan pembangunan sebuah perpustakaan untuk masjid.

Pada 13 Februari 1960, Ayatullah Burujerdi memerintahkan pembangunan sebuah perpustakaan besar Masjid 'Adzam yang terbuka untuk umum. Dia meminta arsitek Hossein Lorzadeh untuk mencari lokasi untuk perpustakaan. Hossein Lorzadeh kemudian memilih sisi barat masjid yang sebelumnya dibangun sebagai aula.

Perpustakaan ini menyimpan 7.096 manuskrip, 8.000 judul buku dalam cetakan litografi, 200 judul buku cetak bergerak (movable type) yang sangat bernilai tinggi, dan lebih dari 660 manuskrip bergambar, artikel-artikel ilmiah, dan buku pelajaran baru pada periode Qajar.

Saat ini perpustakaan Masjid 'Adzam Qum tercatat sebagai salah satu perpustakaan yang paling penting dalam melestarikan warisan budaya Syiah, dan menyimpan sebagian besar dari buku diktat pelajaran, buku-buku tulisan tangan, dan jurnal-jurnal terkenal. Kitab-kitab kuno di perpustakaan ini telah direkam dalam bentuk CD sehingga bisa diakses oleh para pengunjung. Saat ini perpustakaan Masjid 'Adzam dikelola oleh Hauzah Ilmiah Qum.

Makam almarhum Ayatullah Sayid Husain Thabathabai Burujerdi terletak di sebelah barat Masjid 'Adzam. Menurut keterangan cucunya, Mohammad Javad Alavi Burujerdi, tempat tersebut dulunya sebuah rumah kecil dengan ukuran 60 meter persegi yang dibeli oleh Ayatullah Burujerdi. Setelah ia menentukan tempat pemakamannya, sisa tanah tersebut diwakafkan untuk masjid.

"Tempat ini terletak di lorong pintu masuk menuju makam suci (Sayidah Maksumah as). Makamkan aku di sini sehingga tapak kaki para peziarah melintas di atas makamku," kata Ayatullah Burujerdi.

Fungsi dan Peran Masjid (32)

Masjid dari awal kelahirannya sudah berkiprah sebagai pusat kegiatan dakwah Nabi Muhammad Saw dan basis untuk mengorganisir semua urusan masyarakat Muslim. Rasul Saw memusatkan kegiatannya di masjid mulai dari mempraktekkan syariat Islam, melakukan musyawarah, mengajari tata cara mengelola pemerintah, menyusun kebijakan perang dan damai, serta melakukan pembangunan budaya.

Di samping untuk kegiatan ibadah dan ritual agama, masjid juga difungsikan sebagai sentra kegiatan budaya, sosial, politik, ekonomi, peradilan, dan pendidikan.

Fungsi dan peran masjid tentu saja mengalami pergeseran di sepanjang sejarah kelahirannya. Tetapi, banyak dari fungsi-fungsi itu terus dipertahankan sampai sekarang. Doktor Gustave Le Bon dalam bukunya The World of Islamic Civilization menulis, "Sentra utama kehidupan hakiki untuk orang Muslim adalah masjid. Kaum Muslim menjadikan masjid sebagai basis sosial, ibadah, pendidikan dan pengajaran, dan kadang tempat tinggal, tidak seperti gereja-gereja Nasrani yang berfungsi sebagai pusat ibadah semata."

Masjid – sebagai sebuah pusat kegiatan umat Islam – menampilkan dua model perilaku sosial dan personal, yang sangat berpengaruh dalam urusan pendidikan dan pengajaran. Model perilaku sosial akan tampak ketika masyarakat hadir di sana secara berjamaah. Mereka akan menyibukkan diri dengan ibadah kolektif dan ritual yang dilakukan bersama. Namun ketika kehadiran itu personal, seseorang akan fokus pada introspeksi diri dan mengevaluasi perilaku-perilakunya.

Hal ini menjadi titik pembeda antara masjid dan tempat-tempat lain. Masjid memainkan peran sebagai basis sosial untuk memupuk persatuan dan solidaritas kaum Muslim. Ia juga menjadi basis personal bagi individu yang ingin memperbaiki dirinya, akidahnya, dan perilakunya. Jadi, salah satu fungsi penting masjid adalah tempat untuk pendidikan moral.

Dapat dikatakan bahwa masjid – dengan seruan rutinnya kepada kaum Muslim – berusaha memperkuat semangat sosial dan fleksibilitas serta menanamkan kedisiplinan dalam diri mereka, dan menyingkirkan rasa keterasingan di antara individu Muslim.

Seseorang biasanya akan menemukan teman yang bertakwa, ahli ibadah, dan disiplin jika hadir secara rutin di masjid. Kehadiran rutin ini membuatnya dihormati oleh masyarakat dan dipandang sebagai sosok yang taat dan dapat dipercaya. Kepercayaan ini memudahkannya dalam menjalankan berbagai kegiatan sosial, termasuk untuk urusan bisnis. Sebaliknya, individu yang tidak pernah terlihat di masjid, ia tidak akan menikmati kepercayaan publik dalam banyak urusan. Sebab, masyarakat tidak begitu mengenal kepribadiannya sehingga bisa memberikan kepercayaan.

Oleh karena itu, Rasulullah Saw bersabda, "Jika ditanya tentang orang yang tidak menghadiri shalat berjamaah, katakanlah aku tidak mengenalnya." Artinya, keadilan, sifat amanah, dan akhlaknya belum terbukti bagi masyarakat. Ini mungkin sebuah teguran bagi siapa saja yang tidak peduli dengan shalat berjamaah dan masjid.

Sejarah Masjid Jamkaran

Masjid Jamkaran terletak di desa Jamkaran dan berjarak sekitar 6 kilometer dari kota Qum. Di masa lalu, masjid ini dikenal sebagai Masjid Qadamgah dengan bersandar pada batu marmer yang dianggap sebagai Qadamgah (bekas pijakan kaki) Imam Mahdi as, dan kemudian mulai populer dengan Masjid Jamkaran karena posisinya di desa itu. Ia disebut juga Masjid Sahib al-Zaman karena dikaitkan dengan imam ke-12 Syiah, Imam Muhammad bin Hasan al-Mahdi as.

Masjid Jamkaran dibangun pada 17 Ramadhan tahun 373 Hijriyah oleh Syeikh Hassan ibn Muthlih Jamkarani atas perintah Imam Mahdi as. Dia bertemu dengan Imam Mahdi as dan mendapatkan perintah untuk membangun masjid tersebut. Menurut beberapa dokumen, ketika Imam Mahdi datang, Masjid Jamkaran akan menjadi salah satu markasnya sama seperti Masjid Sahlah di Kufah.

Hasan ibn Muhammad al-Qummi dalam bukunya Tarikh-e Qom menulis bahwa masjid pertama yang dibangun pada permulaan abad kedua Hijriyah di Qum adalah Masjid Qaryah Jamkaran. Masjid ini dibangun oleh Khattab al-Asadi dari kabilah Bani Asad, yang melarikan diri dari Irak ke Qum di tengah munculnya banyak pergolakan pasca peristiwa Asyura.

Masjid Jamkaran telah mengalami perbaikan dan renovasi dalam pelbagai periode. Sayid Muhammad Aghazadeh pada tahun 1953 ikut memperbaiki bagian-bagian masjid dan membangun sebuah aula di bagian selatan halaman masjid. Sebuah prasasti ditempelkan pada salah satu sisi dinding masjid yang menjelaskan tentang tanggal dan masa renovasi.

Mirza Ali Akbar Jamkarani juga merenovasi masjid tersebut pada tahun 1167 Hijriyah. Berdasarkan prasasti, bangunan pada waktu itu mencakup sebuah masjid dengan ukuran 17×5 meter persegi. Aligholi Jamkarani kemudian mulai membangun satu sisi halaman/serambi masjid, tetapi serambi tersebut baru setengah jadi sampai akhirnya Ali Asghar Khan Atabak menyempurnakannya pada masa-masa awal pemerintahan Mozaffaruddin Shah Qajar (1232-1285 Hijriyah Syamsiah). Ayatullah Muhammad Taqi Bafqi, salah seorang ulama Qom juga merenovasi kembali masjid tersebut.

Setelah kemenangan Revolusi Islam dan bertambahnya jumlah peziarah, bangunan asli masjid dihancurkan dan kemudian di lokasi yang sama dibangun masjid dengan ukuran yang sangat besar. 40 hektar lahan dibebaskan untuk Masjid Jamkaran dengan 5,5 hektar dialokasikan untuk halaman utama. Saat ini, Komplek Masjid Jamkaran terdiri dari berbagai bagian seperti Masjid Maqam, shabistan (ruang aula), halaman utama, dan bangunan-bangunan kantor administrasi.

Dinding pintu masuk ke masjid dihiasi dengan seni mosaik, sementara atapnya menggunakan dekorasi muqarnas. Muqarnas adalah bentuk dekorasi tiga dimensi pada interior atap bangunan yang terinspirasi dari komposisi geometris sarang lebah. Pintu ini dipercantik dengan dua buah menara di sisi kiri dan kanan dengan ketinggian 60 meter.

Aula utama Masjid Jamkaran berbentuk oktagonal (segi delapan) dan dapat diakses melalui tiga pintu di sisi utara dan dua pintu di selatan. Aula ini memiliki delapan tiang oktagonal yang dihiasi dengan ubin mosaik dan muqarnas. Sebuah kubah dibangun dengan struktur logam di atas tiang-tiang itu. Bagian luar kubah dilapisi dengan ubin warna batu pirus dan dihiasi dengan motif bergamot dengan tulisan kaligrafi Ya Mahdi Adrikni.

Sebanyak 23 jendela kaca warna-warni dibangun mengelilingi batang kubah yang berfungsi untuk pencahayaan aula. Seluruh bagian interior kubah dipercantik dengan dekorasi muqarnas dan kaligrafi.

Masjid Jamkaran memiliki enam gerbang masuk, di mana gerbang timur laut langsung menuju aula utama masjid. Di pagar halaman Masjid Jamkaran dibangun menara, yang menurut para pengurus akan berjumlah 14 menara.

Masjid Jamkaran mulai dikenal luas karena jasa Ayatullah Muhammad Taqi Bafqi, seorang ulama pejuang abad ke-14 H. Dia bersama sekelompok santri secara rutin mengunjungi Masjid Jamkaran pada Selasa sore dengan berjalan kaki dari Qum. Mereka melaksanakan shalat magrib dan isya' di sana dan menyibukkan diri dengan ibadah sampai pagi. Kebiasan ini perlahan-lahan menarik perhatian masyarakat dan mereka mulai memadati Masjid Jamkaran.

Masjid Jamkaran adalah tempat untuk penyelenggaraan beberapa acara keagamaan seperti, menyambut Nisfu Sya'ban atau malam kelahiran Imam Mahdi. Masjid ini memiliki amalan-amalan khusus, termasuk dua rakaat shalat tahiyatul masjid dan dua rakaat shalat Imam Zaman. Muhaddis Nuri mengaitkan amalan-amalan ini dengan Imam Mahdi as dan Syeikh Abbas Qummi menukilkannya dalam kitab Mafatih al-Jinan.

Khusus untuk Jumat malam dan pagi, masjid ini mengadakan pembacaan doa Kumail dan doa Nudbah, sementara malam Rabu digelar doa Tawassul. Masyarakat lokal dan mancanegara secara rutin mengunjungi masjid tersebut dan jumlah mereka per tahun mencapai 15 juta orang. Masjid ini bisa diakses dari kota Qum dengan menggunakan taxi, bus, dan kendaraan pribadi, atau berjalan kaki bersama rombongan ziarah.

Saat ini Masjid Jamkaran memiliki berbagai departemen seperti, departemen ritual keagamaan dan dakwah, hubungan masyarakat, perpustakaan, publikasi dan penelitian, dan departemen nazar dan hadiah.

Fungsi dan Peran Masjid (33)

Fungsi utama dan asli masjid adalah sebagai tempat ibadah. Masjid berasal dari kata sajada yang artinya tempat sujud dan menundukkan diri di hadapan Allah Swt. Sujud berarti puncak dan bentuk sempurna dari penghambaan. Manusia akan merasakan ketenangan jiwa dengan shalat dan membangun hubungan dengan Tuhan, serta memenuhi kebutuhan spiritualnya.

Para psikolog mengatakan manusia kadang mengalami kecemasan dan ketidakseimbangan emosi, yang berasal dari kegelisahan jiwa. Orang-orang semacam itu memiliki kebutuhan psikologis dan jiwa yang belum terpenuhi. Salah satu dari kebutuhan jiwa ini adalah menjalin hubungan dengan Tuhan.

Manusia akan meraih ketenangan ketika hubungan itu telah terjalin dan memenuhi kebutuhan fitrahnya. Oleh sebab itu, manusia – karena fitrah penciptaan – mencintai masjid dan menemukan ketenangan di sana.

Tidak heran jika para pemuka agama menyebut masjid sebagai benteng perlindungan orang-orang mukmin. Tempat ini akan menghapus kegelisahan dari manusia dan menggantikannya dengan ketenangan dan kedamaian. Imam Jakfar Shadiq as berkata, "Ketika kalian menghadapi masalah dan kesedihan duniawi, berlindunglah kepada shalat dan masjid."

Pada masa Rasulullah Saw, para korban luka di medan perang akan dibawa ke masjid untuk perawatan medis dan memperoleh ketenangan jiwa dan raga. Rasul sendiri memilih masjid sebagai balai pengobatan dan tempat istirahat terbaik untuk tentara Muslim yang terluka.

Dewasa ini, ada kebutuhan yang lebih besar untuk memakmurkan masjid untuk beribadah dan menyembuhkan penyakit-penyakit jiwa. Krisis sosial dan tekanan dalam memenuhi kebutuhan hidup membuat manusia harus mencari tempat berteduh untuk menghapus beban batin. Masjid adalah tempat terbaik untuk mencapai ketenangan melalui ibadah dan berserah diri kepada Allah Swt.

Dengan melakukan ibadah secara personal dan kolektif di masjid, ada banyak kecemasan, kegalauan, penyakit jiwa, dan bahkan fisik yang bisa dicegah. Orang yang sudah terserang gangguan tersebut juga akan memperoleh kesembuhan di masjid.

Seorang ilmuan dan dokter asal Perancis, Alexis Carrel dalam bukunya "Prayer" menjelaskan tentang peran doa dan ibadah sebagai sarana terapi penyakit. "Ada banyak efek terapi dari doa (ibadah) yang menyita perhatian masyarakat di sepanjang masa, sehingga ada banyak pembicaraan tentang kesembuhan yang diperoleh dengan berdoa dan bertawassul kepada Allah dan para aulia-Nya."

Ketika doa dan ibadah bisa menjadi obat terbaik untuk mengangkat banyak penyakit, maka harus dicari sebuah tempat yang bisa mempercepat terkabulnya doa. Masjid merupakan tempat terbaik untuk mencapai tujuan ini, sebab masjid adalah rumah Allah Swt di muka bumi.

Sejarah Masjid Imam Hasan Askari as di Qum

Masjid Imam Hasan Askari atau Masjid Imam adalah salah satu masjid tertua di Provinsi Qum. Menurut beberapa riwayat, Ahmad ibn Ishaq Asy'ari Qummi pada abad ketiga Hijriyah menerima perintah dari Imam Hasan Askari as untuk membangun sebuah masjid di dekat Makam Sayidah Maksumah as di Qum. Setelah menerima anggaran, Ahmad ibn Ishaq mulai membangun masjid di dekat sungai Qum dan tidak jauh dari Makam Sayidah Maksumah.

Allamah Majlisi dalam bukunya Tazkiratul Aimmah menulis, "Pada masa Khalifah Usman dan sekitar tahun 32 Hijriyah, tentara Islam datang ke Iran untuk berjihad dengan kaum kafir. Imam Hasan dan Husein as juga berada dalam rombongan tentara Islam. Ketika tiba di Qum dalam perjalanan pulang dari Tabarestan, mereka mendirikan shalat di tempat yang sekarang menjadi lokasi masjid."

Masjid Imam Hasan Askari merupakan salah satu bangunan unik di Dunia Islam karena bentuk arsitektur, ruangan-ruangan yang luas, dan aula yang besar. Karena letaknya yang strategis, masjid ini pernah difungsikan sebagai pusat pemerintahan, tempat menampung orang-orang terlantar, tempat pelaksanaan shalat berjamaah, dan pusat pendidikan agama.

Pedagang dan penjelajah Perancis abad ke-17 Masehi, Jean Baptiste Tavernier dalam bukunya menulis, "… sesuatu yang menyita perhatian lebih di Qum adalah keberadaan sebuah masjid yang sangat besar dan sangat dihormati oleh masyarakat Iran."

Dia kemudian bercerita tentang bentuk arsitektur dan struktur masjid tersebut serta menukil beberapa peristiwa yang disaksikan di sana. Jean Tavernier menuturkan, "Pintu besar masjid ini mengarah ke sebuah alun-alun panjang yang dipenuhi oleh tempat penginapan dan kedai-kedai yang terlihat megah. Salah satu sisinya dibatasi dengan tembok pendek yang terlihat ada sungai di sana… Kamar-kamar kecil terlihat dari halaman utama ketika memasuki sisi kiri masjid. Orang-orang berkumpul di sana untuk mendapatkan makanan dan mereka membubarkan diri setelah selesai makan."

Masjid yang dibangun oleh Ahmad ibn Ishaq Asy'ari sejak 11 abad lalu tentu saja lebih kecil dari bangunan saat ini. Masjid Imam Hasan Askari tercatat dalam Daftar Warisan Nasional Iran pada 13 Desember 1976 dan sudah mengalami beberapa kali renovasi dan pemugaran.

Serambi selatan masjid merupakan bagian yang paling tua dari bangunan ini dan didirikan pada tahun 1716 M. Serambi kuno ini memiliki tinggi 14 meter dan dibangun oleh Mahdi Ulya, ibunda Shah Suleiman Safavi pada akhir periode Safawiyah. Serambi ini dihiasi dengan dekorasi muqarnas, seni mosaik dari rangkaian ubin, dan penulisan kaligrafi.

Di era Fath-Ali Shah Qajar, Masjid Imam Hasan Askari mengalami kerusakan akibat terjangan banjir di kota Qum. Kerusakan ini diperbaiki dan direnovasi kembali. Di periode Naser al-Din Shah Qajar pada tahun 1869 M, sebuah aula dan ruang bawah tanah yang besar ditambahkan di sisi barat masjid.

Pemugaran dan renovasi terbaru dilakukan oleh almarhum Ayatullah Sayid Muhammad Reza Golpayegani dalam beberapa tahun terakhir. Beliau menyiapkan lahan untuk perluasan masjid dengan membeli tanah di sekitar masjid.

Setelah wafatnya Ayatullah Golpayegani, proyek perluasan masjid dilanjutkan oleh Ayatullah Lutfullah Safi Golpayegani. Proyek ini rampung pada 30 April 2015 dan masjid dibuka kembali untuk umum. Uniknya, bangunan lama dan baru masjid dipadukan sehingga hanya tampak satu kesatuan.

Aula utama masjid memiliki luas 2.900 meter persegi dengan kapasitas 1.900 jemaah. Sebuah lantai yang agak rendah dengan luas 700 meter persegi dibangun di aula ini dan mampu menampung 450 orang. Aula lainnya adalah ruang bawah tanah dengan luas 2.700 meter persegi. Menariknya, tiang-tiang di aula besar ini dirancang sedemikian rupa sehingga tidak menghalangi kontak antara imam dan makmum atau antara khatib dan jemaah.

Sebuah kubah yang relatif besar dibangun di atas ruang utama. Diameter kubah megah ini mencapai 27 meter dengan tinggi 35 meter. Dua menara dengan ketinggian 59 meter telah memberikan kemegahan untuk bangunan besar ini.

Seluruh isi al-Qur'an terukir di atas ubin dengan kaligrafi yang indah. Panjang kaligrafi ini mencapi 9.000 meter untuk mendekorasi tiang-tiang, relief bangunan, kubah, menara, dan langit-langit masjid.

Dalam renovasi terbaru, sebuah gedung 7 lantai dibangun di samping masjid, dua lantai darinya dijadikan perpustakaan dan lima lantai lainnya difungsikan untuk kantor administrasi dan kelengkapan masjid. Sementara lantai bawah tanah digunakan untuk kegiatan budaya seperti pameran buku dan lain-lain.

Selama bertahun-tahun, shalat Jumat diadakan di Masjid Imam Hasan Askari oleh Ayatullah Muhammad Taqi Khwansari dan Ayatullah Araki. Ayatullah Araki mengadakan shalat Jumat di masjid ini selama lebih dari 20 tahun (1957-1979). Masjid ini juga merupakan salah satu tempat untuk i'tikaf di Qum. I'tikaf di masjid ini untuk pertama kalinya dilakukan oleh Ayatullah Ha'iri. Ayatullah Golpayegani juga biasa melakukan i'tikaf di masjid tersebut.

Fungsi dan Peran Masjid (34)

Masjid adalah simbol nyata dan identitas dari Dunia Islam. Kaum Muslim dalam sebuah proses alamiah dan dibarengi dengan kegiatan ibadah, melewati berbagai fase sosial dan politiknya di masjid. Fakta ini bisa dilihat dari munculnya gerakan revolusi dan kebangkitan Muslim di berbagai periode sejarah.

Di masjid, nilai-nilai politik biasanya ditanam melalui kelas pelajaran tafsir al-Quran, penjelasan hukum Islam, peringatan haul para ulama, peringatan peristiwa bersejarah yang terkait dengan agama, pidato tentang penderitaan kaum Muslim di berbagai belahan dunia, dan kegiatan-kegiatan lain. Masjid kadang tampil sebagai sebuah basis pergerakan dan gerakan jihad.

Sebagaimana pada permulaan Islam, masjid selain sebagai rumah ibadah juga memainkan peran khusus sebagai pusat untuk kegiatan politik masyarakat Muslim. Masjid – di mana pun itu – tetap tidak mengabaikan peran politiknya.

Di masyarakat non-Muslim, masjid adalah tempat untuk menampilkan identitas Islami minoritas Muslim. Di komunitas Muslim sendiri, masjid merupakan simbol kegiatan intelektual dan politik, dan biasanya menjadi basis untuk meningkatkan partisipasi politik dan memperjuangkan hak-hak sipil.

Karena masjid sangat dihormati, banyak warga Muslim di negara-negara dengan sistem otoriter memusatkan aktivitas politik dan gerakan kebebasannya di masjid. Hal ini untuk meminimalisir serangan aparat pemerintah dengan mempertimbangkan sakralitas masjid. Oleh sebab itu, rezim otoriter di negara-negara Muslim sangat mengkhawatirkan dan mengawasi ketat semua kegiatan di masjid.

Masjid dapat menjadi basis untuk menyusun dan mengembangkan kekuatan politik yang potensial. Di banyak negara seperti, Aljazair, Mesir, dan Iran sebelum revolusi, masjid merupakan pusat untuk memerangi pemerintah yang korup dan pro-asing. Untuk itu, pemerintah kadang mengabaikan sakralitas masjid dan melancarkan serangan untuk menumpas kekuatan oposisi.

Di banyak negara Muslim, kepemilikan masjid dibagi dalam dua kategori milik pemerintah dan swadaya masyarakat. Hal ini mengingat peran penting masjid dalam urusan politik dan agama masyarakat. Masjid pemerintah adalah masjid-masjid yang dikelola langsung oleh kementerian, departemen atau lembaga pemerintah.

Masjid pemerintah dibangun oleh negara dan kegiatan-kegiatan di sana disusun dan dimonitor oleh penguasa. Imam shalat dan para penceramah diangkat dan direkomendasikan oleh pemerintah. Sebaliknya, masjid-masjid swadaya masyarakat benar-benar dikelola oleh mereka sendiri. Masjid ini tidak bisa diintervensi karena seluruh dananya bersumber dari sumbangan masyarakat.

Masyarakat melakukan musyawarah untuk mengangkat imam masjid atau mengundang para penceramah. Mereka tetap menjaga kemandirian masjid dan menolak campur tangan penguasa. Pengeluaran masjid dikumpulkan dari kotak-kotak amal atau sumbangan para dermawan.

Sejarah Masjid Biru Tabriz

Salah satu masjid bersejarah yang populer dan menawan di Dunia Islam adalah Masjid Biru (Masjed-e Kabud) atau Masjid Jahan Shah, yang terletak kota Tabriz, Provinsi Azarbaijan Timur, Iran. Masjid ini merupakan mahakarya seni dan arsitektur periode pasca-Islam di Iran dan dibangun atas perintah Muzaffar Jahan Shah dari Dinasti Qara Qoyunlu. Dia membangun Masjid Biru setelah menjadikan Tabriz sebagai ibukota pemerintahannya.

Masjid Biru juga dikenal sebagai Masjid Kabud, Goy Masjed, Masjid Jahan Shah, dan Masjed-e Mozaffariya. Ia dibangun selama pemerintahan Dinasti Qara Qoyunlu (1351-1469) dan selesai pada tahun 1465. Para seniman membutuhkan waktu 25 tahun lebih untuk menyelesaikan dekorasi interior dan eksterior dengan ubin biru majolica dan kaligrafi.

Masjid Biru Tabriz mengalami rusak berat dan kubahnya ambruk akibat gempa pada tahun 1780 Masehi. Rekonstruksi baru dimulai pada tahun 1973 di bawah pengawasan Kementerian Kebudayaan Iran.

Para seniman sangat tertarik dengan masjid ini karena ubin mosaik warna pirus dan lapis lazuli serta keragaman kaligrafi seperti, tsuluts, nasta'liq, nask, dan motif geometrik dan slavia yang indah. Usia bangunan ini kembali ke abad 9 Hijriyah dan karena keindahan dan kombinasi mosaik biru dan pirus yang spektakuler (interior dan eksteriornya), membuat Masjid Biru Tabriz dijuluki sebagai Turquoise of Islam. Perpaduan antara batu bata dan ubin dengan berbagai warna juga sangat menakjubkan.

Uniknya, arsitektur Masjid Biru dibangun sesuai dengan kondisi iklim kota Tabriz, di mana semua bagian masjid dikondisikan untuk musim yang berbeda di sepanjang tahun. Di masa lalu, bangunan ini adalah bagian dari Komplek Mozafariyah, yang terdiri dari masjid, sekolah, perpustakaan, pemandian, makam keluarga, dan lain-lain.

Geografer dan sejarawan besar Turki Usmani, Katip Celebi pernah mengunjungi Tabriz pada tahun 1045 Hijriyah dan dalam bukunya, Tarikh Jahan Nama menulis, "Gerbang Masjid Jahan Shah lebih tinggi dari gerbang istana Raja Kisra. Ia sebuah bangunan megah yang dihiasi dengan ubin-ubin yang indah, memiliki kubah-kubah yang tinggi… Sangat menyenangkan dan setiap yang masuk ke dalamnya, hatinya tidak mengizinkan dia beranjak dari sana. Bangunan ini dipercantik dengan ubin yang indah dan memiliki kubah-kubah, dan dindingnya dilapisi dengan ubin warna-warni."

Kubah utama masjid berdiameter 16 meter dan dihiasi dengan ubin mosaik terbaik yang diproduksi pada abad ke-15. Kubah bata Masjid Biru Tabriz adalah salah satu konstruksi batu bata terbesar yang pernah dibuat oleh para arsitek Iran.

Madame Jean Diulafova, seorang arsitek dan arkeolog Perancis telah mengunjungi Masjid Biru pada era Dinasti Qajar. Dia menuturkan, "Bangunan indah ini layak untuk dipelajari dengan teliti. Kemegahan interiornya, arsitektur, dan ubin yang digunakan di masjid ini sangat menakjubkan. Sangat disayangkan bahwa kubah bangunan yang indah ini telah runtuh karena gempa bumi yang juga ikut menghancurkan sebagian dari temboknya."

Masjid Biru telah dipugar dengan sentuhan yang luar biasa. Hanya sebagian kecil dari dekorasi asli yang tersisa, tetapi kualitas karya, kecanggihan desain, dan berbagai warna yang digunakan benar-benar menakjubkan. Bagian-bagian yang tersisa dari Masjid Biru Tabriz yaitu; gerbang masjid, aula yang besar, serambi-serambi besar, dan ruang-ruang kecil berbentuk oktagonal.

Di kedua sisi masjid terdapat koridor yang memanjang, di sana berdiri sisa-sisa kamar dengan atap berkubah. Dinding masjid diperkuat dengan lempengan marmer dan dihiasi dengan ubin mosaik yang luar biasa.

Gerbang masjid ini dilapisi dengan ubin mosaik berkualitas tinggi, sementara langit-langitnya dibentuk melengkung yang dipercantik dengan ubin pirus cerah. Pintu masuk utama dihiasi dengan seni mosaik yang memuat ayat-ayat al-Quran yang ditulis dalam khat Tsuluth dan Kufi. Prasasti yang terukir di pintu masuk juga memuat Nematollah ibn Mohammad Bavab, salah satu ahli kaligrafi paling terkemuka yang merancang pola ubin unik. Nama Jahan shah juga tertulis di pintu masuk.

Dari sisa bangunan asli dapat diketahui bahwa masjid sebagian besar ditutupi dengan ubin pirus dan heksagonal yang dihiasi dengan pola geometris dan arabesque serta prasasti yang berbeda. Salah satu bagian paling menarik dan luar biasa dari Masjid Biru adalah bagian atap yang dibalut dengan emas dan lapis lazuli. Ketika pengunjung menatap bagian ini, ia akan merasakan ketenangan dari eksistensi manusia dan kedamaian di rumah Tuhan.

Saat ini Masjid Biru adalah salah satu objek wisata utama di Tabriz yang menarik ribuan pengunjung Iran dan mancanegara setiap tahun. Halaman masjid sangat menarik bagi wisatawan dengan taman-taman bunga yang indah. Selain itu, Khaghani Garden di dekat masjid menyediakan tempat yang bagus untuk beristirahat.

Fungsi dan Peran Masjid (35)

Rasulullah Saw sebagai pemimpin umat Islam, memikul tanggung jawab penuh dalam urusan manajemen masjid. Para sahabat juga memperlakukan masjid tidak hanya sebagai rumah ibadah, tetapi untuk basis kegiatan sosial dan politik umat. Jika masjid dipisahkan dari politik Islam, musuh tidak akan pernah terusik dengan tempat itu, karena ia hanya difungsikan sebagai rumah ibadah dan shalat berjamaah.

Masjid adalah rumah Tuhan dan tempat yang paling dicintai oleh kaum Muslim. Ia berfungsi sebagai wadah pertama untuk pendidikan al-Quran dan pusat kajian masalah agama. Di waktu yang sama, ia juga merupakan institusi politik pertama di tengah masyarakat Muslim. Rasulullah Saw melakukan diskusi tentang prinsip-prinsip politik Islam di masjid dan mengajak sahabat bermusyawarah dalam banyak urusan.

Pasca kemenangan Revolusi Islam di bawah pimpinan Imam Khomeini ra, masjid-masjid di Iran kembali menikmati posisi hakikinya seperti era permulaan Islam. Para individu yang aktif di masjid terlibat langsung dalam gerakan revolusi.

Selama periode itu, masjid memainkan peran sebagai basis interaksi masyarakat. Dalam situasi genting, di mana Revolusi Islam belum memiliki lembaga-lembaga yang sesuai dengan parameter Islam, masjid mampu mengisi kevakuman itu dan berperan untuk mengkonsolidasikan kekuatan rakyat. Setelah kemenangan revolusi, banyak dari program pemerintahan Islam seperti, pelaksanaan referendum, dewan lokal, markas mobilisasi, dan keperluan lain dilakukan di masjid.

Dalam menjelaskan kedudukan Islam, Imam Khomeini ra berkata, "Masjid adalah tempat untuk mengatur urusan-urusan. Masjid telah memberikan kemenangan ini kepada bangsa kita, ini adalah basis penting yang harus diperhatikan oleh bangsa ini, jangan berpikir bahwa sekarang kita telah menang, apa yang ingin kita lakukan lagi dengan masjid? Kemenangan kita adalah untuk mengelola masjid."

Masjid memainkan peran besar dalam melawan kekufuran dan ateisme. Gerakan Revolusi Islam muncul dari jantung masjid dan tempat suci ini telah menghembuskan kekuatan untuk gerakan perlawanan rakyat Iran.

Imam Khomeini ra menyadari posisi penting masjid dan dalam pesannya kepada kaum Muslim dunia mengatakan, "Jika haram (tempat suci), Ka'bah, masjid, dan mihrab, bukan benteng untuk tentara Tuhan dan para pembela agama dan kemuliaan para nabi, lalu dimana benteng perlindungan mereka?"

Masjid – sebagai basis Islam – tidak pernah jauh dari politik, karena Islam sendiri tidak bisa dipisahkan dari politik, Islam tanpa politik adalah bukan Islam.

Imam Khomeini ra menuturkan, "(Jika ada yang berkata) Islam terpisah dari politik dan Islam hanya sebuah tata cara ibadah antara kita manusia dan Tuhan, datangilah masjid-masjid kalian dan berdoa apa saja yang kalian inginkan, dan bacalah al-Quran sebanyak yang kalian mau, namun masalah pemerintahan bukan urusan kalian! Jika demikian, ketahuilah ini bukan Islam!"

Beliau juga menganggap masjid sebagai tempat untuk menyampaikan realitas persoalan kaum Muslim dan mengatakan, "Tugas para ulama di masjid dan surau-surau adalah menyampaikan tentang kejahatan Israel kepada masyarakat."

Perlu dicatat bahwa ada perbedaan antara politik masjid dan politisasi masjid. Islam tidak membolehkan politisasi masjid dan menyeretnya untuk memenuhi kepentingan kelompok atau partai tertentu. Berdasarkan definisi agama tentang masjid, ia tidak boleh menjadi basis politik sebuah partai tertentu, masjid adalah rumah Allah dan milik seluruh lapisan masyarakat Muslim. Jadi, ia tidak terkait dengan partai atau kelompok tertentu.

Sejarah Masjid Vakil di Shiraz

Masjid Vakil atau Soltani adalah sebuah masjid bersejarah di kota Shiraz, Iran Selatan yang dibangun pada periode Zandiyan (Zand). Shiraz memiliki iklim yang bersahabat dan menjadi pusat perdagangan regional selama lebih dari seribu tahun. Shiraz adalah ibukota Persia selama Dinasti Zand dari tahun 1750 hingga 1781, serta beberapa tahun selama periode Safavid.

Masjid Vakil terletak di sekitar Vakil Bazaar dan Vakil Bath. Selain Masjid Vakil, Zandiyan membangun kompleks besar Vakil atas perintah Karim Khan Zand.

Masjid Vakil didirikan antara tahun 1751 dan 1773 atas perintah Karim Khan Zand, pendiri Dinasti Zandiyah. Namun, prasasti ubin yang ditemukan di masjid itu memuat nama-nama raja Dinasti Qajar dan memperkuat dugaan bahwa dekorasi masjid belum rampung pada era Zandiyan dan kemudian disempurnakan oleh para penguasa Qajar. Kemungkinan lain adalah renovasi dan penggantian ubin terjadi selama periode Qajar.

Masjid Vakil memiliki area seluas 8.660 meter persegi dengan dua pintu masuk dan dua aula di sisi selatan dan timur. Setiap pintu memiliki lebar tiga meter dan tinggi delapan meter. Pintu masuk masjid dan aula dihiasi dengan ubin berwarna dengan motif bunga yang indah dan ayat-ayat al-Qur'an dengan khat tsuluts dan naskh.

Luas aula sekitar 2.700 meter persegi dan ditopang oleh 48 tiang bermotif ular (serpent column) dengan mahkota tiang daun acanthus. Tiang-tiang ini memiliki tinggi 5 meter dan berdiameter 80 cm.

Dua koridor yang mengarah ke kiri dan kanan akan menyambut pengunjung dan halaman masjid akan terlihat setelah melangkah beberapa meter dari koridor. Karena tidak memiliki taman, area datar halaman dipercantik dengan balutan ubin tujuh warna khas Shiraz.

Dua daun pintu di sisi utara masjid terbuat dari kayu dan merupakan warisan dari era Zandiyan. Daun pintu ini memiliki tinggi 8 meter dengan lebar 3 meter. Ubin-ubin yang indah menghiasi pintu masuk dan sudut melengkung di atas pintu dipercantik dengan dekorasi muqarnas yang penuh warna.

Halaman masjid dilapisi dengan potongan batu-batu besar. Halaman ini berbentuk persegi empat dengan sebuah kolam besar dibangun di tengahnya. Dari keempat sisi halaman, para pengunjung bisa melihat serambi masjid yang mengitari seluruh bangunan.

Di sisi utara halaman, dibangun sebuah gerbang yang sangat besar dan megah yang terkenal dengan Tagh-e Morvarid (Pearl Arch). Gerbang ini sangat unik dari segi arsitektur, penataan ubin, ukiran, dan pahatan yang menghiasinya. Ini adalah sebuah mahakarya yang dikenal dengan mutiara batu permata, yang menerangi masjid di kegelapan.

Sebuah mimbar berdiri kokoh di bagian paling depan masjid. Mimbar ini terbuat dari sepotong batu marmer hijau dengan 14 anak tangga dan ia merupakan mahakarya dari periode Zand. Batu marmer ini didatangkan dari area tambang Maragheh, Provinsi Azerbaijan ke kota Shiraz. Ia merupakan sebuah bongkahan marmer besar dan kemudian dipahat untuk menjadi mimbar.

Mengenai nilai dari mimbar ini, Karim Khan Zand mengatakan, "Jika dulu aku membangun mimbar ini dari emas, biayanya akan lebih murah."

Di samping mimbar berdiri sebuah mihrab yang menghadap ke arah kiblat. Batu marmer dipakai untuk menutupi dinding mihrab hingga ketinggian satu meter, selebihnya dilapisi ubin tujuh warna dengan pola bunga. Seni muqarnas dipakai untuk mendekorasi langit-langit mihrab.

Pekerjaan renovasi dilakukan akhir-akhir ini untuk mempertahankan masjid kuno Vakil. Perbaikan ini mencakup pengerjaan ubin, sistem pencahayaan, pekerjaan plester, lantai halaman, dan semua aspek lain agar bangunan masjid tetap terawat. Masjid Vakil terdaftar sebagai warisan nasional Iran pada tahun 1932.

Masjid Vakil adalah destinasi yang wajib dikunjungi bagi para turis domestik dan asing. Masjid ini langsung menarik perhatian para pengunjung dengan pilar-pilar kolosalnya, karya pengubinan yang halus, dan mimbar marmer yang indah.

Masjid ini dibuka pada 8:30 pagi sampai pukul 20:30 malam di musim semi dan musim panas, sementara untuk musim gugur dan dingin, pengunjung akan disambut mulai pukul 8:30 pagi sampai 20:00 malam.

Fungsi dan Peran Masjid (36)

Masjid – sejak awal permulaan Islam sampai sekarang – memainkan peran sebagai pusat untuk kegiatan ibadah dan pengajaran al-Quran serta berfungsi sebagai sebuah lembaga politik. Ketika merintis sistem pemerintahan Islam di Madinah, Rasulullah Saw membangun masjid sebagai pusat untuk perkumpulan orang-orang Muslim.

Setelah tiba di Madinah, Rasulullah Saw memerintahkan pembangunan masjid dan ikut membantu prosesnya. Pembangunan Masjid Nabawi merupakan sebuah langkah yang sangat penting dalam mendirikan pemerintahan Islam. Selain untuk tempat ibadah, masjid ini juga berfungsi sebagai pusat komando dan operasional pemerintahan Islam, pengadilan untuk masyarakat, sekolah untuk mengajari hukum-hukum Islam, dan markas untuk mobilisasi tentara Islam dalam gerakan jihad melawan kafir.

Dengan melihat posisinya di tengah kaum Muslim, dapat dikatakan bahwa masjid memiliki peran yang besar dalam menjalankan urusan duniawi dan ukhrawi umat Islam.

Sejarah Islam juga mengakui peran tersebut. Banyak peristiwa penting lahir dari masjid dan banyak gerakan kebangkitan yang dimulai dari tempat ini. Sebagai contoh, dalam kebangkitan Revolusi Islam Iran, masjid menjadi salah satu unsur penting dan efektif dalam membentuk kebangkitan Islam dan menciptakan iklim untuk kemenangannya.

Masjid menjadi basis untuk mengatur semua perkara yang berhubungan dengan revolusi. Dosen studi Islam dan bahasa Persia di Universitas Berkeley California, Profesor Hamid Algar mengatakan, "Masjid menjadi inti utama terbentuknya Revolusi Islam Iran dan pada dasarnya, salah satu unsur penting dalam kemenangan revolusi adalah menghidupkan kembali masjid dan seluruh fungsi-fungsinya."

Menurutnya, peran masjid bukan lagi tempat mengasingkan diri, di mana orang-orang berlindung untuk menjauhi dunia, mengambil wudhu, melakukan ibadah atau menyimak bacaan al-Quran. Sebaliknya, masjid berubah menjadi basis perlawanan dan pusat komando. Singkatnya, masjid seutuhnya berperan seperti di zaman Rasulullah.

Setelah Revolusi Islam tersebar ke seluruh Iran, masjid memiliki posisi yang sangat strategis dalam gerakan ini. Pidato para ulama dan tokoh disampaikan di masjid, surau, dan husainiyah. Mereka memberikan pencerahan kepada publik tentang praktek korupsi, kezaliman, diskriminasi, dan ketidakadilan yang mengakar dalam struktur politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Peran masjid sama-sama efektif dalam menolak rezim despotik oleh rakyat dan dalam menyadarkan bangsa Iran serta menemukan identitas mereka yang terlupakan. Melalui rumah Allah Swt, masyarakat menemukan kembali indentitas Islamnya dan kembali pada budaya orisinil, cita-cita yang luhur, dan nilai-nilai kemanusiaan Islam.

Tentu saja gerakan kebangkitan Islam ini tidak terbatas di Iran, tetapi juga menyebar ke negara-negara lain. Sebagai contoh, rakyat Palestina – yang terinspirasi dari Revolusi Islam – terjun ke lapangan sesuai dengan kondisi politik, ekonomi, dan sosialnya, dan mereka memilih masjid sebagai basis perlawanan. Mereka yakin bahwa rezim arogan seperti, Amerika Serikat dan Zionis Israel adalah bukan kekuatan yang tak terkalahkan, dan ada peluang untuk melawan mereka.

Sejarah Masjid Imam di Kota Isfahan

Masjid Imam dikenal juga sebagai Masjid Shah, Masjid Jadid Soltani, dan Masjid Jami' Abbasi adalah sebuah masjid bersejarah dan sangat indah yang berdiri kokoh di kota Isfahan, Iran. Masjid ini dibangun pada masa Dinasti Safawi atas perintah Sultan Shah Abbas I.

Masjid ini berdiri di sisi selatan Naghsh-e Jahan Square dan kawasan Grand Bazaar Esfahan, dan dianggap sebagai salah satu mahakarya arsitektur Persia di era Islam. Sultan Shah Abbas memindahkan ibukota Dinasti Safawi ke Isfahan pada tahun 1597 dengan tujuan memusatkan kegiatan politik, ekonomi, agama, dan budaya.

Masjid Imam adalah monumen arsitektur terbesar Shah Abbas yang terletak tidak jauh dari Sungai Zayandeh. Masjid ini dirancang oleh arsitektur Ali Akbar Isfahani di atas lahan seluas 12.264 meter persegi. Pembangunannya dimulai pada tahun 1611 Masehi dan selesai sekitar 1630 selama masa pemerintahan Shah Safi, pengganti Shah Abbas.

Sultan Shah Abbas I membangun masjid ini dengan biaya pribadinya dan menghadiahkan pahalanya kepada kakeknya, Shah Tahmasp Safawi. Masjid Imam bersama dengan Naghsh-e Jahan Square terdaftar sebagai situs warisan dunia UNESCO.

Bagian penting Masjid Imam adalah sebuah kubah dan aula utama yang terletak di bawah kubah itu, dua buah menara di gerbang masuk ke aula utama dan berdekatan dengan kubah, dua buah menara di gerbang masuk menuju halaman masjid dan bisa diakses dari Naghsh-e Jahan Square, empat gerbang pembentuk halaman masjid dan baru terlihat setelah menginjakkan kaki di halaman, aula bagian timur dan barat (kiri-kanan kubah), Madrasah Sulaimaniyeh di sebelah timur yang ditandai dengan kubah kecil, dan Madrasah Nasiriyeh di bagian barat dengan kubah di atasnya.

Menurut berbagai laporan, masjid ini menggunakan 18 juta batu bata dan 475.000 ubin. Di bagian bawah dinding digunakan potongan-potongan besar batu marmer yang dipahat. Batu ini diambil dari area tambang di sekitar Isfahan dan kebetulan penemuannya bersamaan dengan rencana pembangunan masjid.

Aula masjid di sebelah timur berukuran lebih besar, tetapi sederhana dan tanpa dekorasi khusus. Sementara aula barat lebih kecil, namun dihiasi dengan ubin mozaik tujuh warna dengan berbagai pola.

Gerbang Masjid Imam memiliki tinggi 27 meter dengan bentuk setengah lingkaran dan diapit oleh dua menara setinggi 42 meter. Semua dinding gerbang ini dibalut dengan ubin mosaik tujuh warna dan pola lukisan. Ketika melewati gerbang masuk, pengunjung akan menjumpai halaman utama masjid dengan sebuah kolam di tengahnya.

Gerbang masuk masjid menampilkan dekorasi ubin yang terbaik dari bangunan itu sendiri. Ubin-ubin yang dipakai di Masjid Imam kebanyakan berwarna biru, kecuali untuk melapisi ruangan aula, yang kemudian dikembalikan ke warna yang lebih sejuk, kuning-kehijauan.

Pengunjung akan dibuat takjub dengan arsitektur kubah masjid yang dapat memantulkan suara. Jika berbicara di bawah kubah ini, suaranya akan memantul dan terdengar ke semua bagian masjid dan dapat ditangkap oleh orang yang berada di dalamnya. Banyak wisatawan asing dan Iran berdiri di bawah titik pusat kubah untuk menguji pantulan suara mereka. Ini menjadi bukti bahwa arsitek Iran mampu menciptakan bangunan yang dilengkapi dengan akustik, tidak kalah dengan bangunan modern apapun.

Kubah besar menjadi struktur masjid yang paling mencolok dan terlihat dari semua sudut Naghsh-e Jahan Square. Tinggi kubah Masjid Imam mencapai 53 meter dan menjadi yang tertinggi di Isfahan ketika selesai dibangun pada tahun 1629. Ciri khas kubah arsitektur Iran adalah menggunakan ubin warna-warni untuk menutupi bagian luar, demikian juga dengan bagian dalam kubah. Kubah-kubah ini akan terlihat seperti batu pirus karena pantulan cahaya matahari.

Bangunan Masjid Imam menggunakan ubin mozaik dengan gaya haft rangi (tujuh-warna). Menurut Jean Chardin, kelembaban udara Iran yang rendah membuat warna-warna menjadi lebih hidup dan lebih kontras dengan beragam pola.

Di bagian barat masjid, terdapat sebuah halaman terpisah untuk menempatkan jam matahari yang dibuat oleh Syeikh Bahai, ilmuwan terkenal dan matematikawan periode Shah Abbas.

Meskipun melibatkan banyak arsitek dan seniman dalam pengerjaannya, tetapi keserasian dan kesatuan setiap bagian masjid akan membuat takjub pengunjung, seolah-olah semua bagian masjid ini dikerjakan oleh satu orang.

Para mengunjung ke Isfahan bisa mengakses Masjid Imam dari sisi selatan Naghsh-e Jahan Square dengan menggunakan taksi, bus kota, atau metro.