Filosofi Hukum dalam Islam (6)
Sebelumnya, kita telah berbicara dengan Anda tentang posisi shalat dan pujian kepada Allah dalam sistem pensyariatan, yaitu, undang-undang Islam dan sistem penciptaan. Dalam program hari ini, dengan bantuan Tuhan Yang Maha Esa, kita akan membahas etiket dan rahasia shalat, yang meliputi dua bagian; lahiriah dan batiniah.
Dalam pandangan umum, dapat dikatakan bahwa shalat adalah piagam doktrinal dan praktis, dan peta jalan serta menggambarkan garis strategis dan praktis dari seorang Muslim yang sadar dan termotivasi, yang setiap harinya bermunajat kepada pencipta alam semesta. Awal dari rukun shalat adalah berdiri. Karena shalat harus ditegakkan dan dibudayakan.
Pada saat sensitif itu, orang yang shalat harus mengingat kebesaran ilahi dan berseru, "Allah lebih besar dari segala pensifatan yang diberikan, lebih besar dari segala kekuatan dan lebih unggul dari semua pusat ketakutan dan harapan." Setelah itu menafikan semua sesembahan palsu, kosong dan fana, lalu mengakui keesaan-Nya di seluruh alam semesta. Kemudian ia bersaksi tentang risalah ilahi Nabi Muhammad Saw.
Kemudian, dengan mengingat keyakinan prinsipnya dan menetapkan motivasi tujuannya yang pada saat itu tidak boleh ada tanda dari ingin menunjukkan dirinya atau riya, tetapi harus ikhlas dalam melakukannya, sehingga semangat dari shalat bisa dirasakan. Pada saat itulah, pelaku shalat siap dengan badan dan jiwanya dan merasa butuh kepada pencipta alam semesta, lalu memulai shalat dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, kemudian lisannya mengucapkan pujian dan syukur kepada Allah. Tuhan yang kekuasaan-Nya tidak terbatas dan mencakup seluruh alam semesta.
Ketika keagungan tak bertepi ini hinggap dalam benak manusia, ia akan kembli mengingat rahmat Allah yang tidak terbatas dan dari sisi lain, karena ia mengetahui bahwa Allah tidak menciptakan manusia sia-sia dan bahkan harus merasa bertanggung jawab dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Tidak meragukan bahwa kehidupan setelah kematian ada dan harus menjawab semua perilaku di dunia, manusia akan mengingat wewenang dan kepemilikan mutlak ilahi di Hari Kiamat. Untaian ayat-ayat pertama surah al-Fatihah menunjukkan dimensi cara pandang manusia yang sedang melakukan shalat dan sejak saat ini berbagai kecenderungan juga muncul.
Prinsip paling penting dan mendasar yang dimanifestasikan di bagian shalat ini sebagai dimensi praktis yang memanifestasikan munajat kepada Allah adalah prinsip penghambaan pengabdian mutlak ilahi yang disampaikan oleh lisan semua orang yang melakukan shalat, "Hanya Engkaulah yang kami sembah."
Karena sulit untuk membebaskan diri dari jebakan sesembahan seperti kekuasaan, kekayaan, hawa nafsu, daya tarik dunia yang menipu dan godaan setan, bahkan tanpa bantuan Allah tidak mungkin dapat kita lakukan, orang yang shalat, dimana semua harapannya hanya Allah yang menjadi manifestasi seluruh kekuatan hakiki dunia, mengatakan, "Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus."
Yang mengilhami pelaku shalat di jalan yang naik dan turun ini adalah para panutan yang telah melewati jalan penghambaan dengan sukses. Allah mengingat mereka dengan sebutan; para nabi, para shiddiqin, syuhada dan orang-orang yang saleh. (QS. Al-Nisa: 69), dimana mereka telah diberi nikmat dan ditolong, sehingga hanya menundukkan wajah untuk pengabdian ilahi.
Dalam sebuah pembagian umum, sekelompok individu mengikuti beberapa pribadi yang menjadi panutan masyarakat dan mengambil langkah di jalan yang lurus penghambaan. Sementara sebagian lain mengambil jarak dari mereka dan memilih untuk menyembah berhala dan manifestasi kekuatan dan kemunafikan yang keluar dari lingkaran rahmat ilahi yang akhirnya mendapat kemurkaan ilahi. Sebagian lain tanpa tujuan dan orientasi yang jelas memasuki lembah kesesatan dan kebingungan. Al-Quran hanya mengakui kelompok pertama yang mengikuti para teladan ilahi yang telah meraih keberuntungan dan keselamatan.
Dengan berakhirnya surah al-Fatihah dan dengan membaca surah al-Ikhlas atau Tauhid, pintu lain terbuka bagi pelaku shalat dan sekali lagi pandangan dunia tauhid terbentang di hadapan pelaku shalat. Ia mengakui monoteisme sebagai perintah Allah, Allah adalah Esa dan tidak memiliki sekutu serta mutlak tidak membutuhkan. Satu-satunya pencipta alam semesta, Esa dalam ketuhanan, rububiyah, penciptaan, kekuasaan dan satu dalam Zat dan Sifat. Tidak bisa membayangkan sekutu bagi-Nya. Karena bila alam semesta memiliki dua Tuhan, berarti ada dua kehendak dan dua kekuasaan yang pada akhirnya membuat sistem sempurna alam semesta menjadi hancur.
Pelaksana shalat dengan pandangan dunia monoteistiknya menundukkan kepalanya di hadapan keagungan Allah yang tidak tertandingi dan saat rukuk, ia mensucikan Zat Allah dari segala pemikiran syirik. Tuhan yang besar dan tidak tertandingi dalam segala dimensi-Nya. Agung dalam kekuasaan, ilmu, sabar, kemuliaan, rahmat, cahaya keutamaan dan dermawan, kesombongan, martabat dan posisi, jabarut, penguasa dan nikmat yang tidak bertepi yang telah dianugerahkan kepada manusia dan semua yang ada di alam semesta.
Dengan pandangan dunia monoteistiknya, penyembah berdiri melawan kebesaran Tuhan yang tak tertandingi dan menganggap (sujud) dalam ranah Qud Suci Suci Ilahi sebagai racun pemikiran politeistis, murni dan murni. , Pencerahan rahmat dan pengampunan, martabat, kesombongan, martabat dan status, paksaan, dominasi, dan berkah tak terbatas yang telah memberi manusia dan semua makhluk di alam semesta. Dengan visi seperti itu, penyembah dahi yang sadar bangkit berdiri dan memuji dia dalam sujud di hadapan semua kebesaran dan kebesaran ini.
Pelaku shalat yang melakukan rukuk dan sujud tidak akan pernah menundukkan kepalanya di hadapan manifestasi kekuasaan dan kemunafikan. Ia tidak akan mengorbankan martabat dan kebebasan yang dianugerahkan Allah kepadanya untuk mempersenjatai daya tarik kekuasaan, kekayaan dan syahwat. Dengan demikian, shalat memainkan peran konstruktif dalam segala gerakan dan cara pandangn teoritis dan praktis pelaku shalat untuk mengejawantahkan tauhid.
Senarai akhir shalat dengan mengucapkan salam dan kedamaian kepada Nabi, orang-orang saleh, malaikat dan semua yang melewati jalur penghambaan, yang berseiring dengan kemuliaan dan kebebasan, membawa pesan perdamaian dan persahabatan. Karena salam dalam budaya Islam yang damai berarti mengharapkan keselamatan dan keamanan serta terciptanya hubungan yang tulus dan keinginan yang baik dengan semua manusia.