• Mulai
  • Sebelumnya
  • 16 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 1831 / Download: 1710
Ukuran Ukuran Ukuran
Filosofi Hukum dalam Islam (bagian1)

Filosofi Hukum dalam Islam (bagian1)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Filosofi Hukum dalam Islam

Bagian(1)

Filosofi Hukum dalam Islam (1)

Bulan Ramadhan adalah bulan mensucikan diri, ibadah dan penghambaan.

Dari zaman dahulu dan di antara para pengikut semua agama, pertanyaan selalu muncul dalam benak manusia bahwa apa tujuan dan filosofi dari hukum seperti puasa, shalat, zakat dan sejenisnya?

Apakah kita manusia dengan pengetahuan terbatas dan mengingat bahwa semua perintah ilahi memiliki maslahat yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Bijaksana dan Yang Maha Tahu dengan tujuan pertumbuhan dan kesempurnaan manusia, apakah kita berhak untuk bertanya filosofi hukum?

Masalah ini dapat dijawab dari tingkat yang berbeda, termasuk fakta bahwa pencipta alam semesta telah menganugerahi umat manusia dengan akal. Karena akal menjadi nikmat yang paling tinggi. Menggunakan akal, berpikir dan kontemplasi dalam sistem penciptaan dan perundangan akan membuat manusia memahami kebijaksanaan dan tujuannya.

Karenanya, bukan hanya boleh bertanya tentang filosofi hukum, tetapi jika seseorang secara sadar melakukan kewajiban keagamaannya, ia akan melakukan kewajibannya dengan motivasi dan antusiasme yang lebih besar. Mungkin inilah mengapa Imam Ali as berkata kepada Kumail, "Tidak ada gerakan (aksi dan program), kecuali Anda memerlukan pengetahuan dan makrifat." (Tuhaf al-Uqul: 171)

Meskipun perlunya makrifat dan pengetahuan sangat bernilai dan penting dalam semua urusan dan bidang, ia memiliki tempat khusus dalam semua masalah agama, terutama aturan ibadah. Menurut sebuah hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw, "Satu jam perenungan bernilai lebih dari enam puluh tahun ibadah (tanpa berpikir dan kesadaran)."

Menurut riwayat yang sama dalam budaya konstruktif Islam, yang sangat penting dalam masalah agama adalah kualitas. Apalagi jika ada proses berpikir di baliknya. Imam Ridha as berkata, "Ibadah bukan masalah banyaknya shalat dan puasa, tetapi ibadah adalah berpikir dalam masalah Tuhan." (Al-Kafi, volume 2, halaman 55)

Lebih jauh, akal mendorong kita untuk bertanya kepada para pakar, cendekiawan, dan para ahli di bidang apa pun di mana kita tidak memiliki pengetahuan atau kesadaran tentang satu masalah. Seperti yang dikatakan al-Quran surat al-Nahl ayat 43, "... maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui."

Alasan lain yang memungkinkan manusia untuk bertanya tentang filosofi hukum adalah cara dan metode al-Quran dan cara praktis para nabi, Rasulullah Saw dan Ahlul Bayt as. Dengan kata lain, beberapa ayat telah menjelaskan filosofi hukum seperti shalat, puasa dan jihad. Buku-buku hadis penuh dengan pertanyaan yang diajukan orang di setiap masa kepada para Imam yang dipilih Allah dan mereka menjawabnya dengan argumen logis.

Sebagai kelanjutan dari metode dasar ini, para ulama dan cendekiawan Islam selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan dari orang-orang pada zaman mereka. Beberapa di antaranya telah dikompilasi dalam bentuk buku. Saat ini, di dunia maya yang begitu luas dan tidak punya batas, bukan saja dalam masalah filosofi hukum tetapi juga di semua bidang akidah, sosial, historis, politik, moral, yurisprudensi, teologis dan filsafats, banyak situs pusat keagamaan yang menjawab berbagai pertanyaan ini.

Dengan semua alasan ini, kita harus tahu bahwa ilmu pengetahuan manusia, menurut al-Quran, sangat kecil dan terbatas, dan ia tidak pernah dapat memahami semua dimensi dari perintah-perintah ilahi. Di sisi lain, kita harus yakin bahwa hukum-hukum agama dari sisi Allah telah disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. Dengan demkian, semuanya dari segala sisi adalah bijak dan bertujuan, semua maslahat dunia dan akhirat dan kebahagiaan dan kesempurnaan kita di kedua dunia bergantung penuh pada pelaksanaan mutlak seluruh hukum Allah.

Selain itu kita harus mengetahui dan yakin bahwa di markas putaran seluruh harus dan tidak harus ilahi menjadikan prinsip penting adalah prinsip “penghambaan” yang menerangi jalan para ahli tauhid, arif dan pencinta Allah Swt. Ini juga yang mengilhami dan memberi harapan kepada mereka yang mengambil langkah teguh dan tak tergoyahkan dalam penghambaan kepada Allah Sang Pencipta dan Tuhan semesta alam.

Imam Ali as yang bersinar bak permata yang bersinar di pusat ibadah dan penghambaan mengatakan, "Cukup bagiku sebuah kemuliaan untuk menjadi hamba-Mu dan cukup bagiku sebuah kebanggaan Engkau menjadi Tuhanku." Kemudian Ali as untuk menunjukkan bahwa ungkapan pengabdian ini telah muncul dari kedalaman wujudnya dan mengungkapkan cinta serta kesadaran batinnya, seraya berkata, "Kamu sedemikian rupa sehingga aku mencintai-Mu. Jadi buat aku sedemikian rupa sehingga aku menjadi kecintaan-Mu."

Dengan demikian, meskipun tanggung jawab ini sangat membebani, di mana dengan pertanyaan dan pengetahuan kita merealisasikan hukum-hukum ilahi di semua bidang. Tetapi di atas semua itu, kita harus menganggap diri kita hamba yang, selain mengetahui kebijaksanaan dan maslahat, memiliki iman dan kepastian bahwa semua hukum berasal dari Allah Yang Maha Bijaksana dan kami akan menerapkannya tanpa syarat apa pun dan dengan niat yang ikhlas untuk melaksanakannya. Hanya karena Allah telah memerintahkannya, dan dengan demikian untuk melembagakan budaya "penghambaan ilahi" dalam diri kita dan tatanan masyarakat.

Filosofi Hukum dalam Islam (2)

Sebelumnya, kita telah membahas masalah bahwa rasionalitas memiliki tempat khusus dalam budaya Islam, dan dalam pencerahan akal dan wahyu, seseorang dapat mengenali beberapa filosofi, kebijaksanaan, dan maslahat dari hukum ilahi.

Tetapi prinsip paling penting yang harus dipertimbangkan secara serius dalam proses ini adalah prinsip "ibadah dan penghambaan". yang diperlukan untuk fokus dan fondasi atas seluruh fungsi dalam menjalankan kewajiban agama di semua bidang pribadi dan sosial, ibadah dan politik, ilmu pengetahuan dan budaya dan perilaku serta ucapan setiap Muslim. Dan ayat surgawi ini akan menjadi pedoman dan inspirasi dari semua pasang surut kehidupan, yang mengatakan, "Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam." (QS. Al-An'am: 162)

Dengan sikap seperti itu, prinsip fundamental lain yang disebut "ikhlas dan ketulusan" muncul berdasarkan semua pengambilan sikap dan tindakan yang memiliki warna ilahi. Segala tindakan dalam catatan perbuatan manusia yang berpusat pada Tuhan, tidak akan terlihat tanda riya, tidak ingin menunjukkan diri dan tidak ada motif non-ilahi. Imam Sadiq as dalam hal ini mengatakan, "Siapa pun yang mencintai karena Allah dan marah karena Allah serta memberikan kepada orang yang butuh karena Allah, ia termasuk orang yang sempurna imannya."

Dalam dunia irfan, ibadah "ikhlas" memiliki tempat khusus. Imam Ali as berbicara tentang ini sebagai berikut, "Ya Allah! Saya menyembah-Mu bukan karena takut akan neraka dan bukan karena ingin surga, tetapi karena Engkau layak untuk disembah, maka saya menyembah-Mu." (Nahj al-Balaghah, Hikmah 290)

Mencapai posisi setinggi itu hanya mungkin bagi para arif dan orang-orang terkasih ilahi. Banyak manusia, yang tidak memiliki pemahaman dan perasaan lingkungan ibadah spiritual dan surgawi, memasuki bidang ini dengan motivasi dan tujuan yang berbeda. Seperti beberapa pemimpin pilihan Allah, termasuk Ali as dalam menggambar dan membagi kelompok-kelompok ini dengan mengatakan, "Beberapa orang menyembah Tuhan karena takut akan neraka, dan ini adalah penyembahan para budak. Sebagian lain menyembah Allah karena menginginkan surga, dan ini ibadah para pedagang. Dan sebagian lain berterima kasih kepada Allah (atas berkah-Nya yang tak terbatas), mereka menyembah-Nya, dan ini adalah penyembahan orang bebas." (Nahjul Balaghah, Hikmah 237)

Dalam konteks cara pandang seperti ini, dapat dikatakan bahwa tindakan ibadah kita terdiri dari dua bagian yang sama sekali berbeda. Bagian yang hanya mencakup penampilan lahiriah dan cangkang ibadah, dan dimensi lainnya adalah jiwa dan otak ibadah. Alasan mengapa banyak penyembah tidak mendapat banyak manfaat dari penyembahan mereka adalah karena mereka hanya memperhatikan etiket penyembahan lahiriah, dan sebagai akibatnya kehilangan pengaruh ibadah dan kesempurnaan perilaku ibadah. Tetapi tidak seperti kelompok ini, ada beberapa orang yang memperhatikan kedalaman dan semangat ibadah. Mereka begitu terbenam dalam ruang itu sehingga tidak ada kesenangan lain yang bisa dibayangkan oleh mereka.

Imam Ali as dengan indah menggambarkan wajah kedua kelompok ini dan berkata, "Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapat manfaat dari puasa mereka selain dari menahan lapar dan haus. Dan berapa banyak orang yang beribadah di malam hari tidak mendapat manfaat dari ibadah malam mereka, kecuali kesulitan tidak tidur..." Kemudian, beliau menggambarkan kelompok lain yang secara sadar memperhatikan semangat ibadah dan kedalaman serta keluasannya. Imam Ali as berkata, "Betapa baik dan indahnya tidurnya orang cerdas, cermat dan bagaimana mereka memberi hidangan buka puasa bagi yang berpuasa." (Nahjul Balaghah, Hikmah 45)

Al-Quran menggambarkan wajah kedua kelompok ini secara berbeda. Manusia saleh dan sadar yang tidak lalai dari Allah oleh apapun, mengatakan, "Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang." (QS. Al-Nur: 37)

Berbeda dengan kelompok ini, yang menjadikan ingat Allah meliputi semua posisi material dan spiritual mereka dan memperhatikan semangat dan isi dari perbuatan mereka, al-Quran berbicara tentang kelompok lain yang hidup di masa awal Islam dan hanya memperhatikan penampakan perbuatan. Allah berfirman, "Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah, 'Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan,' dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki." (QS. Al-Jumu'ah: 11)

Menurut -sumber-sumber tafsir, semua pelaku shalat yang lebih mementingkan sisi lahiriah, itupun dilakukan ketika yang berkhotbah adalah Nabi Muhammad Saw, mereka bergegas ke rombongan dagang dan penyelenggara acara yang melalaikan. Hanya ada 12 orang yang sadar akan batin ibadah yang tetap tinggal. Mereka secara lahiriah hadir dalam shalat Jumat, tetapi batin mereka tidak memahami keagungan dan peran ibadah dan sosial dari shalat Jumat, tanpa berpikir banyak, mereka meninggal Rasulullah Saw yang tengah berkhotbah untuk mencari tujuan materi.

Sementara mereka yang hadir di shalat Jumat dengan kesadaran dan pemikiran, tidak akan pernah meninggalkan ibadah ini dan melakukan perbuatan aneh dan menimbulkan pertanyaan. Tidak diragukan lagi bahwa tujuan al-Quran dengan menukil peristiwa yang patut disesalkan ini adalah agar kita mengambil pelajaran dan berlaku sebagai teladan konstruktif bagi generasi masa kini dan yang akan datang dalam melakukan kewajiban agama.

Filosofi Hukum dalam Islam (3)

Perbuatan ibadah harus dilandasi oleh dua pilar penting yaitu dikerjakan dengan makrifat dan kearifan, serta keikhlasan di hadapan Tuhan dengan memperlihatkan diri sebagai seorang hamba yang taat dan tulus.

Hari ini, kita akan mengkaji tentang kedudukan shalat di mata para aulia Allah Swt dan peran shalat dalam membentuk spiritualitas manusia. Rasulullah Saw selalu terlihat antusias dan memiliki keinginan yang besar untuk berkhalwat dengan Allah Swt.

Rasulullah bersabda, "Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang mencintai ibadah dan mendekapnya karena kecintaan yang besar, dan mencintainya dari lubuk hati."

Husein bin Ali as – imam ketiga Syiah – menghabiskan malam Asyura di Karbala dengan bermunajat kepada Allah Swt meskipun sedang dikepung oleh pasukan musuh. Ia berkata kepada Abul Fadhl Abbas, "Jika engkau sanggup mintalah mereka untuk menunda perang hingga esok hari dan beri kesempatan kami malam ini untuk bermunajat kepada Allah dan melaksanakan shalat. Allah Swt tahu aku sangat mencintai shalat dan membaca kitab-Nya."

Jadi, tidak berlebihan jika kita berkata bahwa filosofi terbesar shalat adalah menumbuhkan tunas kecintaan manusia kepada Tuhan dan kecintaan ini menembus lubuk hatinya, di mana kenikmatannya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Al-Quran menggambarkan kecintaan suci ini dengan berkata, "Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah…" (QS. Al-Baqarah, ayat 165)

Rasulullah adalah manifestasi sempurna dari wujud kecintaan dan kerinduan akan ibadah. Beliau dalam sebuah sabdanya tentang shalat berkata, "Allah Swt menjadikan shalat sebagai penyejuk mataku dan kesukaanku, sebagaimana menjadikan makanan sebagai dambaan orang lapar dan air dambaan orang dahaga. Orang lapar akan kenyang ketika makan dan orang yang dahaga akan terobati ketika minum, tetapi aku tidak pernah merasa puas (cukup) dari shalat dan beribadah kepada Allah."

Perlu dicatat bahwa salah satu titik kesamaan para nabi dan ajaran yang mereka terletak pada shalat. Mereka menjadikan shalat sebagai sarana untuk membangun puncak kedekatan dengan Allah serta menampakkan puncak penghambaan dan kekhusyukannya.

Dengan demikian, para nabi telah memberikan sebuah keteladanan praktis kepada pengikutnya sehingga mereka dapat mempelajari cara beribadah serta menjauhkan dirinya dari syirik dan penyimpangan.

Nabi Ibrahim as – salah satu pengibar panji tauhid – mengangkat tangannya kepada Allah sambil memohon, "Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. (QS. Ibrahim, ayat 40)

Nabi Isa as – ketika berada di gendongan ibunya, Sayidah Maryam as – berbicara untuk memberikan kesaksian atas kebesaran Allah dan kesucian ibunya, seraya berkata kepada masyarakat, "Berkata Isa, "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup." (QS. Maryam, ayat 30-31).

Allah Swt memerintahkan Nabi Isa untuk mendirikan shalat dan memintanya menunaikan kewajiban ini hingga akhir hayatnya, ini menunjukkan betapa pentingnya shalat. Sebab, shalat adalah perintah langsung Tuhan dan manusia tunduk pasrah di hadapannya serta memandang hubungannya dengan Tuhan sebagai hubungan makhluk yang sangat kecil dengan sebuah Dzat Yang Maha Besar.

Salah satu nabi lain yang banyak dipuji dalam al-Quran adalah Nabi Ismail as, sosok yang besar di bawah asuhan dan bimbingan Ibrahim as. Allah Swt berfirman kepadanya, "Dan ia menyuruh keluarganya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya." (QS. Maryam, ayat 55)

Ada dua poin menarik dalam ayat tersebut yaitu: Pertama, Nabi Ismail as senantiasa memerintahkan keluarganya mendirikan shalat dan membayar zakat. Jadi, dapat dipahami bahwa budaya shalat harus dimulai dari keluarga dan keteladanan ini kemudian diterapkan di tengah masyarakat.

Kedua, salah satu objek keridhaan Tuhan adalah mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Orang yang telah mencapai derajat penghambaan yang tulus, maka tidak ada hal lain yang lebih tinggi selain mencari keridhaan Ilahi.

Mengenai upaya para nabi dalam membudayakan shalat di tengah masyarakat, al-Quran berkata, "Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah." (QS. Al-Anbiya, 73)

Dapat disimpulkan bahwa shalat memiliki kedudukan khusus dan seluruh para nabi dan pemuka agama – dengan makrifat dan kecintaan – selalu mengerjakannya dengan seluruh kekuatan dan wujud mereka.

Filosofi Hukum dalam Islam (4)

Orang yang beriman dengan makrifat dan menghambakan diri dengan tulus, tentu ia lebih memahami tentang kedudukan shalat. Mereka tahu bahwa shalat – di samping sebagai ibadah yang ditunaikan oleh seluruh nabi – juga merupakan perintah langsung Allah ketika mengutus para nabinya.

Allah Swt memerintahkan Rasulullah Saw dengan berfirman, "Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman, "Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada bari itu tidak ada jual beli dan persahabatan." (QS. Ibrahim, ayat 31)

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa para pendiri shalat hakiki memiliki hubungan dengan Tuhan dan sekaligus membangun ikatan dengan masyarakat lemah sehingga bisa merasakan penderitaan, dan kemudian berinfak untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Para pendiri shalat hakiki selain memandang dirinya sebagai hamba Allah Swt, juga menyadari bahwa amal ibadah dan menolong orang lain akan menjadi bekalnya di hari kiamat.

Ketika buku amal manusia telah ditutup dan ikhtiyar mereka dicabut, maka mereka tidak bisa lagi membebaskan dirinya dari setiap perbuatan buruk melalui suap atau nepotisme.

Jadi, shalat akan bernilai ketika disertai dengan iman kepada Allah dan hari akhirat serta mampu menghidupkan rasa empati dalam dirinya sehingga tergerak untuk membantu orang-orang yang lemah.

Allah Swt tentu saja akan memberikan balasan kepada hambanya yang berbuat kebajikan dan membantu orang lain. Dia berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Al-Baqarah, ayat 277)

Pada dasarnya, shalat akan mendekatkan manusia kepada Tuhan dan memberikan ketenangan kepada jiwanya. Nuansa jiwa seperti ini tentu tidak bisa dipahami oleh orang-orang yang tidak beriman. Allah mewajibkan shalat kepada manusia dengan tujuan mendekatkan mereka kepada-Nya. Imam Ali as berkata, "Shalat merupakan wasilah setiap orang bertakwa untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt." (Bihar al-Anwar, jilid 10, hal 99)

Rasulullah Saw menganggap shalat sebagai penyejuk matanya dan beliau sangat mencintai amal ibadah. Rasulullah bersabda, "Shalat adalah bagian dari hukum Ilahi dan keridhaan-Nya bergantung pada shalat, dan ia merupakan tradisi para nabi. Para malaikat mencintai orang-orang yang shalat. Shalat berarti melangkahkan kaki di jalan hidayah dan iman kepada Allah dan ia mendatangkan berkah dalam rezeki, ketenangan dalam jiwa, kebencian syaitan, dan senjata untuk berperang dengan kaum kafir."

Salah satu kedudukan lain shalat dalam budaya Islam adalah memainkan peran kunci dalam kehidupan di akhirat. Ketika banyak manusia berada dalam kegelisahan, ketakutan, dan tidak tahu bagaimana nasib amalnya, maka amalan pertama yang menjadi penolongnya pada hari itu adalah shalat.

Sebab, shalat merupakan manifestasi sempurna dari keyakinan, akhlak, pendidikan, spiritualitas, serta dimensi individual dan sosial pelakunya. Ini juga menunjukkan tingkat komitmennya kepada landasan keyakinan dan ajaran agama.

Rasulullah Saw menaruh perhatian besar dalam masalah penegakan shalat dan bersabda, "Perbuatan pertama yang akan dihisab adalah shalat. Jika ia diterima, maka seluruh amal manusia akan diterima dan jika ia ditolak, maka semua amalan lain juga akan ditolak."

Mungkin karena alasan ini, shalat dianggap sebagai tiang agama yang memainkan peran fundamental dalam menegakkan agama dan nilai-nilai di tengah masyarakat.

Dengan memperhatikan peran konstruktif shalat, maka ia harus didirikan dengan sempurna dan tidak lagi hanya sebagai rutinitas. Dalam berbagai ayat dan riwayat, para hamba saleh tidak hanya diperintahkan untuk mendirikan shalat, tetapi juga diminta untuk menanamkan budaya shalat di tengah masyarakat.

Imam Muhammad al-Baqir as dalam menjelaskan peran sentral shalat, berkata, "Shalat adalah tiang agama atau seperti tiang kemah yaitu jika tiang-tiangnya kokoh, maka seluruh tiang lain (rukun) akan tegak berdiri dan jika ia lemah, maka seluruh tiang lain akan roboh."

Perlu dipahami bahwa shalat bukan sebuah kewajiban yang biasa, tetapi jika ia didirikan dengan tulus dan dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, maka shalat dapat menjadi sarana untuk memperbaiki masyarakat, menciptakan persatuan, dan membangun ukhuwah, dan menanamkan budaya ibadah di masyarakat.

Filosofi Hukum dalam Islam (5)

Dalam sistem penciptaan, semua makhluk yang ada di alam semesta ini beribadah kepada Allah Swt sesuai dengan kapasitas mereka dan mereka tunduk pada perintah Sang Pencipta. Dengan kata lain, semua bertasbih kepada Allah dengan bahasanya masing-masing.

"Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, akan tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka." (QS. Al-Israa', ayat 44)

Ayat ini menjelaskan bahwa semua makhluk di semesta ini memuji dan bertasbih kepada Allah Swt. Jadi, jika kita tidak punya kemampuan untuk memahami tasbih makhluk lain di alam ini, bukan berarti mereka mensucikan Tuhan tanpa disertai idrak (perasaan) dan makrifat.

Al-Quran menolak anggapan itu dengan berkata, "Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan." (QS. An-Nur, ayat 41)

Terlepas dari penelitian ilmiah tentang insting dan idrak yang dimiliki oleh semua makhluk, al-Quran telah memberikan banyak contoh mengenai fitrah kauniyah ini.

Salah satu kasus yang menakjubkan terjadi di masa pemerintahan Nabi Sulaiman as yaitu ketika baginda nabi tidak menemukan burung hud-hud dalam barisan burung-burung lain.

Nabi Sulaiman as memiliki pengetahuan yang sempurna tentang kondisi para pembantunya termasuk burung-burung. Ketika ia sedang memeriksa burung-burung, burung hud-hud tidak hadir sehingga sang baginda mencari-carinya. Dia mengancam jika si hud-hud absen tanpa alasan yang kuat, maka ia akan dihukum dengan keras.

Tidak lama kemudian, burung hud-hud pun tiba dan berkata kepada Baginda Sulaiman, "Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata, “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk." (QS. An-Naml, ayat 22-24)

Ayat ini dengan jelas membuktikan tentang idrak (perasaan) yang dimiliki oleh seekor burung. Kisah lain berhubungan dengan perjalanan Nabi Sulaiman dan bala tentaranya ke sebuah daerah. Ketika ia dan pasukannya melintasi sebuah lembah yang terdapat banyak sarang semut, raja semut berkata pada semut lain, "Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari. Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu…" (QS. An-Naml, ayat 18-19).

Contoh lain yang membuktikan adanya idrak pada semua makhluk hidup di semesta ini adalah kisah gunung-gunung dan burung-burung yang semuanya bertasbih bersama Nabi Daud as.

"Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya." (QS. Al-Anbiya’, ayat 80)

Para ulama dan mufasir al-Quran membuka sebuah kajian mengenai tasbih yang dilakukan makhluk lain yaitu: apakah mereka bertasbih dengan hati atau bahasa lisan?

Para ulama berkesimpulan, makhluk lain bertasbih dengan bahasa hati dan lisan. Seorang penyair berkata, "Setiap tumbuhan yang tumbuh dari tanah, berkata Tiada Tuhan Selain Allah." Setiap tumbuhan di bumi ini memberikan kesaksian atas Keesaan Tuhan dan ini merupakan bukti atas kekuasaan sebuah pengatur, sebuah pencipta, dan sebuah keteraturan di alam semesta.

Di sebagian kasus, makhluk berbicara dengan lisan dan menumpahkan isi hatinya, yang menjadi bukti atas kekuasaan dan kehendak Allah Swt.

Anggota badan manusia juga akan berbicara dan memberikan kesaksian di hari kiamat. Pada hari itu, Allah mengunci lisan dan mulut manusia sehingga ia tidak dapat menjustifikasi perkataan dan perbuatannya selama di dunia. Anggota badan kemudian berbicara dan menyampaikan apa yang diucapkan dan dilakukan oleh pemiliknya.

Allah Swt berfirman, "Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan." (QS. Yasin, ayat 65)

Ketika itu, tidak ada satu pun yang mengira bahwa akan tiba suatu masa di mana tangan dan kaki memberikan kesaksian terhadap pemiliknya dan membuka aib mereka. Manusia terkejut dan memprotes kesaksian yang disampaikan oleh anggota badannya, mengapa kalian sekarang "berkhianat?"

"Dan mereka berkata kepada kulit mereka, "Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?" Kulit mereka menjawab, "Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dialah yang menciptakan kamu pada kali pertama dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan." (QS. Fussilat, ayat 21)

Semua peristiwa tersebut terjadi karena kehendak dan iradah Allah Swt. Para nabi mampu memahami tasbih yang diucapkan oleh semua makhluk lain dan kemampuan ini juga datangnya dari Allah. Dia maha kuasa atas segala sesuatu dan karena perintah-Nya, api yang dikobarkan Namrud untuk membakar Nabi Ibrahim as, seketika berubah menjadi dingin dan tidak mencelakakan Ibrahim.

Dapat dikatakan bahwa ketika manusia melakukan ibadah dan memuji Tuhan dalam shalat dan ibadahnya, sebenarnya mereka sedang bergabung dengan makhluk lain di semesta ini, yang tidak pernah berhenti memuji Tuhan. Mereka semua khusyu' dan tunduk di hadapan keagungan Allah Swt.

Filosofi Hukum dalam Islam (6)

Sebelumnya, kita telah berbicara dengan Anda tentang posisi shalat dan pujian kepada Allah dalam sistem pensyariatan, yaitu, undang-undang Islam dan sistem penciptaan. Dalam program hari ini, dengan bantuan Tuhan Yang Maha Esa, kita akan membahas etiket dan rahasia shalat, yang meliputi dua bagian; lahiriah dan batiniah.

Dalam pandangan umum, dapat dikatakan bahwa shalat adalah piagam doktrinal dan praktis, dan peta jalan serta menggambarkan garis strategis dan praktis dari seorang Muslim yang sadar dan termotivasi, yang setiap harinya bermunajat kepada pencipta alam semesta. Awal dari rukun shalat adalah berdiri. Karena shalat harus ditegakkan dan dibudayakan.

Pada saat sensitif itu, orang yang shalat harus mengingat kebesaran ilahi dan berseru, "Allah lebih besar dari segala pensifatan yang diberikan, lebih besar dari segala kekuatan dan lebih unggul dari semua pusat ketakutan dan harapan." Setelah itu menafikan semua sesembahan palsu, kosong dan fana, lalu mengakui keesaan-Nya di seluruh alam semesta. Kemudian ia bersaksi tentang risalah ilahi Nabi Muhammad Saw.

Kemudian, dengan mengingat keyakinan prinsipnya dan menetapkan motivasi tujuannya yang pada saat itu tidak boleh ada tanda dari ingin menunjukkan dirinya atau riya, tetapi harus ikhlas dalam melakukannya, sehingga semangat dari shalat bisa dirasakan. Pada saat itulah, pelaku shalat siap dengan badan dan jiwanya dan merasa butuh kepada pencipta alam semesta, lalu memulai shalat dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, kemudian lisannya mengucapkan pujian dan syukur kepada Allah. Tuhan yang kekuasaan-Nya tidak terbatas dan mencakup seluruh alam semesta.

Ketika keagungan tak bertepi ini hinggap dalam benak manusia, ia akan kembli mengingat rahmat Allah yang tidak terbatas dan dari sisi lain, karena ia mengetahui bahwa Allah tidak menciptakan manusia sia-sia dan bahkan harus merasa bertanggung jawab dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Tidak meragukan bahwa kehidupan setelah kematian ada dan harus menjawab semua perilaku di dunia, manusia akan mengingat wewenang dan kepemilikan mutlak ilahi di Hari Kiamat. Untaian ayat-ayat pertama surah al-Fatihah menunjukkan dimensi cara pandang manusia yang sedang melakukan shalat dan sejak saat ini berbagai kecenderungan juga muncul.

Prinsip paling penting dan mendasar yang dimanifestasikan di bagian shalat ini sebagai dimensi praktis yang memanifestasikan munajat kepada Allah adalah prinsip penghambaan pengabdian mutlak ilahi yang disampaikan oleh lisan semua orang yang melakukan shalat, "Hanya Engkaulah yang kami sembah."

Karena sulit untuk membebaskan diri dari jebakan sesembahan seperti kekuasaan, kekayaan, hawa nafsu, daya tarik dunia yang menipu dan godaan setan, bahkan tanpa bantuan Allah tidak mungkin dapat kita lakukan, orang yang shalat, dimana semua harapannya hanya Allah yang menjadi manifestasi seluruh kekuatan hakiki dunia, mengatakan, "Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus."

Yang mengilhami pelaku shalat di jalan yang naik dan turun ini adalah para panutan yang telah melewati jalan penghambaan dengan sukses. Allah mengingat mereka dengan sebutan; para nabi, para shiddiqin, syuhada dan orang-orang yang saleh. (QS. Al-Nisa: 69), dimana mereka telah diberi nikmat dan ditolong, sehingga hanya menundukkan wajah untuk pengabdian ilahi.

Dalam sebuah pembagian umum, sekelompok individu mengikuti beberapa pribadi yang menjadi panutan masyarakat dan mengambil langkah di jalan yang lurus penghambaan. Sementara sebagian lain mengambil jarak dari mereka dan memilih untuk menyembah berhala dan manifestasi kekuatan dan kemunafikan yang keluar dari lingkaran rahmat ilahi yang akhirnya mendapat kemurkaan ilahi. Sebagian lain tanpa tujuan dan orientasi yang jelas memasuki lembah kesesatan dan kebingungan. Al-Quran hanya mengakui kelompok pertama yang mengikuti para teladan ilahi yang telah meraih keberuntungan dan keselamatan.

Dengan berakhirnya surah al-Fatihah dan dengan membaca surah al-Ikhlas atau Tauhid, pintu lain terbuka bagi pelaku shalat dan sekali lagi pandangan dunia tauhid terbentang di hadapan pelaku shalat. Ia mengakui monoteisme sebagai perintah Allah, Allah adalah Esa dan tidak memiliki sekutu serta mutlak tidak membutuhkan. Satu-satunya pencipta alam semesta, Esa dalam ketuhanan, rububiyah, penciptaan, kekuasaan dan satu dalam Zat dan Sifat. Tidak bisa membayangkan sekutu bagi-Nya. Karena bila alam semesta memiliki dua Tuhan, berarti ada dua kehendak dan dua kekuasaan yang pada akhirnya membuat sistem sempurna alam semesta menjadi hancur.

Pelaksana shalat dengan pandangan dunia monoteistiknya menundukkan kepalanya di hadapan keagungan Allah yang tidak tertandingi dan saat rukuk, ia mensucikan Zat Allah dari segala pemikiran syirik. Tuhan yang besar dan tidak tertandingi dalam segala dimensi-Nya. Agung dalam kekuasaan, ilmu, sabar, kemuliaan, rahmat, cahaya keutamaan dan dermawan, kesombongan, martabat dan posisi, jabarut, penguasa dan nikmat yang tidak bertepi yang telah dianugerahkan kepada manusia dan semua yang ada di alam semesta.

Dengan pandangan dunia monoteistiknya, penyembah berdiri melawan kebesaran Tuhan yang tak tertandingi dan menganggap (sujud) dalam ranah Qud Suci Suci Ilahi sebagai racun pemikiran politeistis, murni dan murni. , Pencerahan rahmat dan pengampunan, martabat, kesombongan, martabat dan status, paksaan, dominasi, dan berkah tak terbatas yang telah memberi manusia dan semua makhluk di alam semesta. Dengan visi seperti itu, penyembah dahi yang sadar bangkit berdiri dan memuji dia dalam sujud di hadapan semua kebesaran dan kebesaran ini.

Pelaku shalat yang melakukan rukuk dan sujud tidak akan pernah menundukkan kepalanya di hadapan manifestasi kekuasaan dan kemunafikan. Ia tidak akan mengorbankan martabat dan kebebasan yang dianugerahkan Allah kepadanya untuk mempersenjatai daya tarik kekuasaan, kekayaan dan syahwat. Dengan demikian, shalat memainkan peran konstruktif dalam segala gerakan dan cara pandangn teoritis dan praktis pelaku shalat untuk mengejawantahkan tauhid.

Senarai akhir shalat dengan mengucapkan salam dan kedamaian kepada Nabi, orang-orang saleh, malaikat dan semua yang melewati jalur penghambaan, yang berseiring dengan kemuliaan dan kebebasan, membawa pesan perdamaian dan persahabatan. Karena salam dalam budaya Islam yang damai berarti mengharapkan keselamatan dan keamanan serta terciptanya hubungan yang tulus dan keinginan yang baik dengan semua manusia.

Filosofi Hukum dalam Islam (7)

Kesucian tubuh dan jiwa sangat penting dalam shalat. Orang yang menunaikan shalat tentu saja harus memperhatikan pakaian yang dikenakannya dari najis dan hal lain yang membatalkannya. Selain itu, orang yang shalat juga harus memperhatikan kesucian jiwa dari kotoran dari dalam perkataan, perbuatan dan pikirannya.

Lebih jauh lagi, karena shalat merupakan ibadah yang memiliki tujuan, maka semua orang yang menunaikan shalat harus menghadirkan hatinya ketika menunaikan ibadah ini. Imam Sadiq berkata, "Siapapun yang shalat dua rakaat (dengan kehadiran hati) mengetahui apa yang dia katakan, maka ketika shalatnya selesai tidak akan ada dosa antara dia dan Tuhan." (Kafi 3/266/12).

Dalam shalat terdapat dua faktor, "khudhu" dan "khusyu", yang berperan penting dalam menciptakan dan memperkuat kehadiran hati. Khudhu yang berarti kerendahan hati, ketentraman dan ketenangan yang tampak nyata. Sedangkan khusyu adalah konsentrasi dengan ketulusan hati yang lahir dari ketaatan dan ketundukan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Al-Qur'an dalam surat Al-Mukminun ayat 1 dan 2, Allah swt berfirman, "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya,".

Faktor penting lain yang berperan kunci dalam kualitas shalat adalah keikhlasan, yang merupakan tanda dibuangnya sega bentuk motif selain Tuhan, seperti riya, pamer dan motif-motif lainnya. Rasulullah Saw menjelaskan sebuah hadis Qudsi, "Setiap kali Aku [Allah swt] melihat hati hamba-Ku yang ikhlas dan ketaaannya dilakukan semata-mata demi meraih keridhaan-Ku, maka Aku akan mengatur segala urusannya." (Ghurar Al-Hikam, 8447)

Dalam hal ini, Nabi Muhammad Saw menjadi teladan dan tokoh panutan yang luar biasa bagi semua Muslim, terutama orang-orang yang bertakwa, sebagaimana ditegaskan dalam ayat 162 surat Al-Anam, "Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,".

Jiwa yang suci dari segala kotoran batin, kerendahan hati, ketulusan batin, keikhlasan, dan ketulusan dalam ibadah, akan menghidupkan spirit keceriaan dan cinta dalam penyembahan ilahi, karena dia tidak merasakan kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa dalam ibadah yang ditunaikannya.

Sayidina Ali Bin Abi Thalib dalam salah satu perkataaanya menjelaskan kehadiran hati dalam ibadah. Beliau dalam Khutbah 220 Nahjul Balaghah berkata, "Tuhanku, Engkau lebih dekat dari siapapun, dan lebih siap untuk memenuhi segala urusan orang-orang yang mempercayai-Mu. Engkau juga mengetahui tingkat kecintaan dan pengetahuan mereka mengenai-Mu. Rahasia batin mereka begitu jelas di hadapan-Mu dan hati mereka tidak sabar atas perpisahan. Jika kesepian membuat mereka takut, maka mengingat-Mu menyebabkan ketenangan dan ketentraman. Ketika kesulitan menimpa, mereka akan berlindung kepada-Mu,".

Dengan kondisi spiritual demikian, shalat ditunaikan dengan tenang dan tidak tergesa-gesa, bahkan mereka menikmati ibadah tersebut. Dalam kondisi demikian, mereka tidak akan pernah meninggalkan shalat, bahkan ketika kondisi paling sulit sekalipun, sehingga pertolongan ilahi dalam kepada mereka.

Selama pertempuran Safin, salah satu sahabat Ali melihat bahwa Imam memandang matahari, lalu ia mendekati Imam dan berkata, "Apa yang Anda lakukan?" Beliau berkata, "Saya melihat matahari sudah menunjukkan waktu sholat tiba. Dia bertanya dengan nada terkejut, "Apakah mungkin shalat dalam kondisi seperti itu? Perang telah mencegah kita dari sholat,". Imam Ali berkata, "Mengapa kita memerangi tentara Mu'awiyah? Apakah perang ini bukan untuk menjaga supaya sholat tetap ditunaikan?".

Sebagaimana ayahnya, Sayidina Ali Bin Abi Thalib; Sayidina Husein pada hari Asyura memandang langit ketika pertempuran berkecamuk. Beliau bersama sejumlah pengikutnya meninggalkan pertempuran dan menunaikan shalat hingga selesai, sementara sejumlah anggota pasukannya sedang bertempur melawan serangan besar tentara Yazid. (Bihar al-Anwar vol. 45 hal. 21)

Pesan pentingnya bahwa shalat dalam kondisi apapun tidak boleh ditinggalkan, bahkan di medan perang sekalipun. Selain itu, orang yang menunaikan shalat harus berpikir bahwa ini adalah shalat terakhir dan kematian mungkin tidak memberinya kesempatan lagi untuk menunainya.

Filosofi Hukum dalam Islam (8)

Setelah mengkaji tentang filosofi, konsekuensi dan capaian shalat, kini kita akan mengenal pengaruh dan hasil shalat.

Ketika diundang untuk hadir ke perayaan atau pertemuan akbar, kita merencanakan bagaimana bisa tampil lebih baik dan indah. Kita mengenakan pakaian mewah, merias wajah dan menghadiri upacara dengan cara terbaik. Apalagi jika kita tahu bahwa seorang tokoh terkemuka ikut serta dalam acara tersebut dan sekelompok tokoh terkenal juga hadir. Selain tata rias fisik, kita juga memberikan perhatian khusus pada perilaku dan etiket bicara kami.

Sekarang, jika kita mempertimbangkan bahwa dalam shalat kita ingin bermunajat kepada Allah yang kebesaran-Nya meliputi seluruh alam semesta, Tuhan seluruh alam semesta dan kuasa-Nya adalah kekuatan tertinggi, dan semua partikel keberadaan dan semua malaikat dari alam malakut yang sibuk memuji-Nya. Dalam kondisi seperti ini, apakah kita akan hadir kehadirat Tuhan dalam kondisi lahiriah dan batiniah yang dihiasi dan indah?

Langkah pertama dalam hal ini, sesuai dengan budaya kesehatan Islam adalah mengenakan baju yang bersih dan suci dari segala kotoran. Setelah itu kita harus berwudhu yang dalam kamus bahasa berarti kecerahan dan dalam istilah fiqih adalah membasuh wajah dan kedua tangan setera mengusap kepala dan kaki. Jelas, membasuh wajah dan tangan, itupun dilakukan beberapa kali dalam sehari dan semalam dapat mengenyahkan debu dan seluruh kotoran dan penyakit, khususnya tangan, organ tubuh yang paling penting dalam memindahkan mikroba dan virus ke dalam badan.

Harus diperhatikan bahwa salah satu poin penting kesehatan dalam Islam yang disarankan sebelum berwudhu adalah mencudi dalam mulut dan hidung yang sangat berpengaruh penting dalam kesehatan manusia.

Imam Ridha as, Imam Kedelapan Syiah terkait filosofi wudhu mengatakan, "Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berwudhu sebelum menunaikan shalat, sehingga ketika bermunajat kehadirat Allah telah suci dari segala kotoran lahiriah, dan keluar dari kondisi malam dan kantuk. Ia berarti telah menyiapkan dirinya dengan penuh keceriaan dan kesiapan untuk hadir menghadap Allah yang Kebesaran dan Keagungannya tidak dapat dipahami."

Sebagaimana telah kami ingatkan sebelumnya, kesucian lahiriah saja tidak cukup dan harus memperhatikan serius kesucian batin. Karena hati yang menjadi pusat hubungan manusia dengan Allah, pencipta alam semesta.

Syahid Tsani, ulama besar dunia Islam terkait filosofi wudhu menulis, "Manusia yang berpikir, setelah mensucikan dirinya secara lahiriah, harus memberikan perhatian pada kesudian hati setelah berwudhu. Karena ketika melakukan munajat kepada Allah, hati harus suci dan harus mengikis segala kotoran moral dan jiwa seperti egois, sombong, merasa benar sendiri, menganggap yang lain buruk, berpikiran negatif, menindas dan melanggar hak-hak orang lain, sehingga shalat naik ke batas kesempurnaan puncak."

Jelas, pengulangan perilaku ibadah shalat di waktu pagi, siang dan malam bila dilakukan dengan memperhatikan tata cara lahiriah dan batiniah shalat akan sangat efektif dalam mensucikan diri, yakni mensucikan badan dan jiwa manusia. Rasulullah Saw ketika mengumpamakan peran shalat menggambarkan demikian, "Bila di rumah salah dari kalian ada sungai yang mengali dan setiap hari mandi di sana sebanyak lima kali, apakah ada kotoran yang tersisa di tubuhnya?" Sahabat menjawab, "Tidak." Nabi berkata lagi, "Shalat seperti sungai yang mengalir, setiap kali seseorang melaksanakan shalat, ia akan suci dari dosa." (Wasail al-Syiah, jilid 3, hal 7)

Salah satu pertanyaan terkait shalat yang sering disampaikan adalah mengapa shalat yang dilakukan setiap hari harus dilaksanakan lima kali? Jawab, dalam hal ini yang terbetik di benak adalah sudah selayaknya manusia memulai pagi harinya dengan mengingat Allah yang pengaruhnya lebih dari waktu yang lain. Sebab di pagi hari, manusia memiliki kesiapan dari sisi kejiwaan karena belum terpolusi oleh dosa dan ketergelinciran. Ia lebih siap untuk bermunajat lebih banyak kehadirat Allah, tetapi sayangnya, ketika waktu ini berlalu dan manusia terlibat dalam aktifitas keseharian dan sosial, manusia terkadang lalai mengingat Allah akibat sibuk dan bekerja.

Tetapi ketika tiba waktu Zuhur, waktu ini kembali membangkitkan ingatannya kepada Allah. Setelah itu, aktifitas kembali dimulai dan kemungkinan manusia begitu tenggelam dalam kehidupan, sehingga ia kembali melupakan Allah. Pada saat itulah tiba waktu shalat Ashar dan manusi a kembali melakukan munajat kepada Allah. Kehidupan manusia ini tetap berjalan dan berulang sehingga matahari terbenam. Saat itu mungkin saja manusia berada di puncak usaha atau kepenatan yang membuatnya lupa akan Allah, tetapi azab Maghrib membuatnya siap untuk melakukan shalat.

Dengan munculnya bulan dan tibanya malam yang berarti usaha hari itu berakhir, dengan melaksanakan shalat Isya, manusia perlahan-lahan menyiapkan waktu istirahatnya. Dengan demikian, dalam sehari semalam, manusia melewati harinya dengan mengingat Allah dan lima waktu shalat menjadi jelas baginya.

Terlepas dari semua itu, dalam sehari semalam manusia bermunajat kehadirat Allah maka secara alami seperti semua manusia yang hidup di tengah masyarakat, menghadapi naik turunnya pahit dan manisnya kehidupan dan banyak masalah ekonomi, politik, sosial dan berbagai masalah lainnya, hanya saja bedanya bahwa mereka yang melakukan shalat secara hakiki memiliki tempat berlindung yang aman dan dapat dipercaya. Ia tidak pernah berputus asa atau depresi menghadapi semua ini. Dengan inspirasi dari shalat yang dilakukannya dan hubungan dengan Allah yang memegang semua urusan, ia akan menghadapi segala masalah dengan tekad dan keinginan yang gigih dan akan melewati semua itu. Kekuatan itu semua berasal dari bimbingan Allah yang berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 153)