• Mulai
  • Sebelumnya
  • 17 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 1737 / Download: 1280
Ukuran Ukuran Ukuran
Filosofi Hukum dalam Islam (bagian2)

Filosofi Hukum dalam Islam (bagian2)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Filosofi Hukum dalam Islam

Bagian(2)

Filosofi Hukum dalam Islam (15)

Hari ini tanggal 15 Ramadhan bertepatan dengan hari kelahiran salah satu cucu Rasulullah Saw, Imam Hasan Mujtaba as, akan manyajikan topik mengenai puasa yang memiliki sejarah panjang dan bukan hanya khusus untuk umat Islam, tapi juga sudah ada sejak umat terdahulu.

Allah Swt berfirman di surah al-Baqara ayat 183 yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

Ayat ini juga menunjukkan bahwa puasa juga termasuk ibadah agama besar Ilahi lainnya. Dengan mempelajari Taurat dan Injil yang ada juga disebutkan ibadah puasa telah diwajibkan di antara umat Yahudi dan Nasrani serta umat-umat lainnya.

Di Taurat disebutkan, Ketika saya datang ke gunung, di mana saya diberi lauh (tablet batu), yaitu lauh perjanjian yang Allah buat dengan kalian, saya tinggal di gunung selama empat puluh hari dan empat puluh malam, tidak makan atau minum air.

Selain itu juga disebutkan, Kebanyakan orang Yahudi berpuasa pada saat mereka ingin menunjukkan ketidakberdayaan mereka kepada Allah untuk mengakui dosa-dosa mereka. Dan dengan bertaubat mereka meraih keridhaan Allah Swt.

Puasa setahun sekali telah menjadi tradisi di antara umat Yahudi. Ada juga puasa harian dan wakut singkat untuk memperingati bencana Jerusalem serta kasus serupa.

Selain dari ajaran Yahudi, puasa juga menjadi tradisi di kaum Nasrani. "Ketika Isa diperintahkan Tuhan pergi ke padang belantara dan iblis meminta supaya dapat mengujinya...Kemudian ia berpuasa selama 40 hari. (Injil Matta, bab 4) Hawariyun , setelah Nabi Isa, juga berpuasa. Seperti disebutkan di Injil:"Mereka mengatakan bahwa bagaimana murid Yahya senantiasa berpuasa, namun murid dan pegikutmu makan dan minum?...Tapi akan datang suatu hari mereka juga berpuasa." (Injil, Bab 5)

Hal ini juga patut dicatat bahwa meski puasa seperti yang dijelaskan oleh al-Quran juga ada di umat sebelum Islam dan juga sebuah kewajiban, namun tidak ada kesamaan di tata caranya mengingat kondisi geografi dan waktu. Dapat dikatakan bahwa etika puasa di Islam tidak dapat disamakan dengan agama Samawi yang lain dan etika ini khusus untuk agama Islam. Misalnya di antara pengikut agama sebelumnya berpuasa terbatas pada menghindari memakan daging atau susu atau tidak makan dan minum secara total. Al-Quran juga menyebutkan kisah puasa Nabi Zakaria dan Sayidah Maryam (puasa tidak berbicara).

Kita juga mengetahui bahwa pengikut agama sebelumnya dan di antara kaum di berbegai belahan dunia seperti Mesir dan Yunani serta Romawi kuno, puasa juga marak dan bahkan penyembah berhala pun juga meyakini puasa serta saat ini mereka tetap menjalankan puasa menurut keyakinannya. Dengan demikian puasa dan berpuasa sebuah ibadah yang ada di seluruh agama Ilahi dan bahkan agama non Ilahi. Namun pertanyaannya adalah apa filosofi puasa dan berpuasa?

Di fase terakhir ayat 183 Surah al-Baqara yang sebelumnya telah kami sebutkan, dan setelah Allah berfirman Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu...disebutkan alasan terpenting kewajiban puasa yakni supaya kamu bertakwa.

Meski ada banyak alasan untuk efek spiritual dan pendidikan dari puasa dalam teks dan riwayat Islam, namun al-Quran sangat menekankan efek takwa dari yang lainnya. Hal ini karena, jika takwa Ilahi telah tertanam pada seseorang, seluruh nilai moral dan manusiawi akan termanifestasi di manusia seperti ini dan mereka akan terhindar dari mereka.

Untuk memahami seberapa penting posisi dan peran menentukan takwa, kita cukup memahami bahwa di al-Quran kalimat takwa disebutkan sebanyak 17 kali. Pertanyaan pertama yang muncul adalah, apa arti takwa? Takwa adalah kekuatan spiritual yang muncul dari pergulatan terus-menerus dengan hawa nafsu dan godaan setan. Kondisi ini membuat spiritual semakin kuat dan terlindungi.

Rasulullah Saw bersabda, "Siapa saja yang menjadikan takwa sebagai kondisi hariannya, maka ia mendapat kebaikan dunia dan akhirat." Imam Ali berkata, "Takwa kunci kebaikan dan cadangan hari Kiamat, faktor kebebasan dari segala bentuk perbudakan dan juga faktor keselamatan dari kehancuran."

Oleh karena itu, takwa memainkan peran penting di seluruh perilaku dan sikap individu serta masyarakat di seluruh bidang. Melalui takwa, para wali Allah meraih derajat tinggi malakuti.

Imam Ali as berkata,"Takwa Ilahi membuat para Wali Allah berada di bawah lindungan Tuhan serta mencegah mereka melanggar larangan-Nya dan hati mereka takut melanggar perintah-Nya."

Allah Swt di Surah Yunus ayat 62-64 berfirman, "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar."

Mengingat ajaran ini akan jelas bahwa mengapa Tuhan menyebutkan takwa sebagai salah satu alasan terpenting dan filosofi kewajiban puasa. Yakni supaya kita mampu meraih derajat tinggi seperti wali Allah melalui rahmat Ilahi ini.

Filosofi Hukum dalam Islam (16)

Puasa jamak dilakukan di antara seluruh agama langit, kaum dan bangsa-bangsa, bahkan di kalangan para penyembah berhala, tetapi tidak diragukan bahwa puasa dalam Islam memiliki kelebihan tersendiri dalam dimensi kuantitas dan kualitas, sehingga membuatnya berbeda dari yang dilakukan di luar Islam.

Sebelumnya, kita telah mengingatkan bahwa puasa jamak dilakukan di antara seluruh agama langit, kaum dan bangsa-bangsa, bahkan di kalangan para penyembah berhala, tetapi tidak diragukan bahwa puasa dalam Islam memiliki kelebihan tersendiri dalam dimensi kuantitas dan kualitas, sehingga membuatnya berbeda dari yang dilakukan di luar Islam. Untuk mengetahui lebih lanjut dari posisi ini, akan dikutip sejumlah hadis. Allah Swt untuk menunjukkan keagungan puasa di sisi-Nya berfirman, "Puasa untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberi pahalanya." (Al-Kafi: 6/63/4)

Perlu diperhatikan bahwa Allah tidak pernah menyampaikan ungkapan seperti ini terkait ibadah yang lain. Dalam menganalisa masalah ini akan dibeberkan dua pandangan; pertama, semua ungkapan seperti shalat, khususnya shalat berjamaah dan jumat, atau ibadah haji memiliki tampilan lahiriah, di mana hama bernama riya bisa saja mempengaruhinya, sehingga merusak keikhlasan dan bahkan bercampur kesyirikan. Tetapi dalam puasa, munculnya kemungkinan seperti ini sangat kecil, karena tidak ada penampakan lahiriahnya. Dalam ibadah puasa prosentase keikhlasan dalam melaksanakannya sangat kuat. Karena Allah hanya menerima perbuatan yang didasari keikhlasan, Allah menisbatkan puasa kepada diri-Nya.

Pandangan kedua yang dapat disampaikan dalam masalah ini bahwa tidak ada perbuatan ibadah lain seperti puasa di mana manusia menunjukkan tahapan penghambaannya dengan menjaga semua keharusan dan ketidakharusa di sisi Allah. Seorang yang berpuasa akan melaksanakan apa saja yang diperintahkan Allah tanpa ada yang kurang. Karenanya dapat dikatakan bahwa bulan suci Ramadhan adalah bulan di mana manusia melatih dirinya melakukan ibadah dan penghambaan kepada Allah. Bahkan mungkin juga dengan alasan ini, Allah menisbatkan puasa kepada dirinya dan berfirman, "Dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus." (QS. Yasin: 61)

Berpuasa yang seperti ini dengan meletakkan kepala pada penghambaan ilahi mendapat pujian para malaikat, khususnya ketika mereka menyaksikan ada sekelompok manusia yang bermaksiat dan keluar dari lingkaran penghambaan kepada Allah.

Rasulullah Saw dalam hal ini bersabda, "Tidak ada orang berpuasa yang melewati sekelompok orang yang menyepelekan kesucian bulan Ramadhan, yang sedang menyantap makanan, kecuali seluruh anggota badannya mengucapkan tasbih dan malaikat mengucapkan salam kepadanya. Salam mereka adalah memohon ampunan di sisi Allah." (Tsawab al-A'mal, 1/7701/75)

Dalam suasana yang begitu membangkitkan semangat dan penuh harapan, bagian spiritual, yang memiliki warna dan aroma surgawi, menemukan semua pencitraan khusus dan menunjukkan tahapan penghambaan manusia dalam seluruh perilaku manusia yang berpuasa yang dilakukan dengan keikhlasan dan tanpa dibuat-buat atau riya.

Berdasarkan cara pandang ini, Imam Shadiq as berkata, "Orang yang berpuasa, tidurnya terhitung ibadah, diammnya termasuk tasbih dan perbuatannya diterima serta doanya akan dikabulkan." (Al-Faqih: 2/76/1783)

Dalam sistem alam dan syariat ilahi, setiap perbuatan baik layak mendapat pahala dan Allah yang Maha Pengasih terkadang memberikan pahala kepada manusia lebih dari apa yang dilakukan dan kelayakannya berdasarkan keutaman dan kedermawanan-Nya. Rasulullah Saw yang merupakan perwujudan dari rahmat Allah yang tak terbatas, bersabda, "Siapa pun yang berpuasa suatu hari dengan cinta dan motivasi ilahi, jika ia diberi emas sebanyak seluruh (tambang) bumi, ia tidak akan menerima pahalanya secara penuh dan hanya di hari perhitungan (dan kiamat) dia akan menerima hadiah penuhnya." (Ma'ani al-Akhbar, 91/409)

Manifestasi lain dari janji-janji pasti Allah kepada orang beriman yang telah melakukan amal saleh adalah memasuki surga yang dijanjikan dan kekal. Surga di mana kita hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang semua dimensi kuantitatif dan kualitatifnya, dan setiap manusia ingin memasukinya di akhirat dan cita-cita ini terkait orang yang berpuasa akan menjadi kenyataan.

Dalam hal ini Imam Shadiq as berkata, "Manusia yang berpuasa sehari karena menginginkan pahala dari Allah, dengan sebab itu, Allah akan memasukannya ke surga." (Al-Kafi, 5/63/4)

Meskipun memberikan pahala dari Allah kepada manusia memotivasi, mengilhami dan menghibur mereka, tetapi sekelompok manusia yang berpikir mendalam yang memiliki tujuan dan cita-cita besar, motivasi mereka melampaui penyembahan surga dan semua daya tariknya, dan tujuan utama mereka adalah untuk mendapatkan keridhaan ilahi. Yaitu, mereka tidak menyembah Tuhan dengan keserakahan surga dan sifat-sifatnya yang unik dan langgeng, juga tidak melaksanakan aturan penghambaan di hadapan Allah karena takut akan neraka dan api yang menyala-nyala, tetapi semua perhatian mereka adalah untuk mencapai posisi tinggi dari keridhaan Allah. Posisi agung yang ideal bagi semua orang suci ilahi yang istimewa.

Sekaitan dengan hal ini, al-Quran mengatakan, "Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar." (QS. Al-Taubah: 72)

Oleh karena itu, dengan pandangan yang tinggi ini, kita harus mencoba untuk memberikan tujuan dari semua tindakan ibadah kita, terutama di bulan suci Ramadhan, yang merupakan bulan Allah, didedikasikan kepada-Nya, seperti puasa, ibadah di malam hari, membaca doa dan bermunajat, membaca al-Quran dan bertadabur dan seluruh perilaku dan ucapan kita harus mendapat keridhaan Allah. Bila kita berhasil mencapainya, menurut al-Quran kita sampai pada kemenangan, kesuksesan dan keberhasilan besar.

Filosofi Hukum dalam Islam (17)

Pandangan dunia tauhid mengajarkan kepada kita untuk selalu memikirkan tujuan-tujuan transenden dan menghindari pandangan yang dangkal. Ini adalah indikator penting yang harus menjadi parameter dalam menyusun program kehidupan kita, khususnya hal-hal yang menyangkut perbuatan ibadah.

Dalam urusan ibadah, kita harus berusaha mencapai Dzat yang kita sembah dan kedekatan khusus dengan-Nya. Allah Swt berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (Al-Inshiqaq, ayat 6)

Jelas bahwa untuk mencapai tujuan yang tinggi, manusia membutuhkan tekad yang kuat dan kerja keras. Tentu mereka tidak memiliki posisi yang sejajar dalam masalah ini dan tekad setiap orang berbeda-beda.

Di jalan penghambaan Tuhan, sebagian orang hanya puas dengan ibadah lahiriyah dan sebatas melaksanakan kewajiban, namun sebagian yang lain juga menaruh perhatian pada aspek batiniyah ibadah dan melalui cara ini, mereka berusaha mencapai derajat yang paling tinggi dan kedekatan dengan Tuhan.

Atas dasar ini, tingkatan berpuasa dapat dibagi menjadi tiga tahap: Pertama, puasa yang dilakukan oleh orang awam dan hanya menghindari larangan lahiriyah yang bisa membatalkan puasa seperti, meninggalkan makan dan minum serta tidak berhubungan badan.

Imam Ali as mengenai golongan ini berkata, “Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali rasa lapar dan dahaga.”

Tidak diragukan lagi bahwa tujuan Tuhan mewajibkan ibadah adalah supaya manusia tidak hanya merasa cukup pada aspek lahiriyah, tetapi tujuan utamanya adalah memperhatikan roh dan kualitas ibadah. Allah Swt berfirman, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adh-Dhariyat, ayat 56)

Pada ayat lain, Allah berfirman, “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Al-Mulk, ayat 2)

Allah Swt tidak berfirman bahwa siapa yang paling banyak beramal (kuantitas), tetapi berkata bahwa Aku ingin menguji kalian siapa yang paling baik amalnya (kualitas). Salah satu cara efektif untuk meningkatkan kualitas ibadah adalah memahami dengan baik filosofi dan hakikat penghambaan Tuhan, yang biasanya luput dari perhatian orang-orang awam.

Imam Ali as berkata, “Ibadah yang tidak disertai dengan pengetahuan dan makrifat, maka tidak ada kebaikan di dalamnnya.” (Kitab Tuhaf al-Uqul, hal 204)

Namun, jangan salah mengambil kesimpulan sehingga meninggalkan kewajiban syar’i dengan alasan Tuhan menginginkan kualitas ibadah dari manusia. Di sini, kita diminta untuk berusaha meningkatkan kualitas ibadah secara terus-menerus.

Kedua, orang-orang yang berpuasa yang tidak hanya merasa puas dengan mengerjakan lahiriyah ibadah, tetapi mereka juga berusaha untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan untuk orang yang berpuasa.

Rasulullah Saw dalam khutbah Sya’baniah yang disampaikan untuk menyambut bulan Ramadhan, menyebut beberapa tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh orang yang berpuasa.

Rasulullah dalam khutbahnya berkata, “Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu, kelaparan dan kehausan di hari kiamat. Bersedekahlah kepada kaum fakir dan miskin, muliakanlah orang-orang tuamu, kasihanilah anak-anak kecil, dan sambunglah tali persaudaraanmu.

Jagalah lisanmu. Tahan pandanganmu dari yang tidak halal kami memandangnya dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kami mendengarnya. Kasihanilah anak-anak yatim orang lain, seperti menyayangi anak-anak yatim kalian.

Bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah kedua tanganmu untuk memanjatkan do’a dalam setiap waktu shalat, karena itu adalah waktu yang paling utama, di saat Allah memandang hamba-Nya dengan penuh rahmat. Dia menjawab mereka ketika mereka memanggil-Nya dan mengabulkan ketika mereka berdoa kepada-Nya.

Wahai Manusia! Sesungguhnya jiwa-jiwa kalian tergadaikan dengan amal perbuatan kalian, maka tebuslah dengan istighfar. Tulang punggung kalian berat karena dosa, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujud…”

Ketiga, puasa hati yaitu selain memenuhi kewajiban lahiriyah puasa dan meninggalkan larangannya, manusia juga memenuhi hatinya dengan iman kepada Allah Swt dan menenangkan hatinya dengan berzikir kepada-Nya.

Mereka membersihkan hatinya dari segala bentuk syirik dan pemikiran kotor. Hati mereka adalah manifestasi dari kesucian, keutamaan, serta nilai-nilai luhur akhlak dan kemanusiaan. Hati yang bersih ini akan diterima oleh Tuhan dan mendapat perhatian khusus dari-Nya.

Imam Ali as berkata, “Barang siapa yang membersihkan hatinya, Allah akan memandangnya dengan kasih sayang.”

Nabi Musa as dikenal dengan munajat irfani dan dialog-dialognya dengan Tuhan. Pada suatu hari, ia bertanya kepada Allah Swt, “Wahai Tuhanku, siapakah orang yang akan Engkau lindungi pada hari ketika tidak ada lagi tempat berlindung kecuali perlindungan-Mu?” Tuhan berfirman kepadanya, “Orang-orang yang bersih hatinya.”

Oleh karena itu Rasulullah Saw dalam khutbah Sya’baniyah berkata, “Maka mintalah kepada Allah Rabbmu di hari-hari tersebut dengan niat yang tulus dan hati yang suci. Semoga Allah membimbingmu dalam menjalankan puasa-Nya dan membaca kitab suci-Nya.”

Orang-orang yang berpuasa dengan hati yang suci, berarti mereka telah memperhatikan aspek lahiriyah dan batiniyah puasa sekaligus. Mereka tidak hanya menjaga anggota badannya dari perbuatan dosa, tetapi tidak pernah memikirkan dosa dan memanfaatkan momentum Ramadhan dengan maksimal sehingga dengan bekal takwa, mempererat kedekatannya dengan Allah Swt.

Tingkatan puasa yang ketiga ini disebut sebagai puasa khawasul khawas yaitu puasa yang dilakukan oleh orang-orang khusus dan para ‘arif.

Filosofi Hukum dalam Islam (18)

Pada artikel sebelumnya telah disampaikan beberapa tema seperti puasa adalah ibadah yang telah lama ada di tengah umat manusia, khususnya di antara pengikut agama-agama samawi dan kaum yang lain, dan posisi puasa dalam budaya Islam serta derajat puasa.

Pada kesempatan kali ini, kita akan membicarakan mengenai pengaruh konstruktif dan pendidikan puasa. Salah satu kelebihan pengaruh puasa yang paling penting adalah menciptakan budaya penghambaan ilahi. Yakni, orang yang berpuasa selama sebulan telah melaksanakan perintah Allah Swt dan menjauhkan dirinya dari larangan-Nya. Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah Swt berfirman, "Wahai hamba-Ku, taatilah Aku agar engkau kujadikan seperti-Ku. Aku berkehendak maka jadilah dan engkau juga seperti Aku ketika engkau berkehendak, maka jadilah." (Mizan al-Hikmat, 47/1176)

Tidak diragukan lagi, bila seorang hamba mencapai posisi seperti itu, ia harus memiliki karakteristik khusus dan menonjol. Rasulullah Saw dalam hal ini mengatakan, "Hamba hakiki Allah adalah seorang yang menaati dan melaksanakan perintah Allah menjadi manis di jiwanya dan tidak ada kelezatan yang lebih tinggi dari menyampaikan cinta kepada Allah. Ia menyampaikan hajatnya hanya kepada Allah yang tidak membutuhkan apa dan siapapun dan membuka hikayat hatinya kepada Allah serta bertawakal kepada-Nya." (Al-Bihar, 1/225)

Bulan Ramadhan yang merupakan bulan latihan penghambaan di hadapan Allah dapat memiliki peran efektif dalam membentuk ciri khas ini. Imam Husein as berkata, "Barangsiapa yang melaksanakan hak ibadah Allah, niscaya Allah akan memberikan lebih dari apa yang diinginkannya." (Al-Bihar, 68/184)

Putri Rasulullah Saw yang tumbuh dan dididik pusat kenabian dan imamah berkata, "Seseorang yang mengirimkan ibadahnya yang ikhlas kepada Allah, niscaya Allah yang Pengasih akan mengirimkan maslahat terbaik kepadanya. ('Iddah al-Da'i, 233)

Efek konstruktif lain dari puasa selama bulan suci Ramadhan adalah peran ajaran agama, terutama ajaran agama Islam. Dalam sistem Marxis, agama menjadi candu masyarakat. Beberapa orang yang mengenal agama-agama yang telah terdistorsi atau berbagai aliran yang dibuat manusia mempertanyakan mempertanyakan peran agama, yang dalam hal ini, bulan suci Ramadhan, sebagai contoh yang jelas dan menonjol dan tidak dapat disangkal, membatalkan semua kesalahpahaman yang anti-agama. Karena kenyataan bahwa di bulan ini, di samping berkembangnya spiritualisme, semangat empati dan kepatuhan terhadap nilai-nilai moral dan manusia yang tinggi serta penghindaran hal-hal yang anti nilai dalam semua perilaku individu dan sosial, dan sebagai hasilnya, statistik dari banyak kejahatan dan berbagai kerugian sangat berkurang dan mewujudkan peran agama lebih dari sebelumnya.

Lord Avibury, penulis Perancis menggambarkan peran agama dalam tulisannya, "Agama memberi tahu kita untuk bermartabat, terhormat, dan suci dalam hidup kita. Jangan menyerahkan ikhtiar kita pada hawa nafsu dan jangan membakar jiwa kita dalam api ketamakan dan jangan menghancurkan asa orang lain dengan penindasan. Agama mengajarkan kepada kita, "Mari kita habiskan hidup kita dengan kebajikan dan menjadikan kesalehan sebagai panduan kita, sehingga jiwa kita bisa tenang dan hati nurani kita bisa tenang, dan kita bisa disirami oleh sumber kebahagiaan."

Memperkuat kehendak dan kesabaran adalah efek pendidikan lain dari puasa. Dalam setiap kasus, ketika dua faktor ini ada, hasilnya selalu cemerlang dan memberikan harapan. Dalam urgensi keduanya, cukuplah ketika Allah berfirman kepada Nabi-Nya, "Maka bersabarlah kamu seperti para nabi Ulul Azmi bersabar." (QS. Al-Ahqaf: 35)

Sebenarnya, puasa adalah praktik kemauan dan kesabaran. Karena orang yang berpuasa secara sukarela memutuskan untuk menolak semua keinginannya selama dia berpuasa dengan menunggu. Menurut hierarki kesabaran yang digambarkan oleh Rasulullah Saw sebagai berikut, "Kesabaran untuk tugas, kesabaran untuk kepatuhan dan kesabaran untuk dosa."

Di satu sisi, orang yang berpuasa menaati perintah ilahi selama bulan Ramadhan, dan di sisi lain, ia menghindari dosa dan ketidaktaatan kepada Allah, yang membutuhkan kesabaran dari keduanya. Sebagaimana al-Quran menyebutkan, "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 153)

Pada hari setelah kebangkitan, ketika perhitungan perbuatan baik akan dipertimbangkan untuk semua manusia, salah satu kelompok yang akan diberi ganjaran oleh Tuhan tanpa memperhitungkannya adalah yang bersabar. Allah Swt dalam al-Quran berfirman, "Sesungguhnya Allah memberikan pahala orang-orang yang bersabar tanpa dihitung." (QS. Al-Zumar: 10)

Tentu saja, persyaratan dari imbalan semacam itu adalah menanggung kesulitan atas kepatuhan dan menghindari segala jenis dosa dan maksiat, di mana orang yang berpuasa harus memiliki dua sifat ini.

Imam Baqir as berkata, "Surga tersembunyi di antara kesulitan dan kesabaran dan seseorangyang menunjukkan kesabarannya dalam menghadapi berbagai masalah di dunia akan memasuki surga."

"Hancurkan rantai kebiasaan" termasuk salah satu dari capaian lain puasa. Puasa faktor paling berpengaruh yang dapat membebaskankita dari berbagai rantai kebiasaan. Puasa mengajarkan manusia bahwa segala kebiasaannya tidak pernah menjadi hal yang prinsip dan alami, sehingga manusia tidak bisa meninggalkannya, tetapi semua itu adalah urusan yang dipaksakan kepada manusia.

Puasa menunjukkankepada manusia bahwa bila seseorang telah mengambil keputusan dan punya kehendak serius, ia dapat melepaskan rantai kebiasaan dari pundaknya tanpa mengalami kerugian. Ketika perubahan ini telah tampak dalam diri manusia, secara perlahan-lahan ia akan melangkah lebih di atas kebiasaan pribadi dan mampu untuk mengobati kebiasaan salah masyarakat dan sebabnya. Kebiasaan salah, terpolusi dosa dan khurafat merupakan kelemahan akan kehendak dan kesadaran serta hati nurani yang telah dipaksakan oleh sistem rusak arogan.

Filosofi Hukum dalam Islam (19)

Waktu subuh di Masjid Kufah hari ini, pedang kebodohan dan fanatisme membabi buta milik kelompok orang berpikiran dangkal itu, menebas kepala suci Imam Ali as, manifestasi iman dan keadilan, kesucian dan keutamaan, jihad dan keberanian, pengetahuan dan kesadaran, sehingga ratusan kali penyesalan muncul akibat aliran pemikiran menyimpang, dan membahayakan mereka sepanjang sejarah.

Kebodohan itu juga telah memberikan pukulan telak ke tubuh Dunia Islam, yang salah satu bukti paling jelas di masa kini adalah kelompok Takfiri dan Daesh yang mengaku suci, dan mendapat dukungan musuh Islam, mereka melakukan semua kejahatan, dan menumpahkan darah ribuan manusia tak bersalah.

Sebagaimana diketahui dalam sistem ideal dan adil Islam, tidak boleh ada sedikitpun tanda-tanda ketidakadilan, diskriminasi, dan kesejangan sosial, tidak boleh ada sedikitpun jejak kemiskinan, dan kesengsaraan dari kelompok tidak mampu. Lalu mengapa justru yang kita saksikan bertolak belakang dengan program dan kebijakan makro serta strategis Islam, mengapa kita tidak melihat tujuan dan cita-cita luhur Ilahi dan manusiawi di dunia Islam ?

Untuk menjawab pertanyaan ini harus kita katakan bahwa dalam sistem ekonomi Islam yang adil, dengan sejumlah banyak aturan yang telah ditetapkan Allah Swt dalam hal kekayaan dan aset berlimpah orang-orang kaya, jika mereka mengamalkan kewajiban agama dan kemanusiaannya, dapat dipastikan tidak akan tampak sedikitpun jejak kemiskinan dalam masyarakat Islam.

Namun disayangkan hari ini, dikarenakan sifat menumpuk kekayaan yang dilakukan para konglomerat tak berperasaan, para penguasa otoriter yang menduduki kekuasaan secara tidak sah, melanggar hak kaum tertindas dan merampok aset publik, telah tercipta kesenjangan sosial yang dalam dan mengerikan di tengah masyarakat, sehingga menyebabkan segelintir orang berada di puncak kesejahteraan, dan kenikmatan materi, sementara mayoritas masyarakat hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan.

Pada kondisi mengenaskan, anti-Islam dan anti-kemanusiaan seperti ini, orang-orang beriman yang sedang berpuasa ingin membantu fakir miskin. Puncak kepedulian terhadap sesama ini muncul di bulan suci Ramadhan, ketika orang-orang yang berpuasa dengan sebenarnya merasakan tanggung jawab lebih besar dari sebelumya, dan terjun membantu orang-orang yang membutuhkan.

Agama Islam menggambarkan kewajiban praktis setiap manusia yang beriman sebagai berikut,

لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَـٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Surat Al Baqarah ayat 177)

Oleh karena itu, perbuatan dan kewajiban ibadah akan bernilai ketika manusia merasa bertanggung jawab atas orang-orang lapar, orang-orang telanjang, orang-orang yang terlilit utang, dan tanpa perlindungan, bukan saja tidak tinggal diam, mereka juga membantu sesuai kemampuan. Jelas bahwa tanggung jawab ini berada di pundak orang-orang kaya, lebih dari kalangan masyarakat lainnya.

Jika seseorang tidak merasakan tanggung jawab agama dan kemanusiaan ini, maka ia tidak layak disebut Muslim. Sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad Saw, barangsiapa bangun dari tidur, dan tidak berpikir untuk menyelesaikan permasalahan umat Islam, maka ia bukan Muslim.

Benar bahwa berpuasa menahan lapar dan haus selama sebulan penuh juga harus merasakan penderitaan orang-orang yang kelaparan dengan segenap wujudnya, dan bersegera menolong mereka. Rasulullah Saw bersabda, pekerjaan paling terpuji di sisi Allah Swt ada tiga, mengenyangkan Muslim yang lapar, membayarkan utang orang-orang yang dililit utang, dan menyingkirkan kesedihan mereka. (Al Mahasin, 294)

Terlepas bahwa memenuhi kebutuhan orang-orang fakir terutama mereka yang hidup secara terhormat adalah kewajiban agama dan kemanusiaan setiap Muslim, namun bagi orang-orang kaya yang diberikan nikmat oleh Allah Swt, hal itu adalah ujian Ilahi, dan sebagai bentuk rasa syukur, mereka menginfakkan, menyedakahkan dan membantu orang-orang yang membutuhkan yang terpaksa mengulurkan tangannya kepada orang lain karena sulitnya kehidupan.

Dikutip dari Imam Baqir as, dalam sebuah munajat, Allah Swt berfirman kepada Nabi Musa as, Hai Musa hormatilah para peminta-minta dengan pemberian sedikit, dan perlakuan yang indah. Karena orang-orang yang memohon bantuan kepadamu, bukanlah manusia atau jin, mereka adalah para malaikat yang datang dari sisi Allah Swt, agar mereka mengujimu dengan apa yang sudah Kami berikan kepadamu, dan mereka meminta kepadamu sesuatu yang sudah Kami berikan. Maka dari itu wahai Putera Imran, berhati-hatilah bagaimana engkau memperlakukan mereka. (Al Kafi jilid 2 hlmn 15)

Salah satu bukti nyata dari munajat itu adalah kisah nazar Ahlul Bait as yang berpuasa selama tiga hari berturut-turut demi kesembuhan Imam Hassan dan Imam Hussein as. Dua hari pertama saat tiba waktu berbuka datang seorang miskin yang meminta bantuan. Saat itu Imam Ali, Sayidah Fatimah Zahra as dan kedua puteranya memberikan roti kepadanya, dan menjalani puasa dengan perut lapar.

Di hari kedua, saat tiba waktu berbuka, seorang yatim datang dan meminta bantuan, dan Ahul Bait as kembali memberikan roti yang akan mereka makan untuk berbuka, kepadanya. Hari ketiga kejadian serupa terjadi, seorang tawanan perang mendatangani Ahlul Bait as dan meminta bantuan saat berbuka, dan Ahlul Bait memberikan roti kepadanya.

Nabi Muhammad Saw di akhir peristiwa itu mendatangi Ahlul Bait as, dan menyaksikan mereka dalam keadaan yang sangat lapar sehingga tampak begitu pucat, saat itu turun Surat Al Insan kepada Rasulullah Saw, yang ayat 8-9 surat ini dikhususkan untuk kisah Ahlul Bait as yang memberikan makanan berbukanya kepada orang miskin, yatim dan tawanan perang.

Poin penting yang bisa kita petik dari ayat 9 surat Al Insan adalah Ahlul Bait as bersabda, kami memberikan makanan kepadamu hanya demi ridha Allah Swt, dan kami sama sekali tidak mengarapkan balasan atau terimakasih.

Filosofi Hukum dalam Islam (20)

Hari-hari dan malam-malam ini bertepatan dengan malam Lailatul Qadr yang salah satu artinya adalah perencanaan dan penetapan tujuan, sehingga dengan indikator yang berprinsip dan logis, kita dapat secara sadar menentukan nasib kita dengan bantuan Tuhan.

Salah satu parameter paling penting dalam budaya Islam adalah prinsip keseimbangan dan moderat di semua stragi dan aplikasi. Sebagai contoh, Islam dari satu sisi dengan mencermati keotentikan jiwa dalam ajaran ibadah, spiritual dan moral, dengan menjadikan Allah dan Ma'ad sebagai fokus, dan di sisi lain, sangat mementingkan kesehatan dan keselamatan badan.

Sebuah contoh jelas dari sikap seimbang ini adalah puasa selama bulan suci Ramadhan, yang disempurnakan dengan shalat, doa dan munajat, ibadah di malam hari, melaksanakan perintah ilahi, menghindari dosa-dosa pribadi dan sosial, dan mengekspresikan simpati kepada yang membutuhkan. Kenyataan ini terus membuat manusia semakin dekat dengan Allah dan ketika hari Idul Fitri tiba, manusia merayakan keberhasilannya ini.

Tentu saja, Islam, bertentangan dengan cara sufi salah dan sesat yang hanya peduli pada kesehatan jiwa dan tidak menghargai kesehatan tubuh, memiliki pedoman yang signifikan dalam hal ini dan tidak hanya memperhatikan kesehatan mental, tetapi juga kesehatan pribadi dan sosial untuk menjaga kesehatan tubuh.

Rasulullah Saw bersabda, "Berpuasalah agar kalian sehat." (Al-Da'wah, 76/170) Dan dalam bimbingan yang lain, beliau berkata, "Setiap segala sesuatu ada zakatnya dan zakat badan adalah puasa."

Dengan demikian, puasa selain untuk kesehatan jiwa, juga kesehatan fisik.

Dalam beberapa teks Islam, sejalan dengan permintaan untuk sukses dalam urusan spiritual, dari sudut pandang ilahi, kesehatan dan kesejahteraan juga telah dibahas. Di sebagian paragraf doa Kumail, Imam Ali as berkata, "Ya Allah! Berikan kekuatan pada anggta badanku, agar aku bisa melangkah di jalan penghambaan." Terlepas dari hal ini, adab seperti berwudhu, mandi, gosok gigi, pakaian bersih, menggunakan parfum dan memakan makanan yang sehat dan suci serta hal-hal lain yang semuanya itu menunjukkan Islam sangat mementingkan jiwa dan fisik. Inilah prinsip menjaga keseimbangan yang memberi perhatian pada keselamatan jiwa ddengan tanpa melalaikan kesehatan badan.

Sekarang kita beralih untuk membahas tentang pengaruh kesehatan puasa. Penelitian dan percobaan baru menunjukkan bahwa puasa memiliki efek menguntungkan untuk mengusir racun tubuh dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh, yang merupakan salah satu faktor terbaik dalam meremajakan jaringan tubuh. Selain itu, puasa telah lama digunakan sebagai pengobatan untuk beberapa penyakit yang disebut "terapi puasa." Ini termasuk puasa dan minum sedikit air atau jus selama tiga atau tujuh hari atau lebih, yang dapat ditoleransi hingga tiga puluh hari.

Jenis perawatan ini telah digunakan sejak zaman kuno, di India dan Yunani dan Mesir kuno, yang telah dilupakan sejak abad ke-15 di Eropa. Tetapi pada tahun 1880-an, efeknya yang bermanfaat pada pengobatan beberapa penyakit kembali terbentuk dan secara bertahap menjadi luas, dan telah diresepkan secara teratur selama beberapa dekade. Ini sangat populer di Jerman, Perancis, dan Amerika Serikat. Penggunaan jenis perawatan ini lebih umum pada penyakit yang disebabkan oleh gangguan metabolisme. Seperti rematik kronis, banyak dari penyakit ginjal, penyumbatan pembuluh darah, alkoholik kronis dan beberapa penyakit saraf dan mental lainnya. (Rouzeh dar Eslam, 4-23)

Bagaimanapun, kita semua tahu bahwa banyak penyakit disebabkan oleh makan berlebihan, dan karena bahan-bahan tambahan yang tidak dapat diserap, mereka tetap sebagai lemak yang mengganggu di berbagai bagian tubuh, atau kelebihan lemak dan gula tetap ada dalam darah, akibatnya, bahan tambahan di berbagai bagian tubuh memberikan lingkungan yang baik untuk menumbuhkan berbagai mikroba patogen, dan salah satu cara terbaik untuk memerangi penyakit ini adalah dengan berpuasa.

Selain itu, puasa membakar zat berlebih dan tidak terserap dalam tubuh, dan pada dasarnya menyebabkan perubahan pada tubuh. Selain manfaatnya, puasa memberikan banyak istirahat bagi sistem pencernaan, dan mengingat organ-organ ini adalah bagian tubuh yang paling sensitif dan bekerja terus menerus sepanjang tahun, istirahat ini sangat diperlukan bagi mereka. Jelas bahwa orang yang berpuasa, sesuai dengan ajaran Islam dan pengobatan baru dan lama, tidak boleh makan berlebihan selama berbuka puasa dan sahur sehingga ia bisa mendapatkan hasil yang diinginkan dari efek kesehatan yang bermanfaat dan konstruktif. (Rouzeh Ravesh-e Nouvin Baraye Darman Bimari-ha, 65)

Dalam sebuah hadis terkenal dari Nabi Saw dinukil, "Lambung adalah rumah bagi semua penyakit dan tidak makan obat paling efektif."

Nabi Isa as berkata, "Puasa mengeluarkan penyakit dari tubuh."

Dinukil dari Luqman al-Hakim yang mengatakan, "Karena lambung sudah penuh, akal tertidur dan kebijaksanaan tidak bekerja, sementara anggota badan tidak mau melakukan ibadah."

Dan pada akhirnya, seorang psikolog Eropa mengatakan, "Berpuasa menyebabkan daya tarik spiritual." (Rouzeh dar Eslam, 4)

Filosofi Hukum dalam Islam (21)

Hari ini 21 Ramadhan bertepatan dengan hari syahadah Imam Ali bin Abi Thalib as. Imam Ali di akhir khutbah Jumat bulan Ramadhan terakhir bertanya kepada Rasulullah Saw, apa amal perbuatan terbaik di bulan suci Ramadhan? Rasul menjawab, Wahai Abul Hasan! Sebaik-baiknya amal perbuatan di bulan ini adalah wara', takwa dan menghindari hal-hal yang diharamkan Tuhan...

...Kemudian Rasul menangis. Imam Ali bertanya mengapa Rasul menangis. Nabi menjawab, "...Aku melihat ketika kamu tengah khusu' menjalankan shalat dan berdoa kepada Tuhanmu, orang paling celaka memukulkan pedangnya ke kepalamu dan jenggotmu berlumuran darah." Imam Ali berkata, Wahai Rasulullah, apakah ketika aku syahid, agamaku selamat? Rasul menjawab, agamamu tetap selamat.

Rasul menambahkan, Wahai Ali siapa saja yang membunuhmu, ia sama halnya dengan membunuhku dan siapa saja yang membuat kamu marah, maka ia juga membuat Aku murka serta siapa saja yang menghinamu, maka ia juga menghinaku. Karena kamu adalah bagian dari jiwaku, ruh dan jiwamu dari ruhku dan tanahmu (penciptaan) adalah dari tanahku juga. Sungguh, Tuhan Yang Mahakuasa menciptakan aku bersamamu, memilihku bersamamu, dan memilihku menjadi nabi, dan memilihmu sebagai imam. Siapa saja yang mengingkari imamahmu, i ajuga mengingkari kenabianku. Perintahmu adalah perintahku dan laranganmu adalah laranganku. Saya bersumpah demi Tuhan yang memilih saya sebagai nabi dan menjadikan saya yang terbaik dari umatnya, kamu setia pada kebenaran, hujjah-Nya dan Kamu bisa dipercaya atas rahasia dan misteri-Nya, dan Anda adalah khalifah atas hamba-hamba-Nya. (Iqbalul A'mal: 15/19- Uyunul Akhbar al-Ridha: 1/295)

Hari ini kami akan mengkaji filsafat haji. Mengingat ahri ini bertepatan dengan peringatan hari gugur syahidnya Imam Ali bin Abi Thalib as, maka perlu dicatat bahwa Imam Ali meninggalkan wasiat komprehensif dan berharga di mana sebagiannya berkenaan dengan ibadah haji. Di wasiat ini disebutkan, ...Jagalah keagungan Baitullah dan selama kalian hidup jangan tinggalkan tempat suci ini, karena jika kalian lalai maka kalian akan terhina. (Nahjul Balaghah: surat ke 46)

Dari ucapan singkat ini ada sejumlah poin mendasar terkait filsafat haji. Pertama, pesan untuk menjaga posisi dan keagungan Baitullah. Tak diragukan tujuan dari ucapan ini bukan zhahir Ka'bah, tapi spirit Baitullah yang Tuhan bersumpah dengannya dan menyebutnya sebagai tanah yang aman (Surah at-Tin: 3) serta menjadikannya sebagai kiblat Nabi Saw dan seluruh pengikutnya serta berfirman, Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqara: 149)

Di awal ayat 150 Surah al-Baqara, Allah Swt memerintahkan semua orang untuk memalingkah wajahnya ke arah Masjid al-Haram demi menjelaskan urgensitas Ka'bah dan kemudian menjelaskan filosofi perintah ini dengan berfirman, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.( Al-Baqara: 150)

Di kelanjutan wasiatnya, Imam Ali berkata, Selama kalian hidup jangan membuat Ka'bah sepi. Dari ucapan ini dapat ditemukan filosofi lain ibadah haji adalah selama hidup dan mampu, umat Islam jangan meninggalkan Ka'bah dan membuatnya sepi. Dan setiap tahun mereka memamerkan keagungan Ka'bah, persatuan dan kekuatannya melalui ritual haji. Ini adalah epik yang membuat pemimpin kafir dan syirik sangat khawatir.

Gladstone, politikus Inggris mengatakan, "Selama umat Muslim membaca al-Quran dan tawaf di sekitar Ka'bah serta nama Muhammad pagi dan malam dikumandangkan para muazain di masjid, maka Kristen dalam bahaya besar. Kalian harus berusaha membakar al-Quran, menghancurkan Ka'bah dan menghapus nama Muhammad dari azan. (Tasir Nemoneh: 4/437)

Namun berbeda dengan tujuan busuk musuh Islam yang ingin menghancurkan Ka'bah dan dengan beragam konspirasi atau bahkan pembantaian massal para peziarah, berusaha menghancurkan keagungan ibadah haji. Allah Swt di al-Quran berkata kepada Nabi Ibrahim as, " Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.... supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka...(al-Hajj: 27-28)

Imam Ali di akhir wasiatnya memperingatkan, "Jika kalian lalai dan membiarkan Baitullah sepi maka kalian akan dipermalukan, dan sejumlah pensyarah Nahjul Balaghah mengatakan bahwa maksud dari dipermalukan adalah kalian akan mendapat azab Ilahi.

Peringatan ini dapat menjelaskan filosofi haji lainnya yakni jika kehormatan Ka'bah tidak dijaga dengan kehadiran luas Muslim maka dunia Islam akan kehilangan kekuatan dan kesolidannya serta terpaksa menelan kehinaan dan juga dimurkai Tuhan. Oleh karena itu, menurut al-Quran yang berkata, berbondong-bondonglah menuju Ka'bah baik berjalan kaki maupun berkendaraan supaya kalian menyaksikan manfaat besar di seluruh bidang maknawi dan materi, budaya dan politik. Kita harus berusaha melindungi keagungan Ka'bah dan menjaga kehormatan dunia Islam serta menghidupkan dan menyemarakkan Baitullah dengan kehadiran kita.