MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA0%

MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA pengarang:
Kategori: Kajian
Halaman: 30

MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

pengarang: AYATULLAH SYAHID MURTADHA MUTHAHARI
Kategori:

Halaman: 30
Pengunjung: 64108
Download: 549

Komentar:

Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 30 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 64108 / Download: 549
Ukuran Ukuran Ukuran
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

pengarang:
Indonesia
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

sambungan Bab 27...
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akun menuhar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. (QS. an-Nûr: 55)

Dalam ayat ini janji kemenangan final dan suksesi di muka bumi diberikan kepada orang-orang beriman yang beramal saleh. Tak seperti aval dalam Surah al-Qashash, dalam ayat ini titik beratnya adalah pada kebajikan moral dan ideologis, bukan pada keterlindasan. Sesungguhnya dinyatakan bahwa kemenangan final merupakan kemenangan iman dan perilaku tertentu. Dengan kata lain, kemenangan final merupakan kemenangan orang yang beriman, lurus dan beramal saleh. Dalam kemenangan final ini dijanjikan tiga hal. Yang pertama adalah suksesi yang berarti orang beriman berkuasa dan kekalahan final orang yang berkuasa pada masa itu. Yang kedua adalah nilai-nilai moral dan sosial seperti keadilan, kesalehan, keberanian, pengorbanan diri, cinta, kesungguhan dan penyucian diri menjadi kenyataan aktual. Hal ketiga yang dijanjikan adalah penafian terhadap setiap bentuk kemusyrikan, entah yang berkaitan dengan ibadah atau ketaatan. Al-Qur'an mengatakan:

Musa berkata kepada kaumnya: "Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah. Dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan hesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. al-A'râf: 128)

Dan sungguk telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh al-Mahfuzh bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh. (QS. al-Anbiyâ': 105)

Juga ada ayat-ayat lain mengenai pokok masalah ini.

Apakah ayat tentang suksesi (Surah an-Nûr) atau ayat tentang penindasan (Surah al-Qashash) kita anggap sebagai hujah? Mungkinkah dikatakan bahwa sekalipun arti dua ayat itu berbeda, namun kedua ayat itu tetap menggambarkan kebenaran yang sama, karena kaum beriman dan kaum saleh setali tiga uang dengan kaum tertindas, sebab keadaan tertindas merupakan simbol sosial dan kelas mereka, sedangkan kesalehan merupakan simbol ideologis mereka? Tentu saja tidak!

Sudah dibuktikan sebelumnya bahwa teori yang menyebutkan bahwa apa yang disebut suprastruktur, seperti iman, kebajikan dan kesalehan dapat disamakan dengan ketertindasan dan kepapaan, adalah salah, bila dilihat dari sudut pandang Al-Qur'an. Menurut Al-Qur'an, mungkin saja beberapa kelompok beriman, meski mereka tidak tertindas. Juga mungkin saja beberapa kelompok lain tertindas, namun mereka tidak beriman. Al-Qur'an menyebutkan dua golongan ini secara terpisah. Namun, seperti sudah ditunjukkan sebelumnya, bila dalam sebuah masyarakat yang didominasi kelas disodorkan sebuah ideologi berbasis nilai-nilai ilahiah seperti keadilan, pengorbanan diri dan kemurahan hati, tentu saja kaum tertindasnya yang paling banyak menerima ideologi seperti itu, karena mereka lidak menghadapi kendala seperti yang ada dalam karakter asasi kelas lain. Meskipun demikian itu tidak berarti bahwa semua orang beriman adalah dari kelas tertindas.

Kedua ayat ini menunjukkan mekanisme lain sejarah. Ayat dalam Surah al-Qashash itu menggambarkan progresi sejarah sebagai perang kelas di mana semangat kaum penindas selalu reaksioner, sedangkan semangat kaum tertindas pada dasarnya revolusioner. Pergulatan sebagai norma ini puncaknya adalah kemenangan kaum tertindas, entah mereka beriman dan beramal saleh, seperti pengertian Al-Qur'an, atau tidak. Misalnya, kata "tertindas" mencakup semua orang tertindas, termasuk yang di Vietnam, Kamboja dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa ayat ini membela hak semua orang tertindas, dan mengindikasikan prinsip keadilan Tuhan:

Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orangyang zalim. (QS. Ibrâhîm: 42)

Semua kasus di mana kaum tertindas dianugerahi atau akan dianugerahi tongkat kepemimpinan dan mewarisi atau akan mewarisi bumi, merupakan perwujudan keadilan Tuhan. Adapun ayat yang berkaitan dengan istikhlâf (suksesi, QS. an-Nûr: 55) dan ayat-ayat lain yang serupa, menjelaskan mekanisme lain yang berlaku dalam sejarah sebagai proses alamiah. Norma yang meng­gambarkan mekanisme ini lebih luas ruang lingkupnya dibanding norma keadilan Tuhan, sekalipun norma tersebut mencakup juga prinsip keadilan Tuhan.

Menurut mekanisme yang disebutkan ayat ini dan beberapa ayat lain, selain banyak jenis perjuangan yang terjadi di dunia ini yang motivasinya keuntungan material, selalu saja ada perjuangan yang motivasinya bukan keuntungan material. Perjuangan seperti ini murni demi Allah, dan selalu dilakukan oleh para nabi dan, sepeninggal mereka, oleh pengikut mereka. Perjuangan ini saja yang membuat manusia mempcroleh kemajuan di bidang budaya, dan tepat kalau disebut perjuangan kebenaran melawan kepalsuan. Perjuangan ini telah membuat sejarah manusia dan spiritualitasnya memperoleh kemajuan. Alasan mama perjuangan ini bukan tekanan kelas lain. Alasannya adalah kecenderungan fitri manusia kepada keadilan dan kebenaran, untuk mendapatkan pengetahuan tentang sistem eksistensi dan untuk membangun masyarakat seperti yang seharusnya.

Bukan rasa kepapaan yang membuat manusia memperoleh kemajuan, melainkan hasrat naluri alamiahnya untuk meraih kesempurnaan yang mendorongnya membuat kemajuan. Kemampuan hewaniah manusia tetap tak mengalami perubahan sejak awal sejarah. Kemampuan tersebut tidak berkembang dan juga tidak dapat berkembang lebih jauh. Namun kemampuan insaniah manusia masih terus mengalami perkembangan gradual. Di masa mendatang, lebih daripada sekarang, manusia diperkirakan akan membebaskan dirinya dari belenggu ekonomi dan materialnya, dan semakin condong kepada iman dan agama. Perjuangan material, ekonomi dan kelas tidak membuat sejarah memperoleh kemajuan. Perjuangan ideologis, doktrinal dan keagamaan sajalah yang membuat sejarah memperoleh kemajuan. Ini merupakan mekanisme alamiah evolusi manusia, dan inilah yang dimaksud dengan kemenangan final orang-orang yang berbuat kebaikan, yang menunjukkan kelurusan moral dan yang berjuang demi kebenaran.

Dalam kemenangan ini ada segi ilahiahnya. Segi ilahiah ini berupa perwujudan rahmat Allah dan dukungan-Nya yang menuntut adanya evolusi segala sesuatu, sedangkan keadilan ilahiah hanya menghendaki adanya kompensasi. Segi ilahiah ini berkembang sepanjang sejarah dan akan mencapai tahap akhirnya pada akhir sejarah. Dengan kata lain, kabar baik yang diberikan dalam Al-Qur'an adalah tentang datangnya rahmat dan dukungan Allah, dan bukan semata-mata tentang datangnya kuasa Tuhan dan pembalasan.

Kita tahu bahwa kedua ayat tersebut di atas (dan ayat-ayat lain yang serupa) masing-masing memiliki logika khasnya sendiri. Ayat yang satu berbicara tentang kelas yang memperoleh kemenangan, dan ayat yang lain tentang jalan yang harus ditempuh sejarah untuk sampai pada tahap kemenangan itu. Ayat yang satu menggambarkan mekanisme yang menggerakkan sejarah, dan ayat yang lain menggambarkan segi ilahiah dari sejarah, yang merupakan manifestasi sifat-sifat Allah. Kedua ayat ini masing-masing memiliki logika khasnya sendiri. Juga jelas bahwa ayat 55 Surah an-Nûr lebih terperinci mengenai hasil-hasilnya dibanding ayat 5 Surah al-Qashash. Yang didapat manusia, menurut ayat kedua, hanyalah sebagian dari yang didapatnya menurut ayat pertama. Surah al-Qashash hanya menunjukkan bahwa Allah SWT menolong kaum tertindas, sedangkan Surah an-Nur bicara tentang beberapa karunia lain yang dianugerahkan-Nya kepada kaum beriman.
Bagian kedua: Mengenai bagian kedua dari pembahasan ini, fakta menunjukkan bahwa ayat 5 Surah al-Qashash tidak merumuskan norma atau prinsip universal. Konsekuensinya, ayat itu tidak menjelaskan progresi sejarah, juga tidak menggambarkan mekanismenya. Ayat itu tidak menyebutkan bahwa kaum tertindas akan memperoleh kemenangan hanya karena mereka tertindas. Terjadinya anggapan yang keliru bahwa ayat ini menyebutkan prinsip universal, karena ayat ini, yang berkaitan dengan ayat sebelum dan sesudahnya, dikeluarkan dari konteksnya. Lalu, kata "alladzina" dalam ayat ini diartikan "semua yang", dan dari situ kemudian diturunkan sebuah prinsip atau norma. Mari kita bahas ketiga ayat ini:

Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anah-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun termasuk orang yang berbuat kerusakan. Dan Kami hendak memberikan karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, dan akan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu. (QS. al-Qashash: 4-6)

Ketiga ayat ini saling berkaitan, dan semuanya kalau disatukan menceritakan satu kisah. Ketiga ayat ini dihubungkan dengan kata penghubung, karena itu ketiganya tidak dapat dipisah-pisahkan. Lagi pula, ayat ketiga selain menggambarkan nasib Fir'aun, yang keangkuhannya disebutkan dalam ayat pertama, juga melengkapi ayat pertama dan tak dapat dipisahkan dari ayat pertama.

Seandainya ayat ketiga tidak ada, atau seandainya nasib Fir'aun tidak disebutkan, tentu mungkin saja memisahkan ayat kedua dari ayat pertama dan memandang ayat kedua sebagai gambaran tersendiri mengcnai sebuah prinsip atau norma umum. Namun hubungan tak terpisahkan antara ketiga ayat ini menyingkirkan kemungkinan seperti itu. Kalau dilihat dari bentuknya, arti ayat-ayat ini adalah bahwa Fir'aun mengagungkan dirinya sendiri, memecah belah rakyatnya dan menindas scbagian dari mereka. Allah hendak menolong mereka yang ditindas olehnya dan menjadikan mereka pemimpin dan pcwaris. Karena itu kata garni penghubung dalam ayat kedua hanya menggambarkan kaum tertentu, bukan semua orang pada umumnya.

Ada poin lainnya. Ayat ini mengatakan: "Kami hendak mengunugerahkan kepada (menolong) mereka dan menjadikan mereka pemimpin.'" Ayat ini tidak mengatakan: "Kami hendak menolong mereka dengan menjadikan mereka pemimpin." Dengan kata lain, ada dua kalimat yang berdiri sendiri dan kemudian digabungkan dengan kata penghubung. Karena itu arti ayat ini adalah: "Kehendak Kami adalah menolong kaum tertindas dengan mengutus seorang nabi yang membawa sebuah Kitab Suci kepada mereka, dengan mendidik mereka dan dengan menanamkan agama tauhid dalam diri mereka. Dan sebagai hasilnya, kehendak Kami adalah menjadikan mereka pemimpin dan pewaris bumi (mereka sendiri)." Meskipun ayat ini mengenai kasus tertentu, namun kasus ini termasuk kasus yang disebutkan ayat 55 Surah an-Nûr. Terlepas dari semua itu, tidaklah logis kalau beranggapan ayat ini mengatakan bahwa Bani Isra'il akan dijadikan pemimpin semata-mata karena mereka tertindas, tak soal apakah ada seorang nabi yang diutus kepada mereka atau tidak, dan tak soal apakah mereka menerima atau menolak ajaran nabi itu.

Para pendukung teori materialisme sejarah dari sudut pandang Islam dapat mengemukakan poin lain dan mengatakan bahwa budaya Islam, kalau dilihat dari semangatnya, adalah budaya kelas tertindas, atau budaya kelas penindas, atau budaya keduanya. Jika itu adalah budaya kelas tertindas, tentu warnanya adalah warna kelas tertindas, yang ditujunya tentu kaum tertindas, dan misinya serta orientasinya tentu di seputar mereka. Jika budaya Islam adalah budaya kelas penindas, seperti klaim unsur-unsur anti-Islam, bukan saja karakter budaya itu tentu karakter kelas penindas dan tentu berkisar di seputar kelas penindas, namun juga tentu reaksioner, anti-kemanusiaan, dan jahat.

Tentu saja tak ada seorang Muslim pun yang mau menerima proposisi seperti itu. Lagi pula, ciri khas budaya Islam adalah saksi atas budaya lain. Mengatakan bahwa budaya Islam adalah budaya kaum tertindas dan kaum penindas, sama saja dengan mengatakan bahwa budaya Islam adalah budaya yang cuek, tak ada hubungannya dengan masyarakat, dan tidak bertanggung jawab, yang mcm-pcrcayai scrahkan pekerjaan Allah kepada Allah, dan pekerjaan Kaisar kepada Kaisar—sebuah budaya yang tak peduli dengan baik dan buruk, kaum penindas dan kaum tertindas, kaum pengeksploitasi dan kaum tereksploitasi, dan memperlakukan sama terhadap mereka sernua. Praktiknya budaya seperti itu budaya konservatif dan menguntungkan kaum penindas dan kaum pengeksploitasi. Jika dalam konflik sosial antara si penindas dan si tertindas, sebagian orang menganut kebijakan netral tak bertanggung jawab, mereka praktis mendukung pihak yang tak peduli dan netral, maka praktis itu adalah budaya kaum penindas. Karena itu, kalau dilihat fakta bahwa budaya Islam tidak netral dan tidak cuek, juga tidak mendukung kaum penindas, maka budaya Islam harus dianggap sebagai budaya kaum tertindas. Tujuannya, misinya dan orientasinya harus dilihat dari sudut ini.

Namun, tesis ini mutlak salah. Menurut kami, ada dua alasan kenapa sebagian intelektual Muslim condong kepada materialisme sejarah. Pertama, mereka beranggapan bahwa budaya Islam adalah budaya revolusioner, karena itu menurut mereka kecondongan mereka kepada materialisme sejarah adalah tak terelakkan. Argumen lain seperti bahwa Al-Qur'an mengindikasikan begini atau begitu, atau bahwa ini adalah makna yang dapat dipetik dari Al-Qur'an atau ayat tertentunya, hanyalah dalih untuk melegitimasi konsepsi itu. Di sinilah para intelektual ini meninggalkan pola pikir Islam dan menyederhanakan logika Islam yang manusiawi, realistis dan religius menjadi sekadar logika materialistis.

Para intelektual ini berpandangan bahwa sebuah budaya bisa revolusioner kalau perhatiannya khusus kepada kaum papa dan kaum tertindas, orientasinya adalah kelas ini dan semua pemimpinnya adalah dari kelas ini. Hubungannya dengan kelas lain bisa berupa hubungan permusuhan, antagonisme dan konflik saja.

Para intelektual ini beranggapan bahwa tujuan perjalanan budaya revolusioner adalah perut, dan bahwa semua revolusi besar sejarah, termasuk revolusi yang diwujudkan para nabi, adalah revolusi perut dan untuk perut. Para intelektual ini menjadikan Abu Dzar yang agung, seorang arifnya umat, yang tulus beribadah kepada Allah, penganjur kebaikan, dan prajurit heroik yang berjuang demi Allah, semata-mata seorang Abuzar yang hanya peduli dengan perutnya saja dan merasa bukan saja tepat namun juga harus berjuang demi perut. Bahkan sifat Abu Dzar yang paling hebat, menurut para intelektual ini, adalah dia tahu betapa pedihnya lapar itu, karena dia sendiri mengalami rasa sakiinya lapar. Dia mengembangkan kebencian terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas terjadinya situasi yang menyebabkan kelaparan, dan karena itu terus-menerus berjuang melawan mereka. Luqmannya umat Muslim ini, arifnya agama tauhid ini, prajurit setia Islam ini, dan manusia hebat ini yang merupakan orang kedua yang masuk Islam, diturunkan derajatnya menjadi sekadar seorang materialistis.

Para intelektual ini mengira bahwa, seperti anggapan Marx, revolusi dapat terjadi hanya kalau ada gerakan massa yang memberontak. (Andre Peter, Marx and Marxism)

Mereka tak dapat membayangkan bahwa sebuah budaya, sebuah mazhab, sebuah ideologi, yang tujuannya adalah kebenaran, yang ditujukan kepada fitrah manusia, yang pesannya universal dan yang berorientasi kepada keadilan, kesucian, spiritualitas, cinta, kemurahan hati dan perjuangan melawan kezaliman, dapat melahirkan gerakan dan revolusi yang hebat—revolusi insaniah yang penuh dengan rahmat Allah, cahaya spiritual dan nilai-nilai manusiawi, sekalipun kita telah berulang kali menyaksikan contoh-contohnya dalam sejarah. Revolusi Islam itu sendiri merupakan contoh cemerlang revolusi seperti ini.

Para intelektual ini tidak dapat memahami bahwa karena suatu budaya bertanggung jawab dan tidak boleh berpandangan netral, maka tidak boleh lahir dari kelas tertindas. Menurut mereka, budaya yang lengkap tentunya netral dan tidak berpihak. Mereka tidak dapat membayangkan bahwa mazhab yang lengkap atau budaya yang lengkap yang basisnya ilahiah dan yang ditujukan untuk fitrah manusia, mustahil tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan tidak berpihak, dan ketaatan kepada Allah dan ke-setiaan kepada hati nuranilah yang membentuk tanggung jawab dan komitmen, bukan kesetiaan kepada kelas tertindas. Inilah salah satu alasan utama kesalahpahaman para intelektual ini mengenai hubungan antara Islam dan revolusi.

Alasan fundamental lain kenapa mereka salah paham, supaya dicari dalam hubungan antara Islam dan orientasinya. Para intelektual ini jelas-jelas melihat dalam interpretasi Al-Qur'an mengenai gerakan-gerakan suci adanya suatu kecenderungan kuat para nabi untuk melindungi kepentingan kaum tertindas. Pada saat yang sama, dari sudut pandang para intelektual ini, prinsip Marxis mengenai keselarasan kondisi ekonomi suatu kaum dengan orientasi mereka, atau basis sosial mereka di satu pihak dengan basis doktrinal dan praktis di pihak lain, merupakan fakta yang tak dapat dipungkiri. Dari dua premis ini mereka berkesimpulan bahwa karakter sejarah tentunya materialistik, dan ekonomi tentunya mempakan landasan struktur sosial.

Dari uraian sejauh ini jelaslah bahwa Al-Qur'an mempercayai prinsip kondisi sejati fitrah manusia, dan berpandangan bahwa kehidupan manusia diatur oleh logika kondisi ini. Yang bertentangan sekali dengan logika ini adalah logika keuntungan, yaitu logika manusia yang turun derajatnya ke derajat hewan. Islam tidak mempercayai teori keselarasan antara basis ekonomi dan basis doktrinal. Islam memandang teori ini tidak manusiawi, dalam arti bahwa itu hanya berlaku untuk manusia yang belum mencapai derajat manusia. Logika manusia seperti ini saja yang mempakan logika keuntungan. Mengenai mereka yang terlatih moral dan intelektualnya, logika mereka adalah logika kondisi sejati fitrah.

Mubazir saja kalau mengatakan bahwa orientasi Islam adalah melindungi kepentingan kelas tertindas. Sesungguhnya Islam berorientasi kepada keadilan dan keseimbangan, meski tentu saja kelas tertindaslah yang terutama memperoleh manfaat dari orientasi ini, dan kelas penindaslah yang dirugikan orientasi ini.

Bahkan kalau Islam hendak melindungi hak dan kepentingan kelas tertentu, tujuan utamanya adalah mewujudkan sebuah nilai dan fondasi bagi sebuah prinsip manusiawi. Di sinilah sekali lagi jadi jelaslah luar biasa pentingnya prinsip kondisi sejati fitrah manusia, yang dengan jelas disebutkan dalam Al-Qur'an dan yang dalam ilmu Islam dipandang sebagai prinsip paling penting.

Prinsip ini sudah banyak dibicarakan, namun yang kurang diperhatikan adalah kedalaman dan dimensi-dimensinya. Pada umumnya yang terlihat adalah bahwa orang bicara tentang fitrah manusia, namun mereka kurang memperhatikan dimensi luas prinsip ini, akhirnya pandangan mereka pun sangat bertentangan dengan prinsip ini. Contoh mengerikan mengenai salah paham seperti ini adalah salah pandangan mengenai asal-usul agama. Sejauh ini sudah dibahas karakter esensial dan asal-usul fenomena sejarah dari sudut pandang agama (khususnya Islam). Kini akan dibahas agama iiu sendiri sebagai fenomena sosio-historis, yang selalu eksis sejak awal sejarah, dan akan dijelaskan asal-usul dan orientasinya. Sudah berulang-ulang disebutkan bahwa teori materialisme sejarah inclahirkan prinsip Marxis. Menurut prinsip ini tentu ada keselarasan antara kondisi yang melahirkan sebuah budaya dan orientasi budaya itu.

Ada sebuah prinsip yang, menurut kaum sufi dan teosof, berlaku pada semua sistem yang bekerja di alam semesta. Prinsip ini mengatakan, "Tujuan kembali ke asal." Maulana Rumi berkata:

Bagian mau tak-mau menuju ke keseluruhan,

Burung bulbul terpesona wajah mawar,

Yang dari laut, kembali ke laut,

Dan segalanya kembali ke sumbernya,

Bak gelombang demi gelombang yang tersembur dari puncak gunung,

Jiwaku yang terbakar cinta, gelisah ingin bebas dari jasad.

Kaum Marxis menyebutkan prinsip yang sama berkenaan dengan masalah intelektual, filosofis dan keagamaan, dan akhirnya menerapkannya pada fenomena budaya dan sosial juga. Kaum Marxis mengatakan bahwa setiap konsepsi berorientasi ke arah asal-usulnya. Ini nyaris setali tiga uang dengan konsepsi yang menyebut­kan bahwa tujuan atau akhir kembali ke asal-usulnya. Kaum Marxis mengatakan bahwa tak ada konsepsi, agama atau budaya, entah berpihak atau tidak berpihak, yang tujuannya adalah meningkatkan posisi sosial kelas lain selain kelas yang melahirkannya. Menurut mazhab ini, sctiap kelas ada warna berpikir dan selera khususnya sendiri. Itulah sebabnya dalam masyarakat yang didominasi kelas selalu ada dua jenis penyakit, dua pola pikir filosofis, dua sistem moral, dua gaya seni dua jenis sastra dan puisi, dua pandangan hidup, dan terkadang bahkan dua jenis pengetahuan. Karena ada dua bentuk infrastruktur dan hubungan milik, maka semua hal ini terbagi menjadi dua bentuk dan dua sistem.

Marx sendiri berpendapat bahwa ada dua kekecualian untuk sistem dua lapis ini, yaitu agama dan pemerintah. Menurut Marx, agama dan pemerintah ini khusus diciptakan oleh kelas peng-eksploitasi, dan merupakan metode khusus untuk melakukan eksploitasi. Tentu saja agama dan pemerintah orientasinya adalah keuntungan kelas yang menciptakannya. Kelas tereksploitasi, karena posisinya, tidak melahirkan agama dan pemerintah. Agama dan pemerintah dipaksakan atas mereka oleh kelas pcngeksploitasi. Itulah sebabnya tak ada dua sistem agama atau pemerintah. Sebagian intelektual Muslim berpendapat bahwa, beda dengan pandangan Marx, sesungguhnya ada dua sistem agama. Menurut mereka, karena dalam masyarakat yang didominasi kelas ada dua sistem moral, seni, sastra dan masalah budaya lainnya, dan setiap sistem ada asal-usul dan orientasinya sendiri, yang satu dari kelas penguasa dan yang satunya lagi dari kelas rakyat, rnaka selalu ada dua sistem agama dalam masyarakat. Yang satu adalah agama kelas penguasa dan yang satunya lagi agama rakyat.

Agama penguasa adalah agama kemusyrikan, sedangkan agama rakyat adalah agama tauhid. Agama penguasa adalah agama diskriminasi, sedangkan agama rakyat adalah agama keseimbangan. Agama penguasa adalah agama yang melegitimasi situasi yang ada, sedangkan agama rakyat adalah agama revolusi yang mengecam situasi yang ada. Agama penguasa adalah agama stagnasi, sedang­kan agama rakyat adalah agama perlawanan, agitasi dan protes. Agama penguasa adalah candu masyarakat, sedangkan agama rakyat adalah obat kuat masyarakat.

Karena itu teori Marx bahwa orientasi agama selalu kepada kepentingan kelas penguasa dan merugikan kepentingan rakyat sedangkan agama adalah candu masyarakat, baru benar kalau untuk agama yang berasal dari kelas penguasa, meskipun ada suatu masa ketika agama penguasa praktis satu-satunya agama yang ada. Di pihak lain, teori ini tidak benar untuk agama rakyat, yaitu agama para nabi, meskipun agama ini tidak mendapat kesempatan dari sistem yang berkuasa untuk dominan dan sukses.

Beginilah para intelektual ini berupaya menyangkal atau menentang teori Marxis yang mengatakan bahwa orientasi agama selalu untuk kepentingan kelas penguasa. Para intelektual ini beranggapan bahwa dengan demikian mereka membuktikan kesalahan Marxisme, namun mereka tidak sadar bahwa sekalipun perkataan mereka bertentangan dengan pandangan pribadi Marx, Engels, Mao dan tokoh Marxis lainnya, namun tetap merupakan interpretasi Marxis dan materialis mengenai agama. Yang mengejutkan, mereka tidak memperhatikan poin ini. Mereka mengira bahwa agama rakyat juga ada asal-usul kelasnya, dan dengan demikian tanpa disadari mereka menerima teori keselarasan antara asal-usul fenomena budaya dan orientasinya. Dengan kata lain, mereka menerima teori materialitas agama. Perbedaan satu-satunya adalah bahwa bertentangan dengan pandangan Marx dan kaum Marxis, mereka berpendapat bahwa bisa ada agama yang lahir dari kalangan kelas tereksploitasi dan papa dan yang orientasinya adalah kepentingan kelas ini. Jadi meskipun mereka mampu menemukan teori yang menarik mengenai orientasi agama rakyat, namun mereka mempercayai materi dan kelas sebagai sumber agama.

Lantas bagaimana kesimpulan pandangan para intelektual ini? Kesimpulannya adalah bahwa agama penguasa, yaitu agama kemusyrikan, adalah satu-satunya agama historis, yang perannya dalam kehidupan tak dapat dipungkiri, karena kekuatan sejarah mendukung penguasa dan kekuatan politik-ekonomi ada di tangan penguasa. Dalam keadaan seperti ini hanya agama penguasa sajalah yang bisa tegak dan dominan. Adapun agama tauhid, agama ini tak mungkin tegak dan konkret bentuknya. Konsekuensinya, agama ini tak dapat memainkan peran historis dalam masyarakat, karena suprastruktur tak mungkin mendahului infrastruktur.

Karena itu gerakan tauhid para nabi dipastikan gagal. Para nabi mendakwahkan agama keseimbangan, namun segera agama kemusyrikan yang berkedok tauhid mendistorsi ajaran para nabi. Agama kemusyrikan bukan saja justru terus tumbuh berkembang, namun juga semakin kuat dibanding sebelumnya dan semakin aktif menganiaya kaum papa. Meskipun para nabi berupaya menyiapkan roti untuk masyarakat, sebenarnya mereka diperalat oleh lawan mereka untuk mengalungkan tali di leher kaum tertindas dan kaum tereksploitasi. Yang ingin dicapai para nabi dengan ajaran mereka tak terwujud, dan yang terwujud ternyata bukan yang mereka kehendaki. Dalam kata-kata faqih, yang dikehendaki ternyata tidak terjadi, sedangkan yang terjadi ternyata yang tidak dikehendaki.

Unsur-unsur materialis dan anti-agama mengklaim bahwa agama adalah candu masyarakat. Agama adalah narkotik dan penyebab stagnasi. Agama melegitimasi tirani dan diskriminasi, dan melestarikan kebodohan. Klaim ini baru benar kalau untuk agama penguasa, yaitu agama kemusyrikan, yang adalah agama diskriminasi dan yang dominan dalam sejarah. Namun salah kalau untuk agama sejati, agama tauhid, yaitu agama kaum tertindas, yang selalu tersingkir dari gelanggang kehidupan dan sejarah. Satu-satunya peran yang dapat dimainkan agama rakyat adalah mengkritik dan mengutuk. Posisinya adalah sebagai pihak minoritas di devvan legislatif. Pihak mayoritas adalah sebagai pemerintah, melaksanakan program dan rencananya. Namun pihak minoritas, meskipun progresif, tak dapat berbuat apa-apa selain mengkritik kebijakan pihak mayoritas dan mengajukan keberatan. Pihak mayoritas tak memperhatikan kritik ini. Pihak mayoritas mengatur masyarakat sekehendaknya, dan terkadang menggunakan kritik pihak minoritas untuk memperkuat posisinya sendiri. Tanpa kritik ini, pihak mayoritas akan hancur karena tekanan terus-menerus dari pihak lawan. Namun kritik dari pihak penentang malah menjadi tanda peringatan bagi pihak mayoritas, sehingga pihak mayoritas dapat mengambil langkah yang tepat untuk semakin memperkuat posisinya.

Tesis di atas juga tidak benar, baik menyangkut analisisnya mengenai karakter hakiki kemusyrikan dan tauhid, maupun menyangkut peran dua ideologi ini seperti yang tergambar dalam sejarah. Tak mungkin dipungkiri bahwa agama tertentu selalu eksis di dunia, entah itu agama tauhid atau kemusyrikan. Bahkan dua agama ini hidup berdampingan. Mengenai apakah agama ke­musyrikan atau agama tauhid yang pertama ada, kaum sosiolog berbeda pandangan. Kebanyakan sosiolog berpendapat bahwa pada awalnya yang ada hanya agama kemusyrikan saja. Berangsur-angsur gagasan-gagasan keagamaan berkembang dan manusia sampai pada tahap tauhid. Namun ada juga sosiolog yang berpandangan sebaliknya.

Tradisi keagamaan dan beberapa doktrin keagamaan juga mendukung teori kedua. Namun, mengapa agama kemusyrikan muncul juga? Apakah agama seperti ini rekayasa para lalim untuk melegitimasi tirani mereka dan kebijakan diskriminasi mereka, ataukah ada alasan lain mengapa ada agama seperti ini? Kebanyakan pakar menyebutkan alasan lain, karena mustahil menganggap kemusyrikan sebagai semata-mata akibat diskriminasi sosial. Bahkan semakin tidak ilmiah kalau menggambarkan agama tauhid sebagai dalih kelas papa untuk menentang diskriminasi sosial dan sebagai ekspresi aspirasi kelas papa untuk mewujudkan keseimbangan dan persaudaraan. Pandangan ini juga bertentangan sekali dengan prinsip-prinsip Islam.

Klaim di atas menggambarkan para nabi gagal, meski kegagalan ini tak bisa disalahkan kepada mereka. Menurut pendukung teori ini, para nabi gagal karena mereka dikalahkan oleh kepalsuan, dan dalam periods sejarah apa pun mereka tak berhasil. Agama para nabi tidak mempcngaruhi bagian terpenting masyarakat, juga tak mampu mengambil bagian penting dalam kehidupan keagamaan penguasa. Pcrannya hanyalah mengkritik dan melancarkan keberatan tcrhadap agama penguasa. Para nabi tak dapat disalahkan, karena bertcntangan dengan klaim kaurri materialis, para nabi tak pernah berganclcngan tangan dengan kaum pengeskploitasi, juga tidak menjadi faktor stagnasi dan kelambaman. Para nabi tak pernah mendukung kelas pengeksploitasi. Para nabi justru berasal dari kelas papa, mendukung kelas ini dan berjuang untuk mengembalikan hak-hak kelas ini yang hilang.

Karena para nabi tak dapat disalahkan berkenaan dengan semangat misi mereka, yang setali tiga uang dengan orientasi mereka, para nabi juga tak dapat disalahkan berkenaan dengan kegagalan mereka yang bukan tanggung jawab mereka, karena kekuatan sejarah yang muncul akibat adanya sistem milik pribadi mendukung lawan mereka. Munculnya sistem milik pribadi mau tak mau memecah masyarakat menjadi dua: kelas pengeksploitasi dan kelas tereksploitasi. Bagian masyarakat yang terdiri atas peng­eksploitasi, yang menguasai produk-produk material masyarakat, tentu saja menguasai juga produk-produk spiritual masyarakat. Dalam kondisi seperti ini para nabi tak dapat dimintai tanggung jawab kalau mereka gagal, karena bila kita melihat kekuatan sejarah, mustahil kalau para nabi dapat melawan kaum pengeksploitasi. Kekuatan sejarah merupakan nasib dan hukum ilahiah versi material, sekalipun dalam kasus ini hukum tersebut bukan dari Allah di langit, melainkan dari tuhan di bumi, bukan dari Allah Mahamutlak, namun dari tuhan material, yaitu kekuatan penguasa yang disebut infrastruktur ekonomi masyarakat, yang sumber utamanya adalah alat produksi.

Berdasarkan analisis situasi ini para nabi tak dapat disalahkan, namun yang salah adalah sistem dunia yang pada umumnya dilukiskan sebagai sistem yang tepat di mana kebaikan selalu mengalahkan kebatilan. Para teosof Islam yang berpandangan optimistik mengenai sistem dunia mengklaim bahwa dunia itu baik. Kebatilan dan kepalsuan sifatnya sementara saja, eksistensi keduanya sifatnya tidak hakiki. Sistem dunia atau sungguh demikian sistem sosial manusia pada dasarnya baik. Al-Qur'an mengatakan:

Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya, adapun yang bermanfaat bagi manusia, itu tetap di bumi. (QS. ar-Ra'd: 17)

Al-Qur'an mengatakan bahwa dalam konflik antara kebenaran dan kebatilan, kebenaran selalu menang.

Sesungguhnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil, lalu yang hak menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. (QS. al-Anbiyâ`: 18)

Al-Qur'an juga mcngatakan hahwa dukungan dan pertolongan Allah selalu untuk para nabi:

Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang beriman dalam kehidupan dunia dun pada hari berdirinya saksi-saksi (Hari Kiamat). (QS. al-Mukmin: 51)

Al-Qur'an juga mengatakan:

Dan sesungguhnya telak letap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat kemenangan. (QS. ash-Shâffât: 171)

Namun apa yang dikatakan oleh apa yang disebut intelektual ini bertentangan dengan prinsip ini. Meskipun mereka tidak menyalahkan nabi dan pembaru lainnya, perkataan intelektual ini sama saja dengan menyalahkan Allah.

Sesungguhnya ini merupakan problem yang sulit. Di satu pihak, Al-Qur'an memandang optimis terhadap sistem dunia, dan menegaskan bahwa kehidupan sosial manusia berkisar di seputar kebenaran, teosofi juga, sesuai dengan prinsip-prinsipnya sendiri, mengklaim bahwa kebaikan dan kebenaran selalu mengalahkan kebatilan dan kepalsuan, dan bahwa eksistensi kebatilan dan kepalsuan sifatnya tidak hakiki, dan eksistensinya sendiri tidak hakiki dan tidak mandiri. Di pihak lain, studi atas sejarah masa lalu dan sekarang melahirkan pesimisme terhadap sistem yang dominan, dan mendukung pandangan orang-orang yang menyatakan bahwa sejarah merupakan serangkaian tragedi, tirani, kezaliman dan eksploitasi. Cukup sulit untuk mengatakan apakah kita salah memahami sistem dunia atau sistem sosial manusia, ataukah kita salah menganggap Al-Qur'an memandang optimis terhadap sejarah dan kehidupan? Ataukah kita tidak salah memahami apa pun, namun ada kontradiksi yang tak terpecahkan antara aktualitas dan Al-Qur'an?

Sejauh menyangkut sistem dunia, sudah kami bahas dalam buku kami, "al-'Adl al-Ilahi" (Keadilan Ilahi), dan dengan rahmat Allah kontradiksi ini sudah terpecahkan. Sejauh menyangkut progresi sejarah dan kehidupan sosial manusia, sebaiknya dibahas nanti di bawah judul, "Konflik antara Kebenaran dan Kepalsuan", dan di sini pandangan-pandangan kami akan dipaparkan. Senang rasanya kalau pemikir lain juga mengutarakan pandangan-pandangannya mengenai masalah ini.

Catatan Kaki:

[1] Keingintahuan ini mungkin berkenaan dengan Surah az-Zukhruf: 40-50, Surah al-Mukmin: 23-44, Surah Thâhâ: 49-71, Surah asy-Syu'arâ: 16-49 dan Surah al-Qashash: 36-39.




BAB 28 - Filsafat Islam tentang Sejarah
Kriteria

Untuk mengetahui sudut pandang suatu mazhab mengenai karakter esensial sejarah, dapat digunakan sejumlah kriteria. Dengan mempertimbangkan kriteria ini, dapat diketahui bagaimana persisnya pendekatan suatu mazhab mengenai gerakan sejarah dan karakter esensial kejadian-kejadian sejarah. Di sini disebutkan kriteria yang menjadi perhatian kami. Tentu mungkin saja ada kriteria lain yang terlepas dari perhatian kami.

Sebelum memaparkan kriteria ini dan menunjukkan pandangan Islam mengenai kriteria ini, perlu rasanya dikemukakan bahwa, dari sudut pandang kami, Al-Qur'an menyebutkan secara tidak langsung prinsip-prinsip tertentu yang menunjukkan sangat pentingnya basis spiritual masyarakat dibanding basis materialnya. Menyebutkan salah satu prinsip ini, Al-Qur'an mengatakan:

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. ar-Ra'd: 11)

Dengan kata lain, Allah tidak mengubah nasib suatu kaum kalau kaum itu sendiri tidak mengubah scmangat atau jiwa mereka. Ayat ini dengan tegas menolak teori kekuatan ekonomi sejarah. Di sini kami sebutkan kriteria itu sejauh pengetahuan kami, dan kemudian kami jelaskan logika Islam.

1. Strategi Misi

Setiap mazhab memiliki pesan untuk masyarakat, dan mengajak masyarakat untuk menerima pesan tersebut. Untuk itu, mazhab tersebut harus menggunakan metode khusus yang sesuai dengan tujuan utamanya dan pas untuk pendekatan umumnya mengenai karakter dasar gerakan sejarahnya. Dalam menyampaikan pesannya, sebuah mazhab mengenalkan masyarakat dengan pandangan asasinya, dan melakukan tekanan moral untuk memobilisasi mereka.

Misal, mazhab Auguste Comte, yang mengklaim sebagai mazhab ilmiah, berpendapat bahwa perkembangan mental merupakan hakikat evolusi manusia. Mazhab ini pereaya bahwa sejauh menyangkut mentalitasnya, manusia sudah melalui dua tahap, yaitu tahap mitos dan tahap filsafat, dan sekarang sudah sampai pada tahap ilmiah. Karena mazhab ini mengklaim ilmiah, maka semua doktrin yang disampaikannya dikemukakan dengan bahasa ilmiah, dan tekanan moral yang ingin digunakannya untuk memobilisasi masyarakat juga ilmiah.

Marxisme adalah sebuah teori revolusioner tentang kelas pekerja. Tujuan misinya adalah membentuk kesadaran akan kontradiksi kelas di kalangan kaum pekerja. Tekanan moral yang digunakannya adalah obsesi dan perasaan ditipu dan tidak berdaya. Publisitas yang dibuat berbagai mazhab, dan masalah-masalah yang menjadi titik beratnya untuk memobilisasi masyarakat beragam sesuai dengan pandangan mazhab-mazhab ini mengenai masyarakat dan sejarah. Mazhab-mazhab ini juga beragam pandangan mengenai ruang lingkup misi mereka dan mengenai bermoral atau tidak bermoralnya penggunaan kekerasan dalam menyebarkan doktrin mereka, sesuai dengan pandangan mereka mengenai evolusi sejarah dan perkembangan manusia.

Mazhab-mazhab tertentu, seperti Kristianitas, berpendapat bahwa sejauh menyangkut manusia, hanya dakwah damai yang sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Mereka menganggap peng­gunaan kekerasan, apa pun bentuknya dan dalam keadaan apa pun, tidak bermoral. Itulah sebabnya agama Kristen mengajarkan bahwa jika pipi kananmu ditampar, berikan pipi kirimu untuk ditampar juga, dan jika dahimu dipukul, serahkan juga topimu. Srbaliknya, mazhab-mazhab lain tertentu, seperti mazhab Nietzsche, berpendapat bahwa hanya penggunaan kekerasan sajalah yang berinoral, karena sifat terhebat manusia terletak pada kekuatannya, dan orang yang paling berani berarti dia hebat. Dari sudut pandang Nietzsche, Kristianitas sama saja dengan kelemahan dan kerendahan had, dan merupakan penyebab utama stagnasi manusia.

Beberapa mazhab lain berpendapat bahwa sekalipun moralitas bergantung pada kekuatan atau kekerasan, namun penggunaan kekuatan atau kekerasian tetap saja tidak bermoral. Dari sudut pandang Marxisme, kekuatan yang digunakan kaum pengeksploitasi terhadap kaum tereksploitasi tidak bermoral, karena kekerasan digunakan untuk mempertahankan status quo, dan karena itu menjadi unsur stagnasi. Namun kekuatan yang digunakan kaum tereksploitasi terhadap kaum pengeksploitasi adalah bermoral, karena dimaksudkan untuk membuat masyarakat melakukan revolusi dan untuk membawa masyarakat ke tahap yang lebih.

Dengan kata lain, dalam konflik internal yang umum terjadi dalam masyarakat, satu pihak yang berkonflik berperan sebagai tesis, sedangkan pihak lainnya berperan sebagai anti-tesis. Kekuatan yang berperan sebagai tesis, karena reaksioner, tidak bermoral, sedangkan kekuatan yang berperan sebagai anti-tesis, karena revolusioner dan evolusioner, bermoral. Namun kekuatan yang bermoral pada satu tahap bisa saja tidak bermoral pada tahap selanjutnya ketika berperan negatif dan reaksioner terhadap kekuatan lain yang revolusioner. Dengan demikian, moralitas itu relatif. Yang bermoral di satu tahap bisa tidak bermoral di tahap lain yang lebih tinggi.

Dari sudut pandang Kristianitas, kontak sebuah mazhab dengan penentangnya yang dianggapnya anti-revolusioner itu sendiri adalah murni kontak. Kontak itu bermoral kalau bersahabat. Di pihak lain, Nietzsche berpendapat bahwa satu-satunya kontak bermoral adalah kontak antara yang kuat dan yang lemah. Menurutnya, tak ada yang lebih bermoral selain kekuatan, dan tak ada yang lebih tidak bermoral selain kelemahan. Tak ada kejahatan atau dosa yang lebih besar selain menjadi lemah. Dari sudut pandang Marxisme, tak mungkin ada kontak antara dua kelompok yang berseberangan posisi ekonominya kecuali kontak kekuatan dan penggunaan kekuatan. Dalam kontak ini, penggunaan kekuatan oleh kelas pengeksploitasi tidak bermoral, karena anti-evolusioner, dan penggunaan kekuatan oleh kelas tereksploitasi bermoral. Lain tak mungkin dipungkiri bahwa kontak antara kekuatan muda dan kekuatan tua selalu berarti perbenturan, dan sejauh menyangkut perbenturan seperti ini, maka dapat dibenarkan secara moral.

Islam mengecam teori-teori tersebut di atas. Yang bermoral bukan saja kontak damai dan misi yang bersahabat dan banyak mcmbaniu. Terkadang penggunaan kekuatan juga bisa bermoral. luilah sobabnya Islam menganggap memerangi kekerasan dan tirani iiu scbagai kewajiban suci, dan memandang jihad dan perlawanan berscnjata, dalam keadaan tertentu, sebagai kewajiban.

Adapun teori Nietzsche, jelas tidak masuk akal, tidak manusiawi dan anti-evolusi. Teori Marxisme didasarkan pada mekanisme itu juga, mekanisme yang diyakininya sebagai mekanisme sejarah. Dari sudut pandang Islam, mula-mula kekuatan tidak boleh digunakan terhadap kelompok anti-evolusi. Beda dengan ajaran Marxisme, kekuatan digunakan hanya pada tahap selanjutnya. Metode menasihati dan meyakinkan yang harus terlebih dahulu digunakan. Al-Qur'an mengatakan:

Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. (QS. an-Nahl: 125)

Penggunaan kekuatan terhadap kelompok anti-evolusi baru dibolehkan kalau cara-cara damai, seperti meyakinkan orang dengan argumen rasional, sudah digunakan dan ternyata gagal. Sesungguhnya semua nabi yang memerangi penentang mereka, mula-mula berupaya meyakinkan mereka dengan menggunakan argumen dan nasihat, dan sering berdebat dengan mereka. Nabi-nabi itu baru menggunakan kekuatan setelah cara-cara damai menemui kegagalan. Yang pokok adalah bahwa karena Islam berpikir dengan bahasa spiritual, maka Islam percaya pada kekuatan argumen dan nasihat. Karena Islam percaya, dalam kata-kata Marx, pada kekuatan krusial senjata, Islam juga percaya pada kekuatan senjata kritik, dan memanfaatkan sepenuhnya senjata kritik. Namun Islam tidak percaya kalau itu merupakan satu-satunya kekuatan yang mesti digunakan di mana-mana. Berkat pandangan spiritual khusus Islam mengenai manusia dan konsekuensinya mengenai masyarakat dan sejarah, Islam memandang perang terhadap kelompok anti-evolusi sebagai tahap kedua dalam kontaknya dengan kelompok itu. Tahap pertamanya adalah argumen, nasihat dan perdebatan.

Itu menunjukkan bahwa kontak suatu mazhab dengan penentangnya bisa saja didasarkan pada persuasi murni, atau didasarkan pada konflik murni, atau bisa saja kontak dua-tahap. Tahap pertama adalah persuasi, dan tahap kedua adalah konflik dan benturan.

Kebijakan yang dianut suatu mazhab dalam hal ini menjelaskan pandangan mazhab bersangkutan mengenai efektivitas kekuatan logika dan nasihat serta batas-batas efektivitas kekuatan logika dan nasihat. Juga menjelaskan pandangan mazhab itu mengenai progresi sejarah dan peran konflik di dalamnya.

Kini akan kami bahas segi lainnya. Mari kita perhatikan kesadaran seperti apa yang berupaya dibangkitkan Islam, dan bagaimana caranya mengajak manusia untuk menerima pesannya.

Persepsi Islam memahdang sangat penting keyakinan bahwa Tuhan adalah Sumber dan keyakinan bahwa ada Hari Kebangkitan. Inilah metode yang diguriakan Al-Qur'an untuk menanamkan ajarannya. Al-Qur'an mengatakan bahwa metode itu juga digunakan oleh nabi-nabi sebelumnya. Kesadaran yang dibangkitkan Islam adalah kesadaran akan pertanyaan: "Dari mana kita datahg? Sekarang kita ada di mana? Dan ke mana tujuanmu? Dari mana datangnya dunia ini? Tahap apa yang tengah dilaluinya? Ke arah mana tujuannya?" Tanggung jawab pertama yang diciptakan para nabi adalah tanggung jawab manusia terhadap seluruh alam dan kehidupan. Tanggung jawab sosial adalah bagian dari tanggung jawab ini. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, Surah-surah Al-Qur'an yang turun di Mekah selama 13 tahun pertama misi Nabi Muhammad saw hampir tidak membicarakan pokok masalah lain selain tentang Tuhan sebagai Sumber dan tentang Hari Kebangkitan.[1]

Nabi saw mengawali misinya dengan pernyataan, "Katakanlah, tak ada Tuhan selain Allah, agar kamu memperoleh keberhasilan." Ini merupakan suatu gerakan keagamaan yang bertujuan menyucikan keyakinan dan pikiran manusia. Memang tauhid luas dimensinya. Jika semua ajaran Islam dianalisis, maka dapat diikhtisarkan sebagai tauhid. Dan jika tauhid dikembangkan, maka meliputi semua ajaran ini. Namun kita tahu bahwa pada awalnya arti doktrin ini tak lebih dari keberpalingan intelektual dan praktis dari doktrin dan ibadah kemusyrikan ke doktrin dan ibadah tauhid. Seandainya doktrin ini luas artinya, tentu orang pada masa itu tidak mengetahuinya.

Ajaran ini, yang berakar dalam kedalaman fitrah manusia, membentuk dalam diri pengikut para nabi semangat besar untuk membela agama mereka, berupaya keras menyebarkannya, dan tidak ragu-ragu untuk bekorban jiwa dan harta demi agama mereka. Para nabi memulai dengan apa yang di zaman kita dikenal sebagai suprastruktur masyarakat, dan berangsur-angsur mencapai infrastrukturnya. Dalam mazhab para nabi, manusia lebih memperhatikan agama dan keyakinannya dibanding keuntungan dan kepentingan pribadinya. Dalam mazhab ini, keyakinan dan pikiran merupakan infrastrukturnya, sedangkan kerja, yaitu kontak dengan alam dan karunia alam serta dengan masyarakat, adalah supra-strukturnya. Setiap ajaran agama harus mengandung prediksi. Dengan kata lain, harus disertai kesadaran bahwa Allah SWT adalah Sumber dan bahwa ada Hari Kebangkitan. Para nabi memobilisasi masyarakat dengan menghidupkan perasaan seperti ini, dengan mengembangkan kesadaran ini dan dengan menyingkirkan debu-debu yang menutupi hati nurani, dengan bersandar pada keridaan Allah, perintah-perintah-Nya dan pembalasan-Nya. Dalam Al-Qur'an, keridaan Allah disebut-sebut di tiga belas tempat. Dengan menekankan masalah spiritual ini, Al-Qur'an memobilisasi masyarakat beriman. Memahami fakta ini bisa disebut sadar akan Tuhan atau kosmos.

Dalam kategori selanjutnya ada ajaran Islam yang mengarahkan perhatian manusia kepada martabat dan posisi unggulnya sendiri. Menurut Islam, manusia bukanlah binatang yang pada awalnya persis seperti primata lainnya, namun manusia begitu piawai dalam bertahan hidup sehingga setelah beratus-ratus juta tahun posisinya jadi seperti sekarang ini. Manusia justru makhluk yang di dalam dirinya ada nuansa roh ilahiah, yang di hadapannya para malaikat bersujud. Meskipun ada sifat-sifat hewaniah seperti hawa nafsu dan sifat buruk, manusia itu sendiri tetap merupakan esensi murni yang menentang penumpahan darah, kebohongan, kerusakan, kehinaan, kebencian, kekerasan dan tirani. Manusia merupakan perwujudan kemuliaan (kekuatan) ilahiah. Al-Qur'an mengatakan:

Kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin. (QS. al-Munâfiqûn: 8)

Ketika Nabi saw bersabda, "Manusia barn mulia kalau dia tidak tidur di malarn hari dan kalau dia tidak membutuhkan pertolongan orang lain." Atau ketika Imam Ali bin Abi Thalib as berkata kcpada sahabat-sahabatnya di Shiffin, "Kalau kalian meninggal sebagai pemenang, itulah kehidupanmu, dan kalau kalian hidup sebagai pecundang, itulah kematianmu." (Nahj al-Balâghah, khotbah 51) Atau ketika Imam Husain bin Ali as berkata, "Bagiku mati tak lain adalah keberuntungan, sedangkan hidup bersama tiran tak lain adalah duka cita yang luar biasa."

Semua perkataan di atas menekankan arti martabat dan kemuliaan yang dimiliki manusia berkat fitrahnya. Tahap ketiga adalah tahap kesadaran akan hak dan tanggung jawab sosial. Dalam Al-Qur'an dijumpai beberapa contoh yang menekankan hak yang hilang dengan tujuan mendorong orang untuk melakukan gerakan. Al-Qur'an mengatakan:

Mengapa kamu tidak man berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak, yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dan negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya, dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu!" (QS. an-Nisâ': 75)

Dalam ayat ini, untuk meyakinkan orang agar berjihad, dua nilai spiritual mendapat penekanan: (1) Gerakan mereka adalah demi Allah. (2) Orang-orang tak berdaya tengah ditindas oleh tiran.

Dalam ayat berikut ini Al-Qur'an mengatakan:

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah. "Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirubuhkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha-kuat lagi Maha Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah perbuatan yang munkar, dan kepada Allah lah kembali segala urusan. (QS. al-Hajj: 39-41)

Dalam ayat ini kita melihat bahwa seraya memberikan izin berjihad, disebutkan hak-hak kaum Muslim yang hilang. Pada saat yang sama, juga disebut-sebut sebuah nilai yang lebih tinggi daripada hak-hak yang hilang, dan yang menjadi filosofi pembelaan. Al-Qur'an mengatakan bahwa jika tidak dilakukan jihad, dan kaum mukmin tidak berbuat apa-apa, maka keselamatan masjid dan rumah ibadah lainnya, yang menjadi jantung kehidupan spiritual masyarakat, terancam bahaya dan tidak lagi akan berfungsi. Al-Qur'an mengatakan:

Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. (QS. an-Nisâ': 148)

Jelaslah ini merupakan dorongan kepada kaum tertindas untuk melakukan perlawanan. Setelah mengecam para penyair yang berlebihan pikiran khayalnya, Al-Qur'an menambahkan:

Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. (QS. asy-Syu'arâ`: 227)

Kendatipun, menurut Al-Qur'an dan sunah Nabi, adalah dosa besar kalau menerima tirani dan setiap orang berkewajiban mengaktualisasikan hak-haknya, namun hal-hal ini disebutkan sebagai nilai-nilai yang ada segi manusiawinya. Al-Qur'an tidak bersandar pada obsesi jiwa, juga tidak membangkitkan rasa cemburu atau hawa nafsu. Misal, Al-Qur'an tak pernah mengatakan bahwa kelompok ini atau itu gaya hidupnya mewah, kenapa kamu tidak menggantikan mereka?

Kalau ada upaya merebut atau menjarah harta kita, Islam mclarang kita tinggal diam dengan alasan harta tersebut tak ada nilainya. Juga, kalau ada upaya melanggar kehormatan kita, maka kita wajib mcmandang serius masalah ini atau kita tidak boleh tinggal diam. Menurut hadis, seseorang yang terbunuh karena membela kehormatannya atau hartanya, maka dia dianggap syahid yang mengorbankan jiwanya demi Allah SWT. Jika Islam mendesak orang untuk mempertahankan hartanya, itu tidak berarti bahwa Islam memintanya untuk menimbun harta atau untuk serakah.

Islam hanya memintanya untuk mempertahankan hak-haknya. Juga, bila Islam memandang wajib mempertahankan kehormatan, itu karena Islam memandang kehormatan sebagai nilai sosial tertinggi dan memandang manusia sebagai penjaga nilai ini.

2. Terminologi Ideologi

Setiap mazhab mengidentifikasi pengikutnya dengan nama khusus. Misal, teori rasial merupakan ciri khas penganut teori itu. Bila mereka mengatakan "Kami", maka yang mereka maksud adalah orang kulit putih. Teori Marxis adalah teori pekerja. Pengikut mazhab ini menyebut diri mereka pekerja. Bila mereka mengatakan "Kami", maka yang mereka maksud adalah pekerja. Kaum Kristiani menganggap diri mereka berasal dari person Kristus, seakan-akan mereka tak memiliki doktrin atau ideologi. Tanda identitas mereka adalah mereka mencari Kristus dan ingin bersamanya.

Ciri khas Islam adalah Islam tidak menggunakan label ras, kelas, profesi, daerah atau individu untuk mazhab dan pengikutnya. Penganut mazhab ini tidak dikenal dengan sebutan Arab, Semit (keturunan Syem, putra Nuh (Gen. 10: 21 dan halaman-halaman berikutnya), seperti orang Yahudi, Arab, Assirian dan Phoenician— pen.), orang miskin, orang kaya, orang tertindas, orang kulit putih, orang kulit hitam, orang Asia, orang Timur, orang Barat, pengikut Muhammad, pengikut Al-Qur'an, pengikut Kiblat, dan seterusnya.

Nama-nama di atas tidak menggambarkan identitas sejati penganut Islam. Bila muncul soal identitas mazhab ini dan pengikutnya, semua nama ini pun lenyap. Yang tinggal hanya satu hal, yaitu hubungan antara manusia dan Allah. Islam artinya adalah tunduk kepada Allah. Kaum Muslim adalah umat yang tunduk kepada Allah, kepada kebenaran dan kepada wahyu dan ilham yang datang dari cakrawala kebenaran dan disampaikan ke had orang-orang yang sangat mulia. Lantas bagaimana karakter asasi identitas kaum Muslim? Sebutan apa yang diberikan agama mereka kepada mereka, dan Islam ingin mereka berada di bawah panji-panji apa? Jawabnya adalah ketundukan Islam kepada kebenaran.

Kriteria persaudaraan yang direkomendasikan setiap mazhab kepada pengikutnya merupakan sarana yang andal untuk menilai tujuan-tujuan mazhab. Juga membantu kita untuk mcmahami pandangan mazhab mengenai manusia, masyarakat dan sejarah.

3. Syaral untuk Menerima

Sudah dikemukakan sebelumnya bahwa berbagai mazhab yang berlainan berbeda pandangan mengenai mekanisme gerakan sejarah. Satu mazhab berpendapat bahwa mekanisme alamiah gerakan ini adalah tekanan satu kelas terhadap kelas lain. Mazhab yang lain berpendapat bahwa itu adalah antagonisme antar kelas reaksioner. Mazhab lainnya lagi berpendapat bahwa mekanisme sejatinya supaya dicari dalam fitrah manusia yang bersifat evolusioner dan progresif. Beberapa mazhab lain berpandangan lain. Setiap mazhab, dalam ajarannya, menyebutkan sebab-sebab, kondisi-kondisi, dan rintangan-rintangan gerakan sejarah yang sesuai dengan konsepsinya mengenai mekanisme gerakan sejarah. Mazhab yang percaya bahwa mekanisme gerakan sejarah merupakan tekanan satu kelas terhadap kelas lain, maka agar dapat memobilisasi masyarakat, mazhab ini mencoba membuat tekanan seperti itu jika belum ada. Dalam beberapa karyanya, Marx menjelaskan bahwa eksistensi kelas tertindas dan pecundang mutlak diperlukan bagi munculnya kelas orang merdeka. Pada akhir kajiannya, Marx mengatakan, "Di manakah letak kemungkinan merdekanya bangsa Jerman? Jawab kami adalah harus dibentuk sebuah kelas yang terbelenggu." Ideologi seperti itu memandang pembaruan merintangi revolusi, karena pembaruan mengurangi tekanan dan kurangnya tekanan berarti mencegah terjadinya ledakan atau, setidak-tidaknya, revolusi. Sebaliknya, mazhab yang percaya bahwa gerakan merupakan kualitas asasi masyarakat, tidak pernah menyebutkan penciptaan belenggu yang membelenggu kelas, karena mazhab ini tidak memandang tekanan sebagai syarat yang diperlukan bagi terjadinya evolusi, juga tidak memandang pembaruan sebagai perintang.

Apa yang disebutkan Islam tentang syarat-syarat yang men-dukung kemajuan dan rintangan yang menghalangi jalannya kemajuan? Dalam Islam, semua syarat dan kesulitan dalam hal ini berkisar di seputar apa yang disebut kondisi murni fitrah manusia. Itulah sebabnya, pada beberapa kesempatan, mempertahankan kesucian asasi disebut-sebut sebagai kondisi. Al-Qur'an mengatakan:

Petunjuh bagi mereka yang takwa. (QS. al-Baqarah: 2)[2]

Di beberapa tempat, sinyal hati nurani yang muncul dari rasa tanggung jawab dan kewajiban terhadap dunia disebut-sebut sebagai kondisi dengan kata-kata seperti itu:

Orang-orang yang lakut akan Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya. (QS. al-Anbiyâ': 49)

Yang takut kepada Tuhan Maha Pemurah walaupun dia tidak melihat-Nya. (QS. Yâsîn: 11)

Di beberapa tempat, disebut-sebut "karakter asasi (fitrah) yang hidup" sebagai kondisi.

Untuk memberikan peringatan kepada orangyang hidup (hatinya). (QS. Yâsîn: 70)

Islam berpandangan bahwa dakwahnya diterima oleh orang-orang yang bersih, yang punya rasa tanggung jawab dan hidup wajar. Beda dengan sifat-sifat ini, Islam menyebutkan sifat-sifat seperti kerusakan rohani dan moral, dosa hati, karat hati, hati yang tertutup, hilangnya kemampuan untuk memahami kebenaran yang tersembunyi, hati yang tak peduli, rusaknya jiwa, mengikuti adat dan kebiasaan leluhur, mengikuti jejak sesepuh dan tokoh, berbuat berdasarkan dugaan, dan seterusnya. Al-Qur'an memandang semua itu merintangi perkembangan masyarakat dan gerakan masyarakat menuju kedamaian, kemakmuran dan kemenangan. Hidup berlebihan dan mewah juga dianggap sebagai perintang, karena hidup yang seperti ini mengubah manusia menjadi hewan.

Menurut ajaran Islam, kaum muda lebih siap menerima ke­benaran dibanding kaum tua. Alasannya adalah fitrah mereka belum dicemari oleh polusi jiwa. Juga, kaum miskin, karena tidak tercemari polusi harta, lebih siap dibanding kaum kaya. Disebutkannya syarat-syarat ini menunjukkan bahwa, menurut Al-Qur'an, mekanisme perubahan masyarakat dan sejarah adalah mekanisme spiritual, bukan mekanisme ekonomi dan material.

4. Jaya dan Jatuhnya Masyarakat

Biasanya setiap mazhab mengemukakan pandangannya mengenai maju dan mundurnya masyarakat. Sebab-sebab yang oleh suatu mazhab dianggap sebagai faktor-faktor pokok maju dan mundurnya masyarakat, mempelihatkan sudut pandangan mazhab itu mengenai masyarakat, dan mengenai gerakan evolusi sejarah dan kehancurannya. Al-Qur'an, khususnya berkenaan dengan kisah dan anekdot yang berkaitan dengan masalah-masalah ini, menjelaskan pandangan­nya. Mari kita lihat apa saja yang dianggap oleh Al-Qur'an sebagai hal yang pokok dan infrastruktural dan apa saja yang dianggap suprastruktural. Apakah menurut Al-Qur'an masalah ekonomi dan materi merupakan masalah pokok, atau yang menjadi masalah pokoknya adalah masalah doktrin dan moral, ataukah Al-Qur'an tidak membedakan dua jenis masalah ini?

Dalam Al-Qur'an pada umumnya, dijumpai empat faktor yang menyebabkan jaya dan jatuhnya suatu masyarakat. Kami sebutkan empat faktor itu secara ringkas:

Keadilan dan Kezaliman

Hal ini sudah disebutkan secara tidak langsung oleh Al-Qur'an dalam banyak ayatnya, antara lain ayat kedua dari Surah al-Qashash yang sudah kami kutipkan sebelumnya. Ayat tersebut berbunyi, " Sesungguhnya Fir'aun mengagungkan dirinya di muka bumi, dan memecah belah kaumnya menjadi kasla-kasta. Sebagiannya dia tindas, dia bunuh anak laki-laki mereka dan biarkan hidup perempuan-perempuan mereka. Sesungguhnya dia termasuk orangyang berbuat kerusakan. "

Dalam ayat ini mula-mula disebutkan bahwa Fir'aun mengagung­kan dirinya. Dia mengklaim sebagai super dewa dan menganggap yang lain sebagai sahayanya. Dengan cara yang lain dia membeda-bedakan rakyatnya dan memecah belah mereka. Al-Qur'an mengatakan bahwa Fir'aun menindas sebagian kaumnya, membunuh anak laki-laki mereka, dan membiarkan hidup perempuan-perempuan mereka (dengan tujuan menjadikan mereka abdi Fir'aun dan sukunya). Al-Qur'an menggambarkan Fir'aun sebagai salah sam orang yang berbuat kerusakan. Gambaran ini menunjukkan bahwa tirani sosial seperti yang dilakukan Fir'aun, dapat menghancurkan fondasi masyarakat.

Persatuan dan Perpecahan

Ayat 103 dari Surah A^li 'Imrân mendesak agar bersatu atas dasar iman dan berpegang kuat pada tali Allah SWT. Ayat 105 dari Surah yang sama mengatakan, "Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih." Ayat 153 dari Surah al-An'âm juga berkata hampir sama.

Al-Qur'an mengatakan sebagai berikut:

Katakanlah: "Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain. (QS. al-An'âm: 65)

Janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu. (QS. al-Anfâl: 46)

Menaati atau Mengabaikan Perintah Allah tentang Amar Makruf Nahi Munkar

Di banyak tempat, Al-Qur'an menekankan perlunya menaati perintah Allah ini. Ayat berikut ini menunjukkan bahwa orang yang mengabaikan kewajiban penting ini akan hancur dan dilupakan. Satu alasan kenapa Bani Isra'il kehilangan rahmat Allah adalah:

Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (QS. al-Mâ`idah: 79)

Kerusakan Moral dan Tak Peduli Hukum

Ada beragam ayat Al-Qur'an mengenai hal ini. Sebagiannya menggambarkan hidup mewah sebagai penyebab kehancuran. Dalam banyak ayat lainnya, disebut-sebut kata zhulm (kezaliman, kekejaman, penindasan, tirani, pelanggaran). Dalam istilah Al-Qur'an, kezaliman tidak saja berarti pelanggaran hak individu atau kelompok. Juga berarti kezaliman yang dilakukan seseorang kepada dirinya sendiri atau oleh kaum kepada diri mereka sendiri. Setiap jenis kerusakan moral dan penyimpangan dari jalan benar manusia adalah kezaliman. Konsepsi kezaliman dalam Al-Qur'an cukup luas sehingga mencakup kezaliman yang dilakukan terhadap pihak lain dan pemuasan perbuatan tak bermoral. Terutama kata ini digunakan dalam Al-Qur'an dalam artinya yang kedua. Jumlah ayat Al-Qur'an—yang di dalamnya kezaliman dalam artinya yang lebih luas digambarkan sebagai penyebab kehancuran kaum—terlalu banyak untuk dikutip di sini.

Dari scluruh kriteria ini dapat kita pahami pandangan Al-Qur'an mengenai basis masyarakat dan sejarah. Al-Qur'an mempercayai peran penting banyak hal yang dapat disebut supra-struktur.


Catatan Kaki:

[1] Sebagian dari apa yang disebut intelektual Muslim kontemporer menafikan adanya satu ayat Al-Qur'an pun yang membicarakan Hari Kebangkitan. Kalau dalam Al-Qur'an ada sebutan "dunya" (dunia ini), mereka menafsirkannya sistem rendah kehidupan, yaitu sistem diskriminasi sosial dan eksploitasi. Dan kalau ada sebutan "akhirah" (akhirat), mereka menafsirkannya sistem tinggi kehidupan yang bebas dari diskriminasi sosial, ketidakadilan, eksploitasi dan milik pribadi. Jika "akhirah" artinya seperti ini, maka itu berarti bahwa Al-Qur'an, seribu tahun sebelum lahirnya mazhab materialis, menganggap agama sebagai doktrin yang hilang.

[2] Ini menunjukkan bahwa teori Marxis yang menyebutkan bahwa penggunaan kekuatan tokoh kelas tereksploitasi adalah bermoral, karena perannya penting dalam mewujudkan kemajuan dan penggunaannya oleh kelas pengeksploitasi adalah tidak bermoral, karena dalam kasus ini menjadi faktor stagnasi, bukanlah teori yang benar. Bila mazhab ini percaya bahwa tekanan kelas pengeksploitasi berperan dalam perkembangan dan reaksi revolusioner kelas tereksploitasi, tentunya perbuatan kelas pengeksploitasi sama bermoralnya dengan perbuatan kelas tereksploitasi. Satu-satunya perbedaan antara dua kekuatan itu adalah yang satu melihat ke masa lalu sedangkan yang satunya lagi melihat ke masa depan. Kalau tidak, peran keduanya sama. Karena itu kriteria bermoral dan tidak bermoral mereka tentunya merupakan maksud tersembunyi dan bukan yang satu melihat ke masa lalu sedangkan yang satunya lagi melihat ke masa depan.


21
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

BAB 29 - Evolusi dan Perubahan dalam Sejarah
Pembahasan kita sejauh ini berkenaan dengan satu dari dua problem periling sejarah. Masalah yang sejauh ini dibahas adalah apakah karakter esensial sejarah materialistik atau bukan. Masalah penting lainnya adalah masalah evolusi sejarah. Kita tahu bahwa kehidupan sosial bukan saja terjadi pada manusia. Ada beberapa makhluk hidup lain yang lebih kurang menjalani kehidupan sosial yang didasarkan pada kerja sama dan pembagian kerja serta tanggung jawab di bawah naungan hukum dan aturan yang sistematis.

Kita semua tahu bahwa lebah madu termasuk makhluk hidup seperti itu. Namun ada satu perbedaan asasi antara eksistensi sosial makhluk hidup lain dan eksistensi sosial manusia. Eksistensi sosial makhluk hidup lain selalu statis. Sistem kehidupannya tak mengalami perubahan atau perkembangan, atau dalam kata-kata Morris Metterlink, budayanya—jika ungkapan ini benar—tak mengalami perubahan atau perkembangan.

Sebaliknya, kehidupan sosial manusia bukan saja mengalami perkembangan dan perubahan, namun juga berangsur-angsur semakin cepat dan kuat. Itulah sebabnya sejarah kehidupan sosial manusia, dari sudut-sudut yang berbeda, terbagi menjadi periode-periode, dan antara periode yang satu dan yang lain ada perbedaannya. Misal, dari sudut pandang sarana penghidupan, dibagi menjadi periode berburu, periode bertani, periode industri. Dari sudut pandang sistem ekonomi, dibagi menjadi periode komunisme primitif, periode perbudakan, periode feodalisme, periode kapitalisme dan periode sosialisme. Dari sudut pandang politik, dibagi mehjadi periode kekliasaan suku, periode despotisme, periode aristokrasi, dan periode demokrasi. Dari sudut pandang jenis kelamin, dibagi mcnjadi periode matriarki dan periode patriarki. Dan seterusnya.

Kenapa pcrkembangan seperti ini tak terjadi pada kehidupan sosial binatang? Faktor asasi mana yang menyebabkan manusia beralih dari satu periode sosial ke periode sosial yang lain? Dengan kata lain, apa yang menyebabkan kehidupan manusia mengalami kemajuan sedangkan kehidupan binatang tidak? Bagaimana mekanisme kemajuan ini? Dalam hubungan ini para filosof sejarah biasanya melontarkan pertanyaan. Mereka bertanya apakah ke­hidupan sosial manusia memang mengalami kemajuan dalam sejarah, dan jika ya, bagaimana kriterianya supaya kita dapat mengukurnya dan meyakininya.

Sebagian sosiolog ragu kalau perubahan yang terjadi bisa disebut kemajuan atau evolusi. Sebagian sosiolog lainnya berpendapat bahwa sejarah bergerak melingkar. Menurut mereka, sejarah bergerak dari satu titik, dan setelah melewati beberapa tahap, sampai lagi pada titik yang sama, dan kemudian sekali lagi mulai bergerak dengan cara seperti sebelumnya. Misal, sistem suku dibentuk oleh suku pengembara yang memiliki kemauan dan keberanian. Pemerintahan suku melahirkan aristokrasi. Perbuatan diktatorial pemerintah aristokrasi berpuncak pada revolusi umum dan berdirinya demokrasi. Kemudian kekacauan yang terjadi akibat terlalu banyak kebebasan yang diberikan oleh pemerintah demokratis sekali lagi melahirkan despotisme bersemangatkan suku.

Sekarang kami tidak akan membahas masalah ini, karena masalah ini akan dibahas pada kesempatan lain. Sebagai basis untuk telaah lebih lanjut, kami beranggapan bahwa pada umumnya sejarah bergerak maju dan membuat kemajuan. Dapat dikemukakan bahwa mereka yang berpendapat bahwa sejarah itu berjalan ke depan mengakui bahwa gerakan sejarah yang ke depan itu tidak berarti bahwa masa depan semua masyarakat dalam semua keadaan lebih baik dibanding masa lalunya, bahwa masyarakat selalu dan tanpa hcnti bergerak ke depan, dan bahwa tak ada peluang untuk bergerak ke belakang.

Tak syak lagi bahwa masyarakat bisa berhenti, mundur, belok ke kiri atau ke kanan, dan akhirnya lenyap. Namun, pada umumnya masyarakat bergerak ke depan. Masalah mengenai bagaimana kekuatan pendorong sejarah dan faktor perkembangan sosial, biasanya pembahasannya dalam buku-buku filsafat sedemikian rupa sehingga kesalahan deskripsinya jadi jelas kalau kita sedikit me-nelaahnya. Mengenai masalah ini biasanya dikemukakan pandangan-pandangan berikut ini:

1. Teori Rasial

Menurut teori ini, ras-ras tertentu terutama bertanggung jawab atas kemajuan sejarah. Beberapa ras dianggap mampu membentuk budaya dan peradaban, sedangkan beberapa ras lain tidak. Sebagian ras dapa't melahirkan ilmu pengetahuan, filsafat, etika, seni dan teknologi. Sedangkan sebagian ras lain hanya menjadi konsumen komoditas-komoditas ini, bukan menjadi produsennya.

Karena itu kesimpulannya adalah harus ada pembagian kerja di antara berbagai ras. Ras-ras yang memiliki kemampuan politik, kemampuan untuk melakukan pendidikan dan memproduksi budaya, seni dan teknologi inilah yang harus bertanggung jawab atas aktivitas manusia yang tinggi. Di pihak lain, ras-ras yang tidak memiliki kemampuan seperti itu supaya dibolehkan untuk tidak memasuki aktivitas-aktivitas ini dan sebagai gantinya supaya dipasrahi pekerjaan manual dan semi-binatang yang tidak butuh pemikiran yang tinggi dan ketinggian cita rasa. Inilah pertimbangannya kenapa Aristoteles yang berpandangan seperti itu memandang sebagian ras mampu untuk memiliki sahaya dan ras-ras lain tidak.

Sebagian pemikir percaya bahwa hanya ras-ras tertentu sajalah yang mampu menciptakan progresi sejarah. Misal, mereka mengatakan bahwa ras-ras utara dalam hal ini lebih unggul dibanding ras-ras selatan. Ras-ras utaralah yang mendorong ke depan budaya manusia. Count Gobino, filosof Francis kenamaan, yang tiga tahun menjadi duta besar Francis untuk Iran sckitar seratus tahun silam, mendukung teori ini.

2. Teori Geografis

Menurut teori ini, lingkungan alam tertentu melahirkan budaya, pendidikan dan industri. Misal, daerah-daerah beriklim sedang melahirkan temperamen sedang dan otak yang tangguh. Fada bagian pertama Qanun, Ibnu Sina membahas panjang lebar efek lingkungan alam pada mental dan temperamen manusia.

Menurut teori ini, yang mendorong sejarah bergerak ke depan bukanlall faktor ras dan darah. Bukan ras tertentu yang mendorong sejarah bergerak ke depan di setiap iklim dan daerah, sedangkan ras lain, di mana pun tinggalnya, tak memiliki kemampuan seperti itu. Perbedaan kemampuan pada berbagai ras terjadi akibat perbedaan lingkungan mereka. Karena terjadi penyebaran ras, maka kemampuan mereka pun menyebar. Karena itu daerah tertentulah yang menciptakan progresi sejarah dan perkembangan baru. Sosiolog Prancis abad ke-17, Montesquieu, dalam bukunya yang terkenaj, "De Lesprit des lois" (Semangat Hukum), mendukung teori ini.

3. Teori Raksasa Intelektual

Menurut teori ini, semua perkembangan sejarah, baik itu ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, teknik atau moral, terjadi berkat orang-orang yang luar biasa cerdas. Dalam hal ini manusia beda dengan makhluk lainnya. Spesies lain secara biologis hampir sama kemampuannya. Setidak-tidaknya tak ada perbedaan yang berarti.

Sebaliknya, kemampuan di antara manusia sering terlihat sangat berbeda. Orang-orang jenius ada di setiap masyarakat. Karena or­ang-orang jenius ini memiliki akal, cita rasa, kemauan atau prakarsa yang luar biasa, maka mereka inilah yang melahirkan kemajuan ilmu pengetahuan, teknik, moral, politik atau militer. Menurut teori ini, kebanyakan manusia tak punya prakarsa dan kreativitas. Mereka hanya ikut dan menjadi konsumen gagasan dan produk industri.

Sesungguhnya, kurang lebih selalu, dalam setiap masyarakat ada minoritas yang kreatif pikirannya. Minoritas ini memiliki prakarsa, pikiran-pikirannya orisinal, dan berada di depan yang lain. Minoritas inilah yang membawa kemajuan sejarah dan membawa sejarah ke tahap baru. Filosof Inggris ternama, Thomas Carlyle, percaya bahwa sejarah dibentuk oleh individu-individu cemerlang. Dalam bukunya, "On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History ", dia menyebutkan seperti berikut ini mengenai Nabi Muhammad saw: "Sejarah setiap bangsa merupakan perwujudan satu atau lebih dari satu pribadi cemerlang. Lebih tepatnya, sejarah setiap bangsa menipakan penvujudan personalitas dan kejeniusan satu atau lebih dari satu pahlawan. Misal, sejarah Islam merupakan perwujudan personalitas Nabi Muhammad; sejarah Perancis modern menipakan perwujudan personaliias Napoleon; dan sejarah Soviet enam piiluh tahun silam merupakan penvujudan personalitas Lenin."

4. Teori Ekonomi

Menurut teori ini, ekonomi adalah kekuatan pendorong sejarah. Segenap urusan sosial dan historis bangsa, entah itu unisan budaya, politik, militer ataU masyarakat, mencerminkan metode produksi dan hubungan produksi masyarakat itu. Yang mengubah struktur masyarakat adalah perubahan basis ekonomi. Perubahan basis ekonomi ini mendorong kemajuan masyarakat. Orang-orang yang cemerlang pikirannya yang disebutkan di atas hanyalah perwujudan kebutuhan ekonomi, politik dan sosial masyarakat, dan kebutuhan ini disebabkan oleh perubahan alat produksi. Karl Marx, kaum Marxis pada umumnya dan terkadang bahkan se­bagian non-Marxis, mendukung teori ini. Barangkali teori ini yang paling populer di zaman kita.

5. Teori Tuhan

Menurut teori ini, apa saja yang terjadi di bumi, merupakan urusan langit yang turun ke bumi sesuai dengan kearifan tinggi Allah. Semua perubahan sejarah dan perkembangan sejarah me­rupakan perwujudan kehendak dan kearifan-Nya. Karena itu, kehendak Tuhanlah yang mendorong kemajuan sejarah dan yang mewujudkan perubahan sejarah. Sejarah merupakan skenario kehendak Tuhan. Bishop Bossuet, seorang sejarahwan terkenal dan tutor Louis XV, mendukung teori ini. Teori-teori ini biasanya dibahas dalam buku-buku filsafat sejarah dalam kaitannya dengan sebab-sebab yang menggerakkan sejarah.

Dan sudut pandang kami, semua teori ini menunjukkan posisi yang faktual, dan semuanya merupakan hasil dari kekacauan. Kami akan pelajari sebab-sebab yang menggerakkan sejarah, meskipun teori-teori ini pada umumnya tidak relevan dengan keinginan kami. Misal, teori ras tak lebih dari teori sosiologi. Teori ini baru relevan kalau pertanyaannya adalah apakah beragam ras manusia yang berbeda memiliki atau tidak memiliki beberapa kemampuan turunan, dan apakah semua ras itu sama tingkat intelektualnya atau tidak. Jika sama, itu artinya bahwa semua ras sama-sama berperan dalam gerakan sejarah atau setidak-tidaknya secara teoretis dapat. Jika tidak sama, itu artinya bahwa sebagian ras saja yang dapat berperan dalam proses kemajuan sejarah. Sejauh ini teori ini sudah pas rumusannya, meski tidak memecahkan misteri filsalat sejarah. Misal saja kita akui bahwa semua perkembangan sejarah terjadi karena ras tertentu. Namun masih saja ada problem yang tak terpecahkan, karena kita masih belum tahu kenapa kehidupan manusia atau kehidupan ras manusia tertentu berkembang sedang­kan kehidupan binatang tetap statis. Masalah apakah faktor kemajuan adalah satu ras atau semua ras, tidak memecahkan misteri gerakan sejarah.

Begitu pula dengan teori geografi. Teori ini ada manfaatnya, dan berhubungan dengan masalah penting sosiologi. Teori menunjukkan bahwa lingkungan berperan efektif dalani pertumbuhan mental, intelektual, temperamental dan fisik manusia. Sebagian lingkungan membuat manusia tetap berada di dalam atau mendekati batas-batas binatang, dari sebagian lagi membuat manusia jauh dan beda dari binatang. Menurut teori ini, sejarah hanya bergerak di kalangan penduduk daerah-daerah tertentu saja. Di daerah-daerah lain sejarah statis dan monoton. Namun masalah utamanya masih tetap di mana itu. Misal, lebah madu dan binatang lain yang suka hidup berkelompok tak ada gerakan sejarahnya, sekalipun di daerah-daerah yang kondusif untuk pertumbuhan mental. Lantas apa sebenarnya penyebab perbedaan antara dua jenis makhluk hidup ini yang satu jenis tetap statis, sedangkan jenis yang lain bergerak dari satu tahap ke tahap lain?

Teori Tuhan lebih tidak konsisten dibanding teori lain. Apakah sejarah saja yang merupakan perwujudan Kehendak Tuhan? Sesungguhnya dunia, sejak awal hingga akhir, termasuk segenap sebab dan gangguan, merupakan perwujudan Kehendak Allah. Kehendak Tuhan sama hubungannya dengan semua sebab di dunia ini. Kalau kehidupan manusia yang berkembang dan berubah merupakan perwujudan Kehendak Tuhan, maka kehidupan lebah yang statis dan monoton pun merupakan perwujudan Kehendak-Nya juga. Pertanyaannya adalah sistem apa itu, yang dengan sistem ini Kehendak Tuhan menjadikan kehidupan manusia berkembang, sementara kehidupan binatang statis karena tak adanya sistem itu.

Teori ekonomi tak ada aspek teknisnya, dan tidak diajukan sebagai prinsip. Teori ekonomi sejarah menjelaskan karakter asasi sejarah saja dan menunjukkan bahwa karakter asasinya material dan ekonomi, dan bahwa segala urusan lainnya sama saja dengan bentuk-bentuk atau kekhasan yang tak asasi. Konsekuensinya, semua urusan masyarakat pun mengalami perubahan. Namun semua itu adalah masalah "jika". Masalah yang sebenarnya masih saja belum terjawab. Meskipun kita mengakui bahwa ekonomi adalah infrastruktur masyarakat dan kalau ekonomi berubah maka segenap masyarakat pun berubah, masalahnya adalah kenapa begitu. Apa faktor yang mcngubah selnruh suprastruktur bila infrastruktur berubah? Mungkin saja ekonomi menjadi infrastruktur masyarakat, namun itu tidak berarti bahwa ekonomi merupakan kekuatan pendorong sejarah juga. Jika saja pendukung teori ini, bukannya menggambarkan ekonomi sebagai infrastruktur masyarakat, namun menggambarkannya sebagai kekuatan pendorong sejarah, menganggap materialitas sejarah cukup untuk membuat sejarah dinamis, menekankan masalah kontradiksi dalam masyarakat, dan mengatakan bahwa sesungguhnya kekuatan pendorongnya adalah kontradiksi antara infrastruktur dan suprastruktur masyarakat atau kontradiksi antara dua aspek infrastruktur (alat produksi dan hubungan produksi), tentu teori itu akurat penyampaiannya.

Tak dapat dipungkiri bahwa tujuan pendukung teori di atas dalam bentuknya yang seperti itu adalah mengatakan bahwa sebenarnya penyebab semua gerakan sejarah adalah kontradiksi dalam antara alat produksi dan hubungan produksi. Namun perhatian kita adalah keakuratan penyampaian teori itu, bukan bagaimana isi benak para pendukung teori itu.

Teori raksasa intelektual, terlepas dari fakta benar atau tidak, berhubungan langsung dengan filsafat sejarah atau faktor pen­dorong sejarah. Sejauh ini kita hanya memahami dua teori tentang kekuatan yang menggerakkan sejarah. Salah satunya adalah teori raksasa, yang menurut teori ini sejarah dibentuk oleh orang-orang cemerlang. Sesungguhnya, teori ini mengklaim bahwa sebagian besar anggota masyarakat atau hampir semua anggota masyarakat tak memiliki inisiatif, orisinalitas dan kemampuan memimpin. Mereka tak bisa membawa perubahan dalam masyarakat. Namun dari waktu ke waktu muncul minoritas sangat kecil yang luar biasa imajinatif dan kreatif. Mereka mengambil inisiatif, membuat rencana, mengambil keputusan dan menarik dukungan orang. Dengan begitu mereka menciptakan perubahan. Orang-orang heroik ini merupakan produk dari fenomena yang luar biasa, baik fenomena alamiah maupun turun-temurun, namun bukan produk kondisi sosial atau kebutuhan material masyarakat.

Teori keduanya adalah teori kontradiksi antara infrastruktur dan suprastruktur masyarakat. Teori ini tepatnya dapat disebut teori motivitas ekonomi. Ini sudah dibahas, jadi tak perlu dibahas lagi.

Ada teori ketiga, yaitu teori kekhasan bawaan. Fitrah manusia adalah sedemikian sehingga dia memiliki kekhasan bawaan termini yang membuat kehidupannya evolusioner. Salah satu kekhasan ini adalah kemampuannya menghimpun dan melestarikan pengalaman. Apa pun pengetahuan dan informasi yang didapat manusia melalui pcngalamannya, dia simpan dalam pikirannya, dan dia gunakan sebagai basis bagi pengalamarinya lebih lanjut.

Kekhasan lain manusia adalah manusia mampu belajar melalui lisan dan tulisan. Melalui lisan dan tulisan, manusia dapat me­nyampaikan pengalamannya. Pengalaman satu generasi disimpan demi kependngan generasi selanjutnya melalui lisan dan tulisan, dan dengan demikian pengalaman manusia terus terakumulasi. Itulah sebabnya Al-Qur'an memandang sangat penting lisan dan tulisan. Al-Qur'an mengatakan:

Yang Maha Pemurah telah mengajarkan Al-Qur'an. Dia mencipta-kan manusia. Mengajarnya pandai berbicara. (QS. ar-Rahmân: 1-4)

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dan segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paUng pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena. (QS. al-'Alaq: 1-4)

Kekhasan ketiga pada diri manusia adalah manusia diberi kekuatan akal dan inisiatif. Melalui kekuatan misterius ini manusia dapat menciptakan sesuatu, karena manusia adalah perwujudan kekuatan kreatif Allah. Kekhasan keempat pada diri manusia adalah manusia memiliki hasrat bawaan untuk melakukan sesuatu yang orisinal. Dengan kata lain manusia bukan saja memiliki kemampuan kreatif, namun juga dapat menciptakan sesuatu bila diperlukan. Bukan saja itu, kecenderungan untuk mencipta ini sudah tertanam dalam karakter esensialnya.

Kemampuan manusia untuk mengingat dan menyimpan pengalaman, kemampuannya untuk menyampaikan pengalaman, dan kecenderungan bawaannya untuk mencipta, semuanya itu merupakan kekuatan yang selalu mendorong kemajuan manusia. Pada diri binatang tak ada kemampuan untuk mengingat pe­ngalamannya dan menyampaikan pengalamannya kepada binatang lain,[1] tak ada orisinalitas dan inisiatif, juga tak keinginan kuat untuk mencipta. Itulah sebabnya kenapa binatang statis sedangkan manusia bergerak main. Kini akan kita telaah teori-teori ini.

Peran Personalitas dalam Sejarah

Sebagian orang menyatakan bahwa sejarah merupakan pergulatan antara kemampuan mencipta dan batas-batas wajar. Orang kebanyakan mendukung situasi yang sudah biasa bagi mereka, sedangkan orang jenius ingin mengganti situasi yang ada dengan situasi yang lebih baik. Carlyle mengklaim bahwa sejarah diawali oleh orang jenius dan pahlawan. Sesungguhnya teori ini didasarkan pada dua anggapan:

Pertama, masyarakat tidak memiliki karakter esensial dan personalitas. Individu-individu yang membentuk masyarakat tidak melahirkan satu senyawa yang nyata. Antara individu yang satu dan individu yang lainnya tak ada ketergantungan. Mereka berbuat dan bereaksi, namun mereka tidak membentuk satu senyawa yang ada jiwa kolektifnya sendiri, personalitas, karakter esensial dan hukum-hukum khasnya sendiri. Mereka semua memiliki mentalitas dan pola berpikirnya sendiri-sendiri. Semua individu ini sama hubungannya dengan masyarakat, seperti pepohonan dengan hutan. Peristiwa sosial tak lain adalah total dari peristiwa individual. Karena itu masyarakat terutama diatur oleh sebab-sebab universal dan umum.

Kedua, manusia diciptakan sedemikian rupa sehingga manusia yang satu dengan manusia lainnya ada perbedaan. Meskipun pada umumnya manusia, menurut terminologi filosof, adalah binatang yang berpikir, namun hampir semua manusia tak memiliki daya cipta dan kreativitas. Kebanyakan manusia adalah konsumen budaya dan peradaban, bukan produsennya. Dalam hal ini manusia beda dengan binatang hanya karena binatang tak dapat menjadi konsumen budaya. Semangat mayoritas adalah semangat meniru, mengadopsi begitu saja dan memuja pahlawan.

Namun minoritas sangat kecil manusia adalah pahlawan, orang jenius, pemikir hebat, yang bersemangat mencipta dan kreatif, dan yang kuat kemauannya. Mereka beda dengan mayoritas. Kalau saja tak ada pahlawan dan orang yang jenius di bidang ilmu pcngctahuan, filsafat, seni, politik, sosial, etika dan teknik, tentu umat manusia tak akan melangkah maju dan tentu akan statis dan kondisinya akan seperti pada awal eksistensinya. Dari sudut pandang kami. anggapan-anggapan ini lemah. Mengonai anggapan pertama, ketika membahas masyarakat sudah dibuktikan bahwa masyarakat ada personalitas, karakter esensial, hukum dan normanya sendiri, dan semua kcjadian berlangsung menurut tradisi umumnva. Tradisi ini sendiri progresif dan evolusioner. Karena itu harus dikesampingkan anggapan ini dan kemudian dilihat apakah—meskipun fakta menunjukkan bahwa masyarakat ada personalitas, karakter esensial dan tradisinya sendiri—personalitas individu dapat berperan dalam peristiwa demi peristiwa. Masalah ini akan dibahas nanti. Mengenai anggapan kedua, kendatipun tak dapat dinafikan bahwa manusia diciptakan sedemikian rupaya sehingga manusia yang satu dengan manusia yang lain ada perbedaannya, namun salah kalau mengatakan bahwa hanya pahlawan dan orang jenius saja yang memiliki daya kreatif sedangkan yang lainnya konsumen budaya dan peradaban. Sesungguhnya semua manusia kurang lebih memiliki kemampuan kreatif, sehingga semua orang atau setidak-tidaknya kebanyakan dapat ikut dalam aktivitas produktif dan kreatif, meski­pun andil mereka tidak seberarti andil orang jenius.

Berbeda sekali dengan teori bahwa tokoh menciptakan sejarah, ada teori lain yang menyatakan bahwa sejarahlah yang menciptakan tokoh. Dengan kata lain, sesungguhnya kebutuhan sosial yang ada itulah yang menciptakan tokoh. Montesquieu mengatakan, "Orang besar dan peristiwa penting merupakan tanda dan akibat dari peristiwa yang lebih penting dan lebih besar." Hegel berkata, "Orang besar tidak menciptakan sejarah, melainkan membidaninya." Orang besar merupakan simbol, bukan penyebabnya. Menurut pemikiran orang-orang yang, seperti Durkheim, percaya bahwa semangat kolektif merupakan hal pokoknya, dan bahwa individu-individu seperti itu sama sekali tak memiliki personalitas dan mereka meminjam personalitas mereka dari masyarakat, maka individu-individu seperti tokoh-tokoh besar tak lain adalah perwujudan semangat kolektif masyarakat. Dalam kata-kata Mahmud Syabistari, mereka adalah kasa jendela semangat kolektif.

Dari sudut pandang orang-orang yang seperti Marx menganggap persepsi individu sebagai perwujudan kebutuhan material kolektif, tokoh tak lain hanyalah perwujudan kebutuhan material dan ekonomi masyarakat.

Catatan Kaki:

[1] Sebagian binatang dapat berbagi pengetahuan, namun hanya pada tataran kejadian sehari-hari, bukan pada tataran pengalaman ilmiah. Al-Qur'an juga mengisyaratkan fakta ini ketika mengatakan: Hingga apabila mereka (tentara Sulaiman) sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, "Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarangmu, agar kamu lidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari. " (QS. an-Naml: 18)




BAB 30 - Imamah dan Khilaf ah
Kepemimpinan

Pembahasan mengenai masalah Imamah bisa menimbulkan pertanyaan tertentu yang mengungkapkan keraguan atau keberatan pembaca. Di sini kami kemukakan pandangan kami mengenai pertanyaan itu. Dalam hal ini pertanyaan utamanya hanya ada dua:
Pertama, setiap bangsa berupaya memproyeksikan poin-poin positif sejarahnya, dan sejauh mungkin ingin menyembunyikan kelemahannya. Peristiwa yang dapat membanggakan lembaga atau ideologi dianggap sebagai tanda autentisitas dan kebenarannya, sedangkan peristiwa yang tidak menyenangkan yang terjadi dalam sejarahnya menimbulkan keraguan tentang autentisitasnya dan dianggap sebagai tanda kelemahan daya kreatifnya. Karena itu, pembahasan mengenai masalah Imamah dan Khilafah, khususnya penyebutan berulang-ulang peristiwa kelam yang terjadi pada periode Muslim awal dapat mengurangi semangat keagamaan generasi baru, yang baru menghadapi krisis spiritual. Di masa lalu pembahasan seperti itu bisa memberikan hasil yang dikehendaki dan membawa perhatian kaum Muslim dari satu mazhab ke mazhab lain. Namun di zaman sekarang, melemahkan asas-asas iman. Kalau pihak lain menyembunyikan aspek-aspek kelam sejarah mereka, kenapa kita, kaum Muslim, mencoba membeberkan aspek-aspek kelam sejarah kita dan bahkan memperbesarnya?

Kami tidak sependapat dengan pandangan di atas. Menurut kami, kalau telaah atas sejarah berarti membeberkan peristiwa-peristiwa yang tak diinginkan saja, maka efeknya akan buruk seperti disebutkan di atas. Namun juga fakta kalau kita tetap puas dengan hanya incnggambarkan aspek-aspek cemerlang sejarah kita dan menyembunyikan peristiwa-peristiwa tak menyenangkan, itu berarti mcndistorsi sejarah, bukan menelaahnya.

Pada dasarnya sejarah tak bersih dari peristiwa kelam. Sejarah setiap bangsa, dan pada dasarnya sejarah umat manusia, merupakan himpunan peristiwa menyenangkan dan tidak menyenangkan. Pasti begitu. Allah menciptakan manusia sedemikian sehingga manusia tidak bebas dari dosa. Perbedaan yang terjadi pada sejarah berbagai bangsa, komunitas dan agama terletak pada proporsi peristiwa menyenangkan dan tidak menyenangkan, bukan pada fakta bahwa mereka, hanya memiliki peristiwa menyenangkan saja atau tidak menyenangkan saja.

Al-Qur'an dengan bagus mengungkapkan fakta bahwa manusia memiliki poin baik dan poin buruk. Ringkasnya, Allah memberitahu para malaikat mengenai niat-Nya untuk menciptakan satu khalifah (Adam). Para malaikat yang hanya tahu poin-poin lemah makhluk baru terkejut dan ingin tahu kenapa Allah berbuat seperti itu. Allah mengatakan kepada mereka bahwa Dia tahu poin baik dan poin buruk makhluk itu, dan bahwa mereka tidak mengetahui semua kekhasan makhluk itu.

Jika kita melihat sejarah Islam dari sudut pandang peristiwa yang memanifestasikan irnan dan nilai-nilai manusiawi, maka kita akan tahu betapa itu tak ada bandingannya. Sejarah Islam penuh dengan perbuatan heroik. Sarat dengan kecemerlangan dan keunggulan manusiawi. Eksistensi beberapa titik kelam tidak merusak keindahan dan kemuliaannya. Tak ada bangsa yang bisa mengklaim bahwa sejarahnya berisi peristiwa-peristiwa yang lebih cemerlang dibanding sejarah Islam, atau bahwa peristiwa kelam yang terjadi dalam sejarah Islam lebih banyak dibanding peristiwa kelam yang terjadi dalam sejarahnya sendiri.

Seorang Yahudi, yang ingin membuat murka dan sakit hati Imam Ali bin Abi Thalib as dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam periode awal Islam berkenaan dengan masalah kekhalifahan, berkata, "Anda memakamkan Nabi Anda persis pada saat mulai terjadinya perselisihan tentangnya." Betapa bagus jawaban Imam Ali, "Anda salah. Kami tidak memperselisihkan Nabi itu sendiri. Kami hanya berselisih soal petunjuk yang karni terima darinya. Namun kaki Anda belum kering dari air laut ketika Anda mengatakan kepada Nabi Anda, 'Tunjukkan bagi kami Tuhan yang seperti Tuhanrtuhan mereka.' Dia berkata, 'Kamu adalah orang yang bodoh."' (Nahj al-Balâghah)

Imam Ali as bermaksud mengatakan, "Perselisihan kami bukan mengenai prinsip-prinsip tauhid dan kenabian. Namun mengenai apakah Al-Qur'an dan Islam telah menyebutkan orang tertentu yang menjadi penerus Nabi saw, atau umat yang berhak memilih penerus Nabi saw. Kamu, kaum Yahudi, justru pada saat Nabi kamu masih hidup sudah melontarkan pertanyaan yang bertentangan sekali dengan agama kamu dan ajaran Nabi kamu."

Meskipun misal saja dalam kasus-kasus biasa dibolehkan mengabaikan peristiwa kelam sejarah, namun mana benar kalau mengabaikan masalah paling asasi yang mempengaruhi nasib masyarakat Islam, yaitu masalah kepemimpinan Islam. Mengabai­kan masalah seperti itu berarti mengabaikan kesejahteraan kaum Muslim. Lagi pula, merupakan fakta bahwa sebagian hak sejarah telah dilanggar, dan orang-orang yang berhak atas hak-hak ini adalah tokoh-tokoh paling saleh kaum Muslim, maka mengabaikan fakta-fakta sejarah ini berarti kerja sama antara lidah dan pena di satu pihak, dan pedang kezaliman di pihak lain.
Kedua, pembahasan seperti itu tak sesuai dengan kewajiban menciptakan persatuan Islam. Semua bencana yang menimpa kaum Muslim terjadi karena perselisihan sesama Muslim. Perselisihan seperti inilah yang melemahkan kekuatan Muslim, merusak martabat kaum Muslim, dan menyebabkan kaum Muslim tunduk kepada bangsa asing. Senjata paling ampuh yang ada di tangan kolonialisme, entah lama atau baru, adalah mengobarkan konflik lama ini. Di semua negara Muslim, tanpa kecuali, abdi kolonialisme sibuk menciptakan perselisihan di kalangan kaum Muslim atas nama agama dan simpati kepada Islam. Bukankah kita sudah cukup menderita akibat perselisihan lama ini, sehingga janganlah membangkitkan perselisihan lama ini? Bukankah pem­bahasan seperti itu berarti membantu kolonialisme?

Untuk menjawab kritik ini, perlu dikemukakan bahwa tak dapat dipungkiri bahwa persatuan memang sangat penting bagi kaum Muslim, dan bahwa konflik lama ini merupakan penyebab utama segala problem di dunia Muslim. Memang musuh selalu siap mengeksploitasi perselisihan ini. Namun kelihatannya pihak pengecam salah memahami konsep persatuan Muslim. Persatuan Muslim, yang menjadi pokok pembicaraan di kalangan ulama dan orang-orang Muslim yang pandangannya tercerahkan, tidak berarti bahwa mazhab-mazhab Muslim harus mengabaikan rukun iman dan rukun Islam mereka demi persatuan, mengambil ciri yang menjadi ciri semua mazhab, dan mengesampingkan kekhasan mazhab. Mana mungkin begini padahal ini tidak logis dan tidak praktis. Mana mungkin pengikut sebuah mazhab diminta mengabai­kan, demi menjaga persatuan Islam dan Muslim, keyakinan atau prinsip praktis yang dianggapnya sebagai bagian dari struktur asasi Islam? Permintaan seperti itu berarti mengabaikan satu bagian dari Islam dengan mengatasnamakan Islam.

Ada cara lain untuk meyakinkan orang agar mengikuti prinsip atau tidak. Cara yang paling alamiah adalah meyakinkan orang dengan menggunakan argumentasi logika. Iman bukanlah masalah sesuatu yang direkomendasikan atas dasar alasan praktis, juga tak dapat dipaksakan atau tak dapat dicabut dari had orang seenaknya.

Kami, kaum Syiah, bangga mengikuti orang-orang terpilih keturunan Nabi saw. Kami menganggap tidak dapat dikompromikan setiap sesuatu yang dianjurkan atau dilarang oleh para imam. Dalam hal ini kami tidak mau memenuhi harapan siapa pun, kami juga tak mengharapkan orang lain meninggalkan prinsipnya atas nama kebijaksanaan atau demi persatuan Muslim. Yang kami harapkan dan inginkan adalah terciptanya atmosfer kemauan baik, sehingga kami, yang memiliki fiqih, hadis, tradisi, teologi, filsafat, tafsir dan literatur sendiri, dapat menawarkan barang-barang kami sebagai barang-barang terbaik, sehingga kaum Syiah tak lagi diisolasikan, sehingga pasar-pasar penting dunia Muslim tidak tertutup bagi informasi penting pengetahuan Islam Syiah.

Mengambil segi-segi Islam yang ada pada semua mazhab, dan menolak kekhasan mazhab, bertentangan dengan konsensus di kalangan kaum Muslim, dan produk dari sikap ini adalah sesuatu yang benar-benar tidak Islami, karena kekhasan mazhab merupa-kan bagian pokok dari struktur Islam. Islam kehilangan kekhasannya, sehingga ciri-ciri khasnya tak ada. Di antara orang-orang yang mengemukakan gagasan mulia persatuan Islam di zaman kita, yang paling menonjol adalah almarhum Ayatullah Burujerdi dari kalangan Syiah, dan Allamah Syaikh Abdul Majid serta Allamah Syaikh Mahmud Syaltut dari kalangan Sunni. Namun pandangan seperti itu tentang persatuan Islam tak pernah ada dalam pikiran mereka. Semua yang diperjuangkan orang-orang alim ini adalah agar berbagai mazhab, meskipun berbeda teologinya, alas dasar banvaknya kesamaan di antara mazhab-mazhab, membentuk fron bersama untuk menghadapi musuh-musuh berbahaya Islam. Orang-orang alim ini tak pernah, dengan mengatasnamakan persatuan Islam, mengusulkan ketunggalan religius yang tidak praktis.

Sesungguhnya ada perbedaan teknis antara kelompok bersatu dan fron bersatu. Untuk kelompok bersatu, semuanya harus sama ideologinya dan harus sama pola pikirnya dalam semua masalah kecuali urusan pribadi, sedangkan untuk fron bersatu, berbagai kelompok, sekalipun berbeda ideologinya, dengan menggunakan kesamaan yang ada di antara mereka, membentuk fron bersama untuk menghadapi musuh bersama. Membentuk fron bersama untuk menghadapi musuh bersama selaras dengan membela ideologi dan mengajak orang dari fron ini untuk juga membela ideologi. Konsepsi utama almarhum Ayatullah Burujerdi adalah memuluskan jalan bagi penyebaran pengetahuan orang-orang pilihan keturunan Nabi saw di tengah-tengah saudara-saudara Sunninya. Dia percaya bahwa ini mustahil tanpa adanya kemauan baik dan pengertian. Sukses yang diraihnya dalam publikasikan sebagian buku teologi Syiah di Mesir oleh orang Mesir sendiri merupakan salah satu prestasi terpenting ulama Syiah. Semoga Allah menganugerahinya pahala atas jasanya untuk Islam dan kaum Muslim.

Namun, memperjuangkan tesis persatuan Islam tidak berarti harus merasa tak enak membeberkan fakta-fakta. Yang harus dihindari adalah melakukan sesuatu yang dapat melukai perasaan dan sentimen pihak lain. Mengenai diskusi ilmiah, ini ada kaitannya dengan bidang logika dan akal, bukan dengan bidang sentimen dan perasaan. Untungnya di zaman kita banyak ulama Syiah yang mengikuti kebijakan sehat ini. Yang paling menonjol adalah Ayatullah Sayid Syarafuddin Amili, Ayatullah Kasyiful Ghita, dan Ayatullah Syaikh Abdul Husain Amini, penulis kitab penting "al-Ghadir".

Berbagai peristiwa dalam kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib as dan kebijakan yang dianutnya, yang sekarang nyaris terlupakan dan jarang disebut-sebut, merupakan contoh tepat dalam hal ini. Imam Ali as tetap membicarakan haknya dan mengklaim hak itu. Imam Ali as tidak segan-segan memprotes orang-orang yang telah merampas haknya itu. Perhatiannya yang besar kepada persatuan Islam tidak mencegahnya bersuara terus terang. Banyak khotbahnya dalam "Nahj al-Balâghah " memperkuat fakta ini. Kendatipun mengeluh. Imam Ali as tetap berada dalam barisan kaum Muslim, berjuang mclawan musuh-musuh kaum Muslim. Imam Ali as ambil bagian dalam salat Jumat dan salat berjamaah lainnya. Dia mendapat bagiannya atas barang rampasan pada zaman itu. Dia selalu mcmberikan nasihat yang tulus kepada Khalifah, dan termasuk penasihat Khalifah.

Ketika perang kaum Muslim dengan bangsa Iran, Khalifah bermaksud turun langsung dalam pertempuran. Imam Ali bin Abi Thalib as mengatakan kepada Khalifah: "Jangan ke medan tempur, karena selama Anda berada di Madinah, musuh akan mengira bahwa meskipun semua tentara Muslim kalah, Anda akan mengirimkan tentara lagi dari pusat. Namun jika Anda turun langsung ke medan tempur, musuh akan mengatakan, Inilah penopang utama bangsa Arab. Kemudian mereka akan mengerahkan segenap kekuatan untuk membunuh Anda. Dan jika Anda terbunuh, semangat juang kaum Muslim akan hancur lebur." (Nahj al-Balâghah, khotbah 146)

Itulah kebijakan yang selalu dijalankan Imam Ali as. Imam Ali as tak pernah mendapat jabatan dalam pemerintahan Khalifah. Dia tak mau menjadi komandan militer, gubernur, Amir al-Haj, juga tak menerima jabatan lain seperti itu, karena kalau menerima, berarti mengingkari klaimnya sendiri yang kuat. Dengan kata lain, me­nerima pos resmi berarti lebih dari sekadar kerja sama dan menjaga persatuan Islam. Meskipun dia sendiri tak menerima jabatan apa pun, namun dia tidak mencegah famili dan sahabatnya untuk menerima jabatan-jabatan seperti itu, karena hal itu tidak berarti menyetujui kekhalifahan.

Perilaku Imam Ali as dalam hal ini sangat elegan dan menunjukkan dedikasinya kepada tujuan-tujuan Islam. Sementara orang lain melakukan tindakan memecah belah, Imam Ali as justru melakukan tindakan mempersatukan umat. Kalau orang lain mencabik-cabik, Imam Ali bin Abi Thalib as justru merajutnya. Abu Sofyan berupaya memanfaatkan tidak berkenannya Imam Ali as. Abu Sofyan yang sok bersikap menginginkan kebaikan bagi Imam Ali as dan mencoba melampiaskan dendamnya kepada penerus Nabi saw ini, namun Imam Ali as cukup pandai untuk tidak terkecoh tipu daya Abu Sofyan. Dengan tangannya sendiri, Imam Ali as menepuk dada Abu Sofyan sebagai tanda menolak tawaran-nya, kemudian meninggalkannya. (Nahj al-Balâghah, khotbah 5)

Orang-orang Abu Sofyan dan Huyai ibn Akhtab selalu sibuk dengan rencana jahat mereka. Informan orang-orang Hayy ibn Akhtab terlihat dalam banyak kejadian. Kaum Muslim, khususnya kaum Syiah, berkewajiban menjaga tradisi Imam Ali as dalam hal ini di depan mata mereka, dan jangan sampai terkecoh tipu daya orang-orang Abu Sofyan dan Huyai ibn Akhtab.

Inilah penentangan orang-orang yang tidak menyukai masalah imamah, dan inilah jawaban kami untuk mereka. Yang mengherankan adalah ada juga orang yang penentangannya bertentangan sekali dengan penentangan ini. Kelompok ini menginginkan masalah kepemimpinan Islam menjadi masalah rutin. Yang diinginkannya adalah masalah ini selalu dibicarakan dan diulang-ulang seperti slogan. Namun kelompok ini tak tertarik membahasnya secara ilmiah. Yang diinginkannya adalah agar perasaan tetap tegang, namun tidak berminat memuaskan dahaga intelektual atau pikiran yang tajam. Dan itulah keinginan musuh. Kalau masalah ini dibahas secara ilmiah, justru tak ada alasan untuk menjadikannya sebagai aktivitas.

Imamah dan Logika Dialektika

Petikan dan Catalan Kaki

Logika dialektika membantah bila masyarakat membutuhkan bimbingan atau kepemimpinan. Menurut logika ini, paling banter masyarakat membutuhkan intelektual dan pemimpin untuk menyadarkan massa akan diskriminasi, kontradiksi dan ketidakadilan, sehingga dapat terjadi gerakan dialektika. Karena gerakan ini tak dapat ditolak, maka perjalanan dari tesis dan antitesis ke sintesis tak terelakkan. Karena itu masyarakat otomatis melintasi jalannya, dan pada akhirnya mencapai kesempurnaan.

Tulisan[1] berjudul "Kepemimpinan, Imamah dan Dialektika" mengatakan: "Salah satu masalah penting berkenaan dengan kepemimpinan dan Imamah, khususnya konsepsi Islam tentang Imamah, adalah: Bagaimana peran apa yang disebut intelektual itu? Apakah tugas dan tanggung jawabnya sekadar menjelaskan ketidakadilan dan diskriminasi, membangkitkan kesadaran kelas tereksploitasi, dan mcnanamkan adanya kontradiksi kelas di benak massa yang papa? Betulkah kalau massa menyadari kontradiksi yang ada, maka otomatis dan secara dialektis masyarakat bergerak maju?"

Faktanya adalah bahwa masyarakat terutama membutuhkan kepemimpinan, bimbingan dan Imamah. Perkembangan bukanlah hasil pokok dari kontradiksi. Tidak mungkin ada perkembangan kalau tak ada bimbingan dan kepemimpinan. Dr. Ali Syariati, dalam halaman-halaman terakhir buku kecilnya, "Dari Mana Dimulai", membahas masalah ini dengan terperinci di bawah judul "Tanggung Jawab dan Misi Intelektual. Dia mengatakan: "Ringkasnya, tanggung jawab intelektual adalah menyadarkan orang akan ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakatnya. Kemudian masyarakat melakukan gerakannya sendiri."

Namun, setelah beberapa baris dia membuat pernyataan yang bertentangan dengan pernyataan di atas, dan mendukung kebutuhan masyarakat akan bimbingan dan kepemimpinan. Dr. Ali Syariati mengatakan, "Ada asumsi bahwa, dari sudut pandang ke­pemimpinan, intelektual tak memiliki tanggung jawab. Kontradiksi dialektika memilih jalannya sendiri. Tugas intelektual hanyalah menjelaskan kontradiksi dan mendorong kelas papa untuk melawan kelas penguasa."[2]

Namun baru beberapa baris saja, dia lalu bicara soal "Menemukan solusi dan ideal-ideal umum masyarakat, dan menanamkan antusiasme serta perasaan seiman...." Pernyataan ini bertentangan dengan teori bahwa masyarakat melakukan gerakannya sendiri. Ketika Syariati bicara tentang konsekuensi wajar yang sifatnya dialektis dari segi tiga tesis, anti-tesis dan sintesis, dan perkembangan yang tak terelakkan, dia konsisten, namun ketika melontarkan pernyataan berikutnya, bicaranya bertentangan dengan hipotesisnya sendiri.

Kepemimpinan dan Perlindungan untuk Agama

Para teolog akademis banyak menekankan bahwa imam melindungi dan menjaga iman dan agama. Barangkali ada asumsi bahwa imam melindungi agama seperti orang melindungi gedung terdahap kemungkinan rusak akibat hujan, angin, dan seterusnya. Karena itu tampaknya tak perlu gedung yang dibangun oleh arsitek andal dijaga oleh orang yang kecakapannya hampir menyamai arsiteknya. Misal, tak pernah dirasakan perlu adanya beberapa orang setingkat orang-orang yang menciptakan Masjid Syah, Ali Qapu, kubah Masjid Syaikh Lutfullah, prasasti Bayasanqari Masjid Gauhar Syad, tulisan Mir dan Bayasanqari, Al-Qur'an tulisan tangan dan mahakarya lainnya. Namun faktanya adalah bahwa sesuatu yang merugikan agama bukanlah soal sepele. Menurut prinsip psikologis dan sosiologis, begitu gerakan revolusi meraih sukses dan musuh sudah putus asa untuk melanjutkan konfrontasi langsung, musuh pun tidak lagi terang-terangan menentang gerakan revolusi. Dan berdasarkan penilaiannya tentang keuntungannya sendiri, musuh terkadang ikut dalam barisan gerakan, bukan karena memang mau masuk dalam gerakan, namun semata-mata dengan maksud mengeksploitasi kesuksesan gerakan. Musuh memanfaatkan gerakan untuk kepentingannya sendiri dan tetap tidak mempercayai semangat, jiwa dan tujuan gerakan. Itulah yang terjadi selama gerakan konstitusi di Iran.

Para penentang gerakan konstitusi ikut dalam barisan gerakan, dan pura-pura menjadi pendukung gigih gerakan. Ayanuddaulah dan Sadr al-Asyraf masing-masing menjadi perdana menteri pemerintahan bentukan gerakan konstitusi. Orang-orang seperti itu bukan saja memelihara aspek-aspek lahiriah gerakan, namun juga mencoba memberinya hiasan lebih lanjut. Namun mereka menghancurkan jiwa gerakan, realitas dan inti gerakan, dan mengosongkan gerakan dan dalam. Mengutip kata-kata Imam Ali as, dalam proses ini "Islam dijungkir balikkan seperti belanga." (Nahj al-Balâghah, khotbah 103)

Dengan demikian mereka menyimpangkan gerakan dari jalannya yang benar, melestarikan bentuk lahiriahnya namun mengganti isi dan karakter asasinya. Karena sebagian besar orang hanya melihat segala sesuatu dari permukaannya saja, maka mereka tetap senang dan puas, karena mereka melihat aspek-aspek lahiriah gerakan masih aman. Mereka tidak menyadari bahwa dasar-dasar gerakan sudah hancur. Di sinilah dibutuhkan pemikiran yang matang dan telaah mendalam. Ketika Imam Ali as berkata, "Dalam setiap generasi ada penerus-penerus tan pa cela yang menjaga kita dari penyimpangan kaum fanatik dan kepura-puraan kaum pendusta," penerus-penerus tan pa cela yang dimaksud Imam Ali as adalah para imam atau ulama-ulama tulus yang menjaga iman umat kepada para imam.

Dapat disebutkan bahwa perjuangan melawan penyimpangan dalam agama bukan saja perjuangan melawan pelanggaran terang-terangan atas hukum atau melawan sesuatu yang tak ada kaitannya dengan agama yang sengaja dimasukkan ke dalam agama. Ter­kadang cara berpikir orang berkenaan dengan agama sudah begitu menyimpang sehingga mereka miilai tidak menyukai pemikiran yang bcnar. Yang ingin kami tekankan adalah tak ada ketakutan bahwa Islam akan dirusak dari luar dunia Muslim. Al-Qur'an mengalakan, "Mereka yang kafir sekarang sudah putus nsa untuk merusak agamamu. Karena itu, jangan takut mereka. Namun takutlah kepada-Ku." Namun Islam masih menghadapi ancaman, yaitu dari dalam. Dalam hubungan ini, ancaman terbesar bukan datang dari orang-orang yang melakukan dosa karena memperturutkan hawa nafsu dan seterusnya, melainkan dari kemunafikan orang-orang yang tak berani terang-terangan menentang Islam. Mereka ini memakai topeng Islam, dan mencoba mendapatkan tujuannya dengan berkedok cara hidup Islami. Mereka membuang isi Islam, membiarkan bentuknya, dengan mengubah jalannya dan tujuannya, dan dengan mengganti maknanya.[3] Orang-orang Muslim yang bodoh supaya menyadari tipuan jahat kelompok ini.


Catatan Kaki:

[1] Silakan merujuk ke catatan kaki kami di buku kecil ini, hlm. 39.

[2] Dalam salah satu catatan kakinya di buku kecil ini, hlm. 39.

[3] Dalam tulisannya mengenai "Perubahan Al-Qur'an", penulis mengatakan bahwa distorsi makna menunjukkan upaya memperiahankan susunan kata yang digunakan Al-Qur'an, meski salah menjelaskannya seperti, menurut sebuah kisah terkenal, dilakukan Muawiyah ketika salah mehafsirkan susunan kata prediksi berkenaan dengan kematian Ammar ibn Yasir. Contoh lain distorsi makna adalah salah tafsir terhadap ayat: "Tak ada hukum (keputusan) kecvali oleh Allah. " (QS Yusuf: 90) Berdasarkan ayat ini kaum Khawarij mengangkat slogan: Inil hukmu illalillah (Tak ada keputusan kecuali oleh Allah). Mengulas slogan ini, Imam Ali berkata, "Kata-katanya benar, namun maknanya salah." (Lihat Nahj al-Balâghah, khotbah 40) Salah tafsir yang disengaja atau tidak disengaja ini menimbulkan begitu besar kemgian dalam sejarah Islam. Contoh lainnya adalah salah .tafsir terhadap hadis "Kalau kamu tahu (Allah), lakukan apa saja yang kamu mau."

22
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

BAB 31 - Imamah (Kepemimpinan)
Dalam tulisan-tulisannya berjudul "Catatan tentang Kepemimpinan dan Pemerintahan", penulis menjelaskan dengan sangat bagus perbedaan antara "kenabian" dan "imamah". Karena pemandu keagamaan atau nabi diangkat oleh Tuhan, maka tentunya begitu pula imam. Nabi Muhammad saw dan beberapa nabi lainnya adalah pemandu sekaligus pemimpin. Namun berakhirnya ke­nabian tidak berarti berakhirnya kepemimpinan ilahiah juga.

Catalan itu juga mengatakan bahwa imamah dan kenabian adalah dua misi yang berbeda dan dua kondisi yang berbeda. Keduanya sering dipisahkan. Banyak nabi hanya menyampaikan wahyu. Mereka bukan imam. Para imam ahlulbait Nabi saw bukanlah nabi. Namun, Ibrahim as dan Muhammad saw adalah Nabi sekaligus Imam. Al-Qur'an mengatakan:

Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia. (QS. al-Baqarah: 124)

Argumen kami bahwa Kenabian adalah bimbingan dan imamah adalah kepemimpinan, bersumberkan Al-Qur'an yang mengatakan:

Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah Allah). (QS. al-Mâ`idah: 99)

Namun kami tahu bahwa tugas seorang imam adalah mengawasi, memimpin dan memperhatikan orang-orang yang menerima kepemimpinannya. Menurut keyakinan Syiah, karena kenabian diangkat oleh Allah SWT, niaka begitu pula iniamah. Dalam hal ini lak ada bedanya antara kenabian dan iniamah. Nabi-nabi terkemuka adalah pemandu sekaligus pemimpin. Berakhirnya Kenabian berarti berakhirnya bimbingan ilahiah, dalam pengertian menunjukkan jalan dan menyampaikan risalah, namun kepeinimpinan ilahiah atau iniamah tak ada akhirnya.

Beda antara Bimbingan dan Kepemimpinan

Menurut sebuah definisi, pemimpin adalah orang yang membuat pengikutnya mudah mencapai tujuan. Di satu pihak pembimbing atau pemandu bukan saja menunjukkan jalan, namun juga sering kali memberikan sarana untuk melintasi jalan itu dan mencapai tujuan. Sesungguhnya seseorang bisa saja mengemban jabatan pemandu dan pemimpin sekaligus, atau hanya mengemban satu jabatan saja. Seperti sudah kami kemukakan, kenabian merupakan bimbingan, sedangkan imamah merupakan kepemimpinan. Se­seorang bisa saja menjadi pemandu dan pemimpin sekaligus. Juga bisa saja hanya menjadi pemandu saja, tidak menjadi pemimpin, seperti para dai sejati kita. Mereka bergerak ke dan tetap dalam posisi tertentu, serta menunjukkan apa saja yang membahayakan manusia. Tanggungjawab mereka berakhir di situ. Juga seseorang bisa saja menjadi pemimpin, bukan pemandu. Itu terjadi bila jalannya sudah diketahui dan tujuannya sudah jelas. Dalam kasus ini dibutuhkan seorang pemimpin untuk membangkitkan kekuatan-kekuatan potensial, untuk memobilisasinya dan untuk memajukannya. Juga bisa saja seseorang menjadi pemimpin dan pemandu sekaligus.

Imamah Para Imam dan Hadis Tsaqalain

Hadis Tsaqalain adalah hadis autentik yang banyak sekali perawinya dari kalangan Syiah maupun Sunni. Menurut hadis ini, Nabi saw diriwayatkan bersabda: "Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat berat: Kitab Allah dan orang-orang pilihan dari keturunanku."[1]

Hadis ini biasanya digunakan sebagai mukadimah untuk kisah tentang kemalangan orang-orang pilihan keturunan Nabi saw. Para dai mengatakan, "Ini merupakan petunjuk Nabi saw, namun tepat pada saat beliau meninggal..."

Riwayat ini memberikan kcsan bahwa para anggota keluarga Nabi saw ditindas dan dibuat sama sekali tak efektif. Meskipun pengabdian mereka memang tidak dimanfaatkan sebagaimana semestinya, namun tak dapat dipungkiri bahwa kehadiran mereka luar biasa efektif dalam menjaga warisan Islam. Tentu saja pemerintahan maupun politik Islam pada saat itu menyimpang dari jalur yang benar, dan para anggota keluarga Nabi saw tak dapat memberikan pengabdian di bidang itu, namun mereka begitu melindungi dan menjaga agar warisan spiritual Islam dan Nabi saw tetap hidup, sehingga warisan spiritual Islam dan Nabi itu tetap aman sekalipun kekhalifahan Islam berangsur-angsur mengalami kehancuran.

Islam adalah prinsip hidup yang mencakup semua urusan duniawi maupun spiritual. Islam tak seperti mazhab seorang guru moral atau filosof yang hanya dapat memberikan kepada masyarakat beberapa buku dan beberapa murid. Islam, selain merupakan mazhab moral, mazhab budaya, dan sistem sosial-politik, juga merupakan prinsip hidup dan pola pikir yang baru. Islam praktis mewujudkan format-format baru. Islam menjaga jiwa dalam materi, yang gaib dalam yang kasat mata, akhirat dalam dunia, dan akhirnya substansi dalam kulit, dan kulit dalam substansi.

Penyimpangan pemerintah dari jalan yang benar menyebabkan lembaga kekhalifahan menjadi kulit belaka. Formalitas lahiriah tetap utuh, namun semangat kesalehan, kejujuran, keadilan, ketulusan, cinta, semangat melindungi ilmu dan pengetahuan tak ada, khususnya selama periode Umayah ketika pengetahuan sejati tidak disukai. Yang dianjurkan hanyalah puisi, adat pra-Islam dan bahasa berlebihan tentang leluhur. Hasilnya adalah politik dipisah­kan dari agama. Dengan kata lain, orang-orang yang mewakili warisan spiritual Islam tak dibolehkan berperan dalam urusan politik, dan orang-orang yang memegang kekuasaan politik tak mengenal jiwa Islam, dan hanya menjalankan formalitas lahiriah seperti salat berjamaah dan pengangkatan petugas untuk menjalan­kan tugas-tugas keislaman. Mereka adalah khalifah dan pemimpin kaum mukmin dalam nama saja. Pada akhirnya dualitas ini pun hilang, dan hilang pula formalitas lahiriah. Bentuk pemerintahan pun secara resmi berbentuk pemerintahan pra-Islam. Spiritualitas dan keagamaan dipisahkan total dari politik. Dari sini dapat dimengerti bahwa kemalangan paling menyedihkan yang menimpa Islam dimulai ketika agama dan politik dipisahkan. Meskipun pada masa Abu Bakar dan Umar agama dan poiitik, sampai pada tingkat tertentu, rnasih menyatu, namun benih-benih pemisahannya ditaburkan pada periode itu. Segala sesuatunya berkembang sedemikian rupa sehingga Umar melakukan berbagai kekeliruan dan Imam Ali bin Abi Thalib as meluruskannya. Untungnya Imam Ali as menjadi penasihat tetapnya, Karena pemisahan agama dan politik menjadi ancaman terbesar, maka orang-orang yang menghendaki kebaikan bagi Islam berupaya agar agama dan politik tetap menyatu. Hubungan antara keduanya ini adalah seperti hubungan roh dan tubuh. Tubuh dan roh serta kulit dan isi harus selalu menjadi satu. Kulit dibutuhkan untuk melindungi isi agar kuat. Islam memandang penting politik, pemerintah, undang-undang politik dan jihad, hanya dengan tujuan melindungi dan menjaga warisan spiritualnya, yaitu tauhid, supremasi nilai-nilai spiritual dan moral, keadilan sosial, persamaan hak dan perhatian terhadap sentimen manusia. Jika kulit dipisahkan dari isinya, maka isi akan rusak, dan kulit jadi tak ada gunanya.

Tindakan berani yang dilakukan para imam adalah melindungi warisan spiritual Islam. Mereka memisahkan dari Islam lembaga kekhalifahan sebagaimana adanya. Imam pertama yang melakukan tindakan berani adalah Imam Husain as. Perlawanannya menjelaskan bahwa Islam berarti saleh, mengakui Allah SWT dan berkorban diri demi Dia, bukan nilai-nilai yang dibawa oleh Kekhalifahan Umayah.

Kini mari kita lihat bagaimana makna warisan spiritual Islam, dan bagaimana para imam melindungi warisan ini. Al-Qur'an mengatakan:

Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah. (QS. al-Jumu'ah: 2)

Al-Qur'an juga mengatakan:

Supaya manusia dapat menegakkan keadilan. (QS. al-Hadîd: 25)

Lagi, Al-Qur'an mengatakan:

Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya. (QS. al-Ahzâb: 45)
Pertama, para imam mendorong orang untuk berbuat kebaikan dan untuk tidak melakukan dosa. Contoh paling ekstrem untuk tindakan seperti ini adalah pemberontakan Imam Husain as.

Kedua, para imam memperhatikan penyebaran pengetahuan. Contoh tindakan ini adalah Mazhabja'far ash-Shadiq as. Mazhab ini melahirkan ulama-ulama terkemuka seperti Hisyam, Zurarah dan Jabir ibn Hayyan.

Penyebaran pengetahuan juga dilakukan melalui "Nahj al-Balâghah", "Shahifah Sajjâdiyyah" dan perdebatan para imam, khususnya perdebatan Imam Ali Ridha as. Para imam terutama memperlihatkan kesalehan praktis, kezuhudan, tidak egois dan murah hati. Di malam hari para imam beribadah kepada Allah SWT. Mereka membantu si miskin dan si lemah. Mereka memiliki sifat-sifat Islami yang mulia seperti pemaaf, rendah hati dan murah hati. Kalau melihat mereka, orang jadi ingat kualitas-kualitas moral dan spiritual yang diajarkan oleh Islam dan Nabi saw. Imam Musa al-Kazhim as, meski sangat dekat dengan istana Harun, kalau malam melakukan ibadah-ibadah malam. Imam Ali Ridha as, ketika masih sebagai penerus sah yang klaimnya tidak dapat dikesampingkan dengan lahirnya penerus sah lainnya, mengatakan, "Allahnya semua orang sama, ayah mereka sama, dan ibu mereka sama. Tidak ada yang lebih unggul dari yang lain kecuali karena takwanya." Dia makan bersama tukang cukur dan penjaga pintu, dan bergaul dengan mereka.

Filsafat spiritual Islam adalah menjaga warisan moral dan spiritual Islam, dan menjaga isi Islam. Pemisahan spiritualitas dari politik sama saja dengan pemisahan isi dari kulitnya.

Imamah dan Hadis Tsaqalain

Pertama, substansi hadis ini adalah mutawatir (periwayatnya banyak sekali otoritasyang tak tercela—pen.). Susunan katanya bisa beragam, namun menurut sebagian besar riwayat, bunyinya seperti ini:

"Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat berat, Kitab Allah dan orang-orang pilihan dari keturunanku. Selama kalian mengikuti mereka, kalian tak akan pernah sesat. Mereka tak akan terpisahkan satu dari yang lain, sampai mereka datang kepadaku di telaga."

Dalam sebuah artikel yang dimuat dalam majalah "Risalah al-Islam", terbitan Dar at-Taqrib bayn al-Madzahib al-Islamiyyah, bunyi hadis ini begini:

"Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat berat, Kitab Allah dan sunahku." Segera atas saran almarhum Ayatullah Burujerdi, seorang ulama Qurh, bernama Syaikh Qiwamuddin Wisynawahi, menulis sebuah risalah berjudul "Hadils ats-Tsaqalain " dan mengirimkannya kepada Dar at-Taqrib yang kemudian menerbitkannya sebagai risalah tersendiri.

Dalam risalah itu sumber-sumber hadis ini adalah kitab-kitab hadis, tafsir Al-Qur'an, biografi, buku sejarah dan kamus, yang menyebutkan hadis ini dengan beragam alasan. Misal, dalam tafsir Al-Qur'an disebutkan dalam kaitannya dengan ayat, Kami akan menyelesaikanmu Wahai Tsaqalain, dengan ayat i'tishâm Surah Ali 'Imran ayat: 103, mawaddah Surah asy-Syûrâ ayat: 23, dan dengan tathhîr Surah al-Ahzâb ayat: 33. Dalam kamus disebutkan dalam hubungannya dengan akar kata tsaqal, dan seterusnya.
Kedua, dalam Al-Qur'an kata tsaqalain digunakan untuk menunjukkan manusia dan jin. Mari kita lihat bagaimana artinya dalam hadis ini.[2] Dalam kaitannya dengan hadis, ada beberapa poin yang patut disebutkan. Poin pertama adalah kenapa orang-orang pilihan keturunan Nabi saw disebut tsaqal? Poin kedua adalah kenapa Al-Qur'an disebut tsaqal besar sedangkan orang-orang pilihan keturunan Nabi saw disebut tsaqal kecil? Dalam sebagian riwayat ada kata-kata ini: "Satu di antaranya (tsaqal) lebih besar daripada yang satunya lagi." Nabi saw ditanya tentang apa yang dimaksudnya dengan tsaqalain. Nabi saw bersabda:

"Kitab Allah, yang satu ujungnya ada di tangan Allah, sedang­kan ujung lainnya ada di tanganmu, dan keturunanku yang adalah tsaqal kecil." Menurut riwayat tertentu Nabi saw menambahkan, "Mereka adalah dua tali yang tak akan putus sampai Hari Kebangkitan." Poin ketiga, poin yang penting dalam hubungan ini, adalah bahwa Nabi saw bersabda bahwa keduanya ini tak akan berpisah. Nabi tidak bermaksud mengatakan bahwa keduanya tak akan berpisah satu dari yang lain atau bahwa keduanya tak akan kecewa terhadap satu sama lain atau bahwa keduanya tak akan berselisih. Yang dimaksud adalah bahwa berpegang pada satu di antara keduanya tak dapat dipisahkan dari berpegang pada yang satunya lagi. Keduanya tak dapat dipisahkan oleh perkataan bahwa Al-Qur'an sudah cukup bagi kita, seperti dikatakan Umar pada masa awal Islam, atau oleh perkataan bahwa yang sudah diriwayatkan kepada kita dari Ahlulbait Nabi saw sudah cukup bagi kita, seperti dikatakan kaum Akhbari. Sebagian ulama Syiah berpendapat seperti ini.

Poin keempat adalah bahwa Nabi saw telah menjamin bahwa siapa pun yang sungguh-sungguh berpegang pada kedua tsaqal ini, maka tak akan pernah sesat dan tak akan merasa sedih. Kemunduran dan penyimpangan kaum Muslim dimulai ketika mereka mencoba memisahkan dua tsaqal ini.

Sekarang mari kita bahas kenapa Tuhan menyertakan sesuatu yang lain bersama Al-Qur'an yang dibawa Nabi saw. Masalah ini berkaitan dengan kedalaman dan ketinggian Al-Qur'an, sehingga hukumnya membutuhkan penafsir dan pengulas. Sebagai ilustrasinya dapat dikatakan bahwa terkadang kita mengimpor dari luar negeri barang-barang seperti kain, sepatu atau perkakas. Dalam kasus ini kita tak butuh orang menyertai barang-barang ini untuk menjelaskan cara menggunakan barang-barang ini. Kita dapat membuat pakaian dari kain, dapat menggunakan perkakas, dan dapat memakai sepatu. Namun terkadang kita mengimpor perangkat keras pabrik yang lengkap. Dalam kasus itu dibutuhkan ahli yang didatangkan bersama perangkat keras itu untuk memasangnya dan mengoperasikannya untuk waktu yang cukup lama sampai teknisi kita siap mengoperasikannya sendiri. Begitu pula, ketika peralatan modern diimpor, tentu harus disertai teknisi yang akan mengajarkan penggunaannya. Kita mendengar bahwa baru-baru ini Francis menjual pesawat mirage kepada Libya, namun konon pilot Libya baru dapat menerbangkannya sedikitnya setelah dua tahun.

Karena itu masalah kepemimpinan dalam pengertian otoritas keagamaan, yang disebut-sebut oleh Nabi saw dalam hadis autentik ini, tak lain hanyalah menekankan fakta bahwa belum cukup dengan hanya mengetahui bahasa Arab dalam pengertian nya yang biasa untuk dapat menafsirkan Al-Qur'an, untuk memahami maksud dan tujuannya, dan untuk menjelaskan nilai moral dan hukumnya. Kita tahu hadis yang mengatakan bahwa kamu akan melihat Tuhanmu pada Hari Kebangkitan ditafsirkan secara harfiah sebagai kamu melihat bulan ketika dalam keadaan purnama, dan penafsiran seperti ini telah melahirkan penyimpangan dan konsepsi yang menyifati Tuhan dengan bentuk dan personalitas manusiawi.

Mengatakan bahwa Al-Qur'an saja sudah cukup bagi kita, puncaknya adalah Asy'arisme atau Mu'tazilah, dan keduanya ini merupakan mazhab yang menyimpang. Dua belas imam kami adalah 'teknisinya' Al-Qnr'an. Ilmu mereka bukan tergolong ilmu dunia akal. Ilmu mereka didapat dari Tuhan, atau setidaknya didapat dengan cara khusus. Imam Ali bin Abi Thalib as pernah berkata kepada Kumail:

"Ilmu dengan pemahaman yang benar tak dinyana turun kepada mereka. Mereka mengalami kenikmatan keyakinan. Mereka merasa mudah apa yang dianggap sulit oleh orang yang hidup mewah, dan mereka akrab dengan apa yang ditakutkan oleh orang bodoh." (Nahj al-Balâghah, frase 146)

Imam Ali bin Abi Thalib as berkata:

"Orang-orang pilihan keturunan Nabi menjaga amanatnya dan menaati perintahnya. Mereka adalah khazanah ilmunya, oasis kearifannya, arsip Kitab-kitabnya dan penopang agamanya. Dengan bantuan mereka dia jadi tegak dan tenang. Umat (pengikut)-nya tak ada yang dapat dibandingkan dengan mereka. Orang-orang yang mendapat berkah mereka tak dapat disamakan dengan mereka. Mereka adalah basis agama dan poros iman. Kepada mereka kembali orang-orang yang sesat dan orang-orang yang tertinggal di belakang, bergabunglah dengan mereka untuk mendapatkan bimbingan dan keselamatan. Mereka sangat mampu dan tepat untuk menjadi pemimpin. Mereka adalah penerus-penerus absah Nabi yang telah mengamanatkan imamah kepada mereka." (Nahj al-Balâghah, khotbah 2)

"Melalui kami kalian akan dibimbing dalam kegelapan dan akan mampu menapakkan kaki di jalan besar. Dengan bantuan kami kalian dapat melihat cahaya fajar setelah sebelumnya berada dalam kegelapan malam. Tulilah telinga yang tidak mendengarkan seruan (nasihat) sang pemandu." (Nahj al-Balâghah, khotbah 4) (Khotbah ini disampaikan oleh Imam Ali bin Abi Thalib as setelah terbunuhnya Thalhah dan Zubair).

"Kalian baru dapat menaati perjanjian Al-Qur'an kalau kalian tahu siapa yang melanggarnya, dan kalian baru dapat menaatinya kalau kalian tahu siapa yang mencampakkannya. Karena itu carilah informasi tentang orang-orang yang mengerti ini, karena mereka adalah hidupnya ilmu dan matinya kebodohan. Dari pandangan mereka? kalian akan tahu pengetahuan mereka. Dari diamnya mereka kalian akan tahu bicaranya mereka, dan dari tampilan lahirah mereka kalian akan tahu perasaan batiniah mereka. Mereka tak pernah bertentangan dengan agama, pandangan mereka tentang agama satu. Karena itu agama adalah saksi sejati mereka dan juru bicara yang bisu." (Nahj al-Balâghah, khotbah 147)

(Kata-kata "mereka tak pernah bertentangan dengan agama" menunjukkan kemaksuman para imam, dan kata-kata "pandangan mereka satu" menunjukkan bahwa para imam memiliki pengetahuan yang dalam.

"Mereka adalah hidupnya pengetahuan dan matinya kebodohan. Kelembutan mereka menunjukkan pengetahuan mereka, dan diamnya mereka menunjukkan kearifan kata-kata mereka. Mereka tak bertentangan dengan kebenaran (karena mereka maksum), mereka tak berbeda pendapat tentang kebenaran (karena pengetahuan mereka sahih dan akurat). Mereka adalah pilar Islam dan tempat aman bagi Islam. Melalui mereka kebenaran kembali ke posisinya, kepalsuan tersingkirkan dan lidah kepalsuan terpotong. Mereka memahami agama dan peduli agama. Mereka bukan sekadar mendengar dan menyampaikannya. Orang yang menyampaikan pengetahuan banyak jumlahnya, namun orang yang mengikuti pengetahuan sangat sedikit." (Nahj al-Balâghah, khotbah 239)

"Akan datang suatu masa sepeninggalku ketika tak ada lagi yang lebih tersembunyi selain kebenaran dan lebih nyata selain kepalsuan. Pada saat itu Al-Qur'an dan ahli Al-Qur'an akan dicampakkan. Al-Qur'an dan walinya (Ahlulbait) yang laksana dua orang yang bersama-sama berjalan di jalan yang sama, tidak akan diterima oleh siapa pun. Pada masa itu keduanya ada di tengah-tengah umat, namun tak ada yang mencari petunjuk dari keduanya. Meski keduanya ada di tengah-tengah umat, namun tidak bersama umat." (Nahj al-Balâghah, khotbah 147)

Catatan Kaki:

[1] Dalam hubungan ini, dapat disebutkan risalah Syaikh Qawam Wisynawahi yang melampiri "Risalah fil-Islam" dan "Bihâr al-Anwâr", sebuah Catalan tentang hayat Nabi saw.

[2] Syaikh Qiwamuddin mengatakan bahwa hadis ini dimuat dalam "Shahih Muslim", Jil: VII, him. 122. "Sunan Tirmidu", jld. II, hlm. 307. "Sunan Abu Daunid", Jil. V, hlm.182, 189. "Mustadrak al-Hakim",Jil. III, hlm. 14, 17, 26, 59, Jil. VI, hlm. 366, 371, Jil. V, hlm. 182, 189. "Mustadrak al-Hakim", Jil. III, him. 109, "Thabaqat Ibn Sa’d, Jil. IV, him. 8. "Usud al-Ghabah", Jil. 11, hlm. 12, Jil. III, hlm. 147, dan Ibn Abil Hadid.



BAB 32 - Arti Imamah
Pokok masalah pembahasan kita sekarang adalah "imamah". Kami tahu bahwa bagi kami, kaum Syiah, imamah luar biasa penting, sementara mazhab lain kaum Muslim tidak memandang sedemikian penting. Alasannya adalah konsepsi imamah kami beda dengan konsepsi imamah mazhab lain. Tak syak lagi, ada kesamaannya juga, namun yang memandang luar biasa penting terhadap imamah hanyalah kaum Syiah. Misal, ketika kami, kaum Syiah, ingin menguraikan prinsip-prinsip pokok agama menurut ajaran Syiah, kami katakan bahwa prinsip-prinsip ini adalah Tauhid, Kenabian, Keadilan Ilahi, Imamah dan Akhirat. Kami memandang imamah sebagai prinsip pokok agama. Sedikit banyak, kaum Sunni juga tidak sama sekali menolak imamah. Namun menurut keyakinan mereka, imamah bukan prinsip pokok agama. Mereka memandang imamah hanya sebagai masalah tambahan. Sesungguhnya ada perbedaan pendapat yang mendasar mengenai imamah. Kami mempercayai imamah seperti ini, sedangkan kaum Sunni mem­percayai imamah yang lain. Alasan kenapa kaum Syiah memandang imamah sebagai prinsip pokok agama, sedangkan kaum Sunni memandangnya sebagai masalah tambahan, adalah konsepsi Syiah mengenai Imamah beda sekali dengan konsepsi imamah Sunni.

Makna Imam

Imam berarti pemimpin atau orang yang di depan. Kata "imam" dalam bahasa Arab tidak menunjukkan arti kesucian hidup. Dan imam adalah orang yang punya pengikut, tak soal dengan fakta apakah dia saleh atau tidak. Al-Qur'an sendiri menggunakan kata ini dalam kedua arti itu. Di saui tcmpat Al-Qur'an mengatakan:

Kami tunjuk mereka sebagai Imam yang memberikan panduan dengan izin Kami. (QS. al-Anbiyâ': 73)

Di tempat lain dikatakan:

Imam-imam yang mengajak orang ke neraka. (QS. al-Qashash: 41)

Mengenai Fir'aun, Al-Qur'an menggunakan frase yang mengandung arti yang sama dengan arti imam atau pemimpin. Dikatakan:

Pada Hari Pengadilan dia akan membawa kaumnya ke api neraka. (QS. Hûd: 98)

Dengan demikian, secara harfiah arti imam adalah pemimpin. Namun sekarang perhatian kami bukan pada pemimpin yang jahat. Baiklah sekarang kami bahas konsepsi imamah. Kata "imamah" berlaku untuk beberapa kasus. Beberapa konsep imamah diakui oleh kaum Sunni juga. Namun mereka berbeda dengan kami mengenai siapa imam itu dan bagaimana kualitasnya. Mereka sama sekali tidak mempercayai konsep-konsep imamah tertentu. Mereka tidak mempercayai imamah dalam arti seperti yang kami percayai. Mereka tidak sepakat dengan orang yang mengemban jabatan ini. Imamah versi mereka tak lain adalah pemimpin sosial, dan dalam arti seperti inilah kata ini digunakah dalam buku-buku teolog akademis lama.

Khâja Nasiruddin Tusi, dalam "at-Tajrid", mendefinisikan imamah sebagai kewajiban umum masyarakat. Di sini perlu juga disebutkan poin lain:

Beragam Aspek Nabi

Nabi saw, dalam masa hidupnya karena khusus posisinya dalam Islam, memiliki beberapa aspek seperti ditunjukkan oleh Al-Qur'an dan riwayat hidupnya. Pada saat yang sama Nabi memiliki beberapa jabatan. Dia adalah seorang Nabi Allah, dan dalam kapasitas ini dia menyampaikan risalah dan perintah Allah kepada umat manusia. Al-Qur'an mengatakan:

Apa saja yang diberikan Rasul, ambillah, dan apa saja yang dilarangnya, jauhilah. (QS. al-Hasyr: 7)

Dengan kata lain, apa saja petunjuk dan perintah yang diberikan Nabi saw kepada umat manusia, maka itu diberikannya atas nama Allah. Dari sudut pandang ini, Nabi saw hanya menyampaikan wahyu yang diturunkan kepadanya. Jabatan lain Nabi saw adalah hakim agung, karena itu Nabi melaksanakan keadilan di tengah kaum Muslim. Menurut Islam, setiap orang tidak bisa menjadi hakim, karena dari sudut pandang Islam, memutuskan perkara adalah urusan Allah. Allah menyuruh keadilan, dan hakim adalah orang yang melaksanakan keadilan kalau terjadi perselisihan. Jabatan ini juga dengan jelas diberikan kepada Nabi saw oleh Al-Qur'an. Al-Qur'an mengatakan:

Demi Tuhanmu, mereka tak akan mempercayai kebenaran sampai mereka menjadikanmu hakim untuk apa yang mereka perselmhkan dan menerima apa yang kamu putuskan dan mereka tunduk kepada keputusanmu dengan sepenuh hati. (QS. an-Nisâ': 65)

Nabi saw diangkat menjadi hakim oleh Allah. Karena itu, jabatan hakim ini bukanlah jabatan biasa, melainkan Jabatan ilahiah. Praktisnya dia juga Nabi-hakim. Jabatan ketiga yang resmi diemban Nabi saw dan jabatan ini diberikan kepadanya oleh Al-Qur'an adalah jabatan sebagai kepala negara. Dia adalah kepala negara dan pemimpin masyarakat Muslim. Dengan kata lain, dalam masyarakat Muslim dia adalah pembuat kebijakan dan orang yang memiliki kemampuan memerintah dengan baik. Diyakini bahwa aspek ini, yang terdapat dalam diri Nabi saw, yang digambarkan oleh ayat Al-Qur'an,

Wahai Orang-orang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya dan pemimpin-pernimpin (kompeten)-mu. (QS. an-Nisâ': 59)

Sesungguhnya tiga jabatan yang diemban Nabi saw bukan sekadar jabatan formal atau seremonial. Petunjuk dan perintah yang kita terima darinya pada dasarnya ada tiga macam:

(1) Macam pertama berupa wahyu Allah. Mengenai wahyu Allah ini Nabi saw tak dapat berbuat atas inisiatifnya sendiri. Fungsi satu-satunya adalah menyampaikan kepada umat manusia wahyu yang diturunkan kepadanya.

(2) Petunjuk dan perintah agama. Misal, Nabi mengajarkan bagaimana salat dan berpuasa. Namun ketika dia melaksanakan keadilan, maka keputusannya bukan keputusan wahyu. Kalau terjadi perselisihan antara dua orang, maka Nabi memutuskan perkaranya berdasarkan standar Islam, dan memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah. Dalam hal seperti ini, Jibril tidak turun membawa wahyu untuknya. Kalau untuk kasus-kasus luar biasa, masalahnya lain. Pada umumnya Nabi saw memutuskan semua perkara hukum berdasarkan bukti yang ada, persis seperti yang dilakukan orang lain. Paling banter dapat dikatakan bahwa keputusannya lebih baik dibanding keputusan orang lain. Nabi sendiri mengatakan bahwa dirinya diperintahkan untuk menyampaikan pendapat berdasarkan apa yang tampaknya masuk akal. Misal ada penggugat dan tergugat, dan penggugat mengajukan dua saksi yang tak tercela. Nabi akan memutuskan perkara ini berdasarkan bukti mereka. Jadi, keputusan ini akan merupakan keputusan Nabi sendiri, dan bukan keputusan yang diwahyukan kepadanya.

(3) Dalam kapasitas ketiga ini, ketika Nabi saw memberikan perintah sebagai pemimpin masyarakat, sifat perintahnya ini beda dengan sifat apa yang disampaikannya sebagai wahyu Allah. Allah mengangkat Nabi sebagai pemimpin masyarakat. Dalam kapasitas ini Nabi terkadang bermusyawarah. Kita tahu bahwa Nabi bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya pada waktu Perang Badar dan Uhud dan pada banyak kesempatan lainnya. Tampaknya tak ada musyawarah mengenai perintah wahyu Tuhan. Nabi tak pernah bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya mengenai bagaimana bersembahyang maghrib. Kalau ada masalah-masalah tertentu yang ditanyakan kepada Nabi, sementara Allah memerintahkan begini, maka Nabi harus mengikuti perintah-Nya. Namun untuk masalah-masalah yang tak ada ketentuan ilahiahnya, Nabi sering berkonsultasi dengan sahabat untuk meminta pendapatnya. Kalau dalam kasus-kasus seperti ini Nabi mengeluarkan ketentuan, ini dilakukannya karena Nabi mendapat wewenang dari Allah untuk melakukan demikian. Dalam beberapa kasus yang berkaitan dengan manajemen sosial, memang Nabi juga menerima wahyu, namun ini merupakan kasus yang luar biasa. Biasanya Nabi tidak menerima petunjuk terperinci mengenai masalah-masalah sosial-politik, dan mengenai masalah-masalah ini Nabi tidak bcrtindak sebagai rasul semata. Fakta yang tak dapat dipungkiri moniuijukkan bahwa Nabi, dalam semua kapasitas ini, bekerja simuhan.

Imamah dalam Arti Pemimpin Masyarakat

Makna pertama imamah seperti disebutkan di atas adalah mgas umum masyarakat. Salah satu jabatan Nabi yang kosong begini Nabi wafat adalah kepemimpinan masyarakat. Jelas, masyarakat butuh pemimpin. Siapa pemimpin masyarakat sepeninggal Nabi? Baik kaum Syiah maupun kaum Sunni sepakat bahwa masyarakat membutuhkan pemimpin dan panglima tertinggi. Di sinilah timbul masalah khilafah. Kaum Syiah mengatakan bahwa Nabi sendiri telah menunjuk penerusnya dan mengumumkan bahwa sepeninggal dirinya Imam Alilah yang memegang kendali urusan kaum Muslim. Kaum Sunni yang logika lain tidak menerima pandangan ini setidak-tidaknya dalam bentuk yang diterima kaum Syiah. Menurut kaum Sunni, Nabi tidak menunjuk siapa pun sebagai penerusnya, dan tugas kaum Muslim sendiri untuk memilih pemimpin. Kaum Sunni menerima prinsip Imamah ketika mereka mengatakan bahwa kaum Muslim membutuhkan pemimpin. Yang mereka katakan adalah bahwa pemimpin dipilih oleh kaum Muslim. Kaum Syiah justru mengatakan bahwa Nabi sendirilah yang menunjuk penerusnya berdasarkan wahyu Allah.

Kalau saja masalah imamah sekadar masalah kepemimpinan politik sepeninggal Nabi, kami, kaum Syiah, tentu tak akan menganggap imamah sebagai prinsip pokok agama, dan tentu pas kalau menggolongkan masalah ini sebagai masalah tambahan. Dapat kami katakan bahwa masalah imamah yang dipercaya kaum Syiah sekadar mendeklarasikan bahwa Imam Ali as adalah salah seorang sahabat Nabi saw seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan banyak lainnya atau bahkan seperti Abu Dzar dan Salman, namun Imam Ali as lebih baik, lebih berilmu, lebih takwa dan lebih mampu dibanding sahabat-sahabat lain dan bahwa Nabi saw menunjuk Imam Ali as sebagai penerusnya. Namun kaum Syiah tidak berhenti di sini saja. Mereka mempercayai dua ajaran yang tak ada di kaum Sunni. Salah satunya adalah imamah dalam arti otoritas keagamaan.

Imamah dalam Arti Otoritas Keagamaan

Telah kami kemukakan bahwa Nabi saw menyampaikan wahyu Allah SWT yang diterimanya kepada orang yang bebas bertanya kepada Nabi apa saja yang ingin diketahuinya tentang ajaran Islam. Orang juga bertanya kepada Nabi tentang apa yang tak didapati mereka dalam Al-Qur'an. Sekarang pertanyaannya adalah apakah isi Al-Qur'an dan apa yang telah disampaikan Nabi kepada khalayak umum adalah apa yang diinginkan Islam, yaitu menyampaikan petunjuk, ajaran dan pengetahuan Islam? Karena itu, Nabi saw mendidik Imam Ali as, penerusnya, sebagai pakar luar biasa, dan mengajarkan kepada Imam Ali as scgalanya tentang Islam, setidak-tidaknya semua prinsip dan norma umum Islam. Imam Ali as adalah sahabat Nabi yang paling mencolok keunggulannya. Dia maksum seperti Nabi saw, Dia bahkan tahu apa yang disiratkan oleh Allah SWT.

Nabi saw bersabda ketika memperkenalkan Imam Ali as:

"Sepeninggalku, bawalah semua masalah keagamaan kepada Ali, tanyakan kepada Ali dan penerus-penerusku yang lain apa saja yang ingin kalian ketahui."

Dalam hal ini, imamah merupakan spesialisasi dalam Islam, suatu spesialisasi yang luar biasa dan ilahiah, yang jauh di atas derajat spesialisasi yang dapat dicapai mujtahid. Para imam adalah pakar dalam Islam. Pengetahuan istimewa mereka mengenai Islam bukan didapat dari akal pikiran mereka sendiri yang bisa saja salah. Mereka menerima pengetahuan dengan cara yang tak kita ketahui. Imam Ali as menerima pengetahuan tentang ilmu-ilmu Islam langsung dari Nabi saw. Dan Imam-imam berikutnya menerimanya melalui Imam Ali bin Abi Thalib as. Dalam kasus imam-imam, pengetahuan ini tak mengandung kekeliruan. Pengetahuan ini diturunkan dari satu imam ke imam yang lain.

Kaum Sunni tak percaya adanya orang yang berposisi seperti itu. Dengan kata lain, kaum Sunni tidak mempercayai adanya imam dalam pengertian seperti ini. Kaum Sunni mengatakan bahwa, alih-alih Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar adalah Imam. Mereka tidak mengakui bahwa sahabat Nabi, tidak Abu Bakar, tidak Umar, tidak Utsman, memegang jabatan seperti itu. Itulah sebabnya mereka menganggap begitu banyak kekeliruan dalam masalah keagamaan berasal dari Abu Bakar dan Umar. Sebaliknya, kaum Syiah percaya imam-imam mereka maksum, dan tak akan pernah mengakui bahwa imam-imam mereka pernah berbuat keliru. Namun kaum Sunni, dalam buku-buku mereka, mengatakan bahwa Abu Bakar pernah mengatakan begini, namun dia salah. Ketika menyadari kekeliruannya, dia berkata bahwa ada setan yang selalu mengalahkannya. Kaum Sunni juga mengatakan bahwa Umar pernah berbuat keliru, dan kemudian, dengan menyebut-nyebut wanita-wanita tertentu, menyatakan bahwa wanita-wanita itu lebih alim dibanding dirinya.

Konon ketika Abu Bakar meninggal, anggota keluarganya yang wanita, termasuk putrinya, Aisyah, istri Nabi saw, menangis. Ketika Umar mendengar ratapan mereka, Umar mengirim pcsan kepada mereka agar diam, namun mereka tidak memenuhi pcrmintaan Umar. Umar mengirim pesan lagi dan kemudian mengancam akan menghukum mereka. Akhirnya Aisyah diberitahu oleh beberapa wanita bahwa Umar mengancam kalau mereka tak mau diam. Aisyah menyuruh memanggil Umar. Ketika Umar datang, Aisyah menanyakan apa yang diinginkan dikatakan Umar dan kenapa Umar mengirim pesan demi pesan. Umar mengatakan mendengar Nabi saw bersabda:

"Kalau ada orang meninggal, lalu anggota keluarganya menangisinya, maka orang yang meninggal tersebut akan mendapat hukuman." Aisyah berkata, "Anda tidak mengerti. Anda salah. Masalahnya bukan begitu. Aku tahu bagaimana itu. Ketika seorang Yahudi yang jahat meninggal, keluarganya menangisinya. Nabi saw bersabda bahwa mereka menangis dan dia dihukum. Nabi saw tidak mengatakan bahwa dia dihukum karena mereka menangis. Nabi saw mengatakan bahwa mereka menangisinya, namun mereka tidak tahu bahwa dia tengah dihukum. Bagaimana hubungannya dengan masalah ini? Meskipun menangis dilarang, kenapa Allah harus menghukum orang tak berdosa karena dosa yang kita lakukan?" "Aneh”, kata Umar. "Begitukah?" "Ya," kata Aisyah, "begitulah." Umar pun berkata, "Seandainya wanita-wanita ini tak ada, Umar akan celaka."

Kaum Sunni sendiri mengatakan bahwa tujuh puluh (sangat banyak) kali Umar berkata, "Kalau tak ada Ali, Umar akan celaka." Umar sendiri berkali-kali mengakui bahwa Ali sering meluruskan kesalahan-kesalahannya, dan Umar biasa mengakui kesalahannya. Pendek kata, kaum Sunni tidak mempercayai imam dalam pengertian seperti yang kami yakini. Namun fakta yang tak terpungkiri menunjukkan bahwa Nabi sajalah yang menerima wahyu samawi. Kami tidak mengatakan bahwa para imam juga menerima wahyu. Risalah Islam disampaikan kepada umat manusia oleh Nabi saja, dan kepada Nabi saja Allah menurunkan ajaran-ajaran penting Islam. Tak ada ajaran dan ketentuan Islam yang tidak diwahyukan kepada Nabi. Namun pertanyaan apakah semua ajaran Islam disampaikan kepada seluruh manusia, lain masalahnya. Kaum Sunni mengatakan bahwa Nabi menyampaikan semua ajaran Islam kepada sahabat-sahabatnya. Namun kaum Sunni berada dalam dilema ketika menghadapi problem yang tak ada riwayatnya dari sahabat Nabi. Untuk memecahkan situasi ini, kaum, Sunni mengemukakan hukum analogi, dengan hukum analogi ini mereka mengaku melengkapi apa yang tak ada. Dalam hubungan ini Imam Ali as berkata, "Apakah Anda bermaksud mengatakan bahwa agama Allah tidak lengkap, dan Andalah yang melengkapinya?" (Nahj al-Balâghah, khotbah 18)

Kaum Syiah justru mengatakan bahwa Allah SWT menurunkan ajaran Islam dengan lengkap kepada Nabi saw, dan Nabi saw me­nyampaikannya dengan lengkap kepada umat manusia. Nabi saw menyampaikannya dengan lengkap, namun Nabi saw tidak menyebutkan segala sesuatunya kepada manusia pada umumnya. Sesungguhnya banyak pertanyaan diajukan selama hayat Nabi saw. Namun, Nabi saw menyampaikah semua ajaran yang diterimanya dari Allah kepada murid istimewanya, Imam Ali bin Abi Thalib as, dan meminta Imam Ali as untuk menyampaikannya kepada masyarakat bila diperlukan.

Di sinilah muncul masalah kemaksuman. Kaum Syiah mengata­kan bahwa karena Nabi saw, sengaja atau tidak, tak mungkin salah bicara, murid istimewanya pun tak mungkin salah, karena Nabi saw mendapat pertolongan dari Allah SWT, murid istimewa ini pun mendapat pertolongan dari Allah SWT. Inilah satu lagi karakter imamah.

Imamah dalam Arti Wilayah

Ini merupakan arti ketiga imamah, dan sungguh artinya yang paling tinggi. Dalam ajaran Syiah, pengertian seperti ini sangat dititikberatkan. Sedikit banyak, wilayah merupakan titik kesamaan antara Syiah dan tasawuf. Namun kalau kami kata demikian, jangan salah paham, karena mungkin Anda mendapati apa yang dikatakan kaum orientalis mengenai hal ini. Mereka mengatakan bahwa wilayah adalah masalah yang sangat mendapat perhatian kaum sufi dan mendapat perhatian kaum Syiah juga sejak masa awal Islam. Saya ingat bahwa sekitar sepuluh tahun silam seorang orientalis mewawancarai Allamah Thabathaba'i. Salah satu pertanyaan yang diajukannya adalah apakah Syiah mengambil konsepsi wilayah dari kaum sufi, atau kaum sufi mengambilnya dari Syiah. Faktanya adalah doktrin wilayah sudah ada di kalangan Syiah ketika belum ada tasawuf. Kalau saja terjadi pengambilan dari yang satu oleh yang lain, maka harus dikatakan bahwa kaum sufilah yang mengambil­nya dari Syiah. Masalah wilayah dapat disamakan dengan masalah manusia sempurna dan penguasa zaman. Kaum sufi sangat menekankan poin ini.

Maulawi mengatakan bahwa di setiap masa ada seorang wali, qa'im (penguasa zaman). Di setiap masa ada seorang manusia sempurna yang memiliki semua keunggulan manusiawi. Tak ada zaman yang tak ada wall sempurnanya, yang sering digambarkan sebagai quthb (poros, otoritas). Kaum sufi percaya bahwa wall sempurna adalah juga manusia sempurna. Mereka menganggap wall sempurna memiliki banyakjabatan, sebagiannya tak dapat kita mengerti, Salah satu jabatannya adalah mengendalikan hati manusia, dalam pengertian bahwa dia adalah roh universal yang mengungguli semua roh. Maulawi secara tidak langsung menyebut jabatan ini dalam kisahnya tentang Ibrahim bin Adham. Kisah ini tak lebih dari cerita fiksi belaka. Namun Maulawi bercerita untuk menjelaskan apa yang dimaksudnya. Dia bercerita hanya untuk menekankan. maksudnya. Maulawi mengatakan bahwa Ibrahim bin Adham pergi ke sungai, kemudian melemparkan jarum ke sungai itu. Lalu dia menginginkan kembalinya jarum itu. Ikan-ikan pada menyembulkan kepalanya dari sungai, masing-masing membawa satu jarum di mulutnya. Maulawi selanjutnya mengatakan, "Wahai yang tak memiliki kemampuan, perhatikan hati Anda di hadapan mereka yang memiliki sifat-sifat unggul hati."

Selanjutnya dia mengatakan, "Syaikh (pemandu spiritual) itu jadi sadar akan apa yang ada di hati orang. Syaikh bisa tahu itu karena dirinya bagaikan singa, sedangkan hati orang bagaikan sarangnya".

Syiah pada umumnya menggunakan kata wilayah dalam artinya yang paling tinggi. Mereka percaya bahwa wali dan imam adalah penguasa zaman, dan selalu ada seorang manusia sempurna di dunia ini. Dalam kebanyakan ziyarah (penghormatan) yang kami baca, kami mengakui eksistensi wilayah dan imamah dalam pengertian ini, dan percaya bahwa imam memiliki roh universal. Dalam ziyarah itu, yang kami baca dan kami anggap sebagai bagian dari ajaran Syiah, kami mengatakan, "Aku memberikan kesaksian bahwa engkau melihat di mana aku berada; engkau mendengar perkataanku dan membalas salamku." Perlu dicatat bahwa kami sampaikan itu kepada seorang imam yang telah wafat. Dari sudut pandang kami, dalam hal ini tak ada bedanya antara imam yang telah wafat dan imam yang masih hidup. Kami katakan, "Salam atasmu, Ali bin Musa ar-Ridha. Aku menyadari dan memberikan kesaksian bahwa engkau mendengar dan membalas salamku."

Kaum Sunni, kecuali kaum Wahabi, percaya bahwa Nabi saw saja yang memiliki kualitas mengetahui dan mendengar ini. Menurut mereka, di dunia ini tak ada lagi yang memiliki status spiritual yang tinggi seperti itu dan persepsi spiritual seperti itu. Namun kami, kaum Syiah, percaya bahwa posisi ini dimiliki oleh imam-imam kami. Kepercayaan ini merupakan bagian dari prinsip agama kami, dan kami selalu mengakuinya.

Pendek kata, masalah imamah ada tiga derajatnya, dan kalau kami tidak membedakan ketiga derajat ini, kami akan menghadapi kesulitan berkenaan dengan pengambilan kesimpulan tertentu dalam hubungan ini. Berdasarkan ketiga derajat ini, ada tiga kelompok dalam Syiah. Mereka mengatakan bahwa Nabi saw mengangkat Imam Ali as sebagai pemimpin masyarakat sepeninggalnya, dan bahwa Abu Bakar, Umar dan Utsman tak dapat mengklaim posisi ini. Orang-orang seperti ini menjadi Syiah hanya sebatas ini saja. Mereka tidak mempercayai dua derajat selanjutnya, atau bungkam tentang dua derajat ini. Sebagian lainnya mem­percayai derajat kedua meski tidak mempercayai derajat ketiga. Konon almarhum Muhammad Baqir Durchal, guru Ayatullah Burujerdi di Isfahan, tak mempercayai derajat ketiga ini. Namun mayoritas Syiah dan ulama Syiah mempercayai derajat ketiga juga.

Kalau mau membahas imamah, maka harus dibahasnya dalam tiga tahap; imamah menurut Al-Qur'an, imamah menurut hadis, dan imamah menurut akal. Pertama-tama man kita lihat apakah ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan dengan imamah menunjukkan arti imamah seperti yang diyakini kaum Syiah. Dan jika begitu, apakah menunjukkan imamah dalam pengertian kepemimpinan politik dan sosial saja, ataukah dalam pengertian otoritas keagamaan dan wilayah spiritual juga. Setelah ini dijelaskan, baru kita lihat apa yang dikatakan hadis-hadis Nabi mengenai imamah. Akhirnya kita analisis imamah dari sudut pandang akal, dan kita lihat apa yang dikatakan akal mengenai tahap-tahapnya itu. Apakah pandangan Sunni yang menyebutkan bahwa penerus Nabi harus dipilih oleh umat lebih masuk akal, atau apakah merupakan fakta kalau Nabi sendiri telah mengangkat penerusnya? Begitu juga, apa yang sesuai dengan akal berkenaan dengan dua lagi arti imamah.

Hadis Imamah

Sebelum mengemukakan ayat-ayat Al-Qur'an tentang imamah, kami ingin mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Syiah dan Sunni. Biasanya hadis yang sama-sama disepakati oleh Syiah dan Sunni tak dapat diabaikan, karena kesepakatan ini menunjuk­kan bahwa hadis itu autentik, sekalipun susunan katanya bisa saja berbeda dalam beragam riwayat. Kami, kaum Syiah, biasanya meriwayatkan hadis ini seperti ini: "Barangsiapa mati sementara tidak mengenal imam zamannya, maka dia mati jahiliah." Kata-kata ini sangat serius, karena pada periode jahiliah orang tidak mempercayai keesaan Allah (tauhid) dan juga tidak mempercayai kenabian. Hadis ini terdapat di sebagian besar kitab hadis Syiah, termasuk "al-Kâfî" yang dianggap sebagai koleksi hadis Syiah paling andal. Fakta pentingnya adalah hadis ini juga terdapat dalam kitab-kitab Sunni. Menurut satu riwayat mereka menyebut susunan kata "Barangsiapa mati tanpa imam, maka matinya mati jahiliah." Susunan kata lainnya adalah "Barangsiapa mati dalam keadaan tidak berbaiat, maka matinya mati jahiliah." Teks lain mengatakan, "Barangsiapa mati dalam keadaan tidak berimam, maka matinya mati jahiliah." Ada beberapa versi lain, dan itu menunjukkan betapa Nabi saw memandang sangat pending masalah imamah.

Mereka yang menerima imamah hanya dalam pengertian kepemimpinan sosial mengatakan bahwa Nabi saw memandang sangat penting masalah kepemimpinan karena hukum Islam baru dapat dilaksanakan kalau ada pemimpin yang bajik dan kesetiaan kuat umat kepadanya. Islam bukanlah agama individualistik. Tak ada yang dapat mengatakan bahwa karena dia mempercayai Allah dan Nabi-Nya, maka dia tak ada hubungannya dengan orang lain. Setiap orang harus tahu dan mengerti siapa imam pada masanya, dan harus beraktivitas di bawah naungan kepemimpinannya.

Mereka yang menerima imamah dalam pengertian otoritas keagamaan mengatakan bahwa barangsiapa memperhatikan agamanya, maka dia harus mengenal otoritas keagamaannya, dan harus tahu siapa yang harus diikutinya dalam masalah agama. Mutlak tidak Islami kalau mempercayai agama namun mendapatkan agama dari sumber yang bertentangan dengan agama itu sendiri.

Mereka yang menerima imamah dalam pengertian wilayah spiritual mengatakan bahwa hadis ini menunjukkan bahwa orang yang tidak di bawah perwalian wali yang sempurna, maka dia seperti orang yang mati pada masa jahiliah. Karena hadis ini mutawatir (diriwayatkan oleh rangkaian otoritas yang banyak jumlahnya), maka kami sebudcan hadis ini dahulu untuk pegangan dalam pembahasan lebih lanjut masalah imamah. Kini man kita lihat ayat-ayat Al-Qur'an.

Imamah dalam Al-Qur'an

Beberapa ayat Al-Qur'an dikutip oleh kaum Syiah berkaitan dengan imamah. Salah satunya diawali dengan kata-kata, "Walimu hanyalah Allah." Dalam semua kasus ini ada hadis-hadis Sunni yang mendukung sudut pandang Syiah. Bunyi ayat ini adalah:

Walimu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan mereka yang beriman yang menegakkan salat, membayar zakat seraya rukuk. (QS. al-Mâ`idah: 55)

Kata yang digunakan dalam ayat ini adalah wait yang artinya wali. Karena itu wilayah artinya perwalian. Menurut ajaran Islam, zakat tidak dibayar sembari rukuk. Karena itu membayar zakat sembari rukuk tak dapat disebut prinsip atau norma umum yang berlaku untuk banyak orang. Ayat ini berkenaan dengan satu peristiwa yang terjadi hanya sekali. Peristiwa ini diriwayatkan oleh Syiah maupun Sunni. Imam Ali as tengah rukuk ketika seorang peminta-minta datang meminta sedekah. Imam Ali as memberi isyarat dan menarik perhatiannya dengan jarinya. Si peminta-minta segera mengambil cincin Imam Ali as dari jarinya, lalu pergi. Dengan kata lain, Imam Ali as tidak menunggu sampai salatnya selesai. Imam Ali as begitu luar biasa sehingga dalam keadaan tengah salat pun Imam dengan isyarat menyuruh si peminta-minta untuk mengambil cincin di jari Imam, menjualnya dan menggunakan uangnya untuk memenuhi kebutuhannya.

Baik kaum Syiah maupun Sunni sepakat bahwa Imam Ali as berbuat demikian, dan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan ini. Dapat dicatat bahwa bersedekah dalam keadaan tengah rukuk tidak termasuk dalam ajaran Islam. Bukan wajib dan bukan pula dianjurkan. Karena itu tak dapat dikatakan bahwa beberapa orang melakukan demikian. Karena itu (mereka yang berbuat demikian) jelaslah yang dimaksud adalah Imam Ali as. Di beberapa tempat Al-Qur'an menggunakan ungkapan "mereka mengatakan...", padahal hal itu diucapkan oleh hanya satu orang. Di sini juga "mereka yang berbuat demikian" artinya adalah si individu yang berbuat demikian. Karena itu melalui ayat ini Imam Ali as diangkat menjadi wali umat Muslim. Namun demikian, ayat ini perlu dibahas lebih lanjut, dan pembahasannya nanti. Ada ayat-ayat lain ber­kenaan dengan peristiwa Ghadir. Peristiwa ini sendiri merupakan bagian dari tradisi Islam. Ini akan dibahas nanti. Salah satu ayat tersebut, yang turun berkenaan dengan peristiwa Ghadir, berbunyi:

Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu, karena jika tidak, kamu berarti tidak menyampaikan risalah-Nya. (QS. al-Mâ`idah: 67)

Nada ayat ini sama seriusnya dengan nada hadis, "Barangsiapa mati dalam keadaan tidak mengenal Imam zamannya, maka matinya mati jahiliah." Singkatnya dapat dikatakan bahwa ayat itu sendiri menunjukkan bahwa pokok masalahnya begitu penting sehingga kalau Nabi tidak menyampaikannya, berarti Nabi sama sekali tidak menyampaikan risalah Allah.

Syiah dan Sunni sepakat bahwa Surah al-Mâ`idah adalah Surah terakhir yang diturunkan kepada Nabi saw, dan ayat ini merupakan satu dari ayat-ayat terakhir Surah ini. Dengan kata lain, turun ketika Nabi sudah menyampaikan semua hukum dan ajaran lain Islam selama 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah sebagai Nabi saw. Ayat ini termasuk petunjuk, perintah atau ajaran terakhir Islam. Kini kaum Syiah bertanya petunjuk, ajaran atau perintah seperti apa yang begitu penting sehingga kalau tidak disampaikan, maka seluruh yang dikerjakan Nabi di masa sebelumnya jadi batal. Anda tak mungkin dapat menunjukkan pokok masalah apa pun yang berkaitan dengan tahun-tahun terakhir hayat Nabi saw yang begitu penting. Namun kami katakan bahwa masalah imamah begitu penting sehingga kalau imamah hilang, maka tak ada lagi yang tersisa. Tanpa imamah, seluruh bangunan Islam akan hancur lebur. Kaum Syiah mengutip riwayat-riwayat dan hadis-hadis Sunni itu sendiri untuk memperkuat klaim mereka bahwa ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa Ghadir Khum.

Dalam Surah al-Mâ`idah itu sendiri ada ayat lain yang bunyinya,

Hari ini Aku sempurnakan agamamu bagimu, lengkapkan karunia-Ku kepadamu, dan Aku pilih Islam sebagai agamamu. (QS. al-Mâ`idah: 3)

Ayat ini menunjukkan bahwa pada hari itu terjadi sesuatu, yang begitu penting sehingga agama jadi sempurna, karunia Allah kepada umat manusia jadi lengkap, dan tanpa itu Islam tak mungkin seperti yang dikehendaki oleh Allah SWT. Kaum Syiah berargumen bahwa nada ayat ini menunjukkan bahwa sesuatu yang berkenaan dengan ayat ini begitu penting sehingga eksistensi Islam sebagai agama yang benar itu sendiri bergantung pada sesuatu itu. Sekarang pertanyaannya adalah seperti apa sesuatu itu. Kaum Syiah mengatakan dapat menunjukkan sesuatu itu. Sedangkan kaum lainnya tidak. Selain itu, ada riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan masalah imamah. Tiga ayat ini yang merupakan substansi argumen-argumen Syiah sudah kami kemukakan.


23
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

BAB 33 - Imamah dan Penjelasan Terperinci tentang Agama
Berbagai aspek imamah sudah kami bahas. Di sana kami jelaskan bahwa untuk dapat membahas masalah imamah dari sudut pandang yang benar, perlu dipahami dengan jelas aspek-aspek itu. Satu aspek imamah, seperti sudah kami sebutkan, adalah masalah pemerintahan. Setelah wafatnya Nabi saw, tugas siapakah memilih penerus beliau saw? Apakah umat itu sendiri yang bertanggung jawab untuk memilih pemimpin mereka dari kalangan mereka sendiri, ataukah Nabi saw sendiri telah menunjuk penerusnya? Belakangan ini pertanyaan tersebut diajukan sedemikian rupa sehingga sepintas lalu sudut pandang Sunni dalam hal ini kelihatan lebih benar.

Biasanya pertanyaannya bunyinya begini: Kami ingin mengetahui seperti apa pemerintahan versi Islam. Apakah turun-temurun, setiap penguasa menunjuk penerusnya, dan rakyat tak berhak campur tangan dalam urusan pemerintahan? Apakah Nabi saw menunjuk orang tertentu menjadi penerusnya, orang itu menunjuk penerusnya, dan penerus itu menunjuk penerusnya, dan dengan demikian bentuk pemerintahannya didasarkan pada penunjukan dan pengangkatan sampai Hari Kiamat? Tentu saja proses ini tak mungkin berlaku pada para imam saja, karena menurut keyakinan kaum Syiah, jumlah imam hanya dua belas orang saja, dan jumlah ini tak mungkin bertambah atau berkurang. Menurut pandangan ini, prinsip umum berkenaan dengan pemerintahan ini dapat disamakan dengan prosedur ini. Nabi saw, yang juga menjadi kepala negara, menunjuk penerusnya, dan penerusnya kemudian menunjuk penerusnya dan seterusnya sampai Hari Kiamat. Dalam kasus ini, jika Islam menguasai seluruh dunia—dan Islam pernah menguasai separo dunia—kemudian ajaran atau hukum Islam berjalan di seluruh penjuru dunia, maka hukum yang sama akan berjalan entah ada satu pemerintahan di dunia atau beberapa pemerintahan. Menurut pandangan tersebut, berdasarkan norma umum itulah kepala negara haruslah orang yang ditunjuk, Nabi saw menunjuk Imam Ali bin Abi Thalib as sebagai penerusnya. Namun, dengan memperhatikan filosofi ini, maka Nabi saw tidak perlu segera menunjuk Imam Ali bin Abi Thalib as begitu menerima perintah dari Allah SWT, karena hanya Nabi dan para imam—yang memiliki pengetahuan ilahiah melalui Nabi—yang dapat menerima perintah ilahiah seperti itu. Karena itu, jika diakui bahwa dari sudut pandang Islam pemerintahan harus didasarkan pada prinsip penunjukan, maka Nabi saw tidak perlu menunjuk Imam Ali bin Abi Thalib as dengan wahyu. Nabi saw dapat menunjuknya sesuai kehendaknya. Para imam juga dapat berbuat sama. Berdasarkan ini penunjukan Imam Ali as untuk mengemban khilafah sama dengan penunjukan gubernur Mekah atau penunjukan Amir al-Haj. Dalam kasus-kasus seperti itu, tak ada yang mengatakan bahwa Nabi saw, begitu menerima wahyu, langsung menunjuk si polan menjadi gubernur Mekah atau, misalnya, mengutus Mu'azd bin Jabal ke Yaman untuk berdakwah Islam. Setiap orang justru mengakui bahwa Nabi saw mendapat amanat dari Allah SWT, yaitu untuk memerintah atau memimpin umat. Maka Nabi saw mendapat wewenang untuk bertindak menurut pandangannya dalam semua masalah yang tak ada ketentuan wahyunya. Dalam kasus penunjukan Imam Ali bin Abi Thalib as untuk mengemban khilafah, dapat dikatakan bahwa ini merupakan keputusan pribadi Nabi saw.

Jika masalah imamah ini dikemukakan dengan cara sederhana seperti itu, maka jadilah masalah pemerintahan duniawi, dan tak lagi masalah imamah. Kalau seperti ini karakter masalahnya, sungguh wahyu ilahiah tak perlu campur tangan. Paling banter yang dapat dikatakan wahyu ilahiah kepada Nabi saw adalah bahwa Nabi saw berkewajiban menunjuk siapa pun yang dipandangnya tepat untuk menjadi penerusnya, dan bahwa penerusnya juga, dengan cara yang sama, menunjuk penerusnya. Dan seterusnya sampai Hari Kiamat. Jika imamah artinya hanya sekadar pemerintah atau penguasa, maka apa yang dikatakan kaum Sunni tampaknya lebih menarik dibanding apa yang dikatakan kaum Syiah, karena kaum Sunni berpendapat bahwa penguasa tak berhak memilih penguasa selanjutnya, dan bahwa penggantinya dipilih dengan cara demokratis oleh rakyat, khususnya oleh mereka yang berhak memilih. Namun masalahnya tidak sesederhana itu. Pada umumnya keyakinan kaum Syiah pada penunjukan Imam Ali bin Abi Thalib as dan imam-imam lain untuk mengemban khilafah merupakan cabang dari masalah lain yang lebih fundamental.

Di sini muncul masalah penting. Masalahnya adalah bahwa jumlah imam tak lebih dari dua belas. Lantas setelah dua belas imam ini, siapa penerusnya. Misal saja, Imam Ali bin Abi Thalib as menjadi pemimpin dengan cara persis seperti dia diangkat oleh Nabi saw, dan diikuti oleh Imam Hasan as, Imam Husain as dan seterusnya sampai Imam kedua belas. Kalau begini keadaannya, berdasarkan filosofi kami kaum Syiah, tak ada alasan untuk gaibnya Imam kedua belas. Seperti para pendahulunya, Imam kedua belas hidupnya tidak akan seperti sekarang dan kemudian meninggal. Apa yang terjadi sepeninggal Imam kedua belas ini. Mungkinkah jumlah imam bertambah? Bagaimana dengan masalah lain— masalah pemerintahan yang normal dalam keadaan yang ada sekarang. Jelaslah Imam Zaman (Imam kedua belas—peny.), selama gaib, tak mungkin menjadi pemimpin politik untuk kaum Muslim. Karena itu, masalah pemimpin politik dan pemerintahan duniawi masih belum terpecahkan.

Pemerintah adalah Cabang Imamah

Bila membahas masalah imamah dari sudut pandang Syiah, jangan sampai keliru menyederhanakannya dan mengatakan bahwa arti imamah adalah administrasi pemerintahan, karena penyederhanaan berlebihan seperti itulah yang menimbulkan kesulitan-kesulitan tersebut di atas. Jika imamah diartikan penguasa, timbul masalah apakah kandidat untuk menjadi kepala negara perlu yang terbaik. Apakah belum cukup kalau kandidat itu adalah relatif yang terbaik. Dengan kata lain, apakah belum cukup kalau dia seorang negarawan yang baik, administrator yang baik dan jujur orangnya, meskipun dalam beberapa hal lain lebih rendah di-banding beberapa orang? Perlukah penguasa itu maksum? Apa perlunya ia maksum? Perlukah ia suka melakukan salat malam? Jika demikian, kenapa? Perlukah ia ahli hukum Islam? Tidak dapatkah ia berkonsultasi bila perlu? Orang yang relatif terbaik tentulah cukup baik. Semua pertanyaan ini muncul kalau problemnya dilihat dari sudut yang sempit. Keliru sekali kalau beranggapan bahwa imamah dan penguasa identik. Sebagian ulama awal, khususnya sebagian teolog akademis, membuat kekeliruan ini. Dewasa ini sekali lagi kekeliruan ini sudah terlalu umum. Kalau orang bicara imamah, maka yang terbayang di benaknya adalah penguasa, padahal sesungguhnya masalah penguasa merupakan bagian kecil dari masalah imamah, dan dua masalah ini jangan dikacaukan. Lantas bagaimana imamah itu?

Imam Merupakan Penerus Nabi dalam Menjelaskan Agama

Yang terpenting dalam kaitannya dengan masalah imamah adalah masalah siapa yang menggantikan Nabi saw untuk menjelaskan agama secara terperinci. Tak syak lagi, Nabi saw sajalah yang menerima wahyu, dan tak lagi turun wahyu dengan wafatnya Nabi saw. Sekarang masalahnya adalah sepeninggal Nabi saw siapakah yang bertanggung jawab menjelaskan secara terperinci ajaran-ajaran samawi yang tak memungkinkan pendapat pnbadi.

Apakah tanggung jawab ini beralih ke seseorang yang menjadi tempat bertanya seperti Nabi saw, yang jawabannya selalu benar, yang tak dapat dicurigai memberikan jawaban berdasarkan pendapat pribadi, atau pernah berbuat keliru dan kemudian meturuskannya? Mengenai Nabi saw, tak dapat dikatakan bahwa jawabannya pernah ada yang salah atau dipengaruhi kehendak pribadi. Tuduhan seperti ini berarti tidak mengakui kenabiannya. Kalau Nabi saw mengatakan sesuatu, kita tak dapat mengatakan bahwa itu salah atau bahwa Nabi saw bisa saja keliru. Sebaliknya, kalau pembuat undang-undang, yang undang-undangnya ditaati orang, bisa saja dikatakan bahwa mengenai masalah tertentu dia berbuat keliru atau dia tidak memberikan perhatian penuh kepada masalah tertentu itu atau dia dipengaruhi pertimbangan dari luar. Namun tidak bisa mengatakan demikian terhadap Nabi saw, sebagaimana tidak bisa mengatakan bahwa ayat Al-Qur'an ada yang keliru atau dipengaruhi oleh kepentingan pribadi.

Sepeninggal Nabi saw, adakah orang yang dapat dipandang sebagai otoritas yang kompeten untuk semua masalah agama dan yang dapat menjelaskan hukum agama dengan terperinci seperti Nabi saw? Adakah manusia sempurna yang memiliki semua sifat ini? Kami katakan bahwa manusia seperti itu memang ada. Yang membedakan dia dengan Nabi saw hanyalah kalau yang dikatakan Nabi saw dasarnya adalah wahyu langsung dari Allah, sedangkan yang dikatakan imam dasarnya adalah ilmu yang didapatnya dari Nabi saw, bukan dalam pengertian dia dididik dengan cara yang lazim kita kenal, namun dalam pengertian seperti dikatakan oleh Imam All as bahwa Nabi saw membukakan baginya pintu ilmu, dengan terbukanya pihtu ilmu mi seribu pintu yang lain terbuka pula baginya. Kita tak mungkin menjelaskan bagaimana kejadiannya, sebagaimana kita tak dapat menjelaskan wahyu dan menjelaskan cara Nabi saw menerima wahyu langsung dari Allah SWT.

Kita tak mungkin menjelaskan hubungan spiritual seperti apa antara Nabi saw dan Imam Ali bin Abi Thalib as, namun yang pasti Nabi saw mengajarkan dengan lengkap kepada Imam Ali as semua realitas, dan Nabi saw tidak mengajarkan ilmu itu kepada orang lain. Imam Ali as mengatakan bahwa ketika tengah bersama Nabi saw di gua Mira dia mendengar suara seakan-akan sesebrang tengah menangis. Dia berkata kepada Nabi saw, "Wahai Rasul Allah, aku mendengar tangisan setan ketika wahyu turun kepadamu." Nabi saw berkata, "Wahai Ali, engkau mendengar apa yang aku dengar, dan engkau melihat apa yang aku lihat, hanya saja engkau bukan Nabi." (Nahj al-Balâgkah, khotbah 192)

Seandainya ada orang lain di tempat itu bersama Imam Ali as, orang lain itu tentu tak akan mendengar suara itu, karena men­dengar seperti itu bukan menangkap gelombang suara sehingga siapa pun yang punya telinga dapat mendengarnya. Mendengar seperti itu adalah persepsi yang lain.

Hadis Tsaqalain

Mengenai imamah, masalah pokoknya adalah aspek spiritualnya. Imam adalah pemimpin spiritual, kedudukannya di bawah Nabi. Imam tahu Islam secara spiritual. Imam maksum seperti Nabi. Imam adalah otoritas mutlak agama. Dalam perkataannya tak ada kekeliruan atau penyimpangan yang disengaja. Itulah yang kami maksud dengan maksum. Dalam hubungan ini Syiah menyatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat: Kitab Allah dan keturunanku." (Shahih Muslim, Jilid VII, hal. 122)

Sesungguhnya tak dapat dipungkiri bahwa Nabi saw memang berkata demikian. Ini bukanlah hadis yang diriwayatkan oleh Syiah saja, namun juga diriwayatkan oleh lebih banyak sumber Sunni ketimbang Syiah. Ketika kami di Qum, sebuah majalah bernama "Risalah at-Taqrib" diluncurkan oleh Dar at-Taqrib Mesir. Dalam salah satu nomornya seorang ulama Sunni mengutip hadis tsaqalain dengan kata-kata seperti ini: "Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat berat: Kitab Allah dan sunahku." Almarhum Ayatullah Burujerdi, seorang ulama dalam arti yang sebenarnya, membahas masalah seperti itu dengan sangat seksama. Seorang muridnya adalah Syaikh Qawam Wisynawahi, seorang yang baik, sangat antusias menelaah banyak buku dan mengumpulkan banyak rujukan.

Almarhum Ayatullah Burujerdi minta kepadanya untuk melacak sumber-sumber hadis ini dalam buku-buku Sunni yang menyebutkan hadis tersebut. Karena itu, dia mengumpulkan rujukan-rujukan seperti itu dan menyebutkan lebih dari dua ratus kitab Sunni tepercaya yang meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, "Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat berat: Kitab Allah dan keturunanku." Jelaslah Nabi saw mengungkapkan masalah ini dalam bentuk ini di banyak kesempatan dan di beberapa tempat. Namun kita tidak dapat menafikan kemungkinan Nabi saw ber­sabda di kesempatan tertentu bahwa Nabi saw akan meninggalkan dua perkara: Kitab Allah dan sunahnya. Tak ada perbedaan antara keturunan Nabi dan sunahnya, karena yang dapat menjelaskan sunahnya adalah keturunannya saja. Sedangkan eksistensi keturunannya dan sunahnya satu sama lain tidak terpisah. Keturunan Nabi saw-lah yang menjelaskan secara terperinci dan menjaga sunahnya. Bila Nabi saw menyebut keturunannya bersama Kitab Allah, Nabi saw bermaksud mengatakan bahwa kalau mau mengetahui sunahnya merujuklah ke keturunannya. Bahkan pernyataan bahwa Nabi saw bersabda, "Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat berat: Kitab Allah dan keturunanku," itu sendiri adalah sunah. Karena itu tak ada perbedaan antara sunah Nabi saw dan keturunan Nabi saw. Kalau di satu tempat, dan bahkan ini belum pasti, Nabi saw mengatakan, "Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat berat: Kitab Allah dan sunahku," di sedemikian banyak tempat lainnya Nabi saw menggunakan ungkapan lain. Jika dalam satu kitab hadis ini ditulis dalam satu bentuk, di dua ratus kitab lainnya ditulis dalam bentuk lain.

Syaikh Qawam mempersiapkan sebuah risalah dan mengirimkannya kepada Dar at-Taqrib Mesir. Dar at-Taqrib juga bukan tidak adil. Dar at-Taqrib menerbitkan risalah itu. Karena autentik, maka tak dapat ditolak. Tak ada seorang pun yang dapat mengajukan keberatan terhadap risalah itu. Seandainya almarhum Ayatullah Burujerdi melakukan apa yang biasa dilakukan orang lain dalam kasus-kasus seperti ini, tentu dia akan berteriak-teriak, akan menyebut orang-orang Dar at-Taqrib tidak jujur, dan akan menuduh mereka bersekohgkol melawan orang-orang pilihan keturunan Nabi saw.

Menjelaskan secara terperinci agama merupakan roh sejati imamah. Islam adalah agama yang lengkap dan cemerlang. Namun masalahnya adalah apakah ajaran Islam itu hanya berupa prinsip dan norma umum seperti disebutkan dalam Al-Qur'an dan dijelas-kan lebih lanjut dalam sabda-sabda Nabi saw. Apakah Islam hanya-lah sebatas ini saja? Tak syak lagi, wahyu Allah SWT tidak turun lagi sepeninggal Nabi saw. Islam sudah lengkap. Namun apakah setiap rukun Islam sudah dijelaskan pada masa itu? Atau apakah banyak masalah hukum, yang berada di bawah kepedulian protektif Imam Ali as dan yang harus diketahui orang, dijelaskan secara gradual atau dijelaskan pada beberapa kesempatan yang tepat? Dalam kasus yang disebutkan terakhir ini hadis ini membuktikan kemaksuman para imam, karena Nabi saw telah menyuruh kaum Muslim urituk mendapatkan agama mereka dari dua sumber: Kitab Allah dan keturunannya. Karena sebagai satu dari dua sumber ini Al-Qur'an maksum dan bebas dari segala kesalahan, maka sumber yang satunya lagi, yaitu keturunan Nabi saw, haruslah maksum juga. Mustahil Nabi saw menyuruh pengikutnya untuk mendapatkan agama dari orang yang tidak terlepas dari kemungkinan berbuat salah.

Di sinilah ajaran Syiah pada dasarnya beda dengan ajaran Sunni berkenaan dengan masalah mendapatkan dan menjelaskan agama secara terperinci. Kaum Sunni mengatakan bahwa karena sudah tak ada lagi wahyu sepeninggal Nabi saw, maka yang tepercaya men­jelaskan secara terperinci agama juga sudah tak ada lagi. Sekarang yang ada hanyalah menarik kesimpulan logis dari Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi saw.

Larangan Mencatat Hadis

Kaum Sunni sendiri telah menciptakan suatu situasi yang membuat lemah posisi mereka. Umar melarang penulisan hadis. Ini fakta sejarah, bukan cerita rekayasa orang Syiah. Ini diakui oleh orientalis-orientalis Eropa yang bukan Syiah dan juga bukan Sunni. Bahkan para orientalis itu mengatakan bahwa Umar melarang penulisan hadis karena Umar takut hadis akan mengalihkan perhatian orang dari Al-Qur'an, padahal Umar mau Al-Qur'an menjadi satu-satunya sumber hukum. Ini merupakan fakta sejarah yang tak dapat dipungkiri lagi, dan bukan tuduhan kaum Syiah. Pada masa Umar, orang tak berani menulis hadis Nabi saw dan tak berani memperlihatkan tulisannya kepada orang lain. Tentu saja menyampaikan hadis secara lisan dibolehkan. Situasi ini berlangsung sampai masa Umar bin Abdul Aziz, yang menjadi Khalifah pada 99 H dan meninggal pada 101 H. Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pengumpulan dan penulisan hadis-hadis Nabi saw. Dengan demikian Umar bin Abdul Aziz mengganti kebijakan Umar bin Khathab. Perlu dicatat bahwa setelah perintah Umar bin Abdul Aziz itu orang-orang yang sejauh itu menyampaikan hadis Nabi saw secara lisan segera melakukan pencatatan hadis Nabi saw, namun sementara itu sebagian hadis sudah hilang.

Kita tahu bahwa hukum Islam yang disebutkan dalam Al-Qur'an sangat ringkas. Al-Qur'an terutama hanya menyebutkan aturan umumnya saja. Misal, Al-Qur'an sangat menekankan salat. Namun apa yang dikatakan Al-Qur'an tentang salat tak lebih dari Tegakkan salat, rukuk dan sujudlah. Bahkan tidak dijelaskan bagaimana me­lakukan salat itu. Juga banyak sekali ritus yang berkaitan dengan haji. Nabi saw secara pribadi menjalankannya. Kalau saja hadis-hadis Nabi saw bentuknya tidak praktis seperti yang ada sekarang, tentu kaum Muslim tak akan tahu hadis-hadis Nabi saw. Namun masalahnya adalah sempatkah Nabi saw menyampaikan semua ajaran. Selama 13 tahun di Mekah, karena kerasnya penentangan dan situasi yang sangat sulit, jumlah orang yang memeluk Islam mungkin tak lebih dari 400 orang. Orang, kalau mau menemui Nabi saw, secara diam-diam. Sekitar 70 keluarga, yang merupakan separo atau bahkan lebih dari separo total penduduk Muslim, terpaksa harus hijrah ke Ethiopia.

Dari sudut pandang ini Madinah merupakan tempat yang lebih baik. Namun di sana Nabi saw memiliki sedemikian banyak komitmen lain. Meskipun Nabi saw bekerja seperti guru penuh waktu, namun selama 23 tahun ini Nabi saw tak punya cukup waktu untuk menyampaikan semua ajaran Islam, khususnya kalau melihat fakta bahwa Islam adalah aturan hidup manusia yang lengkap terutama di zaman kita ini.

Penggunaan Analogi

Akibat pandangan kaum Sunni dalam hubungan ini, kaum Sunni menghadapi banyak kesulitan praktis berkenaan dengan hukum Islam. Mereka menghadapi banyak masalah yang tak disebut-sebut dalam Al-Qur'an. Mereka merujuk ke koleksi-koleksi hadis mereka, namun tak juga menemukan jawabannya. Lantas harus bagaimana? Untuk memecahkan problem, mereka menggunakan analogi (berdasarkan kesamaan yang ada, dikembangkan norma yang ada dalam nash untuk diterapkan pada kasus yang tak ada jawabannya dalam Al-Qur'an dan sunah. Misal kita katakan bahwa dalam kasus itu hakum mengatakan demikian. Karena kasus ini agak sama dengan kasus itu, maka norma yang sama diterapkan pada kasus ini juga. Mungkin dalam kasus itu Nabi saw memberikan keterituan tertentu karena alasan tertentu, dan karena alasan itu ada dalam kasus ini juga, maka ketentuan yang sama juga berlaku pada kasus ini.

Seperti diketahui, pengambilan kesimpulan analogis didasarkan pada kemungkinan saja. Kasus-kasus yang tak ada hadis Nabinya, terlalu banyak. Dunia Islam bertambah luas selama periode Abasiyah. Banyak negara ditaklukkan. Akibatnya, bermunculan problem-problem baru setiap hari, dan solusinya tak ada dalam Al-Qur'an serta sunah. Akibatnya adalah pengambilan kesimpulan analogis menjadi praktik umum. Kaum Sunni terbagi menjadi dua kelompdk. Yang pertama adalah kelompok Ahmad bin Hanbal dan Malik bin Anas. Kelompok ini mencurigai pengambilan kesimpulan analogis. Konon Malik bin Anas banyak menggunakan analogi. Abu Hanifah suka mengatakan bahwa apa yang dianggap sebagai sabda-sabda Nabi saw tak dapat dipercaya. Dia menyatakan hanya me-nemukan lima belas hadis Nabi saw yang dapat dipercaya. Dalam kasus'kasus lainnya dia menggunakan pengambilan kesimpulan analogis. Syafi'i mengambil sikap tengah. Dalam sebagian kasus dia menggunakan hadis Nabi saw, dan dalam sebagian kasus lainnya dia menggunakan analogi. Akibatnya dia melahirkan semacam hukum yang kacau. Konon Abu Hanifah begitu banyak mengguna­kan analogi karena dia asalnya dari Iran, dan orang Iran pada dasarnya cenderung sangat memperhatikan upaya mental, dan karena dia tinggal di Irak yang jauh dari Madinah, pusat ahli hadis. Namun dia terlalu asyik dengan analogi.

Seorang penulis Sunni mengatakan bahwa suatu hari Abu Hanifah pergi ke tukang cukur. Jenggotnya sebagian hitam dan sebagian beruban, namun jumlah ubannya tidak begitu banyak. Dia minta kepada si tukang cukur agar mencabut ubannya. Si tukang cukur berkata, "Jika uban dicabuti, maka tumbuhnya cenderung semakin banyak." Abu Hanifah berkata, "Kalau begitu, cabuti pula rambut hitamnya, karena analogiku mengatakan kalau uban dicabuti maka tumbuhnya semakin banyak, berarti begitu pula rambut yang masih hitam." Namun faktanya adalah bahwa jika ada kaidah seperti itu, berlakunya hanya pada uban saja, tidak pada rambut yang masih hi tarn. Untuk yurisprudensi pun pengambilan kesimpulan yang dilakukan Abu Hanifah juga seperti itu.

Analogi dari Sudut Pandang Syiah

Kalau kita merujuk ke hadis-hadis Syiah, kita akan tahu bahwa menurut Syiah dirasakannya kebutuhan akan analogi hanya akibat anggapan yang keliru bahwa Al-Qur'an dan sunah belum cukup untuk memberikan semua hukum yang diperlukan. Faktanya adalah bahwa anggapan seperti ini salah mutlak. Kami menerima banyak sekali hadis Nabi saw baik secara langsung atau melalui orang-orang pilihan keturunan Nabi saw, sehingga kalau kami merujuk ke prinsip-prinsipnya, kami sama sekali tak memerlukan pengambilan kesimpulan analogis. Itulah jiwa imamah dari sudut pandang agama.

Islam bukanlah sekadar doktrin. Tak dapat dikatakan bahwa setelah ideologinya disampaikan oleh pembawanya, maka yang diperlukan hanyalah adanya pemerintah untuk melaksanakan ideologi itu. Islam adalah aturan yang lengkap, dan ini harus dicamkan.

Tak Ada Pemilihan Kalau Ada Imam yang Maksum

Dari sudut pandang kepemimpinan dan kepenguasaan, posisi-nya adalah bahwa Imam Ali bin Abi Thalib as adalah penerus Nabi saw yang sama maksumnya dengan Nabi saw sendiri, dan yang ditunjuk oleh Nabi saw untuk menjadi penerusnya, tak dapat digantikan oleh orang lain. Posisinya luar biasa seperti posisi Nabi saw sendiri. Karena itu dalam kasus Imam Ali as tak ada ruang bagi pemilihan, musyawarah atau hal lainnya seperti itu. Dalam kasus Nabi saw tak ada yang pernah mengatakan bahwa Nabi saw hanya­lah Rasul Allah dan umat bebas memilihnya atau siapa pun untuk menjadi penguasa mereka. Setiap orang tahu bahwa karena beliau saw manusia luar biasa dan punya kontak dengan alam ilahiah, maka dengan adanya beliau saw, tak ada pemilihan. Sepeninggal Nabi saw juga, tak ada ruang bagi pemilihan, karena Nabi saw telah menunjuk dua belas penerusnya untuk memperkuat Islam pada dua atau tiga abad selanjutnya, dan untuk menjelaskan Islam secara terperinci dengan penjelasan yang bebas dari kesalahan. Dengan adanya orang-orang seperti itu yang mampu menjelaskan semua ajaran Islam, maka tak ada pemilihan dan seterusnya. Apakah masuk akal memilih orang lain padahal ada seseorang yang mudak maksum, dan luar biasa kompeten dan berilmu dalam setiap arti katanya?

Selanjutnya, ketika Imam All bin Abi Thalib as ditunjuk menjadi Imam dalam pengertian yang kami sebutkan, kepemimpinan duniawi tentu saja juga menjadi prerogatifnya. Sesungguhnya Nabi saw telah menunjuk Imam Ali as untuk mengemban jabatan ini, karena Imam Ali as adalah seorang Imam dan maksum. Namun, kasusnya lain selama gaibnya Imam yang sekarang ini (Imam kedua belas—peny.), karena tak ada imam yang maksum yang leluasa mengemban otoritas duniawinya.

Begitu pula, kasusnya akan lain jika peristiwa-peristiwa pada periode awal Islam tidak terjadi, dan Imam Ali as menjadi Khalifah begitu Nabi saw wafat dan Imam Ali as digantikan oleh Imam Hasan as, kemudian oleh Imam Husain as dan seterusnya sampai zaman Imam terakhir. Kalau begini keadaannya, maka tak akan ada alasan untuk gaib. Sepeninggal Imam maksum terakhir, maka bentuk penguasanya akan lain. Kemudian dapat dipertanyakan bagaimana pemecahan masalah ini. Apakah seorang mujtahid yang memenuhi syarat lantas menjadi penguasa? Dapatkah umat memilih penguasa mereka?

Karena itu, sejak awal masalah imam tidak kami pandang sebagai sekadar masalah pemerintahan duniawi. Adalah keliru kalau pada tahap ini bertanya apakah Islam menginginkan pemerintahan yang berdasarkan penunjukan atau pemerintahan yang berdasarkan pemilihan, dan kemudian bertanya kenapa Syiah mertganjurkan bentuk pemerintahan tertentu. Masalahnya tidak sesederhana itu. Haras diakui bahwa kalau ada imam yang maksum, maka orang lain tak bisa mengklaim menjadi penguasa, seperti halnya dengan adanya Nabi saw maka orang lain tak bisa menjadi penguasa.

Nabi saw telah menunjuk Ali as sebagai Imam, dan karena itu menjadi hak istimewa Ali as untuk juga menjadi penguasa. Selain itu, pada beberapa kesempatan Nabi saw menjelaskan bahwa Imam Ali as yang akan menggantikannya sebagai penguasa kaum Muslim. Perlu diingat bahwa Nabi saw melakukan penunjukan ini atas dasar karena Imam Ali as adalah Imam setelah Nabi saw.

Masalah Wilayah Spiritual

Sebelumnya sudah saya sebutkan satu poin yang saya yakini dan saya anggap sebagai doktrin yang fundamental, meskipun mungkin bukan prinsip pokok Syiah. Masalah tersebut adalah bagaimana karakter khusus posisi Nabi? Bahwasanya yang diwahyukan kepada Nabi, apakah hanya sebatas perintah ilahiah, prinsip-prinsip pokok dan ajaran tambahan Islam? Apakah yang diketahuinya hanya realitas-realitas Islam saja, ataukah informasi lain juga disampaikan kepadanya oleh Allah SWT? Apakah dia unggul dalam ketakwaan karena dia maksum? Hampir semua pertanyaan seperti ini juga dilontarkan berkenaan dengan para imam. Meskipun para imam tidak menerima wahyu dari Allah SWT, namun mereka menerima pengetahuan tentang Islam melalui Nabi saw, dan pengetahuan mereka bebas dari kemungkinan salah seperti halnya pengetahuan Nabi saw sendiri. Mengenai ketakwaan, para imam juga maksum.

Sekarang pertanyaannya adalah apakah Nabi saw atau para imam, selain memiliki sifat-sifat ini, juga memiliki sifat-sifat khusus lainnya. Selain ilmu agama, cabang-cabang ilmu apa lagi yang dikuasainya? Benarkah berita tentang perbuatan umat Nabi di­sampaikan kepada Nabi saw, dan berita serupa juga disampaikan kepada tiap imam selama hayatnya. Sekarang, imam yang ada mengetahui, mendengar dan melihat segala sesuatu yang terjadi di dunia. Dia melihat perbuatan bukan saja dari kaum Syiah saja tetapi juga dari semua orang. Dalam hal ini tak ada bedanya antara imam yang masih hidup dan imam yang sudah meninggal. Seperti disebutkan sebelumnya, bila Anda berziarah ke makam Imam Ali Ridha as, dan memberi salam kepadanya, perbuatan ini terjadi seakan-akan Anda tengah menyapa seseorang yang hidup di dunia ini. Bila Anda memberi salam kepada imam, imam mendengar dan melihat Anda. Itulah manifestasi dari wilayah spiritual.

Sudah kami kemukakan sebelumnya bahwa masalah wilayah merupakan titik pertemuan tasawuf dan Syiah. Konsepsi mereka dalam hal ini sangat dekat. Kaum sufi mengatakan bahwa pada setiap zaman tentu ada seorang sempurna yang mereka sebut quthb. Menurut kaum Syiah, pada setiap zaman tentu ada imam dan otoritas keagamaan, yang adalah seorang yang sempurna. Karena masalah ini tidak menjadi perselisihan antara Syiah dan Sunni, kami rasa pada tahap ini tak perlu membahasnya lebih lanjut. Pokok perselisihannya ada dua, yaitu imamah dalam pengertian menjelaskan secara terperinci agama, dan imamah dalam pengertian pemimpin duniawi kaum Muslim.

Makna Penting Hadis Tsaqalain

Mengenai masalah imamah, perlu diperhatikan arti penting hadis ini. Kalau kebetulan Anda bertemu ulama Sunni atau bahkan non-ulama, tanyakan kepadanya apakah Nabi saw mengucapkan kalimat seperti itu atau tidak. Jika jawabannya tidak, tunjukkan kepadanya sedemikian banyak kitab Sunni itu sendiri. Sesungguhnya ulama Sunni tak dapat, dan umumnya tidak, menafikan eksistensi dan kesahihan hadis seperti itu.[1] Lalu katakan kepadanya, "Nabi saw menyebut Al-Qur'an sebagai otoritas nomor satu dan orang-orang pilihan keturunannya sebagai otoritas nomor dua. Sekarang sebutkan siapa keturunan ini."

Dapat dicatat bahwa kaum Sunni tidak membedakan antara keturunan Nabi saw dan yang lainnya. Mereka meriwayatkan hadis-hadis Nabi saw lebih sering dari sahabat-sahabat lain dibanding dari Imam Ali bin Abi Thalib as. Bahkan bila mereka mengutip Imam Ali as, mereka mengutipnya sebagai perawi hadis Nabi saw, bukan sebagai otoritas.

Hadis Ghadir

Seperti sudah dikemukakan, orang yang ahli agama harus juga menjadi pemimpin agama itu. Sejauh menyangkut kepemimpinan, Nabi saw khususnya menunjuk Imam Ali as sebagai pemimpin agama. Hadis Ghadir merupakan contoh deklarasi seperti itu. Deklarasi Ghadir dibuat oleh Nabi saw pada kesempatan Nabi saw menunaikan haji terakhir. Mungkin sekali Nabi saw hanya menunaikan haji sekali saja setelah penaklukan Mekah, dan Nabi saw menunaikan umrah sekali sebelum haji perpisahannya. Pada kesempatan haji perpisahannya, Nabi saw menyerukan ajakan umum kepada semua Muslim untuk menunaikan ibadah haji tahun itu. Ketika semua Muslim sudah berkumpul, Nabi saw menyampaikan khotbah pada kesempatan yang berbeda di Masjidil Haram, di Arafah, di Mina, di luar Mina dan di Ghadir Khum. Setelah menyebutkan beberapa poin lain di Ghadir Khum, Nabi saw akhirnya menyebutkan satu poin yang sangat ditekankannya. Menurut kami, Nabi saw menjadikan poin itu sebagai poin terakhir disebabkan oleh ayat ini yang Nabi saw bacakan di sana:

Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dan Tuhanmu. Danjika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. (QS. al-Mâ`idah: 67)

Nabi saw mengemukakan banyak prinsip Islam dan masalah tambahan dalam khotbah-khotbah yang disampaikannya di Arafah, Mina dan Masjidil Haram. Pada semua kesempatan ini Nabi saw membahas masalah-masalah penting. Namun di Ghadir Khum Nabi saw membuat deklarasi. Mengenai deklarasi ini Nabi saw mengatakan jika Nabi saw tidak membuat deklarasi itu, maka semua yang telah disampaikannya akan batal. Kemudian Nabi saw bersabda, "Bukankah aku lebih dekat dengan kalian dibanding diri kalian sendiri?" Nabi saw tengah merujuk ke sebuah ayat Al-Qur'an yang mengatakan:

Nabi lebih dekat dengan kaum mukmin dibanding diri mereka sendiri. (QS. al-Ahzâb: 6)

Selanjutnya Nabi saw bersabda, "Bukankah aku lebih berwenang atas diri kalian dibanding kalian sendiri?" Semua yang hadir me­ngatakan, "Betul, Ya Rasulullah." Kemudian Nabi saw membuat deklarasi, "Ali ini adalah pemimpin (penguasa) orang yang men­jadikan aku sebagai pemimpin (penguasa)-nya."

Ikhtisar lengkap mengenai masalah Ghadir diterbitkan beberapa tahun lalu di Masyhad dalam bentuk buku oleh Lembaga Publikasi Kebenaran Islam. Saya belum membaca buku ini, namun sahabat-sahabat saya yang telah membacanya mengatakan sangat bagus, setidak-tidaknya patut dibaca.

Akan menyita terlalu banyak tempat untuk menelaah semua sumber hadis Ghadir yang, menurut kami, merupakan hadis mutawatir atau hadis Tsaqalain. Mir Hamid Husain, penulis "'Abaqat al-Anwar", telah melacak sumber hadis ini dalam 400 halaman ukuran besar. Dalam membahas substansi problem imamah, kami hanya ingin menyebutkan secara ringkas otoritas-otoritas yang menjadi dasar klaim mereka dalam hal ini, meskipun masalahnya mungkin perlu dibahas lebih terperinci.

Catatan Kaki:

[1] Sebagian ulama salah menggunakan hadis ini, karena mereka selalu meng-gunakannya sebagai pengantar kisah tentang kemalangan orang-orang pilihan keturunan Nabi. Mungkin ada anggapan bahwa ketika Nabi saw mengatakan akan meninggalkan dua hal, yaitu Al-Qur'an dan keturunannya, yang dimaksud Nabi adalah agar dua hal dihormati dan jangan dihina. Sesungguhnya yang dimaksud Nabi adalah Nabi akan meninggalkan dua otoritas yang menjadi tempat bertanya tentang semua masalah keagamaan dan sosial. Dalam bagian akhir hadis ini, Nabi bersabda, "Selama kalian berpegang pada keduanya, kalian tidak akan sesat." Jadi persoalannya adalah persoalan mengikuti (berpegang). Nabi saw mendeklarasikan bahwa keturunannya sama dengan Al-Qur'an. Nabi sendiri mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah tsaqal besar, sedang keturunannya adalah tsaqal kecil.




BAB 34 - Studi Ilmiah Atas Imamah
Untuk menjelaskan basis argumen para ulama Syiah untuk mendukung konsepsi mereka ten tang imamah dan untuk menunjukkan apa yang dikatakan orang lain mengenai hal ini, menurut kami tepat kalau menyajikan dengan disertai penjelasan kutipan tulisan Khwaja Nasiruddin Tusi. Kutipan ini sangat tepat, dan kaum Syiah serta kaum Sunni juga memberikan komentar mereka tentangnya. Tentu Anda pernah mendengar judul sebuah buku, “Tajrid", karya Khwaja Nasiruddin. Buku ini sebagian mengenai logika, dan diberi nama logika Tajrid. Sebagian lagi mengenai teologi ilmiah dan membahas masalah seperti tauhid, kenabian, imamah, akhirat dan sebagainya. Nada bagian yang membahas tauhid agak filosofis, karena dalam bagian ini Khwaja Nasiruddin mengikuti gaya filosof. Ulasan mengenai dua bagian buku ini ditulis oleh 'Allamah Hilli. Dia bukan saja salah satu mujtahid hebat Syiah, namun juga salah satu mujtahid hebat Islam. Di bidang logika, teologi ilmiah, filsafat, matematika dan sebagainya, dia adalah murid Khwaja Nasiruddin. Dia belajar yurisprudensi dari Muhaqqiq Hilli, penulis "Syaraya", yangjuga salah seorang mujtahid ternama Syiah. 'Allamah Hilli dan Khwaja Nasiruddin tergolong ulama yang sangat piawai. Khwaja Nasiruddin juga dianggap sebagai salah seorang ahli matematika kelas dunia. Baru-baru ini koran pada mengumumkan bahwa beberapa bagian dari bulan diberi nama dengan nama ahli-ahli matematika Iran tertentu seperti Umar Khayyam, Ibnu Sina dan Khwaja Nasiruddin, yang berabad-abad lalu mengajukan beberapa teori yang sangat sahih tentang bulan. Tak diragukan lagi, 'Allamah Hilli jenius di bidangnya, yaitu yurisprudensi. Dia menulis banyak buku, antara lain buku duajilid berjudul "Tadzkirah al-Fuqaha". Kalau buku ini ditelaah, akan terlihat betapa ahlinya penulis buku ini.

Muhammad Qazwini mengetakan bahwa ketika di Teheran dia suka menghadiri kuliah Mirza Asytiyani. Kemudian ketika ke Eropa, dan bertemu beberapa pakar Eropa yang ahli di bidang mereka, dia merasa bahwa Mirza Asytiyani adalah seorang spesialis dalam arti yang sesungguhnya. "Tadzkirah al-Fuqaha" adalah buku yang bukan saja tentang yurisprudensi Syiah, namun mengenai setiap norma hukum, buku ini juga menyebutkan pandangan mazhab-mazhab Sunni yang didirikan oleh empat Imam Sunni seperti Abu Hanifah, Syafi'i, Malik dan Ahmad bin Hanbal, dan juga putusan mujtahid-mujtahid terkemuka sebehim terbentuknya empat mazhab ini. Kalau membahas masalah, buku ini mengatakan bahwa Abu Hanifah berkata demikian, Syafi'i berkata demikian dan kami, kaum Syiah, berpandangan demikian. Terkadang dia membuktikan kesalahan suatu pendapat. Terkadang, misal, dia mengatakan bahwa Syafi'i mulanya mengatakan begini namun kemudian berubah pen­dapat mengatakan begitu.

Syaikh Muhammad Taqi Qummi suka mengatakan bahwa ketika diputuskan untuk menerbitkan "Tadzkirah", diundanglah seorang ahli dari setiap mazhab Sunni. Ahli-ahli ini tercengang ternyata 'Allamah Hilli lebih tahu dibanding mereka tentang ajaran mazhab-mazhab mereka. Sungguh luar biasa orang semacam 'Allamah Hilli itu!

Dia menyusun sebuah ulasan mengenai Tajrid. Bagian dari "Tajrid" yang berkenaan dengan logika dikenal dengan judul "Jauhar an-Nadhid". Buku ini termasuk yang terbaik mengenai logika. Bagian ilmiah dari buku ini diberi judul "Kasyf al-Murad" dan sekarang dikenal dengan judul "Syarh al-Tajrid". Kedua bagian dari ulasan 'Allamah Hilli mengenai Tajrid sangat ringkas. Itulah sebabnya kedua bagian ini kemudian diulas lagi, dan ditulis catatan penjelas tentang kedua bagian ini. Barangkali selain "Tajrid" tak ada buku lagi di dunia Muslim yang begitu menarik perhatian ulama. Buku ini disangkal oleh sebagian dan didukung oleh sebagian lagi. Tak ada buku lagi yang begitu banyak ulasan dan catatannya selain buku ini. Alasannya adalah ketika Khwaja Nasiruddin ingin menguraikan sebuah masalah dari sudut pandang Syiah, dia membicarakannya secara ringkas saja. Dalam kebanyakan hal, dia membicarakannya secara ringkas. Dalam kesimpulan buku ini, dia menguraikan masalah Imamah dengan cara yang diterima oleh semua ulama Syiah, dan karena itu dari uraiannya itu mudah dimengerti bagaimana pikiran ulama-ulama Syiah tentang pokok masalah ini.

Saya memiliki ulasan Mulla Ali Qusychi tentang Tajrid. Mulla All Qusychi adalah seorang ulama Sunni yang hebat. Tentu saja yang dikemukakannya adalah sudut pandang Sunni, dan dalam kebanyakan hal dia menyangkal pandangan Khwaja Nasiruddin. Dengan demikian dalam buku ini pandangan Sunni direfleksikan bersama-sama dengan pandangan Khwaja yang tentu saja pandangan Syiah.

Definisi Imamah

Yang pertama perlu disebutkan tentang imamah adalah definisi-nya. Tak ada perselisihan pendapat mengenai definisi imamah. Dikatakan bahwa Imamah adalah tanggung jawab umum atas urusan keagamaan dan urusan duniawi. Khwaja Nasiruddin menggunakan ungkapan ilmiah dan mengatakan bahwa Imam adalah luthf (karunia) Allah. Yang dimaksudnya adalah seperti kenabian, masalah imamah juga berada di luar otoritas manusia. Karena itu imam tak dapat dipilih berdasarkan keputusan manusia. Seperti Nabi saw, imam ditunjuk berdasarkan ketetapan Allah SWT. Bedanya cuma kalau Nabi berhubungan langsung dengan Allah SWT, imam diangkat oleh Nabi saw setelah mendapat perintah dari Allah SWT.

Argumen Rasional Syiah

Dalam kaitan ini Khwaja Nasiruddin hanya mengemukakan satu kalimat. Namun basis penjelasan ulama-ulama Syiah sama dengan yang kami sebutkan sebelumnya. Mula-mula mereka mengemuka­kan argumen sejarah. Mereka mengatakan jika imamah Imam Ali bin Abi Thalib as berjalan sebagaimana semestinya, maka imamah imam-imam berikutnya dapat didasarkan deklarasi imam sebelum­nya. Ulama-ulama Syiah mengatakan bahwa mereka tahu Islam adalah agama terakhir dan tak ada agama lagi setelah Islam.

Islam adalah agama dan seperangkat aturan hidup yang lengkap. Mereka bertanya apakah sejarah hidup Nabi saw menunjukkan bahwa Nabi saw cukup sempat untuk menyampaikan semua ajaran Islam kepada umat pada umumnya. Kalau sejarah Islam dikaji, ternyata Nabi saw tidak memiliki cukup waktu. Meskipun Nabi saw selalu memanfaatkan waktu yang ada untuk mengajarkan banyak hal kepada umat, namun kalau diingat keadaan khusus Nabi saw dan kesibukan Nabi saw di Mekah dan Madinah, tentulah masa 23 tahun tidaklah cukup bagi Nabi saw untuk menyampaikan semua hukum Islam kepada semua Muslim. Pada saat yang sama juga mustahil bagi Nabi saw untuk menyampaikan informasi lengkap mengenai agama yang sempurna ini. Karena itu pastilah ada satu atau lebih orang dari kalangan sahabat Nabi saw yang mendapatkan pengetahuan lengkap mengenai Islam dari Nabi saw dan dalam posisi untuk menjelaskan ajaran Islam sepeninggal Nabi saw dengan cara seperti yang dilakukan Nabi saw, bedanya hanya Nabi saw menerima wahyu langsung dari Allah SWT, sedangkan mereka mendapatkan pengetahuan ini melalui Nabi saw.

Ulama Syiah mengatakan bahwa kaum Sunni tidak mengakui eksistensi seseorang yang menjadi tempat bertanya tentang masalah-masalah Islam, dan ini berarti kaum Sunni memandang Islam tidak sempurna. Itulah sebabnya kenapa kaum Sunni meng-gunakan teori analogi. Menurut kaum Sunni, kalau ada masalah-masalah yang tak ada ketentuannya dalam sunah, maka alternatifnya adalah membandingkan satu masalah dengan masalah lainnya, dan dengan bersandar pada kesamaan hipotetis diambil kesimpulan norma hukum. Tentu saja kaum Syiah tak berpandangan seperti ini. Imam Ali as, dalam "Nahj al-Balâghah", mencela pandangan seperti ini, begitu pula imam-imam lainnya.

Imam Ali bin Abi Thalib as berkata, "Apakah Allah menurunkan sebuah agama yang tidak lengkap?" (khotbah 18) Apakah diperlukan pertimbangan pribadi untuk melengkapinya? Semua imam mengatakan bahwa Islam sempurna dan lengkap, dan karena itu norma hukum tak dapat didasarkan pada pertimbangan pribadi atau perkiraan.

Dalam al-Kâfî ada sebuah bab yang berjudul "Tak Ada yang Halal atau Haram kecuali ada ketentuannya dalam Al-Qur'an dan sunah." Setidak-tidaknya prinsip-prinsip umum yang meliput setiap norma hukum. Yang harus dilakukan adalah menerapkan prinsip-prinsip ini pada kasus-kasus tertentu. Itulah yang dimaksud ijtihad oleh kaum Syiah. Dengan kata lain, dalam Islam hukum yang sifatnya umum jumlahnya memadai, dan tugas mujtahid hanyalah membuat perinciannya. Sebaliknya, teori analogi menunjukkan bahwa hukum yang sifatnya umum jumlahnya tidak memadai sehingga perlu dilakukan pengambilan kesimpulan dengan berdasarkan hipotesis untuk mendapatkan norma hukum.

Ulama Syiah mengatakan bahwa baik kaum Syiah maupun kaum Sunni mengakui bahwa selama 23 tahun kenabian, Nabi saw tak dapat menyampaikan kepada umat semua aturan Islam sekalipun secara umum. Untuk menyempurnakan misinya, Nabi saw memilih orang-orang tertentu yang suci, dan menyampaikan semua kebenaran Islam kepada orang pertama di antara orang-orang suci itu, yaitu Imam Ali as. Semua orang suci ini mampu menjawab pertanyaan yang diajukan. Imam All as sering mengatakan akan menjawab setiap pertanyaan tentang Islam yang diajukan kepadanya.

Imam Artinya Ahli Masalah Agama

Masalah ini akan dijelaskan dengan bahasa modern. Ulama Syiah mengatakan bahwa mereka yang menafikan eksistensi para imam beserta semua sifat khasnya sesungguhnya menganggap remeh Islam. Bila perlengkapan teknis dikirimkan ke suatu tempat, selalu disertai ahlinya. Bila negara seperti Amerika atau Rusia mengirimkan peralatan teknis seperti pesawat phantom atau tempur ke sebuah negara yang belum banyak tahu tentang peralatan ini, maka pengirimannya disertai beberapa ahlinya. Tentu saja kalau untuk peralatan teknis sederhana seperti tekstil, tidak perlu disertai beberapa ahli. Sekarang bagaimana pendapat Anda tentang Islam yang dari Allah SWT? Apakah Anda menganggapnya sebagai sesuatu yang sederhana sehingga tak dibutuhkan beberapa ahli, atau menganggapnya sebagai perlengkapan yang kompleks yang selalu perlu disertai ahli-ahli teknis yang akan melatih orang-orang yang akan menerima perlengkapan itu sampai benar-benar tahu perlengkapan itu.

Imam artinya adalah ahli urusan agama—benar-benar ahli yang tak akan pernah keliru dan salah. Nabi saw membawa Islam untuk umat manusia. Setidak-tidaknya untuk beberapa waktu perlu kehadiran ahli-ahli agama di tengah-tengah umat manusia agar umat manusia tahu tentang Islam. Nabi saw menunjuk seorang yang kompeten untuk mengemban tanggung jawab ini. Ulama Syiah menyebut penunjukan ini karunia (luthf) Allah SWT, karena besar manfaatnya bagi umat manusia. Karena manusia haras ber-jalan menuju Allah SWT, maka kebajikan-Nya menuntut-Nya untuk menunjukkan karunia-Nya kepada manusia. Karena kenabian adalah karunia Allah SWT, imamah pun juga merupakan karunia Allah SWT. Ini dapat disebut hujah rasional imamah, sebuah prinsip pokok Syiah.

Maksum

Di sini muncul soal kemaksuman. Syiah percaya bahwa imam adalah penjaga dan pelindung hukum Islam. Melalui imam sajalah orang dapat tahu tentang Islam.[1] Syiah percaya bahwa imam, seperti Nabi saw: maksum. Kemaksumannya tak dapat dipungkiri. Jika kita tahu pasti Nabi saw mengemukakan pernyataan tertentu, kita tak mungkin meragukan kebenaran pernyataannya. Kita tak pernah dapat mengatakan bahwa Nabi saw telah berbuat keliru. Tak bisa dibayangkan kalau seseorang yang diutus oleh Allah SWT untuk membimbing umat manusia yang membutuhkan bimbingan, berbuat keliru atau dosa. Nabi saw tak mungkin sengaja tidak menaati Allah SWT. Misal, kalau Allah SWT menghendaki seorang nabi untuk menyampaikan pesan tertentu kepada umat manusia, nabi tersebut tak mungkin mengubah pesan itu dengan alasan tidak sesuai dengan kepentingan pribadinya. Kalau berbuat demikian, berarti tidak sesuai dengan karakter esensial kenabian itu sendiri. Jika imamah diakui sebagai sesuatu yang melengkapi kenabian untuk tujuan menjelaskan agama secara terperinci, maka tentulah eksistensi imam merupakan keharusan, dan tentulah imam itu maksum seperti nabi. Jika seseorang mengatakan bahwa kemaksuman imam tidak begitu fundamental, karena kalau imam berbuat keliru, orang lain bisa memperingatkan imam, maka kami katakan kalau begitu orang lain tersebut juga membutuhkan orang lain lagi untuk mengawasinya, dan seterusnya. Pada akhirnya kita tentu butuh se­orang pelindung hukum Islam yang maksum. Lagi pula, kalau imam berbuat salah, maka umat berkewajiban meluruskannya, padahal kewajiban umat adalah mengikuti imam, bukan membimbingnya. Dua hal ini saling bertentangan.

Ditunjuk oleh Allah

Dari soal maksum muncul soal penunjukan oleh Allah SWT. Ulama Syiah mengatakan bahwa imamah adalah karunia Allah SWT. Dengan begitu, imamah harus ada. Karena karunia ini mengharuskan kemaksuman, maka imam tentu haruslah maksum, dan karena alasan inilah maka harus ditunjuk oleh Allah SWT, karena menentukan siapa yang maksum berada di luar kemampuan manusia. Karena manusia tak dapat memilih nabi, maka mereka pun tak dapat memilih imam. Karena nabi ditunjuk oleh Allah SWT, maka imam pun juga ditunjuk oleh Allah SWT. Bedanya cuma kalau nabi dikenali dan diakui melalui tanda-tanda yang ditunjukkannya dan mukjizat yang diperlihatkannya, sedangkan imam diperkenalkan oleh nabi. Itulah yang kami maksud dengan penunjukan. imam ditunjuk oleh nabi, bukan ditunjuk melalui pilihan umat. Dengan demikian ulama Syiah melangkah dari soal kemaksuman ke soal penunjukan. Sekarang tahap keempatnya adalah Imamah Ali bin Abi Thalib as.

Khwaja Nasiruddin mengatakan bahwa kemaksuman dan penunjukan merupakan dua karakter yang hanya berlaku pada Imam Ali as saja. Tak ada perselisihan pendapat mengenai fakta bahwa Nabi saw tidak menunjuk orang lain. Sesungguhnya masalahnya adalah apakah Nabi saw menunjuk atau tidak. Kalau menunjuk, orang yang ditunjuk tak mungkin lain kecuali Imam Ali bin Abi Thalib as. Yang kami katakan adalah bahwa Nabi saw harus menunjuk seseorang untuk menjadi imam sepeninggalnya. Kalau demikian, Nabi saw tak mungkin menunjuk orang lain, karena tak ada kontra klaimnya. Kaum Sunni menafikan penunjukan. Bahkan para khalifah tidak mengklaim ditunjuk oleh Nabi saw. Pengikut mereka juga tak mengeluarkan klaim seperti itu. Karena itu ini bukanlah poin yang dipersoalkan.

Begitu pula dengan kemaksuman. Para khalifah tidak meng­klaim maksum, juga pengikut mereka tidak mengatakan bahwa khalifah maksum. Para khalifah justru mengakui kalau mereka berbuat keliru. Seperti sudah dijelaskan, menurut sudut pandang Sunni, soal imamah sama dengan soal administrasi pemerintahan. Karena itu, menurut mereka, tak ada kemaksuman. Kaum Sunni percaya, meskipun para khalifah tidak maksum dan berbuat banyak kekeliruan, namun secara manusiawi mereka tidak tercela dan layak untuk menjadi imam salat. Kaum Sunni tidak mengklaim posisi khalifah lebih tinggi dari ini. Menurut mereka, seperti ditegaskan oleh Mullah Ali Qusychi, Abu Bakar suka mengatakan bahwa terkadang setan menguasai dirinya. Dia minta supaya orang meluruskannya kalau ternyata dia salah. Banyak kali, sebagian mengata­kan 70 kali, Umar bin Khathab mengaku akan hancur kalau tak ada Ali bin Abi Thalib. Kaum Syiah dan Sunni sama-sama mengakui bahwa Umar memang berkata demikian banyak kali. Banyak kali Umar mengeluarkan perintah yang salah dan Imam Ali as menunjukkan kesalahannya lalu Umar mengakuinya. Dengan demikian para khalifah tidak pernah mengklaim maksum, begitu pula yang lainnya.

Jika soal imamah dilihat dari tingkat tinggi ini, yaitu tingkat karunia Allah SWT, kemaksuman dan penunjukan oleh Allah SWT, maka yang dapat mengklaim tingkat ini hanyalah Imam Ali as. Inilah bentuk ilmiah persoalannya, dan kalau begini maka kami mulai dari atas. Sudah kami katakan bahwa karena kenabian sangat diperlukan dan sekaligus merupakan karunia Allah SWT, maka begitu pula imamah. Sekarang kita lihat apakah dalam praktik aktual juga begitu, dan apakah Nabi saw menunjuk Imam Ali as atau tidak. Untuk itu rnari kita lihat buku-buku yang perlu dikaji.

Dalam hubungan ini ada satu lagi persoalan yang patut disebutkan. Persoalannya adalah kenapa yang digunakan metode ilmiah, dan kenapa dimulai dari atas. Kenapa bukan dimulai dari bawah, dan membahas posisinya sebagaimana adanya sesungguhnya? Para teolog ilmiah memulai dari atas, kemudian berangsur-angsur turun ke posisi sebagaimana adanya dalam kondisi praktisnya. Namun dalam kasus ini muncul pertanyaan bagaimana hubungan kita dengan masalah-masalah seperti apakah imamah merupakan karunia Allah SWT, dan jika demikian, tentu saja imam itu maksum dan ditunjuk. Ini berarti menetapkan kewajiban atas Allah SWT. Karena itu sebaiknya mengikuti bagaimana adanya sesungguhnya. Jika ternyata Nabi saw melakukan penunjukan, maka itu sudah cukup bagi kita. Tidak perlu membuktikan secara rasional bahwa imamah adalah karunia Allah SWT dan bahwa imam mesti maksum dan ditunjuk. Mari kita lihat argumen-argumen Syiah dalam kaitan ini. Dalam kaitan dapat dicatat bahwa kaum Sunni tidak menerima kalau teks-teks seperti itu ada, atau menafsirkannya lain. Dalam banyak kasus, mereka sama sekali tidak menafikan riwayat-riwayat itu, meski menganggap riwayat-riwayat itu tidak mutawatir.

Teks Kenabian tentang Imamah Imam Ali bin Abi Thalib as

Kepada sahabat-sahabatnya Nabi saw pernah mengatakan: "Salamilah Ali, dan panggillah dia Pemimpin Kaum Mukmin'." Nabi saw mengucapkan kata-kata ini ketika di Ghadir Khum. Namun karena satu atau lain hal, periwayatan kalimat ini terlepas dari peristiwa Ghadir. Menurut kaum Sunni, riwayat ini tidak mutawatir. Namun ulama Syiah membuktikan bahwa riwayat ini mutawatir. Tajrid tidak memberikan ulasan lebih lanjut mengenai hadis ini .yang digambarkannya sebagai hadis autentik meski rantai periwayatannya tidak mutawatir. Mullah Ali Qusychi mengatakan bahwa hadis ini tidak mutawatir, karena yang mengutipnya hanya sebagian orang, tidak semua orang. Kitab-kitab seperti "'Abaqat" dan "al-Ghadir" berupaya membuktikan bahwa semua riwayat yang berkaitan dengan imamah Imam Ali as adalah mutawatir. Dalam dua kitab ini, khususnya dalam "al-Ghadir", disebutkan satu per satu periwayat hadis Ghadir dalam setiap generasi sampai abad ke-14. Disebutkan lebih dari enam puluh sahabat Nabi saw meriwayatkan hadis ini. Menarik untuk dicatat bahwa semua nama ini diambil dari kitab-kitab Sunni. Kitab ini juga menyebutkan periwayat hadis ini dari kalangan tabi'in. Semuanya ini hampir dari abad pertama. Kemudian disebutkan pula periwayat hadis ini pada setiap generasi dan pada setiap abad. Kekhasan "al-Ghadir" adalah kitab ini mengutip sumber-sumber yang memperkuat hadis ini. Sedangkan "'Abaqat" dan kitab-kitab lain hanya menyebutkan nama orang-orang yang meriwayatkannya pada tiap-tiap masa dan abad. Para penyair di setiap masa merefleksikan pikiran-pikiran utama yang berkembang di kalangan umat selama masa itu. Kalau peristiwa Ghadir memang direkayasa pada abad ke-4, tentu peristiwa ini tak akan disebut-sebut dalam syair-syair gubahan penyair-penyair abad ke-1, ke-2 dan ke-3. Di setiap abad ternyata masalah Ghadir menjadi bagian dari literatur abad itu. Dari sudut pandang sejarah, mana mungkin hadis ini dinafikan? Kita sering mengikuti pakar untuk memastikan apakah suatu masalah memang ada dalam sejarah. Kalau ternyata banyak pakar di setiap abad menyebut-nyebut masalah itu, maka pastilah masalah itu memang ada di masa mereka. Penulis "'Abaqât" mengkhususkan satu kitab penuh untuk membahas satu hadis dan menelaah secara kritis semua periwayatnya. Kalau orang melihat luar biasa indahnya karangan bunga yang dirangkainya, maka dia akan terpana.

Ada hadis lain yang menyebutkan bahwa Nabi saw berkata kepada Imam Ali as, "Engkau akan menjadi Khalifah sepeninggalku." Masih ada beberapa hadis lainnya yang seperti ini. "Sirah Ibn Hisyam" adalah sebuah kitab yang ditulis pada abad ke-2. Ibn Hisyam sendiri barangkali hidup pada abad ke-3, namun kitab ini semula ditulis oleh Ibn Ishaq yang hidup pada abad ke-2. Kemudian diikhtisarkan oleh Ibn Hisyam. Melalui Ibn Hisyam inilah kitab ini sampai ke kita. Kitab ini, yang dianggap andal oleh kaum Sunni, menceritakan dua peristiwa yang tak disebut-sebut oleh Tajrid. Karena dua peristiwa ini relevan, maka kami sajikan kembali di sini.

Peristiwa Hari Peringatan

Salah satunya berkaitan dengan Hari Peringatan, sebuah nama yang diambil dari ayat Al-Qur'an yang turun pada masa awal Islam:

Dan berilah peringatan kepada kerabat terdekatmu. (QS. asy-Syu'arâ`: 214)

Sampat saat itu Nabi saw belum melakukan dakwah terbuka. Seperti kita tahu, pada saat itu Imam Ali as masih anak-anak dan tinggal di rumah Nabi saw. Itu sendiri sudah merupakan suatu peristiwa. Nabi saw meminta Imam Ali as untuk menyiapkan hidangan dan mengundang makan keturunan Hasyim dan Abdul Muthalib. Imam Ali as menyiapkan hidangan yang terdiri dari daging dan susu. Seusai tetamu makan, Nabi saw berkata, "Aku adalah Nabi Allah, yang diutus oleh-Nya sebagai Nabi. Jika kalian menerima perkataanku, kalian akan bahagia di dunia dan akhirat." Begitu mendengar kata-kata ini, paman Nabi saw yang bernama Abu Lahab murka dan mengatakan, "Apakah engkau mengundang kami hanya untuk menyampaikan omong kosong ini?" Abu Lahab berteriak-teriak sedemikian sehingga pertemuan itu berakhir dengan kegagalan. Nabi saw meminta Imam Ali as untuk mengatur pertemuan lagi. Imam Ali as mengatakan bahwa jumlah orang yang hadir dalam pertemuan kedua ini kurang lebih empat puluh. Nabi saw mengatakan kepada hadirin, "Barangsiapa di antara kalian yang pertama menerima seruanku, maka dia akan menjadi wazir dan penerusku." Beberapa kali Nabi saw mengulangi ucapan ini. Namun tak ada yang memberikan tanggapan. Akhirnya Imam Ali as bangkit dari duduknya dan menerima seruan Nabi saw. Nabi saw berkata, "Engkau akan menjadi wazir, penerus dan khalifah sepeninggalku."

Pertemuan Kepala Suku dengan Nabi

"Sirah Ibn Hisyam" menyebutkan peristiwa lain yang lebih penting. Ketika Nabi saw masih di Mekah, kaum Quraisy melarang Nabi saw berdakwah. Situasinya sangat tegang. Namun selama bulan-bulan suci[2] kaum Quraisy berhenti mengganggu Nabi saw, setidak-tidaknya gangguan mereka terhadap Nabi saw tidak sampai mencederai fisik, meskipun selama bulan-bulan ini mereka melarang Nabi saw melakukan aktivitas yang ada kaitannya dengan dakwah Islam. Namun Nabi saw selalu memanfaatkan gencatan senjata sementara ini. Nabi saw mengajak berbagai suku yang berkumpul di Ukaz dan Arafah (orang Arab pra-Islam juga menunaikan haji, meskipun dengan gaya mereka sendiri) untuk masuk Islam. Ketika Nabi saw mengadakan kunjungan informal ke ber­bagai suku, Abu Lahab mengejar Nabi saw, menentang dan memberikan gambaran yang salah tentang Nabi saw. Kepala satu suku ini sangat pintar. Dia bicara dengan Nabi saw sebentar, lalu dia berkata kepada kaumnya, "Seandainya orang ini dari sukuku, tentu dengan bantuannya akan aku taklukkan semua orang Arab." Maksudnya adalah Nabi saw begitu banyak kemampuannya, sehingga dengan bantuan Nabi saw semua orang Arab dapat ditundukkan. Kemudian orang itu berpaling ke Nabi saw dan berkata, "Aku dan kaumku siap beriman kepada Anda, asalkan Anda mengangkatku atau salah seorang dari kaumku menjadi penerus Anda." Nabi saw bersabda, "Bukan aku yang menunjuk siapa penerusku, melainkan Allah SWT." Inilah satu peristiwa yang disebutkan dalam kitab-kitab Sunni.

Hadis Ghadir Adalah Hadis yang Mutawatir

Argumen lain Syiah adalah hadis Ghadir. Khwaja Nasiruddin mengatakan bahwa hadis Ghadir mutawatir. Mutawatir adalah istilah teknis. Sebuah hadis, kalau tidak mutawatir, ia khabar wahid. Khobar wahid tidak berarti hadis itu diriwayatkan hanya oleh satu orang saja. Khabar wahid adalah hadis yang periwayatannya tidak meyakinkan. Tak soal apakah hadis itu diriwayatkan oleh satu orang atau sepuluh orang. Misal, seseorang mengatakan mendengar berita dari radio. Anda menganggap dia tidak dusta, namun Anda masih ingin tahu bagaimana kata orang lain. Jika beritanya dikuatkan oleh orang lain, Anda jadi sedikit lebih yakin. Bila Anda tahu banyak orang mengatakan hal yang sama, Anda jadi yakin bahwa tak mungkin semuanya berkata dusta. Jumlah periwayat hadis mutawatir haruslah sedemikian banyak sehingga tertutup kemungkinan kalau mereka itu bersekongkol. Dalam contoh di atas mungkin saja sepuluh orang, bahkan dua ratus orang, bersekongkol untuk mengatakan bahwa mereka mendengar berita tertentu dari radio. Namun ada kasus-kasus di mana kemungkinan seperti itu tidak ada. Misal, Anda pergi ke Amerika Selatan dan bertemu seseorang yang mengatakan bahwa berita tertentu telah disiarkan oleh radio. Lalu Anda ke Afrika Timur, dan lagi bertemu beberapa orang memberitakan hal yang sama. Kemudian Anda ke Afrika Barat, dan berita yang sama ternyata juga disebutkan. Dalam kasus ini tak mungkin Anda mengatakan bahwa semua orang ini telah bersekongkol untuk berkata dusta. Inilah yang disebut mutawatir. Kaum Syiah mengklaim bahwa hadis Ghadir diriwayatkan oleh sedemikian banyak orang sehingga tak mungkin ada persekongkolan. Misal, dalam kasus hadis Ghadir kita tak dapat mengatakan bahwa empat puluh sahabat Nabi saw telah bersekongkol untuk berkata dusta, khususnya bila kita tahu bahwa banyak dari mereka memusuhi Imam Ali as, atau setidak-tidaknya sikap mereka tidak bersahabat dengan Imam Ali as. Seandainya periwayat-periwayat ini adalah orang-orang seperti Salman al-Farisi, Abu Dzar dan Miqdad, yang sangat mencintai dan mengikuti Imam Ali as, maka bisa saja dikatakan jangan-jangan karena kecintaan yang luar biasa kepada Imam Ali as maka mereka bersekongkol untuk merekayasa cerita. Orang-orang seperti Qusychi tanpa hujah menganggap hadis ini khabar wahid. Namun kaum Syiah menekankan bahwa hadis ini mutawatir. Menurut hadis ini, Nabi saw bersabda kepada audiens, "Bukankah aku lebih berwenang atas diri kalian ketimbang diri kalian sendiri?"[3] Semuanya mengatakan, "Betul." Kemudian Nabi saw berkata, "Ali ini adalah pemimpin bagi orang yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya." Nabi saw ingin menegaskan bahwa kalau Nabi saw lebih unggul dibanding orang lain maka begitu juga Ali as.

Hadis lain, yang juga mutawatir menurut Khwaja Nasiruddin sedangkan Mulla AH Qusychi menganggapnya khabar wahid meskipun All Qusychi tidak menafikan substansi hadis ini. Hadis ini mendapat banyak perhatian dari pakar-pakar seperti Mir Hamid Husain, penulis "'Abaqat", dan 'Allamah Amini, penulis "al-Ghadir". Mir Hamid Husain meriulis satu buku penuh tentang hadis ini. Hadis ini dikenal sebagai hadis manzilah. Nabi saw diriwayatkan berkata kepada Imam Ali bin Abi Thalib as, "Dalam hubungannya dengan aku, engkau posisinya seperti posisi Harun dalam hubungannya dengan Musa, kecuali bahwa tak ada nabi setelah aku." Nabi saw berkata demikian ketika hendak memulai operasi Tabuk, bukan sebuah pertempuran melainkan sebuah kampanye. Kejadiannya setelah Perang Mu'tah, perang terakhir yang dilakukan orang Arab terhadap orang Rum selama masa hayat Nabi saw. Perang ini terjadi di timur Madinah. Istanbul (Konstantinopel) adalah ibukota Ke-kaisaran Rum Timur, Syria juga berada di bawah kekuasaan Rum (Romawi—peny.). Di sana tengah berlangsung persiapan cepat untuk menyerang Madinah. Menurut Nabi saw, jalan yang bijaksana adalah menempatkan pasukan di perbatasan Rum, dan Nabi saw sukses menjalankan misi itu.[4]

Nabi saw, seperti kata politisi, ingin memperlihatkan kekuatannya. Kaum Muslim bergerak ke perbatasan Rum dan kemudian kembali. Dalam ekspedisi ini Nabi saw tidak menyertakan Imam Ali as. Nabi saw meninggalkan Ali as sebagai pengganti Nabi saw di Madinah. Ulama Syiah mengatakan bahwa tindakan Nabi saw ini memperlihatkan bahwa Nabi saw tahu kalau pertempuran tak akan terjadi. Tentu saja Imam Ali as tak suka kalau dirinya tidak diikut-sertakan. Imam Ali as berkata kepada Nabi saw, "Mengapa Anda tidak mengajakku? Mengapa Anda tinggalkan aku di sini bersama kaum wanita dan anak-anak?" Nabi saw berkata, "Apakah engkau tidak suka kalau posisimu dalam hubungannya denganku seperti posisi Harun dalam hubungannya dengan Musa, kecuali tak akan ada nabi setelahku?" Nabi saw bermaksud mengatakan bahwa hubungan Imam Ali as dengan Nabi saw seperti hubungan Harun as dengan Musa as, kecuali "kenabian". Sekarang mari kita lihat Al-Qur'an untuk mengetahui hubungan Harun as dengan Musa as. Kita tahu Al-Qur'an menyebutkan bahwa pada permulaan misinya, Musa as memohon kepada Allah SWT:

Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu (wazir) dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. (QS. Thâhâ: 25-34)

Kata "wazir" berasal dari akar kata "wizr" yang artinya adalah beban atau tanggung jawab. Wazir adalah orang yang meringankan beban atasannya dan ikut memikul tanggung jawab atasannya. Kemudian kata ini digunakan dalam pengertian menteri. Karena itu Nabi Musa as minta kepada Allah SWT untuk menunjuk seseorang yang akan membantu dan berbagi tugas dengan dirinya. Untuk itu Nabi Musa as mengusulkan nama Harun as. Dalam Al-Qur'an kita juga mencatat bahwa Nabi Musa as berkata kepada Nabi Harun as:

Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku. (QS. al-A'râf: 142)

Dengan demikian kita melihat bahwa, menurut Al-Qur'an, Harun as adalah wazir Musa as, pendukung utama Musa as, mitra dalam tugas Musa as dan penerus Musa as dalam memimpin kaumnya. Itulah hubungan antara Nabi Musa as dan Harun as, dan begitu pula hubungan antara Nabi Muhammad saw dan Imam Ali as. Kalau Nabi saw tidak mengatakan, "Kecuali tak ada nabi setelah aku," dapat kami katakan bahwa Nabi saw berpikiran sama, namun ketika Nabi saw meniadakan kenabian, maka jadi jelas bahwa ada hubungan ini dalam semua bidang lainnya (tentu saja bidang sosial, bukan fisis). Tampaknya Nabi saw seakan-akan ingin mengatakan kepada Imam Ali as, "Kedudukanmu dalam hubungannya dengan aku, adalah seperu kedudukan Harun dalam hubungannya dengan Musa dalam semua bidang yang ditetapkan oleh Allah SWT."

Jawaban kaum Sunni terhadap argumen ini adalah mereka akan menerima hadis ini kalau hadis ini mutawatir, namun sayang hadis ini khabar wahid. Namun seperti sudah dijelaskan sebelumnya, pakar-pakar seperti Mir Hamid Husain telah membuktikan dalam kitab-kitab mereka bahwa hadis ini mutawatir.

Pertanyaan dan jawaban

Pertanyaan: Kesan yang didapat dari pembahasan terdahulu adalah bahwa sampai tingkat tertentu ada batas antara Imamah dan administrasi pemerintahan. Anda (Ayatullah Muthahhari) mengatakan bahwa dalam imamah ada tugas-tugas dan fungsi-fungsi tertentu, dan administrasi pemerintahan hanyalah salah satunya. Namun saya tak tahu tugas-tugas lain yang tidak menunjukkan administrasi. Pengetahuan kami sejauh ini tentang Islam menunjukkan bahwa tak ada batas antara dunia dan akhirat, atau antara aktivitas duniawi dan aktivitas ukhrawi. Perbuatan yang berkaitan dengan akhirat ada relevansinya dengan kehidupan duniawi, dan perbuatan yang ber­kaitan dengan dunia dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan kehidupan sosial dan untuk membantu mewujudkan sistem pemerintahan yang adil. Kita mencatat bahwa Al-Qur'an menyebutkan kehidupan orang-orang yang ibadahnya diarahkan untuk memperbaiki kehidupan duniawi dan untuk menegakkan pemerintahan yang adil sebagai model. Al-Qur'an memandang jihad sangat penting. Kita mencatat bahwa semua upaya dan gaya hidup para imam diarahkan untuk mendapatkan kembali hak mereka untuk memerintah. Dalam hal ini tak ada bedanya antara mereka yang berjuang terang-terangan dan mereka yang diam-diam berkampanye di penjara atau di tempat persembunyian. Menurut saya, tak ada tugas lain selain administrasi pemerintahan yang dapat menjustifikasi lembaga imamah, karena administrasi pemerintahan sajalah yang dapat menjustifikasi semua aktivitas yang berkaitan dengan imamah.

Jawaban: Soal batas, hanya Andalah yang mengangkatnya. Saya tak pernah menggunakan kata ini. Saya kira tidak tepat kalau menggunakannya. Seperti sudah saya katakan, Syiah percaya bahwa tingkat imamah lebih tinggi dibanding tingkat pemerintahan, yang hanyalah satu di antara sekian fungsinya. Fungsi lain yang lebih tinggi tingkatannya adalah tugas imam untuk menjelaskan Islam dengan terperinci. Selanjutnya, imam adalah seorang maksum ahlinya hukum agama. Kami katakan bahwa salah satu fungsi Nabi saw adalah fungsi eksekutif. Namun hak untuk memerintah bukan diberikan kepadanya oleh umat. Hak tersebut diberikan kepadanya oleh Allah SWT, atas dasar superioritasnya atas seluruh manusia. Dengan kata lain, Nabi saw menjadi penguasa karena Nabi saw adalah orang yang dapat menjelaskan secara terperinci hukum Allah SWT dan memiliki kontak spiritual dengan alam gaib. Saya tak pernah ingin mengatakan bahwa ada batas antara dunia dan akhirat. Saya juga tak bermaksud memisahkan fungsi imam dan fungsi penguasa. Saya tidak mengatakan bahwa imam mengurusi urusan umat yang berhubungan dengan akhirat dan penguasa mengurusi urusan umat yang berkaitan dengan dunia. Seandainya saya berkata demikian, maka kritik Anda benar adanya. Syiah memiliki teori. Kalau teori ini terbukti, maka otomatis selesai sudah soal penguasa.

Kami percaya bahwa imamah adalah kelanjutan kenabian. Kalau ketika ada Nabi saw, tidak ada soal berkuasanya orang lain, maka begitu pula kalau ada imam soal seperti ini juga tidak ada. Soal bentuk pemerintahan dalam arti modern baru muncul ketika imam dianggap tidak ada atau ketika Imam tengah gaib seperti posisinya di zaman sekarang ini. Kalau tidak, dengan adanya imam, seperti dipercaya kaum Syiah, maka posisinya sangat jelas.
Pertenyaan: Menurut kaum Sunni, dari dua riwayat itu, mana yang khobar wahid, riwayat yang berkaitan dengan Ghadir Khum atau riwayat yang Anda kutip, yang menurut riwayat itu Nabi saw bersabda, "Salamilah Ali, dia adalah Amirmu?"

Jawaban: Barangkali kaum Sunni pun tak mungkin membantah ke-mutawatir-an bagian hadis Ghadir yang mengatakan, "Ali adalah pemimpin bagi orang yang menjadikan aku pemimpinnya," meski Mulla Ali Qusychi mengatakan bahwa bagian ini pun merupakan khabar wahid. Padahal bagian hadis ini diriwayatkan oleh sedemikian banyak periwayat sehingga mustahil untuk menafikan hadis ini.[5] Sedemikian banyak orang bahkan telah meriwayatkan bagian pertama hadis ini yang mengatakan, "Bukankah aku lebih berwenang atas diri kalian dibanding diri kalian sendiri." Kaum Syiah percaya bahwa bagian hadis ini juga mutawatir. Namun sejauh menyangkut hadis lain, "Salamilah Ali, dan sebut dia Pemimpin Kaum Mukmin," kaum Sunni menganggapnya tidak mutawatir. Barangkali kami juga tak dapat membuktikan kalau itu mutawatir. Namun, itu tak ada efeknya. Dari sudut pandang kami, ke-mutawatir-an hadis berikut ini, yang sangat penting, sudah jelas.

Nabi saw bersabda, "Bukankah aku lebih berwenang atas diri kalian dibanding diri kalian sendiri?" Orang-orang mengatakan, "Betul." Kemudian Nabi saw berkata, "Ali ini adalah pemimpin bagi orang yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya. Ya Allah, bersahabatlah dengan orang yang bersahabat dengan Ali, dan musuhilah orang yang memusuhi Ali."

Lagi pula para ulama Sunni tidak sependapat mengenai apakah hadis ini mutawatir atau khabar wahid. Sebagian mengatakan khabar wahid, sebagian mengatakan mutawatir meski menambahkan bahwa itu tidak berarti apa yang diklaim Syiah. Nabi saw hanya mengata­kan, "Barangsiapa menjadikan aku sahabatnya, maka jadikan juga Ali sebagai sahabatnya." Kami katakan bahwa tidak dapat diterima akal sehat kalau Nabi saw mengumpulkan orang di Ghadir Khum hanya untuk meminta mereka menjadikan Ali sebagai sahabat, khususnya kalau diingat fakta bahwa Nabi saw juga menambahkan, "Bukankah aku lebih berwenang atas diri kalian dibanding diri kalian sendiri." Juga dapat dicatat bahwa kata maula tidak digunakan dalam pengertian sahabat.
Pertanyaan: Apakah ayat "Hari ini Aku sempurnokan agamamu bagimu dan lengkapkan karunia-Ku untukmu, dan Aku pilihkan Islam sebagai agamamu," turun setelah peristiwa Ghadir Khum?

Jawaba: Ayat ini turun di Ghadir Khum.

Catatan Kaki:

[1] Syiah memandang sangat penting aspek religius imamah. Seperti sudah kami jelaskan, di zaman kita imamah terutama dianggap sama dengan adminislrasi pemerintahan, namun ini merupakan pikiran yang salah. Imamah terutama merupakan masalah keagamaan, sedangkan administrasi pemerintahan hanyalah salah satu fungsinya. Sedikit banyak, imamah dan administrasi pemerintahan adalah dua istilah yang dalam hal-hal tertentu saling turn pang tindih. Namun pada dasarnya imamah adalah satu masalah, sedangkan administrasi pemerintahan, kendatipun salah satu fungsi Imam, adalah masalah lain. Aneh rasanya kalau selama periode gaib kita bicara tentang administrasi pemerintahan, namun tetap bungkam tentang makna sejati imamah, yang lidak boleh dianggap sama dengan administrasi pemerintahan. Menurut terminologi ulama Syiah, imam adalah pemegang otoritas urusan keagamaan maupun urusan duniawi. Sebagai pemegang otoritas urusan keagamaan, imam otomatis pemegang otoritas urusan duniawi juga, seperti halnya Nabi saw yang, karena menjadi pemimpin agama, juga menjadi kepala pemerintahan. Kalau misal saja tak ada imam, atau misal saja kita tahu bahwa imam sedang gaib, maka dalam kedua kasus ini berarti tak ada pemimpin agama. Karena itu dalam kasus-kasus ini tentu saja muncul pertanyaan tentang kepala pemerintahan.

[2] Bulan Zulqaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab adalah bulan-bulan suci. Selama bulan-bulan ini tidak boleh ada perang dan pembalasan dendam. Selama bulan-bulan ini semua rule aman, orang dan barang datang dan pergi dengan lancar. Pekan raya tahunan juga diselenggarakan di sebuah tempat dekat Mekah. Tempat itu bernama Ukaz.

[3] Nabi saw merujuk ke ayat "Nabi lebih berwenang atas kaum mukmin ketimbang diri mereka sendiri." (QS. al-Ahzâb: 6) Karena menjadi Nabi Allah, Nabi saw berwenang atas jiwa, harta dan segala yang menyarigkut umat. Nabi saw lebih berwenang atas umat dibanding umat itu sendiri. Tentu saja wewenang ini bukan untuk tujuan pribadinya sendiri. Allah SWT menunjuk Nabi saw sebagai wakil kaum Muslim, dan dengan begitu Nabi saw berwenang atas jiwa dan harta kaum Muslim atas nama kaum Muslim sebagai keseluruhan.

[4] Tahun lalu kebetulan kami ke Khaibar. Saat itu kami tak tahu seberapa jauh Khaibar dan Tabuk dari Madinah kalau langsung melalui Syusa. Jarak seluruhnya ternyata 600 km. Dengan perjalanan di zaman dahulu, jaraknya mungkin lebih jauh. Jarak antara Madinah dan Khaibar adalah 360 km. Kami sungguh terpana dengan keberanian dan tekad kaum Muslim yang menempuh jarak yang jauh ini dengan sarana sederhana yang mereka miliki di zaman itu.

[5] Alasan kenapa diriwayatkan oleh sedemikian banyak periwayat, adalah pada zaman itu sabda-sabda Nabi saw hanya dihafal, bukan ditulis. Tentu saja hadis-hadis yang menyebut-nyebut nama Imam Ali as dapat diingat oleh lebih banyak orang ketimbang hadis-hadis lain.

24
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

BAB 35 - Imamah dan Ayat tentang Keputusasaan Kaum Kafir
Bahwa doktrin Syiah mengenai imamah pada dasarnya beda dengan doktrin Sunni, sudah kami bahas. Jadi, tidaklah benar kalau dikatakan bahwa Syiah maupun Sunni kepercayaan tentang imamahnya sama... Imam dalam konsep Syiah beda sekali dengan imam dalam konsep Sunni. Dalam konsep Sunni imam diangkat berdasarkan musyawarah dan pemilihan umum.

Berbagai tahap dan kondisi imamah sudah kami bahas. Di sana kami jelaskan bahwa Syiah memulai pemikiran tentang masalah ini dari atas dan kemudian turun ke fakta-fakta yang ada untuk memastikan bahwa teori mereka bukanlah sekadar hipotetis. Mereka menegaskan bahwa Al-Qur'an mengatakan sesuatu dalam hal ini, dan Nabi saw memang menunjuk seseorang untuk memegang jabatan tinggi ini.

Pertama-tama kami hendak membahas poin-poin yang relevan seperti disebutkan oleh Khwaja Nasiruddin. Namun karena 'led al-Ghadir (Hari Raya Ghadir) sebentar lagi tiba, kami rasa sebaiknya dijelaskan dahulu ayat-ayat yang berhubungan dengan 'led al-Ghadir.

Al-Qur'an al-Karim mengatakan:

Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. al-Mâ`idah: 3)

Dua bagian dari ayat ini diawali dengan "Pada hari ini." Kedua bagian ini tentu saja saling berkaitan. Dalam ayat ini, "Pada hari ini" bisa berarti "sekarang ini" atau "hari yang sudah disebutkan sebelumnya." Bila kita katakan bahwa si polan sudah tiba pada hari ini, itu artinya si polan sekarang ini sudah tiba. Allah SWT ber­firman bahwa pada hari ini (nanti akan kami jelaskan hari yang mana) orang-orang kafir tengah putus asa untuk menghancurkan agamamu. Karena merasa tak ada harapan untuk berhasil, maka kaum kafir menghentikan aktivitas permusuhan mereka terhadap Islam. Jadi janganlah takut kepada mereka. Kalimat selanjutnya sangat mengherankan. Tetapi takutlah kepada-Ku. Dapat dicatat bahwa di situ ada masalah agama. Apakah Allah SWT bermaksud mengatakan bahwa "orang-orang kafir tak lagi dapat menghancur­kan agamamu, dan kalau penghancuran dilakukan terhadap agamamu, maka akan dilakukan oleh-Ku?" Nanti akan kami jelaskan bagaimana sesungguhnya arti atau maksud ayat ini. Kemudian Allah SWT berfirman, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku." Dalam bagian ini, digunakan dua kata: disempurnakan dan dicukupkan. Kedua kata ini kira-kira artinya sama, meski ada bedanya juga.

Beda antara Menyempurnakan dan Mencukupkan

Sesuatu, selama bagian finalnya belum ada, maka sesuatu itu tidak lengkap. Kalau bagian finalnya sudah ada, berarti sesuatu itu sudah lengkap. Sebuah bangunan belumlah lengkap meski pilar-pilar dan atapnya sudah ada. Bangunan barulah lengkap kalau semua bagiannya sudah terbentuk dan akhirnya bangunan itu layak untuk dihuni. Sesuatu dapat dikatakan tidak sempurna, sekalipun semua bagiannya sudah lengkap, kalau pembentukannya belum sampai pada puncaknya. Di dalam rahim, janin memperoleh kelengkapan. Dengan kata lain, semua bagian janin terbentuk. Ketika lahir, janin belumlah seorang manusia yang sempurna. Artinya janin belum matang. Kondisi berkembang sepenuhnya dan matang beda dengan kondisi lengkap. Sesungguhnya beda antara lengkap dan sempurna seperti beda antara kuantitas dan kualitas.

Al-Qur'an mengatakan, "Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu," dan kemudian ditambahkan, "Telah Aku lengkapkan nikmat-Ku atasmu dan telah Aku pilihkan untukmu Islam sebagai agamamu." Dengan kata lain, sekarang Islam seperti yang diinginkan Allah SWT. Maksudnya bukanlah bahwa Islam tetap seperti sebelumnya, namun Allah SWT telah mengubah pandangan-Nya tentangnya. Maksudnya adalah bahwa sekarang Islam, agama pilihan Allah SWT, telah sampai pada tahap lengkap dan sempurna. Begitulah maksud ayat tersebut. Kini pertanyaannya adalah hari apa yang dimaksud frase "pada hari ini." Hari apa yang menurut Al-Qur'an agama kaum Muslim disempumakan dan nikmat Allah SWT dicukupkan? Hari ketika suatu peristiwa luar biasa berlangsung tentunya merupakan hari yang sangat penting. Ini disepakati baik oleh kaum Syiah maupun Sunni.

Mengherankan bahwa ayat sebelum dan sesudahnya tidak menunjukkan apa yang dimaksud dengan "pada hari ini." Konteksnya tidak memberikan indikasi verbal. Dalam ayat-ayat sebelumnya tidak disebut-sebut peristiwa penting yang berkenaan dengan "pada hari ini." Norma hukum berkenaan dengan daging binatang tertentu, daging bangkai, darah dan daging babi disebut-sebut dalam ayat-ayat yang mendahului ayat ini. Kemudian tiba-tiba Al-Qur'an mengatakan, "Pada hari ini orang-orang kafir telah kehUangan harapan untuk menghancurkan agamamu, maka janganlah takut kepada mereka, namun takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu bagimu dan telah Aku lengkapkan nikmat-Ku atasmu, dan telah Aku pilihkan Islam sebagai agamamu. Lalu Al-Qur'an sekali lagi berpaling ke tema sebelumnya dan mengatakan, "Namun barangsiapa terpaksa makan daging yang diharamkan karena lapar, bukan karena kehendak untuk berbuat dosa, maka Allah SWT Maha Pengampun lagi Maha Pengasih." Ayat-ayat ini posisinya sedemikian sehingga kalau ayat yang menyelanginya ditiadakan, maka ayat-ayat lainnya tetap lancar-lancar saja, dan pokok masalahnya tidak terganggu. Soal daging diulang-ulang di dua atau tiga tempat, namun tak ada ayat yang menyelangi ini.

Pada Hari Ini Maksudnya Apa?

Para mufasir Al-Qur'an dari golongan Syiah maupun Sunni telah berupaya mengetahui dengan pasti maksud "pada hari ini." Untuk itii ada dua cara. Cara pertama yaitu mengetahui artinya dari konteksnya, dan cara kedua yaitu merujuk ke sejarah dan hadis untuk mengetahui kapan ayat ini turun. Mereka yang menggunakan cara pertama tidak perhatian terhadap apa yang dikatakan sejarah dan Sunnah ten tang latar belakang ayat ini. Mereka hanya melihat kepada substansi ayatnya, dan mengklaim bahwa ayat itu berkaitan dengan hari ketika Nabi saw diangkat menjadi Rasul. Menurut mereka, "Pada hari ini" maksudnya adalah hari itu, bukan pada hari ini.

Juga dapat disebutkan bahwa ayat ini adalah bagian dari Surah al-Maidah, Surah kelima Al-Qur'an, yang diawali dengan ayat:

Hai orang-orang beriman, penuhilah akad-akad itu. (QS. al-Mâ`idah: 1)

Semua mufasir Al-Qur'an sepakat bahwa Surah ini adalah yang terakhir diturunkan di Madinah. Dibanding Surah an-Nashr, turunnya bahkan lebih belakangan. Memang satu atau dua ayat yang ada di Surah-surah lain turunnya sesudah itu, namun bukan surah yang lengkap. Jadi Surah al-Maidah adalah Surah yang terakhir turun kepada Nabi saw.

Berbagai Pandangan tentang Makna "Pada Hari lni"

1. Hari Ketika Nabi saw Diangkat Menjadi Nabi

Telah kami sebutkan bahwa, menurut sebagian orang, yang dimaksud dengan "Pada hari ini "adalah pada hari itu, bukan pada hari ini. Pertanyaannya adalah bagaimana indikasinya? Mereka mengatakan bahwa karena "pada hari ini" telah digambarkan sebagai hari ketika Allah SWT memilih Islam sebagai agama bagi umat manusia. Tentu saja "Pada hari ini" tentunya adalah hari ketika Islam datang. Argumen ini didasarkan pada kata-kata "Aku pilih Islam sebagai agamamu." Argumen ini tentu saja benar seandainya kata-kata ini tidak didahului kalimat yang mengatakan, "Pada hari ini telah Kusempurnakan agamamu dan telah Aku lengkapkan nikmat-Ku untukmu." Hari ketika Islam datang merupakan hari permulaan nikmat Allah, bukan hari kesempurnaannya. Karena itu "pada hari ini" tidaklah mungkin hari ketika Nabi Muhammad saw diangkat menjadi Nabi.

2. Hari Penaklukan Mekah

Kemungkinan lainnya adalah bahwa "Pada hari ini "maksudnya adalah hari penaklukan Mekah. Ini juga sekadar kemungkinan karena tak ada bukti yang memperkuatnya. Ada argumen yang menyebutkan bahwa ada hari lain yang sangat penting dalam sejarah Islam, yaitu hari ketika Mekah ditaklukkan, karena pada hari itu turun ayat-ayat ini:

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dasamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kejalan yang lurus. (QS. al-Fath: 1-2)

Tak diragukan lagi bahwa "hari itu" sangat penting. Di Jazirah Arab, secara spiritual, posisi Mekah unik. Sejak serangan terhadap Ka'bah oleh Pasukan Gajah dan kekalahan pasukan itu dengan cara yang mengherankan, semua orang Arab sangat menghormati Ka'bah. Mereka memandang Ka'bah sebagai tempat ibadah yang sangat suci. Setelah peristiwa ini kaum Quraisy jadi merasa bangga diri. Mereka mengatakan bahwa Ka'bah sedemikian suci sehingga tentara hebat yang menyerang Ka'bah mendapat bencana yang datang dari langit dan semuanya musnah. Kaum Quraisy percaya bahwa peristiwa itu memperlihatkan arti penting mereka. Peristiwa itu juga kuat pengaruh psikologisnya pada orang-orang Arab lainnya, yang mulai menghormati dan mematuhi kaum Quraisy.

Sejak saat itu orang Arab mulai percaya bahwa kaum Quraisy tak mungkin terkalahkan, dan bahwa Ka'bah tak mungkin dapat diserang. Namun tak seperti yang mereka perkirakan, Nabi saw berhasil menaklukkan Mekah dengan mudah tanpa adanya pertumpahan darah. Selama penaklukan itu, tak ada seorang pun yang terluka, walau sedikit. Barangkali inilah yang memang dikehendaki Nabi saw, di samping pertimbangan kesucian Mekah, ketika Nabi saw mengambil tindakan khusus menaklukkan Mekah tanpa pertumpahan darah. Kalau di tempat lain terjadi pertempuran, dan seratus Muslim gugur, tentu tak ada orang yang beranggapan bahwa gugurnya seratus Muslim itu adalah akibat alasan khusus. Namun seandainya kaum Muslim mengalami kekalahan pada peristiwa Penaklukan Mekah, tentu kaum kafir akan mengatakan, "Lihat, para sahabat Muhammad nasibnya sama dengan Pasukan Gajah." Karena itu Nabi saw mempersiapkan segala sesuatunya sedemikian rupa sehingga tak ada korban mati atau terluka di pihak mana pun. Hanya Khalid bin Walid, karena niat jahatnya, membunuh dua atau tiga orang di daerah pinggiran Mekah. Di daerah pinggiran ini beberapa orang memperlihatkan perlawanan. Ketika Nabi saw mendengar kabar ini, Nabi saw mencela perbuatan Khalid. Nabi saw berkata, "Ya Allah, aku tidak bertanggung jawab atas perbuatannya. Aku membenci perbuatannya."

Inilah alasan kenapa dari sudut pandang psikologis Penaklukan Mekah luar biasanya pengaruhnya pada masyarakat Arabia. Mereka amat terkesan bahwa ternyata Nabi mampu menaklukkan Mekah tanpa menimbulkan kerugian pada pihak mana pun. Konsekuensinya, penduduk lain Jazirah Arab juga melakukan penyerahan diri. Mereka pun datang ke Madinah dalam jumlah besar untuk memeluk Islam. Al-Qur'an mengatakan:

Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. (QS. al-Hadîd: 10)

Karena sebelum Penaklukan Mekah kaum Muslim sedikit jumlahnya, maka kalau mereka berbuat kebajikan, itu karena iman yang kuat. Namun setelah penaklukan, situasinya jadi lain. Orang pada berbondong'-bondong masuk Islam. Namun Islamnya mereka tak sama nilainya dengan Islamnya orang-orang yang memeluk Islam sebelum penaklukan. Karena itu, tak dapat dipungkiri bahwa Penaklukan Mekah merupakan kemenangan besar Islam. Fakta ini juga tak dapat dibantah.

Seperti telah kami jelaskan, sebagian orang beranggapan bahwa hari yang dipandang begitu penting oleh Islam adalah hari penaklukan. Orang-orang itu mengutip ayat yang mengatakan, "Pada hari ini orang-orang kafir telah kehilangan harapan untuk mengalahkan agamamu. Maka janganlah takut kepada mereka, namun takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu bagimu dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku atasmu, dan telah Aku pilih Islam sebagai agamamu".

Namun sebagaimana sudah kami jelaskan, dalam teks atau dalam sejarah tak ada sesuatu yang membuktikan bahwa ayat ini berkenaan dengan Penaklukan Mekah. Sebagian dari ayat ini tidak mendukung argumen orang-orang ini. Kata-kata, "Telah Aku sempurnakan agamamu bagimu dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku atasmu" menunjukkan bahwa pada saat itu segala sesuatu tentang agama telah diwahyukan, dan tak ada yang belum difirmankan, namun kita tahu pasti bahwa banyak petunjuk, perintah atau ajaran agama justru turun setelah Penaklukan Mekah. Posisi ini tidak sesuai dengan kata-kata, "Telah Aku lengkapkan nikmat-Ku atasmu." Kalau seseorahg mengatakan telah lengkap membangun gedung, maka dia tidak merujuk ke sebuah bangunan yang masih belum lengkap. Banyak ayat Al-Qur'an—termasuk ayat-ayat Surah al-Mâ`idah, sebuah Surah yang panjang dan berisi banyak norma hukum—yang turun setelah Penaklukan Mekah. Mana mungkin ayat ini, yang merupakan satu bagian dari Surah al-Mâ`idah, berkenaan dengan Penaklukan Mekah yang terjadi pada tahun kedelapan Hijrah, padahal Surah ini turun menjelang akhir tahun kesepuluh. Sekalipun dikatakan bahwa ayat ini turun ketika Penaklukan Mekah, namun kesempurnaan nikmat Allah SWT tetap saja tidak sesuai dengan peristiwa ini.

Ada kesulitan lain kalau "pada hari ini" ditafsirkan hari Penaklukan Mekah. Ayat ini mengatakan, "Pada hari ini orang-orang kafir telah kehilangan harapan untuk mengalahkan agamamu." Sekarang pertanyaannya adalah apakah kaum kafir memang kehilangan harapan untuk melawan Islam pada hari Penaklukan Mekah. Penaklukan Mekah memang merupakan kemenangan yang sangat penting efeknya, namun apakah betul kaum kafir pada hari itu kehilangan harapan untuk mengalahkan Islam? Kelihatannya tidak begitu.

3. Pembacaan Surah al-Bara'ah oleh Imam Ali as

Ada hari lain yang dianggap sangat penting, dan memang begitu adanya. Disebutkan bahwa "pada hari ini" kemungkinan artinya adalah hati ketika Surah al-Bara'ah dibacakan oleh Imam Ali as di Mina pada tahun kesembilan Hijrah. Penaklukan Mekah merupakan kemenangan militer. Penaklukan ini menempatkan Islam sebagai kekuatan militer dan bahkan sebagai kekuatan moral. Namun Nabi saw tetap saja menaati Perjanjian Damai yang dibuatnya dengan kaum kafir. Di bawah perjanjian ini kaum kafir berhak memasuki Mekah, tawaf mengelilingi Ka'bah, dan bahkan ikut dalam seremoni haji. Kaum Muslim menjalankan haji menurut hukum Islam, sedangkan kaum kafir menjalankannya menurut ritus mereka sendiri. Pada tahun kesembilan Hijrah, Surah al-Bara'ah turun. Pada saat itu Imam Ali as diputuskan untuk pergi ke Mina untuk membacakan Surah ini, dan di depan publik menyatakan bahwa sejak saat itu kaum kafir tak berhak ikut dalam seremoni haji, yang merupakan hak istimewa kaum Muslim.

Pada umumnya dikatakan bahwa Nabi saw mula-mula mengutus Abu Bakar sebagai kepala kafilah haji. Abu Bakar masih dalam perjalanan ketika turun ayat yang melarang orang kafir berhaji ke Mekah. Ada perselisihan pendapat di kalangan mufasir Al-Qur'an mengenai apakah Abu Bakar membawa Surah al-Bara'ah atau Abu Bakar hanya sebagai kepala kafilah haji saja. Bagaimanapun juga, ini disepakati oleh kaum Syiah dan Sunni dan dianggap sebagai poin keunggulan bagi Imam All as, yaitu Nabi dengan duduk di atas untanya, mengutus Imam Ali as ke Mina sebagai utusan khususnya. Nabi saw berkata kepada Imam Ali as, "Engkau harus pergi, karena aku telah mendapat perintah dari Allah agar Surah ini hanya di-bacakan olehmu atau oleh seseorang yang berkaitan denganmu." Imam Ali as pergi menemui Abu Bakar yang masih dalam per­jalanan. Riwayat itu menyebutkan bahwa Abu Bakar tengah ada di dalam kemah ketika unta khusus Nabi saw bersuara keras. Abu Bakar, yang mengenai suara ini, keluar dan mendapati ternyata yang datang Imam Ali as. Abu Bakar kaget, dan menduga bahwa tentu ada sesuatu yang sangat pen ting. Kata Abu Bakar kepada Imam Ali as, "Apakah ada kabar khusus?" Kata Imam Ali as, "Aku telah diberi tugas khusus untuk membacakan Surah al-Bara'ah kepada umat." Kata Abu Bakar, "Apakah telah turun sesuatu untukku?" "Tidak," kata Imam Ali as.

Di sini sekali lagi ada perbedaan pendapat. Kaum Sunni mengatakan bahwa Imam Ali as melanjutkan perjalanannya dan membacakan Surah itu sesuai dengan rencananya. Sementara itu Abu Bakar melanjutkan perjalanannya, sekalipun salah satu misinya telah dicabut. Namun kaum Syiah percaya, dan begitu pula banyak dari kalangan Sunni seperti disebutkan dalam "al-Mizan", sebuah kitab tafsir Al-Qur'an, bahwa Abu Bakar kemudian pulang, mendatangi Nabi saw. Abu Bakar berkata kepada Nabi saw, "Ya Rasul Allah, apakah telah turun sesuatu dalam Surah ini untukku?" Jawab Nabi saw, "Tidak."

Hari dibacakannya Surah al-Bara'ah merupakan hari yang luar biasa bagi kaum Muslim, karena pada hari itu kaum kafir dilarang ikut seremoni haji dan dilarang memasuki kawasan suci. Dijelaskan kepada mereka bahwa mereka tidak dibolehkan lagi hidup musyrik. Islam tidak membiarkan kemusyrikan. Islam menerima hidup damai berdampingan dengan Yudaisme, Kristianitas dan Zoroastrianisme. Namun Islam tidak bisa hidup bersama paganisme atau kemusyrikan. Sebagian orang mengatakan bahwa mungkin "pada hari ini" maksudnya adalah hari turunnya Surah al-Bara'ah. Untuk men-jawab mereka, dapat dikatakan bahwa anggapan ini tidak sesuai dengan kata-kata Al-Qur'an, "Telah Aku lengkapkan nikmat-Ku atasmu," karena banyak petunjuk keagamaan diterima setelah itu. "Pada hari ini" tentu merupakan salah satu di antara hari-hari terakhir masa hidup Nabi, setelah hari-hari terakhir ini tentu tak akan ada lagi petunjuk keagamaan yang turun.[1]

Penjelasan-penjelasan mengenai "pada hari ini" tak ada indikasi tekstualnya atau pun bukti sejarahnya yang memperkuatnya.

Penjelasan Syiah

Dalam hubungan ini ada penjelasan lain yang, menurut kaum Syiah, didukung oleh isi ayat-ayat Al-Qur'an maupun sejarah. Karena itu penjelasan ini akan dipaparkan dalam dua bagian. Pertama-tama kita lihat apa kata sejarah, baru kemudian apa kata ayat Al-Qur'an.

1. Kalau masalah ini dilihat dari sudut pandang sejarah, maka dapat ditemukan banyak bukti yang memperkuat penjelasan kami. Kebanyakan buku yang ditulis tentang persoalan ini menekankan bahwa sejarah dan hadis sepakat bahwa ayat Al-Qur'an, "Pada hari ini orang-orang kafir telah kehilangan harapan untuk mengalahkan agamamu, maka janganlah takut kepada mereka, namun takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu bagimu dan telah Aku lengkapkan nikmat-Ku atasmu, dan telah Aku pilihkan bagimu Islam sebagai agama," turun di Ghadir Khum. Karya penelitian, "al-Ghadir", telah membuktikan hal ini.

Selain kitab-kitab hadis, kitab-kitab sejarah juga menuturkan kisah yang sama. "Sejarah Yakubî merupakan salah satu kitab tertua yang sangat andal tentang sejarah Islam, dan dianggap autentik baik oleh kaum Syiah maupun Sunni. Kitab ini terdiri atas dua jilid, masing-masing jilid sudah diterjemahkan ke bahasa Persia oleh almarhum Dr. Ayati. Kitab ini sangat bagus, dan ditulis pada awal abad ke-3, tampaknya selama periode antara akhir pemerintahan Ma'mun dan awal periode pemerintahan Mutawakkil. Kitab ini, yang merupakan kitab sejarah, bukan kitab hadis, termasuk kitab yang menyebutkan peristiwa Ghadir Khum. Banyak kitab lainnya, antara lain yang ditulis oleh kaum Sunni, juga menyebutkan peristiwa ini.

Menurut riwayat, ketika Nabi Saw. kembali dari menunaikan haji perpisahan[2] dan sampai di sebuah tempat dekat Juhfah[3] yang dikenal dengan nama Ghadir Khum, Nabi saw meminta kepada kafilah untuk berhenti, dan Nabi saw menyatakan ingin bicara kepada umat mengenai suatu masalah. Lalu Nabi saw memerintahkan agar dibuatkan mimbar. Setelah mimbar disiapkan, Nabi saw naik ke mimbar dan bicara terperinci.

Nabi saw berkata, "Bukankah aku lebih berwenang atas diri kalian dibanding kalian sendiri?" Semua yang hadir menjawab, "Ya." Lalu Nabi saw berkata, "Ali ini adalah pemimpin bagi orang yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya." Pada saat inilah turun ayat Al-Qur'an ini, "Pada hari ini orang-orang kafir telah kehilangan harapan untuk mengalahkan agamamu; maka janganlah takut kepada mereka, namun takutlah hepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu bagimu, dan telah Aku lengkapkan nikmat-Ku atasmu."

Kalau masalah ini mau dibahas dari sudut pandang sejarah, maka perlu dikaji buku-buku yang menyebutkan peristiwa ini, khususnya buku-buku yang ditulis oleh kalangan Sunni. Kutipan dari buku-buku ini dapat dijumpai dalam buku-buku seperti "al-Ghadir" yang terbit di Masyhad beberapa tahun silam dan merupakan ikhtisar persoalan ini yang bagus sekali dan patut dibaca.

Argumen kaum Syiah didasarkan pada latar belakang sejarah ayat ini. Mefeka mengatakan bahwa frase "pada hari ini" artinya bukanlah hari ini. Lantas apa artinya? Berkenaan dengan saat turunnya ayat ini, ternyata bukan satu atau dua melainkan puluhan riwayat mutawatir mengatakan bahwa ayat ini turun di Ghadir Khum pada hari Nabi saw menunjuk Imam Ali as sebagai penggantinya.

2. Dalam ayat itu sendiri ada indikasi-indikasi internal yang menguatkan apa yang ditegaskan oleh sejarah. Ayat itu mengata­kan, "Pada hari ini kaum kafir telah kehilangan harapan untuk mengalahkan agamamu." Mari kita bandingkan ayat ini dengan ayat-ayat lain yang memperingatkan kaum Muslim dan mengatakan bahwa kaum kafir termasuk ahlulkitab dan lainnya selalu bersekongkol melawan mereka dan suka memalingkan mereka dari agama mereka:

Sebagian besar ahlulkitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekaferan sesudah kamu beriman, karena dengki yang (datang) dari din mereka sendiri. (QS. al-Baqarah: 109)

Kita melihat bahwa sementara beberapa ayat lain mengatakan bahwa orang-orang kafir ingin menghancurkan agama kaum Muslim, ayat yang sedang kita bahas ini mengatakan bahwa sekarang mereka telah kehilangan harapan untuk menghancurkan agama kaum Muslim, dan aktivitas permusuhan mereka terhadap kaum Muslim telah berakhir. Jadi janganlah takut kepada mereka, namun takutlah kepada-Ku. Allah berfirman, Takutlah kepada-Ku. Ini maksudnya apa? Apakah Allah musuh agama-Nya sendiri? Bukan. Ayat ini menetapkan prinsip dasar yang sama berkenaan dengan nikmat Allah SWT yang telah disebutkan dalam begitu banyak ayat lainnya. Salah satu ayat seperti ini mengatakan:

Allah tidak mengubah kondisi suatu kaum kecuali kaum itu sendiri, mengubah apa yang ada di hati mereka. (QS. ar-Ra'd: 11)

Memberikan alasan untuk ini, ayat yang lain mengatakan:

Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada di hati mereka. (QS. al-Anfâl: 53)

Allah SWT berfirman bahwa Dia sekali-kali tidak akan mengubah nikmat apa pun yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum hingga kaum itu sendiri, melalui perbuatan mereka sendiri, ingin mengubahnya. Ini merupakan salah satu prinsip dasar yang disebutkan dalam Al-Qur'an.
Ayat Muhkamat (Spesifik) dan Mutasyabihat (Mendua)

Dalam kaitan dengan ayat ini tampaknya perlu disebutkan satu poin yang bermanfaat di banyak kesempatan. Menurut hadis, sebagian ayat Al-Qur'an menjelaskan sebagian ayat lainnya. Al-Qur'an adalah sebuah Kitab yang jelas dan menjelaskan. Al-Qur'an itu sendiri mengatakan bahwa ayat-ayatnya ada dua macam: muhkamat dan mutasyabihat. Al-Qur'an menyebut ayat muhkamat ayat induk, yang tentu saja merupakan ungkapan yang luar biasa:

Dialah yang menurunkan Al-Qur'an kepada kamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an, dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. (QS. AH 'Imran: 7)

Ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang dapat ditafsirkan dengan berbagai cara, sedangkan ayat-ayat muhkamat hanya dapat ditafsirkan dengan satu cara. Al-Qur'an menyebut ayat-ayat muhkamat ayat-ayat induk karena dengan bantuan ayat-ayat ini ayat-ayat mutasyabihat dapat ditafsirkan. Kalau kita menjumpai ayat Al-Qur'an yang dapat ditafsirkan dengan beberapa cara, kita tidak berhak memastikan maknanya. Kita harus merujuk ke ayat-ayat lain untuk mengetahui penjelasan terbaiknya. Ayat-ayat mutasyabihat bukan berarti tidak dapat dipahami. Ayat seperti ini hanya berarti ayat yang dapat ditafsirkan dengan lebih dari satu cara, yang masing-masing cara ini sating menyerupai.

Misal, ada beberapa ayat yang berkaitan dengan Kehendak Mutlak Allah SWT yang menyatakan bahwa segalanya bergantung pada Kehendak dan Perkenan Allah SWT. Salah satunya adalah ayat mutasyabih berikut ini:

Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS. AH 'Imran: 26)

Ayat ini mutasyabih (mendua) karena dapat ditafsirkan dengan lebih dari satu cara. Ayat ini hanya mengatakan bahwa segalanya bergantung pada Kehendak Allah SWT. Ini mungkin dengan dua cara: Cara pertama adalah mengatakan bahwa Kehendak Allah SWT adalah mutlak tanpa syarat. Sebagian orang menafsirkan ayat ini dengan cara itu, dan membuat kesimpulan yang salah bahwa meski kondisinya kondusif bagi kemuliaan namun bisa saja terjadi aib, dan begitu pula meski kondisinya kondusif bagi kehinaan, bisa saja terjadi kemuliaan dan kekuasaan. Menurut mereka, sukses di dunia dan akhirat tak ada prasyaratnya, karena segala sesuatu bergantung pada Kehendak Allah SWT. Akibatnya, bisa saja suatu kaum atau seseorang meraih sukses dalam urusan duniawinya tanpa ada prasyaratnya, atau menemui kegagalan tanpa alasan yang jelas. Begitu pula, suatu kaum bisa saja meraih puncak surga, atau terpuruk ke tingkat terhina neraka tanpa alasan. Celakanya sebagian Muslim yang disebut kaum Asy'ariyah telah mengambil kesimpulan seperti ini dari ayat ini. Mereka mengatakan bahwa tidaklah mustahil kalau Nabi saw masuk neraka atau Abu Jahal masuk surga. Namun ini merupakan penafsiran yang salah tentang ayat ini. Karena ayat ini hanya mengatakan bahwa segalanya ber­gantung pada Kehendak Allah SWT, sedangkan mengenai bagaimana sesungguhnya bekerjanya Kehendak ini yang menentukan sukses dan gagal, mulia dan aib, ayat ini tidak bicara apa-apa. Itulah sebabnya kenapa ayat ini dapat ditafsirkan beberapa macam.

Namun kalau kita merujuk ke ayat-ayat lain, ayat-ayat itu me­rupakan ayat pokok Al-Qur'an dan menjelaskan makna sesungguh­nya ayat ini. Misal, satu ayat mengatakan, "Itu karena Allah tak pernah mengubah nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada kaum apa pun sampai kaum itu sendiri mengubah apa yang ada di hati mereka." Ayat yang lain mengatakan, "Sesungguhnya Allah tidak mengubah kondisi suatu kaum sampai kaum itu mengubah apa yang ada di hati mereka." Kedua ayat ini masing-masing mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan ayat yang lain. Ayat kedua mengatakan bahwa Allah tidak mengubah kondisi suatu kaum, entah kondisi itu baik atau buruk, jika mereka sendiri tidak melakukan tindakan untuk mengubahnya. Atau, Allah SWT tidak mencabut nikmat yang telah dianugerahkan-Nya dan juga tidak mencabut aib yang telah ditimpakan-Nya. Hanya kaum itu sendiri yang mengubah kondisi mereka. Ayat pertama bukan mengenai kondisi menyedihkan. Ayat ini hanya bicara tentang nikmat anugerah Allah SWT. Namun ayat ini menyebutkan poin tambahan. Kata ayat ini, Itu karena Allah SWT tak pernah pernyataan ini! Yang dimaksud Irnam All as adalah bahwa situasinya rumit, dan perlu dikaji dari berbagai sisi. Imam Ali as kemudian mengatakan, "Atmosfernya berat, dan rutenya sudah berubah." Akhirnya Imam Ali as berkata, "Jika aku memerintahmu, aku akan mengikuti jalan yang aku ketahui, dan tak akan berbuat seperti yang kalian mau."

Perkataan Imam Ali as ini menunjukkan bahwa Imam Ali as sepenuhnya menyadari bahwa sejak masa Nabi saw situasinya sudah rusak sekali dan sudah benar-benar berubah. Imam Ali as membuat posisinya sangat jelas. Imam Ali as mau kalau umat berbaiat kepadanya mereka harus mengikutinya karena begitulah arti berbaiat. Imam Ali as tidak mengatakan bahwa khilafahnya akan sia-sia kalau mereka tidak berbaiat kepadanya. Imam Ali as menginginkan mereka tulus janjinya sehingga mereka akan memberikan dukungan kuat kepadanya dan mengikuti perintahnya.

Kaum Syiah dan Sunni sepakat bahwa Umar menunjuk sebuah dewan yang beranggotakan enam orang untuk memilih penggantinya. Imam Ali as sendiri termasuk di antaranya. Tiga anggota dewan ini mundur untuk memberikan dukungan kepada tiga anggota lainnya. Zubair mundur untuk memberikan dukungan kepada Imam Ali as. Thalhah mundur untuk memberikan dukungan kepada Utsman, dan Sa'ad bin Waqqas mundur untuk memberikan dukungan kepada Abdurrahman bin Auf. Abdurrahman mengatakan bahwa dirinya bukanlah kandidat. Sekarang tinggal dua orang. Pilihan sekarang ada di tangan Abdurrahman. Siapa pun yang dipilihnya, maka dia akan menjadi Khalifah. Mula-mula Abdurrahman mendatangi Imam Ali as. Katanya, "Aku siap berbaiat kepada Anda asal Anda berjanji akan bertindak menurut Kitab Allah, sunah Nabi-Nya dan kebijakan yang ditempuh Abu Bakar dan Umar." Kata Imam Ali as, "Aku mau menerima syarat harus mengikuti Kitab Allah dan sunah (jalan) Nabi-Nya, namun untuk syarat harus mengikuti kebijakan Abu Bakar dan Umar tidak." Kemudian Abdurrahman mendatangi Utsman dan mengatakan hal yang sama. Utsman mau bertindak mengikuti Kitab Allah, sunah Nabi-Nya dan kebijakan yang ditempuh Abu Bakar dan Umar. Meskipun Utsman mau berjanji akan mengikuti kebijakan Abu Bakar dan Umar namun, menurut Muhammad Taqi Syari'ati, Utsman sesungguhnya tidak berbuat demikian. Kalau dibuat perbandingan, ternyata tindakan Imam Ali as persis seperti Nabi saw. Perilaku Imam Ali as lebih dekat dengan perilaku Syaikhan (Abu Bakar dan Umar) juga, sejauh mereka mengikuti jalan Nabi saw. Imam Ali as tidak menerima syarat harus mengikuti kebijakan Syaikhan, karena kalau berbuat demikian berarti mendukung penyimpangan keduanya juga, dan kalau demikian maka Imam Ali as tak mungkin dapat lagi menentang penyimpangan keduanya. Misal, diskriminasi antara kaum Muhajir dan Anshar terjadi di masa Umar. Imam Ali as menentang keras kebijakan seperti ini. Kalau Imam Ali as mengatakan akan mengikuti kebijakan yang ditempuh Abu Bakar dan Umar, tentu Imam Ali as harus membenarkan tindakan yang dilakukan di masa Umar. Imam Ali as tak mau berdusta, juga tak mau ingkar janji. Itulah sebabnya kenapa Imam Ali as mengatakan tak mau menjadi Khalifah.

Kita tahu bahwa Abu Bakar dan Umar melakukan penyimpangan. Sepeninggal Umar, Imam Ali as tetap tak mau berjanji mau mengikuti langkah Abu Bakar dan Umar. Tentu wajar kalau sepeninggal Utsman ketika kondisinya parah dan, dalam kata-kata Imam Ali as sendiri, masa depan banyak sisinya, Imam Ali as mengatakan kepada orang-orang yang menginginkan Imam Ali as bertindak seperti yang mereka inginkan bahwa jika Imam Ali as mengambil alih pemerintahan, Imam Ali as akan melakukan apa yang dipandangnya benar, bukan melakukan apa yang mereka inginkan. Kata-kata Imam Ali as ini tidak berarti Imam Ali as menolak tawaran untuk memerintah. Imam Ali as hanya menjelas-kan sikapnya.
Tanya: Al-Qur'an sangat menekankan persatuan. Mengapa kalau memang penting artinya, Imamah Imam Ali as tidak disebutkan secara khusus dalam Al-Qur'an, juga Nabi saw tidak menyebut masalah ini pada banyak kesempatan, yang semestinya harus Nabi saw lakukan?

Jawab: Di sini ada dua poin. Poin pertama adalah kenapa masalah ini tidak dhebutkan secara khusus dalam Al-Qur'an? Poin kedua adalah apakah Nabi saw membicarakan masalah ini di beberapa tempat atau tidak. Sejauh menyangkut poin kedua, kami katakan bahwa itu merupakan masalah sejarah. Banyak dari kalangan Sunni mengakui bahwa Nabi saw membicarakannya pada beberapa kesempatan, bukan saja di Ghadir Khum, namun juga di tempat-tempat lain. Perinciannya ada dalam buku-buku tentang imamah. Ketika di Tabuk, Nabi saw berkata kepada Ali as, "Engkau bagiku seperti Harun bagi Musa, hanya saja tak ada nabi setelahku." Ketika di Perang Khaibar, Nabi saw menegaskan posisi Imam Ali as dengan mengatakan, "Besok akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang mencintai Allah dan Nabi-Nya dan yang dicintai Allah serta Nabi-Nya." Bahkan selama periode awal Islam, kepada kaum Quraisy Nabi saw berkata, "Barangsiapa di antara kalian yang pertama berbaiat kepadaku, maka dia akan menjadi ahli waris dan wazirku (menurut sebuah riwayat Nabi berkata, 'akan menjadi ahli waris, wazir dan khalifahku')." Orang seperti itu hanyalah Imam Ali as.

Begitu pula dengan Al-Qur'an. Masalah ini disebutkan bukan saja di satu atau dua melainkan beberapa tempat. Persoalan satu-satunya adalah kenapa Al-Qur'an tidak menyebut nama Imam Ali as. Masalah ini juga dibahas dalam buku "Khilafah dan Wilayah". Kami yakin, tak ada perubahan dalam Al-Qur'an, dan juga tak ada penambahan atau pengurangan. Kami yakin nama Imam Ali as tidak disebut-sebut di bagian mana pun. Dua alasannya sudah dikemukakan. Salah satunya, yang sudah dijelaskan lengkap dalam buku Muhammad Taqi Syari'ati, adalah Al-Qur'an memiliki gayanya sendiri. Al-Qur'an selalu membicarakan masalah-masalah seperti itu dalam bentuk sebuah prinsip, bukan sebagai kasus individual. Ini sendiri sudah merupakan nilai Al-Qur'an. Ketika ayat, "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu bagimu" turun, kaum kafir kecewa karena mereka selalu mengatakan bahwa selama orang itu (Nabi saw) masih hidup, maka tak ada yang dapat dilakukan, namun begitu Nabi saw wafat, segalanya akan beres. Namun harapan terakhir mereka kandas ketika mereka melihat Nabi saw telah mengambil langkah untuk menjamin kesinambungan eksistensi umatnya dan telah mengangkat penggantinya.

Poin lainnya yang juga disebutkan oleh penulis-penulis Sunni adalah bahwa selama hari-hari terakhir hayat Nabi saw, Nabi saw merasa cemas dengan masa depan para pengikutnya, dan ketakutan ini disebutkan dalam Al-Qur'an dengan kata-kata, "Dan takutlah kepada-Ku. "Menurut sebuah riwayat yang juga diriwayatkan oleh kaum Sunni, Abu Muzaihabah, seorang sahaya Aisyah, berkata:

"Selama hari-hari terakhir hayat Nabi, aku pernah melihat beliau keluar dari ruangannya dan menuju ke pekuburan Baqi di tengah malam. Aku berkata kepada diriku sendiri bahwa aku tidak boleh membiarkan beliau sendirian. Lalu aku mengikuti beliau. Dari jauh aku melihat beliau berdoa memohon ampunan Allah untuk orang-orang yang dimakamkan di Baqi. Aku mendengar beliau mengatakan, 'Kalian beruntung telah pergi duluan dan memperoleh keselamatan. Saat-saat yang tidak menyenangkan akan datang seperti malam-malam gelap.'" Riwayat ini menunjukkan bahwa Nabi saw membayangkan akan datangnya peristiwa demi peristiwa buruk, dan tak diragukan bahwa salah satunya adalah perselisihan tentang khilafah.

Menjawab pertanyaan mengapa Al-Qur'an tidak menyebut nama Imam Ali as, telah dikemukakan dua penjelasan: Pertama, gaya khas Al-Qur'an adalah menggambarkan beragam problem dalam bentuk prinsip; kedua, Nabi saw dan Allah SWT tidak khusus menyebut namanya karena Nabi saw dan Allah SWT mengetahui bahwa masalah khilafah akan didistorsi dan disalahtafsirkan. Karena sabda Nabi saw disalahtafsirkan, maka kalau ayat Al-Qur'an secara khusus menyebut nama Imam Ali as, juga akan disalahtafsirkan. Nabi saw berkata, "Ali ini adalah pemimpin bagi orang yang menjadikan aku pemimpinnya." Mungkinkah ada yang lebih jelas daripada ini?

Namun banyak perbedaan antara melanggar sabda jelas Nabi saw dan melanggar ayat yang menunjuk Imam Ali as pada hari setelah wafatnya Nabi saw. Itulah sebabnya saya kutipkan peristiwa berikut ini dalam pengantar buku "Khilafah dan Wilayah":

"Seorang Yahudi, dengan maksud mencela kaum Muslim karena kejadian-kejadian buruk di awal periode Islam selama kekhalifahan Imam Ali as, pernah berkata kepada Imam Ali as, 'Begitu kalian memakamkan Nabi kalian, kalian mulai berselisih tentangnya.'Jawaban Imam Ali as luar biasa, 'Kami tidak berselisih tentangnya. Kami hanya berselisih tentang perintah-perintah yang kami terima darinya. Namun kalian, kaki kalian masih basah air laut ketika kalian berkata kepada Nabi kalian, Tunjukkan untuk kami dewa seperti dewa-dewa lawan kami. Kemudian Nabi kalian berkata, Sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang bodoh.'"

Jadi Banyak bedanya antara apa yang terjadi pada kaum Muslim, dan apa yang terjadi pada kaum Yahudi. Dengan kata lain, kaum Muslim tidak berselisih tentang Nabi saw itu sendiri. Mereka berselisih tentang makna dan arti penting petunjuk-petunjuknya saja. Karena itu, yang mereka lakukan tak dapat sekadar dikatakan bahwa mereka salah memahami sabda Nabi saw. (Meskipun sesungguhnya tidak begitu.) Namun, banyak bedanya antara salah memahami atau salah menafsirkan sabda Nabi saw, dan mengabaikan atau mendistorsi ayat Al-Qur'an.
Tanya: Masalah di atas dapat dirumuskan begin!. Memang Al-Qur'an hanya memberikan prinsip-prinsip saja. Namun prinsip suksesi dan pemerintahan dalam Islam tentu saja sangat penting. Al-Qur'an tidak menyebut nama. Namun prosedurnya tentunya sudah digariskan dengan jelas. Misal, bisa saja diwahyukan kepada Nabi saw agar Nabi saw mengangkat penggantinya, dan agar penggantinya juga mengangkat penggantinya, dan seterusnya. Begitu pula, semestinya digariskan dengan jelas apakah masalah suksesi diputuskan melalui pengangkatan atau pemilu. Pendek kata, masalah suksesi semestinya tidak dibiarkan tidak jelas, karena masalah suksesi bukan masalah sepele bagi Islam yang merupakan sebuah agama .yang datang untuk memberikan petunjuk. Problemnya bukanlah apakah nama Imam Ali as semestinya disebutkan atau tidak. Namun kalau mengingat perselisihan pendapat mengenai metode suksesi dan bentuk pemerintahan, maka perlu digariskan prosedur yang jelas. Setidak-tidaknya bisa diwahyukan kepada Nabi saw bahwa Nabi saw berkewajiban menunjuk penggantinya. Dalam kasus itu pun orang bisa saja tidak sependapat mengenai siapa penggantinya. Namun akan jelas kalau Nabi sendiri mengangkat penggantinya sehingga tak ada lagi semacam pemilu. Juga ada masalah lain, apakah penerus Nabi saw menunjuk penerusnya atau imam berikutnya, atau menyerahkan masalah ini kepada pilihan umat. Sepengetahuan saya, dalam Al-Qur'an problem ini juga masih tidak jelas. Bagaimanapun juga, tak ada prosedur yang jelas garisnya.

Poin kedua adalah beberapa waktu silam saya membaca sebuah buku mengenai sistem pemerintahan dalam Islam. Dalam buku itu banyak dikutip kata-kata Imam Ali as dan lainnya, yang semuanya pada in tiny a mengatakan bahwa masalah Khilafah ditentukan oleh kaum Muslim dan kaum Muslim diberi hak untuk mengungkapkan pendapat mengenai masalah itu. Misal, Imam Ali as, pada berbagai kesempatan, berkata, "Seorang khalifah ditunjuk oleh kaum Muslim dan diseleksi oleh umat bersangkutan." Imam Ali as juga mengatakan bahwa masalah khilafah bukan dirinya yang memutuskan, namun terserah kepada kaum Muslim untuk bermusyawarah dan mengungkapkan pendapat mengenai masalah itu. Dalam buku ini banyak argumen yang mendukung pandangan bahwa masalah pemerintahan merupakan masalah pemilu, dan tak ada seorang pun yang berwenang menunjuk penerusnya. Bagai-mana pendapat Anda mengenai hal ini?

Poin ketiganya adalah misal saja imam berikutnya menggantikan Imam sebelumnya, dan seterusnya sampai dua belas imam, kini bagaimana prosedur tetapnya untuk mengangkat pemimpin masyarakat Muslim? Adakah ketentuan Allah SWT dalam hal ini? Apakah pengangkatan selanjutnya didasarkan pada prinsip pemilu atau prinsip lainnya? Apakah ada ketetapannya bahwa dua belas imam yang maksum diangkat dengan petunjuk Allah SWT dan kemudian, misal, selama gaibnya Imam kedua belas, baru diadakan pemilu? Apakah ada ketentuannya yang jelas? Apakah kesimpulannya adalah bahwa mujtahid yang memenuhi syarat dapat menjadi pemimpin pemerintahan selama gaibnya Imam kedua belas? Sesungguhnya Al-Qur'an semestinya memberikan undang-undang kepada kaum Muslim yang memberikan petunjuk bahwa Tuhan telah menentapkan bahwa dua belas imam adalah penerus Nabi saw dan setelah itu kaum Muslim baru bebas memilih penguasa mereka, atau semestinya dikatakan dengan jelas bahwa baru setelah itu mujtahid yang menjadi pemimpin mereka. Namun masalah ini tetap saja tidak terpecahkan sejak wafatnya Imam kesebelas, dan telah mengakibatkan perselisihan. Bagaimana pemecahan problem ini dan sudut pandang kita?
Jawab: Sebagian poin ini sudah kami bahas, namun Anda sekali lagi membelokkan masalah imamah ke masalah pemerintahan saja. Seperti sudah kami jelaskan, masalah imamah beda dengan masalah pemerintahan, dan masalah pemerintahan, kalau ada imam, persis seperti kalau ada Nabi. Dengan kata lain, dalam kedua kasus ini ada suatu situasi yang diatur dengan hukum khusus. Di masa hidup Nabi saw tidak muncul masalah siapa yang menjadi kepala negara, dan dengan adanya imam yang ciri-ciri khasnya seperti yang diyakini kaum Syiah, masalah ini hanya sekunder dan hipotetis. Masalah bentuk pemerintahan hanya dapat dipertimbang-kan kalau tak ada imam, karena bagi kami tak ada zaman yang tak ada Imamnya. Namun mungkin ada suatu masa ketika imam tidak hadir, dan itulah sebabnya kami tidak menafikan arti ayat Al-Qur'an yang mengatakan bahwa urusan kaum Muslim diselesaikan dengan musyawarah. Namun urusan yang dapat diselesaikan dengan musyawarah adalah urusan yang belum jelas hukum atau aturan syariatnya, bukan urusan yang ada petunjuk atau ketentuan Al-Qur'annya.

Adapun poin-poin yang disebutkan dalam buku "Pemerintahan dalam Islam", buku ini belum saya telaah dengan seksama. Namun buku ini sayangnya, untuk sebagian besar, sepihak. Argumen-argumennya sepihak. Tak ada argumen-argumen sebaliknya. Inilah kekurangannya, karena semua argumen harus dikemukakan, lalu baru dilihat argumen mana yang lebih kuat dan lebih andal.

Kekurangan lain buku ini adalah banyak kutipan di dalamnya yang dibahas keluar dari konteksnya. Saya belum melakukan studi seksama atas buku itu, namun mereka yang telah melakukannya mengatakan bahwa awal dan akhir dari banyak kalimat yang dikutip dalam buku ini telah mengalami pemotongan, akibatnya maknanya terdistorsi. Jika bagian-bagian yang hilang ini ditambahkan pada kalimat-kalimat ini, maka sangat beda artinya. Kalau imam tak hadir, tak ada perselisihan tentang hal ini.

Catatan Kaki:

[1] Bagian pertama buku "Khilafah dan Wilayah" yang baru-baru ini terbit, berisi kuliah-kuliah Muhammad Taqi Syari'ati yang disampaikan di Husainiyah Irsyad sekitar empat tahun silam. Dalam kuliah-kuliahnya, dia membahas persoalan yang juga saya bahas ini. Karena itu dua buku ini dapat dianggap saling menambah.

[2] Nabi saw menunaikan haji perpisahan pada tahun terakhir hayatnya, sekitar dua bulan sebelum wafat. Nabi saw wafat pada 28 Shafar atau, menurut kaum Sunni, 12 Rabiulawal. Nabi saw sampai di Ghadir Khum pada 18 Zulhijah, yaitu dua bulan sepuluh hari sebelum wafat atau dua bulan dua puluh empat hari menurut kaum Sunni.

[3] Ada di antara Anda mungkin pernah ke Julifah. Saya ke Juhfah ketika menunaikan haji yang kedua. Kunjungan kami ke Madinah mengalami penundaan. Maka kami ke Jeddah. Ada perbedaan dalam pandangan hukum mengenai boleh tidaknya berihram di Jeddah. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa ini bukanlah perbedaan hukum, melainkari perbedaan geografis. Berihram dapat dilakukan dari titik yang paralel dengan miqat. Qrang yang tahu geografi Arabia dapat mengatakan dengan pasti apakah Jeddah memenuhi syarat ini atau tidak. Pada awalnya kami sendiri tidak percaya kalau itu demikian, namun belakangan ketika memperoleh peta Arabia di Mekah dan Madinah, ternyata Jeddah paralel dengan salah satu miqat, dengan asumsi peta tersebut akurat. Kalau mereka yang bergerak dari Jeddah ke Mekah ingin ber-ihram dari salah satu miqat yang Sebenarnya, mereka bergerak dari Jeddah ke Juhfah yang letaknya di rule menuju Madinah dan merupakan miqat bagi orang Syria. Ghadir Khum letaknya dekat Juhfah. Di tempat ini kaum Muslim yang pulang dari Mekah setelah menunaikan ibadah haji berpencar Ada yang ke Madinah, dan ada yang ke tempat masing-masing.


25
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

BAB 36 - Imamah Menurut Al-Qur'an
Pada bab terdahulu sudah dibahas ayat "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu dan telah Aku lengkapkan nikmat-Ku atasmu, dan telah Aku pilih Islam sebagai agamamu." Dalam pembahasan itu saya katakan bahwa bukti internal dan eksternal berkenaan dengah ayat ini menunjukkan bahwa, seperti diriwayatkan baik oleh kaum Syiah maupun kaum Sunni, ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa Ghadir Khum.

Karena sekarang yang kami bahas adalah ayat-ayat Al-Qur'an yang menjadi dasar dari argumen-argumen Syiah mengenai imamah, maka kami kutipkan dua atau tiga ayat saja untuk menjelaskan arah umum argumen-argumen Syiah. Salah satunya adalah sebuah ayat dalam Surah al-Mâ`idah ayat 67, "Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu sampaikan, berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya," Perlu ada pengantar, karena akan membantu memahami ayat ini dan ayat sebelumnya.

Posisi Khusus Ayat-ayat tentang Keturunan Nabi saw

Satu hal yang benar-benar cukup misterius adalah bahwa ayat-ayat Al-Qur'an yang berkenaan dengan keturunan Nabi saw, khususnya ayat-ayat yang, dari sudut pandang Syiah, berkenaan dengan Imam Ali as, gaya pengungkapannya khas. Meskipun ayat-ayat ini memiliki bukti internal yang memadai untuk menunjukkan arti pentingnya, namun ayat-ayat ini disisipkan di antara beberapa ayat lain yang membicarakan beberapa masalah lain. Itulah sebabnya perlu ada upaya untuk memahami arti pentingnya. Kekhasan ini telah dibahas oleh Muhammad Taqi Syari'ati dalam bukunya, "Imâmah dan Khilâfah". Meski bukan dia saja yang membahas hal ini, namun barangkali dialah orang pertama yang membahasnya dalam bahasa Persia. Kekhasan ini juga merupakan jawaban untuk mereka yang bertanya kenapa nama Imam Ali as tidak secara khusus disebut dalam Al-Qur'an.

Ayat Thathhîr (Penyucian)

Misal, ada sebuah ayat yang dikenal dengan nama ayat Thathhîr (penyucian):

Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahtulbait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya. (QS. al-Ahzâb: 33)

Di sini arti penyucian adalah penyucian tertentu yang disebutkan oleh Allah SWT. Artinya bukan pembersihan medis atau pembersihan biasa. Bukan begitu artinya. Sesungguhnya artinya adalah menghilangkan semua yang dianggap oleh Al-Qur'an rijs atau rujz, yaitu semua jenis dosa dogmatis, moral dan praktis. Itulah sebabnya dikatakan bahwa ayat ini menunjukkan kemaksuman para anggota rumah tangga Nabi saw dan menunjukkan bahwa mereka bebas dari segala kotoran, ketidakmurnian, dan najis.

Misal saja kita ini bukan Syiah dan juga bukan Sunni, melainkan orientalis Kristiani yang ingin mengetahui apa yang dikatakan oleh Kitab Suci kaum Muslim. Kita melihat ayat ini dan kemudian kita melihat ke sejarah Islam dan riwayat-riwayat kaum Muslim, kita mendapati bahwa bukan saja pengikut keturunan Nabi saw, yang dikenal sebagai Syiah, namun juga golongan yang bukan pendukung khusus keturunan Nabi saw seraya menyebutkan peristiwa turunnya ayat di atas mereka mengatakan dalam kitab-kitab autentik mereka bahwa ayat itu berkenaan dengan Imam Ali as, Fatimah az-Zahra as, Imam Hasan as, Imam Husain as dan Nabi saw sendiri. Ada sebuah riwayat Sunni yang mengatakan ketika ayat ini turun, Ummu Salamah,[1] salah seorang istri Nabi saw, mendatangi Nabi saw dan bertanya apakah ayat ini berlaku juga untuk dirinya. Nabi saw menjawab bahwa Ummu Salamah, meski diberkahi, namun tidak termasuk di antara orang-orang yang dimaksud oleh ayat itu. Yang meriwayatkan hadis ini lebih dari satu atau dua orang. Banyak riwayat yang isi umumnya seperti ini terdapat dalam kitab-kitab Sunni.

Kita melihat bahwa sebelum dan sesudah ayat terkutip di atas ada ayat-ayat yang berkenaan dengan istri-istri Nabi saw, "Wahai Istri-istri Nabi, kalian beda dengan wanita-wanita lain." (Tentu saja ayat ini tidak bermaksud mengatakan bahwa istri-istri Nabi saw lebih unggul dibanding wanita-wanita lain). "Wahai Istri-istri Nabi, barangsiapa di antara kalian berbuat dosa, maka hukuman baginya akan diduakalikan. Hukumannya akan diduakalikan, karena dia bukan saja melakukan dosa tertentu itu, namun juga melanggar kesucian suaminya dan bersalah melanggar hal-hal yang dianggap suci." Juga, "Barangsiapa di antara kalian patuh kepada Allah dan Rasul-Nya dan berbuat baik, maka pahala baginya akan Kami duakalikan." Dia akan mendapat pahala dua kali karena perbuatan bajiknya sesungguhnya terdiri atas dua perbuatan. Kasus ini sama dengan kasus para sayid yang disebut-sebut akan mendapat dua kali pahala untuk kebaikan yang mereka lakukan, dan dua kali hukuman untuk dosa yang rnereka lakukan. Itu bukan karena dosa yang dilakukan mereka beda dengan dosa yang dilakukan orang lain, namun karena fakta bahwa dosa mereka lipat dua. Misal, seorang sayid, na'udzubillah min dzalik, minum minuman keras, maka dia selain telah berbuat dosa, juga bersalah karena melanggar hal-hal yang dianggap suci, karena dia adalah keturunan Nabi saw, dan siapa pun yang melihatnya terang-terangan menentang ajaran Nabi saw, akan memperoleh kesan yang salah tentang Islam.

Dalam ayat-ayat ini semua kata gantinya adalah feminim. "Wahai Istri-istri Nabi, kalian beda dengan wanita lain, jika kalian takut kepada Allah." Jelaslah di sini yang dituju adalah istri-istri Nabi saw. Setelah dua atau tiga ayat, kata gantinya tiba-tiba berubah menjadi maskulin, dan kita sampai pada ayat ini: "Wahai ahlulbait, Allah hendak meniadakan semua jenis kekotoran darimu dan hendak menyucikanmu sesuci-sucinya" Kemudian, lagi kata ganti feminim digunakan dua kali. Al-Qur'an tidak mungkin sembrono. Dalam ayat ini kita catat dua perubahan. Pertama, di sini digunakan kata-kata "ahlulbait", padahal sebelumnya yang disebut adalah "Istri-istri Nabi". Kedua, kata ganti feminim digantikan kata ganti maskulin. Pergantian ini bukan tanpa alasan. Ayat ini sesungguhnya membicarakan per­soalan lain bukan persoalan yang dibicarakan ayat-ayat sebelumnya. Ayat-ayat sebelum dan sesudahnya menetapkan kewajiban tertentu bagi istri-istri Nabi saw dan di antaranya menunjukkan ancaman, ketakutan, harapan dan perintah. Kepada istri-isri Nabi saw, Al-Qur'an mengatakan:

Dan tetaplah di rumah-rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah. (QS. al-Ahzâb: 33)

Dalam ayat ini ada perintah dan ada ancaman. Istri-istri Nabi saw dikatakan bahwa kalau mereka berperilaku baik, maka akibatnya akan begini, namun jika mereka berperilaku lain, maka akibatnya juga akan lain. Dalam ayat ini ada ketakutan dan ada harapan.

Ayat ini, yaitu ayat Thathhîr (penyucian), lebih dari sekadar ungkapan pujian. Ayat ini menunjukkan bahwa ahlulbait Nabi saw maksum, hebas dari segala dosa dan kesalahan. Ayat ini independen, tak ada kaitannya dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Ayat-ayat sebelum dan sesudahnya ditujukan kepada istri-istri Nabi saw, sedangkan ayat ini ditujukan kepada ahlulbait Nabi saw. Dalam ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, digunakan kata ganti feminim, namun dalam ayat ini digunakan kata ganti maskulin. Namun ayat ini, yang tak ada kaitannya dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, disisipkan di tengah. Ini dapat disebut kalimat sisipan. Kita semua tahu bahwa terkadang pembicara yang tengah berbicara ten tang suatu masalah tiba-tiba menyimpang dari masalah yang tengah dibicarakan namun kemudian kembali lagi ke masalah yang tengah dibicarakannya. Itulah sebabnya para imam kami menyatakan bahwa bisa saja beberapa ayat Al-Qur'an membicarakan satu masalah pada awalnya, masalah lain di tengahnya dan masalah lain lagi di akhirnya. Berkaitan dengan penafsiran Al-Qur'an, poin ini banyak ditegaskan.

Bukan saja hadis-hadis dan para imam kami mengatakan bahwa ayat ini tidak berkaitan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, semua sumber Sunni juga meriwayatkan fakta ini.

Contoh lain ayat sisipan adalah:

Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu. (QS. al-Mâ`idah: 3)

Di sini juga kita lihat kasus yang sama, yang sedikit lebih mengherankan. Ayat-ayat sebelum ayat ini membicarakan norma hukum yang sangat sederhana dan biasa:

Dihalalkan bagimu bmatangternak,.... Diharamkan bagimu (makan) bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, daging hewan yang dicekik, yang dipukuli, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas. (QS. al-Mâ`idah: 1, 3)

Lalu tiba-tiba topiknya berubah, dan kita mendapati ayat ini:

Pada hart ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itujanganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itujadi agama bagimu. (QS. al-Mâ`idah: 3)

Lalu tema yang dibicarakan sebelumnya, kembali dibicarakan lagi. Pada dasarnya dua ayat ini tidak sesuai dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Jelaslah ayat-ayat ini disisipkan di tengah ayat-ayat yang membicarakan satu masalah yang lain sekali. Begitu pula dengan ayat yang baru saja kami bicarakan. Ternyata ayat ini disisipkan di antara ayat-ayat lain sedemikian rupa sehingga kalau ayat ini dihilangkan, maka ayat-ayat lain tersebut tetap nyambung. Juga, jika ayat "Pada hari ini telah Kusempurnakan." Dihilangkan, aliran harmonis ayat-ayat sebelum dan sesudahnya tidak akan terganggu. Ayat ini disisipkan di tengah ayat-ayat lain sedemikian rupa sehingga ayat ini bukan bagian belakang dari ayat sebelumnya, juga bukan pembuka ayat sesudahnya. Ayat ini membicarakan satu masalah yang beda sekali. Indikasi internal ayat ini sendiri maupun riwayat-riwayat dari sumber Syiah dan Sunni, semuanya mendukung pandangan bahwa ayat ini independen. Namun kenapa ayat ini disisipkan di antara ayat-ayat yang tak ada kaitannya? Tentu saja ada alasannya, dan alasan itu tentu tepat.

Alasan

Alasan yang juga disebutkan oleh para imam dapat disimpulkan dari Al-Qur'an. Karena itu, dari semua ajaran Islam, perintah Allah SWT, yang berkaitan dengan posisi istimewa keturunan Nabi saw dan imamah Imam Ali as, adalah yang paling kecil kemungkinannya untuk diimplementasikan. Karena sudah berurat berakar prasangkanya, orang-orang Arab tampaknya yang paling tidak siap untuk menerima konsepsi-konsepsi ini. Meskipun Nabi saw telah menerima perintah Allah SWT berkenaan dengan Imam Ali as, namun Nabi saw tahu bahwa jika Nabi saw menyampaikan konsepsi-konsepsi ini, tentu Nabi saw akan dituduh nepotisme oleh kaum munafik yang disebut-sebut dalam Al-Qur'an, sekalipun fakta menunjukkan bahwa Nabi saw tak pemah mengistimewakan dirinya di atas orang lain. Sesuai dengan ajaran Islam, Nabi saw tak pernah melakukan diskriminasi, dan kualitas Nabi saw seperti ini merupa­kan faktor yang sangat penting dalam kesuksesan Nabi saw. Memproklamasikan Imam Ali as sebagai penerus Nabi saw merupakan perintah Allah SWT, namun Nabi saw tahu bahwa orang-orang yang lemah imannya tentu akan mengatakan bahwa Nabi hendak mengistimewakan dirinya. Kita tahu bahwa dalam ayat di atas kata-kata "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu," didahului dengan kata-kata "'Pada hari ini kaum hafir telah kehilangan harapan untuk mengalahkan agamamu, maka janganlah takut kepada mereka, namun takutlah kepada-Ku." Yang dimaksud adalah bahwa orang-orang kafir telah kehilangan setiap harapan untuk berhasil menghancurkan Islam, maka dari itu janganlah takut kepada mereka, namun takutlah kepada-Ku. Seperti dijelaskan sebelumnya, mencabut karunia dan nikmat-Nya dari orang-orang yang kondisi jiwanya buruk, merupakan cara ilahiah Allah. Orang-orang seperti itu bahkan akan kehilangan Islam yang juga merupakan nikmat Allah SWT. Mengatakan "Takutlah kepada-Ku" merupakan cara mengatakan "Takudah kepada dirimu sendiri." Dengan kata lain, kaum Muslim tak lagi menghadapi bahaya dari luar, namun yang mereka hadapi adalah ancaman dari dalam.

Dapat dicatat bahwa ayat ini merupakan satu bagian dari Surah al-Mâ`idah, Surah terakhir yang turun kepada Nabi saw, dan turunnya pada dua atau tiga bulan terakhir masa hidup Nabi saw. Pada saat itu Islam sudah kuat.

Keyakinan bahwa kaum Muslim menghadapi bahaya dari dalam saja, bukan dari luar, juga disampaikan oleh ayat lain yang sudah kami kutipkan sebelumnya. Ayat itu mengatakan:

Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, karena jika kamu tidak melakukannya, berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Ku. Allah akan melindungimu dari (gangguan) manusia. (QS. al-Mâ`idah: 67)

Dapat disebutkan bahwa dalam Al-Qur'an tak ada ayat lain yang mendesak Nabi saw untuk melaksanakan tugas khusus. Dari nada ayat ini kesannya seakan-akan seseorang dipaksa untuk melakukan sesuatu, namun dia ragu-ragu. Dalam ayat ini Nabi saw diminta untuk menyampaikan apa yang telah diwahyukan kepadanya. Nabi sawjuga diancam, jika tidak menyampaikan, maka Nabi saw dianggap gagal sebagai Rasul. Pada saat yang sama Nabi saw mendapat jaminan akan dilindungi dan karena itu Nabi saw tak perlu merasa takut. Dalam ayat sebelumnya, kaum Muslim diminta untuk tidak takut kepada kaum kafir. Dengan begitu Nabi saw diantisipasi tidak akan takut kepada kaum kafir. Namun ayat ini menunjukkan bahwa Nabi saw masih takut dan cemas tentang sesuatu. Tentu saja Nabi saw tidak mungkin takut kepada kaum kafir. Nabi saw sadar akan bahaya bergolaknya orang-orang yang tak mau menerima suksesi Imam Ali as. Tak dapat saya katakan apakah orang-orang ini juga kafir hatinya sehingga mereka tak dapat menerima konsepsi imamah Imam Ali as.

Bukti Sejarah

Peristiwa-peristiwa sejarah juga menuturkan kisah yang sama. Dengan kata lain, sosiologi kaum Muslim menunjukkan hal yang sama. Kita tahu Umar mengatakan, "Kami tidak memilih Ali, sebagai langkah jaga-jaga untuk kepentingan Islam." Kaum Quraisy tak mau menerima Imam Ali as, karena mereka tidak dapat mentoleransi Imam Ali as.

Kaum Quraisy menganggap tidak benar kalau kenabian dan imamah keduanya ada dalam satu keluarga. Yang ingin dikatakan Umar adalah bahwa Bani Hasyim telah mendapat kemuliaan berkat kenabian. Apakah kekhalifahan juga akan ada di keluarga itu, sehingga semua kemuliaan ada di satu rumah. Itulah alasan kenapa kaum Quraisy tidak menyukai imamah Imam Ali as. Ibn Abbas memberikan jawaban yang sangat meyakinkan terhadap perkataan Umar dan mengutip banyak ayat Al-Qur'an untuk mendukung argumennya.

Kelihatannya situasi serupa yang ada di masyarakat Muslim diungkapkan dengan cara yang berbeda, oleh Al-Qur'an begini dan oleh Umar begitu. Misal, sebuah riwayat menyebutkan bahwa Imam Ali as dianggap tidak tepat untuk menjadi Khalifah karena Imam Ali as telah membunuh begitu banyak tokoh Arab di berbagai pertempuran Islam. Orang-orang Arab, anak-cucu tokoh-tokoh Arab yang telah dibunuh oleh Imam Ali as menaruh dendam kepada Imam Ali as, sekalipun setelah mereka masuk Islam. Sebagian orang Sunni juga mengemukakan argumen ini. Mereka mengatakan bahwa sekalipun Imam Ali as lebih unggul dibanding sahabat lain dan lebih memenuhi syarat, namun Imam Ali as tidak dipilih karena musuhnya banyak.

Jadi, di zaman Nabi saw atmosfernya diwarnai perasaan cemas. Dan pengumuman tentang suksesi Imam Ali as akan menyulut pemberontakan. Barangkali itulah sebabnya Al-Qur'an menyebut masalah imamah dalam ayat-ayat ini sedemikian rupa sehingga arti penting ayat-ayat ini dapat dimengerti oleh setiap orang yang objektif atau tak berprasangka. Al-Qur'an tidak mengemukakan masalah ini dengan cara yang kalau masalah ini ditolak oleh orang-orang yang cenderung menolaknya, maka penolakan itu akan menimbulkan penolakan terhadap Islam dan Al-Qur'an. Dengan kata lain, Al-Qur'an masih memberikan kesempatan kepada para penentang untuk menyembunyikan penolakan mereka di balik tirai tipis. Seperti itu pula alasan kenapa ayat Thathhîr juga disisipkan di antara ayat-ayat lain. Namun setiap orang yang jujur dan berakal sehat dapat menangkap makna sejatinya dan dapat melihat independensi ayat ini. Begitu pula dengan ayat "Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu," dan ayat "Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dan Tuhanmu."

Ayat "Walimu hanyalah Allah "

Ada beberapa ayat lain berkenaan dengan persoalan ini yang menarik untuk dipikirkan dengan seksama. Ayat-ayat ini rasanya memiliki makna khusus. Makna khusus ini dapat dipahami dengan bantuan riwayat-riwayat mutawatir saja. Salah satu ayat ini mengatakan sebagai berikut:

Sesungguhnya walimu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman yang mendirikan salat dan menunaikan zakat sementara mereka rukuk. (QS. al-Mâ`idah: 55)

Menunaikan zakat sembari rukuk bukanlah prosedur biasa atau normal. Maka tak dapat dikatakan bahwa hal ini disebutkan sebagai norma umum. Karena itu ayat ini pasti berkenaan dengan peristiwa tertentu. Ayat ini mengisyaratkan ke arah peristiwa ini sedemikian rupa sehingga kalau ditolak tidak dapat dianggap melawan Al-Qur'an. Namun setiap orang yang tak berprasangka akan mudah berkesimpulan bahwa ayat ini berkenaan dengan peristiwa tertentu yang tidak biasa. Orang-orang yang menunaikan zakat sembari rukuk tidak merujuk ke praktik yang lazim. Ayat ini mengindikasikan suatu peristiwa yang luar biasa. Peristiwa apa itu? Kita tahu bahwa baik kaum Syiah maupun kaum Sunni sepakat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali as.

Apa Kata Ahli Irfan

Ada beberapa ayat lain yang artinya baru dapat diketahui setelah melalui pemikiran yang mendalam. Itulah sebabnya ahli-ahli irfan* mengatakan bahwa masalah imamah dan wilayah merupakan sisi dalam dari hukum Islam. Itulah juga yang dipercaya kaum Syiah. Karena itu ahli-ahli irfan sangat bagus pengungkapannya mengenai konsepsi ini. Untuk memahami masalah Imamah, perlu masuk ke intinya, karena pada dasarnya masalah imamah membutuhkan pemikiran yang mendalam. Hanya orang-orang yang memiliki kualitas ini sajalah yang dapat memahami dengan baik masalah ini. Mereka mengajak orang untuk juga masuk ke inti masalah ini. Ada yang menanggapi, dan ada pula yang tidak. Sekarang kita lihat ayat lain, agar logika argumen kaum Syiah bisa dipahami sepenuhnya.

Konsep Imamah

Dalam Al-Qur'an ada sebuah ayat yang termasuk dalam rangkaian ayat yang tengah kita bahas. Ayat luar biasa ini tidak berkaitan dengan pribadi Imam Ali as, namun membicarakan doktrin imamah dalam arti yang sudah kami jelaskan, dan sekarang akan kami jelaskan dengan singkat.

Seperti sudah kami katakan, kekeliruan lama teolog-teolog ilmiah Muslim adalah membahas masalah imamah dengan cara seakan-akan konsepsi imamah kaum Syiah maupun kaum Sunni sama namun hanya saja perbedaan kedua kaum ini soal kondisinya saja. Kaum Syiah mengatakan bahwa imam haruslah maksum dan diangkat melalui keputusan Allah SWT, sedangkan kaum Sunni tidak mengakui sudut pandang itu. Fakta aktualnya adalah bahwa kaum Sunni sama sekali tidak mempercayai konsepsi imamah yang diyakini kaum Syiah. Imamah yang diyakini kaum Sunni hanyalah aspek duniawi dan salah satu fungsi dari imamah yang sesungguhnya. Mengenai kenabian, kita juga melihat bahwa Nabi saw adalah pemimpin umat Muslim, namun kepemimpinan ini atau kedudukannya sebagai pemimpin negara hanyalah salah satu fungsinya sebagai seorang Nabi. Kepemimpinannya tidak berarti bahwa kenabian dan kepemimpinan sinonim. Kenabian adalah sebuah realitas yang begitu banyak sisinya. Salah satu sifat khas seorang nabi adalah kalau ada nabi maka siapa pun selain nabi tak dapat menjadi penguasa atau pemimpin umat Muslim. Kaum Sunni mengatakan bahwa imamah berarti tak lebih dari administrasi pemerintahan dan bahwa imam adalah kepala administrasi ini atau penguasa kaum Muslim. Dia dipilih oleh kaum Muslim dari kalangan mereka sendiri. Konsep Sunni tentang imam tak lebih dari status kepala negara Muslim. Namun menurut Syiah, imamah adalah sebuah posisi yang sama dengan kenabian, dan dalam beberapa hal bahkan lebih tiriggi daripada Kenabian. Para nabi papan atas, mereka itu juga imam. Banyak nabi yang sama sekali bukan imam. Bahkan para nabi papan atas mendapat tugas imamah jauh setelah mereka jadi nabi.

Pendek kata, kalau kita mengakui bahwa imamah adalah seperti kenabian, maka kita juga harus akui bahwa karena adanya seorang nabi yang memiliki aspek manusia super maka tak ada masalah siapa yang jadi penguasa, adanya seorang imam maka tak ada masalah siapa yang jadi penguasa. Masalah ini baru muncul ketika tak ada imam, entah karena imam sama sekali tak ada atau karena imam tengah gaib seperti yang tengah terjadi di zaman kita ini. Kita tak boleh mencampuradukkan masalah imamah dengan masalah pemerintahan dan kemudian bertanya apa kata kaum Sunni dalam hal ini dan bagaimana pandangan Syiah. Sesungguhnya masalah pemerintahan beda dengan masalah imamah. Menurut kaum Syiah, imamah merupakan sebuah fenomena yang persis seperti fenomena kenabian, dan itu juga seperti derajat tertingginya. Maka dari itu kaum Syiah mempercayai imamah, sedangkan kaum Sunni tidak. Menurut kaum Sunni, syarat yang diperlukan bagi seorang imam beda.

Imam dalam Keturunan Nabi Ibrahim as

Ayat yang sekarang ingin kami kutip dengan jelas menunjukkan konsep imamah yang diyakini kaum Syiah. Kaum Syiah berpendapat ayat ini menunjukkan bahwa ada sebuah kebenaran yang disebut imamah, dan bahwa adanya bukan saja selama periode setelah wafatnya Nabi saw namun juga sejak datangnya para nabi dan akan terus eksis dalam keturunan Nabi Ibrahim as sampai akhir zaman. Al-Qur'an mengatakan:

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia." Ibrahim berkata: "(Dan aku mohonjuga) dari keturunanku. "Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orangyang zalim." (QS. al-Baqarah: 124)

Ujian Nabi Ibrahim as—Perintah untuk Hijrah ke Hijaz

Al-Qur'an sendiri menyebutkan sejumlah ujian yang harus dihadapi Nabi Ibrahim as. Ujian itu antara lain berupa perjuangan Nabi Ibrahim as melawan Namrud beserta pengikut-pengikutnya, sehingga Ibrahim as sampai dibakar dan mengalami beberapa peristiwa lainnya. Salah satu peristiwa ini adalah Ibrahim as menerima perintah yang tak dapat dilaksanakan oleh siapa pun yang belum sepenuhnya menaati Allah SWT. Ibrahim as belum memiliki anak. Untuk pertarna kalinya istrinya, Hajar, melahirkan seorang anak pada usia tujuh puluh delapan tahun. Nabi Ibrahim as menerima perintah Allah SWT untuk pergi dari Syria ke Hijaz, membawa istri dan anaknya ke tempat yang sekarang menjadi lokasi Masjidil Haram. Perintah ini tidak sesuai dengan logika apa pun kecuali logika kepatuhan diri yang total. Karena yakin bahwa itu adalah perintah Allah SWT yang diterimanya melalui wahyu, Ibrahim as menjalankan perintah itu. Ibrahim as berkata:

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah Engkau (Baituttah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka menegakkan salat. (QS. Ibrahim: 37)

Perintah Menyembelih Putranya

Yang lebih mengherankan daripada peristiwa-peristiwa ini adalah kisah tentang Nabi Ibrahim as menyembelih putranya di Mina. Untuk selalu mengenang kepatuhan diri yang luar biasa ini, maka kita sekarang berkorban kambing (karena kita melaksanakan perintah Allah SWT, maka dalam hubungan ini tak ada pertanyaan kenapa dan untuk apa). Setelah dua atau tiga kali bermimpi seakan-akan sedang mengorbankan putranya, Ibrahim as yakin bahwa itu adalah perintah Allah SWT kepadanya untuk melakukan yang demikian. Ibrahim as menuturkan hal ini kepada putranya. Putranya setuju dan mengatakan, "Ayah, lakukan apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah akan engkau dapati aku setia dan tabah." Al-Qur'an menggambarkan peristiwa yang luar biasa ini. Keduanya sudah pasrah taat (kepada Allah SWT) dan dia sudah siap menyembelih putranya (pada akhirnya ketika Ibrahim as mutlak yakin mau menyembelih putranya, dan sang putra, Ismail, sudah tak ragu lagi bahwa kepalanya akan disembelih):

Dan Kami panggillah dia: "Wahai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah melaksanakan mimpi itu." (QS. ash-Shâffât: 104-105)

Yang dikatakan Allah SWT adalah bahwa Allah SWT sesungguh­nya tidak menghendaki kepala Ismail as dipotong. Allah SWT hanya ingin melihat kepatuhan total Ibrahim dan Ismail kepada kehendak-Nya, dan ternyata keduanya memang sangat patuh.

Al-Qur'an dengan jelas mengatakan bahwa Allah SWT mengaruniakan seorang putra kepada Nabi Ibrahim as ketika usianya sudah lanjut. Dikatakan ketika para malaikat mendatanginya dan mengatakan bahwa dia akan dianugerahi seorang putra oleh Allah SWT, istrinya berkata:

Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku seorang perempuan tua dan suamiku pun sudah tua pula? Para malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan berkah-Nya dicurahkan atas kamu, wahai Ahlutbait. " (QS. Hûd: 72-73)

Menurut ayat ini, Allah SWT menganugerahkan seorang putra kepada Ibrahim as ketika Ibrahim as sudah tua. Ketika masih muda, Ibrahim as belum dikaruniai anak. Ketika mendapat anak, Ibrahim as sudah jadi Nabi. Dalam Al-Qur'an banyak ayat tentang Ibrahim as. Ayat-ayat itu menunjukkan bahwa Ibrahim as mendapat anak ketika berusia tujuh puluh atau delapan puluh tahun. Ishaq as dan Ismail as tumbuh besar. Ismail as menjadi dewasa dan membantu ayahnya membangun Ka'bah. Al-Qur'an mengatakan:

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa perintah, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berftrman: "Sesungguh­nya Aku akan menjadikanmu seorang Imam bagi umat manusia." Ibrahim berkata: "(Dan aku mohon juga) dari keturunanku. " Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim." (QS. al-Baqarah: 124)

Apakah ayat-ayat ini berkenaan dengan masa muda Ibrahim as? Tak dapat dipungkiri, ayat-ayat ini berbicara tentang ketika Ibrahim as sudah menjadi Nabi, karena ayat-ayat ini berbicara tentang wahyu. Ayat-ayat ini berkenaan dengan masa tua Ibrahim as, karena ayat-ayat ini berbicara mengenai ujian demi ujian yang dilalui Nabi Ibrahim as. Ujian demi ujian ini terjadi di sepanjang hayat Ibrahim as. Ujian yang paling penting terjadi ketika Ibrahim as sudah lanjut usia. Dalam ayat-ayat ini disebut-sebut keturunan Ibrahim as. Itu menunjukkan bahwa ketika percakapan ini berlangsung, Ibrahim as setidak-tidaknya sudah memiliki seorang anak.

Sesungguhnya, menurut ayat ini, Ibrahim as diangkat menjadi Imam menjelang akhir hayatnya. Ayat ini mengatakan bahwa Aku telah menjadikan engkau Imam bagi umat manusia. Jadi Ibrahim as diberi tugas baru. Itu menunjukkan bahwa Ibrahim as sudah menjadi Nabi dan Rasul Allah. Namun masih ada satu tahap yang sampai saat itu belum dicapainya. Tahap itu baru dicapainya setelah sukses melewati semua ujian. Bukankah itu menunjukkan bahwa, menurut Al-Qur'an, ada satu lagi realitas yang namanya adalah imamah? Sekarang apa artinya?

Imamah Adalah Perjanjian Dahi

Arti imamah adalah tahap menjadi manusia sempurna dan pemimpin sempurna. Ketika Ibrahim as diangkat menjadi Imam, dia lantas memikirkan keturunannya. Ibrahim as berkata, "Bagai-mana dengan keturunanku?" Allah SWT menjawab, "Perjanjian-Ku tidak mengenai orang yang zalim." Di sini imamah digambarkan sebagai perjanjian Allah SWT. Itulah sebabnya kaum Syiah mengata­kan bahwa imamah yang diyakini kaum Syiah adalah ilahiah sifatnya. Al-Qur'an juga menggambarkan imamah sebagai "Perjanjian-Ku." Imamah adalah perjanjian Allah SWT, bukan perjanjian manusia. Kalau kita mempertimbangkan fakta bahwa imamah beda dengan perwalian komunitas Muslim, maka kita tak akan heran bahwa imamah adalah tugas atau misi ilahiah. Orang bertanya siapa yang membentuk pemerintahan, Allah SWT atau manusia? Kami katakan bahwa soal pemerintahan beda dengan soal imamah. Allah SWT berfirman kepada Ibrahim as, "Imamah adalah perjanjian-Ku, dan imamah tidak akan mengenai orang yang zalim di antara keturunanmu. Menjawab pertanyaan Ibrahim as, Allah SWT tidak mengatakan "Tidak" dan juga tidak mengatakan "Ya" kepadanya. Allah tidak memasukkan orang yang zalim dalam ruang lingkup imamah. Karena itu, yang masuk dalam ruang lingkup imamah adalah keturunan Ibrahim as yang tidak zalim. Ayat ini menunjukkan bahwa imamah akan selalu ada di antara mereka. Dalam hal ini ada satu ayat lagi:

Dan (Ibrahim) membuat sebuah kalimat jadi kekal pada keturunannya. (QS. az-Zukhruf: 28)

Siapakah Orang yang Zalim?

Sekarang pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan orang yang zalim. Para imam mendasarkan argumen-argumen mereka pada digunakannya istilah ini dalam ayat ini. Dari sudut pandang Al-Qur'an, setiap orang yang tidak adil kepada dirinya sendiri atau orang lain, maka dia itu orang yang zalim. Dalam bahasa biasa, orang yang zalim adalah orang yang melanggar hak orang lain. Namun menurut terminologi Al-Qur'an, orang yang tidak adil terhadap dirinya sendiri juga adalah orang yang zalim. Banyak ayat Al-Qur'an yang menyebutkan bahwa orang yang melakukan pelanggaran atas dirinya sendiri disebut orang yang zalim.

Dalam kaitannya dengan pertanyaan Nabi Ibrahim as tentang keturunannya, 'Allamah Thabathaba'i mengutip salah seorang gurunya yang mengatakan bahwa keturunan Nabi Ibrahim as, dari sudut pandang baik atau buruk, dapat dibagi menjadi empat golongan: (1) yang sepanjang hayatnya zalim; (2) yang pada awal-nya zalim, namun kemudian saleh; (3) yang pada awalnya saleh namun kemudian jadi zalim; (4) yang tidak pernah zalim.

Nabi Ibrahim as sepenuhnya menyadari pentingnya jabatan tinggi imamah yang dikaruniakan kepadanya setelah dia lama menjadi Nabi. Dengan demikian mustahil kalau Ibrahim as meminta posisi ini bagi keturunannya yang sepanjang hayatnya zalim atau yang pada awalnya baik namun kemudian jadi zalim. Nabi Ibrahim as tentu minta posisi ini hanya bagi keturunannya yang baik. Karena itu keturunannya yang baik adalah yang sepanjang hayatnya baik dan yang tidak baik pada awalnya namun di kemudian hari jadi baik. Tentu saja Ibrahim as tak akan minta posisi ini bagi keturunannya yang tidak termasuk dalam dua golongan ini. Sekarang kita lihat apa kata Al-Qur'an, "Perjanjian-Ku tidak mengenai orang-orang yang zalim," Jelaslah pertanyaan Ibrahim as tidak mencakup keturunannya yang zalim sepanjang hayatnya atau yang baik pada awalnya namun di kemudian hari jadi zalim. Karena itu apa yang dikatakan Al-Qur'an- sama saja dengan perkataan bahwa keturunan Ibrahim as yang pernah tercela tidak akan mengemban imamah. Berdasarkan inilah kaum Syiah berargumen bahwa keturunan Ibrahim as yang pernah jadi orang musyrik pada waktu kapan pun, tidak tepat untuk mengemban imamah.

Pertanyaan dan Jawaban

Tanya: Apa arti maksum? Apakah konsepsi maksum merupakan produk sampingan dari logika Syiah, ataukah ada dasarnya yang selanjutnya kita kembangkan? Siapakah orang yang maksum itu, apakah dia adalah orang yang tidak berbuat dosa atau apakah dia yang selain tidak berbuat dosa juga tidak berbuat keliru? Sekitar dua puluh tahun silam saya mengikuti kuliah almarhum Mirza Abdul Hasan Faroghi. Almarhum pernah melakukan studi khusus mengenai masalah kemaksuman dan memberikan pandangannya mengenai hal ini. Kuliahnya terperinci dan bagus. Namun delapan puluh persen kuliahnya itu tak dapat saya mengerti. Dari dua puluh persen yang saya pahami saya berkesimpulan bahwa almarhum menjelaskan kemaksuman dengan cara yang luar biasa. Almarhum mengatakan bahwa orang yang maksum bukanlah orang yang tidak berbuat dosa, karena banyak sekali orang yang tak pernah berbuat dosa di sepanjang hayatnya. Namun orang-orang seperti ini tidak disebut maksum. Sekarang saya tak ada kaitannya dengan pembicaraan itu. Saya ingin tahu siapakah orang yang maksum itu. Kalau orang yang maksum adalah orang yang tidak berbuat keliru, saya melihat bahwa dari dua belas imam hanya dua saja, yaitu Imam Ali as dan untuk periode yang pendek Imam Hasan as, yang mengemban khilafah, dan bahkan keduanya ini telah melakukan kekeliruan dalam memerintah negara. Hal ini, dari sudut pandang sejarah, tak dapat diperselisihkan. Posisi ini tidak sesuai dengan definisi maksum. Misal, kita tahu bahwa Imam Hasan as memberi­kan tugas khusus kepada Ubaidullah bin Abbas untuk menghadapi Muawiyah. Imam Ali as sendiri mengangkat Abdullah bin Abbas menjadi Gubernur Basrah. Tentu saja Imam Ali as tak akan mengangkatnya kalau saja beliau tahu aib yang akan ditimbulkannya dan betapa kotor perilakunya. Ini artinya bahwa Imam Ali as sebelumnya tidak tahu konsekuensi tindakannya. Imam Ali as mengira telah memilih orang terbaik untuk tugas khusus itu, namun Ibn Abbas ternyata tak seperti yang diharapkan Imam Ali as. Kalau kita telaah lebih lanjut periode pemerintahan Imam Ali as, maka akan kita temukan banyak contoh lagi yang seperti ini.

Dari sudut pandang sejarah, kekeliruan seperti itu tidak mengapa, meski tidak sesuai dengan definisi kemaksuman ini. Seperti telah saya katakan, tidak ada gunanya diskusi sepihak yang partisipannya hanya menerima ideologi tertentu saja. Alasannya adalah bila seseorang memiliki keyakinan tertentu, maka dia mulai menyukainya dan tak mau mendengarkan keyakinan lain yang bertentangan dengan keyakinannya. Prinsip ini khususnya berlaku pada kita, kaum Syiah, yang di hatinya telah ditanamkan kecintaan kepada Syiah dan keluarga Imam Ali as sejak kecil dan yang tak pernah mendengar kritik terhadap mereka. Mungkin saja kita pernah mendengar kritik terhadap agama kita, prinsip-prinsipnya dan bahkan terhadap tauhid.dan kereligiusan, namun tak pernah mendengar orang mengkritik Syiah, para imam atau tindakan para imam. Itulah sebabnya kita merasa sangat gelisah kalau ada orang melontarkan penentangan terhadap, rriisalnya, Imam Hasan as. Mau mendengarkan apa pun penentangan terhadap Imam Husain as, merupakan sesuatu yang jauh lebih sulit.

Anda telah menekankan ayat yang mengatakan, "Mereka yang menegakkan salat dan membayar zakat sementara mereka tengah rukuk." Anda telah berargumen bahwa ayat ini berkenaan dengan Imam Ali as, dan turun berkaitan dengan Imam Ali as yang memberikan cincinnya ketika Imam Ali as tengah rukuk. Menurut hemat saya, argumen ini tidak begitu sahih dan logis, karena kita mendengar dan membaca dalam riwayat hidup Imam Ali as bahwa ketika salat Imam Ali as begitu khusyuk kepada Allah SWT sehingga Imam Ali as tidak dapat tahu siapa pun. Juga disebutkan bahwa ketika berwudu Imam Ali as tidak tahu siapa yang lewat di depannya. Lantas mana mungkin orang seperti ini sedemikian waspada ketika tengah salat, buktinya dia memberikan cincinnya kepada seorang peminta-minta yang muncul di depannya, padahal orang lain tak mau memberikan apa pun kepada peminta-minta ini. Lagi pula, tidak baik memberikan uang kepada peminta-minta. Paling tidak, memberikan uang kepada peminta-minta tidak begitu penting sehingga sampai harus merusak salat. Padahal cincin tidak dikenai zakat. Menurut para faqih Syiah, cincin bukan termasuk yang dikenai zakat. Selain itu, sebagian orang yang sempit pikirannya, dengan maksud membesar-besarkan peristiwa ini, mengatakan bahwa cincin sangatlah mahal, padahal kita tahu bahwa Imam Ali as tak pernah mengenakan cincin yang mahal.
Jawab: Mengenai masalah kemaksuman, tidak banyak orang yang berpandangan lain. Namun memang baik kalau bertanya. Apa arti maksum? Terkadang orang cenderung mengira bahwa Allah SWT selalu mengawasi orang-orang pilihan tertentu dan tidak mau kalau orang-orang pilihan ini berbuat dosa. Kalau mereka ini bermaksud melakukan dosa, Allah SWT mencegah mereka agar tidak melaksanakan niat mereka. Tentu saja, itu bukanlah maksum. Bahkan seandainya begitu, kemaksuman tidak memberikan sesuatu yang andal. Jika seseorang selalu mengawasi anaknya, dan tak mau anaknya berbuat salah, maka hal itu tak dapat dianggap bahwa anak itu memiliki keunggulan. Namun ada makna lain kemaksuman yang dapat disimpulkan dari Al-Qur'an. Dalam kisah tentang Nabi Yusuf as yang digoda oleh seorang wanita, Al-Qur'an mengatakan:

Sesungguhnya wanita telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat argumen Tuhannya. (QS, Yusuf: 24)

Bagaimanapun juga Nabi Yusuf as adalah seorang manusia. Dia muda dan memiliki dorongan naluriah. Wanita itu ada hasrat dengannya, namun Yusuf as tidak. Kalau saja Yusuf as tidak tahu bahwa dirinya diawasi oleh Allah SWT, tentu dia akan melakukan perbuatan itu. Iman yang sempurna yang dimiliki Yusuf as membuat Yusuf as tidak melakukan perbuatan dosa dan membuat Yusuf as menyadari konsekuensi buruknya.

Tanpa campur tangan kekuatan dari luar, masing-masing kita tidak melakukan banyak dosa dan kesalahan karena kita semua sepenuhnya yakin akan konsekuensi berbahayanya. Misal, dosa kalau kita menjatuhkan diri dari lantai empat sebuah gedung atau terjun ke dalam kobaran api. Kita tak pernah melakukan dosa seperti itu, karena kita sadar betul bahayanya. Kita tahu, kalau memegang kawat beraliran listrik maka kita akan langsung mati. Kita baru melakukan perbuatan dosa ini kalau kita tidak tahu bahayanya. Tanpa ragu-ragu seorang anak kecil menyentuh api, karena dia tidak tahu bahayanya. Takwa merupakan karakter orang saleh, karena itu dia tak melakukan banyak dosa. Karakternya ini membuat dirinya maksum pada tingkat tertentu. Karena itu kemaksuman tergantung pada iman dan keyakinan. Kita yakin bahwa perbuatan tertentu berdosa karena perbuatan itu dilarang oleh agama kita. Kita katakan bahwa karena Islam melarang minum minuman keras, maka kita tidak minum minuman keras, dan karena Islam melarang judi, maka kita tidak berjudi. Kita kurang lebih tahu bahwa hal-hal ini buruk. Namun risikonya perbuatan-perbuatan dosa seperti ini bagi kita tidak sejelas risikonya menjatuhkan diri ke dalam kobaran api. Kalau kita yakin akan akibat dosa-dosa ini, seperti yakinnya kita akan akibat menjatuhkan diri ke dalam kobaran api, tentu kita akan maksum sejauh menyangkut dosa-dosa ini. Karena itu, maksum berarti iman dan keyakinan yang sempurna. Barangsiapa mengatakan, "Meskipun tabir disingkapkan maka keyakinanku tak akan bertambah,"[2] maka tentu dia itu maksum, karena dia sudah dapat melihat dengan jelas apa yang ada di balik tabir. Dia dapat merasakan jika dia berkata kasar kepada orang maka dia seakan-akan digigit kalajengking, dan karena itulah dia tak akan berkata sembarangan. Al-Qur'an sendiri menyebutkan beberapa contoh iman yang tingkatannya seperti ini. Itulah sebabnya disebutkan bahwa kemaksuman adalah istilah relatif, dan kemaksuman ada beberapa derajat dan tahapnya.

Orang yang maksum tak akan pernah melakukan perbuatan dosa yang terkadang kita lakukan dan terkadang kita jauhi. Orang seperti ini tanpa cela. Meskipun demikian, orang maksum ada derajat dan tahapannya, sehingga mereka tidak sama. Dalam tahap-tahap tertentu, mereka seperti kita. Kalau kita tidak kebal dari melakukan perbuatan dosa, maka mereka tidak kebal dari melakukan kekeliruan tertentu. Mereka tidak melakukan apa pun yang kita anggap dosa, namun mereka bisa saja melakukan hal-hal tertentu yang mereka sendiri menganggapnya dosa meskipun kita tidak menganggapnya dosa, karena kita belum sampai pada tahap yang sudah mereka capai. Kalau seorang siswa kelas 5 dapat menjawab soal kelas 6, maka siswa itu patut dipuji dan diberi hadiah. Namun jika siswa kelas 9 dapat menjawab soal kelas 6, maka dia tak patut dipuji. Bisa saja baik bagi kita namun dosa bagi or­ang maksum. Seperti kata pepatah, "Bagi kita makanan, namun bagi orang lain racun."

Itulah sebabnya kita melihat Al-Qur'an mengatakan bahwa beberapa nabi tidak taat.

Dan Adam tidak menaati Tuhannya, dan sesatlah dia. (QS. Thâhâ: 121)

Kepada Nabi Muhammad saw Allah SWT berfirman yang artinya sebagai berikut:

Supaya Allah memberi ampunan kepadamu atas dosamu yang telah lalu dan akan datang. (QS. al-Fath: 2)

Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa kemaksuman merupakan istilah yang relatif. Para nabi dan para Imam adalah maksum menurut kapasitas mereka dan kita menurut kapasitas kita. Karakter esensial kemaksuman melindungi dari dosa. Ruang lingkup perlindungan ini tergantung pada tingkat kesempurnaan iman. Kalau orang berada pada tahap "kalau bukan karena dia tahu argumen Tuhannya" maka imannya sempurna. Maksum sifatnya otomatis. Orang yang maksum tidaklah seperti kita yang memiliki keinginan untuk berbuat dosa, namun karena Allah SWT mengutus seseorang untuk mencegahnya berbuat dosa maka dia pun tidak berbuat dosa. Kalau maksum itu seperti ini, maka tak ada bedanya antara kita dan Imam Ali as, dan Imam Ali as berarti seperti kita, yaitu ada keinginan untuk berbuat dosa. Imam Ali as tidak berbuat dosa karena Allah SWT mengutus seseorang untuk mencegahnya berbuat dosa, sedangkan untuk kita, Allah SWT tidak mengutus siapa-siapa untuk mencegah kita berbuat dosa. Kalau ada yang mencegah seseorang berbuat dosa, maka orang itu tak patut dipuji. Misal seseorang mencuri, namun saya tidak mencuri karena saya selalu diawasi oleh pengawas. Kalau begini, saya tak ubahnya seperti dia, cuma bedanya dia tak ada yang mencegahnya melakukan pencurian, sedangkan saya ada yang mencegahnya. Karena itu saya tak patut dipuji.

Unsur utama kemaksuman adalah ketidakmampuan berbuat dosa. Ketidakmampuan berbuat salah sungguh beda sekali. Kita tak dapat mengatakan bahwa Nabi Saw bisa saja salah dalam menyampaikan risalah atau bisa saja menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang diwahyukan kepadanya, seperti yang sering terjadi pada utusan-utusan biasa yang terkadang menyampai­kan pesan yang salah. Mengenai Nabi saw, mustahil untuk mengata­kan bahwa dalam menyampaikan risalah Nabi saw bisa saja keliru.

Mengenai pertanyaan lain, si penanya terburu-buru dalam berkesimpulan. Dia bahkan telah berbuat zalim terhadap Imam Ali as. Kalau saja dia berada di posisi Imam Ali as, betulkah dia tidak akan memilih Ubaidullah bin Abbas? Tidak mengapa kalau membuat kesimpulan spekulatif dalam masalah-masalah sejarah seperti itu. Siapa pun akan mudah mengatakan bahwa dia merasa sebaiknya si polan tidak berbuat begitu lima ratus tahun silam, namun semestinya berbuat begini. Jika seseorang bertanya kepadanya apakah benar begitu, maka dia akan mengatakan bahwa itu hanyalah perkiraan pribadinya saja. Namun berbahaya kalau membuat kesimpulan pasti dalam masalah-masalah seperti itu, bukan saja mengenai Imam Ali as namun juga mengenai individu lain juga. Imam Ali as tahu situasi yahg berkembang. Dia lebih tahu Abdullah bin Abbas dan sahabat-sahabat lainnya ketimbang kita. Namun kita tetap saja mengatakan kalau saja Imam Ali as memilih orang lain, bukan memilih Abdullah bin Abbas, tentu akan lebih baik. Ini merupakan kesimpulan terburu-buru. Anda sendiri selalu mengatakan bahwa Imam Ali as memiliki kebijakan khususnya sendiri dan Imam Ali as tak mau bergeser sedikit pun. Namun tak ada yang mendukung kebijakan Imam Ali as.

Imam Ali as selalu mengatakan bahwa tak ada yang mendukungnya. Abdullah bin Abbas ini dan lainnya sering menasihati Imam Ali as agar fleksibel. Mereka mendesak Imam Ali as untuk melakukan apa yang sekarang disebut diplomas!. Saya minta Anda membuktikan bahwa cukup banyak orang untuk dipilih oleh Imam Ali as namun Imam Ali as salah pilih. Saya misalnya tak dapat membuktikan hal itu. Yang saya tahu hanyalah bahwa Nabi saw telah mengangkat Imam Ali as sebagai penerusnya. Imam Ali as sendiri mengeluh kenapa kekhalifahan dirampas dari tangannya. Ketika sepeninggal Utsman bin Affan, orang-orang mendatangi Imam Ali as untuk berbaiat kepada Imam Ali as, Imam Ali as mengatakan, "Carilah orang lain saja, karena aku tengah menghadapi suatu situasi yang multi-dimensi. Situasinya sudah gelap, dan tanpa disadari rutenya sudah menyimpang." Maksud Imam Ali as adalah bahwa kondisinya sangat buruk, dan Imam Ali as tak ada pendukungnya yang dapat membantunya untuk memperbaiki kondisi dan untuk mereformasi masyarakat. Kemudian Imam Ali as mengatakan apa yang sama dengan perkataan: "Namun aku tak punya alasan untuk dimaafkan. Kalau aku beralasan, maka sejarah tak akan menerimanya. Orang akan mengatakan bahwa karena ceroboh maka Ali kehilangan kesempatan. Meskipun sesungguhnya itu bukan kesempatan. Aku terima usulan Anda agar sejarah tidak menyalahkanku." Dengan demikian Imam Ali as sendiri mengakui bahwa dirinya tidak memiliki cukup pendukung, dan belum tepat waktunya baginya untuk menjadi Khalifah.

Orang mungkin meragukan sesuatu, namun sejarah pun tidak ragu bahwa Imam Ali as percaya klaimnya atas kekhalifahan lebih kuat ketimbang klaim siapa pun. Kaum Sunni mengakui bahwa Imam Ali as memandang dirinya sebagai kandidat yang lebih tepat dan absah untuk mengemban kekhalifahan ketimbang Abu Bakar dan Umar. Namun ketika sepeninggal Utsman orang pada men-datanginya dan memintanya menerima kekhalifahan, Imam All as menolak dan mengatakan lebih memilih untuk tetap jadi penasihat dan pembimbing ketimbang jadi penguasa. Dari sini jelas bahwa Imam Ali as tak memiliki cukup pendukung yang kompeten. Kenapa demikian? Itu lain soal.

Mengenai ayat "Mereka menegakkan salat dan membayar zakat sembari rukuk." Anda katakan bahwa cincin tidak dikenai zakat. Sesungguhnya yang dizakati antara lain adalah segala yang diberikan untuk tujuan kebaikan. Penggunaannya di zaman sekarang ini sebagai sebuah istilah teknis untuk zakat yang wajib itu, itu merupakan istilah para faqih. Dalam Al-Qur'an kata ini digunakan dalam pengertian ini. Zakat artinya adalah penyucian harta dan uang. Kata ini juga digunakan dalam kaitannya dengan penyucian rohani. Di berbagai tempat Al-Qur'an menggambarkan mengeluarkan sesuatu demi Allah sebagai zakat harta, zakat jiwa, dan zakat diri. Begitu pula dengan kata "shadaqah" (derma, sedekah). Dewasa ini kata ini memiliki arti khusus. Misal, kita mengatakan "bersedekah secara diam-diam," namun menurut Al-Qur'an setiap perbuatan baik itu disebut shadaqah. Jika Anda membangun sebuah rumah sakit atau menulis sebuah buku bermanfaat, berarti Anda melakukan, dalam kata-kata Al-Qur'an, sedekah jariyah. Itulah sebabnya mengapa kaum Sunni yang tidak menerima konsepsi yang disimpulkan dari ayat ini bahkan tidak keberatan dengan kata ini. Orang yang akrab dengan literatur Arab pasti tahu bahwa zakat tidak selalu berarti zakat wajib saja.

Sekarang pertanyaannya adalah mengapa Imam Ali as memberikan cincinnya ketika tengah rukuk. Ini merupakan keberatan yang juga dilontarkan oleh sebagian tokoh awal seperti Fakhruddin Razi. Mereka mengatakan bahwa Ali as selalu sedemikian khusyuk ketika salat sehingga dia tak pernah tahu apa yang tengah terjadi di sekitarnya. Lantas bagaimana semua ini bisa terjadi ketika dia tengah salat? Untuk menjawabnya, dapat dikatakan bahwa memang Imam Ali as selalu sedemikian khusyuk bila sedang salat, namun ada fakta lain bahwa keadaan orang-orang suci tidak selalu sama. Menurut riwayat, Nabi saw terkadang sedemikian dikuasai oleh hasrat untuk menunaikan salat sehingga Nabi saw tak bisa menunggu selesainya azan yang dikumandangkan Bilal, sehingga Nabi saw minta supaya Bilal cepat-cepat menyelesaikan azannya. Terkadang ketika Nabi saw tengah sujud, si kecil Imam Hasan as, Imam Husain as atau cucu lainnya sering mendatangi Nabi saw dan naik di atas bahu Nabi saw, dan Nabi saw menunggu dengan tenang sampai anak itu turun. Pernah ketika tengah berdiri dalam salat, ada air ludah di depan Nabi saw. Nabi saw lalu melangkah ke depan, menutupnya dengan debu dengan menggunakan kakinya dan kemudian kembali ke tempat semula. Dari kejadian ini para faqih menyimpulkan sejumlah aturan berkenaan dengan salat.

Bahrul Ulum mengatakan, "Orang paling mulia ini berjalan ketika tengah salat. Kejadian ini menjawab banyak pertanyaan." Berdasarkan kejadian tersebut, para faqih, misalnya, menetapkan sejumlah tindakan yang tidak relevan dengan salat namun dibolehkan dalam salat. Juga dibuat sejumlah aturan lainnya. Semua ini menunjukkan bahwa orang-orang suci ini keadaan spiritualnya berbeda-beda, dan sikap mereka, sesuai dengan keadaan masing-masing, berbeda-beda pada kesempatan yang berbeda-beda pula.

Ada satu poin lain. Para ahli irfan, sesuai dengan keadaan masing-masing, mengatakan bahwa bila orang mencapai keadaan spiritual yang sempurna, yaitu dia hanya cenderung kepada Allah SWT, maka dia akan kembali ke dunia ini. Dengan kata lain, dalam keadaan ini, yang jadi perhatiannya hanyalah Allah SWT dan ciptaan-Nya. Itulah yang dikatakan kaum ahli irfan, dan saya setuju dengan pandangan mereka, meskipun banyak orang tidak dapat menerimanya.

Keadaan spiritual lainnya adalah keadaan melepaskan raga. Orang-orang yang mencapai tahap ini, pada awalnya melepaskan raga mereka selama satu atau dua detik atau paling banter sekitar satu jam. Namun sebagian orang pada akhirnya sampai di suatu tahap ketika mereka selalu dalam keadaan seperti ini. (Saya percaya itu dan secara pribadi melihatnya.) Terkadang Anda melihat beberapa orang duduk-duduk bersama Anda seperti orang biasa, namun sesungguhnya mereka tengah berada dalam keadaan seperti ini. Menurut orang-orang ini, keadaan ketika anak panah dicabut dari tubuh Imam Ali as ketika Imam Ali as tengah salat tanpa beliau menyadarinya, merupakan keadaan yang lebih rendah dibanding keadaan ketika Imam Ali as memberikan cincinnya kepada peminta-minta dengan Imam Ali as tetap khusyuk kepada Allah SWT. Meski Imam Ali as sedemikian khusyuk kepada Allah SWT, Imam Ali as tetap melihat seluruh dunia. Dengan adanya semua bukti ini, maka kejadian seperti ini tak dapat dipungkiri.

Catatan Kaki:

[1] Dia sangat dihormati oleh kaum Syiah dan dianggap sebagai istri Nabi yang sangat terkenal setelah Khadijah. Dia juga sangat dihormati oleh kaum Sunni. Menurut mereka, kedudukannya nomor tiga setelah Khadijah dan Aisyah.

* Irfan adalah istilah yang digunakan dalam konteks kultur Islam Iran, untuk menggambarkan sintesis fllsafat, teologi spekulatif dan pemikiran mistis yang muncul pada periode akhir Abad Pertengahan yang bertahan hingga kini—pen. (Middle East Journal, Jil. 46, No. 4, Musim Gugur 1992, hal. 632).

[2] Imam Ali as, menurut riwayat, berkata demikian. (Safinah al-Bihâr, Jil. 2)

26
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

BAB 37 - Imamah Menurut Para Imam
Pembahasan masalah imamah diakhiri dengan wacana ini. Selanjutnya pembahasan imamah terdiri dari telaah atas hadis-hadis Nabi saw yang berkaitan dengan Imam All as dan para imam lainnya serta sabda-sabda imam awal mengenai imam berikutnya. Semua hadis ini sifatnya perintah umum otoritatif mengenai penunjukan dan pengangkatan imam. Barangkali sejumlah poin dalam wacana ini sudah diliput dalam pembahasan sebelumnya. Namun karena poin-poin ini mencerminkan jiwa masalah imamah, maka akan dibahas lagi ketika membicarakan sabda-sabda para Imam dalam hubungan ini. Juga kami akan mengutip dari "al-Kafi", "Kitab al-Hujjah".

Sudah kami katakan beberapa kali bahwa imamah dalam pengertian yang dibicarakan oleh kaum Syiah atau setidak-tidaknya para imam mereka, beda dengan imamah yang dibicarakan kaum Sunni. Imamah juga beda dengan pemerintahan, yang begitu sering menjadi pokok pembicaraan atau telaah dewasa ini.

Pada dasarnya masalah imamah ada karena adanya masalah kenabian, bukan dalam arti bahwa imamah lebih rendah daripada kenabian, namun dalam arti bahwa imamah adalah seperti kenabian. Para nabi besar juga adalah nabi sekaligus imam. Imamah adalah suatu keadaan spiritual. Dalam hubungan ini imam menggarisbawahi konsep tentang manusia. Konsep kita tentang manusia akan ditelaah agar poin ini jadi jelas.

Makhluk Apa Manusia Itu?

Tahukah Anda makhluk seperti apa manusia itu pada dasarnya? Ada dua sudut pandang. Menurut salah satunya, manusia, seperti makhluk lainnya, adalah seratus persen makhluk material, yang akibat terjadinya serangkaian perubahan material maka manusia mengalami perkembangan sejauh mungkin sejauh dapat dialami makhluk material. Kehidupan, entah dalam tumbuhan, hewan atau manusia merupakan perwujudan perkembangan gradual materi tanpa adanya campur tangan unsur non-material dalam eksistensi mereka (kami gunakan kata "unsur" hanya karena tak adanya kata yang lebih tepat). Setiap kualitas luar biasa yang ada dalam makhluk berasal dari struktur materialnya. Atas dasar ini maka manusia pertama atau manusia pertama yang hadir di dunia ini tentunya manusia yang paling primitif. Manusia ini berangsur-angsur berkembang. Memang begitu, entah kita menganggap manusia diciptakan langsung dari tanah Hat menurut konsepsi kuno, entah berkembang dari dunia binatang yang lebih rendah berdasarkan seleksi alam menurut teori yang diajukan beberapa orang modern yang konsepsi mereka juga patut dipertimbangkan setidak-tidaknya sebagai sebuah teori, dan menurut teori ini akar final manusia adalah di bumi, meskipun menurut teori ini juga manusia pertama tidak diciptakan langsung dari tanah liat.

Manusia Pertama dalam Al-Qur'an

Bukan saja menurut keyakinan Islam dan Al-Qur'an saja, namun juga menurut semua agama, manusia pertama bukan saja lebih maju dibanding manusia selanjutnya, namun lebih maju dibanding manusia modern sekalipun. Sejak menginjakkan kakinya di dunia ini, manusia pertama adalah khalifah (wakil) Allah SWT maupun Nabi-Nya. Kenapa manusia pertama datang sebagai nabi dan otoritas yang ditunjuk oleh Allah SWT, padahal tampaknya lebih alamiah menurut proses evolusi kalau manusia pertama datang sebagai manusia biasa, lalu setelah sampai pada tingkat perkembangan yang cukup tinggi barulah salah satunya diangkat menjadi nabi. Ini merupakan satu poin yang layak dipertimbang­kan. Menurut Al-Qur'an, manusia pertama sangat tinggi ke-dudukannya:

Ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. " Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. " Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu ber­firman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama ini jika kamu memang benar!" (QS. al-Baqarah: 30-31)

Ringkas kata, manusia pertama membuat para malaikat terkejut. Mengapa demikian? Mengenai manusia pertama, digunakan kata-kata "Dan meniupkan ke dalamnya roh Ku." (QS. al-Hijr: 29) Ini menunjukkan bahwa di dalam struktur makhluk ini ada satu unsur yang lebih tinggi di samping unsur material, dan unsur yang lebih tinggi inilah yang digambarkan oleh kata-kata di atas. Dengan kata lain, dalam struktur manusia ini ada sesuatu yang sangat istimewa yang diletakkan oleh Allah SWT yang menjadikannya sebagai khalifah-Nya:

Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah (wakil-Ku) di muka bumi. (QS. al-Baqarah: 30)

Dengan demikian Al-Qur'an memberikan gambaran bahwa manusia pertama yang menginjakkan kakinya di muka bumi ini adalah sebagai otoritas Allah, nabi dan makhluk yang punya kontak dengan dunia gaib. Para imam menggarisbawahi asal-usul manusia ini untuk menunjukkan bahwa manusia terakhir di muka bumi juga posisinya akan setinggi dan semulia posisi manusia pertama. Se­sungguhnya dunia manusia tak akan pernah kosong dari satu makhluk yang memiliki roh, "Aku hendak jadikan seorang khalifah (wakil) di muka bumi." Eksistensi manusia lainnya tergantung pada eksistensinya. Jika manusia seperti itu tak ada, maka manusia lainnya pun tak akan pernah ada. Manusia seperti itu disebut "otoritas Allah". Dunia tak akan pernah kosong dari seorang pemimpin otoritatif yang diangkat oleh Allah SWT. Kalimat ini dipetik dari "Nahj al-Balâghah" dan dikutip di banyak buku. Aku pernah mendengar almarhum Ayatullah Burujerdi mengutipnya. Almarhum mengatakan bahwa ini merupakan kalimat yang disampaikan Imam Ali as ketika di Basrah, dan kalimat ini sering dikutip baik oleh kaum Syiah maupun Sunni. Kalimat ini merupa­kan bagian akhir dari sebuah riwayat yang diberitakan oleh Kumail. Kumail mengatakan, bahwa suatu hari Imam Ali bin Abi Thalib as memegang tangannya dan membawanya keluar kota. Ketika keduanya sampai di tempat sunyi yang bernama Jabbin, Imam Ali as menghela napas dalam-dalam dan kemudian berkata:

"Wahai Kumail, hati ini adalah wadah. Sebaik-baik hati adalah had yang kuat. Karena itu ingatlah apa yang kukatakan kepadamu. Ada tiga macam manusia: ulama, murid yang mencari keselamatan, dan lalat yang mendengung." (Nahj al-Balâghah, sabda 146)

Menurut terminologi Imam Ali as, ulama bukanlah ulama biasa, meskipun sering kita menggunakan kata ini secara sembarangan. Yang dimaksud Imam Ali as dengan ulama adalah yang seratus persen cinta dan taat kepada Allah SWT. Dalam pengertian ini, mungkin istilah ini hanya dapat diterapkan pada para nabi dan para imam saja. Kelompok kedua adalah para murid yang menerima pengetahuan dari kelompok pertama. Kelompok ketiga adalah orang-orang "yang tidak mencari cahaya pengetahuan dan tidak kuat dukungannya." Setelah mengatakan ini Imam Ali as mengeluh tentang orang-orang di zamannya. Imam Ali as mengata­kan memiliki banyak sekali pengetahuan yang hendak disampaikannya namun tak ada orang yang tepat untuk menerimanya. Imam Ali as menambahkan bahwa ada sebagian orang yang cukup cerdas namun mereka menggunakan apa yang mereka pelajari untuk mencapai tujuan pribadinya dan untuk mengeksploitasi agama demi keuntungan duniawi mereka. Karena itu Imam Ali as tak mau memberikan pengetahuan kepada mereka. Ada juga orang yang baik, namun mereka bodoh. Mereka tidak mengerti atau salah mengerti. Dari apa yang dikatakan Imam Ali as sejauh ini kelihatannya beliau kecewa sekali. Namun tidak demikian. Imam Ali as tengah bicara tentang mayoritas saja, karena Imam Ali as me­nambahkan, "Tidak, sungguh tidak. Bumi tak pernah kosong dari seorang otoritas Tuhan, entah dia terlihat dan dikenal atau gaib. Eksistensi otoritas seperti itu sangat penting sekali sehingga hujah dan argumen Allah SWT tak mungkin lemah. Namun berapa banyak dan di manakah orang seperti itu? Sungguh sangat sedikit, namun mereka sangat dicintai oleh Allah SWT. Melalui mereka Allah SWT berhujah dan berargumen. Mereka menyampaikan pengetahuan mereka kepada orang-orang seperti mereka dan menanamkan pengetahuan mereka di hati orang-orang seperti mereka."

Berbicara lebih jauh mengenai orang-orang ini yang menerima pengetahuan dari sumber ilahiah, Imam Ali as berkata, "Pengetahuan masuk ke mereka, sehingga mereka mempunyai pengetahuan mendalam tentang kebenaran." Dengan kata lain, pengetahuan mereka intuitif, bukan hasil belajar, dan bebas dari kesalahan dan kekeliruan. "Mereka memiliki roh keyakinan," karena mereka berhubungan langsung dengan dunia gaib. "Yang sulit bagi orang-orang yang biasa hidup mewah, mudah bagi mereka." "Yang paling sulit bagi orang-orang yang hidup enak dan mewah adalah cinta dan taat kepada Allah." "Mereka akrab dengan apa yang tidak disukai orang bodoh. Mereka hidup di dunia, sementara jiwa mereka ada di tempat paling tinggi." Raga mereka ada bersama orang di dunia ini, namun roh mereka ada di lain tempat. Orang melihat orang-orang itu ada bersama mereka, namun orang tidak tahu bahwa jiwa mereka ada di tempat yang tinggi.

Itulah logika imamah. Itulah sebabnya kenapa ada satu bab dalam "al-Kâfî" yangjudulnya "Bab al-Hujjah". Riwayat-riwayat dalam bab ini menyebutkan bahwa meski hanya tinggal dua orang saja di dunia ini, salah satunya akan menjadi hujah atau otoritas yang ditunjuk oleh Allah SWT. Saya akan mengutip dari "Bab al-Hujjah" sehingga Anda akan lebih mengenal logika ini. Semua soal lain, seperti bahwa umat pasti ada imamnya sehingga imam dapat menegakkan keadilan atau imam dapat menyelesaikan kontroversi tentang masalah agama, merupakan soal sekunder. Imam tidak harus menjalankan pemerintahan, karena itu imam tidak dipilih oleh umat. Memimpin pemerintahan dapat disebut s^bagai urusan sampingan imam. Sekarang akan kami kemukakan kata-kata pilihan dari berbagai riwayat agar logika imamah jadijelas.

Diriwayatkan Imam Ja'far Shadiq as berkata. Ini adalah riwayat berkenaan dengan para nabi. Disebutkan bahwa seorang zindiq (atheis)[1] minta kepada Imam Shadiq as untuk membuktikan eksistensi para nabi dan para rasul Tuhan. Dengan mendasarkan jawabannya pada doktrin tauhid, Imam Shadiq as berkata, "Kita tahu pasti bahwa ada satu Pencipta yang jauh di atas kita dan terutama sekali Dia adalah pencipta. Pencipta itu arif dan sempurna, namun kita tak dapat berhubungan langsung dengan-Nya. Makhluk-Nya mustahil melihat-Nya, berhubungan langsung dengan-Nya, atau bertukar pandangan dengan-Nya. Namun kita butuh petunjuk-Nya, karena hanya Dia saja yang tahu kepentingan kita dan apa yang bermanfaat bagi kita. Karena itu tentu ada rasul-rasul-Nya yang menyampaikan risalah-Nya kepada makhluk-Nya dan hamba-hamba-Nya dan menyampaikan kepada mereka apa yang ber­manfaat dan merugikan bagi mereka. Ini membuktikan bahwa ada beberapa pemberi peringatan yang ditugaskan oleh Allah Maha Arif lagi Mahatahu."

Mengenai para pemberi peringatan ini (para nabi dan para imam) Imam Shadiq as berkata, "Mereka arif, terlatih dan diutus dengan risalah yang arif. Mereka diciptakan persis seperti orang lain, namun mereka beda dengan orang lain." Ada dimensi lain dan roh lain pada diri mereka. "Mereka mendapat dukungan dari Yang Maha Arif lagi Mahatahu yang menganugerahi mereka kearifan. Eksistensi orang seperti ini sangat penting di setiap zaman, sehingga dunia tak mungkin kosong dari hujah yang memiliki tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dia benar, jujur, akurat dan tanpa cela."

Zaid bin Ali dan Imamah

Saudara Imam Muhammad Baqir as, yaitu Zaid bin Ali Zainal Abidin, orangnya takwa. Para imam kita memberikan warna moralitas kepadanya. Namun yang kontroversial adalah apakah dia mengklaim kekhalifahan bagi dirinya sendiri atau mengupayakannya bagi saudaranya, dan tujuan langkahnya hanyalah "beramar makruf dan bernahi munkar." Namun, yang pasti para imam kita sangat menghormatinya dan melukiskannya sebagai seorang syahid. Sebuah Mani sendiri mengklaim bahwa dirinya adalah nabi. Dia bukan ahli tauhid, tetapi seorang dualis (penganut faham bahwa di alam semesta ini ada dua kekuatan baik dan buruk, dan kedua kekuatan ini sama seimbang—pen.) dan lebih dualis dibanding Zoroaster, karena sebagian orang percaya bahwa Zoroaster mungkin seorang ahli tauhid yang setidak-tidaknya mempercayai satu sumber abadi alam semesta, meskipun dari tulisan-tulisannya tak ada bukti bahwa dia mempercayai satu Pencipta. Mani justru jelasjelas seorang dualis dan menyatakan bahwa dirinya adalah nabi yang diangkat oleh dewa kebaikan. Namun kemudian aliran Mani cenderung kepada materialisme dan naturalisme, dan tak lagi mempercayai apa pun yang spiritual.

Sebuah riwayat dalam "al-Kâfî" mengatakan, "Demi Allah! Dia meninggal sebagai syahid." Riwayat lain yang akan kami kemukakan menunjukkan bahwa dia telah berbuat keliru. Bagaimana orang agung seperti itu sampai berbuat keliru besar seperti itu, itu merupakan masalah lain.

Salah seorang sahabat Imam Muhammad Baqir as dikenal dengan nama Abu Ja'far Ahwal. Dia mengatakan bahwa ketika Zaid bin Ali tengah melakukan aktivitas rahasia, suatu hari dia memanggilku dan lalu berkata kepadaku, "Jika di antara kita ada yang bangkit menentang pemerintahan yang ada, siapkah Anda untuk bekerja sama?" Aku jawab, "Ya, asalkan ayah dan saudara Anda setuju." "Aku bemiat bangkit sendiri tanpa melibatkan saudaraku," katanya. "Kalau begitu, aku tak mau bekerja sama," kataku. Dia berkata, "Kenapa? Apakah Anda tak mau berkorban jiwa untukku?" "Aku hanya punya satu nyawa. Jika di dunia ini ada seorang hujah yang ditunjuk oleh Allah SWT, maka orang yang tidak bersama Anda akan selamat, dan orang yang bersama Anda akan celaka. Jika tak ada hujah yang ditunjuk oleh Allah SWT, maka orang yang tidak bersamamu dan yang bersamamu sama saja." (Karena itu tidaklah penting apakah aku bersamamu atau tidak bersamamu dalam pemberontakanmu).

Abu Ja'far Ahwal tahu maksud Zaid. Menurut riwayat ini, Ahwal berkata kepada Zaid bahwa ada seorang hujah di dunia ini dan bahwa hujah itu adalah saudara Zaid, bukan Zaid. Zaid menjawab seperti ini, "Dari mana Anda tahu (bahwa saudaraku adalah hujah) padahal aku sendiri tidak tahu? Ayahku sangat mencintaiku, namun dia tak pernah berkata kepadaku tentang itu. Dia sangat sayang kepadaku, sampai-sampai ketika aku kecil kalau makan dia selalu mendudukkan aku di sebelahnya. Kalau ada makanan yang terlalu panas untukku, ayah selalu mendinginkannya dahulu, kemudian baru menyuapkannya ke mulutku. Mana mungkin seorang ayah yang penyayang dan tak mau kalau mulutku kepanasan membiar-kan aku terbakar di neraka?" Abu Ja'far Ahwal berkata, "Karena ayahmu sangat sayang kepadamu maka dia tak bercerita apa pun kepadamu tentang masalah ini. Dia khawatir kalau mengatakan kepadamu, engkau akan menolaknya, dan karena penolakan ini engkau akan masuk neraka. Ayahmu tahu kalau kamu itu suka memandang rendah. Ayahmu mau agar kamu tetap tidak tahu agar setidak-tidaknya kamu tidak memusuhi saudaramu. Namun ayahmu menyebutkan kebenaran itu kepadaku agar aku menerima kebenaran itu, sehingga aku selamat. Jika tidak, aku pasti akan celaka. Untung-nya aku menerima kebenaran itu."

Abu Ja'far Ahwal mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Zaid tentang siapa yang lebih unggul, anggota keluarganya atau para nabi. Zaid menjawab para nabi. Lalu Abu Ja'far berkata, "Nabi Yakub berkata kepada putranya, Yusuf, yang juga seorang Nabi, 'Putraku, jangan ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, karena kalau kamu ceritakan, mereka akan bersekongkol menentangmu.' Nabi Yakub memberikan nasihat ini karena menyayangi Yusuf. Nabi Yakub tahu jika saudara-saudara Yusuf tahu bahwa Yusuf akan memperoleh kedudukan tinggi seperti itu, mereka tentu akan segera memusuhi Yusuf. Kisah ayah dan saudaramu denganmu persis seperti kisah Yakub dengan Yusuf dan saudara-saudara Yusuf."

Zaid tak dapat menjawab. Pada akhimya Zaid berkata, "Sekarang semua ini telah kamu ceritakan kepadaku. Aku juga akan ceritakan kepadamu bahwa sahabatmu di Madinah (yang dimaksudnya adalah 'Imammu', yaitu Imam Muhammad Baqir as) memberitahuku bahwa aku akan dibunuh dan disalib di tempat sampah di Kufah, dan bahwa dia memiliki sebuah kitab yang meramalkan bahwa aku akan dibunuh dan disalib."

Di sini Zaid membuka lembaran baru. Dia mengemukakan argumen yang sepenuhnya baru. Namun, apa yang dikatakannya mendukung pandangan bahwa dia mempercayai imamah saudaranya. Pada mulanya dia mengatakan sesuatu kepada Abu Ja'far dan terus bicara dengan nada yang sama. Namun ketika tahu bahwa Abu Ja'far mempercayai imamah, dia mengubah arah umum pembicaraannya dan menjelaskan bahwa dia menyadari posisi yang sebenarnya. Dia menunjukkan bahwa dirinya akan melakukan perjuangan dengan sepengetahuan dan seizin saudaranya. Abu Ja'far menambahkan bahwa suatu ketika dia pergi ke Mekah. Di sana dia sampaikan cerita ini kepada Imam Ja'far Shadiq as, dan Imam mendukung pandangannya.

Menurut riwayat lain, Imam Ja'far Shadiq as berkata, "Di dunia ini akan selalu ada seorang imam." Dia juga diriwayatkan mengata­kan, "Jika tinggal dua orang saja, maka salah satunya akan menjadi hujah bagi yang lain."

Ada sebuah riwayat dari Imam Ali Ridha as. Dalam kaitan ini ada banyak riwayat. Ada sebuah riwayat terperinci yang berkaitan dengan Imam Ridha as. Seseorang bernama Abdul Aziz bin Muslim berkata, "Kami sedang di Marw bersama Imam Ridha as, ketika dia pergi ke Khurasan padahal dia masih sah sebagai ahli waris. Pernah di harijumat kami tengah berada di Masjid Jami'. Imam Ridha as tak ada di sana. Di masjid itu banyak orang tengah membicarakan masalah imamah. Seusai salat, aku mendatangi Imam Ridha as. Aku katakan kepadanya apa yang telah terjadi di sana. Imam Ridha as tersenyum, lalu berkata, 'Orang-orang ini tak tahu apa-apa, pendapat-pendapat mereka tidak ada yang benar. Allah SWT mewafatkan Nabi-Nya hanya setelah Nabi-Nya menyelesaikan misinya.' Allah SWT telah menurunkan Al-Qur'an yangJberisi semua norma hukum dan segala yang halal atau haram." Dalam Al-Qur'an telah ada apa yang dibutuhkan manusia dalam kaitannya dengan agama mereka. Al-Qur'an sendiri mengatakan:

Tiadalah Kami lalaikan sesuatu pun di dalam Kitab ini. (QS. al-An'âm: 38)

Dengan kata lain, tak ada yang ketinggalan. (Setidak-tidaknya semua norma hukum telah dijelaskan di dalamnya). Ketika berhaji perpisahan menjelang akhir hayatnya, Nabi Muhammad saw membacakan ayat ini:

Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu dan telah Aku lengkapkan nikmat-Ku atasmu, dan telah Aku pilih Islam sebagai agamamu. (QS. al-Mâ`idah: 3)

Imam Ridha as melanjutkan, "Agama belum sempurna tanpa doktrin imamah. Nabi saw baru meninggalkan dunia ini setelah menjelaskan kepada umatnya semua poin utama agama mereka, menunjukkan kepada mereka jalan yang benar dan menjadikan Imam Ali as sebagai suar dan pendorong. Ringkas kata, Al-Qur'an dengan tegas mengatakan bahwa tak ada yang ketinggalan. Namun bukankah Al-Qur'an tidak menjelaskan secara terperinci? Sesungguhnya yang dibicarakan oleh Al-Qur'an hanyalah masalah-masalah pokok dan norma umum yang dibutuhkan manusia. Salah satu masalah utama yang dibicarakan oleh Al-Qur'an adalah masalah imamah.

Al-Qur'an menunjukkan bahwa penerus Nabi saw adalah seseorang yang tahu interpretasi Al-Qur'an dan makna sejatinya bukan berdasarkan logikanya sendiri, yang terkadang bisa benar dan terkadang bisa salah, namun berdasarkan pengetahuan ilahiahnya tentang karakter esensial Islam. Allah mengatakan bahwa dalam Al-Qur'an telah Dia sebutkan segalanya. Bahkan sedetail-detailnya pun tak ada yang terlewatkan, namun yang tahu detail-detailnya itu hanyalah orang yang tahu Islam dari A sampai Z. Orang yang sepenuhnya tahu Islam selalu ada dan akan selalu ada di tengah-tengah umat. Jika ada yang mengira bahwa Allah SWT belum menyempurnakan agama-Nya, berarti dia menafikan Kitab Allah. Dan siapa pun yang menafikan Kitab Allah, berarti dia kafir. Apakah orang-orang yang berpendapat bahwa imam dipilih oleh umat tahu nilai imamah dan posisi imamah dalam umat? Mereka mengira bahwa memilih imam persis seperti memilih komandan tentara, padahal arti imam adalah dengan ditunjuknya imam, menurut Al-Qur'an, maka agama jadi sempurna. Kita tahu bahwa Al-Qur'an tidak membicarakan masalah-masalah kecil. Pengetahuan tentang masalah-masalah kecil tersebut dianugerahkan kepada imam. Pengetahuan imam mengenai Islam sangat sempurna. Orang tak bisa mengatakan siapakah orang seperti ini. Itulah sebabnya mereka tak dapat memilih imam, karena mereka tak dapat memilih nabi.

Imamah terlalu berharga, terlalu tinggi, dan terlalu dalam bagi orang untuk memahaminya dengan pikiran mereka. Imamah tak dapat dimengerti orang. Karena itu imamah tak dapat diputuskan melalui pemilihan. Yang dapat ditentukan oleh orang hanyalah masalah opsional. Untuk masalah opsional, agama tak campur tangan langsung. Pada dasarnya agama tak campur tangan, karena kalau campur tangan, lantas apa gunanya akal dan pikiran? Manusia sendiri yang memutuskan masalah yang menjadi bidang pemikiran manusia, namun di luar bidang pemikiran manusia, tak ada pilihan manusia. Imamah terlalu berharga, terlalu tinggi, terlalu sulit dan terlalu dalam bagi manusia untuk tahu Imam mereka atau untuk memilih sendiri imam mereka. Allah SWT mula-mula memilih Ibrahim as sebagai Nabi-Nya dan sahabat-Nya, dan baru kemudian mengangkatnya menjadi Imam. Kalau Anda ingin tahu makna sejati imamah, maka perlu Anda pahami bahwa imamah beda dengan apa yang dewasa ini dikatakan orang. Imamah bukanlah memilih penerus Nabi saw untuk mengurus urusan umat saja. Imamah merupakan suatu posisi yang dicapai oleh Nabi Ibrahim as setelah menjadi seorang nabi. Setelah mencapai posisi Imam, Nabi Ibrahim as begitu bahagia sampai-sampai dia mengatakan, "Dan dari keturunanku" (Apakah akan jadi imam)? Dia ingin sebagian keturunannya juga mencapai posisi seperti yang telah dicapainya. Jawabannya adalah: "Perjanjian-Ku tidak mengenai orang yang zalim." Sudah kami jelaskan makna jawaban ini. Jelaslah Nabi Ibrahim as tak mungkin minta agar Allah SWT menganugerahkan imamah kepada orang yang zalim. Yang dipikirkan Nabi Ibrahim as hanyalah keturunannya yang baik. Karena itu arti jawaban ini adalah bahwa imamah akan dianugerahkan hanya kepada keturunan Nabi Ibrahim as yang catatan masa lalunya juga tak tercela.

Imam Ridha as selanjutnya mengatakan:

"Ayat ini meniadakan kemungkinan imamah diemban oleh orang zalim sampai Hari Kiamat, dan imamah hanya diemban oleh orang-orang pilihan dari keturunan Nabi Ibrahim as. Allah SWT telah memuliakan Nabi Ibrahim as dengan menempatkan imamah pada orang-orang pilihan lagi suci dari keturunannya.' Setelah berkata demikian, Imam Ridha as mengutip ayat-ayat ini dan mendasarkan argumennya pada ayat-ayat ini:

Dan telah Kami berikan kepadanya (Ibrahim) Ishaq dan Yakub sebagai anugerah (dari Kami). Dan masing-masingnya Kami jadikan orang-orang yang saleh. Telah Kamijadikan mereka Imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan. (QS. al-Anbiyâ': 72-73)

Al-Qur'an menggarisbawahi fakta bahwa imamah akan selamanya berlanjut pada keturunan Nabi Ibrahim as. Ulama terkemuka, Muhammad Taqi Syari'ati, dalam kitabnya, "Khilafah dan Wilayah", membahas panjang lebar pertanyaan kenapa Al-Qur'an yang tidak mengenal diskriminasi etnis sampai berkata demikian. Dari sudut pandang etnis, keturunan merupakan istilah teknis. Mengapa hanya keturunan Nabi Ibrahim as saja yang mampu mengemban imamah, itu lain masalah.

Imam Ridha as menambahkan, "Mana mungkin orang-orang bodoh ini memilih Imam?" Nabi Ibrahim as menjadi Imam hanya setelah dia menjadi Nabi. Mana mungkin orang-orang bodoh ini memilih seseorang untuk mengemban jabatan tinggi seperti itu? Dapatkah jabatan seperti itu diberikan kepada seseorang melalui pemilihan? "Imamah adalah kualitas para nabi dan warisan ahli waris." Imamah adalah sesuatu yang tradisional, dalam pengertian bahwa kompetensi untuk mengemban Imamah diturunkan dari generasi ke generasi. Meskipun demikian, imamah tetap sama sekali bukan bersifat turun-temurun. "Imam adalah wakil Allah SWT dan khalifah Nabi saw." Kedudukan sebagai wakil seperti inilah yang pertama kali diemban Adam. "Imam mengurusi agama." .Imamah merupakan suatu organisasi kaum Muslim dan sebuah sistem kehidupan mereka. Kemakmuran, keselamatan dan kemuliaan mereka tergantung pada imamah. Imamah adalah basis Islam dan bagian tertinggi dari Islam. "Penunaian salat, zakat, puasa, haji dan jihad dan seterusnya berkaitan dengan eksistensi imam."

Kesimpulan

Semua ini membawa kita kepada garis pemikiran yang logis. Kalau kita menerimanya, itu ada dasarnya. Kalau seseorang menolaknya, itu lain soal. Garis pemikiran yang logis ini beda dengan garis pertanyaan dangkal dan biasa-biasa saja yang dibicarakan oleh mayoritas teolog ilmiah. Misal, mereka mengatakan bahwa Abu Bakar menggantikan Nabi saw sebagai Khalifah pertama, sementara Ali as adalah Khalifah keempat. Kini para teolog tersebut membahas masalah apakah Ali as semestinya menjadi Khalifah pertama atau, misalnya, keempat, dan apakah Abu Bakar memenuhi syarat untuk menjadi imam. Kemudian mereka membahas persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang imam dalam pengertian kepala negara Muslim. Tak diragukan lagi masalah ini juga mendasar nilai pentingnya, dan dari sudut pandang ini kaum Syiah dalam hubungan ini merasa keberatan dan sangat absah juga, namun berdasarkan sikap moral tidaklah benar mengacaukan isu imamah dengan masalah apakah Abu Bakar memenuhi syarat untuk menjadi imam atau tidak. Sesungguhnya kaum Sunni tidak mempercayai imamah dalam pengertian kaum Syiah. Ringkas kata, kaum Sunni berpendapat bahwa aspek-aspek metafisis manusia yang disebutkan Allah SWT dalam kaitannya dengan Adam as, Ibrahim as dan lainnya hingga Nabi saw, sudah berakhir. Sekarang semua manusia adalah biasa-biasa saja. Paling banter, ada yang menjadi ulama karena memiliki pengetahuan. Mereka terkadang berbuat keliru, dan terkadang tidak. Ada yang menjadi penguasa. Sebagian ada yang tanpa cela, sebagian ada yang tercela. Itulah ujung masalahnya. Kaum Sunni tidak mempercayai adanya hujah Allah SWT yang punya kontak dengan alam metafisis. Sedangkan kita percaya adanya hujah Allah SWT yang seperti itu. Kaum Sunni berpendapat bahwa dengan wafatnya Nabi saw maka semua ini sudah berakhir.

Menurut kaum Syiah, jelas sudah bahwa akhir kenabian adalah kenabian Nabi Muhammad saw. Sekarang tak ada lagi nabi, dan tak ada lagi agama baru yang akan dibawa oleh manusia siapa pun.

Hanya ada satu agama, dan itu adalah Islam. Nabi saw adalah Nabi terakhir. Namun masalah hujah dan manusia sempurna sama sekali belum berakhir. Karena manusia pertama adalah dari kategori ini, maka manusia terakhir tentu juga seperti manusia pertama. Di antara kaum Sunni hanya kaum sufi yang mempercayai doktrin ini, sekalipun mereka juga menyebutnya lain. Itulah sebabnya kita melihat bahwa sebagian sufi, meskipun mereka itu Sunni, dalam tulisan-tulisan mereka, mereka menerima doktrin imamah dalam pengertian kaum Syiah. Muhyiddin ibn Arabi adalah orang Andalusia. Andalusia (Spanyol) adalah salah satu negeri yang penduduknya bukan saja Sunni namun juga sangat anti-Syiah, dan ada warna Nasibisme pada diri mereka. Alasannya adalah Andalusia mulanya ditaklukkan oleh Umayah yang lama menguasainya. Umayah sangat membenci rumah tangga Nabi saw. Barangkali di Andalusia tak ada orang Syiah. Kalau pun ada, jumlahnya sedikit sekali. Muhyiddin adalah orang Andalusia, namun karena ada jiwa ahli irfannya, maka dia percaya bahwa di muka bumi selalu ada seorang wali dan hujah. Muhyiddin menerima sudut pandang Syiah dalam hubungan ini, dan menyebutkan secara terperinci nama para imam. Ketika menyebutkan imam terakhir, dia bahkan sampai mengklaim bahwa secara pribadi dirinya pernah bertemu Muhammad bin Hasan al-Askari (Imam Mahdi as—peny.) di suatu tempat beberapa tahun setelah 600 H. Meskipun demikian, dia tetap saja mengeluarkan pernyataan negatif tentang doktrin Syiah. Pada dasarnya dia se­orang Sunni yang berprasangka. Namun karena ada kecenderungan ahli irfannya, maka dia mengakui bahwa mustahil di muka bumi ini ada zaman yang tanpa wali (atau hujah seperti dikatakan para imam kami). Bahkan dia menyatakan, "Aku pernah beraudiensi dengan Muhammad bin Hasan al-Askari, yang sekarang tengah gaib dan usianya sekarang lebih dari tiga ratus tahun."

Pertanyaan dan Jawaban

Pertanyaan: Seperti An da katakan, memang pokok masalah utama perselisihan antara Syiah dan Sunni adalah masalah Khilafah dan Wilayah. Sayangnya, kebanyakan orang Syiah yang tidak mengetahui karakter hakiki imamah, bertanya mengapa Al-Qur'an hanya menyebut kata wilayah saja, dan tak ditemukan kata khilafah di dalamnya, padahal khilafah beda dengan wilayah. Itulah sebabnya kenapa saya ingin mengetahui dengan pasti apakah kata "maula" juga diterjemahkan "khalifah"'. Kemudian saya mendapati bahwa kamus terkenal "al-Munjid" menyebut "khalifah" sebagai salah satu arti dan "maula". Dengan demikian, menurut hernat saya, masalah ini sekarang perlu dipecahkan. Dalam hubungan ini, saya ingin tahu mana kata yang benar, khalifah atau khalif. Tentu saja Al-Qur'an menggunakan kata "khalifah".

Jawaban: Tidak betul. Dalam Al-Qur'an kata "khalifah" tidak digunakan dalam pengertian seperti yang biasa kita gunakan, meskipun dalam tradisi Syiah kata ini sering digunakan dalam pengertian ini. Namun penggunaan kata khusus tidak begitu penting. Arti penting khalifah dalam bangunan khalifah (wakil) Allah SWT sangat berbeda dengan arti pentingnya dalam bangunan khalifah Rasul (pengganti Nabi saw). Kita tidak perlu memberikan penekanan yang tidak perlu pada apakah kata ini digunakan dalam Al-Qur'an atau sunah atau tidak. Yang penting adalah pengertian kata itu, bukan kata itu sendiri.

Anda katakan bahwa khalifah adalah salah satu arti dari maula. Itu tidak betul. Menurut saya, Anda keliru. Dalam "al-Munjid" kata itu adalah halif, bukan khalif. Arti halif adalah sekutu atau pendukung. Di kalangan kaum Arab, dua atau lebih individu atau suku suka bersumpah mau saling membantu. Mereka disebut hulafa, dan masing-masing disebut halif-nya yang lain. Jadi kalau kata maula digunakan dalam pengertian halif, artinya tetap saja pembantu dan pendukung.

Catatan Kaki:

[1] Pada saat itu kata "zindiq" belum merupakan istilah yang kasar atau menghina seperti sekarang. Pada masa itu sejumlah orang disebut zindiq, dan mereka tidak merasa terhina disebut begitu. Di zaman kita, seperti itu pula kata "materialis". Tentu saja ahli tauhid tak pernah mau disebut begitu. Namun seorang materialis akan bangga kalau disebut materialis. Mengenai asal kata "zindiq", ada berbagai teori. Kebanyakan percaya bahwa zindiq adalah kaum Mani yang muncul pada awal abad kedua, yaitu masa hidupnya Imam Shadiq as. Banyak orang Barat dan sarjana lain membahas masalah kaum zindiq dalam Islam. Mereka berkesimpulan bahwa kaum zindiq adalah pengikut Mani. Perlu diingat bahwa ajaran Mani bukanlah anti-Tuhan.

27
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

BAB 38 - Catatan tentang Kepemimpinan dan Manajemen
1. Kalau kita ingin mengetahui apa istilah Islam untuk istilah teknis kepemimpinan dan manajemen dalam arti modernnya yang diperluas, kita sebut saja irsyad (petunjuk, pimpinan, arah) dan rusyd (kematangan), atau hidayah (petunjuk) dan rusyd. Menurut terminologi Islam, kemampuan memimpin disebut hidayah dan irsyad, dan kemampuan mengelola sama dengan apa yang disebut rusyd dalam yurisprudensi Islam (fiqih).

Dalam bahasa biasa dan bahasa Persia sehari-hari, rusyd adalah kualitas fisis yang berkaitan dengan tubuh, namun sebagai sebuah istilah fiqih, rusyd adalah kualitas yang berkaitan dengan perkembangan mental. Artinya adalah kematangan untuk memahami, bukan kematangan fisis. Bila seorang anak telah mencapai kematangan ini, maka dia pun memiliki kualitas ini. Para faqih mengatakan bahwa kematangan fisis belum cukup untuk berakad nikah. Untuk berakad nikah juga diperlukan kematangan mental. Dalam pengertian ini, arti rusyd adalah dapat membeda-bedakan dan memiliki akal sehat dan mampu memanfaatkan dan memelihara sarana hidup.

2. Poin kedua adalah petunjuk manusia memiliki dua segi: yang satu tak berubah, dan yang satunya lagi berubah. Ketika membahas Islam dan Tuntutan Zaman, kami sebutkan bahwa dalam kehidupan manusia ada beberapa segi yang tak berubah yang bekerja dalam struktur yang tak berubah. Segi-segi ini diekspresikan oleh prinsip moral dan hukum Islam. Dengan kata lain, orbit kehidupan manusia tidak berubah, sedangkan tahap-tahapnya berubah. Petunjuk dan kepemimpinan para nabi tergolong yang orbitnya tidak berubah, sedangkan petunjuk dan kepemimpinan manusia biasa bekerja di dalam masalah-masalah tertentu dan detail-detail yang bisa berubah. Misal, Al-Qur'an memberikan perintah untuk berjihad. Al-Qur'an memberikan petunjuk kepada siapa dan kapan jihad harus dilakukan, dan apa syarat untuk berdamai. Petunjuk dan arahan seperti ini diberikan oleh para nabi. Namun kapan, dengan komando siapa dan dengan perlengkapan seperti apa tentara bergerak, merupakan masalah detail. Ini berkaitan dengan gerakan di dalam orbit yang tak berubah.

3. Telah kami sebutkan bahwa kata "wali" sinonim dengan pemimpin. Bisa saja orang mengatakan bahwa arti hidayah adalah petunjuk, bukan kepemimpinan. Dalam petunjuk ada segi perintah, pencerahan, arahan, pendidikan dan pengetahuan, sedangkan kepemimpinan mengandung arti mobilisasi di jalan tertentu. Konsepsi kepemimpinan meliputi tindakan seperti merumuskan gagasan, memobilisasi kekuatan, mengorganisasikan orang dan meluncurkan gerakan.

Jawaban kami adalah memang benar bahwa kata hidayah mengandung arti petunjuk. Kata ini juga digunakan dalam pengertian kepemimpinan. Bukan saja itu, kata ini digunakan pula dalam pengertian memandu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Barangkali kata siyadah, qiyadah dan imamah lebih mengandung arti kepemimpinan.

4. Ada satu lagi masalah. Yaitu masalah perlunya kepemimpinan dan pemimpin. Poin sangat penting ini merupakan basis dari ajaran para nabi. Dalam ajaran Syiah, imamah didasarkan pada selalu diperlukannya eksistensi seseorang yang maksum.

5. Masalah lainnya yaitu masalah kondisi, sarana dan prinsip kepemimpinan.

6. Selanjutnya adalah masalah tujuan kepemimpinan.

7. Masalah jenis kepemimpinan.

8. "Pemimpin perlu benar-benar mengetahui karakter manusia, begitu pula siapa pun yang bekerja dengan orang lain pada tingkat apa pun, entah di rumah, di sekolah, di pabrik atau di organisasi lain." (Pengantar Kepemimpinan, hal. 25)

9.Telah kami kutip sebuah hadis termasyhur mengenai bepergian. Nabi saw bersabda bahwa jika dua (atau tiga) orang bepergian bersama-sama, maka mereka supaya memilih salah satu dari mereka untuk menjadi pemimpin dan manajer mereka. Hadis ini menunjukkan betapa Islam memandang sangat penting kepemimpinan dan disiplin.

10.Hubungan antara kepemimpinan di satu pihak dan organisasi serta disiplin di pihak lain.

11.Kepemimpinan merupakan seni yang dapat dipelajari seperti seni lainnya.

12."Perilaku manusia ada hukum atau mekanismenya sendiri. Setiap aksi melahirkan reaksi. Kalau kita ingin bekerja enak dengan
orang lain, kita perlu tahu hukum dan mekanisme yang mengatur perilakunya. Manusia bagaikan kotak misteri, untuk membuka kotak ini perlu adanya kunci khusus. Kerja sama dengannya dapat dilakukan dengan pengetahuan dan sikap baik, bukan dengan tekanan atau paksaan. Hukum perilaku manusia bukan untuk dirumuskan, melainkan untuk ditemukan seperti hukum fisika, kimia dan fisiologi. Norma dan aturan yang dibuat untuk memandu perilaku manusia akan diterima dengan baik kalau selaras dengan hukum fitrah dan perilaku manusia." (Pengantar Kepemimpinan, hal. 25)

Buku ini juga mengutip seorang pejabat tinggi sekretariat yang mengatakan, "Perlengkapan kantor kami sudah dimodernisasi, namun sayang pegawai-pegawai kami biasa-biasa saja."

13. Referensi no. 4 dan 11: "Dewasa ini kebutuhan akan ke­ pemimpinan dibahas ketika membahas manajemen. Manajemen industri, manajemen komersial, manajemen teknik dan manajemen administrasi semuanya mungkin digolongkan sebagai ilrriu-ilmu administrasi. Zaman kita adalah zaman administrasi dan manajemen." (Pengantar Kepemimpinan, hal. 35)

14. "Jangan melewati fase ini bila tidak ditemani seorang Khizir (pemandu sejati). Ini merupakan tempat yang gelap. Awas, jangan sampai tersesat."

15. "Orang yang tidak mendapat bimbingan dari orang arif dan tidak mendapat dukungan dari orang lemah pasti akan binasa."

16. Penyair Persia termasyhur, Hafiz, berkata, "Kalau tidak tahu, cobalah belajar. Kalau tak bisa jalan sendiri, mana mungkin memimpin orang?"

17. Menguraikan persyaratan untuk jadi pemimpin, Plato mengatakan bahwa raja haruslah seorang filosof. Keunggulan filosof harus dipadu dengan kebesaran raja.

18. Syarat Kepemimpinan: "Pemimpin harus mampu berperan kreatif dalam: (i) mengorganisasikan berbagai kekuatan manusia;
(ii) memanfaatkan kekuatan-kekuatan itu untuk mencapai tujuan yang diinginkan, baik tujuan individu maupun tujuan bersama." (Pengantar Kepemimpinan, hal. 45)

19. Ayat berikut ini dengan jelas menunjukkan kepemimpinan aktif dan reformatif Nabi Muhammad saw:

Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan din dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian bila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orangyang bertawakal kepada-Nya. (QS. Ali 'Imran: 159)

20. Peristiwa Abu Lubabah serta tobatnya, dan peristiwa tiga orang yang ketinggalan ketika Perang Tabuk dan kemudian dikucilkan dengan perintah Nabi saw. Mereka kemudian berlindung
di bukit.

Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobat mereka. Sesungguhnya Allah lah YangMaha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. (QS. at-Taubah: 118)

Peristiwa Sa'ad bin Rabi', Abu Dzar dan Abdullah bin Jumu' merupakan contoh unik tentang keberhasilan membentuk kerja sama umum dan tentang pelaksanaan urusan dan hubungan publik.

21. Salah satu syarat pemimpin adalah memiliki jiwa kerja sama dan bepartisipasi praktis dalam upaya umum. Juga harus berinisiatif. Praktik lebih penting daripada teori.

22. Mengenai pentingnya tindakan yang tepat di waktu yang tepat, "PengantarKepemimpinan" menyebutkan, "Dalam kepemimpinan peran mendasar dimainkan oleh sembilan faktor. Menghargai waktu sangat diperlukan bagi suksesnya kepemimpinan."

23. Nabi saw adalah pembawa risalah ilahiah dan pemimpin gerakan ilahiah. Dalam Islam, Imam Husain as, putra Imam Ali as, adalah pemimpin gerakan revolusioner. Nabi saw bertugas membangunkan masyarakat yang tidur, sedangkan Imam Husain as bangkit untuk mengembalikan masyarakat yang sesat ke jalan yang benar. Keduanya memperlihatkan kualitas-kualitas kepemimpinan yang tinggi. Nabi saw adalah pemimpin yang memiliki misi, pesan dan ideologi. Nabi mengorganisasikan kekuatan-kekuatan penting dan memobilisasinya. Nabi saw menyampaikan pesan Allah SWT kepada umat manusia dan menghancurkan belenggu-elenggu
ideologi dan sosial mereka. Imam Husain as melakukan revolusi suci melawan kemunafikan dan kepalsuan, dan memandu gerakan reformasi untuk beramar makruf bernahi munkar.

24. Mengenai no. 22—Ali dan penghargaan terhadap waktu—Menjawab Abu Sofyan, Imam Ali as berkata, "Sukseslah orang yang kalau tidak bangkit dengan gerakan, dia mundur dan santai. Air ini sudah tercemar. Makanan ringan mencekik kerongkongan pemakannya. Orang yang memetik buah sebelum buah itu masak,
seperti orang yang menabur benih di tanah yang bukan miliknya." (Nahj al-Balâghah, khotbah 5)

25. Percaya diri merupakan salah satu kualitas penting pemimpin. Dengan kata lain, pemimpin harus yakin dengan kesuksesannya. Nabi saw pada masa awal kerasulannya biasa bicara tentang akan tunduknya bangsa Rum dan Iran. Pada masa itu kaum Quraisy dan Bani Hasyim menertawakannya.

Rasul percaya pada apa yang diwahyukan kepadanya dari Tuhannya. (QS. al-Baqarah: 285)

Yang diwahyukan antara lain ayat ini:

Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. (QS. al-Fath: 28)

Imam Husain as sepenuhnya percaya dengan hasil perlawanannya. Dia berkata kepada Abu Hirrah atau orang lain bahwa lawan-lawannya akan membunuh dirinya, namun setelah itu mereka akan mendapat aib. Pada hari Asyura (10 Muharram) dia mengatakan kepada sahabat-sahabatnya dan juga anggota keluarganya, "Catatiah bahwa hanya Allahlah pelindung dan penyelamatmu."

26. Mengenai kualitas-kualitas penting pemimpin, lihat catatan[1] mengenai kualitas-kualitas pembaru, khususnya lihat kata-kata Imam Ali as: Tak ada yang dapat melaksanakan perintah Allah SWT kecuali orang yang tidak mengorbankan prinsip, maka dia bukan contoh keburukan moral dan bukan serakah." (Nahj al-Balâghah, sabda 109)

Sejumlah kualitas positif dan negatif pemimpin telah disebutkan dalam "Pengantar Kepemimpinan", halaman 66. Kualitas positif tersebut antara lain cepat dan tepat dalam menilai situasi, cepat dan teguh dalam keputusan, cepat dan berani dalam bertindak, tahu harus bagaimana kalau menemui kegagalan, siap menghadapi kritik, toleran terhadap pandangan lain, berani bertanggung jawab dan menerima konsekuensi kalau menemui kegagalan, memberikan wewenang sesuai dengan kemampuan, mampu mengorganisasi, berkeinginan untuk mendapatkan informasi terbaru yang relevan dengan fungsinya, keras namun tidak kaku, bermartabat namun bersahaja, memberikan semangat kepada yang dipimpinnya dan memajukan kemampuan mereka, memperhatikan problem emosional orang seorang dan merasa senang kalau mereka sukses. (Sebagian poin ini merupakan tugas pemimpin yang baik, bukan kualitas esensialnya).

Kualitas negatif pembaru adalah kurang percaya diri, berubah-ubah keputusan, takut menghadapi konsekuensi, kebingungan ketika menghadapi perkembangan yang tak terduga, tidak dapat menerima kritik dan pandangan yang berbeda, tidak tabah dalam mendapatkan hasil, terobsesi untuk jadi pemimpin, menuntut kepatuhan buta dari setiap orang, memuji diri sendiri, tidak ramah, dengannya. Imam Ali as berkata bahwa seorang pemimpin tidak boleh menjadi contoh kerusakan moral bagi rakyatnya. "Dia tidak boleh seperti orang bejat moral yang menyuruh orang untuk takwa, atau tidak boleh seperti dokter sakit-sakitan yang mengobati orang." Mana mungkin orang yang suka makan kurma melarang orang makan kurma. "Orang yang menempatkan dirinya sebagai pemimpin, harus memulai pembaruan pada dirinya sendiri..." Seorang pemimpin tidak boleh pelit dan serakah, karena kepelitan dan keserakahan berarti perbudakan abadi, sedangkan perbudakan bertentangan dengan kemerdekaan spiritual dan moral. Mengenai Kristus, Imam Ali as berkata, "Dia tidak beristri sehingga tak ada yang menggodanya, tak beranak sehingga tak ada yang membuatnya bersedih hati, tak berharta sehingga tak ada yang mengganggu perhatiannya, dan tak mempunyai nafsu besar sehingga tak ada yang merusak martabatnya." (Nahj al-Balâghah, khotbah 160) Ringkas kata, orang yang bermoral materialis tidak mungkin menjadi pembaru sejati, dan secara moral filosof materialis tak mungkin menjadi non-materialis seratus persen. Kualitas lain seorang pembaru: Sensitif namun tenang. Contoh ketenangan adalah perilaku Imam Ali as. Seorang wanita dari Basrah dan seorang Khawarij pernah memaki Imam Ali as, namun Imam Ali as tak menaruh perhatian pada kata-kata kotor mereka. Seorang pembaru haruslah berbaju besi. Dia tidak boleh lembek, meski harus sensitif. Contoh tentang sensitif namun tidak lembek adalah kisah tentang Sufyan Ghamidi yang tiba di Anbar. "Jika sejak itu ada seorang Muslim yang mati karena menderita... Mungkinkah aku tenang-tenang saja semalaman dengan perut kenyang, padahal di sekitarku banyak perut yang kelaparan?" malas belajar dan malas mencari informasi, tidak senang kalau orang lain sukses, dan tak mau tahu dengan kebutuhan manusiawi dan emosional orang.

Orang yang tak memiliki kualitas-kualitas positif tersebut di atas, maka dia tak akan dapat mengorganisasi dan memobilisasi kekuatan-kekuatan luar biasa manusia untuk tujuan konstruktif. Orang yang ingin jadi pemimpin, supaya terlebih dahulu dia menilai kualitas positif dan negatifhya.

Gaya Kepemimpinan

27. Gaya kepemimpinan bisa lalim, diktator, atau seratus persen individualistik. Juga bisa terbuka, mau kerja sama, dan berdasarkan pikiran sehat.

Orang biasa yang cenderung individualistik dan lalim, tentu akan memerintahkan pengikutnya untuk mengikuti hukum dan kebijakannya. Orang seperti ini tak mau tahu dengan pendapat orang lain. Dia menyemangati dan mencaci pengikutnya ber­dasarkan keputusan dan perasaan pribadinya sendiri. Menurut "Pengantar Kepemimpinan", orang seperti itu adalah orang yang menjadikan dirinya sendiri sebagai pemimpin.

Pemimpin yang mau terbuka selalu menemukan solusi untuk problem yang dihadapi melalui sumbang pikir dari pengikutnya. Pemimpin seperti ini, menurut buku yang sama, populer dan demokratis. Pemimpin yang mau bermusyawarah dengan pengikut­nya dan memandang penting sumbang pikir pengikutnya, juga menyemangati pengikutnya untuk mengikutinya dengan sukarela. Dan pengikut pemimpin seperti ini akan mau bekerja sama sepenuh had dengan pemimpinnya.

"Gaya pemimpin beda dengan maksud dan tujuannya. Bisa saja maksud dan tujuannya mulia, namun gaya kepemimpinannya lalim dan tidak baik. Juga bisa saja maksud dan tujuannya tidak baik, namun metode yang digunakannya untuk mencapai maksud dan tujuannya itu demokratis." (halaman 80)

28. Ada pembahasan lain yang menarik dan bermanfaat dalam "Pengantar Kepemimpinan". "Sebagian pemimpin memberikan perhatian khusus kepada maksud dan tujuan mereka, dan hampir tak memperhatikan pengikut mereka. Kebijakan sebagian pemimpin lainnya bertentangan sekali dengan itu. Yang jadi perhatian kelompok pertama adalah hasil yang diinginkan saja. Kelompok pertama ini tidak memberikan perhatian kepada keinginan orang seorang, kerinduan emosi dan aspirasi khusus pengikut mereka. Bukan saja itu. Terkadang perlakuan mereka terhadap pengikut mereka buruk. Kelompok kedua beranggapan bahwa dicintai pengikut lebih penting dibanding apa pun. Dan karena demi menyenangkan hati pengikut, di tengah jalan kelompok ini sering menyimpang dari tujuan pokok. Salah satu tugas pokok pemimpin yang baik adalah menjaga keseimbangan antara dua kecenderungan ini. Pemimpin akan sukses kalau dia menemukan solusi untuk problem ini." (halaman 81)

29. Di bawah judul "Kemakmuran dan Kebahagiqan—Dambaan Setiap Manusia", buku ini melakukan interpretasi yang tidak tepat mengenai kunci sukses pemimpin-pemimpin besar. Katanya, "Semua orang tentu saja selalu mengharapkan saat-saat yang lebih baik, yaitu saat-saat mereka dapat memperoleh apa yang disukai hati mereka, saat-saat tak adanya penindasan dan tirani, korupsi dan kemiskinan, kesedihan dan penyakit. Untuk apa pemberontakan, revolusi, kerinduan, harapan, kekesalan hati, kehebohan, kegembiraan, penantian dan penderitaan? Bukan semua itu untuk keadaan yang lebih baik, saat-saat yang lebih makmur dan masa depan yang lebih bermartabat?" (halaman 86).

Penulis tidak menjelaskan apa: yang dimaksud dengan saat-saat yang lebih baik itu. Apakah maksudnya adalah masa ketika semua orang dapat mencari nafkah dengan lebih baik, atau apakah dia percaya bahwa di kedalaman jiwa manusia ada ideal yang lebih tinggi, yang untuk mewujudkan ideal ini manusia selalu, sadar atau tidak, melakukan upaya keras? Ataukah manusia hanya berkutat di seputar rod dan mentega?

Membahas kecenderungan manusia untuk mencari pemimpin dan juru selamat, untuk memuji dan mengagumi pemimpin dan juru selamat, dan untuk memuja pahlawan, penulis mengatakan, "Yang biasanya membuat manusia cenderung mencari pemimpin adalah keinginannya untuk hidup makmur dan bahagia. Untuk tujuan inilah manusia berupaya menemukan pemimpin yang sebaik mungkin, dan bila dirasa sudah menemukannya, manusia lalu mengagumi dan memujinya."

Penulis percaya bahwa memuja pahlawan terjadi karena keinginan manusia untuk mendapatkan juru selamat. Menurut penulis, manusia menyanjung pahlawan sebagai sarana untuk hidup lebih enak. Namun poin ini dapat diperdebatkan. Memuja pahlawan beda dengan memuji dan mengagumi pahlawan. Orang yang memuja pahlawan siap sedia mengorbankan dirinya demi pahlawan yang dipujanya. Dia bukan sekadar menyukainya sebagai sarana untuk bisa hidup makmur dan bahagia. Penyebab kekeliruan penulis adalah penulis tidak memberikan perhatian yang semestinya tentang arti memuja, atau dia tidak memandang cukup penting hal itu.

30. Al-Qur'an mengatakan yang artinya:

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berftrman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia. "Ibrahim berkata: "(Dan aku mohon juga) dari keturunanku. "Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orangyang zalim." (QS. al-Baqarah: 124)

Ayat ini menunjukkan pentingnya kepemimpinan dan manajemen manusia. Nabi Ibrahim as menghadapi banyak ujian karena imannya. Dia dibakar. Dia sendirian harus menghadapi kaumnya. Dia hancurkan berhala-berhala, dan bahkan sampai nyaris menyembelih putranya sendiri. Setelah berhasil melalui semua ujian ini, Allah SWT mengangkatnya menjadi Imam. Dari sini mudah dilihat luar biasa pentingnya kepemimpinan itu. Sebuah hadis mengatakan, "Allah mengangkat Ibrahim menjadi Nabi sebelum Dia mengangkat­nya menjadi Rasul-Nya. Allah mengangkatnya menjadi Rasul-Nya sebelum Dia mengangkatnya menjadi Sahabat-Nya. Allah mengangkat­nya menjadi Sahabat-Nya sebelum Dia mengangkatnya menjadi Imam."

Ada sebuah hadis Nabi saw yang termasyhur. Hadis ini mengata­kan, "Jika lebih dari dua orang bepergian, hendaknya mereka memilih salah satunya menjadi pemimpin mereka." Hadis ini menunjukkan betapa Islam memandang penting organisasi, manajemen dan kepemimpinan.

Sesungguhnya, dari sudut pandang kehidupan sosial dan kehidupan moral serta spiritual, memobilisasi kekuatan manusia yang potensial dan memandu manusia di jalan kesempurnaan merupakan tugas sangat mulia dan sangat sulit. Itulah sebabnya mengapa tak ada orang yang patut menjadi pemimpin sempurna selain orang-orang seperti Nabi Ibrahim as, Nabi Muhammad saw dan Imam Ali as ('alaihimussalam).

31. Kami sebutkan bahwa arti kematangan adalah kemampuan memanfaatkan dan mengelola aset serta sarana hidup, dan memeliharanya. Kini kami katakan bahwa aset paling penting adalah aset manusia, sedangkan kematangan yang paling penting dan paling asasiah adalah kemampuan manusia mengeksploitasi dengan benar dan memelihara sumber daya moral dan personalnya sendiri. Itulah sebabnya kenapa Nabi Ibrahim as memohon kepada Allah SWT agar mengangkat sebagian keturunannya untuk juga menjadi imam dan pemimpin. Allah SWT berfirman:

Perjanjian-Ku tidak mengenai orang yang zalim. (QS. al-Baqarah: 124)

Dengan kata lain, mereka yang tidak memiliki kematangan individual dan personal, yaitu mereka yang tidak memiliki ke­matangan manusiawi dan moral, tak akan menjadi pemimpin. Barangsiapa yang dirinya bukan manusia, tak mungkin dapat mendidik manusia dan mengembangkan kualitasnya. (Seperti tanaman yang menumbuhkan cabang-cabangnya).

Mengelola sumber daya manusia, mengeksploitasi dan memanfaatkannya, memberinya motivasi dan memobilisasinya, berarti menghancurkan belenggu moral dan belenggu spiritual manusia:

Dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. (QS. al-A'râf: 157)

Kematangan inilah yang dewasa ini disebut manajemen atau kepemimpinan. Mengenai kematangan individual, perlu dijelaskan bahwa kemampuan mental dan pikiran manusia merupakan salah satu asetnya. Kemampuan ini perlu dikelola dengan baik sehingga termanfaatkan dengan baik. Misal, ada daya ingat. Bagaimana memanfaatkannya? Sebagian orang mengira bahwa memiliki daya ingat yang kuat dan baik sudah cukup. Mereka lupa bahwa daya ingat juga perlu dikelola dan dilatih. Diperlukan metode khusus untuk mengembangkannya. Jika misal saja daya ingat itu seperti toko yang amburadul, maka tak banyak gunanya. Namun jika manusia mengarahkan daya ingatnya dan memanfaatkannya secara sistematis, maka akan seperti perpustakaan yang terkelola dengan baik yang buku-bukunya tertata sistematis di rak-rak berdasarkan pokok masalah dan ukurannya dan tidak asal susun saja.

Orang yang mengkaji buku dengan tidak sistematis, sekarang membaca buku sejarah, besok membaca buku psikologi, besoknya lagi buku politik, dan setelah itu membaca buku agama, maka dia tidak akan mendapatkan pengetahuan. Metode yang benar adalah memilih buku-buku yang akan dikajinya sesuai dengan kebutuhan pribadinya. Tidak boleh mengkaji buku apa saja yang ada di tangan. Poin kedua adalah setelah mengkaji buku, supaya dipastikan apakah isinya sudah dimengerti atau belum. Poin ketiga adalah meskipun daya ingat kuat, belumlah cukup kalau pengkajian buku dilakukan sekali saja. Mengkaji buku, setidak-tidaknya dua kali, adalah perlu dan penting bagi daya ingat yang kuat, dan lebih dari tiga kali bagi daya ingat yang lemah.

Poin keempat adalah pengkajian harus memberikan pengetahuan. Harus selalu dipilih pokok persoalan tertentu untuk dikaji secara mendalam. Harus dipilih sejumlah buku yang relevan untuk dikaji. Harus dibuat Catalan dan ikhtisar. Kemudian ikhtisar dan hasil kajian supaya disimpan dalam ingatan. Baru kemudian dapat dikatakan bahwa daya ingat sudah dimanfaatkan secara optimal, dan bahwa orang bersangkutan mampu mengelola salah satu kemampuannya. Dalam Nahj al-Balâghah ada sebuah kalimat yang terkenal. Kalimat tersebut menjelaskan metode belajar atau rnetode pengkajian dan pengelolaan pikiran. Imam Ali as berkata, "Seperti tubuh, hati juga bisa jemu. Karena itu upayakan untuk hati pengetahuan yang menarik." (Nahj al-Balâghah, sabda 9)

Contoh lain bimbingan pribadi dan pengelolaan diri adalah mengendalikan perasaan, emosi dan kecenderungan. Dapat kami katakan bahwa orang sensitif yang tidak dapat mengendalikan perasaannya, tak ubahnya seperti orang yang tidak bermoral. Pada dasarnya kepribadian tak lain adalah kemampuan mengendalikan diri. Orang yang tidak dapat mengelola hasratnya untuk makan dan tidur, dan tidak dapat mengendalikan lidah, mata, telinga dan nafsu seksualnya, maka dia bukanlah manusia dalam arti yang sesungguhnya.

Dalam risalah kami, "Wilâ` wa Wilayah" (Wali dan Kewalian, I.S.P. 1984), kami sebutkan bahwa manusia terkadang mampu mengendalikan dirinya sehingga dia menjadi tuan bagi pikiran dan daya pikirnya. Penyair Persia termasyhur Maulawi berkata:

"Aku adalah tuan bagi pikiran-pikiranku, bukan sahayanya. Seperti tukang batu, dia adalah tuan bagi apa yang dibangunnya."

Terkadang manusia dapat mengendalikan diri sedemikian rupa sehingga dia dapat membuat perubahan pada tubuhnya seperti yang diinginkannya. Kalau dia mau, dia dapat meninggalkan tubuh­nya. Manusia dapat juga membuat perubahan pada dunia, namun masalah ini di luar ruang lingkup pembicaraan kita sekarang.

Manusia bahkan harus dapat mengendalikan perilaku ibadahnya. Ada sebuah hadis terkenal yang ditujukan kepada Jabir berkenaan dengan memelihara keasyikan beribadah. Nabi saw bersabda:

"Jangan sampai ibadah kepada Allah menjengkelkanmu, karena dengan paksaan engkau tak akan dapat melewati tahap apa pun, juga tak dapat menjaga keutuhan semangatnya."

Mengenai mengelola orang lain, zaman modern percaya pada arti pentingnya sedemikian. Dalam kata-kata Dr. Abu Thalib, "Zaman kita adalah zaman manajemen." Kenapa manajemen dianggap pen ting, dasamya adalah beberapa pertimbangan:

(i) Aset manusia sangat penting bagi setiap masyarakat. Imam Ali as mengatakan bahwa ilmu lebih penting dibanding harta, karena ilmu merupakan kekuatan manusia dan aset manusia, sedangkan harta adalah kekuatan non-manusia dan aset non-manusia. Tanpa aset manusia ini maka aset non-manusia jadi bencana. Jika tak ada aset non-manusia, aset ini dapat diperoleh dengan bantuan aset manusia, namun tidak sebaliknya. Dewasa ini kita melihat bahwa bangsa kurang berpendidikan namun kaya yang luar biasa sUmber daya alamnya seperti Iran [2]dan Arab Saudi tak berdaya di hadapan kekuatan-kekuatan dunia yang tak memiliki sumber daya ini, dan dieksploitasi oleh kekuatan-kekuatan ini. Sebuah hadis menyebutkan, "Manusia laksana tambang emas dan perak."

(ii) Seperti minyak, yang ditemukan, diambil, disuling dan kemudian digunakan, aset manusia juga perlu dikelola, dibimbing, ditemukan dan dapat membawa manfaat. Tak seperti binatang yang memiliki naluri yang kuat, karena naluri manusia kurang kuat, maka manusia perlu belajar. Dengan kata lain, manusia perlu petunjuk, bimbingan, dan perlu dipimpin. Kebutuhan manusia akan bimbingan merupakan dasar ajaran para nabi dan filosofi misi mereka. Misi Nabi saw juga didasarkan pada filosofi ini.

(iii) Poin ketiga adalah, seperti sudah disebutkan sebelumnya, manusia, dalam perilaku dan kehidupan spiritualnya, memiliki hukum atau mekanisme tersendiri dan sistem khusus aksi-reaksi. Kalau kita hendak bekerja dengan manusia, maka kita perlu mengetahui mekanismenya dan hukum yang mengatur perilakunya. Manusia tak ubahnya seperti kotak misteri. Untuk membuka kota semangat dan jiwanya dan untuk bisa bekerja sama dengannya, lebih daripada apa pun, dibutuhkan pengetahuan dan kebijaksanaan, bukan kekuatan atau paksaan. Hukum yang mengatur perilaku manusia bukan untuk dirumuskan, namun untuk ditemukan, tak ubahnya seperti hukum fisika, kimia dan fisiologi.

Dapat dilihat dengan jelas bahwa Islam memberikan perhadan yang semestinya tentang ketiga poin ini. Arti penting aset manusia diilustrasikan dengan apa yang dinyatakan Islam tentang kedudukan manusia. Oleh Islam manusia digambarkan sebagai wakil (khalifah) Allah SWT, di hadapan manusia para malaikat bersujud, dan dalam diri manusia ada roh Allah. Para nabi datang untuk menguak misteri khazanah akal manusia. Allah SWT berfirman kepada manusia, "Aku ciptakan segala sesuatu untukmu, dan ciptakan kamu untuk-Ku. Dia telah menciptakan bagimu semua yang di langit dan burnt. Telah Kami ciptakan untukmu semua yang di burnt. Kami jadikan mata pencarianmu di dalamnya. Dia telah menciptakan kamu dan bumi dan menempaikanmu di dalamnya."

Prinsip kedua, seperti sudah kami sebutkan, menjadi dasar dari misi para nabi. Prinsip ketiga adalah yang sekarang ini disebut prinsip manajemen. Dari dua sumber Islam dapat diambil pelajaran atau kesimpulan. Sumber pertama Islam adalah catatan hidup[3] Nabi saw, Imam Ali as dan para imam suci lainnya yang luar biasa mengagumkan. Sumber keduanya adalah petunjuk dari tokoh-tokoh agung ini kepada wakil-wakil mereka, yang mereka angkat menjadi pemandu umat. Menurut "Sirah Ibn Hisyam", Nabi saw berkata kepada Mu'adz bin Jabal, "Buatlah segalanya mudah bagi orang, jangan mempersulit mereka, tundukkan hati mereka dengan mengatakan hal-hal yang menyenangkan mereka, jangan menakuti mereka hingga mereka lari. Dan bila kamu salat bersama mereka, hendaknya salatmu tidak memberatkan orang-orang yang paling lemah di antara mereka."

Dalam instruksi kebijakan yang dikeluarkan Imam Ali as kepada para gubernur dan administratornya seperti Utsman bin Hunaif, Qutham bin Abbas, Muhammad bin Abu Bakar, Abdullah bin Abbas dan khususnya kepada Malik al-Asytar, dapat ditemukan ratusan isu psikologis dan sosial yang berhubungan dengan prinsip manajemen dan kepemimpinan.

Sayangnya kita tidak tahu filosofi instruksi ini. Misal, kita tidak tahu filosofi dasar dari pola hidup sangat bersahaja dan bermoral yang erat kaitannya dengan kepemimpinan. Kita sering menggambarkan pola hidup seperti itu sebagai pelarian dari dunia dan kehidupan ini. Peristiwa terkenal Imam Ali as yang diriwayatkan dalam "Nahj al-Balâghah", yang kita kutip dalam artikel kita mengenai kezuhudan, membuat filosofi ini sangat jelas. Imam Ali as suatu ketika berkunjung ke rumah Ala' bin Ziyad. Setelah sebentar berbincang, Ala' mengeluh tentang saudaranya, Asim bin Ziyad. Imam Ali as memanggilnya, lalu menyapanya "Wahai musuh dirimu." Imam Ali as mencela kezuhudan Asim. Asim menjawab dengan mengutip contoh Imam Ali as sendiri. Imam Ali as berkata, "Allah mewajibkan para imam kaum Muslim untuk selalu berada pada tingkat orang paling miskin, agar si miskin tidak merasa malu dengan kemiskinannya." (Nahj al-Balâghah, khotbah 209)

Dalam piagam yang dikeluarkan untuk Malik al-Asytar, Imam Ali as menjelaskan, "Jangan bersandar pada orang yang suka hidup enak dan membanggakan diri, yang terlalu banyak berharap dan banyak menuntut. Bersandarlah pada massa yang mengetahui nilai pelayanan dan siap mengikuti kebenaran." (Nahj al-Balâghah, surat 53)

Dalam piagam ini juga Imam Ali as membicarakan beberapa hal yang berkaitan dengan administrasi, dan mengeluarkan instruksi berkenaan dengan sikap menghadapi beragam golongan masyarakat seperti staf sekretariat, tentara, hakim, pebisnis, tukang, dan seterusnya. Imam Ali as menjelaskan jiwa dan nilai masing-masing mereka.

32. Kemampuan memimpin kalau tidak pembawaan, ia merupakan hasil dari upaya. SesUngguhnya kemampuan ini pembawaan maupun hasil dari upaya. Sebagian orang sejak kecil sudah menunjuk-kan bakat memimpin. Mereka dapat membuat orang lain mengikuti rencana mereka. Mereka dapat mempengaruhi orang lain dan membuat orang lain mematuhi mereka. Konon raja Iran yang bernama Nadir, ketika masih anak-anak biasa membuat rencana invasi dan penaklukan dengan menggunakan kawanan dombanya sebagai tentaranya. Sebagian orang percaya bahwa semua atau kebanyakan nabi pernah menjadi gembala sehingga mereka mendapat pengalaman praktis menjadi pemimpin. Tentu saja pemimpin berbakat alam pun jika tidak maksum perlu memperoleh pengalaman dan belajar seni memimpin. Ketika para nabi harus menjadi gembala, jelaslah apa yang perlu dilakukan non-nabi.

Satu hal yang memmjukkan ketidaktahuan masyarakat kita adalah bahwa orang yang untuk beberapa lama belajar fiqih dan teologi, mendapatkan pengetahuan terbatas di bidang ini dan menulis buku kecil, lalu disebut oleh pengikutnya "pemimpin terkemuka Syiah". Karena itulah soal marja' (otoritas keagamaan) merupakan salah satu problem mendasar dunia Syiah. Insya Allah, kami akan membahasnya dalam artikel tersendiri di bawah judul "Salah Satu Problem Pokok Ulama". Fakta bahwa masyarakat kita menganggap sebagai pemimpin bahkan terhadap ulama yang paling banter hanya menyampaikan fatwa formal, telah membuat kekuatan-kekuatan Syiah mengalami stagnasi. Sesungguhnya ulama yang menyampaikan fatwa adalah penerus Nabi saw (hanya sejauh menyangkut satu bagian dari norma hukum), sedangkan pemimpin berarti penerus imam (Penerus Imam bertanggung jawab me-ngeluarkan fatwa maupun memimpin kaum Muslim).

33. Konsekuensi ketidakmatangan.[4] Seperti telah kami sebutkan dalam artikel mengenai Kematangan Islam, no. 5, orang yang tidak memiliki kematangan finansial, maka dia perlu wali. Bangsa yang belum matang juga perlu bangsa lain untuk menjadi walinya baik secara terbuka maupun terselubung. Kolonialisme lama merupakan perwalian terbuka, sedangkan kolonialisme baru merupakan perwalian terselubung. Bangsa wali mengambil segalanya termasuk agarna bangsa dunia. Yang diberikan oleh bangsa wali ini kepada bangsa Muslim yang mereka kuasai hanyalah sebuah Islam yang bentuknya sudah mengalami distorsi.

Dalam artikel kami mengenai kezuhudan, kami kemukakan bahwa sensitivitas merupakan salah satu dasar dari sikap hidup bersahaja dan bermoral. Dengan kata lain, bila tak dapat memberikan bantuan material kepada orang yang membutuhkan, setidak-tidaknya harus diberikan bantuan moral. Kezuhudan seperti ini wajib bagi pemimpin. Kami kutipkan sebuah riwayat dari Imam AH as. Imam Ali as berkata, "Allah SWT telah mengangkatku menjadi Imam bagi makhluk-Nya. Dia telah mewajibkanku untuk setingkat dengan orang termiskin, sehingga si miskin akan menerima kemiskinannya dan kekayaan si kaya tidak akan dapat mengganggu pikirannya."

Catatan Mengenai Kepemimpinan dalam Islam

1. Imam Ali as berkata kepada Utsman, "Sebaik-baik manusia dalam pandangan Allah SWT adalah penguasa yang adil, yang dibimbing oleh Islam dan yang membimbing orang lain ke arah Islam, yang menjaga dan menghidupkan sunah Nabi saw dan yang memerangi bid'ah. Seburuk-buruk orang dalam pandangan Allah adalah penguasa lalim yang sesat dan menyesatkan orang lain, yang memerangi sunriah dan menghidupkan kembali bid'ah. Aku mohon engkau dengan nama Allah untuk tidak menjadi penguasa seperti itu karena penguasa seperti itu akan dibunuh oleh kaum
tertindas, karena telah diprediksikan bahwa pemimpin umat yang membuka pintu pertumpahan darah dan perseteruan akan dibunuh. Dia akan menebarkan keraguan di kalangan umat dan kekacauan, akibatnya umat tak lagi mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Umat jadi gelisah dan kacau. Karena itu dengan usia dan pengalamanmu, janganlah menjadi hewan kesayangan Marwan, dan jangan sampai dia mengaturmu." (Nahj al-Balâghah, khotbah 164)

Kalimat terakhir ini menunjukkan bahwa pemimpin harus berpikiran mandiri dan tidak boleh menjadi alatnya orang-orang di sekitarnya. Kalimat-kalimat sebelumnya mengenai pentingnya roh keadilan yang harus dimiliki pemimpin.

2. Instruksi Imam Ali as kepada salah seorang pejabatnya yang ditugaskan untuk memungut zakat. Setelah memberikan petunjuk tertentu dan menasihati agar ikhlas dalam bertutur dan berbuat, Imam Ali as berkata, "Aku perintahkan engkau untuk tidak bermusuhan dengan mereka, untuk tidak menindas mereka, dan untuk tidak menjauhkan diri dari mereka, dengan memperlihatkan superioritasmu kepada mereka karena engkau adalah pejabat pemerintah. Mereka adalah saudaramu seiman dan diharapkan membantumu dalam memungut iuran.... Celakalah orang yang diadukan oleh si miskin, si papa, si peminta-minta, orang yang menderita, dan si musafir kepada Allah! Seburuk-buruk pengkhianatan adalah menyalahgunakan dana publik, dan sehina-hinanya kekufuran adalah membohongi Imam." (Nahj al-Balâghah, surat 26)

3. Imam Ali as berkata, "Kalau dibandingkan dengan beramar makruf bernahi munkar, semua amal baik dan jihad di jalan Allah SWT tak lebih daripada tiupan udara di samudera yang amat luas dan amat dalam. Beramar makruf bernahi munkar tidak membuat ajal jadi lebih dekat, juga tidak mengufangi rezeki. Namun yang lebih berharga ketimbang semua ini adalah berkata adil di hadapan penguasa zalim."

Jadi, pembaruan rohaniah (beramar makruf bernahi munkar) lebih penting dibanding berperang suci melawan kaum kafir, namun yang lebih penting lagi adalah berjuang melawan pe-nyimpangan pemimpin. Dapat dicatat bahwa ber-amar makruf bernahi munkar merupakan sebuah tahap dalam jihad, dan berkata adil di hadapan penguasa kejam juga merupakan beramar makruf bernahi munkar.

4. Imam Ali as dengan tegas mengatakan bahwa pandangan kaum Khawarij bahwa Al-Qur'an sudah cukup dan bahwa tak perlu ada pemerintah, mesin administrasi dan pemimpin, adalah salah. Kaum Khawarij biasa mengatakan bahwa "tak ada hakim kecuali Allah." Imam Ali as berkata, "Slogan mereka memang benar, namun kesimpulan mereka salah. Mereka mengatakan bahwa tak
usah ada pemerintah kecuali pemerintah Allah SWT. Namun orang perlu penguasa, entah penguasa itu baik atau buruk, karena dengan kekuasaannya si beriman dan si kafir dapat bekerja dan menikmati hidup." (Artikel 10 mengenai Nahj al-Balâghah, Murtadha Muthahhari)

Mesin administrasi disebut pemerintah, karena mesin ini menjaga kedamaian internal dan eksternal, dan menyelenggarakan hukum dan ketertiban. Disebut Imamah karena dikepalai oleh seorang pemimpin yang memobilisasi kekuatan-kekuatan potensial, menggali dan mengembangkan kemampuan-kemampuan ter-pendam. Dalam "Nahj al-Balâghah" digunakan kata wall dan ra'iyyah untuk penguasa dan rakyat. Kata-kata ini menunjukkan bahwa tugas penguasa adalah melindungi dan memperhatikan rakyatnya. Imam Ali as berkata, "Klaim terpenting yang dirumuskan oleh Allah SWT adalah klaim penguasa atas rakyat dan klaim rakyat atas penguasa." (Nahj al-Balâghah, khotbah 216)

5. "Yang dibutuhkan manusia bukan hanya pangan dan papan. Kebutuhan manusia beda sekali dengan kebutuhan burung merpati atau rusa. Manusia memiliki sejumlah kebutuhan psikologis yang juga perlu dipenuhi. Karena itu belum cukup bila pemerintah yang ingin populer dan diterima hanya memenuhi kebutuhan material rakyatnya saja. Pemerintah juga perlu memperhatikan kebutuhan manusiawi dan spiritual rakyatnya. Yang penting adalah sikap pemerintah terhadap rakyat. Apakah pemerintah memandang rakyat sebagai alat yang tak bernyawa, atau sebagai hewan beban dan hewan penghasil susu yang juga perlu perawatan medis juga, atau sebagai manusia yang memiliki hak yang sama. Pendek kata, apakah rakyat untuk pemimpin, atau pemimpin untuk rakyat?" (Artikel 5 mengenai Nahj al-Balâghah)

Dalam artikel tersebut di atas, kami sebutkan bahwa mengakui hak rakyat dan berpantang dari segala yang merusak otoritas pemimpin merupakan syarat sangat penting pertama bagi pemimpin yang ingin memenuhi kebutuhan rakyat dan ingin dipercaya rakyat.

Dalam artikel di atas sudah kami sebutkan bahwa hubungan tidak natural yang dibuat gereja antara beriman kepada Tuhan dan menolak kedaulatan manusia, dan akibat naturalnya antara kedaulatan manusia dan menolak Tuhan, merupakan faktor penting yang membuat orang meninggalkan agama.

Kaisar Rum, Kaligola (abad pertama Masehi atau abad pertama sebelum Masehi) biasa mengatakan bahwa penguasa memiliki keunggulan atas rakyat seperti keunggulan gembala atas domba. Penguasa seperti dewa, sedangkan rakyat seperti hewan ternak.

Sebagian filosof Barat juga percaya bahwa penguasa berkuasa bukan untuk kepentingan rakyatnya. Menurut para filosof ini, penguasa memiliki hak ilahiah, yaitu bahwa rakyat diciptakan untuk kepentingan penguasa.

6. Dalam artikel di atas sudah kami kemukakan bahwa meskipun kata ra'iyyah digunakan oleh Imam Ali as, dalam bahasa Persia kata ini belakangan mendapatkan arti yang menjijikkan,
namun sesungguhnya kata ini menunjukkan konsepsi bahwa penguasa itu untuk rakyat, bukan rakyat untuk penguasa.

7. Juga sudah kami katakan bahwa Surah an-Nisa' ayat 58, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil." menunjukkan bahwa penguasa adalah penjaga rakyat. Dengan kata lain, ayat ini menyebutkan dengan jelas prinsip penguasa untuk rakyat bukan rakyat untuk penguasa. Kitab Majma' mengutip Imam
Muhammad al-Baqir as dan Imam Ja'far Shadiq as mengatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada para imam sedangkan ayat berikutnya: "Taatilah Allah dan taatilah Rasul," ditujukan kepada umat. Imam Muhammad al-Baqir as mengatakan, "Satu dari dua ayat ini berkaitan dengan kami (hak kami), sedangkan satunya berkaitan dengan kamu (hak kamu)." Imam Ali as berkata, "Imam, kalau memutuskan sesviatu, menunit apa yang diwahyukan Allah. Dia selalu menjaga amanat. Karena itu, umat wajib mendengarkan dan menaatinya, dan wajib menjawab kalau diseru." (al-Mizan mengutip dari Durr al-Mantsur)

8. Imam Ali as menulis surat kepada gubernurnya di Azerbaijan: Tekerjaan Anda bukanlah makanan kecil yang enak, melainkan amanat yang wajib Anda jaga. Anda telah diangkat oleh atasan Anda menjadi gembala (untuk mengurusi rakyat Anda). Karena itu Anda tjdak berhak bersikap lalim terhadap rakyat." (Nahj al-Balâghah, surat 5)

Dalam surat edaran yang ditujukan untuk semua petugas pajak, Imam Ali as berkata, "Berlaku adillah terhadap rakyat, dan dengan sabar perhatikan kebutuhan mereka, karena Anda adalah bendaharawan rakyat, wakil umat, dan duta Imam." (Nahj al-Balâghah, surat 51)

Dari uraian no. 6-9 jelaslah bahwa dari sudut pandang "Nahj al-Balâghah ", basis kepemimpinan adalah pemimpin untuk rakyat bukan rakyat untuk pemimpin.

Kepemimpinan dan Manajemen

1. Arti kepemimpinan sinonim dengan arti imamah. Kalau arti hidayah (petunjuk) adalah memandu ke tujuan, maka manajemen adalah semacam kematangan.

2. Frase kematangan finansial pada umumnya digunakan berkenaan dengan anak yatim, meski berlaku juga untuk individu lain. Kematangan untuk menikah berlaku untuk semua orang.

3. Definisi kematangan: Kompetensi untuk menggali, memanfaatkan dan menjaga potensi-potensi yang ada. Ini butuh pengetahuan dan daya kehendak. Arti pengetahuan adalah mengetahui makna, tujuan, nilai dan hasil kerja serta kemampuan memilih.

4. Hidup adalah aset. Usia adalah aset. Manusia memiliki kekuatan mengagumkan yang belum termanfaatkan. Anggota badan, organ, kemampuan fisis dan spiritualnya, semuanya adalah aset. Sejarah, budaya, waktu, sastra, buku, teknologi, seni dan peradaban, juga aset.

5. Setiap jenis kematangan berarti kemampuan tertentu untuk mengelola, namun bila kata mengelola digunakan dalam pengertian manajemen-manusia, maka artinya lebih dekat dengan arti imamah.

6. Manajemen-manusia dan kepemimpinan merupakan seni untuk memobilisasi, mengorganisasi, mengendalikan dan memanfaatkan kekuatan-kekuatan manusia dengan lebih baik.

Kekuatan manajemenlah yang mengubah bangsa paling lemah menjadi bangsa paling kuat. Pemimpin besar dunia bukanlah orang yang memasung bangsanya dan melarang bangsanya untuk bersuara. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang memobilisasi kekuatan-kekuatan individu, memberinya dorongan, mengkoordinasikannya, dan menciptakan ideal bagi rakyatnya. Untuk menciptakan ideal, dibutuhkan adanya dua hal: pertama, rakyat dibuat ideal-minded (cenderung kepada ideal); kedua, kelompok-kelompok besar rakyat didorong untuk menerima ideal yang disampaikan.

7. Manajemen lebih dibutuhkan oleh manusia ketimbang oleh hewan. Kawanan domba dapat diurus oleh gembala tidak berpendidikan yang tahu padang rumput dan tempat-tempat yang ada
airnya, dapat menjaga dombanya untuk tidak tercerai berai, dan melindunginya dari serangan serigala. Jika ada dombanya yang jatuh sakit, dia harus dapat mengobatinya. Namun domba tidak memiliki dunia spiritual yang dialami. Domba tidak memiliki kekuatan-kekuatan yang eksplosif di dalam dirinya, juga tidak ada moral yang dapat dipelajarinya. Domba bukanlah wakil Allah atau
manifestasi Nama dan Sifat-Nya, juga tidak "diciptakan sebagai yang sebaik-baik kualitas karakternya." Itulah sebabnya domba butuh gembala, sedangkan manusia butuh pemimpin, dan pemimpin harus lebih unggul dibanding manusia lain ketimbang gembala terhadap dombanya.

8. Beda antara kenabian dan imamah adalah kenabian itu bimbingan, sedangkan imamah adalah kepemimpinan. Kenabian adalah menyampaikan dan menunjukkan jalan yang benar. Imamah adalah memimpin dan memobilisasi serta mengorganisasikan kekuatan-kekuatan yang ada. Sebagian nabi adalah pemandu sekaligus pemimpin seperti Ibrahim as, Musa as, Isa as dan Nabi terakhir Muhammad saw. Sebagian nabi lainnya hanya pemandu saja, namun imam hanya pemimpin saja. Imam dibimbing dengan petunjuk yang diberikan oleh Nabi terakhir saw.

9. Beda antara konsep kepemimpinan di dunia modern dan dalam terminologi Islam.

10. Tiga hal pen ting ten tang manusia: (i) Manusia adalah harta yang tinggi nilainya. "Mereka, melalui pencarian, menemukan bagi diri mereka harta mental." (ii) Naluri saja tidak cukup bagi manusia. (iii) Hukum yang mengatur jiwa manusia begitu rumit sehingga, kalau mau sukses, pemimpin harus tahu hukum yang mengatur kehidupan manusia.

Mengetahui hukum ini adalah kunci untuk menguasai had rakyat. Belenggu-belenggunya perlu dihancurkan. "Dia akan melepaskan mereka dari beban mereka dan belenggu-belenggu yang memasung mereka." Manajemen-manusia Nabi saw dalam keluarganya, di antara para sahabatnya, dan dalam hubungannya dengan persiapan pasukan. Nabi tahu bagaimana mengurus manusia. Instruksi Nabi saw, berkenaan dengan dakwah dan manajemen, kepada Mu'adz bin Jabal, "Buatlah segalanya mudah. Jangan mempersulitnya. Tundukkan hati orang dengan berkata hal-hal yang menyenangkan kepada mereka. Jangan buat mereka jadijauh. Bila kamu salat bersama mereka, hendaknya salatmu salat yang cocok dengan orang paling lemah di antara mereka."

Peristiwa Imam Ali as dan Asim bin Ziyad. Sikap hidup Imam Ali as yang sangat bersahaja dan bermoral merupakan bagian dari administrasinya.

11. Yang harus dimiliki oleh pemimpin adalah inisiatif, kemampuan kreatif untuk mengorganisasi, mampu menarik rakyat, dan dicintai serta dipercaya rakyat (lihat no. 15).

12. Kepemimpinan Nabi saw membuat Abu Sufyan tercengang. Kisah tentang tiga orang berbeda di Tabuk. Kisah tentang Abu Dzar.

13. Nabi saw bersabda bahwa jika tiga orang pergi bersama-sama, maka mereka supaya memilih salah satu dari mereka untuk jadi pemimpinnya. Ini menunjukkan betapa Islam memandang penting manajemen-manusia. Kepada Nabi saw, Allah SWT berfirman bahwa jika Nabi saw tidak menyebutkan dengan tegas siapa
yang akan menjadi imam, berarti Nabi saw tidak menyampaikan risalah Allah SWT.

14. Kehidupan Imam Husain as merupakan contoh kepemimpinan yang sangat bagus.

15. Kualitas Pemimpin:

(a) Memiliki inisiatif.

(b) Bersikap menyenangkan—kisah Imam Ali as dan Asim bin Ziyad—kehidupan publik.

(c) Mampu mengorganisasi.

(d) Mampu memilih orang yang tepat untuk pekerjaan yang tepat.

(e)Mampu mendapatkan cinta dan kesetiaan rakyat.

(f) Mampu meyakinkan rakyat akan pen ting dan perlunya mencapai tujuan.

(g) Mengerti kondisi yang ada.... "Air yang payau dan makanan kecil yang mencekik tenggorokan."

(h) Percaya dan yakin pada tujuan.

(i) Percaya dan yakin akan sukses—tidak ragu-ragu—percaya diri (Nabi saw yakin sekali pada misinya. Imam Husain as juga yakin dengan hasil dari apa yang dilakukannya).

(j) Mampu memilih dengan benar tindakan yang akan di­lakukannya.

(k) Mampu memilih dengan tepat.

(l) Cepat dalam memilih.

(m) Berketetapan had dalam memilih langkah dan dalam memilih tujuan itu sendiri.

(n) Teguh.

(o) Berani menghadapi konsekuensi.

(p) Memiliki rencana langkah yang akan diambil kalau gagal.

(q) Memiliki dnjauan ke masa depan.

(r) Murah hati, luhur budi, dan lapang dada.

(s) Mampu mendistribusikan tugas dan kekuatan manusia dengan benar.

(t)Berani menerima kekalahan.

(u)Kuat kemauannya dan cukup tangguh kepribadiannya, sehingga rakyat termotivasi dan terpengaruh. Mampu menyampaikan pesan dengan meyakinkan.

Itulah sebabnya kaum kafir mengira bahwa Nabi saw memiliki kekuatan magis yang diliputi misteri.

Imam Ali as berkata kepada Ibn Abbas, "Kekhalifahan ini lebih tak ada artinya bagiku ketimbang sepatu usang kalau aku tidak membawa yang benar atau tidak memperbaiki yang salah." (Nahj al-Balâghah, khotbah 33)

"Justifikasi sangat penting yang dititahkan Allah SWT adalah penguasa dapat menuntut haknya atas rakyat dan rakyat dapat menuntut haknya atas penguasa. Allah SWT menetapkan masing-masing berkewajiban terhadap satu sama lain. Sistem ini ada untuk mengembangkan cinta di antara mereka dan untuk kemuliaan dan keagungan agama mereka. Rakyat tidak akan baik kalau penguasa-nya tidak baik, dan penguasa tidak akan baik kalau rakyatnya tidak jujur." (Nahj al-Balâghah, khotbah 216)

Kedudukan penguasa adalah kedudukan wali (wakil).

Kualitas terpenting imam adalah dua: adil dan memandu. Dua kualitas ini merupakan tujuan utama diutusnya para nabi, sehingga manusia dapat menegakkan keadilan. Nabi saw dilukiskan sebagai orang yang mengajak manusia kepada Allah SWT dan sebagai lampu pencerah. Dari sudut pandang keadilan, imam adalah pelindung dan pengawas. Dan dari sudut pandang bimbingan atau panduan, imam adalah pemimpin dan kepala. Dari kedua sudut itu imam adalah model dan teladan. Kepribadiannya merupakan perwujudan sempurna keadilan maupun perwujudan sempurna kemajuan, kematangan dan kepemimpinan yang baik.

Soal yang paling relevan berkenaan dengan imamah adalah kebutuhan apa yang dipenuhinya. Kenabian adalah produk dari suatu kebutuhan tertentu, begitu pula imamah.

Empat tugas Nabi saw: Otoritas keagamaan, pemimpin politik, menegakkan keadilan, dan mengawasi kondisi serta konsepsinya.

Ayat Al-Qur'an mengatakan bahwa keteladanan Nabi saw adalah untuk diikuti.

Kebenaran tentang kemaksuman dan hubungannya dengan iman yang sempurna. Hadis Tsaqalain dan hubungannya dengan kemaksuman. Ayat "Tuanmu hanyalah Allah" dan hubungannya dengan kemaksuman.

Beragam pemakaian kata "imam" dalam hubungannya dengan otoritas keagamaan dan kepemimpinan politik—imam yang sejati dan imam palsu.

Hujah rasional imamah dan wilayah dalam arti memiliki kekuatan untuk bertindak independen—wilayah, adalah bagian dari hukum kosmis. Studi komparatif mengenai argumen-argumen para teolog seperti 'Allamah Hilli dan Syaikh Mufid dan argumen 'Allamah Thabathaba'i yang kami muat dalam "Khilafah dan Wilayah", hal. 380.

Syiah membahas soal wilayah dan imamah dari tiga sudut: otoritas keagamaan, kepemimpinan politik, dan kepercayaan pada manusia sempurna serta penguasa zaman.

Soal penguasa zaman dan soal sahabat Allah—Menghubungkan administrasi dengan selain Allah—Menghubungkan kegagalan dengan selain Allah—Menghubungkan wahyu atau karunia dengan selain Allah—Tak ada soal penilaian atau pilihan manusia—Makna ayat "Aku tak kuasa membawa keuntungan bagi diriku."

Al-Qur'an dan manusia—Bagaimana kedudukan manusia menurut Al-Qur'an? Di hadapan manusia, para malaikat bersujud.

Pembahasan mengenai "karunia (luthf) Allah" dan "yang lebih tepat"—Pembahasan ini membuktikan eksistensi imam maksum— Pembahasan mengenai kedudukan sejati manusia—Imamah dalam pengertian perwalian spiritual menunjukkan arti penting manusia, dan karena itu pembahasannya merupakan pembahasan mengenai manusia.

Sesungguhnya manusia memiliki dua kehidupan, kehidupan spiritual dan kehidupan non-spiritual. Kedua kehidupan ini aktual. Kehidupan spiritual manusia bukanlah sesuatu yang tidak nil atau fenomenal.

Beda antara kenabian dan wilayah (Khilafah dan Wilayah, hal. 379, dan Lihat Wali dan Kewalian).

Al-Qur'an menyebutkan alasan kenapa para nabi selalu manusia. Inti masalahnya adalah bahwa para nabi, selain sebagai medium untuk menyampaikan pesan Allah SWT, juga merupakan medium untuk menyampaikan pengetahuan juga. Manusia dapat menerima pengetahuan dari makhluk non-manusia, namun manusia tidak dapat mencintainya, dan juga tidak dapat menyaingi apalagi mengunggulinya.

"Mengapa agama membuat sejarah, mewujudkan budaya, mendidik dan melatih manusia yang tak terhingga jumlahnya dan banyak generasi seperti yang dikehendakinya, namun tidak mampu mewujudkan sebuah kota ideal? Para sosiolog mengatakan dan para sejarahwan mengakui bahwa sejak zaman Plato sampai sekarang ini dan bahkan di zaman peradaban Mesopotamia, belum pernah ada satu kota ideal seperti ini. Alasannya, kota ideal adalah kota yang tak boleh ada Pemimpin Ilahiah (imam)-nya." (Umat dan Imam, hal. 100)

Masalahnya adalah kenapa dalam kota ideal versi para filosof itu tak ada imam. Sesungguhnya ini merupakan kekurangan mazhab filosof. Mazhab mereka tak ada basis spiritualnya. Basisnya hanya basis rasional.

Beda antara ideologi keagamaan dan ideologi lain bukan saja karena ada dan tak ada imam. Lagi, model seperti itu harus dicari pada para sahabat dan pengikut Nabi saw, bukan pada personalitas luar biasa imam atau nabi. Kalau saja setiap orang dapat menjadi imam, lantas kenapa imam hanya satu orang saja. Jika tidak mungkin, berarti imam tak bisa menjadi teladan bagi manusia. Namun imam dapat menjadi model tertinggi.

Kelihatannya sumber tesis buku "Umat dan Imamah" adalah "Pengantar Kepemimpinan", Bedanya hanyalah kalau "Umat dan Imamah " adalah buku yang ditulis untuk mendukung sebuah teori keagamaan, sedangkan "Pengantar Kepemimpinan" bukan untuk itu, dan dasarnya hanyalah aspek-aspek psikologis. Disebutkannya dengan jelas bahwa imam, khususnya Imam Gaib (Imam Mahdi as), memenuhi tuntutan spiritual manusia yang butuh pemimpin.

Imamah Para Imam

Salah satu hujah imamah adalah pengetahuan ilahiah seorang imam dan rasa hormat luar biasa yang ditunjukkan kaum Alawi dan lainnya kepada para imam ketika para imam ini masih kanak-kanak. Ketika dikatakan kepada Ali bin Ja'far, seorang paman dari ayah Imam Muhammad al-Jawad as, "Meskipun Anda ini seorang tua besar dan putra Imam Ja'far Shadiq as, Anda berkata demikian tentang pemimpin ini." Ali bin Ja'far berkata, "Aku pikir Anda ini orang yang penuh tipu daya." Dia kemudian memegangi jenggotnya dan berkata, "Harus bagaimana lagi, karena Allah SWT menganggapnya tepat untuk jabatan ini, dan tidak memandangku tepat untuk jabatan ini sekalipun rambutku sudah beruban!" (Imam ash-Shadiq, hal. 150)

Catatan Kaki:

[1] Mengkompromikan prinsip bisa karena alasan praktis. Ini terjadi juga karena adanya perasaan hormat yang berlebihan terhadap seseorang. Kompromi juga bisa terjadi karena sikap diskriminatif dalam memperlihatkan penghargaan atau menerima perantaraan (campur tangan). Nabi saw memberikan hukuman bahkan kepada orang-orang terkemuka Quraisy. Nabi saw tidak memperlihatkan penghargaan yang tidak pada tempatnya kepada siapa pun. Ada tiga alasan utama kenapa terjadi kompromi prinsi: Pertama karena takut, dan kedua karena serakah. Karena itu seorang pembaru haruslah berani, dan tidak boleh di-pengaruhi suap uang, suap sanjungan, suap wanita dan sebagainya. Sebab ketiganya adalah nepotisme dan penghargaan yang berlebihan kepada sahabat. Persahabatan seorang pembaru haruslah demi Allah saja. Dapat dicatat bahwa penghargaan berlebihan digambarkan oleh Al-Qur'an sebagai "idzan". Kata ini semula berarti meminyaki. Karena itu, termasuk di dalamnya adalah bujukan, sanjungan, rayuan, kebohongan dan tipuan. Kata ini digunakan dalam pehgertian melakukan kompromi juga. Mau berkompromi dalam hal-hal prinsip bisa terjadi dengan sengaja meski diam-diam, juga bisa terjadi karena tidak sadar. Bentuk lain dari berkompromi dalam hal-hal prinsip adalah eksploitasi atas kelemahan masyarakat bukannya memerangi kelemahan tersebut, dan hanyut dalam kecenderungan umum masyarakat. Contoh-contoh sikap ini adalah mau cium tangan dan terlalu peka terhadap soal-soal perselisihan Syiah-Sunni. Cerita tentang almarhum Mirza Muhammad Arbab dapat disebutkan sebagai contoh. Ayat,... "Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberikan nasihat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberikan nasihat. " (QS. al-A'râf: 79) Juga mengenai persoalan ini, Sufyan Tsauri berkata, "Kalau Anda melihat ulama yang banyak temannya, Anda bisa yakin dia pasti sembarangan. Kalau dia berkata benar saja, orang tidak akan menyukainya." Kata Abu Dzar, "Ber-amar makruf nahi munkar membuat aku tak punya teman." Kata Imam Ali as, "Jangan coba-coba sok akrab denganku, dan jangan panggil aku dengan kata-kata panggilan untuk tiran."

Kata-kata Imam ini menunjukkan bahwa suka sanjungan dan suka sebutan-sebutan yang kedengarannya hebat juga merupakan semacam berkompromi dalam hal-hal prinsip. Orang yang menyukai hal-hal murah seperti itu tidak akan berhasil mereformasi masyarakat. Lagi, Imam Ali as berkata, "Bagiku, yang kuat itu lemah, sampai aku memaksanya mengembalikan hak orang." Imam Ali as bermaksud mengatakan bahwa Imam bukan termasuk orang yang berkompromi dalam hal-hal prinsip. Kita sering menjumpai kata kompromi dalam kaitannya dengan urusan Muawiyah dan usulan kepada Imam Ali as untuk berdamai.

[2] Dapat dicatat bahwa catatan-catatan ini ditulis sebelum Revolusi Islam Iran.

[3] Satu bagian dari catatan hidup Nabi saw perlu dikaji dari sudut pandang prinsip-prinsip kepemimpinan.

[4] Item no. 33 mengenai tanda-tanda ketidakmatangan, yang sudah disebutkan dalam artikel tentang kematangan Islam dalam buku "Pertolongan Ilahi dalam Kehidupan Manusia ".


28
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

BAB 39 - Kehidupan Akhirat
Perinsip iman kepada kehidupan abadi akhirat merupakan salah satu poin penting dalam konsepsi Islam tentang kosmos (alam semesta) dan merupakan ajaran dasar Islam. Iman kepada akhirat merupakan syarat mutlak untuk menjadi Muslim. Tidak beriman kepada akhirat berarti bukan Muslim.

Setelah syahadat (pengakuan akan monoteisme), iman kepada akhirat merupakan ajaran paling penting yang disampaikan semua nabi tanpa kecuali. Para teolog akademis Islam menyebutnya ajaran Kebangkitan.

Dalam Al-Qur'an terdapat ratusan ayat mengenai Hari Pengadilan, kehidupan setelah mad, bangkit dari kematian, buku amal, surga, neraka, keabadian akhirat dan soal-soal lain yang berkaitan dengan alam setelah kematian. Dalam dua belas ayat, iman kepada Hari Terakhir secara formal disebut setelah iman kepada Allah SWT.

Al-Qur'an menggunakan beragam ungkapan untuk menunjukkan Hari Kebangkitan. Satu persatu ungkapan ini penuh dengan makna irfan. Hari Terakhir merupakan salah satunya. Dengan menggunakan ungkapan ini Al-Qur'an ingin kita memperhatikan dua poin:

Bahwa kehidupan manusia, dan sungguh sepanjang waktu eksistensi dunia, dibagi menjadi dua periode. Masing-masing periode dapat disebut hari. Hari Pertama (periode durasi dunia ini) akan berakhir, namun Hari Terakhir (periode durasi akhirat) tak ada akhirnya. Al-Qur'an menyebut kehidupan dunia ini hari pertama dan menyebut kehidupan akhirat hari terakhir. (lihat QS. al-Lail: 3 dan adh-Dhuhâ: 4)

Bahwa sekarang pun ketika kita masih berada dalam periode pertama dan belum mencapai periode kedua dan hari kedua, sukses dan keselamatan kita selama hari ini maupun hari itu tergantung pada iman kita. Dengan iman, kita lalu memperhatikan amal baik dan reaksinya. Kita harus mengerti bahwa seperti kita, pikiran kita, perbuatan kita dan kebiasaan kita juga, dari yang paling kecil sampai yang paling besar, ada hari pertama dan hari terakhirnya. Kata dan perbuatan kita selama hari pertama tidak sirna, melainkan terus eksis dan akan dimintai pertanggung jawaban pada Hari Pengadilan. Karena itu kita harus berusaha keras agar diri kita, perbuatan kita dan niat kita lurus, agar kita tidak berpikir serta berbuat buruk. Jadi kita harus selalu melangkah ke depan dengan taat hukum dan perilaku yang baik, karena pada iman kita bergantung kebahagiaan kita di hari itu, Perilaku manusia di dunia inilah yang membuat hidupnya di akhirat bahagia atau sengsara. Itulah sebabnya Al-Qur'an memandang iman kepada akhirat atau Hari Terakhir sebagai syarat mutlak kebahagiaan manusia.

Sumber Iman kepada Kehidupan Akhirat

Sumber pokok iman kepada kehidupan abadi akhirat adalah wahyu Allah yang disampaikan kepada umat manusia melalui para nabi. Setelah mengakui Allah, beriman kepada kebenaran para nabi dan mengetahui dengan pasti bahwa apa yang disampaikan para nabi memang berasal dari Allah SWT dan karena itu benar, lalu manusia beriman kepada Hari Kebangkitan dan kehidupan abadi akhirat. Prinsip keyakinan religius ini digambarkan oleh para nabi sebagai ajaran terpenting setelah tauhid.

Dengan begitu, derajat iman seseorang kepada kehidupan akhirat tergantung, di satu pihak, pada derajat imannya kepada Kenabian dan kebenaran para nabi, dan di pihak lain, pada derajat kebenaran dan rasionalitas konsepsinya mengenai akhirat, dan keterbebasannya dari pikiran-pikiran kotor dan bodoh.

Selain wahyu Allah SWT yang disampaikan oleh para nabi, ada beberapa metode lain untuk beriman kepada akhirat. Melalui upaya intelektual dan ilmiah, manusia dapat melihat, setidak-tidaknya, beberapa indikasi kuat yang mendukung apa yang dikatakan para nabi tentang akhirat. Metode-metode ini adalah:

(i) dengan jalan mengenal Allah SWT; (ii) dengan jalan mengenal dunia; (iii) dengan jalan mengenal roh dan mentalitas manusia. Untuk saat ini kami tak akan membahas metode-metode ini yang memerlukan deretan panjang argumen filosofis dan ilmiah. Kami hanya akan membahas metode Kenabian dan wahyu saja. Karena Al-Qur'an sendiri, dalam beberapa ayatnya, dengan jelas menyebutkan metode-metode ini, dan dalam beberapa ayat lainnya meng-isyaratkan ke arah metode-metode ini, maka kami akan membahasnya pada bagian selanjutnya di bawah judul Argumen Al-Qur'an tentang Akhirat. Agar soal kehidupan abadi akhirat bisa jelas dari sudut pandang Islam, maka perlu dilihat soal-soal berikut:

(i) Karakter hakiki kematian.

(ii) Kehidupan setelah mati.

(iii) Barzakh.

(iv) Kebangkitan.

(v) Hubungan kehidupan dunia dengan kehidupan setelah kematian.

(vi) Eksistensi abadi amal perbuatan manusia dalam bentuk fisik.

(vii) Karakter umum dan khas kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.

(viii) Argumen Al-Qur'an mengenai akhirat.

Karakter Hakiki Kematian

Apa kematian itu? Apakah kematian adalah kehancuran, kemusnahan, dan non-eksistensi, ataukah suatu perubahan, perkembangan dan peralihan dari satu dunia ke dunia lain? Inilah pertanyaan yang selalu menarik perhatian manusia. Setiap orang ingin menemukan sendiri jawabannya atau menerima jawaban yang sudah ada. Karena kita ini Muslim, maka kita ingin memberikan jawaban untuk pertanyaan ini dari Al-Qur'an, dan kita percaya pada apa yang dikatakan Al-Qur'an dalam hal ini.

Al-Qur'an memiliki penjelasannya sendiri mengenai karakter hakiki kematian. Al-Qur'an menggunakan kata "tawaffâ dalam kaitan ini. Arti kata ini adalah menerima penuh. Empat belas ayat Al-Qur'an menggunakan ungkapan ini. Semua ayat ini menunjukkan bahwa, dari sudut pandang Al-Qur'an, arti kematian adalah masuk ke dalam penjagaan. Dengan kata lain, ketika mati manusia memasuki penjagaan otoritas-otoritas ilahiah yang menerimanya tanpa batas. Dari ungkapan ini dapat disimpulkan beberapa poin:

(i) Arti kematian bukanlah kesirnaan dan kemusnahan. Kematian hanyalah peralihan dari satu dunia ke dunia lain, dan dari satu tahap kehidupan ke tahap kehidupan lain. Setelah kematian, kehidupan manusia berlanjut, meski bentuknya berbeda.

(ii) Yang membentuk manusia dan dirinya bukanlah tubuhnya serta sistem fisis dan penunjangnya, yang di dunia ini berangsur-angsur mengalami kerusakan dan kehancuran. Yang sesungguhnya membentuk personalitas dan ego manusia adalah apa yang oleh Al-Qur'an digambarkan sebagai "diri" dan terkadang "jiwa".

(iii)Jiwa atau diri manusia merupakan konstituen sejati personalitasnya. Manusia tidak mati, karena jiwa atau rohnya tidak mati. Rohnya eksis di sebuah cakrawala yang letaknya di atas cakrawala materi dan hal-hal material. Meskipun ini merupa­kan hasil dari evolusi esensi fenomena alam yang mengalami transformasi menjadi jiwa atau roh sebagai akibat dari evolusinya, namun cakrawalanya mengalami perubahan dan menjadi sesuatu dari alam lain yang di luar alam semesta. Ketika mati, roh beralih ke kelas lain, yaitu kelas roh. Dengan kata lain, realitas di luar materi ini kini berada dalam penjagaan malaikat. Al-Qur'an mengemukakan poin bahwa manusia adalah sebuah realitas yang kelasnya di luar materi. Mengenai Adam as, manusia pertama, Al-Qur'an mengatakan, "Dan telah meniupkan ke dalamnya roh-Ku." (QS. al-Hijr: 29)

Soal roh dan kelangsungan hidupnya setelah mati merupakan salah satu ajaran pokok Islam. Separo dari ajaran-ajaran Islam yang tak dapat diingkari itu didasarkan pada doktrin bahwa roh tak bergantung pada tubuh, dan roh masih terus eksis meski manusia telah mati. Semua nilai manusiawi sejati didasarkan pada kebenaran ini. Tanpa kebenaran ini, nilai-nilai tersebut tak lebih dari imajinasi belaka.

Semua ayat yang berbicara tentang kehidupan setelah mati, beberapa contohnya akan kami kutip, membuktikan bahwa roh adalah sebuah realitas yang tak bergantung pada tubuh dan bahwa roh akan terus ada sekalipun tubuh sudah hancur dan sirna.

Sebagian orang mengira bahwa dari sudut pandang Al-Qur'an tak ada roh atau jiwa. Akhir eksistensi manusia adalah ketika manusia mati. Setelah mati, manusia tak memiliki kesadaran dan juga tak merasa senang atau sakit. Pada saat Kebangkitan, manusia akan mendapat hidup baru, dan pada saat ini sajalah dia akan menemukan kembali dirinya dan dunia. Namun teori ini bertentangan dengan ayat-ayat yang menyebutkan kehidupan setelah mad.

Para pendukung teori ini mengira bahwa orang yang mempercayai eksistensi roh atau jiwa mendasarkan klaimnya pada ayat, "Katdkanlah, roh adalah atas perintah Tuhanku." Mereka mengatakan bahwa meskipun kata "roh" disebut berulang-ulang dalam Al-Qur'an, namun makna roh adalah sesuatu yang berbeda dengan apa yang disebut jiwa. Dalam ayat ini juga arti roh sama dengan yang dimaksud dalam ayat-ayat lain. Orang-orang ini tidak tahu bahwa orang yang mempercayai eksistensi roh tidak mendasarkan argumennya pada ayat ini. Ada sekitar dua puluh ayat lagi yang jelas-jelas menyebut roh atau menyebutnya dalam bentuk kata benda dan kata ganti yang mengungkapkan milik, rangkaian kata sifat dan seterusnya seperti roh Kami, roh-Ku, roh suci, roh dengan Perintah Kami. Mengenai manusia, dikatakan "Dan Aku tiupkan he dalamnya roh-Ku." Ungkapan ini menunjukkan bahwa dari sudut pandang Al-Qur'an ada sebuah realitas yang lebih tinggi daripada malaikat dan manusia, dan realitas inilah yang disebut roh. Sebagai nikmat dari Allah SWT, malaikat dan manusia memiliki realitas ini yang digambarkan sebagai "dengan Perintah-Ku". Ayat "Aku tiupkan ke dalamnya roh-Ku," bersama ayat-ayat lain menunjukkan bahwa roh manusia memiliki realitas yang luar biasa.

Banyak ayat Al-Qur'an bukan saja menegaskan eksistensi mandiri roh manusia, namun pandangan ini juga diperkuat oleh banyak riwayat mutawatir dalam kitab-kitab hadis dan juga diperkuat oleh banyak kalimat dalam "Nahj al-Balaghah". (Lihat Peak of Eloquence (Nahj al-Balaghah atau Puncah Kefasihan, I. S. P. 1984) dan Doa Para Imam Suez)

Faktanya adalah bahwa pengingkaran eksistensi roh merupakan pikiran kotor Barat yang diilhami oleh materialisme Barat. Sayangnya, ada sebagian pengikut Al-Qur'an yang berpikiran seperti ini. Sekarang kami kutip, melalui contoh-contoh, tiga dari empat ayat yang menggunakan kata "tawaffi' untuk kematian. Dalam ayat-ayat ini dikatakan bahwa setelah kematiannya manusia masih melakukan perbuatan-perbuatan seperti yang dilakukannya ketika masih hidup (seperti bicara, berkehendak dan memohon).

(i) Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya din, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu itu?" Mereka menjawab: "Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah). " Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburu-buruk tempat kembali. (QS. an-Nisâ': 97)

Ayat ini mertgenai orang-orang yang tunduk kepada tekanan keadaan, karena mereka hidup dalam lingkungan yang buruk, lingkungan yang dikendalikan oleh lawan-lawan mereka. Alasan mereka adalah lingkungan mereka tidak menguntungkan bagi mereka, mereka tak dapat berbuat apa-apa. Bukannya berupaya mengubah lingkungan mereka, dan jika itu tidak mungkin, pindah ke lingkungan yang lebih baik, mereka malah betah tinggal di lingkungan buruk itu. Setelah mencabut nyawa mereka, para malaikat Allah SWT berbicara dengan mereka dan mengatakan bahwa alasan mereka tidak dapat diterima, karena mereka setidak-tidaknya dapat pirtdah ke lingkungan lain. Para malaikat mengingatkan mereka bahwa mereka bertanggung jawab atas perbuatan mereka.

Al-Qur'an menyebutkan bahwa ketakberdayaan di suatu tempat tertentu tak dapat dijadikan alasan, kecuali bila jalan pindah dari satu tempat ke tempat lain sudah tertutup. Seperti kita ketahui, dalam ayat ini kematian, yang kelihatannya seperti kemusnahan, diungkapkan dengan kata tawaffi yang menunjukkan masuk ke dalam penjagaan. Lagi, ayat ini menyebutkan dialog antara para malaikat dan seseorang setelah kematian seseorang tersebut. Seandainya realitas manusia tidak berlanjut setelah kematiannya, dan seandainya realitasnya semata-mata berupa jasadnya yang tidak sensitif dan tidak sadar, tentu dialog ini tak ada artinya. Ayat ini menjelaskan bahwa manusia, setelah meninggalkan dunia fana ini, dapat bicara dengan makhluk-makhluk yang tak dapat dilihat yang dikenal dengan nama malaikat, meskipun dengan mata, telinga dan lidah yang berbeda.

(ii) Dan mereka berkata: "Apakah bila kami telah lenyap (hancur) di dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru." Bahkan (sebenarnya) mereka ingkar akan menemui Tuhan mereka. Katakanlah: "Malaikat mau yang diserahi untuk (mencabut nyawa)-mu akan mematikan kamu, kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan. " (QS. as-Sajdah: 10)

Ayat ini menghapus keraguan orang-orang yang mengingkari akhirat. Mereka bertanya bagaimana mereka dapat dibangkitkan lagi padahal setelah mad setiap partikel mereka jadi hancur lebur. Al-Qur'an dengan jelas mengatakan bahwa keraguan yang diungkapkan mereka hanyalah dalih untuk menyembunyikan sikap mereka yang keras kepala. Namun, menjawab pertanyaan mereka, Al-Qur'an mengatakan bahwa bertentangan dengan pernyataan mereka, personalitas sejati dan "diri" sejati mereka bukanlah apa yang mereka duga sebagai partikel-partikel yang hancur lebur. Sesungguhnya mereka, dengan segenap personalitas mereka, dihimpun oleh malaikat maut.

Yang dimaksud orang-orang yang mengangkat keraguan ini dengan hancur lebur di dalam bumi adalah bahwa ketika semua bagian dari tubuh mereka sudah hancur le bur dan setiap partikel tubuh mereka telah musnah, mana mungkin tubuh itu diciptakan dan dihidupkan kembali. Keraguan seperti ini juga disebutkan dalam beberapa ayat lain, dan jawaban untuk pertanyaan ini lain. Dalam ayat-ayat itu ditunjukkan bahwa jasad yang telah mati musnah dan sirna dari sudut pandang manusia saja. Tak diragukan lagi, memang mustahil manusia mengumpulkan kembali semua partikel tubuhnya, namun bagi Allah Mahakuasa, hal itu sangat mudah.

Dalam ayat terdahulu argumen orang-orang yang mengingkari kebangkitan didasarkan pada kemustahilan mengumpulkan kembali partikel-partikel jasad yang telah hancur. Namun di sini argumen mereka berbeda dan itulah sebabnya jawabannya pun berbeda pula. Di sini mereka berargumen bahwa setelah kehancuran partikel-partikel tubuh, maka personalitas nil manusia juga hancur dan sirna sehingga tak ada lagi "aku" atau "kita." Al-Qur'an mengatakan bahwa tak seperti dugaan mereka, personalitas riil manusia tak pernah musnah, dan karena itu tak perlu mendapatkannya lagi. Manusia maupun personalitasnya justru dihimpun oleh para malaikat pada saat kematiannya.

Ayat berikut ini juga dengan jelas menyebutkan kesinambungan personalitas riil manusia (rohnya) setelah kematiannya, meskipun tubuhnya sudah tak ada lagi:

(iii) Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya. Maka Dia tahanlahjiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir. (QS. az-Zumar: 42)

Ayat ini menggambarkan kesamaan antara tidur dan mati, dan di antaranya kesamaan antara bangun dan kebangkitan. Tidur adalah bentuk lemah dari mati, dan mati adalah bentuk kuat dari tidur. Dalam kedua kasus ini, jiwa manusia beralih dari satu keadaan hidup ke keadaan hidup lainnya. Bedanya adalah bahwa dalam kasus tidur manusia biasanya tidak menyadari perubahan, dan ketika bangun dia tidak menyadari bahwa dirinya sesungguhnya baru kembali dari suatu perjalanan. Tak seperti ketika mati, segalanya terlihat jelas olehnya.

Dari ketiga ayat ini dapat disimpulkan bahwa, dari sudut pandang Al-Qur'an, karakter hakiki kematian bukanlah kemusnahan, akhir segalanya dan non-eksistensi. Kematian sesungguhnya hanyalah peralihan dari satu keadaan hidup ke keadaan hidup lainnya. Ayat terakhir juga menjelaskan sudut pandang Al-Qur'an tentang karakter hakiki tidur. Meskipun secara fisis tidur adalah berhentinya fakultas-fakultas alamiah tertentu, namun dari sudut pandang spiritual, tidur adalah peralihan ke kerajaan langit. Seperti soal kematian, soal tidur juga merupakan salah satu hal yang karakter hakikinya tidak diketahui sepenuhnya. Yang diketahui dalam kaitan ini hanyalah satu bagian dari perkembangan fisis yang terjadi di wilayah fisis.

Setelah Mati

Apakah setelah mati manusia langsung ke tahap kebangkitan, dan perihal dirinya kemudian akhirnya ditentukan di sana? Atau apakah manusia, selama periode antara kematian dan kebangkitan, melewati suatu dunia khusus untuk dibangkitkan kembali pada Hari Kebangkitan? Kita tahu bahwa hanya Allah SWT sajalah yang tahu kapan Hari Kebangkitan itu. Bahkan para nabi pun menyata-kan tidak tahu tentang hal itu.

Dari Al-Qur'an dan dari banyak riwayat sahih yang sampai ke kita, dari Nabi saw dan para imam dapat disimpulkan bahwa setelah mati manusia tidak langsung ke tahap kebangkitan, karena pada tahap itu terjadi begitu banyak kehebohan, pergolakan, dan perubahan revolusioner pada segala yang kita tahu, seperti gunung, lautan, bulan, matahari, bintang dan galaksi. Pada saat itu tak ada yang tetap utuh. Lagi, pada saat kebangkitan, semua manusia masa lalu maupun masa sekarang akan dihimpun. Namun kita tahu bahwa dunia ini belum akan hancur dan barangkali akan tetap demikian untuk miliaran tahun lagi. Sementara itu masih akan lahir manusia-manusia yang tak terhingga jumlahnya.

Disimpulkan dari ayat terdahulu dan banyak ayat lainnya bahwa selama periode antara kematian dan Kebangkitan tak ada yang tetap mati dan tak sadar. Dengan kata lain, manusia tetap aktif, dia dapat merasa senang dan sakit. Setelah mati, manusia memasuki tahap baru kehidupan, dalam tahap baru ini manusia dapat merasakan segala sesuatu. Hal-hal tertentu membuatnya senang, dan hal-hal tertentu lainnya membuatnya sakit. Namun senang dan sakitnya berkaitan dengan perilakunya di dunia fana. Tahap ini akan berlanjut sampai terjadinya kebangkitan. Pada saat itu dunia akan dilanda sedemikian banyak kehebohan, pada saat itu dari bintang-gemintang paling jauh sampai bumi kita segalanya akan mengalami revolusi. Dengan terjadinya tahap ini maka alam yang merupakan tahap perantara antara dunia ini dan kebangkitan akan berakhir.

Jadi dari sudut pandang Al-Qur'an, alam pasca-kematian memiliki dua tahap atau, lebih tepatnya, setelah kematiannya manusia melalui dua alam. Alam yang akan berakhir seperti dunia fana ini disebut barzakh. Alam lainnya yaitu alam pasca-kebangkitan yang tak akan pernah berakhir. Man kita bahas dua alam ini secara ringkas.

Barzakh

Sesuatu yang menjadi perintang di antara dua benda dan memisahkan dua benda itu disebut barzakh. Al-Qur'an menggunakan kata ini untuk menunjukkan kehidupan antara kematian dan Kebangkitan. Al-Qur'an mengatakan: (Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu):

Hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. " Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan. (QS. al-Mukminun: 99-100)

Inilah satu-satunya ayat yang menyebut barzakh untuk interval antara kematian dan kebangkitan. Para ulama meminjam kata ini dari sini dan menyebut barzakh untuk alam antara kematian dan kebangkitan. Mengenai kesinambungan kehidupan setelah mati, ayat ini hanya mengatakan bahwa manusia setelah mati menyesal dan minta dikembalikan ke dunia fana, namun permintaan mereka ditolak. Ayat ini menunjukkan bahwa ada semacam kehidupan bagi manusia setelah matinya. Itulah sebabnya manusia minta dikembali­kan ke dunia fana, meskipun permintaannya ditolak.

Banyak ayat yang menunjukkan bahwa manusia selama periode ini, yaitu periode antara kematiannya dan Kebangkitan, berada dalam suatu kehidupan. Dalam kehidupan ini dia bicara, merasa senang dan sakit, dan dapat hidup bahagia. Ada sekitar lima belas ayat yang bicara tentang suatu proses kehidupan. Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa antara periode kematian dan kebangkitan manusia berada dalam suatu kehidupan .yang matang. Ayat-ayat ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan.

(i) Ayat-ayat yang mengutip percakapan antara orang takwa atau orang keji di satu pihak, dan para malaikat di lain pihak. Per­cakapan ini terjadi setelah kematian. Ayat seperti ini banyak jumlahnya. Sudah kami kutip ayat 97 dari Surah an-Nisâ' dan ayat 100 dari Surah al-Mukminun.

(ii) Menurut beberapa ayat lainnya, para malaikat berbicara dengan orang takwa, dan mengatakan kepada mereka bahwa sejak saat itu mereka menikmati karunia-karuni Allah SWT. Para malaikat tidak membuat mereka menunggu Hari Kebangkitan. Dua ayat berikut ini mengandung poin ini:

Mereka diterima oleh para malaikat rahmat dengan ucapan: "Salamun 'alaikum! Masuklah, surga sebagai balasan untuk amal baikmu." (QS. an-Nahl: 32)

Dikatakan kepadanya (setelah kematiannya): "Masuklah surga." Katanya: "Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku, dan menjadikan aku termasuk orang yang dimuliakan." (QS. Yasin: 26-27)

Dalam ayat-ayat sebelum ayat ini dikutip percakapan orang beriman ini dengan kaumnya. Dia mengajak kaumnya untuk mengikuti para nabi yang menyeru mereka kepada tauhid di Antiochia (Antakiyah). Dia mempermaklumkan imannya, dan minta kaumnya untuk mendengarkan dan mengikuti langkahnya. Namun kaumnya tidak mau mendengarkannya sampai dia meninggal (pergi ke alam lain). Ketika dia tahu bahwa dirinya mendapat ampun dari Allah SWT dan dimuliakan-Nya, dia berharap kaumnya yang masih di dunia tahu betapa bahagia diri­nya di alam lain. Jelaslah, semua ini terjadi sebelum kebangkitan, karena setelah kebangkitan tak ada apa-apa lagi di muka bumi.

Dapat dicatat bahwa bagi orang saleh, setelah dia mati, ada beberapa surga, bukan hanya satu surga. Di akhirat surga itu beragam sesuai tingkat kedekatan kita dengan Allah SWT. Selain surga-surga ini, ada beberapa surga lagi, seperti diriwayatkan oleh orang-orang pilihan keturunan Nabi saw, yang berkaitan dengan alam barzakh, bukan dengan Hari Pengadilan. Karena itu surga yang disebutkan dalam dua ayat di atas tentunya bukan surga yang berkaitan dengan Hari Pengadilan.

(iii) Kelompok ayat ketiga tidak memberitakan percakapan antara para malaikat dan manusia. Ayat-ayat ini hanya menggambarkan kehidupan bahagia orang saleh dan kehidupan sengsara orang jahat selama periode antara kematian dan Kebangkitan. Dua ayat berikut ini termasuk dalam kelompok ini:

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakangyang belum menyusul mereka. (QS. Ali 'Imran: 169-170)

Dan Fir'aun beserta kaumnya dikepung azab yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. Dikatakan kepada malaikat: "Masukkanlah Fir'aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras." (QS. al-Mukmin: 45-46)

Ayat ini menyebutkan dua jenis hukuman terhadap pengikut Fir'aun. Jenis pertama adalah hukuman pra-kebangkitan yang digambarkan sebagai azab yang amat buruk. Kepada para pengikut Fir'aun dinampakkan neraga dua kali setiap hari. Hukuman lainnya adalah hukuman pasca-Kebangkitan yang digambarkan sebagai azab yang sangat keras. Pada Hari Pengadilan orang-orang ini akan diperintahkan untuk dilemparkan ke dalam neraka. Hanya mengenai hukuman pertama, disebutkan waktu pagi dan petang.

Menafsirkan ayat ini Imam Ali as mengatakan bahwa hukuman pertama diberikan di barzakh, di barzakh berlaku sistem yang sama dengan di dunia seperti ada pagi, petang, bulan dan tahun. Hukuman kedua berkaitan dengan alam pasca-kebangkitan, di alam ini tak ada pagi, tak ada petang, tak ada minggu, tak ada bulan dan tak ada tahun.

Dalam riwayat-riwayat yang sampai ke kita dari Nabi saw, Imam Ali as dan para imam lainnya mengenai barzakh, banyak digaris-bawahi soal kehidupan orang beriman dan orang keji selama mereka berada di banakh.

Selama Perang Badar sejumlah pemimpin terkemuka Quraisy terbunuh. Ketika pertempuran usai, Nabi saw memerintahkan agar tubuh-tubuh mereka dimasukkan ke dalam sumur dekat Badar. Kemudian Nabi saw sendiri menuju ke sumur itu, lalu melongok ke dalam sumur itu untuk berkata kepada mayat-mayat di sana, "Kami mendapati bahwa janji Allah kepada kami telah terbukti. Apakah kalian juga mendapatkan apa yang sudah dijanjikan Allah kepada kalian?" Sebagian sahabat Nabi saw berkata, "Wahai Nabi Allah, apakah Anda bicara dengan mereka yang terbunuh dan sudah mati? Apakah mereka mendengar apa yang Anda katakan?" Nabi saw menjawab, "Sekarang ini mereka lebih mendengar dari-pada kalian." Dari riwayat ini dan riwayat lain serupa dapat kita lihat bahwa meskipun dengan terjadinya kematian maka tubuh dan jiwa jadi terpisah, namun jiwa tidak sepenuhnya putus hubungan dengan tubuh yang sudah bertahun-tahun bersatu dengannya.

Pada 10 Muharam Imam Husain as salat subuh berjamaah. Kemudian Imam Husain as berpaling ke sahabat-sahabatnya, dan menyampaikan pidato pendek. Imam Husain as mengatakan:

"Tenang dan sabarlah sebentar. Kematian tak lain adalah jembatan, lewat jembatan ini kalian meninggalkan tepi kepedihan menuju tepi kebahagiaan, kemuliaan dan surga yang amat luas."

Ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa orang hidup itu sebenarnya tengah terlelap. Begitu mereka mati, sesungguhnya mereka terbangun. Itu artinya bahwa tahap kehidupan setelah mati lebih tinggi dibanding tahap kehidupan sebelum mati. Selama ter­lelap, kesadaran manusia jadi lemah. Tidur merupakan keadaan antara hidup dan mati. Ketika manusia bangun tidur, hidupnya lebih sempurna. Kehidupan di barzakh pada tingkat tertentu juga lebih sempurna dibanding kehidupan di dunia. Ada dua poin yang patut disebutkan di sini:

(i) Menurut riwayat-riwayat dari para imam, di barzakh manusia ditanya tentang imannya saja. Pertanyaan lainnya ditanyakan pada Hari Kebangkitan.

(ii) Amal saleh yang dilakukan keluarganya dengan niat supaya pahalanya diberikan kepada si almarhum, membuat si almarhum jadi bahagia dan membawa keuntungan baginya. Jika sedekah dan amal saleh, entah bentuknya wakaf atau lainnya, dilakukan dengan niat agar pahalanya diberikan kepada si almarhum ayah, ibu, sahabat, guru atau lainnya, maka alam saleh ini dapat dianggap sebagai pemberian kepada si almarhum bersangkutan. Amal saleh tersebut membuat si almarhum jadi bahagia. Begitu pula dengan doa memohonkan ampunan Allah SWT, berhaji, tawaf dan berziarah ke tempat suci lainnya, yang dilakukan atas nama si almarhum. Anak, yang ketika kedua orang tuanya masih hidup berbuat tidak menyenangkan kedua orang tuanya, dapat berbuat sesuatu yang menyenangkan mereka setelah mereka jadi almarhum. Yang sebaliknya juga bisa terjadi.

Kebangkitan

Tahap kedua dari kehidupan abadi adalah kebangkitan yang, tak seperti barzakh, bukanlah urusan individual melainkan melibatkan seluruh manusia dan alam semesta. Dengan kebangkitan, alam semesta memasuki tahap baru dan fase baru kehidupan. Seluruh sistem mengalami perubahan.

Kalau Al-Qur'an berkata tentang peristiwa luar biasa ini, dikatakannya bahwa pada waktu Kebangkitan bintang-gemintang akan pudar dan hilang, matahari akan berhenti bersinar, lautan akan jadi kering, segalanya akan hancur, gunung akan hancur, dan semuanya akan menjerit, berteriak dan akan terjadi ledakan dahsyat di seluruh dunia yang diikuti perubahan-perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Yang dapat diketahui dari Al-Qur'an adalah bahwa alam semesta akan hancur, dan segalanya akan musnah. Kemudian akan lahir sebuah dunia baru yang pada dasarnya beda dengan dunia yang ada ini. Hukum dan sistem dunia baru itu mutlak beda, dan dunia baru itu akan terus eksis untuk selamanya.

Dalam Al-Qur'an, kebangkitan disebutkan dengan berbagai nama, masing-masing nama menunjukkan karakteristik tertentunya. Karena Kebangkitan merupakan masa ketika seluruh umat manusia dikumpulkan, maka disebut Hari Berkumpul dan Hari Pertemuan. Karena pada hari itu semua rahasia akan disingkapkan dan semua realitas akan dibeberkan, maka disebut hari penyingkapan dan hari ketika pikiran-pikiran rahasia akan diperlihatkan. Karena merupa­kan masa yang akan berlangsung selamanya, maka disebut hari keabadian. Karena merupakan masa ketika manusia kecewa dan menyesal, maka disebut hari kepedihan dan hari kekecewaan. Dan karena kebangkitan merupakan peristiwa dan berita paling besar, maka disebut "Kabar Besar".

Hubungan Kehidupan Dunia dan Akhirat

Kitab-kitab wahyu mengajak kita memperhatikan satu poin yang sangat rhendasar. Poin itu adalah hubungan antara kehidupan dunia dan akhirat. Kehidupan akhirat tak dapat dipisahkan dari kehidupan dunia. Benih kehidupan setelah kematian ditebarkan di dunia oleh manusia sendiri. Manusia menentukan di kehidupan ini apa yang akan terjadi pada dirinya di kehidupan akhirat. Iman scjati, keyakinan yang benar, konsepsi realistis mengenai dunia, kebiasaan baik, tidak iri had dan tidak dengki, tidak menipu, tidak membenci dan tidak curang, dan juga perbuatan baik yang mem-bantu pengembangan individu dan masyarakat yang dilakukan dengan ikhlas, merupakan hal-hal yang menjamin kehidupan abadi yang bahagia. Sebaliknya, kekufuran, penindasan, kemunafikan, praktik riba, berdusta, memfitnah, mengumpat, mencari-cari kesalahan, menciptakan perpecahan, tidak beribadah kepada Sang Pencipta dan kualitas serta kebiasaan serupa lainnya merupakan hal-hal yang membuat pelakunya hidup sengsara di akhirat. Ada sebuah sabda Nabi saw yang menarik. Nabi saw bersabda:

"Dunia ini adalah lahan akhirat. Kalau kamu menanam di dunia ini, kamu akan menuainya di akhirat."

Karena mustahil menanam rumput lalu yang dipanen padi, menanam duri lalu yang dipetik bunga, maka begitu pula mustahil orang yang buruk perilakunya di dunia akan bahagia di akhirat.

Perwujudan dan Keabadian Perbuatan Manusia

Dari Al-Qur'an dan sabda-sabda para imam dapat dipahami bahwa bukan saja manusia akan terus hidup setelah kematiannya, namun perbuatan manusia juga terlestarikan sedemikian sehingga tidak hilang. Dalam kehidupan pasca-kebangkitan, manusia akan melihat semua perbuatannya di masa lalu. Perbuatan baik wujud atau bentuknya sangat indah, menarik dan menyenangkan. Per­buatan baik menjadi sumber kebahagiaan. Wujud perbuatan dosa sangat mengerikan, menjijikkan dan sangat buruk. Perbuatan dosa menjadi sumber kepedihan, penderitaan dan ketersiksaan. Di sini kami sebutkan saja tiga ayat dan dua sabda Nabi saw dalam hubungan ini.

(i) Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebaikan dihadapkan, begitu (pula) kejahatan yang telah dikerjakannya. la ingin kalau sekiranya antara ia dan hari itu ada masa yang jauh. (QS. Ali 'Imran: 30)

Ayat ini dengan jelas mengatakan bahwa manusia akan mendapati di hadapannya perbuatan baik dan buruknya. Perbuatan baik akan berupa bentuk yang menarik dan menyenangkan, sedangkan perbuatan buruk akan berupa bentuk yang begitu menjijikkan lagi mengerikan, sehingga manusia ingin menjauhkannya dari pandangannya atau menjauh darinya. Namun manusia tak akan mampu berbuat demikian, karena di alam itu perbuatan manusia hampir merupakan bagian dari eksistensinya dan tak dapat dipisahkan dari dirinya.

(ii) Mereka akan mendapati di hadapan mereka apa pun yang mereka perbuat di dunia ini. (QS. al-Kahfi: 49)

Ayat ini dengan jelas mengatakan apa yang dikatakan ayat sebelumnya.

(iii) Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepadanya (balasan) pekerjaannya. Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat atom pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat atom pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula. (QS. az-Zilzâl: 6-8)

Manusia abadi. Begitu pula perbuatan dan pekerjaannya. Di akhirat dia akan hidup bersama perbuatan yang menemaninya dalam kehidupannya di dunia. Perbuatan manusia merupakan aset baik atau aset buruknya. Kehidupan abadi manusia di akhirat ada yang bahagia dan ada yang menderita, tergantung pada perbuatan manusia itu sendiri.

Hadis

Beberapa Muslim yang datang dari tempat yang jauh diterima oleh Rasulullah saw. Dalam perbincangan mereka dengan Rasulullah saw mereka minta kepada beliau saw untuk memberikan beberapa pedoman yang bermanfaat. Antara lain Nabi saw menasihati mereka untuk segera memilih teman yang baik untuk akhirat, di mana teman hidup setiap orang nantinya adalah perwujudan perbuatannya sendiri. Orang yang percaya kehidupan abadi akhirat selalu sangat hati-hati dalam berpikir dan berbuat, karena dia tahu bahwa perbuatan tidak boleh dianggap sebagai urusan sementara. Perbuatan merupakan paket yang dikirimnya ke akhirat. Dia akan hidup dengan paket itu.

Kesamaan dan Perbedaan Kehidupan Dunia dan Akhirat

Kesamaan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat adalah keduanya nyata dan eksis. Dalam kedua kehidupan ini manusia sadar akan dirinya dan apa pun yang berkaitan dengan dirinya. Dalam dua kehidupan ini manusia merasa senang dan sedih, bahagia dan sengsara. Dalam dua kehidupan ini perbuatan manusia diatur oleh nalurinya, baik naluri hewaniah maupun naluri manusiawi. Dalam dua kehidupan ini manusia hidup dengan tubuhnya. Namun ada juga beberapa perbedaan yang mendasar.

Di dunia ini ada sistem reproduksi dan sistem anak-anak, remaja, dewasa dan usia lanjut yang diikuti kematian. Sistem seperti ini tak ada di akhirat. Di dunia ini bekerja, menanam, dan mempersiapkan lahan adalah perlu. Di akhirat akan dipanen apa yang ditanam di dunia. Dunia merupakan tempat bekerja, sedangkan akhirat merupakan tempat memperoleh hasil. Di dunia manusia dapat mengubah nasibnya dengan mengubah kebiasaannya. Di akhirat kemungkinan seperti itu tak ada. Di dunia ada hidup ada mati. Selain itu, yang mati berasal dari yang hidup, dan yang hidup berasal dari yang mati. Materi mati, dalam keadaan tertentu, berubah menjadi organisme hidup, dan organisme hidup berubah menjadi materi mati. Namun di akhirat, yang ada adalah murni kehidupan. Materi di alam itu juga hidup. Bumi dan langit di alam itu hidup. Taman dan buahnya hidup. Api dan siksa di alam itu juga hidup dan sadar. Di sini segalanya diatur oleh kondisi ruang dan waktu serta sebab-sebabnya. Alam itu adalah alam gerak dan berkembang. Di alam itu yang ada hanya "kehendak dan ke-daulatan Allah SWT." Di sana penglihatan dan kesadaran manusia lebih kuat, dan daya lihat dan daya dengar manusia lebih tajam dibanding di dunia fana. Dengan kata lain, di sana tidak ada tabir, dan manusia akan lebih melihat kebenaran. Al-Qur'an mengatakan:

Maka Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam. (QS. Qaf: 22)

Di dunia manusia selalu merasa capek, jenuh, dan sedih, khususnya merasa monoton. Kelihatannya seakan-akan dia kehilangan sesuatu dan tengah mencari sesuatu itu. Dia berusaha mendapatkan sesuatu, lalu merasa senang sebentar. Namun segera dia sadar bahwa itu bukan yang diinginkannya. Dia mulai lagi merasa sedih dan mengejar sesuatu yang lain. Manusia selalu ingin sesuatu yang belum dimilikinya dan belum membuatnya jenuh. Namun di akhirat, di mana manusia akan mendapatkan apa yang diinginkan lubuk hatinya dan apa yang sebenarnya belum dimilikinya, yaitu kehidupan abadi dalam kedekatan dengan Allah SWT, tak ada capek, tak ada jenuh, tak ada sedih. Al-Qur'an mengisyaratkan ke arah hal ini ketika mengatakan:

Mereka tidak inginpindah darinya. (QS. al-Kahfi: 108)

Beda dengan di dunia, di akhirat manusia tidak menginginkan perubahan. Meskipun tinggal di surga untuk selamanya, namun penghuninya tidak akan membosankan. Karena segala yang mereka inginkan tersedia bagi mereka, mereka tidak akan terganggu atau jadi susah oleh keinginan yang tak terpuaskan.

Argumen Al-Qur'an

Meskipun iman kita kepada Kebangkitan merupakan konsekuensi alamiah dari iman kita kepada Al-Qur'an dan ajaran para nabi dan karena itu tak perlu mengemukakan argumen atau bukti ilmiah mengenai hal ini, namun kalau melihat fakta bahwa Al-Qur'an sendiri, agar poin ini diterima pikiran kita, mengemukakan beberapa argumen, maka kami paparkan argumen-argumen itu di sini meskipun secara ringkas.

Argumen Al-Qur'an berupa serangkaian jawaban untuk orang-orangyang mengingkari Kebangkitan. Sebagian jawaban ini untuk menunjukkan bahwa tak ada salah dengan konsepsi kebangkitan. Jawaban tersebut diberikan untuk mereka yang mengklaim bahwa kebangkitan mustahil terjadi. Sebagian ayat lain bahkan mengata­kan bahwa di dunia ini pun ada fenomena tertentu yang me-nyerupai kebangkitan, dan karena itu tak ada alasan memandang mustahil kebangkitan. Beberapa ayat bahkan mengatakan bahwa kebangkitan merupakan hasil alamiah dan tak terelakkan dari skema logis penciptaan alam semesta. Jadi ayat-ayat ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok:
Pertama; Al-Qur'an mengatakan:

Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami, dan dia lupa akan kejadiannya, ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?" Katakanlah: "la akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk." (QS. Yasin: 78-79)

Ayat ini menjawab orang kafir yang da tang kepada Nabi saw dengan membawa tulang yang sudah busuk dan rusak. Dia menghancurleburkannya jadi bubuk. Lalu dia menebarkan bubuk itu ke udara. Setelah itu dia bertanya, "Siapa yang akan menghidupkan kembali partikel-partikel yang berserakan ini." Al-Qur'an menjawab, "Dia yang menciptakan tulang belulang kali pertama."

Terkadang manusia menilai segala sesuatu dengan ukuran kapasitasnya sendiri. Berdasarkan ini manusia membagi segala sesuatu itu menjadi yang mungkin dan yang mustahil. Kalau dia merasa sesuatu itu di luar kemampuannya, lalu dia menyatakan bahwa sesuatu itu mustahil. Al-Qur'an mengatakan bahwa mungkin manusia merasa mustahil melakukan sesuatu, namun itu tidak mustahil bagi Yang Mahakuasa yang telah menciptakan kehidupan pada mated mati untuk kali pertama. Yang Mahakuasa dapat juga menghidupkan yang mati.
Kedua; Ada ayat-ayat yang menyebutkan peristiwa tertentu di masa lalu ketika jasad yang mati dihidupkan kembali, seperti ayat-ayat yang menyebutkan kisah Nabi Ibrahim as yang berkata kepada Allah:

Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau meng­hidupkan orang mati, Allah berfirman: "Apakah kamu belum percaya?" Ibrahim menjawab: "Aku telah percaya, namun agar bertambah tetap hatiku. " Allah berfirman: "(Kalau demikian) arnbillah empat ekor burung, lalu jinakkanlah burung-burung itu, kemudian letakkanlah tiap-tiap ekornya di atas tiap-tiap bukit. Sesudah itu panggillah, niscaya ia akan datang kepadamu dengan segera." (QS. al-Baqarah: 260)

Ada ayat-ayat lain yang tidak didasarkan pada peristiwa adialami. Ayat-ayat itu mengutip sistem yang ada yang dikenal setiap orang. Rumput yang layu dan mati selama musim gugur dan dingin, hidup lagi selama musim semi. Sebagaimana dilihat setiap orang, bumi setelah menghijau dan penuh kehidupan kehilangan vitalitasnya dan mati, dan ketika kondisinya berubah dengan berubahnya musim, bumi hidup lagi, dan tetumbuhan, pepohonan dan rumput mulai tumbuh subur dan berbunga. Akan datang suatu masa ketika segenap sistem dunia akan layu dan kering kerontang. Matahari dan bintang-gemintang akan meledak. Alam semesta akan mati, namun bukan untuk selamanya. Segalanya akan hidup lagi, meski bentuknya lain dan dengan kondisi yang lain.

Sekarang kita, umat manusia, hidup di muka bumi. Kita tahu bahwa dalam 365 hari bumi melewati siklus mati dan hidup. Normalnya kita hidup sampai 50, 60 atau 70 tahun dan terkadang sampai 100 tahun atau bahkan lebih. Selama periode ini kita melihat siklus hidup dan mad ini lusinan kali. Itulah sebabnya kita tidak heran kalau bumi mati dan hidup lagi. Misal saja durasi kehidupan kita hanya beberapa bulan saja seperti yang terjadi pada serangga, dan misal saja kita tidak tahu bagaimana membaca dan tidak tahu revolusi tahunan bumi, tentu kita tidak akan percaya bahwa bumi yang mati hidup lagi, karena kita tidak pernah melihat fenomena ini. Tentu saja bagi nyamuk yang muncul di musim semi dan mati di musim gugur dan dingin, konsepsi ten tang taman yang hidup kembali tak pernah terbayangkan.

Dapatkah cacing yang hidup di pohon atau nyamuk yang hidup di taman, yang dunianya adalah pohon atau taman itu, membayangkan bahwa pohon atau taman itu merupakan bagian dari sebuah sistem yang lebih tinggi yang disebut rumah, bahwa perkebunan pada gilirannya adalah bagian dari sistem lain yang disebut distrik, bahwa distrik merupakan bagian dari sistem lain yang disebut provinsi, bahwa provinsi merupakan bagian dari sistem lain yang disebut negara, bahwa negara merupakan bagian dari sistem lain yang disebut sistem bumi, dan bahwa bumi merupakan bagian dari sistem tata surya kita?

Mana mungkin kita yakin bahwa sistem tata surya kita, bintang-gemintang dan galaksi-galaksi bukan bagian dari sebuah sistem yang lebih besar? Mungkin saja berjuta-juta tahun eksistensi alam semesta yang kita tahu hanya setara dengan hanya satu bagian atau satu hari dari sebuah musim. Mungkin saja musim kehidupan sekarang ini akan diikuti oleh musim lain yang suram dan sepi, dan setelah itu sekali lagi sistem ini termasuk sistem tata surya kita, bintang-gemintang dan galaksi-galaksi akan memperoleh prospek hidup yang lebih baik yang bentuknya lain.

Para nabi telah menyebutkan atas nama Allah SWT tentang kehancuran total dan kesunyian yang diikuti suatu hidup baru dan kebangkitan orang-orang yang sudah mati dengan sistem baru. Karena kita yakin bahwa mereka benar, maka kita percaya bahwa yang mereka sampaikan itu benar, termasuk apa yang mereka katakan tentang pembaruan hidup yang universal.

Al-Qur'an menyebut contoh sistem hidup-mati di muka bumi agar kita melihatnya sebagai contoh kecil sistem universal ke­hidupan dan tidak beranggapan bahwa kebangkitan mustahil dan bertentangan dengan sistem total penciptaan.

Al-Qur'an mengatakan bahwa kebangkitan merupakan pembaruan kehidupan, dan pembaruan kehidupan merupakan sesuatu yang contoh kecilnya kita lihat di muka bumi. Nabi saw bersabda, "Bila engkau melihat musim semi, maka berpikirlah bahwa kebangkitan itu ada." Dengan kata lain, musim semi merupakan contoh kebangkitan. Rumi berkata, "Musim semi setelah bergugurannya dedaunan dari pepohonan merupakan bukti tentang kebangkitan. Api, udara, mendung, air dan matahari menghalau banyak ilusi. Di musim semi banyak misteri tersibak. Bumi mengeluarkan apa yang telah diserapnya."

Banyak sekali ayat Al-Qur'an yang menyebutkan sistem hidup-mati yang ada sebagai bukti:

Dan Allah, Dialah yang mengirimkan angin. Lalu angin itu menggerakkan awan. Maka Kami halau awan itu he suatu negeri yang matt, lalu Kami hidupkan bumi setelah matinya dengan hujan itu. Demikianlah kebangkitan itu. (QS. Fathir: 9)

Dan kamu lihat bumi ini hering, kemudian apabila telah Kami turunkan air atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuhan yang indah. Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah Dialah yang benar dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati, dan sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan sesungguhnya harikiamat itupastilah datang, tak ada keraguan tentangnya, dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur. (QS. al-Hajj: 5-7)

Banyak ayat lain yang melihat kebangkitan sebagai bagian dari sistem hidup-mati yang berlaku di alam semesta. Kita melihat contoh kecil kebangkitan di muka bumi. Di sini hanya kami kutipkan dua ayat saja. Ayat-ayat ini beda dengan ayat-ayat kelompok pertama, karena ayat-ayat ini tidak hanya bersandar pada kemampuan Allah SWT. Ayat-ayat ini juga menyebutkan contoh yang menyerupai kebangkitan untuk menunjukkan bahwa di dunia fana ini Kuasa Allah SWT terejawantahkan dalam pola yang sama.

Ayat-ayat kelompok ketiga menggambarkan kebangkitan sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Kalau tak ada kebangkitan, berarti ada yang tidak beres pada Allah SWT. Poin ini dibahas dengan dua cara: (i) Berdasarkan Keadilan Allah SWT, Allah SWT menganugerahkan kepada setiap makhluk-Nya apa yang patut didapat makhluk-Nya, dan apa yang sesuai dengan makhluk itu; (ii) Berdasarkan Kearifan Allah SWT, Allah SWT menciptakan segala sesuatu dengan tujuan tertentu. Kearifan Allah SWT menuntut agar segala sesuatu dipandu ke kesempurnaan dan sasarannya.

Al-Qur'an mengatakan bahwa tentu saja tidak adil kalau tak ada kebangkitan, kehidupan abadi, kebahagiaan abadi dan balasan Allah SWT, dan Allah SWT mustahil tidak adil karena hal itu bertentangan dengan prinsip keadilan Allah SWT. Al-Qur'an juga mengatakan bahwa jika tak ada kehidupan abadi, maka alam semesta akan sia-sia, dan salah kalau mengatakan bahwa Allah SWT melakukan sesuatu dengan sia-sia.

Banyak sekali ayat yang menggambarkan kehidupan abadi dan kembali kepada Allah SWT sebagai pasti dan tak terelakkan, karena keadilan Allah SWT atau karena kearifan Allah SWT. Di sini kami kutipkan ayat-ayat yang berargumen dengan berdasarkan keadilan Allah SWT atau kearifan Allah SWT atau keduanya. Al-Qur'an, setelah menyatakan bahwa orang-orang yang menyimpang dari jalan kebenaran dan lalai akan Hari Perhitungan akan mendapat hukuman yang keras, mengatakan:

Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka. Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat? (QS. Shad: 27-28)

Kita melihat bahwa pada ayat pertama argumennya didasarkan pada kearifan dan kepekaan Allah SWT berkenaan dengan ciptaan-Nya. Dan dalam ayat kedua, argumennya didasarkan pada keadilan Allah SWT:

Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu. Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri alas apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan. (QS. al-Jâtsiyah: 21-22)

Dalam ayat pertama disebut-sebut prinsip keadilan, dan dalam ayat kedua disebut-sebut prinsip kearifan. Kemudian dalam ayat kedua juga disebut sekali lagi keadilan Allah SWT yang digambarkan sebagai maksud utama kebangkitan.
Penjelasan: Di sini perlu dijelaskan mengapa dua prinsip (keadilan dan kearifan Allah SWT) ini mengharuskan adanya kehidupan abadi, dan mengapa kalau kehidupan terbatas dunia diasumsikan tidak diikuti kehidupan abadi maka penciptaan manusia tak dapat dijustifikasi baik dari sudut keadilan Allah SWT maupun dari sudut kearifan Allah SWT.

Keadilan Allah SWT: Dalam arti lebih luasnya, keadilan berarti tanpa diskriminasi memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Diskriminatif dalam hal ini berarti bertentangan dengan keadilan, begitu pula memberikan kepada sebagian apa yang menjadi hak mereka dan tidak memberikan kepada sebagian lain apa yang menjadi hak mereka. Guru berarti tidak adil kalau dia memberikan nilai ujian yang tidak sesuai dengan apa yang semestinya didapat murid. Sedikit banyak keadilan seiring dengan persamaan, yang artinya adalah memperlakukan sama terhadap semuanya dan tidak mempercayai diskriminasi. Persamaan seperti itu melahirkan keadilan, yaitu memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Namun persamaan yang tidak memperhatikan apa yang menjadi hak, apa yang menjadi kewajiban, atau apa yang semestinya, berarti ketidakadilan. Dengan demikian, arti keadilan Allah SWT adalah nikmat Allah SWT yang diberikan kepada segala yang ada selaras dengan tingkat kemampuan dan kapasitas potensialnya untuk menerima nikmat itu. Jika sesuatu tidak memiliki kualitas tertentu, itu artinya bahwa dengan kondisi yang ada sesuatu itu tidak mempunyai kapasitas untuk memilikinya. Lagi, dapat kami katakan bahwa bertentangan dengan keadilan Allah SWT kalau nikmat yang sesuai dengan kapasitas potensial sesuatu tidak diberikan kepada sesuatu itu untuk selamanya. Keadilan menuntut agar nikmat, kalau sesuai dengan kemampuan segala sesuatu dan patut didapat segala sesuatu itu, harus diberikan kepada segala sesuatu itu tanpa diskriminasi.

Di antara apa yang ada, tingkat kapasitas dan potensialitas manusia khususnya tinggi. Manusia tidak termotivasi semata-mata oleh kecenderungan dan naluri hewaniahnya. Hewan hanya memiliki naluri yang berkaitan dengan kehidupan materialnya. Di pihak lain, manusia, seperti sudah dijelaskan terdahulu, juga memiliki naluri tertentu yang lebih tinggi yang tingkatannya akhirat bukan tingkatan dunia fana ini. Manusia memiliki alasan keagamaan, estetika, ilmiah dan moral. Dia melakukan banyak sekali hal karena alasan-alasan ini, dan terkadang bahkan mengorbankan kehidupan hewaniah dan materialnya demi tujuan-tujuan tinggi manusiawinya.

Manusialah yang membuat, dalam kata-kata Al-Qur'an, sistem perbuatannya berdasarkan iman dan amal saleh, dan bertujuan mencapai kehidupan abadi dan keridaan Allah SWT. Konsepsi kehidupan abadi di akhirat dan hasrat untuk mencapainya. Nalurinya mendorongnya ke arah itu. Semua ini menunjukkan bahwa manusia dapat menjadi abadi, dan bahwa jiwanya bukan material. Ini artinya bahwa di dunia fana ini manusia bagaikan embrio. Janin di dalam rahim ibu mendapat sistem dan kemampuan tertentu, seperti jalan pernapasan, sistem peredaran darah, sistem saraf, sistem reproduksi, sistem pendengaran dan sistem penglihatan. Semua sistem ini hanya cocok untuk kebutuhan dunia pasca-kelahiran, dan tidak cocok untuk kehidupan sembilan bulan di dalam rahim.

Di dunia fana ini manusia memang memperoleh manfaat dari sistem iman dan amal saleh. Namun arti penting manfaat ini sekunder. Sesungguhnya sistem ini sama dengan benih yang hanya dapat tumbuh dan berbuah di kehidupan abadi yang bahagia. Dengan kata lain, arti sejati dari sistem ini hanya berkaitan dengan kehidupan akhirat.

Bukan saja dalam sistem iman dan amal saleh manusia men­capai tingkat tinggi dan menebarkan benih-benih hubungan alami, namun juga dalam sistem sebaliknya yang oleh Al-Qur'an disebut sistem kekufuran dan kemaksiatan, perbuatan manusia keluar dari wilayah kalkulasi alamiah dan kebutuhan fisis, dan memperoleh aspek spiritual dan abadi, meskipun dengan jalan yang tidak lurus. Dengan demikian orang kafir dan orang jahat sedikit banyak juga dapat mencapai kehidupan abadi, namun celakanya kehidupan abadinya memberi mereka kepedihan dan kesengsaraan dan, dalam bahasa agama, memasukkannya ke neraka.

Kalau manusia tidak bergerak dalam orbit iman dan alam saleh, bukan saja dia hanya bergerak dalam orbit binatang, namun juga jatuh ke titik di bawah nol. Dalam bahasa Al-Qur'an, orang seperti itu lebih rendah derajatnya dan lebih salah dibanding binatang.

Kalau tak ada kehidupan abadi, maka orang yang berbuat dalam sistem iman dan alam saleh dan orang yang berbuat dalam sistem sebaliknya akan seperti pelajar yang sebagiannya menjalankan tugas dengan baik, dan yang sebagiannya lagi membuang-buang waktu dengan bergurau dan ngerumpi, namun guru memperlakukan mereka sama dan tidak memberikan nilai kepada siapa pun. Sikap guru seperti ini jelas jahat dan bertentangan dengan prinsip keadilan. Untuk menjelaskan poin ini dengan lebih sederhana maka dapat dikatakan bahwa Allah SWT telah mengajak manusia untuk beriman dan bertakwa. Sebagian manusia menerima ajakan ini dan memperbarui perilaku mereka, cara berpikir mereka dan sistem moral mereka. Sebagian lagi tidak menanggapinya dan melakukan perbuatan jahat dan kerusakan. Namun di dunia ini kita tidak melihat sistem seperti itu di mana segala perbuatan baik mendapat pahala dan semua pendosa diberi hukuman. Karena itu tentu harus ada alam lain di mana orang saleh dan orang keji dapat diberi balasan setimpal dengan perbuatannya. Kalau tidak, berarti tak ada keadilan Allah.
Kearifan Allah SWT: Perbuatan kita, yaitu perbuatan umat manusia, ada dua macam: (i) Perbuatan sia-sia. Perbuatan seperti ini sesungguhnya tak memberikan keuntungan kepada kita, dan tak dapat membantu kita menggali dan mengembangkan kebajikan yang terpendam dalam diri kita; (ii) Perbuatan yang arif dan rasional. Perbuatan ini memberikan hasil yang positif dan mem­bantu kita mencapai kebajikan yang tepat.

Perbuatan jenis pertama tak ada artinya, dan jenis perbuatan kedua arif, logis, moderat, objektif dan filosofis. Jadi perbuatan arif kita membawa kita ke kesempurnaan yang pas dengan kita. Sekarang bagaimana dengan tindakan arif Allah SWT? Apakah kalau Allah SWT bertindak arif maka Allah SWT akan sempurna dan kalau bertindak seenaknya Allah SWT tidak akan sempurna? Tidak, itu tidak berlaku untuk Allah SWT. Allah SWT tak mem-butuhkan apa-apa, Allah Mahasempurna. Apa pun yang dilakukan-Nya merupakan karunia, nikmat dan kebaikan-Nya. Dia tidak melakukan apa pun untuk memenuhi kebutuhan-Nya atau untuk mendapatkan sesuatu bagi diri-Nya. Tindakan arif-Nya membawa ciptaan-Nya mencapai kesempurnaan yang pas bagi ciptaan-Nya itu. Tindakan sia-sia dapat disifatkan kepada-Nya hanya dalam pengertian bahwa Dia menciptakan sesuatu dan tidak memandu sesuatu itu untuk mencapai kesempurnaan yang pas baginya. Jadi, konsepsi tentang kearifan Allah beda dengan konsepsi tentang kearifan manusia.

Manusia baru disebut arif kalau dia melangkah ke arah kesempurnaan manusiawi. Kearifan Allah SWT berupa memandu ciptaan-Nya untuk mencapai kesempurnaan yang pas baginya atau, dengan kata lain, menciptakan sesuatu atas dasar untuk mendorong sesuatu itu mencapai tujuan yang pas bagi sesuatu itu.

Karena arti kearifan manusia adalah dia melakukan sesuatu dengan tujuan mencapai kondisi dirinya yang lebih baik, maka antara apa yang dilakukannya dan hasil yang diinginkannya tidak perlu ada hubungan riil. Dengan kata lain, hasil yang diinginkan tidak harus merupakan konsekuensi alamiah dari perbuatannya atau tidak mesti dipandang sebagai jasa atau kebaikan perbuatan­nya itu. Misal, orang membuat sedemikian banyak benda bermanfaat dari tanah liat, kayu, batu, logam, kulit, bulu domba, kapas dan sebagainya dan mendapatkan hasil yang praktis dan fungsional. Misal, dia membuat kursi, rumah, mobil atau pakaian. Namun kursi tak mungkin dianggap sebagai jasa kayu, rumah sebagai jasa batu, bata dan adukan semen, motor sebagai jasa sejumlah logam yang beragam dalam pembuatannya, karena benda-benda ini sendiri tidak bergerak menuju bentuk final mereka. Tentu saja, hasil yang didapat manusia dari produk-produk ini seperti duduk di kursi, tinggal di rumah, pergi dengan mobil atau mengenakan pakaian, dapat dianggap sebagai jasa manusia atau setidak-tidaknya sesuatu yang bermanfaat bagi manusia.

Mengenai Allah SWT, di pihak lain, ada hubungan natural dan riil antara tindakan-Nya dan hasil yang diwujudkan tindakan tersebut. Dengan kata lain, hasil dari setiap tindakan-Nya sungguh merupakan jasa dari tindakan itu. Seperti kita tahu, setiap benih dan setiap biji-bijian di dunia ini bergerak menuju tujuannya dan bentuk terbaiknya.

Kini posisinya adalah bahwa dunia ini dan segala isinya tidak mandek dan tunduk kepada perubahan. Bentuk final dari apa saja yang dapat kita pertimbangkan bukan final, dan pada gilirannya akan mengalami perubahan. Dengan kata lain, segala sesuatu sifatnya sementara dan akan ada akhirnya. Semua tahap merupakan tema yang tidak berhenti di tengah perjalanan, dan tahap-tahap itu bukanlah tujuan akhir. Tapi, sebagian orang berpendapat bahwa alam semesta tidak ada tujuan dan rencananya yang pasti. Dunia merupakan kafilah yang selalu bergerak dari satu tahap ke tahap lain. Jelas, perjalanan dapat berarti kalau ada tujuannya. Perjalanan tidak akan ada artinya kalau semua tujuan tak lebih daripada tempat berhenti dan kalau tak ada kemungkinan untuk pada akhirnya sampai di tempat tertentu. Karena setiap eksistensi di dunia ini diikuti non-eksistensinya, dan setiap pembangunan diikuti kehancurannya, maka segenap sistem yang mengatur dunia ini tak lain hanyalah kekacauan dan mengulang apa yang sudah diulang. Dengan demikian, segenap sistem kehidupan dan eksistensi didasarkan pada kesembronoan. Al-Qur'an menjawab, argumen yang kedengarannya bagus ini tentu benar kalau yang ada hanya dunia ini saja, semua yang lahir pada akhirnya mati dan nasib semua yang tumbuh dan berbunga pada akhirnya layu dan musnah. Namun pandangan seperti itu dangkal dan didasarkan pada anggapan bahwa kehidupan itu hanya di dunia ini saja, padahal fakta menunjukkan bahwa kehidupan tidak hanya di dunia ini saja. Dunia fana ini adalah Hari Pertama, dan akan diikuti Hari Terakhir. Imam Ali bin Abi Thalib as mengatakan:

"Dunia ini merupakan tempat lewat, sedangkan akhirat me­rupakan tempat tinggal."

Akhiratlah yang membuat dunia fana ini berarti. Akhiratlah yang merupakan tujuan dan yang membuat hiruk pikuk aktivitas di dunia ini jadi bermakna. Seandainya tak ada akhirat yang abadi itu, tentu tak ada tujuan akhir, sehingga dunia fana ini tentu akan menjadi semacam labirin, sedangkan alam semesta, dalam bahasa Al-Qur'an, tentu akan sia-sia dan hanya main-main saja. Namun para nabi datang untuk menghilangkan keraguan dalam hal ini, dan untuk memperkenalkan kita dengan kebenaran, yang kalau kita tidak tahu kebenaran ini maka alam semesta ini akan tak ada artinya di mata kita. Kalau kita menganut konsepsi kesembronoan ini, maka eksistensi kita sendiri jadi tak ada artinya dan tak ada tujuannya. Efek dari iman kepada akhirat adalah kita jadi berpikiran bahwa eksistensi kita ada tujuannya dan memberikan arti bagi kita, pikiran dan kehidupan kita.

29
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA
BAB 39 - Kehidupan Akhirat Perinsip iman kepada kehidupan abadi akhirat merupakan salah satu poin penting dalam konsepsi Islam tentang kosmos (alam semesta) dan merupakan ajaran dasar Islam. Iman kepada akhirat merupakan syarat mutlak untuk menjadi Muslim. Tidak beriman kepada akhirat berarti bukan Muslim. Setelah syahadat (pengakuan akan monoteisme), iman kepada akhirat merupakan ajaran paling penting yang disampaikan semua nabi tanpa kecuali. Para teolog akademis Islam menyebutnya ajaran Kebangkitan. Dalam Al-Qur'an terdapat ratusan ayat mengenai Hari Pengadilan, kehidupan setelah mad, bangkit dari kematian, buku amal, surga, neraka, keabadian akhirat dan soal-soal lain yang berkaitan dengan alam setelah kematian. Dalam dua belas ayat, iman kepada Hari Terakhir secara formal disebut setelah iman kepada Allah SWT. Al-Qur'an menggunakan beragam ungkapan untuk menunjukkan Hari Kebangkitan. Satu persatu ungkapan ini penuh dengan makna irfan. Hari Terakhir merupakan salah satunya. Dengan menggunakan ungkapan ini Al-Qur'an ingin kita memperhatikan dua poin: Bahwa kehidupan manusia, dan sungguh sepanjang waktu eksistensi dunia, dibagi menjadi dua periode. Masing-masing periode dapat disebut hari. Hari Pertama (periode durasi dunia ini) akan berakhir, namun Hari Terakhir (periode durasi akhirat) tak ada akhirnya. Al-Qur'an menyebut kehidupan dunia ini hari pertama dan menyebut kehidupan akhirat hari terakhir. (lihat QS. al-Lail: 3 dan adh-Dhuhâ: 4) Bahwa sekarang pun ketika kita masih berada dalam periode pertama dan belum mencapai periode kedua dan hari kedua, sukses dan keselamatan kita selama hari ini maupun hari itu tergantung pada iman kita. Dengan iman, kita lalu memperhatikan amal baik dan reaksinya. Kita harus mengerti bahwa seperti kita, pikiran kita, perbuatan kita dan kebiasaan kita juga, dari yang paling kecil sampai yang paling besar, ada hari pertama dan hari terakhirnya. Kata dan perbuatan kita selama hari pertama tidak sirna, melainkan terus eksis dan akan dimintai pertanggung jawaban pada Hari Pengadilan. Karena itu kita harus berusaha keras agar diri kita, perbuatan kita dan niat kita lurus, agar kita tidak berpikir serta berbuat buruk. Jadi kita harus selalu melangkah ke depan dengan taat hukum dan perilaku yang baik, karena pada iman kita bergantung kebahagiaan kita di hari itu, Perilaku manusia di dunia inilah yang membuat hidupnya di akhirat bahagia atau sengsara. Itulah sebabnya Al-Qur'an memandang iman kepada akhirat atau Hari Terakhir sebagai syarat mutlak kebahagiaan manusia. Sumber Iman kepada Kehidupan Akhirat Sumber pokok iman kepada kehidupan abadi akhirat adalah wahyu Allah yang disampaikan kepada umat manusia melalui para nabi. Setelah mengakui Allah, beriman kepada kebenaran para nabi dan mengetahui dengan pasti bahwa apa yang disampaikan para nabi memang berasal dari Allah SWT dan karena itu benar, lalu manusia beriman kepada Hari Kebangkitan dan kehidupan abadi akhirat. Prinsip keyakinan religius ini digambarkan oleh para nabi sebagai ajaran terpenting setelah tauhid. Dengan begitu, derajat iman seseorang kepada kehidupan akhirat tergantung, di satu pihak, pada derajat imannya kepada Kenabian dan kebenaran para nabi, dan di pihak lain, pada derajat kebenaran dan rasionalitas konsepsinya mengenai akhirat, dan keterbebasannya dari pikiran-pikiran kotor dan bodoh. Selain wahyu Allah SWT yang disampaikan oleh para nabi, ada beberapa metode lain untuk beriman kepada akhirat. Melalui upaya intelektual dan ilmiah, manusia dapat melihat, setidak-tidaknya, beberapa indikasi kuat yang mendukung apa yang dikatakan para nabi tentang akhirat. Metode-metode ini adalah: (i) dengan jalan mengenal Allah SWT; (ii) dengan jalan mengenal dunia; (iii) dengan jalan mengenal roh dan mentalitas manusia. Untuk saat ini kami tak akan membahas metode-metode ini yang memerlukan deretan panjang argumen filosofis dan ilmiah. Kami hanya akan membahas metode Kenabian dan wahyu saja. Karena Al-Qur'an sendiri, dalam beberapa ayatnya, dengan jelas menyebutkan metode-metode ini, dan dalam beberapa ayat lainnya meng-isyaratkan ke arah metode-metode ini, maka kami akan membahasnya pada bagian selanjutnya di bawah judul Argumen Al-Qur'an tentang Akhirat. Agar soal kehidupan abadi akhirat bisa jelas dari sudut pandang Islam, maka perlu dilihat soal-soal berikut: (i) Karakter hakiki kematian. (ii) Kehidupan setelah mati. (iii) Barzakh. (iv) Kebangkitan. (v) Hubungan kehidupan dunia dengan kehidupan setelah kematian. (vi) Eksistensi abadi amal perbuatan manusia dalam bentuk fisik. (vii) Karakter umum dan khas kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. (viii) Argumen Al-Qur'an mengenai akhirat. Karakter Hakiki Kematian Apa kematian itu? Apakah kematian adalah kehancuran, kemusnahan, dan non-eksistensi, ataukah suatu perubahan, perkembangan dan peralihan dari satu dunia ke dunia lain? Inilah pertanyaan yang selalu menarik perhatian manusia. Setiap orang ingin menemukan sendiri jawabannya atau menerima jawaban yang sudah ada. Karena kita ini Muslim, maka kita ingin memberikan jawaban untuk pertanyaan ini dari Al-Qur'an, dan kita percaya pada apa yang dikatakan Al-Qur'an dalam hal ini. Al-Qur'an memiliki penjelasannya sendiri mengenai karakter hakiki kematian. Al-Qur'an menggunakan kata "tawaffâ dalam kaitan ini. Arti kata ini adalah menerima penuh. Empat belas ayat Al-Qur'an menggunakan ungkapan ini. Semua ayat ini menunjukkan bahwa, dari sudut pandang Al-Qur'an, arti kematian adalah masuk ke dalam penjagaan. Dengan kata lain, ketika mati manusia memasuki penjagaan otoritas-otoritas ilahiah yang menerimanya tanpa batas. Dari ungkapan ini dapat disimpulkan beberapa poin: (i) Arti kematian bukanlah kesirnaan dan kemusnahan. Kematian hanyalah peralihan dari satu dunia ke dunia lain, dan dari satu tahap kehidupan ke tahap kehidupan lain. Setelah kematian, kehidupan manusia berlanjut, meski bentuknya berbeda. (ii) Yang membentuk manusia dan dirinya bukanlah tubuhnya serta sistem fisis dan penunjangnya, yang di dunia ini berangsur-angsur mengalami kerusakan dan kehancuran. Yang sesungguhnya membentuk personalitas dan ego manusia adalah apa yang oleh Al-Qur'an digambarkan sebagai "diri" dan terkadang "jiwa". (iii)Jiwa atau diri manusia merupakan konstituen sejati personalitasnya. Manusia tidak mati, karena jiwa atau rohnya tidak mati. Rohnya eksis di sebuah cakrawala yang letaknya di atas cakrawala materi dan hal-hal material. Meskipun ini merupa­kan hasil dari evolusi esensi fenomena alam yang mengalami transformasi menjadi jiwa atau roh sebagai akibat dari evolusinya, namun cakrawalanya mengalami perubahan dan menjadi sesuatu dari alam lain yang di luar alam semesta. Ketika mati, roh beralih ke kelas lain, yaitu kelas roh. Dengan kata lain, realitas di luar materi ini kini berada dalam penjagaan malaikat. Al-Qur'an mengemukakan poin bahwa manusia adalah sebuah realitas yang kelasnya di luar materi. Mengenai Adam as, manusia pertama, Al-Qur'an mengatakan, "Dan telah meniupkan ke dalamnya roh-Ku." (QS. al-Hijr: 29) Soal roh dan kelangsungan hidupnya setelah mati merupakan salah satu ajaran pokok Islam. Separo dari ajaran-ajaran Islam yang tak dapat diingkari itu didasarkan pada doktrin bahwa roh tak bergantung pada tubuh, dan roh masih terus eksis meski manusia telah mati. Semua nilai manusiawi sejati didasarkan pada kebenaran ini. Tanpa kebenaran ini, nilai-nilai tersebut tak lebih dari imajinasi belaka. Semua ayat yang berbicara tentang kehidupan setelah mati, beberapa contohnya akan kami kutip, membuktikan bahwa roh adalah sebuah realitas yang tak bergantung pada tubuh dan bahwa roh akan terus ada sekalipun tubuh sudah hancur dan sirna. Sebagian orang mengira bahwa dari sudut pandang Al-Qur'an tak ada roh atau jiwa. Akhir eksistensi manusia adalah ketika manusia mati. Setelah mati, manusia tak memiliki kesadaran dan juga tak merasa senang atau sakit. Pada saat Kebangkitan, manusia akan mendapat hidup baru, dan pada saat ini sajalah dia akan menemukan kembali dirinya dan dunia. Namun teori ini bertentangan dengan ayat-ayat yang menyebutkan kehidupan setelah mad. Para pendukung teori ini mengira bahwa orang yang mempercayai eksistensi roh atau jiwa mendasarkan klaimnya pada ayat, "Katdkanlah, roh adalah atas perintah Tuhanku." Mereka mengatakan bahwa meskipun kata "roh" disebut berulang-ulang dalam Al-Qur'an, namun makna roh adalah sesuatu yang berbeda dengan apa yang disebut jiwa. Dalam ayat ini juga arti roh sama dengan yang dimaksud dalam ayat-ayat lain. Orang-orang ini tidak tahu bahwa orang yang mempercayai eksistensi roh tidak mendasarkan argumennya pada ayat ini. Ada sekitar dua puluh ayat lagi yang jelas-jelas menyebut roh atau menyebutnya dalam bentuk kata benda dan kata ganti yang mengungkapkan milik, rangkaian kata sifat dan seterusnya seperti roh Kami, roh-Ku, roh suci, roh dengan Perintah Kami. Mengenai manusia, dikatakan "Dan Aku tiupkan he dalamnya roh-Ku." Ungkapan ini menunjukkan bahwa dari sudut pandang Al-Qur'an ada sebuah realitas yang lebih tinggi daripada malaikat dan manusia, dan realitas inilah yang disebut roh. Sebagai nikmat dari Allah SWT, malaikat dan manusia memiliki realitas ini yang digambarkan sebagai "dengan Perintah-Ku". Ayat "Aku tiupkan ke dalamnya roh-Ku," bersama ayat-ayat lain menunjukkan bahwa roh manusia memiliki realitas yang luar biasa. Banyak ayat Al-Qur'an bukan saja menegaskan eksistensi mandiri roh manusia, namun pandangan ini juga diperkuat oleh banyak riwayat mutawatir dalam kitab-kitab hadis dan juga diperkuat oleh banyak kalimat dalam "Nahj al-Balaghah". (Lihat Peak of Eloquence (Nahj al-Balaghah atau Puncah Kefasihan, I. S. P. 1984) dan Doa Para Imam Suez) Faktanya adalah bahwa pengingkaran eksistensi roh merupakan pikiran kotor Barat yang diilhami oleh materialisme Barat. Sayangnya, ada sebagian pengikut Al-Qur'an yang berpikiran seperti ini. Sekarang kami kutip, melalui contoh-contoh, tiga dari empat ayat yang menggunakan kata "tawaffi' untuk kematian. Dalam ayat-ayat ini dikatakan bahwa setelah kematiannya manusia masih melakukan perbuatan-perbuatan seperti yang dilakukannya ketika masih hidup (seperti bicara, berkehendak dan memohon). (i) Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya din, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu itu?" Mereka menjawab: "Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah). " Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburu-buruk tempat kembali. (QS. an-Nisâ': 97) Ayat ini mertgenai orang-orang yang tunduk kepada tekanan keadaan, karena mereka hidup dalam lingkungan yang buruk, lingkungan yang dikendalikan oleh lawan-lawan mereka. Alasan mereka adalah lingkungan mereka tidak menguntungkan bagi mereka, mereka tak dapat berbuat apa-apa. Bukannya berupaya mengubah lingkungan mereka, dan jika itu tidak mungkin, pindah ke lingkungan yang lebih baik, mereka malah betah tinggal di lingkungan buruk itu. Setelah mencabut nyawa mereka, para malaikat Allah SWT berbicara dengan mereka dan mengatakan bahwa alasan mereka tidak dapat diterima, karena mereka setidak-tidaknya dapat pirtdah ke lingkungan lain. Para malaikat mengingatkan mereka bahwa mereka bertanggung jawab atas perbuatan mereka. Al-Qur'an menyebutkan bahwa ketakberdayaan di suatu tempat tertentu tak dapat dijadikan alasan, kecuali bila jalan pindah dari satu tempat ke tempat lain sudah tertutup. Seperti kita ketahui, dalam ayat ini kematian, yang kelihatannya seperti kemusnahan, diungkapkan dengan kata tawaffi yang menunjukkan masuk ke dalam penjagaan. Lagi, ayat ini menyebutkan dialog antara para malaikat dan seseorang setelah kematian seseorang tersebut. Seandainya realitas manusia tidak berlanjut setelah kematiannya, dan seandainya realitasnya semata-mata berupa jasadnya yang tidak sensitif dan tidak sadar, tentu dialog ini tak ada artinya. Ayat ini menjelaskan bahwa manusia, setelah meninggalkan dunia fana ini, dapat bicara dengan makhluk-makhluk yang tak dapat dilihat yang dikenal dengan nama malaikat, meskipun dengan mata, telinga dan lidah yang berbeda. (ii) Dan mereka berkata: "Apakah bila kami telah lenyap (hancur) di dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru." Bahkan (sebenarnya) mereka ingkar akan menemui Tuhan mereka. Katakanlah: "Malaikat mau yang diserahi untuk (mencabut nyawa)-mu akan mematikan kamu, kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan. " (QS. as-Sajdah: 10) Ayat ini menghapus keraguan orang-orang yang mengingkari akhirat. Mereka bertanya bagaimana mereka dapat dibangkitkan lagi padahal setelah mad setiap partikel mereka jadi hancur lebur. Al-Qur'an dengan jelas mengatakan bahwa keraguan yang diungkapkan mereka hanyalah dalih untuk menyembunyikan sikap mereka yang keras kepala. Namun, menjawab pertanyaan mereka, Al-Qur'an mengatakan bahwa bertentangan dengan pernyataan mereka, personalitas sejati dan "diri" sejati mereka bukanlah apa yang mereka duga sebagai partikel-partikel yang hancur lebur. Sesungguhnya mereka, dengan segenap personalitas mereka, dihimpun oleh malaikat maut. Yang dimaksud orang-orang yang mengangkat keraguan ini dengan hancur lebur di dalam bumi adalah bahwa ketika semua bagian dari tubuh mereka sudah hancur le bur dan setiap partikel tubuh mereka telah musnah, mana mungkin tubuh itu diciptakan dan dihidupkan kembali. Keraguan seperti ini juga disebutkan dalam beberapa ayat lain, dan jawaban untuk pertanyaan ini lain. Dalam ayat-ayat itu ditunjukkan bahwa jasad yang telah mati musnah dan sirna dari sudut pandang manusia saja. Tak diragukan lagi, memang mustahil manusia mengumpulkan kembali semua partikel tubuhnya, namun bagi Allah Mahakuasa, hal itu sangat mudah. Dalam ayat terdahulu argumen orang-orang yang mengingkari kebangkitan didasarkan pada kemustahilan mengumpulkan kembali partikel-partikel jasad yang telah hancur. Namun di sini argumen mereka berbeda dan itulah sebabnya jawabannya pun berbeda pula. Di sini mereka berargumen bahwa setelah kehancuran partikel-partikel tubuh, maka personalitas nil manusia juga hancur dan sirna sehingga tak ada lagi "aku" atau "kita." Al-Qur'an mengatakan bahwa tak seperti dugaan mereka, personalitas riil manusia tak pernah musnah, dan karena itu tak perlu mendapatkannya lagi. Manusia maupun personalitasnya justru dihimpun oleh para malaikat pada saat kematiannya. Ayat berikut ini juga dengan jelas menyebutkan kesinambungan personalitas riil manusia (rohnya) setelah kematiannya, meskipun tubuhnya sudah tak ada lagi: (iii) Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya. Maka Dia tahanlahjiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir. (QS. az-Zumar: 42) Ayat ini menggambarkan kesamaan antara tidur dan mati, dan di antaranya kesamaan antara bangun dan kebangkitan. Tidur adalah bentuk lemah dari mati, dan mati adalah bentuk kuat dari tidur. Dalam kedua kasus ini, jiwa manusia beralih dari satu keadaan hidup ke keadaan hidup lainnya. Bedanya adalah bahwa dalam kasus tidur manusia biasanya tidak menyadari perubahan, dan ketika bangun dia tidak menyadari bahwa dirinya sesungguhnya baru kembali dari suatu perjalanan. Tak seperti ketika mati, segalanya terlihat jelas olehnya. Dari ketiga ayat ini dapat disimpulkan bahwa, dari sudut pandang Al-Qur'an, karakter hakiki kematian bukanlah kemusnahan, akhir segalanya dan non-eksistensi. Kematian sesungguhnya hanyalah peralihan dari satu keadaan hidup ke keadaan hidup lainnya. Ayat terakhir juga menjelaskan sudut pandang Al-Qur'an tentang karakter hakiki tidur. Meskipun secara fisis tidur adalah berhentinya fakultas-fakultas alamiah tertentu, namun dari sudut pandang spiritual, tidur adalah peralihan ke kerajaan langit. Seperti soal kematian, soal tidur juga merupakan salah satu hal yang karakter hakikinya tidak diketahui sepenuhnya. Yang diketahui dalam kaitan ini hanyalah satu bagian dari perkembangan fisis yang terjadi di wilayah fisis. Setelah Mati Apakah setelah mati manusia langsung ke tahap kebangkitan, dan perihal dirinya kemudian akhirnya ditentukan di sana? Atau apakah manusia, selama periode antara kematian dan kebangkitan, melewati suatu dunia khusus untuk dibangkitkan kembali pada Hari Kebangkitan? Kita tahu bahwa hanya Allah SWT sajalah yang tahu kapan Hari Kebangkitan itu. Bahkan para nabi pun menyata-kan tidak tahu tentang hal itu. Dari Al-Qur'an dan dari banyak riwayat sahih yang sampai ke kita, dari Nabi saw dan para imam dapat disimpulkan bahwa setelah mati manusia tidak langsung ke tahap kebangkitan, karena pada tahap itu terjadi begitu banyak kehebohan, pergolakan, dan perubahan revolusioner pada segala yang kita tahu, seperti gunung, lautan, bulan, matahari, bintang dan galaksi. Pada saat itu tak ada yang tetap utuh. Lagi, pada saat kebangkitan, semua manusia masa lalu maupun masa sekarang akan dihimpun. Namun kita tahu bahwa dunia ini belum akan hancur dan barangkali akan tetap demikian untuk miliaran tahun lagi. Sementara itu masih akan lahir manusia-manusia yang tak terhingga jumlahnya. Disimpulkan dari ayat terdahulu dan banyak ayat lainnya bahwa selama periode antara kematian dan Kebangkitan tak ada yang tetap mati dan tak sadar. Dengan kata lain, manusia tetap aktif, dia dapat merasa senang dan sakit. Setelah mati, manusia memasuki tahap baru kehidupan, dalam tahap baru ini manusia dapat merasakan segala sesuatu. Hal-hal tertentu membuatnya senang, dan hal-hal tertentu lainnya membuatnya sakit. Namun senang dan sakitnya berkaitan dengan perilakunya di dunia fana. Tahap ini akan berlanjut sampai terjadinya kebangkitan. Pada saat itu dunia akan dilanda sedemikian banyak kehebohan, pada saat itu dari bintang-gemintang paling jauh sampai bumi kita segalanya akan mengalami revolusi. Dengan terjadinya tahap ini maka alam yang merupakan tahap perantara antara dunia ini dan kebangkitan akan berakhir. Jadi dari sudut pandang Al-Qur'an, alam pasca-kematian memiliki dua tahap atau, lebih tepatnya, setelah kematiannya manusia melalui dua alam. Alam yang akan berakhir seperti dunia fana ini disebut barzakh. Alam lainnya yaitu alam pasca-kebangkitan yang tak akan pernah berakhir. Man kita bahas dua alam ini secara ringkas. Barzakh Sesuatu yang menjadi perintang di antara dua benda dan memisahkan dua benda itu disebut barzakh. Al-Qur'an menggunakan kata ini untuk menunjukkan kehidupan antara kematian dan Kebangkitan. Al-Qur'an mengatakan: (Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu): Hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. " Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan. (QS. al-Mukminun: 99-100) Inilah satu-satunya ayat yang menyebut barzakh untuk interval antara kematian dan kebangkitan. Para ulama meminjam kata ini dari sini dan menyebut barzakh untuk alam antara kematian dan kebangkitan. Mengenai kesinambungan kehidupan setelah mati, ayat ini hanya mengatakan bahwa manusia setelah mati menyesal dan minta dikembalikan ke dunia fana, namun permintaan mereka ditolak. Ayat ini menunjukkan bahwa ada semacam kehidupan bagi manusia setelah matinya. Itulah sebabnya manusia minta dikembali­kan ke dunia fana, meskipun permintaannya ditolak. Banyak ayat yang menunjukkan bahwa manusia selama periode ini, yaitu periode antara kematiannya dan Kebangkitan, berada dalam suatu kehidupan. Dalam kehidupan ini dia bicara, merasa senang dan sakit, dan dapat hidup bahagia. Ada sekitar lima belas ayat yang bicara tentang suatu proses kehidupan. Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa antara periode kematian dan kebangkitan manusia berada dalam suatu kehidupan .yang matang. Ayat-ayat ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan. (i) Ayat-ayat yang mengutip percakapan antara orang takwa atau orang keji di satu pihak, dan para malaikat di lain pihak. Per­cakapan ini terjadi setelah kematian. Ayat seperti ini banyak jumlahnya. Sudah kami kutip ayat 97 dari Surah an-Nisâ' dan ayat 100 dari Surah al-Mukminun. (ii) Menurut beberapa ayat lainnya, para malaikat berbicara dengan orang takwa, dan mengatakan kepada mereka bahwa sejak saat itu mereka menikmati karunia-karuni Allah SWT. Para malaikat tidak membuat mereka menunggu Hari Kebangkitan. Dua ayat berikut ini mengandung poin ini: Mereka diterima oleh para malaikat rahmat dengan ucapan: "Salamun 'alaikum! Masuklah, surga sebagai balasan untuk amal baikmu." (QS. an-Nahl: 32) Dikatakan kepadanya (setelah kematiannya): "Masuklah surga." Katanya: "Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku, dan menjadikan aku termasuk orang yang dimuliakan." (QS. Yasin: 26-27) Dalam ayat-ayat sebelum ayat ini dikutip percakapan orang beriman ini dengan kaumnya. Dia mengajak kaumnya untuk mengikuti para nabi yang menyeru mereka kepada tauhid di Antiochia (Antakiyah). Dia mempermaklumkan imannya, dan minta kaumnya untuk mendengarkan dan mengikuti langkahnya. Namun kaumnya tidak mau mendengarkannya sampai dia meninggal (pergi ke alam lain). Ketika dia tahu bahwa dirinya mendapat ampun dari Allah SWT dan dimuliakan-Nya, dia berharap kaumnya yang masih di dunia tahu betapa bahagia diri­nya di alam lain. Jelaslah, semua ini terjadi sebelum kebangkitan, karena setelah kebangkitan tak ada apa-apa lagi di muka bumi. Dapat dicatat bahwa bagi orang saleh, setelah dia mati, ada beberapa surga, bukan hanya satu surga. Di akhirat surga itu beragam sesuai tingkat kedekatan kita dengan Allah SWT. Selain surga-surga ini, ada beberapa surga lagi, seperti diriwayatkan oleh orang-orang pilihan keturunan Nabi saw, yang berkaitan dengan alam barzakh, bukan dengan Hari Pengadilan. Karena itu surga yang disebutkan dalam dua ayat di atas tentunya bukan surga yang berkaitan dengan Hari Pengadilan. (iii) Kelompok ayat ketiga tidak memberitakan percakapan antara para malaikat dan manusia. Ayat-ayat ini hanya menggambarkan kehidupan bahagia orang saleh dan kehidupan sengsara orang jahat selama periode antara kematian dan Kebangkitan. Dua ayat berikut ini termasuk dalam kelompok ini: Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakangyang belum menyusul mereka. (QS. Ali 'Imran: 169-170) Dan Fir'aun beserta kaumnya dikepung azab yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. Dikatakan kepada malaikat: "Masukkanlah Fir'aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras." (QS. al-Mukmin: 45-46) Ayat ini menyebutkan dua jenis hukuman terhadap pengikut Fir'aun. Jenis pertama adalah hukuman pra-kebangkitan yang digambarkan sebagai azab yang amat buruk. Kepada para pengikut Fir'aun dinampakkan neraga dua kali setiap hari. Hukuman lainnya adalah hukuman pasca-Kebangkitan yang digambarkan sebagai azab yang sangat keras. Pada Hari Pengadilan orang-orang ini akan diperintahkan untuk dilemparkan ke dalam neraka. Hanya mengenai hukuman pertama, disebutkan waktu pagi dan petang. Menafsirkan ayat ini Imam Ali as mengatakan bahwa hukuman pertama diberikan di barzakh, di barzakh berlaku sistem yang sama dengan di dunia seperti ada pagi, petang, bulan dan tahun. Hukuman kedua berkaitan dengan alam pasca-kebangkitan, di alam ini tak ada pagi, tak ada petang, tak ada minggu, tak ada bulan dan tak ada tahun. Dalam riwayat-riwayat yang sampai ke kita dari Nabi saw, Imam Ali as dan para imam lainnya mengenai barzakh, banyak digaris-bawahi soal kehidupan orang beriman dan orang keji selama mereka berada di banakh. Selama Perang Badar sejumlah pemimpin terkemuka Quraisy terbunuh. Ketika pertempuran usai, Nabi saw memerintahkan agar tubuh-tubuh mereka dimasukkan ke dalam sumur dekat Badar. Kemudian Nabi saw sendiri menuju ke sumur itu, lalu melongok ke dalam sumur itu untuk berkata kepada mayat-mayat di sana, "Kami mendapati bahwa janji Allah kepada kami telah terbukti. Apakah kalian juga mendapatkan apa yang sudah dijanjikan Allah kepada kalian?" Sebagian sahabat Nabi saw berkata, "Wahai Nabi Allah, apakah Anda bicara dengan mereka yang terbunuh dan sudah mati? Apakah mereka mendengar apa yang Anda katakan?" Nabi saw menjawab, "Sekarang ini mereka lebih mendengar dari-pada kalian." Dari riwayat ini dan riwayat lain serupa dapat kita lihat bahwa meskipun dengan terjadinya kematian maka tubuh dan jiwa jadi terpisah, namun jiwa tidak sepenuhnya putus hubungan dengan tubuh yang sudah bertahun-tahun bersatu dengannya. Pada 10 Muharam Imam Husain as salat subuh berjamaah. Kemudian Imam Husain as berpaling ke sahabat-sahabatnya, dan menyampaikan pidato pendek. Imam Husain as mengatakan: "Tenang dan sabarlah sebentar. Kematian tak lain adalah jembatan, lewat jembatan ini kalian meninggalkan tepi kepedihan menuju tepi kebahagiaan, kemuliaan dan surga yang amat luas." Ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa orang hidup itu sebenarnya tengah terlelap. Begitu mereka mati, sesungguhnya mereka terbangun. Itu artinya bahwa tahap kehidupan setelah mati lebih tinggi dibanding tahap kehidupan sebelum mati. Selama ter­lelap, kesadaran manusia jadi lemah. Tidur merupakan keadaan antara hidup dan mati. Ketika manusia bangun tidur, hidupnya lebih sempurna. Kehidupan di barzakh pada tingkat tertentu juga lebih sempurna dibanding kehidupan di dunia. Ada dua poin yang patut disebutkan di sini: (i) Menurut riwayat-riwayat dari para imam, di barzakh manusia ditanya tentang imannya saja. Pertanyaan lainnya ditanyakan pada Hari Kebangkitan. (ii) Amal saleh yang dilakukan keluarganya dengan niat supaya pahalanya diberikan kepada si almarhum, membuat si almarhum jadi bahagia dan membawa keuntungan baginya. Jika sedekah dan amal saleh, entah bentuknya wakaf atau lainnya, dilakukan dengan niat agar pahalanya diberikan kepada si almarhum ayah, ibu, sahabat, guru atau lainnya, maka alam saleh ini dapat dianggap sebagai pemberian kepada si almarhum bersangkutan. Amal saleh tersebut membuat si almarhum jadi bahagia. Begitu pula dengan doa memohonkan ampunan Allah SWT, berhaji, tawaf dan berziarah ke tempat suci lainnya, yang dilakukan atas nama si almarhum. Anak, yang ketika kedua orang tuanya masih hidup berbuat tidak menyenangkan kedua orang tuanya, dapat berbuat sesuatu yang menyenangkan mereka setelah mereka jadi almarhum. Yang sebaliknya juga bisa terjadi. Kebangkitan Tahap kedua dari kehidupan abadi adalah kebangkitan yang, tak seperti barzakh, bukanlah urusan individual melainkan melibatkan seluruh manusia dan alam semesta. Dengan kebangkitan, alam semesta memasuki tahap baru dan fase baru kehidupan. Seluruh sistem mengalami perubahan. Kalau Al-Qur'an berkata tentang peristiwa luar biasa ini, dikatakannya bahwa pada waktu Kebangkitan bintang-gemintang akan pudar dan hilang, matahari akan berhenti bersinar, lautan akan jadi kering, segalanya akan hancur, gunung akan hancur, dan semuanya akan menjerit, berteriak dan akan terjadi ledakan dahsyat di seluruh dunia yang diikuti perubahan-perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Yang dapat diketahui dari Al-Qur'an adalah bahwa alam semesta akan hancur, dan segalanya akan musnah. Kemudian akan lahir sebuah dunia baru yang pada dasarnya beda dengan dunia yang ada ini. Hukum dan sistem dunia baru itu mutlak beda, dan dunia baru itu akan terus eksis untuk selamanya. Dalam Al-Qur'an, kebangkitan disebutkan dengan berbagai nama, masing-masing nama menunjukkan karakteristik tertentunya. Karena Kebangkitan merupakan masa ketika seluruh umat manusia dikumpulkan, maka disebut Hari Berkumpul dan Hari Pertemuan. Karena pada hari itu semua rahasia akan disingkapkan dan semua realitas akan dibeberkan, maka disebut hari penyingkapan dan hari ketika pikiran-pikiran rahasia akan diperlihatkan. Karena merupa­kan masa yang akan berlangsung selamanya, maka disebut hari keabadian. Karena merupakan masa ketika manusia kecewa dan menyesal, maka disebut hari kepedihan dan hari kekecewaan. Dan karena kebangkitan merupakan peristiwa dan berita paling besar, maka disebut "Kabar Besar". Hubungan Kehidupan Dunia dan Akhirat Kitab-kitab wahyu mengajak kita memperhatikan satu poin yang sangat rhendasar. Poin itu adalah hubungan antara kehidupan dunia dan akhirat. Kehidupan akhirat tak dapat dipisahkan dari kehidupan dunia. Benih kehidupan setelah kematian ditebarkan di dunia oleh manusia sendiri. Manusia menentukan di kehidupan ini apa yang akan terjadi pada dirinya di kehidupan akhirat. Iman scjati, keyakinan yang benar, konsepsi realistis mengenai dunia, kebiasaan baik, tidak iri had dan tidak dengki, tidak menipu, tidak membenci dan tidak curang, dan juga perbuatan baik yang mem-bantu pengembangan individu dan masyarakat yang dilakukan dengan ikhlas, merupakan hal-hal yang menjamin kehidupan abadi yang bahagia. Sebaliknya, kekufuran, penindasan, kemunafikan, praktik riba, berdusta, memfitnah, mengumpat, mencari-cari kesalahan, menciptakan perpecahan, tidak beribadah kepada Sang Pencipta dan kualitas serta kebiasaan serupa lainnya merupakan hal-hal yang membuat pelakunya hidup sengsara di akhirat. Ada sebuah sabda Nabi saw yang menarik. Nabi saw bersabda: "Dunia ini adalah lahan akhirat. Kalau kamu menanam di dunia ini, kamu akan menuainya di akhirat." Karena mustahil menanam rumput lalu yang dipanen padi, menanam duri lalu yang dipetik bunga, maka begitu pula mustahil orang yang buruk perilakunya di dunia akan bahagia di akhirat. Perwujudan dan Keabadian Perbuatan Manusia Dari Al-Qur'an dan sabda-sabda para imam dapat dipahami bahwa bukan saja manusia akan terus hidup setelah kematiannya, namun perbuatan manusia juga terlestarikan sedemikian sehingga tidak hilang. Dalam kehidupan pasca-kebangkitan, manusia akan melihat semua perbuatannya di masa lalu. Perbuatan baik wujud atau bentuknya sangat indah, menarik dan menyenangkan. Per­buatan baik menjadi sumber kebahagiaan. Wujud perbuatan dosa sangat mengerikan, menjijikkan dan sangat buruk. Perbuatan dosa menjadi sumber kepedihan, penderitaan dan ketersiksaan. Di sini kami sebutkan saja tiga ayat dan dua sabda Nabi saw dalam hubungan ini. (i) Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebaikan dihadapkan, begitu (pula) kejahatan yang telah dikerjakannya. la ingin kalau sekiranya antara ia dan hari itu ada masa yang jauh. (QS. Ali 'Imran: 30) Ayat ini dengan jelas mengatakan bahwa manusia akan mendapati di hadapannya perbuatan baik dan buruknya. Perbuatan baik akan berupa bentuk yang menarik dan menyenangkan, sedangkan perbuatan buruk akan berupa bentuk yang begitu menjijikkan lagi mengerikan, sehingga manusia ingin menjauhkannya dari pandangannya atau menjauh darinya. Namun manusia tak akan mampu berbuat demikian, karena di alam itu perbuatan manusia hampir merupakan bagian dari eksistensinya dan tak dapat dipisahkan dari dirinya. (ii) Mereka akan mendapati di hadapan mereka apa pun yang mereka perbuat di dunia ini. (QS. al-Kahfi: 49) Ayat ini dengan jelas mengatakan apa yang dikatakan ayat sebelumnya. (iii) Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepadanya (balasan) pekerjaannya. Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat atom pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat atom pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula. (QS. az-Zilzâl: 6-8) Manusia abadi. Begitu pula perbuatan dan pekerjaannya. Di akhirat dia akan hidup bersama perbuatan yang menemaninya dalam kehidupannya di dunia. Perbuatan manusia merupakan aset baik atau aset buruknya. Kehidupan abadi manusia di akhirat ada yang bahagia dan ada yang menderita, tergantung pada perbuatan manusia itu sendiri. Hadis Beberapa Muslim yang datang dari tempat yang jauh diterima oleh Rasulullah saw. Dalam perbincangan mereka dengan Rasulullah saw mereka minta kepada beliau saw untuk memberikan beberapa pedoman yang bermanfaat. Antara lain Nabi saw menasihati mereka untuk segera memilih teman yang baik untuk akhirat, di mana teman hidup setiap orang nantinya adalah perwujudan perbuatannya sendiri. Orang yang percaya kehidupan abadi akhirat selalu sangat hati-hati dalam berpikir dan berbuat, karena dia tahu bahwa perbuatan tidak boleh dianggap sebagai urusan sementara. Perbuatan merupakan paket yang dikirimnya ke akhirat. Dia akan hidup dengan paket itu. Kesamaan dan Perbedaan Kehidupan Dunia dan Akhirat Kesamaan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat adalah keduanya nyata dan eksis. Dalam kedua kehidupan ini manusia sadar akan dirinya dan apa pun yang berkaitan dengan dirinya. Dalam dua kehidupan ini manusia merasa senang dan sedih, bahagia dan sengsara. Dalam dua kehidupan ini perbuatan manusia diatur oleh nalurinya, baik naluri hewaniah maupun naluri manusiawi. Dalam dua kehidupan ini manusia hidup dengan tubuhnya. Namun ada juga beberapa perbedaan yang mendasar. Di dunia ini ada sistem reproduksi dan sistem anak-anak, remaja, dewasa dan usia lanjut yang diikuti kematian. Sistem seperti ini tak ada di akhirat. Di dunia ini bekerja, menanam, dan mempersiapkan lahan adalah perlu. Di akhirat akan dipanen apa yang ditanam di dunia. Dunia merupakan tempat bekerja, sedangkan akhirat merupakan tempat memperoleh hasil. Di dunia manusia dapat mengubah nasibnya dengan mengubah kebiasaannya. Di akhirat kemungkinan seperti itu tak ada. Di dunia ada hidup ada mati. Selain itu, yang mati berasal dari yang hidup, dan yang hidup berasal dari yang mati. Materi mati, dalam keadaan tertentu, berubah menjadi organisme hidup, dan organisme hidup berubah menjadi materi mati. Namun di akhirat, yang ada adalah murni kehidupan. Materi di alam itu juga hidup. Bumi dan langit di alam itu hidup. Taman dan buahnya hidup. Api dan siksa di alam itu juga hidup dan sadar. Di sini segalanya diatur oleh kondisi ruang dan waktu serta sebab-sebabnya. Alam itu adalah alam gerak dan berkembang. Di alam itu yang ada hanya "kehendak dan ke-daulatan Allah SWT." Di sana penglihatan dan kesadaran manusia lebih kuat, dan daya lihat dan daya dengar manusia lebih tajam dibanding di dunia fana. Dengan kata lain, di sana tidak ada tabir, dan manusia akan lebih melihat kebenaran. Al-Qur'an mengatakan: Maka Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam. (QS. Qaf: 22) Di dunia manusia selalu merasa capek, jenuh, dan sedih, khususnya merasa monoton. Kelihatannya seakan-akan dia kehilangan sesuatu dan tengah mencari sesuatu itu. Dia berusaha mendapatkan sesuatu, lalu merasa senang sebentar. Namun segera dia sadar bahwa itu bukan yang diinginkannya. Dia mulai lagi merasa sedih dan mengejar sesuatu yang lain. Manusia selalu ingin sesuatu yang belum dimilikinya dan belum membuatnya jenuh. Namun di akhirat, di mana manusia akan mendapatkan apa yang diinginkan lubuk hatinya dan apa yang sebenarnya belum dimilikinya, yaitu kehidupan abadi dalam kedekatan dengan Allah SWT, tak ada capek, tak ada jenuh, tak ada sedih. Al-Qur'an mengisyaratkan ke arah hal ini ketika mengatakan: Mereka tidak inginpindah darinya. (QS. al-Kahfi: 108) Beda dengan di dunia, di akhirat manusia tidak menginginkan perubahan. Meskipun tinggal di surga untuk selamanya, namun penghuninya tidak akan membosankan. Karena segala yang mereka inginkan tersedia bagi mereka, mereka tidak akan terganggu atau jadi susah oleh keinginan yang tak terpuaskan. Argumen Al-Qur'an Meskipun iman kita kepada Kebangkitan merupakan konsekuensi alamiah dari iman kita kepada Al-Qur'an dan ajaran para nabi dan karena itu tak perlu mengemukakan argumen atau bukti ilmiah mengenai hal ini, namun kalau melihat fakta bahwa Al-Qur'an sendiri, agar poin ini diterima pikiran kita, mengemukakan beberapa argumen, maka kami paparkan argumen-argumen itu di sini meskipun secara ringkas. Argumen Al-Qur'an berupa serangkaian jawaban untuk orang-orangyang mengingkari Kebangkitan. Sebagian jawaban ini untuk menunjukkan bahwa tak ada salah dengan konsepsi kebangkitan. Jawaban tersebut diberikan untuk mereka yang mengklaim bahwa kebangkitan mustahil terjadi. Sebagian ayat lain bahkan mengata­kan bahwa di dunia ini pun ada fenomena tertentu yang me-nyerupai kebangkitan, dan karena itu tak ada alasan memandang mustahil kebangkitan. Beberapa ayat bahkan mengatakan bahwa kebangkitan merupakan hasil alamiah dan tak terelakkan dari skema logis penciptaan alam semesta. Jadi ayat-ayat ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok: Pertama; Al-Qur'an mengatakan: Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami, dan dia lupa akan kejadiannya, ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?" Katakanlah: "la akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk." (QS. Yasin: 78-79) Ayat ini menjawab orang kafir yang da tang kepada Nabi saw dengan membawa tulang yang sudah busuk dan rusak. Dia menghancurleburkannya jadi bubuk. Lalu dia menebarkan bubuk itu ke udara. Setelah itu dia bertanya, "Siapa yang akan menghidupkan kembali partikel-partikel yang berserakan ini." Al-Qur'an menjawab, "Dia yang menciptakan tulang belulang kali pertama." Terkadang manusia menilai segala sesuatu dengan ukuran kapasitasnya sendiri. Berdasarkan ini manusia membagi segala sesuatu itu menjadi yang mungkin dan yang mustahil. Kalau dia merasa sesuatu itu di luar kemampuannya, lalu dia menyatakan bahwa sesuatu itu mustahil. Al-Qur'an mengatakan bahwa mungkin manusia merasa mustahil melakukan sesuatu, namun itu tidak mustahil bagi Yang Mahakuasa yang telah menciptakan kehidupan pada mated mati untuk kali pertama. Yang Mahakuasa dapat juga menghidupkan yang mati. Kedua; Ada ayat-ayat yang menyebutkan peristiwa tertentu di masa lalu ketika jasad yang mati dihidupkan kembali, seperti ayat-ayat yang menyebutkan kisah Nabi Ibrahim as yang berkata kepada Allah: Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau meng­hidupkan orang mati, Allah berfirman: "Apakah kamu belum percaya?" Ibrahim menjawab: "Aku telah percaya, namun agar bertambah tetap hatiku. " Allah berfirman: "(Kalau demikian) arnbillah empat ekor burung, lalu jinakkanlah burung-burung itu, kemudian letakkanlah tiap-tiap ekornya di atas tiap-tiap bukit. Sesudah itu panggillah, niscaya ia akan datang kepadamu dengan segera." (QS. al-Baqarah: 260) Ada ayat-ayat lain yang tidak didasarkan pada peristiwa adialami. Ayat-ayat itu mengutip sistem yang ada yang dikenal setiap orang. Rumput yang layu dan mati selama musim gugur dan dingin, hidup lagi selama musim semi. Sebagaimana dilihat setiap orang, bumi setelah menghijau dan penuh kehidupan kehilangan vitalitasnya dan mati, dan ketika kondisinya berubah dengan berubahnya musim, bumi hidup lagi, dan tetumbuhan, pepohonan dan rumput mulai tumbuh subur dan berbunga. Akan datang suatu masa ketika segenap sistem dunia akan layu dan kering kerontang. Matahari dan bintang-gemintang akan meledak. Alam semesta akan mati, namun bukan untuk selamanya. Segalanya akan hidup lagi, meski bentuknya lain dan dengan kondisi yang lain. Sekarang kita, umat manusia, hidup di muka bumi. Kita tahu bahwa dalam 365 hari bumi melewati siklus mati dan hidup. Normalnya kita hidup sampai 50, 60 atau 70 tahun dan terkadang sampai 100 tahun atau bahkan lebih. Selama periode ini kita melihat siklus hidup dan mad ini lusinan kali. Itulah sebabnya kita tidak heran kalau bumi mati dan hidup lagi. Misal saja durasi kehidupan kita hanya beberapa bulan saja seperti yang terjadi pada serangga, dan misal saja kita tidak tahu bagaimana membaca dan tidak tahu revolusi tahunan bumi, tentu kita tidak akan percaya bahwa bumi yang mati hidup lagi, karena kita tidak pernah melihat fenomena ini. Tentu saja bagi nyamuk yang muncul di musim semi dan mati di musim gugur dan dingin, konsepsi ten tang taman yang hidup kembali tak pernah terbayangkan. Dapatkah cacing yang hidup di pohon atau nyamuk yang hidup di taman, yang dunianya adalah pohon atau taman itu, membayangkan bahwa pohon atau taman itu merupakan bagian dari sebuah sistem yang lebih tinggi yang disebut rumah, bahwa perkebunan pada gilirannya adalah bagian dari sistem lain yang disebut distrik, bahwa distrik merupakan bagian dari sistem lain yang disebut provinsi, bahwa provinsi merupakan bagian dari sistem lain yang disebut negara, bahwa negara merupakan bagian dari sistem lain yang disebut sistem bumi, dan bahwa bumi merupakan bagian dari sistem tata surya kita? Mana mungkin kita yakin bahwa sistem tata surya kita, bintang-gemintang dan galaksi-galaksi bukan bagian dari sebuah sistem yang lebih besar? Mungkin saja berjuta-juta tahun eksistensi alam semesta yang kita tahu hanya setara dengan hanya satu bagian atau satu hari dari sebuah musim. Mungkin saja musim kehidupan sekarang ini akan diikuti oleh musim lain yang suram dan sepi, dan setelah itu sekali lagi sistem ini termasuk sistem tata surya kita, bintang-gemintang dan galaksi-galaksi akan memperoleh prospek hidup yang lebih baik yang bentuknya lain. Para nabi telah menyebutkan atas nama Allah SWT tentang kehancuran total dan kesunyian yang diikuti suatu hidup baru dan kebangkitan orang-orang yang sudah mati dengan sistem baru. Karena kita yakin bahwa mereka benar, maka kita percaya bahwa yang mereka sampaikan itu benar, termasuk apa yang mereka katakan tentang pembaruan hidup yang universal. Al-Qur'an menyebut contoh sistem hidup-mati di muka bumi agar kita melihatnya sebagai contoh kecil sistem universal ke­hidupan dan tidak beranggapan bahwa kebangkitan mustahil dan bertentangan dengan sistem total penciptaan. Al-Qur'an mengatakan bahwa kebangkitan merupakan pembaruan kehidupan, dan pembaruan kehidupan merupakan sesuatu yang contoh kecilnya kita lihat di muka bumi. Nabi saw bersabda, "Bila engkau melihat musim semi, maka berpikirlah bahwa kebangkitan itu ada." Dengan kata lain, musim semi merupakan contoh kebangkitan. Rumi berkata, "Musim semi setelah bergugurannya dedaunan dari pepohonan merupakan bukti tentang kebangkitan. Api, udara, mendung, air dan matahari menghalau banyak ilusi. Di musim semi banyak misteri tersibak. Bumi mengeluarkan apa yang telah diserapnya." Banyak sekali ayat Al-Qur'an yang menyebutkan sistem hidup-mati yang ada sebagai bukti: Dan Allah, Dialah yang mengirimkan angin. Lalu angin itu menggerakkan awan. Maka Kami halau awan itu he suatu negeri yang matt, lalu Kami hidupkan bumi setelah matinya dengan hujan itu. Demikianlah kebangkitan itu. (QS. Fathir: 9) Dan kamu lihat bumi ini hering, kemudian apabila telah Kami turunkan air atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuhan yang indah. Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah Dialah yang benar dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati, dan sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan sesungguhnya harikiamat itupastilah datang, tak ada keraguan tentangnya, dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur. (QS. al-Hajj: 5-7) Banyak ayat lain yang melihat kebangkitan sebagai bagian dari sistem hidup-mati yang berlaku di alam semesta. Kita melihat contoh kecil kebangkitan di muka bumi. Di sini hanya kami kutipkan dua ayat saja. Ayat-ayat ini beda dengan ayat-ayat kelompok pertama, karena ayat-ayat ini tidak hanya bersandar pada kemampuan Allah SWT. Ayat-ayat ini juga menyebutkan contoh yang menyerupai kebangkitan untuk menunjukkan bahwa di dunia fana ini Kuasa Allah SWT terejawantahkan dalam pola yang sama. Ayat-ayat kelompok ketiga menggambarkan kebangkitan sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Kalau tak ada kebangkitan, berarti ada yang tidak beres pada Allah SWT. Poin ini dibahas dengan dua cara: (i) Berdasarkan Keadilan Allah SWT, Allah SWT menganugerahkan kepada setiap makhluk-Nya apa yang patut didapat makhluk-Nya, dan apa yang sesuai dengan makhluk itu; (ii) Berdasarkan Kearifan Allah SWT, Allah SWT menciptakan segala sesuatu dengan tujuan tertentu. Kearifan Allah SWT menuntut agar segala sesuatu dipandu ke kesempurnaan dan sasarannya. Al-Qur'an mengatakan bahwa tentu saja tidak adil kalau tak ada kebangkitan, kehidupan abadi, kebahagiaan abadi dan balasan Allah SWT, dan Allah SWT mustahil tidak adil karena hal itu bertentangan dengan prinsip keadilan Allah SWT. Al-Qur'an juga mengatakan bahwa jika tak ada kehidupan abadi, maka alam semesta akan sia-sia, dan salah kalau mengatakan bahwa Allah SWT melakukan sesuatu dengan sia-sia. Banyak sekali ayat yang menggambarkan kehidupan abadi dan kembali kepada Allah SWT sebagai pasti dan tak terelakkan, karena keadilan Allah SWT atau karena kearifan Allah SWT. Di sini kami kutipkan ayat-ayat yang berargumen dengan berdasarkan keadilan Allah SWT atau kearifan Allah SWT atau keduanya. Al-Qur'an, setelah menyatakan bahwa orang-orang yang menyimpang dari jalan kebenaran dan lalai akan Hari Perhitungan akan mendapat hukuman yang keras, mengatakan: Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka. Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat? (QS. Shad: 27-28) Kita melihat bahwa pada ayat pertama argumennya didasarkan pada kearifan dan kepekaan Allah SWT berkenaan dengan ciptaan-Nya. Dan dalam ayat kedua, argumennya didasarkan pada keadilan Allah SWT: Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu. Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri alas apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan. (QS. al-Jâtsiyah: 21-22) Dalam ayat pertama disebut-sebut prinsip keadilan, dan dalam ayat kedua disebut-sebut prinsip kearifan. Kemudian dalam ayat kedua juga disebut sekali lagi keadilan Allah SWT yang digambarkan sebagai maksud utama kebangkitan. Penjelasan: Di sini perlu dijelaskan mengapa dua prinsip (keadilan dan kearifan Allah SWT) ini mengharuskan adanya kehidupan abadi, dan mengapa kalau kehidupan terbatas dunia diasumsikan tidak diikuti kehidupan abadi maka penciptaan manusia tak dapat dijustifikasi baik dari sudut keadilan Allah SWT maupun dari sudut kearifan Allah SWT. Keadilan Allah SWT: Dalam arti lebih luasnya, keadilan berarti tanpa diskriminasi memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Diskriminatif dalam hal ini berarti bertentangan dengan keadilan, begitu pula memberikan kepada sebagian apa yang menjadi hak mereka dan tidak memberikan kepada sebagian lain apa yang menjadi hak mereka. Guru berarti tidak adil kalau dia memberikan nilai ujian yang tidak sesuai dengan apa yang semestinya didapat murid. Sedikit banyak keadilan seiring dengan persamaan, yang artinya adalah memperlakukan sama terhadap semuanya dan tidak mempercayai diskriminasi. Persamaan seperti itu melahirkan keadilan, yaitu memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Namun persamaan yang tidak memperhatikan apa yang menjadi hak, apa yang menjadi kewajiban, atau apa yang semestinya, berarti ketidakadilan. Dengan demikian, arti keadilan Allah SWT adalah nikmat Allah SWT yang diberikan kepada segala yang ada selaras dengan tingkat kemampuan dan kapasitas potensialnya untuk menerima nikmat itu. Jika sesuatu tidak memiliki kualitas tertentu, itu artinya bahwa dengan kondisi yang ada sesuatu itu tidak mempunyai kapasitas untuk memilikinya. Lagi, dapat kami katakan bahwa bertentangan dengan keadilan Allah SWT kalau nikmat yang sesuai dengan kapasitas potensial sesuatu tidak diberikan kepada sesuatu itu untuk selamanya. Keadilan menuntut agar nikmat, kalau sesuai dengan kemampuan segala sesuatu dan patut didapat segala sesuatu itu, harus diberikan kepada segala sesuatu itu tanpa diskriminasi. Di antara apa yang ada, tingkat kapasitas dan potensialitas manusia khususnya tinggi. Manusia tidak termotivasi semata-mata oleh kecenderungan dan naluri hewaniahnya. Hewan hanya memiliki naluri yang berkaitan dengan kehidupan materialnya. Di pihak lain, manusia, seperti sudah dijelaskan terdahulu, juga memiliki naluri tertentu yang lebih tinggi yang tingkatannya akhirat bukan tingkatan dunia fana ini. Manusia memiliki alasan keagamaan, estetika, ilmiah dan moral. Dia melakukan banyak sekali hal karena alasan-alasan ini, dan terkadang bahkan mengorbankan kehidupan hewaniah dan materialnya demi tujuan-tujuan tinggi manusiawinya. Manusialah yang membuat, dalam kata-kata Al-Qur'an, sistem perbuatannya berdasarkan iman dan amal saleh, dan bertujuan mencapai kehidupan abadi dan keridaan Allah SWT. Konsepsi kehidupan abadi di akhirat dan hasrat untuk mencapainya. Nalurinya mendorongnya ke arah itu. Semua ini menunjukkan bahwa manusia dapat menjadi abadi, dan bahwa jiwanya bukan material. Ini artinya bahwa di dunia fana ini manusia bagaikan embrio. Janin di dalam rahim ibu mendapat sistem dan kemampuan tertentu, seperti jalan pernapasan, sistem peredaran darah, sistem saraf, sistem reproduksi, sistem pendengaran dan sistem penglihatan. Semua sistem ini hanya cocok untuk kebutuhan dunia pasca-kelahiran, dan tidak cocok untuk kehidupan sembilan bulan di dalam rahim. Di dunia fana ini manusia memang memperoleh manfaat dari sistem iman dan amal saleh. Namun arti penting manfaat ini sekunder. Sesungguhnya sistem ini sama dengan benih yang hanya dapat tumbuh dan berbuah di kehidupan abadi yang bahagia. Dengan kata lain, arti sejati dari sistem ini hanya berkaitan dengan kehidupan akhirat. Bukan saja dalam sistem iman dan amal saleh manusia men­capai tingkat tinggi dan menebarkan benih-benih hubungan alami, namun juga dalam sistem sebaliknya yang oleh Al-Qur'an disebut sistem kekufuran dan kemaksiatan, perbuatan manusia keluar dari wilayah kalkulasi alamiah dan kebutuhan fisis, dan memperoleh aspek spiritual dan abadi, meskipun dengan jalan yang tidak lurus. Dengan demikian orang kafir dan orang jahat sedikit banyak juga dapat mencapai kehidupan abadi, namun celakanya kehidupan abadinya memberi mereka kepedihan dan kesengsaraan dan, dalam bahasa agama, memasukkannya ke neraka. Kalau manusia tidak bergerak dalam orbit iman dan alam saleh, bukan saja dia hanya bergerak dalam orbit binatang, namun juga jatuh ke titik di bawah nol. Dalam bahasa Al-Qur'an, orang seperti itu lebih rendah derajatnya dan lebih salah dibanding binatang. Kalau tak ada kehidupan abadi, maka orang yang berbuat dalam sistem iman dan alam saleh dan orang yang berbuat dalam sistem sebaliknya akan seperti pelajar yang sebagiannya menjalankan tugas dengan baik, dan yang sebagiannya lagi membuang-buang waktu dengan bergurau dan ngerumpi, namun guru memperlakukan mereka sama dan tidak memberikan nilai kepada siapa pun. Sikap guru seperti ini jelas jahat dan bertentangan dengan prinsip keadilan. Untuk menjelaskan poin ini dengan lebih sederhana maka dapat dikatakan bahwa Allah SWT telah mengajak manusia untuk beriman dan bertakwa. Sebagian manusia menerima ajakan ini dan memperbarui perilaku mereka, cara berpikir mereka dan sistem moral mereka. Sebagian lagi tidak menanggapinya dan melakukan perbuatan jahat dan kerusakan. Namun di dunia ini kita tidak melihat sistem seperti itu di mana segala perbuatan baik mendapat pahala dan semua pendosa diberi hukuman. Karena itu tentu harus ada alam lain di mana orang saleh dan orang keji dapat diberi balasan setimpal dengan perbuatannya. Kalau tidak, berarti tak ada keadilan Allah. Kearifan Allah SWT: Perbuatan kita, yaitu perbuatan umat manusia, ada dua macam: (i) Perbuatan sia-sia. Perbuatan seperti ini sesungguhnya tak memberikan keuntungan kepada kita, dan tak dapat membantu kita menggali dan mengembangkan kebajikan yang terpendam dalam diri kita; (ii) Perbuatan yang arif dan rasional. Perbuatan ini memberikan hasil yang positif dan mem­bantu kita mencapai kebajikan yang tepat. Perbuatan jenis pertama tak ada artinya, dan jenis perbuatan kedua arif, logis, moderat, objektif dan filosofis. Jadi perbuatan arif kita membawa kita ke kesempurnaan yang pas dengan kita. Sekarang bagaimana dengan tindakan arif Allah SWT? Apakah kalau Allah SWT bertindak arif maka Allah SWT akan sempurna dan kalau bertindak seenaknya Allah SWT tidak akan sempurna? Tidak, itu tidak berlaku untuk Allah SWT. Allah SWT tak mem-butuhkan apa-apa, Allah Mahasempurna. Apa pun yang dilakukan-Nya merupakan karunia, nikmat dan kebaikan-Nya. Dia tidak melakukan apa pun untuk memenuhi kebutuhan-Nya atau untuk mendapatkan sesuatu bagi diri-Nya. Tindakan arif-Nya membawa ciptaan-Nya mencapai kesempurnaan yang pas bagi ciptaan-Nya itu. Tindakan sia-sia dapat disifatkan kepada-Nya hanya dalam pengertian bahwa Dia menciptakan sesuatu dan tidak memandu sesuatu itu untuk mencapai kesempurnaan yang pas baginya. Jadi, konsepsi tentang kearifan Allah beda dengan konsepsi tentang kearifan manusia. Manusia baru disebut arif kalau dia melangkah ke arah kesempurnaan manusiawi. Kearifan Allah SWT berupa memandu ciptaan-Nya untuk mencapai kesempurnaan yang pas baginya atau, dengan kata lain, menciptakan sesuatu atas dasar untuk mendorong sesuatu itu mencapai tujuan yang pas bagi sesuatu itu. Karena arti kearifan manusia adalah dia melakukan sesuatu dengan tujuan mencapai kondisi dirinya yang lebih baik, maka antara apa yang dilakukannya dan hasil yang diinginkannya tidak perlu ada hubungan riil. Dengan kata lain, hasil yang diinginkan tidak harus merupakan konsekuensi alamiah dari perbuatannya atau tidak mesti dipandang sebagai jasa atau kebaikan perbuatan­nya itu. Misal, orang membuat sedemikian banyak benda bermanfaat dari tanah liat, kayu, batu, logam, kulit, bulu domba, kapas dan sebagainya dan mendapatkan hasil yang praktis dan fungsional. Misal, dia membuat kursi, rumah, mobil atau pakaian. Namun kursi tak mungkin dianggap sebagai jasa kayu, rumah sebagai jasa batu, bata dan adukan semen, motor sebagai jasa sejumlah logam yang beragam dalam pembuatannya, karena benda-benda ini sendiri tidak bergerak menuju bentuk final mereka. Tentu saja, hasil yang didapat manusia dari produk-produk ini seperti duduk di kursi, tinggal di rumah, pergi dengan mobil atau mengenakan pakaian, dapat dianggap sebagai jasa manusia atau setidak-tidaknya sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Mengenai Allah SWT, di pihak lain, ada hubungan natural dan riil antara tindakan-Nya dan hasil yang diwujudkan tindakan tersebut. Dengan kata lain, hasil dari setiap tindakan-Nya sungguh merupakan jasa dari tindakan itu. Seperti kita tahu, setiap benih dan setiap biji-bijian di dunia ini bergerak menuju tujuannya dan bentuk terbaiknya. Kini posisinya adalah bahwa dunia ini dan segala isinya tidak mandek dan tunduk kepada perubahan. Bentuk final dari apa saja yang dapat kita pertimbangkan bukan final, dan pada gilirannya akan mengalami perubahan. Dengan kata lain, segala sesuatu sifatnya sementara dan akan ada akhirnya. Semua tahap merupakan tema yang tidak berhenti di tengah perjalanan, dan tahap-tahap itu bukanlah tujuan akhir. Tapi, sebagian orang berpendapat bahwa alam semesta tidak ada tujuan dan rencananya yang pasti. Dunia merupakan kafilah yang selalu bergerak dari satu tahap ke tahap lain. Jelas, perjalanan dapat berarti kalau ada tujuannya. Perjalanan tidak akan ada artinya kalau semua tujuan tak lebih daripada tempat berhenti dan kalau tak ada kemungkinan untuk pada akhirnya sampai di tempat tertentu. Karena setiap eksistensi di dunia ini diikuti non-eksistensinya, dan setiap pembangunan diikuti kehancurannya, maka segenap sistem yang mengatur dunia ini tak lain hanyalah kekacauan dan mengulang apa yang sudah diulang. Dengan demikian, segenap sistem kehidupan dan eksistensi didasarkan pada kesembronoan. Al-Qur'an menjawab, argumen yang kedengarannya bagus ini tentu benar kalau yang ada hanya dunia ini saja, semua yang lahir pada akhirnya mati dan nasib semua yang tumbuh dan berbunga pada akhirnya layu dan musnah. Namun pandangan seperti itu dangkal dan didasarkan pada anggapan bahwa kehidupan itu hanya di dunia ini saja, padahal fakta menunjukkan bahwa kehidupan tidak hanya di dunia ini saja. Dunia fana ini adalah Hari Pertama, dan akan diikuti Hari Terakhir. Imam Ali bin Abi Thalib as mengatakan: "Dunia ini merupakan tempat lewat, sedangkan akhirat me­rupakan tempat tinggal." Akhiratlah yang membuat dunia fana ini berarti. Akhiratlah yang merupakan tujuan dan yang membuat hiruk pikuk aktivitas di dunia ini jadi bermakna. Seandainya tak ada akhirat yang abadi itu, tentu tak ada tujuan akhir, sehingga dunia fana ini tentu akan menjadi semacam labirin, sedangkan alam semesta, dalam bahasa Al-Qur'an, tentu akan sia-sia dan hanya main-main saja. Namun para nabi datang untuk menghilangkan keraguan dalam hal ini, dan untuk memperkenalkan kita dengan kebenaran, yang kalau kita tidak tahu kebenaran ini maka alam semesta ini akan tak ada artinya di mata kita. Kalau kita menganut konsepsi kesembronoan ini, maka eksistensi kita sendiri jadi tak ada artinya dan tak ada tujuannya. Efek dari iman kepada akhirat adalah kita jadi berpikiran bahwa eksistensi kita ada tujuannya dan memberikan arti bagi kita, pikiran dan kehidupan kita.
30