MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA0%

MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA pengarang:
Kategori: Kajian
Halaman: 30

MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

pengarang: AYATULLAH SYAHID MURTADHA MUTHAHARI
Kategori:

Halaman: 30
Pengunjung: 64134
Download: 549

Komentar:

Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 30 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 64134 / Download: 549
Ukuran Ukuran Ukuran
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

pengarang:
Indonesia
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA



KARYA: AYATULLAH SYAHID MURTADHA MUTHAHARI

1
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

DAFTAR ISI
BAB 1 - Manusia Dan Binatang
BAB 2 - Ilmu Pengetahuan dan Agama
BAB 3 - Keyakinan Religius
BAB 4 - Mazhab Pemikiran atau Ideologi
BAB 5 - Islam Sebuah Mazhab yang Lengkap
BAB 6 - Sumber-sumber Pemikiran H^lqm Islam
BAB 7 - Konsepsi tentang Alam Semesta
BAB 8 - Konsepsi Realistis tentang Alam Semesta
BAB 9 - Tingkat-tingkat Tauhid
BAB 10 - Manusia dan Penyatuan
BAB 11 - Tingkatan Kemusyrikan
BAB 12 - Kearif an dan Keadilan Ilahi
BAB 13 - Wahyu dan Kenabian
BAB 14 - Peran Historis Nabi
BAB 15 - Maksud Kenabian
BAB 16 - Satu Agama atau Banyak Agama
BAB 17 - Finalitas
BAB 18 - Mukjizat Nabi Terakhir
BAB 19 - Al-Qur'an
BAB 20 - Ciri Khusus Islam
BAB 21 - Nabi Muhammad saw
BAB 22 - Manusia dan Al-Qur'an
BAB 23 - Pengetahuan Manusia
BAB 24 - Masyarakat dan Sejarah
BAB 25 - Klasifikasi Sosial
BAB 26 - Apa Sejarah Itu
BAB 27 - Islam dan Materialisme Sejarah
BAB 28 - Filsafat Islam tentang Sejarah
BAB 29 - Evolusi dan Perubahan dalam Sejarah
BAB 30 - Imamah dan Khilaf ah
BAB 31 - Imamah (Kepemimpinan)
BAB 32 - Arti Imamah
BAB 33 - Imamah dan Penjelasan Terperinci tentang Agama
BAB 34 - Studi Umiah Atas Imamah
BAB 35 - Imamah dan Ayat tentang Keputusasaan Kaum Kafir
BAB 36 - Imamah Menurut AI-Qur'an
BAB 37 - Imamah Menurut Para Imam
BAB 38 - Catatan tentang Kepemimpinan dan Manajemen
BAB 39 - Kehidupan Akhirat

2
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

BAB 1 - Manusia Dan Binatang
Manusia merupakan sebangsa binatang. Dia memiliki banyak kesamaan dengan binatang lainnya. Pada saat yang sama manusia memiliki banyak ciri yang membedakan dirinya dengan binatang lainnya, dan ciri-ciri ini menempatkannya lebih unggul daripada binatang. Ada ciri-ciri utama yang mendasar, yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Sifat-sifat manusiawi manusia ditentukan oleh ciri-ciri ini. Ciri-ciri ini, yang juga menjadi sumber dari apa yang dikenal sebagai budaya manusia, berkaitan dengan dua hal. Yaitu, sikap dan kecenderungan.

Pada umumnya binatang memiliki kemampuan melihat dan mengenal dirinya sendiri dan dunia sekitarnya. Dan dengan berbekal pengetahuan yang didapat dari melihat dan mengenal ini, binatang berupaya mendapatkan apa yang diinginkannya. Seperti binatang lainnya, manusia juga memiliki banyak keinginan. Dan dengan bekal pengetahuan dan pengertiannya, manusia berupaya mewujudkan keinginannya. Manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Bedanya adalah manusia lebih tahu, lebih mengerti, dan lebih tinggi tingkat keinginannya.

Kekhasan ini —yang dimiliki manusia— membedakan manusia dengan binatang, dan membuat manusia lebih unggul daripada binatang lainnya.

Pengetahuan dan Keinginan Binatang

Hanya melalui indera (alat untuk merasa, mencium bau, mendengar, melihat, meraba, dan merasakan sesuatu secara naluri—pen.) yang dimiliki, binatang mengenal (mengetahui) dunia. Itulah sebabnya. Pertama, pengetahuannya dangkal. Pengetahuannya tidak sampai menguasai detail sesuatu dan tidak memiliki akses ke hubungan-hubungan internal yang terjadi dalam sesuatu itu. Kedua, pengetahuannya parsial dan khusus, tidak universal dan tidak umum. Ketiga, pengetahuannya regional (terbatas pada wilayah tertentu), karena terbatas pada lingkungan hidupnya dan tidak lebih dari itu. Keempat, pengetahuannya terbatas pada saat sekarang dan tidak berkenaan dengan masa lalu dan masa mendatang. Binatang tidak mengetahui sejarahnya sendiri atau sejarah dunia. Karena itu, binatang tidak berpikir tentang masa depannya, dan juga tidak merencanakan masa depannya.

Dari segi pengetahuannya, binatang tak sanggup keluar dari kerangka lahiriahnya, kekhususannya, lingkungan hidupnya, dan masa sekarangnya. Binatang tak pernah lepas dari keempat bidang ini. Kalau saja secara kebetulan dapat melewati batas-batas keempat bidang ini, itu terjadi secara naluriah dan tidak sadar, bukan karena kehendak dan pilihannya sendiri.

Seperti pengetahuannya, tingkat keinginan dan hasrat binatang juga terbatas ruang lingkupnya. Pertama, segenap hasratnya bersifat material, dan tidak lebih dari makan, minum, tidur, bermain, kawin, dan membuat sarang. Binatang tidak memiliki kebutuhan spiritual, nilai moral dan sebagainya. Kedua, segenap keinginannya bersifat pribadi dan individualistis, berkaitan dengan binatang itu sendiri, atau paling banter berkaitan dengan pasangan dan anak-anaknya. Ketiga, binatang bersifat regional, yaitu berkaitan dengan lingkungan hidupnya saja. Keempat, binatang bersifat seketika itu, yaitu berkaitan dengan masa sekarang.

Dengan kata lain, dimensi keinginan dan kecenderungan dalam eksistensi binatang ada batasnya, begitu pula dimensi eksistensi pengetahuannya. Dari sudut pandang ini juga, binatang harus hidup dalam batas tertentu. Jika binatang mengejar sasaran yang berada di luar batas ini dan misalnya, yang berkenaan dengan spesiesnya pada umumnya dan bukan dengan satu individu atau berkenaan dengan masa depan dan bukan dengan masa kini, sebagaimana terlihat terjadi pada binatang tertentu yang hidup berkelompok seperti lebah, itu terjadi secara tak sadar, secara naluri, dan karena aturan langsung dari kekuatan yang telah menciptakannya dan yang mengatur seluruh alam.

Pengetahuan dan Keinginan Manusia

Wewenang manusia di bidang pengetahuannya, informasi dan pandangannya, dan di bidang keinginan dan kecenderungannya, sangat luas dan tinggi. Pengetahuannya berangkat dari sisi eksternal sesuatu menuju sisi realitas internal sesuatu itu, saling hubungan yang terjadi di dalam sesuatu itu, dan menuju hukum yang mengatur sesuatu itu. Pengetahuan manusia tidak terbatas pada ruang atau waktu tertentu. Pengetahuan manusia mengatasi batas-batas seperti itu. Di satu pihak, manusia mengetahui peristiwa yang terjadi sebelum dia lahir, dan di lain pihak manusia bahkan mengetahui planet-planet selain bumi dan bintang-gemintang. Manusia mengetahui masa lalu maupun masa depannya. Dia mengetahui sejarahnya sendiri dan sejarah dunia, yaitu sejarah bumi, langit, gunung, sungai, tumbuhan dan organisme hidup. Yang menjadi pemikiran manusia bukan saja masa depan yang jauh, namun juga hal-hal yang tak terhingga dan abadi. Sebagian dari hal-hal ini diketahui oleh manusia. Manusia bukan sekadar mengetahui keanekaragaman dan kekhasan. Dengan maksud menguasai alam, manusia mencari tahu tentang hukum alam semesta dan kebenaran umum yang berlaku di dunia.

Dari sudut pandang ambisi dan aspirasinya, kedudukan manusia luar biasa, karena dia adalah makhluk yang idealistis, tinggi cita-cita dan pemikirannya. Sasaran yang juga ingin dicapainya adalah sasaran yang sifatnya non-material dan tidak mendatangkan keuntungan material. Sasaran seperti ini adalah sasaran yang menjadi kepentingan ras manusia seluruhnya, dan tidak terbatas pada dirinya dan keluarganya saja, atau tidak terbatas pada wilayah tertentu atau waktu tertentu saja.

Manusia begitu idealistis, sampai-sampai dia sering lebih menomorsatukan akidah dan ideologinya dan menomorduakan nilai lain. Dia bahkan menganggap melayani orang lain lebih penting daripada mewujudkan kesejahteraannya sendiri. Dan manusia memandang duri yang menusuk kaki orang lain seperti seakan menusuk kakinya sendiri atau bahkan matanya sendiri. Dia merasa bersimpati kepada orang lain dan mau berbagi suka dan duka. Manusia begitu penuh dedikasi kepada akidah dan ideologi sucinya, sampai-sampai dia mudah mengorbankan hidupnya demi akidah dan ideologi sucinya itu. Segi manusiawi dari budaya manusia yang dianggap sebagai roh sejati budaya tersebut merupakan hasil dari perasaan dan keinginan seperti itu.

Dasar dari Karakter Manusia

Berkat upaya kolektif manusia selama berabad-abad, manusia memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang dunia. Informasi yang didapat kemudian dihimpun dan dikembangkan. Setelah mengalami proses dan sistematisasi, informasi ini kemudian menjadi dikenal sebagai "ilmu" dalam artinya yang lebih luas, yaitu jumlah seluruh gagasan manusia tentang kosmos (alam semesta). Di dalamnya tercakup juga filsafat, sebuah produk dari upaya kolektif manusia yang diberi bentuk logika yang khusus.

Kecenderungan spiritual dan tingginya kesadaran manusia ada karena manusia mempercayai realitas-realitas tertentu dunia ini, dan karena dedikasinya kepada realitas-realitas tersebut. Realitas-realitas ini sifatnya bukan individualistis dan juga bukan material. Sifatnya komprehensif dan umum, di dalamnya tak ada soal keuntungan ekonomi, dan pada gilirannya merupakan hasil dari pengetahuan dan pemahaman tertentu mengenai dunia yang disampaikan kepada manusia oleh para nabi, atau dilahirkan oleh pemikiran idealistis sebagian filosof.

Bagaimanapun juga, kecenderungan spiritual dan suprahewani lebih tinggi yang ada pada diri manusia, jika dasarnya adalah infrastruktur doktrinal dan intelektual, memakai nama agama. Karena itu, kesimpulannya adalah bahwa yang membedakan secara mendasar antara manusia dan makhluk hidup lainnya adalah pengetahuan dan agama, dan bahwa pengetahuan dan agama merupakan dasar dari ras manusia, dan ras manusia ini bergantung pada pengetahuan dan agama.

Sudah banyak dibahas tentang perbedaan antara manusia dan spesies binatang lainnya. Sebagian berpandangan bahwa antara manusia dan spesies binatang lainnya itu tak ada perbedaan yang mendasar. Mereka mengatakan bahwa perbedaan pengetahuan merupakan perbedaan kuantitas, atau paling banter perbedaan kualitas, namun bukan perbedaan hakikat. Mereka memandang tidak begitu penting prestasi-prestasi manusia yang luas dan luar biasa di bidang pengetahuan, padahal prestasi-prestasi ini menarik perhatian filosof-filosof besar Timur dan Barat.

Kelompok sarjana ini mengatakan bahwa dari sudut pandang keinginan dan hasratnya, manusia tak lebih daripada binatang.[1] Sebagian yang lain percaya bahwa perbedaaan utamanya adalah perbedaan kehidupan. Manusia adalah satu-satunya binatang yang sepenuhnya hidup. Binatang yang lain tak memiliki perasaan, dan tak tahu suka dan duka. Binatang yang lain ini hanyalah mesin-mesin yang setengah hidup. Karena itu, definisi yang sebenarnya mengenai manusia adalah bahwa manusia adalah makhluk hidup.[2] Pemikir-pemikir lain tidak mempercayai itu, dan berpendapat bahwa antara manusia dan makhluk hidup lainnya itu ada per­bedaan yang mendasar. Kelihatannya fokus masing-masing kelompok sarjana ini adalah satu karakteristik manusia. Itulah sebabnya manusia lalu didefinisikan dengan begitu banyak cara yang berlainan. Manusia digambarkan sebagai binatang yang rasional, makhluk yang benar-benar berupaya mendapatkan apa yang dikehendakinya, makhluk yang tak ada ujungnya, makhluk yang idealis, makhluk yang mencari nilai-nilai, binatang metafisis, makhluk yang tak pernah terpuaskan, makhluk yang tak ada batasannya, makhluk yang bertanggung jawab, makhluk yang berpandangan ke depan, agen (faktor atau instrumen) yang bebas, makhluk yang memberontak, makhluk yang suka ketertiban sosial, makhluk yang suka keindahan, makhluk yang suka keadilan, makhluk berwajah ganda, makhluk yang romantis, makhluk yang intuitif, makhluk yang mempercayai standar ganda, makhluk yang dapat mencipta, makhluk yang kesepian, makhluk yang memiliki perhatian kepada publik, makhluk yang fundamentalis, teoretis, dan dapat membuat peralatan, makhluk supranaturalis, imajinatif, spiritualis, transendentalis, dan sebagainya.

Tak pelak lagi, masing-masing keterangan ini benar, dilihat dari kualitas-kualitas esensialnya masing-masing. Akan tetapi, jika kita mau mendapatkan ungkapan yang mencakup semua perbedaan mendasarnya, maka harus kita katakan bahwa manusia adalah binatang yang berpengetahuan dan beragama.

Apakah Sisi Manusiawi Manusia Itu Suprastruktur

Kita tahu bahwa manusia adalah sebangsa binatang. Manusia memiliki banyak kesamaan dengan binatang lainnya. Namun manusia juga memiliki banyak karakteristik khas. Karena memiliki banyak kesamaan dan perbedaan dengan binatang lainnya, manusia memiliki kehidupan ganda: Kehidupan binatang dan kehidupan manusia, kehidupan material dan kehidupan budaya. Di sini timbul pertanyaan: Apa hubungan antara segi manusiawi manusia dan segi hewaninya, kehidupan manusiawinya dan kehidupan hewaninya? Apakah nilai penting satu segi adalah esensial, sedangkan segi lainnya nilai penungnya sekunder? Apakah satu segi menjadi dasarnya, sedangkan segi lainnya hanyalah refleksi dari segi yang menjadi dasar tersebut? Apakah satu segi menjadi infrastrukturnya, sedangkan segi lainnya suprastrukturnya? Apakah kehidupan material merupakan infrastrukturnya, sedangkan ke­hidupan budaya merupakan suprastrukturnya? Apakah segi hewani manusia merupakan infrastrukturnya, sedangkan kehidupan budayanya merupakan suprastrukturnya? Apakah segi hewani manusia itu infrastrukturnya, sedangkan segi manusiawinya itu suprastrukturnya?

Dewasa ini, pertanyaan ini diajukan dari sudut pandang sosiologis dan psikologis. Itulah sebabnya pembahasannya berkisar di seputar pertanyaan apakah di antara karakteristik-karakteristik sosial manusia, kecenderungan-kecenderungan ekonominya yang berkaitan dengan produksi dan hubungan produksi lebih penting daripada karakteristik-karakteristik lain manusia, khususnya yang mencerminkan segi manusiawi manusia, dan apakah karakteristik dan kecenderungan lain manusia hanyalah suprastruktur dari karakter ekonominya? Pertanyaan lain yang juga berkaitan adalah apakah betul ilmu, filsafat, sastra, agama, hukum, etika, dan seni pada setiap zaman hanyalah merupakan perwujudan dari hubungan ekonomi pada zaman itu dan tak memiliki nilai intrinsiknya sendiri?

Sekalipun pertanyaan ini diajukan dari sudut pandang sosiologis, namun tak pelak lagi pembahasannya membawa hasil psikologis dan pembahasan filosofis tentang karakter manusia, yang dalam istilah modern dikenal dengan sebutan "humanisme". Pada umumnya kesimpulannya adalah bahwa sisi manusiawi manusia tidak penting. Yang penting adalah sisi hewani manusia saja. Dengan kata lain, yang didukung adalah pandangan orang-orang yang menyangkal adanya perbedaan mendasar antara manusia dan binatang.

Teori ini bukan saja menolak pentingnya kecenderungan manusia kepada realisme, kebajikan, keindahan, dan kepercayaan kepada Allah, namun juga menolak pentingnya pendekatan rasional manusia terhadap dunia dan kebenaran. Dapat ditunjukkan bahwa tidak ada pendekatan yang netral. Tak pelak lagi, setiap pendekatan menunjukkan pandangan material tertentu. Mengherankan bila sebagian mazhab yang mendukung teori yang menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya adalah binatang, secara serempak mereka berbicara tentang sisi manusiawi dan humanisme juga.

Fakta bahwa perjalanan evolusioner manusia berawal dari sisi hewani manusia dan bergerak menuju sisi manusiawinya, sebuah tujuan yang sangat mulia. Prinsip ini berlaku untuk individu maupun masyarakat. Pada permulaan eksistensinya, manusia tak lebih daripada organisme material. Berkat gerakan evolusioner yang mendasar, manusia berubah menjadi substansi spiritual. Roh (spirit) manusia lahir dalam alam tubuh manusia, dan kemudian menjadi mandiri. Sisi hewani manusia merupakan sarang tempat sisi manusiawi manusia berkembang dan matang. Karakteristik evolusi adalah semakin berkembangnya suatu makhluk, semakin mandiri dan efektiflah dia, dan dia pun akan semakin mempengaruhi lingkungannya. Ketika sisi manusiawi manusia berkembang, sebenarnya sisi ini tengah menuju kemandirian dan mengendalikan aspek-aspek lainnya. Hal ini terjadi pada individu maupun masyarakat. Individu yang sudah mengalami pengembangan me­ngendalikan lingkungan batiniah maupun lahiriahnya. Arti dari perkembangannya adalah bahwa dia telah merdeka dari dominasi lingkungan batiniah maupun lahiriah, dan memiliki dedikasi kepada akidah dan agama.

Terjadinya evolusi masyarakat persis seperti terjadinya evolusi roh dalam alam tubuh, dan evolusi sisi manusiawi individu dalam alam sisi hewani individunya tersebut. Perkembangan masyarakat terutama berawal dari dampak sistem ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Aspek budaya dan spiritual masyarakat sinonim dengan jiwa masyarakat bersangkutan. Karena tubuh dan jiwa saling mempengaruhi satu sama lain, maka antara sistem spiritual dan material juga terjadi saling hubungan yang sama. Kalau evolusi individu berarti individu tersebut berjalan menuju kemerdekaan, kemandirian dan supremasi jiwa yang semakin besar, maka evolusi masyarakat juga berarti seperti itu pula. Dengan kata lain, kalau suatu masyarakat semakin berkembang, maka kehidupan budayanya semakin tak bergantung pada kehidupan materialnya. Manusia masa depan merupakan manusia budaya dan manusia agama, akidah dan ideologi, bukan manusia ekonomi, manusia yang mengejar kenikmatan jasmani.

Tentu saja, semua ini bukan berarti bahwa masyarakat manusia secara tak terelakkan menapaki garis lurus menuju kesempurnaan nilai-nilai manusiawi, juga bukan berarti bahwa pada setiap tahap waktu selangkah lebih maju ketimbang tahap waktu sebelumnya. Boleh jadi manusia melewati tahap kehidupan sosial, di mana meski terjadi kemajuan teknik dan teknologi namun manusia mengalami kemunduran dari sisi spiritual dan moral, sebagaimana diklaim dialami oleh manusia pada zaman kita.

Sesungguhnya, dari sudut pandang material dan spiritual, manusia pada umumnya tengah berjalan ke depan. Akan tetapi, gerakan spiritualnya tidak selalu di garis yang lurus. Gerakan tersebut terkadang berhenti, terkadang balik ke belakang, dan terkadang menyimpang ke kanan dan ke kiri. Namun, pada umumnya merupakan suatu gerakan evolusioner ke depan. Itulah sebabnya kami katakan bahwa manusia masa depan merupakan manusia budaya, bukan manusia ekonomi, dan manusia masa depan merupakan manusia agama, akidah dan ideologi, dan bukan manusia yang mengejar kenikmatan jasmani.

Menurut teori ini, aspek-aspek manusiawi pada diri manusia —karena aspek-aspek tersebut fundamental— berkembang mengikuti berkembangnya alat-alat produksi dan bahkan berkembang sebelum berkembangnya alat-alat produksi. Menyusul perkembangannya, aspek-aspek manusiawi manusia berangsur-angsur mengurangi ketergantungan manusia kepada lingkungan natural dan sosialnya, dan mengurangi kesetujuannya kepada kondisi lingkungan. Maka kemerdekaan yang didapat membuat manusia semakin kuat dedikasinya kepada agama dan ideologi, dan meningkatkan kapasitasnya mempengaruhi lingkungan natural dan sosialnya. Kelak, setelah memperoleh kemerdekaan seutuhnya, manusia kemudian menjadi semakin kuat dedikasinya kepada agama dan ideologi.

Di masa lampau, manusia kurang mendapat manfaat dari pemberian alam dan belum mampu memanfaatkan sepenuhnya kemampuan-kemampuannya sendiri. Dia menjadi tawanan alam dan tawanan sisi hewaninya sendiri. Namun di masa depan manusia lebih mampu memanfaatkan pemberian alam dan kemampuan-kemampuan yang menjadi sifat manusia itu sendiri. Maka, untuk sebagian besar, manusia akan terbebaskan dari tawanan alam dan tawanan kecenderungan hewaninya sendiri, dan pengendaliannya atas alam dan dirinya pun semakin besar.

Menurut pandangan ini, meskipun realitas manusia muncul bersama dengan alam evolusi material dan hewaninya, namun realitas ini sama sekali bukan merupakan cermin dari—dan tunduk kepada—perkembangan materialnya. Itu adalah sebuah realitas yang independen dan progresif. Sekalipun dipengaruhi oleh aspek material, namun realitas ini mempengaruhinya juga. Yang menentukan tujuan akhir manusia adalah evolusi budayanya dan realitas manusiawinya, bukan evolusi alat-alat produksi. Adalah realitas manusiawi yang dalam evolusinya menyebabkan alat-alat produksi berkembang bersama berkembangnya urusan lain manusia. Tidak betul bila perkembangan alat-alat produksi terjadi secara otomatis, dan bila sisi manusiawi manusia mengalami perubahan akibat berubahnya alat-alat yang mengatur sistem produksi.¶

Catatan Kaki:

[1] Itulah yang dikatakan oleh Filosof Inggris, Thomas Hobbs.
[2] Teori Descartes yang terkenal.




BAB 2 - Ilmu Pengetahuan dan Agama
Hubungan antara Ilmu Pengetahuan dan Agama

Telah kita kaji hubungan antara sisi manusiawi manusia dan sisi hewaninya. Dengan kata lain, hubungan antara kehidupan budaya serta spiritual manusia dan kehidupan materialnya. Kini sudah jelas bahwa sisi manusiawi manusia itu eksistensinya independen dan bukanlah sekadar cermin kehidupan hewaninya. Juga sudah jelas bahwa ilmu pengetahuan dan agama merupakan dua bagian pokok dari sisi manusiawi manusia. Kini marilah kita telaah keterkaitan yang terjadi atau yang dapat terjadi antara dua segi dari sisi manusiawi manusia itu.

Di dunia Kristiani, sayangnya, bagian-bagian tertentu dari Perjanjian Lama mengajukan gagasan, bahwa terjadi kontradiksi antara ilmu pengetahuan dan agama. Dasar dari gagasan ini—yang sangat merugikan ilmu pengetahuan dan agama—adalah Kitab Kejadian, Perjanjian Lama.

Dalam meriwayatkan "Kisah Adam dan Pohon Terlarang". Kitab Kejadian, Bab II, ayat 16-17 mengatakan:

Dan Tuhan Allah memberikan perintah kepada lelaki itu, dengan mengatakan, "Dari setiap pohon di surga, engkau boleh leluasa makan (buahnya). Namun untuk pohon pengetahuan tentang baik dan buruk, engkau tidak boleh makan (buahnya). Karena kalau engkau makan (buah) dari pohon itu, engkau pasti akan mad."

Dalam Bab II, ayat 1-7 dikatakan:

Kini naganya lebih canggih ketimbang binatang buas sawah yang diciptakan Tuhan Allah. Dan dia berkata kepada wanita itu, "Ya, Tuhan telah berfirman, engkau tak boleh makan dari setiap pohon di surga?" Dan wanita itu berkata kepada sang naga, "Kita boleh makan buah dari pohon-pohon di surga. Namun untuk buah dari pohon yang ada di tengah-tengah surga, Tuhan telah ber­firman, engkau tidak boleh makan buah itu, juga tak boleh menyentuhnya, agar engkau tidak mati." Dan sang naga berkata kepada sang wanita, "Tentu saja engkau dilarang, karena Tuhan tahu bahwa begitu engkau makan (buah itu), maka kedua matamu akan terbuka, dan engkau pun akan seperti dewa, tahu mana yang baik dan mana yang buruk." Dan ketika sang wanita tahu bahwa pohon itu baik untuk makanan, dan bahwa pohon itu menyedapkan pandangan matanya, dan sebuah pohon yang dibutuhkan untuk membuat orang jadi arif, wanita itu pun memetik buah dari pohon itu, kemudian memakannya, dan juga memberikan kepada suaminya, dan sang suami pun memakannya. Dan mata mereka pun terbuka, dan mereka mendapati diri mereka telanjang. Lalu mereka menjahit daun-daun ara untuk pakaian mereka.

Dalam ayat 22-23 dalam Bab yang sama dikatakan:

Dan Tuhan Allah berfirman, "Lihatlah, lelaki itu menjadi seperti Kami, tahu yang baik dan yang buruk. Dan kini, jangan sampai dia mengulurkan tangannya, lalu memetik (buah) dari pohon kehidupan, kemudian makan (buah itu), dan hidup abadi."[1]

Menurut konsepsi tentang manusia, Tuhan, ilmu pengetahuan dan kedurhakaan ini, Tuhan tidak mau kalau manusia sampai tahu yang baik dan yang buruk. Pohon Terlarang adalah pohon pengetahuan. Manusia baru dapat memiliki pengetahuan kalau dia menentang perintah Tuhan (tidak menaati ajaran agama dan para nabi). Namun karena alasan itulah manusia terusir dari surga Tuhan.

Menurut konsepsi ini, semua isyarat buruk merupakan isyarat ilmu pengetahuan, dan nalar merupakan iblis sang pemberi isyarat. Sebaliknya, dari Al-Qur'an Suci kita menjadi mengetahui bahwa Allah mengajarkan semua nama (realitas) kepada Adam, dan kemudian menyuruh para malaikat untuk sujud kepada Adam. Iblis mendapat kutukan karena tak mau sujud kepada khalifah Allah (Adam) yang mengetahui realitas. Hadis-hadis Nabi menyebutkan bahwa Pohon Terlarang adalah pohon keserakahan, kekikiran dan hal-hal seperti itu, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan sisi hewani Adam, bukan berhubungan dengan sisi manusiawi Adam. Iblis selalu mengisyaratkan hal-hal yang bertentangan dengan akal dan hal-hal yang dapat memenuhi hasrat rendah (hawa nafsu). Yang mencerminkan iblis di dalam diri manusia adalah hasrat seksual, bukan akal. Beda dengan semua ini, yang kita temukan dalam Kitab Kejadian sungguh-sungguh sangat mengherankan.

Konsepsi ini telah membagi sejarah budaya Eropa selama 1500 tahun yang baru lalu menjadi dua periode, yaitu "Zaman Agama" dan "Zaman Ilmu Pengetahuan", dan telah menempatkan ilmu pengetahuan dan agama saling bertentangan satu sama lain.

Sebaliknya, sejarah budaya Islam dibagi menjadi "Periode Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Agama" dan Teriode Ketika Ilmu Pengetahuan dan Agama Mengalami Kemunduran". Kaum Muslim hendaknya menjauhkan diri dari konsepsi yang salah ini, sebuah konsepsi yang membuat ilmu pengetahuan, agama dan ras manusia mengalami kerugian yang tak dapat ditutup. Kaum Muslim juga jangan secara membuta menganggap kontradiksi antara ilmu pengetahuan dan agama sebagai fakta yang tak terbantahkan.

Bagaimana kalau kita melakukan studi analisis terhadap masalah ini, kemudian kita lihat apakah kedua segi dari sisi manusiawi manusia ini hanya ada pada periode atau zaman tertentu, dan apakah manusia pada setiap zaman nasibnya adalah hanya menjadi setengah manusia, dan selalu menderita akibat keburukan yang terjadi karena kebodohan atau karena kedurhakaan.

Seperti akan kita ketahui, setiap agama tentunya didasarkan pada pola pikir tertentu dan konsepsi khusus tentang kosmos (jagat raya). Tak syak lagi, banyak konsepsi dan interpretasi tentang dunia, meskipun boleh jadi menjadi dasar dari agama, tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan prinsip rasional dan prinsip ilmu pengetahuan. Karena itu, pertanyaannya adalah apakah ada konsepsi tentang dunia dan interpretasi tentang kehidupan yang rasional dan sekaligus sesuai dengan infrastruktur sebuah agama yang sangat pada tempatnya?

Jika ternyata konsepsi seperti itu memang ada, maka tak ada alasan kenapa manusia sampai dianggap untuk selamanya ditakdirkan mengalami nasib buruk akibat kebodohan atau kedurhakaan.

Hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama dapat dibahas dari dua sudut pandang. Sudut pandang yang pertama adalah kita lihat apakah ada sebuah agama yang konsepsinya melahirkan keimanan dan sekaligus rasional, atau semua gagasan yang ilmiah itu bertentangan dengan agama, tidak memberikan harapan dan tidak melahirkan optimisme. Pertanyaan ini akan dibahas nanti dalam "Konsepsi Tentang Kosmos".

Sudut pandang kedua yang menjadi landasan dalam membahas hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan adalah pertanyaan tentang bagaimana keduanya ini berpengaruh pada manusia. Apakah ilmu pengetahuan membawa kita ke satu hal, dan agama membawa kita kepada sesuatu yang bertentangan dengan satu hal itu? Apakah ilmu pengetahuan mau membentuk (karakter) kita dengan satu cara dan agama dengan cara lain? Atau apakah agama dan ilmu pengetahuan saling mengisi, ikut berperan dalam menciptakan keharmonisan kita semua? Baiklah, kita lihat sumbangan ilmu pengetahuan untuk kita dan sumbangan agama untuk kita.

Ilmu pengetahuan memberikan kepada kita cahaya dan kekuatan. Agama memberi kita cinta, harapan dan kehangatan. Ilmu pe­ngetahuan membantu menciptakan peralatan dan mempercepat laju kemajuan. Agama menetapkan maksud upaya manusia dan sekaligus mengarahkan upaya tersebut. Ilmu pengetahuan membawa revolusi lahiriah (material). Agama membawa revolusi batiniah (spiritual). Ilmu pengetahuan menjadikan dunia ini dunia manusia. Agama menjadikan kehidupan sebagai kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan melatih temperamen (watak) manusia. Agama membuat manusia mengalami pembaruan. Ilmu pengetahuan dan agama sama-sama memberikan kekuatan kepada manusia. Namun, kekuatan yang diberikan oleh agama adalah berkesinambungan, sedangkan kekuatan yang diberikan oleh ilmu pengetahuan terputus-putus. Ilmu pengetahuan itu indah, begitu pula agama. Ilmu pengetahuan memperindah akal dan pikiran. Agama memperindah jiwa dan perasaan. Ilmu pengetahuan dan agama sama-sama membuat manusia merasa nyaman. Ilmu pengetahuan melindungi manusia terhadap penyakit, banjir, gempa bumi dan badai. Agama melindungi manusia terhadap keresahan, kesepian, rasa tidak aman dan pikiran picik. Ilmu pengetahuan mengharmoniskan dunia dengan manusia, agama menyelaraskan manusia dengan dirinya. Kebutuhan manusia akan ilmu pengetahuan maupun agama telah menarik perhadan kaum pemikir religius maupun pemikir sekular.

Dr. Muhammad Iqbal berkata:

"Dewasa ini manusia membutuhkan tiga hal: Pertama, interpretasi spiritual tentang alam semesta. Kedua, kemerdekaan spiritual. Ketiga, prinsip-prinsip pokok yang memiliki makna universal yang mengarahkan evolusi masyarakat manusia dengan berbasiskan rohani."

Dari sini, Eropa modern membangun sebuah sistem yang realistis, namun pengalaman memperlihatkan bahwa kebenaran yang diungkapkan dengan menggunakan akal saja tidak mampu memberikan semangat yang terdapat dalam keyakinan yang hidup, dan semangat ini ternyata hanya dapat diperoleh dengan pengetahuan personal yang diberikan oleh faktor supranatural (wahyu). Inilah sebabnya mengapa akal semata tidak begitu berpengaruh pada manusia, sementara agama selalu meninggikan derajat orang dan mengubah masyarakat. Idealisme Eropa tak pernah menjadi faktor yang hidup dalam kehidupan Eropa, dan hasilnya adalah sebuah ego yang sesat, yang melakukan upaya melalui demokrasi yang saling tidak bertoleransi. Satu-satunya fungsi demokrasi seperti ini adalah mengeksploitasi kaum miskin untuk kepentingan kaum kaya.

Percayalah, Eropa dewasa ini paling merintangi jalan kemajuan akhlak manusia. Sebaliknya, dasar dari gagasan-gagasan tinggi kaum Muslim ini adalah wahyu. Wahyu ini, yang berbicara dari lubuk hati kehidupan yang paling dalam, menginternalisasi (menjadikan dirinya sebagai bagian dari karakter manusia dengan cara manusia mempelajarinya atau menerimanya secara tak sadar—pen.) aspek-aspek lahiriahnya sendiri. Bagi kaum Muslim, basis spiritual dari kehidupan merupakan masalah keyakinan. Demi keyakinan inilah seorang Muslim yang kurang tercerahkan pun dapat mempertaruhkan jiwanya. "Reconstruction of Religious Thought in Islam" (Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam).

Will Durant, penulis terkenal "History of Civilization" (Sejarah Peradaban), meskipun dia bukan orang yang religius, berkata:

"Beda dunia kuno atau dunia purba dengan dunia mesin baru hanya pada sarana, bukan pada tujuan. Bagaimana menurut Anda jika ternyata ciri pokok seluruh kemajuan kita adalah peningkatan metode dan sarana, bukan perbaikan tujuan dan sasaran?"[2]

Dia juga mengatakan: "Harta itu membosankan, akal dan kearifan hanyalah sebuah cahaya redup yang dingin. Hanya dengan cintalah, kelembutan yang tak terlukiskan dapat menghangatkan hati."[3]

Kini kurang lebih disadari bahwa saintisisme (murni pendidikan ilmiah) tidak mencetak manusia seutuhnya. Saintisisme melahirkan setengah manusia. Pendidikan seperti ini hanya menghasilkan bahan baku untuk manusia, bukan manusia jadi. Yang dapat dihasilkan pendidikan seperti ini adalah manusia unilateral, sehat dan kuat, namun bukan manusia multilateral dan bajik. Semua orang kini menyadari bahwa zaman murni ilmu pengetahuan sudah berakhir. Masyarakat sekarang terancam dengan terjadinya kekosongan idealistis. Sebagian orang bemiaksud mengisi kekosongan ini dengan murni filsafat, sebagian lainnya merujuk kepada sastra, seni dan ilmu-ilmu humanitarian (ilmu-ilmu yang mempromosikan kesejahteraan manusia—pen.).

Di negeri kami (Iran—pen.) ada usulan agar kekosongan tersebut diisi dengan sastra yang penuh kebajikan, khususnya sastra sufi karya Maulawi, Sa'di dan Hafiz. Para pendukung rencana ini lupa bahwa sastra ini sendiri mendapat ilham dan agama dan dan semangat agama yang penuh kebajikan, semangat yang menjadikan agama menarik perhatian, yaitu semangat Islam. Kalau tidak, mengapa sastra modern, meski ada klaim lantang bahwa sastra modern itu humanistis, begitu hambar, tak ada roh dan daya tariknya. Sesungguhnya kandungan manusiawi dalam sastra sufi kami, merupakan hasil dan konsepsi Islami sastra tersebut tentang alam semesta dan manusia. Seandainya roh Islam dikeluarkan dari mahakarya-mahakarya ini, maka yang tersisa hanyalah kerangkanya saja.

Will Durant termasuk orang yang menyadari adanya kekosongan itu. Menurutnya, hendaknya sastra, filsafat dan seni mengisi kekosongan itu. Dia berkata:

"Kerusakan atau kerugian yang dialami oleh sekolah dan perguruan tinggi kita, sebagian besar adalah akibat teori pendidikannya Spencer.[4] Definisi Spencer mengenai pendidikan adalah bahwa pendidikan membuat manusia menjadi selaras dengan lingkungannya. Definisi ini tak ada rohnya, dan mekanis sifatnya, serta lahir dari filsafat keunggulan mekanika. Setiap otak dan jiwa yang kreatif menentang definisi ini. Akibatnya adalah sekolah dan perguruan tinggi kita hanya diisi dengan ilmu-ilmu teoretis dan mekanis, sehingga tak ada mata pelajaran sastra, sejarah, filsafat dan seni, karena mata pelajaran seperti ini dianggap tak ada gunanya. Yang dapat dicetak oleh suatu pendidikan yang murni ilmu pengetahuan hanyalah alat. Pendidikan seperti ini membuat manusia tak mengenal keindahan dan tak mengenal kearifan. Akan lebih baik bagi dunia seandainya saja Spencer tidak menulis buku."[5]

Sangat mengejutkan, meskipun Will Durant menganggap kekosongan ini pertama-tama sebagai kekosongan idealistis yang terjadi akibat pemikiran yang salah dan akibat tak ada kepercayaan kepada tujuan manusia, namun dia masih saja berpendapat bahwa problem ini dapat dipecahkan dengan sesuatu yang non-material, sekalipun mungkin imajinatif belaka. Menurutnya, menyibukkan din dengan sejarah, seni, keindahan, puisi dan musik dapat mengisi sebuah kekosongan. Kekosongan ini ada karena manusia memiliki naluri mencari ideal dan kesempurnaan.
Dapatkah Ilmu Pengetahuan dan Agama Saling Menggantikan Tempat Masing-masing?

Telah kita ketahui bahwa antara agama dan ilmu pengetahuan tak ada pertentangan. Yang terjadi justru keduanya saling mengisi. Sekarang timbul satu pertanyaan lagi: Mungkinkah keduanya mengisi tempat masing-masing?

Pertanyaan ini tidak perlu dijawab secara terperinci, karena kita sudah tahu peran masing-masing (agama dan ilmu pengetahuan). Jelaslah bahwa ilmu pengetahuan tak dapat menggantikan peran agama, karena agama memberikan kasih sayang, harapan, cahaya dan kekuatan. Agama meninggikan nilai keinginan kita, di samping membantu kita mewujudkan tujuan kita, menyingkirkan unsur egoisme dan individualisme jauhjauh dari keinginan dan ideal kita, dan meletakkan keinginan dan ideal kita itu di atas fondasi cinta dan hubungan moral serta spiritual. Selain menjadi alat bagi kita, pada dasarnya agama mengubah hakikat kita. Begitu pula, agama juga tak dapat menggantikan peran ilmu pengetahuan. Melalui ilmu pengetahuan kita dapat mengenal alam, kita dapat mengetahui hukum alam, dan kita pun dapat mengenal siapa diri kita sendiri.

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa akibat dari memisahkan antara ilmu pengetahuan dan agama, telah terjadi kerugian yang tak dapat ditutup. Agama haras dipahami dengan memperhatikan ilmu pengetahuan, sehingga tidak terjadi pembauran agama dengan mitos. Agama tanpa ilmu pengetahuan berakhir dengan kemandekan dan prasangka buta, dan tak dapat mencapai tujuan. Kalau tak ada ilmu pengetahuan, agama menjadi alat bagi orang-orang pandai yang munafik. Kasus kaum Khawarij pada zamah awal Islam dapat kita lihat sebagai satu contoh kemungkinan ini. Contoh lainnya yang beragam bentuknya telah kita lihat, yaitu pada periode-periode selanjutnya, dan masih kita saksikan.

Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah seperti sebilah pedang tajam di tangan pemabuk yang kejam. Juga ibarat lampu di tangan pencuri, yang digunakan untuk membantu si pencuri mencuri barang yang berharga di tengah malam. Itulah sebabnya sama sekali tak ada bedanya antara watak dan perilaku orang tak beriman dewasa ini yang berilmu pengetahuan dan orang tak beriman pada masa dahulu yang tidak berilmu pengetahuan. Lantas, apa bedanya antara Churchill, Johnson, Nixon dan Stalin dewasa ini dengan Fir'aun, Jenghis Khan dan Attila pada zaman dahulu?

Dapatlah dikatakan bahwa karena ilmu pengetahuan adalah cahaya dan juga kekuatan, maka penerapannya pada dunia mate­rial ini tidaklah khusus. Ilmu pengetahuan mencerahkan dunia spiritual kita juga, dan konsekuensinya memberikan kekuatan bagi kita untuk mengubah dunia spiritual kita. Karena itu, ilmu pengetahuan dapat membentuk dunia dan manusia juga. Ilmu pengetahuan dapat menunaikan tugasnya sendiri, yaitu mem­bentuk dunia dan juga tugas agama, yaitu membentuk manusia. Jawabannya adalah bahwa semua ini memang benar, namun masalah pokoknya adalah bahwa ilmu pengetahuan adalah alat yang penggunaannya tergantung kepada kehendak manusia. Apa saja yang dilakukan oleh manusia, dengan bantuan ilmu pengetahuan dia dapat melakukannya dengan lebih baik. Itulah sebabnya kami katakan bahwa ilmu pengetahuan membantu kita mencapai tujuan dan melintasi jalan yang kita pilih.

Jadi, alat digunakan untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Sekarang pertanyaannya adalah, dengan dasar apa tujuan itu ditetapkan? Seperti kita ketahui, pada dasarnya manusia adalah binatang. Sisi manusiawinya merupakan kualitas (kemampuan) yang diupayakannya. Dengan kata lain, kemampuan-kemampuan manusiawi yang dimiliki oleh manusia perlu ditumbuh-kembangkan secara bertahap dengan agama. Pada dasarnya manusia berjalan menuju tujuan egoistis dan hewaninya. Tujuan ini material dan individualistis sifatnya. Untuk mencapai tujuan ini, manusia memanfaatkan alat yang ada pada dirinya. Karena itu, dia membutuhkan kekuatan pendorong. Kekuatan pendorong ini bukan tujuannya dan juga bukan alatnya. Dia membutuhkan kekuatan yang dapat meledakkannya dari dalam, dan mengubah kemampuan terpendamnya menjadi tindakan nyata. Dia membutuhkan kekuatan yang dapat mewujudkan revolusi dalam hati nuraninya dan memberinya orientasi baru. Tugas ini tidak dapat dilaksanakan dengan pengetahuan tentang hukum yang mengatur manusia dan alam beserta isinya. Namun tugas ini baru dapat dilaksanakan jika dalam jiwa manusia tertanam kesucian dan arti penting nilai-nilai tertentu. Untuk tujuan ini manusia harus memiliki beberapa kecenderungan yang mulia. Kecenderungan seperti ini ada karena cara pikir dan konsepsi tertentu tentang alam semesta dan manusia. Cara pikir dan konsepsi ini, serta muatan dimensi dan bukti cara pikir dan konsepsi tersebut, tidak dapat diperoleh di laboratorium dan, seperti akan kami jelaskan, berada di luar jangkauan ilniu pe­ngetahuan.

Sejarah masa lalu dan sekarang telah memperlihatkan betapa buruk akibat yang ditimbulkan oleh pemisahan antara ilmu pengetahuan dan agama. Kalau ada agama namun tak ada ilmu pengetahuan, maka arah upaya kaum humanitarian adalah sesuatu yang tidak banyak membawa hasil atau tidak membawa hasil yang baik. Upaya ini sering menjadi sumber prasangka dan obskurantisme (sikap yang menentang ilmu pengetahuan dan pencerahan—pen.), dan terkadang hasilnya adalah konflik yang membahayakan.

Kalau ilmu pengetahuan ada namun agama tidak ada, seperti yang terjadi pada sebagian masyarakat modern, maka segenap kekuatan ilmu pengetahuan digunakan untuk tujuan menumpuk harta sendiri, memperbesar kekuasaan sendiri, dan untuk memuaskan nafsu berkuasa dan nafsu mengeksploitasi.

Dua atau tiga abad yang baru lalu dapat dipandang sebagai periode mendewakan ilmu pengetahuan dan mengabaikan agama. Banyak intelektual mengira bahwa segenap problem yang dihadapi manusia dapat dipecahkan dengan ilmu pengetahuan, namun pengalaman telah membuktikan sebaliknya. Dewasa ini semua intelektual sepakat bahwa manusia membutuhkan agama. Meskipun agama itu tidak religius, namun yang jelas di luar ilmu pengetahuan. Sekalipun pandangan Bertrand Russel, materialistis, namun dia mengakui bahwa: "Kerja yang semata-mata bertujuan memperoleh pendapatan, maka kerja seperti itu tak akan membawa hasil yang baik. Untuk tujuan ini harus diadopsi profesi yang menanamkan pada individu sebuah agama, sebuah tujuan dan sebuah sasaran."[6]

Dewasa ini kaum materialis merasa terpaksa mengklaim diri sebagai kaum yang secara filosofis materialis dan secara moral idealis. Dengan kata lain, mereka mengatakan bahwa mereka adalah kaum materialis dari sudut pandang teoretis, dan kaum spiritualis dari sudut pandang praktis dan idealistis. Bagaimanapun juga, problemnya tetap: mana mungkin seorang manusia secara teoretis materialis dan secara praktis spiritualis? Pertanyaan ini harus dijawab oleh kaum materialis sendiri.

George Sarton, ilmuwan dunia yang termasyhur, penulis buku yang terkenal, "History of Science" (Sejarah Ilmu Pengetahuan), ketika menguraikan ketidakberdayaan ilmu pengetahuan mewujudkan hubungan antar umat manusia, dan ketika menegaskan kebutuhan mendesak akan kekuatan agama, berkata:

"Di bidang-bidang tertentu, ilmu pengetahuan berhasil membuat kemajuan yang hebat. Namun di bidang-bidang lain yang berkaitan dengan hubungan antar umat manusia, misalnya bidang politik nasional dan internasional, kita masih menertawakan diri kita."

George Sarton mengakui bahwa kayakinan yang dibutuhkan oleh manusia adalah keyakinan yang religius. Menurutnya, ke­butuhan ini merupakan satu di antara tiga serangkai yang dibutuh­kan oleh manusia: seni, agama dan ilmu pengetahuan. Katanya,

"Seni mengungkapkan keindahan. Seni adalah kenikmatan hidup. Agama berarti kasih sayang. Agama adalah musik kehidupan. Ilmu pengetahuan berarti kebenaran dan akal. Ilmu pengetahuan adalah had nurani umat manusia. Kita membutuhkan ketiganya: seni, agama dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan mutlak diperlukan, meskipun tidak pernah memadai." (George Sarton, Six Wings: Men of Science in the Renaissance, hal. 218. London, 1958)


Catatan Kaki:

[1] Petikan dari The Holy Bible, 1611 M. The British and Foreign Bible Society, London.

[2] The Pleasures of Philosophy, h. 240.

[3] The Pleasures of Philosophy, h. 114 (New York, 1953).

[4] Filosof Inggris abad ke-19 yang termasyhur.

[5] The Pleasures of Philosophy, h. 168,169 (New York, 1953).

[6] Bertrand Russell, Marriage and Morals, h. 102 (London, 1929).

3
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

BAB 3 - Keyakinan Religius
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa tanpa memiliki ideal dan agama, manusia tak dapat hidup sehat, juga tak dapat memberikan pengabdiannya yang bermanfaat kepada umat manusia dan budaya manusia. Bila seseorang tidak memiliki ideal dan agama, maka dia akan asyik memikirkan kesejahteraan hidupnya sendiri, atau akan berubah menjadi robot tak bernyawa yang meraba-raba dalam gelap dan tak tahu tugasnya berkenaan dengan masalah moral dan sosial dalam hidup ini. Dia akan memperlihatkan reaksi yang aneh terhadap masalah moral dan sosial tersebut. Bila seseorang mengikuti suatu mazhab, ideologi atau agama, dia tahu dengan jelas tanggung jawabnya. Namun seseorang yang tanggung jawabnya tidak dijelaskan oleh mazhab atau sistem, dia akan hidup dalam kebingungan, dia terkadang ke sana dan terkadang ke situ. Dia akan menjadi makhluk yang eksentrik atau ganjil. Sesungguhnya tak mungkin ada dua pendapat mengenai perlunya mengikuti suatu mazhab atau ideologi.

Penting untuk dicatat bahwa keyakinan religius sajalah yang dapat mengubah manusia menjadi mukmin sejati, dan sanggup mengendalikan egoismenya berkat pengaruh kuat suatu doktrin dan ideologi. Keyakinan religius menciptakan dalam diri seseorang suatu kepatuhan total, hingga orang itu tidak lagi dapat meragukan doktrin-doktrin sangat sepele yang terdapat dalam mazhabnya. Dia menyimpan mazhabnya dengan mesra dalam hatinya, dan beranggapan bahwa bila tanpa mazhabnya maka hidup tak akan ada artinya, dan mendukung ideologinya dengan penuh semangat.

Karakter Keyakinan Religius

Kecenderungan religius mendorong manusia melakukan berbagai upaya, sekalipun dengan mengorbankan perasaan individualistis dan naluriahnya. Terkadang manusia mengorbankan jiwanya dan kedudukan sosialnya untuk kepentingan agamanya. Hal ini dapat terjadi hanya bila idealnya sudah mencapai tingkat kesucian dan sepenuhnya mengendalikan eksistensinya. Hanya kekuatan religiuslah yang dapat membuat suatu ideal menjadi suci, dan membuat ideal tersebut memiliki otoritas terhadap manusia.

Memang, sering orang mengorbankan jiwanya, hartanya dan semua yang dicintainya bukan untuk kepentingan ideal atau keyakinan religius apa pun, melainkan karena ditekan oleh rasa benci, dengki, dendam atau karena reaksi keras terhadap rasa tertindas. Kasus-kasus seperti ini lumrah terjadi di seluruh penjuru dunia.

Namun, antara ideal religius dan ideal non-religius ada bedanya. Karena keyakinan religius dapat membuat suatu ideal menjadi suci, maka untuk kepentingan keyakinan tersebut dilakukan berbagai pengorbanan secara ikhlas dan naluriah. Tugas yang ditunaikan dengan ikhlas memperlihatkan suatu pilihan, namun tugas yang ditunaikan karena pengaruh tekanan jiwa yang mengusik, berarti suatu ledakan. Jadi jelaslah, antara keduanya ada perbedaan yang besar.

Selanjutnya, kalau konsepsi manusia mengenai dunia bersifat material semata dan dasarnya hanyalah realitas yang kasat mata, maka dia melihat segala bentuk idealisme sosial dan manusiawi bertentangan dengan realitas kasat mata dan hubungannya dengan dunia yang dirasakannya pada saat tertentu.

Psikolog yang sekaligus Filosof Amerika awal abad ke-20, William James, berkata:

"Hasil dari konsepsi persepsional hanyalah egoisme, bukan idealisme. Idealisasi tidak akan sampai melewati batas fantasi jika dasarnya adalah konsepsi mengenai dunia yang hasil logisnya adalah ideal yang bersangkutan. Manusia harus membentuk dunia gagasannya sendiri, yang terbentuk dari realitas-realitas yang ada di dalam dirinya, dan hidup bahagia dengan dunia gagasannya tersebut. Namun demikian, jika idealisme lahir karena keyakinan religius, maka idealisme tersebut dasarnya adalah konsepsi mengenai dunia, yang hasil logisnya mendukung ideal sosial. Keyakinan religius adalah semacam hubungan mesra antara manusia dan dunia, atau dengan kata lain semacam keselarasan antara manusia dan ideal universal. Sebaliknya, keyakinan non-religius dan ideal adalah semacam pencampakan dunia kasat mata untuk membangun dunia imajiner yang sama sekali tidak mendapat dukungan dari dunia kasat mata tersebut."

Keyakinan religius bukan saja menetapkan bagi manusia sejumlah tugas, terlepas dari kecenderungan naluriahnya, namun juga sepenuhnya mengubah pandangannya tentang dunia. Dalam struktur pandangannya ini, dia mulai melihat unsur-unsur baru. Dunia yang kering, dingin, mekanis dan material itu diubah menjadi dunia yang hidup. Keyakinan religius mengubah kesan manusia mengenai alam semesta. William James berkata:

"Dunia yang ditampilkan oleh pemikiran religius bukan saja dunia material ini yang sudah berubah bentuknya, namun juga meliputi banyak aspek yang tak dapat dibayangkan oleh seorang materialis." (Psychoanalysis and Religion, hal. 508)

Selain itu, setiap manusia mempunyai fitrah untuk mempercayai kebenaran dan realitas spiritual yang menarik. Manusia memiliki banyak kemampuan terpendam yang siap ditumbuh-kembangkan. Semua kecenderungannya sifatnya non-material. Kecenderungan spiritual yang dimiliki oleh manusia sifatnya fitri, bukan hasil dari upaya. Ini merupakan fakta yang didukung oleh ilmu pengetahuan.

William James berkata:

"Kalau benar alasan dan pendorong kita adalah dunia material ini, namun mengapa sebagian besar hasrat dan kecenderungan kita tidak sesuai dengan kalkulasi material. Ini menjelaskan bahwa sebenarnya alasan dan pendorong kita adalah dunia metafisis." (Psychoanalysis and Religion, hal. 508. New York, 1929)

Mengingat kecenderungan spiritual memang ada, maka kecen­derungan ini harus ditumbuh-kembangkan dengan baik dan saksama. Kalau tidak, bisa-bisa kecenderungan ini menyimpang dari jalan yang benar, dan akibatnya adalah kerugian yang tak mungkin dapat ditutup.

Psikolog yang lain, Erich Fromm, mengatakan:

"Tak ada manusia yang tidak membutuhkan agama dan tidak menghendaki batas bagi orientasinya dan subjek bagi masa lalunya. Manusia sendiri boleh jadi tidak membedakan antara keyakinan religius dan keyakinan non-religiusnya, dan boleh jadi percaya bahwa dirinya tak beragama. Boleh jadi dia memandang fokusnya kepada tujuan yang kelihatannya nonreligius, seperti harta, tahta atau kesuksesan, sebagai semata-mata isyarat perhatiannya kepada urusan praktis dan upaya untuk mewujudkan kesejahteraannya sendiri. Yang menjadi masalah bukanlah apakah manusia beragama atau tidak beragama, melainkan apa agama yang dianutnya." (Psychoanalysis and Religum, hal. 508)

Yang dimaksud oleh psikolog ini adalah, bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa menyucikan dan mencintai sesuatu. Kalau yang diakui dan disembahnya bukan Allah, dia pasti mengakui sesuatu sebagai realitas yang absolut, dan pasti menjadikannya sebagai objek keyakinan dan pemujaannya. Mengingat manusia membutuhkan ideal dan keyakinan, dan berdasarkan naluri dia berupaya mendapatkan sesuatu yang boleh jadi disucikan dan dipujanya, maka satu-satunya jalan adalah meningkatkan keyakinan religius kita, yang merupakan satu-satunya keyakinan yang benar-benar dapat mempengaruhi manusia.

Al-Qur'an Suci merupakan Kitab pertama yang menggambar-kan keyakinan religius sebagai semacam harmoni antara manusia dan alam semesta.

Apakah mereka mencari sesuatu selain agama Allah? Namun kepada-Nya tunduk patuh apa yang ada di langit dan di bumi. (QS. Ali 'Imran: 83)

Al-Qur'an Suci juga menyebutkan bahwa keyakinan religius merupakan bagian dari fitrah manusia.

Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus. Yaitu fitrah di mana Allah telah mendptakan manusia menurut fitrah itu. (QS. ar-Rum: 30)

Pengaruh dan Keuntungan Keyakinan

Pengaruh keyakinan religius sudah kami singgung. Namun, untuk lebih menjelaskan keuntungan dari aset kehidupan yang bernilai ini dan kekayaan spiritual, kami akan membahasnya dengan lebih terperinci.

Tolstoy, seorang penulis yang sekaligus Filosof Rusia, berkata: "Keyakinan adalah sesuatu yang dibutuhkan dalam hidup manusia." Seorang penyair sekaligus pemikir Iran, Hakim Nasir Khusrow, berkata kepada putranya: "Aku telah berpaling kepada agama, karena bagiku dunia tanpa agama laksana penjara. Aku tak mau alam hatiku porak-poranda." Banyak pengaruh positif yang diberikan oleh keyakinan religius. Keyakinan religius mewujudkan kebahagian dan kegembiraan, mengembangkan hubungan sosial, dan mengurangi serta menghilangkan kecemasan yang menjadi ciri pokok dunia material ini. Kami akan menjelaskan pengaruh keyakinan religius dari ketiga sudut pandang ini;

1. Kebahagiaan dan Kegembiraan

Pengaruh pertama keyakinan religius, dilihat dari sudut pandang kebahagiaan dan kegembiraan, adalah optimisme. Seorang yang memiliki keyakinan religius selalu optimis sikapnya terhadap dunia, kehidupan dan alam semesta. Keyakinan religius memberikan bentuk tersendiri kepada sikap manusia terhadap dunia. Karena menurut agama, alam semesta itu ada tujuannya dan bahwa tujuannya itu adalah perbaikan (kemajuan) dan evolusi, maka keyakinan religius tentu saja mempengaruhi pandangan manusia dan membuat manusia optimis dengan sistem alam semesta dan hukum yang mengatur alam semesta. Sikap seorang yang berkeyakinan religius terhadap alam semesta adalah sama dengan sikap seorang yang tinggal di sebuah negara yang meyakini bahwa sistem, hukum dan formasi negara tersebut bagus, bahwa pemimpin negara tersebut tulus dan bermaksud baik, dan bahwa di negara tersebut setiap warganya, termasuk dirinya, berpeluang membuat prestasi. Orang seperti itu tentu saja akan berpendapat bahwa penyebab tetap terkebelakangnya dirinya atau orang lain, tak lain adalah kemalasan dan tak berpengalamannya orang bersangkutan, dan bahwa dirinya dan warga lain bertanggung jawab dan di tun tut untuk menunaikan tugas mereka.

Seorang yang memiliki keyakinan religius akan bertanggung jawab atas keterbelakangan dirinya dan tak akan menyalahkan negaranya dan pemerintahannya atas keterbelakangannya tersebut. Dia percaya bahwa jika ada yang tidak beres, hal itu karena dirinya dan warga lain seperti dirinya tidak dapat menunaikan tugas dengan baik. Tentu saja perasaan seperti ini akan membangkitkan rasa harga dirinya, dan mendorong dirinya melangkah ke depan dengan penuh optimisme.

Sebaliknya, orang yang tidak memiliki keyakinan religius adalah seperti orang yang tinggal di sebuah negara yang sistem, hukum dan formasinya dia yakini zalim, dan orang tersebut terpaksa menerima, meski tidak sesuai dengan kata hatinya, sistem, hukum dan formasi negara tersebut. Hati orang seperti itu akan selalu dipenuhi rasa benci dan dendam. Sedikit pun dia tak akan pernah berencana meningkatkan kualitas dirinya. Menurutnya, kalau segalanya sudah tidak beres, kejujuran dan ketulusan dirinya tak akan ada gunanya. Orang seperti itu tak akan pernah menikmati dunia ini. Bagi dirinya, dunia ini akan selalu seperti penjara yang menakutkan. Itulah sebabnya Al-Qur'an memfirmankan:

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit. (QS. Thaha: 124)

Sesungguhnya, keyakinan religiuslah yang membuat kehidupan kita lapang secara spiritual, dan yang menyelamatkan kita dari tekanan faktor-faktor spiritual. Dari sudut pandang penciptaan kebahagiaan dan kegembiraan, pengaruh kedua dari keyakinan religius adalah tercerahkannya had. Kalau manusia melihat dunia dicerahkan oleh cahaya kebenaran, maka hati dan jiwanya juga tercerahkan. Keyakinan religius adalah laksana lentera yang menerangi rohaninya. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki keyakinan religius melihat dunia gelap gulita, kotor dan tak ada artinya, dan akibatnya hati orang tersebut tetap gelap gulita di dunia yang dianggapnya gelap gulita itu.

Pengaruh ketiga dari keyakinan religius, dari sudut pandang kebahagiaan dan kegembiraan, adalah pandangan bahwa upaya yang baik membawa hasil yang baik pula. Dari sudut pandang ma­terial murni, dunia fana ini tak peduli siapa yang lurus dan benar jalannya, dan siapa yang salah jalannya. Hasil dari suatu upaya ditentukan semata-mata oleh satu hal, yaitu seberapa keras upaya tersebut dilakukan. Namun, menurut sudut pandang orang yang memiliki keyakinan religius, dunia fana ini tidak acuh dan tidak netral terhadap upaya orang-orang yang berbuat benar dan salah. Reaksi dunia terhadap upaya dua kelompok ini tidak sama. Sistem alam semesta mendukung orang-orang yang berbuat untuk ke­benaran, keadilan dan integritas.

Al-Qur'an memfirmankan:

Jika kamu menolong (agama) Allah, Dia akan menolongmu. (QS. Muhammad: 7)

Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berniat baik. (QS. at-Taubah: 120, Hud: 115, Yusuf: 90)

Pengaruh keempat dari keyakinan religius, dilihat dari sudut pandang penciptaan kebahagiaan dan kegembiraan, adalah kepuasan mental. Pada dasarnya manusia berusaha untuk sukses, dan rencana untuk meraih kesuksesan tersebut membuat hatinya berbunga-bunga. Ketakutan akan masa depan yang gelap membuat dirinya merasa ngeri dan mengusik ketenangannya. Ada dua hal yang membuat orang bahagia dan puas: (1) upaya; (2) kepuasan terhadap kondisi-kondisi yang lazim di lingkungannya.

Kesuksesan seorang pelajar ditentukan oleh dua hal: Pertama, upayanya sendiri. Kedua, kondusif atau tidak atmosfer di sekolahnya, dan dorongan dari pihak sekolah. Jika seorang pelajar yang pekerja keras tidak percaya dengan atmosfer sekolahnya dan guru-gurunya, sepanjang tahun belajarnya dia akan khawatir akan adanya perlakuan yang tidak adil dan akan dicekam rasa cemas.

Manusia mengetahui tugasnya terhadap dirinya sendiri. Aspek ini tidak membuatnya khawatir, karena yang mengusik manusia adalah perasaan ragu dan tidak pasti. Manusia yakin dengan semua yang penting bagi dirinya. Yang mengusik manusia dan yang tidak jelas bagi manusia adalah tugasnya terhadap dunia. Pertanyaan yang paling mengusiknya adalah: Apakah perbuatan baik itu ada gunanya? Apakah kebenaran dan kejujuran itu membantu mencapai tujuan? Apakah akhir dari penunaian tugas adalah kesia-siaan? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang menimbulkan kecemasan dalam bentuknya yang paling mengerikan.

Keyakinan religius mengembalikan rasa percaya manusia kepada dunia, dan menghilangkan rasa tidak percayanya kepada perilaku dunia terhadap dirinya. Itulah sebabnya kami katakan bahwa salah satu pengaruh keyakinan religius adalah ketenangan mental. Pengaruh lain dari keyakinan religius, dari sudut pandang kegembiraan dan kebahagiaan, adalah lebih menikmati kenikmatan yang dikenal sebagai kenikmatan spiritual. Ada dua macam kenikmatan yang dapat dirasakan oleh manusia. Kenikmatan macam pertama berkaitan dengan salah satu dari panca indera. Kenikmatan seperti ini dirasakan berkat terjadinya kontak antara organ tubuh manusia dan objek tertentu. Mata memperoleh kenikmatan melalui melihat, telinga melalui mendengar, mulut melalui merasakan, dan indera peraba melalui meraba atau menyentuh. Kenikmatan jenis lain adalah kenikmatan yang berkaitan dengan jiwa dan indera batiniah manusia. Kenikmatan seperti ini tak ada hubungannya dengan organ tubuh, dan tidak diperoleh melalui kontak dengan objek tertentu. Kenikmatan seperti ini diperoleh bila kita berbuat baik kepada orang atau makhluk lain, bila kita dihormati dan menjadi popular, atau bila kita sukses atau bila anak kita sukses. Kenikmatan seperti ini khususnya tidak berkaitan dengan organ tubuh, juga tidak dipengaruhi langsung oleh faktor material.

Kenikmatan spiritual lebih kuat dan lebih abadi ketinabang kenikmatan material. Kenikmatan yang dirasakan oleh orang-orang yang tulus beribadah kepada Allah dengan ibadah mereka yang khusyuk adalah kenikmatan spiritual. Dalam bahasa agama, ke­nikmatan spiritual digambarkan sebagai "Nikmatnya Iman" dan "Rasanya Iman". Rasanya iman lebih lezat ketimbang—dan melebihi—rasa-rasa yang lain. Kenikmatan spiritual akan semakin bertambah bila kita berbuat bajik, misalnya menuntut ilmu pengetahuan, membantu orang atau makhluk lain, atau sukses melaksanakan tugas yang digerakkan oleh rasa keagamaan. Setiap perbuatan yang dilakukan karena Allah SWT, merupakan perbuatan ibadah dan mendatangkan kenikmatan.

2. Peran Keyakinan Religius dalam Meningkatkan Hubungan Sosial

Seperti sebagian binatang lainnya, manusia suka hidup ber­kelompok. Tak seorang manusia pun yang seorang diri dapat memenuhi semua kebutuhannya. Dalam hidup ini mutlak diperlukan kerja sama. Harus ada give and take (saling memberi dan menerima) dan pembagian kerja. Namun demikian, ada satu perbedaan antara manusia dan binatang lain yang juga suka hidup berkelompok, seperti lebah misalnya. Binatang lain secara naluriah menjalankan prinsip pembagian kerja. Binatang ini tak kuasa untuk tidak mengikuti hukum ini. Sebaliknya, manusia leluasa. Manusia memiliki kuasa untuk memilih. Manusia dapat mengerjakan pekerjaan yang disukainya, dan memandang pekerjaan ini sebagai tugasnya. Dengan kata lain, pada binatang lain yang juga suka hidup berkelompok, naluri sosial dipaksakan. Meskipun kebutuhan manusia bersifat sosial, namun pada manusia naluri sosial tersebut tidak dipaksakan. Naluri sosial pada diri manusia ada dalam bentuk dorongan yang dapat ditumbuh-kembangkan melalui pendidikan dan pelatihan.

Kehidupan sosial dapat dikatakan baik kalau semua individunya menghormati hukum dan hak masing-masing, memperlihatkan rasa bersahabat terhadap satu sama lain, dan menganggap suci keadilan. Dalam masyarakat yang sehat, setiap orang menghendaki untuk orang lain apa yang dikehendaki untuk dirinya dan tidak meng­hendaki untuk orang lain apa yang tidak dikehendaki untuk dirinya. Semua individunya saling percaya, dan dasar dari saling percaya ini adalah kualitas spiritual mereka. Setiap orang merasa bertanggungjawab terhadap masyarakatnya, juga memperlihatkan kualitas ketakwaan dan kebajikan ketika sendirian maupun ketika berada di tengah masyarakat, dan berbuat baik kepada orang lain dengan tulus. Semua anggota masyarakat menentang tirani dan kezaliman, dan tidak membiarkan penindas berbuat kerusakan atau kejahatan. Semua anggota masyarakat menghormati nilai-nilai moral dan hidup bersama dalam kesatuan dan harmoni yang sempurna seperti organ-organ pada satu tubuh.

Keyakinan religius sajalah yang, terutama sekali, menghargai kebenaran, menghormati keadilan, mendorong kebajikan dan saling percaya, menanamkan semangat ketakwaan, mengakui nilai-nilai moral, menyemangati individu untuk menentang tirani dan mempersatukan individu menjadi satu tubuh yang solid. Kebanyakan tokoh yang cemerlang dan termasyhur di dunia dan dalam sejarah mendapat ilham dari perasaan religius.

3. Mengurangi Kecemasan

Kehidupan manusia berkisar antara kesuksesan, prestasi, kesenangan, kegembiraan dan kegagalan, penderitaan, dan kecemasan. Banyak penderitaan dan kegagalan dapat dicegah atau diobati, tentu saja dengan upaya keras. Jelaslah, manusia ber­tanggungjawab menundukkan alam dan mengubah kemalangan hidup menjadi keberuntungan hidup. Namun demikian, banyak kejadian pahit tak dapat dicegah atau juga tak dapat ditentang. Misal, ambil contoh usia lanjut. Berangsur-angsur orang pasti berusia lanjut dan pasti mengalami kemerosotan kondisi jasmani akibat usia lanjut. Usia lanjut, kemunduran kondisi tubuh dan penyakit membuat hidup orang lanjut usia terasa sulit. Takut mati dan takut mewariskan dunia fana ini kepada orang lain selalu terasa menyakitkan hati.

Keyakinan religius memberikan kepada manusia kekuatan untuk menentang dan kekuatan bertahan serta mengubah kepahitan hidup menjadi terasa manis. Orang yang memiliki keyakinan religius tahu bahwa segala yang ada di dunia ini ada skemanya. Seandainya orang tersebut tidak mungkin keluar dari kepahitan hidup, maka Allah akan memberinya kompensasi dengan cara lain, dengan catatan dia menunjukkan reaksi yang baik terhadap kemalangan hidupnya. Bagi orang yang takwa, usia lanjut itu menyenangkan dan lebih nikmat ketimbang usia muda karena dua alasan: Pertama, dia tidak percaya kalau usia lanjut merupakan akhir segalanya; kedua, waktu yang masih ada dimanfaatkannya dengan asyik memuja dan mengingat Allah.

Sikap orang beriman terhadap kematian beda dengan sikap orang tak beriman. Bagi orang beriman, kematian bukanlah berarti kehancuran total, melainkan hanyalah peralihan dari dunia fana yang kecil ini ke alam abadi yang agung. Kematian berarti meninggalkan "dunia kerja" menuju "dunia hasil." Karena itu orang beriman menyikapi rasa takut matinya dengan menyibukkan diri berbuat baik, dan perbuatan baik ini oleh agama disebut dengan "amal saleh."

Para psikiater mengakui bahwa merupakan suatu fakta yang tak terbantahkan bahwa kebanyakan penyakit jiwa diakibatkan oleh kecemasan mental dan kepahitan hidup, dan penyakit ini lazim dijumpai di kalangan orang-orang nonreligius. Penyakit zaman modern ini, yang muncul akibat lemahnya keyakinan religius, berupa semakin meluasnya penyakit jiwa dan saraf.•



BAB 4 - Mazhab Pemikiran atau Ideologi
Definisi dan Arti Penting Ideologi

Apakah ideologi itu, dan bagaimana definisinya? Perlukah manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat untuk mengikuti mazhab dan mempercayai ideologi? Apakah keberadaan ideologi diperlukan oleh orang seorang atau masyarakat? Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, perlu adanya mukadimah.

Ada dua macam aktivitas manusia: yang menyenangkan dan yang politik. Aktivitas yang menyenangkan adalah aktivitas yang dilakukan manusia untuk mendapatkan kesenangan atau untuk melepaskan diri dari kepedihan yang terjadi akibat pengaruh langsung nalurinya, karakter pembawaan atau kebiasaannya (yang juga merupakan kecenderungan yang terbentuk akibat lingkungan atau pengalaman dan sudah menjadi naluri, dan bukan karakter bawaan). Misal, kalau orang merasa haus, dia akan mengambil segelas air, bila dia melihat binatang penyengat, dia akan mengambil langkah seribu, dan kalau dia merasa ingin merokok, dia akan menyalakan rokok.

Perbuatan seperti itu sesuai dengan keinginan manusia dan berhubungan langsung dengan kesenangan dan kesedihan. Per­buatan yang menyenangkan membuat manusia tertarik untuk melakukannya, sedangkan perbuatan yang menyedihkan menjauhkan manusia dari perbuatan seperti itu. Politik merupakan aktivitas, yang aktivitas itu sendiri tidak menarik dan juga tidak menjijikkan. Naluri manusia atau karakter fitrinya tidak mendorong manusia untuk melakukan aktivitas seperti itu dan juga tidak menjauhkannya dari aktivitas seperti itu.

Manusia melakukan aktivitas seperti itu atau menghindari aktivitas seperti itu atas dasar kehendaknya sendiri karena dia merasa berkepentingan untuk melakukan aktivitas seperti itu atau tidak melakukan aktivitas seperti itu. Dengan kata lain, dalam kasus ini penyebab utama dan kekuatan yang mendorong manusia untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu adalah kepentingannya dan bukan kesenangan. Yang mendorong manusia untuk memperoleh kesenangan adalah nalurinya, sedangkan yang mendorong manusia untuk melakukan kepentingannya adalah akal. Kesenangan merangsang hasrat, sedangkan kepentingan membangkitkan kehendak. Manusia memperoleh kesenangan dari perbuatan yang menyenangkan ketika melakukan perbuatan itu. Namun manusia tidak memperoleh kesenangan dari perbuatan politik, sekalipun mungkin dia merasa bahagia karena merasa melakukan sesuatu yang dalam jangka panjang benar dan baik bagi dirinya. Ada perbedaan antara perbuatan yang mendatangkan kesenangan dan perbuatan yang tidak mendatangkan kesenangan dan mungkin justru menimbulkan kesulitan, meskipun manusia mungkin melakukannya dengan suka hati. Perbuatan politik tidak mendatang­kan kesenangan, karena tidak memberikan hasil langsung. Namun demikian, perbuatan politik memberikan kepuasan. Kesenangan dan kesulitan lazim dialami oleh manusia dan binatang. Namun kebahagiaan dan ketidakbahagiaan serta kepuasan dan kekecewaan hanya dialami oleh manusia. Begitu pula, menghasratkan sesuatu hanya terjadi pada manusia. Kepuasaan, kekecewaan dan berkeinginan merupakan fungsi-fungsi mental. Ketiga hal ini hanya ada dalam wilayah pikiran manusia, bukan dalam wilayah persepsi inderawi.

Telah kami sebutkan bahwa manusia melakukan perbuatan politik dengan bantuan akalnya dan pengendalian dirinya. Sebaliknya, perbuatan yang mendatangkan kesenangan dilakukan oleh manusia atas perintah perasaan dan kecenderungannya. Maksud dari perbuatan yang dilakukan atas perintah akal adalah bahwa kemampuan akal dalam mengkalkulasi melihat adanya manfaat, kesenangan atau kesempurnaan, menemukan cara untuk memperolehnya, yang terkadang boleh jadi melelahkan, dan kemudian berencana mendapatkannya. Arti dari melakukan perbuatan dengan bantuan pengendalian diri adalah bahwa manusia memiliki kemampuan yang menjadi sifatnya. Peran kemampuan ini adalah melakukan tindakan yang direstui oleh akal. Tindakan ini boleh jadi terkadang bertentangan dengan kecenderungan naluriahnya. Naluri muda seorang pelajar mengajaknya makan, minum, bersukaria, tidur dan bersetubuh, namun pikirannya yang tajam mengingatkannya tentang akibat buruk dari perbuatan-perbuatan ini dan mendorongnya untuk tetap jaga, bekerja keras dan untuk tidak memperturutkan kata hati untuk hidup mewah dan untuk tidak memperturutkan hawa nafsu. Pada masa ini manusia lebih suka mengikuti ajakan akal, karena menguntungkan dirinya, dan lebih suka mengabaikan ajakan nalurinya yang hanya menunjukkan kesenangan saja. Begitu pula, pasien tak suka minum obat yang pahit rasanya, namun dia tetap saja harus minum obat karena perintah akalnya yang memberikan petunjuk yang benar atau karena kekuatan kehendaknya yang dapat mengatasi kecenderungan naluriahnya.

Semakin kuat akal dan kehendak, semakin kuat kendalinya atas naluri, sekalipun kecenderungannya menghendaki sebaliknya. Dalam melakukan aktivitas politiknya, manusia pada setiap tahap mempraktikkan teori atau rencana. Semakin maju akal dan ke­hendak seseorang, semakin bersifat politik aktivitasnya, bukannya bersifat kesenangan. Semakin dekat dia dengan cakrawala sisi hewaninya, aktivitasnya semakin bersifat kesenangan bukannya politik, karena aktivitas yang bersifat mencari kesenangan kebanyakan merupakan aktivitas hewaniah.

Kita juga melihat binatang yang aktivitas tertentunya diarahkan untuk mencapai tujuan jangka panjang, seperti membuat sarang, migrasi, kawin dan reproduksi. Namun binatang tersebut me­lakukan aktivitas ini secara tidak sadar dan bukan karena pilihannya sendiri yang diambil setelah menentukan apa yang ingin dicapainya dan cara pencapaiannya. Sebaliknya, binatang tersebut melakukan aktivitas ini atas dasar ilham naluriah dari luar dirinya.

Mungkin saja ruang lingkup aktivitas politik manusia berkembang sehingga mencakup beberapa aktivitas kesenangan. Karena itu semua aktivitas manusia, sejauh mungkin, harus direncanakan dengan matang sehingga aktivitas kesenangan juga ada manfaatnya di samping sebagai kesenangan. Setiap aktivitas naluriah yang menanggapi perintah naluri, hendaknya mematuhi perintah akal juga. Kalau dalam aktivitas politik juga ada aktivitas kesenangan, dan jika aktivitas kesenangan menjadi bagian dari rencana politik umum kehidupan, maka naluri akan selaras dengan akal dan hasrat akan selaras dengan kehendak. Karena aktivitas politik berkisar pada seputar tujuan jangka panjang, tentu saja aktivitas ini membutuhkan perencanaan, metode dan pemilihan sarana untuk mencapai tujuan. Mengingat aktivitas ini ada segi individualistisnya, karena direncanakan oleh para induvidu untuk kepentingan dirinya, maka akal individulah yang menetapkan metode dan sarananya. Tentu saja, pilihan ditentukan oleh pengetahuan, informasi dan kemampuan menilainya.

Kendatipun aktivitas politik manusia penting sekali bagi sisi manusiawinya, namun aktivitas itu saja, apa pun kualitasnya, belumlah cukup untuk memberikan karakteristik manusiawi kepada semua aktivitasnya. Memang akal, pengetahuan dan perencanaan merupakan separo dari sisi manusiawi manusia, namun belum memadai untuk memberikan karakteristik manusiawi kepada aktivitas manusia. Aktivitas manusia baru dapat disebut manusiawi kalau sesuai dengan kecenderungan yang lebih tinggi, di samping rasional dan didasarkan pada kesadaran, atau setidaknya tidak bertentangan dengan kecenderungan yang lebih tinggi itu. Kalau tidak, maka aktivitas kriminal pun terkadang perencanaan dan pelaksanaannya sangat bagus. Rencana imperialis yang jahat menunjukkan fakta ini. Dalam Islam, rencana atau upaya yang dibuat untuk mencapai tujuan material dan hewani yang tidak sesuai dengan kecenderungan manusiawi dan religius dianggap buruk dan jahat. Bagaimanapun juga, aktivitas politik tidak manusiawi. Kalau aktivitas tersebut sifatnya hewani, maka jauh lebih berbahaya danpada aktivitas yang murni kesenangan. Misal, binatang, untuk mengisi perutnya, mencabik-cabik binatang lain atau manusia. Namun manusia yang dapat berhitung dan berencana, maka untuk mencapai tujan yang sama dia menghancurkan banyak kota dan membantai berjutajuta orang tak berdosa.

Pertanyaan apakah tujuan yang diusulkan oleh akal cukup atau tidak cukup untuk memenuhi kepentingan para individu, kita kesampingkan. Dengan kata lain, kita kesampingkan pertanyaan mengenai batas efektivitas akal para individu dalam menentukan kepentingannya masing-masing. Namun, bagaimanapun juga, tak ada keraguan bahwa kemampuan berpikir diperlukan dan bermanfaat untuk membuat perencanaan hidup yang parsial dan terbatas. Dalam hidupnya, manusia menghadapi banyak problem seperti memilih teman, memilih bidang pendidikan, memilih pasangan hidup, memilih pekerjaan, bepergian, perilaku dalam masyarakat, rekreasi, aktivitas yang bajik, melawan praktik tidak bermoral dan jahat, dan seterusnya. Untuk semua ini, manusia tentu saja perlu berpikir dan membuat perencanaan. Semakin keras berpikir, semakin besar kemungkinannya untuk sukses. Dalam beberapa kasus dia bahkan perlu bantuan pikiran dan pengalaman orang lain (prinsip konsultasi). Dalam semua kasus ini manusia membuat perencanaan dan kemudian melaksanakannya.

Namun demikian, pertanyaan yang masih mengganjal adalah, apakah pada skala yang lebih luas manusia mampu membuat perencanaan umum yang meliputi semua problem kehidupan pribadinya dan yang dapat diterapkan pada segala situasi, atau dia hanya mampu menangani beberapa kasus tertentu dan skalanya juga terbatas, dan apakah meliputi segala situasi dan menjamin kesuksesan di segala hal berada di luar kemampuan akal manusia.

Kita tahu bahwa beberapa filosof mempercayai teori "mampu memenuhi kebutuhan sendiri". Mereka mengklaim menemukan jalan untuk bahagia dan tidak bahagia, dan dapat hidup bahagia dengan hanya bersandar pada kehendak dan kekuatan pikir mereka sendiri. Kita juga tahu bahwa tak dapat ditemukan dua filosof yang, berkenaan dengan jalan ini, pendapatnya satu.

Kebahagiaan itu sendiri, yang menjadi tujuan final, termasuk dalam hal-hal yang sangat mendua, sekalipun konsepsi mengenai kebahagiaan sekilas tampak sangat jelas. Masih belum jelas apa sebenarnya kebahagiaan dan apa saja yang mewujudkan kebahagia­an. Manusia sendiri dan kemampuannya belum diketahui. Sepanjang manusia belum diketahui, mana mungkin kita dapat mengetahui apa sebenarnya kebahagiaan dan bagaimana memperoleh ke­bahagiaan?

Lagi pula, manusia adalah makhluk sosial. Kehidupan sosialnya membawa beribu-ribu problem bagi dirinya yang tak dapat dipecahkannya. Biar bagaimanapun tugasnya haruslah jelas. Mengingat manusia adalah makhluk sosial, maka kebahagiaannya, aspirasinya, standar baik dan buruknya, jalan hidupnya, pilihannya akan sarana hidup, jalin berkelindan dengan kebahagiaan sesama manusia, aspirasi mereka, standar baik dan buruk mereka, jalan hidup mereka dan pilihan mereka akan sarana hidup. Manusia tidak dapat memilih jalannya tanpa bergantung pada sesamanya. Manusia harus mencari kebahagiaannya di jalan yang membawa masyarakat ke kebahagiaan dan kesempurnaan.

Jika mempertimbangkan masalah roh yang abadi, dan akal yang tidak memiliki pengalaman dengan kehidupan akhirat, maka problemnya menjadi jauh semakin sulit. Kini di sini terlihat kebutuhan akan mazhab, ideologi, teori umum atau sistem yang komprehensif dan harmonis, yang tujuan pokoknya adalah ke-sempurnaan manusia dan kebahagiaan bagi semua. Sistem ini harus memerinci prinsip-prinsip pokok, berbagai metode, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, perbuatan baik dan buruk, tujuan dan sarana, tuntutan dan pemecahannya, tanggung jawab dan kewajiban. Juga harus menjadi sumber yang mendorong semua individu untuk menjalankan kewajiban.

Sejak awal, atau setidaknya sejak perkembangan kehidupan sosial melahirkan begitu banyak perselisihan,[1] manusia membutuhkan ideologi atau, dalam terminologi Al-Qur'an disebut dengan "syariat". Waktu berlalu, dan manusia semakin maju, kebutuhan ini pun kian kuat. Di masa dahulu, kecenderungan rasial, kebangsaan dan kesukuan menguasai masyarakat-masyarakat manusia, seperti misalnya semangat kebersamaan. Semangat ini kemudian melahirkan serangkaian ambisi—sekalipun tidak manusiawi—yang memper-satukan masing-masing masyarakat, dan memberinya orientasi tertentu. Sekarang kemajuan ilmu pengetahuan dan akal telah melemahkan ikatan-ikatan seperti ini. Watak ilmu pengetahuan adalah cenderung kepada individualisme, melemahkan sentimen dan ikatan yang didasarkan pada sentimen. Juga hanyalah sebuah filsafat hidup yang rasional yang dipilih secara sadar, atau dengan kata lain sebuah ideologi yang komprehensif dan sempurna, yang dapat mempersatukan umat manusia dewasa ini atau malah umat manusia di masa depan, memberinya orientasi, ideal bersama dan standar bersama untuk menilai mana yang benar dan mana yang salah.

Dewasa ini, lebih daripada sebelumnya, manusia membutuhkan filsafat hidup seperti itu, sebuah filsafat yang mampu menarik perhatiannya kepada realitas di luar para individu dan di luar kepentingan mereka. Fakta bahwa mazhab atau ideologi merupakan salah satu yang dibutuhkan dalam kehidupan sosial, tak lagi diragukan.

Kini pertanyaannya adalah: Siapa yang dapat merumuskan ideologi seperti itu? Tak pelak lagi, akal para individu tak dapat merumuskannya. Dapatkah akal kolektif merumuskannya? Dapatkah manusia, dengan menggunakan segenap pengalamannya serta informfei lama dan barunya, merumuskan ideologi seperti itu? Kalau kita akui bahwa manusia tidak mengenal dirinya sendiri, maka mana mungkin kita berharap dia mengenal masyarakat manusia dan kesejahteraan sosial. Lantas harus bagaimana? Kalau saja konsepsi kita tentang alam semesta benar, dan kita percaya bahwa dunia memiliki sistem yang seimbang dan tak ada yang tak beres atau tak masuk akal pada dunia, maka harus kita akui bahwa mesin kreatif yang hebat ini memperhatikan masalah besar ini dan sudah memerinci skema pokok sebuah ideologi dari cakrawala yang berada di atas cakrawala akal manusia, yaitu dari cakrawala wahyu (prinsip kenabian). Kerja akal dan ilmu pengetahuan adalah mengikuti skema ini.

Dengan bagus Ibnu Sina mengemukakan masalah ini ketika menguraikan kebutuhan umat manusia terhadap hukum Tuhan (syariat) yang diturunkan melalui seorang manusia. Dalam Kitab-nya "Najat", dia berkata:

"Nabi dan penjelas hukum Tuhan serta ideologi jauh lebih dibutuhkan bagi kesinambungan ras manusia, dan bagi pencapaian manusia akan kesempumaan eksistensi manusiawinya, ketimbang tumbuhnya alls mata, lekuk tapak kakinya, atau hal-hal lain seperti itu, yang paling banter bermanfaat bagi kesinambungan ras manusia, namun tidak perlu sekali."

Dengan kata lain, mana mungkin mesin kreatif yang hebat ini, yang kebutuhan kecil dan sepele pun bahkan diperhatikannya, tidak memperhatikan kebutuhan yang sangat penting ini?

Namun jika kita tidak memiliki konsepsi yang benar mengenai alam semesta, kita dapat mengambil gagasan yang menyebutkan bahwa manusia sudah digariskan nasibnya untuk kebingungan dan salah, dan bahwa ideologi manusiawi tak lebih daripada rekreasi atau upaya yang menarik. Pembahasan di atas bukan saja menjelaskan kebutuhan akan adanya mazhab atau ideologi, namun juga memperlihatkan perlunya para individu mengikuti mazhab atau ideologi.

Sesungguhnya, arti dari mengikuti ideologi adalah meyakini ideologi tersebut, sedangkan keyakinan tidak dapat dipaksakan, juga tidak dapat dipandang sebagai masalah praktis. Orang dapat saja dipaksa tunduk kepada sesuatu, namun ideologi tidak menuntut ketundukan. Yang dituntut ideologi adalah keyakinan. Ideologi adalah untuk diterima dan dimengerti. Ideologi yang bermanfaat harus didasarkan pada konsepsi ten tang dunia yang dapat meyakinkan akal dan memupuk pikiran, dan harus mampu menangkap sasaran yang menarik dari konsepsinya tentang alam semesta. Keyakinan dan semangat merupakan dua unsur dasar dari agama. Kedua unsur ini secara bersama-sama membentuk ulang dunia.

Namun ada beberapa pertanyaan yang harus dibahas secara ringkas. Kalau ada kesempatan yang lebih baik, pertanyaan-pertanyaan ini akan dibahas dengan terperinci.

Jenis-jenis Ideologi

Ada dua jenis ideologi: Ideologi manusiawi dan ideologi kelas. Ideologi manusiawi adalah ideologi yang didedikasikan untuk seluruh umat manusia, bukan untuk kelas, ras atau masyarakat tertentu saja. Format ideologi seperti ini meliput seluruh lapisan masyarakat dan tidak hanya lapisan atau kelompok tertentu saja.

Sebaliknya, ideologi kelas didedikasikan untuk kelas, kelompok atau lapisan masyarakat tertentu, dan tujuannya adalah emansipasi atau supremasi kelompok tertentu. Format yang dikemukakannya terbatas pada kelompok itu saja, dan pendukung serta pembela ideologi ini berasal dari kelompok itu saja. Dua ideologi ini masing-masing didasarkan pada konsepsi tertentu tentang manusia. Setiap ideologi yang umum dan manusiawi sifatnya, seperti misalnya ideologi Islam, sikapnya terhadap manusia adalah seperti itu, dan sikap ini dapat disebut sikap alamiah. Dari sudut pandang Islam, manusia diciptakan untuk mengungguli faktor sejarah dan faktor sosial. Manusia memiliki dimensi eksistensial yang khusus dan kualitas-kualitas (kemampuan-kemampuan) yang tinggi yang membedakan dirinya dengan binatang. Menurut pandangan ini, desain kreatif manusia adalah sedemikian sehingga semua manusia me­miliki semacam kesadaran dan intuisi. Karena kesadaran dan intuisi inilah manusia layak diseru dan mampu menjawab seruan. Ideologi-ideologi manusiawi menjadikan intuisi alamiah manusia untuk dasar ajarannya dan menyunukkan semangat berbuat pada manusia.

Beberapa ideologi berbeda pandangan mengenai manusia. Menurut mereka, spesies manusia tidak tepat untuk diseru, juga tidak dapat menjawab seruan. Mereka berpendapat bahwa kesadaran dan kecenderungan manusia ditentukan oleh faktor-faktor sejarah dalam kehidupan nasionalnya, dan faktor-faktor sosial yang menghidupkan status kelasnya. Kalau kita abaikan faktor sejarah dan sosial, maka manusia, dalam pengertiannya yang utuh, tidak memiliki kesadaran atau kemampuan intuitif, dia juga tidak tepat untuk diminta mengemban misi. Dalam kasus itu, dia bukan manusia yang konkret, dan eksistensinya konseptual belaka. Marxisme dan begitu pula berbagai filsafat nasional didasarkan pada pandangan tentang manusia seperti itu. Filsafat-filsafat ini berupaya mendapatkan keuntungan kelas, atau didasarkan pada sentimen nasional dan rasial, atau paling banter pada budaya nasional.

Tak ayal lagi, bahwa ideologi Islam termasuk jenis yang pertama, dan dasarnya adalah fitrah manusia. Itulah sebabnya Islam menyampaikan pesannya kepada "orang kebanyakan", bukan kepada kelompok atau kelas tertentu. Islam praktis mampu merekrut pendukungnya dari semua kelompok, bahkan dari kalangan yang diperangi oleh Islam, yaitu kalangan yang oleh Islam disebut orang-orang yang hidup mewah. Merupakan suatu prestasi yang luar biasa ketika Islam mampu menarik pendukung dari sebuah kelas untuk memerangi kelas bersangkutan, dan dari sebuah kelompok untuk memerangi kepentingan kelompok bersangkutan, dan bahkan menggerakkan individu-individu untuk memerangi dirinya sendiri. Inilah yang dilakukan Islam, dan masih dilakukannya. Islam, yang merupakan sebuah agama yang tumpuannya adalah fitrah manusia dan yang mewarnai ciri paling pokok dari eksistensinya, dapat menggerakkan para individu untuk berjuang dan mewujudkan revolusi melawan dirinya sendiri. Revolusi ini disebut rasa sesal. Kekuatan revolusioner sebuah ideologi kelas atau kelompok hanya sekadar menggerakkan orang untuk menentang orang lain atau kelas menentang kelas lain, namun tak dapat meyakinkan orang untuk melakukan revolusi terhadap dirinya sendiri, juga tidak dapat membuat orang mampu mengendalikan sentimen dan keinginannya sendiri.

Istilah 'orang kebanyakan' pada umumnya sering disalahartikan dan disamaartikan dengan "massa" yang dibedakan dari kalangan kelas atas. Karena Islam ditujukan untuk 'orang kebanyakan', maka Islam dianggap sebagai agama rakyat. Malahan hal ini dianggap sebagai keistimewaan bagi Islam. Tetapi kita mesti ingat, bahwa Islam tidak hanya menujukan pesan-pesannya hanya bagi 'orang kebanyakan' semata, begitu pula ideologinya bukan merupakan ideologi pemisahan kelas. Keistimewaan Islam yang sesungguhnya terletak pada kenyataan bahwa kemajuan Islam adalah dengan dukungan dari rakyat, bukan karena Islam dituju­kan hanya kepada rakyat semata. Yang membuat Islam lebih istimewa lagi adalah bahwa Islam telah menggugah kepedulian kalangan kelas atas—di antara Muslimin—terhadap kelas bawah.

Islam, sebagai sebuah agama, dan sesungguhnya agama terakhir, lebih dari agama lain, datang untuk menegakkan sistem keadilan sosial.[2] Tentu saja, tujuan Islam adalah membebaskan kaum tertindas dan kaum kurang mampu. Namun pesan Islam bukan kepada kaum tertindas dan kaum kurang mampu saja. Islam mendapat pendukungnya bukan dari kelas ini saja. Sebagaimana kesaksian sejarah, dengan menggunakan kekuatan iman dan fitrah manusia, Islam mampu mendapat pendukungnya, bahkan dari kalangan kelas-kelas yang hendak diperangi oleh Islam. Islam membawa teori kemenangan sisi manusiawi manusia atas sisi hewani manusia, kemenangan ilmu pengetahuan atas kebodohan, kemenangan keadilan atas tirani, kemenangan persamaan hak atas diskriminasi, kemenangan kebajikan atas keburukan, kemenangan ketakwaan atas hawa nafsu, dan kemenangan tauhid atas kesyirikan. Kesuksesan kaum tertindas melawan kaum tiran dan lalim merupakan perwujudan kemenangan ini.

Pembahasan terdahulu melahirkan pertanyaan, apakah sesungguhnya budaya manusia itu seragam sifatnya, atau budaya manusia yang seragam itu tak ada, dan bahwa yang ada dan akan ada di masa mendatang adalah banyak budaya yang masing-masing memiliki sifat nasional, komunal atau kelas?

Pertanyaan ini berkaitan dengan pertanyaan lain. Apakah fitrah manusia itu seragam dan orisinal, sehingga melahirkan budaya manusia yang seragam? Jika fitrah manusia seragam, tentu budaya manusia juga seragam. Kalau tidak, tentu masuk akal bila percaya bahwa budaya merupakan produk dari faktor-faktor historis, nasional dan geografis, atau produk dari kepentingan finansial kelas. Islam, berkat konsepsi khasnya tentang dunia, percaya bahwa fitrah manusia seragam. Islam mendukung pandangan bahwa ideologi dan budaya juga seragam. Jelaslah, hanya ideologi manusiawi, bukan ideologi kelas, ideologi yang seragam, bukan ideologi yang didasarkan pada pengkotak-kotakan manusia, dan ideologi alamiah, bukan ideologi yang diilhami oleh kepentingan lintah darat, yang dapat ditegakkan dengan nilai-nilai manusiawi dan dapat memiliki sifat-sifat manusiawi.

Apakah karakter setiap ideologi ditentukan oleh ruang dan waktunya? Perlukah manusia memiliki ideologi yang berbeda dengaa berubahnya zaman, keadaan dan lingkungan? Apakah ideologi tunduk kepada prinsip perubahan dengan berbedanya tempat, dan tunduk kepada prinsip penghapusan dengan berbeda­nya zaman? Apakah ideologi manusia seragam atau banyak ragam? Dengan kata lain, apakah ideologi manusia mudak atau relatif? Pertanyaan apakah dan sudut pandang ruang dan waktu ideologi mutlak atau relatif, bergantung pada pertanyaan lain: apakah sumbemya adalah fitrah manusia dan tujuannya adalah kesejahteraan ras manusia, atau sumbernya adalah kepentingan kelompok serta perasaan nasional dan kelas?

Dari sudut lain, pertanyaan ini bergantung pada bagaimana pendapat kita tentang karakter perubahan sosial. Bila masyarakat mengalami perubahan dan memasuki era baru, apakah perubahan karakternya sedemikian esensialnya sehingga tak lagi diatur oleh hukum yang sebelumnya telah mengaturnya. Misal, bila air, karena suhunya naik, berubah menjadi uap. Air ini diatur oleh hukum gas, bukan oleh hukum zat cair. Apakah kita percaya bahwa yang terjadi dengan perubahan dan perkembangan sosial tidaklah seperti ini, dan bahwa perubahan sosial hanyalah satu tahap dalam evolusi masyarakat dan tidak mempengaruhi hukum pokok atau evolusi, seperti yang kita lihat pada binatang. Binatang, karena mengalami perkembangan, berubah jalan hidupnya, namun hukum perkembangannya tidak berubah?

Dari sudut lain, pertanyaan apakah ideologi itu mudak atau tergantung ruang dan waktu, bergantung pada apakah ilmiah, filosofis atau religius konsepsinya tentang dunia. Konsepsi ilmiah tentang dunia yang fana ini, sebuah ideologi yang didasarkan pada konsepsi seperti itu, tidak mungkin abadi. Sebaliknya, konsepsi filosofis tentang dunia didasarkan pada kebenaran yang terang benderang, sedangkan konsepsi religius didasarkan pada wahyu Tuhan dan Kenabian. Karena ini bukan kesempatan yang tepat, maka kita tinggalkan pembahasan mengenai bagaimana sebenarnya fitrah manusia itu, yang merupakan salah satu topik sangat penting dalam ilmu Islam. Juga kita tinggalkan saja pembahasan mengenai perubahan masyarakat. Namun demikian, bagaimana kalau kita bahas masalah perubahan masyarakat dan hubungan perubahan tersebut dengan keadaan sejati fitrah manusia ketika kita membicarakan topik sejarah dan masyarakat nanti.

Kini pertanyaannya adalah apakah ideologi itu sendiri diatur oleh prinsip ketidakberubahan atau prinsip perubahan. Sebelum-nya telah kita bahas apakah ideologi manusia berbeda untuk periode dan tempat yang berbeda. Nah, persoalannya adalah persoalan penghapusan ideologi. Kini kita bahas persoalan yang berbeda, yaitu persoalan perkembangan ideologi. Terlepas dari fakta apakah ideologi itu mutlak atau relatif, dan berkenaan dengan isinya, apakah ideologi itu bersifat umum atau khusus, namun yang jelas ideologi merupakan fenomena. Karena setiap fenomena dapat berubah, berkembang dan mengalami evolusi, tentu saja timbul pertanyaan, apakah begitu pula dengan ideologi. Apakah realitas ideologi pada saat kelahirannya beda dengan realitas selama masa pertumbuhannya dan selama masa ke-matangannya? Dengan kata lain, apakah ideologi harus selalu direvisi, diperbaiki dan dimodernisasikan oleh pemimpin dan ideolognya, seperti yang kita lihat dialami oleh ideologi-ideologi materialistis pada zaman kita? Jika ideologi modern tidak terus-menerus direvisi, maka ideologi tersebut segera kehilangan vitalitasnya dan jadi usang serta ketinggalan zaman. Namun demikian, pertanyaannya adalah apakah mungkin memiliki ideologi yang sungguh-sungguh selaras dengan perkembangan manusia dan masyarakat, sehingga tak perlu direvisi dan diperbaiki lagi. Untuk ideologi seperti itu, peran pemimpinnva dan ideolog hanyalah menafsirkan makna dan isinya, dan perkembangan ideologi terjadi dalam wilayah interpretasi, bukan dalam teks ideologi itu sendiri.

Menurut Al-Qur'an, perselisihan ini terjadi pada zaman Nabi Nuh. Istilah "orang kebanyakan atau orang biasa" sering disalah-pahami dan dianggap sinonim dengan "massa" atau "rakyat" yang beda dengan kelas yang lebih tinggi. Ketika berbicara dengan rakyat biasa, klaim Islam adalah bahwa Islam adalah agama massa atau rakyat. Sambil lalu, ini dianggap sebagai kekhasan Islam. Namun harus diingat bahwa Islam tidak menujukan pesannya kepada massa atau rakyat saja, dan ideologinya bukanlah ideologi kelas. Kekhasan sejati Islam terletak pada fakta bahwa Islam mendukung massa atau rakyat, bukan bahwa Islam untuk massa atau rakyat saja. Yang lebih khas adalah bahwa Islam membangun sentimen kelas mampu di kalangan kaum Muslim untuk kepentingan kelas kurang mampu.

Catatan Kaki:

[1] Menurut Al-Qur'an, perselisihan ini muncul pada masa Nabi Nuh as.

[2] Sesungguhnya Kami telah menguttu rastU-rasul Kami dengan membawa bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. al-Hadid: 25) Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan." (QS. al-A'raf: 29)

4
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

BAB 5 - Islam Sebuah Mazhab yang Lengkap
Islam, yang didasarkan pada konsepsi yang sempurna tentang alam semesta, merupakan sebuah mazhab yang realitistis lagi lengkap. Dalam Islam, semua aspek kebutuhan manusia, baik kebutuhan jasmaniah maupun kebutuhan spiritual, intelektual maupun mental, kebutuhan individu-individu maupun masyarakat, ke­butuhan yang berkenaan dengan dunia fana ini maupun akhirat, mendapat perhatian.
Ajaran Islam Meliputi Tiga bagian

1. Ajaran doktrinal atau prinsip pokok. Dalam ajaran doktrinal atau prinsip pokok ini, semua orang diminta beriman. Tugas yang harus ditunaikan dalam hal ini adalah semacam kerja ilmiah dan penelitian.

2. Hukum moral atau kualitas yang harus ditanamkan seorang Muslim pada dirinya. Seorang Muslim juga harus menghindari kualitas yang bertentangan dengan hukum moral. Tugas yang harus dilakukan dalam hal ini adalah semacam pembangunan karakter.

3. Hukum atau garis kebijaksanaan berkenaan dengan aktivitas manusia, entah yang berkaitan dengan dunia fana ini atau yang berkaitan dengan akhirat, entah aktivitas orang seorang atau aktivitas bersama (sosial).

Menurut mazhab Syiah, ada lima ajaran doktrinal Islam: Tauhid, Keadilan, Kenabian, Imamah, dan Akhirat. Sejauh menyangkut ajaran doktrinal, Islam menganggap belum cukup dengan hanya menerima begitu saja ajaran doktrinal, atau menerimanya karena sudah menjadi tradisi keluarga. Setiap orang berkewajiban menerima ajaran doktrinal dengan sukarela dan independen setelah meyakini kebenaran ajaran tersebut. Dari sudut pandang Islam, ibadah tidak hanya ibadah fisis saja seperti salat dan puasa, atau tidak hanya ibadah finansial saja seperti membayar khumus dan zakat. Ada ibadah yang lain. Ibadah jenis ini berupa berpikir dan merenung. Karena ibadah mental ini membuat manusia sadar, maka ibadah ini jauh lebih baik dibandingkan bertahun-tahun melakukan ibadah fisis.

Penyebab Berpikir Keliru

Al-Qur'an mengajak manusia untuk berpikir dan menarik kesimpulan. Menurut Al-Qur'an, berpikir merupakan bagian dari ibadah. Al-Qur'an tidak mau kalau orang mempercayai ajaran doktrinal Al-Qur'an bukan dari hasil berpikir yang benar. Dalam hubungan ini, Islam memperhatikan satu hal pokok. Islam menunjukkan penyebab berpikir keliru, dan menjelaskan bagaimana cara menghindari kekeliruan dan penyimpangan.

Al-Qur'an menyebutkan sejumlah faktor penyebab kekeliruan. Kekeliruan tersebut adalah:

1. Bersandar Pada Persangkaan, Bukan Pada Pengetahuan yang Pasti.

Al-Qur'an memfirmankan: “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang, niscaya mereka akan menjauhkanmu dari jalan yang benar. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka. (QS. al-An'âm: 116)

Al-Qur'an melarang keras mengikuti persangkaan:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung-jawabannya”. (QS. al-Isrâ': 36)

Para filosof mengakui bahwa persangkaan merupakan penyebab utama kekeliruan. Berabad-abad setelah turunnya Al-Qur'an, Descartes menyebut ini sebagai prinsip pertama logikanya, katanya: "Aku baru menganggap sesuatu itu sebagai realitas, kalau sesuatu itu sudah jelas bagiku. Aku tak mau ketergesaan, menghubung-hubungkan gagasan dan kecenderungan. Aku hanya menerima apa yang sudah begitu jelas, sehingga tak ada lagi keraguan tentangnya."

2. Prasangka dan Hawa Nafsu

Jika manusia ingin memberikan penilaian yang benar, maka dia harus benar-benar bersikap adil. Dengan kata lain, dia harus mencari kebenaran saja, dan menerima tanpa segan-segan apa yang telah dibuktikan. Sikapnya harus seperti hakim pengadilan. Seraya menelaah kasus, hakim harus bersikap netral terhadap klaim dua belah pihak. Jika hakim berat sebelah kepada satu pihak, maka argumen yang menguntungkan pihak itu secara tidak sadar akan menarik perhatian hakim, dan argumen yang menyudutkan pihak itu secara otomatis akan diabaikan oleh hakim. Hal itulah yang menyesatkan hakim.

Jika manusia bersikap tidak netral dan pikirannya berat sebelah, secara tidak disadari maka arah pemikirannya akan condong ke hawa nafsunya dan apa yang disukai hawa nafsunya. Itulah sebabnya Al-Qur'an memandang hawa nafsu dan juga bersandar pada persangkaan sebagai sumber kesalahan. Al-Qur'an memfirmankan:

Mereka hanyalah mengikuti persangkaan dan apa yang diingini hawa nafsu mereka. (QS. an-Najm: 23)

3. Tergesa-gesa

Untuk mengemukakan pendapat mengenai suatu persoalan, kita harus memiliki bukti yang memadai. Kalau belum ada bukti yang cukup, boleh jadi pendapat yang dikemukakan akan salah. Berulang-ulang Al-Qur'an mengatakan bahwa pengetahuan manusia belum memadai untuk mengemukakan pendapat mengenai banyak masalah penting. Misalnya, Al-Qur'an memfirmankan:

Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. (QS. al-Isrâ': 85)

Imam Ja'far Shadiq as berkata: "Dalam dua ayat Al-Qur'an itu, ada dua peringatan Allah untuk manusia. Allah berfirman agar manusia tidak mempercayai sesuatu kecuali tahu betul tentang sesuatu itu (peringatan agar jangan buru-buru percaya). Allah berfirman agar manusia tidak menolak sesuatu, kecuali tahu dengan pasti tentang sesuatu itu (peringatan agar jangan buru-buru menolak).

Dalam sebuah ayat, Allah SWT berfirman:

Bukankah perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan mengenai Allah kecuali yang benar? (QS. al-A'râf: 169)

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:

Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum ketahui dengan pasti. (QS. Yunus: 39)

4. Berpikir Tradisional dan Melihat ke Masa Lalu

Kecenderungan alamiah manusia adalah cepat menerima gagasan atau kepercayaan yang sudah diterima oleh generasi sebelumnya, tanpa memikirkannya lebih jauh. Al-Qur'an Suci mengingatkan manusia agar berpikir independen, dan agar tidak menerima apa pun tanpa menilainya dengan seksama, dan semata-mata karena sudah diterima oleh generasi sebelum­nya. Al-Qur'an memfirmankan:

Tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati pada nenek moyang kami. Walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk? (QS. al-Baqarah: 170)

5. Memuja Tokoh

Yang juga menyebabkan terjadinya salah berpikir adalah memuja tokoh. Akibat sangat dihormati, tokoh sejarah dan tokoh kontemporer yang termasyhur mempengaruhi pemikiran dan kehendak orang. Sesungguhnya tokoh-tokoh terkenal mengendalikan pemikiran orang. Orang berpikir seperti pikiran tokoh, dan berpendapat seperti pendapat tokoh. Orang tidak berani beda dengan tokoh, dan karena itu orang kehilangan kemerdekaan berpikir dan berkehendak. Al-Qur'an menyeru kita agar berpikir independen, dan agar jangan membabi buta mengikuti orang-orang tua, karena dengan berbuat demikian ada kemungkinan kita akan mendapat nasib buruk. Al-Qur'an mengatakan bahwa pada Hari Pengadilan orang-orang yang sesat akan berkata:

Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami darijalan yang benar. (QS. al-Ahzâb: 67)



BAB 6 - Sumber-sumber Pemikiran Dalam Islam
Al-Qur'an mendorong manusia untuk berpikir. Al-Qur'an bukan saja menunjukkan penyebab kesalahan berpikir, namun juga memerinci hal-hal yang patut dipikirkan, dan yang dapat digunakan sebagai sumber pengetahuan dan informasi. Pada umumnya Islam menentang penggunaan energi untuk masalah yang tak dapat dikaji dengan saksama atau, kalau pun dapat, tidak bermanfaat bagi manusia. Nabi Muhammad saw menganggap sia-sia pengetahuan yang kalau didapat tak ada manfaatnya, dan kalau tak memilikinya tak ada mudaratnya. Di lain pihak, Islam mendorong manusia untuk mengetahui hal-hal yang bermanfaat dan dapat diteliti. Al-Qur'an menyebutkan tiga hal yang bermanfaat kalau dipikirkan: alam semesta, sejarah, dan hati nurani manusia.

a. Alam Semesta

Dalam banyak ayat Al-Qur'an, benda-benda alam seperti bumi, langit, bintang, matahari, bulan, mendung, hujan, gerakan angin, bahtera yang berlayar di lautan, tumbuhan, binatang, dan segala yang ada di sekitar manusia yang dapat ditangkap manusia lewat indera, disebut sebagai hal-hal yang layak dipikirkan dalam-dalam dan disimpulkan. Sebagai contoh kami kutipkan sebuah ayat Al-Qur'an:

Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi." (QS. Yunus: 101)

b.Sejarah

Banyak ayat Al-Qur'an yang mengajak manusia untuk mengkaji generasi dahulu, dan menggambarkan kajian seperti itu sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dari sudut pandang Al-Qur'an, segenap perkembangan sejarah manusia berlangsung mengikuti hukum dan norma yang sistematis. Segenap kejadian sejarah yang melibatkan kehormatan dan aib, kesuksesan dan kegagalan, nasib baik dan nasib buruk, memiliki aturannya yang pasti dan sempuma. Dengan mengetahui aturan dan hukum ini, sejarah masa kini dapat dikendalikan ke arah yang menguntungkan generasi sekarang. Misal, sebuah ayat Al-Qur'an memfirmankan:

Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunah-sunah Allah. Karena itu, berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan kebenaran wahyu. (QS. A^li 'Imrân: 137)

c. Hati Nurani

Al-Qur'an Suci menyebut hati nurani sebagai sumber khusus pengetahuan. Dari kacamata Al-Qur'an, segenap makhluk mengandung ayat-ayat Allah dan kunci untuk menemukan kebenaran. Al-Qur'an menggambarkan alam di luar diri manusia sebagai "cakrawala" dan alam di dalam diri manusia sebagai "diri", dan dengan demikian Al-Qur'an menanamkan dalam diri manusia nilai penting khusus hati nurani. Itulah sebabnya kata "cakrawala" dan "diri" lazim termaktub dalam literatur Islam.[1]

Ada kalimat yang terkenal di dunia. Kalimat ini berasal dari Filosof Jerman bernama Kant, dan tertulis di batu nisannya:

"Ada dua hal yang sangat mengundang decak kagum manusia; langit berbintang di atas kepala kita, dan hati nurani di dalam diri kita."

Al-Qur'an Suci memfirmankan pula:

Kami akan memperlihatkan kepada mereka, tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu benar. (QS. Fushshilat: 53)

Catatan Kaki:

[1] Kami akan memperlihatkan kepada mereka, tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu benar. (QS. Fushshilat: 53)



BAB 7 - Konsepsi tentang Alam Semesta
Setiap doktrin dan filsafat kehidupan tentu didasarkan pada kepercayaan, evaluasi tentang kehidupan, dan interpretasi serta analisis tentang alam semesta. Cara berpikir sebuah mazhab tentang kehidupan dan alam semesta dianggap sebagai dasar dari segenap pemikiran mazhab itu. Dasar ini disebut konsepsi mazhab itu tentang alam semesta.

Semua agama, sistem sosial, mazhab pemikiran, dan filsafat sosial didasarkan pada konsepsi tertentu tentang alam semesta. Semua sasaran yang dibeberkan sebuah mazhab, cara dan metode untuk mencapai sasaran itu, merupakan akibat wajar dari konsepsi mazhab tersebut tentang alam semesta.

Menurut para filosof, ada dua macam kearifan: kearifan praktis dan kearifan teoretis. Yang dimaksud dengan kearifan teoretis adalah mengetahui apa yang ada seperti adanya. Sedangkan kearifan praktis adalah mengetahui bagaimana semestinya kita hidup. "Semestinya" ini merupakan hasil logis dari "bagaimana itu", khususnya "bagaimana itu" yang menjadi pokok bahasan filsafat metafisis.

Konsepsi dan Persepsi tentang Alam Semesta

Jadi kita tidak boleh mengacaukan konsepsi tentang alam semesta dengan persepsi indera tentang alam semesta. Konsepsi tentang alam semesta mengandung arti kosmogoni (asal-usul alam semesta, teori tentang ini—pen.) dan ada kaitannya dengan masalah identifikasi. Tidak seperti persepsi indera, yang lazim dimiliki manusia dan makhluk hidup lainnya, identifikasi hanya dimiliki oleh manusia. Karena itu, konsepsi tentang alam semesta juga hanya dimiliki oleh manusia. Konsepsi ini bergantung pada pemikiran dan pemahamannya.

Dari sudut pandang persepsi indera tentang alam semesta, banyak binatang yang lebih maju ketimbang manusia, karena binatang memiliki indera-indera tertentu yang tidak dimiliki manusia—seperti misalnya burung memiliki indera radar—atau indera binatang, meskipun dimiliki oleh binatang dan juga manusia, lebih tajam daripada indera yang dimiliki manusia, seperti misalnya mata elang, indera penciuman anjing dan semut, dan indera pendengaran tikus. Manusia lebih unggul daripada binatang karena manusia memiliki konsepsi yang mendalam tentang alam semesta. Binatang hanya melihat alam, namun manusia dapat menafsirkannya juga.

Apa identifikasi itu? Bagaimana hubungan antara persepsi dan identifikasi? Unsur-unsur apa saja selain unsur-unsur persepsional yang menjadi bagian dan identifikasi? Bagaimana unsur-unsur ini masuk ke dalam identifikasi, dan dan mana? Bagaimana mekanisme identifikasi? Bagaimana standar untuk menetapkan mana identifikasi yang benar dan mana identifikasi yang salah? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang perlu dibahas sendiri dalam tulisan tersendiri. Sekarang kami tidak dapat membahasnya. Namun demikian, tentu saja mempersepsi sesuatu itu beda dengan mengidentifikasikannya. Banyak orang melihat pemandangan, namun sedikit saja yang dapat menafsirkannya, dan tafsiran mereka ini juga sering berbeda-beda.

Beragam Konsepsi tentang Alam Semesta

Pada umumnya ada tiga macam konsepsi tentang alam semesta atau identifikasi tentang alam semesta, atau dengan kata lain interpretasi manusia tentang alam semesta. Sumber interpretasi ini adalah tiga hal: ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Maka dapat dikatakan bahwa ada tiga macam konsepsi tentang alam semesta: konsepsi ilmiah, konsepsi filosofis, dan konsepsi religius.

Konsepsi Ilmiah tentang Alam Semesta

Sekarang rnari kita lihat bagaimana dan sejauh mana ilmu pengetahuan membantu kita membentuk pendapat. Ilmu pe­ngetahuan didasarkan pada dua hal: teori dan eksperimen. Untuk mengetahui dan menafsirkan fenomena, maka yang mula-mula terbesit di benak ilmuwan adalah teori. Kemudian, dengan berdasarkan teori, dia melakukan eksperimen di laboratorium. Jika teori itu dibenarkan oleh eksperimen, maka teori itu diterima sebagai prinsip ilmiah, dan akan terus absah sampai ada teori baru yang lebih baik dan lebih komprehensif yang dikuatkan oleh eksperimen. Bila teori baru yang lebih komprehensif muncul, maka teori lama jadi tidak absah.

Begitulah, ilmu pengetahuan menemukan sebab dan akibat melalui eksperimen. Kemudian ilmu pengetahuan mencoba lagi menemukan sebab dari sebab itu dan akibat dari akibat itu. Proses ini berlangsung sepanjang mungkin. Ada banyak keuntungan dan kerugian dari kerja ilmiah, karena ilmu pengetahuan didasarkan pada eksperimen praktis. Keuntungan terbesar dari temuan ilmu pengetahuan adalah temuan tersebut khusus sifatnya.

Ilmu pengetahuan dapat memberi manusia banyak informasi tentang sesuatu. Juga dapat memberikan pengetahuan tentang selembar daun. Kemudian, karena memperkenalkan manusia dengan hukum tertentu yang mengatur sesuatu, maka ilmu pengetahuan mampu membuat manusia dapat mengendalikan dan memanfaatkan sesuatu, dan dengan demikian ilmu pengetahuan memajukan industri dan teknologi.

Kendatipun ilmu pengetahuan dapat memberikan beribu-ribu hal tentang sesuatu, namun karena pengetahuan yang diberikan oleh ilmu pengetahuan sifatnya khusus, maka ruang lingkupnya pun terbatas. Eksperimen membatasinya. Ilmu pengetahuan dapat melangkah maju selama dimungkinkan membuat eksperimen. Jelaslah, ilmu pengetahuan tidak dapat melakukan eksperimen atas segenap alam semesta dan segenap aspeknya. Upaya ilmu pengetahuan untuk mengetahui sebab dan akibat hanyalah pada tingkat tertentu, dan selanjutnya sampailah ilmu pengetahuan pada tahap "tidak tabu." Ilmu pengetahuan adalah laksana lampu sorot, yang hanya menerangi area yang terbatas. Di luar area itu, ilmu pengetahuan tak dapat meneranginya. Tak dapat dilakukan eksperimen untuk masalah-masalah seperti apakah alam ini ada awal dan akhirnya, apakah kedua sisi alam ini tidak ada batasnya? Kalau ilmuwan menghadapi masalah ini, sadar atau tidak sadar, agar dapat memberikan pendapat tentang masalah ini dia berpaling kepada filsafat. Menurut ilmu pengetahuan, alam ini merupakan sebuah buku purba, yang halaman pertama dan halaman terakhirnya sudah hilang. Awal dan akhirnya tidak diketahui. Alasannya adalah bahwa konsepsi ilmu pengetahuan tentang alam ini merupakan hasil dari pengetahuan tentang bagian, bukan tentang keseluruhan. Ilmu pengetahuan memberikan informasi tentang posisi beberapa bagian alam semesta, bukan tentang ciri dan sifat keseluruhan alam semesta. Konsepsi ilmu pengetahuan tentang alam semesta versi ilmuwan adalah seperti konsepsi tentang gajah dari orang-orang yang dalam gelap meraba-raba gajah. Orang yang memegang telinga gajah mengira bahwa gajah itu seperi kipas, orang yang memegang kaki gajah mengira bahwa gajah itu seperti pilar, dan orang yang memegang punggung gajah mengira bahwa gajah itu seperti panggung.

Kekurangan lain yang ada pada konsepsi ilmu pengetahuan tentang alam semesta adalah konsepsi tersebut tidak dapat menjadi dasar bagi ideologi, karena dari segi praktisnya, yaitu segi mem-perlihatkan realitas seperti adanya dan segi membuat orang mempercayai karakter realitas alam semesta, ilmu pengetahuan berubah. Menurut ilmu pengetahuan, ciri-ciri alam ini berubah-ubah dari hari ke hari, karena ilmu pengetahuan didasarkan pada perpaduan teori dan eksperimen, bukan didasarkan pada kebenaran rasional yang jelas. Teori dan eksperimen hanya memiliki nilai temporer. Karena itu, konsepsi ilmu pengetahuan tentang alam ini berubah-ubah, dan tidak layak untuk dijadikan dasar iman. Iman memerlukan dasar yang lebih konstan atau cukup permanen.

Konsepsi ilmu pengetahuan tentang alam semesta—mengingat keterbatasannya yang diakibatkan oleh alat-alat ilmu pengetahuan (teori dan eksperimen)—tak mampu menjawab sejumlah per-tanyaan, yang jawaban pastinya penting sekali bagi ideologi. Pertanyaannya adalah: Dari mana asal alam semesta ini? Ke mana tujuan alam semesta ini? Dari segi waktu, apakah alam ini ada awal dan akhirnya? Bagaimana posisinya dari segi tempat? Apakah eksistensinya, pada umumnya, baik dan bermakna? Apakah alam ini diatur oleh norma dan hukum yang tak berubah-ubah dan esensial, atau hal seperti itu tak ada? Apakah alam semesta pada umumnya merupakan unit yang hidup dan sadar, atau apakah manusia saja yang merupakan kekecualian yang kebetulan? Dapatkah sesuatu yang ada menjadi tidak ada, atau sesuatu yang tak ada menjadi ada? Mungkinkah atau mustahilkah mengembalikan sesuatu yang tidak ada? Mungkinkah penciptaan kembali alam semesta dan sejarah dalam segenap perinciannya, bahkan setelah bermiliar-miliar tahun? Yang lebih besar itu unitas atau multiplisitas? Apakah alam semesta terbagi menjadi alam material dan alam non-material, dan apakah alam material merupakan bagian kecil dan alam secara keseluruhan? Apakah alam ini mendapat panduan yang benar dan cerdas, atau apakah alam ini lemah dan buta? Apakah manusia dan alam ini keadaannya saling memberi dan menerima? Apakah alam semesta ini memperlihatkan reaksi terhadap perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia? Apakah ada kehidupan yang abadi setelah kehidupan fana ini? Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan serupa.

Ilmu pengetahuan tidak memberikan jawaban untuk semua pertanyaan ini, karena ilmu pengetahuan tidak dapat melakukan eksperimen tentang pertanyaan-pertanyaan tersebut. Yang dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan hanyalah pertanyaan-pertanyaan yang terbatas dan tertentu. Ilmu pengetahuan tak dapat mem­berikan gambaran umum tentang alam semesta. Untuk lebih jelasnya, kami berikan contoh.

Seseorang boleh jadi memiliki pengetahuan tertentu tentang sebuah kota besar. Dia mungkin tahu secara terperinci satu bagian dan kota tersebut, dan mungkin dapat menggambarkan jalan-jalan besar dan kecil di kota tersebut, dan bahkan rumah-rumah di kota tersebut. Orang lain mungkin juga tahu secara terperinci bagian lain dan kota itu, dan orang ketiga, keempat dan kelima mungkin tahu bagian-bagian lain dari kota itu. Kalau dikumpulkan informasi dari mereka semua, mungkin diperoleh informasi yang memadai mengenai setiap bagian dari kota itu. Namun akankah informasi ini memadai untuk memiliki gambaran yang utuh mengenai kota itu? Misal, dapatkah diketahui bentuk kota itu: apakah bundar, persegi empat, atau bentuknya seperti daun? Jika menyerupai daun, lantas daun pohon apa? Bagaimana saling hubungan di antara berbagai area dari kota itu? Mobil jenis apa yang menghubungkannya? Apakah kota itu pada umumnya indah atau jelek? Jadi jelaslah, semua informasi ini tak dapat diperoleh.

Jika menginginkan informasi seperti itu, dan misalnya ingin tahu bentuk kota itu, atau ingin tahu apakah kota itu indah atau jelek, maka perlu naik pesawat udara untuk memperoleh pe-mandangan seutuhnya dari udara mengenai kota itu. Seperti telah disebutkan, ilmu pengetahuan tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar yang diperlukan untuk membentuk konsepsi mengenai alam semesta. Juga tak dapat memberikan gambaran yang utuh mengenai alam semesta.

Terlepas dari semua ini, nilai konsepsi ilmu pengetahuan mengenai alam semesta bersifat praktis dan teknis, bukan teoretis, sedangkan ideologi dapat didasarkan pada nilai teoretis saja. Kalau realitas alam seperti yang digambarkan oleh ilmu pengetahuan, itu tentu akan merupakan nilai teoretis ilmu pengetahuan. Nilai praktis dan teknis ilmu pengetahuan terletak pada fakta bahwa terlepas dari apakah ilmu pengetahuan menggambarkan atau tidak menggambarkan realitas, ilmu pengetahuan memberikan kemampuan kepada manusia untuk menunaikan tugas yang bermanfaat. Industri dan teknologi modern memperlihatkan nilai praktis ilmu pengetahuan. Sungguh menakjubkan, di dunia yang modern ini, sementara nilai teknis dan praktis ilmu pengetahuan meningkat, nilai teoretisnya justru merosot.

Mereka yang tidak mengetahui persis peran ilmu pengetahuan mungkin beranggapan bahwa selain kemajuan praktis ilmu pengetahuan tak dapat disangkal, ilmu pengetahuan juga telah mencerahkan hati nurani manusia dan telah meyakinkan manusia mengenai realitas seperti yang digambarkan oleh ilmu pengetahuan. Namun faktanya tidaklah demikian.

Dari pembahasan terdahulu jelaslah bahwa ideologi membutuhkan konsepsi tentang alam yang (1) dapat menjawab pertanyaan penting mengenai alam semesta sebagai keseluruhan, bukan hanya bagian dari alam semesta; (2) dapat menjadi konsepsi yang abadi dan andal, bukan konsepsi yang sifatnya untuk sementara waktu; dan (3) dapat memiliki nilai teoretis dan nilai realistis juga, bukan semata-mata nilai praktis dan nilai teknis saja. Jadi, juga jelas bahwa konsepsi ilmu pengetahuan tentang alam, sekalipun memiliki hal-hal lain yang dapat dipercaya, tidak memiliki ketiga syarat ini.

Konsepsi Filosofis Mengenai Alam Semesta

Meskipun konsepsi filosofis mengenai alam semesta tidak sesaksama dan sespesifik konsepsi ilmu pengetahuan, namun konsepsi filosofis didasarkan pada sejumlah prinsip yang jelas dan tak dapat disangkal lagi oleh akal. Prinsip-prinsip ini logis, sifatnya umum dan komprehensif. Karena kuat dan konstan, maka prinsip-prinsip ini memiliki keuntungan. Konsepsi filosofis mengenai alam semesta bebas dari ketidakkonstanan dan keterbatasan seperti itu, dua hal yang terdapat dalam konsepsi ilmu pengetahuan. Konsepsi filosofis mengenai alam semesta menjawab semua masalah yang menjadi sandaran ideologi. Prinsip ini mengidentifikasi bentuk dan ciri utuh dari alam semesta.

Baik konsepsi ilmu pengetahuan maupun konsepsi filosofis merupakan mukadimah untuk aksi, namun dengan dua cara yang berbeda. Konsepsi ilmu pengetahuan merupakan mukadimah untuk aksi karena konsepsi ini membuat manusia mampu mengendalikan alam dan membawa perubahan pada alam. Manusia, melalui sarana ilmu pengetahuan, dapat memanfaatkan alam untuk kepentingannya. Konsepsi filosofis merupakan mukadimah untuk aksi, artinya adalah bahwa konsepsi ini menentukan jalan hidup yang dipilih manusia. Prinsip ini mempengaruhi reaksi manusia terhadap pengalamannya berhubungan dengan alam. Prinsip ini menentukan sikapnya, dan memberinya pandangan tertentu mengenai alam semesta. Prinsip ini memberikan ideal kepada manusia, atau mencabut ideal dan manusia. Prinsip ini memberikan makna kepada kehidupannya, atau menariknya ke arah hal-hal yang sepele dan tak masuk akal. Itulah sebabnya kami katakan bahwa ilmu pengetahuan tak dapat memberikan konsepsi tentang alam yang dapat menjadi dasar bagi ideologi, sementara filsafat dapat.

Konsepsi Religius Mengenai Alam Semesta

Kalau setiap paparan pandangan total tentang alam semesta dianggap sebagai konsepsi filosofis, dengan tidak mempertimbangkan apakah sumber konsepsi ini perkiraan, pemikiran, atau wahyu dan alam gaib, maka konsepsi religius dan filosofis bidangnya sama. Namun jika sumbernya dipertimbangkan, maka konsepsi filosofis dan religius mengenai alam semesta tak syak lagi merupakan dua hal yang berbeda.

Dalam agama-agama tertentu seperti Islam, konsepsi religius tentang alam semesta mengambil warna filosofis atau argumentatif, dan merupakan bagian integral dari agama itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang diangkat oleh agama didasarkan pada pemikiran dan hujah. Dengan demikian, konsepsi Islam mengenai alam semesta bersifat rasional dan filosofis. Selain dua nilai konsepsi filosofis, yaitu abadi dan komprehensif, konsepsi religius tentang alam semesta, tak seperti konsepsi ilmiah dan filosofis murni, memiliki satu lagi nilai, yaitu menyucikan prinsip-prinsip konsepsi alam semesta.

Kalau diingat bahwa ideologi—selain membutuhkan keyakinan bahwa prinsip-prinsip yang dipandang suci oleh ideologi itu abadi dan tak dapat diganggu gugat—membutuhkan keyakinan dan ketaatan kepada mazhab pemikiran, maka jelaslah bahwa basisnya bisa cuma konsepsi alam semesta yang memiliki warna religius itu. Dari pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa konsepsi ten tang alam semesta dapat menjadi dasar dari ideologi kalau saja konsepsi itu memiliki keseimbangan, pemikiran luas yang filosofis dan kesucian prinsip-prinsip religius.

Bagaimana Menilai Ideologi?

Ideologi dapat dianggap sempurna kalau: (1) dapat dibuktikan dan diungkapkan secara logis, dengan kata lain dapat dipertahankan secara logika maupun intelektual; (2) memberikan makna kepada kehidupan dan menghapus gagasan yang tak ada artinya dari pikiran; (3) membangkitkan semangat; (4) mampu menyucikan tujuan manusia dan tujuan sosial; dan (5) membuat manusia bertanggung jawab.

Jika ideologi dapat dipertahankan secara logika, maka mulus jalannya ideologi itu untuk diterima secara intelektual. Dan karena tak ada kekacauan mengenainya, maka aksi yang disarankannya pun jadi mudah. Ideologi yang membangkitkan semangat membuat mazhabnya menarik dan memberikan kehangatan dan kekuatan kepada mazhabnya. Penyucian tujuan mazhab yang dilakukan oleh ideologi mazhab tersebut, memudahkan penganut mazhab ini untuk bekorban demi kepentingan prinsip atau tujuan mazhab tersebut. Kalau mazhab tidak menyebutkan bahwa tujuannya suci, maka mazhab tersebut tidak dapat mewujudkan rasa cinta kepada prinsipnya dan rasa bekorban untuk kepentingan prinsipnya, juga tak mungkin ada jaminan bahwa mazhab seperti itu akan sukses. Pertanggungjawaban manusia yang disebutkan oleh konsepsi alam semesta membuat orang memiliki dedikasi kepada had nuraninya dan membuat orang bertanggung jawab terhadap dirinya maupun masyarakat.

Konsepsi Tauhid tentang Alam Semesta

Semua karakteristik dan kualitas yang mutlak harus dimiliki oleh sebuah konsepsi yang baik tentang alam semesta, dimiliki oleh konsepsi tauhid. Konsepsi tauhid merupakan satu-satunya konsepsi yang memiliki semua karakteristik dan kualitas ini. Konsepsi tauhid merupakan kesadaran akan fakta bahwa alam semesta ada berkat suatu kehendak arif, dan bahwa sistem alam semesta ditegakkan di atas rahmat dan kemurahan had dan segala yang baik. Tujuannya adalah membawa segala yang ada menuju kesempurnaannya sendiri. Konsepsi tauhid artinya adalah bahwa alam semesta ini "sumbunya satu" dan "orbitnya satu". Artinya adalah bahwa alam semesta ini "dari Allah" dan "akan kembali kepada Allah".

Segala wujud di dunia ini harmonis, dan evolusinya menuju ke pusat yang sama. Segala yang diciptakan tidak ada yang sia-sia, dan bukan tanpa tujuan. Dunia ini dikelola dengan serangkaian sistem yang pasti yang dikenal sebagai "hukum (sunnah) Allah." Di antara makhluk yang ada, manusia memiliki martabat yang khusus, tugas khusus, dan misi khusus. Manusia bertanggung jawab untuk memajukan dan menyempurnakan dirinya, dan juga bertanggung jawab untuk memperbarui masyarakatnya. Dunia ini adalah sekolah. Allah memberikan balasan kepada siapa pun berdasarkan niat dan upaya konkretnya.

Konsepsi tauhid tentang dunia ini mendapat dukungan dari logika, ilmu pengetahuan dan argumen yang kuat. Setiap partikel di alam semesta ini merupakan tanda yang menunjukkan eksistensi Allah Maha Arif lagi Maha Mengetahui, dan setiap lembar daun pohon merupakan kitab yang berisi pengetahuan spiritual.

Konsepsi tauhid mengenai alam semesta memberikan arti, semangat dan tujuan kepada kehidupan. Konsepsi ini menempatkan manusia di jalan menuju kesempurnaan yang selalu ditujunya tanpa pernah berhenti pada tahap apa pun. Konsepsi tauhid ini memiliki daya tarik khusus. Konsepsi ini memberikan vitalitas dan kekuatan kepada manusia, menawarkan tujuan yang suci lagi tinggi, dan melahirkan orang-orang yang peduli. Konsepsi ini merupakan satu-satunya konsepsi tentang alam semesta yang membuat tanggung jawab manusia terhadap sesamanya menjadi memiliki makna. Juga merupakan satu-satunya konsepsi yang menyelamatkan manusia dari terjungkal ke jurang kebodohan.

Konsepsi Islam tentang Alam Semesta

Konsepsi Islam tentang alam semesta merupakan konsepsi tauhid. Islam membawakan tauhid dalam bentuknya yang paling murni. Dari sudut pandang Islam, tidak ada yang seperti Allah, dan tidak ada yang menyamai-Nya:

Tidak ada yang serupa dengan-Nya. (QS. asy-Syûrâ: 11)

Independensi Allah mutlak sifatnya. Segala sesuatu bergantung pada-Nya, namun Dia tak bergantung pada apa dan siapa pun:

Kamulah yang membutuhkan Allah. Dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS. Fâthir: 15)

Allah melihat dan mengetahui segala sesuatu. Dia mampu melakukan apa pun yang dikehendaki-Nya:

Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. asy-Syûrâ: 12) Dia mampu melakukan segala sesuatu. (QS. al-Hajj: 26)

Allah ada di mana-mana. Setiap tempat, entah di atas langit atau di kedalaman bumi, memiliki hubungan yang sama dengan-Nya. Ke arah mana pun kita menghadap, kita menghadap Allah:

Ke mana pun kamu berpaling, di situlah wajah Allah. (QS. al-Baqarah: 115)

Allah mengetahui isi hati kita. Dia mengetahui segala niat dan tujuan kita:

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan me­ngetahui apa yang dibisiKkan oleh hatinya. (QS. Qâf: 16)

Allah lebih dekat dengan manusia daripada urat lehernya:

Kami lebih dekat dengannya daripada urat nadinya. (QS. Qâf: 16)

Allah memiliki segala sifat yang baik dan bebas dari segala kekurangan:

Allah memiliki Nama-nama Teragung. (QS. al-A'râf: 180)

Allah bukanlah organisme material, dan tak dapat dilihat dengan mata:

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang penglihatan itu. (QS. al-An'âm: 103)

Dari sudut pandang tauhid dan konsepsi Islam tentang alam semesta, alam semesta merupakan ciptaan dan diurus oleh kehendak dan perhatian Allah. Jika Allah sekejap saja tidak memberikan perhatian, maka seluruh alam semesta pasti binasa seketika itu juga. Alam semesta ini diciptakan tidak sia-sia atau bukan untuk senda-gurau. Dalam penciptaan manusia dan dunia tersirat banyak keuntungan. Segala yang diciptakan tidak sia-sia. Sistem yang ada pada alam semesta adalah sistem yang paling baik dan paling sempurna. Sistem ini memanifestasikan keadilan dan kebenaran, dan didasarkan pada serangkaian sebab dan akibat. Setiap akibat merupakan konsekuensi logis dari sebab, dan setiap sebab melahirkan akibat yang khusus. Takdir Allah mewujudkan sesuatu melalui sebab khususnya saja, dan serangkaian sebablah yang merupakan takdir Allah untuk sesuatu.

Kehendak Allah selalu bekerja di alam semesta dengan bentuk hukum atau prinsip umum. Hukum Allah tidak berubah. Bila terjadi perubahan, maka selalu sesuai dengan hukum. Baik dan buruk di alam semesta ini berkaitan dengan perilaku manusia sendiri dan perbuatannya sendiri. Perbuatan baik dan buruk, selain mendapat balasan di akhirat, mendapat reaksi juga di alam semesta ini. Evolusi bertahap merupakan hukum Allah. Alam semesta ini merupakan tempat bagi perkembangan manusia.

Takdir Allah berlaku untuk alam semesta. Manusia ditakdirkan oleh takdir Allah untuk merdeka dan bertanggung jawab. Manusia adalah tuan bagi nasibnya sendiri. Manusia memiliki martabat khususnya. Manusia tepat untuk menjadi khalifah Allah. Dunia ini dan akhirat hanya merupakan dua tahap yang saling berkaitan seperti menanam benih dan panen, karena yang dipanen adalah yang ditanam. Dua tahap tersebut dapat pula disamakan dengan dua periode: periode anak-anak dan periode usia lanjut. Karena periode usia lanjut merupakan akibat dari periode anak-anak.



BAB 8 - Konsepsi Realistis tentang Alam Semesta
Islam adalah sebuah agama yang realistis. Arti kata "Islam" adalah tunduk, patuh, menerima. Ini menunjukkan bahwa syarat pertama menjadi seorang Muslim adalah menerima realitas dan kebenaran. Islam menolak setiap bentuk keras kepala, prasangka, taklid buta, berat sebelah dan egoisme. Islam memandang semua itu bertentangan dengan realisme dan pendekatan realistis terhadap kebenaran. Dari sudut pandang Islam, orang yang mencari ke­benaran, namun upayanya ini menemui kegagalan, dapat dimaafkan. Menurut Islam, kalau kita secara membuta atau karena keturunan menerima kebenaran, sementara itu kita keras kepala dan angkuh, maka apa yang kita lakukan itu tak ada nilainya. Seorang Muslim sejati, baik laki-laki maupun perempuan, mesti dengan gairah menerima kebenaran di mana pun kebenaran itu didapatinya. Sejauh menyangkut menuntut ilmu pengetahuan, seorang Muslim tidak memiliki prasangka, atau sikapnya tidak berat sebelah. Upayanya mendapatkan ilmu pengetahuan dan kebenaran tidak hanya pada masa tertentu dalam hidupnya dan juga tidak hanya di wilayah tertentu. Dia juga tidak menuntut ilmu pengetahuan dari orang tertentu saja. Nabi saw bersabda bahwa menuntut ilmu pengetahuan adalah wajib bagi setiap Muslim, baik laki-laki mau­pun perempuan. Nabi saw juga meminta kaum Muslim agar menerima ilmu pengetahuan dari seorang penyembah berhala sekalipun.

Dalam sabda lain, Nabi saw mendesak kaum Muslim untuk menuntut ilmu pengetahuan sekalipun harus pergi ke negeri Cina.

Menurut riwayat, Nabi saw bersabda: "Tuntutlah ilmu pengetahuan, sejak dari ayunan hingga liang lahat."

Memahami problem secara parsial dan dangkal, secara membuta mengikuti orang-orang tua, dan menerima tradisi turun-temurun yang tidak logis, karena semua ini bertentangan dengan jiwa menerima kebenaran, maka Islam mengecamnya, dan dianggap menyesatkan.

Allah Adalah Realitas Absolut dan Sumber Kehidupan

Manusia adalah makhluk realistis. Anak yang baru lahir, sejak detik-detik pertama kehidupannya, seraya mencarvcari susu ibunya, mencarinya sebagai realitas. Secara berangsur-angsur tubuh dan jiwa bayi ini berkembahg sedemikian sehingga dia dapat membedakan antara dirinya dan sekitarnya. Kendatipun kontak bayi ini dengan sekitarnya terjadi melalui serangkaian pemikirannya, namun dia tahu bahwa realitas sekitarnya itu beda dengan realitas pemikirannya yang juga digunakannya sebagai perahtara saja.

Karakteristik Integral Alam Semesta

Realitas yang dapat ditangkap oleh manusia melalui inderanya dan yang kita sebut dunia, memiliki sifat-sifat khas integral berikut ini:

1. Terbatas

Segala yang dapat ditangkap oleh indera, dari partikel yang paling kecil sampai bintang yang paling besar, ruang dan waktunya terbatas. Tidak ada yang dapat eksis di luar ruang dan waktunya yang terbatas itu. Benda-benda tertentu menempati ruang yang lebih besar dan masa eksisnya lebih panjang, sementara sebagian benda lain menempati ruang yang lebih kecil dan masa eksisnya lebih pendek. Namun pada akhirnya benda-benda tersebut terbatas ruang dan waktunya.

2. Berubah

Segala sesuatu berubah dan tidak tahan lama. Segala yang dapat ditangkap oleh indera di dunia ini, keadaannya tidak berhenti. Kalau tidak berkembang, ya rusak. Benda material yang dapat ditangkap oleh indera, sepanjang masa eksistensinya, selalu mengalami perubahan sebagai bagian dari realitasnya. Kalau tidak memberikan sesuatu, ya menerima sesuatu, atau memberi sekaligus menerima. Dengan kata lain, kalau tidak menerima sesuatu karena realitas benda-benda lain dan menambahkan sesuatu itu pada realitasnya sendiri, ya memberikan sesuatu karena realitasnya atau menerima sekaligus memberi. Bagaimanapun juga, tak ada yang tetap statis. Sifat khas ini juga menjadi sifat khas segala yang ada di dunia ini.

3. Ditentukan

Sifat khas lain dari benda-benda kasat indera adalah ditentukan. Kita dapati bahwa benda-benda tersebut semuanya ditentukan. Dengan kata lain, eksistensi masing-masing ditentukan oleh dan bergantung pada eksistensi benda lainnya. Tidak ada yang dapat eksis jika benda-benda lainnya tidak eksis. Kalau kita perhatikan dengan saksama realitas benda-benda material kasat indera, ternyata banyak "jika" menyangkut eksistensinya. Tak dapat ditemukan satu benda kasat indera yang bisa eksis tanpa syarat dan tanpa tergantung benda lain. Eksistensi segala sesuatu tergantung pada eksistensi sesuatu yang lain, dan eksistensi sesuatu yang lain juga tergantung pada eksistensi sesuatu yang lainnya lagi, dan seterusnya.

4. Bergantung

Eksistensi segala sesuatu tergantung pada terpenuhinya banyak syarat. Eksistensi masing-masing syarat ini tergantung pada ter­penuhinya syarat lain. Tak ada sesuatu yang dapat eksis dengan sendirinya, yaitu tak ada syarat untuk eksistensinya. Dengan demikian, bergantung merupakan sifat segala yang ada.

5. Relatif

Eksistensi dan kualitas segala sesuatu itu relatif. Kalau kita menyebutnya besar, kuat, indah, berusia tua dan bahkan ada, kita mengatakan begitu dalam bandingannya dengan benda-benda lain. Kalau kita mengatakan, misalnya, bahwa matahari sangat besar, yang kita maksud adalah bahwa matahari lebih besar daripada bumi dan planet lain dalam sistem tata surya kita. Kalau tidak, sesungguhnya matahari ini sendiri lebih kecil daripada banyak bintang. Juga, ketika kita mengatakan bahwa kapal atau binatang tertentu hebat, kita membandingkannya dengan manusia atau sesuatu yang lebih lemah daripada manusia. Bahkan eksistensi sesuatu itu komparatif. Bila kita bicara soal eksistensi, kesempurnaan, kearifan, keindahan, atau kekuatan, berarti kita mempertimbangkan tingkat lebih rendah dari kualitas itu. Kita selalu dapat memvisualisasikan tingkatannya yang lebih tinggi juga, dan kemudian tingkatan lebih tinggi yang berikutnya. Setiap kualitas yang dibandingkan dengan tingkatannya yang lebih tinggi, diubah menjadi sebaliknya. Eksistensi menjadi non-eksistensi, sempurna diubah menjadi tidak sempurna. Juga, kearifan, keindahan, keagungan dan kehebatan masing-masing diubah menjadi kebodohan, keburukan dan kehinaan.

Daya berpikir manusia, yang ruang lingkupnya—beda dengan ruang lingkup indera—tidak hanya hal-hal lahiriah, namun juga sampai kepada apa yang ada di balik layar eksistensi, menunjukkan bahwa yang eksis itu bukan saja segala yang kasat indera yang terbatas, berubah, relatif dan tergantung itu.

Panorama eksistensi yang kita lihat tampaknya, pada umumnya, ada dengan sendirinya dan berdikari. Karena itu, tentunya ada satu kebenaran yang abadi, tak bersyarat, mudak, tak terbatas, dan ada selalu di balik panorama eksistensi itu. Segala sesuatu bergantung pada kebenaran ini. Kalau tidak, panorama eksistensi tak mungkin seperti ini. Dengan kata lain, tidak ada yang eksis sama sekali.

Al-Qur'an menggambarkan bahwa Allah ada sendiri dan berdikari. Al-Qur'an mengingatkan bahwa segala yang ada, yang tergantung dan relatif itu, membutuhkan adanya suatu kebenaran yang ada sendiri untuk menopang eksistensinya. Allah berdikari dan segala sesuatu bergantung pada-Nya. Allah sempurna, karena segala sesuatu itu tidak ada dari dalam dan membutuhkan suatu Kebenaran yang akan menutupi ketidakadaan tersebut dengan eksistensi.

Al-Qur'an menggambarkan segala sesuatu sebagai "tanda" atau "ayat". Dengan kata lain, pada gilirannya segala sesuatu merupakan ayat dari "wujud tak terbatas lagi abadi serta ilmu, kuasa, dan kehendak-Nya". Menurut Al-Qur'an, alam semesta laksana sebuah kitab yang disusun oleh satu wujud yang arif, yang setiap baris dan katanya merupakan tanda kearifan penulisnya. Dari sudut pandang Al-Qur'an, kalau orang semakin tahu realitas segala sesuatu, maka dia semakin mengenal kearifan Allah, kuasa dan rahmat-Nya.

Dari satu sudut, setiap ilmu alam (maksudnya adalah ilmu yang digunakan untuk mengkaji dunia fisis. Misalnya, fisika, kimia, biologi, geologi, botani—pen.) merupakan cabang dari kosmologi. Dari sudut lain dan cara melihat sesuatu yang lebih dalam, setiap ilmu alam merupakan cabang dari pengetahuan (pengenalan atau pengakuan) tentang Allah.

Untuk menjelaskan sudut pandang Al-Qur'an, dalam hal ini dikutipkan satu ayat Al-Qur'an saja di antara banyak ayat serupa. Ayat tersebut mengatakan:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (QS. al-Baqarah: 164)

Dalam ayat tersebut, manusia diajak untuk memperhatikan kosmologi umum, industri pembuatan kapal, turisme beserta keuntungan finansialnya, meteorologi, asal-usul angin dan hujan, gerakan awan, biologi dan ilmu hewan. Al-Qur'an memandang perenungan tentang filosofi ilmu-ilmu ini sebagai sesuatu yang membawa kepada pengenalan akan Allah.

Sifat-sif at Allah

Al-Qur'an mengatakan bahwa Allah memiliki semua sifat yang sempurna.

Dialah yang memiliki Nama-nama yang paling baik. (QS. al-Hasyr: 24)

Dan bagi-Nyalah sifat yang Mahatinggi di langit dan di bumi. (QS. ar-Rûm: 27)

Sebagaimana sudah dipaparkan, Allah Mahahidup, Mahatahu, Maha Berkehendak, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Pemberi Petunjuk, Maha Pencipta, Maha Arif, Maha Pengampun dan Maha Adil. Seluruh sifat yang Mahatinggi, dimiliki-Nya. Allah bukanlah tubuh dan juga bukan tersusun. Dia tidak lemah dan juga tidak kejam. Kelompok pertama sifat Mahatinggi Allah, yang menunjuk-kan kesempurnaan-Nya, disebut sifat positif; sedangkan kelompok kedua, sifat-Nya yang menunjukkan bahwa Dia tidak memiliki kelemahan, kekurangan dan ketidaksempurnaan, disebut sifat negatif. Kita memuji dan menyucikan Allah. Bila kita memuji-Nya, kita menyebut sifat positif-Nya, dan bila kita menyucikan-Nya, kita mengatakan bahwa Dia bebas dari semua yang tidak patut bagi-Nya.

Dalam kedua kasus itu kita menegaskan Pengetahuan-Nya untuk kepentingan kita sendiri, dan dengan demikian kita mengangkat moril kita sendiri.

Monoteisme

Allah tidak mempunyai sekutu. Tak ada yang seperti-Nya. Pada dasarnya mustahil bila ada yang seperti-Nya, karena kalau begitu berarti ada dua Tuhan atau lebih, bukannya satu. Ada dua, tiga atau lebih merupakan sifat khas sesuatu yang terbatas dan relatif. Dalam kaitannya dengan wujud yang mutlak lagi tak terbatas, pluralitas tak ada artinya. Misalnya, kita dapat punya satu anak. Juga dapat punya dua anak atau lebih. Kita juga dapat memiliki seorang teman. Juga dapat memiliki dua teman atau lebih. Teman atau anak merupakan wujud yang terbatas, dan wujud yang terbatas bisa ada yang menyerupainya, dan bisa banyak jumlahnya. Namun wujud yang tak terbatas sama sekali tak mungkin berlipat jumlahnya. Contoh yang berikut ini, meskipun tidak memadai, dapat juga ada gunanya untuk menjelaskan masalah ini.

Mengenai dimensi-dimensi alam material, yaitu alam semesta yang dapat kita lihat dan rasakan, para ilmuwan memiliki dua teori. Sebagian berpendapat bahwa dimensi-dimensi alam semesta itu terbatas. Dengan kata lain, alam ini ada titik akhirnya. Namun sebagian yang lain berpendapat bahwa dimensi-dimensi alam material itu tak ada tengahnya, tak ada awalnya, dan tak ada akhirnya. Kalau kita menerima teori bahwa alam material terbatas, maka timbul pertanyaan apakah alam itu hanya ada satu atau lebih dari satu? Namun kalau kita berpendapat bahwa alam ini tak ada batasnya, maka masalah adanya alam lain menjadi tak masuk akal. Apa pun dugaan kita mengenai alam lain, tentunya alam lain tersebut identik dengan alam ini, atau bagian dari alam ini.

Contoh ini berlaku untuk alam material maupun wujud mate­rial yang terbatas, bergantung dan diciptakan. Realitas alam mate­rial dan wujud material tersebut tidak mutlak, tidak mandiri, dan tidak ada sendiri. Alam material ini, meskipun tidak terbatas bila dilihat dari dimensi-dimensinya, terbatas bila dilihat dari realitasnya. Kalau dimensi-dimensinya tidak terbatas, maka tidak dapat kita bayangkan adanya alam lain.

Eksistensi Allah SWT tidak ada batasnya. Dia merupakan realitas mutlak. Dia ada di segala sesuatu. Dalam ruang dan waktu ada Dia. Dia lebih dekat dengan kita ketimbang urat leher kita sendiri.

Karena itu, mustahil kalau ada yang menyerupai-Nya. Bahkan kita tak dapat membayangkan adanya wujud lain yang seperti Dia.

Kita melihat tanda-tanda kearifan-Nya ada di mana-mana. Kita melihat satu kehendak dan satu sistem mengatur segenap alam semesta. Itu menunjukkan bahwa dunia ini pusatnya satu, tidak banyak. Seandainya ada dua Tuhan atau lebih, tentu dua kehendak atau lebih berlaku pada segala sesuatu, dan dua realitas atau lebih yang pusatnya berbeda tentu eksis di segala sesuatu yang ada. Akibatnya, segala sesuatu menjadi dua atau lebih. Kalau mengikuti proposisi yang tak masuk akal ini, maka sesungguhnya tidak ada yang eksis sama sekali. Inilah apa yang dimaksud oleh Al-Qur'an ketika mengatakan,

Sekiranya ada di langit dan di bumi Tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. (QS. al-Anbiyâ': 22)

Menyembah dan Memuja

Karena mengakui bahwa Allah Maha Esa dan Mahasempurna, yang memiliki sifat-sifat paling tinggi, dan yang tidak memiliki kekurangan dan kelemahan, dan karena mengetahui hubungan-Nya dengan alam semesta, yaitu bahwa Dia Penciptanya, Penjaganya, Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Penyayang, muncul reaksi dalam diri kita, dan reaksi tersebut disebut pemujaan dan penyembahan.

Menyembah merupakan satu bentuk hubungan antara manusia dan Penciptanya. Bentuk hubungan tersebut adalah tunduk patuhnya manusia kepada Allah, pujiannya, pemujaannya dan rasa bersyukurnya kepada-Nya. Hubungan seperti ini hanya dapat dilakukan oleh manusia dengan Penciptanya saja. Kalau hubungan seperti itu dilakukan dengan selain Penciptanya, maka itu tidak mungkin dan dilarang. Karena mengenal Allah sebagai satu-satunya sumber eksistensi dan satu-satunya Penguasa dan Tuhan segala sesuatu, maka kita merasa berkewajiban untuk tidak menjadikan makhluk sebagai sekutu-Nya dalam pemujaan kita. Al-Qur'an menegaskan bahwa hanya Allah sajalah yang harus disembah. Tak ada dosa yang lebih besar daripada menyekutukan-Nya.

Kini mari kita bahas apa ibadah itu dan hubungan seperti apa yang khusus bagi Allah dan yang tak dapat dilakukan dengan selain-Nya.

Definisi Ibadah

Untuk menjelaskan makna ibadah, dan untuk mendefinisikannya dengan benar, perlu disebutkan dua hal sebagai pengantar.

1. Ibadah terdiri atas perkataan dan perbuatan. Perkataan terdiri atas serangkaian kata dan kalimat yang kita baca, seperti memuji Allah, membaca Al-Qur'an atau membaca zikir atau doa yang lazim dibaca ketika melakukan salat, dan mengucapkan "Labbaik" selama haji. Sedangkan yang perbuatan adalah seperti berdiri, rukuk dan sujud ketika menunaikan salat, tawaf mengitari Ka'bah dan berada di Arafah dan Mahsyar ketika haji. Kebanyakan tindak ibadah, seperti salat dan haji, terdiri atas perkataan dan perbuatan sekaligus.

2. Perbuatan manusia ada dua macam. Sebagian perbuatan tidak memiliki tujuan yang jauh. Perbuatan seperti ini dilakukan bukan sebagai simbol sesuatu yang lain, melainkan dilaku­ kan untuk mendapatkan efek alamiahnya sendiri. Misalnya, seorang petani melakukan kegiatan bertani untuk mendapat­ kan hasil wajar dari kegiatannya itu. Kegiatannya tersebut dilakukan bukan sebagai simbol, bukan untuk mengungkapkan perasaan. Begitu pula dengan seorang penjahit yang melakukan kegiatan jahit-menjahit. Ketika kita melangkah ke sekolah, yang ada dalam benak kita tak lain adalah sampai di sekolah. Dengan perbuatan ini kita tidak bermaksud membawa tujuan lain atau makna lain.

Namun ada perbuatan yang kita lakukan sebagai simbol dari beberapa objek lain atau untuk mengungkapkan perasaan kita. Kita menganggukkan kepala sebagai tanda setuju, kita menunduk kepada seseorang sebagai tanda hormat kepada orang tersebut. Kebanyakan perbuatan manusia tergolong jenis pertama, dan hanya sedikit yang tergolong jenis kedua. Namun demikian, ada perbuatan yang dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kita atau untuk menunjukkan maksud lain. Perbuatan ini dilakukan menggantikan kata-kata, untuk mengungkapkan maksud.

Berdasarkan dua hal di atas, maka dapat kita katakan bahwa ibadah, baik yang dilakukan dengan menggunakan kata-kata maupun tindakan, merupakan perbuatan yang memiliki makna. Melalui dedikasinya, manusia mengungkapkan suatu kebenaran. Juga, melalui perbuatan seperti rukuk, sujud, tawaf dan seterusnya, manusia ingin menyampaikan apa yang diucapkannya ketika membaca bacaan ibadah.

Semangat Memuja dan Ibadah

Melalui ibadahnya, balk yang dilakukan dengan menggunakan kata-kata maupun perbuatan, manusia menyampaikan hal-hal tertentu:

1. Memuji Allah dengan mengucapkan sifat-sifat khusus Allah yang mengandung arti kesempurnaan mudak, seperti Mahatahu, Mahakuasa dan Maha Berkehendak. Arti kesempurnaan mudak adalah bahwa ilmu, kuasa dan kehendak-Nya tidak dibatasi atau tidak bergantung pada yang lain, dan merupakan akibat wajar dari independensi total dan sempurna-Nya.

2. Menyucikan Allah, dan menyatakan bahwa Dia tidak memiliki kekurangan dan kelemahan seperti: mati, terbatas, tidak tahu, tak berdaya, pelit, kejam, dan seterusnya.

3. Bersyukur kepada Allah, dan memandang-Nya sebagai sumber sesungguhnya dari segala yang baik serta segala karunia dan rahmat. Percaya bahwa segala rahmat dan karunia diperoleh dari Allah saja, dan bahwa yang lain hanya perantara yang ditentukan oleh Allah.

4. Mengungkapkan ketundukan dan kepatuhan penuh kepada Allah, dan mengakui bahwa kepatuhan tanpa pamrih wajib diberikan kepada Allah. Karena Allah Penguasa Mudak dari segala yang ada, yang berhak mengeluarkan perintah, dan karena kita sebagai hamba, wajib menaati Allah.

5. Dalam sifat-sifat-Nya diatas, Allah tidak mempunyai sekutu. Hanya Dialah yang mudak sempuma, dan hanya Dialah yang tidak memiliki kekurangan. Hanya Dialah sumber sejati segala karunia, dan hanya Dialah yang patut disyukuri atas semuanya itu. Hanya Dialah yang patut dipatuhi sepenuhnya dan ditaati
tanpa pamrih. Setiap kepatuhan lainnya, seperti menaati Nabi saw, para Imam, penguasa Muslim yang sah, orang tua dan guru, puncaknya haruslah berupa kepatuhan kepada-Nya, dan harus untuk mendapatkan rida-Nya. Itulah tanggapan yang tepat yang harus ditunjukkan seorang manusia kepada Allah. Tanggapan seperti ini hanya dapat dan boleh dilakukan terhadap Allah SWT.

5
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

BAB 9 - Tingkat-tingkat Tauhid
Baik tauhid maupun kemusyrikan ada tingkatan dan tahapannya masing-masing. Sebelum kita melewati semua tahap dalam tauhid, kita belum dapat menjadi pengikut atau ahli tauhid (muwahhid) yang sejati.

Tauhid Zat Allah

Yang dimaksud dengan tauhid (keesaan) Zat Allah adalah, bahwa Allah Esa dalam Zat-Nya. Kesan pertama tentang Allah pada kita adalah, kesan bahwa Dia berdikari. Dia adalah Wujud yang tidak bergantung pada apa dan siapa pun dalam bentuk apa pun. Dalam bahasa Al-Qur'an, Dia adalah Ghani (Absolut). Segala sesuatu bergantung pada-Nya dan membutuhkan pertolongan-Nya. Dia tidak membutuhkan segala sesuatu. Allah berfirman:

Hai manusia, kamulah yang membutuhkan Allah. Dan Allah, Dialah Yang Maha Kaya (tidak membutuhkan apa pun) lagi Maha Terpuji. (QS. Fâthir: 15)

Kaum filosof menggambarkan Allah sebagai eksis sendiri, atau sebagai wujud yang eksistensinya wajib. Kesan kedua tentang Allah pada setiap orang adalah, bahwa Allah adalah Pencipta. Dialah Pencipta dan sumber final dari segala yang ada. Segala sesuatu adalah "dari-Nya". Dia bukan dari apa pun dan bukan dari siapa pun. Menurut bahasa filsafat, Dia adalah "Sebab Pertama".

Inilah konsepsi pertama setiap orang tentang Allah. Setiap orang berpikir tentang Allah. Dan ketika berpikir tentang Allah, dalam benaknya ada konsepsi ini. Kemudian dia melihat apakah sebenarnya ada suatu kebenaran, kebenaran yang tidak bergantung pada kebenaran lain, dan yang menjadi sumber dari segala ke­benaran.

Arti dari Tauhid Zat Allah adalah bahwa kebenaran ini hanya satu, dan tak ada yang menyerupai-Nya. Al-Qur'an memfirmankan:

Tak ada yang menyamai-Nya. (QS. asy-Syûrâ: 11)

Dan tak ada yang menyamai-Nya. (QS. al-Ikhlâsh: 4)

Kaidah bahwa sesuatu yang ada selalu menjadi bagian dari spesies, hanya berlaku pada ciptaan atau makhluk saja. Misal, jika sesuatu itu bagian dari spesies manusia, maka dapat dibayangkan bahwa sesuatu itu adalah anggota dari spesies manusia ini. Namun untuk Wujud Yang Ada Sendiri, kita tidak dapat membayangkan seperti itu. Dia berada di luar semua pikiran seperti itu. Karena kebenaran yang ada Sendiri itu satu, maka sumber dan tujuan alam semesta hanya satu. Alam semesta bukanlah berasal dari berbagai sumber, juga tidak akan kembali ke berbagai sumber. Alam semesta berasal dari satu sumber dan satu kebenaran. Allah berfirman:

Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segalanya." (QS. ar-Ra'd: 16)

Segala sesuatu akan kembali ke sumber yang satu dan ke­benaran yang satu. Kata Al-Qur'an,

Ingatlah bahwa kepada Allah lah kembali segala sesuatu. (QS. asy-Syûrâ: 53)

Dengan kata lain, alam semesta memiliki satu pusat, satu kutub dan satu orbit. Hubungan antara Allah dan alam semesta adalah hubungan Pencipta dan makhluk, yaitu hubungan sebab dan akibat, bukan jenis hubungan antara sinar dan lampu, atau antara kesadaran manusia dan manusia. Betul bahwa Allah tidak terpisah dari alam semesta. Dia bersama segala sesuatu. Al-Qur'an mem­firmankan:

Dia bersamamu di mana pun kamu berada. (QS. al-Hadîd: 4)

Namun demikian, ketidakterpisahan Allah dari alam semesta tidaklah berarti bahwa Dia bagi alam semesta adalah seperti sinar bagi lampu atau seperti kesadaran bagi tubuh. Kalau demikian halnya, maka Allah merupakan efek dari alam semesta, bukan sebab dari alam semesta, karena sinar adalah efek dari lampu. Begitu pula, ketidakterpisahan Allah dari alam semesta tidaklah berarti bahwa Allah, alam semesta dan manusia memiliki orientasi yang sama, dan semuanya eksis dengan kehendak dan semangat yang sama. Semua ini adalah sifat makhluk yang adanya karena sesuatu yang lain. Allah bebas dari semua itu. Al-Qur'an memfirmankan:

Mahasuti Tuhanmu yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. (QS. ash-Shâffât: 180)

Tauhid dalam Sif at-sif at Allah

Tauhid Sifat-sifat Allah artinya adalah mengakui bahwa Zat dan Sifat-sifat Allah identik, dan bahwa berbagai Sifat-Nya tidak terpisah satu sama lain. Tauhid Zat artinya adalah menafikan adanya apa pun yang seperti Allah, dan Tauhid Sifat-sifat-Nya artinya adalah menafikan adanya pluralitas di dalam Zat-Nya. Allah memiliki segala sifat yang menunjukkan kesempurnaan, keperkasaan dan ke-indahan, namun dalam Sifat-sifat-Nya tak ada segi yang benar-benar terpisah dari-Nya. Keterpisahan zat dari sifat-sifat dan keterpisahan sifat-sifat dari satu sama lain merupakan ciri khas keterbatasan eksistensi, dan tak mungkin terjadi pada eksistensi yang tak terbatas. Pluralitas, perpaduan dan keterpisahan zat dan sifat-sifat tak mungkin terjadi pada Wujud Mutlak. Seperti Tauhid Zat Allah, Tauhid Sifat-sifat Allah merupakan doktrin Islam dan salah satu gagasan manusiawi yang paling bernilai, yang semata-mata mengkristal dalam mazhab Syiah. Di sini kami kutipkan sebuah kalimat dalam khotbah pertama "Nahj al-Balâghah"[1] yang membenarkan sekaligus menjelaskan gagasan ini:

"Segala puji bagi Allah. Tak ada ahli pidato atau ahli bicara pun yang dapat memuji-Nya dengan memadai. Rahmat dan berkah-Nya tak dapat dihitung oleh ahli hitung sekalipun. Yang paling per-hatian sekalipun tak dapat menyembah-Nya dengan semestinya. Dia tak dapat di mengerti sepenuhnya, sekalipun diupayakan. Dia tak dapat dicapai oleh kecerdasan, sekalipun luar biasa kecerdasan tersebut Sifat-sifat-Nya tak dibatasi oleh pembatas apa pun. Tak ada kata yang dapat menggambarkan-Nya dengan utuh."

Seperti kita tahu, dalam kalimat di atas digarisbawahi ketakterbatasan Sifat-sifat Allah. Dalam khotbah itu juga, setelah beberapa kalimat, Imam All bin Abi Thalib as berkata:

"Sebenar-benar ketaatan kepada-Nya artinya adalah menafikan pengaitan sifat-sifat kepada-Nya, karena pihak yang dikaiti sifat menunjukkan bahwa pihak tersebut beda dengan sifat yang dikaitkan kepada-Nya, dan setiap sifat-Nya menunjukkan bahwa sifat tersebut beda dengan pihak yang dikaitkan sifat tersebut. Barangsiapa mengaitkan sifat kepada Allah, berarti dia menyamakan-Nya (dengan sesuatu), dan barangsiapa menyamakan-Nya." (Lihat Nahj al-Balâghah, khotbah 1, hal. 137. ISP. 1984)

Dalam kalimat pertama ditegaskan bahwa Allah memiliki Sifat-sifat (yang Sifat-sifat-Nya tak dibatasi oleh batas-batas). Dalam kalimat kedua juga ditegaskan bahwa Dia memiliki Sifat-sifat, namun diperintahkan untuk tidak mengaitkan sifat-sifat kepada-Nya. Redaksi kalimat-kalimat ini menunjukkan bahwa Sifat-sifat yang dimiliki-Nya tak terbatas seperti halnya ketakterbatasan diri-Nya sendiri, bahwa Sifat-sifat yang dimiliki-Nya identik dengan Zat-Nya, dan sifat-sifat yang tak dimiliki-Nya adalah sifat-sifat yang terbatas dan terpisah dari Zat-Nya dan terpisah satu sama lain. Dengan demikian, Tauhid dalam Sifat-sifat Allah artinya adalah mengakui bahwa Zat Allah dan Sifat-sifat-Nya adalah satu.

Tauhid dalam Perbuatan Allah

Arti Tauhid dalam perbuatan-Nya adalah mengakui bahwa alam semesta dengan segenap sistemnya, jalannya, sebab dan akibatnya, merupakan perbuatan Allah saja, dan terwujud karena kehendak-Nya. Di alam semesta ini tak satu pun yang ada sendiri. Segala sesuatu bergantung pada-Nya. Dalam bahasa Al-Qur'an, Dia adalah pemelihara alam semesta. Dalam hal sebab-akibat, segala yang ada di alam semesta ini bergantung. Maka dari itu, Allah tidak memiliki sekutu dalam Zat-Nya, Dia juga tak memiliki sekutu dalam perbuatan-Nya. Setiap perantara dan sebab ada dan bekerja berkat Allah dan bergantung pada-Nya. Milik-Nya sajalah segala kekuatan maupun kemampuan untuk berbuat.

Manusia merupakan satu di antara makhluk yang ada, dan karena itu merupakan ciptaan Allah. Seperti makhluk lainnya, manusia dapat melakukan pekerjaannya sendiri, dan tidak seperti makhluk lainnya, manusia adalah penentu nasibnya sendiri. Namun Allah sama sekali tidak mendelegasikan Kuasa-kuasa-Nya kepada manusia. Karena itu manusia tidak dapat bertindak dan berpikir semaunya sendiri, "Dengan kuasa Allah aku berdiri dan duduk. "

Percaya bahwa makhluk, baik manusia maupun makhluk lainnya, dapat berbuat semaunya sendiri, berarti percaya bahwa makhluk tersebut dan Allah sama-sama mandiri dalam berbuat. Karena mandiri dalam berbuat berarti mandiri dalam zat, maka kepercayaan tersebut bertentangan dengan keesaan Zat Allah (Tauhid dalam Zat — pen.), lantas apa yang harus dikatakan mengenai keesaan perbuatan Allah (Tauhid dalam Perbuatan — pen.).

Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dan kehinaan. Karma itu, agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya. (QS. al-Isrâ': 111)

Tauhid dalam Ibadah

Tiga tingkatan Tauhid yang dipaparkan di atas sifatnya teoretis dan merupakan masalah iman. Ketiganya harus diketahui dan diterima. Namun Tauhid dalam ibadah merupakan masalah praktis, merupakan bentuk "menjadi". Tingkatan-tingkatan tauhid di atas melibatkan pemikiran yang benar. Tingkat keempat ini merupakan tahap menjadi benar. Tahap teoretis tauhid, artinya adalah memiliki pandangan yang sempurna. Tahap praktisnya artinya adalah berupaya mencapai kesempurnaan. Tauhid teoretis artinya adalah memahami keesaan Allah, sedangkan tauhid praktis artinya adalah menjadi satu. Tauhid teoretis adalah tahap melihat, sedangkan tauhid praktis adalah tahap berbuat. Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang tauhid praktis, perlu disebutkan satu masalah lagi mengenai tauhid teoretis. Masalahnya adalah apakah mungkin mengetahui Allah sekaligus dengan keesaan Zat-Nya, keesaan Sifat-sifat-Nya dan keesaan perbuatan-Nya, dan jika mungkin, apakah pengetahuan seperti itu membantu manusia untuk hidup sejahtera dan bahagia; atau dan berbagai tingkat dan tahap tauhid, hanya tauhid praktis saja yang bermanfaat.

Sejauh menyangkut kemungkinan mendapat pengetahuan seperti itu, sudah kami bahas dalam buku kami "Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Realisme". Apakah pengetahuan seperti itu bermanfaat atau justru sebaliknya, itu tergantung pada konsepsi kita sendiri mengenai manusia, kesejahteraan dan kebahagiaannya. Gelombang pemikiran materialistis di zaman modern ini bahkan menyebabkan kaum yang beriman kepada Allah menganggap tak banyak manfaatnya masalah-masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tentang Allah. Mereka memandang masalah-masalah seperti itu sebagai semacam manuver mental dan pelarian dari problem-problem praktis kehidupan. Namun seorang Muslim yang percaya bahwa realitas manusia bukanlah realitas jasmaninya saja, namun realitas sejati manusia adalah realitas spiritualnya dan bahwa hakikat roh manusiawi adalah hakikat pengetahuan dan kesuciannya, tahu betul bahwa apa yang disebut sebagai tauhid teoretis itu sendiri, selain merupakan dasar dari tauhid praktis, merupakan kesempumaan psikologis yang paling tinggi tingkatannya. Tauhid ini mengangkat manusia, membawa manusia menuju Kebenaran Ilahiah, dan membuat manusia menjadi sempurna. Allah SWT berfirman:

Kepada-Nya naik kata-kata yang baik, dan amal saleh dinaikkan-Nya. (QS. Fâthir: 10)

Sisi manusiawi manusia ditentukan oleh pengetahuannya tentang Allah. Pengetahuan manusia bukanlah sesuatu yang terpisah dari manusia itu sendiri. Semakin tahu manusia itu tentang alam semesta, sistemnya dan asal-usulnya, semakin berkembang sisi manusiawi manusia tersebut, yang lima puluh persen substansi sisi manusiawi itu berupa pengetahuan. Dari sudut pandang Islam, khususnya ajaran Syiah, tak ada keraguan sedikit pun bahwa tujuan sisi manusiawi itu sendiri adalah mengetahui tentang Allah, tak soal dengan efek praktis dan sosialnya.

Sekarang kita bahas masalah tauhid praktis. Tauhid praktis atau tauhid ibadah, artinya adalah hanya menyembah atau beribadah kepada Allah saja. Dengan kata lain, tulus ikhlas dalam beribadah kepada Allah. Kemudian akan kami jelaskan bahwa dari sudut pandang Islam, ibadah ada tingkatan-tingkatannya. Tingkatannya yang sangat jelas adalah menunaikan ritus-ritus yang berkaitan dengan penyucian dan pengagungan Allah. Kalau ritus-ritus seperti itu dilakukan untuk selain Allah, artinya adalah keluar total dari Islam. Namun demikian, dari sudut pandang Islam, ibadah bukan hanya tingkatan yang ini saja. Setiap bentuk orientasi spiritual dan menerima sesuatu sebagai ideal spiritual, maka hal itu tergolong ibadah. Al-Qur'an memfirmankan:

Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. (QS. al-Furqân: 43)

Kalau kita menaati seseorang yang telah dilarang Allah untuk ditaati, dan tunduk patuh sepenuhnya kepadanya, berarti kita menyembah atau beribadah kepada orang itu. Al-Qur'an mengatakan,

Mereka menjadikan para rabbi dan rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah. (QS. at-Taubah: 31)

Dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. (QS. A^li 'Imrân: 64)

Dengan demikian tauhid praktis atau tauhid ibadah, artinya adalah menerima Allah saja sebagai yang layak untuk ditaati tanpa pamrih, memandang hanya Dia saja yang menjadi ideal dan arah perilaku, dan menolak selain-Nya serta menganggap selain-Nya tidak layak ditaati tanpa pamrih, atau tidak layak untuk dijadikan ideal. Tauhid ibadah artinya adalah tunduk kepada Allah saja, bangkit untuk-Nya saja, dan hidup untuk-Nya saja, serta mati untuk-Nya saja.

(Nabi Ibrahim berkata): "Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang mendptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang yang mempersekutukan Tuhan"... Katakanlah, "Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama tunduk patuh kepada-Nya." (QS. al-An'am: 79, 162-163)

Tauhid Nabi Ibrahim ini merupakan Tauhid praktis atau Tauhid ibadah. Inilah yang divisualisasikan oleh iman ini: "La ilaha illallah" (tiada Tuhan selain Allah).

Catatan Kaki:

[1] The Islamic Seminary telah menerbitkan buku ini dalam bahasa Inggris dengan judul "Peak of Eloquence", 1984.




BAB 10 - Manusia dan Penyatuan
Penyatuan realitas eksistensi manusia dalam sebuah sistem psikologis yang selaras dengan kecenderungan manusiawi dan evolusionernya, dan begitu juga penyatuan masyarakat manusia dalam sebuah sistem sosial yang harmonis dan evolusioner, merupakan dua hal yang selalu saja menarik perhatian manusia. Kebalikan dari penyatuan adalah polarisasi personalitas individual dan keterbagian personalitas tersebut menjadi segmen-segmen yang saling berselisih, dan terbagi-baginya masyarakat menjadi kelompok-kelompok dan kelas-kelas yang saling bertentangan. Masalahnya adalah: bagaimana caranya agar personalitas individual berkembang harmonis, baik dari segi kejiwaan maupun dari segi sosial? Dalam hal ini ada tiga teori: teori materialistis, teori idealistis, dan teori realistis.

Teori Materialistis

Yang menjadi pemikiran para penganut teori ini hanyalah materi. Mereka tidak memandang penting arti jiwa. Mereka mengklaim bahwa yang membagi-bagi individu secara psikologis dan membagi-bagi masyarakat secara sosial dan yang menjadi penyebab perpecahan dan ketidakberesan adalah adanya sistem pemilikan pribadi. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial. Pada awal sejarahnya, manusia hidup secara kolektif, dan tidak menyadari eksistensi individualnya. Pada saat itu manusia memiliki jiwa kolektif dan perasaan kolektif. Sandaran hidupnya adalah berburu. Setiap orang dapat mencari nafkah dari sungai dan hutan menurut kebutuhannya. Tak ada masalah surplus produksi. Masalah surplus ini baru muncul ketika manusia menemukan cara berproduksi. Dengan cara ini muncul kemungkinan surplus produksi dan kemungkinan sebagian orang bekerja sementara sebagian lainnya tinggal makan saja tanpa perlu bekerja. Itu merupakan perkembangan yang melahirkan praktik hak milik. Hak pribadi untuk memiliki sumber-sumber produksi seperti air dan tanah serta alat produksi seperti bajak, menghapus semangat kolektif dan membagi-bagi masyarakat yang sejauh itu hidup sebagai satu unit menjadi "kaum mampu" dan "kaum tak mampu". Masyarakat yang hidup sebagai "Kami" berubah bentuk menjadi "Aku". Akibat munculnya hak milik ini, manusia menjadi tidak menyadari realitasnya sendiri sebagai makhluk sosial. Kalau sebelumnya manusia merasa hanya sebagai manusia seperti manusia lainnya, maka sekarang manusia memandang dirinya sendiri sebagai pemilik, bukannya sebagai manusia. Maka manusia menjadi tidak menyadari dirinya sendiri, dan mulai memburuk keadaannya. Hanya dengan menghapus sistem hak milik pribadi, manusia dapat pulih kembali kesatuan moral dan sosialnya serta kesehatan mental dan sosialnya. Gerakan sejarah yang sifatnya wajib itu sudah terjadi ke arah ini. Milik pribadi, yang telah mengubah kesatuan manusia menjadi pluralitas, dan mengubah kebersamaan menjadi sendiri-sendiri, adalah seperti menara kecil yang disebutkan oleh penyair sufi Persia, Maulawi, dalam sebuah tamsil yang bagus. Dia mengatakan bahwa menara kecil dan puncak memecah-mecah satu sorot sinar matahari ke dalam ruang-ruang terpisah dengan meng-hasilkan segmen-segmen bayangan di antaranya. Tentu saja Maulawi menggambarkan sebuah kebenaran makrifat rohaniah, yaitu munculnya pluralitas dari kesatuan, dan pada akhirnya akan kembali kepada kesatuan. Namun dengan sedikit diplintir, tamsil ini dapat juga digunakan untuk mengilustrasikan teori sosialismenya Marxis.

Teori Idealistis

Teori ini hanya memandang penting arti jiwa manusia dan hubungan manusia dengan rohaninya saja. Menurut teori ini, hubungan manusia dengan benda-benda material telah menghapus kesatuan, telah menyebabkan terjadinya pluralitas, dan mencabik-cabik kolektivitas. Hubungan seperti itu menyebabkan orang menderita penyakit mental (schizophrenia: penyakit mental yang ditandai dengan kerusakan hubungan antara pikiran, perasaan dan tindakan, yang sering kali disertai khayalan, dan tindakan menjauh dari kehidupan sosial—pen.), dan membagi masyarakat menjadi kelas-kelas. Namun, yang juga perlu diingat adalah bahwa dalam kasus keterikatan satu hal dengan hal lain, maka hal kedua menjadi penyebab tercabik-cabiknya hal pertama. Karena itu, keterikatan hal-hal seperti harta, istri dan jabatan dengan manusia bukanlah penyebab penyakit mental manusia dan terbagi-baginya masyarakat menjadi kelas-kelas. Justru penyebab penyakit mental dan keterbagian masyarakat menjadi kelas-kelas adalah keterikatan sepenuh had manusia dengan hal-hal material. Yang membuat manusia merasa asing adalah "rasa dikuasai"-nya. Dari sudut pandang moral dan sosial, yang mencabik-cabik individualitasnya bukanlah "hartaku", "istriku" dan "jabatanku", melainkan "menjadi harta", "menjadi istri" dan "menjadi jabatan".

Untuk mengubah "aku" menjadi "kita" tidaklah perlu memutus-kan hubungan hal-hal material dengan manusia. Namun, yang harus diputus adalah hubungan manusia dengan hal-hal material. Bebaskan manusia dari keterikatan dengan hal-hal material, agar dia dapat balik ke realitas manusiawinya. Berilah manusia kebebasan moral dan spiritualnya. Membebaskan hal-hal material dari dikuasai manusia, tak ada gunanya. Kesatuan moral dan sosial manusia merupakan masalah pendidikan dan pelatihan spiritual, bukan masalah ekonomi. Yang dibutuhkan adalah membangun atau mengembangkan rohani manusia, bukan membatasi raganya. Pada mulanya manusia adalah hewan, kemudian "manusia". Pada dasarnya manusia adalah hewan, dan berkat upayanya dia menjadi manusia. Dengan pendidikan yang benar, manusia dapat memperoleh kembali sisi manusiawinya yang terpendam. Sebelum memperoleh kembali sisi manusiawi yang terpendam tersebut, manusia pada dasarnya tetap hewan sehingga tak ada masalah kesatuan jiwa dengan kehidupannya.

Tidaklah humanistis kalau menganggap hal-hal material sebagai penyebab perpecahan dan persatuan manusia, dan tidak juga humanistis kalau berpandangan bahwa karena hal-hal material dimiliki sendiri-sendiri oleh individu-individu maka manusia terkotak-kotak, dan karena hal-hal material dimiliki bersama maka manusia bersatu, dan bahwa personalitas moral dan sosialnya dipengaruhi oleh situasi ekonomi dan produksi. Faham-faham seperti itu merupakan akibat tidak mengenal manusia dan akibat tidak mempercayai sisi manusiawi manusia dan kemampuan manusia untuk memahami dan berkehendak.

Juga mustahil memutuskan secara total hubungan pribadi manusia dengan hal-hal material. Sekalipun hubungan manusia dengan harta diputus, tetap saja mustahil memutuskan hubungan manusia dengan istri, anak dan keluarganya. Mungkinkah menampilkan sosialisme di bidang ini juga, dan membentuk komunisme seksual? Kalau ini mungkin, kenapa negara-negara yang menghapus hak milik pribadi tetap saja memakai sistem keluarga? Misal saja sistem keluarga yang alamiah itu juga disosialiskan, lantas apa yang akan dilakukan terhadap pekerjaan, jabatan, prestise dan kehormatan? Mungkinkah semua orang sama-sama menikmati hal-hal ini juga? Bagaimana dengan kemampuan fisis dan mental para individu? Hubungan-hubungan ini merupakan bagian integral dari eksistensi setiap individu dan tak dapat dipisahkan dari individu.

Teori Realistis

Menurut teori ini, dari sudut pandang individu dan masyarakat, yang membuat manusia terkotak-kotak bukanlah hubungan manusia dengan hal-hal material, juga bukan hubungan hal-hal material dengan manusia. Penyebab manusia menjadi budak bukanlah karena dia memiliki atau menguasai, juga bukan karena dia dimiliki atau dikuasai. Yang pertama dipandang penting oleh teori ini adalah faktor-faktor sepeiti pendidikan, pelatihan, revolusi, pemikiran, ideologi dan kemerdekaan spiritual. Teori ini percaya bahwa manusia bukanlah makhluk material murni, dan juga bukan makhluk spiritual murni. Kehidupan di dunia ini dan di akhirat saling berkaitan erat satu sama lain. Raga dan jiwa berinteraksi.

Faktor-faktor penyebab penyakit mental harus diperangi dengan bantuan iman dan tauhid ibadah. Diskriminasi, kelaliman, penindasan, dan Tuhan-tuhan palsu juga harus diperangi.

Inilah jalan pikiran Islam. Begitu datang, Islam mulai melakukan gerakan, dan mulai mewujudkan revolusi. Namun Islam tidak pemah mengatakan bahwa jika diskriminasi dan kelaliman dihapus, atau jika hak milik pribadi ditiadakan, maka segalanya akan beres. Islam juga tidak mengatakan bahwa jika Anda memperbarui diri dari dalam, tak berhubungan dengan dunia lahiriah, dan meningkatkan kualitas moral Anda, maka secara otomatis masyarakat akan teperbarui juga. Islam juga menyerukan agar tauhid rohaniah dicapai melalui jihad dan agar ketidakadilan sosial diperangi. Ayat berikut ini yang menyoroti cakrawala kesatuan manusia dan yang dicantumkan oleh Nabi Muhammad saw dalam surat-suratnya untuk pemimpin berbagai negara, mengejawantahkan realisme Islam dalam segala hal:

Marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu: bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun. (QS. A^li 'Imrân: 64)

Sampai pada poin ini ayat ini berbicara mengenai kesatuan manusia melalui iman, sebuah ideal bersama dan pencapaian kemerdekaan spiritual. Kemudian ayat itu mengatakan, "Tak ada di antara kita yang akan menjadikan yang lain sebagai Tuhan-tuhan di samping Allah."

Kalau kita berbuat sesuai dengan ajaran Islam ini, maka kita tidak akan terkotak-kotak menjadi tuan dan budak, dan akan mampu mencegah terjadinya hubungan sosial yang tidak beres yang berakibat terjadinya diskriminasi. Menyusul terjadinya kekacauan dan agitasi pada masa kekhalifahan Usman yang berakibat terbunuhnya Usman, orang pada beramai-ramai berbaiat (bersumpah setia) kepada Imam Ali bin Abi Thalib as. Imam Ali as mau tak mau harus menerima tanggung jawab kekhalifahan. Menerima tanggung jawab ini sebenarnya tidak dimaui oleh Imam Ali as secara pribadi. Kewajiban legalnyalah yang memaksanya menerima jabatan khalifah. Dia menggambarkan ketidaksukaan pribadinya dan kewajiban legalnya dalam kata-kata berikut ini:

"Kalau saja orang-orang tidak datang kepadaku, kalau saja kehadiran kaum Anshar memberiku pilihan, dan kalau saja Allah SWT tidak mengambil janji dari orang alim untuk tidak menerima suatu situasi di mana orang terkotak-kotak menjadi penindas yang kaya, dan si tertindas yang tidak punya, tentu aku tak peduli siapa yang menjadi khalifah, dan sikapku akan tetap sama seperti semula." (Nahj al-Balâghah, khotbah 7)

Kita semua tahu bahwa Imam Ali as, setelah menjabat sebagai khalifah, memberikan prioritas kepada dua hal. Yang pertama adalah reformasi spiritual dan moral masyarakat, memasyarakatkan pengetahuan tentang Tuhan, yang contoh-contohnya terdapat dalam "Nahj al-Balâghah". Dan yang kedua adalah perjuangannya memerangi diskriminasi sosial. Dia tidak merasa cukup dengan reformasi rohaniah, juga tidak memandang cukup reformasi sosial semata-mata. Di satu sisi Islam memiliki program pendidikan masyarakat dan sosialisasi keimanan kepada Allah untuk mewujudkan kesatuan individual dan sosial umat manusia, dan di sisi lain Islam memiliki pedang untuk memperbaiki hubungan antar-manusia yang tidak seimbang, untuk menghapus perbedaan kelas, dan untuk merubuhkan Tuhan-tuhan palsu.

Masyarakat Islam yang tak berkelas artinya adalah suatu masyarakat yang adil, dalam masyarakat seperti ini tak ada diskriminasi, tak ada perampasan, tak ada tirani, dan tak ada Tuhan-tuhan palsu. Artinya bukanlah suatu masyarakat yang tak ada keragaman di dalamnya, karena tak adanya keragaman itu sendiri merupakan bentuk ketidakadilan. Ada perbedaan antara diskriminasi dan keragaman. Dalam sistem penciptaan alam semesta, ada keragaman, yang memperindah sistem tersebut, namun di dalam­nya tak ada diskriminasi. Masyarakat Islam paripurna merupakan masyarakat yang menentang diskriminasi, namun tidak menentang keragaman. Masyarakat Islam adalah masyarakat persamaan dan persaudaraan. Namun persamaannya positif, bukan negatif. Masyarakat Islam mentolerir perbedaan alamiah individu-individu dan tidak meniadakan perbedaan yang terjadi karena upaya para individu. Masyarakat Islam menegakkan persamaan positif dengan memberikan peluang yang sama kepada semua orang dan dengan menghapus keunggulan yang imajiner atau yang tidak adil.

Persamaan yang negatif sama dengan persamaan yang disebut-kan dalam sebuah cerita legenda. Seorang tiran tinggal di bukit. Dia mendapat kunjungan orang-orang yang lewat. Ketika tamu beristirahat untuk semalam, si tamu diminta tidur di tempat tidur khusus. Jika kebetulan tubuh si tamu seukuran tempat tidur, tak ada masalah. Namun celaka bagi tamu yang tubuhnya tidak seukuran tempat tidur. Jika si tamu lebih tinggi, para abdi si tiran memotong bagian tubuh si tamu. Jika si tamu lebih pendek, para abdi menarik tubuh si tamu agar pas dengan ukuran tempat tidur. Untuk kedua kasus ini, hasilnya mudah dibayangkan. Persamaan yang positif adalah seperti perlakuan yang sama dari seorang guru kepada semua muridnya. Jika dalam ujian jawaban semua murid benar, maka si guru memberikan nilai yang sama. Jika jawaban murid beragam, maka si guru memberikan nilai kepada masing-masing murid dengan nilai yang patut diterima masing-masing murid. Masyarakat Islam adalah masyarakat alamiah. Bukan masyarakat yang diskriminatif, dan juga bukan masyarakat yang di dalamnya terjadi persamaan yang negatif. Prinsip Islam adalah: "Bekerja menurut kemampuan, memperoleh imbalan menurut hasil kerja."

Dalam masyarakat yang diskriminatif, hubungan antar-individu didasarkan pada perbudakan dan eksploitasi. Namun dalam masyarakat yang alamiah tak ada eksploitasi dan orang tak dibolehkan hidup dengan mengorbankan orang lain. Hubungan antar-individu didasarkan pada saling memberikan jasa. Semua orang bekerja menurut kemampuannya dan dalam ruang lingkup potensinya. Semua orang saling melayani satu sama lain. Dengan kata lain, kaidahnya adalah saling memanfaatkan jasa. Bila seseorang lebih cakap dan kepribadiannya lebih tangguh, maka dia semakin menarik orang lain. Misal, bila seseorang lebih berilmu, maka orang-orang yang menuntut ilmu akan lebih tertarik kepadanya untuk memanfaatkan jasanya. Kalau seseorang memiliki ke-mampuan teknis yang lebih, maka semakin banyak orang akan bekerja di bawah petunjuknya. Itulah sebabnya Al-Qur'an yang menentang eksistensi tuan dan hamba dalam masyarakat, mengakui eksistensi keragaman alamiah dan perbedaan tingkat kemampuan yang diciptakan oleh Allah. Al-Qur'an juga mendukung hubungan "saling" memanfaatkan jasa. Al-Qur'an menyebutkan:

Apakah merekayang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam hehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan. (QS. az-Zukhruf: 32)

Makna yang sangat bagus yang dapat disimpulkan dari ayat ini adalah bahwa keragaman bukanlah sepihak. Manusia tidak dibagi ke dalam kelas-kelas, yaitu kelas mampu dan kelas tidak mampu. Kalau demikian hahiya, tentu Allah akan berfirman, "Kami telah meninggikan kedudukan sebagian mereka agar dapat mempekerjakan sebagian yang lain." Namun Allah SWT tidak berfirman seperti ini. Allah berfirman bahwa Dia telah meninggikan kedudukan sebagian mereka atas sebagian yang lain, agar sebagian mereka memanfaatkan jasa sebagian yang lain. Itu artinya bahwa semua manusia memiliki kemampuan tertentu, dan bahwa semua manusia memanfaatkan jasa masing-masing. Dengan kata lain, saling memberikan kemampuan dan jasa.

Makna lainnya adalah bahwa kata "sukhriyyan" dalam ayat ini diawali dengan vokal "u" (su), yang artinya adalah pekerjaan dan pemanfaatan. Kata ini juga digunakan di dua tempat yang berbeda dalam Al-Qur'an dengan vokal "i" (si) dan, menurut sebagian besar mufasir, artinya adalah olok-olok. Ayat ini menggambarkan hubungan alamiah dan fitri manusia dalam kehidupan sosialnya, dan mengatakan bahwa hubungan manusia adalah sedemikian rupa sehingga terjadi pemanfaatan jasa satu sama lain. Dapat dikatakan bahwa ini merupakan ayat yang sangat penting dari sudut pandang penjelasan terperinci filosofi sosial Islam.

Baidhawi, dalam tafsimya yang termasyhur mengenai Al-Qur'an, dan mengikuti jejaknya, Allam Faiz dalam kitabnya "ash-Shaft", ketika menjelaskan ayat ini, mengatakan:

"Agar sebagian mereka dapat mempeherjakan sebagian yang lain," artinya adalah bahwa semua manusia memanfaatkan jasa masing-masing untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hubungan ini me­rupakan sarana untuk menciptakan dalam diri manusia semangat berkehendak baik, dan peduli terhadap satu sama lain sehingga urusan dunia ini dapat berjalan lancar.

Ada sebuah hadis (riwayat) yang juga mengatakan bahwa arti ayat ini adalah bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia dengan cara sedemikian rupa sehingga manusia saling membutuhkan satu sama lain. Meskipun untuk memenuhi kebutuhan alamiahnya manusia saling membutuhkan satu sama lain, namun masih ada satu ruang lingkup yang memadai dalam masyarakat, yaitu ruang lingkup kompetisi bebas. Sebaliknya, kehidupan hewan yang suka hidup berkelompok didasarkan pada hubungan yang sifatnya terpaksa. Karena itu, kebutuhan manusia untuk hidup bermasyarakat beda dengan lebah. Kehidupan lebah diatur oleh hukum yang tak bisa ditawar-tawar, dan tak ada ruang untuk kompetisi. Lebah tak punya kemungkinan untuk naik atau turun. Manusia, di samping sebagai makhluk sosial, juga memiliki kebebasan.

Masyarakat manusia merupakan ajang bagi berlangsung dan berkembangnya kompetisi. Kalau individu dibatasi kebebasannya untuk berkompetisi, maka akibatnya adalah kemampuan manusia tidak berkembang. Manusia model bagi mazhab materialistis, meskipun mendapat beberapa pembatasan lahiriah, tak mampu meraih kemerdekaan rohaniah. Dia bagaikan burung yang tak bersayap. Sekalipun tidak dikurung dalam sangkar, burung tersebut tetap saja tak mampu terbang. Manusia model bagi mazhab idealistis memiliki kemerdekaan rohaniah namun lahiriahnya diikat. Dia bagaikan burung yang bersayap namun kakinya diikat kuat-kuat. Sedangkan manusia ideal bagi mazhab realistis adalah bagaikan burung yang bersayap dan kakinya ddak diikat dan dapat terbang tanpa mengalami kesulitan.

Dari paparan di atas, jelaslah bahwa tauhid praktis, baik orang seorang maupun masyarakat, artinya adalah tunduk patuh hanya menyembah Allah SWT dan menolak setiap pemujaan kepada hawa nafsu, uang, kehormatan dan privilese, dan seterusnya. Kalau untuk masyarakat, artinya juga adalah tunduk patuh sepenuh hati kepada aturan yang adil dan keadilan, dan menolak segala nilai yang palsu, diskriminasi dan ketidakadilan. Kalau para individu dan masyarakat tidak tunduk patuh sepenuh hati, maka kebahagiaan dan kesejahteraan tak dapat diraihnya. Mereka baru dapat disebut tunduk patuh sepenuh hati kalau mereka berlaku benar. Al-Qur'an menggambarkan terpecah-pecahnya personalitas manusia dan kebingungannya hidup di bawah sistem kemusyrikan dan pencapaiannya akan persatuan dan tujuan dengan berada di bawah sistem tauhid dengan kalimat berikut:

Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang lelaki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh seorang lelaki (saja). Adakah kedua budak itu sama halnya? (QS. az-Zuman 29)

Di bawah sistem kemusyrikan, manusia bagaikan jerami yang setiap saat diombang-ambingkan oleh ombak laut ke arah yang berbeda. Di bawah sistem tauhid, manusia bagaikan bahtera yang lengkap peralatannya, jalannya teratur, dan berada di bawah komando kapten yang bermaksud baik.

6
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

BAB 11 - Tingkatan Kemusyrikan
Bukan saja tauhid yang terdapat tingkatannya, kemusyrikan juga ada tingkatannya. Kalau kita membandingkan keduanya, kita dapat lebih mengetahui tauhid maupun kemusyrikan. Karena mem­bandingkan dua hal yang berseberangan tersebut, maka kita dapat menjelaskannya. Sejarah memperlihatkan bahwa eksistensi beragam kemusyrikan selalu menandingi tauhid yang diajarkan oleh para nabi.

Percaya Pluralitas Zat Tuhan

Bangsa-bangsa tertentu memiliki kepercayaan kepada dua (dualisme), tiga (trinitas) atau lebih dari sumber kreatif dan abadi yang satu sama lain saling mandiri. Mereka percaya bahwa dunia ini memiliki banyak kutub dan banyak pusat. Dari mana sumber gagasan-gagasan seperti itu? Apakah masing-masing gagasan ini mencerminkan kondisi sosial masyarakat bersangkutan. Misal, ketika orang mempercayai dua sumber kreatif dan abadi serta dua orbit orisinal dunia, masyarakat mereka terbagi menjadi dua bagian yang berlainan, dan ketika orang mempercayai tiga sumber dan tiga Tuhan, sistem sosial mereka trilateral. Dengan kata lain, dalam setiap kasus, sistem sosial tersebut tecermin pada pikiran masyarakat dalam bentuk doktrin. Apakah juga merupakan fakta bahwa para nabi mengajarkan tauhid hanya ketika pusat sistem sosial cenderung satu?

Pandangan ini berasal dari sebuah teori filsafat yang sudah kita bahas sebelumnya. Menurut teori ini, aspek-aspek spiritual dan intelektual pada diri manusia, dan kecenderungan moral serta konvensional masyarakat seperti ilmu pengetahuan, hukum, filsafat, agama dan seni, kedudukan atau arti pentingnya berada di bawah sistem sosial manusia, khususnya berada di bawah sistem ekonominya, dan posisinya tidak mandiri. Teori ini sudah kami buktikan kesalahannya. Kami mempercayai nilai intrinsik pemikiran, ideologi dan sisi manusiawi manusia, karena itu kami anggap tak berdasar pandangan-pandangan sosiologis seperti itu mengenai tauhid dan kemusyrikan.

Namun demikian, ada masalah lain yang tidak boleh dikacaukan dengan teori ini. Terkadang ajaran agama disalahgunakan dalam sistem sosial. Misal, sistem berhala kaum Quraisy penyembah berhala merupakan skema untuk melindungi kepentingan kaum praktisi riba Arab. Orang-orang seperti Abu Sofyan, Abu Jahal dan Walid bin Mughirah sedikit pun tidak mempercayai berhala. Mereka membela berhala hanya untuk melindungi sistem sosial yang ada. Ketika sistem tauhid Islam yang antiriba tampil, mereka semakin hebat dalam membela berhala. Karena takut diri mereka bakal hancur, maka kaum penyembah berhala praktisi riba ini pun mengemukakan dalih bahwa kepercayaan-kepercayaan masyarakat itu suci. Al-Qur'an banyak menyinggung hal ini, khususnya dalam kisah tentang Fir'aun dan Nabi Musa. Namun demikian, haruslah dipahami bahwa masalah ini beda sekali dengan pandangan yang menyebutkan bahwa sistem ekonomi merupakan infrastruktur sistem doktrin dan bahwa setiap sistem intelektual merupakan reaksi sistem ekonomi dan sosial.

Yang ditolak keras oleh mazhab para nabi adalah pandangan yang menyebutkan bahwa setiap ideologi niscaya merupakan bentuk kristalisasi keinginan masyarakat, dan keinginan masyarakat ini muncul akibat kondisi ekonomi. Menurut teori materialistis, mazhab tauhid para nabi itu sendiri merupakan bentuk kristalisasi keinginan sosial yang muncul akibat kebutuhan ekonomi pada zaman para nabi tersebut. Perkembangan alat produksi melahirkan banyak keinginan sosial yang dijelaskan melalui pandangan tauhid. Para nabi sesungguhnya menjelaskan secara terperinci kebutuhan sosial dan ekonomi ini. Ada kaidah yang berlaku umum, yaitu bahwa setiap gagasan dan setiap kepercayaan ada infrastruktur ekonominya. Kaidah ini berlaku pula pada pandangan atau gagasan tauhid.

Al-Qur'an percaya bahwa fitrah manusia merupakan dimensi pokok dari eksistensinya. Al-Qur'an juga berpandangan bahwa fltrah manusia melahirkan sejumlah keinginan yang hanya dapat dipenuhi dengan tauhid. Karena itu Al-Qur'an memandang dakwah tauhid para nabi memenuhi kebutuhan manusia. Al-Qur'an tidak mempercayai infrastruktur lain tauhid, juga tidak memandang kondisi kelas sebagai faktor yang memaksa lahimya gagasan atau kepercayaan. Seandamya kondisi kelas merupakan infrastruktur kepercayaan manusia, maka setiap orang tentu cenderung ke arah yang dikehendaki posisi kelasnya. Dalam kasus ini tak akan ada pilihan bagi siapa pun dalam masalah kepercayaan. Orang-orang seperti Fir'aun tak dapat disalahkan, para penentang mereka juga tak dapat dipuji, karena orang baru dapat disalahkan atau dipuji kalau dia memiliki pilihan untuk menjadi lain. Kalau tidak, dia tak dapat disalahkan, juga tak dapat dipuji. Seorang kulit hitam atau kulit putih tak dapat disalahkan atau dipuji karena warna kulitnya. Namun kita tahu bahwa manusia tidak harus berpikir seperti pikiran kelasnya. Dapat saja dia menentang kepentingan kelasnya, seperti yang dUakukan Nabi Musa, sekalipun Nabi Musa dibesarkan dalam lingkungan mewah Fir'aun. Hal ini membuktikan bahwa soal infrastruktur dan suprastruktur, di samping meniadakan sisi manusiawi manusia, tak lebih daripada sebuah mitos.

Namun demikian, ini tidak berarti bahwa kondisi material dan intelektual tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Yang ditolak adalah kalau kondisi material dan kondisi intelektual masing-masing dianggap sebagai infrastruktur dan suprastruktur. Al-Qur'an mengatakan,

Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas ketika melihat dirinya serba cukup. (QS. al-'Alaq: 6)

Al-Qur'an mengakui bahwa kaum kaya dan kaum berkuasa berperan penting dalam menentang para nabi, sedangkan kaum tertindas dan kaum kurang mampu berperan mendukung para nabi. Namun karena fitrah mereka, mereka pun semuanya dapat menerima kebenaran.

Dari sudut pandang spiritual, perbedaan satu-satunya adalah bahwa satu kelompok, kendadpun memiliki fitrah, harus terlebih dahulu mengatasi rintangan besar sebelum dapat diyakinkan untuk menerima kebenaran, karena kelompok ini harus melepaskan keuntungan materialnya yang ada dan keistimewaannya yang dimilikinya secara ddak adil, sementara kelompok lain tak menghadapi rintangan seperti itu. Dengan bahasa Salman al-Farisi (sahabat istimewa Nabi Muhammad saw), mereka yang bebannya ringan, terselamatkan. Bukan saja begitu, kelompok kedua ini memiliki dorongan yang positif. Setelah menerima kebenaran, kondisi hidup kelompok ini mengalami perbaikan, dan kehidupannya pun semakin enak. Itulah sebabnya mayoritas pengikut para nabi adalah kaum kurang mampu. Namun demikian, para nabi selalu mampu mendapat pengikut dari kalangan kaum mampu, dan mampu meyakinkan mereka untuk menentang kelas mereka sendiri dan kepentmgan kelas mereka. Menurut Al-Qur'an, orang-orang seperti Fir'aun dan Abu Sofyan membela sistem musyrik pada zaman mereka, dan membangkitkan semangat religius kaum mereka untuk menentang Nabi Musa dan Nabi Terakhir (Muhammad saw—pen.) bukan semata-mata lantaran mereka—karena posisi kelas mereka—tidak dapat berpikir untuk berbuat lain, atau bukan karena tuntutan kelas mereka mengkristal dalam bentuk ke-percayaan musyrik. Al-Qur'an mengatakan bahwa mereka durhaka. Berkat fitrah mereka, mereka mempercayai Allah dan menyadari kebenaran, namun tetap saja mereka menolak dan menentang kebenaran. Al-Qur'an menyebutkan:

Dan mereka mengingkari ayat-ayat Kami, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya. (QS. an-Naml: 14)

Al-Qur'an menggambarkan kekafiran mereka sebagai pengingkaran terhadap apa yang diyakini hati mereka. Dengan kata lain, pengingkaran mereka merupakan semacam revolusi menentang hati nurani mereka sendiri. Dalam hubungan ini ada kesalahpahaman yang serius. Sebagian orang berpendapat bahwa Al-Qur'an mendukung teori materialisme sejarah Marxis. Masalah ini akan kami bahas secara terperinci pada saat mengkaji masyarakat dan sejarah di bagian lain buku ini. Teori ini tidak sesuai dengan realitas aktual sejarah, juga tidak dapat dipertahankan dari sudut pandang ilmiah.

Namun demikian, mempercayai beberapa sumber berarti mempercayai pluralitas Zat Tuhan, dan bertentangan sekali dengan mempercayai keesaan Zat Tuhan. Dalam kaitan ini Al-Qur'an mengemukakan argumen:

Sekiranya ada di langit dan di burnt Tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. (QS. al-Anbiyâ': 22)

Orang yang meyakini pluralitas Zat Tuhan berarti dia berada di luar batas Islam, karena Islam menolak keras keyakinan seperti ini dalam setiap bentuknya.

Pluralitas Pencipta

Sebagian orang meyakini bahwa Allah tak bersekutu. Mereka meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya sumber alam semesta ini. Namun, sejauh menyangkut Tuhan sebagai pencipta, mereka menyekutukan Tuhan dengan beberapa makhluk. Misal, sebagian dari mereka berpendapat bahwa keburukan atau kejahatan di-ciptakan oleh sebagian makhluk, bukan oleh Allah. Keyakinan seperti ini sama juga dengan keyakinan bahwa pencipta itu banyak, dan keyakinan seperti ini bertentangan sekali dengan ajaran keesaan perbuatan Tuhan. Namun demikian, keyakinan akan pluralitas pencipta ada beberapa tingkatannya. Sebagiannya tidak sama dengan kemusyrikan yang terang-terangan, dan karena itu penganut keyakinan ini belum berada di luar batas Islam.

Pluralitas Sifat-sifat Allah

Karena pelik, maka bukan orang biasa yang mengangkat persoalan ini. Hanya sebagian pemikir yang kurang mendalam wawasannya saja yang tertarik dengan persoalan ini. Di antara kaum teolog skolastis (penganut skolastisisme; skolastisisme adalah teologi dan falsafah Kristen abad pertengahan yang didasarkan pada falsafah Aristoteles dan menekankan dasar rasional bagi iman Kristen—pen.), kaum Asya'irah mempercayai pluralitas Sifat-sifat Allah. Karena keyakinan seperti ini tidak sama dengan kemusyrikan terang-terangan, maka penganutnya belum berada di luar batas Islam.

Pluralitas Ibadah (Penyembahan)

Banyak orang yang menyembah kayu, batu atau logam, atau mereka menyembah hewan, bintang, pohon atau sungai. Dahulu kemusyrikan seperti ini lazim. Sekarang pun kemusyrikan seperti ini masih ada di beberapa belahan dunia. Pluralitas penyembahan merupakan lawan dari tauhid ibadah. Semua tingkat kemusyrikan yang disebutkan sebelumnya merupakan beragam jenis ke­musyrikan teoretis. Semuanya dapat dilukiskan sebagai persepsi atau pengetahuan yang salah. Pluralitas ibadah merupakan ke­musyrikan praktis, semacam "menjadi" yang salah.

Namun demikian, kemusyrikan praktis juga begitu banyak tingkatannya. Tingkatannya yang paling tinggi adalah tingkatan yang membuat orang berada di luar batas Islam. Tingkatan ini disebut kemusyrikan yang terang-terangan. Namun ada banyak jenis kemusyrikan yang tersembunyi. Karena memiliki program tauhid praktis, maka Islam memerangi semua jenis kemusyrikan itu. Ada jenis-jenis kemusyrikan yang begitu tak kentara dan tersembunyi, sehingga nyaris tidak kelihatan. Nabi saw bersabda: "Kemusyrikan lebih tak terlihat ketimbang semut yang berjalan di batu yang licin di kegelapan malam. Kemusyrikan yang paling kecil kadarnya adalah lebih cenderung kepada tindak kezaliman ketimbang tindak keadilan."

Orang baru dapat disebut religius kalau dia mencintai dan membenci karena Allah semata. Allah SWT berfirman:

Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutlah aku, niscaya Allah mmgasihi dan mengampuni dosa-dosamu. (QS. A^li 'Imrân: 31)

Islam memandang perbuatan menuruti hawa nafsu, cinta jabatan, cinta kehormatan dan uang, maupun memuja pahlawan atau tokoh, sebagai bentuk kemusyrikan. Dalam kisah tentang konflik antara Nabi Musa dan Fir'aun, Al-Qur'an menggambarkan kekuasaan tiran Fir'aun atas Bani Isra'il. sebagai pemaksaan dedikasi dan perbudakan. Nabi Musa digambarkan menjawab Fir'aun:

Budi yang kamu Umpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Isra'il. (QS. asy-Syu'arâ’: 22)

Jelaslah bahwa Bani Isra'il tidak menyembah Fir'aun dan juga tidak menjadi budaknya. Mereka hanyalah hidup di bawah ke­kuasaan tirani Fir'aun. Di bagian lain Fir'aun digambarkan mengatakan: "Sesungguhnya kami memiliki kekuasaan penuh atas mereka." Di bagian lain lagi Fir'aun digambarkan mengatakan: "Kaum mereka (kaum Nabi Musa as dan Nabi Harun as) adalah budak kami dan menyembah kami." Dalam ayat ini kata "kami" penting artinya. (lihat QS. al-A'raf: 127)

Sekalipun kita berasumsi bahwa Bani Isra'il dipaksa menyembah Fir'aun, tetap saja tak dapat dibayangkan bahwa Bani Isra'il menyembah pembesar-pembesar Fir'aun. Bani Isra'il hanya dipaksa tunduk dan menaati Fir'aun. Dalam sebuah khotbah yang meng­gambarkan keadaan menyedihkan yang dialami Bani Isra'il di bawah kekuasaan tirani Fir'aun. Imam Ali as berkata: "Orang-orang seperti Fir'aun telah memperbudak mereka." Imam Ali as menjelaskan diperbudaknya Bani Isra'il dengan kata-kata seperti ini: "Orang-orang seperti Fir'aun itu menyiksa mereka dan membuat hidup mereka menyedihkan. Bani Isra'il hidup di bawah kondisi yang sangat menindas dan tak dapat menemukan jalan untuk melepaskan diri dari penindasan dan penghinaan, atau untuk membela diri." (Nahj al-Balâghah)

Ayat yang menjanjikan bahwa kaum mukmin akan menjadi khalifah Allah, sangat jelas dalam kaitan ini. Ayat itu mengatakan:

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bund, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutvkan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) Kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yangfasik. (QS. an-Nûr: 55)

Ayat ini menunjukkan, bahwa bila pemerintahan yang baik dan kekhalifahan Allah tegak, maka kaum mukmin terbebaskan dari menaati setiap tiran. Ayat ini mengatakan bahwa kaum mukmin hanya menyembah Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun juga. Ini memperlihatkan bahwa dari sudut pandang Al-Qur'an, menaati penguasa merupakan tindak menyembah Allah asalkan penguasa tersebut ditaati karena Allah. Kalau tidak, maka perbuatan seperti itu merupakan tindak kemusyrikan. Mengherankan bahwa terpaksa taat, yang secara moral tidak dianggap sebagai tindak menyembah, juga dianggap demikian dari sudut sosial. Nabi saw bersabda: "Ketika jumlah Bani al-'As (leluhur Marwan bin Hakam dan sebagian besar khalifah Umayah) mencapai tiga puluh, mereka akan menjarah milik Allah dan mengubahnya menjadi milik pribadi mereka, akan memperbudak hamba Allah, dan akan mengintervensi agama-Nya."

Di sini Nabi Muhammad saw mengisyaratkan bahwa Bani Umayah akan menjadi penindas atau tiran. Memang Bani Umayah tidak meminta disembah, juga tidak memperbudak rakyat mereka. Bani Umayah hanya menjalankan kekuasaan tirani. Nabi saw, melalui wahyu Allah sehingga dapat melihat apa yang akan terjadi kelak, menyebut posisi ini pembudakan dan semacam kemusyrikan.

Batas antara Tauhid dan Kemusyrikan

Apa garis pembatas antara tauhid dan kemusyrikan (termasuk bentuknya yang teoretis dan praktis?) Mana pandangan yang tauhid dan mana pandangan yang musyrik? Perbuatan seperti apa yang dapat disebut Tauhid praktis, dan yang dapat disebut kemusyrikan praktis? Apakah musyrik kalau mempercayai eksistensi apa pun selain Allah? Apakah Tauhid Zat-Nya menuntut kita untuk tidak mem­percayai eksistensi sesuatu dalam bentuk apa pun di samping Dia, yang bahkan bukan ciptaan-Nya (semacam monoisme ontologis").

Jelaslah bahwa segala ciptaan adalah pekerjaan Allah. Tidak dapat dipandang sebagai tandingan-Nya. Ciptaan Allah merupakan manifestasi kemahakuasaan-Nya. Mempercayai eksistensi suatu ciptaan sebagai sesuatu yang diciptakan oleh Allah, tidak bertentangan dengan tauhid. Akan tetapi justru melengkapi tauhid. Karena itu, garis pembatas antara tauhid dan kemusyrikan bukanlah ada atau tidak adanya sesuatu selain Allah.

Apakah mempercayai sebab-akibat segala ciptaan sama dengan kemusyrikan atau pluralitas pencipta? Apakah mempercayai tauhid perbuatan Allah berarti kita juga menolak sistem sebab-akibat, dan beraiti kita juga menganggap bahwa setiap akibat tentu penyebabnya adalah Allah langsung? Misal, apakah kita percaya bahwa api sama sekali tak punya peran dalam pembakaran, air sama sekali tak punya peran dalam menghilangkan dahaga, hujan sama sekali tak punya peran dalam menumbuhkan tanaman, dan obat sama sekali tak punya peran dalam penyembuhan, dan bahwa Allah langsung yang membakar, langsung yang menghilangkan dahaga, langsung yang menumbuhkan tanaman, dan langsung yang menyembuhkan penyakit Benarkah ada atau tak adanya faktor-foktor lain sama saja? Paling banter dapat dikatakan bahwa Allah biasanya berbuat bila ada faktor-faktor tertentu. Jika seseorang biasa memakai topi di kepalanya bila dia mau menulis surat, maka tidak dapat dikatakan bahwa ada atau tak adanya topi mengakibatkan dia menulis surat. Yang jelas adalah bahwa dia tak suka menulis surat tanpa mengenakan topi di kepalanya. Menurut pandangan ini, seperti itulah karakter dan ada dan tidak adanya segala sesuatu yang disebut sebab dan faktor. Kalau kita mempercayai sebaliknya, berarti kita menganggap bahwa Allah ada sekutu-Nya dalam berbuat. Itulah pandangan kaum Asya'irah dan kaum Jabariah.

Sekali lagi pandangan ini salah. Karena mempercayai eksistensi sesuatu ciptaan tidaklah sama dengan mempercayai pluralitas Zat Tuhan, tetapi justru melengkapi kepercayaan akan keesaan Allah, maka mempercayai sistem sebab-akibat tidaklah sama dengan mempercayai pluralitas pencipta. Karena eksistensi segala ciptaan itu bukan dengan sendirinya, maka efektivitas mereka juga bergantung. Karena eksistensi dan efektivitas segala yang ada bergantung pada Allah, maka tak ada soal pluralitas pencipta. Mempercayai sistem sebab-akibat sesungguhnya melengkapi kepercayaan akan kepenciptaan Allah. Tentu saja sama dengan kemusyrikan kalau kita percaya bahwa segala ciptaan ada sendiri, atau percaya bahwa hubungan antara Allah dan alam semesta adalah hubungan pabrikan dan produk. Mobil pada mulanya membutuhkan pabrikan agar mobil itu ada, namun setelah ada mobil itu berjalan sesuai dengan mekanismenya sendiri. Meskipun pabrikannya mati, mobil itu tetap dapat jalan. Kalau kita beranggapan bahwa hubungan faktor alamiah, seperti air, hujan, energi, panas, bumi, tumbuhan dan manusia dengan Allah seperti itu, seperti terkadang cenderung jadi pandangan kaum Mu'tazilah, maka pandangan seperti itu tentu saja membawa ke kemusyrikan.

Efektivitas segala ciptaan bergantung pada Pencipta mereka, karena asal-usul, eksistensi dan kelangsungan mereka bergantung pada-Nya. Alam semesta adalah ciptaan-Nva dan merupakan rahmat dari-Nya. Alam semesta sepenuhnya bergantung pada-Nya. Karena itu, efektivitas segala ciptaan sesungguhnya merupakan efektivitas Allah, dan kreativitas mereka merupakan kreativitas-Nya dan perpanjangan pekerjaan-Nya. Bahkan dapat dikatakan bahwa memandang musyrik keyakinan akan adanya peran makhluk dalam urusan dunia itu sendiri adalah pikiran musyrik, karena pikiran seperti itu menunjukkan secara tidak sadar mempercayai kemandirian segala yang ada, seperti ditunjukkan oleh anggapan bahwa mempercayai efektivitas segala yang ada berarti sama dengan mempercayai adanya dua pusat. Namun demikian, mempercayai atau mengingkari sebab-akibat segala ciptaan di samping Allah bukanlah garis pembatas antara tauhid dan kemusyrikan.

Apakah mempercayai kekuatan supranatural dari sesuatu yang eksis, apakah itu malaikat atau manusia seperti nabi atau imam, itu musyrik, padahal mempercayai kekuatan dan efektivitas nabi atau imam dan seterusnva dalam batas-batas normal tidak musyrik? Begitu pula, apakah dapat disebut berpikiran musyrik kalau mempercayai kekuatan dan efektivitas seseorang yang sudah mati, mengingat orang yang sudah mati itu nampaknya hanyalah sebuah benda inorganis. Jelaslah, dari sudut pandang hukum alam, benda inorganis tak memiliki kesadaran, tak memiliki daya, tak memiliki kehendak. Karena itu, percaya bahwa orang yang sudah mati bisa melihat, atau menghormati orang yang sudah mati, dan meminta sesuatu dari orang yang sudah mati, semuanya itu merupakan perbuatan musyrik, karena dengan berbuat begitu berarti menganggap bahwa yang punya kekuatan supranatural bukan saja Allah tetapi juga makhluk.

Begitu pula, tentu saja musyrik kalau percaya bahwa tanah di tempat tertentu bisa untuk menyembuhkan penyakit, atau bahwa berdoa di tempat tertentu pasti dikabulkan, karena kepercayaan seperti itu sama saja dengan mempercayai bahwa benda tak ber-nyawa memiliki kekuatan supranatural. Mengingat semua itu alamiah, dapat diidentifikasi, dapat dialami, dan dapat dilihat, maka bukanlah musyrik, seperti anggapan kaum Asya'irah, kalau mem­percayai efektivitas hal-hal itu. Namun tentu saja musyrik kalau percaya bahwa makhluk memiliki kekuatan supranatural.

Eksistensi memiliki dua segi: fisis dan metafisis. Segi metafisis merupakan wilayah khusus Allah, sedangkan segi fisis merupakan wilayah khusus makhluk, atau merupakan wilayah bersama antara Allah dan makhluk. Sejumlah fungsi yang memiliki segi metafisis, seperti menghidupkan, mematikan, memberikan rezeki, dan seterusnya, bersama beberapa fungsi normal dan biasa, merupakan wilayah khusus Allah. Sejauh menyangkut Tauhid Teoretis, begitulah posisinya. Adapun Tauhid praktis, maka memberikan perhatian kepada makhluk dengan maksud membina hubungan spiritual dengan makhluk tersebut, agar makhluk tersebut memberikan perhatian kepada kita, atau agar makhluk tersebut memberikan tanggapan kepada kita, maka itu semua merupakan kemusyrikan, dan sama saja dengan menyembah makhluk tersebut. Karena menyembah selain Allah itu tidak dibolehkan oleh akal dan juga oleh syariat Islam, maka orang yang melakukan perbuatan tersebut keluar dari Islam. Kemudian, karakter ritus yang membutuhkan adanya perhatian semacam itu, tak beda dengan karakter ritus yang dilakukan oleh kaum penyembah berhala. Kalau orang melakukan ritus seperti itu, maka artinya dia menganggap sosok yang jadi objek ritus tersebut memiliki kekuatan metafisis (misalnya Imam atau Nabi saw). Itulah pandangan kaum Wahabi dan kaum semi-Wahabi di zaman ini.

Di zaman ini pandangan seperti ini banyak dianut, dan di kalangan-kalangan tertentu malah dianggap sebagai tanda berpikir jemih. Namun dari sudut pandang tauhid, teori kaum Asya'irah itu termasuk musyrik. Sesungguhnya teori tersebut merupakan seburuk-buruk teori, bila dilihat dari sudut pandang tauhid kepenciptaan dan tauhid perbuatan Tuhan.

Dalam kesempatan menunjukkan kekeliruan teori kaum Asya'irah, sudah kami kemukakan sebelumnya bahwa mereka menafikan sistem sebab-akibat, dengan alasan bahwa kalau orang mempercayai efektivitas dan sebab-akibat makhluk berarti dia mempercayai adanya beberapa sumber lain selain Allah. Sudah kami kemukakan bahwa sesuatu dapat menjadi sumber kalau eksistensi sesuatu tersebut terjadi dengan sendirinya, dan sesuatu tersebut tidak bergantung pada Allah. Kaum Asya'irah rupanya secara tidak sadar mempercayai independensi makhluk. Kepercayaan ini jelasjelas musyrik, karena sama saja dengan menyangkal Tauhid Zat Allah. Namun demikian, mereka tidak menyadari konsekuensi teori mereka. Mereka ingin menegaskan tauhid kepenciptaan, namun secara tak sadar justru ujungnya malah mendukung pluralitas Zat Tuhan.

Kritik yang sama juga tertuju kepada kaum semi-Wahabi. Secara tak sadar mereka pun setuju dengan semacam independensi-diri makhluk, karena mereka beranggapan bahwa mempercayai faktor supranatural sama saja dengan mempercayai kekuatan lain selain kekuatan Allah. Mereka ini mengabaikan fakta bahwa kalau satu makhluk dapat melakukan perbuatan supranatural, dan segenap eksistensi makhluk tersebut bergantung pada Allah, dan yang statusnya sendiri tidak mandiri, maka sebenarnya kualitas untuk melakukan perbuatan tersebut berasal dari Allah yang diberikan kepadanya. Makhluk tersebut hanyalah sarana untuk menyampaikan rahmat Allah. Apakah musyrik kalau orang percaya bahwa Malaikat Jibril merupakan perantara yang digunakan untuk menyampaikan wahyu dan ilmu, Malaikat Mikail merupakan perantara untuk memberikan sarana hidup, Malaikat Israfil merupakan perantara untuk Kebangkitan, dan Malaikat Izrail merupakan perantara untuk mencabut nyawa?

Dari sudut pandang tauhid, teori ini berakibat seburuk-buruk kemusyrikan, karena mempercayainya sama saja dengan semacam membagi kerja antara Pencipta (Allah SWT) dan makhluk. Menurut teori ini, perbuatan supranatural merupakan wilayah khusus Allah, sedangkan perbuatan alamiah merupakan wilayah khusus makhluk atau wilayah bersama antara Pencipta dan makhluk. Mempercayai wilayah khusus makhluk, berarti mempercayai pluralitas kerja yang merupakan gagasan musyrik. Begitu pula, mempercayaiwilayah bersama juga merupakan kemusyrikan.

Bertentangan dengan konsepsi tauhid, Wahabisme bukan saja merupakan sebuah doktrin yang bertentangan dengan imamiah, namun juga bertentangan dengan tauhid dan kemanusiaan. Doktrin Wahabi ini anti-tauhid, karena doktrin ini mempercayai adanya pembagian kerja. Seperti sudah dijelaskan di atas, Wahabisme merupakan semacam kemusyrikan terselubung. Juga anti-kemanusiaan, dalam pengertian tidak menghargai bakat dan kemampuan manusia, dua hal yang membuat manusia lebih unggul daripada malaikat sekalipun. Dengan jelas Al-Qur'an menyebutkan bahwa manusia adalah khalifah Allah, dan malaikat diperintahkan untuk sujud di hadapan manusia. Namun Wahabisme masih saja berkeinginan menurunkan maitabat manusia sampai ke tingkat binatang buas.

Lalu, membedakan antara yang hidup dan yang mad, seperti katakanlah bahwa yang mad itu tidak akan hidup lagi meski di akhirat sekalipun, dan bahwa segenap kepribadian manusia itu terletak pada raganya, dan raga ini kemudian berubah menjadi barang inorganis setelah manusia tersebut mati, merupakan gagasan materialistic dan keji. Masalah ini akan kami bahas nand, yaitu ketika membahas Han Kiamat.

Yang juga musyrik adalah, apabila membedakan antara efek sesuatu yang bersifat supranatural dan tak dapat dimengerti (efek pertama) dan yang bersifat dapat dimengerti (efek kedua), dan memandang efek pertama sebagai efek metafisis yang bertentangan dengan efek kedua. Sekarang dapat dimengerti apa maksud Nabi Suci saw ketika bersabda bahwa kemusyrikan begitu diam-diam, dan tak kelihatan ketika menyusup masuk ke dalam iman, bagaikan semut yang berjalan di atas batu pada kegelapan malam.

Faktanya adalah bahwa garis pemisah antara tauhid dan syirik adalah hubungan antara Allah di satu pihak, dan manusia serta alam semesta di pihak lain. Hubungan ini adalah hubungan "dari-Nya" dan "kepada-Nya". Dalam tauhid teoretis, garis pembatas tersebut adalah "dari-Nya". "Kita semua dari Allah". Dari sudut pandang tauhid, sikap kita baru benar kalau kita memandang bahwa hakikat, sifat dan efekdvitas kualitas eksistensi pada sedap kebenaran dan setiap sesuatu yang ada itu dari Allah. Apakah efeknya tunggal, beberapa, atau tak berefek sama sekali, dan apakah punya efek supranatural atau tidak, itu tak penting. Allah bukan Tuhannya dunia metafisis saja. Allah adalah Tuhan alam semesta. Dekatnya Dia dengan dunia fisis, sama dengan dekatnya Dia dengan dunia metafisis. Dia bersama segala sesuatu, dan rezeki untuk segala sesuatu' tersebut adalah dari-Nya. Kalau sesuatu memiliki segi metafisis, itu berarti bahwa sesuatu tersebut memiliki segi ketuhanan. Seperti sudah kami kemukakan sebelumnya, menurut konsepsi Islam, karakter wujud yang dimiliki alam ini adalah "dari-Nya". Dalam banyak ayat Al-Qur'an disebutkan bahwa para nabi memiliki mukjizat, seperti dapat menghidupkan sesuatu yang sudah mati, dan mengembalikan penglihatan orang yang buta sejak lahir.

Namun demikian, selalu ada tambahannya, yaitu "dengan kehendak-Nya". Frase "dengan kehendak-Nya" ini menunjukkan karakter mukjizat tersebut, dan memperlihatkan bahwa mukjizat ini berasal dari-Nya. Orang tak boleh beranggapan bahwa para nabi itu independen (dalam hal mukjizat—pen.). Yang juga termasuk musyrik adalah kalau mempercayai adanya eksistensi yang bukan "dari Allah". Juga, kalau percaya bahwa efektivitas sesuatu yang ada itu bukan "dari-Nya", maka itu adalah musyrik. Apakah efeknya bersifat supranatural seperti menciptakan bumi dan langit, atau apakah efeknya begitu remeh seperti membalikkan daun, itu tak penting.

Kalau dalam tauhid praktis, maka garis pembatas antara tauhid dan kemusyrikan adalah "kepada-Nya". "Kita semua akan kembali kepada-Nya", seperti dikatakan Al-Qur'an Suci. Kalau kita memberikan perhatian kepada sesuatu yang ada, baik perhatian itu bersifat spiritual atau bukan, dengan maksud untuk sampai kepada Allah, dan bukan sebagai tujuan itu sendiri, maka perbuatan kita ini sama dengan memberikan perhatian kepada Allah. Segala yang ada supaya dipandang hanya sebagai tanda untuk menuju ke Allah. Hanya Allah sajalah tujuannya.

Para nabi dan para imam digambarkan sebagai "rule utama dan jalan lurus, papan penunjuk jalan bagi manusia, mercusuar di darat, pemandu ke jalan Allah, penyampai risalah-Nya dan penyingkap kehendak-Nya." (Ziyârah Jâmi'ah). Karena itu, masalahnya bukanlah kalau ber-wasîlah (menjadikan sebagai perantara) kepada imam, memohon atau berharap agar imam berbuat mukjizat, maka itu musyrik. Bukan ini masalahnya. Sesungguhnya masalahnya adalah sesuatu yang lain.
Pertama, kita harus yakin apakah para nabi dan imam itu memang sedemikian dekat dengan Allah, sehingga mereka dianugerahi kekuatan dan kualitas supranatural. Al-Qur'an Suci menunjukkan bahwa Allah telah menganugerahkan posisi seperti itu kepada sebagian orang. Kedua, apakah kalau orang ber-wasîlah kepada imam dan wali, ziarah ke makam mereka dan memohon kepada mereka, dari sudut pandang tauhid, memiliki pengertian yang benar mengenai apa yang dilakukannya atau tidak. Apakah dalam benaknya ada "kepada-Nya", ketika mereka ke makam? Ataukah dia lalai akan Dia dan menganggap imam atau wali, yang makam mereka dia ziarahl, sebagai tujuan itu sendiri. Tak syak lagi, sebagian besar orang secara naluriah dalam benak mereka ada Allah. Sebagian orang mungkin benar-benar tak memiliki pandangan tauhid. Mereka harus diingatkan tentang pandangan tauhid ini. Namun demikian, tak ada alasan untuk menyebut musyrik terhadap ziarah ke makam. Ketiga, bahwa juga musyrik kalau memuliakan dan memuji makhluk sedemikian seakan makhluk tersebut benar-benar sempurna dan eksis sendiri. Hanya Allah sajalah yang benar-benar sempurna. Hanya Dia sajalah yang pantas mendapat segala pujian. Hanya Dia sajalah yang Mahakuasa. Menganggap makhluk memiliki sifat-sifat sempurna seperti itu, baik anggapan tersebut dilakukan dalam bentuk kata maupun perbuatan, maka hal yang demikian itu adalah musyrik. Sudah kami bahas sebelumnya perbuatan-perbuatan yang bisa disebut ibadah dan memuja.

Taat dan Sungguh-sungguh

Kalau seseorang sadar akan Allah, maka kesadarannya tersebut mempengaruhi segenap kepribadian, semangat, jiwa, moral dan perilakunya. Sejauh mana pengaruh tersebut, itu bergantung pada tingkat imannya. Kalau imannya kuat, maka pengaruh tersebut juga kuat. Pengaruh kesadaran akan Allah pada din manusia, bertingkat dan bertahap. Karena tingkat dan tahap tersebut beragam, maka beragam pula kesempumaan dan kedekatan manusia dengan Allah.

Tingkat ini disebut tingkat ketaatan dan kesungguhan. Seperti dikemukakan sebelumnya, kalau kita berpaling kepada Allah dan menyembah Allah, berarti kita memperlihatkan bahwa Dia sajalah yang patut ditaati dan kita tunduk patuh mutlak kepada-Nya. Penyembahan seperti ini, dan ungkapan ketundukan total ini tidak boleh dilakukan kepada makhluk, kecuali kepada Allah. Adapun masalah sejauh mana kesungguhan kita dalam ketundukan dan kepatuhan total kepada Allah dan ketidaktundukan dan ketidak-patuhan kepada makhluk, itu bergantung pada iman kita. Jelas, ketaatan dan kesungguhan kita semua tidaklah sama.

Sebagian orang membuat kemajuan sedemikian rupa, sehingga jiwa dan raga mereka hanya dikendalikan oleh perintah Allah. Hawa nafsu tak dapat mempengaruhi mereka. Siapa pun tak dapat mutlak mengendalikan mereka. Mereka memenuhi tuntutan hawa nafsu kalau tuntutan tersebut diridai Allah. Tampak jelas, mencari keridaan Allah menjadi jalan satu-satunya untuk mencapai kesempurnaan. Orang-orang seperti ini taat kepada kedua orang tua mereka, guru mereka, dan seterusnya hanya karena Allah dan hanya dalam batas-batas yang dibolehkan Allah. Bahkan ada yang lebih dari itu. Mereka hanya mencintai Allah SWT. Kalau mereka mencintai makhluk-Nya, itu karena makhluk merupakan ayat (tanda kekuasaan)-Nya, dan mengingatkan akan-Nya. Meski tidak banyak, ada yang bahkan lebih dari tahap ini. Mereka tidak melihat apa-apa kecuali Dia, dan memandang segalanya sebagai perwujudan-Nya. Bagi mereka, dalam segala sesuatu ada Dia.

Imam Ali as berkata: "Kalau aku melihat sesuatu, maka sebelum atau bersama sesuatu itu aku melihat Allah." Kalau dalam hidupnya seseorang berupaya memberikan bentuk nyata pada apa yang dikomunikasikannya kepada Allah ketika beribadah, maka orang tersebut mencapai kesempurnaan dan mencapai tahap ketaatan. Bagi orang tersebut, ibadahnya merupakan kontrak nyata, yang pasal-pasal dalam kontrak tersebut harus ditaatinya. Dalam kontrak ini ada dua pasal utama:

Pertama, tidak menaati siapa pun dan apa pun, termasuk di dalamnya hawa nafsunya.

Kedua, menerima dan tunduk patuh sepenuhnya kepada perintah Allah.

Baginya, ibadah merupakan jalan yang tepat untuk mendidik diri dan untuk perkembangan rohaninya. Ibadah secara sistematis mendidik kita untuk berpandangan terbuka tanpa prasangka, untuk berkorban diri, untuk mencintai Allah, untuk mencintai umat manusia, untuk bergaul dengan orang-orang yang berpikiran lurus, untuk berbuat bajik, dan untuk memberikan jasa kepada umat manusia.

Dari apa yang telah kami paparkan, jelaslah bahwa Tauhid Islam tak mau adanya alasan lain selain untuk mendapatkan keridaan Allah. Realitas evolusioner manusia dan dunia adalah "menuju kepada-Nya." Apa pun yang orientasinya bukan kepada Allah, maka menyimpang dan bertentangan dengan evolusi alam. Dari sudut pandang Islam, apa pun yang dilakukan manusia, entah itu untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, maka haruslah untuk mendapatkan keridaan Allah. Adalah salah kalau mengatakan bahwa "mencari keridaan Allah" identik dengan "untuk kepentingan manusia," dan bahwa berbuat sesuatu untuk mencari keridaan Allah tanpa untuk kepentingan manusia tak lain adalah mistisisme dan pedagogisme.

Dari sudut pandang Islam, jalan satu-satunya adalah jalan Allah, dan tujuan satu-satunya adalah mencari keridaan-Nya. Dan jalan Allah adalah berinteraksi dengan orang lain. Berbuat demi diri sendiri berarti egoisme, berbuat demi manusia berarti menyembah berhala, dan berbuat demi Allah dan manusia berarti kemusyrikan dan dualisme. Tauhid sejati adalah "Berbuat untuk diri sendiri dan untuk orang lain demi Allah." Menurut Islam, jalan tauhid adalah memulai segalanya dengan Nama Allah, bukan atas nama manusia, juga bukan dengan Nama Allah sekaligus atas nama manusia. Dari Surah al-Ikhlâsh dapat ditarik poin yang menarik: mukhlish, yaitu berbuat semata-mata demi Allah, dan mukhlash, yaitu tulus atau suci diri, ada bedanya.

Alam Semesta yang Satu

Apakah alam semesta yang beruang waktu yang diciptakan Allah itu benar-benar satu? Apakah keesaan Allah, yaitu keesaan Zat-Nya, keesaan Sifat-sifat-Nya dan keesaan perbuatan-Nya mengharus-kan ciptaan-Nya juga satu? Kalau alam semesta merupakan satu unit yang solid dan bertalian, bagaimana sebenarnya pertaliannya itu? Apakah organis, dalam pengertian bahwa hubungan berbagai bagian alam semesta dengan keseluruhan alam semesta adalah seperti hubungan berbagai anggota badan dengan tubuh, atau apakah mekanis sehingga berbagai bagian alam semesta adalah seperti berbagai komponen sebuah mesin?

Bagaimana sebenarnya alam semesta yang satu itu, sudah kami bahas dalam buku kami "Prinsip-prinsip Filsafat". Dalam buku kami yang lain "Keadilan Ilahi", kami kemukakan bahwa alam semesta merupakan sesuatu yang tak dapat dipotong-potong. Kalau satu bagiannya tidak ada, berarti alam semesta itu sendiri tak ada. Dan kalau apa yang disebut keburukan itu sirna, maka sirna pula alam semesta.

Kaum Filosof modern, khususnya Filosof besar Jerman, Hegel. Mendukung pandangan yang mengatakan bahwa hubungan antara alam dan berbagai bagiannya adalah seperti hubungan tubuh dan anggota tubuh. Namun demikian, diterima atau tidak diterimanya argumen-argumen yang dikemukakannya, tergantung pada di­terima atau tidak diterimanya segenap prinsip filsafatnya. Para pendukung materialisme dialektis berpandangan seperti ini juga. Mereka mati-matian mempertahankan pandangan ini di bawah prinsip efek timbal balik dan interdependensi hal-hal kontrakdisi, dan mengklaim bahwa di alam semesta hubungan antara satu bagian dan alamnya itu sendiri bersifat organis, namun ketika mereka mengemukakan argumen, maka yang dapat mereka buktikan hanyalah hubungan mekanis. Sesungguhnya, berdasarkan filsafat materialistis, tidaklah mungkin membuktikan bahwa alam sebagai keseluruhan adalah seperti tubuh, dan hubungan bagian-bagiannya dengan alam itu sendiri adalah seperti hubungan anggota badan dan tubuh. Hanya kaum Filosof Ilahiah yang—sejak dahulu berpandangan bahwa alam adalah makrokosmos sedangkan manusia adalah mikrokosmos—telah menggambarkan hubungan ini dengan benar. Dan kalangan Filosof Muslim, Ikhwan ash-Shafa, adalah yang banyak menekankan hal ini. Bahkan lebih dan kaum filosof, kaum sufi memandang alam semesta sebagai satu unit. Menurut mereka, seluruh kosmos merupakan satu perwujudan tunggal Realitas Ilahiah.

Kaum ahli makrifat menyebut alam semesta "tumpahan suci." Mereka mengatakan bahwa alam semesta itu seperti kerucut, puncak kerucut yang ada kontak dengan Allah tak dapat dilihat, dan dasar kerucut sangat luas sekali.

Pada kesempatan ini karni tidak bermaksud membahas pandangan kaum filosof dan pandangan kaum Muslim ahli makrifat itu, dan membahas lagi persoalan yang sudah kami bahas sebelumnya. Seperti sudah kami katakan, realitas alam semesta adalah "dari-Nya" dan "kepada-Nya". Bahwa alam semesta bukanlah semata-mata realitas yang bergerak dan terus berubah, namun alam semesta itu sendiri merupakan perwujudan dari gerakan dan perubahan terus-menerus, merupakan fakta yang tak terbantahkan. Fakta ini sudah dapat dibuktikan oleh filsafat Islam. Ketika mengkaji gerak, juga sudah dijelaskan bahwa satunya permulaannya, satunya akhir (tujuan)-nya dan satunya jalannya membuat gerakan-gerakannya satu. Karena itu, bila melihat fakta bahwa awal (permulaan) alam semesta itu satu, akhir (tujuan)-nya satu, dan jalan evolusionernya juga satu, maka jelaslah bahwa alam semesta itu merupakan semacam satu unit tunggal.

Kasat Mata dan Tak Kasat Mata

Menurut konsepsi Islam tentang kosmos, alam merupakan agregat (satuan yang terbentuk dari) segala yang kasat mata dan yang tak kasat mata. Menurut konsepsi ini, alam semesta terbagi menjadi alam kasat mata dan alam tak kasat mata. Al-Qur'an Suci sendiri menyebut yang kasat mata (syahadah) dan yang tak kasat mata (gaib) , khususnya yang gaib. Mempercayai yang gaib merupa­kan rukun iman. Al-Qur'an Suci memfirmankan:

Mereka yang mempercayai yang gaib. (QS. al-Baqarah: 3)

Di sisi-Nya kunci-kunci untuk segala yang gaib. Hanya Dia sajalah yang mengetahuinya. (QS. al-An'am: 59)

Ada dua macam kegaiban (tak kasat mata) : Kegaiban relatif dan kegaiban mutlak. Kegaiban relatif adalah sesuatu yang tak dapat ditangkap indera seseorang karena sangat jauh letaknya. Misal, bagi seseorang yang ada di Teheran, Teheran kasat mata sedangkan Isfahan tak kasat mata (gaib) . Namun bagi seseorang yang ada di Isfahan, Isfahan kasat mata sedangkan Teheran gaib.

Dalam beberapa tempat, Al-Qur'an Suci menggunakan kata "gaib" (tak kasat mata) dalam pengertian yang relatif ini juga. Al-Qur'an Suci menerangkan:

Peristiwa-peristiwa gaib (yang tak diketahui) ini yang telah Kami wahyukan (singkapkan) kepadamu, tidak pernah kamu mengetahui­ dan tidak pula kaummu sebelum ini. (QS. Hud: 49)

Jelaslah, kejadian-kejadian kaum di masa lalu adalah "gaib" bagi masyarakat dewasa ini, sekalipun kejadian-kejadian tersebut "terlihat" oleh orang-orang yang menyaksikannya. Di tempat lain, kata "gaib" digunakan Al-Qur'an Suci untuk realitas-realitas yang mutlak gaib. Ada bedanya antara realitas-realitas yang nampak jelas oleh indera namun tak nampak karena letaknya yang sangat jauh, dan realitas-realitas yang tak nampak dan gaib karena realitas-realitas tersebut non-material dan tak terbatas. Ketika Al-Qur'an Suci mengatakan bahwa orang mukmin mempercayai yang gaib, maka yang dimaksud bukanlah kegaiban relatif, karena siapa pun, apakah dia beriman atau kafir, mempercayai kegaiban relatif. Lagi, ketika Al-Qur'an Suci mengatakan bahwa di sisi Allah saja kunci-kunci semua yang gaib, maka maksudnya adalah kegaiban mutlak, karena makna ayat tersebut tidak sesuai dengan kegaiban relatif. Begitu pula dengan ayat-ayat yang menyebutkan hal yang kasat mata dan hal yang gaib. Misal, Al-Qur'an Suci menyebutkan:

Dialah yang mengetahui yang gaib dan yang kasat mata. Dan Dialah Yang Maha Pemurah lagi Mafia Penyayang. (QS. al-Hasyr: 22)

Ayat itu juga merujuk kepada kegaiban mutlak, bukan kepada kegaiban relatif. Bagaimana saling hubungan antara dua alam ini, yaitu alam kasat mata dan alam gaib? Apakah alam kasat mata ada garis batasnya, yang berada di luar garis batas tersebut adalah alam gaib? Misal, apakah dari bumi ke langit ada alam kasat mata, dan di luar itu ada alam gaib? Jelaslah, konsepsi semacam itu carut-marut Kalau kita berasumsi bahwa dua alam ini dipisahkan oleh garis pemisah yang bersifat fisis, maka itu artinya bahwa dua alam ini fisis dan material. Hubungan antara yang gaib dan yang kasat mata tak dapat dijelaskan secara material. Paling banter, yang dapat kita katakan agar hubungannya dapat dipahami adalah, bahwa hubungan dua alam ini hampir mirip dengan hubungan antara tubuh dan bayangannya. Dengan kata lain, alam ini merupakan refleksi alam lain. Al-Qur'an Suci menunjukkan bahwa segala yang ada di alam ini merupakan "bentuk rendah" dari apa yang ada di alam lain. Penyebutan "kunci-kunci" dalam ayat di atas, dalam ayat lain disebut "khazanah". disebutkan dalam Al-Qur'an Suci:

Dan tidak ada sesuatu pun mdamkan pada sisi Kamilah khazanah-nya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu. (QS. al-Hijr: 21)

Berdasarkan inilah Al-Qur'an Suci memandang segala sesuatu, bahkan batu dan besi, itu diturunkan.

Kami turunkan (ciptakan) besi. (QS. al-Hadîd: 25)

Ini tidak berarti bahwa segala sesuatu, termasuk di dalamnya besi, merupakan pindahan dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Sesungguhnya segala yang ada di dunia ini, maka "akar" dan "hakikat"-nya ada di alam lain, yaitu alam gaib, dan segala yang ada di alam gaib, maka "bayang-bayang" dan "bentuk rendah"-nya ada di dunia ini.

Al-Qur'an Suci menyebutkan bahwa mengimani kegaiban itu wajib hukumnya. Al-Qur'an Suci juga memerintahkan supaya kita mengimani para malaikat, para nabi dan Kitab-kitab Suci. Kata Al-Qur'an,

Rasul telah beriman kepada apa yang telah diwahyukan kepada-nya dari Tuhannya (Al-Qur'an), demikian pula orang-arangyang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, dan Rasu-rasul-Nya. (QS. al-Baqarah: 285)

Barangsiapa kafir kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan Hari Akhir, maka sesungguhnya orangitu telah sesat sejauh-jauhnya. (QS. an-Nisâ': 136)

Dalam dua ayat ini Kitab-kitab Allah disebutkan secara tersendiri. Seandainya yang dimaksud adalah Kitab-kitab Suci yang diwahyukan kepada para nabi, maka tentu saja sudah cukup dengan hanya menyebutkan para rasul. Itu menunjukkan bahwa di sini arti Kitab-kitab tersebut adalah beberapa realitas yang berbeda. Al-Qur'an Suci sendiri merujuk kepada beberapa kebenaran yang tersembunyi. Al-Qur'an Suci menyebut kebenaran-kebenaran ini "Kitab yang nyata", "lembar yang terjaga", "Kitab induk", "Kitab yang tertulis", dan "Kitab yang tersembunyi". Mengimani Kitab-kitab metafisis seperti ini merupakan bagian dari doktrin Islam.

Para nabi pada dasarnya datang untuk memberdayakan umat manusia untuk, sejauh mungkin, memiliki pandangan umum tentang seluruh sistem penciptaan. Yang diciptakan itu bukan saja apa-apa yang terinderakan dan material yang menjadi bidang kajian ilmu-ilmu eksperimental. Para nabi ingin mengangkat pandangan manusia, dari yang terinderakan ke yang terpahamkan, dari yang kasat mata ke yang gaib, dan dari yang terbatas ke yang tak terbatas. Sayangnya, gelombang pemikiran materialistis yang terbatas yang datang dari Barat telah menyebar sedemikian rupa, sehingga sebagian orang bersikeras menurunkan konsepsi Islam yang tinggi dan substansial tentang dunia ke tingkat hal-hal yang terinderakan dan material.

Dunia dan Akhirat

Prinsip dasar lain dari konsepsi Islam tentang alam semesta adalah terbaginya dunia menjadi dunia kini dan dunia kelak (akhirat). Apa yang sudah kami kemukakan tentang yang nyata (kasat mata) dan yang gaib berkaitan dengan sebuah dunia yang mendahului dunia ini—sebuah dunia yang memberikan bentuk kepada dunia ini. Sekalipun dari satu sudut, akhirat adalah alam gaib dan dunia fana ini adalah alam kasat mata, namun kalau kita ingat fakta bahwa akhirat merupakan akibat dari dunia fana ini dan merupakan alam yang menjadi tempat kembali manusia, maka ini perlu dibahas tersendiri. Alam gaib adalah alam yang menjadi asal-usul kita, dan akhirat adalah alam tempat kita kembali. Itulah yang dimaksud Imam Ali as ketika mengatakan, "Semoga Allah memberkati orang yang tahu asal-usulnya, tempat eksistensinya sekarang, dan tempat kembalinya." Imam Ali as tidak mengatakan, "Semoga Allah memberkati orang yang tahu dari apa dia berasal dan apa tempat kembalinya." Kalau Imam Ali as berkata demikian, maka tentunya itu berarti bahwa kita diciptakan dari debu, kita akan kembali menjadi debu, dan kita akan dibangkitkan lagi dari debu. Kalau begitu, Imam Ali as tentu merujuk kepada ayat Al-Qur'an yang menyebutkan:

Dari bumi (tanah) itulah Kami, menjadikan kamu, dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu, dan darinya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain. (QS. Thâhâ: 55)

Yang dikatakan Imam Ali as di sini merujuk kepada beberapa ayat lain dan menunjukkan konsepsi yang lebih tinggi. Yang dimaksud oleh Imam Ali as adalah "alam tempat asal-usul kita, alam tempat kita berada sekarang, dan alam tempat kita kembali nanti."

Dari sudut pandang konsepsi Islam tentang dunia, seperti dunia kasat mata (alam syahadah) dan dunia gaib, dunia fana dan dunia kelak (akhirat) juga memiliki arti yang mutlak, bukan arti yang relatif. Yang relatif adalah perbuatan yang kita lakukan. Jika perbuatan dilakukan untuk memenuhi tuntutan keinginan kita sendiri, maka perbuatan itu merupakan perbuatan duniawi. Dalam banyak kasus, jika perbuatan dilakukan untuk Allah dan untuk mendapatkan keridaan-Nya, maka perbuatan itu merupakan perbuatan akhirat. Kami akan membahas alam semesta dan akhirat secara terperinci nanti dalam bab "Kehidupan Abadi".

7
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

BAB 12 - Kearifan dan Keadilan Ilahi
Dalam hubungannya dengan konsepsi Ilahiah tentang dunia, dalam ilmu ketuhanan dibahas beberapa masalah tentang hubungan antara Allah dan dunia, seperti apakah dunia ini, sementara atau abadi, dari manakah asal segala sesuatu yang ada ini. Juga dibahas masalah-masalah lain seperti itu. Namun, kalau melihat keseimbangan segenap eksistensi, maka dapat dikatakan di sini bahwa masalah-masalah kearifan dan keadilan ilahi saling berkaitan erat. Kalau merujuk kepada masalah keadilan Ilahi, maka dapat dikatakan bahwa sistem dunia yang ada ini merupakan sistem yang paling arif dan adil. Dasar sistem ini bukan saja pengetahuan, kesadaran dan kehendak. Sistem ini juga merupakan sistem yang paling baik dan sehat. Tak mungkin ada sistem lain yang lebih baik daripada sistem ini. Dunia yang ada ini merupakan yang paling sempurna.

Di sini muncul pertanyaan terkait. Kita tahu bahwa dunia ini memiliki banyak fenomena seperti tidak sempurna, buruk, atau tak berguna. Kearifan Ilahiah menuntut agar yang dominan adalah kesempurnaan dan bukannya ketidaksempurnaan, kebajikan dan keindahan bukannya keburukan, kebergunaan bukannya kesia-siaan. Ketidaksempurnaan gen dan bentuk tubuh manusia dan binatang yang cacat, bencana alam dan kemalangan, serta pemandangan yang menjijikkan, semuanya itu tampaknya tidak sesuai dengan kearifan Ilahiah. Suatu sistem dapat disebut adil kalau di dalam sistem itu tak ada kesedihan, penderitaan dan diskriminasi yang tak semestinya terjadi. Juga jika tak ada bencana dan kemalangan. Dalam sistem yang adil, tak ada tempat bagi kehancuran, karena tidaklah adil kalau makhluk dihalangi dari mencapai kondisi yang sempuma setelah makhluk itu ada. Kalau sistem dunia ini memang adil, kenapa ada diskriminasi dan kesulitan seperti ini? Kenapa yang ini putih dan yang itu hitam, yang ini buruk dan yang itu cantik; yang ini sehat dan yang itu sakit? Kenapa yang ini diciptakan sebagai manusia dan yang itu diciptakan sebagai domba, kalajengking atau cacing tanah? Kenapa yang ini diciptakan sebagai setan dan yang itu sebagai malaikat? Kenapa semuanya tidak diciptakan sama, atau tidak seperti adanya sekarang? Misal, kenapa orang yang berkulit putih, rupawan atau sehat tidak diciptakan berkulit hitam, buruk muka atau sakit-sakitan? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini, mengenai dunia ini, tampaknya menimbulkan teka-teki. Konsepsi tauhid yang memandang dunia sebagai karya Allah Maha Arif lagi Maha Adil harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Kalau diingat bahwa menjawab secara terperinci pertanyaan-pertanyaan itu membutuhkan buku berjilidjilid, lagi pula pokok masalah ini sudah kami bahas dalam buku kami "al-'Adl al-Ilahi" (sudah terbit dalam edisi Indonesia dengan judul "Keadilan Ilahi"— pen.), yang beberapa edisinya sudah terbit, di sini kami cukup menyebutkan beberapa prinsip pokok, dan kalau prinsip-prinsip ini dipahami maka solusi untuk problem ini akan mudah didapat. Setelah memahami prinsip-prinsip ini, pembaca akan mampu membuat kesimpulan sendiri.

Prinsip Bahwa Allah Ada Sendiri dan Sempurna

Karena Allah mutlak ada sendiri dan memiliki kemampuan, maka Dia tidak melakukan apa pun untuk mencapai tujuan-Nya atau untuk meniadakan kekurangan pada Diri-Nya (karena pada diri-Nya tak ada kekurangan—pen.). Kearifan-Nya tidak berarti bahwa Dia memilih tujuan terbaik dan menggunakan sarana terbaik untuk mencapai tujuan tersebut. Pengertian kearifan seperti ini hanya berlaku untuk manusia, dan tidak berlaku untuk Allah. Arti kearifan-Nya adalah bahwa Dia berbuat untuk memberdayakan segala yang ada agar dapat mencapai tujuan keberadaannya. Dia membuat apa-apa yang sebelumnya tak ada menjadi ada, dan membawanya ke kesempurnaan yang sudah menjadi sifatnya. Berbagai pertanyaan dan keberatan yang muncul dalam hal ini, sebagian akibat membandingkan Allah dengan manusia. Orang yang bertanya tentang kearifan dan manfaat makhluk tertentu beranggapan bahwa Allah seperti manusia berbuat sesuatu untuk mencapai tujuan-Nya. Sebagian besar pertanyaan akan dengan sendirinya terjawab, kalau sejak permulaan dia ingat bahwa apa yang dilakukan Allah tak syak lagi ada tujuannya, namun Allah sendiri tak memiliki tujuan-Nya sendiri. Tujuan setiap makhluk melekat pada fitrah makhluk itu sendiri. Dan Allah membawa setiap makhluk menuju fitrah ini.

Prinsip Sekuens

Eksistensi merupakan rahmat Allah untuk segenap alam semesta. Tatanannya istimewa. Hubungan antar segala yang ada adalah hubungan "dahulu" dan "kemudian" serta "sebab" dan "akibat". Tak ada yang dapat beranjak dari posisi yang telah ditentukan untuknya. Juga, tak ada yang dapat menempati tempat sesuatu yang lain. Tingkat eksistensinya beragam. Satu dengan yang lain bedanya jauh, bila dilihat dari segi tidak sempurna dan sempurna, kuat dan lemah. Perbedaan ini merupakan bagian penting dari tingkat-tingkat eksistensi. Ini bukan diskriminasi, dan juga tak dapat dianggap bertentangan dengan keadilan atau kearifan. Baru bisa disebut diskriminasi kalau dua wujud yang kemampuannya sama, kepada yang satu diberikan karunia, sedangkan kepada yang satunya lagi tidak diberikan karunia. Akan tetapi, kalau perbedaan itu terjadi akibat sifat makhluk yang memang tidak sempurna, maka tak ada pertanyaan diskriminasi.

Prinsip Generalitas

Juga ada kesalahpahaman lagi, yang terjadi akibat membandingkan Allah dengan manusia. Manusia, kalau mengambil keputusan, itu dilakukan pada waktu tertentu, di tempat tertentu, dan dalam kondisi tertentu. Misal, seseorang memutuskan akan membangun sebuah rumah. Agar dapat membangunnya, dia kumpulkan, padukan dan tata sejumlah batu bata, semen, baja, dan material lainnya. Material-material ini tak memiliki hubungan yang inheren (yang sudah menjadi sifatnya) satu sama lain. Hasil akhirnya berupa berdirinya sebuah rumah.

Apakah Allah juga seperti itu? Apakah ciptaan Allah itu ter-wujud dengan cara memadukan beberapa hal yang satu sama lain tak ada hubungannya? Membuat hubungan-hubungan tidak natural seperti itu merupakan pekerjaan makhluk seperti manusia. Karena manusia merupakan bagian dari sistem dunia. Dan dalam ruang lingkup terbatas saja manusia dapat memanfaatkan kekuatan dan kualitas wujud-wujud. Manusia tidak menciptakan sesuatu. Dia hanya memproduksi gerak pada sesuatu yang sudah ada. Bahkan gerak yang diproduksinya tidak alamiah, melairikan dibuat-buat. Sedangkan Allah menciptakan segala sesuatu beserta segenap kekuatan dan kualitas segala sesuatu itu.

Manusia memanfaatkan api dan listrik. Api dan listrik ini sudah ada. Dia membuat persiapan sedemikian, sehingga dia dapat memanfaatkan api dan listrik bila dibutuhkan. Dan untuk menyelamatkan diri dari akibatnya yang merugikan, manusia dapat memadamkannya bila sudah tidak dibutuhkan lagi. Sedangkan Allah menciptakan api, listrik beserta segenap dampak dan kemampuannya. Adanya api dan listrik itu saja sudah berarti bahwa keduanya dapat menimbulkan panas, gerak dan dapat membakar. Allah tidak menciptakan api dan listrik untuk orang teltentu atau untuk kesempatan tertentu. Api dapat memanaskan gubuk si miskin, sekaligus dapat membakar pakaian si miskin bila terjilat, karena Allah telah menciptakan api memiliki sifat membakar. Kalau kita melihat api dalam konteks keseluruhan sistem dunia ini, tentu kita dapati api itu bermanfaat dan dibutuhkan. Tidak penting apakah bagi orang tertentu atau untuk kejadian tertentu api itu bermanfaat atau tidak.

Dengan kata lain, untuk kearifan Ilahiah, tujuan akhirnya ber-kaitan dengan perbuatannya, bukan dengan pelakunya. Allah itu arif, dalam pengertian bahwa Dia telah menciptakan sebaik-baik sistem untuk memberdayakan wujud-wujud agar dapat mencapai tujuan diciptakannya wujud-wujud itu. Arti kearifan-Nya bukanlah bahwa Dia telah mempersiapkan sebaik-baik sarana untuk meniadakan kekurangan-Nya sendiri, untuk mewujudkan dalam bentuk konkret kemampuan potensial-Nya atau untuk mencapai tujuan evolusioner-Nya sendiri. Kita juga harus ingat bahwa tujuan tindakan Allah adalah mencapai tujuan umum dan bukan tujuan tertentu. Api telah diciptakan untuk pada umumnya membakar. Tidak diciptakan untuk membakar benda tertentu pada ke­sempatan tertentu pula. Karena itu, dari sudut pandang kearifan Ilahiah, tidaklah penting apakah api itu bermanfaat atau merugikan untuk kasus per kasus.

Prinsip Kemampuan Menerima Karunia

Bahwa Allah Mahakuasa lagi Maha Pemurah belumlah cukup bagi terwujudnya suatu realitas. Agar realitas itu ada, maka realitas itu harus memiliki kemampuan untuk menerima karunia-Nya. Dalam banyak kasus, ketidakrnampuan sebagian wujud menyebabkan wujud-wujud tersebut kehilangan beberapa keuntungan. Dari sudut pandang sistem umum ini dan hubungannya dengan Wujud Yang Ada Sendiri, rahasia munculnya kekurangan-kekurangan tertentu seperti bodoh dan tidak mampu, terletak pada ketidak-mampuan wujud-wujud yang memiliki kekurangan-kekurangan seperti itu.

Prinsip Wajib Ada

Karena Zat Allah itu wajib ada, maka segenap sifat-Nya juga wajib ada. Karena itu, mustahil kalau sesuatu yang patut ada, lalu Allah tidak memberikan eksistensi kepada sesuatu itu.

Prinsip Relatif

Buruk artinya adalah tak adanya suatu kualitas, contohnya adalah kebodohan, ketidakmampuan dan kemiskinan, atau artinya juga adalah buruk karena menyebabkan kehancuran, contohnya adalah gempa bumi, kuman pembawa penyakit, banjir, hujan es disertai angin ribut dan seterusnya. Segala yang menyebabkan kehancuran, sifat buruknya itu relatif dan hanya berkenaan dengan hal-hal lain. Sesuatu yang buruk, sesungguhnya ia itu sendiri tidak buruk. Buruknya adalah untuk sesuatu yang lain. Eksistensi sejati setiap sesuatu adalah eksistensinya sendiri. Eksistensi relatifnya hanyalah konseptual dan derivatif, sekalipun itu bagian integral dari eksistensi riilnya.

Prinsip Saling Bergantung

Baik dan buruk bukanlah dua kualitas yang masing-masing mandiri. Buruk merupakan suatu kualitas integral dari baik. Buruk, yang mengindikasikan tak adanya suatu kualitas, menunjukkan ketidakmampuan sesuatu yang secara potensial mampu. Begitu sesuatu itu praktis mampu, maka karunia Allah kepada sesuatu itu tak terelakkan. Adapun keburukan yang tidak membentuk kualitas negatif, maka akarnya selalu ada di kebaikan.

Prinsip Tak Ada Keburukan Murni

Tak ada keburukan murni. Non-eksistensi merupakan pendahuluan untuk eksistensi dan kesempurnaan. Keburukan merupakan satu tahap dari evolusi. Memang, setiap awan hitam ada lapisannya yang berwarna perak.

Prinsip Hukum dan Norma

Dunia ini diatur dengan sebuah sistem sebab-akibat. Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, sistem ini berbasis hukum dan norma universal. Al-Qur'an dengan tegas membenarkan fakta ini.

Prinsip Satu Unit Tak Terbagi

Di samping sistemnya yang sudah tak dapat disangsikan lagi, dunia itu sendiri merupakan satu unit yang tak terbagi dan satu struktur fisis yang tunggal. Karena itu, keburukan tak dapat dipisahkan dari apa yang baik. Keburukan dan non-eksistensi bukan saja tak dapat dipisahkan dari kebaikan dan eksistensi, namun juga merupakan satu "manifestasi" yang tunggal.

Berdasarkan sepuluh prinsip ini, maka hanya ada dua kemungkinan: Pertama, dunia ini ada dengan sistem khasnya. Kedua, dunia ini sama sekali tak ada. Tidaklah mungkin kalau dunia ini ada tanpa sistem khasnya atau dengan sistem lainnya seperti, misalnya, sebab menempati posisi akibat dan akibat menempati posisi sebab. Karena itu, dari sudut pandang kearifan Ilahiah, maka yang mungkin adalah dunia ini ada dengan sistemnya yang ada sekarang, atau, kalau tidak, dunia ini tak ada sama sekali. Jelaslah, karena kearifan, maka yang dipilih adalah eksistensi, bukan non-eksistensi.

Karena sesuatu tak mungkin ada kecuali ia memiliki kualitas-kualitas yang esensial dan tak terpisahkan dari dirinya, maka tak dapat dibayangkan bila berpikiran bahwa kebaikan dapat dipisah­kan dari keburukan atau bahwa non-eksistensi dapat dipisahkan dari eksistensi. Dari sudut pandang ini pula, kearifan Ilahiah dapat menuntut eksistensi keburukan dan sekaligus kebaikan, atau kalau tidak, non-eksistensi keburukan dan sekaligus kebaikan. Kearifan Ilahiah tak dapat menuntut eksistensi kebaikan dan non-eksistensi keburukan.

Juga, yang mungkin ada adalah alam semesta ini dalam bentuk satu unit. Eksistensi satu bagiannya dan non-eksistensi bagian lainnya tidaklah mungkin. Karena itu, dari sudut pandang kearifan Ilahiah, masalah yang dapat dipertimbangkan adalah eksistensi atau non-eksistensi alam semesta ini, bukan eksistensi atau non-eksistensi bagian alam semesta ini.

Prinsip-prinsip di atas, jika diselami isinya dengan saksama, cukup untuk menghilangkan segenap keraguan dan kesulitan berkenaan dengan kearifan dan keadilan Ilahiah. Lagi, silakan pembaca merujuk ke buku kami "al-'Adl al-Ilâhî" (Keadilan Ilahi). Dan mohon toleransinya kalau kami menganggap perlu mengangkat di sini soal-soal yang lebih tinggi tingkatannya dibandingkan tingkat buku ini. Akhirnya, mengingat fakta bahwa masalah keadilan Ilahiah memiliki sejarah khusus, dan oleh kaum Syiah keadilan Ilahiah dianggap sebagai salah satu rukun iman mereka, maka tak ada salahnya kalau membahas juga sejarahnya secara singkat.

Sejarah Prinsip Keadilan dalam Budaya Islam

Kaum Syiah menganggap doktrin keadilan sebagai rukun iman. Dalam prakata untuk buku kami "al-'Adl al-Ilâhi" (Keadilan Ilahi), kami katakan bahwa doktrin keadilan memiliki dua segi: Keadilan Ilahiah dan keadilan manusiawi. Lagi, keadilan Ilahiah dibagi menjadi dua bagian: (1) keadilan kreasional dan (2) keadilan manusiawi legislatif. Keadilan manusiawi legislatif juga memiliki dua fase: (a) keadilan individual dan (b) keadilan sosial. Keadilan yang dipandang sebagai ciri khas doktrin atau prinsip Syiah dan oleh kaum Syiah diyakini sebagai rukun iman adalah keadilan Ilahiah. Keadilan Ilahiah merupakan bagian integral dari konsepsi Islam tentang alam semesta.

Arti keadilan Ilahiah adalah bahwa Allah adil, dan dalam sistem penciptaan dan sistem pembuatan Undang-undang-Nya Allah bertindak sesuai dengan kebenaran dan keadilan. Kenapa prinsip keadilan menjadi rukun iman bagi kaum Syiah, alasannya adalah karena sebagian kaum Muslim sedikit banyak telah menafikannya, dan penafian ini sungguh bertentangan dengan kemerdekaan manusia. Mereka menafikan bekerjanya prinsip sebab-akibat dalam sistem alam semesta maupun dalam urusan manusia. Mereka berpendapat bahwa takdir ilahi bekerja langsung, tidak menggunakan perantara sebab-akibat. Menurut mereka, api tidak membakar, namun Allah lah yang membakarnya. Begitu pula, magnet tak punya peran dalam menarik besi ke arahnya, namun Allah lah yang menarik besi itu ke arah magnet. Manusia tidak berbuat baik dan juga tidak berbuat buruk, namun Allah lah yang berbuat seperti itu secara langsung melalui perantara manusia.

Di sini muncul pertanyaan penting: jika sistem sebab-akibat tidak ada, dan manusia tak memiliki daya untuk memilih, kenapa seseorang diberi pahala atau hukuman untuk perbuatan baik atau dosa yang dilakukannya? Kenapa Allah memberikan pahala kepada sebagian orang dan memasukkan mereka ke dalam surga, dan kenapa Allah menghukum sebagian lainnya dan mencampakkan mereka ke dalam neraka, bila Allah sendiri yang melakukan semua perbuatan baik dan buruk? Jika manusia tak memiliki kemerdekaan dan tak punya pilihan, maka tidaklah adil dan bertentangan dengan prinsip keadilan Ilahiah bila menghukum manusia karena perbuatan yang berada di luar kemampuannya.

Sebagian besar orang Syiah dan sebagian orang Sunni (kaum Mu'tazilah) menolak teori yang menyebutkan bahwa manusia dipaksa (tak punya pilihan—pen.) dan bahwa takdir Ilahiah bekerja langsung di dunia ini. Menurut mereka, teori atau pandangan ini bertentangan dengan prinsip keadilan. Di samping mengemukakan argumen-argumen berbasis nalar, mereka juga mengutip ayat Al-Qur'an Suci dan hadis untuk mendukung keyakinan mereka. Itulah sebabnya mereka dikenal dengan sebutan 'Adliyah (kaum pendukung keadilan).

Dan uraian di atas, jelaslah selain fakta bahwa prinsip keadilan merupakan prinsip Ilahiah dan berkaitan dengan salah satu sifat Allah, prinsip keadilan juga merupakan prinsip manusiawi, karena prinsip keadilan juga menyangkut kemerdekaan manusia dan kemampuan manusia untuk memilih. Karena itu, bagi kaum Syiah dan kaum Mu'tazilah, arti mengimani prinsip keadilan adalah percaya bahwa manusia itu merdeka, bahwa manusia itu ber-tanggung jawab, dan bahwa manusia itu punya peran membangun.

Pertanyaan yang sering kali mengusik benak kita dalam kaitannya dengan keadilan Ilahiah, khususnya di zaman modern ini, menyangkut kasus-kasus tertentu perbedaan sosial. Mengapa sebagian orang buruk rupa, sementara sebagian lainnya rupawan; kenapa sebagian orang sehat, sementara sebagian lainnya sakit-sakitan, kenapa sebagian orang kaya dan berpengaruh, sementara sebagian lainnya miskin dan tak punya pengaruh?

Bukankah perbedaan ini bertentangan dengan prinsip keadilan Ilahiah? Bukankah keadilan Ilahiah menghendaki kesamaan bagi semua orang dalam hal kekayaan, usia, jumlah anak, posisi sosial, popularitas dan kemasyhuran, dan tidak menghendaki adanya perbedaan dalam hal-hal ini? Apakah perbedaan dalam hal-hal ini dapat dijelaskan dengan cara lain selain mengimani takdir Ilahiah?

Pertanyaan ini timbul akibat tidak memperhatikan bagaimana kerjanya takdir Ilahiah. Rupanya si penanya beranggapan bahwa takdir Ilahiah bekerja langsung, bukan melalui perantara sebab-akibat. Nampaknya juga si penanya berpikiran bahwa kesehatan, rupawan, kekuasaan, posisi, popularitas dan karunia-karunia lain Allah dibagikan langsung kepada manusia oleh tangan gaib yang mengambil karunia-karunia tersebut langsung dari tempat penyimpanan karunia.

Fakta bahwa karunia, entah yang material atau yang spiritual, tidak dibagikan langsung, kurang mendapat perhatian yang memadai. Takdir Ilahiah telah membangun sistem dan sejumlah hukum serta norma. Siapa pun yang menghendaki sesuatu, dia harus berupaya mendapatkan sesuatu itu melalui sistem itu, dan dengan mengikuti hukum dan norma itu.

Terjadinya kesalahpahaman juga akibat kurang memperhatikan posisi manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab yang berupaya memperbaiki dan meningkatkan kondisi hidupnya, yang melawan rintangan-rintangan alam dan yang berupaya keras melawan keburukan sosial dan tirani.

Kalau terjadi perbedaan dalam masyarakat manusia, dan bila ada orang yang punya segalanya serta ada orang yang nasibnya cuma harus selalu berjuang keras untuk mendapatkan sesuap nasi, maka yang bertanggung jawab atas keadaan seperti ini bukanlah takdir Ilahiah. Manusialah yang bertanggung jawab atas terjadinya perbedaan itu, karena manusia itu sendiri merdeka.




BAB 13 - Wahyu dan Kenabian
Petunjuk Universal

Dari konsepsi tauhid tentang dunia dan manusia lahir keyakinan kepada wahyu dan kenabian. Kalau meyakini wahyu dan kenabian, maka meyakini pula universalitas petunjuk Allah. Prinsip petunjuk universal merupakan bagian dari konsepsi tauhid tentang dunia, dan konsepsi ini diajukan oleh Islam. Karena Allah SWT wajib ada sendiri dalam setiap hal dan Maha Pemurah, maka Dia memberikan karunia-Nya kepada setiap wujud sesuai dengan kemampuan masing-masing wujud, dan membimbing setiap wujud dalam perjalanan evolusionernya. Yang dibimbing oleh Allah adalah segala sesuatu, dari partikel yang sangat kecil sampai bintang yang sangat besar, dan dari wujud tak bernyawa yang paling rendah sampai wujud bernyawa yang paling tinggi yang kita ketahui, yaitu manusia. Itulah sebabnya Al-Qur'an Suci menggunakan kata "wahyu" dalam hubungannya dengan bimbingan untuk wujud inorganis, tanaman dan binatang. Penggunaan kata "wahyu" ini persis seperti ketika Al-Qur'an Suci menggunakannya dalam hubungannya dengan bimbingan untuk manusia.

Di dunia ini tiap-tiap sesuatu senantiasa bergerak. Tiap-tiap sesuatu selalu bergerak menuju tujuannya. Pada saat yang sama, semua indikasi menunjukkan bahwa tiap-tiap sesuatu didorong menuju ke tujuannya oleh suatu kekuatan misterius yang ada di dalam dirinya. Kekuatan ini disebut petunjuk atau bimbingan Allah. Al-Qur'an Suci menyebutkan bahwa Nabi Musa as berkata kepada Fir'aun pada masanya, yang artinya sebagai berikut:

Tuhan kami adalah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk. (QS. Thâhâ: 50)

Dunia kita ini merupakan sebuah dunia yang penuh dengan tujuan. Tiap-tiap sesuatu diarahkan untuk menuju ke tujuan evolusionernya oleh kekuatan yang ada di dalam dirinya, dan kekuatan yang ada di dalam dirinya itu adalah petunjuk Allah.

Kata "wahyu" berulang-ulang digunakan dalam Al-Qur'an Suci. Bagaimana kata itu digunakan, dan untuk kesempatan apa kata itu digunakan, memperlihatkan bahwa Al-Qur'an Suci menganggap wahyu bukan untuk manusia saja. Menurut Al-Qur'an Suci, wahyu juga untuk tiap-tiap sesuatu, setidak-tidaknya untuk semua makhluk hidup. Itulah sebabnya Al-Qur'an Suci bahkan berbicara tentang wahyu untuk lebah. Yang dapat dikatakan adalah bahwa wahyu dan petunjuk ada tingkatan-tingkatannya. Tingkatannya beragam, sesuai dengan beragamnya tingkat evolusi tiap-tiap sesuatu yang berbeda-beda.

Wahyu yang derajatnya paling tinggi adalah wahyu yang diberi-kan kepada para nabi. Basis wahyu seperti ini adalah kebutuhan manusia akan petunjuk Tuhan. Dengan petunjuk Tuhan inilah manusia dapat melangkah menuju suatu tujuan. Dan tujuan ini berada di luar alam material yang kasat mata ini. Dan manusia harus menuju ke tujuan ini. Wahyu juga memenuhi kebutuhan manusia dalam kehidupan sosialnya, suatu kehidupan yang membutuhkan suatu hukum yang diridai oleh Allah. Sudah kami jelaskan kebutuhan manusia akan sebuah ideologi yang evolusioner, dan juga sudah kami jelaskan ketidakmampuan manusia untuk merumuskan sendiri ideologi semacam itu.

Para nabi merupakan semacam perangkat penerima yang berbentuk manusia. Mereka merupakan orang-orang pilihan yang mampu menerima petunjuk dan ilmu pengetahuan dari alam gaib. Allah sajalah yang dapat menilai siapa yang tepat untuk menjadi nabi. Al-Qur'an Suci memfirmankan:

Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. (QS. al-An'âm: 124)

Kendatipun wahyu merupakan sebuah fenomena, dan fenomena ini berada di luar jangkauan persepsi dan eksperimen langsung manusia, namun dampaknya dapat dirasakan—seperti dampak banyak kekuatan lain—dalam efek-efek yang dilahirkannya. Wahyu Tuhan melahirkan dampak yang besar sekali pada pribadi penerimanya, yaitu nabi. Wahyu "mengangkat" nabi ke kebenaran. Dengan kata lain, wahyu menghidupkan bakat dan kemampuan nabi, dan mewujudkan revolusi yang besar serta mendalam pada diri nabi untuk kepentingan umat manusia. Dengan wahyu, nabi memperoleh keyakinan mutlak. Sejarah belum pernah menyaksikan keyakinan seperti keyakinan para nabi dan orang-orang binaan nabi.

Ciri Khas Nabi

Nabi yang, berkat wahyu, punya kontak dengan sumber eksistensi, memiliki ciri-ciri khas tertentu:

1. Mukjizat

Setiap nabi yang diangkat oleh Allah memiliki kekuatan supranatural. Dengan kekuatan ini nabi dapat melakukan perbuatan mukjizat, untuk membuktikan bahwa risalah dan misinya itu benar dan berasal dari Tuhan. Al-Qur'an Suci menyebut "ayat" untuk mukjizat yang dilakukan oleh nabi dengan kehendak Allah, yaitu "ayat" (tanda) kenabian. Al-Qur'an Suci menyebutkan bahwa di setiap zaman orang meminta kepada nabi di zaman mereka untuk memperlihatkan beberapa mukjizat kepada mereka. Karena permintaan tersebut masuk akal, maka nabi mengabulkan permintaan mereka, karena kalau tidak, maka orang yang mencari kebenaran mustahil mau mengakui kenabian. Namun nabi tak mau mengabulkan permintaan untuk memperlihatkan mukjizat kalau tujuannya bukan untuk mencari kebenaran. Misal, orang berkata kepada nabi mau masuk agama yang dibawa nabi kalau nabi memperlihatkan mukjizat, permintaan mereka diabaikan. Namun, Al-Qur'an Suci menyebutkan banyak mukjizat nabi, seperti meng­hidupkan orang yang sudah mad, menyembuhkan penyakit yang tak dapat disembuhkan, dapat berbicara ketika masih bayi, mengubah tongkat menjadi ular, menjelaskan kegaiban dan memaparkan kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa mendatang.

2. Maksum

Ciri khas lain nabi adalah maksum, yaitu tak mungkin berbuat dosa atau berbuat keliru. Nabi tak dikuasai oleh keinginan pribadinya. Nabi tidak berbuat salah. Kemaksuman nabi tak dapat disangkal lagi. Namun apa sesungguhnya arti kemaksuman nabi? Apakah artinya adalah bahwa bila nabi mau berbuat dosa atau salah, malaikat datang mencegahnya seperti seorang bapak mencegah anaknya agar tidak tersesat? Atau, apakah artinya adalah bahwa nabi diciptakan sedemikian rupa sehingga nabi tak dapat berbuat salah, persis seperti malaikat yang, misalnya, tak mungkin berbuat zina karena malaikat tak punya nafsu seksual, atau seperti mesin, yang tak melakukan kesalahan karena mesin tak punya otak? Atau, alasan kenapa nabi tidak berbuat salah adalah karena nabi telah dianugerahi intuisi (gerak hati), iman dan keyakinan yang istimewa tingkatannya? Ya, itulah satu-satunya penjelasan yang benar. Sekarang mari kita bahas satu persatu mukjizat dan kemaksuman.

Maksum

Manusia adalah makhluk yang merdeka. Manusia menentukan apa saja yang bermanfaat bagi dirinya dan apa saja yang merugikan bagi dirinya. Berdasarkan itu manusia memutuskan apa yang akan dilakukannya. Penilaiannya berperan penting dalam pilihannya. Mustahil manusia memilih melakukan sesuatu yang menurut penilaiannya akan merugikan dirinya. Misal, orang yang sehat pikirannya yang punya perhatian kepada hidupnya tak mungkin mau menjatuhkan dirinya dari atas bukit, juga mustahil dia mau minum racun yang mematikan.

Dari segi kekuatan iman dan kesadaran akan konsekuensi dosa, tiap-tiap orang berbeda-beda. Semakin kuat imannya, semakin sadar dia, semakin sedikit dosa yang akan dilakukannya. Kalau iman seseorang begitu kuat, maka bila dia berbuat dosa dia merasa seakan-akan tengah mencampakkan diri dari atas bukit, sehingga peluangnya untuk melakukan dosa jadi tak ada artinya. Keadaan seperti ini kami sebut maksum. Di sini kemaksuman terjadi karena kesempurnaan iman dan takwa. Agar bisa maksum, manusia tak membutuhkan kekuatan dari luar dirinya untuk mengendalikan dirinya agar tidak berbuat dosa. Juga dia tak perlu jadi tidak berdaya. Tidak berbuat dosa tidak patut dipuji jika manusia tidak mampu berbuat dosa, atau jika dia dihalangi oleh kekuatan dari luar dirinya. Posisi orang yang tak mampu berbuat dosa adalah seperti posisi narapidana yang tak mampu berbuat jahat. Tentu saja narapidana tak dapat digambarkan sebagai orang yang jujur dan lurus.

Kemaksuman nabi merupakan hasil dari intuisinya. Kesalahan terjadi kalau seseorang berhubungan dengan realitas melalui indera batiniah dan lahiriahnya. Dan kemudian dia membuat gambaran mental tentang realitas itu yang dianalisisnya dengan menggunakan kemampuan-kemampuan mentalnya. Dalam hal itu dia dapat saja berbuat salah dalam menyusun gambaran mentalnya, atau dalam menerapkan gambaran tersebut pada realitas yang ada di luar dirinya. Namun bila dia memahami realitas itu langsung melalui indera khusus, sehingga tak perlu lagi menyusun gambaran mental tentang realitas tersebut, dan pemahamannya tentang realitas itu saja sudah berarti hubungan langsungnya dengan realitas itu, maka tidak timbul masalah melakukan kesalahan. Para nabi berhubungan dengan realitas alam semesta dari dalam diri mereka. Tentu saja tak dapat dibayangkan terjadinya kesalahan pada realitas itu sendiri. Misal, kalau kita menaruh seratus manik-manik tasbih di dalam sebuah bejana, kemudian menaruh seratus lagi, dan perbuatan ini diulang seratus kali, maka kita tak mungkin mampu ingat persis hitungannya dan tak mungkin yakin apakah kita mengulang perbuatan itu seratus kali, sembilan puluh sembilan kali atau seratus satu kali. Namun realitas yang sesungguhnya, yaitu jumlah yang sesungguhnya dari manik-manik tersebut, tak mungkin lebih sedikit atau lebih banyak dari realitasnya. Orang-orang yang berada di tengah-tengah realitas dan dekat dengan akar eksistensi tak mungkin melakukan kesalahan. Mereka maksum.

Beda Nabi dan Orang Jenius

Dari sini jelaslah beda antara nabi dan orang jenius. Orang jenius adalah orang yang memiliki daya intelektual yang tinggi, dan pemahamannya juga luar biasa. Orang jenius bekerja berdasarkan data mentalnya sendiri, dan membuat kesimpulan dengan meng­gunakan kemampuan otaknya. Orang jenius terkadang melakukan kekeliruan ketika membuat kalkulasi. Di samping memiliki kemampuan otak dan kemampuan membuat kalkulasi, nabi juga memiliki kekuatan lain yang disebut wahyu, sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang jenius. Karena itu, tak mungkin untuk membandingkan orang jenius dengan nabi. Orang jenius dan nabi beda golongannya. Kita bisa saja membandingkan kemampuan dua orang dalam melihat dan mendengar, namun kita tak dapat membandingkan daya lihat seseorang dengan daya dengar orang lain lalu kita katakan mana yang lebih kuat. Orang jenius memiliki daya pikir yang luar biasa, sedangkan nabi memiliki kekuatan yang sama sekali beda, dan kekuatan ini disebut wahyu. Nabi selalu berhubungan erat dengan Sumber eksistensi. Karena itu, tidaklah betul kaiau membandingkan orang jenius dengan nabi.

3. Petunjuk

Kenabian berawal dari perjalanan spiritual dari makhluk ke Allah dan memperoleh kedekatan dengan-Nya. Perjalanan seperti ini mengandung arti meninggalkan yang lahir dan menuju ke yang batin. Namun demikian, pada akhirnya ujung perjalanan tersebut berupa kembalinya nabi kepada manusia dengan maksud mereformasi kehidupan manusia, dan memandu kehidupan manusia ke jalan lurus.

Dalam bahasa Arab, ada dua kata untuk nabi: Nabi dan Rasul Secara harfiah, arti nabi adalah orang yang membawa kabar, sedangkan arti rasul adalah utusan. Nabi membawa risalah Allah untuk manusia. Nabi menggali dan mengorganisasi kekuatan manusia yang terpendam. Nabi mengajak manusia untuk berpaling kepada Allah dan untuk mewujudkan apa yang diridai-Nya: Perdamaian, kebajikan, non-kekerasan, keadilan, kejujuran, kelurusan, cinta, keterbebasan dari segala yang berbau kekufuran, dan kebajikan-kebajikan lainnya. Nabi membebaskan umat manusia dari belenggu ketundukan kepada hawa nafsu dan Tuhan-tuhan palsu.

Dr. Iqbal, ketika menguraikan perbedaan antara nabi dan orang yang memiliki "pengalaman menyatu", mengatakan:

"Orang sufi tak mau kembali dari kedamaian, "pengalaman menyatua-nya.. Kalau pun dia kembali, dan ini memang harus, kembalinya dia itu tak berarti banyak bagi umat manusia pada umumnya. Kembalinya nabi bersifat kreatif. Nabi kembali untuk memasuki jalan waktu dengan maksud mengendalikan kekuatan-kekuatan sejarah. Karena itu, nabi menciptakan dunia ideal yang baru. Bagi orang sufi, kedamaian "pengalaman menyatu" merupakan sesuatu yang final. Bagi nabi, itu merupakan kesadaran atau kebangkitan di dalam dirinya dan leluasanya kekuatan-kekuatan psikologis, yang diperhitungkan untuk sepenuhnya mentransformasi dunia manusia." (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 124)

4. Ikhlas

Nabi percaya kepada Allah, dan tak pernah lalai dengan misi yang diamanatkan kepadanya oleh Allah. Nabi menunaikan tugasnya dengan sedemikian ikhlas. Tujuan nabi tak lain adalah membimbing umat manusia, seperti yang diperintahkan oleh Allah. Nabi tak minta upah untuk misinya.

Dalam Surah asy-Syu'arâ` diikhtisarkan apa yang dikatakan banyak nabi kepada kaum mereka. Tentu saja, setiap nabi membawa risalah untuk kaumnya. Dan risalah tersebut sesuai untuk problem-problem yang dihadapi kaumnya. Namun demikian, ada substansi yang diungkapkan dalam risalah setiap nabi. Setiap nabi berkata, "Aku tak menginginkan upah darimu." Karena itu, tulus merupakan salah satu watak khas nabi. Itulah sebabnya risalah para nabi selalu begitu tegas dan pasti. Para nabi merasa "diangkat", dan mereka sedikit pun tidak meragukan fakta bahwa mereka mendapat amanat berupa misi yang amat penting dan bermanfaat. Kemudian mereka menyampaikan risalah mereka, dan tanpa ragu membelanya dengan penuh kekuatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Ketika Nabi Musa as dan saudaranya, Nabi Harun as menghadap Fir'aun, mereka sama sekali tak memiliki perlengkapan kecuali pakaian yang melekat di badan mereka dan tongkat kayu di tangan mereka. Mereka meminta Fir'aun agar menerima risalah mereka. Mereka mengatakan dengan pasti bahwa jika Fir'aun mau menerima risalah mereka, maka kehormatan Fir'aun akan terlindungi, dan kalau tidak, maka Fir'aun akan kehilangan pemerintahannya. Fir'aun terpesona dengan perkataan mereka.

Pada hari-hari pertama kenabiannya, ketika jumlah kaum Muslim tak lebih dari sepuluh orang, Nabi Muhammad saw suatu hari, yang dalam sejarah dikenal sebagai Hari Peringatan, mengumpulkan para senior Bani Hasyim, dan menyampaikan Risalahnya kepada mereka. Nabi saw dengan tegas mengatakan bahwa agamanya akan tersebar ke seluruh dunia, dan bahwa kalau mereka memeluk agamanya, maka hal itu adalah demi kepentingan mereka sendiri. Bagi mereka, kata-kata ini luar biasa. Mereka saling pandang dengan mata terbelalak. Kemudian mereka bubar tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Ketika pamannya, Abu Thalib, menyampaikan kepadanya pesan dari kaum Quraisy, yang isinya bahwa kaum Quraisy mau memilihnya menjadi raja mereka, mau menikahkannya dengan putri suku yang paling cantik, dan menjadikannya orang yang terkaya di masyarakat mereka, asalkan dia tak lagi berdakwah, Nabi Muhammad saw menjawab bahwa dirinya tak akan mundur satu inci pun dari misi sucinya, sekalipun mereka meletakkan matahari di tangannya yang satu dan bulan di tangannya yang satunya lagi. Kemaksuman merupakan hasil wajib dari komunikasi nabi dengan Allah. Begitu pula, tulus dan teguh had juga merupakan ciri khas wajib dari kenabian.

5. Konstruktif

Nabi mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk maksud-maksud membangun, yaitu untuk mereformasi individu-individu dan masyarakat, atau dengan kata lain untuk mewujudkan kesejahteraan manusia. Mustahil kalau aktivitas para nabi merugikan individu-individu atau merugikan masyarakat luas. Karena itu, jika ajaran seseorang yang mengaku dirinya nabi berakibat kerusakan atau ketidaksenonohan, melumpuhkan kekuatan manusia, atau menyebabkan jatuhnya martabat masyarakat, maka itu merupakan bukti jelas bahwa dia adalah penipu.

Dalam kaitan ini, Dr. Iqbal dengan jitu mengatakan: "Cara lain untuk mengetahui nilai pengalaman religius nabi adalah mengkaji tipe manusia seperti apa yang berhasil diciptakannya, dan dunia budaya yang terbentuk dari roh risalahnya." (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 124)

6. Perjuangan dan Konflik

Perjuangan seorang nabi menentang penyembahan berhala, mitos, kebodohan, pikiran palsu dan tirani, merupakan tanda lain kebenaran seorang nabi. Mustahil kalau dalam risalah seseorang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi nabi-Nya ada nada keberhalaan, nada yang mendukung tirani dan ketidakadilan, atau nada yang mentoleransi kemusyrikan, kebodohan, mitos, kekejaman atau kelaliman.

Tauhid, akal dan keadilan merupakan sebagian prinsip yang diajarkan oleh semua nabi. Risalah dari orang-orang yang mengajar-kan prinsip-prinsip ini sajalah yang patut dipertimbangkan, dan mereka sajalah yang dapat diminta untuk memberikan bukti atau mukjizat. Jika risalah yang disampaikan oleh seseorang mengandung unsur yang tak rasional atau bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid dan keadilan, atau mendukung tirani, maka risalah tersebut sama sekali tak patut dipertimbangkan. Dalam kasus seperti itu, sama sekali tak perlu memintanya untuk memberikan bukti yang memperkuat klaimnya. Begitu pula terhadap seorang penipu ulung yang berbuat dosa, yang melakukan kesalahan besar, atau yang tak mampu membimbing orang akibat mengidap cacat jasmani atau penyakit yang menjijikkan seperti lepra, atau akibat ajarannya tak memberikan dampak yang konstruktif pada kehidupan manusia. Andai saja penipu seperti itu memperlihatkan keajaiban, mustahil atau tak masuk akal untuk mengikutinya.

7. Sisi Manusia

Para nabi, sekalipun memiliki banyak kemampuan supranatural, seperti maksum, mampu melakukan perbuatan mukjizat, mampu membimbing dan merekonstruksi, dan mampu melakukan perjuangan luar biasa menentang kemusyrikan, mitos dan tirani, namun tetap manusia juga. Mereka, seperti manusia lainnya, makan, tidur, berketurunan dan akhirnya meninggal dunia. Pada diri mereka juga ada semua kebutuhan dasar manusiawi. Mereka berkewajiban menunaikan tugas-tugas agama seperti orang lain. Seperti orang lain, mereka juga tunduk kepada semua hukum agama yang disampaikan melalui mereka. Terkadang mereka bahkan memiliki tugas tambahan. Salat tahajud yang sunah bagi orang lain, wajib bagi Nabi Suci saw.

Para nabi tak pernah merasa diberi kebebasan untuk tidak mengikuti perintah agama. Dibanding orang lain, mereka justru jauh lebih takwa dan jauh lebih beribadah kepada Allah. Mereka melakukan salat, berpuasa, melakukan perang suci, membayar zakat, dan bersikap baik had kepada manusia. Para nabi bekerja keras untuk mendapatkan kesejahteraannya sendiri, dan juga untuk mewujudkan kesejahteraan bagi manusia. Di kala hidup, para nabi tak pernah menjadi beban bagi siapa pun.

Wahyu dan sifat-sifat khas yang berkaitan dengan wahyu, merupakan satu-satunya pembeda antara nabi dan non-nabi. Kenyataan bahwa nabi menerima wahyu tidak menaflkan kemanusiaan nabi. Kenyataan tersebut justru menjadikan nabi sebagai model "manusia sempuma". Itulah sebabnya nabi sedemikian tepat untuk membimbing manusia.

8. Nabi Membawa Syariat (Hukum) Tuhan

Pada umumnya ada dua golongan nabi. Golongan pertama, yaitu golongan kecil, adalah nabi-nabi yang mendapat syariat sendiri, yang diperintahkan untuk memberikan petunjuk kepada manusia dengan berbasiskan syariat. Al-Qur'an Suci menyebut para nabi ini dengan sebutan nabi-nabi "berjiwa besar atau berhati mulia." Kita tak tahu persis berapa jumlah mereka. Al-Qur'an Suci dengan tegas mengatakan telah menceritakan hanya kisah-kisah tentang sedikk nabi. Kalau saja kisah-kisah tentang semua nabi itu dicedtakan, atau setidaknya Al-Qur'an Suci menyatakan telah menceritakan kisah-kisah tentang semua nabi yang penting, tentu kita akan tahu jumlah nabi yang berjiwa besar atau berhati mulia itu. Namun, kita tahu bahwa Nuh as, Ibrahim as, Musa as, Isa as dan Nabi terakhir Muhammad saw, termasuk di antara nabi-nabi itu. Syariat diberikan kepada semua nabi yang berhati mulia dan berjiwa besar itu. Nabi-nabi ini diperintahkan untuk mendidik para pengikut mereka dengan berdasarkan syariat.

Golongan kedua, adalah nabi-nabi yang tidak memiliki syariat sendiri. Meski demikian, mereka ini diperintahkan untuk mendakwahkan syariat Tuhan yang sudah ada. Kebanyakan nabi termasuk dalam golongan ini. Dalam golongan ini terdapat nama-nama seperti Hud as, Saleh as, Luth as, Ishaq as, Ya'qub as, Yusuf as, Syu'aib as, Harun as, Zakaria as dan Yahya as.



BAB 14 - Peran Historis Nabi
Apakah para nabi mempunyai peran dalam gerakan sejarah? Kalau punya, bagaimanakah peran itu? Apakah peran itu positif atau negatif?

Kaum anti-agama pun mengakui bahwa para nabi memiliki peran yang efektif dalam sejarah. Di masa lalu mereka merepresentasikan sumber kekuatan nasional yang fantastis. Di zaman dahulu kekuatan nasional tersebut beda dengan hubungan darah, hubungan suku, perasaan patriotis, atau beda dengan kecenderungan agama dan ikatan doktrin. Kepala suku dan kepala bangsa mewakili kecenderungan pertama, sedangkan nabi dan pemimpin agama mewakili kecenderungan kedua. Ada dua pandangan mengenai fakta bahwa nabi merupakan sebuah kekuatan yang terbentuk berkat pengaruh agamanya. Namun demikian, ada beberapa pendapat mengenai efektivitas kekuatan ini:

Pertama: Segolongan orang, dalam tulisan mereka, pada umumnya mengatakan bahwa karena nabi memiliki pandangan spiritual dan anti-temporal, maka perannya negatif. Menurut mereka, poin utama ajaran nabi adalah menolak dunia, berkonsentrasi kepada akhirat, melakukan introspeksi dan meninggalkan realitas sekitar. Itulah sebabnya mengapa kekuatan agama dan nabi, yang menjadi simbol kekuatan ini, selalu mendorong orang untuk tidak peduli kepada kehidupan dunia, dan menghambat kemajuan. Jadi, dalam sejarah, peran nabi selalu negatif. Inilah pandangan yang pada umumnya dikemukakan oleh orang-orang yang mengaku berpikiran luas.

Kedua: Segolongan orang lagi berpendapat bahwa peran yang dimainkan kaum agama adalah negatif. Argumen mereka ini sama sekali beda. Menurut mereka, orientasi kaum agama adalah dunia, dan orientasi spiritualnya hanyalah kedok untuk memperdaya orang-orang bodoh. Arab upaya kaum agama selalu adalah mewujudkan dan melindungi kepentingan para penindas, dan memperdaya kaum tertindas. Kaum agama selalu berupaya keras mempertahankan status quo, dan menentang evolusi masyarakat. Para pendukung pandangan ini mengatakan bahwa sejarah, seperti fenomena lainnya, bergerak secara dialektis. Gerakan dialektis ini terjadi akibat adanya kontradiksi internal dalam tubuh sejarah. Dengan munculnya hak milik, masyarakat terbagi menjadi dua kelas yang saling bertentangan: yang satu berkuasa dan melakukan eksploitasi, dan yang satunya lagi dieksploitasi. Dengan maksud melindungi posisi istimewanya sendiri, kelas penguasa selalu berupaya mempertahankan situasi yang ada, kendatipun alat-alat produksi mengalami perkembangan yang tak terelakkan, dan ingin mempertahankan kondisi masyarakat sebagaimana adanya. Namun kelas tertindas, dengan terjadinya perkembangan alat-alat produksi, ingin mengubah situasi yang ada, dan ingin mengganti situasi ini dengan situasi yang lebih maju. Kelas penguasa menggunakan berbagai taktik. Untuk mencapai maksud-maksud jahatnya, kelas penguasa menggunakan tiga faktor: kekuatan, harta dan kebohongan.

Dalam permainan ini, peran kaum agama adalah menipu masyarakat demi kepentingan para tiran dan penindas. Kaum agama tidak sungguh-sungguh peduli kepada akhirat. Penampilan mereka yang sok agamawan, hanyalah kedok untuk menutupi kepentingan duniawi mereka, dan dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian kaum tertindas dan kaum revolusioner. Dengan demikian, peran kaum agama selalu saja negatif, karena mereka selalu mendukung kaum kaya dan kaum kuat yang berkepentingan mempertahankan situasi yang ada. Inilah teori yang diajukan oleh kaum Mantis untuk menjelaskan perkembangan sejarah.Menurut Marxisme, tiga faktor—agama, pemerintah dan harta—itu usianya sama tuanya dengan milik pribadi, dan sepanjang sejarah peran ketiganya selalu merugikan kepentingan masyarakat luas.

Ketiga: Sebagian orang menafsirkan sejarah dengan tafsiran yang berbeda dengan tafsiran kaum Marxis. Mereka juga memandang peran agama dan nabi itu negatif. Menurut mereka, hukurn evolusi alam dan hukum perkembangan sejarah didasarkan pada dominasi si kuat dan penyingkiran si lemah. Si kuat menjadi pihak yang selalu memberikan sumbangsih bagi kemajuan sejarah, sedangkan si lemah senantiasa menjadi pihak yang bertanggung jawab atas kemandekan dan kemunduran sejarah. Si lemah menciptakan agama untuk mengerem si kuat. Para pendukung agama men­ciptakan konsepsi moral seperti keadilan, kemerdekaan, kebajikan, cinta, kasih sayang, kerja sama dan seterusnya. Kaum pendukung agama menciptakan konsepsi-konsepsi seperti itu tak lain untuk kepentingan si lemah (kelas bawah) dan untuk merugikan si kuat (kelas atas), kaum yang mewujudkan kemajuan. Kaum agama berupaya mengendalikan kekuatan-kekuatan psikologis si kuat, dan berupaya agar si lemah tidak tersingkir. Dengan demikian kaum agama merintangi kemajuan umat manusia dan tampilnya pahlawan. Karena itu peran agama dan nabi yang mewakili agama, sifatnya negatif, karena agama dan nabi mendukung mentalitas yang menentang kualitas unggul yang memberikan sumbangsih bagi kemajuan sejarah dan masyarakat. Inilah pandangan Nietzsche sang Filosof Jerman.

Keempaf: Di samping tiga golongan yang sudah dipaparkan di atas, ada lagi golongan yang di dalamnya ada kaum anti-agamanya. Mereka mengakui bahwa peran nabi di masa lalu memang positif dan bermanfaat dan memberikan sumbangsih bagi kemajuan sejarah. Golongan ini mempertimbangkan dengan semestinya kandungan sosial dan moral ajaran nabi serta peristiwa-peristiwa sejarahnya. Mereka mengakui bahwa di masa lalu nabi sangat penting perannya dalam mereformasi, menyejahterakan dan memajukan masyarakatnya. Budaya manusia memiliki dua segi: material dan spiritual. Segi materialnya adalah segi teknis dan segi industnalnya yang masih terus mengalami perkembangan di setiap zaman hingga dewasa ini. Segi spiritualnya menyangkut hubungan timbal balik umat manusia. Untuk memberikan penilaian yang benar mengenai hubungan ini, manusia berutang budi kepada ajaran nabi. Karena segi materialnya berpeluang tumbuh dan berkembang dengan benar dengan dibayang-bayangi segi spiritual­nya, maka peran nabi dalam perkembangan segi spiritual peradaban bersifat langsung, sedangkan dalam perkembangan segi materialnya bersifat tidak langsung. Menurut golongan ini, peran positif ajaran nabi di masa lalu tak mungkin disangsikan.

Namun demikian sebagian dari golongan ini berpendapat bahwa zaman untuk peran positif ajaran nabi sekarang sudah berakhir. Menurut mereka, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, maka ajaran agama sudah tak berlaku lagi. Dan di masa mendatang juga demikian. Golongan lain justru berpandangan bahwa peran agama dan ideologi agama tak mungkin dapat digantikan oleh ilmu pengetahuan, walaupun luar biasa kemajuan yang dapat dibuat oleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tak akan pernah dapat menggantikan posisi agama. Begitu pula mazhab-mazhab filsafat.

Di masa lalu peran nabi beragam. Memang ada kasus-kasus tertentu, di mana had nurani kolektif manusia tak lagi membutuhkan dukungan agama. Namun peran nabi yang sangat asasiah sangat dibutuhkan di masa mendatang. Peran asasiah ini sangat dibutuhkan di masa lalu. Inilah beberapa contoh berpengaruhnya ajaran nabi pada perkembangan sejarah.

Mendidik

Di masa lalu alasan mendidik adalah alasan agama. Alasan inilah yang menyemangati guru dan orang tua. Setelah berkembang-nya had nurani sosial, maka di bidang pendidikan tak lagi dibutuh­kan alasan agama.

Memperkuat Perjanjian

Kehidupan sosial bisa tegak bila ada sikap menghargai perjanjian, akad dan kesepakatan, dan bila janji dipegang teguh. Menghargai kesepakatan dan memegang teguh janji merupakan salah satu arus utama sisi-sisi manusiawi budaya. Peran yang selalu diemban agama adalah mewujudkan sikap menghargai ini. Hingga sekarang peran tersebut tak dapat digantikan.

Will Durant, seorang Atheis, mengakui fakta ini dalam bukunya "Lessons from History" (Hikmah Sejarah). Katanya:

"Dalam agama, hubungan manusia-Tuhan dihormati. Berkat ritual-ritual agama, dari sikap menghormati ini lahir penghormatan kepada janji yang dibuat di antara manusia. Dengan demikian, berkat agama, maka janji menjadi kuat posisinya."

Sebagai keseluruhan, agama memberikan dukungan kuat kepada nilai-nilai moral dan manusiawi. Nilai-nilai moral tanpa agama laksana mata uang yang tak mendapat dukungan finansial. Mata uang seperti itu kehilangan nilainya.

Membebaskan Manusia dari Perbudakan Sosial

Dalam menentang kelaliman, tirani, dan segala segi penindasan, sangatlah penting. Al-Qur'an Suci menekankan peran nabi ini. Al-Qur'an Suci menggambarkan bahwa tujuan utama diutusnya nabi adalah untuk menegakkan keadilan. Berulang-ulang Al-Qur'an Suci membawakan kisah-kisah konflik antara para nabi dan para wakil kelaliman. Banyak ayat Al-Qur'an Suci dengan jelas menyebutkan bahwa orang-orang yang selalu menentang para nabi adalah mereka yang berasal dari golongan lalim ini.

Pandangan Marx dan para pengikutnya yang kira-kira mengatakan bahwa agama, pemerintah dan harta merupakan tiga fakta yang digunakan golongan berkuasa untuk menekan kaum tertindas, tak lain hanyalah omong kosong. Pandangan ini bertentangan dengan fakta-fakta sejarah yang tak terbantahkan.

Menjelaskan pandangan Marx, Dr. Arani mengatakan:

"Agama selalu dimanfaatkan oleh kelas berkuasa dalam masyarakat. Untuk menundukkan kelas tertindas, tasbih dan salib selalu bahu-membahu dengan bayonet."

Kalau mau menerima interpretasi tentang sejarah seperti itu, maka kita harus menutup mata dan mengabaikan fakta sejarah. Imam All as adalah ahli pedang dan tasbih. Namun Imam Ali as tidak menggunakan keduanya untuk menekan kaum tertindas. Moto Imam Ali as adalah: "Tentang sang penindas, dan bantu sang tertindas."

Sepanjang hayatnya, Imam Ali as adalah penggemar pedang yang tidak disukai kaum kaya dan penguasa. Dalam bukunya "Comedy of Human Intelect" (Komedi Akal Manusia), Dr. Ali al-Wardi menyebutkan bahwa melalui kepribadiannya, Imam Ali as telah membuktikan kesalahan fllosofi Marx.

Pandangan Nietzsche, yang bertentangan sekali dengan pandangan Marx, bahkan lebih tak masuk akal lagi. Menurut Nietzsche, agama menjadi bagian dari kemandekan dan kemunduran, karena agama mendukung si lemah, sementara si kuat yang merupakan golongan yang sangat maju bertanggung jawab atas perkembangan masyarakat. Nampaknya dalam pandangan Nietzsche, masyarakat manusia dapat maju dengan pesat bila yang mengatur masyarakat manusia adalah hukum rimba. Menurut Marx, kaum lemah merupakan bagian dari perkembangan, dan para nabi menentang golongan ini. Namun Nietzsche beranggapan bahwa golongan kuat merupakan bagian dari perkembangan, dan para nabi menentang golongan ini. Marx mengatakan bahwa agama merupakan rekayasa kaum kuat dan kaya. Nietzsche justru mengatakan bahwa agama merupakan rekayasa kaum lemah dan tertindas. Tentu saja Marx salah:

Pertama, basis penafsiran Marx atas sejarah semata-mata kontradiksi kepentingan kelas, dan Marx mengabaikan sisi manusiawi sejarah.

Kedua, Marx beranggapan bahwa kaum lemah dan tertindas sajalah yang menjadi bagian dari perkembangan.

Ketiga, Marx memandang para nabi mendukung kelas berkuasa. Kalau Nietzsche, dia telah membuat kesalahan, yaitu dia memandang unsur kekuatan sebagai bagian dari perkembangan sejarah, dalam pengertian bahwa dia telah menyamakan si kuat dengan manusia unggul dan percaya bahwa si kuat sajalah yang menjadi unsur yang memajukan sejarah.


8
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

BAB 15 - Maksud Kenabian
Setelah sedikit banyak menjelaskan peran para nabi dalam perkembangan sejarah, sekarang kita bahas masalah yang lain: Apa maksud pokok atau tujuan final diutusnya para nabi dan diturunkannya kitab-kitab suci? Secara umum dapat dikatakan bahwa maksud pokoknya adalah membimbing, menyelamatkan, dan menyejahterakan umat manusia.

Tak syak lagi bahwa nabi diutus untuk membimbing manusia ke jalan lurus dan menyelamatkan jiwa manusia. Namun bukan begitu pokok persoalannya. Pokok persoalannya adalah seperti apa tujuan final tersebut, suatu arah yang dituju oleh jalan lurus ini. Menurut mazhab para nabi, seperti apa kesejahteraan manusia tersebut? Mazhab nabi ini mau membebaskan manusia dari kesukaran dan rintangan. Kesukaran dan rintangan seperti apa yang dimaksud oleh mazhab ini. Menurut mazhab ini, bagaimana wujud kesejahteraan dan kebaikan puncak itu?

Dalam beberapa ayat Al-Qur'an Suci, pokok persoalan ini ada yang dipaparkan dengan jelas, ada juga yang hanya diisyaratkan saja. Al-Qur'an Suci menyebutkan dua pokok persoalan yang merupakan maksud pokok kenabian. Sebelum sampai pada dua pokok persoalan tersebut, disebutkan terlebih dahulu ajaran-ajaran para nabi. Dua pokok persoalan tersebut adalah: (1) mengenal Allah dan mendekat kepada-Nya (2) menegakkan keadilan dalam masyarakat. Al-Qur'an Suci memfirmankan:

Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan untuk jadi penyeru ke agama Allah dengan izin-Nya, dan untuk jadi cahaya yang menerangi (QS. al-Ahzâb: 45-46)

Jelaslah bahwa dari semua kualitas yang disebutkan dalam ayat ini, satu-satunya kualitas yang tepat untuk dipandang sebagai maksud pokok kenabian adalah menyeru ke agama Allah. Mengenai para nabi, Al-Qur'an Suci mengatakan:

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat menegakkan keadilan. (QS. al-Hadîd: 25)

Dengan jelas ayat ini menggambarkan penegakan keadilan sebagai tujuan pengutusan para nabi. Menyeru manusia untuk mengenal, mengakui dan menerima Allah dan untuk mendekat kepada-Nya mengindikasikan pengajaran bentuk teoretis dan individualistis tauhid praktis, sedangkan menegakkan keadilan dalam masyarakat mengindikasikan penegakan Tauhid praktis pada tataran masyarakat.

Sekarang timbul pertanyaan: Apakah tujuan pokok diutusnya para nabi adalah agar Allah dikenal, diakui dan diterima, sedang­kan hal-hal lainnya termasuk menegakkan keadilan merupakan pengantarnya, ataukah tujuan pokoknya adalah agar keadilan sosial tegak, sedangkan menerima dan beribadah kepada Allah merupakan sarana untuk mewujudkan maksud itu? Kalau kita menggunakan terminologi yang kita gunakan sebelumnya, maka pertanyaannya bisa seperti ini: Apakah tujuan pokoknya adalah tauhid teoretis dan tauhid praktis pada tataran para individu, ataukah tujuan pokoknya adalah tauhid praktis pada tataran masyarakat? Untuk pertanyaan ini sudah diberikan beberapa jawabannya:

(1) Dari sudut pandang tujuan, nabi adalah dualis. Dengan kata lain, tujuan nabi ada dua. Yang satu menyangkut kehidupan akhirat dan kesuksesan manusia di akhirat (Tauhid teoretis dan Tauhid praktis pada tataran individu-individu). Yang satunya lagi me­nyangkut kesuksesan manusia di dunia (Tauhid sosial). Untuk mewujudkan kesejahteraan umat manusia di dunia ini, para nabi mengajarkan tauhid sosial, dan untuk mewujudkan kesejahteraan manusia di akhirat, para nabi mengajarkan Tauhid teoretis dan Tauhid praktis pada tataran individu, yang merupakan masalah spiritual dan pemikiran belaka.

(2) Pandangan lainnya adalah bahwa tujuan pokok para nabi adalah Tauhid sosial. Tauhid teoretis dan Tauhid praktis pada tataran individu-individu merupakan mukadimahnya yang penting. Tauhid teoretis menyangkut menerima atau mengakui Allah. Manusia itu sendiri tidak butuh mengakui-Nya. Tak penting bagi manusia, apakah kekuatan yang mengobarkan semangatnya itu Allah atau ribuan hal. Juga, tak ada bedanya bagi Allah, apakah manusia mengakui Allah atau tidak mengakui Allah, beribadah kepada Allah atau tidak beribadah kepada Allah. Namun demikian, untuk jadi sempurna, manusia harus menjunjung tinggi Tauhid sosial. Tauhid sosial tak mungkin terwujud bila Tauhid teoretis dan Tauhid praktis tidak diwujudkan pada tataran para individu. Allah memerintahkan manusia untuk menerima Allah dan beribadah kepada Allah, sehingga Tauhid sosial ada bentuk praktisnya.

(3) Pandangan ketiga mengatakan bahwa tujuan utamanya adalah agar Allah diterima dan agar manusia mendekat kepada Allah. Tauhid sosial merupakan sarana untuk mencapai tujuan mulia ini. Seperti sudah kami uraikan sebelumnya, menurut konsepsi tauhid mengenai alam semesta, pada dasarnya alam semesta itu adalah "dari-Nya" dan "menuju kepada-Nya". Karena itu manusia akan jadi sempurna kalau dia menuju kepada-Nya dan kemudian dekat dengan-Nya. Ada satu sifat istimewa pada diri manusia. Allah SWT berfirman: "Dan Aku telah meniupkan he dalamnya roh (ciptaan)-Ku." (QS. al-Hijr: 29)

Realitas manusia itu sendiri adalah dari Allah. Pada dasarnya manusia membutuhkan Allah. Manusia akan sejahtera, berevolusi dan selamat kalau dia menerima Allah dan beribadah kepada-Nya, kalau dia berjalan menuju kepada-Nya. Para nabi berupaya keras menegakkan keadilan dan menghapus tirani serta diskriminasi. Karena manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial, maka kalau kita melihat manusia, kita juga melihat masyarakat. Manusia tak dapat berupaya keras mendekat kepada Allah kalau sistem yang berlaku dalam masyarakat adalah sistem yang tidak adil. Sesungguhnya nilai-nilai sosial sepeiti keadilan, kemerdekaan, persamaan hak dan demokrasi, dan kualitas-kualitas moral seperti murah had, pemaaf dan cinta tidak memiliki nilai yang memang menjadi sifatnya sendiri. Kualitas-kualitas itu sendiri bukanlah kualitas-kualitas yang menunjukkan keunggulan manusia. Namun sekadar sarana untuk mencapai keunggulan dan kesempurnaan, bukan merupakan tujuan. Kualitas-kualitas ini memuluskan jalan bagi terwujudnya keselamatan dan kesejahteraan, namun bukan merupakan keselamatan.

(4) Teori keempat sarna dengan teoti ketiga, karena menurut teori ini, tujuan atau derajat tertinggi keunggulan dari bukan saja manusia, namun juga tujuan atau derajat tertinggi keunggulan dari segala wujud adalah berjalan menuju kepada Allah. Namun menurut teori ini, berpandangan bahwa nabi memiliki tujuan ganda adalah musyrik. Begitu pula, adalah materialistis kalau berpandangan bahwa tujuan akhir nabi adalah kesejahteraan duniawi ini, yang tak lain adalah menikmati anugerah alam dalam suasana adil, merdeka, persamaan hak dan persaudaraan. Namun menurut teori ini, kendatipun nilai-nilai sosial dan moral hanyalah merupakan sarana untuk mencapai nilai yang autentik, yaitu menerima Allah dan beribadah kepada-Nya, namun nilai-nilai ini memiliki nilainya sendiri yang memang menjadi sifatnya.

Hubungan antara pendahuluan dan tujuan utama ada dua macam. Dalam kasus-kasus tertentu, pendahuluan hanya sebagai awal, dan kalau tujuan sudah tercapai, maka ada atau tak adanya pendahuluan menjadi tidak penting lagi. Misal, seseorang mau melintasi saluran air, dan untuk tujuan ini dia menaruh batu di tengah saluran air. Jelas, kalau dia sudah berhasil melintasi saluran air itu, maka ada atau tidak adanya batu itu jadi tak penting lagi baginya. Begitu pula dengan tangga yang digunakan untuk naik ke atap dan rapor kenaikan kelas. Dalam kasus-kasus lain, pengantar tidak kehilangan nilainya sekalipun tujuan utamanya sudah tercapai. Kendatipun tujuan utamanya sudah tercapai, eksistensi pengantar masih penting. Misal, informasi yang didapat seorang siswa di kelas satu dan kelas dua masih dibutuhkan oleh siswa tersebut meskipun dia sudah naik ke kelas yang lebih tinggi. Dia tak dapat melupakan semua yang pernah dipelajarinya di kelas-kelas sebelumnya. Dia dapat saja terus naik ke kelas yang lebih tinggi asalkan pengetahuan yang didapatnya di kelas-kelas sebelum­nya masih dikuasainya.

Penjelasannya adalah bahwa dalam beberapa kasus, pengantar merupakan tahap awal dari tujuan itu sendiri, sedangkan dalam kasus-kasus lain, bukan. Tangga bukanlah tahap naik ke atas. Begitu pula, batu yang ditaruh di tengah saluran air bukanlah tahap melintasi saluran air tersebut. Namun pengetahuan yang didapat di kelas lebih rendah dan pengetahuan yang didapat di kelas yang lebih tinggi merupakan beragam tahap dari realitas yang sama.

Hubungan antara nilai-nilai moral dan sosial di satu pihak, dan menerima Allah serta beribadah kepada Allah di pihak lain, merupakan jenis yang kedua. Orang yang menerima Allah dan beribadah kepada Allah tak mungkin dapat mengabaikan kejujuran, kebajikan, keadilan, kedermawanan, ketulusan, kemurahan hati serta sikap memaafkan. Semua kualitas moral yang tinggi lagi mulia merupakan kualitas Ilahiah.

Disebutkan dalam sebuah hadis, "Ambillah kualitas-kualitas moral Allah." Sesungguhnya kualitas-kualitas moral merupakan bagian dari menerima Allah dan bagian dari beribadah kepada Allah, karena orang akan mengambil kualitas-kualitas tersebut kalau dalam dirinya ada keinginan inheren (yang sudah menjadi sifatnya) untuk memiliki sifat-sifat Allah, sekalipun dia mungkin saja tidak menyadari fakta itu. Itulah sebabnya, menurut ajaran Islam, amal saleh seorang musyrik sekalipun tidak akan sia-sia di akhirat, kalau si musyrik tersebut memiliki sifat-sifat mulia seperti adil, murah hati, cinta sesama manusia dan seterusnya. Orang musyrik tersebut akan diberi pahala asalkan dia kaflr bukan karena keras kepala. Sesungguhnya orang seperti itu tanpa disadarinya mencapai derajat kesalehan.



BAB 16 - Satu Agama atau Banyak Agama
Para ulama dan penulis sejarah agama biasanya membahas pokok masalah mereka dalam judul agama. Misalnya, mereka berbicara tentang agama Nabi Ibrahim as, agama Yahudi, agama Kristen dan agama Islam. Mereka memandang para nabi yang mendapat syariat sebagai pembawa agama. Namun Al-Qur'an Suci mempunyai terminologi dan gayanya sendiri.

Dari sudut pandang Al-Qur'an, dari awal hingga akhir, hanya ada satu agama Tuhan. Semua nabi, terlepas dari fakta apakah mereka memiliki syariat sendiri atau tidak, memiliki misi yang sama dan mendakwahkan risalah yang sama. Prinsip-prinsip dasar mereka yang disebut agama adalah sama. Ajaran-ajaran mereka hanya berbeda dalam soal hukum dan masalah-masalah subsider yang nilai pentingnya sekunder. Hukum dan masalah subsider ini beragam sesuai dengan kebutuhan zaman, keadaan lingkungan dan sifat khas masyarakat yang didakwahi para nabi ini. Sekalipun bentuk ajaran-ajaran mereka berbeda, namun semua nabi memvisualisasikan satu tujuan yang sama. Di samping berbeda bentuk, juga berbeda tataran. Nabi-nabi yang diutus belakangan, ajaran-ajaran mereka lebih tinggi tingkat keselarasannya dengan tahap perkembangan manusia. Misal, ada perbedaan yang besar pada tataran ajaran Islam dan nabi-nabi sebelumnya dalam hal asal-usul manusia, akhirat dan konsepsi tentang dunia. Dengan kata lain, manusia dalam kaitannya dengan ajaran para nabi adalah laksana siswa yang secara bertahap naik dari kelas satu ke kelas yang paling tinggi. Proses ini menunjukkan perkembangan agama, bukan perbedaan agama. Al-Qur'an Suci tidak menggunakan kata "agama" dalam bentuk jamak. Dari sudut pandang Al-Qur'an Suci, yang ada adalah satu agama, bukan banyak agama. Ada perbedaan yang besar antara nabi dari filosof besar dan pemimpin masyarakat terkemuka. Filosof besar memiliki mazhabnya sendiri. Itulah sebabnya di dunia ini selalu ada sedemikian banyak mazhab filsafat. Sedangkan para nabi, mereka justru selalu saling membenarkan atau memperkuat dan tak pernah saling bertentangan. Seandainya seorang nabi hidup di zaman dan di lingkungan nabi yang lain, tentu dia akan mendakwahkan juga norma hukum dan norma perilaku yang didakwahkan oleh nabi yang lain itu.

Al-Qur'an Suci dengan tegas menyatakan bahwa nabi-nabi itu merupakan satu rangkaian tunggal. Nabi-nabi sebelumnya meramalkan nabi-nabi belakangan, dan nabi-nabi belakangan mengakui dan menerima nabi-nabi sebelumnya. Al-Qur'an Suci juga mengatakan bahwa Allah telah membuat akad dengan para nabi yang isinya kira-kira menyebutkan bahwa para nabi akan saling percaya dan saling membantu.

Al-Qur'an Suci memfirmankan:

Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa Kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya." Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang denakian itu? "Mereka menjawab: "Kami mengakui." Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi), dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu." (QS. A^li 'Imrân: 81)

Al-Qur'an menyebut agama Tuhan itu Islam, dan menggambarkannya sebagai suatu proses berkelanjutan sejak dari Adam as hingga Nabi terakhir, Muhammad saw. Ini tidak berarti bahwa agama Allah itu selalu dikenal dengan nama Islam. Maksudnya adalah bahwa Islam merupakan kata yang paling baik untuk menggambarkan karakter agama ini. Itulah sebabnya Al-Qur'an Suci menyebutkan:

Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS. A^li 'Imrân: 19)

Al-Qur'an Suci juga menyebutkan, yang artinya:

Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri kepada Allah (Muslim) dan sekati-kati bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik. (QS. A^li 'Imrân: 67)



BAB 17 - Finalitas
Sudah kami paparkan bahwa sekalipun ada perbedaan dalam detail, namun semua nabi menyampaikan risalah yang sama, dan mazhab ideologi merekajuga sama. Prinsip dan ajaran mazhab ini dijelaskan kepada masyarakat manusia secara berangsur sesuai dengan perkembangan masyarakat manusia tersebut, sampai masyarakat manusia ini sampai pada tahap yang memungkinkan disampaikannya seluruh ajaran ini dalam bentuknya yang lengkap. Pada tahap ini kenabian sampai pada ujungnya. Nabi Muhammad saw membawa ideologi sempurna itu, sedangkan Al-Qur'an Suci merupakan kitab samawi terakhir. Al-Qur'an sendiri mengatakan:

Telah sempumalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur'an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tak ada yang dapat mengubah Kalimat-kalimat-Nya. (QS. al-An'âm: 115)

Sekarang mari kita lihat kenapa di masa lalu kenabian diperbarui dari waktu ke waktu, dan berturut-turut diutus begitu banyak nabi, sekalipun kebanyakan mereka tidak membawa syariat sendiri, dan diutus hanya untuk mendakwahkan syariat yang sudah ada? Kenapa prosedur ini berakhir pada Nabi Muhammad saw, yang sejak beliau saw tak ada lagi nabi pembawa syariat, atau tak ada lagi nabi yang hanya mendakwahkan syariat yang sudah ada? Secara ringkas alasan-alasannya akan kami bahas.

Alasan Diperbaruinya Kenabian

Kendatipun kenabian merupakan satu proses berkelanjutan, sedangkan risalah Tuhan, sebagai agama, tak lebih daripada satu realitas, namun beberapa alasan kenapa berturut-turut diutus sedemikian banyak nabi pembawa syariat dan nabi pendakwah syariat yang sudah ada, dan berakhirnya kenabian setelah datangnya Nabi terakhir, Muhammad saw, adalah sebagai berikut:
Pertama, akibat belum matang pemikirannya, manusia kuno atau manusia purba tak sanggup menjaga kitab samawinya. Biasanya kitab-kitab samawi ini diubah dan dirusak isinya. Atau kalau tidak, hilang sama sekali. Karena itu, dari waktu ke waktu, risalah perlu diperbarui. Al-Qur'an Suci turun ketika manusia sudah melewati masa kanak-kanaknya dan sudah mampu menjaga warisan pemikirannya. Itulah sebabnya Al-Qur'an Suci, Kitab terakhir Allah, tidak mengalami perubahan. Kaum Muslim menghafalkan dan mencatat dalam bentuk tulisan setiap ayat Al-Qur'an Suci yang turun, dan meniadakan setiap kemungkinan penambahan, penghapusan atau penggantian. Dengan demikian, hilanglah sudah salah satu alasan pembaruan kenabian.

Kedua, karena manusia belum matang, maka manusia belum cukup mampu untuk memiliki skema paripurna untuk membimbing dirinya sendiri, dan karena itu manusia perlu mendapat bimbingan tahap demi tahap dari para nabi. Namun, pada masa kenabian terakhir, manusia sudah berkembang sedemikian sehingga mampu memiliki skema perilaku yang paripurna, dan tak lagi perlu mendapat bimbingan tahap demi tahap dari nabi. Di samping hilangnya kitab-kitab samawi lama dan terdistorsinya kitab-kitab tersebut, alasan lain kenapa kenabian mengalami pembaruan berkelanjutan adalah karena manusia di zaman-zaman dahulu belum mampu menerima skema yang paripurna. Ketika kemampuannya sudah cukup berkembang, manusia sudah mampu memiliki skema yang paripurna, sehingga hilanglah sudah alasan pembaruan kenabian ini. Sekarang para ulama yang ahli di bidang ini dapat membimbing kaum Muslim dengan skema ini, dan dapat merumuskan hukum serta prosedur bagi kaum Muslim yang sesuai untuk setiap masa.

Ketiga, kebanyakan nabi hanya mendakwahkan syariat yang sudah ada. Jumlah nabi yang membawa syariat sendiri tak lebih dari lima orang. Tugas nabi yang mendakwahkan syariat yang sudah ada adalah mendakwahkan, menafsirkan dan menyebarluaskan hukum agama yang berlaku di masanya. Sekarang ulama di zaman Nabi terakhir saw, yang merupakan zaman ilmu pengetahuan, mampu menerapkan prinsip-prinsip umum Islam sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat, dan mampu menyimpulkan hukum agama. Proses penyimpulan hukum agama ini disebut ijtihad. Dengan demikian, ulama-ulama terkemuka mengemban banyak tugas nabi pendakwah, dan sebagian dari mereka bahkan mengemban tugas nabi pembawa syariat tanpa harus menjadi pembuat hukum. Mereka membimbing umat Muslim.

Dengan demikian, sekalipun kebutuhan akan agama masih ada, dan diperkirakan kebutuhan ini akan semakin meningkat bersamaan dengan perkembangan budaya manusia, namun kebutuhan akan nabi baru dan kitab suci baru sudah tak ada lagi. Karena itu kenabian sudah berakhir dengan diutusnya Nabi terakhir, Muhammad saw.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa kematangan sosial dan kematangan berpikir manusia memiliki peran yang besar dalam mengakhiri kenabian. Peran tersebut adalah:

1. Memungkinkan manusia untuk menjaga kitab samawinya agar tak didistorsi.

2. Memungkinkan manusia untuk menerima program evolusinya sekaligus, bukan secara bertahap.

3. Memungkinkan manusia untuk mengemban tugas menyebar-luaskan agama, untuk menegakkan institusi-institusi agama, untuk mengajak orang berbuat baik dan mencegah orang berbuat keji. Dengan demikian tak lagi dibutuhkan nabi-nabi pendakwah yang hanya mendakwahkan ajaran nabi pembawa syariat. Kebutuhan ini sekarang dapat dipenuhi secara memadai oleh ulama.

4. Dari sudut pandang perkembangan mental, manusia sekarang sudah sampai pada tahap di mana, menurut ijtihadnya, dia dapat menafsirkan ayat dan dapat menerapkan prinsip-prinsipnya yang relevan pada segala keadaan yang senantiasa berubah. Tugas ini juga diemban oleh ulama.

Jelaslah bahwa makna kenabian terakhir bukanlah bahwa manusia tak lagi membutuhkan ajaran Tuhan yang diterima melalui wahyu. Kenabian belumlah berakhir, karena akibat perkembangan mentalnya, manusia sekarang mampu melepaskan agama.

Sarjana terkemuka sekaligus pemikir besar Muslim, Dr. Iqbal, sekalipun pembahasannya mengenai masalah-masalah Islam luar biasa cerdas, dan pembahasannya ini secara pribadi banyak bermanfaat bagi kami, dan juga telah kami gunakan dalam buku ini dan buku-buku lainnya, telah sedemikian salah paham ketika menjelaskan filosofi finalitas kenabian. Kesimpulannya didasarkan pada poin-poin tertentu:

(1) Kata "wahyu" yang secara harfiah berarti "membisikkan", digunakan oleh Al-Qur'an Suci dalam pengertian yang diperluas sehingga mencakup setiap ilham bimbingan apakah penerima bimbingan itu makhluk inorganis, tumbuhan, binatang atau manusia. Iqbal mengatakan: "Kontak dengan akar wujudnya sendiri ini sama sekali bukan khas manusia saja. Sungguh, penggunaan kata "wahyu"dalam Al-Qur'an Suci menunjukkan bahwa Al-Qur'an Suci memandang wahyu sebagai sifat universal kehidupan, sekalipun karakter wahyu beda pada berbagai tahap evolusi kehidupan. Tanaman yang tumbuh leluasa, binatang yang berkembang organ barunya sedemikian sehingga sesuai dengan lingkungan yang baru, dan manusia yang menerima cahaya dari lubuk jiwa kehidupan, semuanya merupakan contoh-contoh wahyu yang beragam karakternya sesuai dengan kebutuhan si penerima atau kebutuhan spesies si penerima." (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 125)

(2)Wahyu merupakan semacam naluri, dan bimbingan melalui wahyu merupakan semacam bimbingan naluriah.

(3)Wahyu merupakan bimbingan, bila dilihat dari sudut pandang kolektif. Masyarakat manusia yang merupakan unit yang bergerak dan tunduk kepada hukum gerak, pasti membutuhkan bimbingan. Dalam hal ini (bimbingan—pen.), nabi hanyalah seperti wadah penerima yang secara naluriah menerima apa yang dibutuhkan oleh umat manusia. Berkata Dr. Iqbal: "Kehidupan dunia ini secara intuisi melihat kebutuhannya sendiri, dan pada saat-saat kritis merumuskan arahnya sendiri. Inilah, dalam bahasa agama, yang kita sebut wahyu kenabian." (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 147)

(4) Pada tahap-tahap awalnya, makhluk hidup mendapat bimbingan dari nalurinya. Setelah sampai pada tahap-tahap evolusi yang lebih tinggi, dan setelah daya perasaan, imajinasi dan pemikirannya berkembang, daya nalurinya pun mengalami reduksi dan digantikan oleh daya perasaan dan daya pikirnya. Dengan demikian serangga memiliki naluri yang sangat kuat, sedangkan naluri manusia sangat lemah.

(5) Dari sudut pandang sosiologis, masyarakat manusia tengah menjalani proses evolusi. Pada tahap-tahap awalnya, binatang membutuhkan naluri dan berangsur-angsur daya perasaan dan daya imajinasinya berkembang, dan dalam kasus-kasus tertentu daya pikirnya juga, dan bimbingan melalui nalurinya digantikan oleh bimbingan melalui perasaan dan imajinasi. Begitu pula, manusia, dalam proses evolusinya, berangsur-angsur sampai pada tahap di mana rasionalitasnya sedemikian berkembang sehingga daya nalurinya (wahyu atau inspirasi) menjadi lemah. Kata Dr. Iqbal: "Pada masa kanak-kanak, energi jiwa manusia mengembangkan apa yang saya sebut kesadaran kenabian—suatu bentuk ekonomisasi pemikiran dan pilihan orang seorang dengan memberikan penilaian yang sudahjadi, pilihan dan cara bertindak. Namun dengan lahirnya akal dan daya kritis, maka kehidupan, untuk kepentingannya sendiri, mencegah muncul dan berkembangnya bentuk-bentuk kesadaran yang non-rasional. Bentuk-bentuk inilah yang mengalirkan energi jiwa ketika evolusi manusia berada pada tahapnya yang lebih awal. Manusia terutama diatur oleh nafsu dan naluri. Jalan pikiran yang logislah yang membuat manusia dapat mengendalikan lingkungannya. Jalan pikiran yang logis itu sendiri merupakan suatu prestasi. Setelah jalan pikiran yang logis ini lahir, maka harus diperkuat, caranya yaitu dengan mencegah tumbuhnya bentuk-bentuk lain pengetahuan." (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 125)

(6) Pada dasarnya dunia melewati dua zaman: Zaman ilham serta zaman refleksi dan pemikiran rasional tentang alam dan sejarah. Dunia purba melahirkan beberapa sistem besar filsafat (seperti Yunani dan Romawi). Namun nilainya terbatas, karena manusia masih dalam proses melewati periode belum matangnya. Dr. Iqbal mengatakan: "Tak diragukan lagi, dunia purba melahirkan beberapa sistem besar filsafat ketika manusia relatif masih belum matang, dan lebih kurang yang mengatur manusia adalah ilham. Namun kita tak boleh lupa bahwa pembangunan sistem ini di dunia purba merupakan kerja pemikiran spekulatif, yang tak bisa lebih dari sistematisasi keyakinan agama dan tradisi yang tak jelas, sehingga tak ada pengaruhnya pada situasi konkret kehidupan." (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 126)

(7)Nabi Muhammad saw, Nabi terakhir, adalah bagian dari dunia purba maupun dunia modern. Karena sumber ilhamnya adalah wahyu, bukan studi experimental atas alam dan sejarah, maka dia adalah bagian dari dunia purba. Namun karena semangat ajarannya menuntut adanya pemikiran rasional dan studi atas alam dan sejarah, dan dua hal ini (pemikiran rasional dan studi atas alam dan sejarah—pen.) mengakhiri kerja wahyu, maka dia adalah bagian dari dunia modern. Dr. Iqbal mengatakan: "Kalau masalah ini dilihat dari sudut pandang ini, maka Nabi saw tampaknya berada antara dunia purba dan dunia modern. Sejauh menyangkut sumber wahyunya, dia adalah bagian dari dunia purba. Dan sejauh menyangkut jiwa wahyunya, dia adalah bagian dari dunia modern. Pada diri Nabi saw kehidupan menemukan sumber-sumber lain pengetahuan yang sesuai dengan arah barunya. Lahirnya Islam adalah lahirnya akal induktif (logis). Dalam Islam, kenabian barulah sempurna kalau sudah didapati perlunya menghapus kenabian itu sendiri. Ini melibatkan persepsi yang tajam bahwa hidup tak mungkin selamanya dikendalikan secara ketat. Karena itu, untuk bisa sepenuhnya sadar diri, manusia pada akhirnya haruslah bersandar pada sumbernya sendiri. Penghapusan kependetaan dan jabatan raja yang turun-temurun dalam Islam, seruan terus-menerus dalam Al-Qur'an Suci untuk menggunakan nalar dan pengalaman serta penekanan Al-Qur'an Suci pada alam dan sejarah sebagai sumber pengetahuan manusia, semuanya merupakan segi-segi yang berbeda dari pikiran yang sama tentang finalitas (kenabian—pen.)." (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 126)

Itulah poin-poin utama filosofi finalitas kenabian menurut pemahaman Dr. Iqbal. Sayangnya, filosofi ini keliru, dan beberapa prinsipnya tidak benar.

Keberatan pertama—dan keberatan ini dapat dipertanggung-jawabkan—adalah bahwa jika filosofi ini diterima, maka artinya adalah bahwa bukan saja tak lagi diperlukan adanya nabi baru atau wahyu baru, namun juga tak lagi dibutuhkan adanya bimbingan melalui wahyu, karena fungsi membimbing ini sudah dapat dilakukan oleh akal eksperimental. Filosofi ini adalah filosofi akhir agama, bukan filosofi finalitas kenabian. Jika filosofi ini diterima, maka yang dapat dilakukan oleh wahyu Islam hanyalah memaklumkan akhir era agama dan awal era nalar dan ilmu pengetahuan. Jelaslah pikiran semacam ini bukan saja bertentangan dengan keyakinan pentingnya Islam, namun juga bertentangan dengan pandangan Dr. Iqbal sendiri. Sesungguhnya semua upayanya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa nalar dan ilmu pengetahuan, sekalipun penting bagi masyarakat manusia, namun belum cukup. Manusia butuh iman dan agama. Dia juga butuh sains dan pengetahuan. Dr. Iqbal mengatakan dengan jelas bahwa dalam hidup dibutuhkan adanya prinsip-prinsip yang pasti dan juga faktor-faktor sekunder yang bisa berubah-ubah, dan bahwa ijtihad dimaksudkan untuk menerapkan prinsip-prinsip itu pada situasi-situasi tertentu. Dia mengatakan:

"Budaya baru menemukan fondasi unitas-dunia dalam prinsip "tauhid" (monoteisme). Islam sebagai sebuah bangsa merupakan satu-satunya sarana praktis untuk membuat prinsip ini menjadi faktor yang hidup dalam kehidupan pemikiran dan emosi umat manusia. Islam menuntut agar kita setia kepada Allah, bukan kepada tahta. Karena Allah adalah basis spiritual final segenap kehidupan, maka kesetiaan kepada-Nya berarti kesetiaan manusia kepada karakter idealnya sendiri. Menurut Islam, basis spiritual final segenap kehidupan itu abadi dan terlihat dalam keragaman dan perubahan. Suatu masyarakat yang didasarkan pada konsepsi realitas seperti itu harus menerima, dalam hidupnya, permanensi dan perubahan. Masyarakat seperti ini harus memiliki prinsip-prinsip abadi untuk mengatur kehidupan kolektifnya. Berkat keabadian, kita jadi punya tempat berpijak di dunia yang senantiasa berubah ini. Namun prinsip-prinsip abadi bila dipahami sebagai tak mengenal kemungkinan adanya perubahan yang, menurut Al-Qur'an Suci, merupakan salah satu ayat Allah, cenderung menghentikan apa yang pada hakikatnya berkarakter aktif. Kegagalan Eropa dalam ilmu politik dan sosial mengilustrasikan prinsip yang pertama. Kelumpuhan Islam selama lima ratus tahun terakhir ini menggambarkan prinsip yang kedua. Lantas dalam Islam apa prinsip aktif itu? Ini dikenal sebagai ijtihad." (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 147)

Dan uraian di atas terlihat bahwa bimbingan wahyu akan selalu dibutuhkan, dan bimbingan akal experimental tak akan pernah dapat menggantikan posisi bimbingan wahyu. Dr. Iqbal sendiri mendukung prinsip yang mengatakan bahwa bimbingan selalu dibutuhkan. Namun filosofi yang dikemukakannya untuk menjelaskan finalitas kenabian menyebutkan bahwa bukan saja nabi baru atau wahyu baru tidak dibutuhkan, namun agama itu sendiri juga harus berakhir. Interpretasi Dr. Iqbal yang salah mengenai finalitas mengandung arti bahwa kebutuhan manusia akan bimbingan dan pendidikan dari nabi, karakternya sama dengan kebutuhan anak terhadap kelas.

Anak, setiap tahun naik kelas dan berganti guru. Begitu pula, pada setiap periode manusia beralih ke tahap berikutnya, dan membutuhkan syariat baru. Bila anak sudah sampai di kelas paling tinggi, berarti dia akan menamatkan pendidikannya dan lalu mendapat ijazah. Setelah itu dia tak lagi membutuhkan guru, dan dapat melakukan penelitian sendiri. Begitu pula, orang yang hidup di zaman finalitas kenabian, maka dia mendapat surat tanda tamat belajar. Sekarang dia dapat melakukan studi alam dan sejarah sendiri. Itulah arti ijtihad. Setelah kenabian berakhir, manusia sampai pada tahap mampu mencukupi kebutuhan sendiri.

Tak diragukan lagi, interpretasi tentang akhir kenabian yang seperti itu salah. Karena itu, interpretasi itu tak dapat diterima oleh Dr. Iqbal sendiri, dan juga ditolak oleh mereka yang membuat kesimpulan seperti ini dari paparannya.

Kalau pandangan Dr. Iqbal benar, maka apa yang disebutnya "pengalaman jiwa" (ilham dan cahaya spiritual yang diterima oleh orangorang suci) juga jadi tak ada, karena diduga juga merupakan bagian dari naluri, sedangkan naluri jadi tak berdaya setelah munculnya pikiran eksperimental. Namun menurut Dr. Iqbal, pengalaman mistis itu masih terus ada. Menurutnya, dari sudut pandang Islam, pengalaman jiwa merupakan satu di antara tiga sumber pengetahuan manusia, sedangkan dua lainnya adalah alam dan sejarah.

Secara pribadi juga kecenderungan mistis Dr. Iqbal kuat. Dia sangat mempercayai ilham. Katanya, "Namun gagasan itu tidak berarti bahwa pengalaman mistis, yang secara kualitatif tidak beda dengan pengalaman para nabi, kini tak ada lagi sebagai fakta yang penting sekali. Sungguh, Al-Qur'an Suci memandang "anfus" (diri) dan "âfâq" (dunia) sebagai sumber pengetahuan. Allah menyingkapkan ayat-ayat-Nya dalam jiwa maupun pengalaman lahiriah, dan tugas manusia adalah menilai apakah semua aspek pengalaman itu memiliki kapasitas memberikan pengetahuan, ataukah tidak. Karena itu gagasan bahwa kenabian sudah berakhir janganlah diartikan bahwa nasib akhir kehidupan benar-benar ada di tangan akal. Hal seperti ini mustahil dan juga tidak diharapkan. Nilai intelektual gagasan itu adalah gagasan itu cenderung menciptakan sikap yang kritis terhadap pengalaman mistis dengan melahirkan kepercayaan bahwa semua wewenang pribadi, yang mengklaim berasal dari (kekuatan) supranatural, sudah berakhir dalam sejarah manusia. Maka pengalaman mistis, kendatipun luar biasa, kini harus dianggap oleh seorang Muslim sebagai pengalaman yang betul-betul alami yang dapat dikaji secara kritis seperti aspek-aspek lain pengalaman manusia." (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 126)

Yang hendak dikatakan Dr. Iqbal adalah bahwa sekalipun kenabian sudah berakhir, namun ilham dan mukjizat orang suci belum berakhir, kendatipun tak lagi begitu otoritatif seperti di masa lalu. Sebelum lahirnya pikiran eksperimental, mukjizat benar-benar alamiah otoritasnya dan tak dapat diragukan lagi. Namun setelah pikiran manusia maju (pada zaman berakhirnya kenabian), mukjizat jadi tak otoritatif, dan sekarang tak ubahnya seperti kejadian-kejadian dan fenomena lain yang dapat dikaji secara kritis. Periode sebelum berakhirnya kenabian merupakan periode mukjizat dan kejadian supranatural, namun zaman berakhirnya kenabian merupakan zaman akal, yang memandang peristiwa supranatural tidak dapat membuktikan apa-apa. Akal menilai setiap realitas yang didapat melalui pengalaman mistis dengan standar-standarnya sendiri.

Pada bagian ini, apa yang dikemukakan Dr. Iqbal juga tidak betul, baik mengenai periode sebelum berakhirnya kenabian maupun mengenai periode setelah berakhirnya kenabian. Bagian ini akan kami ulas dalam sub-sub Bab berikut ini.

Mukjizat Nabi Terakhir

Pandangan yang dikemukakan oleh Dr. Iqbal bahwa wahyu merupakan semacam naluri, juga salah. Karena pandangan ini, Dr. Iqbal melakukan beberapa kesalahan lagi. Tentu saja Dr. Iqbal sadar betul bahwa sesungguhnya naluri merupakan suatu kecenderungan bawaan dan tanpa sadar. Naluri merupakan suatu kemampuan yang lebih rendah dibanding indera dan akal. Menurut hukum alam, binatang-binatang primitif seperti serangga dan binatang lain yang kelasnya lebih rendah dibanding serangga memiliki kemampuan yang disebut naluri ini. Dengan berkembangnya sarana lain untuk memberikan bimbingan, seperti indera dan akal, naluri jadi lemah dan pasif. Itulah sebabnya manusia yang daya pikirnya sangat tinggi, daya nalurinya sangat lemah.

Wahyu justru merupakan sarana pembimbing yang lebih tinggi derajatnya dibanding indera dan akal, dan untuk sebagian besar merupakan sesuatu yang diupayakan. Terutama wahyu merupakan kesadaran yang sangat tinggi tingkatannya, dan bidang temuan wahyu jauh lebih luas keumbang bidang kerja pikiran eksperimental. Pada bagian sebelumnya, ketika membahas masalah ideologi, sudah kami buktikan bahwa kalau melihat keragaman kemampuan indi­vidual dan sosial manusia, kompleksitas hubungan sosialnya dan masih dipertanyakannya tujuan perjalanan evolusinya, maka ideologi-ideologi yang dikemukakan oleh para filosof dan sosiolog itu menyesatkan serta membingungkan. Kalau manusia mau memiliki ideologi yang benar, hanya ada satu jalan baginya, yaitu jalan wahyu. Kalau jalan wahyu ditolak, maka harus diakui bahwa manusia memang sama sekali tak mampu memiliki ideologi.

Kaum pemikir modern percaya bahwa hanya secara bertahap ideologi-ideologi manusia dapat menentukan perkembangan umat manusia di masa mendatang. Dengan kata lain, pada setiap tahap, yang dapat ditentukan hanyalah tahap berikutnya, dan itu juga menurut keyakinan kaum ini. Mengenai tahap-tahap berikutnya, dan apakah ada tahap final, tak ada yang diketahui. Jelaslah sudah nasib ideologi-ideologi seperti itu.

Semestinya Dr. Iqbal—karena lebih kurang telah mengkaji karya-karya ahli-ahli makrifat, dan karena khususnya tekun mengkaji Matsnawi-nya. Jalaludin Rumi—dapat lebih mendalami karya-karya ini dan menemukan penjelasan yang lebih bark mengenai berakhirnya kenabian. Para ahli makrifat mengatakan, bahwa berakhirnya kenabian disebabkan semua tahap individual dan tahap sosial perkembangan manusia beserta cara yang harus ditempuh manusia untuk mencapai tahap-tahap itu sudah diungkapkan semuanya. Karena setelah itu tak ada lagi yang perlu ditambahkan, maka tugas setiap orang adalah mengikuti risalah terakhir ini.

Kaum sufi mengatakan bahwa orang yang telah menyelesaikan semua tahap, dan tak ada lagi tahap yang harus dilalui, maka dialah yang terakhir. Inilah basis finalitas, bukan perkembangan pikiran eksperimental masyarakat seperti dipahami oleh Dr. Iqbal. Kalau dia lebih dalam lagi mengkaji karya-karya sufi-sufi yang dikagumi-nya sendiri (seperti Rumi), tentu dia akan tahu bahwa wahyu bukanlah naluri. Wahyu adalah roh dan jiwa yang lebih tinggi derajatnya dibanding jiwa rasional. Rumi, sang penyair sufi, mengatakan:

"Ketahuilah bahwa jiwa manusia beda dengan jiwa sapi dan keledai, dan lagi jiwa nabi dan wali (orang suci) beda dengan jiwa orang biasa. Raga itu kasat mata, sedang jiwa gaib. Lagi, pikiran lebih gaib ketimbang jiwa. Jiwa wahyu lebih gaib lagi. Pikiran Rasulullah saw, siapa pun dapat merasakannya. Namun jiwa wahyunya tak begitu dapat dimengerti."

"Beliau dibimbing oleh Lauh Mahfuzh, itulah sebabnya beliau terlindung dari kekeliruan dan kesalahan. Wahyu ilahi bukan astrologi, bukan geomansi (ramalan berdasarkan konfigurasi segenggam tanah atau titik-titik acak—pen.), bukan pula mimpi. Wahyu adalah fakta dan realitas."

Tampaknya Dr. Iqbal tanpa sadar telah membuat kesalahan seperti yang dilakukan oleh Dunia Barat. Dunia Barat berpandangan bahwa pengetahuan telah menggantikan agama. Tentu saja Dr. Iqbal menentang keras teori penggantian ini. Namun filosofi Dr. Iqbal tentang berakhirnya kenabian, entah bagaimana, kesimpulannya sama. Dr. Iqbal menggambarkan wahyu sebagai semacam naluri. Dia juga menyatakan bahwa naluri tak berfungsi lagi ketika daya pikir mulai bekerja. Pernyataannya ini memang benar kalau diterapkan untuk kasus-kasus di mana daya pikir melakukan fungsi yang sebelumnya dilakukan oleh naluri. Namun dalam kasus-kasus di mana fungsi daya pikir dan fungsi naluri beda, tak ada alasan kenapa naluri harus berhenti bekerja ketika daya pikir jadi aktif. Karena itu, meski diasumsikan bahwa wahyu ilahi merupakan semacam naluri yang fungsinya adalah mengemukakan semacam konsepsi tentang dunia dan mengemukakan ideologi yang tidak dilahirkan oleh akal dan daya pikir, namun tak ada alasan kenapa setelah akal logis berkembang, dalam kata-kata Dr. Iqbal, fungsi naluri ini harus berakhir.

Faktanya adalah bahwa Dr. Iqbal—terlepas bahwa dia memiliki bakat yang luar biasa, kecerdasan yang luar biasa, dan kecintaan kepada Islam yang luar biasa pula—pada dasarnya merupakan produk budaya Barat, karena segenap pendidikannya adalah Barat, meskipun dia melakukan beberapa studi atas budaya Islam, khususnya hukum Islam, tasawuf dan filsafat. Itulah sebabnya kenapa dia terkadang membuat kekeliruan yang serius. Dalam pengantar buku kami "Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Reatisme", jilid V, kami sebutkan kekeliruan gagasan-gagasan Dr. Iqbal mengenai masalah-masalah filosofis yang berat. Itulah sebabnya tidak pada tempatnya kalau membandingkan dia dengan Sayid Jamaludin Asadabadi.[1]

Kendatipun dari sudut pandang bakat mental Jamaludin tak dapat dibandingkan dengan Dr. Iqbal, namun pendidikan primer Jamaludin adalah Islam, sedangkan pendidikan Barat adalah pendidikan sekundernya. Selain itu, almarhum Jamaludin— berkat banyak melakukan perjalanan di negara-negara Muslim, dan berkat melakukan studi saksama atas urusan-urusan mereka—lebih tahu situasi di dunia Muslim ketimbang Dr. Iqbal. Karena itu, tak seperti Dr. Iqbal, dia tak melakukan kekeliruan serius ketika menilai peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi di beberapa negara Mus­lim seperti Turki dan Iran. Penilaiannya tentang negara-negara tersebut lebih baik ketimbang penilaian Dr. Iqbal.

Catatan Kaki:

[1] Terkenal dengan narna Jamaluddin al-Afghani.


9
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

BAB 18 - Mukjizat Nabi Terakhir
Al-Qur'an Suci adalah mukjizat abadi Nabi terakhir saw. Mukjizat para nabi sebelumnya seperti Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as dan Nabi Isa as—masing-masing Nabi ini mendapat Kitab suci dan juga memiliki mukjizat—tidak identik dengan Kitab-kitab suci mereka. Mereka melakukan perbuatan mukjizat seperti mengubah api yang berkobar menjadi "dingin dan damai", mengubah tongkat kayu menjadi ular besar, dan menghidupkan orang mati. Jelaslah mukjizat-mukjizat ini sementara sifatnya. Namun untuk Nabi terakhir saw, Kitab sucinya itu sendiri merupakan mukjizatnya. Kitab sucinya merupakan bukti kenabiannya. Dengan demikian, mukjizat Nabi terakhir saw, tak seperti mukjizat yang lain, abadi sifatnya, bukan dimaksudkan hanya untuk sementara waktu.

Fakta bahwa Kitab suci (Al-Qur'an—pen.) merupakan mukjizat Nabi terakhir saw, sungguh selaras dengan zamannya, zaman kemajuan ilmu pengetahuan, budaya dan pendidikan. Keabadian Al-Qur'an Suci juga sesuai dengan keabadian pesannya yang tak akan pernah dicabut.

Dalam beberapa ayat Al-Qur'an dengan tegas disebutkan aspek supra-manusiawi dan luar biasa ini. Salah satunya mengatakan:

Dan jika hamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan hepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surah (sajaj yang semisal Al-Qur'an itu. (QS. al-Baqarah: 23)

Al-Qur'an juga dengan jelas menyebutkan beberapa mukjizat lain Nabi terakhir saw. Al-Qur'an Suci berbicara panjang lebar mengenai sejumlah masalah yang berkaitan dengan mukjizat. Al-Qur'an menyatakan bahwa risalah Allah SWT harus disertai mukjizat, bahwa mukjizat merupakan bukti kuat dan pasti, bahwa nabi dapat melakukan perbuatan mukjizat atas kehendak Allah dan untuk membuktikan kebenaran pernyataannya, dan bahwa nabi tidak harus mengabulkan setiap permintaan orang akan mukjizat. Dengan kata lain, nabi tidak diharapkan memamerkan mukjizat atau memproduksi mukjizat.

Di samping membahas soal-soal ini, Al-Qur'an Suci juga dengan jelas menceritakan kisah mukjizat banyak Nabi seperti Nuh as, Ibrahim as, Luth as, Saleh as, Hud as, Musa as dan Isa as, dan memperkuat kisah-kisah itu.

Sebagian orientalis dan pendeta Nasrani, berdasarkan ayat-ayat yang menolak permintaan kaum musyrik agar Nabi Muhammad saw memperlihatkan mukjizat yang mereka minta, mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw menyatakan kepada kaumnya bahwa mukjizatnya tak lain adalah Al-Qur'an Suci, dan kalau mereka tak mau menerimanya, maka dia tak dapat berbuat apa-apa lagi. Beberapa penulis Muslim yang "berpandangan terbuka" juga menerima pandangan ini, dan ketika menjelaskan pandangan ini, mereka mengatakan bahwa mukjizat merupakan argumen yang hanya dapat meyakinkan manusia yang belum matang yang mencari sesuatu yang luar biasa dan fantastis. Manusia yang sudah matang tak akan terkesan dengan hal-hal seperti itu. Yang menjadi perhatian manusia yang sudah matang hanyalah hal-hal yang rasional. Mengingat zaman Nabi Muhammad saw adalah zaman rasionalitas, bukan zaman mitos dan fantasi, maka dia, dengan kehendak Allah, tak mau menerima permintaan akan mukjizat selain Al-Qur'an Suci. Seorang penulis mengatakan, "Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw mau tak mau harus menggunakan mukjizat, karena pada zaman itu nabi-nabi nyaris mustahil dapat meyakinkan orang dengan menggunakan argumen rasional. Ketika Nabi Muhammad saw datang, manusia sudah melewati periode kanak-kanak (belum matang)-nya. Manusia sudah sampai pada tahap kematangan pikirannya. Yang kemarin anak, sekarang sudah tak lagi bergantung pada ibunya dan sudah mampu berdiri sendiri serta menggunakan otaknya. Dalam kondisi seperti itu pantaslah kalau Nabi Muhammad saw menentang tekanan kaum kafir, dan lawan-lawannya yang menghendaki mukjizatnya. Untuk membuktikan kebenaran misinya, Nabi Muhammad saw hanya bersandar pada argumen rasional dan bukti sejarah. Kendatipun kaum kafir bersikeras, namun Nabi Muhammad saw, atas perintah Allah, tak mau memperlihatkan tindakan mukjizat seperti yang dilakukan para nabi sebelumnya. Nabi Muhammad saw hanya bersandar pada Al-Qur'an Suci sebagai mukjizat yang tiada taranya. Bahwa Al-Qur'an Suci tak ada tandingannya itu sendiri sudah merupakan bukti nnalitas kenabian. Mukjizat tersebut adalah sebuah kitab yang berisi kebenaran, ajaran dan petunjuk yang sungguh cocok dengan semua aspek kehidupan. Kitab tersebut merupakan mukjizat yang cocok untuk manusia yang sudah matang, bukan untuk manusia yang masih kanak-kanak yang mempercayai mitos dan dongeng.

Apa yang disebut penulis Muslim "berpandangan terbuka" itu menambahkan, "Asmosfer kehidupan manusia purba selalu penuh dengan mitos, cerita kosong dan pikiran supranatural." Karena itu, yang mengesankan manusia purba hanyalah hal-hal yang tak dapat diterima akal sehat dan yang tak dapat dimengerti. Itulah sebabnya sepanjang sejarahnya umat manusia menyukai hal-hal yang aneh dan mencari hal-hal yang supranatural. Sikap emosional terhadap apa yang tak dapat dimengerti dan yang tak dapat diterima akal sehat ini lebih kuat di kalangan manusia yang semakin tidak beradab.

Bila manusia semakin dekat dengan alam, maka dia semakin menyukai hal-hal yang supranatural. Mitos merupakan produk situasi seperti ini. Manusia gurun selalu mencari keajaiban. Dunianya penuh dengan roh dan misteri besar. Itulah sebabnya bukan saja nabi, namun juga raja, pahlawan dan orang arif setiap bangsa, menggunakan sesuatu yang supranatural untuk memperkuat klaim mereka. Dalam keadaan seperti ini, nabi yang misinya didasarkan pada hal yang nyata (kasat mata), kemudian lebih menggunakan mukjizat, karena pada periode sejarah ini kejadian supranatural lebih efektif ketimbang logika, ilmu pengetahuan dan fakta yang tak terbantahkan."

Namun, kehidupan Nabi Muhammad saw merupakan kekecualian. Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa mukjizatnya adalah Al-Qur'an. Pernyataan ini dilontarkan di tengah masyarakat, di sebuah kota perdagangan yang terbesar, di kota ini orang yang tahu seni menulis tak lebih dari tujuh orang. Yang jadi pikiran masyarakat ini hanyalah berbual, bersombong diri, berbesar mulut, pedang, onta dan anak laki-laki. Bahwa di tengah masyarakat ini Nabi Muhammad saw memaklumkan mukjizatnya adalah Al-Qur'an, ini sendiri sudah merupakan mukjizat. Nabi Muhammad saw memaklumkan ini di sebuah negara yang belum pernah ada Kitab samawinya. Tuhannya, Allah, Sang Pencipta bersumpah dengan tinta, pena dan tulisan kepada kaum yang memandang pena sebagai alat bagi segelintir orang lemah tak berdaya. Ini sendiri sudah merupakan mukjizat. Dan mukjizat yang senantiasa dapat dilihat hanyalah kitab samawi itu. Tidak seperti mukjizat lainnya, Al-Qur'an Suci merupakan satu-satunya mukjizat yang karakternya yang luar biasa dapat lebih diapresiasi dan dipahami dengan lebih tepat oleh orang-orang yang lebih arif dan lebih berpengetahuan dalam masyarakat yang maju dan berbudaya.

Al-Qur'an Suci merupakan satu-satunya mukjizat yang bukan saja dipercaya oleh orang-orang yang mempercayai hal-hal yang supranatural. Kesupranaturalan Al-Qur'an Suci diakui oleh orang yang berpengetahuan luas. Kemukjizatan Al-Qur'an Suci bukan saja bagi orang biasa. Kemukjizatan Al-Qur'an Suci juga bagi kaum cerdik cendekia. Tidak seperti mukjizat lainnya, Al-Qur'an Suci tidak dimaksudkan untuk menggugah decak kagum orang yang membacanya, dan juga tidak dimaksudkan untuk meyakinkan mereka agar, setelah mengaguminya, menerima pesannya. Al-Qur'an Suci dimaksudkan untuk mendidik orang-orang yang mau menerimanya. Al-Qur'an Suci merupakan pesan (risalah) itu sendiri. Mukjizat Nabi Muhammad saw, meskipun bukan produk manusia, bukanlah sesuatu yang tak ada kaitannya dengan umat manusia. Tidak seperti mukjizat sebelumnya, Al-Qur'an Suci bukanlah alat yang digunakan sekadar untuk membuat orang percaya dan tak ada manfaat lainnya. Namun mukjizat Nabi Muhammad saw ini merepresentasikan semacam manifestasi kecakapan dan kekuatan tertinggi manusia. Juga merupakan sebaik-baik model untuk praktik dan pendidikan, dan karena itu sebuah model yang selalu dapat diakses.

Nabi Muhammad saw mencoba mengalihkan rasa ingin tahu manusia, dari masalah-masalah yang luar biasa dan supranatural ke masalah-masalah yang logis, rasional, intelektual, sosial dan moral. Tugas beliau saw tidaklah ringan, khususnya kalau melihat kenyataan bahwa kaum yang dihadapinya hanya mau menerima hal-hal yang supranatural. Sungguh mengherankan bagaimana dia menyebut dirinya Nabi, mengajak orang untuk menerima risalah Ilahiah-nya dan sekaligus mengakui secara formal bahwa dia tidak mengetahui hal-hal yang "gaib". Terlepas dari nilai manusiawi pengakuan ini, yang mencolok adalah kebenaran luar biasa yang terasakan dalam perbuatannya dan yang memaksa setiap had untuk hormat dan kagum kepadanya. Sebagian orang meminta dia untuk meramalkan harga yang dapat dicapai barang mereka agar mereka dapat membuat rencana sehingga dapat memperoleh untung.

Al-Qur'an Suci menyuruh Nabi untuk mengatakan:

Aku tidak berkuasa menarik manfaat bagi diriku dan tidak (pula) menolak mudarat kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa mudarat. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman. (QS. al-A'râf: 188)

Seorang nabi yang tak dapat membuat ramalan, yang tidak bicara dengan roh, peri dan jin, dan yang tidak berbuat mukjizat setiap hari, tak ada gunanya di mata orang gurun. Nabi Muhammad saw mengajak mereka untuk memperhatikan alam semesta, takwa, lurus dan beriman, untuk mencari pengetahuan dan untuk memahami makna kehidupan dan takdir, namun mereka selalu saja meminta dia untuk memperlihatkan mukjizat dan membuat ramalan. Di lain pihak Allah mendorong dia untuk mengatakan:

Mahasuci Tuhanku, bukankah aku ini hanyalah seorang manusia yang menjadi Rasul? (QS. Al-Isrâ': 93)

Orang-orang yang menafikkan kejadian-kejadian mukjizat terutama bersandar pada ayat-ayat yang mengatakan:

Dan mereka berhata: "Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami, atau kamu mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari etnas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah Kitab yang kami baca." Katakanlah: "Mahasuci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi Rasul?" (QS. al-Isrâ': 90-93)

Mereka mengatakan bahwa ayat-ayat ini menunjukkan bahwa kaum musyrik meminta Nabi Muhammad saw untuk memperlihatkan mukjizat selain Al-Qur'an, namun Nabi saw menolak permintaan mereka.

Sayangnya, teori ini tak dapat kami terima, khususnya kalau melihat poin-poin yang disebutkan di atas, dan kalau melihat paparan kami mengenai keunggulan Al-Qur'an Suci terhadap mukjizat-mukjizat lainnya. Menurut kami, poin-poin yang dapat dipertanyakan itu adalah:

(1) Mukjizat Nabi Muhammad saw hanyalah Al-Qur'an Suci. Nabi saw tak mau memenuhi permintaan kaum musyrik yang menghendaki Nabi saw memperlihatkan beberapa mukjizat lainnya. Ayat-ayat surah al-Isrâ' itu membuktikan poin ini.

(2) Adapun nilai dan efektivitas mukjizat, dapat dikatakan bahwa mukjizat cocok untuk periode ketika umat manusia belum matang, yaitu ketika nalar dan logika belum jalan. Bahkan orang arif dan raja harus menggunakan hal-hal supranatural untuk menjustifikasi diri mereka. Para nabi juga menggunakan hal-hal supranatural untuk meyakinkan kaum mereka. Nabi Muhammad
saw, yang mukjizatnya adalah Al-Qur'an Suci, merupakan kekecualian. Nabi saw menjustifikasi dirinya dengan menggunakan Al-Qur'an Suci atau dengan nalar dan logika.

(3) Nabi Muhammad saw mencoba mengalihkan perhatian kaumnya dari masalah-masalah supranatural ke masalah-masalah rasional dan logika, dan mencoba mengalihkan kepekaan mereka dari hal-hal yang ajaib ke hal-hal yang aktual dan faktual.

Mari kita bahas satu persatu poin-poin yang diajukan oleh para penentang mukjizat. Betulkah Nabi Muhammad saw mukjizatnya hanya Al-Qur'an saja? Terlepas dari kenyataan bahwa pandangan ini tak dapat diterima bila dilihat dari segi sejarah dan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sumber-sumber tepercaya, pandangan ini justru bertentangan dengan Al-Qur'an sendiri. Mukjizat terbelahnya bulan disebutkan dalam Al-Qur'an Suci itu sendiri. Misal saja seseorang memandang remeh arti ayat yang menyebutkan mukjizat ini, sekalipun tak dapat dijelaskan, lantas bagaimana menjelaskan kisah mi'râj Nabi Muhammad saw yang disebutkan dalam Surah al-Isrâ'? Dengan tegas Al-Qur'an Suci mengatakan:

Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. (QS. al-Isrâ': 1)

Apakah peristiwa ini bukan peristiwa supranatural dan bukan mukjizat? Dalam Surah at-Tahrîm disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw mengemukakan sebuah rahasia kepada salah seorang istrinya. Istrinya ini kemudian membuka rahasia itu kepada istri Nabi saw yang lain. Nabi saw bertanya kepada istri pertamanya, kenapa membuka rahasia kepada istri keduanya, dan kenapa menceritakan sebagian pembicaraan yang terjadi antara keduanya. Istri pertama ini terkejut, lalu bertanya kepada Nabi saw bagaimana Nabi saw bisa tahu semua itu. Nabi Muhammad saw menjawab bahwa Allah memberitahukan kepadanya tentang kejadian itu. Ketika Nabi saw menceritakan sebuah rahasia kepada salah seorang istrinya, dan ketika istrinya itu kemudian membeberkan rahasia itu, dan Allah memberitahukan kepada Nabi saw tentang kejadian itu, dan Nabi saw memberitahukan kepada istrinya itu sebagiannya saja. Dan ketika Nabi saw menceritakannya kepada istrinya. Si istri berkata, "Kata siapa?" Nabi saw berkata, "Yang Mahatahu yang telah memberitahuku." Bukankah ini berarti Nabi saw menceritakan hal yang gaib? Bukankah ini mukjizat? Apa yang disebutkan dalam surah al-Isrâ': 90-93, dan beberapa ayat lainnya sama sekali tidak menunjukkan apa yang disimpulkan dari ayat itu. Kaum musyrik tidak minta bukti kenabian dan ayat dengan tujuan mendapatkan kepuasan. Sesungguhnya mereka minta sesuatu yang lain. Ayat-ayat ini dan juga surah al-‘Ankabût: 50, banyak menjelaskan mentalitas khas kaum musyrik yang rupanya meminta mukjizat. Ayat-ayat ini juga menjelaskan filosofi Al-Qur'an Suci tentang mukjizat para nabi.

Dalam surah al-Isrâ’, kaum musyrik mengawali pembicaraannya dengan mengatakan, "Kami sekali-kali tak akan mempercayaimu sampai kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami." Ini cuma sebuah transaksi. Kemudian mereka mengatakan, "Atau kamu mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, ataukamu mempunyai sebuah rumah yang penuh emas, sehingga kami bisa berbagi denganmu." Ini lagi-lagi merupakan transaksi, karena mereka menginginkan semua ini untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka mengatakan, "Atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana menurutmu akan jatuh pada Hari Kiamat." Ini adalah meminta hukuman dan akhir segalanya, sekalipun rupanya mereka meminta mukjizat. "Atau kamu naik he langit, atau kamu bawa Allah dan para malaikat ke hadapan kami." (QS al-Isrâ’: 90-93) Ini lagi-lagi adalah transaksi, kendatipun kali ini mereka tak meminta kekayaan, melainkan minta sesuatu yang dapat mereka banggakan. Namun mereka mengabaikan fakta bahwa mustahil mengabulkan per-mintaan mereka.

Kata-kata yang digunakan kaum musyrik itu sesungguhnya luar biasa. Mereka tidak mengatakan, "Lan nu'mina bika", yaitu kami tak akan mempercayaimu. Yang mereka katakan adalah, "Lan nu'mina laka", yang artinya adalah kami tak akan bergabung denganmu yang akan menguntungkanmu. Perbedaan makna ini sudah disebutkan oleh ahli-ahli ushul fiqih ketika menjelaskan ungkapan-ungkapan yang sama dalam surah at-Taubah: 61.

Dari bagaimana kaum musyrik itu mengajukan permintaan terlihat jelas niat mereka. Mereka minta Nabi saw untuk memancarkan mata air dari bumi untuk mereka sebagai imbalan untuk dukungan dan kepercayaan mereka kepada Nabi saw. Jelaslah ini adalah meminta upah dan bukan meminta bukti dan mukjizat. Nabi saw datang untuk membuat orang jadi beriman, bukan untuk membeli pandangan dan iman mereka.

Penulis yang kami kutip di atas itu sendiri mengatakan, "Kaum musyrik itu meminta Nabi saw untuk meramalkan harga yang dapat dicapai oleh barang mereka, sehingga mereka dapat memperoleh untung." Jelaslah permintaan akan mukjizat ini bukan untuk mengetahui kebenaran. Mereka ingin memanfaatkan Nabi saw sebagai sarana untuk mendapatkan uang. Tentu saja jawaban Nabi saw adalah, "Kalau saja aku tahu hal gaib, tentu aku sudah menggunakannya untuk mendapatkan banyak keuntungan di dunia ini." Jelaslah mukjizat tidak dimaksudkan untuk tujuan-tujuan seperti itu. "Aku adalah seorang Nabi. Aku hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita baik kepada orang-orang yang beriman."

Kaum musyrik itu menganggap Nabi saw akan memperlihatkan mukjizat kalau diminta kapan pun dan untuk tujuan apa pun. Itulah sebabnya mereka menginginkan Nabi memancarkan mata air dari bumi, memiliki rumah emas, dan meramalkan harga pasar. Namun, faktanya adalah bahwa mukjizat tak ubahnya seperti wahyu. Terjadinya mukjizat bergantung pada "sana", bukan pada "sini". Wahyu tidak mengikuti kemauan Nabi. Wahyu merupakan proses yang mempengaruhi kehendak Nabi. Begitu pula dengan mukjizat. Mukjizat juga merupakan proses yang berasal dari "sana" dan mempengaruhi kehendak Nabi, kendatipun yang melakukan aksi mukjizat tersebut adalah Nabi. Itulah arti kata "atas kehendak Allah" dalam kaitannya dengan wahyu dan mukjizat:

Sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu terserah kepada Allah. Dan sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang nyata. (QS. al-‘Ankabût: 50)

Ayat ini telah disalahtafsirkan oleh misionaris Kristen. Begitu pula dengan pengungkapan hal gaib secara mukjizat. Sejauh menyangkut personalitas Nabi saw, dia tidak tahu hal gaib. Al-Qur'an Suci mengatakan, "Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa aku malaikat, juga aku tidak tahu hal gaib."

Namun ketika dalam pengaruh supranatural, Nabi saw menuturkan hal gaib, dan ketika ditanya dari mana dia tahu, dia menjawab bahwa Allah Yang Mahatahu telah memberitahunya.

Ketika Nabi saw mengatakan tidak tahu hal gaib, dan kalau dia tahu tentu dia akan mendapat banyak uang dengan memanfaatkan pengetahuannya tentang yang gaib, dia ingin menyangkal dugaan keliru kaum musyrik. Dia menjelaskan bahwa pengetahuan tentang yang gaib merupakan bagian dari mukjizat, dan dia menerima pengetahuan seperti itu hanya melalui wahyu Allah. Seandainya pengetahuannya tentang yang gaib itu otomatis dan seandainya dapat memanfaatkannya untuk tujuan yang dikehendakinya, tentu dia sudah memanfaatkannya untuk keuntungannya sendiri, dan tak akan menyebutkan harga pasar ke depan kepada orang lain yang akan menguntungkan mereka saja.

Dalam ayat lain disebutkan pula, yang artinya:

(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak mempertihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuati kepada Rasul yang dipilih-Nya. (QS. al-Jin: 26-27)

Nabi Muhammad saw tentu saja adalah Rasul pilihan-Nya. Kemudian, Al-Qur'an Suci menceritakan banyak mukjizat nabi-nabi sebelumnya seperti Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as dan Nabi Isa as. Lantas mana mungkin Nabi saw, ketika diminta memperlihatkan mukjizat seperti mukjizat nabi-nabi sebelumnya, mengatakan bahwa dirinya hanyalah seorang manusia yang diutus sebagai Rasul? Apakah kaum musyrik itu tidak berhak menjawab, "Anda sendiri dengan fasih menguraikan mukjizat nabi-nabi sebelumnya. Apakah mereka itu bukan manusia atau apakah mereka itu bukan Nabi?" Mungkinkah kontradiksi yang mencolok seperti itu ada dalam Al-Qur'an Suci? Apakah dapat dibayangkan bahwa kaum musyrik itu tidak melihat kontradiksi yang mencolok seperti itu?

Seandainya pikiran orang-orang yang "berpandangan terbuka" ini benar, tentu yang dikatakan Nabi saw bukan "Mahasuci Allah, aku hanyalah seorang manusia yang menjadi Rasul", tetapi "Mahasuci Allah, karena aku Nabi terakhir, maka aku tak termasuk dalam norma yang berlaku pada nabi-nabi lain. Karena itu jangan suruh aku melakukan apa yang nabi-nabi lain diminta untuk melakukannya." Namun Nabi saw tidak mengatakan begitu. Nabi saw justru mengatakan, "Aku adalah seorang Rasul seperti rasul-rasul lainnya."

Ini menunjukkan bahwa yang diminta kaum musyrik dari Nabi Muhammad saw bukanlah mukjizat dengan tujuan untuk menemukan kebenaran. Mereka meminta sesuatu yang lain, dan permintaan mereka itu sedemikian rupa sehingga Nabi saw tak mengabulkannya. Itulah sebabnya Nabi saw tak mau mengabulkan permintaan arogan dan egois mereka. Sebenamya mereka meminta sesuatu yang mustahil.

Memang orang biasa suka merekayasa cerita-cerita mukjizat, kemudian mengaitkan cerita-cerita itu bukan saja dengan para nabi dan imam, namun bahkan juga dengan kuburan, batu atau pohon. Namun itu bukan alasan kita untuk menolak kalau Nabi saw memiliki mukjizat selain Al-Qur'an Suci.

Kemudian, ada bedanya antara mukjizat nabi dan mukjizat wall. Mukjizat nabi merupakan mukjizat dari Allah dan bukti adanya misi dari Allah. Mukjizat nabi selalu ada kaitannya dengan tantangan. Mukjizat nabi ada kondisi khusus tertentunya, dan terjadi untuk tujuan khusus. Adapun mukjizat wali, itu merupakan kejadian supranatural yang murni hasil dari kekuatan spiritual dan kesucian pribadi seorang yang sempurna atau semi sempurna, dan kejadiannya bukan untuk membuktikan kebenaran adanya misi dari Allah. Mukjizat wali hampir merupakan urusan yang tak ada kondisi khususnya. Mukjizat nabi merupakan suara Allah yang mendukung orang tertentu. Sedangkan mukjizat wali bukan begitu.

Nilai dan Efek Mukjizat

Apa nilai mukjizat? Ahli logika dan ahli filsafat membagi materi yang digunakan untuk memperdebatkan urusan menjadi beberapa jenis. Sebagian argumen ada nilai tahkiknya. Argumen-argumen tersebut sangat kuat, seperti yang terjadi pada data yang digunakan ahli matematika. Sebagian argumen lainnya hanya memiliki nilai persuasif, seperti yang terjadi pada argumen-argumen yang diajukan ahli retorika. Namun sepanjang tidak dianalisis, argumen-argumen seperti itu ternyata sangat mengesankan. Sebagian argumen lainnya semata-mata emosional atau ada nilainya yang lain.
Nilai Mukjizat Menurut Al-Qur'an

Al-Qur'an Suci menggambarkan mukjizat para nabi sebagai tanda dan bukti yang kuat, dan memandangnya sebagai bukti yang meyakinkan dan logis tentang eksistensi Allah. Al-Qur'an Suci juga menganggap alam semesta sebagai bukti eksistensi-Nya yang tak terbantahkan. Al-Qur'an Suci membicarakan dengan saksama masalah mukjizat. Al-Qur'an memandang permintaan orang akan mukjizat dan ketaksudian mereka menerima nabi kecuali kalau mereka sudah menyaksikan mukjizatnya, dapat dibenarkan dan masuk akal, asalkan permintaan tersebut bukan untuk maksud-maksud tersembunyi atau sekadar iseng. Dengan fasih Al-Qur'an Suci membawakan banyak kisah tentang jawaban praktis para nabi terhadap permintaan-permintaan seperti itu. Al-Qur'an Suci tak pernah menunjukkan bahwa mukjizat hanyalah argumen persuasif yang cocok untuk orang bodoh dan untuk periode ketika manusia masih belum matang. Al-Qur'an Suci justru menyebut mukjizat sebagai bukti yang nyata.

Karakter Petunjuk Nabi saw

Mukjizat "Nabi terakhir" yang berupa Al-Qur'an, sebuah Maha-karya sastra dan sebuah khazanah budaya dan ilmu pengetahuan, merupakan mukjizat yang abadi. Banyak di antara segi-segi mukjizat Al-Qur'an berangsur-angsur mulai terungkap. Sebagian segi luar biasa dari Al-Qur'an yang kini telah diketahui oleh manusia di zaman kita, di masa lalu tidak diketahui dan tak dapat diketahui. Nilai mukjizat-Al-Qur'an lebih dimengerti oleh pemikir ketimbang orang biasa. Memang mukjizat ini, berkat nilai-nilai khususnya, cocok untuk periode akhir kenabian. Namun apakah juga benar bahwa mukjizat ini memiliki karakter sebuah kitab lantaran antara lain dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian manusia dari masalah gaib ke masalah nyata, dari masalah yang tidak rasional ke masalah yang rasional dan logis, dan dari masalah supranatural ke masalah natural? Apakah Nabi Muhammad saw berupaya mengalihkan rasa ingin tahu orang dari masalah-masalah yang luar biasa dan supranatural ke masalah-masalah yang rasional, logis, intelektual, ilmiah, sosial dan moral, dan berupaya mengalihkan rasa ingin tahu mereka dari masalah yang luar biasa ke realitas? Kelihatan itu tidak benar. Andaikata benar, berarti para nabi lainnya mengajak orang untuk memperhatikan masalah-masalah gaib, dan hanya Nabi Muhammad saw sajalah yang mengajak orang untuk memperhatikan masalah-masalah nyata. Kalau memang begini, kenapa sampai ratusan ayat Al-Qur'an Suci memaparkan tentang mukjizat?

Memang benar, salah satu karakter pokok Al-Qur'an Suci adalah mengajak orang untuk mengkaji alam dan memaparkan fenomena alam sebagai ayat-ayat Allah. Namun ajakan untuk mengkaji alam tidak berarti mengalihkan perhatian orang dari segala sesuatu yang tak ada hubungannya dengan alam. Ajakan untuk mengkaji fenomena alam sebagai ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan—pen.) Allah SWT justru berarti melangkah dari alam menuju yang di luar alam, dan dari yang kasat mata ke yang dapat dimengerti akal.

Arti penting karya Nabi Muhammad saw terletak pada fakta bahwa di samping mengajak orang untuk mengkaji alam, sejarah dan masyarakat, Nabi Muhammad saw juga meyakinkan orang-orang yang hanya mau menerima yang supranatural untuk mau menerima akal, logika dan ilmu pengetahuan juga. Nabi saw juga berupaya membuat orang-orang yang keranjingan akal dan logika, dan maunya hanya menerima yang natural dan yang lahiriah saja untuk mengenal logika yang lebih tinggi juga.

Perbedaan pokok antara dunia yang dikemukakan oleh agama sebagai keseluruhan, dan khususnya Islam, dan dunia yang digambarkan filsafat dan ilmu pengetahuan murni, adalah bahwa, seperti dikatakan William James, dalam konstruksi dunia agama, unsur-unsur lain tertentu hilang di samping unsur-unsur material dan hukum-hukum yang lazim dikenal manusia.

Al-Qur'an Suci tak mau mengalihkan perhatian orang dari hal-hal alamiah dan lahiriah ke hal-hal supranatural dan non-lahiriah. Nilai penting Al-Qur'an Suci terletak pada fakta bahwa di samping memperhatikan hal-hal yang alamiah atau, dalam kata-kata Al-Qur'an Suci, nyata, Al-Qur'an juga menempatkan iman kepada yang gaib di garis terdepan ajarannya. Al-Qur'an memfirmankan:

Kitab (Al-Qur'an) ini tak ada keraguan padanya. Petunjuk bagi mereka yang takwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib. (QS. al-Baqarah: 2-3)

Mana mungkin Al-Qur'an Suci mengalihkan perhatian orang dari yang supranatural padahal Al-Qur'an itu sendiri adalah mukjizat (yang juga supranatural—pen.), dan sedemikian banyak mukjizat lainnya dipaparkan dalam lebih dari seratus ayatnya.

Kami tak dapat memahami apa maksud perkataan bahwa Al-Qur'an adalah satu-satunya mukjizat yang bukan saja diimani oleh orang-orang yang mempercayai hal-hal yang supranatural.

Percaya yang bagaimana? Apakah maksud si penulis adalah percaya bahwa Al-Qur'an adalah sebuah kitab yang isinya sangat bemilai dan tinggi, atau percaya bahwa Al-Qur'an adalah mukjizat? Percaya bahwa sesuatu itu mukjizat, dalam pengertian bahwa itu adalah mukjizat Allah, berarti mempercayai kesupranaturalannya. Mana mungkin seseorang mempercayai mukjizat dan sekaligus tidak mempercayai sesuatu yang supranatural?

Sudah disebutkan bahwa mukjizat Nabi Muhammad saw bukan bagian dari masalah-masalah non-manusiawi, sekalipun mukjizat Nabi saw itu merupakan suatu karya non-manusiawi. Bagi kami, makna pernyataan ini juga tidak jelas, karena dapat ditafsirkan dengan dua cara: pertama, bisa berarti bahwa Al-Qur'an yang merupakan kitab wahyu, yang penyusunnya bukan Nabi Muhammad saw, merupakan suatu karya non-manusiawi. Namun, sekalipun Al-Qur'an merupakan firman Allah, bukan kata-kata manusia, namun Al-Qur'an termasuk dalam kategori masalah-masalah manusiawi dan merupakan suatu karya biasa, seperti karya-karya manusiawi lainnya.

Kelihatannya mustahil kalau ini yang dimaksud si penulis, karena kalau pandangan ini diterima, maka Al-Qur'an tak ada bedanya dengan kitab-kitab wahyu lainnya. Kitab-kitab wahyu lainnya juga berasal dari sumber wahyu yang sama. Namun karena kitab-kitab tersebut tak ada aspek supranaturalnya, maka tidak termasuk dalam kategori karya supra-manusiawi.

Ada kategori sabda Nabi Muhammad saw yang dikenal dengan sebutan hadis Qudsi. Sabda-sabda ini merupakan wahyu Allah meski tidak mukjizat dan juga tidak supra-manusiawi. Al-Qur'an Suci beda dengan kitab-kitab wahyu lainnya dan beda dengan hadis Qudsi karena Al-Qur'an supra-manusiawi. Al-Qur'an adalah wahyu, supra-manusiawi dan supranatural. Itulah sebabnya Al-Qur'an menyebutkan:

Katqkanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain." (QS. al-Isrâ’: 88)

Interpretasi lain mengenai wahyu tersebut di atas bisa berupa, bahwa tak seperti mukjizat nabi-nabi lainnya seperti mengubah tongkat menjadi ular besar dan menghidupkan mayat—dan kedua perbuatan ini bukan tergolong perbuatan manusia—mukjizat Nabi Muhammad saw, yang berupa kepiawaian berbicara, tergolong perbuatan manusia, meski tetap supra-manusia, karena sumbernya adalah sumber supranatural. Kalau interpretasi ini yang dimaksud, maka paparan ini sendiri merupakan pengakuan bahwa ada yang supranatural dan yang luar biasa, dan bahwa ada hal-hal yang gaib. Kemudian mengapa kita menganggap mukjizat seakan-akan sesuatu yang bersifat mitos dan irasional. Keriapa dari awal kita tidak membedakan saja antara mukjizat di satu pihak dan mitos serta takhayul di lain pihak, sehingga orang-orang yang kurang tahu, kesannya tentang mukjizat jangan sampai seperti yang tidak kita kehendaki. Kenapa bukannya mengatakan dengan jelas dan apa adariya bahwa kitabnya Nabi Muhammad saw (Al-Qur'an—pen.) adalah sebuah mukjizat, tetapi malah secara tak langsung mengatakan bahwa mukjizat Nabi Muhammad saw adalah Al-Qur'an?

Dalam salah satu karya terakhir penulis ini juga dimuat sebuah artikel dengan judul "Al-Qur'an dan Komputer". Artikel ini dapat dianggap sebagai koreksi atas pandangannya sebelumnya mengenai kemukjizatan Al-Qur'an Suci dan sebagai tanda perkembangan gradual pemikirannya.

Dalam artikel ini dia mengusulkan supaya huruf-huruf Al-Qur'an diganti saja dengan karakter-karakter komputer, dan supaya digunakan manifestasi luar biasa dari budaya manusia ini (komputer—pen.) untuk menggali ilmu pengetahuan yang terkandung dalam Al-Qur'an. Ini merupakan usulan yang bagus dan tepat waktu. Penulis menyinggung upaya-upaya yang telah dan tengah dilakukan oleh beberapa sarjana Mesir dan Iran di bidang ini. Penulis juga berwacana dengan menarik dalam Bab "Bagaimana Membuktikan Bahwa Al-Qur'an Tak Dapat Ditiru." Dalam artikel ini penulis merujuk sebuah buku berharga yang berjudul "Proses Perkembangan Al-Qur'an", yang belakangan ini telah terbit. Dalam buku itu, sang penulis membuktikan bahwa ukuran dan panjang ayat dan kata-kata yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw dalam dua puluh tiga tahun membentuk suatu garis lengkung yang akurat dan teratur. Mengomentari temuan yang digali dari Al-Qur'an, penulis mengatakan, "Adakah di dunia ini orang yang kalimat-kalimatnya dapat diketahui kapan diucapkan dengan melihat panjang kalimatnya, khususnya bila kalimat-kalimat ini tidak berupa teks buku sastra atau ilmiah, yang dibuat oleh seorang penulis dengan cara yang konsisten? Namun, itu merupakan kalimat-kalimat yang dari waktu ke waktu keluar dari mulut seseorang dalam periode panjang dua puluh tiga tahun kehidupannya yang sibuk. Kalimat-kalimat itu tidak membentuk sebuah buku yang ditulis dengan pokok masalah khusus, juga bahkan tidak ada kaitannya dengan bidang yang sudah dikonsepsikan sebelumnya. Kalimat-kalimat itu meliput beragam persoalan yang mencuat dalam masyarakat dari waktu ke waktu. Sebagiannya menjawab pertanyaan-pettanyaan tertentu yang diajukan, dan sebagiannya lagi membahas problem-problem yang muncul selama suatu perjuangan panjang. Kalimat-kalimat itu diwahyukan kepada seorang pemimpin besar, lalu di kemudian hari dihimpun serta disusun."




BAB 19 - Al-Qur'an
Al-Qur'an Suci adalah Kitab samawi dan mukjizat abadi Nabi saw. Kitab Allah ini diwahyukan kepada Nabi saw dalam waktu dua puluh tiga tahun. Selain sebagai Kitab wahyu dan manifestasi kekuatan mukjizat Nabi saw, Al-Qur'an Suci juga berperan lebih besar dan lebih penting ketimbang peran tongkat Nabi Musa as dan napas Nabi Isa as. Nabi saw suka membaca ayat-ayat Al-Qur'an untuk orang-orang. Kekuatan magnetis ayat Al-Qur'an, dalam banyak kesempatan, mendorong banyak orang masuk Islam. Dalam sejarah Islam, peristiwa-peristiwa seperti ini tak terhitung jumlahnya.

Dalam Al-Qur'an Suci ada 114 surah, dan ada sekitar 78.000 kata. Fakta bahwa sejak awal kedatangan Islam sampai sekarang ini perhatian kaum Muslim kepada Al-Qur'an Suci sungguh luar biasa menunjukkan dedikasi mereka kepada Al-Qur'an. Semasa hayat Nabi saw, Al-Qur'an dicatat dalam bentuk tulisan oleh sejumlah orang yang khusus diangkat oleh Nabi saw dan dikenal dengan sebutan "ahli tulis wahyu". Selain itu, banyak orang Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, baik tua maupun muda, tertarik untuk menghafal seluruh atau sebagian isi Al-Qur'an. Dalam salat, kaum Muslim membaca ayat Al-Qur'an. Kaum Muslim menganggap membaca ayat Al-Qur'an di luar saat salat sebagai amal saleh. Kaum Muslim sungguh merasakan suatu kenikmatan bila membaca Al-Qur'an.

Perhatian Besar Kaum Muslim Kepada Al-Qur'an

Karena dampak cinta berapi-api kaum Muslim kepada Al-Qur'an, maka di setiap masa kaum Muslim menyumbangkan pikiran dan potensialitas praktis mereka untuk Al-Qur'an. Mereka menghafal Al-Qur'an. Mereka belajar membacanya dengan benar. Mereka menulis tafsirnya, dan menyusun buku-buku khusus untuk menjelaskan makna setiap katanya. Mereka menghitung jumlah ayatnya, jumlah katanya, dan bahkan jumlah hurufnya. Mereka menelaah maknanya. Dan hasil dari telaah ini mereka gunakan untuk menjawab masalah hukum, moral, sosial, filsafat, makrifat dan ilmu pengetahuan. Mereka menghiasi bicara dan tulisan mereka dengan kutipan ayat Al-Qur'an. Prasasti yang tinggi nilainya, ubin Mosaik dan Qasyani yang bertulisan dan bergaris indah cerah, berisi ayat-ayat Al-Qur'an. Kaum Muslim mengajarkan Al-Qur'an kepada anak-anak mereka sebagai pendidikan pertania anak-anak. Mereka menyusun kamus tata bahasa Arab dan kamus bahasa Arab untuk mempermudah memahami Al-Qur'an. Dari Al-Qur'an, kaum Muslim mendapat dorongan semangat untuk mengembangkan seni retorika.

Dedikasi kaum Muslim kepada Al-Qur'an melahirkan sejumlah ilmu pengetahuan dan seni sastra. Ilmu pengetahuan dan seni sastra tersebut tak mungkin ada kalau tak ada dedikasi seperti itu.

Al-Qur'an Suci Tak Terpada (Tak Ada yang Menyerupai)

Al-Qur'an Suci merupakan mukjizat abadi Nabi Muhammad saw, Nabi terakhir. Sejak pertania turun di Mekah, yang diawali dengan surah-surah pendek, Rasulullah saw resmi melontarkan tantangan kepada kaum penyembah berhala. Nabi saw menegaskan bahwa Al-Qur'an bukan buatannya. Al-Qur'an adalah dari Allah SWT. Nabi dan juga manusia lainnya tak mungkin dapat membuat sesuatu seperti Al-Qur'an sekalipun dibantu oleh siapa pun. Nabi saw berkata kalau mereka (kaum penyembah berhala—pen.) tidak mempercayai dirinya, supaya mereka berupaya membuat sesuatu seperti Al-Qur'an, dan untuk tujuan ini mereka dapat minta bantuan siapa saja. Namun, pertama-tama harus mereka ketahui bahwa mereka tak akan pernah berhasil meskipun seluruh manusia dan jin bahu membahu bersama mereka. Kaum penentang Nabi saw, selama hayat Nabi saw atau pada periode setelah itu, yaitu 1400 tahun yang lalu, tak dapat memenuhi tantangan ini. Yang dapat dilakukan kaum penentang Islam pada zaman Nabi saw hanyalah mengatakan bahwa Al-Qur'an Suci adalah sejenis sihir.

Tuduhan ini sendiri merupakan pengakuan bahwa Al-Qur'an adalah supranatural dan bahwa mereka tak mampu membuat sesuatu seperti Al-Qur'an. Raum penentang Nabi saw begitu putus asa sehingga mereka mau melakukan apa saja untuk memperlemah kedudukan Nabi saw. Namun yang tak dapat mereka lakukan adalah apa yang dikemukakan Nabi saw sendiri dan apa yang dengan jelas diminta Al-Qur'an. Al-Qur'an meminta mereka untuk membuat paling tidak satu surah meskipun panjangnya satu bans seperti Surah at-Tauhîd (al-Ikhlâsh) atau Surah al-Kautsar.

Beberapa Aspek dari Tak Terpadanya Al-Qur'an

Mari kita lihat beberapa aspek kemukjizatan atau kesupranaturalan Al-Qur'an. Pada umumnya, tak dapat ditirunya Al-Qur'an mengandung dua aspek: aspek yang berhubungan dengan kata-kata Al-Qur'an, dan aspek yang berhubungan dengan isi Al-Qur'an.

Kata-kata Al-Qur'an tak dapat ditiru karena gaya bicara (artikulasi)-nya indah dan artistik. Isi Al-Qur'an tak dapat ditiru karena nilai intelektual dan ilmiahnya tinggi. Kedua aspek ini, khususnya aspek kedua, sekali lagi pada gilirannya mengandung beberapa aspek. Belakangan ini sebagian sarjana Mesir dan Iran mengklaim bahwa salah satu aspek dari tak dapat ditirunya Al-Qur'an adalah huruf dan kata-katanya disusun sedemikian rupa sehingga ayat-ayatnya membentuk kurva menaik yang khusus.

Redaksi Al-Qur'an

Al-Qur'an memiliki gayanya sendiri. Gayanya beda dengan gaya puisi dan prosa. Al-Qur'an bukan puisi karena Al-Qur'an tidak bersajak, juga bukan gubahan irama. Lagi pula, dalam puisi harus ada semacam tamsil yang disebut fantasi puisi. Puisi jalin berkelindan dengan pernyataan berlebihan, dan pernyataan berlebihan ini sama saja dengan bertutur dusta. Dalam Al-Qur'an Suci tak ada tamsil puitis, juga tak ada kiasan fantastis. Pada saat yang sama Al-Qur'an juga bukan prosa biasa, karena ada karakter arus dan irama yang harmonis yang tak terdapat dalam karya prosa mana pun. Kaum Muslim selalu membaca Al-Qur'an dengan lagu yang khas.

Islam mengajarkan supaya Al-Qur'an dibaca dengan suara yang melodius. Para Imam suci terkadang membaca Al-Qur'an di rumah mereka dengan suara yang demikian melodius sehingga orang-orang yang lalu-lalang di jalan yang kebetulan mendengarnya berhenti untuk mendengarkan bacaan para imam. Tak ada karya prosa yang bisa semelodius Al-Qur'an Suci. Dampak suara Al-Qur'an selaras dengan nilai spiritualnya, dan beda dengan dampak suara musik. Sejak ditemukannya radio, belum pernah ada pidato spiritual mana pun yang sebanding dengan Al-Qur'an dalam efek melodiusnya yang indah. Selain di negara-negara Muslim, di negara-negara non-Muslim juga ada program radio membaca Al-Qur'an. Program seperti ini diadakan dengan pertimbangan keindahan dan suaranya yang merdu. Sungguh menakjubkan ternyata keindahan Al-Qur'an melampaui batas ruang dan waktu. Banyak pidato atau khotbah yang indah mendapat apresiasi hanya untuk periode waktu tertentu, dan dengan berubahnya cita rasa, pidato atau khotbah itu pun kehilangan nilai dan efeknya. Sebagian pidato atau khotbah ini mendapat apresiasi hanya dan bangsa-bangsa tertentu dengan cita rasa dan latar belakang budaya tertentu. Namun keindahan Al-Qur'an Suci adalah satu-satunya. Keindahannya bukan untuk waktu tertentu, ras atau budaya tertentu saja.

Orang-orang yang tahu atau mengenal gaya bicara Al-Qur'an, mendapati bahwa gaya bicara Al-Qur'an ternyata selaras dengan cita rasa mereka. Semakin zaman berlalu dan berbagai bangsa semakin mengenal Al-Qur'an Suci, mereka semakin terpesona dengan keindahannya yang menawan.

Orang-orang Yahudi, Kristen dan pengikut agama lain yang condong berprasangka selama empat belas abad yang lalu dengan berbagai jalan menentang Al-Qur'an. Tujuan penentangan mereka itu tak lain adalah untuk membuat lemah posisi Al-Qur'an. Mereka menuduh Al-Qur'an telah mengalami perubahan. Mereka berupaya menciptakan keraguan terhadap berbagai masalah yang berkaitan dengan Al-Qur'an. Mereka menggunakan berbagai tipu daya. Namun mereka tak pernah berpikir minta tolong kepada ahli tulis dan ahli sastra mereka untuk menjawab tantangan Al-Qur'an dan untuk membuat setidaknya satu surah pendek seperti surah pendek Al-Qur'an.

Dalam sejarah Islam bermunculan banyak sekali orang yang dikenal dengan sebutan zindiq (orang kafir yang pura-pura beriman—pen.). Sebagian mereka luar biasa cerdas. Dengan berbagai jalan mereka mengkritik agama Islam pada umumnya dan Al-Qur'an pada khususnya. Sebagian mereka ahli bahasa Arab. Mereka mencoba menandingi keunggulan Al-Qur'an. Namun yang dapat mereka lakukan hanyalah membuktikan bahwa mereka ternyata amat jauh berada di bawah ketinggian dan kemuliaan Al-Qur'an. Dalam hubungan ini, sejarah menuturkan kisah Ibn Rawandi, Abul 'Ala' al-Muari dan Abu Thayib al-Mutanabbi. Ketiga orang inilah yang ingin memperlihatkan diri mampu menandingi Al-Qur'an dan mampu membuktikan kalau Al-Qur'an itu karya manusia. Juga bermunculan banyak penipu yang mengaku nabi. Mereka membuat pernyataan yang mereka klaim sebagai wahyu dari Allah seperti Al-Qur'an Suci. Tulaihah, Musailamah dan Sajah adalah dari golongan penipu ini. Lagi-lagi yang dapat mereka buktikan hanyalah bahwa Al-Qur'an itu tinggi, agung lagi mulia sementara mereka sendiri rendah.

Yang mengherankan adalah ternyata kata-kata Nabi saw sendiri—yang melalui lidah sucinya Al-Qur'an mengalir—tak seperti Al-Qur'an. Banyak sekali sabda Nabi saw, seperti khotbahnya, peribahasanya, perintahnya dan doanya, telah sampai kepada kita. Bahasanya tangkas lagi sempurna, meski tidak seperti bahasa Al-Qur'an. Jelaslah bahwa hal ini membuktikan bahwa kata-kata Nabi saw dan Al-Qur'an berasal dari dua sumber yang berbeda.

Imam Ali bin Abi Thalib as mulai mengenal Al-Qur'an ketika baru berusia sepuluh tahun. Dengan kata lain, Imam Ali as berusia sepuluh tahun ketika ayat-ayat pertama Al-Qur'an turun kepada Nabi Muhammad saw. Imam Ali as menerima ayat-ayat Al-Qur'an laksana orang kehausan menerima air yang bersih. Hingga saat-saat terakhir hayat Nabi Muhammad saw, Imam Ali as mengepalai ahli-ahli tulis wahyu. Imam Ali as hafal Al-Qur'an, dan selalu membacanya. Ibadah malam yang paling disukai Imam Ali as adalah membaca Al-Qur'an.

Dengan demikian, kalau saja mungkin menandingi gaya Al-Qur'an, maka Imam Ali as, yang tak terpada kefasihannya, tentu sudah dapat menandingi gaya Al-Qur'an. Karena Imam Ali as mendapat pengaruh dari gaya Al-Qur'an, maka semestinya khotbah-khotbahnya bentuknya seperti ayat-ayat Al-Qur'an. Namun seperti yang kita tahu, ternyata gaya Imam Ali as sangat beda dengan gaya Al-Qur'an.

Ketika Imam Ali as, dalam khotbah-khotbahnya yang fasih, mengutip ayat Al-Qur'an, maka selalu terlihat khas dan bersinar bagaikan bintang yang luar biasa terangnya di antara bintang-gemintang lainnya.

Al-Qur'an tidak menggunakan tema-tema yang lazimnya jadi pilihan manusia untuk memperlihatkan kepiawaian retorika manusia, seperti pengagungan diri, pujian, sindiran, elegi (syair ratapan), kidung cinta, dan paparan tentang keindahan alam.

Al-Qur'an Suci tidak menyentuh tema-tema seperti ini. Subjek Al-Qur'an semuanya spiritual, seperti monoteisme (tauhid), kebangkitan, kenabian, kewajiban etika, hukum, nasihat keagamaan dan kisah moral. Namun gaya bicara Al-Qur'an luar biasa hebat dan indah.

Susunan kata-kata dalam Al-Qur'an tak terpada. Tak ada yang dapat mengubah posisi satu katanya tanpa merusak keindahannya, juga tak ada yang dapat membuat sesuatu seperti ayat Al-Qur'an. Dalam hal ini Al-Qur'an Suci dapat dibandingkan dengan sebuah bangunan indah yang tak dapat diubah, juga tak ada yang dapat membangun bangunan yang lebih baik atau menyamainya. Gaya Al-Qur'an belum pernah ada sebelumnya, dan tidak akan dapat ditandingi untuk selamanya. Meski Al-Qur'an telah melontarkan tantangan, namun tak ada yang mampu menandingi Al-Qur'an.

Tantangan Al-Qur'an masih berlaku, dan akan selamanya berlaku. Sekarang pun kaum Muslim mengajak bangsa-bangsa di seluruh dunia untuk ikut ambil bagian dalam kompetisi yang dipermaklumkan oleh Al-Qur'an. Mereka mengatakan bahwa jika ada yang dapat membuat sesuatu seperti Al-Qur'an, mereka akan bersedia keluar dari Islam. Mereka seratus persen yakin bahwa mustahil ada yang dapat membuat sesuatu seperti Al-Qur'an.

Isi Al-Qur'an

Bahwa Al-Qur'an tak dapat ditandingi atau tak dapat ditiru— dari sudut pandang isinya—merupakan pokok masalah yang perlu dibahas secara mendalam dan saksama sehingga dibutuhkan buku tersendiri. Namun kiranya pengantarnya dapat dibahas dengan singkat di sini. Pertama-tama perlu diketahui jenis kitab seperti apa Al-Qur'an itu. Apakah sebuah kitab filosofis? Kitab ilmu pengetahuan? Kitab sastra? Atau kitab seni?

Jawabannya adalah bukan kitab-kitab seperti itu. Para nabi bukanlah filosof, bukan ilmuwan, bukan sastrawan, bukan sejarawan, bukan seniman, bukan seniman teknik. Meski demikian, para nabi memiliki semua keunggulan yang dimiliki orang-orang yang disebutkan di atas, bahkan dengan nilai lebih. Al-Qur'an merupakan kitab wahyu. Bukan kitab filsafat, bukan kitab ilmu pengetahuan, bukan kitab sejarah, bukan kitab sastra, dan bukan kitab seni. Namun Al-Qur'an memiliki keunggulan yang dimiliki oleh kitab-kitab seperti itu, bahkan dengan nilai lebih.

Al-Qur'an merupakan Kitab yang diperuntukkan untuk membimbing manusia. Al-Qur'an dapat pula disebut kitab manusia— manusia yang telah diciptakan oleh Allah SWT, dan para nabi diutus untuk membimbing dan menyelamatkan manusia dan untuk mengajarkan kepada manusia cara mengenal diri. Karena Al-Qur'an merupakan kitab manusia, maka Al-Qur'an juga merupakan Kitab Allah SWT, karena manusia adalah makhluk yang penciptaannya dimulai sebelum penciptaan alam semesta ini dan akan berakhir setelah berakhirnya alam semesta ini. Dari sudut pandang Al-Qur'an, manusia merupakan tiupan roh Ilahi. Manusia pasti akan kembali kepada Allah. Karena itu, mengenal Allah dan mengenal manusia saling berkaitan. Manusia tak mungkin mengenal Tuhannya dengan benar kalau dia tak mengenal dirinya sendiri. Manusia juga tak mungkin mengenal realitasnya kalau dia tak mengenal Allah SWT.

Manusia mazhab para nabi, yang perincian lengkapnya terdapat dalam Al-Qur'an, beda sekali dengan manusia yang pengetahuan tentangnya dapat diperoleh melalui ilmu pengetahuan. Manusia mazhab para nabi jauh lebih lengkap. Manusia yang digambarkan oleh ilmu pengetahuan, eksistensinya hanya antara dua poin: lahir dan mati. Kegelapan menyelimuti apa yang terjadi sebelum dan sesudah dua poin ini. Ilmu pengetahuan tak tahu ini. Namun manusia yang digambarkan Al-Qur'an tidaklah sebatas itu. Manusia datang dari alam lain, dan masa depannya ada di alam itu. Di dunia fana ini manusia harus menyempurnakan dirinya. Masa depannya di akhirat ditentukan oleh karakter aktivitasnya di dunia fana ini, dan ditentukan oleh apakah upayanya itu benar atau salah. Kemudian, orang biasa tak tahu manusia, sekalipun posisi manusia antara poin lahir dan poin matinya. Sedangkan para nabi tahu.

Manusia yang digambarkan Al-Qur'an tentu tahu:

(1) Dari mana asalnya.

(2) Hendak kemana.

(3) Di mana dia sekarang ini.

(4) Bagaimana semestinya dia itu.

(5) Apa yang mesti dilakukan.

Kesejahteraan dan keselamatannya di dunia fana ini dan di akhirat ditentukan oleh jawaban praktisnya terhadap kelima masalah ini dengan benar. Untuk mengetahui asal-usulnya, manusia harus mengenal Penciptanya dan harus mengenal dunia dan manusia yang merupakan ayat-ayat-Nya. Untuk mengetahui hendak kemana manusia, manusia harus merenungkan dan mempercayai pernyataan Al-Qur'an tentang kebangkitan, siksa hari kiamat, pahala dan siksa yang dalam kasus-kasus tertentu kiranya abadi. Manusia harus percaya bahwa karena Allah adalah titik mula dari segala yang ada, maka Dia juga titik kembalinya segala yang ada itu.

Untuk mengetahui posisinya sekarang ini, manusia harus mengkaji sistem dunia dan hukum yang berlaku di dunia. Dia harus mengetahui posisi manusia di antara segala sesuatu lainnya, dan harus menemukan kembali dirinya. Untuk mengetahui harus bagaimana, manusia harus mengetahui arah manusia yang sebenamya, dan harus membangun perilakunya sesuai dengan arah itu.

Untuk mengetahui apa yang mesti dilakukan, manusia harus mengikuti aturan orang seorang dan sosial. Selain semua ini, manusianya Al-Qur'an harus mempercayai eksistensi hal-hal tertentu yang tak kasat indera yang dalam istilah Al-Qur'an sendiri disebut "gaib". Manusianya Al-Qur'an juga harus percaya adanya saluran bagi bekerjanya kehendak Allah SWT di alam semesta ini. Manusia seperti ini juga harus tahu bahwa Allah SWT tak pernah membiarkan manusia tanpa mendapat petunjuk Tuhan. Allah SWT mengutus hamba-hamba pilihan menjadi nabi untuk menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia.

Manusianya Al-Qur'an memandang alam sebagai ayat Allah, dan memandang sejarah sebagai "medan uji" nyata yang membuktikan kebenaran ajaran para nabi. Jadi, begitulah manusianya Al-Qur'an, dan ini semua merupakan sebagian kewajiban yang digariskan Islam untuk manusia seperti itu.

Al-Qur'an membicarakan begitu banyak pokok masalah sehingga mustahil menyebutkan satu per satu semua topik yang dibicarakannya. Namun bila dilihat sepintas, masalah-masalahnya antara lain adalah:

1. Allah, Zat-Nya, keesaan-Nya, sifat-sifat positif-Nya, yaitu kualitas-kualitas yang mesti kita yakini dimiliki Allah.

2. Akhirat, kebangkitan, dan tahap-tahap antara mati dan bangkit.

3. Malaikat, yaitu kekuatan yang sadar diri dan sadar akan Penciptanya, dan merupakan pelaksana kehendak Tuhan.

4. Nabi atau orang yang menerima wahyu dari Allah SWT dan menyampaikannya kepada umat manusia.

5. Desakan, nasihat, peringatan untuk beriman kepada Allah, akhirat, malaikat, nabi, dan Kitab Suci.

6. Penciptaan langit, bumi, gunung, sungai, tumbuhan, binatang, awan, hujan, meteor dan sebagainya.

7. Ajakan untuk menyembah Allah dengan sepenuh hati dan untuk tidak menyekutukan Allah dengan apa pun. Larangan menyembah selain Allah entah itu manusia, malaikat, matahari, bintang atau berhala.

8. Mengingat rahmat dan karunia Allah di dunia ini.

9. Karunia abadi Allah untuk orang takwa di akhirat, dan siksa pedih dan terkadang abadi dari Allah untuk pendosa.

10.Argumen yang berkenaan dengan Allah, kebangkitan, nabi dan sebagainya, serta beberapa nujuman dalam kaitan ini.

11.Kisah dan peristiwa sejarah yang membuktikan kebenaran misi nabi dan yang memperlihatkan bahwa kebahagiaan merupakan akhir dari orang takwa yang mengikuti nabi, dan siksa atau kepedihan bagi orang yang menolak nabi.

12.Ketakwaan, kebajikan dan penyucian diri. Peringatan tentang bahaya bisikan setan, berkhayal diri, dan pikiran yang sesat.

13.Kebajikan moral orang, seperti benar, tabah, sabar, adil, dermawan, kasih sayang, ingat Allah, cinta kepada Allah, bersyukur kepada Allah, takut kepada Allah, percaya kepada Allah, pasrah kepada kehendak Allah, menerima perintah Allah, arif, berpengetahuan, jujur, dan cerah hati berkat takwa, jujur dan cermat.

14.Kebajikan moral kolektif, seperti bersatu, mendorong orang lain untuk menerima kebenaran, meminta orang lain untuk tabah, sabar, bekerja sama dalam masalah kebajikan dan ketakwaan, tidak membenci dan tidak dengki, memberikan nasihat tentang kebaikan, mencegah kekejian, dan bekorban jiwa dan harta di jalan Allah.

15.Hukum berkenaan dengan masalah-masalah seperti salat, puasa, zakat, khumus, haji, jihad, nazar, sumpah, jual-beli, gadai, sewa, hibah, perkawinan, hak suami-istri, hak orang tua-anak, cerai, sumpah kutukan, zhihar (perkataan suami kepada istrinya, "Engkau aku haramkan seperti punggung ibuku"—pen.), waris, menuntut bela, hukuman, utang, bukti, harta, pemerintahan, musyawarah, hak si miskin, hak masyarakat, dan sebagainya.

16.Kejadian dan peristiwa selama dua puluh tiga tahun kenabian Nabi Muhammad saw.

17.Keterangan tentang ciri menonjol dan amal Nabi Muhammad saw.

18.Keterangan lengkap mengenai tiga kelompok: orang beriman, orang kafir, dan orang munafik di setiap zaman.

19.Watak orang beriman, orang kafir, dan orang munafik di zaman Nabi Muhammad saw.

20.Hal-hal gaib selain malaikat, jin, dan iblis.

21.Karakteristik Al-Qur'an sendiri.

22.Penyucian Asma Allah SWT oleh segala yang ada di dunia dan kesadaran batin mereka akan eksistensi Pencipta mereka.

23.Dunia, hukumnya, kefanaannya, dan tidak pantasnya dunia menjadi ideal manusia. Hanya Allah, akhirat dan akhirat sajalah yang tepat untuk menjadi tujuan puncak bagi manusia.

24.Mukjizat nabi.

25.Pembenaran atas Kitab-kitab wahyu sebelum Al-Qur'an, khususnya Taurat dan Injil. Koreksi atas perubahan dan kesalahan yang menimpa Kitab-kitab ini.

Keluasan Makna

Ini merupakan uraian singkat mengenai isi Al-Qur'an. Karena ringkas, maka sama sekali tak dapat diklaim cukup memadai. Kalau mempertimbangkan beberapa pokok masalah berkenaan dengan manusia dan kewajibannya, dunia dan Allah, maka tak ada buku karya manusia yang bicara tentang manusia yang dapat disejajarkan dengan Al-Qur'an, khususnya kalau diingat fakta bahwa Al-Qur'an diturunkan melalui seorang yang buta huruf yang tak mengenai gagasan pemikir mana pun atau intelektual mana pun. Lingkungan sekitar orang tersebut primitif dan penyembah berhala. Masyarakatnya sangat tidak berbudaya.

Untuk pertama kalinya Al-Qur'an menyodorkan banyak pokok masalah yang luas lagi bermakna dengan cara sedemikian sehingga filosof, ahli hukum, moralis dan sejarawan mendapat ilham dari banyak pokok masalah tersebut. Bahkan orang paling jenius pun mustahil melahirkan gagasan seperti gagasan-gagasan ini, gagasan-gagasan yang mampu mempengaruhi kaum intelektual paling cemerlang. Beginilah posisinya, seandainya saja apa yang disampai-kan Al-Qur'an sama tingkatannya dengan karya sarjana. Namun kita tahu pasti bahwa dalam kebanyakan kasus Al-Qur'an telah membuka cakrawala-cakrawala yang benar-benar baru.

Allah SWT dalam Al-Qur'an

Hanya satu topik yang dirujuk di sini. Yaitu topik Allah SWT dan hubungan-Nya dengan dunia dan manusia. Kalau yang dipertimbangkan cuma bagaimana Al-Qur'an membicarakan masalah ini, lam apa yang dikatakan Al-Qur'an dalam hal ini dibandingkan dengan gagasan-gagasan yang dikemukakan manusia, maka sangat jelas sekali bahwa Al-Qur'an adalah mukjizat.

Menurut Al-Qur'an, Allah SWT tak memiliki cacat atau kelemahan, dan tak memiliki semua kualitas yang tak patut bagi-Nya. Al-Qur'an justru menyebutkan bahwa Allah memiliki semua sifat atau kualitas mulia, dan menyebutkan pula Nama-nama paling mulia-Nya. Ada sekitar lima belas ayat yang menyebut Allah tak memiliki cacat atau kelemahan, dan lebih dari lima puluh ayat menyebutkan Sifat-sifat mulia-Nya serta Nama-nama paling indah-Nya.

Al-Qur'an amat akurat dalam menjelaskan tentang Allah SWT, sehingga penjelasan ini mencengangkan kaum teolog. Ini sendiri sudah merupakan sejelas-jelas mukjizat dari seseorang yang buta huruf dan tak pernah duduk di bangku sekolah. Al-Qur'an telah menunjukkan berbagai jalan yang mungkin untuk mengenal Allah. Jalan tersebut antara lain adalah mengkaji alam dan manusia, menyucikan diri, dan saksama serta mendalam memikirkan kehidupan dan eksistensi. Filosof-filosof Islam yang paling terkenal mengakui bahwa Al-Qur'an Sucilah yang mengilhami argumen-argumen mereka yang sangat kuat.

Menurut Al-Qur'an, hubungan Allah SWT dengan alam semesta murni berdasarkan monoteisme (tauhid). Dengan kata lain, dalam bertindak dan berkehendak, Allah SWT tak ada saingan atau mitra. Semua perbuatan, niat dan pilihan kita semua justru ditentukan oleh Allah SWT.

Hubungan Manusia dengan Allah SWT

Dengan begitu indah Al-Qur'an menjelaskan hubungan manusia dengan Allah. Tak seperti tuhannya kaum filosof, Allah menurut Al-Qur'an bukanlah satu wujud yang kering lagi tak berjiwa yang tak ada hubungannya dengan umat manusia. Menurut Al-Qur'an, Allah SWT bahkan lebih dekat dengan manusia ketimbang urat merihnya sendiri. Hubungan Allah SWT dengan manusia adalah hubungan "memberi dan menerima." Allah rida kepada manusia atas dasar prinsip timbal-balik. Allah SWT mendekatkan manusia kepada diri-Nya dan menghiburnya:

Hanya dengan mengingat Allah, hati jadi tenteram. (QS. ar-Ra'd: 28)

Yang membutuhkan Allah SWT bukan saja manusia, namun juga segala eksistensi. Semua yang eksis, dari lubuk hati eksistensinya, berkomunikasi dengan Allah. Mereka memuji Allah serta menyucikan Asma-Nya. Al-Qur'an mengatakan:

Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih kepada Allah dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mervka. (QS. al-Isrâ': 44)

Tuhannya kaum filosof, yang oleh kaum filosof disebut "Sebab Pertama" atau "Wujud Yang Wajib Ada", tak ada hubungannya dengan manusia kecuali bahwa Dia telah menciptakan manusia dan menempatkan manusia di dunia ini. Namun Allahnya Al-Qur'an adalah objek cinta dan Wujud yang paling dibutuhkan. Allah SWT memberi manusia antusiasme dan mendorong manusia untuk bekorban. Demi Dia manusia sering melewatkan malam harinya dengan tidak tidur, dan melewatkan siang harinya dengan senantiasa aktif, karena Dia menjadi ideal sucinya.

Karena mengetahui Al-Qur'an, para filosof Muslim mampu mengembangkan teologi mereka ke tingkat yang paling tinggi, yaitu dengan memasukkan konsepsi-konsepsi Al-Qur'an ke dalam teologi mereka. Mungkinkah seorang yang buta huruf dan tak pernah mengenyam bangku sekolah berbicara masalah-masalah teologi beribu-ribu tahun sebelum filosof-filosof seperti Plato dan Aristoteles?

Al-Qur'an, Taurat dan Injil

Al-Qur'an membenarkan Perjanjian Lama dan Baru Bible. Namun Al-Qur'an mengatakan bahwa Kitab-kitab itu telah mengalami perubahan dan tangan-tangan manusia telah mempermainkan Kitab-kitab itu. Al-Qur'an telah mengoreksi sebagian kesalahan atau perubahan yang terjadi pada Kitab-kitab ini dalam masalah teologi, kisah dan sebagian hukum. Contoh kesalahan ini adalah kisah Pohon Terlarang dan kekeliruan Adam as seperti yang kami sebutkan sebelumnya. Al-Qur'an menolak kisah-kisah totol seperti kisah pergulatan Tuhan, dan menyatakan bahwa para nabi bebas dari segala yang tak patut yang dinisbahkan oleh kitab-kitab sebelumnya kepada para nabi. Ini sendiri sudah merupakan bukti kebenaran Al-Qur'an.

Kisah Historis

Al-Qur'an menceritakan beberapa kisah historis yang tak pernah diketahui oleh manusia pada zaman itu. Bahkan Nabi Muhammad saw sendiri tak tahu kisah-kisah seperti itu. Al-Qur'an mengatakan:

Tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak pula kaummu sebelum ini. (QS. Hûd: 49)

Tak ada satu orang Arab pun yang mengaku tahu kisah-kisah tersebut. Al-Qur'an menceritakan kisah-kisah ini dengan tidak mengikuti Bibel. Kisah-kisah yang dipaparkan Al-Qur'an adalah versi yang sudah dimodifikasi. Para peneliti dari kalangan sejarawan modern, dalam masalah kaum Saba' dan suku Tsamud, membenarkan versi Al-Qur'an.

Al-Qur'an dan Prediksi

Kaum Quraisy sangat bahagia ketika pada tahun 615 M Iran berhasil mengalahkan Romawi. Pada kesempatan ini Al-Qur'an dengan tegas menyatakan bahwa dalam periode kurang dari sepuluh tahun Romawi kembali akan mengalahkan Iran. Mengenai soal ini sebagian kaum musyrik bertaruh untuk kekalahan kaum Muslim. Namun kemudian berbagai peristiwa membuktikan kebenaran Al-Qur'an dan segalanya terjadi seperti yang diramalkan Al-Qur'an. Al-Qur'an juga dengan tegas meramalkan bahwa orang yang menyebut Nabi Muhammad saw "tak berketurunan" itu sendiri adalah "tak berketurunan". Pada zaman itu orang itu memiliki tujuh anak, namun dalam dua atau tiga generasi, keturunannya musnah. Semua ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an adalah mukjizat dan tak terpada. Banyak hal lainnya yang luar biasa yang membuktikan bahwa pada tataran intelektual Al-Qur'an adalah mukjizat. Hal-hal tersebut berhubungan dengan ilmu fisika, kimia, biologi, geologi, botani, filsafat dan sejarah.

10
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

BAB 20 - Ciri Khusus Islam
Islam adalah nama agama Allah SWT. Itulah agama yang didakwahkan oleh semua nabi. Bentuknya yang paling sempurna disampaikan kepada umat manusia oleh Nabi terakhir, Muhammad bin Abdullah saw. Muhammad saw adalah akhir kenabian. Risalah yang disampaikan oleh Muhammad saw sekarang di seluruh dunia dikenal dengan nama Islam.

Ajaran Islam yang disampaikan melalui Nabi terakhir saw, ajaran yang merupakan petunjuk abadi dan bentuk paling sempurna dari agama Allah SWT, memiliki ciri-ciri khusus yang sesuai dengan periode agama terakhir. Seluruh ciri khusus ini tak mungkin ada di zaman sebelumnya, di zaman ketika umat manusia masih belum mencapai tahap kematangan. Masing-masing ciri khusus ini merupakan sarana untuk mengenal Islam, dan juga menunjukkan salah satu doktrin pokok Islam. Ciri-ciri khusus ini dapat membantu kita membuat gambar Islam, sekalipun mungkin sedikit tidak jelas. Juga merupakan kriteria untuk menilai apakah ajaran tertentu merupakan bagian atau bukan bagian dari Islam.

Kami tidak mengatakan dapat memaparkan semua ciri khusus ini. Namun kami akan mencoba menghadirkan gambar utuh ciri-ciri khusus itu. Kita tahu bahwa setiap ideologi—atau sebenarnya setiap mazhab pemikiran—yang menawarkan program untuk menyelamatkan, menyempumakan dan menyejahterakan manusia, juga mengemukakan nilai-nilai tertentu dan meresepkan apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang mesti dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan bagi orang seorang atau masyatakat. Setiap ideologi mengatakan apa yang harus terjadi dan apa yang hams dilakukan, dan menggariskan kebijakan umum dan tujuan-tujuan yang mesti dicapai, misalnya menggariskan bahwa setiap orang harus merdeka dan hidup merdeka. Setiap orang harus berani dan tegar dan harus senantiasa membuat kemajuan agar dapat mencapai kesempurnaan. Masyarakat harus dibangun di atas fondasi keadilan, sehingga dapat melangkah maju ke arah kedekatan dengan Allah SWT.

Apa-apa yang harus dan tidak boleh ini tentu saja harus di-dasarkan pada filosofi yang mampu menjelaskan apa-apa yang harus dan tidak boleh itu. Dengan kata lain, tentu saja ideologi harus didasarkan pada konsepsi tertentu tentang dunia, tentang manusia dan masyarakat, yang menurut konsepsi tersebut dapat dikatakan bahwa ini harus seperti itu, atau itu harus seperti ini, karena dunia atau manusia atau masyarakat adalah seperti ini atau seperti itu.

Konsepsi tentang dunia artinya adalah jumlah seluruh pandangan dan interpretasi tentang dunia, tentang manusia dan tentang masyarakat. Tentang dunia, pandangannya misalnya adalah; dunia adalah seperti ini atau seperti itu, hukum yang mengaturnya begini, jalannya begini, di dunia ini yang dikejar bukanlah tujuan ini atau itu, dunia itu ada asal-usulnya atau tidak ada, ada tujuan atau tak ada tujuannya. Tentang manusia, pandangan yang menjadi konsepsi tentang dunia adalah misalnya; apakah manusia memiliki fitrah, apakah manusia itu bebas atau terpaksa, apakah manusia—menurut kata-kata Al-Qur'an—adalah makhluk pilihan. Tentang manusia, pertanyaannya adalah: Apakah masyarakat ada hukumnya sendiri yang terlepas dari hukum yang mengatur orang seorang? Hukum apa yang mengatur masyarakat dan sejarah? Dan pertanyaan-pertanyaan lain seperti itu.

Karena ideologi selalu didasarkan pada konsepsi tertentu tentang dunia, yang menjelaskan kenapa dunia, masyarakat atau manusia seperti ini atau seperti itu, dan menetapkan apa yang harus dilakukan manusia dan bagaimana seharusnya manusia hidup, maka jawaban untuk setiap "mengapa" mendasari konsepsi tentang dunia yang menjadi dasar dari ideologi. Secara teknis, setiap ideologi merupakan semacam "kearifan praktis,w sedangkan setiap konsepsi tentang dunia merupakan semacam "kearifan teoretis." Tentu saja setiap kearifan praktis didasarkan pada teori tertentu. Misalnya, kearifan praktis Socrates didasarkan pada pandangan tertentu Socrates tentang dunia, dan pandangan ini membentuk kearifan teoretis Socrates. Begitu pula hubungan kearifan praktis Epicurus serta lainnya dengan kearifan teoretis mereka. Dan karena berbagai orang memiliki konsepsi yang berbeda mengenai dunia, maka tentu saja ideologi mereka pun beragam.

Kini timbul pertanyaan: Kenapa banyak sekali konsepsi tentang dunia, banyak sekali kosmologi? Kenapa satu mazhab pemikiran memandang dunia begini, sedangkan mazhab pemikiran lain memandang dunia begitu?

Jawabannya tidak sesederhana pertanyaannya. Sebagian orang bahkan sampai mengatakan bahwa posisi kelas individulah yang menentukan sikap dan pandangan individu tersebut dan yang memberinya kacamata khusus untuk melihat dunia. Menurut teori ini, metode produksi dan distribusi menimbulkan reaksi yang mem­bentuk mentalitas dan pandangan orang seorang dengan cara tertentu, tergantung pada apakah pengaruh metode ini pada orang seorang itu positif atau negatif. Pandangan yang terbentuk ini mempengaruhi penilaiannya dan evaluasinya terhadap segala sesuatu. Maulawi mengatakan:

Kalau kita pusing, seluruh rumah terasa berputar

Jika kita naik perahu, pantai terasa bersama kita.

Kalau kita menderita karena kejadian buruk, dunia terasa menjengkelkan.

Jika kita bahagia, segalanya terasa menyenangkan.

Kalau kita merasa bagian dari dunia, dunia ini terasa seperti kita.

Menurut teori ini, orang tak dapat mengklaim pandangannya saja yang benar dan pandangan orang lain salah, karena pandangan itu relatif-relatif saja. Pandangan merupakan hasil dari kontak individu dengan lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Karena itu pandangan orang dapat dianggap benar sejauh menyangkut dirinya.

Namun masalahnya tidak sesederhana itu. Tak ada yang dapat menyangkal fakta bahwa pikiran manusia banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Namun juga tak dapat disangkal bahwa manusia memiliki kemampuan untuk bebas berpikir yang tidak dipengaruhi oleh apa pun. Kemampuan inilah yang oleh Islam disebut fitrah manusia. Masalah ini akan dibahas secara terperinci pada kesempatan lain. Sekalipun pemikiran realistis manusia dianggap tidak independen, namun tetap terlalu dini pada tahap kosmologi ini untuk menyalahkan manusia. Filosof modern, yang telah melakukan kajian saksama atas masalah ini, mengakui bahwa penyebab terjadinya beragam konsepsi tentang dunia harus dicari pada apa yang disebut teori pengetahuan.

Para filosof cukup memperhatikan teori ini. Sebagian menyatakan bahwa filsafat, bukanlah kosmologi. Filsafat hanyalah metodologi mencari pengetahuan. Adapun kenapa banyak sekali teori kosmologis, jawabnya adalah karena ada beberapa metode untuk mengenal dunia. Sebagian mengatakan bahwa untuk mengetahui dunia, kita harus menggunakan akal. Sebagian lain berpendapat bahwa dunia dapat diketahui bila kita mendapat pencerahan dan ilham. Jadi ada perbedaan pendapat mengenai metode, sumber dan kriteria untuk mendapatkan pengetahuan tentang dunia. Menurut sebagian pihak, akal sangat terbatas perannya dalam hal ini. Namun menurut sebagian lainnya, peran akal tak terbatas.

Pendek kata, ideologi setiap mazhab didasarkan pada konsepsi mazhab tersebut tentang dunia, dan konsepsi ini didasarkan pada teori tentang pengetahuan. Sejauh mana progresivitas suatu ideologi, ditentukan oleh sejauh mana progresivitas konsepsinya tentang dunia, yang pada gilirannya ditentukan oleh sejauh mana progresivitas metode pencarian pengetahuannya. Sesungguhnya kearifan praktis setiap mazhab bergantung pada kearifan teoretisnya, yaitu cara berpikimya. Karena itu setiap mazhab pertama-tama harus menjelaskan cara berpikirnya.

Islam bukanlah mazhab filsafat, dan tidak bicara dalam bahasa filsafat. Islam memiliki terminologinya sendiri. Terminologi Islam dapat dimengerti oleh semua kelas menurut tingkat pemahaman masing-masing kelas. Yang mengherankan adalah meski Islam hanya menyebut masalah-masalah ini di antara subjek-subjek lain, namun dari ajaran-ajaran Islam kita mudah menyimpulkan ideologi Islam dalam bentuk pemikiran praktis, dan konsepsinya tentang dunia dalam bentuk doktrin logis.

Cukuplah kita di sini hanya merujuk kepada konsepsi Islam tentang dunia. Kita tak dapat berbicara panjang lebar mengenai berbagai pandangan berharga dari pakar-pakar Islam seperti ahli hukum, filosof, sufi dan pemikir lain mengenai ideologi Islam, konsepsi Islam tentang dunia, dan metode pencarian pengetahuan. Kalau kita membicarakannya panjang lebar, maka dibutuhkan berjilid-jilid buku. Paling banter yang dapat kita lakukan adalah memaparkan, meski tidak lengkap, ciri-ciri khusus utama pandangan Islam mengenai masalah-masalah ini. Kita bisa saja memaparkan-nya dengan lengkap, namun pada kesempatan lain. Ciri-ciri khusus utama pandangan Islam tersebut dipaparkan dalam sub-sub bab berikut: Metode Pengetahuan, Konsepsi tentang Dunia, dan Ciri Khusus Ideologi Islam.

Metode Pengetahuan

1. Mungkinkah Kita Mengetahui Kebenaran?

Ini selalu merupakan pertanyaan pertama dalam hal ini. Banyak pemikir berpendapat bahwa kita mustahil mengetahui kebenaran dengan persis. Menurut mereka, memang sudah nasib manusia tidak tahu persis apa sebenarnya yang ada di dunia ini dan apa yang terjadi di dunia ini. Mereka menganggap mustahil mendapatkan pengetahuan yang akurat yang sesuai dengan realitas.

Namun, menurut Al-Qur'an, kita dapat mengetahui kebenaran. Al-Qur'an mengajak manusia untuk mengenai Allah SWT, dunia, dirinya sendiri dan sejarah. Dalam kisah tentang Nabi Adam as, yang sesungguhnya merupakan kisah tentang manusia, Adam as dianggap tepat untuk mengetahui semua nama Allah SWT atau realitas-realitas dunia. Al-Qur'an mengatakan bahwa dalam kasus-kasus tertentu pengetahuan manusia dapat memahami beberapa poin pengetahuan Tuhan. Al-Qur'an mengatakan:

Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. (QS. al-Baqarah: 255)

2. Apa Sumber Pengetahuan?

Dan sudut pandang Islam, sumber pengetahuan adalah: tanda-tanda alam atau tanda-tanda yang ada di alam semesta, yang ada dalam diri manusia sendiri, dalam sejarah, atau dalam berbagai peristiwa sosial dan berbagai episode bangsa dan masyarakat, dalam akal atau prinsip-prinsip yang sudah jelas, dalam hati, dalam pengertiannya sebagai organ pencerah dan penyuci, dan dalam catatan yang diwariskan umat-umat terdahulu.

Dalam banyak ayat Al-Qur'an manusia diminta merenungkan apa dan bagaimana langit dan bumi itu. Al-Qur'an memfirmankan dalam Surah Yunus, ayat 101:

Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. (QS.Yunus: 101)

Al-Qur'an juga mengajak manusia untuk mengkaji sejarah bangsa-bangsa terdahulu, dengan kajian yang cerdas, dengan tujuan mengambil hikmahnya.

Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? (QS. al-Hajj: 46)

Al-Qur'an Suci percaya kepada keandalan akal dan kepada keandalan kebenaran-kebenaran yang sudah jelas. Argumen-argumen Al-Qur'an didasarkan pada akal dan kebenaran-ke­benaran seperti itu. Al-Qur'an mengatakan:

Sekiranya ada di langit dan di bumi Tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu (langit dan bumi, atau alam semesta) telah rusak binasa. (QS. al-Anbiyâ': 22)

Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada Tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada Tuhan beserta-Nya, masing-masing Tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakan-Nya, dan sebagian Tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Mahasuri Allah dari apa yang mereka sifatkan itu. (QS. al-Mukminûn: 91)

Al-Qur'an juga memandang hati sebagai pusat intuisi dan ilham Ilahiah. Setiap manusia dapat menerima ilham sesuai dengan dedikasi tulusnya dan upayanya untuk menjaga kesucian dan aktivitas spiritual pusat ini. Wahyu para nabi merupakan pengetahuan seperti ini yang tingkatannya paling tinggi. Berulang-ulang Al-Qur'an menyebut nilai pena dan kitab, dan pada beberapa kesempatan Al-Qur'an bersumpah atas nama pena dan kitab:

Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis. (QS. al-Qalam: 1)

3. Apa Sarana untuk Mendapatkan Pengetahuan?

Sarana untuk mendapatkan pengetahuan adalah indera, kemampuan berpikir, argumentasi, penyucian jiwa, dan telaah atas karya-karya ilmiah orang lain. Dalam surah an-Nahl: ayat 78, di-katakan sebagai berikut:

Dan Allah mengeluarkan kamu dan perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. an-Nahl: 78)

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa, bertentangan dengan teori Plato, ketika lahir manusia tidak memiliki pengetahuan apa pun. Allah SWT telah menganugerahinya indera untuk mengkaji alam semesta ini, Allah SWT telah memberi manusia hati nurani dan daya analisis agar manusia dapat meneliti realitas-realitas segala sesuatu untuk mengetahui hukum-hukum yang mengatur segala sesuatu itu.

Menurut teori terkenalnya, Plato percaya bahwa segala yang ada itu memiliki bentuknya yang sama di alam gagasan. Ketika lahir, manusia sudah mengetahui segala sesuatu, namun dia sudah kelupaan. Dia tidak mempelajari hal-hal baru di dunia ini. Yang dilakukannya hanyalah mengingatnya kembali.

Yang disebutkan dalam ayat ini selaras dengan teori Al-Qur'an tentang pengetahuan fitri. Teori ini tidak menunjukkan bahwa ketika lahir manusia sesungguhnya tahu segala sesuatu. Yang dimaksud Al-Qur'an adalah bahwa hakikat manusia adalah berada dalam keadaan tumbuh dan evolusi, dan bahwa dalam hidupnya dia, berdasarkan gerak hati, menemukan kebenaran-kebenaran asasiah tertentu yang jelas di luar apa yang dipelajaruiya melalui inderanya. Penemuan kebenaran-kebenaran ini cukup meyakinkan untuk memaksa manusia mempercayai kebenaran-kebenaran ini. Itulah yang dimaksud Al-Qur'an ketika menyerukan "tadzakkur" (mengingat). Karena itu antara ayat-ayat Al-Qur'an yang menyeru­kan tadzakkur dan ayat Surah an-Nahl yang dikutip di atas tak ada kontradiksi.

Dalam ayat ini, pendengaran dan penglihatan, dua indera yang sangat penting, disebut-sebut sebagai sarana untuk mengetahui. Secara teknis, keduanya dikenal sebagai sarana untuk mendapatkan pengetahuan primer yang tidak mendalam. Sedangkan hati atau hati nurani, yang juga disebut-sebut dalam ayat itu, secara teknis digambarkan sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan yang mendalam dan logis.

Secara sambil lalu dalam ayat ini juga disinggung masalah lain yang penting. Yaitu masalah tahap-tahap pengetahuan. Selain indera dan daya pikir, Al-Qur'an juga mengakui ketakwaan dan kesucian jiwa sebagai sarana untuk mendapatkan pengetahuan. Poin ini sudah disebutkan dalam banyak ayat baik secara tersirat maupun tersurat. Al-Qur'an mengatakan:

Hai orang-orang beriman, jika kamu tdkwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberimu furqan (kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk). (QS. al-Anfâl: 29)

Demi jiwa serta Dia yang menyempurnakannya, maka Allah mengUhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. (QS. asy-Syams: 7-9)

Belajar dan membaca merupakan sarana lain untuk mendapat­kan pengetahuan yang secara formal diakui oleh ajaran Islam. Untuk menjelaskan poin ini, cukup dikatakan bahwa wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad saw diawali dengan kata, "Bacalah". Al-Qur'an memfirmankan:

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dan segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. al-'Alaq: 1-5)

4. Subjek Pengetahuan

Apa saja yang patut diketahui, dan apa saja yang harus diketahui? Yang harus diketahui adalah Allah, alam semesta, manusia, masyarakat, dan masa. Semuanya ini patut diketahui, dan kita harus mengetahui semua ini.

Konsepsi tentang Dunia

Buku ini, yang merupakan mukadimah untuk konsepsi Islam tentang dunia, terutama membahas pokok masalah (konsepsi Islam tentang dunia—pen.) ini. Pokok masalah inilah yang berserak di sepanjang buku ini. Namun, untuk menjaga kesinambungan, kami paparkan secara singkat ciri-ciri khusus utama konsepsi Islam tentang dunia:

1. Sifat-dasar dunia ini adalah "dari-Nya." Dengan kata lain, realitas dunia ini berasal dari realitas-Nya. Bisa saja eksistensi sesuatu berasal dari sesuatu yang lain, namun realitas sesuatu itu tidak mesti sepenuhnya berasal dari realitas sesuatu yang lain itu.

Misal, ambil contoh seorang anak lelaki dan kedua orangtuanya. Anak lelaki ini lahir dari kedua orangtuanya, namun realitas eksistensi anak lelaki itu beda dengan realitas kedua orang­tuanya, dan merupakan sesuatu yang menambah realitas kedua orangtuanya. Sebaliknya, sifat-dasar dunia adalah "dari-Nya." Segenap realitasnya tak lebih dari "ada karena Allah SWT". Realitasnya dan eksistensinya karena Allah, adalah identik. Itulah yang dimaksud ketika kami katakan bahwa dunia diciptakan oleh Allah SWT. Kalau saja arti penciptaan dunia itu tidak seperti itu, maka yang terjadi adalah prokreasi (eksis melalui proses reproduksi—pen.), bukannya penciptaan. Al-Qur'an mengatakan: Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. (QS. al-Ikhlâsh: 3) Tak ada bedanya apakah dari segi waktu dunia ini ada permulaannya atau tidak ada permulaannya. Jika ada permulaannya, maka dunia ini merupakan suatu realitas terbatas "dari-Nya." Jika tak ada permulaannya, maka dunia ini merupakan suatu realitas tak terbatas "dari-Nya." Bagaimanapun juga, dunia ini "dari-Nya," dan keterbatasan setta ketakterbatasan dunia tak ada bedanya, karena dunia merupakan realitas ciptaan dan eksistensinya adalah "dari-Nya".

2. Realitas dunia ini, selain dunia ini adalah "dari-Nya" dan karena itu karakter dunia ini adalah fana, tidak saja selalu berubah dan bergerak seiring waktu, namun dunia ini sendiri merupakan suatu gerakan. Dengan begitu dunia selalu berubah terus-menerus dan selalu dalam keadaan diciptakan dan di­ ciptakan kembali. Waktu berjalan, dan dunia ini pun selalu dalam keadaan diciptakan dan dihancurkan.

3. Realitas-realitas dunia ini merupakan bentuk rendahnya realitas-realitas yang eksis di dunia lain yang disebut dunia gaib. Apa pun yang ada di sini yang bentuknya terbatas dan terukur ada di dunia transendental atau dunia gaib, dan bentuknya tidak terbatas dan tidak terukur, atau dalam kata-kata Al-Qur'an, dalam bentuk "khazanah". Al-Qur'an memfirmankan: Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya. Dan Kami
tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu. (QS. al-Hijr: 21)

4. Karena sifat dasar dunia ini adalah "dari-Nya," maka dunia ini juga "menuju kepada-Nya." Dunia ini telah membuat perjalanan menurun. Dunia ini juga dalam keadaan membuat perjalanan menaik, perjalanan menuju Dia. Al-Qur'an memfirmankan:

Kami ini milik Allah, dan sungguh kepada-Nya kami kembali. (QS. al-Baqarah: 156) Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya). (QS. an-Nâzi'ât: 44) Ingatlah bahwa kepada AUah lah kembali semua urusan. (QS. asy-Syûrâ: 53)

5. Dunia ini memiliki sistem yang pasti dan teratur. Basis sistem ini adalah kausasi (sebab-akibat). Setiap yang eksis diatur oleh takdir Tuhan melalui sistem ini.

6. Sistem sebab-akibat bukan saja berupa sebab dan akibat material. Sejauh menyangkut dimensi material dunia ini, sistem sebab-akibatnya bersifat material, namun sejauh menyangkut dimensi spiritual dunia ini, sistem sebab-akibatnya bersifat non-material. Antara dua sistem ini tak ada pertentangan. Masing-masing sistem ada tempatnya sendiri-sendiri. Malaikat, jiwa, Lauh Mahfûzh, Pena dan Kitab-kitab wahyu merupakan sarana bagi beroperasinya karunia Tuhan di dunia ini dengan kehendak-Nya.

7. Dunia seluruhnya diatur dengan hukum dan norma yang pasti. Hukum dan norma ini merupakan bagian dan paket dari sistem sebab-akibat yang berlaku di dunia ini.

8. Dunia ini merupakan sebuah realitas yang terbimbing. Evolusinya terbimbing. Segenap partikel dunia ini letaknya sedemikian sehingga partikel-partikel ini menerima cahaya petunjuk. Naluri, indera, akal, ilham dan wahyu merupakan tahap-tahap yang berbeda dari bimbingan umum untuk dunia. Nabi Musa as mengatakan: Tuhan kami adalah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk. (QS. Thâhâ: 50)

9. Di dunia ini ada baik dan ada buruk. Ada keselarasan dan ada pula pertentangan. Ada berlimpah dan ada pula kekurangan. Ada terang dan ada pula gelap. Ada maju dan berkembang dan ada pula mandek dan stagnasi. Namun adanya baik, selaras, berlimpah, terang dan berkembang memiliki nilai yang sangat penting. Sedangkan adanya buruk, gelap, pertentangan, mandek, hanyalah subsider dan sekunder. Namun segala yang subsider dan sekunder ini perannya penting dan mendasar dalam menyebabkan adanya yang baik, yang selaras, yang evolusioner.

10. Dunia ini, yang merupakan satu unit yang hidup dan diatur oleh kekuatan-kekuatan sadar (para malaikat yang mengatur urusan dunia), adalah sebuah dunia aksi dan dunia reaksi sejauh menyangkut hubungannya dengan manusia. Dunia tidak acuh tak acuh kepada orang yang baik dan orang yang buruk. Hukum balas jasa, ganti rugi, dan imbalan berlaku di dunia ini, seperti halnya di akhirat. Orang takwa dan orang kafir tak diperlakukan sama. Al-Qur'an memfirmankan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) hepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat)-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. (QS. Ibrahim: 7) Imam Ali bin Abi Thalib as mengatakan: Tidak bersyukurnya seseorang jangan sampai menghalangimu untuk berbuat kebajikan. Mungkin saja orang yang kamu baiki tidak berterima kasih kepadamu. Kamu akan menerima lebih banyak terima kasih dari yang bersyukur ketimbang yang tidak kamu dapatkan dari yang tidak bersyukur." (Nahj al-Balâghah, khotbah: 194)

11. Yang dimaksud Imam Ali as adalah bahwa dunia yang merupakan organisme hidup, yang harmonis dan terkoordinasi, tidak berarti bahwa seseorang akan menerima imbalan untuk kebajikannya dari orang yang diharapkannya memberikan imbalan. Dia akan mendapatkannya dari orang lain yang tidak disangka-sangkanya. Dunia ini memiliki Allah SWT yang menyukai orang bajik.

12. Jiwa manusia merupakan sebuah realitas yang abadi. Manusia bukan saja akan dibangkitkan sebagai makhluk hidup pada Hari Kebangkitan, namun selama interval antara dunia ini dan Hari Kebangkitan manusia juga akan menjalani kehidupan, suatu kehidupan yang lebih sempurna ketimbang kehidupan di dunia ini. Sekitar dua puluh ayat Al-Qur'an menunjukkan bahwa ketika jasad manusia sudah hancur setelah mati, dan sebelum datangnya Hari Kebangkitan, manusia juga menjalani suatu kehidupan.

13. Aturan pokok kehidupan, yaitu prinsip moral dan manusiawi, pasti dan abadi. Hanya aturan sekunder saja—dan bukan prinsip yang utama—yang relatif dan dapat berubah. Kebajikan tidak mungkin merupakan satu hal di satu masa dan merupakan sesuatu yang sama sekali beda di masa yang lain. Tidaklah mungkin dalam satu masa kebajikan bisa berarti Abuzar dan dalam masa lain bisa berarti Muawiyah. Ada prinsip-prinsip tertentu yang abadi. Menurut prinsip-prinsip ini, Abudzar ya Abudzar, Muawiyah ya Muawiyah. Prinsip-prinsip—yang menurut prinsip-prinsip ini Nabi Musa ya Nabi Musa dan Fir'aun ya Fir'aun—adalah abadi.

14. Kebenaran juga abadi. Jika suatu kebenaran ilmiah mutlak benar, maka benar untuk selamanya, dan jika salah, maka salah untuk selamanya. Jika sebagian benar, dan sebagian salah, maka selalu sebagian benar dan sebagian salah. Sesuatu yang mengalami perubahan merupakan suatu realitas, dan itu juga suatu realitas material. Adapun kebenaran, yaitu gagasan intelektual dan keyakinan mental, tetap merupakan kebenaran bila dilihat dari sudut dapat diterapkan atau tak dapat diterapkannya kebenaran itu pada suatu realitas tertentu.

15. Dunia, bumi dan langit diwujudkan dengan berdasarkan prinsip kebenaran dan prinsip keadilan. Al-Qur'an mengatakan: Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar. (QS. al-Ahqâf: 3)

16. Praktik permanen Allah SWT adalah memberikan kemenangan terakhir kepada kebenaran dalam berhadapan dengan kepalsuan. Orang takwa dan kebenaran selalu yang menang. Al-Qur'an
mengatakan: Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul. Sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan. Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang. (QS. ash-Shâffât: 171-173)

17. Semua manusia diciptakan setara. Tak ada orang, bila dilihat dari segi penciptaan, yang dapat merasa lebih istimewa atau lebih berhak dibandingkan orang lain. Hanya ada tiga hal yang membuat satu orang lebih unggul dibanding orang lain:

Yang pertama adalah ilmu. Al-Qur'an mengatakan: Adakah sama, orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui? (QS az-Zumar: 9)

Yang kedua adalah berjuang di jalan Allah SWT. Al-Qur'an mengatakan: Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. (QS. an-Nisâ': 95)

Yang ketiga adalah takwa. Al-Qur'an mengatakan: Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. (QS. al-Hujurât: 13)

18. Menurut sifat dasarnya, manusia memiliki kecenderungan bawaan. Kecenderungan bawaan ini antara lain adalah ke­ cenderungan moral dan kecenderungan religius. Fondasi utama hati nurani manusia adalah fitrah anugerah Allah, bukan posisi kelasnya, kecenderungannya untuk berteman atau berkelompok, bukan pula perjuangannya menundukkan alam. Semua pengaruh ini (posisi kelas, berteman atau berkelompok, penundukkan alam—pen.) baru terwujud setelah melalui upaya sungguh-sungguh. Manusia, berdasarkan fitrahnya, bisa merniliki ideologi dan budaya yang khas. Manusia bisa memberontak terhadap lingkungan alamnya, lingkungan sosialnya, faktor-faktor sejarahnya, kecenderungan keturunannya, dan dapat melepaskan diri dari pengaruh itu semua.

19. Setiap orang lahir sebagai manusia. Karena itu orang paling jahat pun dapat menghentikan kebiasaan jahatnya dan memperbarui dirinya. Itulah sebabnya para nabi mendapat tugas memberikan nasihat dan konsultasi spiritual kepada orang-orang yang paling jahat sekalipun dan musuh-musuh paling sengit sekalipun, agar hati nurani mereka hidup, Jika cara seperti itu gagal, barulah para nabi dibolehkan memerangi mereka. Dalam pertemuan pertama dengan Fir'aun, Nabi Musa as diperintahkan untuk mengatakan kepada Fir'aun: Adakah keinginanmu untuk membersihkan dm (dari hesesatan). Dan kamu akan kupimpin kejalan
Tuhanmu agar kamu takut kepada-Nya. (QS. an-Nâzi'ât: 18-19)

20. Kepribadian manusia merupakan suatu senyawa dalam pengertian yang sebenarnya. Pada saat yang sama merupakan satu elemen tunggal, dan itu juga dalam pengertian yang sebenarnya.

Tidak seperti senyawa-senyawa organis dan non-organis lainnya. Bila berpadu bagian-bagian komponen ini maka bagian-bagian komponen tersebut kehilangan identitas dan karakter khasnya dan membentuk satu keseluruhan yang serasi, sedangkan unsur-unsur yang membentuk kepribadian manusia tidak kehilangan sama sekali karakternya. Ini melahirkan pergulatan batiniah. Dalam pergulatan ini manusia ditarik ke berbagai arah yang berbeda. Dalam bahasa agama, pergulatan ini dikenal sebagai pertentangan antara akal dan hawa nafsu atau pertentangan antara jiwa dan raga.

21. Karena hakikat spiritual manusia itu independen, dan hakikat spiritual inilah yang melahirkan kehendaknya, maka manusia leluasa melaksanakan kehendaknya. Tak ada paksaan yang dapat mencabut kemerdekaannya untuk memilih. Itulah sebabnya manusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan juga atas
masyarakatnya.

22. Seperti orang seorang, masyarakat manusia juga merupakan satu senyawa yang nyata dan memiliki hukumnya sendiri, tradisinya sendiri, dan sistemnya sendiri. Di sepanjang sejarah, masyarakat sebagai satu keseluruhan tak pernah mengikuti kehendak satu individu. Masyarakat selalu tersusun dari unsur-unsur yang bertentangan. Berbagai kelompok intelektual, profesional, politis dan ekonomi yang rnembentuk masyarakat tak pernah sama sekali kehilangan indentitasnya. Bentrok antara kelas-kelas ini selalu berlanjut dalam bentuk perang politik, ekonomi, intelektual dan doktrin. Lagi pula, selama manusia belum mencapai puncak kemanusiaan, maka perang akan selalu terjadi antara orang-orang yang maju yang kecenderungannya sangat tinggi, dan orang-orang yang masih terbelakang yang ke­cenderungannya sangat rendah.

23. Allah SWT tidak mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum tersebut mengubah dirinya sendiri. Al-Qur'an mengatakan: Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. ar-Ra'd: 11)

24. Allah SWT Pencipta alam semesta ini dan juga Pencipta manusia tak membutuhkan apa pun. Dia tidak terbentuk dari komponen-komponen. Dia mutlak sempurna. Dia akan selalu seperti adanya Dia. Untuk Allah SWT mustahil terjadi perkembangan atau evolusi. Sifat-sifat-Nya identik dengan Zat-Nya. Alam semesta merupakan Rarya-Nya dan perwujudan Kehendak-Nya. Tak ada yang dapat mengendalikan atau menghalangi Kehendak-Nya. Setiap faktor atau kehendak lain tegak lurus dan tidak horizontal dengan Kehendak-Nya.

25. Alam semesta merupakan satu unit yang agak organis, karena alam semesta ada berkat satu sumber, dan akan kembali ke sumber itu, dan sekarang tengah dikelola dan diurus oleh
kekuatan-kekuatan yang sadar.

Aspek Ideologis

Ideologi Islam, yang sangat luas dan begitu banyak cabangnya, sulit kemungkinannya untuk memaparkan semua ciri khususnya. Namun sesuai dengan peribahasa yang mengatakan bahwa sesuatu lebih baik ketimbang tidak ada, berikut ini kami paparkan apa yang dapat dipaparkan dengan baik.

Lengkap

Dibandingkan dengan agama-agama lain, lengkap merupakan salah satu ciri khusus Islam. Lebih tepat kalau dikatakan bahwa lengkap dan inklusif merupakan sifat utama Islam, karena Islam adalah agama yang paling maju dan paling sempurna. Dengan dibantu empat sumber hukum Islam, para ulama dapat mengetahui sudut pandang Islam mengenai berbagai masalah. Para ulama tidak percaya bila ada masalah yang tak ada aturan atau hukum Islamnya.

Dapat Dilakukan Ijtihad

Aturan atau hukum umum Islam tersusun sedemikian rupa sehingga dapat dilakukan ijtihad atasnya. Arti ijtihad adalah menemukan dan menerapkan prinsip-prinsip pokok pada kasus-kasus tertentu dan berubah-ubah. Selanjutnya tugas ijtihad dipermudah oleh fakta bahwa akal diakui sebagai salah satu sumber hukum Islam.

Liberal dan Sederhana

Dalam kata-kata Nabi Muhammad saw, hukum Islam itu liberal dan sederhana. Dalam "al-Kâfî", jilid V, ada sebuah hadis yang mengatakan bahwa Nabi saw bersabda bahwa Allah SWT tidak memberinya perintah untuk tidak terlibat dalam kehidupan duniawi. Allah SWT telah mengutus Nabi saw dengan memberi Nabi saw hukum yang liberal, lurus dan mudah. Islam tidak memberikan kewajiban yang sulit dan menjengkelkan. "Dalam masalah agama, Allah tidak membatasimu dengan tidak semestinya." Karena hukum agama bercirikan liberal, maka setiap aturan atau hukum yang menimbulkan kesulitan yang tidak semestinya, dapat dianggap batal.

Hidup Berguna dan Sehat

Islam menyerukan agar kita hidup berguna dan sehat. Islam mengecam sikap lari dari kehidupan. Itulah sebabnya Islam mengecam keras kerahiban dan pengasingan diri dari kehidupan. "Tak ada kerahiban dalam Islam." Dalam masyarakat zaman dahulu ada dua kecenderungan; monastisisme (kerahiban) dan lari dari keterlibatan dalam kehidupan duniawi, serta pemanjaan kehidupan duniawi dan lari dari segala yang berhubungan dengan akhirat. Is­lam menjadikan persiapan diri untuk kehidupan akhirat sebagai bagian dari kehidupan duniawi ini. Jalan untuk ke akhirat adalah kehidupan dan tanggung jawab di dunia ini.

Sosial

Semua ajaran Islam bersifat sosial. Bahkan aturan individualistis seperti salat dan puasa menciptakan kolektivisme. Banyak aturan atau Hukum sosial, politik, ekonomi, perdata dan pidana Islam memiliki sifat sosial. Perintah seperti perintah untuk berjihad (berperang suci), perintah untuk berbuat baik dan perintah untuk tidak berbuat keji, juga lahir dari tanggung jawab kolektif kaum Muslim.

Hak dan Kemerdekaan Individu

Islam adalah agama sosial. Islam memandang sangat penting masyarakat, dan menganggap individu bertanggung jawab terhadap masyarakat. Islam tidak mengabaikan hak dan kemerdekaan individu. Islam tidak meremehkan hak ekonomi, hak hukum dan hak sosial individu. Dari sudut pandang politik, individu berhak diajak musyawarah dan berhak dipilih. Dari sudut pandang ekonomi, individu berhak memiliki hasil upayanya dan mendapatkan upah untuk tenaganya. Dia boleh menjual, menyewakan, menyumbangkan, mengembangkan dan menginvestasikan harta halalnya, dan berkenaan dengan ini dia boleh bermitra. Dari sudut pandang hukum, individu berhak mengajukan tuntutan hukum, mengajukan klaim dan memberikan bukti. Dari sudut pandang sosial, individu berhak memilih pekerjaan, memilih tempat tinggal, dan memilih jenis studi, dan sebagainya. Dari sudut pandang keluarga, individu berhak memilih pasangan hidupnya.

Mendahulukan Hak Masyarakat Ketimbang Hak Individu

Kalau terjadi pertentangan antara hak masyarakat dan hak individu, maka hak masyarakat atau hak publik harus didahulukan ketimbang hak pribadi atau hak individu. Namun masalah ini harus diputuskan melalui pengadilan Islam.

Prinsip Musyawarah

Dari sudut pandang Islam, prinsip musyawarah merupakan sebuah prinsip yang diakui dalam masalah sosial. Dalam kasus-kasus yang belum ada ketentuan Islamnva, kaum Muslim dapat memutuskan melalui musyawarah dan pemikiran bersama.

Meniadakan Kerugian

Hukum Islam, meskipun sifatnya umum dan mutlak, hanya bisa diberlakukan kalau tak menimbulkan kerugian yang tidak pada tempatnya. Aturan ini sifatnya universal dan merupakan semacam hak veto terhadap setiap hukum.

Memandang Penting Manfaat

Untuk setiap tindakan, baik itu tindakan individu maupun tindakan kolektif, yang lebih dipentingkan adalah hasil gunanya. Dari sudut pandang Islam, setiap tindakan yang tak ada manfaatnya dianggap sia-sia. Al-Qur'an mengatakan,

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. (QS. al-Mukminûn: 1-3)

Memandang Penting Transaksi Sah, Sirkulasi Kekayaan dan Transfer Uang dan Harta

Semua aktivitas seperti itu hams bebas dari segala bentuk tipu daya atau kecurangan dan harus bebas dari berbagai bentuk transaksi curang. Kalau ada unsur tipuan atau kecurangannya, maka transaksinya tidak sah. Al-Qur'an mengatakan:

Danjanganlah sebagian hamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dmganjalan yang batil. (QS. al-Baqarah: 188).

Transfer harta dengan cara judi atau taruhan sama saja dengan penipuan dan tidak halal. Mencari untung melalui modal yang menganggur, yaitu modal yang tidak disirkulasikan untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat, dan yang tak ada resiko kerugian dan berkurangnya, yang bentuknya surat utang atau sekuritas, adalah riba dan tidak halal. Setiap transaksi finansial harus dilakukan dengan pengetahuan sepenuhnya dari kedua belah pihak dan sebelumnya sudah ada informasi dari kedua belah pihak. Transaksi yang menimbulkan kerugian akibat kurangnya informasi, tidak sah. Nabi Muhammad saw mengharamkan transaksi yang ada unsur curangnya. Pengharaman oleh Nabi saw tersebut semula berkaitan dengan penjualan secara curang barang-barang yang ada cacatnya. Namun prinsip ijtihad telah membuat ketentuan ini jadi bersifat umum.

Menghormati Akal

Islam menghormati akal. Islam menggambarkan akal sebagai pembimbing dari dalam. Prinsip-prinsip agama tak dapat diterima kalau bertentangan dengan hasil penelitian rasional. Dalam masalah-masalah sekunder (yang belum ada ketentuan hukum Islamnya—pen.), akal telah diakui sebagai sumber ijtihad. Islam memandang akal sebagai sesuatu yang suci, dan memandang tidak berakal sebagai najis. Menurut hukum Islam, gila atau mabuk membatalkan wudhu, seperti kencing atau tidur. Islam memerangi penggunaan setiap zat yang memabukkan, karena bertentangan dengan akal. Akal merupakan bagian integral dari agama.

Menghormati Kehendak

Karena Islam menghormati akal, dan dalam hukum Islam ada ketentuan untuk melindungi akal, maka Islam juga menghormati kehendak, yang merupakan kekuatan untuk melaksanakan apa yang diperintahkan akal. Itulah sebabnya Islam memandang haram semua aktivitas yang menghalangi penggunaan kekuatan-kehendak. Dalam bahasa Islam, aktivitas seperti itu disebut "lahw".

Kerja

Islam menentang nganggur dan malas-malasan. Karena orang menerima banyak dari masyarakat, maka dia harus berbuat sesuatu untuk kepentingan masyarakat maupun untuk kepentingan dirinya sendiri. Dia berkewajiban melakukan pekerjaan yang bermanfaat. Benak orang yang malas-malasan atau nganggur menjadi ruang kerja setan, demikian kata peribahasa. Islam mengutuk orang yang menjadi parasit atau menjadi beban masyarakat. Kata hadis, Terkutuklah orang yang melemparkan bebannya kepada orang lain."

Memandang Suci Kerja

Bekerja, di samping merupakan kewajiban, juga merupakan sesuatu yang suci dan disukai oleh Allah SWT. Bekerja adalah setengah jihad. Dalam "Wasa'il asy-Syi'ah" disebutkan hadis:

"Allah menyukai orang beriman yang bekerja."

"Orang yang bekerja keras demi keluarganya adalah seperti orang yang berjuang di jalan Allah."

Melarang Eksploitasi

Islam mengecam setiap bentuk perbudakan. Bila ada unsur perbudakannya, sudah cukup untuk membuat kerja jadi haram. Perbudakan adalah menggunakan tenaga orang lain untuk kepentingannya'sendiri dan untuk tujuan yang tidak adil.

Mengecam Royal dan Mubazir

Manusia dibolehkan mengatur hartanya, namun artinya tidak lebih bahwa manusia merdeka untuk memanfaatkan hartanya dalam kerangka yang dibolehkan oleh Islam. Manusia tidak di­bolehkan memubazirkan hartanya, juga tidak boleh membelanjakan hartanya untuk hal-hal yang tidak perlu. Islam mengharamkan bermewah-mewah (royal) yang oleh Islam digambarkan sebagai perbuatan penghamburan.

Kemudahan Hidup

Menyediakan bagi keluarga (istri dan anak) hal-hal yang membuat hidup mereka enak, bukan saja dibolehkan, namun juga diberi dorongan asalkan tidak berlebihan, tidak royal dan tidak menimbulkan sesuatu yang haram.

Mengutuk Snap

Pemberi dan penerima suap sangat dikutuk oleh Islam. Islam menggambarkan perbuatan seperti ini patut mendapat siksa neraka. Uang yang didapat dari hasil suap haram hukumnya.

Mengutuk Penimbunan

Menimbun pangan dan tidak menjualnya di pasar, dengan tujuan agar dapat menjualnya dengan harga yang tinggi, diharamkan. Pemerintah Islam dibolehkan mengambil secara paksa persediaan pangan seperti itu untuk kemudian dijual dengan harga yang wajar tanpa persetujuan si pemilik.

Kepatutan dan Kepentingan Publik

Basis penghasilan adalah kepentingan dan kepatutan publik, bukan kehendak orang. Biasanya dalam masalah finansial keinginan dan kecenderungan orang dipandang penting. Dan untuk legalitas pekerjaan, dipandang cukup bila dibutuhkan oleh masyarakat. Namun Islam menganggap kebutuhan semata-mata belum cukup untuk membuat suatu pekerjaan atau profesi jadi baik dan dibutuhkan. Islam memandang kepatutan dan kebaikan sebagai syarat yang harus dipenuhi. Dengan kata lain, adanya kebutuhan saja belum cukup untuk legalitas suatu pekerjaan. Berdasakan ini Islam melarang sejumlah pekerjaan dan transaksi. Pekerjaan-pekerjaan haram seperti itu ada beberapajenis:

1. Bertransaksi hal-hal yang mendorong kebodohan dan pikiran sesat.

Apa saja yang mendorong kebodohan, pemutarbalikan pemikiran atau distorsi keyakinan adalah haram, sekalipun cukup dibutuhkan. Berdasarkan ini, menjual berhala dan salib, mempercantik wanita dengan tujuan memperdaya pelamarnya, memuji seseorang yang tidak patut dipuji, dan menenung serta menujum, diharamkan. Penghasilan yang diperoleh dari aktivitas-aktivitas seperti ini haram hukumnya.

2. Bertransaksi barang-barang yang menyesatkan dan membiuskan.

Menjual dan membeli buku, film dan barang lain yang sedikit atau banyak ikut menyebarkan kesesatan atau kerusakan di masyarakat, haram hukumnya.

3. Perbuatan yang menguntungkan musuh.

Mencari uang melalui aktivitas yang dapat memperkuat posisi musuh secara militer, ekonomi, moral atau teknologi, dan memperlemah pihak Islam, dilarang dan haram hukumnya. Bukan saja menjual senjata dan peralatan lain yang penting kepada musuh dilarang, menjual manuskrip yang langka pun dilarang.

4. Mencari uang dengan jalan yang merugikan orang seorang atau masyarakat.

Menjual zat-zat yang memabukkan, peralatan judi, benda-benda yang pada dasarnya kotor atau najis, dan menjual benda-benda yang dipalsukan, haram hukumnya. Berjudi, mencemarkan nama seorang mukmin, menyemangati orang yang berbuat salah, dan menerima jabatan atau pekerjaan yang ditawarkan oleh penguasa yang tidak adil, juga tergolong mencari uang dengan jalan yang merugikan orang seorang dan masyarakat.

Ada pula jenis mencari uang yang juga haram. Ada pekerjaan tertentu yang upahnya tidak boleh diterima. Pekerjaan semacam itu terlalu suci untuk diberi upah, karena itu pekerjaan seperti itu tidak boleh dijadikan sarana mencari nafkah. Pekerjaan seperti itu adalah memberikan informasi tentang hukum Islam, melaksanakan keadilan, memberikan pendidikan agama, menyampaikan khotbah dan sebagainya. Profesi tabib atau dokter boleh jadi juga tergolong pekerjaan seperti itu. Pekerjaan seperti itu terlalu suci untuk dijadikan sumber untuk mencari nafkah dan mengumpulkan uang. Pekerjaan seperti itu harus dilakukan tanpa menerima upah.

Perbendaharaan Muslim harus menutup biaya hidup orang-orang yang melakukan pekerjaan suci seperti itu.

Mempertahankan Hak

Melindungi hak orang seorang maupun hak masyarakat, serta memerangi orang yang melanggar hukum, merupakan pekerjaan yang suci. Al-Qur'an mengatakan,

Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. (QS. an-Nisâ': 148)

Nabi saw bersabda: "Sebaik-baik jihad adalah berkata benar di hadapan penguasa lalim." Imam Ali bin Abi Thalib as mengutip, bahwa Nabi saw mengatakan: "Suatu bangsa akan dapat menempati posisi terpuji kalau bangsa tersebut mampu menjaga hak si lemah terhadap si kuat tanpa rasa takut." (Nahj al-Balâghah, lihat Surat 53)

Tanpa Henti Berjuang Menentang Kerusakan dan Memperbaiki Kondisi yang Ada

Prinsip amar ma'ruf nahi munkar (menganjurkan kebajikan dan mencegah kemungkaran), dalam kata-kata Imam Muhammad al-Baqir as, menjadi dasar dari seluruh perintah Islam. Prinsip ini membuat seorang Muslim senantiasa berupaya membuat pembaruan dan berjuang terus-menerus menentang kerusakan dan kekejian. Al-Qur'an memfirmankan:

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar (QS Ali'Imran: 110)

Nabi saw bersabda: "Kamu harus menyuruh kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran. Kalau tidak, Allah akan membuatmu dikuasai oleh orang munkar. Kemudian orang baik di antara kamu akan berdoa, namun doanya akan sia-sia." (Nahj al-Balâghah)

Monoteisme

Islam, terutama sekali, adalah agama monoteistis (tauhid). Islam tidak menerima keraguan terhadap tauhid teoretis maupun tauhid praktis. Dalam Islam, semua pikiran, perilaku dan perbuatan diawali dengan Allah SWT dan diakhiri dengan Allah SWT pula.

Islam menolak keras setiap bentuk dualisme, trinitas, dan kemusyrikan. Islam menentang setiap pikiran yang bertentangan dengan tauhid, seperti mengakui dua prinsip yang independen, fundamental dan eksklusif, yaitu dua prinsip Allah SWT dan setan, Allah dan manusia, atau Allah dan materi. Apa pun yang dilakukan, haruslah diawali dan diakhiri dengan nama Allah, dan harus dilakukan demi Dia dan untuk mendapatkan rida-Nya. Apa saja yang tidak sesuai dengan konsepsi ini, maka tidak Islami. Dalam Islam, semua jalan mengarah ke tauhid. Moral Islam lahir dari tauhid dan berujung pada tauhid. Begitu pula dengan pendidikan Islam, politik Islam, ekonomi Islam dan sosialisme Islam.

Dalam Islam setiap perbuatan diawali dengan nama Allah dan dengan bantuan-Nya. Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillah Rabbil-'alamin. Segala sesuatu terjadi dengan nama Allah dan dengan dukungan Allah. "Aku tawakal kepada Allah, dan kepada-Nya kaum mukmin harus bersandar."

Monoteisme Islam (tauhid) bukan semata-mata ide dan keyakinan kering, karena Allah tidak terpisah dari makhluk-Nya. Dia bersama semua makhluk-Nya, dan meliputi semuanya. Segala sesuatu diawali dengan-Nya, dan diakhiri dengan-Nya. Pikiran monoteisme meliputi segenap eksistensi monoteis. Pikiran ini mengendalikan semua gagasannya, kemampuannya, dan perilakunya. Pikiran ini mengarahkannya. Itulah sebabnya Muslim sejati selalu ingat Allah pada awal, pertengahan dan akhir setiap perbuatannya. Muslim sejati tak pernah menyekutukan Allah dengan apa pun.

Meniadakan Perantara

Meskipun Islam mengakui bahwa rahmat Allah SWT turun ke dunia ini melalui perantara tertentu, dan percaya bahwa sistem sebab-akibat berlaku untuk urusan materi dan jiwa, namun Islam tidak mengakui perantara sejauh menyangkut masalah ibadah. Kita tahu, semua agama wahyu selain Islam sudah mengalami perusakan dan perubahan, akibatnya orang lupa akan nilai hubungan langsungnya dengan Allah. Nah, anggap saja ada sekat antara manusia dan Allah, dan hanya kaum pendeta dan ulama saja yang dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Islam memandang pikiran semacam ini musyrik. Dengan tegas Al-Qur'an mengatakan:

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. (QS. al-Baqarah: 186)

Kemungkinan Hidup Berdampingan Secara Damai dengan Mereka yang Hanya Percaya Kepada Satu Allah

Dari sudut pandang Islam, dalam kondisi tertentu kaum Muslim dapat hidup damai di negeri mereka dengan para pemeluk agama lain yang semula menganut paham tauhid, sekalipun kini sudah menyimpang dari keyakinan semulanya, seperti kaum Yahudi, Kristiani, Majusi dan sebagainya. Namun kaum Muslim tak dapat hidup bersama di sebuah negeri Muslim dengan kaum musyrik. Bagaimanapun juga, demi kepentingan yang lebih tinggi, kaum Muslim dapat membuat perjanjian damai, pakta non-agresi, atau kesepakatan mengenai subjek tertentu dengan kaum musyrik.

Persamaan hak

Persamaan hak dan non-diskriminasi merupakan prinsip utama ideologi Islam. Dari sudut pandang Islam, semua manusia pada hakikatnya sama haknya. Mereka tidak diciptakan dalam dua lapisan atau lebih. Darah, ras atau kebangsaan bukanlah ukuran unggul tidaknya manusia. Seorang sayid Quraisy dan seorang badui, masing-masing sama haknya. Dalam Islam, kemerdekaan, demokrasi dan keadilan merupakan produk sampingan dari persamaan hak.

Dari sudut pandang Islam, individu dapat kehilangan hak sipilnya demi kepentingannya sendiri dan demi kepentingan masyarakat. Namun hal itu dapat terjadi dalam kondisi yang sangat khusus, dan hal itu juga hanya untuk jangka waktu tertentu saja. Namun ketentuan ini tak ada kaitannya dengan diskriminasi ras. Dari sudut pandang Islam, perbudakaan yang sifatnya sementara waktu saja yang diperbolehkan, dan itu pun hanya untuk maksud-maksud pembaruan dan pendidikan. Masalah ini tak ada sigmfikansi atau arti ekonomi dan eksploitasinya.

Tak Ada Beda antara Lelaki dan Perempuan

Dalam Islam, hak, kewajiban dan hukuman juga untuk lelaki dan perempuan. Lelaki dan perempuan adalah sama-sama manusia, karena itu keduanya memiliki banyak sifat yang sama. Namun karena keduanya beda jenis kelaminnya, maka ada beberapa sifat yang khas bagi lelaki dan bagi perempuan saja. Hak, kewajiban dan hukuman bagi keduanya juga sama. Dalam hal ini tak ada bedanya antara lelaki dan perempuan. Hak mendapatkan ilmu atau pengetahuan, hak beribadah, hak memilih pasangan hidup, hak memiliki dan memanfaatkan harta, merupakan hak lelaki dan perempuan. Namun dalam beberapa kasus sekunder ketika masalah kelamin ada arti khususnya, posisi lelaki dan perempuan, kendatipun setara, beda.



11
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

BAB 21 - Nabi Muhammad saw
Nabi Muhammad bin Abdullah saw adalah nabi terakhir. Lahir pada tahun 570 M di Mekah. Diutus menjadi nabi ketika berusia empat puluh tahun. Selama tiga belas tahun Nabi saw berdakwah Islam di Mekah. Di Mekah Nabi saw mengalami banyak sekali kesulitan. Selama periode Mekah ini Nabi saw mendidik beberapa orang pilihan. Kemudian Nabi saw hijrah ke Madinah. Di Madinah Nabi saw mendirikan sentranya. Selama sepuluh tahun Nabi saw terang-terangan berdakwah Islam di Madinah. Nabi saw melakukan sejumlah perang yang berhasil menundukkan kaum Arab yang arogan. Pada akhir periode ini seluruh jazirah Arab memeluk Islam. Al-Qur'an Suci diwahyukan kepadanya secara bertahap dalam waktu dua puluh tiga tahun. Kaum Muslim memperlihatkan dedikasi yang luar biasa dan takzim kepada Al-Qur'an dan kepada pribadi Nabi Muhammad saw. Nabi saw wafat pada tahun 11 H pada tahun ke-23 misi kenabiannya dalam usia enam puluh tiga tahun. Nabi saw meninggalkan suatu masyarakat yang belum lama lahir, suatu masyarakat yang penuh dengan semangat spiritual, suatu masyarakat yang mempercayai suatu ideologi yang konstruktif dan yang menyadari tanggung jawabnya di dunia.

Ada dua hal yang memberi masyarakat yang baru lahir ini semangat antusiasme dan persatuan: Pertama, Al-Qur'an yang menyemangati kaum Muslim, yang senantiasa dibaca oleh kaum Muslim. Kedua, pribadi mulia dan berpengaruh Nabi saw yang sangat memesona kaum Muslim. Kini kami bahas secara ringkas pribadi Nabi Suci saw.

Masa Kanak-kanak

Muhammad saw masih berada dalam rahim ibundanya, ketika ayahandanya, yang kembali dari perjalanan bisnis ke Syiria, meninggal di Madinah. Kemudian Abdul Muthalib, kakeknya, mengambil alih pengasuhannya. Sejak kanak-kanak, tanda-tanda bahwa kelak dia akan menjadi nabi sudah terlihat jelas dari keistimewaan dan perilakunya. Abdul Muthalib secara intuitif mendeteksi bahwa cucunya memiliki masa depan yang luar biasa cemerlang.

Muhammad saw baru berusia delapan tahun ketika kakeknya juga meninggal. Dan sesuai dengan wasiat kakeknya, pengasuhan Muhammad saw diberikan kepada paman Muhammad saw yang bernama Abu Thalib as. Abu Thalib as juga terkejut ketika tahu bahwa perilaku anak ini beda dengan perilaku anak-anak lainnya. Tak seperti anak-anak sekitamya, Muhammad saw tak pemah tamak dengan makanan. Dan tak seperti adat yang berlaku pada masa itu, Muhammad saw selalu menyisir rapi rambutnya, dan wajah serta tubuh Muhammad saw selalu bersih.

Suatu hari Abu Thalib ingin Muhammad saw berganti pakaian di hadapan Abu Thalib sebelum pergi tidur. Si kecil Muhammad saw tak menyukai keinginan seperti itu. Namun karena tak dapat mentah-mentah menolak keinginan pamannya, si kecil Muhammad saw meminta pamannya untuk memalingkan mukanya ketika Muhammad saw melepaskan pakaiannya. Tentu saja Abu Thalib kaget, karena orang dewasa Arab sekalipun pada masa itu tak menolak bila diminta telanjang bulat di hadapan orang lain. Kata Abu Thalib: "Aku tak pernah mendengar dia berbohong, juga tak pernah aku melihat dia melakukan sesuatu yang tak senonoh. Kalau perlu saja Muhammad tertawa. Dia juga tak ingin ikut dalam permainan anak-anak. Dia lebih suka sendirian, dan selalu sopan, rendah hati dan bersahaja."

Tak Suka Nganggur dan Malas-malasan

Beliau saw tak suka nganggur dan bermalas-malasan. Beliau saw senantiasa mengucapkan: "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan, ketidakberdayaan dan sesuatu yang tak ada nilainya." Beliau saw selalu menyuruh kaum Muslim untuk bekerja keras dan kreatif. Beliau saw selalu mengatakan bahwa kemuliaan itu memiliki tujuh bagian, dan bagian terbaiknya adalah mencari nafkah dengan halal.

Jujur

Nabi saw, sebelum diutus menjadi rasul, mengadakan perjalanan ke Syiria untuk kepentingan Khadijah as. Dan Khadijah as ini di kemudian hari menjadi istrinya. Perjalanan ini, lebih dari sebelumnya, memperjelas kejujuran dan efisiensinya. Kejujuran dan keandalannya jadi begitu terkenal, sampai-sampai dia mendapat julukan tepercaya (al-Amin). Orang mempercayakan penjagaari harta mereka yang berhafga kepada Muhammad saw. Bahkan setelah diutus menjadi rasul, meskipun memusuhinya, kaum Quraisy tetap saja menyerahkan penjagaan harta berharga mereka kepadanya karena merasa yakin akan aman di tangannya. Itulah sebabnya ketika hijrah ke Madinah, Muhammad saw meninggalkan Imam Ali bin Abi Thalib as untuk beberapa hari demi mengembali-kan titipan kepada para pemiliknya.

Menentang Kezaliman

Pada masa pra-Islam, ada perjanjian yang dibuat oleh para korban kekejaman dan kezaliman dengan tujuan untuk melakukan upaya bersama guna melindungi kaum tertindas terhadap para tiran yang zalim. Perjanjian ini dikenal dengan nama "Hilful Fudhûl". Perjanjian ini dibuat di rumah Abdullah bin Jad'in di Mekah oleh tokoh-tokoh penting tertentu pada masa itu. Kemudian, selama masa kenabiannya, Muhammad sering menyebut perjanjian ini. Beliau mengatakan masih mau ikut dalam perjanjian serupa, dan tak mungkin melanggar isi perjanjian.

Sikap Terhadap Keluarga

Muhammad saw baik hati sikapnya terhadap keluarganya. Terhadap istri-istrinya, Muhammad saw tak pernah kasar sikapnya. Orang-orang Mekah pada umumnya merasa aneh dengan perilaku baik seperti itu. Nabi saw mentoleransi perkataan sebagian istrinya yang terasa menyakitkan hati, meskipun perkataan semacam itu tidak disukai sebagian istrinya yang lain. Nabi dengan penuh empati mengajak para pengikutnya untuk bersikap baik hati terhadap istri-istri mereka, karena, seperti sering kali diucapkannya, lelaki dan perempuan itu keduanya sama-sama memiliki sifat baik dan sifat buruk. Suami tidak boleh cuma gara-gara kebiasaan istri­nya yang tak menyenangkan lalu menceraikannya. Jika suami tak menyukai beberapa sifat istrinya, istri tentu memiliki sifat-sifat lain yang menyenangkannya. Dengan demikian urusannya jadi seimbang. Nabi Suci saw sangat menyayangi anak-anak dan cucu-cucunya. Nabi saw memperlihatkan rasa cinta dan kelembutan hatinya kepada mereka. Nabi saw mencintai mereka, memangku mereka, mendudukkan mereka di atas kedua bahunya dan menciumi mereka. Semua ini bertentangan dengan adat dan kebiasaan masyarakat Arab pada masa itu.

Nabi saw juga memperlihatkan rasa cinta dan kasih sayang kepada anak-anak kaum Muslim. Nabi saw memangku mereka dan mengusap-usap kepala mereka. Para ibu sering kali membawa anak-anak mereka kepada Nabi saw untuk mendapatkan berkahnya. Bahkan pernah ada kejadian anak mengencingi pakaian Nabi saw. Dan para ibu pun jadi marah serta merasa malu. Sebagian ibu mencoba menghentikan anak main air. Namun Nabi Suci Saw. meminta ibu-ibu itu untuk tidak mengganggu anak tersebut. Nabi saw mengatakan bahwa anak itu akan membersihkan pakaiannya kalau pakaian itu kotor.

Sikap Terhadap Sahaya

Nabi saw luar biasa baik hati sikapnya terhadap kaum sahaya. Nabi saw suka mengatakan kepada orang bahwa sahaya adalah saudara. Nabi saw mengatakan: "Beri mereka makanan sepeiti yang kamu makan, pakaian seperti yang kamu pakai. Jangan paksa mereka mengerjakan sesuatu yang terlalu sulit bagi mereka. Beri mereka pekerjaan mereka, dan bantulah mereka dalam melaksanakan pekerjaan. Jangan panggil mereka dengan sebutan budak, karena semua manusia adalah hamba Allah. Allahlah Tuan sejati bagi semua manusia. Panggillah sahaya lelaki dan sahaya perempuanmu dengan panggilan anak muda."

Islam memberikan kepada kaum sahaya semua kemudahan yang dapat diberikan, kemudahan yang melahirkan kemerdekaan penuh mereka. Nabi Suci saw menggambarkan perdagangan sahaya sebagai seburuk-buruk pekerjaan. Nabi saw mengatakan bahwa orang yang memperdagangkan manusia adalah seburuk-buruk orang di mata Allah SWT.

Bersih, Rapi dan Memakai Wewangian

Nabi saw sangat menyukai kebersihan, kerapian dan wewangian. Nabi saw mendorong sahabat dan pengikutnya untuk menjaga kebersihan tubuh dan rumah mereka dan untuk memakai we­wangian. Nabi saw khususnya mengajak mereka untuk mandi dan memakai wewangian pada hari-hari Jumat agar tak ada bau badan yang tak sedap yang dapat mengganggu jamaah salat Jumat.

Perilaku Sosial

Dalam kehidupan di tengah masyarakat, Nabi saw selalu baik hati, riang dan sopan terhadap semua orang. Nabi saw selalu yang lebih duluan memberikan salam, sekalipun kepada anak-anak dan para sahaya. Nabi saw tak pernah meregangkan kakinya di hadapan orang, dan tak pernah berbaring di hadapan orang. Kalau tengah bersama Nabi saw, semua orang duduk mengelilingi Nabi saw. Tak ada yang punya tempat khusus. Nabi saw selalu memperhatikan sahabat-sahabatnya. Kalau Nabi saw tak melihat siapa pun di antara sahabat-sahabatnya itu selama dua atau tiga hari, Nabi saw menanyakannya. Jika ternyata sahabat itu sakit, Nabi saw menjenguknya. Dan jika sahabat itu mendapat kesulitan, Nabi saw berupaya memecahkan problemnya. Dalam majelis, Nabi saw tak pernah bicara atau memberi perhatian hanya kepada seseorang, namun Nabi saw bicara dan memberikan perhatian kepada semuanya. Nabi saw tak suka kalau Nabi saw tinggal duduk saja lalu orang melayaninya. Nabi saw sendiri ikut dalam semua yang harus dikerjakan. Nabi saw suka mengatakan bahwa Allah SWT tak suka melihat seorang hamba yang merasa unggul sendiri.

Lembut Namun Tegas

Dalam masalah pribadi, Nabi saw lembut, simpatik dan toleran. Pada banyak peristiwa sejarah, toleransi Nabi saw merupakan salah satu alasan kenapa Nabi saw sukses. Namun dalam masalah prinsip ketika mengenai masalah kepentingan masyarakat atau hukum, Nabi saw tegas dan tak pernah memperlihatkan sikap toleran. Ketika peristiwa penaklukan atas Mekah dan kemenangan Nabi saw atas kaum Quraisy, Nabi saw mengabaikan kesalahan-kesalahan yang pernah mereka lakukan terhadap diri Nabi selama dua puluh tiga tahun. Nabi saw justru menyatakan amnesti umum. Nabi saw menerima permintaan maaf pembunuh paman tercintanya, Hamzah. Namun Nabi saw menjatuhkan hukuman kepada seorang wanita Bani Makhzum yang mencuri. Padahal wanita ini dari keluarga yang sangat terhormat, yang memandang penerapan hukuman atas dirinya sebagai penghinaan besar bagi keluarga tersebut. Keluarga ini tak henti-hentinya meminta Nabi saw untuk memaafkannya. Beberapa sahabat terkenal Nabi saw juga memintakan pengampunan baginya. Namun Nabi saw dengan marah me­ngatakan bahwa tidaklah mungkin karena untuk kepentingan seseorang lalu hukum Allah tidak diterapkan. Pada sore hari itu juga Nabi saw menyampaikan khotbah:

"Bangsa-bangsa dan umat-umat terdahulu mengalami kemunduran dan lalu punah akibat mereka bersikap diskriminatif dalam pelaksanaan hukum Allah. Kalau orang berpengaruh berbuat kejahatan, dia dibiarkan begitu saja. Namun jika orang lemah dan tak penting berbuat kejahatan, dia dihukum. Aku bersumpah demi Allah yang di tangan-Nya jiwaku bahwa aku akan tegas dalam melaksanakan keadilan sekalipun yang berbuat salah itu salah seorang keluargaku."

Ibadah

Untuk sebagian malam, terkadang separo malam, dan terkadang sepertiga atau dua pertiga malam, Nabi saw selalu melakukan ibadah. Meski siang harinya sibuk, khususnya selama Nabi saw berada di Madinah, Nabi saw tak pernah mengurangi waktu ibadahnya. Nabi saw menemukan kenikmatan penuh dalam ibadah dan berkomunikasi dengan Allah SWT. Ibadahnya merupakan ungkapan cinta dan rasa syukur, dan motivasinya bukan keinginan masuk surga, juga bukan karena takut neraka.

Suatu hari salah seorang istrinya bertanya kepada Nabi saw, bahwa kenapa Nabi saw begitu kuat dedikasinya untuk ibadah? Jawab Nabi saw: "Kepada siapa lagi aku mesti bersyukur, kalau bukan kepada Tuhanku?"

Nabi saw sangat sering berpuasa. Di samping puasa di bulan Ramadhan dan di sebagian bulan Syakban, Nabi saw selalu puasa dua hari sekali. Nabi saw selalu melewatkan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dengan iktikaf di masjid. Dalam iktikaf ini Nabi saw mencurahkan segenap waktunya untuk ibadah. Namun kepada umatnya Nabi saw mengatakan bahwa sudah cukup kalau berpuasa tiga hari setiap bulannya. Nabi saw suka mengatakan bahwa ibadah dikerjakan menurut kemampuan masing-masing, dan tidak boleh memaksakan diri, karena kalau dipaksakan, maka efeknya akan buruk. Nabi saw menentang kehidupan rahib, menentang sikap hidup yang tak mau terlibat dalam urusan duniawi, dan menentang sikap hidup yang menolak kehidupan berkeluarga. Beberapa sahabat Nabi saw mengutarakan niat untuk hidup seperti rahib. Nabi saw mencela mereka. Nabi saw sering mengatakan:

Tubuh, istri, anak-anak dan sahabat-sahabatmu semuanya punya hak atas dirimu, dan kamu hams memenuhi kewajibanmu."

Bila salat sendirian, salat Nabi saw lama, bahkan terkadang Nabi saw berjamjam menunaikan salat sebelum subuh. Namun bila salat berjamaah, salat Nabi saw tidak lama. Dalam hal ini Nabi saw memandang penting memperhatikan orang-orang usia lanjut dan orang-orang yang lemah jasmaninya di antara para pengikutnya.

Hidup Sederhana

Hidup sederhana merupakan salah satu prinsip hidup Nabi saw. Makanan Nabi saw sederhana. Pakaian yang dikenakannya sederhana. Nabi saw, bila mengadakan perjalanan, caranya sederhana. Nabi saw lebih sering tidur di atas tikar, duduk di tanah, dan memerah susu kambing dengan kedua tangannya sendiri. Nabi saw, bila naik binatang tunggangan, tidak memakai pelana. Kalau sedang naik binatang tunggangan, Nabi tak mau ada pengiringnya. Makanan pokok Nabi saw adalah roti dan kurrna. Nabi saw memperbaiki sepatunya sendiri dan menjahit pakaiannya sendiri dengan kedua tangannya sendiri. Kendati hidup bersahaja, Nabi saw tak pernah menganjurkan filosofi asketisisme (hidup dengan disiplin diri yang keras dan berpantang dari segala bentuk kesenangan atau kenikmatan—pen.). Nabi saw percaya bahwa uang perlu dibelanjakan untuk kepentingan masyarakat dan untuk tujuan-tujuan halal lainnya. Nabi saw biasa mengatakan: "Sungguh menyenangkan kekayaan itu, jika didapat dengan cara yang halal oleh orang yang tahu cara membelanjakannya."

Nabi saw juga mengatakan: "Kekayaan merupakan bantuan yang baik bagi ketakwaan."

Ketetapan Hati dan Sabar

Tekad atau kemauan keras Nabi saw sungguh luar biasa. Tekad ini mempengaruhi para sahabatnya juga. Periode kenabiannya benar-benar merupakan pelajaran tentang kemauan keras dan kesabaran. Dalam masa hidupnya, beberapa kali kondisi sedemikian rupa sehingga kelihatannya tak ada lagi harapan, namun tak pernah ada kata gagal dalam benaknya. Keyakinannya bahwa dirinya pada akhirnya akan sukses, tak pernah goyah sekejap pun.

Kepemimpinan, Administrasi dan Konsultasi

Sekalipun para sahabat Nabi saw menjalankan setiap perintah Nabi saw tanpa ragu, dan berulang-ulang mengatakan percaya penuh kepada Nabi saw dan bahkan mau terjun ke sungai atau ke dalam kobaran api jika saja Nabi saw memerintahkannya, namun Nabi saw tak pernah menggunakan cara-cara diktator. Mengenai masalah-masalah yang belum ada ketentuan khususnya dari Allah SWT, Nabi saw berkonsultasi dengan sahabat-sahabatnya dan menghargai pandangan mereka, dan dengan demikian membantu mereka mengembangkan pribadi mereka. Ketika Perang Badar, Nabi saw menyerahkan persoalan mengambil aksi militer untuk menghadapi musuh, memilih lahan untuk mendirikan tenda, dan mengenai perlakuan terhadap tawanan, kepada nasihat sahabat-sahabatnya. Ketika Perang Uhud, Nabi saw berkonsultasi soal perlu tidaknya tentara Muslim bertempur dari dalam kota Madinah ataukah tentara Muslim perlu keluar dari kota. Nabi saw juga berkonsultasi dengan para sahabatnya ketika Perang Ahzab dan Tabuk.

Kebaikan had dan toleransi Nabi saw, keinginannya untuk mengupayakan ampunan bagi dosa-dosa umatnya, sahabat-sahabat­nya dan konsultasi dengan mereka yang dipandangnya penting, merupakan faktor-faktor utama yang memberikan sumbangsih bagi pengaruhnya yang luar biasa di kalangan para sahabatnya. Fakta ini ditunjukkan oleh Al-Qur'an. Al-Qur'an memfirmankan:

Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan din dari sekelitingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (QS. A^li 'Imrân: 159)

Teratur dan Tertib

Semua tindakan Nabi saw teratur dan tertib. Nabi saw bekerja sesuai dengan jadwal. Nabi saw mengajak para sahabatnya untuk berbuat sama. Berkat pengaruh Nabi saw, para sahabat jadi penuh disiplin. Bahkan ketika Nabi saw memandang perlu merahasiakan keputusan tertentu agar musuh tidak menaruh syak wasangka terhadap kaum Muslim, para sahabat serta merta melaksanakan perintah Nabi saw. Misal, Nabi saw pernah memerintahkan agar para sahabat bergerak esok hari. Keesokan harinya semua sahabat yang diperintah itu bergerak bersama Nabi saw tanpa tahu maksud finalnya, dan para sahabat baru tahu maksudnya pada saat-saat terakhir. Terkadang Nabi saw memerintahkan beberapa orang untuk bergerak ke arah tertentu, memberikan surat untuk komandan mereka dan memerintahkan agar komandan tersebut membuka surat itu begitu sampai di tempat tertentu dan agar bertindak sesuai dengan perintah. Sebelum mencapai tempat tertentu, mereka tidak tahu maksud mereka dan untuk apa mereka ke sana. Dengan cara ini Nabi saw membuat musuh dan mata-mata tak tahu apa-apa, dan sering kali musuh serta mata-mata tak menduganya.

Mau Mendengarkan Kritik dan Tak Suka Pujian yang Bersifat Menjilat

Terkadang Nabi saw terpaksa menghadapi kritik para sahabat. Namun tanpa bersikap keras terhadap mereka, Nabi saw menjelas-kan keputusannya, dan para sahabat pun akhimya mau menerima. Nabi saw membenci sekali pujian yang bersifat menjilat. Nabi saw mengatakan: "Lemparkan debu ke wajah orang yang menjilat."

Nabi saw suka bekerja sempurna. Nabi saw biasa mengerjakan sesuatu dengan benar dan efisien. Ketika Sa'ad bin Mu'adz meninggal dan kemudian dibaringkan di makamnya, Nabi saw dengan kedua tangannya sendiri meletakkan batu dan bata di makam Sa'ad persis pada tempatnya dan dengan efisien. Nabi saw bersabda: "Aku mau segalanya dikerjakan dengan benar dan efisien."

Memerangi Kelemahan

Nabi saw tidak mengeksploitasi titik lemah dan kebodohan orang. Nabi saw justru berupaya memperbaiki kelemahan orang dan membuat orang mengetahui apa yang tidak mereka ketahui sebelumnya. Pada hari meninggalnya putra Nabi saw yang berusia tujuh belas bulan, kebetulan terjadi gerhana matahari. Orang pada mengatakan bahwa gerhana tersebut terjadi karena duka cita yang merundung Nabi saw. Nabi saw tidak tinggal diam menghadapi pikiran yang keliru ini. Nabi saw kemudian naik ke mimbar dan mengatakan: "Wahai manusia! Bulan dan matahari adalah dua tanda dari Allah. Terjadinya gerhana keduanya bukan karena kematian seseorang."

Memiliki Kualitas Sebagai Pemimpin

Nabi saw memiliki kualitas maksimum kepemimpinan seperti sifat mau tahu orang, teguh had, efisien, berani, tak takut meng­hadapi konsekuensi suatu tindakan, mampu melihat ke depan, mampu menghadapi kritik, mengakui kemampuan orang lain, mendelegasikan kekuasaan kepada orang lain yang mampu, luwes dalam masalah pribadinya, keras dalam masalah prinsip, memandang penting orang lain, memajukan bakat intelektual, emosional dan praktis mereka, menjauhkan diri dari praktik lalim, tidak meminta ketaatan buta, bersahaja dan rendah hati, bermartabat dan sangat memperhatikan pengelolaan sumber daya manusia. Nabi saw sering mengatakan: "Jika kamu bertiga mengadakan perjalanan bersama, maka pilih salah satu dari kalian sebagai pemimpin."

Di Madinah, Nabi saw mendirikan sebuah sekretariat khusus. Nabi saw menunjuk sekelompok orang untuk melaksanakan pekerjaan tertentu. Ada ahli tulis wahyu yang bertugas menulis Al-Qur'an. Beberapa orang diberi amanat membuat draft dan menulis surat khusus. Beberapa orang diberi tugas mencatat transaksi legal. Beberapa orang diberi tanggung jawab memegang pembukuan. Beberapa orang diberi tanggung jawab membuat draft perjanjian. Semua perincian ini dicatat dalam buku sejarah seperti "Tarikh Ibn Wazih, al-Ya'qubi, at-Tanbîh wa al-Isyrâf karya Mas'udi, "Mu'jam al-Buldân" karya al-Bilâdzuri dan "at-Thabaqât" karya Ibn Sa'ad.

Metode Berdakwah

Dalam mendakwahkan Islam, metode Nabi saw lembut, tidak keras. Nabi saw terutama berupaya membangkitkan harapan, dan menghindari penggunaan ancaman. Kepada salah seorang sahabat, yang diutus Nabi saw untuk mendakwahkan Islam, Nabi saw mengatakan: "Bersikaplah yang menyenangkan, dan jangan bersikap keras. Katakan apa yang menyenangkan hati orang, dan jangan buat mereka jadi bend."

Nabi saw memiliki perhatian yang aktif terhadap dakwah Islam. Pernah Nabi saw pergi ke Thaif untuk berdakwah. Pada musim haji, Nabi saw suka menyeru berbagai suku dan menyampaikan pesan Islam kepada mereka. Nabi saw pemah mengutus Imam Ali bin Abi Thalib as dan pada kesempatan lain Mu'adz bin Jabal ke Yaman untuk berdakwah. Sebelum ke Madinah, Nabi saw mengutus Mus'ab bin Umair untuk berdakwah di Madinah. Nabi saw mengutus sejumlah sahabat ke Ediiopia. Di samping untuk meng­hindari penganiayaan kaum musyrik Mekah, mereka mendakwah­kan Islam di Ethiopia dan memuluskan jalan bagi diterimanya Islam oleh Negus, Raja Ethiopia, dan 50 persen penduduk Ediiopia. Pada tahun ke-6 Hijrah, Nabi saw mengirim surat kepada pemimpin sejumlah negara di berbagai bagian dunia dan mengenalkan kepada mereka tentang kenabiannya. Sekitar seratus surat yang ditulis Nabi untuk berbagai pemimpin, sampai sekarang masih ada.

Mendorong Pengetahuan

Nabi saw mendorong para sahabat untuk mencari ilmu. Nabi saw mewajibkan anak-anak mereka untuk belajar membaca dan menulis. Nabi saw memerintahkan sebagian sahabat untuk belajar bahasa Syiria kuno. Nabi saw sering berkata: "Setiap Muslim wajib menuntut ilmu."

Nabi saw juga mengatakan: "Di mana pun kamu mendapati satu ilmu yang berguna, ambillah. Tak masalah apakah ilmu itu ada pada orang kafir atau orang munafik."

"Tuntutlah ilmu sekalipun hams pergi ke negeri Cina."

Penekanan arti pentingnya ilmu ini menjadi sebab kenapa kaum Muslim begitu cepat tersebar ke seluruh penjuru dunia untuk menuntut ilmu dan untuk mencari karya-karya ilmiah. Kaum Muslim tidak saja menerjemahkan karya-karya ini, namun juga menelitinya. Dengan begitu mereka menjadi penghubung antara budaya-budaya kuno Yunani, Roma, Iran, Mesir serta India, dan budaya modern Eropa. Dengan berlalunya waktu, kaum Muslim sendiri menjadi pendiri salah satu peradaban dan budaya terbesar dalam sejarah manusia, yang oleh dunia dikenal sebagai peradaban dan budaya Muslim.

Karakter dan perilaku Nabi saw, seperti sabda dan agamanya, lengkap. Sejarah tak pernah menyaksikan pribadi lain selain Nabi saw yang berhasil mencapai kesempurnaan dalam semua dimensi manusia. Memang Nabi saw merupakan seorang manusia yang sempurna.



BAB 22 - Manusia dan Al-Qur'an
Menurut konsepsi Islam, luar biasa sejarah manusia. Menurut Islam, manusia bukan sekadar "homo erectus-berkaki dua" yang dapat bicara dan berkuku lebar. Dari sudut pandang Al-Qur'an, manusia juga terlalu dalam dan misterius untuk didefinisikan dengan cara sederhana. Al-Qur'an, di samping menyanjung, juga memandang rendah manusia. Al-Qur'an sangat memuji manusia, dan juga sangat memperoloknya. Al-Qur'an menggambarkan manusia sebagai makhluk yang lebih unggul daripada langit, bumi dan para malaikat, dan sekaligus menyatakan bahwa manusia bahkan lebih rendah daripada setan dan binatang buas. Al-Qur'an berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki cukup kekuatan untuk mengendalikan dunia dan memperoleh jasa para malaikat, namun manusia juga sering kali terpuruk. Manusialah yang mengambil keputusan tentang dirinya sendiri dan yang menentukan nasibnya. Baiklah, kita awali dengan arti positif manusia sepeiti yang disebutkan dalam Al-Qur'an.
Sisi Positif Manusia

1. Manusia adalah wakil (khalifah) Allah SWT di muka bumi.

Ketika Allah SWT hendak menciptakan manusia, Allah SWT memberitahu para malaikat-Nya perihal maksud-Nya:

Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi orangyang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucihan Engkau? Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. al-Baqarah: 30)

Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa di muka bumi, dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. (QS. al-An'âm: 165)

2. Di antara seluruh ciptaan, manusia memiliki kemampuan yang paling tinggi untuk mendapatkan pengetahuan atau ilmu:

Dan Dia mengajarkan hepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar!" Mereka menjawab: "Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana." Allah berfirman: "Hai Adam, beritahulah mereka nama benda-benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama benda-benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Kukatakan kepadamu bahwa Sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" (QS. al-Baqarah: 31-33)

3. Fitrah manusia itu sedemikian rupa sehingga secara intuisi manusia tahu bahwa hanya ada satu Allah SWT. Kalau manusia tidak percaya dan ragu, maka hal itu abnormal dan merupakan penyimpangan dari fitrahnya:

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (QS. al-A'râf: 172) Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. (QS. ar-Rûm: 30)

4. Selain unsur-unsur material yang ada dalam materi non-organis, tumbuhan dan binatang, dalam fitrah manusia ada satu unsur ilahiah dan malaikat juga.

Manusia adalah perpaduan antara yang natural dan yang ekstra-natural, yang material dan yang non-material, yang jasadi dan yang rohani:

Yang membuat segala sesuatu yang Dia dptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan he dalam (tubuh)-nya roh (ciptaan)-Nya. (QS. as-Sajdah: 7-9)

5. Penciptaan manusia dilakukan dengan perhitungan yang matang, bukan kebetulan. Manusia adalah makhluk pilihan:

Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk. (QS. Thâhâ: 122)

Kepribadian manusia itu independen dan merdeka. Manusia adalah khalifah (wakil) yang diangkat Allah SWT dan memiliki misi serta tanggung jawab. Manusia dituntut untuk memperbaiki bumi dengan upaya dan prakarsanya, dan dituntut untuk memilih kesejahteraan atau kesengsaraan. Al-Qur'an memfirmankan:

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung, maka semuanya enggan memikul amanat itu, dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim lagi amat bodoh. (QS. al-Ahzâb: 72)

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus. Ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS. al-Insân: 2-3)

6. Manusia memiliki martabat dan kemuliaan. Allah SWT telah menjadikan manusia unggul atas banyak makhluk-Nya. Manusia baru dapat merasakan bagaimana Sesungguhnya dirinya itu kalau mewujudkan martabat dan kemuliaannya serta memandang dirinya tak pantas diperbudak dan tak layak berbuat
buruk:

Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik. Dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. al-Isrâ': 70)

7. Manusia mendapat anugerah berupa cita rasa wawasan moral. Manusia tahu mana yang baik dan mana yang buruk dengan menggunakan ilham alamiah:

Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepadajiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (QS. asy-Syams: 7-8)

8. Manusia tidak akan pernah cukup, tenang, atau puas dengan apa pun, kecuali kalau dia mengingat Allah SWT. Hasratnya tak ada ujungnya. Manusia cepat jenuh dengan apa pun yang didapatnya. Hanya dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT sajalah manusia baru dapat menenteramkan atau memuaskan dirinya:

Hanya dengan mengingat Allah sajalah hati menjadi tenteram. (QS. ar-Ra'd: 28)

Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, makapasti kamu akan menemui-Nya. (QS. al-Insyiqâq: 6)

9. Segala yang baik di bumi ini telah diciptakan untuk manusia. Al-Qur'an memfirmankan:

Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. (QS. al-Baqarah: 29)

Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya. (QS. al-Jâtsiyah: 13)

Karena itu manusia mempunyai hak untuk memanfaatkannya secara halal.

10. Manusia telah diciptakan untuk beribadah kepada Tuhannya saja dan untuk menerima perintah dari-Nya. Karena itu manusia berkewajiban menaati perintah Allah SWT:

Dan Aku tidak mendptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. adz-Dzâriyât: 56)

11. Manusia tak mungkin ingat siapa dirinya, kecuali kalau dia beribadah dan ingat kepada Tuhannya. Jika dia lupa Tuhannya, berarti dia lupa dirinya, dan berarti dia tak tahu siapa dirinya, untuk apa dirinya diciptakan, apa kewajibannya dan hendak ke mana dia. Al-Qur'an memfirmankan:

Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. (QS. al-Hasyr: 19)

12. Ketika manusia meninggal dunia, dan saat itu tirai jasmani yang menutupi roh atau jiwanya tersingkapkan, maka dia akan melihat dengan jelas banyak realitas yang sekarang ini gaib. Al-Qur'an memfirmankan:

Maka Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, maka pengtihatanmu pada hari itu amat tajam. (QS. Qâf: 22)

13. Bukan keuntungan materi saja yang diupayakan untuk dicapai oleh manusia. Memenuhi kebutuhan hidup akan materi bukanlah satu-satunya motivasi manusia. Manusia sering melakukan sesuatu untuk tujuan-tujuan yang lebih tinggi. Mungkin saja semua upayanya hanyalah untuk mendapatkan rida Penciptanya. Al-Qur'an memfirmankan:

Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. (QS. al-Fajr: 27-28) Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mukmin lelaki maupun perempuan (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (men­dapat) tempat-tempat yang bogus di surga 'Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar. Itulah keberuntungan yang besar. (QS. at-Taubah: 72)

Karena itu, dari sudut pandang Al-Qur'an, manusia adalah makhluk yang dipilih Allah SWT untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Manusia adalah makhluk setengah malaikat dan setengah materi. Secara naluriah manusia sadar akan Allah SWT. Manusia merdeka, memegang amanat Allah SWT, bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan atas dunia. Manusia mengendalikan alam, bumi dan langit. Manusia bisa bersemangat karena kebaikan atau karena kejahatan. Keberadaan manusia diawali dengan kelemahan, kemudian berangsur-angsur dia jadi kuat dan sempuma. Yang dapat menenteramkan atau memuaskan dirinya hanyalah ingat kepada Allah SWT. Kapasitas intelektual dan praktisnya tak ada batasnya. Martabat dan kemuliaan sudah menjadi sifat manusia. Sering kali tak ada aspek material dalam motivasi manusia. Manusia telah diberi hak untuk memanfaatkan secara halal anugerah alam ini, Namun manusia harus mempertanggung-jawabkannya kepada Tuhannya.

Sisi Negatif Manusia

Pada saat yang sama Al-Qur'an sangat mencela dan mengecam manusia. Al-Qur'an memfirmankan:

Sesungguhnya manusia itu amat zalim lagi amat bodoh. (QS. al-Ahzâb: 72)

Sesungguhnya manusia itu benar-benar sangat mengingkari nikmat. (QS. al-Hajj: 66)

Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas karena dia melihat dirinya serba cukup. (QS. al-'Alaq: 6-7)

Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa. (QS. al-Isrâ': 11)

Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri. Tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat) seakan-akan dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. (QS. Yunus: 12) Dan adalah manusia itu sangat kikir. (QS. al-Isrâ': 100)

Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah. (QS. al-Kahfi: 54)

Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila dia ditimpa kesusahan, dia berkeluh kesah. Dan apabila dia mendapat kebaikan, dia amat kikir. (QS. al-Ma'ârij: 19-21)

Apakah Manusia pada Dasarnya Baik atau Buruk?

Dari semua ini, apa yang dapat kita simpulkan? Apakah manusia, dari sudut pandang Al-Qur'an, baik dan buruk sekaligus, dan bukan saja begitu namun justru sangat baik dan sekaligus sangat buruk. Apakah manusia berkarakter ganda? Apakah separo dari dirinya terang, dan separo lainnya gelap? Mengapa Al-Qur'an, di satu pihak, begitu memuji manusia, dan di pihak lain begitu mencelanya?

Faktanya adalah Al-Qur'an memuji dan mencela manusia, bukan karena manusia adalah makhluk berkarakter ganda di mana karakter yang satu terpuji sedangkan karakter yang satunya lagi tercela. Al-Qur'an berpandangan bahwa secara potensial manusia memiliki seluruh poin positif, dan poin positif ini harus diwujudkannya. Manusialah yang harus membangun dirinya. Syarat utama yang harus dimiliki agar manusia benar-benar berhasil mewujudkan kualitas-kualitas positif yang secara potensial dimilikinya itu adalah imannya. Iman melahirkan ketakwaan, amal saleh dan upaya sungguh-sungguh di jalan Allah SWT. Karena imanlah maka ilmu menjadi alat yang bermanfaat, alih-alih menjadi alat untuk memenuhi hasrat keji.

Karena itu khalifah Allah SWT adalah sebenar-benar manusia. Manusia seperti inilah yang disujudi para malaikat. Segalanya diperuntukkan bagi orang yang memiliki segenap kebajikan manusiawi, yaitu manusia plus iman, bukan manusia minus iman. Manusia minus iman, maka dia cacat, tidak baik dan rusak. Manusia seperti ini serakah, haus darah, kikir dan bakhil. Dia kufur dan lebih buruk ketimbang binatang buas.

Ada ayat-ayat Al-Qur'an yang menjelaskan manusia seperti apa yang terpuji dan manusia seperti apa yang tercela. Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak beriman adalah bukan manusia sejati. Manusia yang mengimani Realitas yang tunggal dan merasa tenteram dan puas dengan mengimani-Nya dan mengingat-Nya, maka dia memiliki segenap kualitas yang unggul. Namun jika seseorang tidak mengimani Realitas itu (Allah), maka dia laksana pohon yang putus hubungan dengan akar-akarnya. Sebagai contoh, kami kutipkan di sini dua ayat:

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. al-'Ashr: 1-3)

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan darijin dan manusia. Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. al-A'râf: 179)

Makhluk Multidimensi

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kendati manusia memiliki banyak kesamaan dengan makhluk hidup lainnya, namun manusia beda sekali dengan mereka. Manusia adalah makhluk material maupun spiritual. Hal-hal yang benar-benar membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya membentuk dimensi-dimensi baru dalam diri manusia. Wilayah perbedaannya ada tiga: (1) wilayah penemuan (pengenalan) diri dan dunia; (2) wilayah kecenderungan-kecenderungan yang mempengaruhi pikiran manusia; (3) wilayah bagaimana manusia dipengaruhi oleh kecenderungan alaminya dan cara dia menyeleksi kecenderungan itu.

Sejauh menyangkut pengenalan akan diri dan akan dunia, binatang mengenal dunia melalui inderanya. Kualitas (kemampuan) ini dimiliki manusia maupun binatang. Dalam hal ini sebagian binatang bahkan lebih tajam inderanya dibanding indera manusia. Namun informasi yang dipasok indera kepada binatang maupun manusia bersifat dangkal dan luarnya saja. Indera tak dapat mengetahui karakter segala sesuatu, juga tak dapat mengetahui hubungan logis segala sesuatu itu.

Selain indera, manusia juga memiliki kekuatan yang memungkinkan dirinya untuk memahami dirinya dan dunia. Kekuatan misterius ini, yaitu kekuatan untuk memahami ini, tidak dimiliki makhluk hidup lainnya. Dengan kekuatan memahami ini, manusia dapat mengetahui hukum umum alam, dan dengan pengetahuan ini manusia dapat mengendalikan alam dan membuat alam melayani dirinya.

Dalam pembahasan terdahulu disebutkan pengetahuan seperti ini, suatu pengetahuan yang hanya dimiliki manusia, dan juga telah ditunjukkan bahwa mekanisme pemahaman intelektual merupakan salah satu mekanisme paling kompleks dan eksistensi manusia. Kalau mekanisme ini bekerja dengan benar, maka terbuka jalan yang luar biasa bagi manusia untuk mengenal dirinya. Melalui jalan ini manusia dapat mengetahui banyak realitas yang tak dapat diketahuinya melalui inderanya. Melalui kekuatan misterius ini, suatu kekuatan yang hanya dimiliki manusia, manusia dapat memperoleh pengetahuan tentang segala sesuatu yang tak terjangkau inderanya, khususnya pengetahuan filosofis tentang Allah SWT.

Sejauh menyangkut wilayah kecenderungan, manusia, seperti binatang lainnya, juga dipengaruhi dorongan material dan alamiah. Kecenderungannya untuk makan, tidur, bersetubuh, beristirahat dan sebagainya membuat materi dan alam menjadi perhatian manusia. Namun ini bukanlah satu-satunya kecenderungan atau dorongan yang ada pada diri manusia. Yang juga menjadi perhatian manusia adalah banyak hal lain yang sifatnya bukan material, yaitu hal-hal yang tak ada ukuran dan bobotnya, hal-hal yang tak dapat diukur dengan ukuran material. Kecenderungan dan dorongan spiritual yang sejauh ini teridentifikasi dan diterima adalah sebagai berikut:

1. Pengetahuan dan Informasi

Manusia tidak menghendaki pengetahuan yang hanya tentang alam saja dan yang hanya bermanfaat untuk peningkatan kualitas kehidupan materialnya saja. Dalam diri manusia ada naluri untuk mengetahui kebenaran. Manusia menginginkan pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri, dan menyukainya. Di samping sebagai sarana untuk dapat hidup lebih enak dan untuk melaksanakan tanggung jawab dengan lebih baik, pengetahuan seperti itu diperlukan sekali. Sejauh menyangkut kehidupan manusia, tak ada bedanya apakah manusia tahu atau tidak tahu misteri-misteri dari apa yang ada di luar galaksi sana, namun manusia tetap lebih suka untuk mengetahui misteri-misteri itu. Karena sudah menjadi fitrahnya, manusia membenci kebodohan, dan tertarik untuk mencari pengetahuan. Karena itu pengetahuan merupakan dimensi intelektual dalam eksistensi manusia.

2. Kebajikan Moral

Manusia, dalam melakukan perbuatan tertentu, tujuannya bukanlah untuk memperoleh keuntungan dari perbuatan tersebut, atau bukan pula untuk mencegah terjadinya kerugian, namun semata-mata karena adanya dampak sentimen tertentu yang disebut sentimen moral. Perbuatan itu dilakukannya karena dia percaya bahwa rasa kebajikannya menuntutnya untuk melakukan perbuatan itu. Misal saja seseorang terdampar di hutan belantara. Dia tak punya makanan, dan putus asa karena dia tahu tak ada yang dapat membantunya. Dia terancam bahaya kematian setiap saat. Sementara itu datang orang lain. Orang lain itu membantunya dan menyelamatkannya dari kematian yang kelihatannya segera bakal terjadi. Kemudian kedua orang ini berpisah, dan satu dengan yang lain tak bertemu. Setelah bertahun-tahun orang yang pernah putus asa itu bertemu orang yang pernah menyelamatkannya. Dan kini sang penyelamat itu kondisinya mengenaskan. Dia ingat sang juru selamat ini pernah menyelamatkan nyawanya. Dalam keadaan seperti ini, apakah had nurani orang ini tidak akan mendorongnya untuk melakukan perbuatan tertentu? Apakah had nurani tidak akan mengatakan bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan juga? Apakah had nurani tidak akan mengatakan kepadanya bahwa dia berkewajiban memperlihatkan rasa terima kasih kepada orang yang pernah berbuat baik kepadanya? Kami kira jawabannya adalah bahwa had nurani pasti akan berkata positif.

Kalau orang ini segera membantu orang itu, apa yang akan dikatakan had nurani orang lain? Kalau dia tetap tak peduli dan sedikit pun tidak memperlihatkan reaksi, apa kata hati nurani orang lain?

Tentu saja, dalam kasus pertama, hati nurani orang lain akan menghargai perbuatannya dan akan memujinya. Dan dalam kasus kedua, hati nurani orang lain akan menyalahkan dan mencelanya. Adalah hati nurani moral manusia yang mengatakan:

Tidak ada balasan untuk kebaikan kecuali kebaikan pula. (QS. ar-Rahmân: 60)

Karena itu barangsiapa menghendaki kebaikan dibalas dengan kebaikan, maka dia terpuji, dan barangsiapa tak peduli dengan kebaikan yang telah diterimanya, maka dia tercela. Perbuatan yang dilakukan karena hati nurani moral itu disebut perbuatan kebajikan moral.

Kebajikan moral merupakan ukuran untuk menilai banyak perbuatan manusia. Dengan kata lain, manusia melakukan banyak hal hanya karena nilai moralnya tanpa mempertimbangkan segi materialnya. Ini juga merupakan salah satu sifat manusia dan salah satu dimensi spiritualnya. Makhluk hidup lainnya tak memiliki ukuran seperti itu untuk menilai perbuatannya. Kebajikan moral dan nilai moral tak ada artinya bagi binatang.

3. Keindahan

Manusia memiliki dimensi mental yang lain. Yaitu rasa tertariknya kepada keindahan dan apresiasinya terhadap keindahan. Rasa estetisnya ini penting perannya dalam segenap bidang kehidupan. Manusia mengenakan pakaian untuk melindungi diri dari sengatan panasnya musim panas dan dinginnya musim dingin. Namun manusia juga memandang penting keindahan warna dan jahitan pakaiannya. Manusia membangun rumah untuk tempat tinggal. Namun manusia lebih memperhatikan keindahan rumahnya ketimbang yang lainnya. Dia memperhatikan prinsip-prinsip estetis dalam memilih meja makan dan barang tembikar dan bahkan dalam mempersiapkan makanan di meja makan. Manusia suka kalau penampilannya bagus, pakaiannya bagus, namanya bagus, tulisan tangannya bagus, kota dan jalanjalan kotanya bagus, dan semua pemandangan di depan matanya bagus. Pendek kata, manusia ingin segenap hidupnya dikelilingi kebaikan dan keindahan.

Bagi binatang, tak ada masalah keindahan. Yang penting bagi binatang adalah makanannya, bukan keindahan makanannya. Binatang tak peduli dengan pelana yang bagus, pemandangan yang bagus, tempat tinggal yang bagus dan sebagainya.

4. Memuja dan Menyembah

Memuja dan menyembah merupakan salah satu perwujudan tertua dan paling mantap dari jiwa manusia dan salah satu dimensi terpenting dari eksistensi manusia. Kalau kita kaji antropologi, kita akan tahu bahwa di mana dan kapan pun manusia ada, di situ ada memuja dan menyembah. Yang beda hanyalah bentuk penyembahan dan Tuhan yang disembah. Bentuk penyembahan juga beragam, mulai dari tarian dan gerakan bersama yang berirama yang disertai tata kebaktian dan bacaan, sampai bentuk penyembahan yang paling tinggi, yaitu menghambakan diri, dan bacaan yang paling maju. Sembahannya beragam, mulai dari kayu dan batu, hingga Wujud abadi yang wajib ada, Wujud yang bebas dari segala bentuk batasan ruang dan waktu.

Menyembah (ibadah) bukanlah rekayasa para nabi. Para nabi hanya mengajarkan cara beribadah yang benar. Para nabi juga mencegah dan melarang penyembahan kepada wujud Iain selain Allah SWT. Menurut ajaran agama yang tak terbantahkan, dan menurut pandangan yang dikemukakan sebagian pakar sejarah seperti Max Mueller, manusia purba adalah manusia tauhid, mereka menyembah satu Tuhan. Menyembah berhala, bulan, bintang atau manusia merupakan penyimpangan yang terjadi di kemudian hari. Dengan kata lain, bukanlah pada awalnya manusia menyembah berhala, menyembah manusia atau makhluk lain, dan berangsur-angsur karena perkembangan budaya lalu manusia menyembah Allah. Menyembah yang sering kali disebut dalam pengertian agama, pada umumnya ada pada kebanyakan orang.

Sudah dikutipkan sebelumnya perkataan Fromme yang berbunyi, "Manusia ada yang menyembah makhluk hidup, pohon, patung emas atau patung batu, Tuhan yang gaib, orang suci atau setan. Ada yang menyembah leluhurnya, bangsanya, kelasnya, kelompoknya, uang dan kesejahteraan. Manusia ada yang menyadari bahwa keyakinan agamanya beda dengan keyakinan non-agamanya, atau justru manusia beranggapan tak beragama. Pertanyaannya bukanlah apakah manusia beragama atau tidak, tetapi pertanyaannya adalah apa agamanya?"

William James, seperti dikutip Dr. Iqbal, mengatakan:

"Dorongan untuk beribadah merupakan konsekuensi wajib dari fakta bahwa karena bawah-sadar diri empiris manusia adalah diri sosial, maka diri sosial ini akan menemukan "sahabat luar biasa"-nya pada dunia ideal. Kebanyakan orang, baik terus-menerus maupun terkadang, menyebut-nyebut "sahabat luar biasa" ini. Orang buangan paling bersahaja di muka bumi ini pun baru akan merasa riil dan absah kalau dia memiliki pengakuan tinggi seperti ini." (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 89)

Profesor William James, mengenai universalitas pengertian seperti ini pada semua orang, mengatakan:

"Manusia barangkali berbeda sekali dalam sejauh mana mereka dibayangi perasaan bahwa ada pengawas ideal. Perasaan seperti ini merupakan bagian yang jauh lebih penting dari kesadaran sebagian orang, sedangkan pada sebagian orang lainnya kurang penting. Orang-orang yang sangat kuat perasaan seperti ininya, barangkali adalah orang-orang yang sangat religius. Namun saya yakin bahwa bahkan orang-orang yang mengaku tidak memiliki perasaan seperti ini, sebenarnya mereka tengah menipu diri mereka sendiri, dan sesungguhnya sedikit banyak mereka memiliki perasaan seperti ini." (The Reconstruction of Religious Thought in Islam)

Penciptaan pahlawan-pahlawan fiktif dari kalangan atlet, cendikiawan atau ulama terjadi karena dalam diri manusia ada nurani pemuliaan. Nurani ini menginginkan adanya wujud yang terpuji dan menawan hati, dan ingin memujinya sedemikian rupa sehingga wujud tersebut jadi dialami.

Pujian berlebihan manusia modern untuk pahlawan bangsa atau kelompoknya, dan pujiannya untuk kelompok, doktrin, ideologi, bendera, kampung halamannya, dan kesiapannya untuk bekorban demi semua ini, terjadi karena perasaan atau nurani seperti ini juga. Nurani ingin memuji merupakan hasrat naluriah untuk menyembah wujud yang luar biasa sempurna dan indah, satu wujud yang tak ada kelemahannya. Menyembah makhluk, apa pun bentuk penyembahan itu, merupakan penyimpangan perasaan atau nurani ini dari jalurnya yang benar.

Melalui ibadah atau menyembah, manusia ingin melepaskan diri dari keterbatasan eksistensinya untuk bergabung dengan satu kebenaran yang tak ada kelemahannya, yang tak akan hancur, atau yang tak ada batasnya. Ilmuwan besar Einstein mengatakan:

"Dalam keadaan seperti ini manusia sadar bahwa tujuan dan ambisinya tak ada harganya, dan merasa betapa hal-hal yang supranatural dan metafisis membuat dirinya terpesona dan kagum. Berdoa dan bersembahyang yang merupakan sarana untuk mencerahkan jiwa, adalah perbuatan wajar dan sangat dibutuhkan. Melalui sarana ini pulau kecil kepribadian kita sontak menemukan posisinya dalam totalitas kehidupan yang lebih besar." (The Reconstruction of Religious Thought in Islam)

Menyembah dan memuji menunjukkan suatu kemungkinan, suatu hasrat untuk keluar dari lingkungan material, dan suatu kecenderungan untuk masuk dalam cakrawala yang lebih tinggi dan lebih luas. Hasrat seperti ini hanya manusia saja yang punya. Karena itu menyembah atau beribadah merupakan satu lagi dimensi mental dan spiritual manusia.

Beragam dorongan hati mempengaruhi orang seorang. Dan pengaruhnya pada orang yang satu dan orang yang lain beragam. Dan dorongan hati mana yang dipilih oleh individu, antara individu yang satu dengan yang lain beragam pilihannya. Dan ini semua merupakan masalah yang akan dibahas nanti.


12
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

sambungan Bab 22....
Beragam Daya Manusia

Daya atau kekuatan tak perlu didefinisikan. Faktor yang menimbulkan pengaruh disebut daya atau kekuatan. Segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan sumber pengaruh. Karena itu segala sesuatu, apakah sesuatu itu benda non-organis ataukah tumbuhan, binatang atau manusia, memiliki daya atau kekuatan. Bila daya atau kekuatan ini disertai kesadaran, pemahaman dan hasrat, maka disebut kemampuan. Salah satu perbedaan antara binatang dan manusia di satu pihak, serta tumbuhan dan benda non-organis di lain pihak, adalah bahwa tak seperti benda non-organis dan tumbuhan, binatang dan manusia terdorong untuk menggunakan sebagian daya atau kekuatannya karena menginginkannya atau karena ada kecenderungan untuk menggunakan kekuatan itu atau karena ada rasa takut. Magnet memiliki sifat menarik besi secara otomatis akibat adanya tekanan alamiah. Namun magnet tak tahu kalau magnet tersebut efektif, juga tarikan magnet tersebut terjadi bukan karena kecenderungan magnet sendiri, keinginan magnet tersebut, juga bukan karena adanya rasa takut sehingga magnet tersebut dituntut untuk menarik besi. Begitu pula yang terjadi dengan api yang memiliki sifat membakar, tumbuhan yang memiliki sifat tumbuh, potion yang memiliki sifat berkembang dan berbuah. Namun binatang, bila berjalan, tahu apa yang tengah dilakukan. Binatang berjalan karena memang ingin berjalan. Binatang berjalan bukan karena paksaan. Itulah sebabnya dikatakan bahwa binatang berjalan karena memang memilih untuk berjalan. Dengan kata lain, beberapa daya binatang merupakan bawahan dari pilihannya. Binatang beraktivitas hanya bila me-nginginkannya.

Begitu pula dengan sebagian kekuatan manusia. Sebagian kekuatan manusia menjadi bawahan dari pilihannya. Namun ada satu perbedaan. Pilihan binatang dikendalikan oleh kecenderungan alamiah dan naluriahnya. Binatang tak berdaya menentang perintah nalurinya. Kalau nalurinya sudah tertarik untuk menuju ke arah tertentu, maka otomatis binatang itu akan ke arah tertentu tersebut. Binatang tak dapat melawan kecenderungan naluriahnya. Binatang juga tak dapat mempertimbangkan untung ruginya. Binatang tak dapat mengetahui bahwa suatu perbuatan, yang sekarang ini tidak menjadi kecenderungannya, kelak sangat dibutuhkan.

Namun yang terjadi pada din manusia tidaklah begitu. Manusia berdaya untuk menentang kecenderungan dan dorongan naluriah­nya, dan berdaya untuk tidak mengikuti kecenderungan dan dorongan naluriahnya. Manusia memiliki daya untuk memilah-milah, karena manusia memiliki daya lain yang disebut kehendak. Kehendak ini bekerja atas arahan akal atau fakultas intelektual manusia. Fakultas intelektual inilah yang membentuk pendapat, dan kehendaklah yang mempraktikkan pendapat tersebut.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa daya atau kekuatan manusia beda dengan daya atau kekuatan binatang. Perbedaannya adalah dalam dua hal. Pertama, manusia memiliki sejumlah kecenderungan dan dorongan spiritual yang membuat manusia dapat memperluas bidang aktivitasnya sampai ke cakrawala spiritualitas yang lebih tinggi, sedangkan binatang tak dapat keluar dari batas urusan ma­terial. Kedua, manusia memiliki daya akal dan kehendak. Dengan daya ini manusia dapat menolak kecenderungan naluriahnya dan dapat membebaskan diri dari pengaruh kecenderungan naluriah­nya yang bersifat memaksa itu. Manusia dapat mengendalikan kecenderungan naluriahnya dengan menggunakan akalnya. Manusia dapat menentukan batas bagi tiap kecenderungannya, dan ini merupakan bentuk kemerdekaan yang paling berharga.

Daya yang luar biasa ini hanya dimiliki manusia, sedangkan binatang tidak memiliki daya seperti ini. Daya inilah yang menjadikan manusia tepat untuk berkewajiban menaati ajaran agama. Daya ini pulalah yang membuat manusia punya hak untuk memilih, sehingga manusia benar-benar merupakan makhluk yang merdeka, berkemauan dan dapat menentukan pilihan.

Kecenderungan dan dorongan merupakan semacam ikatan antara manusia dan sesuatu yang berada di luar dirinya yang menarik manusia ke arah sesuatu tersebut. Kalau manusia semakin tunduk kepada kecenderungannya, maka dia semakin tak dapat mengendalikan dirinya dan semakin terperosok dalam kelesuan dan kesengsaraan batiniah. Nasibnya ditentukan oleh kekuatan yang berada di luar dirinya, suatu kekuatan yang menarik manusia ke arah tertentu. Sebaliknya, daya akal dan kehendak merupakan daya batiniah dan manifestasi personalitas sejati manusia.

Bila seseorang mendapat dukungan akal dan kehendak, berarti dia mendapat kekuatannya sendiri dan sekaligus menyingkirkan pengaruh luar, maka dia pun merdeka dan menjadi "pulau yang merdeka" di tengah samudra dunia ini. Dengan menggunakan akal dan kehendaknya, manusia menjadi tuan bagi dirinya sendiri, dan kepribadiannya pun memperoleh kekuatan. Bisa mengendalikan dan menjadi tuan bagi diri sendiri, dan bisa melepaskan diri dari pengaruh dorongan naluriah, merupakan objek sejati pendidikan Islam, suatu pendidikan yang tujuannya adalah kemerdekaan spiritual.

SadarDiri

Islam sangat menghendaki agar manusia kenal dirinya sendiri dan tahu posianya di alam semesta ini. Al-Qur'an menekankan agar manusia tahu siapa dirinya dan agar menyadari posisi dan statusnya di dunia ini sehingga dengan demikian dapat mencapai posisi yang tinggi yang sesuai bagi dirinya.

Al-Qur'an adalah sebuah kitab yang mengajarkan kepada manusia bagaimana membangun dirinya. Al-Qur'an bukanlah sebuah kitab yang berisi filsafat teoretis yang cuma mengurusi berbagai diskusi dan pandangan. Apa pun pandangan yang dikemukakan Al-Qur'an, itu dimaksudkan untuk dilaksanakan dan ditindaklanjuti. Al-Qur'an mau agar manusia mengenal siapa dirinya. Namun pengenalan diri ini tidak berarti manusia harus tahu siapa nama dirinya, siapa nama ayahnya, tahun berapa dia lahir, apa negerinya, siapa istrinya, atau berapa jumlah anaknya.

Diri yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang diberi nama "roh Tuhan". Mengenal diri ini artinya adalah manusia sadar akan martabat dan kehormatannya dan memahami bahwa bila dirinya berbuat keji maka hal itu tidak sesuai dengan (mencemarkan) posisinya yang tinggi. Manusia supaya sadar akan kesuciannya sendiri sehingga nilai moral dan sosial yang suci akan ada artinya bagi dirinya.

Bila Al-Qur'an mengatakan bahwa manusia adalah makhluk pilihan, Al-Qur'an ingin menjelaskan bahwa manusia bukanlah makhluk yang kebetulan ada berkat kejadian tertentu yang buta dan tuli seperti perpaduan atom-atom yang terjadi secara tidak disengaja. Al-Qur'an mengatakan bahwa manusia adalah makhluk pilihan, dan karena alasan itu manusia memiliki misi dan tanggung jawab. Tak syak lagi bahwa di dunia ini manusia adalah makhluk yang paling kuat dan kuasa. Kalau bumi beserta isinya kita samakan dengan rumah tinggal, maka dapat dikatakan bahwa manusia adalah tuan rumah ini. Namun betulkah manusia telah dipilih untuk menjadi tuan, atau manusia telah memanfaatkan dunia dengan kekuatan atau trik.

Berbagai mazhab filsafat material menyatakan bahwa karena kebetulan semata kalau manusia berkuasa. Jelaslah bahwa dengan pandangan seperti ini maka masalah misi dan tanggung jawab jadi tak ada artinya. Dari sudut pandang Al-Qur'an, manusia dipilih untuk menjadi tuan (penguasa) di muka bumi, karena manusia memiliki kompetensi dan tepat untuk itu. Manusia berkuasa bukan karena kekuatan atau karena perjuangan. Manusia dipilih oleh otoritas yang maha kompeten, yang tak lain adalah Allah Ta'ala. Karena itu, seperti makhluk lain yang juga dipilih, manusia mengemban misi dan tanggung jawab. Karena misinya dari Allah SWT, maka tanggung jawab manusia juga kepada Allah SWT.

Keyakinan bahwa manusia adalah makhluk pilihan dan diwujudkan dengan tujuan tertentu, menimbulkan pengaruh psikologis dalam diri individu, dan keyakinan bahwa manusia adalah produk dari sejumlah kejadian asal-asalan, menimbulkan pengaruh psikologis yang lain. Arti sadar diri adalah manusia supaya menyadari posisi riilnya di dunia ini. Dia supaya tahu bahwa dirinya bukanlah sekadar makhluk bumi. Dia merupakan refleksi dari ruh ilahiah yang ada dalam dirinya. Manusia supaya tahu bahwa, dalam hal pengetahuan, dirinya berada di depan (mengungguli) malaikat. Manusia merdeka, memiliki daya untuk memilih dan berkehendak, dan bertanggung jawab atas dirinya dan orang lain. Tanggung jawabnya antara lain adalah memajukan dunia:

Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya. (QS. Hud: 61)

Manusia supaya tahu bahwa dirinya adalah khalifah (wakil) yang ditunjuk Allah, SWT dan bahwa dirinya unggul bukan karena kebetulan. Karena itu manusia tidak patut mendapatkan sesuatu dengan lalim dan tidak patut mengira tak punya tanggung jawab.

Pengembangan Kemampuan

Ajaran Islam menunjukkan bahwa mazhab suci Islam juga memperhatikan semua dimensi yang dimiliki manusia, apakah dimensi fisis, spiritual, material, moral, intelektual, atau emosional. Mazhab suci Islam sangat memperhatikan semua dimensi ini, apakah individual atau kolektif, dan tidak mengabaikan aspeknya. Mazhab suci Islam memberikan perhatian khusus kepada pengembangan dan pemajuan semua dimensi ini sesuai dengan prinsip-prinsip tertentunya. Satu demi satu kami uraikan secara singkat.

Pengembangan Raga

Terialu banyak memperhatikan raga, dalam pengertian memuaskan hawa nafsu, sangat ditentang oleh Islam. Namun Islam memandang manusia berkewajiban menjaga kesehatan tubuhnya, dan mengharamkan setiap perbuatan yang merugikan atau membahayakan tubuh. Jika suatu kewajiban (seperti puasa) dinilai membahayakan kesehatan, bukan saja kewajiban tersebut kehilangan nilai wajibnya, bahkan dilarang. Setiap perbuatan yang tidak sehat, oleh Islam dianggap haram. Dan banyak garis kebijakan dikemukakan untuk kepentingan menjamin kesehatan tubuh dari sudut pandang ilmu kesehatan.

Sebagian orang tidak membedakan mana yang merawat tubuh, yang merupakan masalah kesehatan, dan mana yang memuaskan kenikmatan jasmani, yang merupakan masalah moral. Menurut mereka, karena Islam menentang pengumbaran nafsu jasmani, berarti Islam juga menentang pemeliharaan kesehatan jasmani. Mereka bahkan berpendapat bahwa perbuatan yang membahayakan kesehatan merupakan perbuatan moral dari sudut pandang Islam. Pikiran seperti ini pada umumnya salah dan membahayakan. Antara memelihara kesehatan dan pemuasan hawa nafsu, bedanya sangat besar.

Islam menentang hubungan seksual yang tidak bermoral. Mengumbar hawa nafsu menghalangi perkembangan spiritual. Mengumbar hawa nafsu bukan saja merugikan kesehatan jiwa, namun juga merugikan kesehatan jasmani. Bahkan bisa menghancur-kan kesehatan jasmani, karena mengumbar hawa nafsu menimbulkan keberlebihan, sedangkan keberlebihan pada dasamya mengganggu semua sistem tubuh.

Perkembangan Jiwa

Islam sangat memperhatikan perkembangan kemampuan mental dan pemikiran mandiri . Islam juga menentang semua yang bertentangan dengan kemandirian akal, seperti mengikuti secant membuta para leluhur atau orang terkemuka dan mengikuti mayoritas tanpa melakukan telaah. Mendorong daya kehendak, mendorong pengendalian din dan mendorong kemerdekaan dari kendali mutlak dorongan naluriah, merupakan basis dari banyak rukun dalam ibadah Islam dan ajaran Islam lainnya. Islam memberikan perhatian khusus untuk mendorong orang menyukai kebenaran, suka menuntut ilmu dan mendorong perkembangan rasa estetis dan mendorong orang untuk suka beribadah.

Peran Efektif Manusia dalam Membangun Masa Depannya

Di dunia ini ada dua jenis benda: organis dan non-organis. Benda non-organis seperti air, api, batu dan debu merupakan benda tak bernyawa, dan tak ada perannya dalam pembentukan atau peayempurnaan dirinya. Benda-benda ini terbentuk semata-mata karena dampak faktor-faktor dari luar dirinya, dan terkadang benda-benda ini jadi sempurna karena dampak faktor-faktor yang sama. Benda-benda ini tidak terlihat berupaya membangun atau mengembangkan dirinya.

Sebaliknya, kita melihat benda-benda hidup seperti tumbuhan, binatang dan manusia selalu berupaya melindungi din dari bahaya, kerugian atau kerusakan. Benda-benda hidup ini menerima materi lain tertentu dan berketurunan. Tumbuhan memiliki sejumlah kemampuan alamiah yang efektif dalam membentuk masa depannya. Tumbuhan memiliki daya untuk menyerap materi dari bumi dan udara. Tumbuhan memiliki daya yang membantunya dari dalam untuk tumbuh dan berkembang. Tumbuhan juga memiliki daya yang memungkinkannya beranak-pinak.

Binatang memiliki semua daya alamiah ini, di samping memiliki sejumlah daya sadar yang lain seperti indera untuk melihat, indera untuk belajar dan meraba, dan dorongan serta kecenderungan alamiah yang disebutkan sebelumnya. Melalui daya dan kemampuan ini, binatang di satu pihak melindungi dirinya dari kerugian dan kecelakaan, dan di pihak lain mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin pertumbuhan individualnya dan kelangsungan hidup spesiesnya. Dalam diri manusia ada semua daya dan kemampuan alamiah dan sadar yang ada dalam diri binatang dan tumbuhan. Manusia juga mempunyai sejumlah dorongan yang lain seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Manusia memiliki akal dan kehendak, sehingga nasib manusia sangat banyak ditentukan oleh manusia sendiri. Dan dengan akal dan kehendak ini manusia dapat menentukan masa depannya sendiri.

Dari apa yang telah dipaparkan jelaslah bahwa sebagian benda yang ada, seperti benda non-organis, tak berperan dalam me­nentukan masa depannya. Ada beberapa benda lagi yang memiliki peran untuk menentukan masa depannya, namun perannya bukan peran yang sadar dan merdeka. Alam mengarahkan daya yang ada dalam dirinya sedemikian rupa sehingga benda-benda ini secara tak sadar melindunginya dan membentuk masa depannya. Inilah yang terjadi pada tumbuhan. Ada lagi benda-benda lain yang perannya lebih besar. Peran benda-benda ini adalah peran yang sadar, meskipun tidak merdeka. Benda-benda ini berupaya menjaga kelangsungan eksistensinya dengan semacam kesadaran diri dan pengetahuan tentang lingkungannya. Itulah yang terjadi pada binatang. Namun peran manusia lebih aktif, lebih ekstensif dan lebih luas dalam menentukan masa depannya. Perannya adalah peran yang sadar dan peran yang merdeka. Manusia sadar akan dirinya dan juga lingkungannya. Melalui kehendak dan daya pikirnya manusia dapat memilih masa depannya seperti yang dikehendakinya. Peran manusia jauh lebih luas daripada peran binatang. Luasnya bidang peran manusia dalam menentukan masa depannya ini terjadi karena manusia memiliki tiga sifat khas:

1. Keluasan Informasinya

Dengan pengetahuannya manusia memperluas informasinya, dari informasi yang ringan tentang alam sampai informasi yang mendalam tentang alam. Manusia mengetahui hukum alam, dan dengan menggunakan hukum alam ini manusia dapat memola alam seperti yang dibutuhkan hidupnya.

2. Keluasan Hasratnya

Sifat khas manusia ini sudah dijelaskan dalam bab Manusia dan Binatang dan Manusia sebagai Makhluk Multidimensional.

3. Manusia Memiliki Kemampuan Khusus untuk Membentuk Dirinya

Tak ada makhluk lain yang dalam hal ini dapat disamakan dengan manusia. Meskipun pada organisme hidup tertentu lainnya seperti tumbuhan dan binatang dapat terjadi juga perubahan tertentu akibat faktor pelatihan khusus, namun organisme hidup ini tak dapat membuat sendiri perubahan ini. Manusialah yang membawa perubahan yang diperlukan organisme hidup ini. Lagi pula, kalau dibandingkan dengan manusia, kemungkinan berubah pada organisme hidup ini sangat terbatas.

Mengenai kemampuan dan kebiasaannya, manusia hanyalah makhluk potensial. Artinya, manusia lahir dalam keadaan tidak membawa kualitas dan kemampuan. Sebaliknya, binatang lahir dalam keadaan membawa sejumlah kemampuan khususnya. Meski manusia tak membawa kemampuan dan kebiasaan, namun dia mampu memperoleh banyak kemampuan. Secara berangsur-angsur manusia memiliki sejumlah "dimensi kedua" di samping dimensi bawaan sejak lahirnya. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mendapat dari hukum alam kuas untuk melukis dirinya sesuka-nya. Tak seperti bentuk organ tubuhnya yang mengalami pe-nyempurnaan ketika manusia masih ada di rahim ibunya, bentuk organ psjkologisnya yang dikenal sebagai kemampuannya, kebiasaannya dan karakter moralnya, sebagian besar mengalami penyempurnaan setelah manusia lahir.

Itulah sebabnya kenapa setiap makhluk, termasuk binatang, hanya seperti apa adanya. Hanya manusia saja yang dapat menjadi seperti apa yang dikehendakinya. Juga karena alasan inilah semua binatang dari satu spesies memiliki kemampuan dan sifat psikologis yang sama, di samping memiliki organ dan anggota badan yang sama. Kucing memiliki kebiasaan tertentu. Begitu pula anjing dan semut, misalnya. Kalau ada perbedaan di antara individu hewan itu, itu tidak penting. Namun perbedaan kebiasaan dan perbedaan karakter moral di antara individu manusia tak ada batasnya. Karena itu manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat memilih akan jadi apa dia.

Banyak riwayat menyebutkan bahwa pada Hari Kebangkitan nanti manusia akan dibangkitkan dalam bentuk yang sesuai dengan kualitas spiritualnya dan bukan dalam bentuk fisis tubuhnya. Dengan kata lain, manusia akan dibangkitkan dalam bentuk binatang yang paling mirip dengan dirinya dari segi kualitas moralnya. Orang-orang yang akan dibangkitkan dalam bentuk manusia adalah orang-orang yang kualitas moralnya dan dimensi spiritual sekundernya sesuai dengan martabat manusia. Dengan kata lain, orang-orang yang moral dan akhlaknya adalah moral dan akhlak manusia.

Berkat pengetahuannya, manusia dapat menundukkan alam dan memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Karena memiliki kemampuan untuk membentuk diri, maka manusia membentuk dirinya sesukanya, dan dengan demikian dia menjadi penentu masa depannya sendiri. Semua lembaga pendidikan, sekolah moral dan ajaran agama dimaksudkan untuk mengajari manusia cara membentuk masa depannya. Jalan lurus adalah jalan yang membawa manusia ke masa depan yang sejahtera, sedangkan jalan yang berliku adalah jalan yang membawa manusia ke masa depan yang porak-peranda dan sengsara. Allah SWT berfirman yang artinya:

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus. Ada yang bersyukur, dan ada pula yang kafir. (QS. al-Insân: 3)

Dari uraian di atas kita tahu bahwa pengetahuan dan iman ada perannya sendiri-sendiri dalam membentuk masa depan manusia.

Peran pengetahuan adalah menunjukkan jalan atau cara membentuk masa depan manusia. Pengetahuan membuat manusia dapat membentuk masa depannya sesukanya. Iman member! manusia petunjuk membentuk masa depannya sedemikian rupa sehingga masa depannya itu bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Iman mencegah manusia jangan sampai membentuk masa depan­nya dengan basis material dan individualistic. Iman mengarahkan hasrat manusia, agar manusia juga menginginkan hal-hal yang spiritual, jangan sampai manusia hanya terpaku pada hal-hal yang materialistis.

Pengetahuan bisa menjadi alat untuk memenuhi keinginan manusia. Pengetahuan membantu manusia mengelola alam. Namun pengetahuan tidak mau tahu bagaimana alam dipola dan apakah orang memanfaatkannya untuk kepentingan masyarakat atau untuk kepentingan individu-individu tertentu saja. Semuanya itu tergantung pada manusia yang memiliki pengetahuan. Sedangkan iman bekerja laksana kekuatan pengendali. Iman mengendali-kan keicenderungan manusia dan mengarahkan kecenderungan manusia ke jalan kebenaran dan moralitas. Iman membentuk manusia, dan manusia membangun dunia dengan kekuatan ilmu atau pengetahuannya. Kalau iman dan ilmu berpadu, maka manusia dan dunia akan seperti yang diharapkan.

4. Kehendak dan Kemerdekaan Manusia

Kendatipun manusia cukup merdeka untuk dapat mengembangkan organ psikologisnya, untuk dapat mengelola lingkungan alamnya menjadi seperti yang dikehendakinya, dan untuk dapat membentuk masa depannya, namun jelaslah manusia banyak keterbatasannya, dan kemerdekaannya hanya relatif. Dengan kata lain, kemerdekaannya ada batasnya, dan hanya dalam keterbatasan­nya itulah manusia dapat memilih masa depan yang cerah atau masa depan yang gelap.

Ada beberapa segi dalam keterbatasan manusia:

(i) Keturunan

Manusia datang ke dunia ini dengan membawa karakter manusia. Karena kedua orangtuanya manusia, maka dia mau tak mau manusia juga. Dari kedua orangtuanya dia mewarisi sejumlah karakter keturunan, seperti warna kulit dan matanya dan ciri-ciri lain tubuhnya yang sering kali tetap ditularkan selama beberapa generasi. Manusia tak dapat memilihnya. Ciri-ciri seperti itu diterimanya melalui proses pewarisan.

(ii) Lingkungan Alam dan Geografis

Lingkungan alam dan geografis manusia, dan daerah tempat dia besar, selalu menimbulkan sejumlah pengaruh pada tubuh dan jiwanya. Masing-masing daerah beriklim panas, daerah beriklim dingin dan daerah beriklim sedang, tak terelakkan berpengaruh pada jiwa dan moral masing-masing penduduknya. Begitu pula dengan daerah bergunung dan daerah gurun.

(iii) Suasana Sosial

Suasana sosial manusia merupakan faktor penting dalam membentuk karakteristik spiritual dan moralnya. Suasana sosial menetapkan agar manusia memiliki bahasa, tatacara sosial, adat dan agama.

(iv) Faktor Sejarah dan Waktu

Dari segi lingkungan sosial, manusia bukan saja dipengaruhi oleh masa kini, namun juga masa lalu penting perannya dalam membentuk wataknya. Pada umumnya ada mata rantai antara setiap wujud sekarang dan setiap wujud dahulu. Masa lalu dan masa depan suatu wujud tidak sepeiti dua benda yang satu sama lain benar-benar terpisah atua berdiri sendiri, namun seperti dua proses yang berkesinambungan. Masa lalu adalah benih dan nukleus (inti) masa depan.

Manusia Memberontak Terhadap Keterbatasan

Sekalipun manusia tak mungkin memutuskan sepenuhnya hubungannya dengan keturunannya, lingkungan alamnya, suasana sosialnya dan faktor sejarah dan faktor waktu, namun manusia dapat memberontak terhadap pembatasan yang terjadi akibat keturunan, lingkungan alam, suasana sosial dan faktor sejarah serta faktor waktu. Manusia memiliki kemungkinan yang besar untuk dapat membebaskan diri dari faktor-faktor ini. Berkat ilmu, pengetahuan dan akalnya di satu pihak, dan kehendak serta imannya di pihak lain, manusia dapat mengubah faktor-faktor ini sekehendaknya, dan dapat menentukan nasibnya sendiri.

Manusia dan Takdir

Pada umumnya diyakini bahwa takdir Tuhan merupakan faktor utama yang membuat manusia terbatas ruang geraknya. Dalam membahas faktor-faktor yang membatasi kemerdekaan manusia, masalah takdir tidak disinggung. Kenapa?

Apakah takdir Tuhan tak ada, atau apakah takdir bukan faktor pembatas? Tak ada keraguan bahwa takdir Tuhan ada, namun takdir tidak membatasi kemerdekaan manusia. Takdir memiliki dua bagian: qadha dan qadar. Arti qadha adalah keputusan Tuhan tentang kejadian dan peristiwa, sedangkan qadar adalah esdmasi tentang fenomena dan kejadian. Dari sudut pandang teologi sudah jelas dan pasti bahwa takdir Tuhan tidak berlaku langsung pada kejadian. Takdir Tuhan mengharuskan kejadian itu terjadi hanya melalalui sebabnya. Qadha Tuhan menghendaki agar tatanan dunia didasarkan pada sistem sebab-akibat. Apa pun kemerdekaan yang dimiliki manusia karena akal dan kehendaknya, dan apa pun keterbatasan yang dimiliki manusia karena faktor keturunan, lingkungan dan sejarah, namun oleh takdir Tuhan manusia ditundukkan kepada sistem sebab-akibat di dunia.

Karena itu qadha Tuhan tidak dianggap sebagai faktor yang membatasi kemerdekaan manusia. Apa pun pembatasan yang dikenakan pada manusia merupakan akibat keturunan, kondisi lingkungan dan kondisi sejarah manusia. Begitu pula, apa pun kemerdekaan yang dimiliki manusia, itu juga telah diputuskan oleh Allah SWT. Allah SVT telah memutuskan agar manusia berakal dan berkehendak, dan dalam bidang terbatas kondisi alam dan sosial-nya manusia cukup mandiri dari kondisi-kondisi ini, sehingga manusia dapat menentukan nasibnya dan masa depannya sendiri.

Manusia dan Kewajiban

Salah satu sifat khas utama manusia adalah manusia mampu mengemban kewajiban untuk mengikuti ajaran agama. Manusia saja yang dapat hidup dalam kerangka hukum. Makhluk lain hanya dapat mengikuti hukum alam yang sifatnya memaksa. Misalnya, mustahil menetapkan aturan atau hukum bagi batu dan kayu atau bagi pohon dan bunga atau bagi kuda, sapi dan domba. Makhluk-makhluk ini tak mungkin dapat mengemban kewajiban untuk menaati hukum yang dibuat untuk mereka dan untuk kepentingan mereka. Jika dibutuhkan tindakan untuk menjaga kepentingan mereka, maka tindakan itu harus dipaksakan kepada mereka.

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu hidup dalam kerangka hukum kontraktual (berdasarkan kesepakatan— pen.). Karena hukum seperti ini dibuat oleh pihak yang kompeten dan kemudian diberlakukan kepada manusia, tentu saja dalam hukum seperti ini ada kesulitan bagi manusia. Itulah sebabnya kenapa hukum seperti ini diberi nama "kewajiban".

Untuk mengikat manusia agar melaksanakan kewajiban, maka pembuat hukum perlu mengikuti kondisi tertentu. Dengan kata lain, hanya manusia yang memenuhi kondisi tertentu saja yang bertanggung jawab untuk menjalankan kewajiban. Kondisi yang harus dipenuhi dalam setiap kewajiban adalah:

(i) Akil Balig

Ketika manusia sampai pada tahap tertentu dalam hidupnya, tubuhnya mengalami perubahan yang terjadi cukup mendadak, begitu juga perasaan dan pikirannya. Perubahan-perubahan ini disebut akil balig. Ini merupakan tahap alamiah yang dicapai setiap orang.

Mustahil mengetahui dengan persis kapan orang mencapai akil balik. Sebagian orang mencapai akil balig lebih cepat ketimbang orang lain. Itu sebagian besar tergantung pada sifat personal individu dan juga kondisi daerah dan lingkungan individu tersebut. Yang jelas adalah bahwa perempuan lebih cepat mencapai tahap akil balik alamiah ketimbang lelaki. Dari sudut pandang hukum, perlu ada kejelasan usia akil balig yang pasti agar ada keseragaman. Bisa usia akil balig rata-rata, atau bisa usia minimum akil balig (di samping kondisi lain akil balig yang berupa pengertian, seperti dijelaskan dalam yurisprudensi Islam).

Berdasarkan ini individu dapat mencapai usia akil balig alamiah, meski belum dapat dianggap mencapai akil balig secara hukum. Menurut pandangan mayoritas ulama Syiah, seorang lelaki baru bisa dianggap telah mencapai usia akil balig menurut hukum bila usianya sudah menginjak 16 tahun, dan kalau wanita bila usianya sudah menginjak 10 tahun. Akil balig menurut hukum ini me­rupakan salah satu syaratnya mampu secara hukum melaksanakan kewajiban. Dengan kata lain, seseorang yang belum mencapai usia ini, maka hukum tidak berlaku baginya, kecuali bila terbukti dia telah mencapai usia akil balig alamiah sebelum mencapai usia akil balig menurut hukum.

(ii) Sehat Rohani

Syarat lain untuk menjalankan kewajiban adalah sehat rohani. Orang gila, karena tak memiliki kemampuan untuk mengerti, tak punya kewajiban. Kasusnya sama dengan kasus anak yang belum mencapai usia akil balig. Bahkan ketika mencapai usia akil balig, seseorang tidak berkewajiban membayar kewajiban yang menjadi tanggungannya ketika dia belum mencapai usia akil balig. Misal, orang dewasa tidak berkewajiban membayar salat-salat yang tidak menjadi tanggungannya pada masa kecilnya, karena pada masa itu dia tidak terkena kewajiban hukum. Orang yang gila, selama dia gila, juga tak punya kewajiban. Karena itu jika kemudian dia waras, dia tetap tidak berkewajiban membayar salat dan puasa yang tidak dilakukannya karena dia gila. Dia baru berkewajiban kalau sudah waras. Begitu pula dengan zakat dan khumus. Zakat dan khumus ini diwajibkan atas harta anak yang belum mencapai usia akil balig atau orang gila. Anak yang belum akil balig atau orang gila baru berkewajiban membayarnya kalau sudah mencapai tahap ber­kewajiban, bila belum dibayarkan oleh walinya yang sah.

(iii) Tahu dan Sadar

Jelaslah orang baru bisa melaksanakan kewajiban kalau dia sadar akan eksistensi kewajiban tersebut. Dengan kata lain, orang harus tahu terlebih dahulu kewajibannya sebelum dia diminta menunaikannya. Misal saja si fulan menetapkan hukum, namun dia tidak memberitahukan hukum tersebut kepada orang yang harus melaksanakan hukum itu. Kalau demikian, maka orang itu tidak berkewajiban, atau tidak dapat melaksanakan hukum itu. Jika orang itu melanggar hukum itu, maka si fulan tidak punya alasan sah untuk menghukumnya. Menghukum seseorang yang tidak tahu kewajibannya dan ketidaktahuannya akan hukum bukan karena kesalahannya, maka perbuatan menghukum tersebut tidak benar.

Al-Qur'an berulang-ulang menyebutkan kebenaran ini. Al-Qur'an mengatakan bahwa orang tak boleh dihukum karena melanggar hukum, sebelum orang tersebut diberitahu secara semestinya tentang hukum. Tentu saja syarat tahu hukum sebagai prasyarat penerapan hukum tidak berarti bahwa orang boleh saja sengaja tak tahu hukum dan kemudian menjadikan ketaktahuannya ini sebagai alasan. Setiap orang yang berkewajiban melaksanakan hukum harus mengetahui hukum dan melaksanakannya. Sebuah hadis mengatakan bahwa pada Hari Kebangkitan sebagian orang berdosa akan dihadirkan di Pengadilan Ilahiah dan akan ditanya tentang kenapa mereka tidak melaksanakan sebagian kewajiban. Mereka akan ditanya kenapa tidak melaksanakan kewajiban. Mereka akan menjawab, "Kami tidak tahu." Akan dikatakan kepada mereka, "Kenapa kamu tidak tahu dan kenapa kamu tidak berupaya untuk tahu hukum?" Karena itu, bila dikatakan bahwa tahu merupakan syarat berlakunya hukum, maka yang dimaksud adalah jika suatu kewajiban disampaikan kepada orang yang dapat dikenai kewajiljan dan orang itu tetap tidak tahu kewajiban itu padahal sudah berupaya semestinya untuk tahu, maka dalam pandangan Allah SWT orang seperti itu dimaafkan.

(iv) Mampu

Orang baru berkewajiban kalau dia mampu. Kewajiban yang tak mampu ditunaikannya, maka bukan kewajibannya. Tak syak lagi kemampuan manusia ada batasnya. Karena itu kewajiban dibebankan kepada manusia sebatas kemampuannya. Misal, seseorang mampu menuntut ilmu, namun lingkup upaya menuntut ilmunya ini terbatas dari segi waktu dan jumlah informasi. Betapapun jenius seseorang, maka dia tetap perlu secara berangsur-angsur melewati berbagai tahap ilmu dan untuk jangka waktu yang lama. Memaksa seseorang untuk menyelesaikan studi akademisnya dalam jangka waktu yang pendek, yang normalnya beberapa tahun, artinya adalah memaksanya melakukan tugas yang berada di luar kemam­puannya. Begitu pula, memaksa seseorang untuk melakukan studi atas semua ilmu yang ada di dunia ini berarti meminta orang tersebut untuk melaksanakan sesuatu yang sepenuhnya mustahil. Kewajiban seperti itu tak akan pernah dibebankan oleh satu sumber yang adil dan arif:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. al-Baqarah: 286)

Dengan kata lain, Allah SWT tidak membebankan kewajiban kepada siapa pun di luar kemampuannya. Kalau seseorang mau tenggelam dan kita mampu menyelamatkannya, maka kita ber­kewajiban menyelamatkannya. Namun, misal, sebuah pesawat terbang mau jatuh dan kita mutlak tak mampu menyelamatkannya, maka kita tak berkewajiban menyelamatkannya. Di sini ada satu hal yang perlu dicatat. Fakta bahwa syarat berlakunya kewajiban adalah tahu, tidak berarti bahwa kita tak perlu mencari pengetahuan, begitu pula fakta bahwa syarat berlakunya kewajiban adalah mampu, tidak berarti bahwa kita tak perlu mendapat kemampuan yang diperlukan itu. Dalam kasus-kasus tertentu, kita sungguh berkewajiban memperoleh kemampuan seperti itu. Misal kita menghadapi musuh yang kuat, dan musuh tersebut mau melanggar hak kita atau mau mengagresi wilayah Islam. Maka kalau kita tahu bahwa kita tak mampu memeranginya dan kalau kita tahu bahwa kalau tetap saja melawannya maka artinya kita akan kehilangan kekuatan kita dan tak mungkin berhasil, jelaslah kita tak berkewajiban memerangi dan melawan agresor itu. Namun tetap saja kita berkewajiban mendapatkan cukup kekuatan agar kelak kita tidak lagi menjadi penonton yang mad kutu:

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dan kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu.(QS. al-Anfâl: 60)

Karena seseorang atau suatu masyarakat yang mengabaikan upaya mencari cukup pengetahuan dapat dikutuk Tuhan dan keddaktahuan orang atau masyarakat itu tak dapat diterima sebagai alasan, maka orang yang lemah atau masyarakat yang lemah yang mengabaikan upaya mendapatkan cukup kekuatan dapat juga dikutuk dan dihukum oleh Tuhan. Lemah tidak bisa dijadikan sebagai alasan.

(v) Mampu Memilih dan Bebas Berkehendak

Prasyarat lain kewajiban adalah bebas berkehendak. Dengan kata lain, manusia baru wajib melaksanakan kewajiban kalau dalam pelaksanaan kewajiban itu tak ada unsur paksaan dari keadaan. Kewajiban tidak lagi wajib kalau ada paksaan dari keadaan. Contoh-contoh berikut ini mengilustrasikan kasus-kasus paksaan: Jika seseorang dipaksa oleh orang lain untuk tidak berpuasa dan jiwanya akan terancam bahaya jika dia mengabaikan ancaman itu, maka jelaslah dia tidak wajib berpuasa. Begitu pula dengan posisi se­seorang yang memiliki sarana untuk pergi haji, namun mendapat ancaman dari seorang tiran bahwa dia atau keluarganya akan mendapat akibat buruk kalau dia tetap pergi haji. Rasulullah saw bersabda: Tak ada kewajiban kalau ada keterpaksaan."

Dalam kasus keadaan, orang tersebut tidak mendapat ancaman siapa pun. Dia sendiri yang hams mengambil keputusan. Namun keputusannya merupakan hasil dari keadaan keras yang dihadapinya. Misal, seseorang tak berdaya dan kelaparan di gurun. Selain daging bangkai dia tak punya makanan lain untuk menghilangkan laparnya dan untuk bertahan hidup. Dalam keadaan seperti ini hukum bahwa daging bangkai itu haram tentu saja tak berlaku. Beda antara keterpaksaan dan dipaksa keadaan adalah kalau dalam kasus keterpaksaan seseorang diancam oleh tiran akan menanggung akibat buruk, dan untuk menyelamatkan diri dan menghindarkan bahaya dia terpaksa tidak melaksanakan kewajibannya.

Namun tak ancaman seperti itu dalam kasus dipaksa oleh keadaan. Dalam kasus ini, keadaan pada umumnya berkembang sedemikian rupa sehingga orang tersebut mengalami situasi yang tak diinginkan. Untuk bisa keluar dari situasi seperti ini dia terpaksa tidak melaksanakan kewajibannya. Karena itu ada dua perbedaan antara terpaksa dan dipaksa keadaan: Pertama, dalam keterpaksaan ada ancaman dari manusia, namun dalam dipaksa keadaan ancaman seperti itu tak ada. Kedua, dalam kasus keterpaksaan orang tersebut bertindak untuk menghindarkan situasi yang tak dikehendaki, namun dalam kasus dipaksa keadaan orang tersebut bertindak untuk meringankan, meredakan atau mengurangi situasi yang ada.

Namun tak ada kaidah umum berkenaan dengan efek ke­terpaksaan dan dipaksa keadaan pada kewajiban. Efeknya tergantung pada dua hal: Pertama, kalau efeknya merugikan atau membahayakan, maka harus dihindarkan atau diredakan; dan kedua, kalau perbuatan dilakukan karena terpaksa atau dipaksa keadaan. Jelaslah perbuatan yang membahayakan jiwa orang, menimbulkan kerugian masyarakat atau agama tak boleh dilakukan dengan alasan apa pun. Tentu saja ada kewajiban tertentu yang tetap harus dilaksanakan sekalipun harus menanggung kerugian.

Syarat untuk Absah

Sejauh ini pembicaraan kita adalah tentang syarat berlakunya hukum pada wajib hukum. Kalau syarat ini tak ada maka orang tak harus melaksanakan kewajiban. Juga ada syarat lain yang dikenal dengan nama syarat sahnya pelaksanaan kewajiban. Kita tahu bahwa semua aktivitas, entah itu ibadah atau transaksi, harus memenuhi syarat tertentu dan harus memiliki kualitas tertentu agar dapat dianggap sah. Karena itu, syarat untuk sahnya suatu pelaksanaan kewajiban adalah bahwa seseorang yang tak memiliki syarat itu tidak dapat dianggap menjalankan kewajibannya dengan benar. Bila kewajiban dilaksanakan, padahal syaratnya belum tepenuhi, maka pelaksanaan kewajiban itu tidak sah.

Seperti berlakunya hukum, syarat sahnya pelaksanaan kewajiban juga banyak. Syarat tersebut dibagi menjadi dua golongan: umum dan khusus. Syarat khusus adalah syarat yang hanya untuk pelaksanaan kewajiban tertentu, dan dipelajari ketika mempelajari cara menunaikan kewajiban itu. Selain itu, ada beberapa syarat umum. Ada beberapa syarat yang menjadi syarat berlaku dan sahnya, dan ada beberapa syarat lain yang menjadi syarat berlakunya saja atau sahnya saja. Syarat sahnya juga ada tiga. Sebagian merupakan syarat sahnya aktivitas ibadah dan transaksi. Sebagian merupakan syarat sahnya akdvitas ibadah saja dan sebagian merupakan syarat sahnya aktivitas transaksi saja.

Kesehatan mental merupakan syarat bagi berlaku dan sahnya. Orang yang tak sehat rohaninya tak dapat dikenai hukum, dan perbuatannya, entah perbuatannya itu perbuatan ibadah atau transaksi, tidak sah. Misalnya, jika orang tak sehat rohaninya menunaikan ibadah haji, maka hajinya akan kacau. Begitu pula, dia tak boleh salat atau puasa, juga dia tak boleh berada di antara imam dan makmum atau di antara makmum dalam salat berjamaah.

Mampu, seperti juga sehat rohani, merupakan syarat berlakunya hukum maupun syarat sahnya perbuatan. Begitu pula dengan non-paksaan. Orang yang terpaksa tak dapat menunaikan kewajiban, maka dia lepas dari kewajiban tersebut. Jika orang dengan terpaksa melakukan transaksi atau melakukan akad pernikahan, maka perbuatannya itu tidak sah.

Akil balig merupakan syarat berlakunya hukum namun bukan syarat sahnya suatu perbuatan. Anak kecil itu sendiri tak berkewajiban melaksanakan kewajiban agama. Namun jika dia cukup mengerti dan dapat melakukan perbuatan religius dengan benar seperti orang dewasa, maka perbuatannya itu sah. Dengan demikian dalam salat berjamaah anak kecil dapat berada di antara imam dan makmum atau di antara makmum. Dia juga dapat melakukan ibadah atas nama orang lain. Fakta bahwa akil balig bukanlah syarat sahnya perbuatan ibadah, tak terbantahkan lagi. Namun bagaimana dengan transaksi? Sebagian ulama berpandangan bahwa akil balig merupakan syarat sahnya transaksi juga. Karena itu seorang anak laki-laki pun yang memiliki pengertian penuh tak dapat sendirian melakukan transaksi, baik untuk dirinya ataupun atas nama orang lain. Misal, anak kecil tak boleh menjual, membeli atau meminjamkan sesuatu, juga tak boleh membacakan bacaan nikah.

Sebagian ulama lain berpendapat bahwa anak lelaki yang mengerti tak boleh melakukan transaksi sendiri, meskipun dia dapat bertindak sebagai wakil orang lain. Tahu dan sadar dan juga tak adanya paksaan dari keadaan merupakan syarat berlakunya hukum, meski bukan syarat sahnya. Karena itu, jika seseorang secara tak sadar melakukan perbuatan, entah perbuatan itu perbuatan ibadah atau transaksi, perbuatannya itu tetap sah kalau perbuatan itu kebetulan sempurna dalam segala hal lainnya. Begitu pula, kalau seseorang dipaksa oleh keadaan untuk melakukan transaksi atau akad nikah, maka perbuatan tersebut sah. Misal, ada seseorang mempunyai sebuah rumah yang sangat disukainya dan dia tak mau menjualnya. Namun mendadak sontak karena alasan tertentu dia sangat membutuhkan uang dan terpaksa menjualnya. Dalam kasus ini transaksinya sah. Contoh lain. Seorang lelaki dan seorang perempuan tak ada niat untuk menikah. Namun suatu penyakit berkembang sedemikian rupa sehingga dokter menyarankan agar lelaki itu atau wanita itu menikah segera, dan keduanya terpaksa menikah. Pernikahan ini juga sah. Ini menunjukkan bahwa dari segi keabsahan ada bedanya antara transaksi yang dilakukan di bawah paksaan dan transaksi yang dilakukan karena dipaksa keadaan. Transaksi yang pertama tidak sah, sedangkan transaksi yang kedua sah.

Nampaknya perlu dijelaskan kenapa transaksi yang dilakukan di bawah paksaan tidak sah sedangkan transaksi yang dilakukan karena dipaksa keadaan sah. Dapatlah dikemukakan bahwa per­se tujuan si pelaku perbuatan tak ada dalam kedua kasus itu. Orang yang menjual rumahnya atau bisnisnya karena diancam, sesungguhnya dalam lubuk hatinya dia tak mau menjual rumah atau bisnisnya. Begitu pula orang yang dipaksa keadaan (misal, untuk membiayai pengobatan) menjual rumah atau bisnisnya, juga dalam lubuk hatinya dia tak mau menjual rumah atau bisnisnya. Orang yang terpaksa menjual rumahnya karena harus membayar biaya pengobatan anaknya yang sakit, akan merasa sedih dengan transaksi ini. Sejauh menyangkut kemauannya, posisinya tidak berubah meski ada fakta bahwa orang yang berada di bawah ancaman itu ingin mencegah bahaya, sedangkan orang yang di­paksa keadaan ingin memenuhi kebutuhan yang mendesak. Juga tak terjadi perbedaan yang substansial bahwa dalam kasus paksaan, tangan manusia langsung terlibat dalam bentuk seorang tiran, dan dalam kasus dipaksa keadaan, tangan manusia hanya terlibat secara tak langsung dalam bentuk eksploitasi, kolonialisme dan sebagainya.

Faktanya adalah alasan kenapa Islam membedakan antara orang yang dipaksa dan orang yang dipaksa keadaan, dan memandang perbuatan orang yang dipaksa tidak sah, sedangkan orang yang dipaksa keadaan dipandang sah, ada di lain tempat. Baik orang yang dipaksa maupun orang yang dipaksa keadaan, sama-sama didesak kebutuhan. Kebutuhan orang yang dipaksa adalah menghindarkan kejahatan tiran. Di sini hukum Islam membantu orang yang berada di bawah paksaan tersebut, dan menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan karena dipaksa itu tidak sah. Sebaliknya orang yang dipaksa keadaan membutuhkan langsung uang yang dicoba didapatnya melalui transaksi. Di sini sekali lagi hukum Islam membantu orang yang dipaksa keadaan, dan menyatakan bahwa transaksinya sah. Jika hukum Islam menyatakannya tidak sah, maka akibatnya tentu merugikan orang yang dipaksa keadaan itu. Misal, dalam contoh di atas, menjual rumah dinyatakan tidak sah. Maka akibatnya adalah si pembeli tidak menjadi pemilik rumah, dan si penjual juga tidak menjadi pemilik uang yang sangat dibutuhkannya untuk biaya pengobatan anaknya yang sakit. Itulah sebabnya kenapa para faqih mengatakan bahwa menyatakan tidak sah terhadap transaksi yang dilakukan di bawah paksaan berarti berpihak kepada orang yang dipaksa. Namun menyatakan tidak sah terhadap transaksi yang dilakukan karena dipaksa keadaan, berarti tidak berpihak kepada orang yang dipaksa keadaan.

Di sini timbul pertanyaan lagi. Bolehkah orang memanfaatkan kebutuhan mendesak orang lain dan membeli barangnya dengan harga yang jauh di bawah harga wajar dan memandang transaksi tersebut sah? Tentu saja tidak. Kini timbul pertanyaan lagi. Apakah transaksi ini, sekalipun dilarang, tetap saja sah. Dan jika sah, apakah si pemanfaat keadaan tersebut diminta menutup kerugian dan membayar dengan harga pasar? Semua ini perlu dibahas lebih lanjut.

Pengertian yang dewasa (rusyd) merupakan syarat sahnya, meski bukan syarat berlakunya hukum. Dalam hukum Islam, orang yang ingin melakukan perbuatan yang mempengaruhi masyarakat, seperti menikah atau melakukan transaksi atas kemauan sendiri, harus memiliki keleluasaan dan penilaian, yaitu pengertian yang cukup dan kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan dengan benar transaksi yang hendak dilakukannya, selain memenuhi syarat umum lainnya seperti sudah akil balig, sehat rohani, mampu, dan memiliki kehendak bebas.

Dalam hukum Islam, belum cukup hanya dengan sehat rohani saja orang dapat menikah atau menjual harta. Dia juga harus sudah berusia akil balig, dan transaksinya dilakukan atas dasar kehendak bebas. Pernikahan anak lelaki dan anak perempuan baru sah kalau keduanya memiliki kecerdasan yang memadai untuk dapat mengetahui makna pernikahan: untuk apa pernikahan itu, apa tanggung jawabnya, dan bagaimana dampaknya pada nasib individu. Anak lelaki atau anak perempuan tak boleh asal menikah saja, karena menikah merupakan sesuatu yang sangat penting artinya.

Begitu pula, anak lelaki atau anak perempuan yang memiliki harta sendiri yang didapat dari warisan atau lainnya, tak dapat memiliki hartanya hanya karena sudah berusia akil balig. Anak lelaki dan anak perempuan tersebut perlu diuji untuk mengetahui apakah mereka cukup mengerti untuk memiliki dan memanfaatkan harta mereka. Jika mereka belum memiliki pengertian yang memadai, maka harta mereka tetap diurus oleh wali mereka yang sah. Al-Qur'an memfirmankan:

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta mereka. (QS. an-Nisâ': 6)

13
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

BAB 23 - Pengetahuan Manusia
Manusia berupaya mengenal dirinya dan mengenal dunia. Manusia ingin lebih tahu siapa dirinya dan bagaimana dunia. Dua jenis pengetahuan ini menentukan evolusi, kemajuan dan kebahagiaannya. Dari dua jenis pengetahuan ini mana yang lebih penting dan mana yang kurang penting? Jawaban untuk pertanyaan ini tidaklah mudah. Ada yang menganggap mengenal diri itu lebih penting, dan ada yang memandang mengenal dunia lebih penting. Perbedaan jawaban untuk pertanyaan ini terjadi akibat perbedaan cara berpikir Timur dan Barat. Juga akibat perbedaan pandangan ilmu pengetahuan dan pandangan agama. Ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mengetahui dunia, sedangkan agama adalah produk dari kenal, tahu atau sadar diri.

Ilmu pengetahuan, selain berupaya membuat manusia mengenal dirinya, juga berupaya membuat manusia mengenal dunia. Tanggung jawab ini diemban berbagai cabang psikologi. Namun kalau manusia mengenal dirinya melalui ilmu pengetahuan, maka kenal diri seperti ini menjemukan dan tidak hidup. Kenal diri seperti ini tidak menghidupkan jiwa manusia dan juga tidak membangkitkan kemampuan terpendam manusia. Namun kalau manusia mengenal dirinya melalui agama, maka kenal diri seperti ini membuatnya mengetahui realitasnya, menghilangkan apatinya, membakar jiwanya dan membuatnya memiliki rasa kasih sayang dan simpati. Tugas seperti ini tak mungkin diemban oleh ilmu pengetahuan dan filsafat. Bukan saja itu, ilmu pengetahuan dan filsafat terkadang justru membuat manusia tidak sensitif dan lupa akan dirinya. Itulah sebabnya mengapa ilmuwan dan filosof tidak sensitif dan egois. Kata pepatah, mereka ini laksana anjing dalam palungan (bak tempat makanan dan minuman ternak—pen.). Mereka lupa akan dirinya, sedangkan banyak orang tak berpendidikan sadar akan dirinya.

Agama mengajak manusia untuk mengenal dirinya. Pokok-pokok ajaran agama adalah: Kenalilah dirimu agar kamu tahu Tuhanmu. Jangan lupa Tuhanmu agar kamu tidak lupa akan diri­mu. Al-Qur'an mengatakan:

Danjanganlah kamu seperti orang-orang yang lupa akan Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-arang yang fasik. (QS. al-Hasyr: 19)

Nabi saw bersabda, "Barangsiapa kenal dirinya, maka kenal Tuhannya." Imam All bin Abi Thalib as mengatakan, "Pengetahuan yang paling bermanfaat adalah pengetahuan tentang diri." Imam Ali as juga mengatakan, "Saya heran mengapa orang yang mencari apa-apa yang dihilangkan oleh dirinya, tidak mencari dirinya."

Kritik pokok yang dilontarkan berbagai kalangan berpendidikan dunia terhadap budaya Barat, adalah bahwa budaya Barat merupakan budaya mengenal dunia dan budaya lupa diri. Di sinilah sesungguhnya penyebab merosotnya altruisme atau kebajikan di Barat. Jika manusia, dalam kata-kata Al-Qur'an Suci, kehilangan dirinya, maka kalau dia memperoleh dunia, perolehannya itu tak ada manfaatnya. Sejauh pengetahuan kita, Mahatma Gandhi, mendiang pemimpin India, inilah yang dari sudut pandang ini sangat cerdas kritiknya terhadap budaya Barat. Dia mengatakan:

"Manusia Barat dapat menyelenggarakan pesta besar. Pesta yang bagi bangsa-bangsa lain hanya dapat diadakan oleh Tuhan saja. Namun manusia Barat tak mampu melakukan satu hal. Dia tak dapat menelaah diri rohaniahnya. Fakta ini saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa gemerlap palsu budaya modern tak ada artinya. Jika budaya Barat telah menyebabkan orang Eropa berkubang minuman anggur dan seks, itu karena orang Eropa cenderung lupa dan menyia-nyiakan 'diri' mereka, 'diri' yang semestinya mereka cari. Sebagian besar prestasi besar mereka dan bahkan perbuatan baik mereka merupakan produk dari lupa diri. Kemampuan praktis manusia Barat untuk membuat penemuan, dan menciptakan peralatan perang, terjadi karena dia lari dari 'diri' dan bukan karena kontrol dirinya yang hebat. Kalau manusia kehilangan jiwanya, maka apa manfaatnya dia menaklukkan dunia?" Selanjutnya Gandhi mengatakan:

"Hanya ada satu kebenaran di dunia ini, dan kebenaran itu adalah mengetahui diri. Barangsiapa mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhan dan lainnya. Barangsiapa tidak mengenal dirinya, maka dia tidak mengetahui apa pun. Di dunia ini ada satu kekuatan, satu kemerdekaan dan satu keadilan, dan kekuatan itu adalah kekuatan penguasaan diri. Di dunia ini hanya ada satu kebajikan, yaitu kebajikan menyayangi orang lain seperti menyayangi diri sendiri. Dengan kata lain, orang lain harus dilihat seperti kita melihat diri kita sendiri. Seluruh soal lainnya imajiner dan tak ada." (Introduction to My Religion, 1959)

Entah kita memandang lebih penting mengenal diri atau mengenal dunia, atau kita memandang keduanya itu sama penting, maka yang pasti perluasan pengetahuan berarti perluasan kehidupan manusia. Hidup sama saja dengan pengetahuan, dan pengetahuan sama saja dengan hidup. Barangsiapa lebih mengenal dirinya dan dunia, maka dia lebih memiliki kehidupan. Jelaslah dalam konteks ini arti mengenal diri bukanlah mengetahui isi kartu identitas diri seperti nama diri, nama kedua orang tua, nama tempat kelahiran, nama tempat tinggal dan sebagainya. Juga artinya bukan me­ngetahui biologi diri yang dapat diikhtisarkan dalam pengetahuan tentang binatang yang lebih tinggi daripada beruang dan kera. Untuk lebih jelasnya, kita lihat secara ringkas berbagai jenis sadar diri. Kita loncati saja sadar diri sebagai mengetahui kartu identitas itu, yang sifatnya kiasan dan tidak riil itu. Ada beberapa jenis sadar (mengenal) diri yang riil:

Sadar Diri yang Fitri Sifatnya

Manusia secara fitrah tahu siapa dirinya. Bukanlah ego manusia yang terbentuk duluan baru kemudian dia jadi sadar diri. Lahirnya ego sama dengan lahirnya sadar diri. Pada tahap itu, yang tahu dan yang diketahui setali tiga uang. Ego adalah realitas, dan realitas itu sendiri adalah mengenal diri. Pada tahap-tahap selanjutnya, ketika manusia kurang lebih mengetahui hal-hal lain, dia tahu dirinya juga, seperti dia tahu hal-hal lain. Dengan kata lain, dia membuat gambar tentang dirinya di benaknya. Secara teknis, dia jadi mengenal dirinya berkat pengetahuan yang didapatnya. Namun sebelum mengenal dirinya dengan cara seperti ini, dan bahkan sebelum mengenal hal lain, dia sudah mengenal dirinya melalui pengenalan diri yang fitri sifatnya. Para psikolog yang biasanya membahas masalah mengenal diri, cuma mempertimbangkan fase kedua dari mengetahui diri, yaitu pengetahuan mental yang didapat melalui upaya. Sedangkan para filosof kebanyakan fokusnya adalah fase pertama, yaitu tahap pengetahuan non-mental yang fitri sifatnya. Pengetahuan seperti ini tak lain adalah apa yang dalam filsafat digambarkan sebagai salah satu bukti kuat keniskalaan (abstraksi) ego.

Dalam kasus pengetahuan seperti ini tak ada masalah keraguan atau pertanyaan seperti "Adakah aku? Kalau aku ada, lantas siapa aku?" Keraguan muncul hanya dalam kasus pengetahuan yang didapat melalui upaya, yaitu dalam kasus di mana pengetahuan tentang sesuatu beda dengan eksistensi aktual sesuatu itu. Namun di mana pengetahuan, yang tahu dan yang diketahui setali tiga uang, dan pengetahuan ini sifatnya fitri, maka tak dapat dibayangkan adanya keraguan. Dengan kata lain, mustahil adanya keraguan dalam kasus seperti itu. Di sinilah Descartes membuat kekeliruan yang fundamental. Dia tidak tahu bahwa "aku ada" tak menimbulkan keraguan, sehingga tak perlu meniadakannya dengan perkataan "aku berpikir, karena itu aku ada."

Kendatipun tahu diri yang sifatnya fitri itu nyata adanya, namun pengetahuan seperti itu bukanlah pengetahuan yang didapat melalui upaya. Seperti eksistensi ego, pengetahuan seperti itu merupakan sifat khas manusia yang sifatnya fundamental. Karena itu kenal diri yang sifatnya fitri ini bukanlah pengetahuan tentang diri, suatu pengetahuan yang manusia selalu diseru untuk memilikinya. Al-Qur'an menyebutkan berbagai tahap perkembangan janin dalam rahim. Ketika menggambarkan tahap terakhimya, Al-Qur'an mengatakan, Sesudah itu Kami jadikan ia ciptaan yang berbeda. Yang dirujuk ayat ini adalah sadar diri yang sifatnya fitri itu, dan sadar diri ini berkembang akibat perubahan materi non-sadar menjadi substansi spiritual yang sadar diri.

Sadar Diri Filosofis

Filosof ingin tahu karakter riil ego sadar diri. Apakah ego sadar diri itu substansi atau bentuk? Apakah materi atau abstraksi? Bagaimana hubungannya dengan tubuh? Apakah sudah ada sebelum adanya tubuh, atau eksistensinya bersamaan dengan eksistensi tubuh, atau ada setelah adanya tubuh? Dan seterusnya. Pada tahap sadar diri ini pertanyaan utamanya adalah bagaimana karakter dan jenis ego? Jika filosof mengklaim memiliki sadar diri, itu artinya bahwa dia mengklaim tahu karakter, jenis dan substansi ego.

Sadar Diri Universal

Sadar diri universal artinya adalah mengetahui diri dalam kaitan diri dengan dunia—mengetahui jawaban pertanyaan "Dari mana aku berasal?" "Hendak ke mana aku?" Dalam sadar diri seperti ini manusia menyadari dirinya adalah bagian dari suatu keseluruhan yang disebut dunia. Dia juga sadar bahwa dirinya bukanlah makhluk yang independen, namun dirinya bergantung pada makhluk lain. Kedatangannya bukan tanpa bantuan, kehidupannya bukan tak membutuhkan yang lain, untuk mencapai tujuannya manusia tidak bisa sendirian. Pada tahap ini manusia berupaya menentukan posisinya dalam keseluruhan ini yang dikenal dengan sebutan dunia ini.

Kata-kata penting Imam Ali as berikut menggambarkan sadar diri seperti ini. Imam Ali as mengatakan, "Semoga Allah merahmati manusia yang tahu asal-usulnya, yang tahu keberadaan dirinya, dan yang tahu hendak ke mana dirinya." Sadar diri seperti ini membuat manusia sangat mendambakan kebenaran. Sadar diri seperti ini tak ada dalam diri binatang, juga tak ada dalam diri makhluk lain. Sadar diri seperti inilah yang membuat manusia ingin tahu, dan meyakinkan manusia untuk mencari jawaban dan kepastian. Dalam diri manusia, sadar diri seperti ini mengobarkan api keraguan dan penyangkalan, sehingga manusia jadi ragu apakah pandangan ini atau pandangan itu yang hams diikuti. Api ini pulalah yang membakar jiwa "orang-orang seperti Ghazali," sehingga mereka resah, tak dapat tidur, tak dapat makan, turun dari jabatan pemimpin Nizamiah, dan kemudian mengembara di gurun, dan bertahun-tahun hidup resah jauh dari rumah. Api ini pulalah yang membuat "orang-orang seperti Inwan Basri" mencari kebenaran dari rumah ke rumah, dari jalan ke jalan, dan dari kota ke kota. Sadar diri seperti inilah yang membuat manusia memperhatikan ide nasib.

Sadar Diri Kelas

Sadar diri kelas merupakan bentuk sadar diri sosial. Artinya adalah kesadaran orang akan hubungan dirinya dengan kelasnya. Dalam masyarakat yang didominasi kelas, dari sudut pandang gaya hidup dan suka-dukanya, setiap orang mesti menjadi bagian dari lapisan tertentu, atau sadar diri kelas merupakan kesadaran orang akan posisi kelasnya dan tanggung jawab kelasnya. Berdasarkan teori-teori tertentu, mamttia memiliki ego yang melampaui kelas­nya. Ego setiap orang merupakan jumlah seluruh kekuatan psikisnya, yaitu jumlah seluruh perasaan, pikiran, niat dan hasratnya. Semua ini terbentuk dalam kerangka kelas tertentu. Para pendukung teori ini berpandangan bahwa tidak eksis manusia sebagai semata-mata manusia. Eksistensinya hanyalah konseptual, bukan riil. Yang sungguh-sungguh eksis adalah kaum aristokrat dan massa. Manusia hanya dapat eksis dalam masyarakat tak berkelas, kalau saja masyarakat seperti ini ada. Karena itu dalam masyarakat yang didominasi kelas, sadar diri sosial itu identik dengan sadar din kelas.

Menurut teori ini, sadar diri kelas sepadan dengan kesadaran orang akan kepentingannya sendiri, karena filosofi teori ini didasarkan pada pandangan bahwa personalitas setiap indtvidu diatur oleh kepentingan materialnya. Dalam struktur sosial, faktor terpentingnya adalah basis ekonominya. Kehidupan material yang sama dan kepentingan material yang sama membuat individu-individu dari kelas tertentu memiliki suara had yang sama, cita rasa yang sama, dan penilaian yang sama. Kehidupan kelas melahirkan pandangan kelas, dan pandangan kelas membuat orang melihat dunia dan masyarakat dari sudut tertentu dan menafsirkannya sesuai dengan tuntutan kepentingan kelas. Karena itu upaya dan pandangan sosialnya selalu berorientasi kelas. Marxisme meyakini sadar diri seperti ini, dan sadar diri seperti ini dapat disebut sadar diri Mantis.

Sadar Diri Nasional

Artinya adalah kesadaran orang akan hubungan dirinya dengan orang lain yang memiliki ikatan rasial dan kebangsaan dengan dirinya. Manusia —akibat menjalani kehidupan bersama dengan sekelompok orang yang memiliki hukum yang sama, jalan hidup yang sama, sejarah yang sama, sukses dan gagal sejarah yang sama, bahasa dan sastra yang sama, dan akhirnya budaya yang sama— mengembangkan perasaan yang sama dan rasa sebagai bagian dari kelompok itu. Karena individu memiliki ego, maka bangsa pun— karena memiliki budaya yang sama—mengembangkan ego kebangsaan. Budaya yang sama—yang lahir akibat menjadi bagian dari ras yang sama—mewujudkan kesamaan dan kesatuan di kalangan individu-individu manusia. Kebangsaan, yang didukung budaya yang sama, mengubah "aku" menjadi "kita". Demi kepentingan "kita" ini orang sering mau bekorban. Mereka merasa bangga kalau bangsanya sukses, dan merasa sedih kalan bangsanya gagal. Sadar diri nasional artinya adalah kesadaran akan budaya nasional, personalitas nasional, dan ego nasional. Pada dasarnya budaya dunia itu tak ada. Berbagai budaya eksis secara serempak, dan masing-masing budaya memiliki sifat khasnya sendiri. Karena itu ide satu budaya dunia yang tunggal merupakan ide yang mustahil. Nasionalisme yang populer pada abad ke-19, dan lebih kurang masih digembar-gemborkan, didasarkan pada filosofi ini. Dalam sadar diri seperti ini segalanya—yaitu penilaian, pembuatan keputusan, dan orientasi—mengandung aspek nasional dan berada dalam orbit nasional, sedangkan dalam sadar diri kelas, segalanya mengandung aspek kelas.

Kendatipun sadar diri nasional bukan tergolong kesadaran akan kepentingan diri, namun tergolong egoisme. Sadar diri seperti ini mengidap penyakit egoisme seperti prasangka, sikap memihak, keangkuhan dan mengabaikan kesalahan sendiri. Karena itu, seperti sadar diri kelas, sadar diri nasional juga tidak ada sisi moralnya.

Sadar Diri Manusiawi

Arti sadar diri manusiawi adalah kesadaran orang akan hubungannya dengan orang lain. Dasar sadar diri manusiawi adalah filosofi bahwa semua manusia merupakan satu unit tunggal, dan semua manusia memiliki "hati nurani manusiawi yang sama." Semua manusia memiliki rasa mencintai manusia dan memiliki perasaan yang sama. Sa'di, penyair Persia terkenal kelas dunia, mengatakan, "Semua manusia seperti organ-organ satu tubuh. Seorang manusia yang tak memiliki rasa simpati kepada manusia lainnya, tak layak disebut manusia."

Itulah gagasan yang dianut orang-orang yang, seperti Auguste Comte, senantiasa mencari agama manusia. Itulah juga prinsip pokok humanisme yang kurang lebih merupakan sebuah filosofi yang dianut sebagian besar orang di zaman kita yang lapang hatinya. Humanisme melihat semua manusia sebagai satu unit tunggal, terlepas dari kelas, kebangsaan, budaya, agama yang dianut dan rasnya. Humanisme menolak setiap bentuk diskriminasi. Piagam hak asasi manusia yang diisukan di dunia dari waktu ke waktu juga didasarkan pada filosofi ini. Piagam ini juga mendakwahkan sadar diri manusiawi seperti ini.

Kalau sadar diri seperti ini dikembangkan oleh individu, maka perasaan dan hasratnya menjadi manusiawi, maka orientasi upayanya adalah manusiawi, dan persahabatan serta permusuhannya berwarna manusiawi. Dia mulai menyukai ilmu, budaya, aktivitas yang sehat, kesejahteraan manusia, kemerdekaan, keadilan dan kebaikan hati. Dia juga mulai membenci kebodohan, kemiskinan, kekejaman, penyakit, penindasan dan diskriminasi. Kalau dikembang­kan, maka sadar diri manusiawi ini, beda dengan sadar diri nasional dan sadar diri kelas, ada makna moralnya. Kendatipun sadar diri manusiawi ini lebih logis ketimbang sadar diri jenis lain, dan sekalipun banyak digembar-gemborkan, namun dalam praktiknya sadar diri manusiawi merupakan sesuatu yang relatif langka. Kenapa?

Jawabnya ada dalam aktualitas manusia. Karakter aktualitas manusia beda dengan karakter aktualitas selain manusia, entah itu benda non-organis, tumbuhan atau binatang. Segala yang ada di dunia ini selain manusia, sesungguhnya merupakan bagaimana segala yang ada itu. Karakternya, aktualitasnya dan sifat khasnya ditentukan oleh faktor-faktor penciptaan. Namun sejauh menyangkut manusia, tahap bakal seperti apa dia, dimulai setelah dia diciptakan. Manusia bukanlah bagaimana dia diciptakan. Manusia adalah ingin bagaimana dia. Manusia adalah bagaimana dia dibentuk oleh faktorfaktor asuhan atau didikan, termasuk di dalamnya adalah kehendak dan pilihannya sendiri.

Dengan kata lain, mengenai karakter dan kualitasnya, maka selain manusia sesungguhnya merupakan bagaimana dia dicipta­kan. Namun manusia, dari sudut pandang ini, diciptakan hanya secara potensial saja. Dalam diri manusia ada benih sisi manusiawi, dan bentuknya adalah berbagai potensinya. Jika benih ini tetap aman dari gangguan hama, maka benih ini berangsur-angsur tumbuh dari eksistensi manusia dan berkembang menjadi naluri manusia dan kemudian menjadi hati nurani natural dan sifat manusiawinya.

Tak seperti benda non-organis, tumbuhan dan binatang, maka manusia memiliki person dan personalitas. Person manusia, yaitu jumlah seluruh sistem fisisnya, datang ke dunia dalam bentuk yang benar-benar ada. Kalau dilihat dari segi sistem fisisnya, maka manusia sama "aktuar”-nya dengan binatang. Namun kalau diingat perkembangan yang terjadi kemudian pada personalitas manusiawi­nya, maka manusia secara spiritual hanyalah makhluk potensial.

Nilai-nilai manusiawi ada dalarn eksistensinya, dan nilai-nilai ini siap untuk dikembangkan.[1]

Formasi spiritual dan moral manusia merupakan satu tahap setelah formasi fisisnya. Tubuh manusia dibentuk dalam rahim oleh faktor-faktor penciptaan. Namun sistem spiritual dan moral manusia serta berbagai komponen personalitasnya harus dikembangkan kemudian. Karena itu setiap manusia merupakan pembangun dan perekayasa personalitasnya sendiri. Kuas yang digunakan untuk melukis personalitas manusia, telah diserahkan ke tangan manusia sendiri.

Memisahkan non-manusia dari karakternya merupakan sesuatu yang tak terbayangkan. Batu tak dapat dipisahkan dari karakternya sebagai batu. Begitu pula dengan pohon, anjing dan kucing. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang ada, yang ada bedanya antara dirinya dan karakternya, yaitu antara manusia dan sisi manusiawinya. Banyak manusia yang tak dapat memiliki sisi manusiawi dan, seperti sebagian orang biadab dan pengembara, tetap berkutat dalam sisi hewaniahnya. Banyak juga orang yang kehilangan sifat khas manusiawinya, seperti yang terjadi pada sebagian besar kaum yang sok berbudaya. Mengenai masalah bagaimana karakter sesuatu dapat dipisahkan dari sesuatu itu sendiri ketika karakter sesuatu itu sangat penting bagi eksistensi segala sesuatu, dapat dikatakan bahwa jika eksistensi sesuatu aktual, maka karakter sesuatu itu konsekuensinya juga aktual. Namun jika sesuatu ada hanya secara potensial, maka tentu saja sesuatu itu tak memiliki karakter yang sesuai.

Itulah satu-satunya penjelasan filosofis teori eksistensial, sebuah teori yang mengatakan bahwa eksistensi bersifat fundamental dan bahwa manusialah yang memilih karakternya. Kaum filosof Muslim, khususnya Mulla Sadra, sangat menggarisbawahi poin ini. Mulla Sadra mengatakan: "Manusia bukan tergolong satu spesies tunggal. Manusia adalah makhluk multi-spesies. Sesungguhnya individu suatu saat menjadi bagian dari satu spesies dan di saat lain menjadi bagian dari spesies yang berbeda."

Dari sini jelaslah bahwa manusia biologis bukanlah manusia nil. Manusia biologis hanya menjadi dasar bagi dapat eksisnya manusia nil. Dalam bahasa filosof, manusia biologis cenderung memiliki sisi manusiawi, meski sebenarnya tidak memilikinya. Maka tak ada artinya kalau kita bicara tentang sisi manusiawi tanpa menerima peran pokok jiwa. Setelah pembahasan pendahuluan ini, kini kita lebih dalam posisi untuk memahami makna sadar diri manusiawi. Seperti sudah dijelaskan, sadar diri manusiawi didasarkan pada konsepsi bahwa semua manusia secara kolektif membentuk satu unit dan memiliki had nurani manusiawi yang sama, suatu hati nurani yang lebih penting daripada hati nurani religius, nasional, rasial dan kelas mereka.

Sekarang perlu dijelaskan manusia-manusia seperti apa yang secara kolektif memiliki satu ego dan diatur oleh satu semangat, yang di kalangan manusia-manusia seperti ini terjadi perkembangan kesadaran manusiawi dan perasaan yang sama? Apakah kesadaran manusiawi tumbuh berkembang hanya dalam diri orang-orang yang sesungguhnya telah mencapai sisi manusiawi dan nilai-nilai manusiawi, atau dalam diri orang-orang yang belum melewati tahap potensialitas, atau dalam diri orang-orang yang telah mengalami transformasi menjadi seburuk-buruk binatang, atau dalam diri semua jenis orang yang disebutkan barusan?

Jelaslah bahwa saling simpati dan perasaan yang sama hanya terjadi pada orang-orang yang penuh kebajikan dan merasa bahwa semua manusia adalah organ dari satu tubuh.

Tentu saja perasaan seperti ini tidak mungkin dimiliki semua manusia. Manusia yang masih berada dalam tahap kanak-kanak dan yang fitrahnya masih tidur, tak mungkin memiliki rasa simpati yang aktif. Manusia seperti ini tidak dapat diatur oleh satu semangat bersama. Untuk kasus orang-orang yang kehilangan sifat khas manusiawinya, terlalu jelas untuk diberi ulasan. Hanya orang-orang yang telah mencapai sisi manusiawi dan yang fitrahnya telah mengalami perkembangan penuh sajalah yang sesungguhnya merupakan organ-organ dari satu tubuh dan yang benar-benar diatur oleh satu roh atau semangat yang sama.

Hanya orang beriman sajalah yang bisa menjadi orang-orang yang dalam dirinya terjadi perkembangan seluruh nilai alamiah, karena iman merupakan nilai manusiawi yang pokok dan sangat penting. Iman yang sama, bukan ras yang sama, bukan negara yang sama atau hubungan darah yang sama, inilah yang sesungguhnya membentuk manusia menjadi "kita" dan mengobarkan semangat yang sama pada diri mereka. Keajaiban ini hanya dapat diwujudkan oleh iman saja. Seorang Musa tak mungkin punya rasa simpati kepada seorang Fir'aun. Seorang Abu Dzar tak mungkin punya rasa simpati kepada seorang Muawiyah.

Yang merupakan fakta aktual maupun ideal adalah kesatuan manusia-manusia nil yang telah mencapai sisi manusiawi dan kebajikan. Itulah sebabnya Nabi saw, bukannya membuat pernyataan umum yang kira-kira isinya adalah bahwa semua manusia adalah organ dari satu tubuh, namun justru mengatakan, "Kaum mukmin merupakan organ-organ dari tubuh yang satu. Bila satu organ mengalami kesakitan, demam atau tak bisa tidur, maka organ yang lain secara otomatis bersimpati."

Tak terpungkiri lagi bahwa orang yang telah mencapai sisi manusiawi, maka dia memperlihatkan kelembutan hati kepada semua orang atau juga kepada segala sesuatu, bahkan kepada orang yang kehilangan sifat khas manusawinya, orang yang telah mengalami kerusakan fitrah. Itulah sebabnya Allah SWT melukiskan Nabi-Nya sebagai rahmat bagi alam semesta. Orang-orang yang telah mencapai sisi manusiawi, memperlihatkan kebaikan hati, sekalipun kepada orang-orang yang memusuhinya. Imam Ali bin Abi Thalib as berkenaan dengan Abdurahman Ibn Muljam Muradi (pembunuh Imam Ali bin Abi Thalib as—peny.), mengatakan: "Aku mau dia hidup sekalipun dia mau aku terbunuh." Hanya dalam masyarakat mukmin sajalah dapat dibicarakan saling cinta dan saling simpati. Jelaslah kalau umat manusia sudah saling cinta bukan berarti kedamaian total, bukan berarti tak ada tanggung jawab, bukan berarti perbuatan orang yang jahat dibiarkan saja. Justru sebaliknya, karena ada perasaan yang sama, maka ada tanggung jawab yang berat.

Pada masa ini Bertrand Russel, ahli matematika sekaligus pemikir Inggris kenamaan, dan Jean-Paul Sartre, pemikir eksistensialis Perancis termasyhur, keduanya merupakan tokoh yang terkenal karena humanismenya. Russel mendasarkan filosofi moralnya pada sebuah prinsip yang bertentangan dengan humanismenya: filosofinya didasarkan pada pragmatisme dalam keuntungan (perolehan) personal, yaitu dalam pemastian keuntungan personal yang optimal seraya tetap tunduk kepada prinsip-prinsip moral. Dia tidak mempercayai filosofi moral lainnya. Karena itu, dari sikap memandang pending kepentingan personal semata lahir humanisme­nya. Kelas masyarakat menengah ke atas, yang telah menaklukkan masa lalu dan membentangkan panji-panji nasionalisme, tak ada lagi yang perlu dipikirkannya kecuali kesembronoan. Generasi muda Eropa tengah di ambang ketidakpantasan. Dewasa ini Barat tengah menerima kembali apa yang pemah diekspomya. Kekacauan sosial, keputusasaan, kebingungan, nihilisme (sikap menolak semua prinsip agama dan moral; skeptisisme ektrem yang menganggap tak ada yang benar-benar eksis—pen.) merupakan hal-hal yang suka ditransfer Barat ke bangsa dan budaya lain Kaum nihilis beranggapan kalau sesuatu itu bukan milik kami, maka orang lain pun tidak usah memiliki sesuatu itu. Itulah sebabnya kaum nihilis cenderung membuat kehancuran bagi dirinya sendiri.

Reaksi lain terhadap situasi ini berupa munculnya gerakan romantis, semacam filosofi pro-manusia yang mengundang perhauan masyarakat Barat pada berbagai tataran. Pada satu ujungnya ada Russel dengan pandangan-pandangannya yang sederhana dan praktis, dan pada ujung lainnya ada Sartre dengan filosofinya yang kompleks dan gelisah. Di tengahnya ada banyak ekonom dan politisi yang lapang hati. Ekonom dan politisi seperti ini berupaya menemukan solusi praktis untuk berbagai problem yang dihadapi mereka dan orang lain. Adapun Sartre, dengan teori tanggung jawabnya yang kompleks serta dengan pandangannya yang bebas, merupakan perwujudan lain dari semangat Barat yang dengan rasa bersalah berkeinginan membayar kerugian akibat kesalahan di masa lalu. Seperti kaum stoic (pengikut mazhab filosofi Yunani kuno yang didirikan di Athena oleh Zeno sekitar 308 sebelum Masehi, mazhab ini memandang kebajikan sebagai kebaikan tertinggi, dan mengajarkan pengendalian perasaan dan nafsu— pen.), Sartre mempercayai persaudaraan dan persamaan hak bagi umat manusia, pemerintahan dunia, kemerdekaan dan kebajikan (kebaikan tertinggi). Dewasa ini dia mewakili kecenderungan masyarakat Barat yang lapang hati, suatu masyarakat yang berupaya mengatasi keresahan mentalnya, keresahan mental yang timbul akibat kehampaan budaya Barat. Upaya masyarakat seperti ini adalah bersandar sepenuhnya pada ras manusia murni, dan mengganti agama dengan humanisme (pandangan atau sistem berpikir yang perhatiannya adalah masalah-masalah manusiawi bukan masalah-masalah supranatural atau ilahiah, kepercayaan atau pandangan yang menekankan kebutuhan bersama manusia dan mengupayakan semata-mata cara rasional untuk memecahkan problem manusia, dan perhatiannya adalah manusia sebagai makhluk intelektual yang progresif dan bertanggung jawab—pen.). Mereka mengupayakan bagi diri mereka sendiri dan juga bagi Barat seluruhnya, pengampunan untuk ras manusia sebagai suatu keseluruhan yang, menurut mereka, telah mengganti ide Tuhan.

Hasil yang mencolok dari humanisme Sartre adalah Sartre sekali-kali meneteskan air mata buaya atas apa yang diduga sebagai kezaliman terhadap Israel, dan atas apa yang disebut sebagai tirani bangsa Arab, khususnya para pengungsi Palestina. Dunia telah menyaksikan dan masih terus menyaksikan demonstrasi praktis humanisme kaum humanis Barat yang telah menandatangani piagam hak asasi manusia yang mentereng. Demonstrasi ini tak perlu dikomentari. Sadar diri sosial, entah itu kesadaran sebagai bangsa, sebagai manusia atau sebagai kelas, di zaman sekarang ini dikenal sebagai kesadaran yang tidak picik pendiriannya. Orang yang tidak picik pikirannya memiliki beragam sadar sosial. Dia peduli kepada problem bangsa, problem manusia atau problem kelas. Dia berupaya memajukan dan memerdekakan kelasnya, bangsanya atau seluruh umat manusia. Dia berupaya menularkan kesadarannya kepada orang lain. Dia berupaya agar orang lain juga bekerja untuk kemerdekaan sosial.

Sadar Diri Sufi

Sadar diri sufi adalah tahu tentang diri dalam hubungannya dengan Allah. Menurut kaum sufi, hubungan ini bukan jenis hubungan yang lazim terjadi antara dua wujud, seperti hubungan antara seseorang dan orang lain dari masyarakatnya. Namun hubungan yang terjadi antara pokok dan cabang, atau antara yang sejati dan yang perlambang. Dalam terminologi kaum sufi itu sendiri, hubungan antara yang mutlak dan yang terbatas.

Perasaan seorang sufi beda dengan perasaan seorang yang berpikiran liberal. Perasaan seorang sufi tidak merepresentasikan kesadaran akan derita batin yang dirasakan orang sebagai kebutuhan alamiahnya. Orang yang liberal pikirannya pertama-tama menyadari derita yang terjadi di luar, baru kemudian merasakan deritanya sendiri. Di pihak lain, derita sufi merupakan kesadaran batin akan kebutuhan spiritual, persis sebagaimana derita jasmani merupakan peringatan tentang adanya kebutuhan jasmani.

Derita yang dirasakan seorang sufi juga beda dengan derita yang dirasakan seorang filosof . Baik sufi maupun filosof sama-sama merindukan kebenaran. Kalau filosof ingin tahu kebenaran, maka sufi ingin mencapai kebenaran dan terserap dalam kebenaran. Derita filosof merupakan sifat khas yang membedakan filosof dengan fenomena alam lainnya: tumbuhan, binatang dan benda non-organis. Di antara semua makhluk yang ada di alam ini, hanya manusia saja yang berkeinginan untuk memiliki pengetahuan. Namun derita sufi merupakan derita yang terjadi akibat cinta yang kuat dan pengagungan rohani. Derita seperti ini bukan saja tak terjadi pada binatang, bahkan juga tak terjadi pada malaikat, sekalipun esensi malaikat itu sendiri adalah sadar diri.

Derita filosof merupakan pernyataan tentang kebutuhan naluriah filosof untuk mencari pengetahuan. Dan pada fitrahnya manusia itu menginginkan pengetahuan. Derita sufi, di pihak lain, merupakan pernyataan tentang kebutuhan naluriah rasa cintanya. Rasa cintanya itu ingin melayang tinggi dan tak mungkin terpuasi kecuali setelah dia dengan segenap eksistensinya mencapai kebenaran. Seorang sufi percaya bahwa sadar diri yang sejati tak lain adalah mengetahui Allah. Menurut sufi, apa yang oleh filosof disebut ego manusia, bukanlah ego yang sejati. Bisa jadi itu adalah roh, semangat, jiwa manusia atau faktor-faktor yang menentukan eksistensi manusia. Ego yang sejati adalah Allah. Hanya dengan menerobos faktor-faktor yang menentukan eksistensinya, baru manusia dapat mengetahui diri sejatinya. Filosof dan teolog skolastis banyak menulis tentang masalah sadar diri. Namun melalui metode-metode seperti itu, diri tak mungkin diketahui. Orang yang percaya bahwa apa yang diketahui filosof ini tentang sadar diri merupakan suatu fakta, maka orang seperti itu keliru sekali. Orang seperti itu telah berbuat keliru. Dia telah salah mengira, bengkak dianggapnya gemuk.

Menjawab pertanyaan apa diri dan ego itu, Syaikh Mahmud Syabistar menyusun syair sufi yang terkenal, "Gulsyan-e Râz". Dalam syair ini Syaikh mengatakan, "Bila kebenaran sudah jelas bentuknya berkat fakta-fakta yang menentukan, maka dalam kata, kebenaran itu terungkapkan sebagai 'aku' dan 'kamu'. Namun sesungguhnya 'aku' dan 'kamu' hanyalah perwujudan dari satu eksistensi yang nil. Jiwa dan raga merupakan refleksi dari cahaya yang sama yang terkadang tampak dalam lampu dan terkadang tampak dalam cermin."

Mengkritisi pandangan-pandangan kaum filosof tentang jiwa, ego dan sadar diri, Syaikh mengatakan, "Dikira kata 'aku' selalu merujuk ke jiwa. Kamu tidak tahu apa diri itu, karena kamu mengikuti akal. 'Aku' dan 'kamu' lebih daripada jiwa dan raga, karena keduanya merupakan bagian dari ego. 'Aku' tidak merujuk ke person tertentu sehingga merujuk ke jiwanya. Upayakan untuk menjadi lebih daripada seluruh makhluk. Tinggalkan dunia, maka otomatis kamu akan menjadi dunia."

Jadi menurut sufi, jiwa bukanlah ego, juga mengetahui jiwa tidak sama dengan sadar diri. Jiwa hanyalah manifestasi ego dan diri. Ego yang sejati adalah Allah. Bila manusia melenyapkan dirinya, maka dia menghancurkan faktor-faktor yang menentukan eksistensinya, sehingga tak ada lagijejak jiwanya. Pada saat itu tetes air yang pernah terpisah dari laut, balik ke laut dan lenyap di laut. Itulah tahap sadar diri yang sejati. Pada tahap ini manusia melihat dirinya ada dalam segala sesuatu dan segala sesuatu ada dalam dirinya. Dengan demikian dia tahu diri sejatinya.

Sadar Diri Nabi

Sadar diri nabi beda dengan semua jenis sadar diri. Nabi memiliki kesadaran akan Tuhan dan juga kesadaran akan dunia. Nabi memiliki dedikasi kepada Allah dan juga kepada makhluk-Nya. Itu tidak berarti nabi mempercayai dualisme. Juga tidak berarti separo perhatian nabi kepada Allah dan separo lagi kepada makhluk. Tujuan nabi sama sekali tidak terpecah-pecah. Al-Qur'an mengatakan: "Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rangganya." (QS. al-Ahzâb: 4) Karena hanya ada satu hati, maka tak mungkin ada dua jantung hati.

Para nabi senantiasa memperjuangkan monoteisme (tauhid). Tak mungkin ada jejak kemusyrikan dalam segenap perbuatan para nabi, dalam doktrin mereka, dalam tujuan mereka, dan juga dalam dedikasi mereka. Para nabi menyayangi setiap partikel alam semesta, karena semua partikel alam semesta itu merupakan menifestasi person dan sifat-sifat Allah. Seorang penyair berkata, "Senang rasanya bersama dunia, karena dunia yang tumbuh subur ini milik-Nya, dan aku suka seluruh dunia, karena seluruh dunia milik-Nya."

Cinta orang-orang suci kepada dunia merupakan cermin cinta mereka kepada Allah SWT, bukan cinta kepada selain Allah SWT. Mereka peduli kepada makhluk hanya karena mereka memiliki dedikasi kepada Penciptanya, dan bukan karena alasan lain. Tujuan dan hasrat tunggal mereka adalah naik (memajukan kekuatan spiri­tual mereka) selangkah demi selangkah menuju Allah SWT dan membawa manusia bersama mereka. Perjalanan kenabian para nabi diawali dengan cinta berat kepada Tuhan. Cinta seperti ini mendorong para nabi untuk dekat dengan Allah SWT dan mempercepat laju evolusi para nabi. Cinta seperti ini mendorong para nabi melakukan perjalanan yang dikenal dengan nama "perjalanan dari makhluk ke Pentipta." Rasa cinta kepada Tuhan ini tak memungkinkan para nabi berhenti sebentar, sampai para nabi, menurut kata-kata Imam All as, sampai di "tempat yang sentosa."

Akhir perjalanan ini merupakan awal perjalanan yang lain yang dikenal dengan nama "perjalanan dari Allah ke Allah." Selama perjalanan ini para nabi diliputi kebenaran, dan masih mengalamai evolusi yang lain. Bahkan pada tahap ini nabi tidak berhenti. Karena diliputi kebenaran, karena telah menyelesaikan siklus eksistensi, dan karena telah akrab dengan berbagai tahap spiritual, maka nabi diangkat menjadi nabi, dan kemudian memulai perjalanannya yang ketiga, yaitu perjalanan dari Allah ke manusia. Namun ini tidak berarti nabi kembali ke titik awal dan kehilangan semua yang telah dicapainya. Dia kembali, bersama segenap pencapaiannya. Perjalanan nabi dari Allah ke manusia dilakukan bersama Allah, dan bukan tanpa atau jauh dari Allah. Inilah tahap ketiga dalam evolusi seorang nabi.

Diangkatnya nabi menjadi nabi pada akhir perjalanannya yang kedua, artinya adalah lahirnya kesadaran diri akan manusia karena kesadaran diri nabi akan Allah, dan lahirnya dedikasi kepada manusia karena dedikasi nabi kepada Allah SWT. Awal perjalanan keempat nabi dan awal periode keempat evolusi nabi adalah ketika nabi kembali kepada manusia. Selama perjalanan ini, bersama Allah nabi berada di tengah manusia. Nabi berada di tengah manusia untuk membawa manusia menuju kesempurnaan yang tak ada batasnya melalui jalan kebenaran, keadilan dan nilai-nilai manusiawi, dan untuk memberikan bentuk konkret kepada kemampuan potensial manusia yang tak ada batasnya.

Dari sini jelaslah bahwa tujuan akhir pembaru yang berpikiran liberal hanyalah salah satu tahap yang dilalui nabi, yaitu membantu manusia. Begitu pula, tahap tertinggi yang diklaim telah dicapai sufi hanyalah satu tahap dalam perjalanan nabi. Menggambarkan perbedaan antara sadar diri nabi dan sadar diri sufi, Dr. Iqbal mengatakan, "Nabi Muhammad saw dari Arabia naik ke langit ter­tinggi, dan kemudian balik. Aku bersumpah demi Allah, kalau aku yang sampai ke langit tertinggi itu, pasti aku tak akan balik. Inilah kata-kata seorang suci besar dari Gangoh, Abdul Quddus. Dalam segenap literatur sufi, barangkali sulit menemukan kata-kata yang dengan satu kalimat rnenjelaskan persepsi tajam seperti itu tentang perbedaan psikologis antara kesadaran nabi dan kesadaran sufi. Ketika merasakan kedamaian menyatu, sufi tak mau melepaskannya untuk kembali ke masyarakat. Kalau pun kembali, kembalinya ini tidak banyak artinya bagi umat manusia pada umumnya. Kembalinya nabi bersifat kreatif. Nabi kembali untuk berada dalam jalannya waktu, dengan maksud mengendalikan kekuatan sejarah untuk menciptakan dunia baru, yaitu dunia ideal." (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 145-144)

Sekarang ini perhatian kita bukan apakah interpretasi sufi itu benar atau salah. Ada fakta yang tak terbantahkan, yaitu pada awalnya nabi sangat kuat kerinduannya kepada Allah. Itulah satu-satunya derita jiwa yang dirasakan nabi. Nabi mendambakan Allah, dan naik menuju Allah. Nabi mendekati sumber itu. Kemudian nabi merasa simpati kepada sesama manusia. Simpati nabi beda dengan simpati pembaru berpikiran liberal atau filantropis (orang yang cinta kasih kepada sesama manusia—pen.). Simpati nabi bukan sekadar perasaan manusia, juga tidak seperti rasa kasihan karena melihat orang pincang. Derita jiwa nabi sifatnya beda sekali, dan tak sama dengan rasa kasihan lainnya. Sadar diri nabi akan manusia juga khas. Api yang membakar jiwanya beda sekali. Personalitas nabi memang berkembang, sehingga bukan saja jiwanya menyatu dengan jiwa orang lain, namun personalitas nabi juga meliputi seluruh dunia. Nabi merasa sedih ketika melihat penderitaan umat manusia. Al-Qur'an mengatakan:

Sesungguhnya tdah datang kepadamu seorang Rasid dan kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan keselamatan bagimu. (QS. at-Taubah: 128)

Kepada Nabi Saw. Al-Qur'an mengatakan:

Maka barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpating, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur'an). (QS. al-Kahfi: 6)

Nabi merasa sedih karena melihat manusia menderita kelaparan, kehilangan, penyakit, dirundung kemiskinan, dianiaya dan di-ganggu. Nabi begitu cemas sehingga tak dapat tidur dengan nyenyak karena tahu seseorang di salah satu penjuru terjauh negerinya tengah kelaparan. Imam Ali bin Abi Thalib as pernah mengatakan:

"Sungguh buruk rasanya kalau aku sampai dikuasai hawa nafsuku dan akibat keserakahan lalu aku memilih hidangan lezat padahal di Hijaz atau Yamamah bisa jadi ada seseorang yang tak punya harapan untuk memperoleh roti kasar dan yang belum pernah makan sampai kenyang! Pantaskah kalau aku tidur dalam keadaan perut kenyang padahal ada perut-perut yang keroncongan dan hati-hati yang tersiksa di sekitarku?" (Nahj al-Balâghah, Surat No. 45)

Perasaan-perasaan seperti ini jangan dianggap lahir dari rasa kasih sayang dan kebaikan hati semata. Nabi, yang juga seorang manusia, pada awal perjalanan kenabiannya memiliki semua kebajikan manusiawi yang bentuk dan warnanya sama dengan yang dimiliki manusia lainnya. Namun setelah segenap eksistensi nabi terbakar api ilahiah, maka kebajikan-kebajikan nabi bentuk dan warnanya baru, yaitu warna ilahiah. Orang-orang yang mendapat pendidikan dari nabi mutlak beda dengan orang-orang yang men­dapat pendidikan dari pembaru berpikiran liberal. Dan masyarakat yang dibentuk oleh nabi beda dengan masyarakat yang dibentuk oleh pemikir dan intelektual.

Perbedaan utamanya adalah nabi berupaya membangkitkan kekuatan-kekuatan naluriah yang dimiliki manusia. Nabi membangkit­kan kesadaran terpendam manusia dan mengobarkan cintanya yang terpendam. Nabi menyebut dirinya sendiri "pemberi peringatan" atau "pembangkit". Nabi menciptakan dalam diri manusia rasa peka terhadap segenap eksistensi, dan menularkan kesadaran dirinya akan segenap eksistensi itu kepada orang lain. Adapun pembaru yang berpikiran liberal, paling banter dia membangkitkan suara hati sosial orang, dan memperkenalkan orang dengan kepentingan nasional atau kelasnya.

[1] Konsepsi Islam mengenai fitrah manusia beda dengan konsepsi Descartes, Kant dan sebagainya. Fitrah manusia artinya bukan eksistensi aktual jumlah tertentu pengertian atau eksistensi aktual kecenderungan dan hasrat tertentu dalam diri manusia sejak dia lahir, atau seperti kata filosof babwa manusia lahir dalam keadaan memiliki rasionalitas dan kehendak. Begitu pula, Islam menolak teori kaum Marxis dan Eksistensialis yang menyangkal eksistensi fitrah dan mengatakan bahwa manusia lahir seperti selembar kertas kosong dan mampu menerima gagasan yang ditanamkan ke dalam benaknya. Menurut Islam, pada awal periode setelah kelahirannya, manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan potensial tertentu, dan manusia ingin mewujudkan kecenderungan-kecenderungan tersebut Kekuatan yang ada dalam diri manusia mendorong manusia untuk mewujudkan tujuannya, tentu saja dengan bantuan kondisi-kondisi dari luar. Kalau manusia sungguh-sungguh mendapatkan apa yang sesuai dengan dirinya, berarti dia mendapatkan apa yang disebut sisi manusiawi. Kalau sebaliknya, berarti dia mengalami distorsi. Itulah satu-satunya penjelasan yang logis mengenai metamorfosis manusia, dan metamorfosis manusia ini juga menjadi pokok pembicaraan kaum Marxis dan Eksistensialis. Dari sudut pandang mazhab ini, hubungan antara manusia sejak lahir dan nilai-nilai serta kebajikan-kebajikan manusiawi sama dengan hubungan antara anak pohon pir dan pohon pir yang sudah mencapai puncak pertumbuhannya. Hubungan internal, dengan bantuan faktor-faktor dari luar, mengubah anak pohon itu menjadi pohon. Hubungan ini tidak sama dengan hubungan antara papan kayu dan kursi. Karena untuk kasus papan kayu dan kursi, hanya faktor-faktor dari luariah yang mengubah papan kayu menjadi kursi.


14
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

BAB 24 - Masyarakat dan Sejarah
Mukadimah

Pandangan sebuah mazhab pemikiran tentang masyarakat dan sejarah berperan penting dalam ideologi mazhab tersebut. Karena itu perlu mengetahui pandangan Islam tentang masyarakat dan sejarah dalam perspektif konsepsi Islam tentang dunia. Jelas Islam bukanlah mazhab sosiologi, bukan filsafat sejarah. Dalam Al-Qur'an tak ada problem sosial maupun sejarah yang tidak dibahas dalam bahasa dua ilmu pengetahuan ini. Al-Qur'an juga tidak menggunakan terminologi yang lazim digunakan dua ilmu pengetahuan yang relevan itu ketika membahas masalah moral, hukum atau filosofis. Pandangan Islam mengenai banyak masalah yang berkaitan dengan dua ilmu pengetahuan ini dapat disimpulkan dari ayat-ayat Al-Qur'an.

Pemikiran Islam mengenai masyarakat dan sejarah, karena sangat penting, patut ditelaah secara mendalam. Seperti banyak ajaran Islam lainnya, pemikiran Islam mengenai masyarakat dan sejarah juga merupakan tanda bahwa ajaran Islam sangat men­dalam. Untuk singkatnya, pemikiran Islam tentang masyarakat dan sejarah akan dibahas dalam satu bab, dan yang dibahas hanyalah masalah-masalah yang menurut hemat kami sangat penting untuk mengetahui ideologi Islam.

Pembahasan pertama adalah masyarakat, baru kemudian sejarah. Dalam hal ini pertanyaan-pertanyaan yang relevan adalah:

i. Apa masyarakat itu?

ii. Apakah manusia pada dasarnya makhluk sosial?

iii. Apakah individu adalah ide dasarnya, bukan masyarakat, atau sebaliknya, atau adakah alternatif ketiga?

iv. Bagaimana hubungan antara masyarakat dan tradisi?

v. Apakah individu memiliki pilihan bebas untuk berbuat dalam masyarakat dan lingkungan sosial?

vi. Bagaimana segmen-segmen utama masyarakat?

vii. Apakah semua masyarakat manusia pada umumnya sifat dan esensinya sama, perbedaan antara satu masyarakat dan masyarakat lain seperti perbedaan antar individu dari satu spesies? Ataukah sifat-sifatnya beragam sesuai dengan perbedaan rasionalnya, kondisi ruang dan waktunya, dan tataran budayanya? Kalau demikian, tentu saja berbagai masyarakat memiliki sosiologi yang beragam, dan kalau demikian tiap-tiap masyarakat dapat memiliki ideologi khasnya sendiri. Kita tahu semua manusia, meski dari sudut pandang fisis beda wilayah, ras dan sejarahnya, adalah dari satu spesies, dan itulah sebabnya pada mereka berlaku hukum medis dan fisiologis yang sama. Sekarang pertanyaannya adalah apakah mereka—dari sudut pandang sosial— membentuk satu spesies dan konsekuensinya diatur oleh satu sistem moral dan sosial? Dapatkah satu ideologi berlaku untuk semua manusia, atau apakah setiap masyarakat mesti memiliki ideologi khusus sesuai dengan kondisi wilayah, budaya, sejarah dan sosiologi khususnya?

viii. Apakah masyarakat-masyarakat manusia, yang sejak fajar sejarah hingga sekarang berserak, satu sama lain independen, dan setidaknya beragam sifat individualnya, dapat bersatu dan seragam? Apakah masa depan ras manusia adalah satu masyarakat, satu budaya, dan lenyapnya kontradiksi dan konflik? Ataukah ras manusia memang harus tetap beragam budaya dan ideologinya?

Inilah sebagian pertanyaan yang, dari menurut kita, perlu dijelaskan dari sudut pandang Islam. Satu per satu pertanyaan ini akan dibahas secara ringkas.

Apa Masyarakat Itu?

Masyarakat adalah sekelompok manusia yang terjalin erat karena sistem tertentu, tradisi tertentu, konvensi dan hukum tertentu yang sama dan hidup bersama. Hidup bersama tidak berarti sekelompok orang mesti hidup berdampingan di satu daerah tertentu, memanfaatkan iklim yang sama, dan mengkonsumsi makanan yang sama. Pepohonan di taman hidup ber­dampingan, memanfaatkan iklim yang sama, dan mengkonsumsi makanan yang sama. Begitu pula, kawanan rasa makan rumput bersama dan ke mana-mana bersama. Namun pepohonan maupun kawanan rusa itu tidak hidup bersama atau bermasyarakat.

Kehidupan manusia adalah kehidupan sosial, dalam arti bahwa kehidupan manusia "bersifat sosial". Kebutuhan, prestasi, kesenangan dan aktivitas manusia semuanya bersifat sosial, karena semuanya itu terjalin erat dengan adat, kebiasaan, dan sistem kerja, pembagian keuntungan, dan pembagian pemenuhan kebutuhan tertentu. Yang membuat sekelompok tertentu orang tetap bersatu adalah pikiran dan kebiasaan tertentu yang dominan. Dengan kata lain, masyarakat adalah kumpulan orang yang, karena desakan kebutuhan dan pengaruh keyakinan, pikiran dan ambisi tertentu, tersatukan dalam kehidupan bersama.

Kebutuhan sosial bersama dan hubungan khusus dalam ke­hidupan manusia mempersatukan manusia sehingga mereka seperti para penumpang yang tengah mengadakan perjalanan dalam satu mobil, satu pesawat udara atau satu kapal menuju tujuan tertentu. Di tengah perjalanan, kalau ada bahaya, mereka menghadapinya bersama, dan nasibnya sama. Ketika menjelaskan filosofi di balik amar makruf nahi munkar, Nabi saw menggunakan perumpamaan yang bagus. Sabda Nabi saw:

"Sekelompok orang naik sebuah kapal. Kapal berlayar membelah lautan. Setiap penumpang duduk di tempatnya masing-masing. Salah seorang penumpang yang berdalih bahwa tempat duduknya adalah khusus miliknya mulai membuat lubang di tempat duduknya. Kalau penumpang yang lain segera mencegah perbuatannya, mereka bukan saja akan menyelamatkan diri mereka sendiri namun juga menyelamatkannya."

Apakah Manusia pada Dasarnya Makhluk Sosial?

Pertanyaan faktor-faktor apa yang membuat manusia jadi makhluk sosial, telah dibahas sejak dulu. Apakah manusia sejak awal diciptakan sebagai makhluk sosial? Dengan kata lain, apakah manusia memang diciptakan sebagai bagian dari keseluruhan, dan secara naluriah cenderung menyatu dengan keseluruhannya? Ataukah diciptakan bukan sebagai makhluk sosial, namun faktor-faktor dari luar telah memaksanya hidup bermasyarakat? Dengan kata lain, apakah sesuai fitrahnya manusia cenderung bebas dan tak mau dibatasi oleh kehidupan bersama, namun berdasarkan pengalaman dia tahu tak mampu hidup sendirian, maka dia terpaksa mau dibatasi oleh kehidupan bersama? Teori lain mengatakan bahwa kendatipun manusia pada dasarnya tidak butuh bermasyarakat, bukan faktor paksaan yang membuat manusia jadi butuh bermasyarakat. Namun manusia, melalui akalnya, menyadari bahwa dengan kerja sama dan kehidupan bersama dia dapat lebih menikmati karunia alam. Menurut teori ini, manusia mau bekerja sama dengan sesamanya karena pilihannya sendiri. Dengan demikian, baik karena fitrahnya, karena terpaksa, atau karena pilihannya sendiri, manusia hidup bermasyarakat.

Menurut teori pertama, kehidupan sosial manusia dapat disamakan dengan kehidupan rumah tangga suami-istri. Suami-istri merupakan bagian dari keseluruhan. Masing-masing secara alamiah cenderung menyatu dengan keseluruhannya.

Menurut teori kedua, kehidupan sosial dapat disamakan dengan aliansi dan kerja sama antara dua negara yang merasa tak mampu bila sendirian menghadapi musuh yang sama, karena itu kedua negara ini terpaksa membuat perjanjian aliansi dan kerja sama demi kepentingan bersama.

Menurut teori ketiga, kehidupan sosial dapat disamakan dengan kemitraan dua orang pemodal yang atas kemauan sendiri sepakat mendirikan usaha komersial, pertanian atau industri untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar.

Menurut teori pertama, faktor utama yang membuat manusia hidup bermasyarakat adalah fitrahnya. Menurut teori kedua, penyebab utamanya adalah kekuatan dari luar. Menurut teori ketiga, penyebabnya adalah kemampuannya untuk berpikir dan membuat perhitungan. Menurut teori pertama, hidup bermasyarakat merupakan tujuan umum yang secara naluriah ingin dicapai fitrah manusia. Menurut teori kedua, hidup bermasyarakat merupakan sesuatu yang kebetulan dan tidak esensial atau, dalam terminologi filosof, tujuan sekunder. Dan menurut teori ketiga, hidup ber­masyarakat merupakan salah satu tujuan intelektual dan bukan salah satu tujuan alamiah.

Beberapa ayat Al-Qur'an menunjukkan bahwa kebutuhan manusia untuk hidup bermasyarakat merupakan bagian dari penciptaannya. Al-Qur'an Suci mengatakan:

Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa di antara kamu. (QS. al-Hujurât: 13)

Dalam ayat ini disebutkan filosofi sosial penciptaan manusia. Ayat ini mengatakan bahwa manusia diciptakan sedemikian rupa sehingga terbentuk berbagai bangsa dan suku. Orang diidentifikasi dengan merujuk ke bangsa dan sukunya. Dengan demikian, ayat ini memecahkan problem sosial, karena syarat penting kehidupan bermasyarakat adalah mampu mengenal satu sama lain. Kalau saja tak ada bangsa, suku dan afinitas lain yang serupa, yang merupakan ciri pemersatu dan pembeda, maka mustahil mengidentifikasi orang, dan akibatnya adalah mustahil ada kehidupan sosial yang dasarnya adalah saling hubungan antar manusia. Afiliasi kebangsaan dan kesukuan serta perbedaan lain seperti bentuk tubuh dan warna kulit membentuk identitas tiap individu. Kalau saja semua individu sama bentuk tubuhnya, sama warna kulitnya, dan sama ciri-cirinya, dan kalau saja afiliasinya sama, maka semua individu akan sama seperti produk buatan pabrik dan satu sama lain tak dapat dibedakan. Akibatnya, mustahil mengenali satu per satu mereka, sehingga tak mungkin ada kehidupan sosial yang didasarkan pada saling hubungan dan pertukaran pikiran, produk dan jasa. Karena itu afiliasi manusia ke suku dan komunitas yang berbeda ada maksud dan tujuannya. Ini merupakan syarat penting bagi kehidupan sosial. Namun afiliasi ke ras atau keluarga tertentu bukanlah soal kebanggaan atau bukan dasar untuk mengklaim lebih unggul. Sesungguhnya dasar keunggulan tak lain adalah kemuliaan manusia dan ketakwaan individu. Al-Qur'an mengatakan:

Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan hubungan kekeluargaan (yang berasal dari perkawinan, seperti menantu, ipar, mertua dan sebagainya). (QS. al-Furqân: 54)

Ayat ini menggambarkan hubungan darah dan perkawinan yang mengikat satu individu dengan individu lainnya dan mem­bentuk dasar untuk mengidentifikasinya, karena skema penciptaan dirancang untuk tujuan yang arif. Di tempat lain Al-Qur'an mengatakan:

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu ? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan. (QS. az-Zukhruf: 32)

Dalam pembahasan tentang tauhid (konsepsi tauhid tentang dunia), sudah dijelaskan makna ayat ini. Ringkasnya dapat di-katakan, ayat ini menunjukkan bahwa manusia tidak diciptakan sama bakat dan kemampuannya. Seandainya diciptakan sama, tentu setiap orang memiliki apa yang dimiliki orang lain, dan tidak memiliki apa yang tidak dimiliki orang lain. Kalau demikian, tentu saja satu sama lain saling tidak membutuhkan, sehingga tak terjadi pertukaran jasa. Allah menciptakan manusia berbeda-beda bakatnya, kemampuan fisisnya, kemampuan spiritualnya, dan kemampuan emosionalnya. Allah SWT menjadikan sebagian manusia unggul atas sebagian lainnya dalam hal-hal tertentu, sementara sebagian lainnya itu sering unggul dalam hal-hal lain. Maka semua manusia saling bergantung satu sama lain, sehingga ada hasrat untuk saling bekerja sama. Dengan demikian Allah SWT telah memuluskan jalan bagi terbentuknya kehidupan sosial manusia. Ayat di atas menunjukkan bahwa kehidupan sosial itu alamiah. Manusia tidak dipaksa untuk hidup bermasyarakat. Juga, kalau manusia hidup bermasyarakat, maka itu bukan karena pilihan manusia sendiri.

Apakah Eksistensi Masyarakat Itu Riil dan Substansial?

Masyarakat terbentuk dari individu-individu. Seandainya tak ada individu-individu, maka tak ada masyarakat. Lantas bagaimana karakter komposisi masyarakat, dan bagaimana hubungan antara masyarakat dan manusia. Dalam hal ini, dikemukakan teori-teori berikut ini:

1. Komposisi masyarakat tidaklah riil. Dengan kata lain, sesungguh-nya tak terjadi persenyawaan. Sesungguhnya persenyawaan hanya terjadi kalau, akibat aksi dan reaksi dua atau lebih benda, muncul fenomena baru dengan segenap ciri khasnya seperti yang terjadi pada senyawa kimiawi. Misal, akibat aksi dan reaksi dua gas, oksigen dan hidrogen, muncul fenomena baru yang disebut air. Fenomena baru ini memiliki ciri khasnya sendiri. Yang esensial adalah, setelah terjadi perpaduan, maka komponen-komponen yang membentuk perpaduan itu kehilangan sifat dan efek individualnya dan sepenuhnya larut menjadi senyawa baru. Dalam kehidupan sosialnya, manusia tak pernah seperti ini. Manusia tidak larut menjadi masyarakat Karena itu eksistensi masyarakat tidak riil dan tidak substansial. Eksistensi masyarakat hanyalah imajiner. Individu saja yang riil eksistensinya. Karena itu, .sekalipun kehidupan manusia dalam masyarakat ada bentuk sosialnya, namun individu-individu tidak membentuk senyawa yang riil yang bernama masyarakat.

2. Teori kedua mengatakan bahwa kendatipun masyarakat bukan senyawa yang riil seperti senyawa-senyawa alamiah, namun masyarakat merupakan senyawa sintetis. Senyawa sintetis juga merupakan sejenis senyawa riil, sekalipun bukan senyawa alamiah. Senyawa sintetis merupakan suatu keseluruhan yang terbentuk dari hasil perakitan seperti mesin. Dalam senyawa alamiah, komponen-komponen pembentuk senyawa itu kehilangan identitas dan efeknya dan larut dalam keseluruhan.
Namun dalam senyawa sintetis, komponen-komponennya kehilangan efeknya, sementara identitasnya tetap ada.

3. Dengan cara tertentu komponen-komponennya berpadu, dan akibatnya efeknya juga berpadu. Komponen-komponen tersebut memiliki bentuk efek baru yang sama sekali bukan total dari
efek-efek independen komponen-komponen tersebut. Misal, sebuah mobil membawa barang atau orang dari satu tempat ke tempat lain, namun efek ini bukan berkaitan dengan satu komponennya, juga bukan berkaitan dengan total efek independen semua komponennya. Dalam mobil, semua komponennya saling berkaitan dan bekerja bersama. Namun identitasnya tidak hilang dalam keseluruhan. Sesungguhnya dalam kasus ini keseluruhan ada karena adanya komponen. Sesungguhnya mobil setara dengan jumlah seluruh komponen­nya plus hubungan khusus antar komponen.

Begitu pula dengan masyarakat. Masyarakat terdiri atas sistem primer dan sistem sekunder. Sistem dan individu yang terkait dengan sistem, saling berkaitan. Kalau ada perubahan pada salah satu sistem—budaya, agama, ekonomi, hukum atau pendidikan—maka sistem lainnyajuga berubah. Jadi kehidupan sosial adalah produk akhir dari seluruh proses sosial. Namun dalam proses ini individu tidak kehilangan identitasnya dalam masyarakat sebagai keseluruhan maupun dalam sistem masyarakat.

Teori ketiga mengatakan bahwa masyarakat merupakan senyawa yang riil seperti senyawa alamiah lainnya. Namun masyarakat merupakan perpaduan pikiran, emosi, hasrat, kehendak dan juga budaya. Masyarakat bukanlah perpaduan fisik. Kalau terjadi aksi-reaksi elemen-elemen material maka bisa muncul fenomena baru, atau seperti kata filosof, bisa ada bentuk baru, sehingga lahir senyawa baru. Begitu pula, kalau individu-individu manusia memasuki kehidupan sosial, maka yang terbaur adalah semangatnya, sehingga lahir identitas semangat baru yang dikenal dengan nama "semangat bersama". Senyawa ini alamiah namun unik. Alamiah dan aktual, dalam pengertian bahwa komponen-komponennya saling beraksi, bereaksi, membuat perubahan dan menjadi bagian-bagian dari satu identitas baru. Namun senyawa ini beda dengan senyawa alamiah lainnya, karena dalam kasus ini "keseluruhan" atau senyawa itu tidak eksis sebagai "unit yang riil". Dalam kasus senyawa lain, perpaduannya riil, karena komponen-komponen­nya saling beraksi dan saling bereaksi secara riil dan sedemikian rupa sehingga identitas bagian-bagiannya berubah, dan konsekuensi aktualnya berupa senyawa berbentuk satu unit riil, karena pluralitas bagian-bagiannya berubah menjadi unit keseluruhan.

Namun dalam kasus berpadunya individu-individu menjadi masyarakat, kendatipun perpaduan ini sekali lagi riil karena akibat aksi-reaksi aktualnya individu-individu memperoleh identitas baru, namun pluralitasnya sama sekali tidak berubah menjadi unitas. "Manusia total" yang memadukan semua individu menjadi keseluruhan, eksistensinya bukan sebagai unit. Hanya total agregat individu-individulah yang dapat disebut manusia total. Namun eksistensinya hanya imajiner.

4. Menurut teori keempat, masyarakat merupakan senyawa riil dan sungguh juga senyawa yang tinggi tingkat kesempurnaannya. Dalam kasus semua senyawa alamiah, masing-masing komponen-nya, sebelum berpadu, memiliki identitas sendiri. Terlepas dari eksistensi sosialnya, manusia semata-mata binatang yang hanya memiliki potensi manusia atau perasaan ego manusia. Pikiran dan perasaan manusia seperti emosi dan hasrat manusia baru ada setelah adanya semangat kolektif. Semangat inilah yang mengisi kevakuman dan membentuk personalitas manusia. Semangat kolektif selalu ada pada manusia, dan manifestasinya selalu terlihat dalam etika, agama, ilmu pengetahuan, filsafat dan seni. Manusia saling memberikan pengaruh spiritual dan kultural kepada satu sama lain, dan mendapat pengaruh melalui—dan menyusul—semangat kolektif ini, bukan pada tahap sebelum semangat kolektif ini.

Sesungguhnya sosiologi manusia mendahului psikologinya, kebalikan dart teori sebelumnya yang mengatakan bahwa psikologi manusia mendahului sosiologinya. Teori ini mengatakan jika manusia belum memiliki eksistensi sosial dan sosiologi, maka dia tak akan dapat memiliki jiwa manusia dan psikologi individual. Teori pertama murni tentang fundamentalitas individual saja. Menurut teori ini, eksistensi masyarakat tidak riil, masyarakat tak punya hukum, norma atau nasib. Hanya individu saja yang eksistensinya aktual dan dapat diidentifikasi. Nasib setiap individu tidak ditentukan oleh nasib individu lainnya.

Menurut teori kedua, yang penting adalah individu. Para pendukung teori ini tidak percaya kalau masyarakat sebagai suatu keseluruhan dan suatu perpaduan individu eksistensinya aktual. Namun mereka mengatakan bahwa memang ada ikatan antar individu dan ikatan ini sama dengan ikatan fisis. Menurut teori ini, sekalipun eksistensi masyarakat tergantung pada individu, dan hanya individu inilah yang eksistensinya aktual, namun kalau melihat faktanya bahwa individu dalam sebuah masyarakat berhubungan dengan satu sama lain seperti berbagai komponen pabrik dan semua tindakannya jalin berjalin dalam rangkaian mekanis sebab-akibat, maka individu ini memiliki nasib yang sama, dan karena masyarakat terdiri atas komponen-komponen yang saling berhubungan, maka identitas masyarakat juga tidak ditentu­kan oleh identitas komponennya, yaitu individu.

Adapun teori ketiga, teori ini mengatakan bahwa individu dan masyarakat sama-sama fundamental. Menurut teori ini, karena eksistensi komponen masyarakat (individu) tidak hilang dalam eksistensi masyarakat, dan komponen masyarakat tetap eksis, seperti yang terjadi pada senyawa kimiawi, maka individu juga fundamental. Namun masyarakat juga fundamental, karena perpaduan individu, dari sudut pandang intelektual dan emosional, sama dengan perpaduan kimiawi. Individu dalam masyarakat memiliki identitas baru, yaitu identitas masyarakat, kendatipun individu tetap mempertahankan identitasnya sendiri. Menurut teori ini, akibat saling aksi-reaksi komponerinya, maka muncul realitas baru dan hidup dalam bentuk masyarakat. Selain hati nurani individu, kehendak, hasrat dan pikiran individu muncul dalam bentuk masyarakat, muncul hati nurani baru, kehendak baru, hasrat baru dan pikiran baru. Hati nurani ini mendominasi hati nurani dan kesadaran individu.

Menurut teori keempat, hanya masyarakatlah yang fundamental. Segala yang ada merupakan semangat kolektif, had nurani kolektif, kesadaran kolektif, kehendak dan hasrat kolektif, serta jiwa kolektif. Hati nurani dan kesadaran individu hanyalah manifestasi hati nurani dan kesadaran kolektif.

Teori ketiga mendapat dukungan dari aval Al-Qur'an. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pembahasan Al-Qur'an mengenai persoalan manusia tidak seperti pembahasan buku ilmu pengetahuan atau filsafat. Pembahasan Al-Qur'an beda. Namun pembicaraan Al-Qur'an mengenai persoalan masyarakat dan individu sedemikian rupa sehingga memperkuat teori ketiga. Al-Qur'an mengatakan bahwa masyarakat memiliki nasib yang sama, buku catatan perbuatan yang sama, pengertian dan kesadaran yang sama. Ada yang taat, ada yang membangkang. Jelaslah kalau eksistensi masyarakat tidak aktual, maka tak ada nasib, pengertian, kesadaran, ketaatan dan pembangkangan. Ini membuktikan bahwa Al-Qur'an mempercayai kehidupan kolektif dan sosial. Kehidupan kolektif bukan kiasan belaka, namun sebuah realitas, seperti halnya kematian kolektif. Al-Qur'an mengatakan:

Tiap umat mempunyai ajal. Maka apabila telah datang ajalnya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun, dan tidak dapat (pula) memajukannya. (QS. al-A'râf: 34)

Lagi, kata Al-Qur'an:

Tiap-tiap umat dipanggil untuk (metihat) buku catatan amalnya. (QS. al-Jâtsiyah: 28)

Ini menunjukkan bahwa tiap bangsa memiliki buku catatan perbuatannya. Sebagai wujud yang hidup, sadar dan bertanggung jawab, maka tiap bangsa akan disuruh melihat buku catatan perbuatannya. Kata Al-Qur'an:

Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaannya. (QS. al-An'âm: 108)

Ayat ini menunjukkan bahwa setiap bangsa rnemiliki pandangan khusus, cara berpikir yang khusus, dan standar yang khusus pula. Setiap bangsa rnemiliki cara khusus dalam melihat dan memahami sesuatu. Penilaian setiap bangsa didasarkan pada standar khusus-nya. Setiap bangsa rnemiliki seleranya sendiri. Perbuatan yang tampak baik bagi satu bangsa, tampak tidak baik bagi bangsa lain. Lingkungan sosial suatu bangsalah yang menentukan selera individu bangsa tersebut. Al-Qur'an mengatakan:

Tiap-tiap umat telah merencanakan makar terhadap rasul mereka untuk menawannya, dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu. Karena itu Aku azab mereka. Maka betapa (pedih) azab-Ku? (QS. al-Mukmin: 5)

Ayat ini merujuk kepada keputusan kolektif yang memalukan yang bermaksud memerangi kebenaran. Dalam ayat itu juga disebut-sebut hukuman umum bagi kejahatan kolektif ini. Dalam Al-Qur'an ditunjukkan tentang perbuatan seseorang yang dianggap sebagai perbuatan masyarakat, atau perbuatan satu generasi dianggap sebagai perbuatan generasi berikutnya.[1] Ini mungkin hanya bila masyarakat tertentu rnemiliki satu cara berpikir kolektif dan memiliki satu semangat kolektif. Misal, dalam kisah suku Tsamud, perbuatan satu orang yang membunuh unta betina Nabi Saleh as dianggap sebagai perbuatan seluruh suku. Al-Qur'an mengatakan, "Mereka membunuhnya." Jadi seluruh suku dianggap bersalah dan patut dihukum. "Maka Tuhanmu menghancurkan mereka."

Menjelaskan pokok persoalan ini, dalam salah satu khutbahnya Imam Ali bin Abi Thalib as mengatakan, "Wahai manusia! Satu-satunya yang mempersatukan manusia dan membuat mereka bernasib sama adalah rasa senang dan rasa tidak senang."

Bila orang sama-sama merasa senang atau merasa tidak senang dengan sesuatu yang dilakukan seseorang, maka mereka dianggap satu orang, dan nasib mereka sama. Unta betina Tsamud dibunuh oleh seseorang, namun Allah SWT menghukum seluruh suku, karena mereka senang dengan perbuatan orang itu. Allah SWT berfirman:

Kemudian mereka membunuhnya, lalu mereka menjadi menyesal. (QS. asy-Syu'arâ`: 157)

Allah SWT menghukum mereka semua, karena mereka semua menyetujui keputusan yang diambil satu orang. Karena itu, ketika keputusan itu dilaksanakan, sesungguhnya keputusan itu merupakan keputusan kolektif mereka semua. Kendatipun membunuh merupakan perbuatan satu orang, namun Allah SWT memandang perbuatan tersebut sebagai perbuatan mereka pada umumnya. Allah SWT berflrman bahwa mereka membunuh unta betina. Allah SWT tidak mengatakan bahwa salah seorang di antara mereka membunuhnya.

Di sini ada satu hal lagi yang patut diingat. Kalau cuma senang dengan suatu dosa namun tidak melakukan dosa itu, maka tidak dianggap berdosa. Jika seseorang merasa senang karena tahu orang lain telah berbuat dosa atau mau berbuat dosa, maka orang itu sendiri tidak dianggap berdosa. Sekalipun seseorang memutuskan mau berbuat dosa, namun ternyata belum berbuat dosa, maka dia belum berdosa. Menyetujui atau mendukung perbuatan dosa yang dilakukan orang lain baru dapat dianggap berdosa kalau persetujuan atau dukungan ini setali tiga uang dengan ikut memutuskan untuk berbuat dosa itu atau ikut melakukan perbuatan dosa itu. Itulah karakter semua dosa kolektif. Pertama lingkungan sosial dan semangat kolektif masyarakat menyetujui perbuatan dosa tertentu dan memuluskan jalan untuk perbuatan dosa itu. Kemudian seseorang yang keputusannya menjadi bagian dari keputusan orang lain, dan yang persetujuannya menjadi bagian dari persetujuan orang lain. Maka orang ini sesungguhnya juga me­lakukan perbuatan dosa itu. Dalam kasus ini dosa seseorang merupakan dosa semua anggota masyarakat itu. Pernyataan Imam Ali bin Abi Thalib as menggambarkan situasi seperti ini, dan antara lain menjelaskan makna ayat di atas. Namun kalau sekadar senang, sementara tidak ikut dalam keputusan dan tindakan orang yang melakukan dosa, belum dianggap melakukan dosa.

Dalam Al-Qur'an terkadang perbuatan satu generasi juga dianggap perbuatan generasi selanjutnya. Misal, perbuatan kaum Israel di masa lalu dianggap perbuatan kaum Yahudi di zaman Nabi saw. Al-Qur'an mengatakan bahwa kaum ini pantas mendapat penghinaan dan aib karena mereka suka membunuh nabi. Dikatakan demikian karena dari sudut pandang Al-Qur'an kaum Israel pada zaman Nabi saw merupakan kelanjutan dan proyeksi pendahulu mereka. Pendahulu mereka ini suka membunuh nabi. Bukan saja itu, namun dari sudut pandang pikiran kolektif, mereka tak ubahnya kaum di masa lalu itu yang masih terus eksis. Filosof Perancis, Auguste Comte, mengatakan:

"Masyarakat manusia lebih terdiri atas orang yang sudah mati ketimbang orang yang masih hidup."

Dengan kata lain, dalam semua periode sejarah, orang-orang yang hidup di masa lampau lebih mempengaruhi umat manusia ketimbang orang-orang yang hidup di masa kini. Pemyataan bahwa "orang yang hidup di masa lalu masih terus menguasai orang yang hidup di masa sekarang," artinya sama saja. (lihat Raymond Aron, Main Currents in Sociological Thought, Jilid 1 halaman 91)

Al-Mîzân, kitab tafsir Al-Qur'an yang ternama, membahas masalah itu. Menurut Al-Mîzân, suatu masyarakat yang semangatnya satu dan pemikiran kolektifhya satu tak ubahnya satu manusia, dan semua anggota masyarakat seperti itu seakan-akan organ satu orang. Selanjutnya Al-Mîzân mengatakan bahwa semua anggota masyarakat menjadi bagian dari personalitas masyarakat sehingga kebahagiaan dan kesedihan anggota masyarakat menjadi ke-bahagiaan dan kesedihan masyarakat, kesejahteraan dan kesengsaraan anggota masyarakat menjadi kesejahteraan dan kesengsaraan masyarakat. Kata "Al-Mîzân":

"Al-Qur'an mengungkapkan pandangan ini berkenaan dengan bangsa dan masyarakat yang pemikirannya kolektif, dan pemikiran seperti ini merupakan hasil dari kecenderungan keagamaan atau nasionalnya. Al-Qur'an mengatakan bahwa generasi selanjutnya bertanggungjawab atas perbuatan leluhurnya. Jelaslah ini merupa­kan satu-satunya cara yang benar untuk menilai masyarakat yang pikiran dan jiwanya pikiran dan jiwa kolektif." (Al-Mîzân, Jilid 4 halaman 112)

Masyarakat dan Tradisi

Kalau eksistensi masyarakat nil, tentu masyarakat memiliki hukum dan adatnya sendiri. Namun kalau kita terima teori pertama tentang karakter masyarakat seperti yang diuraikan di atas, dan kita tolak eksistensi aktualnya, maka kita harus mengakui bahwa masyarakat tak memiliki hukum atau adatnya sendiri. Kalau kita terima teori kedua, kemudian kita berpendapat bahwa perpaduan masyarakat sifatnya sintetis dan mekanis, tentu masyarakat memiliki hukum dan adatnya sendiri, namun hukum dan adat yang berkaitan dengan sistem kausatif (sebab-akibat) komponennya dan efek mekanis yang ditimbulkan komponennya terhadap satu sama lain. Maka masyarakat tak memiliki karakteristik kehidupan. Kalau kita terima teori ketiga, maka masyarakat memiliki hukum dan adatnya sendiri yang tak ditentukan oleh hukum dan adat komponennya (individu), karena dalam kasus ini masyarakat memiliki kehidupan kolektif yang independen. Kehidupan kolektif yang independen ini tak terlepas dari kehidupan individu-individunya. Kehidupan kolektif ini berserak dalam kehidupan individu-individunya. Begitu terbentuk menjadi masyarakat, individu relatif kehilangan independensi identitasnya. Kehidupan individu, sumbangsih dan kecakapan individu tidak sepenuhnya larut dalam kehidupan kolektif. Menurut teori ini, manusia hidup dengan dua jiwa, dua semangat dan dua ego. Yang pertama adalah kehidupan manusiawinya, semangat manusiawinya dan ego manusiawinya yang lahir dari fitrahnya. Yang kedua adalah kehidupan kolektifnya, semangat kolektifnya dan ego kolektifnya yang lahir dari kehidupan kolektifnya dan terserap ke dalam ego individualnya. Itulah sebabnya yang mengatur manusia adalah hukum psikologis dan hukum sosiologis. Menurut teori keempat, satu-satunya hukum dan adat yang mengatur manusia adalah adat sosial.

Pakar Muslim pertama yang berpandangan bahwa ada hukum dan adat yang mengatur masyarakat, dan membedakan hukum dan adat ini dari hukum dan adat individu, dan konsekuensinya ber­pandangan bahwa masyarakat memiliki personalitas, karakter dan realitas, adalah Abdurrahman ibn Khaldun dari Tunis. Dalam karya terkenalnya, Mukadimah Sejarah, Ibn Khaldun membahas masalah ini secara terperinci. Pakar modern pertama yang berpendapat bahwa ada adat yang mengatur komunitas, adalah Filosof Perancis abad ke-18, Montesquieu. Tentangnya Raymond Aron mengatakan:

Tujuannya adalah menjelaskan sejarah. Dia berupaya memahami kebenaran sejarah. Dia melihat kebenaran sejarah berbentuk keragaman moral, adat, pikiran, hukum dan lembaga, keragaman yang nyaris tak ada batasnya. Persisnya telaahnya dimulai dari keragaman yang kelihatannya membingungkan ini. Tujuan telaah ini semestinya mengganti keragaman yang membingungkan ini dengan tatanan konseptual. Dapat dikatakan bahwa keinginan Montesquieu, persis seperti Max Weber, adalah berangkat dari fakta yang tak ada artinya ke tatanan yang jelas. Sikap ini adalah sikap sosiolog." (Raymond Aron, Main Currents in Sociological Thought, Jilid 1 halaman 14)

Pokok uraian ini adalah bahwa di balik begitu banyak bentuk fenomena sosial yang kelihatannya satu sama lain bertentangan, sosiolog melihat adanya kesatuan sehingga aneka ragam fenomena itu diidentifikasi sebagai manifestasi kesatuan itu. Begitu pula, semua fenomena dan peristiwa sosial yang sama, asal-usulnya adalah rangkaian sebab yang sama. Inilah kutipan dari telaah atas sebab-sebab kejayaan dan keruntuhan bangsa Romawi:

"Bukan nasib baik yang mengatur dunia. Kita dapat bertanya kepada bangsa Romawi, bangsa yang meraih sukses demi sukses ketika mengikuti rencana tertentu, dan ditimpa bencana terus-menerus ketika mengikuti rencana yang lain. Ada sebab-sebab umum, entah itu sebab moral atau sebab fisis yang efektif pada setiap kerajaan, yaitu sebab kejayaan dan keruntuhan kerajaan. Semua kejadian terjadi karena sebab-sebab ini. Dan jika hasil dari sebuah pertempuran, yaitu sebab tertentu, berupa hancurnya negara, ada sebab umum yang membawa negara itu binasa melalui sebuah pertempuran. Ringkas kata, semua kejadian itu ada dorongan utamanya." (Raymond Aron, Mam Currents in Sociological Thought, Jilid 1 halaman 4)

Al-Qur'an dengan jelas mengatakan bahwa bangsa dan masyarakat memiliki hukum dan norma. Kemajuan dan kehancuran bangsa dan masyarakat itu ditentukan oleh hukum dan norma itu. Ketika dikatakan bahwa sebuah bangsa atau masyarakat memiliki nasib yang sama, maka itu sama saja dengan mengatakan bahwa masyarakat memiliki hukum. Mengenai bangsa Israel, Al-Qur'an mengatakan:

Dan telah Kami tetapkan atas Bani Isra'il dalam Kitab itu: "Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali, dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar." Maka bila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang memUiki kekuatan yang besar, lain mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana. Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak, dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar. Jika kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, danjika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan bila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu, dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai. Mudah-mudahan Tuhanmu akan melimpahkan rahmat-Nya kepadamu. Dan sekiranya kamu kembali kepada (kedurhakaan), niscaya Kami kembali (mengazabmu) dan Kami jadikan neraka Jahanam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS. al-Isrâ`: 4-8)

Kalimat, "Dan sekiranya kamu kembali kepada (kedurhakaan), niscaya Kami kembali (mengazabmu)," ditujukan untuk komunitas, bukan ditujukan untuk individu. Karena itu ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa hukum yang mengatur masyarakat bersifat universal.

Terpaksa atau Tidak

Salah satu masalah pokok yang dibicarakan di kalangan sarjana, khususnya pada abad terakhir ini, adalah masalah apakah kalau dikaitkan dengan semangat kolektif, semangat individu sifatnya terpaksa atau tidak. Kalau teori pertama—teori tentang susunan masyarakat—-dianggap benar, dan susunan masyarakat dianggap imajiner belaka, kemudian dikatakan bahwa hanya individulah yang fundamental, maka tak ada masalah pemaksaan kolektif, karena dalam kasus itu tak ada kekuatan kolektif. Karena itu, jika ada paksaan, maka paksaan tersebut datang dari individu. Individu tak dapat dipaksa oleh masyarakat, dalam pengertian seperti yang dibicarakan oleh pendukung teori paksaan kolektif. Namun seandainya teori keempat dianggap benar, kemudian individu saja yang dianggap sebagai bahan baku dan wadah kosong dari sudut pandang personalitas manusia, dan yang dirujuk adalah basis masyarakat, dan segenap personalitas manusia, akal dan kehendak manusia—yang dari basis kemauan individu—dipandang sebagai perwujudan kehendak dan akal kolektif dan sebagai dalih semangat kolekuf untuk mempromosikan tujuannya, maka tak ada tempat bagi konsepsi yang mengatakan bahwa dalam masalah sosial individu memiliki kehendak bebas.

Sosiolog Perancis, Emile Durkheim, yang percaya bahwa masyarakat fundamental dan sangat penting, mengatakan:

Tak seperti hal-hal semisal makan dan tidur yang mengandung segi hewaniah, sernua masalah sosial dan manusia merupakan produk masyarakat, bukan produk pikiran atau kehendak individu. Masalah-masalah ini memiliki tiga karakteristik: ekstemal, mendorong, dan umum. Ekstemal karena masalah ini datang dari luar, yaitu dari masyarakat. Masalah ini sesungguhnya sudah ada dalam masyarakat, bahkan sebelum individu lahir. Individu menerima masalah ini karena pengaruh masyarakat. Begitulah individu menerima moral dan adat sosial, ajaran agama dan sebagainya. Masalah sosial bersifat memaksa, dalam pengertian masalah itu menimpa individu dan mewarnai suara hati, penilaian, pikiran dan sentimen individu. Karena memaksa, maka masalah ini otomatis juga bersifat umum dan universal."

Namun kalau teori ketiga dipandang benar, dan dikatakan bahwa individu dan masyarakat fundamental, maka sama sekali tidak berarti bahwa individu tak berdaya dalam masalah manusia dan sosial sekalipun diakui bahwa kekuatan masyarakat mengalahkan kekuatan individu. Durkheim mempercayai paksaan, karena Durkheim mengabaikan pentingnya karakter manusia. Karakter manusia berkembang berkat evolusi manusia, suatu evolusi yang sifatnva fundamental dan substansial. Karena karakter manusia ini, maka manusia merdeka, sehingga manusia dapat menentang pengaruh masyarakat. Begitulah keseimbangan terjadi dalam hubungan antara masyarakat dan individu.

Al-Qur'an mengatakan bahwa masyarakat memiliki karakter, personalitas dan aktualitas. Kata Al-Qur'an, masyarakat hidup dan mati. Masyarakat memiliki had nurani dan kekuatan untuk taat dan durhaka. Pada saat yang sama, Al-Qur'an juga mengatakan bahwa individu cukup berdaya untuk mengabaikan pengaruh atau tekanan masyarakat, kalau dia mau, dan kalau dia mendasarkan doktrinnya pada apa yang disebut Al-Qur'an "fitrah Allah".

Di Mekah ada sebagian orang yang menggambarkan bahwa diri mereka lemah. Kelompok orang ini mengemukakan kelemahan mereka sebagai alasan untuk mengelak dari tanggung jawab. Mereka mengatakan tak berdaya dan tak dapat menghadapi masyarakat Al-Qur'an mengatakan bahwa alasan mereka tak dapat diterima karena setidak-tidaknya mereka dapat hijrah dari lingkungan sosial itu. Kata Al-Qur'an:

Bukankah bumi Allah luas sehingga kamu dapat ke mana saja. (QS. an-Nisâ': 97)

Di tempat lain dikatakan:

Wahai orang-arang beriman, jagalah dirimu. Tiadalah orangyang sesat itu akan memberi mudarat hepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. (QS. al-Mâ`idah: 105)

Dalam ayat Al-Qur'an yang populer disebut-sebut juga sifat fitrah manusia. Dalam ayat itu, setelah disebutkan bahwa Allah telah menanamkan perjanjian tauhid ke dalam fitrah manusia, Allah SWT menambahkan:

Agar kamu tidak dapat mengatakan bahwa orang-orang tua kami musyrik, dan kami, karma kami ini keturunan mereka, maka kami mau tak mau harus mengikuti mereka. (QS. al-A'râf: 173)

Dengan demikian, karena fitrah ini, maka tak ada masalah paksaan. Ajaran Al-Qur'an sepenuhnya didasarkan pada rasa tanggung jawab—tanggung jawab terhadap diri sendiri dan masyarakat. Menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran merupakan perwujudan pemberontakan individu melawan kemerosotan moral dan kelemahan masyarakat. Kisah-kisah yang dibawakan Al-Qur'an kebanyakan menunjukkan unsur pem­berontakan individu melawan lingkungan masyarakat yang merosot moralnya ini. Kisah Nabi Nuh as, Ibrahim as, Musa as, Isa as, Nabi Muhammad saw, Ashabul Kahfi, orang mukmin suku Fir'aun, semuanya mengandung unsur ini.

Penyebab miskonsepsi tentang ketakberdayaan individu ter­hadap masyarakat dan lingkungan sosial adalah salah anggapan bahwa untuk senyawan riil maka komponennya sepenuhnya larut, dan dengan munculnya realitas baru, maka pluralitasnya menjadi unitas keseluruhan. Katanya hanya ada dua alternatif: eksistensi personalitas, kemerdekaan dan independensi individu diakui dan konsekuensinya harus ditolak kalau masyarakat merupakan aktualitas dan kalau masyarakat merupakan senyawa riil; atau harus diakui bahwa masyarakat merupakan senyawa riil. Untuk alternatif pertama, posisinya seperti teori pertama dan kedua, dan untuk alternatif kedua, hams ditolak kalau individu memiliki personalitas, kemerdekaan atau independensi. Begitulah yang dikatakan proposisi Durkheim. Namun mustahil memadukan teori-teori alternatif ini. Karena semua indikasi dan argumen sosiologis mendukung aktualitas masyarakat, maka kontra-teorinya harus dianggap tidak sahih.

Sesungguhnya semua senyawa riil—dari sudut pandang filsafat—tidak sama. Alam, dalam tingkatannya yang rendah, yaitu dalam kasus benda non-organis dan benda mati, menurut filosof, setiap yang ada diatur oleh satu kekuatan, dan alam menghadapi semuanya itu dengan cara yang sama. Untuk setiap yang ada itu, komponennya sepenuhnya mengalami asimilasi, dan eksistensi komponen tersebut sepenuhnya larut dalam eksistensi keseluruhan. Itulah yang terlihat pada kasus air. Air merupakan senyawa oksigen dan hidrogen. Namun semakin tinggi tingkatan senyawa, maka komponennya semakin relatif independensinya terhadap ke­seluruhan, akibatnya terjadi pluralitas dalam unitas dan unitas dalam pluralitas. Kita melihat bahwa manusia, sekalipun dia itu satu, namun dalam dirinya terjadi pluralitas. Bukan saja kemampuannya dan kekuatan subordinatnya yang untuk sebagian besarnya tetap plural, namun ada pula pergulatan dan konflik permanen antarkekuatan internalnya. Masyarakat adalah wujud yang sangat riil, dan komponennya relatif memiliki banyak independensi.

Komponen masyarakat adalah manusia. Manusia memiliki akal dan kehendak. Eksistensi individual dan alamiah manusia mendahului eksistensi sosialnya. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, komponen senyawa yang tinggi tingkatannya relatif tetap independen. Kalau melihat semua fakta ini, maka semangat individual manusia mampu menghadapi atau melawan semangat kolektif masyarakat.


Catatan Kaki:

[1] Maka kecelakaan yang besarlah bagi arang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakan: "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk mempewleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan. (QS. al-Baqarah: 79) Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika berpegang pada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karma mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. (QS. A^li 'Imrân: 112)

15
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

BAB 25 - Klasifikasi Sosial
Kendatipun pada masyarakat ada kesatuan, namun dari dalam, masyarakat terbagi menjadi berbagai kelompok dan kelas, yang terkadang tidak layak. Beberapa masyarakat setidak-tidaknya begitu. Karena dalam masyarakat ada kutub-kutub yang berbeda dan terkadang bertentangan, maka dapat dikatakan bahwa pada masyarakat ada kesatuan dan keragaman. Menurut terminologi kaum fllosof Muslim, masyarakat diatur oleh "kesatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam kesatuan."

Pada bab-bab terdahulu sudah dibahas sifat kesatuan pada masyarakat. Sekarang akan dibahas sifat keragaman pada masyarakat Dalam hubungan ini ada dua teori yang terkenal. Teori yang pertama didasarkan pada materialisme sejarah dan kontradiksi dialektika. Menurut teori ini, yang nanti akan diuraikan, masalah kesatuan dan keragaman masyarakat bergantung pada prinsip kepemilikan. Masyarakat yang tak ada hak milik pribadi bagi individu-individunya, seperti masyarakat primitif atau masyarakat yang bisa saja ada di masa mendatang, pada dasarnya masyarakat satu kutub. Karena itu masyarakat, kalau tidak satu kutub, tentu dua kutub. Tak ada masyarakat tiga kutub atau lebih. Dalam masyarakat dua kutub, semua manusia dibagi menjadi dua kelompok atau kelas: yang mengeksploitasi dan yang dieksploitasi, atau "penguasa dan yang dikuasai". Tak ada kelompok lain selain dua kelompok ini. Pembagian ini juga berlaku untuk semua urusan masyarakat, seperti filsafat, etika, agama dan seni. Dengan kata lain, dalam masyarakat dua kutub ada dua jenis filsafat, dua jenis etika, dua jenis agama dan seterusnya, yang masing-masing jenis memiliki karakter ekonominya yang khas. Bagaimanapun juga kalau yang dominan hanya satu filsafat, satu agama atau satu perangkat aturan moral, maka filsafat, agama atau moralitas itu selalu diwarnai kelas yang berhasil mewarnai kelas lain seperti yang terkadang terjadi. Tak mungkin ada filsafat, seni, agama atau moralitas yang bisa lepas dari pengaruh kelas ekonomi dan yang tak ada warna kelasnya.

Menurut teori yang kedua, satu kutub atau banyak kutubnya masyarakat tidak ditentukan oleh prinsip kepemilikan pribadi. Faktor budaya, sosial, ras dan ideologi juga dapat membuat masyarakat memiliki banyak kutub. Khususnya faktor budaya dan ideologi dapat berperan penting dalam membagi masyarakat menjadi kubu-kubu yang bertentangan, atau membuat masyarakat menjadi masyarakat satu kutub bahkan tanpa menghapus hak milik pribadi.

Sekarang bagaimana pandangan Al-Qur'an tentang keragaman pada masyarakat. Apakah Al-Qur'an menerima atau menolak adanya keragaman ini? Jika menerima, apakah Al-Qur'an berpandangan bahwa adanya dua kutub dalam masyarakat adalah akibat adanya hak milik pribadi dan eksploitasi, atau Al-Qur'an mengemukakan pandangan lain?

Tampaknya jalan terbaik atau setidak-tidaknya jalan yang baik untuk memastikan sudut pandang Al-Qur'an dalam hal ini adalah mengutip kata-kata yang mengandung konotasi sosial yang dipakai dalam Al-Qur'an, dan mengetahui apa artinya. Kata-kata yang mengandung arti sosial yang digunakan dalam Al-Qur'an ada dua jenis. Sebagian hanya berkaitan dengan satu fenomena sosial. Misal, millah (komunitas), syari'ah (hukum Allah), syir'an (hukum), minhaj (cara hidup), sunnah (tradisi) dan sebagainya. Kata-kata ini di luar lingkup pembahasan kita sekarang.

Ada kata-kata lain yang fungsinya adalah sebagai identifikasi sosial bagi semua atau beberapa kelompok orang. Dengan kata-kata inilah maka dapat diketahui sudut pandang Al-Qur'an. Kata-kata tersebut adalah qaum (kaum), ummah (umat, komunitas), nas (manusia), syu'ub (bangsa-bangsa), qaba'U (suku-suku), rasul (rasul Allah), nabi (nabi), imam (pemimpin), wah (wali), mu'min (orang beriman), kafir (orang tak beriman), munafiq (munafik), musyrik (orang musyrik), mudzabdzab (orang yang tak punya pendirian), shiddiq (orang yang benar, setia), syahid (saksi), muttaqi (orang takwa), shalih (orang saleh), mushlih (pembaru), mufsid (perusak), amr bil-ma'ruf (menyuruh kebaikan), nahi 'anil-munkar (mencegah kejahatan), 'alim (orang berilmu), nasih (pemberi peringatan), zhalim (tiran), khalifah (wakil), rabbani (pendeta, biasanya ahli teologi ), rabbi (rabi (pendeta Yahudi—peny.)), kahin (tukang tenung, tukang ramal), ruhban (rahib), ahbar (teolog dan ahli hukum Yahudi), jabbar (yang kuat, lalim), 'ali (yang kuat, tinggi), musta'li (superior), mustakbir (yang angkuh), mustadh'af (orang tertindas), mubadzdzir (yang royal, boros), mutrof (yang hidup mewah), thaghut (penindas, berhala), mala (orang terkemuka, tokoh), ghani (kaya), faqir (miskin), mamluk (yang diperintah, yang dikuasai), malik (pemilik, tuan), hurr (orang merdeka), 'abd (hamba), rabb (Tuhan), dan sebagainya.

Ada kata-kata tertentu lainnya yang kelihatannya menyerupai kata-kata di atas, seperti mushalli (yang beribadah), mukhlish (yang tulus, yang punya dedikasi), shiddiq (yang benar, yang setia), munfiq (yang murah hati), mustaghfir (yang berupaya mendapatkan ampunan dari Allah), ta'ib (yang bertobat), 'abid (yang memuja), hamid (yang terpuji), dan sebagainya. Bedanya adalah kata-kata ini digunakan untuk menggambarkan perbuatan-perbuatan tertentu, bukan untuk menunjukkan kelompok-kelompok orang. Karena itu tidaklah mungkin kalau kata-kata ini mengandung arti kelas-kelas sosial.

Ayat-ayat yang menyebutkan kelompok kata yang pertama, khususnya ayat-ayat yang berkaitan dengan orientasi sosial, perlu dikaji dengan saksama untuk mengetahui dengan pasti apakah ayat-ayat itu meliput dua kelompok manusia atau lebih. Misal saja ayat-ayat itu dianggap meliput dua kelompok, lantas bagaimana karakteristik khusus kelompok-kelompok ini?

Misal, semua ayat itu dapat dianggap meliput dua kelompok, yaitu kelompok mukmin dan kelompok kafir, berdasarkan orientasi keagamaannya, atau dua kelompok, yaitu kelompok kaya dan kelompok miskin, berdasarkan posisi ekonominya? Dengan kata lain, perlu diketahui apakah semua kelas dan klasifikasi pada akhirnya berubah menjadi satu kelas utama, dan semua kelas lainnya hanyalah sub-sub kelasnya? Jika pada akhirnya berubah menjadi satu kelas, lantas apa dasarnya? Sebagian berpendapat bahwa, menurut pandangan Al-Qur'an, dalam masyarakat ada dua kutub.

Dalam masyarakat terutama ada dua kelompok: (1) penguasa dan pengeksploitasi; (2) yang dikuasai, yang dieksploitasi dan yang ditaklukkan. Kelompok penguasa digambarkan Al-Qur'an sebagai kelompok "angkuh", sedangkan kelompok yang dikuasai digambar­kan Al-Qur'an sebagai kelompok "tertindas". Klasifikasi lain seperti kelompok orang beriman dan kelompok kafir, kelompok ahli tauhid dan kelompok musyrik, atau kelompok orang bajik dan kelompok orang yang berbuat kerusakan, sifatnya sekunder. Dengan kata lain, penyebab kekafiran, kemusyrikan, kemunafikan dan sepertinya adalah keangkuhan dan eksploitasi, sedangkan penyebab beriman, hijrah, jihad, kebajikan, reformasi dan seperti­nya adalah keadaan tertindas. Dengan kata lain, akar dari semua yang oleh Al-Qur'an disebut penyimpangan dogmatis, moral atau praktis adalah keadaan tertentu dalam hubungan ekonomi yang dikenal sebagai eksploitasi. Begitu pula, akar dari semua yang dianjurkan dan didukung Al-Qur'an dari sudut pandang dogmatis, moral atau praktis adalah keadaan tereksploitasi. Pada dasarnya had nurani manusia dipengaruhi oleh keadaan kehidupan materialnya. Mustahil terjadi perubahan keadaan spiritual, psikologis dan moral manusia kalau kondisi kehidupan materialnya tidak berubah. Berdasarkan ini Al-Qur'an mengatakan bahwa bentuk fundamental dari upaya sosial adalah upaya kelas. Dengan kata lain, Al-Qur'an memandang lebih penting upaya sosial ketimbang upaya ekonomi atau moral. Menurut Al-Qur'an, kaum kafir, kaum munafik, kaum musyrik, kaum pembuat kerusakan dan kaum tiran merupakan produk dari kelompok-kelompok yang oleh Al-Qur'an disebut royal, berlebihan, elite, imperial, angkuh dan yang semacam itu. Orang kafir dan orang yang membuat kerusakan tidak mungkin dari kelompok sebaliknya. Para nabi, para imam, para wali, para syahid, orang-orang yang hijrah dan kaum mukmin, semuanya berasal dari kelas tertindas. Tak mungkin mereka ini berasal dari kelas sebaliknya (kelas penindas). Yang membentuk hati nurani sosial dan mengarahkan hati nurani seperti ini adalah keadaan menjadi penindas atau keadaan menjadi tertindas. Semua kualitas lainnya hanyalah perwujudan dari dua keadaan ini.

Al-Qur'an memandang semua kelompok yang disebutkan di atas itu sebagai manifestasi dan produk dari dua kelas yang benar-benar saling bertentangan: (1) kelas angkuh; (2) kelas tertindas. Al-Qur'an menyebutkan sejumlah kualitas baik seperti bersahaja, jujur, tulus, beribadah, berwawasan, baik hati, penyayang, ksatria, pa tub, khidmat, murah hati, mau berkorban, takwa, dan rendah hati. Al-Qur'an juga menyebutkan sejumlah kualitas buruk seperti berdusta, berkhianat, cabul, sok, berlagak, tidak bermoral, keras

kepala, keras hati, kikir, angkuh dan yang semacamnya. Al-Qur'an memandang kualitas jenis pertama sebagai kualitas yang dimiliki kaum tertindas, dan kualitas jenis kedua sebagai kualitas yang dimiliki kaum penindas.

Karena itu keadaan sebagai penindas dan keadaan sebagai tertindas bukan saja merupakan ciri dari dua kelas yang berbeda dan bertentangan ini, namun juga melahirkan dua jenis kualitas yang saling bertentangan. Menjadi penindas dan menjadi tertindas merupakan basis dari semua orientasi, kecenderungan dan pilihan, dan merupakan akar dari semua fenomena budaya dan publik. Etika, filsafat, seni, sastra dan agama yang datang dari kelas penindas, menggambarkan orientasi kelas itu, berfungsi membenarkan status quo dan menyebabkan terjadinya stagnasi dan fosilisasi. Sebaliknya, etika, filsafat, sastra, seni atau agama yang datang dari kelas tertindas selalu informatif, membangkitkan semangat, dinamis dan revolusioner.

Kaum yang arogan, karena mereka penindas dan memiliki prestise sosial, mereka tidak tercerahkan, tidak lapang hati. Mereka anti-pencerahan, konservatif dan suka damai. Sebaliknya, kaum tertindas suka perubahan dan revolusioner. Pendek kata, menurut para pendukung teori ini, Al-Qur'an mendukung pandangan yang mengatakan bahwa kondisi ekonomilah yang membentuk manusia, menentukan kelas manusia, mengarahkan manusia dan mem­bentuk fondasi intelektual, moral, religius dan ideologis manusia. Kalau kita telaah ayat-ayat Al-Qur'an sebagai keseluruhan, akan terlihat bahwa pandangan ini merupakan dasar dari ajaran Al-Qur'an.

Karena itu, kriteria segala sesuatu adalah kelas. Semua klaim dapat dinilai dengan menggunakan standar ini. Berdasarkan ini maka klaim yang menyatakan bahwa seseorang itu mukmin, pembaru atau pemimpin, dapat diterima atau ditolak. Kriteria ini bahkan dapat digunakan untuk menilai klaim nabi atau imam. Sesungguhnya dasar teori ini adalah konsepsi material tentang manusia dan masyarakat. Tak syak lagi, Al-Qur'an memandang sangat penting kondisi sosial individu. Namun apakah ini tidak berarti Al-Qur'an memandang kondisi sosial sebagai fondasi seluruh kelas dan klasifikasi manusia? Hemat kami, konsepsi tentang masyarakat ini tidak sesuai dengan pandangan Islam ten tang manusia, alam dan masyarakat, dan konsepsi tersebut merupakan hasil dari telaah dangkal tentang Al-Qur'an. Masalah ini dibahas secara terperinci pada judul "Apakah Sejarah Pada Dasarnya Materialistis ?"

Satu Masyarakat atau Banyak Masyarakat

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa masalah ini penting bagi setiap mazhab, karena masalah ini menentukan apakah semua masyarakat mungkin ideologinya satu, atau tiap bangsa, kaum dan budaya harus sendiri-sendiri ideologinya. Kita tahu bahwa arti ideologi adalah skema untuk membawa masyarakat mencapai kesejahteraan dan kesempurnaan. Kita juga tahu bahwa tiap spesies di dunia ini memiliki sifat dan kemampuannya sendiri. Karena itu konsepsi tentang kesejahteraan dan kesempurnaan bagi tiap spesies beda-beda. Kesejahteraan dan kesempurnaan kuda adalah berbeda dengan kesejahteraan dan kesempurnaan domba atau manusia.

Karena itu, jika berdasarkan aktualitas masyarakat kita mengira semua masyarakat sifat dan esensinya satu, dan keragamannya hanya dalam ruang keragaman individualistis satu spesies, maka dapat kita katakan dengan benar bahwa pada semua masyarakat ada satu ideologi yang kuat, dan ideologi ini cukup fleksibel untuk diterapkan pada semua keragaman individualistis. Namun kalau keragaman masyarakat berarti keragaman sifat dan esensinya, tentu saja untuk mewujudkan kesejahteraan masing-masing maka dibutuhkan skema yang beragam pula, dan tak mungkin satu ideologi untuk semua masyarakat.

Muncul pertanyaan serupa berkenaan dengan perubahan yang dialami masyarakat dengan berlalunya waktu. Berubahkah esensi masyarakat dengan terjadinya perubahan pada masyarakat? Apakah perubahan ini bersifat perubahan spesies, ataukah semata-mata bersifat perubahan sebagian anggota masyarakat, sementara sifat spesiesnya itu sendiri pada dasarnya tetap tidak mengalami perubahan di tengah terjadinya berbagai perubahan?

Pertanyaan pertama di atas berkaitan dengan masyarakat, sedangkan pertanyaan kedua berkaitan dengan sejarah. Sekarang yang dibahas adalah pertanyaan pertama, sedangkan pertanyaan kedua, pembahasannya nanti ketika membahas sejarah. Melalui telaah sosiologis, maka akan jelaslah bahwa meskipun masyarakat beragam namun pada dasarnya ada beberapa karakteristiknya yang sama, bahwa keragamannya hanya bersifat superfisial, bukan fundamental; atau pada dasarnya masyarakat beda antara yang satu dan yang lainnya, kendatipun secara lahiriah kelihatannya sama.

Inilah jalan filosofis untuk memperoleh jawaban pasti bahwa terjadi paradoks (kekacauan, ambiguitas) sehubungan dengan apakah masyarakat itu tunggal atau beragam.

Ada pula jalan yang lebih pendek, yaitu melakukan telaah atas manusia itu sendiri. Merupakan fakta yang tak terpungkiri bahwa semua manusia itu spesiesnya satu. Dari sudut pandang biologis, manusia tidak mengalami perubahan biologis sejak awal eksistensinya. Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa alam, setelah membawa makhluk hidup ke tingkat manusia, telah berubah jalannya. Alam telah menggeser proses evolusi, dari perubahan biologis dan fisis ke perkembangan spiritual.

Pada bagian terdahulu, ketika membahas sosialitas manusia, sudah disimpulkan bahwa karena spesies manusia itu satu, bukan banyak, maka pada dasarnya manusia bersifat sosial. Dengan kata lain, sosialitas manusia dan semangat kolektifnya merupakan sifat esensialnya yang dibawa sejak lahir. Untuk dapat mencapai kesempurnaan yang sesuai dengan kemampuannya, manusia memiliki kecenderungan sosial, dan kecenderungan sosial ini memudahkan lahirnya semangat kolektif, dan pada gilirannya semangat ini menjadi sarana untuk membawa manusia mencapai kesempurnaan puncaknya. Fakta bahwa manusia adalah dari spesies tertentu, menentukan skema semangat kolektif manusia. Dengan kata lain, semangat kolektif manusia adalah untuk kepentingan fitrahnya. Selama fitrah ini tetap eksis pada manusia, maka semangat kolektif manusia akan terus menjalankan fungsinya. Karena itu dapat dikatakan bahwa semangat kolektif manusia merupakan produk sampingan dari semangat individual manusia, dan, dengan kata lain, itu merupakan bagian dari fitrahnya. Karena semua manusia itu spesiesnya satu, maka semua masyarakat manusia juga satu sifatnya.

Karena individu terkadang menyimpang dari jalan normal fitrahnya, maka masyarakat juga begitu. Keragaman masyarakat sama dengan keragaman moral individu, yang masih dalam batas sistem fundamental manusia. Dengan demikian semua masyarakat, budaya dan semangat kolektif yang mendominasi masyarakat, sekalipun bentuknya beragam, selalu memiliki warna manusiawi, dan sifatnya tak mungkin keluar dari sifat manusiawi.

Tentu saja, kalau yang diterima adalah teori keempat, yaitu teori komposisi masyarakat, dan individu dipandang hanya sebagai materi reseptif seperti wadah kosong, serta prinsip fitrah ditolak, maka yang dapat dipertimbangkan hanyalah hipotesis keragaman fundamental masyarakat. Namun teori ini, seperti dikemukakan Durkheim, tak dapat diterima, karena pertanyaan terpenting yang masih belum terjawab oleh teori ini adalah: Kalau semangat kolektif pada prinsipnya bukan berasal dari semangat individual manusia dan bukan produk sampingan dari fitrah manusia, lantas dari mana? Apakah semangat kolektif tersebut eksis dari non-eksistensi mutlak? Untuk menjawab pertanyaan ini, cukup kalau dikatakan bahwa karena manusia eksis, maka masyarakat pun eksis.

Lagi pula, Durkheim sendiri berpandangan bahwa masalah sosial seperti agama, prinsip moral, seni dan sebagainya, eksis dan akan selalu eksis pada semua masyarakat. Dalam kata-kata Durkheim, permanensinya bersifat termporal dan penyebarannya bersifat spasial. Ini sendiri membuktikan bahwa semangat kolektif manusia jenisnya satu dan sifatnya satu.

Menurut ajaran Islam, hanya ada satu agama. Perbedaan yang terjadi dalam hukum baku, semata-mata sekunder sifatnya, bukan substansial. Kita juga tahu bahwa agama tak lain adalah skema evolusi individual dan kolektif. Ini menunjukkan bahwa ajaran Islam didasarkan pada konsepsi yang menyebutkan bahwa jenis masyarakat itu tunggal. Seandainva masyarakat itu jenisnya banyak, tentu tujuan evolusionernya dan cara mencapai tujuan tersebut beragam, dan tentu pula agama itu beragam, yang pada dasarnya antara agama yang satu dan agama yang lain berbeda. Namun Al-Qur'an menegaskan bahwa hanya ada satu agama di semua tempat dan masyarakat, dan di semua zaman dan masa. Dari sudut pandang Al-Qur'an, tak pernah ada beragam agama. Yang ada adalah satu agama. Semua nabi mendakwahkan dan mengajarkan satu agama, satu jalan hidup, dan satu tujuan. Al-Qur'an memfirmankan:

Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (QS. asy-Syûrâ: 13)

Beberapa ayat Al-Qur'an mengindikasikan bahwa di mana dan kapan pun para nabi yang diutus oleh Allah SWT mendakwahkan agama yang sama. Prinsip bahwa pada dasarnya agama tak lebih dari satu, didasarkan pada konsepsi bahwa semua manusia spesiesnya satu, tak lebih dari satu. Begitu pula, masyarakat manusia sebagai aktualitas pada dasarnya jenisnya satu, tidak lebih dari itu.

Masa Depan Masyarakat

Bahwa pada dasarnya karakter masyarakat dan budaya modern itu berbeda-beda, tak dapat kita terima. Namun yang tak dapat dinafikkan adalafa bahwa bentuk dan kualitas masyarakat dan budaya modern memang beragam. Sekarang pertanyaannya adalah: Bagaimana masa depan masyarakat manusia? Akankah budaya dan peradaban ini, dan masyarakat serta nasionalitas ini, selalu mem-pertahankan posisinya yang ada? Ataukah manusia akan menuju kepada satu budaya, satu peradaban dan satu masyarakat, dan akankah semua masyarakat kelak nanti berpadu menjadi satu? Pertanyaan ini bergantung pada pertanyaan tentang karakter masyarakat dan hubungan antara semangat individual dan semangat kolektif.

Jelaslah kalau kita mempercayai teori bahwa fitrah manusia itu esensial, dan berpandangan bahwa eksistensi kolektif manusia, kehidupan kolektif manusia dan semangat kolektif masyarakat merupakan sarana yang dipilih fitrah manusia untuk mencapai kesempumaannya, maka dapat dikatakan bahwa semua masyarakat, semua budaya dan semua peradaban tengah dalam proses penyatuan. Masa depan masyarakat manusia berupa satu masyarakat dunia yang mengalami perkembangan penuh sehingga semua nilai manusiawi yang mungkin ada akan terealisasi dan manusia akan mencapai kesempurnaan, kesejahteraan dan pada akhirnya kebajikan yang aktual.

Dari sudut pandang Al-Qur'an, bahwa pada akhirnya kebenaran yang akan menang dan kepalsuan yang akan sirna, merupakan fakta yang tak terpungkiri. Pada akhirnya kesalehan dan ketakwaanlah yang akan jaya. Allamah Thabathaba'i, dalam bukunya "al-Mîzân", mengatakan:

"Kalau kondisi dunia ditelaah dengan seksama, maka akan terlihat jelas bahwa di masa depan manusia, yang juga bagian dari dunia, akan mencapai kesempumaannya. Al-Qur'an mengatakan bahwa tegaknya Islam di dunia tak terelakkan. Itulah bentuk lain dari perkataan bahwa manusia akan mencapai kesempumaannya. Bila Al-Qur'an mengatakan: ' Wahai orang-orang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.' (QS. al-Mâ`idah: 54) Maka sesungguhnya Al-Qur'an ingin menegaskan untuk apa perlunya ada alam semesta, dan ingin menggarnbarkan nasib atau puncak takdir manusia." (al-Mîzân, Jilid 4 halaman 106)

Al-Qur'an memfirmankan sebagai berikut:

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. (QS. an-Nûr: 55)

Di tempat lain Al-Qur'an memfirmankan:

Sesungguhnya bumi ini diwarisi hamba-hamba-Ku yang saleh. (QS. al-Anbiyâ': 105)

Allamah Thabathaba'i, penulis "al-Mîzân", pada Bab "Percaya Pada Batas Dunia Islam, bukan Batas Geografis atau Kontraktualnya", mengatakan sebagai berikut:

"Islam mencabut prinsip yang menyebutkan bahwa adanya bangsa-bangsa efektif perannya dalam membentuk masyarakat. Ada dua faktor utama yang menyebabkan adanya bangsa-bangsa ini. Faktor pertama adalah kehidupan suku yang primitif yang didasarkan pada afinitas (persamaan) rasial, dan faktor kedua adalah perbedaan wilayah geografis. Kedua faktor ini merupakan penyebab utama terbaginya umat manusia menjadi bangsa-bangsa dan suku-suku. Kedua faktor ini juga merupakan sumber perbedaan bahasa dan warna kulit. Kedua faktor ini pada tahap selanjutnya merupakan alasan kenapa setiap bangsa menguasai wilayah tertentu, lalu menyebutnya tanah airnya dan mempertahankannya. Sekalipun ini merupakan proses yang alamiah, namun membawa sesuatu yang bertentangan dengan fitrah manusia. Fitrah manusia ini menghendaki seluruh umat manusia hidup sebagai satu keseluruhan dan satu unit. Hukum alam juga didasarkan pada menyusun apa yang berserak dan menyatukan apa yang terpisah. Melalui proses ini alam mencapai tujuannya.

Efektivitas hukum ini akan kelihatan kalau kita telaah fenomena alam dan kalau kita tahu mengapa materi primer berbentuk elemen dan kemudian berbentuk tumbuhan, kemudian berbentuk binatang dan akhirnya berbentuk manusia. Bangsa-bangsa dan suku-suku meski menyatukan orang-orang yang sama negaranya dan sama sukunya, namun juga menempatkan orang-orang ini berhadap-hadapan dengan unit-unit manusia lainnya. Orang-orang yang sama negaranya memandang satu sama lain sebagai saudara, memandang orang-orang yang tidak senegara sebagai orang asing, dan memandang mereka seakan-akan objek tak bernyawa yang hanya layak dieksploitasi. Itulah sebabnya mengapa Islam menghapus perbedaan bangsa dan suku, suatu perbedaan yang memecah-belah ras manusia. Islam menyatakan bahwa iman (upaya menemukan kebenaran yang memiliki nilai yang sama bagi semua orang dan yang tentu saja jadi kecenderungan semua orang), bukannya ras, negara atau kebangsaan, merupakan tempat berkumpulnya umat manusia. Bahkan dalam masalah-masalah seperti nikah dan waris, Islam menegaskan seiman sebagai kriterianya." (al-Mîzân, Jilid 4 halaman 132-133)

Masih dalam buku yang sama, pada Bab "Akhirnya Agama yang Benar yang Menang", penulis mengatakan:

"Umat manusia, atas kekuatan fitrahnya, secara kolektif berupaya mewujudkan kesejahteraan dan kesempurnaan sejati. Dengan kata lain, ingin mencapai posisi yang paling tinggi dalam kehidupan material dan spiritual, dan kelak umat manusia tentu akan mencapai posisi itu. Islam, karena merupakan agama monoteisme sejati, memberikan skema untuk meraih tujuan yang didambakan ini. Penyimpangan yang menjadi nasib manusia ketika manusia menempuh perjalanan panjang untuk sampai ke tujuan ini, jangan diartikan bahwa fitrah manusia atau kematiannya tidak memiliki kekuatan hukum. Sesungguhnya manusia selalu mendapat instruksi otoritatif dari fitrahnya. Penyimpangan dan kesalahan terjadi akibat semacam salah menerapkan instruksi otoritatif fitrahnya. Cepat atau lambat kelak manusia akan meraih ke­sempurnaan itu, kesempurnaan yang diupayakannya atas dasar fitrahnya. Konsepsi ini dapat disimpulkan dari Al-Qur'an Surah ar-Rûm: 30-41. Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa instruksi otoritatif fitrah manusia bersifat final, dan bahwa manusia pasti akan menemukan jalannya setelah melakukan beberapa eksperimen dan setelah mencari ke mana-mana. Begitu menemukan jalannya, manusia akan tetap padajalannya ini. Jangan dengarkan orang-orang .yang mengatakan bahwa Islam merupakan satu tahap budaya manusia yang sudah selesai misinya dan sekarang Islam tak lebih dari sebuah peninggalan sejarah yang masa pakainya lebih lama daripada kegunaannya. Islam, dalam pengertian yang kita tahu dan kita bahas, adalah kesempumaan puncak yang kelak pasti dicapai manusia, karena kesempumaan puncak merupakan tuntutan hukum alam." (al-Mîzân, Jilid 4 halaman 14)

Sebagian berpandangan bahwa Islam sama sekali tidak menganjurkan budaya dan masyarakat manusia yang tunggal. Islam justru mendukung dan mengakui budaya dan masyarakat yang beragam. Mereka mengatakan bahwa kepribadian dan identitas suatu bangsa sama dengan budayanya, sedangkan budaya mewakili semangat atau jiwa kolektifnya. Jiwa kolektif suatu bangsa terbentuk oleh sejarah khusus bangsa tersebut, dan sejarah khusus ini tidak di-miliki bangsa lain. Alam membentuk manusia. Sejarah membentuk budaya manusia, kepribadiannya dan ego sejatinya. Setiap bangsa memiliki karakteristiknya dan budaya khasnya, dan karakteristik serta budaya khas ini membentuk kepribadiannya. Kalau suatu bangsa melindungi budayanya, sesungguhnya artinya adalah bahwa bangsa itu melindungi identitasnya.

Kita tahu bahwa kepribadian dan identitas setiap individu adalah kepribadian dan identitasnya. Mencampakkan kepribadian dan identitas sendiri, dan kemudian mengambil kepribadian dan identitas orang lain, berarti melucuti diri sendiri, dan berarti pula menjadi jauh dari diri sendiri. Bagi setiap bangsa, budaya yang tidak menjadi bagian dari kehidupannya selama sejarah panjangnya, maka budaya tersebut asing baginya. Setiap bangsa memiliki perasaan dan sentimen tertentu. Setiap bangsa memiliki pandangan dan cita rasanya sendiri. Setiap bangsa memiliki sastra, musik dan adabnya sendiri. Setiap bangsa suka hal-hal tertentu yang tidak disukai bangsa lain. Budaya suatu bangsa merupakan produk dari kesuksesan dan kegagalannya selama periode panjang sejarahnya. Budaya mencerminkan suka duka suatu bangsa, pergaulan suatu bangsa, iklim wilayah suatu bangsa, kepribadian suatu bangsa, dan gelombang imigrasi yang diterima suatu bangsa. Budaya suatu bangsa memberikan bentuk tertentu dan dimensi tertentu kepada jiwa kolektif dan jiwa nasional bangsa yang bersangkutan. Filsafat, ilmu pengetahuan, sastra, agama dan etika merupakan unsur-unsur yang selama periode demi periode sejarah-bersama suatu kelompok manusia terbentuk dan terpadu sedemikian sehingga memberikan eksistensi yang pada dasarnya khas kepada kelompok itu. Proses ini melahirkan suatu jiwa atau semangat yang menciptakan hubungan organis dan sangat penting di antara pribadi-pribadi yang membentuk kelompok itu. Proses ini juga membuat pribadi-pribadi itu menjadi anggota dari suatu kelompok khas. Jiwa inilah yang menjadikan eksistensi kelompok ini independen dan nyata. Jiwa ini pulalah yang memberi kelompok itu suatu kehidupan yang membedakan kelompok itu dari kelompok budaya lainnya untuk selamanya.

Jiwa ini jelas terasa bukan saja dalam perilaku kolektif dan jiwa kolektif kelompok itu, namun juga terasa dalam reaksi kelompok itu terhadap alam, kehidupan dan segala yang terjadi. Mungkin terasa bukan saja dalam sentimen, hasrat dan kecenderungan kelompok itu, namun juga dalam karya ilmiah dan seni produk kelompok itu. Ringkas kata, jiwa ini dapat terlihat dan terasa dalam segala bidang kehidupan manusia, baik material maupun spiritual.

Dikatakan bahwa agama adalah ideologi, iman dan sentimen serta tindakan yang lahir dari iman. Sedangkan nasionalitas adalah "kepribadian" dan segi-segi khas yang diciptakan oleh jiwa yang sama dari individu-individu yang bernasib sama. Karena itu hubungan antara nasionalitas dan agama persis seperti yang terjadi antara kepribadian dan iman. Juga dikatakan bahwa kalau Islam menentang diskriminasi rasial dan hegemoni nasional, itu tidak berarti Islam menentang keragaman nasionalitas dalam masyarakat manusia. Prinsip persamaan hak dalam Islam tidak berarti menolak nasionalitas. Artinya justru Islam mengakui eksistensi nasionalitas sebagai fakta tak terbantahkan dan fenomena alam yang tak teringkari. Ayat berikut ini, yang sering dikutip sebagai hujah penolakan Islam akan nasionalitas, sesungguhnya menegaskan dan mendukung eksistensi nasionalitas. Ayat ini mengatakan:

Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu soling mengenal Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa. (QS. al-Hujurât: 13)

Ayat ini, pertama-tama menyebutkan golongan-golongan manusia dari sudut pandang jenis kelamin. Dan golongan seperti ini alamiah sifatnya. Segera setelah itu ayat ini menyebutkan penggolongan selanjutnya dari sudut pandang bangsa dan suku. Ini menunjukkan bahwa penggolongan kedua ini juga alamiah dan merupakan takdir Allah SWT, seperti halnya penggolongan manusia menjadi laki-laki dan perempuan. Karena itu jelaslah kalau Islam menginginkan hubungan khusus antara laki-laki dan perempuan, dan tidak ingin menghapus perbedaan jenis kelamin, maka Islam juga mendukung terbinanya hubungan antarbangsa berdasarkan persamaan hak, dan tidak menginginkan terhapusnya kebangsaan. Fakta bahwa Al-Qur'an menyebutkan bahwa Allahlah yang menciptakan bangsa-bangsa, dan Allah jugalah yang menciptakan laki-laki dan perempuan, artinya adalah bahwa eksistensi bangsa-bangsa merupakan realitas alamiah yang selaras dengan skema alam semesta. Fakta bahwa Al-Qur'an menyebut saling mengenal sebagai filosofi di balik eksistensi banyak bangsa, menunjukkan bahwa setiap bangsa memiliki karakter khusus, dan karena karakter khusus inilah maka bangsa yang satu beda dengan bangsa yang lain, dan karakter khusus ini juga yang mengkristalisasikan dan melahirkan kepribadian setiap bangsa.

Dengan demikian, beda dengan kepercayaan umum, Islam tidak menentang nasionalisme seperti itu. Sesungguhnya Islam mendukung nasionalisme dalam pengertian budayanya. Yang ditentang oleh Islam adalah nasionalisme dalam pengertian rasialnya. Dengan kata lain, Islam menentang rasisme saja. Teori ini sekali lagi salah dalam beberapa hal. Teori ini didasarkan pada konsepsi tertentu tentang manusia dan pandangan tertentu tentang material budaya: filsafat, ilmu pengetahuan, seni dan etika. Kedua gagasan ini salah.

Ada anggapan bahwa manusia—dari sudut pandang akal, yaitu bagaimana dia melihat dunia ini dan bagaimana pengertiannya tentang dunia ini, dan sudut pandang emosi dan perilaku, yaitu apa maunya, bagaimana langkahnya dan bagaimana maksud atau tujuannya—secara potensial bahkan tak ada isi dan bentuknya. Baginya, semua pikiran, sentimen, adab dan tujuan sama saja. Dia bagaikan wadah kosong yang tak ada bentuk atau wamanya. Setiap sisi kepribadiannya ditentukan oleh apa yang kemudian masuk ke dirinya. Sesungguhnya manusia memiliki ego, kepribadian, cara dan adab serta tujuan, setelah dia memperoleh masukan yang terjadi kemudian. Berkat masukan ini dia jadi berbentuk dan berkepribadian. Apa pun warna, bentuk, kualitas, kepribadian dan tujuan yang diberikan masukan ini—yaitu masukan yang pertama—kepadanya, maka itulah warna sejatinya, bentuk sejatinya, kualitas sejatinya, kepribadian sejatinya dan tujuan sejatinya, karena "diri"-nya dibentuk oleh masukan ini. Kalau terjadi perubahan pada kepribadian dan warnanya akibat masukan yang diterimanya di kemudian hari, itu hanya pinjaman dan asing, karena masukan yang terjadi di kemudian hari itu tetap asing baginya, karena tidak selaras dengan kepribadian sejatinya. Perubahan tersebut terjadi semata-mata karena kejadian sejarah. Teori ini diilhami oleh teori keempat tentang fundamentalitas individu dan masyarakat. Menurut teori keempat tersebut, hanya masyarakadah yang esensial. Teori ini sudah diulas sebelumnya.

Pandangan ini tentang manusia tidak kuat, baik dari sudut pandang filsafat maupun Islam. Manusia, dengan kekuatan fitrahnya, setidaknya secara potensial, memiliki kepribadian tertentu dan tujuan tertentu yang didasarkan pada karakter bawaannya, suatu karakter yang diberikan oleh Tuhan kepadanya, dan karakter bawaan ini membentuk "diri" sejatinya. Distorsi yang terjadi pada karakter dasarnya dan dehumanisasinya harus dinilai dengan standar kualitas esensial dan bawaannya, bukan dengan standar sejarah. Budaya yang sesuai dengan fitrah manusia dan yang membantu perkembangan fitrah, maka budaya itu adalah sebenar-benar budaya, sekalipun budaya itu mungkin saja bukan budaya pertama yang didapatnya dari kondisi sejarah. Dan budaya yang tidak sesuai dengan fitrahnya, maka budaya itu asing baginya, semacam penyimpangan identitasnya, dan berarti pemalsuan "diri"-nya, kendatipun mungkin saja produk sejarah bangsanya. Misal, ajaran tentang dualitas dan pengkudusan api merupakan penyimpangan manusia Iran, meskipun diyakini sebagai produk sejarah Iran. Sebaliknya, ajaran tentang monoteisme dan penolakan untuk menyembah selain Allah SWT merupakan kembali ke identitas sejati manusia, kendatipun ajaran tersebut mungkin bukan produk tanah air bangsa Iran.

Mengenai material budaya manusia, ada salah anggapan bahwa material budaya tersebut bentuknya tidak pasti, dan bahwa yang menentukan bentuk dan kualitas material budaya tersebut adalah faktor-faktor sejarah. Namun filsafat tetap filsafat, apa pun bentuk­nya. Begitu pula, ilmu pengetahuan tetap ilmu pengetahuan, agama tetap agama, prinsip moral tetap prinsip moral, dan seni tetap seni, apa pun bentuk dan warnanya. Kualitas dan bentuknya relatif, bergantung pada sejarah. Sejarah dan budaya setiap bangsa melahirkan bentuk tertentu filsafat, agama, etika dan seni, yang khas bag! bangsa itu. Dengan kata lain, kalau manusia tidak memiliki identitas atau bentuk, dan dia memiliki sifat-sifat ini dari budaya, maka prinsip dan material utama budaya manusia juga tak ada bentuk atau warnanya. Sejarahlah yang memberinya bentuk dan menanamkan sifatnya padanya. Beberapa sosiolog, seperti Spengler misalnya, dalam hal ini bahkan sampai mengklaim bahwa: Temikiran matematis pun dipengaruhi oleh pendekatan tertentu suatu budaya." (Dikutip oleh Raymond Aron, Main Currents in So­ciological Thought, Jilid 1 halaman 107)

Teori ini juga yang dikenal sebagai teori relativitas budaya manusia. Dalam "Prinsip-prinsip Filsafat" sudah dibahas masalah kemutlakan dan relativitas pikiran, dan sudah dibuktikan bahwa hanya persepsi dan ilmu praktis saja yang relatif dan berubah dengan berubahnya waktu dan tempat. Persepsi seperti itu tidak mencerminkan realitas dan tidak mungkin menjadi kriteria untuk menilai mana yang benar dan otentik serta mana yang salah dan palsu. Sebaliknya, pikiran dan persepsi teoretis yang merupakan produk filsafat dan ilmu teoretis, seperti prinsip-prinsip konsepsi religius tentang dunia dan prinsip-prinsip pokok etika, justru solid, mutlak dan tidak relatif. Sayangnya masalah ini tak dapat dibahas lebihjauh.

Kedua, mengatakan bahwa agama adalah iman, sedangkan nasionalitas adalah identitas pribadi, bahwa hubungan antara keduanya ini adalah hubungan iman dan kepribadian, dan bahwa Islam menegaskan dan mengakui kepribadian bangsa sebagaimana adanya, sama saja dengan menafikan misi terpenting agama. Misi agama, khususnya agama Islam, adalah menanamkan konsepsi tentang dunia, suatu konsepsi yang didasarkan pada pengetahuan yang benar tentang sistem universal yang mempengaruhi prinsip-prinsip tauhid, untuk membangun kepribadian spiritual dan moral manusia dengan berlandaskan konsepsi itu, dan untuk mendidik individu dan masyarakat dengan suatu dasar yang menunjukkan fondasi suatu budaya baru, budaya yang manusiawi, bukan kebangsaan. Islam membawa suatu budaya untuk dunia, budaya yang sekarang dikenal sebagai budaya Islam. Islam melakukan itu bukan semata-mata karena setiap agama begitu ada kontak dengan budaya yang ada, kurang lebih mempengaruhi budaya yang ada itu atau justru dipengaruhi budaya yang ada itu. Alasannya adalah mem­bawa budaya baru merupakan bagian dari misi agama Islam. Misi Islam antara lain adalah melucuti manusia dari budayanya, suatu budaya yang semestinya tidak menjadi budayanya, kemudian memberi manusia budaya yang bukan budayanya namun semestinya menjadi budayanya, dan menegaskan kepada manusia tentang apa yang dimilikinya dan apa yang semestinya dimilikinya. Suatu agama yang tidak ikut campur dalam budaya-budaya nasional yang ada dan yang tidak selaras dengan semua budaya itu, manfaatnya hanya sekali seminggu, yaitu di gereja.

Ketiga, Surah al-Hujurât ayat 13 tidak berarti mengatakan bahwa Allah SWT menciptakan kamu dalam dua jenis kelamin, sehingga dapat dinyatakan bahwa dalam ayat ini yang mula-mula disebutkan adalah penggolongan manusia dari segi jenis kelamin, dan segera setelah itu disebutkan penggolongan yang lain dari segi kebangsaan. Tak dapat diklaim bahwa ayat ini menunjukkan perbedaan jenis kelamin itu alamiah, karena itu ideologi harus dirumuskan dengan berdasarkan perbedaan ini, bukan berdasarkan penolakan akan perbedaan ini, dan bahwa hal yang sama berlaku pula untuk keragaman bangsa.

Sesungguhnya arti ayat ini adalah "Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan." Maksud ayat ini adalah bahwa semua manusia adalah keturunan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, atau bahwa semua manusia adalah sama sepanjang masing-masing beribu-bapak satu, dan dalam hal ini tak ada perbedaan.

Keempat, frase agar kamu saling mengenal, yang disebutkan sebagai tujuannya, tidak berarti bahwa terjadinya keragaman bangsa adalah untuk tujuan ini. Karena itu salah kalau berkesimpulan bahwa bangsa-bangsa harus independen personalitasnya sehingga antara bangsa yang satu dan bangsa yang lain dapat dibedakan. Seandainya tujuannya seperti ini, maka frase yang digunakan bukannya agar kamu saling mengenal melainkan semestinya agar mereka saling mengenal Ayat ini mengatakan bahwa keragaman ini ada hikmahnya, dan hikmah tersebut adalah agar mereka saling mengenal melalui suku dan bangsa mereka. Kita tahu bahwa tujuan ini dapat dicapai dengan cara lain pula, dan bangsa-bangsa serta komunitas-komunitas tidaklah perlu personalitasnya tetap independen terhadap satu sama lain.

Kelima, pembicaraan sebelumnya tentang teori Islam mengenai ketunggalan dan keragaman karakter masyarakat sudah cukup untuk membuktikan kesalahan teori di atas. Dalam pembahasan itu sudah kami jelaskan bahwa secara alamiah masyarakat melangkah menuju terbentuknya satu masyarakat dan satu budaya. Dalam Islam, filosofi Mahdisme didasarkan pada konsepsi tentang masa depan Islam, manusia dan dunia ini.

16
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

BAB 26 - Apa Sejarah Itu?
Ada tiga cara untuk mendefinisikan sejarah. Sesungguhnya sejarah memiliki tiga cabang. Ketiga cabang ini saling berhubungan erat.
Pertama, sejarah adalah cabang dari pengetahuan tentang peristiwa masa lalu dan kondisi yang berkaitan dengan masyarakat masa lalu. Segenap peristiwa yang berkaitan dengan masa pencatatannya disebut peristiwa hari ini, dinilai, diberitakan, dan direkam oleh koran harian. Namun begitu masanya lewat, maka setiap peristiwa menjadi bagian sejarah. Nah, dalam pengertian ini, arti sejarah adalah cabang pengetahuan tentang kejadian, peristiwa dan masyarakat masa lalu. Biografi, kisah penaklukan dan kisah orang-orang termasyhur yang disusun semua bangsa, termasuk dalam kategori ini.

Dalam pengertian ini, pertama-tama arti sejarah adalah pengetahuan tentang masalah individu dan peristiwa yang berkenaan dengan individu, bukan pengetahuan tentang hukum umum dan aturan pergaulan. Kedua, sejarah adalah ilmu rawian atau transferan. Ketiga, sejarah adalah pengetahuan tentang "wujud", bukan tentang "menjadi". Keempat, sejarah berkaitan dengan masa lalu, bukan dengan masa sekarang. Dalam terminologi kami, sejarah seperti ini disebut "sejarah rawian".
Kedua, dalam pengertian lain, arti sejarah adalah cabang pengetahuan tentang aturan dan tradisi yang mengatur kehidupan masyarakat di masa lalu. Aturan dan tradisi ini disimpulkan dari studi dan analisis atas peristiwa masa lalu. Subjek atau pokok sejarah rawian dan persoalan yang dibahasnya, yaitu peristiwa dan kejadian masa lalu, berfungsi sebagai pendahuluan untuk cabang sejarah ini. Sesungguhnya peristiwa masa lalu, yang relevan dengan sejarah dalam pengertian seperti ini, dapat disamakan dengan ma­terial yang dikumpulkan fisikawan di laboratoriumnya untuk ditelaah, dianalisis dan dieksperimen dengan tujuan mengetahui karakteristik dan sifat material itu dan mengetahui hukum umum yang berkenaan dengan material itu. Dalam pengertian kedua ini, pekerjaan sejarawan adalah menemukan karakter peristiwa sejarah dan mengetahui hubungan sebab-akibatnya sehingga dapat disimpulkan beberapa aturan umum yang berlaku pada semua peristiwa serupa di masa lalu dan sekarang. Cabang sejarah ini kita sebut "sejarah ilmiah".

Kendatipun peristiwa di masa lalu merupakan pokok studi dalam sejarah ilmiah, namun aturan umum yang ditarik dari peristiwa-peristiwa ini tidak saja berlaku hanya untuk masa lalu saja. Aturan tersebut juga berlaku untuk masa sekarang dan mendatang. Aspek ini, yang terdapat dalam sejarah ilmiah, membuat sejarah ilmiah sangat bermanfaat bagi manusia. Sejarah ilmiah bermanfaat sebagai sumber pengetahuan, dan membantu manusia mengendalikan masa depannya.

Perbedaan antara kerja periset sejarah ilmiah dan pakar ilmu natural (ilmu-ilmu yang digunakan untuk mengkaji dunia fisis, seperti fisika, kimia, geologi, biologi dan botani—pen.) adalah pokok kajian pakar ilmu natural berupa material yang memang ada saat ini, dan karena itu seluruh telaah dan analisis pakar ilmu natural bersifat fisis dan eksperimental; sedangkan material yang dikaji sejarawan adanya hanya di masa lalu, bukan di masa sekarang. Yang dapat digunakan sejarawan tersebut adalah informasi tentang material tersebut dan beberapa dokumen yang berkaitan dengan material tersebut. Sejauh menyangkut temuannya, sejarawan tersebut dapat disamakan dengan hakim di pengadilan. Hakim tersebut memutuskan perkara berdasarkan bukti yang didapat dari dokumen, bukan berdasarkan bukti yang didapat dari saksi mata. Karena itu analisis sejarawan, sekalipun logis dan rasional, namun tidak fisis. Sejarawan melakukan analisis di laboratorium mentalnya. Peralatan yang digunakannya adalah kemampuan berpikir dan penyimpulan. Dalam hal ini kerja sejarawan tak ubahnya seperti kerja filosof, bukan seperti kerja pakar ilmu natural.

Seperti sejarah rawian, sejarah ilmiah juga berkaitan dengan masa lalu, bukan dengan masa sekarang. Sejarah ilmiah adalah ilmu tentang "wujud", bukan tentang "menjadi". Namun tak seperti sejarah rawian, sejarah ilmiah sifatnya umum, bukan khusus. Sejarah ilmiah sifatnya rasional. Sejarah ilmiah bukan semata-mata rawian atau transferan.

Sejarah ilmiah adalah cabang sosiologi. Sejarah ilmiah adalah sosiologi masyarakat masa lalu. Masyarakat kontemporer dan masyarakat masa lalu keduanya merupakan pokok studi sosiologi. Namun kalau kita menganggap sosiologi hanya mengkaji masyarakat kontemporer, maka sejarah ilmiah dan sosiologi menjadi dua cabang ilmu. Dua cabang ini berbeda, kendatipun tetap saling berkaitan erat dan saling bergantung.
Ketiga, kata "sejarah" dalam pengertian ketiga digunakan untuk menunjukkan filsafat sejarah, yaitu pengetahuan tentang perkembangan masyarakat dari tahap ke tahap dan pengetahuan tentang hukum yang mengatur perubahan-perubahan ini. Dengan kata lain, ilmu tentang "menjadi”-nya masyarakat, bukan tentang "wujud" masyarakat saja.

Di sini pembaca mungkin bertanya apakah mungkin pada masyarakat ada dua kualitas, yaitu "wujud" dan "menjadi", dan "menjadi" merupakan pokok kajian satu cabang ilmu yang bernama sejarah ilmiah, sedangkan "menjadi" merupakan pokok kajian cabang ilmu lainnya yang bernama filsafat sejarah, padahal kita tahu bahwa mustahil memadukan dua kualitas ini, karena "wujud" menunjukkan mandek, sedangkan "menjadi" menunjukkan gerak. Masyarakat hanya bisa memiliki satu dari dua kualitas ini. Gambaran yang kita bentuk mengenai masyarakat, dapat melukiskan "wujud" atau "menjadi".

Poin ini dapat dikemukakan dalam bentuk yang lebih baik lagi lengkap. Yaitu, gambaf yang kita bentuk mengenai dunia dan masyarakat sebagai bagian dari dunia, pada umumnya bisa statis atau dinamis. Kalau statis, maka berkualitas "wujud", bukan "menjadi". Dan kalau dinamis, maka berkualitas "menjadi", bukan "wujud". Berdasarkan ini ternyata mazhab filsafat beragam. Satu sistem filsafat mempercayai "wujud", sedangkan sistem yang lain mempercayai "menjadi". Mazhab yang mempercayai "wujud" berpandangan bahwa "wujud" dan "non-wujud" eksistensinya tak mungkin serentak, karena keduanya bertentangan, sedangkan dua hal yang bertentangan eksistensinya tak mungkin serentak. Kalau "wujud" ada, maka "non-wujud" tidak ada. Jika "non-wujud" ada, maka ?wujud" tak ada. Satu dari keduanya yang harus dipilih. Mengingat dunia dan masyarakat ada, maka jelas kualitasnya adalah "wujud", dan tentu saja keduanya diatur oleh diam atau tak ada gerak. Beda dengan pandangan ini, mazhab yang mempercayai "menjadi" berpandangan bahwa "wujud" dan "non-wujud" bisa eksis sekaligus, karena ide "menjadi" menunjukkan gerak, yang artinya bahwa ada sesuatu dan sekaligus sesuatu itu tidak ada.

Filsafat "wujud" dan filsafat "menjadi" mencerminkan dua pandangan yang sama sekali bertentangan tentang eksistensi. Mana yang harus dipilih. Filsafat yang ini atau yang itu. Kalau yang dipilih adalah filsafat yang pertama, tentu asumsinya adalah masyarakat berkualitas "wujud", bukan berkualitas "menjadi". Sebaliknya, kalau filsafat yang kedua yang dipilih, tentu asumsinya adalah masyarakat berkualitas "menjadi", bukan "wujud". Ini berarti sejarah ilmiah dalam pengertian tersebut di atas dan bukan filsafat sejarah, atau filsafat sejarah dan bukan sejarah ilmiah.

Jawaban untuk masalah ini adalah pandangan ini tentang eksistensi dan non-eksistensi, tentang diam dan gerak, dan tentang prinsip mustahilnya eksistensi serentak dua hal bertentangan, semata-mata isapan jempol gagasan Barat. Cara berpikir seperti ini terjadi karena tidak mengetahui banyak masalah penting tentang eksistensi, khususnya esensialitas eksistensi dan beberapa masalah lainnya yang relevan.

Pertama, mengatakan bahwa "wujud" sama dengan diam, atau dengan kata lain diam berarti "wujud" dan "gerak" berarti perpaduan "wujud" dan "non-wujud" yang merupakan perpaduan dua hal bertentangan, adalah salah besar. Kesalahan besar inilah yang dilakukan beberapa mazhab filsafat Barat.

Kedua, masalah yang tengah dibahas tak ada kaitannya dengan masalah filsafat tersebut di atas. Yang terlihat di sini adalah bahwa masyarakat, seperti makhluk hidup, memiliki dua jenis hukum. Jenis pertama adalah yang mengatur spesies dalam kerangka kelasnya, dan jenis kedua adalah yang bisa berlaku untuk spesies dengan evolusi dan transformasinya menjadi spesies lain. Jenis pertama ini disebut hukum "wujud", sedangkan jenis kedua disebut hukum "menjadi".

Beberapa sosiolog memberikan perhatian yang memadai untuk masalah ini. Auguste Comte termasuk salah satunya. Reymond Aron mengatakan:

"Statis dan dinamis merupakan dua kategori dasar dalam sosiologi Auguste Comte. Statis pada dasarnya terjadi karena menelaah, menganalisis apa yang disebut Comte konsensus sosial. Masyarakat disamakan dengan organisme hidup. Mustahil mengkaji berfungsinya organ tanpa menempatkannya dalam konteks makhluk hidup. Juga musiahil mengkaji polilik negara lanpa menempatkan politik dalam konleks masyarakat pada masa tertentu. Adapun dinamis, pada mulanya semata-mata berupa uraian tentang rangkaian tahapan yang dilalui masyarakat manusia." (Raymond Aron, Main Currents in Sociological Thought, Jilid 1 halaman 85, 86)

Jika setiap spesies makhluk hidup, dari mamalia, reptilia, burung sampai lainnya, dipertimbangkan, maka ternyata ada hukum khusus yang berkaitan dengan tiap kelas. Selama anggota spesies tertentu masih menjadi bagian dari spesies tertentu itu, maka yang mengatur anggota itu adalah hukum khusus spesies itu, seperti hukum yang berkaitan dengan tahap-tahap embrionik binatang, sehat dan sakitnya, mode nutrisinya, mode reproduksinya, caranya membesarkan anaknya, nalurinya, migrasinya atau kebiasaan kawinnya.

Menurut teori perkembangan dan evolusi spesies, di samping hukum khusus yang khas bagi setiap spesies dan yang berlaku dalam bingkai kelasnya sendiri, ada sejumlah hukum lain yang berkaitan dengan proses evolusi spesies menjadi spesies lain. Hukum ini berbentuk filosofis dan terkadang disebut filsafat evolusi, bukan hukum biologis. Karena masyarakat adalah makhluk hidup, maka masyarakat juga memiliki dua jenis hukum: hukum biologis dan hukum evolusioner. Ada beberapa hukum masyarakat yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat dan asal-usul serta kemunduran budayanya. Hukum ini mengatur semua masyarakat dalam semua tahap perkembangannya. Hukum ini disebut hukum "wujud". Ada hukum lain yang berkaitan dengan perkembangan masyarakat dari satu tahap ke tahap lain dan dari satu sistem ke sistem lain. Hukum ini dikenal dengan nama hukum "menjadi". Kalau nanti kedua jenis hukum ini dibahas, maka akan jelas perbedaan keduanya.

Jadi sejarah dalam pengertian ketiga adalah sludi alas evolusi masyarakat dari satu tahap ke tahap yang lainnya. Bukan sekadar pengetahuan tentang kondisi hidupnya pada tahap tertentu atau pada semua tahap. Untuk tidak mengacaukannya dengan masalah yang disebut sejarah ilmiah, maka pengetahuan ini dinamakan filsafat sejarah. Karena kebanyakan orang tidak membedakan antara masalah gerakan non-evolusioner yang dibahas sejarah ilmiah, dan masalah gerakan evolusioner sejarah yang dibahas filsafat sejarah, maka terjadi kekacauan sehingga menimbulkan salah paham.

Seperti sejarah ilmiah, filsafat sejarah juga umum dan rasional sifatnya, bukan rawian. Namun tak seperti sejarah ilmiah, filsafat sejarah merupakan pengetahuan tentang "wujud", bukan tentang "menjadi". Lagi pula, tak seperti sejarah ilmiah, persoalan yang dibahas filsafat sejarah tidak dianggap sebagai persoalan historis karena persoalan itu berhubungan dengan peristiwa masa lalu. Persoalan itu dianggap demikian karena menunjukkan suatu proses yang dimulai di masa lalu, meskipun masih berlanjut dan akan terus berlanjut ke depan. Waktu adalah salah satu dimensi dari persoalan ini, bukan semata-mata periode durasinya saja.

Pengetahuan tentang sejarah dalam ketiga pengertian ini ada manfaatnya. Bahkan sejarah rawian, yaitu pengetahuan tentang kondisi dan peristiwa yang berkaitan dengan kehidupan individu, juga ada manfaatnya, ada hikmahnya, memberikan semangat, dan positif. Tentu saja manfaat sejarah rawian tergantung siapa yang diriwayatkan dan apa saja yang dapat dipetik dari kehidupan orang yang diriwayatkan. Manusia, atas dasar hukum imitasi, dipengaruhi oleh perilaku, kebiasaan dan adat teman-teman dan orang-orang sezamannya. Manusia belajar adab dari kehidupan orang-orang sezamannya dan terkadang, seperti Luqman, belajar sopan santun dari orang yang tak tahu sopan santun dan belajar kebaikan dari orang jahat. Atas dasar hukum ini juga, manusia memperoleh manfaat dari riwayat orang-orang masa lalu. Sejarah, seperti film, menubah masa lalu menjadi masa sekarang. Itu sebabnya Al-Qur'an menyebutkan hal-hal bermanfaat dari kehidupan orang-orang yang tepat menjadi model bagi orang lain. Mengenai Nabi Muhammad saw, Al-Qur'an mengatakan:

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. (QS. al-Ahzâb: 21)

Mengenai Nabi Ibrahim as, dikatakan:

Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada, teladan yang baik bagimu. (QS. al-Mumtahanah: 6)

Ketika Al-Qur'an menyebut seseorang sebagai teladan yang sempurna, Al-Qur'an tidak mempertimbangkan personalitas duniawinya. Yang dirujuk Al-Qur'an hanya personalitas manusiawi dan moralnya saja. Al-Qur'an bahkan menggambarkan seorang sahaya berkulit hitam, yang bukan raja, bukan filosof, dan juga bukan orang kaya, sebagai orang yang arif. Dia berpandangan jernih. Al-Qur'an membuat namanya sinonim dengan kearifan. Orang beriman dari suku Fir'aun dan orang beriman dari al-Yasin juga masuk dalam golongan ini.

Dalam buku ini dibahas masyarakat dan sejarah dari sudut pandang konsepsi Islam tentang dunia. Di sini yang jadi perhatian hanyalah sejarah ilmiah dan filsafat sejarah, karena hanya keduanya inilah yang pas dengan kerangka konsepsi dunia. Karena itu dua pokok masalah inilah yang akan dibahas sedikit lebih jauh. Dimulai dengan sejarah ilmiah.

Sejarah Ilmiah

Seperti telah diuraikan sebelumnya, dasar dari sejarah ilmiah adalah gagasan bahwa terlepas dari individu, masyarakat memiliki personalitasnya sendiri dan nilai penting yang esensial. Seandainya masyarakat tak memiliki personalitas yang mandiri, maka tak ada apa-apa lagi selain individu dan hukum yang mengatur individu. Konsekuensinya, sejarah ilmiah, yang merupakan pengetahuan tentang aturan dan norma yang mengatur masyarakat, jadi tak ada artinya. Sejarah bisa memiliki hukum kalau karakter sejarah itu mandiri. Karakter sejarah akan mandiri kalau masyarakat juga berkarakter. Berkaitan dengan sejarah ilmiah, perlu dikaji masalah-masalah berikut:

Pertama, seperti disebutkan sebelumnya, sejarah ilmiah didasarkan pada sejarah rawian (transferan). Sejarah rawian ini dapat disebut materi yang dianalisis di laboratorium sejarah ilmiah. Karena itu, harus dipastikan dahulu keandalan sejarah rawian. Jika tidak andal, maka penelitian tentang hukum yang mengatur masyarakat jadi tak ada artinya.

Kedua, kalau diakui bahwa sejarah rawian itu andal dan masyarakat memiliki karakter dan personalitas yang independen dari individu, maka ada kemungkinan untuk mendeduksikan hukum dan aturan umum dari peristiwa sejarah asal juga diakui bahwa hukum sebab-akibat berlaku dalam urusan manusia, yaitu masalah yang bergantung pada kehendak dan pilihan manusia, dan bahwa peristiwa sejarah termasuk dalam masalah seperti itu. Kalau tidak, peristiwa sejarah tak dapat dianggap bergantung pada aturan yang dapat digeneraKsasikan. Jadi pertanyaan pentingnya adalah apakah sejarah diatur oleh hukum sebab-akibat atau tidak. Jika diatur oleh hukum sebab-akibat, bagaimana manusia menggunakan kehendak dan pilihannya?

Ketiga, apakah sejarah bersifat materialises? Apakah sejarah terutama diatur oleh kekuatan material, sementara kekuatan spiritual hanya melengkapi kekuatan utama ini. Ataukah sebalik-nya, kekuatan utama yang mengatur sejarah adalah kekuatan spiritual, sementara karakter sejarah adalah idealistis? Atau sebagai alternatifnya, apakah sejarah bersifat multilateral, dan diatur oleh dua atau lebih kekuatan material dan spiritual, yang bekerja dalam suatu sistem yang kurang lebih harmonis atau terkadang mengalami konflik?

Sejarah Rawian, Andal atau Tidak

Ada sebagian orang yang pandangannya tentang sejarah rawian sangat menyedihkan. Mereka berpendapat bahwa semua orang yang meriwayatkan peristiwa sejarah karena kepentingan pribadi atau prasangka keagamaan dan kebangsaannya, atau karena hubungan dan ikatan sosialnya, kurang lebih mendistorsi dan memalsukan hampir semua deskripsi peristiwa sejarah, dan membentuk sejarah sesuai keinginannya sendiri. Bahkan orang-orang yang menganggap tidak bermoral perbuatan yang sengaja merekayasa dan mendistorsi sejarah, bersikap pilih-pilih dalam me­riwayatkan peristiwa dan selalu hanya meriwayatkan apa yang sesuai dengan tujuan dan pikirannya sendiri. Sekalipun tidak menambah-nambahi, mereka tak mau meriwayatkan peristiwa yang bertentangan dengan perasaan dan keyakinannya. Dengan memilih-milih mana yang disukai, mereka telah membentuk sejarah sesuai keinginan. Peristiwa atau tokoh dapat dikaji dan dianalisis dengan objektif dan semestinya kalau si peneliti memiliki bahan yang lengkap lagi relevan. Jika hanya sebagian saja bahan yang diketahuinya, sementara sebagian lagi tidak diketahuinya, tentu saja hasilnya berupa gambaran yang berat sebelah dan keliru.

Pendapat kaum pesimis ini tentang sejarah rawian tak beda dengan pendapat sebagian ahli hukum yang pesimis tentang hadis, tradisi atau riwayat keagamaan. Sikap para ahli hukum ini disebut "menutup pintu ilmu". Para kritikus sejarah rawian juga dapat digambarkan sebagai kaum penghalang kemajuan. Di antara mereka ada satu orang yang mengatakan bahwa sejarah merupakan cerita tentang peristiwa-peristiwa yang tak pernah ada, cerita ini disusun oleh seseorang yang tidak melihat peristiwa-peristiwa itu. Seorang jurnalis konon mengatakan, "Fakta itu sakral, namun orang bebas mau percaya atau tidak." Ada juga yang tidak sepesimis itu, namun tetap lebih suka menerima filsafat skeptisisme.

Dalam buku berjudul "What is History f Sir George dark dikutip mengatakan:

Pengetahuan tentang masa lalu yang diriwayatkan melalui satu benak manusia atau lebih, dan telah diproses oleh benak manusia, dan karena itu tak mungkin isinya berupa atom-atom yang esensial dan impersonal yang tak mungkin diubah oleh apa pun. Eksplorasi kelihatannya tak akan ada akhirnya, dan beberapa pakar yang kurang toleran mencari perlindungan kepada skeptisisme, atau setidak-tidaknya kepada doktrin yang mengatakan bahwa karena semua pandangan tentang sejarah melibatkan person-person dan berbagai sudut pandang maka pandangan yang satu dengan yang lain sama saja sehingga tak ada kebenaran historis yang objektif." (E. H. Carr, What is History? halaman 8)

Faktanya adalah meskipun tidaklah mungkin mempercayai begitu saja riwayat periwayat atau perawi sekalipun, namun dalam sejarah ada banyak fakta yang tak terbantahkan sehingga sama dengan prinsip ilmu lain, dan fakta tersebut mudah dikaji oleh peneliti. Peneliti sendiri dapat meneliti detail-detailnya yang relevan untuk memastikan kebenaran banyak riwayat dan kemudian membuat kesimpulannya sendiri. Dewasa ini temyata peneliti telah membuktikan bahwa riwayat mengenai banyak peristiwa tidak dapat dipercaya kendatipun riwayat tersebut berabad-abad oleh kalangan luas dianggap sebagai fakta. Riwayat bahwa buku yang ada di perpustakaan Iskandariah telah dibakar, pertama kali muncul pada abad ke-7 Hijriah dan berangsur-angsur menyebar ke mana-mana sampai dicatat dalam kebanyakan buku sejarah. Namun pada abad belakangan ini peneliti membuktikan bahwa riwayat ini sama sekali tak berdasar dan merupakan rekayasa beberapa Kristiani yang berprasangka. Untuk beberapa lama kebenaran memang tersembunyi, namun kemudian semua orang akhirnya tahu kebenaran. Karena alasan inilah maka tidak boleh pesimis total terhadap riwayat sejarah.

Prinsip Sebab-Akibat

Apakah yang mengatur sejarah adalah prinsip sebab-akibat? Jika ya, maka setiap peristiwa yang terjadi harus dianggap tak terelakkan dan tak terhindarkan, sehingga harus diakui bahwa memang sejarah diatur oleh semacam tekanan, paksaan atau keharusan. Kalau demikian, maka di mana posisi prinsip kemerdekaan dan kehendak manusia? Jika peristiwa sejarah memang tak terelakkan, maka individu tak bisa dipandang bertanggungjawab dan juga tak layak mendapat penghargaan dan pujian atau kritik dan cacian. Kalau prinsip sebab-akibat tidak diakui efektif, maka tak mungkin ada hukum universal, dan jika tak ada hukum universal, maka sejarah tak memiliki hukum atau norma, karena hukum merupakan cabang dari generalitas, sedangkan generalitas bergantung kepada prinsip sebab-akibat Inilah problem yang dihadapi sejarah ilmiah dan filsafat sejarah. Sebagian orang yang cenderung mempercayai prinsip sebab-akibat dan generalitas, menolak prinsip kemerdekaan dan kehendak manusia dalam arti sebenarnya. Apa yang mereka terima atas nama kemerdekaan, sesungguhnya tidak begitu. Sebagian lagi justru menerima prinsip kemerdekaan, dan menolak kalau sejarah itu tunduk kepada hukum tertentu. Kebanyakan sosiolog berpendapat bahwa prinsip sebab-akibat dan kemerdekaan tak mungkin eksistensinya simultan. Mereka pada umumnya cenderung menerima sebab-akibat dan menolak kemerdekaan.

Hegel, mengikuti langkah Marx, mendukung keharusan sejarah. Dari sudut pandang Hegel dan Marx, kemerdekaan tak lain hanyalah kesadaran akan keharusan sejarah. Dalam buku berjudul "Marx and Marxism", Engels dikutip mengatakan:

"Hegel adalah orang pertama yang mengungkapkan dengan benar hubungan antara kemerdekaan dan keharusan. Baginya, merdeka berarti mengapresiasi keharusan. Keharusan itu buta hanya sejauh keharusan itu tidak dapat dimengerti. Kemerdekaan bukanlah mimpi bebas dari hukum alam, namun kemerdekaan adalah mengetahui hukum alam dan bila dengan pengetahuan ini dapat mengarahkan secara sistematis hukum alam untuk tujuan tertentu. Ini berlaku untuk hukum alam eksternal dan hukum yang mengatur eksistensi jasmani dan mental manusia itu sendiri."

Setelah menguraikan secara ringkas bahwa karena kondisi khusus sejarah manusia dapat menuju ke arah yang ditentukan oleh kondisi ini, buku ini mengatakan:

"Kalau kondisi ini dapat diidentifikasi dan dipahami, maka langkah manusia jadi lebih efektif. Setiap langkah ke arah sebaliknya berarti menentang dan merintangi jalannya sejarah. Melangkah ke arah yang ditentukan oleh jalannya sejarah berarti melangkah di jalan sejarah dan ikut dalam prosesnya. Namun pertanyaan, mengenai apa yang dimaksud dengan kemerdekaan, masih belum terjawab. Mazhab Marxis menjawab bahwa individu merdeka kalau dia dapat mengapresiasi keharusan sejarah dan gerakan sosial yang menjadi arah seluruh perjalanan sejarah."

Jelaslah pernyataan ini tidak menyelesaikan masalah. Masalah yang sebenarnya adalah apakah manusia mampu mengendalikan kondisi sejarah. Mampukah manusia membawa kondisi sejarah ke arah yang diinginkannya, atau mampukah manusia mengubah jalannya sejarah?

Jika manusia tak mampu mengarahkan jalannya sejarah atau mengubah jalannya sejarah, maka jelaslah kalau mau bertahan hidup dan berevolusi, manusia tak punya alternatif selain mengikuti jalannya sejarah. Kalau tidak, manusia tak mungkin bertahan hidup. Sekarang pertanyaannya adalah apakah manusia bisa memilih untuk mengikuti atau tidak mengikuti jalannya sejarah, dan—kalau kita perhatikan prinsip superioritas masyarakat atas manusia dan teori bahwa hati nurani, perasaan dan sentimen individu hanyalah produk kondisi sosial dan historis, khususnya kondisi ekonominya—apakah ada ruang bagi kemerdekaan manusia?

Lantas apa makna pernyataan yang menyebutkan bahwa ke­merdekaan adalah mengetahui keharusan? Apakah kalau seseorang terjebak dalam banjir dan tahu persis bahwa sebentar lagi dirinya akan terseret masuk sungai, atau kalau seseorang jatuh dari puncak bukit dan tahu bahwa berkat kekuatan hukum gaya berat sebentar lagi dirinya akan hancur berkeping-keping, lantas dia bisa saja terseret atau tidak terseret masuk sungai atau jatuh atau tidak jatuh ke bawah? Menurut teori materialisme sejarah, kondisi sosial membatasi ruang gerak manusia, mengarahkan manusia, membangun kata hati dan personalitas manusia, dan menentukan kemauan dan pilihan manusia. Terhadap kondisi sosial, manusia tak ubahnya seperti wadah kosong dan hanyalah bahan baku. Kalau manusia dianggap produk dari kondisi sosialnya, bukan yang membentuk kondisi sosialnya, dan kalau dinyatakan bahwa kondisi sosial yang ada menentukan nasib manusia, maka jelaslah itu bukanlah manusia yang menentukan kondisi sosial ke depan.

Jelaslah kemerdekaan seperti ini tak mungkin ada artinya sama sekali. Faktanya adalah tak mungkin kita membayangkan manusia itu merdeka kalau kita tidak menerima teori kecenderungan alamiah manusia yang berarti bahwa dalam proses gerakan funda­mental dan umum dunia manusia memiliki dimensi lain yang membentuk basis awal personalitasnya dan yang menjadi matang berkat pengaruh faktor-faktor eksternal. Berkat dimensi eksistensial ini manusia memiliki personalitas manusiawinya dan dimungkinkan untuk mendominasi sejarah dan menentukan jalannya sejarah. Poin ini sudah dijelaskan ketika membahas masyarakat, persisnya pada sub-bab "Determinisms dan Kemauan", dan akan dijelaskan lebih lanjut ketika membahas peran pahlawan, persisnya pada sub-bab "Dimensi Sejarah".

Kemerdekaan manusia tidak bertentangan dengan hukum sebab-akibat, tidak bertentangan dengan universalitas masalah-masalah sejarah, tidak bertentangan dengan fakta bahwa sejarah tunduk kepada hukum tertentu. Kalau manusia bisa memilih bentuk tertentu kehidupan sosialnya atas kemauan bebasnya sendiri, maka itu artinya adalah meskipun ada keharusan namun masih ada ruang bagi kehendak atau kemauan manusia. Ini beda dengan keharusan mutlak yang menguasai manusia dan kehendaknya. Ada kesulitan lain mengenai universalitas persoalan sejarah dan ketundukan persoalan tersebut kepada hukum tertentu. Studi atas peristiwa sejarah menunjukkan bahwa terdakang beberapa kejadian kecil dan kebetulan dapat mengubah jalannya sejarah. Tentu saja kejadian kebetulan, bertentangan dengan pikiran beberapa orang yang tidak tahu, tidak berarti kejadian tersebut terjadi tanpa sebab. Kejadian kebetulan hanyalah kejadian yang penyebabnya bukan sebab umum dan universal dan karena itu aturannya tidak umum. Sekarang jelaslah, kalau kejadian yang aturannya tidak umum itu memang efektif perannya dalam gerakan sejarah, tentunya sejarah tidak ada hukumnya, aturannya, normanya, dan jalannya tidak pasti. Namun kita tahu bahwa kejadian kebetulan dalam sejarah temyata mempengaruhi jalannya sejarah. Kejadian seperti ini terkenal dengan sebutan "hidung Cleopatra". Cleopatra adalah seorang ratu Mesir yang kesohor. Tak dapat dihitung contoh peristiwa kecil dan kebetulan yang ternyata mengubah jalannya sejarah dunia ini.

Edward Hallett Carr, dalam bukunya "What is History?", mengatakan sebagai berikut:

"Sumber lain terjadinya serangan adalah soal hidung Cleopatra. Inilah teori yang mengatakan bahwa sejarah pada umumnya merupakan satu bab peristiwa, serangkaian kejadian yang terjadi karena kejadian kebetulan, dan penyebabnya adalah hal-hal yang sangat begitu saja atau kebetulan. Terjadinya Perang Actum bukanlah disebabkan oleh hal-hal yang lazim didalilkan oleh sejarawan, namun penyebabnya adalah karena Antony tergila-gila kepada Cleopatra. Ketika Bajazet tidak jadi masuk ke Eropa Tengah akibat mendapat serangan encok, Gibbon berkomentar bahwa 'berkat urat seseorang mendapat kehormatan pahit (serangan encok—pen.), maka banyak bangsa tak jadi sengsara.' Raja Alexander dari Yunani mati pada musim gugur tahun 1920 gara-gara digigit seekor monyet kesayangan. Peristiwa ini merupakan awal dari serangkaian peristiwa yang membuat Sir Winston Churchill menyatakan bahwa 'seperempat juta orang mati akibat gigitan monyet ini.' Atau perhatikan komentar Trotsky mengenai demam yang menyerang ketika tengah asyik dengan acara menembak bebek sampai-sampai tak bisa berbuat apa-apa ketika sudah sampai titik kritis pertengkarannya dengan Zinonev, Kamerev dan Stalin pada musim gugur 1923, 'Orang bisa saja meramalkan revolusi atau perang, namun mustahil memperkirakan konsekuensi acara menembak di musim gugur—berburu bebek liar."

Di dunia Islam peristiwa kekalahan Marwan bin Muhammad, Khalifah Umayah terakhir, merupakan contoh bagus mengenai bagaimana suatu kebetulan mengintervensi nasib sejarah. Dalam pertempuran terakhirnya melawan kaum Abbasiyah, dia sangat kebelet kencing. Lalu dia pergi kencing ke suatu tempat. Secara kebetulan seorang tentara musuh lewat tempat itu dan melihat Marwan tengah sendirian. Tentara musuh itu lalu membunuhnya. Berita bahwa Marwan telah terbunuh menyebar cepat di kalangan tentaranya seperti kobaran api yang tak terkendali. Karena kejadian ini tak terduga, tentara Marwan jadi patah semangat, lalu mengambil langkah seribu. Dengan demikian, maka berakhirlah kekuasaan dinasti Umayah. Mengenai peristiwa ini dikatakan, "Sebuah kerajaan jatuh gara-gara kencing."

Setelah menjelaskan bahwa setiap kebetulan merupakan hasil dari rangkaian sebab-akibat yang membatalkan rangkaian sebab-akibat yang lain dan bukan kejadian yang tak bersebab sama sekali, Carr mengatakan:

"Mana mungkin dalam sejarah dapat ditemukan rangkaian sebab-akibat yang pertaliannya logis, mana mungkin kita menernukan makna dalam sejarah, bila rangkaian kita dapat saja hancur atau berbelok kapan saja akibat, dari sudut pandahg kita, rangkaian lain yang tidak relevan?"

Jawaban untuk problem ini bergantung kepada pertanyaan apakah masyarakat dan sejarah pada dasarnya memiliki arah atau tidak. Jika sejarah pada dasarnya memiliki arah, maka dampak kejadian-kejadian kecil tidak akan berarti. Dengan kata lain, kejadian kecil bisa saja mengubah posisi beberapa bidak di papan catur sejarah, namun tidak dapat mempengaruhi arah umum sejarah. Paling banter sejurus dapat mempercepat atau memperlambat jalannya sejarah. Kalau sejarah tak memiliki karakter, tak memiliki personalitas, dan tak memiliki arah yang ditentukan karakter dan personalitasnya, berarti sejarah tak memiliki arah yang jelas dan tak memiliki hukum yang universal sifatnya, sehingga sejarah sama sekali tak akan dapat diperkirakan.

Menurut kami, karena kami percaya sejarah memiliki karakter dan personalitas, dan kita berpandangan bahwa karakter dan personalitasnya merupakan produk dari perpaduan personalitas individu-individu manusia dan karena itu evolusioner sifatnya, maka berbagai kejadian yang sifatnya kebetulan tak mengganggu universalitas dan keharusan sejarah. Montesquieu menggambarkan peran kejadian kebetulan dalam sejarah bagus sekali. Kami kutipkan sebagiannya:

"Jika hasil dari perang—perang merupakan sebab khusus—adalah hancurnya negara, maka ada sebab umum yang menetapkan bahwa negara itu akan hancur akibat perang."

Dia juga mengatakan sebagai berikut:

"Bukan perkara Poltava yang menghancurkan Charles. Seandainya Charles tidak hancur di tempat itu, dia akan hancur di tempat lain. Korban kecelakaan tidak sulit disembuhkan. Namun siapa yang dapat aman dari peristiwa demi peristiwa yang tak henti-hentinya terjadi karena memang hams terjadi?"

Apakah Sejarah pada Dasarnya Materialistic?

Bagaimanakah karakter sejarah? Apakah karakter sejarah itu kultural, politis, ekonomi, religius, atau moral? Apakah material, spiritual, atau perpaduan keduanya? Inilah pertanyaan-pertanyaan sangat penting tentang sejarah. Tak mungkin sejarah dapat dipahami dengan benar kalau pertanyaan-pertanyaan ini tidak dijawab dengan benar. Jelaslah bahwa semua faktor material dan spiritual tersebut di atas efektif dalam tekstur sejarah. Pertanyaannya adalah faktor mana yang paling penting dan karakternya menentukan? Pertanyaannya adalah di antara faktor-faktor ini mana yang membentuk jiwa sejati sejarah dan menunjukkan identitasnya? Di antara faktor-faktor ini mana yang dapat menjelaskan dan menafsirkan faktor-faktor lainnya? Di antara faktor-faktor ini mana yang membentuk infrastruktur sejarah, sementara faktor-faktor lainnya menjadi suprastrukturnya?

Pada umumnya kaum pakar berpendapat bahwa sejarah merupakan sebuah mesin bermotor banyak, dan motor-motor ini satu sama lain saling mandiri. Yang mereka maksud adalah bahwa sejarah memiliki banyak karakter. Namun pertanyaannya adalah kalau sejarah memang bermotor banyak dan berkarakter banyak, lantas apa yang terjadi dengan perkembangan evolusionernya? Evolusi sejarah tak mungkin jelas dan pasti kalau sejarah digerakkan oleh beberapa motor yang satu sama lain saling mandiri, masing-masing motor melakukan gerakannya sendiri dan membawa sejarah ke arah yang dipilihnya sendiri, kecuali kalau faktor-faktor tersebut di atas dianggap sebagai semata-mata naluri sejarah yang jiwanya mengalahkan naluri-naluri ini, dan jiwa inilah, dengan dibantu oleh berbagai naluri sejarah, membawa sejarah ke arah yang jelas dan membentuk identitasnya. Namun, kalau demikian sejarah berarti satu karakternya, karena karakternya adalah seperti yang digambarkan sebagai jiwanya dan bukan faktor-faktor yang disebut sebagai nalurinya.

Dewasa ini ada sebuah teori baru yang banyak pendukungnya. Teori ini dikenal sebagai materialisme sejarah atau materialisme dialektis. Arti materialisme sejarah adalah interpretasi ekonomi atas sejarah, dan interpretasi ekonomi dan sejarah atas manusia, bukan interpretasi manusia atas ekonomi atau sejarah. Dengan kata lain, arti materialisme sejarah adalah sejarah berkarakter material dan eksistensinya dialektis. Yang dimaksud dengan sejarah berkarakter material adalah basis semua gerakan sejarah dan fenomena masyarakat adalah sistem ekonominya yang meliputi produk materialnya, kekuatan, hubungan dan sistem produksinya. Menurut teori ini, sistem ekonomilah yang memberi bentuk dan arah kepada semua fenomena sosial dan moral, seperti ilmu pengetahuan, filsafat, etika, agama, hukum dan budaya. Kalau sistem ekonomi mengalami perubahan, maka semua ini (ilmu pengetahuan, filsafat, etika, agama, hukum dan budaya—pen.) pun mengalami perubahan.

Adapun eksistensi sejarah yang sifatnya dialektis itu, artinya adalah bahwa gerakan evolusi sejarah terjadi akibat serangkaian kontradiksi dialektis yang ada saling hubungannya yang khusus. Kontradiksi dialektis beda dengan kontradiksi nonndialektis, karena pada kasus kontradiksi dialektis, setiap fenomena dalam dirinya wajib ada penafian terhadap dirinya, maka akibat kontradiksi inter­nal ini, fenomena tersebut berkembang ke tahap yang lebih tinggi, perkembangan ini merupakan sintesis dua tahap sebelumnya.

Dengan demikian, materialisme sejarah menunjukkan dua pikiran. Pertama, sejarah berkarakter materialistis; kedua, gerakan sejarah adalah gerakan dialektis. Pembahasan kedua hal ini nanti ketikarmembahas perkembangan dan evolusi sejarah.

Teori yang mengatakan bahwa sejarah berkarakter materialistis, dasarnya adalah serangkaian prinsip tertentu yang sifatnya filosofis, psikologis, atau sosiologis. Teori ini kemudian menyebabkan lahirnya sejumlah teori lain berkenaan dengan problem ideologis. Untuk menjelaskan poin penting ini, khususnya kalau diingat fakta bahwa para penulis Muslim modern tertentu mengklaim bahwa sekalipun Islam tidak menerima materialisme filosofis, namun Islam menerima materialisme sejarah, dan para penulis ini membangun teori sejarah dan sosialnya berdasarkan anggapan ini, maka kami rasa poin ini perlu dibahas dengan cukup mendalam. Untuk itu, yang dibahas terlebih dahulu adalah dua prinsip yang menjadi dasar dari teori ini dan akibat yang ditimbulkan oleh dua prinsip ini. Setelah itu teori ini akan ditelaah dari sudut pandang ilmu pengetahuan maupun Islam.

Prinsip Dasar Materialisme Sejarah

Prioritas Materi atas jiwa

Manusia, selain memiliki tubuh, juga memiliki jiwa. Atas tubuh manusia dapat dilakukan kajian biologis, medis, fisiologis dan lainnya. Sedangkan atasjiwa dan urusan spiritual manusia, dapat dilakukan kajian filosofis dan psikologis. Gagasan, kepercayaan, perasaan, kecenderungan, teori dan ideologi merupakan subjek psikologis. Arti prinsip prioritas materi atas jiwa adalah bahwa masalah psikologis itu tidak fundamental. Masalah psikologis hanyalah serangkaian refleksi material pada saraf dan otak, dan asal dari refleksi material ini adalah masalah aktual.

Nilai masalah psikologis terbatas pada fungsinya sebagai penghubung antara fakultas material yang ada pada jiwa manusia dan dunia luar, sehingga fakultas ini tidak bisa diperlakukan sebagai kekuatan yang terpisah dari kekuatan-kekuatan material lainnya yang mengatur eksistensi manusia. Untuk itustrasinya, masalah psikologis dapat disamakan dengan lampu mobil. Di malam hari mobil tak bisa jalan tanpa lampu. Di malam hari mobil baru jalan kalau lampunya menyala. Namun yang membuat mobil bisa jalan adalah mesinnya, bukan sinar lampunya.

Kalau masalah psikologis, seperti pikiran, kepercayaan, teori dan ideologi, selaras dengan proses berbagai kekuatan material sejarah, maka masalah ini membantu gerak maju sejarah. Namun masalah ini sendiri tidak bisa menyebabkan terjadinya gerak, juga tidak dianggap sebagai kekuatan yang terpisah dari kekuatan-kekuatan material lainnya. Pada dasamya masalah psikologis bukanlah kekuatan. Karena itu salah kalau mengatakan bahwa masalah psikologis adalah kekuatan yang tak ada realitas materialnya. Sesungguhnya kekuatan yang mempengaruhi eksistensi manusia adalah kekuatan yang dikenal sebagai kekuatan material dan kekuatan ini dapat diukur dengan ukuran material.

Jadi masalah psikologis tak mampu menciptakan gerakan atau mengarahkan gerakan. Masalah psikologis tidak dianggap sebagai tuas untuk menggerakkan masyarakat. Nilai psikologis dapat mendukung dan mengarahkan nilai material, namun tidak dapat menjadi sumber atau objek gerakan sosial. Berdasarkan ini, kalau menafsirkan sejarah, jangan sampai terkecoh oleh apa yang kelihatan. Pada momen sejarah tertentu, suatu gagasan, doktrin atau kepercayaan mungkin kelihatan mampu menggerakkan masyarakat ke tahap evolusi, namun kalau dilakukan analisis yang saksama atas sejarah ternyata posisi kepercayaan atau doktrin tidak dominan. Kepercayaan atau doktrin hanyalah refleksi berbagai kekuatan material masyarakat. Terkadang dengan berbaju doktrin dan kepercayaan juga berbagai kekuatan material masyarakat ini menggerakkan masyarakat. Kekuatan material yang membuat sejarah bergerak maju, dari sudut pandang teknis, adalah sistem produksi, dan dari sudut pandang manusiawi adalah kelas-kelas kurang mampu dan tereksploitasi masyarakat.

Feuerbach, seorang filosof materialis terkenal, dari tokoh ini Marx mengambil banyak teorinya, mengatakan, "Apa teori itu? Apa praksis itu? Apa bedanya teori dan praksis?" Feuerbach sendiri kemudian menjawabnya, "Kalau sebatas pikiran saja, maka itu teori. Kalau yang menggerakkan pikiran banyak orang, maka itu keharusan praktis. Aksilah yang mempersatukan banyak pikiran dan mengorganisasi massa, dan dengan cara seperti inilah aksi mendapatkan tempatnya di dunia."

Muridnya, Marx, menulis, "Jelaslah bahwa senjata kritik tak mampu menggantikan kritik senjata. Yang dapat menghancurkan kekuatan material hanyalah kekuatan material." Marx, yang tak mempercayai independensi kekuatan non-material, menyatakan bahwa yang dapat dilakukan kekuatan non-material hanyalah menambah nilai kekuatan material. Marx mengatakan bahwa begitu sebuah teori atau doktrin berurat berakar di tengah massa, maka teori atau doktrin itu berubah menjadi kekuatan material. Prinsip superioritas materi atas non-materi dan superioritas raga atas jiwa merupakan salah satu prinsip dasar materialisme filosofis. Prinsip ini mengatakan bahwa kekuatan mental dan nilai spiritual serta moral tidaklah fundamental.

Ada prinsip filosofis lain yang bertentangan dengan prinsip ini. Prinsip filosofis yang lain ini didasarkan pada fundamental!tas jiwa. Menurut prinsip ini, mustahil menjelaskan dan menafsirkan semua dimensi riil eksistensi melalui aspek material dan materi. Jiwa adalah realitas dalam eksistensi manusia, sedangkan energi spiritual tidak bergantung kepada, atau lepas dari, semua energi material. Karena itu semua kekuatan psikologis, seperti kekuatan akal, kekuatan doktrin, kekuatan agama dan kekuatan sentimen dianggap sebagai faktor independen yang menyebabkan gerakan tertentu pada individu dan masyarakat. Tuas-tuas ini dapat digunakan untuk menggerakkan sejarah. Sesungguhnya banyak gerakan sejarah bersumber terutama dari tuas-tuas ini. Khususnya gerakan manusiawi yang berkarakter mulia, entah itu gerakan individu atau sosial, penyebab langsungnya adalah kekuatan-kekuatan ini. Berkat kekuatan-kekuatan ini gerakan tersebut menjadi gerakan yang mulia.

Kekuatan psikologis sering mempengaruhi kekuatan fisis dan material. Kekuatan psikologis ini mengarahkan kekuatan fisis dan material bukan saja pada tataran aktivitas opsional, namun bahkan pada tataran aktivitas mekanis, kimiawi dan biologis juga. Efektivitas sugesti psikologis dalam pengobatan penyakit jasmani, dan efektivitas luar biasa kerja hipnotis, termasuk dalam kategori ini dan tak dapat disangkal.

Kekuatan pengetahuan dan agama, khususnya kekuatan agama dan terutama lagi bila dua kekuatan ini selaras, merupakan kekuatan yang dahsyat dan bermanfaat. Dua kekuatan ini perannya luar biasa dan dinamis untuk membuat sejarah bergerak maju atau untuk mengubah arah gerakan sejarah. Posisi sentral kekuatan jiwa dan spiritual merupakan salah satu prinsip dasar realisme filosofis.

Kebutuhan Material Dahulu, Baru Kebutuhan Spiritual

Manusia, setidak-tidaknya sejauh menyangkut eksistensi sosialnya, memiliki dua macam kebutuhan. Kebutuhan material manusia antara lain adalah pangan, air, papan, sandang, obat dan sebagainya. Kebutuhan spiritual manusia adalah pendidikan, pengetahuan, sastra, seni, gagasan filosofis, agama, ideologi, prinsip moral dan sebagainya. Manusia selalu memiliki dua macam kebutuhan ini. Pertanyaannya adalah mana yang lebih dahulu, kebutuhan material atau kebutuhan spiritual? Ataukah kedua macam kebutuhan tersebut sama pentingnya? Para pendukung fundamentalitas kebutuhan material berpendapat bahwa kebutuhan material lebih penting bukan saja dalam pengertian bahwa manusia memenuhi kebutuhan material dahulu, baru kemudian memenuhi kebutuhan spiritualnya, namun juga dalam pengertian bahwa kebutuhan spiritual manusia merupakan produk sampingan dari kebutuhan materialnya. Ketika lahir, manusia tidak memiliki dua macam kebutuhan atau dua macam naluri. Ketika lahir, manusia hanya memiliki satu macam kebutuhan dan satu macam naluri. Kebutuhan spiritual manusia merupakan kebutuhan sekundernya, dan sesuhgguhnya hanyalah sarana untuk memenuhi kebutuhan materialnya dengan lebih baik.

Itulah sebabnya bentuk, kualitas dan karakter kebutuhan spiri­tual manusia tunduk kepada kebutuhan materialnya. Dalam setiap zaman kebutuhan material manusia bentuk dan kualitasnya tertentu sesuai dengan perkembangan sarana atau alat produksi. Kebutuhan spiritual manusia yang merupakan produk sampingan dari kebutuhan materialnya, tentu saja bentuk, kualitas dan karakternya sesuai dengan kebutuhan materialnya. Karena itu antara kebutuhan material dan kebutuhan spiritual ada dua macam preseden (prioritas). Yang satu berkenaan dengan eksistensi kebutuhan, dan satu lagi berkenaan dengan karakter kebutuhan. Kebutuhan spiritual manusia merupakan produk sampingan dari kebutuhan materialnya. Bentuk dan karakter lain kebutuhan spiritual juga tunduk kepada kebutuhan material manusia. Dalam bukunya "Historical Materialism" (Materialisme Sejarah), P. Royan mengutip Hymen Louis mengatakan dalam bukunya "Philosophical Ideas " (Gagasan Filosofis):

"Karena eksistensi manusia arahnya material, maka selaras dengan kebutuhan material zamannya, manusia mengajukan berbagai teori mengenai dunianya, masyarakatnya, seninya, dan moralitasnya. Semua manifestasi intelektual merupakan produk yang dihasilkan dari berbagai kondisi material dan metode produksi."

Itulah sebabnya cara berpikir setiap individu mengenai masalah ilmiah, pikiran filosofisnya, cita rasanya, rasa estetika dan artistiknya, evaluasi moralnya dan kecenderungan religiusnya mengikuti cara hidupnya dan caranya mencari nafkah. Prinsip ini, kalau diterapkan pada individu, maka bunyinya begini, "Sebutkan makanannya, maka akan aku sebutkan cara berpikirnya." Kalau prinsip ini diterapkan pada masyarakat, maka bunyinya, "Sebutkan sejauh mana perkembangan alat produksi dalam masyarakat itu dan bagaimana hubungan ekonomi di antara anggota masyarakat itu, maka akan aku sebutkan ideologi, filsafat, prinsip moral dan ajaran agama yang dianut masyarakat itu."

Bertentangan dengan teori ini adalah teori independensi kebutuhan spiritual. Menurut teori independensi kebutuhan spiritual, sekalipun pada diri manusia kebutuhan material ada lebih dahulu, dan ini terlihat pada keadaan bayi yang setelah lahir langsung mencari-cari susu dan payudara ibu, kemudian berangsur-angsur kebutuhan spiritual yang terpendam (potensial) dalam fitrah manusia muncul dan berkembang sedemikian rupa sehingga ketika sudah dewasa manusia mau mengorbankan kebutuhan materialnya demi kebutuhan spiritualnya. Dengan kata lain, bagi manusia kenikmatan spiritualnya bersifat fundamental dan juga lebih kuat dibanding kenikmatan materialnya dan desakan materialnya.

Poin ini sudah dibahas dengan bagus oleh Ibn Sina dalam bukunya, al-Isyârât. Kalau manusia semakin terdidik dan terlatih, maka kebutuhan spiritualnya, kenikmatan spiritualnya dan akhirnya kehidupan spiritualnya jadi jauh lebih penting daripada kebutuhan materialnya, kenikmatan materialnya dan kehidupan materialnya. Tentu saja dalam masyarakat primitif kebutuhan material jauh lebih penting dibanding kebutuhan spiritual. Namun setelah masyarakat mengalami perkembangan, maka kebutuhan spiritual jadi jauh lebih periling. Kebutuhan spiritual ini menjadi tujuan yang ingin dicapai manusia, sedangkan kebutuhan material menjadi semata-mata sarana.


17
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

sambungan Bab 26...
Bertindak Dahulu, Baru Berpikir

Manusia adalah makhluk yang dapat berpikir, memahami dan bertindak. Mana yang lebih penting, tindakannya atau pikirannya? Mana yang menjadi esensi manusia? Apakah martabat manusia ditentukan oleh perbuatannya atau pikirannya? Dan mana yang membentuk dirinya?

Materialisme sejarah mempercayai independensi tindakan dan lebih pentingnya tindakan dibanding pikiran. Materialisme sejarah memandang tindakan sebagai fundamental dan pikiran sebagai subsider. Di lain pihak, filsafat dan logika kuno menganggap pikiran sebagai kunci berpikir. Menurut sistem lama logika, pikiran dibagi menjadi dua: persepsi dan penegasan (penguatan), dan masing-masing selanjutnya dibagi menjadi aksiomatis dan teoretis. Menurut sistem logika dan filsafat itu, hakikat ego manusia dianggap semata-mata sebagai gagasan. Manusia akan sempuma dan mulia kalau dia mau arif. Manusia sempuma sama dengan manusia arif. Namun materialisme sejarah didasarkan pada prinsip bahwa tindakan merupakan kunci dan kriteria berpikir. Hakikat manusia adalah aktivitas produktifnya. Manusia dikenal melalui aktivitasnya yang membentuk dirinya. Marx pernah mengatakan, "Seluruh sejarah dunia tak lain hanyalah kreasi manusia melalui kerja keras manusia."

Engels mengatakan, "Manusia sendiri merupakan kreasi aksi," karena alih-alih memikirkan kesulitan alam, manusia justru berupaya keras menaklukkan lingkungannya, dan dengan demikian (melalui aksi revolusioner melawan tiran agresif) manusia mem­bentuk masyarakat seperti yang dikehendakinya."

Penulis Marx and Marxism mengatakan sebagai berikut:

"Kalau dalam filsafat wujud (sebuah filsafat yang menafsirkan bahwa dunia adalah 'wujud', beda dengan filsafat 'menjadi', yang menafsirkan bahwa dunia adalah gerak. Marxisme termasuk filsafat 'menjadi') pada mulanya biasa-biasa saja kalau mengemukakan gagasan dan prinsip yang dapat dibuat kesimpulan praktisnya. Sementara praksis (filsafat praktis) menganggap aksi sebagai asal dan basis semua pikiran. Praksis menggantikan kepercayaan pada pikiran dengan filsafat kekuatan."

Seperti Hegel, praksis mengatakan, "Pertama-tama wujud sejati manusia adalah aksinya sendiri." Dalam kepercayaan ini dia seperti pemikir Jerman yang menolak frase terkenal, "Pada mulanya ada kata"—di mana kata berarti roh, karena melalui katalah roh mengungkapkan dirinya—dan menyatakan, Tada mulanya ada aksi."

Teori ini merupakan salah satu prinsip materialisme Marxis, dan dikenal sebagai filsafat praktis. Marx mengambilnya dari materialis pendahulu dan gurunya, Feuerbach dan Hegel.

Bertentangan sekali dengan prinsip ini adalah prinsip filosofis realisme. Prinsip filosofis realisme ini menyatakan bahwa pikiran dan aksi saling mempengaruhi satu sama lain, sekalipun pikiran mendahului aksi. Menurut filsafat ini, hakikat manusia adalah pikiran (pengetahuan hakiki tentang eksistensi diri sendiri). Manusia, melalui aksi dan kontaknya dengan dunia luar, mendapatkan material informatif mengenai dunia. Dia tak dapat mengetahui sesuatu kalau dalam benaknya tak ada bahan baku ini. Setelah menghimpun materialnya, benaknya menggunakan data yang didapat dari aksi dengan cara lain seperti generalisasi, deduksi dan argumentasi. Dengan demikian aksi memudahkan jalan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Pengetahuan tidak berarti semata-mata sekadar refleksi material eksternal pada benak. Adanya pengetahuan adalah berkat refleksi yang terjadi melalui suatu proses mental yang berasal dari substansi imaterial jiwa ini. Dengan demikian aksi adalah sumber pikiran. Namun pada saat yang sama pikiran juga merupakan sumber aksi. Aksi adalah kriteria pikiran, dan pada saat yang sama pikiran adalah kriteria aksi. Namun ini bukan lingkaran setan. Yang membuat seseorang menjadi manusia adalah kemuliaan akhlaknya, pengetahuannya, imannya, martabatnya, harga dirinya dan perbuatannya. Manusia berbuat, dan dirinya eksis karena perbuatannya. Inilah sifat khas manusia. Makhluk lain tak memiliki sifat ini. Sifat ini berasal dari karakter khusus yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.

Namun, manusia berbuat, itu dalam pengertian kreatif, sedangkan perbuatan membentuk manusia, itu dalam pengertian persiapan. Sesungguhnya manusia menciptakan perbuatannya sendiri, sedangkan perbuatan sesungguhnya tidak menciptakan manusia. Namun aksi, kalau dilakukan dan diulang-ulang, memuluskan jalan bagi penciptaan manusia dari dalam. Dalam semua kasus di mana saling hubung antara dua hal di satu sisi sifatnya kreatif dan imperatif (tidak boleh tidak), dan di sisi lain sifatnya persiapan dan potensial, maka yang lebih dahulu selalu sisi kreatif dan sisi imperatifnya.

Pendek kata, manusia, yang hakikatnya merupakan pengetahuan (pengetahuan hakiki tentang eksistensinya sendiri), hubungannya dengan aksi sifatnya timbal balik, dalam pengertian bahwa manusia menciptakan dan mengembangkan aksi, sedangkan aksi mengembangkan manusia. Namun kalau diingat fakta bahwa manusia adalah sebab kreatif dan imperatif bagi adanya aksi, sedangkan aksi hanyalah sebab persiapan dan potensial bagi adanya manusia, maka manusia dahulu baru aksi, bukan aksi dahulu baru manusia.

Eksistensi Sosial Manusia Mendahului Eksistensi Individualnya

Dari sudut pandang biologis, manusia adalah hewan yang paling sempurna. Manusia dapat menciptakan evolusi tertentu dan membangun dirinya sendiri. Inilah yang disebut evolusi manusiawi. Manusia dapat memiliki kepribadian istimewa yang dibentuk oleh berbagai dimensi manusiawi. Berkat pengalaman dan pengetahuan, manusia memiliki dimensi intelektual, filosofis dan ilmiah. Dan berkat faktor-faktor tertentu lainnya manusia memiliki dimensi lain, dimensi ini disebut dimensi moral. Dalam dimensi inilah manusia menciptakan nilai-nilai dan "apa yang harus dan yang tidak boleh" secara moral. Manusia juga memiliki dimensi seni dan religius. Dalam dimensi intelektual dan filosofisnya manusia menemukan sejumlah prinsip dan hukum umum. Prinsip dan hukum umum ini kemudian menjadi basis pemikirannya. Melalui apresiasi moral dan sosialnya manusia memperoleh beberapa nilai yang mutlak dan semi-mutlak. Semua dimensi manusiawi ini berpadu membentuk eksistensi manusiawi.

Dimensi manusiawi sepenuhnya merupakan konsekuensi ber­bagai faktor sosial. Ketika lahir, manusia tidak memiliki semua dimensi ini. Ketika lahir, manusia hanyalah bahan baku yang mampu berbentuk intelektual atau emosional. Bentuk final manusia ditentukan oleh berbagai faktor yang kelak mempengaruhinya. Pada mulanya manusia tak ubahnya seperti wadah kosong yang dapat diberi isi dari luar. Manusia seperti pita magnetik kosong. Suara apa pun dapat direkam dengan pita ini. Pendek kata, faktor-faktor sosial eksternal yang disebut aksi sosial inilah yang membangun kepribadian manusia dan mengubah manusia dari sesuatu menjadi seseorahg. Manusia sendiri hanyalah "sesuatu", dan semata-mata berkat faktor-faktor sosial maka manusia menjadi "seseorang". Dalam bukunya "Historical Materialism", P. Royan mengutip perkataan Plekhanov dalam bukunya "Fundamental Problems of Marxism". Katanya:

"Karakteristik sebuah sistem sosial ditentukan oleh tingkat perkembangan sarana dan alat produksi masyarakat. Artinya adalah kalau tahap perkembangan sarana dan alat produksi itu ditentukan, maka karakteristik tata sosial dan psikologi (masyarakat) yang terkait, dan semua kaitan lainnya dalam sistem itu di satu pihak, dan gagasan serta kemajuan di pihak lain, juga (atas kemauan sendiri) ditentukan."

Dalam buku itu juga dikatakan sebagai berikut:

"Kalau psikologi, melalui sarana dan alat produksi, ditentukan, maka konsekuensinya ideologi, yang berurat berakar dalam psikologi masyarakat, juga ditentukan. Namun karena ideologi, pada tahap sejarah tertentu, merupakan produk dari kebutuhan sosial, dan karena ideologi selalu melindungi kepentingan kelas berkuasa, tentu ideologi memperkuat dan menyempurnakan struktur sosial yang ada. Karena itu struktur sosial dalam masyarakat berkelas, yang eksistensinya adalah untuk melindungi kelas berkuasa dan untuk menyebarkan ideologinya, sesungguhnya merupakan hasil dari tata sosial dan berbagai tuntutannya, dan pada akhirnya merupakan produk dari karakter mode, sarana dan alat produksi. Misal, di gereja dan masjid disampaikan berbagai keyakinan religius, yang dalam semua agama didasarkan pada iman kepada Hari Kiamat. Mempercayai Kiamat merupakan hasil logis dari tata sosial tertentu yang didasarkan pada pembagian masyarakat menjadi kelas-kelas, yang pada gilirannya merupakan produk dari tahap tertentu perkembangan sarana dan alat produksi. Karena itu mempercayai Kiamat merupakan produk dari sarana dan alat produksi (pada tahap tertentu perkembangan sosial)."

Ada prinsip lain yang beda dengan prinsip ini. Prinsip lain tersebut adalah prinsip antropologis. Prinsip antropologis didasar­kan pada pandangan bahwa fondasi kepribadian manusia merupa­kan basis pemikiran manusia dan kecenderungan lebih tinggi manusia, dan berakar dalam kreasinya. Beda dengan teori terkenal Plato, manusia datang ke dunia bukan dengan kepribadian yang sudah jadi, namun manusia masih menerima karakter dasar kepribadiannya dari kreasinya, bukan dari masyarakat. Kalau mau menggunakan istilah fitasofis, dapat dikatakan bahwa unsur utama dimensi manusiawi, entah itu religius, moral, filosons, artistik, teknis atau cinta kasih, merupakan bentuk dan karakter khas spesies manusia dan jiwa rasionalnya yang dibentuk secara simultan dengan faktor-faktor kreasi. Karena bergantung pada kemampuan personal manusia, masyarakat kalau tidak melayani dan membantu mengembangkan manusia, maka masyarakat mendistorsinya. Pada mulanya eksistensi jiwa rasional atau fakultas intelektual manusia hanya bersifat potensial. Kemudian berangsur-angsur menjadi aktual. Dari sudut pandang pemikirannya, kecenderungannya, kecondongan material-spiritualnya dan sentimennya, manusia tak ubahnya seperti makhluk hidup lainnya. Pada mulanya segenap fakultas manusia eksis secara potensial, kemudian setelah terjadi perkembangan dasar tertentu berangsur-angsur berkembang. Berkat faktor-faktor dari luar, manusia mengembangkan kepribadian alamiahnya dan menyempurnakannya, atau terkadang mendistorsinya dan menjauhkannya dari arah yang normal. Inilah prinsip yang dalam ilmu-ilmu Islam digambarkan sebagai prinsip fitrah dan dianggap sebagai prinsip paling dasar.

Menurut prinsip ini, psikologi manusia mendahului sosiologinya. Sesungguhnya sosiologi manusia bergantung pada psikologinya. Menurut prinsip alam, ketika anak lahir, sekalipun tidak memiliki persepsi, konsepsi, argumentasi dan bakat, manusia datang ke dunia dengan membawa dimensi manusiawi dan dimensi hewani. Dimensi inilah yang berangsur-angsur menjadi basis pemikiran manusia. Tanpa dimensi ini, pemikiran logis tidak mungkin ada. Dimensi inilah yang mewujudkan kecenderungan yang tinggi dan mulia. Dimensi inilah yang dipandang sebagai basis sejati kepribadian manusia. Menurut teori sosiologi manusia mendahului psikologi manusia, manusia hanyalah makhluk pe-nerima dan tidak otomatis ke arah tertentu. Dia adalah bahan baku. Baginya, bentuk yang diterimanya, tak jadi masalah. Dia bagaikan pita kosong. Tak jadi masalah suara apa yang direkam dengan pita. Bahan baku ini tidak cenderung ke bentuk tertentu. Juga tak ada bentuk yang bisa disebut bentuk khas pita. Pita ini tak hanya untuk merekam suara tertentu. Juga tak dapat dikatakan bahwa kalau suara lain direkam dengan pita ini maka suara tersebut tidak akan sesuai dengan realitas pita ini. Karena bahan baku ini sama hubungannya dengan semua bentuk, maka pita ini juga sama hubungannya dengan semua suara.

Namun menurut prinsip fundamentalitas fitrah dan psikologi manusia mendahului sosiologi manusia, sekalipun manusia pada awalnya tidak memiliki persepsi dan kecenderungan aktual, namun dari dalam diri manusia sendiri manusia melakukan gerakan dinamis menuju serangkaian penilaian primer yang dikenal sebagai prinsip primer atau apriori, dan menuju serangkaian nilai yang lebih tinggi yang membentuk standar kemanusiaannya. Menyusul masuknya sejumlah konsepsi primer ke dalam benak manusia, dan konsepsi ini membentuk bahan dasar pemikirannya, prinsip ini berkembang menjadi afirmasi teoretis atau praktis, dan ke­cenderungan yang sebelumnya tidak kelihatan jadi kelihatan.

Dalam keadaan seperti ini manusia, misal, menyatakan bahwa 2x2 = 4. Manusia mengira bahwa norma ini mutlak dan benar kapan dan di mana pun. Menurut teori pertama, penilaiannya ini merupakan produk dari kondisi khusus lingkungannya. Kondisi khusus ini memberinya norma ini, dan penilaiannya merupakan reaksinya terhadap kondisi lingkungan. Dalam lingkungan dan kondisi yang berbeda, manusia mungkin berpikiran lain. Misal, dia mungkin percaya bahwa 2 x 2 = 26.

Namun menurut teori kedua, yang diterima manusia dari lingkungan hanyalah konsepsi 2, 4, 8,10 dan seterusnya. Adapun penilaian bahwa 2x2 = 4 atau 5x5 = 25, itu tak dapat dipisahkan dari struktur jiwa manusia, dan dalam keadaan apa pun tak mungkin berbentuk lain. Begitu pula, hasrat manusia untuk mencapai kesempurnaan juga merupakan bagian esensial dari jiwa manusia.

Segi Material Masyarakat Mendahului Segi Intelektualnya

Dalam masyarakat terdapat banyak sektor dan organisasi: ekonomi, budaya, politik, administrasi, agama, kehakiman dan sebagainya. Dari sudut pandang ini, masyarakat bagaikan rumah yang sudah sempurna. Dalam rumah ini ada ruang tamunya, kamar tidurnya, dapurnya, toiletnya dan sebagainya. Di antara berbagai organisasi sosial ada satu organisasi yang menjadi fondasi sejati masyarakat, karena segenap struktur masyarakat dibangun di atas fondasi tersebut. Seandainya fondasi tersebut hancur, maka seluruh bangunannya otomatis hancur juga. Inilah struktur ekonomi masyarakat. Atau dengan kata lain, semua yang berhubungan dengan produksi material masyarakat, termasuk alat produksi, sumber daya ekonomi, hubungan produksi dan lain-lain.

Alat produksi merupakan bagian paling dasar dari struktur masyarakat Alat produksi terus-menerus mengalami perkembangan dan perubahan. Dan dap tahap perkembangannya menyebabkan terjadinya pertibahan hubungan produksi, sehingga terjadi perbedaan dengan yang sebelumnya. Hubungan produksi antara lain adalah norma dan regulasi berkaitan dengan hak mtlik dan hubungan kontraktual antara manusia dan produk dalam masyarakat. Kalau hubungan ini mengalami perubahan, otomatis semua prinsip hukum, intelektual, moral, agama, filsafat dan ilmu pengetahuan manusia juga mengalami perubahan. Ringkas kata, dapat dikatakan, "Ekonomi adalah fondasi masyarakat."

Dalam buku "Marx and Marxism", Marx dikutip mengatakan dalam bukunya berjudul "Critique of Political Economy":

"Dalam produksi sosial kehidupan manusia, manusia melakukan hubungan tertentu. Hubungan ini sangat diperlukan dan lepas dari kehendaknya, hubungan produksi yang sesuai dengan tahap perkembangan kekuatan produktif materialnya. Jumlah seluruh hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomi masyarakat, fondasi sejatinya, dan di atas fondasi ini berdiri bangunan hukum dan politik, dan bentuk-bentuk kesadaran sosial sesuai dengan fondasi ini. Cara produksi kehidupan material menentukan proses kehidupan sosial, politik dan intelektual pada umumnya. Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan eksistensinya, namun justru eksistensi sosialnya yang menentukan kesadarannya."

Mengutip surat Marx, buku yang sama mengatakan: "Perkembangan fasilitas produktif manusia menentukan bentuk perdagangan dan konsumsi. Perkembangan produksi, perdagangan dan konsumsi menentukan bentuk tatanan keluarga atau kelas. Singkat kata, menentukan bentuk masyarakat sipil."

Penjelasan Peter mengenai pandangan Marx adalah, "Dengan cara ini Marx menyamakan masyarakat dengan bangunan. Fondasi bangunan ini adalah lembaga ekonomi. Dan bangunannya itu sendiri adalah norma, adat dan pola politik, agama dan hukum. Kalau bangunan bergantung pada posisi fondasinya, maka bentuk ekonomi (hubungan produksi) dan mode teknis juga bergantung pada dan berhubungan dengan cara berpikir, sistem politik dan adat, dan semuanya ini bergantung pada kondisi ekonomi."

Buku yang sama mengutip dari buku Lenin Marxisme Marx-Engels seperti termaktub dalam "Capital" jilid 3:

"Mode produksi terejawantahkan dalam aktivitas manusia dalam kaitannya dengan alam, dan setelah itu terejawantahkan dalam kondisi sosial dan pola intelektual produk kondisi sosial tersebut."

Dalam Pengantar untuk "Contribution to the Critique of Political Economy", Karl Marx mengatakan:

"Hasil telaah formal saya menunjukkan bahwa hubungan legal rnaupun bentuk negara dapat dimengerti bukan dari hubungan maupun bentuk itu sendiri, juga bukan dari apa yang disebut perkembangan umum pikiran manusia, namun karena berakar pada kondisi material kehidupan anatomi masyarakat sipil dapat ditemukan dalam ekonomi politik."

Marx, dalam bukunya berjudul "Poverty of Philosophy ", menulis:

"Hubungan sosial erat kaitannya dengan kekuatan produktif. Untuk mendapatkan kekuatan produktif baru, manusia mengubah cara produksinya. Dalam mengubah cara produksinya, dalam mengubah cara mencari nafkahnya, manusia mengubah semua hubungan sosialnya. Penggilingan tangan melahirkan masyarakat dengan penguasa atau tuan feodal. Penggilingan uap melahirkan masyarakat dengan kapitalis industrial."

Teori yang mengatakan bahwa sistem material masyarakat mendahului semua sistem sosial lainnya, selaras dengan teori yang mengatakan bahwa aksi mendahului pikiran. Sesungguhnya teori yang pertama berlaku untuk tataran individu, sedangkan teori kedua berlaku untuk tataran sosial. Kalau mengingat fakta bahwa para pendukung teori ini juga beranggapan bahwa sosiologi manusia mendahului psikologinya, maka dapat dikatakan bahwa aksi individu mendahului pikiran individu merupakan manifestasi dan juga hasil dari sistem material mendahului semua sistem sosial lainnya. Sebaliknya, jika dikatakan bahwa psikologi manusia mendahului sosiologinya, maka lebih dahulunya sistem material masyarakat merupakan hasil dari aksi individu mendahului pikiran individu.

Sistem material masyarakat yang digambarkan sebagai struktur ekonomi dan basis ekonomi juga, terdiri atas dua bagian. Bagian pertama berupa alat produksi yang merupakan hasil dari kontak manusia dengan alam. Bagian kedua berupa hubungan ekonomi anggota masyarakat di bidang distribusi kekayaan. Hubungan ini terkadang digambarkan sebagai hubungan produktif juga. Alat produksi beserta hubungan produksi pada umumnya digambarkan sebagai cara atau metode produksi. Dapat dicatat bahwa istilah-istilah ini, seperti yang digunakan oleh tokoh-tokoh materialisme sejarah, dapat ditafsirkan macam-macam, dan maknanya tidak jelas. Ketika mereka mengatakan bahwa ekonomi adalah infrastrukturnya dan sistem material masyarakat mendahului semua sistem lainnya, maka yang mereka maksud dengan ekonomi adalah sistem produksi, yaitu alat produksi dan hubungan produksi.

Di sini ada poin yang juga perlu dicatat. Seperti terlihat jelas dari apa yang dikatakan oleh para tokoh materialisme sejarah, infrastruktur masyarakat itu sendiri merupakan struktur bertingkat dua. Fondasinya dibentuk oleh alat produksi yang sesungguhnya melibatkan kerja. Berkat keterlibatan kerja maka tumbuh hubungan ekonomi khusus untuk tujuan distribusi kekayaan. Hubungan ini mencerminkan tingkat perkembangan alat produksi, dan pada mulanya bukan saja selaras dengan alat produksi, namun juga mendorong penggunaan alat produksi dan menawarkan cara terbaik untuk memanfaatkan alat produksi. Hubungan ini bagaikan pakaian yang pas untuk tubuh alat produksi. Namun alat produksi masih terus berkembang, dan dengan berkembangnya alat produksi, maka keselarasan antara dua bagian mesin produksi itu jadi kacau. Hubungan produksi dan hubungan ekonomi, yaitu hukum yang sebelumnya selaras dengan alat produksi, menjadi pakaian yang terlalu sesak bagi tubuh alat produksi yang mengalami perkembangan dan merintangi perkembangan alat produksi selanjutnya. Dengan demikian terjadi kontradiksi antara dua bagian mesin produksi. Setidak-tidaknya hubungan produktif baru, yang selaras dengan alat produksi baru, pun berkembang, sehingga insfrastruktur mengalami perubahan total. Dengan berubahnya infrastruktur, maka berubah pula suprastruktur legal, filosofis, moral dan religius.

Jika dipertimbangkan sangat pentingnya keterlibatan kerja, yaitu alat produksi, dan diperhatikan pula fakta bahwa Marx juga tergolong sosiolog yang berpendapat bahwa sosiologi manusia mendahului psikologi manusia dan bahwa karena itu manusia adalah makhluk sosial atau, dalam kata-kata Marx sendiri, makhluk "sui generis," maka dapat diketahui peran filosofis kerja dari sudut pandang Marxisme. Dapat disebutkan bahwa peran filosofis kerja merupakan poin utama filsafat Marxis. Namun ini kurang men-dapat perhatian. Pemikiran Marx tentang eksistensi manusia atau kerja dan eksistensi kerja manusia persis seperti pemikiran Descartes, Bergson dan Jean Paul Sartre tentang eksistensi manusia yang rasional, sinambung dan ofensif. Descartes mengatakan, "Aku berpikir, karena itu aku ada." Bergson mengatakan, "Aku sinambung, karena itu aku ada." Sartre mengatakan, "Aku ofensif, karena itu aku ada." Dan Marx ingin mengatakan, "Aku kerja, karena itu aku ada."

Meski metode yang digunakan beragam, namun di antara para filosof ini tidak ada yang bermaksud membuktikan eksistensi ego manusia pada hal-hal lain selain berpikir, sinambung dan ofensif. Sebagian dari mereka bahkan tidak percaya kalau eksistensi manusia tidak ada kaitannya dengan hal-hal ini. Mereka hanya ingin mendefinisikan di antaranya hakikat manusia dan realitas eksistensial manusia.

Descartes hendak mengatakan, "Eksistensiku serupa dengan eksistensi pikiran. Kalau tidak ada pikiran, maka aku tak ada." Bergson ingin mengatakan, "Eksistensi manusia serupa dengan eksistensi kesinambungan dan waktu." Sartre mengatakan, "Hakikat manusia dan eksistensi riil manusia terletak pada semangat ofensifnya. Kalau semangat ini tak ada padanya, maka dia bukan lagi manusia." Marx juga mau mengatakan, "Segenap eksistensi manusia adalah kerjanya. Kerja adalah hakikat manusia. Aku ada karena aku kerja, bukan dalam pengertian bahwa kerja merupakan bukti eksistensiku, namun dalam pengertian bahwa kerja serupa dengan eksistensiku. Sesungguhnya kerja merupakan eksistensiku."

Itulah yang ingin ditunjukkan Marx ketika mengatakan, "Bagi seorang sosialis, segenap apa yang disebut sejarah dunia tak lain adalah kreasi manusia melalui kerja manusia." Atau ketika dia membedakan antara kesadaran manusia dan eksistensi riilnya, "Bukan kesadaran manusia yang menentukan eksistensinya. Namun justru eksistensi sosialnya yang menentukan kesadarannya." Dia juga mengatakan, "Bukan berdasarkan kehendak, orang membuat keputusan. Namun dasarnya adalah individu serta kondisi material dan kondisi eksistensialnya." Menjelaskan individu, dia selanjutnya mengatakan, "Sesungguhnya individu bukanlah apa yang dapat dibayangkan. Individu adalah bagaimana kreasinya. Dengan kata lain, individu adalah bagaimana dia bertindak dalam kondisi material tertentu yang sama sekali lepas dari kehendaknya. Engels mengatakan, "Ekonom mengatakan bahwa kerja adalah pangkal kaya. Sesungguhnya bagi manusia, kerja lebih dari itu. Kerja adalah kondisi fundamental eksistensi kehidupan manusia. Sekilas dapat dikatakan bahwa kerjalah yang membentuk manusia itu sendiri."

Marx dan Engels sesungguhnya mengambil alih teori peran kerja dalam eksistensi manusia ini dari tulisan Hegel. Hegel inilah yang kali pertama mengatakan, "Mula-mula eksistensi manusia adalah kerjanya."

Dari uraian di atas jelaslah dua poin: pertama, dari sudut pandang Marxisme, eksistensi manusiawi manusia adalah sosial, bukan individualistis; kedua, eksistensi manusia sosial adalah kerja sosialnya, yaitu keterlibatan kerjanya, dan kerja individualnya seperti perasaan individual dan setiap karya sosial lainnya semisal filsafat, etika, seni, agama dan sebagainya hanyalah manifestasi dari eksistensinya, bukan eksistensinya itu sendiri.

Karena itu evolusi manusia adalah evolusi aksi sosialnya. Sejauh menyangkut evolusi intelektual, sentimental dan emosionalnya atau evolusi sistem sosial, itu merupakan manifestasi dari evolusi, bukan evolusi itu sendiri. Sesungguhnya evolusi material masyarakat merupakan kriteria evolusi imaterialnya, seperti kerja adalah kriteria pikiran. Betul atau tidak betulnya pikiran harus diukur dengan standar kerja, bukan dengan standar intelektual atau standar logika. Kriteria segala yang imaterial adalah evolusi segala yang material. Jika ditanyakan mazhab filosofis, moral religius atau artistik mana yang lebih progresif, maka standar intelektual atau standar logika tak dapat menjawab pertanyaan ini. Kriteria satu-satunya untuk menilai progresif tidaknya mazhab adalah mengetahui kondisi dan derajat kerja sosial, yaitu perkembangan alat produksi, yang melahirkan mazhab itu.

Cara berpikir seperti ini, menufut kami, tampak mengherankan, karena kami berpandangan bahwa eksistensi manusia adalah egonya, ego merupakan substansi imaterial, dan bahwa ego ini merupakan bagian dari gerakan hakiki alam, bukan produk masyarakat. Namun orang seperti Marx yang berpikir secara material saja, dan yang tidak mempercayai substansi imaterial, semestinya menafsirkan manusia dan realitasnya dari sudut pandang biologi dan semestinya mengatakan bahwa hakikat manusia tak lain adalah struktur fisisnya, seperti dikemukakan oleh kaum materialis abad ke-18. Namun Marx menolak pandangan ini. Marx menyatakan bahwa dalam masyarakatlah, bukan dalam alam, hakikat manusia menjadi kenyataan aktual. Yang menjadi kenyataan aktual dalam alam adalah manusia potensial, bukan manusia aktual. Selain itu, Marx semestinya menganggap pikiran sebagai hakikat manusia dan memandang aksi sebagai manifestasinya, atau memandang aksi sebagai hakikat manusia dan menganggap pikiran dan gagasan sebagai manifestasinya. Marx memilih altematif kedua, karena Marx berpikir secara material saja. Marx bukan saja mempercayai fundamentalitas materi dan menolak eksistensi substansi imaterial pada individu, namun mempercayai materialitas sejarah.

Sesungguhnya Marx begitu asyik dengan filsafat kerja. Pandangannya mengenai kerja sosial adalah sedemikian sehingga dapat dikatakan bahwa, menurut jalan pikirannya, manusia bukanlah manusia yang ada di jalanan, yang berpikir dan yang memilih, namun sesungguhnya manusia adalah alat dan mesin yang, misalnya, menjalankan pabrik. Manusia yang bicara, berjalan dan berpikir hanyalah imaji dari manusia yang sesungguhnya, bukan manusia itu sendiri. Menurut pandangan Marx tentang kerja sosial dan alat produksi, hal-hal ini dapat digambarkan sebagai makhluk hidup yang secara otomatis, membuta dan tak dipengaruhi oleh kehendak "imaji manusia" (bukan manusia itu sendiri), tumbuh, berkembang, dan mengendalikan "manusia pertunjukan'' sekalipun berkehendak dan berpikir.

Dengan mudah dapat dikatakan bahwa pernyataan Marx tentang supremasi dan dominasi kerja sosial atas kesadaran dan kehendak manusia adalah seperti pernyataan para filosof tentang aktivitas fisis tak sadar manusia, seperti aktivitas sistem pencemaan, jantung, hati dan sebagainya, yang dipengaruhi oleh kehendak gaib. Menurut para filosof ini, semua hasrat, kecenderungan dan semua fungsi sistem tubuh yang terlihat pada tataran pikiran sadar sesungguhnya merupakan sebuah jaringan kebutuhan alamiah. Semuanya diatur oleh sebuah kekuatan psikis gaib, dan pikiran sadar tak tahu di mana dan bagaimana kejadiannya. Kekuatan psikis ini terlihat sama dengan apa yang oleh Freud disebut pikiran tak sadar. Menurut Freud, pikiran tak sadar ini mendominasi pikiran sadar.

Namun sesungguhnya pernyataan Marx beda dengan pandangan Freud atau para filosof masa lalu. Apa yang mereka katakan berkaitan dengan bagian dari pikiran sadar dan dominasi pikiran gaib atas pikiran sadar. Selanjutnya, apa yang mereka bicarakan bukanlah sesuatu di luar eksistensi manusia, namun apa yang dibicarakan Marx merupakan sesuatu di luar eksistensi manusia. Kalau teori Marx dinilai dengan benar, ternyata dari sudut pandang filsafat, teori tersebut sangat mengherankan. Marx menyebut teorinya sebagai temuan, dan menyamakannya dengan teori biologis Darwin yang terkenal. Darwin membuktikan bahwa perkembangan yang terjadi di luar kehendak dan kesadaran binatang berangsur-angsur dan tanpa disengaja menimbulkan perubahan pada tubuh binatang. Marx juga mengklaim bahwa blind event (eksistensi sejati manusia itu sendiri adalah blind event) berangsur-angsur dan tanpa disengaja membawa perubahan pada struktur sosial manusia, yaitu pada semua yang oleh Marx disebut suprastruktur dan pada banyak di antara semua yang disebut Marx infrastruktur, yaitu hubungan sosio-ekonomi. Marx mengatakan:

"Darwin telah membuat ilmuwan memperhatikan sejarah seleksi alamiah, formasi organ tumbuhan dan binatang yang sesuai dengan sarana produksi yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Bukankah sejarah generasi dan formasi organ yang melahirkan manusia sosial, yaitu basis material bagi semua jenis organisasi sosial, layak diperlakukan seperti itu? Seleksi alamiah mengungkapkan cara manusia bertindak terhadap alam. Cara produksi mengungkapkan eksistensi material manusia dan, akibatnya, sumber hubungan sosial, pikiran, dan produk intelektual yang berasal dari eksistensi material manusia.''

Karena itu, dari apa yang diuraikan jelaslah bahwa teori materialisme sejarah didasarkan pada beberapa teori lain, sebagian teori psikologis, sebagain teori sosiologis, dan sebagian lagi teori filosofis dan antropologis.

Kesimpulan

Dari teori materialisme sejarah dapat ditarik sejumlah kesimpulan yang praktis mempengaruhi strategi dan bentuk tujuan sosial. Teori materialisme sejarah bukanlah teori hipotetis atau spekulatif yang tak ada pengaruhnya pada perilaku sosial. Berikut ini kesimpulannya:

1. Kesimpulan pertama berkaitan dengan pemastian identitas masyarakat dan sejarah. Berdasarkan materialitas sejarah, cara terbaik dan yang paling memuaskan untuk menganalisis dan memahami kejadian sejarah dan sosial adalah mengkaji basis ekonominya. Tanpa mengetahui basis ekonomi ini, maka mustahil memahami fenomena sejarah dengan benar, karena sudah ada anggapan bahwa tabiat semua perubahan sosial adalah ekonomi, sekalipun perubahan itu mungkin kelihatannya perubahan kultural religius atau moral. Dengan kata lain, semua perkembangan budaya, agama dan moral merupakan refleksi posisi ekonomi masyarakat dan terjadi karena posisi ini. Para filosof dahulu juga berpandangan bahwa cara terbaik dan paling sempurna untuk mengetahui identitas sesuatu adalah mengetahui sebab adanya sesuatu itu. Karena itu kalau struktur ekonomi masyarakat diakui sebagai sebab utama terjadinya semua perkembangan sosial, maka analisis sosio-ekonominya merupakan cara terbaik untuk memahami sejarah. Karena pada tahap kejadiannya sebab mendahului akibat, maka pada tahap mengetahui dan membuktikan, sebab juga mendahului akibat. Karena itu situasi ekonomi bukan saja penyebab perkembangan lain, namun mengetahui sebab dapat membantu memahami perkembangan lain tersebut dan membukti­kan eksistensinya.

Membahas poin ini, buku "Revisionism from Marx to Mao" mengatakan sebagai berikut:

"Untuk menganalisis revolusi sosial, tidak boleh menilai konflik sosial dari sudut pandang politis, legal atau ideologis. Sebaliknya harus ditafsirkan dari sudut pandang kontradiksi antara kekuatan produksi dan hubungan produksi. Marx memperingatkan bahwa penilaian seperti itu berbahaya. Pertama, penilaian seperti itu tidak realistis, karena menggantikan sebab, yang merupakan kontradiksi dan perubahan ekonomi, dengan akibat, yang merupakan bentuk politik, hukum dan ideologi. Kedua, penafsiran seperti itu dangkal. Tidak menelaah sebab sebenarnya. Yang dikaji hanya permukaan. Dan realitas yang terlihat dipandang cukup untuk dijelaskan. Ketiga, menyesatkan. Karena suprastruktur, yang umumnya bersifat ideologis, tak lain hanyalah gambaran yang tidak akurat mengenai realitas. Bersandar pada gambaran yang tidak akurat, bukannya bersandar pada analisis yang realistis mengenai problemnya, tak syak lagi membuat kita jadi kacau dan salah."

Buku yang sama mengutip dari buku lain yang berisi tulisan penting Marx dan Engels sebagai berikut, "Untuk individu, instropeksi diri saja tidak membantu kita membuat penilaian. Begitu pula, selama periode kekacauan, pikiran-pikiran pada periode itu tidak dapat dianggap bermanfaat untuk menilai karakternya."

Marx mencoba menafikan peran pengetahuan, pikiran dan kecenderungan inovasi yang lazimnya dianggap sebagai faktor dasar bagi perkembangan. Misal, Saint Simon—yang banyak pikirannya telah diadopsi oleh Marx—mengenai peran kecenderungan inovasi dalam perkembangan, mengatakan:

"Masyarakat diatur oleh dua kekuatan moral. Kedua kekuatan ini sama kuatnya, dan kerjanya secara bergiliran. Yang satu adalah kekuatan kebiasaan atau adat, dan yang satu lagi adalah ke­cenderungan berinovasi dan berkreativitas. Setelah beberapa lama adat jadi buruk. Pada masa seperti itu kebutuhan akan sesuatu yang baru mulai terasa. Kebutuhan inilah yang sesungguhnya membentuk situasi revolusioner."

Mengenai peran kepercayaan dan gagasan dalam perkembangan masyarakat, Proudhon, yang juga guru Marx, mengatakan:

"Bentuk politik suatu bangsa merupakan manifestasi kepercayaan bangsa itu. Gerakan bentuk itu, transformasi dan kehancuran bentuk itu merupakan ujian, dan dari ujian ini kelihatan nilai gagasan pokoknya, sehingga dengan demikian berangsur-angsur kita jadi tahu realitas yang absolut dan final. Namun kita tahu bahwa semua lembaga politik mau tak mau harus berupaya menyesuaikan diri dengan kondisi sosial yang ada kalau mau selamat dari kematian yang tak terelakkan."

Meskipun demikian, guru-guru Marx mengatakan bahwa Marx menegaskan bahwa setiap perubahan sosial pada pokoknya merupakan suatu prasyarat sosio-ekonomi yang terjadi akibat polarisasi natur dan bentuk masyarakat sipil, kekuatan produktif dan hubungan sosial. Marx ingin mengatakan bahwa naluri untuk berinovasi dan berkeyakinan belum cukup untuk mendorong terjadinya perubahan sosial. Justru prasyarat sosio-ekonomilah yang melahirkan kecenderungan untuk berinovasi atau kecenderungan untuk berkeyakinan.

Kalau berdasarkan pandangannya tentang materialitas sejarah kita menganalisis, misalnya, perang Iran-Yunani, Perang Salib, penaklukan oleh Islam, Renaisans Karat atau Revolusi konstitusional Iran, maka akan keliru kalau yang kita telaah hanya kulit luar dari peristiwa-peristiwa ini, yang mungkin bersifat politik, agama atau budaya, lalu kita menilai peristiwa-peristiwa ini berdasarkan kulit luar ini. Juga akan salah kalau menilai peristiwa-peristiwa ini dengan perasaan kaum revolusioner yang mungkin memandang gerakan mereka sebagai gerakan politis, keagamaan atau moral. Agar kesimpulannya benar, maka harus diperhatikan karakter sejati gerakan-gerakan ini yang sifatnya ekonomi dan material.

Bahkan dewasa ini kaum muda Marxis mencoba menafsirkan setiap gerakan sejarah dengan cuma beberapa kalimat tentang situasi ekonomi periode bersangkutan, kendatipun mereka tidak memiliki pengetahuan tentangnya.

Hukum yang mengatur sejarah tak dapat ditawar-tawar dan di luar kehendak manusia. Pada bab-bab terdahulu sudah dibahas apakah sejarah diatur oleh beberapa hukum kausatif yang menunjukkan keharusan kausatif. Di sana dijelaskan bahwa sebagian filosof yang berargumen kebetulan dan sebagian yang berargumen pilihan bebas manusia, menafikan supremasi hukum kausatif dan konsekuensinya eksistensi keharusan kausatif dan norma-norma masyarakat dan sejarah yang tak dapat ditawar-tawar. Namun kami membuktikan bahwa teori para filosof ini tak berdasar, dan bahwa hukum sebab-akibat dan keharusan kausatif mengatur masyarakat dan sejarah sebagaimana juga mengatur lainnya. Pada saat yang sama kami juga membuktikan bahwa sejarah, yang merupakan satu unit yang eksistensinya nyata dan memiliki karakter khusus, diatur oleh sejumlah hukum yang esensial dan universal. Kami menyebut esensialitas (tidak boleh tidak) seperti ini sebagai keharusan filosofis. Teori keharusan sejarah ini merupakan perpaduan dua teori yang berbeda. Yang pertama adalah teori keharusan filosofis.

Menurut teori ini, fenomena baru terjadi kalau fenomena tersebut tak boleh tidak harus terjadi, dan kalau sebab-sebabnya muncul maka setiap fenomena tak terelakkan harus terjadi. Sebaliknya, suatu fenomena mustahil terjadi kalau tak ada sebabnya. Yang kedua adalah teori basis material masyarakat mendahului semua faktor penentu lainnya. Teori ini sudah dijelaskan. Hasil penting dari teori-teori ini adalah teori keharusan material sejarah, yang artinya adalah bahwa suprastruktur masyarakat terikat untuk mengikuti fondasinya, kalau fondasinya mengalami perubahan maka suprastrukturnya mengalami perubahan juga, dan kalau fondasinya tak mengalami perubahan, maka mustahil suprastrukturnya berubah.

Kaum Marxis mengklaim bahwa prinsip inilah yang membuat ilmiah sosialisme Marxis dan membentuknya menjadi hukum alam, karena menurut prinsip ini alat produksi, yang merupakan bagian paling pokok dari struktur ekonomi masyarakat, masih terus berkembang sesuai hukum alam tertentu, seperti halnya beragam spesies tumbuhan dan hewan secara gradual selama jutaan tahun masih terus berkembang dan pada tahap atau momen tertentu mengalami transformasi menjadi spesies baru. Karena perkembangan dan evolusi tumbuhan dan hewan bukan hasil kehendak siapa pun, maka begitu pula dengan perkembangan dan evolusi alat produksi.

Dalam perkembangan gradualnya, alat produksi melewati beberapa tahap. Pada setiap tahap alat produksi membawa perubahan yang tak terelakkan pada semua urusan masyarakat. Tak mungkin suprastruktur sosial mengalami perubahan kalau alat produksi belum mencapai tahap tertentu perkembangannya. Upaya para sosialis dan penganjur tatanan adil itu, yang karena keinginan emosionalisme untuk mensosialiskan masyarakat dan menegakkan tatanan yang adil tanpa mempertimbangkan apakah perkembangan alat produksi menjamin perubahan semacam itu, hanyalah upaya yang sia-sia. Dalam pengantar "Capital", Karl Marx mengatakan:

"Negara yang lebih maju industrinya hanya memperlihatkan kepada negara yang kurang maju industrinya gambaran masa depannya sendiri. Sekalipun suatu masyarakat sudah berada di jalan yang benar untuk menemukan hukum alam gerakannya. Namun masyarakat tersebut, meski dengan langkah yang berani dan dengan pengundangan undang-undang, tidak dapat menyingkirkan rintangan yang diakibatkan oleh fase demi fase perkembangan normalnya. Namun masyarakat tersebut dapat mengurangi kesulitan-kesulitan pada permulaan sesuatu."

Pada bagian terakhir dari pernyataannya Marx menyebutkan satu poin. Poin ini tidak mendapat perhatian, atau kalau pun mendapat perhatian, sangat sedikit. Sesungguhnya Marx ingin menjawab masalah. Seseorang mungkin mengatakan:

"Perkembangan bertahap masyarakat, mengikuti perkembangan konstan dan bertahap alam, sifatnya tak terelakkan, itu kalau manusia belum mengetahui hukum alam. Kalau manusia sudah memahami hukum alam, maka alam dapat dikendalikannya, dan manusia pun dapat menguasai alam. Itulah sebabnya dikatakan bahwa kalau alam belum dipahami, maka alam menguasai manusia, namun kalau manusia sudah memahami alam, maka alam menjadi abdi manusia. Ambil contoh penyakit. Kalau belum diketahui penyebabnya dan cara membasminya, penyakit tersebut tak dapat dikendalikan. Namun begitu penyebab dan cara membasminya sudah diketahui seperti sekarang ini, maka penyakit tersebut dapat dikendalikan sehingga tidak lagi ada kasus-kasus yang fatal. Begitu pula dengan badai, banjir dan sebagainya."

Dalam pernyataannya Marx ingin mengemukakan bahwa gerakan konstan dan bertahap masyarakat bersifat dinamis. Dengan kata lain, gerakan tersebut sifatnya otomatis, dan dari dalam seperti gerakan konstan pertumbuhan tanaman dan hewan, bukan perubahan mekanis yang ditimbulkan oleh faktor-faktor dari luar, seperti perubahan teknis dan industrial. Pembasmian hama dengan menggunakan pestisida dan pembasmian kuman penyakit dengan menggunakan obat juga termasuk dalam kategori ini. Dalam semua kasus itu di mana mengetahui hukum alam membuat alam dapat dikendalikan oleh manusia, maka hubungan hukumnya bersifat mekanis. Namun dalam kasus perubahan dinamis dari dalam, peran pengetahuan manusia tak lebih daripada manusia membiasakan diri dengan hukum bersangkutan dan memanfaatkannya. Dengan diketahuinya hukum yang mengatur tumbuh dan berkembangnya tumbuhan dan hewan, termasuk pertumbuhan janin dalam rahim, manusia akhirnya mengetahui sejumlah hukum yang tak terelakkan, dan manusia tak bisa berbuat apa-apa selain tunduk kepada hukum ini.

Marx ingin mengatakan bahwa perkembangan sosial manusia, menyusul perkembangan dan evolusi alat produksi, sifatnya dinamis dan otomatis. Pengetahuan dan kesadaran tak mungkin mengubahnya, juga tak mungkin membentuknya sekehendaknya. Manusia mau tak mau hams menerima arah perkembangan sosial dan harus melalui tahapan-tahapannya, seperti halnya manusia mau tak mau harus menerima arah perkembangan janin. Manusia tidak boleh berangan-angan mau mengubah arah perkembangan itu. Masyarakat tak mungkin sampai pada tahap final perkembangannya, kecuali setelah melewati tahap-tahap pertengahannya. Masyarakat juga tak mungkin sampai pada tahap finalnya, kecuali melalui jalannya.

Pandangan kaum Marxis bahwa gerakan perkembangan sosial bersifat otomatis, alamiah dan tak terelakkan, menyerupai pandangan Socrates tentang benak manusia dan kemampuan kreatif alamiahnya. Dalam ajarannya Socrates menggunakan metode pertanyaan objektif. Dia percaya jika secara bertahap pertanyaan diajukan secara konstan dan disertai pengetahuan yang benar tentang kerja benak manusia, maka benak manusia secara otomatis akan menjawab pertanyaan itu. Benak manusia tidak membutuhkan instruksi dari luar. Ibu Socrates adalah seorang bidan. Socrates suka berkata bahwa apa yang dilakukannya dengan pikiran adalah persis apa yang dilakukan ibunya dengan wanita yang sedang dalam proses melahirkan. Bukan bidan yang me-nyebabkan kelahiran bayi, namun kelahiran terjadi karena natur ibu pada momen yang tepat. Namun demikian, jasa bidan tetap dibutuhkan agar tak terjadi hal yang abnormal, agar ibu dan bayi tidak mendapat bahaya.

Meskipun dari sudut pandang Marxisme, pengetahuan tentang hukum sosiologi dan sejarah filsafat tidak bisa mengubah masyarakat, namun kedua ilmu pengetahuan ini harus dipandang penting. Sosialisme ilmiah tak lain adalah pengetahuan tentang hukum sosiologi dan sejarah filsafat. Setidak-tidaknya keduanya membantu menghapus sosialisme yang aneh dan angan-angan untuk menegakkan tatanan yang adil. Sekalipun hukum dinamis tak dapat mengubah apa-apa, namun ada satu poin yang baik tentang hukum tersebut, yaitu pengaruh hukum tersebut dapat diperkirakan. Dengan sosiologi ilmiah dan sosialisme ilmiah tahap perkembangan masyarakat dapat dikaji, dan masa depannya dapat diramalkan. Dapat dipastikan pada tahap apa bayi sosialisme ada dalam rahim masyarakat dan apa persisnya yang dapat diharapkan dari bayi itu pada dap tahap selanjutnya. Dengan demikian dapat dihindarkan harapan yang tidak pada tempatnya. Karena tidak mungkin berharap lahir bayi, padahal janin baru berusia empat bulan, maka begitu pula mustahil kalau masyarakat yang masih berada pada tahap feodal tiba-tiba beralih ke sosialisme.

Marxisme mencoba menemukan dan menguraikan tahap-tahap natural dan dinamis masyarakat dan hukum-hukum yang tak terelakkan yang mengatur perkembangannya dari satu periode ke periode lainnya. Dari sudut pandang Marxisme, pada umumnya untuk ke sosialisme masyarakat harus melewati empat tahap. Keempat tahap ini adalah periode sosialisme primitif, periode perbudakan, periode kapitalisme dan periode sosialisme ilmiah. Terkadang bukan empat periode saja yang disebutkan, malah lima, enam atau tujuh periode, karena periode perbudakan, periode kapitalisme dan periode sosialisme masing-masing dapat dibagi menjadi dua periode.

2. Tiap-tiap periode historis memiliki ciri khasnya sendiri, dan beda karakternya dengan periode lain. Dari sudut pandang biologi, bila binatang mengalami transformasi dari satu spesies ke spesies lain, maka karakternya pun berubah. Begitu pula dengan periode historis. Setiap zaman memiliki hukum khasnya sendiri Hukum zaman yang satu tidak dapat diterapkan pada zaman yang lain.

Ambil contoh air. Sepanjang masih air, hukum yang berlaku untuk zat cair berlaku untuk air. Namun begitu air berubah menjadi uap, maka tak lagi tunduk kepada hukum itu. Lantas tunduknya kepada hukum gas. Begitu pula, selama masyarakat berada pada tahap feodalisme, maka yang mengaturnya adalah seperangkat hukum. Namun begitu tahap itu dilaluinya dan sampai pada tahap kapitalisme, maka mustahil mencoba mempertahankan hukum periode feodalisme. Karena itu masyarakat tak mungkin abadi hukumnya. Menurut materialisme sejarah, yang percaya bahwa ekonomi adalah infrastruktur masyarakat, klaim bahwa hukum itu abadi sama sekali tidak dapat diterima. Inilah salah satu poin materialisme sejarah yang bertentangan dengan agama, khususnya Islam, karena Islam mempercayai keabadian hukum.

Dalam buku "Revisionism from Marx to Mao", mengutip dari lampiran untuk edisi kedua "Capital", penulis mengatakan:

"Setiap periode sejarah ada hukumnya sendiri, karena itu ketika kehidupan berjalan dari satu tahap ke tahap lain, kehidupan tersebut berkembang dan diatur oleh seperangkat hukum baru. Kehidupan ekonomi, dalam perkembangan sejarahnya, memunculkan fenomena yang kita jumpai dalam berbagai cabang biologi... organisme sosial berbeda antara yang satu dan yang lainnya, seperti berbedanya organisme hewan dan tumbuhan."

3. Akibat perkembangan alat produksi, maka lahir hak pribadi, dan masyarakat pun terbagi ke dalam kelas-kelas: pengeksploitasi dan tereksploitasi. Sejak fajar sejarah hingga kini, dua kelas ini selalu menjadi kelas utama dalam masyarakat. Selalu saja terjadi konflik antarkelas itu. Namun adanya kelas ini tidak berarti bahwa semua kelompok dalam masyarakat kalau tidak pengeksploitasi, tentu tereksploitasi. Ada juga kelompok yang tidak termasuk dalam kelas-kelas ini. Maksud kami adalah bahwa dua kelas ini merupakan kategori yang efektif pada nasib masyarakat dan membentuk kelas-kelas utamanya. Semua kelompok lain dalam masyarakat mengikuti satu di antara dua kelompok utama ini.


18
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

sambungan Bab 26...
Penulis "Revisionism from Marx to Mao"menulis:

"Berdasarkan kelas dan konfliknya, dalam masyarakat terdapat dua pola kelas yang berbeda. Menurut Marx dan Engels, yang satu dua kutub, dan yang satunya lagi banyak kutub. Dalam dua pola itu, definisi kelas juga berbeda. Pada pola pertama, itu adalah kelas imajiner, sementara pada pola lain, itu adalah kelas yang nyata. Aturan untuk kelas-kelas juga berbeda. Engels, dalam pengantarnya untuk "The Peasant's War in Germany", berupaya merujukkan dua pola ini dengan merumuskan standar yang sama untuk kelas-kelas. Dia membedakan berbagai kelas dalam masyarakat. Dan di dalam setiap kelas, dia membedakan berbagai sub-kelompok. Namun menurut kepercayaannya, hanya ada dua kelas yang misi historisnya jelas: kelas borjuis dan kelas proletar. Keduanya ini merupakan dua kutub masyarakat, dan dua kutub ini saling bertentangan."

Menurut filsafat Mantis, karena mustahil suprastruktur masyarakat mendahului infrastrukturnya, maka mustahil pula suprastruktur masyarakat tetap utuh kalau masyarakat, dari sudut pandang infrastrukturnya, yaitu hubungan sosial dan ekonominya, terbagi menjadi dua kelas yang saling bertentangan: pengeksploitasi dan tereksploitasi. Dalam keadaan seperti ini had nurani sosial juga terbagi menjadi had nurani si tereksploitasi dan hati nurani si pengeksploitasi, dan konsekuensinya ada dua konsepsi dunia, dua ideologi, dua sistem moral dan dua macam filsafat. Posisi sosial dan ekonomi masing-masing kelas melahirkan cara berpikir yang berlainan, cita rasa berlainan dan masing-masing kelas mengikuti gagasan berlainan. Dua kelas ini tak mungkin hati nuraninya, cita rasanya atau cara berpikirnya bertentangan dengan posisi ekonomi­nya. Agama dan pemerintah dikendalikan oleh kelas pengeksploitasi saja. Agama dan pemerintah merupakan dua institusi yang diciptakan oleh kelas pengeksploitasi dengan tujuan untuk melanggengkan kontrolnya atas kelas tereksploitasi. Karena kelas pengeksploitasi menguasai semua sumber daya material masyarakat, maka budaya kelas ini, termasuk agamanya, berpengaruh pada kelas tereksploitasi. Dengan demikian budaya penguasa, termasuk konsepsi dunianya, ideologinya, moralitasnya, cita rasanya dan perasaannya, dan terutama agamanya, merupakan budaya kelas pengeksploitasi. Adapun budaya kelas terskploitasi, selalu tidak dibiarkan tumbuh berkembang dan maju.

Dalam "German Ideology", Marx mengatakan:

"Pada setiap masa pandangan yang berkuasa adalah pandangan kelas penguasa. Kelas penguasa merupakan kekuatan material yang berkuasa dalam masyarakat dan sekaligus merupakan kekuatan intelektual yang berkuasa dalam masyarakat. Kelas yang menguasai sarana produksi material. Pikiran yang berkuasa tak lebih daripada ekspresi ideal hubungan material yang dominan, hubungan material yang dominan yang dipahami sebagai gagasan, karena itu ungkapan ideal hubungan yang membuat satu kelas menjadi kelas penguasa, karena itu pikiran dominasinya. Individu-individu yang membentuk kelas penguasa di antaranya memiliki kesadaran, dan karena itu mereka berpikir. Karena mereka berkuasa sebagai sebuah kelas dan menentukan ruang lingkup sebuah masa historis, maka jelas mereka melakukan ini dalam seluruh bidangnya. Karena itu di antaranya mereka juga berkuasa sebagai pemikir, sebagai produsen gagasan, dan mengatur produksi serta distribusi gagasan dan pikiran pada masa mereka. Dengan demikian gagasan dan pikiran mereka selalu menentukan."

Karena itu kelas berkuasa dan pengeksploitasi bersifat reaksioner, konservatif dan konvensional. Selalu memandang ke masa lalu. Budayanya, budaya yang berkuasa dan berpengaruh pada rakyat, juga reaksioner, konvensional dan memandang ke masa lalu. Adapun kelas tereksploitasi, sifatnya revolusioner, menentang kepercayaan dan lembaga yang ada, berpandangan ke depan dan progresif. Budaya kelas ini juga revolusioner dan nonkonvensional. Prasyarat untuk revolusioner adalah dieksploitasi. Dengan kata lain, hanya kelas tereksploitasi sajalah yang mampu mewujudkan revolusi.

Setelah mengutip kalimat di atas dari pengantar "The War of German Peasants", penulis "Revisionism from Marx to Moo"mengatakan:

"Setahun setelah terbitnya pengantar ini (pengantar The Peasants' War in Germany) Kongres Sosialis Jerman menulis dalam Program Gothanya bahwa semua kelas membentuk fron reaksioner menentang kelas pekerja. Marx mengkritik keras pernyataan ini. Namun kalau mau logis, semestinya mengakui fakta bahwa para sosialis yang menyedihkan ini tak mungkin dapat menemukan perbedaan antara pola dua kutub dan pola banyak kutub Marx setelah apa yang ditulis Marx dalam "Manifesto". Dalam "Manifesto of the Communist Parly", Marx mengemukakan konflik kelas pada masa-masa itu sebagai perang antara kaum proletar dan kaum borjuis. Marx menulis, 'Di antara semua kelas yang berhadap-hadapan dengan kaum borjuis dewasa ini, hanya kaum proletar sajalah kelas yang revolusioner.'"

Marx mengatakan bahwa hanya kelas proletar sajalah yang memenuhi semua syarat dan memiliki karakteristik yang diperlukan untuk revolusioner. Syarat-syarat ini adalah: Pertama, dieksploitasi oleh kaum produsen; kedua, tidak memiliki kekayaan (kaum petani juga memiliki dua karakteristik ini); ketiga, terorganisasi, karenanya diperlukan konsentrasi di satu tempat. (Karakteristik ini berlaku untuk kaum pekerja industri saja yang bekerja di satu pabrik dan sebagainya. Karakteristik ini tak ada pada kaum petani yang selalu terserak di berbagai sektor tanah).

Mengenai karakteristik kedua, Marx mengatakan, "Pekerja leluasa, dalam dua pengertian. Dia leluasa menjual tenaganya dan dia tidak terikat pada kekayaan." Mengenai karakteristik kedua Marx mengatakan dalam "Manifesto'-nya: "Tumbuhnya industri bukan saja meningkatkan jumlah kaum proletar, namun juga mengkonsentrasikan mereka dalam massa yang sangat besar. Kekuatan kaum proletar bertambah, dan mereka pun jadi sadar akan kekuatan mereka."

Prinsip tersebut di atas dapat disebut prinsip kesesuaian basis ideologis dengan basis sosial. Menurut prinsip ini, setiap kelas hanya melahirkan pikiran, prinsip moral, filsafat, seni, puisi dan sastra yang sesuai dengan cara hidupnya, cara mencari nafkahnya dan kepentingannya. Prinsip ini juga dapat disebut prinsip kesesuaian dorongan untuk berpikir dengan arah pikiran. Setiap pikiran dan doktrin dan setiap sistem moral atau religius yang ada dalam sebuah kelas, selalu diarahkan untuk keuntungan kelas itu. Sistem intelektual kelas tertentu tidak untuk kepentingan kelas lain atau tidak untuk kemanfaatan umat manusia pada umumnya. Mustahil kalau ada gagasan atau sistem yang bebas kecenderungan atau favoritisme kelas. Pikiran atau gagasan baru bisa manusiawi dan tak berwarna kelas kalau sudah tak ada kelas lagi berkat perkembangan alat produksi. Hanya peniadaan kontradiksi basis kelas sajalah yang dapat berakibat peniadaan kontradiksi basis ideologis, dan hanya peniadaan kontradiksi kampanye atau dorongan intelektual sajalah yang dapat meniadakan kontradiksi orientasi intelektual.

Dalam beberapa karya sebelumnya yang ditulis ketika muda (Contribution to the Critique of Hegel's Philosophy of Right) Marx menunjukkan lebih pentingnya aspek politis kelas (penguasa dan rakyat) ketimbang aspek ekonomi kelas (pengeksploitasi dan tereksploitasi). Dia mengatakan bahwa tujuan perjuangan kelas adalah untuk tidak lagi diperbudak. Dia berpendapat bahwa dalam perjuangan ini ada dua tahap. Tahap pertama bersifat parsial dan politis, sedangkan tahap kedua bersifat universal dan manusiawi. Marx mengatakan bahwa revolusi proletar, yang merupakan tahap terakhir revolusi perbudakan sejarah, merupakan revolusi yang fundamental, dalam pengertian bahwa revolusi tersebut untuk emansipasi total manusia dan untuk penghapusan total sistem penguasa-rakyat dalam segala bentuknya. Menjelaskan mana mungkin sebuah kelas dalam orientasi sosialnya berpikir tentang sesuatu yang jauh di luar posisi kelasnya dan mana mungkin tujuan kelas tersebut universal dan liberal dan juga sesuai dengan prinsip materialisme sejarah, Marx mengatakan, "Karena perbudakan kelas ini fundamental, maka revolusi juga fundamental. Adalah ketidak-adilan itu sendiri yang diterima oleh kelas ini. Itulah sebabnya kelas ini mengupayakan keadilan itu sendiri dan berupaya keras memerdekakan umat manusia."

Ini merupakan pemyataan puitis, bukan pernyataan ilmiah. Apa maksud perkataan "ketidakadilan itu sendiri yang diterima"? Apakah kelas pengeksploitasi berbuat tidak adil demi ketidakadilan dan bukan demi mengeksploitasi dan memperoleh keuntungan, sehingga kelas proletar mengupayakan keadilan itu sendiri? Selanjutnya, bertentangan dengan konsepsi materialisme sejarah dan cukup idealistis kalau beranggapan bahwa sikap kelas peng­eksploitasi ini hanya terjadi di masa kapitalistis saja.

Karena prinsip kesesuaian basis ideologis dengan basis kelas mengharuskan adanya kesesuaian antara ideologi dan orientasinya, maka harus ada kesesuaian antara kecenderungan individu dan filosofi kelasnya. Dengan kata lain, setiap individu tentu cenderung kepada filosofi kelasnya sendiri, filosofi yang orientasinya adalah untuk keuntungan kelasnya. Namun, menurut logika Mantis, prinsip ini sangat bermanfaat untuk memahami karakter ideologi dan kecenderungan kelas sosial.

4. Kesimpulan kelima adalah bahwa masalah suprastruktur seperti ideologi, petunjuk, nasihat, peringatan dan sebagainya, terbatas perannya dalam mengarahkan masyarakat atau kelas sosial. Yang biasa dipahami adalah bahwa ideologi, khutbah, argumen, ajaran, pendidikan, dakwah dan nasihat dapat mengubah had nurani manusia dan membentuknya. Kalau had nurani merupakan cermin spontan dari posisi kelas, maka had nurani setiap individu, setiap kelompok dan setiap kelas selalu cuma dibentuk oleh posisi sosial dan kelas individu itu, kelompok itu dan kelas itu, dan cuma suatu konsepsi idealistis tentang masyarakat kalau berpikiran bahwa masalah suprastruktur seperti tersebut di atas bisa menjadi sumber perubahan sosial. Itulah sebabnya dikatakan bahwa intelektualitas, reformasi dan revolusi ada aspek otosugestinya. Perasaan akan penderitaan kelas, bukan faktor eksternal seperti ajaran dan pendidikan, inilah yang menyemangati orang untuk melakukan reformasi dan menjadi revolusioner. Setidak-tidaknya dasar untuk melakukan reformasi dan menjadi revolusioner dipersiapkan oleh posisi kelas, dan peran ideologi, petunjuk dan sebagainya paling banter hanyalah menyadarkan kelas yang menderita akan kontradiksi kelas dan posisinya sendiri, atau mengubah kelas tertentu menjadi kelas yang memiliki kesadaran kelas. Dengan demikian, dalam suatu masyarakat yang didominasi kelas, basis intelektual satu-satunya yang mendorong kelas untuk beraksi adalah kesadarannya akan posisinya dan kesadarannya bahwa dirinya tereksploitasi. Dalam masyarakat yang didominasi kelas—dalam masyarakat seperti ini manusia terbagi menjadi dua golongan, yaitu pengeksploitasi dan tereksploitasi, dan hati nurani sosial terbagi menjadi dua macam—nilai-nilai manusiawi yang asasiah seperti keadilan dan kasih sayang kepada sesama manusia tak mungkin ada perannya. Tentu saja bila, akibat perkembangan alat produksi, lalu berdiri pemerintah proletar, maka kelas pun akan terhapus dan manusia pun akan kembali ke altruisme sejatinya yang tak ada batasan atau rintangan kelasnya. Kemudian had nuraninya tak akan tercabik-cabik oleh sistem milik pribadi, sehingga hadi jelas peran nilai-nilai intelektual dan manusiawi yang mencerminkan posisi perkembangan alat produksi. Dari sudut pandang periode sejarah, sosialisme merupakan suprastruktur zaman tertentu. Tidak mungkin menempatkannya pada zaman sebelumnya. (Seperti yang ingin dilakukan kaurn sosialis yang tak keruan.) Begitu pula, dalam suatu zaman ketika masyarakat terbagi menjadi dua kelas, mustahil mendiktekan kesadaran khusus satu kelas pada kelas lain. Pada waktu ini tak ada kesadaran umum manusia.

Karena itu dalam masyarakat yang didominasi kelas, tak mungkin ada ideologi umum dan universal yang tak berorientasi kelas. Setiap ideologi dari masyarakat yang didominasi kelas selalu saja ada sedikit warna kelas tertentunya. Sekalipun misalkan saja ideologi umum yang tak ada karakteristik kelasnya mungkin adanya, namun yang pasti ideologi seperti itu praktis tak akan ada perannya. Karena itu misi agama dan setidak-tidaknya misi petunjuk, nasihat dan dakwah tentang persamaan hak dan keadilan kepada umat manusia itu sendiri setidak-tidaknya aneh, jika bukan palsu.

5. Kesimpulan lainnya adalah bahwa pemimpin revolusioner selalu berasal dari kelas tereksploitasi. Sudah dibuktikan bahwa hanya kelas ini yang siap mental untuk reformasi dan revolusi. Faktor-faktor yang menyebabkan kesiapan ini adalah tereksploitasi dan penderitaan. Paling banter mungkin dibutuhkan beberapa faktor suprastruktural untuk menciptakan kesadaran akan kontradiksi kelas. Jelaslah tokoh-tokoh terkemuka yang menciptakan kesadaran ini di kalangan kelas tereksploitasi tentu saja berasal dari kelas ini juga, dan sama pandangan serta keinginannya dengan motif kelas ini. Tokoh-tokoh ini tentunya adalah dari kelas ini yang sudah sadar diri. Karena mustahil posisi suprastruktural masyarakat mendahului posisi infrastrukturalnya, dan mustahil tingkat pemikiran sosial suatu kelas lebih tinggi daripada posisi sosialnya. Juga mustahil kalau tuntutan pemimpin mencerminkan sesuatu yang melebihi aspirasi aktual kelasnya. Karena itu mustahil kalau anggota kelas pengeksploitasi bangkit menentang kelasnya sendiri untuk kepentingan kelas tereksploitasi.

Penulis "Revisionism from Marx to Mao" mengatakan:

"Kontribusi lain The German Ideology adalah analisis tentang kesadaran kelas. Di sini Marx, bertentangan dengan karya-karya terdahulunya, memandang kesadaran kelas sebagai produk dari kelas itu sendiri. Kesadaran kelas datangnya bukan dari luar. Kesadaran aktual tak lain hanyalah ideologi, karena kesadaran ini merumuskan secara umum kepentingan kelas tertentu. Kesadaran ini, yang dasarnya adalah kesadaran akan kondisinya sendiri, memperkuat kepentingan kelas. Namun kelas tak mungkin dewasa kalau kelas tersebut tidak melahirkan kesadaran kelasnya yang khas. Pandangan Marx menguatkan pembagian kerja di dalam kelas pekerja itu sendiri, yaitu kerja intelektual (kerja ideologis, kepemimpinan) dan kerja kasar. Sebagian orang menjadi pemikir atau ideolog kelas, sebagian lagi cuma tinggal menerima dan mengerjakan gagasan dan konsep yang disodorkan."

Buku ini juga, yang menganalisis pandangan Marx dalam "Manifesto"'-nya dan dalam "Poverty of Philosophy "-nya, mengatakan:

"Dengan demikian membangkitkan kesadaran kelas dan mengorganisasikannya dalam bentuk 'kelas untuk kelas itu sendiri' merupakan tugas kaum proletar dan juga hasil dari kompetisi ekonominya, kompetisi ekonomi yang dilakukan atas dorongan sendiri. Revolusi ini terjadi bukan karena teori intelektual yang tidak dikenal oleh gerakan kaum pekerja, juga bukan karena partai politik. Marx mengecam kaum sosialis Utopian yang, sekalipun berkecenderungan proletar, tidak melihat historisitas dorongan sendiri kaum proletar dan gerakan politik khasnya dan mencoba menggantikan dengan angan-angan mereka sendiri pembentukan gradual—pembentukan yang dilakukan atas inisiatif sendiri—kaum proletar menjadi sebuah kelas."

Prinsip berkembang sendiri ini sangat penting dalam logika Marxis, dan dapat dipandang sebagai pedoman untuk mengetahui masyarakat, kecenderungan sosialnya dan kecenderungan individu-individunya, khususnya kecenderungan individu-individu yang mengklaim sebagai pemimpin dan pembaru masyarakat.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa Marx dan Engels tidak dan tak mungkin mempercayai kemandirian super-kelas intelektual. Prinsip-prinsip Marxisme tidak memungkinkan mempercayai itu. Kalau dalam beberapa karyanya Marx mengemukakan pandangan sebaliknya, itu mungkin saat dia tak mau jadi Marxis. Nanti akan ditunjukkan bahwa saat seperti itu tidak jarang. Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana Marx dan Engels menerangkan sikap mereka sebagai intelektual dengan memperhatikan prinsip-prinsip Marxis. Keduanya bukan dari kelas proletar. Keduanya adalah filosof, bukan pekerja. Namun teori pekerja yang hebat berasal dari keduanya.

Jawaban Marx untuk pertanyaan ini patut diperhatikan. Penulis "Revisionism from Marx to Mao" mengatakan:

"Marx tak banyak bicara soal kaum intelektual. Kelihatannya Marx memandang kaum intelektual bukan sebagai lapisan khusus masyarakat, namun sebagai bagian dari kelas-kelas lain tertentu, khususnya kelas borjuis. Dalam "The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte", Marx melihat akademisi, jumalis, dosen dan pengacara sebagai bagian dari kelas borjuis, seperti pendeta dan tentara. Dalam "Manifesto", ketika mau menyebutkan nama-nama teoretisi kelas pekerja yang bukan berasal dari kelas pekerja, seperti Engels dan dirinya sendiri, Marx tidak menyebut mereka intelektual, namun memandang mereka sebagai 'kelompok orang dari kelas berkuasa yang sudah kuat akarnya dalam kelas proletar,' dan 'telah menawarkan banyak hal untuk pendidikan dan pelatihan kelas itu.'"

Marx tidak menjelaskan bagaimana dirinya dan Engels turun dari kelas penguasa ke kelas rakyat, dengan membawa hal-hal berharga untuk pendidikan dan pelatihan kelas yang bersahaja ini yang digambarkan Al-Qur'an sebagai "kaum tertindas dan papa". Nasib baik yang diterima Marx dan Engels, dan melalui kedua orang ini kelas tertindas kaum prole tar juga menerima nasib baik tersebut, tidak pernah diterima Adam, bapak ras manusia, yang menurut tradisi keagamaan Adam turun dan langit ke bumi. Adam tidak membawa hal-hal berharga seperti itu.

Marx tidak menjelaskan bagaimana sebuah teori pembebasan kaum proletar dapat berkembang di bagian terpenting dari kelas berkuasa. Marx juga tidak menyebutkan apakah "turun" ini khusus terjadi pada dua orang ini saja atau bisa juga terjadi pada orang lain. Kalau memang pintu langit dan bumi bisa terbuka untuk satu sama lain, sekalipun untuk kasus yang sangat khusus, namun tidak jelas apakah yang mungkin hanya turun saja, atau anggota kelas bawah bisa naik ke posisi langit. Namun kalau memang bisa naik, anggota kelas bawah itu tidak membawa hal-hal berharga yang sesuai.

Pada dasarnya mustahil membawa hal-hal berharga dari bumi ke langit. Kalau dapat naik ke langit namun tidak betah di langit, maka ketika turun ke bumi bisa saja membawa hal-hal berharga, seperti yang dilakukan Marx dan Engels.

Kritik dan Ulasan tentang Materialisme Sejarah

Setelah menjelaskan basis teori materialisme sejarah dan mengemukakan kesimpulannya, sekarang tiba saatnya untuk mengulasnya. Terlebih dahulu perlu diketahui bahwa kami tak bermaksud melakukan pembahasan serius mengenai pandangan-pandangan Marx yang diungkapkan Marx dalam semua karyanya. Juga kami tidak bermaksud mengkritisi Marx, Marx sebagai suatu keseluruhan.

Di sini kami hanya bermaksud membuat analisis yang tidak mendalam mengenai materialisme sejarah. Materialisme sejarah merupakan salah satu prinsip pokok Marxisme. Pada dasarnya mengkritisi pandangan-pandangan Marx atau mengkritisi Marxisme sebagai suatu keseluruhan adalah satu hal, sedangkan mengkritisi prinsip tertentu Marxisme seperti materialisme sejarah adalah hal lain. Studi mendalam atau kritis atas semua pandangan Marx yang terserak di banyak karya Marx di berbagai periode hayatnya, memperlihatkan banyak kontradiksi. Studi seperti itu sudah di­lakukan di Barat oleh beberapa orang. Di Iran, sejauh pengetahuan kami, buku terbaik tentang subjek ini adalah "Revision of Views from Marx to Mao".[1] Buku ini banyak kami kutip di bab ini.

Kritik atas Marxisme sebagai suatu keseluruhan, atau kritik atas prinsip pokoknya, sungguh memuaskan, bahkan dari sudut pandang personalitas Marx. Kritik atas prinsip-prinsip itu, yang tidak dianggap final oleh Marx sendiri, dan tentang prinsip-prinsip itu Marx mengungkapkan pandangan-pandangan yang bertentangan, juga terjelaskan dalam kasus-kasus yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Marxisme, dan pandangan-pandangan kontradiktif yang dikemukakan Marx sendiri dapat dipandang sebagai penyimpangan Marx dari Marxisme. Dalam membahas materialisme sejarah di buku ini, prinsip ini tidak kami lupakan.

Di sini kritik kami didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yang dikemukakan Marx, terlepas dari fakta apakah dalam karya-karya dan tulisan-tulisannya yang kontradiktif Marx mengemukakan atau tidak mengemukakan pandangan sebaliknya, karena tujuan kami adalah mengulas materialisme sejarah, bukan mengulas pandangan-pandangan Marx. Sungguh ironi sejarah bila dalam buku-buku filosofis, sosial dan ekonominya Marx lebih kurang mendukung teori materialisme sejarah. Namun ketika menganalisis dan menafsirkan berbagai peristiwa kontemporer, Marx tidak banyak memperhatikan prinsip-prinsip teori ini. Kenapa demikian? Jawabannya beragam, dan itu bukan khas problem ini saja. Dalam banyak kasus Marx bersikap kontradiktif, dan secara teoretis atau praktis Marx menyimpang dari Marxisme. Karena itu yang dibutuhkan adalah jawaban yang umum sifatnya.

Ada yang menganggap kelemahan ini terjadi akibat Marx belum matang pada masa mudanya. Namun penjelasan ini tidak kuat, setidak-tidaknya dari sudut pandang Marxisme, karena banyak teori Marx yang dewasa ini dipandang sebagai prinsip-prinsip baku Marxisme ternyata berkaitan dengan masa muda atau setengah bayanya, dan banyak penyimpangan Marx, termasuk sebagian interpretasinya mengenai berbagai peristiwa kontemporer, ber­kaitan dengan masa tuanya.

Ada juga yang menganggap kontradiksi ini terjadi karena kepribadian ganda Marx. Yang menganggap seperti ini berpendapat bahwa di satu pihak Marx adalah Filosof, ideolog dan pendiri mazhab. Karena itu wajar saja kalau Marx memandang prinsip-prinsip yang dikemukakannya sebagai prinsip yang final, dan wajar pula kalau Marx menggunakan semua daya yang ada untuk merujukkan antara aktualitas dan estimasinya. Di pihak lain Marx juga berkepribadian dan berjiwa intelektual. Jiwa ini memaksa Marx untuk selalu menerima aktualitas dan untuk tidak menganut prinsip tertentu.

Ada lagi yang membedakan antara Marx dan Marxisme. Mereka ini mengklaim bahwa Marx beserta gagasan-gagasannya hanyalah satu tahap dari Marxisme. Pada hakikatnya Marxisme merupakan mazhab evolusioner, maka dari itu tak ada yang tidak beres kalau Marxisme mendahului Marx sendiri.

Dengan kata lain, kalau Marxismenya Marx yang hanya merupa­kan tahap awal dari Marxisme ternyata cacat, maka tidak betul kalau berkesimpulan bahwa Marxisme itu sendiri cacat. Namun orang-orang ini tidak menjelaskan apa yang membentuk hakikat utama komunisme. Suatu mazhab bisa disebut evolusioner kalau semua prinsip pendahuluannya jelas dan kuat. Hanya masalah-masalah sekunder sajalah yang dapat diperselisihkan. Kalau tidak, maka tak ada bedanya antara pencabutan sebuah teori dan evolusinya. Jika prinsip-prinsip yang kuat tidak diterima sebagai kondisi penting evolusi, maka tak ada alasan kenapa tidak memulai dengan teoretisi-teoretisi dan pemikir-pemikir pra-Marx seperti Hegel, Saint Simon, Proudhon atau beberapa tokoh lainnya, dan kenapa tidak menyebut Hegelisme atau Proudhonisme sebagai mazhab yang berkembang, dan memandang Marxisme sebagai satu tahap dari mazhab itu.

Menurut kami, kontradiksi Marx terjadi karena fakta bahwa Marx sendiri kurang Marxis dibanding kebanyakan kaum Marxis. Pernah dalam suatu pertemuan kaum Marxis, Marx membela pandangan yang bertentangan dengan teori terdahulunya sendiri. Audiensnya sangat kaget. Kata Marx, "Saya tidak se-Marxis Anda." Konon di masa tuanya Marx menyatakan bahwa dirinya sama sekali bukan Marxis.

Marx tidak sependapat dengan pandangan-pandangan tertentu Marxisme, karena Marx terlalu pandai untuk jadi Marxis seratus persen. Kalau mau jadi Marxis baku, maka harus lebih daripada sedikit mudah tertipu. Materialisme sejarah, yang sekarang tengah dibahas, merupakan bagian dari Marxisme. Prinsip-prinsip tertentunya membawa hasil-hasil tertentu. Baik Marx sang sarjana maupun Marx sang Filosof dan pemikir tidak bisa sependapat, menganut dan menerima prinsip-prinsip dan hasil-hasil ini. Berikut ini adalah ulasan kami mengenai materialisme sejarah.

Tidak Berdasar

Keberatan pertama adalah pandangan ini tak lebih daripada 'teori' belaka yang tak ada buktinya. Sebuah teori historio-filosofis haruslah didasarkan pada bukti historis kontemporer dan kemudian sampai ke periode lain, atau didasarkan pada bukti historis peristiwa masa lalu dan sampai ke peristiwa sekarang dan mendatang; atau harus ada argumen ilmiah, logis atau filosofisnya yang kuat untuk membuktikannya.

Teori materialisme sejarah tidak mengikuti metode di atas. Berbagai peristiwa di zaman Marx dan Engels tak dapat dijelaskan dengan teori materialisme sejarah. Engels sendiri mengakui bahwa dirinya dan Marx telah melakukan kesalahan-kesalahan tertentu ketika membahas pentingnya ekonomi dalam beberapa buku mereka. Namun mereka tak melakukan kesalahan-kesalahan seperti itu ketika menganalisis berbagai peristiwa kontemporer karena pada saat itu mereka memang berhadapan dengan realitas. Berbagai peristiwa yang terjadi ribuan tahun yang lalu juga tidak mendukung teori materialisme sejarah.

Revisi atas Berbagai Pandangan oleh Para Pendirinya

Seperti sudah berulang-ulang kami kemukakan, Marx memandang basis ekonomi masyarakat sebagai infrastruktur masyarakat, sedangkan basis lainnya dipandangnya sebagai suprastruktur masyarakat. Pandangan ini cukup untuk menunjukkan bahwa posisi basis lain masyarakat berada di bawah basis ekonomi masyarakat dan bergantung pada basis ekonomi masyarakt. Banyak pernyataan Marx yang kami kutip terdahulu menjelaskan bahwa menurut Marx ketergantungan ini berat sepihak. Faktor ekonomi sajalah yang mempengaruhi masalah sosial lainnya.

Adalah suatu fakta bahwa sekalipun Marx tidak jelas-jelas menyatakan demikian, namun pandangan-pandangannya mengenai "materi dulu baru jiwa", "kebutuhan materi dulu baru kebutuhan jiwa", "psikologi dulu baru sosiologi" dan "kerja dulu baru pikiran" membuat kita berkesimpulan sama. Namun dalam banyak tulisannya, Marx mengemukakan pandangan yang lain mengenai basis logika dialektis. Ini bisa dipandang sebagai semacam perubahan dalam pandangan-pandangannya dan sedikit banyak penyimpangan dari materialitas mutlak sejarah. Pandangan yang kami rujuk adalah teori pengaruh timbal baliknya. Bcrdasarkan teori ini, hubungan sebab-akibat tidak boleh dipandang sepihak. Kalau A adalah penyebab B dan mempengaruhi B, pada gilirannya B juga penyebab A dan mempengaruhi A. Menurut prinsip ini, ada semacam ketergantungan dan pengaruh timbal balik di antara semua unsur alam dan semua unsur masyarakat.

Saat ini kami tidak mau membahas apakah prinsip dialektis seperti dikemukakan di atas benar atau salah. Namun mesti kami katakan bahwa, menurut prinsip ini, pada dasarnya sia-sia kalau berbicara tentang mana yang lebih dulu dalam hubungan antara dua hal, apakah itu mated dan jiwa, kerja dan pikiran, atau basis ekonomi masyarakat dan lembaga sosial lainnya, karena jika yang satu bergantung pada yang lain dan penting sekali bagi eksistensinya, maka tak ada pertanyaan mengenai mana yang lebih dulu atau lebih penting dan mana yang infrastruktur.

Dalam beberapa pernyataannya, Marx tidak menyebut pengaruh infrastruktur masyarakat pada suprastruktur masyarakat. Marx hanya memberikan perah, entah esensial atau tidak esensial, kepada basis ekonomi masyarakat. Namun lialam sebagian pernyataan lainnya Marx bicara soal pengaruh timbal balik infrastruktur dan suprastruktur, meski dengan tetap menyatakan bahwa peran utama dan finalnya adalah peran infrastruktur. Ketika membandingkan dua buku Marx, "The Capital" dan "The Critique of Political Economy". "The Revisionism from Marx to Afao" menyebutkan bahwa dalam kedua buku ini Marx rnenggambarkan ekonomi sebagai faktor penentu. "Revisionism" selanjutnya mengatakan:

"Meskipun demikian, sengaja atau tidak, Marx telah menambahkan dimensi baru pada definisi ini dengan mengatakan bahwa suprastruktur bisa berperan penting dalam masyarakat."

Penulis "Revisionism" selanjutnya bertanya:

"Apa bedanya antara peran penentu yang selalu dimainkan infrastruktur ekonomi dan peran utama yang di sini dimainkan suprastruktur? Kendatipun peran utama suprastruktur hanya kadang-kadang, namun tentunya menentukan dalam kasus-kasus di mana peran utama tersebut dimainkan suprastruktur. Bukan saja itu, namun juga dalam kasus-kasus itu apa yang kita sebut infrastruktur, itu suprastruktur, dan apa yang kita sebut suprastruktur, itu infrastruktur."

Dalam sepucuk surat yang ditulisnya menjelang akhir hayatnya untuk Joseph Bloch, Engels mengatakan:

"Menurut konsepsi material mengenai sejarah, unsur penentu dalam sejarah adalah produksi dan reproduksi dalam kehidupan nyata. Saya dan juga Marx tak pernah mengatakan lebih dari ini. Karena itu kalau ada orang yang memelintir ini menjadi pernyataan bahwa unsur ekonomi merupakan satu-satunya unsur penentu, berarti orang itu telah mengubah proposisi itu menjadi frase imajiner yang tak ada artinya. Situasi ekonomi merupakan basis, namun berbagai unsur suprastruktur (seperti bentuk politis perjuangan kelas dan hasilnya, konstitusi yang ditegakkan kelas pemenang setelah sukses berjuang dan seterusnya, bentuk yuridis, dan bahkan refleks semua perjuangan aktual ini dalam benak partisipan, teori politik, yuristik dan filosofis, pandangan keagamaan dan perkembangan selanjutnya menjadi sistem dogma) juga berpengaruh pada arah pergulatan sejarah, dan dalam banyak kasus lebih besar pengaruhnya dalam menentukan bentuknya. Ada interaksi di antara semua unsur ini. Dalam interaksi ini, di tengah-tengah kejadian yang tak terhingga banyaknya dan tak jelas sebabnya, pada akhirnya gerakan, ekonomi menyatakan dirinya sebagai gerakan yang sangat diperlukan."

Kalau teori itu—teori yang menyebutkan bahwa faktor ekonomi sajalah yang merupakan faktor penentu—merupakan fantasi tak berarti, maka mengherankan bila proposisi ini diajukan oleh Marx sendiri. Kalau memang apa yang disebut faktor-faktor supra-struktural di banyak kasus benar-benar menentukan bentuk pergulatan sejarah, maka faktor-faktor ekonomi bukanlah satu-satunya faktor penentu. Karena itu tidak pada tempatnya kalau mengatakan bahwa gerakan ekonomi memperoleh kemajuan melalui kontradiksi yang tak berkesudahan.

Yang lebih mengherankan adalah bahwa dalam surat ini Mon­sieur Engels membebankan tanggung jawab atas kesalahan ini atau, menurut kata-katanya sendiri, distorsi ini sebagian pada dirinya dan Marx. Katanya:

"Marx dan saya sebagian patut dikecam atas fakta bahwa kaum muda terkadang memandang lebih pentirig sisi ekonomi. Perlu kami tekankan prinsip utama terhadap lawan kami yang menolak prinsip tersebut. Kami tak selalu berkesempatan menjelaskan unsur-unsur lain yang terlibat dalam interaksi itu."

Namun ada juga yang menafsirkan bahwa Marx dan Engels terlalu memandang penting faktor ekonomi. Penafsiran tersebut sedikit banyak beda dengan pernyataan Engels. Mereka mengatakan bahwa sikap memandang terlalu penting faktor ekonomi ini bukan ditujukan terhadap para penentang teori ini, namun dimaksudkan untuk meredakan penentangan lawan, Dalam "The Critique of Political Economy", Marx memandang lebih penting peran faktor ekonomi. Sikap Marx seperti ini tak terlihat dalam karya-karya lainnya. Sudah kami sajikan kutipan terkenal dari pengantar buku ini. Menggambarkan keadaan ketika buku ini ditulis, "Revisionism from Marx to Mao" mengatakan, "Yang juga mendorong penulisan "The Critique of Political Economy" adalah terbitnya karya Proudhon, "Manuel du speculateur a la Bourse", dan karya lain Darimon, pengikut Proudhon...." Ketika tahu bahwa lawan-lawannya dari kubu Proudhon dan pengikut Lassalle secara reformatif (bukan revolusioner) mempercayai atau bersandar pada unsur ekonomi, Marx berupaya keras merebut senjata ini dari tangan mereka dan menggunakan senjata ini untuk maksud revolusi. Ini menuntut sikap keras, karena sikap keras ini sesuai dengan tujuan penyebaran kepercayaan-kepercayaannya.

Untuk memenuhi tuntutan kondisi khusus Cina dan untuk menunjukkan bahwa memang benar dibutuhkan pengalaman praktisnya untuk memimpin gerakan revolusi Cina, Mao mengubah konsepsi-konsepsi mengenai materialisme sejarah dan sangat pentingnya ekonomi sedemikian sehingga konsep-konsepsi tersebut dan sosialisme tak ada lagi yang didasarkan pada materialisme sejarah, kecuali perniainan kata-kata.

Di bawah judul "The Principal Contradiction and the Principal Aspect of Contradiction", dalam risalahnya tentang kontradiksi Mao mengatakan:

"Aspek pokok dan aspek non-pokok dari suatu kontradiksi berubah bentuk menjadi satu sama lain, dan kualitas sesuatu pun jadi berubah karenanya. Dalam proses tertentu atau pada tahap tertentu dalam perkembangan suatu kontradiksi, aspek pokoknya adalah A sedangkan aspek non-pokoknya adalah B, pada tahap lain perkembangan atau dalam proses lain perkembangan, perannya berbalik—suatu perubahan yang terjadi seiring bertambah atau berkurangnya kekuatan dua aspek yang saling bergulat dalam perkembangan sesuatu. Sebagian orang beranggapan bahwa ini tidak terjadi pada kontradiksi tertentu. Misal, dalam kontradiksi antara kekuatan pro.duksi dan hubungan produksi, kekuatan produksi adalah aspek pokoknya; ... dalam kontradiksi antara fondasi ekonomi dan suprastrukturnya, fondasi ekonomi adalah aspek pokoknya, dan posisi masing-masing tak mengalami perubahan. Ini merupakan pandangan materialisme mekanistik. Memang kekuatan produksi, praktik, dan fondasi ekonomi pada umumnya termanifestasi dalam peran-peran pokok dan menentukan. Siapa saja yang mengingkari ini, maka dia seorang materialis. Namun karena kondisi tertentu, maka aspek-aspek seperti hubungan produksi, teori, dan suprastruktur satu demi satu termanifestasikan dalam peran pokok dan menentukan. Ini juga mesti diakui. Bila kekuatan produksi tak dapat berkembang kecuali bila hubungan produksi berubah, maka perubahan yang terjadi pada hubungan produksi perannya pokok dan menentukan.... Bila suprastruktur (politik, budaya dan seterusnya) merintangi perkembangan fondasi ekonomi, maka reformasi politik dan budaya menjadi faktor pokok dan menentukan. Dengan mengatakan begini, apakah berarti kita bertentangan dengan materialisme? Tidak. Alasannya adalah ketika kita mengakui bahwa dalam per­kembangan sejarah sebagai suatu keseluruhan esensi material dari hal-hal menentukan hal-hal spiritual, dan eksistensi sosial menentu­kan kesadaran sosial, pada saat yang sama kita juga mengakui dan mesti mengakui reaksi hal-hal spiritual dan kesadaran sosial pada eksistensi sosial, dan reaksi suprastruktur pada fondasi ekonomi. Ini tidak bertentangan dengan materialisme. Ini persisnya menghindari materialisme mekanistik dan mendukung materialisme dialektis." Sebenarnya perkataan Mao bertentangan sekali dengan teori materialisme sejarah. Ketika Mao mengatakan, "Ketika hubungan produksi merintangi tumbuh dan berkembangnya kekuatan produksi," atau ketika mengatakan, "Ketika gerakan revolusioner membutuhkan teori revolusioner," atau ketika mengatakan, "Kalau suprastruktur merintangi tumbuh dan berkembangnya infrastruktur," Mao menyebutkan apa yang selalu terjadi dan harus selalu terjadi. Namun menurut teori materialisme sejarah, situasi seperti itu tak pernah ada, karena menurut teori ini perkembangan kekuatan produksi mau tak mau mengubah hubungan produksi; kemunculan teori revolusioner selalu otomatis; dan suprastruktur mau tak mau mengalami perubahan karena pengaruh infrastruktur. Tidakkah Marx dalam pengantarnya untuk "The Critique of Political Economy" dengan jelas mengatakan, "Pada tahap tertentu perkembangannya, kekuatan produktif material masyarakat mengalami konflik dengan hubungan produksi yang ada atau—apa yang tak lain adalah ungkapan legal mengenai hal yang sama—dengan hubungan milik. Dari bentuk-bentuk perkembangan kekuatan produksi, hubungan ini berubah menjadi pengekangnya. Kemudian dimulailah zaman revolusi sosial. Dengan berubahnya fondasi ekonomi, maka seluruh suprastruktur cepat atau lambat pasti mengalami transformasi."

Terjadinya perubahan hubungan produksi sebelum terjadinya perkembangan kekuatan produksi, teori revolusioner yang muncul sebelum terjadinya gerakan revolusioner dan perubahan supra­struktur yang melicinkan jalan bagi perubahan infrastruktur, semua ini artinya adalah bahwa pikiran itu primer sedangkan aksi atau kerja itu sekunder, jiwa itu primer sedangkan materi itu sekunder, basis intelektual dan politik masyarakat itu penting dan independen dibanding basis ekonomi masyarakat. Dengan demikian hancur sudah gagasan materialisme sejarah.

Mao mengatakan bahwa berarti bertentangan dengan materialisme dialektis kalau beranggapan bahwa pengaruh hanya sepihak. Itu betul. Namun problemnya adalah bahwa sosialisme ilmiah didasarkan pada pengaruh sepihak ini yang bertentangan dengan prinsip dialektis ketergantungan timbal balik. Karena itu sosialisme ilmiah harus diterima dan logika dialektis harus diabaikan, kalau tidak maka logika dialektis harus diterima dan sosialisme ilmiah dan materialisme sejarah yang menjadi fondasinya harus diabaikan.

Selanjutnya, apa maksud Mao ketika mengatakan dirinya mengakui bahwa pada umumnya, dalam perkembangan sejarah, esensi material hal-hal menentukan hal-hal spiritual, dan eksistensi sosial menentukan kesadaran sosial. Mengakui bahwa aspek utama kontradiksi kadang-kadang bisa berubah sama saja dengan mengatakan bahwa kadang-kadang kekuatan produksi menentukan hubungan produksi, dan terkadang sebaliknya, artinya prosesnya terbalik. Terkadang seorang revolusioner menciptakan teori revolusioner, dan terkadang sebaliknya. Terkadang pendidikan, politik, agama, kekuatan dan sebagainya mengubah basis ekonomi masyarakat, dan terkadang prosesnya terbalik. Karena itu kadang-kadang materi menentukan jiwa, dan kadang-kadang jiwa menentu­kan materi. Terkadang eksistensi sosial menentukan kesadaran sosial, dan terkadang kesadaran sosial menentukan eksistensi sosial. Sesungguhnya perkataan Mao mengenai perubahan yang terjadi pada posisi aspek utama kontradiksi merupakan teori Maois yang praktis bertentangan dengan teori materialisme sejarah Marxis. Itu bukan interpretasi atas teori Marxis seperti klaim Mao. Praktisnya Mao telah menunjukkan bahwa seperti Marx sendiri Mao juga terlalu pandai untuk selalu jadi Marxis. Revolusi Cina yang dipimpin Mao praktis menginjak-injak sosialisme ilmiah maupun materialisme sejarah, dan karena itu menginjak-injak Marxisme itu sendiri.

Dengan dipimpin Mao, Cina menumbangkan sistem feodal lama dan mendirikan rezim sosialis. Padahal menurut sosialisme ilmiah dan materialisme sejarah, sebuah negara setelah melewati tahap feodalisme, tahap selanjutnya dari negara tersebut harusnya tahap industri dan kapitalistik dulu. Negara tersebut baru dapat ke tahap sosialisme kalau sudah tinggi tingkat industrialisasinya. Sebagaimana janin dalam rahim tak mungkin mencapai suatu tahap tanpa melalui tahap sebelumnya, maka begitu pula dengan masyarakat. Masyarakat tak mungkin sampai ke tahap final tanpa melewati tahap demi tahap sebelumnya. Namun Mao praktis telah memperlihatkan bahwa dirinya adalah bidan yang dapat melahirkan janin berusia empat bulan dalam keadaan sehat dan sempurna. Mao telah menunjukkan bahwa beda dengan apa yang dikatakan Marx, seorang pemimpin bisa saja mengabaikan ajaran sosialisme ilmiah, mengubah sepenuhnya hubungan produksi dan mengindustrialisasi sebuah negara melalui ajaran partai, lembaga politik, teori revolusioner, dan informasi sosial. Inilah hal-hal yang juga oleh Marx disebut sebangsa kesadaran dan suprastruktur dan bukan sebangsa eksistensi dan infrastruktur. Menurut Marx, hal-hal itu tidak fundamental. Mao menunjukkan bahwa hubungan produksi dapat ditiadakan dan sebuah negara dapat diindustrialisasikan dengan, demi tujuan praktisnya, mengabaikan apa yang disebut sosialisme ilmiah.

Dengan cara lain Mao juga memperlihatkan tidak berdasamya teori sejarah Marxis. Menurut teori Marxis dan setidak-tidaknya dari sudut pandang personal Marx, kelas petani hanya memenuhi dua syarat pertama untuk menjadi kelas revolusioner. Yaitu kelas yang tereksploitasi dan tak punya tanah. Namun tidak memenuhi syarat ketiga, yaitu terkonsetrasi, saling kerja sama, saling memahami dan sadar akan kekuatannya. Karena itulah kelas petani tidak siap untuk meluncurkan revolusi. Dalam masyarakat semi-pertanian dan semi-industri, paling banter petani dapat menjadi pengikut proletariat revolusioner. Bukan saja itu, namun dari sudut pandang Marx, kelas petani pada dasarnya menyedihkan dan reaksioner. Kelas petani sama sekali tidak memiliki prakarsa revolusioner. Dalam sepucuk surat untuk Engels, mengenai revolusi di Polandia, Marx membuat pernyataan ini tentang petani, "Petani yang pada dasarnya reaksioner dan menyedihkan itu mustahil untuk diajak berjuang." Namun Mao mengubah kelas yang sangat menyedihkan dan revolusioner ini menjadi kelas yang revolusioner, dan dengan bantuan kelas ini rezim lama pun dapat ditumbangkan. Menurut Marx, petani bukan saja tidak dapat membawa negara ke sosialisme, namun juga tak dapat memberikan sumbangsih untuk mengubah negara dari feodalisme ke kapitalisme. Kelas borjuislah yang mewujudkan revolusi sosial pada suatu momen sejarah. Namun Mao langsung melompat dari feodalisme ke sosialisme dengan bantuan apa yang disebut kelas petani yang reaksioner. Karena itu tepatlah kalau untuk membedakan antara Maoisme dan Marxisme Mao mengajukan teorinya sendiri mengenai perubahan pada posisi aspek utarna kontradiksi. Namun Mao sendiri tidak bicara tentang Maoisme. Mao mengemukakan pandangan-pandangannya hanya sebagai interpretasi ilmiak mengenai Marxisme, materialisme sejarah dan sosialisme ilmiah.

Dari pendahulunya, Lenin, Mao mendapat pelajaran bahwa kalau perlu seorang Marxis bisa praktis melepaskan diri dari Marxisme. Leninlah yang sebelum Mao membawa revolusi di Rusia ketika negeri ini masih semi-pertanian dan semi-industri. Lenin lah yang untuk pertama kalinya mendirikan negara sosialis.

Lenin tidak berharap bisa melihat Rusia nyaris menjadi negara industri penuh dan berubah menjadi negara kapitalis di mana eksploitasi atas pekerja sampai pada puncaknya sehingga gerakan yang sadar diri dan dinamis serta merta dapat mewujudkan perubahan total. Lenin merasa terlalu terlambat kalau untuk bisa melakukan pekerjaan bidan dirinya harus menunggu dulu selesainya periode kehamilan. Karena itu Lenin memulai dengan supra-struktur dan menggunakan partai, politik, teori revolusioner, perang dart kekuatan untuk dapat mengubah Rusia yang saat itu semi-industri menjadi negara sosialis Soviet.

Lenin praktis membuktikan kebenaran pepatah termasyhur bahwa seekor burung di tangan lebih bernilai ketimbang dua burung di semak-semak. Untuk melakukan revolusi, Lenin merasa tak perlu menunggu dua burung Marx dan kesiapan otomatis dan dinamis basis ekonomi masyarakat Rusia. Dia sepenuhnya memanfaatkan satu burung yang ada di tangan dan mewujudkan revolusi yang sukses dengan menggunakan kekuatan, politik, doktrin partai dan persepsi politiknya sendiri.

Menghancurkan Prinsip Keselarasan Tak Terelakkan antara Infra­struktur dan Suprastruktur

Menurut tepri materialisme sejarah, harus selalu ada semacam keselarasan antara infrastruktur masyarakat dan suprastruktur masyarakat, sehingga dengan mengetahui suprastrukturnya (dengan menggunakan metode deduktif, yang memberikan pengetahuan semi-sempurna) maka dapat diketahui pula infra-strukturnya, dan dengan mengetahui infrastrukturnya (dengan menggunakan metode induktif, yang memberikan pengetahuan yang sempurna) maka dapat pula diketahui suprastrukturnya. Jika mfrastruktur berubah, maka hancurlah keselarasan ini, keseimbangan sosial pun tergariggu, dan terjadilah krisis seperti itu, sehingga cepat atau lambat krisis tersebut akan menghancurkan supra­struktur. Sebaliknya, selama infrastruktur tetap utuh, suprastruktur pun akan tetap utuh.

Berbagai peristiwa sejarah kontemporer telah membuktikan kesalahan proposisi di atas. Menyusul sejumlah revolusi politik dan sosial yang menyertai pergolakan demi pergolakan ekonomi yang terjadi pada periode dari 1827 sampai 1847, Marx dan Engels jadi percaya bahwa revolusi sosial merupakan akibat tak terelakkan dari krisis ekonomi. Tapi menurut penulis buku "Revisionism from Marx to Mao":

"Adalah ironi sejarah bahwa belum pernah terjadi krisis ekonomi yang disertai dengan sebuah revolusi di negara-negara industri sejak 1848. Di masa hayat Marx, sebelum kematiannya, empat kali kekuatan produksi menentang hubungan produksi tanpa menimbulkan revolusi... kemudian, beberapa ekonom seperti Joseph Sehumpeter bahkan sampai menyebut krisis-krisis yang ditimbulkan oleh inovasi teknik ini sebagai 'badai penghancur yang. kreatif dan sebagai 'kelep penyelamat' untuk mewujudkan kembali keseimbangan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi."

Negara-negara seperti Inggris, Perancis, Jerman dan Amerika, kemajuan industrinya mengagumkan. Negara-negara tersebut sudah berada di puncak kapitalisme. Namun beda dengan prediksi Marx yang menyebutkan bahwa negara-negara ini yang pertama akan mengalami revolusi pekerja dan akan menjadi negara-negara sosialis, apa yang disebut suprastruktur negara-negara tersebut lernyata tak mengalami perubahan politik, hukum atau agama. Anak yang diharapkan Marx akan lahir, usianya sudah sempurna sembilan bulan, bukan saja usianya sudah sembilan bulan, bahkan sudah sembilan puluh tahun, namun belum juga lahir. Sekarang tak ada lagi harapan anak itu akan lahir.

Tentu saja tak syak lagi rezim-rezim sekarang di negara-negara tersebut cepat atau lambat akan tumbang, namun revolusi pekerja yang diharapkan tak kunjung tiba, dan teori sejarah Marxis pun terbukti salah. Sungguh pula rezim-rezim yang memerintah di apa yang disebut negara-negara sosialis dewasa ini kelak juga akan tumbang. Namun yang pasti di masa mendatang rezim-rezim di negara-negara ini bukan kapitalistik.

Ternyata beberapa negara di Eropa Timur, Asia dan Amerika Selatan sudah berada di tahap sosialisme tanpa melewati fase kapitalisme. Dewasa ini ada negara-negara yang satu sama lain serupa infrastrukturnya, namun tetap saja berbeda jauh supra-strukturnya. Dua adikuasa, Amerika dan Uni Soviet merupakan contoh terbaik untuk fenomena ini. Amerika dan Jepang sistem ekonominya sama, namun sistem politik, keagamaan, moral, kultural dan artistiknya berbeda. Di lain pihak, ada negara-negara yang sistem politik, keagamaan dan suprastruktural lainnya nyaris sama, namun tetap saja kondisi ekonominya sepenuhnya sama. Semua ini menunjukkan bahwa kesesuaian yang tak terelakkan antara suprastruktur masyarakat dan infrastruktur masyarakat seperti yang dibayangkan oleh materialisme sejarah hanyalah kilasan khayalan saja.

Ketidaksesuaian Basis Kelas Ideologi

Seperti sudah disebutkan sebelumnya, menurut materialisme sejarah suprastruktur periode apa pun tidak mungkin mendahului infrastrukturnya. Karena itu pengetahuan setiap periode hanya terbatas pada periode itu. Dengan berlalunya waktu, pengetahuan tersebut jadi usang, dan tinggal menjadi arsip sejarah saja. Gagasan, filsafat, rencana, prediksi dan agama, semuanya merupakan produk sampingan dari tuntutan khusus zamannya, dan tak mungkin sesuai dengan tuntutan zaman lain. Namun praktis buktinya tidak demikian. Sungguh doktrin dan agama, banyak filsafat, tokoh, gagasan dan cabang ilmu pengetahuan tampaknya mendahului zaman atau kelasnya. Banyak sekali gagasan yang merupakan produk dari kebutuhan material zaman tertentu. Meskipun zaman berubah, gagasan-gagasan tersebut tetap bersinar di ufuk sejarah.

Mengherankan kalau dalam kasus ini juga Marx, dalam beberapa pernyataannya, melepaskan diri dari Marxisme. Dalam karyanya yang terkenal, "German Ideology", Marx mengatakan:

Terkadang kesadaran terlihat mendahului hubungan empiris kontemporer sehingga dapat diketahui bukti mengenai konflik yang terjadi di masa kemudian dalam tulisan-tulisan teoretisi masa sebelumnya."

Independensi Perkembangan Budaya

Menurut materialisme sejarah, seperti basis lain masyarakat semisal basis politik, basis yudisial, dan basis keagamaan, basis kultural dan ilmiah masyarakat juga bergantung pada basis ekonomi masyarakat dan tak mungkin bebas berkembang semaunya. Menyusul perkembangan alat produksi dan perkembangan basis ekonomi masyarakat, ilmu pengetahuan pun berkembang.

Sesungguhnya kita tahu bahwa alat produksi, minun manusia, perkembangannya tidaklah terjadi secara otomatis. Alat produksi berkembang akibat kontak manusia dengan alam dan akibat upaya ingin tahu manusia. Tumbuh berkembangnya dibarengi perkembangan teknik dan ilmu pengetahuan manusia. Sekarang pertanyaannya adalah mana yang lebih dahulu. Apakah manusia terlebih dahulu membuat penemuan, baru kemudian menerapkan penemuan itu untuk menciptakan peralatan yang relevan, atau peralatan terlebih dahulu ada, baru kemudian manusia membuat penemuan yang relevan? Tak diragukan lagi, alternatif kedualah yang benar.

Jelaslah hukum ilmiah dan prinsip teknis ditemukan berkat rasa ingin tahu manusia dan kontak eksperimen manusia dengan alam. Kalau manusia tidak melakukan penyelidikan dan tidak membuat eksperimen, maka manusia tak mungkin mengetahui hukurn ilmiah atau hukum alam. Mengenai itu, tak mungkin ada dua pendapat. Satu-satunya yang jadi pertanyaan adalah apakah setelah mengadakan penyelidikan dan eksperimen, terlebih dahulu manusia mengalami perkembangan ilmu pengetahuan di dalam dirinya, baru kemudian manusia menciptakan peralatan teknis, ataukah sebaliknya? Tak syak lagi, alternatif pertamalah yang benar.

Lagi pula, bila kata "perkembangan'' digunakan untuk manusia, penggunaannya adalah dalam pengertian harfiah dan sesungguhnya, namun bila digunakan untuk peralatan teknis dan produktif, penggunaannya adalah dalam pengertian kiasan. Dalam pengertian yang sebenarnya, arti perkembangan adalah evolusi sesuatu dari tahap yang lebih rendah ke tahap yang lebih tinggi. Namun kalau digunakan dalam arti kiasannya, maka yang terjadi adalah satu hal hilang dan hal lainnya muncul menggantikan hal yang hilang itu.

Ketika seorang anak tumbuh, maka sesungguhnya terjadi perkembangan. Namun kalau seorang guru digantikan oleh guru lain yang lebih berpendidikan dan lebih efisien, tentu saja terjadi perkembangan dalam mengajar, namun perkembangan seperti ini hanya kiasan saja. Dalam kasus penciptaan peralatan, maka perkembangan manusia memang nyata. Manusia mengalami perkembangan mental dalam arti yang sesungguhnya. Namun perkembangan industri, seperti perkembangan industri otomotif yang setiap tahun membanjiri pasar dengan model-model baru, hanya kiasan saja, karena dalam kasus ini sesungguhnya tak ada yang bergerak dari tahap yang lebih rendah ke tahap yang lebih tinggi. Mobil tahun lalu teknologinya belum begitu bagus, namun sudah digantikan oleh mobil lain yang desain dan modelnya lebih bagus dan mutakhir.

Dengan kata lain, unit yang tidak sempurna dicampakkan dan digantikan oleh unit yang sempurna. Dalam kasus ini, unit yang sama tidak mengalami perubahan dari tahap tidak sempurna ke tahap sempurna. Jelaslah kalau terjadi perkembangan nyata dan perkembangan kiasan sekaligus, maka yang primer adalah perkembangan nyata, sedangkan yang sekunder adalah per­kembangan dalam arti kiasan.

Beginilah posisi teknologi. Sejauh menyangkut ilmu pengetahuan yang lain seperti kedokteran, psikologi, sosiologi, filsafat, logika dan matematika, ketergantungan sepihak ini tak mungkin dibuktikan kebenarannya. Perkembangan ilmu pengetahuan bergantung pada posisi ekonomi, seperti posisi ekonomi bergantung pada per­kembangan ilmu pengetahuan, atau bahkan kurang dari ketergantungan posisi ekonomi pada perkembangan ilmu pengetahuan. Mengkritik Marxisme, K. Schmoller mengatakan, Tak diragukan lagi, kondisi material dan ekonomi penting sekali untuk mencapai budaya yang lebih tinggi. Juga tak diragukan lagi, perkembangan intelektual dan moral arahnya bebas."

Kalau satu kesalahan dalam doktrin Filosof Perancis, August Comte, ini diabaikan, yaitu August Comte meringkaskan sisi manusiawi manusia dalam 'pikiran' manusia, padahal pikiran hanyalah satu bagian dari berbagai kemampuan manusia dan hanyalah separo dari jiwa manusiawi manusia, maka teori August Comte mengenai perkembangan sosial lebih berharga dibanding teori Marx. Kata August Gomte, "Fenomena sosial tunduk kepada determinisme yang ketat, dan determinisme ini bekerja dalam bentuk evolusi masyarakat manusia yang tak terelakkan—suatu evolusi yang ditentukan oleh kemajuan pikiran manusia."

Dalam Materialisme Sejarah Terjadi Inkonsistensi Internal

Menurut materialisme sejarah, setiap pikiran, setiap pandangan, setiap teori filosofis atau ilmiah, dan setiap sistem moral, yang merupakan manifestasi dari kondisi khsus material dan ekonomi, bergantung pada pemenuhan kondisi khususnya sendiri, dan nilainya tidak mutlak. Setiap gagasan, setiap teori dan setiap sistem moral kehilangan keabsahannya kalau masanya sudah lewat dan kalau terjadi perubahan pada kondisi material dan ekonomi yang mengharuskan munculnya gagasan, teori dan sistem moral tersebut. Dengan berubahnya keadaan, maka setiap gagasan dan setiap teori hams digantikan oleh gagasan atau teori baru.

Jelaslah hukum universal ini harus juga berlaku pada teori materialisme sejarah, seperti dikemukakan oleh beberapa filosof dan sosiolog. Kalau tidak, berarti hukum ini ada kekecualiannya, berarti ada hukum filosofis dan ilmiah yang bekerja secara mandiri dan tidak tunduk kepada infrastruktur ekonomi. Kalau diakui bahwa hukum ini berlaku pada teori materialisme sejarah juga, maka keabsahan teori ini hanya untuk periode tertentu saja, yaitu periode kemunculan teori ini, dan teori ini tak ada nilainya untuk periode sebelum atau sesudahnya.

Jika materialisme sejarah sebagai teori filosofis tidak berlaku untuk dirinya, berarti dalam materialisme sejarah ada inkonsistensi internal. Dan jika berlaku untuk dirinya maupun teori lain, berarti keabsahannya hanya untuk periode terbatas. Bisa muncul keberatan yang sama terhadap materialisme dialektis juga. Menurut materialisme dialektis, prinsip dinamisme dan magnetisme berlaku untuk setiap sesuatu termasuk teori filosofis dan hukum ilmiah. Poin ini sudah dibahas dalam "The Principles of Philosophy and The Methode of Realism", jilid 1 dan 2. Semua ini menunjukkan betapa tak berdasarnya klaim bahwa dunia ini adalah pertunjukan besar materialisme dialektis dan bahwa masyarakat adalah pertunjukan besar materialisme sejarah.

Teori materialisme sejarah juga menghadapi keberatan yang lain, namun sekarang ini keberatan tersebut kami abaikan dulu. Sungguh mengherankan mengapa teori yang tak berdasar dan tak ilmiah seperti itu bisa terkenal sebagai teori ilmiah! Reputasi teori ini kelihatannya tak lain adalah hasil dan trik propaganda.


Catatan Kaki:

[1] Buku ini semula ditulis dalam bahasa Perancis, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Persia oleh Dr Anwar Khameh'i. Beliau memperlihatkan kearifan yang mendalam dalam membahas pokok masalahnya dan kemampuan yang patut dipuji untuk mengevaluasi dan menganalisis problem-problem yang ada. Beliau sendiri pernah bertahun-tahun menjadi eksponen dan pendukung bersemangat mazhab ini.

19
MANUSIA DAN ALAM SEMESTA KONSEPSI ISLAM TENTANG JAGAT RAYA

BAB 27 - Islam dan Materialisme Sejarah
Apakah Islam menerima teori materialisme sejarah? Apakah analisis Al-Qur'an dan interpretasi Al-Qur'an atas masalah sejarah didasarkan pada materialisme sejarah? Sebagian orang beranggapan bahwa dasarnya memang materialisme sejarah. Mereka berpandangan bahwa setidak-tidaknya seribu tahun sebelum Marx, Islam telah mendasarkari analisisnya atas sejarah pada konsepsi ini. Dr. Ali al-Wardi, seorang sarjana Syiah Irak yang menulis beberapa buku kontroversial, antara lain yang berjudul "Manzilah al-Aql al-Basyari" (Posisi Akal Manusia), termasuk salah satunya. Barangkali dialah orang pertama yang mengemukakan konsepsi ini. Kini konsepsi ini popular di kalangan penulis Muslim tertentu, dan dipandang sebagai tanda berpandangan liberal dan sekarang tengah menjadi mode analisis sejarah dalam fraseologi (mode ekspresi) Islam dari sudut pandang ini.

Namun dari sudut pandang kami, orang-orang yang ber­pandangan seperti ini tidak memahami Islam atau materialisme sejarah atau keduanya. Kalau memperhatikan lima poin pokok materialisme sejarah yang sudah kami sebutkan terdahulu dan enam kesimpulannya, maka mudah bagi orang-orang yang cukup mengenal pemikiran Islam untuk berkesimpulan bahwa materialisme sejarah dan cara berpikir Islam saling bertentangan sekali.

Konsepsi material masyarakat dan sejarah, khususnya khususnya kalau diberi warna palsu autentisitas Islam, sangat membahayakan ajaran dan budaya Islam. Karena itu kami kira perlu dilakukan telaah seksama atas problem-problem yang telah atau mungkin melahirkan pandangan bahwa Islam menganggap ekonomi sebagai infrastruktur masyarakat dan materialisme sebagai karakter esensial sejarah.

Dapat ditunjukkan bahwa dalam mengkaji pokok persoalan ini kami menggunakan lebih banyak argumen dibanding pendukung pandangan ini. Mereka mendasarkan argumen mereka pada dua atau tiga ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi, namun untuk mewujudkan kajian yang komprehensif kami masukkan juga beberapa argumen lain, yang sekalipun tidak digunakan oleh pendukung konsepsi ini, dapat dikutip untuk memperkuatnya:
Pertama: Al-Qur'an memberikan beragam konsepsi sosial kepada dunia. Dalam studi kami tentang masyarakat, ada sekitar lima puluh istilah yang mengandung arti sosial. Kalau ayat-ayat sosial Al-Qur'an dan penggunaan istilah-istilah ini dalam Al-Qur'an ditelaah, maka kelihatan bahwa dari sudut pandang Al-Qur'an, masyarakat terdiri atas dua golongan orang yang bertentangan. Dari satu sudut, Al-Qur'an mengindikasikan eksistensi masyarakat yang berdua kutub berdasarkan kemakmuran material. Al-Qur'an menyebut satu kutub mala` (golongan orang yang suka memanjakan diri dalam kesenangan, kelompok kecil ekslusif yang berkuasa), mustakbirun (kaum yang arogan, penindas, tiran, eksesif, tidak moderat, dan suka mengumbar kemewahan dan hawa nafsu), dan menyebut kutub lainnya mustadh'afun (kaum tertindas dan tidak menikmati standar hidup dan hak yang layak dalam masyarakat), nas (massa, kaum mayoritas), zuriyya (kaum udik, hina, rendah, dan tidak penting, yang beda dengan mala`. Al-Qur'an menempatkan dua kutub ini atau dua golongan ini dalam posisi berseberangan. Dari sudut lain, Al-Qur'an menggambarkan masyarakat berdua kutub berdasarkan konsepsi spiritual dan konsepsi moral, dan membagi masyarakat menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri atas orang kafir, orang musyrik, orang munafik dan orang jahat. Kelompok kedua terdiri atas orang saleh, orang takwa, pembaru, orang-orang yang memperjuangkan tujuan suci dan orang-orang yang mengorbankan jiwa mereka untuk tujuan suci itu.

Kalau kita perhatikan dengan seksama makna ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan eksistensi dua kategori material dan dua kategori spiritual ini, maka akan kita ketahui keselarasan antara kategori material pertama dan kategori spiritual pertama, dan juga antara kategori material kedua dan kategori spiritual kedua. Kaum kafir, kaum musyrik, kaum munafik dan kaum jahat adalah juga kaum yang suka mengumbar hawa nafsu dan kemewahan, kaum yang arogan, dan kaum yang eksesif. Begitu pula, kaum mukmin, kaum pemegang tauhid (muwahhidun), kaum saleh, dan prajurit serta pejuang tujuan suci (mujahidun) tak lain adalah orang-orang miskin, tertindas, dan yang tidak menikmati standar hidup dan hak yang layak dalam masyarakat. Karena itu dengan mempertimbangkan segala yang relevan, dalam masyarakat hanya ada dua kutub, tidak lebih, atau dua kelompok yang berseberangan. Golongan pertama adalah kaum kaya, kaum pengeksploitasi, kaum tiran dan penindas. Mereka ini adalah kafir dan tidak beriman. Golongan kedua adalah kaum tertindas dan orang-orang yang tidak menikmati standar hidup dan hak yang layak dalam masyarakat. Mereka ini adalah orang-orang beriman. Dari sini jelaslah bahwa karena masyarakat terdiri atas kaum penindas dan kaum tertindas, maka dalam masyarakat ada dua golongan anggota masyarakat: kaum beriman dan kaum kafir. Perilaku menindas melahirkan kekafiran, kemunafikan, kejahatan dan kerusakan moral. Sedangkan keadaan tertindas melahirkan iman, kesalehan dan kebajikan.

Untuk memahami persamaan ini dengan jelas, cukup kita menelaah QS. al-A'râf: 59-137. Dalam ayat-ayat ini kisah para nabi seperti Nuh, Hud, Saleh, Luth, Syu'aib dan Musa as dipaparkan secara singkat. Dalam semua kisah ini, kecuali kisah Luth as, dapat dicatat bahwa kelas para nabi adalah kelas yang tidak menikmati standar hidup atau hak yang baku dalam masyarakat (kaum papa), sedangkan kelas yang berseberangan dengan kelas ini adalah kelas kafir, kelas aristokrat yang arogan. Persamaan ini tidak mungkin ada penjelasannya selain penjelasan tentang suara hati kelas, dan eksistensi suara hati ini sangat penting dan natural, menurut teori materialisme sejarah. Karena itu dari sudut pandang Al-Qur'an, konfrontasi antara iman dan kekufuran hanyalah refleksi dari konfrontasi antara kaum penindas dan kaum tertindas.

Al-Qur'an dengan jelas mengatakan bahwa harta, yang oleh Al-Qur'an digambarkan sebagai "kekayaan", adalah penyebab penindasan dan arogansi, dua kualitas yang benar-benar bertentangan dengan ajaran para nabi, para nabi ini mengajarkan kesalehan, kesahajaan dan perdamaian. Al-Qur'an mengatakan:

Ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas ketika merasa dirinya serba cukup. (QS. al-'Alaq: 6-7)

Untuk menggarisbawahi efek negatif harta, Al-Qur'an menyebutkan kisah Qarun. Qarun adalah seorang Isra'il, bukan Koptik, dan dari suku Nabi Musa. Dia termasuk orang yang tidak menikmati standar hidup dan hak yang layak dalam masyarakat. Orang-orang seperti Qarun ini oleh Fir'aun dianggap rendah derajatnya dan rendah kastanya. Namun, begitu Qarun mendapat harta yang besar, dia jadi buruk sikapnya terhadap kaumnya sendiri. Dia memandang rendah kaumnya. Al-Qur'an mengatakan:

Sesungguhnya Qarun termasuk kaum Musa, maka dia berlaku aniaya terhadap mereka. (QS. al-Qashash: 76)

Tidakkah ini menjeiaskan bahwa penentangan para nabi ter­hadap penindasan sesungguhnya merupakan konfrontasi dengan harta, pemiliknya, dan kepemilikan? Dalam sebagian ayatnya, Al-Qur'an sendiri dengan tegas mengatakan bahwa penentang utama para nabi adalah orang-orang yang tenggelam dalam kesenangan dan kemewahan. Dalam ayat berikut ini hal ini disebutkan sebagai norma umum:

Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya." (QS. Saba': 34)

Semua ini menunjukkan bahwa konfrontasi para nabi dengan penentang mereka, dan konfrontasi iman dengan kekufuran, mencerminkan konfrontasi dua kelas sosial: kelas tertindas dan kelas penindas.
Kedua: Al-Qur'an menyebut audiensnya nâs (massa), yaitu orang kebanyakan yang tidak menikmati standar hidup atau hak yang baku dalam suatu masyarakat. Itu menunjukkan bahwa Al-Qur'an mempercayai suara hati kelas dan beranggapan bahwa hanya massa yang tertindas atau yang diperlakukan tidak baik sajalah yang dapat mendengarkan ajakan untuk menerima Islam. Itu (juga menunjukkan bahwa Islam memiliki kecenderungan kelas. Islam adalah agama kaum lemah dan kaum fakir miskin. Ideologi Islam ditujukan hanya untuk massa yang mengalami ketidakberuntungan. Itulah bukti lain mengenai fakta bahwa, menurut pandangan Islam, ekonomi merupakan infrastruktur masyarakat, dan karakter hakiki sejarah adalah material.

Ketiga: Al-Qur'an menyatakan bahwa pemimpin, pembaru, martir dan bahkan para nabi berasal dari kalangan massa, bukan dari kalangan kaum aristokrat dan kelas berada. Mengenai Rasulullah saw Al-Qur'an mengatakan:

Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka. (QS. al-Jumu'ah: 2)

Massa ini tak bisa lain keeuali massa yang tidak menikmati standar hidup atau hak yang baku dalam suatu masyarakat. Mengenai orang-orang yang mengorbankan jiwa mereka demi alasan yang benar, Al-Qur'an mengatakan, "Kami akan bangkitkan dari setiap kaum seorang saksi, dan kemudian meminta mereka untuk mengemukakan hujah mereka." Di sini juga kata kaum berkenaan dengan massa yang papa. Karena butuh adanya keselarasan antara basis ideologis dan basis sosial di satu pihak, dan basis ekonomi dan basis kelas di pihak lain, maka pemimpin semua gerakan dan revolusi sosial selalu bersal dari kalangan massa yang papa. Kebutuhan ini baru dapat dijelaskan kalau berbasis konsepsi materialis mengenai sejarah dan sangat pentingnya ekonomi.
Keempat: Karakter hakiki gerakan yang dilakukan para nabi dan konfrontasi para nabi seperti yang digambarkan dalam Al-Qur'an adalah infrastruktural, bukan suprastruktural. Sasaran misi para nabi adalah menegakkan keadilan, perilaku yang pantas, keseimbangan sosial, dan merubuhkan dinding-dinding diskriminasi kelas. Perhatian pertama para nabi selalu adalah masalah infra-struktur dan baru kemudian masalah suprastruktur seperti doktrin, keyakinan, serta pembaruan moral dan perilaku yang merupakan tujuan kedua para nabi.

Nabi saw bersabda: "Barangsiapa tidak memiliki sarana penghidupan, maka dia akan gagal di akhirat."

Dengan kata lain, tak mungkin ada kehidupan spiritual tanpa kehidupan material. Peribahasa ini menyebabkan adanya kesimpulan bahwa kehidupan material mendahului kehidupan spiritual dan bahwa kehidupan spiritual merupakan suprastruktur sedangkan kehidupan material merupakan infrastruktur masyarakat. Nabi saw juga bersabda:

"Ya Allah, anugerahi kami rod yang banyak, karena kalau tak ada rod, maka kami tak mungkin bersedekah, juga kami tak dapat salat."

Sabda Nabi saw membuat kita percaya bahwa spiritualitas bergantung pada materialitas. Salah sekali kalau mengatakan, seperd anggapan kebanyakan orang, bahwa aktivitas para nabi hanya sebatas masalah suprastruktur saja, bahwa perhatian para nabi hanya memperbarui masyarakat dan memperbaiki perilaku moral masyarakat, dan tak ada kaitannya dengan masalah infrastruktur atau paling banter menganggap masalah infrastruktur sebagai masalah yang arti pentingnya menduduki urutan kedua. Juga salah kalau mengatakan bahwa para nabi beranggapan bahwa bila orang beriman maka segalanya otomatis akan beres, keadilan akan tegak, dan penindas akan dengan suka hati mengembalikan hak-hak kaum papa. Pendek kata, kebanyakan orang berpandangan keliru, yaitu menganggap para nabi, untuk mencapai tujuannya, menggunakan senjata iman, dan karena itu pengikut para nabi juga hams mengikuti langkah yang sama. Pandangan ini merupakan rekayasa kelas pengeksploitasi, dan tujuannya adalah agar ajaran para nabi tidak mencapai sasaran. Pandangan ini dikemukakan sedemikian rupa sehingga diterima hampir dengan suara bulat. Dengan kata-kata Marx, memberikan harta material kepada masyarakat, berarti memberikan harta intelektual kepada masyarakat. Sesungguhnya penguasa material masyarakat juga merupakan penguasa spiritual masyarakat, dan penguasa seperd inilah yang menguasai pemikiran masyarakat.

Metode fungsional para nabi beda dengan apa yang sekarang dipercaya kebanyakan orang. Para nabi terlebih dahulu membebaskan masyarakat dari kemusyrikan sosial, diskriminasi sosial, tirani dan kemusyrikan perilaku, baru kemudian memperhatikan ke-yakinan pada tauhid dan kesalehan praktis.
Kelima: Al-Qur'an selain menyebutkan argumen yang dikutip sebagai bukti oleh para penentang nabi di sepanjang sejarah, juga menyebutkan argumen para nabi dan pengikut mereka. Dengan jelas Al-Qur'an menunjukkan bahwa logika kaum penentang tersebut selalu berupa logika konservatisme, konvensionalisme, dan merujuk ke masa lalu, sedangkan logika para nabi dan pengikut mereka berupa non-konvensionalisme dan melihat ke depan. Al-Qur'an menjelaskan bahwa, dari sudut pandang sosiologis, penentang para nabi menggunakan argumen yang, dalam sebuah masyarakat yang terbagi menjadi kelas pengeksploitasi dan kelas tereksploitasi, biasanya juga digunakan oleh kelas pengeksploitasi. Di pihak lain, para nabi dan pengikut mereka menggunakan argumen yang di sepanjang sejarah digunakan oleh kaum yang menderita, kaum fakir miskin dan kaum papa.

Al-Qur'an dengan seksama menyebutkan argumen kaum penentang dan kaum pendukung nabi, dan menunjukkan logika mereka. Seperti dua kelompok ini, dua perangkat argumen mereka selau berdampingan di sepanjang sejarah. Al-Qur'an menyebutkan argumen ini agar bisa dibuat ukuran untuk menilai teori-teori dewasa ini sekalipun. Dalam Al-Qur'an argumen para nabi dan argumen penentang para nabi dikemukakan secara berdampingan.[1] Sebagai contoh, kami kutipkan beberapa ayat Al-Qur'an dengan disertai penjelasan ringkasnya:

Dan mereka mengatakan: "Kalau Allah berkehendak, tentu kami tidak akan menyembah malaikat," (seperti yang kami lakukan sekarang, dan kalau kami menyembah malaikat, itu artinya karena Allah menghendaki demikian. Doktrin takdir). "Mereka tak mengetahui apa pun tentang itu," (tentang perkataan mereka mengenai takdir. Perkataan mereka tidak didasarkan pada argumen yang logis). "Mereka hanyalah menduga-duga saja. Bukankah telah Kami berikan kepada mereka Kitab Suci sebelum Al-Qur'an, agar mereka berpegang teguh padanya?" (Tak ada hal seperti itu. Mereka tidak memiliki Kitab wahyu yang dapat mendukung konsepsi takdir mereka). Sesungguhnya perkataan mereka hanyalah: "Kami dapati bapak-bapak kami menempuh suatujalan, dan kami mendapat panduan darijejak mereka." Namun Kami tidak mengutus seorang pemberi peringatan sebelum kamu (Nabi Muhammad saw) he kota, kecuali orang-orangnya yang hidup mewah mengatakan: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menempuh suatu jalan dan kami mengikuti jejak mereka. " Nabi mengatakan kepada mereka: "Meskipun aku bawakan untukmu petunjuk yang lebih baik daripada yang kamu dapati bapak-bapak kamu mengikutinya?" (Dan kamu tahu pasti bahwa secara logika petunjuk yang aku bawakan ini lebih baik, namun kamu tetap saja mengikuti jejak bapak-bapak kamu). Mereka menjawab: "Bagaimanapun juga kami menolak apa yang kamu bawa." (QS. az-Zukhruf: 20-24)

Ternyata kaum penentang nabi sering menggunakan argumen takdir dan fatalisme. Seperti ditunjukkan oleh sosiologi, ini merupa-kan logika orang-orang yang mendapat keuntungan dari situasi yang ada, yaitu orang-orang yang ingin mempertahankan status quo, dan menggunakan takdir sebagai dalih untuk mencegah terjadinya perubahan. Mereka sering menggunakan praktik leluhur mereka untuk melegitimasi perbuatan mereka, dan menggambarkan masa lalu sebagai sakara) dan patut diteladani. Bagi mereka, cukup sudah kalau membuktikan kebenaran dan keabsahan sesuatu yang ada hubungannya dengan masa lalu. Ini tak lain hanyalah logika kaum konservatif dan kaum yang mendapat keuntungan dari situasi yang ada.

Sebaliknya, para nabi, bukannya mendukung fatalisme dan konvensionalisme, tapi justru mendukung sesuatu yang lebih logis, lebih ilmiah dan lebih bermanfaat. Inilah logika kaum revolusioner yang menderita karena situasi yang ada. Kalau argumen kaum penentang kalah dengan argumen para nabi, maka yang dapat mereka katakan tinggallah, "Meskipun fatalisme itu sebuah teori yang benar atau tidak, dan meskipun praktik konvensional itu patut dihormati atau tidak, yang pasti kami menolak risalahmu, misimu dan ideologimu, karena risalahmu tidak sesuai dengan kepentingan sosial dan kelas kami yang ada."
Keenam: Yang sangat penting adalah orientasi Al-Qur'an dalam konflik antara kaum papa dan kaum arogan. Kalau prediksi materialisme sejarah didasarkan pada logika dialektikanya, maka Al-Qur'an percaya bahwa dalam konflik ini kemenangan terakhir ada di tangan kaum papa. Dalam hubungan ini Al-Qur'an menggaris-bawahi arah tak terelakkan dari progresi sejarah, dan menunjukkan bahwa kelas yang memiliki kualitas revolusioner selalu memperoleh kemenangan dalam konfliknya dengan kelas yang pada dasarnya berkualitas reaksioner dan konservatif dan bahwa kelas yang memiliki kualitas revolusioner akan menggantikan kelas yang berkualitas reaksioner dan konservatif dalam penguasaan atas bumi. Al-Qur'an mengatakan:

Dan Kami hendak memberikan karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi). (QS. al-Qashash: 5)

Dalam ayat berikut juga dikatakan:

Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu negeri-negeri bagian timur dan baratnya yang telah Kami beri berkah. Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Isra 'il disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir'aun dan kaumnya dan apa yangtelah mereka bangun. (QS. al-A'râf: 137)

Pandangan Al-Qur'an bahwa sejarah bergerak menuju kemenangan kaum tertindas dan tereksploitasi, benar-benar sesuai dengan norma atau prinsip yang kami simpulkan sebelumnya dari teori materialisme sejarah yang substansi umumnya adalah bahwa reaksionisme dan konservatisme merupakan sifat khas eksploitasi. Karena sifat ini bertentangan dengan hukum evolusi, maka eksploitasi cepat atau lambat pasti sirna. Tidak pada tempatnya di sini mengutip, dengan disertai ulasan, satu bagian dari sebuah artikel yang baru terbit dan ditulis oleh beberapa intelektual yang telah meninggalkan intelektualisme menuju Marxisme. Ayat Al-Qur'an yang terakhir dikutip itu digunakan sebagai judul artikel ini. Di bawah judul ini artikel itu mengatakan:

"Yang lebih menarik adalah dukungan dari Allah dan semua fenomena dunia untuk kaum tertindas. Tak dapat dipungkiri bahwa, menurut pola pikir Al-Qur'an, kaum tertindas ini adalah massa tertindas yang tak dapat ikut menentukan nasibnya sendiri. Kalau melihat posisi massa ini dan dukungan Allah untuk mereka, maka pertanyaannya adalah, Siapakah kaum yang melaksanakan kehendak Allah ini? Jawabnya sudah jelas. Kalau masyarakat diakui terbentuk sedemikian rupa sehingga ada dua kelas yang saling berseberangan, yaitu kelas penindas dan kelas tertindas, dan juga diketahui bahwa kehendak Allahlah yang pada akhimya membuat kelas tertindas mewarisi bumi dan menjadi pemimpin di muka bumi dan kelas penindas harus lenyap, maka jelaslah bahwa kehendak Allah dilaksanakan oleh kelas tertindas dengan kepemimpinan para pemimpin dan intelektualnya. Dengan kata lain, para nabi dan martir dari kalangan kelas tertindas inilah yang mengambil langkah pertama memerangi sistem tirani yang menindas, dan yang memuluskan jalan bagi kepemimpinan dan supremasi kelas tertindas. Gagasan ini merefleksikan pengetahuan kita tentang konsepsi Al-Qur'an mengenai revolusi agama dan perubahan sejarah. Karena, dari sudut pandang sosial, revolusi kaum pengikut tauhid berkisar pada kepemimpinan kaum tertindas dan diwarisinya bumi oleh kaum tertindas, tentu pemimpin dan perintis gerakan mereka berasal dari kalangan mereka sendiri, dan tentu pula ideologi sosial mereka adalah ideologi mereka sendiri."

Dalam tesis di atas ada beberapa poin: (1) Menurut Al-Qur'an, masyarakat memiliki dua kutub, selalu ada dua kelas yang berseberangan dalam masyarakat, yaitu kelas penindas dan kelas tertindas. (2) Kehendak Allah (atau, dalam kata-kata artikel terkutip di atas, dukungan dari Allah dan semua fenomena) arahnya adalah mewujudkan kepemimpinan kelas tertindas dan diwarisinya bumi oleh kelas tertindas sebagai norma universal. Dalam hal ini, tak ada bedanya antara kaum beriman dan kaum kafir atau antara ahli tauhid dan kaum musyrik. Ayat terkutip di atas merumuskan norma umum dan universal. Allah selalu menganugerahkan kemenangan kepada kaum tertindas. Dengan kata lain, dalam sejarah selalu ada konflik terutama antara kaum tertindas dan kaum penindas, dan hukum evolusi menghentiaki kemenangan kaum tertindas atas kaum penindas. (3) Kehendak Allah terealisasi dalam masyarakat melalui kaum tertindas. Pemimpin, perintis, nabi dan martir berasal dari kalangan kaum tertindas, bukan dari kelas lain. (4) Selalu ada keselarasan antara basis intelektual dan sosial masyarakat di satu pihak dan basis kelas di pihak lain.

Jadi ternyata beberapa prinsip Marxis mengenai sejarah di-bentuk dari ayat Al-Qur'an terkutip di atas, dan ternyata pula Al-Qur'an menggemakan filosofi Marx 1200 tahun sebelum Marx lahir. Karena konsepsi tentang sejarah ini diklaim dibentuk dari Al-Qur'an, mari kita lihat bagaimana kesimpulan dari penerapan konsepsi ini pada sejarah kontemporer. Mereka yang membentuk apa yang disebut konsepsi Al-Qur'an ini segera menerapkan konsepsi ini sebagai batu ujian bagi analisis mengenai gerakan agama. Menurut mereka, Al-Qur'an menyebutkan bahwa pemimpin gerakan revolusi berasal dari kaum tertindas. Namun dewasa ini tampaknya ahli teologi yang menjadi satu dari tiga dimensi sistem yang mencemari sejarah ini telah menjadi revolusioner. Lantas bagaimana memecahkan keganjilan ini?

Menurut para intelektual ini, jawabannya sederhana saja. Tak dapat dipungkiri bahwa ada konspirasi. Ketika merasa eksistensinya terancam, penguasa, untuk menyelamatkan kepentingannya, menyuruh ahli teologi yang bergantung padanya untuk berperan sebagai revolusioner. Inilah kesimpulan dari konsepsi Marxis ini (maaf, konsepsi Al-Qur'an). Jelaslah, menguntungkan siapa kesimpulan seperti itu.

Ulasan

Apa yang telah dikemukakan untuk melegitimasi teori materialisme sejarah dari sudut pandang Al-Qur'an itu sendiri, kalau tidak salah sama sekali, ya benar, meski kesimpulannya salah. Sekarang mari kita telaah argumen-argumen di atas.
Pertama, mutlak salah kalau mengatakan bahwa Al-Qur'an membagi masyarakat menjadi dua kelas material yang berseberangan dan dua kelas spiritual yang juga berseberangan, dan dua kelas ini sama. Dengan kata lain, salah kalau mengatakan bahwa, dari sudut pandang Al-Qur'an, orang kafir, orang tidak beragama, orang munafik dan orang jahat setali tiga uang dengan kaum aristokrat, kaum arogan dan tiran, dan begitu pula kaum beriman, ahli tauhid dan syuhada setali tiga uang dengan kaum tertindas dan kaum papa. Adalah dusta kalau mengatakan bahwa konfrontasi kaum kafir dengan kaum beriman merefleksikan konfrontasi kaum penindas dengan kaum tertindas. Kesamaan seperti itu sama sekali tidak dapat disimpulkan dari Al-Qur'an. Justru yang dapat disimpulkan dari Al-Qur'an berbeda sekali dengan itu.

Dalam pelajaran sejarahnya Al-Qur'an menunjukkan bahwa ada orang-orang beriman yang berasal dari kelas arogan dan aristokrat, dan mereka berjuang melawan kelas dan nilai-nilai kelas mereka sendiri. "Anggota keluarga Fir'aun yang beriman" yang kisahnya disebutkan dalam sebuah Surah Al-Qur'an dengan nama ini, merupakan sebuah contoh. Al-Qur'an juga menyebutkan istri Fir'aun yang memiliki hak-hak istimewa dan yang juga menikmati kesenangan seperti yang dinikmati Fir'aun sendiri, meski demikian istri ini seorang beriman. Al-Qur'an membawakan kisah tukang sihir Fir'aun. Kisah ini menunjukkan betapa naluri manusia untuk mencari kebenaran memberontak melawan kepalsuan dan kecurangan, dan memandang rendah kepentingan pribadinya. Para tukang sihir ini tidak takut ancaman Fir'aun yang akan menggantung mereka dan memotong tangan dan kaki mereka.

Menurut kisah yang disebutkan Al-Qur'an ini, berontaknya Nabi Musa as pada dasarnya merupakan pemberontakan yang menghancurkan teori materialitas sejarah. Memang Nabi Musa adalah seorang Isra'il, bukan Koptik. Dia bukan dari keluarga Fir'aun. Namun sejak bayi dia dibesarkan di istana Fir'aun bagaikan pangeran. Meski hidup di tengah sistem ini dan memperoleh keuntungan dari sistem ini, dia tetap saja menentang sistem Fir'aun ini. Dia meninggalkan istana Fir'aun, dan memilih jadi gembala orang tua Madyan. Dia kemudian diangkat menjadi nabi, dan sejak itu dia resmi konflik dengan Fir'aun.

Ketika kanak-kanak, Nabi Muhammad saw adalah seorang yatim, dan miskin sampai usia muda. Nabi saw baru jadi berada setelah menikah dengan Khadijah as. Al-Qur'an mengatakan:

Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. (QS. adh-Dhuhâ: 6, 8)

Menurut prinsip materialisme sejarah, ketika Nabi saw jadi orang berada, semestinya Nabi saw berubah menjadi seorang konservatif yang melegitimasi status quo. Namun selama periode ini misi revolusionernya justru dimulai, dan Nabi saw menentang kaum kapitalis, kaum penjarah dan kaum pemilik sahaya dari Mekah, dan memerangi penyembahan berhala, simbol gaya hidup itu.

Tidak betul kalau semua orang beriman, ahli tauhid dan revolusioner tauhid adalah dari kelas papa. Dari kelas penindas ada juga orang yang belum atau tidak begitu rusak dan menentang dirinya sendiri (bertobat) atau menentang kelasnya (revolusi). Tidak semua orang tertindas beriman, juga tidak semua orang tertindas revolusioner tauhid. Karena itu jelaslah bahwa tidak semua orang beriman adalah dari kelas tertindas, juga tidak semua kelas tertindas adalah beriman. Tidak masuk akal kalau mengklaim bahwa dua kelas ini setali tiga uang. Namun, memang kebanyakan pengikut Nabi saw adalah dari kelas tertindas atau seudaknya dari kelas yang tangannya belum tercemari penindasan. Begitu pula, kebanyakan penentang para nabi adalah penindas.

Sekalipun fitrah yang mempersiapkan fondasi untuk menerima risalah Tuhan dimiliki semua manusia, namun kaum aristokrat penindas yang hidup mewah jadi begitu biasa dengan eksistensi posisi mereka sehingga gaya hidup mereka ini menjadi perintang mereka sendiri. Agar dapat menerima kebenaran, mereka perlu melepaskan diri dari efek pencemaran yang ditimbulkan oleh harta dan takhta, meski sedikit sekali yang berhasil. Kelas tertindas justru tidak terintangi seperti itu. Dengan menerima kebenaran, bukan sekadar menjawab seruan fitrah mereka, mereka juga mendapatkan kembali hak mereka yang hilang. Bagi mereka, beriman selain merupakan tanda yang baik, juga merupakan kenikmatan. Namun betul kalau mayoritas pengikut para nabi berasal dari kelas tertindas dan hanya sedikit yang berasal dari kelas lain. Namun masalah apa yang diklaim sebagai sama itu sama sekali tidak masuk akal.

Konsepsi Al-Qur'an mengenai karakter hakiki sejarah beda dengan apa yang dikatakan oleh prinsip-prinsip materialisme sejarah. Menurut Al-Qur'an, rohani itu dasar, dan materi sama sekali tidak mendahului rohani. Eksistensi kebutuhan rohani dan dorongan rohani dalam diri manusia tak bergantung pada kebutuhan materialnya. Pikiran dan kerja adalah sama-sama fundamental. Personalitas psikis manusia jauh lebih penting dibanding personalitas sosialnya. AVQur'an mempercayai fundamentalitas fitrah manusia. Al-Qur'an berpendapat bahwa dalam diri setiap manusia, sekalipun dia itu Fir'aun, ada manusia fitah, dan manusia fitrah ini mungkin saja tertawan. Al-Qur'an berpandangan bahwa bagi manusia yang sangat jahat sekalipun selalu ada kemungkinan untuk menuju arah yang benar dan menerima kebenaran, meskipun kemungkinan ini kecil sekali. Itulah sebabnya para nabi menyuruh menasihati dahulu kaum tiran agar berubah haluan dan mengajak personalitas fitrah mereka untuk bangkit menentang personalitas sosial mereka yang sangat keji. Dalam banyak kasus, upaya seperti itu memperoleh sukses. Kesuksesan ini disebut tobat.

Pada tahap pertama misinya, Nabi Musa diperintahkan untuk menemui Fir'aun dan mencoba membangunkan fitrahnya yang terlelap. Nabi Musa baru boleh memerangi Fir'aun kalau upayanya ini menemui kegagalan. Dari sudut pandang Musa, Fir'aun memenjarakan manusia fitrah di dalam dirinya sendiri, dan memenjarakan banyak orang di luar sana. Mula-mula Musa as menemui Fir'aun untuk memprovokasi tawanan batinnya, yaitu Fir'aun fitrah atau apa pun yang tersisa dari dirinya, untuk memberontak melawan Fir'aun sosial atau Fir'aun sebagaimana adanya dalam masyarakat. Allah berfirman kepada Nabi Musa as:

Pergilah kamu kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, dan katakanlah (kepada Fir'aun): "Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan kamu akan kupimpin kejalan Tuhanmu agar kamu takut kepada-Nya?" (QS. an-Nâzi'ât: 17-19)

Untuk tujuan membimbing, Al-Qur'an mempercayai nilai dan efektivitas nasihat dan argumen logis (dalam kata-kata Al-Qur'an sendiri, kearifan). Dari sudut pandang Al-Qur'an, nasihat dan argumen logis dapat memperbarui manusia, mengubah haluan hidupnya, mengubah kepribadiannya dan mewujudkan revolusi rohani dalam dirinya. Al-Qur'an tidak percaya kalau peran ideologi itu terbatas, padahal menurut Marxisme dan Materialisme peran memberi petunjuk sekadar menyadarkan orang akan kontradiksi kelas saja.

Juga salah kalau menyatakan bahwa Al-Qur'an ditujukan untuk orang kebanyakan yang setali tiga uang dengan massa yang papa, dan bahwa risalah Islam ditujukan untuk kelas tertindas saja, atau bahwa ideologi Islam adalah ideologi kaum tertindas, dan penganut serta prajurit Islam hanya dari kalangan massa tertindas. Sesungguhnya Islam ditujukan untuk "nâs", dan arti "nâs" adalah manusia pada umumnya. Tidak ada kamus yang mengartikan "nâs" massa tertindas. Kata ini juga tidak digunakan oleh orang Arab dalam pengertian itu. Sesungguhnya kata ini tak ada arti kelasnya. Al-Qur'an mengatakan:

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia (nâs) terhadap Allah, yaitu bagi orang yang. sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (QS. A^li 'Imrân: 97)

Dapatkah kata "nâs" dalam ayat ini berarti massa tertindas? Al-Qur'an banyak menggunakan frase, "Ya ayyuhannâs". Kata-kata ini tidak ada yang berarti massa yang papa. Kata-kata ini selalu di­gunakan untuk menyapa manusia pada umumnya. Generalitas audiens Al-Qur'an lahir dari teori fitrah manusia seperti disebutkan dalam Al-Qur'an.
Ketiga, ada klaim bahwa menurut Al-Qur'an semua pemimpin, perintis dan syuhada hanya berasal dari kalangan massa tertindas. Ini juga merupakan pandangan yang salah. Tidak masuk akal kalau, dengan berdasarkan Surah al-Jumu'ah ayat 2, menyimpulkan bahwa Nabi saw adalah dari kalangan umat dan bahwa umat berarti massa. Kata yang digunakan dalam ayat ini adalah ummiyyin, bentuk jamak dari ummi, yang artinya adalah buta aksara. Kata ini adalah kata sifat dari umm dan bukan dari ummah. Bahkan kata ummah artinya adalah masyarakat yang terdiri atas beragam kelompok, yang sering saling berselisih. Artinya sama sekali bukan massa. Bahkan yang lebih tidak masuk akal adalah mengutip ayat berikut ini untuk dijadikan argumen. Terjadi salah tafsir (distorsi) sehingga artinya adalah, "Kami datangkan dari setiap umat (massa) seorang saksi," (yaitu revolusioner). Lalu Kami berkata: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu, " (yaitu revolusioner yang gugur di jalan Allah). (QS. al-Qashash: 75)

Pertama: Ayat ini mengikuti ayat lain. Kedua ayat ini saling berhubungan dan berkenaan dengan kejadian-kejadian pada Hari Kebangkitan. Ayat sebelumnya adalah: Hari ketika Allah akan berseru kepada kaum tak beragama: "Di manakah sekutu-sekutu yang kamu klaim (ada)?"

Kedua: Kata "naza'na" dalam ayat ini artinya adalah "Kami cabut", bukan "Kami datangkan".

Ketiga: Kata "syahid” dalam ayat ini bukan berarti martir atau syuhada, artinya adalah saksi. Menurut Al-Qur'an, setiap nabi adalah saksi atas perbuatan kaumnya. Dalam Al-Qur'an tak ada satu contoh pun yang menggunakan kata "syahid" dalam pengertian martir atau syuhada seperti yang umumnya digunakan dewasa ini. Namun, dalam sabda Nabi saw dan para imam, kata itu digunakan dalam pengertian ini. Namun dalam Al-Qur'an tidak demikian. Jadi, jelaslah betapa ayat-ayat Al-Qur'an disalahtafsirkan untuk kepentingan melegitimasi konsepsi sesat Marx.

Keempat: Perlu diketahui tujuan para nabi. Apakah tujuan pertama dan utama mereka adalah menegakkan keadilan dan mewujudkan perilaku tercerahkan, atau menciptakan ikatan iman dan pengetahuan spiritual antara manusia dan Allah, atau mewujudkan keduanya? Dengan kata lain, apakah para nabi bersikap ganda berkenaan dengan tujuan mereka, atau adakah kemungkinan lain? Masalah ini sudah dibahas ketika membicarakan topik Kenabian, dan karena itu tidak perlu dibahas lagi di sini. Di sini yang ditelaah hanyalah metode yang diguna­kan para nabi untuk mencapai tujuan mereka. Seperti sudah ditunjukkan ketika membahas tauhid praktis, para nabi mengerahkan segenap upaya mereka bukan untuk membebaskan manusia dari dalam dan memutuskan hubungan manusia dengan hal-hal lain seperti diklaim kaum sufi, juga tidak untuk meningkatkan dan memodifikasi hubungan keluarnya seperti diklaim beberapa mazhab lain. Dengan ringkas Al-Qur'an mengatakan:

Marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah, dan tidak kita persekutukan Dia dengan apa pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. (QS. A^li 'Imrân: 64)

Sekarang masalahnya adalah apakah kerja para nabi dimulai dari dalam atau dari luar. Apakah para nabi mula-mula berupaya mewujudkan revolusi rohaniah dengan cara membentuk iman dan antusiasme spiritual, baru kemudian membangkitkan orang-orang yang sudah siap pikiran dan emosinya untuk menegakkan tauhid sosial, melakukan pembaruan sosial dan menegakkan keadilan sosial. Ataukah para nabi mula-mula menaruh perhatian pada masalah-masalah keadilan sosial dan membangkitkan prang-orang seperti itu untuk melenyapkan kemusyrikan sosial dan diskriminasi sosial, dan baru kemudian menanamkan iman serta kebajikan doktrin dan moral.

Kalau metode para nabi ini sedikit kita kaji, maka akan kelihatan bahwa tak seperti para pembaru, para nabi dan imam mengawali dengan menanamkan iman, keyakinan dan kesungguhan jiwa, dan mengingatkan orang akan awal dan tujuan ras manusia. Masalah ini akan jadi jelas kalau kita telaah urutan turunnya Surah-surah dan ayat-ayat Al-Qur'an, dan kalau kita kaji masalah-masalah yang menjadi perhatian Nabi saw selama misi 13 tahun di Mekah dan misi 10 tahun di Madinah.

Kelima: Wajar saja kalau penentang para nabi pada umumnya berpandangan konservatif. Namun dari Al-Qur'an tak dapat disimpulkan bahwa tanpa kecuali para penentang tersebut berpandangan seperti itu, atau bahwa semuanya dari kelas berada kaum pengeksploitasi. Yang dapat disimpulkan dari Al-Qur'an adalah bahwa konservatisme merupakan logika pemimpin para penentang nabi. Tak dapat dipungkiri mereka adalah aristokrat yang angkuh dan, dalam kata-kata Marx, karena menguasai barang-barang material dalam masyarakat, mereka juga memberikan barang-barang intelektual kepada orang lain. Juga wajar saja kalau logika para nabi adalah logika dinamisme, nalar dan menganggap tak penting adat dan kebiasaan lama. Namun pola pikir mereka bukanlah hasil tak terelakkan dan refleksi dari rasa kepapaan mereka, melainkan lahir akibat fakta bahwa mereka adalah manusia sempurna, pikiran dan sentimen mereka sepenuhnya matang. Nanti akan ditunjukkan bahwa kalau manusia mencapai kematangan sisi manusiawinya, maka ketergantungannya pada lingkungan alamnya, atmosfer sosialnya, dan kondisi materialnya tereduksi, dan dia pun lalu tak tergantung semua itu. Pola pikir mandiri para nabi menuntut mereka untuk tidak terikat tradisi dan adat lama, dan untuk membebaskan manusia dari taklid butanya.

Keenam: Perkataan mengenai Surah al-Qashash ayat 5 juga tak dapat diterima, karena beberapa ayat lain berbeda penggambarannya mengenai nasib sejarah, dan secara sambil lain menjelaskan evolusi sejarah. Meskipun arti ayat ini dianggap persis seperti apa yang telah dinyatakan, namun ayat dijelaskan lebih lanjut oleh ayat-ayat lain. Pada dasamya ayat ini tidak merumuskan norma universal, karena itu tak perlu menjelaskannya ketika membandingkannya dengan ayat lain. Sesungguhnya ayat ini berkaitan erat dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Dan jika ketiga ayat ini dilihat sebagai satu kesatuan, maka sangat jelas bahwa dalam ayat ini tak disebut-sebut norma universal. Menurut kami, tepat kalau melihat ayat ini dalam dua bagian. Pada bagian pertama, kami akan melihatnya terlepas dari ayat sebelum dan sesudahnya, dengan anggapan ayat itu secara sendirian merumuskan norma universal sejarah. Kemudian kami akan membandingkannya dengan ayat-ayat lain, yang dari ayat-ayat ini dirumuskan norma sejarah yang sebaliknya, dan melihat apa yang dapat disimpulkan dari semua ayat itu kalau disatukan. Pada bagian kedua akan ditunjukkan bahwa pada dasarnya ayat ini tidak menyebutkan norma sejarah apa pun sebagaimana yang diklaim.
Bagian pertama: Dalam beberapa ayat, Al-Qur'an menyebut evolusi sejarah, dan mengatakan bahwa nasib sejarah adalah kemenangan final iman atas kekufuran, kesalehan atas ketidak-bermoralan, kebajikan atas kerusakan, dan amal saleh atas perbuatan dosa. Dalam ayat berikut ini terbaca:


20