• Mulai
  • Sebelumnya
  • 11 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 1577 / Download: 1205
Ukuran Ukuran Ukuran
Mengenal Ulama Besar syiah(3)

Mengenal Ulama Besar syiah(3)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Mengenal Para Ulama Besar Syiah

Mengenal Para Ulama Besar Syiah (22)

Kali ini, kita akan berkenalan dengan salah satu ulama besar di bidang fikih dan hadis teologi Syiah. Dia adalah tokoh besar dari wilayah Jabal ‘Amil, Lebanon, yang menjadi tempat rujukan dan pengibar panji-panji syariat.

Muhammad ibn Makki yang dijuluki Syamsuddin, adalah salah satu ulama abad kedelapan Hijriyah. Ia dikenal sebagai Syahid Awwal atau Syeikh Syahid karena gugur dibunuh oleh para pendendam. Muhammad ibn Makki lahir pada tahun 734 H di Jabal ‘Amil. Ini adalah daerah pegunungan yang indah di Lebanon, dan meski ukurannya kecil, ia menjadi tanah kelahiran bagi banyak ulama.

Konon, lebih dari 70 mujtahid pernah hadir dalam sebuah acara di Jabal ‘Amil dalam waktu bersamaan. Hal ini menunjukkan banyaknya jumlah ulama Syiah yang bermukim di Jabal ‘Amil waktu itu.

Muhammad ibn Makki lahir di bumi para ulama dan di tengah keluarga, di mana para anggotanya merupakan ulama dan pecinta ilmu. Dia menetap di tanah kelahirannya sampai usia 16 tahun. Ia belajar pendidikan dasar dan lanjutan dari ayahnya serta para ulama Jabal ‘Amil. Dia kemudian hijrah ke kota al-Hillah, Irak untuk melanjutkan studinya kepada para ulama besar, dan hanya satu tahun setelah tinggal di Hillah, Muhammad ibn Makki berhasil memperoleh gelar ijtihad pada usia 17 tahun.

Dia menetap di Hillah selama 5 tahun. Selama di sana, ketekunan dan kecerdasannya dipuji oleh para guru besar kota tersebut, seperti Fakhrul Muhaqiqin Hilli, putra Allamah Hilli. Sampai-sampai Fakhrul Muhaqiqin menyebut Syahid Awwal yang masih berusia 17 tahun, sebagai imam (pemimpin), allamah besar, ilmuwan dunia yang paling mulia.

Syahid Awwal kembali ke kampung halamannya di Jazzin, Jabal ‘Amil pada usia 21 tahun dan dalam tempo singkat, ia mendirikan hauzah ilmiah besar dan berhasil mendidik banyak pelajar. Selain mengajar dan menulis banyak buku, ia juga menjawab persoalan seputar agama, akidah, dan masalah sosial masyarakat.

Selain ulama andalan mazhab Syiah, Muhammad ibn Makki juga menguasai literatur-literatur mazhab Sunni sedemikian rupa sehingga orang-orang Sunni juga merujuk kepadanya dalam urusan ibadah dan persoalan agama mereka. Ulama besar ini mengeluarkan fatwa sesuai dengan mazhab mereka dan memecahkan persoalan mereka.

Sebagian orang menganggap Syahid Awwal sebagai ulama Syafi’i, karena ia sangat menguasai literatur mazhab Sunni dan mengeluarkan fatwa-fatwa agama sesuai dengan mazhab Sunni.

Syahid Awwal melakukan perjalanan ke banyak daerah, termasuk Damaskus, Mesir, Palestina, Mekah, dan Madinah, untuk bertemu para ulama besar dan memperoleh ilmu dari mereka. Kota-kota inilah yang menjadi pusat rujukan ilmu pengetahuan Dunia Islam saat itu.

Tokoh hebat ini juga menulis banyak karya yang berpengaruh besar. Buku “Dzikra al-Syiah fi Ahkam al-Syari 'ah” merupakan salah satu karyanya tentang hukum bersuci dan shalat yang diterbitkan di Iran pada tahun 1271 H. Karya lain dari ulama besar ini adalah “al-Durus al-Syar'iyah fi Fiqh al-Imamiyah” yang memuat banyak tema-tema yurisprudensi. Sayangnya, ia gugur syahid sebelum menyelesaikan penulisan buku penting ini.

Syahid Awwal memiliki banyak buku lain tentang tema haji, puasa, shalat, serta tentang masalah teologis dan prinsip-prinsip akidah. Para ulama lain telah menuliskan syarah untuk buku-buku tersebut karena tema-temanya yang penting. Dia juga menulis risalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan umat.

Karya yang paling terkenal dari Syahid Awwal adalah kitab “al-Lum'ah al-Dimasyqiyah” yang memuat pelajaran fikih seputar hukum-hukum praktis Islam. Mengenai alasan penulisan buku ini, ia berkata, “Saya menulis buku ini untuk memenuhi permintaan seseorang yang taat beragama.”

Pada tahun 766 H, Sultan Ali bin Mu'ayyid memimpin pemerintahan Sarbadar di Khurasan. Dia adalah penguasa Syiah, dan menaruh ketertarikan besar pada Syahid Awwal dan berulang kali mengundangnya ke Khurasan untuk membimbing masyarakat. Karena beberapa alasan, Syahid Awwal tidak dapat memenuhi undangan itu. Sebagai gantinya, ia menulis dan mengirimkan kepadanya sebuah buku, “al-Lum'ah al-Dimasyqiyah.”

Syahid Awwal juga memainkan peran efektif dalam membimbing umat Islam dan menjadi pelindung mazhab Syiah. Ia tidak diam menghadapi bid'ah dan penyimpangan serta berusaha menjaga kebenaran agama hingga akhir hayatnya.

Sebagai contoh, di masa hidup Syahid Awwal, seseorang bernama Mohammad Yalushi – awalnya salah satu murid dari ulama besar ini – terjebak dalam godaan hawa nafsu dan mengaku dirinya sebagai nabi. Ia mulai menyesatkan masyarakat dari agama dan ketika fitnahnya semakin menjadi-jadi, Syahid Awwal mengeluarkan fatwa eksekusi terhadap Yaloushi dan mendorong pemerintah Damaskus untuk melawan Yalushi.

Akhirnya pecah perang, Yalushi dan sekelompok pengikutnya terbunuh. Akar fitnah dan penyimpangan telah punah, tetapi para pendendam dari sekte Yalushi menunggu kesempatan untuk membalas dendam. Dengan memfitnah dan mencela Syahid Awwal, mereka memaksa 70 anggota sebuah suku yang membencinya, untuk bersaksi di hadapan hakim bahwa akidah Syahid Awwal telah menyimpang.

Fitnah ini menyebabkan Syahid Awwal dijebloskan ke penjara selama setahun di Benteng Damaskus. Dia menolak tuduhan tersebut, tetapi para pendendam dan penghasut terus berusaha untuk menyingkirkan ulama besar ini. Mereka berhasil memprovokasi masyarakat yang tidak mengenalnya, untuk memberikan kesaksian yang memberatkan Syahid Awwal. Mereka pun bersaksi di hadapan hakim.

Di sisi lain, para pendukung Syahid Awwal sangat khawatir dan memprotes penahanan mujahid besar ini. Hakim Damaskus pun ingin mengakhiri perkara ini secepat mungkin. Dia menggelar sidang dan menjatuhkan vonis eksekusi terhadap Syahid Awwal, meskipun ia menolak semua tuduhan dan fitnah. Dengan demikian, Muhammad ibn Makki dipenggal dengan pedang pada 9 Jumadil Awal tahun 786 H pada usia 52 tahun di Benteng Damaskus.

Namun, para penghasut tetap tidak puas dan melempari batu jasad ulama ini setelah dieksekusi, kemudian mereka membakarnya. Tindakan tidak manusiawi ini dilakukan oleh mereka yang mengaku dirinya Muslim. Dengan fitnah dan hasutan, mereka menuduh ulama terbesar pada masa itu telah keluar dari agama Rasulullah Saw.

Syahid Awwal bukanlah ulama Syiah pertama yang menjadi martir. Alasan penamaannya sebagai Syahid Awwal lantaran ia merupakan salah satu tokoh ulama terkemuka dan belum pernah ada kejadian seperti itu sebelumnya, di mana seorang ulama dibunuh dengan cara yang paling tragis.

Syahid Awwal meninggalkan empat orang anak, semuanya adalah tokoh dan ulama serta penerus jalan ayahnya. Ketiga putranya merupakan ulama hadis dan faqih terkenal pada masanya. Istri dan putri satu-satunya adalah wanita salehah dan alim, yang menjadi tempat rujukan wanita Muslim untuk belajar agama. Syahid Awwal juga telah mendidik banyak murid yang kelak menjadi ulama besar.

Mengenal Para Ulama Besar Syiah (23)

Allamah Sayid Haidar Amoli Amuli adalah seorang arif besar Syiah, mufasir al-Quran, pakar hadis, dan faqih terkenal yang hidup pada abad kedelapan Hijriyah. Dia adalah salah satu faqih dan teolog pertama yang membangun ikatan yang dalam antara Syiah dan Sufisme.

Ulama dan arif besar ini, terlepas dari semua kapasitas dan pengaruhnya di bidang irfan Syiah, tetapi ia tidak begitu dikenal oleh masyarakat umum dan bahkan oleh para pemikir. Namun, Henry Corbin, seorang filsuf Muslim Prancis, dan Profesor Osman Yahya – keduanya merupakan dosen di Universitas Sorbonne Prancis – telah menerbitkan sejumlah karya milik Allamah Sayid Haidar Amoli selama beberapa dekade terakhir. Langkah ini membuat komunitas ilmiah dan akademis dunia mengenal pemikiran dan kepribadian Sayid Haidar Amoli.

Allamah Sayid Haidar Amoli lahir pada tahun 720 H di kota Amol, Provinsi Mazandaran, Iran. Selama masa mudanya, Sayid Haidar Amoli mempelajari ilmu-ilmu formal pada masanya dengan baik, dan karena ketertarikannya pada ilmu irfan Syiah Imamiyah, dia mulai serius mempelajari dasar-dasar ilmu irfan di samping pendidikan formalnya.

Sayid Haidar Amoli kemudian hijrah ke kota Khurasan dan Isfahan – pusat penting ilmu pengetahuan pada masa itu – untuk menyempurnakan jenjang pendidikannya. Lima tahun kemudian, pada usia 25 tahun ia kembali ke kampung halamannya sebagai seorang alim yang terkenal. Kemasyhuran Sayid Haidar Amoli di bidang ilmu dan akhlak terdengar sampai ke istana penguasa Thabaristan. Raja mengundang ilmuwan muda ini ke istana dan mengangkatnya sebagai menteri.

Masa itu, Sayid Haidar Amoli telah mencapai derajat yang tinggi di bidang ilmu pengetahuan dan akhlak, di samping status sosialnya yang sangat dihormati dan memiliki kehidupan yang sejahtera. Saat sedang di puncak kemapanan dan kesejahteraan, ia menyadari bahwa kehidupan yang seperti itu tidaklah berguna dan sebuah guncangan batin muncul dalam dirinya.

Sayid Haidar Amoli meninggalkan semua yang dimilikinya, termasuk tanah air, jabatan, kekayaan, dan keluarga. Dia hanya membawa bekal seperlunya dan kemudian pergi menziarahi Baitullah, makam suci para imam Ahlul Bait as, dan tempat-tempat suci lainnya di Irak, Palestina, Mekkah, dan Madinah. Inilah awal dari petualangan spiritual dan kehidupan baru Sayid Haidar Amoli.

Sayid Haidar Amoli kembali ke Irak pada usia 30 tahun setelah mengunjungi Baitullah, makam Nabi Saw, dan makam-makam para imam Ahlul Bait as. Di Irak, dia kembali belajar kepada para ulama besar seperti, Fakhr al-Muhaqiqin – putra Allamah Hilli – dan Maulana Nasir al-Din Kashani Hilli, dan mendapat perhatian khusus darinya.

Dia telah menguasai dasar-dasar irfan Islam sejak remaja dan sekarang mulai mempraktikkan dalam kehidupannya dan menjalani tahapan sairus suluk menuju kepada Allah Swt. Pintu ilmu hakikat terbuka baginya satu demi satu karena keikhlasan dan niat yang suci untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan, di samping tekad yang kuat untuk meninggalkan segala sesuatu yang membuatnya melupakan Tuhan.

Sayid Haidar Amoli selain menguasai ilmu fiqih, tafsir, dan pengetahuan Ahlul Bait, juga merupakan seorang pesuluk dan arif. Ulama besar ini yakin bahwa sufisme murni – yang terlepas dari distorsi dan dua kutub ekstrem; ifrath (berlebih-lebihan) dan tafrith (meremehkan) – masih satu paham dengan Syiah murni yaitu sunnah dan sirah Rasulullah Saw dan Ahlul Bait as. Syiah murni adalah sufi, dan sufi yang sejati adalah Syiah, meskipun secara lahiriyah tidak demikian.

Sayid Haidar Amoli menulis sejumlah buku dengan tujuan mengawinkan sufisme dan Syiah. Dia telah melakukan kajian dan penelitian yang luas tentang kedua topik ini. Ketika keyakinannya tentang kedekatan tasawuf dan Syiah tersebar luas, para tokoh Syiah di Irak sangat menentangnya, tetapi Sayid Haidar Amoli berkata kepada mereka, “Saya mengetahui sesuatu yang tidak kalian ketahui dan masih ada yang lebih alim di atas setiap orang alim.”

Irfan adalah salah satu cabang ilmu keislaman yang berbasis pada ajaran al-Quran dan Ahlul Bait. Secara istilah, irfan mengacu pada sebuah pengetahuan khusus yang diperoleh melalui syuhud (penyaksian) meta-indra dan meta-akal. Karena syuhud semacam ini biasanya membutuhkan latihan khusus, maka kegiatan mempraktikkan sairus suluk juga disebut ilmu irfan. Jadi, seorang arif sejati adalah orang yang menjalankan latihan khusus dan memperoleh pengetahuan intuitif dan syuhud tentang Tuhan, sifat-sifat, dan perilaku-Nya.

Sayid Haidar Amoli menentang keras sikap ifrath dan tafrith yang diperlihatkan oleh sebagian sufi, dan ia menjelaskan prinsip-prinsip irfan Islam yang otentik dengan memanfaatkan ajaran Ahlul Bait.

Dia menghubungkan prinsip ilmu irfan dengan wilayah (kepemimpinan), di mana irfan yang menolak kepemimpinan Ahlul Bait Rasulullah berarti bukan irfan dan tasawuf sejati. Sayid Haidar Amoli menganggap jalan hidayah masyarakat akan terjamin dengan berpegang pada syariat dan kepemimpinan Ahlul Bait. Dia secara eksplisit menjelaskan bahwa wilayah adalah inti dari kenabian dan kepemimpinan Ahlul Bait diperlukan untuk mempertahankan eksistensi dan tali penghubung semua makhluk di alam semesta dengan Tuhan.

Sayid Haidar Amoli menulis beberapa buku untuk mencapai tujuan besarnya. Kitab Jami’ al-Asrar merupakan referensi terpenting untuk mengetahui pemikiran Sayid Haidar Amoli tentang ikatan kaum sufi dengan mazhab Syiah Imamiyah. Dalam karyanya ini, ia menjelaskan pendapatnya tentang topik yang sangat penting yaitu “Khatm al-Wilayah” dan mengkritik pemikiran Ibnu Arabi, sufi besar Dunia Islam.

Kajian tentang konsep Khatm al-Wilayah memiliki tempat khusus dalam ilmu irfan Islam. Artinya, dengan berakhirnya periode kenabian, wilayah yang merupakan inti sari dari nubuwah tidak berakhir, tetapi di setiap zaman dan waktu, seorang imam maksum – sebagai khalifah Rasulullah – harus selalu hadir di tengah umat sebagai perantara rahmat Ilahi.

Dengan kata lain, meskipun pintu kenabian dan risalah telah berakhir dengan wafatnya Rasulullah Saw – sebagai nabi terakhir, – namun pintu wilayah dan kepemimpinan Ahlul Bait as masih terbuka.

Sayid Haidar Amoli dalam karya-karyanya menjelaskan bahwa setelah berakhirnya periode kenabian, era kepemimpinan melalui 12 imam maksum dari Ahlul Bait Nabi as telah dimulai. Imam ke-12 yaitu Imam Mahdi as adalah penutup para wali dan tidak ada pintu hidayah, kesempurnaan, dan kebahagiaan kecuali melalui perantaraan Khatam al-Auliya. Inilah salah satu topik penting yang membedakan antara tasawuf dan irfan Syiah dari tasawuf di kalangan Sunni.

Sebagian peneliti meyakini bahwa Ibnu Arabi juga sependapat dengan Sayid Haidar Amoli mengenai masalah tersebut, namun ia menyembunyikan akidahnya karena kondisi sosial dan politik waktu itu, dan tidak mengutarakan pendapatnya secara eksplisit.

Upaya Sayid Haidar Amoli untuk merumuskan prinsip-prinsip ilmu irfan Syiah telah membuahkan hasil, dan pemikiran serta tulisannya terutama buku Jami’ al-Asrar dan Manba’ al-Anwar telah menjadi rujukan yang kredibel bagi mereka yang tertarik dengan irfan Islam dari zaman dulu dan bahkan sampai sekarang.

Dia mampu menjelaskan secara terbuka apa yang tidak disampaikan oleh Ibnu Arabi karena tuntutan kondisi, dan berhasil merangkul banyak ulama Syiah untuk mendukung pandangannya tentang konsep irfan Syiah.

Tidak ada catatan pasti tentang tahun-tahun terakhir dari kehidupan Sayid Haidar Amoli dan waktu wafatnya. Dikatakan bahwa di akhir hayatnya, Sayid Haidar Amoli memilih mensucikan jiwanya dan menjalani hidup terasing. Sepertinya ia meninggal dunia setelah tahun 792 H dan tempat pemakamannya tidak diketahui pasti. Sebagian percaya bahwa ia dimakamkan di Hillah, Irak, dan sebagian yang lain berkata kuburannya berada di kampung halamannya kota Amol, Iran.

Mengenal Para Ulama Besar Syiah (24)

Ali bin Hassan Karaki yang lebih dikenal dengan Muhaqiq Tsani atau Muhaqiq Karaki, termasuk ulama Jabal Amil, Lebanon yang datang ke Iran atas undangan Shah Ismail Safavi, dan berperan besar dalam penyebaran Syiah di negara ini.

Ia mendidik sejumlah murid yang kelak menjadi ulama besar, dan banyak fakih serta cendekiawan abad ke-10 Hijriah Qamariyah yang merupakan muridnya.

Muhaqiq Karaki dikenal sebagai ulama besar dan fakih abad ke-10 Hq. Ia dilahirkan pada tahun 865 Hq di desa Karak, Jabal Amil, Lebanon. Ayahnya merupakan tokoh Syiah di Lebanon, dan ia memberikan nama Ali kepada anaknya untuk mengambil berkah dari Imam Ali bin Abi Thalib as.

Jabal Amil termasuk wilayah yang dianggap sakral, salah satunya karena di sana terdapat banyak makam para nabi, waliullah, dan tokoh agama seperti Yusha bin Nun, wasi Nabi Musa as, dan Nabi Yehezkiel, serta tempat-tempat yang pernah dilewati Nabi Isa as.

Penyebaran Syiah di Jabal Amil, kembali ke pertengahan awal abad pertama Hijriah Qamariyah, yaitu saat tokoh-tokoh besar Islam semacam Salman Farsi, Ammar Yasir, dan Abu Dzar Ghiffari menyebarkan Islam hakiki di wilayah itu.

Diperkirakan kehadiran Abu Dzar di Jabal Amil di masa pengasingannya, lebih dari sahabat Imam Ali as lainnya, menjadi faktor determinan penyebaran Syiah di wilayah tersebut.

Di antara pengikut Syiah asal Jabal Amil terdapat sejumlah banyak ulama saleh yang menerangi Dunia Syiah dengan cahayanya. Syeikh Hurr Amili dalam kitab “Amal Al Amil fi Ulama Jabal Amil”mencatat 100 nama cendekiawan Syiah asal Jabal Amil dan menambahkan puluhan lainnya.

Hauzah Ilmiah Jabal Amil termasuk di antara hauzah yang paling berpengaruh dalam menghidupkan ajaran Ahlul Bait as. Era paling aktif dalam sejarah Hauzah Ilmiah Jabal Amil adalah pada abad 8-11 Hq.

Di masa ini, cendekiawan dan fakih besar semacam Syahid Awal, Syahid Tasni, dan Muhaqiq Karaki lahir dari Hauzah Jabal Amil. Sejumlah ulama besar Jabal Amil datang ke Iran dan berperan aktif menyebarkan Syiah di negara ini. Muhaqiq Karaki salah satunya.

Muhaqiq Tsani atau Muhaqiq Karaki, di masa kecilnya tumbuh di tengah keluarga ulama. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, ia masuk Hauzah Ilmiah Karak, dan belajar kepada ulama besar desa tersebut.

Karak meski sebuah desa, tapi memiliki sebuah hauzah ilmiah kaya yang didatangi para pelajar agama dari berbagai wilayah Lebanon lainnya. Muhaqiq Karaki setelah menimba ilmua di Jabal Amil, berangkat ke Damaskus, Suriah, Baitul Maqdis, Palestina, Mesir dan Irak.

Muhaqiq Karaki di masa remaja melakukan penelitian secara serius seputar masalah fikih dan hadis, sehingga dijuluki Muhaqiq Tsani.

Ia dianggap sebagai peneliti fikih Ahlul Bait as paling unggul setelah Muhaqiq Hilli. Muhaqiq Karaki menulis 71 buku, yang paling terkenal dan paling berharga adalah buku berjudul “Syarh Kitab Qawaid Allamah Hilli” yang lebih dikenal dengan “Jami Al Maqashid fi Syarh Al Qawaid”.

Muhaqiq Tsani juga dijuluki “Shahib Jami Al Maqashid” karena buku ini. Dari sisi tata bahasa, makna, teknik penulisan dan kandungannya, buku tersebut termasuk buku fikih Syiah paling baik.

Di antara ulama Syiah terdapat sebuah keyakinan jika seorang Mujtahid telah memahami tiga kitab yaitu Jami Al Maqashid, Wasail Al Syiah, dan Jawahir, maka untuk mengeluarkan dalil, menetapkan hukum dan menulis kitab fikih, ia tidak memerlukan kitab lain.

Ulama besar Jabal Amil ini setelah berhasil memahami dengan baik pemikiran fikih Ahlu Sunnah dengan baik di Mesir selama beberapa tahun, lalu meninggalkan negara itu.

Di masa itu kemasyhuran Muhaqiq Karaki tersebar di wilayah Muslim lain. Di Najaf, Muhaqiq Karaki aktif mengajar sampai seorang utusan keluarga kerajaan Iran mendatanginya dan membawa pesan Shah Ismail Safavi yang memintanya menyebarkan Syiah di Iran.

Ketika penguasa Kekhalifahan Utsmaniyah mempersempit ruang gerak pengikut Syiah di Irak dan Syam, Muhaqiq Karaki menganggap kondisi ini sebagai kesempatan yang dapat membawa para pengikut Syiah ke puncak kejayaan dan mengenalkan budaya Syiah kepada masyarakat.

Keputusan sangat penting dan sensitif ini dinilai dapat mengubah jalan hidup Muhaqiq Karaki dan para pengikut Syiah, oleh karena itu ia menerima permintaan Shah Iran tersebut, dan pada tahun 916 Hq dalam Perang Herat, ia memenuhi undangan Shah Ismail Safavi.

Saat itu usianya sekitar 50 tahun, namun berjuang sekuat tenaga menyebarkan Syiah di tengah kondisi yang sangat sensitif di Dinasti Safawiyah. Safawiyah adalah dinasti kerajaan Iran yang berkuasa dari tahun 907 hingga 1135 Hq. Mereka mengumumkan Syiah sebagai mazhab resmi kerajaan Iran, dan bertahan hingga lebih dari dua abad.

Mempelajari kehidupan para ulama besar Syiah di era Safawiyah menunjukkan adanya kerja sama ulama dengan kerajaan. Ulama bahkan menerima beberapa pos penting di kerajaan seperti posisi Syeikh Al Islam, dengan satu alasan yaitu menyebarkan dan memperkuat agama serta hukum Islam.

Muhaqiq Karaki datang ke Iran tidak lama setelah Syiah ditetapkan sebagai mazhab resmi negara ini. Di sisi lain karena selama bertahun-tahun hidup di bawah aturan ketat yang membatasi mereka, pengikut Syiah Iran tidak terlalu memahami hukum agama, maka kelangkaan fakih Syiah dan kitab-kitab hukum praktis Islam sangat dirasakan saat itu.

Muhaqiq Karaki pada tahun 916 Hq dapat dikatakan telah meletakkan fondasi mazhab Syiah di Iran. Akan tetapi karena kesibukan Shah Ismail, dan ketidakpeduliannya pada masalah kebudayaan, Muhaqiq Karaki melepaskan jabatan yang diberikan kepadanya pada tahun 929 Hq. Ia meninggalkan Iran dan kembali memulai aktivitas mengajar di Hauzah Ilmiah Najaf.

Muhaqiq Tsani sibuk mengajar di Najaf selama enam tahun, dan mendidik para pelajar agama serta orang-orang yang dahaga akan ilmu Ahlul Bait as. Setelah meninggalnya Shah Ismail, Shah Tahmaseb Safavi kembali mengundang Muhaqiq Karaki untuk datang ke Iran.

Pada tahun 935 Hq, Muhaqiq Tsani untuk kedua kalinya datang ke Iran, dan mendapat lebih banyak fasilitas di banding sebelumnya. Shah Tahmaseb sangat menghormati kepribadian dan keluhuran ilmu Muhaqiq Karaki. Ia mengatakan, Anda lebih layak mengurus pemerintahan daripada saya, karena Anda wakil Imam Mahdi as, sementara saya adalah salah satu dari penguasa Anda.

Shah Tahmaseb memberikan posisi Syeikh Al Islam, yang merupakan posisi tertinggi di bidang agama kepada Muhaqiq Tsani dan memberi kesempatan kepadanya untuk mengurus masyarakat.

Muhaqiq Karaki memanfaatkan kesempatan berharga ini untuk meluruskan sejumlah penyimpangan di kerajaan dan menyebarkan Syiah serta memperkokoh fondasinya di lingkungan kerajaan Dinasti Safawiyah. Pengaruh Muhaqiq Tsani terhadap Shah Tahmaseb sedemikian besar sampai Raja Iran itu bertobat dan memilih gaya hidup baru.

Di antara langkah yang dilakukan Muhaqiq Karaki di Iran adalah memperkuat hauzah ilmiah dan memenuhi kebutuhan materi serta maknawinya.

Ia juga meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang marak di bidang tasawuf. Atas fatwa Muhaqiq Karaki, pemerintah Safavi menutup tempat-tempat yang dianggap melanggar syariat Islam. Ia juga menghidupkan Shalat Jumat dan shalat jamaah di Iran.

Muhaqiq Karaki memerintahkan agar ruhani (ulama) dikirim ke seluruh kota dan desa Iran untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan agama masyarakat.

Untuk menghidupkan sisi lahiriah Syiah dan ajaran Ahlul Bait as di masyarakat, ia sangat bekerja keras, termasuk mengembalikan kalimat “Asyhadu anna Aliyan Waliullah” dan “Hayya Alaa Khoiril Amal” pada azan dan iqamah shalat selama 56 tahun sampai akhirnya ditinggalkan kembali pada era Toghrul-Beg Seljuk.

Satu lagi poin unggul dampak kehadiran Muhaqiq Karaki di Iran adalah terjunnya ulama besar Syiah ini ke arena politik dan sosial. Ia percaya pengelolaan negara dan urusan masyarakat harus berlandaskan aturan agama dan dipimpin seorang fakih Jamiu Syara’it.

Pandangan ini tidak lain adalah konsep Wilayatul Fakih yang diyakini oleh banyak ulama Syiah. Pada pembahasan berikutnya akan diulas pandangan Muhaqiq Karaki tentang konsep Islam progresif.

Mengenal Para Ulama Besar Syiah (25)

Salah satu isu yang diangkat dalam pemikiran Mohaghegh Karaki mengenai masuknya dunia religius yang agung di ranah politik dan sosial.

Ia percaya bahwa penyelenggaraan negara dan urusan rakyat harus berdasarkan agama dan berada di bawah kepemimpinan ulama otoritatif dan kredibel. Pandangannya tentang masalah ini mengusung teori Wilayah Fakih yang juga diyakini oleh banyak sarjana Syiah.

Di masa kehidupannya, Mohagheh Karaki menjadi perhatian banyak kalangan, termasuk penguasa saat itu. Shah Tahmasb Safavi begitu terpesona oleh kepribadian dan posisi intelektualismenya, sehingga dia pernah berkata, "Anda berhak lebih dari saya untuk mengatur dan mengelola urusan negara. Sebab Anda adalah wakil Imam dan saya salah seorang pejabat Anda,".

Shah Tahmasb memberinya posisi Sheikh al-Islam, yang dianggap sebagai posisi religius tertinggi dalam urusan negara,". Mohaghegh Karki memanfaatkan sepenuhnya kesempatan ini untuk mereformasi urusan umat Islam dan menjalankan tugas dengan kemampuan terbaiknya.

Mohaghegh Karaki yang juga dikenal sebagao Mohaghegh Thani memulai pembahasan tentang Wilayah Fakih dengan masalah Imamah. Ia menganggap imamah sama pentingnya dengan Nubuwah dan menganggapnya sebagai salah satu prinsip agama.

Mohaghegh Thani berkata, "Dalil yang sama mengenai kebutuhan orang terhadap Nabi juga berlaku mengenai Imam. Orang selalu membutuhkan kepemimpinan dan bimbingan yang kuat di setiap zaman, karena selalu ada dorongan untuk menciptakan kejahatan."

Mengenai penolakan terhadap pemisahan politik dari agama, ia menjelaskan, “Tidak bisa dikatakan bahwa rakyat membutuhkan pemerintahan, penguasa dan pemimpin hanya dalam urusan dunia, atau pemerintahan hanyalah berhubungan dengan urusan duniawi saja. Sebab, urusan agama juga termasuk dalam sistem kehidupan dan dunia umat. Misalnya, meski pemberhentian dan pelantikan hakim adalah urusan agama, tapi juga bagian dari urusan duniawi rakyat,".

Karki menganggap tujuan kebangkitan para Nabi untuk menjadi pedoman umat di akhirat dan di dunia ini. Ia meyakini ibadah berkaitan dengan akhirat dan juga dunia. Oleh karena itu, hanya mereka yang diberi wewenang oleh Nabi Muhammad Saw untuk bertanggung jawab atas pelaksanaan aturan agama, dan siapa pun selain mereka yang memegang posisi ini adalah seorang tiran.

Selain masalah Nubuwah dan Imamah, Mohaghegh Karaki juga menjelaskan urgensi pemerintahan yang ketiga terkait dengan ketidakhadiran Imam al-Zaman. Dalam risalah shalat Jum'atnya, ia membahas tentang teori Wilayah Faqih dan mengungkapkannya dengan hadits dan argumentasi logis.

Ulama terkemuka Syiah ini mengungkapkan, "Para sahabat kami setuju bahwa ahli hukum Syiah yang adil dengan kondisi yang komprehensif (dengan syarat) dari fatwa - dan yang disebut mujtahid - pada saat tidak ada Imam, maka secara umum memiliki izin menjadi wakil para Imam. Oleh karena itu, kewajiban bagi masyarakat untuk menaati putusan yang dikeluarkan olehnya,".

Mohaghegh Karaki mengutip sebuah hadits yang dikenal di kalangan ulama sebagai "penerimaan Umar ibn Hanzalah", yang memandang ulama dengan persyaratan khusus yang ditetapkan oleh para Imam Maksum sebagai penerus Imam dengan wewenang yang sama.

Beberapa ulama percaya bahwa faqih harus diperkenalkan secara khusus dan oleh Imam Mahdi. Selama periode keghaiban kecilnya, Imam Zaman menunjuk empat orang sebagai wakil khususnya. Tetapi sebagian ulama terkemuka lainnya yang bertumpu pada riwayat yang dipandang kuat percaya selama Imam Zaman tidak ada, faqih dianggap sebagai wakil Imam, meskipun secara khusus nama orang tersebut tidak diumumkan oleh Imam.

Oleh karena itu, setiap faqih yang memiliki persyaratan khusus seperti keadilan dan ijtihad serta beberapa kemampuan manajerial dan kepribadiannya dianggap sebagai wakil Imam dan memiliki otoritas pemerintahan yang sama dengan Imam, dan umat Islam wajib mematuhinya.

Karaki meyakini bahwa seorang ahli hukum yang memiliki kewenangan untuk mewakili Imam Zaman pada saat ghaib harus memiliki ciri dan syarat khusus. Menurutnya, iman adalah salah satu syarat seorang faqih.

Keadilan adalah syarat lain dari Faqih. Kondisi lainnya adalah pengetahuan tentang Al-Quran dan Sunnah sampai dia bisa memahami aturan dengan mengacu pada keduanya. Berbagai syarat lain telah disebutkan dalam hal ilmu pengetahuan hingga tingkatan ijtihad.

Mohaghegh Karaki mengatakan bahwa faqih secara hukum diizinkan untuk menegakkan ketentuan ajaran Islam dan memberikan fatwa kepada umat. Menurut Karaki, dalam urusan keuangan pemerintahan Islam, zakat dan khumus serta kharaj merupakan ketentuan syariah yang harus dibayarkan kepada Faqih oleh muqalid. Ia juga menyatakan dalam Risalah Kharajiah bahwa hal-hal yang berkaitan dengan kharaj (pajak) telah dipercayakan kepada faqih selama masa keghaiban Imam Zaman.

Dalam masalah khumus yang merupakan kewajiban finansial bagi umat Islam, Mohaghegh Karaki mengungkapkan bahwa di masa keghaiban Imam, faqih dapat bertanggung jawab untuk mendistribusikan khumus di antara orang-orang yang berhak sebagai wakil Imam. Menurutnya, menyelesaikan masalah agama masyarakat dan menjawab pertanyaan mereka berdasarkan sumber agama juga merupakan salah satu tugas utama faqih.

Dalam pembahasan sholat Jum'at, Karaki juga memandang kehadiran Imam atau wakilnya sebagai syarat untuk melaksanakannya. Ia menentang argumen pihak yang menentang shalat Jumat di masa keghaiban Imam Zaman, seperti Sayyid Murtadhaa dan Ibn Idris Hali.

Para penentang berpendapat bahwa salah satu syarat shalat Jum'at adalah kehadiran Imam atau seseorang yang secara pribadi ditunjuk oleh Imam untuk melaksanakan sholat Jum'at. Oleh karena itu, menunaikan shalat Jumat pada saat keghaiban Imam Zaman dikecualikan. Oleh karena itu, ketika salat Jumat dilaksanakan tanpa kehadiran Imam Zman, maka shalat dhuhur tetap harus ditunaikan umat Islam.

Jika Imam Zaman hadir dan shalat Jum'at ditunaikan, maka shalat Dhuhur akan dilepaskan dari kewajiban umat di hari Jumat. Karaki menentang pendapat kelompok Faqih ini. Ia meyakini bahwa sejak Faqih diangkat oleh Imam Zaman pada umumnya, maka ia bisa menunaikan shalat Jumat.

Oleh karena itu, menurut Mohaghegh Karaki, faqih tidak hanya hadir untuk memberikan fatwa di kalangan masyarakat, tetapi juga melaksanakan shalat Jum'at adalah dalam kewenangannya. Sebab mereka memiliki memenang yang telah diberikan Imam Zaman sebagai wali pada umumnya.

Beliau sepenuhnya mendukung penyelenggaraan shalat Jumat di massa keghaiban Imam Mahdi dan meminta pertanggungjawaban ahli hukum untuk melaksanakannya. Masalah ini yang kurang diperhatikan oleh banyak ahli hukum sebelum dan sesudahnya, dan Karki secara eksplisit dan dengan bukti kuat mendukungnya.

Akhirnya, Mohaghegh Thani kembali ke Najaf Ashraf pada usia ke-70 tahun dengan meninggalkan pengaruh besar di dunia Syiah. Tetapi setelah beberapa hari kehadirannya di Irak, muncul berita menyakitkan tentang kesyahidannya.

Beliau gugur diracun oleh para penentangnya. Jenazah ulama terkemuka ini dimakamkan dengan rasa hormat yang khusus di kompleks makam Imam Ali di Najaf.

Mengenal Para Ulama Besar Syiah (26)

Salah satu ulama besar lain Syiah yang lahir di Jabal Amil, Lebanon adalah Zainuddin bin Nuruddin bin Ahmad 'Amili Juba'i atau yang terkenal dengan Syahid Tsani.

Syahid Tsani adalah seorang faqih dan ilmuwan besar Islam dan Syiah. Ia lahir pada 13 Syawal tahun 911 Hijriyah di tengah keluarga ulama di daerah berpenduduk Syiah, Jabal Amil, Lebanon. Banyak dari leluhur dan keluarga Syahid Tsani tercatat sebagai ilmuwan dan ulama besar, itulah sebabnya keluarga Sahid Tsani dikenal sebagai “Silsilah al-Dzahab” yang berarti mata rantai emas.

Abu Mansur Jamaluddin Hassan, putra Syahid Tsani adalah salah satu ulama besar dan penulis buku terkenal “Ma’alim al-Ushul.” Buku ini menjadi salah satu kitab rujukan hauzah ilmiah pada masa itu. Oleh karena itu, Abu Mansur dikenal sebagai Shahib Ma'alim. Cucu Syahid Tsani juga merupakan seorang faqih yang terkenal bernama, Sayid Muhammad bin Ali Amili atau Shahib al-Madarik, salah satu kitab fiqih yang diakui.

Dua orang cucu Syahid Tsani yang berasal dari putra Shahib Ma'alim, juga termasuk di antara ulama besar yang lahir dari mata rantai emas ini. Demikian juga dengan keluarga Sadr seperti, Imam Musa Sadr, Syahid Mohammad Baqir Sadr dan saudarinya, Bintul Huda Sadr juga berasal dari keturunan Syahid Tsani.

Syahid Tsani dan Syahid Awal, sama-sama berasal dari daerah Jabal Amil yang terletak di Lebanon Selatan. Keduanya adalah tokoh besar, pakar hukum agama, dan mujtahid besar Syiah, dan keduanya dibunuh dan gugur syahid atas tudingan Syiah.

Ulama Syiah yang gugur syahid di tangan musuh-musuh Ahlul Bait dan Islam jumlahnya sangat banyak, tetapi Syahid Awal dan Syahid Tsani dikenal dengan sebutan ini karena mereka merupakan tokoh besar dan pilar fiqih mazhab Syiah dan keduanya juga dibunuh dengan cara yang kejam.

Syahid Tsani – yang hidup pada abad ke-10 Hijriyah – dengan upaya yang tak kenal lelah menyebarkan ajaran fiqih Ahlul Bait Nabi as ke berbagai belahan dunia. Ulama besar ini meninggalkan hampir 80 karya tulis dan risalah di berbagai bidang, di mana masing-masing menjadi kitab pedoman bagi para faqih setelahnya. Bukunya yang terkenal “al-Raudhaha al-Bahiyah” masih menjadi kitab rujukan sampai sekarang.

Buku tersebut ditulis untuk menjabarkan kandungan kitab “al-Luma'ah al-Dimasyqiyah” yang ditulis oleh Syahid Awal dan merupakan buku fiqih Syiah yang paling terkenal dan diajarkan di hauzah-hauzah ilmiah. Karya besar lain yang diwariskan oleh Syahid Tsani adalah kitab “Masalik al-Afham” yang ditulis untuk menjelaskan isi kitab “Syarai' al-Islam” karya Muhaqqiq Hilli.

Syahid Tsani, seperti kebanyakan ulama dan ilmuwan besar dunia Islam, mulai menimba ilmu pengetahuan sejak usia dini dengan mempelajari al-Quran. Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri dan setelahnya, ia belajar dengan para kerabat dekat.

Setelah mempelajari ilmu-ilmu dasar di kampung halamannya, Syahid Tsani berkelana ke kota-kota dan desa-desa sekitar untuk belajar kepada guru-guru lain. Jabal Amil adalah sebuah kota santri yang memiliki banyak hauzah ilmiah yang bagus dan banyak ulama besar mengajar di sana.

Syahid Tsani kemudian pergi ke daerah Karak, tempat kelahiran Muhaqqiq Karaki dan menimba ilmu dari ulama yang luar biasa ini. Waktu itu Muhaqqiq Karaki belum melakukan hijrah ke Iran.

Rasa dahaga akan ilmu dan kesempurnaan terus mendorong Syahid Tsani untuk berkelana ke daerah lain dan menanggung berbagai kesulitan di tengah fasilitas seadanya pada zaman itu. Perjalanan ini bukan untuk kegiatan bisnis atau wisata, tetapi karena rasa haus untuk mengabdi kepada Islam yang lurus dan Ahlul Bait Nabi as.

Situasi politik dan sosial saat itu serta kekuasaan Dinasti Utsmaniyah di Dunia Arab telah menciptakan kondisi yang sulit bagi masyarakat Syiah terutama para ulama mereka. Namun, kecintaan kepada Ahlul Bait telah menghadirkan tekad baja dalam diri mereka untuk mengalahkan segala rintangan.

Syahid Tsani pergi ke Damaskus dan kemudian ke Mesir, untuk mempelajari ilmu fiqih, geometri, logika, tafsir, dan ilmu-ilmu lain dengan para guru besar. Dia melanjutkan perjalanannya ke Baitul Maqdis dan Romawi Timur. Syahid Tsani bertemu dan berdiskusi dengan para cendekiawan di daerah tersebut serta mengajar di sekolah-sekolah agama di sana.

Syahid Tsani kemudian menetap sementara di Baalbek, salah satu kota penting dan bersejarah di Lebanon, dan memikul tanggung jawab sebagai pemimpin hauzah ilmiah di kota tersebut. Dia mulai diterima sebagai marja’ besar sehingga para cendekiawan dari berbagai pelosok datang ke Baalbek untuk menimba ilmu pengetahuan darinya.

Syahid Tsani telah menimba ilmu dari ulama dari berbagai mazhab di sejumlah negara Islam sehingga ia sepenuhnya menguasai khazanah keilmuan dari lima mazhab yaitu, Syiah Imamiyah, Hanafi, Syafi'i, Maliki, dan Hanbali. Oleh karena itu, Syahid Tsani mengajar semua ajaran lima mazhab selama menetap di Baalbek. Dia mengeluarkan fatwa untuk pengikut setiap mazhab berdasarkan akidah dan kitab-kitab mereka sendiri serta menjawab pertanyaan umat.

Shayid Tsani menduduki posisi ilmiah yang tinggi dan meskipun memiliki aktivitas yang padat di bidang mengajar, menulis, mengelola hauzah, dan mendidik ulama, namun ia tetap bersifat rendah hati dan pekerja keras.

Di tengah kesibukannya, Syahid Tsani tetap memberikan perhatian penuh kepada keluarganya dan di sore hari, dia biasanya pergi dengan keledainya ke luar kota untuk mengumpulkan kayu bakar untuk kebutuhan keluarganya. Rumahnya selalu ramai dikunjungi oleh orang-orang untuk bertanya persoalan ilmiah atau sekedar bertamu. Syahid Tsani sendiri menjamu mereka dan tidak pernah menunjukkan rasa lelah.

Sebagian ulama besar di abad-abad berikutnya dan para ulama kontemporer menganggap kepribadian spiritual Syahid Tsani memiliki kemiripan dengan kepribadian para imam maksum as dari segi ketakwaan dan akhlak.

Syeikh Husain bin Abdulsamad Harisi, ayah dari Syeikh Bahai, berkata, “Suatu hari aku bertemu Syahid Tsani dan melihatnya larut dalam pikiran. Dia tenggelam dalam pikirannya. Aku kemudian bertanya tentang penyebabnya. Dia berkata kepadaku, “Saudaraku! Aku pikir aku akan menjadi syahid kedua (setelah syahid pertama), karena di alam mimpi aku melihat Sayid Murtadha Allamul Huda (ulama terkenal pada abad ketiga dan keempat H) menggelar acara perjamuan yang dihadiri oleh para ilmuwan dan ulama Syiah. Ketika aku tiba di acara tersebut, Sayid Murtadha bangkit dari duduknya dan mengucapkan selamat kepadaku dan memintaku untuk duduk di samping Syahid Awal.” Oleh karena itu, aku berasumsi bahwa aku akan menjadi Syahid Tsani.”

Syahid Tsani, seperti banyak syuhada lainnya, menjadi korban kebodohan dari sebagian individu. Mengenai sebab terbunuhnya Syahid Tsani dikisahkan bahwa dua orang dari warga Jaba’ datang kepadanya untuk meminta sebuah putusan hukum atas perkara mereka. Dia pun memutuskan perkara itu sesuai dengan aturan dan norma agama.

Namun, orang yang divonis bersalah tidak terima dan mendatangi hakim Shida dan menuduh Syahid Tsani sebagai kafir dan perusak akidah karena ia adalah seorang Syiah. Hakim melaporkan kasus ini kepada Sultan Salim, penguasa Romawi (Utsmaniyah), dan atas perintahnya dikirim seseorang untuk menangkap Syahid Tsani, tetapi tidak menemukannya.

Syahid Tsani telah berangkat ke Mekkah untuk menghindari bahaya, tetapi para utusan Sultan menangkapnya di tengah jalan dan membunuhnya tanpa perintah dari Sultan, lalu memenggalnya. Menurut sebuah riwayat, jasad Syahid Tsani dibiarkan tergeletak selama tiga hari dan kemudian dibuang ke laut. Riwayat lain menyebutkan bahwa masyarakat menemukan jasad ulama tersebut tanpa kepala dan menguburkannya tanpa mengenalnya.

Mendengar kabar pembunuhan Syahid Tsani, Sultan murka terhadap para utusannya, karena melakukan sebuah eksekusi besar tanpa seizinnya. Sultan kemudian mengeksekusi pembunuh Syahid Tsani. Dikatakan bahwa Syahid Tsani gugur pada 5 Rabiul Awal tahun 966 H.

Mengenal Para Ulama Besar Syiah (27)

Ahmad ibn Muhammad Ardabili dikenal sebagai Muqadas Ardabili dan Muhaqiq Ardabili adalah salah satu ulama besar Syiah di abad kesepuluh Hijriah memiliki pengaruh besar pada dinamika yurisprudensi Syiah dan kebangkitan konstituensi Najaf.

Setelah mengenyam pendidikan dasar di tanah kelahirannya, ia berpindah ke Najaf Ashraf untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Hauzah Ilmiah Najaf dari murid-murid Shahid Thani. Muqaddas Ardabili tinggal di kota ini sampai akhir hayatnya untuk memanfaatkan suasana ilmiah dan spiritual Najaf dan mendapat manfaat dari berkah makam suci Imam Ali.

Sheikh Ahmad Ardabili dikenal di kalangan masyarakat sebagai Muqadas Ardabili. Allamah Majlisi menulis tentang kedudukan Muhaqiq Ardabili dalam karyanya dengan menuturkan,"Mohaghegh Ardabili mencapai posisi tertinggi dalam kesucian jiwa, kesalehan, dan kezuhudannya. Beliau termasuk jajaran para sarjana terkemuka dan saya tidak mengenal sosok besar seperti dia Karyanya memiliki tingkat akurasi tertinggi."

Moqaddas Ardabili hidup di era pemerintahan Safawi. Meskipun Raja Safawi memerintah di Iran, tapi menghormati dan berkonsultasi dengan ulama Syiah dari luar negeri, termasuk Najaf, karena berbagai pertimbangan agama dan politik, maupun pemerintah.

Selama periode ini, beberapa ulama Syiah terkenal seperti Muhaqiq Karaki berpindah ke Iran dari Irak, Lebanon dan daerah lain atas permintaan raja Safawi. Para ulama dan pejabat seperti Mohaghegh Thani, Syekh Baha'i, dan Allamah Majlisi memberikan pelayanan bagi perkembangan Islam dengan mengarahkan kebijakan istana Safawi menuju dakawah.

Shah Abbas Safavid juga mengundang Muqaddas Ardabili yang saat itu menjadi ulama besar untuk kembali ke Iran beberapa kali, tetapi ulama mulia ini setiap kali menolaknya. Ia menganggap kehadirannya di Najaf lebih penting.

Meski Muqaddas Ardabili menolak ajakan Syah Abbas untuk kembali ke Iran. Ia selalu memberikan peringatan kepada pemerintahan Safawi dalam masalah keagamaan. Peringatan ini diterima dengan sangat hormat oleh Shah Abbas. Suatu hari, salah seorang pegawai pemerintahan Safawi menimbulkan kemarahan Shah Abbas dan mengungsi ke kota suci Ardabil untuk meminta bantuan dari Muqadas Ardabili. Lalu ulama mulia ini menulis surat kepada Shah, " Pendiri kerajaan pinjaman, Abbas! Ketahuilah, meskipun orang ini awalnya berbuat lalim tapi sekarang dizalimi. Mungkin juga ini dampak dari perbuatanmu sendiri. Hamba raja Ali, Ahmad Ardabili,".

Literatur surat ini sangat menarik dan jitu. Bertentangan dengan kebiasaan umum saat itu, otoritas besar Syiah memulai surat tanpa pujian dan memanggil raja dengan nama kecil, dan pada akhirnya dia menggambarkan dirinya sebagai murid dan atau budak Imam Ali dan bukan hamba raja! Shah Abbas menjalankan perintah Sheikh Ardabili tanpa penundaan dan menulis dalam balasannya, "Kepada Yang Mulia kami sampaikan bahwa Abad telah menjalankan perintah ini dengan suka cita, sehingga Anda tidak melupakan doa baik untuk kami,".

Signifikansi peristiwa semacam dilakukan seorang raja dengan kekuasaannya terhadap seorang ulama Syiah, yang tidak memiliki tentara maupun properti. Hal ini terjadi pada saat para ulama besar Syiah bahkan tidak memiliki keamanan hidup, dan beberapa, seperti Shahid Thani, menjadi syahid dengan kekejaman yang luar biasa.

Ketika Moqadas Ardabili memasuki bidang kegiatan keilmuan dan dakwah, seminari Najaf tidak lagi diibaratkan jaman Syekh Tusi dan hanya sedikit ulama yang menimba ilmu di dalamnya. Dalam situasi yang demikian, Moqaddas Ardabili menghidupkan hauzah Najaf dengan sabar serta dan kemauan yang kuat.

Ayatullah Seyyed Hassan Sadr, salah seorang otoritas besar Syiah di abad ketiga belas dan keempat belas, menulis tentang ini, "Selama masa Muqadas Ardabil, migrasi ilmiah ke Najaf dimulai lagi, seminari diperkuat dan orang-orang dari kota dan kota lain datang ke sana dan kota itu menjadi pusat keilmuan terbesar."

Oleh karena itu, penolakan Muqadas Ardabili untuk kembali ke Iran menyebabkan Hauzah Najaf dihidupkan kembali, seperti halnya penolakan Shahid Thani dan putranya Sheikh Hassan Sahib Moallem dan cucunya Seyyed Mohammad Sahib untuk beremigrasi dari Jabal Amol ke Iran dan tetap berada di wilayah Syam dan Jabal Amol terus berlanjut dan tidak punah.

Salah satu jasa berharga yang dilakukan Muhaqiq Ardabili bagi dunia Syiah adalah mendidik santri yang berilmu dan berpengaruh, yang masing-masing menjadi tokoh dalam bidang keilmuan dan ijtihad serta menjadi sumber karya berharga bagi dunia Islam. Setelah lulus, dia mengajar di Hauzah Najaf dan dengan sabar mengajar mata pelajaran Hauzah kepada murid-muridnya.

Ulama tersebut telah mengulas dengan cermat buku-buku resmi daerah pemilihan Najaf dan tidak mengajarkan beberapa materi yang dianggapnya tidak berguna, sehingga ada lebih banyak kesempatan untuk membahas materi yang utama dan penting. Di antara murid-muridnya yang paling penting adalah Sheikh Hassan, putra Shahid Thani, penulis kitab terkenal Mualim al-Ushul", dan Seyyed Mohammad, cucu Shahid Thani, penulis buku penting "Madarak al -Ahkam ".

Ketulusan dan dedikasi dalam mengajar menjadi salah satu ciri yang menonjol dari Muhaqiq Ardabili. Ulama besar inilah berperan besar dalam kemajuan hauzah Najaf, sangat rendah hati di depan para ulama lain, termasuk di depan murid-muridnya.

Banyak kisah yang diceritakan tentang karakter Muqadas Ardabil, termasuk pada suatu hari Mullah Abdullah Shoushtari, salah seorang murid Muqadas Ardabil, mengajukan pertanyaan kepada gurunya di ruang pelajaran. Muqaddas menjawab pertanyaannya, namun siswa tersebut tidak puas dengan jawaban tersebut dan diskusi berlanjut. Tiba-tiba Muqaddas terdiam dan setelah beberapa saat berkata, "Jika diskusi ini tetap ada, saya harus merujuk ke buku nanti! Setelah meninggalkan majelis itu, Muhaqiq Ardabili memanggil siswa itu untuk dirinya sendiri dan memberikan jawaban yang sangat tepat, sehingga siswa itu yakin dan tidak ada keraguan lagi untuknya.

Lalu dia bertanya, "Tuan, mengapa Anda mengetahui jawaban atas pertanyaan ini dan tidak mengungkapkannya di ruang yang sama? Beliau menjawab, “Karena kita berada di ruang dan di hadapan banyak orang, tidak menutup kemungkinan niat kita adalah untuk berdebat dan menunjukkan kebanggaan serta menunjukkan kebaikan satu sama lain. Padahal Tuhan Yang Maha Esa sedang menyaksikan diskusi kita, ",

Selain itu, ketika salah seorang siswa memintanya untuk berdakwah dan member nasehat, Muqaddas Ardabili menulis catatan yang berisi beberapa hadits dan di akhir dia menulis: "Itu akan mengajarinya." Sikap teladan ulama Syiah sangat berpengaruh terhadap para siswa untuk tekun belajar dan membina moralnya.

Peran sebagian ulama dalam sejarah Syiah begitu menonjol dan berpengaruh sehingga tidak semua aspeknya dapat dijelaskan dalam satu acara. Muqadas Ardabili adalah salah satu bintang cemerlang ulama Syiah di zamannya, bahkan hingga kini.