• Mulai
  • Sebelumnya
  • 21 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 2641 / Download: 1815
Ukuran Ukuran Ukuran
Keadilan Sahabat

Keadilan Sahabat

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Keadilan Sahabat

Tujuan Mengkaji Keadilan Sahabat

Pada tulisan sebelumnya sudah banyak dikupas seputar caci maki dan pelaknatan. Masih berkaitan dengan tema di atas untuk seri kali ini dan beberapa seri berikutnya akan dibahas tema yang berkaitan dengan keadilan sahabat.

Namun sebelum masuk lebih jauh dalam mengulas tema ini, terlebih dahulu perlu diutarakan tujuan dari mengangkat permasalahan ini.

Hal ini mengingat bahwa ada kalangan yang menganggap pembahasan ini sudah basi dan kadaluarsa oleh karena itu tidak relevan lagi untuk dijadikan bahan kajian.

Lebih dari itu ada juga yang menganggap bahwa mengangkat tema ini sembari mempertanyakan keadilan sahabat merupakan kelancangan dan hal itu dapat mengantarkan pelakunya kepada “ke-zindikan”. Di dalam kitab al-Ishabah disebutkan:

“kemudian diriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Zarah al-Razi, ia berkata: jika engkau menyaksikan seseorang menyebutkan kekurangan salah seorang sahabat Rasul SAWW, maka ketahuilah bahwa ia adalah zindik. Karena Nabi, al-Quran dan apa yang dibawa olehnya adalah hak. Yang menyampaikan semua itu kepada kita adalah sahabat. Mereka ingin menganggap cacat para saksi-saksi kita untuk membatalkan al-Quran dan sunnah. Menganggap mereka (pengkaji) cacat lebih layak karena mereka adalah orang-orang zindik.[1]

Dalam menanggapi hal ini ayatulah Ja’far Subhani memberikan komentar dengan menjelaskan tujuan dari membahas keadilan sahabat:

“tujuan dari mengkaji keadilan sahabat sama persis dengan tujuan mengkaji keadilan para tabiin dan perawi generasi belakangan setelahnya. Semuanya bertujuan untuk mengenal yang baik dan yang buruk, sehingga menjadi tradisi seorang pengkaji untuk memperoleh ajaran agama dari orang-orang baik serta menghindari orang-orang buruk. Jika seseorang melakukan pengkajian terhadap keadaan mereka dengan tujuan ini, maka hal itu tidaklah tercela.[2]

Lebih lanjut, dalam menyikapi pernyataan Abu Zarah beliau berkomentar:

“tidaklah baik seorang alim menuduh orang yang ingin kekokohan dalam agamanya dan melakukan penelitian dalam tuntutan-tuntutan syariah sebagai zindik, apa lagi menuduhnya berkeinginan memberikan label cacat bagi para saksi kaum muslimin dengan tujuan membatalkan al-Quran dan sunnah. Padahal para saksi kaum muslimin tidak lain kecuali ribuan dari sahabat SAWW. Menganggap cacat sebagian mereka dan adil sebagian lainnya, tidak akan mencederai al-Quran dan Sunnah. Karena agama yang lurus ini tidak tegak dengan keberdaan mereka yang cacat (itu).[3]

Berangkat dari penjelasan di atas, mengkaji keadilan dan sejarah sahabat bukanlah hal yang basi apa lagi menjadikan pelakunya sebagai zindik. Sebab kajian ini memiliki filosofi yang jelas; yaitu memperoleh ajaran agama dari sumber-sumber yang autentik dan valid.

Definisi Sahabat Nabi saw

Kajian terkait keadilan sahabat Nabi saw merupakan sebuah kajian yang kontroversial, namun penting untuk dibahas secara ilmiah, sebagaimana sekaitan hal ini telah kami singgung pada seri yang lalu.

Selain hal tersebut merupakan sebuah acuan dalam memilah jalur atau jalan untuk sampai pada sumber asli agama Islam, yakni nabi Muhammad saw, pembahasan ini juga memberikan pengetahuan baru sehingga kita bisa lebih bijak dalam melihat para sahabat.

Oleh sebab itu sebelum kita masuk pada kajian ini secara lebih mendalam lagi, perlu kiranya kita memahami beberapa mukadimah yang harus kita ketahui. Saat kita membahas tentang keadilan sahabat, maka harus jelas terlebih dahulu bagi kita apa dan siapa itu sahabat serta apakah arti keadilan. Pada kesempatan kali ini kita akan melihat mengupas makna sahabat dalam berbagai sisinya.

Kata “sahabat” merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, yang mana secara bahasa ia berasal dari kata “Shahaba-Yashhibu” yang berarti menemani atau mendampingi. Kata “sahabat” berasal dari kata “Shahhaabah” bentuk jamak dari “Shaahib” isim fa’ilnya (pelaku) dari kata kerja tadi. Dalam kamus Lisanul Arab disebutkan bahwa “Shahhaabah” adalah satu-satunya isim fail yang mengikuti wazan “fa’aalah”.[4]

Adapun secara istilah, terdapat beberapa perbedaan diantara para ulama, sebagai berikut:

1. Kitab Shahih Bukhari

وَمَنْ صَحِبَ النبي صلى الله عليه وسلم أو رَآهُ من الْمُسْلِمِينَ فَهُوَ من أَصْحَابِهِ

Orang yang (pernah) bersama nabi saw atau melihatnya, dari kaum muslimin maka ia adalah termasuk dari para sahabat beliau (nabi).[5]

2. Kitab Al-U’ddah Fi Ushulil Fiqh

ظاهر كلام أحمد رحمه الله: أن اسم الصحابي مطلق على من رأى النبي عليه السلام، وإن لم يختص به اختصاص المصحوب، ولا روى عنه الحديث

Yang nampak dari perkataan Ahmad (imam Hanbali) rahimahullah: Bahwa nama sahabat mutlak atas orang yang melihat nabi as meskipun tidak memiliki kekhususan dengan nabi dan juga tidak meriwayatkan hadis darinya.[6]

3. Kitab Asadul Ghabah Fi Ma’rifatis Shahhabah

والأصح ما قيل في تعريف الصحابي أنه: من لقي النبي ص في حياته مسلما ومات على إسلامه

Yang paling benar dari apa yang dikatakan mengenai definisi sahabat ialah: seseorang yang bertemu dengan nabi saw pada masa hidupnya dalam keadaan muslim dan mati dalam keislamannya.[7]

Dari beberapa definisi di atas dapat kita lihat terjadi beberapa perbedaan antara satu dengan lainnya. Tentunya sebagai konsekuensi dari hal ini ialah jumlah orang yang termasuk dalam setiap definisi akan berbeda-beda tergantung kategori atau syarat yang diberikan. Sebagai contoh, bisa jadi orang tertentu dalam definisi yang diberikan oleh imam Bukhari adalah sahabat namun dalam pandangan Ibnul Atsir (penulis kitab Asadul Ghabah) bukan sahabat, sebab ia menyaratkan mati dalam keislaman, dan seterusnya.

Dan masih banyak definisi sahabat dari para ulama lainnya, insyaAllah akan dibahas lebih lanjut pada seri berikutnya.

Definisi Sahabat Nabi (2)

Kajian tentang Sahabat atau konsep keadilan Sahabat merupakan salah satu persoalan yang sangat penting untuk diulas. Seperti yang kita ketahui, Sahabat dianggap sebuah salah satu jalur untuk sampai pada ajaran agama Islam yang bersumber dari Rasulullah Saw.

Menggali pengetahuan seputar Sahabat bukanlah sesuatu yang tercela, atau melazimkan seorang pengkajinya sebagai seorang zindiq. Mengkaji Sahabat bertujuan untuk mengenal mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga kita bisa memilah dan memilih untuk memperoleh ajaran agama dari yang baik, sebagaimana yang telah kita jelaskan sebelumnya.

Dengan mempelajari Sahabat, kita juga bisa mengetahui apakah konsep keadilan Sahabat yang menyatakan bahwa seluruh Sahabat Nabi Saw itu Adil benar adanya atau tidak? Dan masih banyak lagi pembahasan lainnya seputar Sahabat yang Insya Allah akan kita bahas kedepannya.

Pada seri kali ini, kita akan bahas kelanjutan dari definisi Sahabat dengan menyebutkan beberapa definisi lainnya. Karena sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya bahwa para Ulama berbeda pendapat mengenai definisi Sahabat.

Dalam Kitab Al-Ahkam fi Ushulil Ahkam milik Allamah Al-Amidi disebutkan beberapa pengertian atau definisi Sahabat.

Kebanyakan sahabat kami dan Ahmad bin Hanbal mendefinisikan Sahabat sebagai seseorang yang melihat Nabi Saw meskipun tidak memiliki kekhususan dengan Nabi, dan tidak meriwayatkan darinya, dan tidak menemaninya dalam waktu yang lama.

Dan yang lainnya mendefinisikan Sahabat hanya mutlak atas seseorang yang melihat Nabi Saw, dan memiliki kekhususan dengannya, dan menemaninya dalam waktu yang lama meskipun tidak meriwayatkan darinya.

Dan ‘Amr bin Yahya mendefinisikan nama ini (Sahabat) hanya untuk seseorang yang menemani Nabi Saw dalam waktu yang lama dan mengambil ilmu darinya.

Adapun dalam Kitab Al-Kifayah fi ilmi Ar-Riwayah milik Al-Khatib Al-Baghdadi disebutkan definisi lainnya dari Sahabat Nabi dengan kekhususan tertentu.

…Telah mengabarkan kepadaku Thalhah bin Muhammad bin Said bin Al-Musayyib, dari ayahnya ia berkata: Said bin Al-Musayyib mengatakan, mereka tidak kami hitung sebagai Sahabat kecuali yang Bersama Nabi Saw paling tidak satu atau dua tahun dan berperang bersamanya sekali atau dua kali perang.

Sahabat Nabi dalam Kacamata Al-Quran

Salah satu ihwal yang tak pernah lepas dari kajian keislaman ialah perihal sahabat. Di dalam pembahasan sebelumnya telah diulas tujuan kajian keadilan dan definisi dari sahabat. Dengan membaca ulasan sebelumnya, sedikit-banyak memberikan pemahaman ke kita tentangnya.

Tak kita mungkiri, tak sedikit kelompok Islam yang saling seteru dalam masalah sahabat nabi. Katakanlah, dalam hal ini adalah mazhab besar dalam Islam, Sunni dan Syiah, yang masing-masing keduanya memiliki pandangan yang berbeda terkait sahabat nabi.

Dalam tulisan ini, penulis sedang tidak menyinggung pandangan mereka terkait sahabat. Di dalam tulisan ini, penulis hanya akan menyuguhkan tanggapan al-Quran terkait dengan sahabat. Setidaknya, jika kita berbicara sahabat dalam kacamata al-Quran, kita akan menyaksikan dua kubu sahabat.

Kubu pertama adalah sahabat yang baik dan taat, sedang kubu kedua diisi oleh sahabat yang dianggap munafik menurut al-Quran. Berikut adalah dereten ayat al-Quran yang menyinggung sahabat nabi.

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيم .

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100).

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيم .

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Fath: 29).

وَمِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ ۖ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ ۖ مَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ لَا تَعْلَمُهُمْ ۖ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ ۚ سَنُعَذِّبُهُمْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَىٰ عَذَابٍ عَظِيمٍ .

“Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (QS. Taubah: 101).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِين .

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6).

Apa yang penulis sebutkan di atas hanyalah beberapa dari ayat-ayat yang ada. Artinya, masih banyak ayat al-Quran lain yang membahas perihal sahabat.

Definisi Keadilan Menurut Para Ulama

Secara global dari definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama mengenai sahabat nabi saw, setidaknya terdapat kesepakatan dalam hal bahwa sahabat merupakan kelompok muslimin yang telah memperoleh kesempatan untuk bersama atau berjumpa dengan nabi Muhammad saw.

Tentu hal tersebut adalah sebuah anugerah khusus yang tak bisa didapat oleh generasi setelahnya. Namun apakah hal itu bisa menjamin seseorang untuk menjadi seorang yang adil, amanah, tidak berbuat buruk dan seterusnya? Di sini kita perlu banyak merenung dan mengkajinya secara bijak berdasarkan bukti-bukti yang tercatat dalam Al-Quran, hadis maupun sejarah.

Mengapa hal ini penting untuk dikaji? Jawabannya sebetulnya telah berkali-kali disinggung pada seri-seri yang lalu. Namun sebagai pengingat, bahwa yang paling utama, kajian ini bukan semata-mata bertujuan untuk menjelek-jelekan sahabat –Wal Iyadzu Billah– melainkan demi mengokohkan bangunan Islam itu sendiri.

Dalam tinjauan ilmu hadis sahabat berperan sama seperti perawi lainnya dari para tabiin atau generasi setelahnya yaitu sebagai penyambung lisan. Namun yang membedakan adalah selain posisi mereka yang langsung bersinggungan dan menyaksikan nabi saw, juga konsep keadilan seluruh sahabat (pandangan bahwa semua sahabat adalah adil), beda halnya dengan para perawi lainnya yang menerima kritikan atau pengakuan keadilan (Jarh Wa Ta’dil). Artinya terdapat penilaian di sini, apabila ia seorang yang adil maka ucapannya dapat diambil sementara sebaliknya, maka ucapannya akan diragukan atau bahkan diabaikan.

Sebagai bekal untuk menyelami kajian ini lebih mendalam, perlu kita ketahui terlebih makna keadilan itu sendiri dalam pandangan para ulama.

IMAM GHAZALI

Imam Ghazali mendefinisikan keadilan dalam kitab Al-Mustashfa menyebutkan: Keadilan ialah istiqamah dalam perilaku dan agama.

Dan hasilnya (keadilan) kembali pada: “Karakter yang mengakar di dalam diri yang mendorong pada menjaga takwa dan kehormatan secara bersamaan”. Sehingga melahirkan kepercayaan dalam diri (orang-orang) dengan kejujurannya.

Maka tidak ada kepercayaan terhadap ucapan orang yang tidak takut pada Allah swt dari berkata bohong.

Kemudian tidak ada perbedaan dalam hal tidak disyaratkan terjaga (maksum) dari semua maksiat.

Dan tidak cukup pula (dengan) menjauhi dosa-dosa besar, bahkan dari dosa-dosa kecil yang memungkinnya terjerumus ke dalamnya, seperti mencuri sebutir bawang dan mengurangi timbangan seukuran butiran kecil -dengan sengaja-.

Dan secara keseluruhan: setiap yang menunjukkan pada kelemahan agamanya hingga pada tahap membuatnya berani berbohong demi tujuan-tujuan duniawi.

Bagaimana, sementara telah disyaratkan dalam keadilan menjaga (diri) dari sebagian hal yang mubah yang merusak kehormatan, seperti makan di jalan, buang air kecil di jalan, bersahabat dengan orang-orang buruk dan berlebihan dalam bercanda.

Dan yang menjadi ukuran dalam hal ini (keadilan) -ketika seseorang melanggar sebuah kesepakatan-: Ia diserahkan pada keputusan hakim, apabila yang ada pada diri (orang itu) mengindikasikan keberaniannya untuk berbohong, maka hakim akan menolak kesaksian darinya, dan apabila tidak mengindikasikan, maka akan diterima.[8]

TAJUDDIN AS-SUBKI

Tajuddin As-Subki dalam kitab Al-Ashbah Wan Nadhair menjelaskan: Keadilan ialah karakter yang mengakar dalam diri yang mendorong (seseorang) pada kebenaran dalam ucapan, kerelaan dan amarah, dan hal itu diketahui dengan menjauhi dosa-dosa besar, tidak terdesak pada dosa-dosa kecil, menjaga kehormatan dan kesederhanaan ketika bangkitnya keninginan-keinginan sehingga menguasai dirinya dari (tertarik) mengikuti hawa nafsunya.[9]

JALALUDDIN AS-SUYUTHI

Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab Al-Ashbah Wan Nadhair juga memaparkan: Para ulama medefinisikannya (keadilan), bahwasannya ia adalah sebuah malakah yakni karakter yang mengakar dalam diri yang menahannya dari melakukan dosa besar atau kecil yang mengarahkan pada kehinaan atau dari hal mubah yang mencederai kehormatan. Dan ini merupakan sebaik-baiknya ungkapan dalam mendefinisikannya.

Dan melemahkannya (makna keadilan) ucapan orang yang mengatakan bahwa (keadilan) adalah menjauhi dosa-dosa besar serta desakan terhadap dosa-dosa kecil.

Sebab hanya menjauhi tanpa adanya malakah dan kekuatan dalam dirinya yang mencegahnya dari jatuh ke dalam apa yang diinginkan (nafsunya) tidak cukup untuk disebut sebagai keadilan.[10]

IBNU HAJAR AL-ASQALANI

Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan: Yang dimaksud dengan keadilan adalah sesiapa yang memiliki malakah yang mendorongnya menjaga takwa dan kehormatan. Dan yang dimaksud takwa ialah menjauhi perbuatan-perbuatan buruk seperti kesyirikan, kefasikan atau bid’ah.[11]

Demikianlah beberapa pandangan ulama terkait keadilan. Dari sini muncul sebuah pertanyaan besar bagi kita, apakah makna keadilan ini terwujud dalam setiap pribadi sahabat tanpa kecuali? Bagaimanakah sebenarnya fakta yang terjadi dalam Al-Quran, hadis dan sejarah? semua ini membutuhkan banyak kajian dan renungan. InsyaAllah pada seri-seri berikutnya akan menyelam lebih dalam lagi dalam topik ini.

Syarat Islam Tidak Ada Dalam Defenisi Sahabat

Pada beberapa tulisan sebelumnya telah banyak diutarakan berkaitan dengan tema sahabat. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa menyebutkan fakta sejarah termasuk sahabat, tidak masuk dalam kategori caci maki. Begitu juga tidak bisa dianggap sudah basi serta tidak relevan. Sebab pengkajiannya memiliki filosofi yang jelas iaitu berkaitan dengan keautentikan sumber ajaran islam.

Berangkat dari kenyataan ini pada seri kali ini akan dikaji lanjutan dari defenisi sahabat. Di mana pada defenisi sebelumnya ada disebutkan bahwa salah satu syarat yang harus dimiliki sahabat adalah berjumpa dan mati dalam kedaan islam.

“yang paling benar dari apa yang telah disampaikan berkaitan dengan defenisi sahabat adalah: seseorang yang bertemu dengan Nabi SAWW pada masa hidupnya dalam kedaan muslim dan mati dalam keislamannya.”[12]

Namun jika melihat al-Quran yang merupakan sumber rujukan pertama umat islam akan ditemukan bahwa syarat di atas tidak diebutkan sama sekali. Tepatnya, kata sahabat ini lebih bersifat netral dan bebas nilai. Dan yang menjadi poin hanya kebersamaan dan tidak lebih.

Di dalam al-Quran terdapat ayat yang mengandung kata (صحب ) tepatnya ketika disebutkan bahwa Rasulullah adalah sahabat orang-orang musyrik:

“وَما صاحِبُكُمْ بِمَجْنُونٍ (Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila)[13]

Tafsir al-Mizan dalam mengomentari ayat ini menjelaskan: “di dalamnya ada tanda yang menunjukkan bahwa ia (Muhammad SAWW) adalah sahabat kalian. Ia tinggal diantara kalian dan bergaul bersama kalian sepanjang umurnya”[14]

Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa kata sahabat tidak memiliki makna selain kebersamaan atau pertemanan. Dan yang mendasari kaum musyrikin disebutkan sebgai sahabat Nabi SAWW adalah kebersamaan tersebut tanpa adanya kaitan keislaman sama sekali. Oleh karena itu makna islam atau selainnya tidak ada sangkut pautnya dengan istilah sahabat.

Hal ini mengingat bahwa al-Quran dengan tegas menggunakan hal itu untuk dua kelompok yang berlainan dari sisi akidah dan keyakinan. Tepatnya antara nabi Muhammad SAWW dan kaum musyrikin.

Atas dasar ini menambahkan embel-embel islam kedalam defenisi sahabat tidaklah tepat dan jauh dari mengikuti al-Quran.

Konsep Keadilan Sahabat dalam Mazhab Ahlussunnah

Beberapa seri sebelumnya telah kita paparkan beberapa hal sekaitan dengan Sahabat Nabi Saw, dimulai dari tujuan pembahasan Sahabat, definisi Sahabat dan terakhir seputar definisi keadilan. Dibahasnya tentang definisi keadilan lantaran berhubungan dengan konsep keadilan Sahabat, yang insya Allah akan kita bahas pada seri kali ini.

Konsep keadilan Sahabat merupakan sebuah konsep yang sangat masyhur dalam mazhab Ahlussunnah. Konsep itu berbicara bahwa Sahabat Nabi Saw seluruhnya adil, bahkan dikatakan juga bahwa seluruh Sahabat Nabi Saw dipastikan masuk surga. Konsep tersebut menjadi sebuah landasan dan keyakinan sebagian besar ulama-ulama Ahlussunnah.

Salah satu ulama Ahlussunnah yang berkeyakinan akan konsep keadilan Sahabat ialah Ibnu Hajar Asqalani. Dalam kitabnya Al-Ishobah fi Tamyiz As-Shahabah beliau mengklaim dan mengatakan “Ahlussunnah sepakat bahwa seluruh Sahabat Nabi adil, dan tidak ada yang berselisih akan hal tersebut kecuali sedikit dari sebagian pelaku bid’ah.”

Masih dari kitab yang sama, Ibnu Hajar menukil perkataan dari Abu Muhammad bin Hazm yang mengatakan bahwa “seluruh Sahabat Nabi dipastikan merupakan Ahli Surga. Dan sesungguhnya tidak ada satupun dari mereka yang masuk neraka.”

Konsep tersebut tentu bukan tanpa dalil. Mereka yang meyakini konsep tersebut menjabarkan dalil baik dari Al-Quran maupun hadis-hadis yang mereka anggap menunjukkan pada keadilan seluruh sahabat. Dalil-dalil tersebut insya Allah akan kita bahas pada seri-seri selanjutnya berikut dengan catatan-catatannya. Dengan demikian kita akan mengetahui apakah konsep tersebut benar adanya dan sesuai berdasarkan yang ada dalam Al-Quran, hadis-hadis maupun riwayat, atau konsep tersebut gugur lantaran adanya dalil yang menunjukkan bahwa ternyata tidak semua Sahabat Nabi Saw itu adil.

Imam Al-Amidi dan Keadilan Sahabat Nabi

Seperti yang kita tahu, hampir seluruh ulama Ahlusunnah secara kompak meyakini bahwa semua sahabat nabi adalah adil. Masih menurut mereka—seperti yang sudah diulas dalam tulisan sebelumnya—bahwa sebagian dari mereka meyakini kalau-kalau semua sahabat nabi adalah ahli surga, seperti yang dikatakan oleh Abu Muhammad bin Hazm.

Perlu menjadi titik fokus, bahwa di tengah masifnya keyakinan akan keadilan seluruh sahabat nabi oleh ulama Ahlusunnah, ada seorang ulama kenamaan yang juga dari Ahlusunnah, yang bersilang pendapat dengan pendapat mereka soal keadilan sahabat. Ia adalah Imam Syaifuddin Al-Amidi.

Sependek yang penulis tahu, Imam Syaifuddin Al-Amidi atau yang lebih lazim dikenal Imam Al-Amidi adalah ulama Ahlusunnah yang lahir di kota Diyarbakir, Turki (1156 M) dan wafat di Damaskus, Syiria ( 1235 M). Sejauh pengembaraanya di dunia keislaman, ia concern di bidang ilmu logika dan filsafat, lalu mengepakkan sayapnya ke disiplin ilmu teologi dan juga usul fikih.

Mulanya, Imam Al-Amidi adalah pribadi yang bermazhab Hanbali. Kemudian, seiring dengan bergulirnya waktu, di dalam pengembaraan spiritual-keilmuannya, ia berpindah haluan menjadi pengikut mazhab Syafi’i. Sosok yang paling berpengaruh dalam mengubah mazhabnya dari Hanbali ke Syafi’i ialah Syekh Abul Qasim ibn Fadlan, yang merupakan pengikut Syafi’i.

Kembali ke pembahasan awal, terkait tanggapannya mengenai keadilan sahabat, Imam Al-Amidi menuangkannya di dalam salah satu kitabnya yang cukup masyhur, berjudul Al-Ihkam fi Usulil Ahkam. Di dalam tanggapannya mengenai sahabat, ia menulis sebagai berikut.

Jumhur (sekelompok) ulama Ahlusunnah sepakat akan keadilan sahabat.

Kelompok dari Ahlusunnah berkata, “Sesungguhnya hukum mereka terkait keadilan sahabat perlu adanya pembahasan riwayat mengenai keadilan sahabat.”

Kelompok lain meyakini akan keadilan sahabat, meskipun terjadi perselisihan dan kesesatan di antara mereka. Maka, selazimnya adanya pembahasan tentang keadilan sahabat di dalam riwayat atau kesaksian mereka. Dan jika tiada kesaksian, tiada kejelasan akan keadilan sahabat.

Sebagian mereka berkata, “Sungguh, setiap sahabat yang memerangi Ali bin Abu Thalib, mereka adalah fasik, di mana riwayat dan kesaksiaannya tertolak, dikarenakan telah keluar dari pemimpin yang hak.”

Sebagian mereka berkata, “Bahwa riwayat dan kesaksian mereka (sahabat) tertolak, sebab salah satu di antara dua kelompok adalah fasik, yang tidak diketahui (identitasnya) dan tidak pula ada penetapan (atas mereka).”[15]

Apa yang Imam Al-Amidi sampaikan di dalam kitabnya merupakan salah satu pembahasan yang amat berharga terkait sahabat. Dari pandangannya, nampaknya ia punya pesan tersirat bahwa melabeli seluruh sahabat nabi sebagai pribadi yang adil amatlah berlebihan. Karenanya, untuk menarik satu kesimpulan akhir dari pembahasan ini, kita perlu menggali lebih dalam lagi jejak-jejak sejarah, riwayat maupun hadis mengenai keadilan sahabat nabi. Wallahu a’lam bi as-shawab.

Al-Khathib Al-Baghdadi dan Keadilan Sahabat Nabi

Dalam beberapa seri yang lalu, telah kita kaji beberapa pandangan ulama Ahlusunnah terkait keadilan sahabat nabi saw. Kebanyakan dari mereka menyakini keadilan seluruh sahabat, meskipun terdapat sebagian kecil diantaranya yang tidak berpandangan demikian.

Diantara para ulama lainnya yang memiliki pandangan terhadap keadilan sahabat adalah Al-Khathib Al-Baghdadi. Ia merupakan seorang ulama yang hidup pada tahun 392 H hingga 463 H. Ayahnya merupakan seorang dikenal ahli dalam membaca Al-Quran, ia mendorong Al-Khathib untuk mendalami ilmu keagamaan hingga akhirnya Al-Khathib pergi ke beberapa kota diantaranya Bashrah dan Syam untuk menimba ilmu. Hasilnya, ia menjadi seorang ulama besar dan berhasil melahirkan beberapa karya yang salah satunya adalah dalam bidang hadis dan sejarah.

Dalam pandangannya terkait sahabat Al-Khatib menjelaskan: Setiap Hadis yang tersambung sanadnya di antara yang meriwayatkannya dan nabi saw, tidak harus diamalkan kecuali setelah terbukti keadilan para perawinya, dan wajib melihat status mereka (para perawi) kecuali sahabat yang telah menyampaikan (sanad) ke Rasulullah saw, sebab keadilan sahabat adalah tetap yang diketahui dengan peng-adilan Allah terhadap mereka, pengabaran-Nya akan kesucian mereka serta pemilihan-Nya untuk mereka dalam nash Al-Quran.[16]

Dalam pernyataan ini ia menjelaskan bahwa ketika runutan sanad itu telah mencapai sahabat, maka tidak wajib untuk meneliti status keadilannya, sebab para sahabat keadilannya telah ditetapkan oleh Allah swt dalam Al-Quran.

Kemudian setelah itu ia membawakan beberapa ayat Al-Quran yang diyakininya sebagai dalil atas pandangannya tersebut.

Di tempat lain, setelah membawakan hadis nabi yang berbicara mengenai keutamaan sahabat, ia juga menuturkan: Dan riwayat-riwayat dalam makna serupa adalah luas (banyak), dan semuanya sesuai dengan apa yang muncul dalam nash Al-Quran, semuai itu menunjukkan kesucian sahabat, dan keyakinan akan peng-adilan serta kesucian mereka, maka salah satu dari mereka -dengan peng-adilan Allah swt yang mengetahui batin-batin mereka- tidak membutuhkan pengadilan siapa pun dari ciptaan-Nya untuk mereka, maka mereka (para sahabat) memiliki sifat seperti ini kecuali terbukti pada salah satu dari mereka, mengerjakan sesuatu yang tidak memungkinkan melainkan terdapat tujuan maksiat, dan keluar dari bab ta’wil, maka dihukumi dengan gugur keadilannya, sementara itu sungguh Allah telah menjauhkan mereka dalam hal itu, serta mengangkat derajat mereka di sisi-Nya.[17]

Dalam beberapa penggalan pada pernyataannya di atas terkait sahabat, dapat kita lihat bahwa ia beberapa kali menisbatkan kesucian terhadap mereka, yang menurut hemat penulis membutuhkan pembahasan serta kajian lebih dalam lagi dalam hal ini.

Di samping itu menyakini keadilan sahabat yang merupakan peng-adilan dari Allah swt namun dibarengi kemungkinan gugur keadilannya, seperti yang ia jelaskan pada penggalan kedua, bukankah cukup menjadi alasan bagi kita untuk memilah dan menyaring manakah yang tetap dalam keadilan dan mana yang telah gugur keadilannya. Wallahu A’lam Bisshawab.

Menilai Keadilan Sahabat Dengan Standar Defenisi Ibn Hajar al-Asqalani

Tema pembahasan Tulisan kali ini sebagaimana seri-seri sebelumnya masih seputar keadilan sahabat, tepatnya mengkritisi keyakinan akan keadilan seluruh sahabat dengan standar defenisi yang telah dipaparkan oleh Ibn Hajar al-Asqalani; di mana dalam satu pernyataannya disebutkan bahwa: “adil adalah orang yang memiliki jati diri (malakah) untuk selalu menjaga ketakwaan dan harga diri. dan menjaga takwa adalah menjauhi perbuatan yang buruk seperti syirik, kefasikan dan bidah.[18]

Dan yang ingin disorot secara khusus pada tulisan ini adalah tentang menjauhi bidah. Di mana menjauhi bidah disebutkan sebagai syarat takwa dan pada gilirannya takwa merupkan syarat keadilan.

Berangkat dari defenisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian sahabat telah keluar dari keadilan. Hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Bukhari di dalam kitabnya bahwa sebagian sahabat melakukan perbuatan bidah:

“dari Anas dari Nabi SAWW, beliau bersabda: segolongan dari sahabatku mendatangiku di dekat telaga. Ketika telah aku kenali, mereka dihalangi dariku. Aku berkata: mereka adalah para sahabatku. Maka dijawab: engkau tidak tahu bidah yang telah mereka lakukan setelahmu.”[19]

Mengamini apa yang tertera dalam riwayat ini Barra bin Azib juga mengakui bahwa sahabat telah melakukan perbutan bidah:

“dari Ala bin Musayyab dari ayahnya, ia berkata: aku menjumpai Barra’ bin Azib RA, lalu aku berkta: alangkah beruntungnya engkau, engkau bersahabat dengan Rasulullah SAWW dan melakukan baiat di bawah pohon (baiaturridwan). Ia berkata: wahai anak saudaraku! Engkau tidak tahu bidah yang telah kami perbuat setelahnya.[20]

Berpijak pada defenisi yang telah disebutkan oleh Ibn Hajar tentang keadilan dan dua riwayat yang telah disebutkan tentang perbuatan bidah yang telah dilakukan sahabat, maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua sahabat Nabi SAWW memiliki sifat adil sebagaimana diyakini oleh kalangan Ahlussunnah.

Namun perlu digaris bawahi bahwa sanggahan terhadap keadilan sahabat bukan berarti menolak kedilan seluruh sahabat, akan tetapi hanya menolak keadilan sebagian dari mereka. Singkatnya meyakini bahwa sebagian sahabat adil dan sebagian lainnya tidak demikian

Dan perlu diingat juga bahwa, membahas tema ini tidak berbeda dengan membahas keadilan rawi pada generasi tabiin dan sesudahnya. Mengingat bahwa hal ini bertujuan untuk menyaring ajaran agama agar diperoleh dari sumber yang autentik dan valid maka tujuan yang sama juga ada pada pembahasan keadilan sahabat.

Dalil Konsep Keadilan Sahabat

Sebelumnya kita telah menyinggung seputar konsep keadilan Sahabat, dimana sebagian besar mazhab Ahlussunnah berpendapat bahwa seluruh Sahabat Nabi Saw Adil dan dipastikan masuk surga. Mereka yang berpendapat seperti itu memiliki dalil baik dalam Al-Quran maupun hadis-hadis atau riwayat.

Salah satu dalil Alquran yang mereka bawakan untuk menunjukkan keadilan seluruh Sahabat ialah Al-Quran Surat At-Taubah ayat 100. Allah Swt berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”

Ayat ini masyhur dikalangan Mazhab Ahlussunnah sebagai dalil atas keadilan seluruh Sahabat, dimana Allah Swt telah ridho kepada mereka kaum Muhajirin dan Anshar, juga orang-orang yang mengikuti mereka. Disebutkan juga bahwa sesiapa yang telah diridhai, maka Allah tidak akan marah padanya. Seperti yang terekam dalam kitab Al-Isti’ab karya Ibn Abdul Barr.

Ulama Syiah seperti Allamah Thabathaba’I dalam tafsirnya Al-Mizan menyebutkan bahwa kata (مِنَ ) dalam ayat tersebut merupakan “Tab’idhiyyah”, yang berarti menunjukkan sebagian. Sehingga secara dzahir ayat tersebut dapat difahami bahwa yang dimaksud Allah adalah sebagian dari Muhajirin dan Anshar, tidak seluruhnya.

Selain itu terdapat ayat lainnya yang tidak selaras dengan konsep keadilan Sahabat yang menyatakan seluruh Sahabat adil. Ayat itu merupakan lanjutan dari ayat diatas, dimana Al-Quran menyebutkan bahwa disekitar Nabi dan diantara penduduk Madinah terdapat orang munafik. Allah Swt Berfirman:

وَمِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ لَا تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ سَنُعَذِّبُهُمْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَى عَذَابٍ عَظِيمٍ

Di antara orang-orang Arab yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.

Berdasarkan Definisi yang telah kita sebutkan tentang Sahabat, maka, ayat tersebut mancakup Sahabat Nabi Saw dan Al-Quran mengatakan mereka sebagai seorang munafik.

Untuk itu pendapat yang mengatakan keadilan seluruh Sahabat Nabi berdasarkan ayat pertama diatas dinilai kurang tepat. Benar, bahwa ayat tersebut menunjukkan keutamaan Sahabat atau mungkin keadilan mereka, namun itu tidak menunjukkan keutamaan atau keadilan untuk seluruh Sahabat, tapi hanya sebagiannya saja.

Hasan Al-Bashri dan Sahabat Nabi

Di dalam beberapa tulisan sebelumnya, sedikit-banyak telah membahas ihwal sahabat nabi, lebih-lebih terkait sifat adil mereka. Sudah menjadi rahasia umun, bahwa sahabat nabi di mata ulama Ahlusunnah memiliki kedudukan yang mulia. Atas dasar itu pula, mereka berkeyakinan kalau semua sahabat nabi adalah adil.

Menarik untuk kita perhatikan secara saksama, bahwa Hasan al-Bashri, tokoh kesohor di Ahlusunnah memberikan tanggapan yang mungkin cukup mengagetkan (bagi sebagian orang) terkait sahabat nabi. Di dalam pernyataanya, ia menyebutkan, bahwa ada salah satu sahabat nabi yang jadi budak dunia. Artinya, ia adalah tipe sahabat yang lebih mementingkan urusan dunia daripada akhirat.

Sementara yang kita tahu, sebagian umat Muslim dunia meyakini bahwa sahabat nabi adalah pribadi yang mulia, bahkan sebagian mereka mengklaim kalau sahabat nabi adalah ahli surga, sosok yang dijamin masuk surga. Adapun terkait dengan pernyataan Hasan al-Basri tentang sahabat nabi, itu bisa kita dapati didalam kitab Siyar A’lamin Nubala’ karya Imam adz-Dzahabi.

Hasan al-Bashri berkata, “Ada dua juru penengah (sahabat nabi), Abu Musa Asy’ari dan Umar bin Aas. Salah satu dari keduanya, ada yang mencari (mengejar) dunia dan yang lainnya mencari akhirat.”[21]

Dengan sikap yang seperti itu, maka kita bisa menilai secara fair tentang bagaimana kepriadian sahabat yang yang lebih mementingkan dunia ketimbang akhiratnya. Sebagai penutup sekaligus renungan, mari kita simak hadis dari Nabi Muhammad Saw. yang berbunyi begini, “Ada enam perkara yang menggugurkan amal kebaikan. Salah satunya adalah cinta dunia.”

Dalil Konsep Keadilan Sahabat (2)

Islam memandang bahwa semulia-mulianya manusia di hadapan Allah swt adalah yang paling bertakwa kepadaNya. Kaidah ini bersifat haqiqi yang artinya berlaku di mana pun dan kapan pun. Tak terkecuali pada masa nabi Muhammad saw dan para sahabatnya.

Menyakini keadilan sahabat bukanlah satu hal yang keliru, sebab kita semua menyadari bahwa terpeliharanya Islam hingga saat ini, salah satunya adalah terdapat peran para sahabat. namun jika hal itu dijadikan mutlak pada seluruhnya, maka perlu ketelitian dalam hal ini; pertama harus jelas terlebih dahulu apa definisi yang dimaksud dari kata “sahabat” itu sendiri. Kedua, apa dalilnya jika seluruh sahabat itu adil.

Pada seri yang lalu telah kita bahas seputar definisi sahabat menurut para ulama. Kali ini kita akan mencoba melihat salah satu dalil yang digunakan oleh sebagian dalam menopang konsep keadilan seluruh sahabat.

Adalah surat Al-Fath ayat 29, yang berbunyi:

مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ مَعَه ٗ ٓ اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَيْنَهُمْ تَرٰىهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ و َرِضْوَانًا ۖ سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْدِ ۗذٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ ۖوَمَثَلُهُمْ فِى الْاِنْجِيْلِۚ كَزَرْعٍ اَخْرَجَ شَطْـَٔه ٗ فَاٰزَرَه ٗ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوٰى عَلٰى سُوْقِه ٖ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيْظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗوَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنْهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا ࣖ

Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.

Pendekatan dalil: Ayat di atas dimulai dengan bentuk pengagungan dengan menyebutkan “Muhammad adalah utusan Allah”, kalimat tersebut merupakan penjelasan bagi ayat sebelumnya (ayat 28) yang berbunyi:

هُوَ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ رَسُوْلَه ٗ بِالْهُدٰى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَه ٗ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّه ٖ ۗوَكَفٰى بِاللّٰهِ شَهِيْدًا

Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.

Maka dalam ayat tadi terdapat pujian agung kepada nabi Muhammad selaku utusan Allah dan juga orang-orang yang bersamanya dengan menyebut “dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”. Sifat yang digambarkan pada ayat tersebut serupa dengan yang tertera pada surat Al-Maidah ayat 54, yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَنْ يَّرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِه ٖ فَسَوْفَ يَأْتِى اللّٰهُ بِقَوْمٍ يُّحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَه ٗ ٓ ۙاَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الْكٰفِرِيْنَۖ يُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَل َا يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لَاۤىِٕمٍ ۗذٰلِكَ فَضْلُ اللّٰهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.

Jadi orang-orang yang bersama nabi tadi digambarkan sebagai yang bersikap keras terhadap kafir dan lemah lembut diantara sesama mu’min. Juga digambarkan dengan banyak beramal dengan ikhlas mengharap karunia Allah dan sebagainya hingga akhir ayat.

Yang menjadi persoalan dalam hal ini apakah semua kriteria tersebut terwujud dalam setiap pribadi sahabat nabi ataukah tidak. Sebagai bahan untuk merenunginya, perhatikan dengan baik beberapa hal berikut:

Pertama, tidak mungkin jika ayat tersebut merupakan pujian bagi seluruh sahabat, sebab disebutkan beberapa kriteria dalam ayat itu, sebagaimana diantaranya Allah menyifati mereka dengan keras terhadap orang-orang kafir dan lemah lembut diantara sesama mu’minin, sedangkan kenyataan dalam sejarah kita menemukan terjadinya peperangan yang mengakibatkan banyak korban diantara mereka sendiri paska wafatnya nabi, yang artinya gugurlah sifat lemah-lembut diantara sesama mu’minin sehingga dengan ini tidak mungkin ayat ini mencakupi seluruh sahabat.

Kedua, pada penggalan akhir ayatnya Allah swt berfirman:

وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنْهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا

Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.

Terdapat lafaz (مِنَ ) pada ayat tersebut yang merupakan Tab’idhiyyah, yang berarti menunjukkan sebagian dari mereka bukan seluruhnya.

Kesimpulannya ialah bahwa ayat ini tidak menunjukkan kepada seluruh sahabat melainkan hanya sebagian dari mereka yang memiliki kriteria tadi. Wallahu A’lam Bisshawab.