Benarkah Kata ‘Maula’ atau ‘Wali’ dalam Hadis Al-Ghadir Bermakna Teman atau Kekasih?
Setelah kita mengetahui kebenaran peristiwa Ghadir Khum dan kemutawatiran atau shahihnya hadis Ghadir Khum, selanjutnya kita akan membahas perihal kandungan pesan yang ada pada hadis tersebut.
Salah satu persoalan yang menjadi perbincangan hangat seputar isi dari hadis Ghadir Khum ialah perihal makna ‘maula’ yang terucap dari lisan Rasulullah Saw untuk Imam Ali as. Kaum muslimin berbeda pendapat mengenai makna ‘maula’ dalam hadis tersebut.
Pada dasarnya, mereka (Kaum muslimin) memiliki perbedaan pandangan mengenai peristiwa Ghadir Khum. Sebagian memandang bahwa peristiwa tersebut merupakan momen pengangkatan dan pelantikan Imam Ali as sebagai pemimpin kaum muslimin, dan sebagian lainnya menolak hal tersebut.
Mereka yang menolak pengangkatan Imam Ali as sebagai pengganti Rasulullah Saw dalam peristiwa Ghadir Khum, tidak bisa menyanggah momen bersejarah tersebut ataupun melemahkan hadis Al-Ghadir yang ada dalam peristiwa itu. Karena, seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, peristiwa agung tersebut banyak terekam dalam berbagai referensi Islam dan hadisnya sangat berlimpah serta mencapai derajat mutawatir.
Namun, mereka menganggap bahwa kata ‘maula’ ataupun ‘wali’ yang ada dalam hadis Al-Ghadir bukan bermakna pemimpin atau khalifah melainkan bermakna teman, atau kekasih. Sehingga, peristiwa Ghadir Khum tidak dianggap sebagai pelantikan Imam Ali menjadi pemimpin pengganti Rasulullah Saw.
Dalam banyaknya referensi mengenai hadis Al-Ghadir, kita sering melihat redaksi hadis tersebut menggunakan kata ‘maula’. Dan disebagian lainnya menggunakan kata ‘wali’ seperti yang terekam dalam kitab Al-Mustadrak ‘ala As-Shahihain milik Hakim Naisaburi.
…Kemudian Rasulullah Saw berkata: Sesungguhnya Allah Swt adalah Maulaku, dan aku adalah maula setiap mukmin, dan Rasul Saw mengambil tangan Ali lalu berkata: sesiapa yang menjadikan aku maulanya maka ini (Ali) adalah walinya. Ya Allah Dukunglah siapa saja yang mendukungnya, dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.
Hadis diatas menunjukkan bahwa kata ‘maula’ memiliki makna yang sama dengan kata ‘wali’, seperti yang telah dijelaskan pada seri sebelumnya. Dan masih dari kitab yang sama Rasulullah Saw menyebut Imam Ali dengan kata wali.
…Ibnu Abbas berkata: Dan Rasulullah Saw berkata kepadanya (Ali), Engkau adalah wali setiap mukmin setelahku dan mukminah.
Hadis tersebut menunjukkan kedudukan kewilayahan Rasulullah Saw atas setiap kaum mukmin akan di teruskan oleh Imam Ali setelah nya.
Disamping itu, Abu Bakar dan Umar bin Khattab menggunakan kata wali sebagai representatif atas kepemimpinan mereka setelah Rasulullah Saw, seperti yang termaktub dalam kitab Shahih Muslim karya Imam Muslim.
Umar berkata: ketika Rasulullah Saw telah wafat Abu Bakar berkata, aku adalah wali Rasulullah Saw…
Kemudian setelah Abu Bakar Wafat, dan aku adalah wali Rasulullah Saw dan wali Abu Bakar..
Dan dalam kitab Al-Mushanif milik Abu Bakar As-Shan’ani tertulis Khutbah Abu Bakar, dimana ia menggunakan kata ‘wali’ untuk dirinya atas kepemimpinan kaum muslimin.
Abu Bakar berkhutbah pada kami lalu ia berkata: Wahai umat manusia sesungguhnya aku telah dijadikan wali atas kalian dan aku bukanlah yang terbaik diantara kalian…
Riwayat-riwayat di atas merupakan ucapan dari sahabat Rasulullah Saw Abu Bakar dan Umar bin Khattab yang menganggap diri mereka sebagai wali Rasulullah Saw sehingga berhak atas kepemimpinan dan kekhalifahan setelah wafatnya Rasulullah Saw.
Pertanyaannya, kenapa kata ‘wali’ yang dinyatakan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab di artikan sebagai kepemimpinan atau kekhalifahan, sementara kata ‘wali’ yang di ucapkan oleh Rasulullah Saw untuk Imam Ali diartikan sebagai teman atau kekasih?
Selain itu, makna ‘maula’ atau ‘wali’ jika diartikan teman atau kekasih pada peristiwa Ghadir Khum, secara kaca mata logika dinilai lemah.
Apakah logis, jika Nabi Saw yang merupakan orang paling berakal setelah Haji wada’ mengumpulkan ribuan umat muslim dan dalam keadaan cuaca yang sangat terik memanggil kembali rombongan yang telah mendahuluinya untuk berkumpul di Ghadir Khum lalu menyampaikan perihal pertemanan dan kasih mengasihi antara Imam Ali dan kaum mukmin?
Sebegitu pentingkah pesan pertemanan dan kasih mengasihi sehingga Rasulullah Saw begitu khawatir untuk menyampaikannya secara terbuka, dan jika tidak disampaikan maka seperti tidak menyampaikan seluruh risalahnya seperti yang tergambar dalam ayat Tabligh?
Sebegitu pentingkah pesan pertemanan sehingga Rasulullah Saw menyampaikan hal tersebut di masa akhir-akhir kehidupannya?
Sebegitu pentingkah, sampai-sampai Sahabat besar Nabi Saw bergantian mengucapkan selamat kepada Imam Ali karena telah dinyatakan sebagai teman atau pengasih kaum mukmin?
Jawabannya dikembalikan pada Anda.