Kelahiran-Kemuliaan Rasulullah Saw

Kelahiran-Kemuliaan Rasulullah Saw0%

Kelahiran-Kemuliaan Rasulullah Saw pengarang:
: Tanpa Nama
: Tanpa Nama
Kategori: Sejarah & Biografi

  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 22 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 1621 / Download: 1281
Ukuran Ukuran Ukuran
Kelahiran-Kemuliaan Rasulullah Saw

Kelahiran-Kemuliaan Rasulullah Saw

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Kelahiran-Kemulian Nabi Muhammad Saw

Kelahiran Nabi Muhamad saw

Syekh Husnain Muhammad Makhluf: Merayakan Maulid Tidak Masalah dan Bid’ah Hasanah

Kelahiran nabi Muhammad saw merupakan momen yang menggembirakan bagi semua orang yang mendambakan nilai-nilai keadilan serta ajaran kebenaran. Sebab wujud beliau saw dimulai dari sejak dini hingga akhir hayatnya merupakan sosok yang berjuang demi nilai-nilai itu serta mengajarkannya pada masyarakat.

Tak dapat dipungkiri lagi bahwa apa yang sampai pada kita saat ini pun merupakan buah dari usaha beliau saw selama hidupnya. Sehingga dengan hal tersebut kita dapat mengenal kebenaran kemudian mengerjakannya dan keburukan kemudian meninggalkannya.

Oleh sebab itu meskipun terpaut jarak waktu yang sangat jauh dengan kita, namun pada kenyataannya wujud beliau memiliki sebuah peran yang sangat besar dalam kehidupan kita. Sehingga bagi kita yang seorang muslim khususnya, sosok beliau adalah sebuah nikmat besar yang telah diberikan Allah swt pada kita.

Bertolak dari pandangan yang melihat beliau sebagai sebuah nikmat besar ini, maka sudah sepantasnya secara logis bahwa hal tersebut disyukuri. Tentunya ekspresi syukur dalam hal ini memiliki bentuk yang beragam, dan salah satunya adalah dengan perayaan maulid yang sering kita temukan, yakni bergembira dengan mensyukuri lahirnya wujud sang pembawa hidayah.

Dalam kasus ini banyak ulama yang melihat perayaan maulid itu sebagai wujud dari rasa syukur kepada Allah swt dan ekspresi kecintaan atas sosok agung nabi Muhammad saw. Sehingga apabila dilihat dengan sudut pandang ini, maka perayaan maulid ini adalah hal yang baik. Seperti halnya yang sudah kami ulas dalam beberapa tulisan sebelumnya.

Hal ini juga dinyatakan oleh seorang ulama dari mesir, Syekh Husnain Muhammad Makhluf (1890-1990). Ia merupakan seorang ahli di bidang fikih dan pernah menjabat menjadi seorang mufti besar pada tahun 1945-1950 dan 1952-1954. Dalam kitab fatwanya yang dinukil dalam kitab Ad-Durrul Maknun, ia menyebutkan:

Sesungguhnya menghidupkan malam maulid dan malam-malam dari bulan yang mulia ini -yang mana telah terbit darinya cahaya Muhammadi-, hanyalah dengan berdzikir dan bersyukur pada Allah atas apa yang telah Ia karuniakan pada umat ini dari munculnya makhluk terbaik ke alam wujud yang mana ia bukanlah sesuatu melainkan berada dalam adab, khusyu dan jauh dari hal-hal haram, bid’ah ataupun yang dilarang. Dan diantara perwujudan syukur adalah memberi makanan yang disukainya kepada orang fakir dan yatim serta membantu orang-orang yang memiliki hajat dengan meringankan beban mereka juga menyambung silaturahmi. Dan menghidupkan (maulid) dengan cara seperti ini meskipun tidak ada pada masa beliau saw dan juga pada masa para salaf saleh, merupakan hal yang tidak bermasalah serta bid’ah hasanah.[1]

Dari penjelasannya di atas bisa kita simpulkan bahwa perayaan maulid selama itu dilakukan dengan hal-hal yang sesuai dengan ketentuan syariat, meskipun hal ini tidak pernah ada pada masa nabi maupun salaf maka hal tersebut tidak masalah bila dikerjakan, serta alasan lainnya yang dijadikan dalil olehnya adalah bid’ah hasanah.

Aqiqah Nabi SAWW Setelah Kenabian, Dalil Keabsahan Maulid

Pada tulisan-tulisan awal telah banyak disebutkan bahwa bid’ah adalah membuat suatu amalan baru dalam ajaran Islam yang tidak memiliki dasar baik berupa dalil umum maupun khusus.

Atas dasar ini, amalan yang memiliki landasan baik berupa dalil yang bersifat umum maupun khusus akan keluar dari kategori bid’ah dengan sendirinya.

Sebagaimana telah disebutkan pada beberapa tulisan sebelumnya bahwa peringtan maulid Nabi SAWW memiliki landasan dalam syari’at, oleh karena itu amalan tersebut bukanlah amalan bid’ah yang harus dihindari, akan tetapi justru masuk dalam kategori amalan yang dianjurkan karena ditopang oleh dalil.

Menambahkan bukti-bukti yang telah dimuat pada seri sebelumnya, di sini akan diutarakan dalil lainnya yang dapat dijadikan sebagai landasan maulid Nabi SAWW berupa aqiqah yang dilakukan oleh Rasulullah untuk dirinya setelah kenabian. Jalaludin Suyuti dalam hal ini mengatakan:

“(aku berkata): sungguh telah nyata bagiku pengeluaran hukumnya (maulid) atas dasar yang lain. Iaitu hadits Baihaqi dari Anas di mana Nabi SAWW melakukan aqiqah untuk dirinya setelah kenabian, sementara ada bukti yang menyatakan bahwa kakek beliau Abdul Muththalib telah mengakikahkannya pada hari ke tujuh pasca kelahiran. dan padahal aqiqah tidak diulang dua kali. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh Nabi SAWW harus dimaknai sebagai ekspresi rasa syukur karena Allah telah menjadikannya sebagai rahmat bagi semesta dan sebagai penetapan syari’at bagi ummatnya, sebagaimana halnya beliau selalu bershalawat atas dirinya karena hal tersebut. Maka disunnahkan juga bagi kita untuk mengekpresikan rasa syukur atas kelahiran beliau dengan melakukan perkumpulan, memberi makan dan lain sebagainya yang merupakan bentuk dari mendekatkan diri (kepada Allah) dan ekspresi kebahagian.[2]

Penjelasan di atas dapat memberikan pemahaman bahwa aqiqah yang dilakukan oleh Nabi SAWW setelah kenabian dapat dijadikan landasan bagi perayaan maulid Nabi SAWW.

Hal itu mengingat bahwa aqiqah tersebut dilakukan oleh Rasulullah sebagai bentuk rasa syukur karena telah dijadikan sebagai rahmat bagi semesta, bukan sebagai aqiqah sebagaimana biasanya. Sebab Nabi telah diaqiqahkan oleh kakeknya pada hari ke tujuh pasca kelahiran beliau.

Oleh karena itu, sebagai ekspresi rasa syukur, kita juga dapat melakukan maulid Nabi SAWW.

Amalan Mustahab di Hari Maulid Nabi Saw dalam Mazhab Syiah

Hari kelahiran Nabi Muhammad Saw merupakan hari yang istimewa. Hari dimana Allah Swt menurunkan RahmatNya dengan menghadirkan sosok pribadi yang sempurna di tengah-tengah umat manusia. Tak ayal hari tersebut dijadikan momen oleh kaum muslimin untuk bersyukur atas karunia agung yang telah Allah berikan kepada seluruh makhluk lewat kelahiran sang penutup para Nabi. Dan perayaan maulid Nabi Saw merupakan bentuk kesyukuran tersebut juga bentuk rasa cinta umat pada Nabinya.

Namun perayaan tersebut tak lepas dari ikhtilaf diantara kaum muslimin. mereka berbeda pandangan perihal boleh atau tidaknya perayaan tersebut, dan hal ini kurang lebihnya telah kami paparkan pada seri-seri sebelumnya.

Adapun pada kesempatan kali ini, penulis ingin memaparkan seputar hari kelahiran Nabi Muhammad Saw dan amalannya dalam pandangan Mazhab Syiah.

Sudah jelas bahwa dalam Mazhab Syiah, peringatan perayaan maulid Nabi Saw bukanlah termasuk perkara bid’ah. sama seperti mazhab Ahlussunah yang membolehkan perayaan tersebut, Syiah memandang bahwa perayaan peringatan maulid Nabi Saw memiliki dalil yang bersumber dari Syariat, baik perayaan tersebut sebagai bentuk syukur atau pengingat atas karunia besar yang telah Allah berikan, ataupun hal itu merupakan bentuk cinta kita pada Nabi Saw.

Yang menjadi berbeda ialah perihal waktu dilahirkannya Nabi Saw. Masyhur nya dalam Mazhab Syiah, hari kelahiran Nabi Muhammad Saw jatuh pada 17 Rabiul Awwal di tahun gajah. Sedangkan dalam Ahlussunnah hari lahir Nabi jatuh pada 12 Rabiul Awwal. Dan jarak dari tanggal 12 sampai 17 Rabiul Awwal hari-hari ini dikenal sebagai pekan persatuan.

Adapun amalan mustahab yang dikerjakan pada hari yang mulia ini seperti puasa ataupun sedekah, hal itu tercatat dalam kitab Biharul Anwar milik Allamah Majlisi. Beliau menukil perkataan dari Syekh Mufid terkait kemuliaan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw.

“Hari ke tujuh belas dari Rabiul Awwal merupakan hari kelahiran junjungan kita Rasulullah Saw di waktu terbit fajar di hari Jumat tahun gajah. Itu merupakan hari yang mulia dengan berkah yang agung, dan orang-orang Syiah sejak dahulu memuliakannya, mengakui kebenarannya, menjaga kehormatannya, dan berpuasa dengan sukarela. Dan telah diriwayatkan dari para Aimmatul Huda dari keluarga Muhammad Saw bahwasannya mereka berkata: sesiapa berpuasa di hari ke tujuh belas bulan Rabiul Awwal yang merupakan hari kelahiran junjungan kita Rasulullah Saw diwajibkan baginya pahala puasa setahun. Dan mustahab di hari itu untuk bersedekah, mengakrabkan diri dengan mengunjungi tempat-tempat mulia para Aimmah As, mengerjakan kebaikan-kebaikan, dan menggembirakan para ahli Iman.”[3]

Keutamaan Maulid Nabi menurut Ulama Sunni

Meski sudah banyak pandangan para ulama tentang kebolehan maulid nabi, tidak ada salahnya jika di tulisan kali ini, penulis kembali menambahkannya.

Tentu saja, salah satu alasannya adalah agar membuat kita semakin yakin, bahwa merayakan maulid nabi tidaklah masalah, bersamaan dalil-dalil yang ada.

Syihabuddin Qasthalani, salah seorang ulama Sunni menulis di dalam sebuah buku, bahwa sesiapa yang memperingati maulid nabi Saw., maka Allah akan merahmatinya.

Di bawah ini adalah teks asli plus terjemahannya, yang mungkin bisa kita baca dan renungkan.

فرحم الله امرءا اتخذ لیالى شهر مولده المبارک أعیادا، لیکون أشد علة على من فى قلبه مرض وأعیا داء .

Semoga Allah merahmati seseorang yang menjadikan malam-malam di bulan yang diberkahi kelahirannya (Nabi Muhammad Saw.) sebagai hari raya, sehingga itu menjadi penyakit yang paling parah bagi orang-orang yang hatinya sakit dan tertimpa penyakit.[4]

Gembira dengan Kelahiran Nabi Muhammad SAWW, Azab Abu Lahab Diringankan

Melanjutkan sanggahan atas pendapat yang mengatakan bahwa perayaan dan peringatan maulid adalah amalan bid’ah yang menyesatkan, pada tulisan ini akan diajukan dalil lain yang membuktikan bahwa amalan tersebut memiliki landasan yang dapat dipertanggung jawabkan.

Demikian Jalaluddin Suyuti memaparkan dalil tersebut di dalam kitabnya:

“kemudian aku melihat imam para qari hafiz Syamsuddin bin Jizri mengatakan di dalam kitabnya yang bernama Urf al-Ta’rif bi al-Maulid al-Syarif yang isinya: sungguh setelah kematiannya, ada yang melihat Abu lahab di alam mimpi, lalu ia ditanya: bagaimana keadaanmu? Ia menjawab: (aku berada) di dalam neraka. Hanya saja siksaanku diringankan setiap masuk malam Senin, dan mengalir air dari antara jari-jariku seukuran ini- ia menunjukkan ujung jari-jarinya-. Yang demikian itu karena aku memerdekakan Tsuwaibah ketika ia memberiku kabar gembira dengan kelahiran Nabi SAWW dan menyusuinya. Jika Abu Lahab yang kafir di mana al-Quran turun untuk mencercanya diberi ganjaran berupa keringanan di neraka dengan sebab kebahagiannya atas kelahiran Rasul SAWW pada malam kelahirannya, maka bagaimana keadaan seorang yang mengesakan tuhan dari ummat Muhammad SAWW yang bergembira dengan kelahirannya dan mengorbankan apa yang mampu ia lakukan dalam mencintainya? Demi umurku, sungguh balasannya dari Allah yang maha mulia tidak lain kecuali ia memasukkannya kedalam sorga dengan karuniaNya.[5]

Jalaluddin Suyuti melanjutkan:

“ dan Hafiz Syamsuddin bin Nashiruddin al-Dimasyqi berkata di dalam kitabnya yang bernama Maurid al-Shadi Fi Maulid al-Hadi: sungguh benar bahwa Abu Lahab diberi keringanan azab pada seumpama malam Senin, karena ia memerdekakan Tsuwaibah sebagai rasa gembiranga atas kelahiran Nabi SAWW. Lalu ia (Hafiz Syamsuddin) membacakan syair berikut:

Jika si kafir yang cercaannya telah datang (dalam al-Quran) – dan celaka tangannya dalam keadaan kekal di neraka. Datang berita yang mengtakan bahwa setiap hari Senin selalu – diringankan azabnya karena gembira dengan (kelahiran) Ahmad. Lantas bagaimana keyakinan kita terhadap seorang hamba yang sepanjang umurnya – gembira dengan (kelahiran) Ahmad dan meninngal dalam keadaan mengesakan Allah?[6]

Catatan di atas menjelaskan bahwa peringatan maulid Nabi Muhammad SAWW memiliki dasar berupa riwayat yang mengatakan bahwa Abu Lahab mendapatkan keringanan azab setiap Senin karena berbahagia dengan kelahiran Nabi Muhammad SAWW.

Dengan alasan yang sama; berbahagia dengan kelahiran Rasulullah, kaum muslimin mengadakan peringatan maulid Nabi Muhammad SAWW.

Oleh karena itu layak jika kemudian diberi balasan dan ganjaran kebaikan. Hal ini mengingat bahwa amalan mukmin tentu saja lebih bernilai dari amalan seorang musyrik seperti Abu Lahab.

Kemulian Nabi Muhammad saw

Mengenal Ishmah atau Kemaksuman dalam Bahasa

Pembahasan kenabian sangat berkaitan erat dengan ishmah atau kemaksuman, yang mana hal tersebut secara umum dipahami sebagai sebuah kondisi dimana orang yang memiliki ishmah atau yang disebut maksum, terhindar dari kesalahan dan dosa.

Persoalan ishmah atau kemaksuman ini menjadi penting dikarenakan ia merupakan salah satu pembahasan mendasar dalam mengkaji masalah kenabian yang merupakan salah satu pilar dalam keyakinan atau akidah Islam. Hal tersebut biasanya banyak dikaji dan diperdebatkan dalam kaitannya dengan peran para nabi sebagai pembimbing, pengajar serta figur yang patut dicontoh bagi manusia.

Salah satu diantaranya adalah nabi Muhammad saw, yang mana secara jelas dan terang-terangan sosok beliau diperkenalkan dalam surat Al-Ahzab ayat 21 sebagai suri tauladan dan panutan bagi umat manusia.

Oleh sebab itu dalam hal ini penting sekali bagi kita mengenal apa itu ishmah, seperti apa dan bagaimana. Sebab dengan mengenalnya secara benar, maka sebagai kelazimannya, kita pun akan benar pula dalam mengenal dan memahami sosok nabi Muhammad saw, sebagai seorang maksum dan figur contoh bagi kita.

Tentunya para ulama dengan kapasitas serta kemampuannya masing-masing berupaya menguak kebenaran yang ada dalam persoalan ini, akibatnya adalah mereka memiliki pandangan yang beragam dalam kasus tersebut, sehingga hasilnya pun membuat setiap dari mereka memiliki cara pandang dan keyakinan tersendiri dalam menggambarkan Baginda Nabi sebagai pribadi yang maksum.

Sebelum masuk kedalam inti pembahasan ini, serta memilah pandangan yang tepat dari berbagai pandangan yang ada, alangkah baiknya jika kita membekali diri dengan pengenalan terhadap beberapa mukadimah, seperti pengenalan ishmah secara bahasa sebagaimana yang akan kita bahas kali ini.

Di dalam Kitabul Al-Ain, salah satu kamus tertua bahasa arab yang ditulis oleh Al-khalil bin Ahmad Al-Farahidi (170 H), ishmah diartikan sebagai berikut:

العِصْمَةُ: أن يَعْصِمَك الله من الشر،أي:يدفع عنك

Ishmah adalah (ketika) Allah swt menjagamu dari keburukan, yakni melindungimu.[7]

Adapun Ibnu Faris (395 H) dalam kitabnya Mujam Maqayisil Lughah menyebutkan:

Ain, Shad dan Mim memiliki satu akar (makna) yang menunjukan pada penahanan, pencegahan dan watak dasar dan maknanya dalam hal itu semuanya bermakna satu. Darinya lafal Ishmah: (ketika) Allah swt menjaga hamba-Nya dari keburukan yang mana ia dapat terjatuh kedalamnya.

Ishmah adalah segala sesuatu yang mana engkau dengannya dapat terjaga atau terlindungi. Wa A’shamahut Tha’amu artinya makanan itu menjaganya dari kelaparan.[8]

Dari kedua pemaparan di atas secara jelas dapat kita ambil kesimpulan bahwa ishmah secara bahasa memberikan makna penjagaan yang mana tentunya makna secara bahasa ini bersifat umum, lain halnya dengan makna istilah yang biasanya lebih khusus kepada suatu hal sebab memiliki syarat-syarat tertentu. Namun meski demikian hal ini tidak menafikan kebutuhan kita untuk merujuk pada sisi bahasa.

Oleh sebab itu berangkat dari ini kedepannya kita akan melihat bagaimana perubahan yang terjadi ketika lafal ishmah ini dijadikan sebagai sebuah istilah. Kemudian juga bagaimana hubungannya dalam hal ini dengan sosok nabi Muhammad saw sebagai pribadi memiliki ishmah, serta apa saja konsekuensinya dalam mengenal pribadi beliau. InsyaAllah semua ini akan dibahas dalam beberapa tulisan yang akan datang.

Mengenal Ishmah atau Kemaksuman dalam Bahasa (2)

Pembahasan tentang ishmah atau kemaksuman berkaitan erat dengan kenabian, atau pun imamah dalam mazhab Syiah. Keyakinan terhadap kemaksuman seorang figur, menjadikan figur tersebut terjaga atau terhindar dari dosa, kesalahan ataupun yang lainnya. Dan dalam tingkatannya para ulama memiliki pandangannya masing-masing terkait kemaksuman ini.

Pembahasan ishmah bisa menjadi gerbang bagaimana kita mengenal pribadi-pribadi mulia khususnya Nabi kita Muhammad Saw, dimana Allah Swt menggambarkan beliau sebagai pemilik laku yang agung dan suri tauladan yang baik bagi seluruh alam semesta.

Sebelum masuk pada pembahasan yang lebih dalam terkait kemaksuman dan hubungannya dengan kepribadian Rasulullah Saw, kita akan paparkan dulu terkait definisi ishmah secara bahasa sebagai lanjutan dari seri sebelumnya.

Dalam kitab Lisanul Arab milik Ibnu Manzur disebutkan disana makna daripada ishmah yang berasal dari kata (عصم ).

(عصم ) Ishmah dalam ucpan Arab: mencegah. Pencegahan Allah kepada hambaNya: Ia mencegahnya dari apa-apa yang membinasakannya. (عصمه يعصمه عصما ): mencegahnya dan menjaganya.[9]

Penjelasan diatas menunjukkan bahwa makna daripada ishmah berarti penjagaan atau pencegahan atau pemeliharaan.[10]

Jika kita ubah bentuknya pada bentuk maf’ul menjadi ma’sum (معصوم ) bisa kita artikan dengan terpelihara atau terjaga. Tentunya jika kita nisbahkan seseorang dengan kata maksum berarti bisa dikatakan orang tersebut terjaga atau terpelihara. Adapaun terjaga atau terpelihara dari apa, akan terperinci dalam definisi ishmah secara istilah, karena sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa definisi secara bahasa masih bersifat umum.

Makna Kata Ishmah dalam Penggunaan al-Quran

Memperkenalkan Nabi SAWW sesuai dengan karakter serta sifat yang layak dan patut bagi beliau berarti memuliakannya. Sebaliknya memperkenalkan beliau dengan melanggar sifat-sifat yang yang patut tersebut sama saja dengan merendahkannya.

Kemaksuman adalah batasan atau tolok ukur yang dapat memperkenalkan beliau sesuai dengan kemulian yang pantas dengannya. Oleh karena itu memperkenalkan atau meyakini berbagai karakter beliau tanpa mengindahkan kemaksuman dan batasannya bukan termasuk kategori memuliakan Nabi SAWW.

Untuk itu, mendefenisikan ishmah merupakan kemestian, sehingga Nabi SAWW diperkenalkan sesuai dengan karakter yang seharusnya. Dan teks-teks yang secara zahir bertentangan dengan konsep tersebut harus mendapat kajian lebih dalam baik untuk menerima maupun menolaknya.

Pada beberapa tulisan sebelumnya telah disebutkan defenisi ishmah atau kemaksuman secara etimologi. Sebelum masuk kepada pembahasan ishmah menurut tinjauan terminologi, terlebih dahulu pada tulisan ini akan dibahas seputar penggunaan kata ishmah di dalam al-Quran.

Penjagaan, pencegahan, pemeliharaan dan perlindungan adalah makna yang dapat dipahami dari kata ishmah secara etimologi. Senada dengan makna tersebut al-Quran juga menggunakan kata ishmah baik dalam bentuk kata kerja maupun kata benda (sifat):

يا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ ما أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَ إِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَما بَلَّغْتَ رِسالَتَهُ وَ اللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ

[11]

(Hai rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhan-mu. Dan jika kamu tidak mengerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.)

قُلْ مَنْ ذَا الَّذي يَعْصِمُكُمْ مِنَ اللهِ إِنْ أَرادَ بِكُمْ سُوءاً أَوْ أَرادَ بِكُمْ رَحْمَةً [12]

(Katakanlah, “Siapakah yang dapat melindungimu dari (kehendak) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu?)

قالَ سَآوي إِلى جَبَلٍ يَعْصِمُني مِنَ الْماءِ قالَ لا عاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللهِ إِلاَّ مَنْ رَحِمَ [13]

(Anaknya menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata, “Pada hari ini tidak ada yang dapat melindungi dari azab Allah selain orang yang Dia kasihani.)

قالَتْ فَذلِكُنَّ الَّذي لُمْتُنَّني فيهِ وَ لَقَدْ راوَدْتُهُ عَنْ نَفْسِهِ فَاسْتَعْصَمَ [14]

(Wanita itu berkata, “Itulah dia orang yang kamu cela aku karena (tertarik) kepadanya, dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkannya (kepadaku), tapi dia menolak.)

Dalam beberapa ayat di atas al-Quran memang tidak menggunakan kata ishmah atau maksum, akan tetapi menggunakan kata yang seakar dengan ishmah dalam beberapa varian yang berbeda, dan dengan makna yang sama dengan makna etimologi (penjagaan, pencegahan, pemeliharaan dan perlindungan), sebagaimana telah disebutkan pada tulisan sebelumnya.

Ishmah dalam Keterangan Syekh Mufid

Salah satu cara untuk mengenal hakikat pribadi Nabi Muhammad Saw selain dengan merujuknya langsung pada Al-Quran, sejarah dan riwayat yang mu’tabar, adalah mengenal dengan benar konsep kemaksuman atau ishmah.

Tentunya konsep ini pun tidak muncul secara sembarangan dan begitu saja, melainkan bertumpu pada dalil-dalil naqli seperti ayat Al-Quran dan riwayat, serta dalil aqli atau argumentasi akal.

Dan para ulama dari sejak dahulu telah berupaya menjelaskan makna ishmah tersebut dengan semua penelitian serta kajian yang telah mereka lakukan, sehingga sampai pada kesimpulannya masing-masing.

Oleh sebab itu dapat kita saksikan hingga saat ini, bahwa mereka memiliki perbedaan dalam menafsirkan konsep tersebut. Tentunya perbedaan ini memberikan pengaruh dan efek terhadap kita dalam melihat sosok Nabi. Maka dari itu sudah seharusnya bagi kita untuk mencari kebenaran dalam kasus ini sehingga pengenalan kita terhadap nabi pun menjadi benar pula.

Pada kesempatan kali ini kita akan melihat pandangan Syekh Mufid, salah satu ulama besar yang hidup pada akhir abab ke-4 H, terkait masalah ini. Di dalam kitabnya yang berjudul Awa’ilul Maqalat, ia banyak menjelaskan persoalan-persoalan akidah, salah satunya perihal persoalan ini.

Syeikh Mufid dalam penjelasannya mengenai ishmah, mula-mula ia merujuk kembali pada makna aslinya yang ada di dalam bahasa seperti yang sudah kita bahas dalam kajian sebelumnya. Di sini ia menemukan bahwa ishmah -yang bermakna sesuatu yang dengannya manusia terlindung dari hal lain-, bukanlah bagian dari jenis pekerjaan atau perbuatan, akan tetapi hal itu, sebagaimana ia jelaskan:

Ishmah dari Allah swt adalah taufik yang mana dengannya manusia selamat dari hal yang tidak dikehendaki apabila ia memiliki ketaatan. Hal ini seperti ketika kita memberikan sebuah tali pada seseorang yang dalam kondisi tenggelam supaya ia selamat dengan berpegangan padanya, ketika ia memegangnya maka kondisi itu disebut ishmah baginya disebabkan ia berpegangan dan selamat dari tenggelam, namun apabila ia tidak berpegangan maka tidak dikatakan ishmah..[15]

Dari penjelasannya di atas dapat kita pahami bahwa yang dimaksud ishmah olehnya adalah sebuah kondisi ketika berada dalam ketaatan terdadap Allah swt, sehingga hal ini tidak bisa dikategorikan ke dalam jenis pekerjaan atau perbuatan.

Lebih khusus lagi terkait kemaksuman Nabi, ia menjelaskan:

Sesungguhnya nabi kita, Muhammad Saw di antara orang yang tidak pernah bermaksiat pada Allah Swt dari sejak penciptaanya hingga wafatnya, tidak pernah bermaksud menentang dan mengerjakan dosa atau kesalahan baik dengan sengaja ataupun lupa.[16]

Dari sini bisa disimpulkan bahwa pandangan syekh Mufid terkait kemaksuman nabi atau ishmahnya beliau itu meliputi dosa atau kesalahan baik yang secara sengaja ataupun lupa, bahkan kondisi ini telah ada dari sejak awal keberadaan Nabi hingga wafanya. Wallahu A’lam.

Memahami Kemaksuman Nabi Saw Melalui Al-Quran

Jika kita membaca tulisan sebelumnya, terkait dengan definisi kemaksuman, maka dengan berbekal itu, saatnya kita mencari tahu adakah ayat al-Quran yang mengindikasikan kemaksuman nabi. Dengan mengkaji hal di atas, maka sedikit-banyak akan memantapkan kita akan kemaksuman seorang nabi.

Seperti yang kita tahu, diutusnya seorang nabi, salah satu tujuannya ialah mengantarkan manusia pada kesempurnaan; menuntun mereka dari kebodohan menuju pribadi yang penuh dengan pengetahuan; dari masa yang dipenuhi kegelapan menuju masa yang terang-benderang dan sebagainya.

Dengan mengetahui tujuan pengutusan seorang nabi, maka salah satu hal yang harus dimilikinya ialah, bahwa ia harus suci dari semua kesalahan dan kekurangan. Kalau kita sedikit berpikir, bagaimana mungkin Allah Swt mengutus sosok manusia yang dipenuhi dengan kesalahan, sementara tugasnya adalah memberi petunjuk manusia lainnya pada kebenaran.

Jika Allah Swt mengutus manusia yang dipenuhi kesalahan, maka tak menutup kemungkinan, ia bakal menyesatkan umatnya. Tentu, hal ini bertentangan dengan lutf-nya (kasih sayang) Alllah Swt dan sifat adil yang dimiliki-Nya. Oleh karenanya, seorang nabi haruslah bersih dari kesalahan dan kekurangan.

Di dalam surah Shad, Allah mengindikasikan bahwa ada sekelompok orang yang berada di luar jangkauan gangguan iblis. Dan mereka adalah manusia yang memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah Swt, yang disebutnya sebagai orang-orang mukhlas (Orang yang ikhlas/bersih/suci dari dosa dan kesalahan).

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (82)

إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ (83)

Iblis berkata, “Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas (suci/bersih) di antara mereka.”

Masih di dalam surah yang sama, Allah berifirman di ayat lain sebagai berikut.

وَٱذْكُرْ عِبَٰدَنَآ إِبْرَٰهِيمَ وَإِسْحَٰقَ وَيَعْقُوبَ أُو۟لِى ٱلْأَيْدِى وَٱلْأَبْصَٰر (45)

إِنَّآ أَخْلَصْنَٰهُم بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى ٱلدَّارِ (46)

“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.”

Selain itu, Allah berfirman di dalam surah Maryam ayat 51 tentang Nabi Musa yang suci.

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مُوسَىٰ ۚ إِنَّهُ كَانَ مُخْلَصًا وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang ikhlas dan seorang rasul dan nabi.”

Sederet ayat di atas menunjukkan kepada kita tentang keterjagaan seorang nabi dari segala bentuk kesalahan, dan bahkan gangguan dari Iblis. Nabi Muhammad Saw yang dijulukui sebagai sayyidul mursalin (penghulu para Rasul), tentu juga termasuk di dalam ayat-ayat di atas. Perlu penulis tegaskan kembali, kalau ayat di atas secara tidak langsung menunjukkan bahwa seorang nabi atau rasul haruslah bersih dari segala bentuk kesalahan dan kekurangan. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Memahami Kemaksuman Nabi Saw Melalui Al-Quran (2)

Pengetahuan dan pengenalan terhadap sesuatu merupakan landasan utama dalam bangunan keyakinan terhadap hal tersebut. Pengetahuan yang benar akan mengantarkan pemiliknya pada keyakinan yang benar pula, dan begitu juga sebaliknya.

Keyakinan terhadap para nabi haruslah dibangun dengan pengetahuan dan pengenalan yang benar, sehingga dengannya kita akan sampai pada keyakinan yang benar pula terhadap mereka, sebab jika tidak demikian maka akidah kita dalam hal ini (kenabian) perlu dipertanyakan keabsahannya.

Salah satu sumber terpercaya dalam mengenalkan dan menjelaskan sosok para nabi adalah Al-Quran, sebab hal tersebut merupakan pemberitaan langsung dari Allah swt. Dan di dalam Al-Quran, kita dapat melihat banyak ayat-ayat yang bercerita tentang para nabi terdahulu hingga nabi kita sendiri yaitu nabi Muhammad saw.

Di antara hal-hal yang diceritakan oleh ayat-ayat Al-Quran tentang para nabi, adalah tentang kemaksuman mereka sebagaimana yang telah diulas pada pembahasan yang lalu. Dalam ayat-ayat tersebut, mereka para nabi termasuk di dalamnya adalah nabi Muhammad, disebut sebagai golongan Al-Mukhlashun (orang-orang yang disucikan).

Kali ini kita juga akan membahas ayat lainnya yang menunjukkan kelaziman ishmah atau kemaksuman, seperti ayat berikut:

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا لِيُطَاعَ بِاِذْنِ اللّٰهِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. (An-Nisa: 64)

Dalam ayat tersebut meskipun tidak secara langsung berbicara mengenai ishmah para nabi, namun ayat itu secara jelas menuntut umat manusia untuk taat secara mutlak kepada utusan Allah. Kemutlakan taat dalam ayat tersebut dipahami dari tidak disertakannya qaid (pengkhususan) dalam wilayah ketaatannya.

Arti taat secara mutlak di sini adalah mengikuti semua hal yang keluar dari mereka meliputi perintah atau pun larangan, dimana pun dan kapan pun. Dengan kondisi demikian, ketaatan mutlak terhadap para nabi ini akan menjadi benar apabila mereka senantiasa berada dalam jalur kebenaran dan ketaatan pada Allah swt, bukan yang terkadang bisa salah atau benar. Sebab seandainya yang keluar dari mereka (para nabi) adalah terkadang bisa benar dan bisa salah, maka dalam hal ini tidak selayaknya Allah swt menuntut ketaatan mutlak terhadap mereka, sebab ini bertolakbelakang dengan sifat Allah swt yang Hakim (maha bijaksana).

Sehingga dengan ayat ini tersirat bahwa terdapat jaminan Allah swt bahwasannya mereka (para nabi) selalu berada dalam kebenaran dan ketaatan padaNya. Hal ini diperkuat dengan ayat lainnya:

وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهمَ رَبُّه بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (Al-Baqarah: 124)

Ayat di atas bercerita tentang nabi Ibrahim as yang meminta pada Allah swt supaya kedudukan Ilahi yang diberikan padanya juga diberikan pada keturunannya. Kemudian sebagai jawabannya, Allah swt menjanjikan hal tersebut, namun hanya bisa diraih oleh mereka yang bukan orang zalim.

Dan kita tahu bahwa dosa atau pun kesalahan, sedikitnya merupakan sebuah kezaliman terhadap diri sendiri, yang mana bisa terliputi kedalam ayat tadi. Dan kita juga tahu bahwa posisi sebagai nabi atau pun rasul adalah kedudukan Ilahi yang mana untuk meraihnya -berdasarkan ayat di atas- harus terbebas dari kesalahan dan dosa. Oleh sebab itu berarti para nabi sedari awal merupakan orang terjaga dari segala kesalahan dan dosa hingga meraih kedudukan tersebut. Tentunya terlebih lagi nabi Muhammad saw sebagai penghulu dari para nabi dan rasul. Wallahu A’lam Bis Shawab.

Kemaksuman Nabi SAWW Dalam Pandangan Fakhr Razi

Pada beberapa tulisan sebelumnya telah dibahas tentang defenisi ishmah dan ishmah dalam al-Quran. Melanjutkan pembahsan tersebut pada tulisan ini akan disebutkan pandangan Fakhr Razi berkaitan dengan batasan serta cakupan ishmah para nabi terkhusus nabi Muhammad SAWW.

Fakhr al-Razi di dalam kitabnya Ishmat al-Anbiya mengatakan bahwa para nabi dan rasul terjaga dari melakukan dosa besar dan kecil dengan sengaja. Namun, dalam keadaan lupa ia berkeyakinan bahwa mereka mungkin saja melakukan hal dosa dan kesalahan:

“Pendapat kami: Sesungguhnya para nabi As pada masa kenabian maksum dari melakukan dosa kecil maupun besar dengan sengaja. Namun dalam keadaan lupa maka hal itu mungkin saja terjadi.[17]

Dalam catatan ini disebutkan juga bahwa kemaksuman para nabi hanya dalam lingkup masa kenabian. Adapun sebelum masa kenabian maka para nabi tidaklah maksum dari kesalahan dan dosa.

Untuk menanggapi hal ini pada tulisan-tulisan berikutnya akan dijelaskan pendapat mazhab Syiah seputar hal tersebut.

Berkaitan dengan nabi Muhammad SAWW secara khusus, fakhr Razi berkeyakinan bahwa beliau maksum dalam segala perkataan dan perbuatannya; dalam artian bahwa dalam keadaan lupa sekalipun Rasulullah SAWW tidak mungkin melakukan kesalahan dan dosa:

“Firman Allah: (dan barang siapa mentaati Rasul, maka ia telah mentaati Alah), merupakan dalil terkuat atas kemaksumannya dalam semua perintah, larangan dan segala yang disampaikannya dari Allah SWT. Karena jika ia melakukan kesalan pada salah satunya, maka mematuhinya (Nabi) tidak akan dianggap sebagai ketaatan kepada Allah SWT. Begitu juga ia mesti maksum dalam segala tindakannya, karena Allah memerintahkan untuk menaatinya dalam firmanNya : (maka ikutilah dia). Mengikuti berarti bertindak sesuai dengan tindakan orang lain. Maka yang melakukan perbuatan seperti itu masuk dalam kategori menaati Allah SWT. Hal itu berdasarkan firmanNya: (maka ikutilah dia). Maka dipastikan bahwa mengikutinya dalam segala perkataan dan perbuatan kecuali dalam hal-hal khusus yang dikecualikan oleh dalil, merupakan kepatuhan dan ketundukan kepada Allah STW.”[18]

Dalam penjelasan ini disebutkan bahwa karena di dalam ayat disebutkan bahwa mengikuti Nabi sama dengan mengikuti Allah SWT, maka hal ini memiliki konsekuensi kemaksuman Nabi SAWW dalam segala perkataan dan perbuatannya baik disengaja maupun dalam keadaan lupa.

Sebab, jika Nabi SAWW tidak maksum dan mungkin melakukan kesalahan, baik dalam keadaan lupa, maka mengikuti beliau juga belum tentu mematuhi Allah SWT. Hal itu mengingat bahwa mungkin saja perbuatan yang diikuti merupakan perbuatan salah yang dilakukannya. Dan mengikuti perbutan salah sekalipun karena lupa, tentu saja bukan merupakan ketaatan kepada Allah SWT.

Oleh karena itu perintah Allah SWT untuk mengikuti Nabi SAWW sama dengan legitimasi atas segala perkataan dan perbutannya. Dan inilah yang disebut dengan ishmah.

Sebenarnya, jika dilihat lebih cermat lagi, dalil yang sama dapat diterapkan pada semua nabi, bukan hanya Rasulullah SAWW sebagaimana disampaikan oleh Fakr Razi. Sebab Allah SWT juga memerintahkan untuk mengikuti mereka.

Atas dasar ini maka tidak ada alasan untuk membatasi kemaksuman para nabi dalam tindakan yang disengaja saja, akan tetapi mencakup segala perbuatan.

Nabi Saw Pelupa, Mungkinkah?

Berbicara tentang Nabi Muhammad, tentu kita sudah akrab dengan segenap kemuliaan dan keutamaan yang ia miliki. Namun, di sisi lain, terdapat di dalam beberapa literatur Islam yang membicarakannya cenderung ke arah negatif, yang menurut akal sehat kita, rasa-rasanya tak pantas dinisbahkan kepada wujud sucinya.

Hal-hal negatif tentang diri Nabi Saw., yang jamak kita dengar, salah satunya ialah kalau ia pernah buang air kecil dalam keadaan berdiri, menyentuh tubuh wanita yang bukan mahramnya hingga pelupa dan yang lainnya. Kali ini, penulis hendak mengulas kalau nabi disebut di dalam kitab Sunni, Shahih Bukhari sebagai seorang pelupa.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا یُونُسُ، عَنِ الزُّهْرِیِّ، عَنْ أَبِی سَلَمَةَ، عَنْ أَبِی هُرَیْرَةَ، قَالَ: أُقِیمَتِ الصَّلاَةُ وَعُدِّلَتِ الصُّفُوفُ قِیَامًا، فَخَرَجَ إِلَیْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا قَامَ فِی مُصَلَّاهُ، ذَکَرَ أَنَّهُ جُنُبٌ، فَقَالَ لَنَا: «مَکَانَکُمْ» ثُمَّ رَجَعَ فَاغْتَسَلَ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَیْنَا وَرَأْسُهُ یَقْطُرُ، فَکَبَّرَ فَصَلَّیْنَا مَعَهُ .

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, “Iqamah (adzan) telah berkumandang. Saf-saf salat sudah lurus (rapih). Kemudian, Nabi Saw. datang. Ketika Nabi Saw. berdiri di Mihrab untuk salat, lalu ia ingat kalau ia sedang junub. Nabi berkata kepada kami, ‘ Tetaplah di tempat kalian masing-masing.’ Kemudian nabi bergegas pulang dan mandi (besar). Setelah itu ia kembali lagi ke (masjid) dengan keadaan kepalanya masih ada tetesan air. Lalu, ia bertakbir dan bersamanya kami melaksanakan salat.”[19]

Jika tugas diutusnya seorang nabi adalah untuk menunjukkan dan menuntun umatnya ke jalan kebenaran dan kesempurnaan, maka apakah relevan dengan riwayat di atas? Apalagi ia hadir di muka bumi ini sebagai rasul yang membawa al-Quran. Mungkinkah Allah mengutus seorang nabi yang pelupa? Atau jangan-jangan ada beberapa oknum yang menciptakan riwayat di atas untuk mencoreng nama baiknya? Entahlah. Wallahu a’lam bi as-shawab.

Peran Nabi Melazimkan Ishmah dan Terjauh dari Sifat Tercela

Setiap nabi atau pun rasul memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar di tengah-tengah umatnya. Begitu pula hal ini berlaku pada nabi Muhammad saw, bahkan lebih besar lagi sebab beliau merupakan utusan terakhir yang diutus kepada seluruh manusia tanpa dibatasi dengan bangsa dan wilayah tertentu.

Di antara peran penting beliau di tengah-tengah manusia atau khususnya masyarakat ketika itu adalah sebagaimana halnya yang dijelas di dalam Al-Quran berikut ini:

لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِه وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَۚ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah, meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali Imran: 164)

هُوَ الَّذِيْ بَعَثَ فِى الْاُمِّيّنَ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِه وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍۙ

Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah, meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Al-Jumu’ah: 2)

Dari kedua ayat di atas setidaknya terdapat tiga hal yang harus dikerjakan oleh nabi Muhammad saw; pertama adalah membacakan ayat-ayat Allah swt, kedua menyucikan mereka (umatnya) serta ketiga mengajarkan Kitab juga Hikmah.

Dalam hal ini, Allamah Thathabai memberikan sedikit keterangan terkait tugas-tugas nabi tersebut. Adapun membacakan ayat, hal ini sesuai maknanya dan tidak dibahas lebih lebar lagi. Sementara selanjutnya adalah menyucikan umatnya atau dengan kata lain melakukan tazkiyah (penyucian) terhadap umatnya. Tazkiyah ini berasal dari lafal Zakah yang bermakna pertumbuhan yang baik yang selalu berkaitan dengan kebaikan dan berkah. Sehingga maksud dari tazkiyah nabi terhadap umatnya adalah menumbuhkan mereka dengan baik, dengan membiasakan mereka pada akhlak yang terpuji serta amal yang shaleh sehingga dengan itu kemanusiaan mereka menjadi sempurna.

Kemudian Ta’lim, yaitu mengajarkan Kitab (Al-Quran) dengan menjelaskan lafal-lafal pada ayat-ayatnya serta menafsirkannya, begitu pula dengan Hikmah yakni pengetahuan-pengetahuan hakiki yang dikandung di dalam Al-Quran.

Yang unik di sini ialah pengedapanan Tazkiyah sebelum Ta’lim, dimana hal tersebut tentunya memiliki tujuan yang penting, sebagaimana dijelaskan bahwa ayat ini menggambarkan pendidikan nabi terhadap umatnya.[20]

Sementara itu Fakhru Razi juga dalam tafsirnya menyebutkan beberapa penjelasan terkait tiga tugas tersebut. Diantaranya, ia mencatat bahwa membacakan ayat, maksudnya adalah penjelasan nabi terkait risalah dan kenabiannya, juga bisa jadi ayat-ayatnya merupakan ayat-ayat yang menjelaskan hukum syar’i serta membedakan antara kebenaran dan kebatilan.

Adapun Tazkiyah salah satunya adalah membersihkan umatnya dari keburukan Syirik (penyekutuan Tuhan) dan juga keburukan selain hal tersebut yang berasal dari ucapan dan perbuatan. Ada juga yang menyebut bahwa Tazkiyah di sini ialah memperbaiki mereka dengan mengajak untuk mengikuti jejak orang-orang suci dan bertakwa. Kemudian selanjutnya, mengajarkan Kitab dan Hikmah, pada bagian ini ada yang menyebutkan maksud dari Hikmah adalah kewajiban-kewajiban, sementara itu ada juga yang mengartikannya dengan sunnah.[21]

Berangkat dari semua penjelasan di atas terkait tanggung jawab besar nabi Muhammad saw terhadap umatnya, dapat kita pahami bahwa semua itu akan mungkin terwujud apabila pribadi nabi sendiri merupakan sosok mumpuni dalam mengerjakannya.

Misalnya dalam membacakan ayat, tentu nabi adalah sang penerima wahyu dan ia memiliki pemahaman terhadap apa yang diterimanya. Begitu pula dalam Tazkiyah, maka sudah selayaknya sosok nabi adalah yang paling terdepan dalam hal kesucian jiwa, akhlak terpuji serta menghindari kesyirikan dan hal-hal tercela lainnya. Begitu juga dengan mengajarkan Kitab dan Hikmah, beliaulah yang paling tahu dan memiliki penguasaan terhadap hal tersebut dengan petunjuk dari Allah swt.

Apabila tidak demikian maka mustahil Allah swt membeban tugas kepada makhluk-Nya yang diluar kapasitasnya. Oleh sebab itu tugas yang agung dan besar ini juga menunjukkan keagungan dan kebesaran sosok penerimanya yaitu nabi Muhammad saw.

Beliau sebagai sosok yang terdepan dalam segala kebaikan dan segala upaya untuk sampai pada keridhoan Allah swt, adalah yang paling mampu untuk membimbing hamba-hamba-Nya yang lain. Hal ini secara terang-terangan disebutkan dalam ayat berikut:

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Ali I’mran: 31)

Oleh karena itu sudah jelas dan pasti sosok nabi merupakan pribadi yang jauh dari hal-hal buruk dan tercela sehingga Allah swt menyuruh kita semua untuk mengikuti setiap jejaknya.