• Mulai
  • Sebelumnya
  • 22 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 2226 / Download: 1761
Ukuran Ukuran Ukuran
Kemuliaan Nabi Muhammad saw

Kemuliaan Nabi Muhammad saw

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Kemulian Nabi Muhammad saw

Kemaksuman Nabi SAWW Dalam Pandangan Fakhr Razi

Pada beberapa tulisan sebelumnya telah dibahas tentang defenisi ishmah dan ishmah dalam al-Quran. Melanjutkan pembahsan tersebut pada tulisan ini akan disebutkan pandangan Fakhr Razi berkaitan dengan batasan serta cakupan ishmah para nabi terkhusus nabi Muhammad SAWW.

Fakhr al-Razi di dalam kitabnya Ishmat al-Anbiya mengatakan bahwa para nabi dan rasul terjaga dari melakukan dosa besar dan kecil dengan sengaja. Namun, dalam keadaan lupa ia berkeyakinan bahwa mereka mungkin saja melakukan hal dosa dan kesalahan:

“Pendapat kami: Sesungguhnya para nabi As pada masa kenabian maksum dari melakukan dosa kecil maupun besar dengan sengaja. Namun dalam keadaan lupa maka hal itu mungkin saja terjadi.[1]

Dalam catatan ini disebutkan juga bahwa kemaksuman para nabi hanya dalam lingkup masa kenabian. Adapun sebelum masa kenabian maka para nabi tidaklah maksum dari kesalahan dan dosa.

Untuk menanggapi hal ini pada tulisan-tulisan berikutnya akan dijelaskan pendapat mazhab Syiah seputar hal tersebut.

Berkaitan dengan nabi Muhammad SAWW secara khusus, fakhr Razi berkeyakinan bahwa beliau maksum dalam segala perkataan dan perbuatannya; dalam artian bahwa dalam keadaan lupa sekalipun Rasulullah SAWW tidak mungkin melakukan kesalahan dan dosa:

“Firman Allah: (dan barang siapa mentaati Rasul, maka ia telah mentaati Alah), merupakan dalil terkuat atas kemaksumannya dalam semua perintah, larangan dan segala yang disampaikannya dari Allah SWT. Karena jika ia melakukan kesalan pada salah satunya, maka mematuhinya (Nabi) tidak akan dianggap sebagai ketaatan kepada Allah SWT. Begitu juga ia mesti maksum dalam segala tindakannya, karena Allah memerintahkan untuk menaatinya dalam firmanNya : (maka ikutilah dia). Mengikuti berarti bertindak sesuai dengan tindakan orang lain. Maka yang melakukan perbuatan seperti itu masuk dalam kategori menaati Allah SWT. Hal itu berdasarkan firmanNya: (maka ikutilah dia). Maka dipastikan bahwa mengikutinya dalam segala perkataan dan perbuatan kecuali dalam hal-hal khusus yang dikecualikan oleh dalil, merupakan kepatuhan dan ketundukan kepada Allah STW.”[2]

Dalam penjelasan ini disebutkan bahwa karena di dalam ayat disebutkan bahwa mengikuti Nabi sama dengan mengikuti Allah SWT, maka hal ini memiliki konsekuensi kemaksuman Nabi SAWW dalam segala perkataan dan perbuatannya baik disengaja maupun dalam keadaan lupa.

Sebab, jika Nabi SAWW tidak maksum dan mungkin melakukan kesalahan, baik dalam keadaan lupa, maka mengikuti beliau juga belum tentu mematuhi Allah SWT. Hal itu mengingat bahwa mungkin saja perbuatan yang diikuti merupakan perbuatan salah yang dilakukannya. Dan mengikuti perbutan salah sekalipun karena lupa, tentu saja bukan merupakan ketaatan kepada Allah SWT.

Oleh karena itu perintah Allah SWT untuk mengikuti Nabi SAWW sama dengan legitimasi atas segala perkataan dan perbutannya. Dan inilah yang disebut dengan ishmah.

Sebenarnya, jika dilihat lebih cermat lagi, dalil yang sama dapat diterapkan pada semua nabi, bukan hanya Rasulullah SAWW sebagaimana disampaikan oleh Fakr Razi. Sebab Allah SWT juga memerintahkan untuk mengikuti mereka.

Atas dasar ini maka tidak ada alasan untuk membatasi kemaksuman para nabi dalam tindakan yang disengaja saja, akan tetapi mencakup segala perbuatan.

Nabi Saw Pelupa, Mungkinkah?

Berbicara tentang Nabi Muhammad, tentu kita sudah akrab dengan segenap kemuliaan dan keutamaan yang ia miliki. Namun, di sisi lain, terdapat di dalam beberapa literatur Islam yang membicarakannya cenderung ke arah negatif, yang menurut akal sehat kita, rasa-rasanya tak pantas dinisbahkan kepada wujud sucinya.

Hal-hal negatif tentang diri Nabi Saw., yang jamak kita dengar, salah satunya ialah kalau ia pernah buang air kecil dalam keadaan berdiri, menyentuh tubuh wanita yang bukan mahramnya hingga pelupa dan yang lainnya. Kali ini, penulis hendak mengulas kalau nabi disebut di dalam kitab Sunni, Shahih Bukhari sebagai seorang pelupa.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا یُونُسُ، عَنِ الزُّهْرِیِّ، عَنْ أَبِی سَلَمَةَ، عَنْ أَبِی هُرَیْرَةَ، قَالَ: أُقِیمَتِ الصَّلاَةُ وَعُدِّلَتِ الصُّفُوفُ قِیَامًا، فَخَرَجَ إِلَیْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا قَامَ فِی مُصَلَّاهُ، ذَکَرَ أَنَّهُ جُنُبٌ، فَقَالَ لَنَا: «مَکَانَکُمْ» ثُمَّ رَجَعَ فَاغْتَسَلَ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَیْنَا وَرَأْسُهُ یَقْطُرُ، فَکَبَّرَ فَصَلَّیْنَا مَعَهُ .

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, “Iqamah (adzan) telah berkumandang. Saf-saf salat sudah lurus (rapih). Kemudian, Nabi Saw. datang. Ketika Nabi Saw. berdiri di Mihrab untuk salat, lalu ia ingat kalau ia sedang junub. Nabi berkata kepada kami, ‘ Tetaplah di tempat kalian masing-masing.’ Kemudian nabi bergegas pulang dan mandi (besar). Setelah itu ia kembali lagi ke (masjid) dengan keadaan kepalanya masih ada tetesan air. Lalu, ia bertakbir dan bersamanya kami melaksanakan salat.”[3]

Jika tugas diutusnya seorang nabi adalah untuk menunjukkan dan menuntun umatnya ke jalan kebenaran dan kesempurnaan, maka apakah relevan dengan riwayat di atas? Apalagi ia hadir di muka bumi ini sebagai rasul yang membawa al-Quran. Mungkinkah Allah mengutus seorang nabi yang pelupa? Atau jangan-jangan ada beberapa oknum yang menciptakan riwayat di atas untuk mencoreng nama baiknya? Entahlah. Wallahu a’lam bi as-shawab.

Peran Nabi Melazimkan Ishmah dan Terjauh dari Sifat Tercela

Setiap nabi atau pun rasul memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar di tengah-tengah umatnya. Begitu pula hal ini berlaku pada nabi Muhammad saw, bahkan lebih besar lagi sebab beliau merupakan utusan terakhir yang diutus kepada seluruh manusia tanpa dibatasi dengan bangsa dan wilayah tertentu.

Di antara peran penting beliau di tengah-tengah manusia atau khususnya masyarakat ketika itu adalah sebagaimana halnya yang dijelas di dalam Al-Quran berikut ini:

لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِه وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَۚ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah, meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali Imran: 164)

هُوَ الَّذِيْ بَعَثَ فِى الْاُمِّيّنَ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِه وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍۙ

Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah, meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Al-Jumu’ah: 2)

Dari kedua ayat di atas setidaknya terdapat tiga hal yang harus dikerjakan oleh nabi Muhammad saw; pertama adalah membacakan ayat-ayat Allah swt, kedua menyucikan mereka (umatnya) serta ketiga mengajarkan Kitab juga Hikmah.

Dalam hal ini, Allamah Thathabai memberikan sedikit keterangan terkait tugas-tugas nabi tersebut. Adapun membacakan ayat, hal ini sesuai maknanya dan tidak dibahas lebih lebar lagi. Sementara selanjutnya adalah menyucikan umatnya atau dengan kata lain melakukan tazkiyah (penyucian) terhadap umatnya. Tazkiyah ini berasal dari lafal Zakah yang bermakna pertumbuhan yang baik yang selalu berkaitan dengan kebaikan dan berkah. Sehingga maksud dari tazkiyah nabi terhadap umatnya adalah menumbuhkan mereka dengan baik, dengan membiasakan mereka pada akhlak yang terpuji serta amal yang shaleh sehingga dengan itu kemanusiaan mereka menjadi sempurna.

Kemudian Ta’lim, yaitu mengajarkan Kitab (Al-Quran) dengan menjelaskan lafal-lafal pada ayat-ayatnya serta menafsirkannya, begitu pula dengan Hikmah yakni pengetahuan-pengetahuan hakiki yang dikandung di dalam Al-Quran.

Yang unik di sini ialah pengedapanan Tazkiyah sebelum Ta’lim, dimana hal tersebut tentunya memiliki tujuan yang penting, sebagaimana dijelaskan bahwa ayat ini menggambarkan pendidikan nabi terhadap umatnya.[4]

Sementara itu Fakhru Razi juga dalam tafsirnya menyebutkan beberapa penjelasan terkait tiga tugas tersebut. Diantaranya, ia mencatat bahwa membacakan ayat, maksudnya adalah penjelasan nabi terkait risalah dan kenabiannya, juga bisa jadi ayat-ayatnya merupakan ayat-ayat yang menjelaskan hukum syar’i serta membedakan antara kebenaran dan kebatilan.

Adapun Tazkiyah salah satunya adalah membersihkan umatnya dari keburukan Syirik (penyekutuan Tuhan) dan juga keburukan selain hal tersebut yang berasal dari ucapan dan perbuatan. Ada juga yang menyebut bahwa Tazkiyah di sini ialah memperbaiki mereka dengan mengajak untuk mengikuti jejak orang-orang suci dan bertakwa. Kemudian selanjutnya, mengajarkan Kitab dan Hikmah, pada bagian ini ada yang menyebutkan maksud dari Hikmah adalah kewajiban-kewajiban, sementara itu ada juga yang mengartikannya dengan sunnah.[5]

Berangkat dari semua penjelasan di atas terkait tanggung jawab besar nabi Muhammad saw terhadap umatnya, dapat kita pahami bahwa semua itu akan mungkin terwujud apabila pribadi nabi sendiri merupakan sosok mumpuni dalam mengerjakannya.

Misalnya dalam membacakan ayat, tentu nabi adalah sang penerima wahyu dan ia memiliki pemahaman terhadap apa yang diterimanya. Begitu pula dalam Tazkiyah, maka sudah selayaknya sosok nabi adalah yang paling terdepan dalam hal kesucian jiwa, akhlak terpuji serta menghindari kesyirikan dan hal-hal tercela lainnya. Begitu juga dengan mengajarkan Kitab dan Hikmah, beliaulah yang paling tahu dan memiliki penguasaan terhadap hal tersebut dengan petunjuk dari Allah swt.

Apabila tidak demikian maka mustahil Allah swt membeban tugas kepada makhluk-Nya yang diluar kapasitasnya. Oleh sebab itu tugas yang agung dan besar ini juga menunjukkan keagungan dan kebesaran sosok penerimanya yaitu nabi Muhammad saw.

Beliau sebagai sosok yang terdepan dalam segala kebaikan dan segala upaya untuk sampai pada keridhoan Allah swt, adalah yang paling mampu untuk membimbing hamba-hamba-Nya yang lain. Hal ini secara terang-terangan disebutkan dalam ayat berikut:

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Ali I’mran: 31)

Oleh karena itu sudah jelas dan pasti sosok nabi merupakan pribadi yang jauh dari hal-hal buruk dan tercela sehingga Allah swt menyuruh kita semua untuk mengikuti setiap jejaknya.

Cakupan Kemaksuman Para Nabi

Pada tulisan sebelumnya telah dibahas satu sisi dari cakupan kemaksuman para nabi. Yaitu telah disebutkan bahwa mereka tidak melakukan kesalahan maupun dosa baik dengan sengaja atupun tidak.

Telah disinggung juga sedikit tentang pendapat Fakhr Razi berkaitan dengan bolehnya para nabi melakukan dosa sebelum masa kenabian. Tentu saja ini juga berkaitan dengan batasan ishmah dari sisi lainnya.

Untuk lebih jelasnya, di sini akan dimuat pernyataan lainnya yang menyebutkan pendapat tersebut dengan lebih gamblang:

“Mereka juga berbeda pendapat tentang waktu wajibnya ishmah tersebut. Sebagian mereka berpendapat: semenjak lahir sampai wafat. Dan kebanyakan mereka meyakini bahwa: ishmah tersebut hanya berlaku pada masa kenabian, adapun sebelumnya, maka tidak wajib. Dan ini adalah pendapat kebanyakan pengikut mazhab kita (Asyari)” semoga Allah merahmati mereka.”[6]

Dalam catatan ini Fakhr Razi tidak mengatakan semua kalangan Asyari berpendapat demikian akan tetapi hanya mengatakan kebanyakan mereka saja.

Berseberangan dengan pendapat di atas, mazhab Imamiah berkeyakinan bahwa para nabi semenjak lahir sampai wafat mesti maksum. Dalam kitab al-Lawami’ disebutkan:

“Dan pengikut mazhab Imamiah berpendapat: sesungguhnya mereka semua (para nabi dan rasul) maksum dari segala jenis dosa baik dosa besar maupun kecil, sengaja atau tidak, tersalah maupun secara takwil dan sebelum kenabian maupun pada masa kenabian. Hal ini adalah kebenaran yang terang benderang.[7]

Di dalam kitab lainnya; Ashl al-Syiah, secara khusus disebutkan bahwa nabi Muhammad SAWW maksum semenjak lahir hingga wafatnya:

“Syiah Imamiah berkeyakinan bahwa seluruh nabi yang disebutkan oleh al-Quran merupakan utusan Allah SWT dan hamba-hamba yang dimuliakan, diutus untuk mengajak manusia menuju kebenaran. Dan bahwa Muahammad SAWW adalah penutup para nabi serta penghulu para rasul, maksum dari melakukan salah dan dosa, ia tidak melakukan maksiat selama hidupnya serta tidak melakukan selain apa-apa yang diridhai oleh Allah SWT sampai ajal menjemputnya.[8]

Dari beberapa catatan di atas dapat dipahami bahwa, berbeda dengan mazhab Asyari yang meyakini bahwa para nabi boleh melakukan kesalahan dan dosa sebelum kenabian, mazhab Syiah meyakini bahwa para nabi terkhusus Rasulullah SAWW maksum semenjak lahir sampai wafat.

Namun, meyakini bahwa nabi boleh melakukan kesalahan dan dosa sebelum kenabian memiliki konsekuensi tertutupnya jalan pembuktian kenabian.

Sebab, jika sebelum kenabian ada kemungkinan para rasul melakukan kebohongan, lupa, kesalah dan dosa, maka bagaimana kita bisa mempercayai mereka setelah kenabian? Karena mungkin saja pengakuan mereka di awal kenabian dianggap sebagai kebohongan atau kesalahan. Dan selama ada kemungkinan ini maka kita tidak akan pernah sampai kepada keyakinan akan kenabian mereka.

Dengan begitu, tujuan Allah dalam mengutus para nabi (manusia mendapat hidayah dengan mengikuti mereka), tidak akan tercapai. Oleh karena itu, kemaksuman mereka sebelum kenabian adalah suatu kemestian.

Di samping itu, masa lalu yang kelam tentu saja akan berpengaruh terhadap dakwah para rasul, karena akan dijadikan alasan para pengingkarnya untuk menolak ajarannya. Hal ini akan sangat berbeda, jika para nabi memiliki latar belakang yang bersih tanpa noda. Sebab dengan begitu tidak ada sedikitpun celah dan alasan bagi ummatnya untuk tidak mengikuti ajaran mereka.

Coba kita bayangkan seandainya nabi Muhammad SAWW sebelum kenabian pernah melakukan kebohongan, lantas kira-kira bagaimana reaksi penduduk Makkah terhdap dakwah beliau yang pertama?

Dan bandingkan dengan nabi yang memiliki latar belakang terpercaya dengan menyandang gelar “amin”, tentu saja reaksi mereka akan berbeda.

Oleh karena itu mari memilih salah satu dari dua keyakinan di atas dengan konsekuensinya masing-masing.

Kemaksuman Nabi Saw menurut Pandangan Imam Al-Qastallani

Kami telah mengulas di dalam deretan tulisan sebelumnya, mulai dari makna kemaksuman hingga dalil-dalil yang mendukung akan kemaksuman yang dinisbahkan kepada Nabi Saw, dan di tulisan kali ini penulis hendak memperlihatkan kepada para pembaca tentang bukti lain yang mengisyaratkan akan kemaksuman Nabi Saw., dan para nabi lainnya.

Sebagai penegasan dari beberapa dari tulisan sebelumnya, penulis mencoba menghadirkan sebuah bukti akan kemaksuman sosok nabi, yang dikutip dari ulama kesohor Sunni, Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Qastallani. Di dalam salah satu karyanya yang cukup familiar di antara akademisi-Muslim, Al-Muwwahib Al-Ladunniyah, ia menuturkan pernyataan sebagai berikut.

“Nabi Muhammad Saw terjaga (maksum) dari dosa-dosa besar dan kecil, baik karena sengaja maupun lupa, begitu pula dengan para nabi lainnya.”

Dengan memandang dan mengkaji tugas nabi di tengah manusia, sebagaimana yang telah diulas di dalam tulisan sebelumnya, maka selayaknya ia menyandang gelar maksum. Akal sehat akan menolak, jika seorang nabi terjerembab di dalam lubang dosa dan kesalahan. Sebab, jika hal itu terjadi pada diri nabi, tentu ia tidak akan mungkin menamatkan tugasnya dengan sempurna.

Jika diri seorang nabi dipenuhi kesalahan dan dosa, yang alih-alih ia menuntun umatnya ke jalan yang lurus, justru—boleh jadi—malah menyesatkan mereka (umatnya). Na’udzubillah min Dzalik.

Sosok Nabi Bersih dari Segala Hal yang Membuat Orang Menjauh

Tujuan utama pengutusan para nabi ialah menggiring manusia untuk berjalan pada jalan yang ditetapkan oleh Allah swt, yaitu jalan kebenaran dan kesempurnaan bagi manusia itu sendiri.

Di sini Allah swt sebagai sang pencipta yang maha bijaksana juga Dzat yang paling mengenal manusia, ketika mengutus para nabi yang berasal dari mereka (manusia) serta ditugaskan dengan tanggung jawab berat membawa manusia pada tujuan asli penciptaannya, maka tentunya langkah ini sesuai dengan hikmah dan kebijaksanaan Allah swt.

Artinya dari sisi Allah swt sebagai pemberi hidayah, Dia telah memberikan semua syarat atau perangkat yang dibutuhkan untuk supaya manusia mendapat hidayah-Nya. Allah swt berfirman:

رُسُلًا مُّبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ لِئَلَّا يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّٰهِ حُجَّةٌ ۢ بَعْدَ الرُّسُلِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَزِيْزًا حَكِيْمًا

Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (An-Nisa: 165)

Dan di dalam persoalan kenabian, Ishmah atau kemaksuman merupakan mukadimah wajib untuk terwujudnya tujuan dari pengutusan itu sendiri. Para nabi selain sebagai seorang yang memperoleh wahyu dari Allah swt, di sisi yang lain juga harus merupakan sosok yang dapat diterima atau dipercaya oleh masyarakat berdasarkan akal sehat dan nurani (fitrah) yang bersih. Sebab dengan itulah Hujjah Allah swt menjadi sempurna dan tidak ada lagi alasan bagi manusia untuk mengelak seperti yang disebutkan pada ayat di atas.

Oleh sebab itu penerimaan dan kepercayaan manusia yang sesuai dengan akal sehat dan nuraninya adalah satu hal yang wajib ada dalam pribadi setiap nabi, tak terkecuali nabi Muhammad saw sang penghulu dari para nabi dan rasul. Dan inilah peran Ishmah, yaitu memberikan ketenangan dalam diri seorang manusia bahwa nabi yang diikutinya tidak akan pernah salah atau keliru dalam segala hal.

Dalam hal ini Syekh Nashiruddin At-Thusi menyebutkan dalam kitabnya Tajridul I’tiqad yang dinukil oleh Allamah Al-Hilli dalam kitab Kasyful Murad, bahwa Ishmah wajib ada dalam pribadi nabi sehingga dengan itu muncul kepercayaan dari masyarakat (penerimaan) kemudian dengan itu maka terwujudlah tujuan dari pengutusan nabi (bi’tsah).

Kemudian selanjutnya ia juga menjelaskan bahwa bukan hanya sebatas itu sebab adanya kewajiban mengikutinya, maka sosoknya juga haruslah yang memiliki kesempurnaan akal, kecerdasan serta pemikiran dan tidak ada kelengahan pada dirinya sedikitpun atau hal-hal yang membuat orang merasa jijik dan berpaling darinya seperti kehinaan pada garis ayah atau ibu (tidak terhormat nasabnya), juga kasar tutur katanya, cacat dan lain sebagainya.[9]

Semua itu akan berimbas pada kualitas penerimaan masyarakat terhadap sosok nabi. Apabila dari sisi-sisi tersebut terdapat celah bagi manusia untuk beralasan (tidak mengikuti nabi) di hadapan Allah swt, maka hal ini akan menjadi bukti bahwa Hujjah-Nya bagi manusia belum sempurna. Dan ini tentunya jauh dan mustahil bagi Dzat Allah swt yang maha sempurna dan bijaksana.

Nabi Muhammad SAWW Sebagai Teladan dan Kemestian Ishmah

Pada beberapa tulisan sebelumnya telah disebutkan berbagai batasan serta cakupan ishmah para nabi teristimewa Nabi Muhammad SAWW.

Dalam berbagai tulisan tersebut telah disebutkan bahwa mazhab Syiah adalah golongan yang meyakini ishmah maksimal; yang berarti bahwa mazhab ini mengimani bahwa para nabi maksum atau terpelihara dari lupa, tidak melakukan kesalahan maupun dosa baik besar dan kecil disengaja maupun tidak semenjak lahir sampai wafat.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa mazhab Syiah menempatkan Nabi Muhammad SAWW serta para nabi dan rasul AS lainnya dalam posisi yang sangat mulia dan agung.

Dengan karakter seperti ini maka para nabi layak untuk diikuti dan diteladani dalam segala aspek kehidupannya. Jika tidak maka mengikuti serta meneladani mereka masih jadi tanda tanya sebab mungkin saja apa yang mereka lakukan justru merupakan perbuatan yang salah.

Sangat menerik untuk dikaji bagaimana kemudian Alusi menafsirkan ayat ke 21 dari surat al-Ahzab, dalam kitabnya Ruh al-Maani:

“Sekalipun ayat di atas ditujukan untuk mengikuti Nabi SAWW dalam urusan perang berkaitan dengan keteguhan dan hal lainnya, namun pada saat yang sama ia merupakan perintah umum untuk mengikuti semua perbuatan nabi. Kecuali jika diketahui perbuatan tersebut khusus untuk Nabi SAWW seperti menikahi lebih dari empat orang perempuan. Ibn Majah dan Ibn Abi Hatim mengeluarkan riwayat dari Hafsh bin Ashim, ia berkata: aku berkata kepada Abdullah bin Umar RA: aku melihatmu tidak melakukan shalat sunnah qabliah dan ba’diah dalam perjalanan. Ia menjwab: wahai anak saudaraku aku telah bersama dengan Rasulullah SAWW demikian dan demikian dan aku tidak melihatnya shalat sunnah qabliah dan ba’diah padahal Allah SWT berfirman: لَقَدْ كانَ لَكُمْ في رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ [[10] ] (Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagimu). Abdurrazzaq dalam kitabnya al-Mushannif, memuat riwayat dari Qatadah, ia berkata: Uamar bin Khattab berkeinginan untuk melarang memakai “habarah” (pakian terbuat dari katun dan terkenal pembuatannya di Yaman) lalu seorang laki-laki berkata: bukankah engkau telah melihat Rasullullah memakainya? Umar menjawab: Ya. Laki-laki itu berkata: bukankah Allah SWt berfirman: لَقَدْ كانَ لَكُمْ في رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ [[11] ] (Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagimu)? Lalu umar RA mengurungkat pelarangan tersebut.[[12] ]

Dari penjelasan yang dipaparkan oleh Alusi di atas, dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad SAWW merupakan uswah atau teladan dalam segala perbuatannya; dan lebih dari itu semua tindakannya merupakan barometer bagi segala tindakan umat sebagaimana terkonfirmasi dalam hadits yang disebutkan dalam paparan tersebut.

Oleh karena itu ishmah merupakan suatu kemestian jika tidak maka konsekUensinya adalah, perintah Allah untuk menjadikan Nabi SAWW sebagai uswah dalam segala hal, pada kasus-kasus tertentu sama dengan perintah untuk melakukan kesalahan dan dosa.

Hal ini mengingat bahwa jika Nabi SAWW tidak maksum maka mungkin saja perbuatan yang kita teladani justru perbuatan salah dan khilaf yang dilakukan oleh beliau dengan sengaja maupun tidak, baik dosa besar maupun kecil dan sebelum kenabian maupun setelah kenabian.

Sederet Keistimewaan Nabi Saw di dalam Al-Quran

Jika kita berkaca pada diri Rasulullah Saw., maka pantulan cahaya yang tersorot ke diri kita ialah kesempurnaan akhlaknya. Saking sempurnanya, Allah mencatatkan pujian untuknya di dalam Al-Quran, yang termaktub di dalam surah al-Qalam ayat empat. Hampir setiap manusia sudah mafhum akan keagungan budi pekerti ayah dari Sayyidah Fathimah az-Zahra itu.

Maka, di sini penulis hendak mengumpulkan beberapa ayat al-Quran yang membicarakan keagungannya, yang bisa kita jadikan sebagai motivasi untuk selalu berada di jalan kebaikan ala Rasulullah Saw. Di antara keistimewaannya yang tercatat di dalam al-Quran ialah sebagai berikut.

1. Panutan yang Baik

Di dalam surah Al-Ahzab ayat 21, Allah Swt berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”

Dari ayat di atas dapat kita pahami, bahwa Nabi Muhammad adalah panutan bagi setiap manusia. Lebih-lebih kepada mereka yang yang bertakwa di hadapan Allah Swt. Dan hendakanya, bagi mereka yang mendambakan kebahagiaan dunia-akhirat sudah selayaknya mengikuti jejak langkahnya.

* Rahmat (kasih-sayang) bagi Alam Semesta

Sebagaimana rahmat Allah tak terbatas bagi setiap makhluk-Nya, pun dengan kasih-sayangnya Nabi Saw. Bahwa, salah satu tujuan diutusnya, ialah menyebarkan pesan cinta-kasih kepada semua manusia tanpa terkecuali, sehingga misi dakwah yang ia ampu dari Allah Swt dapat diterima dengan mudah oleh orang-orang kala itu, yang telah menjadikan berhala sebagai obyek sesembahannya.

Karenanya, Allah Swt., mengabadikan kasih sayangnya nabi Muhammad tersebut di dalam salah satu ayat di dalam al-Quran.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107).

* Merakyat

Sebagai seorang pemimpin di tengah umat, maka salah satu hal yang harus memiliki ialah jiwa merakyat dan membaur dengan siapa saja di tengah masyarakat. Di sisi lain, hal itu juga menafikan sifat keakuan (egois) yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Karena, penting bagi bagi seorang pemimpin menghapus sekat-sekat yang dapat membentengi dirinya dengan rakyatnya. Hal itu pulalah yang dilakukan oleh Nabi Saw. Meski ia dinobatkan sebagai paling mulianya manusia, ia tak memanfaatkan itu untuk menjaga jarak atau bahkan berbuat semena-mena terhadap orang lain. Ia tetap memosisikan diri, sebagaimana manusia biasa.

Menyoroti hal itu, Allah berfirman di dalam kitab-Nya sebagai berikut.

لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

“Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah: 128).

Di atas adalah pemaparan tentang beberapa keistimewaan pada diri Rasulullah Saw. Dengan melihat keistimewaannya di atas, maka rasa-rasanya mustahil apabila sosok Nabi—yang merupakan perwakilan Allah di muka bumi ini—melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam dan akal sehat. Wallahu a’lam bi as-shawab.

Benarkah Nabi Muhammad SAW Pernah Sesat?

Setelah sederet pembahasan mengenai Ishmah atau kemaksuman para nabi dan khususnya Nabi Muhammad saw yang telah kita kaji bersama dalam tulisan-tulisan sebelumnya, sekarang kita mulai beralih pada kajian mengenai beberapa keterangan yang secara zahir menunjukkan hal yang berseberangan dengan konsep Ishmah itu sendiri.

Artinya dalam hal ini terdapat beberapa penjelasan dalam literatur Islam baik Al-Quran maupun hadis sendiri yang menggambarkan sosok para nabi -khususnya yang menjadi topik kita adalah sosok Nabi Muhammad saw- yang seolah bertolak belakang dengan konsep Ishmah yang ada. Dan sebagai imbasnya adalah memunculkan pertanyaan bagi kita sendiri mengenai kebenaran yang ada terkait kedua jenis literatur tersebut.

Oleh sebab itu sangat penting untuk mengkajinya dan mempelajari maksud yang dikandung dari literatur-literatur tersebut, seperti yang sudah kita lakukan pada beberapa di antaranya pada pembahasan-pembahasan yang lalu. Sebab dengan inilah kita akan mengenal kebenaran mengenai sosok agung nabi kita sendiri.

Pada kesempatan kali ini penulis akan membawakan kajian tentang sebuah ayat yang dinilai secara zahir menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw pernah mengalami kesesatan atau kebingungan dan tidak mengetahui tujuan. Ayatnya adalah sebagai berikut:

وَوَجَدَكَ ضَاۤلًّا فَهَدٰىۖ

Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. (Ad-Dhuha: 7)

Dalam ayat di atas, Allah swt secara langsung berbicara kepada Nabi Muhammad saw, bahwasannya Dia mendapati nabi dalam keadaan yang tersesat (Dhalla secara bahasa bermakna tersesat atau menyimpang), sementara dalam terjemahan di atas dimaknai dengan “yang bingung” sebagai konsekuensi dari tersesat atau menyimpang dari jalan. Kemudian setelah itu Allah swt memberikannya petunjuk.

Dari gambaran di atas secara zahir hal ini menunjukkan bahwa dulunya nabi adalah orang yang tidak berada pada jalur yang dikehendaki Allah swt, artinya waliyadzu billah beliau berada dalam penyimpangan, ketika menyimpangan berarti melakukan kesalahan dan berbuat dosa. Dan hal ini bertolak belakang dengan apa yang telah kita bahas dalam kajian-kajian sebelumnya bahwa beliau saw terjauh dari kesalahan dan dosa seutuhnya.

Terkait hal ini, Imam Fakhru Razi dalam tafsirnya mula-mula menjelaskan bahwa sebagian orang memahami dari ayat di atas menunjukkan pada sosok nabi yang dulunya adalah seorang yang kafir yang berada di tengah kaum yang tersesat, kemudian dihidayahi oleh Allah swt ke dalam tauhid.

Namun kemudian penulis tafsir Al-kabir ini juga menyebutkan bahwa sekelompok ulama lainnya memiliki pandangan lain terhadap ayat ini dan mereka sepakat bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah kufur atau jadi seorang yang kafir terhadap Allah swt walau sesaat. Bahkan Mu’tazilah menganggap hal ini adalah mustahil secara logis, adapun menurut kelompoknya hal ini tidaklah mustahil secara logis, sebab bisa saja seorang yang sekarang ini kafir kemudian dikaruniai keimanan oleh Allah dan kemudian dimuliakan dengan kenabian (menjadi nabi). Namun menurutnya hal tersebut meskipun mungkin terjadi akan tetapi dalil (wahyu) menunjukkan bahwa hal yang mungkin tersebut tidak terjadi, sebagaimana firman-Nya:

مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوٰىۚ

kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak (pula) keliru. (An-Najm: 2)

Dengan ini ia menafikan bahwa maksud dari Dhall pada ayat tadi sebagai penyimpangan atau kesesatan.

Setelah itu ia membawakan beberapa kemungkinan yang menjadi maksud dari lafal tersebut, diantaranya adalah riwayat dari Ibnu Abbas yang memaknainya dengan bahwa nabi sebelumnya tidak memiliki ilmu tentang hukum syar’i.[13]

Sementara itu, Syekh Makarim Syirazi berbicara mengenai ayat yang sama, pertama-tama ia menjelaskan bahwa lafal tersebut berkaitan dengan risalah dan kenabian, dimana sebelumnya hal tersebut tidak ada pada diri Nabi Muhammad saw kemudian Allah swt memberikan karunia itu. Sehingga yang dinafikan dari sosok nabi (Dhall) pada ayat tadi bukanlah keimanan sehingga disebut kafir sebagaimana pada penjelasan Fakhru Razi, melainkan yang dinafikan di sini adalah ilmu atau ma’rifah nabi terhadap hakikat kenabian dan risalah hukuk-hukum Islam.[14]

Kesimpulannya berdasarkan penafsiran di atas, ayat ketujuh surat Ad-Dhuha ini tidak berbicara mengenai kondisi Nabi Muhammad saw yang berada dalam kesesatan karena tidak adanya iman dalam dirinya, melainkan kondisi beliau yang belum memperoleh ilmu tentang kenabian dan risalah yang akan didakwahkan olehnya. Sehingga melihat ayat tadi dengan kaca mata ini tidak bertentangan dengan konsep Ishmah yang ada pada ayat-ayat lainnya seperti yang sudah dibahas.

Selain itu hal ini justru semakin menegaskan nilai dari tauhid amali (praktis) bahwa sesungguhnya hanya Allah swt -lah satu-satunya Dzat pemberi hidayah. Adapun selain-Nya adalah seluruhnya membutuhkan pada hidayah-Nya termasuk para nabi dan khususnya dalam kasus di atas adalah Nabi Muhammad saw.

Allamah Thabathabai dan Makna “Dosa” dalam Ayat 2 Surat al-Fath

Pada tulisan sebelumnya telah dibahas satu syubhat tentang masa lalu Nabi Muhammad SAWW yang pernah tersesat. Pada tulisan tersebut telah dijelaskan sanggahan dan penjelasan yang tepat terkait dengan ayat yang menjadi perbincangan.

Pada tulisan kali ini akan dibahas ayat lainnya yang seoalah mengindikasikan bahwa Rasulullah SAWW melakukan dosa baik di masa lalu maupun akan datang.

Ayat yang dimaksud adalah ayat dua surat al-Fath yang berbunyi: لِيَغْفِرَ لَكَ اللهُ ما تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَما تَأَخَّرَ وَ يُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَ يَهْدِيَكَ صِراطاً مُسْتَقيماً (supaya Allah memberi ampunan terhadap dosa yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memberikan petunjuk kepadamu kepada jalan yang lurus)

Dalam ayat ini sepintas mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad SAWW memiliki dosa masa lalu dan akan datang dan dengan penaklukan atau kemenangan (fath) yang dianugerahkan Allah kepadanya dosa-dosa beliau akan terampuni.

Dalam menyikapi ayat ini Allamah Thabathabai di dalam Tafsir al-Mizan memberikan penjelasan yang sangat mencerahkan yang dengan demikian kesucian atau ishmah Nabi SAWW tetap terjaga.

Pada tahap awal beliau menjelaskan bahwa kata “dzanb” atau dosa bukanlah bermakna dosa seperti yang dipahami secara umum. Hal ini mengingat bahwa tidak ada hubungan antara penaklukan kota Mekkah dan pengampunan dosa Rasulullah SAWW:

…. Lam yang ada pada ليغفر pada zahirnya merupakan lam ta’lil (menjelaskan illat dan sebab). Maka pada dasarnya tujuan dari penaklukan atau kemenangan yang nyata ini adalah ampunan dosamu yang terdahulu dan yang akan datang. Dan merupakan hal yang nyata bahwa tidak ada hubungan antara kemenangan dan pengampunan dosa. Dan tidak logis jika menghubungkan kemenangan dengan ampunan tersebut.[15]

Kemudian beliau menarik kesimpulan dengan mengatakan:

“secara umum masalah ini (tidak adanya hubungan antara kemenangan dan pengampunan dosa) merupakan bukti nyata bahwa yang dimaksud dengan dosa yang ada dalam ayat tersebut bukanlah dosa yang biasa dikenal; yaitu melanggar aturan yang wajib ditaati. Dan makna pengampunan dosa juga bukanlah makna yang biasa dikenal; membatalkan hukuman atas pelanggaran yang telah disebutkan.[16]

Pada tahap ini Allamah Thabathabai mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “dzanb” atau “dosa” bukanlah dosa karena melanggar perintah Allah dan pengampunan juga bukan pengampunan atas dosa tersebut. Dengan alasan bahwa tidak ada hubungan diantara kedua hal di atas. Tepatnya bagaimana mungkin untuk mengampuni dosa Nabi Muhammad SAWW, Allah SWT menganugerahi beliau kemenangan.

Setelah menyimpulkan hal tersebut, beliau kemudian menjelaskan makna dosa dan pengampunan yang dimaksud dengan mengatakan:

“Maka yang dimaksud dengan dosa adalah (Allah SWT lebih tahu) konsekuensi buruk dalam pandangan orang kafir dan musyrikin terhadap dakwah yang beliau lakukan. Pada dasarnya ia merupakan “dosa” beliau di mata mereka, hal ini sebagaimana termaktub dalam perkataan Musa AS kepada tuhannya: وَ لَهُمْ عَلَيَّ ذَنْبٌ فَأَخافُ أَنْ يَقْتُلُونِ [[17] ] (Dan (menurut keyakinan mereka) aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku). Dan dosanya yang terdahulu adalah apa yang dilakukan oleh beliau di Makkah sebelum hijrah dan dosa yang akan datang adalah apa yang beliau lakukan setelah hijrah. Ampunan Allah atas dosa beliau adalah menutupinya dengan menyingkirkan konsekwensi dari tindakan Nabi serta menghilangkan kekuatan dan menghancurkan struktur mereka. Dan yang menguatkan penafsiran tersebut adalah fiman Allah berikutnya sampai ayat (وَ يَنْصُرَكَ اللَّهُ نَصْراً عَزيزاً) .[[18] ]”

Melalui catatan ini Allamah menjelaskan bahwa “dosa” dalam ayat di atas bukanlah dosa terhadap Allah SWT, tapi dosa beliau di mata orang musyrik dan kafir.

Sebab selama beliau melakukan dakwah, dalam pandangan mereka beliau melakukan banyak “dosa” seperti tindakan beliau dalam menyalahkan keyakinan, amalan dan tradisi mereka. Bahkan dalam beberpa peperangan dengan Nabi SAWW keluarga serta kerabat mereka banyak yang terbunuh.

Tentu saja semua ini merupakan kesalahan dan dosa Nabi SAWW di mata mereka. Dan untuk menghilangkan anggapan tersebut maka Allah memberikan kemenangan kepada beliau.

Dengan kemenangan tersebut, orang kafir dan musyrik ada yang masuk Islam oleh karena itu dengan sendirinya di mata mereka kesalahan dan dosa tersebut hilang. Atau dengan kemenangan Nabi SAWW dan kekalahan yang menimpa musyrikin, maka mereka tidak punya kekuatan lagi untuk menyalahkan Nabi Muhammad SAWW.

Dengan penafsiran ini maka pengampunan dosa dan kemenangan menemukan hubungannya yang sangat jelas dan nyata. Dan kemaksuman Nabi SAWW juga tetap terjaga.

Nabi Saw Pernah Berniat Bunuh Diri, Benarkah?

Jika kita mendengar atau membaca berita, tentang pelecehan Nabi Saw,. oleh orang-orang Barat, maka kita tak perlu men-Judge mereka secara berlebihan. Bisa jadi, mereka tak berniat untuk melecehkan Nabi Saw. Mungkin, mereka hanya menyampaikan hasil bacaan yang mereka dapatkan dari literatur-literatur Islam, yang kemudian oleh sebagian kaum Muslim dinilai sebagai bentuk pelecehan.

Tak heran, jika kita telusuri di dalam kitab-kitab Sunni sendiri, terutama di dalam kitab Shahih-Bukhari terdapat beberapa riwayat yang justru terkesan mencoreng nama baik Nabi Saw., mengingat ia adalah manusia sempurna dan terjaga dari kesalahan—sebagaimana yang sudah diulas di dalam pembahasan sebelumnya.

Ambil contoh, di dalam kitab tersebut diceritakan, bahwa nabi adalah pelupa, di kitab lain, yang berjudul Ithaful Khairoh Al-Muhrah karya Ahmad bin Abu Bakar bin Ismail Bushiri, dikatakan bahwa nabi pernah menyentuh tubuh seorang wanita non-muhrim dan sebagainya—dan banyak dari orang Muslim sendiri yang tak ngeh kalau ada riwayat seperti itu.

Kali ini penulis hendak membawakan sebuah riwayat, yang penulis kutip dari kitab Shahih Bukhari, karya Imam Bukhari. Di dalam kitab tersebut, diceritakan bahwa nabi pernah berniat bunuh diri (dengan melompat dari pucuk gunung), lantaran kucuran wahyu sempat terhenti padanya untuk beberapa waktu.

Untuk lebih jelasnya, berikut adalah bunyi riwayat tersebut.

وَفَتَرَ الوَحْیُ فَتْرَةً حَتَّى حَزِنَ النَّبِیُّ صَلَّى اللهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ ، فِیمَا بَلَغَنَا، حُزْنًا غَدَا مِنْهُ مِرَارًا کَیْ یَتَرَدَّى مِنْ رُءُوسِ شَوَاهِقِ الجِبَالِ، فَکُلَّمَا أَوْفَى بِذِرْوَةِ جَبَلٍ لِکَیْ یُلْقِیَ مِنْهُ نَفْسَهُ تَبَدَّى لَهُ جِبْرِیلُ، فَقَالَ: یَا مُحَمَّدُ، إِنَّکَ رَسُولُ اللَّهِ حَقًّا، فَیَسْکُنُ لِذَلِکَ جَأْشُهُ، وَتَقِرُّ نَفْسُهُ، فَیَرْجِعُ، فَإِذَا طَالَتْ عَلَیْهِ فَتْرَةُ الوَحْیِ غَدَا لِمِثْلِ ذَلِکَ، فَإِذَا أَوْفَى بِذِرْوَةِ جَبَلٍ تَبَدَّى لَهُ جِبْرِیلُ فَقَالَ لَهُ مِثْلَ ذَلِکَ

Diriwayatkan dari Aisyah, “Beberapa waktu wahyu terhenti (baca: terputus), sampai ia (Nabi Saw) sedih dan berkali-kali hendak melompat dari atas gunung. Setip kali ia hendak melompat dari dari atas gunung, Jibrail selalu menunjukkan diri sambil berkata, ‘Sesungguhnya engkau adalah sebenar-benarnya Rasulullah (Utusan Allah)’. Atas dasar ini, kekhawatirannya perlahan hilang, dan hatinya menjadi tenang. Namun, lagi-lagi wahyu tidak turun padanya. Sekali lagi, ia hendak melakukan pekerjaan yang sama (melompat dari pucuk gunung), namun saat ia sampai di gunung itu, datanglah Jibrail dengan mengatakan hal yang sama, sebagaimana yang pernah ia katakan sebelumnya.”[19]

Salah satu hal menonjol yang dimiliki Nabi Muhammad Saw,. adalah dikenal sebagai pembawa al-Quran. Di mana al-Quran adalah salah satu mukjizat yang ia miliki untuk menepis pikiran melenceng dari orang-orang Arab kala itu tentang sosok Nabi. Karenanya, msutahil baginya melakukan hal-hal yang melenceng dari firman Allah di dalam Al-Quran.

Terkait perbuatan bunuh diri, sudah jauh-jauh hari Allah melarangnya, sebagaimana yang tertulis di dalam surah An-Nisa’ berikut ini.

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S. An-Nisa’: 29).

Dengan melihat ayat barusan, maka tidak ada keserasian dengan riwayat di atas. Dengan kata lain, jangankan bunuh diri, terlintas dalam benak nabi untuk melakukan bunuh diri saja rasa-rasanya akal sehat kita amat sulit mencernanya. Wallahu a’lam bi as-Shawab.