Tentang Khumus
Khumus secara bahasa artinya seperlima atau 20 persen (20%).
Dalam hukum fikih, khumus berarti kewajiban harta yang harus
dikeluarkan oleh seorang hamba sebanyak 20% dari kelebihan
pendapatannya setelah dipotong biaya kebutuhan hidupnya selama
satu tahun. Tentang kewajiban khumus ini Allah menegaskannya
di dalam kitab suci Al-Quran:
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh,
maka seperlima(nya) untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anakanak yatim, orang-orang miskin dan ibnusabil, jika kamu beriman
kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba
kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu di hari bertemunya dua
pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu’: (Surah alAnfal : 41).
Imam Jafar Shadiq as berkata:
“Tidak halal bagi siapapun untuk membeli sesuatu dari uang
khumus kecuali telah tunaikan kepada kami hak kami.” (wasail
al Syiah Juz 6 ha1.238).
Imam Khomeini ra berkata:
“Jika seseorang membeli rumah dengan uang yang
berhubungan dengan (kewajiban) zakat atau khumus maka
batallah shalat yang ia lakukan di dalam rumah tersebut. (Tahrir
al-wasilah Juz.1 ha1.134).
Apa saja yang wajib dikhumuskan?
Ada tujuh benda yang wajib dikhumuskan :
1. Hasil rampasan perang yang diperoleh muslimin karena
perang yang terjadi antara muslimin dengan orang-orang
kafir.
2. Barang tambang seperti emas, perak, besi, tembaga, batu bara,
timah dan sebagainya.
3. Harta karun yang diperoleh dari dalam tanah yang tidak
diketahui pemiliknya.
4. Hasil yang diperoleh dari dalam laut.
5. Hasil milik pribadi yang bercampur dengan harta haram
dan tidak jelas jumlah yang haram serta tidak diketahui
pemiliknya.
6. Tanah orang muslim yang dibeli oleh orang kafir dzimmi.
7. Kelebihan dari pendapatan seseorang selama satu tahun.
Siapa saja yang wajib berkhumus?
Khumus menjadi wajib bagi setiap orang yang mendapatkan
kelebihan dari pendapatannya selama satu tahun setelah dipotong
seluruh kebutuhan biaya hidupnya dan biaya hidup orang-orang
tanggungannya.
Bagaimana cara menghitung khumus?
Ada dua hal penting yang harus dijadikan pertimbangan
ketika ingin menghitung kewajiban khumus. Pertama, tentukan
dahulu kapan awal tahun khumusnya. Kedua, menghitung
berapa kebutuhan hidupnya selama satu tahun. Apabila kedua
hal ini sudah diketahui maka ia dengan sangat mudah bisa
menghitung berapa kewajiban khumus yang harus ia keluarkan
setiap tahunnya.
I. Menentukan awal tahun khumus
Bagaimana cara menghitung awal tahun khumus?
Mari kita lihat fatwa dari Ayatullah as-Sayid Ali Khamenei
berikut:
(Soal 926): Bagaimana penentuan awal tahun untuk membayar
khumus dapat dilakukan?
(Jawab): Tahun-khumus bagi semacam buruh dan pegawai
bermula dari tanggal perolehan hasil pertama kerja dan taklif
sedangkan awal tahun khumus para pemilik toko jatuh pada saat
aksi memulai aksi jual beli.
II. Menghitung kebutuhan biaya hidup untuk satu tahun
Kebutuhan hidup setiap orang pastilah berbeda. Yang
menjadi ukuran adalah kata hati nurani dan pendapat umum
yang normal (‘urf). Para fuqaha menyebutkan lima item yang
bisa dikategorikan sebagai kebutuhan hidup atau dalam bahasa
fikihnya disebut sebagai maunah.
Pertama, biaya hidup yang biasanya dikeluarkan oleh manusia
normal untuk menghidupi dirinya.
Kedua, pajak-pajak pemerintah, juga kaffarat yang mungkin
ia keluarkan.
Ketiga, kebutuhan dasar manusia seperti rumah tempat
tinggal, transportasi, pakaian dan sebagainya.
Keempat, biaya keluarga seperti belanja rumah tangga,
kebutuhan istri, pendidikan anak, pakaian, makan minum,
rekreasi dan ziarah mereka serta segala kebutuhan keluarga yang
dianggap normal dan wajar.
Kelima, biaya haji wajib dan amal-amal sosialnya seperti
dana- dana santunan atau hadiah-hadiah yang wajar.
Penghitungan khumus bisa dilakukan setelah memotong
semua biaya kebutuhan diatas. Apabila setelah itu masih ada sisa
maka dari sisa itulah kita mengeluarkan khumusnya.
Kepada siapa khumus diberikan?
Sesuai dengan ayat Al-Quran maka yang hendak menerima
khumus tersebut hanya enam golongan:
Allah, Rasul, Ahlul Bait, yatim, fakir miskin dan ibnusabil dari
keturunan Bani Hasyim.
Para fuqaha meringkaskan enam golongan ini menjadi dua
saham: Saham Imam, yang mencakup bagian Allah, Rasul dan Imam suci dari keluarga Rasul; dan saham sadah, yakni para
sayid dari keturunan Bani Hasyim, yang yatim, faqir miskin dan
ibnusabil.
Dua saham diatas, di zaman sekarang sepenuhnya dikelola
oleh Marjak Taklid. Beliaulah yang paling berhak untuk
menentukan untuk apa dan dimana uang khumus didistribusikan.
Para Marjak Taklid tentu juga tidak bekerja sendiri. Beliau juga
menunjukan sejumlah orang yang dikenal amanat dan alim untuk
menjadi wakilnya di dalam pengelolaan khumus tersebut demi
kepentingan agama dan umat.
Tentang Zakat
Mengingat publikasi ilmiah maupun populer mengenai zakat
telah banyak ditulis dan beredar di masyarakat, maka buku kecil
ini tidak akan mengulasnya kembali. Di sini kami hanya ingin
menyampaikan bahwa, selain Khumus, Dana Mustadhafin juga
menerima dan menyalurkan Zakat, Infak, Sedekah, Hibah, Kurban
dan lain-lain. Zakat, Infak dan Sedekah juga merupakan tuntutan
agama yang tidak kalah pentingnya selain kewajiban khumus.
Sebagaimana Al-Quran Mulia menyebutkan :
“Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat serta rukuklah bersama
orang-orang yang rukuk.” (Q.S. Al Baqarah 43)
Begitupula dengan sabda Rasulullah saw:
“Orang yang benar-benar kikir adalah yang menahan diri dari
menunaikan kewajiban zakatnya dan menahan pemberian kepada
kerabatnya padahal ia menghambur-hamburkan kekayaannya untuk
selainnya”. (Ma’anil Akhbar Hal. 245)