M U Q A D D I M A H
Usaha menyingkat sejarah kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. dalam
lembaran-lembaran buku, bukanlah pekerjaan yang mudah. Sejak semula telah
terbayang kesukaran-kesukaran yang bakal dihadapi. Betapa tidak!
Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a., terutama pada tahap-tahap terakhir,
sejak terbai'atnya sebagai Khalifah sampai wafatnya sebagai pahlawan syahid,
bukankah satu kehidupan biasa. Ia merupakan satu proses kehidupan yang lain
daripada yang lain. Ia menuntut penalaran luar biasa, menuntut kekuatan
syaraf istimewa pula.
Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. penuh dengan ledakan-ledakan luar
biasa, keagungan dan hal-hal mempesonakan. Tetapi bersamaan dengan itu
juga penuh dengan gelombang kekecewaan dan kengerian.
Oleh karena itu penulisan tentang semua segi kehidupannya menjadi benar-benar tidak mudah.
Ditambah pula dengan adanya pihak-pihak yang menilai beliau secara berlebih-lebihan. Baik
dalam memujinya maupun dalam mencacinya.
Imam Ali bin Abi Thalib r.a. sendiri tidak senang pada orang-orang yang menilai diri beliau
secara berlebih-lebihan. Hal itu tercermin dengan jelas dari kata-kata beliau: "Ada dua fihak
yang celaka karena berlebih-lebihan menilai sesuatu yang sebenarnya tidak kumiliki. Sedangkan
pihak yang lain ialah yang demikian bencinya kepadaku sehingga mereka melontarkan segala
kebohongan tentang diriku."
Dari sini pulalah maka Imam Ali r.a. mengatakan: "Ada segolongan orang yang demi cintanya
kepadaku mereka bersedia masuk neraka. Tetapi ada segolongan lain yang demi kebenciannya
kepadaku sampai-sampai mereka itu bersedia masuk neraka."
Ada dua faktor yang menyebabkan timbulnya pertentangan penilaian mengenai menantu dan
sekaligus saudara misan Rasul Allah s.a.w. itu. Dua faktor itu ialah sifat atau watak pribadi
Imam Ali r.a. sendiri dan situasi serta kondisi kehidupan Islam pada zaman hidupnya tokoh
penting Islam itu.
Faktor mana yang lebih dominan, sehigga pribadi Imam Ali r.a. mempunyai kedudukan yang
unik dalam sejarah Islam sulit dikatakan. Yang jelas kedua faktor itu memegang peran penting
dan memberi arti khusus yang pengaruhnya hingga kini masih terasa. Bahkan sejak
meninggalnya pada tahun 40 Hijriyah pendapat yang kontroversial mengenai dirinya itu tidak mereda, malahan makin berkembang sehingga sangat mewarnai sejarah Islam sampai abad ke-
15 Hijriyah sekarang ini.
Periode kehidupan Imam Ali r.a. ditandai dengan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh
ummat Islam, terutama setelah wafatnya Rasul Allah s.a.w. Belum lagi jenazah Rasul Allah
s.a.w. dimakamkan telah muncul krisis. Dan krisis itu disusul pula oleh krisis-krisis lain.
Ancaman dari dalam dan dari luar sangat membahayakan kedudukan Islam yang masih muda
itu.
Pertentangan pribadi, qabilah, suku, golongan, bangsa dan antar-negara bermunculan hampir
secara simultan. Keseimbangan kehidupan rohani dan jasmani, masalah keagamaan dan
kenegaraan yang serasi dan seimbang di bawah satu pimpinan, yaitu di tangan Rasul Allah
s.a.w. semasa hidupnya, tiba-tiba saja mengalami kegoncangan, ketidak-seimbangan dan
ketidak-serasian.
Proses kristalisasi dan disintegrasi yang menyusul wafatnya Rasul Allah s.a.w. dihadapkan pada
tokoh-tokoh terkemuka ummat Islam, yang selama itu merupakan pembantu-pembantu
terdekat Rasul Allah s.a.w. Diantaranya Imam Ali r.a. sebagai salah satu tokoh yang menonjol
dan dekat sekali dengan Rasul Allah s.a.w. Dan dialah salah seorang yang paling merasa
berkepentingan terhadap kemaslahatan Islam dan ummatnya. Sebab dialah yang paling dini
melibatkan diri sebagai pengikut setia Nabi Muhammad s.a.w.
Awal tahun Hijriyah ditandai oleh peranan Imam Ali r.a. Malam sebelum Rasul Allah s.a.w.
melakukan hijrah ke Madinah, yang sangat bersejarah itu, rumah kediaman beliau dikepung
rapat oleh para pemuda Qureiys: Mereka bertekad hendak membunuh nabi Muhammad s.a.w.
Pada saat itulah Rasul Allah s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. supaya mengenakan mantel
hijau buatan Hadramaut dan agar saudara misannya itu berbaring di tempat tidur beliau. Imam
Ali r.a. dengan kebanggaan dan keberaniannya melaksanakan tugas tersebut.
Ketika para pemuda Qureisy yang berniat jahat itu mengintip, mereka mengira Rasul Allah
s.a.w. berada di dalam. Padahal sebenarnya saat itu Rasul Allah s.a.w. telah berhasil
menyelinap keluar menuju ke rumah Abu Bakar r.a.
Ketaatannya kepada Rasul Allah s.a.w. dan keberaniannya pada malam hijrah itu bukan
merupakan kasus tersendiri. Pada masa-masa hidupnya lebih lanjut, faktor keberanian ini
sangat mewarnai kehidupan Imam Ali r.a. Dasar-dasar keberanian ini tambah diperkuat oleh
keyakinannya yang makin teguh pada kebenaran ajaran Rasul Allah s.a.w. dan ketaqwaannya
pada Allah s.w.t.
Ketaatannya pada Rasul Allah s.a.w. dan keberaniannya dalam membela serta menegakkan
kebenaran-kebenaran agama Allah merupakan pendorong utama, sehingga kemudian ia
diagungkan oleh pengikut-pengikutnya sebagai pahlawan besar ummat Islam.
Hal itulah yang antara lain telah menimbulkan perbedaan penilaian yang hasilnya melahirkan
perselisihan pendapat. Yang menilai positif melambangkan Imam Ali r.a. sebagai contoh tokoh
yang paling ideal, pelanjut cita-cita dan perjuangan Rasul Allah. Kemudian eksesnya menjadi
berlebih-lebihan, sehingga sama sekali tidak disukai oleh yang bersangkutan sendiri.
Sebaliknya mereka yang menilai negatif, Imam Ali r.a. mereka anggap sebagai tokoh yang amat
berambisi untuk mendapat kedudukan memimpin ummat Islam. Penilaian terakhir ini
mengundang sifat-sifat kebencian dan menjurus ke permusuhan, dan akhirnya memuncak dalam
bentuk peperangan melawan Imam Ali r.a.
Kepribadian dan watak Imam Ali r.a. yang unik itulah yang mengembangkan pendapat ekstrim
tentang dirinya. Yang mengaguminya, kemudian memitoskan dan mendewakannya. Tidak jarang, karena ekses penyanjungan kepada Imam Ali r.a. akhirnya secara sadar atau tidak sadar
golongan ini mengaburkan peran agung Rasul Allah s.a.w. Sebaliknya yang membenci Imam Ali
r.a. melahirkan ekses mengkafirkannya.
Dua fihak yang sangat bertentangan penilaian terhadap Imam Ali r.a. tercermin pada dua
kelompok yang terkenal dalam sejarah Islam.
Kaum Rawafidh bukan saja pengagum Imam Ali r.a., malahan boleh dibilang sebagai "kaum
penyembah Imam Ali r.a." Semasa hidupnya, Imam Ali r.a. sendiri sudah berulang kali melarang
tindak dan sikap mereka yang sangat keliru itu, tetapi sikap Imam Ali r.a. yang tidak mau
disanjung dan disembah itu bahkan mereka nilai sebagai sikap yang agung. Imam Ali r.a.
sampai-sampai mengingatkan mereka bahwa apa yang mereka lakukan itu syirik. Peringatan itu
sama sekali tidak menyurutkan pendirian mereka.
Begitu fanatiknya mereka kepada Imam Ali r.a. sehingga mereka bersedia mengorbankan
segala-galanya demi tegaknya pendirian itu. Bahkan ketika mereka dijatuhi hukuman dengan
dibakar hidup-hidup, hukuman itu mereka terima dengan penuh ketaatan. Di tengah kobaran
api unggun yang membakar diri mereka di depan umum, dengan penuh gairah mereka berseru:
"Dia (Imam Ali) adalah tuhan. (Sebab) dialah yang menetapkan adzab neraka ini". Mereka rela
mati dibakar dengan penuh keikhlasan. Mereka memandang layak hukuman demikian
dijatuhkan oleh "tuhan" mereka sendiri.
Sangat berlawanan dengan kaum Rawafidh ini, adalah pendirian golongan Nawasib dan
Khawarij yang sangat benci kepada Imam Ali r.a. Ironisnya, kaum Khawarij ini sebelumnya
justru merupakan pengikut Imam Ali r.a. yang paling setia dan taat. Mulamula mereka sangat
cinta, kagum, taat dan setia. Lalu berbalik 180 derajat menjadi muak, benci, mengutuk,
bahkan mengkafirkan Imam Ali r.a. Itu terjadi ketika tokoh yang mereka kagumi itu bersedia
menerima "perdamaian" dengan Muawiyah. Peristiwa yang dalam sejarah terkenal sebagai
"Tahkim bi Kitabillah".
Kaum Khawarij itu menuntut kepada Imam Ali r.a. agar ia bertaubat kepada Allah atas
perbuatan salah yang dilakukannya (mengadakan perdamaian dengan Muawiyah). Begitu
mendalamnya kebencian mereka sehingga pada kesempatan apa, kapan dan di mana saja
mereka melancarkan kecaman pedas dan memaki habis. Bahkan sejarah mencatat, Imam Ali
r.a. wafat akibat pembunuhan yang dilakukan golongan Khawarij.
Sulit untuk dicari bahan bandingan bagi seorang tokoh yang begitu hebat menimbulkan
pertentangan pendapat seperti yang ada pada diri Imam Ali r.a. Lebih sulit lagi untuk menarik
kesimpulan dari kenyataan ini. Apakah karena ia orang besar, maka timbul pertentangan
pendapat yang begitu hebat? Ataukah karena adanya pertentangan pendapat itu hingga ia
menjadi mitos. Kenyataan adanya pertentangan pendapat itu sendiri sudah mengungkapkan,
bahwa Imam Ali r.a. adalah tokoh potensial sekali, khususnya bagi ummat Islam.
Juga merupakan ironi sejarah, salah seorang yang pertama-tama berperan vital dalam membela
Islam, akhirnya dijatuhkan oleh seorang yang ayahnya justru paling memusuhi Islam ketika
Rasul Allah s.a.w. mulai dengan da'wahnya. Orang yang sejak masa anak-anak sudah
mempertaruhkan segala-galanya demi tegak dan berkembangnya Islam, kepemimpinannya
direbut oleh orang-orang yang pada awal Islam paling gigih menentang.
Lebih menyedihkan lagi karena orang yang melawan Imam Ali r.a. menempuh segala usaha dan
tipu-daya "dengan mengatas-namakan Islam". Lebih parah lagi karena dengan "mengatasnamakan
Islam" selama 136 tahun, kekuasaan Bani Umayyah, nama Imam Ali ditabukan,
direndahkan dan dihina. Pada setiap khutbah, pada setiap doa sehabis shalat tidak pernah
ditinggalkan cacian dan kutukan terhadap Imam Ali agar ia disiksa Allah.
Bahkan nama Imam Ali digunakan oleh dinasti Bani Umayyah untuk menegakkan kekuasaan
otoriter. Tiap orang atau kelompok yang berani menentang, atau tidak sependapat dengan
kebijaksanaan penguasa Bani Umayyah dapat ditindak dengan menggunakan dalih "pengikut
Imam Ali" (Pecinta Ahlulbait).
Siapa yang mempelajari sejarah Imam Ali r.a. dengan jujur, pasti akan menemukan pada
dirinya salah satu segi yang khas ada pada kehidupan tokoh legendaris itu. Nama Imam Ali r.a.
identik dengan sifat-sifat manusiawi yang mendalam. Baik sejarah sendiri, maupun sejarawan
tidak cukup mampu mengungkapkannya. Kaitan yang seperti itu biasanya oleh seorang penulis
terpaksa dikesampingkan saja dengan penuh kesadaran dan kebijaksanaan.
Makin berkurangnya faktor-faktor kejiwaan yang menyulitkan pembahasan dan makin
dibatasinya segi-segi sejarah yang hendak ditulis, bisa jadi lebih mendekati objektivitas. Tetapi
apakah begitu jadinya?
Para sejarawan mengungkapkan bahwa pada ghalibnya makin lama seorang telah meninggal
akan lebih mudah ditemukan objektivitas untuk pengungkapan riwayat orang yang
bersangkutan. Akan tetapi kalau menyangkut Imam Ali r.a. hal itu masih dipertanyakan.
Dalam batas-batas pengungkapan yang demikianlah, buku "Imam Ali bin Abi Thalib r.a." ini
mengetengahkan riwayat kehidupan Imam Ali pada masa asuhan, keluarganya, rumahtangganya,
peranan kepahlawanannya semasa Rasul Allah masih hidup, wafatnya Rasul Allah
s.a.w., masa-masa kekhalifahan Abu Bakar r.a., Umar r.a., Utsman r.a., delapan hari tanpa
khalifah, Perang Unta, Perang Shiffin, Gerakan Khawarij, keutamaan, pintu ilmu dan sebuah
kenangan.