BAB XI : PERANG SHIFFIN
Selesai menumpas pemberontakan Thalhah dalam perang "Jamal" di Bashrah, Imam Ali r.a.
tidak berniat pulang ke Madinah. Ia hendak memanfaatkan ketinggian mental pasukannya yang baru menang perang guna menghadapi pasukan Muawiyah (Syam) yang sudah mulai
memusatkan kekuatan di Shiffin, yang letaknya tak seberapa jauh dari Kufah.
Kufah pada waktu itu berada di bawah seorang penguasa daerah yang dahulu diangkat oleh
Khalifah Utsman bin Affan r.a., yaitu Abu Musa Al-Asy'ariy. Untuk mengerahkan dukungan dari
penduduk Kufah, diperlukan usaha-usaha meyakinkan lebih dahulu. Sebab, bagaimana pun juga
kota itu tak mungkin dapat dijadikan tempat pemusatan pasukan Imam Ali r.a., selama
penduduknya belum benar-benar meyakini benarnya perjuangan menumpas kaum pemberontak
yang digerakkan dari Syam.
Sikap Kufah
Setibanya dekat perbatasan Kufah, Imam Ali r.a. mengutus Ammar bin Yasir dan Muhammad bin
Abu Bakar menemui Abu Musa Al-Asy'ariy, penguasa daerah Kufah. Perutusan itu bertugas
mengajak penduduk berjuang bersama Imam Ali r.a. dan pasukannya dalam menumpas
pemberontakan Muawiyah.
Sore harinya, setelah mengadakan pembicaraan dengan perutusan Imam Ali r.a., Abu Musa
dihujani pertanyaan oleh sejumlah penduduk yang masih bingung. Mereka bertanya-tanya
tentang sikap apa yang harus diambil. Mendukung perjuangan Imam Ali r.a. atau tidak.
Jawaban yang diberikan Abu Musa atas pertanyaan sejumlah penduduk itu secara kebetulan
didengar oleh perutusan Imam Ali r.a. Perutusan Imam Ali r.a. menegor Abu Musa karena
jawabannya yang tidak jelas kepada rakyat. Abu Musa tidak menyerah begitu saja atas tegoran
perutusan Imam Ali r.a., sehingga terjadi perdebatan. Abu Musa dalam membela pendiriannya
mengatakan:
"Hai saudara-saudara, kalian adalah para sahabat Rasul Allah s.a.w. yang sering menemani
beliau dalam berbagai kejadian. Kalian tentu lebih tahu kehendak Allah dan Rasul-Nya
dibanding dengan orang-orang lain yang tidak pernah menemani Rasul Allah s.a.w. Aku wajib
menyampaikan sabda Rasul Allah, bahwa fitnah akan datang, orang yang tidur lebih baik dari
yang melek, orang yang duduk lebih baik dari pada yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik
daripada yang berjalan, dan orang yang berjalan lebih baik daripada yang menunggang kuda!
Oleh karena itu masukkanlah pedang-pedang kalian ke dalam sarung, dan tunggu dulu sampai
fitnah itu meletus dengan jelas!"
Karena kata-kata Abu Musa itu juga didengar oleh sejumlah penduduk Kufah, maka Ammar bin
Yasir segera mengatakan: "Hai saudara-saudara. Abu Musa melarang kalian mencampuri urusan
dua fihak yang sedang bertikai. Demi Allah, apa yang dikatakan olehnya itu sama sekali tidak
bisa dibenarkan. Allah tidak akan ridho terhadap hamba-Nya yang mengikuti perkataan Abu
Musa! Allah telah berfirman, (artinya): "Jika ada dua golongan dari kaum muslimin berperang,
maka damaikanlah dua-duanya. Jika salah satu dari dua golongan itu berbuat dzalim terhadap
yang lain, maka perangilah fihak yang berbuat dzalim itu sampai mereka kembali patuh kepada
perintah Allah. Bila fihak itu sudah mematuhi perintah Allah, maka damaikanlah dua-duanya
dengan adil, dan hendaknya kalian benar-benar berlaku adil. Sesungguhnyalah bahwa Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil." (S. Al-Hujurat:9).
Seterusnya Ammar bin Yasir berkata pula: "Juga Allah telah berfirman, (artinya) "Dan
perangilah mereka agar jangan sampai terjadi suatu bencana, dan supaya agama itu sematamata
hanya untuk Allah. Jika mereka telah berhenti, maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat." (S. Al Anfal:39).
"Jelaslah," kata Ammar bin Yasir, "bahwa Allah tidak akan meridhoi para hamba-Nya tetap
duduk berpangku tangan di rumah, memencilkan diri dan membiarkan kaum muslimin saling
menumpahkan darah. Oleh karena itu hai saudara-saudara, keluarlah mendatangi orang-orang
yang sedang bertikai, dan dengarkan sendiri apa yang menjadi alasan mereka masing-masing.
Lalu pertimbangkanlah baik-baik fihak mana yang harus dibela dan diikuti. Jika mereka sudah
berdamai, kalian dapat pulang ke rumah masing-masing membawa pahala, sebab kalian sudah
memenuhi kewajiban Allah. Tetapi jika ada fihak yang berlaku dzalim terhadap fihak lain,
perangilah fihak yang dzalim itu, sampai mereka patuh kembali kepada Allah. Itulah yang
diperintahkan Allah kepada kalian."
Setelah perdebatan itu selesai Ammar bin Yasir dan Muhammad bin Abu Bakar pergi menghadap
Imam Ali r.a. untuk menyampaikan laporan tentang apa yang telah dikatakan Abu Musa.
Seterimanya laporan itu Imam Ali r.a. menulis surat panjang lebar ditujukan kepada penduduk
Kufah. Surat itu akan dibawa langsung oleh 4 orang utusan yang terdiri dari Al Hasan bin Ali
r.a., Abdullah bin Abbas, Ammar bin Yasir dan Qies bin Sa'ad. Surat itu antara lain berbunyi:
"…kuberitahukan kepada kalian tentang persoalan Utsman bin Affan, agar orang yang
mendengar dapat berfikir seperti orang menyaksikan sendiri terjadinya peristiwa itu. Aku
adalah seorang muhajir yang paling jarang menyalahkan Utsman dan bahkan paling banyak
memberi nasehat kepadanya."
Selanjutnya dalam surat tersebut dijelaskan tentang proses terjadinya pemberontakan
terhadap Khalifah Utsman, proses pembai'atan dirinya sebagai Khalifah, dan kegiatan-kegiatan
yang dilakukan Thalhah dan Zubair yang pergi ke Makkah lalu mengajak Ummul Mukminin Sitti
Aisyah r.a. untuk dijadikan alat pengobar fitnah dan bencana.
Empat orang utusan Imam Ali r.a. itu kemudian menemui Abu Musa Al Asy'ariy. Kepadanya surat
Imam Ali r.a. itu diserahkan dan Abu Musa sendiri diminta membai'at Imam Ali r.a. dan
memberikan dukungan. Setelah membaca surat Imam Ali r.a. dan mengadakan pertukaran
fikiran beberapa saat lamanya, akhirnya Abu Musa menyatakan bai'atnya kepada Imam Ali r.a.
di depan para utusan. Setelah itu ia berseru kepada penduduk Kufah supaya memberikan
dukungan dan berjuang bersama-sama Imam Ali r.a. Untuk lebih memantapkan keyakinan
penduduk Kufah, Al Hasan r.a., Ammar bin Yasir dan Qeis bin Sa'ad berbicara sesudah Abu
Musa.
Sebagai sambutan atas pembicaraan-pembicaraan di atas, maka Syarih bin Hani, atas nama
kaum muslimin kota Kufah menyatakan: "Kami sebenarnya sudah berniat hendak berangkat ke
Madinah untuk dapat mengetahui bagaimana sebenarnya persoalan terbunuhnya Utsman bin
Affan. Tetapi sekarang kita telah menerima berita langsung dari Imam Ali, dan kami percaya
berita itu benar. Oleh karena itu, hai saudara-saudara, janganlah kalian menolak seruan dan
ajakannya. Demi Allah, seandainya ia tidak minta dukungan pun kami akan membela dan taat
kepadanya."
Sikap penduduk Kufah yang pada mulanya ragu-ragu mendukung perjuangan Imam Ali r.a., dan
baru bersedia setelah menerima penjelasan yang meyakinkan, hal itu mudah dimengerti,
mengingat:
1. Mereka berada di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan, Madinah. Dengan begitu ada
kemungkinan berita-berita yang mereka dengar tentang tragedi yang menimpa Khalifah Utsman
r.a. agak bersimpang siur.
2. Mereka tidak menyaksikan sendiri proses pembai'atan kaum muslimin Madinah kepada Imam
Ali r.a. Dengan demikian mereka mudah dikacaukan fikirannya oleh berita-berita yang sengaja
dilancarkan dari Damsyik.
3. Mereka adalah penduduk satu daerah kaya dan subur. Mempunyai syarat-syarat penghidupan
yang jauh lebih baik dibanding dengan kaum Muslimin yang bertempat tinggal di Madinah,
Makkah atau daerah-daerah Hijaz lainnya. Mau tidak mau, kebiasaan hidup senang dan
berkecukupan bisa mengakibatkan orang lamban dalam memenuhi panggilan perjuangan.
Dalam rangka persiapan menghadapi perlawanan pasukan Syam di Shiffin, Imam Ali r.a. berseru
kepada penduduk Kufah agar siap-siaga untuk tiap waktu berangkat ke Shiffin. Dalam salah satu
khutbahnya Imam Ali r.a. antara lain menyerukan: "Saudarasaudara, siap-siaplah untuk
berangkat melanjutkan perjuangan melawan musuh, sebagai ibadah mendekatkan diri kepada
Allah s.w.t. dan sebagai wasilah untuk dapat diterima di sisi-Nya. Siapkanlah kekuatan sebatas
kesanggupan kalian seperti kuda-kuda perang dan lain sebagainya. Kemudian bertawakkallah
kalian kepada Allah dan serahkan segera sesuatu kepada-Nya."
Mesir Sebagai Imbalan
Sehabis pasukan "Jamal" terkalahkan, kini komplotan anti Imam Ali r.a. memusat ke Syam.
Gembong Bani Umayyah, Muawiyah bin Abi Sufyan, lebih meningkatkan kegiatannya dalam
usaha mencari dukungan dan mengerahkan orang-orang dalam rangka rencana perlawanan
bersenjata yang hendak dilancarkan terhadap Imam Ali r.a. di Kufah. Tidak sedikit dana dan
tenaga yang dikeluarkan untuk kepentingan itu.
Semangat mengejar kekayaan dan kedudukan yang sedang menguasai fikiran orang banyak,
oleh Muawiyah dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tanpa menghitung-hitung berapa banyaknya
harta Baitul Mal yang harus dikeluarkan, dan tanpa memandang cakap atau tidaknya seseorang
yang akan diangkat sebagai pejabat bawahan, Muawiyah menggunakan terus kekuasaannya
sebagai penguasa daerah Syam, untuk menghimpun pengikut sebanyak mungkin. Ia sangat
menginginkan rencana perlawanannya terhadap Imam Ali r.a. segera berhasil.
Kepada Amr bin Al-Ash, Muawiyah menulis surat mengajak bekerjasama merebut kekuasaan
dari tangan Imam Ali r.a. Setelah Amr bin Al Ash membaca surat Muawiyah itu, ia tampak
berfikir-fikir menghitung untung rugi. Ia memanggil dua orang anak lelakinya yang bernama
Abdullah dan Muhammad untuk diminta pendapatnya.
Terhadap persoalan yang diajukan ayahnya, Abdullah menyarankan: "Ayah, Rasul Allah s.a.w.
wafat dalam keadaan ridho terhadap ayah. Begitu juga Abu Bakar dan Umar, dua-duanya wafat
dalam keadaan ridho terhadap ayah. Jika hanya karena ingin mendapat sedikit keutungan
duniawi lalu ayah hendak merusak agama ayah sendiri, kelak ayah akan berbaring bersama
Muawiyah dalam neraka!"
Dengan hati kecut, Amr menoleh kepada Muhammad sambil bertanya: "Bagaimana
pendapatmu?"
"Ayah jangan sampai ketinggalan dalam urusan itu. Jadilah kepala lebih dulu sebelum menjadi
ekor!" jawab Muhammad.
Amr tampak belum puas mendengar pendapat dua orang anaknya yang saling bertentangan itu.
Ia masih bingung. Keesokan harinya ia memanggil maulanya yang bernama Wardan, dan
diperintahkan supaya mempersiapkan bekal perjalanan dan memuatkannya ke punggung unta.
Tetapi baru saja selesai disiapkan, Wardan diperintahkan menurunkannya kembali. Ini terjadi
berulang kali. Akhirnya Wardan memberanikan diri untuk berbicara: "Hai Abu Abdullah, anda
tampak bingung sekali! Jika anda membolehkan, aku bisa menebak apa yang sedang anda
fikirkan."
"Baik, cobalah!" sahut Amr.
"Dunia dan akhirat sekarang dua-duanya sedang dihadapkan di depan hati anda," kata Wardan.
"Tetapi rupanya hati anda menyatakan: Ali mendapat akhirat tanpa dunia, sedangkan Muawiyah
mendapat dunia tanpa akhirat. Pendapat yang tepat ialah sebaiknya anda tinggal saja di
rumah. Jika para pembela agama yang menang, anda akan hidup di bawah naungan mereka.
Tetapi jika para pembela dunia yang menang, anda akan tetap dibutuhkan!"
Akan tetapi karena janji-janji yang telah diberikan Muawiyah untuk mengangkatnya kembali
menjadi Gubernur Mesir, apabila kemenangan dapat diraih dalam perjuangan melawan Imam
Ali r.a. sangat menggiurkan hati Amr bin Al Ash, maka akhirnya ia bertekad memenuhi ajakan
Muawiyah dan orang-orang Bani Umayyah lainnya.
Amr bin Al Ash sebenarnya lebih cerdik, lebih tangkas serta lebih cermat berfikir dibanding
dengan Muawiyah. Ia bekas panglima di masa Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. Ia juga bekas
penguasa daerah Mesir dan ia sendirilah yang memimpin perlawanan pasukan muslimin
mengusir kekuasaan Byzantium dari negeri itu. Ia seorang ahli strategi dan taktik menurut
ukuran zamannya. Dengan sendirinya ia seorang politikus dan diplomat. Jadi tidaklah aneh,
kalau bagi Imam Ali r.a., Amr bin Al Ash, sebenarnya lebih berbahaya dibanding dengan
Muawiyah.
Menjadi pertanyaan: apakah ada faktor lain yang mendorong Amr bin Al Ash mau bekerjasama
dengan Muawiyah?
Dilihat dari kecenderungannya sejak dulu, ia memang dekat sekali hubungannya dengan para
penguasa. Bani Umayyah, terutama pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan r.a. Benar,
bahwa ia digeser dari kedudukannya sebagai penguasa Mesir oleh Khalifah Utsman r.a. dan
digantikan dengan Abdullah bin Abi Sarah, tetapi Khalifah Utsman r.a. masih bertindak
bijaksana terhadap Amr. Ia diberi kedudukan sebagai salah seorang penasehat dan memperoleh
fasilitas-fasilitas tertentu.
Ketika itu memang ia agak jengkel terhadap Khalifah, tetapi ia tahu benar, bahwa tetap dekat
dengan para penguasa Bani Umayyah akan lebih menguntungkan daripada menjauhi mereka.
Harapan untuk bisa menjadi orang penting masih bisa digantungkan kepada orang-orang Bani
Umayyah.
Itulah pamrih keduniaan yang menyelinap di dalam benak Amr bin Al Ash, dan yang
mendorongnya giat membantu Muawiyah melawan Imam Ali r.a. Tetapi selain itu, masih ada
hal lagi yang membuat Amr dekat kepada Muawiyah khususnya dan tokoh-tokoh Bani Umayyah
pada umumnya. Yaitu adanya hubungan kekeluargaan yang misterius. Siapa sebenarnya Amr bin
Al Ash itu?
Tentang siapa sebenarnya Amr bin Al Ash, Zamakhsyariy dalam bukunya Rabi'ul Abrar
memberikan keterangan terperinci sebagai berikut:
Ibu Amr yang bernama Nabighah dahulunya adalah seorang hamba sahaya milik seorang dari
qabilah Anazah. Dalam suatu peperangan perempuan itu dirampas, dan tetap budak, Kemudian
dibeli oleh Abdullah bin Jud'an di Makkah. Karena ia seorang perempuan yang diragukan
kejujurannya, akhirnya dimerdekakan oleh tuannya. Setelah merdeka ia mempunyai hubungan
"gelap" dengan Abu Lahab bin Abdul Mutthalib, Umayyah bin Khalaf Al Jamhiy, Hisyam bin
Mughirah Al Makhzumiy, Abu Sufyan bin Harb dan Ash bin Wail. Lama-lama ia hamil dan
melahirkan Amr.
Lelaki-lelaki yang mengadakan hubungan dengan Nabighah itu semuanya mengaku, bahwa Amr
adalah anaknya. Tetapi Nabighah sendiri memutuskan, bahwa Amr adalah anak hasil
hubungannya dengan Ash bin Wail. Nabighah mengambil keputusan seperti itu, karena Ash bin
Wail merupakan lelaki yang paling banyak memberi nafkah kepadanya untuk penghidupan
sehari-hari. Walaupun begitu, semua lelaki itu mengatakan bahwa Amr sangat mirip dengan
Abu Sufyan bin Harb. Abu Sufyan sendiri dalam salah satu bait dari syair-syairnya mengatakan:
"Tak diragukan, ayahmu ialah Abu Sufyan
banyak tanda yang jelas tampak pada dirimu!"
Itulah keterangan yang diberikan oleh Zamakhsyariy. Akan tetapi Abu Umar dalam bukunya Al
Isti'ab mengemukakan versi yang sama dengan sedikit perbedaan variasi. Abu Umar
mengatakan, bahwa pada satu peristiwa ada seorang dijanjikan hadiah sebesar 1.000 dirham
jika ia berani menanyakan kepada Amr bin Al Ash di saat ia sedang berada di atas mimbar,
tentang siapa sebenarnya ibu Amr itu.
Untuk memperoleh hadiah sebesar itu, orang yang bersangkutan memberanikan diri bertanya
kepada Amr. Dari atas mimbar pertanyaan itu dijawab oleh Amr: "Ibuku ialah Salma binti
Harmalah, mempunyai nama julukan Nabighah, berasal dari Bani Anazah dan dari seorang Bani
Jillan. Dalam satu peperangan ia dirampas, dijadikan budak, dibawa pergi oleh orang-orang
Arab, lantas dijual di pasar 'Ukadz (di Makkah). Yang membeli Fakih bin Al Mughirah. Kemudian
oleh Fakih dijual lagi kepada Abdullah bin Jud'an. Selanjutnya ia jatuh ke tangan Ash bin Wail.
Lalu melahirkan aku."
Setelah menjelaskan seperti itu, kepada orang yang bertanya Amr mengatakan: "Jika engkau
dijanjikan sesuatu, ambillah!" Tampaknya Amr sudah tahu tentang maksud dan tujuan orang
yang bertanya.
Abu Ubaidh Muamamar bin Al Mutsanna dalam bukunya Al Ansab mengemukakan, bahwa pada
waktu Amr lahir terjadi pertengkaran antara Ash bin Wail dengan Abu Sufyan bin Harb.
Akhirnya ada orang yang memberi nasehat biarlah ibunya saja yang memutuskan. Akhirnya ibu
Amr mengatakan: "Dia dari Ash bin Wail!"
Setelah ada penegasan dari ibunya Abu Sufyan berkata: "Tidak diragukan lagi, aku inilah yang
menempatkan dia dalam rahim ibunya, tetapi ibunya menolak selain Ash bin Wail."
Pernah ada yang berkata kepada Nabighah, bahwa silsilah Abu Sufyan sebenarnya lebih
terhormat. Tetapi perkataan orang itu ditanggapi Nabighah dengan penjelasan: "Ash bin Wail
banyak memberi nafkah kepadaku, sedang Abi Sufyan, kikir!"
Dari beberapa catatan riwayat di atas dapat diambil kesimpulan pokok sebagai berikut:
Menurut pengakuan Abu Sufyan bin Harb, Amr adalah anak lelakinya sendiri hasil hubungan
"gelap" dengan Nabighah. Menurut Nabighah, Amr adalah anak lelaki Ash bin Wail, dengan
keterangan, ia mengambil keputusan itu karena Ash bin Wail banyak memberi nafkah.
Berdasarkan nada pengakuan Nabighah, seandainya Abu Sufyan, tidak kikir tentu akan disebut
sebagai ayah Amr yang sebenarnya. Memang Amr sendiri tidak pernah menyebut Abu Sufyan
sebagai ayahnya. Yang disebut sebagai ayahnya ialah Ash bin Wail. Ini sesuai dengan keputusan
yang diambil oleh ibunya pada waktu Amr lahir.
Jadi kalau Abu Sufyan sendiri ngotot dalam pengakuan bahwa Amr itu anak lelakinya sendiri,
bukankah berarti ia mengatakan bahwa Amr itu saudara seayah dengan Muawiyah? Kalau
memang benar demikian, apakah masih perlu diherankan bila Amr sangat dekat hubungannya
dengan orang-orang Bani Umayyah, terutama Muawiyah bin Abu Sufyan?
Usaha mendamaikan
Sekarang pasukan kedua belah fihak telah sama memusatkan kubu-kubu pertahanannya masingmasing
di lembah Shiffin. Jalan damai nampaknya sudah buntu. Mengkompro-mikan dua
pendirian yang berlawanan sangat sulit. Dua belah fihak sama berkeyakinan, bahwa satusatunya
jalan penyelesaian yang bisa di tempuh ialah perang. Yang satu berjuang untuk
kekuasaaan dan keduniaan dan yang lainnya berjuang untuk kepentingan agama dan kehidupan
akhirat.
Keadaan yang sangat tragis itu benar-benar membingungkan kaum muslimin dalam memilih
fihak. Mereka sudah pasti menghendaki kebahagiaan dunia dan akhirat. Tentang kebahagiaan akhirat sudah tidak menjadi persoalan lagi, karena Islam telah memberikan penjelasan dengan
gamblang. Yang sulit ialah bagaimana menetapkan definisi (pembatasan-pembatasan) tentang
kebahagiaan dunia. Fihak Syam berusaha meraihnya lewat jalan kekuasaan dan kekayaan.
Sedang fihak Kufah berusaha mencapainya melalui jalan taqwa kepada Allah s.w.t. dan patuh
kepada tauladan RasulNya.
Bagaimana menserasikan dua jalan itu tidak ditemukan pemecahannya oleh kaum muslimin
pada zaman yang sedang kita bicarakan. Tetapi bagaimana pun juga, semua kaum muslimin
adalah saudara. Semua ingin hidup rukun tentram, damai dan sejahtera.
Fikiran seperti itu tetap menjiwai kehidupan kaum muslimin sepanjang zaman, tetapi
realisasinya tidak semudah seperti yang didambakan. Namun usaha ke arah itu tak boleh
berhenti. Pegangan pokok sudah diletakkan oleh Islam, yaitu Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya.
Siapa yang teguh berpegang pada dua-duanya pasti selamat, dan siapa yang meninggalkan duaduanya
pasti sesat.
Itulah rupanya yang menjadi pemikiran Abu Hurairah dan Abu Darda untuk mencoba
mendamaikan dua fihak yang berhadapan siap perang.
Diriwayatkan, bahwa Abu Hurairah dan Abu Darda sengaja datang dari Himsh untuk bertemu
dengan Muawiyah di Shiffin. Kepada Muawiyah dua orang itu mengingatkan: "Hai Muawiyah,
mengapa anda memerangi Ali bin Abi Thalib, padahal engkau tahu ia lebih berhak memegang
kekhalifahan daripada anda, baik disebabkan karena keutamaan pribadinya, maupun oleh
kediniannya memeluk Islam. Ia seorang dari kaum Muhajirin yang pertama, dan terdahulu pula
dalam hal iman dan ihsan. Sedang anda seorang dari kaum thulaqa, dan ayah anda pun dulu
seorang pemimpin kaum musyrikin dalam perang Ahzab melawan kaum muslimin. Demi Allah,
aku ingin berkata terus terang kepada anda, bahwa kami ini lebih menyukai Iraq daripada
Syam. Tetapi kelestarian hidup, lebih kami sukai daripada kehancuran, dan kebaikan lebih kami
sukai daripada kerusakan."
Terhadap pernyataan yang serba blak-blakan dari dua orang sahabat Rasul Allah s.a.w. itu,
Muawiyah memberikan tanggapan: "Aku tidak menganggap diriku lebih berhak daripada Ali
untuk memegang kekhalifahan. Aku memerangi dia hanya supaya ia mau meyerahkan orangorang
yang membunuh Utsman bin Affan kepadaku!"
"Seandainya Ali bin Abi Thalib mau menyerahkan mereka kepada anda," tanya Abu Hurairah dan
Abu Darda, "lantas apakah yang kira-kira akan anda lakukan?"
"Aku akan bersikap seperti kaum muslimin yang lain," jawab Muawiyah." Cobalah kalian datang
kepada Ali bin Abi Thalib. Jika ia menyerahkan para pembunuh Utsman itu kepada kalian,
masalah kekhalifahan akan kuserahkan kepada kaum muslimin!"
Abu Hurairah dan Abu Darda memang bukan diplomat dan bukan pula orang-orang politik
seperti Muawiyah atau Amr bin Al Ash. Mereka berdua itu orang-orang bertaqwa, lugu dan
polos. Tampaknya mereka tidak dapat meraba apa-apa yang ada dibalik ucapan Muawiyah.
Mungkin dua orang itu menganggap Muawiyah sama dengan diri mereka, jujur, terus terang dan
tidak bermain lidah.
Pergilah dua orang itu meninggalkan kubu-kubu pertahanan Muawiyah menuju ke kubu-kubu
pertahanan Imam Ali r.a. Setibanya di sana, mereka diterima oleh Al Asytar, yang ketika itu
bertindak selaku Panglima pasukan Kufah.
Setelah Abu Hurairah dan Abu Darda menjelaskan maksud kedatangan mereka dan
menyampaikan apa yang menjadi pendirian Muawiyah dan pendirian mereka sendiri, Al Asytar
memberi jawaban: "Hai Abu Hurairah dan Abu Darda, kalian datang kepada orang-orang Syam bukan karena kalian menyukai Muawiyah. Kalian mengatakan Muawiyah hanya menuntut
diserahkannya pembunuh-pembunuh Utsman. Dari siapa kalian bisa mengetahui para pembunuh
itu? Apakah dari mereka yang melakukan pembunuhan itu sendiri, ataukah dari mereka yang
memberi bantuan dalam pembunuhan? Atau kalian mendapat keterangan dari mereka yang
memisahkan diri dari Utsman karena mereka tahu dosanya Utsman? Atau kalian mencari
penjelasan dari Muawiyah yang menuduh bahwa pembunuh Utsman ialah Ali?"
"Wahai kawan-kawan," kata Al Asytar lebih lanjut, "bertaqwalah kalian kepada Allah. Kami
inilah yang menyaksikan sendiri, sedang kalian tidak mengetahui terjadinya peristiwa itu.
Kamilah yang lebih dapat menetapkan hukumnya dibanding dengan orang-orang lain yang tidak
menyaksikan sendiri terjadinya peristiwa itu!"
Setelah menerima penjelasan panjang lebar dari Al Asytar, keesokan harinya mereka bertemu
dengan Imam Ali r.a. Kepada Imam Ali r.a., Abu Hurairah dan Abu Darda menerangkan: "Anda
memang mempunyai keutamaan yang tidak dapat disangkal oleh siapa pun. Anda telah
menempuh cara gagah berani dalam menghadapi orang-orang yang buruk perangai. Muawiyah
minta supaya anda mau menyerahkan para pembunuh Utsman kepadanya. Jika anda sudah
berbuat itu dan Muawiyah masih tetap memerangi anda, kami akan bersama-sama anda
melawan dia."
"Apakah engkau tahu siapa-siapa yang membunuh Utsman?" tanya Imam Ali r.a. sambil
tersenyum.
"Ya," jawab kedua orang itu dengan tak ragu-ragu.
"Silakan ambil mereka itu!" sahut Imam Ali r.a. melanjutkan.
Mereka keluar. Lalu menghampiri Muhammad bin Abu Bakar, Ammar bin Yasir dan Al Asytar
yang sedang duduk bersama. Kepada mereka, dua orang itu berkata dengan lantang: "Kalian
termasuk orang-orang yang membunuh Utsman. Aku mendapat perintah untuk mengambil
kalian!"
Pada saat itu lebih 1.000 orang datang berduyun-duyun mengerumuni Abu Hurairah dan Abu
Darda sambil berteriak-teriak: "Kami semua inilah yang membunuh Utsman!"
Karena semuanya mengaku membunuh Utsman, dua orang itu kebingungan. Abu Hurairah dan
Abu Darda mencoba mencari keterangan siapa-siapa sebenarnya yang telah membunuh Utsman.
Tetapi tiap-tiap bertanya selalu dijawab: "Kami inilah yang membunuh Utsman!"
Dua orang itu tak dapat berbuat apa-apa. Cepat-cepat minta diri, lalu masing-masing pulang ke
rumahnya di Himsh.
Meletus
Sama seperti di medan-medan tempur lainnya, tiap tempat strategis pasti menjadi incaran
pertama dari suatu gerakan militer. Dalam perang Shiffin, sungai Al Furat mempunyai nilai
strategi yang sangat vital. Lebih-lebih dalam peperangan di zaman itu, di mana peperangan
benar-benar merupakan adu tenaga dan kelincahan bermain senjata. Bukan hanya anggotaanggota
pasukan saja yang membutuhkan air, melainkan ternak-ternak kendaraan seperti untaunta
dan kuda-kuda perang bahkan lebih banyak menghabiskan air daripada manusia. Datam
perang Shiffin fihak yang menguasai sungai Al Furat pasti akan dapat bertahan lebih lama
dibanding dengan fihak yang tidak memperoleh air cukup.
Oleh karena itu pasukan Muawiyah yang datang lebih dulu di Shiffin, segera berusaha
menduduki dan memperkuat posisi di daerah-daerah sekitar sungai Al Furat. Dengan tujuan
untuk menguasai perbekalan air.
Dengan berhasil menguasai sungai itu, pasukan Syam yang berjumlah puluhan ribu orang tidak
hanya terjamin kebutuhan airnya, tetapi sekaligus juga mereka akan dapat membuat pasukan
lawan mati kehausan.
Setelah pasukan Syam menguasai sungai Al Furat, Muawiyah memerintahkan kepada semua
anggota pasukan supaya jangan membiarkan ada seorang pun dari pasukan Imam Ali r.a.
mengambil air dari sungai itu.
Dugaan memang tidak meleset. Pasukan Imam Ali r.a. yang belum lama tiba dari Kufah sudah
mulai kekurangan air minum. Mereka berusaha mendapatkan perbekalan air dari sungai.
Alangkah terkejutnya mereka, karena pasukan Syam dengan ketat sekali menjaganya agar
pasukan Imam Ali r.a. tidak menginjakkan kaki di sepanjang tepi sungai itu.
Ketika melihat ada beberapa orang pasukan Kufah mendekati sungai untuk mengambil air,
pasukan Syam yang mengawal sungai itu berteriak-teriak melarang: "Tidak! Demi Allah, kalian
takkan kami biarkan mengambil air barang setetes pun. Biarlah kalian mampus kehausan!"
Sambil berkata seperti itu ia menyiapkan busur dan anak panahnya. Anak buah Imam Ali r.a.
segera mundur, kembali ke induk pasukan, dan melapor kepada Imam Ali r.a.
Imam Ali r.a. menyadari benar, bahwa air sungai Al Furat sangat dibutuhkan oleh pasukannya
dan hewan-hewan tunggangan. Jika pasukannya sampai tidak mendapat air berarti sudah kalah
sebelum bertempur dan semua hewan tunggangan akan mati kehausan.
Cepat-cepat Imam Ali r.a. mempersiapkan pasukan untuk melancarkan serangan kilat dan
terbatas guna merebut lokasi yang sangat strategis itu. Tak berapa lama kemudian terjadi
pertempuran sengit antara kedua pasukan memperebutkan sungai Al-Furat. Dengan serangan
kilat pasukan Syam terusir dari posisinya yang strategis dan pasukan Kufah bersama hewan
tunggangannya dapat minum sepuas-puasnya.
Pasukan Syam kini menghadapi keadaan sebaliknya. Sekarang mereka menderita kepanasan dan
kehausan setengah mati. Beberapa sahabat Imam Ali r.a. mengusulkan supaya pasukan Syam
jangan diberi kesempatan sama sekali mengambil air sungai: "Biar mereka mampus digorok
kehausan! Kita tidak perlu susah-susah memerangi mereka."
Menanggapi usul tersebut Imam Ali r.a. berkata: "Demi Allah, tidak! Aku tak akan membalas
dengan perbuatan seperti yang mereka lakukan terhadap kita. Berilah mereka kesempatan
mengambil air minum. Keberanian kita mengadu pedang tidak membutuhkan perbuatan
semacam itu!"
Orang-orang yang mendengar jawaban Imam Ali r.a. setegas itu merasa kagum terhadap sifat
ksatriaannya.
Sewaktu pasukan Syam datang mengambil air dari sungai, dengan penuh disiplin tak ada
seorang pun dari pasukan Imam Ali r.a. yang menghalang-halangi. Pasukan Imam Ali r.a. yang
bertugas mengawal tepi sungai, sama sekali tidak memperlihatkan kesombongan karena
menang. Banyak di antara anggota-anggota pasukan Muawiyah karena rasa kagumnya ingin
menyeberang ke fihak Imam Ali r.a. Hanya saja mereka tidak mempunyai keberanian untuk
melakukannya. Khawatir, kalau-kalau para anggota keluarga yang ditinggalkan di Syam akan
mengalami tekanan dan berbagai kesulitan.
Pada tahap pertama pertempuran antara kedua pasukan itu hanya berlangsung secara kecilkecilan
saja, yaitu satu lawan satu, kelompok lawan kelompok. Pertempuran belum melibatkan
seluruh pasukan.
Beberapa ahli sejarah menaksir pasukan yang berada dibawah pimpinan Imam Ali r.a.
berjumlah kurang lebih 100.000 orang. Pasukan ini dikenal sebagai "pasukan Iraq". Sedang
pasukan Muawiyah yang disebut sebagai "pasukan Syam" berjumlah kurang lebih 75.000 orang.
Jadi di medan perang Shiffin pada akhir tahun 36 Hijriyah itu telah terkumpul tidak kurang
175.000 orang prajurit Islam.
Yang menarik bukan hanya karena besarnya jumlah pasukan tersebut. Sebab, sebelum itu
pasukan Islam yang besar jumlahnya telah pernah bergerak dalam pertempuran menghadapi
pasukan musuh, yang bukan Islam. Sedang kali ini 175.000 orang pasukan muslimin itu saling
bertempur di antara mereka sendiri.
Sampai pada akhir bulan Haji tahun itu, di medan perang Shiffin hanya terjadi pertempuran
kecil-kecil. Sedang pada bulan Muharram --bulan suci-- sebagai sesama pasukan muslimin,
kedua pasukan itu dengan kesadaran masing-masing hanya saling berhadapan tanpa melakukan
pertempuran. Setelah bulan Safar tiba berkobar lagi pertempuran kecil-kecilan.
Melihat hal ini Imam Ali r.a. tidak bisa bersabar lagi. Keadaan ini hanya mengulur-ulur waktu
dan bisa berlarut-larut. Yang untung hanya Muawiyah, yang mempergunakan kesempatan itu
guna menyebar fitnah untuk mematahkan semangat pasukan Imam Ali r.a.
Imam Ali r.a. segera mengeluarkan perintah serangan umum. Muawiyah yang juga telah
menyiapkan pasukan segera bangkit menghadapi serangan besar itu. Pertengahan bulan Syafar
tahun 37 Hijriyah ditandai oleh suatu pertempuran dahsyat antara dua pasukan yang
berlangsung penuh sepanjang hari. Pada hari keduanya terjadi pertempuran yang paling hebat,
yang sebelumnya tak pernah dikenal dalam sejarah Islam. Menurut kebiasaan bila senja tiba,
pertempuran dihentikan, tetapi kali ini pertempuran diteruskan di kegelapan malam. Darah
membasahi bumi Shiffin. Prajurit dan komandan berguguran. Bapak melawan anak, saudara
bertempur melawan saudara, muslim membunuh muslim. Malam dilewatkan dengan
pertumpahan darah yang tiada hentinya hingga fajar menyingsing.
Setelah beberapa hari bertempur dan Muawiyah melihat pasukannya mulai kewalahan, ia
berpaling kepada Amr bin Al Ash selaku penasehatnya agar dapat memberikan saran-saran. Amr
bin Al Ash muncul dengan tipu muslihatnya. Ia perintahkan kepada semua anggota pasukan
supaya menancapkan lembaran-lembaran Al Qur'an di ujung senjata masing-masing dan
mengangkatnya setinggi mungkin agar mudah diketahui oleh pasukan Kufah. Sejalan dengan itu
terdengarlah mereka berseru:
"Inilah Kitab Allah. Inilah Al Qur'an yang dari awal hingga akhir tetap berada di antara kita.
Allah, Allah, jaga dan lindungilah bangsa Arab. Allah, Allah, jaga dan lindungilah agama Islam.
Allah, Allah, lindungilah negeri kami. Siapakah yang akan menjaga Syam dari serangan musuh
(Romawi) apabila tentara Syam binasa? Dan siapa pulakah yang akan melindungi Iraq apabila
tentaranya musnah?"
Tujuan dari gerak-tipu itu ialah agar pasukan Kufah mengira, bahwa pasukan Syam sekarang
telah bersedia menerima penyelesaian secara damai berdasarkan hukum Allah.
Imam Ali r.a. Ditekan
Melihat pasukan Syam mengacung-acungkan lembaran Al Qur'an, fikiran pasukan Imam Ali r.a.
terpecah dalam berbagai pendapat. Yang tinggi kewaspadaan politiknya memperkirakan bahwa
itu hanya tipu-muslihat belaka. Guna mengelabui pasukan Imam Ali r.a. sehingga situasi buruk
yang mereka alami dapat diubah menjadi baik. Sedang yang dangkal pengertian politiknya
menganggap, bahwa perbuatan pasukan Syam itu bukan tipu muslihat, melainkan benar-benar
bermaksud jujur, mengajak kembali kepada ajaran dan perintah agama. Karena itu harus
disambut dengan jujur. Ini jauh lebih baik daripada perang berkobar terus sesama kaum
muslimin.
Selain itu ada pula kelompok yang hendak menunggangi situasi itu agar peperangan cepat
dihentikan. Mereka sudah jemu dengan peperangan dan sangat merindukan perdamaian.
Tidak selang berapa lama datanglah berduyun-duyun sejumlah orang kepada Imam Ali r.a.
Mereka menuntut supaya peperangan segera dihentikan. Tuntutan mereka itu ditolak oleh
Imam Ali r.a., karena ia yakin, bahwa apa yang diperbuat oleh orang-orang Syam itu hanya
tipu-muslihat. Karena itu kepada mereka yang menuntut dihentikannya peperangan, Imam Ali
r.a. menegaskan:
"Itu hanya tipu-daya dan pengelabuan! Aku ini lebih mengenal mereka daripada kalian! Mereka
itu bukan pembela-pembela Al-Qur'an dan agama Islam. Aku sudah lama mengenal mereka dan
mengetahui soal-soal mereka, mulai dari yang kecil-kecil sampai yang besar-besar. Aku tahu
mereka itu meremehkan agama dan sedang meluncur ke arah kepentingan duniawi. Oleh sebab
itu janganlah kalian terpengaruh oleh perbuatan mereka yang mengibarkan lembaran-lembaran
Al-Qur'an. Bulatkanlah tekad kalian untuk berperang terus sampai tuntas. Kalian sudah berhasil
mematahkan kekuatan mereka. Mereka sekarang sudah loyo dan tidak lama lagi akan hancur!"
Mereka tetap tidak mau mengerti, bahwa itu hanya tipu-muslihat. Mereka mendesak terus agar
perang dihentikan dan mengancam tidak mau mendukung Imam Ali r.a. lagi bila perang
diteruskan. Mereka bukan hanya sekedar menggertak dan mengintimidasi, bahkan mereka
sampai berani "memerintahkan" Imam Ali r.a. supaya mengeluarkan instruksi penghentian
perang dan menarik semua sahabatnya yang masih berkecimpung di medan tempur.
Benar-benar terlalu! Imam Ali r.a. sampai "diperintah" supaya cepat-cepat menarik .Al-Asytar
yang sedang memimpin pertempuran! Lebih dari itu. Mereka juga mengancam akan menangkap
dan menyerahkan Imam Ali r.a. kepada Muawiyah, jika ia tidak mau memenuhi tuntutan
mereka! Tidak sedikit jumlah pasukan Imam Ali r.a. yang berbuat sejauh itu. Mereka
bersumpah tidak akan meninggalkan Imam Ali r.a. dan akan terus mengepungnya, sebelum
Imam Ali r.a. melaksanakan "perintah" mereka.
Kedudukan Imam Ali r.a. benar-benar sulit, bahkan rawan dan gawat. Melanjutkan peperangan
berarti membuka lubang perpecahan. Menghentikan peperangan juga berarti membangkitkan
perlawanan kelompok yang lain, yang tidak percaya kepada tipumuslihat musuh. Ini juga
berarti perpecahan. Imam Ali r.a. benar-benar "tergiring" ke posisi sulit akibat muslihat politik
"tahkim" yang dilancarkan Muawiyah dan Amr.
Setelah kaum pembelot tak dapat diyakinkan lagi, Imam Ali r.a. terpaksa memanggil Al Asytar
dan memerintahkan supaya menghentikan peperangan. Pada mulanya Al Asytar menolak,
karena ia tidak mengerti sebabnya Imam Ali r.a. sampai bertindak sejauh itu. Kepada suruhan
Imam Ali r.a., Al Asytar berkata: "Bagaimana aku harus kembali dan bagaimana peperangan
harus kuhentikan, sedangkan tanda-tanda kemenangan sudah tampak jelas! Katakan saja
kepada Imam Ali, supaya ia memberi waktu kepadaku barang satu atau dua jam saja!"
Al Asytar membantah, sebab suruhan Imam Ali r.a. tidak menerangkan sama sekali sebabsebabnya
Imam Ali r.a. mengeluarkan perintah seperti itu dan tidak dijelaskan juga bagaimana
keadaan yang sedang dihadapi Imam Ali r.a. di markas-besarnya.
Waktu suruhan Imam Ali r.a. kembali dan melaporkan jawaban Al Asytar, orang-orang yang
sedang mengepungnya marah, gaduh, ribut dan berniat buruk terhadap Imam Ali r.a. Mereka
berprasangka jelek. Kemudian mereka bertanya kepada Imam Ali r.a.: "Apakah engkau
memberi perintah rahasia kepada Al Asytar supaya tetap meneruskan peperangan dan melarang
dia berhenti? Jika engkau tidak segera dapat mengembalikan Al Asytar, engkau akan kami
bunuh seperti dulu kami membunuh Utsman!"
Suruhan itu diperintahkan kembali untuk menemui Al Asytar. Agar ia cepat kembali, suruhan itu
melebih-lebihkan keterangan kepada Al Asytar: "Apakah engkau mau menang dalam
kedudukanmu ini, sedang Ali sekarang lagi dikepung 50.000 pedang?"
"Apa sebab sampai terjadi seperti itu?" tanya Al Asytar yang ingin mendapat keterangan lebih
jauh.
"Karena mereka melihat lembaran-lembaran Al Qur'an dikibarkan oleh pasukan Syam," jawab
suruhan.
Sambil bersiap-siap untuk kembali menghadap Imam Ali r.a., Al Asytar berkata: "Demi Allah,
aku sudah menduga akan terjadi perpecahan dan malapetaka pada waktu aku melihat
lembaran-lembaran Al Qur'an dikibarkan orang!"
Al Asytar segera pulang. Setiba di markas-besar ia melihat Imam Ali r.a. dalam keadaan
bahaya. Anggota-anggota pasukan yang mengepung sedang mempertimbangkan apakah Imam
Ali r.a. dibunuh saja atau diserahkan kepada Muawiyah. Saat itu tidak ada orang lain yang
memberi perlindungan kepada Imam Ali r.a. kecuali dua orang puteranya sendiri Al Hasan r.a.
dan Al Husein r.a. serta Abdullah Ibnu Abbas dan beberapa orang lain, yang jumlah kesemuanya
tak lebih dari 10 orang.
Ketika melihat situasi yang sangat kritis itu, A1 Asytar segera menerobos kepungan sambil
memaki-maki mereka yang sedang mengancam-ancam: "Celaka kalian! Apakah setelah
mencapai kemenangan dan keberhasilan lantas kalian mau menghentikan dukungan dan
menciptakan perpecahan. Sungguh impian yang sangat kerdil. Kalian itu memang perempuan!
Sungguh busuk kalian itu!"
Datanglah Al Asy'ats bin Qeis kepada Imam Ali r.a. lantas berkata : "Ya Amiral Mukminin, aku
melihat orang-orang sudah menerima dan menyambut baik ajakan mereka (pasukan Syam)
untuk mengadakan penyelesaian damai berdasarkan hukum Al Qur'an. Kalau engkau setuju, aku
akan datang kepada Muawiyah untuk menanyakan apa sesungguhnya yang dimaksud dan apa
yang diminta olehnya."
"Pergilah, kalau engkau mau…!" jawab Imam Ali r.a.
Dalam pertemuannya dengan Muawiyah, Al Asy'ats bertanya: "Untuk apa engkau mengangkat
lembaran-lembaran Al Qur' an pada ujung-ujung senjata pasukanmu?"
Muawiyah menerangkan: "Supaya kami dan kalian semuanya kembali kepada apa yang
diperintahkan Allah dalam Al-Qur' an. Oleh karena itu utuslah seorang yang kalian percayai, dan
dari fihak kami pun akan mengutus seorang juga. Kepada kedua orang itu kita tugaskan supaya
bekerja atas dasar Kitab Allah dan jangan sampai melanggarnya. Kemudian, apa yang
disepakati oleh dua orang itu kita taati bersama…"
Al Asy'ats menanggapi keterangan Muawiyah itu dengan ucapan: "Itu adalah kebenaran!"
Setelah itu Al Asy'ats dan beberapa orang ulama Al-Qur'an berkata kepada Imam Ali r.a.: "Kita
telah menerima baik tahkim berdasar Kitab Allah…, dan kami sepakat untuk memilih Abu Musa
Al Asy'ariy sebagai utusan!"
Imam Ali r.a. menolak: "Aku tidak setuju Abu Musa ditetapkan sebagai utusan. Aku tidak mau
mengangkat dia!"
Al Asy'ats menyanggah: "Kami tidak bisa menerima orang selain dia. Dialah yang telah
mengingatkan kita mengenai kejadian yang sedang kita hadapi sekarang ini, yakni peperangan…"
Imam Ali r.a. masih tetap menolak: "Ya, tetapi aku tidak dapat menyetujui dia. Ia dulu
meninggalkan aku dan berusaha mencegah orang supaya tidak membantuku. Kemudian ia lari,
tetapi sebulan setelah itu ia kembali dan kujamin keselamatannya. Inilah Ibnu Abbas, orang
yang akan kuangkat sebagai utusan!"
Al Asy'ats menolak sambil berdalih: "Demi Allah, kami tidak peduli. Kami menginginkan seorang
yang netral, tidak condong kepadamu dan tidak condong kepada Muawiyah!"
Imam Ali r.a. mengajukan usul lain: "Kalau begitu, aku akan mengangkat Al Asytar!"
Dengan sinis Al Asy'ats bertanya: "Apakah bumi ini akan terbakar jika bukan Al Asytar yang kau
angkat? Apakah kami hendak kau tempatkan di bawah kekuasaan Al Asytar?"
Imam Ali r.a. ingin mendapat penjelasan, lalu bertanya: "Kekuasaan yang bagaimana?"
Al Asy'ats menyahut: "Kekuasaan dia ialah hendak mendorong kaum muslimin terus menerus
mengadu pedang sampai terlaksana apa yang diinginkan olehmu dan olehnya!"
Imam Ali r.a. masih berusaha menyakinkan: "Muawiyah tidak menyerahkan tugas itu kepada
siapa pun selain orang yang dipercaya benar-benar olehnya, yaitu Amr bin Al Ash. Bagi orang
Qureisy itu (Muawiyah) memang tidak ada yang paling baik baginya kecuali orang seperti Amr…!
Kalian akan diwakili oleh Abdullah bin Abbas. Biarlah dia yang menghadapi Amr. Abdullah
mampu mengatasi kesulitan yang akan dihadapkan oleh Amr kepadanya, sedangkan Amr tidak
akan sanggup mengatasi kesulitan yang akan dihadapkan oleh Abdullah kepadanya. Abdullah
mampu menangkis hujjah-hujjah yang diajukan oleh Amr, sedangkan Amr tidak akan mampu
menangkis hujjah-hujjah yang diajukan oleh Abdullah!"
Al Asy'ats tetap berkeras kepala. Ia berganti dalih: "Demi Allah, tidak…! Sampai kiyamat pun
masalah tahkim itu tidak boleh dirundingkan oleh dua orang sama-sama berasal dari Bani
Mudhar. Angkatlah orang yang dari Yaman (Abu Musa), sebab mereka sudah mengangkat orang
dari Mesir (Amr)…!"
Imam Ali mengingatkan: "Aku khawatir kalu-kalau kalian akan terkelabui. Sebab kalau Amr
sudah menuruti hawa nafsunya dalam urusan tahkim itu, ia sama sekali tidak takut kepada
Allah!"
Dengan bersitegang leher Al Asy'ats berkata: "Demi Allah, kalau salah seorang dari dua
perunding itu berasal dari Yaman, lalu mengambil beberapa keputusan yang tidak
menyenangkan kita, itu lebih baik bagi kita daripada kalau dua orang perunding itu sama-sama
berasal dari Bani Mudhar, walau mereka ini mengambil beberapa keputusan yang
menyenangkan kita!"
Imam Ali r.a. minta ketegasan terakhir: "Jadi…, kalian tidak menghendaki selain Abu Musa?"
"Ya!" jawab Al Asy'ats.
"Kalau begitu, kerjakanlah apa yang kalian inginkan!" kata Imam Ali r.a. dengan hati masgul.
Beberapa orang pengikut Imam Ali r.a. kemudian berangkat untuk menemui Muawiyah guna
mengadakan persetujuan tertulis mengenai prinsip disetujuinya tahkim oleh kedua belah fihak.
Wakil fihak Kufah (Imam Ali r.a.) menuliskan dalam teks perjanjian sebuah kalimat: "Inilah yang
telah disetujui oleh Amirul Mukminin…"
Baru sampai di situ Muawiyah cepat-cepat memotong: "Betapa jeleknya aku ini, kalau aku
mengakui dia sebagai Amirul Mukminin tetapi aku memerangi dia!"
Amr bin Al Ash menyambung: "Tuliskan saja namanya dan nama ayahnya. Dia itu Amir
(penguasa) kalian dan bukan Amir kami!"
Wakil-wakil fihak Kufah kembali menghadap Imam Ali r.a. untuk minta pendapat mengenai
penghapusan sebutan "Amirul Mukminin". Ternyata Imam Ali r.a. memerintahkan supaya
sebutan itu dihapus saja dari teks perjanjian. Tetapi Al Ahnaf cepat-cepat mengingatkan:
"Sebutan Amirul Mukminin jangan sampai dihapus. Kalau sampai dihapus, aku khawatir
pemerintahan (imarah) tak akan kembali lagi kepadamu untuk selama-lamanya. Jangan...,
jangan dihapus, walau peperangan akan berkecamuk terus!"
Setelah mendengar naselat Al Ahnaf itu untuk beberapa saat lamanya Imam Ali r.a. berfikir
hendak mempertahankan sebutan "Amirul Mukminin" dalam teks perjanjian, tetapi keburu Al
Asy'ats datang lagi dan mendesak supaya sebutan itu dihapuskan saja.
Dengan perasaan amat kecewa Imam Ali r.a. berucap: "Laa llaaha Illahllaah . Allaahu Akbar!
Sunnah yang dulu sekarang disusul lagi dengan sunnah baru. Demi Allah, bukankah persoalan
seperti itu dahulu pernah juga kualami? Yaitu waktu diadakan perjanjian Hudaibiyyah?!
"Waktu itu atas perintah Rasul Allah s.a.w. aku menulis dalam teks perjanjian "Inilah perjanjian
yang dibuat oleh Muhammad Rasul Allah dan Suhail bin Amr." Ketika itu Suhail berkata: "Aku
tidak mau menerima teks yang berisi tulisan 'Rasul Allah'. Sebab kalau aku percaya bahwa
engkau itu Rasul Allah, tentu aku tidak akan memerangimu! Adalah perbuatan dzalim kalau aku
melarangmu bertawaf di Baitullah, padahal engkau itu adalah Rasul Allah! Tidak, tuliskan saja
'Muhammad bin Abdullah', baru aku mau menerimanya…!"
"Waktu itu Rasul Allah memberi perintah kepadaku: 'Hai Ali, aku ini adalah Rasul Allah dan aku
pun Muhammad bin Abdullah. Teks perjanjian dengan mereka yang hanya menyebutkan
Muhammad bin Abdullah tidak akan menghapuskan kerasulanku. Oleh karena itu tulis saja
Muhammad bin Abdullah !' Waktu itu beberapa saat lamanya aku dibuat bingung oleh kaum
musyrikin. Tetapi sekarang, di saat aku sendiri membuat perjanjian dengan anak-anak mereka,
pun mengalami hal-hal yang sama seperti yang dahulu dialami oleh Rasul Allah s.a.w.…"
Teks perjanjian itu akhirnya ditulis juga tanpa menyebut kedudukan Imam Ali r.a. sebagai
Amirul Mukminin. Al Asytar kemudian dipanggil untuk menjadi saksi. Sebagai reaksi Al Asytar
berkata pada Imam Ali: "Anda akan kehilangan segala-galanya bila perjanjian ditulis seperti itu.
Bukankah anda ini berdiri di atas kebenaran Allah? Bukankah anda ini benar-benar yakin bahwa
musuhmu itu orang yang memang sesat? Kemudian ia berkata kepada mereka: "Apakah kalian
tidak melihat kemenangan sudah diambang pintu seandainya kalian tidak berteriak minta belas
kasihan kepada musuh?!"
Al Asy'ats menyahut: "Demi Allah, aku tidak melihat kemenangan dan tidak pula meminta belas
kasihan kepada musuh. Ayohlah berjanji, bahwa engkau akan taat! Akuilah apa yang tertulis
dalam teks perjanjian ini!"
Al Asytar menjawab: "Demi Allah, dengan pedangku ini Allah telah menumpahkan darah orangorang
yang menurut penilaianku lebih baik daripada engkau, dan aku tidak menyesali darah
mereka! Aku hanya mau mengikuti apa yang dilakukan oleh Amirul Mukminin. Apa yang
diperintahkan, akan kulaksanakan, dan apa yang dilarang akan kuhindari, sebab perintahnya
selalu benar dan tepat!"
Pada saat itu datanglah Sulaiman bin Shirid menghadap Amirul Mukminin, sambil membawa
seorang yang luka parah akibat pukulan pedang. Waktu Imam Ali r.a. menoleh kepada orang yang luka parah itu, Sulaiman berkata mengancam: "Ada orang yang sudah menjalani nasibnya
dan ada pula yang sedang menunggu nasib! Dan... engkau termasuk orang-orang yang sedang
menunggu nasib seperti orang ini!"
Ada lagi yang datang menghadap, lalu berkata: "Ya Amirul Mukminin, seandainya engkau masih
mempunyai orang-orang yang mendukungmu, tentu engkau tidak akan menulis teks perjanjian
seperti itu. Demi Allah, aku sudah berkeliling ke sana dan ke mari untuk mengerahkan orangorang
supaya mau melanjutkan peperangan. Tetapi ternyata hanya tinggal beberapa gelintir
saja yang masih sanggup melanjutkan peperangan!"
Ada orang lain lagi datang menghadap, lalu berkata: "Ya Amirul Mukminin, apakah tidak ada
jalan untuk membatalkan perjanjian itu? Demi Allah, aku sangat khawatir kalau-kalau
perjanjian itu akan membuat kita hina dan nista!"
Imam Ali r.a. menjawab: "Apakah kita akan membatalkan perjanjian yang sudah ditulis itu? Itu
tidak boleh terjadi!"
Imam Ali r.a. terpaksa menyetujui adanya perjanjian dengan Muawiyah mengenai prinsip
penyelesaian damai berdasarkan hukum Al Qur'an. Banyak di antara pengikutnya yang merasa
kecewa dan menyesal, tetapi sikap tersebut sudah terlambat.
Karena sangat kecewa dan menyesal, mereka lalu berteriak kepada semua orang di mana saja:
"Tiada hukum selain hukum Allah! Hukum di tangan Allah dan bukan di tanganmu, hai Ali! Kami
tidak rela ada orang-orang yang akan menetapkan hukum terhadap agama Allah! Hukum Allah
bagi Muawiyah dan pengikut-pengikutnya sudah jelas, yaitu mereka harus kita perangi atau
harus kita tundukkan kepada pemerintahan kita! Kita telah terperosok dan tergelincir pada saat
kita menyetujui tahkim! Sekarang kita telah bertaubat dan tidak mau lagi mengakui perjanjian
itu! Dan engkau, hai Ali, tinggalkanlah perjanjian itu dan bertaubatlah kepada Allah seperti
yang sudah kita lakukan. Kalau tidak, kita tidak turut bertanggung jawab!"
Imam Ali r.a. bukanlah orang yang biasa menciderai perjanjian, walau perjanjian itu akan
mengakibatkan dirinya harus menanggung resiko kedzaliman orang lain. Kepada orang-orang
yang menuntut supaya ia menciderai perjanjian dan segera bertaubat, ia menjawab:
"Celakalah kalian! Apakah setelah kita sendiri mau menyetujui perjanjian itu lantas sekarang
harus berbuat cidera? Bukankah Allah telah memerintahkan supaya kita menjaga baik-baik dan
memenuhi perjanjian? Bukankah Allah telah berfirman (yang artinya):
"Tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan
sumpah-sumpahmu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai
saksimu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat" (S. An Nahl: 91).
Beberapa hari setelah peperangan berhenti, dalam salah satu khutbahnya Imam Ali r.a.
berkata: "Perintahku masih kalian ikuti terus seperti yang kuinginkan sampai saat kalian dilanda
perpecahan fikiran. Demi Allah, kalian tahu bahwa peperangan itu sama sekali tidak
menghilangkan kekhalifahanku. Itu masih tetap ada. Bahkan peperangan itu sebenarnya lebih
memporak-porandakan musuh kalian. Di tengah-tengah kalian, kemarin aku masih memerintah,
tetapi hari ini aku sudah menjadi orang yang diperintah. Kemarin aku masih menjadi orang
yang bisa melarang, tetapi hari ini aku menjadi orang yang dilarang. Kalian ternyata sudah
menjadi orang-orang yang lebih menyukai hidup, dan aku tidak dapat lagi mengajak kalian
kepada apa yang tidak kalian sukai…"
Penyimpangan Abu Musa
Beberapa bulan kemudian, bertemulah dua orang perunding di sebuah tempat yang letaknya
tidak jauh dari Shiffin. Amr bin Al Ash mewakili Muawiyah, dan Abu Musa Al Asy'ariy mewakili Imam Ali r.a. Dalam perundingan itu Amr dengan gigih bertahan membela Muawiyah, sedangkan
Abu Musa berpendirian "asal damai" dan "asal selamat". Dengan berbagai siasat dan muslihat,
akhirnya Amr berhasil menyeret Abu Musa kepada suatu konsepsi yang meniadakan
kekhalifahan Imam Ali r.a.
Berdasarkan prinsip "asal damai" dan "asal selamat", Abu Musa mengusulkan supaya fihak Amr
bersedia menerima Abdullah bin Umar Ibnul Khattab sebagai calon Khalifah yang akan
menggantikan Imam Ali. Usul Abu Musa itu dijawab oleh Amr: "mengapa anda tidak
mengusulkan anak lelakiku yang bernama Abdullah? Anda kan tahu sendiri anakku itu seorang
yang shaleh!"
Pembicaraan berlangsung terus. Setelah lama berunding akhirnya dua orang itu sepakat untuk
memberhentikan Imam Ali r.a. sebagai Khalifah dan memberhentikan Muawiyah sebagai
pemimpin di Syam dan menyerahkan kepada ummat Islam untuk memilih Khalifah lain yang
disukainya.
Begitu licinnya Amr mengelabui Abu Musa, sampai Abu Musa sendiri merasa adil dalam
melaksanakan tugas sebagai wakil Imam Ali r.a. Selain itu Abu Musa sedikit pun tidak
mempunyai kecurigaan bahwa Amr akan menyimpang dari kesepakatan.
Selesai berunding, Amr dan Abu Musa sepakat akan mengumumkan hasil perundingan itu di
depan khalayak ramai. Untuk merealisasinya, oleh Amr diminta kepada Abu Musa supaya lebih
dulu mengumumkan pemberhentian Imam Ali, kemudian barulah Amr akan mengumumkan
pemberhentian Muawiyah. Seperti orang terkena sihir Abu Musa mengiakan saja apa yang
diminta oleh Amr, kendatipun ia telah diperingatkan oleh Ibnu Abbas agar jangan bicara lebih
dulu.
Di depan orang banyak Abu Musa mengumumkan, bahwa dua orang perunding telah bersepakat
untuk memberhentikan imam Ali dan Muawiyah, demi kerukunan dan perdamaian di antara
kaum muslimin. Setelah memberi penjelasan sedikit, dengan lantang Abu Musa berkata:
"Sekarang aku menyatakan pemberhentian Ali sebagai Khalifah!"
Selesai Abu Musa, tampillah Amr bin Al Ash. Ia tidak berbicara seperti Abu Musa. Ia tidak
mengumumkan bahwa dua orang perunding telah sepakat memberhentikan Imam Ali dan
Muawiyah. Amr hanya mengatakan: "Abu Musa tadi telah menyatakan dengan resmi
pemberhentian Ali bin Abi Thalib dari kedudukannya sebagai Khalifah. Mulai saat ini ia tidak
lagi menjadi Khalifah! Sekarang aku mengumumkan bahwa aku mengukuhkan kedudukan
Muawiyah sebagai Khalifah, pemimpin kaum muslimin!"
Mendengar kata-kata Amr, Abu Musa sangat marah. Ia tak mungkin lagi menjilat ludah yang
suda jatuh. Abu Musa pergi meninggalkan tempat perundingan. Sejak itu namanya tidak pernah
disebut-sebut lagi dalam sejarah.
Beberapa waktu sebelum Abu Musa menghilang, ia masih menerima sepucuk surat dari Abdullah
bin Umar Ibnul Khattab, sebagai reaksi terhadap usul pencalonannya, yang diucapkan Abu Musa
dalam perundingan. Surat Abdullah tersebut sebagai berikut:
"Hai Abu Musa, engkau membawa-bawa diriku ke dalam persoalan yang engkau sendiri tidak
mengetahui bagaimana fikiranku mengenai hal itu. Apakah engkau mengira bahwa aku akan
bersedia mencampuri urusan yang engkau mengira aku ini lebih terkemuka dibanding Ali bin Abi
Thalib? Bukankah sudah sangat jelas bahwa ia jauh lebih baik daripada diriku? Engkau sungguh
sia-sia, dengan begitu engkau sendirilah yang menderita rugi. Aku sama sekali bukan orang yang
mengambil sikap permusuhan. Engkau benar-benar telah membuat marah Ali bin Abi Thalib dan
Muawiyah karena ucapanmu mengenai diriku.
"Lebih-lebih Ali bin Abi Thalib, karena melihat engkau telah tertipu oleh Amr. Padahal engkau
itu seorang pengajar Al Qur'an, seorang yang pernah menjadi utusan penduduk Yaman untuk
menghadap Rasul Allah s.a.w., seorang yang pernah diberi kepercayaan membagi-bagikan
ghanimah pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar. Ternyata sekarang telah tertipu oleh
ucapan-ucapan Amr bin Al Ash, sampai engkau lancang dan memecat Ali sebelum memecat
Muawiyah!"
Menanggapi surat Abdullah bin Umar Ibnul Khattab tersebut, Abu Musa menulis: "Aku bukannya
hendak mendekatimu dengan jalan mendudukkan dirimu atau membai'atmu sebagai Khalifah.
Yang kuinginkan hanyalah keridhoan Allah s.w.t. Kesediaanku memikul tugas ummat ini bukan
suatu hal yang buruk atau tercela. Sebab ummat ini seolah-olah sedang berada di ujung
pedang. Selama hidup sampai mati aku akan tetap mengatakan, bahwa yang kuinginkan ialah
agar ummat ini selalu damai. Sebab jika tidak, ummat ini tidak akan dapat kembali kepada
kebesaran semula."
Seterusnya Abu Musa mengatakan: "Adapun mengenai ucapanku tentang dirimu yang dapat
membuat marah Ali dan Muawiyah, sebenarnya dua orang itu sudah lebih dulu marah kepadaku.
Tentang tipu muslihat Amr terhadap diriku, demi Allah, tipu muslihatnya itu tidak merugikan
Ali bin Abi Thalib dan juga tidak menguntungkan Muawiyah. Sebab syarat yang sudah kami
tetapkan bersama ialah, bahwa kami hanya terikat oleh apa yang sudah disepakati bersama,
dan bukan terikat oleh apa yang kami perselisihkan. Adapun mengenai apa yang engkau
dilarang melakukannya oleh ayahmu, demi Allah, seandainya persoalan ini dapat diselesaikan,
engkau akan terpaksa menerimanya!"
Dari surat jawaban Abu Musa kepada Abdullah itu jelaslah, bahwa Abu Musa benar-benar
fikirannya dicekam rasa rindu perdamaian. Dan demi perdamaian ia tidak segan-segan
menyimpang jauh dari tugas yang dipikulnya dan rela menjebloskan pemimpinnya sendiri.