Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib as (Bagian7)

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib as (Bagian7)0%

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib as (Bagian7) pengarang:
: Tanpa Nama
: Tanpa Nama
Kategori: Imam Ali as

  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 5 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 2508 / Download: 1064
Ukuran Ukuran Ukuran
Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib as (Bagian7)

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib as (Bagian7)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Bab XIII : WAFATNYA IMAM ALI R.A.

Sementara Imam Ali r.a. menanggulangi pemberontakan Khawarij di Nehrawan, Muawiyah

meningkakan terus kekuatannya, mengkonsolidasi barisan serta mengokohkan kedudukannya.

Mereka memperoleh waktu yang sangat cukup untuk mempersiapkan peperangan lebih lama

lagi, berkat politik "tahkim" yang disusun oleh arsiteknya, Amr bin Al Ash.

Sebaliknya, dengan muslihat "tahkim" itu, kekuatan Imam Ali r.a. sekarang menjadi berkurang.

Ia ditinggalkan, bahkan dilawan oleh pengikut-pengikutnya sendiri, yang sudah memisahkan diri

sebagai kaum Khawarij. Dalam menumpas gerakan Khawarij, Imam Ali r.a. telah kehilangan

beberapa anggota pasukan yang cukup merugikan, walaupun berhasil mencapai kemenangan.

Imbangan kekuatan yang sekarang sangat menguntungkan fihak Muawiyah difahami benar-benar

oleh para pengikut Imam Ali r.a. Secara diam-diam banyak di antara mereka yang sudah

kejangkitan penyakit putus asa. Belum lagi kita sebutkan besarnya dana yang dihamburkan

Muawiyah untuk membeli pengikut sebanyak-banyaknya. Bagaimana pun juga hal ini besar

pengaruhnya di kalangan para pengikut Imam Ali r.a. yang kurang teguh iman dan

pendiriannya. Kepada para pengikut Imam Ali r.a. yang mau menyeberang, Muawiyah

mengiming-imingkan hadiah berlipat ganda.

Perlawanan terhenti

Selesai perang melawan kaum Khawarij dan sebelum meninggalkan Nehrawan untuk berangkat

melanjutkan perang melawan Muawiyah, Imam Ali r.a. mengucapkan pidato di depan para

pengikutnya. Antara lain ia berkata: "Cobaan Allah yang kalian hadapi telah berakhir dengan

baik. Allah telah memenangkan kalian dengan pertolongan-Nya. Sekarang marilah kita

berangkat untuk menghadapi Muawiyah dan para pendukungnya yang durhaka itu. Mereka yang

meninggalkan Kitab Allah di belakang punggung dan telah menjual-belikannya dengan harga

murah. Alangkah buruknya apa yang telah mereka beli dengan Kitab Allah itu!"

Bagaimana sambutan pengikut Imam Ali r.a. Kali ini Imam Ali r.a. terbentur lagi pada ranjau

yang dipasang oleh Al Asy'ats bin Qeis. Asy'ats ternyata sudah berhasil mempengaruhi banyak

anggota pasukan Imam Ali r.a. supaya meninggalkan barisan, dengan jalan mencari tempattempat

peristirahatan di daerah-daerah yang berdekatan. Alasan yang digunakan dalam

kampanye itu ialah mereka sudah terlampau letih dan sangat perlu beristirahat, untuk

memulihkan tenaga lebih dulu, sebelum bergabung dalam pasukan.

Jasa Asy'ats nampaknya tidak kecil bagi Muawiyah. Tidak keliru rasanya kalau ada sementara

penulis yang mengatakan, bahwa bukan hanya Abu Musa dan kaum Khawarij saja yang berberjasa kepada Muawiyah, tetapi juga Al Asy'ats bin Qeis.

Waktu Imam Ali r.a. mengajak anggota-anggota pasukannya berangkat memerangi Muawiyah,

mereka menjawab sesuai dengan garis yang sudah diletakkan Al Asy'ats: "Ya Amiral Mukminin,

anak panah kami sudah habis, tangan kami sudah terlalu payah, pedang kami banyak yang

patah dan tombak kami sudah tumpul! Biarkanlah kami pulang dulu agar kami dapat

mempersiapkan perbekalan dan perlengkapan yang lebih baik. Mungkin Amirul Mukminin akan

memberi tambahan senjata kepada kami, agar kami lebih kuat dalam menghadapi musuh!"

Sulit mencari orang yang bertabiat keras seperti Imam Ali r.a. tetapi juga sangat sulit mencari

orang yang sabar seperti dia. Sukar mencari orang yang waspada seperti Imam Ali r.a., tetapi

juga sangat sukar mencari orang yang mempercayai sahabat sepenuh hati seperti dia.

Bagaimana harus dibantah, bukankah mereka itu benar-benar baru saja menyelesaikan

peperangan? Jadi alasan mereka itu memang masuk akal! Imam Ali r.a. setuju mereka

beristirahat, tetapi tidak pulang ke rumah masing-masing. Mereka harus diistirahatkan bersama

di suatu tempat, agar setiap saat dapat dikerahkan bila dipandang perlu.

Mereka kemudian diajak oleh Imam Ali r.a. ke sebuah tempat bernama Nakhilah. Selain

menjadi tempat istirahat, Nakhilah juga dijadikan tempat pemusatan pasukan. Kepada semua

pasukan diperintahkan supaya jangan sampai ada yang meninggalkan tempat. Semua pasukan

harus selalu dalam keadaan siaga untuk melanjutkan peperangan melawan pasukan Syam. Jika

anak isteri tidak seberapa jauh dari Nakhilah, boleh saja menjenguk mereka, tetapi jangan

terlalu sering. Masing-masing anggota pasukan diminta supaya selalu siap menantikan saat

keberangkatan ke Shiffin.

Apa yang terjadi?

Ternyata hanya beberapa hari saja mereka tinggal bersama Imam Ali r.a. di Nakhilah. Banyak

sekali yang tanpa izin menyelinap pergi ke Kufah untuk bersenang-senang dengan anak isteri

mereka. Tidak sedikit yang bertebaran ke daerah-daerah sekitar Nakhilah untuk mencari

hiburan dan kesenangan. Imam Ali r.a. ditinggal bersama beberapa orang sahabat terdekat dan

sejumlah pengikut. Akhirnya Imam Ali r.a. dan para sahabat terdekat itu terpaksa

meninggalkan Nakhilah dalam keadaan kosong.

Sejak saat itu perlawanan terhadap Muawiyah praktis terhenti. Kesetiaan pendukungnya sudah

tak dapat diandalkan lagi. Banyak di antara mereka yang mulai terpikat hatinya oleh

kepentingan duniawi yang dinikmati oleh kaum muslimin di Syam. Selain itu banyak juga yang

patah semangat dan kejangkitan penyakit putus asa.

Terhentinya perlawanan menumpas pemberontakan Muawiyah bukan disebabkan ketidak

mampuan Imam Ali r.a., melainkan karena sikap massa yang dipimpinnya sudah goyah dan tidak

mantap, terutama mereka yang berasal dari Kufah. Tanda-tanda akan terjadinya hal yang harus

disayangkan itu, sudah nampak sejak Imam Ali r.a. memasuki kota tersebut. Bahkan beberapa

bulan sebelum itu pun di Madinah Imam Ali r.a. sudah menghadapi bermacam-macam kesulitan,

yaitu sejak pembai'atannya sebagai Khalifah.

Ajakan ke medan juang

Setelah ditinggal oleh banyak pengikutnya dan hanya tingal para sahabat yang setia saja,

melalui Hujur bin Addiy, Amr bin Al Humuq dan sejumlah sahabat lainnya, Imam Ali r.a.

mengeluarkan sebuah pernyataan tertulis untuk disampaikan kepada kaum muslimin Kufah,

terutama bekas pendukungnya. Dalam pernyataan tertulis itu Imam Ali r.a. membeberkan

semua persoalan dan mengungkapkan latar belakang sejarahnya.

"Bahwasanya Allah s.w.t. telah mengutus Muhammad, Rasul Allah s.a.w. untuk mengingatkan

ummat manusia di seluruh dunia. Beliau menerima wahyu dan mengemban amanat yang

diturunkan kepadanya, dan menjadi saksi bagi ummat ini. Hai orang-orang Arab, kalian pada masa itu dalam keadaan tidak mempunyai agama. Satu sama lain saling memakan harta secara

bathil. Kemudian Allah melimpahkan kurnia-Nya kepada kalian dengan mengutus Muhammad

s.a.w. datang ke tengah-tengah kalian dan berbicara dengan bahasa kalian. Kalian mengenal

wajah beliau dan mengetahui benar asal-usul keturunannya.

"Beliau telah mengajarkan hikmah, sunnah dan fara'idh kepada kalian. Beliau menyuruh kalian

supaya selalu menjaga baik-baik hubungan silaturrahmi, memelihara kerukunan dan saling

memperbaiki keadaannya masing-masing. Kalian juga diperintahkan supaya menunaikan amanat

kepada fihak yang berhak, memenuhi janji, saling bercinta-kasih dan sayang menyayangi.

Beliau pun memerintahkan kalian supaya berlaku jujur, dan jangan sampai mencatut timbangan

atau takaran. Beliau datang kepada kalian juga antara lain untuk melarang kalian jangan

sampai berbuat zina dan jangan makan harta milik anak yatim secara dzalim."

"Kebajikan akan menghindarkan kalian dari siksa neraka. Dan beliau mendorong kalian supaya

senantiasa berbuat kebajikan. Tiap perbuatan buruk dan jahat akan menjauhkan kalian dari

sorga, dan beliau mencegah supaya kalian jangan sampai berbuat seperti itu. SetelahAllah

s.w.t. memandang masa hidupnya sudah cukup, beliau dipanggil pulang ke sisi-Nya, dalam

keadaan beliau patut menerima pujian dan memperoleh keridhoan-Nya. Beliau s.a.w. telah

memperoleh pengampunan atas segala kekhilafannya dan benar-benar telah mendapat

kedudukan mulia di sisi Allah s.w.t.

"Tetapi alangkah besarnya musibah yang terjadi sepeninggal beliau, terutama yang menimpa

kaum kerabatnya dan kaum mukminin pada umumnya. Setelah beliau tidak ada lagi kaum

muslimin mempertengkarkan pimpinan dan kekuasaan. Demi Allah, aku tidak pernah merasa

khawatir dan tidak pernah membayangkan bahwa orang-orang Arab akan menggeser

kepemimpinan dari tanganku. Tetapi waktu itu ternyata orang-orang Arab mengangkat Abu

Bakar. Mereka datang berbondong-bondong kepadanya. Aku diam tidak mengulurkan tangan,

sebab aku yakin bahwa akulah yang sebenarnya lebih berhak meneruskan kepemimpinan Rasul

Allah s.a.w. daripada orang lain yang akan memimpin aku. Beberapa waktu lamanya aku tetap

bersikap seperti itu.

"Kemudian aku melihat banyak orang meninggalkan agama Islam, kembali kepada kepercayaan

mereka semula, bahkan berani berseru kepada orang-orang lain supaya menghapuskan agama

yang dibawakan oleh Muhammad s.a.w. dan Ibrahim as. Aku menjadi sangat khawatir, kalau

aku tidak membela Islam dan kaum muslimin, aku bakal menyaksikan kerusakan dan

keruntuhan Islam. Bagiku, itu merupakan bencana yang jauh lebih besar daripada lepasnya

kepemimpinan dari tanganku. Sebab masalah kepemimpinan hanyalah suatu hiasan hidup

belaka yang tidak kekal dan tidak lama, yang akhirnya akan lenyap seperti fatamorgana."

"Aku lalu pergi menjumpai Abu Bakar. Ia kubai'at, kemudian bersama dia aku bergerak

menanggulangi kejadian tersebut di atas tadi, sampai kebathilan itu musnah dan kalimat Allah

tetap unggul dan mulia walau orang-orang kafir tidak menyukai. Abu Bakar tetap memegang

pimpinan pemerintahan. Ia berlaku adil, baik, benar, rendah hati dan hidup sederhana. Aku

mendampingi dia sebagai penasehat. Ia kutaati sungguh-sungguh selama ia taat kepada Allah

s.w.t."

"Beberapa saat menjelang wafatnya, Abu Bakar menunjuk Umar Ibnul Khattab untuk

meneruskan kepemimpinannya. Itu pun kutaati. Umar kubai'at dan kepadanya kuberikan

nasehat-nasehat. Selama memegang pimpinan pemerintahan, Umar bersikap baik dan semasa

hidupnya ia berperilaku terpuji. Menjelang wafatnya, aku berkata dalam hatiku: 'Ia tentu tidak

akan menyerahkan pimpinan pemerintahan kepada orang lain. Tetapi ternyata ia minta supaya

masalah kekhalifahan itu dimusyawarahkan, dan aku menjadi salah seorang calon sekaligus

peserta musyawarah. Namun orang lainnya tidak suka kalau kepemimpinan jatuh ke tanganku,

sebab mereka mendengar bahwa aku pernah menentang Abu Bakar'…"

"Dulu aku memang pernah mengatakan: 'Hai orang-orang Qureisy, aku ini lebih berhak daripada

kalian untuk memegang pimpinan, sebab tidak ada seorang pun di antara kalian yang terdini

mengenal Al Qur'an dan mengerti sunnah Rasul!' Karena aku berkata seperti itu, mereka merasa

khawatir kalau sampai aku terbai'at menjadi pemimpin ummat, tidak akan ada kesempatan lagi

bagi mereka. Akhirnya mereka membai'at Utsman bin Affan, menyingkirkan diriku dari

kepemimpinan dan menyerahkannya kepada Utsman. Aku dijauhkan dari kepemimpinan karena

mereka mengharap akan memperoleh giliran."

"Aku terpaksa menyatakan bai'at. Aku menyabarkan diri sambil bertawakkal kepada Allah.

Kemudian ada salah seorang berkata kepadaku: 'Hai Ibnu Abu Thalib, mengapa engkau ngotot

ingin memegang pimpinan?' Aku menjawab: 'Kalian lebih ngotot. Yang kuminta adalah hak waris

putera pamanku! Waktu kalian mencampuri urusanku dengan Utsman, kalian berbuat

menampar mukaku dan tidak menampar mukanya!' Aku berdoa memohon perlindungan kepada

Allah s.w.t. dalam menghadapi orang-orang Qureiys itu. Mereka memutuskan silaturrahmiku

dengan Rasul Allah s.a.w. Mereka meremehkan kedudukan dan keutamaanku. Mereka

bersepakat merebut hak yang sebenarnya aku ini lebih berwenang dibanding mereka. Mereka

telah memperkosa hakku."

"Mereka lalu berkata lagi: 'Sabarlah engkau menahan kepedihan itu! Dan sabarlah hidup dalam

kekecewaan itu!' Aku melihat-lihat dan ternyata tidak ada teman atau orang lain yang bersedia

membantu selain keluargaku sendiri. Tetapi aku tidak mau menjerumus-kan keluargaku ke

dalam bahaya. Kupejamkan mataku untuk menahan sakitnya kelilip, dan kutelan ludahku

dengan perasaan sedih. Aku sabar menahan kejengkelan, sehingga terasa olehku kepahitan

yang melebihi jadam dan kesakitan yang melebihi tusukan pisau."

"Akhirnya kalian dendam terhadap Utsman. Ia kalian datangi, lalu kalian bunuh. Setelah itu

kalian datang kepadaku untuk menyatakan bai'at. Aku menolak, tetapi kalian tetap bersikeras

menghendaki aku. Kalian mendesak dan mendorong-dorong datang kepadaku untuk mendesak

terus, sampai kukira kalian akan saling bunuh-membunuh atau hendak membunuhku. Kepadaku

kalian mengatakan: 'Kami tidak menemukan orang selain engkau dan kami tidak menyukai

orang lain. Kami seia-sekata dan dengan tekad bulat membai'atmu'…"

"Pembai'atan kalian kemudian kuterima. Lalu kalian mengajak orang-orang lain untuk

membai'atku. Orang-orang yang menyatakan bai'at karena taat, kuterima. Sedangkan yang

tidak mau menyatakan bai'at, kubiarkan. Orang yang pertama-tama menyatakan bai'at

kepadaku ialah Thalhah dan Zubair. Seandainya dua orang itu tidak mau membai'atku, mereka

tidak akan kupaksa, sama halnya seperti orang lain yang tidak mau membai'atku. Tidak lama

kemudian aku mendengar dua orang itu berangkat ke Bashrah membawa sejumlah orang

bersenjata. Tidak seorang pun dari mereka itu yang belum pernah menyatakan bai'at kepadaku.

Di Bashrah mereka mengobrak-abrik pegawaiku, menggedor tempat-tempat penyimpanan harta

kaum muslimin dan memperkosa penduduk yang taat kepadaku. Mereka memecah belah dan

merusak kerukunan, mencerai-beraikan persatuan dan menyerang tiap orang yang mengikuti

serta mencintaiku. Beberapa kelompok dari pencintaku dibunuh secara gelap dan dianiaya. Di

antara mereka itu ada yang sanggup membela diri, ada yang hanya bersabar, dan ada pula yang

dengan gigih terpaksa mengacungkan pedang. Para pencintaku itu bangkit melawan tindakan

jahat mereka sampai banyak yang mati terbunuh dalam keadaan bertawakkal kepada Allah

s.w.t.

"Demi Allah, seandainya hanya seorang saja dari para pencintaku yang sengaja mereka bunuh,

sudah halal bagiku untuk bertindak menumpas habis gerombolan bersenjata itu! Apalagi karena

ternyata mereka itu telah membunuh banyak kaum muslimin. Tetapi, Allah s.w.t. sudah

membalas perbuatan mereka, dan sekarang binasalah sudah kaum yang dzalim itu."

"Kemudian aku melihat kepada orang-orang Syam. Mereka itu adalah orang-orang Arab yang

berperangai kasar, terdiri dari macam-macam golongan yang serakah dan liar, datang dari berbagai pelosok. Mereka itu adalah orang-orang yang masih perlu diajar, dipimpin dan

dibimbing. Mereka bukan kaum Muhajirin atau Anshar, dan bukan pula orang-orang yang

memasuki agama dengan itikad baik. Mereka kudatangi, kuajak supaya mau bersatu dan

bersedia taat, tetapi mereka menolak. Mereka menginginkan perpecahan, permusuhan dan

kemunafikan. Mereka bergerak melawan kaum Muhajirin, kaum Ansor dan orang-orang yang

masuk agama Islam dengan niat ikhlas dan jujur. Mereka melepaskan anak-panah dan

melempar tombak. Di saat itulah aku bangkit dan bergerak melawan mereka. Mereka

kuperangi.

"Setelah mereka kekurangan senjata dan merasakan sakitnya luka, mereka kibarkan lembaranlembaran

Al-Qur'an dan berseru kepada kalian supaya berpegang teguh kepadanya. Waktu itu

kalian sudah kuberi tahu, bahwa mereka itu bukan orang-orang yang patuh kepada ajaran

agama dan Al-Qur'an. Mereka mengibarkan lembaran-lembaran Al-Qur'an hanya sekedar tipudaya

dan muslihat. Kalian sudah kuperintahkan supaya terus memerangi mereka, tetapi kalian

menuduh diriku dan kalian berkata kepadaku: "Terimalah apa yang mereka usulkan. Kalau

mereka benar-benar mau melaksanakan apa yang ada dalam Al-Qur'an dan sunnah, pasti

mereka akan bersatu dengan kita dalam kebenaran yang selama ini kita pertahankan. Jika

mereka tidak mau, kita mempunyai alasan kuat untuk terus berlawan terhadap mereka."

"Keinginan kalian itu kusetujui, aku lalu mundur, tidak menyerang mereka lagi. Kemudian

terjadilah persetujuan antara kalian dengan mereka untuk mengangkat dua orang perunding

guna mencari penyelesaian damai berdasar Kitab Allah. Dua orang itu diharuskan patuh

menjunjung tinggi perintah Al Qur'an dan menjauhkan apa yang dilarangnya. Tetapi dua orang

itu berselisih pendapat, dan hukum yang diambil ternyata berlain-lainan. Dua orang itu

mengabaikan Al Qur'an dan menyalahi isinya. Dua-duanya tanpa hidayat Allah terjerumus

mengikuti hawa nafsu sendiri-sendiri. Oleh Allah dua orang itu dijauhkan dari kebajikan dan

diperosokkan dalam kesesatan. Dua-duanya memang pantas menjadi orang seperti itu."

"Setelah semua itu terjadi, ada sekelompok orang meninggalkan kami. Mereka pun kami

tinggalkan. Kami bersikap sama seperti mereka. Tetapi kemudian mereka berkeliaran di bumi

membuat kerusakan.Orang-orang muslimin mereka bunuh tanpa dosa. Mereka kami datangi,

lalu kami katakan kepada mereka: 'Serahkan kepada kami orang-orang yang membunuh

saudara-saudara kami'. Mereka menjawab: 'Kami semua inilah yang membunuh. Kami halal

menumpahkan darah mereka dan darah kalian'…"

"Mereka lalu pergerak mengerahkan pasukan berkuda dan pejalan kaki untuk menyerang kami.

Tetapi akhirnya mereka dihancurkan oleh Allah, nasibnya sama seperti orang-orang dzalim

lainnya. Setelah itu kuperintahkan kalian supaya berangkat ke Shiffin untuk menghadapi

musuh, tentara Syam. Sebab pendadakan seperti itu akan membuat hati mereka kecut dan

akan menggagalkan tipu daya mereka. Waktu itu kalian ternyata menjawab: 'Pedang kita sudah

banyak yang patah, kita kehabisan anak panah, dan ujung tombak kita sudah banyak yang

tumpul. Izinkanlah kita pulang dulu untuk mempersiapkan perlengkapan dan perbekalan yang

lebih baik. Kiranya engkau pun akan menambah perlengkapan kita dengan senjata-senjata yang

ditinggalkan teman-teman kita yang telah tewas dan senjata-senjata bekas kepunyaan musuh.

Itu akan merupakan tambahan kekuatan bagi kita dalam menghadapi musuh'..."

"Permintaan kalian itu kami terima. Selama beberapa waktu menunggu, kalian kuperintahkan

supaya jangan meninggalkan kubu pertahanan, supaya lebih merapatkan barisan, siap siaga

menghadapi peperangan, dan jangan terlalu sering menengok anak isteri, sebab itu akan

melemahkan hati kalian dan dapat membelokkan fikiran kalian. Pasukan yang sedang

menghadapi peperangan tidak semestinya mengeluh, meratap atau jemu bergadang di malam

hari. Tidak semestinya pasukan itu mengeluh kehausan atau lapar, sebelum mencapai sasaran

dan tujuan yang diinginkan."

"Tetapi kenyataannya, ada sekelompok orang dari kalian yang meminta kelonggaran dengan bermacam-macam alasan. Kelompok lainnya lagi menyelinap masuk ke dalam kota lalu

membelot. Mereka ini tidak ada yang datang kembali kepadaku. Setelah kuperiksa, ternyata

pasukan yang masih tetap tinggal bersamaku hanya berjumlah 50 orang. Setelah aku melihat

perbuatan kalian seperti itu, kalian kudatangi, tetapi sampai hari ini kalian masih tetap tidak

sanggup keluar untuk menghadapi musuh bersama-sama kami."

"Ya Allah, kasihan benar orang-orangtua kalian! Apalagi sebenarnya yang kalian fikirkan?

Tidakkah kalian menyadari bahwa kekuatan kalian sekarang sudah berkurang? Tidakkah kalian

dapat melihat negeri kalian ini sudah diserang? Apa sebab kalian masih berpaling muka?

Bukankah musuh-musuh kalian itu sudah bersatu, bekerja keras dan bertukar-fikiran, sedang

kalian sekarang bercerai-berai, bertengkar dan saling mengelabui satu sama lain? Jika kalian

bersatu, kalian pasti selamat."

"Oleh karena itu bangunkanlah orang-orang yang sedang tidur nyenyak. Semoga Allah

memberikan rahmat-Nya kepada kalian. Yang kalian perangi itu bukan lain adalah kaum thulaqa

dan keturunan orang-orang thulaqa, yaitu orang-orang yang memeluk Islam hanya karena

terpaksa. Orang-orang yang dahulu memerangi Rasul Allah s.a.w., orang-orang yang memusuhi

Al Qur'an dan Sunnah, orang-orang yang dahulu bergabung dan bersekutu dalam perang Ahzab

melawan kaum muslimin, orang-orang ahli bid'ah yang banyak menimbulkan keonaran, orangorang

yang ditakuti karena kejahatannya, orang-orang yang menyeleweng dari agama, pemakan

barang yang bathil dan budak-budak dunia!"

"Amr bin Al Ash itu sebenarnya condong kepadaku. Ia berfihak pada Muawiyah hanya setelah

menerima janji akan diberi kekuasaan besar atas Mesir. Ia tidak segan-segan menjual agamanya

untuk mendapatkan kepentingan dunia! Muawiyah membelinya dengan menghamburkan uang

kekayaan kaum muslimin! Di antara orang fasik itu ada yang pernah dihukum cambuk karena

meneguk minuman haram. Mereka itulah yang sekarang sedang menjadi pemimpin kaumnya.

Orang-orang yang tidak kusebutkan perbuatan buruknya, banyak yang lebih jahat dan lebih

berbahaya. Yaitu orang-orang yang jika sudah berpisah dari kalian, memperlihatkan

kebenciannya terhadap kalian. Mereka membangga-banggakan diri, menindas orang lain

sewenang-wenang, congkak, dengki dan banyak berbuat kerusakan di bumi. Mereka mengikuti

hawa nafsu dan memerintah dengan korup dan jalan suap (rasywah). Sedangkan kalian,

walaupun tidak saling bantu dan bertawakkal secara keliru, namun kalian masih jauh lebih

benar daripada jalan mereka."

"Di antara kalian terdapat orang-orang arif bijaksana (hukama), alim ulama, fuqaha (para ahli

hukum syariat), pengajar-pengajar Al-Qur'an, orang-orang yang hidup zuhud di dunia, orangorang

yang gemar mengunjungi masjid dan orang-orang ahli membaca Al Qur'an."

"Apakah kalian rela dan tidak marah kalau orang-orang berperangai jahat, bengis dan kerdil

seperti mereka itu hendak memaksakan kekuasaan kepada kalian? Dengarkanlah kata-kataku

dan taatilah perintahku bila kuperintahkan. Fahamilah nasihatku jika aku beri nasihat.

Percayailah ketegasanku bila aku sudah bertindak. Ikutilah kebulatan tekadku bila aku sudah

berniat! Bangunlah mengikuti kebangkitanku dan seranglah orang-orang yang kuserang! Jika

kalian membangkang, kalian tidak akan mendapatkan petunjuk yang benar dan kalian tidak

akan dapat bersatu. Terjunilah peperangan dan siapkan semua perlengkapan. Perang sudah

berkobar dan apinya masih menyala-nyala. Orang-orang yang dzalim itu hendak membasmi

kalian melalui peperangan dengan tujuan untuk dapat leluasa memadamkan cahaya Allah."

"Demi Allah, seandainya aku seorang diri menjumpai mereka berada di tengah-tengah penghuni

bumi ini, lantas aku menaruh perhatian kepada mereka, atau aku lantas lari menjauhi mereka

karena takut, itu berarti aku sudah sama sesatnya seperti mereka! Jalan hidayat yang selama

ini kupegang teguh, benar-benar kuhayati dengan penuh kesadaran dan keyakinan serta

berdasarkan petunjuk Allah Tuhanku. Aku sungguh-sungguh sudah sangat rindu ingin berjumpa

dengan Allah, dan aku benar-benar menunggu serta mengharap-harap keindahan pahala dan karunia-Nya."

"Tetapi kerisauan dan kekecewaan meresahkan hatiku dan kekhawatiran menggelisah-kan

fikiranku, karena aku takut kalau-kalau ummat ini akan dikuasai oleh manusia-manusia jahat

dan durhaka. Kemudian mereka itu akan menggunakan kekayaan Allah sebagai alat kekuasaan,

menjadikan hamba-hamba Allah sebagai budak belian, menjadikan orang-orang saleh sebagai

umpan peperangan, dan menjadikan orang-orang yang berlaku adil sebagai golongan terpencil."

"Demi Allah, kalau bukan karena semuanya itu, aku tidak akan terus menerus mengajak kalian,

mempersatukan kalian dan mendorong kalian supaya berjuang. Kalian pasti sudah kutinggalkan.

Demi Allah aku ini berada di atas jalan yang benar, dan aku sungguh-sungguh ingin mati syahid.

Insyaa Allah, aku akan berangkat ke medan juang bersama-sama kalian. Berangkatlah kalian,

baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat. Berjuanglah di jalah Allah dengan

harta dan nyawa kalian. Sesungguhnya, Allah beserta orang-orang yang sabar."

Pernyataan tertulis Imam Ali r.a. tersebut di atas, secara keseluruhan menggambarkan betapa

sulit dan beratnya persoalan yang dihadapinya sepeninggal Rasul Allah s.a.w., terutama setelah

dibai'at oleh kaum muslimin sebagai Khalifah dan Amirul Mukminin.

Serbuan Muawiyah ke Mesir

Setelah perang Shiffin berhenti dan Muawiyah bin Abi Sufyan melihat tidak ada lagi serangan

yang dilancarkan Imam Ali r.a., ia mengumpulkan para penasehatnya untuk dimintai pendapat

tentang rencana merebut wilayah Mesir dari kekuasaan Imam Ali.

Kepada para penasehatnya itu Muawiyah antara lain berkata: "Kalian telah menyaksikan sendiri

kemenangan yang telah dilimpahkan Allah kepada kita. Pada mulanya mereka tidak ragu-ragu

hendak menghancurkan kalian, menduduki negeri kalian dan menguasai kalian. Akan tetapi

Allah telah menggagalkan niat jahat mereka. Dengan pertolongan Allah kalian telah berhasil

mengalahkan mereka. Kalian mohon keadilan (tahkim) kepada Allah, dan Allah sekarang telah

menjatuhkan hukum-Nya atas mereka. Allah telah memperkokohkan persatuan kita,

mempererat persaudaraan kita, membuat musuh kita berpecah-belah, saling kafir

mengkafirkan dan saling bunuh membunuh. Demi Allah aku mengharap mudah-mudahan Allah

akan lebih menyem-purnakan lagi kemenangan kita. Sekarang aku sedang berfikir untuk

menyerbu Mesir. Bagaimana pendapat kalian…?"

Menanggapi pertanyaan Muawiyah itu, para penasehatnya menjawab, bahwa mengenai hal itu

mereka mendukung apa yang menjadi pendapat Amr Ibnul Ash.

Berdasarkan pernyataan para penasehatnya itu, Muawiyah menjelaskan: "Amr memang sudah

mempunyai pendapat tegas dan bertekad hendak menyerbu Mesir, tetapi ia belum menjelaskan

langkah-langkah apa yang harus kita lakukan!"

Untuk menjelaskan langkah-langkah apa yang harus dilakukan itu, Amr bin Al Ash berkata: "Aku

sekarang hendak menjelaskan apa yang sebaiknya harus engkau lakukan. Aku berpendapat,

sebaiknya engkau mengirim pasukan yang besar di bawah pimpinan seorang kuat, tegas dan

mendapat kepercayaan penuh. Bila sudah masuk ke Mesir ia pasti akan mendapat dukungan

penduduk yang sependirian dengan kita. Sedangkan terhadap orang-orang yang memusuhi kita,

mereka harus kita tundukkan dengan kekerasan. Kalau pasukan dan para pengikutmu sudah

bulat sepakat untuk memerangi musuh-musuhmu, kuharap Allah s.w.t. akan memenangkan

engkau…"

"Selain itu, bagaimana pendapatmu tentang apa yang perlu kita lakukan sebelum menyerang

mereka?" tanya Muawiyah kepada Amr bin Al-Ash.

"Aku belum tahu…," sahut Amr.

"Aku mempunyai pendapat lain," ujar Muawiyah melanjutkan perkataannya. "Kufikir, sebaiknya

kita menyurati dulu pendukung-pendukung kita dan musuh-musuh kita di Mesir. Kepada para

pendukung kita anjurkan supaya mereka tetap sabar dan tabah menunggu kedatangan pasukan

kita. Sedangkan kepada musuh-musuh kita, sebaiknya mereka itu kita ajak berdamai lebih dulu,

sambil kita gertak dengan kekuatan angkatan perang kita. Jika mereka menyambut baik ajakan

kita sehingga tidak terjadi peperangan, itulah yang kita inginkan. Tetapi jika mereka menolak,

kita tidak menemukan cara lain kecuali harus kita perangi…"

"Kalau begitu, baiklah," jawab Amr. "Kaulaksanakanlah pendapat itu. Demi Allah,

bagaimanapun juga akhirnya pasti terjadi peperangan…"

Selesai pertemuan, Muawiyah segera menulis surat kepada dua orang tokoh pendukung-nya di

Mesir, yaitu Maslamah bin Makhlad dan Muawiyah bin Hudaij Al-Kindiy. Dua orang tokoh

tersebut adalah penentang Imam Ali r.a. Dalam suratnya Muawiyah bin Abi Sufyan antara lain

mengatakan: "Allah s.w.t. telah memikulkan tugas besar di atas pundak kalian. Dengan tugas

itu kalian akan mendapat pahala sangat besar dan Allah akan mengangkat kedudukan serta

martabat kalian. Kalian menuntut balas atas terbunuhnya Khalifah yang madzlum (yakni

Utsman bin Affan). Ketika kalian melihat hukum Allah dibiarkan, kalian marah, kemudian kalian

berjuang melawan orang dzalim yang memusuhi Utsman. Hendaknya kalian tetap teguh

berpendirian seperti itu dan teruskan perjuangan melawan musuh kalian. Tariklah orang-orang

yang masih menjauhi kalian berdua agar mereka mau mengikuti pimpinan kalian. Sebuah

pasukan akan datang untuk memperkuat kalian, dan setelah itu akan tersingkirlah semua yang

tidak kalian sukai, dan apa yang kalian inginkan akan terwujud. Wassalaam."

Surat Muawiyah tersebut dibawa oleh seorang maula, bernama Subai, ke Mesir, untuk

diterimakan kepada dua tokoh pendukung Muawiyah tersebut di atas tadi.

Setelah dibaca oleh Maslamah bin Makhlad, surat itu diteruskan kepada Muawiyah bin Hudaij

disertai pemberitahuan, bahwa surat itu akan dibalasnya sendiri dan juga atas nama Muawiyah

bin Hudaij. Muawiyah bin Hudaij menyatakan persetujuannya agar Maslamah menulis jawaban

kepada Muawiyah bin Abi Sufyan.

Dalam surat jawabannya Maslamah antara lain mengatakan: "…Perintah yang dipercayakan

kepada kami berdua untuk terus melawan musuh, merupakan kewajiban yang akan kami

laksanakan, dengan harapan semoga Allah akan melimpahkan pahala kepada kita. Mudahmudahan

Allah akan memenangkan kita atas orang-orang yang menentang kita, dan akan

mempercepat pembalasan terhadap orang-orang yang telah berbuat jahat memusuhi pemimpin

kita, dan yang hendak menginjak-injak negeri kita.

"Di negeri ini (Mesir) kami telah menyingkirkan orang-orang dzalim dan telah membangkitkan

orang-orang yang bersikap adil. Engkau telah menyebut-nyebut dukungan dan bantuan kami

untuk mempertahankan kekuasaan yang ada di tanganmu. Demi Allah, kami telah bangkit

melawan musuhmu bukan dengan niat untuk memperoleh kekayaan. Bukan itu yang kami

inginkan, meskipun Allah mungkin akan melimpahkan imbalan pahala di dunia dan akhirat.

Kirimkanlah segera kepada kami pasukan berkuda dan pejalan kaki. Sebab musuh sudah siap

hendak menyerang kami, sedang kekuatan kami sangat kecil dibanding dengan mereka. Pada

saat bantuanmu tiba, Allah pasti akan menjamin kemenangan bagimu..."

Surat Maslamah dan Ibnu Hudaij itu diterima Muawiyah di saat ia sedang berada di Palestina.

Para penasehatnya menyarankan supaya Muawiyah cepat-cepat mengirimkan pasukan ke Mesir.

Mereka mengatakan: "Insyaa Allah, engkau pasti akan berhasil menaklukannya…"

Muawiyah kemudian memerintahkan Amr bin Al Ash supaya segera memobilisasi pasukan.

Setelah siap segala-galanya, Amr diperintahkan berangkat ke Mesir memimpin pasukan berkekuatan 6.000 orang. Waktu mengantar keberangkatannya, Muawiyah bin Abi Sufyan

berpesan: "Kupesankan supaya engkau tetap bertaqwa kepada Allah. Hendaknya engkau

berkasih-sayang dan jangan terburu-buru. Sebab sikap seperti itu adalah dorongan setan.

Hendaknya engkau mau menerima baik siapa saja yang datang kepadamu, dan berikanlah maaf

kepada orang-orang yang menjauhi dirimu. Berilah kesempatan kepada mereka untuk kembali

dan bertaubat. Bila mereka sudah kembali dan bertaubat, engkau harus bersedia menerima dan

memaafkan perbuatan mereka. Tetapi jika mereka tetap menolak, engkau harus bersikap

keras. Sebab, kekerasan yang diambil setelah melalui peringatan lebih dulu, akan lebih baik

akibatnya. Hendaknya engkau menyerukan dan mengajak orang untuk berdamai dan rukun

serta bersatu. Sehingga apabila engkau menang, engkau akan mempunyai pendukungpendukung

yang terbaik. Oleh karena itu bersikaplah baik-baik kepada semua orang…"

Setibanya dekat Mesir, Amr bin Al Ash dan pasukannya berhenti. Di tempat itu orang-orang dari

penduduk Mesir yang menjadi pengikut Utsman bin Affan r.a. datang bergabung. Kemudian Amr

mengirim surat kepada Muhammad bin Abu Bakar Ash Shiddiq. Isinya antara lain: "Hai Ibnu Abu

Bakar…, serahkanlah kedudukanmu kepadaku, karena tanganmu berlumuran darah (Utsman).

Aku tidak ingin melihat engkau celaka di tanganku. Di negeri ini banyak orang yang sudah

bertekad hendak melawanmu, menolak perintahmu, dan menyesal pernah menjadi

pengikutmu. Mereka hendak menyerahkan dirimu kepadaku di waktu keadaan sudah menjadi

genting. Kunasehatkan, sebaiknya kautinggalkan saja negeri ini...!"

Bersamaan dengan surat itu, oleh Amr juga dilampirkan surat Muawiyah yang ditujukan kepada

Muhammad bin Abu Bakar Ash Shiddiq. Surat Muawiyah bin Abi Sufyan itu isinya antara lain:

"Apabila kedzaliman dan kedurhakaan sudah merajalela, pasti besarlah akibat buruk yang

ditimbulkan. Orang yang telah menumpahkan darah secara tidak sah, tak akan terhindar dari

pembalasan di dunia dan siksa berat di akhirat. Aku belum pernah melihat orang yang melebihi

engkau dalam berbuat jahat, mencerca dan menentang Utsman bin Affan. Bersama-sama orang

lain engkau berusaha dan saling bantu untuk menumpahkan darahnya. Lantas, apakah engkau

mengira bahwa aku akan melupakan perbuatanmu itu?"

Seterusnya dikatakan: "Sekarang engkau tinggal di sebuah negeri dengan aman dan tenteram,

padahal di negeri itu banyak sekali pengikut dan pendukungku. Mereka itu ialah orang-orang

yang sependirian dengan aku, menolak semua omonganmu, dan berteriak minta tolong

kepadaku. Aku telah mengerahkan sebuah pasukan untuk memerangimu, dan mereka itu adalah

orang-orang yang sangat dendam terhadap dirimu. Mereka akan menumpahkan darahmu, dan

akan bertaqarrub kepada Allah melalui perjuangan melawanmu. Mereka telah bersumpah

hendak membunuhmu. Seandainya mereka tidak sampai dapat memenuhi sumpah masingmasing,

Allah pasti akan mencabut nyawamu, entah melalui tangan mereka atau tangan para

hamba-Nya yang lain. Engkau kuperingatkan, bahwa Allah tetap menuntut balas kepadamu atas

terbunuhnya Utsman, yang disebabkan oleh kedzalimanmu, kedurhakaanmu dan tusukan

tombakmu. Walaupun begitu…, aku tidak ingin membunuhmu. Aku tidak mau berbuat seperti

itu terhadap dirimu. Allah tidak akan menyelamatkan dirimu dari pembalasan, di mana pun

engkau berada dan sampai kapan pun juga. Oleh karena itu, lepaskanlah kedudukanmu dan

selamatkan dirimu sendiri. Wassalaam."

Setelah dua surat tersebut dibaca oleh Muhammad bin Abu Bakar, kemudian dilipat untuk

diteruskan kepada Amirul Mukminin Imam Ali r.a., dengan disertai pengantar sebagai berikut:

"Ya Amirul Mukminin, si durhaka Ibnul Ash kini telah tiba dekat Mesir. Orang dari penduduk

Mesir yang sependirian dengan dia berhimpun di sekelilingnya. Ia datang membawa sebuah

pasukan besar. Kulihat ada tanda-tanda patah semangat di kalangan orang-orang yang menjadi

pendukungku. Jika engkau masih tetap hendak mempertahankan Mesir, harap segera

mengirimkan beaya dan pasukan. Wassalamu'alaika wa rahmattullahi wabarakaatuh."

Sesudah Imam Ali r.a. membaca surat-surat yang dikirimkan oleh Muhammad bin Abu Bakar, ia

segera menulis jawaban: "Utusanmu telah datang membawa suratmu kepadaku. Dalam surat tersebut engkau mengatakan, bahwa Ibnul Ash sekarang telah datang di Mesir membawa

sebuah pasukan besar, dan bahwa orang-orang yang sependirian dengan dia telah bergabung

kepadanya. Keluarnya orang-orang yang sependirian dengan dia dari barisanmu itu lebih baik

daripada kalau mereka tetap tinggal bersamamu. Engkau menyebutkan juga, bahwa ada orangorang

yang tampak patah semangat. Tetapi engkau sendiri jangan sampai patah semangat.

Pertahankanlah wilayah negerimu, himpunlah semua pendukungmu, perkuat pengawasan dalam

pasukanmu, dan angkatlah Kinanah bin Bisyir sebagai pimpinan pasukan. Ia seorang yang

terkenal bijaksana, berpengalaman dan pemberani. Dalam keadaan sulit rakyat kupercayakan

kepadamu. Oleh karena itu hendaknya engkau tetap tabah menghadapi musuh dan senantiasa

tetap waspada. Perangilah mereka dengan keteguhan tekadmu, dan lawanlah mereka sambil

bertawakkal kepada Allah s.w.t."

Selanjutnya Imam Ali r.a. mengatakan: "Sekalipun fihakmu lebih sedikit jumlahnya, namun

Allah berkuasa menolong fihak yang sedikit dan mengalahkan fihak yang berjumlah banyak. Aku

sudah membaca dua pucuk surat yang dikirimkan kepadamu oleh dua orang durhaka yang

berpelukan mesra dalam perbuatan maksiyat, bergandeng-tangan dalam kesesatan, saling suap

dalam pemerintahan, dan sama-sama sombongnya terhadap para ahli agama. Janganlah engkau

gentar menghadapi dua orang itu, dan jawablah mereka, engkau boleh menggunakan 'bahasa'

apa saja menurut kehendakmu. Wassalaam."

Selesai menulis surat, Imam Ali r.a. segera mengumpulkan para pengikutnya kemudian

mengucapkan khutbah: "Muhammad bin Abu Bakar Ash Shiddiq dan saudara-saudara kalian di

Mesir sekarang menjerit minta bantuan, karena anak si Nabighah (yakni Amr) sekarang sudah

bergerak membawa pasukan besar hendak menyerang mereka. Anak si Nabighah itu ialah

musuh Allah, musuh orang-orang yang hidup di bawah pimpinan Allah, dan pemimpinnya orangorang

yang memusuhi Allah. Oleh karena itu hai para saudara kita di Mesir, Mesir jauh lebih

besar daripada Syam, penduduknya pun lebih baik. Janganlah kalian sampai terkalahkan di

Mesir. Adalah suatu kehormatan bagi kalian jika Mesir tetap berada di tangan kalian. Itu pun

sekaligus merupakan pukulan hebat bagi musuh kalian. Berangkatlah kalian ke Jara'ah dan kita

semua besok akan berkumpul di sana. Insyaa Allah."

Keesokan harinya Imam Ali r.a. berangkat ke Jara'ah. Setibanya di sana ia berhenti menunggu

sampai tengah hari. Ternyata hanya 100 orang saja yang datang hendak mengikuti. Melihat

gelagat seperti itu, Imam Ali r.a. pulang ke Kufah. Malam harinya ia mengumpulkan sejumlah

pengikut terkemuka. Dalam pertemuan itu Imam Ali r.a. tampak sedih dan sangat kecewa. Ia

berkata: "Puji syukur ke hadirat Allah yang mengatur semua urusan menurut takdir-Nya, dan

yang menilai siapa-siapa berbuat kebajikan. Dialah yang memberi cobaan kepadaku dalam

menghadapi kalian. Hai saudara-saudara, kalian itu sebenarnya adalah kelompok orang-orang

yang tidak mau taat bila kuperintah, dan tidak mau menyambut bila kuajak. Celaka sekali

kalian itu! Kemenangan apa yang kalian tunggu jika kalian enggan berjuang membela hak-hak

kalian? Di dunia ini sesungguhnya mati lebih baik daripada hidup meninggalkan kebenaran!"

"Demi Allah," kata Imam Ali r.a. seterusnya, "seandainya maut datang kepadaku --dan biarlah ia

datang-- kalian akan melihat aku benar-benar marah menjadi teman bagi orang-orang seperti

kalian! Apakah kalian tidak mempunyai agama yang mewajibkan kalian bersatu? Apakah kalian

tidak bisa marah kalau kehormatan kalian diinjak-injak? Apakah kalian tidak mendengar bahwa

musuh kalian hendak mengurangi wilayah negeri kalian dan mereka sekarang sedang

melancarkan serangan terhadap kalian? Apakah tidak aneh kalau orang-orang durhaka dan

dzalim bisa menyambut baik ajakan Muawiyah dan bersedia dikerahkan kemana saja menurut

kehendaknya? Sedangkan kalian sendiri, tiap kuajak pasti bertengkar, lari bercerai-berai

menjauhi aku, mem-bangkang dan membantah…!"

Di Mesir, seterimanya surat yang berisi petunjuk dari Imam Ali r.a., Muhammad bin Abu Bakar

segera menulis jawaban kepada Amr bin Al Ash, yang isinya: "Aku sudah memahami isi suratmu

dan telah mengerti apa yang kausebutkan. Seolah-olah engkau tidak suka melihatku celaka di tanganmu, tetapi aku bersaksi, demi Allah, bahwa engkau itu adalah salah seorang yang hidup

bergelimang dalam kebatilan. Seolah-olah engkau memberi nasehat kepadaku, tetapi aku

bersumpah, bahwa sesungguhnya bagiku engkau adalah musuh yang harus dicurigai. Engkau

mengatakan bahwa penduduk negeri ini emoh kepadaku dan menyesal pernah jadi pengikutku,

tetapi orang-orang yang seperti itu sebenarnya hanyalah mereka yang bersekutu dengan setan

terkutuk. Aku berserah diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, karena hanya Dia-lah tempat

orang berserah diri yang sebaik-baiknya."

Bersamaan dengan itu, Muhammad bin Abu Bakar juga menulis jawaban kepada Muawiyah bin

Abi Sufyan. Isinya antara lain: "Suratmu sudah kuterima. Engkau menyebut-nyebut persoalan

Utsman bin Affan, suatu persoalan yang aku tidak perlu minta maaf kepadamu. Seolah-olah

engkau hendak memberi nasehat kepadaku dengan menggertak supaya aku menyerahkan

kedudukan kepadamu. Dengan menakut-nakuti aku, engkau sekaligus juga berpura-pura

menunjukkan belas kasihan kepadaku. Padahal sebenarnya aku sendiri sangat mengharapkan

bencana menimpa kalian. Mudah-mudahan Allah akan menghancurkan kalian dalam peperangan

sehingga kalian akan menjadi orang-orang hina yang lari tunggang langgang. Kalau sampai

engkau berkuasa di dunia ini, demi Allah, betapa banyaknya orang dzalim yang akan kaubela.

Betapa banyaknya orang mukmin yang akan kaubunuh dan kaucincang! Hanya kepada Allah

sajalah semua persoalan kembali. Sesungguhnya Dia-lah Maha Pengasih dan Penyayang…"

Seterimanya surat jawaban dari Muhammad bin Abu Bakar, Amr bin Al Ash dan pasukannya

mulai bergerak memasuki Mesir. Mendengar berita tentang gerakan Amr tersebut, Muhammad

bin Abu Bakar berpidato di depan umum:

"Hai orang-orang yang beriman, ketahuilah bahwa kaum yang sudah biasa melanggar

kehormatan, yang tenggelam dalam kesesatan, dan yang terus menerus berbuat sewenangwenang

sekarang sudah terang-terangan menyatakan permusuhan terhadap kalian. Mereka

sedang bergerak menuju negeri kalian ini dengan membawa pasukan bersenjata. Oleh karena

itu, barang siapa yang menginginkan sorga dan pengampunan dari Allah s.w.t., ia harus berani

keluar dan berjuang melawan mereka dengan niat semata-mata untuk memperoleh keridhoan

Allah. Majulah menggempur mereka bersama-sama Kinanah bin Bisyir!"

Kinanah bin Bisyir kemudian diserahi tugas memimpin pasukan sebesar 2.000 orang, sedangkan

Muhammad bin Abu Bakar bertahan di belakang dengan 2.000 orang pengikut. Amr bin Al Ash

bergerak terus menghadapi pasukan Kinanah yang mengambil posisi di depan pasukan

Muhammad. Ketika sudah mendekati

pasukan Kinanah, Amr menggerakkan pasukannya regu demi regu. Tiap regu Syam yang berani

mendekat, selalu berhasil dipukul mundur oleh pasukan Kinanah. Ini terjadi sampai berulang

kali.

Ketika Amr melihat pasukannya dalam keadaan meresahkan cepat-cepat ia mengirim kurir

kepada Muawiyah bin Hudaij untuk minta bantuan. Permintaan Amr itu segera dipenuhi

Muawiyah bin Hudaij dengan mengerahkan pasukan besar. Melihat pasukan musuh yang

berjumlah sangat banyak itu, Kinanah dan sejumlah anggota pasukannya turun dari kuda, lalu

melancarkan serangan keras terhadap musuh dengan pedang. Dengan gigih ia menyerang terusmenerus,

dan akhirnya gugur di medan tempur sebagai pahlawan syahid.

Setelah Kinanah mati terbunuh, Muawiyah bin Hudaij maju ke depan barisan untuk mencari-cari

Muhammad bin Abu Bakar. Waktu itu para pendukung Muhammad sudah lari bercerai-berai

meninggalkannya. Muhammad keluar berjalan kaki pelahan-lahan sampai tiba di sebuah rumah

tua yang sudah rusak. Lalu masuk ke dalam untuk berlindung. Saat itu Amr rnasih bergerak

terus sampai ke Fusthat, sedangkan Ibnu Hudaij masih terus mencari-cari Muhammad bin Abu

Bakar. Akhirnya ia berjumpa dengan orang-orang yang sedang lari untuk menyelamatkan diri.

Waktu Ibnu Hudaij bertanya apakah ada orang yang mencurigakan lewat, mereka menjawab:

"Tidak!"

Tetapi kemudian salah seorang di antara mereka menambahkan: "Aku tadi masuk ke dalam

rumah tua itu, dan kulihat di dalamnya ada seorang lelaki sedang duduk."

Seketika itu juga Muawiyah bin Hudaij berteriak: "Nah…, itu mesti dia…, demi Allah!" Bersama

beberapa temannya ia masuk ke dalam, lalu Muhammad bin Abu Bakar diseret keluar dalam

keadaan hampir mati kehausan, kemudian di bawa ke Fusthat.

Ketika melihat saudaranya diseret-seret oleh Ibnu Hudaij, Abdurrahman bin Abu Bakar segera

lari menemui Amr, kemudian berkata: "Demi Allah, saudaraku jangan sampai dibunuh perlahanlahan.

Perintahkan orang supaya melarang Ibnu Hudaij berbuat seperti itu!"

Atas permintaan Abdurrahman, Amr memerintahkan supaya Muhammad bin Abu Bakar dibawa

kepadanya. Akan tetapi Ibnu Hudaij menjawab: "Kalian telah membunuh anak pamanku,

Kinanah bin Bisyir. Apakah aku harus membiarkan Muhammad hidup? Tidak!"

Dalam suasana sangat tegang itu Muhammad minta diberi air seteguk untuk menghilangkan

dahaga. Permintaan Muhammad itu ditolak Ibnu Hudaij dengan kata-kata: "Setetespun engkau

tidan akan kuberi air. Engkau dulu menghalang-halangi Utsman bin Affan sampai tidak bisa

mendapatkan air minum, kemudian ia kau bunuh dalam keadaan "berpuasa" kehausan. Hai Ibnu

Abu Bakar, demi Allah, engkau akan kubunuh dalam keadaan haus kekeringan. Biarlah Allah

nanti memberi minum kepadamu dengan air mendidih dari neraka Jahim dan nanah!"

Muhammad bin Abu Bakar yang sudah hampir kehilangan tenaga masih menjawab dengan penuh

semangat: "Hai anak perempuan Yahudi, pada hari itu nanti tidak ada urusan denganmu atau

Utsman. Itu hanya semata-mata urusan Allah. Dia-lah yang akan memberi minum kepada

hamba-hamba-Nya yang shaleh, dan membuat musuh-musuh-Nya haus kekeringan! Yaitu orangorang

seperti engkau, teman-temanmu, orang yang mengangkatmu sebagai pemimpin, dan

orang yang kau pimpin! Demi Allah, seandainya pedang masih ada di tanganku, orang-orangmu

tidak akan dapat menyentuhku!"

"Tahukah engkau," tanya Muawiyah bin Hudaij, "apa yang akan kuperbuat atas dirimu? Engkau

akan kujejalkan ke dalam perut bangkai keledai itu, lantas akan kubakar sampai hangus!"

"Kalau engkau berbuat seperti itu," ujar Muhammad bin Abu Bakar, "perbuatan itu

sesungguhnya kaulakukan terhadap seorang hamba Allah yang shaleh. Demi Allah, mudahmudahan

Allah akan membuat api yang kau gunakan untuk menakut-nakuti itu menjadi sejuk

dan tidak berbahaya. Sama seperti api yang digunakan membakar Nabi Ibrahim a.s. dahulu. Dan

mudah-mudahan Allah akan membuatmu dan membuat pemimpin-pemimpinmu sama seperti

Namrud dan orang-orang kepercayaannya. Semoga Allah akan membakarmu, membakar

pemimpin-pemimpinmu, Muawiyyah dan orang itu (ia menunjuk dengan jari ke arah Amr bin Al

Ash)…, dengan api neraka yang berkobar-kobar. Tiap hampir padam akan lebih dikobarkan lagi

oleh Allah!"

"Aku tidak membunuhmu secara dzalim," jawab Muawiyah bin Hudaij. "Aku membunuhmu

karena engkau telah membunuh Utsman!"

"Apa urusanmu dengan Utsman, orang yang telah berbuat dzalim dan mengganti hukum Allah,"

sahut Muhammad bin Abu Bakar dengan tegas. "Pada hal Allah telah berfirman (yang artinya):

"Barang siapa menetapkan hukum tidak menurut apa yang telah diturunkan Allah, mereka

adalah orang-orang kafir, orang-orang dzalim, orang-orang durhaka. Kami bertindak keras

terhadapnya karena hal-hal yang telah diperbuat olehnya. Kami menuntut supaya ia

melepaskan jabatan, tetapi ia menolak, dan akhirnya ia dibunuh orang!"

Mendengar jawaban Muhammad itu, Muawiyah bin Hudaij naik pitam. Pedang diayun dan Muhammad bin Abu Bakar dipenggal lehernya. Jenazahnya dijejalkan ke dalam perut keledai,

kemudian dibakar sampai hangus.

Mendengar saudaranya mengalami nasib malang, Sitti Aisyah r.a. tersayat-sayat hatinya dan

sangat sedih. Tiap selesai shalat ia selalu mohon kepada Allah s.w.t. supaya menjatuhkan

adzab kepada Muawiyah bin Abi Sufyan, Amr bin Al Ash, Muawiyah bin Hudaij. Keluarga yang

ditinggalkan Muhammad di pelihara oleh Sitti Aisyah r.a., termasuk Al-Qasim bin Muhammad.

Menurut berbagai sumber riwayat, sejak terjadinya peristiwa sangat kejam itu Sitti Aisyah r.a.

tidak mau lagi makan panggang daging sampai akhir hayatnya. Tiap teringat kepada

saudaranya, ia menyumpah-nyumpah: "Binasalah Muawiyah bin Abi Sufyan, Amr bin Al Ash,

Muawiyah bin Hudaij!"

Sedangkan Asma binti 'Umais, ibu Muhammad, ketika mendengar kemalangan menimpa anak

kandungnya, ia muntah darah dalam mushalla, akibat menahan marah dan dendam.

Waktu Imam Ali r.a. mendengar berita tewasnya Muhammad bin Abu Bakar, ia sangat pilu dan

sedih. Tindakan buas terhadap Muhammad itu terbayang-bayang di pelupuk matanya. Dalam

suatu khutbahnya sesudah kejadian itu ia mengatakan: "Mesir sekarang telah ditaklukkan oleh

orang-orang durhaka dan pemimpin-pemimpin dzalim lagi bathil. Mereka itu ialah orang-orang

yang selama ini berusaha membendung jalan menuju kebenaran Allah, dan orang-orang yang

hendak menyelewengkan agama Islam. Muhammad bin Abu Bakar telah gugur sebagai pahlawan

syahid. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya. Perhitungan tentang kematiannya itu

kita serahkan kepada Allah."

"Demi Allah," kata Imam Ali r.a. selanjutnya, "sebagaimana kuketahui ia memang seorang yang

penuh tawakkal kepada Allah dan rela menerima takdir Ilahi. Ia telah berbuat untuk

memperoleh pahala. Ia seorang yang sangat benci kepada segala bentuk kedurhakaan, dan

sangat mencintai jalan hidup orang-orang beriman."

"Demi Allah, aku tidak menyesali diriku karena tidak sanggup berbuat. Aku tahu benar

bagaimana beratnya resiko penderitaan dalam peperangan. Aku sanggup dan berani

menghadapi perang, aku mengerti bagaimana harus bertindak tegas, dan aku pun mempunyai

pendapat yang tepat. Oleh karena itu aku berseru kepada kalian untuk memperoleh

balabantuan dan pertolongan. Tetapi kalian tidak mau mendengarkan perkataanku, tidak mau

mentaati perintahku, sehingga urusan yang kita hadapi ini berakibat sangat buruk.

"Kurang lebih 50 hari yang lalu, kalian kuajak membantu saudara-saudara kalian di Mesir, tetapi

kalian maju mundur. Kalian merasa berat seperti orang-orang yang memang tidak mempunyai

niat berjuang, yaitu orang-orang yang tidak pernah berfikir ingin memperoleh imbalan pahala."

"Akhirnya aku hanya dapat menghimpun pasukan kecil, jumlahnya sangat sedikit, lemah dan

tidak kompak. Mereka ini seolah-olah hanya untuk digiring menghadapi maut yang ada di depan

mereka! Alangkah buruknya kalian itu!"

Selesai mengucapkan khutbah yang pedas didengar itu, ia turun dan pergi.

Teror Abdul Rahman bin Muljam

Sekelompok orang-orang Khawarij berkumpul memperbincangkan nasib sanak famili dan temanteman

mereka yang telah mati terbunuh dalam berbagai peperangan. Mereka berpendapat,

bahwa tanggung-jawab atas terjadinya pertumpahan darah selama ini harus dipikul oleh tiga

orang: Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan dan Amr bin Al Ash. Tiga orang itu oleh

mereka disebut dengan istilah "pemimpin-pemimpin yang sesat".

Salah seorang di antara yang sedang berkumpul itu, bernama Albarak bin Abdullah. Ia bangkit berdiri sambil berkata: "Akulah yang akan membikin beres Muawiyah bin Abi Sufyan!"

Teriakan Albarak itu diikuti oleh Amr bin Bakr dengan kata-kata: "Aku yang membikin beres

Amr bin Al Ash!"

Abdurrahman bin Muljam tak mau ketinggalan. Ia berteriak: "Akulah yang akan membikin beres

Ali bin Abi Thalib!"

Tiga orang tersebut kemudian bersepakat untuk melaksanakan pembunuhan dalam satu malam

terhadap tiga orang calon korban: Imam Ali r.a., Muawiyah bin Abi Sufyan dan Amr bin Al Ash.

Terdorong oleh kekacauan aqidah dan semangat balas dendam, tiga orang Khawrij itu bertekad

hendak cepat-cepat melaksanakan rencana mereka.

Berangkatlah Abdurrahman bin Muljam meninggalkan Makkah menuju Kufah. Setibanya di

Kufah, ia singgah di rumah salah seorang teman-lamanya. Di situ ia bertemu dengan seorang

gadis bernama Qitham binti Al Akhdar. Paras gadis ini elok dan cantik. Tidak ada gadis lain di

daerah itu yang mengungguli kecantikan parasnya. Ayah dan saudara lelaki Qitham adalah

orang-orang Khawarij yang mati terbunuh dalam perang Nehrawan.

Waktu melihat kecantikan gadis itu, Abdurrahman bin Muljam sangat terpesona dan tergiur

hatinya. Dengan terus terang ia bertanya kepada Qitham, bagaimana pendapat gadis jelita itu

kalau ia mengajukan lamaran untuk dijadikan isteri. Qitham ketika itu menyahut: "Maskawin

apa yang dapat kauberikan kepadaku?"

"Terserah kepadamu, apa yang kauinginkan," jawab Abdurrahman bin Muljam.

"Aku hanya minta supaya engkau sanggup memberi empat macam," sahut gadis itu

menjelaskan: "Uang sebesar 3.000 dirham, seorang budak lelaki dan seorang budak perempuan

dan kesanggupanmu membunuh Ali bin Abi Thalib!"

Mengenai permintaanmu yang berupa uang 3.000 dirham, seorang budak lelaki dan seorang

budak perempuan, aku pasti dapat memenuhinya," jawab Abdurrahman, "tetapi tentang

membunuh Ali bin Abi Thalib, bagaimana aku bisa menjamin?"

"Engkau harus bisa mengintai kelengahannya," ujar Qitham. "Jika engkau berhasil membunuh

dia, aku dan engkau akan bersama-sama merasa lega dan engkau akan dapat hidup disampingku

selama-lamanya!"

Sebenarnya, sebelum Abdurrahman bertemu dengan Qitham binti Al Akhdar, ia sudah mulai

bimbang melaksanakan niat membunuh Imam Ali r.a. Sebab, tidaklah mudah bagi dirinya

melaksanakan pembunuhan itu. Perbuatan itu merupakan tindakan petualangan yang

berbahaya bagi keselamatan jiwanya. Tetapi suratan takdir rupanya mengendaki supaya

Abdurrahman lebih bertambah berani, hilang keraguannya dan nekad berbuat dosa yang amat

jahat. Tampaknya takdir membiarkan tangan Abdurrahman nyelonong bagaikan anak-panah

terlepas dari busurnya. Secara kebetulan ia seolah-olah digiring singgah ke rumah teman

lamanya dan dipertemukan dengan seorang gadis bernama Qitham! Setelah terjadi

pembicaraan tentang maskawin, akhirnya Abdurrahman

mernberikan jawaban terakhir: "Permintaanmu tentang pembunuhan Ali bin Abi Thalib akan

kupenuhi."

Sebagaimana tersebut di atas tadi Al-Barak bin Abdullah, Amr bin Bakr dan Abdurrahman bin

Muljam, telah sepakat hendak melasanakan pembunuhan serentak dalam satu malam, pada

waktu subuh. Tetapi terjadi satu kebetulan yang agak aneh juga, karena tragedi yang

ditimbulkan oleh tiga orang komplotan tersebut ternyata berakhir dengan akibat yang

berlainan.

Amr bin Al-Ash secara kebetulan tidak mengalami nasib seperti yang dialami temannya. Cerita

tentang peristiwanya itu sebagai berikut: "Pada malam terjadinya peristiwa itu, Amr bin Al-Ash

merasa terganggu kesehatannya. Ia tidak keluar bersembahyang di masjid dan tidak juga untuk

keperluan lainnya. Ia memerintahkan seorang petugas keamanan, bernama Kharijah bin

Hudzafah, supaya mengimami shalat subuh jama'ah sebagai penggantinya. Amr bin Bakr

menduga, bahwa Kharijah itu adalah Amr bin Al-Ash. Amr bin Bakr segera menyelinap dan

mendekat, kemudian Kharijah ditikam dengan senjata tajam. Seketika itu juga Kharijah

meninggal dan Amr bin Bakr sendiri tertangkap basah. Waktu dihadapkan kepada Amr bin Al-

Ash, ia (Amr bin Al Ash) berkata kepadanya : 'Engkau menghendaki nyawaku, tetapi Allah

ternyata menghendaki nyawa Kharijah bin Hudzafah!' Setelah itu ia memerintahkan supaya Amr

bin Bakr segera dibunuh."

Adapun Muawiyah yang menjadi sasaran Al-Barak bin Abdullah, pada saat ia sedang lengah,

ditikam oleh Al-Barak. Mujur bagi Muawiyah. Ia tidak mati, sebab tikaman itu hanya mengenai

samping pantatnya. Hal itu dimungkinkan karena sejak terbukanya permusuhan antara Imam Ali

r.a. dengan dirinya, Muawiyah selalu mengenakan baju berlapis besi. Al-Barak tertangkap dan

ia dihadapkan kepada Muawiyah.

Mengenai peristiwa ini terdapat penulisan sejarah yang agak berlainan. Abu Faraj Al-Ashfahaniy

mengatakan: "Waktu Al-Barak dihadapkan kepada Muawiyah, ia berkata: "Aku membawa berita

untukmu." Muawiyah bertanya: "Berita Apa?"

Al-Barak lalu menceritakan apa yang pada malam itu dilakukan oleh dua orang temannya.

"Malam itu…," katanya, "…Ali bin Abi Thalib akan mati dibunuh. Biarlah aku kau tahan dulu. Jika

benar ia mati terbunuh, terserahlah apa yang hendak kau lakukan terhadap diriku. Tetapi jika

ternyata ia tidak berhasil dibunuh, aku berjanji kepadamu, akulah yang akan membunuhnya.

Lantas aku akan kembali lagi kepadamu menyerahkan diri. Selanjutnya terserah hukuman apa

yang akan kau jatuhkan atas diriku!"

Al-Barak lalu ditahan oleh Muawiyah. Setelah terdengar berita tentang terbunuhnya Imam Ali

r.a., Al-Barak dibebaskan.

Sumber riwayat lain mengatakan dengan pasti, bahwa waktu Al-Barak dihadapkan kepada

Muawiyah, seketika itu juga Muawiyah memerintahkan supaya Al-Barak segera dibunuh.

Wafat

Allah s.w.t. rupanya telah mentakdirkan bahwa Imam Ali r.a. harus meninggal karena

pembunuhan pada waktu subuh tanggal 17 Ramadhan, tahun 40 Hijriyah. Ketika Imam Ali r.a.

sedang menuju masjid, sesudah mengambil air sembahyang untuk melakukan shalat subuh,

tiba-tiba muncul Abdurrahman bin Muljam dengan pedang terhunus. Imam Ali r.a. yang

terkenal ulung itu tak sempat lagi mengelak. Pedang yang ditebaskan Abdurrahman tepat

mengenai kepalanya. Luka berat merobohkannya ke tanah. Imam Ali r.a. segera diusung

kembali ke rumah.

Saat itu semua orang geram sekali hendak melancarkan tindakan balas dendam terhadap Ibnu

Muljam. Tetapi Imam Ali r.a. sendiri tetap lapang dada dan ikhlas, tidak berbicara sepatahpun

tentang balas dendam. Tak ada isyarat apa pun yang diberikan ke arah itu. Semua orang yang

berkerumun di pintu rumahnya merasa sedih. Mereka berdoa agar Imam Ali r.a. dilimpahi

rahmat Allah yang sebesar-besarnya dan dipulihkan kembali kesehatannya. Semua mengharap

semoga ia dapat melanjutkan perjuangan menghapus penderitaan manusia.

Beberapa orang sahabat Imam Ali r.a. mendatangkan tabib terbaik di Kufah. Seorang tabib yang

berpengalaman mengobati luka, bernama Atsir Ibnu Amr bin Hani. Setelah memeriksa luka-luka

di kening, dengan hati cemas dan suara putus asa, Atsir memberi tahu: "Ya Amiral Mukminin, berikan sajalah apa yang hendak anda wasiyatkan. Pukulan orang terkutuk itu mengenai

selaput otak anda."

Imam Ali r.a. tidak mengeluh. Ia menyerahkan nasib sepenuhnya kepada Allah s.w.t. Ia

memanggil dua orang puteranya: Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Dari seluruh hidupnya yang

penuh dengan pengalaman-pengalaman pahit dalam perjuangan menegakkan kebenaran Allah

dan Rasul-Nya, Imam Ali r.a. menarik pelajaran-pelajaran yang sangat tinggi nilainya. Hal itu

dituangkan dalam wasiyat yang diberikan kepada putera-puteranya beberapa saat sebelum

meninggalkan dunia yang fana ini.

Abu Ja'far Muhammad bin Jarir At Thabariy dalam Tarikh-nya dan Abu Faraj Al Ashfahaniy

dalam Maqatilut Thalibiyyin masing-masing mengetengahkan wasiyat Imam Ali r.a. sebagai

berikut:

"Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa tanpa sekutu apapun bagi-Nya, dan

bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, diutus membawa hidayat dan agama

yang benar, untuk dimenangkan atas agama-agama lain, walau kaum musyrikin tidak

menyukainya. Kemudian shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semuanya kupersembahkan

kepada Allah, Tuhan penguasa alam semesta, tanpa sekutu apa pun bagi-Nya. Itulah yang

diperintahkan kepadaku, dan aku ini adalah orang muslim pertama.

"Kuwasiyatkan kepada kalian berdua supaya tetap bertaqwa kepada Allah. Janganlah kalian

mengejar-ngejar dunia walau dunia mengejar kalian, dan janganlah menyesal jika ada sebagian

dunia itu lepas meninggalkan kalian. Katakanlah hal-hal yang benar dan

berbuatlah untuk memperoleh pahala akhirat. Jadilah kalian penentang orang dzalim dan

pembela orang madzlum."

"Kuwasiyatkan kepada kalian berdua, kepada semua anak-anakku, para ahlu-baitku, dan kepada

siapa saja yang mendengar wasiyatku ini, supaya senantiasa bertaqwa kepada Allah. Hendaknya

kalian mengatur baik-baik urusan kalian dan jagalah hubungan persaudaraan di antara kalian.

Sebab aku mendengar sendiri Rasul Allah s.a.w. mengatakan: Memperbaiki dan menjaga baikbaik

hubungan persaudaraan antara sesama kaum muslimin lebih afdhal daripada sembahyang

dan puasa umum. Ketahuilah, bahwa pertengkaran itu merusak agama, dan ingatlah bahwa tak

ada kekuatan apa pun selain atas perkenaan Allah. Perhatikanlah keadaan sanak famili kalian

dan eratkan hubungan dengan mereka, Allah akan melimpahkan kemudahan kepada kalian di

hari perhitungan kelak."

"Allah…, Allah, perhatikanlah anak-anak yatim. Janganlah mereka itu sampai kelaparan dan

jangan sampai kehilangan hak. Aku mendengar sendiri Rasul Allah s.a.w. berpesan: Barang

siapa mengasuh anak yatim sampai ia menjadi kecukupan, orang itu pasti akan dikaruniai sorga

oleh Allah. Sama halnya seperti siksa neraka yang pasti akan ditimpakan Allah kepada orang

yang memakan harta anak yatim."

"Allah…, Allah, perhatikanlah Al-Qur'an, jangan sampai kalian kedahuluan orang lain dalam

mengamalkannya. Allah…, Allah…, perhatikanlah tetangga-tetangga kalian, sebab mereka itu

adalah wasiyat Nabi kalian. Sedemikian sungguhnya beliau mewasyiatkan, sampai kami

menduga bahwa beliau akan menetapkan hak waris bagi mereka. Allah…, Allah…, perhatikanlah

rumah Allah, masjid Al-Haram, janganlah kalian tinggalkan selama kalian masih hidup. Sebab

jika sampai kalian tinggalkan, kalian tidak akan dipandang orang. Barang siapa selalu dekat

kepadanya, Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Allah…, Allah…, peliharalah

shalat baik-baik, sebab shalat itu amal perbuatan yang paling mulia dan merupakan tiang

agama kalian. Allah…, Allah…, tunaikanlah zakat sebagaimana mestinya, sebab zakat itu

meniadakan murka Allah. Allah…, Allah…, laksanakanlah puasa bulan Ramadhan, sebab puasa

itu merupakan penutup jalan ke neraka."

"Allah…, Allah…, berjuanglah di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian. Hanya ada dua

macam saja orang yang berjuang di jalan Allah, yaitu seorang pemimpin yang memberikan

bimbingan dan orang yang patuh kepada pemimpin serta mengikuti kebenaran pimpinannya.

Allah..., Allah…, jagalah baik-baik keturunan Nabi kalian, jangan sampai mereka dianiaya orang

di depan mata kalian. Jagalah baik-baik para sahabat Nabi yang tidak mengada-adakan bid'ah

mungkar, dan yang tidak melindungi orang yang mengada-adakan bid'ah mungkar. Sebab Rasul

Allah s.a.w. telah memberi wasiyat tentang mereka itu, dan mengutuk orang dari mereka atau

orang yang bukan mereka, yang mengada-adakan bid'ah mungkar dan mengutuk pula orangorang

yang memberi perlindungan kepada mereka."

"Allah…, Allah…, perhatikanlah para fakir miskin. Ikut sertakan mereka dalam kehidupan kalian.

Allah…, Allah…, jagalah baik-baik wanita kalian dan para hamba sahaya kalian, sebab Rasul

Allah s.a.w. mewasiyatkan supaya kalian menaruh perhatian kepada dua golongan lemah itu,

yaitu kaum wanita dan para hamba sahaya."

Setelah berhenti sebentar untuk memulihkan tenaga yang semakin melemah, Imam Ali r.a.

melanjutkan:

"Dalam menjalankan kewajiban terhadap Allah, janganlah kalian takut dicela orang lain. Allah

akan melindungi dan menyelamatkan kalian dari orang-orang yang hendak berbuat jahat

terhadap kalian. Berkatalah baik-baik kepada semua orang sebagaimana telah diperintahkan

Allah kepada kalian. Janganlah kalian lengah meninggalkan amr ma'ruf dan nahi mungkar, agar

Allah tidak melimpahkan kekuasaan kepada orang-orang yang berperangai jahat. Sebab dalam

keadaan seperti itu doa kalian tidak akan dikabulkan lagi."

"Hendaknya kalian saling berhubungan erat, saling tolong-menolong dan saling bercinta-kasih.

Janganlah kalian saling memutuskan hubungan, saling bertolak belakang atau bercerai-berai.

Hendaknya kalian saling bantu-membantu dalam kebajikan dan taqwa, dan janganlah salingbantu

dalam berbuat dosa dan permusuhan."

"Bertaqwalah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya siksa Allah itu sangat berat. Semoga

Allah senantiasa menjaga dan memelihara kalian, hai para ahlul-bait. Allah melestarikan Nabi

s.a.w. melalui kalian. Kuucapkan selamat tinggal sebaik-baiknya kepada kalian dan kuucapkan

pula Assalaamu'alaikum wa rahmatullahi wabarakaatuh…"

Ibnul Atsir meriwayatkan, bahwa sesudah Imam Ali r.a. menyampaikan wasiyat tersebut kepada

Al Hasan r.a. dan Al Husin r.a., ia menoleh kepada puteranya yang lain, Muhammad Ibnul

Hanafiyah, lalu bertanya: "Apakah engkau sudah memahami benar-benar apa yang

kuwasiyatkan kepada kedua orang saudaramu?"

"Ya," jawab Muhammad Ibnul Hanafiyah.

"Kepadamu juga kuwasiyatkan," kata Imam Ali r.a. meneruskan: "hal yang sama seperti itu.

Kuwasiyatkan juga supaya engkau selalu menghormati dua orang saudaramu yang besar itu.

Janganlah mereka kautinggalkan dalam urusan apa pun."

Selesai menekankan hal itu kepada Muhammad Ibnul Hanafiyah, Imam Ali r.a. menambahkan

wasiyatnya kepada Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. "Kuwasiyatkan kepada kalian berdua supaya

menjaga dia (Muhammad Ibnul Hanafiyah) dengan baik. Sebab dia itu saudara kalian sendiri dan

putera ayah kalian. Kalian tahu benar, bahwa ayah kalian juga mencintai dia…"

Imam Ali r.a. mengulangi ucapannya tentang Abdurrahman bin Muljam. Kepada Al Hasan r.a.

Imam Ali r.a. berkata: "Perhatikanlah orang yang memukulku. Berilah ia makan seperti

makananku dan minuman seperti minumanku!"

Ibnu Abil Hadid menambahkan.