Zahid
Sebagai seorang Zahid yang berpegang teguh pada perintah Allah s.w.t. dan tauladan serta
ajaran ajaran Rasul-Nya, Imam Ali r.a. dengan konsekuen berani menghadapi gangguan besar
yang dialami dalam kariernya sebagai pemimpin masyarakat dari kepala pemerintahan. Berkalikali
ia ditinggalkan oleh para pendukung dan pengikutnya, tetapi tidak pernah patah hati.
Seperti dikatakan oleh Ali bin Muhammad bin Abi Saif Al Madainiy bahwa tidak sedikit orang
Arab yang meninggalkan Imam Ali karena sikap mereka yang terlalu mengharapkan keuntungankeuntungan
material. Demikian juga tokoh-tokoh yang berpamrih ingin mendapat kedudukan,
jangan harap mereka itu bisa bersahabat baik dan lama dengan Imam Ali. Seorang pemimpin
besar seperti Imam Ali yang taqwanya kepada Allah sedemikian tinggi, dan sedemikian
patuhnya bertauladan serta melaksanakan ajaran Rasul Allah s.a.w., tidak mencari teman
dengan mengobral harta dan kedudukan. Ia sendiri memandang manusia bukan dari kekayaan
dan kedudukan sosialnya, bukan pula dari asal-usul keturunannya, melainkan dari keimanannya
kepada Allah s.w.t. dan kesetiaannya kepada ajaran Rasul-Nya.
Imam Ali tidak pernah memberikan perlakuan istimewa kepada seorang karena keturunan,
kedudukan atau kekayaannya. Ia selalu memberikan perlakuan yang sama kepada semua orang,
kaya atau miskin, orang yang berpangkat ataupun rakyat jelata. Itulah antara lain yang menjadi
sebab mengapa setelah ia menjadi Khalifah, dijauhi oleh kepala-kepala qabilah dan tokohtokoh
masyarakat yang berambisi dan hendak mendahulukan kepentingan pribadi atau
golongan.
Tentang mengapa Imam Ali r.a. sampai ditinggal oleh para pengikut dan pendukungnya, Al-
Madainiy dalam riwayat yang ditulisnya, antara lain mengemukakan, bahwa Al-Asytar pernah
berkata kepada Innam Ali r.a.: "…Anda bertindak adil, baik terhadap mereka yang mempunyai
kedudukan terhormat maupun mereka yang tidak mempunyai kedudukan. Di hadapan anda
orang-orang yang terhormat itu tidak memperoleh perlakuan istimewa atau lebih dari
perlakuan yang anda berikan kepada orang biasa. Akhirnya ada kelompok pengikut yang ribut
dan heboh kalau keadilan dan kebenaran diterapkan atas diri mereka. Mereka sakit hati kalau
pemerataan keadilan diterapkan atas diri mereka. Mereka lalu membanding-bandingkan betapa
enaknya perlakuan Muawiyah terhadap orang-orang kaya dan terkemuka… Mereka lebih senang
membeli kebatilan dengan kebenaran dan tergiur oleh kesenangan duniawi."
Setelah mendengar baik-baik ucapan Al Asytar, dengan tenang rmam Ali r.a. berkata: "Apa yang
kau katakan mengenai perilaku dan keadilanku, bukankah Allah Azza wa Jalla telah berfirman (yang artinya): "Barang siapa berbuat baik, maka pahala bagi dirinya sendiri, dan barang siapa
yang berbuat buruk, maka dosanya pun akan menimpa dirinya sendiri. Dan Tuhanmu tidak
berlaku dzalim terhadap para hamba-Nya" (S. Fushshilat: 46).
Kemudian Imam Ali r.a. berkata pula: "Sebenarnya Allah mengetahui, bahwa mereka itu
menjauhi kami bukan karena kami berlaku dzalim. Mereka menjauhi kami bukan karena hendak
mencari perlindungan keadilan. Yang mereka kejar hanyalah dunia, yang akhirnya akan lenyap
juga dari mereka. Pada hari kiyamat mereka itu akan ditanya: 'apakah mereka hanya
menginginkan dunia? Apakah yang telah mereka perbuat untuk Allah?'…"
Tentang pengobralan harta milik ummat untuk mendapatkan pengikut seperti yang dilakukan
Muawiyah di Syam, Imam Ali r.a. berkata: "Kami tidak dapat memberikan pembagian harta
ghanimah kepada seseorang melampaui ketentuan yang sudah menjadi haknya…"
Tentang banyak atau sedikitnya pengikut, Imam Ali r.a. mengemukakan contoh kehidupan Rasul
Allah s.a.w.: "Allah mengutus Muhammad s.a.w. seorang diri. Kemudian Allah membuat
pengikut beliau menjadi banyak, padahal mulanya sangat sedikit. Ummatnya yang pada
mulanya hina kemudian diangkat menjadi ummat yang mulia. Jadi jika Allah hendak
melimpahkan hal seperti itu kepadaku, semua kesulitan pasti akan dipermudah oleh-Nya,
sedang segala yang berat akan diringankannya."
Menurut Hasan Al Bashriy: "Imam Ali r.a. adalah orang rahbaniy (orang suci) dari ummat ini."
Orang suci dari ummat ini menghayati kehidupan yang amat sederhana. Ia bersembah sujud
kepada Allah seperti para wali atau orang suci lainnya. Ia memikul tanggung jawab atas negara
dan ummatnya dengan tekad seperti Nabi.
Di Kufah, Imam Ali r.a. melarang keras orang memaki-maki Muawiyah. Kepada sahabatsahabatnya
ia berkata: "Ucapkanlah: Ya Allah, hindarkanlah kami dari pertumpahan darah
dengan mereka, dan perbaikilah hubungan persaudaraan kami dengan mereka!"
Padahal di Syam, Muawiyah mendorong-dorong penduduk supaya mencerca dan mencaci-maki
Imam Ali r.a.
Di Kufah Imam Ali r.a. memakai baju seharga tiga dirham, menelan makanan serba kasar dan
kering. Kekayaan kaum muslimin dibagi di antara mereka semua berdasarkan keadilan tanpa
pilih kasih. Ia hidup taqwa dan zuhud tidak mengenal kesenangan hidup sama sekali!
Padahal di Syam Muawiyah tinggal di istana megah dan menikmati hidup serba mewah.
Kekayaan datang dari mana-mana dalam jumlah yang sukar dihitung. Tetapi kekayaan itu
dihamburkan untuk tujuan mencapai kepentingan ambisinya.
Di Kufah kepada para utusan muslimin yang datang, baik yang mencari kebenaran untuk
dijadikan pegangan hidup, maupun yang mencari kekayaan atau kesempatan memperoleh
kedudukan, oleh Imam Ali r.a. diingatkan kepada ayat Al-Qur'an (S. Yunus: 108), yang artinya:
"Barang siapa memperoleh hidayat, maka hidayat itu sesungguhnya untuk kebaikan dirinya
sendiri. Dan barang siapa yang sesat, maka kesesatan itu pun akan mencelakakan dirinya
sendiri."
Selain kalimat tersebut tidak ada harapan atau janji-janji muluk, tidak ada suap, dan tidak ada
penghamburan uang milik ummat, betapa pun besarnya akibat yang akan dihadapi oleh Imam
Ali r.a.
Sedang di Syam, Muawiyah memberi harapan dan janji-janji muluk serta mengobral harta dan
hadiah-hadiah.
Di Kufah Imam Ali r.a. diminta oleh kaum muslimin supaya tinggal di sebuah istana besar dan
megah. Waktu melihat istana itu Imam Ali ra. membuang muka sambil berkata: "Itu istana
celaka! Sampai kapan pun aku tak sudi tinggal di sana!"
Penduduk Kufah tetap menghimbau dan mendesak supaya Imam Ali r.a. bersedia menempati
istana itu, sebab dianggap patut dan sesuai, tetapi Imam Ali r.a. tetap menolak keras: "Aku
tidak membutuhkan itu! Umar Ibnul Khattab sendiri dulu tidak menyukainya!"
Di Kufah, Imam Ali r.a. sering berjalan kaki ke pasar-pasar, padahal ia seorang Amirul
Mukminin. Di sana ia menunjukan orang yang sesat jalan dan membantu orang yang lemah. Ia
berjumpa dengan seorang yang sudah sangat lanjut usia. Segera ia membantu membawakan
barang jinjingannya.
Melihat perbuatan Imam Ali r.a. seperti itu ada sahabatnya yang tidak rela, lalu mendekati,
kemudian berkata kepadanya: "Ya Amirul Mukminin ....!"
Imam Ali r.a. tidak membiarkan sahabat itu berkata sampai selesai. Segera ia menukas dengan
mengucapkan firman Allah, yang artinya: "Kampung akhirat itu kami sediakan bagi orang-orang
yang tidak menyombongkan diri di bumi dan tidak berbuat kerusakan. Kesudahan yang baik bagi
orang-orang yang bertaqwa." (S. Al-Qishash:83).
Ia membeli kebutuhan-kebutuhan keluarganya dan membawanya sendiri. Jika ada salah seorang
dari pengantarnya yang hendak membawakan jinjingannya, ia menjawab sambil tersenyum:
"Kepala keluarga lebih berhak membawanya sendiri!"
Walaupun ia seorang Khalifah, ia menunggang keledai dengan dua kaki tergelantung seolah-olah
tak ada bedanya lagi dengan seorang badui miskin. Para sahabatnya berusaha mengganti hewan
kendaraan itu dengan seekor kuda yang pantas bagi seorang Amirul Mukminin. Tetapi Imam Ali
r.a. malah menjawab: "Biarkan aku meremehkan dunia ini!"
Imam Ali r.a. sanggup menaklukkan rayuan kesenangan duniawi dan menundukkan megahnya
kekuasaan. Di dunia ini ia hidup untuk menunggu akhirat, dan bukannya takluk kepada dunia.
Nyata benar bedanya antara Imam Ali r.a. di Kufah dengan Muawiyah di Syam. Imam Ali r.a.
hidup zuhud dan suci, sedang Muawiyah hidup serba mewah meniru raja-raja Persia dan
Romawi. Salah seorang dinasti Bani Umayyah sendiri yang terkenal jujur, Umar bin Abdul Azis,
mengakui terus terang: "Ali bin Abi Thalib r.a. adalah orang yang paling zuhud di dunia."
Imam Ali r.a. seperti diketahui pernah berselisih pendapat dengan Abu Bakar Ash Shiddiq r.a.
tentang kekhalifahan. Tetapi sebagai seorang zahid tidak mau mengingkari keutamaan Abu
Bakar r.a. Sewaktu menyatakan belasungkawa atas wafatnya Abu Bakar r.a sambil menyeka air
mata, Imam Ali r.a. berkata:
"Hai Abu Bakar, Allah telah melimpahkan rahmat kepadamu. Demi Allah, engkau adalah orang
Islam pertama dari ummat ini. Orang yang paling ikhlas imannya dan orang yang paling lurus
keyakinannya. Engkau adalah orang yang membenarkan dan mempercayai Rasul Allah s.a.w. di
saat orang-orang lain mendustakannya. Engkaulah yang membantunya di saat orang-orang lain
menggenggamkan tangan (kikir). Engkaulah yang tegak berdiri di sampingnya di saat orangorang
lain duduk berpangku tangan."
"Demi Allah, engkaulah yang menjadi pelindung Islam di saat orang-orang kafir hendak
menghancurkannya. Hujahmu (dalam membela Islam) tak pernah lemah, pandanganmu
senantiasa tajam, dan engkau tidak pernah berjiwa penakut."
"Demi Allah, engkau adalah seperti yang dikatakan Rasul Allah s.a.w.: badanmu lemah, tetapi agamamu kuat dan selalu bersikap rendah hati. Semoga Allah melimpahkan ganjaran
kepadamu, dan semoga pula Allah tidak akan membiarkan aku tersesat sepeninggalmu."
Banyak sekali riwayat yang mengisahkan kezuhudan Imam Ali r.a. Sikapnya yang selalu menolak
kekayaan dan harta benda sangat menonjol. Salah seorang tokoh pada zamannya, Asy Syi'biy
misalnya, sangat terkesan oleh suatu peristiwa yang disaksikannya sendiri di masa kanak-kanak.
Katanya: "Bersama anak-anak lain aku pernah masuk ke sebuah tempat yang sangat luas di
Kufah. Di sana aku melihat Imam Ali sedang berdiri di depan dua onggok emas dan perak. Ia
memegang sebilah pedang untuk membubarkan orang banyak yang berkerumun di tempat itu.
Setelah itu ia kembali menghampiri onggokan emas dan perak untuk menghitungnya. Kemudian
memanggil orang-orang supaya mendekat dan kulihat semua emas dan perak habis dibagibagikan
sampai tak ada lagi sisanya."
"Waktu aku pulang," kata Asy Syi'biy seterusnya, "bertanya kepada ayah: 'Yang kusaksikan hari
ini orang yang paling baik ataukah orang yang paling bodoh?' Sambil keheran-heranan ayah balik
bertanya: 'Siapa dia, anakku?' Kujawab: 'Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.' Kemudian
kuceritakan kepada ayah apa yang kusaksikan tadi. Mendengar ceritaku itu ayah terharu dan
sambil melinangkan air mata menjawab: 'Yang kaulihat tadi itu orang yang paling baik,
anakku'…"
Riwayat yang membuktikan tentang tidak senangnya Imam Ali r.a. kepada harta kekayaan
diceritakan juga oleh Muhammad bin Fudhail, Harun bin Antarah dan Zadan. Ketika itu
Muhammad bin Fudhail bepergian bersama pelayan Imam Ali r.a. yang bernama Qanbar. Di
tengah jalan mereka bertemu dengan Imam Ali r.a. Kepada tuannya Qanbar memberitahu
bahwa ia mempunyai barang simpanan yang khusus disembunyikan untuknya. Pemberitahuan
Qanbar itu menimbulkan tanda-tanya di hatinya. Kemudian ia minta penjelasan. Tanpa
memberi jawaban apapun Qanbar terus mengajak Imam Ali r.a. pergi ke tempat tinggalnya.
Setibanya di rumah, Qanbar menghampiri sebuah tempat dan mengambil sebuah kantong.
Waktu kantong dibuka dan dikeluarkan ternyata berisi beberapa piala penuh dengan kepingankepingan
emas dan perak.
Dengan wajah berseri-seri Qanbar berkata: "Kulihat tuan tak pernah membiarkan barang apa
pun yang tidak tuan bagikan kepada orang-orang lain sampai habis. Oleh karena itu semuanya
ini kusembunyikan dari Baitul Mal, khusus untuk tuan."
Dengan mata membelalak, Imam Ali membentak: "Celaka engkau, hai Qanbar! Apakah engkau
ingin memasukkan kobaran api ke dalam rumahku?" Tanpa banyak bicara lagi Imam Ali segera
menghunus pedang lalu dihantamkan kuat-kuat ke kantong yang berisi piala-piala penuh emas
dan perak. Piala-piala itu hancur berkeping-keping dan emas serta perak tertebar
berhamburan.
Habis itu Imam Ali r.a. mengumpulkan orang banyak. Kepada mereka ia berkata: "Bagilah
semuanya itu dengan adil!"
Belum puas dengan sikap yang memukaukan orang banyak itu, Imam Ali r.a. cepat-cepat
menuju Baitul Mal. Semua yang tersimpan dalam balai harta kaum muslimin itu dibagi-bagikan
begitu saja kepada orang-orang. Setelah terbagi rata, ia masih melihat ada beberapa kerat
jarum dan benda-benda kecil lain yang kurang berharga. Kepada orang-orang yang masih
tinggal ia menganjurkan supaya benda-benda kecil itu.dibagi juga. Apa jawab mereka: "… Kami
tidak membutuhkan itu…!"
Imam Ali r.a. tersenyum meninggalkan Baitul Mal seraya bergumam: "Yang jelek sebenarnya
harus diambil juga bersama-sama yang baik!" Ia pergi tanpa sekeping pun melekat di
tangannya.