Manfaat Hadir di Majelis-Majelis Duka Asyura
Peristiwa terbantainya Imam Husain as meski telah berlalu
1400 tahun silam, tetap terkenang sampai saat ini. Sebuah
tragedi memilukan yang menjadi noda dalam perjalanan
sejarah Islam.
Para pecinta Ahlulbait as mengadakan majelis-majelis khusus
setiap tahunnya untuk memperingati tragedi Asyura tersebut.
Alasannya dapat dirangkum dalam beberapa poin.
Diantaranya:
Pertama, untuk merawat ingatan, bahwa peristiwa tragis
pernah dialami keluarga Nabi, yang Nabi Muhammad saw
berwasiat mengenai mereka untuk dijaga, diperhatikan dan
diikuti. Yang tragisnya, keluarga Nabi tersebut dibantai oleh
mereka yang mengaku sebagai pengikut Nabi.
Kedua, untuk mengenal sejarah perjuangan keluarga Nabi
dalam menjaga keutuhan ajaran Islam. Mereka tidak hanya
menjaga nyala Islam melalui dakwah, pengajaran dan
pembinaan umat namun juga menjaganya melalui jihad fisik dan pengorbanan nyawa. Menegakkan syiar Islam mereka
lakukan tidak hanya dengan tinta namun juga dengan tetesan
darah. Imam Khomeini mengatakan, "Islam terjaga oleh
pengorbanan dan tumpahan darah putera-putera terbaiknya."
Ketiga, untuk mengetahui perjalanan sejarah Islam yang tidak
melulu mulus dan romantis. Sejarah Islam tidak hanya
mencatat adanya kejayaan emas namun juga terciprati noda
pengkhianatan, kemunafikan dan ambisi untuk saling
menghabisi demi kekuasaan. Ambisi kekuasaan yang
menelan korban dari manusia-manusia suci keturunan
Rasulullah saw.
Ambisi itu sampai sekarang masih ada, dengan
mengatasnamakan Islam dan memperalat ajaran suci agama,
kelompok-kelompok dengan berjubah Islam memaksakan
kehendak, melancarkan permusuhan dan kebencian meski
pada sesama muslim.
Atas nama Islam, mereka menggebuk lawan-lawan politik
meski dengan cara-cara yang justru bertentangan dengan
Islam itu sendiri. Dengan mengenal sejarah Islam yang tidak
melulu mulus tersebut, akan menyentak kesadaran kita untuk
tidak mudah terpedaya dan terbius atas simbol-simbol Islam
yang digunakan justru untuk memuaskan ambisi pribadi dan kelompok, bukan menjadi rahmatal lil 'alamin yang menjadi
tujuan suci Islam.
Keempat, untuk mengenal siapa lawan siapa kawan.
Keberpihakan pada Ahlulbait Nabi bukan sesuatu yang bisa
ditawar, sebab telah menjadi perintah agama. Nabi
Muhammad saw berpesan untuk tidak meninggalkan
Ahlulbaitnya bukanlah pesan biasa yang lahir dari kecintaan
pada keluarga semata, melainkan lahir dari wahyu dan
perintah Allah swt. Karenanya sangat beralasan ketika Nabi
Muhammad saw bersabda kepada Imam Ali as, "Wahai Ali
siapapun yang mencintaimu, sama halnya telah mencintaiku,
dan barangsiapa yang memusuhimu, artinya telah menyulut
permusuhan denganku."
Sikap kepada Ahlulbait as adalah garis tegas, yang
memisahkan siapa kawan, siapa lawan. Siapapun mencintai
Ahlulbait dengan sebenar-benarnya kecintaan, maka harus
dijadikan kawan dan bergabung dalam barisannya, dan
siapapun yang menyatakan permusuhan pada Ahlulbait,
maka umat Islam harus menyatakan tabarri (berlepas diri)
dari mereka.
Kelima, untuk mendapatkan keteladanan. Apa yang
dipertontonkan Imam Husain as di padang Karbala, adalah keteladanan besar yang harus menjadi rujukan umat.
Kesetiaan pada kebenaran dan sikap tegas menolak tunduk
pada kekuasaan yang zalim adalah pelajaran besar dari
madrasah Karbala. Begitu juga keteladanan dari Syuhada
Karbala lainnya. Dari sahabat-sahabat Imam Husain as yang
tetap memberikan kesetiaan pada sang Imam sampai tetesan
darah mereka yang terakhir. Meski taruhannya nyawa,
mereka tetap berpihak pada kebenaran yang ada bersama
Ahlulbait.
Madrasah Karbala juga memberikan pelajaran akhlak yang
melimpah. Kesediaan memaafkan musuh sebagaimana yang
dicontohkan Imam Husain as ketika al-Hurr menyatakan
pertaubatan dan kesiapan untuk bergabung dengan pasukan
Imam Husain as. Al-Hurr salah seorang komandan pasukan
Yazid yang diperintahkan untuk mengarahkan Imam Husain
as ke lokasi pembantaian, tergugah hatinya ketika
mendengarkan orasi Imam Husain as yang mengajak kepada
musuh-musuhnya untuk hanya takut pada Allah swt. Ia berlari
ke arah Imam Husain as dan menyatakan pertaubatan.
Maafnya diterima dan ia tunjukkan kesungguhan taubatnya
dengan menghadapi anak buahnya sendiri, sampai akhirnya
gugur bersimbah darah sebagai ksatria. Serta banyak keteladanan lainnya yang bisa didapat dari Madrasah Karbala
yang diceritakan kembali dalam majelis-majelis yang
diadakan untuk memperingati tragedi Asyura, seperti
keimanan mutlak Imam Husein as kepada Allah swt.
Keimanan mutlak ini telah membentuk pribadi sang Imam
menjadi figur yang berani, pantang menyerah dan memiliki
izzah (kemuliaan) yang tidak bisa dibeli dengan duniawi.
Di era kekinian, dengan memetik pelajaran kemerdekaan dan
kebebasan dari gerakan Al-Husain kita memiliki cukup energi
guna melawan para penguasa yang zalim. Imam Husein as
mencita-citakan berdirinya pemerintahan yang adil dan
kebebasan bagi orang-orang yang tertindas.
Keenam, untuk menunjukkan kecintaan. Luapan cinta harus
diekspresikan, itu telah menjadi aksioma yang tidak perlu
dipertanyakan lagi. Cinta butuh simbol, sebagaimana
umumnya setangkai bunga yang diberikan laki-laki pada
perempuan yang dicintainya. Majelis-majelis Asyura yang
ramai diadakan di 10 hari pertama bulan Muharram adalah
ekspresi kecintaan. Sang pecinta akan betah mengulangulang dan menceritakan kembali peristiwa-peristiwa penting
yang pernah dijalani yang dicintainya, baik itu peristiwa
menyenangkan maupun tragedi yang memilukan.
Ingatan terus dirawat, untuk menjaga kedekatan emosional
dengan pihak yang dicintai. Sang pecinta akan turut bersuka
dihari-hari bahagia, dan turut berduka dihari-hari kesedihan.
Kecintaan kepada Imam Husain as bukan sekedar kecintaan
emosional, tapi kecintaan yang memiliki dasar jelas dalam
agama. Ketika Nabi Muhammad saw bersabda "Husain
dariku, dan aku dari Husain", menunjukkan mencintai Imam
Husain as adalah tanda kecintaan kepada Nabi, dan
mencintai Nabi adalah tanda keimanan kepada Allah swt.
Seseorang yang menjadikan Imam Husain sebagai
kekasihnya dan mendengar sang kekasih mengalami
musibah dan bencana, apa layak hanya menanggapinya
dengan dingin dan tidak menangis?
Imam Husain adalah adalah kekasih bagi setiap muslim,
apapun mazhabnya. Ia gugur dalam keadaan kehausan dan
tidak cukup dibantai, tapi kepalanya dipisahkan dari tubuhnya
dan ditancapkan di atas tombak.
Tragedi Karbala adalah garis penegas. Siapapun ketika
mendengar kisah terbunuhnya Imam Husain lalu tidak
mengucurkan air mata, maka akan dingin terhadap trageditragedi kemanusiaan lainnya.
Karenanya wajar, jika ada yang biasa-biasa saja ketika
mendengar kejadian tukang servis ampli dibakar karena
dituduh mencuri, atau mayoritas kita kehilangan kepekaan
kemanusiaan dan empati sosial ketika menatap korbankorban di Jalur Gaza dan di Yaman yang berlumuran darah
dan debu bangunan ataupun ketika melihat muslim
Rohingnya terusir dari kampung halamannya dalam keadaan
menyedihkan.
Tangisan atas Imam Husain bukanlah tangisan kehinaan dan
kekalahan, namun bentuk protes keras atas segala bentuk
kebatilan dan sponsornya di sepanjang masa. Orang-orang
mukmin merasakan gelora dalam jiwanya ketika mengenang
terbunuhnya Imam Husain dan itulah yang membuat nyala
perjuangan sang Imam tetap membara dihati-hati pecintanya.
Kullu Yaumin Asyura, Kullu Ardin Karbala, semua hari adalah
Asyura, semua tempat adalah Karbala.