SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
Oleh: Al-Marhum Al-Ustadz Husein Al-Habsyi
Daftar Isi Pendahuluan
Sunnah-Syi’ah dalam dialog antara Mahasiswa UGM, UII Yogyakarta dengan Ustadz Hussein Al-Habsyi
Pertama: “Benarkah Syi ‘ah itu Kafir?”
Kedua: Bagaimana Pendirian Mazhab Syi’ah Tentang Sahabat Nabi?
Ketiga: “Benarkah Syi‘ah berpendapat bahwa Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman itu tidak sah?”
Keempat: Benarkah Syi’ah meragukan Hadith Abu Hurairah dan bahkan tidak memakainya?
Kelima: Hadits Qur‘an wa Sunnati atau Hadits Qur ‘an wa Ithrati?
Keenam: Apakah Mungkin di Zaman Setelah Nabi saww, ada pemalsu-pemalsu Hadits?
Ketujuh: Apakah ithrah itu? Apakah yang dimaksudkan ithrah itu sampai keturunan sekarang atau mungkin ada batasnya?
Kedelapan: Di mana turunnya ayat yang berkenaan dengan peristiwa Ghadir Khum dan berkaitan dengan peristiwa apa?
Kesembilan: Apakah benar, bahwa Syi‘ah menambah dan mengurangi ayat-ayat Al-Qur’an dan melakukan perubahan-perubahan?
Kesepuluh: Mengapa Syi’ah Imamiyah kalau Shalat hanya tiga waktu?
Kesebelas: Bagaimana menurut faham kita Ahlus sunnah tentang masalah Rajah?
Kedua belas: Apa sebenarnya makna Rafidhah?
Raj’ah Menurut Pandangan Syi’ah Imamiyah
Dalil-dalil Tentang Adanya Raj’ah
PENDAHULUAN Risalah di hadapan anda ini adalah hasil Dialog antara Al-Ustadz Husein Al-Habsyi dengan mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Islam Yogyakarta (UII) di Solo. Dalam dialog tersebut para mahasiswa menanyakan beberapa masalah tentang Madzhab Syi’ah Imamiyah, antara lain:
1. Benarkah Syi ‘ah itu Kafir?
2. Bagaimana Pendirian Madzhab Syi’ah tentang sahabat Nabi Saww?
3. Benarkah Syi‘ah berpendapat bahwa Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman itu tidak sah?
4. Benarkah Syi‘ah itu meragukan Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan bahkan tidak menggunakannya? Apakah dengan membuang Hadits-hadits riwayat Abu Hurairah, Islam ini akan lenyap? Dan bagaiman akhirnya nanti?
5. Mohon penjelasan tentang Hadits Tsaqalain (Qur’an wa Sunnati) atau Qur’an wa Itrati AhIi Baiti mana yang lebih shahih?
6. Kalau Sunnah pada zaman Nabi ternyata tidak dibukukan, tetapi mengapa sampai juga kepada kita dan dipakai oleh kita Ahlussunnah. Kemudian apakah mungkin di zaman itu ada pemalsu-pemalsu Hadits?
7. Apakah Itrah itu? Apakah yang dimaksud ltrah itu sampai keturunan Rasulullah saw yang sekarang ini atau mungkin ada batasannya?
8. Di mana turunnya ayat yang berkenaan dengan peristiwa Ghadir Khum dan berkaitan dengan peristiwa apa?
9. Benarkah tuduhan bahwa Syi’ah menambah dan mengurangi ayat-ayat Al-Qur’an dan melakukan perubahan -perubahan?
10. Mengapa Syi’ah Imamiyah kalau Shalat hanya tiga waktu?
11. Bagaimana menurut faham kita Ahlus sunnah tentang masalah Raj’ah?
12. Mungkin Ustadz tahu apa sebenarnya makna Rafidhah?
Dalam jawabannya terhadap pertanyaan mereka, Ustadz Husein menggunakan pendapat Ahlus sunnah, dengan maksud agar serangan-serangan (tuduhan-tuduhan) yang dilemparkan kepada Madzhab Syi’ah lmamiyah dapat dihentikan karena kedua Madzhab itu tidak berbeda dalam masalah-masalah pokok. Semoga risalah kecil yang kami kutip dari kaset tanya jawab Ustadz Husein dengan para mahasiswa ini, dengan kami tambahkan catatan kaki dan setelah kami tanyakan kepada Ustadz sebagai sumber rujukan, maka dapat menambah wawasan pengetahuan kita, agar kita tidak mudah memvonis saudara-saudara kita sesama muslim secara in-absentia dan teks-book thingking kita.
Sunnah-Syi’ah dalam dialog antara Mahasiswa UGM, UII Yogyakarta dengan Ustadz Hussein Al-Habsyi Mahasiswa: Ustadz Husein yang terhormat, kedatangan kami ini bertujuan untuk silaturahmi. Kami rombongan mahasiswa dan Yogya, sebagian kami ini dan Universitas Islam Indonesia dan ada juga dan Universitas Gajah Mada. Kami banyak mendengar tentang Mazhab Syi’ah dan beberapa Ulama yang pernah kami datangi. Tetapi kami belum merasa puas karena masih ada beberapa jawaban yang kurang tepat menurut kami. Sekarang kami minta agar Ustadz menjelaskan masalah Madzhab Syi’ah ini, dan kami telah mempersiapkan beberapa pertanyaan yang kami anggap perlu.
Ustadz Husein: Saudara-saudara mahasiswa dari Yogya, Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuhu. Saya bahagia atas kedatangan saudara-saudara kepada saya, apalagi dengan tujuan yang baik yaitu silaturrahim. Saya bersyukur kehadirat Allah karena saudara-saudara masih mempunyai keinginan untuk mengetahui Sebuah Madzhab, yang selama ini di Indonesia tidak terkenal. Tetapi kemudian setelah dikenal banyak fitnah yang ditujukan kepada Madzhab ini. Namun sayang saudara-saudara, sebab saya sendiri bukan Syi’ah. Jadi sebenarnya lebih tepat bila saudara-saudara terus menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini kepada yang menyatakan bahwa dirinya memang orang Syi’ah.
Pertama: “Benarkah Syi ‘ah itu Kafir?” Mahasiswa: “Walaupun Ustadz bukan seorang Syi’ah tetap kami rasa paling tidak Ustadz telah membaca tentang Madzhab ini. Jadi kami rasa tidak salah bila kami bertanya kepada Ustadz. Dan sebaiknya kami langsung saja bertanya. Pertanyaan kami yang pertama adalah: “Benarkah Syi ‘ah itu Kafir?”
Ustadz Husein: Baiklah saudara-saudara, saya akan menerima desakan saudara agar saya menjawab pertanyaan saudara-saudara Insya Allah, namun sebaiknya dalam majelis ini kita hindarkan perdebatan. Saya sangat tidak setuju bila majelis seperti ini yang sedianya bermaksud mencari ilmu, mendengar sesuatu yang bisa menambah ilmu, kemudian berbalik menjadi majelis perdebatan, sedangkan perdebatan itu hanya akan membawa permusuhan. Jadi kalau itu terjadi, maka hilanglah maksud yang baik dan majelis ini.
Saudara-saudara yang terhormat! Menjawab pertanyaan saudara ini saya kira mengkafirkan sesama muslim, bukan saja tidak dibenarkan oleh syariat Nabi Muhammad Saww tetapi juga tidak pantas dan juga tidak menguntungkan baik dipihak Syi’ah maupun Ahlus Sunnah, bahkan bisa melemahkan keduanya. Siapa di antara kita kaum muslimin --apalagi saudara mahasiswa ini-- yang belum mendengar tentang Kristenisasi yang galak dan dahsyat seperti sekarang ini. Mereka sebelum ini sudah bersatu dan segala aliran; Katolik, Protestan, Advent, ditambah dengan kaum musyrikin, Zionis dan Yahudi, mereka semua sudah bersatu, sedangkan kaum Nasrani bergabung dalam satu dewan gereja. Padahal mereka tidak punya ayat yang berbunyi:
“Bahwa sesungguhnya umatmu ini adalah ummat yang satu dan Kami adalah Tuhanmu, maka sembahlah Kami.” (Q.S.21: 92).
Mereka tidak pernah dipersatukan dengan Injil mereka atau Taurah mereka, tampaknya mereka dalam taktik mencapai target mengkristenkan kita, memurtadkan kita, maka bersatulah mereka untuk menghadapi kita. Menurut informasi yang saya terima, ribuan sekolah dasar sekarang murid-muridnya dibiayai oleh kaum inissionaris (kaum Nasrani), tentunya dengan maksud -maksud tak asing lagi bagi kita. Jadi gereja menginginkan agar mereka itu merasa berhutang budi kepada Nasrani kemudian mudah ditarik oleh mereka ke Gereja. Karena itu mereka mencapai kemajuan yang pesat di tahun-tahun terakhir ini.
Sedangkan kita --maaf-- secara tidak sadar membantu mereka mengeluarkan saudara- saudara dan generasi kita yang sekarang ini dan ummat dan agama Islam. Jadi mereka akan lebih mudah mengkristenkan kita, sedangkan kita mengkafirkan saudara kita sendiri.
Adakah fanatisme yang lebih berat daripada ini?
Kita sekarang ini tidak perlu Syi‘ah atau Sunnah menjadi bahan gaduh di antara kita, kaum muslimin. Kita perlu Islam yang bersumber kan Al-Qur’an dan Al-hadits diterapkan pada diri kita.
Kita memerlukan ukhuwah, memerlukan pengumpulan dana dan seluruh masyarakat dan organisasi Islam untuk menebus jutaan pemuda muslim yang sekarang diambang pintu Nasrani untuk dikristenkan.
Untuk menyelamatkan mereka, barangkali kita perlu mengurangi belanja rumah tangga dan uang jajan anak-anak kita. Dan gadis- gadis serta wanita kita, harus mengurangi segala macam kelebihan benda-benda yang tidak diperlukan seperti alat-alat make-up dan sebagainya, karena uang itu nanti akan kita sumbangkan kepada penduduk yang miskin di antara kaum muslimin yang sekarang dipegang oleh gereja dengan maksud-maksud seperti itu.
Sekarang kita membuang uang untuk mencetak buku-buku, membagikan buku-buku secara gratis yang hanya isinya caci-maki, tuduh-menuduh dan kafir-mengkafirkan. Sehingga uang ratusan juta di Indonesia ini kita habiskan hanya untuk membumihanguskan rumah tangga kita sendiri. Apakah tindakan seperti ini cocok dengan syariat, sesuai dengan akal sehat, pantas dengan waktu seperti sekarang dan sejalan dengan politik perjuangan dewasa ini? Biasanya tindakan-tindakan semacam itu diilhami oleh wawasan yang sempit, fanatisme yang bergejolak di dada, atau kesempitan akhlaq dan kedengkian yang mendalam terhadap sesama muslim. Paling tidak itu hanya intrik dan zionisme atau salibisme internasional. Kita (Ahlussunnah) mengkafirkan Syi‘ah Imamiyah berdalilkan teks books kita dan secara subyektif serta in-absentia. Ini salah satu dan wawasan yang sempit, sebab kita tidak berhadapan dengan mereka secara langsung. Belum pernah kita mengadakan diskusi bersifat final antara Ulama Syi‘ah dan Ulama kita. Kita mencaci mereka dengan menggunakan dalil buku-buku orientalis, itu juga menunjukkan wawasan yang sempit.
Kita kafirkan mereka berdasarkan caci-maki, ejekan dan segala macam kebohongan, itu juga merupakan akhlaq yang sempit. Orang yang berwawasan sempit akan mengatakan, bahwa kita (Ahlus sunnah) ini juga melakukan tahrif, seperti kita mengatakan bahwa Syi’ah melakukan tahrif dan begitu seterusnya. Saya kira hal ini perlu saudara-saudara camkan sebelum majelis ini akan kita lanjutkan nanti.
Kedua: Bagaimana Pendirian Mazhab Syi’ah Tentang Sahabat Nabi? Mahasiswa: Ustadz Husein yang terhormat, terima kasih atas keterangan yang disampaikan kepada kami. Sebelum kami melanjutkan pertanyaan yang kedua, kami ingin kembali dengan jawaban Ustadz Husein yang pertama tadi, yakni Ustadz Husein menyatakan bahwa kita tidak perlu saling mengkafirkan di antara kaum Muslimin. Namun kami sering mendengar bahwa orang-orang yang berfaham Syi‘ah sering mengkafirkan Sahabat Nabi Saww. Kalau itu tidak benar, kami ingin menanyakan kepada Ustadz: “Bagaimana sebenarnya pendirian orang Syi‘ah terhadap para Sahabat Nabi Saww?
Ustadz Husein: Dalam masalah ini, sebenarnya dua Madzhab ini mempunyai dua pendapat dan dua pendirian masing-masing. Kalau Madzhab Syi’ah itu, membagi para sahabat Nabi menjadi tiga bagian sebagaimana yang tertera dalam kitab-kitab mereka antara lain sebagai berikut:[1]
Bagian pertama: Adalah sebagian sahabat yang benar-benar taat dan setia kepada Rasulullah Saww, tidak pernah melanggar dan tidak pernah membantahi dan sebagainya. Antara lain yang disebut-sebut oleh Syi’ah ialah nama-nama: Ammar, Al-Asytar, Abu Dzar, Salman, Jabir bin Abdillah, dan sebagainya. Begitulah menurut mereka.
Bagian kedua: Ialah sahabat-sahabat yang pernah berbuat sesuatu yang kurang menampakkan kesetiaannya kepada Rasulullah Saww. Dan perbuatan-perbuatan mereka itu disebutkan serta ditulis di dalam kitab-kitab standard hadits kita seperti, Bukhari, Muslim dan lain sebagainya. Syi’ah pun mempunyai jalur yang meriwayatkan hal seperti itu, kemudian Syi‘ah berpegangan bahwa mereka itu (sahabat) dalam pembagian kedua ini memang masih harus diseleksi dan diragukan.
Bagian ketiga: Yaitu sahabat yang dianggap munafiq, orang-orang seperti ini masuk dalam batas kufur. Yang menyatakan adanya munafiq dari kalangan sahabat itu adalah Nabi sendiri. Di dalam Hadits-hadits yang diriwayatkan Bukhari yang di antaranya menyatakan: “Bahwa kelak dihari kiamat beliau Saww berada di Haudh, tiba-tiba datang para Sahabat lalu mereka mau minum, Rasul mau melayani mereka, tetapi mereka dijauhkan dari Rasul, Rasul ditanya: “Engkau tidak tahu wahai Muhammad, apa yang telah mereka lakukan serelah engkau wafat.”[2]
Juga dalam Al-Qur’an disebutkan: “Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu ada orang-orang munafik; dan (juga) dl antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (Q.S.9: 101)
Ayat-ayat dan Hadits-hadits seperti ini banyak, dan oleh kaum Syi’ah Imamiyah hal itu dijadikan pegangan dan mereka tidak akan meninggalkan, karena mereka menganggap itu juga nash, mereka tidak boleh mempunyai pendapat di samping nash.
Adapun kalangan kita Ahlussunnah, menyatakan bahwa semua sahabat tanpa kecuali adalah “udul” artinya orang yang bisa dipercaya. Orang-orang baik, setidak-tidaknya mereka pernah melihat wajah Nabi Saww dan pernah ada di sekitar Nabi, itu baik dan itu pendapat. Ya... agar tidak terlalu banyak hal yang akan menimbulkan pertanyaan, pokoknya semua baik, sudah. Jadi kalau ada satu riwayat tentang kesalahan yang jelas di kalangan para sahabat itu, kita Ahlussunnah menganggapnya itu adalah ijtihad sahabat.
Kemudian Kita ta‘wilkan dan tafsirkan sampai akhirnya mereka dianggap mendapat pahala (sebagai orang yang mendapatkan fadhilah), dapat ganjaran. Misalnya sahabat membunuh sahabat. Muawiyah memerangi Ali sampai beberapa belas ribu orang sahabat gugur. Kita mengatakan Muawiyah itu berijtihad dan ijtihadnya itu sampai memerangi Ali bin Abi Thalib, dan kita mempunyal kaidah ushul:
Apabila hakim berijtihad, kalau benar mendapat dua pahala, dan kalau salah mendapat satu pahala.[3]
Jadi minimal Muawiyah bin Abi Sufyan mendapat satu pahala. Begitulah sikap kita Ahlussunnah terhadap para sahabat. Tentu masing-masing Madzhab mempunyai pendirian sendiri dalam beberapa masalah, dan kita yang berpendirian seperti ini seharusnya menghormati pendirian orang lain. Kalau Syi ‘ah mengkafirkan orang-orang munafik, kita tidak boleh mengkafirkan mereka, karena mereka hanya mengkafirkan sebagian sahabat yang munafik yang telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan Hadits-hadlts. Mereka punya dasar dan alasan, -setidaknya mereka berijtihad dan berdasarkan nash yang ada pada kita juga, jadi tidak boleh kita salahkan begitu saja. Kita boleh menerima atau tidak menerima pendapat itu. Kalau kita tidak menerima pendirian mereka ini maka kita kembali kepada pendirian kita, yaitu semua sahabat itu “udul” tanpa kecuali. Inilah pendapat saya tentang masalah kedua ini. Jadi masalah ini kita serahkan kepada pendirian kita sendiri dan bagaimana akal serta logika kita mengkaji masalah-masalah seperti ini. Kalau Syi’ah kita anggap mengkafirkan sebagian dan para sahabat lalu kita vonis mereka ini kafir maka hal ini tidak benar. Sebab kita mesti tahu dengan alasan apa mereka mengkafirkan itu? Kalau alasannya berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits maka itu adalah hak mereka dan kalau kita tidak sependapat dengan itu, maka itu adalah hak kita.
Mahasiswa Setelah mendengar keterangan dan Ustadz, kami jadi ingin bertanya lebih jauh. Jika demikian, apa bedanya pendirian Syi’ah dan Ahlussunnah men genai sahabat?
Ustadz Husein: Tadi sudah saya jawab bahwa perbedaan kita dengan mereka ialah bahwa Imamiyah mengatakan, sahabat itu dibagi menjadi tiga kelompok (ditinjau dan sudut keimanan mereka). Yang paling tinggi di antara mereka adalah para sahabat yang tidak pernah berbuat sesuatu yang tercela dan mereka tidak pemah berbuat salah. Yang kedua adalah mereka yang pernah membuat kesalahan sebagaimana yang telah saya sebutkan tadi yakni sahabat membunuh sahabat, sahabat mencerca sahabat dan sebagainya. Yang ke tiga yaitu sahabat yang munafik dan sifat mereka yang munafik ini sudah jelas tampak. Namun sikap kita Ahlussunnah menganggap bahwa semua sahabat itu “udul”. Kalau sekiranya ada perbuatan yang menyimpang maka kita ta‘wilkan, sehingga kadang-kadang terus saja saya ingin menegaskan ta‘wil kita itu bertentangan dengan nash. Jadi seakan-akan kita mengatakan bahwa syariat Islam ini tidak berlaku atas sahabat, dan ini tidak pernah dilakukan atau diajarkan oleh Rasulullah Saww. Rasulullah sendiri pernah bersabda: ‘Andaikata Fatimah binti Muhammad AS mencuri, niscaya akan aku potong tangannya’.[4]
Jadi, Fatimah yang merupakan sepenggal dari badan Nabi dan yang paling dicintai di dunia ini di antara manusia-manusia yang hidup, andaikan beliau tercinta itu mencuri, maka Nabi akan memotong tangannya! Maka saya kira sahabat yang lain pun tidak berhak untuk mendapat kekebalan hukum atau kita menta‘wilkannya.
Ketiga: “Benarkah Syi‘ah berpendapat bahwa Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman itu tidak sah?” Mahasiswa: Kami masih ingin menanyakan tentang satu masalah, dan masih sekitar masalah sahabat cuma kami lebih menyempitkan permasalahan ini. Pertanyaan kami: “Benarkah Syi‘ah berpendapat bahwa Khaltfah Abu Bakar, Umar dan Utsman itu tidak sah?”
Ustadz Husein: Dalam masalah ini dua Madzhab ini mempunyai dua pendapat dan dua pendirian. Dua pendirian itu tidak bisa dikompromikan sebab konsekwensinya seseorang yang memegang pendirian harus tetap dan teguh atas dali-dalil yang diyakininya.
Sekarang kita mendapati ada dua golongan. Satu golongan yang meyakini bahwa Nabi Saww dalam beberapa Hadits menunjuk Ali bin Abi Thalib menjadi pemimpin setelah Beliau, misalnya Hadits Ghadir yang berbunyi: “Barangsiapa menjadikan aku sebagai pemimpilnnya maka Ali juga pemimpinnya.”[5]
Dan Hadits Tsaqalain yang berbunyi: “Aku Tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berharga, yaitu Al-Qur‘an dan Itrah Ahli Baitku. Kalau kalian berpegang teguh pada keduanya, niscaya kalian tidak akan sesat.”[6]
Kemudian Hadits Manzilah ketika menjelang perang Tabuk: “Kedudukan engkau dan aku sebagaimana kedudukan Harun dan Musa, hanya saja tidak ada Nabi setelah aku.“[7]
Dan masih banyak lagi Hadits yang seperti itu yang jelas dan tidak bisa diragukan lagi bahwa Nabi Saww menunjuk Ali dengan perintah Allah menjadi Khalifah setelah Beliau.
Jadi Nabi dengan tegas mengatakan sesudah Beliau hanya Ali sebagai penerusnya. Jika ada orang lain menjabat itu maka menurut Syi’ah jabatan itu tidak sah. Sebab mungkin seperti seorang gubernur yang menjabat sebuah propinsi karena desakan orang-orang disekitarnya tanpa dia menerima surat keputusan dari presiden maka hal itu tentunya tidak dianggap sah. Masalah ini menurut Syi’ah adalah masalah yang prinsip. Sebab Imamah menurut mereka merupakan masalah yang sangat mendasar.
Kita -Ahlus Sunnah tidak mengatakan seperti itu. Kita mengatakan bahwa Nabi tidak meninggalkan pesan apapun,[8] sehingga untuk mengangkat pemimpin, sahabat menjalankannya dengan musyawarah di antara mereka. Dan syuroh itu memilih Abu Bakar sebagai Khalifah pertama.[9] Kemudian oleh beliau jabatan selanjutnya diserahkan kepada Umar Ra sebagai Khalifah kedua, menjelang wafat, Umar menunjuk 6 orang untuk memilih seorang Khalifah. Kemudian Utsman menjadi Khalifah ketiga,[10] di antara 4 Khalifah ini menurut sejarah kita Ahlussunnah hanya Ali saja yang dipilih secara aklamasi oleh seluruh kaum muslimin tanpa terkecuali. Jadi pemilihan empat Khalifah itu dilakukan dengan empat macam cara.
Hal ini oleh kaum muslimin sekarang khususnya Ahlus Sunnah merupakan cara yang wajar dan cukup memadai serta tidak salah. Dengan demikian kita menganggap ketiga Khalifah itu adalah sah, sedang Syi’ah tidak demikian. Mereka menginginkan Khalifah yang ditunjuk oleh Rasulullah Saww.
Sedangkan kita seakan -akan tidak membenarkan adanya penunjukan. Padahal sebenarnya kalau kita sabar meneliti dan membaca hadits-hadits sehubungan dengan itu, kita akan tahu bahwa sebagian dan sahabat waktu itu mengakui adanya penunjukan. Di antaranya terbukti ketika mereka berkumpul di tempat bernama Khum, Nabi mengangkat Ali sebagai wali sesudah beliau, maka Sayyidina Umar diriwayatkan datang kepada Ali dan menjabat tangan beliau sambil mengatakan: “Selamat wahai putera Abu Thalib! Engkau hari ini menjadi wali tiap mu ‘min.”[11]
Bila demikian Hadits yang diucapkan oleh Nabi di Ghadir Khum, saya kira tidak bisa disalahkan, jadi memang betul Hadith dan kejadian itu memang ada, namun sebagian dan kita mengatakan tidak demikian.[12] Oleh karena itu mereka kembali kepada syuro (musyawarah).
Menurut Syi‘ah Imamiyah, syuro semacam itu tidak memenuhi syarat sebab sahabat-sahabat yang berjumlah sekitar 100 ribu orang itu, yang ada di kota Madinah paling tidak sejumlah 2000 orang dan dari jumlah itu yang hadir dalam musyawarah pengangkatan Abu Bakar paling banyak 100 orang. Bahkan dari 100 orang itu tidak semuanya sepakat, tidak aklamasi dan di antara mereka ada yang mengatakan: “Minna Amir Wa minkum Amir” (Dari kami harus ada pemimpin dan dari kalian angkatlah pemimpin sendiri).
Sehingga hampir-hampir terjadi tindakan kekerasan hingga Sayyidina Umar Ra berkata: “Bunuhlah Sa ‘ad bin Ubadah pemimpin Anshar itu!”[13]
Dengan demikian tidak cukup memadai untuk syuro itu. Kemudian dikatakan pula syuro tersebut tidak memadai karena ahli-ahli syuro dari Bani Hasyim, seperti Ali, Abbas dan sebagainya tidak ada yang hadir dan kaum Anshar pun tidak semuanya hadir karena tidak tahu.[14]
Karena itu Umar pada akhirnya berkata: Bai‘at Abu Bakar itu adalah sesuatu yang Faltah”[15] (secara tergesa-gesa) yang Alhamdulillah Allah menyelamatkan kita dari akibat buruknya. Jadi tampaknya seperti diatur supaya cepat, sebab kalau semua sahabat hadir mungkin pemilihannya tidak seperti apa yang terjadi itu. Begitulah pendapat Syi‘ah.
Keempat: Benarkah Syi’ah meragukan Hadith Abu Hurairah dan bahkan tidak memakainya? Mahasiswa: Sekarang kami lebih merasa puas dengan penjelasan Ustadz kami ingin bertanya tentang Abu Hurairah. Kita sama tahu bahwa sekarang ini Abu Hurairah sedang diteliti kembali. Pertanyaan kami: Apakah benar Syi‘ah Imamiyah ini meragukan Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan bahkan tidak memakainya? Apakah dengan membuang Hadits-hadits riwayat Abu Hurairah, Islam ini tidak lenyap? Dan bagaimana akhirnya?
Ustadz Husein: Tentang Abu Hurairah, kaum Imamiyah mempunyai jalur riwayat-riwayat beliau, sejarah atau biografi beliau. Dan hal ini telah diungkapkan oleh kedua belah pihak bahkan kita memiliki juga riwayat-riwayat tentang Abu Hurairah di dalam kitab-kitab Al-Isti‘ab karya Ibnu Abdil Bar, Al-Ishobah oleh Ibnu Hajar dan lain-lain. Juga beberapa kitab tarikh meriwayatkan juga tentang Abu Hurairah ini secara rinci.
1
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG Kesimpulannya, sahabat ini oleh Ahlul Sunnah juga termasuk orang yang diragukan. Namun sebagaimana yang telah saya katakan tadi, bahwa pendirian kita Ahlul Sunnah menganggap semua sahabat Nabi itu “Udhul”. Dengan demikian, maka Abu Hurairah juga diusahakan untuk diberi “excuse” sehingga kita mengatakan bahwa Abu Hurairah ini harus kita percayai karena Hadits-hadits yang diriwayatkannya banyak sekali.
Dia meriwayatkan mungkin lebih dari 5000 buah Hadits. Adapun pertanyaan anda: Apakah hal ini tidak sampai mengurangi syariat?
Jawabannya saya kira tidak, sebab Hadits-hadlts yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah juga diriwayatkan oleh sahabat-sahabat yang lain dan diriwayatkan pula melalui jalur-jalur Imamiyah secara khusus. Jadi bukan Abu Hurairah saja yang meriwayatkannya tetapi juga sahabat-sahab yang lain.
Misalnya saja tentang Bab Wudhu atau Bab Tayamum Abu Hurairah meriwayatkan, sahabat-sahabat lain yang dipercaya oleh Imamiyah juga meriwayatkan, demikian juga sahabat-sahabat selain Abu Hurairah yang dianggap semuanya “udul” oleh Ahlussunnah juga meriwayatkan, dan tidak mesti dari jalur Abu Hurairah saja. Juga Abu Hurairah ini oleh Syi‘ah dianggap sebagai perawi yang suka menambah. Yakni menguatkan pendirian Nabi dengan pendirian beliau sendiri inisalnya Hadits yang berbunyi:
“Ummatku di hari kiamat nanti akan dibangkitkan oleh Allah dalam keadaan wajah, kedua tangan dan kakinya serta tempat-tempat yang terkena air wudhu akan bersinar.”[16]
Kemudian Hadits ini ada tambahannya: “Barangsiapa yang bisa menambah selain dan itu maka lakukanlah.”
Jadi menambah batas wudhu bukan hanya batas siku tetapi ditambah hingga ke pangkal lengan karena tambahan itu nanti menyala juga di hari kiamat: Ketika Abu Hurairah ditanya tentang hal ini, ia menjawab bahwa yang terakhir tambahan itu bukan dari Nabi tetapi dari Abu Hurairah sendiri. Ahlussunnah meriwayatkan dan menerima seperti itu, sedang kaum Syi’ah tidak menerima hal itu. Sebab menurut mereka, kita tidak boleh menambah sabda Nabi. Jadi apa yang dibawa oleh Rasul sebagaimana ayat yang mengatakan “Sampaikan apa yang diturunkan kepadamu…” kita juga menyampaikan apa yang dibawa oleh Rasul tanpa kita tambah, walaupun mungkin niat Abu Hurairah baik, yang maksudnya menambah agar tidak sampai persis dan juga untuk hati-hati (lil ihtiyat) jangan sampai ngepas.
Tetapi Syi’ah tidak bisa menerima hal yang seperti ini. Syi’ah itu bermaksud menghendaki ketegasan dan kejelasan dan mengatakan ini tidak betul dan kami tidak mau tambahan ini. Karena itu mereka mengatakan bahwa Hadits riwayat Abu Hurairah di atas ini adalah tambahan.
Dan ada lagi di dalam Hadits Bukhari, ketika Abu Hurairah ditanya -di dalam Bab Nafaqah- apakah ini dari sabda Nabi? Dia menjawab tidak, ini dan kantong Abu Hurairah.
Menurut Imamiyah, hal ini fatal. Dalam hal-hal seperti ini Syi’ah tidak bisa menerima. Bukan hanya orang-orang lmamiyah saja yang tidak percaya dengan Abu Hurairah bahkan Sayyidina Umar bin Khattab sendiri pernah meragukannya. Ketika Abu Hurairah dipanggil dari Bahrain oleh Khalifah Umar, ia datang sambil membawa oleh-oleh berupa barang dan harta benda, kemudian ditanya oleh Sayyidina Umar: “Apa ini semua? Dia menjawab: Ini kuda-kuda saya yang beranak dan ini hadiah-hadiah dari orang-orang itu.” Umar bin Khattab menolaknya: Tidak, semua ini harus kau kembalikan ke Baitul Mal. Ia menjawab lagi: Wahai Amirul Mu’minin, ini hadiah!
Kata Amirul Mu’minin: Kalau kau tidak memegang jabatan itu dan kau tinggal di rumah tanggamu, apa ada kiranya orang-orang yang memberi kamu hadiah ? Kembalikan semuanya ke Baitul Mal! Abu Hurairah bersikeras: Saya akan mewakafkannya. Umar marah, Kembalikan ke Baitul Mal sebelum aku pukul engkau. Kamu boleh mewakafkan sesuatu yang datang dari ayahmu atau dan warisan ayahmu, tetapi ini adalah hak kaum muslimin dan kamu harus mengembalikannya kepada mereka.[17]
Hadits-hadits dan riwayat-riwayat semacam ini kita yang meriwayatkan. Kita tidak boleh menyalahkan Syi’ah, kita tidak boleh gegabah, bukankah hal-hal seperti itu kita sendiri yang meriwayatkannya? Kalau kita konsekwen menyalahkan Syi’ah, kita harus menghapus hadits-hadits yang ada dalam Bukhari dan lain-lain yang berkenaan dengan Abu Hurairah ini.
Kesimpulannya, kita tidak boleh menyalahkan Ahlussunnah --yang menganggap Abu Hurairah itu orang yang “udhul” dan juga tidak boleh menyalahkan Syi’ah --karena mereka melihat adanya riwayat yang meragukan.
Saya kira dua Madzhab ini masih ada dalam jalur yang wajar dan sehat, menurut ilmu pengetahuan dan ijtihadnya masing-masing. Sebagaimana kita, Syi’ah juga menghendaki segala sesuatu yang datang kepada mereka dan para sahabat, seharusnya sudah selektif (terpilih), tidak sembarang sahabat.
Mereka tahu bahwa yang datang kepada mereka itu adalah masalah agama atau Ad-Din yang harus dibawa oleh orang-orang yang sangat jujur, tidak sombong, tidak korupsi dan lain sebagainya.
Maka dari itu mereka menganggap bahwa kriteria ini tidak dimiliki oleh Abu Hurairah sehingga kita dengan mereka berbeda dalam masalah Abu Hurairah.
Sedangkan masalah agama tidak ada hubungannya dengan masalah ini sebab hadits-hadits tentang agama (hukum) diriwayatkan oleh sahabat-sahabat yang lain. Walaupun umpamanya Syi‘ah meniadakan riwayat Abu Hurairah secara keseluruhan dan meniadakan riwayat sahabat-sahabat yang memerangi Sayyidina Ali yang akan merebut Khalifah secara kudeta, serta mengeroyok Utsman bin Affan, kita tidak boleh salahkan mereka. Sebab orang yang ingin menyalahkan Syi’ah dalam hal ini maka tidak ada kesetiaannya terhadap ukhuwah dan kepada Islam.
Mahasiswa: Selain riwayat Abu Hurairah, riwayat-riwayat siapa lagi dari sahabat Nabi yang tidak dipakai oleh Syi‘ah?
Ustadz Husein: Imamiyah tidak memakai riwayat yang disampaikan oleh orang-orang yang hadir bersama Sayyidatuna A’isyah Ra di dalam peperangan Onta untuk memerangi Ali dan juga yang hadir di dalam peperangan Siffin bersama Muawiyah yang memerangi Imam Ali di Siffin.
Imamiyah menganggap hadits-hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang seperti mereka ini adalah tidak kuat, sebab orang-orang ini melanggar perintah Rasul Saww: “Barangsiapa yang keluar (membatalkan) bai ‘atnya, maka apabila Ia mati, maka matinya mati jahiliah.”[18]
Jadi mereka yang memerangi Ali dianggap Imamiyah sebagai orang-orang yang kesalahannya luar biasa (tidak dimaafkan), mereka ini hadits-haditsnya tidak dipakai. Alhamdulillah, jalur-jalur selain mereka masih cukup sehingga syariat Islam sampai kepada kita dan sampai pula kepada Imamiyah. Kita bisa melihat apakah mereka kekurangan?
Kalau kita masih meragukan, bila kita tolak hadits-hadits yang dibawa oleh Abu Hurairah kemudian Syariat Islam akan hilang separoh? Kita lihat saja Imamiyah yang sama sekali tidak memakai hadits-hadits Abu Hurairah. Walaupun mereka menolak Abu Hurairah dan sekian banyak sahabat lainnya, toh Fiqih mereka lengkap, Ushul dan Tauhid mereka komplit. Semua ini diambil oleh mereka dari jalur para Imam mereka dan para sahabat yang simpati kepada Ahlul Bait.
Insya Allah di kalangan saudara-saudara yang berkecimpung di dalam bidang-bidang’ ilmu pengetahuan dengan cara ilmiah tidak akan sulit meneliti hadits-hadits yang dibawa oleh Syi‘ah Imamiyah dan hadits-hadits yang ada di tangan kita. Insya Allah hal ini tidak sukar bagi saudara apabila ada waktu untuk mempelajarinya.
Mudah-mudahan apa yang saya terangkan tentang Abu Hurairah ini, khususnya juga yang diriwayatkan di dalam kitab-kitab shahih Bukhari-Muslim sebenarnya membuat kita Ahlussunnah? meragukannya, sebab beliau mengatakan -sebagaimana yang telah saya katakan tadi- ketika ditanya “Apakah kamu mendengar ini dari Rasulullah?” Beliau menjawab: Tidak, -sambil bergurau- ini berasal dari kantong Abu Hurairah. Anda bisa melihat ini dalam Shahih Bukhari juz 7 hal. 63 di kitab Nafaqah (Bab Wujubun Nafaqah ala Ahli wal Iyal). Dengan demikian orang bisa ragu, tetapi karena kita sudah terlanjur mempunyai kaidah semua sahabat “udul”, maka kita tidak bergerak dari kaidah itu, dan hal itu tidak ada masalah, yang penting kita tidak memaksa orang lain untuk percaya pada sistem atau cara Imamiyah dalam menanggapi sahabat seperti Abu Hurairah dan lain sebagainya.
Juga kita tidak boleh mencaci atau mengkafirkan mereka kalau mereka menganut sistem atau aliran itu. Yang penting kita harus berdiri di tengah dan memikirkan ukhuwah, jangan sampai terpecah hanya karena masalah-masalah seperti ini.
Kelima: Hadits Qur‘an wa Sunnati atau Hadits Qur ‘an wa Ithrati?
Mahasiswa: Kami pernah satu hadits tetapi ada dua pengakuan terhadap hadith tersebut adalah Hadits Tsaqalain yang menyebutkan tentang Kitabullah wa sunnati mohon penjelasan?
Ustadz Husein: Sebenarnya hal itu ada dua Hadits yang satu menurut jalur Ahlul Bait atau Imamiyah yang berbunyi sebagai berikut: “Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berharga, Al-Qur’an dan Ithrah Ahli Baitku, kalau kalian berpegang teguh pada keduanya kalian tidak akan sesat.”
Menurut Syi‘ah Imamiyah hadits tersebut hampir dikatakan mutawatir, bukan hanya shahih saja. Kalau hadits ini kita tinjau dari kitab-kitab standar kita Ahlussunnah (lihat catatan kaki no. 6) maka kita menganggap hadits ini yang menyebutkan “Ithrati”, kita Ahlussunnah menganggapnya shahih. Hampir semua kitab hadits meriwayatk an hadits Ithrah ini kecuali Bukhari. Imam Muslim meriwayatkannya dalam Kitab Fadhoil Ahlul Bait; Imam Turmudzy, An-Nasa’i dalam kitabnya Al-Khoshois, dan Ahmad dalam Musnadnya, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, Kanzul Ummal, Ath-Thobakot dan lain-lain Dan juga di dalam tafsir lbnu Katsir, Jama‘ul Ushul dan lain-lain.
Tadi kita Ahlus Sunnah sendiri menganggap Hadits ini shahih: Sedangkan hadits serupa tetapi menyatakan kitabullah wa sunnati dan itu pun hanya terdapat pada dua jalur saja. Kita Ahlul Sunnah membenarkannya dan tidak mau mengambil yang lain yakni kitabullah wa ithrati padahal hadits itu lebih kuat dan lebih banyak,[19] tetapi hanya “Kitabullah wa sunnati” yang dipakai.
Hadits kitabulah wa sunnati rasulihi maksudnya ialah “Kami meninggalkan dua hal bagimu, Kitab Allah dan Sunnahku”, Hadits ini menurut kita Ahlussunnah shahih dan bahkan kita berpegang dengannya.
Namun bagi Imamiyah yang saya anggap mereka itu teliti sekali, mengatakan bahwa justru hadits -wa sunnati- ini tidak tepat dan tidak sesuai dengan keadaan serta kenyataan di saat itu (Lihat Kitab: Li akuna ma’ashodiqin oleh Muhammad At-Tijani As-Samawi).
Menurut kenyataan sejarah, Nabi melarang sahabat menulis hadits Beliau. Sayyidina Abu Bakar, Umar dan Utsman pun melarang menulisnya sehingga sunnah Nabi yang merupakan ucapan Beliau, pengakuan suatu tindakan yang dilakukan sahabat atau ikrarnya, kemudian perbuatan Beliau sendiri. Ketiga-tiganya itu tidak pernah terbukukan sebab ada larangan.[20]
Walaupun larangan itu oleh sebagian golongan sebagai sesuatu yang naif sebab dikatakan khawatir bercampur aduk dengan Al-Qur’an. Hal ini saya kira mustahil sebab Allah telah berjanji akan memelihara Al-Qur’an itu dan segala gangguan dan juga bahasa Al-Qur’an itu dan sastranya demikian indah dan jauh berbeda dengan hadits.
Kalau orang Arab apalagi yang hadir di zaman Nabi khususnya yang muslim, tidak mungkin keliru atau salah membedakan antara hadits Rasulullah Saww dan Al-Qur’an. Oleh karena itu konon diriwayatkan bahwa Nabi tidak pernah mengajarkan sunnahnya.[21]
Jadi bila Nabi bertindak atau bersabda maka sahabat mencatatnya.[22] Tetapi kadangkala tidak semua sahabat hadir pada waktu itu sehingga kadang-kadang satu sunnah Nabi hanya disaksikan oleh seorang sahabat saja. Sehingga banyak sahabat misalnya tidak faham tentang cara tayammum.[23] Ada sahabat yang tidak tahu bagaimana cara mengusap sepatu dalam berwudhu, sebab mereka tidak melihat Rasulullah Saww berbuat demikian.
Jadi praktis yang terbukukan waktu itu yang berwujud kitab hanyalah Al-Qur’an.[24] Oleh karena itu Nabi bersabda: “Aku tinggalkan padamu Kitab Allah dan Ithrahku.”
Kalau sunnah Beliau benar-benar tidak tercatat, tidak mungkin orang berpegangan dengan sesuatu yang tidak ada (belum terwujud saat itu). Ketika Nabi sedang sakit keras dan beliau minta kertas dan tinta -sebagaimana yang telah diriwayatkan Bukhari-[25] untuk menuliskan wasiat, namun Sayyidina Umar menjawab: Ya Rasulullah! Cukup bagi kami Al-Qur’an.
Dengan susunan kalimat Sayyidina Umar ini -Yakfina Kitabullah- dan sama sekali tidak menyebut Sunnah, berarti -kalau kita mau jujur dan berprasangka baik- Sayyidina Umar tidak akan berpegang dengan Sunnah yang memang waktu itu belum tercatat dan belum terbukukan. Jadi Sayyidina Umar bukan menolak Sunnah walaupun ada Syi‘ah yang radikal mengatakan Umar menolak Sunnah, jadi termasuk ingkar sunnah tetapi sebagian lain mengatakan tidak demikian, sebab Umar pada waktu itu belum melihat adanya sunnah, sehingga dia bilang “Cukup Al-Qur’an”. Kemudian sunnahnya bagaimana?
Sunnahnya tentunya apa-apa yang ada di dada mereka, yang mereka ingat. Dan ini relatif tidak bisa apalagi yang memimpin tidak All round (menguasai sepenuhnya) dalam menghafal semua sunnah. Karena itu dengan prasangka yang baik kita harus menganggap bahwa -waktu itu sunnah belum terbukukan- Jika umpama sunnah waktu itu sudah ada (terbukukan) maka kita bisa menghukum Sayyidina Umar kafir, karena dia menolak sunnah. Oleh karena sunnah belum ada maka Umar berpegangan dengan apa yang sudah ada yakni Al-Qur’an.
Alasan lain ialah ketika Nabi Saww hidup, Beliau tidak pernah mengajarkan sunnahnya kepada ummatnya tetapi Beliau hanya mengajarkan Al-Qur’an.[26]
Jadi yang dikatakan sunnah adalah ucapan Beliau dan lain-lainnya itu belum ada yang mencatat (membukukan)nya dan belum terdaftar oleh semua sahabat. Kadangkala sebagaimana yang telah saya katakan tadi sunnah itu hanya didengar oleh seorang sahabat saja. Jadi Nabi tidak mengajarkan sunnah itu. Sunnah baru dibukukan dan ingatan para sahabat kira-kira satu abad setelah Nabi Saww wafat. Tepatnya di zaman Bani Abbas.
Perbedaan pendapat antara sahabat tentang memerangi kaum murtad di zaman khalifah Abu Bakar adalah salah satu bukti bahwa sebagian sahabat lupa akan sunnah Nabi yang belum terbukukan saat itu.
Peristiwa peperangan dengan kaum Riddah atau kaum murtad yang terjadi pada bulan-bulan pertama masa pemerintahan Abu Bakar yaitu menghadapi orang-orang yang menolak mengeluarkan zakat. Abu Bakar memutuskan untuk memerangi mereka dan Umar sedianya menolak dengan alasan mereka itu tetap mengucapkan syahadat, tetapi akhirnya Umar setuju. Pada awalnya Umar berdalil untuk menentang tindakan Abu Bakar, akhimya karena kuat dan kerasnya pendirian Abu Bakar maka Umar tertarik dengan pendirian Abu Bakar dan Ahl Riddah (yang tidak mau membayar zakat) itu.
Andaikata sunnah Nabi pada waktu itu sudah dibukukan tentu kedua sahabat besar ini tidak akan lupa akan peristiwa yang disaksikan oleh kedua beliau itu sendiri dan mereka tahu bahwa kejadian itu sampai turun ayat Al- Qur ‘an: “Yaitu peristiwa Tsa‘labah.”
Tsa’labah adalah salah seorang sahabat yang tidak mau mengeluarkan zakat di zaman Nabi dan dihadapi oleh Nabi sendiri sampai ada ayat yang turun karena peristiwa itu, namun terhadap Tsa’labah ini Nabi tidak membunuhnya. Jadi membunuh orang yang tidak mengeluarkan zakat tidak cocok dengan sunnah Nabi pada waktu itu. Tidak ada sahabat yang tidak tahu tentang masalah Tsa’labah ini, termasuk sahabat Abu Bakar dan Umar. Hal ini menunjukkan bahwa sunnah Nabi tidak terbukukan, kalau memang terbukukan tentunya mereka akan merujuk ke sunnah itu.
Oleh karena itu hadits yang menyebut “sunnati” itu menurut mereka tidak bisa dipastikan benar. Selain itu ada beberapa alasan yang terbaca oleh kita dalam hadits-hadits baik dari amalan-amalan sahabat yang bertentangan dengan sunnah Nabi andaikata mereka tahu, niscaya tidak akan mereka lakukan dan kita tidak berani mengatakan bahwa mereka sengaja bertindak dengan ijtihad sedangkan nash ada tetapi mungkin saja mereka ijtihad kerana sunnah tida ada atau tidak terdaftar, sedang yang bersangkutan tidak ingat sunnah itu. Jika mereka benar-benar tidak tahu tentang sunnah beliau dalam beberapa masalah maka bagaimana Nabi memesankan agar berpegangan dengan sunnah yang belum ada itu?
Setelah lama Rasulullah Saww wafat baru sunnah Nabi itu terbukukan. Orang yang pertama membukukannya adalah Imam Malik dan pembukuan tersebut dilaksanakan setelah terjadinya peperangan Jamal, peran g Siffin dan perang Nahrawan dan juga setelah peristiwa Al-Harra di mana ketika itu Madinah Rasulullah Saww dibuka bagi kaum angkara murka. Banyak sahabat yang terbunuh dalam peperan gan-peperangan dan peristi’wa itu. Ummat Islam saat itu terpecah menjadi dua kelompok:
Kubu Ali dan keluarga Nabi Saww dan kubu sahabat-sahabat pada umumnya. Yang lebih parah lagi adalah perpecahan antara kubu Ali dan Muawiyah. Para perawi yang ada mendekati Muawiyah, dan oleh Imamiyah hadits-hadits mereka tidak dipakai.
Jadi hadits “sunnati” menurut Imamiyah tidak ada, yang ada hanya hadits “a ithrati hal ini bisa dipertanggungjawabkan oleh kita Ahlus sunnah maupun oleh mereka kaum Syi’ah.
Dalam hadits “wa itrah” Nabi Saww seakan akan menyatakan, “Qur’an itu kutinggalkan atau Kitabullah itu saja yang aku tinggalkan padamu, adapun mengenai pelaksanaannya yaitu mandatarisnya adalah Ahlul Bait dalam arti keseluruhan.
Oleh karena itu, Ali oleh Imamiyah dianggap sebagai sahabat yang paling alim dan hal ini sudah diaksiomakan di zaman Abu Bakar, Umar dan Utsman. Ketiga sahabat ini kalau menghadapi suatu masalah pasti pergi menjumpai Ali dan bertanya kepadanya. Nabi bersabda: “Aku kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya.”[27]
Karena itu menurut Syi’ah, lebih aman berpegang teguh kepada Itrah. Ah lus sunnah juga meriwayatkan “wa itrati” dan Syi’ ah Imamiyah juga meriwayatkan hadits wa ithrati, jadi kita menemukan titik temu dengan Syi‘ah dalam masalah ini walaupun antara kita dan mereka mempunyai jalur masing-masing. Adapun “wa sunnati” hanya ada pada jalur kita dan itupun han ya dua atau tiga jalur. Karena itu Syi‘ah menolak nya dengan alasan-alasan sebagaimana yang telah saya paparkan yakni pada waktu itu sebelum dibukukan atau belum ada.
Mahasiswa: Sebenarnya jawaban Ustadz tadi cukup jelas dan gamblang. Secara pribadi, saya bisa menjawab mana yang lebih shahih dan yang lebih bisa diterima antara hadits “sunnati” dan “itrati”. Namun saya ingin mendapat penjelasan yang lebih pasti dan Ustadz. Yakni mana yang lebih shahih, hadits “sunnati” dan “itrati”?
Ustadz Husein: Saya sendiri menganggap bahwa kedua pendapat Sunnah dan Syi ‘ah itu sudah cukup jelas. Kalau pendapat Imamiyah “wa sunnati” tidak mungkin diucapkan oleh Nabi sebab Nabi tidak akan mungkin meninggalkan sesuatu yang tidak berwujud (konkrit) atau lengkap.
Nabi hanya meninggalkan sesuatu yang konkrit yaitu Al-Qur’an. Jadi para sahabat walaupun yang buta huruf tidak bisa baca Al-Qur’an, kemudian mereka memerlukan satu ayat, mereka bisa bertanya kepada orang-orang yang hafal (huffadz), tetapi masalah sunnah mereka memerlukan keterangan dan waktu itu tidak ada satu pun kitab yang bisa dijadikan rujukan oleh mereka, sedangkan mereka memerlukan sunnah itu. karena, pada waktu itu sunnah terpencar-pencar di dada para sahabat dan tidak semua sahabat hadir ketika Nabi mengucapkan sesuatu, maka sulit kita percaya bahwa Nabi meninggalkan sesuatu yang belum konkrit, masih abstrak, yang masih diingat oleh satu orang sedang orang lain tidak ingat. Nabi tidak meninggalkan barang seperti itu tetapi beliau meninggalkan Al-Qur’an.[28]
Bahkan kalau saya tidak salah, Bukhari sendiri menyatakan ketika ditanya apakah Nabi meninggalkan wasiat atau tidak, Nabi hanya mewasiatkan Kitabullah (tanpa wa sunnati). Saya kira riwayat Bukhari ini lebih tepat dipegangi oleh Ahlussunnah.
Keenam: Apakah Mungkin di Zaman Setelah Nabi SAWW, ada pemalsu-pemalsu Hadits?
Mahasiswa: Dengan keterangan Ustadz itu akhirnya kami merasa bingung, karena Ustadz mengatakan “Kitabullah wa sunnati”; ternyata sunnah-sunnah zaman Nabi tidak dibukukan. Tetapi mengapa toh sampai juga kepada kita dan dipakai oleh kita Ahlussunnah Kemudian, apakah mungkin di zaman itu ada pemalsu-pemalsu hadits?
Ustadz Husein: Bila kita telah membaca sejar ah dengan teliti tanpa ada rasa fanatisme dan taqlid, maksudnya kita benar-benar bersikap neutral, maka bisa saja kita menerima pendapat itu.
Setelah sahabat dengan sahabat berperang. Muawiyah mempunyai klik (kelompok) untuk memerangi Ali sedangkan Ali dan Ahlul Bait Nabi Saww yang ditinggalkan Nabi sebagai Sesuatu yang hidup atau sunnah yang hidup d an berjalan bersama al-Qur’an yang nantinya ditafsirkan oleh Ali. Ali dan Al-Qur’an sudah merupakan dua p eninggalan yang paling baik. Tetapi setelah hal itu dilanggar, kemudian Ali dirongrong dan dibunuh, sampai Hasan dan Husein di bunuh, maka di zaman itu banyak orang yang sebenarnya diraguk an imannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Saudara jangan menganggap ini adalah pendapat saya. Seorang sahabat yang kesaksiannya dianggap dua orang oleh Rasulullah Saww. Yaitu Huzaifah bin Yaman pernah mengatakan: “Sesungguhnya kemunafikan itu ada pada zaman Nabi, namun di zaman kita sekarang adalah kek afiran setelah Iman.”
Artinya mereka itu sudah keluar dari garis iman, dan itulah kafir setelah mereka beriman. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari pada juz 9 Kitabul Fitan. Jadi kalau ada orang yang dikualifikasikan oleh Huzaifah sebagai keluar dari iman -- kafir sesudah beriman -- jelas orang-orang seperti itu dapat melakukan pemalsuan hadits? Justru mereka mencari dalih agar dapat menyingkirkan, menyudutkan dan meninggalkan Ali serta tidak membai’atnya sebagai khalifah pertama, ada alasan.
Tidak bisa meninggalkan hadils “wa itrati” sebab mereka sendiri meriwayatkannya dan Syi‘ah juga meriwayatkannya. Bagaimana alasannya hadits tersebut dibuang dan “wa itrati” diganti dengan “wa sunnati”? Mereka lupa bahwa waktu itu sunnah belum terbukukan, jadi mereka menambah. “wa Sunnati” juga tidak diterima. Tampak jelas bahwa ini merupakan sisipan atau suatu interpolasi, begitu kata penulis-penulis Imamiyah Itsna Asyariyah.[29]
Hal ini bisa menjadi bahan pertimbangan bagi saudara-saudara. Nabi itu orang yang realistis tidak hanya idealis. Beliau tidak akan meninggalkan sesuatu yang belum ada dan Beliau tahu bahwa sunnah belum terbukukan bahkan ada riwayat yang menyatakan bahwa Beliau merasa pernah melarang menulis sunnahnya. Lalu bagai mana beliau meninggalkan sunnah itu kepada kita? Jadi yang ditinggalkan adalah Al-Qur’an dan manusia Allround (serba bisa) yang akan menjalankan al-Qur’an, yaitu Imam Ali dan Itrah, itulah sebabnya ada hadits Ghadir dan lain-lain.
Ahlussunnah menganggap tidak demikian dan memang kita berhak mengatakan demikian.
Oleh karena itu yang menolak hadits “wa sunnati” yakni Syi’ah, kita tidak boleh kita mengkafirkan dan yang mau memegangi “wa sunnati” juga kita tidak menganggapnya kafir. Hanya sekarang masing-masing kita melihat konsekuensi dan meninggalkan “wa itrati” dan apa konsekuensi dan berpegang kepada “sunnati”.
Nyatanya dalam masalah Perang Riddah para sahabat berselisih, sebab tidak ada buku standar dalam sunnah. Tentu saja dalam al-Qur’an tidak merinci masalah itu hanya ia menyebutkan: “Maka bunuhlah mereka yang durhaka.” (Q.S.49: 9)
2
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG Karena itu kita tidak boleh menyalahkan Abu Bakar yang mengatakan: Orang-orang yang tidak mengeluarkan zakat adalah kafir dan harus dibunuh. Sedangkan Umar mengatakan tidak demikian, sebab ada hadits yang boleh kita bunuh adalah orang yang belum mengucapkan syahadat sedangkan Ahli Riddah mengucapkan syahadat dan Malik bin Nuwairah dan suku bani Tamim seorang yang kuat imannya -- kata Syi’ah-- dia tidak mengeluarkan zakat kepada Abu Bakar karena dia bukan khalifah yang patut dipilih tetapi Malik menunggu sampai Ali menjabat kekhalifahan. Kemudian Malik bin Nuwairah cs. diperangi, menurut sebagian sumber sejarah. Baik itu terjadi atau tidak, yang jelas sahabat berihtilaf dan berselisih faham tentang hal itu dan masih banyak lagi para sahabat berselisih faham tentang masalah-masalah atau hukum seperti itu.
Padahal kita ingat Tsa’labah, juga seperti kasus Malik bin Nuwairah cs. yang tidak mengeluarkan zakat, tetapi Rasulullah Saww tidak membunuhnya dan dibiarkan tetap hidup.
Ketujuh: Apakah ithrah itu? Apakah yang dimaksudkan ithrah itu sampai keturunan sekarang atau mungkin ada batasnya? Mahasiswa: Apakah ithrah itu sebenarnya? Sebab kami dengar keturunan Rasulullah itu masih ada sampai sekarang ini. Apakah yang dimaksudkan ithrah itu sampai kepada keturunan Rasulullah yang sek arang ini atau mungkin ada batas-batasn ya?
Ustadz Husein: Perlu saya tegaskan bahwa pertanyaan anda tentang Itrah itu memang penting. Saya juga perlu menegaskan bahwa saya akan menjawabnya berdasarkan pendapat Madzhab Ahlul Bait. Sebab Ahlus sunnah mempunyai pendapat yang masih Abstrak, belum konkrit betul.
Madzhab Ahlul Bait mengatakan bahwa Nabi dengan keluarganya mempunyai tiga (dibagi tiga) istilah:
1. Ahlul Bait yaitu; yang dikatakan Ahlul Kisa, yakni manusia-manusia yang pada saat -sebagaimana riwayat Bukhari, dan lain-lain- di selimuti oleh Nabi Saww dengan sorban Beliau, lalu mereka satu persatu dipanggil masuk ke dalam sorban tersebut. Kemudian Rasul Saww berdo’a: “Ya Allah, mereka ini adalah Ahlul Baitku, maka lenyapkan dari mereka ini noda dan dosa dan bersihkan mereka sebersih-bersihnya.” Ini dinamakan Ahlul Bait. Ketika Ummu Salamah, isteri Nabi Saww berada di luar dan bertanya: Ya Rasulullah, bolehkah saya masuk? Nabi menjawab: “Kamu termasuk orang yang baik. Jadi ada lima Ahlul Kisa yang dikepalai oleh Rasulullah Saww, kemudian Ali, Fatimah, Hasan dan Husein. Ini keluarga dan Allah SWT mewajibkan cinta kepada keluarganya menurut semua madzhab. Tak ada satu pun madzhab yang mengingkari hadits-hadits yang menyuruh ummat Islam mencintai keluarga Rasul Saww lebih dari mencintai dirinya sendiri hingga -saya kira- Khawarij pun tidak mengingkari hadits hadits ini.
2. Dzurriyah adalah nama (istilah) dari keturunan kelima manusia suci tersebut, saya juga Sependapat dengan orang-orang yang mempunyai silsilah keturunan mereka hingga orang-orang ini bisa dianggap dzurriyah dan Ahlul Bait. Dzurriyah yakni yang sampai sekarang mempunyai silsilah nenek moyang sampai kepada Ali dan Fatimah, ini dikenali dengan Dzurriyah Ahlul Bait.
3. Itrah ialah para Imam yang berjumlah 12 orang, ini disebut Nabi Saww, yang dimulai dari Ali, Hasan, Husein dan seterusnya hingga Imam yang kedua belas, yang sekarang belum muncul dari ghaibnya yaitu Imam Mahdi. Begitulah kepercayaan Syi‘ah Imamiyah. Oleh karena itu mereka disebut Imamiyah karena mereka berpegangan dengan Itrah. Mereka mengakui juga bait wa Itrah ini mempunyai dzurriyah atau keturunan juga.
Kedelapan: Di mana turunnya ayat yang berkenaan dengan peristiwa Ghadir Khum dan berkaitan dengan peristiwa apa? Mahasiswa: Selanjutnya kami ingin menanyakan tentang ayat yang turun sehubungan dengan peristiwa Ghadir Khum. Pertanyaan kami di mana turunnya ayat itu? (Yang berkenaan) dengan peristiwa Ghadir Khum dan berkaitan den gan apa?
Ustadz Husein: Masalah ini antara Sunnah dan Syi’ah mempunyai riwayat dan pendapat masing-masing. Kalau kita Ahlus Sunnah mengatakan bahwa ayat “Al-Yauma Akmaltu” diturunkan kepada Nabi Saww ketika beliau sedang berdiri di Arafah pada waktu Haji.
Riwayat ini dari Sayyidina Umar yang tercantum dalam shahih Bukhari juz 5 bahkan disebutkan di kitab itu bahwa ada seorang Yahudi berkata: “Hai kaum Muslimin, andaikan ayat ini turun kepada bangsa kami, maka hari itu akan kami jadikan hari raya sepanjang sejarah.” Umar bertanya: “Ayat yang mana? Jawab Yahudi: “Ayat Al-Yauma Akmaltu...” Aku tahu, kata Umar, turunnya ayat itu. Ayat itu diturunkan atas Rasul-Nya yang sedang wukuf di bukit Arafah.[30] Ayat tersebut berbunyi: “Pada hari itu Aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku cukupi buat kamu ni‘mat-Ku dan Aku relakan kepadamu Islam sebagai agamamu. (Q.S.S: 3).
Riwayat lainnya dari Ahlussunah juga diriwayatkan oleh Isa Ibnu Haritsah Al-Anshari: “Ketika kami -para sahabat sedang duduk-duduk, tiba-tiba datang seorang Nasrani sambil berkata: “Wahai kaum Muslimin, ada satu ayat yang telah turun kepada kalian.
Seandainya ayat tersebut diturunkan kepada kami, maka hari itu dan saat itu akan kami jadikan sebagai hari raya bagaimana pun juga keadaannya asalkan selama masih ada dua orang Nasrani di atas bumi ini. Perawi hadits ini berkata: Tak seorang pun di antara kami yang menjawab perkataan Nasrani itu. Kemudian aku bertemu dengan Muhammad bin Ka‘ab al-Kurodi dan kutanyakan kepadanya masalah tadi, dan dia pun menjawab: Mengapa kalian tidak menanyakan kepada Umar? Setelah ditanyakan kepada Umar, ia menjawab: Ayat itu diturunkan kepada Nabi Saww, di saat Beliau berdiri di atas bukit Arafah. Dan hari itu memang kita jadikan hari raya dan dijadikan hari raya oleh kaum Muslimin. Kalau tidak salah Imam Suyuthi juga mengutip hadits ini dalam kitabnya Ad-Durul Mantsur dalam ayat “Al-Yauma Akmaltu”.[31]
Riwayat yang lain adalah riwayat Ahlul Bait. Riwayat ini menyatakan bahwa ayat ini bukan turun di Arafah tetapi turun di Ghadir Khum. Jadi Syi'ah mengatakan bahwa ayat ini untuk menentukan wasiat kepada Ali bin Abi Thalib. Jadi rinciannya, sebelum ayat ini turun Nabi menerima wahyu berupa ayat “Tabligh”: “Wahai Rasul, sampaikanlah semua yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu Jika kamu tidak melakukannya, berarti engkau tidak menyampaikan semua risalahmu, Dan Allah akan menyelamatkanmu dari (kejahatan) manusia.” (Q.S. 5: 67)
Kemudian Beliau mengangkat Ali dan menunjuk Ali sebagai Walinya bahkan Nabi bersabda: “Siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya pula.” Setelah pengangkatan Ali tersebut turun ayat “Al-Yawma...” Jadi turunnya bukan di Arafah dan dari sini banyak juga orang yang meragukan riwayat Sayyidina Umar yang meriwayatkan ayat ini turun di Arafah.[32] Sebab kalau turunnya pada hari Arafah dan dikatakan sebagai hari raya, maka hal itu tidak benar. Arafah itu adalah hari kesembilan bulan haji dan bukan hari raya, hari raya itu adalah hari kesepuluh haji. Karena kesalahan ini maka kemungkinan hadits ini juga dianggap oleh Imamiyah sebagai hadits yang perlu dikoreksi lagi. Mustahil Sayyidina Umar tidak tahu bahwa hari Arafah’ itu merupakan hari wukuf. Dan populer di kalangan kita kaum muslimin bahwa hari kesembilan bulan haji bukanlah hari raya.
Sayyidina Umar berkata: “Memang benar bahwa ayat tersebut saya tahu bahwa Ia turun di Arafah dan kita kaum Muslimin menjadikannya sebagai hari raya.” Hal ini tidak benar dan tidak cocok dengan kenyataan, maka hadits ini masih perlu dikoreksi kebenarannya. Imamiyah tidak menerima hadits ini karena mereka bisa memastikan bahwa ayat itu turun di Ghadir Khum.
Ada juga riwayat-riwayat Ahlus sunnah yang paralel dengan riwayat mereka (Syi‘ah) dalam masalah pengangkatan Ali tersebut.[33] Cuma kita menganggap hal itu bukan pengukuhan Ali dan penunjukan Ali sebagai pemimpin, tetapi penafsirannya yang dirubah: “Man kuntu maulahu” yakni “Siapa yang mencintai aku atau aku mencintai dia maka dia harus juga mencintai Ali.” Kata Syi’ah: “Kalau hanya itu maksud Nabi, maka tidak mungkin Beliau mengumpulkan sampai sebanyak 120,000 sahabat, itu terlalu memboroskan tenaga jika hanya untuk mencintai Ali saja.[34] Masalah ini termasuk masalah yang masih dikoreksi Syi’ah.
Syi‘ah mempunyai pendirian bahwa ayat tersebut turun di Ghadir Khum (di satu tempat di antara Makkah dan Madinah).
Mahasiswa: Ayat yang Ustadz bacakan tadi yakni: “Ya Ayyuhal Rasul” apakah benar ayat itu turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib?
Ustadz Hussein: Menurut Imamiyah ayat itu jelas turun untuk mendesak Nabi agar menyampaikan wahyu Allah untuk mengangkat Ali sebagai pemimpin.[35] Bahkan ada tuduhan dari pihak kita bahwa dalam Qur’an Syi’ah ada tambahan sehubungan dengan ayat itu “Ma unzila ilaika minrrobbika fi Ali”.
Sebenarnya tuduhan itu tidak tepat. Kalau kita mau membaca kitab-kitab tafsir, maka kata-kata “Fi Ali” itu ada di antara tanda kurung. Jadi kata-kata itu tidak termasuk ayat al-Qur’an tetapi hanya tafsirannya saja.
Kadang-kadang mushaf para sahabat Nabi disertai juga dengan asbabun nuzulnya tetapi mereka tahu perbedaannya dengan ayat aslinya dan kata “Fi Ali” itu lebih mirip dikatakan asbabun nuzulnya, bukan kata tambahan buat ayat itu dan ini bisa dipahami. Jadi mereka bukan menambah dalam ayat al-Qur’an tetapi hanya keterangan seperti dalam kurung walaupun mereka tidak memasang tanda kurung di antara kata-kata itu sebagaimana dahulu Al-Qur’an tidak diberi tanda-tanda seperti titik dan harakat tetapi orang memahaminya.
Kesembilan: Apakah benar, bahwa Syi‘ah menambah dan mengurangi ayat-ayat Al-Qur’an dan melakukan perubahan-perubahan? Mahasiswa: Setelah Ustadz menyebut tentang penambahan ayat Al-Qur’an, maka mengingatkan kami pada satu masalah yang akan kami tanyakan yakni permasalahan perubahan ayat-ayat al-Qur’an yang dituduhkan kepada Syi’ah. Apakah benar tuduhan bahwa Syi’ah menambah dan mengurangi ayat-ayat al-Qur’an dan melakukan perubahan-perubahan? Saya mendengar bahwa salah satu pemimpin Syi’ah yakni Ja’far Shadiq mengatakan bahwa Al-Qur’an itu berjumlah hampir 20,000 ayat. Dalam hal ini apakah Ustadz dapat menjelaskan kepada kami?
Ustadz Husein: Dalam hal ini kita harus benar-benar memperhatikan apa yang pernah diucapkan oleh Syi’ah sendiri. Jadi kita tidak boleh memutuskan berdasarkan teks-books kita atau riwayat-riwayat yang kita terima dari berbagai golongan dan perawi, kemudian kita vonis bahwa mereka itu mempunyai Al-Qur’an sendiri. Kita harus mengerti juga bahwa yang dikatakan mempunyai Al-Qur’an sendiri itu bukan Ali saja tetapi ada mushaf Abu Bakar, mushaf A’isyah, mushaf Utsman, mushaf Umar yang dititipkan kepada Hafsah dan ada beberapa mushaf-mushaf lainnya.
Menurut kita Ahlus Sunnah mushaf-mushaf tersebut jelas tidak mengandung kelebihan atau kekurangan. Kalau kita mau teliti lagi, menurut Syi‘ah justru yang melakukan tahrif itu adalah Ahlus sunnah sendiri. Jadi kalau kita melemparkan tuduhan tahrif kepada mereka maka mereka akan menyatakan bahwa sebenarnya yang melakukan tahrif itu adalah kita Ahlus sunnah.
Syi‘ah mengatakan, kita melakukan tahrif misalnya, kita memiliki dua surat di dalam Al- Qur’an menurut sumber-sumber kita sendiri.[36]
Dua surat ini kata Syeikh Raghib Asfahani dalam risalahnya ad alah dua surat qunut. Dua surat ini dipakai oleh Sayyidina Umar dalam qunut. Dua surat ini ada dalam mushaf lbnu Abbas dan mushaf Zaid bin Tsabit.
Bila di dalam mushaf-mushaf mereka ini ada dua surat qunut maka mushaf-mushaf ini termasuk ada tambahannya.
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Ubay bin Ka‘ab: “Seberapa kamu membaca surat Al-Ahzab? Surat Ahzab ini biasanya berjumlah 70 ayat lebih sedikit namun kami pernah membacanya bersama Rasulullah seperti surat Al-Baqarah atau lebih dari itu.[37] Dalam surat Al Baqarah ada “Ayat Rajm” ternyata sekarang tidak ada.[38]
Apakah surat Al-Ahzab yang berjumlah 72 ayat menurut Ahlus Sunnah itu kurang? Mestinya 200 ayat lebih? Riwayat- riwayat ini tercatat dalam kitab-kitab kita Ahlus Sunnah.
Ketika Sayyidina Umar berkhotbah: “Wahai manusia, jangan kamu tinggalkan orang-orang tua kamu, kalau kamu tinggalkan mereka maka kamu jadi orang kafir.” Umar menganggap ini ayat dan dibacanya di atas mimbar.[39] Ada juga ayat “Adzakari wa untsa” tanpa kata “wama kholaqo”.[40] Semua riwayat ini dari kita Ahlus Sunnah sendiri.[41] Mengapa hal ini tidak kita anggap tahrif juga? Kalau yang begini tidak dianggap tahrif maka hal ini merupakan sesuatu yang sulit, sedangkan kita sendiri belum bisa membuktikan apa yang mereka tulis.
Kalau kita mengatakan mereka, kalau kita katakan apa yang kita maksud dengan tahrif, tadi saya contohkan mereka menulis “Ma unzila ilaika fi Ali” ini bukan tahrif, tetapi hanya menambah penjelasan dan asbabun nuzulnya, tetapi dalam al-Qur’an mereka, sampai sekarang ini tidak pernah ada yang menyebut adanya tambahan atau pengurangan. Di dalam Aqo’id Imamiyah yang ditulis oleh Syeikh Al-Mudhafar, dia mengatakan: “Kami percaya bahwa Qur’an itu wahyu Ilahi yang di turunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saww dan di dalamnya mengandung keterangan tentang segala sesuatu. Dia adalah salah satu mukjizat Nabi Saww yang paling besar dan abadi yang semua manusia tidak akan bisa menandinginya baik dalam bahasa maupun sastranya. Tidak pula bisa menandinginya tentang apa yang dikandungnya dari kebenaran-kebenaran dan kenyataan-kenyataan serta pengetahuan-pengetahuannya yang hebat yang tiada mampu disentuh oleh kebatilan atau perubahan atau tahrif Dialah Qur’an yang ada di tangan kita, yaitu Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saww. Siapa pun yang mengakui selain ini maka ia adalah melanggar Sunnah Nabi atau masih kabur dalam masalah ini.
Kami kemudian mendengar bahwa musuh-musuh Syi’ah selalu menuduhnya melakukan tahrif berdasarkan kitab- kitab Muhammad Taqi An-Nuri At-Thabrasi (wafat 1320 H) dan dia orang Syi’ah.
Mereka mengatakan bahwa orang tersebut mengatakan adanya tahrif dalam Al-Qur’an. Seorang penulis Syi’ah yang mengatakan adanya tahrif di dalam fahamnya kemudian kita menyatakan bahwa semua orang Syi’ah juga melakukannya, hal itu merupakan kesimpulan yang gegabah.[42]
Di dalam beberapa kitab Ahlus Sunnah menyatakan adanya tahrif tetapi Syi’ah tidak menuduh Sunni mentahrif Qur’an. Kita sebenarnya tidak adil atau tidak jujur, sebab sebaiknya kita melihat kepada diri kita sendiri sebelum mengkritik orang lain dan lebih baik membentangkan ayat-ayat lain yang menentang adanya tahrif. Kalau kita melihat diri kita sendiri, maka akan kita jumpai tahrif itu di dalam Ahlus Sunnah ini, misalnya ketika Sayyidina Abu Bakar menjelang wafat dia membaca sebuah ayat Al-Qur’an tetapi Ia tidak membacanya “Waja-at sakaratul mauti bil haq” melainkan membaca “sakaratul haqqi bil maut”.
Apakah dengan demikian al-Qur’an telah dirubah selain itu, ada juga ayat “Wadz dzakara wal untza” tanpa “Wama khalaqa...” Bukankah ini sesuatu kekurangan?
Walhasil nampaknya kita Ahlussunnah ini hanya ingin mengkafirkan Syi‘ah saja, kita harus jujur. Cara kita menganalisa dan sikap kita terhadap Syi‘ah tidak “Fanatik” (saya sendiri menyesali hal ini, setiap saat saya berusaha untuk netral) -apalagi saudara-saudara kalangan mahasiswa ini- Saya sama sekali tidak menganjurkan agar saudara masuk Syi‘ah bahkan simpati pun tidak. Saran saya hanya jangan mencerca dengan dasar sesuatu yang belum anda kuasai seluruhnya karena sikap itu tidak terpuji dan tidak menguntungkan kita, bahkan menguntungkan kaum Nasrani.
Dan mereka yang sekarang ngotot mengkafirkan Syiah di segala tempat. Bahkan mereka mempropagandakan untuk mengkafirkannya di alun-alun, untuk itu mereka menyebarkan selebaran-selebaran seperti mereka menyebarkan iklan-iklan bioskop.
Mereka nampak benar sebagai orang-orang yang nafas wahabismenya besar. Sedang ciri dan nafas wahabisme itu adalah mengkafirkan semua madzhab atau sekte dan semua aqidah Islam di dunia ini termasuk kita dikafirkan dan dicap sebagai musyrikin. Misalnya bila kita melakukan tawasul, mengangkat tangan, apalagi di kuburan Nabi Saww maka tidak ada ampun bagi kita, langsung saja dicap “syirik”. Rupanya ada tangan-tangan kotor Wahabi yang bergerak di Indonesia ini dengan begitu gigih untuk menjadikan Indonesia ini agar tidak mau mendengar Syi‘ah sama sekali.
Menurut saya hal itu terlalu jauh untuk dijangkau, sesuatu yang tidak mungkin terjadi, sebab Syi‘ah ini telah ada sebelum madzhab Ahli sunnah. Syi’ah Ali. Apalagi ajaran-ajaran Syi’ah telah lama dibukukan dan bisa dibaca oleh semua orang yang bisa bahasa Arab, Persi, Inggris atau lainnya. Orang bisa membaca bahwa di situ tidak ada sedikit pun kandungan syirik yang dituduhkan Wahabi itu.
Kalau mereka menghormati Ali karena Nabi menyuruh mencintainya, itu adalah hak mereka. Kalau mereka membenci orang-orang yang memerangi Ali itu pun hak mereka, sebab memerangi Ali sama dengan memerangi Nabi sebagaimana sabdanya: “Aku memerangi orang yang memerangi engkau (Ali) dan damai bersama orang yang damai denganmu.”[43]
Namun apa yang terjadi? Ketika Ali diangkat menjadi khalifah, beliau dikeroyok. Mereka yang memerangi Ali menurut Syi’ah adalah orang-orang yang tidak bisa dipakai lagi riwayat-riwayat mereka dan agama mereka.[44]
Kita tidak bisa menyalahkan pendirian ini kalau kita masih tetap memakai mereka itu hak kita tidak ada masalah.
Kalau kita menyatakan bahwa Syi‘ah itu kafir, hanya kita disuruh oleh segolongan tertentu dan luar negeri khususnya Wahabi itu, itu tidak benar karena Syi‘ah sudah jelas kedudukannya dan tidak bisa dikafirkan. Dan ketika kita mengkafirkan Syi‘ah sebenamya kita sudah termasuk perangkap intrik politik Timur Tengah dan kita harus waspada dan menolak maksud mereka agar kita mendiskreditkan Iran, karena Iran nampaknya tidak bisa dirobohkan dengan dentuman senjata yang modalnya dari orang-orang Arab seluruh Timur Tengah.
Karena gagal cara ini mereka menyerang madzhabnya atau personnya Khomaini dicerca dan difitnah habis-habisan tetapi nyatanya mereka tidak berhasil. Slogan-slogan Arab melawan Persi dan Nasionalisme Arab juga tidak merobah keadaan. Dengan demikian Yahudi dapat kesempatan memasukkan ide-ide kotor kepada orang orang yang dangkal ilmunya dan sempit akhlaknya, juga menteror madzhab-madzhab dan yang kena adalah kita sendiri.
Saya mengakui bahwa kita telah masuk perangkap ini. Walhasil, kita harus sebisa mungkin mengkaji Islam ini dan segala madzhab agar pandangan kita lebih luas dan tepat. Saya mengumpamakan madzhab-madzhab yang banyak, yang ada ini seperti sebidang kebun yang di dalamnya terdapat berbagai macam buah-buahan yang lezat dan segar, seperti durian, mangga, duku, manggis, apel dan lain sebagainya.
Bila ada orang masuk kebun itu dan dia memetik serta memakan manggis, jangan dilarang berilah kebebasan sekehendak seleranya yang penting kebun ini sudah jelas milik kita ummat Islam.
Kalau misalnya ada masalah-masalah berat dalam satu madzhab maka saudara boleh memilih madzhab lain yang membahas masalah itu. Misalnya saudara sering tersentuh perempuan yang bukan mahrom maka kalau saudara keberatan jangan mengikuti madzhab yang membatalkan wudhu saudara bila saudara bersentuhan dengan perempuan, saudara boleh mencari pandangan madzhab lain dalam masalah itu. Agama itu mudah dan ikhtilaf di sini merupakan rahmat asal saja jangan memvonis madzhab lain dengan dasar teks-books madzhab saudara.
Contoh lain adalah Abu Hanifah melarang orang membaca satu huruf pun di belakang Imam ketika ia shalat, kemudian saudara katakan Abu Hanifah itu bodoh, tidak mengerti hadits yang berbunyi: “Tidak dianggap shalat bila seseorang yang shalat tidak membaca Ummul Kitab (Al-Fatihah).”[45]
Ahmad bin Hanbal juga berpendapat bahwa menyentuh perempuan yang bukan mahrom tidak membatalkan wudhu, kemudian saudara katakan bahwa dia tidak mendengar hadits-hadits yang menyatakan masalah itu. Jadi kalau kita memakai madzhab kita untuk menghakimi madzhab lain, tentu saja kita mengatakan madzhab lain itu salah, nyatanya ada masing-masing madzhab mempunyai pendapat yang berbeda-beda, bila ada 8 madzhab berarti ada 8 pendapat, dan kalau ada delapan pendapat pasti masing-masing pendapat itu saling berbeda, tetapi jangan saling mengkafirkan.[46]
Mahasiswa: Ustadz, pertanyaan tadi tentang pernyataan Ja’far Shadiq belum terjawab.
Ustadz Husein: Masalah Imam Ja’far Shadiq pernah saya baca dalam Kitab Al-Kafi di sana beliau menyatakan bahwa Al-Qur’an terdiri dan 17,000 ayat. Hal ini dimaksud dalam tafsiran Syi’ah (dalam catatan kaki dari kitab itu dijelaskan bahwa setiap waqaf-waqaf (tempat berhenti itu dianggap satu ayat) misalnya kita dapat melihat dalam ayat kursi (al-Baqarah ayat 255) kita menganggapn ya satu ayat dan Syi’ah menganggapn ya 8 ayat.
Tetapi jangan lupa bahwa Sayyidina Umar pernah berkata bahwa Qur’an ini berjumlah seribu-ribu huruf[47] yakni maksudnya satu juta Sedangkan huruf yang ada sekarang hanya sepertiganya. Dan mana yang dua pertiga lainnya? Dengan demikian Syi‘ah bisa menuduh kita tahrif. Saudara bisa baca dalam kitab “Al-Itqan ulumul qur’an”. Sebaiknya kita tidak menyatakan bahwa kita melakukan tahrif demikian pula kita tidak menuduh madzhab lain melakukannya, masing-masing punya bukti dan argumen.
Kesepuluh: Mengapa Syi’ah Imamiyah kalau Shalat hanya tiga waktu? Mahasiswa: Mengapa Syi’ah Imamiyah shalat tiga waktu? Dulu kami pernah tahu di Indonesia ada agama tiga waktu, apakah mungkin keduanya ada kesamaan?
Ustadz Husein: Saya kira tidak ada persamaan antara Syi‘ah dan agama tiga waktu itu, sebab kita (Ahlus Sunnah) sendiri membolehkan cara demikian itu. Pertama Ahlus sunnah sepakat tentang bolehnya jamak di Arafah. Antara Dhuhur-Asar dan kita namakan jamak takdim.
Kedua kita menjamak shalat Maghrib-lsya’ di Mudzdalifah yang dinamakan jamak ta’khir. Pendapat ini telah disepakati oleh kaum muslimin, termasuk Syi‘ah. Ahlus sunnah membolehkan jamak takdim dan takhir dua fardhu kalau kita dalam perjalanan atau safar. Jadi shalat jamak Dhuhur Ashar di waktu Dhuhur atau di saat Ashar. Maghrib-Isya’ di waktu Maghrib atau telah masuk waktu Isya’. Shalat-shalat ini boleh dijamak kalau kita dalam perjalanan, tetapi Syi’ah tidak demikian.
Syi’ah mengatakan walaupun seseorang tidak dalam perjalanan Ia boleh menjamak shalat shalatnya. Selain itu ada satu madzhab yang berbeda dengan yang lain dalam Ahlussunnah tentang masalah ini. Yakni Madzhab Imam Syafi’i yang menyatakan, orang boleh menjamak shalat-shalat Dhuhur-Ashar, Maghrib-Isya’ walaupun dia tidak dalam perjalanan. Tidak ada halangan hujan dan tanpa alasan apa pun. Cuma beliau nenyatakan bahwa hal itu tidak boleh dijadikan kebiasaan.[48]
Kalau menurut Imamiyah, kita boleh menjadikannya kebiasaan sepanjang tahun. Dalam masalah ini mereka tentunya berdasarkan hadits-hadits yang shahih. Yakni Hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah Saww pernah menjamak antara Dhuhur dan Ashar sebagaimana diriwayatkan Muslim.[49] Maksud Nabi hanya untuk meringankan ummatnya, kalau kita mau mengkaji kitab-kitab hadits kita yang shahih maka kita akan tahu bahwa: Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saww pernah menjama’ shalat-shalat beliau di Madinah sedangkan beliau dalam keadaan tidak dalam perjalanan.[50]
3
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG Di dalam kitab Imam Malik “Al-Muwatha’”[51] Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah Saww shalat Dhuhur dan Ashar dijamak, juga Maghrib dan Isya’. Tanpa alasan perang atau perjalanan, Imam Muslim dalam shahihnya bab jamak dua shalat di dalam kota. Juga dari Ibnu Abbas Rasulullah Saww pernah shalat Dhuhur-Ashar, dan Maghrib-Isya’ di Madinah tanpa alasan apa pun dan dijamak di kotanya sendiri.[52] Juga Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah Saww shalat jamak antara Dhuhur-Ashar dan Maghrib-Isya di Madinah tanpa ada satu alasan pun. Kemudian perawi hadits ini bertanya kepada Ibnu Abbas: “Mengapa beliau berbuat begitu? Ibnu Abbas menjawab: Agar ummat Islam tidak merasa sulit.”[53] Sekarang banyak pegawai dan sebagainnya yang ketika pulang ke rumah sudah jam 3 sore sedangkan saat itu waktu Ashar telah masuk, kalau dia tidak jamak shalat Dhuhur Ashar, mungkin shalatnya tercecer, juga orang yang bekerja di bengkel-bengkel dan berlepotan minyak dan lain sebagainya.
Bukhari juga meriwayatkan dalam bab waktu shalat Maghrib.[54] Dalam Shahihnya berkata, Amer bin Dinar berkata: Saya dengan Jabir bin Zaid, dan Ibnu Abbas berkata: Nabi Saww shalat tujuh dan delapan raka‘at (tujuh, Maghrib-Isya sedang delapan, Dhuhur-Ashar) di Madinah.
Cuma dalam masalah ini tidak qashar, demikian pula Imamiyah. Saya kira dalil-dalil ini cukup menunjukkan bahwa Ahlussunnah juga membenarkan shalat jamak. Yang jelas yang dikatakan tiga waktu itu bukan tiga shalat tetapi lima shalat dalam tiga waktu, dan kita harus membedakan keduanya itu. Fatwa Imam Khomaini menyatakan, lebih afdhal masing masing shalat dilakukan pada waktunya. Fatwa tersebut ada dalam kitab beliau “Tahrir Al-Washilah” (juga ulama-ulama mujtahidin Syi’ah yang lainnya seperti Sayyid Abul Qasim al-Khu’1 memfatwakan hal yang sama).
Kesebelas: Bagaimana menurut faham kita Ahlus sunnah tentang masalah Raj'ah? Mahasiswa: Kami melihat nampaknya Ustadz sudah lelah tetapi rasanya kami tidak bosan-bosan untuk semakin banyak menimba ilmu dari Ustadz. Ada satu lagi pertanyaan kami yaitu masalah “Raj’ah” bagaimana menurut faham kita Ahlus sunnah?
Ustadz Husein: Ahlus sunnah sama sekali tidak meyakini masalah “Raj’ah”. Raj’ah itu artinya kembali hidup lagi di dunia ini. Nanti di zaman Imam Mahdi akan melihat hal itu. Musuh-musuh Ahlul Bait akan dihidupkan dan akan diberi balasan oleh Allah, kemudian mati lagi semuanya. Kalau ada orang yang menyatakan bahwa Raj‘ah itu adalah satu faham reinkarnasi itu tidak betul, sebab reinkarnasi itu artinya roh orang yang menyusup ke tempat lain seperti binatang atau makhluk lain, sedangkan reinkarnasi itu menurut arti kamus bermakna penjelmaan kembali makhluk yang telah mati. Sedangkan Raj’ah adalah orang-orang yang telah mati itu dihidupkan kembali, bukan menjelma. Tidak mustahil bahwa anggapan Syi’ah itu benar,[55] hanya Syi’ah saja yang menyakini faham ini sedangkan madzhab lain tidak.
Kedua belas: Apa sebenarnya makna Rafidhah? Mahasiswa: Mungkin Ustadz tahu apa sebenar makna Rafidhah?
Ustadz Husein: Rafidha dan Rawafidh yang bentuk tunggalnya adalah Rafidhi, sering disalahgunakan oleh kita Ahlussunnah. Mereka menganggap Syi‘ah Imamiyah ini Rafidhah, padahal tidak demikian. Awal mula munculnya Rafidhah adalah orang-orang yang bersama Imam Zaid bin Ali bin Husein yang bai’at kepada Imam, kemudian meninggalkan beliau. Anda bisa membaca masalah-masalah ini dalam kamus “Tajul Arus” jilid 2 atau 3 bab Rafadha. Jadi Rafidza ini tidak ada hubungannya dengan yang dituduhkan Wahabi kepada Syi‘ah. Wahabi menuduh bahwa Rafidha adalah orang yang mengatakan Ali lebih afdhol dari Abu Bakar dan dia itu adalah kafir.
Yang benar, Rafidha itu adalah bala tentara Imam Zaid yang meninggalkan beliau. Imam Zaid bin Ali adalah paman Imam Ja’far Shadiq. Seandainya Rafidha ini ditafsirkan orang yang tidak menerima khilafah Abu Bakar dan Umar sebagai khalifah yang sah, dia juga tidak dapat kita katakan kafir. Ini menurut semua madzhab kecuali madzhab yang fanatik. Sebab ada yang mengatakan bahwa sahabat ini ada yang melakukan kekeliruan, orang tersebut juga tidak kafir. Ada orang bertanya, mungkinkah hal itu terjadi? Bisa saja, sebab sahabat itu juga melakukan ijtihad, bahkan kita Ahlusssunnah menganggap bahwa Nabi berijtihad. Sahabat memilih sesuatu selain yang dipilihkan Nabi, itu mungkin saja. Sebab terbukti bahwa beberapa sahab at seakan-akan mengajari Nabi.
Syi’ah Imamiyah tidak berpendapat demikian, bahkan menentangnya. Satu misal menurut Ahlus sunnah: Sayyidina Umar datang kepada Nabi Saww seraya berkata, “Ya Rasul Allah perintahkan istri-istrimu agar memakai Hijab”, di sini nampaknya Sayyidina Umar lebih cemburu dalam masalah agama dibanding dengan Nabi.
Setelah beberapa saat kemudian turunlah ayat “Hijab” yang membenarkan Sayyidina Umar. Begitu riwayat kita Ahlus sunnah. Syi‘ah menyatakan mustahil ada orang yang mengajari Nabi seperti itu.
Pendapat itu tidak benar, bertentangan dengan akal, kalau Nabi diajari atau Nabi lupa dalam shalatnya. Nabi ditegur oleh “Dzulyadain” dalam hadits yang ‘diriwayatkan oleh Abi Hurairah ketika Nabi lupa dalam shalatnya padahal menurut sejarah bahwa Abu Hurairah saat itu berada di Bahrain. Ini juga salah satu sebab Abu Hurairah diragukan sebagai membawa sesuatu yang tidak tepat.
Selain itu ada juga riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah Saww menempelkan pipinya kepada pipi A’isyah setelah mengajaknya menonton orang-orang Habsyah bermain tombak.
Kata Syi‘ah, Nabi tidak mungkin b erbuat senista itu, kita saja malu apalagi b eliau yang mengajar akhlak kepada kita dan dipuji akhlaknya oleh Allah.
Banyak hadits-hadits seperti itu dikritik oleh Syi’ah, lantas kita marah. Ada satu riwayat yang lebih dahsyat lagi yang diriwayatkan oleh Muslim. Seorang wanita datang kepada Rasulullah Saww, bernama Sahla dan berkata: Ya Rasulullah, saya punya anak asuh namanya Salim, tentunya dia keluar masuk rumahku dan saya bukan muhrimnya, kadang kadang saya sendirian di rumah. Kemudian Nabi menjawab: “Susuilah dia”. Sahla menjawab: Ya Rasulullah orang itu sudah berjanggut, sudah dewasa, bagaimana saya bisa menyusuinya? Nabi berkata: “Kamu susui dia”, hadits ini ada di dalam Shahih Muslim, salah satu kitab standar kita Ahlussunnah. Andaikan ini benar ada di dalam kitab itu, hal ini tidak betul, mustahil Nabi yang mengajarkan malu kepada wanita, tidak boleh bersalaman, melihat laki-laki dengan syahwat dan sebagainya tiba-tiba menyuruh membuka payudaranya untuk diisap oleh lelaki yang bukan muhrim itu. Kata Syi’ah hal ini merupakan hal yang mustahil, tetapi Ahlussunnah meriwayatkan ini.
Di sini perbedaan antara keberanian Syi‘ah mengkritik dengan ketaatan kita kepada apa yang ada ini semua bermula dan penutupan pintu Ijtihad yang kita lakukan.
Sesudah 4 madzhab Ahlus sunnah sepakat untuk membatasi upaya ijtihad dan tidak boleh ada Mujtahid lagi, karena sudah cukup empat orang ini dan tidak ada lagi yang mampu selain mereka itu. Mungkin setelah itu tidak ada lagi orang yang bisa menggunakan pikirannya untuk ijtihad karena itu mereka taqlid saja dan sampai sekarang khususnya di kalangan pondok pesantren.
Jangan diharap kita dapat merubah secara cepat pendirian berbagai masalah seperti di atas apalagi masalah Taqiah yang kita katakan seb agai perbuatan munafik dan bohong.
Menurut Syi’ah, maksud Taqiah itu adalah menjaga agar diri kita tidak musnah. Kalau agama kita mau dirusak kemudian kita tidak mampu berbuat apa-apa maka kita dibolehkan taqiah, bukan justru sebaliknya kita mendekal kepada kaum kafir untuk mendapat satu keuntungan dari mereka, itu namanya bukan taqiah tetapi nifaq atau munafik.
Mungkin kita keliru menamakan taqiah den gan perbuatan munafik. Jadi kita tidak boleh menuduh orang atau madzhabnya sekehend ak kita tetapi harus kita kaji sendiri atau berdiskus secara final dengan mereka.
Kalau perlu kita undang beberapa ulamn dari Iran yang bisa diandalkan oleh kedua belah pihak dan bisa diajukan kepada forum diskusi untuk penjelasan segala masalah. Dalil merela akan lebih lengkap dan apa yang saya utar akan ini.
Mahasiswa: Terima kasih sekali kepada yang mulia Ustadz Hussein yang telah memberikan keterangan kepada kami dengan demikian jelas. Walaupun Ustadz sendiri menyatakan bukan bermadzhab Syi’ah, tetapi kami benar-benar telah merasa puas dengan jawaban-jawaban Ustadz atas pertanyaan kami. Memang tadi kami datang kemari, kami menyangka bahwa Ustadz ini bermadzhab Syi’ah. Karena kami mendengar pembicaraan orang-orang yang menuduh Ustadz bermadzhab Syi’ah. Sekali lagi kami ucapkan terima kasih kepada Ustadz, untuk penutup, mungkin Ustadz akan memberikan nasihat kepada kami atau lainnya?
Ustadz Husein: Saudara penanya, saya ini sudah sering dituduh Syi’ah, hingga akhirnya saya mengatakan: “Saya bukan Syi’ ah dan bukan Sunni tetapi saya muslim.”
Entah, saya masih diterima sebagai muslim atau sudah dikafirkan, yang jelas saya katakan bahwa saya ini Muslim. Sering saya katakana bahawa saya ini bukan Syi’ah, saya Sunni dan lihatlah pesantren saya. Segala yang ada di sana guru-guru pondok saya hampir 80% ke atas adalah berasal dari alumni pondok-pondok pesantren baik dari Sidogiri, Langitan atau daerah Jawa Tengah.
Kurikulum kami dan kitab-kitab pelajaran yang kami gunak an dan lain sebagainya cukup kiranya membuktikan bahawa kami tidak ada hubungann ya dengan Syi’ ah.
Walaupun demikian dalam kelas-kelas fiqih yakni Aliyah diadakan pelajaran fiqih perbandingan madzhab-madzhab. Kemudian di antara lima madzhab yang ada terdapat juga di sana fiqih dari madzhab Syi’ah Imamiyah. Jangankan kami, IAIN Sunan Ampel juga memasukkan madzhab Imamiyah sebagai bahan studinya.
Studi perbandingan madzhab itu tidak ada masalah dan anak-anak di sana kami bebaskan untuk mempelajarinya, melihat, mendengar dan membacanya sendiri kitab-kitab dari dua belah pihak. Kalau ada madzhab-madzhab selain itu boleh saja mereka membaca, itu memang kami bebaskan. Dari sini belum boleh orang menuduh kami Syi’ah, tetapi kami sebenarnya lebih tepat dikatakan netral.
Tetapi banyak orang yang tidak menghendaki demikian, ada satu peristiwa yang telah terjadi di Tegal sehubungan dengan kami. Ketika itu ada dua orang masuk ke sebuah majelis kami tanpa salam atau salaman, tiba-tiba mereka mengeluarkan tape/recorder sambil serta merta bertanya, “Ustadz ini Syi’ah atau Sunni?” Saya jawab, saya Sunni, kemudian mereka tanya macam-macam sehingga terjadi seperti huru hara.
Terus terang saya akui memang mereka itu brutal, tidak berakhlak sedikit pun. Esok harinya mereka datang lagi sambil membawa beberapa orang termasuk beberapa Kiyai. Saya akan melayani mereka dengan cara yang baik dengan moderator dan sebagainya, tetapi ternyata tuan rumah menyatakan keberatan, sebab mereka cenderung membuat keramaian terus. Kemudian saya tinggalkan mereka, tetapi kaset yang hanya terisi lima menit itu kemudian dibawa pulang oleh mereka dan diisi sendiri dengan pembicaraan mereka yang bohong dan mendiskreditkan saya, tetapi mereka sama sekali tidak adil, sebab saya tidak berdaya menjawab karena saya tidak ada di sana.
Di antara perkataan mereka di dalam kaset tersebut ialah seorang Habib dari Hadramaut mengatakan “Lepas tangan dan madzhab Zaidiyah sampai mereka kembali beriman kepada Allah yang Esa.”
Mendengar itu saya beristighfar kepada Allah, saya katakan berita-berita semacam ini harus kita teliti kebenarannya, siapa yang membawa? Kadang-kadang yang membawa berita itu adalah Yahudi, kita sudah terbiasa menerima berita tanpa seleksi. Kemungkinan besar Al-Habib Ali Al-Idrus tidak mengatakan Zaidiyah melainkan Yazidiyah.
Saya tahu pasti bahwa madzhab Zaidiyah adalah Madzhab yang paling dekat dengan Ahlus sunnah dan kalangan Syi‘ah dan ini sudah populer diketahui. Kalau anda tanya kepada saya tentang madzhab atau sekte Syi’ah yang paling dekat dengan Ahlussunnah maka saya segera menjawab bahwa itu adalah madzhab Zaidiyah. Mungkinkah Sayyid Ali Al-Idrus seorang Ulama Hadramaut itu mengkafirkan Zaidiyah? Saya yakin yang dimaksud beliau adalah Yazidiyah. Kalau madzhab Yazidiyah itu, memang kafir. Madzhab Yazidiyah ini adalah salah satu sekte Ahlus sunnah yang mendewakan Yazid bin Muawiyah bin Abi Sofyan. Saya mempunyai Kitab standarnya yang dicetak di Saudi Arabia (pusat Wahabi di dunia). Sehingga tidak mungkin ditambah atau dikurangi.
Yazid bin Muawiyah ini termasuk orang yang tidak salah menurut Wahabi. Yazidiyah ini adalah satu kelompok yang mendewakan Yazid dan menjadikan setan sebagai lambangnya, burung merak sebagai simbolnya. Di dalam kitab itu disebut semuanya, juga dijelaskan tentang madzhab ini di dalam kitab “Insikiopedia madzhab-madzhab dan filsafat-filsafat”. Kesempitan ilmu dan minus Akhlak menyebabkan orang-orang berbuat itu. Mereka mengisi kaset-kasetnya sendiri sehingga saya tidak bisa menolak pendapat-pendapat mereka itu. Alhamdulillah sejak awal tadi saya perhatikan dalam majelis ini, saudara nampak bersikap sangat simpatik, dan memang saya tidak heran karena saudara dari kalangan mahasiswa, pantas bersikap demikian, sebab mungkin saudara nanti menyampaikan apa yang telah saya katakan kepada kalangan saudara sendiri, mungkin saudara masih mengoreksi lagi kata-kata saya, saya persilahkan. Ada satu masalah penting sebelum saya akhiri, yakni saya akan menambab penjelasan masalah tahrif tadi yang benar-benar perlu kita fahami.
Kesimpulannya: Perselisihan beberapa riwayat tentang adanya tahrif dari kedua belah pihak yang saling menuduh tahrif, akhirnya mereka sepakat bahwa riwayat-riwayat kita Ahlus sunnah mengenai tahrifnya Syi‘ah dan yang ada pada kita sendiri atau riwayat Imamiyah tentang tahriif itu, baik yang mengatakan tambahan dan pen gurangan dalam al-Qur’an, semua riwayat itu dianggap Dha’if (lemah) oleh kedua belah pihak dan bahkan maudhu’ (buatan) yang sama sekali tidak boleh digunakan. Akhirnya Sunnah dan Syi’ah kembali kepada Al-Qur’an yang ada pada ummat Islam sejak zaman itu sehingga sekarang yaitu Qur’an kita ini. Ini semua berd asarkan firman Allah: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan Kamilah yang akan menjaganya.” (Q.S. 15:9).
Jadi kita tidak perlu mengambil riwayat riwayat yang Dha‘if atau Maudhu’ itu untuk saling menuduh, sebab itu tidak benar. Adik-adikku sekalian, saya cukupkan sekian.
Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan itu bermanfaat bagi saya dan saudara-saudara; dan menambah ilmu kita. Jika ada keterangan saya yang salah, maka kesalahan itu dari saya sendiri, dan saya mengucapkan Astaghfirullah. Bila benar maka kebenaran itu dari Allah SWT. Wassalam.
RAJ ‘AH MENURUT PANDANGAN SYI‘AH IMAMIYAH Raj’ah ialah: “Kebangkitan kembali sekelompok manusia dan ummah Rasulullah Saww yang memang tinggal derajat keimanannya dan kedurjanaan, untuk menenima sebagian balasan mereka di dunia ini.”
Mereka yang beriman akan mendapatkan kejayaan sedang yang fasik akan dihinakan dan diberi siksaan. Hal ini akan terjadi pada masa bangkitnya Imam Mahdi (Imam dari keturunan Imam Ali dan Fatimah) sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Nabi dalam Hadits-hadits yang mutawatir menurut seluruh Ulama Syi‘ah dan sebagian besar menurut Ulama Ahlus sunnah.
Setelah dibangkitkan mereka akan dimatikan kembali kemudian akan dibangkitkan kembali pada hari kiamat.
Keyakinan tentang Raj’ah hanya diimani oleh orang-orang Syi’ah saja. Adapun Ahlus sunnah tidak meyakininya bahkan menganggapnya sebagai suatu i’tiqad (keyakinan) yang dapat menjadikan tercemarnya kemurnian iman seseorang dan sebagai salah satu faktor tidak dipakainya riwayat seorang perawi (Apabila ada seorang perawi yang mempercayai atau meyakini tentang Raj’ah ini, maka riwayatnya tidak dapat dipakat). Tentunya hat ini disebabkan tentang masalah fahaman mereka, yang menganggap Raj‘ah itu sebagal Reinkarnasi. Anggapan ini tidak benar.
Dalil-dalil Tentang Adanya Raj’ah Dalam masalah pembuktian tentang adanya Raj’ah (faham Raj’ah) ada dua hal yang penting yang harus dibahas:
1. Apakah kejadian Raj’ah itu adalah suatu yang mustahil atau tidak?
2. Apakah ada ayat atau hadits yang dapal dijadikan sebagai dalil tentang adanya Raj‘ah?
Untuk menjawab pertanyaan pertama adalah sebagai berikut: Raj’ah tidak berbeda dengan kebangkitan (Al-Ba‘ats) ummat manusia pada hari kiamat kecuali dalam hal ruang dan waktu.
Raj’ah terjadi di dunia dan sebelum hari kiamat tiba, sedangkan Al-Ba’ats (Kebangkitan sejati) terjadi setelah hari kiamat dan bertemp at di alam akhirat.
Adapun dalil-dalil aqli (akal atau rasio) yang pernah diutarakan oleh teolog-teolog Islam untuk membuktikan kebenaran Al-Ba’ats itu juga dapat digunakan untuk membuktikan adanya Raj ‘ah secara akal.
Untuk menjawab pertanyaan kedua adalah: Dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menegaskan bahwa pada zaman Nabi-nabi terdahulu, sering terjadi semacam Raj’ah yaitu bangkit atau hidupnya seorang atau sekelompok manusia setelah mereka mengalami kematian.
Pertama: Dinyatakan dalam al-Qur’an bahwa Nabi Isa As memiliki mu‘jizat dapat menghidupkan orang yang sudah mati. Dalam ayat yang berbunyi: “…dan aku menghidupkan orang yang mati dengan seizin Allah...” (Q.S.3: 49).
Kedua: Seorang dari bangsa Yahudi pernah melalui (lewat) pada suatu desa yang sudah hancur dan binasa penduduknya, lalu ia bertanya-tanya siapa gerangankah yang akan membangkitkan semuanya ini? Lalu orang ini dimatikan oleh Allah selama 100 tahun, kemudian dibangkitkan kembali untuk membuktikan bahwa Allah Maha Kuasa atas segalanya ini. Disebutkan dalam ayat yang berbunyi: “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang-orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata, ‘Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh? Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun. Kemudian menghidupkannya kembali Allah bertanya: “Berapakah lamanya kamu tinggal di sini? la menjawab, saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari, Allah berfirman: Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah dan lihatlah keledai kamu (yang telah menjadi tulang-belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda-tanda kekuasan Kami bagi manusia dan lihatlah kepada tulang-belulang keledai itu, bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami menutupnya dengan daging. Maka talkala setelah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata: “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. 2: 259).
Ketiga: Al-Qur’an menceritakan ada sekelompok dari bani Israel yang melarikan diri dari kota mereka karena takut mati terserang oleh wabak yang tersebar luas, lalu Allah mematikan mereka semua, kemudian setelah menjadi tulang belulang dan musnah dimakan tanah mereka dibangkitkan dan dihidupkan sebagaimana semula, untuk menjadi bukti kebenaran “Al-Ba‘ats”.
Ibnu Katsir berkomentar: “Dihidupkannya mereka itu merupakan bukti yang kuat dan nyata bahwa kebangkitan jasmani pada hari kiamat itu benar-benar akan terjadi.” Kisah di atas kami kutip dari Tafsir Ibnu Katsir juz 1 hal 298.
Ayat-ayat yang dipakai oleh Ulama Imamiyah sebagai dalil Raj’ah: “Dan (ingatlah) hari (ketika) Kami kumpulkan dari tiap-tiap ummat segolongan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, lalu mereka dibagi-bagi (dalam kelompok-kelompok).” (Q.S .27: 83). Ayat tersebut di atas menurut pandangan Ulama-ulama Syi‘ah jelas menunjukkan adanya Raj’ah, sebab Allah berfirman bahwa Dia akan membangkitkan sekelompok manusia yang mendustakan ayat-ayat-Nya, hal itu dapat dipahami secara jelas dari kata “min” yang berarti sebagian. Jadi yang dibangkitkan hanya sekelompok ummat saja, tidak semua ummat manusia, dan ini jelas berbeda dengan kebangkitan total yang terjadi pada hari kiamat yang diberitakan dalam Al Qur’an bahwa tidak ada yang tersisa seorang pun dalam firman-Nya: “Dan akan Kami kumpulkan seluruh manusia dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dan mereka.” (Q.S.18: 47). Lihat Tafsir Majma’ul Bayan jilid 4 Juz 7, hal. 234-235 diterbitkan oleh maktabah Ayatullah Al-Udzma Al-Mar’asi -Qum, Iran- Tahun 1403 H.
Hadits atau riwayat-riwayat Ahlul Bait yang menyatakan hal ini cukup banyak dan kuat kedudukannya dan itu merupakan hal yang diakui secara luas dalam ajaran Ahlul Bait. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Syeikh Muhammad Ridha Al-Mudhaffar dalam bukunya “Aqo’id Al-Imamiyah” hal. 71. Kemudian beliau menambahkan bahwa faham Raj’ah bukan merupakan ajaran pokok (Ushul) Madzhab Syi’ah Imamiyah. Hanya saja kita (orang-orang Syi‘ah meyakini hal itu disebabkan adanya riwayat-riwayat Shahih yang tak terbantahkan, yang datang dari jalur Ahlul Bait dan itu termasuk perkara Ghaib (belum terjadi) yang mereka sampaikan kepada kita. Dan penjelasan di atas akan nampak jelas kesalahan mereka yang berpendapat bahwa Raj’ah adalah ajaran Yahudi yang tersisip ke dalam ajaran Syi‘ah sebagaimana yang dinyatakan oleh Ahmad Amin penulis buku “Fajrul Islam”.
Tidak semua kesamaan yang ada pada suatu ajaran dengan ajaran lainnya itu berarti mengambil dari yang lain. Kalau memang demikian, orang dapat mengatakan bahwa beberapa pokok ajaran Islam itu diambil dan ajaran Nasrani dan Yahudi dikarenakan adanya kesamaan. Bukankah Al-Qur’an itu untuk membenarkan dan menetapkan sebagian dan ajaran Nasrani dan Yahudi dalam ayat: “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang ada sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya).” (Q.S.5: 48).
Kalau memang benar bahwa Raj’ah itu disadap dari ajaran Yahudi, walaupun hal itu tidak pernah dapat dibuktikan berdasarkan kajian ilmiah. Inilah keterangan singkat tentang faham Raj’ah beserta dalil-dalilnya. Mudah-mudahan dapat sedikit memberi penjelasan bagi mereka yang belum mengerti (memahaminya). Adapun untuk lebih puasnya kami persilahkan pembaca langsung merujuk tulisan-tulisan, kajian ulama-ulama Syi’ah tentang hal ini.
Wallahu a’lam. [1] Kitab Tsummah Tadaitu, Kitab Al-Milal Wan Nihal oleh Ja far Subbani Juz 1.
[2] Bukhari, Kitabul Fitan Bab 1 dan 2.
[3] Bukhari, Kitabul I’tishom bil-kitabi wasunnah bab ajrul hakim izajtahada fa ashoba fa akhto’a.
[4] Muslim, Kitabul Hudud bab Qoth’i Yadi Sariq
[5] Turmudzy, Juz 2 hal. 298, Musnad Abmad, Juz I hal. 119, 152, Juz 4 hal. 368, 372, Juz 5 hal. 118, 330, 336, Mustadrak Al Hakim Juz 2 hal. 129, Juz 3 hal. 109, 110, 116, 371, Durul Mansur (Suyuthi) dalam tafsir surat Al-Ahzab ayat 6. Hadits ini diriwayatkan oleh 110 Sahabat, 84 Tabiin, 360 Ulama Ahlus Sunnah. (A1 -Ghadir Juz I hal. 14 .sampai 151).
[6] Muslim, Kitab Fadhoilussahabah Bab Fadhoil Ali, Turmudzy Juz 2 hal. 308, Mustadrak Al-Hakim Juz 3 hal. 48, 109, Musnad Ahmad Juz 3 hal. 17, Nasa’i Kitab Khosois Imam Ali.
[7] Bukhari, Kitab Badulkholk Bab Manaqib All, Muslim, Kitab Fadhoil So habat Bab Fadhoil All, Turmud zy Juz 2 hal. 301. Mustadrak Al-Hakim Ju 2 hal. 337, Nasal dalam bukunya Khosois Imam Ali meriwayatkan hadits ini dan 20 jalur.
[11] Tafsir Fahrurrozi dalam tafsiran ayat 67 Surat Al-Maidah Kitab inisykatul Mashobi’ Hadits No. 6094 jilid 3. Ucapan serupa juga disampaikan oleh Bakar dan Sa’ad bin Abi Waqas, lihat Musnad Imam Ahmad 4/218 dan sahabat Al-Barra bin Azib. Tafsir Al-Kabir oleh Fahrurrozi Tarikh Bagdad oleh Al-Khatib Al Baghdadi 8/290. Faidhul Ghadir fi Syarhi Jami’ua shagir Juz 6/217. Dakhoirul Uqbah hal. 68 Arriyadhu Annadhiro Iuz 2 hal. 170 keduanya oleh Al-Muhib Atthabari dan juga dikutip oleh Hajar Al-Haitami dalam bukunya Ashowaiq AI-Muhriiqoh. Cerita pengucapan selamat yang disampaikan oleh Abu Bakar d an Umar kepada Imam Ali tercatat dalam 60 buku standar Ahlus Sunnah. Lihat Al-Ghadir Juz I hal. 272-283.
4
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
[12] Jumhur Ahlu Sunnah meyakini adanya peristiwa tersebut tetapi mempunyai penafsiran yang lain. Sebagian Ahlu Sunnah mengatakan peristiwa itu adalah palsu yang dikutip dari Kitab Assunnah Wamakanatuha Fitasyrik Al-Islami hal. 132, oleh Mustafa Syibai.
[13] Tarikhul Umam Walmuluk oleh Thabari Juz 3 hal. 210.
[14] Mereka sedang sibuk menyiapkan untuk pemakaman RasuluIlah Saww. Lihat Ar-Saqifah Wal Khilafah oleh Abdul Fatah Abdul Maqsud hal.114-115.
[15] Bukhari, Kitabul Muharibin inin Ahlikufri warridd ah Bab Rojmul Hubia Juz 4 hal. 179 . Tarikh Thabari pad a kejadian th. 11 H. Dan Syarh Nahjul Balaghah oleh Ibnu Abil Hadid Juz. 1 hal 122.
[16] Bukhari, Kitab Wudhu Bab Fadhlul wudhu wal qhurul muhajjalin.
[17] Disebabkan banyaknya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, banyak dari kalangan sahabat dan para ulama menaruh curiga atas kebenaran riwayat-riwayat Abu Hurairah. Diriwayatkan bahwa Umar berkata kepadanya: Wahai Abu Hurairah kau telah banyak mengobral riwayat dari Nabi, maka pantaslah jika kau sebagai pembohong. Diriwayatkan juga bahwa Umar mengancamnya akan mengusirnya dari Madinah dan akan dipulangkan ke kampung halamannya, jika ia telap masih banyak mengobral hadits Nabi Saww dan Abu Hurairah sendiri —disebabkan ancaman Umar— mengatakan: Saya tidak bisa mengatakan: Nabi bersabda… kecuali satelah Umar mati. Dalam kesempatan lain ia mengatakan: (Hari-hari ini) aku membawakan hadits dari Nabi Saww yang sekiranya aku utarakan di zaman Umar pasti aku dipukul dengan batang pelepah kurma.
Syeikh Rasyid Ridha berkata seandainya Abu Hurairah mati sebelum Umar maka tidak mungkin akan sampai kepada kita (tumpukan) hadits yang banyak dari Abu Hurairah. (Al-Adhwa oleh Abu Royya hal. 174).
Dan di antara mereka yang meragukan kejujuran Abu Hurairah adalah Utaman bin Affan, Aisyah dan Imam Ali as. Imam Ali As berkata: “Paling pendustanya makhluk hidup —atas nama Nabi -- adalah Abu Hurairah” (Al-Adhwa oleh Abu Royya hal. 176-179 ).
[18] Bukhari, Kitabul Fitan Rab Satarauna Ba’di Umron Tunkiruna ha dari Ibnu Abbas juz 4 hal. 222.
[19] Jalur (sanad) hadits -kitabullah wa ithrati- mencapai 60 jalur lebih dan sudah disepakati keshahihannya oleh Ulama-ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah. lbnu Hajar berkata dalam buku Showaiq Al Muhriqah: Ketahuilah, bahwa hadits tsaqalain memiliki banyak jalur yang datang dari 20 sahabat. Sekali beliau SAWW mengucapkan di Arafah juga pernah di Ghadir Khum, di kamar Beliau ketika sedang sakit yang membawanya wafat, ketika pulang dari Thaif semuanya tidak ada pertentangan satu sama lainnya, pengulangan itu menunjukkan betapa perhatian Beliau kepada Al-Quran dan Al-Ithrah…
Adapun Hadits -wa sunnati- hanya diriwayatkan oleh dua atau tiga ulama di antaranya Imam Malik dalam Muwathanya, Ath-Thabari dalam Musnad Kabirnya dan Ibnu Hisyam d alam buku Sirahnya. Untuk Iebih jelasnya lihat buku Hadits Tsaqalain yang diterbitkan oleh kelompok pendekatan antar Madzhab Dar At Taqrib.
[20] Nabi bersabda, “Janganlah kalian menulis apa-apa kuucapkan selain al-Qur’an, maka ia harus menghapuskannya.” (Sunan Ad-Darimy – Muslim – Ahmad – Turmudzy – dan Nasai – dari sahabat Nabi Abu Sa’id al-Khudri..
[21] Li Akuna Ma’asshodiqin, oleh: Muh. At-Tijani As-Samawi.
[22] Larangan penulisan itu dianggap oleh sementara golongan sebagai suatu hal yang tidak tepat, mereka meragukan keshahihan hadits larangan itu, sebab telah diriwayatkan bahwa Nabi justeru memerintahkan penulisan hadits-haditsnya dan sahabat-sahabat pun mencatat semua yang beliau ucapkan. Bukhari meriwayatkan maka datang seseorang diri penduduk Yaman dan berkata: “Tuliskan buatku ya Rasulullah Nabi bersabda: ‘(Wahai sahabatku) tuliskan buat si Fulan ini (Kitab Ilm bab Kitabatul Ilm Juz 1 hal. 23). Diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dan ayahnya dan kakeknya berkata, saya berkata: “Wahai Nabi apakah semua yang kau ucapkan perlu saya tuliskan? Nabi menjawab: “Ya”. Saya berkata, dalam keadaan ridha dan marah? Nabi menjawab, “Ya, karena sesungguhnya aku tidak mengucapkan kecuali yang benar.” (Sunan Turmudzy Juz 5 hal. 39 kitabul Ilm bab Ma ja’a fi arrukhsoh fihi).
[23] Bukhari Kitabul Tayammum Juz I hal. 70, Al-Muhalla, Ibn Hazm Juz I hal 339 cet. Matbaul lmam (Mesir).
[24] Nabi setiap turun atasnya ayat-ayat Al-Quran, memerintahkan pada para penulis wahyu untuk mencatatnya dan disimpan di rumah beliau setelah diadakan pengoreksian dengan mencocokkan antara penulisan dengan bacaannya.
[25] Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA ia berkata: ‘Ketika Nabi sakit keras beliau berkata: “Berilah aku selembar kertas aku akan tulis wasiat niscaya kamu tidak akan sesat setelahku nanti.” Umar berkata: Nabi terlalu parah sakitnya sehingga tidak terkontrol ucapannya dan kita sudah punya Kitabullah -Al-Quran- cukup bagi kami Kitabullah, lalu ributlah penghuni kamar beliau sehingga Beliau mengusir mereka dan berkata: Pergilah kalian dariku tidak sepantasnya terjadi keributan di hadapanku. ‘ lbnu Abbas berkomentar: Bencana terbesar adatah terhalangnya Nabi dari penulisan wasiat itu. (Bukhari Kitabul Ilm bab Kitabatul Ilm Juz 1 hal. 33).
[26] Kitab Li Akuna Ma’ashodiqin oleh Moh. Tijani as-Samawi.
[27] Mustadrok al-Hakim Juz 3 hal. 126 dan ia mengatakan bahwa hadits itu shahih. Tarikh Baghdad oleh Al-Khathib al-Baghdadi juz 4 hal. 348 mengatakan bahwa hadits itu shahih. Ushul Ghobah oleh ibnu Al-Atsir Juz 4 hal. 22, Tadzhibudtahdzib oleh lbnu Hajar Juz 7 hal. 427.
[28] Dalam shahih Bukhari ada sebuah hadits riwayat dari Thalhah bin Masyraf yang mengatakan bahwa beliau bertanya kepada Abdullah bin Abi Aufa: Apakah Nabi pernah berwasiat? Abdullah bin Abi Aufa menjawab, “Tidak”. Kemudian Thalhah bertanya: Bagaimana beliau menyuruh orang lain agar berwasiat sedangkan beliau sendiri tidak melakukannya? Dijawab oleh Abdullah: Beliau mewasiatkan Kitabullah.’ Bukhari Juz 3 hal. 168.
[29] Kitab Li Akuna Ma’ashodiqin oleh M. Tijani As-Samawi.
[30] Tafsir Ad-Durul Mantsur oleh Imam Suyuthi Juz 3 hal. 17 dan ia mengatakan: “Riwayat ini diriwayatkan banyak Ulama antara lain Bukhari, Muslim, Turmudzy, Nasai, Thabary, Baihaqi, ibnul Mundzir, Ibnu Hibban dan Imam Ahmad.
[32] Sebab riwayat Umar Ra ini selain kandungannya kurang sesuai dengan kenyataan dan bertentangan dengan riwayat-nwayat lain yang lebih kuat kcdudukannya, juga sanadnya (pembawa riwayatnya) ternyata belum memenuhi standar sebuah riwayat yang boleh dikatakan sahih.
[33] Hal ini dimuat dalam 30 Buku Standar Ablus Sunnah di antaranya adalah Syawahidit Tanzil Li Qowaidit Tafsil wal Tanzil oleh Al Hafiz Al-Hakim, Tafsir Faidhul Ghadir oleh Al-Qadhi As-Saukani Juz 3 hal. 56, Tafsir Al-Manar oleh Syeikh Raayid Ridha Juz 6 hal. 463, Asbabun Nuzul oleh Al-Wahidi (w:465) hal. 150, Tafsir An-Nisaburi oleh Nidhomuddin Al-Qumi An-Nisaburi juz 6 hal. 170. jadi riwayat turunnya ayat al-Yauma... • bukan hanya shahih menurut pandangan para Ulami Ahlus Sunnah bahkan mencapai derajat yang mendekati mutawatir. Untuk lebih jelasnya baca Dialog Sunnah-Syi’ah, dialog ke-55 dan 56 oleh Syarafuddin Al-Musawi.
[34] Lihat Dialog Sunnah — Syi’ah, dialog ke 57, 59 dan 62.
[35] Lihat Dialog Sunnah -- Syi’ah, dialog ke 57, 5 9 dan 62.
[36] Al-ltqon oleh Suyuthi juz I hal. 67 dan Juz 2 hal 26. Ad-Durul Manthur.
[37] Talkhisul Mustadrak Juz 4 hal. 359 oleh Adz-Dzahabl, Al-Itqan Juz 2 hal. 25, Urwah bin Zubair meriwayatkan dari A’isyah ia berkata: “Dulu surat Al-Ahzab di zaman Nabi Saww sebanyak 200 ayat akan tetapi setelah Usman memerintahkan untuk menulis Al- Qur’an, kita tidak bisa mendapatkannya kecuali yang sekarang ini 72 ayat saja.
[38] Bukhari, Kitabul Hudud bab rajmul hubla.
[39] Bukhari, Kitabul Hudud bab rajmul hubla. 40 41
[40] Bukhari juz 6 hal. 211.
[41] Selain riwayat-riwayat tersebut di atas ada lagi riwayat dari Nafi’, Ia berkata, bahwa lbnu Umar berkata: Janganlah seorang dari kalian berkata, saya telah menghafal Al-Qur’an semua, tahukah ia apa semua itu? Sudah banyak sekali ayat Al-Qur’an yang telah hilang dan sirna, akan tetapi hendaklah ia mengatakan, saya menghafal apa yang ada. (Al-Itqan Juz 2 hal. 25).
[42] Memang benar di kalangan Syi’ah ada yang mengatakan adanya tahrif dalam Al-Quran akan tetapi pendapat itu dibantah o leh mayoritas Ulama Imamiyah yang terdahulu maupun yang hidup di abad ini antara lain:
1. Syekhut Thoifah (pimp inan tertinggi Syiah) At-Thusi penulis tafsir At-Thib yan 50 jilid.
2. Syeikh Shaduq Ibnu Babawaih Al-Qumi.
3. Syeikh At-Thabrasi penulis Tafsir Majma’ul Bayan.
4. As-Syarif Al-Murtadho Alamul Huda.
5. Syeikh Jawad Balaghi penulis tafsir alaur-Rahman.
6. As-Sayyid Abul Qosim Al-Khu’i (Pimpinan tertinggi Syi’ah di Iraq pada zaman ini) penulis tafsir Al-Bayan.
7. Syeikh Fadhil Al-Lankaroni murid Imam Khomaini penulis al -Madkho fi ulumil Quran.
8. Imam Khomaini berkata: “Sesungguhnya orang yang merenungkan betapa perhatian kaum muslimin dalam hal pengumpulan al-Qur’an dan penghafalannya akan tahu kesalahan anggapan tentang adanya tahrif sebab pendapat ini tidak pantas diyakini kebenarannya oleh orang-orang yang sed ikit memiliki akal yang waras, adapun riwayat-riwayat yang ada tentang hal itu adakalanya dho’if atau maudhu’ (palsu) yang nampak jelas sekali tanda-tanda kepalsuannya. Tetapi adakalanya Shahih akan tetapi hanya merupakan tafsiran (buka penambahan). Dan kami sudah jelaskan bahwa Al-Qur’an adalah yang ada di mushaf-mushaf ini adapun perselisihan antara Quro’ (ahli qira’at) tidak ada sangkut pautnya dengan yang dibawa oleh Jibril As kepada Rasulullah Saww.” (Lihat Tadzibul Ushul Juz 2 hal. 96 — Kuliah Ushul Fiqih Imam Khomaini - yang kemudian dibukukan oleh Ayatullah Ja’far Subhani dalam bukunya Ma’alimun Nubuwah Juz 5 hal. 396 dan Kasyful Asrar (Kitab Imam Khomaini dalam bahasa Parsi).
[43] Dalam riwayat lain Nabi bersabda kepada Ali, Hasan, Hussein dan Fatimah As: Aku perang melawan orang yang memerangi kalian, dan damai dengan orang yang damai dengan kalian. Hadith ini diriweyatkan oleh:
1. Turmudzy Juz 2 hal 319 dari sahabat Zaid bin Arqam.
2. Ahmad bin Hambal dl Musnadnya luz 2 hal. 442 dari sahabat Abu Hurairah.
3. Al-Hakim dalam Mustadraknya. Juz 3 hal 149.
4. Muttaqi Al-Hindi Al-Kanzul Ummal iuz 6 hal. 2 16. Dinukil dari riwayat lbn u Hibban dan di Juz 7 hal. 102 menukll diriwayat dan lbnu Abi Syaibah, Turmudzy, lbnu Majah Ibni Hibban, Thabrani, Al-Haklm dan Ad-Dhiya’ Al-Magdisi.
5. lbnu Atsir dalam Usdul Ohobah Juz 3 hal. II dan sahabat Umi Salama.
6. Al-Muhib At-Thabari d alam Ar-Riyadhun Nadhiroh Juz hal. 199 dan sahabat Abu Bakar.
7. Al-Suyuthi dalam tafsir ayat 33 dalam surat Al-Ahzab.
[44] Al-Iqthisod ila dinir rosyad oleh Syeikh Thusi.
[45] Bukhari Kitabu Shalah Bab Wujubul Qira’ah. ..Juz 1 hal. I38.
[46] Kecuali dalam masalah-maaalah yang telah disepakati oleh semua madzhab atau mutafaqun alaihi.
[47] At-Thabari meriwayatkan dari Umar bin Khattab dan Nabi Saww Al-Qur’an terdiri dan 1,027.000 huruf, barangsiapa membacanya dengan sabar den ikhlas akan mendapatkan pahala setiap hurufnya satu bidadari (Al-Itqan juz I hal. 72).
[48] M.Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam buku ‘Fathul Bari: Sekelompok Ulama (para Imam) mengambil Hadith itu (hadits dibolehkannya jama’ tanpa ada alasan atau udzur) sebagai bukti dan mereka membolehkan menjama’ shalat dalam keadaan bermukim secara mutlak jika diperlukan, asal tidak dijadikan sebagai kebiasaan. Dan di antara mereka yang membolehkan hal itu adalah: Ibnu Sirrin Ra, Robi’ah, Asyhab bin Mundzir, Al Qoffal Al-Kabir. Al-Khottobi menceritakan atau mengutip pendapat itu dari sekelompok ulama ahli hadits (Tuhfazul Ahwazi oleh: Al-Mubarokfuri Al-Hindi Juz I hal. 558, Anjazul Masalik. Muwatto’ Malik oleh: Maulana Muhammad Zakaria Al- Kandahliawi Juz 3 hal. 79. Syarh Zarqoni II. Muwatho ’i Malik okh: Muhammad Zarqoni Iuz I hal 294. Shahih Muslim Syarh Nawawi Juz 5 hal. 218-219.
[49] Dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas sesungguhnya Rasulullah Saww menjama’ shalat di Madinah tujuh dan delapan rakaat antara Dhuhur-Ashar serta Maghrib-lsya’ (Muslim Bab Jamak baina shalatani Fil Hadhor Juz 2 hal. 152)
[50] Musnad Ahmad Juz I hal. 221 cet. Maktab Islami Beirut th. 13 91 H (1978 M) bunyi Haditsnya sama seperti di atas.
[51] Muwatha’ Malik Bab AI-Jam’u baina shalatain hadits No. 328.
[52] Diriwayatksn dan lbnu Abbas berkata: “Rasulullah Saww menjamak antara Dhuhur dan Ashar serta antara Maghrib dan Isya’ tanpa ada sebab, baik takut (diserbu lawan secara mendadak) maupun udzur berpergian atau safar (Muslim dalam Shahihnya Bab Al-Jam’u Bainas shalataini fil Hadhor Juz 2 hal. 150 cet. Darul Ma’rifah Beirut).
[53] Diriwayatkan dari Syaqiq, dia berkata: “Pada suatu hari lbnu Abbas memberikan ceramah mulai dari setelah Ashar hingga matahari tenggelam dan bintang-bintang pun bermunculan lalu orang-orang berteriak mengajak shalat, ia (perawi) berkata: Lalu datanglah seorang dari bani Tamim dengan sikap kasar dan berteriak shalat-shalat, kemudian lbnu Abbas menjawab: “Apakah anda datang untuk mengajarku sunnah, mudah-mudahan ibumu mati (la umma lak), ia (Ibnu Abbas) berkata: ‘Rasulullah menjamak antara shalat Dhuhur dan Asar serta Maghrib dan Isya, Abdullah (perawi) berkata mendengar ucapan Ibnu Abbas itu aku belum merasa puas, kemudian aku datang pada Abu Hurairah dan kutanyakan kepadanya tentang hal itu dan ia pun membenarkan ucapan lbnu Abbas. Muslim meriwayatkan hadits ini dari dua jalur. Sunan Turmudzy Juz I hal. 354 cet. Al-Halabi Mesir 1398 H (1978 M).
[54] Shahih Bukhari Kitabul Sholah bab waqtul maghrib juz I hal. 107
[55] Pendapat Syi’ah tentang Raj’ah ini kami lampirkan pada akhir pembahasan ini.