MENGUNGKAP RAHASIA AL QUR'AN

MENGUNGKAP RAHASIA AL QUR'AN0%

MENGUNGKAP RAHASIA AL QUR'AN pengarang:
Kategori: Kajian
Halaman: 9

MENGUNGKAP RAHASIA AL QUR'AN

pengarang: Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba'i,
Kategori:

Halaman: 9
Pengunjung: 16702
Download: 709

Komentar:

Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 9 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 16702 / Download: 709
Ukuran Ukuran Ukuran
MENGUNGKAP RAHASIA AL QUR'AN

MENGUNGKAP RAHASIA AL QUR'AN

pengarang:
Indonesia
MENGUNGKAP RAHASIA AL QUR'AN MENGUNGKAP RAHASIA AL QUR'AN





Diterjemahkan dari Al-Qur'an fi Al-Islam

Karya Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba'i,

Terbitan Organisasi Dakwah Islam, Teheran, 1404 H


Penerjemah: A. Malik Madaniy dan Hamim IIyas

Penyunting: IIyas Hasan

(Dengan merujuk kepada edisi Inggrisnya)

Hak terjemahan dilindungi undang-undang

All rights reserved


1
MENGUNGKAP RAHASIA AL QUR'AN

ISI BUKU
SANG ALIM DARI TABRIZ - Oleh: S.H. NASR -

PENGANTAR - Oleh: S.A. HUSAINI -

MUKADIMAH

BAB I - POSISI AL-QURAN

Al-Quran, Undang-Undang Paling Utama Kehidupan

AI-Quran, Menentukan Jalan Hidup Manusia

AI-Quran, Sandaran Kenabian


BAB II - MEMAHAMi RAHASIA AL-QURAN

AI-Quran, Sebuah Kitab Universal

Al-Quran, Sebuah Kitab yang Sempurna

Al-Quran, Sebuah kitab yang Abadi

Al-Quran Mandiri dalam Penalarannya

Al-Quran Mempunyai Arti Lahir dan Batin

Mengapa Al-Quran Berbicara dengan Gaya Lahir dan Batin

Dalam Al-Quran Terdapat Muhkam dan Mutasyabih

Pengertian Muhkam & Mutasyabih Menurut Para Mufasir dan Ulama

Pandangan Imam Ahlul Bait tentang Muhkam dan Mutasyabih

Dalam Al-Quran Ada Tanzil dan Takwil

Pengertian Takwil Menurut Para Mufasir dan Ulama

Pengertian Takwil yang Hakiki dalam Al-Quran

Al-Quran dan Nasikh-Mansukh

Masa Berlaku Hukum-Hukum Al-Quran

Kelahiran dan Perkembangan Tafsir AI-Quran

Ilmu Tafsir dan Kelompok Mufasir

Metode dan Kelompok Mufasir Syi'ah

Bagaimana Menafsirkan Al-Quran?

Kesimpulan

Contoh-Contoh Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran

Pengertian Wewenang Sabda Nabi dan Para Imam


BAB III - RAHASIA WAHYU

Wahyu Al-Quran

Komentar Para Penulis Kiwari

Komentar Al-Quran

Firman

Jibril dan Ar-Ruhul Amin

Malaikat dan Setan

Jin

Seruan Hati Nurani

Khurafat

Wahyu dan Kenabian menurut Al-Quran

Petunjuk Universal untuk Manusia sebagai Tujuan Penciptaan

Kelebihan Manusia dalam Menempuh Jalan Kehidupannya

Bagaimana Manusia Menjadi Makhluk Sosial?

Perbedaan-Perbedaan dan Dibutuhkannya Hukum

Akal Tak Memadai untuk Membimbing Manusia kepada Hukum

Tidak Akan Ada Petunjuk Tanpa Wahyu

Masalah dan Jawabannya

Tidak Ada Kesalahan dalam Wahyu

Kita Tidak Mengetahui Hakikat Wahyu

Cara Pewahyuan AI-Quran


BAB IV - MENGUNGKAP ILMU AL-QURAN

Al-Quran dan Ilmu

Anjuran Al-Quran

Ilmu-Ilmu Al-Quran

Ilmu-Ilmu yang Dilahirkan oleh AI-Quran


BAB V - TURUN DAN TERSEBARNYA AL-QURAN

Cara Al-Quran Diturunkan

Sebab-Sebab Turun Ayat (Azbabun Nuzul)

Menimbang Hadis-Hadis Azbabun Nuzul

Kronologi Turunnya Al-Quran

Menimbang Hadis Ibnu Abbas dan Lainnya

Kodifikasi AI-Quran

Penjagaan terhadap Al-Quran

Al-Quran Tanpa Perubahan

Qira-ah, Penghapalan dan Periwayatan Al-Quran

Para Qurra`

Tujuh Imam Qira-ah

Jumlah Ayat Al-Quran

Nama Surat-Surat Al-Quran

Tulisan dan I'rab Al-Quran

2
MENGUNGKAP RAHASIA AL QUR'AN

SANG ALIM DARI TABRIZ
Oleh: Sayyid Husain Nasr

Selama musim panas 1963, ketika Profesor Kenneth Morgan1) berada di Teheran, kami mengunjungi Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba'i di Darakah, sebuah desa kecil di sisi pe­gunungan dekat Teheran, tempat alim yang mulia ini menghabis­kan bulan-bulan musim panas, menyingkir dari panas kota Qum, kediamannya. Pertemuan itu dicengkam dengan kehadiran seorang laki-laki yang rendah hati yang telah membaktikan segenap hidup­nya untuk mengkaji agama. Di dalam dirinya, kerendahhatian dan kemampuan analisis intelektual bergabung ..... Dalam kelompok ulama tradisional,2) Allamah Thabathaba'i memiliki kelebihan sebagai seorang Syaikh dalam bidang Syariat dan ilmu-ilmu esoteris, sekaligus seorang hakim (filosof atau, tepatnya, teosof Islam tradisional) terkemuka.

Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba'i dilahirkan di Tabriz pada tahun 1321 Hijriah atau 1903 Masehi, di suatu keluarga keturunan Nabi Muhammad - yang selama empatbelas generasi telah menghasilkan ulama-ulama Islam terkemuka. Ia memperoleh pendidikan dirinya di kota kediamannya, menguasai unsur-unsur bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama, dan pada umur duapuluh tahun berangkat ke Universitas Najaf untuk melanjutkan pelajaran-pelajarannya. Sebagian besar murid di madrasah-madrasah itu mengikuti cabang ilmu-ilmu naqliah, khususnya ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Syariat, yurisprudensi (fiqh) dan prinsip-prinsip yurisprudensi (ushul al-fiqh). Meskipun demikian, Allamah T'habathaba'i berusaha menguasai kedua cabang ilmu tradisional itu sekaligus: naqliah dan aqliah (intelektual). Dia mempelajari Syariat dan ushul al-fiqh dari dua di antara syaikh-syaikh terkemuka masa itu - Mirza Muhammad Husain Na'ini dan Syaikh Muhammad Husain Isfahani. Dia sendiri kemudian menjadi seorang syaikh di bidang itu yang, jika saja ia memusatkan perhatian sepenuhnya di bidang ini, sudah akan menjadi salah seorang mujtahid ataupun ulama Syariat terkemuka, dan sudah akan memberikan banyak pengaruh politis dan sosial.

Tetapi itu bukan tujuannya. Dia lebih tertarik pada ilmu-ilmu aqliah, dan mempelajari dengan tekun seluruh daur matematika tradisional dari Sayyid Abul Qasim Khwansari, dan filsafat Islam tradisional, termasuk naskah baku asy-Syifa karya Ibnu Sina dan al-Asfar karya Sadr al-Din Syirazi serta Tamhid al-Qawa'id karya Ibnu Turkah dari Sayyid Husain Badkuba'i - murid dua orang syaikh terkemuka aliran Teheran, yakni Sayyid Abul Hasan Jilwah dan Aqa' Ali Mudarris Zunuzi.

Sebagai tambahan terhadap pelajaran formal, atau yang oleh sumber-sumber Muslim tradisional disebut sebagai 'ilm hushuli (ilmu yang dicapai lewat upaya belajar secara konvensional), Allamah Thabathaba'i juga mempelajari 'ilm hudhuri (ilmu-ilmu yang diperoleh secara langsung dari Allah SWT), atau ma'rifat, yang melaluinya pengetahuan menjelma menjadi penampakan hakikat-hakikat supranatural. Dia beruntung bisa menemukan seorang Syaikh besar dalam bidang ma'rifat, Mirza Ali Qadhi, yang mulai membimbingnya ke arah rahasia-rahasia Ilahi dan menuntunnya dalam pelancongannya menuju kesempurnaan spiritual. Allamah Thabathaba'i pernah berkata kepada saya bahwa sebelum bertemu dengan Qadhi, ia telah mempelajari Fushush al-Hikam karya Ibn Arabi3) dan mengira telah benar-benar me­mahaminya. Namun ketika bertemu dengan Syaikh besar ini, ia baru sadar bahwa sebenamya ia belum tahu apa-apa. Ia juga me­ngisahkan kepada saya bahwa ketika Mirza Qadhi mulai mengajar­kan Fushush, seakan-akan dinding-dinding ruangan berbicara tentang hakikat ma'rifat dan ikut menguraikannya. Berkat Sang Syaikh, tahun-tahunnya di Najaf tak hanya menjadi suatu kurun pencapaian intelektual, melainkan juga kezuhudan dan praktek-praktek spiritual yang memampukannya untuk mencapai keadaan realisasi spiritual - yang sering disebut sebagai menjadi terceraikan dari kegelapan batasan-batasan material (tajrid). Ia menghabiskan hari-harinya dengan puasa, salat dan menjalani puasa-bicara total selama suatu jangka waktu tertentu. Kini, kehadirannya selalu membawa bersamanya kekhidmatan perenungan dan konsentrasi sempurna, sekalipun dalam keadaan ia berbicara.

Allamah Thabathaba'i kembali ke Tabriz pada tahun 1934 dan menghabiskan beberapa tahun yang sunyi di kota itu, mengajar sejumlah kecil murid. Namun ia tetap saja belum dikenal oleh lingkaran keagamaan Persia pada umumnya. Kejadian-kejadian mengerikan Perang Dunia Kedua dan pendudukan Rusia atas Persialah yang membawa Allamah Thabathaba'i dari Tabriz ke Qum (1945). Pada waktu itu, dan seterusnya sampai sekarang, Qum merupakan pusat pengkajian keagamaan di Persia. Dalam sikapnya yang pendiam dan sederhana, Allamah Thabathaba'i mulai mengajar di kota suci ini, memusatkan diri pada tafsir-Quran serta filsafat dan teosofi tradisional, yang selama bertahun-tahun sebelumnya tidak diajarkan di Qum. Kepribadiannya yang penuh daya tarik dan kehadiran spiritualnya segera saja menarik sebagian besar murid yang paling inteligen dan kompeten, dan secara ber­tahap ia menjadikan ajaran-ajaran Mulla Sadra sekali lagi sebagai pokok kurikulum tradisional. Saya masih ingat dengan jelas beberapa kesempatan kuliah umumnya di salah satu masjid-madrasah di Qum, tempat hampir empat ratus murid bersimpuh di kakinya untuk menangguk hikmahnya.

Kegiatan-kegiatan Allamah Thabathaba’i sejak kedatangannya di Qum juga meliputi banyak kunjungan ke Teheran. Setelah Perang Dunia Kedua, ketika Marxisme sedang jadi mode di kalangan sementara pemuda di Qum, dialah satu-satunya ulama yang bersusah payah mempelajari dasar filosofis komunisme dan memberi tanggapan terhadap materialisme dialektika dari sudut pandang tradisional. Hasil usahanya inilah yang kemudian dibukukan dengan judul Ushul-i Falsafah wa Rawisyy-i Ri'alism (Prinsip­Prinsip Falsafah dan Metode Realisme). Di dalamnya ia membela realisme - dalam arti tradisional abad pertengahannya - dalam pertentangannya dengan filsafat-filsafat dialektis. Dia juga me­ngajar sejumlah murid yang termasuk dalam kelompok masyarakat Persia yang berpendidikan modern.4)

Sejak kedatangannya di Qum, Allamah Thabathaba'i dengan tak kenal lelah terus berupaya untuk menyampaikan hikmah dan pesan intelektual Islam kepada tiga kelompok murid: kepada sejumlah besar murid-murid tradisional di Qum yang sekarang tersebar di seantero Persia dan sampai ke daerah-daerah lain; kepada sekelompok murid terpilih yang diajamya ma'rifat dan tasawuf dalam suatu lingkaran yang lebih akrab, dan yang biasa bertemu pada hari Kamis malam di rumahnya atau di rumah-rumah privat lainnya; dan juga. kepada sekelompok orang Persia yang mem­punyai latar belakang pendidikan modern dan kadang-kadang juga orang-orang non-Persia yang dittemuinya di Teheran. Selama sepuluh tahun terakhir diadakan suatu rangkaian pertemuan secara teratur yang dihadiri oleh sekelompok orang Persia terpilih termasuk, pada musim-musim gugur, Henry Corbin.5) Dalam pertemuan-pertemuan itu masalah-masalah spiritual dan intelektual yang paling besar dan mendesak diperbincangkan, yang di dalamnya saya biasa bertindak sebagai penerjemah. Selama tahun-tahun itu kami telah mempelajari dari Allamah Thabathaba'i tidak hanya naskah-naskah klasik tentang Hikmah Ilahi dan ma'rifat, melainkan juga seluruh daur yang bisa disebut sebagai ma'rifat komparatif. Di dalamnya naskah-naskah suci agama-agama besar, yang mengandung ajaran-ajaran tasawuf dan ma'rifat, seperti Tao Te Ching, Upanisyad dan Injil Johannes, diperbincangkan dan di­bandingkan dengan tasawuf dan doktrin-doktrin ma'rifat Islam pada umumnya.

Dengan demikian Allamah Thabathaba'i telah memberikan pengaruh yang amat besar, baik di dalam daur tradisional maupun modern, di Persia. Dia telah mencoba untuk menciptakan suatu elite intelektual baru di kalangan kelompok masyarakat berpendidikan modern yang ingin menjadi akrab dengan intelektualitas Islam di samping dengan dunia modem. Banyak murid tradisionalnya yang termasuk dalam kelompok ulama telah mencoba untuk mengikuti teladannya dalam upaya yang amat penting ini. Beberapa muridnya, seperti Sayyid Jalal al-Din Asytiyani dari Universitas Masyhad dan Murtadha Mutahhari dari Universitas Teheran, juga dikenal sebagai sarjana yang mempunyai reputasi istimewa. Allamah Thabathaba'i juga sering berbicara tentang beberapa muridnya yang lain yang memiliki kualitas-kualitas spiritual tinggi tetapi tidak mau menampilkan diri mereka.

Sebagai tambahan bagi suatu program yang amat berat dalam mengajar dan memberikan bimbingan, Allamah Thabathaba'i juga menyibukkan dirinya dengan kerja menulis banyak buku dan artikel yang membuktikan kekuatan intelektual dan keluasan ilmu­nya yang luar biasa di dalam dunia ilmu-ilmu Islam tradisional. Sekarang, di tempat tinggalnya di Qum, sang alim membakti­kan hampir seluruh waktunya untuk menyelesaikan Kitab Tafsir Quran yang ditulisnya6) dan memberikan pengarahan kepada murid-muridnya yang terbaik. Dia bertindak sebagai suatu larnbang dari sesuatu yang paling permanen di sepanjang tradisi kesarjanaan dan ilmu-ilmu tradisional Islam. Kehadirannya meniupkan suatu aroma yang hanya bisa datang dari seseorang yang telah mengecap buah Pengetahuan Ketuhanan. Ia mencontohkan, dalam kepribadiannya, kemuliaan, kerendahhatian dan kecinta­annya kepada kebenaran - yang selama berabad-abad telah menjadi ciri ulama-ulama Muslim terbaik. Ilmunya dan ungkapan­ungkapannya merupakan saksi bagi ilmu Islam sejati - yakni betapa luar biasa, metafisis dan berbedanya dari sedemikian banyak uraian dangkal kaum orientalis atau karikatur yang penuh distorsi dari banyak modernis Muslim. Memang ia tak memiliki kesadaran tentang mentalitas dan sifat dunia modern yang mungkin diperlukan, tetapi hal semacam itu memang tak seharus­nya diharapkan dari seseorang yang pengalaman hidupnya terbatas pada daur lingkaran Persia dan Irak.


Catatan Kaki:

1). Seorang orientalis terkemuka, yang di Indonesia dikenal lewat bukunya yang berjudul Islam, the Straight Path (terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia telah diterbitkan oleh Pustaka Jaya dengan judul lslam Jalan Lurus) - penyunting.

2). Istilah "tradisional" di sepanjang artikel ini mesti tidak diartikan dalam konotasinya yang negatif, rnelainkan sebagai sifat disiplin di bidang ilmu-ilmu agama Islam yang memberikan penekanan pada kombinasi fiqh dan tafsir Al-Quran dengan filsafat, teosofi dan tasawuf - penyunting.

3). Fushush al-Hikam adaiah karya masrerpiece Ibn Arabi yang disebutsebut sebagai Syaikh terbesar dalam bidang tasawuf. buku ini karena keluarbiasaannya, telah diterjemahkan ke berhagai bahasa, antara lain, Inggris, Prancis dan sebagainya - penyunting.

4). Sayyid Husain Nasr sendiri adalah salah seorang murid Allamah Thabathabati. Di bagian lain artikelnya ini ia menulis: "Saya sendiri pernah berguru padanya selama bertahun-tahun dalam bidang filsafat tradisional dan teosofi." - penyunting.

5). Seorang orientalis Prancis terkemuka yang dikenal banyak menulis buku tentang aspek metafisis (tasawuf dan filsafat) Islam, terutama berkenaan dengan Syi'ah. Dia menulis sebuah buku tentang tasawuf ibn Arabi dan, bersama Sayyid Husain Nasr, menulis buku tentang filsafat Islam - penyunting.

6). Sebuah Tafsir Quran yang berpengaruh dengan nama al-Mizan, terdiri atas 21 jilid, masing-masing mencapai ratusan halaman, dikenal sebagai Tafsir Al-Quran dengan Al-Quran - penyunting.



PENGANTAR
Sayyid Ahmad Husaini


Pembahasan dan pengkajian Al-Quran yang dilakukan Sayyid Muhammad Husain Thabathaba'i mempunyai keistimewaan tersendiri. Dalam menjelaskan maksud, pengertian dan makna-makna Al-Quran, terlebih dahulu ia merujuk kepada Al-Quran sendiri, sebelum merujuk kepada sumber-sumber yang lain.

Di antara para mufasir dan orang-orang yang mengkaji ilmu-­ilmu Islam, dahulu maupun sekarang, banyak yang mempunyai prakonsepsi dan endapan-endapan pemikiran yang mereka peroleh dengan jalan mendalami masalah-masalah atau berkenalan dengan aliran-aliran filsafat dan teologi atau dengan mengikuti mazhab­mazhab ilmu kalam dan fiqh tertentu. Kemudian dengan perangkat ilmu yang dimiliki, mereka berusaha untuk menerapkan pra­konsepsi dan endapan-endapan itu pada ayat-ayat Al-Quran dan bersiteguh memahaminya menurut pandangan-pandangan mereka sendiri.

Dalam banyak buku tafsir dan pengkajian yang sampai kepada kita, sedikit pun tidak dijumpai pemikiran untuk membiarkan AI-Quran berbicara sendiri sebelum diusahakan untuk diterapkan pada pandangan-pandangan dan pendapat-pendapat pribadi. Ada buku tafsir yang didominasi pemikiran i'tizali karena pengarangnya menganut mazhab Mu'tazilah. Ada yang terlalu diwamai pemikiran zhahiri karena pengarangnya memeluk mazhab zha­hiriah. Ada pula yang terlalu diwarnai pemikiran filsafati karena ditulis oleh orang yang mengikuti pendapat-pendapat para filosof. Dan ada pula tafsir yang menaruh perhatian besar terhadap masalah-masalah empiris-materialistis, karena pengarangnya ingin menunjukkan pengetahuannya yang memadai tentang ilmu-ilmu pengetahuan modern.

Demikianlah, Al-Quran secara terus menerus diterapkan pada hasil-hasil penemuan ilmiah dan pemikiran dalam bidang filsafat dan hukum. Dan kadang-kadang juga pada hasil-hasil olahrasa.

Yang mengherankan, di antara para mufasir dan orang-orang yang mengkaji Al-Quran, ada yang memastikan bahwa pendapat­nya mengenai satu ayat merupakan pendapat yang paling benar, seakan-akan tidak terbantah dan tidak dapat diragukan. Padahal, seandainya dia merenungkan ayat-ayat lain yang serupa, maka dia akan menemukan kesimpulan yang menentang pendapatnya itu dan menggoyahkan semua kepercayaan dan pendapat yang telah dibangunnya. Sepertinya, ia hidup hanya dengan satu ayat itu saja, sampai-sampai tidak memikirkan konteks dan suasana ayat yang dipelajarinya.

Dari titik tolak ini, kita mengetahui nilai dan pentingnya pembahasan Thabathaba'i dalam pengkajian Al-Quran. Dia tidak fanatik terhadap suatu teori tertentu yang membara di hati dan meresap dalam pikirannya, sehingga tidak memungkinkannya untuk melepaskan diri darinya. Tetapi ia merenungkan secara mendalam ayat-ayat yang sama-sama membahas satu masalah untuk mengetahui apa yang dimaksudkan dan apa yang dapat disimpul­kan. Kemudian, kesimpulan dari pengkajiannya yang mendalam itu pun menjadi pendapatnya sendiri, tanpa memperhatikan pen­dapat orang lain yang, dalam memahami ayat-ayat AI-Quran, tidak membahasnya secara ilmiah.

Kami tidak bermaksud mengatakan bahwa ia sama sekali tidak mengkaji bermacam-macam pendapat dan teori-teori dalam pe­nafsiran Al-Quran. Tetapi kami ingin mengatakan bahwa ia tidak terpengaruh oleh pendapat-pendapat itu sampai memaksakannya pada Al-Quran dan berusaha dengan segala upaya untuk meng­artikan ayat-ayat Al-Quran dengan pengertian yang tidak benar.

Ini adalah metode yang benar, yang tampak dengan jelas dalam kitab tafsirnya yang besar, Al-Mizan fi Tafsiril Qur'an. Metode ini pulalah yang tampak dalam pembahasannya mengenai beberapa masalah 'Ulumul Qur'an (Ilmu-Ilmu Al-Quran) dalam buku ini. Dalam Mukadimah ia mengatakan: "Dari itu, dalam pembahasan ini kami bermaksud mengenalkan arti penting Al-Quran sebagai­mana yang ditunjukkan oleh Al-Quran sendiri, bukan seperti yang kita percayai dan gambarkan. Adalah jelas bahwa di antara kedua­nya terdapat banyak perbedaan bagi orang yang memikirkannya secara mendalam."

Meskipun tidak baru dalam pasal-pasal pembahasannya, buku ini terasa mengandung kebaruan dalam metode ilmiahnya. Pada waktu membicarakan satu masalah, ia lebih merujuk kepada ayat­ ayat Al-Quran dan menyimpulkan maksudnya, daripada merujuk pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para mufasir dan pengkaji Al-Quran.

Oleh karena itu, dalam mengalihkannya ke dalam bahasa Arab, kami bermaksud mengundang partisipasi para pembaca berbahasa ini dalam pembahasan yang dikemukakan dengan metode baru ini. Kami yakin, pembaca yang mulia akan mendapatkan manfaat yang besar ketika membuka lembar demi lembar buku ini.

Hanya Allah-lah yang dapat memberikan petunjuk menuju jalan kebenaran dan jalan yang lurus.


Sayyid Ahmad Husaini

(Penerjemah Parsi ke Arab)



MUKADIMAH
Buku yang ada di hadapan pembaca yang mulia ini membahas sumber terpenting syariat Islam, yaitu Al-Quran, undang-undang pertama Allah bagi para pemeluk Islam, dan arti penting Al-Quran di dunia Islam. Maka buku ini secara ringkas membicara­kan apa Al-Quran itu? Apa nilainya bagi kaum Muslimin? AI­Quran adalah sebuah kitab universal yang abadi; Al-Quran adalah wahyu langit dan bukan merupakan hasil pikiran manusia; Al­Quran dan ilmu pengetahuan; dan sifat-sifat Al-Quran.

Pada hakikatnya, dalam bab-bab buku ini kami akan mem­bicarakan sebuah kitab yang tak seorang pun di antara umat Islam meragukan kemuliaan, kesucian dan kedudukannya yang tinggi, kendatipun Islam telah mengalami pertikaian-pertikaian intern, perpecahan mazhab dan silang-sengketa pendapat di antara para pemeluknya, seperti yang telah dialami oleh agama-agama besar yang lain.

Dari itu, dalam pembahasan ini kami bermaksud mengenalkan arti penting Al-Quran sebagaimana yang ditunjukkan oleh AI-Quran sendiri, bukan sebagaimana yang kita percayai dan gambar­kan, Adalah jelas bahwa di antara keduanya terdapat banyak perbedaan bagi orang yang memikirkannya secara mendalam.

Dengan bahasa yang lebih gamblang dapat dikatakan bahwa arti penting Al-Quran yang kita gambarkan - ada dalilnya atau tidak - pasti merupakan salah satu di antara dua hal: Ada kalanya bertentangan dan menyalahi apa yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Quran, sehingga tidak ada nilainya di alam kebenaran dan kenyataan. Dan ada kalanya tidak dijumpai dalilnya dalam Al-Quran, sehingga tidak mungkin diterima oleh segenap kaum Musli­min, karena adanya perbedaan pendapat di antara mereka sendiri.

Jika demikian, maka arti penting Al-Quran harus diketahui dari ayat-ayat dan dalil-dalil yang terdapat di dalamnya. Oleh sebab itu, mau tidak mau kita harus memberi jawaban atas pertanyaan berikut: apa yang dikatakan Al-Quran tentang tema ini? Bukan jawaban atas pertanyaan: bagaimana pendapat kita yang mengikuti mazhab anu .....?


3
MENGUNGKAP RAHASIA AL QUR'AN

BAB I

POSISI AL-QURAN

Al-Quran, Undang-Undang Paling Utama Kehidupan
Agama Islam, yang mengandung jalan hidup manusia yang paling sempurna dan memuat ajaran yang menuntun umat manusia kepada kebahagiaan dan kesejahteraan, dapat diketahui dasar­dasar dan perundang-undangannya melalui Al-Quran. Al-Quran adalah sumber utama dan mata air yang memancarkan ajaran Islam. Hukum-hukum Islam yang mengandung serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok akhlak dan perbuatan dapat dijumpai sumbernya yang asli dalam ayat-ayat Al-Quran. Allah berfirman,

"Sesungguhnya Al-Quran ini menunjukkan kepada jalan yang lebih lurus." (QS 17:9)

"Kami menurunkan AI-Quran kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu." (QS 16:89)

Adalah amat jelas bahwa dalam Al-Quran terdapat banyak ayat yang mengandung pokok-pokok akidah keagamaan, keutamaan akhlak dan prinsip-prinsip-umum hukum perbuatan. Kami tidak perlu menyebutkan semua ayat itu dalam kesempatanyang tidak cukup luas ini. Lebih lanjut kami katakan bahwa pemikiran yang teliti tentang pokok-pokok permasalahan berikut dapat menjelaskan kepada kita universalitas kandungan Al-Quran mengenai jalan hidup yang harus ditempuh manusia.

Pertama, dalam hidupnya manusia hanya menuju kepada ke­bahagiaan, ketenangan dan pencapaian cita-citanya. Kebahagiaan dan ketenangan merupakan suatu wama khusus di antara warna­wama kehidupan yang diinginkan oleh manusia, yang di naungannya ia berharap menemukan kemerdekaan, kesejahteraan, kesen­tosaan dan lain-lain.

Jarang kita lihat orang yang, dengan perbuatan mereka sendiri, memalingkan muka dari kebahagiaan dan kesenangan - seperti melakukan bunuh diri, melukai badan dan menyakiti anggota tubuhnya dan beberapa latihan (riyadhah) berat yang tidak diajarkan agama - dengan alasan berpaling dari dunia, dan perbuatan­perbuatan lain yang menyebabkan seseorang kehilangan berbagai sarana kesejahteraan dan ketenangan hidup. Begitulah, (hanya) orang yang menderita komplikasi jiwa - sebagai akibat dari parahnya komplikasi itu - berpendapat bahwa kebahagiaan terdapat dalam perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kebahagiaan. Sebagai contoh, seseorang mengalami kesulitan hidup dan tidak kuat menanggungnya, kemudian bunuh diri karena beranggapan bahwa kesenangan itu terdapat dalam kematian. Atau, sebagian orang menjauhi dunia, menjalani bermacam latihan badan dan mengharamkan kesenangan materiil untuk dirinya sendiri, karena ia berpendapat bahwa hidup dalam kesenangan materi merupakan hidup yang kering. Dengan demikian, usaha yang dilakukan manusia hanyalah untuk menemukan kebahagiaan yang diidam-idamkan yang ia berusaha mewujudkan dan memperolehnya.

Memang, jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut berbeda-beda. Sebagian menempuh jalan yang masuk akal, yang diterima kemanusiaan dan dibolehkan oleh syariat, sedang sebagian yang lain menyalahi jalan yang benar sehingga terperosok ke dalam belantara kesesatan dan menyimpang dad jalan kebenar­an.

Kedua, perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia senan­tiasa berada dalam suatu kerangka peraturan dan hukum tertentu. Hal ini merupakan suatu kebenaran yang tak dapat diingkari, dalam segala keadaan, mengingat begitu jelas dan gamblangnya persoalan. Hal itu disebabkan karena manusia yang mempunyai akal hanya melakukan sesuatu setelah ia menghendakinya. Perbuatannya itu berdasarkan kehendak jiwa yang diketahuinya dengan jelas. Di segi yang lain, ia hanya melakukan apa pun demi dirinya sendiri. Yakni, ia merasakan adanya tuntutan-tuntutan hidup yang harus dipenuhinya, kemudian berbuat untuk meme­nuhi tuntutan-tuntutan itu untuk dirinya sendiri. Karenanya, antara semua perbuatannya itu ada suatu tali kuat yang menghubungkan sebagiannya dengan yang lain.

Sesungguhnya makan dan minum, tidur dan bangun, duduk dan berdiri, pergi dan datang - semua perbuatan ini dan perbuat­an-perbuatan lain yang dilakukan manusia - pada beberapa keadaan, merupakan keharusan baginya; dan pada beberapa keadaan yang lain, tidak merupakan keharusan - yakni, bermanfaat bagi­nya pada suatu saat, dan membahayakan pada saat yang lain. Semua yang dilakukan manusia itu bersumber dari suatu hukum yang ia ketahui universalitasnya dalam dirinya dan yang ia terapkan bagian-bagiannya pada perbuatan dan pekerjaan-pekerjaannya.

Seseorang, dalam perbuatan-perbuatan individualnya, menye­rupai suatu pemerintahan lengkap, yang memiliki hukum, kebiasa­an dan tata caranya sendiri. Kekuatan aktif dalam pemerintahan itu terlebih dahulu harus menimbang perbuatan-perbuatannya dengan hukum-hukum itu, kemudian bamlah ia berbuat. Perbuatan-perbuatan sosial yang dilakukan dalam suatu ma­syarakat menyerupai perbuatan individual, sehingga padanya ber­laku seperangkat hukum dan tata cara yang dipatuhi oleh sebagian besar individu masyarakat itu. Jika tidak, maka anarkisme akan menguasai, dan ikatan sosial mereka pun terpecah.

Memang, corak masyarakat, di bawah pengaruh hukum-hukum yang berlaku dan dominan di dalamnya, berbeda-beda. Seandainya masyarakat itu bcrcorak mazhabiah, maka di dalamnya ber­laku ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum mazhab tersebut. Dan bila tidak bercorak mazhabiah, melainkan kebudayaan, maka perbuatan-perbuatan masyarakatitu bercorak hukum kebudayaan tersebut. Adapun jika masyarakat itu liar dan tidak mempunyai kebudayaan, maka padanya berlaku tata pergaulan dan hukum­hukum individual yang sewenang-wenang, atau hukum-hukum yang dihasilkan oleh adanya perbauran berbagai kepercayaan dan tata pergaulan yang kacau.

Kalau begitu, maka manusia, dalam perbuatan-perbuatan individual dan sosialnya, harus memiliki tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan yang diidam-idamkan itu, ia harus melakukan perbuatan-perbuatannya menurut hukum dan tata cara tertentu yang ditetapkan oleh agama atau masyarakat, atau yang lainnya. Al-Quran sendiri menguatkan teori ini ketika ia mengatakan,

"Tiap-tiap umat memiliki kiblatnya sendiri yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan." (QS 2: 148)

Kata ad-din (agama), menurut kebiasaan Al-Quran berarti 'jalan hidup.' Orang-orang yang beriman dan yang kafir - sampai­sampai yang tidak mengakui keberadaan Allah sekalipun – pasti memiliki suatu agama, karena setiap orang mengikuti hukum­hukum tertentu dalam perbuatan-perbuatannya, dan hukum­hukum itu disandarkan kepada Nabi dan wahyu, atau ditetapkan oleh seseorang atau suatu masyarakat. Tentang musuh-musuh agama Allah, Allah berfirman:

"Yaitu orang-orang yang menghalangi manusia dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan itu menjadi bengkok. " (QS 7:45)1)

Ketiga, jalan hidup terbaik dan terkuat manusia adalah jalan hidup berdasarkan fitrah, bukan berdasarkan emosi-emosi dan dorongan-dorongan individual atau sosial.

Apabila kita mengamati secara teliti setiap bagian alam, akan kita ketahui bahwa ia memiliki tujuan tertentu, yang sejak hari pertama kejadiannya ia mengarah ke tujuan itu melalui jalan yang terdekat dan terbaik. Ia memiliki sarana yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu. Inilah keadaan semua makhluk di dalam alam ini, baik yang bernyawa maupun yang tidak.

Sebagai contoh adalah biji gandum. Sejak hari pertama diletak­kan dalam tanah, ia berjalan dalam proses penyempurnaan. Meng­hijau dan tumbuh sampai terbentuknya bulir-bulir yang lipatannya berisi banyak biji gandum. Dan ia dibekali dengan sarana-sarana khusus untuk memperoleh unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam proses penyempurnaannya itu. Kemudian ia menyerap unsur-unsur yang ada di dalam tanah, udara dan lain-lainnya dengan kadar ter­tentu: Lalu ia merekah, menghijau dan tumbuh hari demi hari, dan berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain sampai terbentuknya bulir-bulir baru, yang dalam setiap bulir terdapat banyak biji gandum. Pada saat itulah biji pertama yang disemaikan di bumi benar-benar telah mencapai tujuan yang diidam-idamkannya dan kesempurnaan yang ia tuju. Demikian pula pohon kenari. Jika kita amati secara teliti, akan kita ketahui bahwa pohon itu juga ber­jalan menuju suatu tujuan tertentu sejak hari pertama kejadiannya. Dan untuk mencapai tujuan itu ia dibekali alat-alat tertentu yang sesuai dengan proses penyempurnaan, kekuatan dan besarnya. Dalam perjalanannya ia tidak menempuh perjalanan yang ditem­puh olch gandum, sebagaimana gandum - dalam tingkat-tingkat penyempurnaannya - tidak berproses sebagaimana prosesnya pohon kenari. Masing-masing dari kedua tanaman itu mempunyai perkembangannya sendiri yang tidak akan dilanggarnya untuk selama-lamanya.

Semua yang kita saksikan di dalam alam ini mengikuti kaidah yang berlaku ini, dan tidak ada bukti pasti bahwa manusia me­nyimpang dari kaidah itu dalam perjalanan alamiahnya menuju tujuan yang ia telah dibekali alat-alat tertentu untuk mencapainya. Bahkan bekal-bekal yang diberikan kepadanya itu merupakan bukti terkuat bahwa dia adalah seperti yang lainnya di alam ini. Dia memiliki tujuan tertentu yang menjamin kebahagiaannya, dan dia telah dilengkapi dengan sarana-sarana untuk mencapainya.

Jadi, fitrah manusia - bahkan fitrah alam yang manusia hanyalah merupakan sebagian darinya - menuntunnya ke arah kebahagiaan hakiki. Fitrah itu mengilhami hukum-hukum terpenting, terbaik dan terkuat yang menjamin kebahagiaannya. Allah ber­firman:

"Musa berkata: 'Tuhan kami ialah Zat yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberi­nya petunjuk'." (QS 20:50)

"Yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan)­Nya. Yang memberikan ketentuan dan petunjuk." (QS 87:2-3)


"Demi jiwa dan Penyempurnanya. Kemudian Allah mem­beritahukan kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya." (QS 91:7-10)


"Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. Tetapilah fitrah Allah yang la telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. ltulah agama yang lurus. " (QS 30:30)

"Sesungguhnya agama yang diterima Allah adalah lslam. (QS 3:19)


"Barangsiapa rnencari agarna selain lslarn, maka tidak akan di­terima. " (QS 3:85)

Kesimpulan dati ayat-ayat ini dan ayat-ayat lain yang ber­kandungan sama, yang tidak kami sebutkan secara ringkas, adalah bahwa Allah menuntun setiap makhluk-Nya - termasuk manu­sia - kepada tujuan dan kebahagiaan puncak yanq merupakan tujuan diciptakannya mereka. Dan jalan yang benar bagi manusia ialah jalan fitrahnya. Maka dalarn perbuatan-perbuatannya manu­sia harus terikat dengan hukum-hukum individu dan sosial yang bersumber dari fitrahnya, dan tidak boleh secara membuta meng­ikuti hawa nafsu, emosi, kecenderungan dan keinginannya. Konsekuensi dari agama fitrah (alamiah) adalah manusia tidak boleh menyia-nyiakan bekal-bekal yang diberikan kepadanya. Bahkan setiap bekal harus dimanfaatkan dalam batas-batasnya dan secara benar, agar potensi-potensi yang ada dalam dirinya seimbang, dan agar satu potensi tidak mematikan potensi yang lain.

Selanjutnya manusia harus dikuasai oleh akal sehat yang jauh dari kesalahan, bukan oleh tuntutan-tuntutan diri yang bersumber dari emosi yang menyalahi akal. Beqitu pula, yang menguasai masyarakat haruslah kebenaran dan yang benar-benar bermanfaat baginya, bukan orang kuat yang sewenang-wenang dan mengikuti hawa nafsu dan keinginan-keinginannya. Bukan pula mayoritas yang menyimpang dari kebenaran dan kemaslahatan umum.

Pembahasan di atas juga menunjukkan hahwa yang berhak membuat dan memberlakukan hukum hanyalah Allah saja, dan tak seorang pun berhak membuat dan memberlakukan hukum dan memutuskan segala perkara, karena pembahasan di atas menun­jukkan bahwa jalan hidup dan hukum yang bermanfaat bagi manu­sia dalam kehidupannya adalah yang diilhami fitrahnya. Yakni hukum dan jalan hidup yang dituntut oleh sebab-sebab dan faktor-­faktor batiniah dan lahiriah dalam fitrahnya. Hal ini berarti sesuai dengan kehendak Allah. Pengertian "sesuai dengan kehendak Allah" adalah bahwa Allah telah menempatkan pada diri manusia sebab-sebab dan faktor-faktor yang mengakibatkan adanya perundanq-undangan dan jalan hidup.

Kadang-kadang, sebab-sebab dan faktor-faktor itu mengambil bentuk pemaksaan sebagai dasar bagi suatu proses, seperti peris­tiwa-peristiwa alam yang terjadi setiap hari. Inilah yanq dinamakan kemauan alam (iradah takwiniah), Kadanq-kadang juga sesuatu aksi dilakukan secara bebas dan berdasarkan kehendak, seperti makan, minum dan lain-lain, yang dalam hal ini kehendak diatur oleh hukum Allah (iradah tasyri'iah). Allah berfirman:

"Tidak ada hukum selain milik Allah." (QS 12:40 dan 67)


Catatan Kaki:

1). Kata sabilillah (jalan Allah), dalam kebiasaan Al-Quran, berarti agama Allah. Ayat itu juga menunjukkan bahwa orang~orang kafir - termasuk di dalamnya orang-orang yang mengingkari adanya Tuhan - pun memiliki agama, yaitu jalan hidup mereka.




Al-Quran, Menentukan Jalan Hidup Manusia
Setelah tiga premis di atas jelas, maka harus diketahui pula bahwa Al-Quran - di sampinq memperhatikan tiga premis tersebut, yaitu manusia mempunyai tujuan yang harus dicapainya dalam perjalanan hidupnya dengan usaha dan perbuatannya, dan dia tidak mungkin mencapai tujuan yang diidam-idamkan itu kecuali dengan mengikuti hukum-hukum dan tata cara tertentu serta keharusan mempelajari hukum-hukum dan tata cata itu dari buku fitrah dan penciptaan, yakni ajatan Allah - juga menentu­kan jalan hidup bagi manusia sebagai berikut:

AI-Quran mendasarkan jalan itu pada keimanan akan keesaan-­Nya sebagai dasar pertama agama; Al-Quran menjadikan keimanan kepada akhirat dan Hari Kiamat, yaitu hari ketika orang yang baik dibalas karena kebaikannya dan yang jahat dibalas karena kejahat­annya, sebagai dasar-kedua agama. Hal ini pada gilirannya membawa kepada keimanan kepada kenabian, karena perbuatan-­perbuatan bisa dibalas setelah si pelakunya mengetahui ketaatan dan maksiat, yang baik dan yang buruk. Pengetahuan ini tidak akan dapat diperoleh kecuali melalui wahyu dan kenabian - sebagaimana akan kami rinci nanti. Al-Quran menjadikan ke­imanan kepada kenabian ini sebagai dasar ketiga agama.

Al-Quran memandang ketiga dasar ini: keimanan kepada keesaan Allah, kenabian dan akhirat sebagai dasar-dasar agama Islam. Setelah itu, Al-Quran menjelaskan pokok-pokok akhlak yang diridhai dan sifat-sifat baik yang sesuai dengan ketiga dasar tersebut, dan setiap orang beriman harus menghiasi diri dengannya. Kemudian AI-Quran menetapkan hukum-hukum perbuatan yang menjamin kebahagiaan hakiki manusia dan menyuburkan akhlak yang utama dan faktor-faktor yang mengantarkannya kepada akidah yang benar dan prinsip-prinsip pokok.

Tidak logis bila kita beranggapan bahwa orang yang bergelimang dalam seks yang diharamkan, mencuri, berkhianat dan curang, adalah suci. Begitu pula, tidak logis bila kita beranggapan bahwa orang yang keterlaluan dalam mencintai harta, mengumpulkan dan menyimpannya, dan tidak mau memenuhi hak-hak orang lain, adalah suci. Tidak logis pula bila kita menganggap orang yang tidak menyembah Allah dan mengingat-Nya siang dan malam, sebagai beriman kepada Allah dan Hari Akhir.

Dengan demikian, akhlak yang baik maujud kuena adanya perbuatan-perbuatan baik, sebagaimana akhlak yang baik itu ada karena akidah yang benar.

Seseorang yang terbelenggu kesombongan, kebanggaan dan kecintaan kepada diri sendiri, tidak mungkin mempercayai Allah dan mengakui keagungan-Nya. Dan orang yang selama hidupnya tidak mengetahui makna keadilan, keperwiraan dan welas-asih terhadap yang lemah, tidak akan masuk ke dalam hatinya intan kepada Hari Kiamat, perhitungan dan balasan di akhirat. Tentang hubungan antara akidah yang benar dengan akhlak yang diridhai, Allah berfirntan:

"Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik, dan amal yang baik dinaikkan-Nya. " (QS 85:10)

Dan tentang hubungan antara akidah dengan perbuatan, Allah berfirman:

"Kemudian akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah azab yang lebih buruk, karena mereka mendustakan ayat­ayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya." (QS 90:10)

Kesimpulan dari pembicaraan di atas adalah bahwa Al-Quran mwgandung sumber-sumber ketiga dasu Islam, yaitu:

1.Dasar-dasar akidah. Ini terbagi menjadi tiga dasar agama: tauhid, kenabian dan akhirat, dan akidah-akidah yang merupakan cabang darinya, seperti lauh mahfudh, qalam, qadha' dan qadar, malaikat, menghadap Allah, kursi, penciptaan langit dan bumi dan lain-lain.

2.Akhlak yang diridhai.

3.Hukum-bukum syara' dan perbuatan yang dasar-dasarnya telah dijelaskan Al-Quran, sedangkan penjelasan terincinya diserahkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Dan Nabi menjadikan penjelasan Ahlul Bait (keluarga)-nya sama dengan penjelasan beliau, sebagaimana diketahui dari hadits tsaqalain yang secara mutawatir diriwayatkan baik oleh kalangan Ahlus Sunnah maupun Syi'ah.1)

Catatan Kaki:

1). Baca 'Abaqatul Anwar, bagian "Hadits Tsaqalain". Di situ disebutkan beratus-ratus sanad yang sampai kepada hadis tersebut.



AI-Quran, Sandaran Kenabian
Al-Quran menegaskan di beberapa tempat bahwa ia adalah fiirman Allah Yang Mahaagung, yang diwahyukan-Nya kepada Nabi dalam bentuk kata-kata yang kita baca dari Al-Quran. Untuk membuktikan bahwa ia adalah firman Allah, bukan hasil ciptaan manusia, dalam beberapa ayat, AI-Quran menantang semua manusia untuk mendatangkan apa pun yang menyamai Al-Quran walaupun satu ayat. Ini menunjukkan bahwa Al-Quran itu berkekuatan mukjizati, yang tak seorangpun sanggup mendatangkan yang semisalnya. Allah berfirman:

"Atau mereka mengatakan: 'Muhammad membuat-buatnya.' Sesungguhnya mereka tidak beriman." (QS 52:33)

"Katakanlah: 'Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang menyamai Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuatnya walaupun mereha saling membantu'." (QS 17:88)

"Bahkan mereka mengatakan: 'Muhammad telah membuat­buatnya.' Katakanlah: 'Datangkanlah sepuluh surat yang menyamainya'." (QS 11:13)

"Atau mereka mengatakan bahwa Muhammad telah membuat-buatnya? Katakanlah: 'Datangkanlah sebuah surat yang menyamai Al-Quran. “ (QS 10:38)

"Apabila kamu meragukan apa yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami, maka datangkanlah sebuah surat yang me­nyamainya." (QS 2:23)

Untuk menantang mereka tentang tiadanya pertentangan dalam Al-Quran, Allah berfirman:

"Tidakkah mereka itu memikirkan Al-Quran? Seandainya Al­Quran itu tidak dari Allah, maka mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya. " (QS 4:82)

Dengan tantangan-tantangannya ini Al-Quran menegaskan bahwa ia merupakan firman Allah, dan menjelaskan dalam banyak ayatnya bahwa Muhammad adalah seorang Rasul dan Nabi yang diutus Allah. Dengan demikian, Al-Quran merupakan sandaran bagi kenabian dan menopang pernyataan Nabi. Dari itu, Nabi diperintahkan untuk bertumpu pada kesaksian Allah tentang hal itu, yakni penegasan AI-Quran terhadap kenabiannya. Al-Quran mengatakan:

"Katakanlah: "Cukuplah Allah yang menjadi saksi antara aku dan kamu. “ (QS 13:43)

Di tempat lain Al-Quran mengungkapkan kesaksian malaikat, selain kesaksian Allah, tentang kenabiannya itu. Ia mengatakan:


"Tetapi Allah menyaksikan apa yang diturunkan-Nya kepadamu. Dia menurunkannya dengan ilmu-Nya, dan para malaikat menyaksikan. Cukuplah Allah yang menjadi saksi." (QS 4:166)


4
MENGUNGKAP RAHASIA AL QUR'AN

BAB II

MEMAHAMI RAHASIA AL-QURAN

AI-Quran, Sebuah Kitab Universal
Al-Quran tidak mengkhususkan pembicaraannya kepada bangsa tertentu, seperti bangsa Arab, dan kelompok tertentu, seperti kaum Muslimin. Tetapi ia berbicara kepada bukan Muslim amaupun Muslim (bukti untuk hal ini adalah banyak titah dan hujah dalam banyak ayat Al-Quran, sehingga tak perlu lagi kami kutipkan di sini), termasuk orang-orang kafir, musyrik, Ahlul Kitab, Yahudi, Bani Israil dan Nasrani. AI-Quran menghujah setiap kelompok ini dan mengajak mereka untuk menenma ajaran-jarannya yang benar.

AI-Quran juga menyeru setiap kelompok ini melalui hujah-hujah dan penalaran. Ia tidak pernah mengkhususkan pembicaraannya kepada bangsa Arab saja. Mengenai para penyembah ber­hala, ia berkata:

"Apabila mereka bertobat, mendirikan salat dan membayar­kan zakat, maka mereka menjadi saudaramu dalam agama." (QS 9:11)

Dan mengenai Ahlul Kitab,1) ia berkata:

"Katakanlah: 'Wahai Ahlul Kitab, marilah menuju kepada keputusan yang sama antara kami dan kamu. Hendaklah kita tidak menyembah kecuali Allah, tidak menyekutukan-Nya, dan sebagi­an kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. “ (QS 3:64)

Kita melihat bahwa Al-Quran tidak berbicara dengan kata­kata "apabila orang-orang musyrik Arab bertobat" atau "wahai Ahlul Kitab Arab." Memang, dalam permulaan Islam - ketika dakwah Islam belum tersebar dan keluar dari wilayah Jazirah Arab - pembicaraan-pembicaraan Al-Quran ditujukan kepada bangsa Arab. Namun, sejak tahun keenam Hijrah, setelah dakwah Islam tersebar sampai di luar Jazirah Arab, tidak ada lagi alasan untuk pengkhususan. Di samping ayat-ayat tadi, ada ayat-ayat lain yang menunjukkan universalitas dakwah Islam, seperti firman Allah:

“Al-Quran ini diwahyukan kepadaku agar dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang yang Al-Quran sampai kepadanya." (QS 6:19)

“Al-Quran iiu tiada lain hanyalah peringatan bagi seluruh alam (bangsa)." (QS 68:52)

"Sesungguhnya Al-Quran itu adalah peringatan bagi seluruh alam (bangsa)." (QS. 38:87)

"Sesungguhnya ia (neraka) adalah salah satu bencana yang amat besar, sebagai ancaman bagi manusia. " (QS 74:35-36)

Dari kenyataan-kenyataan sejarah kita mengetahui banyak penyembah berhala, orang Yahudi, Nasrani, dan orang-orang dari bangsa-bangsa non-Arab yang memenuhi panggilan Islam, seperti Salman dari Persia, Sahib dari Romawi, Bilal dari Ethiopia dan lain-lain.

Catatan Kaki:

1). Seperti orang-orang Nasrani, Yahudi dan Zoroaster.




Al-Quran, Sebuah Kitab yang Sempurna
Al-Quran memuat dan menerangkan tujuan puncak umat manusia dengan bukti-bukti kuat dan sempurna. Dan tujuan itu akan dapat dicapai dengan pandangan realistik terhadap alam, dan dengan melaksanakan pokok-pokok akhlak dan hukum-hukum perbuatan. Al-Quran menggambarkan tujuan ini secara sempurna. Allah berfirman:

"Menunjukkan kepada kebenaran dan jalan yang lurus." (QS 46:30)

Di tempat lain, setelah menyebutkan Taurat dan Injil, Allah berfirman:

"Kami tusunkan Al-Quran kepadamu dengan membawa kebenaran, untuk membenarkan dan mengoreksi kitab yang sebelumnya. " (QS 5:48)

Mengenai bahwa AI-Quran mengandung pokok syariat para Nabi, Allah berfirman:

"Dia mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan­Nya kepada Nuh, dan yang Kami wahyukan kepadamu, dan agama yang telah diwasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa." (QS 42: 13)

Mengenai bahwa Al-Quran meliputi segala sesuatu, Allah berfirman:

"Kami menurunkan Al-Quran kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu." (QS 16:89)

Kesimpulan dari ayat-ayat tadi ialah bahwa Al-Quran mengandung kebenaran-kebenaran sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab-kitab samawi yang lain, disertai beberapa tambahan, dan di dalamnya terdapat segala sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam perjalanannya menuju kebahagiaan yang diinginkannya, termasuk dasar-dasar akidah dan perbuatan.




AI-Quran, Sebuah Kitab yang Abadi
Pembahasan yang lalu menegaskan bahwa Al-Quran adalah sebuah kitab yang abadi di sepanjang zaman. Karena bila suatu perkataan sepenuhnya benar dan sempurna, maka tidak mungkin ia terbatas oleh zaman. Al-Quran telah menegaskan kesempurnaan perkataannya:

"Sesungguhnya Al-Quran itu benar-benar perkataan yang pasti, dan bukan merupakan permainan." (QS 86:13-14)

Demikianlah, pengetahuan yang benar itu merupakan hakikat kebenaran. Dasar-dasar akhlak dan hukum-hukum perbuatan yang dijelaskan Al-Quran merupakan hasil dari kebenaran-kebenaran yang telah mapan, tidak akan terjamah kebatilan, serta tak akan musnah di sepanjang zaman. Allah berfirman:

"Dengan kebenaran, Kami menurunkan Al-Quran, dan dengan membawa kebenaran ia turun." (QS 17:105)

"Sesudah kebenaran tidak ada lain kecuali kesesatan." (QS 10:32)

"Sesungguhnya Al-Quran itu adalah sebuah kitab yang mulia dan tidak akan didatangi kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang." (QS 41:41-42)

Tidak diragukan lagi bahwa telah banyak pembahasan ditulis tentang hukum-hukum Al-Quran yang tetap, abadi dan tidak khusus untuk suatu waktu. Hanya saja hal itu di luar tema pembahasan kami yang berupaya mengetahui kedudukan Al-Quran bagi kaum Muslimin sebagaimana dipaparkan oleh AI-Quran itu sendiri.




Al-Quran Mandiri dalam Penalarannya
AI-Quran menggunakan suatu bahasa yang, seperti semua bahasa manusia, memaparkan secara jelas makna-makna yang di­maksudkannya dan konsep-konsep yang diinginkannya, serta tidak ada kesamaran di dalamnya bagi orang-orang yang mendengarkan penalarannya. Tidak ada bukti bahwa maksud AI-Quran tidak seperti arti kata-kata Arabnya. Bukti bahwa Al-Quran itu sederha­na dan jelas ialah bahwa setiap orang yang mengetahui bahasa Arab dapat mengetahui makna ayat-ayatnya persis sebagaimana ia mengetahui makna setiap perkataan Arab. Di samping itu, kami menemukan dalam banyak ayat titah-titah yang ditujukan kepada kelompok tertentu seperti Bani Israil, orang-orang beriman atau kafir. Dan dalam beberapa ayat, Al-Quran bertitah kepada seluruh manusia,1) menghujah dan menantang mereka untuk mendatang­kan yang menyamai AI-Quran, jika mereka meragukan bahwa Al-Quran datang dari sisi Allah. Tentu tidak dapat dibenarkan berbicara kepada manusia dengan kata-kata yang tidak bisa dipahami maknanya dengan jelas oleh mereka. Tidak dibenarkan pula mengajukan tantangan kepada mereka dengan sesuatu yang tidak di­pahami maknanya oleh mereka. Allah berfirman:

"Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran, ataukah hati mereka tertutup." (QS 47:24)

Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran? Seandainya ia datang dari sisi selain Allah, tentu mereka menemukan banyak pertentangan di dalamnya." (QS 4:82)

Dua ayat ini menunjukkan keharusan merenungkan (me­mahami) Al-Quran, Perenungan terhadap Al-Quran akan dapat menghilangkan gambaran yang sepintas lalu ayat-ayatnya tampak saling bertentangan. Bila maksud ayat-ayat itu tidak jelas, tentu saja perintah untuk merenungkan dan memikirkan Al-Quran itu merupakan sesuatu yang sia-sia. Begitu pula, tidak akan ada tempat untuk menganalisis pertentangan-pertentangan lahiriah antarayat dengan jalan merenungkan dan memikirkan.

Adapun pemyataan bahwa tidak ada alasan atau sebab lahiriah untuk menafikan makna-makna lahiriah Al-Quran, sebagaimana telah kami sebutkan, karena tidak adanya dalil untuk hal itu se­lain persangkaan sebagian orang bahwa kita - dalam memahami maksud-maksud Al-Quran - harus merujuk kepada hadis Rasulul­lah s.a.w. atau Ahlul Bait-nya a.s. Ini merupakan suatu persangka­an kosong dan tidak dapat diterima, karena sabda-sabda Rasulullah s.a.w. dan para Imam a.s. itu sendiri harus disimpulkan dari Al­Quran. Maka bagaimana mungkin menggantungkan makna-makna lahiriah AI-Quran kepada sabda mereka? Bahkan dapat kami tambahkan bahwa dasar kenabian dan imamah diberikan oleh Al-Quran.

Apa yang telah kami sebutkan ini tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa Rasulullah dan para Imam ditugaskan untuk menjelaskan perincian undang-undang dan hukum-hukum Allah (syariat) yang tidak terdapat dalam arti-arti lahiriah Al-Quran, disamping menjadi pembimbing untuk memahami pengetahuan­pengetahuan Kitab Suci ini, sebagaimana tampak dari ayat-ayat berikut ini:

"Kami menurunkan AI-Quran kepadamu agar engkau menjelas­kan kepada manusia apa ynng telah diturunkan kepada mereka." (QS 16:44)

"Apa yang dibawa oleh Rasulullah, ambillah, dan apa yang kamu dilarang olehnya, tinggalkanlah." (QS 59:7)

"Kami tidak mengutus seorang Rasul pun kecuali agar ditaati dengan izin Allah." (QS 4:64)

"Dialah yang mengutus kepada orang-orang yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan Al-Quran dan hikmah kepada mereka." (QS 62:2)

Yang dapat dipahami dari ayat-ayaf ini ialah bahwa Nabi Muhammad s.a.w. adalah orang yang menjelaskan bagian-bagian dan perincian syariat, dan dialah yang diajari tentang Al-Quran oleh Allah. Dan pernyataan hadits tsaqalain menunjukkan bahwa para Imam adalah pengganti Rasulullah dalam hal itu. Ini tidak menafikan dapat diketahuinya maksud Al-Quran melalui arti-arti lahirnya oleh sebagian orang yang menjadi murid guiu-guru sejati.

Catatan Kaki:

1). Sebagai contoh, "Hai orang-orang kafir ..... ", "Hai Ahlul Kitah ....." dan "Hai manusia ..... "




Al-Quran Mempunyai Arti Lahir dan Batin
Allah berfirman:

"Sembahlah Allah, dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun." (QS 4:36)

Arti lahir ayat ini menunjukkan bahwa ayat tersebut melarang menyembah berhala, seperti ditunjukkan dalam firman Allah:

"Jauhilah berhala-berhala yang najis itu." (QS 22:30)

Tetapi, setelah merenungkan dan menganalisis, maka jelas bahwa alasan pelarangan menyembah berhala itu ialah karena penyembahan semacam itu merupakan bentuk kepatuhan kepada selain Allah. Hal ini tidak hanya berupa penyembahan kepada berhala saja, tetapi juga menaati setan, sebagaimana firman-Nya:

"Bukankah Kami telah memerintahkanmu, hai Bani Adam, agar kamu tidak menyembah setan." (QS 36:60)

Analisis lain menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara ketaatan kepada diri dan ketaatan kepada yanglain,karena meng­ikuti hawa nafsu merupakan penyembahan kepada selain Allah, sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah:

"Tidakkah engkau mengetahui orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya." (QS 45:23)

Dengan analisis lebih cermat, tahulah kita tentang keharusan untuk tidak berpaling kepada selain Allah, karena berpaling kepada selain-Nya itu berarti mengakui kemandiriannya dan tunduk kepadanya. Inilah yang dinamakan menyembah dan taat itu. Allah berfirman:

"Sesungguhnya telah Kami ciptakan banyak manusia dan jin. Mereka adalah orang-orang yang lupa." (QS 7:179)

Sepintas kilas ayat “janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun" menunjukkan bahwa berhala-berhala tidak boleh disembah. Namun suatu pandangan Iebih mendalam menun­jukkan larangan untuk mengikuti hawa nafsu. Jika pandangan itu diperluas lagi, maka akan tampak larangan melupakan Allah dan berpaling kepada selain-Nya.

Penahapan ini, pertama tampak makna awal dari suatu ayat, kemudian tampak makna yang lebih luas daripada yang pertama dan begitu seterusnya, berlaku pada semua ayat AI-Quran.

Dengan merenungkan masalah ini, maka jelaslah makna hadis yang diriwayatkan dalam buku-buku hadis dan tafsir:

"Sesungguhnya Al-Quran mempunyai arti lahir dan batin. Dan batinnya terdiri atas satu sampai tujuh batin. "1)

Atas dasar inilah AI-Quran mempunyai makna lahir (zhahr) dan batin (bathn), dan kedua makna tersebut sama-sama merupa­kan maksud. Hanya saja keduanya terjadi secara memanjang, tidak melebar, karena maksud makna lahir tidak menafikan maksud makna batin, dan maksud makna batin tidak menafikan maksud makna lahir.

Catatan Kaki:

1). Pendahuluan kedelapan kitab ash-Shaft dan Safinatul Bihar dibawah judul "Bathana”




Mengapa AI-Quran Berbicara dengan Gaya Lahir dan Batin
Manusia, dalam kehidupannya yang pertama dan sementara di dunia ini, menyerupai gelembung di samudra materi. Setiap kegiatannya dalam arus keberadaannya bergantung kepada samudra materi yang luas itu, dan ia harus berurusan dengan materi. Indera lahir dan batinnya sibuk dengan materi, dan pikirannya hanya mengikuti pengetahuan inderawinya. Makan dan minum, duduk dan berdiri, berbicara dan mendengarkan, pergi dan datang, bergerak dan diam, dan semua perbuatan serta pekerjaan yang dilakukan manusia, berkenaan dengan materi, dan dia tidak memiliki pikiran lain.

Aktivitas spiritual manusia, seperti cinta, permusuhan, cita­cita, derajat yang tinggi dan lain-lain, sebagian besar digambarkannya dalam bentuk materi, seperti menyamakan manisnya kemenangan dengan manisnya gula, daya tarik persahabatan dengan daya tarik magnit, tingginya cita-cita dengan tingginya tempat atau bintang di langit, besar dan tingginya kedudukan dengan besarnya gunung, dan lain-lain. Di samping itu, kemampuan ma­nusia untuk mengetahui hal-hal spiritual, yang wilayahnya lebih luas daripada wilayah materi, berbeda-beda dan bertingkat-tingkat. Sebagian ada yang sulit mengetahui hal-hal spiritual, dan sebagian lagi ada yang dengan mudah dapat mengetahui hal-hal spiritual yang paling luas. Semakin mampu mengetahui hal-hal spiritual, semakin sedikit keterkaitan manusia kepada materi dan pesonanya. Semakin sedikit keterkaitannya kepada materi, semakin ber­tambah pengetahuannya tentang hal-hal spiritual. Hal ini berarti bahwa setiap manusia, berdasarkan fitrahnya, memiliki kemampu­an untuk mengetahui ini. Dan seandainya manusia tidak meniada­kan kemampuan ini, maka ia dapat dididik dan dikembangkan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apa yang di­ketahui oleh manusia yang memiliki tingkat pemahaman yang tinggi, tidak dapat dikemukakan kepada manusia yang masih memiiliki tingkat pemahaman yang rendah. Seandainya kita berusaha mengemukakannya, maka reaksinya akan bertentangan, khususnya dalam hal-hal spiritual yang lebih penting daripada hal­hal materiil yang dapat diindera. Apabila hal-hal spiritual itu dikemukakan secara apa adanya kepada orang-orang awam, maka mereka akan memberikan kesimpulan yang bertentangan dengan kesimpulan yang benar dan diharapkan.

Tidak ada salahnya di sini bila kami memberikan contoh berupa suatu agama dan dualisme. Jika Upanisyad-Upanisyad Weda India, direnungkan secara mendalam dan ditelaah bagian-bagian tertentunya dengan bantuan bagian-bagian lainnya, maka akan diketahui bahwa kitab suci itu menuju kepada tauhid. Akan tetapi sayangnya, tujuan itu dikemukakan secara langsung dan tidak menurut tingkat pemikiran orang-orang awam, sehingga akibatnya orang-orang Hindu yang lemah akalnya berkecenderungan untuk menyembah bermacam-macam berhala. Karena itu, rahasia-rahasia metafisikal harus dikemukakan secara tertutup atau terselubung kepada orang-orang yang bersikap materialistik.

Dalam agama-agama lain, sebagian orang teralang dari banyak hak keagamaan, seperti kaum wanita dalam Hindu Brahma, yahudi dan Kristen, sedangkan dalam agama Islam kasus seperti di atas tidak ada. Hak-hak keagamaan dalam Islam adalah untuk semua, bukan milik suatu kelompok tertentu, sehingga tidak ada perbedaan antara kaum awam dan kaum khusus, pria dan wanita, dan antara yang berkulit hitam dan yang berkulit putih. Semuanya sama dalam pandangan Islam dan tak seorang pun mempunyai kelebihan atas yang lain. Allah berfirman:

"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan." (QS 3:195)

"Hai manusia, sesungguhnya Kami meneiptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Dan Kami menjadakan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling berkenalan. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. " (QS 49:13)

Berdasarkan pemaparan di atas dapat kami katakan bahwa Al-Quran Suci memandang semua manusia bisa diajar, sehingga ia menggelarkan ajaran-ajarannya kepada semua manusia, makhluk yang mampu berjalan menuju kesempurnaan.

Mengingat terdapat perbedaan besar dalam memahami hal-hal spiritual, dan mengingat bahaya yang mungkin terjadi ketika ajaran-ajaran yang tinggi disampaikan, seperti telah kami sebutkan tadi, Al-Quran mengemukakan ajaran-ajarannya dengan penyam­paian sederhana yang sesuai untuk kebanyakan orang, dan ia berbicara dengan menggunakan bahasa yang dapat mereka pahami.

Cara seperti ini menyebabkan pengetahuan-pengetahuan yang tinggi terjelaskan dengan bahasa yang dapat dipahami oleh orang kebanyakan. Dalam cara ini arti lahir kata-kata berfungsi menyam­paikan hal-hal dalam bentuk yang dapat dimengerti. Dan hal-hal spiritual - yang tetap berada di balik tirai arti-arti lahir - akan menunjukkan diri menurut pemahaman mereka. Setiap orang akan mengetahui arti-arti itu menurut kadar kemampuan akalnya. Allah berfirman:

"Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya. Al-Quran itu ada dalam Ummul Kitab di sisi Kami, benar-benar tinggi nilainya dan amat banyak mengandung hikmah. " (QS 43:3-4)

'Benar-benar tinggi nilainya' berarti bahwa ia tak terjangkau oleh manusia, dan 'mengandung hikmah' berarti bahwa akal manusia tak dapat menembusnya. Untuk memberikan perumpamaan ten­tang kebenaran, kepalsuan dan kemampuan akal, Allah berfirman:

"Allah telah menurunkan air hujan dari langit, kemudian mengalirkan air di lembah-lembah menurut ukurannya. " (QS 13: 17)

Dan Rasulullah s.a.w. bersabda dalam sebuah hadis yang terkenal:

"Kami, golongan para Nabi, berbicara kepada manusia menurut kadar kemampuan akal mereka. "1)

Hasil lain dari cara ini ialah bahwa arti-arti lahir Al-Quran itu adalah seperti lambang dari arti-arti batin. Yakni, dalam hal ajaran­ajaran Allah yang berada di luar pemahaman orang kebanyakan ada bentuk-bentuk perumpaannya, sehingga ajaran-ajaran itu bisa dimengerti oleh orang kebanyakan. Allah berfirman:

"Sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam Al-Quran ini tiap-tiap macam perumpamaan, tetapi kebanyakan manusia mengingkarinya. " (QS 17:89)

"Itulah perumpamaan perumpamaan yang Kami buat bagi manusia dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu." (QS 29:43)

Di dalam Al-Quran terdapat banyak perumpamaan, tetapi ayat-ayat di atas dan ayat-ayat lain yang berkaitan dengan masalah ini adalah mutlak. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seluruh ayat ini merupakan perumpamaan-perumpamaan tentang pengetahuan-pengetahuan tinggi yang merupakan maksud sejati Al-Quran.

Catatan Kaki:

1). Biharul Anwar, I, h. 37.




Dalam Al-Quran Terdapat Muhkam dan Mutasyabih
Allah berfirman:

"Suatu kitab yang ayat-ayatnya di-muhkam-kan." (QS 11:1)

"Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik, yaitu Al-Quran yang mutasyabih dan berulang-ulang, yang karenanya gemetarlah kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka. " (QS 39:23)

"Dialah yang telah menurunkan Al-Quran kepadamu. Di antaranya ada ayat-ayat muhkam yang merupakan induk, dan lainnya mutasyabih. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: 'Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih. Semuanya itu dari sisi Tuhan kami. " (QS 3: 7)

Kita melihat ayat pertama menegaskan bahwa seluruh kan­dungan Al-Quran adalah muhkam. Maksudnya ialah bahwa ia itu kukuh dan jelas. Ayat kedua menjelaskan bahwa seluruh kandungan Al-Quran adalah mutasyabih. Maksudnya ialah bahwa ayat­ayatnya berada dalam satu ragam keindahan, gaya, kemanisan bahasa dan daya ungkap yang luar biasa. Sedangkan ayat ketiga membagi Al-Quran menjadi dua bagian: muhkam dan mutasyabih. Kesimpulan dari ayat-ayat ini adalah:

Pertama, muhkam adalah ayat-ayat yang maksud (isyarat)-nya jelas dan tegas, sehingga tidak menimbulkan kekeliruan pemaham­an, sedang ayat-ayat mutasyabih tidak demikian.

Kedua, setiap orang beriman yang kukuh imannya wajib ber­iman kepada ayat-ayat muhkam dan mengamalkannya. Ia juga wajib beriman kepada ayat-ayat mutasyabih, tetapi tidak untuk mengamalkannya. Orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabih dan mengamalkan apa-apa yang diinspirasikan oleh penakwilan mereka adalah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dan menyesatkan orang lain.




Pengertian Muhkam dan Mutasyabih menurut Para Mufasir dan Ulama
Para ulama banyak berbeda pendapat tentang pengertian muhkam dan mutasyabih. Barangkali, dalam hubungan ini, ter­dapat dua puluh pendapat mengenai kedua hal itu. Pendapat yang lazim dan andal (sahih) sejak awal Islam sampai pada masa kita sekarang ini ialah:

Pertama, ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya jelas, tidak ada ruang bagi kekeliruan. Oleh karena itu, ayat-ayat seperti ini wajib diimani dan diamalkan.

Kedua, ayat mutasyabih adalah ayat yang makna lahirnya bukanlah yang dimaksudkannya, sedangkan makna hakikinya, yang merupakan takwilnya, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Oleh karena itu, ayat-ayat seperti ini wajib diimani tetapi tidak wajib diamalkan.

Inilah pendapat-pendapat di kalangan saudara-saudara kami, ulama Ahlus Sunnah, dan di kalangan ulama Syi'ah. Hanya saja ulama Syi'ah percaya bahwa Nabi dan para Imam Ahlul Baitnya mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabih, sedangkan pada umumnya kaum Muslimin, karena tidak mempunyai jalan untuk mengetahuinya, merujuk kepada Allah, Rasulullah dan para Imam.

Pendapat ini, walaupun dianut oleh sebagian besar para mufasir, tidak sesuai dengan firman Allah:

"Dialah yang telah menurunkan Al-Quran kepadamu. Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkam. ...." (QS 3:7)

dan tidak sesuai pula dengan yang ditunjukkan oleh ayat-ayat yang lain, karena:

Pertama, kita tidak mengetahui ayat-ayat Al-Quran yang kita tidak menemukan jalan untuk mengetahui maksudnya. Al-Quran sendiri menyifati dirinya sendiri dengan sifat-sifat seperti cahaya, penunjuk dan penjelas. Sifat-sifat ini tidak sesuai dengan tidak dapat diketahuinya makna dan maksud Al-Quran.

"Tidakkah mereka itu merenungkan Al-Quran? Seandainya Al-Quran itu dari sisi selain Allah, maka mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya. " (QS 4:82)

Bagaimana perenungan terhadap Al-Quran bisa menghilangkan semua pertentangan, bila di dalamnya terdapat ayat-ayat mutasyabih yang tidak mungkin diketahui maknanya, seperti dinyatakan oleh pendapat yang telah kami kutip tadi?

Bisa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat-ayat mutasyabih adalah huruf-huruf sebagaimana terdapat dalam permulaan beberapa surat, seperti (alif-lam-mim), (alif-lam-ra), (ha-mim) dan lain-lain, karena makna hakiki huruf-huruf ini tidak diketahui. Mesti diingat bahwa dalam ayat di atas, ayat mutasyabih digunakan bertentangan dengan ayat muhkam, sehingga maksud ayat mutasyabih ditunjukkan oleh kata-katanya, meski­pun maksud yang ditunjukkan oleh kata-kata lahirnya bisa sama dengan maksud yang hakiki. Sedangkan maksud ayat-ayat itu tidaklah demikian.

Di samping itu, ayat ini tampaknya menunjukkan bahwa sekelompok orang yang sesat berusaha menyesatkan dan mem­fitnah orang dengan menggunakan ayat-ayat mutasyabih. Padahal belum pernah terdengar adanya orang di kalangan kaum Muslimin yang melakukan penakwilan seperti itu terhadap singkatan-singkat­an tersebut. Dan orang-orang yang berbuat demikian telah ber­buat seperti itu terhadap semua ayat mutasyabih, bukan hanya terhadap singkatan-singkatan ini saja. Sebagian ulama berkata bahwa ayat itu mengisyaratkan sebuah kisah tentang usaha orang­orang Yahudi untuk mengetahui masa hidup Islam melalui singkat­an-singkatan itu, tetapi Rasulullah s.a.w. membaca singkatan­singkatan satu demi satu untuk membantah persangkaan mereka itu.1)

Pernyataan ini tidak benar, karena kisah itu, seandainya benar, menunjukkan bahwa usaha orang-orang Yahudi itu telah dijawab seketika oleh Rasulullah. Kejadian ini tidak sepenting itu sehingga turun ayat mutasyabih. Alasan ini diperkuat dengan kenyataan bahwa kata-kata orang Yahudi itu tidak mengandung fitnah. Sebab suatu agama, jika memang benar, tidak akan terpengaruh (terhapus) oleh masa. Hal ini tampak pada agama-agama yang benar sebelum Islam.

Kedua, akibat dari pendapat ini adalah bahwa arti kata 'takwil' dalam ayat itu adalah 'maksud yang berbeda dengan makna lahir'. Pengertian 'takwil' semacam ini hanya terbatas pada ayat-ayat mutasyabih. Pengertian ini tidak benar, dan dalam pembahasan tentang 'takwil' dan 'tanzil', selain dijelaskan bahwa dalam ke­biasaan Al-Quran 'takwil' bukanlah berarti 'maksud' bahasanya, juga dijelaskan bahwa semua ayat muhkam dan mutasyabih mempunyai takwil.

Ketiga, ayat tersebut menggambarkan ayat-ayat muhkam se­bagai induk Al-Quran. Hal ini berarti bahwa ayat muhkam mengandung pokok-pokok masalah yang terdapat dalam Al-Quran, sedangkan ayat-ayat lain merincinya. Akibatnya adalah, untuk mengetahui maksudnya, ayat-ayat mutasyabih harus dirujukkan kepada ayat-ayat muhkam.

Berdasarkan hal itu, maka tidak ada satu ayat pun dalam Al­Quran yang tidak mungkin diketahui maknanya. Ayat-ayat Al­Quran itu muhkam secara langsung dan tak langsung, seperti ayat­ ayat mutasyabih. Adapun maksud singkatan-singkatan di per­mulaan beberapa surat tidaklah ditunjukkan oleh kata-katanya, sehingga ia tidak termasuk muhkam dan mutasyabih.

Yang kami katakan ini dapat diketahui dari firman Allah:

"Tidakkah mereka rnerenungkan Al-Quran, ataukah hati mereka itu tertutup?" (QS 47:24)

"Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran? Seandainya Al-Quran. itu bukan dari sisi Allah, maka mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya. " (QS 4:82)

Catatan Kaki:

1). Lihat Tafsir a!-'Iyasyi I, hl. 26. Tafsir al-Qummi pada penafsiran awal surat al­Baqarah. Dan Nuruts Tsaqalain, I, h. 22.




Pandangan-Pandangan Imam-Imam Alrtul Bait tentang Muhkam dan Mutasyabih
Yang kami pahami dari berbagai sabda para Imam Ahlul Bait (salam atas mereka) adalah bahwa tidak ada mutasyabih yang maksud hakikinya tidak mungkirr diketahui. Akan tetapi, ayat-ayat yang makna hakiki mereka tidak dapat diketahui secara langsung, dapat diketahui dengan merujuk kepada ayat-ayat lain. Inilah pengertian ketergantungan ayat mutasyabih kepada ayat muhkam. Arti lahir firman Allah:

"Yang Maha Pengasih bersemayam di atas 'Arsy." (QS 20:5)

"Dan datanglah Tuhanmu. " (QS 89:22)

menunjukkan bahwa Tuhan itu berjasmani dan bahwa Ia itu materi. Tetapi, jika kita merujukkan kedua ayat itu kepada firman Allah:

"Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya." (QS 42:11)

maka jelaslah bahwa bersemayam dan datang itu bukan berarti menetap di suatu tempat atau berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Nabi Muhammad s.a.w. bersabda tentang Al-Quran:

"Sesungguhnya Al-Quran itu tidak diturunkan agar sebagian­nya mendustakan sebagian yang lain. Tetapi ia diturunkan agar sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Maka apa yang Izamu ketahui, amalkanlah, dan apa yang samar bagimu, imanilah. "1)

Ali a.s. berkata:

"Sebagian Al-Quran menguatkan sebagian yang lain, dan se­hagiannya menjelaskan sebagian yang lain.2)

Imam ash-Shadiq a.s. berkata:

"Muhkam adalah ayat yang dapat diamalkan, dan mutasyabih adalah ayat yang dapat menimbulkan kesalahpahaman bagi orang yang tidak mengetahuinya. "3)

Imam ar-Ridha a.s. berkata:

"Barazzgsiapa merujukkan ayat-ayat mutasyabih kepada ayat­-ayat muhkam, maka dia telah ditunjuki kepada jalan yang lurus. "Sesungguhnya dalam hadis-hadis kita, ada yang mutasyabih, seperti ayat-ayat mutasyabih. Oleh karena itu, rujukkanlah hadis­hadis yang mutasyabih kepada yang muhkam, dan janganlah kamu menngikuti hadis mutasyabih, agar kamu tidak tersesat. "4)

Hadis-hadis ini, khususnya hadis yang terakhir, menjelaskan bahwa untuk mengetahui makna ayat-ayat mutasyabih, kita harus merujukkan ayat-ayat itu kepada ayat-ayat muhkam. Hal ini ber­arti - sebagaimana telah kami paparkan tadi - bahwa di dalam Al-Quran tidak terdapat satu ayat pun yang tidak mungkin di­ketahui maksudnya.

Catatan Kaki:

1). Ad-Durrul Mantsur, II, h. 8.

2). Nahjul Balaghah, Fatwa ke-131.

3). Tafsir al-'Iyasyi, I, h. 162.

4). ‘Uyunul Akhhar, I, h. 290.




Dalam AI-Quran Ada Tanzil dan Takwil
Kata-kata 'ta'wil' (takwil) Al-Quran' digunakan dalam tiga ayat Al-Quran:

"Adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada kecenderungan kepada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabih Al-Quran, untuk menimbulkan fitnah dan mencari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah." (QS 3:7)

"Kami telah mendatangkan sebuah kitab kepada mereka, yang Kami jelaskan dengan pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Tiadalah mereka itu menunnggu kecuali takwilnya. Pada hari datangnya takwil itu, orang-orang yang telah melupakannya sebelumnya itu berkata: 'Rasul-rasul yang diutus Tuhan kami telah datang dengan membawa kebenaran'. " (QS 7:52-53)

"Bahkan mereka mendustakan apa yang sepenuhnya tidak mereka ketahui, padahal takwilnya belum sampai kepada mereka. Demikianlah, orang-orang sebelum mereka telah mendustakan kebenaran. Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim. " (QS 10:39)

Kata ta'wil berasal dari kata al-awwal yang berarti kembali. Yang dimaksud dengan ta'wil adalah sesuatu yang menjadi rujukan ayat. Sedangkan tanzil adalah makna yang jelas dari suatu ayat.




Pengertian Takwil menurut Para Mufasir dan Ulama
Para mufasir berbeda pendapat tentang pengertian ta'wil. Terdapat lebih dari sepuluh pendapat tentang hal itu. Di antaranya, dua pendapat berikut adalah pendapat-pendapat yang terkenal:

Pendapat pertama adalah pendapat ulama-ulama klasik (qudama). Pendapat ini mengatakan bahwa takwil dan tafsir itu searti. Oleh karena itu, semua ayat Al-Quran mempunyai takwil, kecuali ayat berikut:

"Tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. " (QS 3:7)

Berdasarkan ayat ini, maka yang mengetahui ayat-ayat mutasyabih hanyalah Allah SWT. Karena itu, sebagian ulama klasik ber­pendapat bahwa ayat-ayat mutasyabih adalah singkatan-singkatan pada permulaan beberapa surat, karena tidak ada satu ayat pun dalam Al-Quran yang maknanya tidak diketahui oleh semua manu­sia selain singkatan-singkatan ini. Tetapi, dalam pembahasan yang lalu kami telah menunjukkan bahwa pendapat ini tidak benar. Mengingat Al-Quran mengatakan bahwa selain Allah tidak ada yang tahu ta'wil sebagian ayat, dan tidak ada ayat-ayat yang arti­nya tidak akan diketahui oleh semua manusia, dan mengingat singkatan-singkatan yang terletak di permulaan beberapa surat itu bukanlah ayat-ayat mutasyabih, maka para ulama mutaakhir (ulama sesudah abad ketiga Hijriah) menolak pendapat para ulama klasik ini.

Pendapat yang kedua adalah pendapat ulama mutaakhir. Pen­dapat ini mengatakan bahwa 'takwil' mempunyai makna yang berbeda dengan makna lahir suatu ayat. Oleh karena itu, tidak semua ayat Al-Quran dapat ditakwil, kecuali ayat-ayat mutasyabih. Dan yang tahu arti ayat-ayat mutasyabih ini hanyalah Allah. Contoh ayat-ayat seperti itu (mutasyabih) adalah "Allah itu ber­jasmani", "Ia datang", "bersemayam", "merasa senang, benci, sedih" dan sifat-sifat lain yang dinisbatkan kepada Allah SWT. Begitu pula ayat-ayat yang arti lahirnya menunjukkan penisbatan dosa kepada para Rasul dan Nabi yang Suci.

Sedemikian termasyhur pendapat ini, sampai-sampai kata takwil diartikan sebagai 'berbeda dengan makna lahir'. Begitu pula, menafsirkan ayat yang berbeda dengan makna lahirnya, dengan alasan yang mereka sebut takwil merupakan tema yang dikenal luas, padahal tema itu mengandung kontradiksi.1)

Walaupun sangat terkenal, pendapat ini tidak sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran, karena:

Pertama, perkataan Al-Quran:

"Tiadalah mereka itu menunggu kecuali takwilnya." (QS 7:53)

"Bahkan mereka mendustakan apa yang belum benar-benar mereka ketahui, padahal takwilnya belum sampai kepada mereka." (QS 10:39)

menunjukkan bahwa keseluruhan ayat AI-Quran ada takwilnya. Dan yang ada takwilnya bukan saja hanya ayat-ayat mutasyabih.

Kedua, akibat dari pendapat ini ialah adanya ayat-ayat Al­Quran yang pengertian hakiki ayat-ayat itu tidak jelas dan tidak diketahui oleh manusia, dan yang mengetahuinya hanyalah Allah. Ucapan yang tidak jelas maksudnya bukanlah merupakan ucapan yang indah, padahal AI-Quran telah membuktikan keunggulan­nya dalam keindahan bahasa kepada dunia sastra­

Ketiga, berdasarkan pendapat ini, maka tidak sempurnalah penalaran Al-Quran, karena:

"Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran? Seandainya Al­Quran itu bukan dari sisi Allah, maka mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya. " (QS 4:82)

Salah satu bukti bahwa Al-Quran bukanlah perkataan manusia adalah tidak adanya pertentangan antara makna dan maksud ayat-ayatnya, meskipun jarak masa turunnya lama, berbeda kondisi dan sebab turunnya. Pertentangan yang tampak selintas antar­beberapa ayat akan hilang dengan merenungkan ayat-ayat itu. Meskipun sejumlah ayat mutasyabih menunjukkan perbedaan dengan ayat-ayat muhkam, dan jika perbedaan ini terhapuskan dengan berpendapat bahwa arti lahiriah ayat-ayat mutasyabih bukanlah arti yang dimaksudkannya, sedangkan arti yang dimaksudkannya hanya diketahui oleh Allah saja, maka perbedaan pen­dapat seperti itu bukanlah menjadi sebab dikatakannya bahwa Al-Quran bukanlah perkataan manusia.

Jika perbedaan-perbedaan itu dapat dihapuskan dengan meng­hindarkan arti lahiriah setiap ayat yang tampak bertentangan de­ngan ayat-ayat muhkam melalui penakwilan - menurut istilah ulama mutaakhir - yang berbeda dengan lahiriahnya, maka akan ada kemungkinan untuk meniadakan perbedaan-perbedaan bahkan kata-kata manusia melaiui penakwilan.

Keempat, sama sekali tidak ada alasan bahwa menakwilkan ayat muhkam dan mutasyabih berarti bertentangan dengan makna lahir ayat itu, dan arti semacam itu tidak terdapat pada apa yang disebut 'takwil'. Sebagai contoh, pada tiga tempat mengenai kisah Nabi Yusuf a.s.,2) tafsir atas mimpi diistilahkan dengan takwil. Jelaslah bahwa tafsir atas mimpi itu bukanlah sesuatu yang berbeda dengan makna lahiriah mimpi, tetapi tafsir atas mimpi itu merupakan kenyataan lahiriah yang dilihat ketika tidur dalam bentuk tertentu, seperti Yusuf melihat penghormatan ayah, ibu dan saudara-saudaranya dalam bentuk bersujudnya matahari, bulan dan bintang kepadanya. Dan Raja Mesir melihat tahun­tahun kekeringan dalam bentuk tujuh lembu kurus memakan tujuh lembu gemuk. Sedangkan dua orang teman Yusuf di penjara melihat penyaliban dan pengabdian kepada raja dalam bentuk memeras anggur dan membawa roti di atas kepala yang dimakan burung.

Dalam kisah tentang Nabi Musa dan Khidhir, sesudah Khidhir melubangi perahu, membunuh bocah dan menegakkan dinding, selalu dikritik Musa. Kemudian Khidhir menyebutkan rahasia yang tersimpan di balik perbuatan-perbuatannya itu, dan rahasia itu dinamakannya 'takwil'. Hal ini menunjukkan bahwa maksud sejati yang berbentuk perbuatan-perbuatan disebut takwil. Dan ia bukan berarti sesuatu yang berbeda dengan wujud perbuatan itu.

Allah berfirman tentang penimbangan dan penakaran:

"Penuhilah takaran bila kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama bagimu dan lebih baik takwilnya." (QS 17:35)

Yang dimaksud dengan takwil dalam penakaran dan penim­bangan di sini adalah berkenaan dengan situasi ekonomi (pertukar­an barang dan bahan pokok kehidupan) di pasar. Takwil dalam pengertian ini bukanlah bertentangan dengan makna lahiriah dari penimbangan, tetapi merupakan kenyataan lahiriah atau jiwa da­lam penakaran dan penimbangan, dan betul atau tidaknya ke­nyataan lahiriah atau jiwa itu menjadikan baik atau buruknya.

Di tempat lain Allah berfirman:

"Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, maka rujukkanlah sesuatu itu kepada Allah dan Rasul-Nya. ..... Hal itu lebih utama dan lebih baik takwilnya." (QS 4:59)

Yang dimaksud dengan takwil dalam ayat ini adalah kukuhnya persatuan dan tegaknya hubungan-hubungan spiritual dalam masyarakat. Dan hal ini merupakan hakikat lahiriah dan bukan merupakan sesuatu yang berbeda dengan wujud lahiriah dari merujukkan perselisihan.

Demikian pula enam belas ayat lain yang menyebutkan kata takwil, yang kita tidak dapat memandang takwil sebagai sesuatu yang berbeda dengan wujud lahiriahnya, melainkan takwil itu adalah makna lain yang akan kami jelaskan dalam pembahasan yang akan datang.

Catatan Kaki:

1). Karena, menakwilkan ayat dengan mengakui bahwa takwil itu hanya diketahui secara sempurna oleh Allah SW'f, merupakan perbuatan yang kontradiktif. Tetapi, mereka menyebutkan hal itu dengan alasan bahwa takwil itu merupakan kemungkinan yang dikandung oleh ayat.

2.) Mimpi Yusuf a.s. disebutkan dalam ayat ke-4 surat Yusuf: "lrtgadah ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: 'Wahai ayah tercinta, sesungguhnya aku melihat sebelas bin­tang, matahari dan bulan bersujud kepadaku'."

Tafsir mimpi Yusuf disebutkan dalam ayat ke-100 melalui lisan Yusuf ketika ber­temu dengan ayah dan ibunya setelah beberapa tahun berpisah, yaitu: "Dan dia me­naikkan kedua orang tuanya ke atas singgasana, mereka merebahkan diri menghormat kepadanya. Yusuf berkata: 'Wahai ayahku, inilah tafsir mimpiku sebelumnya. Tuhan telah membuat mirnpiku itu menjadi kenyataan'."

Mimpi Raja Mesir disebutkan dalam ayat ke-43: "Raja berkata.' 'Sesungguhnya aku bermimpi rnelihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus-kurus. Dan aku rnelihat tujuh butir gandum yang hijau dan tujuh lainnya yang kering'. "

Tafsir mimpi Raja Mesir ini disebutkan dalam ayat ke-47 - 49 melalui lisan Yusuf, yaitu: "Yusuf berkata: 'Bertanamlah tujuh tahun lamanya sebagaimana biasa, kemudian apa rang kamu tunai hendaklah tetap dibiarkan di bulirnya, kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang karnu simpan untuk menghadapinya, kecuali sedikit bibit gandum yang kamu simpan. Setelah itu akan datang tahun yang pada waktu itu manusia diberi hujan yang cukup dan di masa itu mereka memeras anggur'. "

Dan mimpi kedua teman Yusuf di penjara disebutkan dalam ayat ke-36: 'Bersama dengan dia masuk pula dua orang pemuda ke dalam penjara. Berkatalah salah seorang di antara keduanya: 'Sesungguhnya aku bermimpi memeras anggur.' Dan yang lainnya berkata: 'Sesungguhnya aku bermimpi membawa rori di atas kepalaku, dan sebagian roti itu dimakan burung'."

Tafsir mimpi kedua orang pemuda itu disebutkan dalam ayat ke-41 melalui lisan Yusuf: "Wahai dua orang temanku di penjara, salah seorang di antara kamu berdua akan menyuguhkan minuman tuak kepada tuannya, sedangkan yang lain akan disalib dan sebagian kepalanya akan dimakan burung. Telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya."




Pengertian Takwil yang Hakiki dalam Al-Quran
Kesimpulan dari ayat-ayat yang di dalamnya disebutkan kata takwil - sebagiannya telah dipaparkan di atas - adalah bahwa takwil bukanlah sesuatu yang menjadi maksud kata-kata. Jelas, bahwa dalam mimpi-mimpi dan tafsirnya yang dipaparkan dalam surat Yusuf tidak ada kata-kata yang menggambarkan bahwa mimpi itu merupakan takwil verbal mimpi itu, walaupun bertentangan dengan wujud lahiriahnya. Demikian juga dalam kisah Musa dan Khidhir. Kata-kata kisah itu bukanlah bukti takwil yang dituturkan Khidhir kepada Musa. Dan pada ayat yang dipaparkan di atas:

"Penuhilah takaran jika kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar ..... " (QS 17:35)

dua kalimatnya tidak memberikan bukti verbal tentang situasi ekonomi yang menjelaskan masalah itu. Begitu pula ayat,

"Apabila kamu berselisila tentang sesuatu, maka rujukkanlah sesuatu itu kepada Allah dan Rasul-Nya. . . . " (QS 4:59)

tidak memberikan bukti verbal tentang kesatuan Islam yang ter­sirat di dalamnya. Demikian juga dengan ayat-ayat lain, jika kita menelaahnya secara mendalam dan cermat.

Adapun takwil mimpi, ia merupakan suatu kenyataan lahiriah dalam bentuk tertentu yang dilihat oleh orang-orang yang bermimpi. Dalam Kisah Musa dan Khidhir, takwil yang dijelaskan Khidhir merupakan suatu kenyataan yang menjadi dasar per­buatan-perbuatan yang dilakukannya. Dalam ayat yang menyerukan penakaran dan penimbangan yang benar, takwilnya merupa­kan suatu kenyataan dan suatu kemaslahatan umum yang menjadi dasar perintah itu. Begitu pula dengan ayat tentang perujukan perselisihan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Oleh karena itu, takwil sesuatu merupakan suatu kenyataan yang menjadi landasan sesuatu itu, dan merupakan isyarat dan pemenuhannya. Makna seperti ini terungkap dalam Al-Quran, karena Kitab ini bersumber pada serangkaian kebenaran. Dan masalah spiritual - yang lepas dari hal-hal material dan fisikal - berada di atas indera-indera kita dan di atas hal-hal lahiriah, dan bentuknya jauh lebih luas daripada kata-kata dan kalimat-kalimat yang merupakan produk-produk kehidupan material kita.

Kebenaran-kebenaran dan kenyataan-kenyataan spiritual ini tidak mungkin diungkapkan dengan kata-kata. Satu-satunya hal yang dimungkinkan oleh alam gaib ialah memperingatkan manusia dengan kata-kata ini agar mempersiapkan diri untuk mencapai kebahagiaan melalui keyakinan-keyakinan kongkretnya kepada kebenaran dan amal-amal saleh. Tidak adajalan lain bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan kecuali dengan hal-hal ini. Hanya pada Hari Kebangkitan dan ketika bertemu Allah, akan tampak jelas baginya kebenaran-kebenaran ini sebagaimana digambarkan oleh dua ayat dari surat al-A'raf (6) dan S'unus (10) di atas. Me­ngenai hal ini Allah berfirman:

"Demi kitab yang menjelaskan. Sesungguhnya Kami telah membuatnya menjadi Al-Quran yang berbahasa Arab agar kamu sekalian memahami. Al-Quran itu berada di dalam induk al-Kitab (Lauh Mahfudh) di sisi Kami, mempunyai nilai yang tinggi dan banyak mengandung hikmah." (QS 43:2-4)

Kata 'tinggi' berarti bahwa ia tidak bisa dimengerti oleh akal orang awam. Sedangkan 'banyak mengandung hikmah' berarti bahwa ia sedemikian kukuh.

Kesesuaian akhir ayat ini dengan takwilnya dalam arti yang telah kami sebutkan tadi sudah jelas, dan tidak perlu diragukan, terutama karena Allah berfirman "agar kamu sekalian memahami ", dan Dia tidak mengatakan "agar kamu sekalian memahaminya". Sebab, pengetahuan tentang takwil itu hanya milik Allah, sebagai­mana disebutkan dalam ayat tentang ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, yakni "dan tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah". Oleh karena itu, ketika bermaksud memberi pe­ringatan kepada orang-orang yang menyimpang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabih, ayat itu mengatakan bahwa mereka mencari-cari fitnah dan takwil, dan tidak mengatakan bahwa mereka menemukan takwil. Karena itu, takwil merupakan kebenaran atau kebenaran-kebenaran yang ada di Lauh Mahfudh (Ummul Kitab), yang hanya diketahui oleh Allah, dan hanya ada di alam gaib.

Dalam ayat-ayat yang lain Allah berfirman:

"Maka Aku bersumpah dengan kedudukan bintang-bintang. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar jika kamu mengetahui. Sesungguhnya ia merupakan Al-Quran yang amat mulia, di dalam kitab yang terpelihara (Lauh Mahfudh). Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturun­kan dari Tuhan semesta alam. " (QS 56:75-80)

Dari ayat-ayat itu tampak dengan jelas bahwa Al-Quran mem­punyai dua maqam (peringkat): yakni sebuah Kitab yang disimpan dan dipelihara dari sentuhan (yakni, hanya para suci yang dapat menyentuhnya), dan tanzil (pewahyuan) yang dapat dipahami oleh semua orang.

Manfaat lain yang dapat kami ambil dari ayat-ayat ini, dan tidak kami temui dalam ayat-ayat terdahulu, adalah pengecualian, yaitu "kecuali orang-orang yang disucikan". Firman ini menunjukkan bahwa ada sebagian orang yang dapat menjangkau kebenaran (esensi) AI-Quran dan takwilnya. Hal ini tidak bertentangan dengan penafian yang terdapat dalam firman 'padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah ", sebab pemaduan antara kedua ayat ini akan menghasilkan kemandirian dan ketergantungan. Artinya, dari kedua ayat itu diketahui kemandirian ilmu Allah tentang esensi-esensi ini, dan tak ada seorang pun yang mengetahuinya kecuali dengan izin dan pengajaran dari-Nya.

Mengetahui takwil - menurut penjelasan kami di atas - adalah seperti mengetahui hal gaib, yang dalam banyak ayat dikhususkan untuk Allah saja, dan dalam satu ayat hamba-hamba yang diridhai-Nya diberi karunia khusus untuk dapat mengetahui hal gaib itu. Ayat itu adalah firman Allah:

"Yang mengetahui hal gaib, dan Dia tidak memperlihatkannya kepada seorangpun, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya. . . . " (QS 72:26-27)

Dari semua pernbicaraan tentang mengetahui yang gaib, kami dapat mengambil kesimpulan bahwa secara mandiri pengetahuan itu hanya dimiliki Allah, dan tak ada seorangpun yang mengetahuinya kecuali dengan izin-Nya. Memang, orang-orang yang disucikan adalah mereka yang menyentuh kebenaran dan mencapai kedalaman pengetahuan-pengetahuan Qurani, sebagaimana dipaparkan oleh ayat-ayat yang telah kami sebutkan di atas. Jika kita memadukan ayat-ayat ini dengan ayat:

"Sesungguhnya Allah bermaksud membersihkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersih­nya. " (QS 33:33)

yang, menurut hadis-hadis mutawatir, diturunkan berkenaan de­ngan hak Ahlul Bait, maka kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad s.a.w. dan Ahlul Bait beliau a.s. adalah orang-orang yang di­sucikan dan mengetahui takwil Al-Quran.



Al-Quran dan Nasikh-Mansukh
Ada sejumlah ayat hukum di dalam Al-Quran yang turun menggantikan kedudukan ayat-ayat hukum yang telah diturunkan sebelumnya, dan mengakhiri berlakunya ketentuan dan hukum dari ayat-ayat yang diturunkan sebelumnya. Ayat-ayat yang diturunkan terdahulu disebut mansukh, sedangkan ayat-ayat yang diturunkan kemudian dinamakan nasikh. Sebagai contoh, pada permulaan kerasulan Muhammad s.a.w., kaum muslimin dipe­rintahkan untuk bersikap ramah kepada Ahlul Kitab, sebagaimana firman Allah:

"Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya." (QS 2:109)

Kemudian ketentuan ini dicabut, dan kaum Muslimin diperintahkan untuk memerangi mereka, sebagaimana firman-Nya SWT:

"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, yang tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, dan yang tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu di antara orang yang al-Kitab diberikan kepada mereka." (QS 9:29)

Alasan Nasakh (penghapusan) yang kita terima adalah suatu hukum dikeluarkan untuk suatu kemaslahatan dan untuk dilaksanakan, sampai manusia menyadari kesalahannya, dan kemudian satu hukum lain diberikan, menggantikan hukum sebelumnya. Nasakh seperti ini bukanlah jenis Nasakh yang dengannya kekeliruan bisa dinisbatkan kepada Allah Yang Mahasuci dari kebodohan dan kesalahan. Nasakh yang demikian ini juga tidak terdapat dalam ayat-ayat AI-Quran, sebab ayat-ayat tersebut tidak mengandung pertentangan antara satu dengan lainnya. Tetapi arti Nasakh dalam Al-Quran ialah berakhimya waktu berlakunya hukum yang di-Nasakh (dihapus). Artinya bahwa hukum yang pertama memiliki suatu kemaslahatan dan pengaruh sementara dan terbatas. Sedangkan ayat yang me-Nasakh (menghapus) memaklumkan berakhirnya masa kemaslahatan dan pengaruh tersebut. Mengingat Al-Quran diturunkan secara bertahap dalam berbagai situasi selama dua puluh tiga tahun, maka jelaslah bahwa ia (Al-Quran) mengandung hukum-hukum seperti itu.

Sesungguhnya menetapkan hukum yang sementara pada saat belum ada tuntutan-tuntutan untuk menetapkan hukum yang abadi - kemudian menetapkan hukum yang abadi dan mengganti hukum yang sementara dengan hukum yang abadi itu - merupakan sesuatu yang bisa diterima dan tidak mengandung kemusykil­an. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah:

"Apabila Kami meletakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahua apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: 'Sesungguhnya kamu ada­lah orang yang mengada-adakan saja. ' Bahkan kebanyakan mereka tidak mengetahui. Katakanlah: 'Jibril menurunkan Al-Quran itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan orang-orang yang beriman, dan sebagai petunjuk serta kabar gembira bagi orang­orang yang berserah diri kepada Allah'. " (QS 16:101-102)

5
MENGUNGKAP RAHASIA AL QUR'AN

sambungan BAB II...

Masa Berlaku Hukum-Hukum Al-Quran
Al-Quran adalah sebuah kitab abadi untuk semua masa. Hukum-hukumnya berlaku untuk semua manusia. karena itu, berlaku baik bagi orang yang hadir pada waktu ia turun maupun yang tidak. Ia sesuai untuk masa yang lalu dan akan datang, se­bagaimana ia sesuai untuk masa sekarang. Sebagai contoh, ayat­ayat yang menetapkan suatu hukum bagi kaum Muslimin pada. saat turunnya ayat-ayat itu dengan keadaan-keadaan tertentu, juga berlaku bagi kaum Muslimin dengan keadaan-keadaan yang sama pada masa sesudah turunnya ayat-ayat itu; dan ayat-ayat yang memuji dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang mempunyai sifat-sifat terpuji, atau mencela dan mengan­cam orang-orang yang mempunyai sifat-sifat tercela, berlaku baik bagi orang-orang di masa turunnya ayat-ayat itu maupun orang­orang bukan di masa turunnya ayat-ayat itu.

Dengan demikian, sebab turunnya ayat tidak menjadikan ayat itu berlaku hanya bagi hal yang menyebabkan ayat itu turun. Artinya, bila suatu ayat diturunkan berkenaan dengan seseorang atau beberapa orang tertentu, maka ayat itu tidaklah terbatas untuk seseorang atau beberapa orang itu, melainkan ayat itu ber­laku bagi semua orang yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan mereka yang menjadi sebab turunnya ayat itu. Inilah yang dalam bahasa hadis disebut sebagai al-jary.

Imam al-Baqir, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari­nya, berkata kepada Fudhail bin Yasar, ketika Fudhail bertanya kepadanya tentang hadis berikut:

"Tidak ada satu ayat pun dalam Al-Quran yang tidak memiliki zhahr dan bathin. Dan tak ada satu huruf pun dalam ayat itu, kecuali ia mempunyai had dan setiap had mempunyai mutthala'. " "Apakah yang dimaksudkan dengan lahir dan batin?" Al­Baqir menjawab: "Zhahr Al-Quran adalah tanzil-nya, dan bathn Al-Quran adalah takwilnya. Di dalam Al-Quran ada yang telah terjadi, dan ada pula yang belum terjadi. Ia berjalan sebagai matahari dan bulan. Setiap ada sesuatu yang datang darinya, sesuatu itu pasti akan terjadi."1)

Dalam beberapa hadis, bathn Al-Quran - yakni kesesuaiannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi secara terpisah-pisah - dianggap sebagai al-jary.2)




Kelahiran dan Perkembangan Tafsir AI-Quran
Penafsiran terhadap Al-Quran dan penjelasan tentang makna­makna serta ungkapan-ungkapannya telah dimulai sejak masa Rasulullah s.a.w. Beliau adalah guru pertama yang mengajarkan Al-Quran, menjelaskan maksudnya, dan menguraikan ungkapan­ungkapannya yang sulit. Allah berfirman:

"Kami telah menurunkan Al-Quran kepadamu agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. " (QS 16:44)

"Dialah yang telah mengutus di kalangan orang-orang yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka serta mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka. " (QS 62:2)

Pada masa Nabi, sekelompok sahabat, atas perintahnya, mem­baca Al-Quran, menghapalkan dan mendaiaminya. Mereka inilah yang dinamakan al-qurra'. Sesudah Nabi dan sahabat-sahabatnya wafat, kaum Muslimin terus menerus menafsirkan Al-Quran, sampai sekarang.

Catatan Kaki:

1). Tafsir al-Iyasyi, I, h. 10.

2). Ibid, h. 11.




Ilmu Tafsir dan Kelompok Mufasir
Sesudah Rasulullah wafat, sekelompok sahabat menekuni penafsiran Al-Quran. Mereka adalah Ubay bin Ka'b, Abdullah bin Mas'ud, Jabir bin Abdullah al-Anshari, Abu Sa'id al-Khudri, Ab­dullah bin Zubair, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Musa al-Asy'ari, dan yang paling terkenal adalah Abdullah bin Abbas. Dalam menafsirkan Al-Quran, mereka meng­gunakan metode mengutip apa yang mereka dengar dari Rasulullah s.a.w. tentang makna ayat-ayat, yaitu dalam bentuk hadis-hadis yang ber-sanad.14) Hadis-hadis ini berjumlah lebih dari dua ratus empat puluh buah. Banyak di antaranya ber-sanad *) lemah dan matan-matan (teks-teks hadis)-nya tidak bisa dipercaya.

Kadangkala mereka menafsirkan ayat-ayat tanpa menisbat­kannya kepada Rasulullah s.a.w. Kemudian para mufasir dari kalangan Ahlus Sunnah memandang penafsiran ini sebagai bagian dari hadis Nabi, dengan alasan bahwa para sahabat menerima pengetahuan 'tentang Al-Quran dari Rasulullah, dal: tidak mungkin mereka memberikan penafsiran mereka sendiri. Tidak ada bukti kuat yang menopang pandangan mereka ini. Dan sejutnlah besar hadis tersebut berbicara tentang sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Quran dan latar belakang sejarahnya. Lagi pula, di antara hadis­hadis itu ada yang tidak memiliki sanad yang sampai kepada Nabi, dan diriwayatkan dari beberapa ulama Yahudi yang memeluk Islam, seperti Ka'b al-Ahbar dan lainnya.

Ibnu Abbas, dalam memahami makna ayat-ayat AI-Quran, sering bertumpu pada bait-bait syair. Hal ini terlihat dengan jelas dalam menjawab masalah-masalah yang dikemukakan oleh Nafi' bin al-Azraq. Ibnu Abbas menggunakan syair sebagai dalil dalam menjawab lebih dari dua ratus masalah. Dan As-Suyuthi, dalam bukunya, al-Itqan,15) mengutip seratus sembilan puluh jawaban Ibnu Abbas. Oleh karena itu, hadis-hadis yang diriwayatkan dari para sahabat tidak dapat dipandang sebagai hadis-hadis Nabi. Begitu pula, tidak dapat dikatakan bahwa mereka sepenuhnya tidak menafsirkan Al-Quran dengan berdasarkan pendapat pribadi mereka sendiri.

Para mufasir tersebut memandang para sahabat ini sebagai kelompok-pertama mufasir. Kelompok kedua adalah dari generasi tabi'in. Mereka adalah murid-murid para sahabat seperti Mujahid, Sa'id bin Jubair, Ikrimah dan ad-Dhahak, Hasan al-Basri, Atha' bin Abi Rabah, Atha' bin Abi Muslim, Abul Aliyah, Muhammad bin Ka'b al-Kuradhi, Qatadah, 'Athiyah, Zaid bin Aslam dan Thawus al-Yamani.16)

Kelompok ketiga adalah para murid mufasir kelompok kedua, seperti Rabi' bin Anas, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, Abu Shalih al-Kilbi dan lain-lain.17)

Metode tabi'in dalam menafsirkan Al-Quran adalah menafsirkan ayat-ayat kadang-kadang dalam bentuk hadis dari Rasulullah s.a.w. atau para sahabatnya, dan kadang-kadang menerangkan arti ayat tanpa merujuk kepada siapa pun. Sikap para mufasir mutaakhir terhadap pandangan-pandangan mufasir tabi'in ini sama dengan sikap mereka terhadap hadis-hadis Nabi, dan memandang pandangan-pandangan ini sebagai hadits mauquf. 18) Dua kelompok terakhir ini disebut qudama-ul mufassirin.

Kelompok keempat adalah orang-orang yang pertama kali menulis buku tentang ilmu tafsir, seperti Sufyan bin 'Uyainah, Waki' bin al Jarah, Syu'bah bin Haijaj, Abd bin Hamid dan Ibnu Jarir ath-Thabari, pengarang buku tafsir yang termasyhur.19) Metode mufasir kelompok ini adalah meriwayatkan pendapat-pendapat para sahabat dan tabi'in tanpa mengemukakan pendapat mereka sendiri. Hanya saja Ibnu Jarir, dalam buku tafsirnya, kadang-kadang lebih berpegang pada pandangan-pandangan ter­tentu.

Kelompok kelima adalah para mufasir yang menghimpun hadis-hadis dengan membuang sanad-sanad-nya. As-Suyuthi me­ngatakan: "Dari sini terjadilah perbauran berbagai penafsiran; penafsiran yang benar berbaur dengan penafsiran yang salah.20) ' Orang-orang yang mengkaji hadis-hadis ber- sanad akan menemu­kan banyak pemalsuan dan penyusupan, pendapat-pendapat yang saling bertentangan yang dinisbatkan kepada sahabat dan tabi'in, kisah-kisah dan cerita-cerita yang dapat dipastikan ketidakbenarannya dan hadis-hadis tentang sebab-sebab turunnya ayat, nasikh­ - mansukh yang tidak sesuai dengan konteks ayat. Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad bin Hambal (yang hidup sebelum munculnya kelompok ini) berkata: "Ada tiga macam hadis yang tidak mempunyai dasar, yaitu hadis-hadis tentang keperwiraan, pe­perangan besar dan tafsir." Imam asy-Syafi'i dikutip sebagai me­nyatakan bahwa di antara hadis-hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, hanya ada seratus hadis yang pasti kebenarannya.

Kelompok keenam adalah para mufasir yang muncul sesudah berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan dan kematangan mereka dalam Islam. Para mufasir ini melakukan penafsiran menurut spesialisasinya dan tentang ilmu yang dikuasainya. Yang ahli nahwu (gramatika bahasa Arab) melakukan penafsiran dari sudut pandang nahwu, seperti az-Zajaj, al-Wahidi dan Abu Ha­yan;21) yang ahli sastra melakukannya dari sudut pandang sastra, seperti az-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf;22) yang ahli teologi mela­kukannya dari sudut pandang teologi, seperti al-Fahrur Razi dalam buku tafsirnya al-Kabir;23) yang sufi melakukannya dari sudut pandang sufi, seperti Ibnu Arabi dan Abdurrazaq al-Kasyani dalam buku tafsir mereka;24) yang ahli cerita memenuhi buku tafsirnya dengan cerita-cerita, seperti as-Tsa'labi dalam buku tafsirnya;25) yang ahli fikih melakukannya dari sudut pandang fikih, seperti al-Qurthubi dalam buku tafsirnya;26) dan sekelompok mufasir mengemukakan berbagai ilmu pengetahuan dalam buku tafsir mereka, seperti yang kita lihat dalam buku tafsir Ruhul Ma'ani,27) Ruhul Bayan,28) dan Tafsir an-Naisaburi.29)

Jasa kelompok ini kepada ilmu tafsir adalah mengeluarkan ilmu ini dari kemandegan (stagnasi) dan memasukkannya ke dalam pengkajian dan pembahasan. Akan tetapi, obyektivitas menuntut kita untuk menyatakan bahwa dalam banyak pembahasan mereka, pandangan-pandangan ilmiah dipaksa-paksakan terhadap Al-Quran, dan pembahasan-pembahasan itu tidak dilakukan melalui konteks ayat-ayat itu sendiri.



Metode dan Kelompok Mufasir Syi'ah
Kelompok-kelompok yang telah kami sebutkan di atas adalah kelompok para mufasir Ahlus Sunnah. Telah kita ketahui bahwa mereka memiliki metode tertentu dalam menafsirkan Al-Quran. Mereka memakai metode ini sejak masa pertumbuhannya. Metode mereka itu ialah membandingkan hadis-hadis Nabi dengan pen­dapat-pendapat para sahabat dan tabi'in. Mereka melarang peng­gunaan nalar terhadap hadis-hadis, karena penggunaan nalar seperti itu dianggap sebagai ber-ijtihad terhadap nash. Tetapi setelah ter­jadi pertentangan, penyusupan dan pemalsuan dalam hadis-hadis, kelompok keenam mulai menggunakan pendapat-pendapat mereka sendiri tentang hadis-hadis itu.

Adapun metode Syi'ah dalam menafsirkan Al-Quran berbeda dengan metode Ahlus Sunnah. Oleh karena itu, pembagian ke­lompok-kelompok mereka berbeda dengan kelompok-kelompok yang telah disebutkan di atas. Berdasarkan nash Al-Quran, Syi'ah berpendapat bahwa sabda Nabi Muhammad s.a.w., sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Quran, merupakan dasar yang tepat dalam menafsirkan Al-Quran. Syi'ah juga berpendapat bahwa para sahabat dan tabi'in adalah seperti kaum Muslimin lainnya. Pen­dapat mereka tidak dapat dijadikan hujah, kecuali jika berdasarkan hadis Nabi. Dalam hadits tsaqalain, dengan sanad mutawatir, disebutkan bahwa sabda Ahlul Bait Nabi yang suci mengiringi sabda beliau, sehingga sabda mereka juga metupakan hujah. Oleh karena itu, dalam menafsirkan Al-Quran, Syi'ah menerima apa yang diriwayatkan dari Rasulullah dan Ahlul Baitnya, sehingga kelompok mufasir Syi'ah adalah sebagai berikut:

Kelompok pertama adalah orang-orang yang mengemukakan tafsir dari Rasulullah dan para Imam Ahlul Bait, dan mereka me­masukkan hadis-hadis itu dalam berbagai karangan mereka, seperti Zurarah, Muhammad bin Muslim, Ma'ruf, Jarir dan lain-lain.30) Kelompok kedua adalah orang-orang yang pertama kali me­nulis buku tafsir, seperti Furat bin Ibrahim al-Kufi, Abu Hamzah as-Tsali, al-'Iyasyi, Ali bin Ibrahim al-Qummi dan an-Nu'mani.31)

Dalam menafsirkan Al-Quran, mereka menggunakan metode yang digunakan oleh kelompok-keempat mufasir Ahlus Sunnah. Mereka mengemukakan hadis-hadis yang diriwayatkan dari kelom­pok pertama, dan memasukkannya ke dalam karangan-karangan mereka dengan menyebutkan sanad -nya, dan mereka tidak menge­mukakan pendapat mereka sendiri tentang masalah yang sedang dibahas. Jelas, waktu yang dibutuhkan untuk menerima riwayat­riwayat dari para Imam adalah lama, sampai kurang lebih tiga ratus tahun, sehingga wajar bila urut-urutan waktu dua kelompok ini tidak dapat ditentukan secara tepat, bahkan kedua kelompok itu saling berbaur dan sulit dipisahkan. Mufasir-mufasir pertama Syi'ah sedikit sekali mengutip hadis-hadis yang berbentuk riwayat yang tidak disebutkan sanad-nya (mursal) dalam buku-buku tafsir mereka. Contoh untuk pengutipan hadis-hadis yang diriwayatkan tanpa sanad adalah Tafsir al-'lyasyi yang, oleh sebagian muridnya, sanad-sanad-nya dibuang demi keringkasan. Kemudian naskah ringkasan itu menjadi terkenal dan menggantikan naskah aslinya. Kelompok ketiga adalah orang-orang yang memiliki berbagai macam ilmu pengetahuan, seperti asy-Syarif Radhi dengan buku tafsirnya yang bercorak sastra; Syaikh ath-Thusi dengan buku taf­sirnya yang bercorak teologi, yang dinamakannya at-Tibyan; Maula Shadrudin asy-Syirazi dengan buku tafsirnya yang bercorak filsafat; al-Maibadi al-Kunabadi dengan buku tafsirnya yang bercorak tasawuf; dan Syaikh Abdul Ali al-Huwaizi, Sayyid Hasyim al­ Bahrani serta al-Faidhul Kasyani dengan buku-buku tafsir mereka: Nuruts Tsaqalain, al-Burhan dan ash-Shafi.32)

Ada juga sekelompok ulama yang mengumpulkan berbagai macam ilmu pengetahuan dalam buku tafsir mereka, antara lain adalah Syaikh ath-Thabarsi dengan buku tafsirnya Majma'ul Bayan. Di dalam buku ini dibahas ilmu-ilmu bahasa, nahwu, qira-ah, teologi, hadis dan lain-lain.33)



Bagaimana Menafsirkan Al-Quran?
Jawaban untuk pertanyaan ini akan menjadi jelas bila kita merujuk kepada pembahasan-pembahasan sebelumnya. Al-Quran - seperti telah kami paparkan di atas - adalah sebuah kitab universal dan abadi untuk semua orang, berbicara kepada mereka dan menunjukkan tujuan-tujuan mereka. Dalam banyak ayatnya, Al-Quran menantang agar didatangkan perkataan yang menyamainya. Dengan demikian ia mengalahkan pemyataan manusia, dan menempatkan dirinya sebagai cahaya yang memperjelas segala sesuatu, sehingga kitab ini tidak perlu dijelaskan dengan yang lain. Untuk membuktikan bahwa ia bukan perkataan manusia, Al­Quran berkata:

"Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran? Seandainya ia itu dari sisi selain Allah, tentu mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya." (QS 4:82)

Dalam Al-Quran tidak ada satu pertentangan pun. Andaikata secara selintas tampak ada pertentangan, maka pertentangan itu akan sirna dengan merenungkan Al-Quran itu sendiri. Seandainya dalam menjelaskan maksud-maksud kitab ini dibutuhkan sesuatu yang lain, maka kedudukannya sebagai hujah tidak akan sempurna. Karena andaikata seorang kafir menemukan suatu pertentang­an dalam Al-Quran yang tidak dapat dihilangkan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain Al-Quran itu sendiri, maka ia tidak akan dapat menerima dihilangkannya pertentangan itu melalui jalan lain, dengan menggunakan hadis, umpamanya. Hal itu dikarenakan orang kafir tidak mempercayai kebenaran Nabi dan tidak mem­percayai kenabian serta kesuciannya, sehingga ia akan menolak pernyataan Nabi. Dengan kata lain, akan sia-sia bila Nabi men­jelaskan untuk menghilangkan pertentangan-pertentangan dalam AI-Quran tanpa menggunakan bukti verbal dari Al-Quran itu sen­diri kepada orang yang tidak mempercayai kenabian dan kesuci­annya. Dan ayat di atas memang ditujukan kepada orang-orang kafir yang tidak beriman kepada Nabi Muhammad s.a.w. Mereka tidak mau menerima sabda-sabda beliau jika tidak ada bukti kuat dari Al-Quran sendiri. Kita pun mengetahui bahwa Al-Quran sen­diri mengabsahkan sabda dan penafsiran Nabi. Begitu pula, Nabi mengabsahkan sabda dan penafsiran Ahlul Baitnya.

Dari dua pernyataan ini dapat kami simpulkan bahwa di dalam AI-Quran ada sebagian ayat yang dapat dijelaskan dengan ayat­ayat yang lain, dan kedudukan Rasulullah serta keluarga beliau berkenaan dengan Al-Quran adalah sebagai guru dan pembimbing suci yang tidak akan ada kekeliruan atau kesalahan dalam ajaran­ajaran dan petunjuk-petunjuk mereka. Oleh karena itu, penafsiran mereka adalah sesuai dengan penafsiran yang dibuat dari memadu­kan ayat-ayat Al-Quran itu sendiri.


Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kita peroleh dalam pembahasan yang lalu adalah bahwa penafsiran yang realistis terhadap Al-Quran merupakan penafsiran yang bersumber dari perenungan terhadap ayat-ayat Al-Quran dan pemaduan sebagiannya dengan sebagian yang lain. Lebih jelasnya, dalam menafsirkan Al-Quran, kita dapat menempuh salah satu dari tiga jalan berikut:

1.Menafsirkan suatu ayat dengan bantuan data ilmiah atau non­ilmiah yang kita miliki.

2.Menafsirkan suatu ayat dengan bantuan hadis-hadis yang diriwayatkan dari Imam-imam suci.

3.Menafsirkan suatu ayat dengan jalan merenungkan dan meng­kaji ayat itu dan ayat lain yang berkaitan, dan dengan bantuan hadis-hadis.

Jalan ketiga adalah kesimpulan pada akhir pembahasan yang lalu. Jalan ini diisyaratkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Nabi dan Ahlul-Bait beliau. Nabi bersabda:

"Sesungguhnya sebagian ayat membenarkan sebagian yang lain. "

Ali berkata:

"Al-Quran, sebagiannya menjelaskan sebagian yang lain, dan sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. "

Dari paparan di atas jelaslah bahwa jalan ini bukanlah jalan yang dilarang dalam sebuah hadis Nabi yang terkenal:

"Barangsiapa menafsirkan Al-Quran berdasarkan pendapat pribadinya, maka dia telah mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka. "

karena jalan tersebut berupa menafsirkan Al-Quran dengan Al­Quran, tidak dengan pendapat pribadi.

Jalan pertama tidak boleh diikuti. Sebab, pada hakikatnya ia merupakan penafsiran dengan menggunakan pendapat pribadi. Adapun jalan kedua adalah jalan yang digunakan oleh para ulama tafsir pada periode awal, dan telah dipraktekkan selama beberapa abad. Jalan itu adalah jalan yang dipraktekkan sampai sekarang oleh para penulis hadis dari kalangan Syi'ah dan Ahlus Sunnah. Jalan ini terbatas dan tidak dapat memenuhi ketidakterbatasan kebutuhan, karena lebih dari enam ribu ayat dalam Al-Quran menghadapi beratus-ratus ribu pertanyaan ilmiah ataupun non­ilmiah. Dari manakah kita menemukan jawaban untuk pertanyaan­pertanyaan ini, dan bagaimana menghindarinya? Apakah kita akan mencarinya dalam riwayat-riwayat dan hadis-hadis? Dalam hal ini, jumlah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh kalangan Ahlus Sunnah kurang dari dua ratus lima puluh hadis. Dan banyak dari hadis­hadis ini lemah sanad-nya dan sebagiannya tertolak (munkar). Dan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh kalangan Syi'ah mencapai beberapa ribu hadis. Di antaranya ada sejumlah besar hadis yang andal (shahih). Meskipun demikian, hadis-hadis sebanyak itu tidak mencukupi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak terbatas tentang ayat-ayat Al-Quran.

Di samping itu, ada ayat-ayat yang tidak ada satu hadis pun yang menjelaskan ayat-ayat itu, baik yang diriwayatkan oleh kalangan Ahlus Sunnah maupun Syi'ah. Bagaimana tindakan kita terhadap ayat-ayat tersebut? Menghadapi masalah ini, kita bisa merujuk kepada ayat-ayat Al-Quran yang sesuai dengan ayat yang ingin kita tafsirkan. Hal ini tidak dilarang. Mungkin kita menolak untuk membahas ayat itu dan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan ilmiah yang menuntut kita untuk melakukan pembahasan. Jika demikian, apakah yang akan kita perbuat dengan ayat-ayat berikut yang menganjurkan pengkajian, perenungan dan pembahasan?

"Kami telah menurunkan Al-Quran kepadamu untuk menjelas­kan segala sesuatu." (QS 16:89)

"Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran?" (QS 4:82)

"Sebuah kitab yang penuh berkah yang telah Kami turunkan kepadamu agar mereka merenungkan ayat-ayatnya, dan orang­orang yang berakal menjadi sadar." (QS 38:39)

"Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran, ataukah telah datang kepada mereka sesuatu yang tidak datang kepada nenek moyang mereka?" (QS 23:68)

Dalam beberapa hadis sahih yang diriwayatkan dari Nabi dan para Imam Ahlul Bait, kita dianjurkan untuk kembali kepada Al­-Quran ketika menghadapi masalah.34) Apakah yang harus kita per­buat dengan hadis-hadis ini?

Hadis-hadis Nabi, pada umumnya, dan khususnya hadis-hadis mutawatir Nabi dan para Imam Ahlul Bait, telah menetapkan suatu kewajiban untuk merujukkan hadis-hadis kepada Al-Quran.35)Yang sesuai dengan AI-Quran, dapat diikuti dan yang tidak sesuai, dibuang. Kandungan hadis-hadis ini dipandang benar jika maksud dan pengertian (tafsir) ayat itu jelas. Apabila untuk mengetahui pengertian suatu ayat, kita harus merujuk kepada hadis, maka tidak ada ruang lagi untuk merujukkan hadis kepada Al-Quran. Hadis-hadis yang telah kami paparkan ini merupakan bukti paling kuat bahwa ayat-ayat Al-Quran itu seperti kata-kata berarti yang digunakan dalam pembicaraan. Ayat-ayat itu sendiri sudah me­rupakan hujah jelas yang tidak memerlukan hadis-hadis untuk menerangkannya.

Dari beberapa pembahasan yang lalu telah menjadi jelas bahwa kewajiban seorang mufasir adalah memperhatikan hadis-hadis Nabi dan para Imam Ahlul Bait dalam menafsirkan Al-Quran, dan mengetahui metode mereka. Kemudian menafsirkan Al-Quran dengan metode Al-Quran dan Sunnah, mengambil hadis-hadis yang sesuai dengan Al-Quran, dan membuang yang tidak sesuai.

Catatan Kaki:

*). Sanad adalah rangkaian orang yang meriwayatkan hadis.


14). Al-Itqan, As-Suyuthi, (Kairo, 1370 H), halaman terakhir.

15). Ibid, h. 120-133.

16). Mujahid adalah seorang mufasir terkenal. Meninggal pada 100 (103) H (An-Nawawi, Tahzibul Asma'). Sa'id bin Jubair adalah seorang mufasir yang cukup terkenal dan murid Ibnu Abbas. Dibunuh oleh Hajaj as-Tsaqafi pada 94 H (Ibid). Ikrimah adalah seorang budak yang dimerdekakan oleh Ibnu Abbas dan menjadi muridnya, dan murid Sa'id bin Jubair. Meninggal pada 10 H (Ibid). Ad-Dhahak adalah seorang murid Ikrimah (Lisanul Mizan). Hasan al-Basri adalah seorang sufi dan mufasir yang terkenal. Meninggal pada 110 H (Tahzibul Asma'). 'Atha' bin Abi Rabah, seorang ahli hukum Islam dan mufasir yang terkenal. Murid Ibnu Abbas. Meninggal pada 115 H (Ibid). 'Atha' bin Abi Muslim, adalah salah seorang ulama terbesar dari generasi tabi'in. Murid Ibnu Jubair dan Ikrimah. Meninggal pada 133 H (Ibid). Abul 'Aliyah adalah salah seorang tokoh tafsir dan ulama terbesar dari generasi tabi'in. Hidup pada abad pertama Hijrah. Muhammad bin Ka'b al-Kuradhi adalah seorang mufasir yang cukup terkenal. Berasal dari keluarga Yahudi Bani Kuraidhah. Hidup pada abad pertama Hijrah. Qatadah adalah seorang buta. Salah seorang mufasir terbesar. Murid Hasan al-Basri dan lkrimah. Meninggal pada 117 H. (Tahzibul Asma'). 'Athiyah meriwayatkan tafsir dari Ibnu Abbas. (Lisanul Mizan). Zaid bin .4slam adalah seorang budak yang dimerdekakan oleh Umar bin Khatthab. Seorang ahli hukum Islam dan mufasir. Meninggal pada 136 H (Tahzibul Asma'). Thawus al­Yamani termasuk ulama yang tinggi ilmunya pada masanya. Seorang murid Ibnu Abbas. Meninggal pada l06 H (lbid).

17). Abdurrahman adalah seorang ulama ahli tafsir. Sedang Abu Shalih al-Kilbi adalah seorang ahh nasab dan mufasir. Ia termasuk ulama paling alim pada abad kedua Hijrah.

18). Hadits mauquf adalah hadis yang sumber periwayatannya tidak disebutkan.

19). Sufyan bin 'Uyainah berasal dari Makkah. Termasuk generasi kedua tabi'in dan ulama tafsir. Meninggal pada 198 H (Tahzibul Asma'). Waki' bin al-Jarah berasal dari Kufah. Termasuk generasi kedua tabi'in dan ulama tafsir terkenal. Meninggal pada 197 H (Ibid). Syu'bah bin Hajjaj dari Basrah. Termasuk generasi kedua tabi'in dan mufasir ter­kenal. Meninggal pada 160 H (Ibid). Abd bin Hamid, pengarang buku tafsir. Termasuk generasi kedua tabi'in. Hidup pada abad kedua Hijrah. Muhammad bin Jarir bin Yazid ath-Thabari, seorang ulama Ahlus Sunnah yang terkenal. Meninggal pada 310 H (Lisanul Mizan ).

20). As-Suyuthi, Al-Itqan, II, h. 190.

21). Az-Zajaj adalah seorang ahli nahwu. Meninggal pada 310 H (Raihanatul Adab). Al­Wahidi, seorang ahli nahwu dan mufasir. Meninggal pada 468 H (Ibid). Abu Hayan al­Andalusi, seorang ahli nahwu, mufasir dan ahli qira-ah. Meninggal di Mesir pada 745 H (Ibid).

22). Az-Zamakhsyari adalah seorang ahli sastra yang terkenal. Pengarang buku al-Kasyaf. Meninggal pada 538 H (Kasyfudh Dhunun)

23). Imam Fahrudin ar-Razi, adalah seorang teolog dan mufasir yang terkenal. Pengarartg buku tafsir Mafatihul Ghaib. Meninggal pada 606 H (Ibid)

24). Abdurrazaq al-Kasyani, adalah seorang sufi yang terkenal pada abad kedelapan Hijrah (Raihanatul Adab).

25). Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim as-Tsa'labi adalah seorang penulis kitab tafsir yang terkenal. Wafat pada 426 (427?) H (Ibid).

26). Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar al-Qurthubi meninggal pada 668 H (Ibid).

27). Karya Syihabudin al-Alusi dari Baghdad, meninggal pada 1270 H (Ibid).

28). Karya Syaikh Ismail Haqi, meninggal pada 1137 H (Dzail Kasyfudh Dhunun).

29). Gharaibul Quran, karya Nidhamudin Hasan al-Qummi an-Naisaburi. Ia meninggal pada 728 H (Ibid).


30). Zurarah bin A'yun bin Muslim, seorang ahli flkih Syi'ah, murid-pilihan Imam al­Baqir dan ash-Shadiq a.s. Ma'ruf bin Khurbuz dan Jarir termasuk murid-murid pilihan Imam as-Shadiq a.s.

31). Furat bin Ibrahim dari Kufah, pengarang buku tafsir yang terkenal dan gutu Ali bin Ibrahim al-Qummi (Raihanatul Adab). Abu Hamzah as-Tsali, ahli fikih Syi'ah dan murid-pilihan Imam as-Sajjad dan al-Baqir a.s. Muhammad bin Mas'ud al-Kufi as-Samar­kandi al-Iyasyi, ulama Syi'ah Imamiah yang terkemuka dalam paruh kedua abad ketiga Hijrah (Ibid). Ali bin Ibrahim al-Qumnu, seorang guru hadis mazhab Syi'ah. Hidup pada akhir abad ketiga dan awal abad keempat Hijrah. Muhammad bin Ibrahim an-Nu'mani, ulama terkemuka Syi'ah Imamiah. Murid Tsiqatul Islam al-Kulaini. Hidup pada awal abad keempat Hijrah.

32). Asy-Syarif ar-Ridha Muhammad bin Husain al-Musawi adalah seorang ahli hukum Syi'ah Imamiah yang terkemuka, dan pada masanya menjadi orang yang paling ahli syair dan sastra. Di antara karangan-karangannya adalah Nahjul Balaghah. Meninggal pada 404 (406?) H (Raihanatul Adab). Syaikh Thaifah Muhammad bin Hasan ath-Thusi ada­lah seorang ulama Syi'ah Imamiah yang terkemuka. Di antara karangan-karangannya ada­lah at-Tahzib dan al-Istibshar yang merupakan salah satu buku standar tentang hadis bagi golongan Syi'ah. Meninggal pada 460 H (Ibid). Shadrul Muta Muhammad bin Ibrahim asy-Syirazi adalah seorang filosof terkenal, pengarang buku Asrarul Ayat dan Majmu'atut Tajasir. Meninggal pada 1050 H (Ibid). Sayyid Hasyim al-Bahrani adalah pengarang empat jilid besar tafsir al-Burhan. Meninggal pada 1107 H (Ibid). AI-Faidhul Kasyani, Maula Muhammad Muhsin bin al-Murtadha, pengarang kitab ash-Shafi dan al­ Ashafa. Meninggal pada 1091 H (Ibid). Syaikh Abdul Ali al-Huwaizi asy-Syirazi, penga­rang buku Nuruts Tsaqalain dalam lima jilid. Meninggal pada 1112 H (Ibid ).

33). Aminul Islam al-Fadl bin Hasan ath-Thabarsi, seorang ulama Syi'ah Imamiah yang terkemuka dan pengarang Majma'ul Bayan dalam sepuluh jilid. Meninggal pada 548 H (Ibid).

34). Baca bagian awai Tafsir al-'Iyasyi, ash-Shafr, al-Burhan dan Biharul Anwar.

35). Biharul Anwar, l, h. 137.




Contoh-Contoh Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran
( 1 - 2 )

Allah berfirman:

"Allah adalah pencipta segala sesuatu. " (QS 39:62)

Gagasan ini diulang-ulang di empat tempat dalam Al-Quran. Menurut gagasan ini, semua makhluk yang ada di alam ini adalah ciptaan Allah. Harus selalu kita camkan bahwa Al-Quran, dalam beratus-ratus ayatnya, menegaskan masalah sebab dan akibat. Dalam ayat-ayat itu, semua perbuatan dinisbatkan kepada pelakunya, semua perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan dipan­dang sebagai perbuatan sang pelaku itu sendiri, dan sebab selalu dikaitkan dengan akibat, seperti membakar dikaitkan dengan api, tumbuh dihubungkan dengan bumi, hujan dikaitkan dengan langit dan lain-lain. Kesimpulannya ialah bahwa orang yang berbuat dan mengerjakan sesuatu, maka perbuatan dan pekerjaannya dikaitkan dengannya. Hanya saja pewujud hakiki perbuatan itu adalah Allah, bukan yang lain.

Setelah mengungkapkan generalisasi penciptaan, Allah ber­firman:

"Yang memperindah segala sesuatu yang diciptakan-Nya." (QS 32:7)

Jika ayat ini dipadukan dengan ayat yang sebelumnya, maka tampak bahwa keindahan dan penciptaan selalu terjadi bersamaan, sehingga semua ciptaan yang dijumpai di alam makhluk adalah bagus dan indah. Hendaknya juga selalu kita camkan bahwa ayat­ayat Al-Quran mengakui keberadaan baik sebagaa lawan keberada­an jahat, keberadaan manfaat sebagai lawan keberadaan mudharat, keberadaan bagus sebagai lawan keberadaan jelek, indah sebagai lawan buruk. Al-Quran memandang banyak perbuatan, ucapan dan pikiran sebagai bagus atau buruk. Tetapi keburukan, kejelekan dan kejahatan ini hanya akan tampak dengan jelas jika dibandingkan dengan lawannya. Oleh karena itu, keberadaan sifat-sifat itu adalah relatif, tidak dengan sendirinya. Sebagai contoh, ular dan kala­jengking itu menyakitkan, tetapi hanya bagi manusia dan binatang­binatang yang merasa sakit karena terkena racunnya, tidak bagi batu dan debu. Sesuatu yang rasanya pahit dan baunya tidak sedap, tidak disenangi, tetapi hal ini hanya berlaku bagi rasa dan penciuman manusia, tidak bagi rasa dan penciuman semua bina­tang. Dan beberapa perbuatan serta ucapan tampak menyimpang, tetapi hal ini hanya bagi lingkungan tempat manusia hidup, tidak bagi semua lingkungan.

Jika masalah relativitas dan perbandingan tidak kita perhatikan, maka segala yang maujud akan menjadi indah dan menawan dan keindahan ini tidak dapat digambarkan dan diungkapkan, karena penggambaran dan pengungkapan itu sendiri termasuk keindahan-keindahan alam makhluk, dan keduanya juga memerlu­kan penggambaran. Ayat di alas bermaksud memalingkan pandangan manusia dari keindahan dan keburukan yang relatif, mengarahkannya kepada keindahan yang mutlak, dan melengkapi akal dengan pandangan dan pengetahuan yang menyeluruh. Apa­bila kita memahami pokok-pokok yang dijelaskan dalam beratus­ratus ayat Al-Quran yang menggambarkan bagian demi bagian, gugusan demi gugusan dan berbagai sistem universal ataupun parsial alam, maka kita mengetahui bahwa alam merupakan bukti paling kuat tentang kemahakuasaan Allah, dan petunjuk terandal untuk mengenal Allah dan kesempurnaan kekuasaan-Nya.

Jika kita merenungkan kedua ayat di atas, dan memikirkan secara mendalam pembahasan-pembahasan yang lalu, maka akan kita ketahui bahwa keindahan yang mempesona yang memenuhi keseluruhan alam ini hanyalah secercah keindahan yang kita ketahui melalui tanda-tanda di langit dan bumi. Kita pun tahu bahwa setiap bagian dari alam ini merupakan celah, dan dari celah itu kita memandang kekuasaan yang tidak terbatas, sehingga kita tahu bahwa bagian-bagiar. ini tidak memiliki kekuasaan sedikit pun, kecuali yang telah dilimpahkan kepadanya. Oleh karena itu, dalam beberapa ayat Al-Quran kita melihat dinisbatkannya ber­bagai keindahan dan kesempurnaan kepada Allah, seperti:

"Dia adalah Zat yang hidup, dan tidak ada Tuhan selain Dia." (QS 40:65)

"Sesungguhnya seluruh kekuatan itu milik Allah."(QS 2:165)

"Sesungguhnya seluruh kemuliaan itu milik Allah."(QS 4:139)

"Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Mahakuasa. " (QS 30:54)

"Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS 42:11)

"Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Yang memilii nama-nama yang baik." (QS 20:8)

Berdasarkan ayat-ayat ini, pada hakikatnya semua keindahan dan kesempurnaan yang kita lihat di alam ini adalah milik Allah. Adapun kesempurnaan dan keindahan yang ada pada selain Allah hanyalah kesempurnaan dan keindahan perlambang dan pinjaman. Untuk menguatkan apa yang telah disebutkan tadi, Al-Quran menjelaskan dengan cara lain, bahwa keindahan dan kesempurnaan yang dititipkan pada makhluk-makhluk di alam ini, terbatas dan berkesudahan. Sedangkan keindahan dan kesempurnaan Allah itu tidak terbatas dan tidak berkesudahan. Allah berfirman:

"Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan ukuran. " (QS 54:49)

"Tidak ada sesuatu pun kecuali ada sumbernya di sisi Kami dan Kami tidak akan menurunkannya kecuali dengan ukuran tertentu." (QS 15:21)

( 1 - 2 )




Pengertian Wewenang Sabda Nabi dan Para Imam
Dalam pembahasan yang lalu telah kami kemukakan bahwa Al­Quran sendiri telah menetapkan wewenang sabda Nabi dan para Imam untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Wewenang ini di­miliki oleh sabda jelas Nabi dan para Imam yang tegas dan riwayat­riwayat kuat yang mengutip sabda-sabda mereka. Adapun mengenai riwayat-riwayat yang tidak kuat (yang dinamakan hadits ahad, dan kewenangannya diperselisihkan oleh kaum Muslimin), hal itu terpulang kepada mufasir sendiri. Ulama Ahlus Sunnah biasa mengamalkan hadits ahad. Sedangkan ulama Syi'ah - seperti diketahui dari ilmu ushul fiqh mereka - menganggap riwayat-riwayat yang kuatlah yang andal. Untuk menambah jelasnya masalah ini, kita harus menelaah buku-buku ushul fiqh.


Catatan:

Karena tafsir adalah menjelaskan maksud ayat, maka di dalam ilmu tafsir terdapat pembahasan-pembahasan yang mempengaruhi penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran. Adapun pembahasan­pembahasan yang tidak mempengaruhi penafsiran makna ayat, seperti pembahasan-pembahasan bahasa, qira-ah, balaghah dan lain-lain, sedikit pun tidak termasuk penafsiran tentang AI-Quran.


6
MENGUNGKAP RAHASIA AL QUR'AN

BAB III

RAHASIA WAHYU

Wahyu Al-Quran
Al-Quran berbicara lebih banyak tentang wahyu, yang me­nurunkan dan yang membawanya, dan bahkan tentang kualitas wahyu, daripada kitab-kitab samawi yang lain seperti Taurat dan Injil. Sehingga di dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang membicarakan tentang pewahyuan itu sendiri. Mengenai wahyu Al-Quran, mayoritas kaum Muslimin mempercayai bahwa Al­Quran dengan lafalnya adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. dengan perantaraan seorang malaikat yang dekat dengan-Nya.1) Malaikat yang menjadi pe­rantara itu, yang disebut Jibril dan ar-Ruhul Amin, datang mem­bawa firman Allah kepada Rasulullah dalam berbagai waktu yang berbeda selama dua puluh tiga tahun. Rasul pun membacakan ayat-ayat itu kepada manusia, dan memberitahukan makna-makna­nya kepada mereka, serta mengajak mereka untuk menerima akidah, tata sosial, hukum-hukum dan tugas-tugas perseorangan yang terungkap dalam Al-Quran.

Rasulullah telah melaksanakan tugas yang telah ditentukan baginya tanpa mengubah materi-materi dakwah, menambah atau menguranginya, dan tanpa memajukan atau memundurkan sesuatu dari tempat yang telah ditentukan Allah.



Komentar Para Penulis Kiwari
Para pengkaji dan penulis kiwari, yang melakukan studi modern tentang berbagai agama dan mazhab, mempunyai pan­dangan tentang wahyu dan kenabian sebagai berikut:

Nabi Islam (Muhammad) adala.h seorang cerdas yang mema­hami situasi sosial dan berusaha menyelamatkan umat manusia dari jurang kebiadaban dan kemerosotan akhlak, dan berusaha mengangkatnya ke puncak kebudayaan dan kemerdekaan. Ke­mudian ia menyeru manusia agar mengikuti pandangan-pandangan sucinya yang terwujud dalam bentuk agama yang lengkap, menye­luruh dan sempurna.

Mereka mengatakan bahwa Nabi memiliki jiwa yang bersih dan cita-cita yang tinggi. Ia hidup dalam suatu lingkungan yang gelap dan suram. Dalam lingkungan itu ia dapat melihat kezaliman, kehampaan, kekacauan, egoisme, perampokan dan jenis-jenis lain kebiadaban. Jiwa Nabi senantiasa merasa sakit oleh lingkungan yang rusak ini. Setiap rasa sakit itu mencapai puncaknya, ia pergi ke sebuah gua di salah satu Pegunungan Tihamah dan menyepi di tempat itu berhari-hari. Dengan segenap inderanya, ia menghadap ke langit dan bumi, gunung dan lautan, jurang dan hutan, dan semua karunia yang diberikan alam kepada manusia. Dia menyesal­kan kenapa manusia bergelimang dalam kelalaian dan kebodohan, menukar kehidupannya yang bahagia dan tenang dengan kehidup­an yang gersang, sehingga menyerupai kehidupan binatang liar.

Hingga usia sekitar empat puluh tahun, Nabi menyaksikan kerusakan sosial itu, dan jiwanya merasa sakit karena hal itu. Pada usia ini dia dapat menemukan jalan untuk memperbaiki masyara­katnya. Dan dengan jalan itu dia dapat mengubah kehidupan yang rusak itu menjadi kehidupan yang penuh dengan kebaikan. Jalan itu adalah Islam. Ia mengandung undang-undang tertinggi yang sesuai dengan watak zaman itu. Nabi menyadari bahwa pikiran-pikiran sucinya itu adalah firman dan wahyu Allah yang dimasukkan oleh Allah ke dalam hatinya melalui kesuciannya. Jiwa sucinya, yang mengalirkan gagasan-gagasan ini, disebut ar­Ruhul Amin dan Jibril, malaikat yang menjadi perantara turunnya wahyu. Semua kekuatan yang mendorong kepada kebaikan dan menunjukkan kepada kebahagiaan disebut malaikat, dan semua kekuatan yang mendorong kepada kejahatan disebut setan dan jin. Tugasnya untuk memimpin kebangkitan yang diilhami oleh kesadarannva disebut kenabian dan risalah.

Pandangan yang kami paparkan dengan ringkas ini adalah pandangan para pengkaji yang mempercayai Allah dan memandang agama dengan cukup netral dan respek. Adapun orang-orang ateis - yaitu orang-orang yang tidak mempercayai Allah - memandang kenabian, wahyu, kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah, pahala dan siksaan, surga dan neraka, sebagai siasat ke­agamaan semata-mata. Mereka berpandangan bahwa semua ini adalah kebohongan-kebohongan yang dibuat-buat demi kepenting­an tertentu yang harus diwujudkan pada waktunya.

Mereka mengatakan bahwa para Nabi adalah pembaru-pem­baru yang datang dengan membawa program-program pembaru­an dalam bentuk agama. Mengingat manusia pada masa-masa yang lalu bergelimang dalam kebodohan, kegelapan dan khurafat (takhyul), maka para Nabi mendasarkan ajaran-ajaran keagamaan mereka pada serangkaian kepercayaan takhyul seperti asal-usul penciptaan dan kebangkitan.



Komentar Al-Quran
Pandangan pertama tentang wahyu dan kenabian adalah pan­dangan para pengkaji yang menekuni ilmu-ilmu materialistik­kealaman. Mereka berpandangan bahwa segala yang terdapat di alam makhluk ini terbatas pada hukum-hukum kealaman, dan sebab utama semua peristiwa dan kejadian adalah alam itu sendiri. Oleh karena itu, mereka memandang ajaran-ajaran samawi sebagai proses-proses sosial dan mengukurnya dengan ukuran-ukuran peristiwa-peristiwa sosial tertentu.

Dengan demikian, ajaran-ajaran itu menyerupai peristiwa­peristiwa yang ditimbulkan oleh orang-orang jenius seperti Cyrus, Darius dan Iskandar yang Agung dari Macedonia. Jika demikian, maka tidak akan ada keterangan untuk hal itu kecuali yang telah dipaparkan pada bagian terakhir.

Di sini, selain tidak bermaksud membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan metafisika, kami juga tidak bermaksud mengata­kan kepada mereka bahwa setiap ilmu boleh membahas hanya masalah-masalah yang berada di dalam wilayahnya. Ilmu-ilmu ke­bendaan, yang membicarakan perkara-perkara materi dan sifat­sifatnya, tidak berhak membenarkan maupun menolak hal-hal yang berkaitan dengan metafisika. Tetapi yang kami katakan ialah bahwa pandangan pertama tentang wahyu dan kenabian, apa pun pandangan itu, harus dirujukkan kepada ayat-ayat Al-Quran yang menjadi landasan kenabian Muhammad s.a.w., yang di dalamnya terletak akar semua kata ini, apakah pandangan itu sejalan dengan ayat-ayat itu, atau tidak.

Al-Quran tidak membenarkan pandangan tentang wahyu dan kenabian seperti itu, dan lagi pula tidak sesuai dengan satu ayat pun. Tidak ada salahnya di sini kami membandingkan bagian­bagian dari pandangan asumtif itu dengan apa yang terdapat dalam Al-Quran.




Firman
Pandangan di atas menyatakan bahwa pikiran-pikiran suci Nabi Muhammad s.a.w. adalah firman Allah. Hal ini berarti bahwa gagasan-gagasan itu adalah tidak seperti gagasan-gagasan lain Nabi sendiri. Al-Quran dengan tegas mengatakan gagasan-gagasan dan ayat-ayat ini bukanlah kata-kata Nabi, dan bukan pula gagasan­gagasan dan kata-kata manusia lainnya, tapi firman Allah. Allah berfirman:

"Atau mereka itu mengatakan: 'Muhammad membuat-buat Al­Quran.' Katakanlah: 'Datangkanlah sebuah surat yang menyamai Al-Quran dan panggillah orang-orang yang dapat kau panggil (untuk membantumu), jika kamu orang-orang yang benar. “ (QS 10:38)

"Atau mereka mengatakan: 'Muhammad membuat-buat Al­Quran.' Katakanlah: 'Datangkanlah sepuluh surat yang menyamai Al-Quran, dan panggillah yang dapat kamu panggil, selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. "' (QS 11:13)

"Katakanlah: 'Jika manusia dan jin berkumpul untuk men­datangkan sesuatu yang menyamai Al-Quran ini, maka mereka tidak akan mampu mendatangkan apa yang menyamai Al-Quran, meskipun sebagian mereka membantu sebagian yang lain. "' (QS 17:88)

"Jika kamu meragukan apa yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami, maka datangkanlah' satu surat yang menyamainya dan panggillah pembantu-pembantumu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar." (QS 2:23)

"Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran? Seandainya ia itu dari sisi selain Allah, tentu mereka akun menemukan banyak pertentangan di dalamnya. " (QS 4:82)

QS 4:82 ini menunjukkan tidak adanya perubahan selama dua puluh tiga tahun pada gaya ungkapan, istilah dan maknanya. Jika Al-Quran ini adalah kata-kata manusia, tentu ia akan mengalami perubahan. Jelaslah bahwa Al-Quran adalah firman Allah SWT. Di samping itu, dalam beratus-ratus ayat; Al-Quran menyebutkan mukjizat-mukjizat, atau hal-hal yang menyalahi kebiasaan alam, yang ditunjukkan oleh para Nabi. Dengan mukjizat-mukjizat itu mereka membuktikan kenabian mereka. Seandainya kenabian itu merupakan panggilan suara hati, dan wahyu merupakan gagasan­gagasan suci manusia - sebagaimana dikatakan oleh pandangan di atas - niscaya Al-Quran tidak perlu menunjukkan bukti kenabian para Nabi dengan memaparkan kisah-kisah tentang mukjizat­mukjizat dan kekeramatan.

Sebagian penulis menerangkan mukjizat-mukjizat nyata ini sebagai suatu permainan. Namun bila pembaca menelaah keterang­an-keterangan mereka, maka akan tahu bahwa ayat-ayat Al-Quran tidak sesuai dengan pernyataan-pernyataan mereka.

Dalam pembahasan ini, kami tidak bermaksud membuktikan kemungkinan terjadinya mukjizat dan tindak-tindak adialami, atau membuktikan kebenaran kisah-kisah Al-Quran. Tetapi kami ber­maksud menyatakan bahwa Al-Quran menegaskan bahwa para Nabi, seperti Saleh, Ibrahim, Musa dan Isa, mempunyai mukjizat­mukjizat tertentu. Dan kisah-kisah tentang hal-hal ini menunjuk­kan hanya hal-hal adilami. Padahal, untuk bukti seruan suara hati tidak dibutuhkan mukjizat.



Jibril dan Ar-Ruhul Amin
Pandangan di atas menamakan jiwa suci Nabi, yang senantiasa mengusahakan perbaikan dan pembaruan masyarakat, "ar-Ruhul Amin," dan menamakan ilham-ilham jiwa yang suci itu "wahyu".

Tetapi Al-Quran tidak mendukung pandangan ini. Sebaliknya Al­Quran menegaskan bahwa pembawa wahyu itu adalah Jibril. Dengan demikian, pandangan di atas mesti ditolak. Allah ber­firman :

"Katakanlah: 'Barangsiapa menjadi musuh Jibril, maka sesungguhnya ia telah menurunkan Al-Quran ke dalam hatimu dengan seizin Allah. "' (QS 2:97)

Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Yahudi yang bertanya kepada Nabi Muhammad s.a.w. tentang malaikat yang datang membawa wahyu kepadanya. Nabi menjawab bahwa yang membawa wahyu kepadanya adalah Jibril. Maka mereka ber­komentar: "Itu adalah salah satu malaikat yang menjadi musuh kami. Jika yang membawa wahyu kepadamu itu Mikail, tentu kami mengikutimu."2) Dalam ayat ini Allah membantah orang­orang Yahudi, dan menegaskan bahwa Jibril turun membawa wahyu atas perkenan-Nya. Dengan demikian jelas bahwa Al-Quran adalah firman Allah, bukan perkataan Jibril. Jelaslah bahwa orang­orang Yahudi itu memusuhi malaikat pembawa wahyu dari langit. Malaikat itu bukan Musa bin Imran atau Muhammad bin Abdullah. uga bukan jiwa keduanya yang suci.

Dalam ayat lain, AI-Quran sendiri - yang dalam ayat di atas menjelaskan bahwa yang membawa wahyu itu adalah Jibril - men­jelaskan bahwa Jibril adalah ar-Ruhul Amin. Ia berkata:

"Ar-Ruhul Amin datang membawa Al-Quran ke hatimu. " (QS 26:193-194)

Dalam ayat yang lain, dalam rangka mengenalkan malaikat pembawa wahyu, Allah berfirman:

"Sesungguhnya Al-Quran itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh seorang utusan yang mulia. Utusan itu memiliki ke­kuatan dan keduduhan yang tinggi di sisi Allah. Di sana (alam malaikat) ia ditaati dan dipercaya. Sahabatmu (Muhammad) sama sekali bukan orang gila. Dia telah melihat Jibril di ufuk yang terang. " (QS 81:19-23)

Ayat-ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa Jibril adalah seorang malaikat yang sangat dekat dengan Allah, mempunyai kekuatan yang besar, kedudukan yang tinggi dan ditaati serta dipercaya. Dalam ayat lain, Allah menyifati malaikat-malaikat yang dekat dengan-Nya dengan firman-Nya:

"Mereka yang menyangga 'Arsy dan bertasbih di sekitarnya dengan memuji Tuhan mereka. Mereka beriman kepada-Nya dan memohonkan ampunan bagi orang-orang yang beriman. " (QS 40: 7)

Ayat ini menunjukkan bahwa malaikat adalah makhluk yang memiliki kehendak, kecerdasan dan kemerdekaan, karena sifat­sifat yang disebutkan dalam ayat tersebut - seperti beriman kepada Allah, bertasbih dan memohonkan ampunan bagi orang­orang beriman - hanya terdapat pada makhluk yang memiliki kemerdekaan, kecerdasan dan kehendak. Tentang para malaikat yang dekat dengan-Nya, Allah juga berfirman:

"Isa al-Masih dan para malaikat yang dekat dengan (Allah) sama sekali tidak enggan menjadi hamba Allah. Barangsiapa enggan menyembah-Nya dan menyombongkan diri, maka Allah akan mengumpulkan mereka semua di hadapan-Nya. .... Adapun orang­orang yang enggan dan sombong, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh pelindung dan penolong selain Allah." (QS 4:172-173)

Sesungguhnya Isa al-Masih dan malaikat yang dekat dengan Allah tidak mendurhakai-Nya dalam sekejap mata pun. Tetapi meskipun demikian, Allah mengancam mereka dengan siksaan yang menyakitkan jika mereka berbuat durhaka kepada-Nya.

Ancaman dengan siksaan di Hari Kiamat, karena meninggalkan suatu kewajiban, tidak dapat dibenarkan kecuali bila yang diancam memiliki kemerdekaan dan kehendak. Dari ayat-ayat tersebut jelaslah bahwa ar-Ruhul Amin, yang juga disebut Jibril dan yang datang membawa wahyu Allah, mempunyai kemerdekaan, kehendak dan kecerdasan. Bahkan dari celah-celah ayat surat at­Takwir, "di sana ditaati dan dipercayai", dapat dipahami bahwa Jibril memberikan perintah dan larangan di alam malaikat, serta ditaati oleh para malaikat yang dekat dengan Allah. Bahkan kadang-kadang wahyu dibawa oleh malaikat yang mematuhi perintah Jibril, seperti diisyaratkan oleh beberapa ayat surat 'Abasa berikut:

"Sekali-kali tidaklah demikian. Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan. Barangsiapa menghendaki, tentu ia memperhatikannya. Ajaran itu ada di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, ditinggikan dan disucikan, dan di tangan para utusan yang mulia serta berbakti. " (QS 80:11-16)




Malaikat dan Setan
Pandangan di atas menegaskan bahwa malaikat adalah nama untuk kekuatan-kekuatan alam yang mendorong kepada kebaikan dan kebahagiaan. Sedangkan setan adalah nama untuk kekuatan-kekuatan alam yang mendorong kepada kejahatan dan kesengsaraan. Tetapi kata-kata Al-Quran berbeda dengan pandangan tersebut. Al-Quran memandang malaikat dan setan sebagai makhluk yang tidak bisa dijangkau dengan indera-indera lahir. Keduanya memiliki pengetahuan dan kehendak-merdeka. Adapun malaikat, dalam beberapa ayat di atas, ia adalah wujud tersendiri yang beriman kepada Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan yang membutuhkan kehendak dan kecerdasan. Dalam Al-Quran terdapat banyak ayat seperti ini, dan di sini tidak cukup untuk menyebutkan seluruh ayat itu. Adapun setan, kisah Iblis, ke­engganannya bersujud kepada Adam serta dialog yang terjadi antara dia dan Allah, disebutkan di beberapa tempat dalam Al­ Quran. Sesudah dikeluarkan dari barisan para malaikat, Iblis ber­kata:

"Sungguh aku akan menyesatkan mereka (manusia) semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas." (QS 38:82-83)

Maka Allah menjawab:

"Sungguh Kami akan memenuhi neraka Jahanam dengan kamu dan dengan mereka yang mengikutimu. " (QS 38:85)

Jelaslah bahwa balasan dan siksaan hanya layak diberikan kepada yang memiliki kehendak dan mengetahui baik dan buruk. Hal ini berarti bahwa setan mempunyai pengetahuan dan kehendak. Dalam ayat lain kita mengetahui bahwa Allah memberikan sifat "dugaan" kepada Iblis. Sifat ini merupakan salah satu kriteria pengetahuan. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Iblis telah dapat membuktikan kebenaran dugaannya kepada mereka, lalu mereka mengikutinya kecuali sebagian orang yang beriman. “ (QS 34:20)

Dalam ayat lain lagi dijelaskan bahwa Iblis menolak celaan yang dilontarkan terhadap dirinya. Penolakan ini tidak akan dikemukakan kecuali oleh makhluk yang memiliki kecerdasan dan kehendak. Ailah berfirman:

"Setelah perkara telah ditentukan, setan berkata: 'Sesungguh­nya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu, tetapi aku mengingkarinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, rnelainkan sekadar mengajakmu, kemudian kamu mengikutiku. Maka janganlah mencelaku dan celalah dirimu sendiri. "' (QS 14:22)

Ayat-ayat ini dan ayat-ayat lain tentang hal ini menunjukkan bahwa setan memiliki sifat-sifat. Dan sifat-sifat itu akan dimilikinya bila ia memiliki kecerdasan dan kemerdekaan berkehendak. Sifat-sifat semacam ini tidak diberikan kepada kekuatan-kekuatan alam. Sebab, kekuatan-kekuatan alam ini tidak memiliki kecerdasan dan kemerdekaan berkehendak.




Jin
Jumlah ayat Al-Quran yang berbicara tentang jin adalah jauh lebih banyak daripada ayat-ayat yang berbicara tentang malaikat dan setan. Dalam salah satu ayat, Allah menyebut tentang jin ketika menyifati orang-orang yang tidak mau rnendengarkan ajakan bapak-ibu mereka supaya beriman, dan menyatakan bahwa Islam hanya dongengan belaka. Allah berfirman:

"Mereka itulah orang-orang yang telah pasti akan mendapat­kan azab bersama umat-umat jin dan manusia sebelum mereka. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi." (QS 46: 18)

Di tempat lain Allah berfirman:

"Dan ingatlah ketika Kami menghadapkan serombongan jin yang mendengarkan Al-Quran kepadamu. Tatkala mereka meng­hadiri pembacaannya, mereka berkata: 'Diamlah kamu (untuk mendengarkannya).' Ketika pembacaan teluh selesai, mereka kembali ke kaumnya untuk memberi peringatan. Mereka berkata: 'Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan sebuah kitab (AI-Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa, yang membenar­kan kitab-kitab yang sebelumnya, dan menuntun kepada kebenar­an dan jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah seruan orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.' Siapa yang tidak menerima seruan orang yang menyeru kepada Allah, tidak akan dapat melepaskan diri dari azab Allah di bumi, dan tidak ada pelindung baginya selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata." (QS 46:29-32)

Kisah ini menunjukkan bahwa jin, seperti manusia, mempu­nyai kemerdekaan, kecerdasan, kehendak dan kewajiban. Dalam ayat-ayat yang menggambarkan Hari Kebangkitan, kami juga menemukan pernyataan-pernyataan yang sama kuatnya dengan ayat-ayat ini.




Seruan Hati Nurani
Menurut pandangan yang disebutkan di atas, kenabian dan kerasulan merupakan seruan hati nurani untuk mengadakan pem­baruan sosial yang menyeluruh, dan untuk menghilangkan kejahat­an-kejahatan sosial dan menggantinya dengan hal-hal yang dapat menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat. Tetapi Al­Quran justru berbeda dengan pandangan ini. Allah berfirman:

"Demi jiwa dan Penyempurnanya. Kemudian Allah mengilhamkan kepada jawa itu untuk mengetahui yang benar dan salah baginya." (QS 91:7-8)

Ini berarti bahwa setiap manusia mengetahui yang baik dan buruk melalui hati nurani dan fitrahnya, sehingga ia tahu baik buruknya perbuatan-perbuatannya. Ada sebagian orang yang mem­perhatikan seruan hati nurani ini sehingga mereka berbahagia, dan ada sebagian orang yang tidak memperhatikannya sehingga mereka celaka, sebagaimana difirmankan Allah:

"Sungguh beruntung orang yang menyucikannya, dan sungguh 'merugi orang yang mengotorinya." (QS 91:9-10)

Jika kenabian dan kerasulan merupakan hasil dari seruan hati nurani, maka semua orang akan mengemban kenabian dan kerasul­an. Padahal telah diketahui bahwa Allah mengkhususkan kenabian dan kerasulan itu kepada sebagian hamba-Nya saja. Allah ber­firman:

"Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka ber­kata: 'Kami tidak akan beriman sampai diberikan kepada kami apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah.' Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan." (QS 6: 124)

Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa orang-orang kafir mau beriman bila terjadi pemerataan kerasulan, sehingga mereka mengemban kerasulan tersebut. Maka Allah menolak mereka dengan menyatakan bahwa kerasulan itu hanyalah bagi suatu kelompok terpilih.





Khurafat
Telah berulangkali kami katakan bahwa dalam pembahasan ringkas ini kami tidak sedang berusaha menetapkan bahwa agama Islam itu haq dan bahwa pengakuan Rasulullah s.a.w. itu benar.

Tetapi maksud kami di sini ialah memaparkan bahwa pandangan mereka tentang wahyu, kenabian dan kerasulan, sebagaimana telah mereka kemukakan, adalah salah, tidak sesuai dengan Al-Quran.

Adapun pandangan kedua, ia berusaha mengemukakan bahwa pokok-pokok akidah yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. merupakan sekumpulan kepercayaan khurafat yang dikemukakan dalam bentuk agama samawi kepada orang-orang saat itu yang masih bodoh dan tak berkebudayaan. Hal ini dimaksudkan untuk membuat mereka mematuhi aturan-aturan agama karena takut kepada Allah Yang akan menghukum setiap yang tidak mematuhi aturan-aturan ini, takut akan siksaan di Hari Kebangkitan, meng­harapkan pahala di akhirat sebagaimana dijanjikan kepada orang­orang yang taat.

Riwayat hidup Nabi yang lain sangat kurang jelas, sedangkan riwayat hidup Rasulullah s.a.w. dan Ahlul Baitnya sangat jelas. Siapa pun merujuk dengan cermat kepada kehidupan Nabi s.a.w., maka ia akan yakin bahwa Nabi sangat meyakini missinya. Se­andainya akidah Islam itu merupakan khurafat - seperti yang mereka sangka - maka sia-sialah banyak hujah yang diajukan Al­Quran tentang akidah itu. Dan sia-sia pulalah hujah-hujah yang dikemukakan untuk mengukuhkan keberadaan Yang Maha Pencipta, tauhid, semua sifat Tuhan dan seluruh kepercayaan lain tentang kenabian, dan kebangkitan.




Wahyu dan Kenabian menurut Al-Quran
( 1 - 6 )

Yang dapat dipahami dari ayat-ayat Al-Quran adalah bahwa ayat-ayat itu memandang Al-Quran sebagai kitab samawi yang diberikan kepada Nabi Muhammad s.a.w. melalui wahyu. Sedang­ kan wahyu adalah perkataan samawi (nonmateri) dan tidak dapat dijangkau oleh indera-indera lahir dan akal, melainkan melalui pemahaman yang dikaruniakan oleh Allah kepada orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia dapat menerima perintah-perintah-Nya dari alam gaib yang tidak dapat diinderai oleh akal dan indera-indera yang lain. Penerimaan dan pelaksanaan perintah-perintah ini dan titah-titah Allah disebut "kenabian." Untuk memperjelas masalah ini, keterangan-keterangan awal ber­ikut ini adalah perlu:



1. Petunjuk Universal untuk Manusia sebagai Tujuan Penciptaan
Dalam pembahasan terdahulu telah kami paparkan bahwa setiap yang ada di alam ini, yakni benda-benda hidup ataupun mati, mempunyai suatu tujuan yang hendak diwujudkannya sejak awal kejadiannya; ia telah diberi sarana-sarana tertentu untuk mewujudkannya; dan dengan sarana-sarana itu ia mencapai tuju­annya. Allah berfirman:

"Tuhan kami ialah Tuhan yang telah memberikan kepada tiap­tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk." (QS 20:50)

"Yang telah menciptakan, kemudian menyempurnakan penciptaan-Nya. Dan yang menentukan kadar masing-masing serta memberi petunjuk. " (QS 87:2-3)

Kami juga telah memaparkan bahwa hukum-umum petunjuk ini mencakup semua manusia dan makhluk yang lain. Dalam hidupnya, manusia mempunyai tujuan tertentu yang diupayakan untuk dicapainya. Karena itu dia telah diberi sarana untuk men­capai tujuan itu. Keberhasilannya mencapai tujuan itu merupakan kesempurnaan dan kebahagiaannya, dan kegagalannya mencapai tujuan itu merupakan kesengsaraannya. Fitrah membimbingnya ke arah tujuan puncaknya. Allah berfirman:

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan). Karena itu, Kami jadikan ia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukkannya ke jalan yang lurus. Di antara mereka ada yang bersyukur dan ada yang kafir. " (QS 76:2-3)



2. Kelebihan Manusia dalam Menempuh Jalan Kehtidupannya
Kelebihan makhluk-makhluk hidup atas makhluk-makhluk mati ialah bahwa kegiatan makhluk hidup didasarkan pada penge­tahuan. Adapun manusia, ia memiliki kelebihan atas mereka, karena ia memiliki akal (kebijakan dan kecerdasan). Perbuatan­perbuatan yang dilakukan manusia didasarkan pada pertimbangan baik dan buruk, manfaat dan mudharat baginya. Dia berbuat setelah meyakini bahwa perbuatannya bermanfaat baginya. Dia mengikuti apa yang diketahuinya dan yang dinilainya mengandung kebaikan bagi dirinya, sehingga bila menurut akalrtya bermanfaat dan tidak membahayakan, maka diputuskannya untuk melakukan­nya, dan bila dipandangnya membahayakan dan tidak bermanfaat baginya, maka diputuskannya untuk tidak melakukannya.3)



3. Bagaimana Manusia Menjadi Makhluk Sosial?
Tidak diragukan lagi bahwa manusia selalu hidup berkelompok atau bermasyarakat. Bersama yang lain, dia bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Apakah kerja sama ini ber­sumber pada fitrahnya? Yang kita ketahui adalah bahwa manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan dan perasaan-perasaan tertentu sehingga hal-hal ini mendorongnya untuk memenuhi kebutuhan­kebutuhannya itu dengan sarana-sarana yang dimilikinya. Di sinilah dia tidak menyadari kebutuhan-kebutuhan dan kehendak­kehendak orang lain.

Manusia menggunakan segala sesuatu yang dapat dijangkaunya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, seperti memanfaat­kan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan, termasuk daun, buah, akar dan kayunya, dan binatang-binatang serta hasil-hasil dari binatang itu. Apakah manusia seperti ini, yang menggunakan segala yang dapat dijangkaunya demi kepentingannya sendiri, dapat berperilaku lain, yaitu menghormati yang lainnya dan be­kerja sama dengan mereka serta memberikan sebagian keuntung­annya bagi mereka? Tidak! Manusia merasakan banyak kebutuhan hidup yang tidak dapat dipenuhinya sendiri. Dia berpikir bahwa dia membutuhkan sesamanya untuk membantunya memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Tetapi dia sadar bahwa orang-orang lain juga memiliki ke­hendak seperti dia, dan mereka pun berusaha mewujudkan kehendak-kehendak itu sebagaimana dia juga berusaha mewujudkan kehendaknya. Di sinilah, ketika mengetahui kenyataan ini, manu­sia mengadakan kerja sama dengan sesamanya, sehingga rela mem­berikan sebagian keuntungannya untuk memenuhi kebutuhan dari sesamanya. Sebagai hasilnya, dia memperoleh bagian dari keuntungan-keuntungan mereka. Pada hakikatnya, dia masuk ke dalam suatu pasar yang terbuka setiap waktu dan di dalamnya kebutuhan-kebutuhan hidup dijual. Akibatnya, segala produk masyarakat bertumpuk. Tiap-tiap anggota masyarakat memperoleh bagiannya menurut neraca sosialnya. Artinya, menurut kadar nilai perbuatan yang dilakukannya terhadap masyarakat, dan dengan cara ini dia memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.

Hal di atas menunjukkan bahwa berdasarkan wataknya, dalam upaya mewujudkan kepentingan-kepentingan pribadinya, manu­sia memerlukan bantuan manusia lainnya. Hal ini memaksanya bekerja sama dengan manusia-manusia lain. Ini jelas sekali terpaparkan bila kita menelaah anak-anak. Seorang anak, bila ingin mendapatkan apa yang diinginkannya, akan menangis untuk maksud ini. Tapi begitu si anak bertambah usianya, semakin dekat dan mengenal masyarakat, maka secara bertahap dia akan meng­hentikan permintaannya seperti itu sampai dia benar-benar men­jadi anggota masyarakat, dan pada saat inilah dia akan melupakan tuntutan-tuntutannya yang berlebih-lebihan itu.

Bukti lain tentang hal ini ialah jika seseorang memperoleh kekuasaan yang melebihi kekuasaan masyarakatnya, maka dia akan mengabaikan kerja sama sosial. Dia akan berusaha dengan segala kemampuannya untuk memperbudak sesamanya tanpa memberi mereka imbalan apa pun. Allah mengisyaratkan tentang kerja sama tersebut dengan firman-Nya:

"Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat,- agar sebagian mereka dapat menggunakan sebagian yang lain." (QS 43:32)

Ayat ini mengisyaratkan tentang kenyataan kerja sama, yang di dalamnya sebagian individu memiliki kelebihan atas sebagian lain dalam segi tertentu kehidupan, sehingga setiap individu mempunyai tingkat kehidupan yang berbeda. Masing-masing mendominasi yang lainnya dan memanfaatkan mereka untuk kepentingan­kepentingannya. Dengan demikian, semua anggota masyarakat sedemikian berjalin berkelindan dalam masalah-masalah sosial, sehingga mereka membentuk satu masyarakat. Allah berfirman:

"Sesungguhnya manusia itu sangat zalim. " (QS 14:34)

"Sesungguhnya manusia itu sangat zalim lagi bodoh. " (QS 33: 72)

Dua ayat ini mengisyaratkan naluri alamiah yang terdapat dalam diri manusia, yang dengannya dia melanggar hak-hak sesamanya dan kepentingan-kepentingan mereka.



4. Perbedaan-Perbedaan dan Dibutuhkannya Hukum
Manusia terpaksa menerima kerja sama dengan sesamanya, karena tanpa itu ia tidak mungkin mencapai tujuan-tujuannya. Oleh karena itu, ia merelakan sebagian kemerdekaannya demi menjamin kemerdekaan yang lainnya. Akan tetapi, semata-mata adanya kerja sama ini - mengingat adanya ketidakseimbangan daya fisik dan mental antar individu - tidak menyelesaikan masalah. Upaya menghilangkan perbedaan-perbedaan mereka menjadi sumber kerusakan dan pertentangan. Dari itu, dia membutuhkan serangkaian aturan bersama yang diakui dan ditaati oleh setiap anggota masyarakat. Karena jelas, bahwa suatu transaksi, baik besar ataupun kecil, membutuhkan keputusan bersama antara penjual dan pembeli, sehingga transaksi itu dilaksanakan dengan rela-sama-rela. Karena itu, diperlukan hukum-hukum tertentu yang berlaku atas semua anggota masyarakat dan yang melindungi kepentingan-kepentingan mereka. Sistem penciptaan yang programnya membimbing makhluk-makhluk ke arah tujuan dan kebahagia­an mereka, bisa mengarahkan manusia kepada hukum yang menjamin kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat bila ditaati dan dilaksanakan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Allah ber­firman:

"Dari setetes mani Allah menciptakannya, lalu menentukan­nya. Kemudian Dia memudahkan jalannya. " (QS 80:19-20)



5. Akal Tidak Memadai untuk Membimbing Manusia kepada Hukum
Betapapun, bimbingan ini merupakan karunia Allah, karena Dialah yang menciptakan makhluk, memberinya tujuan hidupnya yang menjamin kebahagiaannya, dan membimbingnya ke arah tujuan itu. Jelas, bahwa tiada kesalahan dan pertentangan pada perbuatan-perbuatan Allah. Oleh karena itu, jika terjadi pem­belokan dari tujuan itu, maka hal itu bukan merupakan kesalahan sebab itu. Akan tetapi, hal itu disebabkan oleh satu atau banyak sebab lain yang mengalangi tercapainya atau membuatnya me­nyimpang dari tujuan itu. Karena, satu sebab tidak akan meng­hasilkan hal-hal yang saling berlawanan. Tidak akan terjadi per­tentangan, kekeliruan atau penyimpangan jika tidak ada gangguan dari sebab lain itu. Dari itu jelas bahwa akal saja tidak mungkin dapat membimbing manusia kepada hukum yang akan meng­hilangkan perbedaan-perbedaan. Karena akal ini pulalah yang menimbulkan pertentangan dan membangkitkan keinginan untuk mengeksploitasi dan melestarikan kepentingan-kepentingan secara tak semena-mena. Karena itu, adanya kendali membuat masyara­kat seimbang.

Adalah suatu keniscayaan bahwa satu sebab tidak akan me­nimbulkan dua akibat yang saling bertentangan, yaitu menimbul­kan dan menghilangkan pertentangan. Melanggar hukum, tidak menepati janji dan lain-lain, hanya dapat dilakukan oleh orang­orang berakal. Jika bukan karena akal, maka tidak dibenarkan memandang apa yang mereka kerjakan itu sebagai dosa dan me­nyiksa mereka karena dosa itu. Jika akal benar-benar membimbing kepada hukum yang menghilangkan pertentangan, dan ia tidak berbuat salah, tentu ia tidak akan senang terhadap pelanggaran­pelanggaran di atas, dan akan mencegahnya. Sebab utama pe­langgaran-pelanggaran ini adalah bahwa akal mau menerima suatu masyarakat yang seimbang, dan mau menaati hukum, karena ter­paksa dan karena adanya gangguan; kalau tidak karena dua hal ini, tentu ia takkan setuju dengan kerja sama dan keadilan sosial.

Orang-orang yang melanggar hukum adalah mereka yang memiliki kekuasaan di atas kekuasaan yang memberlakukan hukum, sehingga mereka tidak menaatinya tanpa merasa malu dan takut. Atau mereka yang tidak bisa dijangkau oleh kekuasaan yang memberlakukan hukum, karena berada di suatu tempat yang jauh, karena merasa kuat, karena kelengahan penegak hukum, karena alasan-alasan bahwa perbuatan-perbuatan mereka itu tidak ber­tentangan dengan hukum. Atau mereka yang memanfaatkan ke­lemahan orang-orang tertindas untuk kepentingan mereka sen­diri..... Pokoknya mereka tidak menjumpai orang-orang yang melawan atau mendesak mereka. Kalaupun ada, perlawanan dan desakan itu dilakukan oleh orang-orang yang lebih lemah dari mereka. Dalam hal ini, akal tidak mempunyai penilaian dan tidak dapat mengendalikan kemerdekaan yang tidak terbatas, dan ia membiarkan naluri penindasannya itu semaunya. Karena itu, akal tidak dapat membimbing kepada hukum kemasyarakatan yang akan menjamin kepentingan-kepentingan masyarakat dan individu secara adil, karena ia menolak untuk memperhatikan hukum jika tidak ada yang memaksanya. Apabila menemukan sesuatu yang mengalangi kemerdekaannya yang tidak terbatas, maka ia akan menerima hukum seperti ini. Allah berfirman:

"Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup." (QS 96:6-7)

Di antara macam-macam keserbacukupan adalah sikap tidak membutuhkan kerja sama dan perlindungan hukum untuk mengayomi kepentingan-kepentingan orang lain.



6. Tidak Akan Ada Petunjuk Tanpa Wahyu
Dari pembahasan di atas, kita tahu bahwa manusia, seperti makhluk yang lain, mempunyai suatu tujuan tertentu, yaitu ke­bahagiaannya. Berhubung berdasarkan fitrahnya dia membutuh­kan kehidupan sosial, maka kebahagiaan dan kesengsaraannya bergantung kepada kebahagiaan dan kesengsaraan masyarakat. Dia merupakan salah satu unsur dari bangunan masyarakat. Dia harus menemukan kebahagiaan dan kebaikan dirinya dalam kebahagiaan masyarakat. Kita juga tahu bahwa satu-satunya jalan untuk men­capai tujuan yang diidam-idamkan itu adalah hukum yang men­jamin kebahagiaan sosial yang mencakup kebahagiaan individu.

Selain telah dijelaskan tentang perlunya membimbing manusia, seperti makhluk-makhluk yang lain, kepada tujuan yang mengan­dung kebahagiaannya itu. Juga telah dijelaskan tentang perlunya membimbing manusia kepada sarana-sarana yang mengantarkan­nya kepada tujuannya tersebut. Hal ini berarti bahwa manusia ha­rus dibimbing kepada hukum yang harus ditaati. Hal-hal di atas me­nunjukkan bahwa manusia harus memiliki pengetahuan lain selain pengetahuan rasional, yang dengan pengetahuan lain itu manusia akan terbimbing kepada tujuannya. Pengetahuan lain ini ialah segala yang dinyatakan oleh para Nabi dan Rasul Allah, dan yang disebut sebagai wahyu Allah, dan wahyu ini merupakan landasan kebenaran pernyataan dan seruan para Nabi dan Rasul Allah itu. Allah berfirman:

"Manusia itu adalah satu bangsa. Kemudian Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan. Dan bersama mereka Allah menurunkan Kitab dengan benar untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. " (QS 2:213)

"Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu se­bagaimana Kami telah memberikannya kepada Nuh dan Nabi­nabi yang sesudahnya ... (Mereka Kami utus) selaku Rasul­rasul pembawa kabar gembira dan pembawa peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya para Rasul itu." (QS 4:163 dan 165)

Ayat pertama menjelaskan bahwa perbedaan-perbedaan di kalangan manusia tidak akan dapat diselesaikan kecuali dengan wahyu dan kenabian. Ayat kedua memandang wahyu dan kenabi­an sebagai satu-satunya jalan untuk menghujah manusia. Akibat dari hal ini adalah, bahwa akal tidak mencukupi untuk dapat membimbing manusia dan sebagai pembatal semua alasan. Artinya, bahwa seandainya para Nabi tidak diutus, dan hukum-hukum Allah tidak disampaikan kepada manusia, maka bila manusia berbuat kezaliman dan kerusakan, Allah tidak absah untuk menyiksanya atas dosa-dosanya itu karena semata-mata manusia memiliki akal yang dengan demikian ia dapat mengetahui buruknya kezaliman dan kerusakan.



7. Masalah dan Jawabannya
Masalah: Anda menyatakan bahwa akal tidak mampu mem­buat hukum dan membawa manusia kepada kebahagiaannya, karena akal tidak dapat mencegah manusia agar tidak melanggar hukum dan berbuat salah. Anda menyatakan pula bahwa wahyu dan kenabian dapat membuat hukum yang akan menjamin kebahagiaan umat manusia. Tetapi kita tahu bahwa hukum-hukum wahyu juga tidak dapat sepenuhnya menguasai manusia dan mengendalikannya. Bahkan kita melihat bahwa manusia lebih mungkin melanggar hukum-hukum agama dibandingkan hukum­hukum buatan manusia.

Jawaban: Menunjukkan jalan adalah satu hal, dan mengikuti jalan itu adalah hal lain. Tugas Allah dalam membimbing adalah membimbing manusia dengan sarana-sarana tertentu kepada hukum yang menjamin kebahagiaan mereka, bukan mencegahnya agar tak menyimpang, dan bukan pula memaksanya untuk mengikuti hukum itu. Bukti tentang tidak memadainya akal adalah pelanggaran hukum, yang dikarenakan tiadanya kendali atas kemerdekaan bertindak. Hal ini bukan karena akal tidak membatasi kemerdekaan ini, melainkan karena akal tidak mempunyai keputusan yang pasti tentang kemerdekaan tak terbatas ini, dan karena ia tidak mengajak untuk melakukan kerja sama sosial dan ketaatan kepada hukum. Bila ia mengajak untuk melakukan hal itu, itu dikarenakan adanya paksaan. Dan paksaan itu ialah penge­tahuannya bahwa keburukan dari kemerdekaan tak terbatas dalam berbuat itu adalah lebih banyak daripada kebaikannya. Adalah suatu keniscayaan bahwa seandainya akal tidak tunduk kepada paksaan ini, dan seandainya tidak ada sesuatu yang mengalangi kemerdekaannya untuk berbuat, niscaya akal tidak akan mem­batasi kemerdekaan tidak terbatasnya ini, dan tidak akan meng­ajak untuk menaati hukum yang bertentangan dengan kemerdekaannya.

Karena itu, lantaran akal tidak selamanya mengajak untuk menaati hukum, maka ia tidak memadai untuk selalu membimbing manusia. Sedangkan wahyu selamanya menempatkan ketentuan di tangan Allah Yang, dengan kemahatahuan dan kemahakuasaan­Nya, mengawasi manusia dalam segala keadaannya, sehingga Ia memberi pahala kepada orang yang berbuat baik atas kebaikannya, dan menghukum orang yang berbuat jahat atas kejahatannya, tanpa membeda-bedakan sebagian orang dari yang lain. Allah ber­firman:

"Tidak ada hukum kecuali hukum Allah." (QS 6:57)

"Barangsiapa melakukan kebaikan seberat atom, maka ta akan melihatnya, dan barangsiapa melakukan kejahatan seberat atom, maka ia akan melihatnya. " (QS 99:7-8)

"Sesungguhnya Allah akan mengadili antara mereka pada hari Kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. " (QS 22:17)

"Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui apa­apa yang mereka rahasiakan dan apa-apa yang mereka perlihatkan." (QS 2:77)

"Allah mengawasi segala sesuatu." (QS 33:52)

Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa agama samawi, yang di­turunkan melalui pewahyuan, adalah lebih mampu daripada hukum buatan manusia dalam mencegah terjadinya pelanggaran dan kesalahan. Sebab, agar hukum buatan manusia itu dipatuhi, diperlukan orang-orang untuk mengawasi perbuatan-perbuatan manusia dan menjatuhkan hukuman kepada orang yang ketahuan melanggarnya. Adapun hukum agama, ia mempunyai beberapa kelebihan :

Pertama, ia mempunyai orang-orang yang mengawasi per­buatan-perbuatan lahir manusia, seperti yang dimiliki oleh hukum buatan manusia.

Kedua, melalui kewajiban melakukan amar ma'ruf nahi munkar (menyuruh kepada kebaikan dan mencegah perbuatan mungkar) ia membuat setiap orang saling mengawasi perbuatan­perbuatan masing-masing.

Ketiga, salah satu bagian akidah agama menyatakan bahwa semua perbuatan manusia diperhatikan dan dicatat untuk suatu hari ketika manusia dikumpulkan di tempat pertemuan umum dan diperiksa secara teliti.

Keempat, ini yang paling penting, akidahnya menyatakan bahwa Allah menguasai alam ini beserta segenap isinya, dan Dia mengetahui serta melihat semua perbuatan yang dilakukan manu­sia.

Di samping hukuman di dunia ini, seperti yang ditentukan dalam hukum buatan manusia, ada hukuman di akhirat yang telah ditentukan bagi semua orang yang meninggalkan perintah-perintah dan melanggar larangan Allah. Allah berfirman:

"Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri dari antara kamu." (QS 4:59)

"Kaum Mukminin dan Mukminat, sebagian mereka adalah pelindung (wali) sebagian yang lain, yang menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kejahatan." (QS 9:71)

"Sesungguhnya ada yang mengawasimu, para pencatat yang mulia. Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS 82: 10-12)

"Dan Tuhanmu Maha Memelihara segala sesuatu." (QS 34:21)

Masalah: Dari uraian yang telah lalu dapat kami simpulkan, bahwa akal tidak selamanya menyeru kepada pematuhan terhadap hukum dan perlunya menghindari pelanggaran. Ini bertentangan uengan apa yang disebutkan dalam beberapa hadis yang diriwayatkan dari Imam-imam Ahlul Bait a.s. bahwa Allah memiliki dua hujah untuk hamba-hamba-Nya: hujah lahir dan batin, yakni Nabi dan akal. Oleh karena akal tidak bisa menentukan secara pasti tentang sebab-sebab mengapa manusia meninggalkan sebagian kewajibannya, maka bagaimana akal bisa menjadi hujah?

Jawaban: Akal praktis selamanya mengajak kepada segala yang bermanfaat dan menjauhi segala yang merugikan. Manusia peng­isap dan pencari keuntungan bersedia melakukan kerja sama sosial dan tukar-menukar jasa karena terpaksa. Dan jika sebab keter­paksaan itu adalah kekuatan untuk mengisap manusia lain, atau kekuatan yang dimiliki oleh orang yang dapat menjatuhkan hukuman, dan sebab-sebab lain yang telah dirinci di depan, dan jika tidak ada orang-orang dan hukum-hukum yang membatasi kekuatan dan kekuasaan ini, maka akal tidak akan menyeru kepada pematuhan hukum, dan tidak akan mencegah manusia melanggar hukum. Tetapi menurut pandangan wahyu, sebab keter­paksaan tersebut ialah hukum Allah, pengawasan terus menerus terhadap perbuatan-perbuatan, kepercayaan akan adanya pahala dan siksaan dan kepercayaan bahwa semua ini berada di tangan Tuhan Yang Mahasuci dari kelalaian, kebodohan dan kelemahan. Dalam keadaan seperti ini, akal tidak mempunyai kesempatan untuk tidak mematuhi hukum, karena ia merasa terpaksa. Dengan demikian, akal akan selalu mengikuti wahyu. Allah berfirman:

"Apakah Tuhan yang memperhatikan setiap diri mengenai apa yang diperbuatnya itu (sama dengan yang tidak bersifat demi­kian)?" (QS 13:33)

"Tidak ada satu jiwa pun melainkan ada yang menjaganya. " (QS 86:4)

"Setiap jiwa bertanggzeng jawab terhadap apa yang dilakukan­nya. " (QS 74:38)



8. Tidak Ada Kesalahan dalam Wahyu
Dalam pembahasan yang lalu telah dikatakan bahwa bagian dari hukum-hukum (tatanan) alam itu adalah program kehidupan sosial manusia dalam bentuk wahyu. Dan tatanan alam ini tidak akan pernah salah dalam tugasnya. Karena itu, rincian-rincian agama samawi yang diajarkan kepada manusia melalui wahyu tidak akan pernah salah di sepanjang perjalanannya. Allah berfirman:

"Yang mengetahui yang gaib, dan Dia tidak akan memperlihat­kan yang gaib itu kepada seorangpun, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya. Sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya, supaya Dia mengetahui bahwa Rasul-rasul telah menyampaikan risalah-risalah Tuhan mereka, walaupun ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu per satu." (QS 72:26-28)

Dari sini kita mengetahui bahwa para Nabi yang diutus oleh Allah haruslah ma'shum, yakni tidak salah dalam menerima atau memahami wahyu (ajaran-ajaran Allah) dari alam atas, dan dalam memelihara serta menyampaikan ajaran-ajaran itu. Karena mereka adalah perantara dalam petunjuk umum yang dituju oleh manusia sesuai dengan watak fitrah mereka, maka seandainya para Nabi salah dalam menerima (memahami), memelihara dan menyampai­kan wahyu, atau mereka berkhianat karena godaan setan atau nafsu, atau mereka melakukan dosa, maka akibat dari semua kesalahan ini akan tercermin pada kesalahan hukum alam dalam melaksanakan program bimbingannya. Tetapi hal ini tidak akan pernah terjadi. Allah berfirman:

"Adalah hak Allah untuk menunjukkan jalan yang lurus, dan ada beberapa jalan yang bengkok. " (QS 16:9)



9. Kita Tidak Mengetahui Hakikat Wahyu
Pembahasan-pembahasan di atas menunjukkan bahwa program kehidupan manusia merupakan pembimbing untuk mencapai kebahagiaannya. Tugas membimbing kepada kebahagiaan ini ber­ada di pundak fitrah, dan program itu tidak akan dapat dicapai dan dilaksanakan melalui akal. Oleh karena itu, diperlukan jalan lain selain akal, yang dengan petunjuknya manusia dapat menge­tahui kewajiban dalam hidupnya. Dan jalan lain itu adalah wahyu.

Untuk memperoleh jalan lain (wahyu) itu diperlukan jiwa suci. Setiap manusia berbeda-beda dalam kebersihan dan kekotoran hati. Mesti diakui bahwa jalan lain itu hanya ada pada orang-orang yang mencapai puncak kebersihan dan istiqamah. Hal ini merupa­kan suatu kelangkaan, dan terjadi hanya pada sebagian kecil manu­sia. Oleh karena itu, kita melihat Al-Quran menyebutkan hanya sekelompok kecil manusia sebagai Rasul-rasul dan Nabi-nabi Allah, dan tidak menyebutkan secara lengkap jumlah mereka. Al-Quran menyebutkan hanya dua puluh empat nama dari mereka.4)

Adapun kita, yang tidak mencapai kedudukan ini, tidak mengetahui kebenaran jalan lain itu. Kita mengetahui hanya se­bagian kecil, yang di antaranya adalah Al-Quran dan sifat-sifat yang kita ketahui melalui Nabi. Meskipun demikian, kita tidak dapat mengatakan bahwa sifat-sifat jalan lain itu adalah seperti yang telah kita ketahui, karena mungkin ada sifat-sifat lain yang tidak kita ketahui.



10. Cara Pewahyuan Al-Quran
Yang kami pahami dari Al-Quran tentang cara pewahyuannya ialah bahwa kitab suci ini diwahyukan melalui firman Allah kepada Rasulullah, dan beliau menerima firman itu dengan segenap keberadaannya. Allah berfirman:

"Tidak mungkin bagi seorang manusia Allah berkata-kata de­ngannya kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat), lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguh­nya Dia Mahatinggi lagi Mahabijaksana. Demikianlah, Kami me­wahyukan kepadamu wahyu (Al-Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Quran itu dan tidak pula mengetahui apakah iman itu. Tetapi Kami menjadikan Al-Quran sebagai cahaya untuk memberi petunjuk kepada siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesung­guhnya kamu benar-benar memberi petunjuk ke jalan yang lurus." (QS 42:51-52)

Tentang berfirmannya Allah, mereka menyebutkan ada tiga bagian, berdasarkan pengulangan yang terdapat dalam ayat pertama, dan bahwa wahyu dalam bagian pertama tidak dinisbatkan kepada tempat tertentu, dan dalam bagian ketiga dinisbatkan ke­pada Rasulullah. Tiga macam itu adalah:

Berfirman tanpa ada perantara antara Allah dan manusia.

Berfirman dari balik tirai, seperti pohon Thur, dan Musa mendengar firman Allah dari arah pohon itu.

Firman yang dibawa oleh malaikat dan disampaikannya ke­pada manusia, sehingga dia mendengar perkataan malaikat sebagai wahyu ketika malaikat itu menirukan firman Allah.

Sedangkan ayat kedua menunjukkan bahwa Al-Quran di­wahyukan kepada Nabi dengan cara terakhir ini. Dan dari cara ini diketahui bahwa Al-Quran diturunkan melalui firman yang dibawa oleh malaikat. Allah berfirman:

"Ar-Ruhul Amin turun membawa Al-Quran kepada hatimu agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas." (QS 26:193-195)

"Barangsiapa menjadi musuh Jibril, maka sesungguhnya ia telah menurunkan Al-Quran di hatimu." (QS 2:97)

Dari ayat-ayat ini dapat dipahami bahwa Al-Quran, seluruhnya atau sebagiannya, diturunkan dengan perantaraan malaikat pembawa wahyu, Jibril, yang disebut ar-Ruhul Amin. Dari ayat­ayat ini dapat pula dipahami bahwa Nabi s.a.w. menerima wahyu dari malaikat dengan segenap keberadaannya,5) tidak dengan telinganya saja. Allah berfirman:

"Allah mewahyukan apa yang diwahyukan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Hati tidak akan mendustakan apa yang dilihat­nya. Maka apakah mereka (kaum musyrikin Makkah) akan membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya." (QS 53:10-12)

Dalam tempat lain, wahyu diungkapkan dengan 'membaca lembaran-lembaran.' Allah berfirman:

"Seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan. " (QS 98:2)

Sebelum mengakhiri pembahasan ini, kami ingin mengatakan bahwa ada banyak masalah dan keterangan lain dalam Al-Quran tentang macam-macam wahyu, sifat-sifat dan ciri-cirinya. Dan hal ini berada di luar pembahasan buku ini untuk membicarakannya secara panjang lebar.

Catatan Kaki:

1). Pandangan ini berdasarkan pemahaman terhadap makna-makna lahir beberapa kata Al-Quran.

2). As-Suyuthi, ad-Durrul Mantsur, I, h. 90.

3). Yang kami maksudkan dengan keputusan akal adalah mengetahui keharusan mengerjakan atau meninggalkan. Adapun ajaran untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu hanyalah merupakan kerja emosi yang dituntun akal. Akallah yang bisa membedakan antara yang bermanfaat dan berbahaya.

4). Adam, Nuh, Hud, Saleh, Ibrahim, Luth, Ismail, Yasa', Dzulkifli, Ilyas, Yunus, Ishak, Ya'kub, Yusuf, Syu'aib, Musa, Harun, Dawud, Sulaiman, Ayyub, Zakaria, Yahya, Isa dan Muhammad. Mereka itulah Nabi-nabi yang nama-namanya disebutkan dalam Al-Quran. Ada beberapa Nabi yang diisyaratkan di dalamnya, seperti Asbath (QS 4:163), seorang Nabi yang mengisyaratkan kepada Bani Israil untuk memilih Thalut sebagai raja (QS 2: 246), Nabi yang diisyaratkan dalam QS 2:285 dan Nabi-nabi yang diisyaratkan dalam QS 26:14.

5). Dengan alasan bahwa kedua ayat itu menegaskan diturunkannya Al-Quran pada hati Rasul s.a.w. Dalam kebiasaan Al-Quran, yang dimaksudkan dengan hati adalah jiwa, sebagaimana kita ketahui dalam beberapa ayat yang menisbatkan pengetahuan, perasaan dan maksiat kepada hati. Padahal, semuanya itu berasal dari jiwa.

7
MENGUNGKAP RAHASIA AL QUR'AN

BAB IV

MENGUNGKAP ILMU AL-QURAN

Al-Quran dan Ilmu
Al-Quran demikian menghormati kedudukan ilmu dengan penghormatan yang tidak ditemukan bandingannya dalam kitab­kitab suci yang lain. Sebagai bukti, Al-Quran menyifati masa Arab pra-Islam dengan jahiliah (kebodohan). Di dalam Al-Quran terdapat beratus-ratus ayat yang menyebut tentang ilmu dan pengetahuan. Di dalam sebagian besar ayat itu disebutkan kemuliaan dan ketinggian derajat ilmu.

Dalam rangka mengingatkan tentang anugerah yang telah di­berikan kepada manusia, Allah berfirman:

"Allah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak mereka ketahui." (QS 96:5)

"Allah meninggikan beberapa derajat orang-orang yang ber­iman dan mempunyai ilmu." (QS 58:11)

"Apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui?" (QS 39:9)

Di samping itu masih banyak ayat lain yang menyatakan ten­tang kemuliaan ilmu. Dan dalam hadis-hadis Rasulullah dan para Imam Ahlul Bait - yang kedudukannya mengiringi Al-Quran - terdapat dalil-dalil yang tidak terhitung banyaknya tentang anjuran untuk mencari ilmu, arti penting dan kemuliaannya.




Anjuran AI-Quran
Dalam banyak ayat (kami tidak mengutipnya di sini karena sedemikian banyak), AI-Quran mengajak untuk memikirkan tanda­tanda kekuasaan Allah di langit, bintang-bintang yang bercahaya, susunannya yang menakjubkan dan peredarannya yang mapan. Ia juga mengajak untuk memikirkan penciptaan bumi, laut, gunung­gunung, lembah, keajaiban-keajaiban yang terdapat di dalam perut bumi, pergantian malam dan siang dan musim. Ia mengajak untuk memikirkan keajaiban penciptaan tumbuh-tumbuhan, binatang­binatang, sistem perkembangannya dan keadaan-keadaan ling­kungannya. Ia mengajak untuk memikirkan penciptaan manusia sendiri, rahasia-rahasia yang terdapat di dalam dirinya, untuk memikirkan alam batinnya dan hubungannya dengan Allah. Al­Quran juga mengajak untuk mengadakan perjalanan di dunia, memikirkan peninggalan orang-orang terdahulu serta meneliti keadaan bangsa-bangsa, kelompok-kelompok manusia, kisah-kisah, sejarah dan pelajaran-pelajaran yang bisa diambil dari mereka.

Secara khusus, Al-Quran mengajak untuk mempelajari ilmu­ilmu kealaman, matematika, filsafat, sastra dan semua ilmu pengetahuan yang dapat dicapai oleh pemikiran manusia. Al-Quran menganjurkan mempelajari ilmu-ilmu itu untuk kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia. Memang, Al-Quran menyeru untuk mempelajari ilmu-ilmu ini sebagai jalan untuk mengetahui Al-Haq dan realitas, dan sebagai cermin untuk mengetahui alam, yang di dalamnya pengetahuan tentang Allah mempunyai kedudukan paling utama.

Adapun ilmu yang membuat manusia lupa dari Al-Haq dan realitas, menurut Al-Quran sama dengan kebodohan. Allah ber­firman:

"Mereka mengetahui hanya yang lahir dari kehidupan dunia, sedang terhadap kehidupan akhirat mereka lalai." (QS 30:7)

"Maka pernahkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya, mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutup atas penglihatannya? Siapakah yang akan memberinya petunjuk selain Allah?" (QS 45:23)

Al-Quran, yang mendorong untuk mempelajari berbagai ilmu, mengajarkan suatu konsep yang utuh tentang ilmu ketuhanan, prinsip-prinsip umum akhlak dan hukum Islam.




Ilmu-Ilmu AI-Quran
Kaum Muslimin mengkaji beberapa ilmu yang obyeknya ada­lah Al-Quran sendiri. Sejarah timbulnya ilmu-ilmu ini bermula sejak masa awal turunnya Al-Quran. Masalah-masalahnya telah matang dan telah mencapai tahapan yang diperlukan karena telah lama dikaji. Hasilnya dapat disaksikan dalam risalah-risalah dan banyak buku yang telah ditulis tentang ilmu-ilmu itu. Ilmu-ilmu ini secara umum terbagi menjadi dua kelompok: ilmu yang mem­bahas tentang lafal (pengucapan) dan ilmu yang membicarakan tentang makna-makna. Ilmu-ilmu yang membicarakan tentang lafal-lafal Al-Quran adalah ilmu-ilmu tajwid dan qira-ah, yaitu:

1.Ilmu tentang cara melafalkan huruf-huruf dan ketentuan­ketentuan khusus yang harus diberlakukan terhadap huruf-hunif itu ketika sendirian atau tersusun, seperti mendengung (idgham), mengganti (ibdal), hukum-hukum berhenti (waqf), mulai dan semacamnya

2.Ilmu tentang pemeliharaan dan pengarahan terhadap qira-ah tujuh dan tiga qira-ah lainnya serta qira-ah - qira-ah para sahabat, qira-ah yang tidak biasa (syadz).

3.Ilmu tentang jumlah surat, ayat, kata dan huruf Al-Quran, dan ilmu tentang pembatasan jumlah semua surat, ayat, kata dan huruf Al-Quran.

4.Ilmu tentang kekhususan aturan penulisan Al-Quran dan per­bedaannya dengan bentuk tulisan Arab yang dikenal dan digunakan.

Adapun ilmu-ilmu yang membahas makna-makna Al-Quran adalah :

1.Ilmu yang membahas makna-makna yang umum, seperti tanzil, ta'wil, makna lahir dan batin, muhkam dan mutasyabih, nasikh dan mansukh.

2.Ilmu yang membahas ayat-ayat hukum. Ilmu ini pada hakikat­nya merupakan cabang dari pembahasan-pembaliasan fikih.

3.Ilmu yang membahas makna-makna Al-Quran, dikenal dengan nama tafsir.

Para ulama Islam dan peneliti telah menulis banyak buku dan risalah tentang ilmu-ilmu ini.




Ilmu-Ilmu yang Dilahirkan oleh Al-Quran
Tidak diragukan lagi bahwa sejarah pertumbuhan ilmu ke­agamaan yang dikenal oleh kaum Muslimin dewasa ini berawal dari masa Nabi s.a.w. dan tuntnnya Al-Quran. Para sahabat dan tabi'in telah mengenal ilmu-ilmu ini dalam abad pertama Hijrah secara tidak sistematis, karena adanya larangan untuk membukukan ilmu dengan segala cabangnya. Sedangkan cara menerima dan mem­pelajarinya adalah penghapalan dan penyampaian secara lisan, kecuali sedikit sekali catatan tentang fikih, tafsir dan hadis.

Pada awal abad kedua Hijrah, ketika larangan itu ditiadakan,1) mulailah kaum Muslimin membukukan hadis, kemudian menga­rang buku-buku tentang ilmu-ilmu yang lain dan membuat sistem tertentu untuk menulis dan mengarang. Sebagai hasil dari usaha­usaha itu adalah 'ilmul-hadits, 'ilmurrijal (ilmu mengenai para perawi hadis) dan dirayah (ilmu mengenai kandungan hadis}, 'ilmu ushul fiqh, 'ilmul kalam dan lain-lain.

Sampai-sampai dalam hal filsafat yang diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab pada tahap-tahap permulaan­nya, dan yang tetap bertahan menurut versi Yunaninya untuk jangka waktu vang tidak pendek, ternyata lingkungan pergaulan Arab-Islam telah m mempengaruhinya, baik dari segi bentuk maupun materinya. Bukti paling andal untuk hal ini adalah masalah­masalah filosofis yang dikenal di kalangan kaum Muslimin dewasa ini. Untuk mengetahui suatu masalah kefilsafatan tentang penge­tahuan ketuhanan diperlukan penemuan teks, bukti-bukti dan argumentasi-argumentasinya dalam lembaran-lembaran ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis.

Hal ini juga bisa diberlakukan pada ilmu-ilmu kesusastraan. Yang mendorong orang untuk mempelajari, membahas dan mengkaji ilmu-ilmu seperti sharf (tata bahasa), nahwu (sintaksis) ma'ani, bayan, badi', lughah dan fiqhul lughah, dan etimologi, meskipun mencakup bahasa Arab secara umum, adalah firman Allah (Al-Quran) yang memiliki keindahan bahasa yang sempurna. Hal ini merupakan sebab timbulnya usaha untuk mengetahui keistimewaan-keistimewaan AI-Quran, usaha untuk mengkaji bukti-bukti dan bandingan-bandingannya, serta usaha untuk mengetahui segi-segi kefasihan, keindahan bahasanya, dan rahasia­rahasia yang tersimpan di dalam kalimat dan kata-katanya. Ke­mudian, karena faktor-faktor inilah, ditemukan ilmu-ilmu bahasa yang telah kami sebutkan di atas.

Ibnu Abbas termasuk penafsir terbesar dari kalangan sahabat. Dalam menafsirkan Al-Quran ia menggunakan syair. Dia menyuruh mengumpulkan dan memelihara syair itu. Dia berkata: "Syair ada­lah bunga rampai (ontologi) bangsa Arab." Dengan perhatian dan kesungguhan inilah, prosa dan syair Arab dipelihara, sampai­sampai seorang ulama Syi'ah, Khalil bin Ahmad al-Farahidi dari Basrah,2) mengarang Kitabul 'Ain tentang bahasa Arab, dan men­ciptakan 'ilmul 'arudh (ilmu syair), untuk mengetahui pedoman­pedoman khusus dalam membuat syair. Demikian pula, ulama­ulama lain juga mengarang buku-buku bernilai tentang dua ilmu ini.

Ilmu sejarah juga merupakan sempalan dari ilmul hadits. Pada mulanya ilmu itu merupakan kumpulan kisah para Nabi dan umat­umat mereka. Dimulai dari sejarah Nabi Mluhammad s.a.w., ke­mudian ditambah dengan sejarah permulaan Islani, dan sesudah itu menjadi sejarah seluruh dunia. Para ahli sejarah, seperti ath-Thabari, al-Mas'udi, al-Ya'kubi dan al-Wakidi, telah menulis karya-karya tentang sejarah.

Dapat dikatakan dengan tegas bahwa Al-Quran merupakan faktor pendorong pertama bagi kaum Muslimin untuk mempelajari ilmu-ilmu rasional, baik ilmu kealaman maupun matematika, dengan mengambil alih dan menerjemahkannya dari bahasa­bahasa lain, pada permulaannya. Kemudian mereka mandiri dalam mempelajari, membuat teori-teori baru mengenai obyek bahasan ilmu-ilmu tersebut, merinci masalah-masalahnya, dan mengkaji secara mendalam beberapa pembahasannya yang penting. Pada waktu itu, dengan dorongan dari khalifah, ilmu-ilmu itu diter­jemahkan dari bahasa-bahasa Yunani, Suryani dan India ke dalam bahasa Arab. Kemudian ilmu-ilmu yang telah diterjemahkan itu disajikan kepada kaum Muslimin di daerah tempat tinggal mereka. Wilayah pengkajian terhadap ilmu mulai meluas dan dilakukan secara mendalam dan terinci.

Peradaban Islam, yang kini menjangkau sebagian besar wilayah dunia sesudah wafat Rasulullah, mempunyai pengaruh yang besar dan terus berkembang sampai dewasa ini di kalangan lebih dari enam ratus juta orang Islam. Peradaban ini merupakan salah satu produk Al-Quran (perlu diketahui bahwa kami - kelompok Syi'ah - selalu menentang para khalifah dan raja yang mengabai­kan penjelasan tentang ajaran-ajaran Islam dan penerapan hukum­hukumnya. Meskipun demikian kami yakin bahwa cahaya Islam sebesar dan secerah ini di berbagai penjuru dunia hanyalah me­rupakan salah satu cahaya dari sekian banyak cahaya Al-Quran).

Tentu saja, perkembangan sedemikian ini, yang merupakan salah satu dari rangkaian kejadian di dunia ini, akan berpengaruh secara langsung terhadap perkembangan-perkembangan di masa­masa yang akan datang. Dari sinilah muncul suatu keyakinan bahwa sebab dari salah satu perkembangan mencengangkan ilmu pengetahuan yang kita saksikan dewasa ini adalah pengaruh Al­Quran.

Menjelaskan masalah ini secara lebih terang dan mendalam membutuhkan pengkajian yang luas dan mendalam. Tetapi cara ringkas yang kami pergunakan dalam buku ini tidak memberi kesempatan yang cukup kepada kami untuk melakukan pengkajian seperti itu. Oleh karena itu, kami mengharapkan Anda menelaah buku-buku yang membicarakan hal di atas.


Catatan Kaki:

1). Berdasarkan kesepakatan para ahli sejarah, larangan itu dihapus oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz antara 99-101 H.

2). Khalil bin Ahmad Abu Abdurrahman al-Farahidi adalah seorang ahli bahasa dan sastra. Dia adalah pencetus 'ilmul 'arudh dan guru Imam Sibawaih, seorang ahli nahwu ternama. Bukunya yang berjudul al-'Ain adalah tentang bahasa. Dia merunggal di Basra pada 170 H (Ar-Razka6, al-A'lam).



BAB V

TURUN DAN TERSEBARNYA AL-QURAN

Cara Al-Quran Diturunkan
Surat-surat dan ayat-ayat Al-Quran diturunkan secara ber­tahap kepada Nabi s.a.w, selama dua puluh tiga tahun masa kenabiannya. Hal ini dijelaskan oleh ayat-ayat Al-Quran sendiri.

Allah berfirman:

"Dan Al-Quran itu telah Kami turunkan secara berangsur­angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia, dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. " (QS 17:106)

Tidak diragukan lagi bahwa di dalam Al-Quran ada nasikh dan mansukh. Juga ada ayat-ayat yang berkenaan dengan kisah-kisah dan peristiwa-peristiwa yang tidak mungkin terjadi pada waktu yang sama untuk memungkinkan ayat-ayat diturunkan sekaligus untuk menggambarkan peristiwa-peristiwa itu.

Ayat-ayat dan surat-surat Al-Quran tidak diturunkan me­nurut urutan yang kita baca dalam Al-Quran sekarang ini, yakni pertama surat al-Fatihah, kemudian al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa' dan seterusnya. Karena, di samping ada bukti-bukti sejarah tentang hal itu, kandungan ayat-ayat Al-Quran sendiri memberi kesaksian tentang hal tersebut. Sebab sebagian surat dan ayat yang berkena­an dengan masalah-masalah yang terjadi pada awal masa kenabian, ternyata terletak di bagian akhir Al-Quran, seperti surat al-'Alaq dan al-Qalam. Dan sebagian lain, yang berkenaan dengan masalah­ masalah pada masa sesudah Hijrah dan akhir masa Nabi s.a.w., ternyata terletak di awal Al-Quran, seperti surat-surat al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa', al-Anfal dan at-Taubah.

Sesungguhnya perbedaan antara kandungan surat-surat dan ayat-ayat Al-Quran, dan kaitannya yang erat dengan peristiwa­peristiwa yang terjadi selama dakwah Nabi, mengharuskan kita untuk mengatakan bahwa Al-Quran diturunkan dalam waktu dua puluh tiga tahun, yakni masa dakwah Nabi. Sebagai contoh, ayat­ayat yang mengajak kaum musyrikin untuk menerima Islam dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala turun pada masa sebelum Nabi hijrah dari Makkah, yang pada masa ini Nabi meng­hadapi banyak cobaan dan tantangan dari para penyembah ber­hala. Sedangkan ayat-ayat tentang perang dan hukum diturunkan di Madinah, yang pada masa ini Islam mulai tersebar dan kota ini menjadi pusat pemerintahan Islam yang besar.

Pembahasan tadi menunjukkan bahwa ayat-ayat dan surat­surat Al-Quran terbagi menjadi beberapa bagian menurut tempat turun, waktu, sebab dan kondisinya. Yaitu:

Sebagian surat dan ayat Al-Quran itu berstatus Makkiah, dan sebagian yang lain Madaniah. Yang diturunkan sebelum Nabi s.a.w. hijrah dari Makkah dinamakan Makkiah. Ini merupakan bagian terbesar dari surat-surat Al-Quran, khususnya surat-surat yang pendek. Sedangkan yang diturunkan sesudah Nabi s.a.w. hijrah disebut Madaniah, walaupun turunnya di luar Madinah atau di Makkah.

Sebagian surat dan ayat Al-Quran diturunkan ketika Nabi sedang bepergian, dan sebagian yang lain ketika beliau tidak dalam bepergian. Surat-surat dan ayat-ayat Al-Quran terbagi pula men­jadi surat dan ayat yang turun di waktu malam dan siang, yang turun di waktu perang dan damai, yang turun di bumi dan di langit, yang turun ketika Nabi berada di tengah-tengah orang banyak dan ketika Nabi sendirian. Kami akan membicarakan manfaat mengetahui bagian-bagian ini dalam pembahasan yang akan datang tentang sebab-sebab turun ayat (asbabun nuzul).

Sebagian surat diturunkan berulang-ulang, seperti surat al­Fatihah yang diturunkan di tilakkah dan Madinah. Begitu pula, sebagian ayat Al-Quran diturunkan beberapa kali, seperti:

yang diulang sebanyak tiga puluh kali dalam surat ar-Rahman, dan ayat:

yang diulang sebanyak delapan kali dalam surat as-Syu'ara. Dan sebagian ayat Al-Quran diulang-ulang dalam lebih dari satu surat, seperti:

yang diulang-ulang dalam enam surat yang berbeda.

Terdapat pula suatu kalimat tertentu yang merupakan ayat di satu tempat, dan di tempat lain merupakan bagian dari ayat, seperti:

Kalimat ini, dalam awal surat Ali Imran, merupakan ayat, sedang­kan dalam surat al-Baqarah, merupakan bagian dari ayat Kursi. Namun demikian, sebagian besar surat dan ayat Al-Quran diturunkan sekali saja. Hal itu karena adanya perbedaan konteks. Dalam satu tempat dibutuhkan pengulangan kalimat untuk menarik perhatian, umpamanya, dan di tempat lain tidak dibutuhkan. Perbedaan ini menyerupai perbedaan antara panjang dan pendeknya surat-surat dan ayat-ayat. Di samping surat al-Kautsar sebagai surat terpendek, kita menjumpai surat al-Baqarah sebagai surat paling panjang. Begitu pula kita melihat ayat

sebagai ayat terpendek, di samping ayat tentang utang-piutang, yakni surat al-Baqarah ayat 282, sebagai ayat terpanjang dalam Al-Quran. Semua perbedaan ini muncul karena adanya tuntutan dalam mem­berikan penjelasan. Barangkali kita juga menemukan hal itu dalam dua ayat yang bersambung, seperti ayat ke-20 dan ke-21 surat al­Muddatstsir, umpamanya. Ayat pertama terdiri atas satu kalimat, dan yang kedua terdiri atas lebih dari lima belas kalimat. Perbedaan-perbedaan lain tampak dalam hal penuturan secara panjang lebar (ithnab) dan penuturan secara ringkas (ijaz) ketika kita membandingkan surat-surat al-Fajr dan al-Lail dengan surat­surat al-Baqarah dan al-Maidah. Pada umumnya, surat-surat Makkiah menggunakan cara penuturan yang ringkas, sedangkan surat-surat Madaniah pada umumnya menggunakan cara penuturan yang panjang lebar.

Berdasarkan hal ini, maka lima ayat pertama dari al-'Alaq merupakan yang pertama diturunkan kepada Nabi s.a.w., dan yang terakhir diturunkan adalah surat al-Baqarah ayat 281.




Sebab-Sebab Turun Ayat (Asbabun Nuzul)
Sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa kebanyakan surat dan ayat Al-Quran berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang ter­jadi pada masa dakwah Nabi, seperti surat al-Baqarah, al-Hasyr dan al-'Adiyat.1) Atau diturunkan karena adanya kebutuhan mendesak akan hukum-hukum Islam, seperti an-Nisa', al-Anfal, at-Thalak dan lain-lain.2)

Kasus-kasus yang menyebabkan turunnya sura.' dan ayat inilah yang disebut asbabun nuzul. Mengetahui asbabun nuzul ini sangat membantu untuk mengetahui ayat Al-Quran dan untuk menge­tahui makna serta rahasia-rahasia yang dikandungnya. Oleh karena itu, sekelompok ulama hadis dari kalangan sahabat dan tabi'in menaruh perhatian terhadap hadis-hadis asbabun nuz. Mereka meriwayatkan banyak hadis semacam ini.

Banyak sekali hadis asbabun nuzul yang diriwayatkan oleh para ulama Ahlus Sunnah, dan barangkali mencapai beberapa ribu hadis. Adapun yang diriwayatkan oleh ulama Syi'ah, jumlahnya sedikit, dan barangkali berjumlah hanya beberapa ratus saja. Perlu diketahui bahwa tidak semua hadis ini sanad-nya bersambung sampai kepada Nabi s.a.w. dan sahih, melainkan ada juga yang mursal (dalam sanad-nya nama sahabat yang meriwayatkan lang­sung dari Nabi dibuang) dan dha'if. Penyelidikan terhadap hadis­hadis ini membuat orang meragukannya karena beberapa alasan:

Pertama, gaya kebanyakan hadis ini menunjukkan bahwa perawi tidak meriwayatkan asbabun nuzul secara lisan dan tertulis, melainkan dengan meriwayatkan suatu kisah, kemudian meng­hubungkan ayat-ayat Al-Quran dengan kisah itu. Pada hakikatnya, asbabun nuzul yang disebutkannya itu hanyalah didasarkan atas pendapat, bukan atas pengamatan dan pencatatan. Bukti per­nyataan ini adalah banyaknya pertentangan di dalam hadis-hadis ini. Yakni, satu ayat diberi beberapa keterangan yang saling ber­tentangan tentang sebab turunnya, dan sama sekali tidak bisa di­pertemukan, sampai-sampai mengenai satu ayat diriwayatkan beberapa sebab turunnya dari Ibnu Abbas dan orang-orang seperti­nya, umpamanya, yang tidak bisa dipertemukan.

Ada dua kemungkinan berkenaan dengan hadis-hadis yang saling bertentangan ini:

Pertama, asbabun nuzul didasarkan pada ijtihad atau penalaran, bukan periwayatan. Dan setiap perawi berusaha menghubungkan suatu ceritera, yang sebenarnya tidak ada dalam kenyataan, dengan suatu ayat. Kedua, semua hadis ini, atau sebagian besarnya, adalah rekaan belaka.

Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan di atas, maka hadis­hadis tentang asbabun nuzul tidak bisa dipertanggung- jawabkan. Oleh karena itu, hadis-hadis tersebut tidak bisa diterima, meskipun ber- sanad sahih, karena kesahihan sanad menghilangkan hanya kemungkinan dusta dari tokoh-tokoh dalam sanad itu, tetapi kemungkinan perekaan dan penggunaan nalar tertentu tetap ada.

Kedua, pada masa awal Islam, khalifah melarang penulisan hadis. Semua kertas dan papan yang didapati memuat tulisan hadis dibalcar. Larangan ini berlaku sampai akhir abad pertama Hijrah, atau selama kurang lebih sembilan puluh tahun. Larangan ini membuat para perawi meriwayatkan hadis menurut maknanya saja, sehingga hadis mengalami perubahan-perubahan setiap kali seorang perawi meriwayatkannya kepada perawi yang lain. Akibatnya, hadis diriwayatkan tidak menurut aslinya. Hal ini akan sangat jelas bila kita telaah suatu kisah yang disebutkan dalam hadis-hadis yang diriwayatkan melalui beberapa jalur sanad, karena boleh jadi terdapat dua hadis saling bertentangan tentang satu kisah. Kebiasa­an meriwayatkan hadis menurut maknanya dengan cara yang meragukan ini merupakan salah satu penyebab tidak dapat dipertanggungjawabkannya hadis-hadis tentang asbabun nuzul. Banyaknya rekaan dalam suatu hadis membuat kedustaan atas nama Rasulullah, membuat dimasukkannya cerita-cerita Israiliat dalam periwayatan, perbuatan orang-orang munafik serta orang­orang yang mempunyai maksud tertentu, di samping cara periwayatan hadis menurut maknanya, dan apa yang baru saja kami sebutkan di atas, semua ini mengurangi nilai hadis-hadis asbabun nuzul, dan menyebabkannya tidak dapat dijadikan pegangan.




Menimbang Hadis-Hadis Asbabun Nuzul
Dalam pembahasan yang lalu kami telah menyebutkan bahwa hadis memerlukan pengukuhan dari Al-Quran. Karenanya, sebagai disebutkan dalam beberapa hadis yang diriwayatkan dari Rasulul­lah dan Ahlul Bait, hadis harus dihadapkan kepada Al-Quran. Oleh karena itu, riwayat asbabun nuzul suatu ayat, jika tidak mutawatir atau qath'i wurud (pasti datang)-nya, harus dihadapkan kepada Al­Quran. Hadis yang sesuai dengan ayat Al-Quran diterima dan dipakai, dan yang bertentangan ditolak. Hal ini berarti bahwa hadis­lah yang harus selalu dihadapkan kepada Al-Quran, bukan sebaliknya.

Cara ini menyebabkan sebagian besar hadis asbabun nuzul tertolak. Namun sebagiannya lagi masih dapat diterima dan sahih. Perlu diketahui bahwa pada umumnya sasaran-tinggi Al-Quran, yaitu suatu budaya universal dan abadi (seperti akan kami jelaskan nanti) tidak membutuhkan asbabun nuzul.




Kronologi Turunnya AI-Quran
Tidak diragukan lagi bahwa surat-surat dan ayat-ayat Al-Quran tidak dihimpun dan dicatat menurut kronologi (urutan) turunnya kepada Rasulullah s.a.w. Ulama-ulama dahulu, khususnya ulama Ahlus Sunnah, dalam mengurutkan surat-surat dan ayat-ayat Al­Quran berlandaskan pada atsar (perkataan atau perbuatan sahabat atau tabi'in). Di antara atsar - atsar yang dikemukakan berkenaan dengan masalah ini adalah sebuah atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Dia berkata: "Apabila pembukaan suatu surat di­turunkan di Makkah, maka pembukaan itu ditulis di kota ini.

Kemudian Allah menambahinya. Adapun surat-surat yang pertama kali diturunkan (secara berurutan) adalah sebagai berikut:


1. Al-'Alaq

30. Al-Qiyamah

59. Al-Mukmin

2. Al-Qalam

31. Al-Humazah

60. As-Sajdah

3. Al-Muzammil

32. Al-Mursalat

61. Asy-Syura

4. Al-Muddatstsir

33. Qaf

62. Az-Zuhruf

5. Al-Masad

34. Al-Balad

63. Ad-Dukhan

6. At-Takwir

35. Ath-Thariq

64. Al-Jatsiah

7. Al-A'la

36. Al-Qamar

65. Al-Ahqaf

8. Al-Lail

37. Shad

66. Adz-Dzariyat

9. Al-Fajr

38. Al-A'raf

67. Al-Ghasyiah

10. Adh-Dhuha

39. Al-Jin

68. Al-Kahfi

11. Asy-Syarh

40. Yasin

69. An-Nahl

12. Al-'Asr

41. Al-Furqan

70. Nuh

13. Al-'Adiyat

42. Al-Malaikah

71. Ibrahim

14. Al-Kautsar

43. Maryam

72. Al-Anbiya'

15. At-Takatsur

44. Thaha

73. Al-Mukminun

16. Al-Ma'un

45. Al-Waqi'ah

74. Fusshilat

17. Al-Kafirun

46. Asy-Syu'ara

75. Ath-Thur

18. Al-Fil

47. An-Naml

76. Al-Mulk

19. Al-Falak

48. Al-Qasas

77. Al-Haqah

20. An-Nas

49. Bani Israil

78. Al-Ma'arij

21. Al-Ikhlas

50. Yunus

79. An-Naba'

22. An-Najm

51. Hud

80. An-Nazi'at

23. 'Abasa

52. Yusuf

81. Al-Infithar

24. Al-Qadr

53. Al-Hijr

82. Al-Insyiqaq

25. Asy-Syams

54. Al-An'am

83. Ar-Rum

26. Al-Buruj

55. Ash-Shafat

84. Al-Ankabut

27. At-Tin

56. Luqman

85. Al-Muthaffifin

28. Quraisy

57. Saba'

29. Al-Qari'ah

58. Az-Zumar

Inilah surat-surat yang diturunkan di Makkah.

Sedangkan yang turun di Madinah (secara berurutan) adalah sebagai berikut :

86. Al-Baqarah

96. Ar-Rahman

106. Al-Hujurat

87. Al-Anfal

97. Al-Insan

107. At-Tahrim

88. Ali Imran

98. Ath-Thalak

108. Al-Jum'ah

89. Al-Ahzab

99. Al-Bayyinah

109. At-Taghabun

90. Al-Mumtahanah

100. Al-Hasyr

110. Ash-Shaf

91. An-Nisa'

101. An-Nasr

111. AI-Fath

92. Az-Zalzalah

102. An-Nur

112. Al-Maidah

93. Al-Hadid

103. Al-Haj

113. Al-Bara'ah.3)

94. Al-Qital

104. Al-Munafiqun


95. Ar-Ra'd

105. Al-Mujadalah




Menimbang Hadis Ibnu Abbas dan Lainnya
Seperti telah Anda ketahui bahwa hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas di atas mengatakan bahwa jumlah surat Al-Quran adalah seratus tiga belas, dan dia tidak menyebut al-F.atihah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Ikrimah disebutkan bahwa jumlah surat AI-Quran adalah seratus sebelas, dan di dalamnya tidak disebutkan surat-surat al-Fatihah, al-A'raf dan as-Syura. Al-Baihaqi juga meriwayatkan sebuah hadis dari Ibnu Abbas, yang di dalamnya disebutkan bahwa jumlah seluruh surat Al-Quran adalah seratus empat belas.4) Ada dua per­bedaan antara dua riwayat ini dan hadis Ibnu Abbas di atas.

Pertama, kedua riwayat ini menyebutkan Surat al-Muthaffifin sebagai termasuk surat Madaniah, sedangkan hadis Ibnu Abas memasukkannya ke dalam kelompok surat Makkiah.

Kedua, dalam dua riwayat ini, urut-urutan surat-surat Al-Quran berbeda dengan urut­urutan yang disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas di atas.

Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalhah sebuah hadis lain yang menyatakan bahwa surat-surat di bawah ini diturunkan di Madi­nah, yaitu: al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa', al-Maidah, al-Anfal, at-Taubah, al-Haj, an-Nur, al-Ahzab, Muhammad, al-Fath, al­Hadid, al-Mujadalah, al-Hasyr, al-Mumtahanah, al-Hawariyyin (ash­Shaf), at-Taghabun, ath-Thalaq, at-Tahrim, al-Fajr, a:-Lail, al-Qadr, al-Bayyinah, az-Zalzalah dan an-Nasr. Selebihnya diturunkan di Makkah.5) Tampaknya hadis dari Ali bin Abi Thalhah ini ber­maksud membedakan antara surat-surat Makkiah dan Madaniah tanpa mempertimbangkan urutan turunnya, karena tak pelak lagi dua surat (al-Maidah dan at-Taubah) terletak sesudah surat yang sering disebut-sebut (an-Nisa' dan al-Anfal). Hadis ini memasukkan al-Fajr, al-Lail dan al-Qadr ke dalam kelompok Madaniah, se­mentara hadis-hadis terdahulu memasukkannya ke dalam kelompok Makkiah. Hadis ini juga memasukkan surat-surat ar­Ra'd, ar-Rahman, al-Insan, al-Jum'ah dan al-Hujurat ke dalam kelompok Makkiah, padahal dalam hadis-hadis terdahulu dimasukkan ke dalam kelompok Madaniah.

Sedangkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Qatadah dikatakan bahwa di Madinah diturunkan surat-surat: al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa', al-Maidah, Bara'ah, ar-Ra'd, an­Nahl, al-Haj, an-Nur, al-Ahzab, Muhammad, al-Fath, al-Hujurat, al-Hadid, ar-Rahman, al-Mujadalah, al-Hasyr, al-Mumtahanah, ash­Shaf, al-Jum'ah, al-Munafiqun, at-Taghabun, ath-Thalak, at-Tahrim, az-Zalzalah dan an-Nasr. Selebihnya diturunkan di Makkah.6) Hadis ini menyalahi hadis-hadis terdahulu, khususnya hadis lain yang diriwayatkan dari Qatadah sendiri mengenai surat al-Muthaffifin, al-Insan dan al-Bayyinah. Tidak mungkin menjadikan hadis­hadis ini sebagai sandaran, karena tidak mempunyai nilai sebagai hadis keagamaan dan catatan kesejarahan. Arti dari tidak mempunyai nilai keagamaan ialah karena sanad-nya tidak bersambung sampai kepada Rasulullah s.a.w., dan tidak diketahui apakah Ibnu Abbas mempelajari urutan turunnya surat-surat itu dari Nabi s.a.w. atau orang lain, atau hasil pemikirannya sendiri. Sedangkan arti dari tidak mempunyai nilai sebagai catatan sejarah ialah karena Ibnu Abbas mengalami hanya masa sebentar bersama Rasulullah s.a.w., sehingga dia tidak dapat menyaksikan proses turunnya seluruh surat dan ayat Al-Quran. Jika tentang urutan turunnya surat-surat ini bukan hasil pemikirannya sendiri, berarti ia meriwayatkannya dari seseorang yang tidak diketahui. Karena tidak jelas sumbernya, maka ia tidak memiliki nilai dalam dunia ilmiah.

Sekiranya sahih, hadis-hadis ini termasuk hadits ahad. Dalam ushul fiqh telah dijelaskan bahwa hadits ahad bukan merupakan hujah dalam masalah di luar fikih. Jika demikian, satu-satunya jalan untuk mengetahui Makkiah dan Madaniah adalah merenungkan dan inengkaji ayat-ayat Al-Quran, sampai di mana kesesuaiannya dengan yang berlangsung sebelum atau sesudah hijrah. Jalan ini sangat bcrguna untuk membedakan antara Makkiah dan Madaniah. Kandungan surat al-Insan, al-'Adiyat dan al-Muthaffifin membuktikan bahwa surat-surat ini adalah Madaniah, meskipun dalam beberapa hadis disebutkan sebagai Makkiah.


Catatan Kaki:

1). Surat al-Baqarah diturunkan pada tahun pertama Hijrah. Kebanyakan ayatnya ber­isi teguran kepada orang-orang Yahudi yang mengalang,alangi kemajuan Islam, dan selebihnya menetapkan beberapa ketentuan hukum, seperti perubahan kiblat, kewajiban puasa, haji dan lain-lain. Surat al-Hasyr diturunkan khusus tentang pengusiran kaum Yahudi Bani Nadhir. Dan surat al-‘Adiyat diturunkan khusus tentang orangorang Arab Wadi Yabis, atau yang lain.

2). Surat an-Nisa' membicarakan hukum-hukum perkawinan dan pewarisan. Surat al­Anfal membicarakan harta rampasan perang dan tawanan perang. Dan surat at-Thalak membicarakan hukum-hukum talak.

3). As-Suyuthi, al-Itqan, I, h. 10. Dikutip dari Ibnu Dhiris, Fadhailul Quran.

4). Ibid.

5). Ibid.

6). Ibid., h.11.




Kodifikasi AI-Quran
Pembicaraan tentang kodifikasi (penyusunan) Al-Quran harus dilakukan dalam dua tahap:


1. Al-Quran sebelum wafat Rasulullah
Al-Quran diturunkan ayat demi ayat dan surat demi surat. Karena kefasihan dan keindahan bahasanya luar biasa, ia tersebar dengan cepat dan menakjubkan. Orang-orang Arab, yang sangat menggandrungi kefasihan dan keindahan bahasa, tertarik kepada­nya, sehingga dari tempat-tempat yang jauh mereka datang untuk mendengarkan beberapa ayat dari bibir Nabi Muhammad s.a.w. Para pembesar Makkah dan kalangan berpengaruh suku Quraisy adalah penyembah-penyembah berhala dan musuh-musuh Islam. Mereka berupaya keras menjauhkan orang ramai dari Nabi, dan tidak memberi kesempatan untuk mendengarkan Al-Quran, dengan alasan bahwa Al-Quran itu adalah sihir yang dilontarkan kepada mereka. Meskipun demikian, secara sembunyi-sembunyi dalam malam-malam yang gelap, mereka datang mendekati rumah Nabi untuk mendengarkan ayat-ayat Al-Quran yang sedang beliau baca.

Kaum Muslimin juga bersungguh-sungguh dalam menghapal dan mempelajari Al-Quran, karena Nabi s.a.w. diperintahkan untuk mengajarkan Al-Quran kepada mereka (QS 16:44), dan karena mereka berkeyakinan bahwa Al-Quran adalah firman Allah dan merupakan sandaran pertama bagi keimanan-keimanan keagamaan, dan sebab dalam salat mereka diwajibkan untuk mem­baca surat al-Fatihah dan surat yang lain.

Setelah Nabi Muhammad s.a.w. hijrah ke Madinah, dan urusan kaum Muslimin menjadi teratur, beliau memerintahkan kepada sekelompok sahabatnya untuk memperhatikan keadaan AI-Quran, mengajarkan, mempelajari dan menyebarkannya. Wahyu itu dicatat hari demi hari sehingga tidak musnah, dan mereka dibebaskan dari wajib militer, seperti ditegaskan dalam Al-Quran (QS 9: 122).

Mengingat kenyataan bahwa sebagian besar sahabat buta huruf, tidak mengetahui tulis-baca, maka Rasulullah memanfaatkan para tawanan Yahudi. Beliau memerintahkan kepada setiap tawanan itu untuk mengajar beberapa orang sahabat. Dengan cara inilah maka sekelompok sahabat menjadi mengetahui tulis-baca.

Dalam kelompok itu terdapat beberapa sahabat yang tekun membaca Al-Quran, menghapal dan memelihara surat-surat dan ayat-ayatnya. Mereka inilah yang kemudian dikenal dengan sebut­an al-qurra’. Ketika pecah perang Bir Ma'unahempat puluh atau tujuh puluh al-qurra’ gugur.7) Ayat-ayat yang diturunkan secara bertahap, ditulis pada papan-papan, kulit domba atau pelepah kurma, dan dihapal.

Tidak dapat diragukan dan diingkari bahwa sebagian besar surat Al-Quran tersebar luas melalui para sahabat sebelum Rasulul­lah wafat. Nama-nama dari kebanyakan surat itu telah disebutkan dalam banyak hadis yang diriwayatkan oleh golongan Syi'ah maupun Ahlus Sunnah. Hadis-hadis itu menjelaskan bagaimana Nabi menyampaikan dakwah Islam, bagaimana beliau melakukan salat dan membaca Al-Quran. Demikian pula, dalam beberapa hadis kita menemukan nama-nama tertentu surat-surat Al-Quran sebelum Rasulullah wafat, seperti at-Thawal, al-Ma'in, al-Matsani dan al-Mafshalat.



2. Sesudah Rasulullah wafat
Sesudah Rasulullah wafat, Ali - yang oleh Nabi dikukuhkan sebagai orang yang paling tahu tentang Al-Quran - diam di rumah­nya untuk menghimpun Al-Quran dalam satu mushaf menurut urutan turunnya.8) Dan belum enam bulan sejak wafatnya Rasulullah, dia telah merampungkan penghimpunan itu dan mengusungnya ke atas punggung unta.9)

Satu tahun sesudah Rasulullah wafat,10) pecah perang Ya­mamah yang merenggut korban tujuh puluh orang qurra’. Pada waktu itu khalifah berpikir untuk menghimpun surat-surat dan ayat-ayat Al-Quran dalam satu mushaf, karena khawatir akan ter­jadi perang lagi serta khawatir akan punahnya para qurra’ dan hilangnya Al-Quran karena kematian mereka. Khalifah memerin­tahkan kepada sekelompok qurra` sahabat di bawah pimpinan Zaid bin Tsabit untuk menghimpun Al-Quran. Mereka menghimpun dari papan-papan, pelepah-pelepah kurma, dan kulit-kulit domba yang terdapat di rumah Nabi yang ditulis oleh para penulis wahyu, dan tulisan-tulisan yang ada pada sahabat-sahabat yang lain. Setelah menyelesaikan penghimpunan itu, mereka menyalin be­berapa naskah dan dibagikan ke beberapa negeri Islam.

Sesudah khalifah ketiga mengetahui bahwa Al-Quran terancam perubahan dan penggantian akibat sikap mempermudah dalam menyalin dan memeliharanya, dia memcrintahkan untuk meng­ambil mus-haf yang disimpan oleh Hafsah, yakni naskah pertama di antara naskah-naskah khalifah pertama, dan memerintahkan kepada lima orang sahabat, yang di antaranya Zaid bin Tsabit, untuk menyalin mus-haf tersebut. Khalifah ketiga juga memerintahkan agar semua naskah yang terdapat di negeri-negeri Islam dikumpulkan dan dikirimkan ke Madinah, kemudian dibakar.11)

Mereka menulis lima naskah Al-Quran. Satu naskah ditinggal di Madinah dan empat yang lainnya dibagi-bagikan ke Makkah, Suriah, Kufah dan Basrah. Masing-masing satu buah. Ada yang mengatakan bahwa selain lima naskah ini, ada satu naskah yang dikirimkan ke Yaman, dan satu lagi ke Bahrain. Naskah inilah yang dikenal dengan scbutan Mus-haf Imam dan semua naskah Al­Quran ditulis menurut salah satu dari kelima naskah ini. Semua naskah ini dan mus-haf yang ditulis melalui perintah khalifah pertama tidak berbeda, kecuali dalam satu hal, yaitu bahwa surat al-Bara'ah dalam mus-haf khalifah pertama diletakkan di antara surat-surat mi'un,*) dan surat al-Anfal diletakkan di antara surat­surat matsani.**) Sedangkan dalam Mus-haf Imam, surat al-Anfal dan al-Bara'ah diletakkan di antara surat al-A'raf dan Yunus.




8
MENGUNGKAP RAHASIA AL QUR'AN

sambungan BAB V...

Penjagaan terhadap AI-Quran
Telah kami paparkan bahwa ayat-ayat dan surat-surat Al­Quran tersebar di kalangan kaum Muslimin sebelum dilakukannya penghimpunan yang pertama dan kedua. Mereka sangat memper­hatikan keadaannya. Telah kami paparkan pula bahwa seke­lompok sahabat dan tabi'in adalah qurra`, dan penghimpunan Al­Quran telah selesai dilakukan dengan disaksikan oleh mereka. Mereka menerima mus-haf yang dihimpun di bawah pengawasan mereka dan menyalinnya tanpa menambah dan mengurangi.

Ketika dilaksanakan penghimpunan yang kedua, huruf wawu
( ) bermaksud dibuang dari


(QS 9:34), maka mereka mencegahnya. Ubay bin Ka'b, seorang sahabat Nabi, mengancam dengan menggunakan pedang jika mereka tidak mempertahankan huruf wawu tersebut. Akhirnya mereka pun mempertahankannya.

Ketika menjabat khalifah, Umar bin Khattab membaca bagian ayat

dari QS 9:100 :

tanpa wawu ( ), maka mereka memprotesnya dan mengharuskan agar dia membacanya dengan wawu.12)

Imam Ali, meskipun merupakan orang yang pertama kali menghimpun Al-Quran menurut urutan turunnya, dan meskipun mereka menolak himpunannya serta tidak menyertakannya dalam penghimpunan pertama maupun kedua, tidak memperlihatkan sikap menentang. Bahkan ia menerima mus-haf itu dan tidak menyatakan apa pun tentang masalah ini sampai ia menjabat sebagai khalifah. Demikian pula para Imam Ahlul Bait. Putra Ali dan pengganti-penggantinya tidak menentang masalah ini dan tidak mengatakan apa pun, meski kepada sahabat terdekat mereka. Bahkan mereka selalu menggunakan mus-haf itu sebagai pegangan dan menyuruh kaum Syi'ah untuk membaca Al-Quran sebagai­ mana kebanyakan kaum Muslimin membacanya.13)

Dengan tegas dapat kami katakan bahwa diamnya Imam Ali - yang mus-haf himpunannya, dalam hal urut-urutan surat dan ayat, berbeda dengan mus-haf yang lazim - adalah karena urutan turunnya Al-Quran tidak begitu penting dalam menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, suatu hal yang diperhatikan oleh Ahlul Bait. Tetapi, yang penting dalam penafsiran seperti itu adalah memperhatikan keseluruhan ayat AI-Quran dan membandingkan yang satu dengan yang lain, karena Al-Quran adalah sebuah kitab suci yang abadi untuk semua zaman dan bangsa, yang maksud­maksudnya tidak mungkin terbatasi ruang dan waktu, atau peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi turunnya, atau yang lain.

Memang, ada gunanya juga mengetahui dimensi-dimensi ini, yaitu seperti mengetahui sejarah lahirnya beberapa pengetahuan, hukum, dan kisah yang berbarengan dengan turunnya ayat-ayat Al-Quran, dan mengetahui bagaimana kemajuan dakwah Islam selama dua puluh tiga tahun, dan lain-lain. Tetapi, memelihara kesatuan Islam yang senantiasa ditekankan oleh para Imam Ahlul Bait adalah lebih penting daripada keuntungan-keuntungan tambahan.




Qira-ah, Penghapalan dan Periwayatan Al-Quran
Telah berulang-ulang kami katakan bahwa sekelompok orang tertentu di zaman Rasul menekuni bacaan (qira-ah) Al-Quran, mengajarkan dan mempelajarinya. Mereka selalu ingin mengetahui ayat-ayat yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad s.a.w., kemudian menghapalkannya. Dan terkadang mereka membaca ayat-ayat itu di hadapan Nabi agar disimak.

Sebagian mereka menjadi guru. Orang-orang yang belajar qira-ah kepada mereka meriwayatkannya dengan menyebutkan sanad-nya dan mereka sering menghapalkan qira-ah yang diriwayatkan dari seorang guru. Penghapalan dan periwayatan seperti ini memang sesuai untuk masa itu, karena tulisan yang digunakan pada waktu itu adalah tulisan kufi. Dalam tulisan ini satu kata dapat dibaca dengan beberapa cara. Oleh karena itu, harus belajar langsung kepada guru, kemudian menghapalkan dan meriwayat­kan.

Selain itu, kebanyakan orang pada waktu itu masih buta huruf, tidak bisa tulis-baca dan belum mengenal cara menjaga pelajaran selain menghapal dan meriwayatkan. Cara ini juga terus diikuti dalam masa-masa berikutnya.




Para Qurra’
Kelompok pertama para qurra’ adalah para qurra’ dari kalang­an sahabat Nabi yang tekun mengajar dan belajar di masa hidup beliau. Sebagian dari mereka telah menghimpun Al-Quran seluruhnya, di antaranya adalah seorang wanita yang dikenal dengan nama Ummi Waraqah binti Abdullah bin Harits.14) Yang dimaksud dengan menghimpun Al-Quran - yang dalam beberapa hadis Nabi dihubungkan dengan empat, lima, enam sahabat Anshar atau lebih - adalah mempelajari dan menghapal Al-Quran, bukan menata dan menyusun surat-surat dan ayat-ayat Al-Quran dalam satu mus-haf. Jika tidak demikian, maka tidak ada artinya penyusunan dan penataan yang dilakukan pada masa khalifah pertama dan ketiga. Adapun penjelasan yang terdapat dalam sebagian hadis bahwa Nabi Muhammad sendiri menentukan tempat ayat-ayat dan surat-surat Al-Quran, dibantah oleh banyak hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah sendiri.

Menurut keterangan beberapa ulama, sebagian qurra’ dari ke­lompok ini terkenal sebagai pengajar Al-Quran. Mereka itu adalah Usman, Ali, Ubay bin Ka'b, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas'ud dan Abu Musa al-Asy'ari.15)

Kelompok kedua adalah murid-murid dari kelompok pertama. Mereka ini adalah dari generasi tabi'in dan mempunyai halqah (kelas belajar} di kata-kota Makkah, Madinah, Kufah, Basrah dan Suriah. Ke kota-kota inilah Mus-haf Imam dikirimkan, seperti telah dijelaskan di depan.

Di antara mereka yang tinggal di Makkah adalah Ubaid bin 'Umair, 'Atha' bin Abi Rabah, Thawus, Mujahid, Ikrimah, Ibnu Abi Malikah dan lain-lain. Yang tinggal di Madinah adalah Ibnul Musayyab, 'Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman bin Yasar, Atha' bin Yasar, Mu'az al-Qari, Abdullah bin al-A'raj, Ibnu Syihab az-Zuhri, Muslim bin Jundub dan Zaid bin Aslam. Yang tinggal di Kufah adalah al-Qamah, al-Aswad, Masruq, 'Ubaidah, Amr bin Syurahbil, Harits bin Qa.is, Rabi' bin Khaitsam, Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman as-Sulami, Zir bin Jaisy, 'Ubaid bin Naflah, Sa'id bin Jubair an-Nakha'i dan asy-Sya'bi. Yang tinggal di Basrah adalah Abu 'Aliyah, Abu Raja', Nasr bin 'Ashim, Yahya bin Ya'mar, Hasan al-Basri, Ibnu Sirin dan Qatadah. Yang tinggal di Suriah adalah Mughirah bin Abi Syihab, seorang murid Usman, dan Khalifah bin Sa'id, seorang murid sahabat Abu Darda .

Kelompok ketiga adalah para qurra’ yang hidup kurang lebih pada pertengahan pertama abad kedua Hijrah. Mereka itu adalah sekelompok imam qurra’ yang belajar kepada kelompok kedua. Di antara mereka yang tinggal di Makkah adalah Ibnu Katsir, salah seorang dari tujuh imam qira-ah. Humaid bin Qais al-A'raj dan Muhammad bin Abi Muhaisin. Yang tinggal di Madinah adalah Abu Ja'far Yazid bin al-Qa'qa', Syaibah bin an-Nafah dan Nafi' bin Nu'aim, salah seorang dari tujuh imam qira-ah. Yang tinggal di Kufah adalah Yahya bin Watsab, 'Ashim bin Abin Najud, Hamzah dan Kisa'i. Tiga orang yang disebut terakhir termasuk tujuh imam qira-ah. Yang tinggal di Basrah adalah Abdullah bin Abi Ishak, Isa bin Umar, Abu Amr bin al-'Ala', salah seorang dari tujuh imam qira-ah, 'Ashim al Jahdari dan Ya'kub al-Hadhrami. Yang tinggal di Suriah adalah Abdullah bin 'Amir, salah seorang dari tujuh imam qira-ah, 'Athiyah bin Qais al-Kilabi, Ismail bin Abdullah bin Muhajir, Yahya bin Harits dan Syuraih bin Yazid al-Hadhrami.

Kelompok keempat adalah para murid dan orang-orang yang meriwayatkan qira-ah dari kelompok ketiga, seperti Ibnu 'Iyasy, Hafs dan Khalaf. Kami akan menyebutkan beberapa orang yang terkenal di antara mereka dalam pembahasan yang akan datang. Kelompok kelima adalah para pengkaji dan penyusun ilmu qira-ah. Mereka itu adalah Abu 'Ubaid al-Qasim bin Salam, yang dikatakan sebagai orang yang pertama kali menyusun buku ten­tang yira-ah,16) Ahmad bin Jubair al-Kufi dan Ismail bin Ishak al­Maliki, dua orang murid Qalun, Abu Ja'far bin Jarir ath-Thabari dan Mujahid. Sesudah mereka ini, medan pembahasan dan peng­kajian ilmiah tentang ilmu qira-ah bertambah luas sehingga orang­orang seperti ad-Dani dan asy-Syatibi17) menulis risalah dalam bentuk puisi maupun prosa.




Tujuh Imam Qira-ah
Di antara para qurra’ kelompok ketiga yang paling banyak dikenal adalah tujuh orang imam qira-ah. Mereka ini menjadi rujukan dalam ilmu qira-ah dan mengalahkan imam-imam yang lain. Dari masing-masing tujuh imam itu dikenal dua orang perawi di antara sekian banyak perawi yang tidak bisa dihitung jumlah­nya. Nama-nama tujuh imam dan dua orang perawinya itu adalah sebagai berikut:

Ibnu Katsir dari Makkah.18) Dua orang perawinya adalah Qanbul dan Bizzi yang meriwayatkan qira-ah darinya melalui se­orang perantara.

Nafi' dari Madinah.19) Dua orang perawinya adalah Qalun dan Warasy.

Ashim dari Kufah.20) Dua orang perawinya adalah Abu Bakar Syu'bah bin al-'Iyasy dan Hafs. Al-Quran yang ada di kalangan kaum Muslimin dewasa ini adalah memakai qira-ah Ashim yang diriwayatkan oleh Hafs.

Hamzah dari Kufah.21) Dua orang perawinya adalah Khalf dan Khatlad yang meriwayatkan qira-ah darinya melalui satu perantara.

Al-Kisa'i dari Kufah.22) Dua orang perawinya adalah Dauri dan Abul Harits.

Abu Amr bin al-'Ala' dari Basrah.23) Dua orang perawinya ada­lah Dauri dan Sausi yang meriwayatkan qira-ah darinya melalui seorang perantara.

Ibnu 'Amir.24) Dua orang perawinya adalah Hisyam dan Ibnu Zakwan yang meriwayatkan melalui satu perantara.25)

Kemasyhuran qira-ah sab’ah (tujuh qira-ah yang diriwayatkan dari tujuh imam qira-ah di atas) diiringi oleh tiga qira-ah lain yang diriwayatkan dari Abu Ja'far, Ya'kub dan Khalaf.26)

Ada beberapa qira-ah lain yang tidak terkenal, seperti qira-ah yang disebutkan sebagai berasal dari sebagian sahabat, qira-ah syadz (tidak populer) yang tidak boleh diamalkan, serta qira-ah - qira-ah yang terpencar-pencar yang dijumpai dalam beberapa hadis yang diriwayatkan dari para Imam Ahlul Bait. Mereka ini meme­rintahkan kepada pengikut-pengikutnya untuk mengikuti qira-ah yang terkenal itu.

Mayoritas ulama Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa tujuh qira-ah di atas diriwayatkan secara mutawatir, sehingga sabda pada Nabi, "Al-Quran diturunkan dengan memakai tujuh huruf, 27) ditafsirkan oleh sebagian mereka sebagai diturunkan dengan me­makai tujuh qira-ah itu. Sebagian ulama Syi'ah juga condong kepada pendapat ini. Akan tetapi sebagian ulama menegaskan bahwa qira-ah-qira-ah yang terkenal itu tidak diriwayatkan secara mutawatir, Dalam al-Burhan, az-Zarkasyi menyatakan bahwa, menurut penyelidikan ilmiah, qira-ah- qira-ah itu memang diriwa­yatkan secara mutawatir dari tujuh imam itu. Akan tetapi diragukan, apakah ia diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi Muham­mad s.a.w. Sanad tujuh qira-ah itu memang terdapat dalam buku­buku qira-ah dan merupakan periwayatan seorang perawi dari seorang perawi yang lain.28)

Makki menyatakan, "Sungguh salah bila orang menganggap bahwa qira-ah para qura , seperti Nafi' dan 'Ashim, itu adalah tujuh huruf yang disebutkan dalam hadis Nabi (di atas)." Selanjut­nya ia menyatakan, "Anggapan ini membawa konsekuensi bahwa qira-ah di luar qira-ah tujuh imam itu, yang telah pasti diriwayat­kan dari imam-imam selain mereka dan sesuai dengan tulisan mus­haf, bukan merupakan Al-Quran. Ini merupakan kesalahan yang besar, sebab ahli-ahli qira-ah terdahulu yang menyusun buku-buku tentang qira-ah qira-ah AI-Quran, seperti Abu 'Ubaid al-Qasim bin Salam, Abu Hatim as-Sijistani, Abu Ja'far ath-Thabari dan Ismail al-Qadhi menyebutkan qira-ah- qira-ah yang jumlahnya beberapa lipat dari jumlah tujuh qira-ah itu.

Orang ramai pada awal tahun dua ratusan Hijrah di Basrah tertarik kepada qira-ah Abu Amr dan Ya'kub, di Kufah kepada Hamzah dan 'Ashim, di Suriah kepada Ibnu 'Amir, di Makkah kepada Ibnu Katsir, dan di Madinah kepada qira-ah Nafi'. Hal ini berlanjut terus. Kemudian di awal tahun tiga ratusan Hijrah, Ibnu Mujahid menetapkan nama Kisa'i dan membuang nama Ya'kub.

Makki menyatakan bahwa sebab diadakannya pembatasan pada tujuh qira-ah imam itu - padahal jumlah para imam qira-ah yang lebih berbobot, atau sama bobotnya dengan mereka, lebih banyak - adalah karena para perawi dari imam-imam itu banyak sekali. Maka setelah minat orang mulai berkurang, para perawi membatasi diri hanya pada qira-ah yang sesuai dengan mus-haf yang mudah dihapal dan benar untuk membaca Al-Quran. Mereka meneliti orang yang dikenal dapat dipercaya, jujur, lama menekuni qira-ah dan disepakati untuk dijadikan rujukan dalam qira-ah. Kemudian mereka memilih satu orang imam dari tiap-tiap daerah. Di samping itu mereka tidak meninggalkan periwayatan qira-ah yang diajarkan oleh selain tujuh imam qira-ah tersebut di atas, dan tidak meninggalkan pembacaan Al-Quran dengan qira-ah mereka itu, seperti qira-ah Ya'kub, Abu Ja'far, Syaibah dan lain-lain.

Selanjutnya Makki mengatakan bahwa seperti Ibnu Mujahid, Ibnu Jubair al-Makki juga menyusun sebuah buku tentang qira-ah- qira-ah Al-Quran. Dia membatasi lima buah qira-ah dengan memilih satu orang imam dari tiap-tiap daerah. Dia membatasi pada jumlah itu karena mus-haf-mus-haf yang dikirimkan Usman ke daerah-daerah berjumlah lima buah. Memang ada pendapat yang mengatakan bahwa Usman mengirimkan tujuh buah mus-haf : lima mus-haf untuk daerah-daerah yang telah disebutkan di atas, dan dua mus-haf untuk Yaman dan Bahrain, tetapi Ibnu Jubair tidak mendengar berita tentang dua mus-haf itu. Sedang Ibnu Mujahid dan lainnya bermaksud memelihara jumlah mus-haf itu. Maka dia memilih dua orang imam ahli qira-ah untuk mengganti­kan kedudukan dua mus-haf itu, dengan maksud melengkapi jumlah mus-haf tersebut, dan secara kebetulan jumlah itu sesuai dengan jumlah (huruf) yang disebutkan dalam hadis di atas. Ke­mudian orang yang tidak mengetahui latar belakang masalahnya dan kurang pengetahuannya mengira bahwa yang dimaksudkan dengan tujuh huruf itu adalah tujuh qira-ah di atas. Padahal sandaran tujuh qira-ah ini adalah kesahihan sanad dalam menerima qira-ah, kesesuaiannya dengan bahasa Arab dan rasam usmani (tulisan Mus-haf Imam).29)

Dalam asy-Syafi, al-Qurab menyatakan bahwa berpegang teguh pada tujuh qira-ah itu, bukan yang lain, tidak ada dasarnya dalam atsar maupun Sunnah. Tujuh qira-ah itu hanya merupakan pengumpulan ulama muta-akhir yang kemudian terkenal dan menimbulkan kesan tidak boleh diadakan penambahan terhadap jumlah itu. Hal ini tidak dikatakan oleh seorang ulama pun.30)

Catatan Kaki:

3). As-Suyuthi, al-Itqan, I, h. 10. Dikutip dari Ibnu Dhiris, Fadhailul Quran.

4). Ibid.

5). Ibid.

6). Ibid., h.11.

7). Ibid., h. 72.

8). Ibid., h. 59.

9). As-Sajistani, af-Mashahij.

10). As-Suyuthi, ibid., h. 59-60.

11). Ibid., h. 61.

12). As-Suyuthi, ad-Durrul Mantsur, III, h. 369.

13). Al-Wafi, V, h. 273.

14). Al-Itqan, I, 74.

15). Kelompok yang disebutkan dalam bab ini adalah kelompok yang disebutkan as­Suyuthi dalam al-Itqan. Untuk mengetahui riwayat hidup mereka secara terinci, baca buku-buku yang membahas tentang tokoh-tokoh periwayatan hadis.

16). Al-Itqan, I, h. 75.

17). Abu Amr Usman bin Said ad-I)ani dari Andalusia adalah seorang ahli qira-ah yang sangat terkenal dan mempunyai banyak karangan. Meninggal pada 444 H. Asy-Syatibi adalah seorang ahli qira-ah dan penghapal Al-Quran yang terkenal. Menulis buku menge­nai qira-ah yang diberi judul Qashidah Syatibiyah, terdiri atas 1120 bait puisi. Menirtggal di Kairo pada 590 H.

18). Abdullah bin Katsir dari Makkah. Belajar qira-ah kepada Abdullah bin Shaib, se­orang sahabat Nabi. Juga kepada Mujahid yang meriwayatkan qira-ah dari Ibnu Abbas dan Ali bin Abi Thalib. Meninggal pada 120 H.

19). Nafi' bin Abdurrahman bin Nu'aim al-Isfahani dari Madinah. Belajar qira-ah kepada Zaid bin Qa'qa' al-Qari dan Abu Maimunah, la adalah seorang budak yang dimerdekakan oleh Ummu Salamah. Meninggal pada 159 (169?) H di Madinah.

20). Ashim bin Abin Najud dari Kufah. Orang yang mendapatkan perlindungan (maula) dari Bani Huzaifah. Belajar qira-ah kepada Sa'd bin Iyas as-Syaibani dan Zir bin Hubaisy. Meninggal pada 127 (129?) H.

21). Hamzah bin Habib az-Zayyat at-Taimi dari Kufah. Seorang ahli hukum dan qira-ah. Belajar qira-ah kepada 'Ashim, A'masy, as-Sabi'i dan Manshur bin al-Mut'tamir. Juga ke­ Imam Syi'ah yang keenam, yakni Ja'far Shadiq, dan merupakan murid Imam ini. Dia mempunyai banyak karangan dan merupakan orang yang pertama kali mengarang tentang ayat-ayat mutasyabih. Meninggal pada 156 H.

22). Ali bin Hamzah bin Abdullah bin Fairuz al-Farisi dari Kufah, Baghdad. Seorang ahli nahwu dan qira-ah. Guru dan pengasuh al-Amin dan al-Makmun (dua orang putra Khalifah Harun ar-Rasyid). Mempelajari nahwu dari Yunus dan Khalil bin Ahmad al­Farahidi. Dan mempelajari qira-ah dari Hamzah dan Syu'bah bin 'lyasy. Meninggal antara 179 - 193 H di dekat kota Ray ketika menemani Khalifah Harun ar-Rasyid yang dalam perjalanan menuju Thus.

23). Abu Amr Zabban bin al-'Ala'. Meriwayatkan qira-ah dari Abu Abdurrahman as­Sulami yang mempelajarinya dari Ali bin Abi Thalib. Belajar qira-ah kepada al-Baghdadi, seorang ahfi sastra dan guru qira-ah, dan para tabi'in. Meninggal pada 154 -- 159 H di Kufah.

24). Abdullah bin 'Amir as-Syafi'i dari Damaskus. Mempelajari qira-ah dari Abu Darda , seorang sahabat Nabi. Juga dari murid-murid Usman bin Affan. Meninggal di Damaskus pada 118 H.

25). Mereka berbeda pendapat tentang para perawi yang meriwayatkan dari tujuh imam qira-ah. Yang kami sebutkan di sini sesuai dengan yang disebutkan oleh as-Suyuthi dalam al-Itqan.

26). Abu Ja'far Yazid bin al-Qa'qa' dari Madinah adalah maula Ummi Salamah. Meriwayatkan qira-ah dari Abdullah bin 'lyasy al-Mahzumi dari Ibnu Abbas dari Abu Hurairah dari Rasulullah s.a.w. Meninggal di Madinah antara 128 - 133 H. Ya'kub bin Ishak al-Basri al-Hadhrami adalah seorang ahli hukum Islam dan sastra. Meriwayatkan qira-ah dari Salam bin Sulaiman dari 'Ashim dari As-Sulami dari Ali. Meninggal pada 205 H. Khalaf bin Hisyam al-Bazaz, seorang ahli qira-ah dan meriwayatkan qira-ah dari Hamzah. Mempelajari qira-ah dari Malik bin Anas dan Hammad bin Zaid. Dan Abu 'Uwanah mcriwayatkan qira-ah darinya. Meninggal pada 229 H.

27). Al-Itqan, I, h. 47. Hadis ini diriwayatkan oleh dua puluh satu orang sahabat. Ada juga sebagian orang yang menganggapnya sebagai mutawatir.

28). Ibid., h.82.

29). Ibid.

30). Ibid h.83.




Jumlah Ayat Al-Quran
Jumlah ayat Al-Quran telah ada pada zaman Rasul. Ada be­berapa hadis yang menyebutkan suatu jumlah tertentu dari ayat­ayat suatu surat, seperti sepuluh ayat dari surat Ali Imran, umpamanya. Bahkan ada pula beberapa hadis yang menyebutkan jumlah ayat suatu surat, seperti surat al-Fatihah itu terdiri atas tujuh ayat,31) dan surat al-Mulk itu terdiri atas tiga puluh ayat.32)

Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah keseluruhan ayat Al-Quran. Ada enam pendapat yang dikemukakan oleh ad-Dani: ada yang mengatakan jumlahnya 6000, 6204, 6214, 6219, 6225, dan ada yang mengatakan jumlahnya 6236 ayat.33) Dua di antara enam pendapat itu dikemukakan oleh ulama Madinah, dan empat yang lainnya oleh ulama-ulama dari kota-kota lain yang dikirimi mus-haf Usman; yakni Makkah, Kufah, Basrah dan Suriah. Setiap orang yang mengemukakan satu pendapat dari enam pen­dapat di atas menyandarkan pendapatnya kepada sebagian sahabat. Kemudian para ulama menganggap pendapat-pendapat itu sebagai riwayat-riwayat yang sanad-sanad-nya berhenti kepada sahabat (mauquf), lalu dinisbatkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Oleh karena itu, mayoritas ulama menganggap jumlah dan pemisahan ayat-ayat itu sebagai tauqifi (ditentukan oleh Nabi sendiri).

Ulama-ulama Madinah, seperti telah dikatakan tadi, menge­mukakan dua pendapat. Yang pertama dikemukakan oleh Abu Ja'far Yazid bin al-Qa'qa' dan Syaibah bin Nashah, dan yang kedua oleh Ismail bin Ja'far bin Abi Katsir al-Anshari. Jumlah yang dikemukakan oleh ulama Makkah adalah jumlali yang di­kemukakan oleh Ibnu Katsir yang meriwayatkannya dari Mujahid dari Ibnu Abbas dari Ubay bin Ka'b. Jumlah yang dikemukakan oleh ulama Kufah adalah jumlah yang dikemukakan oleh Kisa'i, Hamzah dan Khalaf. Hamzah meriwayatkan jumlah itu dari Ibnu Abi Laila dari Abu Abdurrahman as-Sulami dari Ali bin Abi Thalib a.s. Jumlah yang dikemukakan oleh ulama Basrah adalah yang dikemukakan oleh 'Ashim bin al-'Ajaj al-Jahdari. Sedangkan jumlah yang dikemukakan oleh ulama Suriah adalah jumlah yang disebutkan oleh Ibnu Zakwan dan Hisyam bin Ammar. Jumlah itu dinisbatkan kepada Abu Darda 34)

Perbedaan pendapat tentang jumlah keseluruhan ayat Al­Quran itu disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat tentang jumlah ayat tiap-tiap surat. Para ulama juga menyebutkan jurnlah huruf dan kata dari tiap-tiap surat, dan jumlah keseluruhan huruf dan kata Al-Quran. Tetapi, saat ini kami tidak perlu menyebutkan perinciannya di sini.




Nama Surat-Surat Al-Quran
Pembagian Al-Quran menjadi ayat-ayat dan surat-surat me­rupakan pembagian yang dikemukakan oleh Al-Quran sendiri. Dalam beberapa tempat, Allah telah menegaskan dengan kata "surat". Dia berfirman:

"Sebuah surat yanq telah Kami turunkan..... " (QS 24:1)

"Apabila telah dlturunkan suatu surat..... " (QS 9:86)

"Maka datangkanlah sebuah surat..... " (QS 2:23)

Pemberian nama surat-surat itu sesuai dengan tema yang di­bicarakan di dalamnya, atau nama itu sendiri terdapat di dalam­nya, seperti al-Baqarah, Ali Imran, al-Isra' dan at-Tauhid. Dalam naskah-naskah kuno AI-Quran, sering dituliskan

(Surat yang membicarakan sapi betina [al-Baqarah] ) dan

(Surat yang membicarakan keluarga Imran [Ali Imran] ).

Kadang-kadang beberapa kata dari suatu surat dipakai untuk menamakan surat itu, seperti surat Iqra' Bismi Rabbika, surat Inna Anzalnahu, surat Lam Yakun dan lain-lain. Dan terkadang sifat suatu surat dipakai untuk menamakan surat itu, seperti surat Fatihatul Kitab,35) surat Ummul Kitab dan as-Sab'ul Matsani, surat al-Ikhlas,36) surat Nisabatur Rabbi dan lain-lain. Nama-nama dan sifat-sifat ini telah ada pada masa awal Islam berdasarkan kesaksi­an atsar dan sejarah. Bahkan nama-nama sebagian surat Al-Quran telah disebutkan dalam beberapa hadis Nabi, seperti surat al­Baqarah, Ali Imran, Hud dan surat al-Waqi'ah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa banyak dari nama surat-surat ini telah ditentukan di zaman Nabi, karena nama-nama tersebut sering di­pakai dan bukan merupakan sesuatu yang ditentukan oleh Nabi secara syar'i.




Tulisan dan I'rab Al-Quran
Pada zaman Nabi dan abad pertama serta kedua Hijrah, Al­Quran ditulis dengan khath (tulisan) kufi. Karena ada kesalahan pada kebanyakan kata khath ini, maka para sahabat dan yang lain berpedoman kepada hapalan, periwayatan dan para qurra’, sebagai­mana yang telah kami sebutkan di atas. Meskipun demikian, tetap ada sedikit kesalahan pada orang-orang awam, dan hanya para penghapal Al-Quran dan perawi saja yang mengetahui bacaan Al­Quran yang benar. Oleh karena itu, bukan merupakan sesuatu yang mudah untuk membuka dan membaca mus-haf dengan benar. Oleh karena itu, Abul Aswad ad-Duwali membuat dasar-dasar ilmu bahasa Arab dengan petunjuk dari Ali bin Abi Thalib a.s. Begitu pula, dalam masa sesudah itu ia membuat titik-titik huruf-huruf Arab dengan perintah seorang Khalifah Bani Umayyah, Abdul Malik bin Marwan.

Dengan demikian kekeliruan berkurang, tetapi belum semua­nya bisa dihilangkan sampai ketika Khalil bin Ahmad al-Farahidi37) penemu ilmul 'arudh, membuat bentuk-bentuk bagi cara pengucapan huruf-huruf Arab. Yakni mad, tasydid, fathah, kasrah, dhammah, sukun, tanwin bersama-sama tiga harakat sebelumnya, ar-raum dan al-isymam. Dengan ini maka hilanglah seluruh ke­keliruan itu. Sebelum al-Farahidi membuat tanda-tanda itu, di­pasanglah titik-titik untuk menunjuk harakat-harakat. Sebagai ganti dari fathah, dipasang titik di awal huruf. Sebagai ganti dari kasrah, dipasang titik di bawah huruf, Dan sebagai ganti dhammah, dipasang titik di atas huruf pada bagian akhirnya. Tetapi kadang­kadang cara ini malah menambah kebingungan (kekeliruan).

Catatan Kaki:

27). Al-Itqan, I, h. 47. Hadis ini diriwayatkan oleh dua puluh satu orang sahabat. Ada juga sebagian orang yang menganggapnya sebagai mutawatir.

28). Ibid., h.82.

29). Ibid.

30). Ibid h.83.

31). Ibid., h.68.

32). IIbid.,

33). IIbid.,h.69.

34). Ibid.

35). Surat al-Fatihah dinamakan "Fatihatul Kitab" karena terletak di awal AI-Quran, dan dinamakan "as-Sab'ul Matsani" karena terdiri atas tujuh ayat yang diulang-ulang.

36). Surat Qul Huwallah dinamakan al-lkhlas karena mengandung ajaran tauhid yang murni, dan dinamakan "Nisbatur Rabbi" karena mcnjelaskan sifat-sifat Allah. Nisbat di sini berarti sifat.

37). Al-Itqan, I, h. 171.

9