• Mulai
  • Sebelumnya
  • 6 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 45567 / Download: 679
Ukuran Ukuran Ukuran
TAKDIR MANUSIA

TAKDIR MANUSIA

pengarang:
Indonesia
TAQDIR MANUSIA TAKDIR MANUSIA

Oleh: Murtadha Muthahhari

Kata Pengantar
Buku yang Anda pegang sekarang ini adalah serangkaian tulisan Murtadha Muthahhari yang pemah populer di tahun 80-an. Seiring dengan perkembangan zaman, buku-buku itu hilang di pasaran. Pemikiran Muthahhari dan Dr. Ali Syari'ati pemah mengguncang dunia intelektual Indonesia, ketika buku-buku mereka, seolah-olah menjadi buku teks wajib non-kurikuler bagi para mahasiswa.

Untuk menghidupkan kembali gejolak intelektualisme di kalangan mahasiswa, dan memberikan—menggunakan bahasa Muthahhari—transfusi darah segar bagi stagnansi kehidupan bangsa kita, kami berusaha untuk menghadirkan kembali karya-karya besar dari para pemikir Islam ini. Muthahhari dan Syari'ati telah memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan gerakan dan pemikiran kaum Muslimin di seluruh dunia.

Semoga semangat mereka berdua abadi selamanya.

Muthahhari Paperbacks


PENDAHULUAN

Kemunculan dan Kejatuhan Muslimin
Persoalan qadha dan qadar bila dibahas, merupakan sesuatu yang bersifat filsafat dan memang dianggap demikian. Persoalan ilmiah dan kefilsafatan keduanya termasuk kategori khusus yang ditentukan oleh pokok persoalan dan kemajuan-kemajuan kajian yang dicapai masing-masing.

Filsafat, Matematika dan persoalan-persoalan alamiah dikelompokkan secara terpisah karena adanya berbagai sub judul dan sub kelompok yang dikaitkan dengan pokok persoalan ini. Dari keduanya pengajaran dan sudut pandang pokok masalah, persoalan-persoalan qadha dan qadar berasal dari kelompok yang sama dengan filsafat; namun di sini keduanya tidak akan dibahas secara filosofis.

Persoalan takdir ini akan dibahas dalam suatu rangkaian pembahasan di bawah topik, “Sebab-sebab Kejatuhan Kaum Muslimin”. Persoalan-persoalan ini dapat dibahas secara historis, kejiwaan, etika, keagamaan dan filsafat. Yang menghubungkan persoalan-persoalan ini satu sama lain adalah kajian atas dampak positif dan negatif pada kemunculan dan kejatuhan kaum Muslimin. Meskipun demikian, tujuan pengajuan pertanyaan ini adalah : Pertama, untuk mengetahui apakah kepercayaan kepada nasib mempengaruhi orang-orang beriman menjadi lamban dan malas, tanpa menghiraukan alasan kejatuhan dan kegagalan mereka? Apakah kepercayaan-kepercayaan itu merupakan jenis keyakinan yang tidak akan memiliki dampak yang tidak diinginkan, jika dipikirkan secara tepat. Kedua, bagaimana Islam telah mengajarkan keyakinan-keyakinan ini dan apakah akibat-akibat dari ajaran-ajaran Islam serta pengaruhnya pada perangai kaum Muslimin?

Saya tidak ingat persis kapan saya mulai mengenal sebab-sebab kejatuhan kaum Muslimin, dan kapan saya secara pribadi tertarik pada riset tentang ini, saya menyatakan secara pasti bahwa persoalan ini telah menarik perhatian saya lebih dari 20 tahun, dan saya telah mengkaji karya-karya lain tentang topik ini sepanjang waktu itu.

Kemudian, tatkala saya mendapati suatu penulisan atau masalah pembicaraan mengenai pokok masalah itu, saya menyimak dengan penuh hasrat dan sangat berkeinginan untuk mengetahui gagasan dan pandangan dari faktor yang lain. Pemah dalam suatu diskusi setelah ceramah tentang hadits Nabi "Islam merupakan agama yang paling unggul, dan tidak ada yang bisa melampauinya", kuliah itu diperluas sampai ke masalah ini. Walaupun apa yang telah saya dengar dan saya baca tentang pokok ini barangkali berguna, hal itu belum memuaskan saya; sejak saya menemukan diri saya sangat tertarik untuk memahami persoalan ini. Saya memutuskan untuk mempelajarinya sedalam mungkin, karena menemukan salah satu cara untuk reformasi di dunia Islam sekarang sangat tergantung pada pemahaman kita atas kejatuhannya pada masa lampau dan saat ini. Untuk mencapai hal itu, adalah sangat penting untuk meninjau kembali pandangan kaum Muslimin dan non-Muslimin yang ada dan kemudian untuk menghadirkan persoalan-persoalan ini, meski belum pemah diajukan dari sudut pandang ini hingga sekarang.

Saya telah mencatat keluasan topik dan menyadari bahwa jika ada beberapa studi yang memadai dan riset filosofis yang dilakukan, berlimpah persoalan yang bisa dikaji dan diselidiki. Penyelidikan atas semua ini adalah di luar kemampuan satu orang, atau memerlukan waktu paling sedikit beberapa tahun. Meskipun demikian, saya memutuskan untuk mengklasifikasikan dan meringkas materi-materi yang berhubungan dan membahas beberapa darinya sebagai contoh serta memberi yang lain dengan petunjuk-petunjuk itu. Beberapa macam simpati dan kerjasama telah dimunculkan untuk membahas suatu persoalan sosial Islam yang penting yang mengarah kepada suatu rangkaian yang sistematis dan pembahasan-pembahasan yang bermanfaat.

Tak disangkal lagi bahwa kaum Muslimin memiliki masa-masa kejayaan dan keagungan yang hebat sekali pada masa lampau. Bukan karena mereka telah mengatur dunia selama periode itu, menurut almarhum Adib Al-Mamalik Farahani, dan "telah meletakkan raja-raja di bawah penghormatan dan penguasaan lautan". Karena dunia telah melihat banyak penguasa dan penakluk yang memaksakan diri mereka sendiri atas yang lain untuk masa yang singkat, tetapi tidak bertahan lama. Mereka dilenyapkan dan dihancurkan secara gemilang. Mereka menyebabkan perubahan di dunia, dan membangun sebuah peradaban yang besar dan jaya yang berlangsung selama berabad-abad dan merupakan pembawa obor bagi umat manusia. Bahkan sekarang hal itu dianggap sebagai titik cerah dalam sejarah peradaban yang dibanggakan. Selama berabad-abad kaum muslimin telah menguasai seluruh dunia dalam sains, industri, filsafat, seni moralitas, serta organisasi-organisasi kemasyarakatan yang maju, yang dari itu orang lain mengambil banyak keuntungannya. Menurut penulis-penulis Barat yang jujur, peradaban Eropa baru yang hebat dan gemilang yang mengagumkan mata dan menakjubkan pikiran dengan keagungan di seluruh dunia itu, diilhami oleh kejayaan peradaban Islam.

Gustave Le Bon mengatakan "Beberapa orang Eropa malu untuk mengakui bahwa sebuah kelompok orang-orang kafir dan atheis- yang dimaksud adalah kaum Muslimin—telah menyebabkan Eropa Kristen meninggalkan kekejaman dan kebodohan, dan kemudian mereka menyembunyikannya. Pendapat ini sangat tidak berdasar dan memalukan sehingga ia dapat ditolak dengan mudah. Moral yang mempengaruhi orang-orang Arab yang diawali dengan Islam ini, telah mendahului bangsa-bangsa Eropa yang tidak beradab, yang menggulingkan kerajaan Romawi ke arah kemanusiaan. Juga pengaruh mental kaum Musliminlah yang memperkenalkan sains, keahlian dan filsafat, yang kita benar-benar tidak mengetahuinya. Jadi kaum Muslimin adalah pelopor kita selama enam ratus tahun".[1]

Will Durant dalam History of Civilization mengatakan "Kebangkitan dan kejatuhan peradaban Islam merupakan suatu peristiwa sejarah yang besar. Selama lima abad dari tahun 81 H sampai 597 H. Islam merupakan suatu kekuatan pelopor dalam disiplin, perluasan wilayah, moralitas, pengembangan standar kehidupan, hukum-hukum kemanusiaan yang adil, toleransi agama (menghormati pikiran-pikiran dan gagasan orang lain), kepustakaan, riset keilmiahan kedokteran dan filsafat di dunia".[2]

la juga menambahkan "Dunia Islam memiliki berbagai pengaruh pada dunia Kristen. Bangsa Eropa telah mempelajari makanan, obat-obatan, baju perang, jaminan keluarga, rasa seni, peralatan-peralatan industri, perdagangan, navigasi, dan mereka mengambil istilah-istilah itu dari kaum Muslimin. Sarjana-sarjana Muslim Arab telah memelihara dan memperbaiki Matematika Yunani, Ilmu Pengetahuan Alam, Kimia, Astronomi, dan Kedokteran Yunani dan mengalihkan warisan Yunani yang telah diperkaya untuk Eropa. Para Fisikawan Arab telah mempelajari dan mengubah karya-karya Aristoteles untuk Eropa. Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd menerangi filosof skolastik di Eropa. Pengaruh Islam dicapai melalui jalan-jalan perdagangan, Perang Salib dan terjemahan ribuan jilid buku-buku dari bahasa Arab ke dalam bahasa Latin dan perjalanan para Sarjana Guerbret, Edward Bani, Michel Scott dan lainnya ke Andalus".[3]

Will Durant mengatakan, "Hanya di zaman emas sejarah, satu bangsa telah dapat memiliki sebanyak mungkin tokoh-tokoh yang terkenal dalam politik, pendidikan, kesusasteraan, astronomi, geografi sejarah, matematika, semantik, kimia, filsafat, kedokteran dan sebagainya, sebagaimana yang telah ada pada abad keempat Hijriah, dari Harun Al-Rashid sampai Ibnu Rusyd, pada masa yang singkat itu. Bagian dari kegiatan-kegiatan yang terkenal ini mengambil prinsip karya-karya Yunani, tetapi bagian utama khususnya dalam politik, sastra dan seni adalah penemuan mereka sendiri".[4]

Memang, ada fenomena yang menyala-nyala dan cahaya berkilauan, yang disebut Peradaban Islam di dunia yang musnah dan padam. Sekarang, dalam perbandingan dengan banyak bangsa di dunia dan mengingat kejayaan kaum Muslimin masa lalu, mereka sedang mengalami suatu kejatuhan dan kemandegan.

Berbagai pertanyaan muncul, apa yang terjadi sehingga kaum Muslimin mengalami kemunduran setelah semua kemajuan dan perbaikan dalam sains, pengetahuan, industri dan sistem-sistem itu? Apa dan siapa yang bertanggung jawab bagi kejatuhan dan kemunduran itu? Apakah ada orang-orang, bangsa atau keadaan tertentu yang membuat kaum Muslimin menyimpang dari jalan utama mereka, yang menuju ke arah kemajuan dan kesempumaan? Atau apakah ada faktor tertentu yang menyimpangkan kaum Muslimin dari jalan mereka secara tidak diharapkan? Namun adalah tabiat sejarah bahwa setiap bangsa mengalami suatu batas zaman kemajuan dan perubahan dan kemudian mundur ke arah kebinasaan, kejatuhan dan kehancuran.

Untuk penyimpangan dan kejatuhan kaum Muslimin, kita anggap Islam sendiri yang bertanggung jawab, sebagaimana anggapan beberapa Kristen barat fanatik atau kelompok minoritas? Atau apakah tidak ada kaitannya terhadap kaum Muslimin atau Islam? Apakah karena bangsa-bangsa non-Muslim yang telah menyebabkan kemunduran Islam selama 14 abad sejarahnya? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah hal yang gampang. Suatu rangkaian panjang pembahasan dan riset yang cukup mesti dilakukan.

Apa yang diperlukan, sebagai suatu pengantar, untuk disampaikan dalam rangkaian pembahasan ini adalah grafik-grafik mengenai kejayaan dan kejatuhan kaum Muslimin yang terdiri dari pokok-pokok sebagai berikut;

1. Fondasi kemuliaan dan martabat peradaban Islam.

2. Sebab-sebab, motivasi-motivasi dan syarat-syarat peradaban Islam.

3. Pengaruh Islam pada kemuliaan kaum Muslimin.

4. Pengambilan peradaban Eropa modern dari Islam.

5. Keadaan dunia Islam sekarang ini dari pandangan kemunduran dan perlambatan.

6. Saat peradaban Islam telah dimusnahkan, Islam tetap sebagai sesuatu yang hidup aktif dan kekuatan yang luas, dan bersaing dengan seluruh kekuatan masyarakat baru dan revolusioner.

7. Bangsa-bangsa Muslimin sedang berada di ambang kebangkitan dan kesadaran baru.

Setelah pengantar pembahasan ini, buku kecil yang terpisah, adalah perlu untuk memiliki sebuah pembahasan filosofis dan mendalam tentang "hakikat zaman", yang dikaitkan dengan filsafat sejarah. Untuk mengetahui, sebagaimana tanggapan beberapa sejarawan, sebab-sebab kemajuan dan perbaikan suatu bangsa akan juga menyebabkan kemundurannya. Dengan kata lain, sesuatu faktor dapat mengubah sebuah masyarakat hanya pada kondisi-kondisi khusus dan selama masa tertentu, dan terikat dengan periode tertentu dari perubahan sejarah manusia. Faktor ini bukan hanya tidak sanggup membimbing manusia ke depan jika keadaan, waktu dan tempat berubah dengan munculnya fajar sejarah baru, tetapi akan juga menyebabkan kemandegan, perlambatan dan kemunduran dengan sendirinya.

Kalau pendapat ini benar, maka setiap peradaban dimusnahkan oleh faktor-faktor yang sama yang telah menampakannya, kemudian tidak inembutuhkan perantara-perantara luar. Faktor-faktor kuno selalu mundur dan karena itu disebut reaksioner, sedangkan yang baru adalah progresif. Faktor-faktor kemasyarakatan baru menciptakan peradaban baru yang bertentangan dengan peradaban sebelumnya.

Jika prinsip ini benar, peradaban Islam tentu tidak terkecuali. Karena itu adalah sia-sia untuk membicarakan mengenai alasan-alasan kemunduran kaum Muslimin secara bebas dan sebagai bagian persoalan yang terpisah dari sebab-sebab dan faktor-faktor penciptaan peradaban Islam.

Oleh karena itu, sesuai dengan prinsip ini, adalah tidak perlu menganggap seseorang, bangsa atau peristiwa tertentu yang bertanggung jawab bagi kemunduran kaum Muslimin. Penghancuran peradaban Islam akan terjadi lebih cepat atau lebih lambat sebagaimana dengan peradaban manapun. Hal ini benar andaikan beberapa kehidupan lain dihadapi dengan kematian wajar atau yang tidak terduga. Peradaban Islam muncul, menyebar, melewati masa mudanya, dewasa dan kemudian mati. Keinginan pemulihannya adalah sebagaimana keinginan kebangkitan kembali dari kematiannya, yang tidak dapat dibenarkan sesuai dengan hukum-hukum alam dan hanya dapat dibenarkan melalui suatu mukjizat dan perbuatan gaib, yang betapapun melampaui kesanggupan manusia biasa.

Karena itu, setelah pembahasan pengantar yang menggambarkan kebesaran dan kejatuhan kaum Muslimin adalah saat untuk pembahasan filosofis dan kesejarahan kejatuhan yang tak dapat diabaikan, karena banyak ungkapan-ungkapan dangkal yang dipertahankan dalam hal ini, sementara banyak yang mempercayainya.

Penyempumaan pembahasan filosofis ini, dikaitkan dengan rangkaian-rangkaian pembahasan yang tergantung pada pemahaman pembicaraan mengenai cocok dan tidaknya Islam dengan keadaan-keadaan zaman. Pembahasan ini terdiri dari dua bagian: Pertama, semata-mata filosofis, sedang yang kedua keislaman. Kedua bagian ini dapat ditelusuri dan diselidiki sebagai "Islam dan urgensinya di dunia".

Bila kita terlepas dari pembahasan ini, kita tidak bisa menerima prinsip filsafat sejarah yang telah disebutkan di atas dan tidak perlu memandang sebab-sebab kejatuhan kaum Muslimin dan prestasi-prestasi mereka. Maka, bukan saatnya untuk mempelajari sebab-sebab dan alasan-alasan stagnasi, ketergantungan, kemunduran kaum Muslimin, serta apapun yang dibicarakan orang lain.

Mengenai pandangan-pandangan orang lain, kaum Muslimin atau bukan, adalah sama, dan semua pokok persoalan, urusan dan peristiwa-peristiwa lazim dikaitkan dengan probabilitas dan kemungkinan ini, bagian ini harus ditelusuri pada tiga bab utama: Islam, kaum Muslimin dan perantara-perantara luar.

Masing-masing dari bagian-bagian ini terdiri dari sejumlah pokok dan persoalan. Misalnya, dalam bab tentang Islam, seseorang mungkin mengemukakan pemikiran-pemikiran dan kepercayaan-kepercayaan Islam yang efektif dalam kemunduran kaum Muslimin. Yang lain melihat etika-etika Islam, kelemahan dan sebab-sebab kemunduran, sementara yang lain bisa saja menyebut hukum-hukum kemasyarakatan Islam sebagai penyebab kejatuhan mereka.

Dalam bab kejatuhan kaum Muslimin dan perantara-perantara luar, ada juga bagian terbesar yang harus didiskusikan semuanya.

Di antara pemikiran-pemikiran dan kepercayaan-kepercayaan Islam, persoalan-persoalan berikut dikemukakan sebagai sekian di antara yang dipersalahkan.

1. Percaya kepada qadha dan qadar

2. Percaya kepada hari kiamat dan peremehan perkara-perkara dunia

3. Syafa'at

4. Taqiyah

5. Penantian Al-Mahdi

Dari lima perkara yang disebutkan di atas, tiga bersifat umum bagi kaum Syiah dan Sunni, sedangkan dua yang terakhir merupakan karakteristik kaum Syiah.

Kadang-kadang dikatakan bahwa alasan bagi semua kaum Muslimin itu adalah kepercayaan yang besar kepada qadha dan qadar, dan kadang-kadang dikatakan bahwa perhatian besar Islam tentang hari kiamat, hari akhirat, dan peremehan kehidupan duniawi, menyesatkan perhatian kaum Muslimin dari pemikiran yang sungguh-sungguh mengenai persoalan-persoalan kehidupan ini. Kadang-kadang dikatakan bahwa kepercayaan kepada syafa'at yang muncul sepanjang sejarah Islam (kecuali bagi beberapa orang dan dewasa ini kelompok khusus), telah membuat kaum Muslimin tidak menghiraukan dosa-dosa yang berakibat negatif bagi kebahagiaan manusia. Penyandaran diri kepada syafa'at, memberanikan kaum Muslimin untuk melakukan perbuatan jahat dan kerusakan.

Apa yang dituduhkan terhadap Muslim Syiah, khususnya dalam pemikirannya, adalah taqiyyah dan penantian Al-Mahdi. Dikatakan bahwa taqiyyah mengajarkan kemunafikan dan, membuat kaum Syiah lemah. Juga dikatakan bahwa persoalan penantian Al-Mahdi telah menyita perhatian kaum Syiah terhadap pembangunan. Sementara rakyat dan bangsa-bangsa lain sedang memikirkan bagaimana cara untuk memperbaiki nasibnya, kaum Syiah menunggu tangan-tangan gaib untuk menjamahnya dan berbuat sesuatu.

Dalam etika-etika Islam, kebahagiaan, kedamaian, kesabaran, ketaatan dan kepercayaan dianggap menjadi sebab kemunduran kaum Muslimin. Di antara ajaran-ajaran Islam, persoalan pemerintahan dan perwakilan-perwakilannya, haruslah dipelajari karena, menurut beberapa orang, Islam tidak mengkhususkan sepenuhnya tugas dan tanggung jawab kaum Muslimin mengenai persoalan penting ini.

Hukum pidana Islam telah dicampakkan selama bertahun-tahun dan karena itu, banyak negeri Islam yang mengambil hukum di lain tempat, dan akan merasakan akibatnya. Bagaimanapun juga hukum pidana Islam merupakan salah satu topik yang harus dibahas.

Hukum-hukum perdata Islam memasukkan hal-hal yang berlawanan dengan yang dibangkitkan gelombang oposisi, seperti hak-hak wanita dan yang lain ialah hukum-hukum ekonomi Islam mengenai kepemilikan, warisan dan sebagainya.

Kendala-kendala yang Islam telah menentukan hubungan Muslim dengan bukan Muslim, seperti mengenai perkawinan di antara mereka, atau ketidaksucian orang-orang bukan Muslim atau hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban internasional keislaman, adalah di antara topik-topik yang dibahas orang. Mereka menganggap ini sebagai sebab-sebab kemunduran kaum Muslimin.

Inilah semua pokok yang harus dikaji secara cermat dalam bab tentang "Islam", dalam rangkaian pembahasan ini. Untungnya, ada kesempatan yang tepat untuk melakukan penyelidikan-penyelidikan demikian. Melalui penjernihan persoalan-persoalan ini maka kita dapat menguatkan keimanan para pemuda dan kaum cendekiawan serta menyingkirkan keragu-raguan dari pikiran mereka.

Kini giliran membahas "kaum Muslimin". Dalam bagian ini perhatian kita mengarah pada kaum Muslimin itu sendiri, yakni ajaran Islam tidak menyebabkan kemunduran umatnya; pengabdian dan penyimpangan mereka dari ajaran-ajaran Islam membawa mereka kepada kejatuhan dan mereka bertanggung jawab terhadap keterbelakangan mereka sendiri.

Bab ini terdiri dari beberapa bagian yang berbeda: pertama, persoalan-persoalan penyimpangan harus dikenali. Apakah itu berasal dari Islam, dan apakah semua atau sebagian kaum Muslimin ikut bertanggung jawab terhadap kemunduran ini.

Islam muncul di kalangan Bangsa Arab. Bangsa-bangsa lain seperti Iran, Mesir, India dan sebagainya berada di bawah panji Islam. Tiap-tiap bangsa ini memiliki identitas, rasa, etika dan karakteristik kesejarahan sendiri-sendiri. Suatu kajian mesti dilakukan untuk mengetahui apakah semua atau sebagian dari bangsa-bangsa ini telah menyimpang dari ajaran Islam yang murni karena kebangsaan, ras atau pemujaan-pemujaan yang khusus bagi mereka. Akankah kaum Muslimin dan kehidupan mereka memiliki nasib yang lain jika, misalnya, Islam menyusup ke dalam bangsa-bangsa lain seperti Eropa? Ataukah kaum Muslimin tidak berperan dalam proses ini? Apakah semua hal yang terjadi dalam Islam dan kaum Muslimin disebabkan oleh seluruh kelompok kaum Muslimin ataukah hanya dari dua kelas berpengaruh, yakni penguasa dan ulama?

Terdapat sangat banyak referensi dalam bab tentang perantara-perantara luar yang harus kita perhatikan. Sejak awal, Islam telah mendapat tantangan secara keras dari luar maupun dalam; Yahudi, Kristen, tukang sihir dan kaum bid'ah di antara kaum Muslimin dan telah begitu aktif menikam Islam dari belakang. Kebanyakan mereka berpengaruh besar pada perubahan dan pengalihan kebenaran melalui tempaan dan kemapanan adat, atau melalui penciptaan berbagai sekte atau memperburuk percekcokan di antara kaum Muslimin. Dalam sejarah Islam banyak gerakan keagamaan dan politik dihasut oleh kaum kafir dalam usaha untuk melemahkan atau memusnahkan Islam.

Dunia Islam telah diserang secara keji oleh musuh-musuhnya. Serangan kaum Salib dan tentara Mongol merupakan contoh yang baik. Kedua invasi ini punya pengaruh yang besar terhadap kemunduran kaum Muslimin. Yang paling berbahaya dari semua ini adalah penjajahan barat, yang di abad-abad belakangan ini telah mengarahkan kaum Muslimin di bawah penindasan mereka.

Karena itu pokok-pokok yang harus dibicarakan dalam rangkaian pembahasan ini adalah sebagai berikut:

1. Kejayaan dan kejatuhan kaum Muslimin. Ini merupakan pengantar untuk pembahasan yang lain.

2. Islam dan keadaan-keadaan sejarah. Pembahasan terdiri dari dua bagian: pertama, berkaitan dengan filsafat sejarah. Yang kedua, kualitas adaptasi hukum-hukumnya dengan faktor-faktor perubahan zaman.

3. Qadha dan Qadar

4. Kepercayaan pada hari kebangkitan dan dampaknya pada kemunculan dan kejatuhan umat.

5. Syafa'at

6. Taqiyyah

7. Penantian

8. Etika-etika Islam

9. Pemerintahan menurut pandangan Islam.

10. Ekonomi Islam

11. Hukum-hukum Islam

12. Hak-hak Wanita dalam Islam

13. Hukum-hukum Internasional Islam

14. Hal-hal penyimpangan

15. Penempatan, perubahan dan penciptaan tradisi-tradisi

16. Pertentangan Syiah dan Sunni. Dampaknya pada kejatuhan kaum Muslimin

17. Asy'ariyah dan Mu'tazilah

18. Kebekuan dan penjelasan

19. Filsafat dan tasawuf

20. Para penguasa di dunia Islam

21. Kaum Ulama

22. Kegiatan-kegiatan yang merusak dari golongan minoritas di dunia Islam.

23. Sekte Syu'biah

24. Perang Salib

25. Kejatuhan Andalusia

26. Invasi kaum Mongol

27. Penjajahan

Kira-kira dua puluh tahun lalu, selama studi keagamaan saya di pusat agama di Qum, ketika untuk pertama kali saya menyadari bahwa orang-orang Barat menganggap kepercayaan kepada qadha dan qadar merupakan salah satu dari alasan-alasan atau penyebab utama bagi kemunduran kaum Muslimin, saya telah membaca jilid kedua dari buku Hayat Muhammad dengan editor Dr. Muhammad Husein Heikal. Kesimpulan akhir dari buku ini terdiri dari pembahasan:

1. Peradaban Islam seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur'an.

2. Kaum Orientalis dan peradaban Islam.

Dalam pembahasan kedua, terdapat kutipan dari seorang penulis Amerika terkenal, Washington Irving, yang menulis buku tentang kehidupan Nabi Muhammad. Kutipan Dr. Heikal, Washington Irving menjelaskan prinsip-prinsip dan doktrin (yurisprudensi) Islam pada akhir bukunya. Setelah menyebutkan Iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, para nabi dan hari akhirat, ia mengatakan "Yang terakhir dan yang keenam dalam hukum-hukum Islam ialah percaya tentang determinisme. Untuk memperbaiki peperangannya, Muhammad telah menggunakan prinsip ini, karena sesuai dengan prinsip ini, kejadian-kejadian yang terjadi di dunia ini semuanya telah ditentukan oleh Allah dan telah ditulis bagi setiap orang catatannya, sebelum lahir ke dunia. Takdir, kelahiran dan kematian dari setiap orang telah ditentukan, tidak dapat diubah, dan tidak punya alternatif lain. Pandangan-pandangan semacam ini dianggap benar bagi kaum Muslimin dan mereka telah mempercayainya. Pada masa perang mereka menyerang musuh tanpa rasa takut. Bagi mereka mati dalam peperangan dianggap syahid yang dijamin sorga bagi mereka. Oleh karena itu, mereka yakin bahwa apakah mereka terbunuh atau dikalahkan oleh musuh, mereka tetap menang.

Sebagian kaum Muslimin percaya, bahwa gagasan determinisme yang mengatakan bahwa manusia adalah tidak bebas untuk menghindari dosa dan menolak hukuman dan bahwa mengurangi kehendaknya dalam hal ini adalah bertentangan dengan keadilan dan rahmat Allah. Sejumlah aliran yang telah muncul itu berupaya dan masih mencoba untuk mengubah dan menjelaskan gagasan keimanan yang menakjubkan. Sekte-sekte itu hanya beberapa dan kurang diperhitungkan di kalangan para pengikut Sunnah Nabi. Tidak ada kepercayaan lain yang dapat menyeret prajurit-prajurit congkak dan bebal ke medan perang dan menjanjikan mereka bahwa mereka akan memperoleh ghanimah, jika mereka hidup, dan akan dimasukkan ke dalam sorga bila mereka syahid. Keyakinan inilah yang membuat mereka sangat berani dan bersemangat sehingga tidak ada tentara lain yang akan mampu menghadapi mereka. Betapapun demikian, kepercayaan yang sama mengandung racun yang menghapuskan pengaruh Islam. Tatkala para pengganti Nabi menghentikan aksi militer mereka dan menaklukkan dunia serta meletakkan senjata mereka, gagasan determinisme memperlihatkan watak penghancumya.

Kedamaian dan ketenangan telah melemahkan syaraf kaum Muslimin dan kebutuhan-kebutuhan kebendaan, yang pemakaiannya diperkenankan oleh Al-Qur'an, dan yang membedakan Islam dari Kristen sebagai agama atau kesucian dan penyangkalan diri, juga mempengaruhinya. Kaum Muslimin menganggap penderitaan dan kesengsaraan yang menimpa mereka, disebababkan takdir mereka dan dianggap pantas menerimanya, karena menurut pandangan mereka, ilmu dan usaha manusia tidak akan sanggup mengubahnya. Para pengikut Muhammad tidak mempedulikan prinsip, "Tolonglah dirimu maka Tuhan akan menolongmu" tetapi mempercayai sebaliknya. Dengan alasan yang sama "Salib" dipengaruhi "Bulan Sabit". Jika pengaruh "Bulan Sabit" masih ada di Eropa sekarang, hal itu dikarenakan pemerintahan-pemerintahan Kristen agung yang memutuskan demikian. Dengan kata lain, pengaruh yang permanen dari "Bulan Sabit" adalah akibat dari persaingan di antara para penguasa Kristen yang besar, atau pengaruh permanennya adalah suatu alasan untuk peraturan bahwa barangsiapa yang memperoleh segala sesuatu dengan kekuatan pedang, perolehan itu akan diambil kembali darinya dengan pedang pula.

Dalam menanggapi orang Amerika ini, Dr. Heikal memberikan penjelasan-penjelasan terperinci sesuai dengan rasa dan pikirannya bahwa, meskipun hal itu menyangkut beberapa pemikiran yang benar, sama sekali tanpa disiplin kefilsafatan dan karena itu dapat dikritik dan ditolak.

Dalam buku ini, kami akan menjelaskan betapa tanpa dasamya pemikiran tuan Irving dan para pemikir Barat lainnya. Juga akan diungkapkan bahwa terdapat pertentangan yang besar antara takdir dan Islam dengan gagasan determinisme.

Al-Qur'an Al-Karim telah menegaskan kemerdekaan dan kebebasan manusia dalam berbagai ayat. Mereka yang memilih kemerdekaan dan menganggap determinisme sebagai konsep yang bertentangan dengan keadilan dan Rahmat Allah (yakni Syiah dan Mu'tazilah) tidak menentang ajaran-ajaran Al-Qur'an, sebagaimana yang diklaim oleh kaum orientalis, dan tujuan mereka bukan "mengatur" ungkapan Al-Qur'an; mereka telah menyesuaikan pandangan mereka dengan Al-Qur'an.

Washington Irving, yang meskipun menurut Dr. Heikal adalah seorang Kristen fanatik dan menyebut agama Kristen suci serta penuh kepuasan karena pengabdiannya pada masalah-masalah duniawi dan mengutuk Islam karena memperhatikan masalah-masalah kehidupan, menghimpun pengetahuan Ilahi kuno secara tajam.

Apakah mungkin menjadi seorang Atheis dan mengingkari keabadian ilmu Ilahi tentang segala sesuatu? Apakah tercela bagi Al-Qur'an untuk menganggap Tuhan sebagai wujud yang mengetahui semua peristiwa dan kejadian keabadian?

Irving mengatakan, "Para pengikut Muhammad Saw tidak mengindahkan kaidah, "Tolonglah dirimu, maka Tuhan akan menolongmu". Penulis ini tidak menghiraukan bacaan dan terjemahan Al-Qur'an, sekurang-kurangnya sekali, jika tidak tentu tidak mengemukakan anggapan seperti itu. Al-Qur'an menuliskannya secara eksplisit, Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (Duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahanam, ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan temsir.[5] Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.[6] Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan itu, Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tak dapat dihalangi.[7]

Para pengikut Muhammad telah menemukan ajaran yang paling baik, dan itu adalah :

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.[8]

Sebagai pengganti "Tolonglah dirimu" yang mungkin berarti kepentingan pribadi dan kerakusan, Al-Qur'an Al-Karim telah menyatakan, "Bantulah Tuhan" yang memiliki arti umum, manusiawi dan demi manusia. Misteri kemenangan "Salib" atas "Bulan Sabit", yang adalah nyata dan permanen bagi tuan Washington Irving, merupakan sebuah topik yang akan kita bicarakan dalam kesempatan pembahasan ini, bila pantas.

Pandangan ini bukan khas pendapat tuan Irving. Dengan mengaji karya dari penulis Barat tentang persoalan ini—bahkan mereka telah membuktikan kejujuran sampai tingkat tertentu—kita dapat melihat pemikiran mereka yang sama. Mereka semua memandang Islam sebagai agama determinisme. Kenyataannya adalah bahwa sebagian dari mereka tidak menganggap pemikiran ini sebagai sesuatu yang terlibat dalam kemunduran kaum Muslimin sedangkan yang lain menyebutkan keterlibatan sebagai faktor utama.

Will Durant dalam The History of Civilization, setelah menyebutkan konsep-konsep dari beberapa ayat dalam Al-Qur'an mengenai Ilmu dan Kehendak Ilahi, mengatakan bahwa determinisme adalah sebuah persyaratan ideologi Islam. la menambahkan: "Akibat kepercayaan ini kaum Muslimin menerima kehidupan yang sangat sulit dan ikhlas, tetapi pada abad-abad belakangan ini kepercayaan yang sama telah menghalangi perbaikan bangsa-bangsa Arab dan melumpuhkan pemikiran mereka".[9]

Meskipun demikian, Gustave Le Bon berpendapat bahwa kepercayaan terhadap takdir determinisme tidak berperanan dalam kemunduran kaum Muslimin dan penyebab-penyebab kejatuhan itu mesti dicari pada hal lain.

Pada mulanya saya bermaksud untuk menyebutkan semua pokok mengenai kejayaan dan kemunduran kaum Muslimin dalam pengantar buku ini, namun kemudian saya mengubah niat saya dan memutuskan untuk memasukkan pokok-pokok masalah itu dalam sebuah buku tersendiri dan menempatkannya pada permulaan rangkaian pembahasan ini. Karena saya menyadari bahwa hal itu menjadi panjang jika semua rincian yang penting ditulis dan kata pengantar akan menjadi lebih panjang daripada buku itu sendiri, karena itu saya memutuskan untuk mencukupkan kata pengantar ini, yang merupakan suatu sampel dari keseluruhan pokok masalah untuk sementara, dan kemudian memberikan perincian yang berkenaan dengan pokok masalah itu dalam suatu buku tersendiri serta memasukkannya dalam kata pengantar untuk volume pertama dari rangkaian pembahasan ini.

Dalam buku ini semua pokok masalah dan persoalan mengenai qadha dan qadar tidak dipaparkan, karena tujuan utama adalah untuk melacak akibat dari pemikiran dan gagasan ini pada kemunduran kaum Muslimin. Oleh karena itu, bagian yang tidak relevan dikesampingkan.

Takdir mempunyai sejarah yang panjang di kalangan kaum Muslimin dan telah dikemukakan sejak permulaan Islam. la dibahas oleh para mufassir, penceramah, filosof, sufi, bahkan para penyair dan sastrawan. Pelacakan proses persoalan ini di kalangan kelompok-kelompok ini, dengan sendirinya memerlukan sebuah buku tersendiri. Lagi pula, terdapat banyak sekali ayat dan hadis yang merupakan contoh-contoh kedalaman ideologi Islam mengenai persoalan itu. Ayat-ayat dan hadis-hadis yang sama telah menjadi petunjuk bagi para filosof Muslim dan telah memperkaya serta menyegarkan kembali filsafat ketuhanan Islam yang tidak dapat dibandingkan dengan filsof Yunani sebelum Islam. Penyelidikan ayat-ayat dan hadits-hadits ini merupakan suatu pembahasan yang panjang dan menarik.

Selanjutnya, dalam ideologi Islam terdapat persoalan-persoalan mengenai pokok masalah ini. Mempertimbangkan prinsip-prinsip alasan yang logis pada satu sisi dan karya-karya hadits pada sisi yang lain, tak dapat diungkapkan secara mudah. Sebagai contoh, peristiwa Al-Qadr yang secara jelas disebutkan dalam Al-Qur'an secara umum disepakati oleh Syiah maupun Sunni. Demikian juga persoalan "Kejadian" merupakan salah satu ideologi khusus Syiah dan berasal dari Al-Qur'an.

Jika gagasan determinisme kehendak bebas, kualitas kebebasan manusia, dan kehendak adalah juga ditelusuri dari berbagai aspek kejiwaan, moral, kefilsafatan dan sosial, ia akan mencakup halaman yang banyak sekali.

Sekarang Anda menyetujui bahwa jika semua ini diungkapkan dalam buku yang Anda pegang ini, ia akan menjadi sebuah buku yang tebal dan tidak sesuai satu judul, "Pembahasan Mengenai Sebab-sebab Kemunduran Kaum Muslimin".

Semoga Allah Yang Mahakuasa membantu dan merahmati kita.

20 Dzulhijjah 1385H.

MURTADHA MUTHAHHARI

[1] The Civilization of Arab and Islam Edisi ke IV hal. 751.

[2] The History of Civilization Vol. II hal. 317.

[3] Ibid vol. II, hal. 319.

[4] Ibid.

[5] Q.S. 17: 18-20.

[6] Q.S. 17: 18-20.

[7] Q.S. 17: 18-20.

[8] Q.S. 47 : 7.

[9] The History of Civilization, vol. II hal. 42.


1
TAQDIR MANUSIA

BAGIAN PERTAMA

Pengaruh Takdir Atas Manusia

Perasaan Menakutkan
Tidak ada sesuatu yang lebih mengganggu dan menyakitkan jiwa seseorang daripada perasaan bahwa ia hidup di bawah bayang-bayang sebuah kekuasaan absolut yang amat kuat dan mencengkram segala sesuatu dalam kehidupannya, serta mengarahkannya ke mana saja sesuai dengan kehendaknya. Karena, seperti dikatakan orang, kemerdekaan adalah nikmat yang paling mahal harganya, sedangkan perasaan terjajah adalah rasa sakit yang paling memedihkan. Dengan begitu manusia merasa dirinya terinjak-terinjak dan kehendaknya tercabik-cabik oleh kekuatan absolut yang menjajahnya itu. Tak ubahnya seperti seekor domba yang ditarik oleh sang penggembala yang menguasai tidur, makan, hidup dan matinya. Hal ini akan menimbulkan perasaan bagai bara api yang menyala-nyala dalam lubuk hatinya serta rasa sakit yang tak terhingga, menyerupai penderitaan seseorang yang menyerah pasrah dalam cengkraman seekor singa yang garang dan buas, setelah menyadari bahwa tidak ada lagi jalan keselamatan baginya dari cengkeraman kuat yang sepenuhnya mengendalikan dirinya itu.

Sampai sejauh ini kita hanya membayangkan kekuatan yang berkuasa seperti ini dalam diri seorang manusia hebat atau binatang buas saja. Akan tetapi apabila kita membayangkannya sebagai suatu kekuatan gaib yang mahadahsyat yang berkuasa atas diri manusia dan menguasai dirinya dari balik alam gaib yang gelap gulita, maka sudah pasti keadaannya akan menjadi lebih parah lagi. Ketika itu segala impian untuk dapat selamat pasti akan pupus.

Demikianlah awal mula lahirnya pertanyaan yang membingungkan ini di benak setiap manusia, termasuk yang memiliki daya pencerapan yang paling minimum sekalipun. Benarkah segala peristiwa alam ini berjalan sesuai dengan perencanaan yang ketat, yang telah digariskan jauh sebelum terjadinya, tanpa adanya kemungkinan kegagalan atau pengecualian? Maujudkah kekuatan mutlak tersembunyi yang disebut qadha dan qadar (takdir), yang menguasai sepenuhnya segala peristiwa yang terjadi, termasuk manusia dan khasiat-khasiat (karakteristik-karakteristiknya) serta perbuatan-perbuatannya? Ataukah hanya berlawanan sama sekali dengan itu, yakni tidak ada sesuatu yang dapat diartikan sebagai pengaruh-menentukan masa lalu atas masa sekarang dan masa depan; sehingga manusia, sebenarnya, memiliki kebebasannya yang sempurna dalam membentuk segala gerak-lakunya dan menentukan nasibnya? Ataukah ada kemungkinan ketiga di antara kedua kemungkinan tadi, yang menggabungkan kepercayaan kepada takdir, sebagai kekuatan mutlak yang berkuasa atas segenap wujud alam semesta tanpa kecuali, dengan kepercayaan akan wujud alam semesta tanpa kecuali, dengan kepercayaan akan kebebasan manusia dalam segala tindakannya? Dan jika demikian itu keadaannya, bagaimanakah dapat dijelaskan?

Masalah qadha dan qadar (takdir) atau penentuan nasib, termasuk di antara masalah-masalah filosofis yang amat pelik dan rumit yang sejak abad pertama hijriah telah menjadi bahan pembahasan di kalangan para pemikir Muslim disebabkan alasan-alasan yang kami sebutkan kemudian. Berbagai aliran pemikiran (akidah) yang dikemukakan di bidang ini besar sekali peranannya dalam tercetusnya pertikaian serta timbulnya kelompok-kelompok di seluruh dunia Islam, yang selanjutnya menimbulkan dampak yang amat menakjubkan di sepanjang jangka waktu empat belas abad lamanya.

Segi Praktis Persoalan Ini Secara Umum
Kendati masalah ini berhubungan dengan alam metafisis dan filsafat ketuhanan, namun ia termasuk di antara masalah-masalah sosial praktis yang terpenting disebabkan dua hal:

a. Reaksi intuitif yang berkaitan dengan bentuk pemikiran individual dari setiap pembahas problem ini terhadap kehidupan praktisnya, serta cara penanganannya terhadap segala peristiwa yang terjadi. Wajarlah jika terdapat perbedaan dalam mental dan perilaku antara seseorang yang percaya bahwa dirinya adalah wujud yang terbelenggu, dengan orang lain yang meyakini bahwa dia sendirilah yang berkuasa sepenuhnya atas masa depan serta nasibnya.

Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa problem ini menimbulkan implikasi-implikasi praktis dan sosial yang tidak terdapat dalam masalah-masalah filosofis lainnya seperti misalnya tentang "baru atau azalinya kemunculan alam ini" dan "terbatas atau tidak terbatasnya penjuru-penjuru alam ini", "sistem kausalitas dan kemustahilan timbulnya yang banyak dari yang tunggal", "malah Zat dan Sifat pada diri Sebab Pertama dan Utama Subhanahu wa Ta'ala", dan berbagai masalah lainnya yang tidak mempunyai pengaruh praktis atas perilaku individual ataupun sosial mereka.

b. Pengaruh penting yang ditimbulkan oleh inasalah ini atas pemikiran. Yakni, kendatipun ia termasuk di antara masalah-masalah yang rumit dan membutuhkan pemecahan yang amat teliti, namun ia dapat dikelompokkan ke dalam masalah-masalah umum yang mau tak mau hinggap dengan sendirinya ke dalam pemikiran siapa saja, yang memiliki kapasitas yang minim sekalipun dalam hal pemikiran masalah-masalah yang integral. Sebab, setiap orang sangat ingin memiliki perasaan bahwa ia mampu menentukan masa depannya sendiri.

Apakah terikat erat kepada takdir yang pasti (deterministis) dan tak mungkin lagi dielakkan dalam perjalanan hidupnya, sehingga tak ada lagi pilihan lain baginya, bagaikan daun kering dalam hembusan badai? Ataukah keadaannya tidak seperti itu, yakni bahwa ia mampu menentukan perjalanan hidupnya?

Dengan adanya dua aspek tersebut di atas, dapatlah masalah ini digolongkan ke dalam persoalan-persoalan praktis dan sosial.

Akan tetapi, para ahli yang pada masa-masa lalu telah membahas masalah ini, tidak cukup memperhatikan aspek ini. Mereka lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada aspek filosofis dan teologinya semata-mata. Sebaliknya, para pembahas masa kini telah menyimpang dari cara lama itu, dan mereka kini mencurahkan perhatian yang sebesar-besarnya kepada aspek praktis dan sosialnya saja.

Bahkan kini kita dapat melihat sebagian para pengecam Islam menganggap masalah qadha dan qadar serta pandangan Islam tentangnya sebagai faktor-faktor terbesar penyebab kemunduran kaum Muslimin.

Berdasarkan itu, mungkin akan timbul beberapa pertanyaan :

Jika kepercayaan kepada qadha dan qadar merupakan penyebab kemalasan dan kemunduran individu ataupun masyarakat, mengapa tidak demikian pula kondisi kaum Muslimin dari generasi-generasi pertama? Apakah persoalan ini tidak terdapat dalam ajaran-ajaran asasi dan inti akidah Islam, seperti yang dituduhkan oleh beberapa ahli Barat? Ataukah bentuk kredo mereka tentang takdir adalah sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan kebebasan serta tanggung jawab manusia sehubungan dengan perbuatannya? Dengan kata lain, sementara mereka percaya dan yakin tentang takdir dan ketentuan-ketentuan umumnya, apakah di waktu yang sama, mereka juga percaya dan yakin bahwa nasib dapat diubah atau diganti, dan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk itu? Dan sekiranya mereka memiliki pemikiran seperti ini, bagaimana hal ini dapat dijelaskan?

Terlepas dari bentuk ijtihad yang digunakan orang dalam memahami problem ini, di masa lalu, wajiblah atas kita, pertama-tama, berpaling ke arah logika Al-Quran al-Karim mengenai masalah ini, kemudian menelaah segala yang sampai kepada kita dari Rasul teragung saw. Dan para Imam, dan setelah itu berusaha meneliti berbagai jenis pendapat yang bertumpu atas logika yang sepatutnya kita pilih.

Ayat-ayat Al-Quran
Beberapa ayat Al-Quran al-Karim menandasakan adanya qadha dan qadar serta pengaruh mutlaknya, dan bahwa setiap peristiwa alami pasti telah didahului oleh Kehendak Ilahi dan bahwa hal itu telah tersurat sebelumnya dalam suatu "kitab yang nyata". Misalnya:

Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi, dan tidak pula pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam suatu kitab sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS 57 : 22)

Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang gaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya pula dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering melainkan tertulis dalam kitab yang nyata. (QS 6 : 59)

Mereka berkata: "Aapakah ada bagi kita barang sesuatu hak (campur tangan) dalam urusan ini?" Katakanlah: "Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah." Mereka menyembunyikan apa yang tidak mereka terangkan kepadamu, mereka berkata: "Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu hak campur tangan dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh atau dikalahkan di sini." Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar juga ke tempat mereka terbunuh." (QS 3 : 154)

Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.(QS 15 : 21)

Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentnan (qadar) bagi tiap-tiap sesuatu. (QS 65 : 3)

Sesungguhnya kami menciptakan segala sestiatu menurut qadar (ukuran). (QS 54 : 49)

Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.(QS 14 :4)

Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan orangyang Engkau kehendaki; Engkau muliakan orangyang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan; sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS 3 : 26)

Sedangkan contoh ayat-ayat yang menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan dalam perbuatannya, mampu mempengaruhi masa depan dan nasibnya dan dapat pula mengubahnya adalah sebagai berikut :

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS 13 : 11)

Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram; rizkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (QS 16:112)

Allah tidak sekali-kali hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (QS 29 : 40)

Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya. (QS 41 : 46)

Sesungguhnya Kami telah menunjukinyajalanyanglurw, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS 76 : 3)

Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah ia kafir. (QS 18 : 29)

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. (QS 30 : 41)

Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu baginya; dan barangsiapa mengehendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia. (QS 42 : 20)

Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki, bagi orang yang Kami kehendaki, dan Kami tentukan baginya neraka jahanam, ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. Kepada masing-masing golongan, baik golongan ini maupun golongan itu, Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu; dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi. (QS 17: 18-20)

Masih ada lagi ayat-ayat lain yang dapat digabungkan dengan kumpulan ayat-ayat pertama ataupun kedua.

Ada kalanya kedua kumpulan ini dalam pandangan kebanyakan ahli tafsir dan teologi Islam dianggap saling bertentangan, dan karena itu tak ada jalan lain kecuali menakwilkan (menyimpangkan arti) yang satu, sehingga kesimpilannya bersesuaian dengan yang kedua, dan dengan demikian dapat diterima hasilnya.

Sejak pertengahan abad pertama hijriah, saat munculnya kedua pemikiran mengenai persoalan ini, sekelompok orang mendukung aliran "kebebasan manusia" serta ikhtiarnya (kebebasan memilihnya) lalu menakwilkan kumpulan ayat-ayat pertama. Mereka ini dikenal sebagai kaum Qadariyah. Sementara kelompok lainnya mendukung aliran takdir gaib yang amat ketat menguasai segala perbuatan manusia, lalu menakwilkan kumpulan ayat-ayat kedua. Mereka ini dikenal sebagai kaum Jabariyah.

Kedua kelompok ini kemudian lebur dalam dua firqah (kelompok) besar aliran teologi, yakni kaum Asy'ariyah dan Mu'tazilah. Masing-masing kelompok mengikuti beberapa dari pikiran-pikiran salah satu dari kedua aliran tersebut di atas; yakni kelompok Asy'ariyah mendukung aliran Jabariyah, sementara kelompok Mu'tazilah mendukung aliran Qadariyah.

Istilah Qadariyah
Perlu diperhatikan bahwa di sini kami menggunakan istilah Qadariyah untuk orang-orang yang mendukung aliran "kebebasan kehendak manusia" demi mengikuti istilah yang dikenal di kalangan para ahli teologi Islam, seperti yang pada galibnya dimaksudkan dalam kebanyakan riwayat. Padahal kata Qadariyah ini kadang-kadangjuga digunakan oleh sebagian ahli ilmul-kalam dan pada sebagian riwayat, guna menunjuk kepada kaum Jabariyah yang tidak mengakui kebebasan kehendak manusia.

Dalam kenyataannya, mereka semua, baik yang nnendukung teori Jabariyah (determinisme takdir) yang menyatakan adanya kekuasaan takdir umum (menyeluruh), ataupun orang-orang yang mendukung teori kebebasan manusia dan penafian peran takdir dalam perbuatan-perbuatan manusia; menghindarkan diri dari sebutan Qadariyah ini, seraya menjuluki kelompok lainnya dengan nama tersebut. Rahasia sikap ini ialah adanya riwayat hadis Rasul yang mulia saw. yang menyebutkan : "Kaum Qadariyah adalah Majusinya umat ini." Karena itu, kaum Jabariyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "kaum Qadariyah" ialah orang-orang yang mengingkari qadar (takdir) Ilahi, sementara lawan-lawan mereka berkata bahwa kaum Qadariyah ialah orang-orang yang mengembalikan segala sesuatu, harta perbuatan manusia, kepada qadha dan qadar.

Mungkin penyebab lebih dikenalnya sebutan Qadariyah untuk para pengingkar takdir adalah :

1. Tersebar luasnya mazhab Asy'ariyah, sehingga menjadikan kaum Mu'tazilah sebagai minoritas di hadapan kaum Asy'ariyah yang mayoritas.

2. Tuduhan adanya kesamaan antara kaum Qadariyah dengan penganut agama Majusi. Sebab, yang diketahui bahwa kaum Majusi membatasi takdir Ilahi hanya pada apa yang mereka namakan "kebaikan" saja, sedangkan "kejahatan" berada di luar takdir Ilahi, dan bahwa pelakunya adalah wujud setan pertama yang mereka namakan Ahriman.

Kontradiksi yang Dituduhkan
Telah kami katakan sebelum ini bahwa kebanyakan para ahli tafsir dan ilmul-kalam (teologi Islam) berpendapat bahwa ayat-ayat Al-Quran dalam masalah ini saling bertentangan. Oleh sebab itu, mereka berlindung di balik penakwilan sebagiannya agar bersesuaian dengan sebagiannya yang lain.

Berkenaan dengan itu, kami ingin mengingatkan bahwa pertentangan dalam sesuatu dapat dibagi menjadi dua jenis: Pertama; adanya ucapan yang menafikan ucapan lainnya dengan cara yang jelas, gamblang dan sepenuhnya tepat. Misalnya dalam ucapan : "Rasulullah saw. wafat pada bulan Safar", dan "Rasulullah saw. tidak wafat pada bulan Safar." Dalam contoh ini jelas bahwa ungkapan yang kedua menafikan yang pertama dengan sejelas-jelasnya. Kedua, kalimat kedua tidak menafikan yang pertama secara jelas dan gamblang, akan tetapi pembenaran kalimat yang kedua berarti batalnya yang pertama, seperti dalam contoh berikut : "Rasulullah saw. wafat pada bulan Safar" dan "Rasulullah saw. wafat pada bulan Rabiul Awal".

Pertanyaannya kini, apakah kontradiksi yang dituduhkan di antara kedua kumpulan ayat mengenai persoalan takdir ini tergolong jenis pertama ataukah kedua? Tak syak lagi, kontradiksi yang dituduhkan itu tidak termasuk jenis pertama (kontradiksi yang jelas dan gamblang), sebab kita tidak mengatakan, sebagai contoh : "Tak ada sesuatu yang ditakdirkan," dan "Segala sesuatu telah ditakdirkan." Atau: "Segala sesuatu telah didahului oleh ilmu (pengetahuan) Allah," dan "Tak ada sesuatu yang telah didahului oleh ilmu Allah," Atau: "Manusia bebas memilih dalam tindakannya," dan "Manusia tidak bebas memilih dalam tindakannya." Atau: "Segala sesuatu terikat oleh kehendak Ilahi," dan "Segala sesuatu tidak terikat oleh kehendak Ilahi."

Akan tetapi para ahli ilmul-kalam mengira bahwa konsekuensi ungkapan "segala sesuatu telah ditakdirkan oleh takdir Ilahi" ialah bahwa manusia bersifat majbur (terpaksa) dalam segala perilakunya. Dengan demikian, mustahil kita dapat menggabungkan "kebebasan kehendak" dengan "takdir yang telah mendahului". Takdir harus terlaksana tanpa adanya ikhtiar (kebebasan memilih). Jika tidak demikian, maka Ilmu (pengetahuan) Allah berbalik menjadi ketidaktahuan. Demikian pula kebalikannya. Adanya kemampuan manusia untuk memberikan pengaruh dalam kebahagiaan atau kesengsaraan dirinya berarti keharusan tidak adanya takdir yang mendahului.

Dengan cara seperti ini, terbentuklah berbagai macam penakwilan dalam buku-buku para ahli ilmul-kalam dan tafsir.[1]

Berdasarkan hal tersebut, sekiranya ada teori ketiga yang menghilangkan kontradiksi yang dituduhkan di antara pengetahuan Allah yang mendahului serta kehendak-Nya yang absolut dan kebebasan serta ikhtiar manusia, maka kita tidak lagi memerlukan takwil dan tafsir apapun.

Nah, seperti yang akan kami uraikan setelah ini, kenyataan mendukung adanya teori ketiga ini dan menyingkapkan bahwa "kontradiksi" tersebut hanya merupakan akibat pernahaman yang keliru semata-mata. Kita dapat mengatakan bahwa pada hakikatnya tidak ada kontradiksi dalam Al-Quran, yang memaksa kita mengartikan beberapa ayatnya berlawanan dengan arti lahirnya ataupun menakwilkannya. Bahkan kita dapat mengatakan bahwa tidak satu pun ayat Al-Quran yang perlu ditakwilkan, hatta ayat-ayat yang tampaknya paling kontradiktif sekalipun. Persoalan ini membutuhkan uraian agak terperinci, yang tidak pada tempatnya diberikan di sini, yang membuktikan bahwa hal itu justru merupakan segi paling menarik dan paling mengagumkan dalam susunan Al-Quran al-Karim.

Dampak-dampak Negatif Aliran Jabariyah
Tak syak lagi bahwa aliran Jabariyah dalam bentuk yang dinyatakan oleh kaum Asy'ariyah, yakni bahwa manusia tidak sedikit pun memiliki ikhtiar (kebebasan memilih), menimbulkan berbagai dampak negatif, sebab hal itu melumpuhkan jiwa manusia serta kehendaknya daripada setiap kegiatan yang bisa memberikan pengaruh. Inilah konsep yang memberi kekuatan kepada kaum zalim, dan pada saat yang sama, mengikat erat-erat tangan kaum tertindas.

Dengan dalih pernahaman seperti itu, manusia zalim yang telah berhasil menguasai jabatan atau kekuasaan, dengan cara-cara yang tidak sah, dengan bangganya berbicara tentang "bakat menakjubkan" yang telah dikhususkan oleh Allah baginya dan "nikmat" yang dilimpahkan-Nya atas dirinya, setelah ia menjauhkan itu semua dari kaum lemah dan menenggelamkan mereka ke dalam lautan nestapa dan sengsara.

Adapun orang yang telah dijauhkan dari "bakat-bakat" seperti itu tidak dibenarkan mengajukan protes sedikit pun atas ketidak adilan tersebut, sebab tindakannya itu berarti protes terhadap "nasib serta bagian yang diperuntukkan baginya", dan terhadap "takdir Ilahi". Oleh sebab itu, keadaan ini harus dihadapinya dengan sabar, rela dan bersyukur, bukannya dengan protes.

Jadi, si zalim dibebaskan dari pertanggung jawaban atas segala perbuatannya dengan dalih qadha dan qadar, juga dengan anggapan bahwa ia yakni si zalim tersebut, adalah "tangan Allah ", sedangkan tangan Allah tidak boleh dikecam atas segala yang dilakukan-Nya.

Dengan dalih seperti ini pula, orang yang teraniaya harus menanggung segala bentuk kezaliman, sebab ia beranggapan bahwa segala sesuatu yang menimpanya, pada hakikatnya, adalah dari Allah secara langsung. Dengan begitu ia berputus asa dari hasil setiap perlawanan. Mungkinkah melawan qadha dan qadar? Atau, mungkinkah melepaskan diri dari cengkraman gaib yang amat kuat itu? Tambahan lagi, sikap seperti itu bertentangan dengan akhlak Muslim, sebab berlawanan dengan sifat rela (ridhd) dan pasrah.

Selain itu, orang yang meyakini paham kaum Jabariyah ini tidak melihat adanya keterikatan sebab-akibat di antara segala sesuatu, terutama antara manusia dengan perbuatannya serta kepribadiannya secara spiritual dan moral di satu pihak, dan dengan masa depannya yang bahagia atau sengsara di lain pihak. Karena itu pula, ia sama sekali tidak akan terfikir ke arah pengukuhan kepribadiannya, perbaikan perilaku moralnya atau pelurusan amal perbuatannya. Bahkan, sebaliknya, kita melihatnya mengalihkan semua itu kepada takdir seraya menunggu nasib yang telah ditentukan dengan cara penyerahan diri yang amat pahit.

Keuntungan-keuntungan Politis
Sejarah menunjukkan dengan pasti kepada kita, bahwa Bani Umayyah telah mengalihkan persoalan qadha dan qadar menjadi suatu pegangan yang amat kokoh setelah mendukungnya dengan segala daya dan kekuatan, sambil menumpas habis-habisan semua pendukung aliran kebebasan manusia, dengan dalih bahwa itu merupakan kepercayaan yang berlawanan dengan akidah-akidah Islam. Sehingga di suatu saat tersiar secara luas pameo yang menyatakan bahwa "jabr dan tasybih adalah dua pikiran yang berasal dari Bani Umayyah, sedangkan 'adl dan tauhid adalah dua pikiran yang berasal dari kaum Alawiyin" (pengikut Ali bin Abi Thalib).

Orang yang paling dahulu melontarkan masalah ikhtiar manusia ke tengah-tengah masyarakat untuk dibahas, seraya mempertahankan akidah-akidah tentang kebebasan ini, di masa kekuasaan Bani Umayyah, ialah seorang dari Irak bemama Ma'bad al-Juhani dan seorang lagi dari Syam bemama Ghilan ad-Dimasyqi. Kedua orang ini dikenal dengan sifat-sifat istiqamah, ketulusan dan keimanan yang kuat. Ma'bad ikut dalam pemberontakan bersama Ibnul Asy'ats dan kemudian dibunuh oleh al-Hajjaj (seorang pejabat Bani Umayyah); sedangkan Ghilan, setelah pahamnya itu sampai ke pendengaran Hisyam bin Abdul Malik, segera dijatuhi hukuman kejam potong kedua tangan dan kaki kemudian disalib.

Syibli Nu'man[2] menyebutkan bahwa kendati situasi dan kondisi masa itu memang mendorong ke arah timbulnya berbagai pertentangan dalam soal-soal akidah, namun semuanya itu bermula dari sesuatu yang bersifat politis dan berdasarkan kepentingan-kepentingan pemerintah dalam negeri. Sebab, sehubungan dengan sifat pemerintahan Bani Umayyah yang menjalankan kekuasaannya dengan "besi dan api", wajarlah jika api revolusi bergejolak dalam dada rakyat. Akan tetapi, secepat keluarnya keluhan tentang keadaan, secepat itu pula para penguasa mengalihkannya kepada takdir, dan bahwa yang terjadi itu telah ditakdirkan dan diridhai oleh Allah SWT; dan karena itu tak ada yang dapat dibenarkan kecuali ucapan: "Kami beriman kepada takdir, baiknya maupun buruknya." Ma'bad al-Juhani, yang dikenal sebagai seorang tabi'i yang tulus, pernah bertanya kepada gurunya, Hasan al-Bashri: "Sejauh mana kebenaran ucapan kaum Umawiyyin (Bani Umayyah) mengenai persoalan qadha dan qadar?" Hasan al-Bashri menjawab: "Mereka itu adalah para pendusta dan musuh-musuh Allah SWT."

Adapun kaum Abbasiyyin (Bani Abbas), kecuali beberapa khalifah seperti al-Makmun dan al-Mu'tashim yang membela kaum Mu'tazilah yang mempercayai adanya kebebasan manusia, menentang politik pemerintahan kaum Bani Umayyah. Namun, sejak masa berkuasanya al-Mutawakkil dan seterusnya, mereka telah berbalik seratus delapan puluh derajat dan menjadi pembela paham kaum Jabariyah. Sejak saat itu, mazhab Asy'ariyah merupakan mazhab yang berlaku secara umum di dunia Islam.

Tersebarnya mazhab Asy'ariah dan kekuasaannya atas dunia Islam telah menimbulkan pula dampak yang luas. Sehingga kelompok-kelompok lainnya, seperti Syi'ah misalnya, yang sebelum itu sama sekali menolak aliran Asy'ariyah, tidak sepenuhnya berhasil melepaskan diri dari dampak tersebut. Itulah sebabnya kita dapat melihat kendati paham Syi'ah bertentangan dengan Asy'ariyah, meski tidak sepenuhnya pula bersesuaian dengan Mu'tazilah bahwa paham Jabariyah ini telah menyelusup ke dalam kesusasteraan kaum Syi'ah, baik yang berbahasa Arab ataupun Parsi. Berbagai hasil karya sastera mereka lebih banyak berbicara mengenai keterpaksaan manusia di hadapan takdir ketimbang tentang kebebasan manusia. Padahal ucapan-ucapan para pemimpin kaum Syi'ah, para Imam ahlul bait, menandaskan bahwa qadha dan qadar yang menyeluruh sama sekali tidak bertentangan dengan kemerdekaan manusia.

Rahasia yang telah menjadikan kata-kata qadha dan qadar sebagai sesuatu yang menakutkan ialah beralihnya arti kata tersebut sehingga menjadi padanan kata jabr (determinisme) dan ketiadaan kebebasan, serta kekuasaan tidak logis, yang berasal dari suatu kekuatan tersembunyi, atas diri manusia dan segala perbuatannya. Hal itu disebabkan tersebarnya mazhab Asy'ariyah di seluruh dunia Islam serta pengaruhnya yang amat kuat atas kebudayaan Islam secara umum.

Kritik Barat Kristen Terhadap Islam
Penyimpangan yang terjadi dalam masalah ini telah memberikan argumentasi kepada kaum Kristen di Barat untuk menyatakan bahwa akidah tentang qadha dan qadar adalah sebab utama kemunduran kaum Muslimin, dan berkenaan dengan itu mereka juga menyindir Islam sebagai agama yang percaya kepada paham jabr (determinisme) dan mencabut segala bentuk kebebasan dari diri manusia.

Almarhum Sayyid Jamaluddin al-Asadabadi (al-Afghani) telah memberikan perhatian kepada kritik ini ketika ia berada di Eropa dan kemudian telah menyanggahnya dalam tulisan-tulisannya.

Dalam salah satu tulisannya, ia menjelaskan: "Apabila ruh (jiwa) yang menyimpang dan watak yang buruk telah menyelusup ke dalam diri suatu masyarakat, maka setiap akidah benar yang diberikan kepada masyarakat ini akan tercelup dengan wama ruh menyimpang yang mereka miliki, sehingga menambah kesengsaraan dan kesesatan; dan selanjutnya akidah itu berubah menjadi daya penarik ke arah perbuatan-perbuatan buruk." Kemudian ia melanjutkan dengan kalimat yang berkesimpulan bahwa akidah tentang qadha dan qadar merupakan salah satu di antara beberapa akidah yang benar seperti itu, namun telah menimbulkan keraguan kaum yang tidak mengerti dan bahkan menambah ketidak mengertian mereka. Orang-orang Barat yang kurang cermat dan tidak cukup mengerti telah membayangkan secara keliru bahwa apabila akidah tentang qadha dan qadar telah menyelusup ke dalam diri suatu umat, maka mereka akan kehilangan himmah (semangat dan gairah), kekuatan, keberanian dan sifat-sifat baik lainnya; dan bahwa semua sifat buruk kaum Muslimin adalah akibat dari akidah tentang qadha dan qadar itu. Selanjutnya, kaum Muslimin sekarang adalah masyarakat yang miskin, jauh lebih lemah keadaannya dalam segi militer dan politik dari orang-orang Barat; mereka diliputi keburukan akhlak, dusta, kelicikan, kebencian, permusuhan, perpecahan, kebodohan tentang keadaan dunia, ketidak-berpengalaman tentang kebaikan dan kejahatan serta perasaan cukup dengan hidup yang pas-pasan. Mereka tidak memiliki sesuatu yang mendorong ke arah kemajuan dan perlawanan terhadap musuh; dan oleh sebab itu pasukan-pasukan asing yang bengis dan beringas menyerbu mereka dari segala arah, sedangkan orang-orang lemah dan bodoh justru mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas segala keadaan yang menimpa mereka, sambil bersiap-siap untuk menerima segala kehinaan, menyembunyikan diri di setiap sudut rumah dan menyerahkan semua simpanan harta benda serta kemerdekaan mereka kepada musuh yang datang.

Almarhum Sayyid Jamaluddin melihat bahwa orang-orang Barat, yang menisbahkan segala macam keburukan tersebut kepada kaum Muslimin, beranggapan bahwa semua kejelekan dan kejahatan adalah akibat dari kepercayaan tentang qadha dan qadar seraya menandaskan bahwa jika kaum Muslimin masih tetap berpegang teguh pada akidah ini, maka eksistensi mereka akan hilang lenyap dan menuju ke arah kemusnahan. Berkenaan dengan pendapat Barat seperti ini, Sayyid Jamaluddin menegaskan bahwa mereka (orang-orang Barat) tidak dapat membedakan antara akidah qadha dan qadar dengan mazhab Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia majbur (terpaksa) secara mutlak dalam semua perbuatan dan tindakannya.[3]

Kompleks Intelektual
Di antara hal-hal yang perlu diperhatikan ialah bahwa pembahasan tentang qadha dan qadar serta jabr dan ikhtiar ini tidak hanya berdasarkan alasan sosial semata-mata, sebab sebelum segala yang lain, masalah ini telah merupakan suatu kemusykilan ilmiah dan filosofis yang seringkali terbersit dalam benak seorang pemikir dan mendorongnya agar mencari pemecahannya.

Materialisme dan Takdir
Selain dari itu hendaknya jangan dibayangkan bahwa masalah ini merupakan problem rumit yang hanya dihadapi oleh para ahli teologi, sebab para penganut materialisme pun dihadapkan pada problein ini meski dengan sedikit perbedaan. Yaitu, sesuai dengan sistem kausal atau hukum sebab-akibat yang telah diterima, maka setiap fenomena dan peristiwa yang terjadi adalah akibat dari suatu sebab atau berbagai sebab. Di pihak lain, adanya akibat dengan memperkirakan (menghipotesiskan) adanya penyebabnya merupakan sesuatu yang sepenuhnya bersifat dharuri (tidak boleh tidak); sebagaimana ketiadaan penyebab memustahilkan adanya akibat.

Karena para penganut materialisme menerima juga teori kausal atau prinsip sebab-akibat umum dan dharuri seperti telah disebutkan sebelum ini dan menjadikannya salah satu pokok utama filsafat mereka, maka mereka pun dihadapkan kepada pertanyaan sekitar keterikatan perbuatan-perbuatan manusia pada hukum ini serta kemustahilan pengecualian sesuatu daripadanya. Dengan kata lain, semua perbuatan inanusia tercakup dan terliputi dalam hukum-hukum yang diterima tanpa ragu, secara pasti dan deterministis. Kendati demikian, masih adakah kebebasan dan ikhtiar?

Oleh sebab itu, kita mendapati masalah jabr dan ikhtiar ini diletakkan di hadapan semua aliran filsafat, lama maupun baru, yang bersifat teologis maupun materialistis.

Telah kami kemukakan tentang adanya perbedaan antara problem ini dalam pandangan kaum teologis dan pandangan kaum materialis, namun perbedaan ini tidak berpengaruh dalam esensi permasalahannya, bahkan kepercayaan kepada takdir Ilahi memiliki keistimewaan-keistimewaan dan kekhasan-kekhasan yang tidak dimiliki oleh kepercayaan kepada takdir dan determinisme alami.

Tanzih dan Tauhid
Kemusykilan ini muncul di kalangan para ahli teologi dan ahli 'ilmul-kalam ketika mereka mengamati hukum sebab-akibat serta bermuaranya semua kejadian dan kemungkinan kepada Zat (Allah) yang Wajibul Wujud, dan mustahilnya terwujud sesuatu kejadian tanpa bersandar kepada iradat Allah SWT. Dengan kata lain, mereka mengarah kepada ketauhidan segala perbuatan dan kemustahilan adanya sekutu bagi Allah dalam pemilikan wujud semesta ini. Ditinjau dari sisi lain, mereka pun menunjukkan perhatian ke arah sesuatu yang oleh awam pun dapat dicerap dan diketahui, yaitu bahwa segala kejahatan, kekejian dan dosa, tidak mungkin, atau tidak patut dinisbahkan kepada Allah SWT. Karena itu, mereka menjadi bingung dan terombang-ambing antara tanzih (menyucikan Allah dari segala sesuatu yang tak layak baginya-Nya) dan tauhid. Sebagian dari mereka berpikir, dalam lingkup tanzih, bahwa iradat Allah dan kehendak-Nya tidak dapat dikaitkan dengan perbuatan dan tindakan para hamba yang kadang-kadang bersifat jahat dan keji, sedangkan sebagian yang lain berfikir dalam lingkup tauhid, dan dalam pengertian "tak ada sesuatu yang memberikan pengaruh atas wujud kecuali Allah", bahwa segala sesuatu pasti bersandar kepada iradat Allah SWT.

Diriwayatkan bahwa Ghilan ad-Dimisyqi, yang berpendirian bahwa manusia memiliki ikhtiar (kebebasan memilih), berkata pada Rabi'ah ar-Ra'i, ilmuwan yang beraliran Jabariyah (determinisme): "Andakah yang menyatakan bahwa Allah menghendaki agar Ia dimaksiati?" Rabi'ah segera menjawab: "Andakah yang menyatakan bahwa Allah dimaksiati secara paksa?"

Suatu hari, Abu Ishaq al-Farayini, pendukung aliran takdir, duduk dalam majlis Shahib bin Abbad, ketika datang al-Qadhi Abdul-Jabbar, seorang tokoh Mu'tazilah yang mengingkari pengaruh takdir umum, berlawanan dengan pendapat Abu Ishaq. Ketika al-Qadhi melihat Abu Ishaq, segera ia berkata: "Mahasuci Allah yang terjauhkan dari perbuatan keji!" (ucapannya ini ditujukan sebagai sindiran kepada Abu Ishaq yang menisbahkan segala sesuatu kepada Allah, dan dengan demikian seakan-akan berpendapat bahwa Allah juga terkena sifat perbuatan-perbuatan keji yang dilakukan oleh manusia). Mendengar itu, Abu Ishaq segera menukas: "Mahasuci Dia yang tak suatupun berlangsung di dalam kerajaan-Nya kecuali yang dikehendaki-Nya!" (Jawaban ini menyindir al-Qadhi Abdul Jabbar bahwa seakan-akan ia menyatakan tentang adanya sekutu bagi Allah dalam wujud ini dengan membayangkan kemungkinan terjadinya sesuatu dalam wujud ini yang tidak dikehendaki oleh Allah SWT, yakni perbuatan keji dan sebagainya).

Telah diuraikan sebelum ini, bahwa masalah ini telah menimbulkan kemusykilan ilmiah sebelum dibangkitkan dan dicampuri oleh faktor-faktor politis dan sosial.

Bagi sebagian orang, tidaklah dapat diterima oleh akal bahwa segala sesuatu, hatta perbuatan kejahatan, dinisbahkan kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, mereka menjauhkan dan menyucikan Allah dari kejahatan-kejahatan seperti itu, sementara orang-orang lain yang lebih menekankan soal ketauhidan memandang alam ini seluruhnya tegak oleh sebab Zat Ilahi, dan bahwa seluruh maujud memperoleh kemaujudannya dari sisi-Nya SWT. Mereka ini menolak adanya suatu maujud yang mandiri dalam perbuatannya, sehingga seandainya Allah menghendaki sesuatu, sedangkan si maujud menghendaki sesuatu lainnya yang berlawanan dengan kehendak Allah, maka yang terjadi ialah yang dikehendaki oleh si makhluk, bertentangan dengan yang dikehendaki oleh Allah SWT. Dari sinilah timbul pertentangan dan perbedaan pendapat itu.

Akan tetapi, dapatlah disimpulkan bahwa masing-masing kelompok berusaha menguatkan dan memenangkan pendapatnya dengan cara membuat keraguan terhadap akidah kelompok lainnya, tanpa memperhatikan kemusykilan-kemusykilan yang berhubungan dengan akidahnya sendiri. Hal ini dapat diketahui secara jelas dengan menelaah buku-buku mengenai 'ilmul-kalam, seperti dalam dialog antara Ghilan dan Rabi'ah dan antara al-Qadhi Abdul Jabbar dan Abu Ishaq yang telah kita baca sebelum ini, sebagai dua contoh argumentasi dari jenis ini.

Pada hakikatnya, kedua jenis akidah, baik yang menekankan adanya takdir ataupun ikhtiar (kebebasan memilih) yang diajarkan seperti ini, pasti tidak terlepas dari kemusykilan-kemusykilan yang tidak dapat dipertahankan.

Seandainya kedua kelompok ini menyadari bahwa kedua pendapat mereka masing-masing mencakup sebagian saja dari kebenaran, niscaya hilanglah pertengkaran antara keduanya; dan akan diketahui bahwa kepercayaan kepada qadha dan qadar serta ketauhidan perbuatan sama sekali tidak identik dengan jabr (determinisme) serta tercabutnya kebebasan sepenuhnya dari manusia, sebagaimana kepercayaan kepada ikhtiar dan kebebasan manusia tidak berarti penafian (pengingkaran) terhadap qadha dan qadar.

[1] Untuk mengetahuinya silakan menelaahnya dalam kitab Tafsir karangan ar-Razie dan Zamakhsyari (al-Kassyaf).

[2] Tarikh 'Ilmul-Kalam (Sejarah Ilmul-Kalam), jilid 14, hal. 1.

[3] Cuplikan dari catatan harian Sayyid Shadr Wasiqi sekitar Sayyid Jamaluddin dengan mengutip sebuah tulisannya tentang qadha dan qadar, Maktabah Teheran No. 4535.

2
TAQDIR MANUSIA

BAGIAN KEDUA

Sistem Kausalitas Umum

Qadha dan Qadar
Qadha berarti penetapan hukum, atau pemutusan dan penghakiman sesuatu. Seorang qadhi (hakim), dinamakan demikian sebab ia bertugas atau bertindak menghakimi dan memutuskan perkara antara kedua orang yang bersengketa di muka pengadilan. Al-Quran al-Karim menggunakan kata ini dengan menisbahkannya, kadang-kadang kepada Allah dan kadang-kadang kepada manusia, untuk memisahkan dua pokok bahasan dalam pembicaraan dan juga untuk memisahkan antara dua penciptaan di alam ini.

Qadar berarti kadar dan ukuran tertentu. Kata ini juga seringkali digunakan dalam Al-Quran untuk menunjukkan arti ini.

Kejadian-kejadian alam, ditinjau dari sudut keberadaannya di bawah pengawasan dan kehendak Allah yang pasti, dapat dikelompokkan ke dalam qadha Ilahi, dan dari sudut sifatnya yang terbatas pada ukuran dan kadar tertentu serta pada kedudukannya dalam ruang dan waktu, dapat dikelompokkan ke dalain qadar Ilahi.

Para ahli di bidang teologi Islam menggunakan istilah-istilah dan keterangan-keterangan khusus di bidang ini. Hal ini berhubungan dengan masalah ilmu (pengetahuan) Allah Maha Pencipta SWT serta tingkatan-tingkatan pengetahuan-Nya. Pada gilirannya, hal ini berhubungan pula dengan banyak masalah lainnya, antara lain mengenai pentahkikan (penelitian seksama) atas wujud alam semesta. Sehingga, dalam buku ini, kami tidak akan memasuki bidang pembahasannya. Adapun yang dapat dibahas di sini bahwa semua kejadian alam secara umum haruslah termasuk di antara tiga kemungkinan atau hipotesis berikut:

a. Bahwa semua kejadian tidak berkaitan dengan masa lalu yang mendahuluinya, baik keterdahuluan dalam waktu atau lainnya, dan karena itu eksistensinya tidak berkaitan dengan segala yang mendahuluinya. Demikian pula segala ciri khas atau karakteristiknya. Dengan hipotesis ini, maka qadha dan qadar tidak ada artinya lagi setelah penyangkalan terhadap adanya kaitan antara eksistensi serta berbagai karakteristiknya yang berhubungan dengan waktu dan tempat, dengan masa lalu dan ketentuan (qadar) yang mendahuluinya. Berdasarkan teori ini, teori kausal atau sistem sebab-akibat harus pula diingkari, dan sebagai gantinya, menerima faktor "kebetulan" sebagai tafsiran adanya segala sesuatu.

Padahal, prinsip sebab-akibat atau kausalitas umum dan keterkaitan yang dharuri dan pasti antara segala kejadian, dan bahwa setiap kejadian memperoleh kepastian dan keharusan serta kekhususan-kekhususan eksistensinya dari sesuatu atau berbagai hal lainnya yang mendahuluinya, merupakan hal-hal yang diterima tanpa ragu dan tidak memerlukan sanggahan. Keharusan dan keaslian sistem kausal merupakan bagian dari ilmu-ilmu manusia yang telah dikenal bersama dan tidak diliputi keraguan apapun.

b. Mengakui bahwa setiap kejadian mempunyai suatu sebab yang mendahului, tapi menolak adanya sistem sebab-akibat yang berlaku antara segala kejadian. Dengan demikian, segalanya adalah akibat langsung dari sebab yang pertama dan utama, yaitu Allah SWT. Di seluruh alam ini tidak ada penyebab dan pelaku kecuali satu, yaitu Zat Ilahi. Daripada-Nya muncul semua maujud secara langsung. Iradat-Nya berkaitan dengan setiap kejadian, secara sendiri-sendiri, terpisah dari Iradat-Nya yang lain. Hal itu dapat dibayangkan atau diperkirakan seperti demikian: Qadha berarti pengetahuan dan kehendak Ilahi berkenaan dengan terwujudnya suatu kemaujudan. Setiap kali, pengetahuan dan kehendak-Nya itu terpisah dari pengetahuan dan kehendak-Nya yang lain.

Dengan ini, kita harus menyetujui dan menerima bahwa tak ada pelaku kecuali Allah. Pengetahuan Allah secara azali (sejak dahulu dan permulaan zaman), sudah menyatakan bahwa peristiwa yang "ini" terjadi pada waktu yang "ini"; peristiwa yang "itu" pasti terjadi tanpa adanya sesuatu (sebab) yang ikut campur dalam perwujudannya. Semua perbuatan dan tindakan manusia termasuk katagori ini. Jadi, sesuatu yang mewujudkan suatu perbuatan dan tindakan, secara langsung dan tanpa lantaran, adalah qadha dan qadar Ilahi atau, dengan kata lain pengetahuan dan iradat Ilahi. Daya dan kekuatan manusia itu sendiri sama sekali tidak memiliki suatu peran serta dalam pemunculan perwujudannya. Kalaupun tampak daya dan kekuatannya, maka itu hanya peran secara lahiriah dan khayali (imajinatif) belaka, tidak lebih dari itu. Inilah inti kepercayaan jabr serta berkuasa penuhnya nasib. Akidah seperti ini, jika menjadi anutan suatu masyarakat ataupun perorangan, pasti akan menghancurkan kehidupannya dan menariknya ke arah kesimaan.

Pikiran seperti ini, di samping keburukannya secara praktis dan sosial, tertolak oleh logika dan batal sepenuhnya ditinjau dari sudut dalil-dalil intelektual dan filosofis seperti yang disebutkan pada pembahasan-pembahasan mengenai hal itu. Keterkaitan sebab dan akibat di antara semua kejadian adalah sesuatu yang tak mungkin dipungkiri. Bukan hanya ilmu-ilmu fisika serta penyaksian inderawi dan eksperimental saja yang merupakan dalil berlakunya sistem sebab-akibat, tapi ilmu Ilahi pun telah memberikan bukti yang paling tepat dan teliti mengenai hal ini. Demikian pula Al-Quran al-Karim menguatkan berlakunya sistem ini.

c. Pernyataan bahwa konsep dan sistem sebab-akibat umum berkuasa atas alam serta seluruh peristiwa dan kejadian di dalamnya. Setiap peristiwa memperoleh esensi wujudnya, bentuknya, karakteristiknya yang berkaitan dengan ruang dan waktu serta kekhasan wujudnya yang lainnya dari penyebab-penyebab yang mendahuluinya. Demikian pula adanya ikatan kuat yang tak mungkin terlepas antara masa lalu, masa kini dan masa mendatang, dengan semua maujud dan sebab yang mendahuluinya. Atas dasar itu, nasib setiap maujud berada di tangan suatu maujud lainnya, yaitu penyebab yang telah mewajibkan kewujudannya dan memberinya kepastian dan keharusan serta seluruh karakteristik wujudnya, dan bahwa penyebab itu pada gilirannya diakibatkan oleh penyebab lainnya dan begitulah seterusnya.

Kesimpulannya, konsekuensi sikap menerima teori kausal atau sistem sebab-akibat umum ialah menerima pula bahwa setiap peristiwa memperoleh kepastian wujud, karakteristik, bentuk, kadar dan kualitasnya dari penyebabnya.

Dalam hal ini tidak terdapat perbedaan apakah kita berperilaku sebagai para ahli teologi yang mempercayai bahwa asal segala ketetapan (qadha) dan sumber segala ketentuan (qadar) adalah "Sebab dari segala sebab" ataukah kita tidak berakidah seperti itu dan tidak mengetahui sebab yang pertama seperti ini.

Karena itu, tidak ada perbedaan dalam masalah ini, ditinjau dari sudut praktis dan sosial, antara seorang ahli teologi dan seorang materialis. Sebab, seluruh bentuk pembenaran bagi kepercayaan kepada takdir, bersumber pada akidah tentang kausalitas dan hukum sebab-akibat umum, baik bagi yang tergolong ahli teologi ataupun materialis.

Memang perbedaan antara keduanya ialah bahwa takdir, dalam pandangan seorang materialis, adalah suatu ketentuan yang benar-benar bersifat eksternal, sedangkan dalam pandangan seorang ahli teologi, takdir adalah ketentuan yang sadar akan dirinya. Dengan kata lain, seorang materialis berpendirian bahwa nasib setiap maujud ditentukan oleh penyebab-penyebabnya yang terdahulu sementara penyebab-penyebab ini tidak mengetahui peran dan khasiatnya (ciri khasnya) sendiri. Sedangkan seorang ahli teologi melihat bahwa rangkaian panjang penyebab ini, yakni penyebab-penyebab yang berada di luar lingkup waktu, mengetahui dan menyadari perbuatan dan khasiatnya sendiri. Oleh sebab itu, penyebab-penyebab ini dalam ajaran-ajaran Ilahiyah diberi nama-nama tertentu seperti kitab, loh, pena dan sebagainya, namun dalam aliran materialisme tidak ada sesuatu yang patut menyandang nama-nama ini.

Jabr (Determinisme)
Dari uraian-uraian yang telah lalu, kita beroleh kesimpulan bahwa mempercayai takdir tidak identik dengan mempercayai paham Jabariyah. Halnya akan menjadi demikian itu hanya apabila kita tidak memberikan peranan apapun kepada manusia dalam menciptakan perilakunya sendiri, yakni dengan menyerahkannya bulat-bulat kepada takdir. Padahal sungguh tak dapat diterima apabila kita mengatakan bahwa Allah SWT melakukan segala sesuatu tanpa perantaraan. Bahkan, yang benar ialah bahwa Allah SWT telah mengharuskan perwujudan segala sesuatu melalui lantaran-lantaran dan sebab-sebabnya yang khusus.

Qadha dan qadar tidak memiliki arti lain kecuali terbinanya sistem sebab akibat umum atas dasar pengetahuan dan kehendak Ilahi. Di antara konsekuensi penerimaan teori kausal dan kemestian terjadinya akibat pada saat adanya penyebab, serta keaslian hubungan antara keduanya, ialah bahwa kita harus mengatakan bahwa nasib setiap maujud berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya. Dan bahwa sebab-sebab itu berkaitan dengannya, baik dengan anggapan adanya konsep Ilahi atau tidak, yakni baik sistem sebab akibat ini merupakan sistem yang terpisah dan mandiri ataupun ia berdiri dengan sesuatu yang lain dan bersandar kepada kehendak Ilahi. Sebab adanya sistem sebab-akibat tersebut, baik terpisah dan mandiri ataupun tidak, tak ada pengaruhnya terhadap masalah nasib dan kebebasan manusia.

Dari makna ini, kita berani mengatakan bahwa ucapan yang menyebutkan bahwa kepercayaan Jabariyah berasal dari kepercayaan kepada qadha dan qadar Ilahi, sungguh merupakan puncak kebodohan. Oleh sebab itu, wajiblah kita menyanggah kepercayaan seperti ini agar terlepas dari kesimpulan tersebut.

Sebab seandainya kita, dengan kepercayaan ini, bermaksud menolak keterkaitan antara sebab dan akibat, yang di antaranya termasuk kemampuan dan daya manusia, kehendak dan ikhtiarnya, maka qadha dan qadar seperti ini adalah suatu khurafat (nonsens) yang mustahil bisa terwujud, sesuai dengan dalil-dalil pasti yang ditegakkan oleh ilmu filsafat ketuhanan, sehingga tak ada lagi tempat untuk syak dan ragu.

Jika dengannya kita bermaksud menetapkan keterikatan yang mesti antara sebab dan akibat, maka yang demikian itu adalah suatu kebenaran yang diterima tanpa ragu, dan tidak hanya khusus dikatakan oleh para ahli teologi saja, melainkan juga oleh setiap aliran yang mempercayai prinsip kausal umum. Kendatipun terdapat perbedaan, yakni bahwa kaum teologis mengangkat rangkaian sebab-sebab itu sampai ke suatu tingkat yang tidak terikat oleh dimensi ruang dan waktu, yakni tempat bermuaranya segala sesuatu atau sebab dari segala sebab, Zat yang Wajibul-Wujud, hakikat yang berdiri sendiri dengan Zat-Nya, yang kepada-Nya bermuara segala ketetapan (qadha) dan ketentuan (qadar). Namun perbedaan ini tidak berpengaruh sedikit pun dalam menetapkan adanya jabr (determinisme) ataupun menafikannya.

Kebebasan dan Ikhtiar
Di sini akan timbul pertanyaan: Jika kita menjadikan qadha dan qadar Ilahi berkaitan, secara langsung dan tanpa perantaraan suatu sebab, dengan segala kejadian, maka apa artinya kebebasan? Bagaimana kita dapat mempertemukan kepercayaan kepada sistem kausal umum dengan kepercayaan kepada kebebasan manusia? Seandainya kita mau menerima pengertian tentang kebebasan manusia, apakah kita diharuskan sepenuhnya memisahkan perbuatan-perbuatan manusia dari penyebab eksternal yang bagaimanapun, sehingga dengan demikian kita hanya menerima hipotesis yang pertama? Jawabnya adalah: Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang telah mendorong banyak pemikir, pada masa lalu dan kini, untuk berlindung di balik apa yang mereka namakan "kehendakbebas" (free will) yang tidak berhubungan dengan sebab apapun. Dengan ini berarti bahwa mereka menerima baik "konsep kebetulan" walaupun dalam kerangka kehendak manusia. Akan tetapi, telah kaini tegaskan[1] bahwa prinsip kausal merupakan sesuatu yang tidak mungkin dapat diingkari atau dikecualikan, dan seandainya kita memutuskan semua kaitan antara perbuatan manusia dan sebab-sebabnya yang mendahuluinya, niscaya kita akan terpaksa menerima pendapat mengenai tiadanya ikhtiar bagi manusia.

Manusia sesungguhnya dicipta sebagai makhluk yang bebas dan berikhtiar, dalam arti bahwa ia diberi pikiran dan kehendak. Manusia, dalam perbuatannya, tidaklah sama seperti batu yang anda gelindingkan lalu ia pun menggelinding dan kemudian jatuh karena pengaruh daya tarik bumi tanpa memiliki kehendak sedikit pun. Atau seperti tumbuh-tumbuhan, tak memiliki kecuali satu jalan saja, sehingga pada saat terpenuhinya kondisi-kondisi tertentu, ia tumbuh dengan bentuk yang biasa. Atau seperti seekor binatang yang melakukan perbuatan akibat dorongan nalurinya. Tidak! Manusia selalu mendapati dirinya berada di persimpangan jalan, agar ia memilih salah satu yang dikehendakinya di antara jalan-jalan itu dengan sepenuh kemerdekaan dan sesuai dengan kehendaknya serta pemikirannya. la tidak majbur (terpaksa) melintasi salah satu saja daripadanya. Yang menentukan salah satu dari jalan-jalan itu adalah cara berpikimya dan kebebasan memilihnya.

Di sini menonjollah faktor-faktor kepribadian, sifat-sifat moral dan spiritual, pengalaman-pengalaman pendidikan dan keturunan, nilai-nilai intelektual dan pandangan-pandangan jauh manusia, sehingga ia dapat mengetahui sampai sejauh mana masa depannya, bahagia ataupun sengsara, berkaitan dengan faktor-faktor tersebut atau, dengan kata lain, dengan jalan yang dipilihnya bagi dirinya sendiri.

Perbedaan antara manusia dan api yang membakar, air yang menenggelamkan dan tanaman yang tumbuh bahkan binatang yang berjalan adalah unsur ikhtiar (kebebasan memilih). Sebab semua yang tersebut di atas, tidak dapat memilih jalannya sendiri. Hanya manusia sajalah yang dapat memilih jalannya dengan kebebasan. Setiap kali menjumpai beberapa jalan, kepastian melintasi salah satu daripadanya tidak memperoleh kekuatan melainkan dari kehendak pribadinya.

Takdir yang Definitif dan yang Tidak Definitif
Berbagai riwayat keagamaan dan isyarat-isyarat Al-Quran berbicara tentang "takdir yang definitif" (mahtum) dan takdir yang tidak definitif. Hal itu menunjukkan adanya dua jenis qadha dan qadar atau takdir, yakni yang mengalami perubahan dan yang definitif dan dharuri (tidak boleh tidak) yakni tidak dapat mengalami perubahan.

Di sini akan timbul pertanyaan sekitar arti takdir yang tidak definitif. Pada saat kita melihat suatu peristiwa tertentu dengan penuh perhatian, kita akan bertanya: Adakah pengetahuan Ilahi yang azali meliputi peristiwa itu atau tidak? Jika ia tidak meliputinya, maka hal ini berarti tidak hanya qadha dan qadar. Tapi jika ia meliputinya, maka peristiwa itu secara dharuri sudah pasti terjadi. Jika tidak, maka konsekuensinya ialah tidak cocoknya pengetahuan Allah dengan kenyataan, serta berlawanannya sesuatu yang dikehendaki-Nya dengan kehendak-Nya. Hal ini tentunya menunjukkan kekurangsempurnaan Zat Allah (Mahasuci lagi Mahatinggi Dia dari segala kekurangan).

Dengan kata lain, yang lebih teliti dan lebih mencakup, dapat dikatakan bahwa takdir, dalam kenyataannya, ialah munculnya semua lantaran dan sebab dari kehendak dan pengetahuan Allah, yaitu sebab dari segala sebab. Atas dasar itu, qadha menurut istilah ialah pengetahuan akan sistem yang paling baik dan yang merupakan pembuat dan pewujud sistem tersebut.

Dari segi lain, hukum sebab-akibat seperti yang kita ketahui, mewajibkan adanya kepastian dan keharusan, mengingat bahwa konsekuensi hukum kausal ialah terjadinya sesuatu yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan khususnya dan yang telah sesuai dengan kondisi ruang dan waktu tertentu, secara pasti, definitif, dan tidak mungkin menemui kegagalan. Persis demikian pula halnya dengan tidak akan terjadinya peristiwa itu, di luar persyaratan dan kondisi tersebut, juga merupakan sesuatu yang definitif dan tidak boleh tidak.

Ilmu-ilmu memperoleh kepastian berdasarkan konsep ini. Kemampuan seseorang melakukan peramalan secara ilmiah adalah sekadar pengetahuannya akan berbagai lantaran dan sebab. Demikian pula, mengingat bahwa qadha dan qadar adalah pengharusan dan penentuan terjadinya peristiwa-peristiwa melalui sebab-sebab dan akibat-akibat, maka pada hakikatnya, qadha dan qadar adalah inti kemestian dan kepastian itu sendiri.

Berhubung dengan itu, bagaimanakah kiranya dapat dilakukan pembagian qadha dan qadar menjadi yang definitif dan tidak definitif, atau yang dapat mengalami perubahan dan yang tidak dapat mengalami perubahan?

Di sini tampaknya kita menemui jalan buntu, seakan-akan tak ada pilihan lain kecuali menyatakan seperti kaum Asy'ariyah, bahwa qadha dan qadar hanya satu macam saja dan tidak dapat mengalami perubahan atau pergantian; dan bahwa nasib manusia tidak mungkin menyimpang dari yang telah digariskan atasnya. Dengan demikian, kita telah mencabut dari manusia segala kemampuan untuk mengubah nasibnya, juga kebebasan dan kehendaknya. Atau kita berpendapat seperti kaum Mu'tazilah yang mengingkari qadha dan qadar serta pengaruhnya atas segala peristiwa alam, atau paling sedikit atas tindakan dan perbuatan manusia. Ada atau tidakkahjalan keluar dari kebingungan ini?

Rasanya kita harus mengalihkan perhatian ke arah suatu titik yang amat penting. Yaitu, sebagaimana konsekuensi teori kaum Asy'ariyah, yang bertumpu atas dasar "tidak mungkinnya qadha dan qadar mengalami pergantian", telah menyebabkan penafian kemampuan dan ikhtiar manusia serta ketiadaan kekuasaannya atas masa depannya, maka teori kaum Mu'tazilah pun tidak merupakan terapi yang tepat untuk itu. Sebab, di samping kemusykilan yang berkaitan dengannya, seperti ditunjukkan oleh ilmu Ketuhanan, ditinjau dari sudut keberlawanannya dengan ketauhidan, teori tersebut juga tidak berguna dalam mengembalikan esensi kemampuan dan ikhtiar bagi manusia. Seandainya tidak menerima masalah takdir sesuai dengan pemahaman Ilahiyah pun, kita akan tetap berada dalam kebingungan di hadapan pemahaman materialistis mengenai hal itu, yakni adanya kekuasaan qat'iy (pasti) yang tidak tunduk pada sistem kausal umum maupun kekuasaan hukum-hukum yang bersumber daripadanya.

Dapatkah kita mengingkari pengaruh hukum sebab-akibat dalam perlangsungan peristiwa-peristiwa atau, paling sedikit, dalam perbuatan manusia?!

Dalam kenyataannya, kaum Mu'tazilah dan pengikut-pengikut mereka memang telah melakukan hal itu, yakni mengingkari konsep keharusan sebab-akibat, sedikitnya pada si pelaku yang bebas memilih atau berikhtiar. Beberapa pemikir Barat modern juga telah mengadaptasi pikiran-pikiran kaum Mu'tazilah dalam masalah ini, lalu mereka berbicara tentang "kehendak bebas" (free will), yakni bebas dari hukum kausal, sampai-sampai mereka mendakwakan bahwa hukum kausal hanya berlaku di dunia materi yang terbentuk dari atom-atom, bukannya di dunia spiritual atau dunia internal atom-atom itu sendiri.

Pada waktu ini, kami tidak hendak menarik pembahasan ini ke hukum kausal, tetapi kami persilakan pembaca yang terhormat membaca catatan-catatan kami dalam buku Ushul al-Falsafah wal-Madzhab al-waqi'i (Dasar-dasar Filsafat dan Aliran Pragmatisme), jilid III. Di sini kami hanya mencukupkan diri dengan nnenyatakan bahwa kebimbangan para pemikir tersebut mengenai berlakunya hukum kausal secara umum, ialah disebabkan mereka mengira bahwa hukum tersebut bersifat eksperimental. Oleh sebab itu, ketika eksperimen-eksperimen ilmiah yang dilakukan orang, menemui kegagalan dalam menyingkap hubungan antara hukum sebab-akibat dan terwujudnya akibat tertentu setelah adanya sebab tertentu, para pemikir tersebut mengira bahwa hal ini berada di luar sistem sebab-akibat.

Pada hakikatnya, hipotesis tentang tumbuhnya semua kaidah dan hukum ilmiah pada diri manusia serta kesempurnaan pemikirannya, berdasarkan perasaan dan eksperimen, merupakan penyebab utama timbulnya kebingungan yang menimpa teori-teori filsafat Barat, yang kemudian mempengaruhi pula kaum penirunya di Timur.

Bagaimanapun juga, tindakan mengingkari sistem sebab-akibat umum, adalah sesuatu yang mustahil. Seandainya diterima juga, kemusykilan arti takdir dari jenis yang tidak definitif tetap tidak terpecahkan, baik kita menyetujui teori takdir Ilahi ataupun tidak.

Kemusykilan tersebut, secara ringkas, ialah bahwa setiap kejadian, termasuk di dalamnya perbuatan manusia, menjadi definitif (terlaksana qadha-nya) jika telah sempurna sebab-sebab dan lantaran-lantarannya. Ia pun memperoleh bentuk dan ciri-ciri khasnya dari sebab-sebab takdir tersebut. Dengan demikian, prinsip sebab-akibat adalah identik dengan determinisme dan keharusan kemunculan. Tidak mungkin ada perubahan dan tidak mungkin ada pergantian.

Oleh sebab itu, setiap orang mengakui teori kausal, termasuk kaum materialis, pasti diliputi kemusykilan dan pertanyaan. Di satu pihak mereka telah menerima keharusan sebab-akibat (determinisme) dan di lain pihak, menyatakan nasib manusia sebagai sesuatu yang dapat diubah, di samping memberikan kepadanya peran penguasa atas nasibnya itu.

Berdasarkan itu, teori kaum Mu'tazilah yang bertumpu atas penafian qadha dan qadar dalam pengertian Ilahi, yakni penafian totalitas kehendak Ilahi dan kemampuan-Nya yang mencakup seluruh kejadian alam, serta penyangkalan terhadap ilmu Ilahi sebagai awal dari sistem alam secara umum, sama sekali tidak berguna sebagai terapi bagi problem yang amat rumit tersebut.

Mengkhayalkan Sesuatu yang Mustahil
Bila yang dimaksudkan dengan perubahan dan pergantian dalam takdir yang tidak definitif dari sisi Ilahi adalah bahwa Ilmu dan iradat (pengetahuan dan kehendak) Ilahi menetapkan sesuatu kemudian faktor lain yang mandiri (yang tidak berasal dari takdir) mewujudkannya dengan cara yang berlawanan dengan ilmu dan iradat Ilahi itu, ataupun faktor eksternal yang mandiri itu bertindak mengubah ilmu dan Iradat Ilahi, maka hal ini mustahil.

Demikian pula, dari sudut kausalitas umum, bila yang dimaksud adalah bahwa sistem ini menetapkan sesuatu kemudian muncul faktor lain di hadapannya dan mencegahnya dari pelaksanaan penetapannya itu, maka hal ini juga mustahil.

Sebab, semua faktor dalam wujud ini hanya timbul dari ilmu dan iradat Allah saja, dan semua faktor yang muncul di alam ini tidak lain adalah penampakan Ilmu dan iradat Allah serta alat untuk berlangsungnya qadha dan qadar-Nya. Demikian pula setiap faktor yang kita amati dengan seksama berada di bawah pengaruh hukum sebab-akibat dan merupakan suatu penampakan darinya. Tidak ada artinya membayangkan munculnya suatu faktor yang bukan merupakan penampakan iradat Ilahi dan bukan sebagai alat untuk berlangsungnya qadha dan qadar-Nya, ataupun membayangkan adanya faktor berpengaruh yang berada di luar hukum sebab akibat, atau berlawanan dengannya.

Dengan begitu, perubahan dan pergantian pada nasib, dalam arti munculnya suatu faktor yang berlawanan dengan qadha dan qadar atau berlawanan dengan hukum sebab-akibat adalah mustahil.

Kenyataan yang Mungkin Terjadi
Adapun perubahan nasib dalam arti bahwa penyebab perubahan itu sendiri merupakan suatu penampakan aktifitas qadha dan qadar serta satu dari serangkaian sistem sebab-akibat atau, dengan kata lain, perubahan nasib dengan ketentuan nasib dan penggantian takdir dengan penetapan takdir itu sendiri, maka hal itu merupakan suatu kenyataan, kendati tampak aneh dan musykil.

Yang lebih aneh lagi ialah bila kita memusatkan pandangan kepada qadha dan qadar dari sudut pandang sisi Ilahi. Sebab, perubahan qadha dan qadar di sisi ini akan menimbulkan perubahan di "alam atas" pada loh-loh, kitab-kitab malakut serta Ilmu Ilahil Mungkinkah melakukan perubahan dalam Ilmu Ilahi? Keanehan akan makin mencapai puncaknya ketika kita membayangkan kejadian-kejadian di alam bawah (alam dunia), khususnya kehendak dan perbuatan-perbuatan manusia, sebagai menjadi penyebab timbulnya perubahan-perubahan, penghapusan dan penetapan di "alam atas" pada sebagian loh-loh takdir dan kitab-kitab malakut (supra natural).

Bukankah sistem "alam bawah" (duniawi) dan inderawi, bersumber pada sistem "alam atas" dan pusat Ilmu Ilahi serta muncul daripadanya? Bukankah alam dunia ini rendah dan alam atas itu tinggi? Bukankah alam nasut (manusiawi) diatur dan diperintah oleh dunia supra natural (malakut). Mungkinkah, meski hanya sesekali, sistem alam bawah atau bahkan sebagian daripadanya, yakni alam manusia, mampu memberi pengaruh pada sistem atas dan pusat ilmu Ilahi, ataupun menyebabkan adanya beberapa perubahan tertentu padanya walaupun perubahan-perubahan ini sendiri berdasarkan qadha dan qadar?

Begitulah pertanyaan demi pertanyaan yang aneh-aneh akan bermunculan di dalam pikiran... Adakah ilmu (pengetahuan) Allah dapat mengalami perubahan?! Ataukah hukum Allah dapat mengalami pembatalan?! Dapatkah yang rendah berpengaruh pada yang tinggi.

Jawaban tegas atas pertanyaan ini ialah : Ya, ilmu Allah dapat mengalami perubahan, dalam arti bahwa Allah mempunyai suatu pengetahuan tertentu yang dapat mengalami perubahan. Hukum Allah dapat mengalami pembatalan, dalam arti bahwa Allah SWT memiliki beberapa hukum yang memang dapat mengalami pembatalan. Dan bahwa yang rendah adakalanya dapat memberikan pengaruhnya terhadap yang tinggi, dan bahwa sistem alam bawah, terutama kehendak dan perbuatan manusia, bahkan kehendak manusia semata-mata, adakalanya dapat "mengguncang" alam atas dan menyebabkan timbulnya beberapa perubahan padanya. Inilah kekuasaan tertinggi manusia atas nasibnya.

Harus diakui bahwa hal ini akan menimbulkan keheranan, akan tetapi kenyataan masalah yang amat agung dan mengagumkan inilah yang disebut sebagai masalah bada' (kemunculan sesuatu yang sebelumnya belum muncul) yang dibicarakan oleh Al-Quran al-Karim pertama kali dalam sejarah ma'rifat (pengetahuan) manusia, yaitu dalam firman-Nya:

"Allah menghapus apa saja yang dikehendaki-Nya dan menetapkan, dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab." (QS 13 : 39)

Masalah bada' ini tidak ada padanan dan persamaannya dalam semua konsep dan doktrin ilmiah manusiawi, dan di antara kelompok-kelompok Islam tidak bisa dijumpai kecuali pada para ulama dari kelompok Syi'ah Itsna Asyariyah. Dengan mengikuti ucapan-ucapan Ahlul Bait (alaihimussalam), mereka dapat mencapai hakikat ini dan dengan begitu meraih kehormatan dan kebanggan ini.

Di sini kami tidak dapat, secara terperinci, memasuki pembahasan filosofis yang amat canggih ini serta memberikan penjelasan yang luas mengenainya. Kami hanya mencukupkan diri dengan memberikan sepintas isyarat demi menandaskan bahwa teori bada' memiliki dasar dalam Al-Quran. Dan bahwa ia merupakan salah satu hakikat filosofis yang sedemikian halusnya, sampai-sampai para filosof Syi'ah pun tak berhasil mencapai kedalamannya kecuali sebagian dari mereka. Yaitu yang termasuk para peneliti dan pemerhati Al-Quran serta peninggalan-peninggalan para pemimpin utama, yakni Nabi saw., serta para imam Ahlul Bait (alaihiimissalam), khususnya yang tersebut dalam ucapan-ucapan Amirul Mukminin Ali bin Abi Talib a.s.

Sudah barang tentu kita tidak boleh berpuas diri dengan imajinasi kaum awam yang dikembangkan oleh orang-orang dungu dan mereka namakan bada', kemudian mereka kritik dan sanggah berdasarkan apa yang mereka bayangkan.

Betapapun juga, dalam risalah ringkas ini, kami tidak dapat memasuki pembahasan yang canggih ini. Kami hanya akan membahasnya dari segi persoalan terbaginya qadha dan qadar, serta kemungkinan perubahan nasib ditinjau dari sudut kenyataan yang telah ditentukan dan teori kausal umum, serta melihat kemungkinan bahwa qadha dan qadar terdiri atas dua macam: yang pasti dan tidak tersentuh perubahan, dan yang tersentuh perubahan. Jika demikian, bagaimana hal itu dapat dijelaskan?

Maujudat (segala suatu yang ada di alam ini) terbagi atas dua bagian :

a. Yang hanya bisa terdiri atas satu jenis khusus seperti hal-hal yang bersifat mujarrad (abstrak, ruhani).

b. Yang bisa terdiri atas lebih dari satu jenis, yaitu benda-benda materi atau sesuatu yang berasal dari materi tertentu dan merupakan dasar pembentukan benda-benda lainnya, seperti segala sesuatu yang dapat dirasa dan diraba.

Benda-benda alami dapat mengambil berbagai bentuk, memiliki kemampuan berintegrasi dan, dengan pengaruh beberapa faktor tertentu, dapat menjadi daya dan kekuatan, sementara beberapa faktor lainnya dapat mengubahnya menjadi makin sempurna ataupun makin kurang sempurna. Jadi, ia memiliki kemampuan menghadapi berbagai faktor, sebagaimana pengaruh yang dialaminya dari suatu faktor berbeda dengan yang dari faktor lainnya. Suatu benih yang menjumpai lingkungan yang serasi, lalu tidak dijangkiti penyakit-penyakit tumbuh-tumbuhan, akan tumbuh subur dan mencapai kesempurnaannya. Akan tetapi, dengan berkurangnya salah satu faktor keserasian lingkungannya, atau dengan adanya penyakit yang menimpanya, ia tidak dapat tumbuh dengan baik. Demikianlah, setiap benda alami memiliki ribuan kondisi, sehingga membentuk dirinya dengan beraneka bentuk sesuai dengan perbedaan kondisi ini.

Dengan ini kita mengetahui bahwa berbagai mujarrad di alam ruhani berbeda sepenuhnya dari keadaan benda-benda material. Pada yang pertama, qadha dan qadar menjadi definitif, dalam arti nasibnya berada di tangan sebabnya yang tunggal yang tak mungkin berubah. Adapun dalam hal benda-benda yang dapat mengalami perubahan dan menerima warna-warna serta berada di bawah pengaruh hukum gerak, maka qadha dan qadar baginya tidak definitif, dalam arti bahwa qadha tidak menentukan nasibnya. Bahkan, nasib setiap akibat mengikuti jenis penyebabnya. Lagi pula, disebabkan ia berhubungan dengan berbagai sebab, maka ia pun memiliki nasib yang berbeda-beda pula. Setiap sebab yang mana pun dapat mengisi tempat yang lain. Dengan demikian, kita tidak dapat melukiskan takdir dalam benda-benda dengan kemestian dalam arti ini. Bahkan setiap kali faktor-faktor itu bertambah, bertambah pulalah ragam nasib benda-benda itu.

Dengan sebab tertentu, seseorang ditimpa penyakit lalu timbullah rasa sakit. Dengan sebab yang tersembunyi dalam obat, hilanglah penyebab sakit itu dan berubahlah nasib orang itu. Seandainya dua orang dokter memberikan dua lembar resep, yang satu mendatangkan mudarat dan yang lainnya mendatangkan manfaat, maka dua keadaan yang berbedalah yang menunggu si sakit. Ikhtiar (pilihan) antara keduanya berada di tangannya. Ikhtiar inipun berkaitan dengan serangkaian sebab dengan cara yang tidak melucuti orang itu dari ikhtiarnya. Dengan kata lain, kendatipun telah tetap pilihannya atas salah satu dari kedua resep tersebut, tidaklah berarti bahwa selanjutnya ia tidak memiliki pilihan atau resep lainnya. Sebab, kemungkinan untuk memilih resep yang kedua tetap ada dan terpelihara.

Dengan demikian, dapatlah diketahui adanya bermacam-macam qadha dan qadar yang masing-masing dapat menempati posisi yang lainnya. Hal ini, yakni pergantian tempat yang satu dengan lainnya, sesuai pula dengan hukum qadha dan qadar. Atas dasar ini, seandainya seorang penderita sakit minum obat lalu ia sembuh, yang demikian itu adalah dengan ketentuan qadha dan qadar. Dan jika ia tidak minum obat itu lalu tetap menderita sakit, atau minum obat yang mendatangkan mudarat lalu mati, maka hal itu juga sesuai dengan qadha dan qadar. Seandainya ia menjauhkan diri dari lingkungan penyakit dan tetap terjaga daripadanya, maka hal itu juga sesuai dengan ketentuan qadha dan qadar. Selanjutnya, segala yang dilakukan dan menimpanya adalah salah satu jenis qadha dan qadar; tidak mungkin ia berada di luar lingkungan qadha dan qadar.

Arti seperti ini diungkap secara jelas dalam untaian syair Hakim Maulawi, seorang penyair Iran terkenal.[2]

Makna tersembunyi dalam ungkapan

'Telah keringlah sang pena',

membangkitkan semangat tinggi

di antara seluruh bangsa

Pena kehendak Ilahi sejak dulu menetapkan

setiap perbuatan memiliki hasil dan ganjaran.

Jika membongkar, reruntuhanlah yang kau jumpai

jika membangun, kejayaanlah yang kau temui

jika tangan bertindak, ia pun memotong;

jika anggur bersemayam, ia pun memabukkan.

Setelah kezaliman, datanglah kehancuran.

Setelah keadilan, segera datang kemuliaan.

Adakah kau kira akal yang arif dan lurus

Memisahkan Allah dari kucisa-Nya yang azali

Seraya berkata: 'Telah berlaku hukum qadha'...?

Tinggalkan keluhan! Tinggalkan tangis ini!

Tidak! Bukan itu maksud ungkapan:

'Telah kering pena sang qadha'

Keadilan dan kezaliman pastilah tak sama...

Rahasia Persoalan Ini
Qadha bukanlah faktor pelaku yang mempengaruhi di samping faktor-faktor lainnya, tapi ia adalah awal mula dan tempat berseminya semua faktor alamiah. Semuanya merupakan tanda-tanda esensinya dan tercakup dalam prinsip kausal umum. Jika ia mustahil berada di samping faktor-faktor yang mempengaruhi, mustahil pula ia mencegah berlakunya pengaruh setiap sesuatu dari faktor-faktor itu. Betapa hal itu dapat dibayangkan, sedangkan ia adalah sumber faktor yang akan dicegahnya daripada meneruskan pengaruhnya itu.

Oleh sebab itu, jabr (determinisme) dalam arti yang berakhir dengan paksaan atas manusia oleh qadha dan qadar, adalah mustahil. Memberikan pengaruh seperti ini pada qadha dan qadar, padahal ia adalah asal mula segala faktor penyebab di wujud ini, dan bukannya sekedar satu di antara faktor-faktor lainnya, adalah sesuatu yang mustahil.

Memang, adakalanya tampak pengaruh qadha dan qadar seperti itu, dalam hal seseorang memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu. Tapi ini bukanlah jabr seperti yang diistilahkan itu. Kita kini membahas jabr dalam arti pengaruh langsung qadha dan qadar terhadap kehendak manusia, baik dalam bentuk faktor negatif yang mencegah berpengaruhnya kehendak itu, ataupun faktor positif yang memaksanya melaksanakan sesuatu.

Dengan kata lain, rahasia persoalan adanya kemungkinan suatu perubahan nasib ini, terkandung dalam kenyataan bahwa qadha dan qadar mewajibkan terwujudnya setiap maujud melalui sebab-sebabnya yang khusus baginya, serta kemustahilan kewujudannya tanpa itu. Pada segi lainnya, sebab-sebab dan akibat-akibat alami beraneka ragamnya, sedangkan benda-benda di alam ini dapat terpengaruh oleh bermacam-macam sebab pada saat bersamaan.

Akan tetapi, persoalannya akan menjadi lain jika kita membayangkan qadha dan qadar seperti cara kaum Asy'ariyah membayangkannya, dalam arti kita membayangkan sistem kausal umum dan gerakan sebab-akibat sebagai sesuatu yang tidak memiliki hakikat, atau seperti yang dibayangkan oleh kaum "Asy'ariyah yang setengah-setengah", yang memberikan pada qadha dan qadar, dengan beberapa pengecualian tertentu, kemungkinan ikut campur secara langsung dalam perjalanan peristiwa-peristiwa. Namun, qadha dan qadar seperti ini tidak pernah terwujud dan tidak mungkin terwujud.

Keistimewaan Manusia
Perbuatan dan tindakan manusia termasuk dalam kejadian-kejadian yang atasnya tidak terdapat qadha dan qadar yang deterministis, sebab ia bertautan dengan beribu-ribu sebab dan lantaran, termasuk di dalamnya berbagai macam kemauan dan pilihan yang dimiliki dan dialami oleh manusia.

Segala kemampuan yang terkumpul dalam jumlah besar pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan dan perbuatan naluriah hewan, terdapat pula pada perbuatan-perbuatan manusia. Dalam pertumbuhan pohon apa pun, atau dalam perbuatan naluriah hewan apa pun, terdapat beribu-ribu kondisi alami yang memungkinkannya terwujud. Semua kondisi seperti ini terdapat pula pada perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan manusia; lebih-lebih lagi karena kepada manusia diberikan akal, perasaan, kemauan moril serta kekuatan untuk memilih.

Manusia memiliki kemampuan untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kendati perbuatan itu sesuai dengan naluri alamiah dan dorongan biologisnya serta tidak ada pencegah atau hambatan eksternalnya. Akan tetapi, ia meninggalkannya setelah berpikir dan memperbandingkan besar kecilnya kemaslahatan dalam persoalan tersebut. Sebagaimana ia juga memiliki kemampuan melaksanakan suatu pekerjaan yang ia ketahui berlawanan sepenuhnya dengan wataknya atau kecenderungannya sendiri, serta tak adanya faktor yang memaksanya untuk itu. Sebab ia berpikir dan melihat adanya kemaslahatan dalam hal itu.

Manusia, seperti juga binatang, berada di bawah pengaruh berbagai dorongan kejiwaan serta keinginan-keinginannya sendiri. Akan tetapi manusia bukannya tidak berdaya sama sekali di hadapan itu semua, atau dapat dieksploitasi secara paksa oleh dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan tersebut. la memiliki kebebasan dalam berhadapan dengannya; dalam arti sekiranya semua faktor dharuri mengharuskan dilakukannya sesuatu oleh hewan, maka ia pasti bergerak melaksanakannya secara terpaksa; sementara seorang manusia, seandainya telah terkumpul di hadapannya semua faktor dharuri tersebut, ia masih tetap memiliki akal dan kemauan, yang dengannya ia dapat melakukan perbuatan itu ataupun meninggalkannya.

Terlaksananya perbuatan itu bergantung pada persetujuan akal sebagai kekuasaan legislatif tertinggi, serta kemauan sebagai kekuatan eksekutif. Dari sini diketahui bahwa manusia dapat mempengaruhi nasibnya sebagai pelaku yang dapat memilih. Dalam arti, setelah terkumpulnya semua kondisi alami yang berpengaruh, ia masih tetap memiliki pilihan dan kebebasan untuk melakukan ataupun meninggalkannya.

Kebebasan manusia tidak berarti bahwa perbuatannya terlepas bebas dari hukum kausal, sebab hal ini tidak berkaitan dengan ikhtiar, di samping kemustahilan terlepasnya ia dari hukum sebab-akibat itu sendiri. Bahkan, pada hakikatnya, kebebasan macam ini identik dengan jabr. Sebab, apa bedanya manusia menjadi majbur (terpaksa) melalui faktor khusus yang memaksanya melakukan sesuatu yang berlawanan dengan watak dan kecenderungannya, ataupun perbuatan itu sendiri terbebas dari hukum kausal dan dari segala keterikatan dengan sebab apa pun, termasuk keterikatannya dengan manusia itu sendiri, sehingga perbuatannya itu dapat terjadi dengan sendirinya tanpa tanpa adanya pengaruh apa pun?!

Kita menyetujui pendirian tentang adanya kebebasan manusia dalam hal bahwa perbuatan seseorang timbul dari manusia itu sendiri, dengan sepenuh kemauan dan kerelaannya, serta dengan konsentrasi kekuatan pencerapannya; dan bahwa tiada faktor apa pun yang memaksanya melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya, baik faktor qadha dan qadar atau apa pun lainnya.

Kesimpulannya, kesempurnaan sebab-sebab dan lantaran-lantaran merupakan realisasi qadha dan qadar Ilahi. Makin beraneka ragamnya sebab-sebab serta kejadian-kejadian yang dapat berlangsung pada peristiwa apa pun, maka makin beraneka ragam pula jenis qadha dan qadar berkenaan dengan kejadian-kejadian tersebut. Keadaan apa saja yang telah terjadi, maka hal itu pasti terjadi oleh sebab qadha dan qadar Ilahi; dan keadaan apa saja yang telah tidak terjadi, maka itu pun tidak terjadi oleh sebab qadha dan qadar Ilahi pula.

Tinjauan Singkat atas Masa Permulaan Islam
Rasulullah saw. pernah ditanya tentang hirz (tulisan yang mengandung ayat-ayat suci sebagai penangkal penyakit),[3] yakni apakah hirz itu dapat menghentikan perjalanan qadar? Rasulullah saw. menjawab : "Itu termasuk di antara qadar Allah."

Diriwayatkan dari Imam Ali (alaihissalam) bahwa ia pernah bangkit dan pindah dari bawah sebuah dinding yang mulai miring ke dinding yang lain. Seseorang bertanya kepadanya: "Wahai Amirul Mukminin, apakah anda lari dari qadha Allah?" Beliau menjawab: "Aku lari dari qadha Allah ke qadha-Nya SWT." Jadi, ia lari dari sejenis qadha kepada sejenis lainnya. Jatuhnya dinding yang telah miring merupakan qadha Ilahi, dalam arti bahwa ia secara wajar dan alamiah akan menjatuhi kepala seorang manusia pada saat terlaksananya segala persyaratannya. Akan tetapi bila manusia itu menarik dirinya dari tempat tersebut, ia akan tetap selamat dari bencana; dan ini pun merupakan qadha Ilahi pula. Meskipun demikian, masih ada kemungkinan ia tertimpa oleh bencana itu sementara ia berada dalam keadaan yang kedua sebagai akibat dari faktor-faktor lainnya. Inipun pada gilirannya termasuk qadha dan qadar.

Hakim Maulawi, si penyair, berkata:

Meninggalkan keraguan mengajarkan pada kita

Bahwa dari qadha kita lari ke qadha lainnya.

Tidaklah mungkin berlangsung usaha melawan qadha

Karena setiap usaha adalah bagian dari qadha.

Setiap orang yang mempelajari hidup kaum Muslimin terdahulu, akan mengetahui dengan jelas bahwa mereka memahami qadha dan qadar dalam bentuk yang tidak bertentangan dengan kekuasaan manusia atas nasibnya, dan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi padanya hanyalah dalam kerangka qadha dan qadar. Mereka sama sekali bukanlah orang-orang fatalis, melainkan selalu mencari kejayaan dengan jihad dan upaya sungguh-sungguh. Mereka berdoa kepada Allah agar beroleh rizki berupa qadha yang terbaik, mengingat banyaknya kemungkinan yang bisa terjadi atas segala sesuatu. Patutlah diperhatikan bahwa mereka meminta "qadha (ketetapan) yang terbaik", bukannya "sesuatu yang terbaik dari yang diqadha dan ditakdirkan". Hal seperti ini banyak sekali kita jumpai dalam berbagai doa Islami. Yang lebih mengherankan lagi ialah terdapatnya ungkapan-ungkapan seperti ini, hatta pada orang-orang kebanyakan di kalangan kaum Muslimin pada permulaan Islam.

Ibn Atsir mengutip[4] dari Tarikh at-Tabari, isi surat yang dikirimkan oleh Sa'd bin Abi Waqqas kepada Umar bin Khattab, antara lain: "Ketetapan Allah pasti berlangsung. Qadha-Nya mengantarkan keuntungan ataupun kerugian yang ditakdirkan bagi kita. Kepada-Nyalah kita memohon qadha yang terbaik dan qadar yang terbaik pula, dalam keselamatan."

Dalam Syarh Ibn Abil Hadid atas Nahjul Balaghah, khutbah Nonior 132, disebutkan bahwa Umar r.a., dalam perjalannya menuju Syam dan sebelum memasuki daerah itu, mendengar berita adanya wabah sampar. Ketika bermusyawarah dengan orang-orang yang bersamanya, mereka semuanya mencegahnya meneruskan perjalanan, kecuali Abu Ubaidah bin Jarrah yang waktu itu menjabat panglima pasukan Muslim di Syam. Ia berkata kepada Umar: "Wahai Amirul Mukminin, adakah Anda melarikan diri dari takdir Allah?" Umar menjawab: "Ya, aku lari dari takdir Allah dengan takdir-Nya dan kepada takdir-Nya." Pada saat itu, seseorang mengaku pernah mendengar Rasulullah saw. memerintahkan orang-orang yang berada di luar kota yang terkena wabah sampar agar jangan memasukinya, dan orang-orang yang berdiam di dalam kota agar jangan keluar dari sana. Hal itu mengakhiri kebimbangan Umar dan ia pun membatalkan niatnya untuk memasuki kota tersebut.

Demikianlah yang dapat dipahami dari sumber-sumber berita dari kedua kelompok, Syi'ah dan Sunnah, bahwa Nabi saw. membicarakan masalah qadha dan qadar di antara para sahabatnya. Juga Amirul Mukminin Ali (alaihissalam) berulangkali menyebut masalah itu dalam ucapan-ucapannya. Di antara yang membangkitkan rasa kekaguman ialah bahwa pengajaran atau pendidikan yang gemilang ini telah memberikan, kepada kaum Muslimin, segala kecerdasan dan kecermatan dan sepenuhnya menjauhkan mereka dari pemahaman yang bersifat fatalisitis dan, sebaliknya, tidak pernah mendorong mereka ke arah itu. Sebagai hasilnya, pemahaman seperti itu tidak pernah menjadikan mereka membayangkan diri mereka kehilangan kehendak dan kebebasan memilih. Makna ini ditegaskan oleh tindakan dan ucapan-ucapan kaum Muslimin pada permulaan masa Islam sebagai dinukilkan di sana sini.

Namun para ahli ilmu-kalam yang datang setelah itu, yang hendak melakukan analisis dan menyusun pembuktian-pembuktian berdasar itu semua, temyata tidak mampu membedakan antara takdir dan jabr. Sampai hari ini pun, setelah berlalunya enipat belas abad semenjak masa itu, hanya sedikit saja orang, di Barat dan di Timur, yang mampu membuat perbedaan antara kedua akidah tersebut. Sumber asli pendapat yang benar ialah Al-Quran al-Karim yang berbicara tentang berbagai jenis qadar seperti di dalam ayat mulia berikut:

Dialah yang telah menciptakanmu dari tanah lalu menetapkan suatu ajal dan 'ajal lainnya' yang ditentukan di sisi-Nya. (QS 6 : 2)

Ketika Al-Quran berbicara tentang lauh mahfuzh, kitab azali dan takdir yang mendahului, ia berkata : "Dan tiada sesuatu yang basah ataupun yang kering kecuali tercatat di dalam kitab yang nyata." (QS 6 : 59). Juga: "Tiada suatu musibah di bumi ataupun dalam diri kamu kecuali telah ada dalam suatu kitab sebelum Kami menciptakannya." (QS 57 : 22). Di waktu yang sama, ia berkata: "Setiap hari Dia berada dalam sesuatu kesibukan." (QS 55 : 29).

Rasulullah saw. pernah ditanya: "Adakah kita ini berada dalam suatu urusan yang telah selesai diputuskan atau dalam urusan yang baru dimulai?" Jawab beliau: "Dalam sesuatu yang telah selesai dan sesuatu yang baru dimulai".[5]

Alam yang Tidak Terkena Perubahan
Telah kami nyatakan bahwa pembicaraan tentang kedua jenis qadha dan qadar dapat dijumpai melalui ucapan para Imam, baik dalam doa ataupun lainnya, dan telah kami jelaskan pula bahwa hal-hal mujarrad (abstrak) yang berasal dari "alam atas" memiliki qadha dan qadar definitif tidak seperti halnya maujud-maujud alamiah. Harus ditambahkan di sini, bahwa di alam ini pun ada hal-hal yang bersifat definitif, yakni termasuk dalam qadha dan qadar definitif yang tidak mungkin mengalami perubahan.

Setiap maujud di alam ini didahului oleh ketiadaan, dan harus diakibatkan oleh suatu maujud lainnya. Hal ini merupakan qadha definitif. Kemudian setiap maujud tentunya berjalan menuju kefanaan dan kesimaan bila tidak berubah menjadi maujud non-material. Inipun qadha dan qadar definitif. Semua maujud alamiah mencapai suatu titik yang dari sana ia tidak mungkin dapat mengubah arahnya. Ia menjadi tiada atau melintasi arah yang telah ditentukan itu. Hal ini berarti bahwa ia berada di bawah kekuasaan takdir yang definitif. Contohnya, sperma laki-laki pada saat bertemu dengan telur perempuan, lalu sel yang telah dibuahi (zygot) itu menetapkan jenis bahan dasar yang kelak ikut menentukan masa depan si bayi dengan segala karakteristik yang diwarisinya, dan dengan begitu pasti mempengaruhi nasib dan masa depannya. Jelas sekali bahwa seandainya sperma laki-laki yang sama itu membuahi telur perempuan lainnya, niscaya akan terbentuk bahan dasar yang lain pula. Setelah terbentuknya bahan dasar, ia tidak dapat diubah lagi menjadi bahan dasar lain. Hal ini berarti bahwa qadha dan qadar dalam tahapan ini adalah dari jenis yang definitif. Demikian pula tahapan-tahapan berikutnya, yang berlangsung dalam rahim, merupakan sesuatu yang pasti dan definitif. Itulah sebabnya, mengapa kita dapati beberapa riwayat menyatakan bahwa rahim adalah satu di antara loh-loh qadar.

Sistem-sistem yang Tetap
Sebagaimana hukum-hukum dan sistem-sistem yang berlaku di alam ini tidak tersentuh perubahan dan pergantian, meskipun maujud-maujud alamiah berubah dan berganti, namun sistem-sistem alamiah tetap tak berubah.

Maujud-maujud alamiah selalu berubah dan berusaha mencapai kesempurnaan. Masing-masing menjalani cara yang bermacam-macam. Adakalanya ia mencapai kesempurnaan, tapi adakalanya ia berhenti. Kadang-kadang ia berjalan cepat, tapi kadang-kadang pula lambat, sementara nasibnya diubah oleh berbagai faktor yang berbeda. Namun sistem-sistem alamiah tidak pernah berubah ataupun berusaha mencapai kesempurnaan, tapi ia tetap dalam keadaan yang sama.

Al-Quran al-Karim berbicara tentang sistem-sistem yang tetap dan menamakannya sunnatullah (hukum Allah):

Kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah. (QS 33 : 62)

Sebagai contoh, Al-Quran menyebutkan bahwasannya kemenangan akhir adalah bagi orang-orang bertakwa dan bahwa bumi ini pada akhimya disediakan bagi hamba-hamba Allah yang saleh; semua itu merupakan sunnah Allah yang tak berubah;

Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur, sesudah Kami tulis dalam Lanhul Mahfuzh, bahwasannya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.(QS 21 : 105)

Sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya, dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (QS 7 : 128)

Di antara berbagai sunnah Allah yang definitif ialah selama manusia tidak mengubah sendiri kondisi-kondisi dan keadaan-keadaan mereka, maka Allah tidak akan mengubah kondisi umum mereka.

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS 13 : 11)

Termasuk sunnah Allah yang definitif ialah bahwa orang yang berkuasa atas sekelompok manusia selalu berada dalam keadaan yang saling bersesuaian, yakni antara yang berkuasa dan yang dikuasai, dalam hal mental, karakter dan kecenderungan-kecenderungan mereka.

Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain. (QS 6 : 129)

Di antaranya ialah bahwa kaum mutrafin (kaum elite yang berfoya-foya) yang terdapat pada suatu bangsa dan melakukan perbuatan-perbuatan tirani, kefasikan dan kedurhakaan serta bertindak semau-maunya, maka mereka akan menyebabkan kehancuran bangsa itu.

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada kaum mutrafin di negeri itu supaya menaati Allah, tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya ketentuan Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancumya. (QS 17 : 16)

Demikian pula, keberhasilan khalifah kaum mukminin, yang menyiapkan diri untuk berjihad dalam medan perjuangan hidup, di atas bumi merupakan ketentuan yang pasti takkan berubah.

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di Bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. (QS 24 : 55)

Di antaranya pula ketentuan bahwa akibat kezaliman adalah kehancuran:

Dan penduduk negeri itu telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka. (QS 18 : 59)

Dalam suatu hadis Nabi saw. disebutkan: "Kekuasaan adakalanya tetap tinggal bersama dengan kekufuran, tetapi tidak akan tinggal bersama kezaliman."


3
TAQDIR MANUSIA

Beberapa Pendapat Lainnya
Sesuai dengan yang telah kami jelaskan terdahulu, terbaginya qadha dan qadar menjadi definitif dan tidak definitif, berasal dari kondisi khas maujud-maujud. Suatu maujud yang memiliki berbagai kapasitas dan aneka sebab, dapat dipengaruhi oleh semuanya itu, sehingga ia ditarik oleh masing-masing sebab ke suatu arah tertentu. Maujud ini memiliki beraneka ragam kemampuan yang sesuai dengan keterikatannya dengan sebab-sebab yang beraneka ragam pula. Atas dasar ini, dapatlah dikatakan bahwa qadha dan qadar bagi maujud seperti ini tidaklah definitif. Adapun maujud yang hanya mempunyai satu kapasitas saja, yang tak memiliki kemungkinan kecuali melintasi satu jalan saja dan tidak memiliki ikatan kecuali dengan satu sebab saja, tidaklah memiliki kecuali satu nasib yang definitif saja, yang tak mungkin berubah. Dengan kata lain, definitif atau tidaknya berasal dari sisi kepasifan, bukannya dari sisi keaktifan, yakni satu kepasifan atau berbagai kepasifan yang meliputinya.

Oleh sebab itu, benda-benda mujarrad (abstrak) yang kehilangan kapasitasnya, seperti halnya berbagai maujud alamiah yang dalam beberapa keadaan, juga tidak memiliki kapasitas hanya untuk satu masa depan saja, nasibnya bersifat definitif. Sedangkan kumpulan yang terdiri atas berbagai fenomena alami yang memiliki lebih dari satu kapasitas inaka nasibnya pun tidak definitif.

Itulah ringkasan penjelasan tentang soal qadha dan qadar yang definitif dan yang tidak definitif. Masalah ini juga telah ditafsirkan dengan berbagai penafsiran lainnya. Adakalanya dengan ukuran kemampuan manusia, seperti yang dikatakan oleh sebagian orang, bahwa kejadian yang perubahan serta penggantiannya tak berada dalam tangan manusia, maka takdirnya menjadi definitif; sedangkan yang berada di bawah ikhtiar (kemampuan memilih) manusia, maka takdirnya tidak definitif. Contohnya: manusia, paling tidak di masa sekarang, tidak memiliki kemampuan mengubah kondisi cuaca panas, dingin, salju, hujan, dan angin atau kondisi bumi gempa, badai dan banjir. Masing-masing kondisi itu, yang dapat terjadi, baik diingini oleh manusia ataupun tidak, adalah hal-hal definitif. Ketentuan takdir Allah dalam hal itu pasti bersifat definitif. Akan tetapi, perubahan kondisi-kondisi sosial dan perbaikan keadaan berdasar ukuran-ukuran keadilan, demikian pula kesejahteraan sosial serta kebahagiaan umum, semua itu berada dalam lingkup kemampuan dan di bawah kehendak manusia. Ia dapat mengubahnya, dan dengan demikian hal tersebut tidak definitif. Demikian pula, ketentuan takdir Allah atasnya juga tidak definitif.

Penafsiran seperti ini tidak benar, sebab tidak ada keharusan untuk menjadikan kemampuan dan kapasitas manusia dalam hal-hal yang dapat dilakukannya, sebagai penentu definitif atau tidak definitifnya takdir. Selain dari itu, logika berita-berita dan riwayat-riwayat keagamaan tidak bersesuaian dengan penafsiran seperti ini.

Ada lagi sebagian orang yang menafsirkan definitif atau tidak definitifnya takdir dengan ukuran terpenuhinya kondisi-kondisi yang dibutuhkan atau tidak terpenuhinya. Dalam arti bahwa semua maujud memiliki berbagai macam kapasitas dan ikatan dengan beraneka ragam sebab. Sesuai dengan ikatan-ikatannya dengan beraneka ragam sebab itulah ia memiliki berbagai kapasitas pula. Jadi, pada hakikatnya, nasibnya berada di tangan sebab-sebab tersebut. Setiap sebab memegang nasib tertentu suatu maujud. Tentunya jelas bahwa sebagian dari sebab-sebab itu mendapat kesempatan untuk terjadi dan sebagiannya yang lain tidak mendapat kesempatan sehingga tidak terjadi. Jelas pula bahwa terjadinya yang sebagian itu hanyalah disebabkan terjadinya sebab-sebab dan terpenuhinya persyaratan-persyaratan atau kondisi-kondisinya, sebagaimana tidak terjadinya sebagiannya yang lain disebabkan tidak terjadinya sebab-sebab itu dan tidak terpenuhinya persyaratan-persyaratan atau kondisi-kondisinya. Demikian pulalah halnya dengan sebab-sebab dan kondisi-kondisi lainnya, dalam tahapan ketiga, keempat dan seterusnya.

Ketentuan-ketentuan takdir definitif ialah ketentuan-ketentuan yang berada di tangan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang terwujud (atau yang terjadi). Adapun ketentuan-ketentuan takdir yang tidak definitif ialah yang berada di tangan sebab-sebab yang baginya tidak tersedia kesempatan untuk terjadi atau terwujud. Kita misalkan ada seseorang yang memiliki kesiapan jasmani untuk hidup selama seratus lima puluh tahun, dengan catatan jika ia mengikuti dan melaksanakan dengan sempurna persyaratan-persyaratan kesehatan. Akan tetapi jika ia tidak memperhatikannya, usianya akan berkurang hingga separuhnya saja. Maka yang ditakdirkan baginya ialah hidup selama seratus lima puluh tahun jika ia mengikuti persyaratan-persyaratan kesehatan, atau tujuh puluh lima tahun jika ia tidak mengikutinya. Dengan demikian jika orang tersebut tidak mengikuti pesan-pesan itu lalu meninggal dalam usia tujuh puluh lima tahun, kita dapat mengatakan bahwa bagi orang ini ditakdirkan dua usia, masing-masing dengan syarat. Hanya saja, salah satu dari kedua persyaratan itu terpenuhi (terwujud) sedangkan yang lain tidak. Maka takdir yang terlaksana persyaratannya dan menjadi kenyataan adalah qadha dan qadar definitif; adapun yang tidak terjadi itulah qadha dan qadar yang tidak definitif.

Pada perumpamaan itu, dapat dikatakan bahwa kedua takdir tersebut adalah seperti dua peraturan hukum bagi satu pribadi dalam kerangka dua persyaratan yang berlainan. Misalnya, peraturan menentukan bahwa si tertuduh, jika mengakui kejahatannya, akan dijatuhi hukuman tertentu; sedangkan jika tidak mengaku dan tidak ada bukti-bukti penguat tuduhan tersebut, maka ia harus dibebaskan. Dalam hal ini, jika si tertuduh mengaku, ia akan dihukum, sehingga dengan demikian, peraturan tentang "hukuman atas dasar pengakuan" telah terlaksana dan menjadi definitif. Tetapi jika ia tidak mengaku dan pegangan lainnya tidak ada, maka ia harus dibebaskan, karena peraturan "hukuman atas dasar pengakuan" tidak memperoleh kepastian dan kedefinitifannya.

Sesuai dengan penafsiran ini, yang dimaksud dengan kepastian dan kedefinitifan ialah terwujudnya persyaratan dan kesesuaian praktis dengan bunyi peraturan. Padahal, peraturan itu, ditinjau dari sifatnya sebagai konsep umum, memiliki kepastian dari kedua sisinya.

Tak ada kebimbangan dalam hal ini, karena rangkaian hukum dan peraturan yang pasti berlaku atas alam semesta. Semua peraturan hukum, ditinjau dari sifatnya sebagai peraturan-peraturan yang menyeluruh, bersifat definitif tanpa terkecuali. Misalnya saja, hukum tentang pencapaian usia seratus lima puluh tahun bagi seseorang vang memiliki kesiapan jasmani untuk itu bilamana ia mengikuti persyaratan kesehatan, adalah hukum yang berlaku secara pasti di seluruh alam. Dan bahwa berkurangnya usianya menjadi tujuh puluh lima tahun bilamana tidak mengikuti persyaratan tersebut juga merupakan hukum yang definitif pula. Semua hukum dan sunnah yang pasti adalah penampakan dan saluran qadha dan qadar Ilahi. Berdasarkan itu, qadha dan qadar yang definitif berarti hukum, sunnah dan aturan yang telah terpenuhi persyaratan-persyaratan atau kondisi-kondisi kewujudannya dan terlaksana secara praktis di alam ini. Sedangkan qadha dan qadar yang tidak definitif, adalah hukum dan sunnah alamiah yang tidak terpenuhi persyaratannya dan tidak mencapai realisasi praktis.

Penafsiran seperti ini, meskipun pada dasarnya dapat diterima dan tidak jauh dari berbagai ungkapan riwayat keagamaan, tidak dapat dianggap sebagai tafsiran yang tepat bagi ungkapan-ungkapan dalam riwayat-riwayat itu yang menggunakan istilah: "takdir lazim" (yang harus) dan "takdir tidak lazim" (yang tidak harus) serta "takdir hatmiy" (definitif) dan "takdir tidak hatmiy" (tidak definitif). Sebab, pengertian yang telah diterima secara luas ialah bahwa yang dimaksud dengan qadha dan qadar lazim dan tidak lazim ialah qadha dan qadar yang memiliki kemungkinan untuk menerima perubahan yang tidak memiliki kemungkinan untuk itu. Sebagaimana juga telah diterima bahwa hal tersebut termasuk kasus-kasus yang bilamana terwujud persyaratan berlakunya suatu hukum umum tertentu di dalamnya, maka kemungkinan perubahannya tetap ada. Kasus itu pada dasarnya memang memiliki kemungkinan untuk menjadi suatu bentuk lainnya. Oleh sebab itu, meskipun dengan pengendaian terpenuhinya semua persyaratan, takdir yang tidak definitif tidak kehilangan fungsinya bila dilihat dari sudut tinjauan yang tadi.

Penafsiran lainnya ialah bahwa takdir yang definitif adalah yang telah ditegaskan terjadinya oleh Allah SWT dan itu pasti akan terjadi, adapun takdir yang tidak definitif ialah yang terhadapnya iradat (kehendak) Allah bersikap netral; atau, meskipun tidak netral, tidak ada pengharusan berkenaan dengan salah satu dari dua hal tersebut. Contohnya dalam peraturan hukum taklif (pewajiban) yang dibebankan atas seseorang. Dalam hal ini, adakalanya si pemberi perintah menegaskan sesuatu dan mengharuskannya, maka hukumannya menjadi wajib. Dalam hal lain, si pemberi perintah atau pembuat hukum terhadap suatu perbuatan bersikap netral; baik dikerjakan ataupun tidak, maka hukumnya menjadi mubah. Adakalanya kita mendapati keinginannya lebih condong ke arah terjadinya atau tidak terjadinya sesuatu, tanpa pengharusan (pewajiban), maka hukumnya menjadi mustahab (disukai) atau makruh (tidak disukai).

Demikianlah halnya dengan soal-soal fisis (yang bersangkutan dengan alam). Adakalanya terdapat hukum yang mewajibkan, maka itulah qadha dan qadar definitif. Adakalanya terdapat hukum netral atau lebih condong ke arah terjadinya atau tidak terjadinya sesuatu, tanpa keharusan, maka dalam hal-hal ini berlakulah qadha dan qadar yang tidak definitif.

Namun, penafsiran seperti ini sangat jauh dari sifat ilmiah dan dari realitas karena sama sekali menafikan qadha dan qadar. Mustahil kehendak Allah mengenai suatu kejadian bersikap netral dan acuh tak acuh, ataupun tidak netral tapi tidak pula sungguh-sungguh mengharuskan, sebagaimana mustahilnya pengecualian sesuatu dari hukum sebab-akibat atau tetap beradanya di bawah kendalinya tanpa adanya pengharusan mengerjakan salah satu dari dua hal.

Bagaimanapun, pcngikiasan hal-hal fisis dengan hal-hal yang berkenaan dengan pengalaman tradisional adalah sesuatu yang tidak sempurna.

Faktor-faktor Spiritual
Pada contoh-contoh yang lalu, yang bersangkutan dengan sebab-sebab dan faktor-faktor yang berpengaruh pada perubahan nasib manusia, kami tidak melampauai faktor-faktor material dan berbagai pengaruhnya, yakni kami hanya memusatkan pengamatan terhadap peristiwa-peristiwa dipandang dari sudut dimensi-dimensi material serta hal-hal yang bersifat inderawi dan jasmani. Karena itu, faktor-faktor yang kami sebutkan dalam lingkungan sebab-akibat tersebut hanyalah faktor-faktor material saja. Jelas bahwa kita harus membatasi diri dengan faktor-faktor ini dalam konsep materialis tentang alam. Adapun dari sudut pandang yang bersangkutan dengan ketuhanan, yang tidak membatasi kenyataan eksternal pada kerangka materi dan jasmani serta kualitas dan pengaruh fisik saja, maka dunia peristiwa-peristiwa memiliki bentuk-bentuk yang lebih rumit, lebih meliputi, dan lebih banyak, sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya peristiwa-peristiwa menjadi amat banyak pula.

Dari sudut pandang materialis, faktor-faktor yang mempengaruhi ajal, rizki, keselamatan dan kebahagiaan terbatas pada lingkup material saja. Faktor-faktor materiallah yang mendekatkan ajal atau menjauhkannya, melapangkan rizki atau menyempitkannya, memberikan keselamatan pada tubuh atau menghilangkannya, mendatangkan kebahagiaan atau menghapusnya. Adapun dari sudut pandang ketuhanan, ada berbagai faktor mental dan spiritual, di samping faktor-faktor material, yang memberikan pengaruh pada ajal, rizki, keselamatan, kebahagiaan dan sebagainya.

Alam, dalam pandangan para teologis, adalah maujud yang tunggal, hidup dan berperasaan. Perbuatan-perbuatan manusia menimbulkan konsekuensi dan reaksi tertentu. Kebaikan dan kejahatan, dalam ukuran alam, tidaklah sama. Perbuatan manusia yang baik dan yang jahat menghadapi reaksi-reaksi yang pengaruhnya bisa mencapai seseorang pada masa hidupnya.

Mengganggu sesuatu yang hidup, baik manusia atau binatang, khususnya mengganggu seseorang yang memiliki hak atas si pengganggu seperti ayah, ibu, dan guru, mendatangkan pengaruh-pengaruh buruk dalam hidup ini. Pembalasan atas hal-hal seperti itu amat banyak ragamnya di alam ini. Pengaruh-pengaruh dan akibat-akibat itu sendiri merupakan bagian realisasi qadha dan qadar. Jelas bahwa persoalan-persoalan dan aturan-aturan seperti ini, yang menajdikan alam sebagai suatu perangkat yang hidup dan memiliki kemauan serta perasaan, tidak akan dapat dijelaskan dan ditafsirkan kecuali atas dasar pandangan ketuhanan tentang alam, yang menjadikan semua itu sebagai bagian dari aturan-aturan sebab-akibat. Sedangkan dengan cara pemikiran materialistis, ia sama sekali tidak akan dapat menerima penjelasan tersebut.

Dengan demikian, alam, ditinjau dari sudut pandang ketuhanan, adalah sesuatu yang mendengar dan melihat; mendengar panggilan mereka yang hidup dan menjawabnya. Karena itu, doa merupakan salah satu sebab di alam ini yang memiliki pengaruh atas nasib manusia dan menangkal terjadinya peristiwa-peristiwa ataupun mewujudkan berbagai peristiwa. Dengan kata lain, doa adalah salah satu di antara realisasi qadha dan qadar yang dapat berpengaruh atas jalannya suatu peristiwa, atau menahan suatu takdir seperti yang tersebut dalam salah satu hadis: "Doa menolak qadha walaupun telah selesai diputuskan".[6]

Firman Allah :

Jika hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat dan memenuhi doa orang yang menunjitkannya kepada-Ku. (QS 2 : 186)

Demikian pula, macam-macam sedekah dan perbuatan kebajikan adalah termasuk faktor-faktor dan realisasi qadha dan qadar yang secara spiritual berpengaruh atas nasib seseorang.

Secara umum, dosa dan ketaatan, tobat dan maksiat, keadilan dan kezaliman, kebajikan dan kejahatan, dosa dan kutukan, dan lain sebagainya, adalah hal-hal yang berpengaruh atas nasib manusia dalam hal usia, keselamatan dan rizki. Imam Ja'far as Shadiq (alaihissalam) berkata : "Mereka yang mati disebabkan dosa-dosa, lebih banyak daripada yang mati karena ajal; yang hidup disebabkan kebajikannya lebih banyak daripada yang hidup karena usia."[7]

Maksud ucapan itu ialah bahwa dosa-dosa mengubah ajal, dan berbagai macam kebajikan menambah usia, dalam arti, meskipun ajal dan usia sudah ditentukan dengan qadha dan qadar, namun hal-hal tersebut di atas dapat mengubahnya. Seperti yang telah kami uraikan sebelumnya, perubahan ini pun termasuk qadha dan qadar pula.

Di sini kami tidak akan mempelajari cara kerja pengaruh mengubah yang berasal dari aspek-aspek spiritual dalam lingkungan material, ataupun menjelaskan cara kerja sebab-sebab dan akibat-akibat berkenaan dengan hal ini. Sungguh amat banyak pendapat filosofis yang cermat dan bersesuaian sepenuhnya dengan ungkapan-ungkapan keagamaan. Kami juga tidak berada pada posisi untuk menjelaskan persyaratan-persyaratan berpengaruhnya sebab-sebab spiritual, dalam arti bahwa doa, misalnya atau sedekah, kezaliman atau sikap aniaya terhadap hak orang-orang lain, berada di bawah suatu lingkungan yang dapat melahirkan reaksi-reaksi tertentu. Sebab, uraian dan penjelasan tentang persoalan ini, dengan mengamati kasus-kasus dan pengalaman pribadi-pribadi, akan memaksa kami menyusun buku yang amat tebal.

Kami hanya ingin menyebutkan suatu kenyataan, yaitu bahwa tidak sepatutnyalah kita memiliki persangkaan bahwa rangkaian sebab dan akibat di alam ini hanya terbatas pada hal-hal material saja. Yang demikian itu sesuai dengan contoh-contoh dari alam materi yang telah kami sebutkan sebelum ini.[]

[1] Dalam catatan pinggir buku Ushul al-Falsafah (Dasar-dasar Filsafat), jilid III.

[2] Yakni, Jalaluddin Rumi - Penyunting.

[3] Al-Ghazali menambahkan bahwa pertanyaan itu mengenai hirz dan obat.

[4] Pada jilid 2 buku al-Kamil, hal. 313.

[5] Syarh Ushul al-Kafi, lanjutan hadis no. 394.

[6] Lihat: Safinah al-Bihar.

[7] Dari Bihar al-Anwar, jilid 5, hal. 140.



BAGIAN KETIGA

Al-Quran, Hadis, dan Ucapan Para Imam Tentang Takdir

Saat TerIaksananya Qadha
Dalam berita-berita yang berkenaan dengan Rasul mulia saw. dan para imam yang tersucikan (aIaihimussalam), tampak bahwa bilamana qadha dan qadar berIangsung, semua sebab dan Iantaran, khususnya akal dan kekuatan-pengeloIaan manusia, akan kehilangan pengaruhnya. Pengertian tentang ini dikenal secara luas dalam kesusasteraan Arab dan Parsi.

Kitab al-Jami' al-Shaghir juga menyebutkan beberapa hadis Rasulullah saw. antara Lain:

Sesungguhnya bilamana Allah SWT menghendaki terIaksananya sesuatu, diperintahkan-Nya agar akal orang-orang yang bersangkutan dicabut sampai terIaksananya hal tersebut. Setelah hal itu selesai terIaksana, dikembahkanIah akal mereka dan timbulIah penyesaIan.

Demikian pula, Imam Ali Ridha (alaihissalam) berkata:[1] "Bilamana Allah SWT menghendaki sesuatu, dicabut-Nya akal para hamba-Nya sampai terIaksananya kehendak-Nya itu; setelah itu dikembalikan-Nya semua akal kepada pemiliknya yang segera akan bertanya-tanya: "Bagaimana hal ini terjadi? Dari manakah ini?".

Penyair Parsi, Hakiim MauIawi, pernah berkata dalam syairnya:

Bila qadha berIaku,

arah pikiran tak menentu jadinya.

Hanya Dialah yang mengetahui segala rahasianya.

Tiada mata mana pun mampu melihat

akal pun gagal memisahkan bawah dari atasnya.

ItuIah sebabnya Ali berujar:

Bila datang qadha, mata tertutup.

Bila segalanya telah berLalu

sesal pun datang waIau tak berguna.

Tiada tampak kecnali kulit yang tipis

Tiada jelas Lagi Iawan atau pun kawan.

Tabib yang mahir dalam kebingungan

Obat yang manjur kehilangan kemanjurannya.

KemusykiIan yang tampak di sini ialah bahwa nash-nash ini menegaskan bahwa takdir dapat membatalkan hukum sebab-akibat yang umum, dan menjadikannya sebagai salah satu dari faktor-faktor penentu di seluruh alam; bahkan lebih kuat daripada semua faktor Lainnya. Hal ini bertentangan dengan apa yang telah disebutkan sebelum ini, yang dikuatkan oleh berbagai riwayat, ayat dan hadis, serta ucapan para imam, yakni bahwa qadha dan qadar tak mengakibatkan sesuatu kecuali lewat saluran sebab-sebab dan Iantaran-Iantaran. Seperti yang pernah diberitakan: "Allah Tidaklah menghendaki berIangsungnya segala sesuatu kecuali dengan sebab-sebabnya." Atau dalam riwayat Lain. "Allah Tidaklah menghendaki kecuali terjadinya segala sesuatu dengan sebab-sebab. Untuk itu, dijadikan-Nya sebab-sebab bagi segala sesuatu. Dijadikan-Nya penjelasan bagi segala sebab, dijadikan-Nya ilmu bagi segala penjelasan, dan 'pintu yang berbicara' bagi setiap ilmu."[2]

KemusykiIan Lainnya yang tampak pada riwayat-riwayat seperti ini ialah bahwa isinya bertentangan dengan berIakunya qadha dan qadar secara umum seperti yang ditegaskan dengan jelas oleh Al-Quran. Jadi, jika segala sesuatu berada di tangan qadha dan qadar Ilahi dan tak sekejap pun berLalu tanpa qadha dan qadar, apakah makna ucapan: "Bila qadha berIaku ..." dan seterusnya? Di samping makna tersebut dalam hadis, ucapan para imam dan dalam ucapan-ucapan Lainnya itu bertentangan dengan sistem kausal, ia juga bertentangan dengan sifat umum qadha dan qadar, sebab makna yang dapat dipahami dari ucapan-ucapan tersebut ialah bahwa qadha dan qadar hanya ikut campur pada beberapa waktu tertentu saja; dan di saat seperti itu, terhentiIah segala sesuatu, akal dalam kebingungan, mata tak Lagi melihat, obat-obat pun kehilangan efektifitasnya!

Apa yang harus kita katakan tentang ini? Apakah riwayat-riwayat ini tidak sejalan dengan ruh Islami dan hanya dibuat-buat (dipalsukan) oleh kalangan Jabariyah, ataukah memiliki penafsiran Lain yang benar?

Aku percaya bahwa riwayat-riwayat ini memandang ke arah topik yang benar, tidak bertentangan dengan sifat umum teori kausal atau qadha dan qadar.

Ia memasukkan ke dalam pertimbangannya, keseluruhan sistem yang berIaku bagi alam ini serta keseluruhan sebab-sebab dan akibat-akibat, baik yang bersifat material atau spiritual, sebagaimana ia juga memandang ke arah fenomena-fenomena yang di dalamnya sebab-sebab spiritual lebih kuat (lebih berkuasa) daripada sebab-sebab material.

Seperti yang telah kami katakan dalam uraian-uraian sebelum ini, sebab-sebab yang berIaku di alam ini bukan hanya bersifat material saja, melainkan, sistem yang paling sempurna ini, terdiri atas keseluruhan sebab dan Iantaran, yang Iahir maupun yang tersembunyi. Sebagaimana sebab-sebab material yang bersifat inderawi dapat saling mempengaruhi atau saling melumpuhkan sehingga tidak Lagi dapat berpengaruh, demikian pula sebab-sebab material itu, pada berbagai fenomena, berhenti bekerja dengan adanya pengaruh faktor-faktor spiritual. Orang yang tidak melihat di hadapannya kecuali sebab-sebab material yang bersifat inderawi saja, membayangkan bahwa sebabnya hanya terbatas pada sebab-sebab material tersebut sambil melupakan bahwa masih ada beribu-ribu sebab dan Iantaran Lainnya yang memiliki keefektifan sesuai dengan hukum qadha dan qadar, dan yang setiap kali ia ikut campur, segera mengakibatkan berhentinya sebab-sebab material dari keefektifannya. Makna seperti ini telah disebutkan dalam Al-Quran dengan uraian yang lebih gamblang dan lebih terpusat daripada yang tersebut dalam hadis-hadis. Misalnya, mengenai beberapa peristiwa perang badr, Allah SWT berfirman:

IngatIah, ketika kamu bertemu dengan musuhmu, Dia memperlihatkan mereka kepadamu sedikit jumIahnya di matamu, dan Ia mengecilkan jumIahmu di mata mereka, supaya Allah meIaksanakan keputusan yang harus dijalankan; dan kepada Allah dikembalikan segala urusan. (QS 8 : 44)

Ayat ini menyebutkan salah satu peristiwa yang di dalamnya terdapat penjelasan tentang lebih kuatnya sebab-sebab spiritual daripada sebab-sebab material.

Pada saat suatu umat sudah Layak menerima kemenangan dan dukungan Ilahi, sebagai hasil telah berjalannya mereka di atas jalan kebenaran dan keadiIan, sementara di hadapannya ada umat Lainnya yang Layak untuk diteIantarkan dan dimusnahkan, maka sistem yang cermat dan sempurna di alam ini akan berdiri di samping barisan umat yang pertama, kendatipun lebih sedikit jumIah pasukan serta peraIatan materialnya dan, bersamaan dengan itu, menetapkan kekalahan dan kehancuran atas umat yang Lainnya kendatipun memiliki sarana dan prasarana material yang lebih sempurna. Allah SWT berfirman pula:

"... Barangsiapa tawakkal kepada Allah, cukupIah Ia baginya. Sungguh Allah meIaksanakan keputusan-Nya, dan bagi segala sesuatu, Allah telah menjadikan ketentuan." (QS 65 : 3)

Pada ujung ayat tersebut, yakni dalam ungkapan: "Bagi segala suatu, Allah telah menjadikan ketentuan", Ia menyebutkan dengan gamblang sistem yang berIaku di alam semesta, dan bahwa tak ada sesuatu pun terjadi di alam ini tanpa sebab dan tujuan serta bahwa segala sesuatu diletakkan pada tingkatan dan lingkupnya yang khusus. Hal ini menandakan adanya sistem sebab-akibat dan di waktu yang bersamaan menandaskan. bahwa Allah SWT pasti meIaksanakan urusan-Nya; dalam arti bahwa pada saat masuknya faktor-faktor dan ikatan-ikatan spiritual serta dukungan Ilahi, maka akan terjadi sesuatu Lain yang akan melumpuhkan sebab-sebab Iahiriah dari kegiatan dan keefektifannya.

Perbedaan antara Kedua Aliran Pemikiran
Telah kami sebutkan sebelum ini, bahwa materialis dan ateis, demikian pula sebagian kaum nasrani yang menentang Islam, telah mengkrmk Islam dengan menjadikan konsep qadha dan qadar sebagai aIat untuk menyerang Islam. Konsekuensi kepercayaan kepada qadha dan qadar ialah timbulnya perasaan pada diri manusia bahwa ia terbelenggu dan terpaksa; dan Selanjutnya membuatnya lupa akan kewajibannya untuk mewujudkan dan membina hidup yang lebih baik bagi masyarakat. Sebaliknya, ia akan menghabiskan usianya dalam keadaan menunggu takdir yang deterministik itu.

Telah kami katakan pula, bahwa kekeliruan ini timbul sebagai akibat pencampuradukan kepercayaan lepada takdir dengan kepercayaan kepada jabr (determinisme). Determinisme berarti hilangnya iradat (kehendak) dan ikhtiar (kebebasan memilih), dan bahwa manusia bukanlah peIaku yang hakiki bagi perbuatannya sendiri, dan bahwa sifat-sifat diri serta kemampuan mentalnya tidak memiliki pengaruh apa pun atas nasibnya. Manusia bukan saja seperti seekor burung beo yang hanya pandai mengulang-ulang segala yang dikatakan kepadanya dari balik tirai gaib, melainkan lebih dari itu peIaku sebenarnya dari pengulang-ulangannya itu pun bukan dirinya sendiri.

Padahal, sesuai dengan kepercayaan yang benar kepada qadha dan qadar; iradat dan ilmu Ilahi tidak mewajibkan terjadinya sesuatu kecuali melalui saluran sebab-sebabnya saja. Dengan kata Lain, mustahil iradat Allah melekat pada sesuatu tanpa melalui saluran sebab dan Iantarannya, mengingat yang demikian itu berlawanan dengan sifat keesaan dan keagungan Zat-Nya Yang Suci. Jadi, ilmu dan iradat Allah SWT melekat pada perbuatan manusia, juga pada kebahagiaan dan kesengsaraan (hanya) melalui Iantaran dan sebabnya yang khusus berkaitan dengannya. Qadha dan qadar-Nya yang telah menjadikan manusia terlepas bebas kedua tangannya; ia dapat memilih, merdeka dan berpengaruh atas nasib dirinya.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka dalam hal ini tidak ada perbedaan antara aliran ketuhanan dan aliran materialisme. Sebab, jika terjadinya sesuatu termasuk perbuatan manusia secara definmf dan dharuri melalui Iantaran-Iantaran dan sebab-sebabnya, dianggap sama dengan jabr dan pembelengguan tangan manusia, maka kemusykiIan ini sama dihadapi oleh kedua aliran tersebut. Akan tetapi, jika ini tidak dianggap identik dengan determinisme seperti dalam kenyataannya maka dari segi ini pun tidak ada perbedaan antara keduanya. Jadi, tuduhan kaum materialis dan semua orang yang mempercayai teori kausal, terhadap kepercayaan Islam tentang qadha dan qadar, Tidaklah pada tempatnya dan hanya timbul akibat tidak atau kurangnya pengetahuan akan kenyataan yang sebenarnya.

Akan tetapi kini ingin kaini tambahkan bahwa memang antara kedua aliran pemikiran tersebut terdapat perbedaan amat penting dan berpengaruh, terutama di bidang pendidikan dan kemasyarakatan. Berdasarkan perbedaan ini, kepercayaan kepada qadha dan qadar, dari sudut pandangan ketuhanan, justru merupakan faktor pemberi pengaruh yang amat hebat, sebagai pembangkit harapan, semangat, aktifitas serta jaminan hasil karya dan usaha; berlawanan dengan pandangan materialisme yang tak memiliki kekhususan seperti ini. Perbedaan asasi ini timbul akibat adanya faktor-faktor spiritual, seperti telah kami jelaskan sebelum ini.

Faktor-faktor yang mempengaruhi gerak alam dan, secara keseluruhan, membentuk Iantaran-Iantaran dan sebab-sebab baginya serta tanda realisasi qadha dan qadar, tidak hanya terbatas pada hal-hal material saja. Masih ada Lagi sekumpulan hal spiritual yang juga merupakan bagian dari faktor-faktor yang efektif di alam ini, dan yang secara definmf berpengaruh atas perubahan nasib.

Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa perjuangan membela kebenaran dan keadiIan memiliki nilai-nilai yang meIampaui perhitungan materialistis yang dapat dicerap secara inderawi, dan bahwa alam ini tegak atas dasar kebenaran dan keadiIan, dan bahwa Allah berdiri di samping barisan orang-orang yang mempertahankan keadiIan dan kebenaran dan tidak akan menghilangkan pahala mereka masing-masing.

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, Dia akan menolong kamu dan meneguhkan tegakmu. (QS 47 : 7) Sungguh Allah membela orang yang beriman; sungguh Allah tiada menyukai siapapun yang berkhianat dan tiada berterima kasih. (QS 22 : 38) Sungguh Allah menolong orang yang menolong-Nya; sungguh Allah Maha Kuat, Maha Perkasa.(QS 22 : 40)

Di antara hal-hal yang memiliki konsekuensi amat penting adalah sikap bertawakal dan menyandarkan diri kepada Allah. Dalam arti bahwa manusia, dalam perjalanannya di atas jalan kebenaran dan keadiIan, harus tidak membiarkan sedikit pun kelemahan, keguncangan dan kemalasan menyelusup ke dalam tekadnya, baik dalam hal penolakan ataupun peneriinaan; dan agar ia selalu merasa tenang dan yakin bahwa, apabila ia terus berjalan menuju sasaran yang benar dan diridhai Allah, dan bukannya didorong oleh kepentingan-kepentingan pribadinya; juga bila ia mengarahkan segala kegiatannya demi meIaksanakan kewajiban-kewajibannya, bukannya untuk meIayani dirinya sendiri; dan juga bila ia menyerahkan segala urusannya kepada Allah semata-mata; maka ia merasa yakin bahwa Allah pasti akan menjaga, memenangkan dan mengantarkannya mencapai tujuannya.

Semuanya ini mempunyai konsekuensi khusus yang tidak mungkin dibayangkan kecuali dari sudut pandang ketuhanan yang menyadari semuanya itu sebagai bagian dari faktor-faktor penentu yang efektif dan sebagai realisasi qadha dan qadar.

Atas dasar itu, kepercayaan yang kuat dan benar kepada qadha dan qadar Ilahi akan mendorong manusia yang beriman untuk menguatkan pijakannya pada jalan kebenaran dan keadiIan, mencurahkan segala daya-upayanya, dan meyakini datangnya hasil yang diharapkan. Sebaliknya, dalam pandangan materialisme, tak ada satu hal pun dalam perundang-undangan umum (atau perilaku kebaikan yang seyogyanya dilakukan oleh manusia), yang benar-benar memiliki perhitungan (nilai) khusus di antara hukum-hukum alamiah yang berIaku. Dengan kata Lain, haq dan bathil, benar dan salah, adil dan zalim ..., semua itu dalam pandangan materialisme mempunyai konsekuensi dan pengaruh yang sama berkenaan dengan keberhasiIan atau kegagaIan seseorang. Alam bersikap netral berkenaan dengan perbuatan yang ini ataupun yang itu. Sementara dalam pandangan ketuhanan, alam ini sama sekali tidak netral berkenaan dengan hal-hal tersebut, bahkan ia berdiri di samping para pembela kebenaran dan keadiIan.

Seseorang yang percaya kepada takdir Ilahi tentu akan percaya juga kepada hikmah, rahmat, dan keadiIan Ilahi. Ia percaya pula bahwa seseorang yang berusaha mendapatkan ridha Allah, yaitu dengan bersungguh-sungguh mengikuti syari'at-Nya, maka akan selalu terpelihara dari penyimpangan. Kepercayaan kepada takdir dan tadbir (pengeloIaan) Ilahi seperti ini akan membuahkan sikap bertawakal dan bersandar kepada Allah SWT, dan menghilangkan rasa takut akan kematian, kehancuran, kemiskinan dan kebutuhan; serta menutup ceIah terbesar kelemahan pada diri manusia, yaitu ketakutan akan hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan.

Kepercayaan akan adanya konsekuensi lebih Ianjut dalam kehidupan di dunia seperti Inilah, yang telah mendidik kaum Muslimin pada permulaan Islam agar selalu aktif dan giat, serta mendorong mereka ke arah keberanian dan pengorbanan yang tak ada taranya di seluruh dunia.

Al-Quran al-Karim melukiskan mereka sebagai:

Orang-orang yang kepadanya dikatakan: "Orang banyak telah berkumpul melawan kamu, maka takutiIah mereka." Tapi mereka bertambah iman karenanya dan mereka berkata: "Allah cukup bagi kami dan Dia-Iah sebaik-baik pengatur segala urusan." Mereka pun kembali dengan nikmat dan karunia dari Allah, tiada bencana menyentuhnya karena mereka mengikuti keridhaan Allah, dan Allah pemilik karunia yang tiada tepermanai. (QS 3 : 173-174)

Dengan uraian tersebut, menjadi jelasIah betapa agungnya keistimewaan-keistimewaan yang dihasilkan oleh kepercayaan kepada qadha dan qadar Ilahi yang sesuai dengan ajaran-ajaran Al-Quran al-Karim, yang dengan itu membedakannya dari kepercayaan kepada takdir yang dianut oleh kaum materialistis sesuai dengan sistem sebab-akibat yang materialistis.

Seorang materialistis, betapapun ia mempercayai mazhab dan cara hidupnya, tidak akan meIampaui kepercayaan bahwa ia akan memperoleh hasil sebesar yang diusahakannya, sesuai dengan teori mazhabnya itu. Sebaliknya, seorang Muslim yang mengimani qadha dan qadar Ilahi, percaya dan yakin bahwa alam ini telah dicipta sedemikian rupa sehingga bilamana si Muslim berjalan dengan segala kemampuannya, maka sistem sebab-akibat yang meliputi alam, pasti berdiri di sampingnya dan menjaganya dengan kekuatan dahsyat, yang perbandingannya melebihi ribuan kali kekuatan dirinya sendiri.

Bila kita memandang dengan kacamata materialistis, mengertiIah kita bahwa seorang materialis akan berpendapat bahwa seorang pembela kebenaran dan keadiIan harus mencurahkan kegiatan dan aktifitasnya serta memiliki harapan yang sama persis seperti yang dilakukan dan dimiliki si pembela kezaliman dan kebatiIan. Sebab, ia percaya bahwa gerak umum alam ini tidak beda sedikit pun terhadap kedua orang tersebut. Sedangkan, pada hakikatnya, amat besar perbedaan sikap alam terhadap kedua orang itu, bila dmnjau dari arah pandangan ketuhanan.

4
TAQDIR MANUSIA

Logika Khusus Al-Quran
Sebelum ini, kami telah berbicara tentang awal mula pembahasan dan dialog tentang masalah determinisme dan takdir yang dilakukan oleh para ahli 'ilmul-kalam (teologi Islam), dan bahwa hal itu merupakan masalah teologis paling terdahulu, mengingat telah dimulainya pembicaraan-pembicaraan resmi mengenai masalah ini pada pertengahan abad pertama hijriah. Akan tetapi mereka tidak berhasil menjeIajahi berbagai dimensinya secara mendalam, sehingga menyebabkan mereka menyimpang dari kebenaran dan terpecah menjadi dua kelompok besar, yakni penganut aliran Jabariyah dan penganut aliran Qadariyah.

Para penganut aliran Jabariyah, disebabkan mereka melihat bahwa segala sesuatu berIangsung dengan takdir Ilahi, telah menjadikan manusia sebagai makhluk yang majbur (terpaksa, tidak memiliki pilihan). Sedangkan para penganut aliran Qadariyah, disebabkan mereka melihat bahwa manusia dapat memilih dan memiliki kebebasan, mengatakan bahwa tak sesuatu pun telah ditakdirkan. Hal itu berarti bahwa para ahli 'ilmul-kalam itu sepakat bahwa takdir identik dengan jabr (determinisme), dan bahwa kebebasan manusia identik dengan penafian takdir.

Kepercayaan kepada takdir dan kebebasan sekaligus, walaupun tadinya dengan mudah dan bersahaja dapat diterima oleh kaum Muslimin di masa permulaan Islam, rupa-rupanya kini menjadi sulit untuk diterima oleh kebanyakan orang setelah dimasukkan dalam kerangka 'ilmul-kalam dan diberi warna filsafat. Sejak itu, seIama empat beIas abad kemudian, mereka tidakbisa Lagi melihatnya kecuali sebagai problem yang amat rumit dan sulit untuk diterima.

Al-Quran al-Karim dan banyak riwayat yang tak dapat diingkari di bidang ini, Nabi saw. ataupun dari para imam (aIaihimussalam), semuanya mengungkapkan dengan amat jelas dan gamblang, bahwa segala sesuatu terjadi dengan qadha dan qadar Ilahi; dan bahwa manusia adalah faktor yang berpengaruh dalam perjalanan nasibnya serta bertanggung jawab atas perbuatan dan tindakannya sendiri. Sebelum ini telah kami sebutkan contoh-contoh ayat yang menunjuk kepada kedua hal tersebut secara bersamaan; tidak perluIah kami ulangi Lagi sekarang.

Maka mulaiIah masing-masing kelompok yang bertentangan pendapat dalam persoalan ini, tampil untuk menakwilkan dan mengarahkan ayat-ayat Al-Quran al-Karim. Para pendukung aliran Jabariyah menakwilkan ayat-ayat Al-Quran yang menunjukkan adanya kebebasan dan tanggung jawab manusia, sedangkan para pendukung kebebasan dan ikhtiar manusia menakwilkan ayat-ayat yang menunjukkan adanya takdir umuin Ilahi.

Sudah barang tentu setelah kemusykiIan ini terpecahkan, dan tampak jelas bagi kita bahwa takdir yang bersifat umum tidak identik dengan keterpaksaan manusia, dan bahwa ikhtiar manusia tidak identik dengan penafian takdir maka kontradiksi yang diperkirakan itu dengan sendirinya telah hilang secara wajar dan ridak perlu Lagi memaksa orang untuk menakwilkan ataupun mengarahkan ayat-ayat tersebut. Misalnya, ayat-ayat Al-Quran yang menyebutkan bahwa hidayah, penyesatan, kejayaan, kemampuan, rizki dan keselamatan, bahkan kebaikan dan keburukan, semuanya itu dinisbahkan kepada kehendak Ilahi atau takdir Ilahi, seperti dalam firman-firman Allah SWT:

Maka Allah menyesatkan siapa yang Ia kehendaki dan membimbing siapa yang Ia kehendaki. (QS 14:4)

KatakanIah: "Ya Tuhan, Pemilik Kerajaan, Kau beri kerajaan kepada siapa yang Kau mau dan Kau renggutkan kerajaan dari siapa yang Kau mau, Kau beri kemuliaan kepada siapa yang Kau mau dan Kau beri kehinaan kepada siapa yang Kau mau, dalam tangan-Mu segala yang baik; sungguh Kau Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS 3 : 26)

Allah, Dialah Maha Pemberi rizki yang mempunyai kekuatan berlimpahan. (QS 51 : 58)

Dan di Iangit ada rizkimu dan apa yang dijanjikan kepada-Mu. (QS 51 : 22)

Atau yang diucapkan oleh Ibrahim (alaihissalam):

Dia yang menciptakan daku, Dialah yang memimpin daku, yang memberiku makan dan minum, dan apabila ku sakit, Dialah yang menyembuhkan daku ... (QS 26 : 78-80)

Atau ayat-ayat sekitar kebaikan dan kejahatan seperti:

KatakanIah, segala sesuatu berasal dari Allah. (QS 4 : 78)...

Semua ayat ini Tidaklah harus diartikan sebagai penafian ikut campumya sebab-sebab alami. Dengan demikian, tidak ada sama sekali kontradiksi antara ayat-ayat ini dengan ayat-ayat yang mendukung peranan manusia dalam soal hidayah dan kesesatan, kejayaan dan kemampuan, rizki dan keselamatan, ataupun dalam perbuatan kebaikan dan keburukan. Seperti misalnya ayat yang menyatakan:

Adapun kaum Tsamud, Kami beri mereka pimpinan, tapi mereka lebih suka kebutaan dari pimpinan. (QS 41 : 17)

Atau yang (setelah menyebutkan akibat buruk yang menimpa para Fir'aun dan pengikut mereka yang sial dan hina serta kejatuhan mereka dari puncak kejayaan ke dasar kehinaan) menyatakan:

Yang demikian itu dikarenakan Allah tiada akan mengubah nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, sebelum kaum itu mengubah apa yang ada dalam dirinya sendiri. (QS 8 : 53)

Atau ayat mulia yang menyebutkan tentang aliran determinisme yang dianut kaum musyrikin :

Dan bila dikatakan kepada mereka: "NafkahkanIah sebagian pemberian Allah kepadamu, "orang-orang yang kafir berkata kepada orangyang beriman: "Akankah kami beri makan orang yang Tuhan beri makan sekiranya Ia mau?" (QS 36 : 47)

Atau ayat yang menyatakan :

Telah tampak kerusakan di darat dan di Iaut disebabkan karena perbuatan tangan mamisia. (QS 30 : 41)

Kenyataannya, seperti yang telah kami isyaratkan sebelum ini, qadha dan qadar, kehendak, ilmu, dan 'inayah (pemeliharaan) Ilahi adalah suatu sebab dalam rangkalan sebab alami yang bersifat vertikal, dan bukannya horizontal. Keseluruhan sistem sebab-akibat yang tak terhingga itu berasal dan bersumber dari iradat, ketentuan dan takdir Ilahi, dan pengaruh yang dmmbulkan oleh sebab-sebab dan akibat-akibat ini, dalam batas-batas tertentu, pada hakikatnya adalah pengaruh yang berasal dari qadha dan qadar itu sendiri.

Karena itu, Tidaklah dapat dibenarkan sedikit pun adanya ucapan yang mempertanyakan: "Yang bagaimanakah sesuatu yang merupakan perbuatan Allah dan yang bagaimanakah yang bukan merupakan perbuatan-Nya?" Adalah suatu kesalahan besar menyatakan tentang sesuatu sebagai "bukan perbuatan seorang makhluk" setelah sebelumnya dinisbahkan kepada Allah, atau mengatakan tentang sesuatu bahwa "itu adalah perbuatan seorang makhluk" setelah dinisbahkan kepadanya dan "bukan perbuatan Allah." Membagi-bagi perbuatan antara Al-Khalik dan makhluk adalah sesuatu yang batil.

Segala sesuatu adalah perbuatan Allah, dan bersamaan dengan itu, ia adalah juga perbuatan si peIaku serta sebab yang mendahuluinya.

Diriwayatkan [3] bahwa sebuah surat pernah dikirimkan oleh Imam al-hadi [4] (alaihissalam) kepada sekelompok kaum Syi'ah mengenai persoalan jabr (determinisme), tafwidh (pendelegasian kekuasaan Ilahi) dan 'adl (keadiIan Ilahi). Dalam suratnya itu ia menyebutkan kisah seorang Iaki-Iaki bernama Ibayah yang bertanya kepada Amirul Mukminin Ali (alaihissalam) tentang kemampuan manusia yang dengannya ia dapat berdiri duduk dan berbuat. Apakah manusia memiliki kemampuan dan kekuasaan atas perbuatannya? Jika demikian halnya, bagaimana caranya Allah SWT ikut campur dalam suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia dengan kemampuan dan kekuasaan-Nya?

Imam Ali (alaihissalam) balik bertanya kepadanya: "Anda menanyakan tentang kemampuan, adakah Anda memilikinya tanpa Allah atau bersama-sama (bersekutu) dengan Allah?"

Ibayah berdiam diri, kemudian Imam Ali meIanjutkan: "Bicara, wahai Ibayah!"

"Apa yang harus kukatakan?" tanya Ibayah.

"Jika Anda mengatakan bahwa anda memilikinya bersama dengan Allah, akan kuhukum Anda; dan jika Anda menyatakan telah memilikinya bukan dari Allah, anda akan kuhukum pula".

"Lalu apa yang harus kukatakan, wahai Amirul Mukminin?"

"KatakanIah bahwa Anda memilikinya dengan perkenan Allah yang memilikinya sendiri sepenuhnya. Jika Ia memberikannya untukmu, maka yang demikian itu merupakan sebagian anugerah-Nya; tetapi jika Ia mencabutnya darimu, maka yang demikian itu termasuk bala’ (ujian)-Nya. Dia-Iah Sang Pemilik pemilikan yang diberikan-Nya padamu, dan Dia-Iah Yang Berkemampuan atas kemampuan yang dikuasakan-Nya padamu..."

Alasan mengapa Imam Ali (alaihissalam) berkata kepadanya: "Jika Anda mengatakan telah memiliki kemampuan itu bersama-sama dengan Allah, Anda akan kuhukum", ialah karena ucapan seperti ini menjadikan si pemilik kemampuan sebagai sekutu Allah yang setara dengan-Nya. Ini tentunya adalah kekufuran. Demikian pula halnya dengan ucapan orang yang berkata bahwa "ia memiliki kemampuan tanpa Allah", sebab ia menganggap dirinya bebas dan mandiri dari Allah. Ini pun suatu bentuk kekufuran, sebab kebebasan atau kemandirian sepenuhnya dalam suatu persoalan berarti pula kemandirian sesuatu atau seseorang itu dalam kemaujudan dirinya (atau zatnya), di samping menafikan sifat "kemungkinan" kemampuan diri, dan sebagai gantinya, menetapkan "keharusan" kemampuan dirinya (zatnya) sendiri.

Kesimpulan dialog di atas ialah, bahwa segala pengaruh, walaupun ia dinisbahkan kepada si peIaku, pada waktu yang saina ia pun harus dinisbahkan kepada Allah dan disandarkan kepada-Nya. Bila kita menisbahkannya semata-mata kepada si peIaku sebagai pemberi pengaruh yang biasa dan alami, maka pada hakikatnya kita telah menisbahkannya kepada peIaku yang tidak bertindak dengan zatnya sendiri. Sebaliknya, bila kita menisbahkannya kepada Allah maka kita telah menisbahkannya kepada sang peIaku yang bertindak dengan zatnya sendiri.

Allah SWT yang memberi khasiat (karakteristik) dan kemampuan mempengaruhi kepada semua maujud. Akan tetapi pemberian dan pelimpahan pemilikan atau hibah dari manusia. Pemberian dan pelimpahan sesuatu dari manusia berakibat keluarnya benda tersebut dari milik si pemberi, sebab seIama belum keluar dari miliknya, ia pun tidak mungkin masuk ke dalam milik sesuatu atau seseorang Lainnya. Sedangkan pelimpahan dan pemberian Ilahi, tidak akan bertentangan sama sekali dan untuk seIama-Iamanya dengan tetapnya kemilikan Ilahi. Bahkan itu merupakan sesuatu yang tak terpisah dari pemilikan-Nya dan merupakan salah satu di antara tanda-tanda kekhususan-Nya.

Allah SWT menganugerahkan sifat mempengaruhi dan memberi bekas kepada segala sesuatu, tetapi pada waktu yang bersamaan, Ia adalah tetap sebagai Pemilik satu-satunya atas segala kekuatan, pemberi pengaruh dan bekas.

Amat banyak berita, hadis dan ucapan para Imam yang mengandung pengertian seperti ini, atau hampir sama dengan ini, yang tak mungkin diuraikan seluruhnya dalam risalah kecil ini.

Tingkatan yang Amat Tinggi
Yang sangat menimbulkan kekaguman pada diri seorang penelm yang ahli di bidang masalah-masalah tauhid adalah logika Al-Quran yang khas. Kemudian setelah itu, riwayat-riwayat yang bersumber dari Rasul yang mulia saw., Imam Ali (alaihissalam) serta para Imam Lainnya, di bidang tauhid dan ma'rifat Ilahi.

Itu semua adalah logika yang tak mungkin disejajarkan dengan logika masa itu, bahkan tak mungkin disejajarkan dengan logika masa-masa setelah itu, yakni setelah tersebar luasnya 'ilmul-kalam, filsafat dan ilniu logika. Tidak! Sungguh ia jauh lebih agung dari itu semua. Masalah nasib, qadha dan qadar serta jabr dan ikhtiar, merupakan contoh dari hal tersebut. Hal-hal ini saja sudah cukup menunjukkan bahwa Al-Quran al-Kariiri bersumber dari sumber dan persemaian yang berbeda dan jauh berada di atas sumber-sumber material ini. Manusia utama (saw.) yang melaluinya Al-Quran al-Karim diwahyukan, menyaksikan hakikat-hakikat tauhid dengan pandangan yang amat berbeda dengan pandangan mata biasa. Demikian pula, ma'rifat tentang logika dan ilmu-ilmu Al-Quran yang dimiliki oleh para tokoh Ahlul bait (keluarga Nabi, saIawat dan salam atas mereka semua), berbeda sepenuhnya dengan pengetahuan orang-orang seLain mereka.

Oleh sebab ituIah, dalam berbagai Iapangan pemikiran yang menimbulkan kebingungan di kalangan para pemikir dan orang-orang kebanyakan, kita dapat melihat tokoh-tokoh besar dari kalangan Ahlul Bait itu berhasil menyingkapkan berbagai hakikat dengan penjelasan yang mantap dan penuh hikmah. Karena itu, sungguh tak mengherankan jika kita lihat tokoh-tokoh besar seLain mereka, hatta dari kalangan Syi'ah sendiri, tidak mampu mengunyah dengan baik dan benar permasalahan-permasalahan ini tanpa diliputi oleh penyimpangan waIau hanya sedikit.[5]

Setiap kali seseorang meneIaah dan memperhatikan kembali ucapan-ucapan para ulama besar, seperti Syekh Mufid, al-Murtadha, al-AlIamah al-Hilli, al-Majlisi dan Lain-Lainnya, niscaya ia mendapati mereka telah tersentuh pengaruh pendapat-pendapat Mu’tazilah dan Asy'ariyah sampai batas-batas tertentu. Sehingga corak pemikiran mereka dekat dengan corak pemikiran kaum Mu’tazilah dan Asy'ariyah, dan terpaksa juga menakwilkan ayat-ayat Al-Quran dan riwayat-riwayat yang bersangkutan dengan masalah ini.

Jelas bahwa hal ini tidak dapat dikatakan sebagai suatu kekurangan (cacat) bagi diri tokoh-tokoh ulama itu. Siapa saja, seLain mereka, yang hidup dalam situasi seperti situasi mereka itu, tidak mungkin dapat terhindar sama sekali dari pengaruh yang mereka alami. Logika seperti yang kami sebutkan, tidak tampak di bagian barat atau timur bumi kecuali dalam Al-Quran al-Karim serta putra-putranya" yang dibesarkan di bawah asuhannya, yakni para wali agama. Adapun orang-orang seLain mereka hanya mampu berjalan setahap dan seLangkah demi seLangkah dan, setelah pengamatan yang seksama serta pendalaman pemikiran atas masalah-masalah ini, seraya bersuluh dengan cahaya Al-Quran, ucapan-ucapan Nabi saw. dan para Imam (terutama Imam Ali alaihissalam) akhirnya sampaiIah mereka ke tujuan ini.

Kita dapat melihat sebagian para pemikir, yang hidup di masa sekarang, kendati dalam hal-hal Lain mereka menunjukkan keistimewaan dmnjau dari corak pemikiran dan penganalisisan mereka terhadap masalah-masalah kemasyarakatan, namun ketika sampai kepada persoalan-persoalan seperti ini, mereka pun kebingungan sebagaimana para ahli ilmul-kalam sebelum mereka. Sebagai contoh, dapatlah kita menyebut nama Ahmad Amin, pengarang buku-buku Fajrul Islam, Dhuhal Islam, Zhuhrul Islam dan Yaumul Islam. Harus diakui, dalam teIaah dan analisis sosialnya, Ahmad Amin telah menunjukkan keistimewaan yang cukup besar, namun tampak dengan jelas bahwa, dalam masalah-masalah seperti ini, ia telah gagal seperti kegagaIan para ahli ilmul-kalam sebelumnya. Pada akhir bukunya, Fajrul Islam, ia menulis tentang masalah ini di bawah judul "Determinisme dan Qadar". Yang dapat kita pahami setelah membacanya ialah bahwa kepercayaan kepada takdir, menurut pendapatnya, identik dengan kepercayaan kepada determinisme. Ia tidak mempercayai keshahihan riwayat-riwayat mengenai takdir, sebagaimana ia juga tidak dapat mempercayai bahwa kandungan Nahjul Balaghah adalah ucapan-ucapan Imam Ali (alaihissalam). Mungkin saja dari segi ini ia dapat dimaafkan, karena pengetahuan yang dimilikinya tidak mengizinkannya menerima hal tersebut.[6] Tidaklah dapat dimungkiri bahwa seorang ilmuwan yang tidak memiliki modal ilmu seLain ilmu-ilmu sosial yang bersifat umum, baik ia seorang yang berasal dari Eropa, Mesir atau Iran, sama sekali tidak Layak menyatakan pendapatnya dalam bidang apa pun di antara bidang-bidang sejarah ilmu-ilmu pengetahuan Islam.

Para ahli sejarah dan kaum orientalis Barat, setiap kali hendak menyatakan pendapatnya dalam masalah ini, senantiasa menggambarkan Islam, kadang-kadang, sebagai ideologi deterministik, atau mendakwakan bahwa kepercayaan kepada qadha dan qadar bukanlah termasuk ajaran Al-Quran dan tidak dijumpai pada awal pertumbuhan Islam. Selanjutnya, menurut mereka akidah tentang hal tersebut hanya merupakan ciptaan ahli 'ilmul-kalam belaka.

Sebagai contoh Albarmalet,[7] dalam uraiannya mengenai agama Islam, menyatakan bahwa "pokok dasar agama Islam yang asli ialah: Allah Mahaesa dan Muhammad Rasulullah, baru kemudian para ulama dan ahli 'ilmul-kalam menciptakan akidah yang menyatakan bahwa Allah telah menetapkan nasib setiap orang, sejak dahulu kala, dan bahwa kehendak-Nya sama sekali tidak dapat berubah atau berganti. Inilah perilaku determinisme." Berkata Gustav Le Bon dengan gaya seorang pembela Al-Quran:

"... .yang disebutkan dalam Al-Quran di bidang ini, tidak lebih daripada yang tersebut dalam kitab-kitab suci lainnya." Kemudian ia menyebutkan beberapa ayat Al-Quran dan, setelah membahas beberapa masalah, selanjutnya berkata:

"Adapun kepercayaan kepada takdir, sebagai sesuatu yang diharuskan dalam Islam, tidak memiliki dasar ataupun pembenaran seperti halnya berbagai keharusan Lainnya. Sebelum ini, kami telah menyebutkan beberapa ayat yang bersangkutan dengan qadha dan qadar. Ayat-ayat tersebut pada hakikatnya tidak memberikan lebih banyak makna daripada yang disebutkan oleh kitab suci kita (yang dimaksudkan di sini tentunya kitab Injil - Penerj). Semua filosof dan ahli teologi (Nasrani), terutama Luther, menyatakan bahwa seluruh peristiwa dan kejadian di alam ini adalah seperti apa adanya, telah ditakdirkan dan tidak mungkin dapat diubah atau diganti, Luther sendiri, seorang pembaharu agama Kristen menulis:

"Bukti-bukti yang amat banyak yang berada di tangan kita dari kitab suci, benar-benar bertentangan dengan masalah ikhtiar (kebebasan memilih). Bukti-bukti dan petunjuk-petunjuk tentang ini amat banyak dijumpai dalam berbagai bagian kitab suci. Bahkan kitab-kitab ini semuanya penuh dengan petunjuk-petunjuk seperti ini".[8]

Kemudian Gustav Le Bon menunjuk kepada kepercayaan pada takdir di antara orang-orang Romawi dan Yunani terdahulu, yang ia simpulkan sebagai berikut :

"Dengan demikian, dapatlah diketahui bahwa Islam tidak lebih memberikan perhatian pada masalah ini dibanding berbagai agama lainnya, bahkan tidak sebesar perhatian yang diberikan oleh para Ilmuwan modern, sesuai dengan ucapan Laplace dan Leibniz".

Begitulah kita dapati Gustav Le bon dapat menerima pengertian bahwa kepercayaan kepada takdir tidak bisa lain daripada determinisme dan penafian kebebasan; akan tetapi, menurutnya, kepercayaan seperti ini memang sudah ada pada semua agama serta berbagai aliran filsafat dan tidak hanya khusus dalam Al-Quran saja.

Setelah mengutip beberapa kandungan Al-Quran, terutama yang mengandung pengertian bahwa ilmu dan kehendak Ilahi meliputi segala sesuatu, secara menyeluruh, dan setelah menunjuk kepada hadis yang terkenal dalam Shahih Bukhari, Will Durant [9] berkata: "Keimanan kepada qadha dan qadar ini, telah menjadikan determinisme sebagai ciri-ciri yang jelas dalam pemikiran Islami".

Ada baiknya kita perhatikan ucapan Dominique Sourdell: [10]

"....Sejak permulaan era Islam, kaum Muslimin membayangkan bahwa mereka telah menjumpai berbagai kontradiksi di dalam Al-Quran, sehingga Rasul, sesuai dengan hadis yang terkenal di kalangan kita, telah memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan: 'Imanilah penderitaan kalian....' Dan ketika kaum Muslimin, setelah itu, tidak rela menjadikan keimanan mereka pada permukaannya saja, sebagian dari mereka telah berupaya menafsirkan beberapa ungkapan dan uraian dalam Al-Quran. Inilah awal mula terciptanya Ilmu Tafsir. Pertanyaan pertama yang dilontarkan ke hadapan kaum Muslimin ialah : 'Jika manusia tidak memiliki kemampuan mengerjakan sesuatu di hadapan urusan Allah (yakni takdir) dan, walaupun begitu, Allah tetap saja memberinya balasan atas perbuatan-perbuatan baik dan buruknya, apakah dengan demikian berarti kodrat (qudrah) Ilahi bersifat kontradiktif terhadap pertanggungjawaban manusia?' Al-Quran tidak memberikan jawaban atas pertanyaan ini. Dalam kenyataannya, kodrat Allah yang sempurna, seperti tampak pada berbagai tempat dalam Al-Quran, tidak meninggalkan ruang sedikit pun untuk kebebasan manusia. Dengan jalan ini, tidak lagi tertinggal suatu perasaan pertanggungjawaban manusiawi di hadapan penyerahan bulat-bulat kepada takdir Ilahi".

Buku karangan Sourdell ini sarat dengan pentahkikan-pentahkikan yang "bermutu", seperti ini!

Telah diketahui dari penjelasan-penjelasan yang lalu, bahwa masalah qadha dan qadar telah disebutkan berulangkali di dalam Al-Quran al-Karim, dan bahwa hal itu bukanlah berasal dari para ahli 'ilmul-kalam. Juga, kepercayaan kepada qadha dan qadar yang bersifat umum, seperti yang dijelaskan oleh Al-Quran, sungguh berbeda dari teori determinisme.

Pada saat kita menyaksikan kaum orientalis Barat memuji-muji kaum Mu’tazilah disebabkan mereka mengingkari qadha dan qadar, kita pun menyadari bahwa mereka (yakni kaum orientalis) percaya bahwa akidah tentang qadha dan qadar adalah identik dengan akidah Jabariyah atau determinisme!!

Tak syak lagi, jika kita membandingkan kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy'ariyah, akan kita dapati kaum Mu’tazilah memiliki kebebasan pikiran dan kemerdekaan intelektual yang layak. Kita harus menganggap langkah yang dilakukan oleh al-Mutawakkil (Khalifah dari Bani Abbas), yang memusuhi kaum Mu’tazilah serta mendukung sepenuhnya doktrin Asy'ari, sebagai suatu bencana besar bagi dunia Islam.[11] Akan tetapi kita pun harus menyatakan bahwa penyimpangan kaum Mu’tazilah dan kebimbangan yang menimpa mereka dalam masalah ini, tidaklah lebih kecil daripada kesalahan dan kebimbangan kaum Asy'ariyah. Kendati kaum orientalis telah memuji mereka (yakni kaum Mu’tazilah), namun disebabkan kaum orientalis itu tidak memiliki kedalaman dan keluasan pengetahuan dalam ilmu-ilmu tentang Islam, mereka pun telah membayangkan bahwa kepercayaan kepada qadha dan qadar identik dengan kepercayaan kepada determinisme.

Edward Browene [12] berkata: "Kelompok Qadariyah atau Mu’tazilah lebih mempunyai arti penting sebab mereka membela prinsip kebebasan kehendak atau tafwidh (pelimpahan Ilahi) dan ikhtiar." Dr. Schteiner berkata: "Kata-kata paling tepat untuk melukiskan kaum Mu’tazilah ialah dengan menyatakan bahwa munculnya pemikiran-pemikiran seperti ini adalah konsekuensi dari suatu oposisi terus-menerus oleh inteligensi manusia yang sehat melawan hukum-hukum tiran dan ajaran-ajaran deterministis".

Kaum Mu’tazilah menyebut diri mereka sendiri sebagai kelompok 'adl (keadiIan Ilahi) dan tauhid. Mereka menyatakan bahwa ketentuan azali pada doktrin Ahlus-Sunnah (yakni kaum Asy'ariyah) ialah bahwa Allah SWT telah menentukan, sejak azali, nasib dan perjalanan hidup setiap orang, dan bahwa Ia memberi balasan atas dosa-dosa yang telah Ia bebankan sendiri di pundak manusia, dan bahwa manusia tidak memiliki kekuatan, keteguhan dan pertahanan terhadap takdir Ilahi.

Demikianlah, corak pemikiran kaum Mu’tazilah ini, yakni persamaan antara kemestian qadha dengan determinisme, telah menjadi sumber dukungan kaum orientalis.

Akar-akar Historis
Di antara pembahasan-pembahasan penting yang patut diperhatikan ialah pembahasan tentang sumber konsep-konsep, akidah-akidah dan berbagai jenis perdebatan ini. Faktor-faktor apakah yang telah mendorong kaum Muslimin, sejak awal pertengahan abad pertama atau paling lambat sejak paruh kedua abad itu, sehingga mereka memasuki bidang pembahasan mengenai determinisme dan qadar?

Tak syak lagi, penyebab dimulainya pembahasan-pembahasan ini oleh kaum Muslimin ialah ayat-ayat Al-Quran al-Karim dan ucapan-ucapan Rasul termulia saw. Dalam kenyataannya, masalah nasib serta kebebasan dan ikhtiar manusia termasuk masalah-masalah yang sudah sewajarnya membangkitkan pertanyaan-pertanyaan setiap orang. Sebab, masalah ini telah berkali-kali dilontarkan dalam Kitab Suci kaum Muslimin, dan di antara ayat-ayatnya ada yang secara gamblang mendukung konsep takdir dan ada pula yang secara gamblang mendukung adanya kebebasan dan ikhtiar manusia; tentunya hal ini mengundang timbulnya pemikiran, pembahasan dan diskusi.

Kaum orientalis dan pengekor-pengekor mereka semuanya mendakwakan bahwa konsep-konsep ini memiliki akar pemikiran yang lain. Seperti yang telah kami sebutkan, sebagian ahli sejarah dari Barat percaya bahwa masalah takdir, determinisme dan ikhtiar, termasuk masalah-masalah yang baru dmmbulkan pada masa-masa terakhir oleh para ahli teologi Islam, sementara semuanya ini tak ada bekasnya dalam Al-Quran ataupun Sunnah!

Namun ada juga sebagian yang lain yang mengisyaratkan bahwa konsep kaum Asy'ariyah yang bertumpu atas determinisme dan tiadanya kebebasan manusia, memang benar-benar seperti yang dikehendaki oleh ajaran-ajaran Islam. Hanya saja, kaum Mu’tazilah menolak untuk tunduk kepada konsep Islami ini, sama halnya seperti penolakan mereka terhadap ajaran-ajaran Islam lainnya yang tidak sejalan dengan akal dan logika. Tema kebebasan dan ikhtiar manusia telah timbul pertama kali di antara kaum Muslimin dari kalangan kaum Mu’tazilah tersebut!

Sebenarnya kata mereka selanjutnya kaum Mu’tazilah sendiri bukanlah pencipta konsep ini, akan tetapi mereka telah berpaling ke arah pemikiran yang "bermutu tinggi" ini sebagai hasil hubungan dan pergaulan mereka dengan berbagai bangsa, terutama kaum Nasrani.

Disebutkan [13] bahwa Van Kromer percaya bahwa Ma'bad al-Juhani telah mempopulerkan konsep kebebasan kehendak ini pada tahun-tahun terakhir abad ketujuh Masehi di kota Damsyik, yaitu dengan meniru dan mengikuti seorang berkebangsaan Iran bernama Sinbawaih. Ia berkata pula: "Van Kromer berpendapat bahwa tempat pembentukan dan penyempumaan doktrin-doktrin orang-orang itu ialah kota Damsyik, di bawah pengaruh kaum teologis Bizans, khususnya Yahya Dimasyqi serta muridnya Theodore Hypocrates."[14]

Dari sini dapat diketahui bahwa Van Kromer berpendapat bahwa si orang Iran yang diperkirakan telah mengajarkan konsep kebebasan dan ikhtiar kepada Ma'bad al-Juhani, pada gilirannya, telah beroleh manfaat dari pengetahuan yang dilimpahkan kepadanya oleh para ahli teologi Nasrani berkebangsaan Romawi tersebut!.

Seandainya memang demikian itu persoalannya, tentunya untuk membahas hal-hal mengenai tauhid dan akhir, bahkan salat dan puasa, kita harus mencari akar-akar historisnya di sana pula. Di samping itu, kita pun harus berkesimpulan bahwa penyebab timbulnya perhatian kaum Muslimin terhadap pembahasan tentang tauhid, hari akhir, salat, dan puasa, ialah adanya pembahasan-pembahasan tentang masalah-masalah tersebut yang sudah lebih dulu dilakukan oleh sekolah-sekolah kaum Nasrani!!

Kenyataan Sebenarnya
Pada hakikatnya, kaum orientalis tidak memiliki cukup kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap berbagai akidah dan doktrin Islami, sebagaimana mereka pada umumnya juga tidak mempunyai mkad baik yang diperlukan untuk itu. Karenanya, kita dapat melihat, pada saat mereka mencoba membuat analisis tentang konsep-konsep dan doktrin-doktrin Islami, serta hendak memasuki pembahasan tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan teologi Islam, tasawuf ataupun filsafat, mereka selalu terjerumus ke dalam pencampuradukan hal-hal yang aneh-aneh dan berbagai khurafat yang tak berharga sedikit pun, yang menimbulkan keheranan atau kadang-kadang malah mengundang ejekan. Sebagai contoh, marilah bersama-sama kita teIaah tulisan di bawah ini.

Edward Browene [15] mengutip dari buku Sejarah Islam, karangan Dozy, seorang orientalis terkenal berkebangsaan Belanda, pendapat mengenai kaum Mu’tazilah sebagai berikut:

"Berhubung mereka (kaum Mu’tazilah) menggunakan cara perenungan dan pemikiran dalam memahami hukum-hukum syari'at, maka dengan sendirinya, mereka membela metode logika argumentatif. Karena itu pula, salah satu dari tema-tema pokok yang mereka bahas ialah pendapat tentang hadits-nya (baru terciptanya) AL-Quran, bukan qadim seperti Zat Allah, dan bahwa ia adalah makhluq, meski pendapat seperti ini sebenarnya berlawanan dengan ucapan Nabi.[16] Mereka juga menyatakan bahwa konsekuensi dari Pernyataan bahwa Al-Quran adalah sesuatu yang qadim dan bukan makhluq, sama seperti mengatakan tentang adanya dua maujud yang azali dan abadi. Sedangkan dengan menjadikan AL-Quran, yakni firman Allah, termasuk dalam kelompok makhluk (yang dicipta oleh) Allah, maka kita tidak dapat menjadikannya berkaitan dengan Zat Allah, karena Zat Allah tidak mungkin berubah. [17]

Dengan cara pengutaraan seperti ini, setahap demi setahap goyahlah dasar kepercayaan tentang turunnya wahyu, dan dicanangkanlah oleh banyak kalangan Mu’tazilah, bahwa menulis padanan Al-Quran atau bahkan yang lebih baik daripadanya, adalah sesuatu yang mungkin terjadi dan tidak mustahil.

Berdasarkan itu, mereka menyanggah pendapat bahwa Al-Quran adalah kitab samawi yang turun dari sumber wahyu. "[18]

Demikian pula akidah (kepercayaan) mereka kepada Allah, lebih murni dan lebih tinggi daripada akidah kaum pembuat hukum (para fuqaha) dan orang-orang yang berpegang teguh pada doktrin-doktrin umum dan nilai-nilai syari'at, serta juga (lebih murni) daripada akidah kaum Asy'ariyah. Hal itu disebabkan kaum Mu’tazilah tidak akan pernah menerima doktrin yang mengatakan bahwa Sang Pencipta Alam dapat menampakkan diri dalam bentuk jasmani, dan mereka juga tidak bersedia mendengar ucapan seperti ini, kendati ada hadis yang berbunyi: "Sebagaimana telah kamu lihat bulan purnama pada pertempuran Badr, kamu pasti akan melihat pula Tuhanmu pada suatu hari."[19] Mengingat para fuqaha telah mengartikan ucapan ini secara harfiah, maka masalah ini selalu menjadi penghambat utama bagi kaum Mu’tazilah, sehingga mereka berusaha menafsirkan dan menjelaskannya, dengan menyatakan bahwa manusia, setelah mati, akan melihat Allah, tetapi hanya dengan mata-hati, yakni dengan dalil akal, sebagaimana mereka juga tidak inau menerima bahwa Allah SWT adalah Pencipta orang-orang kafir.[20]

Demikianlah sebagai contoh yang ingin kami kemukakan di sini. Perlu pula kami nyatakan bahwa Edward Browene, orientalis yang menulis buku Sejarah Kebudayaan Iran, mengutip hasil penelitian (!) ini dari orientalis Belanda, Dozy tersebut tanpa catatan apapun.

Kami tidak tahu sebutan apa kira-kira yang dapat kami berikan kepada bualan seperti ini? Apakah kita akan menamakannya kebodohan ataukah kejahatan? Dan yang lebih disesalkan lagi ialah kenyataan bahwa pengikut-pengikut dan pengekor-pengekor mereka, yang berasal dari Timur pun, alih-alih menelm kembali konsep-konsep dan doktrin-doktrin ketimuran dan ke-Islaman, dengan penelitian yang mendalam dan seksama; dalam kenyataannya, dengan sengaja mereka malah mengulang-ulang ucapan guru mereka tersebut, serta menjadikannya sebagai tumpuan bagi pendapat-pendapat mereka sendiri.

Sebuah Pembahasan tentang Hadis
Ada kemungkinan, dalam beberapa hadis terkandung makna yang berlawanan dengan keterangan yang lalu, namun hendaknya kita jangan lupa bahwa kontradiksi seperti ini baru timbul setelah adanya beberapa kebingungan akibat kekeliruan sebagai perawi ketika menukilkan kandungan beberapa hadis. Kebingungan seperti ini dapat dihilangkan dengan cara membandingkan beberapa hadis tersebut dengan yang lainnya. Adakalanya kontradiksi itu hanya secara lahirnya saja, sehingga segera hilang setelah dipikirkan secara mendalam. Di bawah ini kami berikan contoh masing-masing dari kedua sumber kebingungan itu:

(1) Dalam Sahih Bukhari, [21]diriwayatkan dari Yahya bin Ya'mur dari Aisyah bahwa ia bertanya kepada Rasulullah saw. tentang penyakit sampar, lalu beliau menjawab: "Penyakit sampar adalah azab yang dikirim oleh Allah SWT kepada siapa saja dari hamba-hamba-Nya yang Ia kehendaki, kemudian Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi kaum mukminin. Maka tak seorang hamba Allah pun yang berada di suatu negeri yang terjangkit penyakit itu, lalu ia tetap tinggal di sana dalam keadaan sabar dan tulus menghadapinya serta yakin bahwa tiada sesuatu pun akan menimpanya kecuali yang telah ditakdirkan oleh Allah, kecuali ia beroleh pahala seperti seorang syahid".

Dalam kitab al-Kafi, [22] disebutkan bahwa al-Halabi berkata: "Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah, Imam Ja'far as-Shadiq (alaihissalam) mengenai wabah yang menjangkiti sebagian neger; bagaimana hukumnya seseorang yang berpindah dari sana ke bagiannya yang lain? Atau keluar dari negeri yang terjangkit wabah dan pindah ke luar negeri itu?" Beliau menjawab: "Tak mengapa, Rasulullah saw. memang pernah melarang hal seperti itu, ketika terjadi di suatu daerah perbatasan dekat dengan pemusatan pasukan musuh, kemudian banyak dari mereka melarikan diri karena takut dari wabah tersebut. Rasulullah saw. bersabda: 'Orang yang melarikan diri dari tempat itu, sama seperti orang yang lari dari medan pertempuran'. Tentunya hal tersebut disebabkan beliau khawatir tempat-tempat penjagaan akan menjadi kosong."

Ucapan Imam Ja'far as-Shadiq menjelaskan bahwa maksud Nabi saw. mengenai suatu peristiwa tertentu. Beliau melarang mereka melarikan diri dari wabah, agar kaum Muslimin tidak melupakan kewajiban-kewajiban mereka dalam menghadapi musuh, di saat terjangkitnya wabah, sehingga menyebabkan kosongnya tempat-tempat penjagaan dan dengan demikian menjerumuskan diri mereka sendiri ke dalam kebinasaan yang lebih parah. Jadi, larangan Nabi saw. tidak bersifat umum, untuk selalu dipraktekkan, sehingga mewajibkan atas kaum Muslimin kapan dan di mana pun setiap kali wabah menjalar di suatu kota, untuk pasrah pada kenyataan dan tetap tinggal seraya menunggu nasib yang membinasakan. Padahal seorang Muslim diperintahkan agar menjaga dirinya dan hartanya daripada segala penyebab kebinasaan. Namun dalam kenyataannya, perpindahan ucapan Nabi saw. dari satu tangan perawi ke tangan perawi lainnya, telah mengalihkannya sedikit demi sedikit kepada makna yang bersifat umum seperti tampak dalam Sahih Bukhari.

Bagaimana pun, kita masih bemasib baik ketika Imam Ja'far as-Shadiq menyingkapkan tirai penutup hakikat sebenarnya, dan menjelaskan maksud Rasul yang mulia saw. (Memang, "penghuni suatu rumah" (ahlul bait) lebih mengerti tentang segala yang ada di rumahnya sendiri). Ada kemungkinan pula, bahwa yang disebutkan dalam Sahih Bukhari mempunyai maksud lain, yaitu Rasulullah saw. memerintahkan, pada saat terjangkitnya wabah di suatu kota (lalu beberapa orang, tentunya, ditimpa bala’), hendaknya penduduk kota itu tidak keluar meninggalkannya agar tidak memindahkan penyakit tersebut ke tempat Lainnya. Dengan demikian mereka ikut menjaga jiwa para penghuni daerah-daerah lainnya. ApaLagi di masa itu belum ada cara-cara pengobatan yang efektif atau karantina-karantina di perbatasan dan pintu-pintu gerbang negeri, tempat para pendatang dapat diperiksa lalu diberi izin memasuki kita setelah benar-benar diyakini bahwa mereka itu tidak membawa virus yang dapat menyebar luaskan penyakit tersebut. Di masa itu, cara terbaik untuk mencegah tersebarnya wabah seperti itu adalah tetap tinggalnya penduduk kota yang terserang penyakit di tempat masing-masing agar tidak memindahkannya ke tempat lain.

Ibn Abil-Hadid menyebutkan [23] sebuah kisah tentang perjalanan Umar bin Khattab r.a. ke Syam. Ketika diberitahu tentang berjangkitnya wabah penyakit sampar di sana, ia memutuskan untuk tidak memasuki saerah itu. Abu Ubaidah bin Jarrah kemudian menyanggah keputusan tersebut dengan menyatakan bahwa hal itu berarti Iari dari qadha dan qadar. Segera Abdurrahman bin Auf menjawabnya dengan meriwayatkan hadis bahwa Rasulullah saw. melarang keluarnya penduduk dari suatu kota yang terjangkit wabah sampar atau masuknya orang-orang yang berada di luarnya. Berdasarkan kisah itu, ada kemungkinan bahwa hadis dalam Sahih Bukhari tersebut menunjuk kepada peristiwa yang disebutkan oleh Imam Ja'far as-Shadiq di atas. Atau bahwa yang disebutkan oleh Imam Ja'far itu berhubungan dengan peristiwa yang tidak berkaitan dengan hadis ini, melainkan hanya berkaitan dengan masalah tindakan pencegahan dari kejangkitan wabah, serta penjagaan keselamatan penduduk kota-kota lainnya yang tidak atau belum terjangkiti. Betapapun juga, makna sebenarnya yang dapat diperoleh dari hadis riwayat Aisyah itu pastilah bukan makna lahiriahnya, dan bahwa para perawi telah diliputi kebingungan ketika mengutip kandungannya.

(2) Tersebut dalam kitab al-Kafi jilid 2, bab tentang Keutamaan Keyakinan, dari Imam Ja'far as-Shadiq, bahwa Amirul Mukminin Ali (alaihissalam) duduk di antara orang banyak di bawah sebuah tembok yang miring dan hampir jatuh. Sebagian dari mereka berkata: "Jangan duduk di bawah tembok ini, wahai Amirul Mukminin, sebab ia akan runtuh". Jawab Amirul Mukminin: "Tiap orang dijaga oleh ajalnya". Kemudian ketika beliau meninggalkannya, tembok itu benar-benar runtuh. Berkata Imam Ja'far: "Amirul Mukminin seingkali melakukan ini dan seperti ini, dan ini termasuk sifat keyakinan".

Mengenai hadis ini mungkin dapat dikatakan bahwa ia:

a. Bertentangan dengan yang telah kaini nukilkan sebelum ini, dari buku Tauhid as-Shaduq [24] dari riwayat al-Ashbagh bin Nubatah, katanya: "Amirul Mukminin Ali pindah dari sebuah tembok yang miring ke tembok lainnya. Ketika dikatakan kepadanya: "Wahai Amirul Mukminin, apakah Anda lari dari qadha Allah? Ia menjawab: 'Ya, aku lari dari qadha Allah ke qadha Allah SWT".

b. Hal tersebut bertentangan dengan larangan agama untuk duduk di bawah tembok miring yang hampir runtuh. Bagaimana mungkin Ali (alaihissalam) duduk di tempat seperti itu dengan alasan bahwa ajal menjaganya? Akan tetapi, tampaknya ada kemungkinan menafsirkan hadis ini dengan memperhatikan penjelasan kami sebelumnya, dan dalam bentuk yang tidak bertentangan dengan hadis as-Shaduq ataupun dengan ketentuan syari'at yang diterima yaitu, yang mewajibkan penjagaan jiwa raga dan larangan menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan.

Seperti telah kami nyatakan dalam pembahasan sebelum ini (di bawah sub judul Faktor-faktor Spiritual), faktor-faktor qadha dan qadar serta kaitan-kaitan sebab-akibat harus jangan dibatasi semata-mata pada bidang-bidang material yang bertiga dimensi saja, karena faktor-faktor spiritual pada gilirannya juga membentuk bagian amat penting dari sistem sebab-akibat di alam semesta ini. Atas dasar ini, bilamana kita amati suatu kejadian tertentu dari sudut sebab-sebab material dan dimensi-dimensi fisik, mungkin kita akan membayangkan telah mencapai pengetahuan tentang sebab-sebab dan kaitan-kaitannya secara sempurna. Akan tetapi bila kita memandangnya dengan cara pandang lain, lalu kita dapat menyaksikan kejadian-kejadian tersembunyi lainnya, maka kita akan mengetahui bahwa apa yang tadinya kita perkirakan sebagai "sebab yang sempurna", dari kejadian tersebut sebenarnya hanyalah "sebab yang kurang sempurna"; karena masih adanya berbagai hal tersembunyi lainnya yang ikut berpartisipasi di dalamnya. Telah kami nyatakan sebelum ini, bahwa berbagai macam sedekah dan niatan, seperti juga perbuatan-perbuatan manusia yang dilaksanakan dalam bentuk yang berkaitan dengan niat dan segi-segi spiritual di dalamnya, semua itu mempunyai pengaruh atas jalannya sebab-sebab dan lantaran-lantaran di alam ini. Sekiranya seseorang memiliki indera yang melampauai indera yang kita miliki, dan mampu memahami kejadian-kejadian dengan pemahaman yang lebih mendalam daripada pemahaman kita yang biasa, niscaya penilaiannya atas peristiwa-peristiwa yang terjadi akan berbeda dari corak penilaian kita pada beberapa konteks tertentu. Persis seperti berbedanya penilaian kita, sebagai maujud yang memiliki tiga dimensi, dengan penilaian berbagai maujud yang hanya memiliki dua dimensi saja dan yang tidak mampu mencerap segala sesuatu lebih dari kedua dimensinya itu. Tentunya penilaian kita atas hal-hal yang berdimensi dua ada kalanya dapat bersesuaian, akan tetapi pasti berbeda dalam hal-hal yang berdimensi tiga.

Penilaian orang-orang yang tergolong ahlulyaqin (yaitu, mereka yang memiliki indera dan cara pandang lain) yang memandang alam ini dalam lingkup dan gerak yang lain yang berbeda dengan cara pandang kita memandang; juga pada berbagai konteks khusus, pasti berbeda dengan penilaian kita. Sesuatu yang kita anggap sebagai penyebab kematian, misalnya, mungkin saja tidak mereka anggap demikian, disebabkan pengetahuan mereka yang lebih meliputi beberapa hal yang tersembunyi. Maka dilihat dari sudut hal-hal spiritual (nonmaterial), tak ada keberatan apa pun untuk menyatakan bahwa ahlulyaqin [25] mampu mengetahui beberapa hal tersembunyi yang ada kaitannya dengan jaminan panjangnya usia, keselamatan ataupun kelapangan rezki seseorang. Tapi masalah ini memerlukan pembahasan amat panjang.[]

[1] Tuhaful 'Uqul, hal. 442.

[2] Dari Majma 'al-Bahrain.

[3] Dalam buku Tuhaful 'Uqul, cetakan Beirut, hal. 345.

[4] Salah seorang dari Dua Belas Imam dalam mazhab Syi'ah Itsna Asyariah--Penyunting.

[5] Perlu diketahui bahwa penulis buku ini bukan berasal dari kalangan Ahlul Bait yang disebut-sebutnya - Penyunting.

[6] Dalam buku Kasyiful Ghitha, Ashlu asy-Syi'ah wa Ushuluha, disebutkan bahwa Ahmad Amin sendiri pernah mengakui kekurangtahuannya mengenai Syi'ah dan hal-hal yang berkenaan dengan itu - Penyunting.

[7] Dalam buku Sejarahnya, jilid 3, pasal 6, hal. 91.

[8] Dikutip dari Peradaban Islam dan Arab.

[9] Dalam bukunya History of Civilization (Sejarah Peradaban), jilid 13, hal. 55.

[10] Dalam sebuah bukunya berjudul Islam yang terbit dalam serial "Apa yang kuketahui?" dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Parsi.

[11] Baca : Ijtihad dalam Islam, Nomor 3, hal. 318-332, karangan Penulis.

[12] Dalam bukunya, Sejarah Kebudayaan Iran, hal. 411.

[13] Ibid, hal. 413.

[14] Ibid. hal. 413.

[15] Ibid, hal. 442.

[16] Sarjana orientalis yang ulung ini berusaha menyindir secara halus, bahwa kaum Asy'ariyah telah mengambil akidah mereka tentang qadimnya Al-Quran dari ucapan Nabi saw; dan bahwa kaum Mu’tazilah, kendatipun mempercayai bahwa Nabi saw. telah mengucapkan makna seperti ini, telah menolaknya karena tidak selaras dengan akal dan logika. "Ia pun menulis di hal. 418 "...Pendirian kaum Mu’tazilah berlawanan dengan berbagai akidah tentang "kemungkinan melihat Allah", dan bahwa Al-Quran adalah qadim dan bukan makhluq; yakni akidah yang dianut oleh Ahlus-Sunnah wal Jama'ah (kaum Asy'ariyah) yang mengikuti nash-nash Al-Quran dalam segala hal dan menolak melakukan takwil (penyimpangan dari arti harfiah Al-Quran) yang merupakan kebiasaan lawan-lawan mereka". Padahal pada kenyataannya dalam Al-Quran tidak ada keterangan, waIau sedikit pun, yang mengisyaratkan bahwa Al-Quran adalah qadim dan bukan makhluq. Juga tidak ada satu hadis pun, di antara hadis-hadis yang dinisbahkan kepada Rasul saw. yang menyebutkan tentang ini dan dianggap sahih serta dapat diterima oleh kaum Mu’tazilah.

[17] Penerjemah buku ini ke dalam bahasa Parsi, dalam catatan kakinya, menyebutkan pendapat Frozanfer (?) bahwa "kepercayaan bahwa Al-Quran adalah makhluk tidak ada kaitannya sama sekali dengan persoalan-persoalan ini, ataupun kesimpulan-kesimpulan tak berharga yang dikemukakan oleh penulis tersebut (yakni Dozy)...."

[18] Pada hakikatnya, seperti disaksikan oleh sejarah, kaum Mu’tazilah adalah para pembela Al-Quran yang kuat dan gigih, yang benar-benar beriman kepadanya. Demi membelanya, mereka mendebat kaum Zindik (sesat) dan menyerang doktrin para filosof yang bertentangan dengannya. Seandainya mereka itu, seperti dinyatakan oleh Dozy, tidak menganggap bahwa Al-Quran bersumber pada wahyu Ilahi, tentunya mereka tidak akan bersikeras membelanya dengan pembelaan yang demikian gigih seperti itu.

[19] Yang dimaksudkan di sini ialah sebuah hadis yang tercantum dalam kitab-kitab ilmul-kalam, bukan dalam kitab-kitab hadis, yang isinya: "Kamu akan melihat Tuhanmu pada hari kiamat, sebagaimana kamu melihat bulan di malam purnama raya." Sarjana orientalis ini mengira bahwa kata badr yang dalam bahasa Arab berarti bulan purnama, seperti tersebut dalam hadis ini, sebagai menunjuk kepada peperangan Badr. Oleh sebab itu, ia menerjemahkan kata-kata".. ..akan melihat...." (kata kerja yang menunjuk ke masa akan datang) dengan "telah melihat" (kata kerja untuk masa Lalu), agar selaras dengan makna yang diinginkannya. Hadis itu sendiri memiliki sejarah yang panjang. Sejauh yang diketahui, berdasarkan berbagai petunjuk, hadis ini telah mengalami penyimpangan melalui beberapa perawinya, kemudian telah dirusak sekali lagi di tangan para ahli ilmul kalam, dan akhirnya memperoleh susunan kalimat yang menertawakan seperti ini di tangan sang "orientalis ulung". Dalam kenyataannya, Al-Quran dengan jelas dan gamblang telah menafikan kemungkinan melihat Allah dengan penglihatan mata seperti dalam firman-Nya: "Tiada Ia tercapai oleh penglihatan mata, tapi Ia Melihat segala penglihatan dan Ia Maha lemah-lembut, Mengetahui segala kejadian." (QS 6 : 103).

Sedangkan Al-Quran, pada berbagai tempat, berulang-ulang menyebutkan tentang sesuatu yang dinamakannya "perjumpaan dengan Allah". Berbagai hadis yang diriwayatkan oleh kaum Syi'ah, dan juga sebagian kalangan Ahlus-Sunnah, dengan jelas dan gamblang menafikan kemungkinan penglihatan inderawi kepada Allah, dan di samping itu menguatkan pula kenyataan lainnya yang dikemukakan oleh Al-Quran, yakni "perjumpaan dengan Allah", yang tentunya merupakan suatu peristiwa yang bukan bersifat inderawi dan jasmani. Memang, di antara berbagai syubhah (keraguan argumentatif) terbesar yang berasal dari kaum Asy'ariyah, dan yang tidak dapat diabaikan begitu saja, ialah masalah kepercayaan tentang kemungkinan melihat Allah secara inderawi pada hari kiamat. Di samping penolakan akal, hal itu juga bertentangan dengan nash Al-Quran yang jelas dan terang. Masalah ini mempakan topik yang amat panjang, sehingga tidak pada tempatnya diuraikan di sini.

[20] Tak seorangpun dari kalangan Mu’tazilah, menurut sejarah, mengatakan bahwa Allah SWT bukanlah pencipta orang-orang kafir. Yang benar ialah bahwa kaum Mu’tazilah mengingkari penciptaan kekufuran oleh Allah, bukannya penciptaan orang yang kafir. Mereka menyatakan bahwa Allah SWT tidak menciptakan kekufuran, kezaliman dan pembangkangan (maksiat); tapi mereka tidak menyatakan bahwa Allah bukanlah pencipta orang yang kafir, zalim ataupun pembangkang.

[21] Jilid 8, halaman. 158.

[22] Jilid 8, halaman. 108 (al-Kafi adalah salah satu kitab hadis penting kaum Syi'ah - Penyunting).

[23] Dalam bukunya, Syarh Nahjul Balaghah, pada catatan atas pidato nomor 132.

[24] Juga merupakan salah satu kitab hadis penting kaum Syi'ah – Penyunting.

[25] Termasuk lmam Ali a.s., sesuai dengan hadis yang dikutip di atas - Penyunting.

5
TAQDIR MANUSIA

BAGIAN KEEMPAT

Penutup

Di Saat Pengetahuan Allah Berbalik Menjadi Ketidaktahuan
Pada akhir pembahasan ini, tidak ada salahnya kita menunjuk kepada kemusykilan-kemusykilan kaum Jabariyah yang paling terkenal, untuk kita analisis bersama agar jawaban atasnya menjadi jelas. Kaum Jabariyah menyebutkan berbagai dalil dan bukti secara aqli (rasional) maupun naqli (nukilan dari Al-Quran, hadis dan sebagainya), untuk menguatkan anggapan mereka. Mereka berpegang pada beberapa ayat tentang qadha dan qadar dalam Al-Quran dan kadang-kadang beberapa hadis dinukilkan dari Rasul yang mulia saw. ataupun dari para Imam di bidang ini.

Cukup banyak dalil aqli dikemukakan oleh kaum Jabariyah untuk menguatkan anggapan mereka ini.[1] Syubhah (keraguan argumentatif) paling terkenal dari paham Jabariyah ialah yang berkaitan dengan qadha dan qadar dalam pengertian konsep Ilahi atau ilmu Allah. Yaitu bahwa Allah SWT adalah 'Alim (Zat Yang Maha Mengetahui) tentang segala yang telah dan akan terjadi secara azali (sejak permulaan zaman); tak sesuatu pun tersembunyi bagi Allah dan Ilmu-Nya yang azali. Dari segi lainnya pula, ilmu Allah tidak mengalami perubahan ataupun pertentangan dengan yang telah terjadi. Karena itu, suatu kejadian tidak mungkin berubah bentuk menjadi sesuatu lainnya, sebab perubahan seperti itu bertentangan dengan kesempurnaan dan kelengkapan Zat Wajibul Wujud (yakni Allah SWT). Tidak mungkin pula pengetahuan-Nya, sejak azali, bertentangan dengan apa yang terjadi, sebab yang demikian itu berarti bahwa pengetahuan-Nya itu bukan pengetahuan, melainkan ketidaktahuan (kebodohan). Ini pun berlawanan dengan kesempurnaan dan kelengkapan Wujud yang mutlak.

Berdasarkan kedua muqaddimah (premise) ini:

a. bahwa Allah Maha mengetahui segalanya;

b. bahwa ilmu Allah tidak dapat tersentuh perubahan dan tantangan.

Maka tidak diragukan lagi kita beroleh natijah (konklusi) bahwa semua peristiwa dan kejadian di alam ini harus berlangsung dengan cara yang bersesuaian dengan ilmu (pengetahuan) Allah, secara terpaksa dan deterministis.

Khususnya bila kita tambahkan lagi bahwa ilmu Ilahi adalah ilmu yang aktif dan positif, yakni pengetahuan yang merupakan sumber dari segala yang diketahui; bukannya pengetahuan yang reaktif dan pasif, yakni pengetahuan yang memperoleh esensinya dari esensi sesuatu lainnya yang diketahui sebelumnya, seperti pengetahuan manusia akan kejadian-kejadian alamiah.

Berdasarkan itu, seandainya seseorang tertentu; menurut ilmu yang azali, akan melakukan pelanggaran maksiat tertentu pada jam tertentu, maka pelanggaran itu pasti terjadi secara deterministis dan terpaksa dan dengan cara seperti yang telah ditentukan itu. Tak ada kemungkinan bagi si pelaku tersebut untuk mengubahnya ke dalam bentuk yang lain, bahkan tak ada kekuatan apa pun dalam bentuk yang lain, bahkan tak ada kekuatan apapun dalam wujud ini yang mampu mengubahnya. Atau, jika tidak demikian, maka pengetahuan Allah akan beralih menjadi ketidaktahuan (kebodohan)!!

Umar Khayyam berkata dalam syairnya:

Sungguh nikmat mereguk minuman khamr,

bagi mereka yang terbiasa meminumnya.

Allah telah mengetahui perbuatan ini.

Jika Anda kini menolaknya, hai kawan,

Pengetahuan-Nya itu beralih menjadi ketidaktahuan.

Jawaban atas syubhah (keraguan argumentatif) ini sungguh mudah bagi yang telah menguasai pengertian yang benar tentang qadha dan qadar. Sebab, syubhah itu muncul hanya setelah diadakannya pertimbangan terpisah antara pengetahuan Allah di satu pihak, dan sistem sebab-akibat di pihak lainnya. Dalam arti bahwa ilmu (pengetahuan) Ilahi, di masa azali, diperkirakan telah berkaitan secara kebetulan dengan terjadinya peristiwa-peristiwa dan ciptaan-ciptaan. Nah, agar pengetahuan ini benar-benar menjadi pengetahuan, dan agar tidak terjadi sesuatu yang lain daripadanya, haruslah pengetahuan Ilahi ini memaksakan kekuasaannya atas sistem alami, dan menundukannya di bawah pengawasan amat ketat, sehingga ia bersesuaian dengan konsep dan perencanaan yang telah mendahuluinya itu.

Dengan kata lain, diperkirakanlah bahwa pengetahuan Ilahi, dengan mengabaikan sistem sebab-akibat, telah berkaitan dengan terjadinya peristiwa-peristiwa maupun dengan tidak terjadinya; dan bahwa sudah seharusnya menjadikan pengetahuan ini dengan cara apa pun, bersesuaian antara 'yang diketahui' dan 'yang terjadi'. Untuk itu, haruslah diadakan pengaturan sistem sebab-akibat di alam ini, sehingga pada beberapa konteks kejadian, sistem ini harus dicegah dari aktifitasnya yang menurut wataknya dapat memberikan pengaruh. Atau harus dilakukan pembatalan aktifitas kehendak dan ikhtiar siapa saja yang ingin menggunakan keduanya. Agar dengan demikian, segala sesuatu yang telah ada dalam pengetahuan Allah yang azali, menjadi sesuai dengan apa yang terjadi dan tidak berlawanan dengannya. Untuk itu, haruslah terjadi pencabutan ikhtiar, kebebasan, kemampuan dan kemauan diri manusia, agar semua perbuatannya berada di bawah kekuasaan Ilahi dan agar pengetahuan Allah tidak berubah atau beralih menjadi ketidaktahuan.

Konsep mengenai pengetahuan Ilahi seperti ini, adalah puncak kejahilan dan ketidaktahuan! Mungkinkah pengetahuan Allah berkaitan, secara kebetulan, dengan terjadi atau tidak terjadinya peristiwa-peristiwa. Lagi pula, supaya pengetahuan itu bersesuaian dengan kenyataan yang terjadi, maka ia (yakni pengetahuan Ilahi), harus bertindak mencampuri urusan sistem sebab-akibat yang teratur rapi dan pasti, lalu melakukan perubahan-perubahan padanya serta menghapus beberapa khasiat (karakteristik) berbagai tabiat, atau mencabut ikhtiar dan kebebasan si pelaku yang seharusnya memiliki ikhtiar itu?! [2]

Pada hakikatnya, pengetahuan Ilahi yang azali tidak terpisah dari sistem sebab-akibat yang berlaku atas alam semesta ini. Pengetahuan Ilahi adalah pengetahuan akan sistem tersebut. Dan yang termasuk kepentingan dan keharusan pengetahuan Ilahi adalah seluruh alam ini beserta sistem-sistem tersebut. Pengetahuan Ilahi tidaklah berkaitan dengan terjadi atau tidak terjadinya suatu peristiwa secara langsung dan tanpa lantaran. Melainkan, ia berkaitan dengan suatu peristiwa, hanya melalui sebab dan pelaku khususnya. Keterikatannya dengan itu Tidaklah bersifat mutlak, tanpa berkaitan dengan sebab-sebabnya.

Sebab-sebab dan lantaran-lantaran itupun berbeda-beda, di antaranya ada yang kausalitas dan aktifitasnya bersifat alamiah. Ada yang bersifat emosional, ada yang bersifat majbur (terpaksa) dan ada pula yang bersifat berikhtiar (bebas memilih).

Yang diharuskan oleh pengetahuan Ilahi adalah timbulnya pengaruh aktifator yang bersifat alami dari aktifator yang alami itu sendiri, timbulnya pengaruh aktifator emosional dari aktifator yang emosional, timbulnya pengaruh aktifator majbur dari yang majbur, dan timbulnya pengaruh aktifator berikhtiar dari yang berikhtiar. Jadi, tidak ada kepentingan dan keharusan pengetahuan Ilahi pada timbulnya pengaruh aktifator yang sama sekali bebas dai aktifator tersebut, secara paksa dan deterministis.

Dengan kata lain, ilmu (pengetahuan) Ilahi yang azali adalah pengetahuan sepenuhnya akan sistem tersebut, yakni timbulnya akibat-akibat dari sebab-sebabnya yang khusus. Sehubungan dengan itu, dan mengingat adanya perbedaan jenis berbagai sebab itu dalam sistem alam rill atau alam eksternal, yakni yang bersifat alamiah, emosional, berikhtiar ataupun majbur, maka sistem yang berkaitan dengan ilmu Ilahi pun memiliki asas yang sama, dalam arti keharusan adanya setiap aktifator tertentu dalam alam ilmu Ilahi, seperti adanya masing-masing aktifator dalam alam riil. Sebaliknya, mengingat adanya aktifator tersebut di alam ilmu Ilahi, seharusnyalah ia juga ada di alam riil. Ilmu Ilahi yang berkaitan dengan timbulnya pengaruh dari suatu aktifator adalah dalam arti bahwa ia berkaitan dengan timbulnya pengaruh aktifator yang bebas dari suatu aktifator yang bebas, serta pengaruh aktifator yang majbur dari suatu aktifator yang majbur. Adapun yang merupakan kepentingan dan keharusan ilmu Ilahi ialah timbulnya tindakan aktifator yang bebas dari suatu aktifator yang bebas serta tindakan aktifator yang majbur dari aktifator yang majbur; dan bukannya memaksa aktifator yang bebas menjadi majbur dan yang majbur menjadi bebas.

Manusia dalam sistem alam semesta, seperti yang telah kami uraikan sebelum ini, dari sejak semula telah memiliki sejenis kebebasan dan ikhtiar serta kemampuan tertentu dalam aktifitasnya. Kemampuan-kemampuan seperti itu tidak terdapat pada maujud-maujud lainnya, termasuk binatang. Dan mengingat bahwa eksistensi sistem alam riil bersumber pada sistem ilmu Ilahi, dan bahwa sumber alam ciptaan adalah alam Rabbani (Ketuhanan), maka pengetahuan azali yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan manusia berarti bahwa Ia mengetahui, sejak mula pertama, tentang siapa-siapa yang akan taat, dengan ikhtiar dan kebebasannya, dan siapa-siapa yang bermaksiat, dengan kebebasannya pula. Jadi, yang merupakan keharusan dan konsekuensi ilmu tersebut ialah adanya ketaatan dari orang yang taat, dengan kemauannya sendiri; ataupun maksiat dari si pelaku maksiat, dengan kemauannya sendiri pula. Inilah makna ucapan sebagian orang bahwa "manusia adalah makhluk yang mukhtar dan ijbar", yakni memiliki kebebasan secara terpaksa. Maka ia tak mungkin kecuali menjadi mukhtar (bebas). Ilmu Ilahi yang azali tidak sedikit pun ikut campur dalam mencabut kebebasan dan ikhtiar dari siapa pun yang dalam sistem Ilmu Ilahi dan sistem riil telah ditetapkan menjadi mukhtar (memiliki ikhtiar). Ilmu Ilahi itu juga tidak sedikit pun berkepentingan dalam pencabutan ikhtiar dan kebebasan manusia dengan cara memaksanya agar berbuat ketaatan ataupun kemaksiatan.

Berdasarkan ini, maka benarlah kedua muqaddimah (premise) yang telah disebutkan sebelum ini, tiada keraguan lagi padanya. Demikian pula halnya dengan pokok masalah yang kami tambahkan, yaitu bahwa ilmu Allah adalah aktifdan positif bukannya reaktif dan pasif. Akan tetapi hal ini tidak harus berarti bahwa manusia bersifat majbur dan tidak memiliki ikhtiar, dan bahwa disaat melakukan kemaksiatan, ia berada di bawah paksaan untuk bermaksiat, dari sesuatu kekuatan yang lebih tinggi daripadanya. Yang benar ialah bahwa maujud, yang telah dicipta dalam tatanan alam semesta sebagai sesuatu yang memiliki kebebasan, ia pulalah yang dalam tatanan ilmu Ilahi bersifat bebas dan berikhtiar. Jika ia melakukan sesuatu secara deterministis, hal ini justru berarti bahwa pengetahuan Allah telah beralih menjadi ketidaktahuan. Karena itu, kita harus mengajukan pertanyaan kepada si penyair, yang berkata: "....Allah telah mengetahui ini...," apa sebenarnya yang diketahui oleh Allah sejak azali? Apakah perbuatan minum khamr yang bersifat sukarela dan sesuai dengan kecenderungan kemauan serta pilihan pribadi tanpa paksaan, ataukah yang bersifat paksaan oleh suatu kekuatan yang berada di luar keberadaan manusia?

Sesungguhnya yang telah diketahui oleh Allah SWT sejak azali, bukannya adanya perbuatan minum khamr yang dipaksakan, ataupun sebarang minum khamr, melainkan perbuatan minum secara sukarela (ikhtiari). Oleh sebab pengetahuan Allah seperti itulah, maka seandainya orang tersebut dipaksa, dijadikan majbur untuk tidak minum, atau sebaliknya, dipaksa untuk minum, hal ini tentunya mengalihkan dan mengubah pengetahuan Allah menjadi ketidaktahuan.

Kesimpulan yang bisa ditarik berdasarkan hal tersebut adalah, bahwa pengetahuan Allah yang azali tentang perbuatan-perbuatan segala sesuatu yang ada di alam ini, dan yang memiliki kemauan dan ikhtiar, sama sekali bukanlah jabr (determinisme), melainkan justru berlawanan dengan jabr. Sebab, konsekuensi ilmi Ilahi ialah tetapnya sesuatu yang mukhtar (yang memiliki kebebasan memilih) menjadi mukhtar, secara tetap dan pasti.

Karena itu, dapatlah dibenarkan ucapan si penyair:

Menjadikan dosa sebagai sesuatu

yang disebabkan oleh pengetahuan Ilahi.

Menurut anggapan orang berakal

adalah sama dengan ketidaktahuan.

Semua ini perlu disertai catatan seandainya bidang pembahasan kita sekarang ini adalah pengetahuan Ilahi yang azali dan terdahulu, seperti yang disebutkan dalam Al-Quran al-Karim dengan nama Al-Kitab, al-Lauh al-Mahfuzh, Qalam dan lain sebagainya; dan seandainya yang menjadi kemusykilan adalah ilmu ini pula.

Namun seandainya kita tidak menganggap semua maujud serta sistem sebab-akibat di alam ini seluruhnya sebagai suatu obyek yang diketahui oleh Allah SWT dengan ilmu-Nya yang azali pun, pada hakikatnya, sistem yang telah diketahui oleh Allah ini adalah bagian dari ilmu Allah juga.

Alam semesta ini, sengan segala sistemnya adalah ilmu Allah, Sang Pencipta Agung, dan juga merupakan suatu obyek yang diketahui-Nya. Hal ini disebabkan kenyataan bahwa Zat-Nya meliputi zat-zat segala sesuatu, sejak azali sampai abadi, dan bahwa zat segala sesuatu selalu hadir di hadapan-Nya. Tak mungkin ada suatu maujud, di antara maujud-maujud di seluruh alam semesta ini, yang tersembunyi daripada-Nya. Sungguh, Ia berada di setiap tempat dan meliputi segala sesuatunya (imanen).

Kemanapun kamu berpaling, di sana wajah Allah. (QS 2 :115)

Kami, Allah lebih dekat kepadanya dari urat lehernya. (QS 50 : 16)

Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin, dan Dia tahu segala sesuatu. (QS 57 : 3)

Atas dasar ini, alam beserta segala segala karakteristik dan tatananya, termasuk dalam peringkat ilmu pengetahuan Allah SWT. Pada peringkat pengetahuan ini, pengetahuan dan segala obyek yang diketahui adalah satu, tak terbilang, sehingga tidaklah perlu adanya hipotesis tentang ada atau tidaknya keserasian antara pengetahuan yang diketahui, ataupun timbulnya pernyataan: "Jika terjadi yang 'ini', maka pengetahuan Allah adalah benar-benar pengetahuan, tapi jika terjadi yang 'itu', maka hal tersebut menunjukkan ketidaktahuan-Nya...."[]

[1] Kesemuanya telah kami sebutkan dan kami sanggah dalam berbagai catatan pinggir buku Ushulul Falsafah, jilid 3.

[2] Karena itulah, kami meragukan bahwa syair yang telah kami nukilkan sebelum ini benar-benar merupakan ucapan Umar Khayyam yang, paling sedikit, adalah seorang "setengah filosof". Mungkin saja itu adalah syair yang dinisbahkan kepadanya setelah ia tiada. Atau, mungkin saja itu benar-benar merupakan ucapannya, hanya saja waktu itu ia tidak bermaksud berbicara dengan sungguh-sungguh dan secara filosofis, melainkan ia hanya ingin memberikan bentuk syair pada salah satu khayalannya. Memang seringkali kita jumpai banyak peneliti dan pemikir, pada saat memasuki dunia syair, meninggalkan pikiran-pikiran ilmiah dan filosofis, lalu menciptakan selubung-selubung syair yang indah untuk khayalan-khayalan lembut mereka. Dengan kata Lain, mereka berbicara sebagai sastrawan dan bukannya sebagai ilmuwan. Demikian itu yang sering kita lihat pada berbagai syair yang dinisbahkan kepada Umar Khayyam. Kemasyhuran amat luas yang diraih oleh Khayyam adalah berkat penggambaran-penggambaran seperti itu, yang tertuang dalam susunan kata-kata yang indah.

6