• Mulai
  • Sebelumnya
  • 24 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 32866 / Download: 533
Ukuran Ukuran Ukuran
Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

pengarang:
Indonesia
Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan



1
Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

DAFTAR ISI
1. Argumen Fitrah (Seri Argumen Filosofis 1)

2. Argumen Keteraturan (Seri Argumen Filosofis 2)

3. Argumen Ontologi St. Anselm (Seri Argumen Filosofis 3)

4. Argumen Kausalitas (Seri Argumen Filosofis 4)

5. Argumen Gerak (Seri Argumen Filosofis 5)

6. Argumen Imkan (Seri Argumen Filosofis 6)

7. Argumen Akhlak (Seri Argumen Filosofis 7)

8. Argumen Mukjizat 1 (Seri Argumen Filosofis 8)

9. Argumen Mukjizat 1 (Seri Argumen Filosofis 8)

10. Argumen Mukjizat 1 (Seri Argumen Filosofis 8)

11. Argumen Imkan Faqri (Seri Argumen Filosofis 9)

12. Argumen Shirful Wujud (Seri Argumen Filosofis 10)

13. Argumen Pengalaman Keagamaan (Seri Argumen Filosofis 11)

14. Argumen Shiddiqien (Seri Argumen Filosofis 12)

15. Kaidah Imkan Asyraf (Seri Argumen Filosofis 13)

16. Kaidah Basithatul Hakikah 1 (Seri Argumen Filosofis 14)

17. Kaidah Basithatul Hakikah 2 (Seri Argumen Filosofis 14)

2
Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

Argumen Fitrah [1]

Mukadimah
Secara global, perlu diketahui bahwa maksud dari “argumen fitrah” yang diletakkan berdampingan dengan empirik dan rasio
3
kal, bukanlah fitrah aqliah, melainkan fitrah nurani. Oleh karena itu dalam argumen ini, kita tidak akan menjumpai pembahasan tentang premis minor (sughra), premis mayor (kubra) dan relasi antara minor-mayor (hadd-e wasath). Apa yang dijadikan sebagai landasan argumentasi di sini adalah inner vision (pengamatan internal) dan refleksi batin. Dengan demikian, pada pembagian di atas, tolok ukur pengklasifikasian terletak pada alat dan perangkat teologi. Artinya dalam argumen fitrah ini, kita akan menemukan ilmu sadar kita terhadap Tuhan melalui hati, perhatian dan refleksi internal, lalu melalui metode inilah kita akan membentuk makrifat tak sadar atau setengah sadar kita, terhadap Tuhan menjadi makrifat yang sadar dan aktual.

Sedangkan pada teori empirik, kita akan mengargumentasikan wujud Tuhan melalui penyaksian bias-bias fisikal dan materi (melalui proses penginderaan), juga dengan observasi dan mencermati keteraturan alam seperti pada teori keteraturan dan petunjuk (hidayah umum). Adapun pada argumen rasional, kita sama sekali tidak mempergunakan premis-premis eksperimental untuk mengaffirmasikan dan menegaskan eksistensi mutlak (wajibul wujud), melainkan hanya dengan bantuan akal yang dikolaborasikan dengan penerimaan terhadap prinsip keberadaan, seperti pada argumen wujub dan imkan (possibility), argumen illah (cause, sebab) dan ma’lul (effect, akibat) serta burhan shiddiqien.


Pembagian argumen berdasarkan asas kemanunggalan antara sâlik, maslak dan maqshad
Pada peristiwa terjadinya “sebuah gerak”, ada tiga asas yang menjadi poin perhatian yang perlu digaris bawahi, yaitu “mutaharrik (yang bergerak), masiir (jalan) dan hadaf (tujuan)”. Yang dimaksud dengan mutaharrik adalah pemikir yang berfikir dalam sebuah persoalan. Masir adalah metodologi atau wahana tafakkur dan kontemplasi. Sedangkan makshad adalah tujuan, yaitu konklusi dari pemikiran. Dari perspektif dan paradigma ini, dalil-dalil teologi dipilah menjadi beberapa bagian. Pada salah satu pembagiannya disepakati bahwa ketiga asas di atas saling terpisah satu dari yang lainnya. Pada bagian lainnya dikatakan bahwa mutaharrik dan masir adalah satu. Tetapi maksad terpisah dari keduanya. Dan pada bagian ketiga disepakati bahwa, masir dan maksad satu. Tetapi mutaharrik terpisah dari keduanya.[1]

Teori-teori semacam teori imkan, huduts (coming to be), gerak dan teori keteraturan, digolongkan dalam bagian pertama dimana pada tataran ini sâlik (pesalik), maslak (jalan suluk) dan makshad masing-masing terpisah satu dari yang lainnya.

Salah satu metode argumentasi atas wâjib al-wujud adalah ma’rifat nafs (pengenalan jiwa). Artinya bahwa manusia dapat menyadari keberadaan wâjib al-wujud melalui metode mutala’ah (pembelajaran) di dalam dirinya dan dalam perjalanan jiwanya. Lalu berargumentasi atas wâjib al-wujud dengan kontemplasi diri.[2] Dalam argumentasi semacam ini, pada hakikatnya metode dan cara yang dipergunakan adalah sama. Hanya saja tujuan terpisah dari keduanya.

Mulla Sadra memasukkan teori siddiqin pada bagian ketiga. Dikatakan bahwa maslak dan makshad adalah satu dan hanya para pesaliknyalah yang terpisah dari keduanya. Karena hal inilah sehingga dikatakan bahwa teori semacam ini merupakan teori yang paling mencakupi dan paling kuat di antara teori-teori lainnya.

Dalam kitab Asfar, ia mengatakan: “Teori yang paling kuat dan paling luas yang membahas tentang Tuhan adalah teori yang hadd-e wasath-nya (relasi antara premis minor dan premis mayor) mengakui ketiadaan sesuatu selain diri-Nya dimana pada akhirnya, metode identik dengan tujuan. Dan hal ini sebagaimana metodologi yang dpergunakan oleh para sadiqin, yaitu orang-orang yang berargumen dan bersaksi atas wajibul wujud dengan wajibul wujud”.[3]


Pertanyaan
Pada akhir wacana, ada baiknya kalau kita mencoba menjawab pertanyaan penting dalam masalah yang berkaitan dengan pembahasan di atas. Pertanyaan tersebut adalah, kenapa dan bagaimana sebagian dari filosof besar secara explisit menolak argumen atas wujud Tuhan. Sebagai contohnya Syaikh Ar-rais Abu ‘Ali Sina Ra dalam kitab Ta’liqat-nya, mengatakan: “Tidak ada teori yang bisa diargumentasikan atas wâjib al-wujud, dan Dia tidak bisa dikenali kecuali dari dirinya sendiri…”[4]

Untuk menjawab pertanyaan ini, dapat dikatakan bahwa, perolehan ilmu hushuli tentang Tuhan melalui metode rasional dan filosofis, bukan merupakan suatu hal yang tidak mungkin. Ibnu Sina pun mengungkapkan beberapa ulasan tentang Dzat Wajib. Oleh karena itu, harus dilihat paradigma apa yang menjadi alasan utama penafian teori pembuktikan wajib ini. Penafian teori tersebut mungkin muncul karena salah satu dari asumsi berikut:

1. Sebagian filosof, hanya mengungkapkan teori sebatas pengertiannya sebagai teori deduksi (a-priori reasoning,) sedangkan teori induksi (a posteriori reasoning) diistilahkan sebagai dalil dan bukan teori. Dari sini bisa jadi yang dimaksud oleh mereka -seperti Ibnu Sina yang menafikan adanya kemungkinan teori wujud wajib- adalah bahwa teori deduksi tidak bisa dijadikan sebagai statement untuk dzat wajib. Hal ini karena dalam teori deduksi -sebagaimana yang telah kami isyaratkan sebelumnya- ulasan yang dikemukakan di dalamnya adalah munculnya effect (akibat) lantaran causa (sebab). Sedangkan Dzat Wâjib, Dia sendirilah yang menjadi illatul-illal (the first cause) dan bukan merupakan effect dari sesuatu yang lain. Atas dasar ini, teori deduksi tidak sesuai untuk wajib al-wujud. Dan literatur dari penjelasan tersebut adalah kitab Syifa yang mengatakan: “Tuhan tidak bisa diteorikan. Karena Dia tidak mempunyai penyebab dan tidak ada deduktifikasi tentang Nya”.[5]

2. Apa yang kita capai dari ilmu husuli, hanyalah persepsi dan mafhumnya belaka. Sementara untuk memahami wujud visual dan personal hanya mungkin dilakukan dengan cara penyaksian (musyahada, intuisi). Atas dasar ini, bisa jadi maksud dari penafian teori dalam pembuktian wâjib al-wujud adalah bahwa kita sama sekali tidak akan pernah mampu memastikan wujud visual dan personal Tuhan dengan menggunakan teori. Konklusi yang bisa kita hasilkan dari teori-teori ini hanyalah persepsi universal dari semisal “wajib al-wujud”, “illatul-illal” dan semacamnya. Tetapi untuk mencapai wujud wajib itu sendiri harus dilakukan melalui perjalanan irfani, bukan perjalanan akal dan teori.

3. Konklusi dari analogi-analogi teori yang diargumentasikan dalam kaitannya dengan wujud wajib merupakan qadhiyah hamliyah (attributive proposition), dimana subyek-subyek mereka adalah eksistensi-eksistensi mumkin dan ma’lul. Seperti misalnya dalam teori imkan yang dari proposisi ini disimpulkan bahwa “mumkinat (benda-benda mumkin) mempunyai sebuah wajibul wujud”. Dan dalam teori iliyat (kausalitas, hubungan sebab-akibat) disimpulkan bahwa “eksistensi-eksistensi effect mempunyai ilatul-ilal (the first cause)”. Sementara proposisi dalam teori keteraturan mengatakan bahwa “Alam mempunyai pengatur”.

Dengan demikian, teori-teori tersebut –pada hakekatnya dan secara langsung- adalah membuktikan makhluk sebagai predikat bukan membuktikan wujud wajib. Dan bisa jadi, dari sinilah sebagian menginterpretasikan penafian teori atas wujud wajib tersebut sebagai berikut: “Secara esensial (dzati), Dzat Wâjib tidak bisa diargumentasikan dengan teori. Tetapi secara aksidental (‘aradhi) hal tersebut memungkinkan”.[6]


Klasifikasi
Pada bagian ini, kami telah mengulas tentang beberapa kategori, yang secara ringkas akan kami isyaratkan kembali dengan klasifikasi sebagai berikut, bahwa:

1. Selama masih ada keinginan bertuhan dalam diri manusia, maka wacana tentang Tuhan akan senantiasa ada dan senantiasa hidup. Dalam katagori ini tidak ada jalan untuk lapuk dan letih.

2. Makrifat dan theology, bukan hanya merupakan pondasi religi, melainkan juga merupakan pondasi makrifat yakini. Hal ini karena oleh apa yang disepakati oleh para filosof bahwa ”Yakin terhadap adanya ma’lul (akibat) tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya pengenalan terhadap ilal (sebab)”.

3. Yang dimaksud dengan “dalil” –dalam pembahasan kita- adalah metode mutlak, argumentasi yang hampir setara dengan makna hujjah. Atas dasar inilah teori-teori fitrah, sadiqin dan sebagainya semuanya berada dalam deskripsi ini.

4. Irfan mengatakan bahwa wujud Tuhan adalah badihi (jelas dan aksiomatis). Dan semua alam merupakan manifestasi, tajalli serta saksi yang haq dan benar. Dan setiap sesuatu –meskipun sangat kecil- merupakan penampakkan dan dalil atas Nya. Sehingga dari sini bisa dikatakan: banyaknya argumentasi dan metode pembuktian wujud Tuhan dalam pandangan irfan, equivalen dengan banyaknya jumlah makhluk Tuhan.

5. Dalam filsafat dan kalam, interpretasi “Tuhan ada” disepakati merupakan sebuah intepretasi teoritis yang membutuhkan argumen dan teori.

Argumen-argumen akal dalam kitab-kitab filsafat dan kalam tentang pembuktian wajib mempunyai tiga ragam pembahasan dalam formula yang berbeda:

a. Filosofi

b. Kalam

c. Alami.[7]

1. Metodologi yang dipergunakan oleh manusia untuk membuktikan wujud Tuhan ada tiga:

a. Metode kalbu atau fitrah,

b. Metode sensibel (material) atau metode tabi’at,

c. Metode akal atau metode argumen dan hikmat.[8]

2. Apa yang selama ini dikenal sebagai teori fitrah, pada hakikatnya bukan merupakan teori dalam istilah logika, melainkan salah satu dari metodologi theology yaitu metode kalbu, bukan metode akal. Atas dasar ini dalam bab theology, antara metode dan dalil dalam makna khas logika, terdapat korelasi umum dan khusus mutlak, yaitu setiap dalil merupakan metode. Tetapi setiap metode belum tentu merupakan dalil.

3. Dalam kitab-kitab filsafat, tolok ukur yang dipergunakan untuk mengaffirmasikan wujud Tuhan diletakkan pada metode-metode akal. Sedangkan metode-metode sensibility dan tabi’at juga ikut menjadi bahan pembahasan dari sisi bahwa minor akan membentuk mayor-nya akal. Seperti teori keteraturan serta teori hidayah dan petunjuk.

4. Sandaran para ahli kalam dalam affirmasi dan pembuktian wujud Tuhan adalah pada kejadian alam. Dan sebagiannya seperti Thusy (ra) selain bersandar pada kejadian alam juga bersandar pada possibility (kemungkinan). Dan dengan memperhatikan bahwa eksistensi-eksistensi alam bisa merupakan eksistensi essensial atau aksidensial, maka wujud Tuhan bisa diargumentasikan dalam empat keadaan: “Telah diketahui bahwa alam bisa muncul dalam bentuk esensi maupun aksidensi. Dan wujud Tuhan bisa diargumentasikan dengan setiap dari keduanya, baik melalui metode possibility ataupun metode hudust. Dengan demikian keseluruhannya menjadi empat cara”. [9]

5. Jumlah ikhtilaf dan kemajemukan teori, equivalen dengan jumlah kemajemukan dan ikhtilaf yang terdapat dalam hadd-wusta (middle-term) mereka. Oleh karena itu meskipun imkan, ma’luliyyat (ke-akibata-an) dan hudust saling melazimkan. Tetapi karena secara persepsi mereka berbeda antara satu dengan lainnya, maka teori-teori wujud dan imkan, ilah (sebab) dan ma’lul (akibat), masing-masing merupakan teori yang terpisah.

6. Literatur-literatur statement dan metodologi affirmasi wujud Tuhan terdapat dalam kitab-kitab filsafat dan kalam yang diantaranya adalah:

a. Argumen fitrah,

b. Argumen keteraturan,

c. Argumen hidayah dan petunjuk,[10]

d. Argumen gerak[11]

e. Argumen hudust nafs,[12]

f. Argumen wujub dan imkan,

g. Argumen sebab dan akibat,

h. Argumen atau burhan shiddiqin.

Tentu saja sebagian dari teori-teori tersebut di atas telah dibahas dalam berbagai wacana dan penjelasan. Seperti misalnya teori fitrah yang telah dipaparkan dengan cara-cara yang varian. Dimana sebagiannya berdasarkan pada asas intuisi dan ilmu hudhuri. Dan sepenggalnya lagi berasaskan pada ilmu husuli, yang hal ini akan dijelaskan lebih detail pada pembahasan fitrah. Sedangkan teori hudust, imkan dan siddiqin, juga telah disajikan dengan ulasan yang beragam. Misalnya -sebagaimana yang telah kami ungkapkan pada makalah-makalah sebelumnya- teori siddiqin telah dijelaskan dalam 19 ulasan. Yang keseluruhannya telah diungkapkan oleh marhum hakim rabbany Mirza Mahdi Mudarris Ashtiyany –Qudsallahu ruhuhul-‘alaa- dalam catatan kecilnya atas Sharh Mandzumah Hakim Sabzewary (ra).

8. Dengan memperhatikan berbagai uraian dari sebagian dalil-dalil affirmasi wujud Tuhan, bisa dikatakan bahwa telah ditemukan sekitar 34 penjelasan di dalam kitab-kitab filsafat dan kalam yang berkaitan dengan pembuktian wajibul wujud. Dimana pada pembahasan selanjutnya kami akan mencoba menelisik dan menganalisa sebagian dari dalil-dalil tersebut yang seiring dengan itu kami juga akan mengungkapkan berbagai ulasan yang berkaitan dengannya.


Argumen Fitrah
Apabila kita ingin meletakkan jenis gradasi logika dalam argumen-argumen pembuktian Tuhan, maka kita bisa mengedepankan argumen (burhân) fitri dari argumen-argumen lainnya. Hal ini karena sumber dan asas argumen ini adalah jiwa insane, yang dasarnya adalah ilmu hudhuri (knowledge by presence, presensi) dan jalannya muncul dari lubuk jiwa manusia. Dengan alasan inilah, maka argumen fitrah menduduki posisi lebih awal dari argumen-argumen lainnya. Tetapi, meskipun berdasarkan paradigma lainnya posisi argumen-argumen semacam burhân shiddiqien berada dalam barisan depan dari argumen-argumen lainnya, namun kami tetap akan mengedepankan pembahasan argumen fitrah hanya dengan mencukupkan pembahasan pada paradigma yang telah kami isyaratkan. Di sini kami akan melakukan analisa pembahasan yang sedikit lebih detail dalam kaitannya dengan tema berikut:


Beberapa Istilah tentang Fitrah
1. Fitriyât dalam ilmu Logika merupakan salah satu makna terminologi fitrah pada tema proposisi logika. Proposisi-proposisi fitri (fitriyât) merupakan sebuah proposisi yang meskipun keterbuktian predikat untuk subyek di dalamnya membutuhkan hadd-e wasath (middle term, relasi antara premis minor dan premis mayor), tetapi hadd-e wasath ini senantiasa hadir di dalam pikiran, dengan demikian proposisi ini termasuk dalam proposisi yakini (definitive) dan badihi (self-evident, gamblang dengan sendirinya). Oleh karena itu, para logikawan mengungkapkannya dengan interpretasi “Qadhaya qiyasâtuha ma’aha” yaitu “proposisi-proposisi yang analoginya senantiasa bersamanya”. Dalam tema teologi terkadang fitriyât berada dalam makna khas ini.

2. Kadangkala kata fitri berlaku untuk proposisi-proposisi primer (primitive statement). Yang dimaksud dengan proposisi-proposisi primer adalah sebuah proposisi dimana pada saat dzihn (pikiran) menggambarkan predikat dan subyeknya, maka pada saat itu pula ia membenarkannya. Ia tidak memerlukan pemikiran yang ruwet dalam menghukumi dan mengakuinya. sebagaimana yang terjadi dalam proposisi imtina’ tanaqudh (tertolaknya kontradiksi) yang mengatakan: “Ijtimâ’ wa irtifa’ naqidhâin (berkumpul dan terangkatnya dua kontradiksi secara bersamaan) adalah mustahil”.

3. Terkadang pula kata fitri dipergunakan dalam kaitannya dengan proposisi-proposisi akhlak, dimana dalam hubungannya dengan akal merupakan aktivitas yang actual. Seperti ketika kita mengatakan kalimat: “Bohong adalah perbuatan yang tercela”, maka kalimat tersebut merupakan sebuah proposisi fitri.

4. Kata fitri dalam sebagian hal, sinonim dengan kata “wijdân” (kata hati)”. Dalam terminologi ini, maksud dari fitrah adalah isyarat pada dasar dan sumber kemunculan hukum-hukum akhlak.

5. Kadangkala fitri sinonim dengan badihi (self-evident, gamblang dengan sendirinya), baik dalam institusi imajinasi maupun dalam batasan kejelasannya. Tentu saja apa yang sering dikatakan sebagai kejelasan badihi, biasanya yang dimaksud adalah badihiyât awwaliyah (badihi-badihi primer). Atas dasar inilah –sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya- kadangkala proposisi “Kontradiksi adalah mustahil”, biasa pula disebut sebagai fitri. Tetapi kita tidak menganggap materi sebagai fitri sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian logikawan yang memasukkannya dalam badihiyât dan yaqiniyât. Tetapi dalam institusi imajinasi, rasanya tak jarang imajinasi-imajinasi badihi seperti persepsi wujud (ada), 'adam (tiada),terkadang kita sifatkan sebagai fitri. Misalnya ketika kita mengatakan: “Pahaman sesuatu merupakan sebuah pahaman dimana setiap individu secara fitrah mampu memahaminya”.

6. Terkadang maksud dari fitri adalah makrifat dan ilmu hudhuri. Seperti ketika kita mengatakan: “Adalah merupakan sebuah hal yang fitri apabila setiap orang menyadari keberadaannya”. Yang dimaksud di sini adalah setiap orang menyadari keberadaannya dengan ilmu hudhuri yang dimilikinya.

7. Terminologi lain dari fitrah adalah apa yang diungkapkan dalam filsafat Descartes. Maksud fitriyah dalam filsafat ini adalah sebuah pahaman, dimana akal insan secara sendirinya mampu mencerapnya dengan jelas. Seperti pahaman ihwal Tuhan, gerak, kontinuitas dan nafs. Berdampingan dengan fitriyah ini, Descartes juga mengungkapkan dua kelompok lain untuk makna-makna dan pahaman-pahaman, yang ia namakan sebagai fiktif dan obyektif.[13]

8. Dalam filsafat Imanuel Kant, kata fitri terkadang juga dipergunakan dalam kaitannya dengan duabelas kategori-nya.[14]

9. Istilah lain dari fitri, dapat kita jumpai dalam istilah Psikologi. Para psikolog sepakat bahwa terdapat empat hasrat dan keinginan yang ada di dalam diri manusia, yang terkadang keempat hasrat ini berada di bawah pengaruh “hiss” (indra)”, dan mereka adalah:

a. Keinginan beragama

b. Keinginan untuk cantik/indah

c. Keinginan untuk berilmu

d. Keinginan berakhlak baik[15]


Kesimpulan:
Tujuan dari penggunaan kata fitrah dalam derivasinya ini adalah untuk kita katakan bahwa dalam semua obyek dapat kita lihat makna setara dan universal, yaitu bahwa fitri senantiasa dikatakan untuk sebuah persoalan yang muncul dari esensi dan hakikat insan dan bersumber dari dalam diri manusia. Sedangkan secara obyektif bukan merupakan sesuatu yang perlu dicari. Dalam kaitannya dengan teologi pun ketika kita mempergunakan kalimat fitri, biasanya maksud kita adalah bahwa: manusia dalam lubuk jiwa, hakikat serta esensinya mempunyai semacam makrifat dan pengenalan hudhuri (knowledge by presence, presensi)terhadap awal keberadaan serta Tuhan, dimana hal tersebut tidak dia temukan dari tempat lain, tidak juga dari seorang pengajar. Tentu saja dalam tafsir dan penjelasan tema ini, begitu banyak penjelasan yang telah dipaparkan oleh para pakar, yang kami akan singgung pada waktu dan tempatnya tersendiri.


Komparasi antara kata tabiat, naluri dan fitrah
Meskipun ketiga kata ini terkadang saling menggantikan antara satu dengan lainnya (sering dipandang sinonim), tetapi pada hakikatnya makna dari ketiga kata ini berbeda dari satu dengan yang lainnya:


1. Natural, alami atau tabiat:
Kata tab’ atau tabi’at, biasanya digunakan dalam kaitannya dengan eksistensi tak bernyawa. Dan apabila dipergunakan pada eksistensi bernyawa maka hal ini dikarenakan adanya keuniversalan antara eksistensi bernyawa dengan yang tak bernyawa. Para filsosof dalam salah satu pembagiannya telah membagi fa’il (pelaku/subyek) menjadi dua bagian yaitu: fa’il tabi’i (natural) dan fa’il iradi ( mempunyai kehendak). Yang dimaksud dengan fa’il tabi’i adalah eksistensi-eksistensi yang secara natural mempunyai kelayakan efek yang khas dan tertentu. Tetapi dia tidak mempunyai kehendak dalam dirinya sendiri untuk melahirkan pengaruh tersebut. Misalnya “api” apabila diperhadapkan dengan “panas” maka hal ini termasuk dalam fa’il tabi’i. Dan dalam kaitannya dengan manusia, ketika kita mengatakan: “sexsual desire (hasrat seksual)” merupakan sebuah hal yang wajar. Dan secara alami manusia mempunyai kelayakan atasnya”. Maka yang dimaksud di sinipun demikian juga yaitu bahwa manusia tidak mempunyai kemampuan sendiri untuk memunculkan keberadaan atau ketiadaan hasrat seksualnya. Meskipun dia mempunyai kekuasaan dalam mempergunakan dan memanfaatkannya.


2. Naluri (gharizah)
Kata ini lebih banyak dipergunakan dalam kaitannya dengan hewan selain manusia, dan sama sekali tidak dipergunakan pada in-organik dan tumbuhan. Tetapi kadangkala dipergunakan pula pada manusia. Meskipun hingga sekarang belum jelas substansinya. Tetapi -secara global- biasanya yang dimaksud dengan instink (gharizah, naluri) adalah sebuah keadaan setengah sadar yang ditemukan pada binatang, yang dipergunakan untuk menuntun mereka dalam menjalani kehidupan. Misalnya lebah yang membuat rumah dengan konstruksi dan arsitektur yang detail dan cermat, cara anak binatang menyusu dari induknya dan hal-hal semacamnya, kita namakan dengan instink.


3. Fitrah
Kata ini sangat jarang dipergunakan pada selain manusia. Aspek-aspek fitri ini, merupakan aspek yang berhadapan dengan instink dan jiwa manusia. Dan posisinya berada dalam esensi manusia. Instink dan fitrah, keduanya biasa dipergunakan pada manusia. Hanya saja, instink dipergunakan dalam batasan materi dan hewani. Sedangkan fitrah, dipergunakan pada masalah-masalah trans-hewani, hasrat serta keinginan-keinginan yang lebih tinggi dan lebih suci. Persamaan antara fitrah, instink dan tabi’at adalah bahwa ketiganya merupakan masalah takwini yang berbaur dengan penciptaan eksistensi. Perbedaannya adalah tabi’at lebih luas dari kedua lainnya apabila dilihat dari obyek penggunaannya. Karena instink dan fitrah sama sekali tidak bisa dipergunakan dalam in-organik dan tumbuhan. Sedangkan tabi’at tidak demikian. Dapat dikatakan bahwa kekhususan instink terletak pada penggunannya yang berada pada batasan dimensi kehidupan materi hewan. Sedangkan fitrah, dipergunakan khusus pada manusia dengan dimensi-dimensi kehidupan mukaddas dan mulianya.[16]


Terjaganya Fitrah dari Kesalahan dan Khianat
Uraian ketiga dalam penjelasan filosofis argumen fitrah adalah bahwa fitrah mencintai kesempurnaan murni dan sahabat kinasih yang tanpa batas. Dari satu pihak, fitrah bukanlah penghianat dan pelanggar, dan apa yang dikatakan olehnya tidak akan pernah meleset, benar dan pasti ada. Dengan demikian, kesempurnaan murni dan tanpa batas (Tuhan) itu ada.

Untuk menyempurnakan penjelasan ini, selain kelaziman adanya cinta dan hasrat kepada Tuhan dalam diri semua manusia harus disempurnakan, terproteksi dan terhindarnya fitrah dari khianat serta ke-ismat(suci)-annya dari kesalahan pun harus dibuktikan. Untuk membuktikan kesucian fitrah ini sebagian memanfaatkan analogi dengan mengatakan bahwa: fitrah dalam diri manusia adalah sebagaimana instink yang terdapat pada binatang dan tumbuhan. Tidak sebagaimana adanya rasa haus ketika tidak ada air, lapar ketika tidak ada makanan dan sakit apabila tidak ada obat. Fitrah adalah pencari kesempurnaan dan keinginan bertuhan dalam diri manusia juga merupakan petunjuk terhadap adanya kesempurnaan mutlak dan kesempurnaan tanpa batas tersebut. Tetapi harus diperhatikan bahwa analogi di atas hanya sebagaimana istiqrâ’ naqis ghairi mu’allal, sama sekali tidak meyakinkan dan dalam Filsafat serta ilmu akal hal tersebut tidak bisa dijadikan sandaran.


Beberapa Poin Penting
1. Dalam semua pembahasan rasional tentang fitrah, terdapat poin-poin penting yang layak untuk dicermati yaitu affirmasi wujud Tuhan sama sekali bukan dengan makna wusul (penyatuan) kepada Nya. Hal ini karena yang dibicarakan dalam penalaran (istidhlâl, reasoning) ini adalah pemahaman dan keberakalan. Bukan masalah perolehan dan kehadiran (hudhur). Oleh karena itu, ketiadaan wusul kepada esensi tak terbatas, sama sekali bukan berarti menunjukkan ketiadaan husul (pencapaian) Nya.

2. Pada sebagian kitab setelah penjelasan argumen filosofis, seperti teori imkan (possibility, kemungkinan) atau illah (sebab), telah dikatakan bahwa dalil ini merupakan dalil yang fitri dan badihi (gamblang dengan sendirinya). Harus diperhatikan bahwa maksud dari kefitrian dalam masalah ini adalah apa yang dikatakan sebagai terminologi logika “fitrah” sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya, yaitu merupakan sebuah proposisi yang membutuhkan dalil. Tetapi hadd-e wasath (middle-term) analoginya sama sekali tidak akan pernah tersembunyi dari pikiran (proposisi yang analoginya berada bersamanya).

3. Apabila yang kita maksud dari fitrah adalah fitrah hati, dan bukannya fitrah rasio, berarti interpretasi dari “argumen fitrah” tidak akan benar. Dan sebagai penggantinya kita harus mempergunakan “metode fitrah”.


Ingkar Fitrah
Kami akan menutup pembahasan ini dengan mengungkapkan sekelumit tentang ingkar fitrah. Meskipun pembicaraan kami sebelumnya berkisar pada pembahasan fitrah teologi. Tetapi secara logis pengingkaran universal akan meniscayakan pada terjadinya pengingkaran partikular pula. Dari sini kami akan mencoba melihat apakah kita mempunyai jawaban di hadapan para pengingkar fitrah dalam makna universalnya ataukah tidak.

Dalam kategori ini pembicaraan bisa dibataskan pada dua lingkup: salah satunya adalah pertanyaan tentang “apakah fitrah itu ada?” Dan satunya lagi adalah pertanyaan tentang “apakah fitrah itu?”. Dengan ungkapan lain, kadangkala perbincangan berkisar pada fitrah (dalam tema “keberadaannya”) dan terkadang pada quiditasnya. (dalam tema “esensinya”)

Ingkar fitrah pun tak jarang muncul dalam makna bahwa sesuatu yang bernama “fitrah” sama sekali tidak ada dalam diri manusia, dan kadangkala dalam makna bahwa quiditas fitrah itu sendiri yang in-konsisten dan tidak jelas bagi kita. Ketika pembicaraan telah berkisar pada wujud fitrah, maka kita harus mengetahui dengan pasti apa maksud dari fitrah. Apakah maksud kita adalah “wijdân (kata hati)”? Dengan demikian berarti kita harus melihat wijdân itu apa? Ataukah maksud kita tentang fitrah adalah “ruh dan jiwa”? Atau maksud kita adalah “ilmu hudhuri”? Pada kali inipun kita harus memperhatikan kategori hasrat dan ilmu –keduanya- dan kemudian bertanya apakah yang dimaksud dengan ke-eksistensi-an dan ketidak-eksistensi-an fitrah adalah keberadaan “hasrat-hasrat fitri” ataukah keberadaan “pencerapan fitri? Perbincangan dalam setiap bab dari tema-tema di atas menuntut pada keluasan waktu. Tetapi terdapat satu poin yang harus diketahui secara global, yaitu bahwa prinsip keberadaan seperangkat hasrat, persepsi fitri dan karunia Tuhan di dalam diri manusia adalah suatu hal yang tidak bisa dipungkiri. Dan ini merupakan sebuah permasalahan yang akan menjadi jelas dengan ilmu hudhuri kita, sehingga dari sini pula tidak akan membawa kepada kesalahan. Tentu saja bisa jadi akan muncul pertanyaan: Bagaimana kita bisa mengetahui ilmu hudhuri orang lain. Dan bagaimana kita bisa yakin bahwa orang lain pun sebagaimana kita mempunyai seperangkat hasrat dan pencerapan? Tentu saja sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya, ilmu hudhuri senantiasa akan menciptakan keyakinan hanya untuk orang yang alim. Tetapi kita pun bisa menetapkan argumen adanya fitrah (hasrat dan pencerapan) dalam diri orang lain dengan menyaksikan efek dan perilaku dari selain kita, dan dengan bantuan penalaran yang logis. Sebagaimana ilmu-ilmu eksperimen yang memperoleh kaidah universalnya melalui observasi yang cermat, penyaksian terus-menerus dan dengan metode raf’ (eliminasi) dan wadh’ (disposisi)[17]

Filsafat-filsafat dan maktab-maktab semacam filsafat Hegel, bertolak pada prinsipnya sendiri tidak bersedia menerima fitrah sebagai sebuah hal yang konstan dan tak berubah. Berhadapan dengan pendapat ini kita akan menjatuh-leburkan prinsip dialektik mereka. Dengan demikian prinsip berfikir mereka akan rusak dengan sendirinya.

Pada bab esensi fitrah pun, banyak pertanyaan manusia yang bisa diselesaikan dengan ilmu hudhuri. Misalnya setiap individu bisa memahami hasrat fitrinya seperti: hasrat pada kebaikan dan mencari hakikat. Atau pada katagori pemahaman dan pencerapan, dengan melewatkan informasi-informasi hudhuri yang ada dalam diri, lalu meletakkan mereka (hasrat pada kebaikan, pencarian hakekat, dan ...) dalam titik perhatian. Jangan Anda mengatakan bahwa perhatian semacam ini secara lazim akan membentuk ilmu hudhuri menjadi ilmu hushuli, kemudian substansi keyakinan akan menjadi sirna darinya. Tidak senantiasa demikian, bahwa perhatian terhadap ilmu hudhuri dengan sendirinya akan merupakan sebuah pengetahuan husuli, melainkan informasi-informasi hudhuri bisa diletakkan sebagai titik perhatian dan inti hudhuri kemudian menetapkan hukum untuk masalah tersebut dimana seratus persen sesuai dengan realitas dan hakekat, dan sama sekali tidak akan tercabut dari keyakinan terhadapnya. Sebagaimana dalam proposisi dan hukum-hukum logika dikatakan bahwa: analogi hukum kita adalah bahwa insan adalah universal.

Sebagian mengatakan: quiditas fitrah manusia harus dilihat dari cermin historisnya dan mereka inilah manusia-manusia yang riil yaitu yang telah membentuk sejarah. Sedangkan mereka yang berada dalam pencarian fitrah dan pengenalan quiditas manusia hanyalah hendak mencongkel panggung sejarah. Dan mereka yang mencari apa yang tidak bisa didapatkan berarti akan berjalan tanpa tujuan sehingga akibatnya orang-orang yang mereka perkenalkan adalah insan simbolik dan bukan realistik.

Dengan ringkas kami akan mengatakan bahwa: perbedaan antara ada dan apa, demikian juga perbedaan antara tidak seharusnya dan tidak ada, kondisinya sebagaimana sebuah lobang yang tidak akan pernah penuh. Dan meletakkan tidak seharusnya pada tempat tidak ada merupakan sebuah kesalahan yang fatal. Demikian pula tidak layak menyetarakan antara ada dengan harus. Dan bukankah ini termasuk kerancuan –sebagaimana yang diungkapkan oleh para logikawan dalam bab mughâlathah (fuzzy logic)- antara mâ-bil-’aradh (aksidensi) dengan mâ-bil-dzat (dzati, esensi) ?

Jika ketidaksucian merupakan esensi sejarah itu sendiri dan bukan aksidensi-nya, apakah ini berarti bahwa ketidaksucian adalah quiditas insan lalu dzat dan fitrah akan membentuknya? Ketika kita mengatakan: “Yang jelek dan yang buruk harus dikenali secara formal dari dalam diri manusia. Dan dalam pengenalan manusia harus disepakati pula adanya peran untuk mereka, dan manusia harus didefinisikan sedemikian rupa hingga ketidaksucian tersebut merupakan suatu hal yang wajar dan abadi untuknya, dan bukannya sebagai sebuah masalah yang bisa berkarat dan tak layak diperhatikan”. Apakah kita sadar bahwa ternyata kita telah mencampur adukkan antara tema “keberadaan sesuatu” dengan tema “esensi sesuatu”? Bukankah telah dikatakan dalam logika bahwa bisa jadi sebuah predikat merupakan dâimul wujud (wujud yang senantiasa ada) bagi subyeknya, tetapi tidak bersifat dzati dan esensial? Apabila kita ingin meletakkan definisi hakikat insan dan “esensinya” dengan “keberadaan”, sebagaimana yang direfleksikan oleh sejarah, apakah hal ini benar-benar memungkinkan? Apakah dalam definisi seperti ini tidak akan terdapat kontradiksi? Apakah ini bukan apa yang dikeluarkan dalam discourse para Eksistensialist semacam Sartre dan Heidegger? Apakah klaim ini tidak meniscayakan pada ingkar fitrah? Tentang apa yang kita katakan bahwa “panggung historis merupakan panggung alami yang tidak terkontaminasi oleh campur tangan dan kesalahan faktor-faktor lain”, dari mana datangnya? Apakah klaim ini bukan didasarkan pada kaidah yang keliru semisal “al qasru la-yadum” (peristiwa non-alami tidak mungkin berlangsung terus-menerus) dan “mayoritas peristiwa non-alami adalah mustahil”?[18]

Kita juga jangan mengesampingkan satu poin berikut bahwa para arif dalam anthropologi menyepakati bahwa seluruh apa yang dimiliki dunia merupakan pintu untuk kejadian-kejadian non-alami, dengan berdasarkan pada asas ini, dari mana bisa dikatakan bahwa panggung historis merupakan sebuah panggung alami?

Kesimpulan dari perbincangan kita adalah bahwa kita sama sekali tidak akan pernah mampu menemukan metode (jalan) sempurna untuk pengenalan fitrah dan esensi insan hanya dengan memperhatikan sejarah, meskipun sejarah telah menunjukkan kepada kita “latar belakang manusia”. Tetapi hal ini sama sekali tidak pernah menguak tabir tentang “apa manusia itu”. Di sinilah untuk kesekian kalinya kita harus memaksakan diri untuk mengetahui peran penting pengenalan hudhuri dalam pengenalan insan, dan memperdengarkan kepedulian refleksi internal dan makrifat internal dalam pembentukan human science dari pandangan Islam.


Catatan kaki:
[1] Sebagian dari Sâhib Nadzar (pemikir otoritatif) sepakat bahwa tiga pembagian ini merupakan pembagian yang dangkal dan eksternal saja, karena berdasarkan kebersatuan (antara aql, âqil dan ma’qul) pemikir (mutafakkir) tidak akan pernah terpisah dari pikirannya (tafakkur), oleh karena itu pembagian ini tidak bisa dengan mudah diadaptasikan dalam semua persoalan; Ayatullah Jawadi Amuli dalam 10 makalah tentang Mabda’ dan Ma’ad.

[2] .Yang dimaksud di sini adalah pengenalan husuli (ilmu yang dicapai melalui pe???) dan bukan penyaksian hudhuri dan perolehan wijdâni.

[3] .Asfar, J. 6, hal. 13.

[4] .Hal. 70, Pengenalan Filsafat, Muhammad Taqi Misbah Yazdi, jilid 2, hal. 329.

[5] . Syifa, hal. 348, Pasal 4, Makalah ke delapan.

[6] . A^muzesy-e Falsafah, J. 2, hal. 332.

[7] Mula ‘Abdur-razaq Lahijy mengatakan: “Ada tiga metode terkenal dalam pembuktian wujud wajib yaitu: metode mutakalimah, metode hukama alami dan metode hukama ilahy (Filosof), Shawariqul-ilham, hal. 494,495.

[8] Murtadha Muthahari, Ushul Falsafah dan Rawaz-e Realism, J. 5, hal. 34.

[9] H. Nasiruddin Tusy, At-talkhisulMuhassil (terkenal dengan “Kritikan Muhassil”, hal. 242.

[10] Marhum Ustadz Mutahhari berpendapat bahwa teori hidayah berbeda dengan teori keberaturan. Beliau mengungkapkan perbedaan keduanya dengan mengatakan bahwa teori keteraturan menunjukkan pada illat fa’ili (an actual cause) sementara teori hidayah merupakan manifestasi dari illat gha-I (a final cause); Ushul Falsafah wa Rawaz-e Realism, J. 5, hal. 48-49.

[11]Teori gerak mempunyai warna dan paradigma alami, dan dia bisa diuraikan dalam bentuk dan manifestasi yang berfariasi. Teori gerak dalam pembuktian wujud Tuhan bisa dipergunakan dalam bentuknya sebagai an actual cause dan juga sebagai a final cause, yaitu relefan dan merupakan ma’shuq akhirnya eksistensi-eksistensi. Dari sini dikatakan bahwa teori gerak dalam pembuktian Tuhan berperan sebagai Ghayatul ghayah dan muntahal-ghayah. Hal ini sesuai dan seufuk dengan apa yang dikatakan oleh Shahid Muthahari (ra) sebagai teori hidayah dan petunjuk dalam esensial alam materi atau pada keseluruhan makhluk.

[12] Argumen hudust nafs (terjadinya nafs) dikemukakan oleh hukama alam dan teori hudust jism (terjadinya jism) dikemukakan oleh mutakallimin. Atas dasar ini kita mengungkapkan keduanya secara berbeda. Meskipun pada hakikatnya hanyalah merupakan satu argumen; Mulla Sadra; Asfar; J. 6, hal. 44-47.

[13] Muhammad ‘Ali Furugy, “Seir Hikmat dar Eurupa”, J. 1, bag. Descartes.

[14] Murthadha Muthahari, Syarh Mabsuth-e Mandzumah, J. 3, hal 273; Levin dkk, Falsafah Ya Pazyuhesh Hakekat’ terjemahan Jalaluddin Mujtabawi, hal. 287; Murthadha Muthahari, Fitrat, hal. 35.

[15] Syahid Murthadha Muthahari, Hiss-e Hallâqiyyat va Nu A^vari; Fitrat, hal. 49-56.

[16] Dikatakan bahwa salah satu perbedaan antara fitrah dan instink adalah bahwa fitrah merupakan “Sesuatu yang lebih sadar dari instink, yaitu “apa yang diketahui oleh manusia, dia akan mampu mengetahui bahwa dia mengetahui”. Maksudnya manusia mempunyai seperangkat fitriyât dan dia mengetahui bahwa dia memiliki fitriyât seperti ini”

Jika maksud dari kelebihsadaran fitrah atas instink adalah sebagaimana yang dimaksud di atas, maka tidak akan ada perbedaan antara fitrah dan instink di dalam diri manusia. Karena manusia sebagaimana dia menyadari keberadaan fitrahnya dia juga menyadari keberadaan instinknya. Misalnya kita semua menyadari adanya instink seksual dalam diri kita sebagaimana kita mengetahui adanya fitrah untuk menjadi lebih cantik atau menjadi lebih berilmu. Dari sisi yang lain bisa jadi dalam sebagian kasus, kesadaran terhadap keberadaan instink bisa lebih tinggi dari kesadaran terhadap keberadaan fitriyât. Sebagai contohnya mayoritas manusia mempunyai ilmu tentang adanya instink seksual dalam dirinya. Tetapi dia tidak mempunyai ilmu dan kesadaran terhadap adanya wujud fitrah pengenalan Tuhan dalam dirinya. Dengan demikian, bisa diambil kesimpulan bahwa perbedaan antara fitrah dan instink tidak bisa dipaparkan dalam lingkup “antara ilmu dengan ilmu”. Melainkan perbedaan keduanya ini harus disandarkan pada ilmu dan kesadaran yang terkandung pada keduanya (yaitu dalam fitrah dan instink); Fitrat, hal. 23.

[17] Dalam bab ini tentu saja pembahasan tentang theology banyak penjelasan yang telah dipaparkan yang untuk saat ini kami tidak berada dalam kesempatan untuk membahasnya.

[18] .Inti dari kaidah ini adalah bahwa faktor-faktor dan peristiwa-peristiwa non alami (kompulsife) tidak bisa berlaku untuk selamanya. Demikian juga sebuah kasus dan peristiwa non alami tidak akan bisa memasukkan mayoritas insan sebuah komunitas dan esensi ke dalamnya. Misalnya “keberadaan enam jari” merupakan sebuah kasus kompulsif dan tidak alami untuk manusia. Dari sini selain tidak akan bisa berlanjut untuk selamanya dalam individu manusia, hal ini tidak bisa pula dimasukkan ke dalam mayoritas manusia, dengan cara bahwa “keberadaan lima jari” yang merupakan kasus alami dan normal diletakkan sebagai kasus yang minoritas. Dengan pengandaian bahwa kaidah tersebut benar dalam pandangan kaidah akal, pengaplikasiannya di dunia aktual dan penegasan obyek dan kasus untuknya merupakan suatu hal yang bisa dibantah. Diagnosa terhadap apakah “kompulsif” merupakan sesuatu yang mayoritas ataukah minoritas hanya akan mungkin dilakukan ketika kita mengetahui jumlah seluruh obyek dan individu sebuah komunitas pada masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang dan ini merupakan hal yang tidak mungkin kita lakukan. Apabila misalnya kita melihat bahwa mayoritas manusia pada era kita adalah “para pembohong”, apakah berarti kita bisa mengatakan bahwa “kebohongan” merupakan sebuah kasus mayoritas untuk manusia sehingga kita nisbatkan sebagai sebuah kasus alami dan fitri? Perkataan ini tidak bersandar kecuali dengan kaidah yang keliru tadi oleh karena itu perkataan itu sendiripun keliru dan batal. []

4
Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

Argumen Keteraturan [2]

Pendahuluan
Pada pembahasan sebelumnya, kami telah menguraikan tentang pembagian dalil, yang kemudian kami lanjutkan dengan argumen fitrah. Pada bagian awal, kami pun telah mengetengahkan bahwa fitrah merupakan sebuah jalan internal menuju Tuhan dan merupakan metode yang universal serta menyeluruh, dimana dikatakan: semuanya mempunyai hati, dan dengan hati kecil ini kita akan mampu menapakkan kaki untuk mencapai makrifat ilahi, dan telah kami katakan pula bahwa pengenalan fitri insan terhadap Tuhan merupakan sebuah pengenalan hudhuri. Sebagaimana setiap akibat mempunyai makrifat hudhuri terhadap sebabnya sendiri, sesuai dengan kapasitas wujud dan kapabilitas takwininya. Jelaslah bahwa dari pandangan teologi dan peletakan normatif makrifat, pengenalan hudhuri mempunyai prioritas yang lebih dari kesadaran hushuli. Dengan jalan ini pula sehingga kami mengedepankan argumen fitrah atas argumen yang lain.

Setelah pembahasan hati kita lewati, maka tiba saatnya untuk menelisik tentang akal. Teori-teori akal, sebagian mempunyai premis hissi (materi dan inderawi) dan sebagian lainnya betul-betul merupakan teori akal murni. Teori keteraturan tergolong ke dalam teori pertama. Teori-teori pada kelompok pertama pada awal perjalanannya terasa lebih mudah, lebih jelas dan lebih diterima. Hal ini dikarenakan kedekatan dan keakraban kita yang lebih terhadap benda-benda materi daripada benda-benda non materi. Sebagaimana dari pandangan hasrat dan keinginan, daya tarik materi di dalam diri kita lebih kuat dan mempersiapkan serta memenuhi kebutuhan ini adalah sesuai dengan tabiat kita dan tidak menuntut terlalu banyak tenaga. Dalam bab persepsi, pengenalan materi berjalan sangat sederhana dan tidak perlu bersusah payah. Tetapi untuk menghasilkan persepsi-persepsi akal dan mendapatkan abstraksi, persoalan menjadi tidak akan sesederhana itu, melainkan membutuhkan kontemplasi, riyadhah dan olah pikir. Dari sini, teori-teori akal yang keseluruhan premis mereka terbentuk dari persepsi-persepsi abstrak, dan dengan istilah lain telah terbentuk dari akal kedua, terasa lebih susah dan lebih tak terjangkau. Tetapi teori keteraturan yang mempunyai minor inderawi, lebih mudah difahami. Karena hal inilah sehingga kemudian para penyusun dan pengajar filsafat -sebisa mungkin- menyerupakan rasio dengan inderawi, supaya maksud mereka lebih mudah dan lebih cepat diterima. Dengan dalil ini pula, kami mengedepankan teori keteraturan atas dalil-dalil yang lain, meskipun –sebagaimana akan kami jelaskan nantinya- teori ini sendiripun membutuhkan premis-premis rasio dimana menurut ukuran eksplanasi keyakinan dan penetapannya, hal inipun tidak sejajar dengan teori-teori akal murni.


Keteraturan merupakan Ma’qul Tsani[1] filsafat
Langkah pertama untuk menghindari penggunaan istilah filsafat yang susah dan berat dalam pembahasan kita kali ini, adalah dengan memperhatikan contoh di bawah ini dengan cermat:

Ketika Anda memasuki sebuah kelas, dan di sana Anda mendapati semua benda berada di tempatnya masing-masing, maka Anda akan mengatakan: “Betapa rapih dan teraturnya kelas in”. Sekarang, apabila ada seseorang yang menginginkan agar Anda menyebutkan benda-benda yang berada di dalam kelas tersebut, apakah Anda akan mengatakan: meja, bangku, papan tulis, kapur, dan keteraturan? Secara baik Anda merasakan bahwa keteraturan tidak berada di samping benda-benda yang lain dan tidak sedasar dengan mereka. Artinta bahwa keteraturan tidak mempunyai tajali terpisah sebagaimana meja, kursi, papan tulis dan kapur. Dan bukan pula merupakan sesuatu yang diletakkan sebagai isyarat fisik. Keteraturan sama sekali tidak bisa dirasakan dengan persepsi fisik. meskipun benda-benda yang teratur itu sendiri merupakan benda-benda yang fisikal.

Persepsi teratur, identik dengan persepsi banyak, sebab, akibat, wajib, mumkin dan persepsi-persepsi filosofi lainnya. Misalnya ketika kita mengatakan: "Jumlah pepohonan hutan sangat banyak". Ini bukan berarti bahwa "banyak" juga merupakan sebuah fenomena yang terdapat di samping pepohonan dan mempunyai kapabilitas untuk disaksikan secara fisik. Melainkan, banyak adalah sebuah persepsi abstrak dan subyektif yang menghikayatkan banyaknya benda-benda di dunia luar. Pada kasus persepsi filosofis semacam inilah dalam Epistemologi dan Logika dikatakan bahwa: Media aksidensi mereka adalah pikiran dan media karasteristik mereka adalah obyek luar. Artinya bahwa persepsi ini bisa dibentuk dengan kecermatan dan usaha pikiran. Tetapi pada keadaan yang sama, bisa dinisbatkan kepada benda-benda luar. Dan persepsi teratur berasal dari kelompok ini, yaitu merupakan akal keduanya filsafat. Atas dasar inilah, dia tidak terletak pada aksidennya akal pertama, yaitu mahiyat (apa itu, whatness). Oleh karena itu, penggambaran “esensi teratur” –yang sering dipergunakan- bisa jadi merupakan kesembronoan, kecuali apabila terminologi kata “esensi” ini tidak dipergunakan dalam istilah filsafat.


Apakah keteraturan itu?
Meskipun keteraturan bukan merupakan esensi dan akal pertama sehingga tidak bisa didefinisikan. Maksudnya, ia tidak bisa dipaparkan batas dan norma logikanya. Karena esensi merupakan bagian dari kuliyyat al-khams (lima universal)[2]. Tetapi, sebagaimana definisi filsafat yang kami ungkapkan untuk persepsi-persepsi filsafat lainnya, untuk teratur ini pun kita bisa memperoleh sebuah definisi.

Untuk bisa sampai pada definisi keteraturan, terlebih dahulu kita harus memperhatikan beberapa poin berikut:

Keteraturan tidak dipergunakan dalam kaitannya dengan sebuah benda wahid –wahid qua wahid- dengan ibarat lain, keteraturan senantiasa dijelaskan untuk benda-benda murakkab (mempunyai komposisi dan elemen) dan bukannya benda-benda basit (simpel) –simpel qua simple. Misalnya ketika ketua kelas ingin mengatur murid-murid dalam suatu kelas sesuai dengan tinggi badan, maka paling tidak, harus ada dua orang yang berada di kelas tersebut sehingga dia bisa mengaktualkan keinginannya. Karena apabila tidak dan hanya ada satu orang saja di dalam kelas, maka mengatur satu orang berdasarkan apa yang dia inginkan tidak akan pernah ada maknanya.

Jadi, keteraturan diungkapkan dalam kaitannya dengan dua benda atau lebih. Dengan arti bahwa dimana pun ada keteraturan maka berarti ada banyak benda di dalamnya. Tetapi, tentu saja kebalikan dari proposisi tersebut tidak selalu benar bahwa dimanapun ada lebih dari satu benda pasti ada keteraturan di dalamnya. (perhatikan hal ini).

Keteraturan, merupakan sebuah persoalan yang relatif dan abstrak yang senantiasa diungkapkan dalam kaitannya dengan tujuan khusus. Dengan arti bahwa sebelum ada pertimbangan tentang ada atau tiadanya keteraturan dalam sebuah majemuk, terlebih dahulu harus ada motivasi yang menjadi titik perhatian. Sebagaimana pada setiap pembagian akan senantiasa terdapat parameter pembagian, maka pada setiap keteraturan pun akan terdapat parameter keteraturan yang khas dan tertentu. Seperti misalnya pengaturan sebuah majemuk meja dan kursi. Apabila dimaksudkan untuk dua tujuan yang berbeda, maka harus diatur pula dengan dua cara yang berbeda. Misalnya: apabila tujuannya adalah membentuk sebuah kelas untuk belajar, maka pengaturannya akan dilakukan dengan cara-cara yang tertentu. Dan apabila tujuannya adalah untuk sebuah acara jamuan, maka meja dan kursi tersebut harus diatur dengan cara yang berbeda dari cara pertama. Normal, apabila pengaturan pertama untuk tujuan kedua atau pengaturan kedua untuk tujuan pertama, dikatakan sebagai manifestasi dari ketidak-teraturan. Jadi kesimpulannya, unsur kedua yang diungkapkan dalam teori keteraturan ini adalah tujuan pengaturan benda-benda yang diatur.

Tujuan akhir dalam sebuah majemuk yang teratur bisa merupakan tujuan internal, eksternal dan juga bisa keduanya. Misalnya apabila kita memperhatikan keteraturan yang dilakukan oleh sang Pengatur atas keseluruhan fenomena alam eksistensi, maka kita tidak bisa mengatakan bahwa majemuk yang teratur dan rapi ini telah disiapkan untuk tujuan di luar eksistensi. Melainkan maksudnya di sini adalah bahwa tujuannya berada di dalam diri majemuk itu sendiri dan dalam terpenuhinya kebutuhan setiap partikular melalui partikular lainnya.

Tetapi apabila yang kita perhatikan adalah perhatian Pengatur atas satu bagian khusus dari alam ini, di samping kita dapat menggambarkan batas internalnya, kita juga dapat menggambarkan batas eksternalnya (jaminan kebutuhan majemuk-majemuk lainnya).

Tetapi, untuk majemuk teratur yang hanya mempunyai tujuan eksternal saja, bisa diberikan pemisalan dengan partikularnya sebuah kelas, dimana tidak satupun dari partikular tersebut membutuhkan partikular lainnya. Tetapi secara kompleks, mereka bersatu dalam memenuhi kebutuhan dan tujuan di luar diri mereka.

Keteraturan terbagi menjadi dua kelompok: keteraturan buatan dan alami.

Keteraturan buatan ialah sebuah keteraturan yang dihasilkan oleh tangan-tangan manusia. Seperti keteraturan yang dihasilkan dalam satu jam. Sedangkan keteraturan alami, berada dalam sebuah keteraturan dengan teks natural, dan dalam bentuk takwini yang muncul dengan kodrat Tuhan. Seperti keteraturan gerak langit atau putaran bumi.

Keteraturan merupakan sebuah realitas mutlak yang obyektif, non-subyektif.

Tema ini membutuhkan sedikit penjelasan. Karena bisa jadi -secara eksternal- seakan menafikan apa yang telah kami katakan sebelumya, bahwa “keteraturan” merupakan bagian dari ma’qul tsani falsafi (kategori sekunder filsafat).

Ma’qul tsani filsafat, apabila kita perbandingkan dengan ma’qul awal falsafi[3] (kategori primer filsafat), dan dari sisi esensi, kita mengetahuinya sebagai sesuatu yang nyata. Maka makna ini bukan dari keobyektifitasan mereka. Dan berdasarkan perbandingan ini pula, terkadang ma’qulat filsafat menyebut mereka sebagai keabstrakan (perhatikan hal ini). Dan apabila mereka kita perbandingkan dengan ma’qul tsani logika[4], dan dari konsepsi logika kita sepakati bahwa dzihni (pikiran) adalah subyektif, maka ma’qul tsani filsafat akan menjadi obyektif. Dan keteraturan pun kita sepakati dengan makna tersebut yaitu obyektif.

Makna lainnya adalah keobyektifan dan kemutlakan sebagai antonim dari kesubyektifan dan keabstrakan. Sebagian kasus seperti “kecantikan”, merupakan sebuah realitas abstrak dan subyektif. Artinya, mungkin saja warna dan sebuah pemandangan sangat indah dan cantik di mata seseorang , tetapi untuk yang lainnya merupakan sebuah pemandangan yang biasa. Bahkan mungkin merupakan pemandangan dan warna yang sangat buruk.

Tetapi kasus semacam “A” adalah fenomena yang muncul dari “B”, bukan merupakan sebuah kasus abstrak yang muncul dari selera seseorang. Melainkan sebuah realitas yang mutlak dan subyektif dan tidak mungkin diubah. “Keteraturan” pun demikian adanya, meskipun teratur itu cantik, tetapi dia bukanlah kecantikan, artinta bukan merupakan sebuah selera, sehingga tidak bisa dikatakan, misalnya menurut pandangan tuan A, si fulan adalah orang yang teratur dan disiplin, tetapi menurut tuan B tidak demikian. Apabila hanya ada satu obyek yang dilihat, maka keduanya harus mengatakan disiplin, atau keduanya mengatakan tidak disiplin. Dari sinilah, poin ini menjadi penting. Artinta kita mengetahui bahwa “teori keteraturan”, bukanlah sebuah teori selera dan abstrak melainkan mempunyai dimensi diskripsi. Setelah melakukan observasi dan pembuktian terhadap keteraturan di alam, setiap akal -secara niscaya- akan menerimanya.

Keteraturan bukanlah sebuah persepsi positif atau negatif. Maksudnya, keteraturan tidak senantiasa berada dalam persepsi baik atau buruk.

Dalam persepsi teratur, tidak akan terjadi kebaikan atau keburukan. Baik dan buruk ataupun manfaat dan bahayanya sebuah keteraturan bergantung pada tujuannya, misalnya apabila tujuan dari pengaturan barisan serdadu itu untuk menegakkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan, maka hal ini maka teratur dideskripsikan sebagai sebuah sifat yang baik. Dan apabila tujuannya misalnya untuk menyerang serdadu Ilahi, maka sifatnya akan berubah menjadi buruk. Jadi, dalam mahiyât (keapaan, quiditas) dan jauhar (substansi), konsepsi teratur tidak akan pernah terantuk ke dalam persepsi positif ataupun negative. Dengan ungkapan yang lain: keteraturan adalah bebas nilai apabila dinisbatkan dengan baik dan buruk.[5]


Definisi Keteraturan
Dengan memperhatikan apa yang telah kami jelaskan sebelumnya, sekarang kita bisa mendefinisikan kata “teratur” sebagai berikut: ”Keteraturan adalah kualitas dan bentuk keberadaan beberapa partikular sebuah majemuk, hingga keharmoniannya mampu memenuhi tujuan dari majemuk tersebut”.


Sekilas tentang sejarah “keteraturan”
Dapat dikatakan bahwa berbagai realitas yang sangat mudah ditemukan dalam fenomena-fenomena alam oleh para filosof dan ilmuwan adalah adanya keharmonisan dan keteraturan. Poin inilah yang telah menyebabkan sebagian besar dari filosof kuno menyepakati adanya semacam kebersatuan untuk alam, atau mencari prinsip kebersatuan untuk semuanya. Sebagaimana Thales yang mengungkapkan air sebagai prinsip kebersatuan, Aneximines udara, sementara Heraclitus mengungkapkan api sebagai prinsipnya.

Secara global, para filosof sebelum Socrates, saling mengungkapkan integritas alam dengan caranya masing-masing. Dalam pemikiran filosof besar semacam Thales, Anaximines dan Heraclitus mengungkapkan bahwa: ”Alam semesta adalah alam dimana hukum keteraturan yang bersifat universal berlaku atasnya”.[6]

Salah satu aliran filsafat yang ada sebelum Socrates, adalah aliran Pytagoras. Kelompok Pytagoras sepakat bahwa seluruh alam laksana sebuah melodi harmonis sebuah musik, dimana keteraturan yang bersifat universal berlaku atasnya. Dari sinilah mereka sepakat, bahwa -sebagaimana harmoni sebuah musik terkait pada angka-angka- maka -bisa digambarkan- harmoni dan keteraturan alam pun bergantung pada angka. Penyaksian keteraturan yang cermat semacam ini telah mengarahkan mereka untuk -secara eksplisit- mengumumkan, bahwa benda adalah angka-angka itu sendiri.[7] Pada era setelahnya, kecenderungan ini pula yang ditemukan dalam kelompok “Ikhwân ash-Shafa”.[8]

Plato juga mengungkapkan permasalahan keteraturan yang menguasai benda-benda alam. Dia tidak hanya sepakat dengan keteraturan dalam badan-badan dan benda-benda materi alam fisik. Melainkan di alam bentuk (suwar) dan alam ide (mundus imginalis) pun dia sepakat bahwa keteraturan berada dalam posisinya sebagai hakim. Pada prinsipnya, keteraturan alam ini merupakan efek dan petunjuk keteraturan alam ide (mundus imaginalis).[9]

Secara global pada seluruh era, mereka yang sepakat bahwa penemuan dan pengenalan prinsip religi akan bisa terpenuhi melalui metodologi-metodologi natural, dengan mengungkapkan argumen-argumen yang varian untuk wujud Tuhan, berusaha menampakkan bahwa paling asasinya prinsip religi –yaitu wujud Tuhan- dapat diargumentasikan dengan argumen-argumen yang dapat diterima. Di antara dalil-dalil ini, bisa jadi argumen keteraturan merupakan argumen yang paling terkenal, dimana setiap individu mengenalinya. Hal ini dikarenakan premis-premis argumen ini diperoleh melalui cara pembelajaran dan konklusi eksperimen dari persoalan-persoalan di alam semesta ini. Semenjak munculnya inovasi ilmu pun telah diusahakan bahwa dengan memanfaatkan inovasi akhir dari ilmu fisik dan biologi, wujud Tuhan dibuktikan melalui argumen yang bertolak pada keteraturan.


Argumen keteraturan
Argumen ini bisa dimanfaatkan dalam dua kasus:

1. Pembuktian wujud Tuhan,

2. Pembuktian ilmu Tuhan.

Untuk pembuktian wujud Tuhan dengan metode argumen keteraturan, dapat kami katakan:

“Keteraturan itu berlaku di alam semesta. Dan setiap keteraturan membutuhkan pengatur. Maka pengatur keteraturan ini, harus meliputi alam semesta. Dan dia adalah Tuhan”

Untuk membuktikan ilmu Tuhan dari metode teori keteraturan, dapat kami katakan: “Di alam semesta terdapat keteraturan. Dan setiap keteraturan muncul dari kecerdasan dan kesadaran. Jadi, pengatur alam semesta, harus mempunyai kecerdasan dan kesadaran”.


Analisis Argumen
Dua argumen yang disebutkan di atas membutuhkan penjelasan dan penjabaran yang lebih mendalam. Penjelasan ini berada dalam beberapa batasan:

Asas argumen pertama adalah “setiap fenomena membutuhkan pemula”. Karena “keteraturan” merupakan sebuah fenomena maka dia membutuhkan pemula, yaitu pengatur. Dengan ibarat lain, argumen keteraturan pada hakekatnya adalah sebuah manifestasi dari argumen sebab dan akibat, dan bukannya sebuah argumen berada di sampingnya. Oleh karena itu salah satu dari pilar dan dasar justifikasi argumen keteraturan adalah penerimaan argumen kausalitas, yaitu menerima sebab fâ’ili (subyek, pelaku) untuk fenomena-fenomena alam eksistensi.

Karena maksud dari keteraturan dalam argumen keteraturan adalah keteraturan yang melingkupi alam materi dan alam fisik, maka argumen keteraturan pada akhirnya memberikan kesimpulan berikut bahwa keteraturan ini membutuhkan pengatur dari luar alam materi. Hal ini dikarenakan keteraturan merupakan akibat yang berakal dan sadar. Sedangkan materi merupakan esensi yang kosong dari keberpikiran. Jadi, pengatur haruslah lebih luas dari alam materi. Dari sini argumen keteraturan pada hakikatnya merupakan salah satu dari dalil-dalil yang membatalkan filsafat materialis, dan termasuk dalam argumen pembuktian alam metafisik.

Tentunya, ketika wujud pengatur non-jasmani telah terbukti melalui argumen keteraturan, maka selanjutnya, kita akan membuktikan bahwa pengatur tersebut haruslah eksistensi abstrak yang mandiri itu sendiri –yaitu Wâjib al-Wujud. Dan Tuhannya alam eksistensi- atau harus berhenti pada eksistensi abstraksi mandiri yang bernama wajib. Dimana dalam kedua keadaan ini, keberadaan Tuhan akan terbukti.

Dengan memperhatikan dua poin sebelumnya, argumen keteraturan lebih sesuai dipergunakan untuk membuktikan ilmu dan hikmat Sang Pencipta (Khâliq), daripada untuk membuktikan prinsip keberadaan Sang Pencipta (Khâliq). Hal ini dikarenakan prinsip keberadaan Sang Pencipta dalam argumen ini –pada hakikatnya- terbukti berdasarkan prinsip dari argumen kausalitas bukan bersumber dari argumen ini. Tetapi pembuktian ilmu di dalam diri Pencipta alam, akan terbukti melalui argumen keteraturan. Dengan ibarat yang lebih dalam dikatakan bahwa “keteraturan” dalam membuktikan prinsip wujud Tuhan, hadd-e wasath-nya (relasi antara premis minor dan mayor, premis media) tidak hakiki dan bercorak bil-’aradh (aksidental), akan tetapi dalam pembuktian ilmu Sang Pencipta, hadd-e wasath-nya bersifat bidz-dzat (esensial) dan asli. Dari sinilah maka biasanya para filosof tidak memberikan perhatian terhadap argumen ini, kebalikannya dengan para teolog (mutakalimin) yang memberikan perhatian besar kepadanya.

Dalam pembuktian ilmu Ilahi melalui argumen keteraturan, hal yang lebih penting dan lebih asas dari yang lainnya adalah perhatian terhadap masalah illat gha-i (sebab tujuan)[10]. Telah kami katakan bahwa dalam keteraturan, senantiasa terdapat tujuan, dan keteraturan serta keharmonisan particular, senantiasa merupakan penjamin tujuan tersebut. Dimana hal seperti ini pasti membutuhan kecerdasan dan kesadaran pengatur. Jadi, keteraturan yang meliputi fenomena-fenomena eksistensi -secara eksplisit- menunjukkan bahwa pencipta fenomena-fenomena ini telah meletakkan tujuan khusus dalam penciptaan beragam eksistensi. Dengan memperhatikan hal tersebut makhluk-makhluk diciptakan secara teratur. Keharmonisan dan kesesuaian partikular alam semesta ini dalam memenuhi tujuan tersebut, merupakan manifestasi kecerdasan dan kesadaran pencipta eksistensi.

Boleh jadi muncul pertanyaan: Bagaimana kita bisa membuktikan bahwa keteraturan senantiasa merupakan akibat dari ilmu dan kesadaran?

Untuk menjawab pertanyaan ini dapat dikatakan: bahwa konstruksi keteraturan dan kerumitan yang ada dalam diri kita sendiri, dengan ilmu hudhuri (presensi) menemukan, bahwa keteraturan ini merupakan derivasi atas ilmu dan kesadaran kita sebelumnya. Dari satu sisi, kita mengetahui bahwa benda-benda setara mempunyai hukum-hukum kesetaraan[11]. Dengan demikian keseluruhan alam eksistensi dengan keteraturan yang cermat dan rumit inipun merupakan derivasi ilmu dan konsepsi Sang Pencipta. Jika keteraturan yang meliputi sebuah majemuk tersebut lebih cermat dan lebih rumit, hal ini menunjukkan pada ilmu dan kecerdasan Sang Pencipta yang lebih banyak. Dann karena keteraturan alam semesta ini sangat cermat dan mendalam, dengan demikian berarti ilmu dan kesadaran pencipta alam semesta inipun pasti lebih banyak, lebih dalam dan luas dari pengetahuan kita para manusia.[12]


Keteraturan alam semesta
Meskipun sebuah argumentasi berdiri pada prinsip premis mayornya, tetapi selama premis minornya tidak terbukti kebenarannya, maka premis mayor tidak akan memberikan konklusi yang bermanfaat. Dari sini bisa jadi, paling pentingnya asas dalam teori keteraturan adalah membuktikan premis minornya argumentasi. Yaitu terdapatnya wujud teratur di alam semesta. Proposisi ini bukan merupakan sebuah proposisi pertama[13] dan muncul setelah intuisi dan eksperimen. Beranjak dari pandangan kita dan pandangan setiap manusia, bahwa wujud keteraturan dalam fenomena alam semesta merupakan kasus yang paling jelas, di sini kami hanya akan mencukupkan diri dengan pengakuan-pengakuan beberapa personil dari para ilmuan dalam kaitannya dengan masalah ini, dan kemudian mengarahkan para pembaca untuk merujuk pada kitab yang terkait:

Marlin Books Kreider, seorang pakar Fisiologi mengatakan:

“Ketika kita menyaksikan dunia, muncul dengan kekuatan alam dan diatur dengan keteraturan dan ketertiban yang tipikal, maka kita akan sadar bahwa dunia ini harus mempunyai seorang pengatur. Keteraturan dan ketertiban ini begitu rapinya sehingga kita mampu mengantisipasi gerak planet dan bahkan gerak bulan-bulan palsu dengan observasi dan pengamatan yang cermat. Ketelitian dan keteraturan dalam muatan elektronik dan unsur-unsur kimia pun sangat sempurna. Sehingga dengan dasar ini, kita mampu mengungkapkan begitu banyak fenomena-fenomena alami dengan perhitungan matematis."Salah satu dari tema yang menarik bagi seorang penulis adalah terdapatnya kerumitan yang begitu besar dalam susunan anatomi manusia dan hewan. Penciptaan dan pembuatan satu anggota badan manusia atau hewan, bahkan yang berukuran paling kecil sekalipun, merupakan hal yang luar biasa, dimana hal ini keluar dari jangkauan bahkan dari paling jenius dan paling mahirnya manusia” [14].

Paul Clarence Aebersold ahli fisika-nuklir, fisika-biologi, ahli radiasi Netron dan Isotop menulis:

“Manusia, dengan kecerdasan atau instink esensial-nya telah mengetahui bahwa di dalam alam materi ini terdapat sebuah keteraturan, ketertiban dan intelegensi. Dimana untuk mengatakan peristiwa tersebut sebagai sebuah kebetulan merupakan hal yang sangat susah. Karena materi tidak mempunyai kecerdasan dan kehendak. Persepsi manusia yang dalam trans-pemahaman dan persepsinya memahami akan keniscayaan adanya pencipta, merupakan dalil yang kuat atas wujud Tuhan” [15].

John Cleveland Cothran, ahli matematika, fisika dan kimia terkenal, setelah menjelaskan poin-poin tentang adanya kehendak unsur-unsur atom untuk berkomposisi dan kuat serta lemahnya komposisi atom-atom metal alkaline dan kandungan metal dari keluarga chlor dengan air, mengatakan:

“Penemuan konstruksi atom saat ini menunjukkan bahwa pada semua pemisalan ini terdapat aturan tertentu yang menguasainya. Dimana keberuntungan dan kebetulan tidak termasuk di dalamnya, … alam materi, tanpa syak merupakan alam yang tertib dan memiliki keteraturan. Bukan alam yang kaku dan tak beraturan. Apakah seorang manusia berakal mampu mempercayai bahwa materi tanpa perasaan dan tanpa kecerdasan muncul secara kebetulan dan memberi keteraturan pada dirinya sendiri lalu keteraturan tersebut kekal baginya? Tidak diragukan lagi bahwa jawaban dari pertanyaan ini adalah “Tidak”.

Semenjak era Loard Clevin (salah satu dari ahli fisika terbesar), inovasi ilmu pengetahuan berkembang dengan begitu pesatnya sehingga apa yang dikatakan oleh Clevin bisa diulangi kembali dengan kepercayaan dan keyakinan yang lebih mantap. Ia mengatakan: “Jika engkau berpikir dengan baik, maka ilmumu akan memaksamu untuk beriman kepada Tuhan” [16].

Merrit Stanley Congdon, seorang psikolog, ahli fisika, filosof dan analis kitab suci mengatakan:

“Kita harus menerima, bahwa aktifitas akal dan faktor pengatur yang mempunyai kecerdasan terdapat dalam kurva berbentuk lonceng terbagi (dalam orbit-orbit berbagai elektron), dalam perputaran air, dalam perputaran gas karbon di alam, kualitas regenerasi biologis yang menakjubkan, aktualisasi cahaya dalam menggudangkan energi matahari pada tumbuhan untuk melangsungkan kehidupan eksistensi-eksistensi hidup di permukaan bumi dan semisalnya. Bagaimana kita bisa menggambarkan bahwa aktivitas-aktivitas semacam ini terjadi secara sendirinya dan muncul secara kebetulan tanpa keberadaan faktor pemilik kecerdasan? Bagaimana mungkin kebersatuan dan kekomplekan ini, kausalitas dan kesempurnaan, tujuan dan keterkaitan aspek satu sama lain, keberlanjutan kehidupan, keseimbangan dan perputaran satu setelah yang lainnya dan sebagainya, telah ditemukan untuk memberikan jawaban atas kebutuhan-kebutuhan alam yang penuh aktivitas tetapi tanpa ada satupun faktor yang mempunyai pengaruh?”.[17]

Cressy Morrison pada akhir buku terkenalnya “Raz Ofarinesy Insan” (Rahasia penciptaaan Manusia) menuliskan:

“Sebagaimana yang telah kita lihat pada halaman-halaman sebelumnya, dunia telah diciptakan sedemikian rupa hingga segala sesuatunya berada dalam posisinya yang tertentu: Ketebalan kulit bumi berada dalam ukurannya yang tepat dengan apa yang diperlukan, demikian juga kedalaman laut persis berada dalam ukuran yang dibutuhkan dimana apabila lebih dalam beberapa meter saja dari apa yang ada, maka oksigen tidak akan mencukupi kebutuhan makhluk hidup yang akibatnya tidak akan ada tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di permukaan bumi. Bumi berputar sekali dalam 24 jam. Apabila putaran ini dilakukan sedikit lebih panjang maka tidak akan tersedia sarana kehidupan di muka bumi. Kecepatan perputaran bumi mengelilingi matahari, apabila dilakukan sedikit lebih panjang atau lebih pendek dari yang seharusnya, akibatnya tidak akan ada wujud kehidupan di alam ini. Atau kalaupun ada, maka sejarah penciptaan yang muncul akan berbeda dengan apa yang ada sekarang. Sebagaimana yang telah kami katakan: Dari ribuan matahari yang terdapat di dalam gugusan antariksa alam semesta ini, hanya matahari kitalah yang dari kewujudan kita dapat mengambil nikmat kehidupan. Hal ini karena, hanya matahari inilah yang mempunyai diameter lingkaran, ketebalan udara sekeliling, kuantitas cahaya dan mempunyai cahaya radiasi yang relevan dan sesuai dengan kehidupan bumi kita ini. Sekali lagi sebagaimana yang kita lihat, jumlah dan jenis gas-gas yang terdapat di udara betul-betul sesuai dengan keseimbangan alam. Dan apabila dalam kesesuaian ini terdapat perubahan sedikit saja, maka kehidupan di permukaan bumi akan menjadi sirna. Ini hanyalah sebuah poin dari beberapa majemuk dalam tema khususnya pada kondisi fisik bumi, sebagaimana yang telah kami jelaskan pada pasal sebelumnya.

Ketika kita memperhatikan kedalaman bumi dan kondisinya di space, lalu kita amati pula aplikasi menakjubkan yang berlaku atas fenomena-fenomenanya, maka kita akan melihat bahwa seandainya aplikasi ini terjadi secara aksidental (kebetulan), maka kemungkinan untuk terjadinya sebagian mereka, adalah satu juta banding satu. Dengan demikian, kemajemukan mereka membutuhkan berjuta-juta kemungkinan. Atas dasar ini, kemunculan bumi dan kehidupan di permukaannya sama sekali tidak bisa dianalogikan dengan hukum-hukum yang berkaitan dengan hukum aksidensial.

Hal yang lebih ajaib dari aplikasi insan dengan aspek-aspek alam, adalah aplikasi alam dengan insane. Dimana setelah secara sepintas melakukan analisa terhadap keajaiban alam, diketahui dengan jelas bahwa semua pembentukan, keteraturan dan ketertiban ini memiliki tujuan dan maksud yang terkandung di dalamnya. Dan Qâdir Muta’âl (Penguasa Tertinggi)–yang kita namakan dengan Tuhan- melaksanakan program ini dengan cermat, detail dan tepat pada waktunya”.[18]


Hume dan teori Keteraturan
David Hume (1711-1776) seorang filosof Skeptisisme asal Scotlandia, dengan penyimpulan khasnya yang diambil dari teori keteraturan, mengeluarkan kritikannya atas teori ini dan menuliskannya dalam sebuah buku yang berjudul “Conversation”.

Hume berpendapat bahwa asas dari teori ini hanyalah sebuah analogi, tak lebih dari itu, dimana analogi –dari pandangan logika- tidak memberi keyakinan. Dengan demikian, teori ini pun tidak memberikan keyakinan.

Sanggahan lain yang dia ungkapkan adalah bahwa teori ini sama sekali tidak menafikan kemungkinan terjadinya hal yang bersifat kebetulan belaka dalam keteraturan yang menguasai eksistensi. Sehingga dengan demikian, tidak bisa dijadikan argumen yang bisa dipergunakan untuk membuktikan keberadaan pengatur eksternal yang bernama Tuhan.


Ringkasan dari sanggahan yang dilontarkan oleh Hume dan jawaban atasnya, akan kami ulas dalam tiga bagian sebagai berikut:
Asas dari teori keteraturan adalah analogi:

Hume mengatakan: Dalam teori keteraturan, aktivitas Tuhan sama dan identik dengan aktivitas yang kita lakukan. Sehingga kami mengatakan: Mengingat aktivitas kita dan keseluruhan manusia merupakan efek dari kecerdasan dan ilmu, dengan demikian keseluruhan alam semesta pun yang merupakan aktivitas Tuhan, merupakan efek yang mengandung ilmu dan kecerdasan. Dan karena kita sekarang tidak mempunyai jalan menuju ke arah pencipta eksistensi -untuk bisa menghukumi dan mengklaim sesuatu yang berkaitan dengannya dan aktifitasnya-, maka aktivitasnya yaitu penciptaan alam, bisa kita identikkan dengan ilmu dan kecerdasan.

Dalam menjawab sanggahan ini dapat kami katakan: –sebagaimana yang telah kami isyaratkan sebelumnya- bahwa dengan ilmu hudhuri[19] kita dapat menemukan bahwa keteraturan dan kecermatan, merupakan akibat dari ilmu dan hikmat. Lalu perolehan hudhuri ini kita letakkan sebagai premis mayor argumentasi dalam bentuk sebuah proposisi universal dan hushuli[20]. Kemudian kita komparasikan atas keteraturan eksistensi di alam. Lalu kami katakan bahwa: keteraturan alam semesta pun muncul dari ilmu dan pengetahuan pengaturnya, yaitu Tuhan. Oleh karena itu, asas dari argumentasi ini adalah sebuah premis mayor yang rasional. Sehingga rgument ini tergolong dalam argumentasi rasional, bukan analogi.


Apakah Tuhan mirip dengan manusia?
Sanggahan lain yang dilontarkan oleh Hume adalah apabila analogi di atas benar, maka konsekuensi yang muncul dari hal tersebut adalah kita berkata: “Tuhan mirip dengan manusia”.

Dalam menjawab klaim ini harus dikatakan: Hume telah mencampur adukkan persepsi (yang ada dalam pikiran) dengan mishdaq (obyek luar), dan beranggapan bahwa apabila kita mempergunkan sebuah persepsi secara sejajar dalam kaitannya dengan Tuhan dan insane, maka hal ini mempunyai makna bahwa secara obyektif pun Tuhan dan insan adalah sama. Sedangkan pada kenyataannya tidaklah demikian. Misalnya dalam filsafat, kita sepakat bahwa persepsi wujud merupakan sebuah persepsi universal yang memberikan satu makna untuk Tuhan maupun selain Tuhan. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa secara wujud dan obyek, Tuhan dan selain Tuhan mempunyai kesamaan yang sempurna.

Dengan memperhatikan poin ini, kami akan menjawab sanggahan Hume dengan unfkapan: Kami menerima bahwa Tuhan pun mempunyai kemiripan dengan manusia, yaitu aktivitas Tuhan menunjukkan pada kebijakan dan pengetahuan-Nya. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa bentuk perbuatan yang bijak Tuhan sama persis dengan apa yang dimiliki oleh manusia. Dalam penciptaan, Tuhan hanya memberikan wujud dan keberadaan, bukan mencipta makhluk dengan segala karakteristiknya. Dari wujud yang terpancar dari Tuhan-lah, muncul segala makhluk-makhluk yang berbeda. Jelaslah bahwa tidak ada pelaku lain yang bisa seperti ini selain Tuhan. Artinya bahwa perbuatan Tuhan senantiasa diiringi dengan keteraturan, hikmah dan pengetahuan, bukan berarti bahwa Dia pun –sebagaimana manusia- membutuhkan tujuan dan maksud di luar esensi dirinya. Lalu untuk mencapai tujuan tersebut dia lantas membuat satu perencanaan. Lalu menciptakan makhluk-makhluk dan setelah itu dengan bertolak pada planning tersebut, Tuhan menertibkan ciptaan Nya. Tidak, tidak demikian. Sebelumnya kami telah mengatakan bahwa keteraturan adalah sebuah persepsi dan ma’qul tsani filsafat yang menghikayatkan cara terbentuknya wujud, yaitu bahwa keteraturan merupakan kualitas penciptaan dan tidak bisa terpisah dari penciptaan itu sendiri, yaitu pada hakikatnya. Pengaturan makhluk-makhluk yang dilakukan oleh Tuhan identik dengan penciptaan keteraturan makhluk-makhluk itu. Dengan penjelasan yang lebih tepat dikatakan bahwa, Tuhan tidak menciptakan makhluk-makhluk terlebih dahulu kemudian mengaturnya, melainkan penciptaan dan pengaturan merupakan dua persepsi yang bersumber dari satu perbuatan dan pada hakekatnya kedua persepsi tersebut adalah satu. Tetapi mengenai perbuatan manusia, tema di atas tidaklah benar. Karena manusia sama sekali bukan pencipta yang sama dengan Tuhan. Terdapat perbedaan yang pasti antara manusia dan Tuhan. Banyak dari kata-kata seperti ilmu, kekuatan, ikhtiar, wujud, kausa prima, keteraturan dan hidup yang bisa pula dipergunakan dalam kaitannya dengan Tuhan.[21] Tetapi dengan syarat menghilangkan kesan ketidaksempurnaan dalam pemakaian kata-kata tersebut dan pemaknaannya.[22]

Sanggahan ketiga Hume mengatakan bahwa teori keteraturan tidak akan menafikan kemungkinan aksiden. Karena bisa jadi keteraturan yang cermat dan rumit ini telah ditemukan secara aksiden seiring dengan perubahan zaman. Dan dalam kondisi seperti ini berarti tidak ada kebutuhan terhadap pengatur eksternal dari alam materi.

Ia berkata: kita tidak yakin bahwa dunia yang dinamakan sebagai dunia yang ditemukan telah terbentuk seperti ini, bukan merupakan konklusi dari kejadian dan peristiwa di alam yang membabi buta dan tanpa kehendak. Bahkan, kita tidak mampu untuk meyakini bahwa terdapat faktor yang bertanggung jawab atas keteraturan alam. Dari sini, secara yakin kita tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa faktor tersebut adalah faktor yang pintar dan sadar.[23] Berkaitan dengan hal ini, Hume sepakat dengan teori materialisme dan memberikan penjelasan mekanik untuk alam.


Tafsir mekanika alam
Epicurs, salah seorang filosof Yunani Kuno, sebagaimana para pakar atom, memberikan tafsir mekanik untuk alam natural bahwa peristiwa-peristiwa alam bisa dijelaskan sesuai dengan aliran materialisme. Dia berpendapat bahwa penyebab kejadian alam dan keteraturan yang menguasai mereka, tidak lain adalah gerakan membabi buta dan tanpa kehendak dari atom yang melakukan gerakannya di udara dan mereka saling bertabrakan antara satu dengan yang lainnya secara kebetulan, tanpa adanya program dan rencana sebelumnya. Kemudian terjadilah peristiwa.

Perkataan Hume dan para materialis pun seperti ini. Para Materialis menerima persoalan keteraturan yang menguasai fenomena-fenomena alam ciptaan dan juga menerima adanya sebab pelaku (ilat fa’ili) untuk fenomena. Tetapi, mereka mengingkari sebab tujuan (ilat gha-i). Mereka tidak menerima adanya tujuan dalam keteraturan eksistensi. Dan sepakat bahwa keteraturan ini muncul karena kebetulan dan tidak ada peran sedikitpun dari pengatur yang mempunyai kecerdasan.


Analisa atas masalah co-insiden (kebetulan)
Kata co-insiden (kebetulan), terkadang digunakan dengan makna munculnya akibat tanpa sebab, yang hal ini merupakan kasus yang jelas-jelas invalid dan salah. Tetapi terminologi co-insiden sering pula dipergunakan dalam beberapa kasus pada dua atau beberapa sebab pelaku (ilat fa-ili ) untuk menyempurnakan tujuan tertentu tanpa adanya tujuan dan rencana sebelumnya. Seperti misalnya dua orang sahabat lama yang bertahun-tahun tak bersua dan tak ada khabar, tiba-tiba bertemu di sebuah kota tanpa adanya rencana seperti itu sebelumnya.

Apakah dalam menjelaskan fenomena eksistensi dengan keteraturan cermat yang melingkupinya ini kita mampu untuk menyepakati teori co-insiden ini, lalu mengatakan bahwa: Semua fenomena ini muncul dari materi itu sendiri dan keteraturan yang menguasai fenomena-fenomena tersebut, sebagaimana keteraturan yang menguasai elemen-elemen sebuah mesin otomatis, yang menjaganya dalam bentuk mekanik dan menyempurnakan tujuan mesin.

Mereka yang setuju dengan faktor kebetulan dan tidak mengakui keteraturan alam sebagai akibat dari pengetahuan yang lebih luas, menguatkan pendapatnya dengan dua cara:

1. Adanya kontraksi alam,

2. In-konsisten dan ketidakjelasan sebagian besar alam bagi kita.


Jawaban untuk sanggahan ketiga Hume
Dalam menjawab sanggahan Hume dan klaim yang diajukan oleh para materialis, dapat kami katakana bahwa:

Dengan memisalkan, bahwa kita menerima adanya kontraksi alam[24] dan juga menerima bahwa ilmu kita terhadap fenomena-fenomena eksistensi sangat terbatas, kembali kita tidak mampu menerima bahwa keteraturan yang meliputi partikulasi terbatas yang jelas ini merupakan akibat dari co-insiden yang membabi buta. Hal ini karena kemungkinannya sangatlah lemah sehingga tidak akan ada seorang akil pun yang menyetujuinya. Cressy Morris pada pasal pertama dari bukunya “Rahasia Penciptaan Manusia” menulis:

“Berilah tanda pada sepuluh keping logam dengan angka dari satu hingga sepuluh, dan letakkanlah kepingan-kepingan tersebut pada saku Anda lalu kocoklah. Setelah itu, berusahalah untuk mengeluarkannya secara tertib dari angka satu hingga angka sepuluh. Dan setiap kali Anda mengeluarkannya dari saku, masukkan kembali ke dalam saku, sebelum Anda mengeluarkan kepingan kedua. Dengan demikian, kemungkinan munculnya angka satu dan angka dua secara berurutan adalah satu banding seratus. Kemungkinan munculnya angka 1,2,3, secara berurutan adalah satu banding seribu dan kemungkinan munculnya angka 1,2,3,4 secara berurutan adalah satu banding sepuluh ribu. Dengan metode ini kemungkinan munculnya angka secara berurutan akan semakin berkurang, hingga akhirnya kemungkinan angka-angka tersebut akan mucul secara berurutan dari satu hingga sepuluh akan mencapai perbandingan satu banding sepuluh juta. Maksud dari penyajian pemisalan yang sangat sederhana ini adalah untuk menunjukkan bagaimana bilangan akan menanjak naik ketika berhadapan dengan kemungkinan.

Untuk terwujudnya kehidupan di muka bumi, situasi dan kondisi yang menguntungkan sangat dibutuhkan dimana hal ini dari sisi kemungkinan matematis merupakan hal yang mustahil untuk digambarkan. Bahwa situasi dan kondisi ini muncul melalui peristiwa co-insiden dan kebetulan-kebetulan yang terjadi antara satu dengan yang lainnya. Atas dasar ini, tidak ada cara lain kecuali harus sepakat bahwa di alam natural ini terdapat potensi intelek eksternal yang memperhatikan semua peristiwa yang terjadi. Ketika kita meletakkan kepatuhan pada point ini maka mau tidak mau kita harus sepakat bahwa tujuan dan maksud tertentu terdapat pada majemuk dan perbedaan. Dan juga pada fenomena kehidupan”.[25]

Dari apa yang telah kami katakana, dapat disimpulkan bahwa teori keteraturan, seandainya tidak memberikan keyakinan, dan kepadatannya tidak mencapai seratus persen, dan kita tidak bisa mengatakannya sebagai teori akal, tetapi yang jelas terdapat sebuah teori urfi, dimana kita tidak bisa begitu saja mengesampingkannya. Bahkan Hume sendiripun mengakui point ini. Hume termasuk salah seorang filosof yang memisahkan batas antara teori dengan praktek. Dan ia sepakat bahwa meskipun sebagian akidah dan opini pada tingkatan teori tidak bisa diaffirmasikan, tetapi akidah dan opini ini pada tingkatan praktik menjadi sangat penting dan relevan. Oleh karena itu, Hume setelah mengemukakan semua sanggahannya mengatakan, bahwa teori keteraturan –meskipun bukan merupakan teori yang valid- hingga batasan tertentu, merupakan teori yang cukup memuaskan. Keteraturan yang terlihat di alam natural –selain apa yang telah dikatakan- apabila dalil tidak mencukupi, minimal terdapat karinah atas hal ini; bahwa sebab, atau sebab keteraturan di alam semesta -secara kemungkinan- mempunyai kemiripan dengan akal dan individu manusia.[26]


Catatan Kaki:
[1] . Suatu pahaman yang diambil atau berasal dari wujud atau obyek luar, yang tidak berdiri sendiri. Wujud luar ini ada dengan keberadaan wujud yang lain, atau wujud luar ini bersandar pada wujud lain. Seperti keberadaan warna putih yang senantiasa bersandar pada wujud-wujud lain. Misalnya dikatakan kayu putih, kertas putih dsb. Jadi, pahaman kita tentang putih diambil dari kertas yang putih. Bukan berasal langsung dari putih itu sendiri. Begitu pula tentang keteraturan. Pahaman kita tentang keteraturan tidak langsung diambil dari keteraturan itu sendiri. Tetapi diambil dari wujud-wujud luar yang saling melakukan keseimbangan, keharmonisan dan kerjasama satu dengan lain.

[2] Terdiri dari: 1. Genus (jins), 2. Species (nu’), 3. Difference (fashl), 4. General accident (‘aradh ‘am), 5. Special accident (‘aradh khas), (pent)

[3] . Sebuah persepsi yang langsung diambil dari wujud atau obyek luar yang berdiri sendiri, misalnya pahaman kita tentang pohon yang langsung diambil dari wujud atau obyek pohon itu sendiri.

[4] . pahaman ,yang ada dalam pikiran kita, yang tidak bisa dikenakan pada wujud luar, misalnya pahaman tentang kata universal, universal ini tidak bisa ada dan tida mewujud di alam luar. Kita tidak akan mungkin menemukana benda yang bernama universal. Oleh karena itu universal itu hanya ada dalam alam pikiran kita.

[5] “Tujuan dan maksud” –baik dengan makna “akhir dari sebuah gerak” ataupun dengan makna “hal-hal yang menyebabkan terjadinya gerak”-sebagaimana yang telah dijelaskan dalam filsafat gerak-, senanitasa merupakan persoalan yang obyektif dan riil, oleh karena itu “nilai dan relativitas” sama sekali tidak bisa di kaitkan dengan “tujuan” . Baik dan buruk, penting dan bahaya, jelek dan cantik,.... bukan merupakan tujuan, melainkan merupakan sifat-sifat tujuan, misalnya: membunuh makhluk hidup merupakan tujuan diciptakannya senjata, akan tetapi baik dan buruk, jelek dan cantik, ..... digolongkan sebagai sifat-sifat pekerjaan (membunuh) tersebut, dan pekerjaan membunuh itu sendiri tidak bisa disebut sebagai tujuan sehingga kita mengatakan hal tersebut masuk dalam wilayah: normatif dan relatif atau tidak normatif dan hakiki. Jangan pula kita lupa pada point berikut bahwa semua konsepsi dengan istilah normatif (seperti konsepsi-konsepsi akhlak) bukanlah sebuah relatifi murni. “Binesh-e Islâmi” (Sal awal-e dabiristan), catatan kaki, hal. 20.

[6] Capleston, “Târikh Falsafah”, terjemahan Sayyid Jalaluddin Mujtabawy, J. 1, hal. 110; lihat juga Ayon Barbor, “Ilmu dan agama”, terjemahan Baha-uddin Khurramshahi, hal. 162, (dengan judul “Akhd wa Iqtibas Ilahiyyat az ilm”, tentu saja dalam ringkasan ini kami tidak menganalisa pendapat ini.

[7] Târikh Falsafah, J. 1, hal. 276-267.

[8] Rasa-il Ikhwanus safa, J. 1, hal. 13.

[9] Tarikh Falsafah, J. 1, hal 267-276.

[10] . Adalah kesempurnaan puncak yang ingin diraih pelaku dalam perbuatannya. Misalnya seseorang yang pergi menuntut ilmu ke kota suci Qom. Sebab kepergian dia ke Qom untuk menuntut ilmu, karena dia tahu bahwa ilmulah yang menyempurnakan dirinya, inilah yang disebut illat gha-i.

[11] . yaitu benda A yang memiliki hukum-hukum tertentu, maka hukum-hukum yang berlaku pada benda A dapat juga diterapkan pada benda-benda yang memiliki karakteristik yang sama dengan benda A.

[12] Ibid, hal. 210

[13] . Proposisi yang premis minornya telah terbukti kebenarannya dan diterima sebagai suatu kaidah yang umum.

[14] Krider, Abrsuld, Kautsren dan ..., "Itsbat Wujud-e Khuda”, hal. 70, 71. Kitab ini ditulis oleh 40 orang ilmuwan ilmu eksperimentasi dan Aqa-e Ahmad Aam yang menterjemahkannya dalam bahasa Persia..

[15] Ibid, hal. 65.

[16] Ibid, hal. 42, 44 dan 45.

[17] Ibid, hal. 36 dan 37.

[18] Cressy Morrison, Rahasia Penciptaan Manuisa, terjemahan Muhammad Sa-idi, hal. 179-181.

[19] . Hadirnya hakikat sesuatu dalam diri sesorang ‘alim. Seperti ilmu kita terhadap diri kita sendiri. Ilmu hudhuri adalah ilmu yang tidak diperoleh lewat pemahaman sesuatu terlebih dahulu. Misalnya ilmu kita tentang “sakit” tidak diperoleh lewat pahaman sakit, tetapi sakit itu kita ketahui dengan hadirnya rasa sakit itu sendiri dalam diri kita.

[20] . Lawan dari ilmu hudhuri.

[21] Dasar kritikan Hume di sini mirip dengan apa yang dikatakan oleh “Mu’talah”, Mu’talah sepakat bahwa, karena Tuhan tidak mempunyai “misal” (laisa kamitslihi shai), dengan demikian tidak ada satupun dari sifat-sifat manusia yang bisa diberlakukan untuk Tuhan, dan dari sini menyebabkan dalam bab theology sepakat untuk libur.

Jawabannya adalah semua kemiripan adalah persepsi dan bukan obyektif dan dengan istilah lain meskipun Tuhan dari segala sisi tanpa pengganti dan tidak mempunyai persamaan akan tetapi mempunyai contoh (perhatikan), Sayyid Muhammad Husein Thaba-thaba-i, Nihayatul Hikmah, tingkatan 12, pasal 7.

[22] . Misalnya kata ilmu digunakan pada Tuhan dan manusia, tetapi ilmu yang disandarkan pada Tuhan adalah ilmu yang sempurna dan ilmu yang dikaitkan dengan manusia adalah ilmu yang kurang sempurna, pent.

[23] Kuliyyat-e Falsafah, hal. 222.

[24] Dalam filsafat telah terbukti bahwa kontraksi merupakan sebuah aktivitas yang berhenti, yaitu pada realitasnya, bisa terhitung, Nihayatul Hikmah, tingkatan 12, pasal 18.

[25] Hal. 9 dan 10.

[26] Kuliyyat-e Falsafeh, hal. 231.

5
Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

Argumen Ontologi St. Anselm [3]
Argumen (burhân) Ontologi atau eksistensial, merupakan sebuah tema yang sejak abad ke-11 Masehi (abad ke-5 Hijriyah) telah ramai dibincangkan oleh para filosof. Perintis argumen ini adalah Santo Anselm. Berangkat dari sinilah, kemudian teori ini dikenal sebagai argumen Anselm.

Anselm, berupaya menemukan dalil pasti untuk membuktikan wujud Tuhan. Berdasarkan apa yang telah ditulis oleh sebagian orang, dikatakan bahwa, Anselm tidak hanya mencukupkan dirinya dengan membenarkan saja. Bahkan ia juga menuntut adanya dalil-dalil pasti dan konklusif atas wujud Tuhan. Hal ini senantiasa mengganggu dan mengusik pikiran Anselm, pada saat ia menunaikan ibadah.

Dan bahkan tak jarang, hal tersebut telah membuatnya lupa untuk menyantap makanannya. Hingga akhirnya, pada satu dini hari, setelah sekian malamnya ia lalui dalam kontemplasi yang mendalam, ia menemukan apa yang selama bertahun-tahun ini telah mengganggunya.

Akhirnya ia menemukan apa yang ia cari selama ini, yaitu argumen yang terkenal sebagai “argumen ontologi”. Sebuah argumen untuk membuktikan wujud Tuhan.

Setelah Anselm, muncul sosok lain dari ilmuwan era Scholastic yang bernama Johannes Duns Scotus (1265-1308), yang terkenal dengan sebutan “Guru yang berpandangan luas”. Dan terkenal pula sebagai lelaki yang cemerlang dan cerdas. Ia mengungkapkan teori ini dengan ulasan yang berbeda. Scotus sebagaimana Anselm, banyak meninggalkan pandangan-pandangan Aristoteles dan beralih pada gagasan-gagasan Plato.

Pada abad medieaval (abad pertengahan), sebagian orang menganggapnya sebagai pelanjut “tradisi Thomas” dan mengatakan bahwa pandangannya merupakan kolaborasi antara pendapat Augustin dan Aristoteles.

Setelah Scotus, sekali lagi argumen ontologi Anselm menapaki babak baru dengan penampilan yang berbeda yang dituangkan oleh Rene Descrates (1596-1650), seorang filosof terkenal asal Perancis.

Berturut-turut setelah itu, filosof asal Perancis yang bernama Nicolas Malebranche (1638-1715). Ia mengungkapkan pula argumen-argumen untuk membuktikan wujud Tuhan yang mirip dengan argumen ontologi Anselm.

Baruch Spinoza, (1632-1677) adalah filosof berikutnya yang mengungkapkan argumen ontologi ini dengan ungkapan dan penjelasan yang sangat indah.

Setelah Spinoza, muncul Gottfried Wilhelm Leibnitz (1646-1716) yang mengkoreksi argumen ontologi Anselm dan menemukan penjelasan yang lain.

Akhirnya, argumen ontologi melalui Immanuel Kant, menjadi sebuah argumen yang menjadi sasaran kritik dan diragukan. Tentu saja, sebagian filosof sebelum Kant –bahkan pada masa Anselm sendiri- juga telah menjadikan argumen ini sebagai bahan kritik.

Dan terakhir, Hegel (1770-1831) mengungkapkan pendapat lain tentang pembuktian wujud Tuhan.


Teks argumen ontologi
Argumen ini –sebagaimana yang telah kami sebutkan- sejak era Anselm telah diungkapkan dengan penjelasan dan ulasan yang beragam. Kami akan menyajikan penjelasan-penjelasan tersebut dengan berurutan sebagai berikut:


1. Penjelasan Anselm
Dalam kitab “Mabâni wa Târikh Falsafe-ye Gharb” (Akar dan Sejarah Filsafat Barat) disebutkan sebagai berikut:

“Anselm mengatakan: seluruh eksistensi -kurang-lebihnya- senantiasa akan berhadapan dengan kesempurnaan. Oleh karena itu, konsepsi yang menggambarkan adanya sebuah realitas, dimana tidak ada lagi realitas yang lebih sempurna darinya yang mampu digambarkan, adalah sebuah konsepsi yang logis. Jika realitas yang didefinisikan ini adalah wujud Tuhan, berarti Tuhan harus riil. Karena, apabila Tuhan hanya merupakan gambaran, dan realitasnya hanya berada dalam pikiran, berarti masih bisa digambarkan adanya realitas lain yang lebih sempurna darinya, yaitu eksistensi yang betul-betul wujud. Dan ini berarti terjadi kontradiksi. Oleh karena itu, dan berdasarkan perhitungan logika, mau tidak mau harus diterima, bahwa realitas dan eksistensi yang kesempurnaannya mutlak betul-betul ada, dengan demikian maka Tuhan ada”.[2]

Dalam kitab Kuliyyât-e Falsafah (Materi-materi Filsafat), dituliskan:

“Ia (Anselm) sepakat, bahwa setiap orang yang memahami maksud lafadz-lafadz Tuhan atau maujud Muta’al, dia akan menemukan, bahwa eksistensi semacam ini harus riil dan ada. Tuhan adalah sebuah realitas, dimana tidak ada lagi realitas lain yang lebih besar darinya yang bisa digambarkan. Karena aku bisa memahami definisi ini maka aku bisa menggambarkannya. Lebih dari itu, aku bisa menggambarkan Tuhan, sehingga tidak saja dia merupakan sebuah persepsi dalam pikiranku, melainkan juga sebagai sebuah eksistensi dalam realitas, yaitu ada secara mandiri dari persepsi dan pikiranku.

Setelah diketahui bahwa keberwujudan -sebagai sebuah persepsi dan juga sebagai sebuah realitas- lebih besar dari keberwujudan yang hanya sebagai sebuah konsepsi (tashawwur, gambaran dalam benak), maka berarti, Tuhan harus riil dalam hakikat, dan juga riil dalam konsepsi. Berdasarkan definisi ini, maka Tuhan adalah sebuah realitas wujud, dimana realitas lain yang lebih besar darinya tidak bisa dapat digambarkan. Oleh karena itu, Tuhan harus ada dalam realitas. Jika tidak, maka sesuatu yang lebih besar dari Tuhan masih bisa digambarkan (yaitu sebuah eksistensi yang selain mempunyai semua sifat-sifat Tuhan juga mempunyai keberadaaan yang riil). Dan ini mungkin melalui definisi Tuhan tersebut, atau melalui wujud yang superior dan sempurna”.[3]

Dalam kitab “Seir Hikmah dar Europa” (Perjalanan Filsafat di Eropa), dituliskan:

“Dari semua argumen yang dikemukakan oleh Anselm untuk membuktikan esensi Tuhan, yang lebih banyak diketengahkan dan subyek pembahasan yang lebih banyak dimunculkan adalah apa yang terkenal dengan argumen “ontologi” atau “eksistensial”,??? sebagai berikut:

Setiap orang, bahkan orang yang dungu sekalipun, mempunyai konsepsi atas dzat (esensi), dimana tidak ada lagi realitas lain yang lebih besar dari dzat tersebut. Dzat seperti ini tentu saja ada. Karena apabila tidak ada, maka paling besarnya dzat yang masuk ke dalam konsepsi dan mempunyai realitas wujud, berarti lebih besar darinya. Dan hal ini keliru.

Dengan demikian, berarti -secara desisif- terdapat sebuah dzat yang dalam realitas merupakan paling besarnya dzat. Dan dia adalah Tuhan”.

Dalam Kamus Filsafat, dikatakan:

“Anselm, memulai pembahasannya dengan menggunakan perumpamaan orang dungu. Pembahasan ini begitu panjang. Tetapi kami akan menyajikan permulaan pembahasannya tersebut sebagai berikut:

Bahkan seorang dungu pun percaya, bahwa minimal di dalam konsepsi dan pemahaman manusia terdapat sebuah realitas, dimana tidak ada realitas lain yang lebih baik darinya yang bisa digambarkan. Karena ketika dia mendengar perkataan ini, tanpa ragu lagi iapun akan memahaminya. Dan apa yang ia fahami ada dalam kefahamannya. Dan tanpa syak lagi, realitas tersebut -dimana realitas lain yang lebih baik darinya tidak bisa digambarkan lagi- tidak bisa hanya ada dalam pemahaman. Karena apabila kita asumsikan hanya ada dalam pemahaman, maka kelanjutan dari asumsi ini bisa dikonsepsikan bahwa pada alam riil pun terdapat realitas yang lebih besar dari persepsi kita. Jadi, apabila realitas tersebut, dimana realitas lain yang lebih besar darinya tidak bisa digambarkan lagi, hanya terdapat dalam konsepsi. Selanjutnya penggambaran sebuah benda akan muncul kemestian, bahwa ada realitas lain yang lebih baik dari nafs, dan hal ini mustahil. Karena tidak ada sesuatu yang lebih baik dari nafs. Oleh sebab itu, tidak ragu lagi bahwa ada sebuah realitas, dimana tidak ada realitas lain yang lebih baik darinya yang bisa digambarkan lagi. Dan realitas tersebut ada di dalam persepsi dan juga di alam riil. Dan secara pasti keberadaanya sangat benar, sehingga ketiadaannya tidak bisa digambarkan. Karena penggambaran sebuah wujud yang ketiadaannya tidak bisa digambarkan adalah memungkinkan. Dan ini lebih baik dari sesuatu yang ketiadaannya bisa digambarkan. Dari dasar ini, apabila realitas tersebut -dimana sesuatu yang lebih baik darinya tidak bisa dikonsepsikan- bisa ditiadakan. Berarti, realitas tersebut bukanlah realitas, dimana sesuatu yang lebih baik darinya tidak bisa lagi digambarkan. Tetapi, proposisi ini akan menyebabkan terjadinya kontradiksi yang tidak dapat diterima.

Jadi, kewujudan rsealitas tersebut sedemikian jelasnya, sehingga realitas lain yang lebih baik darinya, tidak bisa lagi digambarkan. Dan bahkan penggambaran ketiadaan realitas wujud semacam ini pun mustahil. Realitas wujud ini adalah Engkau, wahai Tuhan kami .....”.[4]


2. Penjelasan Descartes
Dalam kitab “Seir Hikmah dar Europa”, dinukilkan tiga buah argumen (burhân) dari Descartes dalam membuktikan wujud Tuhan. Argumen ketiga adalah argumen ontologi Anselm yang dituangkan dengan penjelasannya yang khas, sebagai berikut:

“Kami katakan: Sebagian masalah merupakan bagian esensi dan hakikat dari sebagian masalah lainnya, dimana keduanya saling meniscayakan. Misalnya: akar dari kedua rangkaian sudut segitiga adalah bagian dari hakikat segitiga. Esensi Tuhan pun mempunyai inherensi (keniscayaan) dengan keberadaan. Karena Dia merupakan realitas kesempurnaan. Dan kesempurnaan tidak bisa digambarkan tanpa adanya wujud. Karena apabila tidak eksis, maka tidak akan sempurna. Sebagaimana tidak bisa digambarkannya gunung tanpa adanya lembah dan lereng. Dan apabila dikatakan: mungkin saja ada segitiga yang tidak melazimkan adanya akar dari kedua sudutnya, dan mungkin saja terdapat sebuah gunung yang tidak meniscayakan adanya lembah, maka kami akan mengatakan bahwa: Analogi ini sama sekali tidak benar. Karena interaksi wujud pada esensi sempurna, muncul sebagaimana interaksi yang terjadi antara lembah dengan gunung. Artinya sebagaimana halnya gunung tidak bisa ada tanpa lembah, maka dzat sempurna pun tidak bisa ada tanpa adanya wujud. Dengan ungkapan lain; keberadaan dzat sempurna adalah wajib”.[5]

Dalam kitab Falâsefe-ye Buzurg (Filosof-filosof Besar), argumen ontologi Decrates dituangkan dengan uraian yang lebih jelas, sebagai berikut:

“Dengan melalui analisa yang sederhana, kita ketahui bahwa segitiga secara niscaya mempunyai tiga sudut dan tiga siku. Maka gambarkanlah Tuhan dalam diri kalian dengan cara yang demikian pula. Dzat Tuhan, kita definisikan sebagai kesempurnaan mutlak.

Pada hakikatnya kesempurnaan mutlak adalah sebuah majemuk dari seluruh kesempurnaan yang bisa digambarkan. Tetapi, wujud merupakan sebuah kesempurnaan. Oleh karena itu, kesempurnaan mutlak apabila tidak mempunyai wujud, berarti bukan mutlak. Konklusinya: wujud mempunyai keterkaitan dengan kesempurnaan, sebagaimana mestinya segitiga yang mempunyai keterkaitan dengan tiga sudut dan tiga sikunya”.[6]


3. Penjelasan Malebranche dalam pembuktian esensi Tuhan
Malebranche mengatakan:

“Ruh (baik nafs ataupun akal) tidak dapat dicerap, kecuali terdapat sesuatu yang menyatu dan menyambung dengannya. Karena ruh tidak mempunyai koheren dan kesinambungan yang hakiki dengan jasad. Dan koherensi riilnya adalah dengan Tuhan. Maka hanya wujud Tuhanlah yang bisa dicerap. Alasannya adalah sebagai berikut: Sebagaimana ketiadaan (non-exsistence), tidak mampu dilihat manusia, ketiadaan pun tidak mampu dirasiokan. Apapun yang bisa dirasionalkan oleh manusia, berarti ada. Dan kita melihat bahwa kita mempunyai pencerapan terhadap hal-hal tak terbatas. Oleh karena itu, dari paragraf ini bisa disimpulkan dua konklusi, pertama: hal-hal yang tak terbatas itu ada. Dan konklusi kedua: kita mempunyai kesinambungan dengan hal-hal yang tak terbatas tersebut. Karena apabila tidak ada, maka hal ini tidak akan relevan dengan akal kita. Kemudian apabila kita tidak mempunyai kesinambungan dengannya, maka kita tidak akan mampu mencerapnya. Dan hal tak terbatas tersebut (yaitu sesuatu yang kesempurnaannya tak terbatas), siapa lagi kalau bukan Tuhan.”[7]

Prinsip dari reasoning (penalaran) Malebranche adalah, bahwa segala hal yang bisa dikonsepsikan atau dicerap oleh akal, harus eksis. Karena kita mempunyai kemampuan untuk mencerap kesempurnaan mutlak, maka wujud inipun berarti harus eksis. Tetapi prinsip dari argumen Anselm adalah: Apabila kesempurnaan mutlak, yaitu Tuhan, tidak eksis, maka akan memestikan kontradiksi dan kesalahan.

Bisa dikatakan, bahwa perkataan Anselm dalam masalah Teologi merupakan analisa dari perkataan Malebranche itu sendiri, tentang kenapa sesuatu yang kita pahami sebagai kesempurnaan mutlak harus eksis. Tetapi, prinsip universal Malebranche yang mengatakan bahwa “segala sesuatu yang rasional adalah eksis”, menuntut analisa lainnya.


4. Penjelasan Spinoza
Dalam kitab “Seir Hikmah dar Europa”, abstraksi dari argumen ontologi Spinoza diungkapkan sebagai berikut:

“Dari badihi-badihi-lah (hal-hal yang gamblang dengan sendirinya), sehingga eksistensi segala sesuatu merupakan kekuatannya. Dan ketiadaannya merupakan kekurangannya. Oleh karena itu, dalam keadaan dimana kita melihat wujud-wujud terbatas, yaitu wujud-wujud tak sempurna, apabila kita adalah pengingkar wujud sempurna, maka maknanya akan menjadi sebagai berikut: bahwa naqis (cacat, tak sempurna) adalah kuat. Dan sempurna adalah lemah. Tentu saja perkataan ini batal dan salah”.[8]

Sekarang, kita akan membaca teks dari argumen Spinoza yang tertulis di dalam kitab “Akhlak” nya yang terkenal, sebagai berikut:

(Proposisi 11: Tuhan adalah jauhar (substansi) yang diperkuat oleh sifat-sifat tak terbatas dimana setiap sifatnya merupakan eksplanasi dari dzat tak terbatas dan dzat abadi yang secara dharuri (niscaya) harus eksis).

Argumen: Apabila Anda tidak menerima proposisi ini, padahal keadaan memungkinkan, maka misalkanlah bahwa Tuhan tidak ada. Jika demikian, berarti dzatnya tidak meniscayakan adanya wujud. Tetapi hal ini tidak rasional. Dengan demikian, Tuhan secara dharuri ada, relevansinya terbukti.[9]

Selain argumen yang telah tersebut, dalam kitab “Akhlak” Spinoza ini terdapat pula dua teori lain untuk membuktikan proposisi di atas. Teori ketiga adalah teori yang terdapat dalam kitab “Seir Hikmah dar Europa”. Di sana pula -dalam catatan kaki- diisyaratkan bahwa argumen ini adalah apa yang disebut sebagai argumen ontologi Anselm dan Descrates. Teks argumen ketiga dalam kitab “Akhlak” Spinoza adalah sebagai berikut:

“Ketiadaan kekuatan untuk eksis, merupakan dalil kelemahannya. Dan sebaliknya, kekuatan untuk eksis merupakan dalil adanya kekuatan -sebagaimana yang terlihat jelas. Dengan demikian, apabila yang eksis secara niscaya (dharuri) hanya benda-benda terbatas, dalam keadaan ini, keniscayaannya adalah bahwa benda-benda terbatas lebih kuat dari eksistensi yang secara mutlak tak terbatas. Dan ini jelas tidak rasional. Oleh karena itu kita, harus mengambil salah satu dari dua pilihan, yaitu “sesuatu tidak eksis (tidak ada)” atau “eksistensi yang secara mutlak tak terbatas tersebut itu eksis secara niscaya (dharuri)”. Tetapi kita ada dan eksis, baik dalam diri kita sendiri, ataupun dalam benda lain, yang eksis secara niscaya (dharuri). Dengan demikian, “eksistensi yang secara mutlak tak terbatas”, yaitu Tuhan secara dharuri adalah eksis, relefansinya terbukti).[10]

Menurut pendapat kami, argumen awal Spinoza lebih mendekati argumen ontologi Anselm daripada argumen ketiga. Meskipun argumen yang ketiga pun –sebagaimana argumen ontologi- bersandar atas kelaziman yang salah dan kontraditif. Khususnya apabila kita mengetahui, bahwa argumen ontologi Anselm termasuk dalam burhan limmi. Maka kekhususan ini dalam argumen awal Spinoza akan terlihat dengan sebuah makna. Tetapi dalam kaitannya dengan argumen ketiga, Spinoza sendiri menegaskan, bahwa teori ini merupakan burha inni.[11]


5. Penjelasan Leibniz
Pada kitab “Seir Hikmah dar Europa”, dalam uraiannya tentang penjelasan Leibnitz dalam masalah theology tertulis:

“Teori lain yang deduktif adalah teori ontologi Anselm yang diperbaharui pula oleh Descrates. Kesimpulannya adalah sebagai berikut: Begitu kita mempunyai gambaran tentang dzat sempurna, maka hal ini merupakan dalil, bahwa dia ada. Leibniz menyempurnakan teori ini dengan hal berikut, bahwa penggambaran dzat sempurna dan tak terbatas, tidak mempunyai penghalang akal, yaitu tidak termasuk kontradiktif. Dengan demikian tentu ada.

Penjelasan yang bisa ditangkap dari perkataan Leibniz adalah, dia sepakat bahwa setiap dzat yang bisa digambarkan dan wujudnya tidak tertolak akal, mempunyai keniscayaan wujud yang bersesuaian dengan gambaran hakekat dan kesempurnaan yang ada pada dzat tersebut. Dan dzat sempurna tersebut, keniscayaan wujudnya sedemikian sempurna, sehingga wujudnya adalah wajib. Dengan makna, bahwa dzat yang tidak sempurna dan terbatas -bisa jadi dari sisi dzat-dzat yang lain- menghadapi penghalang untuk kewujudannya. Tetapi untuk wujud sempurna, tidak akan mungkin ada penghalang. Berdasar hal ini, Leibnitz menyempurnakan teori ontologi dengan keyakinannya dengan hal berikut, pertama: wujud dzat sempurna telah terbukti tidak tertolak. Tidak ada pula penghalang, dan keniscayaan wujudnya sampai pada batas wujub. Dengan demikian, dzat semacam ini -dimana kita mempunyai gambaran atasnya dan mampu merasionalkannya- wujudnya adalah wajib.”.[12]


Analisis Kant atas argumen ontologi Anselm
Setelah kita selesaikan penjelasan tentang argumen-argumen ontologi dari era Anselm hingga Leibnitz, sekarang tiba saatnya, kita sedikit mengarahkan pandangan pada sanggahan-sanggahan serta analisis-analisis atas argumen-argumen tersebut. Pertama, kita akan memulainya dari Immanuel Kant. Kant berkata:

“Ketika kita memperhatikan dengan cermat argumen-argumen para filosof dalam pembuktian wujud Tuhan, maka kita akan melihat bahwa seluruhnya akan berakhir pada tiga argumen utama. Yaitu, argumen ontologi yang dikemukakan oleh Anselm, Descrates dan para pengikutnya. Dimana mayoritas para filosof materialis dan rasionalis, menerima argumen tersebut dengan ungkapan-ungkapan yang berbeda. Secara ringkasnya adalah bahwa kita mempunyai gambaran kesempurnaan dan dzat sempurna. Sedangkan dzat yang tidak eksis (wujud), merupakan dzat yang tidak sempurna. Dzat sempurna merupakan dzat yang paling hakiki. Lalu, bagaimana mungkin ia tidak eksis? Dan keniscayaan wujud untuk dzat sempurna, sebagaimana keniscayaan lembah untuk gunung atau keniscayaan wujud sisi siku untuk segitiga. Tetapi anehnya, para penyanggah ini tidak memperhatikan bahwa wujub kesempurnaan untuk dzat sempurna adalah setelah dzat sempurna tersebut eksis dan ada. Ya, apabila gunung ada, maka lembah menjadi niscaya baginya. Tetapi ketika gunung tidak ada, maka lembahpun tidak akan pernah ada. Demikian pula urgensi siku untuk segitiga, tidak bisa menjadi sebab urgensinya wujud segitiga. Dengan ungkapan lain, penggambaran lembah untuk gunung bagi kita, merupakan hal yang wajib. Tetapi darimana wajibnya keberadaan gunung? Dengan demikian, berarti kita membenarkan bahwa konsepsi wujud untuk konsepsi dzat sempurna merupakan hal yang wajib. Tetapi wujudnya dzat sempurna, dari mana menjadi wajib? Hukum ini -dalam tingkatan analogi- adalah sebagaimana seseorang yang mengatakan: Aku mempunyai konsepsi terhadap adanya segenggam butiran emas. Dengan demikian, aku memiliki segenggam butiran emas tersebut di tanganku. Tentu saja, bisa jadi Anda memang mempunyai segenggam butiran emas. Tetapi sangatlah berbeda antara pemikiran dan pencapaian. Demikian juga, kita tidak mengingkari realitas wujudnya dzat sempurna. Tetapi konsepsi terhadapnya tidak meniscayakan kewujudannya”.[13]

Sanggahan prinsip yang dikemukakan oleh Immanuel Kant atas argumen ontologi, berdasarkan pada asas bahwa Kant tidak menganggap wujud sebagai sebuah sifat yang mampu, merupakan sebuah bagian dari definisi sebuah konsepsi. Dengan istilah lain, dia tidak menerima wujud predikat. Dia hanya menerima wujud sebagai makna copula (penghubung). Ia sepakat bahwa -dalam kaitannya dengan dalil wujud Tuhan- kekuatan konsepsi, atau penggambaran Tuhan atau sebuah eksistensi sempurna, tidak akan bisa bertambah dengan tafakkur dan kontemplasi tentangnya. Sebagai sebuah eksistensi ataupun hanya pemikiran tentangnya. Dari sini tidak ada sebuah tangga-pun yang mampu terbentuk antara konsepsi eksistensi sempurna dan wujud riil dari eksistensi semacam ini.[14]

Sebelum Kant, pada era Anselm sendiri, seseorang bernama Gaunilin telah meletakkan argumen ontologi sebagai bahan analisa. Untuk menunjukkan dimana letak ketidakbenaran argumen ontologi, ia mengungkapkan bahwa apabila statemen semacam ini disetujui, maka orang lain pun akan mampu membuktikan bahwa segala hal-hal yang non-riil atau imajinasi pun ada. Misalnya, apabila seseorang mampu menggambarkan terdapatnya sebuah pulau sempurna di suatu tempat yang tidak ditemukan oleh seseorangpun. Kesimpulannya bisa seperti berikut, bahwa apabila pulau tersebut sempurna, berarti pulau tersebut merupakan sebuah pulau, dimana tidak ada pulau lain yang lebih sempurna darinya yang bisa digambarkan. Dalam keadaan ini -berdasarkan teori Anselm- pulau tersebut harus ada. Karena apabila tidak ada, maka tidak akan sempurna, atau tidak ada satupun pulau lain yang kelebihsempurnaannya bisa digambarkan. Tetapi, karena berdasarkan definisi: pulau tersebut sempurna dan tidak ada pulau lain yang kelebihbesarannya darinya mampu digambarkan, maka hanya dari konsepsi tersebut kita bisa yakin, bahwa pulau tersebut betul-betul harus ada.

Guanilin dengan mengisyaratkan bahwa segala macam argumen-argumen ontologi tentang segala macam konsepsi bisa dikembangkan, ia ingin menunjukkan, bahwa argumen tersebut termasuk unsur-unsur tanpa makna dan kontradiktif.


Analisa lainnya adalah dari Thomas Aquinas, ia mengatakan:
“Kesalahan dari argumen ontologi adalah berdasarkan pada asumsi berikut, bahwa kita mampu mengenali sifat-sifat Tuhan sebagai sebuah eksistensi sempurna, sebelum kita mengetahui bahwa Dia ada. Padahal pada hakikatnya, sifat-sifat Tuhan hanya bisa dipelajari setelah seseorang mengenali wujudnya. Dan bukan sebaliknya.

Berdasarkan pendapat Thomas, pengidentifikasian akhir terhadap Tuhan, yaitu titik akhir pemahaman yang akan mengantarkan kita sampai kepada-Nya, adalah definisi Tuhan sebagaimana yang telah digambarkan dalam argumen ontology. Oleh karena itu, pertama kita harus membuktikan wujudnya dengan melalui selainnya. Kemudian kita menganalisa dan mengevaluasi sifat-sifat-Nya. Dan pada akhir penelitian ini, bisa jadi kita akan cukup mengetahui definisi Tuhan, yaitu kita mampu mempergunakan argumen Anselm. Hingga saat itu, berdasarkan pendapat Thomas, argumen ontologi hanya merupakan sebuah argumen hipotetikal saja. Dimana apabila Tuhan merupakan sebuah wujud sempurna (yaitu sebuah eksistensi wajib), berarti secara urgensi dia harus ada”.[15]


Kesulitan mendasar argumen Anselm
Sebagaimana yang telah Anda perhatikan dalam beragam analisa yang muncul atas argumen ontologi, kita dapat berkata bahwa sanggahan paling mendasar atas argumen ini adalah, bagaimana kita bisa meletakkan capula (penghubung) dari pikiran menjadi obyek, dan dari konsepsi menjadi hakiki (riil). Apakah hanya dengan konsepsi yang kita miliki terhadap eksistensi sempurna dalam pikiran kita telah mencukupi bagi kita untuk mengharuskan pembenaran wujud seperti ini? Poin penting yang harus diperhatikan di sini adalah –dengan asumsi bahwa argumen Anselm adalah benar- apakah beralih dari konsepsi (tashawwur) pada afirmasi (tashdiq)–sebagaimana yang ada dalam argumen ini- mempunyai keuniversalan atau hanya khusus untuk kasus ini saja, yaitu hanya untuk pembuktian wujud absolut (wujud wajib)? Dan inilah poin yang akan kita bahas nantinya.


Argumen Anselm dan ulasan Almarhum Kumpany
Pada pembahasan sebelumnya, kami telah mengutarakan dengan senang hati tentang ucapan bijak Almarhum Kumpany dalam kitab “Tuhfatul Hakim”. Di sana kami mengatakan bahwa argumen Anselm dan penjelasannya meskipun keduanya mirip, tetapi tidak identik satu dengan lainnya. Perbedaannya adalah: pada penjelasan Almarhum Ghurawi Isfahany, fokus penalaran (reasoning, istidlal) yang dipergunakan adalah “wujub wujud”. Tetapi pada argumen Anselm parameter argumen diletakkan pada poin “kesempurnaan”. Dan kita mengetahui bahwa kelebihan sebuah teori terletak pada hadd-e wasath (middle term)nya. Karena kedua teori ini masing-masing berdiri di atas hadd-e wasath yang khas, maka masing-masing lebih unggul dari yang lainnya.

Mungkin saja dikatakan bahwa “sempurna mutlak” dan “wâjib al- wujud” mempunyai obyek satu. Sehingga hal tersebut menyebabkan tidak adanya perbedaan antara kedua statement di atas. Tetapi harus diketahui bahwa yang menjadikan dua teori ini berbeda antara satu dengan lainnnya adalah keunggulan persepsi hadd-e wasath yang merupakan parameter dan tolak ukur. Bukan keunggulan obyeknya. (harap perhatikan masalah ini baik-baik)

Anselm mengatakan: Maka keniscayaannya, Tuhan sebagai paling sempurnanya eksistensi, harus mempunyai manifestasi yang obyektif. Selain dari keadaan ini, maka Dia bukan yang paling sempurna. Tetapi penjelasan Almarhum Kumpany adalah sebagai berikut bahwa: Tuhan harus ada karena jika tidak, maka Dia tidak akan menjadi wajib. Dengan adanya perbedaan ini, konklusi dari kedua perkataan tersebut adalah bahwa apabila Tuhan tidak ada, maka akan mengharuskan terjadinya kontradiksi.

Anselm mengatakan: Kita mempunyai persepsi terhadap paling sempurnanya eksistensi. Dan paling sempurnanya eksistensi ini meniscayakan munculnya obyek luar (mishdaq, instanta), dan jika tidak berarti bukan eksistensi yang paling sempurna.

Pengarang “Tuhfatul Hakim” mengatakan: Kita mempunyai konsepsi (tashawwur) dari wajib dan jika wajib ini tidak melahirkan manifestasi obyek luar, berarti dia bukan wajib. Ketiadaan manifestasi bisa dikarenakan tertolaknya secara esensial (imtina’ dzati), dimana hal ini kontradiksi dengan asumsi wujub dzati. Atau bisa dikarenakan imtina’ bilghair (tertolak oleh selainnya), dimana dalam hal ini pun tidak akan relevan dengan wujub dzati. Hal ini karena: wajib bukan musabbab dari sebuah sebab, sehingga dengan ketiadaan sebab bisa menjadi tertolak.


Argumen Anselm dari pandangan Syahid Muthahari Ra
Syahid Muthahari dalam catatan kakinya atas “Ushul Falsafah dan Rawas-e Realism”-nya Allamah Thaba-thaba-i Ra dalam pembahasan burhan shiddiqien (argumen orang-orang benar), mengungkapkan tentang studi kritis dan analitis atas argumen ontologi Anselm. Di sana ia mengisyaratkan bahwa argumen Anselm ini dari perspektif ilmu logika termasuk dalam jenis burhan khulf (reducutio ad absurdum). Setelah itu, ia menguraikan argumen (burhan) dalam dua cara: cara pertama adalah gambaran sesuatu yang lebih besar yang kita gambarkan dalam pikiran, kita wujudkan dan kita nyatakan di alam riil. Dimana hal ini –menurut pendapat Allamah - adalah mustahil. Cara lainnya adalah, kita melihat argumen sebagai realitas dzat yang lebih besar.

Berdasarkan uraian ini, mereka mengeluarkan sanggahan lainnya dan mengatakan: dalam uraian ini wujud telah diasumsikan berada dalam kedudukannya sebagai sebuah sifat luar yang membentuk esensi maujud. Dengan ini, adanya pemisahan esensi maujud dari wujud di alam riil. Mereka menyangka bahwa wujud untuk segala sesuatu sebagimana interaksi antara yang membutuhkan terhadap yang dibutuhkan.

Pada pembahasan selanjutnya, akan kami membahas tentang burhan shiddiqien ini secara terpisah dan terperinci. Oleh karena itu, di sini kami menghindari analisa dan penjelasan lebih panjang tentang pendapat Ustadz Syahid Murtadha Muthahari, dan kami mewakilkannya pada pembahasan mendatang.


Catatan Kaki:
[1] Santo Anselm adalah seorang ilmuwan era 11 Masehi, sezaman dengan kurun kelima Hijriyyah. Dia lahir pada tahun 1033 di salah satu kota kecil Italia. Dia menjadi Rahib Besar Dirbak pada tahun 1078. Kemudian menjadi Uskup Besar Counter Bury pada tahun 1093. Anselm disebut juga sebagai “Augustin kedua”. Dan terkadang pula dijuluki sebagai “Anselm yang suci”. Para Katolik memberikan gelar “Suci” padanya. Ia adalah orang yang secara eksplisit menyatakan bahwa yang harus dilakukan oleh seorang insan, pertama adalah beriman kepada hakikat-hakikat agama. Kemudian merasionalkannya (yaitu menghamba sebelum merasionalkan).

Alasan penamaannya dengan “Augustin kedua” adalah karena pengaturan filsafatnya yang mendekati “Augustin Cadis”. Dari opininya bisa ditemukan bahwa dia mempunyai pemikiran ala Plato, yang mengakui adanya alam mitsal (alam atas
6
lam ide). Anselm meninggalkan enam buah kitab penting yang kesemuanya membahas tentang Hikmat Ilahi dan berada di bawah pengaruh opini Plato. Nama-nama dari kitab tersebut adalah:

1. Dialogue de grammatico, 2. Monologium de divinitatis essentia sive Examplun de ration Fidei, 3. Proslogium sive Fides quaerens, 4. De Veritat, 5. De fide trinitatis, 6. Cur deus Home.

[2] Reginal John Halinkdeil, Mabani wa Tarikh-e Falsafeh-ye Gharby, terjemahan AbdulhuseinAdherank, Intisharat Keihan, hal. 125.

[3] Richard Popkin dan Aoron Stroll, Kuliyyat-e Falsafeh, hal. 238.

[4] ‘Ali ‘Ilmy Ardebily, Farhang-e Falsafah (Kamus Filsafat), J. 1, hal. 58-59.

[5] J. 1, hal. 154.

[6] Andrew Crisson, Falâsife-ye Buzurgh, terjemahan Kadzim ‘Amady, J. 2, hal. 28, juga Kuliyyat-e Falsafah, hal. 238 dan 239.

[7] Seir-e Hikmah dar Europa, J. 2, hal 22.

[8] Ibid, hal. 42.

[9] Terjemahan Dr. Muhsin Jahangiry, hal. 21-23.

[10] Terjemahan Dr. Muhsin Jahangiry, hal. 21-23.

[11] Ibid, hal. 24; juga Kuliyyat-e Falsafah, hal. 238.

[12] Seir Hikmat dar Europa, J. 2, hal. 101.

[13] Ibid, hal. 237.

[14] Ricard Popkin, Aaroom Strool, Kuliyyat-e Falsafeh, ha. 241; Immanuel Kant, Tamhidât, terjemahan Ghulam ‘Ali Haddad ‘Adil, hal. 31; ‘Ali ‘Almi Ardebili, Farhang-e Falsafeh, J. 1, hal. 60; Halink Deil, Mabani wa Tarikh Falsafeh-ye Gharb, hal. 125.

[15] Kuliyyat-e Falsafeh, hal. 240 dan 241.

7
Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

Argumen Kausalitas[4]

Prioritas dan Signifikansi pembahasan relasi antara sebab-akibat (kausalitas)
Dapat dikatakan, dengan ditemukannya fenomena kemunculan manusia di permukaan bumi, pada saat itu pula muncul pertanyaan “mengapa?”, prioritas dari kata tanya ini terletak pada prioritas insan.
Di antara persoalan filsafat adalah masalah deduktif yang memiliki usia panjang dan prioritas yang mengakar, dan juga menempati urutan pertama kebingungan yang muncul dalam pemikiran manusia.
Pertanyaan tentang sebab diri dan benda-benda lain, merupakan polemik teramai yang menggasak mental insan sejak kemunculannya dan senantiasa memposisikan dirinya sebagai pertanyaan yang paling mengakar ketika dihadapkan dengan pemikiran para filosof dan hukama.

Dalam kitab “Târikh Falsafah”, kita jumpai para ilmuwan pertama Yunani –yang terkenal sebagai para filosof Iyuni - sampai pada kesimpulan bahwa mereka telah berhasil menemukan unsur pertama atau mâddat al-mawâd dari semua benda-benda semesta[1], dengan demikian harus dikatakan bahwa Filsafat telah dimulai dengan persoalan kausalitas dan pada prinsipnya manusia pun telah dimulai dengan kausalitas dimana perenungan dan kontemplasi manusia sama sekali tidak akan pernah terpisah dari persoalan ini.

Dengan kata lain, masalah kausalitas bukanlah sebuah dilema yang dituju oleh manusia, melainkan kausalitas-lah yang berjalan menuju kepada manusia dan dia telah membebankan dirinya atas manusia, memenuhi semua pemikiran manusia dan menyibukkan semua kontemplasi dan perenungannya. Tentu saja dengan sebuah kata “Mengapa” atau “Apakah” kita bisa bertanya untuk setiap kalimat yang ada dan untuk segala hal yang kita temukan, akan tetapi kita sangat paham bahwa semua pertanyaan tersebut pada hakikatnya bukanlah “pertanyaan” kita dan tidak pernah mengusik perenungan dan jiwa kita, tidak pernah mengekang kita dan kitapun tidak pernah bersitegang dengannya, akan tetapi masalah kausalitas tidak akan pernah demikian.

Persoalan kausalitas sebagaimana kebanyakan persoalan filsafat, setiap kali pertanyaan lain diletakkan di bawah naungannya maka pertanyaan tersebut akan diletakkan pada tingkatan kedua. Masalah kausalitas merupakan masalah yang prinsip dan mengakar dan manusia tidak bisa, misalnya, membagi waktu sehari semalamnya dengan sebagiannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan sebagiannya lagi, misalnya satu hingga dua jam untuk merenungkan masalah sebab pertama (the first cause).

Persoalan kausalitas dari dulu hingga sekarang bahkan hinga masa yang akan datang merupakan sebuah pencipta kebingungan.


Definisi sebab dan akibat
Kedua persepsi “sebab” dan “akibat” ini, merupakan bagian dari akal kedua filsafat yang merupakan penjelas metode wujud, dan yang diperoleh dengan kontemplasi dan usaha keras otak. Dengan istilah lain, media aksidensi mereka adalah pikiran dan media karakteristik mereka adalah obyek luar. Dari sini karena kedua persepsi tersebut tidak berada dalam satu kategori dan tidak termasuk pula dalam mâhiyat (esensi, keapaan), telah menyebabkannya tidak mempunyai definisi yang hakiki dan logis, dan apa yang didefinisikan dalam kitab Filsafat tentang keduanya hanyalah merupakan syarhul-lafdzi (penjelas kata) saja.

Apabila kita membandingkan antara dua wujud A dan B dan kita melihat bahwa wujud A berada dalam posisi dimana apabila ia eksis maka wujud B pun akan menjadi eksis. Dan selama A tidak eksis maka B pun tidak akan eksis. Dan wujud B merupakan manifestasi penjelas yang bergantung dan berkaitan erat dengan wujud A. Maka dalam kondisi ini kita mengatakan bahwa: A adalah sebabnya B dan B adalah akibat dari A. Oleh karena itu dalam mendefinisikan sebab dan akibat kita akan mengatakan: sebab merupakan wujudun mutawaqqaf ‘alaih (mengadanya sesuatu bergantung kepadanya) dan akibat adalah wujud mutawaqqif (sesuatu yang bergantung).


Dasar persepsi sebab dan akibat
Kita sepakat bahwa prinsip kausalitas merupakan prinsip logis dan aksiomatis, dan dasar kejelasan dari kaidah ini adalah karena bersandar pada perolehan batin dan ilmu presesensi (hudhuri)

Setiap manusia dengan ilmu hudhuri yang dimilikinya menemukan bahwa fenomena-fenomena yang bersifat nafsâni seperti ilmu, kehendak, dsb, mempunyai bentuk kebergantungan yang khas dengannya dan dengan jiwa-nya. Kebergantungan ini merupakan kebergantungan yang dalam prinsip wujud dan keberadaan berada dalam keadaan dimana tanpa wujudnya jiwa maka mereka pun tidak akan wujud, dan wujud mereka bersandar pada wujudnya jiwa. Di sinilah perangkat jiwa, yaitu pikiran -yang meliputi realitas dan menghadirkannya dengan ilmu hudhuri- terpaksa menghikayatkan realitas ini dengan persepsi yang diperoleh dari ilmu hudhuri, dari sinilah terbentuk persepsi “sebab”, “akibat”, dan “hubungan sebab akibat (kausalitas)”. Pahaman “sebab” dipergunakan dalam kaitannya dengan jiwa. Sedangkan pahaman “akibat” dalam kaitannya dengan ilmu atau kehendak, dan dari jenis kebergantungan dan korelasi wujud semacam inilah kemudian disebut “kausalitas”.


Generalisasi persepsi sebab dan akibat
Meskipun dalam ilmu hudhuri kita hanya berinteraksi dengan fenomena-fenomena khas dalam batasan wujudnya, dan menemukan manifestasi tertentu dari sebab dan akibat, tetapi setelah pikiran mempersepsikan apa yang ditemukan oleh hudhuri, dia akan menghapuskan kaidah dari setiap obyeknya, dan menyimpulkan persepsi dalam bentuk mutlak. Artinya, pikiran akan membentuk kaidah mutlak, dimana setiap kali wujud dari sebuah eksistensi bergantung pada wujud eksistensi lain, maka yang pertama, disebut akibat, dan yang kedua disebut sebab. Generalisasi ini sendiri bertolak dari kaidah badihi (gamblang), dimana hukum-hukum negatif dan positif benda-benda similiar (sejenis) –dari sisi kesamaannya- adalah satu. Atas dasar ini, pikiran mengatakan: setiap kali terdapat dua wujud yang korelasi, sebagaimana korelasi jiwa dan efek jiwa, maka akan dinamakan dengan sebab dan akibat. Dan mereka pun mempunyai hukum-hukum “hubungan sebab-akibat (kausalitas)”. Dari sinilah terbentuk kaidah universal “kausalitas”.[2]

Tentu saja menemukan obyek untuk korelasi kausalitas di alam luar, bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini membutuhkan perangkat dan metodologi tertentu, dimana untuk sementara ini tidak termasuk dalam pembahasan kita.

Berdasarkan apa yang telah kami katakan, kaidah kausalitas berdiri di atas asas eksperimen internal/batin dan bukan eksperimen inderawi/fisik. Tentu saja dalam eksperimen-eksperimen inderawi, “keberulangan fenomena” senantiasa merupakan syarat. Tetapi dalam eksperimen batin, pengulangan ini bukan merupakan syarat. Dan kewujudan sebuah kasus telah mampu menjadi sumber abstraksi dari persepsi sebab dan akibat. Dengan alasan ini, kaidah kausalitas tidak bisa dimaknakan dengan “eksperimen” dalam makna idiomnya. Hal ini dikarenakan dia bukan benda fisik dan tidak pula membutuhkan pengulangan.

Tentu saja, dilihat dari satu sisi bisa dikatakan bahwa mereka termasuk dalam kelompok indera batin atau wijdaniyat dan dengan batasan ini dia bisa dimasukkan ke dalam “eksperimen”.


Universalitas prinsip kausalitas
Prinsip kausalitas meliputi semua bentuk eksistensi yang keuniversalannya mencakup semua alam wujud, dari sinilah sehingga kemudian masalah kausalitas dan pembagian wujud dalam bagian sebab dan akibat merupakan salah satu masalah yang menduduki posisi pertama dalam filsafat.

Persoalan kausalitas merupakan dasar seluruh ilmu dan obyektifitas. Tak ada satupun dari 'alim dan pemikir yang berfikir kecuali dikarenakan dia mengetahui bahwa perolehan hakikat merupakan akibat dari tafakkur, kontemplasi dan konsentrasi. Para ilmuwan ekperimen pun sama sekali tidak akan menceburkan diri dalam penelitian dan observasinya, kecuali karena adanya keyakinan bahwa alam ini merupakan alam efek dan pengaruh. Dan setiap kekhususan merupakan akibat dari unsur tertentu, dari setiap benda akan muncul akibat yang tertentu dan setiap efek muncul dari benda yang tertentu pula, dan ini tidak lain adalah prinsip kausalitas. Apabila prinsip kausalitas tidak ada, maka semua harapan menjadi kering, para alim tidak lagi berpikir, para pelaku ('amil) berdiri terpaku, ketakutan dan kegelisahan akan menguasai semuanya, hingga akhirnya pepatah mengatakan: gandum tak lagi dari pohon gandum, padi tak lagi buah dari pohon padi.


Pandangan Hume (David Hume, 1711-1776)
Hume berdasarkan pada prinsip positivisme dan empirisisme-nya menolak prinsip kausalitas sebagai sebuah kaidah rasional dan non experience. Dia hanya menginterpretasikannya sebagai ke-sezaman-an atau ke-berganti-an dua fenomena. Dia menganggap kausalitas sebagai sebuah korelasi antara pikiran dengan kemunculan urgensi sebuah makna bukannya sebuah korelasi antara obyek dan wujud. Maksudnya adalah: apabila kita menganggap A sebagai sebabnya B, maka hal tersebut hanyalah dengan makna bahwa dalam pikiran kita terdapat urgensi makna; bahwa persepsi B senantiasa muncul mengikuti persepsi A, dan korelasi ini muncul dari kebergantiannya dua fenomena A dan B di alam luar. Tetapi, apa yang dikatakan bahwa antara keduanya terdapat hubungan ketergantungan wujud, hal ini tidak bisa diterima secara ilmiah.

Sebagian dari sanggahan-sanggahan penting yang muncul seiring dengan perkataan Hume, akan kami jelaskan dalam poin-poin berikut:

1. Apabila prinsip kausalitas (hubungan sebab-akibat) itu diingkari, maka tidak akan ada satupun peristiwa yang bisa diantisipasi sebelum kemunculannya. Dengan demikian, akan terdapat begitu banyak kemungkinan terjadinya berbagai peristiwa pada setiap saat.

2. Apabila prinsip kausalitas dinafikan, tidak akan ada satupun kaidah dan hukum-hukum ilmu dan eksperimen yang bisa diterima. Karena setiap hukum dan kaidah ilmu, bersumber dari prinsip kausalitas.

3. Apabila prinsip kausalitas diingkari, maka tidak ada satupun argumentasi yang terdapat dalam alam fakir. Karena pada hakikatnya konklusi dan kesimpulan senantiasa merupakan akibat yang muncul dari premis-premis. Dan ingkar terhadap kausalitas mempunyai makna ingkar terhadap argumentasi dan teori.

4. Apabila prinsip kausalitas diingkari, maka setiap orang bisa mengingkari hubungan antara aktivitas dan pengaruh dari aktivitas yang dilakukannya. Dengan demikian, jalan untuk teperosok ke dalam setiap kejahatan akan terbuka luas.

5. Apabila prinsip kausalitas hanya diketahui sebagai makna kebergantiannya dua fenomena, maka fenomena-fenomena semacam siang dan malam –yang senantiasa saling bergantian satu dengan lainnya- harus kita anggap sebagai manifestasi dari sebab dan akibat. Padahal kita mengetahui bahwa tidak satupun dari mereka merupakan sebab dari yang lainnya.

6. Apabila prinsip kausalitas diingkari, maka tidak akan terdapat sedikitpun kepastian dan keuniversalan dalam keyakinan.

7. Apabla prinsip kausalitas diingkari, maka sama sekali tidak ada cara untuk mengaffirmasikan wujud-wujud obyektif. Dan hal ini identik dengan Idealisme.

8. Apabila prinsip kausalitas diingkari dengan menganalogikan bahwa wujud merupakan realitas obyek, maka tidak akan terdapat metode untuk mengaffirmasikan relevansi antara persepsi-persepsi dengan bukti-bukti di luar wujud.

9. Apabila sebelum eksperimen, prinsip kausalitas diingkari sebagai sebuah prinsip rasional, maka kelazimannya adalah para ilmuwan sebelum menyaksikan dan melakukan observasinya, sama sekali tidak mempunyai keyakinan terhadapnya. Padahal alasan pokok mereka untuk melakukan observasi itu sendiri bertolak dari adanya keyakinan sebelumnya, yang mengatakan bahwa setiap akibat muncul dari sebuah sebab, dan tidak ada satupun fenomena yang muncul tanpa adanya sebab. (Harap diperhatikan baik-baik masalah ini).

10. Apabila kausalitas ditafsirkan sebagai sebuah kebergantian maka dalam persoalan terjadinya dua fenomena sezaman (bukan bergantian), seperti gerak tangan dan gerak pensil yang ada di tangan, tidak akan ada sebab yang bisa kita persepsikan, padahal kita memahami bahwa di antara kedua gerak ini terdapat hubungan sebab-akibat.


Pandangan Kaum Rasionalis
Kaum rasionalis, dalam bab kausalitas berpandangan bahwa keyakinan terhadap prinsip kausalitas merupakan sebuah persoalan yang esensial dan fitri, dan akal kita telah tercipta sedemikian rupa hingga dari awal dan dalam bentuk takwini (tata-cipta) mempunyai persepsi tentang kausalitas, dan bukannya akal membutuhkan upaya dan kontemplasi dalam mempersepsikannya.

Imanuel Kant, seorang filosof Jerman, berpendapat bahwa iliyyat (kesebaban) dan ma’luliyyat (keakibatan) merupakan sebagian dari akal fitri manusia. Oleh karena itu, illiyyat dan ma’luliyyat dia letakkan sebagai salah satu dari kedua belas kategorinya.

Keyakinan terhadap kefitrian dan kerasionalan prinsip kausalitas dengan makna aslinya yang non-eksperimen, non-materi dan lebih awal dari keduanya, merupakan sebuah keyakinan yang benar dan bisa diterima. Tetapi dengan makna bahwa pikiran akan memahaminya secara otomatik dan dzati (esensial) dan sejak awal takwini (penciptaan) persepsi semacam ini telah tercipta, hal yang semacam ini tidak bisa diterima.

Pikiran kita pada awalnya merupakan sebuah tabula kosong tanpa gambar. Lalu, secara bertahap memperoleh gambarnya melalui pertemuan antara potensi pengetahuan (the perceptive faculty) dengan realitas dan peristiwa – dan sebagaimana yang telah kami singgung – dalam bab iliyyat (kesebaban) pun pikiran akan membentuk persepsi sebab dan akibat dari cara perolehan hudhuri kemudian menyempurnakan keduanya.[3]


Pandangan Sebagian Mutakalimin
Menurut keyakinan sebagian teolog (mutakalimin), bahwa faktor-faktor (pelaku-pelaku) otoriter dan berkehendak, sama sekali tidak bisa dinamakan sebagai sebab dan illat, karena terjadinya akibat dari sebab dan munculnya yang disebabkan oleh yang menyebabkan merupakan hal yang urgen dan niscaya, dan kepastian ini tidak relevan dengan otoritas dan kehendak pelaku. Dari satu sisi, semua alam merupakan perbuatan Tuhan. Demikian juga keseluruhan peristiwa alam secara langsung dan tanpa perantara muncul dari kehendak dzat Nya. Dengan demikian, di antara peristiwa pun tidak bisa diketengahkan masalah kausalitas, melainkan harus dikatakan bahwa kebiasaan Tuhan atas cara inilah, sehingga fenomena-fenomena yang biasa kita namakan sebagai akibat, muncul mengikuti fenomena-fenomena lain yang kita namakan dengan sebab. Jadi, pada hakikatnya bukan saja pada korelasi antara Tuhan dan aktivitasnya tidak terdapat hubungan sebab-akibat (kausalitas), melainkan di antara fenomena-fenomena alam imkan (materi) pun tidak ada hubungan semacam ini. Dalam menjawab perkataan mereka ini harus dikatakan:

Pertama: Pada pelaku-pelaku yang otoriter dan berkehendakotoritas dan kehendak itu sendiri merupakan salah satu dari bagian sebab sempurna dan munculnya aktivitas dari pelaku ini meskipun pasti dan dharuri, tetapi bukan dengan makna kesebabannya pelaku.

Kedua: Kesebaban terjadinya peristiwa satu untuk yang lain berada dalam sepanjang aktivitas Tuhan, oleh karena itu tidak ada kontradiksi dengan ke-subyek-an Tuhan.

Ketiga: Sebagaimana yang telah kami isyaratkan sebelumnya, kausalitas tidak bisa hanya ditafsirkan sebatas sebagai ketemporalan dan kebergantian-nya dua fenomena. Dari sinilah, kemudian keyakinan terhadap “’A^datAllâh (kebiasaan Tuhan)” dalam bab kausalitas senantiasa akan diikuti dengan rintangan yang dikatakan oleh Hume pada pembahasan sebelum ini.


Parameter kebergantungan akibat terhadap sebab
Persoalan yang berkisar tentang apa rahasia kebergantungan akibat terhadap sebab dan apa sajakah yang menjadi dasar dan parameter kebergantungan tersebut. Hal itu menjadi wacana yang hangat di antara para filosof dan senantiasa dibahas dengan bahasan yang mendalam, cermat dan detail.

Para mutakalimin (teolog) berpendapat, bahwa parameter kebergantungan akibat terhadap sebab adalah “huduts”. Sementara para filosof -dalam hal ini- telah terpilah menjadi dua kelompok. Satu kelompok sepakat terhadap ashâlat al-mahiyah (principiality of essence). Pembahasan ini muncul dalam bentuk formula realitas esensi. Mereka berpendapat bahwa parameter kebergantungan akibat terhadap sebab adalah kemungkinan keterciptaan esensi, yaitu adanya kesejajaran hubungan antara mahiyyah (keapaan) terhadap wujud dan tiada. Dan mereka yang sepakat dengan ashâlat al-wujud – (principiality of existence), seperti Sadralmuta-alihin Ra (Mullah Shadra) dan pengikut transendent wisdom (hikmah muta’aliyah) yang sepakat dengan “imkan faqri wa wujud” sebagai parameter kebergantungan akibat terhadap sebab. Yang dimaksud dengan “imkan faqri dan wujud”, adalah kebergantungan sebuah eksistensi terhadap realitas wujud. Dengan ibarat lain, setiap eksistensi yang wujud obyektifnya bergantung dan membutuhkan wujud lain pasti, merupakan akibat dan mumkin wujud, yang di dalam kaidah kausalitas dikatakan bahwa: kebutuhan dan kebergantungannya terhadap sebab itulah, yang telah memunculkannya.

Apa yang sekarang penting dalam pembahasan kita adalah kita mengetahui dari mana keakibatan (ma’lulilyah) alam bisa terbukti sehingga kemudian kita akan sampai pada hukum kaidah kausalitas untuk membuktikan Tuhan sebagai fâilul-fawâil (subyeknya subyek- pelakunya pelaku) dan illatul-illal (sebabnya sebab, the first cause).


Pembuktian dan Affirmasi Keakibatan Alam
Keakibatan (ma’luliyyah), mempunyai tanda-tanda yang khas. Apabila kita menemukan tanda-tanda tersebut di alam, maka secara dharuri dan pasti, kita akan mengatakan bahwa alam adalah ma’lul (akibat), dan tanda-tanda tersebut antara lain:


1. Mengalami transformasi
Eksistensi yang mengalami transformasi dari keadaan satu ke keadaan lainnya pasti merupakan akibat dan membutuhkan adanya sebab, karena transformasi dan perubahan merupakan salah satu tanda dari kekurangan. Jelaslah bahwa eksistensi mempunyai kekurangan dan aib dimana dia tidak bisa memenuhi atau mengangkat kekurangannya tersebut, melainkan membutuhkan sebuah sebab untuk mengantarkannya dari potensi ke aktual dan menghilangkan kekurangannya.


2. Huduts
Huduts bermakna keberadaan yang didahului oleh ketiadaan. Huduts terbagi dalam dua bagian: huduts esensial dan huduts temporal. Huduts esensial adalah keberadaan yang didahului oleh ketiadaan dalam tingkatan dzat dan esensi yang hal ini bisa dijelaskan dalam keseluruhan kemungkinan-kemungkinan yang ada. Tetapi huduts temporal mempunyai makna keberadaan yang didahului oleh ketiadan dalam tempo, dimana jenis dari huduts ini hanya bisa dijelaskan dalam eksistensi-eksistensi materi dan temporal. Eksistensi yang baru saja terwujud pasti merupakan akibat dan membutuhkan kehadiran sebab untuk mewujudkan dirinya dari tiada menjadi ada, sehingga dari sini dikatakan bahwa huduts pun merupakan salah satu dari tanda-tanda keakibatan.


3. Bergantung kepada selainnya
Setiap eksistensi yang bergantung kepada selainnya dengan cara tertentu, pasti merupakan akibat. Dan eksistensi yang di dalam dirinya tidak terdapat kebergantungan -sedikitpun- kepada selainnya, sama sekali tidak akan mempunyai sifat akibat.

Dengan memperhatikan tanda-tanda yang telah tersebut, menjadi jelas bahwa semua tanda-tanda ini dengan sangat mudah bisa kita temukan di alam kita. Keseluruhan alam semesta ini dipenuhi dengan berbagai perubahan, seperti perubahan yang terjadi pada: dunia fauna, flora, langit dan ... dalam setiap inci alam semesta ini senantiasa terjadi perubahan dan transformasi. Pada sisi lain setiap saat akan muncul pula eksistensi-eksistensi serta fenomena-fenomena yang baru. Anak-anak yang terlahir dari ibunya, 'aradhi (aksidensi)??? yang terjadi pada tumbuhan, hewan dan alam in-organik keseluruhannya merupakan manifestasi kejadian dan kemunculan peristiwa-peristiwa baru. Kebergantungan dan kebutuhan pada selainnya diperlihatkan dengan baik di seluruh alam. Apabila kita memperhatikan kemunculan setiap eksistensi di alam ini, maka kita akan melihat bahwa semuanya bersyarat pada keberadaan faktor-faktor dan kondisi-kondisi eksternal dan tidak ada satupun eksistensi di alam ini yang mempunyai makna “mencukupi dirinya sendiri” dengan tepat. Ketiga tanda tersebut di atas merupakan bukti kebenaran dan ke-otentik-an atas ma'luliyyah (keakibatan) alam. Karenanya, dalam hukum kausalitas dikatakan, bahwa keberadaan sebuah sebab -yang telah memunculkan alam semesta, termasuk aktivitasnya- adalah merupakan keniscayaan (dharuri) wujud.


Tidak Setiap Eksistensi Membutuhkan Sebab
Sebagian filosof Barat mengatakan bahwa persepsi argumen kausalitas adalah bahwa “setiap eksistensi membutuhkan sebab”. Dari sini, mereka mengajukan sanggahan atas apa yang dikemukakan oleh para filosof Ilahi (ketuhanan) yang menurut kaidah ini berarti tidak bisa disepakati adanya wujud sebuah eksistensi yang bernama Tuhan. Hal ini karena keyakinan semacam ini, identik dengan menerima pengecualian (eksepsi) dalam hukum akal. Padahal hukum-hukum dan kaidah-kaidah rasional tidak menerima pengecualian. Oleh karena itu, keuniversalan kaidah ini bukan saja tidak bisa membuktikan Tuhan sebagai sebuah eksistensi yang tidak membutuhkan sebab, bahkan proposisi ini dianggap mustahil terjadi.

Menjawab sanggahan ini dapat kami katakana, bahwa persepsi kaidah kausalitas sama sekali tidak berarti bahwa setiap eksistensi membutuhkan sebab. Kaidah hanya mengatakan bahwa: setiap akibat dan fenomena membutuhkan sebab, dan bukan “setiap eksistensi”. Dengan kata lain, subyek dari proposisi di atas adalah “akibat dan fenomena”, bukan “eksistensi”. Oleh karena itu, “Tuhan” sebagai eksistensi tanpa sebab, sama sekali tidak pernah masuk ke dalam kaidah ini. Sehingga keluarnya dari kaidah ini, bukan merupakan perkecualian dalam hukum-hukum rasional. Dalam istilah ilmu Ushul, keluarnya wajib dari kaidah kausalitas adalah keluarnya subyek, bukan hokum. Dan perkecualian istilah itu terjadi, apabila keluarnya mustastna (kecuali) dari mustastna-minh (yang dikecualikan) merupakan keluarnya sebuah hukum bukan sebuah subyek. Apabila dalam persoalan ini kita ingin menggunakan interpretasi pengecualian –dengan interpretasi sastra- maka kita harus mengatakan: pengecualian di atas merupakan perkecualian mun-qati’ (terputus) bukan perkecualian muttasil (tersambung).


Tertolaknya tasalsul dan daur dalam sebab.
Mereka yang sepakat bahwa subyek dari teori kausalitas adalah “eksistensi”, akan terjerumus dalam teori daur (circular reasoning) atau tasalsul. Karena apabila kita menginginkan di alam wujud terdapat sebuah sebab untuk setiap wujud, maka kita tidak akan pernah sampai pada pemula rangkaian eksistensi. Dan rangkaian ini, pasti tidak akan pernah mempunyai batas henti.

Para filosof mengungkapkan beragam ulasan untuk membatalkan dan menyanggah teori interkoneksi ini[4], sebagaimana argumen “wasat wa taraf” yang diungkapkan oleh Syeikh Ar-Rais dan teori “asad wa akhsar” yang ditulis oleh Farabi.

Sebagian filosof berada di bawah keyakinan ini bahwa pembatalan circular reasoning dalam rangkaian sebab, merupakan perkara yang sangat jelas atau minimal mendekati kepastian. Hal ini dikarenakan apabila rangkaian sebab keberwujudan ingin melanjutkan rangkaiannya dalam bentuk tak terbatas, hal tersebut mempunyai makna bahwa secara mutlak akibat yang bergantung dan membutuhkan, telah terbentuk tanpa adanya sebuah pemula yang menjadi sandaran mandiri. Jelas, bahwa majemuk yang bergantung secara mutlak, sama sekali tidak akan pernah menjadi eksistensi yang mandiri dan tak bergantung. Demikian juga majemuk mutlaknya nol, adalah angka, dan majemuk mutlaknya titik, adalah garis, dan majemuk mutlaknya diam, adalah gerak, dan majemuk mutlaknya garis, adalah kedalaman dan majemuk mutlaknya kedalaman, adalah ketebalan dan majemuk mutlaknya “seketika”, adalah tidak akan pernah merupakan waktu.

Daur (circular reasoning) mempunyai makna: eksistensinya sendiri yang menjadi sebab dari kewujudannya, yaitu bahwa dirinya berasal dari dirinya sendiri. Kelaziman dari hal ini adalah bahwa dirinya muncul lebih dahulu dari dirinya sendiri. Dan kemustahilan dari “anteceden (kelebihdahuluan) sebuah benda atas benda itu sendiri” merupakan hal yang sangat esensial dan jelas. Oleh karena itu, tidak bisa dianalogikan bahwa alam semesta tidak membutuhkan pencipta dari luar dirinya, melainkan dirinyalah yang merupakan sebab dari kemunculan dirinya. Dan ini tak lain adalah daur (circular reasoning) yang batal dan mustahil secara dzati (esensial).


Dengan memperhatikan apa yang telah kami katakan, maka kami dapat mengungkapkan teori kausalitas ini dengan ungkapan yang lebih ringkas, sebagai berikut:

Ringkasan penjelasan atas argumen kausalitas
Apabila kita bukanlah sophist atau pengingkar realitas dan eksistensi, maka kita bisa mengatakan bahwa secara rasional “wujud atau eksistensi” bisa dipilah menjadi dua yaitu “wujud bergantung” dan “wujud tak bergantung”. Dan ini merupakan sebuah pembagian yang rasional dan disepakati. Bahkan oleh para penyanggah sekalipun. Dengan demikian, berarti tidak ada analogi ketiga yang bisa dimisalkan. Sekarang, apabila kita memisalkan wujud sebagai sebuah “wujud bergantung”, berdasarkan pembatalan teori daur (circular reasoning) interkoneksi, secara rasional mengharuskankita untuk memisalkan adanya pemula mandiri dan tak bergantung yang bernama “wajibul wujud” dan “sebab awal”. Dan apabila kita meletakkan wujud sebagai sebuah “wujud tak bergantung”, maka dari awal kita telah mengakui adanya wujud wajib. Oleh karena itu, pada kedua pemisalan ini, “wujud wajib” tetap urgen dan niscaya.[5]


Materialis dan Argumen Kausalitas
Kaum Materialis bukanlah orang-orang yang mengingkari teori kausalitas. Dan jika mereka mengutarakan beberapa teori untuk menjatuhkan teori kausalitas ini, pada hakikatnya hal tersebut muncul dari ketidakfahaman dan ketidakjelian mereka saja.

Prinsip argumen kausalitas – sebagaimana yang telah kami ungkapkan sebelumnya- merupakan sebuah persoalan yang sama sekali tidak bisa diingkari. Bahkan para penganut Empirisisme dan Positivisme pun mempunyai pendapat yang sama terhadap hal ini. Demikian juga dalam praktek, mereka menerima dan mempergunakan prinsip kausalitas ini.

Oleh karena itu, pada dasarnya perbedaan antara filosof Ilahi dan Materialis, bukan terletak pada prinsip: “akibat, membutuhkan adanya sebab”. Melainkan pada persoalan berikut, yakni bahwa filosof Ilahi sepakat bahwa alam materi tidak bisa mandiri dan memenuhi dirinya sendiri, atau dirinya merupakan sebab dari dirinya sendiri, melainkan materi senantiasa membutuhkan sebuah sebab yang abstrak dan trans-fisik bernama “wâjib al-wujud”. Sementara para filosof Materialis berpendapat bahwa materi adalah pencipta dirinya sendiri dan dia tidak membutuhkan sebuah sebab pun dari luar dirinya.

Dengan kata lain, filosof Ilahi dan materi keduanya sama-sama sepakat dalam prinsip adanya pemula untuk alam ini, hanya saja perbedaannya terletak pada poin berikut, bahwa menurut filosof Ilahi, pemula akibat tersebut adalah sebuah eksistensi yang mempunyai kecerdasan dan persepsi. Sedangkan menurut filosof Materialis, pemula alam adalah materi yang tak memiliki kecerdasan dan persepsi. Akhirnya, Anda sendirilah yang harus menentukan, manakah dari kedua diskursus tersebut yang lebih bisa diterima dan lebih rasional perkataannya.


Catatan Kaki:
[1] Frederick Copleston, Târikh Falsafah (Sejarah Filsafat, edisi Persia), J. 1, hal. 33.

[2] Ushul-e Falsafah va Rawesy-e Realism, J. 2, hal. 62; Amuzesh-e Falsafah (Daras Filsafat jilid 2) , J. 2, hal 17; Cikide-ye Cand Bahts Falsafeh, hal. 39-43.

[3] Ushul-e Falsafah wa Rawesy-e Realism, J. 2, hal. 58, Amuzesh-e Falsafah, J. 2, hal. 46, dan juga J. 1, hal. 191.

[4] Nihayat al-Hikmah, tingkatan kedelapan, pasal kelima.

[5] Ibid, tingkatan ke 12, pasal pertama.

8
Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

Argumen Gerak [5]

Pendahuluan
“Gerak” telah banyak diperbincangkan baik dalam fisika maupun metafisika, dari pandangan fisika “gerak” adalah sebuah fenomena alami sedangkan dari pandangan para filosof ilahi dan metafisika “gerak” adalah sebuah bentuk eksistensi, dari sini dapat dikatakan: pembahasan gerak, pada era ini merupakan salah satu titik temu antara fisika dan filsafat. Para ilmuwan kuno telah pula melakukan pembahasan bab gerak ini dalam masalah natural[1] [2] dan juga dalam maslaah theology dengan makna umum[3] dan khusus.[4]

Dengan kesemuanya ini haruslah dicermati adanya pembauran antara hukum-hukum filosofi gerak dengan hukum-hukum ilmiah (eksperimen)-nya, baik dalam pembauran keduanya dengan sesamanya dan kesimpulan deduktif filosofis dari prinsip ilmiah ataupun sebaliknya, karena hal ini banyak diikuti oleh kerusakan yang merugikan –terutama untuk kalangan para pemula dan mereka yang belum matang-. Immuniti dari bahaya pembauran ini berada pada lingkup pengetahuan atas batasan fisika dan filsafat. Pada tempatnyalah, apabila para filosof ilahi mempunyai metodologi yang matang dalam pembahasan fisika tentang gerak ini, dan ... para pelajar serta peneliti fisika pun melakukan pengamatan dan observasi yang cermat dan teliti dalam pembahasan tema filsafat yang satu ini.

Warna dari pembicaraan kita dalam tulisan ini lebih merupakan warna filosofi dari pada eksperimen (ilmiah). Titik perhatian kami adalah pada analisa teori penggerak awal (prime mover) Aristoteles.


Teori “Prime-mover” (penggerak awal) Aristoteles
Pembahasan akan kami mulai dari tema “esensi sesuatu” dan kami akan menyajikan uraian pertama tentang teori penggerak awal yang dinisbatkan kepada Aristoteles.

Menurut pendapat Aristoteles untuk menemukan sebab, khususnya untuk menemukan sebab gerak, maka kita harus berhenti pada suatu tempat, dan pada selain keadaan ini tidak akan ada penyebab dari sesuatupun yang bisa ditemukan secara pasti. Hanya harus dilihat di manakah kita harus berhenti. Jawaban untuk pertanyaan ini akan ditemukan melalui tafakkur dan kontemplasi tentang gerak.

Apabila sebab dari sebuah gerak kita hadirkan melalui gerak lainnya, maka keniscayaan yang akan muncul adalah bahwa gerak kedua akan kita dapatkan melalui gerak ketiga dan gerak ketiga melalui gerak keempat dan demikian seterusnya hingga rangkaian ini akan berlanjut terus tanpa akhir. Jadi apabila kita ingin mendapatkan alasan yang pasti, maka kita harus melihat ke dalam majemuk gerak, bukan pada pengaruh sebuah penggerak yang digerakkan melainkan pada sebuah penggerak yang tak digerakkan, ringkasnya kita hendaknya melihat pada sebuah “penggerak yang berhenti”.

Akan tetapi kita mengenal sebuah keadaan dimana dalam keadaan tersebut, gerak secara inderawi dilahirkan melalui proses sebuah “penggerak yang berhenti” dan penggerak tersebut adalah cinta yang muncul melalui sebuah kecantikan. Seseorang yang telah menjadi pecinta akan terseret ke arah yang dicinta, hal ini disebabkan yang dicintai itu telah menarik perhatian pecinta ke arahnya, akan tetapi obyek yang dicintai bukan hanya untuk menggerakkan pecintanya saja sehingga dia tidak memberikan gerakan pada dirinya, melainkan terdapat banyak kemungkinan dimana dia pun tidak sadar dengan kewujudannya. Inilah sebuah gambaran yang menurut perkiraan Aristoteles telah memberikan kefahaman sebab gerakan yang telah membuat dunia bergerak, dan karena gerakan semcam ini ada, maka harus terdapat pula penggerak yang berhenti yang menjadi tempat kebergantungan semuanya dan penggerak tersebut adalah Tuhan.[5]

Kedua uraian di atas –sebagaimana yang telah Anda perhatikan- secara eksternal saling berbeda antara satu dengan lainnya. Pada uraian pertama, penggerak awal diungkapkan sebagai pecinta, akan tetapi pada uraian terakhir penggerak awal diungkapkan sebagai yang dicintai yaitu sesuatu yang terbatas. Dalam kelanjutan pembahasan, kami akan kembali pada point tersebut sekaligus mencoba melakukan analisa dan evaluasi terhadap perangkat dari setiap kedua uraian.

Syeikh Ar-Rais Ibn Sina sebagai penjabar teori Aristoteles, pada kitab “Ilahiyat Shifa” mengetengahkan pembahasan tentang penggerak awal yang dia namakan sebagai sesuatu yang dicintai , kebaikan hakiki, puncak kebaikan, sebab pertama dan penggerak pertama dan universal.

Para ahli sejarah Filsafat dalam menukilkan dan menginterpretasikan pendapat Aristoteles tentang penggerak awal kira-kira sepakat pada point berikut bahwa dia (Aristoteles) tidak menganggap Tuhan sebagai sebuah penggerak dan power mekanik. Pada kitab “Tarikh Filsafat” karangan Will Durant dikatakan:

Aristoteles berkata: Gerak secara pasti memiliki prinsip, dan apabila kita tidak ingin memasuki sebuah interkoneksi (tasalsul) yang melelahkan yang membawa masalah kembali ke belakang selangkah demi selangkah tanpa akhir, maka kita harus menerima adanya sebuah penggerak awal yang tak digerakkan (primum mobile immontum) atau penggerak hakiki sebagai sebuah prinsip yang tegas...Tuhan bukanlah pencipta, melainkan penggerak alam, dia memut ar alam tidak sebagai sebuah kekuatan mekanik, melainkan sebagai sebuah illatul illal (the first cause) dari semua sumber, aktivitas dan perilaku alam. “Tuhan memutar dunia ini sehingga yang dicintai menjadi pecinta.[6]

Aristoteles sepakat bahwa kinetik sebagai sebuah relefansi muncul lebih awal dari kekuatan, hal ini dikarenakan “kinetik” merupakan tujuan akhir dari kekuatan, dan Tuhan telah diungkapkan sebagai kinetik sempurna, dan berkata:

Tuhan sebagai prinsip eternal gerak dan peletak prinsip dari energi ke aktual, harus merupakan sebuah kinetik yang sempurna, yaitu berupa penggerak awal yang tak digerakkan ...penggerak awal yang tak digerakkan atau penggerak hakiki yang merupakan sebab akhir dari setiap prinsip gerak, merupakan sebab akhir menjadi kinetiknya energi, yaitu sebab dari kenapa kebaikan bisa dilahirkan.[7]

Kalimat-kalimat yang perlu mendapat perhatian antara lain adalah yang dimaksud oleh Aristoteles dalam sifat “Awal” untuk Tuhan bukanlah keawalan dalam pengertian temporal. Menurut pendapat Aristoteles gerak secara urgensi dan dharuri adalah abadi dan tanpa permulaan. Dari sini perkataan “Awal” menurutnya adalah “Superior”.

Setiap gerak dan setiap perpindahan dari potensi ke aktual meniscayakan pada mabda bil fi’il (pemula aktual), akan tetapi apabila setiap benda bergerak mengharuskan adanya sebuah sebab penggerak aktual, maka dunia secara universal akan meniscayakan adanya sebuah “penggerak awal”, akan tetapi penting untuk memperhatikan poin berikut bahwa kata “awal” tidak boleh difahami sebagai pengertian temporal, karena menurut pendapat Aristoteles secara urgensi gerak itu abadi. Lebih baik kiranya apabila kata “Awal” difahami saja sebagai “’Superior” yang maksudnya adalah penggerak awal sebagai prinsip eternaliti, yaitu merupakan gerak yang abadi dan eternal. Menurut pendapat Aristoteles, apabila Tuhan sebagai sebab aktual fisik, berarti dia akan merupakan sebab gerak –dan dengan istilah lain, dia mengemudikan alam- dalam keadaan tersebut diapun akan menerima terjadinya perubahan yaitu reaksi dari yang digerakkan atas penggerak telah mempengaruhinya, oleh karena itu dia harus sebagai sebab akhir, yang menjadi pelaku melalui keinginan itu sendiri.[8]

Arsitoteles dalam kitab “Metafisika” menunjukkan bahwa pemula penggerak ini harus merupakan aktual murni yaitu energi tanpa sedikitpun potensi.[9]

Tentang Tuhan terkadang dia menganggapnya sebagai penggerak awal yang tak digerakkan dan terkadang pula dia menggunakan kata Tuhan itu sendiri.


Penggerak yang tak digerakkan (penggerak hakiki), bukan maddah (bahan, zat) dan bukan materi
Gerak, meniscayakan potensi dan kapabilitas dan keduanya ini bersumber dari maddah, oleh karena itu pada tempat dimana ada gerak, berarti ada maddah di sana, dan pada tempat dimana tidak ada gerak berarti tidak ada maddah pula. Aristoteles sepakat: karena tujuan setiap benda di alam ini adalah untuk mencapai keadaan bentuk murni, dengan demikian harus terdapat sebuah eksistensi aktual yang merupakan akhir dari setiap perubahan atau gerak. Eksistensi ini dinamakan sebagai “penggerak tak digerakkan”, meskipun dia tidak menerima sedikitpun kemungkinan terjadinya perubahan dan transformasi –karena dia sama sekali tidak tergolong dalam materi sehingga karena itulah dia tidak mempunyai kapabilitas sedikitpun– sebagai dalil dan sebab gerak segala sesuatu di alam semesta ... dengan demikian melalui cinta terhadap kesempurnaan dalam bentuk murni-lah sehingga alam natural melanjutkan gerak dan perjalannya yang tanpa akhir”.[10]

Harus diperhatikan bahwa dalam metode “Metafisika” nya Aristoteles, penggerak tak digerakkan sama sekali tidak akan pernah turun dari sifat dan posisi ini, karena eksistensi-eksistensi bergerak sama sekali tidak akan pernah sampai pada tingkatan bentuk dan kinetik murni, oleh karena itu senantiasa dalam usaha dan upaya dan sama sekali juga tidak akan pernah sampai pada tujuan lebih jauh tersebut. Dari sinilah penggerak senantiasa penggerak dan yang digerakkan pun senantiasa merupakan obyek yang digerakkan.[11]


Premis teori gerak dan perbedaannya dengan teori-teori lainnya
Untuk lebih menjelaskan adanya kelebihan teori gerak atas teori-teori lainnya seperti teori keteraturan, teori huduts, wujub-imkan, dan teori sebab-akibat, hal ini mengharuskan kami untuk lebih cermat dan lebih jeli dalam menanggapi premis-premis teori ini serta prinsip middle term-nya.

Allamah Syahid Muthahari (ra) menuliskan:[12]

Teori penggerak awal terdiri dari lima prinsip pokok:

1. Gerak, membutuhkan penggerak,

2. Penggerak dan gerak keduanya adalah bersamaan secara temporal, yaitu mustahil terjadi pemisahan waktu di antara keduanya,

3. Setiap penggerak, mungkin digerakkan dan mungkin konstan,

4. Setiap eksistensi jasmani akan berubah dan digerakkan,

5. Gradasi interkoneksi (tasalsul) tanpa batas adalah mustahil.

Ayatullah Taqi Misbah Yazdy dalam uraiannya atas kitabnya allamah Thabathbai Nihayatul Hikmah mengungkapkan empat premis untuk teori gerak, sebagai berikut[13]:

Argumen gerak bersandar pada empat asas :obyek gerak membutuhkan penggerak, penggerak harus berakhir pada sesuatu yang tidak bergerak, sesuatu yang non materi bukanlah obyek gerak, mata rantai sesuatu non materi harus berakhir pada wajib al wujud.

Harus diketahui bahwa gerak adalah semacam bentuk perubahan dan tidak setara dengan perubahan mutlak. Gerak merupakan perubahan bertahap, dan dalam teori gerak perubahan tidak diperhatikan dari sisi kejadiannya, karena dalam keadaan ini berarti, pertama: tidak akan ada perbedaan antara perubahan seketika dengan perubahan bertahap (gerak), kedua: teori gerak pasti akan kembali kepada teori hudust (dari tiada menjadi ada). Demikian juga harus dicermati bahwa penegasan dalam teori gerak ini tidak diletakkan pada keharmonisan dan keteraturan gerak langit dan seluruh gerakan lainnya, karena dalam keadaan ini teori gerak akan kembali pada teori keteraturan.

Dan juga harus diperhatikan bahwa yang menjadi point pembahasan gerak dalam teori ini bukanlah dari sisi kemungkinannya dan kebutuhannya terhadap wajib, karena hal ini akan berarti tidak ada perbedaan antara perubahan bertahap (gerak) dengan perubahan seketika, karena keduanya merupakan wujud-wujud possibel yang membutuhkan wajib.

Dalam teori gerak, prinsip keberadaan gerak di alam natural adalah jelas dan nyata. Apabila seseorang mengingkari prinsip ini-sebagaimana yang dilakukan oleh filosof Paramandise dkk- maka hal tersebut akan membuat torehan pada teori ini, akan tetapi pengingkaran semacam ini untuk teori-teori seperti teori keteraturan, hudust, imkan-wujub, sebab-akibat, tidak akan memberikan goresan apapun. Oleh karena itu untuk memisahkan teori gerak dari teori-teori lainnya, harus kita perhatikan bahwa dalam teori ini middle termnya adalah “perjalanan benda secara bertahap dari potensi ke aktual”, dan bukan sesuatu yang lain[14], dan gerak baik sebagai persepsi mandiri atas asumsi penggerak ataupun sebagai gerak yang posisinya terletak dibawah persepsi mumkin atau akibat, merupakan sebuah persepsi filosofi, oleh karena itu midle term teori gerak ini adalah middle term yang filosofi, dan oleh karena itu teori gerak tidak bisa hanya dinamakan sebagai teori alami atau bertahap. Bukanlah Aristoteles dalam definisi geraknya mengatakan[15]:

“Gerak merupakan kesempurnaan pertama untuk sesuatu yang potensi, dari sisi kepotensiannya”

Tanpa ragu lagi perspesi seperti kesempurnaan, pertama dan potensi merupakan persepsi filosofis dan bukan persepsi dari kelompok ilmu alam, oleh karena itu perlu ditinjau kembali apabila kita mengatakan: “Aristoteles membahas teori ini dalam kapasitasnya sebagai seorang ahli ilmu alam bukan dari kapasitasnya sebagai seorang filsosof ilahi” tentu saja tidak ragu lagi bahwa gerak merupakan fenomena alami akan tetapi pembahasan hukum-hukum gerak merupakan pembahasan rasional dan filosofi. (diperhatikan)

Ayatullah Jawadi Amuli, pada pasal kedua dari makalah “teori gerak” –nya menuliskan:

“Pembahasan dalam eksistensi gerak, merupakan partikulasi dari filsafat ilahi yang membahas mulai dari prinsip eksistensi hingga terlahirnya benda, .... akan tetapi pembahasan gerak dalam ilmu alam menjelaskan gerak sebagai sebuah fenomena khusus pada substansi tertentu, yaitu gerak pada ilmu alam membahas tentang apakah fulan substansi mempunyai kepadatan gerak ataukah tidak, bagaimanakah cara dia bergerak serta apa tujuannya, akan tetapi tidak membahas fenomena lain –yang tidak berada dalam lingkup pembahasannya-. Dan secara global pembahasan tentang apakah gerak ada di alam semesta ini ataukah tidak, dengan mengesampingkan substansi-substansi tertentu, berada di luar institusi ilmu alam melainkan berada dalam batasan pembahasan murni filosofi, ..... dan karena pembahasan kita sekarang adalah tentang wujud gerak sebagai sebuah pembahasan filosofi murni, maka hal ini harus dilakukan dengan memanfaatkan metode-metode khusus itu sendiri yang dalam filsafat ilahi dipergunakan untuk membuktikan eksistensi benda, lalu meletakkan inovasi ilmu alam sebagai saksi dan penegas, karena inderawi maupun deduksi tak satupun ada yang mampu membuktikan hakekat gerak dengan makna mendalam sebagaimana yang telah ditafsirkan, dan menjelaskan kemunculannya obyek luar.

Ringkasnya tidak satupun dari kesinambungan, tahapan, perjalanan dari potensi, lepasnya dari potensi dan sampainya pada aktual dan kesempurnaan wujud, tidak akan terindera oleh salah satupun dari panca indera dan ilmu yang perangkatnya adalah indera dan deduktif, tidak akan mempunyai kemampuuan untuk membuktikan hal-hal yang non inderawi dan diapun tidak mempunyai hak untuk mengingkarinya”.[16]

Mulla Sadra (ra) sendiri dalam kitab Asfar-nya pun mengatakan bahwa gerak dan diam merupakan sebuah masalah yang tidak bisa difahami dengan indera, melainkan indera hanyalah sebagai penentu dan sahabat akal dalam memahami mereka.[17]

Saksi lain yang menyatakan bahwa teori gerak merupakan sebuah teori filsafat murni dan bukannya sebuah teori eksperimen adalah bahwa “gerak” sama sekali tidak bisa dikatagorikan atau istilahnya tidak termasuk dalam kelompok mahiyat (esensi) dan akal pertama[18], melainkan termasuk ke dalam akal kedua filsafat dan oleh karena itu pembahasan yang berkaitan dengan masalah tersebut berada dalam institusi hikmah ilahi.


Apakah penggerak pertama merupakan wajibul wujud?
Sheril Warner menuliskan: pemutar pertama tanpa putaran ini adalah wujud abadi, hal ini terjadi karena gerak yang terlahir darinya adalah abadi, dia juga mempunyai kesempurnaan menyatu karena gerak yang dimunculkan merupakan gerak yang koheren dimana koheren meniscayakan pada kebersatuan, akan tetapi menganggap wahidnya pemutar pertama adalah tidak mencukupi. Pemutar pertama mempunyai bagian yang tak bisa diterima pula yaitu dia tidak mempunyai jumlah. Pada hakekatnya dia tidak bisa pula mempunyai jumlah, karena pemutar yang melakukan geraknya secara abadi dan mutlak tidak bisa merupakan akibat dari yang terbatas, akan tetapi pemutar ini bukan merupakan jumlah tak terbatas, karena di dalam alam riil sama sekali tidak ada wujud yang tak terbatas, dengan demikian pemutar tidak mempunyai jumlah dan pada prinsipnya mempunyai bagian yang tak bisa diterima, karena tidak ada jalan untuk berubah, maka dia tidak bisa menjadi sesuatu kecuali apa yang ada dan wajib wujud adalah mutlak.[19]

Pada tempat yang lain lagi dia menuliskan: Penggerak pertama, yaitu wujud sempurna yang telah menarik alam ke arahnya ini adalah apa yang disebut oleh para filosof sebagai Tuhan, dengan demikian penggerak pertama yang tak bergerak ini merupakan bentuk murni, sebuah wujud yang secara mutlak non materi dan bernama Tuhan.[20]

Bertolak belakang dengan pendapat Sheril Warner ini, sebagian sepakat bahwa teori penggerak pertama Aristoteles tidak mampu membuktikan keberadaan Tuhan, dan wajibul wujud serta penggerak tak digerakkan tidak relefan atas wajibul wujud karena bisa saja penggerak tak digerakkan ini merupakan wujud selain Tuhan.

Murtadha Muthahari (ra) dalam footnote-nya atas Usul Falsafah wa Rawaz-e Realism menuliskan: dengan memperhatikan bahwa teori ini secara analogi tidak membuktikan wajibul wujud melainkan hanya membuktikan sesuatu yang metafisik, maka kami menghindari penjelasan yang lebih lanjut.[21]

Ustadz ‘Alamah Jawadi Amuli (damu ‘izzah) dalam sharh Asfar menuliskan: dalam teori gerak, penggerak tak digerakkan-lah yang terbukti bukannya wajibul wujud.[22]

Di antara mereka, ahli kalam bernama Imam Fahrur-Razi mempunyai pendapat yang relevan dengan apa yang dikatakan oleh Sheril Warner. Dia berkata[23]:

Para naturalis berargumentasi atas wujud Tuhan dengan metodologi gerak yang mendasarkan pada hal berikut bahwa pada hakekatnya gerak akan berakhir pada penggerak tak digerakkan dan penggerak yang dirinya tak digerakkan mewajibkan untuk memiliki apa yang mungkin terlahir dalam haknya, dan eksistensi semacam ini secara lazim adalah wajibul wujud”.

Berkaitan dengan teori ini, dalam tafsir Imam Fahrur Razi, terdapat discourse tentang penggerak tak digerakkan dimana pada saat yang bersamaan dia sepakat pula bahwa penggerak tak digerakkan adalah wajibul wujud. Dengan memperhatikan bahwa wajibul wujud adalah esa dan pluralitas wajibul wujud merupakan hal sesuatu yang mustahil, dengan demikian maka harus terdapat penjelasan lain untuk para pengklaim ini.

Kebalikan dari Fahrur Razi, teolog ternama dan filosof terkenal bernama Abdul Razak Lahijy (ra) dalam kitab Shawariq-nya mengatakan bahwa teori gerak tidak bisa membuktikan wajibul wujud secara dzat.

Dalam tingkatan penghakiman atas pendapat-pendapat yang plural ini, ada baiknya apabila sebelumnya diperjelas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan “gerak” di sini. Apabila yang dimaksud dengan “gerak” adalah perjalanan bertahap sebuah benda dari tingkat potensi menuju aktual, yang hal ini hanya bisa digambarkan pada materi, maka “penggerak tak digerakkan” di sini bisa merupakan salah satu dari possible-possible abstrak –mufaraqat bil-kuliyyah (paradoks secara universal)- dan secara lazim penggerak tak digerakkan pasti bukan wajibul wujud. Dan mereka yang mengatakan bahwa: teori penggerak pertama Aristoteles tidak bisa membuktikan wajibul wujud, bisa jadi maksud mereka adalah point ini.[24]

Akan tetapi apabila “gerak” kita artikan dengan makna luas, selama menjadi eksisnya dan hudust-nya possible-possible kita anggap pula sebagai manifestasi-manifestasi yang muncul dari gerak, dan hal tersebut kita namakan sebagai perjalanan dari tiada kepada ada, maka dalam keadaan ini penggerak tak digerakkan tidak akan relefan kecuali untuk wajibul wujud bil-dzat, karena keseluruhan sesuatu selain realitas wujud Nya akan mempunyai makna penggerak seperti di atas, dan wujud yang mempunyai makna tidak benar dalam perjalanannya dari tiada ke ada hanyalah wajibul wujud bil-dzat.

Mulla Sadra menamai: “menjadi eksisnya esensi possible” dengan “gerak dzatiyah” dan berkata: dalam eksistensi semacam ini, aktual muncul setelah potensi, etrë setelah non-etrë dan wujud muncul setelah tiada, yaitu eksistensi-eksistensi mumkin, tidak mempunyai eksistensi dalam tingkatan dzat dan middle mahiyah dan mereka akan menjadi eksis dengan perantaraan wajib, dan dalam inovasi semacam ini seakan-akan perjalanan dilakukan dari tiada ke ada.

Mulla Sadra (ra) mengatakan: perjalanan semacam ini juga merupakan salah satu bentuk dari gerak, karena transformasi dan perjalanan yang ada dalam empat akal terkenal (quantity, quality, place and position) merupakan gerak temporal, dan sebagaimana yang berlaku dalam gerak temporal dimana yang digerakkan membutuhkan adanya transformasi dan penggerak, maka dalam gerak dari tiada ke wujud ini pun membutuhkan adanya sebuah penggerak yang dirinya sendiri tidak mempunyai gerakan dan transformasi semacam ini, dan dia adalah wajibul wujud.

Ayatullah Jawadi Amuli dalam komentarnya atas kitab Asfar, menganggap perkataan Mulla Sadra (ra) ini sebagai pengecualian dan mempunyai makna terminologi lain dan mengatakan: apa yang ada dalam kitab “mabda’ dan ma’ad” yang berkaitan dengan terlahirnya gerak dalam mujaradad (alam abstraks) merupakan sebuah penjelasan yang berbeda dan mempunyai makna terminologi lain, karena secara istilah “abstrak-abstrak” –yang berasal dari imkan dzati dan mengalami transformasi ke wujub selainnya- tidak dikatakan sebagai “yang digerakkan”. Meskipun dengan makna yang ringan bisa dikatakan bahwa disanapun terdapat gerak, akan tetapi bagaimanapun juga alam abstrak dinamakan sebagai alam konstan.[25]

Apabila gerak -meskipun dengan makna yang ringan dan dangkal- menemukan jalannya di alam abstrak dan termasuk ke dalam akal-akal dan paradoks-paradoks, maka penggerak tak digerakkan hanya akan mempunyai satu obyek saja, dan dia tak lain adalah dzat wajib dan dengan demikian teori gerak akan menjadi affirmasinya wajib.

Point lainnya: apabila gerak kita ketahui sebagai sebuah perjalanan dari tiada ke ada dan hal tersebut kita nisbatkan kepada seluruh possibility yang ada, maka gerak ini akan equivalen dengan hudust dzati, dan penjelasannya adalah sebagai berikut bahwa proposisi “yang digerakkan oleh gerak ini membutuhkan penggerak tak digerakkan” adalah equivalen dan setara dengan apa yang kita katakan bahwa: fakta dzati membutuhkan qadim (ancient) dzati dan karena qadim dzati tidak akan bisa muncul sebelum adanya wahid, dengan demikian eksistensi tak digerakkan ini tak lain dan tak bukan adalah wahid itu sendiri.


Apakah penggerak pertama adalah tunggal?
Tentang apakah Aristoteles adalah seorang pemikir yang sepakat terhadap teori penggerak awal sebagai Tuhan yang esa(mono) ataukah sebagai Tuhan yang jamak (poly), terdapat banyak perbedaan pendapat di dalamnya, akan tetapi tentang apakah teori gerak mampu membuktikan bahwa Tuhan itu wahid ataukah tidak, hal ini membutuhkan diskursus yang lain lagi.

Dalam kitab Prinsip-prinsip Theology dalam Filsafat Yunani dan Agama-agama Ilahi tertulis: bisa jadi Aristoteles berfikir tentang penggerak-penggerak tak digerakkan dalam bentuk plural. Dengan diketahuinya bahwa Aristoteles telah sampai pada penggambaran Tuhan melalui metodologi gerak dan setiap bentuk dari gerak-gerak yang dia temukan senantiasa berakhir pada sebuah gerak tak digerakkan, maka berarti secara normal Aristoteles harus sepakat dengan kemajemukan Tuhan (polytheisme).[26]

Mungkin saja bisa dikatakan bahwa: Apabila kita menganalisa pluralitas sebagai sebuah longitudinal dan maksud kita dari tuhan-tuhan yang plural dan majemuk adalah penggerak-penggerak tak digerakkan dalam sepanjang longitudinal satu dengan lainnya yang pada akhirnya akan sampai pada satu penggerak pertama, maka matlab semacam ini bisa diperoleh dari discourse Aristoteles dan tentu saja hal ini tidak bertentangan dengan Tauhid Tuhan dalam agama, akan tetapi apabila yang kita maksud dengan pluralitas adalah aksidensi dan maksud dari tuhan-tuhan yang plural dan majemuk adalah penggerak-penggerak tak digerakkan dalam aksidensi satu dengan lainnya, maka uraian seperti ini tentu saja akan bermakna syirik dalam prinsip keberadaan, akan tetapi dengan memperhatikan pendapat Aristoteles dalam masalah ini maka kita tidak bisa menisbatkan kata “syirik” kepadanya. Ibarat di bawah ini merupakan saksi dari klaim ini dan merupakan penegas yang bisa memberikan rujukan padanya:

“Pemula dan pertama, merupakan eksistensi-eksistensi yang tak digerakkan baik secara dzat maupun secara aksiden, akan tetapi pertama menggerakkan gerak mono-eternal, dengan memperhatikan bahwa yang digerakkan terpaksa menjadi bergerak karena sesuatu dan penggerak pertama secara dzat merupakan eksistensi tak digerakkan, dan gerak eternal menjadi bergerak karena sebuah eksistensi eternal juga, dan sebuah gerak terjadi dari sebuah penggerak, dan juga karena kita melihat bahwa selain gerak mutlak seluruh alam -dimana kita mengatakannya: substansi pertama yang tak digerakkan telah menggerakkannya- terdapat pula gerak-gerak space lainnya, seperti gerak abadi bintang-bintang berputar (yaitu meteor) .... maka setiap gerakan-gerakan space ini pun harus bergerak karena sebuah esensi dzati yang tak digerakkan dan yang abadi, .... jadi apa yang dikatakan bahwa esensi-esensi itu ada dan salah satu dari mereka adalah yang pertama dan selainnya adalah yang kedua, dengan keteraturan serupa, gerakan bintang-bintang menjadi sebuah point yang sangat jelas”.

Dari discourse ini bisa disimpulkan bahwa Aristoteles sepakat dengan adanya sebuah penggerak pertama yang secara dzat tak digerakkan, dan dia menganggapnya sebagai penggerak gerakan mutlak seluruh alam dan dalam sepanjang penggerak pertama ini dia juga percaya terhadap penggerak-penggerak tak digerakkan yang berada pada tingkatan kedua.

Apabila gerak dari tiada menjadi ada dan dari tak wujud menjadi wujud secara hakekat kita ketahui pula sebagai gerak, dalam keadaan ini tentu saja kita tidak akan mampu menganggap bahwa penggerak tak digerakkan dari penggerak-penggerak plural Aristoteles adalah selain penggerak tak digerakkan pertama, karena selain penggerak pertama semuanya mempunyai perjalanan dari tiada ke ada.


Penggerak pertama merupakan sebab akhir (a final cause) ataukah sebab aktif (an activity cause)?
Sebagian –sebagaimana kita lihat- menguraikan teori gerak dengan cara sedemikian rupa hingga pada pamungkasnya membuktikan penggerak pertama sebagai sebab aktif gerak dan maksud dari sebab aktif atau pelaku gerak adalah “faktor yang mewujudkan gerak”. Di sini terdapat sebuah ishkal yang mengatakan bahwa pelaku yang langsung mewujudkan gerak maka dia sendiripun harus mempunyai gerak pula, dan atas dasar ini berarti tidak mungkin ada penggerak yang tak digerakkan.

Dalam menjawab kritik ini harus dikatakan bahwa pertama: apa sebenarnya yang dimaksud dengan gerak itu? Adakah yang dimaksud adalah gerak yang berada dalam ruang lingkup substansi ataukah gerak dengan makna kemunculan dan hudust (perjalanan dari tiada ke ada) pun termasuk yang dimaksudkan? Kedua: harus dilihat gerak di sini adalah sebagai akal kedua filsafat dan sebagai sebuah metode eksistensi ataukah gerak sebagai sebuah persoalan esensial dan fenomena aksidensi?

Apabila gerak dalam substansi kita lihat sebagai sebuah fenomena asidensi dan teori penggerak pertama menekankan pada gerak ini, maka pertama: teori ini tidak cukup untuk membuktikan penggerak tak digerakkan, dan kedua: andai kita misalkan mencukupi, hal tersebut tetap tidak akan membuktikan tentang Tuhan, melainkan hanya akan membuktikan penggerak abstrak (metafisik) yang tak digerakkan.

Akan tetapi apabila gerak alam materi kita lihat sebagai sebuah persoalan dzati dalam jauhar (esensi) jism, maka dari sini kreasi gerak akan menjadi kreasi yang simpel dan sederhana bukan kreasi gabungan, dan teori ini akan mampu menjadi pembukti penggerak tak digerakkan, akan tetapi sekali lagi statement ini masih belum matang untuk membuktikan penggerak tak digerakkan sebagai mabda pertama (Tuhan) dan cenderung akan menjadi sempurna hanya dengan bantuan dari pembatalan interkoneksi (tasalsul).

Namun apabila gerak kita ambil dengan makna perjalanan dari tiada ke ada, maka dalam kondisi ini kita akan mampu mengatakan bahwa: eksistensi bisa terpilah dalam dua kelompok, yaitu penggerak atau digerakkan, dan karena yang digerakkan akan tertolak tanpa adanya penggerak, maka dalam keadaan apapun penggerak menjadi lazim dan dharuri. Dengan uraian ini teori gerak tidak memerlukan bantuan pembatalan teori daur atau interkoneksi, karena semua alam bergerak yang tercakup dalam satu wahana mempunyai satu hukum dan hukum tersebut adalah kebutuhannya akan penggerak yang tak digerakkan.

Mulla Sadra dalam kaitannya dengan gerak substansi alam materi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan penggerak adalah pencipta atau pengada itu sendiri.

Hal ini akan menjadi lebih jelas dengan apa yang kita maksud bahwa gerak merupakan perjalanan dari tiada ke ada yaitu bahwa kreasi gerak tak lain adalah menciptakan, oleh karena itu penggerak di sini bermakna pemberi wujud atau pengada.

Ayatullah Jawadi Amuli dalam wacana tentang apakah teori gerak membutuhkan pembatalan teori daur ataukah tidak, menuliskannya sebagai berikut:

Apabila setiap dari gerak-gerak tertentu di alam luar diungkapkan sebagai statement, maka dalam menyempurnakan teori gerak meniscayakan untuk mengambil bantuan dari tertolaknya teori daur atau interkoneksi, akan tetapi apabila yang kita ungkapkan adalah majemuk alam natural -yang merupakan sebuah kesatuan riil-, maka hal ini tidak membutuhkan bantuan dari pembatalan interkoneksi, karena apa yang ada di luar alam natural sebagaimana metafisik berakhir pada Tuhan Subhan dan tidak ada satupun dari eksistensi abstrak yang memiliki potensi dan talent sehingga dia perlu melakukan perjalanan bertahap untuk sampai pada kesempurnaan. Dengan demikian tidak ada gerak dalam eksistensi abstrak, melainkan dia konstan, bukan diam dan dari sisi kekuatan dia tidak membutuhkan penggerak.[27]

Sebagaimana telah kami katakan: berargumentasi atas dasar gerak natural tidak akan mampu membuktikan Tuhan secara langsung, melainkan hanya akan membuktikan eksistensi metafisik, dan pembuktian eksistensi metafisik sebagai sebuah penggerak tak digerakkan secara rasional tidak identik dengan pembuktian wajibul wujud (Tuhan), dengan demikian untuk membuktikan Tuhan, teori ini masih membutuhkan penyempurnaan. Begitu juga dengan statement atas dasar gerak-gerak tertentu -sebagaimana yang telah diungkapkan oleh penyusun - membutuhkan pula penyempurnaan. Hanya saja perbedaannya adalah statement atas dasar gerak-gerak khas natural membutuhkan pembatalan interkoneksi (tasalsul) atau teori daur dalam parameter geraknya, akan tetapi teori gerak atas dasar gerak keseluruhan alam natural membutuhkan pembatalan interkoneksi dalam parameter wujudnya yaitu ketika wujud penggerak tak digerakkan yang abstrak telah terbukti, maka pertanyaan berikut ini harus kita ungkapkan yaitu apakah wujud penggerak semacam ini adalah dzati ataukah ditemukan dari selainnya, kemudian dari sini dengan penafian interkoneksi pada akhirnya kita akan membuktikan wajib. Sebagaimana dalam discourse-nya, Ayatullah Jawadi mengatakan: ..... akan berakhir pada Tuhan.[28] Point akhir ini menunjukkan pada kebutuhan teori tersebut terhadap penyempurnaan.

Akan tetapi apabila dikatakan: gerak materi dan alam samasekali tidak membutuhkan penggerak. Klaim ini sangat jelas kekeliruannya, akan tetapi apabila dikatakan: gerak materi tidak membutuhkan penggerak dari luar alam, melainkan penggerak dari gerak ini berada di dalam materi itu sendiri dan gerak ini merupakan gerak dinamik bukan mekanik dan oleh karena itulah sehingga tidak akan berakhir pada penggerak metafisik.

Dalam menjawab hal ini harus dikatakan: misalkan saja kita memiliki sebuah bahan dengan nama A yang bergerak. Gerak ini bisa jadi berada di dalam substansi A itu sendiri dan bisa jadi juga berada dalam aksiden-nya. Apabila gerak tersebut berada di dalam substansi A, berarti A tidak bisa memberikan gerak ini kepada dirinya sendiri, karena hal itu akan berarti bahwa kita harus memisalkan A tidak mempunyai gerak lalu dia memberikan gerak kepada dirinya dan hal ini mustahil, karena “tidak memiliki sesuatu sama sekali tidak akan mampu memberikan sesuatu”, dan pada akhirnya anterioriti sesuatu atas diri sendiri akan meniscayakan kontradiksi yang mustahil, dan apabila gerak tersebut berada dalam aksidensi A maka penyebabnya bisa jadi adalah jauhar atau esensi sebagai pelaku langsung gerak, yang dengan demikian berarti secara urgensi dia sendiri juga harus digerakkan dan dalam keadaan ini matlab di atas akan terulang, atau penyebabnya adalah aksiden itu sendiri yang terlepas dari esensi, muncul sebagai pemicu geraknya sendiri, dimana dalam keadaan ini pun akan muncul kritik anterioriti atas diri sendiri atau pencipta gerak adalah faktor ketiga yang dalam hal ini matlab akan menjadi relefan yaitu kebutuhan yang digerakkan terhadap penggerak selain dirinya menjadi terbukti. Apabila dikatakan: gerak ini merupakan lompatan (tanpa sebab), maka kami akan berkata: berarti hal ini identik dengan revolusi dan mustahil terjadi.

Ayatullah Jawadi Amuli menuliskan: apabila sebuah eksistensi materi ingin melepaskan diri begitu saja dari kekurangannya dan ingin mencapai kesempurnaan dengan sendirinya tanpa bantuan dari eksistensi sempurna, maka kelazimannya adalah bahwa sebuah benda materi dalam kepotensiannya mempunyai aktualitas dan dalam kekurangannya mempunyai kesempurnaan, yang hal ini identik dengan terkumpulnya dua kontradiksi (ijtima naqidhain). Dengan demikian setiap eksistensi bergerak membutuhkan eksistensi sempurna lainnya yang akan mengangkatnya dari kekurangan dan mengantarkannya kepada kesempurnaan dan apabila gerak luar tersebut juga merupakan gerak, maka dia membutuhkan penggerak lainnya pula hingga akhirnya sampai pada penggerak pertama dimana penggerak pertama ini dikarenakan kesuciaan nya dari segala kekurangan, dia akan terlepas dari segala bentuk gerak dan transformasi lainnya dan ini adalah apa yang dinamakan dengan teori gerak dari metodologi keteraturan aktivity.[29]

Maksud dari aktual dan potensi dalam pembicaraan di atas adalah ada dan tiada, dan karena berkumpulnya tiada dan ada adalah mustahil, maka terkumpulnya potensi dan aktual dalam satu benda adalah tidak mungkin.

Dalam uraian teori gerak, penggerak tak digerakkan ditetapkan sebagai tujuan akhir yang merupakan pokok dalam definisi gerak yaitu perjalanan dari potensi ke aktual. Segala sesuatu yang bergerak, untuk dapat bergerak, mengharuskan adanya tujuan, dan apabila tujuan itu sendiri membutuhkan tujuan, ini berarti termasuk dalam suatu kaidah yang pada akhirnya mengharuskan adanya rangkaian aktualitas yang merupakan tujuan dari segala sesuatu yang bergerak yang kemudian berakhir pada satu aktualitas hakiki yang tidak membutuhkan aktualitas lagi dan merupakan dasar dari gerak segala sesuatu yang bergerak, dengan kata lain tujuan akhir (hakiki) meniscayakan ketiadaan potensi dan merupakan kesempurnaan yang hakiki.

Setelah diketahui bahwa sisi aktual apabila dinisbatkan kepada sisi potensi merupakan sisi yang konstan, maka pembuktian penggerak tak digerakkan melalui pencari tujuan gerak menjadi lebih gampang dan lebih sedikit memiliki sanggahan, misalnya sanggahan berikut tidak bisa diungkapkan bahwa tujuan dekat yang bergerak itu sendiri meniscayakan –sebagaimana pelaku dekat dalam gerak- dirinya sebagai yang digerakkan pula, melainkan kebalikannya setiap tujuan dari sisi tujuannya meniscayakan kekonstanan. (perhatikan ini).


Apakah gerak yang terpancar dari penggerak pertama muncul dari cinta?
Salah satu pembahasan yang disajikan dalam wacana tentang Tuhan-nya Aristoteles dan perbedaannya dengan Tuhan agama-agama langit adalah bahwa Tuhan agama-agama langit bisa dijadikan sebagai pancaran cinta sehingga kita mampu beribadah kepada Nya, hal ini berlawanan dengan Tuhannya Aristoteles (yaitu penggerak tak digerakkan) dimana kita tidak bisa beribadah kepada Nya dengan cinta..

Berdasarkan nukilan Frederick Copleston, dikatakan bahwa Aristoteles sendiri dalam kitabnya yang berjudul “Akhlak Kabir” telah mengungkapkan sub tema ini secara eksplisit bahwa mereka yang berfikir bisa mencintai Tuhan akan terjerumus pada kesalahan, karena pertama: Tuhan (penggerak tak digerakkan) tidak bisa memberikan jawaban dalam menanggapi cinta kita dan kedua: dalam keadaan apapun dia tidak bisa menyuruh kita untuk mencintai Nya.

Tentang hakekat apa yang sebenarnya dimaksud oleh Aristoteles, hal ini membutuhkan kontemplasi dan observasi yang lebih cermat lagi dan dalam bab ini muncul pertanyaan prinsip sebagai berikut yaitu apabila Tuhan atau penggerak tak digerakkan pertama kita letakkan sebagai tujuan akhir dan juga sebagai ma’shuq (yang dicintai) dan penggerak akhir yang relevan, dalam keadaan ini alam gerak secara keseluruhan akan merupakan alam cinta terhadap penggerak tak digerakkan yaitu Tuhan, dan hal ini tidak relevan dengan klaim yang mengatakan bahwa tidak bisa ada cinta terhadap Tuhan, kecuali apabila maksud Aristoteles adalah bahwa cinta terhadap Tuhan tersebut berada di dalam segala sesuatu yang digerakkan secara paksa dan tak dikehendaki sehingga tidak tersisa lagi tempat untuk cinta, penyembahan dan ibadah yang dikehendaki.[]

Walhamdulillah.


Catatan Kaki:
1. Abu ‘Ali Sina, “Fann Sama’ Tabii’i “ (dari kitab Shafa), terjemahan Muhammad Ali Furughy.

2. Aristoteles, “Tabi-iyyat”, terjemah dan pendahuluan Mehdy Fashad.

3. Mula Sadra, Asfar, J. 3, Al-Marhalatus-sabi’ah wa tsamanah, hal. 2 dan 184.

4. Ibid, J. 6, hal. 42-44.

6. Andre Krisson, “Falosife-ye Buzurg”, terjemahan Kadzim Emady, J. 1, hal. 230.

8. Will Durant, “Tarikh Falsafah”, hal. 70; Sheril Warner, “Seir Hikmah dar Yunan”, terjemahan Buzurg Nadir Zad, hal. 148; Bernard Russel, “Falsafeh-ye Gharb” terjemahan Najaf Darya Bandary, J. 1, hal. 251; Hana al Fakhury, Khalil al Bahr, “Tarikh Falsafah dar Jahan Islam”, terjemahan Abdul Hamid A-ety, hal. 71.

9. Frederick Copeleston, “Tarikh Falsafah”, terjemahan Sayyid Jalaluddin Mujtabawy, J. 1, hal. 423-424.

10. Ibid, hal. 428.

11. Penerjemah “Tarikh Filsafat” Copleston dalam catatan kaki hal 428 menuliskan: Istilah yang cocok untuk aktual murni tanpa kapabilitas bukanlah energi (potensi dalam keadaan kinetik), melainkan intelkhiya.

12. Richard Popkind”Kuliyat-e Falsafah”, terjemahan Sayyid Jalaluddin Mujtabawy, hal. 172.

13. Ibid, hal. 173.

14. “Usul Falsafah wa Rawesh-e Realism”, J. 5, hal. 6 (catatan kaki).

15. Hal. 416, no. 401.

16. Abdullah Jawadi Amuli, Mabda’ wa Ma’ad, hal. 180.

17. Asfar, J. 3, hal. 24.

18. Mabda wa Ma’ad, hal. 184 dan 185.

17. J. 3, hal. 22; dan J. 8, hal. 203.

18. Syeikh Isyraq (Ra) dalam “Talwihat”, hal. 11, menyatakan gerak sebagai katagori dan merupakan sebuah tema yang tidak membutuhkan ketergesa-gesaan dalam membahasnya.

19. Seir Hikmat dar Yunan, terjemahan Buzurg Nadir Zad, hal. 150.

20. Ibid, hal. 151.

21. Usul Falsafah wa rawasy-e Realism, J. 5, hal. 60.

22. Syarh Hikmah Muta’aliyah, bagian satu dari jilid keenam, hal. 300; juga Muhammad Taqi Mizbah Yazdi, Catatan kecil atas Nihayatul Hikmah, hal. 409.

23. Al Mabahitsul-mashriqiyyah, J. 2, hal. 451.

24. Tim penulis “Ma’arif Islami, 1-2” , hal. 296.

25. Syarh Hikmah Muta'aliyyah, J. 6, hal.. 300.

26. Reza Baranjkar’ Mabany Khuda Shenoshi dar falsafeh Yunan va- adiyan Ilahy, hal. 102.

27. Mabda’ wa Ma’ad, hal. 202.

28. Ibid.

29. Ibid, hal. 201.

9
Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

Argumen Imkan [6]

Pendahuluan
Argumen yang dipergunakan untuk menelaah realitas eksistensi dan wujud eksternal dalam menegaskan eksistensi hakiki Tuhan di sini, adalah argumen imkan (kontingen) dan wujub (necessity). Argumen ini merupakan salah satu argumen rasional yang paling kuat dalam membuktikan eksistensi Tuhan. Karena tak satupun manusia berakal menolak dan memungkiri eksistensi dirinya dan realitas wujud-wujud di alam ini. Sementara argumen ini secara prinsipil berpijak pada penerimaan realitas eksistensi dan wujud hakiki.

Yang jelas, Tuhan tidak gaib, yang gaib justru diri kita sendiri. Bahkan wujud Tuhan itu lebih jelas dan lebih bercahaya dari wujud-wujud apapun selain-Nya. Karena itu, ketika kita menggunakan berbagai argumen untuk membuktikan wujud Tuhan, maka sebenarnya adalah hanya untuk "mengingatkan" kita akan realitas hakiki tersebut.

Orang-orang bijak mengatakan, bahwa jalan dan metode untuk menyingkap wujud Tuhan, sebanyak realitas wujud ciptaan-Nya. Karena Tuhan memiliki banyak sisi (baca: nama dan sifat-Nya), sehingga setiap sisi-Nya merupakan jalan yang bisa digunakan oleh para pesuluk. Namun demikian, terdapat jalan yang paling kuat dan sempurna dibanding yang lainnya. Dalam hal ini, kita harus memilih argumen yang paling sempurna dalam menegaskan eksistensi Tuhan. Sebab, setiap argumen merupakan jalan menuju kepada-Nya dalam kerangka akal teoritis. Semakin sempurna argument, maka semakin sempurna pula pandangan dunia tauhid. Apabila pandangan dunia tauhid seseorang telah sempurna, maka akan sempurna pula tujuan hidup dan hakikat wujudnya.

Sebelum wujud Tuhan itu dapat kita buktikan lewat argumen ini, kami akan menjelaskan secara terperinci beberapa pendahuluan dan pengertian yang mendasar berkaitan dengan argumen ini. Dengan memahami pendahuluan berikut ini, akan mudah bagi kita mengikuti alur-alur argumen dan memahami -secara benar- premis-premisnya.

Beberapa pengertian yang ingin kami jelaskan antara lain:

1. Pengertian wujud kontingen (mumkin al-wujud), Wujud Wajib (wajib al-wujud) dan wujud mustahil (mumtani' al-wujud);

2. Pengertian keniscayaan;

3. Prinsip kausalitas;

4. Kemustahilan daur dan tasalsul.


1. Pengertian Wujud Kontingen, Wujud Wajib dan Wujud Mustahil
Ketika kita menelaah realitas-realitas eksistensi di alam ini misalnya manusia, hewan, tumbuhan, gunung-gunung, batu-batuan dan lain sebagainya, dapat kita simpulkan bahwa realitas-realitas eksistensi tersebut -dalam rentangan waktu- mengalami ketiadaan, setelah itu terwujud di alam ini. Begitu pula, realitas-realitas wujud ini -dalam koridor ruang-waktu- mengalami kesinambungan perubahan yang berjenjang. Tidak ada satupun dari realitas-realitas tersebut yang tidak pernah mengalami perubahan dari awal wujudnya, dan abadi pada satu kondisi dan tingkatan.

Jika wujud realitas-realitas itu adalah niscaya, maka mereka senantiasa mewujud. Sebaliknya, jika wujud mereka itu tak niscaya, maka mustahil mewujud. Oleh sebab itu, segala realitas eksistensi di alam ini berawal dari penciptaan, kemudian mengalami perubahan dan pembaruan secara terus menerus. Dengan kata lain, bahwa wujud realitas ini, pernah berwujud dan akan tak berwujud. Ini berarti, bahwa yang niscaya pada esensi realitas-realitas tersebut adalah berwujud dan tak berwujud. Dengan ungkapan lain, esensi realitas-realitas berada pada titik nol, bukan pada angka negatif (mustahil mewujud) dan bukan pada angka positif (niscaya mewujud).

Dalam istilah Filsafat dijelaskan, jika secara esensial eksistensi sesuatu itu meniscaya, maka ia disebut Wujud Wajib (wâjib al-wujud). Jadi, Wujud Wajib adalah realitas yang senantiasa berwujud dan ekistensi abadi. Dan jika secara esensial eksistensi sesuatu itu mustahil meniscaya, maka ia disebut wujud mustahil (mumtani' al-wujud), artinya ia mustahil mewujud atau mustahil ketiadaannya abadi. Dan jika eksistensi sesuatu -secara esensial- mungkin meniscaya, maka ia disebut wujud kontingen atau wujud bergantung (mumkin al-wujud). Hal ini berarti bahwa ia bisa jadi mewujud dan bisa jadi tak mewujud. Adapun sifat esensial dari wujud kontingen, ia senantiasa mengalami inovasi dalam ciptaan, perubahan dan gerak, seperti manusia, hewan, tumbuhan dan lain sebagainya.


2. Pengertian Keniscayaan
Ketika kita memperhatikan kata-kata seperti, genap, ganjil, delapan dan tujuh, maka akan kita temukan adanya hubungan antara genap dengan delapan, dan ganjil dengan tujuh. Kemudian hubungan tersebut akan membentuk premis-premis yang logis seperti, delapan adalah genap dan tujuh adalah ganjil.

Interaksi logis antara angka delapan dan genap dan angka tujuh dan ganjil, didasarkan atas realitas luar yang ada di alam ini dan di pikiran kita, bahwa hubungan hakiki antara realitas- realitas itu tak terpisahkan. Dengan ungkapan lain, genap merupakan hakikat delapan, dan delapan meniscayakan genap. Adalah mustahil memisahkan antara sifat genap dan angka delapan. Begitu pula antara sifat ganjil dan angka tujuh. Hubungan hakiki antara realitas-realitas tersebut disebut niscaya atau keniscayaan.

Hubungan hakiki antara eksistensi dan Tuhan disebut niscaya, artinya eksistensi dan Tuhan adalah dua hal yang mustahil terpisahkan. Artinya bahwa wujud Tuhan pasti ada, mustahil tiada. Dia adalah niscaya dan senantiasa ada. Dan wujud Tuhan -dalam istilah filsafat- disebut Wujud Wajib (wâjib al-wujud).


3. Prinsip Kausalitas
Pada prinsipnya, teori kausalitas telah muncul seumur dengan peradaban manusia. Bahkan, ia seusia dengan alam ini dan realitas eksistensi itu sendiri. Manusia yang berakal senantiasa mencari sebab-sebab dari setiap kejadian. Karena dengan mengetahui sebabnya, ia akan dapat memahami akar dan sumber akibat atau kejadian tersebut.

Di bawah ini, kami hadirkan beberapa ungkapan filosof terkemuka tentang defenisi kausalitas :

1. Al-Farabi berkata, "Sebab adalah sesuatu yang niscaya ada dan hadir bersama dengan akibat."[1]

2. Ibnu Sina menyatakan, "Sebab adalah sesuatu yang meniscayakan sesuatu yang lain. Dan akibat itu mesti aktual karena keaktualan sebabnya. "[2]

3. Mulla Sadra menyatakan, "Sebab memiliki dua pengertian, pertama: sebab adalah wujud sesuatu yang memancarkan realitas eksistensi yang lain, dan ketiadaan sebab berefek pada ketiadaan realitas itu. Pengertian kedua: sebab adalah wujud yang meniscayakan kebergantungan hakiki realitas lain, dan ketiadaan akibat karena ketiadaan sebabnya."[3]

4. Syekh Isyraq Suhrawardi berkata, "Maksud sebab adalah sesuatu yang keberadaannya meniscayakan sesuatu yang lain dan memustahilkan kejamakan sebab. "[4]

Konklusi dari semua defenisi di atas adalah bahwa sebab merupakan realitas wujud yang meniscayakan kebergantungan mutlak dan hakiki segala eksistensi eksternal lainnya.

Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat contoh berikut: Secara empiris, api menimbulkan panas. Api disebut sebab, karena meniscayakan panas. Panas disebut akibat, karena bersumber dari api. Secara hakiki, api dan panas memiliki hubungan khusus. Hubungan khusus ini, dalam istilah filsafat, disebut kausalitas atau hubungan sebab akibat. Dengan kausalitas, manusia bisa menghubungkan antara satu realitas dengan realitas lain serta menentukan sebab dan akibat dari realitas-realitas tersebut.

Sebagian filosof Barat -yang beraliran empiris- seperti David Hume, menolak hubungan kausalitas itu. Mereka beranggapan bahwa yang bisa diempiriskan hanyalah api dan panas, bukan hubungan khusus yang bersifat niscaya (baca: kausalitas). Segala realitas yang mustahil terempiriskan, tidak dikategorikan sebagai realitas yang berwujud. Ketika hubungan kausalitas itu mustahil terempiriskan, maka ia tak berwujud. Lebih lanjut dia berkata, "segala pengetahuan manusia bersumber dari hal-hal yang empiris. Jika terdapat "keberhubungan" antara satu realitas dengan realitas lain, hubungan ini hanya bersifat kebetulan, bukan karena adanya hubungan kausalitas. Karena "keberhubungan" (ta'âqub dan taqârun) dua realitas itu senantiasa terjadi. Keberadaan api memunculkan panas, dengan itu, "hubungan kausalitas" antara kedua realitas itu terbentuk dalam pikiran."

Jawaban atas kritik dan penolakan kausalitas tersebut sebagai berikut:

Pertama, dalam filsafat Islam, hubungan kausalitas tidak ada kaitannya dengan penginderaan lahiriah. Tetapi berkaitan dengan persepsi akal yang dapat dibuktikan lewat pengkajian-pengkajian rasional. Kajian-kajian rasionalitas, tidak berangkat dari realitas empiris. Dalam contoh di atas, dimana api adalah sebab, dan panas adalah akibat, hanya dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman atas hukum kausalitas. Penentuan sebab dan akibat -dalam contoh itu- bukan wewenang filsafat. Filsafat hanya merumuskan kaidah dan hukum universal. Jadi sangat wajar, apabila terjadi kesalahan dalam penentuan subyek masalah. Kritik yang ditujukan ke subyek masalah -dalam kajian filsafat- tidak dibenarkan. Kritik semestinya dialamatkan kepada kajian filosofisnya. Kesalahan dalam penentuan, bukan berarti kekeliruan dalam kaidah universalnya.

Sangat disayangkan apabila seorang ilmuwan menolak prinsip kausalitas hanya karena ketidakmampuannya menerapkan kaidah universal dalam wilayah partikularnya, kecuali jika rumusan epistimologinya mengharuskan semua pengetahuan berasal dari realitas empiris. Jika demikian, problemnya terletak pada konsep epistimologi dan bukan pada penentuan subyek sebab dan akibat.

Kedua, dalam ilmu logika, bahwa proposisi itu tersusun dari premis minor dan premis mayor, misalnya A dari B dan B dari C, maka A dari C. A dari B disebut premis minor dan B dari C disebut premis mayor. Jika prinsip kausalitas itu ditolak, maka mustahil ia akan melahirkan silogisme dari proposisi tersebut, yaitu A dari C. Menolak hokum kausalitas berarti ragu terhadap B dari A dan juga ragu bahwa B dari C, akhirnya mustahil menyimpulkan A dari C. Jadi, silogisme A dari C, adalah hasil dari adanya hubungan keniscayaan antara dua premis minor dan mayor. Hubungan keniscayaan itu disebut hubungan kausalitas atau hubungan sebab akibat.

Bukankah David Hume menggunakan premis-premis untuk menolak hubungan kausalitas? Dia menyatakan sebagai berikut: Hubungan kausalitas antara api dan panas adalah non empiris (premis minor), segala realitas non empiris niscaya tak berwujud (premis mayor). Jadi, hubungan kausalitas antara api dan panas, niscaya tak berwujud, artinya tidak ada hubungan kausalitas diantara kedua realitas itu (silogisme).

Apabila David Hume konsisten atas argumentasinya, maka ia harus menolak konklusi atau silogisme dari argumen yang dibangunnya. Karena, dalam proposisi kedua premis minor dan mayor adalah sebab, dan silogisme adalah akibat. Jadi, dalam proposisi itu juga terdapat hubungan kausalitas.

Maka dari itu, menolak hubungan kausalitas sama dengan menolak ilmu logika. Dan menolak ilmu logika, sama dengan menolak semua bentuk proposisi dan argumentasi, termasuk argumentasi penolakan hubungan kausalitas itu sendiri. Dan menolak argumentasi, sama dengan menolak keberadaan ilmu dan pengetahuan. Karenanya, penerimaan hubungan kausalitas menjadi prinsip dalam semua realitas, baik eksternal maupun internal (baca: alam pikiran).

Immanuel Kant ,filosof besar Jerman, karena ia mengetahui konsekuensi logis dari pemikiran Hume, maka ia dapat mengambil jalan lain dalam menyikapi hubungan kausalitas itu. Usahanya bahkan melahirkan problem lain. Dalam pandangannya, kausalitas atau hubungan hakiki sebab akibat, hanya terwujud di alam pikiran, dan bukan di alam eksternal. Hubungan itu dikatakan ada di alam eksternal, jika bisa diaplikasikan ke dalam fenomena ruang-waktu di alam materi. Hubungan kausalitas itu, begitu juga argumen imkan (contingency) dan wujub (necessity), tak bermanfaat jika ia tidak dapat diterapkan dalam koridor ruang-waktu.

Kant sebagaimana Hume, sepakat bahwa pengetahuan itu berasal dari realitas empiris. Tetapi Kant -berbeda dengan Hume- berpendapat bahwa walaupun pengetahuan kita di peroleh dari realitas-realitas empiris, ini bukan berarti semua pengetahuan berasal dari realitas empiris.

Kritik Kant dalam masalah kausalitas, sangat tidak konsisten. Dia menolak sebagian, yaitu menolak hubungan kausalitas yang tak terempiriskan dalam ruang-waktu (alam materi). Jadi, hubungan kausalitas itu tertolak di alam materi. Dan dia menerima sebagian, yakni hubungan kausalitas terterapkan di alam gaib (alam non materi). Ke-tak-konsisten-an Kant, karena mengkhususkan hubungan kausalitas itu di alam gaib. Tanpa dia sadari, konsekuensi dari pengecualian itu sama dengan menolak realitas semua alam. Karena akan memunculkan pertanyaan tentang bagaimana proses perwujudan alam-alam itu, termasuk alam gaib? Apakah ada hubungan antara alam-alam itu dan bagaimana bentuk hubungannya? Kalau dia menerima adanya "proses perwujudan" alam-alam itu, dan mengakui "pola hubungan" di antara realitas-realitas itu, maka tak ada jalan lain kecuali menerima eksistensi hubungan kausalitas tersebut.

Dalam perspektif filosof Islam, prinsip dan hubungan kausalitas, bersifat universal dan tak terbatas pada alam tertentu, tetapi terterapkan pada semua alam, baik alam materi maupun alam non- materi.


3.1. Gamblangnya Teori Kausalitas
Hukum kausalitas berbunyi, "setiap akibat pasti membutuhkan sebab." Defenisi ini adalah badihi, jelas dan tak membutuhkan argumen. Ketika kita mempersepsi makna akibat, artinya bahwa suatu realitas eksistensi itu bergantung kepada wujud yang lain, maka kita dapat memahami bahwa kebergantungan dan kebutuhan kepada wujud yang lain, merupakan konsekuensi dan hakikat dari eksistensi akibat. Jadi, sebenarnya kita tak perlu argumen dalam membuktikan kebenaran prinsis kausalitas.

Dengan memperhatikan defenisi Wujud Wajib (wâjib al-wujud) dan wujud kontingen (mumkin al-wujud) di atas, maka hukum kausalitas itu menjadi: setiap wujud kontingen membutuhkan sebab. Wujud kontingen memiliki kuiditas (mahiyah), karenanya secara esensial berada di antara Wujud Wajib dan wujud mustahil, atau antara ada dan tiada. Wujud yang demikian, untuk mengada, niscaya memerlukan sebab pengada. Tanpa sebab, mustahil mewujud. Inilah hakikat prinsip kausalitas.

Ciri-ciri wujud kontingen sebagai berikut: wujudnya lemah, terbatas, kebergantungannya hakiki, kebutuhannya abadi, tak sempurna dan secara esensial terus mengalami perubahan, perpindahan dan gerak. Perubahan, perpindahan dan pergerakan, merupakan hakikat kebutuhan, kekurangan dan kemiskinan. Wujud yang tak sempurna, mustahil bisa mencukupi dan menyempurnakan segala kebutuhan dan kekurangannya. Karena itu, wujud kontingen secara aktual memerlukan realitas wujud sempurna dalam penyempurnaan kekurangan dan pencukupan segala kebutuhannya serta pengaktualan semua potensi yang dimilikinya.


3.2. Hakikat Kausalitas
Hakikat kausalitas adalah setiap akibat memerlukan sebab, atau setiap wujud kontingen membutuhkan wujud wajib. Sebagian filosof Barat, keliru dalam memahami hakikat kausalitas. mereka menduga bahwa setiap realitas eksistensi eksternal, memerlukan sebab. Karena Tuhan (wâjib al-wujud) itu juga berwujud dan memiliki eksistensi, maka Dia pun memerlukan sebab.

John Hospers dalam menegaskan eksistensi Tuhan berkata, "Begitu banyak anak remaja dan orang dewasa dengan penuh keraguan bertanya kepada orang tua mereka tentang penyebab eksistensi Tuhan. Pertanyaan mereka bisa dibenarkan, karena kita telah menegaskan bahwa segala sesuatu memerlukan sebab. Dan apabila proposisi ini benar, maka eksistensi Tuhan juga memiliki sebab. Jika Tuhan tidak memiliki sebab, maka proposisi tersebut salah. Pada hal proposisi ini merupakan pendahuluan dari argumen sebab akibat dan argumen imkan (kontingen) dan wujub (necessity).

Oleh karena itu, argumen imkan dan wujub kehilangan keabsahannya dan bahkan mengandung kontradiksi satu dengan lainnya. Pernyataan yang berbunyi : Tuhan tidak memiliki sebab, ini bertentangan dengan defenisi kausalitas yang berbunyi: segala sesuatu memiliki sebab. Apabila defenisi ini -sebagai mukadimah argumen- benar, maka silogisme argumen imkan dan wujub, juga benar, tetapi mukadimah salah. Begitu banyak masyarakat tidak memahami kenapa argumen ini digunakan untuk menegaskan eksistensi Tuhan. Mereka pada akhirnya melupakan cara tersebut dalam menegaskan keberadaan Tuhan." [5]

Kritik John Hospers dan mereka yang sealiran dengannya, menyangka bahwa segala realitas eksternal memerlukan sebab, padahal maksud dari prinsip kausalitas adalah setiap wujud yang tak sempurna niscaya memerlukan sebab, bukan segala wujud. Tuhan adalah wujud yang sempurna, Dia bukan wujud yang berkekurangan. Oleh karena itu Tuhan tak memiliki sebab, bahkan Dialah Sebab Pertama dan Sebab dari segala sebab-sebab. Tuhan adalah realitas eksistensi yang swa-ada.

Penegasan di atas, bisa dianalogikan dengan ungkapan sebagai berikut: sesuatu yang bergaram dan kegaramannya bersumber dari zat lain seperti air, maka kegaramannya bukan esensial, tetapi bersumber dari zat lain. Ini berbeda jika dibandingkan dengan zat garam itu sendiri, yang kegaramannya bersifat esensial dan bukan berasal dari zat lain. Oleh karenanya, zat garam tidak memerlukan zat lain untuk kegaramannya. Zat garam bergaram dengan sendirinya atau swa-garam.

Jawaban yang sempurna atas kritikan John Hospers adalah bahwa defenisi kausalitas yang berbunyi, "Setiap wujud membutuhkan sebab" adalah keliru. Dan juga defenisi yang umum dipakai berbunyi, "Setiap akibat membutuhkan satu sebab " juga kurang tepat, karena proposisi ini adalah proposisi analitis, yakni inti subyek berulang dipredikatnya. Hal ini seperti kalau kita katakan, "Setiap manusia adalah manusia. Karena defenisi akibat adalah sesuatu yang bergantung kepada selain dirinya. Jika kita katakan, "Setiap akibat membutuhkan sebab" maka sesungguhnya sama kalau dikatakan, "Jika sesuatu bergantung kepada yang lain, sesuatu itu membutuhkan yang lain."

Apabila defenisi akibat adalah setiap wujud yang bergantung membutuhkan sebab, maka masalah tersebut akan tetap terulang. Karena kebergantungan, sama dengan kebutuhan kepada yang lain. Dalam menjelaskan teori kausalitas, kita harus meletakkan tolok ukur kebergantungan dan kebutuhan sesuatu itu sebagai subyek. Dengan demikian, kita akan menghasilkan defenisi yang sempurna.

Defenisi yang sempurna tentang hukum kausalitas adalah setiap wujud yang lemah dan rendah membutuhkan sebab. Tetapi defenisi yang umum digunakan oleh para filosof dan bahkan oleh Mulla Sadra mengenai kausalitas adalah: setiap kuiditas dalam keberadaan dan ketiadaannya membutuhkan sebab.


3.3. Keidentikan Sebab dan Akibat
Salah satu pembahasan penting dalam teori kausalitas adalah ke-identikan antara sebab dan akibat. Filosof Islam membagi sebab kepada dua bagian; sebab ilahi dan sebab natural. Sebab ilahi adalah sebab pemberi eksistensi dan wujud, bukan pemberi kuiditas kepada akibat. Sebab seperti itu, meniscayakan kesempurnaan wujud akibat bersumber dari kesempurnaan wujud sebab atau kesempurnaan wujud sebab niscaya ada pada akibat. Jika sebab tak memiliki kesempurnaan wujud, maka akibat mustahil memilikinya. Maksud dari kesempurnaan yang mesti dimiliki oleh sebab dan akibat itu adalah: kesempurnaan eksistensi atau wujud, dan bukan kesempurnaan kuiditas. Kaidah filsafat berbunyi, "sesuatu yang tak memiliki, mustahil akan dapat memberi." Inilah makna ke-identikan antara sebab dan akibat. Berdasarkan kaidah ini, eksistensi sesuatu otomatis berasal dari sebab tertentu. Setiap kesempurnaan khusus akibat, berasal dari kekhususan sebab. Dan kesempurnaan khusus sebab, meniscayakan kesempurnaan khusus akibat. Pengetahuan atas hubungan keidentikan antara sebab ilahi dan akibat, itu lewat persepsi rasional, dan bukan dari metode empiris.

Sebab natural, berbeda dengan sebab ilahi, karena ia hanya berkaitan dengan gerak. Karena itu, disebut juga sebab materi.

Aplikasi sebab-sebab natural terbatas pada kondisi-kondisi tertentu. Sebab itu hanya berlaku pada alam materi. Alam materi meniscayakan gerak. Karenanya perubahan-perubahan yang terjadi di alam ini, karena sebab natural.

Ke-identikan sebab natural dan akibat, dapat dilakukan dengan metode empiris, bukan dengan jalan persepsi rasional, misalnya api adalah panas. Jika pembuktian kaidah itu dilakukan lewat persepsi akal, maka sebab api niscaya panas. Tapi tidaklah demikian. Dengan metode empiris, kita bisa mengetahui sebab natural api. Kita ketahui bahwa tidak semua benda merupakan sebab natural api.

Sebagian filosof Barat menolak secara mutlak kaidah ke-identikan antara sebab dan akibat.

Jawabannya adalah kaidah itu adalah kaidah akal dan tak bersumber dari realitas empiris. Kaidah itu bersifat badihi, gamblang dan tak perlu dalil. Berbeda dengan sebab natural yang berhubungan dengan realitas empiris. Karena itu, mustahil menghukumi secara universal kaidah tersebut. Pembatasan sebab hanya pada sebab natural dan melupakan sebab ilahi, berefek pada pembatalan kaidah itu secara umum.


3.4. Hubungan Keniscayaan Sebab dan Akibat
Hubungan keniscayaan antara sebab dan akibat bermakna bahwa ketika sebab sempurna terwujud maka akibat niscaya mewujud. Oleh sebab itu, mustahil terpisah antara wujud akibat dengan wujud sebab sempurna.

Maksud sebab sempurna ialah realitas wujud yang memenuhi segala syarat-syarat dan kebutuhan akibat dalam perwujudan. Apabila diasumsikan bahwa akibat itu tidak mewujud dengan wujudnya sebab-sebab, maka berarti bahwa ada syarat-syarat dan kondisi-kondisi yang tak terpenuhi oleh sebab-sebab tersebut. Jika asumsi itu diterima, maka ada kontradiksi dengan kesempurnaan mutlak sebab. Begitu juga jika diasumsikan adanya halangan dan hambatan dalam perwujudan akibat, inipun akan bertolak belakang dengan kesempurnaan mutlak sebab, karena halangan juga merupakan syarat perwujudan akibat. Kesempurnaan mutlak sebab berarti bahwa meniscayakan ketiadaan segala penghalang dan hambatan dalam perwujudan akibat.


3.5. Kebersamaan Hakiki Sebab dan Akibat
Di sini akan dibahas dua poin sebagai berikut:

1. Jika sebab sempurna ada, maka niscaya akibat mewujud;

2. Apabila akibat telah mewujud, maka niscaya sebab sempurna senantiasa ada.

Inti poin pertama adalah akibat senantiasa bersama dengan sebab sempurnanya, atau mustahil terpisah antara keduanya. Mustahil jika sebab sempurna ada tapi akibat tiada, atau akibat terwujud tapi sebab sempurna meniada. Setiap sebab sempurna berwujud, niscaya akibat terwujud. Prinsipnya, ada kebersamaan hakiki antara sebab sempurna dan akibat.

Argumen untuk poin pertama dirumuskan sebagai berikut:

Pertama-tama diasumsikan bahwa sebab sempurna ada dan pada saat yang sama akibat niscaya tiada. Dengan asumsi ini, maka sebab sempurna ada dan akibat tiada. Realitas itu bertentangan dengan prinsip kausalitas. Berdasarkan prinsip ini, ketiadaan akibat karena ketiadaan sebab sempurna. Jadi jika diasumsikan bahwa akibat tiada, berdasarkan prinsip kausalitas, maka sebab sempurna pasti tiada, Karena sebab sempurna ada (berdasarkan asumsi di atas) dan juga tiada (berdasarkan prinsip kausalitas), maka menyebabkan terjadinya kontradiksi.

Setelah menjelaskan poin pertama, kita akan membahas poin kedua. Hakikat poin kedua adalah jika akibat berwujud, maka niscaya sebab sempurna senantiasa berwujud.

Sebagian teolog Islam menolak pemikiran itu dengan memberikan sebuah contoh antara rumah (sebagai akibat) dan tukang bangunan (sebagai sebab). Dan juga antara anak (sebagai akibat) dan orang tuanya (sebagai sebab). Argumentasi mereka antara lain: jika tukang bangunan meninggal, maka rumah tetap ada. Begitu juga apabila orang tua meninggal, maka anak-anaknya tetap ada. Jadi mustahil adanya kebersamaan hakiki antara keduanya.

Jawaban kritikan sebagai berikut:

Sebab terbagi dua:

1. Sebab sempurna (sebab hakiki), contohnya matahari dengan cahayanya (akibat);

2. Sebab tidak sempurna/cacat (sebab tidak hakiki) contohnya tukang bangunan dan orang tua.

Subyek pembahasan kita di sini berkaitan dengan kebersamaan hakiki antara sebab dan akibat adalah hubungan kebersamaan hakiki sebab sempurna dan akibatnya, bukan sebab tidak sempurna/cacat dan akibatnya. Mustahil ada cahaya matahari (akibat) tanpa mataharinya (sebab sempurna). Dalam sebab tidak sempurna, memungkinkan adanya keterpisahan antara akibat dan sebabnya atau sebab dan akibatnya, sebagaimana contoh antara tukang bangunan dengan rumah atau antara orang tua dengan anak.

Argumentasi untuk poin kedua yaitu sebagai berikut:

Untuk menetapkan kebenaran proposisi kemustahilan keterpisahan antara akibat dan sebab sempurnanya, kita tetap menggunakan metode di atas, yaitu mengasumsikan bahwa akibat ada dan pada saat yang sama tidak meniscayakan eksistensi sebab sempurna. Dengan ungkapan lain, setelah akibat terwujud, maka tak ada kemestian keabadian eksistensi sebab sempurna. Jadi, sebab sempuna bisa tetap ada dan juga bisa menjadi tiada. Jika pada asumsi itu sebab sempurna tiada, akibat ada dan pada saat yang sama sebab sempurna tiada. Berdasarkan teori kausalitas, ketiadaan sebab sempurna meniscayakan ketiadaan akibat. Jadi kalau sebab sempurna tiada (berdasar pada asumsi itu) maka akibat pun niscaya tiada. Tapi karena akibat ada (berdasarkan asumsi itu) dan juga tiada (berdasarkan teori kausalitas), maka terjadi kontradiksi.


3.6. Hubungan Sebab Akibat Hanya Pada Wujud
Hal yang harus diperhatikan di sini adalah bahwa hubungan kausalitas ini merupakan hubungan yang dibangun di atas realitas wujud dan bukan pada dimensi kuiditas (mahiyyah). Hubungan kausalitas senantiasa terjadi antara dua wujud yakni satu wujud yang senantiasa butuh kepada wujud lain. Dengan ungkapan lain, hanya keberadaan dan eksistensi kuiditas yang membutuhkan wujud lain. Dari sini diketahui bahwa defenisi kausalitas yang berbunyi, "Kuiditas dalam keberadaan dan ketiadaan membutuhkan sebab" tak bisa ditolerir sama sekali. Karena kuiditas yang tiada sesungguhnya berada dalam "ketiadaan murni". Maka dari itu, sesuatu yang tiada, bagaimana mungkin bisa disandarkan kepadanya makna kebergantungan dan kebutuhan secara hakiki. Misalnya, Yazid tiada, ini berarti bahwa dia tak memiliki realitas wujud sama sekali. Jadi, mustahil kalau kita katakan bahwa, "Yazid yang tiada bergantung dan butuh kepada sesuatu." Oleh karena itu, tak ada hubungan sebab-akibat (baca: kausalitas) dalam "alam ketiadaan."

Sesungguhnya subyek pembahasan dari teori kausalitas adalah wujud kontingen dan bukan kuiditas, yakni wujud kontingen dalam perwujudannya membutuhkan wujud lain, dan kuiditas dari sisi bahwa dia itu wujud kontingen dalam keberadaannya membutuhkan wujud lain.


3.7. Yang Tercipta adalah Wujud
Apa yang diciptakan oleh sebab? Apa yang terpancar dari sebab? Pada poin ini, yang akan dibahas berkaitan dengan realitas akibat sebagai sesuatu yang dicipta dan dipancarkan oleh sebab.

Ketika sebab pengada mencipta akibat dan mewujudkannya, maka yang hadir hanyalah suatu realitas eksternal dan tidak lebih dari itu. Yakni yang terpancar dari sebab adalah "sesuatu".

Dalam pembahasan filsafat, "sesuatu tersebut" memiliki tiga kemungkinan:

1. Wujud;

2. Kuiditas;

3. Perwujudan kuiditas.

Misalnya ketika panas akan diwujudkan di alam nyata, maka sesuatu yang akan hadir di alam luar adalah:

1. Wujud;

2. Panas (kuiditas);

3. Perwujudan panas.

Pembahasan kita adalah menentukan mana diantara ketiga unsur tersebut yang secara hakiki berhubungan langsung dengan sebab. Filosof Mulla Sadra dan para pendukung hikmah muta'aliyah telah menetapkan secara filosofis bahwa yang pertama kali terpancar dan tercipta dari sebab adalah wujud, bukan kuiditas dan perwujudan kuiditas.

Di bawah ini akan dikemukakan dua dalil yang mendukung pendapat Mulla Sadra, sebagai berikut:

Argumentasi pertama tentang ketakterciptaan kuditas, memuat dua pendahuluan:

Pendahuluan pertama, kuiditas merupakan sesuatu yang tak hakiki dan nisbi, yakni kehakikian ada pada wujud (ashalah al-wujud). Penyandaran kepada sesuatu yang nisbi bersifat aksidental, oleh karena itu, kuiditas tak memiliki eksistensi hakiki.

Pendahuluan kedua, sesuatu yang tak hakiki adalah mustahil tercipta. Dengan ungkapan lain, "Sesuatu yang tercipta adalah sesuatu yang hakiki", karena hakikat akibat itu diberikan oleh sebabnya, maka akibat juga merupakan sesuatu yang hakiki. Dengan demikian, apa yang terpancar dari sebab adalah realitas yang hakiki.

Kesimpulan dari dua pendahuluan tersebut adalah yang tercipta oleh sebab adalah wujud dan bukan kuiditas.

Argumentasi kedua juga tentang ketakterciptaan kuiditas, memuat dua pendahuluan:

Pendahuluan pertama, hubungan sebab-akibat merupakan hubungan hakiki antara akibat dan sebabnya. Secara hakiki, akibat adalah hubungan dan kebutuhan itu sendiri kepada sebab. Akibat adalah kebutuhan itu sendiri, bukan sesuatu yang memiliki kebutuhan. Jadi yang ada di alam luar hanya satu wujud yang mandiri dan bukan dua wujud yang mandiri, karena kalau ada dua wujud yang mandiri, maka wujud akibat mustahil butuh kepada wujud sebab. Akibat secara mutlak bergantung kepada sebabnya.

Pendahuluan kedua, kuiditas secara esensial tak memiliki hubungan dengan wujud lain, karena kuiditas secara hakiki tak lain adalah dirinya sendiri yakni berada diantara ada dan tiada.

Kesimpulannya, kuiditas mustahil berhubungan langsung dengan sebab pengada, atau kuiditas bukan sesuatu yang tercipta dan terpancar dari sebab.

Argumentasi ketiga tentang ketakterciptaan "perwujudan kuiditas", memuat tiga premis:

Premis pertama, "perwujudan kuiditas" memiliki makna yang relatif dan keberadaannya bergantung pada dua realitas. "Perwujudan kuiditas" sebenarnya adalah hubungan yang terbentuk antara wujud dan kuiditas.

Premis kedua, jika yang tercipta secara hakiki adalah "perwujudan kuiditas", maka wujud dan kuiditas merupakan sesuatu yang tak hakiki. Karena yang tercipta secara hakiki dari sebab hanya satu, maka yang lainnya harus bersifat majazi.

Premis ketiga, sesuatu yang memiliki realitas hakiki mustahil bergantung dan bersandar pada dua realitas tak hakiki (majazi). Dengan ungkapan lain, adalah mustahil hadirnya pola hubungan diantara dua realitas tak hakiki.

Oleh karena itu, mustahil sesuatu yang tercipta langsung dari sebab secara hakiki adalah "perwujudan kuiditas".

Jadi, dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang secara hakiki dicipta dan dipancarkan langsung oleh sebab tiada lain adalah wujud (baca: akibat).


4. Kemustahilan Daur dan Tasalsul

4.1. Kemustahilan Daur (Sirkulasi)
Daur dan tasalsul, merupakan salah satu pembahasan penting dalam teori kausalitas.

Daur adalah bergantungnya wujud B kepada wujud A dimana wujud A juga bergantung kepada wujud B.

Penjelasan: akibat B memerlukan sebab A dan sebab A juga merupakan akibat B. Maka akibat B pada saat yang sama juga sebab A. Oleh karena itu B pada saat yang sama adalah sebab dan juga akibat. Karena B adalah sebab maka harus lebih dahulu dari A, dan karena A adalah akibat maka harus lebih belakang dari B. Oleh sebab itu wujud A dibandingkan wujud B, pada saat yang sama merupakan wujud yang lebih dahulu adanya, dan juga wujud yang lebih belakang, yaitu wujud lebih dahulu dan juga wujud tak lebih dahulu. Realitas ini menyebabkan inner kontradiksi.

Oleh karena itu, daur merupakan sesuatu yang mustahil terjadi, kemustahilan ini dikarenakan inner kontradiksi dan menyebabkan keterdahuluan wujud sesuatu atas dirinya sendiri.


4.2. Kemustahilan Tasalsul
Maksud tasalsul pada sebab-sebab pengada adalah hadirnya mata rantai sebab-sebab dan akibat-akibat dalam garis rentang yang tak terbatas, yaitu adanya A dari B, B dari C, C dari D dan seterusnya hingga tak terbatas.

Tasalsul dikatakan mustahil ketika:

1. Seluruh wujud akibat ada secara aktual;

2. Keseluruhan wujud akibat dan sebab-sebabnya berkumpul secara aktual;

3. Mata rantai dari wujud-wujud akibat dan sebab-sebabnya terjadi dan ada secara aktual.

Jika salah salah satu dari ketiga syarat tasalsul tersebut tidak aktual, maka tasalsul dalam pengertian dan istilah di atas tak akan teraplikasi.

Misalnya jika sebagian dari akibat-akibat itu bersifat potensi, maka tasalsul ini mungkin terjadi karena wujud-wujud yang ada senantiasa terbatas. Begitu pula tasalsul ini bisa diterima jika keseluruhan dari wujud-wujud akibat dan sebabnya bersifat actual, tetapi tidak menyatu dalam satu mata rantai wujud.

Mulla Sadra dalam kitab Asfar-nya menjabarkan salah satu argumen kemustahilan tasalsul, menyatakan, "Wujud akibat jika dibandingkan dengan sebabnya menjadi wujud penghubung bahkan merupakan hubungan dan kebergantungan itu sendiri, artinya: wujud akibat bukan wujud yang bebas dan berdiri sendiri sebagaimana wujud sebabnya, dia ada dikarenakan adanya sebab dan jika sebabnya tiada dia pun tiada."[6]

Penjelasan kemustahilan tasalsul sebagai berikut:

Jika sebab C dibandingkan dengan sebab yang lebih tinggi darinya misalnya sebab B maka sebab C merupakan akibat dari sebab B, begitu pula sebab B dibandingkan dengan sebab yang lebih tinggi darinya sebab A maka sebab B merupakan akibat sebab A, dan keadaan ini terus berlanjut kepada sebab-sebab berikutnya. Karena setiap sebab pada mata rantai tak terbatas itu adalah akibat dari sebab di atasnya, dan juga setiap akibat adalah sebab untuk akibat di bawahnya, maka kita akan memiliki mata rantai kebergantungan-kebergantungan yang tak terbatas. Dengan demikian, mustahil ada wujud mandiri pada mata rantai itu. Dan karena secara hakiki tak ada wujud mandiri, maka mustahil terdapat wujud bergantung. Karena mata rantai wujud-wujud bergantung yang tak terbatas mustahil memiliki eksistensi hakiki tanpa adanya wujud mandiri, maka secara hakiki tasalsul atau rangkaian sebab-sebab dan akibat-akibat tak terbatas menjadi mustahil.

10
Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

Penjabaran Argumen Imkan dan Wujub
Setelah kami jelaskan secara terperinci dasar-dasar dari argumen ini, maka kita akan membuktikan realitas eksistensi Tuhan. Secara hakiki, realitas eksistensi Tuhan tak tersembunyi dari "pandangan" kita, Dia dekat dan bahkan sangat dekat dari diri kita sendiri dan sangat terang dari cahaya apapun.

Tak bisa disangkal, secara empiris alam materi ada dan di dalamnya terdapat ribuan makhluk mulai dari manusia hingga batu-batuan. Setelah kita menganalisa hakikat realitas wujud-wujud eksternal ini, maka hanya terdapat dua asumsi sebagai berikut:

Pertama, wujud kontingen (mumkin al-wujud)

Kedua, Wujud Wajib (wâjib al-wujud).

Asumsi ketiga yaitu wujud mustahil (mumtani' al-wujud) tak mungkin terwujud, karena secara riil kita melihat dan merasakan ada realitas di luar diri kita, sementara wujud mustahil tak mungkin bisa mewujud.

Pembuktian asumsi pertama sebagai berikut:

Apabila realitas wujud yang terasumsi adalah wujud kontingen, berdasarkan prinsip kausalitas maka wujud itu niscaya memerlukan sebab. Jika sebab itu adalah wujud kontingen itu sendiri, maka pertanyaan terus berlanjut tentang sebab pada wujud kontingen berikutnya. Apabila wujud kontingen itu belum berakhir pada sebab hakiki, maka akan menyebabkan tasalsul. Dan tasalsul adalah mustahil.

Apabila realitas wujud itu kita asumsikan sebagai wujud kontingen (misalnya A), maka berdasarkan prinsip kausalitas, realitas ini niscaya membutuhkan sebab. Jika wujud kontingen A (akibat) bergantung kepada wujud kontingen B (sebab), sementara wujud kontingen B (akibat) juga bergantung kepada wujud kontingen A (sebab), maka akan terjadi daur. Dan daur adalah mustahil.

Pembuktian asumsi kedua sebagai berikut:

Jika diasumsikan bahwa realitas wujud itu adalah wujud wajib, maka juga menjadi mustahil, karena realitas wujud-wujud itu pernah tiada dan akan menjadi tiada atau eksistensinya tak abadi. Realitas wujud-wujud itu adalah wujud kontingen bukan wujud wajib. Secara esensial wujud kontingen ini, baik dengan perantaraan ataupun tidak, merupakan akibat dari sebab pertama yang disebut wujud wajib (wâjib al-wujud).

Di bawah ini, akan kami kemukakan beberapa argumentasi para filosof muslim dalam menegaskan kebenaran eksistensi Tuhan dengan pendekatan argumen imkan dan wujub:


1. Argumentasi Al-Farabi
Realitas wujud ada dua bentuk: wujud pertama, ketika kita memperhatikan esensinya maka kita akan mendapatkan bahwa eksistensi baginya tak niscaya, wujud ini dinamakan wujud kontingen. Wujud kedua, dengan memperhatikan esensinya akan kita peroleh bahwa eksistensi baginya adalah niscaya, wujud ini disebut wujud wajib.

Tidaklah mustahil jika kita mengasumsikan ketiadaan wujud kontingen, dan untuk mengada ia memerlukan sebab. Jika ia telah berwujud, maka eksistensinya menjadi "niscaya". Esensi wujud kontingen tak abadi dan bersifat sementara. Wujud kontingen mustahil menjadi sebab hakiki bagi realitas wujud lainnya, oleh karena itu harus berujung kepada Wujud Wajib yang merupakan Wujud Pertama sekaligus Sebab Pertama.

Mustahil kalau kita mengasumsikan ketiadaan Wujud Wajib. Wujud Wajib tak memiliki sebab karena Dia adalah sebab pertama untuk semua eksistensi.[7]


2. Argumentasi Ibnu Sina
Ibnu Sina dalam kitab "al-Isyarat wa at-Tanbihat" menjabarkan argumen imkan dan wujub untuk membuktikan eksistensi Tuhan, menyatakan, "Realitas wujud adalah wujud wajib dan wujud kontingen. Jika realitas wujud itu adalah wujud wajib, maka terbuktilah realitas eksistensi Tuhan. Dan jika realitas wujud itu adalah wujud kontingen, dikarenakan kemustahilan daur dan tasalsul, maka niscaya bergantung kepada wujud wajib[8]. Jadi dalam dua pengandaian itu berakhir pada pembuktian realitas eksistensi Tuhan."


3. Argumentasi Khwajah Nasiruddin at-Thusi
Jika realitas wujud itu adalah wujud wajib, maka terbuktilah eksistensi Tuhan. Tetapi apabila realitas wujud itu adalah wujud kontingen, maka meniscayakan adanya wujud wajib. Jika tidak demikian, maka akan terjadi daur atau tasalsul, dan ini mustahil terjadi[9].


4. Argumentasi Mulla Sadra
Mulla Sadra tidak menganggap argumen imkan dan wujub ini sebagai argumen yang paling tinggi, karena dalam pandangannya walaupun argumen ini tidak meletakkan makhluk-makhluk dan segala ciptaan Tuhan sebagai perantara dalam pembuktian Tuhan, tetapi argumen ini menggunakan sifat kuiditas (baca: imkan) sebagai perantara dalam penegasan eksistensi Tuhan, maka argumen ini tetap digolongkan dengan argumen huduts-nya para teolog dan argumen geraknya ilmuwan alam, yaitu argumen-argumen yang menggunakan selain Tuhan sebagai perantara dalam pembuktian eksistensi-Nya.

Mulla Sadra dalam hal ini mengajukan satu bentuk argumen ontologi yang dia namakan dengan burhan shiddiqin. Menurutnya burhan dan argumen ini adalah argumen yang paling sempurna. Pada kesempatan ini kita akan mengutip ulasan Syahid Muthahhari atas burhan ini. Beliau berkata bahwa untuk memahami secara benar burhan ini diperlukan lima pendahuluan sebagai berikut:

1. Kehakikian wujud (ashalah al-wujud);

2. Kesatuan wujud (wahdah al-wujud);

3. Hakikat wujud mustahil tiada;

4. Hakikat wujud secara esensial setara dengan kesempurnaan, ketakbergantungan, ketakterbatasan, kekuatan, keaktualan, cahaya dan keagungan;

5. Wujud akibat identik dengan kelemahan, ketaksempurnaan, kebergantungan dan keterbatasan.

Dengan memahami pendahuluan ini, dapat dikatakan bahwa hakikat wujud adalah keberadaan dan eksistensi itu sendiri. Hakikat wujud mustahil tiada. Hakikat wujud tak menerima syarat dan kondisi dalam keberadaan dan perwujudannya. Hakikat wujud identik dengan segala kesempurnaan dan menolak segala bentuk kebergantungan dan keterbatasan. Hakikat wujud azali dan abadi.

Argumen Mulla Sadra ini berbunyi sebagai berikut:

Tingkatan wujud, kecuali tingkatan paling tinggi yang memiliki kesempurnaan tak terbatas dan ketakbergantungan mutlak, adalah hubungan dan kebergantungan itu sendiri. Dan jika jenjang paling tinggi itu tak berwujud, maka seluruh tingkatan juga mustahil terwujud; karena asumsi keterwujudan segala derajat wujud tanpa keberwujudan derajat paling tinggi berarti bahwa derajat itu mandiri dan tak bergantung, sementara hakikat wujudnya adalah hubungan dan kebergantungan itu sendiri[10].


5. Argumentasi Allamah Thabathabai
Tiada keraguan bahwa di alam ini terdapat realitas eksistensi-eksistensi. Jika realitas eksistensi itu adalah wujud wajib, maka terbuktilah wujud Tuhan. Dan apabila realitas eksistensi itu adalah wujud kontingen, karena wujud kontingen telah terwujud, maka pasti disebabkan oleh wujud di luar dirinya yang disebut sebab. Apabilau wujud kontingen itu tak membutuhkan sebab, maka dia pasti wujud wajib, karena wujud kontingen itu memerlukan sebab. Dan jika sebab itu adalah wujud wajib, maka terbuktilah wujud Tuhan. Apabila sebab itu adalah wujud kontingen yang lain, maka konsekuensinya adalah terjadi daur atau tasalsul, dan ini mustahil. Dengan demikian hanya ada satu pilihan logis, yaitu wujud kontingen itu bergantung pada satu sebab yang disebut Wujud Wajib.[11]


Kebergantungan Wujud Kontingen Kepada Wujud Wajib
Wujud kontingen yang esensinya adalah relasi terhadap eksistensi dan wujud mustahil adalah sama, maka untuk mewujud niscaya membutuhkan faktor-faktor eksternal yang hakiki. Jika tidak demikian, maka wujud kontingen itu mustahil terwujud.

Setiap wujud kontingen untuk mengada dan mewujud secara esensial memerlukan faktor eksternal dan sebab pengada.

Setiap wujud kontingen membutuhkan wujud yang lain untuk memenuhi segala keperluannya. Jika keperluan wujudnya tidak terpenuhi, maka dia mustahil mengada. Dan jika wujud kontingen telah terwujud, berarti niscaya ada wujud lain yang memenuhi kebutuhannya.

Realitas wujud lain yang memenuhi segala kebutuhan wujud kontingen itu niscaya bukan dari wujud kontingen lain. Karena semua wujud kontingen memiliki sifat dan karakter wujud yang sama. Jadi, wujud kontingen hanya bergantung pada satu-satunya wujud, yaitu wujud wajib. Dan Kebutuhan serta kebergantungan wujud kontingen kepada wujud wajib bersifat abadi dan kekal, mulai dari "awal" perwujudannya hingga pada "akhir" penciptaan. Hakikat dan esensi wujud kontingen adalah kebergantungan dan kefakiran itu sendiri.


Kriteria Kebutuhan Wujud Kontingen Kepada Sebab
Apa kriteria dan tolok ukur kebutuhan wujud kontingen kepada sebab? Jawaban para filosof atas pertanyaan ini berbeda secara subtansial dengan para teolog. Di bawah ini, akan kami jabarkan jawaban beserta dalil-dalil dari masing-masing aliran pemikiran tersebut:


1. Perspektif Para Filosof
Para filosof berkeyakinan bahwa kriteria kebutuhan wujud kontingen kepada sebab adalah watak kebergantungannya (imkan). Mereka berpendapat bahwa setiap wujud kontingen beserta watak kebergantungan yang dimilikinya, dan posisi wujudnya yang terletak di antara eksistensi dan non-eksistensi, niscaya memerlukan sebab. Jika sesuatu itu adalah wujud wajib, maka secara esensial dia mewujud dan tak membutuhkan sebab dalam perwujudannya. Begitu pula jika sesuatu itu wujud mustahil, maka secara esensial dia tiada dan tak memerlukan sebab dalam ketiadaannya. Tetapi jika sesuatu itu adalah wujud kontingen, maka secara esensial dalam mewujud dan meniada, niscaya membutuhkan sebab.

Apabila kita mempersepsikan pengertian wujud kontingen, maka kita akan memahami bahwa "wujud kontingen" terletak antara wujud dan non-wujud. Dengan posisinya yang demikian itu, "wujud kontingen" niscaya membutuhkan sebab untuk menggeser posisinya ke titik wujud sehingga mewujud.

Argumen para filosof tentang kriteria di atas adalah sebagai berikut:

Kuiditas (mahiyah), berdasarkan wujudnya niscaya berwujud[12], dan berdasarkan ketiadaannya niscaya tiada[13]. Dua keniscayaan itu (keniscayaan mewujud dan keniscayaan meniada) adalah keniscayaan yang bersyarat kepada predikatnya[14].

Huduts bukanlah sesuatu yang yang bisa ditempatkan di antara dua keniscayaan itu. Karena makna huduts adalah sesuatu yang terwujud setelah ketiadaannya. Dengan demikian, jelaslah bahwa keniscayaan adalah tolok ukur ketakbutuhan kepada sebab. Oleh karena itu, selama kita tak memperhatikan kuiditas dan watak kebergantungannya (imkan) beserta adanya keniscayaan, maka kita tak akan pernah sampai pada kriteria hakiki kebutuhan wujud kontingen kepada sebab.

Untuk memahami argumen di atas secara benar, kami akan menyebutkan tiga pendahulan sebagai berikut:

Pendahuluan pertama: Para filosof berkeyakinan bahwa tolok ukur ketakbutuhan kepada sebab adalah keniscayaan dan bukannya huduts, karena huduts adalah suatu sifat yang hadir dari keterwujudan dan keterciptaan kuiditas. Misalnya, pada waktu dulu A tiada, kemudian pada waktu tertentu dia berwujud, ini berarti bahwa ketiadaan A mendahului keberadaannya, kondisi seperti ini disebut huduts.

Pendahuluan kedua: Pada sisi yang lain, kuiditas ketika tiada, maka niscaya tiada, dan ketika berwujud, maka niscaya berwujud. A tiada pada waktu dulu berarti pada waktu itu A niscaya tiada, kemudian pada waktu tertentu A berwujud, berarti pada waktu itu ia niscaya berwujud.

Pendahuluan ketiga: Telah dikatakan bahwa keniscayaan adalah tolok ukur ketakbutuhan kuiditas kepada sebab, yakni kuiditas ketika niscaya berwujud atau tiada, dia tidak butuh kepada sebab, karena sebab telah memberikan keniscayaan kepada kuiditas.

Kesimpulan dari ketiga pendahuluan tersebut adalah bahwa huduts merupakan sebuah sifat yang terambil dari keterwujudan sesuatu dari ketiadaan, yakni perpindahan sesuatu dari keniscayaan tiada menuju keniscayaan wujud. Dengan demikian, keniscayaan sebagai tolok ukur ketakbutuhan kuiditas kepada sebab dan bukan huduts.

Keniscayaan akan sirna ketika kuiditas tak lagi melekat pada wujud dan tiada. Karena pada kondisi ini kuiditas tak "meminta" keberadaan dan ketiadaan. Jadi kuiditas dan sifat imkannya harus dipandang sebagai kriteria dan tolok ukur kebutuhan kepada sebab.


2. Perspektif Para Teolog
Para teolog beranggapan bahwa kriteria kebutuhan wujud kontingen kepada sebab adalah huduts[15] bukan imkan ( watak bergantung, kontingen)[16]. Jadi, sesuatu yang baru tercipta (huduts) niscaya memerlukan sebab.

Berdasarkan perspektif para teolog tentang kriteria kebutuhan tersebut, maka defenisi teori kausalitas berbunyi demikian: setiap yang huduts niscaya membutuhkan sebab.

Argumen para teolog tentang tolok ukur kebutuhan wujud kontingen kepada sebab adalah sebagai berikut:

Para teolog dengan bersandar pada dua pendahuluan, beranggapan bahwa tolok ukur dan kriteria kebutuhan kepada sebab adalah huduts dan bukan imkan. Kedua pendahuluan tersebut adalah sebagai berikut:

Pendahuluan pertama: Jika kriteria kebutuhan kepada sebab adalah imkan dan bukan huduts, maka dimungkinkan terwujud suatu akibat yang bersifat qadim zamani [17].

Pendahuluan kedua: Mustahil terwujudnya akibat yang bersifat qadim zamani.

Oleh karena itu kriteria kebutuhan kepada sebab adalah huduts dan bukan imkan.

Jika terwujud suatu akibat yang bersifat qadim zamani, maka akibat tersebut pasti berwujud sejak awal (azali) dan mustahil pernah tiada. Dan sesuatu yang tak pernah tiada, niscaya tak membutuhkan sebab. Sesuatu yang dulu tiada dan tidak azali maka perlu kepada sebab. Oleh karena itu, keazalian yang menjadi tolok ukur ketakbutuhan kepada sebab. Wujud akibat mustahil memiliki sifat keazalian. Dengan demikian mustahil terwujudnya suatu akibat yang bersifat qadim zamani.


3. Bantahan Filosof Atas Argumentasi Teolog
Perspektif pertama:

Sebagaimana telah dibuktikan oleh para filosof, bahwa kriteria kebutuhan kepada sebab adalah imkan, dan imkan merupakan sifat dan watak hakiki suatu kuiditas. Dengan ungkapan lain, imkan merupakan keniscayaan dari kuiditas, yakni setiap kuiditas pasti memiliki imkan.

Telah diketahui bahwa jika sesuatu bersifat qadim zamani, maka dia akan senantiasa berwujud dan tak lagi "meminta" keberadaan dan ketiadaan. Oleh karena itu, dia memiliki kebutuhan yang abadi kepada sebab.

Dengan penjelasan lain, jika kita asumsikan bahwa "sesuatu" yang tak berwujud dan juga tak tiada, sesuai dengan makna imkan, dan juga diasumsikan bahwa "posisi wujud"nya yang bisa mewujud dan juga bisa meniada, dan pada saat yang sama dia berwujud sejak azali dan tak akan meniada dalam rentangan waktu, maka keberadaan sesuatu itu, tanpa ragu lagi diperoleh dari selain dirinya sejak azali. Oleh karena itu qadim zamani tak bertentangan dengan hakikat wujud akibat, yakni wujud akibat bisa bersifat qadim zamani.

Perspektif kedua:

Pandangan ini berdasarkan sebuah kajian yang mendalam dalam hikmah al-muta'aliyah tentang hubungan hakiki sebab-akibat. Kesimpulannya, "wujud akibat" adalah hubungan dan kebergantungan esensial kepada sebab itu sendiri. Dengan ungkapan lain, hubungan kebutuhan dan kebergantungan merupakan esensi dan hakikat "wujud akibat". Kebergantungan dan wujud akibat adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Inti pandangan ini adalah wujud akibat tak setara dengan wujud sebabnya, akibat tak lain adalah hubungan kepada sebab, akibat adalah pancaran sebab dan manifestasi wujud sebab. Jadi semakin luas wujud akibat, maka semakin tinggi kebergantungan dan kebutuhannya kepada sebab. Maka dari itu tak mustahil terjadi kesesuaian antara wujud akibat dan qadim zamani. Keqadiman zamani wujud akibat tak menghilangkan sifat kebutuhannya kepada sebab, bahkan semakin memperkuat keperluannya kepada sebab.


4. Perspektif Imkan Fakir (al-imkan al-faqri)
Teori ini digagas pertama kali oleh filosof Mulla Sadra. Teori ini sangat sempurna dibandingkan dengan argumen imkan dan wujub yang dianut oleh semua filosof sebelum Mulla Sadra. Landasan filosofis teori ini adalah kehakikian wujud (ashalah al-wujud) dan gradasi wujud (tasykik al-wujud). Mulla Sadra meletakkan kriteria dan tolok ukur kebutuhan kepada sebab pada wujud itu sendiri.

Mulla Sadra mengkritik argumentasi para filosof tentang kriteria kebutuhan tersebut. Ia menyatakan, "Anda meyakini bahwa tolok ukur kebutuhan itu adalah imkan, dan imkan merupakan salah satu sifat kuiditas. Karena imkan sebagai tolok ukur, maka secara esensial dia niscaya berwujud, dan ketika imkan berwujud, maka kuiditas niscaya berwujud. Berdasarkan pikiran ini, kuiditas merupakan realitas wujud yang mandiri dan hakiki."

Menurut Mulla Sadra, pikiran para filosof dan para teolog bertentangan dengan dua hal sebagai berikut:

Pertama, defenisi "wujud imkan" (kontingen) adalah sesuatu yang secara esensial tak berwujud dan tak tiada.

Kedua, kehakikian wujud (ashalah al-wujud), yakni yang memiliki realitas eksternal hakiki adalah wujud bukan kuiditas, kuiditas hanya berwujud dalam pikiran.

Berdasarkan dua hal di atas, karena kuiditas tak memiliki wujud hakiki eksternal, maka tolok ukur kebutuhan itu pada wujud itu sendiri.

Inti kekeliruan sebagian filosof adalah ketika menganalisa antara wujud dan kuiditas, mereka meletakkan kehakikian (ashalah) pada kuiditas. Dan karena imkan merupakan sifat kuiditas, maka tolok ukur kebutuhan itu disandarkan kepada imkan. Tetapi berdasarkan kajian yang sempurna, disimpulkan bahwa realitas eksternal yang hakiki adalah wujud (ashalah al-wujud) dan kuiditas hanya berwujud dalam pikiran, kuiditas ketika berwujud di alam eksternal (baca: luar pikiran) hanya mengikuti wujud. Karena kuiditas hanya berwujud dalam pikiran, maka imkan yang merupakan sifat kuiditas juga berwujud dalam pikiran.

Berdasarkan kehakikian wujud, gradasi wujud dan tolok ukur kebutuhan kepada sebab adalah wujud, maka segala sifat seperti sempurna dan cacat, kuat dan lemah, butuh dan tak butuh, tak terbatas dan terbatas, disandarkan kepada hakikat wujud.

Oleh karena itu, hakikat wujud secara esensial identik dan setara dengan kesempurnaan, ketakbergantungan, ketakterbatasan dan keniscayaan; yakni wujud murni adalah suatu wujud yang tak memilki kebutuhan dan batasan, dan wujud terbatas memiliki sifat butuh dan bergantung. Intensitas sifat kebergantungan dan kebutuhan ini muncul dari gradasi dan tingkatan wujud, dan tingkatan melahirkan keterbatasan dan keterbatasan mengakibatkan ketaksempurnaan, dan ketaksempurnaan meniscayakan kebutuhan dan kebergantungan.

Maksud dari fakir dan kebergantungan di sini adalah hubungan kepada wujud mandiri. Kebergantungan bukan sesuatu yang melekat pada wujud terbatas, tetapi kefakiran dan kebutuhan adalah wujud terbatas dan wujud kontingen itu sendiri. Dengan demikian seluruh wujud kontingen adalah hubungan dan kebutuhan kepada Wujud Wajib, dan wujud yang mandiri hanyalah Wujud Wajib.

Kesimpulannya, kuiditas bukan sesuatu yang langsung dicipta oleh Tuhan, tetapi yang dicipta adalah wujud, sebab itu yang dihubungkan kepada-Nya juga adalah wujud. Maka tolok ukur Kebutuhan kepada sebab adalah wujud, bukan sifat keqadiman dan kehaditsan (kebaharuan) wujud. Berdasarkan tingkatan wujud, wujud qadim sangat butuh kepada-Nya karena lebih "dekat" kepada-Nya dibandingkan denga wujud hadits.


Kebutuhan Abadi Wujud Kontingen Kepada Sebab
Wujud kontingen tak hanya membutuhkan sebab diawal penciptaannya tapi juga dalam kelangsungan wujudnya.

Pernyataan tersebut bersandar pada dua dalil sebagai berikut:

Dalil pertama, tolok ukur dan kriteria kebutuhan kepada sebab adalah imkan, dan imkan sebagai sifat hakiki kuiditas dan satu kesatuan yang tak terpisah dari kuiditas. Imkan senantiasa bersama dengan kuiditas mulai dari awal penciptaannya (huduts) hingga pada "keabadian" wujudnya.

Dalil kedua, wujud akibat berdasarkan teori imkan fakir (al-imkan al-faqri) Mulla Sadra, merupakan wujud hubungan yang bergantung mutlak kepada sebab. Kebergantungan adalah hakikat wujud akibat. Karena wujud hubungan (baca: wujud akibat) ini bukan wujud yang mandiri, maka dalam perwujudan dan "keabadian wujud"nya tetap membutuhkan sebab.

Para teolog menganggap bahwa kriteria kebutuhan kepada sebab adalah huduts, maka kebutuhan wujud kontingen kepada sebab terbatas hanya diawal penciptaan dan perwujudan. Sesuatu yang telah tercipta (hadits) tak butuh lagi kepada sebab, jadi sebab tak berpengaruh lagi dalam kelangsungan wujud akibat. Jika demikian, tak mustahil kalau sebab tiada setelah terwujudnya akibat. Pandangan para teolog terhadap hubungan sebab akibat adalah bahwa wujud akibat bersifat mandiri, sebab berhubungan dengan akibat lewat "pola hubungan" yang dicipta oleh sebab. Akibat akan terwujud jika mendapatkan pancaran wujud dari sebab lewat pola hubungan itu. Pola hubungan sebab-akibat itu akan sirna setelah akibat terwujud, dan "pekerjaan" sebab berakhir dengan sirnanya pola hubungan itu dan secara mutlak hubungan antara sebab dan akibat juga terputus. Dari tinjauan inilah wujud akibat tak membutuhkan lagi sebab dalam kelangsungannya.

Para teolog berpandangan bahwa hubungan antara sebab dan akibat bersifat majazi, karena itu ketiadaan satu, tak mesti meniadakan yang lain. Adalah tidak mustahil sebab ada, tetapi akibat tiada. Begitupula sebab bisa tiada, setelah akibat terwujud. Dan akibat bisa senantiasa berwujud tanpa sebab. Jadi Tuhan ada, tetapi makhluk "dahulu" tiada. Begitupula, Tuhan bisa tiada, setelah makhluk tercipta. Dan makhluk bisa senantiasa ada, tanpa kehadiran Tuhan.

Kedua pandangan di atas, pandangan filsafat dan pandangan kalam, akan berefek dalam warna pandangan dunia tauhid seseorang. Efek ini akan jelas ketika membahas hubungan prilaku manusia dan ilmu Tuhan, keterpaksaan (jabr) dan kebebasan (ikhtiar) manusia dan juga dalam pembahasan tauhid perbuatan.


Tafsiran Keliru Atas Argumen Imkan dan Wujub
Para filosof dan pemikir barat mengadopsi argumen imkan dan wujub dari fiosof-filosof muslim. Tetapi mereka tidak sempurna dalam memahami dan memaparkannya. Kekeliruan dalam paparan mereka adalah anggapan bahwa jika keseluruhan wujud di alam ini adalah wujud-wujud kontingen, maka niscaya pada waktu tertentu wujud-wujud ini akan tiada. Kekeliruan ini membuat para pengkritik argumen ini beranggapan bahwa jika alam ini senantiasa ada, maka akan menjadi azali dan tak lagi memerlukan sebab. Kondisi ini menjadikan alam yang secara esensial merupakan wujud kontingen, sesuai dengan keazalian. Artinya tak mustahil jika ada realitas wujud yang bergantung kepada wujud azali, tetapi keazalian ini tidak menghilangkan kebergantungannya kepada sebab, bahkan keperluannya semakin bertambah.

Konsekuensi dari anggapan itu adalah waktu itu sendiri menjadi realitas wujud yang berdiri sendiri dan mandiri dari wujud kontingen, yakni waktu itu sendiri memiliki eksistensi, tetapi tak satupun realitas wujud berada di dalamnya. Nah, sekarang kita bertanya tentang waktu itu sendiri, apakah dia wujud kontingen? Kalau wujud kontingen maka tak perlu waktu itu sendiri barada di dalam suatu realitas waktu. Jika waktu itu sendiri bukan wujud kontingen, maka pasti wujud wajib atau wujud mustahil. Kalau wujud mustahil maka tak mungkin mewujud, sementara secara riil waktu itu sendiri telah terwujud. Jika waktu itu sendiri adalah wujud wajib, maka juga mustahil, karena waktu itu sendiri tidak memiliki sifat-sifat wujud wajib.

Konklusi dari pemahaman keliru itu adalah kalau keseluruhan wujud di alam ini adalah wujud-wujud kontingen, maka niscaya pada waktu tertentu wujud-wujud itu akan meniada.

Di bawah ini akan kami kutipkan pemaparan argumen imkan dan wujub oleh Thomas Aquinas. Argumen ini sampai ke tangan filosof-filosof Barat melalui penerjemahan karya-karya Ibnu Rusyd pada abab pertengahan oleh Thomas Aquinas, seorang filosof dan teolog besar Kristen.

Menurut Thomas, dalil ini merupakan salah satu dari lima dalil dalam pembuktian eksistensi Tuhan, ia berkata, "Kita melihat realitas di alam ini bahwa sesuatu di masa yang akan datang, bisa mewujud dan juga meniada. Hal itu karena semua realitas tersebut berada dalam kondisi yang senantiasa berubah. Tetapi mustahil realitas-realitas itu senantiasa mewujud, karena secara esensial, wujud kontingen tak meniscayakan eksistensi. Oleh karena itu, segala wujud kontingen pada waktu tertentu akan meniada. Wujud kontingen untuk mewujud membutuhkan wujud yang senantiasa ada dan mustahil tiada. Apabila pada zaman dahulu tak ada satupun wujud (baca: selain wujud kontingen), maka mustahil wujud kontingen bisa mengada. Oleh karena itu, mustahil semua realitas wujud adalah wujud kontingen, tetapi niscaya ada realitas wujud sebagai wujud wajib."

Setiap realitas wujud adalah niscaya, tetapi keniscayaannya ada yang berasal dari wujud lain dan ada yang berasal dari diri sendiri (swa-niscaya). Sebagaimana telah ditetapkan oleh kaidah bahwa mustahil terjadi mata rantai tak terbatas dari sebab-sebab dan akibat-akibat. Berdasarkan kaidah ini, terpaksa kita menerima adanya realitas wujud yang secara esensial adalah niscaya (baca: wujud wajib) dan keniscayaannya tak berasal dari wujud lain. Bahkan keniscayaan itu dipancarkan kepada wujud lain. Manusia menyebut realitas wujud ini sebagai Tuhan[18].

Dengan menyimak paparan di atas, maka disimpulkan bahwa pemahaman dan penjabaran argumen imkan dan wujub dari filosof-filosof muslim sedikit berbeda dengan yang dipaparkan oleh filosof-filosof barat. Karenanya, tidak berdasar berbagai kritik yang dilontarkan oleh filosof barat diatas bangunan argumen dari filosof muslim, karena ada kekeliruan dalam pemahaman dan penjabaran argumen tersebut.


Kritik Atas Argumen Imkan dan Wujub
Argumen ini berpijak dan bersumber pada analisis rasional keserbamungkinan esensi kuiditas. Ibnu Sina untuk pertama kalinya menyebut argumen ini dalam kitab isyarat wa at-tanbihat sebagai burhan siddiqin. Kekhususan argumen ini tidak bersandar pada argumen gerak, keteraturan dan huduts (kebaruan dalam penciptaan) tapi mempergunakan bentuk hubungan ketergantungan esensi kuiditas (mahiyyah) dan realitas hakiki atau hubungan ketergantungan hakiki wujud kontingen dan wujud wajib.

Kritikan filosof barat atas argumen ini, sebenarnya tak lepas dari faktor adanya kesalahan dalam penerjemahan karya-karya filosof muslim. Disamping itu juga, terdapat kesalahan dalam memahami argumen ini, mereka tidak memasukkan teori kausalitas sebagai bagian yang prinsipil dalam bangunan argumen ini. Prinsip kausalitas merupakan prinsip universal bagi semua bangunan argumen dan tak terkhusus pada argumen imkan dan wujub. Menolak teori kausalitas sama artinya menutup semua jalan untuk menetapkan dan menafikan segala sesuatu.

David Hume, dalam kritikannya terhadap argumen ini, ia menyatakan, "Jika secara esensial, hubungan antara wujud-wujud partikular (sebagian wujud kontingen) dan eksistensi dan non-eksistensi di alam ini bersifat sama dan seimbang, maka untuk mewujud memerlukan sebab. Kaidah ini tidak berlaku secara universal untuk keseluruhan realitas wujud, karena tak ada kesetaraan antara wujud-wujud partikular dan keseluruhan wujud, misalnya jika setiap manusia memiliki satu ibu, maka tidak bisa dihukumi secara universal bahwa keseluruhan manusia memilki satu ibu."[19]

Jawaban kritikan di atas sebagai berikut:

Hume menyangka bahwa argumentasi itu berlandaskan atas keserbamungkinan mewujudnya sebagian wujud kontingen di alam. Anggapan ini sangat keliru, karena inti argumen imkan dan wujub adalah wujud kontingen niscaya membutuhkan wujud lain (baca: weujud wajib) untuk mengada. Kaidah ini bersifat hakiki dan universal yang berkaitan dengan keseluruhan wujud kontingen dan bukan sebagiannya.

Kritik lain atas argumen ini adalah keniscayaan wujud, hanya merupakan kategori logika,[20] dan kategori logika tidak berhubungan dengan realitas eksistensi eksternal atau wujud hakiki.

Jawaban kritikan tersebut sebagai berikut:

Keniscayaan memilki pengertian yang sama dalam ilmu logika dan filsafat. Makna keniscayaan dalam ilmu logika juga teraplikasikan dalam filsafat. Keniscayaan ini terkait secara langsung dengan realitas eksternal dan wujud-wujud hakiki di alam ini.

Mullla sadra berkata, "Bahwa keniscayaan memiliki satu pengertian, tetapi pengertian ini bergradasi sesuai dengan predikat yang melekat kepadanya, misalnya angka empat niscaya genap dan wujud Tuhan niscaya ada. Pengertian keniscayaan yang ada pada kedua proposisi itu memiliki gradasi dan berjenjang. Keniscayaan tidak semata-mata berhubungan dengan realitas eksistensi Tuhan, tetapi berkaitan dengan segala realitas wujud, baik eksternal (wujud di alam) maupun internal (wujud dalam pikiran)".[21]

Argumen imkan dan wujub tidak berpijak pada analisis akal tentang pengertian kuiditas wujud kontingen yang secara esensial meniscayakan kebergantungan kepada sebab, tetapi berpijak pada analisis akal tentang realitas eksistensi eksternal dan wujud hakiki di alam ini. Jadi pengertian keniscayaan murni berasal dan bersumber dari eksistensi eksternal dan wujud hakiki, dan bukan sebuah pengertian yang tak memiliki obyek nyata dan hakiki (baca: pengertian yang semata-mata dalam pikiran).

Ibnu sina dalam memaparkan argumen tersebut secara langsung menggunakan obyek eksternal dan eksistensi hakiki dalam proposisi. Dia berkata, "Karena wujud itu mustahil tidak memiliki realitas eksternal dan wujud hakiki, maka yang berwujud hanya dua kemungkinan, yaitu wujud kontingen dan wujud wajib. Apabila realitas eksistensi eksternal itu adalah wujud kontingen, maka niscaya memerlukan sebab (baca: wujud wajib)."[22]

Sangkaan David Hume atas keniscayaan adalah sebagai berikut: pertama, pengertian keniscayaan hanya dalam kategori logika dan menolak aplikasinya dalam filsafat[23]. Kedua, keniscayaan terbatas pada proposisi analitik yang predikatnya melekat pada subyek.

Dengan demikian, anggapan Hume tentang keniscayaan hanya teraplikasikan pada satu subyek yang telah terasumsi validitasnya dalam pikiran, dan kemudian subyek itu diletakkan berbandingan dengan subyek atau bagian-bagian dari subyek itu sendiri, lalu subyek yang terasumsi itu atau bagian-bagiannya dipredikasikan kepada subyek yang terasumsi itu, seperti manusia adalah manusia.

Berdasarkan prasangka di atas, setiap argumentasi yang berakhir berpijak pada keniscayaan hanya berlaku dalam ruang lingkup presentasi pikiran dan pemikiran, tidak berhubungan dengan realitas eksternal dan wujud hakiki.

Jawaban atas sangkaan ini adalah sebagai berikut:

Keniscayaan berlaku pada semua proposisi baik analitik[24] maupun hakiki[25]. Pengertian keniscayaan bersumber dari fenomena hakiki dan menunjuk langsung pada eksistensi eksternal yang nyata.

Argumen imkan dan wujub tidak bersandar pada analisa pikiran atas pemahaman kuiditas eksistensi yang terasumsi, tetapi terbangun di atas analisa akal atas realitas eksistensi luar dan wujud hakiki dan juga diperoleh dari perbandingan langsung antara persepsi suatu kuiditas dan extensi-extensinya[26]. Jadi yang dipergunakan dalam argumen ini adalah konsepsi keniscayaan yang terkait secara hakiki dengan extensi-extensi eksternal, dan extensi keniscayaan adalah eksistensi hakiki dan realitas eksternal[27]. Oleh karena itu, pengetahuan kita terhadap eksistensi keniscayaan itu sendiri bersifat badihi. Mengingkari keniscayaan sama dengan menolak eksistensi, realitas dan wujud hakiki. Menolak eksistensi dan wujud hakiki sama dengan memungkiri diri kita sendiri.

Kritik lain untuk argumen ini bersifat epistimologis bukan filosofis. Kritik ini berbunyi, "Suatu argumen dianggap sempurna jika realitas eksternal dan wujud hakiki berada dalam jangkauan persepsi akal dan pengetahuan-pengetahuan rasionalitas manusia bersesuaian dengan realitas eksistensi hakiki, jika realitas wujud tersebut tidak dalam jangkauan persepsi akal, maka argumen tersebut tidak sempurna dan tak berguna. Sebagai contoh dalam argumen ini, dikatakan bahwa realitas terbagi dua bagian yaitu wujud wajib dan wujud kontingen, dan pembagian ini bersandar pada kaidah kemustahilan terkumpulnya dua hal yang kontradiksi, kaidah ini walaupun bersifat rasional tetapi tidak memiliki realitas eksistensi hakiki dan obyek luar, yakni dua wujud yang saling berkontradiksi dan bertentangan mustahil mewujud di alam riil. Karena argumen ini berhubungan dengan kaidah itu, maka argumen imkan dan wujub tidak memiliki pondasi yang kuat."

Jawaban atas kritikan itu adalah sebagai berikut:

Kritikan ini berhubungan dengan ilmu epistimologi. Pengkritik meragukan nilai ilmu dan pengetahuan manusia, dan keraguan atas ilmu dan pengetahuan manusia sama dengan menolak dan memungkiri kebenaran ilmu dan pengetahuan manusia, konsekuensinya adalah pengingkaran realitas eksternal dan eksistensi hakiki.

Bentuk keraguan seperti ini sangat halus sehingga terkadang kita tak menyadari keterjebakan kita di dalamnya. Problem yang sangat besar adalah jika kita tidak mengetahui metode dan rumusan penyelesaiannya. Keraguan merupakan jembatan emas untuk sampai kepada kesempurnaan ilmu dan pengetahuan. Tetapi menetap di atas jembatan itu, akan mengakibatkan ketersiksaan jiwa dan keterasingan batin terhadap dirinya sendiri. Inti dan hakikat ilmu serta pengetahuan sama dengan hakikat eksistensi eksternal dan wujud hakiki. Menolak kebenaran ilmu dan pengetahuan manusia sama dengan mengingkari realitas eksistensi eksternal, dan memungkiri realitas eksistensi erksternal sama dengan menolak keberadaan dan eksistensi diri sendiri. Jadi perbedaan yang nyata dalam ilmu dan pengetahuan manusia bukan bermakna ketiadaan kebenaran ilmu dan pengetahuan, tetapi perbedaan itu berarti bahwa ilmu dan pengetahuan manusia berjenjang, bertingkat dan bergradasi. Perbedaan itu jangan dipandang secara horizontal atau hitam putih, tetapi dipersepsi secara vertikal atau bergradasi.

Dalam perspektif ontologis Mulla Sadra, dijelaskan bahwa realitas eksternal dan wujud hakiki bersifat gradasi, yakni ada perbedaan intensitas dalam eksistensi hakiki. Jadi wujud yang paling tinggi hingga wujud yang paling rendah semuanya disebut wujud, dibalik kemajemukan wujud terdapat kesatuan wujud yang hakikatnya bergradasi. Karena ilmu dan pengetahuan berpijak pada realitas eksternal dan wujud hakiki, maka ilmu dan pengetahuan juga berjenjang. Wujud Wajib (baca: wujud Tuhan) adalah wujud yang paling tinggi dan sempurna, jadi ilmu yang berkaitan dengan wujud Tuhan menjadi ilmu yang paling tinggi dan sempurna, dan begitu pula sebaliknya, hubungan antara wujud yang rendah dengan ilmu. Pluralitas dalam hal ini adalah pluralitas bergradasi dan bukan horizontal.


Catatan Kaki:
[1] . Ta'liqat Farabi, hal. 6.

[2] . Kumpulan Risalah Ibnu Sina, bab defenisi, hal. 117.

[3] . Asfar, jilid 2, hal. 127.

[4] . Hikmah al-Isyraq, hal. 62.

[5] . John Hospers, an Introduction to Philosophical Analysis, hal. 431.

[6] . Mulla Sadra, Asfar, jilid 2, hal. 166.

[7] . Abdurrahman Badawi, Mausu'at al-Falsafah, jilid 2, hal. 102.

[8] . Ibnu Sina, Al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid 3, hal. 20.

[9] . Allamah Al-Hilli, Syarh al-Kitab Tajrid al-'Itiqad, hal. 217.

[10] . Sadr al-Mutaallihin, Al-Asfar, jilid 6, hal. 14.

[11]. Allamah Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, hal. 320.

[12] . Sekarang ini berwujud, sebagaimana yang kita lihat dan rasakan adanya keberadaan kuiditas seperti manusia, hewan, tumbuhan dan sebagainya.

[13] . Pada waktu tertentu kuiditas akan tiada, punah dan hancur.

[14] . Artinya, setiap kuiditas (mahiyah) yang melekat kepada wujud berarti kuiditas itu niscaya mewujud.

[15] . Huduts dalam makna leksikalnya berarti baru lawan dari lama (qadim). Dalam makna gramatikalnya (istilah), sesuatu dikatakan huduts (baru) jika ketiadaannya mendahului keberadaannya, artinya sesuatu itu pada awalnya tiada (tak tercipta) dan sekarang ada, berwujud atau tercipta. Huduts terbagi dua: pertama, huduts dzati (lawan qadim zat) yaitu ketiadaan mendahului keberadaannya tapi bukan dalam rentangan waktu. Kedua, huduts zamani (lawan qadim zamani) yaitu ketiadaannya mendahului keberadaannya dalam rentangan waktu.

[16] . Imkan (bergantung, kontingen) adalah makna hakiki dari kuiditas (mahiyah), artinya setiap kuiditas meniscayakan kebergantungan atau hakikat dari kuiditas adalah bergantung.

[17] . Qadim zamani adalah sesuatu yang ketiadaannya tak mendahului keberadaannya dalam rentangan waktu atau senantiasa berwujud dalam rentangan waktu. Qadim zat adalah sesuatu yang ketiadannya tak mendahului keberadaannya tidak dalam rentangan waktu atau senantiasa berwujud bukan dalam rentangan waktu (azali), seperti wujud Tuhan.

[18] . Etin Jilson, Mabani Falsafe-e Masahiyyat, penerjemah Muhammad Muhammad Reza-I, hal. 118.

[19] . Bertrand Russel, Irfan wa Mantiq, hal. 213.

[20] . Sebuah pahaman yang tidak didasarkan pada obyek nyata dan tidak berasal dari realitas dan eksistensi hakiki.

[21] . Mulla Sadra, Asfar, jilid 1, hal. 91.

[22] . Ibnu Sina, Isyarat wa at-Tanbihat, jilid 3, hal. 18.

[23] . Subyek pembahasan filsafat adalah realitas eksistensi eksternal dan wujud hakiki.

[24] . Proposisi analitik adalah subyek pembahasan hanya dalam pikiran, misalnya sekutuTuhan mustahil ada. Jadi, apa yang diasumsikan oleh akal tentang sekutu Tuhan tidaklah mustahil hadir dalam pikiran, dengan ungkapan lain bahwa asumsi sekutu Tuhan adan dalam pikiran.

[25] . Proposisi hakiki adalah subyek pembahasannya di alam eksternal dan berkaitan dengan wujud hakiki, misalnya Imam Husain As syahid di karbala atau Zionis membunuh anak-anak Palestina. Proposisi tersebut aktual dan faktual.

[26] . Pengertian extensi (mishdaq) dapat dicontohkan sebagai berikut: Muhammad, Ali, Hasan dan Husain adalah manusia. Jadi yang dimaksud dengan Muhammad, Ali, Hasan dan Husain adalah extensi (mishdaq) dari manusia. Manusia itu sendiri tidak memiliki obyek luar, yang ada obyeknya di luar adalah Muhammad dan sebagainya.

[27]. Wujud eksternal adalah bersifat hakiki dan pengetahuan atasnya bersifat badihi, jelas, gamblang dan tak memerlukan argumen. Manusia yang menolak realitas eksistensi eksternal dan wujud hakiki sama dengan menolak eksistensi dan wujud dirinya sendiri.

11
Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

Argumen Akhlak [7]

Pendahuluan
Semenjak masa Immanuel Kant hingga masa kini, lahir berbagai bentuk pemikiran dalam upaya menetapkan eksistensi Tuhan tidak dengan pendekatan realitas eksistensi alam ini atau dengan metode keteraturan alam, tetapi dengan menggunakan suatu argumen khusus dimana semua manusia mempunyai pengalaman tentangnya, yakni metode menegaskan eksistensi Tuhan lewat pengalaman-pengalaman akhlak yang dialami oleh setiap manusia. Oleh sebab itu, secara umum manusia dengan mudah mencerap dan memahami argumen ini.

Sebelumnya, Hume dan Kant telah berhasil membangun skeptisitisisme dan keragu-raguan di dunia Barat terhadap validitas argumen-argumen rasional (dengan akal teoritis) tradisional tentang ketuhanan dari para ahli teologi. Kritik-kritik yang mereka lontarkan dalam menolak setiap bentuk argumen rasional pembuktian eksistensi Tuhan dianggap telah berhasil menggoyahkan keimanan dan kepercayaan masyarakat religius. Sementara itu, Hume sendiri tidak mempunyai konstruksi argumen dalam bentuk akal teoritis untuk membuktikan eksistensi Tuhan sebagai pengganti dari argumen-argumen rasional tradisional tersebut (perlu diketahui bahwa David Hume adalah seorang filosof Materialisme dan ateis : lihat tulisan Tuhan Ditolak dan Ditetapkan). Demikian juga Kant, dalam hal ini tidak membangun argumen dengan pondasi akal teoritis untuk menggantikan argumen-argumen yang ditolaknya, ia selanjutnya beralih pada sistem filsafat akhlak dimana menurutnya argumen yang berpijak pada akal praktis mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh argument dengan pondasi akal teoritis. Oleh karena itu, untuk menemukan kembali pemikiran ketuhanan Kant dalam sistem filsafat, harus merujuk pada perubahan mendasar atas penolakannya kepada akal teoritis dan pembelaan Kant kepada akal praktis dalam menyingkap substansi-substansi realitas akhlak manusia.

Dalam rentang zaman dari masa Kant hingga pertengahan abad ke 20 M keraguan dan skeptisisme para pemikir teoritis tidak semakin kurang dan ringan bahkan semakin tajam dan mendalam dihubungkan dengan dalil-dalil dengan pijakan akal teoritis dalam pembuktian eksistensi Tuhan, sebab itu, tidak sedikit para ahli teologi dan kalam berjalan di atas garis argumen akhlak yang dikonstruksi Kant (yakni jalan filsafat akhlak praktis) dalam menetapkan eksistensi Tuhan.[1]


Kedudukan dan Validitas Argumen Akhlak
Argumen akhlak memiliki keabsahan filosofis jika dipisahkan dari unsur-unsur nasihat dan wejangan. Dalam konteks ini, argumen akhlak tidak hanya menetapkan eksistensi Tuhan tetapi juga menetapkan sifat-sifat Tuhan, seperti yang mencipta, bijaksana, kehendak dan mahapengatur di dunia dan di akhirat.

Perlu kita ketahui bahwa jenis argumen ini harus disandarkan pada argumen fitrah, atau dirujukkan pada argumen tentang kemestian diutusnya para nabi, dimana argumen tentang kenabian itu sendiri terletak sesudah pembuktian eksistensi Tuhan dan sifat-sifat kesempurnaan-Nya, atau didasarian pada salah satu argumen-argumen, seperti argumen imkan dan wujub, huduts, gerak. Jika demikian, maka argumen akhlak memiliki kesetaran validitas dengan argumen-argumen tersebut di atas dan terhitung sebagai bentuk argumen baru. Dan jika argumen akhlak tidak disandarkan pada salah satu dari argumen-argumen yang disebutkan di atas, maka ia sama sekali tidak memiliki validitas sebagai sebuah argumen atau dalil dalam menetapkan eksistensi Tuhan. Oleh karena itu, apabila argumen akhlak diasumsikan memiliki landasan-landasan yang sempurna, maka tetap dikategorikan sebagai filsafat praktis dan bukan merupakan filsafat teoritis dan tidak dapat digunakan sebagai dalil pembuktian Sumber Eksistensi. Jika argumen-argumen akhlak digolongkan dalam wilayah wahyu dan kenabian, wilayah tersebut terhitung sebagai bagian dari pembahasan filsafat teoritis dan masalah penetapan Tuhan merupakan asas makrifat agama, kenabian dan wahyu, maka tetap tidak dapat dijangkau oleh argumen ini, yakni argumen ini tidak dapat membuktikan prinsipalitas wujud Tuhan.

Kesimpulannya, jika argumen akhlak disandarkan pada filsafat teoritis maka dapat terhitung sebagai bagian dari dalil dan argumen penetapan eksistensi Tuhan dan itupun harus bersandar pada argumen fitrah; karena argumen fitrah selain sebagai bagian filsafat teoritis, juga landasan-landasan yang digunakan cukup sempurna. Dengan demikian argumen akhlak bisa menjadi salah satu dari argumen untuk menetapkan eksistensi Tuhan.[2]


Landasan Filsafat Praktis
Apakah hukum akal mengenai kebaikan? Apakah kebaikan memiliki makna kemestian jika ditinjau dari bentuknya yang mutlak? Secara hakiki makna kebaikan yang ada dalam kebaikan akhlak dan kebaikan alami (yang bersifat inderawi) adalah sama. Oleh karena itu, kebaikan akhlak bukan satu-satunya kebaikan, meskipun kebaikan tersebut adalah paling tinggi, terdapat juga kebaikan yang merupakan subyek keinginan-keinginan indrawi. Jadi kebaikan mutlak tersusun dari dua kebaikan tersebut, dan dua kebaikan tersebut mengantarkan kita untuk mengkonsepsi suatu komprehensi dan pengertian tentang kebaikan tertinggi, kebaikan tertinggi inilah yang secara hakiki menyatukan keinginan-keinginan alamiah dan kehendak murni. Dan kebaikan tersebut, jika dipandang dari sisi keutamaan adalah kebahagiaan, sedangkan keutamaan dilihat dari dimensi bahwa dia adalah kebaikan maka secara esensi menjadi syarat kebahagiaan. Untuk terwujudnya kebaikan tertinggi yang berpengaruh terhadap semua realitas wujud maka harus dikonsepsi suatu wujud yang pada dirinya menyatu secara bersama kesucian, keutamaan dan kebahagiaan. Dan wujud ini disebut sebagai Tuhan. Untuk memahami kemestian eksistensi Tuhan harus diketahui secara mendalam hubungan antara manusia, alam dan akhlak.

Kebahagiaan adalah kondisi pribadi dimana segala sesuatu didapatkan sesuai dengan keinginan dan kehendak. Jadi kebahagiaan adalah kesesuaian dan keselarasan antara watak alami dan tujuan-tujuan yang diusahakan hingga tercapai. Jika wujud kebahagiaan mesti berhubungan dengan keutamaan dan saling bersesuaian dengannya, maka tidak mungkin kebahagiaan ini mewujud kecuali dengan perantara adanya suatu sebab bagi seluruh realitas alam yang berbeda darinya, yang meliputi landasan hadirnya kesesuaian dan kesatuan antara kebahagiaan dan keutamaan. Oleh karena itu, kebaikan hakiki (mutlak) tertinggi menjadi perantara terwujudnya kebaikan tinggi relatif, yakni kebaikan mutlak tertinggi menciptakan suatu alam yang merupakan paling baik dan sempurnanya alam.

Menurut Kant perkara-perkara, seperti kebebasan, keabadian jiwa dan Tuhan adalah hal yang hanya dapat dijangkau dengan dalil-dalil yang berpijak pada akal praktis dan bukan berdasar pada akal teoritis. Dan perkara-perkara tersebut telah menjadi "hal yang sudah diterima" (al-musallamah) oleh akal praktis.[3]

"Al-Musallamah" tersebut bukan sekedar keyakinan pribadi yang subyektif, akan tetapi sesuatu yang obyektif dan universal; sebab akal sendiri yang mengasumsikan "al-musallamah" tersebut, karena itu keyakinan terhadapnya merupakan hal yang valid dan benar serta penerimaan terhadap "al-musallamah" tersebut merupakan pengakuan atas kedudukan tinggi akal praktis atas akal teoritis. Derajatnya yang tinggi tersebut tidak bermakna bahwa dari jalan akal praktis dihasilkan suatu ilmu terhadap "al-musallamah" itu, dimana akal teoritis tidak memiliki kemampuan untuk mengetahuinya, akan tetapi ketinggian derajat tersebut berarti bahwa dengan perantaraan amal (praktiis) atau akhlak, kita menetapkan kemestian-kemestiannya (syarat-syaratnya) dan kemudian kita menyandarkan keimanan kepada akhlak atau amal (praktis) tersebut, dimana keimanan ini berlandaskan pada kebutuhan-kebutuhan akal praktis yang bersifat universal. Tidak terdapat problem yang mengarah pada keimanan ini, tetapi sebaliknya, keimanan ini secara sempurna sesuai dengan kita. Oleh karena itu, jika kita memiliki ilmu teoritis yang sempurna tentang Tuhan dan keabadian jiwa, maka ditinjau dari dimensi kesusastraan adalah mustahil tak terdapat pemaksaan dan tekanan dari ilmu ini yang mengarah kepada irâdah (kehendak) kita, atau akhlak menjadi perantara dan kita menyerupai suatu darah yang mengalirkan ketakutan dan keinginan kepadanya, padahal keimanan menyiapkan suatu wadah bagi pilihan kehendak, kemuliaan dan keutamaan.

Konklusi dari teori ini membenarkan kita melihat tugas-tugas dalam bentuk perintah-perintah yang tidak hanya bersumber dari akal tetapi juga berasal dari Tuhan. Jadi dengan bentuk tersebut maka kita menerima agama dimana suatu agama yang diletakkan setelah akhlak dan peletakan tugas-tugas, akan tetapi kebalikan dari itu adalah suatu agama yang berlandaskan atas akhlak dan akhlak juga berlandaskan atas akal (akal praktis).[4]


Tinjauan Hukum Akhlak Sebagai Dasar Argumen
Argumen akhlak memiliki rumusan dan uraian yang beragam. Sebagian diantaranya berdalil dengan ketetapan dan kemutlakan perintah-perintah akhlak atas keberadaan pemberi perintah dan pengatur yang tetap dan mutlak dimana disebut sebagai Tuhan. Dan sebagian lagi berdalil atas keberadaan sumber selain insan yang mempunyai kehendak lebih tinggi dari kehendak manusia, dari perasaan kekuatan akhlak dalam kondisi dan syarat dimana kehendak partikular manusia mengamalkan kebalikan darinya. Sebagian lagi menggunakan keniscayaan undang-undang dengan pembuat undang-undang untuk menetapkan sumber undang-undang, atau dikarenakan adanya undang-undang akhlak yang sama dalam kebudayaan masyarakat yang berbeda-beda menegaskan asumsi adanya Tuhan yang meletakkan pandangan undang-undang ini dalam kalbu manusia.

Panggilan nurani atau perintah akhlak kemudian disusul oleh perasaan bersalah, malu dan menyesal, atau takut ketika melakukan kemaksiatan, atau takut sebelum melakukan perbuatan buruk, merupakan premis-premis yang terdapat pada semua argumen-argumen akhlak, sebab sesudah menetapkan semua itu memungkinkan terbentuk rumusan dan uraian -yang mungkin berbeda dengan rumasan-rumusan yang telah disebutkan di atas- tentang keberadaan Sumber Eksistensi, meskipun rumusan argumen tersebut belum sampai menetapkan kemestian esensi dan keazalian dzat Tuhan.

Jika mukadimah pertama yakni keberadaan undang-undang yang sama adalah diterima dimana manusia sebelum melakukan perbuatan merasa cemas dan sesudah melakukan keburukan merasa menyesal dan malu. Keuniversalan undang-undang dan hukum-hukum ini dimana individu-individu yang berbeda dan bangsa-bangsa yang beragam serta kebudayaan-kebudayaan dan kondisi-kondisi kemasyarakatan yang beragam mencapai puncak puncak kekuatan atau jatuh ke lembah kehinaan, atau mendapat dukungan atau penentangan, atau terasing dari masyarakat atau berjaya di masyarakat desa atau masyarakat kota modern ketika mengamalkan undang-undang atau terdapat perasaan takut dan berdosa ketika menyalahinya, maka dapat diambil konklusi bahwa sumber undang-undang ini sama sekali tidak dari kondisi-kondisi dan asumsi-asumsi yang disebutkan, tapi baginya terdapat sebab dan sumber luar yang menyertai keseluruhan ini.[5]


Bentuk Argumen Akhlak
Argumen akhlak dalam bentuk dan rumusan yang berbeda-beda berdiri diatas prinsip bahwa pengalaman akhlak dan secara khusus berhubungan dengan perasaan bertanggung jawab dimana merupakan sesuatu yang tak dapat diingkari oleh individu-individu manusia, hal inilah meniscayakan keberadaan realitas Tuhan sebagai Sumber Pemberi tanggung jawab tersebut.[6]


Argumen Akhlak Bentuk Pertama
Argumen akhlak bisa dipaparkan dalam bentuk konklusi logis dari realitas hukum-hukum akhlak berkaitan dengan keberadaan Pembuat Syariat (hukum-hukum ilahi), atau berangkat dari sebuah kenyataan adanya nilai-nilai akhlak atau nilai-nilai universal yang bersumber dari nilai-nilai transenden, atau dari realitas fitrah ketuhanan dimana seruan-Nya merupakan sumber nurani dan fitrah itu sendiri.

Cardinal Newman menjelaskan makna di atas sebagai berikut, "Kalau kita, ketika kita menyalahi panggilan nurani, merasa bertanggung jawab, maka kita akan merasa malu, takut dan cemas, keadaan pelaku seperti ini adalah menunjukkan keberadaan sesuatu yang hakiki dalam dirinya, kita memandang diri kita sebagai penanggung jawab, kita merasa malu dihadapannya dan kita merasa takut dari pemeriksaan dan pengadilannya. Jika sebab perasaan tersebut tidak bersandar dengan alam materi ini, maka pijakan dan sandaran persepsi tersebut harus kembali pada dimensi supranatural dan aspek ketuhanan.[7]

Asumsi dasar argumen ini adalah bahwa nilai-nilai akhlak tak dapat dijelaskan berdasarkan sudut pandang fisika dan empiris serta sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dan kecenderungan-kecenderungan manusia atau dalam bentuk lain yang membutuhkan rujukan dan perantara non metafisik. Akan tetapi menggunakan asumsi tersebut tak lain adalah "petitio principii" (proposisi yang masih membutuhkam pembuktian, padahal inti pembuktian terdapat pada premisnya sendiri yakni ia menetapkan dirinya sendiri, bentuk ini adalah daur). Dari sisi ini, premis mendasar dari argumen tersebut adalah mengambil konklusi dari aksiologi dalam menetapkan eksistensi Tuhan, tapi hal ini bisa menjadi sasaran kritik dan prinsip ini, dari sudut pandang kaum skeptis empirisisme, tak dapat menetapkan sesuatu, oleh sebab itu, argumen ini tak dapat dijadikan pijakan dalam pembuktian eksistensi Tuhan.[8]

Menurut ayatullah Jawadi Amuli, bentuk argumen akhlaknya Kant tak dapat menjadi suatu argumen untuk penetapan eksistensi Tuhan dan eksistensi jiwa serta iradah, sebab-sebab komprehensi akal menurut pandangan Kant ketika tidak disertai dengan penyaksian panca indera, tidak mempunyai andil dalam penggambaran alam luar dan tidak memiliki makna jika dihubungkan dengan teks realitas. Oleh karena itu, menurut pandangannya kemestian antara hukum akal praktis dan kepercayaan kepada Tuhan hanya bersumber dari nilai akhlak dan tidak berdasarkan realitas alam.[9]

Dalil akhlak, tidak menetapkan wujud Tuhan dengan jalan keabsahan realitas dan tidak dapat memuaskan kaum Skeptik dalam wacana eksistensi Tuhan, tapi hanya mengatakan pada mereka bahwa jika berpikir berdasarkan akhlak, harus membenarkan asumsi proposisi ini dibawah kaidah-kaidah akal praktis sendiri.[10] Yakni jika manusia mengakui bahwa hukum-hukum akhlak adalah pengetahuan-pengetahuan apriori akal praktis

maka ia harus mempercayai keberadaan kehendak dan ikhtiyar manusia, keberadaan jiwa dan keabadiannya serta eksistensi kebaikan yang paling agung. Akan tetapi pengakuan ini menurut Kant hanya mempunyai nilai akhlak dan amal tapi sama sekali tidak bernilai dari sisi menggambarkan hubungan dengan alam realitas. Oleh karena itu, argumen akhlak Kant tidak menetapkan eksistensi Tuhan sebagai suatu realitas "fi al-nafsih" (berdasarkan realitas dirinya sendiri) yang menjadi dakwah agama-agama Ilahi serta gerak dan mikraj manusia menuju kepada-Nya.


Argumen Akhlak Bentuk Kedua
Kritik-kritik yang ditujukan pada argumen akhlak bentuk pertama tidak mengena untuk bentuk kedua ini, sebab pada dasarnya bentuk kedua ini secara makna yang lebih dalam bukanlah suatu jenis argumen, akan tetapi statemen bahwa setiap orang yang secara sungguh-sungguh menghormati nilai-nilai akhlak dan ia memandang nilai-nilai tersebut sebagai suatu prinsip yang berkuasa atas kehidupannya maka niscaya ia harus secara nyata mempercayai suatu realitas sebagai sumber di atas manusia dan pangkal bagi nilai-nilai ini, yang agama menyebut itu sebagai Tuhan. Berasaskan ini, Kant berpandangan bahwa keabadian ruh dan juga eksistensi Tuhan adalah postulat-postulat kehidupan akhlak, yakni prinsip-prinsip yang setiap orang memandangnya sebagai tanggung jawab yang tidak berkait dan bersyarat yang sudah diletakkan secara hak atas perjanjian manusia, itu semua mesti diterima sebagai prinsip yang niscaya harus diterima.[11]

Memandang benar tanggung jawab akhlak dan kedahuluannya atas manfaat pribadi, adalah suatu konklusi bermakna keyakinan terhadap realitas selain alam material yang lebih tinggi dari kita dan layak untuk ditaati dan disembah. Ini adalah suatu gerak minimum ke arah keyakinan pada Tuhan yang dalam tradisi agama samawi dikenal sebagai hakikat akhlak mutlak. Akan tetapi ia tidak dapat berdiri sebagai argumen penetapan eksistensi Tuhan, sebab bisa saja validitas kemutlakan tanggung jawab akhlak menjadi tempat keraguan, dan bahkan sampai kita terima bahwa nilai-nilai akhlak mengarah pada suatu sumber transendental, masih belum dapat dikatakan diseluruh tempat dan tanpa kesalahan mengarah pada pencipta yang tidak terbatas, melakukan apa yang ia kehendaki dan berdiri dengan zatnya sendiri, yang menjadi subyek dan ikatan iman penganut agama samawi.


Analisa Fundamental atas Argumen Akhlak
Dengan berdasarkan pada keberadaan hukum-hukum akhlak yang menjadi rujukan universal akhlak, maka sesuai dengan realitas ini meniscayakan pandangan tentang keberadaan realitas Tuhan, dimana hanya Dia yang dapat menjadi pembenar dan pengabsah terhadap rujukan akhlak. Oleh sebab itu jika kita berpandangan tentang eksistensi sumber rujukan akhlak, mesti sesuai dengan realitas ini, kita berpandangan tentang eksistensi Tuhan sebagai penjamin dari nilai kebenaran dan validitas hukum-hukum akhlak. Jadi pangkal dan sumber rujukan ini serta jaminan validitasnya harus secara totalitas keluar dari kehendak dan pilihan manusia. Dengan kata lain komprehensi undang-undang akhlak sebagai realitas dirinya sendiri tanpa dirujukkan dan disandarkan pada Tuhan, adalah tidak sempurna dan nilainya kurang (tidak valid), sebab undang-undang itu sendiri memestikan keberadaan peletaknya, yakni Pembuat Syariat. Kesimpulannya, dengan hanya mengakui dan meyakini eksistensi undang-undang akhlak, maka niscaya berpandangan tentang eksistensi Tuhan.

Kritikan mendasar bagi argumen-argumen akhlak mengarah pada tinjauan kemestian hukum-hukum akhlak dihubungkan dengan proposisi-proposisi teoritis seperti eksistensi Tuhan dan atau keabadian jiwa manusia. Sebab dalam konteks ini (keberadaan hukum-hukum akhlak meniscayakan keberadaan Tuhan dan keabadian ruh), berpandangan tentang eksistensi Tuhan dan keabadian ruh adalah jalan pemecahan untuk hukum antinomi (dialektika dari dua sisi), yakni komprehensi dan rasionalisasi sesuatu tanpa tinjauan atau landasan, dan hal ini malah melahirkan kondisi yang tidak dapat dijelaskan serta tinggal dalam keadaan tanpa pengertian. Tetapi sekarang apakah kenyataan bahwa berpandangan tentang Tuhan, menjadi penyebab terpecahkannya komprehensi dan rasionalisasi? Atau dengan ungkapan lain apakah dalam inti ini sendiri (berpandangan tentang eksistensi Tuhan) tidak tersembunyi rahasia lebih banyak yang pada akhirnya membuat kesamaran menjadi lebih dalam dan malah tidak membuatnya lebih jelas? Jika kebebasan, pilihan dan ikhtiar adalah kemestian dari amal pelaku akhlak, dan kebebasan serta ikhtiar itu juga menjadi kadar niscaya untuk pandangan tentang keberadaan alam akhirat, dimana ikhtiar itu hanya berguna untuk alam ini, masa hidup sekarang ini dan di alam akhirat yang tersisa hanya dampak darinya. Namun yang pasti asas dan prinsip ini, yakni keyakinan terhadap eksistensi Tuhan dan keabadian ruh sama sekali tidak dapat diperoleh dari keniscayaan hukum-hukum akhlak dan atau filsafat praktis dengan sendirinya, tanpa ditopang oleh argumen-argumen akal teoritis lainnya sebagai penjamin dari argumen tersebut.

Menurut ayatullah Jawadi Amuli, hukum-hukum akhlak yang berhubungan dengan akal praktis, mempunyai subyek-subyek dan predikat-predikat khusus dan kelompok proposisi-proposisi ini sebagaimana yang diakui oleh Kant adalah mengandung sebagian dari proposisi "al-awwali" dan "al-bayyini" (proposisi jelas dan swa-bukti) dimana ia secara esensi diakui oleh akal praktis. Dengan tidak menghiraukan proposisi-proposisi yang mana yang merupakan hukum-hukum prima akal praktis, tidak pernah ada suatu proposisi yang berhubungan dengan akal praktis, tidak diambil konklusinya dari suatu proposisi yang berhubungan dengan akal teoritis dan konklusi hukum-hukum akhlak tidak meniscayakan stetmen-stetemen teoritis. Bahkan, hukum-hukum akal praktis dengan menggunakan proposisi-proposisi dan hukum-hukum yang berhubungan dengan akal teoritis akan sampai pada kesimpulan-kesimpulan baru yang berada dalam wilayah akal praktis, yakni hukum akal praktis setiap kali dalam bentuk mayor akan digabungkan dengan satu proposisi lain yang berhubungan dengan akal teoritis, dari penggabungan dengan proposisi itu yang berfungsi sebagai minor membentuk suatu silogisme akhlak dimana konklusinya secara kuantitas dan kualitas serta juga secara teoritis dan praktis, mengikuti premis yang "al-akhass" (yang lebih lemah dan lebih rendah, seperti proposisi negatif lebih rendah dari proposisi positif) dari dua premis dan sebab dalam silogisme ini, mayor adalah proposisi praktis, maka natijah juga adalah suatu proposisi praktis dan tidak berhubungan dengan akal teoritis. Misalnya guru mengajarkan ilmu kepada murid, setiap orang yang mengajarkan ilmu pada orang lain maka nisbah terhadapnya mempunyai hak untuk dihormati, jadi guru dinisbahkan kepada murid mempunyai hak untuk dihormati.[12]

Dalam contoh di atas, proposisi pertama mengungkapkan pemberitaan kenyataan luar dan proposisi kedua adalah yang berhubungan dengan akal praktis, sebab itu konklusi dari deduksi juga adalah hukum-hukum praktis dan akhlak.

Hukum-hukum praktis sebelum mencapai tahap realisasi dan sebelum mendapatkan kedudukan dalam model kaidah serta aturan khusus berbentuk tanggung jawab partikuler dalam teks ikhtiyar dan iradah manusia, harus bersandar pada hukum-hukum dan statmen-statmen teoritis partikular dan khusus yang meninjau individu-individu dan hakikat-hakikat luar.

Oleh karena itu hukum-hukum akhlak untuk mendapatkan aktualisasi, harus menggunakan pernyataan-pernyataan teoritis dan ontologi khusus yang melukiskan tentang keberadaan realitas-realitas tertentu dan keberadaan partikular yang banyak, seperti pernyataan: "Kebaikan tertinggi mewujud", "maujud yang berihtiar memiliki realitas wujud", "kebutuhan dan kemampuan mempunyai realitas wujud luar"; karena jika "kebaikan tertinggi" tidak memiliki wujud di luar, maka proposisi akhlak "kebaikan tertinggi" yang harus diusahakan untuk dihasilkan atau sampai kepadanya, selamanya tidak akan pernah sampai mengaktual dan tidak membebani tanggung jawab di atas pundak manusia.

Konklusi dari ini adalah bahwa anggaplah hukum-hukum apriori untuk akal praktis diterima, namun tetap tidak akan ada dari hukum-hukum ini yang bertanggung jawab menetapkan ekstensi (al-misdaq) luar yang menjamin subyek-subyek mereka dan atau syarat-syarat serta keniscayaan-keniscayaan hasil dan atau keaktualan mereka. Ragu dihubungkan dengan ikhtiar dan irâdah manusia atau ragu dihubungkan dengan realitas, ragu tentang kebaikan yang hukum-hukum akhlak mengarah padanya, tidak dapat ditolak dengan bertumpu pada hukum-hukum akhlak. Akan tetapi penetapan teoritis (akal teoritis) bentuk ini dari hakikat-hakikat dan pembenaran (justification) terhadap mereka merupakan wadah yang menjamin menyatanya dan mengaktualnya hukum-hukum akhlak, sebab mengkonsep perkara-perkara yang disebutkan tersebut menyiapkan syarat niscaya untuk abstraksi komprehensi-komprehensi "al-awwali" dan keluarnya hukum-hukum yang gamblang dan swa-bukti (badihi) akhlak. Oleh sebab itu, menyalahi dari apa yang Kant konsepsi, selamanya kendatipun keniscayaan antara hukum-hukum akhlak dan sebagian dari proposisi-proposisi teoritis, bukan keniscayaan dari sisi hukum-hukum akhlak, yakni keberadaan sebagian dari gagasan dan konsepsi (al-tashawwur) dan afirmasi dan penegasan (al-tashdiq) teoritis tentang manusia dan alam, dengan penjelasan yang telah disebutkan, meniscayakan hukum-hukum asli dan prinsipil akhlak. Dalam bentuk bahwa kehidupan manusia terbatas pada kehidupan dunia dan jiwa manusia tidak abadi dan atau dalam jiwa manusia terdapat keraguan dan atau jika Tuhan dan kebaikan tertinggi yang menjadi pencarian secara esensi, merupakan satu komprehensi murni yang tidak memiliki ekstensi (al-mishdaq) luar, meskipun terdapat pengakuan akal praktis dihubungkan dengan proposisi-proposisi akhlak (dari mengkonsepsi subyek dan predikat mereka), tidak ada satupun hukum-hukum akhlak yang akan mencapai keaktualan dan dalam bentuk tanggung jawab khusus tidak ada yang mengikuti sifat altruisme dan pemaaf dihubungkan dengan kecenderungan-kecenderungan alamiah.[13]


Catatan Kaki:
[1] . Penerjemah Bahauddin Khuramsyahi, Khuda Dar Falsafeh, hal.98.

2 . Ayatullah Jawadi Amuli, Tabyin-e Barahin Itsbat-e Khudo, Hal.59-60.

3 . Yusuf Karam, Falsafah Kant, Naqd wa Barrasi-e On, hal.100.

[4] . Yusuf Karam, Falsafah Kant: Naqd wa Barrasi-e On, Hal.100-102.

[5] . Ayatullah Jawadi Amuli, Tabyin-e Barahin-e Etsbat-e Khuda, Hal.269-270.

[6] . John Hick, Penerjemah: Behjad Saleki, Falsafe-ye Din, Hal.70.

[7] . John Hick, Penerjemah Behzood Sooleky, Falsafeye Din, hal.70.

[8] . Ibid. hal. 71.

[9] . Ayatullah Jawadi Amuli, Tabyin-e Barahin-e Itsbat-e Khuda, hal. 274.

[10] . Immanuel Kant, Prederick Kapileston, penerjemah Manucer Buzurg Meher, hal.257.

[11] . Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, Book 2. Secs 4 dan 5.

[12] . Ayatullah Jawadi Amuli, Tabyine Barahine Itsbate Khuda, hal.275.

[13] . Ayatullah Jawadi Amuli, Tabyine Barohine Itsbate Khuda, hal. 276-277.

12
Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

Argumen Mukjizat [8]

Bagian Pertama

Mukaddimah
Mukjizat dan peristiwa-peristiwa aneh dan ajaib yang terjadi karena pengaruh doa seorang hamba, pertolongan-pertolongan gaib yang terkadang muncul dalam kehidupan pribadi seseorang, seperti penyembuhan penyakit, kejadian-kejadian di luar kendali dan tak terduga yang berujung pada penyelesaian problematika sosial atau lintasan suatu ide dan pikiran cemerlang yang secara otomatis memecahkan persoalan-persoalan rumit ilmiah, semua perkara tersebut oleh sebagian teolog Kristen barat dijadikan pendahuluan dan dasar untuk menegaskan eksistensi Tuhan.

Argumentasi yang menggunakan pendahuluan seperti itu disebut argumen mukjizat. Sebelum kami menjabarkan argumen secara terperinci, di bawah ini akan kami jelaskan tentang definisi mukjizat, probabilitas mukjizat dan kemustahilan penjelasannya berdasarkan sebab-sebab materi.


Pengertian Mukjizat
Mukjizat dipahamai secara umum sebagai suatu kejadian dan peristiwa yang luar biasa, di luar kekuatan manusia, di luar tatanan dan sistem alam semesta, berlawanan dengan prinsip kausalitas dan bersifat metafisikal dan supranatural.[1] Tapi dalam pandangan agama Islam dan Kristen, mukjizat didefinisikan sebagai suatu peristiwa teratur yang bersifat supranatural, yang disebabkan oleh faktor Ilahi, terwujud di alam dan mengandung pesan-pesan suci agama, serta peristiwa tersebut seakan-akan bertolak belakang dengan prinsip kausalitas (sebab-akibat). Dengan ungkapan lain, mukjizat adalah sejenis campur tangan Tuhan secara langsung di alam semesta yang berada di luar tatanan dan sistem alam dimana bertujuan untuk menampakkan suatu hakikat dan kebenaran. Berkaitan dengan hal ini, akan muncul pertanyaan bahwa apa faktor-faktor yang mesti dimiliki sehingga suatu kejadian dapat dikatakan sebagai perbuatan langsung Tuhan, sesuatu yang membawa pesan-pesan suci agama dan bersifat supranatural? Sebenarnya definisi-definisi di atas secara implisit mengandung faktor-faktor tersebut. Tapi untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan kami jelaskan secara terperinci dari ungkapan-ungkapan utama yang terkandung dan menjadi substansi perdebatan dalam definisi-definisi tersebut:


1. Bertentangan dengan tatanan dan sistem alam
Thomas Aquinas menyebut mukjizat itu sebagai suatu kejadian teratur yang bersifat supranatural dan disebabkan oleh faktor-faktor Ilahi. Ia beranggapan bahwa di alam semesta ini terdapat dua bentuk keteraturan yang berjenjang dan bertingkat, antara lain: Pertama, keteraturan alami yang terdapat pada benda-benda dimana berasal dari kehendak dan keinginan Tuhan dan bukan dari kemestian esensi dan alami dari benda-benda tersebut. Thomas Aquinas lebih lanjut berkata bahwa Tuhan meletakkan keteraturan yang bersifat kausalitas tersebut pada semua benda di alam; jika tidak ada faktor-faktor eksternal yang berpengaruh pada benda-benda tersebut maka benda-benda tersebut berjalan di atas keteraturan esensial dan alaminya masing-masing. Tetapi keteraturan esensial tersebut bukan menjadi penghalang akan campur tangan Tuhan, karena keteraturan alami tersebut juga mengikuti kehendak dan irâdah Tuhan dan Dia pulalah yang meletakkan suatu potensi dalam hakikat benda-benda tersebut sehingga dengan perantaraan potensi tersebut segala kehendak Tuhan dapat terimplementasi walaupun kehendak-Nya "bertentangan" dengan keteraturan alami benda-benda. Pandangan Thomas tersebut bukan berarti bahwa kejadian (baca: mukjizat) itu telah keluar dari keteraturan, karena ia juga berpendapat adanya sebuah keteraturan di atas keteraturan alami yang ia sebut sebagai keteraturan mutlak Tuhan (baca: keteraturan kedua) dimana berasal dari ilmu dan kehendak Tuhan. Oleh karena itu, walaupun realitas mukjizat "bertentangan" dengan keteraturan dan tatanan alam tapi tak bertolak belakang dan bahkan sesuai dengan keteraturan mutlak dan kehendak Tuhan.[2]


2. Perubahan hukum alam
Gagasan ini lahir di abad ke 17 M dimana perilaku benda-benda tidak didasarkan pada kecenderungan dan watak alami mereka tapi berpijak pada aturan-aturan alam. David Hume, dengan berpijak pada teori tersebut, berkata, "Mukjizat adalah sesuatu yang merubah dan merombak aturan-aturan alam … dan dapat didefinisikan sebagai berikut: Sesuatu yang bertolak belakang dengan hukum-hukum alam dengan kehendak khusus atau pengaruh dari faktor yang tersembunyi".[3] Pada kondisi ini terdapat beberapa soal yang mesti diterangkan: Pertama, apa pengertian hukum alam? Kedua, apa yang kita maksud dengan perubahan dan pembalikan hukum alam? Dan ketiga, dimana letak perbedaan penafsiran antara David Hume dan Thomas Aquinas?

Yang dimaksud dengan hukum alam adalah penjelasan-penjelasan universal yang memuat kondisi dan syarat tertentu yang berkaitan dengan kejadian yang mesti, pasti berlaku dan sesuatu yang mustahil tidak terjadi. Hukum dan aturan universal tersebut dijabarkan dalam bentuk seperti X mesti menjadi Y atau X yang mencipta Y. Bentuk penjabaran aturan tersebut dimulai dari abad 18 hingga awal abad 20 dan segala sesuatu dihukumi berdasarkan aturan tersebut. Realitas yang terjadi di dunia mengikuti secara pasti hukum-hukum alam yang mereka sebut dengan "kemestian hukum-hukum fisika". Tetapi dengan hadirnya teori Kuantum pada abad 20 M, sebagian ahli berkeyakinan bahwa hukum-hukum yang mendasari kejadian alam atau sebagian dari hukum-hukum tersebut bersifat tak pasti, maka dari itu kondisi dan syarat dalam hukum alam yang dikatakan pasti tersebut lantas berubah menjadi sesuatu yang bersifat mungkin, jadi kandungan hukum alam memuat berbagai aturan yang mungkin terjadi dan mungkin tak terjadi.[4]

Pengertian tentang "perubahan dan pembalikan hukum alam" dijelaskan dengan baik oleh Richard Swinburne. Pertama-tama ia memperkenalkan delapan hukum universal yang berlaku di alam dan di pikiran manusia. Hukum tersebut memiliki sisi "yang tak pasti" artinya hukum itu sendiri menjelaskan sesuatu yang tak pasti terjadi di alam. Dia berkata tentang makna "perubahan hukum alam" dalam konteks mukjizat bahwa secara hakiki peristiwa itu mustahil terjadi karena alasan dari salah satu hukum-hukum tersebut. Misalnya, mustahil bagi manusia memiliki pengetahuan yang tak empiris berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang belum terjadi dan jika manusia secara pasti mengetahui akan terjadinya suatu peristiwa, maka dia harus menyimpulkan hal itu berdasarkan ilmu tentang hukum-hukum universal dan ilmu tentang peristiwa khusus yang terjadi pada masa lalu dan yang akan datang atau dia terpaksa menerima suatu hasil analisa peristiwa, rekaman peristiwa dan informasi tentang perbuatan yang dikerjakan orang lain.

Sementara perbedaan pandangan antara David Hume dan Aquinas karena perbedaan perspektif dalam masalah substansi alam dimana Aquinas berpandangan tentang forma-forma spesis (as-shuwar an-nau'i) segala sesuatu dan David Hume mengikuti pandangan Newton tentang hakikat alam dimana dia menggunakan konsep-konsep teoritis tentang materi dan kekuatan dalam menganalisa fenomena-fenomena alam yang terjadi. Di samping itu, perbedaan mereka juga karena Thomas Aquinas menggagas tentang keteraturan mutlak Ilahi dan sebab-sebab pertama serta menganggap keteraturan alam materi ini merupakan perpanjangan dari keteraturan mutlak Ilahi tersebut. Sebenarnya, segala fenomena dan peristiwa yang terjadi di alam materi ini merupakan pengaruh darinya dan terkadang disebut juga sebagai sebab-sebab kedua yang bersesuaian dengan kehendak dan irâdah Tuhan. Maka dari itu, setiap kali Tuhan berkehendak maka seketika tercipta lagi sebab-sebab lain (baca: sebab-sebab kedua) dan mengganti sebab-sebab yang telah lalu ataukah Tuhan yang langsung menghadirkan fenomena-fenomena di alam ini tanpa menggunakan perantara sebab-sebab kedua tersebut. Tapi karena David Hume, mengikuti paham rasionalitas empiris, sangat sulit dia menerima pandangan Aquinas tentang keteraturan mutlak Tuhan, oleh karena itu mukjizat dianggap sebagai suatu fenomena yang merubah dan merombak hukum alam serta tidak dipengaruhi oleh faktor yang tersembunyi.

Pasca David Hume, hampir semua filosof dan teolog barat menerima gagasan dan pandangannya mengenai definisi mukjizat, di antara pengikut setia teori Hume adalah Richard Swinburne seorang guru filsafat universitas Oxford Inggris yang sangat menekankan pengertian mukjizat sebagai sesuatu yang berlawanan dan bertolak belakang dengan hukum alam. Ia berkata tentang perkara mukjizat, "Suatu peristiwa yang merubah hukum alam, kalau kejadian tersebut semakin ajaib, aneh, istimewa dan luar biasa maka semakin terhitung sebagai perbuatan langsung Tuhan."[5]

Swinburne juga menambahkan konsep lain tentang definisi mukjizat di samping pengertian di atas sebagai berikut: pertama adalah faktor yang menyebabkan perubahan dan penghapusan hukum-hukum alam adalah juga perbuatan Tuhan, dan kedua ialah memiliki kandungan dan warna keagamaan. Dalam pandangannya, dengan menggabungkan tiga unsur pengertian di atas maka diperoleh definisi mukjizat yang bersifat menyeluruh yang dapat diterima oleh masyarakat theisme (Islam, Kristen dan Yahudi).[6]


3. Peristiwa ajaib dan bermakna
Sebagian orang tidak menerima bahwa perbuatan mukjizat Tuhan itu harus dipandang sebagai suatu kejadian yang tak dapat dijelaskan secara rasional, tak empiris dan tak sesuai dengan hukum-hukum alam. Peristiwa tersebut bahkan dapat dijabarkan dan dianalisa sesuai dengan sebab-sebab dan faktor-faktor alami walaupun untuk sebagian orang kejadian tersebut tetap menjadi hal yang mukjizat. Orang yang berpandangan seperti itu adalah R.F. Holand seorang filosof asal Amerika. Dia berkata, "Terkadang muncul sebuah peristiwa yang berpijak pada sebab-sebab alami dimana sangat jarang terjadi dan secara umum bertentangan dan berlawanan dengan peristiwa-peristiwa yang sering terjadi, peristiwa yang aneh tersebut sangat erat hubungannya dengan hakikat kehidupan sebagian manusia, kebutuhannya, harapan dan cita-citanya, dan karena peristiwa tersebut sangat berperan penting dalam dimensi kebahagian dan kesengsaraannya maka timbullah perasaan yang menakjubkan, mengesankan, penuh arti dan berusaha ditafsirkan berdasarkan kerangka agama sebagai pemberian Tuhan dan mukjizat dari-Nya."[7]

Definisi mukjizat di atas murni berangkat dari pemahaman umum masyarakat religius tentang masalah mukjizat dimana hanya dipahami sebagai peristiwa ajaib, aneh, luar biasa, abnormal dan asing, oleh karena itu, tidak masuk dalam kategori mukjizat yang hadir dalam kitab-kitab suci agama. Maka dari itu, definisi mukjizat tetap dipahami sebagai peristiwa yang tak seirama dengan hukum alam dan mengandung pesan suci agama, penting dan bermakna.


4. Definisi mukjizat dalam perspektif teolog Muslim
Mukjizat dalam pandangan teolog muslim pada umumnya diyakini dan diposisikan sebagai alat atau perantara dalam menetapkan kenabian bagi pembawa mukjizat itu sendiri. Para teolog dalam pembahasan kenabian berusaha menempatkan mukjizat sebagai alat legitimasi atas pengakuan seseorang tentang kebenaran kenabiannya (baca: utusan Tuhan) khususnya untuk orang-orang awam[8]. Maka dari itu, teolog 'Ashaduddin Iji menyimpulkan bahwa masalah mukjizat tersebut hanya bertujuan untuk membuktikan dan menetapkan kebenaran kenabian dan di samping itu mukjizat tersebut harus bersyarat di antaranya: aneh, asing, ajaib, abnormal dan bersifat menantang. Jika mukjizat tak memiliki syarat tersebut maka tak dapat diterima sebagai sarana pembuktian kenabian.[9]

Di antara para teolog Islam terdapat perbedaan kecil dalam penetapan syarat-syarat mukjizat, mereka mendefinisikan mukjizat sebagai berikut, "Suatu perkara yang keluar dari kebiasaan umum atau peristiwa ajaib, luar biasa (ganjil, aneh) dan istimewa (seperti tongkat menjadi ular dan ketidakmampuan orang Arab membuat kitab seperti al-Quran) yang dibawa oleh orang yang mengaku nabi, perkara tersebut harus bersifat menantang atau mengajak orang untuk berbuat hal yang sama. Sebagai contoh, jika orang yang mengaku nabi berkata: saya menyembukan orang buta dengan mukjizat tapi pada saat yang sama dia kehilangan kemampuan pendengarannya, peristiwa tersebut tidak bisa disebut sebagai mukjizat".[10] Secara umum dapat digambarkan bahwa syarat-syarat mukjizat adalah: 1. Perkara yang keluar dari kebiasaan umum, ajaib, aneh, dan istimewa. 2. Perkara itu muncul bersamaan dengan pengakuan kenabian seseorang dari Tuhan. 3. Peristiwa mukjizat karena berhubungan dengan pengakuan seorang akan kenabian, maka dari itu, mukjizat mesti mengandung sisi penantangan dalam rangka mengajak semua orang untuk berbuat hal yang sama.


5. Perbandingan pengertian "peristiwa ajaib" dan makna "bertolak belakang dengan hukum alam"
Apakah pengertian "peristiwa aneh, ajaib dan istimewa (khâriq al-'adat) setara dengan makna "berlawanan dengan kebiasaan alami" ataukah secara hakiki disebut sebagai peristiwa yang tak dapat dipahami sesuai dengan hukum-hukum alam? Dalam pandangan teolog Islam pengertian " peristiwa ajaib" dalam definisi mukjizat bersandar pada peristiwa seperti tongkat menjadi ular besar, tak terbakar api dan … dimana secara lahiriah hukum sebab-akibat natural tak berlaku atau terputus, dengan demikian peristiwa tersebut menjadi peristiwa yang sangat jarang terjadi, luar biasa, unik, aneh, ganjil, istimewa dan menakjubkan.

Para teolog Asy'ari - aliran teologi Islam yang menolak hukum kausalitas - berpandangan bahwa sebab-sebab natural tersebut tiada lain adalah "kebiasaan Tuhan" dalam berbuat secara tak langsung di alam ini, karena dalam pandangan mereka terwujudnya keharmonisan dan keteraturan di antara partikularitas alam tidak berpijak pada hubungan kausalitas (sebab-akibat) dan kesesuaian yang nampak di alam tiada lain adalah kebersusulan dan keberlanjutan peristiwa-peristiwa yang secara langsung dicipta oleh Tuhan.[11] Oleh karena itu, "peristiwa ajaib" dalam pandangan mereka hanya bermakna bahwa Tuhan terkadang secara lahiriah berkehendak dan berbuat sesuatu yang kelihatan "berlawanan" dan "bertentangan" dengan pola "kebiasaan umum" yang terjadi di alam materi ini. Sebenarnya, "kebiasaan umum" yang dipahami aliran Asy'ari sesuai dengan pandangan para filosof tentang kausalitas.

Para filososf Islam berkeyakinan bahwa sistem vertikal gradasional dari rangkaian sebab-akibat (baca: teori kausalitas) yang mendasari tatanan alam dan keseluruhan keharmonisan alam berpijak pada hubungan kausalitas antara bagian-bagiannya. Maka dari itu, pengertian "peristiwa ajaib dan luar biasa" dalam definisi mukjizat berdasarkan pandangan para filosof adalah peristiwa yang terjadi di alam hanya merupakan efek perubahan pada sisi luar dan permukaan dari hubungan sebab-akibat (hubungan sebab-akibat partikular) dan bukan pada wilayah hukum universal sebab-akibat (kausalitas), jadi sebenarnya mukjizat itu terjadi di alam tak mungkin lepas dari pengaruh hukum-hukum kausalitas universal.[12]


Mukjizat, Karamah, I'anat dan Ihânat
Mukjizat adalah suatu peristiwa ajaib yang disertai dengan penantangan dalam rangka menetapkan posisi kenabian, sisi penantangan inilah yang menjadikannya berbeda secara substansial dengan peristiwa-peristiwa lain yang juga ajaib. Jika suatu peristiwa ajaib terjadi karena pengaruh sebuah kehendak dari jiwa suci seorang wali Tuhan maka kejadian ini dinamakan karamah, tapi kalau sesuatu terjadi karena efek terkabulnya doa seorang hamba sholeh maka disebut i'ânat. Timbulnya suatu peristiwa aneh dan ajaib karena faktor-faktor, sebab-sebab dan perantara-perantara yang bisa diperoleh dari proses belajar, hal demikian ini disebut sihir, jika sihir ini digunakan untuk melegitimasi kepalsuan kenabiannya maka ia dinamakan ihânat, seperti peristiwa Musailamah yang mengaku seorang nabi setelah nabi Islam dimana "keajaiban" yang ditampilkannya adalah menjatuhkan air ludahnya ke dalam sumur sehingga air sumur menjadi bertambah, tapi air sumur yang bertambah itu kemudian menjadi kering, keringnya air sumur tersebut merupakan sesuatu yang berlawanan dengan hakikat penantangannya (air sumur yang tadinya bertambah tak semestinya mengering). Realitas tersebut tidak sesuai dengan hakikat penantangannya, maka dari itu, peristiwa ajaib yang ditampilkannya tak dapat dikategorikan kedalam bentuk mukjizat dan berujung pada penyingkapan kebohongan akan kenabiannya.

Kekhususan mukjizat adalah karena memanfaatkan kekuatan mutlak Tuhan atau dengan ungkapan lain, mukjizat adalah sejenis peristiwa ajaib yang memunculkan secara nyata kekuasaan Tuhan dan nabi yang sebagai perantara lahirnya peristiwa tersebut membawa pesan suci dari Sang Pencipta. Selain peristiwa tersebut yang memang sangat ajaib, hakikat risalah nabi itu sendiri juga tergolong hal yang aneh dan istimewa serta tak dibatasi oleh ruang dan waktu dan para nabi juga menganggap bahwa peristiwa yang terjadi itu bersifat aneh, ajaib dan luar biasa. Di balik kejadian aneh tersebut nampak nyata kekuasaan dan kekuatan mutlak Tuhan sehingga dengan ini tertegaskan hubungan khusus seseorang dengan Tuhannya dan juga sebagai bukti riil tentang kenabiannya.

Mukjizat karena merupakan peristiwa yang secara langsung mengandung tanda kekuasaan dan kekuatan mutlak Tuhan maka tak dapat tertandingi dan teratasi oleh siapapun, dan inilah rahasia dimensi penantangan yang menyertai setiap mukjizat seluruh nabi.


Probabilitas Mukjizat
Mungkinkah mukjizat itu terwujud? Apakah Tuhan terkadang menampakkan mukjizat dalam tatanan alam semesta? Probabilitas mukjizat dihadapkan dengan dua masalah: Pertama, anggapan bahwa mukjizat itu adalah perubahan hukum alam. Dalam masalah ini ada dua bentuk pertanyaan yang dapat diungkapkan: 1. Apakah mukjizat, dengan pengertian perubahan hukum alam, secara makna tidak saling berkontradiksi? 2. Apakah mungkin secara ilmiah terjadi perubahan hukum alam oleh faktor-faktor supra natural? Apakah ilmu dapat memahami mukjizat yang pernah terjadi? Dan kedua, bagaimana menyelaraskan antara mukjizat dan hukum kausalitas ? Di bawah ini, kami akan uraikan dan jelaskan secara terperinci jawaban-jawaban dari masalah-masalah tersebut.


1. Keserasian pengertian mukjizat
Apakah pengertian mukjizat itu sendiri saling berkontradiksi? Sebagian teolog beranggapan bahwa jika kita memandang mukjizat itu sebagai perubahan hukum alam maka akan berhadapan dengan dialektika silogisme atau kondisi yang dilematis berkaitan dengan hukum dan pengecualiannya. Ketika kita berkata bahwa mukjizat adalah suatu kejadian yang tak sesuai dengan alur pergerakan dan keteraturan alam serta mengubah dan merombak hukum, maka secara implisit kita membenarkan bahwa mukjizat tetap mengikuti kaidah keteraturan alam dan karena berdasarkan kaidah ini mukjizat menjadi hal yang dikecualikan, karena pengecualian dalam hal ini memiliki tempat dan juga bersandar pada hukum keteraturan alam. Di sini kita bertemu dengan persoalan bahwa dari satu sisi harus ada hukum yang pasti dan tak berubah dimana secara teratur menampakkan cara kerja alam dan pada sisi yang lain hadirnya pengecualian dalam hukum berarti bahwa tak ada satu hukum seperti ini, karena secara praktis terjadi pembalikan hukum dan kaidah maka secara riil tak dapat dikatakan sebagai hukum alam.

Alastair Makinnon dengan bersandar pada kedudukan logika dan epistimologi dari penemuan-penemuan ilmiah beranggapan bahwa dalam mukjizat akan ditemukan kondisi-kondisi dilematis dan dialektika silogisme. Alastair berkata, "Kaidah-kaidah ilmiah yang bersumber dari hukum-hukum alam merupakan kesimpulan dari keseluruhan realitas-realitas yang terjadi di alam; dengan ungkapan lain, penjelasan ringkas tentang keberwujudan segala sesuatu di alam nyata dan informasi tentang kejadian-kejadian aktual. Oleh karena itu – dari satu sisi – hukum alam, berdasarkan definisi Makinnon meliputi segala sesuatu yang terwujud di alam, harus senantiasa diubah dan diseimbangkan sedemikian rupa sehingga mencakup semua peristiwa yang terjadi. Dari sisi lain mukjizat, dengan berpijak pada definisi, tak masuk dalam cakupan peristiwa khusus dalam hukum tersebut. Ini menunjukkan bahwa definisi mukjizat - yang berarti perubahan hukum alam dimana dipahamai sebagai pengecualian dalam suatu kaidah dimana kaidah ini sendiri tak menerima pengecualian - itu sendiri mengandung kontradiksi.[13]

Argumentasi di atas, sebagaimana perkataan Michael Patrison dan sebagian filosof agama, berpijak pada asumsi bahwa setiap peristiwa memiliki sebab natural. Oleh karena itu, asumsi keberadaan mukjizat tak sesuai dengan keseluruhan hukum yang ada. Karena hukum alam meliputi segala realitas yang terjadi berdasarkan syarat dan kondisi alam. Akan tetapi hipotesa yang berkaitan dengan mukjizat sebagai perubahan dan perombakan hukum alam adalah adanya suatu faktor yang berpengaruh -faktor-faktor non alam yang berada di luar sistem alam dimana faktor itu dipandang sebagai bentuk pengecualian- mewujudkan mukjizat atau menciptakan peristiwa ajaib. Dengan demikian, masalah mukjizat bukan menunjukkan adanya pembalikan dan perubahan dalam hukum alam sehingga dikatakan mesti hadir perubahan padanya supaya mencakup dan meliputi bentuk peristiwa ajaib semacam itu. Karena hukum alam hanyalah penjelasan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi berdasarkan syarat-syarat dan kondisi-kondisi alam, maka pandangan yang diungkapkan Michael Patrison di atas mesti- semua peristiwa memiliki sebab-sebab natural- dijabarkan dan ditafsirkan hanya dalam koridor dan kerangka hukum-hukum alam. [14]


2. Kontradiksi Mukjizat dan Ilmu
Ilmu tak mampu menetapkan bahwa mukjizat mustahil terjadi. Pernyataan ini diyakini oleh mayoritas para filosof kontemporer dan ilmuwan mutakhir dari berbagai disiplin ilmu. Berkaitan dengan pandangan ini, kita mencukupkan mengutip dua pandangan dan perspektif filosof- filosof kontemporer di bawah ini, sebagai berikut:

a. R.F. Holland berkata, "Berdasarkan pandangan filsafat tak ada dalil-dalil yang pasti tentang kemustahilan terjadinya peristiwa-peristiwa yang merubah hukum alam. Sesuatu yang mustahil terwujud secara ilmiah bukan berarti juga mustahil terjadi secara filosofis". Gabungan dari dua perspektif ini, dimana kita yakini suatu kejadian secara ilmiah mustahil terjadi - dengan bersandar pada satu anggapan bahwa penemuan-penemuan ilmiah sebagai penjelasan tentang hukum alam dimana peristiwa X mustahil terjadi berdasarkan syarat dan kondisi khusus alam - dan dengan realitas ini kita dapat menerima gagasan dan perspektif Holland, tapi dengan berpijak pada dalil-dalil dan bukti-bukti atau dengan bersandar pada tiga pandangan dan perspektif sebagai berikut:

1. Tak mustahil ada perubahan hukum alam dalam bidang filsafat.

2. Ada kemungkinan secara ilmiah kita tak mengetahui adanya suatu sebab natural yang berpengaruh dalam peristiwa mukjizat. Sebagai contoh, secara ilmiah, mayat tak mungkin hidup kembali, tapi adanya kenyataan yang tak sesuai dengan ini menyebabkan merosotnya keyakinan atas penemuan dan eksperimen ilmiah.

3. Penemuan-penemuan ilmiah tak dapat diletakkan sebagai parameter yang pasti untuk menolak setiap bukti otentik dan pengalaman tentang terjadinya peristiwa mukjizat, karena ketika kita menerima parameter ilmiah tersebut dan dijadikan standar penolakan segala bentuk penyaksian langsung dan dalil yang mendukung realitas mukjizat maka sesungguhnya kita merusak pondasi keyakinan kita sendiri pada penemuan-penemuan ilmiah. Jika dalam perkara yang partikular dan bukti-bukti yang riil kita tak menganggap itu sebagai ilmu lantas bagaimana kita bisa meyakini kaidah-kaidah ilmiah yang berpijak pada penemuan, eksperimen dan observasi ilmiah? Oleh karena itu, kita dapat melakukan berbagai eksperimen terhadap mukjizat sebagai peristiwa yang dipandang merubah hukum alam yang secara ilmiah adalah mustahil atau kita dapat meyakininya dengan membandingkan dengan sudut pandang metafisika.[15]

b. Charles David Broad berkata bahwa seseorang yang tak meyakini metode induksi (al-istiqra) dalam ilmu logika dan hadirnya ilmu-ilmu empiris yang berpijak pada metode induksi harus memahami bahwa dia mesti menerima bahwa pengertian dari kebenaran ilmiah pondasi-pondasi agama adalah sampai sekarang ini belum ditemukan sesuatu yang bertentangan dengannya. Metode induksi dalam ilmu logika tak mengantarkan pada ilmu dan keyakinan sempurna, maka dari itu tak mustahil jika ada laporan-laporan yang memuat tentang perubahan hukum alam. Lebih dari itu, bukan hanya perwujudan mukjizat adalah mustahil tapi secara riil mukjizat telah terwujud dan terjadi di alam eksternal. Pada zaman sekarang ini, fenomena seperti telepati, kemampuan membaca pikiran orang dan berbagai bentuk ramalan telah diterima oleh semua orang sebagai peristiwa yang benar dan nyata walaupun bersifat aneh.[16]


3. Kesesuaian Mukjizat dengan Dasar dan Kaidah Filsafat
Mukjizat merupakan kejadian yang disebabkan oleh pengaruh langsung faktor supra natural dan faktor yang berperan aktif dalam mewujudkan suatu peristiwa alam ini dipandang tak sesuai dengan kaidah keselarasan (al-senkhiyah) antara sebab (al-'illah) dan akibat (al-ma'lul), karena berdasarkan kaidah ini adalah mustahil tercipta suatu akibat atau fenomena dari sembarang sebab, tetapi harus ada keidentikan dan kesesuaian di antara keduanya dan jika tidak demikian maka setiap sebab akan berakibat sembarang (tak pasti).

Kritik atas pernyataan ini, secara luas dibahas dalam teologi Islam dan kemungkinan ini merupakan inti penolakan aliran teologi Asy'ari khususnya Al-Gazali tentang kaidah kausalitas dengan tujuan mempertahankan mukjizat para nabi dan rasul. Kritikan ini sangat beralasan ketika dialamatkan kepada orang yang, dengan teori kausalitas dan hubungan keniscayaan antara sebab dan akibat serta keselarasan antara keduanya, ingin menjelaskan hakikat mukjizat. Maka dari itu, orang yang tak menerima pandangan itu dari dimensi filsafat maka dari sudut pandang ilmu dan empirisme mereka tak mungkin dapat membuktikan kemustahilan keberadaan mukjizat secara logika dan rasional. Karena alasan ini, David Hume dan para pemikir baru setelahnya tak menjabarkan alasan logis dan rasional tentang persoalan probabilitas kewujudan mukjizat, tetapi lebih menekankan pada pembahasan dimensi rasionalitas dan parameter kemungkinan terjadinya mukjizat yang diriwayatkan di dalam kitab-kitab suci agama. Para filosof Islam secara umum beranggapan ada kesesuaian mukjizat dengan kaidah keselarasan sebab-akibat dan di bawah ini secara terperinci menjawab keseluruhan kritikan di atas:

Pertama, mesti dibedakan antara dua jenis hubungan sebab-akibat, salah satu hubungan sebab-akibat dari jenis sebab pemberi wujud (al-'illah al-ijâd) dimana sebab memberikan wujud kepada akibat. Dan kedua, hubungan lain sebab-akibat dari jenis sebab persiapan (al-'illah al-mu'iddah) dimana sebab menghadirkan gerak di dalam wujud akibat sedemikian sehingga terjadi perubahan dan pergerakan. Keselarasan yang mesti antara sebab dan akibat untuk jenis yang pertama adalah sebab tersebut niscaya memiliki kesempurnaan wujud yang ada pada akibat, jika tidak maka mustahil sebab dapat memberikan kesempurnaan wujud kepada akibat (sesuatu yang tak punya mustahil dapat memberi). Maka jelaslah dari sudut ini bahwa kritikan tersebut bukan dialamatkan pada mukjizat. Keselarasan yang niscaya antara sebab dan akibat untuk jenis yang kedua adalah mesti ada kesesuaian antara keduanya, kalau tidak demikian, maka suatu akibat tertentu dapat terpancar dan tercipta dari sembarang sebab, misalnya es (sebab) dapat menghasilkan panas (akibat) atau api mengakibatkan dingin.

Kedua, menetapkan secara pasti bentuk keselarasan antara sebab dan akibat khusus, yaitu bagaimana mengetahui dan menemukan faktor dan tolak ukur sehingga setiap fenomena dan akibat memiliki keselarasan dan juga ketakselarasan, jadi faktor-faktor keselarasan mustahil diperoleh dan diketahui lewat metode ilmiah dan empiris. Metode ilmiah dan empiris hanya akan bermanfaat jika seluruh mekanisme alam materi secara partikular telah dieksperimenkan, tetapi kalaupun hal itu dilakukan secara sempurna, kita juga tak semberono menolak suatu kemungkinan adanya faktor supranatural yang berada "di luar" dari sistem alam ini, bagi kita belum jelas dan belum ditemukan adanya satu mekanisme penataan internal yang mengatur segala sistem pergerakan universal alam dimana dengan mengetahui hakikat dari sistem tersebut kita dapat memahami pengaruh ajaib dan aneh dari satu fenomena dan peristiwa mukjizat tanpa mesti mengubah pondasi hubungan keselarasan sebab-akibat.

Menurut pandangan filosof Ibnu Sina sebab-sebab dari peristiwa-peristiwa yang aneh dan ajaib, termasuk masalah mukjizat, terbatas dalam tiga perkara:

1. Kekhususan, keadaan dan kondisi jiwa dimana hadir untuk sebagian individu-individu manusia; 2. Kekhususan natural dan alami unsur-unsur materi, seperti kekhususan menarik besi dengan perantaraan unsur magnetis; 3. Benda-benda langit memiliki hubungan khusus dengan karakter, keadaan dan bentuk sebagian benda-benda bumi.

Menurutnya sihir, karamah dan mukjizat dikategorikan dalam perkara pertama, yakni semua berasal, terpancar dan tercipta dari jiwa manusia[17]. Allamah Thabathabai (Qs) menekankan pandangan ini dalam menjelaskan masalah mukjizat bahwa setiap peristiwa yang terjadi di alam juga mempunyai sebab-sebab langsung di alam. Tetapi perbedaan mukjizat dengan kejadian-kejadian yang lain adalah jumlah dari sebab-sebab alam akan menjadi aktif ketika digunakan, berdasarkan izin Tuhan, dan diperintah oleh manusia sempurna yang mempunyai hubungan "sangat dekat" dengan Tuhan dan hubungan khusus dengan sebab-sebab lansung di alam.

Oleh karena itu, dalam perwujudan mukjizat tak terjadi perubahan pada tatanan kausalitas, keselarasan sebab-akibat dan hukum alam, bahkan perwujudan tersebut karena ada pembatasan suatu hukum dengan hukum yang lain.

Sebagai contoh, seorang dokter dalam mengobati penyakit manusia akan merujuk kepada hukum-hukum kimiawi yang berpengaruh pada sistem badan manusia, tetapi jika ditemukan suatu hukum-hukum jiwa dan ruh manusia yang sangat ampuh dalam pengobatan penyakit manusia maka ini bukan berarti bahwa hukum-hukum kimiawi tersebut tak memiliki efek lagi, tetapi diartikan bahwa dalam penyembuhan penyakit seperti ini ada faktor lain, yang bukan faktor kimiawi, yang juga ikut berpengaruh aktif.[18]

Untuk memahami secara benar permasalahan ini dimana para filosof Islam menguraikan mukjizat itu berdasarkan kaidah-kaidah filsafat. Fazlur Rahman, penulis dan peneliti Pakistan, menafsirkan mukjizat itu berdasarkan teori Newton tentang keteraturan maujud di alam. Ia berkata, "pandangan filosof Islam tentang keteraturan maujud di alam dan kemestian sebab-akibat mempunyai perbedaan mendasar dengan pandangan dunia Newton tentang mekanisme alam dan keniscayaan sebab-akibat mekanik dan menurut gagasan filosof Islam yang dipelopori oleh Ibnu Sina, alam adalah suatu organik hidup yang memiliki cinta universal, menyatukan semua bagian-bagiannya, benda-benda materi berdasarkan potensi yang dimilikinya terus berproses kearah pencapaian kesempurnaan dan maujud yang telah sempurna yang karena memiliki hubungan dekat dengan maujud yang paling sempurna mendapatkan kekhususan untuk mempengaruhi benda-benda itu sesuai dengan kehendaknya, keteraturan alam diarahkan dengan cinta, kehendak dan tujuan.[19]


4. Mustahil Menjelaskan Mukjizat dengan Sebab Sebab Natural
Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa mukjizat itu tak dapat dijelaskan dengan hukum alam? Dari zaman David Hume hingga zaman sekarang ini mayoritas filosof dan pemikir barat menyetujui perubahan hukum alam sebagai definisi mukjizat, dengan ungkapan lain bahwa kelompok ini beranggapan bahwa mukjizat merupakan satu peristiwa yang mustahil diuraikan dengan hukum alam. Filosof Muslim mencari sebab-sebab khusus yang menghubungkan alam ini dengan faktor-faktor supranatural untuk menjabarkan secara hakiki persoalan mukjizat. Dan mereka meyakini bahwa jiwa suci para nabi karena kedekatannya dengan Sumber Sebab menjadi faktor utama dan hakiki dalam perwujudan peristiwa ajaib yang disebut mukjizat.

Teolog Muslim mendefinisikan mukjizat sebagai peristiwa yang ajaib dimana pengaruh langsung Tuhan menyebabkan terjadi perubahan dalam proses alami. Maka dari itu, dengan berpijak pada definisi ini dapat disimpulkan bahwa mukjizat adalah peristiwa yang tak dapat dipahami dengan pendekatan hukum alam. Dengan kesimpulan ini, muncul sebuah pertanyaan bahwa apakah persoalan mukjizat untuk selamanya tak dapat diungkap dengan sebab-sebab natural? Apa ada sebuah metode yang dapat menjelaskan bahwa peristiwa (B) (sebagai contoh, seseorang yang hidup kembali setelah meninggal selama tiga hari) dianggap merubah hukum alam? Dalam masalah ini terdapat beberapa teori dan pandangan:

1. Anthony Flew dan John Hosperes keduanya berpandangan bahwa kita tidak mempunyai metode dan parameter untuk mengenal dan memilah mana peristiwa alam dan kejadian non alam, begitu pula kita tak mampu memastikan bahwa mukjizat merupakan peristiwa yang tak bisa dijelaskan dengan hukum alam. Sebagai contoh, para ilmuwan yang menghadapi suatu peristiwa yang tak sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah, dalam masalah ini mereka tak dapat menolak adanya kemungkinan bahwa di masa yang akan datang penelitian ilmiah tentang keberadaan peristiwa tersebut dapat diselesaikan dengan kaidah-kaidah ilmiah. Selain itu, konsekuensi metode ilmu, dimana para ilmuwan berpijak padanya dan juga pijakan validitas sebuah penelitian ilmiah, adalah senantiasa melakukan observasi guna mencari alasan ilmiah sebuah peristiwa dan tidak dikatakan bahwa peristiwa tertentu mustahil mendapatkan pembenaran ilmiah dan bahkan asumsi ilmu adalah segala peristiwa yang terjadi sesuai dengan kaidah dan hukum alam, oleh karena itu dilakukan segala upaya untuk menyingkap segala rahasia kejadian-kejadian alam.[20]

2. Richard Swinburne berpandangan bahwa terdapat tolok ukur dan metode untuk memilah perkara supranatural dari perkara-perkara alam materi. Dia memulai pembahasan dengan sebuah pertanyaan: apakah dapat dijelaskan secara rasional bahwa mukjizat mengubah hukum? Tolok ukur yang ditentukan oleh Richard dalam mengetahui apakah sebuah peristiwa telah mengubah hukum alam atau tidak adalah kalau peristiwa (baca: mukjizat), yang terjadi karena syarat dan kondisi tertentu, tak dapat berulang maka kejadian itu bukan hukum alam, jika peristiwa tersebut tak dapat berulang tapi pada saat yang sama peristiwa tersebut dikatakan sebagai hukum alam maka dalam hal ini mukjizat tersebut digolongkan sebagai peristiwa yang mengubah hukum alam.

Richard sendiri memaparkan pertanyaan tentang bagaimana cara mengetahui peristiwa tersebut tak dapat berulang hingga dikatakan mengubah hukum alam? Dia menjawab, "Alasan atas keberulangan sebuah peristiwa adalah peristiwa (mukjizat) yang telah terjadi dan akan diulang kejadiannya harus berada dalam kemudahan proses implementasi serta dapat diamati dan dijelaskan proses kejadiannya sehingga peristiwa sebelumnya terungkap dan peristiwa yang terakhir dapat dikatakan secara hakiki sama dengan peristiwa sebelumnya. Tapi jika peristiwa terakhir kejadiannya jauh lebih sulit dari peristiwa sebelumnya dan bahkan tak dapat diuji proses kejadiannya maka peristiwa ini disebut sebagai mengubah hukum alam dan peristiwa yang dapat teruji adalah hukum alam".[21]

Apa yang dikatakan di atas berpijak pada asumsi ini bahwa hukum-hukum alam bersifat universal. Maka dari itu, Richard dalam mengkaji keseluruhan dimensi permasalahan mukjizat mengajukan suatu asumsi bahwa kalau hukum-hukum alam bersifat partikular maka tak satupun peristiwa bisa dikatakan mengubah hukum alam, karena dengan hukum universal kita dapat menentukan secara mutlak peristiwa mana yang tergolong bertentangan dan mengubah hukum-hukum alam, ini berbeda dengan hukum-hukum partikular.

Dengan penjabaran tersebut, Richard menolak kemungkinan bahwa di masa akan datang terjadi perubahan dan tidak lagi sesuai dengan apa yang telah ditetapkan secara ilmiah pada masa kini, dan kalau ada perubahan maka sesungguhnya manusia belum sampai memahami secara hakiki hukum universal yang dengannya dia dapat menguraikan suatu peristiwa secara rasional dan ilmiah atau manusia telah meraih hukum universal tapi hubungan hukum tersebut dengan peristiwa yang terjadi sangat rumit sehingga ditinggalkan oleh ilmuwan pada zaman itu dan menjadi tidak jelas.

Michael Patrison beranggapan, dari sudut pandang agama, bahwa pemikiran Richard tak terlalu penting, walaupun para filosof dan ilmuwan cenderung ingin mengetahui proses perubahan hukum alam dan berupaya menyingkap rahasia-rahasia hukum alam, tapi mayoritas orang-orang beragama tidak tertarik dengan masalah itu. Yang terpenting bagi mereka adalah kalau Tuhan tidak mencipta peristiwa tersebut (baca: mukjizat) apakah pada zaman itu tetap terjadi peristiwa semacam itu?

Menurut Michael Patrison, peristiwa ajaib dan luar biasa tersebut tak dapat dijelaskan secara rasional dan ilmiah, pandangan ini sesuai dengan gagasan para teolog Muslim yang menganggap bahwa peristiwa ajaib (mukjizat) mustahil dijelaskan secara rasional dan dibuktikan secara ilmiah, karena kalau hal itu terjadi, maka mukjizat bukan lagi sebagai dalil dan bukti yang kuat tentang kenabian karena dimensi penantangan yang menyertai mukjizat tersebut telah sirna.

Adanya penantangan yang menyertai mukjizat sebenarnya merupakan bukti paling kuat akan kedekatan hubungan para nabi dan rasul dengan Yang Maha Kuasa. Mukjizat adalah lambang, alamat dan simbol kenabian. Dan ketidakmampuan hukum-hukum alam dalam menjelaskan proses perwujudan mukjizat dan menyingkap rahasia-rahasia kejadiannya merupakan hikmah, kehendak dan kebijaksanaan Tuhan untuk membuktikan para nabi dan rasul hakiki guna membimbing dan mengarahkan umat manusia hingga sampai ke tujuan penciptaanya yaitu kebahagian dan kesempurnaan hakiki di alam akhirat.[]


Catatan Kaki:
[1] . Encyclopedia Britanica, vol. 15, hal. 585.

[2] . S.T. Thomas Aquinas, Dar Tadbir wa Hukumat-e Ilahi, penerjemah: Manucehr Buzurgmehr, jilid 1, hal. 79-80.

[3] . David Hume, Darbore-ye Mu'jizat, Penerjemah: Muhammad Amin Ahmadi, hal. 410.

[4] . Swinburne, Richard, Miracles, hal. 1-9.

[5] . Swinburne, Richard, The possibility of Miracles, hal 276.

[6] . Swinburne, Richard, Miracles, hal. 1-9.

[7] . Holand, R.F, The Miraculous, hal. 53.

[8] . Ibnu Sina, Husain Bin Abdullah, Al-Ilahiyyat min al-Syifa, hal. 442.

[9] . Jarjani, Sayyid Syarifuddin Ali Bin Muhammad, Syarh al-Mawaqif, hal. 222.

[10] . Thusi, Khajah Nashiruddin, Talkhis al-Muhashshal, hal. 489.

[11] . Al-Gazali, Abu Hamid Muhammad, Tahafat al-Falasifah, hal. 169.

[12] . Ibnu Sina, Al-Isyarat wa al-Tanbihat, jilid. 3, hal. 395.

[13]. Makinnon, Alastair, Miracle and Paradox, in Miracles, ed. Richard Swinburne, hal. 52.

[14] . Makie, J.L, The Miracle of Theism, hal. 20.

[15] . Holland, R.F, Miraculous, hal. 62.

[16] . Broad, C.D, Religion, Philosophy dan Psychical Research, hal. 233.

[17]. Ibnu Sina, al-Isyarat wa al-Tanbihat, jilid 3, hal 417.

[18] . Thabathabai, Muhammad Husain, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, jilid 1, hal. 72. Dan Murtadha Muthahari, Majmu-e Azar, jilid 4, hal. 461.

[19] . Rahman, F, Prophecy in Islam, hal. 52.

[20] . Flew, Anthony, "Miracles: in Encyclopedia of Philosophy, vol. 3, hal. 348.

[21] . Swinburne, Richard, Reason and Religious Belief, hal. 165.

13
Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

Argumen Mukjizat [8]

Bagian Kedua

Pembuktian Mukjizat
Apakah keberadaan mukjizat bisa ditetapkan dengan bantuan bukti-bukti dan dalil-dalil? Semua orang beriman yakin dan percaya akan kejadian dan keberadaan mukjizat. Tetapi dari sudut pandang seorang filosof agama, lahir sebuah pertanyaan, bagaimana suatu peristiwa yang bertentangan dengan hukum alam dapat ditegaskan dan diargumentasikan dengan menggunakan bukti-bukti dan dalil-dalil? Apakah pertentangan kejadian itu dengan hukum alam tidak menyebabkan tiadanya kemungkinan secara esensial bahwa masalah tersebut tak bisa ditetapkan dengan perantaraan bukti otentik dan argumen rasional? Apakah dengan asumsi bahwa kejadian mukjizat dapat ditetapkan dengan dalil dan bukti, terdapat bukti-bukti sejarah yang otentik berkaitan dengan kejadian itu?

David Hume, filosof Empirisme asal Skotlandia adalah orang pertama yang menjabarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut. David Hume mengurai secara terperinci masalah-masalah tersebut dalam makalahnya yang sangat terkenal bertema "Darbore-ye mukjizat (tentang mukjizat)". Pada bagian pertama dalam makalah tersebut Hume berusaha menunjukkan bahwa kejadian mukjizat dikarenakan bertolak belakang dengan hukum alam maka menjadi sangat kecil kemungkinannya dapat ditetapkan dengan bantuan bukti sejarah, kendatipun bukti itu sangat kuat dan otentik, tapi akan menjadi mungkin bila dijelaskan dengan dalil-dalil rasional tentang keadaan dan proses yang paling sempurna dari kejadiannya. Bagian kedua dari makalah tersebut ia berargumentasi bahwa, dengan asumsi mukjizat dapat dibuktikan, walaupun terdapat bukti-bukti sejarah yang otentik -dimana digunakan oleh semua orang beragama untuk menyampaikan kejadian mukjizat- tetapi tak satupun yang dapat dijadikan sandaran dan karena itulah kita tidak memiliki bukti-bukti sejarah yang otentik dan dalil yang kuat atas kejadian mukjizat.

Kita akan membedah perspektif dan sudut pandang Hume tersebut di atas. Sebenarnya bagian pertama dari makalahnya merupakan pokok dan inti pembahasan, dimana ia menekankan bahwa kejadian mukjizat tak dapat dibuktikan. Anggapan inilah yang akan ia pertahankan dengan argumen dan menjadi bahan perbincangan dan perdebatan. Berdasarkan penafsiran yang umum tentang makalahnya, Hume pada bagian pertama makalahnya beranggapan bahwa kejadian mukjizat mustahil dapat dibuktikan walaupun perwujudan mukjizat itu sendiri memiliki probabilitas secara rasional. Tapi terdapat dua penafsiran lain berkaitan dengan bagian pertama dari makalah itu: R.F. Holland beranggapan bahwa menurut Hume bukan hanya kejadian mukjzat itu mustahil dibuktikan bahkan kemungkinan perwujudan mukjizat itu sendiri juga tidak dapat ditetapkan dan inilah yang menjadi inti alasan kemustahilan dalam pembuktian dan penegasannya.[1]

Perspektif lain, yang merupakan pandangan terbaru atas makalah Hume dan berlawanan dengan pandangan Holland, yang menyatakan bahwa David Hume di bagian pertama makalahnya tidak membantah adanya kemungkinan pembuktian kejadian mukjizat, karena kalau ia menolak adanya probabilitas itu maka hal ini tidak sesuai dengan pandangan Hume sendiri di bagian kedua dari makalahnya, sebagaimana Hume berkata, "Jika terdapat banyak sumber berita yang dapat dipercaya memberikan informasi tentang terjadinya kegelapan selama delapan hari di seluruh dunia pada bulan Juni 1600 M maka saya pasti akan menerimanya."


Argumen Hume
Argumen David Hume dalam menolak adanya kemungkinan pembuktian mukjizat berpijak pada dasar-dasar di bawah ini:

1. Eksperimen ilmiah merupakan satu-satunya petunjuk dan tolok ukur kita dalam berargumen tentang masalah-masalah yang terjadi dan sebagai sumber otentik untuk penyelesaian segala perbedaan.
2. Orang yang berakal niscaya menyesuaikan kepercayaan dan keyakinannya dengan dalil dan argumen, oleh karena itu, semakin jauh subyek permasalahan dengan realitas keseharian kita, maka untuk sampai pada keyakinan kuat atas sesuatu yang terjadi mesti dibutuhkan dalil-dalil yang semakin kuat pula. Kebutuhan akan dalil dan bukti yang kuat akan semakin urgen ketika diperhadapkan dengan subyek masalah yang ajaib, asing, aneh dan bahkan bertentangan dengan hukum-hukum alam, karena dalam hal ini, kita berhadapan dengan dua realitas yang saling bertolak-belakang, maka kita terpaksa membandingkan dua realitas tersebut dan kemudian memilih salah satu realitas tersebut yang mengandung tingkat persentase pertentangan yang rendah.
3. Keyakinan kita kepada bukti, dalil, laporan dan berita berpijak pada pendekatan empiris. Alasan kepercayaan kita kepada setiap pembawa berita dan para saksi sama sekali tidak berangkat dari hubungan kemestian dan keniscayaan antara bukti-bukti dan realitas peristiwa yang diketahui saling mendahului satu sama lain.
4. Pertentangan mukjizat dengan kenyataan hakiki alam dan alur panjang pengalaman kehidupan manusia serta dalil-dalil empiris merupakan alasan yang terkuat atas kerumitan pembuktiannya.

Berdasarkan pokok-pokok tersebut di atas, Hume berkata, "Jika ada bukti dan dalil yang kuat atas kejadian mukjizat, maka kita bisa namakan dalil tersebut sebagai dalil versus dalil, karena dari satu sisi bukti dan dalil tersebut sebegitu kuat dan otentik sehingga ketika obyek berita dinafikan maka dalil tersebut secara esensial merupakan dalil yang sempurna. Tetapi dari dimensi lain bahwa obyek informasi adalah mukjizat dan pada saat yang sama mukjizat bertentangan secara langsung dengan realitas kehidupan di alam materi dan hukum alam, karena kita tidak bisa menghindari hadirnya perbedaan di antara dua dalil dan bukti maka kita harus mengedepankan bukti yang lebih kuat dengan bersandar pada dasar kedua (dari empat dasar di atas).

Tapi apakah kita bisa mendapatkan satu dalil yang sempurna dan kuat di alam ini yang tak bertentangan dengan mukjizat? Kalau pun kita memperoleh bukti, apakah ia dapat menetapkan dan membuktikan mukjizat? Hume memberikan jawaban yang negatif atas pertanyaan tersebut. Dalam pandangannya, bukti dan dalil empiris sangat kecil kemungkinan kesalahannya sedangkan bukti dan pembawa berita tentang mukjizat sangat besar kemungkinan adanya kesalahan dan kebohongan, kecuali pembawa berita dapat menghadirkan mukjizat itu sendiri dan bukan sekedar sebuah kabar dan keterangan tentang peristiwa mukjizat.[2]

Maksud Hume tentang "dalil", adalah suatu argumen yang bersumber dari pengalaman dan penyelidikan empiris yang terus menerus dan menyodorkan kepada kita derajat keyakinan yang paling tinggi tentang suatu perkara, dimana tak menyisakan lagi segala bentuk keraguan dan skeptis, sebagai contoh keyakinan kita kepada proposisi "matahari akan terbit besok pagi". Sementara pemahaman ia tentang sebuah "kemungkinan" adalah suatu argumen yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman terdahulu yang meliputi peristiwa-peristiwa khusus; realitas sejarah yang telah menguji mana peristiwa yang secara hakiki telah terjadi dan mana peristiwa yang mustahil terjadi.

Oleh karena itu, peristiwa yang telah terjadi pada zaman dahulu kita coba bandingkan dengan kondisi kekinian berkaitan dengan faktor kemungkinan berulangnya kejadian dan peristiwa tersebut. Berdasarkan perbedaan antara "dalil" dan "kemungkinan" tersebut, Hume berkata, " bukti-bukti yang ada tentang mukjizat belum dapat dikatakan sebagai "dalil", karena berlawanan dengan pengalaman empiris manusia dari dahulu hingga sekarang ini."[3]


Sanggahan Anthony Flew Terhadap Hume
Anthony Flew, seorang filosof Amerika dan guru filsafat, yang berpandangan sama dengan Hume bahwa mukjizat tersebut tak bisa dibuktikan dengan bantuan bukti sejarah dan ia juga menerima mayoritas argumentasi Hume. Tapi ia mengeritik penjabaran Hume dan berkata, "Analisa Hume atas kausalitas dan pemahamannya atas hukum-hukum alam hanyalah sebatas dua fenomena yang dipertentangkan dalam pikiran, sementara itu Hume untuk dapat membedakan secara teliti antara mukjizat dengan perkara yang asing dan aneh serta menggambarkan secara jelas pertentangan di antara dalil-dalil yang ada (pokok keempat dari dasar argumentasi David Hume di atas) membutuhkan pemahaman yang benar, komprehensif dan universal atas hukum-hukum alam.

Berdasarkan teori Hume, kausalitas (sebab-akibat) di antara dua realitas wujud (A) dan (B) hanyalah bermakna bahwa wujud (A) yang kita lihat serta merta diikuti oleh wujud (B), dan karena terjadi pengulangan realitas yang terus menerus maka pikiran dan jiwa kita sudah terbiasa menggambarkan kedua wujud tersebut untuk hadir secara bersamaan, dimana perwujudan yang satu melahirkan perwujudan yang lain. Hal inilah yang kemudian mendasari lahirnya hukum alam yang tiada lain bersumber dari pengamatan yang panjang dan kontinuitas atas segala rangkaian dan mata rantai peristiwa yang kemudian membentuk "kebiasaan" dalam cara berpikir kita tentang adanya hubungan-hubungan di antara realitas-realitas wujud atau kejadian-kejadian tersebut, dan kita senantiasa berharap bahwa di masa yang akan datang mata rantai dari hubungan-hubungan peristiwa dan kejadian tersebut tetap ada dan terpelihara sebagaimana yang telah kita saksikan.

Mukjizat dalam hal ini, jika dipandang dari hukum alam tersebut semata-mata merupakan peristiwa ajaib yang berlawanan dengan kebiasaan alam dan tidak adanya pertentangan antara dalil-dalil - sebagaimana anggapan Hume - karena hukum alam tak mencegah munculnya suatu peristiwa yang dapat dikecualikan (baca: mukjizat). Oleh karena itu, dengan berdasarkan pada hukum alam adalah sangat tak logis menolak adanya bukti kuat, petunjuk yang jelas, informasi dan peninggalan sejarah yang otentik.


Tafsiran Baru Anthony Flew atas Dalil Hume dengan Berpijak pada Proposisi Nomologikal
Anthony Flew, dalam penjabaran terbarunya atas dalil Hume, berusaha untuk membangun kerangka logis yang bersumber dari pokok keempat (dasar keempat dari argumen David Hume) tentang pertentangan dalil-dalil yang berkaitan dengan bukti-bukti nyata atas kejadian mukjizat. Dengan maksud inilah ia menekankan bahwa proposisi-proposisi ilmiah adalah nomologikal, yakni dalam batasan ilmu dan pengetahuan kita proposisi seperti itu bersifat niscaya dan universal serta dikategorikan sebagai hukum-hukum alam. Dengan menerima laporan ilmiah dan hukum alam maka dapat ditentukan dimensi logis dari kemustahilan setiap kejadian berdasarkan kesesuaiannya dengan hukum alam, hal ini berarti bahwa dengan berpijak pada hukum universal alam kita dapat menyatakan bahwa peristiwa tertentu mustahil terjadi. Dan dengan adanya bukti sejarah yang otentik atas kejadian-kejadian sejarah tertentu (baca: mukjizat) maka pasti terjadi pertentangan antara ilmu pengetahuan dan bukti sejarah yang otentik.

Hadirnya pertentangan tersebut secara sepintas dapat dibenarkan bahwa mukjizat itu mungkin terjadi, maka dari itu ada kemungkinan bahwa proposisi yang kita sebut sebagai nomologikal sebenarnya adalah bukan nomologikal, oleh karena itu kita mesti kembali menguji dan melakukan pengetesan atasnya dan jika tetap tergolong sebagai sesuatu yang ilmiah maka pertentangan dalil-dalil tersebut akan semakin kuat dan konsekuensi dari kondisi ini adalah pengesahan dan pembenaran salah satu dari dua realitas tersebut. Apakah kita menolak proposisi nomologikal dan menerima petunjuk dan keterangan tentang realitas mukjizat? Ataukah dengan berpijak pada proposisi nomologikal kita mesti menolak peristiwa-peristiwa mukjizat walaupun ada bukti-bukti sejarah yang otentik mendukung terjadinya peristiwa itu? Anthony Flew dalam uraian terbarunya atas burhan Hume berupaya menerima pilihan yang kedua tersebut.[4]

Sebagaimana yang telah kami katakan bahwa Anthony Flew sampai pada konklusi tersebut dengan (nomologikal) memahami kaidah-kaidah ilmiah. Maka dari itu, yang pertama mesti dilakukan adalah mencari titik perbedaan antara proposisi nomologikal yang berpijak pada pemahaman Hume atas Hukum alam dan pengertian proposisi nomologikal menurut Anthony Flew, dan yang kedua adalah menemukan tolok ukur penerimaan terhadap nomologikal dan penolakan terhadap bukti dan keterangan sejarah yang otentik.

Menurut Anthony Flew proposisi tersebut mempunyai tiga sinonim, antara lain: lawlike proposition, nomological proposition, nomic proposition, para ilmuan meletakkan dua prinsip mendasar untuk jenis dan bentuk proposisi tersebut, sebagai berikut:

1. Bersifat umum dan universal. Proposisi nomologikal berdasarkan kaidah-kaidah logika adalah universal dan tak terikat oleh waktu, oleh karena itu dikategorikan sebagai bentuk proposisi universal.

2. Menerima unsur benar dan salah. Jika diasumsikan bahwa kaidah-kaidah ilmiah dapat benar dan juga bisa salah dan laporan-laporan pengamatan bisa mengesahkannya atau membatalkannya, maka proposisi nomologikal memiliki peran sentral sebagai penyampai informasi dan sekaligus sebagai pisau analisa.

Dua prinsip mendasar tersebut kurang lebih telah disepakati, tetapi subyek yang menjadi perdebatan adalah apakah proposisi universal yang mempunyai dua karakter tersebut dapat dikatakan sebagai nomologikal ataukah harus kita bedakan antara proposisi nomologikal dan proposisi universal rasional (al-kulli al-aqli)[5] dan kalau terdapat perbedaan lantas dimana letak perbedaan antara keduanya? Berkaitan dengan tema dan subyek tersebut terdapat dua pandangan, pertama, pandangan keniscayaan (necessity view) dan kedua, perspektif keteraturan (regularity view).

Berdasarkan pandangan keniscayaan terdapat perbedaan secara logika antara proposisi universal rasional dan nomologikal, perbedaan di antara keduanya adalah proposisi nomologikal murni dan sangat kuat berpijak pada keuiniversalan dan keumuman yang dapat dijelaskan dalam bentuk modal proposition (al-qadhiyah al-muwajjah)[6] dimana salah satu predikatnya adalah bersifat niscaya terhadap subyek proposisi, oleh karena itu jenis proposisi tersebut dapat diprediksikan dan meliputi semua individu-individu luarnya (al-mashâdiq) yang bersifat niscaya dan mungkin. Perbedaan dua proposisi tersebut bisa diungkapkan dalam contoh sebagai berikut:

1. Titik didih semua unsur emas adalah 1063°C.

2. Semua batu yang terdapat di kebun saya adalah batu endapan.

Proposisi nomologikal seperti contoh pertama dan proposisi yang bersyarat dapat dituliskan sebagai berikut, segala sesuatu sebagai x dan keseluruhan waktu adalah t, jika x adalah salah satu contoh dari emas dan dipanaskan pada derajat 1063°C maka pasti emas tersebut akan mendidih. Maka dari itu, proposisi ini, walaupun contohnya bukan emas tetapi jika diletakkan dalam derajat tersebut maka tetap berlaku hukum tersebut (akan mendidih atau meleleh).

Para pendukung pandangan keniscayaan berbeda pendapat berkaitan dengan bentuk dan jenis keniscayaan yang terdapat di dalam proposisi nomologikal, sebagian beranggapan bahwa bentuk keniscayaan tersebut adalah keniscayaan logikal dan sebagian berpandangan bahwa keniscayaan itu lebih rendah dari keniscayaan logikal, anggapan kedua ini banyak dianut oleh para pendukung pandangan keniscayaan dewasa ini termasuk Anthony Flew sendiri.

Sementara berdasarkan pandangan keteraturan, proposisi nomologikal tidak mesti didasarkan pada keniscayaan, dari dimensi ini kita bisa mengolongkan Hume menganut pandangan keteraturan tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan aliran Hume kaidah-kaidah ilmiah tidak terlalu berbeda dengan proposisi universal rasional dimana hal itu sama dengan proposisi aktual (actual proposition
14
l qadhiyah al-khârijiyah)[7] yang mengabarkan adanya kebersamaan (at-taqârun) dan kebersusulan peristiwa-peristiwa di alam materi.

Anthony Flew yang menganut gagasan keniscayaan berkata, "Sebuah proposisi, seperti setiap X mesti A, adalah nomologikal dan proposisi seperti ini mengharuskan proposisi bersyarat yang berlawanan dengan kenyataan, seperti jika X mesti B (walaupun pada kenyataannya tak ada keharusan) maka X itu adalah A. Proposisi nomologikal menjelaskan hubungan X dan A di alam nyata, disamping itu ia menyatakan bahwa antara X dan A terdapat hubungan yang konstan sedemikian sehingga meliputi juga asumsi yang bertolak belakang dengan kenyataan alam (hukum alam).

Menurut Anthony Flew, bentuk hubungan yang terdapat pada proposisi nomologikal tidak dapat dijadikan sandaran dan pijakan, karena tak berada dalam cakupan universal rasional untuk dapat secara lansung diuji dan dieksperimenkan. Akan tetapi bukti-bukti yang menegaskan tentang kejadian mukjizat bersifat partikular, individual dan relatif serta dijelaskan dalam bentuk kalimat lampau yang sederhana, seperti: X ini di masa lalu adalah bukan A, karena proposisi nomologikal bisa diuji secara langsung pada setiap waktu maka senantiasa dapat diyakini kebenarannya, oleh karena itu bisa dijadikan tolok ukur atas penolakan proposisi yang lain. Maka dari itu, kaidah-kaidah rasionalitas mengharuskan kita menolak setiap bukti-bukti yang partikular tentang kejadian di zaman dahulu yang tidak sesuai dengan proposisi nomologikal, jejak-jejak peristiwa sejarah dan peninggalan masa lalu yang berada dalam jangkauan kita, mesti ditafsirkan dalam kerangka pengetahuan kekinian kita yang bersumber dari manusia dan alam, dan juga ilmu kontemporer kita tersebut sekaligus merupakan tolok ukur kritikan dan analisa atas segala bukti, keterangan, informasi dan petunjuk sejarah.


Kritik atas Dalil Hume dan Anthony Flew
Konklusi argumentasi Anthony Flew dan Hume adalah menolak segala bentuk bukti dan dalil tentang peristiwa dan kejadian yang bertentangan dengan hukum alam atau nomologikal. Berdasarkan pandangan Michael Patrison, kalau beberapa dokter terkenal dunia mengabarkan bahwa mereka beberapa kali melihat kaki yang luka parah sembuh seketika dan kembali seperti biasa, informasi seperti ini tidak dapat dipercaya karena keterangan mereka bertolak belakang dengan hukum alam dan nomologikal.

Richard Swinburne, guru filsafat universitas Oxford beragama Kristen, adalah orang yang secara terperinci melakukan analisa dan mengeritik argumen Hume dan Flew. Ia, berbeda dengan Hume dan Flew, beranggapan bahwa pembuktian mukjizat adalah mungkin dengan dukungan bukti dan keterangan sejarah yang otentik.

Swinburne menyatakan untuk meneliti suatu peristiwa yang terjadi pada zaman yang lampau terdapat empat jenis petunjuk dan dalil yang dapat dijadikan sandaran dan pijakan, antara lain:

1. Dari jalur ingatan, memori dan hafalan;

2. Bukti dari saksi mata, pelaku sejarah dan periwayatan sejarah;

3. Penelitian terhadap peninggalan fisikal, sejenis penelitian yang biasa digunakan dalam bidang kriminologi;

4. Kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dijadikan tolok ukur tentang kemustahilan dan ketidakmungkinan kejadian suatu peristiwa atau pijakan dan sandaran dalam meneliti segala bukti, periwayatan, keterangan saksi, informasi sejarah dan peninggalan fisikal.

Akan tetapi Hume dan Flew hanya menerima dalil kedua dan keempat di atas dan dalil keempat dijadikan sebagai tolok ukur dalam keabsahan dalil kedua. Sementara kita dapat memperoleh informasi tentang kejadian mukjizat dengan dukungan dalil pertama dan ketiga. Seperti melihat dengan mata kepala sendiri seseorang berjalan di atas air atau dengan meneliti peninggalan-peninggalan fisik suatu peristiwa disimpulkan bahwa kejadian itu bertentangan dengan hukum alam. Kita asumsikan kejadian mukjizat dengan (S) dan suatu kondisi (M) dimana memunculkan keadaan yang lain (A). Jika kita memiliki bukti dan peninggalan fisik dua keadaan (M) dan (A) tersebut maka kita bisa menentukan terjadinya peristiwa (S).[8]

Tapi Swinburne mengaku mengalami kesulitan praktis dalam metodologi observasi atas peninggalan-peninggalan fisikal suatu mukjizat historikal, ia berkata, "Metode ini lebih bermanfaat untuk pembuktian suatu mukjizat yang baru terjadi daripada mukjizat yang sudah lama berlalu, sebab sebagian besar bukti, jejak dan peninggalan fisikal mukjizat itu hilang dengan berlalunya waktu. Walaupun terdapat beberapa peninggalan yang tidak hilang yang dapat dijadikan bahan analisa sejarah, sebagai contoh dengan meneliti karakter huruf dan metode penulisan sebuah peninggalan teks sejarah kita dapat menentukan di abad keberapa seorang penulis teks sejarah tersebut hidup, cara seperti ini masih terus digunakan dan ilmu pengetahuan senantiasa menemukan bukti sah dan peninggalan yang terbaru sehingga dapat mengungkap realitas kejadian-kejadian yang menakjubkan pada zaman yang lalu."[9]

Menurut pandangan Swinburne terdapat empat dalil dan bukti untuk meneliti mukjizat, tetapi berkenan dengan mukjizat terdapat kontradiksi antara dalil keempat dan dalil ketiga, lantas bagaimana menghilangkan kontradiksi tersebut? Untuk menyelesaikan masalah ini Swinburne mengusulkan beberapa jalan keluar, diantaranya:

1. Macam-macam bukti dan dalil yang ada dipisahkan berdasarkan tingkat keabsahannya, seperti orang yang masih mengingat suatu kejadian yang dilihatnya secara langsung harus lebih dikedepankan daripada bukti-bukti nyata yang lain, karena bukti-bukti yang lain memiliki kemungkinan benar dan kemungkinan salah.

2. Macam-macam bukti dan dalil yang memiliki perbedaan validitas disusun berdasarkan peringkat dan kualitas keabsahan. Kalau terjadi kontradiksi di antara bukti-bukti tersebut kita dapat mengetahui peringkat dan kualitas bukti yang saling kontradiksi, misalnya si A dan si B memiliki laporan yang berbeda dalam kasus tertentu (X), maka langkah praktis kita adalah meneliti laporan mereka atas perkara yang lain (Y), kalau laporan si A lebih sesuai dengan realitas kejadian perkara (Y) daripada laporan si B maka hal ini dapat menjadi bukti otentik dan dalil yang valid bagi kita untuk menerima laporan si A berkaitan dengan kasus tertentu (X).

3. Diupayakan semua dalil dan bukti yang diterima memiliki kualitas kemungkinan yang maksimal. Oleh karena, kalau ada satu orang yang memberikan kabar tertentu tetapi terdapat lima orang yang menginformasikan berbeda dari yang satu orang, maka penyaksian dari lima orang tersebut yang mesti diterima. Begitu pula, kalau ada kesimpulan yang berasal dari satu fenomena sejarah tetapi ada juga kesimpulan yang berbeda yang bersumber dari lima fenomena sejarah yang lain, maka yang harus dikedepankan dan diterima adalah kesimpulan yang bersumber dari lima fenomena tersebut.

4. Tidak mengubah dalil dan bukti yang saling menguatkan dan tidak saling kontradiksi kecuali untuk menyesuaikan dalil-dalil dengan subyek pembahasan dan pembuktian lain yang lebih nyata. Oleh karena itu, adalah sangat tidak logis menolak lima bukti nyata dan saksi sejarah atas satu perkara, kecuali kita dapat membuktikan bahwa lima bukti dan saksi tersebut adalah palsu dan direkayasa.

Swinburne beranggapan bahwa dengan berpijak pada pokok-pokok tersebut di atas kita dapat menyelesaikan kontradiksi antara dalil ketiga dan dalil keempat. Menurut teori Swinburne: pertama, berbeda dengan pandangan Flew, teks-teks sejarah dan kaidah-kaidah ilmiah keduanya dapat dibuktikan berdasarkan metodologi ilmiah tetapi dalam hal ini teks sejarah yang berhubungan dengan mukjizat tidak didukung oleh kaidah-kaidah ilmiah, kedua dengan memanfaatkan pokok keempat di atas, para peneliti sejarah dapat menggunakan ketiga dalil pertama (yang berkaitan dengan kejadian mukjizat) untuk mendukung dalil keempat ( proposisi nomologikal).

Realitas tersebut di atas sama dengan hukum alam (dari sisi hubungan keuniversalan hukumnya dengan data-data ilmiah yang bersifat statistik) yang berhubungan secara universal antara mukjizat dan bukti-bukti otentik (sebagai kabar berita). Apabila hubungan antara keduanya tergolong kedalam pokok yang pertama (dari keempat pokok di atas) maka kabarnya adalah pasti (yakin), dan jika hubungan antara keduanya dikategorikan kedalam pokok yang kedua maka kejadiannya memiliki probabilitas yang tinggi.

Oleh Karena itu, dalil dan bukti otentik sama seperti hukum alam yang didasarkan dengan metode penelitian dan jika terdapat kontradiksi di antara dalil-dalil maka harus dirujukkan kepada pokok-pokok yang telah disebutkan, seperti suatu bukti (M) yang berhubungan dengan dua kejadian mukjizat (A). Dan bukti-bukti yang lain dapat disimbolkan dengan M1, M2, M3… dan diasumsikan bahwa bukti-bukti tersebut dapat dijadikan pegangan dan pijakan karena sebelumnya sudah diteliti dan dibandingkan dengan realitas alam nyata. Dan bukti lain yang berlawanan dengan bukti-bukti tersebut disimbolkan dengan (H) dan banyaknya bukti yang berlawanan sebagai H1, H2, H3. Oleh karena itu, setiap bukti M1, M2, M3 telah diperhadapkan dengan bukti H1, H2, H3 dan telah dibuktikan validitasnya berkaitan dengan peristiwa mukjizat (A) dan bukti-bukti ini, dari sisi kuantitas dan kesesuaiannya, berdasarkan pokok ketiga dan keempat adalah didahulukan daripada bukti yang bersumber dari hukum-hukum alam.

Richard Swinburne berkata, "Walaupun kita tidak dapat secara teliti menentukan bukti-bukti yang mempunyai validitas yang tinggi tetapi dengan berpijak pada pembahasan sebelumnya kita bisa dengan logis menunjukkan bahwa bukti-bukti yang diinginkan lebih kuat dan tidak berlawanan dengan hukum alam. Tetapi mengaplikasikan metode ini terhadap bukti-bukti tentang mukjizat yang terjadi pada zaman yang lampau merupakan hal yang sangat sulit dikarenakan kita mempunyai bukti dan informasi yang sangat terbatas, jarang dan langkah, oleh karena itu sangat dibutuhkan usaha dan ketelitian yang tinggi untuk menguji segala hubungan bukti-bukti tersebut dengan realitas hukum alam.[10]

Argumen Hume dan Flew juga dapat dikritik dalam tiga sudut, dimana pada argumen tersebut terdapat tiga asumsi masalah yang ketiganya masih diperdebatkan. Pertama, menurut pandangan Flew dan Hume, hukum alam menolak segala proposisi yang berlawanan dengannya. Kedua, Kaidah-kaidah ilmiah pasti kontradiksi dengan segala proposisi yang menceritakan tentang peristiwa mukjizat. Dan ketiga, faktor-faktor non-alam (non-materi), seperti kehendak dan iradah Tuhan, tidak dikategorikan sebagai faktor-faktor dalam pengkajian peristiwa-peristiwa sejarah, dan hukum-hukum alam (kaidah ilmiah) merupakan satu-satunya sandaran dan tolok ukur dalam menganalisa peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sejarah.

1. Apakah kaidah-kaidah ilmiah menutup kemungkinan kebenaran segala proposisi yang bertentangan dengannya? Persoalan ini dapat berhubungan dengan salah satu dari tiga bentuk kemungkinan:

Pertama, induksi[11] yang terbatas tidak selalu tetap dan universal walaupun dengan dukungan kaidah-kaidah rasionalitas seperti hukum kausalitas, dan hukum alam tersebut kemudian kita generalisasikan untuk menghukumi semua perkara yang dianggap "serupa" dengannya ("serupa" dengan hal-hal partikular dimana merupakan sumber hukum "universal" alam), dan juga hukum alam atau kaidah ilmiah tersebut dijadikan tolok ukur untuk menolak satu peristiwa atau lebih yang bertentangan dengannya. Tetapi sekarang ini, berdasarkan kaidah-kaidah yang telah disebutkan, kita tak bisa menghukumi secara universal kesimpulan induksi yang terbatas itu terhadap semua perkara yang terjadi, hal ini juga bertolak belakang dengan pandangan David Hume sendiri.[12]

Kedua, bukti-bukti partikular dan pengamatan langsung menaikkan derajat validitas kaidah ilmiah, jika pengamatan atau eksperimen tersebut semakin intens maka semakin besar pula sisi kemungkinan tertolaknya informasi peristiwa-peristiwa tertentu (baca: mukjizat). Realitas ini, walaupun secara sepintas bisa diterima dimana tingkat validitas hukum alam berbanding lurus dengan kuantitas penemuan dan percobaan ilmiah (yang bersifat induksi partkular), tetapi sesuai dengan pandangan Max Black, segala upaya dilakukan untuk tujuan merumuskan hukum universal yang berangkat dari metode induksi, tetapi tidak berhasil karena berhadapan dengan banyak masalah-masalah praktis yang rumit. Merumuskan proposisi universal yang meliputi segala realitas alam dimana didasarkan pada bukti-bukti partikular dan percobaan induksi yang sangat terbatas, mustahil meningkatkan validitas hukum alam, karena bagaimanapun bukti-bukti partikular tersebut terhitung nol jika diperhadapkan dengan wujud partikular-partikular alam yang tak terbatas jumlahnya.[13]

Ketiga, adanya kemungkinan kebenaran sesuatu yang didasarkan pada hukum-hukum dan teori-teori ilmiah bergantung pada salah satu hipotesa-hipotesa yang sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah. Berdasarkan ini, arah dan tujuan ilmu, sebagai contoh menentukan kemungkinan besok terbit matahari dan bukan menentukan kemungkinan bahwa matahari pasti senantiasa terbit, berdasarkan hal ini sangat kecil adanya kemungkinan kebenaran proposisi yang berlawanan dengan hukum-hukum dan teori-teori ilmiah. Tetapi jalan penyelesaian ini tetap bertemu dengan problem penyelesaian sebelumnya, sebab ada kemungkinan benarnya peristiwa-peristiwa ajaib (mukjizat) yang tetap berpijak pada hukum-hukum dan teori-teori universal, para pemuja metodologi induksi gagal dalam usaha untuk menghilangkan keberadaan probabilitas dan kemungkinan kebenaran peristiwa-peristiwa tersebut hingga ke titik nol.[14]

2. Apakah hukum ilmiah bertentangan dengan proposisi-proposisi yang berkaitan dengan peristiwa mukjizat? Terdapatnya kontradiksi antara kaidah-kaidah ilmiah dan proposisi mukjizat yang dijelaskan oleh Hume dan Flew, berpijak pada penerimaan asumsi bahwa terdapat perbedaan experimen dan pengalaman yang kemudian berujung pada pertentangan tersebut, dikarenakan kaidah-kaidah ilmiah dan proposisi mukjizat bersumber dari dua pengalaman yang berbeda. Kebenaran kaidah ilmiah dan keberadaan hukum alam berhubungan dengan proposisi mukjizat diterima sebagai postulat serta proposisi ini hanya dikabarkan sebagai hal yang bertolak belakang dengannya, dimana diasumsikan terjadi karena pengaruh faktor supranatural. Dan teori ilmiah juga tidak mampu menegaskan bahwa hukum alam tak bisa diubah oleh faktor metafisika dan supranatural, oleh karena itu tak ada kontradiksi antara dua proposisi - (hukum alam dan mukjizat) yang masing-masing bersumber dari dua realitas pengalaman yang berbeda - hingga dikatakan terdapat pertentangan argumen.

3. Apakah hukum alam merupakan satu-satunya tolok ukur dalam menganalisa dan mengoreksi peristiwa-peristiwa sejarah? Flew dan Hume menolak faktor-faktor non-natural dalam penyelidikan atas peristiwa-peristiwa sejarah, menurut sebagian para pemikir dan peneliti Barat, metodologi argumentasi ini kurang tepat dan bersifat hipotesa belaka. Apa dalil-dalil mereka yang menyatakan bahwa kaidah dan hukum alam merupakan satu-satunya tolok ukur, sumber penelitian yang pasti dan konklusi terakhir dalam mengkaji kebenaran akan peristiwa-peristiwa sejarah, dan mengapa mereka menolak menjadikan faktor-fakor supranatural sebagai bagian dari faktor-faktor yang berpengaruh? Sebagai contoh, begitu banyak ahli iman yang karena keyakinan mereka atas perkara-perkara gaib dan hal-hal yang bersifat supranatural, memiliki gambaran atas suatu realitas wujud yang mengatur alam semesta ini dimana hal inilah yang kemudian mendasari sisi kepercayaan mereka atas peristiwa mukjizat, dan informasi tentang kejadian mukjizat justru menguatkan orang mukmin terhadap keyakinan bahwa kehendak dan iradah Tuhan masih terus berpengaruh di dalam tatanan alam natural ini.

Michael Patrison yakin bahwa sanggahan tersebut bukan dialamatkan untuk Flew, karena Flew senantiasa mengungkapkan bahwa apakah seseorang dapat membuktikan peristiwa mukjizat dengan hanya memperhatikan dalil valid dan bukti otentik sejarah tanpa melibatkan unsur-unsur keimanan.[15] Tapi menurut sebuah pandangan bahwa seseorang dapat melibatkan sisi rasionalitas dan faktor-faktor supranatural dalam mengkaji realitas sejarah dan alam dengan dukungan dalil-dalil filsafat tanpa harus menggunakan petunjuk-petunjuk kebenaran (ajaran agama) yang diperoleh lewat pembuktian mukjizat. Bentuk pemikiran dan keyakinan seperti ini membuka celah adanya kemungkinan terjadinya peristiwa mukjizat.


Implikasi Mukjizat
Pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang implikasi mukjizat berkaitan dengan dua dimensi, antara lain:

1. Implikasi mukjizat atas penegasan eksistensi Tuhan;

2. Implikasi mukjizat atas pembuktian kenabian seseorang.

Dimensi kedua di atas juga mempunyai dua substansi masalah:

1. Apakah mukjizat berimplikasi secara langsung dan logis kepada sang pembawa pesan mukjizat?
2. Apakah keberadaan mukjizat sekaligus membuktikan kebenaran risalah dan ajaran sang pembawa mukjizat?

Implikasi mukjizat yang tersebut di atas masih menjadi subyek pembahasan dan perdebatan, dibawah ini yang pertama kita bahas adalah perdebatan dan kritikan yang bersifat umum dan setelah itu secara terpisah kita akan mengupas dan menganalisa berbagai kritikan yang bersifat khusus atas implikasi-implikasi itu.


Tiga Persoalan Mendasar pada Implikasi Mukjizat
Asumsi pertama yang penting pada implikasi mukjizat adalah mukjizat merupakan perbuatan langsung Tuhan atau sesuatu yang diijinkan oleh Dia. Asumsi ini bisa diterima kalau peristiwa mukjizat tersebut tak dapat dijelaskan dan diuraikan dengan cara yang lain. Jika tidak demikian maka implikasi mukjizat yang disebutkan di atas tidaklah tepat. Teolog Muslim seperti Fakhrurrazi dan Imam Gazali melemparkan kritikan atas asumsi pertama tersebut, Fakhrurrazi dalam penjelasannya tentang kejadian mukjizat mengungkapkan tiga kemungkinan lain berkaitan dengan campur tangan Tuhan.

Ia berkata bahwa kemungkinan kualitas spiritual pembawa mukjizat tersebut berbeda dengan kualitas spiritual manusia lain sehingga menyebabkan orang lain tidak mampu melakukan hal yang sama, kemungkinan kedua adalah pembawa mukjizat menguasai salah satu unsur materi yang merupakan sumber dan penyebab keajaiban tersebut serta membatunya dalam mewujudkan sesuatu yang aneh, dan kemungkinan ketiga adalah para jin, syaitan, arwah-arwah dan malaikat membantu seorang Nabi melahirkan perbuatan ajaib, aneh dan menakjubkan[16].

Sementara Imam Gazali juga beranggapan adanya suatu kemungkinan bahwa dalam perubahan tongkat Nabi Musa As menjadi ular-ular besar mungkin terdapat tipu muslihat.[17] Di zaman sekarang ini, kritikan tersebut diungkapkan dalam bentuk yang lain dan terdapat tiga sanggahan utama berhubungan dengan implikasi mukjizat yang disebutkan sebagai berikut:


1. Mukjizat dan probabilitas penjabarannya secara ilmiah
Masalah ini secara hakiki kembali kepada persoalan bahwa bagaimana kita dapat yakin perkara mukjizat tidak dapat dijelaskan secara ilmiah.

Menurut Richard Purtiil, salah satu persoalan pokok yang berkaitan dengan tingkat kevaliditasan bukti mukjizat adalah kemungkinan penjabaran mukjizat dengan bantuan kaidah-kaidah ilmiah. Tapi ia menyangkal adanya probabilitas tersebut dengan beberapa alasan:

Pertama, kemungkinan terjadinya mukjizat di masa mendatang adalah sangat kecil, maka dari itu kita tak berpegang padanya.

Kedua, berdasarkan kemungkinan bahwa di masa depan ditemukan sebab natural mukjizat lantas bagaimana seorang bisa menjelaskan suatu ilmu pengetahuan (tentang mukjizat) yang tidak ia pahami, misalnya mengembalikan penglihatan seorang anak yang buta sejak lahir dan seorang yang menghidupkan kembali mayat-mayat? Kalau kita katakan bahwa peristiwa itu (menghidupkan kembali mayat) memiliki faktor-faktor yang tak dikenali maka kita harus menjawab persoalan yang lain yaitu apakah hukum-hukum dan faktor-faktor yang tak dikenali itu secara kebetulan bersamaan dengan kehendak Nabi Isa as (mengobati orang sakit, mengembalikan penglihatan, menghidupkan kembali mayat)?[18] Argumen pertama Purtiil sangat lemah karena adanya kemungkinan tersebut membuat kita tak bisa menghubungkan mukjizat tersebut kepada Tuhan, sementara penguraian dan penjelasannya atas dalil kedua cukup bisa diterima.


2. Mukjizat dan pengaruh faktor-faktor supranatural
Kerumitan yang kedua sebagaimana yang diungkapkan oleh Purtiil adalah nilai kevaliditasan mukjizat yang bersifat mungkin, karena mungkin saja faktor-faktor non-alam selain Tuhan atau lebih rendah dari Tuhan yang berpengaruh dalam perwujudan mukjizat tersebut atau karena pengaruh kekuatan yoga seseorang yang kemudian melahirkan hal-hal aneh. Richard Purtiil mengusulkan tiga poin dalam penyelesaian berbagai kerumitan dalam persoalan-persoalan tersebut, antara lain:

1. Para pengingkar mukjizat diajak untuk melakukan hal yang sama dan kalau mereka mampu mewujudkan perkara-perkara yang ajaib (mukjizat) maka akan terjadi kontradiksi di antara mukjizat.

2. Memandang kepada hakikat mukjizat, karena sebuah mukjizat seperti menghidupkan orang mati dan menciptakan makanan hanya berhubungan secara langsung dengan perbuatan dan prilaku Tuhan.

3. Apakah Tuhan Yang Maha Bijaksana (Hakim) mengijinkan adanya mukjizat lain yang terwujud dari faktor selain-Nya yang dengannya manusia menjadi tersesat? Keberadaan mukjizat lain menyebabkan munculnya ajaran sesat yang bertolak belakang dengan ajaran yang dibawa para Nabi dimana mukjizat Tuhan bersama dengannya.[19]

Dalam poin kedua, Purtiil tidak menjelaskan bahwa dengan memandang hakikat mukjizat - seperti menghidupkan orang mati - kita bisa menyimpulkan bahwa yang mewujudkan mukjizat tersebut adalah Tuhan dan bukan faktor selain-Nya. Pada poin pertama dan ketiga sama dengan yang dilakukan oleh para teolog Muslim dalam mengungkap hubungan mukjizat dengan sisi pengakuan kenabian.


3. Mukjizat-mukjizat yang saling kontradiktif
Richard Purtiil berkata, "Jika kita ingin mendukung - agama-agama yang saling bertentangan tersebut dimana masing-masing mempunyai mukjizat dan semuanya mengaku berasal dari Tuhan dan mengajak kepada-Nya - sebagaimana kalau kita bersaksi atas dua kelompok yang saling berlawanan, maka dalam hal ini, kita terpaksa memilih salah satu dari tiga teori dan pandangan di bawah ini:

a. Mukjizat tak berhubungan dengan salah satu ajaran dan agama.

b. Saling kontradiksi di antara mukjizat hanya bersifat lahiriah.

c. Salah satu dari mukjizat yang saling kontradiksi tersebut adalah bukan mukjizat yang hakiki.

Richard Purtiil cenderung memilih gagasan ketiga, menurut ia mukjizat Nabi Isa As terkhusus untuk beliau dan tidak satupun "mukjizat" yang dapat menyamainya. Lagi pula begitu banyak kontradiksi yang ada di antara mukjizat-mukjizat dari berbagai ajaran agama hanya bersifat permukaan dan lahiriah belaka[20].

Juga dalam pandangan teolog Muslim, mukjizat-mukjizat dari agama pra Islam tidak bertolak belakang dengan mukjizat agama Islam, dan perkara-perkara ajaib (bukan mukjizat) yang diwujudkan oleh masing-masing para pertapa bersumber dari perbedaan kekuatan jiwa dan kesempurnaan spiritual para pertapa itu sendiri, tetapi hal ini bukan menunjuk pada kebenaran ajaran mereka; sebab baru jika perbuatan mereka yang ajaib dan aneh itu bersama dengan pengakuan kenabian serta menantang semua orang untuk melakukan hal yang sama, bisa dikategorikan sebagai bukti kebenaran pembawa mukjizat (para Nabi dan Rasul).


Catatan Kaki:
[1] . Holland, R.F, The Miracleous, hal. 56.

[2] . Hume, David, Darbore-ye Mukjizat, hal. 412.

[3] . ibid, hal. 403.

[4] . Flew, Anthony, Scientific Versus Historical Evidence in Miracles, hal. 97.

[5] . Universal rasional, seperti proposisi manusia universal yakni penggambaran manusia dengan syarat keuniversalan. Dalam contoh tersebut, manusia adalah subyek yang memiliki individu (seperti Muhammad, Ali) di alam nyata dan kata universal adalah predikat, jadi gabungan subyek dan predikat tersebut dikatakan universal rasional.

[6] . Proposisi yang memiliki landasan hubungan keniscayaan, kemungkinan, konstan dan kemustahilan anatara predikat dan subyek.

[7] . Proposisi yang menghukumi individu-individu luar atau hukum yang berhubungan dengan sesuatu yang berada di luar pikiran kita, misalnya semua prajurit Israel terbunuh.

[8] . Swinburne, Richard, Historical Evidence in Miracles, hal. 133.

[9] . Swinburne, Richard, Historical Evidence in Miracles, hal. 134.

[10] . Swinburne, Richard, Historical Evidence in Miracles, hal. 151.

[11] . Penetapan hukum atau kaidah yang berangkat dari hal-hal yang partikular.

[12] . Untuk mengetahui secara rinci penjelasan masalah ini silahkan merujuk pada: Muhammad Amin Ahmadi, Tanaqudh Nemo yo Ghaib Nemum (Negaresy-e Nu be Mukjizat), hal. 205.

[13] . Black, Max, Istiqra ('Ilm Syenosy Falsafi), penerjemah: Abdul Karim Surusy, hal. 215.

[14] . Charles, Allen, Cisty 'Ilm, penerjemah: Said Zibo Kalam, hal 29.-30.

[15] . Patrison, Michael, 'Aql wa I'tiqâd Diny, penerjemah: Ahmad Naraqi dan Ibrahim Sultani, hal. 75.

[16] . Thusi, Khawjah Nashiruddin, Talkhis al-Muhashshal al-Ma'ruf be Naqd al-Muhashshal, hal. 94.

[17] . Al Gazali, Abu Hamid, al-qisthâs al-mustaqim, hal. 80.

[18] . Purtiil, Richard L, "Miracles: What if Thay Happen?" in Miracles, hal. 203.

[19] . Purtiil, Richard L, "Miracles: What if Thay Happen?" in Miracles, hal. 203.

[20] . Purtiil, Richard L, "Miracles What Thay if Happen?" in Miracles, hal. 203.

15
Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

Argumen Mukjizat [8]

Bagian Terakhir

Implikasi Mukjizat Terhadap Kenabian
Persoalan pertama yang muncul berkaitan dengan implikasi mukjizat terhadap kenabian adalah apa yang sebenarnya ingin kita buktikan dengan mukjizat, apakah dengan mukjizat kita berargumentasi tentang pelaku mukjizat (baca: Nabi), ataukah kita berdalil tentang kebenaran ajaran Nabi, ataukah yang kita inginkan adalah kedua-duanya? Dalam hal ini, tidak ada fokus dan kejelasan pandangan dari para pemikir dan teolog Barat.

David Hume menyatakan bahwa orang-orang beriman berargumentasi dengan mukjizat berhubungan dengan risalah sang penyelamat (Isa Al-Masih As)[1]. Thomas Aquinas dan Jhon Lock keduanya beranggapan bahwa mukjizat berimplikasi terhadap kebenaran ajaran dan risalah keimanan dan lebih khusus lagi berhubungan dengan dimensi kebenaran ajaran yang diperdebatkan oleh agama-agama, dengan bersandar pada anggapan itu mereka berkata bahwa ajaran Kristen tentang ketuhanan Masehi ditetapkan dengan perantaraan mukjizatnya.

Perspektif tersebut dapat menjadikan mukjizat sebagai argumen atas kebenaran ajaran dan risalah salah satu aliran khusus, dan pandangan tersebut kurang lebih masih terus dianut oleh teolog tradisional Barat. Sebagai contoh, Richard Swinburne menyatakan bahwa dengan perantaraan mukjizat istimewa (terkhusus) Nabi Isa As dua ajaran Kristen bisa dibuktikan, diantaranya: pertama, penegasan reinkarnasi Tuhan dalam diri Isa Al-Masih As dan kedua, penolakan tentang kenabian terakhir untuk Nabi Muhammad saaw. Ini berarti bahwa mukjizat beliau dipahami sebagai dalil terhadap kebenaran ajarannya[2]. Richard Purtiil dan William Poly (1743-1805 M) bersandar pada mukjizat Isa Al-Masih As untuk membuktikan kebenaran ajaran Kristen atas agama-agama yang lain.

Dalam masalah tersebut, Richard Swinburne dalam beberapa risalahnya menegaskan bahwa implikasi mukjizat adalah menetapkan kenabian sang pembawa mukjizat. Ia berkata, "Ajaran dan pengajaran para Nabi sangat penting dan bermanfaat untuk kehidupan manusia, tetapi jalan untuk menegaskan kebenaran ajaran mereka tiada lain adalah bertemu langsung dengannya dan mendengar perkataan-Nya (wahyu), sementara sekarang ini mustahil memiliki keduanya (wahyu dan Nabi). Bukti dan dalil untuk membuktikan sang pembawa wahyu - menurut Thomas Aquinas telah ditetapkan oleh majelis Vatikan - sangatlah beragam, inti semua dalil tersebut terfokus pada pembuktian dan penerimaan mukjizat.[3]

Berdasarkan pandangan teolog Kristen tersebut kita tidak dapat menyatakan bahwa mukjizat hanya berimplikasi terhadap penegasan kenabian saja, bahkan juga berhubungan dengan kebenaran ajaran dan risalah sang pelaku mukjizat. Tetapi para teolog Muslim secara mendasar hanya membatasi implikasi mukjizat kepada kebenaran kenabian dan bukan pembuktian kebenaran risalahnya. Karena menurut mereka tidak ada hubungan antara satu perbuatan ajaib (mukjizat) dan kebenaran ajaran seseorang yang melakukan perbuatan yang luar biasa tersebut, dan jika kita ingin mengetahui kebenaran inti ajarannya langkah pertama yang mesti kita lakukan adalah membuktikan kenabian orang tersebut dan setelah itu menegaskan nilai-nilai seperti kejujuran, ketulusan dan keterjagaannya dari dosa dan kesalahan (al-'Ishmah).


Penjabaran Implikasi Mukjizat Terhadap Kenabian
Bagaimana implikasi mukjizat terhadap kenabian? Apakah terdapat hubungan logikal dan rasional antara mukjizat dengan kebenaran pernyataan kenabian? Apakah implikasi mukjizat semata-mata sebuah penyingkapan yang bersifat personal dan relatif yang dihasilkan dari pengalaman-pengalaman dan kondisi-kondisi khusus seseorang atas perkara mukjizat yang kemudian berujung kepada kepercayaan dan keyakinannya atas suatu ajaran agama? Apakah mukjizat (yang berhubungan dengan ajaran agama) itu sendiri merupakan dalil dan bukti yang kuat dibandingkan dengan burhan (argumen) rasional?

Persoalan-persoalan yang tersebut di atas kurang lebih merupakan masalah mendasar dalam kaitannya dengan implikasi mukjizat. Seseorang yang beranggapan bahwa terdapat hubungan logikal antara mukjizat dengan kebenaran pernyataan kenabian tidak mesti menolak implikasi-implikasi yang lain. Titik sentral yang menjadi subyek perdebatan adalah hubungan logikal dan rasional antara mukjizat dengan wahyu. Oleh karena itu, untuk menghindari panjangnya pembahasan, pengkajian ini akan lebih difokuskan pada hubungan logikal dan rasional antara mukjizat dengan wahyu (baca: kebenaran pernyataan kenabian). Di bawah ini kita akan mengutip beberapa pandangan para teolog Barat dan teolog Muslim yang berhubungan dengan masalah-masalah tersebut.


Hubungan Rasional antara Mukjizat dengan Wahyu menurut Teolog Barat
Dalam perspektif teologi tradisional Kristen, menurut penjelasan Thomas Aquinas dan doktrin gereja Katolik serta keputusan pertama majelis Vatikan, mukjizat merupakan dalil dan bukti kuat atas kebenaran wahyu. Pandangan tersebut masih terus dianut oleh beberapa pemikir dan teolog Kristen seperti, William Poly, Richard Purtiil dan Richard Swinburne.[4]

Dalam hal tersebut, Richard Swinburne berusaha melakukan pemetaan atas masalah tersebut secara serius, ia berupaya menegaskan adanya hubungan logikal dan rasional antara mukjizat dengan kebenaran pernyataan kenabian (wahyu). Penegasan dan penetapan ia secara ringkas dapat disebutkan di bawah ini:

1. Kita telah membuktikan dan meyakini eksistensi Tuhan dengan salah satu dalil dan argumen semisal keteraturan alam;

2. Dengan kaidah-kaidah filsafat kita bisa membuktikan ilmu dan kekuatan (kekuasaan) mutlak Tuhan dan begitupula kita dapat memahami kaidah-kaidah universal tentang akhlak;

3. Manusia tidak mengetahui hakikat dan substansi perkara-perkara dalam kehidupannya, sementara perkara-perkara tersebut tidak dapat diketahui dengan ilmu pengetahuan dan filsafat, perkara-perkara tersebut antara lain: hakikat alam, kedudukan manusia di alam, cara hidup manusia di alam, cara meraih hidayah dan rahmat Tuhan, cara beribadah kepada Tuhan, hakikat kehidupan setelah mati (alam akhirat) dan bagaimana bisa menggapai kebahagiaan abadi di alam akhirat …;

4. Berdasarkan kebijaksanaan (hikmah), kekuasaan, ilmu dan kasih sayang Tuhan, manusia niscaya diberi petunjuk dan hidayah untuk kemaslahatannya, dan petunjuk Tuhan dalam hal ini adalah wahyu yang disampaikan lewat para Nabi dan Rasul-Nya.

5. Tak ada jalan untuk membuktikan dan menegaskan kebenaran perkataan para Nabi dan Rasul kecuali meyakini dan mempercayai bahwa segala perkataan dan ucapan mereka adalah wahyu. Tetapi bagaimana mempercayai bahwa perkataan mereka adalah wahyu? Menurut Richard Swinburne kita dapat mengkategorikan ucapan dan perkataan mereka sebagai wahyu jika memenuhi berbagai persyaratan (dimana mukjizat sebagai salah satu syaratnya) di bawah ini:

a. Substansi ajaran para Nabi tidak boleh bertolak belakang dengan kenyataan kehidupan dan hukum-hukum ajarannya mesti sesuai dengan kaidah-kaidah akhlak;

b. Sebagian ajaran-ajarannya secara mendasar dapat dikaji dan dianalisa berdasarkan tolok ukur akal manusia, jadi nilai validitasnya ditentukan oleh akal;

c. Dalam ajarannya mesti terdapat suatu ramalan yang tidak dapat dilakukan oleh manusia dan juga tergolong sebagai suatu perkara yang bertolak belakang dengan hukum alam;

d. Kehidupan para Nabi dan Rasul dalam beberapa hal dapat dikategorikan sebagai perkara yang bertolak belakang dengan hukum-hukum alam sehingga dapat melahirkan keyakinan atas kebenaran ajaran yang disampaikannya.

Sebenarnya tujuan Richard Swinburne adalah - jika memenuhi syarat-syarat tersebut - menunjukkan bahwa mukjizat merupakan perwujudan dan perbuatan Tuhan, mungkin karena inilah ditetapkan bahwa mukjizatnya sang Nabi adalah perbuatan khusus Tuhan dan sekaligus merupakan pengakuan dan peresmian sebagai utusan-Nya. Oleh karena itu, menurut Swinburne jika terdapat seluruh syarat-syarat di atas pada diri seseorang maka dapat dijadikan bukti dan dalil akan kenabiaannya. Implikasi mukjizat tersebut ia jelaskan dalam contoh sebagai berikut: misalnya seorang yang mengaku sebagai pembawa pesan dari seorang raja yang berkuasa di negara yang sangat jauh tempatnya, kita bisa membenarkan pernyataannya kalau kandungan pesannya berhubungan dengan sebuah ramalan tentang suatu kejadian dimana informasi tentang ramalan itu hanya bisa diperoleh dari seseorang yang dekat dengan raja tersebut.

Menurut Swinburne, dimensi pertentangan mukjizat dengan hukum alam dengan perantaraan utusan Tuhan adalah merupakan alamat dan tanda khusus yang hanya diperuntukkan bagi semua utusan-Nya, dan kalau pengertiannya tidak seperti itu - yakni mukjizat bukan tanda dan alamat kebenaran pelaku mukjizat – maka mesti dimaknakan bahwa Tuhan Yang Maha Mengetahui tentang kebaikan mutlak tidak memberi petunjuk dan hidayah (dalam bentuk wahyu) kepada manusia untuk kesempurnaan dan kebaikannya.[5]

Argumentasi Richard Swinburne bergantung pada pembuktian tentang mukjizat tidak dapat diuraikan secara ilmiah dan mukjizat adalah perbuatan Tuhan. Maka dari itu, menjadi sasaran pertanyaan tentang bagaimana kita bisa meyakini bahwa peristiwa mukjizat tersebut mustahil dijabarkan secara ilmiah dan merupakan perbuatan langsung Tuhan? Bagaimana menentukan tolok ukur yang pasti untuk membuktikan perbedaan antara fenomena natural dengan fenomena supranatural?

Sisi lain dari burhan Swinburne adalah menempatkan mukjizat yang merupakan perbuatan Tuhan sebagai alat legitimasi untuk menegaskan sang pembawa mukjizat. Tetapi karena belum ada kejelasan hubungan kemestian antara mukjizat (dari sisi kekuasaan dan kekuatan) dengan kebenaran pernyataan kenabian (dari sisi ilmu) – implikasi mukjizat dapat diletakkan sebagai legitimasi kenabian seseorang kalau diyakini bahwa perkara tersebut tidak akan jatuh ke tangan seorang pembohong yang mengaku Nabi – maka dari itu, burhan tersebut tidak bisa dijadikan sandaran akan implikasi mukjizat.


Hubungan Rasional antara Mukjizat dengan Wahyu Menurut Pandangan Teolog Muslim
Secara umum asumsi penerimaan atas implikasi mukjizat terhadap kenabian bergantung pada beberapa perkara dan pendahuluan yang disebutkan di bawah ini:

1. Menurut pandangan teolog, mukjizat adalah perbuatan Tuhan sedangkan menurut perspektif filosof mukjizat merupakan akibat dari jiwa-jiwa suci para Nabi dan Rasul yang karena memiliki hubungan suci dan khusus dengan Sumber Segala Realitas kemudian mendapatkan kekuatan seperti itu;

2. Segala perbuatan Tuhan tidak lepas dari tujuan dan hikmah. Para teolog Muslim meyakini - selain teolog Asy'ariyah - bahwa segala perbuatan Tuhan niscaya dan mesti mengandung maksud dan tujuan;

3. Tujuan mukjizat - sebagaimana dipahami sebagai perbuatan Tuhan - adalah penegasan, penetapan dan pembenaran pernyataan kenabian;

4. Pemberian mukjizat kepada seorang pembohong yang mengaku sebagai Nabi dapat mengakibatkan kesesatan dan kebodohan;

5. Penyesatan dan pembodohan hamba-hamba Tuhan bertolak belakang dengan hikmah dan hidayah-Nya maka dari itu mustahil dilakukan oleh Tuhan.

Pendahuluan kedua dan kelima ditolak oleh kaum Asy'ariyyah dan sebagian kritikan Fakhrurrazi berkaitan dengan penolakan dua mukadimah di atas[6]. Para filosof, aliran teologi Syiah Imamiah dan Mu'tazilah menerima dua mukadimah tersebut dan berupaya mengkonstruksi argumentasi yang rasional dan logikal atasnya. Yang juga tidak kala pentingnya adalah membuktikan pendahuluan pertama dan ketiga, karena kalau kedua pendahuluan itu tidak ditetapkan dan dijabarkan maka tak akan terwujud kesesatan dan kebodohan di tengah umat manusia dari tangan para pembohong yang juga sesat dan bodoh yang menyatakan dirinya Nabi.

Mukadimah pertama, menurut Fakhrurrazi, berkaitan dengan adanya suatu kemungkinan bahwa mukjizat dapat bersumber dari kekuatan jiwa sang pelaku mukjizat, efek dari benda-benda angkasa, pengaruh jin dan malaikat (oleh karena itu, dimensi kenabian mereka hanya dapat ditetapkan lewat teks-teks suci agama dan tidak dapat dikatakan bahwa perbuatan aneh yang diwujudkan adalah bentuk legitimasi khusus Tuhan atas kenabiaannya) dan bukan merupakan perbuatan Tuhan atau sebagai bentuk pengesahan dan legitimasi khusus dari-Nya.

Pendahuluan ketiga, yang juga menurut Fakhrurrazi, tentang kemungkinan tujuan perwujudan mukjizat adalah menguji akal-akal para hamba-Nya dan menolak maksud mukjizat sebagai pembenaran pernyataan kenabian seseorang karena mukjizat itu sendiri tidak mempunyai keselarasan dengan pernyataan kenabian. Lebih lanjut ia beranggapan bahwa nilai argumentasi tentang kenabian lewat jalan mukjizat sama seperti seorang yang tidak makan selama dua puluh hari dan tetap hidup, perbuatan aneh orang tersebut lantas dijadikan dalil dan bukti bahwa ia niscaya mengetahui ilmu matematika atau ilmu lainnya.

Jawaban dari kritikan di atas adalah pertama, mukjizat merupakan bukti dan dalil hubungan sang pelaku mukjizat dengan alam gaib dan bukan petunjuk tentang kebenaran ajarannya, kedua mukjizat sebagai keterangan bahwa risalahnya dari sisi Tuhan dan Tuhan mewujudkan mukjizat lewat tangan ia sebagai pertanda legitimasi-Nya. Fakhrurrazi menjawab persoalan tersebut dengan berkata, "Berdasarkan pandangan anda bahwa setiap orang yang mempunyai mukjizat adalah Nabi dan Rasul, sementara premis mayor yang bersifat universal itu tidak anda argumentasikan. Dengan pemisalan yang anda katakan tersebut bahwa mukjizat sebagai lencana dan tanda khusus raja dimana kalau seseorang memilikinya maka dapat dipastikan bahwa ia adalah utusan raja"[7].

Fakhrurrazi dan Ibnu Rusyd keduanya menyanggah argumentasi tersebut, Ibnu Rusyd dalam hal ini berkata, "Pernyataan ini tidak dapat diterima, kecuali telah jelas bahwa setiap tanda dan alamat yang berada di tangannya adalah lencana raja dan hal ini menjadi mungkin dengan dua jalan, pertama raja telah berkata kepada masyarakat bahwa kalau kalian melihat orang yang membawa tanda dan alamat khusus saya maka ia adalah utusan saya, kedua mengenal kebiasaan-kebiasaan raja yaitu lencana khusus raja tidak mungkin berada di tangan seseorang kecuali ia adalah utusannya. Tetapi mengenal tanda dan alamat Tuhan mustahil dengan syariat, karena syariat itu sendiri belum ditetapkan dan juga akal secara pasti tidak dapat menghukumi bahwa nabi dan rasul mempunyai lencana khusus kecuali sebelumnya ia beberapa kali menyaksikan orang-orang yang mengaku nabi dan rasul menampakkan bukti dan petunjuk khusus tersebut.[8]

Apakah dengan keberadaan kritikan-kritikan tersebut di atas yang berhubungan dengan pendahuluan pertama, ketiga dan keempat kita masih dapat menyatakan bahwa mukjizat bisa terwujud dari tangan seorang pembohong yang sesat dan bodoh? Persoalan ini dapat diselesaikan dengan beberapa bentuk jawaban, antara lain:

1. Terdapat hubungan rasional antara kemampuan mukjizat dan pencapaian langsung makrifat-makrifat Tuhan (wahyu) tanpa terdapat kesalahan (keliru dan lupa) dimana hubungan rasional itu adalah pencapaian derajat kenabian merupakan suatu perkara yang ajaib dan kemampuan mukjizat juga sama dengan pencapaian derajat kenabian yang merupakan hal yang istimewa dimana keduanya mustahil diraih tanpa ijin, kehendak dan iradah Tuhan. Pencapaian derajat kenabian dan kemampuan mukjizat mengharuskan adanya kesucian ruh dan jiwa, karena kesucian jiwa di dalam ilmu hudhuri menyebabkan hadirnya makrifat-makrifat gaib yang benar dan munculnya kemampuan penguasaan dan pengaturan terhadap segala realitas makhluk hidup di alam. Maka dari itu, mukjizat merupakan suatu tanda dan alamat akan kebenaran pernyataan kenabian[9].

Argumentasi tersebut memerlukan penjelasan yang cukup dalam dua perkara:

Pertama, kemampuan menghadirkan mukjizat, seperti mengubah tongkat menjadi ular secara nyata merupakan perbuatan yang ajaib, mengikuti suatu sebab yang tidak diketahui dan tidak diperoleh dari proses belajar dan juga tidak dapat diajarkan kepada seseorang, oleh karena itu dibandingkan dengan perbuatan ajaib yang lain (selain mukjizat, seperti sihir dan lain-lain) perbuatan aneh tersebut sangat berhubungan erat dengan kesucian ruh dan jiwa sang pelaku mukjizat (dimana kesucian tersebut juga merupakan syarat wajib atas kenabian). Manusia yang telah mencapai derajat yang tinggi dalam kesucian jiwa secara langsung mendapatkan makrifat-makrifat gaib dan bersamaan dengan itu ia memperoleh (dengan ijin dan kehendak Tuhan) kekuatan dan kekuasaan dalam mengatur segala alam. Tetapi bagaimana dapat diyakini bahwa perbuatan ajaib tersebut bersumber dari suatu sebab yang tidak diketahui dan juga tidak berasal dari proses belajar mengajar sehingga tidak terpancar dari selain manusia yang mencapai derajat kesucian jiwa tersebut? Jawaban dari persoalan tersebut adalah tolok ukur penetapannya berada di pundak para ahli yang bergelut dalam bidang ilmu yang mirip dengan mukjizat dan ruang lingkup penentuannya adalah estimasi dan perkiraan (al-hads)[10] yang kuat dimana mempunyai kelayakan dalam perumusan proposisi suatu burhan dan argumen, tetapi jenis proposisi tersebut adalah premis intuitif (al-hadsiyâh)[11] dan bukan proposisi axioma (al-awwaliyâh, axioms, primary premises)[12][13], premis intuitif di sini menurut para ahli logika dan filosof, sedangkan menurut Ibnu Sina proposisi tersebut digolongkan ke dalam premis empiris (al-mujarrabâh, empirical premises)[14][15].

Nilai validitas mujârrabât dan kesetaraannya dengan mutawâtirât dan hadsiyât dalam epistimologi ahli logika dan filosof Muslim bersandar pada penyelesaian induksi (istiqra) dimana dalam cara tersebut di ketahui dengan penyaksian berulang kebersamaan dua fenomena yang berpijak pada hubungan keniscayaan dan universal dua realitas, dengan ungkapan lain terungkap dari kebersamaan berulang dua fenomena dimana hakikat benda A mempunyai kekhususan benda B.

Kedua, kemampuan mukjizat yang diasumsikan bersumber dari kesucian jiwa dan faktor tak dikenal, dan kita menetapkan juga hubungan antara peristiwa khusus yang disebut mukjizat dengan kesucian jiwa yang mewujudkan mukjizat tersebut tetapi kita tidak yakin dapat membuktikan kenabian pelaku mukjizat tersebut tanpa berpijak pada nilai keburukan dari kebohongan dan kesesatan, pertama, sebab terdapat kemungkinan bahwa kesucian jiwa yang dapat melahirkan kemampuan penguasaan terhadap alam merupakan syarat primer dan bukan syarat sekunder, karena ada kemungkinan kedua perbuatan istimewa (kemampuan mukjizat dan penerimaan wahyu) tersebut tidak berada pada satu tingkatan dan derajat, dimensi kenabian sebagai faktor kelayakan perwujudan dua realitas perbuatan tersebut. Kita tidak dapat katakan bahwa pernyataan kenabian seseorang adalah bohong dan dusta karena sifat bohong dan dusta - berdasarkan hukum akhlak - tidak sesuai dengan kesempurnaan dan kesucian jiwa, tetapi juga tidak dapat menafikan adanya kemungkinan kesalahan seorang Nabi itu dimana kita menginginkan kenabiannya itu ditegaskan lewat jalan mukjizat atau minimal ditetapkan dengan penafsiran atas pengalaman-pengalaman mistiknya. Kedua, kalau kedua kemampuan tersebut (kemampuan mukjizat dan penerimaan wahyu) berada pada tingkatan yang sama lantas bagaimana kita dapat memahami bahwa dalam perwujudan keduanya juga terdapat hubungan yang saling niscaya dan mesti tanpa berpijak kepada keburukan kebohongan (tak sesuai dengan kesucian jiwa), kebodohan dan kesesatan? Oleh karena itu, argumentasi tersebut memerlukan pijakan dan sandaran kepada keburukan kebohongan, kebodohan dan kesesatan.

2. Tuhan mustahil memberikan kemampuan dan kekuatan dalam penguasaan sebagian alam kepada pembohong-pembohong, karena akan menyebabkan kebodohan dan kesesatan yang semuanya itu bertolak belakang dengan hikmah dan keadilan Tuhan. Untuk menguatkan landasan argumentasi tersebut, disamping berpijak pada mukjizat dan hikmah juga bersandar pada suatu penantangan dan pernyataan kenabian, yakni seorang yang mengaku Nabi mesti membuktikan pengakuannya dengan mukjizat dan menantang kepada semua manusia untuk melakukan hal yang sama.

Argumen tersebut bersandar pada satu kaidah akal tentang keburukan kebodohan. Menurut Muhammad Baqir Sadr argumen tersebut sarat dengan kritikan. Ia berkata, "Implikasi mukjizat terhadap kenabian tak dapat berpijak pada hukum rasional tentang keburukan kebohongan dan kebodohan, karena dalam hal ini - walaupun kaidah akal tersebut diterima oleh semua kalangan - mukjizat tidak dapat menjadi dalil atas kenabian pelaku mukjizat, lagi pula premis mayor yang bersifat universal (kebodohan adalah suatu keburukan) tidak ditentukan individu-individunya di alam nyata, oleh karena itu individu-individunya mesti terwujud di alam luar dengan tidak memperhatikan penyandarannya kepada premis mayor tersebut. Tetapi dalam argumen itu tidak diungkapkan bahwa mukjizat menyebabkan kebodohan - dengan tidak bersandar pada kaidah tersebut - karena di dalamnya telah diasumsikan bahwa mukjizat - tanpa menambahkan premis mayor tersebut - tidak berimplikasi terhadap kenabian pelaku mukjizat. Maka dari itu, kebergantungan implikasi mukjizat terhadap kenabian kepada premis mayor universal (keburukan kebodohan dan kebohongan) menyebabkan terjadinya daur[16], karena pada satu sisi, keaktualan premis mayor rasional (keburukan kebodohan) bergantung pada implikasi mukjizat terhadap kenabian dan pada sisi yang lain implikasi mukjizat bersandar pada premis mayor rasional (keburukan kebodohan).

Syahid Muhammad Baqir Sadr (qs) berupaya dalam merumuskan suatu penjabaran tanpa sarat kritikan terhadap argumentasi tersebut. Ia berkata, "Walaupun mukjizat secara hakiki - tanpa berpijak pada premis mayor universal tentang keburukan kebodohan - tidak dapat berimplikasi terhadap kenabian, tetapi bersandar pada pemahaman mayoritas masyarakat adanya implikasi terhadap kenabian dan kenyataan ini adalah bukti keberadaan individu keburukan kebodohan tersebut dan kebodohan itu adalah buruk dan berlawanan dengan hikmah Ilahi, dengan demikian kita dapat menyatakan bahwa mukjizat mempunyai argumentasi rasional terhadap kenabian.[17]


Implikasi Mukjizat Terhadap Eksistensi Tuhan
Para teolog Barat merumuskan suatu argumentasi tentang keberadaan Tuhan dengan perantaraan mukjizat dan mereka berkata bahwa banyak mukjizat terjadi di zaman-zaman yang berbeda dan terjadinya mukjizat-mukjizat tersebut tidak dapat dijelaskan dan dipahami tanpa campur tangan dan pengaruh Tuhan dalam sistem tatanan alami peristiwa-peristiwa kosmos. Oleh karena itu, kejadian dan peristiwa mukjizat dapat menegaskan dan membuktikan eksistensi Tuhan.

Kritikan yang paling mendasar terhadap burhan tersebut di atas adalah bagaimana kita dapat mengetahui bahwa kejadian dan peristiwa semacam itu yang dinamakan mukjizat tidak dapat dijabarkan secara ilmiah dan berdasarkan hukum alam? Pembuktian keberadaan Tuhan dengan pendekatan mukjizat konsekuensinya adalah sebelumnya harus dipastikan bahwa mukjizat-mukjizat tersebut tidak dapat diuraikan secara ilmiah dan hukum alam, karena dalam hal ini tidak dapat berargumentasi dengan bersandar pada hikmah Tuhan.

Richard Swinburne berusaha menjabarkan secara sempurna burhan tersebut, ia berkata, "Mukjizat suatu peristiwa yang bertolak belakang dengan hukum alam dan karena pertentangannya dengan hukum alam itulah sehingga dapat dibuktikan eksistensi Tuhan"[18]. Tetapi bagaimana metode meyakinkan seorang yang tidak mengakui keberadaan Tuhan (ateis) bahwa mukjizat tersebut adalah perbuatan Tuhan sehingga Tuhan niscaya berwujud, Swinburne mengungkapkan dua kekhususan pada mukjizat: Pertama, hadirnya pertentangan dengan hukum alam dalam kasus mukjizat memiliki banyak keserupaan dengan perbuatan manusia (sebagai pelaku yang cerdas) sedemikian sehingga hal itu dapat dijelaskan berdasarkan suatu tujuan yang diinginkan dari perbuatan tersebut. Kedua, perbuatan dan peristiwa itu sendiri sedemikian sempurna dan ajaibnya sehingga tidak dapat dipahami tanpa mengasumsikan pelaku yang berilmu dan sifat-sifat sempurna dimana Tuhan dapat dikenal dengan perantaraan sifat-sifat sempurna tersebut.[19]

Kalau kita ingin menganalisa argumentasi tersebut di atas dari sudut pandang teolog Muslim maka tanpa pembatalan daur dan tasalsul[20] kita tidak dapat menegaskan eksistensi Tuhan itu dengan berpijak pada sifat-sifat sempurna pelaku, penyandaran argumen pada sifat-sifat sempurna pelaku hanya bisa menetapkan keberadaan pelaku tersebut di alam supranatural.

Argumen mukjizat di atas tidak memiliki kelayakan kalau tidak disandarkan kepada sebagian burhan-burhan rasional seperti argumen imkan dan wujub, dan argumen mukjizat tersebut sarat dengan kritikan, di antaranya:

1. Seseorang yang tidak menguji dan menganalisa peristiwa-peristiwa ajaib itu dan pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan kejadian-kejadian tersebut tidak disampaikan dan diriwayatkan dalam bentuk yang jelas dan mudah diyakini maka orang dapat meragukan peristiwa-peristiwa ajaib itu sendiri;

2. Kalaupun peristiwa-peristiwa ajaib tersebut dapat diterima, tapi penyandaran dan penisbahannya kepada Tuhan serta pembuktian eksistensi Tuhan dapat memunculkan keraguan, karena penisbahan perkara tersebut kepada Tuhan hanya bisa diterima dengan syarat-syarat: pertama, menerima teori kausalitas (sebab-akibat) dan peristiwa-peristiwa ajaib tersebut (mukjizat) diposisikan sebagai akibat dari satu sebab (baca: Tuhan), kedua, harus ada pemetaan yang jelas dari keseluruhan sebab-sebab natural dan non-natural yang dapat mewujudkan kejadian-kejadian tersebut dan ketiga, segala sebab-sebab yang tergambarkan tersebut harus ditiadakan selain sebab Ilahi.[21]


Catatan Kaki:
[1] . Hume, David, Darborey-e Mukjizat (Tanaqudh Nemo Yo Ghaib Nemun), hal. 403.

[2] . Swinburne, Richard, Miracles and Revelation, hal. 299.

[3] . Ibid.

[4] . Legenhausen, Muhammad, The Contemporary Revival of the Philosophy of Religion in the United States, Al-Tawhid Quarterly Journal of Islamic Tought and Culture, vol. XII, no. 1, hal. 131-132.

[5] . Swinburne, Richard, Miracles and Revelation, hal. 302-306.

[6] . Thusi, Khawjah Nashiruddin, Talkhis al-Mukhashshal, hal. 94.

[7] . Thusi, Khawjah Nashiruddin, Talkhis al-Mukhashshal, hal 94.

[8] . Ibrahim Dinany, Gulam Muhsin, Mantiq wa Ma'rifat dar Nazar-e Gazali, hal. 94.

[9] . Thabathabai, Sayyid Muhammad Husain, al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, jilid 1, hal. 82-85.

[10] . Kecepatan pikiran dalam menarik suatu kesimpulan yang benar.

[11] . Proposisi ini merupakan salah satu dari keenam proposisi yang diyakini, jenis proposisi ini bersumber dari estimasi yang diyakini dan diketahui oleh manusia, seperti cahaya bulan berasal dari matahari.

[12] . Suatu proposisi universal yang secara otomatik menjadi jelas dan gamblang dan tidak memerlukan pembuktian lagi (badihi atau swa-bukti), seperti kemustahilan berkumpulnya hal-hal yang kontradiksi.

[13] . Jawadi Amuli, Abdullah, Pairamun Wahy wa Rahbary, hal. 84.

[14] . Proposisi yang dihasilkan dari pengalaman-pengalaman dan proposisi ini memberikan keyakinan, maka dari itu layak menjadi argumen dan dalil.

[15] . Abu Ali SIna, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, hal. 218.

[16] . Daur adalah A bergantung kepada B, dan B juga bergantung pada A. Dalam filsafat daur seperti ini adalah batal.

[17] . Hasyemi, Sayyid Mahmud, Buhuts fi 'Ilm al-Ushul, jilid 4, hal, 135-136.

[18] . Swinburne, Richard, Miracles and Revelation in Philosophy of Religion An Anthology, hal. 303.

[19] . Swinburne, Richard, Miracles and Revelation in Philosophy of Religion an Anthology, hal. 306.

[20] . Kedua istilah ini telah kami jelaskan secara luas dalam makalah kami yang berjudul argumen imkan dan wujub.

[21] . Jawadi Amuli, Abdullah, Tabyin-e Barohin-e Khudo, hal. 247-248.



16
Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

Argumen Imkan Faqri [9]

Pendahuluan
Kehidupan manusia dibangun atas iman dan keyakinan. Sentral ajaran seluruh keyakinan agama-agama adalah iman dan yakin akan adanya Sang Pencipta. Kegagalan dalam memahami fondasi-fondasi konseptual dan pembenaran (al-maba-di- al-tasawuriyyah wa al-tasdi-qiyyah) masalah ketuhanan dapat menimbulkan keraguan dan kesangsian terhadap keyakinan kepada Tuhan. Jalan terbaik untuk sampai kepada Tuhan, yang Wujud-Nya adalah lebih jelas dan nyata dari segala hal dan kehadiran-Nya lebih dekat kepada segala sesuatu serta melebihi segala sesuatu, adalah dengan membersihkan alur pengetahuan dari orang-orang yang buta oleh ego dan ananiyah.

Kegaiban Tuhan adalah dikarenakan oleh kuatnya intensitas manifestasi-Nya dan kejauhan-Nya adalah lantaran hebatnya kedekatan-Nya. Jika jelmaan sebuah entitas lebih nyata dari pengetahuan, gagasan, dan ilmu, dan apabila jelmaan entitas sedemikian dekat bahkan lebih dekat dari diri mereka sendiri, maka jelmaan dan manifestasi semacam ini meniscayakan invisibilitas (kegaiban), dan hebatnya kedekatan ini menyebabkan kejauhan.

Kegaiban dan kejauhan ini adalah bagaimanapun merata pada setiap mata yang terhijabi; lantaran seseorang yang melihat dirinya, tidak dapat melihat Tuhan. Namun, dengan berjuang melawan godaan ego dan terbebas dari arogansi dan kecongkakan, ketidakmampuan ini dapat diubah menjadi kemampuan, dan kemudian mencapai proporsi kapasitas ontologikal (si?a al-wuju-diyyah), dimana ia dapat melihat Tuhan. Dan dengan mengakui, “Kami tidak mengenal-Mu dengan sebenar-benarnya pengenalan.”[1] Ia dapat membersihkan makrifat kepada-Nya menjadi sempurna. Di antara seabrek argumen dan burhan dalam menetapkan wujud Sang Pencipta, terdapat satu burhan yang pure inovasi dari filosof Islam yang mengusung jargon "Qur'an, Burhan dan Irfan." Dengan mengambil inspirasi dari ketiganya, sebuah burhan yang sama sekali baru, setelah filosof-filosof Peripatetik, lahir dari rahim filosof ini. Dan burhan itu adalah burhân imkân al-faqrî.


Selayang Pandang Argumen Imkân Faqrî
Burha-n al-imka-n al-faqri- merupakan sebuah inovasi cerdas pendiri Filsafat Hikmah "Transcendent Wisdom" , Sadr al-Muta’allihi-n al-Shira-zi-. Bersandar pada prinsip kehakikian wujud (ashalah al-wujud) "principality of existence", Sadr al-Muta’allihi-n memindahkan kontingen dari kuiditas kepada wujud, dan hal ini menuntun kepada konstruksi argumen baru bagi wujud Wajib. Bentuk logis burhan ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Terdapat sebuah realitas "realita .

2. Terdapat setidaknya satu entitas terbatas.

3. Wujudlah yang hakiki.

4. Atribut-atribut wujud adalah identik dengan realitas wujud, lantaran apabila terdapat sesuatu selain wujud dan addisional terhadapnya, maka hal itu berarti bahwa ada sesuatu selain eksistensi yang memiliki aktualitas dan akan berbeda dengan premis sebelumnya yang menegaskan kehakikian wujud (ashâlah al-wujud).

5. Keterbatasan dan kontingen merupakan entitas yang disebutkan pada premis kedua adalah sangat memiliki kondisi yang terbatas (finitude) dan bergantung serta berhajat kepada sebab eksternal yang menghasilkannya, sebagai kebalikan dari wujud, ia (kontingen) merupakan sebuah esensi yang dikarakterkan oleh sebuah kondisi yang terbatas (finitude) dan kontingensi.

Kehadiran sesuatu yang sangat bergantung dan berhajat kepada sebab eksternal, adalah mustahil tanpa adanya sebuah realitas yang terbebas dari kontingensi dan kebergantungan.


Pembagian Wujud
Salah satu natijah kaidah kehakikian wujud (asalah al-wujud) adalah pembagian akurat yang dilakukan oleh Mulla Shadra untuk wujud. Dan pembagian tersebut terbagi menjadi tiga bagian:

1. Wujud, maujud bagi dirinya dan swa-maujud (qâim bi nafsihi) bagi dirinya (yang disebut sebagai wujud nafsi atau wujud mahmuli [predikat])[2]

2. Wujud, maujud untuk sesuatu yang lain seperti wujud ajektif-ajektif dan aksiden-aksiden (semisal warna putih bagi kertas); lantaran kendati misalnya warna putih kita asumsikan sebagai wujud yang mandiri akan tetapi keberadaan warna putih tidak akan mewujud dan mengada kecuali pada kertas dan predikat (mahmul) serta ajektif bagi kertas (berbeda dengan jenis pertama [wujud] adalah subyek dan keberadaannya adalah berkenaan dengan dirinya sendiri).

3. Wujud yang ditemukan dalam relasi dan hubungan antara subyek dan predikat (yang dalam bahasa Indonesia ditunjukkan sebagai [adalah] dan dalam bahasa Inggris [is]. Wujud ini tidak secuil pun memiliki kemandirian pada dirinya dan bahkan tidak dapat diasumsikan secara mandiri sendiri, seperti aksiden-aksiden dan ajektif-ajektif, dalam benak. Wujud semacam ini tidak lain kecuali hubungan dengan subyek (wujud asil) dan ia tidak memiliki saham keberadaan atas dirinya sendiri.

Dalam filsafat Islam wujud bagian pertama dan bagian kedua disebut sebagai "makna nomina" yaitu memiliki kemandirian pada benak dan wujud bagian ketiga disebut sebagai "makna preposisional (al-ma'na al-harf)" karena huruf preposisional dan huruf addisional dengan sendirinya tidak memiliki makna.

Mulla Shadra dengan kejelian yang tinggi menggiring pembahasan ini kepada pembahasan illah (sebab) dan ma'lul (akibat). Ia berkata bahwa imkan (kontingen), memiliki dua domain: Pertama, imkan dalam domain kuiditas-kuiditas (al-mahiyyât) dimana para filosof meletakkannya di samping domain wujub dan imtina' dan dalam ilmu Logika disebut sebagai muwajjihat (modality). Dan imkan dalam domain maujud-maujud eksternal. Relasi antara sebab (illah) dan akibat (ma'lul) senantiasa merupakan relasi pemberian wujud dari sebab ke akibat. Sebab, yang hakiki adalah "sebab" dimana senantiasa menjadi pemberi wujud; oleh karena itu keberadaan akibat selalu memerlukan dan bergantung kepada sebuah wujud sebab yang memberikan wujud kepadanya (sebagaimana wujud merupakan sebuah bentuk teknis dalam benak Anda yang bergantung kepada perhatian kreatif Anda dan apabila perhatian Anda berpaling kepada yang lain maka bentuk teknis tersebut juga akan tiada).

Oleh karena itu, tidaklah demikian maujud-maujud eksternal dimana ia merupakan akibat dari Tuhan – dan Dia (Tuhan) adalah wujud murni dan hakiki dan sebab sempurna dan sebab hakiki atas segala eksistensi – dan (mereka tidaklah) mandiri dari wujud itu sendiri (sebagaimana kita menerima hal ini pada ajektif-ajektif dan aksiden-aksiden), melainkan relasi antara seluruh eksistensi dan wâjib al-wujud, merupakan jenis "rabt mahdh" (murni relasi) dan kita melihat bahwa wujud râbith (wujud relasional) pada seluruh detik dan menit, faqir dan memerlukan wujud subyek (subyek dalam preposisi) dan tidak memiliki sesuatu apa pun dari dirinya.

Mulla Shadra menganggap relasi keakibatan (ma'lulât) semacam ini (yaitu seluruh maujud) merupakan jenis kontingen (mumkin) akan tetapi ia berada dalam tipologi domain ontologi dan menyebutnya sebagai imkân faqrî. Dan alih-alih menyebutnya sebagai sebab dan akibat – yang menunjukkan jenis dikotomi dan menjatuhkan benak dalam lubang kesalahan dimana akibat juga merupakan wujud mandiri di hadapan sebab – ia menggunakan terminologi imkân faqrî..

Dalam perspektif ini, seluruh maujud mumkin, dirinya sendiri adalah faqr dan tidak hanya pada kaidah pengadaan wujud mereka butuh terhadap sebab, akan tetapi pada tinggalnya dirinya juga secara permanen memerlukan sebab.

Pandangan jeluk filosofis terhadap sebab dan akibat ini, yang disampaikan pada berbagai tempat dalam kitab Al-Asfar dengan penalaran filosofis merupakan salah satu tipologi filsafat Mulla Shadra. Harus diketahui bahwa imkân faqrî – berbeda dengan imkân mantiqî– bukan hanya bersebelahan dengan keniscayaan dan wujud tapi ia adalah dirinya sendiri dan asumsinya bergantung kepada asumsi wujud dan hubungan wujud.


Sebuah Pandangan Gnostikal
Imkân faqrî adalah sebuah pandangan gnostikal (irfani) yang dimasukkan oleh Mulla Shadra ke dalam domain filsafat dan memberik corak filsafat atasnya. Dalam perspektif irfan Islam, hanya Tuhanlah yang memiliki kelayakan untuk disebut sebagai wujud, dan sumber wujud. Dan alam semesta serta seluruh eksistensi, semuanya merupakan manifestasi-manisfestasi dan jelmaan-jelmaan wujud-Nya. Mulla Shadra membawa ungkapan ini dalam kerangka sebab dan akibat dan berkata, sebab senantiasa asl (hakiki) dan akibat, lantaran hajatnya kepada sebab dalam menerima wujud dan bukan hal yang lain, oleh karena itu, ia tiada tanpa sebab. Akibat merupakan turunan sebab dan merupakan jelmaan darinya.

Problem keharusan keselarasan (sinkhiyyat) maujud-maujud dan mumkin-mumkin dengan wajib al-wujud dan ma'lulat (keakibatan) dengan sebabnya juga akan menjadi jelas dengan penalaran ini. Harus diketahui bahwa sebab dalam pembahasan ini adalah sebab sempurna dan paripurna.


Transisi dari Imkân Mâhuwi ke Imkân Faqri-
Pengkajian teliti atas quidditative contingency (al-imka-n al-ma-hu-wi-) menuntun kita kepada jenis baru kontingen (imkan), yang disebut sebagai contingency of impoverishment (al-imka-n al-faqri-). Imkan semacam ini menyediakan lahan bagi terciptanya burhan yang lebih superior dalam membuktikan keberadaan Wujud Wajib.

Kesetaraan relasi antara ada dan tiada, dimana keharusan tiada adalah keharusan ada dan tiada serta tiadanya tuntutan antara ada dan tiada, dan kemudian menghasilkan imkan mahuwi. Jelas bahwa hal entitas terbatas seperti ini untuk mengada memerlukan hal agent external. Ekternal agen ini yang memberikan wujud dan mengeluarkannya dari batasan ekuivalen antara ada dan tiada. Dengan kata lain, kuiditas menemukan keberadaan berkat anugrah penciptaan dari sebab eksistensialnya.

Oleh karena itu, harus diajukan pertanyaan, "Dengan perantara apa kuiditas tersebut menemukan preferensi [untuk memilih antara ada dan tiada]? Jawabannya adalah, "Dengan perantara wujud yang ia dapatkan dari sebab pelaku (efficient cause). Namun, pertanyaan ini dapat dipindahkan dari kuiditas kepada wujud, dengan mengajukan, bagaimana sebuah wujud, yang bukan merupakan qâim bi dzatihi (swa-maujud, self-subsistent), mewujud dan apa alasan kebutuhannya terhadap sebab pelaku (illat faili, efficient cause). Jawaban pertanyaan ini harus dikaji sedemikian bahwa, relasi wujud ini tidak dapat menjadi ekuivalen antara ada dan tiada, lantaran keniscayaan tsubutnya (tetapnya) sesuatu atas dirinya, keberadaan bagi dirinya adalah sesuatu yang mesti dan ketiadaan menjadi sesuatu yang tercegah (mumtani'), maka keberadaan maujud-maujud imkan, tidak memiliki atribut imkan mahuwi yaitu kesetaraan relasi antara ada dan tiada. Dan dari sisi yang lain, lantaran keterbatasannya, kontingen-kontingen tersebut tidak memiliki kemestian azali (eternal necessity, al-dharu-ra al-azaliyya), dan keberadaannya terbatas pada kondisi-kondisi tertentu yang ada hanya pada level tertentu dari hakikat gradasi bagi wujud (al-haqi-qah al-musyakkikah lil-wuju-d).[3]

Kondisional dan terbatasnya keberadaan kontingen-kontingen (mumkina-t) menunjukkan kenisbian, kebutuhan dan kebergantungannya, yang hanya dapat terpenuhi dalam keadaan-keadaan tertentu. Tidak seperti bilangan genap bagi angka empat, kebutuhan dan kebergantungannya bukan sebuah atribut atau aksiden yang dapat menjadi tambahan bagi wujud-wujud terbatas, lantaran apabila kebutuhan dan hajat ini merupakan tambahan bagi dzat, keberadaan sesuatu yang merupakan realitas atau hakikat itu sendiri, maka akan lepas dari kebutuhan dan hajat terhadap dzat atau esensinya.

Karena realitas senantiasa berkesesuaian dengan dua sisi kontradiksi, absen dari hajat dalam keterbatasan eksistensi, kebalikannya yaitu, kaya dari kebutuhan dan mandiri, yang berbalikan dengan kenyataan bahwa eksistensi yang terbatas dan kondisional adalah berhajat dan bergantung (kontingen).

Wujud bukanlah sebuah fenomena mental sebagaimana kuiditas sehingga dalam tinjauan mental (dzhin) hanya esensi (dzat) dan esensial-esensial yang menjadi perhatian. Dan hal-hal yang lain, kendati pada dua sisi yang kontradiktif, adalah keluar dari batasannya. Misalnya, ada dan tiada adalah dua hal yang kontradiksi, dimana keduanya tidak berada pada batasan kuiditas, misalnya manusia dan lainnya. Akan tetapi wujud merupakan realitas itu sendiri dan faktual bagi keberadaan dan terealisirnya sesuatu; dan dunia ektrenal tidak pernah kosong dari dua sisi kontradiksi tersebut. Atas alasan ini, hajat, kebutuhan dan kebergantungan, yang telah terbukti bagi kontingen-kontingen adalah dzatnya itu sendiri dan bukan kemestian dzatnya.


Apa Itu Imkân Faqrî
Kebutuhan dan imkân mahuwi kendati merupakan kemestian esensial kuiditas akan tetapi ia keluar dari dzat (esensi) dan bagian-bagian esensi, yaitu makna kontingen, maka genus dan differensia bukanlah kuiditas. Akan tetapi kebutuhan dan hajat bagi wujud-wujud akibat menjadi terbukti merupakan dzat itu sendiri yang bermakna identitas (huwiyyah) dan realitasnya(wâqi'iyyah), bukan dzat yang bermakna kuiditas dan senada dengan hajat, dan kebutuhan tersebut jenis lain dari imkân, dan bukan merupakan tambahan atas esensi akibat serta jenis yang akan ditetapkan. Dan jenis imkan yang merupakan kebutuhan dan hajat yang berkaitan dengannya adalah dzat mumkin tersebut dan berhajat ini disebut sebagai imkan faqri.

Imkân faqrî adalah identik kebutuhan dan kefakiran itu sendiri dimana ia memiliki tempat pada dzat akibat (ma'lul) dan lantaran dzat akibat tatkala ia melihat keberadaan dan eksistensi, tidak ada sesuatu selain wujud dan keberadaan wujud baginya adalah niscaya (dharuri), oleh karena itu imkan faqri berbeda dengan imkân mahuwi, ia tidak menuntut penafian kemestian dua sisi ada dan tiada melainkan kemestian wujud itu sendiri.

Dengan demikian, dengan menganalisa kuiditas dan imkan mahuwi, keberadaan dan kemestian akan terbukti bahwa ia pada hakikatnya adalah murni hajat, bergantung dan kefaqiran itu sendiri, dan dirinya bersandar dan menempel pada yang lain, bukan yang dimestikan adanya kebutuhan dan adanya hajat merupakan kemestian, serta terkemudian datangnya.

Dalam analisa rasional terhadap realitas eksternal, pertama-tama kita melihat kuiditasnya dan kemudian keberadaan dan realitasnya. Lalu melalui komparasi antara kuiditas dan wujud, kita memahami kebutuhan dan imkan kuiditas dan kita menemukan bahwa kuiditas merupakan sesuatu yang memiliki kebutuhan dan memiliki atribut imkan. Akan tetapi karena kita melihat wujud dimana kuiditas mengada berdasarkan atribut realitas yang melekat padanya maka kita melihat keterbatasan dan ketergantungan wujud tersebut, kita memahami kebutuhan dan hajat yang mengaksiden bukan pada esensi kebutuhan dan kontingen, tetapi pada esensi kebutuhan dan kebergantungan itu sendiri dan atas alasan ini jenis kontingen ini yang merupakan kefaqiran dan kebutuhan itu sendiri disebut sebagai al-imkân al-faqrî.

Kehakikian wujud dan (ashâlah al-wujûd) dan terpersepsi mentalnya kuiditas (i?tibâriyyah al-mâhiyyah ) merupakan realitas yang memfasilitasi transisi dari kuiditas dan imkan mahuwi ke wujud dan imkan faqri. Lantaran berdasarkan prinsip kehakikian wujud, kuiditas tidak memiliki kapasitas untuk menjadi subyek terhadap kreasi (ja?l), emanasi (ifâdhah), kesebaban (?illiyyah), dan sebagainya; dan tidak dapat mengada kecuali di bawah naungan wujud. Keberadaan, ketiadaan, kemandirian, kefaqiran dan semacamnya tidak berada pada cakupan esensi (dzat) dan esensial-esensial (dzâtiyyât) kuditas dan kuiditas sekali-kali tidak mengambil manfaat darinya untuk merealitas. Melainkan, merupakan kebutuhan dan kefaqiran terhadap wujud yang dapat diabstraksikan dari batasan-batasan kuiditas. Dan wujud faqir ini, berhajat terhadap esensinya, dan untuk membuktikan keberhajatannya ia tidak memerlukan sebab dan illat lain yang keluar dari dzatnya. Akan tetapi kuiditas sebagaimana dzatnya hampa dan kosong dari keberadaan dan ketiadaan dan hanya di bawah naungan keberadaan ia menemukan sebuah manifestasi ikutan (an auxiliary manifestation, al-burûz al-taba?î), demikian juga, kosong dari kefaqiran dan kemandirian. Dan selain dari mengikuti wujud dan keberadaan ia tidak memiliki atribut kefakiran dan kebutuhan.

Oleh karena itu, apa yang disebutkan ihwal alasan kebutuhan dan adanya hajat kuiditas kurang tepat juga dan terbuka bagi ruang kritikan baginya.


Huduts dan Imkân Faqrî
Filosof Peripatetik berpandangan bahwa untuk mewujudnya sebuah kuiditas ia membutuhkan sebab dan sebab kebutuhan kuiditas ini adalah kontingen (imkan). Betapapun, pandangan ini rawan kritikan, dan sebuah kritikan juga dilontarkan terhadap postulasi kaum teolog yang beranggapan bahwa huduts-lah yang merupakan alasan sebuah akibat memerlukan sebab. Padahal huduts merupakan akibat dari atribut wujud.

Dalam analisis rasional, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, huduts adalah mutakhir beberapa derajat dari kebutuhan dan hajat akibat kepada sebab, demikian juga halnya imkân mahuwi yang merupakan anteseden dan hal yang mutakhir dari kuiditas dan keharusannya, berdasarkan prinsip kehakikian wujud (ashâlah al-wujud) dan sebagai hasil presedennya wujud atas kuiditas, antesedennya kuiditas atas wujud.

Lantaran setelah ijad (kreasi) dan ijad setelah ijab (necessitation), dan ijab mengikut hajat dan kebutuhan. Imkan mahuwi adalah posterior (terbelakang) beberapa derajat setelah hajat dan kebutuhan. Dan apabila imkan yang terbelakang (posterior) ini adalah sebab hajat dan kebutuhan juga, dengan menjaga tingkatan-tingkatan yang telah disebutkan sebelumnya, maka ia beberapa derajat terkemudian (prioritas) atasnya dan demikian juga akan terbelakang darinya.

Oleh karena itu, berdasarkan prinsip kehakikan wujud (ashalah al-wujud) imkan mahuwi kendati dapat sebagaimana huduts menjadi tanda dan lambang kebutuhan akibat terhadap sebab akan tetapi bukan merupakan sebab dan ukuran kebutuhan akibat terhadap sebab.

Lantaran kuiditas juga, dengan analisis tajam, hampa dari dua sisi kefakiran dan kemandirian dan hampa dari ada dan tiada.


Imkân Faqrî Mengindikasikan Kemandirian Dzati Wajib
Dengan menjelaskan imkân faqrî menjadi jelas bahwa wujud, ijad, wujub, ijab dan hajat bukan merupakan hal yang berbeda dan keniscayaan antara satu dengan yang lain, melainkan wujud akibat merupakan entitas tunggal yang faqir, membutuhkan dan berhajat kepada yang lain dan merupakan emanasi, kreasi dan ijab itu sendiri. Dan karena wujudnya tidak lain merupakan wujud yang fakir dan keberadaannya adalah mengaksiden dan berhubungan dengan yang lain maka keniscayaan dan wujubnya bersandar kepada yang lain.

Kehadiran fakir dalam tataran wujud yang selaras dengan kuiditas –atau lebih spesifik, batasan-batasan wujud yang menarasikan kuiditas- menegasikan segala jenis kemandirian darinya dan mengilustrasikan realitasnya sebagai makna-makna preposisional (al-ma?ânî al-harfiyyah) yang tidak lain kecuali relasi dan kebergantungan terhadap yang lain.

Sebuah huruf preposisional merupakan sebuah huruf yang tak memiliki makna apapun. Jika makna dapat dilihat dari sebuah huruf preposisional hal itu adalah berkat naungan kebergantungan dan relasinya terhadap yang lain, dan dari yang lain dimana preposisi itu bergantung. Dan Yang memberikan anugrah makna terhadap sebuah preposisi haruslah nomina (al-ma?na al-ismî).

Analisis hakikat eksistensi kuiditas yang memiliki imkan mahuwi, menjelaskan imkan faqri dan wujud-wujud yang berhubungan dengan kuiditas secara kuat dan cepat, dan menuntun ke jalan membangun sebuah argumen dan burhan yang lebih dapat dipertahankan, tangkas, lebih luas jangkauan aplikasinya ketimbang yang dicakup oleh argumen-argumen sebelumnya.

Hal ini dikarenakan realitas dan wujud dirinya yang hampa makna dan dengan ungkapan yang lebih jelas hampa diri, dan merupakan keberhubungan itu sendiri dan bertaut serta bergantung kepada yang lain.

Tentu saja, hakikatnya tidak lain kecuali kebergantungan dan keberhubungan terhadap yang lain. Tanpa yang lain yang memberi hubungan maka ia tidak akan mewujud. Akan tetapi, yang lain yang merupakan wujud yang fakir yaitu yang menyediakan lahan untuk mewujudnya wujud-wujud imkan maka ia sekali-kali tidak menjadi wujud dan realitas yang fakir. lantaran setiap wujud preposisional dipandang tidak memiliki sesuatu yang lain melainkan ketiadaan konsepsi baginya esensi, sampai terpenuhi hajat urusan yang ia tidak miliki selain kefakiran.

Dari perspektif ini, seluruh wujud kontingen merupakan lambang realitas yang teragungkan dari kefakiran dan kebutuhan serta memiliki kemandirian. Kendati secara sekilas sebuah kontingen dapat terlihat sebagai sebab bagi kontingen lain, dan bahkan mediasi ini menunjukkan kausalitas dari sebuah sumber yang mandiri yang terjelmakan dalam tanda ini.

Lantaran seluruh aspek sebuah entitas, yang murni berhajat dan bergantung, adalah kebutuhan dan kebergantungan yang memunculkan yang lain, dan apa yang terefleksikan darinya adalah ibarat sebuah cahaya dari sebuah cermin.

Cahaya yang tampil dalam cermin dapat ditelusuri dari sumber sebuah bintang, yang terjelma di dalamnya, tanpa meminta invalidasi daur. Jika cermin merupakan sebuah mediasi dalam penjelmaan cahaya di dalamnya, maka ia hanya dapat merefleksikan agen cahaya; dan ia tidak dapat dianggap sebagai memiliki cahaya sendiri yang ia berikan kepada cermin selanjutnya.


Bagian-bagian Alamat
Alamat (?alama-t) terdiri dari dua jenis: alamat konvensional (al-?alama-t al-e?teba-riyyah) dan alamat faktual (al-?alama-t al-haqi-qiyyah). Alamat-alamat konvensional seperti kata-kata, tulisan-tulisan, sinyal-sinyal lalu-lintas, bendera nasional beragam negara, dan sebagainya. Alamat-alamat faktual seperti gambar seseorang di hadapan cermin. Alamat-alamat faktual selanjutnya dibagi menjadi tiga macam:

· Alamat-alamat terbatas: Seperti indkasi asap yang menunjukkan adanya api, padang rumput yang luas atau rawa yang menunjukkan adanya air. Indikasi alamat-alamat semacam ini tidak bergantung pada konvensi sekelompok orang-orang tertentu, namun demikian, ketika asap atau padang rumput berganti, "perlambang"nya dan indikasinya yang menunjukkan api dan air juga berganti.

· Alamat-alamat permanen: Jenis alamat semacam ini berkaitan dengan yang indikasinya tidak terbatas pada masa tertentu, seperti angka empat merupakan bilangan genap yang selalu bersama dengan realitas yang dibubuhi alamat.

· Alamat-alamat esensial: Artinya menjadi alamat bukan merupakan atribut niscaya dan bahkan ia identik dengan dzat dan realitas sesuatu, dan perbedaannya dengan alamat-alamat sebelumnya terletak pada menjadi alamat dan tanda bagi alamat-alamat sebelumnya merupakan atribut niscaya pada derajat esensi, dan pada realitas dirinya sendiri tidak mengindikasikan dan menandakan sesuatu yang lain dan mandiri darinya, akan tetapi pada bagian akhir (alamat akhir), untuk sesuatu yang diasumsikan sebagai esensi tidak lain kecuali sekedar menunjukkan dan mengisahkan.

Imej-imej, yang terpampang pada sebuah cermin merupakan cermin karena esensinya. Lantaran imej yang terilustrasikan pada cemin – dalam terminologi Irfan cermin tidak lain kecuali imej tersebut – bukan kaca, frame, panjangnya, lebar, kedalaman, cahaya, warna, angle, dan sebagainya. Akan tetapi, cermin merupakan narasi, indikasi, dan relasi yang memiliki nisbah kepada imej yang hakiki. Dan adapun kaca dan bagian-bagian fisik lainnya yang merupakan cermin pada urf masyarakat, bukan cermin pada urf irfan yang fokus pada hati.

Imkan faqri menguraikan "realitas dan wujud cermin yang terjelmakan dan muncul dalam imej beragam dari kuiditas. Metode analisis "keakibatan" (ma?lu-liyyah) memajangkan dunia sebagai yang dipersepsikankan oleh ahli makrifat; sebagai tajalliyat Tuhan yang beragam, yang menghasilkan benda-benda yang berbeda, usia dan masa.

Dan persepsi semacam ini terinspirasi dari ajaran-ajaran Qur'an dimana tujuh petala langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya adalah diidentifikasi sebagai pengemis, membutuhkan dan mengenal Tuhan sebagai realitas dimana seluruh gradasi eksistensi merupakan jelmaan dan manifestasi keagungan-Nya yang nir-batas. "Seluruh apa yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya…"(Qs. Ar-Rahman [55]:29)

Tingkatan beragam wujud merupakan dimensi dan roman serta paras beragam Ilahi yang hal tersebut adalah wajhulLah dan dalam redaksi al-Qur'an disebut sebagai "Dan tetap kekal dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (Qs. ar-Rahman [55];27) dan itulah simbol kenirbatasan Tuhan yang hadir di segala ruang dan tempat (omnipresence); "Dan Dia bersamamu dimana pun engkau berada." (Qs. al-Hadid [57]:4) dengan demikian roman dan paras tersebut ada di seantero penjuru entitas "Kemanapun engkau hadapkan dirimu engkau mendapati wajah Allah." (Qs. al-Baqarah [2]:115).

Analisis rasional mengilustrasikan dunia sebagai sebuah cermin yang di dalamnya wujud-wujud terefleksikan dalam bentuk beragam jelmaan Tuhan. Kendati seseorang, yang tidak memperhatikan pada "mirror-like" (serupa cermin) realitasnya dan eksistensi figuratifnya, menganggapnya sebagai mandiri; namun demikian tatkala cermin tersebut retak dan pecah dan realitas tersingkap, paras Ilahi pada setiap entitas akan memanifestasi.

Dan tatkala ditanya, "Siapakah Penguasa hari ini?" (Qs. Ghafir [23]:16) dalam jawaban atas pertanyaan ini, yang bergema dalam realitas setiap ruang dan waktu terdengar, "Tuhan, Esa dan Perkasa." (Qs. Ghafir [23]:16) artinya kerajaan khusus dimiliki oleh Tuhan yang Esa dan Perkasa.

Tuhan, Esa dan Perkasa merupakan realitas yang tak bergantung dan tak membutuhkan yang memuaskan dan melepaskan harapan dan asa tak henti orang dan benda yang membutuhkan. Perbuatan-Nya yang memuaskan dan memenuhi hajat bukanlah sekedar fashion, yang akan menghilangkan hajat dan permohonan orang-orang yang fakir, karena hajat dan kebergantungan hadir dalam sebuah jawaban yang diterima dari-Nya, kebergantungan tidak mengosongkan setiap dimensi kontingen-kontingen.

Atas dasar ini, Almarhum Agha Ali Hakim dalam Badâ’i? al-Hikam, mengisyaratkan oposisi (taqâbul) kebergantungan dan hajat seluruh kontingen kepada kemandirian Wajib sebagai sebuah oposisi afirmasi dan negasi (taqâbul al-salb wa al-eijâb) dan bukan sebuah oposisi privasi dan posesi (taqâbul malâkah wa 'adam wa al-malaka).[4]

Dalam oposisi privasi dan posesi, ketiadaan adalah hampa dari wujud, dan realitas sebagai titik berseberangan darinya, tidak lain, merupakan individual, kelas, macam, atau jenis , yang dapat memiliki sisi berseberangan.

Namun demikian, wujud yang terbatas merupakan sebuah realitas fakir; dan kefakiran ini semakin ia bersyukur kepada Sang Wajib semakin larut dalam kefakiran. Seterusnya dalam keadaan dan kondisi apapun kontingen dapat meraih kapasitas meraih kemandirian, yang merupakan sebuah atribut atau gelar ekslusif bagi Sang Wajib.

Dengan kata lain, Tuhan merupakan dzat yang mandiri dan segala sesuatu selainnya adalah bergantung dan berhajat kepada-Nya. Dan oposisi antara kemandirian-Nya dan kebergantungan ini bukanlah oposisi antara privasi dan posesi (taqâbul malâkah wa adamul malâkah) lantaran dengan menimbang individual, kelas, macam, atau genus, tidak ada satu pun wujud terbatas dapat memiliki kemandirian wujub atau mutlak. Oleh karena itu, afirmasi sisi berseberangan, adalah mustahil bagi wujud-wujud terbatas; dan oposisi antara keduanya merupakan oposisi afirmasi dan negasi, bukan oposisi privasi dan posesi.

Hadirnya kefakiran dan kemiskinan pada setiap dimensi kontingen-kontingen memberikan indikasi dan narasi yang mereka punyai dalam hubungannya dengan Dzat Serba Tercukupi dan Mandiri, dan juga kognisi dan kesadaran manusia dalam hubungannya dengan Tuhan merupakan jelmaan dan manifestasi Dzat tersebut. Inilah makna dari ungkapan agung: "Wahai yang menunjukkan Dzat-Nya dengan Dzat-Nya."[5]


Keunggulan Unik Argumen Imkân Faqrî
Burhân Imkân Faqrî "contingency of impoverishment", sesuai dengan versi yang diutarakan dalam makalah ini, sebagai tambahan atas kemurniannya dari kekurangan di antara argumen-argumen dalam membuktikan wujud Tuhan. Dengan demikian burhan ini unggul dan unik dengan memiliki seabrek dan selaksa keistimewaan tipikal.

Lantaran burhan huduts dan gerak, bahkan dengan asumsi ia terpenuhi dengan gerakan substansial (harakah al-jauhariyah) dalam dunia fisik , ia hanya memiliki alur dalam domain dunia materi dan hanya menunjukkan pada sebuah sumber non-materi untuk maujud-maujud materi.

Demikian juga burhan keteraturan, dengan asumsi keseluruhannya, kendati tidak terkhusus pada maujud materi dan bergerak dan maujud non-materi juga termasuk di dalamnya, akan tetapi dalam bentuk majemuk struktur dan tujuan yang satu… dapat dikonstruksi. Sementara burhân imkân faqrî tidak terikat dan tersyaratkan dengan maujud-maujud fisikal dan dapat dibangun dengan menggunakan wujud-wujud non-fisikal. Muatan burhan keteraturan, membuktikan penggerak, muhdith atau penata kosmos (cosmic designer) dan bukan sifat-sifat yang common Wajib dan selainnya; sebaliknya, burhân imkân faqri secara langsung membuktikan sumber Wajib.

Burhân al-Imkân al-Faqrî terbebas dari sebagian kekurangan-kekurangan yang terdapat pada imkân mahuwi. Kekurangan hajat pada kemustahilan daur dan tasalsul lebih jelas terlihat pada burhân imkân mahuwi. Dengan membangun burhân al-imkân al-faqri, pertama, Wajib dapat dibuktikan, dan kemudian, keterbatasan rangkaian mediasi yang menunjukkan sababiyyah dan illiyah (kausalitas) mutlak wajib dapat dibuktikan.

Burhan yang bersandar pada imkan mahuwi yang merupakan inovasi filosof Islam yang dapat dijumpai dari karya-karya filosof Peripatetik, tanpa premis-premis rasional yang jelimet, dan filosof Skolastik serta kemudian melalui terjemahan-terjemahan non akurat, memasuki akademi, dan menerima ajaran-ajaran filsafat melalui channel tersebut; namun demikian, burhân al-imkân al-faqrî, yang merupakan hasil kognitif teosof Imamiyah dan telah menjadi kurikulum pelajaran-pelajaran filsafat Syiah selama berabad-abad, disuguhi dengan kegemaran dan keantusiasan di kediamannya yang asli.

Mental orang-orang yang putus asa pseudo filosof Barat (mutafalsafin) dan sejarawan filsafat- yang goyah di bawah sensasionalisme telah meninggalkan rasionalitas dan tunduk oleh Skeptisisme basith dan murakkab tidak berhasil mendapatkan keuntungan dari burhan ini.[]


Catatan Kaki:
[1]. Al-Majlisî, Muhammad Bâqir, Bihâr al-Anwâr. (Tehran: Dâr al-Kutub al-Islamiyyah, vol. 71, 23.

[2] . Kant menyebut wujud semacam ini sebagai preposisi-preposisi keliru dan berkata bahwa ketika wujud kita letakkan pada predikat sebuah proposisi maka nilai subyek tidak akan bertambah sedikitpun. Mulla Shadra yang hidup dua abad sebelumnya, telah memberi jawaban atas isykalan ini. Ia berkata: "Wujud dalam proposisi semacam ini (masyhur sebagai haliyah al-bashithah) adalah yang membentuk subyek, dan ia menunjukkan keberadaan subyek, bukan keberadaan predikat atas subyek.

[3]. Gradasi wujud (tasyki-k al-wuju-d): Setelah disepakati bahwa di dunia luar terdapat realitas dan hakikat dan bahwa dunia bukan sekedar fantasi, kita akan ketahui bahwa realitas atau hakikat tersebut mencakup banyak sekali objek yang berbeda, seperti pepohonan, lautan, galaksi dan sebagainya. Kita kaji bahwa apakah keragaman ini, yang dicerap oleh pikiran di dunia luar, riil atau sekedar fantasi, hal ini akan menjadi investigasi multplisitas dan unitas dari realitas. Jika dua hal berbeda satu dengan yang lain, perbedaannya adalah salah satu dari empat jalan di bawah ini:

* Keduanya berbeda satu dengan yang lain karena perbedaan seluruh esensinya (tama-m al-dzawa-t) dan tidak memiliki sesuatu yang common (sama), seperti perbedaan yang terdapat di antara kategori-kategori Aristotelian.
* Keduanya berbeda satu dengan yang lain lantaran differensia-differensia (fusu-l) yang mereka miliki. Perbedaan semacam ini adalah ekskulif pada kuiditas-kuiditas yang terdiri dari genus (jins) dan differensia (fashl) dan kategori-kategori yang berada pada genus yang sama, seperti pada kuda dan domba.
* Keduanya berbeda satu dengan yang lain lantaran aksiden-aksiden individual, namun keduanya bersama pada spesies atau macam yang sama – seperti dua orang manusia.
* Keduanya berbeda satu dengan yang lain lantaran persamaan yang mereka miliki (ma- bihi al-isytara-k).

Jalan terakhir dari perbedaan yang terdapat pada poin-poin di atas diintrodusir oleh Syaikh al-Ishra-q al-Suhrawardi-. Ia beranggapan bahwa perbedaan dari perbedaan jenis cahaya yang ada di alam semesta adalah bukan dari sesuatu eksternal kepada esensi cahaya, lantaran ia percaya bahwa cahaya itu adalah tipis dan "tidak terkombinasi". Sebaliknya, mereka berbeda dari satu dengan yang lainnya lantaran persamaan yang mereka miliki secara bersama (in common, musytarak), dan perbedaannya adalah pada kuat dan lemahnya hakikat mereka. Ia beralasan bahwa karena kegelapan adalah sebuah fenomena ketiadaaan, seseorang tidak dapat beralasan bahwa cahaya lemah berbeda dengan cahaya kuat karena cahaya lemah memiliki kegelapan di dalamnya.

Dari posisi kehakikian kuiditas (ashalah al-mahiyyah), jawaban terhadap pertanyaan multiplisitas dan unitas dari realitas adalah jelas; yaitu, realitas adalah tidak lain kecuali keragaman kuiditas-kuiditas. Namun, dari perspektif Hikmah Muta'aliyah (Transcendent Wisdom), kehakikian wujud (ashâlah al-wujud, principality of existence), realitas tidak lain kecuali wujud, dan kuiditas-kuiditas merupakan reifikasi benak dari batasan-batasan keragaman wujud-wujud. Selanjutnya, apa yang membuat dua hal berbeda dari satu dengan yang lainnya bukanlah sesuatu eksternal dari realitas eksistensi, karena tidak ada sesuatu kecuali keberadaan, dan lantaran keberadaan itu simpel, yaitu wujud atau keberadaan itu bukan rangkapan, jika dua wujud atau keberadaan berbeda, perbedaan mereka adalah karena kuat dan lemahnya realitas eksistensinya. Perbedaan semacam ini disebut sebagai al-ikhtilâf al-tasykîkî lil wujûd (perbedaan gradasi pada wujud).

[4] Haki-m, A-gha- Ali. Bada-’i? al-Hikam. (Tehran: lithographed print), 39.

[5] Al-Qummi-, Shaykh ?Abba-s. Mafa-ti-h al-Jina-n. Doa Sahar.



17
Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

Argumen Shirful Wujud [10]
Salah satu argumen penting yang dikonstruksi oleh filosof Islam dalam memperkokoh pandangan dunia tauhid adalah argument shirful wujûd (kemurnian wujud). Argumen ini tersusun dari satu premis mayor universal - yang dibahas dalam kaidah umum filsafat, yakni kaidah "Shirf as-syai laa yatakarrar wa laa yatatsanna" (hakikat kemurnian sesuatu adalah ia tak berulang dan non-dualisme) - dan premis minor - yang dikaji dalam kaidah khusus filsafat (al-Ilâhiyyât) dimana berasaskan pada pembuktian tentang masalah berikut ini, "Tuhan adalah wujud murni". Oleh karena itu, konsekuensi logis dari kaidah universal tersebut adalah eksistensi Tuhan mustahil menerima multiplisitas.


1. Makna Shirful Wujûd
Apakah shirful wujud itu? Apakah yang dimaksudkan adalah Wâjibul Wujûd yang secara universal ditinjau sebagai suatu kuiditas yang mempunyai eksistensi ataukah yang dimaksud adalah pengertian yang lebih dalam, yakni hakikat wujud yang tidak memiliki batasan dan kekurangan. Dalam kitab "Farhangge 'ulûm-e falsafi wa kalâm" disebutkan bahwa kata "ash-shirf" yakni "al-khâlish" (murni), "shirf al-wujûd" yakni wujud murni tanpa bercampur dengan kuiditas atau aksidensi-aksidensi yang lain.[1]

Di samping hal tersebut di atas, dimensi yang perlu kita ketahui adalah apakah keniscayaan wujud (wujubul wujûd, necessity existence) identik dengan Wujud Wajib (baca: Tuhan) ataukah sesuatu yang bersifat aksidental atas Wujud Wajib. Meskipun berdasarkan tinjauan prinsipalitas dan kehakikian kuiditas (al-ashâlah al-mâhiyah), proposisi tersebut (wujubul wujûd adalah identik dengan Wujud Wajib) tidak aplikatif, karena selain wujûd itu sendiri dipandang sebagai perkara yang i'tibari (mentally-posited, majasi) maka hubungan wujud dengan "sesuatu" yang lain juga bersifat majasi (non-hakiki). Tetapi berdasarkan tinjauan kehakikian eksistensi (al-ashâlah al-wujûd) proposisi wujubul wujûd adalah identik dengan dzat Wajib, tapi pada sisi lain - yang juga berdasarkan kehakikian eksistensi - dapatkah kita berasumsi bahwa keniscayaan dan kemestian (wujub, necessity) adalah ditambahkan atau dipredikasikan atas Wâjibul Wujûd ? Sesuai dengan yang ada dalam pembahasan tentang imkan (Possibility) - yang berpijak pada prinsipilitas wujud - bahwa kuiditas secara esensial keluar dari atmosfir wujubul wujûd dan imkanul wujûd, kalau kuiditas memiliki sifat wujub atau imkan itu karena bersandar pada wujud. Oleh karena itu, jika kita berpijak pada prinsipilitas wujud dan memandang bahwa Wâjibul Wujûd tidak mempunyai kuiditas, maka keniscayaan identik dengan wujud-Nya, dan kalau kita memandang Wâjibul Wujûd mempunyai kuiditas maka kuiditas Wâjibul Wujûd pasti disifati dengan wujub yang bersandar pada wujud, tapi tidak secara esensial.


2. Penegasan Eksistensi Wâjibul Wujûd
Asas dan prinsip yang digunakan dalam menegaskan eksistensi Wâjibul Wujûd di sini adalah prinsipalitas wujud (al-ashâlah al-wujûd), yakni wujudlah yang mendasari segala realitas di alam luar dan secara hakikat mengaktual di luar serta merupakan sumber segala efek. Dan adapun kuiditas adalah bersifat majasi (al-i'tibari, mentally-posited), yang berarti bahwa kuiditas hanyalah batasan dari suatu wujud atau sesuatu yang hanya bersifat gambaran dari obyek luar pikiran. Oleh sebab itu, keberadaan kuiditas hanyalah bersifat majazi (baca: majazi akal) dan karena bersandar pada wujud dia mendapatkan realitas (mewujud). Untuk lebih gamblangnya masalah kehakikian wujud, sangat urgen kami ungkapkan dalil dan argumen yang berhubungan dengannya, sebagai berikut: pertama, pengertian wujud adalah univokal (al-musytarak al-maknawi), dan kedua, dalil-dalil tentang kehakikian wujud dan kemajazian kuiditas.

a. Komprehensi Wujud adalah univokal (al-musytarak al-maknawi). Wujud yang dipredikasikan pada subjek-subjeknya, seperti Tuhan, manusia, pohon, dan batu memiliki satu pengertian secara univokal, dengan ungkapan lain bahwa wujud yang diperedikasikan kepada Tuhan, manusia dan benda-benda lainnya memiliki makna yang sama atau satu makna.

Univokal kebalikan dari homonim atau equivokal (al-musytarak lafzi), dimana homonim ini adalah satu kata yang mempunyai pengertian dan makna yang bermacam-macam, seperti kata "bisa" bermakna bisa ular dan juga bermakna sanggup, dapat dan mampu, jadi makna kata "bisa" bergantung pada subyek yang diperedikasikan.

Adapun dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:

1. Kita membagi wujud itu dengan pembagian yang bermacam-macam, seperti membagi wujud atas Wujud Wajib dan wujud kontingen (mumkin, bergantung), dan wujud mumkin dibagi lagi menjadi wujud substansi (jauhar) dan wujud aksiden (`aradh), dan kita ketahui bahwa benarnya suatu pembagian bergantung pada kesatuan (unity) makna antara pembagi dan keberadaan bagian-bagiannya.

2. Kita terkadang ragu dalam menetapkan kekhususan keberadaan sesuatu (karakter dan watak esensial sesuatu), misalnya kita menetapkan Pencipta alam, tapi kita ragu apakah Dia suatu Wujud Wajib atau wujud mumkin atau apakah Dia memiliki kuiditas, dan begitu juga apabila kita menetapkan jiwa (an-nafs) bagi manusia tapi kita ragu apakah jiwa manusia itu bersifat non-materi ataukah materi, substansi ataukah aksiden, jadi pengetahuan kita terhadap jiwa bersifat universal (tentang keberadaan jiwa secara universal) tapi tidak secara partikular (berkaitan dengan kekhususan, watak dan sifat jiwa). Oleh sebab itu, sekiranya wujud tidak mempunyai satu makna dan dia bersifat homonim (beragam makna) dan jika dipredikasikan dengan sebanyak subyek- subyeknya, maka niscaya akan berubah maknanya (makna wujud) sejalan dengan perubahan subyek-subyeknya. Tetapi wujud (ada) meskipun dipredikasikan kepada subyek yang berbeda-beda seperti Tuhan ada, manusia ada, hewan ada, tetap ia (wujud) mempunyai makna yang satu.

3. Kontra ketiadaan (non existence) adalah wujud (existence) dan ketiadaan hanya mempunyai satu makna, sebab tidak ada perbedaan dalam ketiadaan (dalam ketiadaan tidak ada perbedaan, karena tak ada satupun hakikat dan realitas dalam ketiadaan, jadi tidak ada perbedaan di antara ketiadaan-ketiadaan, oleh sebab itu wujud yang menjadi lawan dari ketiadaan harus mempunyai satu makna, sebab jika tidak, maka akan terjadi "irtifa’u naqidain" (terjadinya dua kenyataan yang saling kontradiksi pada suatu obyek, seperti Malaikat ada (afirmasi) dan Malaikat tidak ada (negasi), kedua "kenyataan" yang saling kontradiksi ini mustahil dihilangkan dari Malaikat, sebab hanya ada satu kenyataan Malaikat yaitu ia ada ataukah ia tidak ada), dan irtifa’u naqidain adalah suatu hal yang mustahil.

Dan adapun orang-orang yang berpandangan bahwa wujud musytarak lafzi di antara benda-benda, atau antara wujud wajib dan wujud mumkin, pada dasarnya disebabkan untuk menghindari keniscayaan kesesuaian (as-sinkhiyyat) di antara sebab dan akibat secara mutlak, atau kesesuaian antara wujud wajib dan wujud mumkin. Dan pandangan ini tertolak, sebab menghentikan proses rasionalisasi dalam makrifat.

Oleh sebab itu, kemestian dari musytarak maknawi adalah ketika pengertian wujud atau maujud dari proposisi "Tuhan maujud (ada)" adalah sama dengan makna wujud dari proposisi "makhluk maujud". Sedangkan jika pengertian wujud atau maujud dari proposisi "Tuhan maujud" adalah tidak sama (lawan) dengan pengertian maujud dalam proposisi "makhluk maujud" dan juga makna wujud dalam 'kontra wujud' yakni ketiadaan, maka hal ini adalah jelas merupakan bentuk penafian wujud wajib (maha suci dan maha tinggi Tuhan dari itu), dan jika tidak ada yang dipahami dari kalimat "Tuhan maujud", maka ini suatu bentuk penghilangan proses rasionalisasi dalam makrifat, dan ini menyalahi apa yang kita temukan pada diri kita sendiri.

b. Dalil-dalil tentang kehakikian wujud (al-ashâlah al-wujûd) dan penampakan kuiditas (al-'itibariyah al-mahiyah)

Dalil pertama: mahiyah qua mahiyah adalah dirinya sendiri dan bukan selain ia (yakni mahiyah ditinjau dari esensinya bukan sesuatu yang lain kecuali dirinya sendiri) dan hubungannya terhadap wujud dan ketiadaan adalah sama. Sekiranya mahiyah keluar dari kondisinya tersebut dan berada pada posisi wujud (mahiyah tersebut mewujud) - dimana dalam hal ini muncul efek-efek dari mahiyah - tapi tidak dengan perantaraan wujud, maka akan terjadi "al-inqilaab" (yakni sesuatu menjadi sesuatu lain tanpa terjadinya perubahan atau pengurangan) pada dzat mahiyah, sedangkan "al-inqilab (perubahan)" dalam mahiyah adalah suatu hal yang mustahil. Oleh sebab itu, hanya wujudlah yang mengeluarkan mahiyah dari posisinya yang sama terhadap wujud dan ketiadaan, maka dari itu wujudlah yang hakiki (al-ashalah).

Dalil kedua: mahiyah adalah sumber multiplisitas, kejamakan, keragaman dan perbedaan, jadi jika mahiyah yang hakiki dan wujud yang majasi (al-i'tibari), maka selamanya tidak akan terjadi kesatuan hakiki (al-wahdah al-hakikiyah) dan tidak akan pernah terjadi penyatuan antara dua mahiyah, dan hasilnya tidak akan terjadi predikasi (al-haml) sebagai penyatuan dalam wujud (penyatuan antara wujud subyek dengan wujud predikat), padahal terjadinya predikasi adalah suatu hal niscaya dan tidak mungkin diingkari. Oleh sebab itu wujudlah yang hakiki dan realitas yang esensial, sedangkan mahiyah menjadi ada karena perantaraan wujud.

Dalil ketiga: mahiyah mempunyai wujud luar (di alam nyata) yang berefek dan juga memiliki wujud pikiran (di alam pikiran) tidak berefek. Kalau mahiyah yang hakiki dan bukan wujud maka mahiyah yang ada di luar (berefek) tidak akan berbeda dengan yang ada dalam pikiran (tidak berefek) yakni mahiyah mempunyai efek di segala alam.

Dalil keempat: Jika kita tinjau dzat mahiyah itu sendiri maka terdapat hubungan sifat-sifat seperti anteriority (at-taqaddum) dan posteriority (at-taakhkhur), intensitas kuat dan lemah, potensi dan aktual adalah sama; akan tetapi realitas sifat-sifat maujud di alam luar adalah berbeda, yakni sebagian dari mereka ada yang lebih dahulu (at-taqaddum), ada yang mempunyai intensitas kuat seperti wujud sebab (al-illah) dan sebagian lagi seperti wujud akibat (al-ma'lul) dan ada lagi sebagai potensi dan sebagai aktual. Sekiranya mahiyah yang hakiki, maka perbedaan sifat-sifat tersebut mesti disandarkan kepada mahiyyah, sementara hubungan mahiyyah dengan semua sifat-sifat tersebut adalah sama, dan ini kontradiksi[2]. Maka dari itu wujudlah yang hakiki.

c. Dalil-dalil tentang kehakikian kuiditas (al-ashalah al-mahiyah) dan penampakan wujud (al-'itibariyah al-wujûd)

Jika wujud yang hakiki, maka sesuai dengan keniscayaan kehakikiannya, ia harus maujud di luar, maka maujud (wujud pertama) tersebut baginya adalah wujud (wujud kedua), dan wujud kedua ini - karena ia juga hakiki - juga maujud di luar dan baginya lagi adalah wujud (wujud ketiga), dan hal ini terus berlanjut seperti tasalsul, sedangkan tasalsul adalah suatu perkara yang mustahil.

Dalam menjawab argumen tersebut di atas dapat dikatakan bahwa wujud adalah maujud, tetapi dengan dzatnya sendiri, tidak dengan perantaraan wujud yang lain, oleh sebab itu tidak terjadi tasalsul.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka jelaslah kelemahan pandangan Dawwani yang beranggapan bahwa kehaklikian wujud disandarkan kepada Tuhan dan kehakikian mahiyah dinisbahkan kepada wujud mumkin (makhluk). Berdasarkan pandangan tersebut, pemutlakan maujud pada Tuhan mempunyai makna bahwa Ia (Tuhan) adalah wujud itu sendiri, tetapi pemutlakan maujud pada mahiyyah mempunyai pengertian bahwa mahiyah-mahiyah tersebut dihubungkan dan disandarkan kepada wujud, seperti penjual susu yang dihubungkan dengan susu dan penjual kurma yang berhubungan dengan kurma.

Tapi kalau berpijak pada kehakikian wujud maka wujud berarti maujud secara esensial sementara mahiyah maujud secara aksiden (bil-'aradh)[3].

Setelah jelas prinsipalitas atau kehakikian eksistensi dan kemajasian atau penampakan kuiditas dengan pembuktian dalil-dalil, maka dari itu, setiap orang yang memahami secara sempurna masalah prinsipilitas wujud maka ia pun sempurna dalam penegasan wujud wajib (Tuhan).

Selanjutnya, sebagai pendekatan dalam penegasan eksistensi Tuhan, kami akan paparkan beberapa mukadimah penting yang urgen diperhatikan:

1. Imkan (watak kebergantungan) yang diungkapkan dalam bab pembahasan kuiditas juga diungkapkan dalam pengkajian eksistensi, akan tetapi imkan yang digunakan dalam istilah ahli logika dalam bab komprehensi (al-mafhum) berbeda dengan imkan yang diaplikasikan oleh filosof dalam bab ke-eksistensi-an maujud-maujud mumkin (maujud-maujud kontingen);

2. Imkan dalam bab kuiditas terdapat dua makna:

a) Relasi kuiditas terhadap wujud dan ketiadaan adalah sama;

b) Wujud bagi kuiditas adalah tidak niscaya, demikian juga ketiadaan baginya. Pada dasarnya makna kedua tersebut lebih riil dari makna pertama.

3. Imkan dalam bab eksistensi tidak bermakna seperti di atas (imkan dalam bab kuiditas); sebab terhadap wujud tidak dapat dikatakan bahwa "relasi wujud itu sendiri terhadap ketiadaan dan wujud adalah sama, dan tidak dapat dikatakan bahwa sesuatu yang secara hakiki mempunyai wujud luar disebut keaktualan baginya adalah tidak niscaya, karena mustahil hakikat sesuatu bagi sesuatu itu sendiri adalah tidak niscaya. Dan jika sesuatu itu nyata dan aktual kemudian dinisbahkan kepadanya ketakaktualan dan ketiadaan, maka menyebabkan terjadinya kontradiksi dan penegasian sesuatu dari dirinya". Maka dari itu, imkan dalam bab eksistensi harus dimaknakan sebagai "hubungan (ar-rabth, connection)" atau "kebergantungan (al-faqr, mutual need)".[4]

Maka sesuai dengan penjelasan tersebut pandangan kita terhadap kuiditas tiada lain adalah bersifat penampakan dan kemajasian belaka (al-i'tibari, mentally-posited). Oleh sebab itu, kuiditas-kuiditas merupakan batasan-batasan wujud serta terabstraksi dan terkonsepsi dari dimensi keaktualan wujud-wujud. Dan tak ada sesuatu yang mengaktual dalam atmosfir realitas kecuali prinsipalitas hakikat cahaya wujud, yang hanya mempunyai realitas dan tanpa bercampur dengan aspek penampakan adalah wujud itu sendiri.

Karena kuiditas-kuiditas tersebut sudah disisihkan dari atmosfir realitas dan bersifat murni ketiadaan, maka yang tersisa dalam atmosfir realitas hanyalah wujud itu sendiri atau wujud murni (ash-shirf al-wujûd), dimana Ia adalah suatu hakikat yang bukan kuiditas dan bukan ketiadaan, tidak ada jalan sama sekali bagi ketiadaan dan ketakaktualan untuk wujud murni yang aktual tersebut. Shirful wujûd ini adalah identik dengan Wâjib al-Wujûd (baca: Tuhan), sebab sesuai dengan tinjauan kita bahwasanya Wâjib al-Wujûd adalah bukan ketiadaan. Dan al-Wâjib dengan al-Wujûd bukanlah dua sesuatu yang bersatu, akan tetapi al-Wâjib adalah identik dengan al-Wujûd dan sesuatu yang aktual adalah identik dengan al-Wâjib, maka al-Wujûd adalah setara dengan al-Wâjib. Oleh sebab itu, sesuatu yang sesuai dengan komprehensi eksistensi dan aktual serta merupakan individu dari komprehensi eksistensi, maka ia adalah hakikat Wâjib al-Wujûd atau shirful wujûd; sebab sebagaimana yang sudah diutarakan sebelumnya bahwa kuiditas adalah imajinasi dari akal serta tidak mempunyai hakikat, maka dari itu shirful wujûd adalah sama dengan al-Wâjib, al-Wujûd dan al-Wâjib bukanlah dua obyek yang bersatu akan tetapi adalah identik satu sama lain.

Setiap apa yang dalam kaun (alam imkan) adalah imajinasi dan khayal

Atau wajah-wajah dalam cermin-cermin atau bayangan-bayangan


3. Apakah Kemurnian Wujud Meniscayakan Ketunggalan ?
Apakah shirful wujûd (kemurnian wujud) meniscayakan ketunggalan atau kejamakan atau tidak meniscayakan keduanya? Jika kemurnian wujud meniscayakan ketunggalan maka sampailah pencarian kita kepada tauhid dan jika meniscayakan kejamakan maka selamanya tidak akan sampai pada ketunggalan dan juga memestikan tiadanya kejamakan; sebab jika tidak terdapat satu (partikular) maka tidak akan ada jamak, serta juga tidak ada keniscayaan yang dinisbahkan pada ketunggalan dan kejamakan, karena ada faktor yang menyebabkan (mu'allal, having a cause) hadirnya kemestian dalam ketunggalan dan kejamakan itu sendiri. Yakni sesuatu yang secara esensial tidak memiliki keniscayaan ketunggalan dan kejamakan harus membutuhkan pengefek lain untuk menjadi aktual dalam ketunggalannya atau kejamakannya. Kita sebelumnya telah menetapkan dengan argumen yang kokoh tentang kemendasaran dzat Wâjibul Wujûd dan telah dijelaskan bahwa Wâjibul Wujûd tidak memiliki batasan dan kuiditas, maka dari itu jika Ia dengan perantaraan efek-Nya sesuatu tersebut menjadi tunggal atau jamak, maka pada dasarnya Ia telah terefek dari yang lain dan ini adalah tanda kerangkapan dan kebutuhan-Nya (dan ini adalah sesuatu yang menyalahi dzat Wâjibul Wujûd). Oleh karena itu, tidak benar bahwa Wâjibul Wujûd pada tataran dzat tidak mempunyai keniscayaan ketunggalan atau kejamakan serta dengan perantaraan sebab luar Ia mendapatkan keniscayaan ketunggalan atau kejamakan.

Juga tidak benar kalau kita katakan bahwa pada tataran dzat terdapat keniscayaan kejamakan, sebab kejamakan-kejamakan itu dihasilkan dari ketunggalan-ketunggalan, dan sumber konsepsi tentang kejamakan adalah berkumpulnya satuan-satuan tersebut. Jika sesuatu itu pada tataran dzatnya terdapat keniscayaan kejamakan dan selamanya tidak pernah terdapat keniscayaan ketunggalan, maka mustahil dihasilkan darinya kejamakan; sebab awalnya pada tataran dzatnya terdapat keniscayaan kejamakan dan setiap bagian dari dzat tersebut juga meniscayakan kejamakan, sedangkan kejamakan dari sisi bahwa ia adalah kejamakan, tidak akan pernah menghasilkan kejamakan, kecuali sebelumnya dihasilkan padanya satuan-satuan dan masing-masing satuan-satuan tersebut pada tataran dirinya juga mesti satu, padahal kita asumsikan bahwa sesuatu yang keniscayaannya adalah kejamakan, maka bagian-bagiannya juga secara dzat adalah keniscayaan kejamakan. Oleh karena itu, kemestian sesuatu yang dzatnya meniscayakan kejamakan adalah keniscayaan ketiadaan ketunggalan, dan tidak akan pernah menghasilkan satuan-satuan dan kesatuan-kesatuan, maka dari itu adalah mustahil dihasilkan kejamakan, sedangkan jika dzat Wâjibul Wujûd adalah keniscayaan ketunggalan, maka tujuan kita sudah tercapai yakni tauhid dan keesaan Wâjibul Wujûd.[5]


4. Tinjauan Ketunggalan berdasarkan Prinsipalitas Kuiditas dan Prinsipalitas Eksistensi
Berdasarkan prinsipalitas kuiditas pengertian ketunggalan (al-wahdah, unity) dalam perkara di atas adalah bahwa universalitas (al-kulli) terbatas pada individual, sedangkan berdasarkan prinsipalitas wujud yang juga mengakui keberadaan mahiyah dimana dari tinjauan mahiyahnya universalitas terbatas pada individual serta dari tinjauan wujudnya adalah tidak memiliki keserupaan, dan berdasarkan kemurnian wujud maka keniscayaan ketunggalan adalah identik dengan kemustahilan adanya asumsi kejamakan dan keserupaan.[6]

Selanjutnya berasaskan prinsipalitas mahiyah adalah jelas bahwa tidak terdapat perbedaan dalam hukum esensial (hukum yang berkaitan dengan hakikat sesuatu), jika esensi sesuatu adalah meniscaya maka tidak terdapat perbedaan dalam kuantitas individu (hanya satu individu atau individu-individu yang banyak) dan jika esensi sesuatu adalah mustahil (mumtani, impossible) maka semua individu-individu juga mustahil, dengan kata lain tidak boleh ada satu esensi yang niscaya dan sekaligus mustahil; dan berdasarkan prinsipalitas eksistensi, jika kita memandang wujud niscaya mempunyai mahiyah maka sama dengan di atas, sebab kendatipun keniscayaan mahiyah didapatkan dari keniscayaan wujud akan tetapi akal memandang bahwa wujud seperti ini dapat berulang dan wujud partikular serta wujud khusus tidak tercegah dari wujud lain yang serupa dengan dirinya. Di samping itu tidak mungkin kepemilikan kuiditas dinisbahkan kepada satu individu adalah niscaya dan terhadap individu lainnya adalah bersifat mustahil. Oleh karena itu, jika suatu wujud niscaya memiliki kuiditas, ini bermakna bahwa tidak dapat diasumsikan padanya keniscayaan ketunggalan dan multiplisitas, sebab keniscayaan multiplisitas adalah lebih dari satu dan jika keniscayaan lebih dari satu maka tidak ada satu tingkatanpun dari tingkatan-tingkatan yang di atas satu, terbatas atau tidak terbatas yang akan mengaktual, karena mengaktualnya setiap tingkatan bermakna melebihkannya dengan tanpa kelebihan, dan hal ini membuahkan bahwa keterpaksaan dalam ketunggalan dan kejamakan itu sendiri adalah tersebabkan (mu'allal) dan tersebabkan dalam ketunggalan dan kejamakan bermakana kemestian ketersebaban dalam dzat dan ini adalah berlawanan dengan substansi dzat Wâjibul Wujûd (yakni dalam dzat-Nya mustahil terjadi kausalitas). Oleh sebab itu, hal di atas merupakan dalil dan bukti bahwa Wâjibul Wujûd tidak mempunyai kuiditas dan apa-apa yang memiliki kuiditas bukanlah Wâjibul Wujûd. Dari sini kita dapat mengkonstruksi suatu argumen yang dalam filsafat dikatakan bahwa "Wâjibul Wujûd tidak memiliki kuiditas", jika Wâjibul Wujûd mempunyai kuiditas maka kuiditas tersebut adalah satu ataukah jamak, tunggal atau jamaknya kuiditas merupakan keniscayaan dzat-Nya ataukah bukan keniscayaan dzatnya, sebab tidak ada satupun dari pembagian-pembagian tersebut adalah benar, konklusinya jika Ia adalah Wâjibul Wujûd niscaya tidak mempunyai mahiyah, dan setiap sesuatu yang memiliki mahiyah, seperti materi maka niscaya bukanlah Wujud Wâjib.

Selain itu yang harus juga dipecahkan adalah ungkapan "jika Wâjibul Wujûd mempunyai kuiditas maka dalam ketunggalan dan kejamakan-Nya adalah bersifat tersebabkan (mu'allal). Dan makna dari pernyataan tersebut adalah, jika sebabnya adalah satu maka ia menjadi satu, dan kalau sebabnya adalah jamak maka ia pun menjadi jamak, dan makna ini menyalahi keniscayaan wujud-Nya serta sama dengan Wâjibul Wujûd tercipta dalam sistem kausalitas. Oleh sebab itu, jika diasumsikan Wâjibul Wujûd mempunyai kuiditas maka Ia tidak meniscayakan ketunggalan dan kejamakan serta juga ketakniscayaan. Dan konsekuensi ini bermakna bahwa hakikat Wajibul Wujûd tidak mungkin mempunyai mahiyyah. Adapun jika Wâjibul Wujûd dipandang sebagai shirful wujûd maka ini bermakna bahwa Ia meniscayakan ketunggalan, yakni mustahil diasumsikan pada-Nya dualitas atau multiplisitas dan keberulangan dan kejamakan. Untuk lebih gamblangnya masalah tersebut dapat dijelaskan bahwasanya hakikat wujud (wujud mumkin atau Wujud Wajib) adalah satu, maka dari itu tidak akan terbagi menjadi satu atau jamak, hanya mahiyah yang dapat terbagi menjadi satu atau jamak, tapi ketika tidak ditinjau dari sisi universalnya maka tidak terbagi menjadi satu atau jamak. Namun yang perlu diperhatikan lebih jauh adalah tidak terjadi saling menyalahi antara hakikat wujud yang tidak tersifati dengan sifat kejamakan dengan sesuatu (kuiditas universal) yang tersifati dengan kejamakan dan keserupaan; sifat kejamakan diperoleh dari aspek kuiditas tetapi sifat keserupaan berasal dari individu-individu. Oleh sebab itu, jika Wâjibul Wujûd diasumsikan sebagai shirful wujûd maka tidak berada di bawah spesis kuiditas, sebab Ia pasti memiliki kesetaraan dengan wujud maka dari itu Ia niscaya tidak tersifati dengan multiplisitas dan keserupaan karena merupakan wujud murni. Dan pada akhirnya harus dibedakan antara tinjauan Wâjibul Wujûd sebagai Yang Satu dan tidak jamak dengan tinjauan Wâjibul Wujûd sebagai yang tidak mempunyai dualitas dan keserupaan. Dan pembahasan tersebut harus bersandar pada sisi "tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya dan tak ada dualitas bagi-Nya". Dari penguraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemurnian wujud (shirf al-wujûd) meniscayakan ketunggalan, kesatuan dan keesaan (al-wahdah) dan ketiadaan keserupaan.


5. Penolakan Keniscayaan Kejamakan dan Ketakniscayaan Ketunggalan atau Kejamakan
Setelah ditetapkan bahwa shirful wujûd meniscayakan ketunggalan, maka harus dibuktikan juga keniscayaan kejamakan dan ketakniscayaan ketunggalan atau kejamakan. Shirful wujûd tidak mungkin meniscayakan keduanya, sebab shirful wujûd adalah realitas luar, dan sesuatu tidak akan mengaktual di alam luar kecuali bersifat satu atau jamak, di samping itu wujud tidak dapat dibandingkan dengan kuiditas dimana pada tataran esensi kuiditas tidak berwujud dan juga tidak meniada. Hakikat wujud tidak mungkin meniscayakan kejamakan, sebab keniscayaan kejamakan dalam shirful wujûd yang hakikatnya adalah identik dengan ketunggalan memestikan peniadaan dan penafian shirful wujûd, yakni jika shirful wujûd meniscayakan multiplisitas yang merupakan lawan dari ketunggalan berarti terjadi peniadaan dan penafian shirful wujûd, karena sebelumnya sudah ditetapkan bahwa shirful wujûd identik dengan ketunggalan.


6. Keraguan Ibnu Kamunah
Ibnu Kamunah mengungkapkan suatu keraguan terhadap argumen ini (shirful wujûd). Keraguannya berbunyi demikian, "Mengapa tidak bisa ada dua wujud atau zat yang berbeda secara keseluruhan dari sisi hakikatnya ? Yakni dua hakikat yang sama sekali tidak memiliki sisi kesamaan dan berbeda secara substansi, dzat serta hakikatnya, dan pengertian (komprehensi) wajib bagi kedua subyek tersebut adalah bersifat aksidental.

Di bawah ini kita akan menganalisa dan menjawab keraguan Ibnu Kamunah sebagai berikut:

1. Keraguannya: mengapa tidak bisa terdapat dua individu yang berbeda dzatnya secara keseluruhan; tidak secara sebagian sehingga meniscayakan kejamakan dan tidak juga dalam bentuk aksiden di luar dari dzat sehingga Wâjibul Wujûd disebabkan olehnya? Dengan kata lain mengapa tidak bisa terdapat dua "dzat tunggal yang berdiri sendiri" yang tidak diketahui hakikatnya dan berbeda esensinya secara keseluruhan dimana masing-masing dari keduanya secara esensi adalah Wâjibul Wujûd serta konsepsi tentang Wâjibul Wujûd terambil dari mereka dan dipredikasikan terhadap mereka secara aksidental?

2. Penjelasan kita dalam menolak keraguan tersebut adalah: Dalam awal pembahasan kita telah mengutarakan dua topik bahasan sebagai mukadimah penting antara lain, pertama adalah prinsipalitas eksistensi dan kedua adalah univocal wujud. Jika dua topik ini sudah jelas maka kita dapat menjawab keraguan tersebut dengan baik; sebab sesudah diutarakan bahwasanya dalam wilayah aktualisasi, yang mengaktual dan pemilik hakiki adalah eksistensi dan bukan yang lain, maka dari itu tingkatan-tingkatan wujud pada hakikatnya adalah bukanlah wujud yang berbeda-beda, akan tetapi hakikat dari tingkatan-tingkatan tersebut adalah satu dan perbedaan mereka hanya dalam intensitas (wujud yang paling tinggi tingkatannya memilki intensitas kuat dan sebaliknya secara bergradasi) dan sisi perbedaan mereka (adalah wujud) adalah sama dengan sisi persamaan mereka (adalah wujud), yakni perbedaan mereka pada wujud dan persamaan mereka juga pada wujud.

3. Kesimpulannya: dengan hukum prinsipalitas eksistensi telah diketahui bahwa hanya ada satu hakikat dalam wilayah aktualisasi (di alam nyata) dan kami katakan bahwa maujud adalah satu hakikat dan satu realitas, jika kita pandang salah satu dari dua Wâjibul Wujûd yang diasumsikan maka,dengan berpijak pada kehakikian wujud, tak ada sesuatu selain hakikat yang satu, jika Wâjibul Wujûd yang lain (B) berbeda secara keseluruhan dzat dan hakikat-Nya dengan Wâjibul Wujûd (A) maka itu mustahil, karena selain Ia (A) hanyanya ketiadaan dan selain ketiadaan tak ada sesuatu yang berbeda dengan wujud secara keseluruhan dzat dan hakikat. Maka dari itu, yang "kontaradiksi" dengan wujud adalah ketiadaan atau mahiyah (secara potensial), dan sebelumnya kami sudah jelaskan berdasarkan prinsipalitas eksistensi bahwa kuiditas-kuiditas tersebut adalah bersifat majasi, oleh sebab itu, Wâjibul Wujûd (B) yang diasumsikan tersebut adalah ketiadaan atau mahiyah. Kalau kita tidak berpijak pada kehakikian wujud dan kita bersandar pada kehakikian mahiyah maka hasilnya menjadi: mahiyah ilmu, mahiyah kudrat, mahiyah hidup, mahiyah kehendak dan … adalah maujud, dan jika kita mengatakan bahwa Wâjibul Wujûd adalah Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Berkehendak, Yang Maha Hidup dan …, sebagaimana yang sudah ditetapkan oleh para filosof dan teolog bahwa Wâjibul Wujûd mesti memiliki sifat-sifat kesempurnaan dari seluruh aspek, sementara berdasarkan keraguan Ibnu Kamunah bahwa Wâjibul Wujûd (B) haruslah bertentangan secara menyeluruh dengan Wâjibul Wujûd (A), maka dari itu mestilah Wâjibul Wujûd (B) tersebut adalah bodoh, tidak kuasa, tidak berkehendak, mati dan …. Singkatnya mahiyah-mahiyah (sifat-sifat) tersebut harus terwujud pada Wâjibul Wujûd (B) yang lain, padahal kita katakan bahwa Wâjibul Wujûd haruslah sempurna dari seluruh dimensi. Jika semua manusia menerima Tuhan seperti itu (Wâjibul Wujûd (B) yang lain), oleh karena itu mustahil kita menerima dua Wâjibul Wujûd versi Ibnu Kamunah yang saling bertentangan secara dzat.[7]


Catatan Kaki:
[1] . Sayyid Ja'far Sajjady, Farhangge Ulume Falsafi wa Kalami, hal. 401.

[2] . Bidayah al-Hikmah, Allamah Thabathabai.

[3] . Bidayah al- Hikmah, Allamah Thabathabai.

[4] . Taqriiraate Falsafeh Imam Khomeni Rh. Bar Syarh Manzhumah, Ayatullah Sayyid Abdul Gani Ardibili, hal.14.

[5] . Taqrîrât-e Falsafey-e Imam Khomeni Rh. Bar Syarh Manzhumah, Ayatullah Sayid Abdul Gani Ardibili, hal. 61.

[6] . Maqâlât-e Falsafi, Murtadha Muthahari. 294.

[7] . Taqriraat-e Falsafeh Imam Khomeni Rh. Bar Syarh-e Manzhumah, Ayatullah Sayid Abdul Gani Ardibili, hal. 71-72


18
Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

Argumen Pengalaman Keagamaan [11]

Mukadimah
Keyakinan dan kepercayaan akan keberadaan Tuhan, merupakan pondasi dan asas yang paling penting bagi seluruh agama. Aturan keagamaan inilah yang melandasi segala aktifitas dan perilaku manusia yang beragama pada seluruh dimensi kehidupannya. Jadi, ada hubungan yang sangat erat antara kesempurnaan perbuatan insan dan kepercayaan akan eksistensi Tuhan. Semakin tinggi kepercayaan kepada Tuhan, semakin intens pula hubungan ia kepada-Nya, dan semakin sempurna pengamalan atas ajaran-ajaran agama.

Pengetahuan yang pasti akan wujud Tuhan, meniscayakan pengetahuan sempurna akan sifat-sifat-Nya. Salah satu sifat Tuhan adalah Maha Mengetahui. Jadi, apabila manusia yakin akan wujud Tuhan -yang merupakan Sebab Pertama dalam hadirnya segala eksistensi yang bergradasi dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah- maka konsekuensinya, iapun akan sadar bahwa yang paling mengetahui akan keberadaan dirinya, sifat-sifatnya dan kebutuhan substansialnya adalah Tuhan Sang Pencipta (al-Khâliq).

Jadi agama, yang merupakan pedoman hakiki bagi manusia dalam meraih kesempurnaan pengetahuan dan penghambaan kepada-Nya, -lewat perintah dan larangan-Nya- akan sangat bermanfaat bagi manusia jika sebelumnya telah mengkaji dan membuktikan eksistensi Tuhan secara rasional. Kesadaran rasional adalah kesadaran yang paling tinggi dan hakiki bagi manusia
[1] yang tidak bisa dilepaskan dari wujudnya. Jadi, manusia yang paling rasional dan berakal adalah manusia yang paling yakin akan keberadaan Tuhan.


Ke-badihi-an wujud Tuhan
Dalam pembuktian wujud Tuhan, sebagian menyatakan bahwa wujud Tuhan adalah sesuatu yang badihi[2], dan bahkan lebih terang dari segala sesuatu yang lain. Oleh karena itu, penetapan wujud Tuhan sama sekali tidak memerlukan penjelas dan argumen apapun. Dia mendahului segala sesuatu. Dia ada sebelum ada segala sesuatu. Dialah yang mengadakan segala sesutu. Segala sesuatu bergantung mutlak kepada-Nya. Ketiadaan selain-Nya tidak melazimkan ketiadaan-Nya. Tetapi ketiadaan-Nya, meniscayakan ketiadaan segala sesuatu. Dialah yang menjelaskan segala sesuatu. Bukan segala sesuatu yang menerangkan Dia. Segala sesuatu dikenal karena-Nya. Bukan karena selain-Nya Dia diketahui.

Sebagian besar filosof dan teolog (ahli kalam) menyatakan bahwa wujud Tuhan tidak badihi dan membutuhkan argumen dan burhan. Mereka ini kemudian membagi argumen menjadi dua bagian:

1. Burhan Inni (a priori argument)[3]

2. Burhan Limmi (a posteriori argument)[4]

Sebagian lagi membagi metode pembuktian Tuhan kedalam tiga bagian:

1. Metode Fitrah atau kalbu[5]

2. Metode Empiris[6]

3. Metode Filosofis[7]

Para ilmuwan dewasa ini menawarkan beragam cara dalam mengkaji dan membuktikan keberadaan Tuhan. Misalnya argumen mukjizat (supra-natural argument), argumen akhlak (moral argument) dan argumen pengalaman keagamaan (religious experience argument).

Pada kesempatan ini, kami akan mengkaji argumen pengalaman keagamaan sebagai tawaran baru dalam metode pembuktian wujud Tuhan.

Konsep tentang pengalaman keagamaan ini lahir di akhir abad 18 dan digagas oleh seorang filosof Jerman bernama Schlieirmacher (1768-1834). Lahirnya gagasan ini dilatari oleh dua hal:

1. Humanisme

2. Rasionalisme


Rasionalitas agama
Rasionalisme ekstrim ditolak oleh banyak ilmuwan setelah Descartes, terutama oleh David Hume yang menolak argumen-argumen filosofis tentang pembuktian wujud Tuhan. Kant juga beranggapan bahwa agama tidak sesuai dengan rasionalitas. Dan segala prinsip-prinsip agama tidak bisa ditetapkan dan didekati lewat akal (akal teoritis). Kant mengusulkan agama didekati lewat pendekatan moral, dan menetapkan wujud Tuhan praktis dengan moral dan akhlak, bukan dengan asumsi rasionalitas. Lebih jauh dia menyatakan bahwa hakikat agama adalah akhlak itu sendiri.

Keringnya rasionalitas ekstrim, menyebabkan lahirnya filsafat mazhab Romantisme yang mengedepankan perasaan, emosi dan cinta. Pada kondisi ini Schlieirmacher dari satu sisi mendukung rasionalisme ekstrim, dan dari sisi lain mengecam pendekatan akhlak dalam pembuktian realitas Tuhan. Dia berkata bahwa agama mendapatkan tempatnya lewat ketulusan, emosi dan cinta. Hakikat agama adalah perasaan tulus, ikhlas, emosi dan cinta yang tak terbatas, serta kebergantungan mutlak lewat intensitas pengamalan-pengamalan keagamaan. Jadi, agama dalam defenisi ini menjadi sangat personal dan relative. Agama tidak ikut campur dalam masalah-masalah sosial, budaya dan politik. Agama menjadi sangat marginal.


Defenisi pengalaman keagamaan
Pengalaman keagamaan dapat didefenisiskan sebagai berikut: Penyaksian Tuhan atau perkara-perkara gaib lainnya. Jika penyaksian itu berhubungan dengan hal-hal yang bersifat inderawi, maka hal tersebut disebut dengan pengalaman inderawi. Tetapi jika penyaksian tersebut berhubungan dengan Tuhan atau hal-hal yang berasal dari-Nya, maka disebut pengalaman keagamaan
[8]. Dalam pengalaman keagamaan, Tuhan memanifestasikan diri-Nya sendiri dalam wujud para pesuluk (orang yang meniti jalan ruhani). Terkadang pengalaman keagamaan juga meliputi terkabulnya doa dan penyembuhan penyakit. Tetapi dalam kerangka pembahasan filosofis, pengalaman keagamaan dibatasi oleh pengalaman-pengalaman yang mengandung pengetahuan tentang Tuhan.

Rudolf Otto dan Schleiermacher beranggapan bahwa pengalaman keagamaan adalah inti dan substansi agama, pemikiran agama dan akhlak lebih bersifat aksiden. Dalam pandangan Otto, jika agama dipahami dan diyakini berdasarkan pengenalan rasionalitas atas wujud dan sifat-sifat Tuhan, maka akan terdapat kesalahan dalam pemahaman agama.
[9]

Pengalaman keagamaan adalah substansi agama dengan makna bahwa hakikat agama adalah perasaan khas yang lahir ketika berhadapan dengan hakikat tak terbatas. Hal-hal lain, seperti pemikiran agama, amal perbuatan dan akhlak tidak termasuk dalam hakikat dan inti agama. Oleh karena itu, jika keadaan perasaan tersebut hadir pada diri seseorang, maka dia disebut memiliki agama. Tetapi jika sebaliknya, maka dia tidak dikategorikan sebagai orang yang beragama. Apabila perasaan tersebut semakin sempurna, maka agama pun semakin sempurna. Agama dan perasaan berbanding lurus.

Pengalaman keagamaan adalah inti dan substansi agama dengan tafsiran bahwa ia merupakan tujuan dan maksud hakiki agama. Ibn 'Arabi menerima pengalaman keagamaan sebagai substansi agama dalam pengertian tersebut. Menurut dia, syariat adalah jalan yang mengantarkan pesuluk mencapai penyaksian (syuhudi) dan penyatuan dengan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Tingkatan inilah yang dimaksud tujuan dan kesempurnaan agama. Jadi, kesempurnaan agama seseorang bergantung pada kemanunggalannya dengan nama dan sifat Tuhan. Semakin banyak dia menyerap nama dan sifat Tuhan, semakin sempurna agamanya.


Bentuk-bentuk pengalaman keagamaan

1. Pengalaman interpretatif
Yang dimaksud dengan pengalaman interpretative (interpretative experiences) adalah warna pengalaman agama ini bukan disebabkan oleh kekhususan-kekhususan pengalaman itu sendiri, tetapi ditentukan oleh penafsirannya atas agama.

Jadi, pelaku yang meraih pengalaman keagamaan, memandang pengalamannya sendiri berdasarkan suatu penafsirannya atas agama. Seperti seorang muslim yang memandang kematian anaknya sebagai balasan atas dosanya sendiri, atau seorang penganut Kristen menafsirkan kematian anaknya sebagai ikut serta dalam penderitaan Isa As. Jadi, mereka bersabar dalam musibah tersebut dan menghasilkan ekspresi kejiwaan dalam bentuk kesedihan, kenikmatan atau kebahagiaan.

Poin penting dalam masalah ini adalah dengan bantuan penafsiran, maka semua hal yang terjadi dalam kehidupan dapat diwarnai dengan warna keagamaan, lantas diamalkan dan dihayati. Sisi epistemologi dalam pengalaman ini bukanlah hal yang dipentingkan. [10]


2. Pengalaman inderawi
Pengalaman inderawi (sensory experience) adalah pengalaman yang bersifat penginderaan yang dipengaruhi oleh lima panca indera. Penglihatan-penglihatan yang bersifat keagamaan, perasaan menderita ketika melakukan pengamalan keagamaan, melihat malaikat, mendengar wahyu dan percakapan Musa as dengan Tuhan, kesemuanya itu dikategorikan dalam pengalaman inderawi. [11]


3. Pengalaman wahyu
Pengalaman ini meliputi wahyu, ilham dan bashirah yang seketika. Pengalaman wahyu (revelatory experience) yang bersifat seketika, tanpa penungguan sebelumnya, hadir dalam diri pesuluk. Dan warna keagamaan pengalaman ini berkaitan dengan isi dan makna dari wahyu tersebut. Menurut Davis, pengalaman ini memiliki lima kriteria:

a. Bersifat tiba-tiba dan waktunya yang singkat

b. Meraih pengetahuan baru tanpa tafakkur dan argumen

c. Berpengaruhnya faktor eksternal

d. Keyakinan akan kebenaran yang diperoleh

e. Tidak dapat dijelaskan dan digambarkan[12]


4. Pengalaman pembaharuan
Pengalaman ini merupakan bentuk pengalaman keagamaan yang paling umum. Pengalaman pembaharuan (regenerative experiences) ini adalah pengalaman yang menjadikan keimanan pelaku semakin bertambah sempurna. Pengalaman ini merubah secara drastis keadaan jiwa dan akhlak pelaku. Seseorang akan merasa bahwa Tuhan sedang mengarahkan dirinya kepada hakikat kebenaran. [13]


5. Pengalaman mistik
Pengalaman mistik (mystical experience) merupakan salah satu bentuk pengalaman keagamaan yang paling penting. Rudolf Otto dalam karyanya
[14], membagi pengalaman mistik menjadi dua bagian:

1. Pengalaman yang berhubungan dengan sisi internal jiwa. Pada dimensi ini pesuluk memperhatikan ke dalam diri dan tenggelam dalam lautan kejiwaannya, serta berupaya menyelam ke dasar jiwa untuk meraih kekuatan suci. Seorang pesuluk, berupaya jauh dari pengaruh indera lahiriah dan lebih memperhatikan sisi-sisi batin. Hal ini dicapai dengan pemusatan konsentrasi pada satu perkara. Ketika dia berhasil meraih kesempurnaan konsentrasi, tahap selanjutnya adalah menghilangkan semua rasa dan menghapus semua gambaran inderawi dan gambaran pikiran hingga mencapai “kekosongan” dan “ketiadaan” yang sempurna. Menurut para arif, pesuluk yang sampai pada tingkatan ini, akan meraih pengetahuan sejati dan suci. Dapat dikatakan bahwa arif dalam pengalaman ini, lepas dari perasaan ego dan menyatu dengan ego suci.

2. Pengalaman yang berkaitan dengan penyaksian kesatuan wujud. Sisi ini memiliki tiga tingkatan:

Tingkatan pertama adalah arif mengetahui adanya kesatuan alam. Fenomena-fenomena alam menjadi satu kesatuan dengan diri arif.

Tingkatan kedua, bukan hanya alam tapi juga ada kekuatan supra natural yang mempengaruhinya. Arif melihat kesatuan lewat kejamakan alam.

Tingkatan ketiga, alam menjadi “tiada” dalam pandangan arif, dia memandang kesatuan tanpa kejamakan alam. Yang ada hanyalah kesatuan itu sendiri.[15]


Titik kesamaan pengalaman keagamaan
Dengan memperhatikan bentuk-bentuk pengalaman keagamaan di atas akan muncul pertanyaan bahwa apakah bentuk-bentuk tersebut memiliki titik kesamaan?

Masalah ini menjadi sangat penting ketika pengalaman keagamaan itu diartikan sebagai: Pertama: Hakikat dan prinsip yang paten dalam agama yang mendasari semua perkara yang bersifat keyakinan, amal perbuatan dan akhlak Kedua: Cara meraih pengetahuan dan mengenal hakikat.

Pengalaman-pengalaman keagamaan tersebut akan bermamfaat jika menghasilkan pangetahuan yang sama, walaupun dengan derajatnya yang berbeda. Apabila hal ini tidak terjadi, maka setiap pengetahuan yang dihasilkan dari satu bentuk pengalaman keagamaan -bisa jadi- akan bertentangan satu dengan yang lainnya, dan berujung pada ketidakabsahannya sebagai parameter dalam kebenaran pengetahuan.

Wiliam James [16] menawarkan empat titik kesamaan dalam pengalaman-pengalaman keagamaan :

1. Tidak bisa disifatkan, dijelaskan dan digambarkan

2. Memberikan pengetahuan

3. Cepat berlangsung

4. Bersifat reaktif[17]


Kriteria pengalaman keagamaan
Pesuluk dalam pengalaman keagamaan, berhubungan langsung (hudhuri) atau dengan perantara (hushuli) dengan hakikat dan wujud tak terbatas. Tuhan memanifestasikan diri-Nya dalam wujud pesuluk hingga dia meraih pengetahuan sejati.

a. Pengalaman keagamaan para nabi, jika dalam bentuk ilmu hudhuri, sama dengan pengalaman mistik; Pesuluk membutuhkan manifestasi Tuhan dalam membangun hubungan hudhurinya dengan Tuhan dan juga dalam menafsirkan pengalaman hudhuri-nya. Oleh karena itu, hakikat-hakikat agama yang lahir dalam bentuk ilmu hushuli, juga disebut wahyu yang datangnya dari Tuhan yang terpancar lewat wujud pesuluk.

b. Kriteria-kriteria pribadi dan faktor-faktor alami serta kondisi kejiwaan pesuluk, bukanlah faktor yang berpengaruh atas hadirnya hubungan hushuli atau hudhuri dengan Tuhan. Sebagaimana pengalaman keagamaan para nabi yang terjaga dari ilham syaitan dan hawa nafsu.

c. Pesuluk, dalam pengalaman keagamaan, mengalami penyingkapan dan penyaksian eksistensi Tuhan serta ber”cengkerama” dengan-Nya. Pengetahuan ontologinya sesuai dengan realitas dan tujuan akhir manusia.

d. Pengalaman keagamaan - seperti wahyu dan ilham – berbeda dengan pengalaman mistik, mengandung pengalaman suci dan transenden. Tetapi pengalaman mistik dipengaruhi oleh pemahaman dan pemikiran teoritis. Misalnya pemikiran Mu’tazilah berpengaruh pada pengalaman mistik Mu’tazilah, demikian juga pemikiran teologis Asy’ari.

e. Pengalaman keagamaan dan mistik, sama seperti pengalaman inderawi dan empiris, yang membutuhkan penafsiran dan penjelasan. Karenanya, membutuhkan epistemologi ontologis.

f. Pengalaman keagamaan dan mistik bersifat khusus, pasti dan berkelanjutan, jika dibandingkan dengan pengalaman inderawi dan empiris.

g. Pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman keagamaan bersifat luas yang meliputi alam, manusia dan Tuhan.[18]


Pengalaman keagamaan dan eksistensi Tuhan
Bentuk-bentuk argumen pengalaman keagamaan dalam menetapkan eksistensi Tuhan sebagai berikut:

1. Kita berasal dari satu hakikat wujud, kita memiliki pengalaman-pengalaman yang sangat dalam, penuh makna dan sangat berharga. Pengalaman-pengalaman ini tidak bisa ditetapkan dan dihadirkan dengan asumsi-asumsi natural; Karenanya pasti berasal dari satu eksistensi metafisik yaitu Tuhan, Dialah yang memberikan ilham atas pengalaman-pengalaman tersebut.

2. Begitu banyak orang dari tempat dan zaman yang berbeda, mengakui dan mengungkapkan pengalaman-pengalaman ketuhanannya. Sangat tidak masuk akal jjika kita menyatakan bahwa mereka itu lalai dan tertipu.

3. Pengalaman keagamaan secara esensial, bukanlah monoteistik, trinitas atau panteistik. Semua perbedaan-perbedaan yang ada ini hasil dari penafsiran atas pengalaman keagamaan. Pengalaman keagamaan memiliki sisi yang berharga, karena bertentangan dengan materialisme dan naturalisme.

4. Argumen yang nyata atas wujud Tuhan, diperoleh dari perasaan seseorang akan kehadiran Tuhan dan pengetahuan tentang kehendak-Nya serta perasaan yang sangat tenang dalam menerima perkara-perkara ilahi.[19]

Menurut sebagian besar para teolog, argumen pengalaman keagamaan, bukanlah argumen yang berdiri sendiri dalam menetapkan wujud Tuhan. Argumen ini hanya digunakan sebagi pelengkap atas argumen-argumen lain tentang pembuktian wujud Tuhan. Sebagian kecil teolog seperti C.D Broad, William Alston, berupaya mendukung dan mempertahankan argumen ini. Ada juga yang mengingkari argumen terserbut dalam menetapkan wujud Tuhan.


Argumen pengalaman keagamaan
Beberapa pendahuluan mengenai argumen ini, dapat dipaparkan sebagi berikut:

Pertama: Para arif sepakat tentang adanya esensi spiritual realistis yaitu Tuhan.

Kedua: Adanya kesepakatan para arif dan pesuluk, yang mereka sendiri mengakui dan memproklamirkan pengalaman tersebut, menandakan bahwa pengalaman-pengalaman mereka itu adalah sesuatu yang sah, nyata dan logis.

Ketiga: Tak satupun dalil dan argumentasi yang menetapkan, bahwa pengalaman-pengalaman tersebut adalah bersifat khayal dan tidak realistis. Karenanya, keyakinan akan wujud Tuhan yang diperoleh dari pengalaman keagamaan dan mistik merupakan hal yang sangat logis.[20]


Kritik atas argumen pengalaman keagamaan
Kelemahan dalam pembahasan rasionalitas dan prinsip-prinsip pemikiran filsafat, menyebabkan sebagian teolog kristen salah dalam membangun prinsip-prinsip rasional dalam proses pembuktian wujud Tuhan.

Salah satu argumen yang kehilangan keabsahan filosofisnya adalah argumen pengalaman keagamaan yang bersandar pada pengalaman-pengalaman, pencapaian dan penyaksian realitas yang bersumber dari nilai dan kesucian yang dalam.

Pengetahuan syuhudi atas hakikat eksistensi, walaupun merupakan hal yang mungkin dicapai dalam pandangan akal, tetapi ada beberapa poin penting yang harus diperhatikan:

Pertama: Syuhud[21] memiliki tingkatan dan derajat yang berbeda. Pada tingkatan tertentu, yaitu penyaksian hal-hal yang particular, terkadang menghadirkan keraguan dan ketidakyakinan.

Kedua: Syuhudnya para arif bagi orang-orang yang tidak mencapai tingkatan tersebut tidaklah menghasilkan keyakinan. Dan syuhud tersebut juga tidak bisa dijadikan dalil untuk menolak dan membatalkan kesyuhudan orang lain.[22]

Jadi, seseorang yang tidak dapat meraih pengetahuan syuhudi, bisa menjadikan pengetahuan syuhudi orang lain sebagai sumber pengetahuan dan keyakinan, manakala keberadaan pengetahuan syuhudi tersebut dapat diargumentasikan. Dan argumentasi ini -secara langsung- menetapkan hakikat dan eksistensi yang disyuhud tersebut, seperti argumen yang secara langsung menetapkan eksistensi Tuhan.

Kelemahan lain yang mendasar dari argumen ini adalah adanya ketidakpastian bahwa yang ditetapkan itu adalah wujud Tuhan. Karena bisa saja wujud yang dirasakan kehadirannya itu merupakan wujud-wujud gaib selain Tuhan, seperti malaikat, jin dan syaitan. Jadi argumen ini tidak mampu secara langsung menetapkan keniscayaan dan keesaan wujud Tuhan.[]


Catatan Kaki:
[1] . Kualitas wujud manusia sangat ditentukan oleh kualitas rasio dan akalnya. Semakin tinggi kesadaran rasionalnya, maka semakin luas dan sempurna wujudnya. Penyempurna hakiki wujud manusia adalah ilmu. Dan ilmu yang paling tinggi adalah ilmu ketuhanan. Metode untuk meraih ilmu: dengan pendekatan rasional dan akal. Jadi, tanpa akal, artinya tanpa ilmu. Dan tanpa ilmu, bermakna ketiadaan kesempurnaan manusia.

[2] . Tidak membutuhkan argumen, sesuatu yang jelas dan gamblang.

[3] . Pembuktian rasional dari akibat ke sebab.

[4] . Pembuktian rasional dari sebab ke akibat.

[5] . Dalam diri setiap orang ada perasaan dan kecenderungan yang secara otomatis menarik ia kepada Tuhan.

[6] . Pembuktian Tuhan dengan mengenal keteraturan dan keseimbangan dalam tatanan alam semesta. Lewat pendekatan ini dikatakan bahwa keteraturan ini pastilah memiliki pengatur yang maha mengetahui dan bijak.

[7] . Dengan menggunakan argumen filosofis dan hukum-hukum akal dalam menetapkan wujud Tuhan.

[8] . Ilahiyat Falsafi, hal.269, Mohammad Rezayi.

[9] .Jastarhaye Dar Kalâm Jadid, hal. 175, Ali syirwani.

[10] . Mabani nazari tajrebeye dini, hal.118, Ali syirwani.

[11] . ibid.

[12] . The evidential force of religious experience, hal 39-44, Davis.

[13] . Mabâni Nazari Tajrebey-e Dini, hal. 121, Ali Syirwani.

[14] . The Idea of the Holy, hal 10, Otto.

[15] . Mabâni Nazari Tajrebey-e Dini, hal.122, Ali syirwani.

[16] . The Varieties of Religious Experience, bab 16. James wiliam.

[17] . Pengaruh pengamalan berbagai adab dan tingkatan-tingkatan amal akan menghasilkan keadaan yang khas bagi jiwa dan menghantarkan jiwa pada kesadaran transenden bahwa dia diliputi oleh kehendak dan kekuatan luar yang tak terbatas.

[18] . Kalâm-e Jâdid, hal. 300, Abdul husain khusrupanoh.

[19] . Ilahiyat Falsafi, hal. 270, Muhammad Riza-i.

[20] . The Argument From Religious Experience, In: Philosophy of Religion, hal 15-108, C.D. Broad.

[21] . Penyaksian langsung hakikat-hakikat metafisik.

[22] .. Tabyin Barâhin Itsbat-e Khudâ, hal. 259, Ayatullah Jawadi Amuli


19
Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

Burhan Shiddiqien [12]

Mukadimah
Apabila kita menengok tipologi-tipologi berbagai argumen yang ditempuh oleh manusia dalam membuktikan wujud Tuhan, dapat kita katakan bahwa setiap manusia mampu memiliki argumen dan jalan untuk menemukan wujud Tuhan. Dan bisa jadi setiap orang -dalam menemukan dan mengenal Tuhan- dapat menggunakan pendekatan yang berbeda-beda. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa jalan untuk mengenal Tuhan tidak terbilang banyaknya. Orang-orang bijak mengatakan bahwa "Jalan untuk mengenal Tuhan sebanyak desah nafas manusia."

Tetapi ketika kita mengamati common point (titik-titik persamaan) di antara jalan-jalan tersebut, kita dapat membaginya kepada beberapa bagian yang lebih universal. Para filosof, teolog dan urafa mengemukakan beberapa jalan yang memiliki karakteristik tipikal pada bidangnya masing-masing.

Sebagai contoh, pada sebuah pembagian universal, terdapat dua jalan dalam mengenal Tuhan:

1. Jalan penalaran (rasional)

2. Jalan syuhudi (penyaksian mata batin)

Yang dimaksud dengan jalan penalaran di sini ialah bahwa seseorang berupaya untuk membuktikan wujud Tuhan dan sifat-sifat-Nya dengan cara mengaplikasikan proposisi-proposisi dan kaidah-kaidah rasional. Adapun jalan syuhudi ialah bahwa seseorang dapat mencapai peringkat penyaksian wujud Tuhan dengan mata hatinya melalui jalan pensucian jiwa, yaitu dengan meniti sair dan suluk. Dengan jalan penataan batinnya ia dapat menyingkap tirai yang menyelimuti keindahan (jamaliyah, fascinant) dan keagungan (jalaliyah, tremendum) Tuhan. Jalan pertama (penalaran akal) disebut sebagai jalan filosofis. Sementara cara yang kedua disebut sebagai jalan irfani atau sufistik. Namun terdapat orang-orang tertentu -dari kalangan filosof sekaligus arif (sufi)- yang mampu mengintegrasikan dan mensintesakan kedua jalan tersebut.

Di antara sekian jalan dan argumen yang terbentang dalam membuktikan dan mengenal wujud Tuhan, dengan kelemahan dan kelebihan yang dimiliki, terdapat satu argumen yang disebut dengan burhân shiddiqîn.


Makna Shiddiqin
Shiddiqîn adalah bentuk pleonasme dan secara leksikal merupakan jamak dari kata shiddîq yang berarti orang yang benar dan jujur dalam tutur kata. As-Shiddiqin dapat pula diartikan orang-orang yang telah mencapai keimanan yang sangat tinggi. Argumen tersebut dinamakan sebagai burhân shiddiqîn, karena dua kemungkinan:

1. Kemungkinan pertama lantaran argumen ini merupakan argumen yang paling utama dan paling kokoh yang digunakan untuk mengenal wajib al-wujud (Tuhan Pencipta). Sementara argumen-argumen yang lain tidak lepas dari berbagai kelemahan.

2. Kemungkinan kedua lantaran shiddiqîn -sebagai hamba-hamba pilihan Tuhan- memilih dan menggunakan argumen ini untuk mengenal dan membuktikan wujud Tuhan.

Burhân shiddiqîn secara teknikal disebut sebagai burhân shiddiqîn, lantaran argumen ini menawarkan sebuah pendekatan yang menyampaikan manusia kepada Tuhan tanpa media, yaitu dengan menggunakan inferensi (istidhlâl) dan menganalisa wujud manusia sampai pada wujud Tuhan secara murni. Hal ini sebagaimana dalam khazanah doa disebutkan "ya man dalla dzatihi bidzatihi". (wahai yang menujukkan dzat-Nya dengan dzat-Nya). Bukan melalui efek-efek-Nya, seperti yang digunakan dalam argumen kebaruan (huduts) -yang diusung oleh para teolog- dimana huduts ini merupakan efek materi. Dan bukan pula seperti argumen gerak (burhan harakat) -yang ditawarkan oleh Aristoteles- atau burhan imkan (kontingen). Tetapi ruh dan substansi burhân shiddiqîn ini melakukan inferensi pada kemutlakan wujud hingga mencapai wujud mutlak.

Mengingat bahwa argumen ini dapat pula dikatakan sebagai argumen fitri dan swabukti (badihi), maka kita tidak dapat mengatakan secara akurat tentang siapa penggagas argumen ini. Tetapi yang paling popular sebagai orang pertama yang menggagas argumen ini adalah seorang filosof-arif yang bernama Abu Nasir al-Farabi yang mendemonstrasikannya dalam bentuk argumentatif dan logis. Setelah itu, argumen ini mencapai usia balighnya di tangan Ibn Sina, kemudian Mulla Shadra, Sabzawari, dan Allamah Thabathabai. Setelah burhân shiddiqîn ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, ia memasuki kosmos pemikiran Barat. Di antara filosof masyhur Barat -yang dapat ditunjuk jari- sebagai orang yang mempopulerkan argumen ini adalah Thomas Aquinas (filosof sekaligus teolog), kendati ia menyebutnya sebagai argumen ontologis.

Bahwa burhân shiddiqîn mengajak manusia mengenal Tuhan tanpa media dan tidak dengan efek-Nya melainkan dengan diri Tuhan sendiri, memang sesuatu yang perlu ditunjukkan. Karena ia merupakan argumen yang utama dan paling kokoh dalam mengenal Tuhan, yang melebihi argumen-argumen lainnya yang memiliki cacat dan kelemahan. Selanjutnya saya mengajak Anda untuk menelisik satu persatu gagasan dan pendapat para filosof dan urafa ihwal burhân shiddiqîn ini.


Al-Farabi
Al-Farabi (872-950 M) beranggapan bahwa burhân shiddiqîn merupakan argumen yang paling kuat dan paling ringkas dalam membuktikan dan mengenal wujud Tuhan. Ia menuturkan gagasannya ihwal burhân shiddiqîn sebagai berikut:

"Apabila mata rantai seluruh wujud itu terjadi tanpa Wajib al-Wujud, sementara mabda' dan permulaannya berupa mumkinul wujud yang terjadi dengan sendirinya, maka kondisi seperti ini melazimkan dua hal yang kedua-duanya itu batil. Kemestian pertama adalah bahwa sesuatu itu menciptakan dirinya sendiri, dan hal ini batil. Kemestian kedua adalah bahwa sesuatu itu meniadakan dirinya sendiri, dan hal ini lebih batil".

Dengan kata lain bahwa silsilah seluruh wujud, jika tanpa wâjib al-wujud, akan menjadi mumkin al-wujud. Jika demikian halnya, maka akan timbul pertanyaan: Bagaimana keberadaan yang pertama itu dapat terwujud?, dari mana ia mengambil wujudnya sendiri, dengan asumsi bahwa wujud kontingen sifatnya adalah adannya dan tiadanya adalah sama dan ekuivalen serta tidak memiliki prioritas untuk mengada dan meninggalkan titik persamaan antara ada dan tiada?.

Dalam situasi seperti ini terdapat dua hipotesa bagi mabda:

Hipotesa pertama, mabda ini menjadi wajibul wujud, apakah ia memberi keberadaan kepada wujudnya sendiri dan mencegah seluruh ketiadaan? Ataukah ia tidak memberi wujud terhadap dirinya? Masing-masing dari kedua ini memiliki isykalan (keberatan ilmiah). Adapun bentuk yang pertama, apabila mabda yang memberikan wujud terhadap dirinya sendiri, maka keniscayaan yang akan muncul adalah bahwa sebab dan akibat akan menjadi satu. Artinya bahwa sesuatu itu di samping ia sebagai sebab bagi dirinya, ia juga sebagai akibat. Dan hal ini tentu saja mustahil secara akal, karena meniscayakan daur (circular reasoning).

Hipotesa yang kedua, mabda (awal) tidak menjadikan dirinya menjadi wajibul wujud. Jika demikian, maka hal ini meniscayakan mabda meniadakan dirinya sendiri. Karena -sesuai dengan asumsi bahwa- ia tidak menjadikan dirinya wajib untuk mengada.


Jawaban atas Satu Isykalan
Pada dalil di atas telah disebutkan dengan istidlâl (inferensi) bahwa sesuatu tidak dapat menjadi sebab bagi dirinya sendiri. Tetapi ia mesti bersandar kepada sebab selain dari dirinya. Sebenarnya isykalan ini juga dapat menjadi niscaya pada wajib al-wujud. Artinya bahwa Tuhan juga memerlukan sebab yang menjadikannya wujud.

Isyakalan ini dapat dijawab, bahwa mabda awal yang memerlukan sebab tersebut, lantaran kekontingenan (imkan) wujudnya. Artinya bahwa mengingat wujudnya adalah kontingen (mumkin), sementara wujud kontingen senantiasa memerlukan kepada yang lain, maka dengan demikian, harus terdapat sebab dan wujud yang lain. Tetapi wujud Tuhan adalah wujud yang mandiri secara esensial, hakiki dan tidak memerlukan sebab yang lain.

Kesimpulannya bahwa mabda awal yang kontingen, tidak dapat menjadi sebab bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu ia memerlukan kepada yang lain, yang dirinya tidak kontingen, dan dapat memberikan wujud kepada kontingen. Sedang yang memberikan wujud atas kontingennya adalah wajib al-wujud.

Poin inferensi di sini adalah bahwa kontingen dapat wujud berkat busana wujud yang dikenakan kepadanya oleh wajib al-wujud. Tanpanya, ia tidak dapat mengada dan mewujud. Dan kita saksikan bahwa kosmos kontingen dapat mengada, maka kita dapat memahami bahwa terdapat satu wujud mandiri dan bersifat mesti (wajib).


Ibn Sina (Avicenna)
Ibn Sina (980-1037 M) yang juga dikenal sebagai Syaikh ar-Rais dalam karyanya al-Isyârat menyinggung burhân shiddiqîn ini dan mengurainya sebagai berikut:

"Setiap maujud dari sisi dzatnya, adakalanya ia bersifat wâjib al-wujud atau bersifat mumkin al-wujud. Mumkin al-wujud tidak akan pernah mengada tanpa sesuatu yang mengadakannya. Oleh karena itu ia memerlukan sesuatu selainnya. Dan sesuatu tersebut adalah wâjib al-wujud".


Mulla Shadra
Mulla Shadra (w 1050) filosof-arif -yang lebih dikenal sebagai Shadru al-Mutaallihin, berkat Filsafat Hikmah (hikmah al-Muta'alih) yang digagasnya -menjelaskan burhân ash-shiddiqîn sebagai berikut:

"Berdasarkan konsep ashâlat al-wujud (kehakikian wujud), maka sebagai prinsip utama adalah realitas. Atas dasar itu, kehadiran wujud tidak dapat ditolak. Namun harus diingat bahwa yang dikatakan wujud sebagai prinsip realitas ialah: Manakala wujud bergantung pada selainnya, tentu ia butuh kepada wujud yang tidak bergantung pada lainnya pula. Wujud yang tidak bergantung kepada yang lainnya itulah yang merupakan prinsip segala realitas. Dialah Tuhan."(lihat, Achmad Muchaddam Fahham, Tuhan dalam Filsafat Allamah Thabathabai, hal. 60)

Mulla Shadra memandang bahwa burhân shiddiqîn ini merupakan jalan dan argumen yang paling kokoh dan paling bercahaya dibanding jalan dan argumen lain, seperti yang ia tuturkan pada kitab magnum opus-nya al-Asfar:

"Ketahuilah, sesungguhnya jalan menuju Tuhan itu banyak. lantaran Dia memiliki segala keutamaan dan kesempurnaan. Dan masing-masing kelompok memiliki kiblat yang ditentukan oleh Tuhan baginya. Namun terdapat sebagian jalan yang lebih kokoh, lebih baik dan lebih bercahaya dari yang lain. Argumen (burhan) yang paling kokoh dan paling baik adalah argumen yang premis tengahnya (middle term) tidak lain adalah wajibul wujud. Dalam keadaan seperti ini, jalan dan tujuan akan menjadi satu. Jalan itu adalah jalan para shiddiqin, dimana mereka menyaksikan Tuhan, kemudian dzat-Nya, kemudian sifat atas perbuatan-Nya. (lihat Shadru al-Mutallihin, Asfar, jil. 6, hal. 17) Dalam burhan ini, Mulla Shadra menyingkap tirai wujub melalui hakikat wujud dimana hal tersebut memerlukan beberapa premis pendahuluan:

Kehakikian wujud dan abstraksi mentalnya kuiditas. Setelah kita menerima bahwa terdapat realitas luaran dan kita mengabstraksikan dua pahaman masing-masing dari realitas ini; yang pertama adalah wujud dan selainnya adalah kuiditas (mahiyyah); telah dibuktikan bahwa realitas luaran merupakan mishdâq (obyek luar) wujud. Dan kuiditas merupakan abstraksi mental (i'tibari) yang diabstraksikan dari batasan realitas eksternal.

Tasykik al-wujud: Mulla Shadra memiliki keyakinan bahwa wujud-wujud eksternal, baik ia kuat atau lemah, sebab atau akibat, semuanya merupakan sistematika dari sebuah hakikat dan yang menjadi keragamannya adalah keseragamannya dan keseragamannya adalah keragamannya (ma bihi al-isytirak 'ain ma bihi al-iftirak wa ma bihi al-iftirak 'ain ma bih al-isytirak) bersumber dari satu genus yang disebut sebagai tasykik al-wujud (gradasi wujud). Sebagai misal -untuk memudahkan pemahaman- intensitas cahaya matahari dibandingkan dengan cahaya bulan, cahaya bintang dan cahaya lampu adalah lebih kuat dan yang belakangan adalah lebih lemah. Tetapi dengan keragaman cahaya yang ada, dari sisi intensitas, ia seragam dalam sebutan sebagai cahaya.

Dari tasykik al-wujud inilah muncul apa yang disebut sebagai derajat wujud atau gradasi wujud. Lantaran ketika keragaman wujud-wujud kembali kepada keseragamannya, yaitu wujud itu sendiri, maka sudah tentu keragaman bersumber dari tingkatan wujud itu sendiri, tidak kepada kuiditas (mahiyyah).

Besathat al-Wujud (simpelitas wujud); wujud merupakan sebuah realitas simpel. Ia tidak memiliki bagian dan bukan merupakan bagian dari sesuatu. Karena kita tidak memiliki sesuatu selain wujud.

Kriteria Perlunya Akibat kepada Sebab; Standar perlunya akibat kepada sebab adalah terelasikannya wujud relasi terhadap wujud. Dengan kata lain, kelemahan tingkatan "wujud akibat" hingga yang paling lemah sekalipun dalam keberadaannya secara niscaya memerlukan sebuah wujud yang lebih tinggi dan lebih kuat.

Berdasarkan empat premis di atas, burhân shiddiqîn dapat disimpulkan sebagai berikut:

"Tingkatan wujud -kecuali yang paling pamungkas yang memiliki kesempurnaan tanpa batas (unlimited) dan tidak berhajat kepada apapun dan siapapun dan memiliki wujud yang mandiri secara mutlak- adalah berhajat dan bergantung. Dan apabila tidak ada wujud yang paling pamungkas, maka tingkatan-tingkatan wujud yang lain tidak akan pernah ada; karena asumsi ini meniscayakan bahwa hadirnya tingkatan-tingkatan wujud yang lain tanpa hadirnya tingkatan yang paling tinggi dari jajaran wujud, adalah tingkatan-tingkatan wujud, mandiri dan tidak berhajat kepadanya. Sementara dimensi wujudnya adalah bergantung dan fakir serta berhajat kepada wujud yang paling tinggi tingkatannya.(Mulla Shadra, Asfar, jil. 6, hal. 6-14)

Dengan kata lain, apabila seluruh tingkatan wujud yang bergantung itu tidak berujung kepada wujud mandiri dan tidak bergantung, maka niscaya wujud-wujud yang lain tidak akan pernah ada. Namun wujud-wujud memiliki kebergantungan kepada sesuatu, maka wujudnya mestilah mandiri dan tidak bergantung.


Mulla Hadi Sabzawari
Pasca Mulla Shadra, orang yang paling berperan dalam menghidupkan ajaran Shadrian adalah sosok Marhum Haji Sabzawari. Di samping mengulas tipologi khas ajaran Mulla Shadra, seperti ashâlat al-wujud, tasykik, harakah al-jauhariyah dan sebagainya, Mulla Hadi juga memberikan ulasan atas burhân shiddiqîn yang disampaikan oleh Mulla Shadra. Mulla Hadi menunjukkan dua uraian atas burhân shiddiqîn. Uraian pertama ia sampaikan pada catatan kaki (ta'liqah) Asfar. Dan uraian kedua pada Syarh Manzumah (buku filsafat yang berisi kuplet filosofis-irfani).


1. Uraian Pertama pada Asfar
Uraian yang paling kukuh dan paling ringkas atas burhân shiddiqîn adalah setelah menetapkan ashâlat al-wujud dan i'tibâri mahiyyah (abstraksi mental kuiditas). Disebutkan bahwa hakikat wujud yang merupakan realitas dan kenyataan, pure hakikat dan mustahil bahwa ia menerima ketiadaan. Lantaran tidak satupun kontra menerima kontranya (artinya wujud [keberadaan] yang merupakan kontra ketiadaan, tidak akan menerima ketiadaan. Atau ketiadaan yang merupakan kontra keberadaan, tidak akan menerima keberadaan). Hakikat mursal yang menolak ketiadaan ini adalah wâjib al-wujud bidzâti. Oleh karena itu, hakikat wujud itu adalah mursal (omnipresence, ada dimana-mana), mutlak atau pure, dan wâjib al-wujud secara esensial. Hal inilah yang merupakan perkara ideal.(Lihat Asfar, jilid 6, hal. 14)

Inferensi Mulla Hadi ini merupakan inferensi yang lebih kukuh dan ringkas dari inferensi yang dilakukan oleh Mulla Shadra. Inferensi ini bertengger di atas beberapa prinsip:

a. Wujud, merupakan hakikat yang nyata yang memiliki ashâla (kesejatian) dan kuiditas merupakan abstraksi mental (i'tibari).

b. Wujud merupakan hakikat mursal (omnipresence, ada dimana-mana).

c. Wujud yang merupakan kontra dari ketiadaan, sekali-kali tidak akan pernah menerima ketiadaan.


2. Uraian kedua pada Syarh Manzumah
Mulla Hadi Sabzawari memberikan ulasan lain ihwal burhân shiddiqîn pada Syarh Manzumah-nya yang sedikit berbeda dari apa yang ia sampaikan pada catatan kaki Asfar.

Jika wujud itu adalah wajib (maka Dialah Tuhan)

Tetapi jika wujud itu adalah mumkin, maka ia perlu kepada wajib al-wujud.(Lihat, Syarh Manzhumah, Sabzawari, hal. 18)

Dalam mengomentari bait kuplet ini, ia memberikan dua bentuk argumen lain terhadap burhân shiddiqîn.

1. Hakikat wujud dimana ashâlah telah terbukti baginya dan hakikat bagi yang memiliki sebuah hakikat ia ada dan wujud melalui hakikat, apabila wajib al-wujud secara esensial, yang maksud dan idealnya telah terbukti. Tetapi apabila mumkin al-wujud yaitu wujud yang fakir dan berhajat kepada sesuatu yang lain, maka hal itu meniscayakan wajib secara esensial. Lantaran melalui argumen reductio ad absurdum menyatakan bahwa hakikat dan realitas itu adalah wujud, ia tidak memiliki wujud kedua sehingga ia bergantung dan berhajat kepada yang lain. Tetapi apa saja yang kita asumsikan sebagai yang kedua ia adalah hakikat wujud dan bukan yang lain. Dan keadaan ketiadaan dan kuiditas adalah jelas (ketiadaan adalah pure invalid dan kuiditas pada esensinya, relasinya sama antara ada dan tiada). Oleh karena itu, burhân shiddiqîn melalui jalan reductio ad absurdum berdiri di atas prinsip-prinsip di bawah ini:

1. Wujud merupakan realitas yang real.

2. Wujud bergantung kepada wujud yang kaya secara esensial.

3. Hakikat wujud tidak memiliki keduaan.

4. Ketiadaan merupakan hakikat yang batil.

5. Kuiditas pada esensinya memiliki relasi yang sama antara ada dan tiada.


2. Penjelasan Inferensi melalui burhan mustaqim
Wujud merupakan sebuah hakikat yang real dan memiliki tingkatan, apabila wujud sedemikian, merupakan wâjib al-wujud secara esensial, dalam keadaan seperti itu, adalah tsabit dan ideal. Tetapi apabila tingkatan dari tingkatan-tingkatan wujud adalah mumkin al-wujud, maka ia akan memerlukan kepada yang lain. Mengingat bahwa daur dan tasalsul merupakan perkara yang mustahil, maka ia harus berakhir pada wâjib al-wujud secara esensial. Oleh karena itu, uraian ini terdiri dari berapa prinsip utama:

1. Wujud merupakan realitas yang real

2. Wujud merupakan realitas yang memiliki tingkatan dan gradasi

3. Wujud terbagi dua wajib al-wujud atau mumkin al-wujud.

4. Setiap wujud kontingen (mumkin al-wujud) perlu kepada maujud yang kaya secara esensial.

5. Daur dan tasalsul dalam silsilah kausalitas adalah mustahil.

Marhum Sabzawari dalam membuat komparasi antara uraian pertama dan kedua, memandang bahwa uraian pertama yaitu argumen reductio ad absurdum (burhan khulf) di atas lebih kuat dan lebih ringkas. (Lihat, Syarh Manzhumah, Sabzawari, jilid 2, hal. 19)


Allamah Thabathabai
Allamah Sayid Muhammad Husain Thabathabai (w. 1981) dikenal sebagai filosof-arif kiwari dan corak filsafatnya juga Shadrian. Artinya ia banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Mulla Shadra. Sebagaimana yang dikatakan oleh Hossein Nasr, bahwa Allamah Thabathabai merupakan seorang filosof kontemporer terkemuka Persia yang telah melakukan studi-studi ekstensif terhadap banyak sekali masalah-masalah filosofis yang pelik bagi para filosof tradisional dan mutakhir. Kebanyakan filosof yang kini menjadi para pemikir dan produsen pemikiran filosofis-filosofis Islam di Iran adalah orang-orang yang pernah bersimpuh belajar di hadapan Allamah Thabathabai. Dalam mendemonstrasikan burhân shiddiqîn, Allamah Thabathabai menggunakan penalaran dan inferensi dari wujud itu sendiri (nafs al-wujud) kepada wujud Tuhan yang memberikan keyakinan dan tanpa media. Berbeda dengan ulasan yang disampaikan oleh Shadru al-Mutaallihin yang berhenti pada prinsip-prinsip yang beragam.

Burhân shiddiqîn yang diuraikan oleh Allamah Thabathabai merupakan argumen yang paling baik dari uraian-uraian yang ada. Dalam catatan kaki yang ia torehkan pada Asfar dan pada karyanya Usul-e Falsafeh wa Rawesy-e Realism, ia menulis:

"Realitas wujud merupakan suatu realitas yang dengannya kita dapat membantah kaum Sophist. Kita jumpai bahwa seluruh maujud yang berakal tidak dapat menghindar dari keberadaannya; realitas wujud ini secara esensial tidak akan pernah sirna dan tiada. Bahkan dengan asumsi bahwa realitas ini sirna dan tiada, maka akan meniscayakan wujud dan tsubut-nya realitas. ( Apabila kita beranggapan bahwa realitas telah sirna, kita membenarkannya dalam asumsi invaliditas dan sirnanya). Artinya apabila kita berasumsi bahwa seluruh realitas telah sirna dan tiada pada satu detik atau secara mutlak, dalam keadaan seperti ini seluruh realitas pada hakikatnya telah sirna dan tiada, bukan tiada dan sirna dalam bentuk fantasi dan khayalan.

Demikian juga apabila kaum Sophist beranggapan bahwa segala sesuatu adalah khayalan, apakah ia ragu pada realitasnya. Di sisi mereka fantasi dan khayalan sebenarnya adalah sebuah realitas. (di samping ketiadaan dan kesirnaan, kita telah menetapkan realitas kesirnaan dan ketiadaan tersebut). Lantaran hakikat realitas tidak dapat menerima ketiadaan dan kesirnaan, maka wâjib al-wujud adalah secara esensial eksis. Maka realitas wâjib al-wujud secara esensial telah terbukti dan tertetapkan.

Dan sesuatu yang memiliki realitas dan dalam wujudnya ia berhajat dan berdiri di atas wajib al-wujud (artinya tatkala kita melihat realitas sesuatu, kita melihat ia sirna sebelumnya dan akan sirna dan dari sini kita pahami bahwa benda-benda tersebut bukanlah wajib al-wujud secara esensial, melainkan ia berdiri di atas realitas mutlak dan wajib). Maka jelaslah, bahwa hakikat wujud wajib al-wujud secara esensial bersifat niscaya bagi manusia. (Lihat, Asfar, jilid 6, hal. 14)


Kesimpulan
Dari uraian filosof-urafa di atas terdapat sesuatu yang common dan niscaya di antara mereka dan hal itu adalah wujudnya dzat yang wajib dan mesti.

Dialah sumber segala wujud yang ada. Dialah wujud mutlak dan mutlak wujud, yang tanpanya seluruh maujud tidak akan pernah menikmati anugerah eksistensi.

Wujud-Nya adalah mandiri dan kaya secara esensial. Sekali-kali Dia tidak pernah bergantung dan berhajat kepada selain-Nya. Sebab wujud kontingen (lantaran relasi ekuivalen antara ada dan tiada yang dimilikinya) sekali-kali tidak akan pernah kaya dari wujud al-wâjib. Wujud kontingen (mumkin) mengada karena ada sesuatu yang mengadakannya. Dan sesuatu tersebut adalah wâjib al-wujud.

Dalam burhân shiddiqîn, wujud wajib (baca: Tuhan) dibuktikan secara demonstratif dan tidak seorang pun yang dapat mengingkari karena sifatnya yang swabukti, fitri, kuat dan ringkas. Sehingga filosof-urafa semisal Mulla Shadra menyebutnya sebagai "burhan yang paling kuat" (asadd al-barâhin) atau al-Farabi yang menyebutnya sebagai (asadd wa al-ahdhar) "burhan yang paling kuat dan paling ringkas".

Para urafa memilih jalan ini untuk membuktikan wujud Tuhan, karena minimnya (untuk tidak mengatakan tidak ada) kesalahan dan kekurangan dalam argumen ini. Dan juga tidak menggunakan piranti dan media apapun selain menganalisa wujud sehingga dapat memahami wujud al-wâjib. Atau dengan kata lain, menjelajahi dzat Tuhan dengan dzat Tuhan.

20