• Mulai
  • Sebelumnya
  • 22 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 31606 / Download: 515
Ukuran Ukuran Ukuran
NEO-TEOLOGI I

NEO-TEOLOGI I

pengarang:
Indonesia
NEO-TEOLOGI I NEO-TEOLOGI I



Oleh: Team Wisdoms4all

1
NEO-TEOLOGI I

DAFTAR ISI
Agama & Filsafat

Agama Bagi Manusia atau Sebaliknya?

Epistemologi Agama

Ilmu Agama

Bahasa Agama

Agama & Akhlak [1]

Agama & Akhlak [2]

Agama & Dunia [1]

Agama & Dunia [2]

Agama & Dunia [3]

Agama & Dunia [4]

Agama & Dunia [5]

Agama & Dunia [6]

Agama Mencerahkan Kehidupan

Agama Mengatur Tatanan Sosial Manusia

Agama di Mata Para Tokoh Intelektualisme

Agama dalam Pandangan Kaum Materialis

Penantian Manusia Terhadap Agama

Konvensionalisasi Agama

Wacana Tentang Keimanan Religius

2
NEO-TEOLOGI I

AGAMA DAN FILSAFAT
Agama dan filsafat memainkan peran yang mendasar dan fundamental dalam sejarah dan kehidupan manusia. Orang-orang yang mengetahui secara mendalam tentang sejarah agama dan filsafat niscaya memahami secara benar bahwa pembahasan ini sama sekali tidak membicarakan pertentangan antara keduanya dan juga tidak seorang pun mengingkari peran sentral keduanya. Sebenarnya yang menjadi tema dan inti perbedaan pandangan dan terus menyibukkan para pemikir tentangnya sepanjang abad adalah bentuk hubungan keharmonisan dan kesesuaian dua mainstream disiplin ini.

Sebagian pemikir yang berwawasan dangkal berpandangan bahwa antara agama dan filsafat terdapat perbedaan yang ekstrim, dan lebih jauh, dipandang bahwa persoalan-persoalan agama agar tidak "ternodai" dan "tercemari" mesti dipisahkan dari pembahasan dan pengkajian filsafat. Tetapi, usaha pemisahan ini kelihatannya tidak membuahkan hasil, karena filsafat berhubungan erat dengan hakikat dan tujuan akhir kehidupan, dengan filsafat manusia dapat mengartikan dan menghayati nilai-penting kehidupan, kebahagian, dan kesempurnaan hakiki.

Di samping itu, masih banyak tema-tema mendasar berkisar tentang hukum-hukum eksistensi di alam yang masih membutuhkan pengkajian dan analisa yang mendalam, dan semua ini yang hanya dapat dilakukan dengan pendekatan filsafat.

Jika agama membincangkan tentang eksistensi-eksistensi di alam dan tujuan akhir perjalanan segala maujud, lantas bagaimana mungkin agama bertentangan dengan filsafat. Bahkan agama dapat menyodorkan asumsi-asumsi penting sebagai subyek penelitian dan pengkajian filsafat. Pertimbangan-pertimbangan filsafat berkaitan dengan keyakinan-keyakinan dan tradisi-tradisi agama hanya akan sesuai dan sejalan apabila seorang penganut agama senantiasa menuntut dirinya untuk berusaha memahami dan menghayati secara rasional seluruh ajaran, doktrin, keimanan dan kepercayaan agamanya. Dengan demikian, filsafat tidak lagi dipandang sebagai musuh agama dan salah satu faktor perusak keimanan, bahkan sebagai alat dan perantara yang bermanfaat untuk meluaskan pengetahuan dan makrifat tentang makna terdalam dan rahasia-rahasia doktrin suci agama, dengan ini niscaya menambah kualitas pengahayatan dan apresiasi kita terhadap kebenaran ajaran agama.

Walaupun hasil-hasil penelitian rasional filsafat tidak bertolak belakang dengan agama, tapi selayaknya sebagian penganut agama justru bersikap proaktif dan melakukan berbagai pengkajian dalam bidang filsafat sehingga landasan keimanan dan keyakinannya semakin kuat dan terus menyempurna, bahkan karena motivasi keimananlah mendorongnya melakukan observasi dan pembahasan filosofis yang mendalam terhadap ajaran-ajaran agama itu sendiri dengan tujuan menyingkap rahasia dan hakikatnya yang terdalam.

Dengan satu ungkapan dapat dikatakan bahwa filosof agama mestilah dari penganut dan penghayat agama itu sendiri. Lebih jauh, filosof-filosof hakiki adalah pencinta-pencinta agama yang hakiki. Sebenarnya yang mesti menjadi subyek pembahasan di sini adalah agama mana dan aliran filsafat yang bagaimana memiliki hubungan keharmonisan satu sama lain. Adalah sangat mungkin terdapat beberapa ajaran agama, karena ketidaksempurnaannya, bertolak belakang dengan kaidah-kaidah filsafat, begitu pula sebaliknya, sebagian konsep-konsep filsafat yang tidak sempurna berbenturan dengan ajaran agama yang sempurna. Karena asumsinya adalah agama yang sempurna bersumber dari hakikat keberadaan dan mengantarkan manusia kepada hakikat itu, sementara filsafat yang berangkat dari rasionalitas juga menempatkan hakikat keberadaan itu sebagai subyek pengkajiaannya, bahkan keduanya merupakan bagian dari substansi keberadaan itu sendiri. Keduanya merupakan karunia dari Tuhan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Filsafat membutuhkan agama (wahyu) karena ada masalah-masalah yang berkaitan dengan dengan alam gaib yang tak bisa dijangkau oleh akal filsafat. Sementara agama juga memerlukan filsafat untuk memahami ajaran agama. Berdasarkan perspektif ini, adalah tidak logis apabila ajaran agama dan filsafat saling bertolak belakang.

Anselm[1] dalam risalah filsafatnya yang berjudul "Proslogion" mengungkapkan kalimat yang menarik berbunyi: Saya beriman supaya bisa mengetahui. Apabila kalimat ini kita balik akan menjadi: jika saya tidak beriman, maka saya tak dapat mengetahui. Tak dapat disangkal bahwa Anselm meyakini bahwa keimanan agama adalah sumber motivasi dan pemicu yang kuat untuk mendorong seseorang melakukan penelitian dan pengkajian yang mendalam terhadap ajaran-ajaran doktrinal agama, lebih jauh, keimanan sebagai sumber inspirasi lahirnya berbagai ilmu dan pengetahuan. Kesempurnaan iman dan kedalaman pengahayatan keagamaan seseorang adalah berbanding lurus dengan pemahaman rasionalnya terhadap ajaran-ajaran agama, semakin dalam dan tinggi pemahaman rasional maka semakin sempurna keimanan dan semakin kuat apresiasi terhadap ajaran-ajaran agama. Manusia membutuhkan rasionalisasi dalam semua aspek kehidupannya, termasuk dalam doktrin-doktrin keimanannya, karena akal dan rasio adalah hakikat dan substansi manusia, keduanya mustahil dapat dipisahkan dari wujud manusia, bahkan manusia menjadi manusia karena akal dan rasio. Tolok ukur kesempurnaan manusia adalah akal dan pemahaman rasional. Akal merupakan hakikat manusia dan karenanya agama diturunkan kepada umat manusia untuk menyempurnakan hakikatnya. Penerimaan, kepasrahan dan ketaatan mutlak kepada ajaran suci agama sangat berbanding lurus dengan rasionalisasi substansi dan esensi ajaran-ajaran agama.

Substansi dari semua ajaran agama adalah keyakinan dan kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan, sementara eksistensi Tuhan hanya dapat dibuktikan secara logis dengan menggunakan kaidah-kaidah akal-pikiran (baca: kaidah filsafat) dan bukan dengan perantaraan ajaran agama itu sendiri. Walaupun akal dan agama keduanya merupakan ciptaan Tuhan, tapi karena wujud akal secara internal terdapat pada semua manusia dan tidak seorang pun mengingkarinya, sementara keberadaan ajaran-ajaran agama yang bersifat eksternal itu tidak diterima oleh semua manusia.

Dengan demikian, hanya akallah yang dapat kita jadikan argumen dan dalil atas eksistensi Tuhan dan bukan ajaran agama. Seseorang yang belum meyakini wujud Tuhan, lantas apa arti agama baginya. Kita mengasumsikan bahwa ajaran agama yang bersifat doktrinal itu adalah ciptaan Tuhan, sementara belum terbukti eksistensi Pencipta dan pengenalan sifat-sifat sempurna-Nya, dengan demikian adalah sangat mungkin yang diasumsikan sebagai "ciptaan Tuhan" sesungguhnya adalah "ciptaan makhluk lain" dan makhluk ini lebih sempurna dari manusia (sebagaimana manusia lebih sempurna dari hewan dan makhluk-makhluk alam lainnya). Lantas bagaimana kita dapat meyakini bahwa seluruh ajaran agama itu adalah berasal dari Tuhan. Walaupun kita menerima eksistensi Tuhan dengan keimanan dan membenarkan bahwa semua ajaran agama berasal dari-Nya, tapi bagaimana kita dapat menjawab soal bahwa apakah Tuhan masih hidup? Kenapa sekarang ini tidak diutus lagi Nabi dan Rasul yang membawa agama baru? Dan masih banyak lagi soal-soal seperti itu yang hanya bisa diselesaikan dengan kaidah akal-pikiran. Berdasarkan perspektif ini, akal merupakan syarat mendasar dan mutlak atas keberagamaan seseorang, dan inilah rahasia ungkapan yang berbunyi: Tidak ada agama bagi yang tidak berakal.

Mungkin masih terdapat sebagian penganut agama yang beranggapan bahwa ajaran-ajaran agama dapat dipahami secara rasional lewat pandangan-pandangan para filosof yang bukan penganut agama itu sendiri, menurut mereka adalah tidak urgen mengkaji dan mendalami filsafat untuk menafsirkan ajaran-ajaran suci agama. Anggapan ini sangatlah keliru, karena para filosof itu tidak mengetahui secara universal dan komprehensif ajaran-ajaran agama, jadi tafsiran-tafsirannya atas ajaran agama sangat besar kemungkinan mengandung kesalahan.

Oleh karena itu, para analisis non-religius seperti Bertrand Russel dan Anthony Flew yang memandang ajaran agama dari luar tidak mampu menjelaskan dan menjabarkan substansi dan esensi ajaran agama secara sempurna. Sebagian pengkritik dan pengkaji ajaran agama dari luar dapat dikatakan bahwa mereka itu tidak memahami secara jelas dan proporsional tema pembahasan dan pengkajiannya sendiri. Sangat disayangkan, sebagian penganut agama tanpa sikap kritis dan selektif menerima apa adanya analisa dan penafsiran mereka.

Harapan umat beragama kepada para filosof non-religius adalah bukan pembenaran dan apologi terhadap hakikat ajaran agama, tetapi pengetahuan yang komprehensip dan proporsional terhadap ajaran agama dan keprihatinan yang cukup sebagaimana yang dimiliki para penganut agama. Di samping itu, yang paling urgen bagi mereka adalah pemahaman mendalam dan rasional atas ajaran-ajaran keagamaan dan bukan penerimaan secara awam terhadapnya. Seorang filosof non-religus yang memandang dan mengkaji ajaran agama dari luar, sebelumnya tidak mesti beriman kepada agama itu, tapi pengetahuan yang benar atas inti kajian.

Mengenai dikotomi agama dan filsafat serta hubungan antara keduanya para pemikir terpecah dalam tiga kelompok: kelompok pertama, berpandangan bahwa antara keduanya terdapat hubungan keharmonisan dan tidak ada pertentangan sama sekali. Kelompok kedua, memandang bahwa filsafat itu bertolak belakang dengan agama dan tidak ada kesesuaiannya sama sekali. Kelompok ketiga, yang cenderung moderat ini, substansi gagasannya adalah bahwa pada sebagian perkara dan persoalan terdapat keharmonisan antara agama dan filsafat dimana kaidah-kaidah filsafat dapat diaplikasikan untuk memahami, menafsirkan dan menakwilkan ajaran agama.

Sangat penting untuk digaris bawahi bahwa yang dimaksud filsafat dalam makalah ini adalah metafisika (mâ ba'd ath-thabî'ah). Jadi subyek pengkajian kita adalah hubungan antara agama dan metafisika, namun metafisika menurut perspektif para filosof Islam.

Sebelumnya telah disinggung bahwa sebagian pemikir Islam memandang bahwa antara agama dan filsafat terdapat keharmonisan. Sekitar abad ketiga dan keempat hijriah, filsafat di dunia Islam mengalami perkembangan yang cukup pesat, Abu Yazid Balkhi, salah seorang filosof dan teolog Islam, mengungkapkan hubungan antara agama dan filsafat, berkata, "Syariat (baca: agama) adalah filsafat mayor dan filosof hakiki adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran syariat."[2] Ia yakin bahwa filsafat merupakan ilmu dan obat yang paling ampuh untuk menyembuhkan segala penyakit kemanusian.



Tentang Agama
Segala konsep teoritis, terkhusus yang berhubungan dengan manusia, senantiasa menjadi tema dan subyek analisa, pengkajian dan perdebatan, tak terkecuali konsep teoritis tentang agama. Oleh karena itu, tak bisa disangkal hadirnya berbagai pandangan tentang definisi dan pengertian agama yang hingga sekarang ini belum juga dihasilkan kesepakatan bersama, tapi kerumitan definisi ini bukan berarti bahwa manusia tidak dapat memahaminya secara universal. Robert Hume dalam hal ini berkata, "Agama sedemikian sederhananya bisa diamalkan dan dihayati oleh seorang anak yang baligh dan manusia dewasa yang berakal, tetapi akan rumit sekali ketika ingin dikonsepsi secara sempurna dan komprehensip, yang karenanya ia memerlukan analisa mendalam dan pengalaman keagamaan yang tinggi."[3] Definisi tentang agama sangat beragam karena berkaitan dengan seluruh dimensi kehidupan manusia seperti Etika, Sejarah, Psikologi, Sosiologi, Filsafat dan Estetika.



Problematika Pendefinisian Agama
Definisi tentang agama memiliki kerumitan tersendiri karena beragam faktor, sebagian faktor tersebut adalah sebagai berikut:

a. Perbedaan dalam metodologi pendefinisian agama. Sebagian mendefinisikan agama berpijak pada empirisme dan sebagian lain mendefinisikannya lewat pendekatan rasionalisme, fenomenologi, psikologi, dan sosiologi.

b. Perbedaan dalam penentuan individu-individu agama. Sebagian dari awal memandang bahwa aliran filsafat dan sosial dikategorikan kedalam individu-individu agama dan berdasarkan inilah agama itu didefinisikan secara luas.

c. Menyamakan antara esensi agama dan perilaku penganut agama. Para pengkaji agama yang mendefinisikan agama melalui pendekatan empirisisme dan fenomena-fenomena agama terkadang tidak lagi membedakan antara perilaku-perilaku penganut agama dan hakikat ajaran agama sehingga perbuatan negatif para penganut agama itu dimasukkan sebagai bagian dari definisi agama.

d. Pengkajian terhadap sisi internal agama atau eksternal agama. Sebagian orang mengusulkan bahwa untuk memahami hakikat dan esensi agama mesti merujuk pada wahyu dan teks-teks suci agama sebagai internalitas agama dan menjauhi segala metode, sumber dan sudut pandang yang merupakan dimensi eksternalitas agama, tapi sebagian juga menekankan penelitian terhadap agama mesti berangkat dari sisi eksternalitas agama; di samping terdapat perbedaan yang mencolok antara teks-teks suci semua agama juga terdapat keragaman model-model pendekatan rasional dari setiap aliran filsafat, hal inilah yang semakin memperuncing hadirnya perbedaan dalam pendefinisian agama.

e. Menggunakan istilah-istilah yang kabur dan tidak transparan dalam pendefinisian agama. Sebagian teolog menguraikan agama dalam bentuk yang rumit dan kompleks, realitas ini tidak dapat menjadikan definisi agama semakin jelas malah mengaburkannya.

f. Pendefinisian agama hanya secara leksikal dan harfiah. Sebagian teolog dalam mendefinisikan agama hanya merujuk makna leksikal agama seperti ketaatan, khusyu', pahala dan kepasrahan. Sementara metode seperti ini tak bisa mengungkap esensi agama, berlebih lagi kalau kata-kata tersebut dari awal tidak ditetapkan untuk mewakili makna agama itu sendiri.

g. Pendefinisian agama dipengaruhi oleh istilah-istilah epistemologi, antropologi, ontologi, pandangan dunia, dan ideologi. Tak satupun teolog dan filosof agama yang berangkat dari awal dalam pendefinisian agama, hampir semua memandang agama sesuai dengan latar belakang pemikiran dan disiplin ilmunya.

h. Agama tidak memiliki individu luar yang dapat terindera secara lahiriah. Problem lain dalam pendefinisian agama adalah agama tak mempunyai realitas eksternal yang mudah terindera secara lahiriah, karena suatu konsep yang tidak memiliki obyek luar di alam materi akan sangat sulit dipahami dan dimengerti sebagaimana mestinya.

i. Perubahan yang terjadi pada sebagian agama. Begitu banyak agama-agama yang mengalami perubahan dan penyimpangan disepanjang sejarah kehidupannya dan karena inilah lahir banyak aliran-aliran dan mazhab-mazhab yang berbeda. Walaupun hikmah Ilahi mengharuskan minimal satu agama dan mazhab yang terjaga dari perubahan dan penyimpangan itu agar manusia mendapatkan petunjuk dan terus mengalami kesempurnaan. Tapi bagaimanapun adanya perubahan yang terjadi pada teks suci beberapa agama tak bisa disangkal dan menyebabkan perbedaan pendefinisian agama.

j. Pengetahuan yang tak komprehensif tentang agama. Memahami sebagian agama dan terfokus pada cabang agama (fiqih agama) akan berefek pada pendefinisian agama yang beragam.



Definisi Agama

a. Definisi leksikal agama
Kata agama dalam Kitab suci Al-Qur'an dan hadits Nabi mempunyai makna antara lain: pahala dan balasan, ketaatan dan penghambaan, kekuasaan, syariat dan hukum, umat, kepasrahan dan penyerahan mutlak, aqidah, cinta, akhlak yang baik, kemuliaan, cahaya, kehidupan hakiki, amar ma'ruf nahi munkar, amanat dan menepati janji, menuntut ilmu dan beramal dengannya, dan puncak kesempurnaan akal.



b. Definisi gramatikal agama

1. Definisi agama menurut para teolog Barat:
- Agama adalah suatu sistem Ilahi yang ditetapkan bagi manusia yang memuat pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya.[4]

- Agama adalah suatu ketetapan Ilahi untuk umat manusia yang bertujuan membahagiakan manusia di dunia dan akhirat.[5]

- Agama ialah hukum dan undang-undang Ilahi yang mengajak orang-orang berakal menerima dan mengikuti seruan Nabi-Nya. [6]

- Agama adalah berikrar dengan lisan, yakin pada pahala dan siksaan di akhirat dan beramal sesuai hukum dan perintahnya. [7]

- Agama merupakan segala upaya dan usaha untuk menyingkap dan menyempurnakan hakikat kebaikan di dalam wujud kita.[8]

- Agama adalah keyakinan kepada kehendak Tuhan Yang Kuasa atas semua alam dan etikanya sesuai dengan watak manusia.[9]

- Agama yakni meraih pengetahuan hubungan antara manusia dan Tuhan dimana manusia bisa merasakan kekuasaan mutlak-Nya atas dirinya dan terus berharap akan nikmat-nikmat-Nya.[10]

- Agama yaitu kumpulan kepercayaan, simbol, dan nilai-nilai yang berkaitan dengan perbedaan antara pengalaman spiritual biasa dan hakikat tertinggi. Pengalaman ini dari sisi implikasi dan maknanya memiliki keunggulan lebih kecil dari hakikat tertinggi yang bersumber dari yang non-pengalaman.[11]

- Agama adalah suatu sistem keyakinan dan perbuatan yang berhubungan dengan suatu hakikat tertinggi yang berada di luar jangkauan pengalaman spiritual dan menyeru para penganutnya membentuk suatu masyarakat yang beretika dan bermoral.[12]

- Agama adalah suatu sistem kepercayaan dan prilaku yang memiliki kasih sayang, kelembutan, dan cinta dimana dengannya masyarakat dapat memikul beban kehidupan dan mengemban amanat tujuan hidup manusia. Dengan agama pula manusia bisa memaknai persoalan-persoalan seperti kematian, penderitaan dan tujuan penciptaan segala eksistensi.[13]

- Agama adalah kumpulan simbol-simbol yang jika diamalkan akan melahirkan motivasi dan kekuatan hidup manusia; agama sesuai dengan teori-teori universal tentang eksistensi dan hadir dalam bentuk simbol-simbol untuk merahasiakan hakikatnya.[14]



2. Definisi agama menurut para teolog Islam:
- Agama adalah kepasrahan dan ketaatan kepada Tuhan.[15]

- Agama adalah keyakinan kepada Pencipta alam dan manusia serta hukum-hukum praktis yang sesuai dengan keyakinan ini.[16]

- Agama adalah kumpulan hukum-hukum praktis yang berpijak pada suatu keyakinan, dan yang dimaksud dengan keyakinan di sini adalah bukan hanya ilmu teoritis, karena ilmu teoritis terkadang tak mengharuskan suatu amal, tapi sebagai ilmu yang terpancar dari keyakinan tertinggi yang meniscayakan amal[17]. Dan di tempat lain, agama didefinisikan sebagai kumpulan suatu keyakinan (kepada Tuhan dan kehidupan abadi) dan perasaan serta hukum-hukum yang sesuai dengan keyakinan itu dimana mesti diamalkan di dalam kehidupan manusia.[18]

- Agama adalah ilmu yang diterapkan di semua aspek kehidupan manusia untuk mengantarkannya pada kesempurnaan. Agama memiliki empat dimensi: pencerahan pemikiran dan keyakinan, pendidikan akhlak, penciptaan hubungan harmonis di antara manusia, dan penghapusan perbudakan dan penjajahan.[19]

- Agama adalah kumpulan keyakinan dan kepercayaan, hukum-hukum, dan etika yang bertujuan untuk menyempurnakan dan mengatur masyarakat manusia. Terkadang kumpulan keyakinan itu adalah batil, terkadang benar, dan terkadang gabungan benar dan batil. Jika kumpulan itu adalah benar, maka disebut agama yang benar dan bila batil disebut pula agama batil. Agama benar adalah keyakinan, akidah, dan undang-undangnya bersumber dari Tuhan, sementara agama batil berasal dari selain Tuhan.[20]



Hubungan Agama dan Filsafat Menurut Para Filosof
Abu Hayyan Tauhidi, dalam kitab al-Imtâ' wa al-Muânasah, berkata, "Filsafat dan syariat senantiasa bersama, sebagaimana syariat dan filsafat terus sejalan, sesuai, dan harmonis"[21]. Ahmad bin Sahl Balkhi yang dipanggil Abu Yazid, dilahirkan pada tahun 236 Hijriah di desa Syamistiyan. Ketika baligh ia berangkat ke Baghdad dan mendalami Filsafat dan ilmu Kalam (teologi). Di samping ia berusaha memadukan syariat dan filsafat, ia juga meneliti agama-agama berbeda lalu ditulis dalam kitabnya yang dinamai Syarâyi' al-Adyân dan beberapa kitab lainnya. Abul Hasan 'Amiri, salah seorang murid Abu Yazid Balkhi, adalah seorang filosof terkenal yang juga berupaya membangun keharmonisan antara agama dan filsafat. Ia memandang bahwa filsafat itu lahir dari argumentasi akal-pikiran dan dalam hal ini, akal mustahil melanggar perintah-perintah Tuhan. Abul Hasan 'Amiri, dalam pasal kelima kitab al-Amad 'ala al-Abad, menyatakan, "Akal mempunyai kapabilitas mengatur segala sesuatu yang berada dalam cakupannya, tetapi perlu diperhatikan bahwa kemampuan akal ini tidak lain adalah pemberian dan kodrat Tuhan. Sebagaimana hukum alam meliputi dan mengatur alam ini, akal juga mencakup alam jiwa dan berwenang mengarahkannya. Tuhan merupakan sumber kebenaran yang meliputi secara kodrat segala sesuatu. Cakupan kodrat adalah satu cakupan dimana Tuhan memberikan kepada suatu makhluk apa-apa yang layak untuknya. Dengan ini, dapat kesimpulan bahwa alam natural secara esensial berada dalam ruang lingkup hukum materi dan hukum materi juga secara substansial mengikuti jiwa, dan jiwa berada di bawah urusan akal yang membawa pesan-pesan Tuhan."[22]

'Amiri memandang bahwa akal secara esensial mengikuti dan taat kepada perintah-perintah Tuhan. Di bagian lain dari kitab itu, akal dikategorikan sebagai hujjah dan dalil Tuhan, ia menyatakan bahwa derajat akal apabila dibandingkan dengan jiwa sama seperti daya penglihatan apabila dihubungkan dengan mata. 'Amiri, dalam kitab as-sa'âdah wa al-isâd, juga menyinggung hubungan akal, jiwa dan alam materi, ia berkata, "Jiwa mengambil manfaat dari akal dan menyalurkan manfaat ke alam materi. Akal adalah kemuliaan dan kehormatan jiwa dan jiwa adalah pelayan akal. Ketika jiwa melayani akal maka pada jiwa akan nampak kesucian dan cahaya dan ketika ia meninggalkan akal maka akan nampak kegelapan dan kekotoran. Dengan demikian, kebodohan akan muncul dan berefek pada kehancuran dan kemaksiatan."[23]

'Amiri beranggapan bahwa jiwa yang berakal mempunyai kelayakan untuk menjadi khalifah Tuhan. Menurutnya, seseorang yang memiliki jiwa yang dicahayai oleh akal layak menjadi khalifah Tuhan yang mengatur, mengelolah dan membangun alam ini, dan di alam non-materi menempati kedudukan yang mulia dan tinggi. Jiwa ini, dari sisi badan berhubungan dengan alam rendah (materi) dan dari dimensi akal berkaitan dengan alam tinggi. Dengan ibarat lain, khalifah Tuhan adalah substansi wujudnya memiliki kedudukan ruhani dan spiritual tertinggi dan juga berhubungan dengan derajat jasmani terendah, maujud ini tidak lain merupakan sesuatu yang menghubungkan dan menggabungkan dua alam.

Dari perspektif di atas, 'Amiri menafsirkan makna kenabian dan menyimbolkannya dengan sebuah garis. Garis ini, pada satu sisi terhubung ke alam ruhani dan pada sisi lain memanjang ke alam materi. Dengan begitu wahyu dapat didefinisikan menjadi sebuah realitas makna yang turun dari alam gaib ke alam materi. Menurut 'Amiri, walaupun jiwa di awal perwujudannya tak lepas dari pengaruh materi dan indera-indera lahiriah, tapi jiwa tidak pernah terputus dari cahaya akal, karena akal merupakan esensi jiwa. Perlu diperhatikan bahwa meskipun jiwa senantiasa mengambil manfaat dari cahayai akal, tapi tanpa cahaya agama jiwa mustahil mencapai alam spiritual tertinggi. 'Amiri dalam menjelaskan hal itu mengambil sebuah pemisalan: dalam perkembang-biakan spesis tumbuhan di alam, semua tingkatan kesempurnaan satu spesis tumbuhan secara potensial terdapat dalam wujudnya, tapi untuk mewujudkan daun-daunnya, bunga-bunganya dan buah-buahnya mesti membutuhkan seorang tukang kebun. Jiwa manusia juga secara potensial memiliki semua derajat kesempurnaan, tetapi untuk mengaktualkan seluruh potensi yang dimilikinya niscaya memerlukan agama dan filsafat.

Dengan memperhatikan apa yang telah diuraikan di atas, bisa dikatakan bahwa filosof tersebut sepakat dengan gagasan kebaikan dan keburukan akal, dan hal ini juga diterima oleh aliran Mu'tazilah. Dari pikiran-pikiran Mu'tazilah diketahui bahwa mereka ini berpijak pada konsep "syariat akal". Mereka mendefinisikan "syariat akal" sebagai berikut, "Salah satu syariat akal adalah bahwa manusia tidak menyukai apa yang terjadi pada seseorang sebagaimana dia juga tidak mencintai hal tersebut terjadi pada dirinya, dan manusia mencintai apa yang berlaku padanya sebagaimana dia juga menyenangi hal itu berlaku pada orang lain. Perbuatan yang dia kerjakan secara tersembunyi dengan senang hati juga dilakukan secara terbuka".[24] Apa-apa yang dipandang akal sebagai keburukan digolongkan sebagai hal yang wajib dihindari dan tidak dikerjakan.

Mereka yang berpijak pada "syariat akal" memandang bahwa hukum-hukum dan undang-undang yang diturunkan untuk manusia yang bersumber dari Nabi dan Rasul mustahil bertentangan dengan "syariat akal". Abul Hasan 'Amiri, dalam kitab al-Itmâm lifadhâil al-Anâm, membahas hubungan antara teori (ilmu) dan amal, di situ ia menekankan pentingnya ilmu bagi amal. Di tempat lain ia katakan bahwa wahyu, ilham, lintasan ide, dan pikiran merupakan bentuk ibadah akal (an-nusuk al-aql). An-nusuk berarti ibadah, kesucian, dan kedekatan kepada Tuhan, menurut 'Amiri hukum-hukum Ilahi adalah rasional dan apa yang rasional dapat menyebabkan kesucian dan kedekatan keda Tuhan. Ibnu Sina, dalam salah satu karyanya juga mengungkapkan bahwa tafakkur, berpikir, dan kontemplasi juga merupakan salah satu bentuk ibadah dan doa.

Menurut Ibnu Sina, tafakkur dalam kerangka teoritis dan praktis (terapan) pada hakikatnya adalah bahwa manusia berakal mengulurkan tangannya kepada realitas mutlak yang maha sempurna untuk memohon agar hakikat, rahasia, dan ilmu atas segala sesuatu tersingkap baginya.

Musa bin Maimun, seorang filosof Yahudi, karena terpengaruh filsafat Islam beranggapan bahwa tafakkur dan kontemplasi sebagai salah satu bentuk ibadah yang dapat mengantarkan manusia pada kebahagiaan, karena itu ia berupaya merujukkan akal dan agama. Ia, dalam kitabnya Dilâlah al-Hairîn, berkata, "Tafakkur dan berpikir merupakan jalan kesempurnaan manusia. Ilmu dan makrifat adalah salah satu bentuk ibadah yang sesungguhnya dapat mengantarkan seorang hamba dekat kepada Tuhan, makrifat dapat menyingkap hakikat dan rahasia eksistensi. Semakin tinggi dan sempurna pengetahuan manusia maka semakin ia dekat kepada Tuhan dan semakin dalam kecintaannya kepada-Nya"[25]. Walaupun menurutnya ibadah merupakan hasil dari kecintaan, tetapi kecintaan seseorang kepada Tuhan berbanding lurus dengan ilmu dan makrifatnya.

Abu Nashir Farabi, pendiri maktab filsafat Islam, filosof yang juga berupaya menggabungkan antara agama dan filsafat. Filosof ini, setelah mengkaji secara mendalam persoalan kebahagian pada akhirnya berpendapat tentang bentuk tasawuf (pensucian diri) yang berpijak pada rasionalitas. Tasawuf Farabi merupakan tasawuf yang tidak hanya menekankan pada niat tulus, disiplin, dan motivasi yang kuat dalam sair suluk (perjalanan spiritual) serta bersungguh-sungguh dalam meninggalkan kelezatan-kelezatan jasmani dan dunia, tapi juga menitikberatkan pada dimensi teoritis yang berpijak pada pemikiran yang mendalam. Menurut Farabi, kesempurnaan pensucian jiwa bukan hanya bergantung pada ibadah-ibadah ritual, tetapi juga dipengaruhi oleh tafakkur, rasionalitas, dan pemikiran. Tak bisa disangkal bahwa ibadah-ibadah jasmani juga berpengaruh dalam pencapaian kesempurnaan, tetapi kesempurnaan yang diraih bersama dengan akal-pikiran dan rasionalitas memiliki keunggulan yang lebih. Semakin sempurna akal-pikiran dan makrifat manusia, maka semakin dekat ia kepada alam transenden dan alam akal, dan ketika ia sampai pada derajat alam akal tertinggi, maka selayaknya ia memperoleh cahaya-cahaya Tuhan, puncak tertinggi kebahagiaan dan kesempurnaan makrifat Ilahi.

Dalam sejarah filsafat Islam, Syeikh Syihabuddin Suhrawardi adalah termasuk salah seorang filosof yang menentang pemisahan ajaran suci agama dan pemikiran filsafat, ia beranggapan bahwa keduanya terdapat kesatuan hakikat. Ia kemudian membangun sendiri sistem filsafatnya berpijak pada asumsi adanya kesatuan tersebut. Menurutnya, perbedaan yang ada di antara agama-agama dan aliran-aliran pemikiran dipengaruhi oleh banyak faktor dan salah satu faktor utamanya adalah perbedaan dalam istilah.

Hakikat matahari yang bercahaya itu adalah satu dan ia tidak menjadi banyak dengan beragamnya manifestasi-manifestasinya. Kota hanyalah satu tapi pintu-pintunya sangatlah banyak dan jalan-jalan menuju ke kota itu tak berbilang banyaknya. Dari kumpulan karya-karya Syaikh Isyraq dapat dipahami bahwa Hikmah Isyraqi dijabarkan dengan bahasa kinâyah (figuratif), dan bahasa kinâyah tidak dapat diketahui oleh banyak manusia. Bahasa argumentasi dan filsafat dapat dipahami oleh sebagian manusia yang memiliki kemampuan dan bakat yang cukup, tetapi memahami bahasa kinayah tak cukup hanya dengan kemampuan yang cukup itu. Untuk mengetahui bahasa kinayah diperlukan kemampuan istimewa yang hanya dapat dicapai dengan riyâdhah (disiplin spiritual), murâqabah (penjagaan diri dari segala kemaksiatan), tafakkur mengenai hakikat jiwa dan alam. Syaikh Isyraq menyatakan bahwa sebagaimana penciptaan dan perwujudan segala sesuatu hanya dilakukan oleh Tuhan, maka Dia pulalah yang memberikan hidayah kepada semua makhluk-Nya.

Di zaman ketika Syaikh Isyraq meletakkan pondasi filsafat Isyraqiyah (Iluminasi)nya di dunia timur Islam dimana menekankan pada kesatuan hakikat, juga Abul Walid bin Rusyd di dunia barat Islam lantang menyuarakan keharmonisan hikmah (baca: filsafat) dan syariat (baca: agama). Ibnu Rusyd, dalam kitabnya Fashl al-maqâl fi ma baina asy-Syariah wa al-Hikmah, menjabarkan dan mengkaji aspek-aspek syariat. Ia di awal kitab Manâhij al-Adillah fi Aqâid al-Millah juga memaparkan masalah tersebut dan berkata, "Syariat terbagi dalam dua bagian, yakni lahir dan batin, dan batin syariat dikhususkan untuk para ulama, sementara mayoritas yang awam hanya diperintahkan untuk mengamalkan lahiriah syariat dan menghindari berbagai bentuk takwil. Bagi kaum ulama juga tidak dibenarkan mengungkapkan dan menyampaikan hakikat-hakikat yang diperoleh dari jalur penakwilan kepada masyarakat awam."[26] Ibnu Rusyd dalam tulisannya berpijak pada perkataan Imam Ali As yang bersabda, "Berbicaralah kepada masyarakat sehingga mereka dapat memahami, apabila kandungan pembicaraan lebih tinggi dari pada kadar pemahaman masyarakat, maka dikhawatirkan mereka akan menolak perkataan Tuhan dan para Nabi-Nya". Ibnu Rusyd yakin bahwa peran kitab-kitab suci, yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul Tuhan, meliputi satu makna lahir dan beberapa makna batin. Tapi ia bukanlah orang pertama yang mengungkapkan hal-hal tersebut. Ibnu Rusyd dan juga semua orang yang percaya terhadap masalah itu, berkeyakinan atas keberadaan makna batin dimana apabila makna batin syariat dan ajaran agama disingkapkan kepada masyarakat awam akan mengakibatkan munculnya masalah dan persoalan psikologis dan sosiologi yang terburuk. Ibnu Rusyd berpandangan bahwa senantiasa terdapat kesatuan hakikat yang memiliki penafsiran-penafsiran yang beragam.

Dengan demikian, penisbahan suatu pandangan mengenai hakikat-hakikat yang saling bertolak belakang kepada Ibnu Rusyd adalah penisbahan yang tidak beralasan. Dalam aliran politik Latiny Ibnu Rusyd, penisbahan gagasan itu kepada Ibnu Rusyd sangat masyhur, tapi apabila diperhatikan bahwa perspektif hakikat batin syariat dan hakikat lahir syariat - yang juga digagas oleh Ibnu Rusyd - ditempatkan secara berjenjang dan bergradasi, maka mustahil terdapat dua hakikat atau beberapa hakikat yang saling bertentangan. Dengan perspektif ini, mustahil pandangan tentang hakikat-hakikat yang saling berlawanan itu kita nisbahkan kepada Ibnu Rusyd. Sebagaimana yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa keharmonisan dan kesesuaian antara agama dan filsafat senantiasa menjadi titik tekan para filosof Islam hingga zaman Ibnu Rusyd. Filosof-filosof pasca Ibnu Rusyd kurang lebih menjabarkan masalah tersebut dan mereka mempunyai pandangan yang sama mengenai keharmonisan hubungan antara agama dan filsafat.

Pada abad kesebelas hijriah, muncul seorang filosof bernama Sadruddin Syirazi yang secara gemilang mengkaji hakikat eksistensi dan melahirkan gagasan-gagasan filsafat yang baru dan cemerlang. Ia meneliti hadits-hadits yang diriwayatkan dari Ahlulbait Nabi As dan berkesimpulan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan bahkan terdapat keharmonisan di antara keduanya. Persoalan ini senantiasa ia tekankan di dalam banyak karya-karyanya, dalam kitabnya bertema Syarh Ushul al-Kâfi ia menafsirkan 34 hadits yang sahih berkenaan dengan akal dan keunggulan-keunggulannya. Hadits-hadits tentang akal ini memang paling banyak diriwayatkan dari Imam-Imam Suci Ahlulbait Nabi As yang disampaikan oleh ulama dan ahli hadis (muhaddits) Syiah. Sementara hadis-hadis seperti ini sangat jarang diriwayatkan oleh ulama dan ahli hadis Sunni dan bahkan sebagian dari mereka menganggap bahwa hadis-hadis yang berhubungan dengan akal adalah palsu.

Muqaddasi, salah seorang ulama besar Sunni, memandang bahwa hadits-hadits yang berkaitan dengan akal adalah bohong dan palsu. Perlu diperhatikan bahwa Sadruddin Syirazi di samping ia adalah seorang filosof besar juga merupakan ahli hadis, maka dari itu, hadis-hadis yang ia anggap sahih juga dipandang sahih oleh para ahli hadis lainnya.

Allamah Thabathabai, seorang filosof kontemporer, termasuk filosof yang tidak membenarkan adanya pemisahan antara agama dan filsafat, ia memandang bahwa argumentasi rasional-filosofis terhadap masalah-masalah teologi adalah hal yang bersifat fitrah bagi manusia. Dalam hal ini ia berkata, "Adalah salah satu bentuk kezaliman dan kesesatan apabila kita memisahkan antara ajaran suci agama-agama dan filsafat transenden. Apakah agama bukan kumpulan dari makrifat-makrifat Ilahi, akhlak, dan hukum-hukum? Apakah para Nabi dan Rasul tidak diperintahkan oleh Tuhan untuk mengajak, mendidik, dan mengantarkan manusia kepada hakikat kebahagiaan dan kesempurnaan hakiki? Apakah kebahagiaan dan kesempurnaan manusia tidak terletak pada pengajaran suci agama dan pemberian akal kepada manusia oleh Tuhan untuk menyingkap berbagai rahasia-rahasia alam, mencapai puncak kesempurnaan makrifat atas hakikat-hakikat eksistensi, dan menjalani kehidupan yang seimbang serta menjauhi segala bentuk penyikapan yang ekstrim atas dimensi-dimensi kehidupan di dunia? Apakah manusia dapat menggapai pemahaman makrifat dan ilmu tanpa menggunakan argumentasi rasional, dalil akal, dan kontemplasi yang mana merupakan substansi dan hakikat manusia? Bagaimana dapat dikatakan bahwa ajaran agama Ilahi mengajak manusia menentang fitrah dan hakikat wujudnya sendiri serta menyeru manusia untuk menerima segala perkara tanpa dalil akal dan argumentasi rasional? Secara mendasar tidak terdapat perbedaan antara metodologi para Nabi dalam mengajak manusia kepada kebenaran dan apa-apa yang dicapai dan diraih manusia lewat argumentasi yang benar dan logis. Perbedaan keduanya hanya terletak bahwa para Nabi dan Rasul As mendapatkan pertolongan dari Sebab Pertama dan meminum langsung dari sumber wahyu."[27]

Para Nabi dan Rasul As memiliki kemampuan untuk turun dari derajat tertinggi dan berbicara dengan manusia sesuai dengan kadar kemampuan akal dans pemahamannya. Semua Nabi dan Rasul as tidak memaksa manusia untuk menerima segala hal tanpa dalil akal dan argumentasi rasional, mereka tidak mengajak manusia dengan taklid buta. Kitab suci al-Qur'an membahas masalah teologi (mabda), eskatologi (ma'âd), dan persoalan metafisika dengan berbagai burhan dan argumentasi. Kitab suci ini sangat memuji ilmu, makrifat, akal, dan kemandirian intelektualitas serta menentang segala bentuk kebodohan dan taklid buta. Tuhan dalam al-Qur'an berfirman:

Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah dan dalil yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (Qs. Yusuf: 108)

Sebagaimana ayat yang disaksikan di atas, Nabi dan Rasul as mengajak manusia kepada Tuhan berdasarkan hujjah, bashirah dan dalil yang nyata. Tak diragukan lagi bahwa ajakan dan dakwah para Nabi berpijak pada bashirah dan bukan taklid tanpa argumentasi. Dan ketika terdapat burhan dan argumentasi, maka kita tidak bisa menyatakan bahwa hal tersebut bertolak belakang dengan hikmah dan filsafat. Perlu diperhatikan bahwa filsafat itu jangan dipandang sebagai rangkaian dan kumpulan dari pemikiran, perspektif, dan gagasan filosof-filosof Yunani yang di antara mereka terdapat orang mukmin, kafir, yang benar, dan yang salah.


Catatan Kaki:
[1] . St. Anselm (1033 - 1109 M) adalah seorang teolog dan filosof abad pertengahan, ia berkebangsaan Italia dan kemudian tersohor setelah ia merumuskan argumen Ontologi tentang pembuktian eksistensi Tuhan.

[2] . Abul Qasim Baihaqi, Durratul Akhbâr wa Lum'atul Anwâr, hal. 28.

[3] . Robert Hume, Adyân-e Zendeh Jahân, penerjemah: Abdurrahim Gawohy, hal. 18.

[4] . John Nas, Târikh Jame' Adyân, penerjemah: Ali Ashgar Hikmat, hal. 79 dan 81.

[5] . Ibid.

[6] . Ibid.

[7] . Ibid.

[8] . Bradly, 'Aql wa 'Itiqâd-e Din, hal 18.

[9] . Ibid.

[10] . Ruwil, Mâhiyat wa Mansyâ'-e Din, hal. 112.

[11] . John Paul William, Jame' Syenâsi Adyân, penerjemah: Abdul Karim Gawahy, hal 171 dan 172.

[12] . Ibid.

[13] . Ibid, hal. 168.

[14] . Ibid.

[15] . Yâd Nameh Syahid Murtadha Muthahhari, hal. 117.

[16] . Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, A^muzesy Aqâid, jilid 2, hal. 28.

[17] . Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, jilid 15, hal. 8.

[18] . Muhammad Husain Thabathabai, Syi'ah dar Islâm, hal. 3.

[19] . Ja'far Subhani, Fashl Nâmeh Naqd wa Nazhar, nomor 3, hal. 19? .

[20] . Abudullah Jawadi Amuli, Syariat dar A^yine-ye Ma'rifat, hal, 93-95.

[21] . Abu Hayyan Tauhidi, al-Imta' wa al-Muânasah, jilid pertama, bagian kedua, hal. 15.

[22] . Abul Hasan 'Amiri, al-Amad 'ala al-Abad, hal 87.

[23] . Abul Hasan 'Amiri, as-Sa'adah wa al-Is'ad, hal. 180.

[24] . Abul Hasan 'Amiri, as-Sa'âdah wa al-Is'âd, hal 180.

[25] . Ibnu Maimun, Dilâlah al-hairîn, hal 722.

[26] . Ibnu Rusyd, Manâhij al-Adillah fi Aqâid al-Millah, hal 133.

[27] . Allamah Muhammad Husein Thabathabai, Ali as wa Falsafe-ye Ilahi, penerjemah: Sayyid Ibrahim Sayyid Alawi, hal. 11-12.


3
NEO-TEOLOGI I

Agama Bagi Manusia atau Sebaliknya?
Sebagian menyangka bahwa karakteristik zaman modern adalah segala sesuatu untuk manusia atau humanisme, termasuk agama untuk manusia. Padahal dalam pandangan tradisional, manusia untuk agama. Mereka mengatakan, dalam penafsiran klasik terhadap agama, kedudukan manusia lebih rendah dari agama dan akidah. Dengan dasar ini, manusia berkhidmat pada agama dan jiwa manusia menjadi tidak bernilai, serta dengan mudah mereka akan mengorbankan jiwanya demi agama. Adapun di masa modern, manusia menempatkan dirinya lebih tinggi dari agama, dan ini berarti bahwa manusia tidak mengorbankan diri demi agama dan membunuh seseorang atas nama agama.



Kedudukan Tinggi Manusia atas Pemikiran di Masa Modern
Tidak diragukan lagi bahwa di masa modern manusia diposisikan lebih tinggi dari pemikiran. Namun pandangan ini perlu ditinjaun kembali, pertama dengan dasar apa manusia diposisikan lebih tinggi dari pemikiran, kedua apakah karakteristik pemikiran-pemikiran tradisional adalah sebagaimana juga sekarang ini atau bertentangan? Adapun di masa modern bahwa manusia telah menjadi terhormat dan kedudukan pemikiran menjadi rendah, hal ini karena dari satu sisi merupakan akibat dari kedudukan yang terlupakan dari manusia dan dari sisi lain sebagai akibat hilangnya sisi kepastian kebenaran pengetahuan manusia. Manusia modern memahami bahwa pengetahuan itu bersifat nisbi sehingga tidak mungkin diharapkan memiliki nilai mutlak, karena itu pengetahuan menjadi berada pada titik terendah dari manusia. Jika manusia suatu saat kembali menemukan bahwa pengetahuan dan pemikirannya memiliki nilai mutlak, maka pemikirannya akan kembali mulia, suci, dan terhormat serta kembali menjadi lebih tinggi dari manusianya.

Adapun mengenai substansi tradisi pemikiran-pemikiran klasik itu tidak selayaknya dipandang sama, begitu banyak tradisi-tradisi pemikiran yang ditemukan dalam sejarah manusia yang tidak dapat dihukumi secara sama. Salah satu kesalahan mendasar dari sistem pengajaran moderen adalah memandang sama semua budaya dan tradisi di semua negara pada masa pra pembaharuan Eropa. Mereka ini tidak ingin bersusah payah untuk melakukan penelitian dan seenaknya memandang bahwa semua budaya dan tradisi adalah sama dengan kebudayaan dan tradisi Eropa abad pertengahaan. Pandangan yang tak berdasar dan tak ilmiah ini merupakan persoalan penting bagi para peneliti pada zaman moderen yang harus dicarikan solusinya.



Tujuan Agama
Di sini, Kami tak memiliki kesempatan untuk mengisyaratkan semua tradisi pemikiran klasik. Tetapi kami akan menerangkan hal-hal yang berhubungan dengan substansi pemikiran Islam sebagaimana tradisi Islam itu sendiri, yakni diturunkannya Kitab-Kitab Suci dan diutusnya para Rasul adalah bertujuan untuk menyempurnakan manusia. Adalah sangat jelas bahwa agama adalah petunjuk Tuhan yang mengarahkan manusia untuk pencapaian kesempurnaan hakiki manusia. Tujuan agama adalah memberi petunjuk pada manusia dalam mengaktualkan semua potensinya dan menyampaikannya ke-haribaan Ilahi.

Jika demikian, maka agama adalah perantara dalam membantu tugas manusia untuk merealisasikan tujuan mulianya. Dengan pandangan ini, tidak dapat dipersepsi bahwa bagaimana mungkin kehadiran agama menyebabkan manusia berkorban untuknya. Jika ditetapkan bahwa manusia dikorbankan untuk agama, potensi-potensi manusia tidak mengaktual, dan tujuan agama tidak tercapai. Jika manusia dengan sia-sia dan semata menghancurkan dirinya dengan nama agama, maka sebaiknya agama seperti ini tidak dihadirkan. Dalam pandangan Islam, agama sebagai jalan kesempurnaan dan keselamatan manusia. Agama sebagai jalan menyampaikan manusia pada tujuan dan kesempurnaan wujud tertinggi. Agama sebagai rantai penyambung antara alam materi dan alam malakut. Agama hadir supaya manusia yang tercipta dari tanah yang rendah ini dapat melesak ke alam tinggi malakuti. Agama sebagai pengobat rasa takut dan kekhawatiran kita. Agama sebagai pelindung dan jalan keluar terhadap berbagai kesulitan yang bersumber dari karakter alam materi. Agama adalah pemberi makna bagi kehidupan manusia. Agama menyirnakan rasa takut manusia akan kematian dan memberikan manusia harapan pasti akan kehidupan abadi di alam akhirat.

Di sini, kami tidak berargumentasi atas pandangan-pandangan diatas, tapi hanya menjabarkan pandangan Islam tentang substansi agama dan hubungannya dengan manusia. Mengidentitaskan ikatan agama dengan manusia. Sebagaimana diperhatikan bahwa semua permasalahan di atas berkaitan dengan tujuan manusia. Agama berkhidmat untuk manusia dan untuk keselamatannya. Sekarang terdapat sebuah pertanyaan bahwa jika demikian, mengapa manusia mesti berkorban di jalan agama, mengapa untuk menghidupkan dan menjaga agama begitu banyak manusia yang telah dikorbankan, dan mengapa terdapat budaya kesyahidan dalam agama khsususnya dalam agama Islam?



Motivasi-Motivasi Manusia
Sebelum memaparkan masalah ini, perlu memperhatikan beberapa mukadimah berikut ini. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia tidak terlepas dari dua hal, yaitu perbuatan yang dilakukan tersebut berpijak pada kebenaran atau karena berdasarkan asas manfaat ? Dengan kata lain, motivasi manusia ada dua bentuk, yakni mencari sebuah kebenaran dan berpikir secara mashlahat. Ketika saya mengerjakan shalat, terdapat dua alasan, yakni karena Tuhan memang layak disembah dan Dia menginginkan jalan penyembahan ini (motivasi mencari kebenaran) atau dengan alasan bahwa shalat menyebabkan kebahagiaan dan keselamatan saya (motivasi mashlahat dan manfaat). Jika saya tidak berbohong, dengan dalil bahwa berbohong adalah tidak benar (motivasi kebenaran) atau dengan dalil bahwa berbohong menyebabkan hadirnya siksaan (motivasi mashlahat). Berdasarkan dua prinsip tersebut, kita bisa memberikan dua solusi atas masalah ini:


1. Mencari Kebenaran
Mencari kebenaran bisa disaksikan dalam tiga perkara:

1. Kecenderungan;

2. Pandangan;

3. Metodologi.

Mencari hakikat kebenaran akan ditemukan dalam tiga bentuk:

1. Kecenderungan pada kebenaran;

2. Menerima dan yakin pada kebenaran;

3. Implementasi kebenaran dan kebenaran sebagai tolok ukur.

Manusia-manusia pencari kebenaran menempatkan hakikat kebenaran itu dalam tiga sisi wujudnya, pertama hati sebagai pusat kecenderungan, cinta, dan benci. Kedua pikiran sebagai tempat pandangan dan pemikiran. Ketiga tubuh sebagai tempat lahirnya amal perbuatan dan tingkah laku manusia. Kecintaan dan kebencian mereka ini semata-mata berdasarkan hakikat kebenaran (kecenderungan kebenaran), dia tidak meyakini dan mengimani selain kepada pandangan-pandangan benar dan menerima setiap pemikiran yang benar (menerima dan yakin pada kebenaran), dan mengamalkan kebenaran, rela menerima segala konsekuensinya, istiqomah dalam kebenaran, dan segala prilakunya berdasarkan pada kebenaran (implementasi kebenaran dan kebenaran sebagai tolok ukur).



Imam Ali sebagai Teladan Pencari Kebenaran
Teladan tertinggi manusia sebagai pencari kebenaran adalah Ali Bin Abi Thalib as dimana dalam segala sesuatu senantiasa berpegang pada kebenaran dan tidak mencintai sesuatu selain kebenaran, dan sekalipun itu kekuasaan jika bertentangan dengan kebenaran, maka tidak akan bernilai sama sekali[1]. Paling mulianya seorang dalam pandangannya adalah orang yang mengamalkan kebenaran di sisinya lebih dia cintai dari segala sesuatu. Dia tidak menerima selain kebenaran dan ketika dia mengenal kebenaran dia tidak menunda sedetikpun untuk menerimanya[2]. Dalam amal perbuatan juga berpegang teguh pada kebenaran dan tidak rela meraih kekuasaan dengan kebohongan (dalam musyawarah pemilihan khalifah kedua) serta orang kuat dalam pandangan beliau adalah lemah sehingga mereka menerima kebenaran[3], dan dia bersumpah pada Tuhan untuk berperang demi kebenaran dan membebaskan kebenaran dari cengkraman kebatilan dan orang-orang mencampuradukkannya dengan kebatilan[4]. Pemihakannya pada kebenaran sedemikian sehingga terwujud peperangan yang tak diiginkan dengan orang-orang ekstrim Khawarij, para pecinta kekuasaan (Muawiyah), dan kelompok munafik. Puncak perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan berujung pada kesyahidannya.



Pengorbanan dan Kesetiaan di Jalan Kebenaran
Keadaan ini akan hadir pada diri seseorang yang telah menemukan kebenaran dan berpegang teguh padanya. Jika seseorang telah menemukan kebenaran suatu agama, apabila dia pencari kebenaran, apakah dia tidak boleh berkorban dan setia pada kebenaran. Apakah tidak bernilai jika seorang manusia mengorbankan jiwanya untuk kebenaran? Bukankah suatu kesempurnaan manusia yang berpegang teguh pada kebenaran hingga akhir hayatnya dan berperang demi kebenaran? Bukankah kemanusiaan kita terletak pada pengamalan kebenaran? Manusia pencari kebenaran memahami bahwa kemanusiaannya terletak pada kecenderungan kebenaran, keyakinan pada kebenaran, dan implementasi kebenaran serta menjadi kebenaran sebagai tolak ukur. Oleh karena itu, untuk mencapai derajat kemuliaan manusia ini dia bahkan rela mengorbankan kehidupan materialnya.



2. Berpikir Mashlahat
Seseorang yang berbuat berdasarkan prinsip kemaslahatan dan asas manfaat, sebelumnya harus mengenal manfaat-manfaat dirinya dan mengetahui apa keuntungannya yang terbesar serta memahami bagaimana cara meraihnya sedemikian sehingga tidak melakukan apa yang mendatangkan bahaya baginya dan mengerjakan apa yang membawa keuntungan baginya. Intinya, dia mesti mengetahui perkara-perkara yang memiliki manfaat dan hal-hal yang tidak yang menguntungkan. Orang-orang yang beriman dan beramal shaleh mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Bijaksana niscaya mengetahui dan menghendaki kemashlahatannya. Oleh karena itu, kemashlahatan yang paling tinggi terletak dalam ruang lingkup agama, walaupun kemashlahatan agama ini akan bertabrakan dengan manfaat duniawi yang bersifat sementara. Dengan demikian, mashlahat hakiki terletak dalam agama dan orang yang mengamalkan agama akan mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan di akhirat.

Walhasil, apabila orang beragama memahami bahwa untuk mencapai kebahagiaan hakiki dia harus mengorbankan jiwanya, maka perbuatan ini adalah hal yang sangat logis dan manusiawi, karena kemashlahatannya hanya akan terjamin dengan pengorbanan ini. Sangat mungkin kemashlahatan duniawi akan hilang, namun kemaslahatan abadi pasti tergapai. Bentuk jual-beli dan perdagangan seperti ini sangat agung dan membawa keuntungan yang sangat besar, hal ini sebagaimana disebutkan dalam al-Quran, "Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih. Yaitu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui"[5]. Setiap manusia bisa meraih maslahat akhirat melalui jalan ini dan menggapai keselamatan dan kebahagian diri serta akan mendapatkan ketenangan pikiran di dunia.

Agama seperti tali yang digantungkan dari puncak gunung, sehingga para pendaki dengan bantuan tali tersebut mampu mendaki hingga ke puncak gunung, tali ini juga sebagai pengaman dari kejatuhan ke dasar lembah yang gelap atau sebagai alat bantu dari keterjebakan. Agama tidak lain adalah tali Allah yang sangat kuat yang dengan berpegang teguh padanya mampu mengantarkan manusia ke puncak keselamatan dan mendapatkan kemashlahatan yang abadi serta meniti jalan ini menciptakan keamanan dan ketenangan jiwa. Yakni ketenangan duniawi dan kebahagiaan akhirat, Tuhan berfirman, "Barang siapa yang berpegang pada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk ke jalan yang lurus....", "Dan berpeganglah kalian pada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai berai..."[6].

Adapun jika diperhadapkan pada kemaslahatan sosial, agama juga -khususnya agama Islam - bermanfaat bagi masyarakat. Suatu masyarakat yang berjalan di atas kemashlahatan duniawi bisa meraih kemashlahatan ini lewat jalan agama (yakni berkaitan dengan urusan duniawi yang telah diatur dalam agama).



Pengorbanan dan Kesetiaan untuk Menjaga Kemashlahatan
Dari penjelasan di atas, kita dapat menerima secara rasional bahwa kehadiran agama untuk manusia dan menjamin kemashlahatan manusia, dengan demikian segala bentuk pengorbanan di jalan agama memiliki makna yang sangat berarti. Jika masyarakat ingin memperoleh kemashlahatan ini, maka harus berpegang pada agama dan mereka mesti menjaga agamanya dengan segenap kemampuan walaupun dengan mengorbankan jiwanya. Yang pasti apa yang telah dikorbankan untuk agama tidak berarti jika dibandingkan dengan manfaat abadi yang diraihnya.

Salah satu fungsi komandan pasukan dalam medan perang adalah menjaga keselamatan jiwa kelompoknya dan menyelamatkan mereka dari serangan dan kepungan musuh. Jika komandan ini tidak ada, maka pasukannya akan banyak yang terbunuh. Namun seorang komandan mampu menyelamatkan semua atau sebagian dari mereka. Untuk menyelamatkan mayoritas anggota-angota kelompok maka komandan harus terjaga. Dari sini menjadi rasional bahwa sebagian anggota pasukan akan mengorbankan diri demi menjaga dan menyelamatkan sebagian anggota pasukan dan seluruh anggota pasukan bertanggung jawab menjaga komandan pasukan serta rela terbunuh lebih awal demi keselamatan jiwa komandan. Memang benar bahwa seorang komandan bertujuan menyelamatkan seluruh anggota pasukannya, bukan sebaliknya. Namun untuk terealisasikan fungsi komandan ini terkadang dibutuhkan pengorbanan beberapa anggota pasukan demi keselamatan jiwa komandan, supaya dengan keberadaan komandan keselamatan semua pasukan menjadi terjamin.

Oleh karena itu, walaupun dengan dasar berpikir mashlahat duniawi, pengorbanan dan kesetiaan merupakan alat bagi agama dan apabila diperhadapkan dengan keuntungan-keuntungan duniawi, maka kedua hal tersebut tetap memiliki arti, begitu pula segala pengorbanan di jalan agama sesungguhnya untuk menjamin maslahat-maslahat manusia. Begitu juga dengan kelanggengan agama ini dapat menjamin maslahat-maslahat mereka. Untuk itu, dorongan pengorbanan diri atau mati syahid (syahadah) dalam agama bukan bermakna merendahkan nilai dan harga jiwa manusia, tetapi berarti mempersiapkan manusia-manusia untuk menjamin kemashlahatan dirinya sendiri, yakni pengorbanan manusia untuk agama sama dengan menjamin kemashlahatan manusia itu sendiri



Kesempurnaan Manusia lewat Pengorbanan dan Kesetiaan
Dengan demikian, dengan tidak berpijak pada prinsip-prinsip dan penjelasan di atas kita tidak dapat menuduh Islam dengan sangkaan merendahkan jiwa manusia atau manusia dikorbankan untuk agama, tetapi semata-mata memandang agama dari dalam dan bukan mengklaim berdasarkan kemashlahatan duniawi manusia.

Jika ungkapan 'pengorbanan jiwa di jalan agama' digunakan, sesungguhnya menjelaskan tentang proses kesempurnaan manusia dan proses penitian jalan kebahagiaan. Pengorbanan jiwa manusia bukan dipandang tidak memiliki makna, bahkan dengan ini manusia diarahkan pada puncak kesempurnaan dan hingga pada batasan dimana dengan pengorbanan ini Tuhan membanggakannya di hadapan para malaikat. Para syuhada dan pembela agama, disamping mereka mendapatkan kebahagiaan abadi, mereka juga melestarikan agama serta menghaturkan kebahagiaan bagi manusia-manusia lain. Sungguh hal ini merupakan suatu kebanggaan tak terkira.



Catatan Kaki:
[1] . Nahjul Balaghah, khutbah 33.

[2] . Ibid, khutbah 4.

[3] . Ibid, khutbah 37.

[4] . Ibid, khutbah 104

[5] . Qs. Shaf: 10-11.

[6] . Qs. Al-Imran: 101 dan 103.


4
NEO-TEOLOGI I

EPISTEMOLOGI AGAMA

Definisi dan Karakteristik Epistemologi Agama
Epistemologi agama merupakan suatu bentuk makrifat derajat kedua, dimana seorang epistemolog dengan pandangan kesejarahannya melihat kepada makrifat-makrifat agama dan memberikan penjelasan tentang dasar-dasar representasi, pembenaran dan aksiden-aksidennya. Untuk lebih jelasnya masalah ini, perlu kami isyaratkan terlebih dahulu suatu bentuk pembagian universal dalam wilayah pembahasan epistemologi.

Epistemologi dalam telaah universal dibagi atas dua jenis, epistemologi apriori dan epistemologi aposteriori.

1. Epistemologi apriori: Bagian epistemologi ini membicarakan tentang wujud mental, ilmu dan kognisi. Dengan kata lain, subyek dari epistemologi ini, adalah eksistensi dan esensi daripada ilmu. Adapun predikat-predikat yang dipredikasikan atas subyek epistemologi ini, seperti kenonmaterian ilmu, kematerian ilmu, kesatuan 'âlim dan ma'lûm, kualitas mental dan sebagainya. Misalnya dikatakan: wujud ilmu, adalah non materi atau esensi ilmu, adalah kualitas mental atau ilmu dibagi atas hudhuri dan hushuli serta contoh-contoh lainnya. Jenis epistemologi ini, disebut epistemologi sebelum terealisasi dan teraktual ilmu-ilmu atau disebut juga epistemologi filosofis. Perlu juga disebutkan bahwa jenis epistemologi ini mempunyai dua tema bahasan utama, ontologi ilmu dan penyingkapan ilmu. Yakni, terkadang pembahasan berbicara tentang wujud dan mahiyah ilmu dan terkadang pembahasan berhubungan dengan penyingkapan makrifat-makrifat terhadap realitas dan hakikat.

2. Epistemologi aposteriori: Jenis epistemologi ini merupakan kebalikan dari jenis epistemologi terdahulu, ia ada sesudah merealitas dan mengaktualnya ilmu dan makrifat manusia serta tidak memperhatikan pada wujud atau mahiyah ilmu sebagai realitas dalam akal dan mental manusia; akan tetapi subyek-subyeknya, adalah totalitas makrifat-makrifat dan proposisi-proposisi atau konsepsi-konsepsi (tashawwur) dan afirmasi-afirmasi (tashdiq) yang maujud dalam berbagai ilmu. Dengan kata lain, subyek dari golongan epistemologi ini adalah dari tipe dan jenis makrifat.

Selanjutnya poin ini perlu diketahui juga bahwa epistemologi memiliki tinjauan terhadap seluruh proposisi-proposisi ilmu, baik proposisi-proposisi itu sesuai dengan realitas ataukah sama sekali tidak ada kesesuaian; dengan kata lain, seluruh penerimaan dan penolakan proposisi-proposisi ilmu itu menjadi hal yang diterima oleh para ilmuan dari disiplin ilmu tersebut dan menjadi bahan telaah mereka.

Untuk penjelasan yang lebih luas berkenaan masalah ini perlu kami isyaratkan juga pembagian lain dari pengetahuan dan makrifat manusia. Pengetahuan dan makrifat manusia dalam suatu bentuk pengelompokan dikelompokkan menjadi dua, pengetahuan dan makrifat derajat pertama dan pengetahuan dan makrifat derajat kedua. Pengetahuan dan makrifat derajat pertama adalah makrifat-makrifat yang membahas tentang hakikat-hakikat tertentu; sebagai contoh, dalam fisika dibahas subyek-subyek seperti materi, energi, gerak, kekuatan, cahaya dan sebagainya, dan dalam kimia dibahas dan diteliti tentang unsur-unsur; akan tetapi makrifat-makrifat derajat kedua berbicara tentang pengetahuan dan makrifat derajat pertama; seperti filsafat ilmu Fisika (philosophy of physics) dimana yang dibahas dan ditelaah didalamnya adalah ilmu fisika itu sendiri atau secara global filsafat ilmu (philosophy of Science) dari ilmu-ilmu eksperimen, dibahas dan dikaji dari dimensi bahwa ia mempunyai satu esensi kesejarahan serta berusaha menjawab terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah stetemen-stetemen ilmu dapat menerima pembuktian ataukah menerima pembatilan? Apakah proposisi-prosposisi (qadhâyah) ilmu bersifat tetap atau berubah? Dan pertanyaan-pertanyaan lain serupa itu. Dengan memperhatikan uraian-uraian di atas akan menjadi jelas bahwa filsafat setiap ilmu berada dalam tataran vertikal ilmu itu sendiri, tidak dalam kesejajarannya atau lebih utama darinya. Oleh karena itu topik-topik ilmu dan filsafat seperti filsafat akhlak, filsafat kalam (teologi), filsafat politik, filsafat matematika dan juga epistemologi agama, semuanya dipandang sebagai bagian dari pengetahuan dan makrifat derajat kedua atau epistemologi aposteriori.

Subyek epistemologi agama, adalah makrifat agama, dan makrifat agama merupakan suatu komprehensi umum yang dimutlakkan atas seluruh proposisi-proposisi yang diambil dari syariat. Maka dari itu sebagai konklusinya, pengetahuan dan makrifat fiqih, teologi, tafsir, hadis dan akhlak, semuanya terhitung sebagai makrifat agama. Akan tetapi tidak semua makrifat-makrifat kalam dapat dihitung sebagai makrifat agama; sebab tidak semua pembahasannya diambil dari syariat, sebagaimana dapat disaksikan pembahasan tentang Ilâhiyyât bil-ma'na al-akhash (filsafat ketuhanan) dalam kitab-kitab Kalam. Namun di samping itu pengetahuan dan makrifat rasional yang berhubungan dengan agama, harus dipandang sebagai bagian dari makrifat agama.



Penjelasan Mengenai Mafhûm Agama
Untuk memahami lebih dalam pembahasan epistemologi agama, harus terlebih dahulu dijelaskan dan didefinisikan mafhûm (komprehensi) agama, sehingga dapat diketahui secara baik kedudukan dari epistemologi tersebut. Agama (dîn) dalam bahasa Arab bermakna ketaatan, balasan, khudhu' (tunduk) dan menyerah; tetapi definisi lughawi (leksikal) agama (dîn) dalam bentuk pembahasan ini tidak memecahkan masalah; oleh karena itu kita terpaksa mendefinisikan agama secara peristilahan. Istilah agama dalam zaman kita ini sangat sulit menerima definisi; sebab definisi-definisi yang diutarakan, terkadang sangatlah luas, yang mana juga memberi jalan masuk hal-hal yang berbeda pada batasannya, sehingga meliputi ideologi-ideologi Materialisme seperti Marxisme atau ia sedemikian terbatasnya sehingga tidak menghimpun semua individu-individunya.

Problem mendasar dalam pembahasan ini, apakah agama-agama yang ada ini mempunyai perkara yang sama sehingga berasaskan perkara yang sama itu dapat diutarakan suatu definisi baginya ataukah tidak?

Definisi-definisi agama yang beragam telah diutarakan dalam bentuk pembahasan tersendiri; sebab itu dalam pembahasan ini hanya akan diisyaratkan definisi-definisi dari sebagian penulis; oleh karena itu di antara definisi-definisi agama yang dipandang perlu diungkapkan adalah:

1. Dari Kitab dan Sunnah[1];

2. Rukun-rukun, prinsip-prinsip dan cabang-cabang agama yang turun atas Nabi Saw[2];

3. Teks-teks agama, keadaan-keadaan dan prilaku-prilaku pemimpin-pemimpin agama (para Nabi dan pembawa agama)[3];

4. Kitab, sunnah dan sejarah kehidupan pemimpin-pemimpin agama[4].


Definisi-definisi ini, di samping terdapat pertentangan-pertentangan dalam ungkapan, juga memiliki problem ilmiah (isykal) seperti di bawah ini:

Problem pertama: Penulis dalam ungkapan-ungkapannya, terkadang bermaksud mendefinisikan agama dan terkadang bermaksud menedefinisikan syariat; dan bagi orang-orang yang ahli dalam ilmu Kalam, tidak tersamar bagi mereka bahwa kedua istilah ini adalah berbeda; sebab di samping isytarâk lafzhi (equivocal) dalam terma syariat, juga syariat dimutlakkan terhadap cabang-cabang agama dan mempunyai makna yang lebih khusus dari agama.

Problem Kedua: Penulis mencampuradukkan antara agama dan naskah agama; agama adalah sekumpulan hakikat-hakikat dan nilai-nilai, sementara naskah dan teks agama adalah yang menberitakan dan mengisahkan tentang hakikat dan nilai tersebut. Oleh sebab itu relasi (nisbah) antara teks agama dan agama, adalah relasi (nisbah) antara yang memberitakan dan diberitakan.

Sebagai konklusi, definisi agama yang menjadi pilihan kita adalah sekumpulan hakikat-hakikat dan nilai-nilai yang sampai ke tangan manusia dari jalan wahyu, dalam bentuk Kitab dan Sunnah yang bertujuan memberi hidayah dan petunjuk kepada manusia.



Makrifat Agama
Berdasarkan definisi-definisi yang beragam dari agama, maka pengertian tentang makrifat agama juga menemukan perbedaan-perbedaan. Penulis kitab "Qabz wa basth teori syariat", dalam ungkapan yang berbeda-beda menjelaskan dan mendefinisikan istilah makrifat agama; terkadang pengertiannya adalah pemahaman agama atau pemahaman syariat dan terkadang pengertiannya adalah pemahaman manusia tentang syariat serta di dalam banyak kesempatan ia menyebutkannya dengan pengetahuan agama[5], yang pada tulisan ini kami akan isyaratkan sebagian dari ungkapan-ungkapan tersebut:

"Makrifat agama dalam definisi kami adalah identik dengan tafsir syariat yang dihasilkan dari pemahaman terhadap kalam Tuhan dan ucapan-ucapan pemimpin-pemimpin agama" (Nabi-nabi As dan pembawa agama). "Maksud kami dari makrifat agama adalah sekumpulan dari proposisi-proposisi yang dihasilkan dari jalan khusus dengan bantuan media khusus dengan memperhatikan terhadap teks-teks agama dan kondisi-kondisi serta prilaku-prilaku pemimpin-pemimpin agama".

"Makrifat agama, yakni pengetahuan dan makrifat yang dihasilkan dari pemahaman kitab dan sunnah, sejarah kehidupan pemimpin-pemimpin agama, pemahaman terhadap prinsip-prinsip dan dasar-dasar serta rukun-rukun dan cabang-cabang agama; semua ungkapan kami dalam tulisan ini tentang makrifat agama, tidak lain adalah makrifat-makrifat yang digunakan dari kitab dan sunnah itu sendiri…."[6]

Definisi-definisi penulis kitab ini dari makrifat agama, di samping terdapat pertentangan dan perbedaan di antara definisi-definisi itu sendiri, pada dasarnya lebih banyak kembali pada makrifat teks-teks agama dari pada makrifat agama. Tapi pembahasan istilah-istilah ini tidak terlalu urgen untuk dipermasalahkan, yang urgen bagi kita adalah pemahaman unitas dari istilah-istilah yang ada sehingga kita aman dari kerancauan musytarak lafzhi (equivocal).



Iman dan Makrifat Agama
Salah satu yang menjadi dasar dan landasan epistemologi agama adalah kejelasan perbedaan dan pemisah antara iman dan makrifat agama, sehingga dengannya kategori iman dapat dikeluarkan dari fokus pembahasan. Oleh karena itu kita harus juga membawakan sekelumit uraian dan penjelasan tentang iman dalam tulisan ini.

Setiap maujud yang memiliki jiwa (ruh), baginya keterikatan-keterikatan; manusia juga disamping memiliki keterikatan terhadap materi, ia mempunyai keterikatan dan ketertarikan kepada pengetahuan, keindahan, politik dan kemasyarakatan. Iman juga adalah suatu bentuk keterikatan final, dimana seluruh maklumat-maklumat lain berada di bawah radius pancarannya atau yang lain tertolak karenanya; sebagai contoh, keterikatan final dan fanatisme nasionalisme ekstrim terhadap bangsa.

Oleh karena itu, dari jalan ini seluruh unsur-unsur kehidupan person di dalam prilaku dan amal menyatu dengan iman. Koridor dan batasan iman untuk setiap orang merupakan areal yang disucikan; yakni keterikatan final manusia pada akhirnya akan berubah menjadi suatu keterikatan suci dan saat itulah ia akan melahirkan unsur keberanian, keperkasaan dan kecintaan.[7]

Hal yang berhubungan dengan iman, senantiasa berupa sesuatu atau individu tertentu; maka dari itu, pribadi mukmin dinisbahkan terhadapnya (sesuatu atau individu) harus mempunyai pengetahuan dan makrifat; itupun dalam bentuk makrifat yaqînî (disertai keyakinan); sehingga ia dapat dikategorikan sebagai hal yang bergantung dan berhubungan dengan iman; sebab iman terhadap sesuatu yang tidak diketahui secara mutlak adalah tidak mungkin, akan tetapi terkadang kepercayaan dalam diri akan menyebabkan lahirnya iman, tapi inipun pada hakikatnya dampak dari keyakinan.

Adapun kekhususan-kekhususan dari iman di antaranya; senantiasa bergerak melakukan pencarian, menyempurna, melemah dan menipis. Kondisi-kondisi iman ini bisa saja dipengaruhi oleh faktor-faktor pengetahuan, psikologi, politik, kemasyarakatan dan lain-lain. Sampai di sini telah jelas bahwa iman merupakan kategori qalbu yang diperoleh dari dua unsur, yaitu ilmu dan kewajiban, dan makrifat agama sebagai subyek dari epistemologi agama, adalah ilmu dan pengetahuan para ulama agama yang dihasilkan lewat metode penelitian atau ilmu yang diperoleh dari jalan merujuk kepada akal dan sumber-sumber agama.



Hermeneutik
Mengingat bahwa pembahasan epistemologi agama berhubungan dengan masalah-masalah hermeneutik, maka sebaiknya kami juga menyinggung sekelumit pembahasan urgen dan hangat ini di hadapan para pembaca.



A. Makna Hermeunetik
Istilah hermeunetik (hermeneutics) merupakan derivasi dari kata kerja Yunani hermeneuein yang bermakna penafsiran dan dari sudut tinjauan etimologi mempunyai hubungan dengan kata Hermes, Tuhan bangsa Yunani kuno yang bertugas membawa pesan langit kepada manusia.

Gambaran dari struktur tiga tahapan penafsiran, adalah pesan (teks) tafsiran penafsir (Hermes) dan mukhâtab (yang disampaikan padanya pesan).

Adapun penggunaan kata hermeunetik dalam bentuk penggunaan sifat, berbentuk hermeneutic dan hermeneutical; seperti teori hermeneutik (hermeneutic theory). Urgen kami ingatkan bahwa pendekatan etimologi hermeunetik tidak dapat menyampaikan orang pada hakikat hermeunetik, maka dari itu harus dengan teliti melakukan penggalian terhadap esensi dan mahiyahnya. Dewasa ini, istilah hermeunetik sudah dimutlakkan pada cabang dan disiplin ilmu rasional yang mempunyai hubungan dengan mahiyah serta asumsi-asumsi sebelum interpretasi.

Hermeunetik dan teori penakwilan, telah diungkapkan sejak dahulu dalam dunia Barat (dunia Kristen) dan dunia Islam. Para ulama agama, menawarkan pendekatan-pendekatan seperti tahdzib dan tazkiyah nafs (Pembersihan dan pensucian jiwa) untuk menyingkap makna dari teks-teks suci dan menafsirkannya; akan tetapi dunia Barat, pada awal abad ke 19, dengan perantara ilmuan-ilmuan seperti Schleier Macher (1768-1834 M), Wilhelm Dilthey (1833-1911 M), dan Hans Georg Gadamer (1900 M) meletakkan landasan baru bagi ilmu ini. Teori tafsir Schleier Macher dengan merubah hermeunetik dari kedudukan khususnya menjadi kaidah-kaidah umum, berkisar pada fokus dua prinsip penafsiran, penafsiran grammatical dan technical. Dilthey dengan mengajukan metodelogi umum dalam ilmu-ilmu humaniora melakukan pembedaan metodelogis kelompok ilmu-ilmu ini dengan ilmu-ilmu alam, dengan itu ia memasukkan hermeunetik pada babak baru keilmuan. Sedangkan Gadamer, dengan karyanya "Truth and Method" menempatkan dirinya pada tataran pemikir-pemikir beraliran takwil. Gadamer, berseberangan dengan Macher dan Dilthey yang berpandangan bahwa jarak sejarah dan budaya seorang penafsir dari penyusun merupakan sumber dari buruknya pemahaman, menekankan bahwa tidak mungkin ada pemahaman tanpa pra asumsi-pra asumsi dan keyakinan para penafsir sebelum berhadapan dengan teks. Berdasarkan ini, Gadamer tidak memandang penting menyingkap maksud dari pada penyusun dan ia juga tidak meyakini penafsiran hakiki serta penafsiran final.

Sebagian dari ilmuan-ilmuan kontemporer yang beraliran takwil seperti E.D. Hirsch menekankan perbaikan teori dan pandangan Schleier Macher tentang bentuk dari maksud dan niat penyusun untuk menjauhi idealisme. Sementara Emilio Betti sejarawan Italia, mengeritik Gadamer dari dimensi menghilangkan kemungkinan memahami tafsir rasional dari tafsir muktabar.[8]



B. Islam dan Hermeunetik
Hermeunetik dalam dunia Islam, kendatipun tidak diungkapkan dalam bentuk mendiri dan terpisah, tetapi ilmu ini juga tidak terlalaikan. Bahkan para ulama 'Ulûm al-Qur'an dan Ushul al-Fiqh dalam karya-karya mereka, mengungkapkan pembahasan-pembahasan seperti ilmu tafsir dan perbedaannya dengan takwil, metode-metode penafsiran dan bentuk-bentuk penafsiran nakli, ramzi, syuhudi, akal dan ijtihad, tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an, tafsir dengan ra'yu (tafsir bir ra'y), dan pembahasan-pembahasan alfâzh seperti ilmu tentang wadh', macam-macam dilâlah; tashawwuri, tasdhiqi awwali, tashdiqi tsanawi, menyingkap maksud penyusun dan pembicara, dan lain-lain untuk tujuan Fiqih dan Tafsir.

Para ulama Islam kebalikan dari Gadamer dan seperti Schleier Macher serta Dilthey meyakini maksud dan niat penyusun sebagai makna final dan hakiki pembicara.



C. Pengaruh Asumsi Sebelumnya dan Hermeunetik
Fungsi dan tujuan paling penting dari takwil (interpretasi) adalah memberi jawaban pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah kita sebagai penafsir dapat sampai pada makna hakiki suatu ungkapan, dimana kita sendiri mempunyai persepsi dan pandangan khusus, tanpa memasukkan keputusan sebelumnya dan asumsi sebelumnya terhadap pengertian ungkapan itu? Apakah ungkapan-ungkapan di samping mempunyai makna lahir juga mempunyai makna lain (makna batin)? Apakah ada kemungkinan menemukan makna batin itu? Mengapa bisa terjadi perbedaan penafsiran di antara penafsir-penafsir terhadap satu teks? Apakah perbedaan asumsi-asumsi sebelumnya dan jarak sejarah antara penyusun dan penafsir tidak menimbulkan ambiguitas dan kerumitan-kerumitan ungkapan? Apakah perbedaan kaidah dan metode penjelasan serta penafsiran setiap orang merupakan penyebab timbulnya aliran-aliran beragam in? Apakah dapat diungkapkan niat dan maksud penyusun, terlebih khusus niat dan maksud Tuhan? Apakah ada jalan untuk membedakan antara pemahaman benar dan pemahaman salah, atau harus mengarah pada pandangan fenomenologi hermeunetik dan Gadamer yang berujung pada relativisme dalam pemahaman? Apakah setiap pemahaman butuh pada interpretasi? Apakah setiap teks mempunyai makna tersembunyi yang harus diungkap dengan penafsiran? Ataukah tanpa penafsiran juga dapat diperoleh makna dari teks-teks? Dan yang lebih penting, apa hakikat dari pemahaman, realisasi, dan kenyataan pemahaman itu?

Sejarah memberi kesaksian bahwa penelitian dan analisa hermeunetik serta secara umum metode-metode pemahaman teks, khususnya teks-teks agama, memiliki tingkat keurgenan lebih besar dibanding cabang dan disiplin ilmu lainnya; sebab setiap agama dan masyarakat agama, dengan sekumpulan dan setumpuk penafsiran yang berbeda-beda telah memunculkan banyak pertikaian dan permusuhan di antara agama-agama, mazhab-mazhab teologi, dan mazhab-mazhab fiqih, dan ini terus berlanjut dalam perjalan sejarah hingga sekarang ini.



Catatan Kaki:
[1] . Abdul Karim Surûsy, Qabz wa Basth Teorik Syariat, Hal. 25,79,80 dan 225.

[2] . Ibid.

[3] . Ibid.

[4] . Ibid.

[5] . Abdul Karim Surûsy, Qabz wa Basth Teorik Syariat, Hal. 25, 79, 80, 97, 122, 206, 243 dan 255.

[6] . Ibid.

[7] . Paul Tilich, Puyâyî Iman, Penerjemah: Husain Nuruzi, Hal.15.

[8] . Hermeneutics, The Encyclopedia of Religion. Mircea Eliade 1987.


5
NEO-TEOLOGI I

Ilmu Agama
"Ilmu dan para ilmuwan pada setiap lembaga-lembaga akademik dan pusat-pusat pendidikan adalah mengikut identitas budaya lembaga-lembaga akademik dan pusat-pusat pendidikan tersebut. Pada dasarnya yayasan-yayasan pendidikan dan penelitian yang ada merancang dan merealisasikan program kerjanya sesuai dengan budaya dan ideologinya, karena itu gambaran bahwa dengan sistem pendidikan model Barat mampu menghasilkan tujuan secara Islami," Klaim yang disampaikan di atas merupakan sebuah klaim yang mengecoh lantaran sistem tersebut disusun dan diprogram dengan arah dan dimensi sekuler dan tentu saja konklusinya bertentangan dan berseberangan dengan arah dan dimensi Islami.

Klaim penulis di atas tidak hanya berlaku pada lapisan masyarakat umum, akan tetapi para pakar ilmu-ilmu empiris juga dalam bidang disiplin dan spesialisasinya mempunyai asa terhadap agama serta dalam merealisasikan pengembangan ilmu butuh terhadap doktrin-doktrin agama. Jika mereka tidak tumbuh dalam ruang lingkup metafisika agama, maka mereka akan terbelenggu dengan metafisika sekuler.

Masalah ilmu agama, bukanlah suatu kategori wacana yang hanya dipaparkan di dunia Islam; di dunia Masehi (Kristen) juga pada dua dekade terakhir, masalah ini menguat dan bahkan telah dilaksanakan konferensi-konferensi khusus yang membahas tentangnya. Seperti dalam konferensi ilmiah yang berjudul "Science in theistic content" yang dilaksanakan pada musim panas bulan September 1998 di Kanada.[1]

Ilmu modern pada masa berkembangnya Positivisme dan renasains sekuler, menapakkan kakinya di bumi dan tanah air Islami, suatu ilmu yang terpisah dari metafisika ketuhanan dan mengambil jarak dari agama serta menggandeng pemikiran non-agamis dan bahkan terkadang pemikiran anti agama. Dengan dasar ini berkembanglah ide tentang adanya pertentangan antara ilmu dan agama.

Hingga sekarang apakah kita sudah bertanya kepada diri, mengapa ilmu dan filsafat yang telah berkembang di dunia Islam berabad-abad, pada beberapa abad terakhir mengalami kemunduran dan kemerosotan? Bukankah kepemimpinan ilmu dan sains dunia berada di tangan kaum muslimin selama 6 abad? (350 tahun kepemimpinan mutlak dan 250 tahun kepemimpinan bersama kaum Masehi).

Apakah masyarakat Islam tidak melahirkan cendekiawan, ahli matematik, ahli kedokteran, ahli kimia, ahli geologi besar, seperti: Jabir bin Hayan, Râzi, Khârazmi, Mas’udi, Khayyam, Ibnu Sina, At-Tusi, Ibnu Rusyd dan Ibnu Thufail?[2] Herman Randal tentang hal ini berkata: “ Kaum Muslimin pada abad pertengahan menguasai bidang pemikiran ilmiah dan kehidupan industri, dimana pada masa sekarang hal tersebut kita nisbahkan pada masyarakat Jerman.

Kaum muslimin berbeda dengan bangsa Yunani, mereka tidak jemu melakukan observasi dan penelitian dengan sabar serta penuh semangat dan pada cabang kodokteran serta mekanik dan pada hakikatnya dalam seluruh bidang keahlian, menurut tinjauan berkenaan hukum naturalnya, mereka mengarahkan ilmu-ilmu berkhidmat langsung pada kehidupan masyarakat; mereka tidak memandang ilmu hanya sebagai tujuan bagi dirinya (tanpa berhubungan dengan kehidupan)”.[3]



Jadi sekarang mengapa kita mengalami kemunduran?
Sebagian memandang sebab kemunduran adalah pengambilan jarak dari dunia Barat dan satu-satunya jalan penyelesaian mengikuti secara keseluruhan keyakinan-keyakinan bangsa Barat; sebagian memperkenalkan sumber kemunduran dan kemerosotan peradaban tinggi Islam karena ketiadaan keberanian dalam pemikiran dan sebagian berpandangan ketiadaan pemahaman yang benar terhadap doktrin-doktrin agama serta sebagian lainnya berpegang pada akibat penjajahan eksternal dan internal; dan tidak diragukan bahwa seluruh faktor-faktor yang disebutkan di atas merupakan penyebab kemunculan kenyataan ini. Akan tetapi jangan dilupakan peran menyusupnya ilmu sekuler dalam masyarakat Islam dan pengaruhnya terhadap kelanjutan kemunduran kaum muslimin; sebab sebagaimana dalam pembahasan mendatang akan kita buktikan bahwa kita tidak mempunyai ilmu yang kosong dari paradigma, pra-asumsi epistemologi, ontologi, metafisika dan ideologi; Oleh karena itu terkadang proses dan pengembangan ilmu menjadi matang dalam ruang lingkup agama dan metafisika yang meyakini Tuhan dan terkadang matang dalam ruang lingkup pra-asumsi selain agama dan bahkan ruang lingkup yang bertentangan dengan agama.

Menurut pandangan kami, krisis identitas dan dikotomi antara mental dan ruh para peneliti kaum muslimin serta kelompok masyarakat, harus dikembalikan pada faktor-faktor penting ini, sebab suatu masyarakat yang dari segi budaya dan sosial, adalah Islami, ketika mengenal pemikiran-pemikiran sekuler dalam masa studi universitas, terpaksa menemukan krisis identitas dan dikotomi kepribadian.

Untuk menjelaskan lebih dalam esensi ilmu agama, harus dipaparkan terlebih dahulu secara global tema-tema sentral seperti; definisi ilmu, defenisi agama, metafisika, bentuk hubungan antara ilmu dan agama, definisi ilmu agama, motivasi dan pentingnya pemaparan ilmu agama dan beberapa bentuk pengaruh agama pada ilmu.



Apakah Ilmu itu ?
Kata ilmu, adalah musytarak lafzhi (equivocal) dan diaplikasikan dalam makna yang beragam:

- Penggunaan kata ilmu sebagai lawan kebodohan yang dimutlakkan pada semua pengetahuan yang mencakup konsepsi (gambaran) dan tasdik, ilmu hushuli dan ilmu hudhuri, ilmu akal, indrawi, syuhudi dan naqli, serta dalam bentuk satu proposisi hingga dalam bentuk satu disiplin keilmuan.

- Ilmu yang mempunyai makna kepastian dan keyakinan serta hal-hal yang berhubungan dengannya yang menjadi keyakinan manusia; yang mencakup proposisi bersifat yakin, benar dan sesuai dengan kenyataan atau salah dan tidak sesuai dengan kenyataan. Ilmu pada makna ini lawan dari keraguan, persangkaan dan kemungkinan.

- Ilmu dengan makna suatu sistem dari proposisi-proposisi hushuli dimana makrifat yang dihasilkan, diperoleh dengan jalan berbagai metode, seperti: ilmu-ilmu eksprimen, filsafat, sejarah, irfan, sastra dan lain-lain.

- Ilmu dengan makna suatu sistem dari proposisi-proposisi hushuli –non-hudhuri- yang diperoleh dengan metode penginderaan dan eksprimen, serta sudah digolong-golongkan dalam bentuk suatu disiplin ilmu; seperti ilmu-ilmu eksprimen, tabi'i dan humaniora. Dalam pemutlakan ini, ilmu fiqhi, ushul fiqhi, teologi, filsafat, irfan, ilmu-ilmu sastera dan sejarah, tidak dihitung sebagai ilmu.

Ilmu-ilmu eksperimen dibagi menurut dimensi tinjauan yang berbeda-beda. Menurut tinjauan subyek dan yang berhubungan dengannya, ilmu eksperimen terpilah menjadi ilmu humaniora dan ilmu tabi'i (ilmu alam). Ilmu-ilmu yang penelitian dan obsevasinya berhubungan dengan perilaku-perilaku individu dan masyarakat, berkehendak dan tidak berkehendak, didasari pengetahuan manusia dan tidak didasari pengetahuan, disebut dengan ilmu-ilmu eksperimen insani (humaniora). Kelompok ilmu-ilmu ini yang meliputi psikologi, sosiologi, ilmu politik, pedagogi, ekonomi dan manajemen, mendapatkan kekhususan eksperimen dan sistimatika eksprimen; akan tetapi perlu disebutkan bahwa ilmu-ilmu insani juga menerima pengkajian dengan cara dan metode lain, di antaranya: metode rasional, syuhudi dan naqli.

Metode serta cara ini membentuk ilmu-ilmu insani filsafat, irfan dan agama. Adapun ilmu-ilmu yang penelitiannya berhubungan dengan prilaku dan fenomena bukan manusia dan dalam domain menerima kuantitas serta berada dalam sistematika eksperimen, ilmu-ilmu itu dinamakan ilmu-ilmu eksperimen tabi'i; seperti fisika, kimia, biologi dan sebagainya.

Maksud kata ilmu, dalam kategori ilmu agama, adalah pemutlakan yang keempat dari ilmu; apakah ia itu dalam bentuk perolehan ilmu yang kongkrit ataukah proses penelitian ilmu ataukah tujuan-tujuan ilmu serta perilaku-perilaku para ilmuan yang menjadi fokus perhatian.

Ilmu-ilmu eksperimen juga mempunyai pembagian lain, yaitu ilmu-ilmu murni dan ilmu-ilmu aplikatif. Ilmu-ilmu murni bertujuan menyingkap keteraturan yang terdapat dalam alam materi dan membuka rahasia-rahasianya; sedangkan ilmu-ilmu aplikatif bertujuan menguasai alam materi dan mengabdikan unsur-unsur alam.



Apakah Agama itu ?
Maksud kami agama dalam wacana ini adalah proposisi-proposisi yang ada dalam teks-teks agama dan doktrin-doktrin agama yang bentuknya pengajaran secara deskriptif dan normatif, dan motif-motif agama dari penganut-penganut agama serta demikian juga pemahaman dan makrifat agama, yakni pendapat yang memiliki landasan dan metodelogik dari para ahli agama (ulama) yang dinisbahkan kepada tek-teks agama, dan juga pembenaran-pembenaran akal yang dinisbahkan pada realitas-realitas keagamaan yang termanifestasi dalam bentuk pribadi dan individual serta keseluruhan dan umum.



Apakah Metafisika itu ?
Metafisik adalah pengetahuan yang berhubungan dengan seluruh eksistensi dan seluruh alam-alam; serta suatu sistem yang terbentuk dari laporan-laporan yang dijelaskan dan diterangkan melalui metode akal. Terkadang metafisik dalam istilah lain bermakna seluruh proposisi-proposisi rasional dan deskriptif yang tidak didapatkan melalui jalan eksperimen; seperti prinsip simplisitas natural yang mana Newton sendiri mengakui hal ini dan menjelaskannya pada pembahasan pengetahuan terhadap tabiat (natural).



Hubungan antara Ilmu dan Agama
Hubungan antara ilmu dan agama adalah pandangan yang telah lama dikemukakan oleh para ulama, filosof dan teolog. Masalah ini telah diungkapkan dari sudut pandang yang berbeda-beda dalam teologi dan filsafat ilmu-ilmu sosial dan filsafat ilmu. Secara general dapat diisyaratkan berbagai hubungan antara ilmu dan agama, antara lain:

- Hubungan saling membantu atau bertentangan antara pra asumsi-pra asumsi ilmu dan pra asumsi-pra asumsi agama.

- Hubungan saling membantu atau bertentangan antara makrifat ilmu dan makrifat agama.

- Hubungan saling membantu atau bertentangan antara proposisi-proposisi ilmu dan proposisi-proposisi agama.

- Hubungan saling membantu atau bertentangan antara substansi ilmu dan substansi agama.

- Hubungan saling membantu atau bertentangan antara bahasa ilmu dan bahasa agama.

- Pengaruh ilmu terhadap makrifat agama.

- Pengaruh agama dan makrifat agama terhadap teori-teori, tujuan dan metode-metode ilmu.



Apakah Ilmu Agama itu?
Apakah ilmu dan agama dapat bercampur satu sama lain dan keduanya dapat terhidang dalam sebuah hidangan yang dapat diserap secara bersama, dan dalam suatu bentuk dimana keduanya saling berkait satu sama lain dan mendatangkan suatu fenomena yang utuh serta satu sintesa yang sama, dan pada saat yang sama tidak terperangkap singkritisime dan kita tidak kehilangan kemandirian esensialitas ilmu dan agama ? Untuk menjawab masalah ini, sebelumnya diisyaratkan definisi yang beragam tentang ilmu agama dan mengungkapkan pandangan yang menjadi pilihan:

1. Ilmu yang disusun dengan tujuan menerangkan dan menafsirkan kitab serta sunnah, seperti: Ushul Fiqhi, Ulum al-Qur’an, tata bahasa Arab, Logika, Filsafat, Hermeneutik dan lain-lain;

2. Ilmu yang diperoleh dari hasil penafsiran dan penjelasan kitab dan sunnah, dengan kata lain proposisi-proposisi deskriptif yang ada dalam naskah agama yang memberitakan atas alam nyata dan membentuk sistem makrifat seperti: pengetahuan al-Qur’an, pengetahuan sunnah, tafsir al-Qur'an hadis, Fiqih, Teologi dan sebagainya;

3. Ilmu yang mekar dan berkembang dalam atmosfir budaya, peradaban dan masyarakat Islam, seperti: kedokteran, mate-matika, astronomi dan ilmu-ilmu Islam lainnya;

4. Ilmu yang diperoleh dari hasil penyingkapan mukjizat ilmiah al-Qur’an dan Sunnah, dan sesuai dengan kandungan hipotesa-hipotesa ilmu eksprimen;

5. Proposisi-proposisi agama yang menerangkan dasar-dasar metafisika ilmu dan dipandang sebagai landasan penelitian-penelitian eksperimen.

6. Setiap pengetahuan yang diperoleh melalui metode eksperimen, akal dan agama;[4] dalam mempersiapkan suatu pengetahuan gabungan dari metode-metode makrifat yang beragam, mungkin tidak akan dapat sampai pada satu titik yang sama; sebab dalam kedudukan observasi konklusi dari aktivitas-aktivitas, harus menggunakan satu metode penelitian; oleh karena itu mungkin saja metode singkritis akal, eksperimen dan agama dalam kedudukan penemuan adalah berpengaruh; akan tetapi dalam kedudukan penilaian, satu-satunya kondisi yang menerima makna, adalah kita menerima defenisi yang paling akhir dari ilmu agama dan itu bermakna bahwa keyakinan-keyakinan dan prilaku-prilaku keagamaan dan bukan keagamaan juga mempunyai pengaruh dalam pemilihan teori dan penilaian.

7. Setiap bentuk ilmu yang bermanfaat dan diperlukan bagi masyarakat Islam; Ustad Muthahari dalam hal ini berkata: "kesempurnaan dan khatamiyyah (sebagai agama penutup dan terakhir) Islam meniscayakan bahwa setiap ilmu yang berguna dan bermanfaat untuk masyarakat Islam, yang perlu dan niscaya, harus kita pandang sebagai ilmu agama".[5]

8. Menjadikan agama sebagai hakim terakhir; yakni para ilmuan ilmu eksperimen, menyerahkan hasil pekerjaan mereka kepada penilaian (keputusan) agama dan dalam bentuk tidak terdapat pertentangan dengan proposisi-proposisi agama, maka hasil itu diterima.

9. Agama tidak hanya memberikan dorongan kemajuan ilmu, akan tetapi juga mempersiapkan garis-garis universal dan kaidah-kaidah umum ilmu dan sains serta memberikan landasan yang menyeluruh pada ilmu eksperimen, teknologi industri, sistem keamanan dan lain-lain. Sebagaimana ilmu ushul fiqih menggunakan kaidah-kaidah akal dan rasional dalam sebagian nash-nash agama sebagai kunci memahami teks-teks fiqih maka juga adalah mesti dengan media dan wasilah yang sama sebagian dari nash-nash agama yang berkenaan pengenalan terhadap alam dan manusia juga dibahas dan diteliti. Dengan demikian alat dan wasilah untuk melakukan penelitian pada tingkat kemujtahidan ilmu-ilmu lain selain ilmu fiqih, di samping dengan sebagian nash-nash juga menggunakan kaidah-kaidah akal dan rasio, sehingga dapat dipersiapkan medan yang luas dalam ilmu-ilmu tersebut (ilmu tabii dan humaniora) dengan kedalaman penelitian lewat sejumlah nash-nash yang berhubungan dengannya.

10. Seluruh ilmu-ilmu eksperimen mendapat bentuk dari jalan proposisi-proposisi, keyakinan-keyakinan dan prilaku-prilaku keagamaan serta mendapat pengaruh dalam metode, tujuan, motivasi ilmu, pembuatan teori, dan pengarahan ilmu; sebab pengajaran-pengajaran agama dan metafisika non agama senantiasa melekat dan mempengaruhi proses penelitian dan observasi ilmu serta persiapan penelitian ilmu-ilmu eksperimen.



Urgensi Pemaparan Masalah Ilmu Agama
Menguraikan kategori ilmu agama dari dimensi yang beragam merupakan suatu hal yang mesti. Salah satu dari cara kerja masalah bersangkutan adalah hubungan serta pertentangan ilmu dan agama, yang masuk sebagai kategori ilmu agama. Yakni masalah hubungan ilmu dan agama, dapat dipaparkan dengan dua pra asumsi kenyataan, ilmu dan kognisi proposisi-proposisi agama serta penerimaan subyek-subyek yang sama antara ilmu dan agama. Di samping itu dapat juga di konsepsi kondisi saling berhubungan antara statmen-statmen perintah dan normatif agama yang menjelaskan tujuan-tujuan manusia dengan pengajaran-pengajaran ilmu.

Dalam masalah ini, orang-orang seperti Galileo mengungkapkan pemisahan antara ruang lingkup ilmu dengan ruang lingkup agama dan juga Kant mengeluarkan masalah-masalah matafisika dari keterbatasan akal teoritis dan membatasi akal teoritis pada wilayah permasalahan-permasalahan ilmu dan fenomena-fenomena zaman dan tempat.[6] Karl Bart, Paderi Masehi Protestan juga mempunyai pandangan bahwa subyek ilmu dan filsafat ketuhanan adalah memanifestasinya Tuhan pada Isa al-Masih, sedangkan subyek ilmu adalah alam tabiat. Ia dengan membedakan subyek keduanya sampai juga pada pembedaan metode di antara keduanya.[7]

Sekelompok orang juga menawarkan pemisahan dalam wilayah tugas dan fungsi ilmu dan agama; dengan makna bahwa tugas ilmu sebagai media hipotesa, estimasi, dan kontrol; bukan penjelas; dan agama hanya sebagai pengatur dan penertib kehidupan individu dan masyarakat; bukan penjelas perkara-perkara realitas.[8] Sebagian lagi menjelaskan pemisahan tujuan ilmu dan agama. Tujuan agama adalah memberi hidayah dan memberi kebahagiaan pada manusia, sedangkan tujuan ilmu adalah menerangkan hakikat-hakikat alam natural. Kelompok lainnya, mengungkapkan pemisahan bahasa agama dan bahasa ilmu serta bermaknanya proposisi-proposisi ilmu dan agama, atau pandangan tidak bermaknanya proposisi-proposisi agama lewat kaum positivisme, atau pemisahan fungsionalisme bahasa ilmu dan agama dari filosof analitik bahasa.

Metode lain yang telah diuraikan dalam hubungannya dengan pertentangan ilmu dan agama, adalah kategori ilmu agama; dengan makna bahwa hanya ilmu agama yang dapat memecahkan kandungan ketidaksesuaian asumsi dan postulat agama dengan ilmu-ilmu eksperimen; sebab dengan pengaruh metafisika agama, ruh, dan motif agama para ulama agama atas proses, teori dan tujuan ilmu, tidak diperoleh kandungan-kandungan ketidaksesuaian ilmu dengan agama.



Motif Pemaparan Ilmu Agama
Terdapat dua motif yang dapat dikonsepsi bagi orang-orang yang memaparkan esensi ilmu agama, antara lain: pertama, memecahkan pertentangan ilmu dan agama serta proposisi-proposisi ilmu dengan proposisi-proposisi agama dan pertentangan-pertentangan lainnya; dan kedua, tinjauan posisi agama atau sekuler ilmu-ilmu eksperiman dalam kehidupan dan peradaban manusia.

Pada dasarnya, masalah ilmu agama, di samping mempengaruhi pra asumsi-pra asumsi agama atas ilmu-ilmu, mengarahkan pengambilan posisi agama terhadap hasil-hasil ilmu, juga membantu memecahkan pertentangan ilmu dan agama.


Pengaruh Agama dan Metafisika terhadap Ilmu
Apakah proposisi-proposisi agama dan makrifat agama berpengaruh terhadap ilmu eksperimen? Apakah proses ilmu menerima bentuk hanya dari sisi pengaruh pengetahuan dan penafsiran individu yang berhubungan dengan dunia kedua, ataukah pengetahuan agama umum dan spesifik (disipliner) yang berhubungan dengan dunia ketiga juga berpengaruh dalam proses ilmu? Pengaruh-pengaruh ini berada di wilayah bagian mana dari organ tubuh ilmu eksperimen? Menyebabkan bangkit dan meningkatnya ilmu atau sebaliknya? Apakah ada kemungkinan mempengaruhi? Apakah terjadi dan mengaktual? Mencapai tujuan ataukah tidak? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini serta konsepsi dan afirmasi ilmu agama, kita harus menggunakan metode eksperimen dan penelitian sejarah; yakni penelitian-penelitian eksperimen dan hasil-hasil ilmu kita tinjau dalam wilayah sejarah ilmu sehingga kita menghasilkan dengan jalan penelitian ilmiah pengaruh metafisika agama dan sekuler; ketika itu akan diketahui bahwa ilmu, bukanlah deskripsi hakiki dari alam realitas.

Pemahaman-pemahaman keilmuan bukanlah hasil penyingkapan sempurna dari alam natural dan pemahaman-pemahaman rasional serta landasan metafisika memiliki pengaruh terhadap teori-teori keilmuan. Tujuan ilmu para cendikiawan dan tinjauan umum pandangan dunia mereka juga berpengaruh dalam sisi pengambilan bentuk ilmu; sebab tujuan ilmu para cendekiawan berada di bawah pengaruh bentuk pertanyaan-pertanyaan teoritis mereka. Dengan memperhatikan pandangan dunia dan atmosfir pemikiran yang berkembang di zaman mereka dan dengan di bawah pengaruh keberadaan paradigma-paradigma, mereka memandang bentuk-bentuk khusus dari pertanyaaan-pertanyaan layak untuk diteliti dan dibahas. Dan pengaruh ini tidak hanya dalam tataran pengumpulan ilmu, akan tetapi juga nampak dalam tataran penerimaan penelitian dan penghukuman.

Pada masa ini, filsafat ilmu melalui klaim positivisme, dimulai melalui penyaksian dan indera serta kedahuluan penyaksian atas teori-teori dan asumsi-asumsi. Positivisme juga mengakui bahwa Penyaksian-penyaksian serta persepsi-persepsi indrawi yang netral merupakan landasan meyakinkan dalam dimensi pembangunan pengetahuan empiris yang obyektiv, dan satu-satunya metode menyingkap proposisi-proposisi kesaksian atas kaidah-kaidah umum, adalah metode induksi.

Pada tataran pembentukan keilmuan, mental manusia melakukan aktivitas, tidak hanya pasiv dan tinggal seperti sebuah wadah yang hanya di isi dimana pemberian-pemberian panca indra di gudangkan di situ. Adapun obyektivitas bermakna penyaksian dan pengetahuan terhadap fenomena-fenomena, yang jauh dari imajinasi-imajinasi, yakni pra asumsi-pra asumsi metafisika telah dinafikan secara keseluruhan; sebab:

pertama, pengetahuan panca indra dan pengalaman tidak mungkin kosong dari pewarnaan teoritis dan kosong dari setiap pra asumsi, dikarenakan pembelajaran dan pengalaman sebelumnya seorang penyaksi menyebabkan penyaksi tersebut melihat titik khusus dan lalai dari titik lain dan orang lain yang tidak memperoleh pembelajaran dari suatu disiplin ilmu, tidak mempunyai kemampuan untuk mendeskripsikan masalah yang berhubungan disiplin ilmu tersebut. Maka dari itu setiap penyaksian dan pengalaman adalah diwarnai dengan pewarnaan teori-teori.

Kedua, penyaksian dan persepsi panca indra tidak netral; sebab persepsi panca indra didahului dengan suatu ikatan khusus, soal tertentu atau masalah khusus.

Ketiga, bahasa manusia, mengandung penemuan-penemuan ontologis, epistemologis, kebudayaan, dan idiologis dan setiap kali menurun, apakah dalam ilmu atau seni atau setiap kategori lain, muatan kebudayaan dan filsafat juga menyertainya menurun. Oleh karena itu, ketika seorang ilmuan dalam fisika berkata: dengan masuknya cahaya, dari suatu lokasi, seperti perpindahan udara pada lokasi lain disebabkan air, maka cahaya menjadi terurai. Pada dasarnya, konsepsi-konsepsi filsafatnya menerima prinsip keberadaan cahaya, gerak dan lainnya.

Keempat, tidak hanya penyaksian-penyaksian yang didahului dengan teori dan tidak hanya bahasa eksprimen yang didahului dengan teori-teori, bahkan kelahiran ilmu bergantung kepada sangat banyak dari pra asumsi-pra asumsi ontologi dan epistemologi; tanpa mereka ilmu tidak dapat merangkak setapak demi setapak.

Oleh karena itu, klaim bahwa proposisi-proposisi penyaksian merupakan sandaran meyakinkan untuk membangun istana pengetahuan eksprimen, juga adalah tidak sempurna; sebab pemberian-pemberian ilmu dan proposisi-proposisi penyaksian, meskipun senantiasa bersandarkan atas pemberian-pemberian alam yang sama dan berserikat antara seluruhnya, akan tetapi pemberian-pemberian ini apakah ia dihasilkan dari jalan penyaksian dan deskripsi ataukah diperoleh dari jalan eksperimen yang terkontrol serta pengukuran terkuantitatifkan, tidak akan pernah kenyataan sesuatu itu sejati dan keberadaannya murni, tapi senantiasa disertai dengannya percampuran penafsiran.[9]

Pemahaman-pemahaman seperti energi, entropi, gen, molekul, perasaan di bawah sadar, hati nurani, normatif dan lainnya yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam dan humaniora, tidak dapat disaksikan secara langsung, akan tetapi digunakan dengan perantara produk-produk mental untuk menjelaskan fenomena-fenomena luar yang disaksikan.[10]

Kelima, induksi bukanlah metode yang dapat diyakini untuk menetapkan kaidah-kaidah ilmu; yakni dengan induksi tidak mungkin qadiyah-qadiyah penyaksian dan partikuler yang terkhususkan dengan zaman dan tempat tertentu dijadikan pengganti dari teori-teori ilmu dan qadiyah-qadiyah universal.



Pengaruh Agama terhadap Ilmu

1.Pengaruh Metafisika Agama terhadap Hipotesa-hipotesa Ilmu
Pengaruh metafisika terhadap penemuan dan perubahan hipotesa-hipotesa dan juga pengaruh pandangan-pandangan metafisika atas komprehensi-komprehensi, model-model, prinsip-prinsip dan macam-macam teori ilmu, kurang lebih terdapat kesepakatan; akan tetapi terdapat perbedaan tentang kebagaimanaan pengaruh dan klasifikasi pandangan-pandangan metafisika. Hasil kata, hipotesa-hipotesa ilmu menjadikan pra asumsi pandangan-pandangan metafisika sebagai bagian dari motifnya dan motif ini menjadi benih penemuan dan perubahan hipotesa-hipotesa ilmu.

Sebagai contoh, seseorang yang meneliti dalam ilmu-ilmu humaniora, pra asumsi-pra asumsi ia dalam motif manusia, merupakan pemberi ilham untuk bentuk tertentu dari komprehensi-komprehensi, asumsi-asumsi, model-model, metode-metode dan teori-teori ilmu-ilmu humaniora, dan pengetahuan-pengetahuan agama dalam motif manusia dapat berperan sebagai pra asumsi ilmu-ilmu humaniora. Bentuk pengaruh ini lebih banyak nampak dalam ilmu-ilmu humaniora aplikatif, seperti manajemen, kepemimpinan, dan ilmu-ilmu pendidikan.

Poin yang perlu diperhatikan bahwa ilmu-ilmu humaniora di samping dari dimensi subyek, tujuan, dan metode berbeda dengan ilmu-ilmu alam, juga terpaksa dalam pemahaman fenomena-fenomena alam menggunakan metode penafsiran sebagai ganti dari metode penguraian dan untuk penganalisaan dan penafsiran prilaku-prilaku individu dan masyarakat, menggunakan pemahaman-pemahaman seperti keputusan, kehendak, tujuan dan lainnya[11] dan doktrin-doktrin agama berpengaruh pada keseluruhan pemahaman-pemahaman, analisa, dan penafsiran-penafsiran tersebut. Oleh karena itu, dalam ilmu-ilmu humaniora dibicarakan tentang perubahan-perubahan seperti pemikiran, keinginan, kehendak, keputusan, perasaan, dan lainnya, dan pengetahuan-pengetahuan agama berpengaruh terhadap kelompok perubahan-perubahan ini.

Sebagai contoh dapat diisyaratkan dengan teori evolusi Darwin yang mengungkapkan tentang perubahan dan pergantian specis-specis. Perubahan ini mengambil bentuk dengan jalan keberuntungan dan pemilihan tabii. Dengan melalui informasi-informasi biologi dan pemberian-pemberian simpel hasil eksperimen, hal ini tidaklah menafikan kepenciptaan Tuhan; akan tetapi ilmuan metafisika sekuler, mengarahkan penafsirannya terhadap pandangan Darwin akan penafian kepenciptaan Tuhan.[12]



2. Pengaruh Doktrin-doktrin Agama Terhadap Ilmuan Empiris
Semua aktivitas manusia mengarah pada maksud dan tujuan tertentu. Penemuan arah itu lahir dari motivasi yang ada pada manusia dan motivasi itu juga menerima pengaruh dari tinjauan, nilai-nilai dan tujuan. Berasaskan ini, keterikatan para ilmuan terhadap doktrin-doktrin agama berpengaruh atas aktivitas-aktivitas penelitian dan keilmuan mereka serta berpengaruh juga dalam penerimaan dan penolakan mereka terhadap ilmu atau perkembangan ilmu. Sebagai contoh dapat diisyaratkan pada pandangan benar agama beberapa abad dalam Islam, dimana dengan penafsiran yang benar terhadap komprehensi-komprehensi seperti zuhud, sabar, cintai dunia, penantian dan juga dengan memandang penting terhadap pengetahuan alam natural serta pengetahuan terhadap ayat-ayat âfâqi Tuhan, telah membuka jalan untuk terciptanya ilmu-ilmu eksperimen dan menambah motivasi para ilmuan untuk melakukan penelitian-penelitian ilmiah. Akan tetapi kemudian, dengan meningkatnya kesufi-sufian dan penafsiran yang tidak benar terhadap zuhud, cinta dunia, sabar dan komprehensi-komprehensi lainnya, penelitian-penelitian ilmu eksperimen menjadi tertutup dan motivasi terhadap ilmu menjadi merosot dikalangan kaum muslimin. Demikian juga dapat diisyaratkan pemikiran Masehi dalam abad pertengahan dan ketiadaan perhatian sama sekali terhadap wahyu dan akal serta ketiadaan perhatian terhadap penelaahan eksperimen dan pengkajian ilmu alam yang menjadi sumber berkembangnya ketuhanan rasionalisme dan ketuhanan wahyu.

Dalam berhadapan dengan pemikiran Masehi di atas, pemikiran protestanisme yang memperkenalkan bahwa kesibukan dunia sebagaimana kesibukan agama mempunyai nilai dan bernilai tinggi serta pemikiran ini juga memperkenalkan keutamaan dan manfaat dari pengetahuan alam yang kemudian menjadi sumber dari kemajuan penelitian ilmu dan ekonomi.



3. Pengaruh Agama atas dasar-dasar dan postulat-postulat Ilmu Empiris
Pra asumsi-pra asumsi metafisika seperti pembatasan wujud pada materi, pemisahan epistemologi dan ontologi alam nâsut (materi) dan alam jabarût (non materi), kemungkinan pengenalan terhadap alam natural, skeptisisme dan kenisbian epistemologi, sangat merpengaruhi dasar dan landasan ilmu-ilmu empiris.

Sebagai penjelasan, bahwa ilmu-ilmu empiris dimulai dari penyaksian dan pengalaman, sedangkan pra asumsi-pra asumsi serta motif filsafat berpengaruh atas dasar dan landasan ilmu-ilmu, dan kemudian pra asumsi-pra asumsi filsafat juga dipengaruhi oleh pandangan dunia agama dan epistemologi yang diambil dari kitab dan sunnah.



4. Pengaruh Doktrin-doktrin Agama Terhadap Tujuan dan Metode Ilmu
Setiap aktivitas manusia mempunyai tujuan. Begitu juga ilmu sebagai bagian dari aktivitas manusia niscaya memiliki tujuan. Dan dari sisi tujuannya, ia mengambil sumber ontologis, epistemologis, dan teologis dari para ilmuan dan ilmu itu tumbuh dalam kaca mata metafisik tertentu dan motif pandangan-pandangan agama tertentu. Perubahan dalam tujuan dan perubahan penyingkapan rahasia-rahasia alam, sebagai tujuan ilmu-ilmu, berpengaruh terhadap penguasaan alam tabiat serta peningkatan teknologi di tengah masyarakat manusia dan perubahan metodelogi ilmu dari keapaan menjadi kebagaimanaan. Dan perubahan ini juga membawa sekularisme pada puncak perkembangannya serta menumbuhkan pengingkaran terhadap tujuan tabiat dan pencipta yang berkuasa dan mengelola secara mutlak alam. Sebagai contoh: jika observer dan peneliti berasaskan aliran filsafat yang menerima pandangan dan term kecenderungan pada determenisme, maka motif kecenderungan tujuan ia juga mengalami perubahan demikian.

Kesimpulan dari uraian di atas adalah: pertama, aktivitas penelitian seorang ilmuan mempunyai kerangka pemahaman khusus dan dalam ruang lingkup serta motif tertentu menerima aplikasi ontologi dan epistemologi. Dan motif serta pandangan metafisik ini berpengaruh dalam pembolehan dan pengharaman baik dalam kondisi pengumpulan maupun dalam kondisi penghukuman.

Kedua, semakin kita dekatkan kerangka ilmu-ilmu empiris tabii kepada kerangka ilmu-ilmu empiris humaniora, maka kecenderungan pandangan metafisik –agama- menguat atas pengkonstruksian teori dalam ilmu-ilmu.



Catatan Kaki:
[1] . Mahdi Gulsyani, Az Ilm-e Sekulâr tâ Ilm-e Dini, Hal. 146.

[2] . G. Sarton, Introduction to the History of science, pp 520-780.

[3] . Muhammad Ridha Hakimi, Dânesy-e Muslimin, Hal. 123.

[4] . Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Akhlak dar al-Qur'ân, Jld. 2, Hal. 25-26.

[5] . Murtadha Muthahari, Dah Guftâr, Hal. 146-147.

[6] . Din wa Negarasy Nuwîn, Hal. 308-317.

[7] . Michael Peterson dan lain-lain, Aql wa I'tiqâd-e Dîni, Hal. 366.

[8] . Ibid. Hal. 388.

[9] . Khusru Panoh, Kalam Jaded; Ilm wa Din, Hal. 171.

[10] . Ibid, Hal. 172.

[11] . Merujuk pada kitab: Falsafah Ulum-e Ijtimâi, Hal. 19-20.

[12] . Merujuk pada kitab: Az Ilm-e Sekuler To Ilm-e Dini, Hal. 158.

6
NEO-TEOLOGI I

Bahasa Agama

Mukadimah
Salah satu dari subyek penting pembahasan dalam ranah teologi dan filsafat agama adalah analisa dan observasi tentang bahasa agama serta mekanisme pemahaman dan penguraian agama. Pembahasan yang berhubungan dengan hal tersebut, dengan menimbang perjalanan perubahannya dari zaman Yunani kuno hingga sekarang ini dimana mengalami perubahan-perubahan yang cukup kompleks, hadirnya analisa-analisa yang semakin membuahkan pertentangan dan perbedaan serta terungkapnya pertanyaan-pertanyaan yang cukup rumit dan akurat, seperti Apakah bahasa agama bermakna atau tidak bermakna? Apakah bahasa agama dapat ditetapkan, dibatalkan dan ditegaskan dengan tolok ukur ilmiah dan empirik ataukah tidak? Apa hubungannya dengan bahasa ilmiah, akhlak, filsafat dan seni? Apakah bahasa agama mempunyai satu dimensi atau memiliki dimensi-dimensi yang beragam? Apakah bahasa agama hanya mengulas alam realitas ataukah memberi motivasi dan menarik hati? Bagaimana dapat memahami bahasa agama dan mengantarkan kepada hakikat dan substansi agama?[1]

Berhubungan dengan persoalan-persoalan tersebut di atas, terdapat pertanyaan-pertanyaan klasik dalam ilmu kalam (teologi) tentang ketuhanan, bagaimana memahami dan menganalisa makna yang homonim antara Tuhan dengan manusia atau yang dinisbahkan terhadap maujud-maujud materi. Apakah sifat-sifat ini mempunyai makna umum dimana makna manusia diperoleh karena dipredikasikan kepada Tuhan? Ataukah mempunyai makna yang lain? Pertanyaan ini awalnya ditujukan kepada sifat-sifat ketuhanan, tetapi selanjutnya berkembang meliputi seluruh pernyataan-pernyataan keagamaan sehingga menghadirkan kerisauan dan problematika baru; sebagaimana yang diisyaratkan, pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah proposisi-proposisi dan keyakinan-keyakinan agama mempunyai makna ataukah sama sekali tidak bermakna? Mempunyai makna yang dapat dipahami ataukah tidak dapat dipahami? Memiliki makna simbolis ataukah makna aplikatif dan berdimensi pada pengungkapan perasaan? Dan banyak lagi bentuk pertanyaan-pertanyaan lain seperti di atas yang membutuhkan jawaban-jawaban yang serius dan memuaskan.[2]

Adapun faktor-faktor yang menjadikan bahasa agama menjadi urgen dibahas oleh para teolog dan filosof (muslim dan non-muslim) adalah sebagai berikut:

1. Pentingnya menyingkap makna dan pengertian proposisi-proposisi keagamaan dan ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan Tuhan;

2. Menganalisa sifat-sifat berita (al-khabariyyah) (seperti tangan, wajah, dan…) untuk menjauhi dimensi keserupaan, kematerian dan menghindar dari "kematian" rasionalisasi agama;

3. Menyingkap makna dari sifat-sifat yang sama antara manusia dan Tuhan, seperti ilmu, kodrat, iradah dan…;

4. Kontradiksi antara ilmu dan agama (menurut sebagian pemikir dan ilmuwan agama), dan untuk memecahkan masalah kontradiksi tersebut dihadirkan bahasa agama;

5. Menganalisa dan mengobservasi keyakinan-keyakinan dan proposisi-proposisi keagamaan dengan tujuan memecahkan problematika perselisihan internal agama;[3]

6. Munculnya aliran-aliran khusus filsafat, seperti positivisme, positivisme logikal dan filsafat analitik.



Teori dan Pendekatan Terhadap Bahasa Agama
Dalam mengantisipasi faktor-faktor yang mendasari timbulnya pembahasan tentang bahasa agama (sebagaimana yang disebutkan di atas) maka para teolog dan filosof agama mengutarakan beberapa jalan pemecahan untuk masalah teks agama, penafsiran yang benar terhadap teks, pemecahan kontradiksi yang ada dan ketaksesuaian agama dengan akal dan ilmu. Berkenan dengan masalah tersebut maka kami berusaha dalam tulisan ini mengungkapkan teori dan pendekatan dari teologi dan filsafat Islam dan juga pandangan dari filosof dan teolog Barat dan Kristen:



a. Pendekatan Teologi Dan Filsafat Islam
Pembahasan tentang bahasa agama dalam Islam bisa ditinjau berdasarkan pemikiran-pemikiran para teolog dan filosof Islam dalam menganalisa dan mengkaji bahasa yang disifatkan kepada Tuhan secara khusus dan bahasa yang dinisbahkan kepada seluruh keyakinan keagamaan secara umum.

Para teolog Islam membagi sifat-sifat Tuhan kepada sifat dzat seperti ilmu, kudrat dan hidup dan sifat berita, seperti wajah dan tangan (sifat-sifat yang diberitakan dalam teks al-Qur'an). Menisbahkan sifat-sifat manusia kepada Tuhan (sifat berita penyerupaan, al-musyabbiyâh), tetapi pada umumnya kaum muslimin menyanggah dan mengkritik mereka dengan dalil dan argumen rasional (al-aql) serta teks suci (an-naql); sebab mustahil menisbahkan kualitas-kualitas insani yang mempunyai dimensi kemakhlukan (mumkin al-wujûd) terhadap Tuhan yang Wâjibul Wujûd.

Asy'ariyyah menafsirkan sifat-sifat tersebut dengan makna umum (pengertian yang digunakan dalam masyarakat secara umum) terhadap Tuhan, tetapi untuk menghindari penyerupaan (at-tasybih,anthropomorphism) mereka berkata, "Sesungguhnya Tuhan memiliki wajah dan tangan tapi tanpa tasybih."[4]

Kelompok lain dari Asy'ariyyah, di samping menisbahkan sifat-sifat tersebut terhadap Tuhan juga menyerahkan pemaknaan sifat-sifat tersebut kepada Tuhan dengan pengertian bahwa manusia tidak mampu memahami makna-makna dari sifat-sifat berita. Analisa ini juga tidak sesuai dengan kemestian fedeisme (fideism, kecenderungan keimanan) serta informasi dan pengetahuan dari keyakinan-keyakinan keagamaan dan keimanan, dan akan menyebabkan peniadaan pengetahuan terhadap ayat-ayat dan sifat-sifat Tuhan.

Dalam hal ini Mu'tazilah mengemukakan teori penakwilan dan menafsirkankan sifat-sifat berita dengan pengertian yang menyalahi makna-makna lahiriah, sebagai contoh "tangan" ditakwilkan dengan makna "kenikmatan" dan "kekuasaan". Teori penakwilan Mu'tazilah ini tidaklah sempurna, karena takwil tersebut mesti menyebabkan pergeseran makna dari makna lahiriah kepada makna yang menyalahi makna lahiriah, sedangkan Mu'tazilah memaknai "tangan" dengan "kekuasaan" dimana ia merupakan salah satu dari makna lahiriah "tangan" (jadi tidak terjadi penakwilan).[5]


Pandangan yang lain dari teolog dan ahli ushul fiqih Syi'ah menyatakan bahwa makna kata-kata dibagi atas dua bagian:

1. Implikasi pengertian (ad-dilâlah at-tashawwuriyah), yang maksudnya adalah pikiran manusia memahami secara langsung makna sebuah kata yang diucapkan oleh seseorang, hadirnya implikasi dari makna kata tersebut terkadang tidak menunjukkan keinginan pembicara.

2. Implikasi kebenaran (ad-dilâlah at-tashdiqiyah), implikasi ini yang menunjukkan kehendak pembicara (implikasi ini juga terbagi dua: penggunaan (al-isti'mâliyah) dan kesungguhan (aj-jiddiyah). Karena pembahasan kita berkenan dengan sifat berita maka ketika dalam al-Qur'an terdapat kata "mata" dan "tangan" tidak harus meninjau kata tersebut dari makna dasarnya semata (ad-dilâlah at-tashawwuriyah), sehingga pemaknaan "mata" dan "tangan" dikonsepsi sesuai dengan makna "mata" dan "tangan" yang ada pada kita, tetapi harus diperhatian pengertian keseluruhan pembicaraan (ad-dilalah at-tashdiqiyah), sebagai contoh ketika seseorang berkata, "Ketika sedang minum teh di restoran saya melihat asad, kata asad dalam bahasa Arab bermakna hewan pemangsa (singa), akan tetapi restoran bukanlah tempat bagi hewan seperti itu, oleh sebab itu kata "restoran" merupakan suatu konteks bahwa yang dimaksud asad adalah manusia yang mempunyai sifat hewan tersebut, yakni sifat keberanian. Dengan kata lain, pembahasan tersebut mempunyai hubungan dengan implikasi tashawwuriyah dan implikasi tashdiqiyah – dan dengan implikasi makna kata dan implikasi konteks kalimat – dan aturan dalam penafsiran tentang pembicaraan seorang pembicara adalah mengikuti implikasi tashdiqiyah dan konteks kalimatnya, bukan implikasi tashawwuriyah dan makna katanya, dalam contoh di atas maknanya adalah laki-laki pemberani (yakni implikasi maknanya bersifat tashdiqiyah dan konteks kalimat).

Di dalam menafsirkan seluruh ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat berita harus mengikuti metode tersebut di atas dan dengan penuh ketelitian meninjau suatu ayat yang termasuk salah satu dari sifat-sifat tersebut dengan menggabungkan dan mengelaborasi ayat-ayat yang serupa sehingga dapat menyampaikan pada maksud Tuhan, mungkin saja kita meninggalkan implikasi tashawwuriyah dan berpegang kepada implikasi tashdiqiyah.[6] Metode ini dapat kita simak dalam kalimat berikut ini: "Tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya" dan kalimat "Tangan Tuhan di atas tangan-tangan mereka", kalimat pertama menafikan kematerian Tuhan dengan akal dan kalimat kedua dimakna kekuasaan Tuhan dengan implikasi tashdiqiyah.



Problematika yang berhubungan dengan sifat kesempurnaan ( ats-Tsubuti)
Dalam menyifatkan Tuhan dengan sifat tsubuti kita akan menghadapi tiga jenis problematika:

1. Ilmu dan kodrat yang terkandung dalam pengertian berilmu (âlim) dan berkuasa (qâdir), kedua sifat ini merupakan kategori kualitas jiwa. Dalam konteks ini, bagaimana kita menyifatkan Tuhan dengan kategori kualitas jiwa dimana termasuk salah satu dari bagian aksiden, padahal bukankah Tuhan lebih tinggi dan lebih mulia dari substansi dan aksiden?

2. Di mana saja kita sifatkan suatu maujud dengan kedua sifat tersebut (âlim dan qâdir) maka pemahaman umumnya adalah subyek mempunyai dzat dan sifat ilmu dan kodrat, dan kemestian dari penyifatan tersebut adalah terangkapnya Tuhan dari dzat dan sifat, sedangkan rangkapan pertanda kebutuhan, sementara kebutuhan adalah keniscayaan dari makhluk (mumkin al-wujud) yang merupakan lawan dari Wâjib al-wujud.

3. Sebagian dari sifat-sifat tsubuti, seperti mendengar (samî') dan melihat (bashîr) memerlukan media-media materi, lantas bagaimana kita bisa menisbahkan Tuhan dengan sifat-sifat tersebut? Dan hal ini juga bertentangan dengan rumusan tauhid dimana Tuhan suci dari aspek-aspek materi.

Para teolog Islam sepakat bahwa seluruh sifat yang dialamatkan kepada Tuhan sebenarnya dimaksudkan untuk menggambarkan suatu realitas yang berada di luar akal manusia. Bahasa agama adalah bahasa umum (bahasa yang dipakai dan dipahami secara umum), dan proposisi-proposisi yang terdapat dalam teks suci agama bukanlah sesuatu yang bersifat ambiguitas dan bukan bahasa syair (maksudnya bahasa yang muncul dari daya khayal manusia) serta bukan pula suatu cerita legenda.

Dan jika kita menemukan problematika, maka dapat dipecahkan dengan bantuan potensi yang dimiliki akal pikiran, mukasyafah (pencapaian spiritual) hati dan elaborasi ayat serta riwayat. Misalnya pandangan mereka terhadap persoalan pertama dalam sifat tsubuti adalah bahwa ketika Tuhan disifatkan dengan sifat-sifat seperti berilmu dan berkuasa, tidak mesti sifat-sifat tersebut dikonsepsi sebagai suatu aksiden dan kualitas jiwa, akan tetapi dikarenakan keagungan dan ketinggian eksistensi-Nya, maka ilmu dan kodrat adalah terwujud dengan sendirinya (swa-wujud) dan dzat Tuhan itu sendiri identik dengan ilmu dan kodrat. Orang awam, menggunakan bahasa agama dalam pemahaman umum tanpa memperhatikan problematika dan kekurangan yang ada, para filosof dan teolog dalam pembicaraan sehari-hari juga menggunakan cara masyarakat umum, tetapi dalam burhan dan argumentasi melakukan pendekatan khusus (pendekatan ilmu).

Tentang problematika kedua, adalah benar bahwa berilmu dan berkuasa dalam bahasa Arab bermakna dzat yang disertai dengan ilmu dan kodrat, tetapi dari segi argumentasi akal, Tuhan adalah wujud murni dan antara dzat Tuhan dan sifat-sifat-Nya tidak terdapat dualitas, maka harus dikatakan bahwa sifat tersebut terwujud dengan sendirinya (swa-wujud) dan tidak bersifat aksiden pada dzat (tak menempel pada dzat). Filosof dan teolog menyifatkan Tuhan dengan makna bahasa yang digunakan orang-orang awam dan tanpa melakukan perubahan dalam makna tersebut, dan argumentasi rasionallah yang mengantarkan mereka pada pengertian dan pemaknaan yang lebih tinggi dan lebih sempurna dari pemahaman-pemahaman umum. Dan pemahaman yang lebih tinggi tidak mesti melakukan intervensi dan perubahan dalam penggunaan kata; namun mungkin saja orang-orang menyifatkan Tuhan tapi tidak memperhatikan bahwa ilmu merupakan kategori kualitas (salah satu bagian dari aksiden) dan menempel pada dzat dan juga ia menyifatkan Tuhan dengan sifat tersebut tanpa memperhatikan konsekuensi konklusi argumentasi, oleh sebab itu ketika dibahas secara rasional maka muncullah problematika-problematika tersebut.

Adapun tentang problematika ketiga disebutkan bahwa kekhususan-kekhususan partikular tidak mesti dipandang sebagai batasan dan mahiyah dari sifat-sifat tersebut. Kekhususan-kekhususan tersebut memiliki pengertian tertentu dan bukan merupakan inti makna, sebab aktualitas dan hakikat mendengar (samî') dan melihat (bashîr) adalah kehadiran sesuatu yang didengarkan di sisi yang mendengar dan kehadiran yang dilihat di sisi yang melihat, kendatipun dalam hal ini tidak melibatkan dan menggunakan alat dan media materi. Dan berasaskan konsep tauhid, yang telah ditetapkan oleh para filosof Islam bahwasanya dzat Tuhan adalah basith (bersifat mencakup dan meliputi segala sesuatu), maka dalam hal ini tidak ada makna kehadiran materi di sisi materi atau kehadiran sesuatu di sisi sesuatu (berbeda dengan manusia yang membutuhkan sesuatu yang lain sebagai media dalam meraih sesuatu).



Analisa Sifat-sifat dalam Hikmah Muta'aliyah
Mulla Shadra, dalam kitab Asfar jilid keenam, membahas segala permasalahan yang berhubungan dengan sifat-sifat Tuhan. Langkah pertama yang ia lakukan adalah membagi sifat-sifat, ia berkata, "Sifat-sifat terbagi menjadi sifat sempurna yang tetap (îjâbi tsubûti) dan sifat tak sempurna yang tertolak (salbî taqdîsi), dimana kitab suci mengungkapkan kedua sifat tersebut, "Maha suci nama Tuhanmu yang mempunyai keagungan dan kemuliaan", sifat jalaliyah adalah mensucikan dzat-Nya dari segala keserupaan dengan yang lain dan dzat suci Tuhan lebih agung dan lebih tinggi dari apa-apa yang disifatkan terhadap-Nya, sifat Mulia (ikrâm) adalah suatu sifat yang "dengannya" Tuhan memuliakan diri-Nya sendiri, dan kesimpulannya adalah pemilik kesempurnaan tersebut adalah pemilik kemuliaan.[7]

Selanjutnya sifat-sifat kelompok pertama (salbî taqdîsi) merupakan negasi terhadap segala kekurangan dan ketiadaan, serta menekankan bahwa seluruh sifat-sifat tersebut kembali kepada satu penegasian yaitu negasi kebergantungan (menolak segala sifat yang implisit menceritakan tentang kebergantungan Tuhan), sifat-sifat tersebut jika ditinjau sebagai negasi dalam negasi maka kembali bermakna afirmasi.

Sifat-sifat kelompok kedua (sifat tsubûti) juga terbagi atas dua jenis: 1) sifat hakikat (hakikiyah) seperti ilmu, hidup dan…, 2) sifat tambahan (idhâfiyah) seperti pencipta, pemberi rezki dan…. Kemudian seluruh sifat-sifat hakiki kembali kepada sifat keniscayaan wujud (wujubul wujud) dan seluruh sifat tambahan dikembalikan kepada satu sifat tambahan (idhâfah) yaitu sifat tambahan kepenciptaan (qayyumiyah). Oleh karena itu:

1. Seluruh sifat-sifat salbî dikembalikan kepada satu penegasian yakni negasi kebergantungan dan kebergantungan itu sendiri mempunyai makna negasi, jadi negasi kebergantungan adalah negasi negasi (kebergantungan) yang hasilnya adalah afirmasi.

2. Negasi negasi tersebut yang kembali kepada sifat afirmasi yang sumbernya adalah intensitas wujud yang kuat.

3. Seluruh sifat-sifat afirmasi hakiki juga kembali kepada satu sifat yaitu sifat keniscayaan wujud (wujubul wujud), dimana sifat ini juga bersumber dari intensitas wujud yang kuat.

4. Seluruh sifat-sifat afirmasi tambahan (idhâfi) kembali kepada sifat kepenciptaan (qayyumiyah), dimana sifat ini juga berdiri tegak pada wujubul wujud.

Konklusi dari analisa dan uraian di atas bahwa wujubul wujud merupakan prinsip dan asas utama bagi seluruh sifat-sifat jalal dan jamal Tuhan serta tidak ada jalan bagi multiplisitas dan kejamakan dzat suci Tuhan.

Mulla Shadra juga mempunyai pembagian lain terhadap sifat-sifat, ia berkata, "sifat-sifat dibagi menjadi sifat yang terinderai dan sifat yang terkonsepsi dengan akal, dan kedua bagian tersebut masing-masing terbagi lagi menjadi sifat yang identik dengan yang disifati dan tidak identik dengan yang disifati. Sifat yang pertama[8] seperti kebersambungan untuk materi, sifat yang kedua[9] seperti sifat hitam untuk materi, sifat yang ketiga[10] seperti keberilmuan untuk akal dan sifat yang keempat[11] seperti keberilmuan untuk manusia.[12]

Adapun sifat-sifat Tuhan bukan dari jenis sifat-sifat yang terinderai sebagaimana anggapan aliran Mujassimiyah dan Musyabbihiyah dan juga bukan dari jenis sifat-sifat yang mengaksiden (menempel) pada dzat sebagaimana pandangan Asy'ariyyah serta tidak sebagaimana konsep keterpisahan sifat dari dzat sebagaimana gagasan Karrâmiyyah. Selanjutnya Mulla Shadra mengungkapkan bahwa eksistensi (wujud) yang mempunyai satu hakikat tetapi pada saat yang sama juga terdapat multiplisitas dan keragaman wujud yang bergradasi yang meliputi wujud materi hingga wujud non materi atau mumkin al-wujud (keseluruhan wujud selain Tuhan) dan Wâjib al-Wujud (Tuhan).

Kesempurnaan-kesempurnaan eksistensi juga seperti tersebut di atas, karena semua sifat-sifat kesempurnaan jika ditinjau dari segi pengertian dan komprehensinya maka bersifat univokal (musytarak maknawi)[13] dan bukan homonim atau equivokal (musytarak lafzhi), tetapi kalau dipandang dari sudut individu-individu luarnya (misdaq, extensi) maka sifat-sifat tersebut adalah berbeda dan bergradasi.[14]

Oleh karena itu, sebagaimana dalam kaidah eksistensi (ontologi) bahwa perbedaan dalam individu-individu luar tidak menyebabkan timbulnya perbedaan dalam pengertian (komprehensi) eksistensi sehingga bersifat homonim (musytarak lafzhi).

Berkenan dengan masalah ini, Mulla Shadra mengungkapkan persoalan ilmu sebagai contoh, ia menyatakan bahwa hakikat ilmu adalah satu dimana defenisinya adalah hadirnya yang diketahui (ma'lûm) di sisi yang mengetahui (âlim), hakikat ilmu ini teraktual dalam bentuk sifat kesempurnaan bagi individu-individu makhluk tapi dzat makhluk berbeda dengan sifat ilmu tersebut, hal ini berbeda dengan Wâjib al-Wujud dimana pada tingkatan dzat-Nya adalah identik dengan seluruh sifat-Nya tapi seluruh sifat tersebut masing-masing memiliki pengertian yang berbeda.[15]



b. Teori dari Para Teolog dan Filosof Masehi Barat
Setelah mengenal karakteristik-karakteristik bahasa agama dalam sudut pandang filsafat dan teologi Islam, sekarang kita berusaha mengungkapkan apa yang dilukiskan tentang bahasa agama dari kalangan filosof dan teolog Kristen Barat sehingga kita juga dapat mengenal kekhususan-kekhususan bahasa agama yang terdapat dalam teologi dan filsafat Kristen.



1. Teori Analogi Thomas Aquinas
Thomas Aquinas, teolog dan filosof besar Masehi, dalam masalah bahasa agama berpijak pada teori analogi. Ia menjelaskan bahwa sifat-sifat dan predikat-predikat yang dinisbahkan kepada Tuhan seperti adil, ilmu dan kuasa juga berlaku bagi makhluk-makhluk; sebagamana dalam ayat 13 dan 14 bab ketiga kitab Taurat, Tuhan disifatkan dengan eksistensi, dan makhluk-makhluk juga tersifatkan dengan sifat ini. Tetapi predikat-predikat ini untuk masing-masing dua subyek tidak dapat digunakan dalam bentuk equivokal (homonim, musytarak lafzhi) dan univokal (musytarak maknawi); misalnya antara keadilan Tuhan dan keadilan manusia yang mempunyai hubungan dan keserupaan, sementara predikat adil tersebut tidak equivokal, dan dari dimensi bahwa terdapat perbedaan-perbedaan di antara Tuhan yang tidak terbatas dan manusia yang terbatas maka predikat tersebut juga tidaklah univocal. Dalam hal ini Aquinas memperlihatkan suatu bentuk analogi dalam penggunaan yaitu keserupaan yang identik dengan perbedaan dan perbedaan yang identik dengan keserupaan, ia membolehkan penggunaan satu kata dalam dua wilayah yang berbeda.[16]

Demikian pula ungkapan Gilson, sebuah kata dalam bentuk univokal yang dipredikasikan kepada subyek sebagai genus, difrensia atau aksiden atas subyek itu, akan tetapi tidak satupun dari predikat-predikat tersebut (dengan makna tersebut) dinisbahkan kepada Tuhan. Dalil dari konklusi tersebut dapat ditemukan dalam esensi hubungan yang berlaku di antara maujud-maujud lain dengan Tuhan… Tuhan identik dengan eksistensi. Setiap yang ada pada Tuhan bersumber dari keniscayaan dzat-Nya, sementara apa yang ada pada maujud-maujud lain diperoleh dari jalan partisipasi. Seluruh kesempurnaan secara hakiki dan esensial disandarkan kepada Tuhan sementara untuk maujud-maujud lain hanya dipredikasikan secara aksiden. Dari sisi lain, kita tidak dapat memandang bahwa di antara sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat makhluk-Nya terdapat pertentangan dan perbedaan yang eksitrim, dalam bentuk bahwa sifat-sifat tersebut hanya digunakan dalam bentuk homonim. Pandangan ini menurut James Ross menjatuhkan manusia ke dalam jurang penyerupaan (tasybih) dan mematikan rasionalisasi (ta'thil).[17]

Thomas Aquinas mengungkapkan teori analogi dan menafikan homonim serta univokal di antara sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat makhluk-Nya sesudah menerima bahwa statmen-statmen keagamaan bermakna dan bersumber dari realitas.

Problem mendasar dari teori di atas tidak lain adalah ia (Thomas Aquinas) menyangka bahwa jika kita menerima univokal sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat manusia maka akan terperangkap pada penyerupaan dimana kesatuan makna terimplikasi dari kesatuan individu, dengan kata lain terjadi ia menyamakan antara pengertian (komprehensi) dan individu luar (misdaq). Namun sebagaimana dalam pembahasan Mulla Shadra yang berkenan dengan masalah ini, homonim tidak akan menyebabkan penyerupaan, alasan yang utama dalam konteks ini adalah terdapat perbedaan individual antara Tuhan dan makhluk walaupun terdapat kesamaan makna antara keduanya.



2. Teori Positivisme Logikal
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang mengalami banyak perubahan mendasar dalam perjalanan sejarahnya. Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Francis Biken seorang filosof berkebangsaan Inggeris. Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam.

Istilah ini kemudian juga digunakan oleh Agust Comte dan dipatok secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat. Agust Comte berkeyakinan bahwa makrifat-makrifat manusia melewati tiga tahapan sejarah: pertama, tahapan agama dan ketuhanan, pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan; tahapan kedua, adalah tahapan filsafat, yang menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi; dan adapun Positivisme sebagai tahapan ketiga, menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.

Pada tahun 1930 M, istilah Positivisme berubah lewat kelompok lingkaran Wina menjadi Positivisme Logikal, dengan tujuan menghidupkan kembali prinsip tradisi empiris abad ke 19. Lingkaran Wina menerima pengelompokan proposisi yang dilakukan Hume dengan analitis dan sintetis, dan berasaskan ini kebenaran proposisi-proposisi empiris dikategorikan bermakna apabila ditegaskan dengan penyaksian dan eksperimen, dan proposisi-proposisi metafisika yang tidak dapat dieksprimenkan maka dikategorikan sebagai tidak bermakna dan tidak memiliki kebenaran. Kesimpulan pandangan ini adalah agama dan filsafat (proposisi-proposisi agama dan filsafat) ambiguitas dan tidak bermakna, karena menurut kaum positivisme syarat suatu proposisi memiliki makna adalah harus bersifat analitis, yakni predikat diperoleh dari dzat subyek kemudian dipredikasikan atas subyek itu sendiri dan kebenarannya lahir dari proposisi itu sendiri serta pengingkarannya menyebabkan kontradiksi, atau mesti bersifat empiris, yakni melalui proses observasi dan pembuktian.

Dengan demikian, sebagaimana ungkapan Kornop – salah seorang anggota dari Lingkaran Wina – dalam suatu risalah berjudul "Menolak metafisika dengan analisis logikal teologi", kalimat-kalimat yang mengungkapkan perasaan (affective), seperti: alangkah indahnya cuaca! Atau pertanyaan, seperti: Di manakah letak kota Qum? Atau kalimat-kalimat perintah, metafisika dan agama, karena kalimat-kalimat dan proposisi-proposisi tersebut tidak melewati proses observasi dan eksprimen maka serupa dengan proposisi-proposisi yang tidak benar (bohong).

Kaum Positivisme, seiring dengan perjalanan waktu, mengubah pandangannya yang ekstrim dan perlahan-lahan tidak menegaskan kemestian pembuktian dan eksperimen dalam menguji kebenaran suatu proposisi dan bahkan eksprimen tidak lagi dijadikan tolok ukur kebenaran proposisi. Mereka menyadari bahwa jika tolok ukur kebenaran (memiliki makna) proposisi-proposisi adalah melewati proses pembuktian dan eksperimen, maka sangat banyak proposisi-proposisi empiris yang tidak akan bermakna (tidak benar), karena tidak dapat dibuktikan secara yakin (100%). Mazhab filsafat ini dalam bagian lain mengakui bahwa manusia tidak mampu menyingkap hakikat realitas – dalam bentuk pembuktian, penegasan, dan bahkan pembatalan – tetapi hanya sebatas pemuasan akal.[18]

Kesimpulan dari semua pandangan kaum Positivisme adalah bahwa proposisi-proposisi agama yang karena tidak melewati observasi dan eksprimen maka tidak dikategorikan sebagai makrifat dan pengetahuan yang bermakna (baca: proposisi agama tidak benar) dan bahasa agama karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara eksprimen, maka tidak menjadi makna yang dapat diperhitungkan.

Mazhab Positivisme mendapatkan kritikan dan sanggahan yang berat dari pendukung-pendukungnya sendiri, seperti Wittgenstein dan Poper, dibawah ini akan diungkapkan sebagian dari kritikan-kritikan mereka:

1. Teori evolusi dan tiga tahapan dari Agust Comte sama sekali tidak memiliki bukti sejarah yang otentik dan argumen keilmuan yang akurat, landasan ketidakbenaran teori tersebut adalah karena menghubungkan tahapan-tahapan sejarah dari sistem masyarakat Eropa pada zaman itu dan kemudian menggeneralisasikan pada seluruh tahapan sejarah dunia. Di samping itu, dalam filsafat ilmu kontemporer para ilmuwan telah membahas dan mengkaji tentang kebutuhan ilmu terhadap filsafat dan pengaruh metafisika terhadap teori-teori ilmu.

2. Demikian pula asas Positivisme tentang tolok ukur kebenaran proposisi yang menetapkan bahwa proposisi hanya memiliki makna (kebenaran) apabila dapat dieksperimenkan dan diobservasi. Dan proposisi-proposisi yang non-empiris dikatakan tidak bermakna sebenarnya tidak berangkat dari asas analisis dan tautologi (kebenaran tampak dari dirinya sendiri) dan juga bukan berdasarkan sintetis yang dapat dibuktikan dengan penyaksian dan eksperimen.

3. Kaum Positivisme memandang bahwa seluruh proposisi-proposisi metafisika tidak bermakna; padahal sebagian dari proposisi tersebut bersifat analitik, seperti: setiap akibat membutuhkan sebab; sedangkan menurut mereka proposisi-proposisi analitik adalah bermakna.

4. Menurut mazhab ini, secara prinsipil proposisi-proposisi agama tidak sampai pada tahapan yang benar dan bohong, oleh karena itu, penegasian benar dan bohong dari pendukung mazhab ini yang dinisbahkan terhadap proposisi-proposisi agama adalah tidak bermakna.

5. Kritikan kita yang paling mendasar terhadap Positivisme adalah menyangkut masalah-masalah yang prinsipil dan berasas. Di samping kita mengakui kebenaran metode empiris juga memandang sah metode logikal dan rasional dalam meraih makrifat. Kita memandang benar semua metode logikal, rasional, syuhudi, naqli (teks suci)[19] dan sejarah.[20]

Setelah kami menampilkan dua bentuk pendekatan dan teori terhadap bahasa agama yang terdapat dalam teologi dan filsafat Kristen dan Barat, untuk tidak larut dalam pembahasan yang berkepanjangan, maka kami cukupkan pengenalan terhadapnya dengan menggunakan dua pendekatan dan teori tersebut. Kendatipun pada hakikatnya pembahasan bahasa agama yang ada pada teologi dan filsafat Kristen dan Barat ini adalah jauh lebih luas serta sangat kompleks (masih terdapat berbagai aliran dan pandangan, seperti teori analitik bahasa, teori simbolik, teori permainan bahasa (language game) dan…), bahkan boleh dikatakan bahwa hingga sekarang ini, pembahasan tersebut belum tuntas dan masih belum ditemukan pemecahannya yang akurat yang bebas dari berbagai kelemahan dan kritikan.

Adapun dalam teologi dan filsafat Islam meskipun pembahasan ini tidak begitu luas dan tidak terdapat berbagai aliran dan pandangan, akan tetapi berkat kemurnian dan keorisinalan ajaran Islam (kitab suci al-Qur'an) serta ilham dan petunjuk yang didapatkan oleh para teolog dan filosof Islam dari kitab suci tersebut sehingga menyebabkan pandangan dan pemikiran mereka dalam masalah ini mengarah pada kesatuan dan keselarasan universal (misalnya mereka berpandangan bahwa proposisi-proposisi agama adalah bermakna), walaupun masih terdapat perbedaan secara partikular, misalnya perdebatan tentang sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat makhluk-Nya apakah bersifat homonim atau univokal.[]




Catatan Kaki:
[1] . Amir Abbas Ali Zamani, Zabône Dîn; dalam bentuk pengungkapan pertanyaan-pertanyaan dan penganalisaan serta penguraian jawaban-jawaban yang berhubungan dengannya.

[2]. Setiap dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, telah diberikan jawabannya oleh pemikir dan penulis muslim dan bukan muslim, yang dalam tulisan terbatas ini tidak akan diuraikan, maka dari itu untuk memahami topik urgen ini perlu merujuk pada kitab-kitab yang membahas tentang "bahasa agama".

[3] . Abdul Husein Khusru Panoh, Kalâme Jadîd, hal. 329-330.

[4] . Abdul Husein Khusru Panoh, Kalâme Jadîd, hal. 330.

[5] . Abdul Husein Khusru Panoh, Kalâme Jadîd, hal.330.

[6] . Izzuddin Reza Nezyood, Kalâm-e Tathbîqi, hal. 96-97.

[7] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jilid 6, hal. 118.

[8] . Sifat yang terinderai yang identik dengan yang disifati

[9] . Sifat yang terinderai tapi tidak identik dengan yang disifati.

[10] . Sifat yang terkonsepsi dengan akal yang identik dengan yang disifati.

[11] . Sifat yang terkonsepsi dengan akal tapi tidak identik dengan yang disifati.

[12] . Shadruddin syirazi, al-Asfar, jilid 6, hal. 123.

[13] . Lihat makalah kami yang berjudul Shirful Wujud.

[14] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jilid 6, hal. 124-125.

[15] . Ibid, hal. 125.

[16] . Akli wa I'tiqad-e Dîni, Michael Peterson, penerjemah: Ahmad Naraqi. Hal. 256-257.

[17] . Kalam Jadîd, Abdul Husain Khusru Panoh, hal.332.

[18] . Abdul Husain Khusru Panoh, Kalâme Jadîd, hal. 334 -335.

[19] . Dalil-dalil yang bersumber dari teks-teks suci agama, seperti hadis Nabi dan kitab suci al-Qur'an, Injil, Taurat dan lain sebagainya.

[20] . Abdul Husain Khusru Panoh, Kalâme Jadîd, hal. 336.

7
NEO-TEOLOGI I

Agama & Akhlak [1]

Mukadimah
Masalah hubungan agama dan akhlak, telah lama menyibukkan para filosof, teolog dan ilmuan-ilmuan akhlak. Dengan melihat sepintas lalu terhadap tradisi-tradisi sejarah kehidupan manusia, dapat disaksikan keselarasan, kesesuaian, kesatuan ukuran-ukuran, keharusan-keharusan, dan norma-norma akhlak dengan perintah-perintah agama dalam berbagai masyarakat dan bangsa. Istilah-istilah akhlak Islam, Yahudi, Masehi, Hindu, dan Budha, merupakan bukti atas apa yang kami ungkapkan di atas. Oleh sebab itu, terkadang hubungan yang dalam di antara dua fenomena ini (agama dan akhlak) bisa melalaikan para peneliti dalam memisahkan pemikiran akhlak dari dimensi-dimensi lain kehidupan agama.

Pembahasan-pembahasan pemikir dan filosof seperti Sokrates dan Plato yang berdasarkan atas kemandirian dua fenomena agama dan akhlak, teori pemisahan Karl Marx dan Sigmund Freud, klaim ketidaksesuaian di antara keduanya, dan wacana antara pengikut mazhab 'adliyyah dan asy'ariyyah tentang kebaikan dan keburukan akal dan syar'i perbuatan-perbuatan manusia, semuanya mengisahkan bahwa masalah agama dan akhlak ini mempunyai usia dan sejarah yang amat panjang. Mungkin hal ini disebabkan karena agama dan akhlak senantiasa menyertai manusia sejak awal keberadaannya serta dua fenomena ini timbul dari tabiat dan fitrah manusia.

Jika kita meninjau dengan tinjauan eksternal terhadap perbedaan dan pertikaian di antara pemikir-pemikir dalam masalah hubungan agama dan akhlak, kita akan mendapatkan bahwa seluruh perbedaan itu berdasarkan pemikiran-pemikiran apriori secara psikologi, sosiologi, antropologi dan filosofi yang dilakukan oleh mereka dalam mengafirmasikan atau menegasikan hubungan ini. Problem utama juga yang bisa kita lihat dalam tulisan-tulisan para pemikir Barat dalam masalah ini, kelompok pemikir ini terkadang mengabstraksikan agama dan akhlak dengan definisi eksternal dan mengutarakan kebagaimanaan hubungan di antara dua fenomena tersebut yang pada akhirnya, dengan penilaian dan penghukumannya melakukan perbandingan antara akhlak dan agama-agama. Di samping itu, terkadang kata agama yang mereka maksud adalah agama Masehi, tapi pada posisi pengambilan konklusi mereka menggeneralisasikan pembahasannya pada seluruh agama-agama.

Dengan memperhatikan uraian di atas, dalam tulisan ini akan diteliti dan diobservasi pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini: Apa bentuk kesesuaian yang dapat kita temukan di antara dua fenomena ini? Apakah akhlak mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan agama? Apakah agama yang butuh pada akhlak atau akhlak yang butuh pada agama? Apakah perintah-perintah akhlak harus didapatkan dari teks-teks agama dan kitab suci ataukah akal dan nurani secara mandiri dapat menentukan hakikat-hakikat akhlak? Apakah mungkin akhlak tanpa Tuhan (akhlak sekuler)?



Definisi serta Inti Hubungan Agama dan Akhlak
Pertama kita harus mendefinisikan agama dan akhlak serta hubungan keduanya, dan dari hubungan dua realitas tersebut kita akan mengungkapkan bahasan yang lebih mendalam dan lebih detail tentang masalah ini:

a. Definisi-definisi yang beragam tentang agama telah banyak dipaparkan dalam berbagai tulisan-tulisan yang ada, dan sudah jelas yang dimakud agama dalam hal ini adalah hakikat-hakikat yang disampaikan kepada manusia dari jalan wahyu. Di samping itu untuk memperjelas ruang lingkup bahasan maka agama yang dimaksud dalam masalah teologi kita ini adalah agama Islam. Oleh karena itu, dalam pembahasan kali ini yang harus dibandingkan, adalah teks-teks agama Islam dengan akhlak sehingga secara lebih jelas dihasilkan pandangan tentang batasan agama dalam masalah-masalah akhlak.

b. Apa yang dimaksud dengan akhlak? Kata akhlak, yang bentuk jamaknya adalah "Khulq", dalam bahasa Arab bermakna sifat dan malakah nafsâni (sifat dan malakah jiwa), dimana karena efek kondisi jiwa ini manusia melakukan pekerjaan tanpa melalui proses berfikir. Makna leksikal ini meliputi sifat dan perbuatan baik dan juga sifat serta perbuatan buruk. Oleh karena itu akhlak dibagi atas akhlak baik dan akhlak buruk. Meskipun dalam peristilahan, akhlak mempunyai makna yang bermacam-macam, tetapi kita tidak mengarah pada bentuk pembahasan seperti demikian, karena itu malah akan menjadikan pembahasan kita ini dalam bentuk pembahasan yang lain.

Akhlak (ethics) merupakan suatu ilmu yang membicarakan sisi-sisi kehidupan manusia yang paling penting. Semua kita manusia menghadapi pertanyaan-pertanyaan seperti ini: Apa yang harus kita kerjakan dan apa yang tidak boleh kita lakukan? Apakah kezaliman adalah buruk dan Keadilan adalah baik? Apakah orang tidak boleh berdusta? Pertanyaan-pertanyaan ini yang mempunyai hubungan dengan prilaku dan perbuatan manusia, pada akhirnya juga menjadi sumber munculnya pertanyaan-pertanyaan yang baru antara lain: Apa yang menjadi ukuran baik dan buruk? Apakah proposisi-proposisi akhlak mempunyai nilai kebenaran? Apakah akhlak mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu lain seperti seni, tarbiyah, agama dan sebagainya? Apakah dapat diambil natijah "harus" dari wujud-wujud?


Untuk lebih dalamnya pembicaraan yang kita lakukan maka perlu diungkapakan juga poin-poin yang berhubungan dengan akhlak yang merupakan fokus dan inti dari permasalahan akhlak:


1. Deskripsi keyakinan-keyakinan akhlak
Kelompok qadiyah-qadiyah ini yang terhitung bentuk penelitian eksperimen, deskripsi, sejarah, atau ilmu, telah menjadi bahan aktivitas penelitian yang dilakukan oleh antropolog, sejarawan, psikolog, dan sosiolog. Tujuan yang ada dalam masalah ini menjelaskan dan mendeskripsikan fenomena akhlak, proposisi-proposisi akhlak, dan sistem-sistem akhlak individu atau masyarakat sehingga dapat ditemukan suatu teori dalam basis tabiat dan fitrah akhlak manusia.[1]


2. Proposisi-proposisi akhlak atau ilmu akhlak
Proposisi-proposisi ini membicarakan tentang permasalahan baik dan buruk akal, harus dan tidak harus, sifat baik dan buruk, dan sifat mulia serta hina manusia. Kelompok dari masalah-masalah akhlak yang disebut di atas dikenal dengan akhlak normatif (Normative Ethics) dan akhlak derajat pertama (First Order Ethics).

Perlu kami sebutkan bahwa terdapat dua bentuk hakikat-hakikat akhlak: pertama, proposisi-proposisi yang predikatnya terbentuk dari komprehensi-komprehensi seperti baik dan buruk; dan kedua, proposisi-proposisi yang predikatnya terbangun dari komprehensi-komprehensi seperti harus dan tidak boleh.


3. Tinjauan filsafat terhadap proposisi-proposisi akhlak
Pembenaran kaidah-kaidah dan hukum-hukum akhlak serta penjelasan kegunaan universal nilai-nilai akhlak, atau dengan kata lain keharusan dan kemestian manusia mengikuti aturan-aturan akhlak, merupakan pusat perhatian seluruh filosof akhlak sejak dahulu.

Sebagian filosof mengamati kerugian-kerugian kejiwaan dan kemasyarakatan dari efek perbuatan-perbuatan tidak berkhlak dan prilaku-prilaku yang hipokrit.

Segolongan lain dari filosof mengklaim bahwa untuk menjadikan manusia berakhlak, tidak boleh sama sekali diungkapkan bentuk dalil yang berdasarkan atas manfaat perorangan. Keputusan manusia untuk berakhlak, harus berpijak pada penghargaan terhadap pemikiran akhlak; tanpa membutuhkan pembenaran yang lebih tinggi dari itu. Menurut pandangan para pemikir ini, seruan tugas dan kewajiban merupakan sesuatu yang niscaya dan mutlak.

Kelompok ketiga dari filosof mengutarakan pandangan bahwa teori-teori metafisika dan agama yag beragam, memiliki pengaruh yang sesuai dengan analisa, penjelasan, dan pembenaran atas keterikatan-keterikatan terhadap kehidupan berakhlak. Para pemikir ini berargumen bahwa tanpa sebagian dari landasan matafisika atau agama secara minimal maka usaha berakhlak, adalah tidak bermakna.[2]

Menunjukkan ukuran penilaian universal, dari sisi baik dan buruknya perbuatan serta pembenaran dan pembelaan filsafat dari ungkapan-ungkapan akhlak manusia, merupakan inti dan asas lain dari akhlak. Ketika dikatakan ukuran baik dan buruk, kelezatan, kebahagiaan, dan hati nurani selaras dengan kesempurnaan manusia dan dimensi kemuliaan manusia, pada dasarnya ukuran yang dibicarakan adalah ukuran harus dan tidak boleh; dan model pembahasan ini menjadi bahasan ilmu akhlak dan juga dijelaskan dalam bahasan filsafat akhlak sebagai landasan penegasan ilmu akhlak. Teori dan pandangan yang berhubungan dengan parameter akhlak normatif, secara umum dibagi atas dua bagian: teori teleological (Teleological Theories) dan teori deontologikal (Deontological Theories).

Para pemikir teori teleologikal berpandangan bahwa hukum-hukum akhlak secara keseluruhan dihasilkan dari efek dan natijah perbuatan. Berasaskan ini mereka menghukumi baik dan buruk atau harus dan tidak bolehnya amal perbuatan. Natijah-natijah perbuatan itu, apakah ia keuntungan perbuatan akhlak bagi seorang pelaku, ataukah kelezatan dan perkara-perkara lainnya. Yang termasuk wakil dan tokoh dari aliran teori teleologikal ini di antaranya, David Hume dan John Stuart Mill.

Adapun kaum deontologikal berpandangan bahwa benar dan tidak benar atau harus dan tidak bolehnya amal tidak mengandung natijah, tujuan, dan efek dari pada perbuatan; akan tetapi mereka berkeyakinan bahwa amal itu sendiri mempunyai kekhususan-kekhususan yang menunjukkan baik dan buruk atau harus dan tidak bolehnya amal. Kant dan P. Richard terhitung sebagai tokoh utama dari aliran ini.


4. Kenyataan Proposisi-proposisi akhlak
Apakah ungkapan-ungkapan akhlak adalah insyâi (perintah) atau ikhbâri (pemberitaan)? Apakah ia menceritakan realitas dan nafsul amr (fact-itself) ataukah tidak? Dan secara asas, apa nafsul amr dan mahkî (yang diberitakan) proposisi-proposisi akhlak? Kelompok masalah-masalah ini mempunyai tempat bahasan dalam epistemologi akhlak.


5. Pembahasan berhubungan dengan konklusi
Apakah ungkapan-ungkapan akhlak, dihasilkan dari proposisi-proposisi bukan akhlak dan sebaliknya? Dan masalah apakah qadiyah-qadiyah bukan akhlak dapat melahirkan ungkapan-ungkapan akhlak, pembahasan ini berhubungan dengan penetapan "harus" dan "tidak boleh" dari "ada" dan "tidak ada", atau dengan kata lain dengan proposisi yang berhubungan "ada" dan "tidak ada" ditetapkan "harus" dan "tidak boleh". Kelompok masalah-masalah ini, berhubungan dengan pembahasan kemantiqian akhlak.


6. Hubungan akhlak dengan ilmu dan makrifat lainnya
Kelompok akhir dari masalah-masalah akhlak, pembahasan yang berkenaan dengan hubungan akhlak dengan hakikat-hakikat lain seperti seni, tarbiyah, hak asasi, agama, dan lain-lain. Yakni masalah: apakah akhlak individu atau masyarakat berpengaruh dalam membangun kebudayaan dan peradaban? Apakah "harus" dan "tidak boleh" akhlak berhubungan dengan "harus" dan "tidak boleh" (wajib dan haram) agama? Apakah agama menambah akhlak atau akhlak dihasilkan dari agama? Dan masalah-masalah lainnya seperti ini.

Dari masalah-masalah akhlak yang disebutkan di atas, masalah keempat sampai masalah keenam dikenal dengan akhlak analitik, akhlak intiqâdi (akhlak kritik), meta akhlak, dan akhlak derajat kedua (Second Order Ethics); akhlak analitik ini tidak memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan akhlak dan hukum-hukum normatif; akan tetapi seluruh upaya dia dalam medan pertanyaan-pertanyaan logikal, epistemologi, dan linguistik akhlak.


Komprehensi Hubungan Akhlak dan Agama
Komprehensi hubungan akhlak dan agama dapat ditafsirkan dalam dua bentuk: pertama, hubungan kandungan dan proposisi; dengan pengertian bahwa aturan-aturan akhlak, diistinbatkan dan dihasilkan dengan merujuk pada teks-teks agama, kitab, dan sunnah. Oleh karena itu, dengan murni tinjauan agama, akhlak tidak akan menjadi sebagai keseluruhan ungkapan-ungkapan yang mengandung "harus" dan "tidak boleh" serta baik dan buruk. Tafsiran kedua adalah hubungan sebagai dasar dan landasan; yakni aturan-aturan akhlak tidak lahir dari agama, tetapi diperoleh dari sisi fitrah, hati nurani, akal amali, atau wasilah lain yang bukan teks agama. Kendatipun demikian, akan tetapi pengaruh agama, secara khusus akidah agama seperti keyakinan terhadap Tuhan dan hari akhirat, adalah sangat urgen dalam menjamin realisasi aturan-aturan akhlak. Berdasarkan tafsiran pertama, akhlak adalah bagian atau identik agama, sedangan tafsiran kedua, akhlak dan agama satu sama lain adalah mandiri, tetapi agama atau keyakinan agama dianggap sebagai suatu landasan pembenaran proposisi-proposisi akhlak.


Penelitian Tentang Masalah Hubungan Harus dan Ada
Orang-orang yang menerima hubungan antara proposisi-proposisi agama dan akhlak serta juga deduksi akhlak dari agama atau agama dari akhlak, pada hakikatnya mereka juga menerima deduksi logikal "harus" dan "ada" atau pengambilan konklusi "ada" dari "harus".

Bartly, menyebutkan enam asumsi bagi hubungan logikal antara agama dan akhlak serta kemungkinan deduksi dan ketidakmungkinan pengambilan natijah dua hakikat tersebut:

1. Akhlak menerima deduksi dari agama dan sebaliknya; dalam bentuk ini akhlak dan agama adalah identik.

2. Akhlak dapat menerima deduksi dari agama, tapi tidak sebaliknya; dalam bentuk ini akhlak merupakan bagian dari agama, tetapi tidak seluruhnya.

3. Agama dapat menerima pengambilan konklusi dari akhlak, tapi tidak sebaliknya; di sini agama merupakan bagian dari akhlak. (Dalam tiga asumsi ini, terjadi kesesuaian agama dan akhlak serta tidak terdapat pertentangan di antara keduanya).

4. Akhlak tidak menerima deduksi dari agama; demikian juga agama tidak menerima deduksi dari akhlak; akan tetapi keduanya ini satu sama lain sesuai dan saling mandiri; keduanya tidak identik serta tidak ada yang menjadi bagian dari yang lainnya.

5. Akhlak tidak menerima pengambilan natijah dari agama atau sebaliknya; dan dalam ukuran tertentu terjadi kesesuaian, tapi tidak secara keseluruhan.

6. Akhlak dan agama secara keseluruhan tidak sesuai dan satu sama lain saling menolak.[3]

Secara keseluruhan akhlak dan agama, adalah saling mandiri secara sempurna dan tidak terjadi sama sekali hubungan deduksi, bagian, dan keseluruhan di antara keduanya atau akhlak dan agama adalah identik keduanya atau akhlak merupakan bagian agama atau agama adalah bagian akhlak. Dalam bentuk pertama, apakah agama dan akhlak secara nisbah keduanya memiliki keselarasan ataukah keduanya secara global mempunyai pertentangan? Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu kita uraikan terlebih dahulu landasan konsepsi dari pembahasan.

Penerimaan deduksi akhlak dari agama, meniscayakan istinbat "harus" dari "ada". Ketika dikatakan: "Tuhan memandang baik keadilan, maka dari itu keadilan adalah baik", pada dasarnya telah terjadi pergerakan dari suatu proposisi agama yang meninjau terhadap realitas dan menjelaskan iradah Tuhan kepada suatu proposisi nilai dan akhlak; dan ketika dikatakan: "Keadilan adalah baik maka Tuhan menginginkan keadilan", dalam bentuk ini terjadi perjalanan dari proposisi nilai kepada proposisi agama yang tinjauannya terhadap realitas. Sekarang jika orang seperti Hume tidak menerima pergerakan dari "ada" kepada "harus" dan perjalanan dari "harus" kepada "ada", memestikan terjadinya pertentangan terhadap seluruh deduksi dan pengambilan natijah ini. Tapi dalam bentuk pandangan dan ungkapan Hume tidak diterima, atau minimal dipandang bisa terjadi pengambilan natijah proposisi-proposisi nilai dari dua premis yang tersusun dari proposisi deskripsi dan proposisi nilai maka tidak ada isykal sama sekali atas deduksi dan pengambilan konklusi tersebut.

Sekarang setelah jelas dua bentuk komprehensi ini, yaitu komprehensi agama dan akhlak serta hubungan keduanya, perhatian harus diarahkan pada jawaban terhadap masalah hubungan agama dan akhlak, dimana dalam hal ini penentuan ukuran dan parameter akhlak akan menjadi sumber jawaban yang berbeda-beda. Dengan makna bahwa jika akhlak berdasarkan prinsip kelezatan atau prinsip manfaat atau nurani dan akal amali atau berdasarkan prinsip sosial masyarakat, mungkin akhlak dengan agama diasumsikan tidak mempunyai hubungan sama sekali atau hubungan keduanya hanya dalam bentuk landasan; dan jika ukuran proposisi-proposisi akhlak adalah kedekatan dengan Tuhan, dengan memperhatikan ketiadaan pengetahuan sempurna manusia terhadap kedekatan dan kedudukan Tuhan maka hubungan antara akhlak dan agama merupakan hubungan kandungan dan qadiyah.


Teori dan Pandangan Pemikir Barat
Komprehensi dan proposisi akhlak, sebelum renesains di Eropa, menerima deduksi dari agama; dan ia juga mendapatkan warna dari filsafat Plato dan Aristo. Abad 18, dengan terbitnya zaman pencerahan, pemikiran deisty, makrifat Tuhan tabii serta ateisme mendapatkan penyebaran, dan akal yang menjadi sumber rujukan dinisbahkan pada dimensi yang bermacam-macam dalam kemasyarakatan dan akhlak, membuat medan sempit untuk agama yang pada akhirnya memisahkan akhlak dari agama. Berikut ini paparan singkat kami terhadap sebagian pandangan pemikir Barat dalam hal ini:


1. Teori deduksi agama dari akhlak
Sokrates dalam suatu dialog memperbincangkan tentang hubungan agama dan keadilan dan mengungkapkan pandangan deduksi agama dari akhlak dan keberadaan agama yang partikuler dinisbahkan terhadap akhlak. Sokrates meyakini bahwa keadilan mempunyai wilayah yang lebih luas dari religius dan religius adalah bagian dari keadilan.[4] Teori ini menjadi kurang dan tidak sempurna dinisbahkan dengan Islam yang meliputi wilayah luas dari pemikiran akidah, akhlak, dan amal.


2. Teori perintah Tuhan (Divine Command Theory)
Sebagian dari filosof ketuhanan Barat seperti Robert Adams memiliki kesamaan dengan aliran asy'ariyyah dalam Islam, berpandangan bahwa sumber dari proposisi-proposisi akhlak adalah Tuhan dan wusul pada hakikat-hakikat akhlak dari sisi akal dan syuhud adalah tidak sempurna. Robert Adams, dalam berhadapan dengan isykal yang menyatakan bahwa hanya dengan menegasikan kezaliman dari Tuhan kita telah mengakui prinsip dan kaidah mandiri akhlak dari Tuhan, menjawab bahwa kemestian seperti ini tidak dharuri; sebab kita tidak hanya beriman pada Tuhan murni; akan tetapi kita juga meyakini Tuhan yang kasih dan cinta terhadap spesies manusia. Berasaskan ini maka mustahil keluar kazaliman dari Tuhan.[5] Menurut pandangan kami. Kritik-kritik yang berkenaan dengan kebaikan dan keburukan yang ditujukan atas Asy'ariyyah, juga masuk atas teori perintah Tuhan ini.


3. Teori kemandirian agama dan akhlak
Kant, filosof Jerman abad ke 18, memperkenalkan agama dan akhlak sebagai dua fenomena yang terpisah dan mandiri. Ia dengan

pandangannya tentang pengetahuan rasional bagi parameter dan ukuran akhlak, menegaskan kemandirian tanggung jawab akhlak serta menguatkannya berdasarkan perintah-perintah akal dan nurani. Namun untuk memberi makna terhadap usaha-usaha akhlak manusia, ia juga menekankan tentang tuntutan keyakinann kepada Tuhan. Oleh karena itu, menurut keyakinan Kant, manusia dalam mengetahui tanggung jawab akhlak tidak butuh kepada agama dan Tuhan, serta untuk mendapatkan motivasi pengamalan tanggung jawab tidak butuh terhadap agama; bahkan menurut ia akhlak dengan anugerah akal murni amali, sudah cukup mengetahui tanggung jawabnya dan tidak butuh pada yang lain sebagai motivasi pengamalan. Manurut pandangan Kant, akhlak tidak memestikan agama dan manusia untuk mengetahui tanggung jawab dirinya, tidak butuh kepada konsepsi Tuhan. Penggerak akhir perbuatan akhlak, adalah tanggung jawab itu sendiri secara dzat, bukan ketaatan pada hukum-hukum Tuhan; namun pada saat yang sama, akhlak merealisasikan agama. Ia, sesudah menetapkan akhlak lewat akal amali, mau tidak mau harus menerima keberadaan ikhtiyar manusia, keabadian jiwa, dan wujud Tuhan sebagai postulat-postulat akal amali.[6]

Penerimaan kebaikan dan keburukan dzati serta pendekatan filosof Islam berhubungan dengan akhlak, menerima pandangan Kant dalam maqam afirmatif; akan tetapi tidak menerima pandangan Kant dalam maqam pembuktian, kasyf, wijdâni (nurani), dan aqlâni (rasional) manusia berhubungan dengan kebaikan dan keburukan.


4. Akhlak tanpa Agama
Akhlak sekuler dan akhlak tanpa agama, merupakan motif lain dari pandangan filosof akhlak Barat yang muncul diakibatkan pertentangan ilmu dan agama Masehi atau ketidaksesuaian doktrin-doktrin Masehi dengan akhlak. Motif ini bercabang menjadi dua kelompok: Kelompok yang kendatipun menafikan agama, tetap berusaha menjaga secara relativ akhlak. Kelompok kedua menerima agama dan akhlak, tetapi menghukumi kebebasan dan keterpisahan wilayah keduanya. Dalam kitab "Tars wa Larz", di samping dijelaskan tentang kisah Nabi Ibrahim As dan penyembelihan Nabi Ishak As (menurut keyakinan Yahudi), juga kisah ini diperkenalkan sebagai misdak dari pertentangan agama dengan undang-undang akhlak;[7] penulis lalai bahwa perintah Tuhan kepada Nabi Ibrahim As, dinisbahkan pada penyembelihan Nabi Ishak As (versi Islam nabi Ismail As), bukan perkara nyata, tetapi perkara ujian bagi kedua Nabi Tuhan tersebut, oleh karena itu tidak ada pertentangan dengan akhlak.

Karl Marx yang memandang agama sebagai penopang lapisan masyarakat borjuis dan kelompok penguasa, pada akhirnya memperkenalkan agama bertentangan dengan akhlak dan perjanjian akhlak. Demikian juga Freud dalam kitab "A^yandeh-e Yek Pendâr", meyakini bahwa agama melemahkan perjanjian akhlak. Pandangan kedua orang ini juga lahir dari pengetahuan mereka terhadap agama Masehi abad pertengahan; suatu pandangan yang tidak selaras dengan agama Islam murni.[8]

Menurut pandangan kami, di samping lemahnya dalil dan argumen pengikut pandangan ini, akhlak sekuler juga mempunyai problem yang bermacam-macam, di antaranya: pertama, akhlak sekuler menjatuhkan manusia pada egoisme dan individualisme dan pribadi sekuler membenarkan prilaku tidak memandang penting kebahagiaan orang lain; kedua, jika akhlak tidak mempunyai akar dalam agama, tidak tersisa lagi cara untuk menyingkap nilai-nilai akhlak, sebab penyaksian dan fitrah manusia dalam menyingkap prilaku akhlak, terperangkap dengan pertentangan; ketiga, jaminan perealisasian akhlak dapat terwujud hanya dengan keyakinan dan iman terhadap Tuhan dan kehidupan akhirat.

Bagian pertama dari tulisan ini kami cukupkan sampai di sini dan selanjutnya pada bagian kedua akan kami paparkan pandangan pemikir-pemikir Islam serta jalan pemecahan hubungan agama dengan akhlak yang kami pilih.



Catatan Kaki:
[1] . William Franka, Falsafeh Akhlak, Penerjemah: Hâdi Shâdiqi, Hal. 25.

[2] . Mircâ Ilyâdeh, Farhang wa Din, Hal. 13-14.

[3] . William Bartly, Akhlak wa Din, Penerjemah: Zahra KHazâi, Hal. 2.

[4] . Romano, Marg-e Sokrat, Terjemahan: Muhammad Husain Luthfi, Hal. 49-50.

[5] . Robert M. Adams, Ethics and Commands of God in Fhilosophy of Religion, p.72.

[6] . Frederick Kapileston, Tarikh Falsafeh, Terjemahan: Ismail Sa'adat, Hal. 349.

[7]. William Bartly, Akhlak wa Din, Penerjemah: Zahra Khazai, Hal. 56-58.

[8] . Mircâ Ilyâdeh, Farhang wa Din, Hal. 23.

8
NEO-TEOLOGI I

Agama & Akhlak [2]
Komprehensi-komprehensi yang digunakan dalam akhlak seperti "baik", "buruk", "harus", "tidak boleh", "benar", "tidak benar", "tugas", dan "tanggung jawab", semuanya merupakan komprehensi-komprehensi khusus yang mempunyai makna dan pengertian masing-masing. Pemahaman-pemahaman nilai ini memiliki paedah dalam penggunaannya ketika mempunyai basis dan landasan ontologis, sehingga jika seseorang melanggar nilai-nilai akhlak, ia akan merasakan konsekuensi dari pelanggarannya dalam bentuk penderitaan atau kepedihan hidup serta jauh dari kebahagiaan.

Fitrah manusia dan pengajaran yang didapatkannya dari agama, dapat menjadi penjamin atas pengamalan dan perealisasian perbuatan-perbuatan akhlak. Pahala dan balasan, dengan tidak melihat wilayah aktualitasnya, mempunyai dampak atas perealisasian nilai-nilai akhlak di tengah masyarakat apatah lagi dengan adanya sangsi-sangsi sosial seperti pujian terhadap pelaku akhlak baik dan celaan terhadap para pelaku akhlak buruk. Namun yang paling urgen dalam masalah ini adalah keberadaan Tuhan yang menjadi asumsi dan postulat agama yang dapat menjadi penjamin utama bagi pelaksanaan perbuatan-perbuatan akhlak baik dan pengaman ampuh untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan akhlak buruk.

Sangat banyak dari komprehensi-komprehensi agama bisa berpengaruh dalam masalah-masalah akhlak. Misalnya, ketika kita mengatakan perbuatan benar adalah perbuatan yang diperintahkan Tuhan, di sini kita membawa keberadaan Tuhan secara langsung dalam masalah akhlak. Tetapi terkadang kita mengatakan perbuatan benar adalah perbuatan yang menjamin kebahagiaan abadi manusia maka di sini kita tidak berbicara secara langsung tentang Tuhan, tetapi salah satu dari doktrin lain agama; yakni kita menerima postulat tentang kehidupan abadi manusia. Yakni kita menerima secara yakin bahwa manusia setelah mati dan meninggalkan alam materi ini, ia akan melewati kehidupan lain yang abadi dan lestari, dan di sana ia akan mendapatkan pahala kebahagiaan atau balasan kesengsaraan.

Berkenaan dengan komprehensi agama dan komprehensi akhlak serta hubungan keduanya telah kita bahas dalam tulisan sebelumnya, dimana dalam hal ini penentuan ukuran akhlak akan berpengaruh dalam memberi tinjauan dan konklusi tentangnya. Dengan pengertian bahwa jika akhlak berdasarkan prinsip manfaat atau prinsip kelezatan atau berdasarkan prinsip sosial masyarakat atau prinsip akal praktik ('amali), dalam konteks ini mungkin akhlak dengan agama diasumsikan tidak mempunyai hubungan sama sekali atau hubungan keduanya hanya dalam bentuk pondasi bagi yang lainnya; dan jika parameter permasalahan-permasalahan akhlak adalah kedekatan dengan Tuhan, dengan meninjau ketiadaan pengetahuan kita terhadap "qurbah" dan "maqâm" Tuhan maka hubungan antara akhlak dan agama merupakan hubungan proposisi dan kandungan.

Dalam tulisan sebelumnya juga telah dipaparkan secara singkat beberapa teori dan pandangan pemikir Barat berkenaan masalah ini. Sekarang dalam tulisan kedua ini kami akan paparkan beberapa teori dan pandangan dari ulama dan pemikir Muslim tentang hubungan akhlak dengan agama serta mengungkapkan teori yang menjadi pilihan kami.


Pandangan Ulama dan Pemikir Islam

1. Pandangan 'adliyah dan non-adliyah serta teori keberadaan konklusi dan ketiadaan konklusi akhlak dari agama
Para teolog dan filosof Islam, membincangkan tentang hubungan agama dan akhlak secara bertepatan dengan pembahasan mereka pada masalah kebaikan dan keburukan syar'i atau akli. Dan secara umum kaum muslimin berdasarkan tinjauan mereka terhadap hubungan kedua fenomena ini dibagi atas dua kelompok asasi 'Adliyah (yang dianut oleh mazhab Syiah dan Mu'tazilah) dan non-Adliyah (Asy'ariyah). 'Adliyah adalah golongan yang meyakini bahwa manusia mempunyai kemampuan dalam mengkonsepsi sebagian dari prinsip-prinsip akhlak, dan sebagian permasalahan-permasalahan akhlak serta kebaikan dan keburukan perbuatan harus diperoleh dari jalan kitab serta sunnah; kendatipun kebaikan dan keburukan perbuatan itu sendiri pada hakikatnya merupakan esensialitas amal. Oleh karena itu kebahagiaan akhir manusia berada dalam orbit pengamalan terhadap hukum-hukum akal dan syar'i akhlak. Teori dan pandangan ini yang juga dianut oleh sebagian ulama Masehi, disandarkan kepada Mu'tazilah dari ahlu sunnah dan pemikir-pemikir Syi'ah. Dalam berhadapan dengan pandangan ini, kaum Asy'ariyah dan non-Adliyah yang menolak teori prioritas (kedahuluan) akhlak atas agama serta memandang bahwa dalam kedudukan afirmasi dan pembuktian, akhlak merupakan bagian dari agama dan natijahnya dihasilkan dari agama.

Teori mazhab Asy'ariyah yang mengusung pandangan kebaikan dan keburukan syar'i dapat dijelaskan dalam dua bentuk:

pertama, bentuk pengambilan natijah dan kedua, bentuk kenyataan. Dengan pengertian bahwa ketika Tuhan memerintahkan kerjakan perbuatan X, apakah dari kalimat ini dapat diperoleh konklusi bahwa para mukallaf secara akhlak harus mengerjakan perbuatan X tersebut; yakni proposisi-proposisi nilai dalam akhlak, setimbang dengan proposisi-proposisi deskriptif dalam agama. Supaya kedua pandangan ini menjadi jelas maka kita membutuhkan pembahasan tentang kebaikan dan keburukan dari sudut pandang 'Adliyah dan non-Adliyah.

Masalah kebaikan dan keburukan dzâti (esensial) dan rasional, merupakan pembahasan yang sangat urgen dan menjadi salah satu topik bahasan dalam Teologi, Akhlak, dan Ushul Fiqih, dan berperan sebagai suatu kaidah dasar dalam memecahkan banyak dari masalah-masalah lain yang berhubungan dengan akhlak dan agama. Pembahasan keniscayaan dan kemestian akal dalam Ushul Fiqih, kelestarian nilai-nilai asli manusia dalam ilmu akhlak, dan masalah-masalah penting teologi seperti kewajiban taklif, keberadaan balasan, keniscayaan pengutusan Nabi dan Rasul Tuhan As, dan masalah lainnya dalam ilmu Kalam, semua topik-topik tersebut bersandar pada masalah kebaikan dan keburukan dzâti. Akar dari masalah kebaikan dan keburukan akal sejak dahulu telah diungkap dalam filsafat Yunani; dimana filosof ini membagi filsafat dengan filsafat nazhari (teoritis) dan 'amali (praktik). Ilmu akhlak mereka masukkan dalam filsafat 'amali dan mereka ungkapkan dalam filsafat ini tentang kemandirian kebaikan dan keburukan serta kemandirian nilai-nilai akhlak.

Para teolog Islam juga dalam pembahasan hikmah dan keadilan Tuhan, mengungkapkan tentang pembahasan kebaikan dan keburukan aqli, serta mengutarakan suatu pertanyaan tentang apakah akal manusia mempunyai kemampuan memahami dan menghukumi kebaikan dan keburukan amal dan perbuatan ataukah tidak? Dan mereka memandang bahwa pemecahan masalah ini merupakan kunci daripada kerumitan masalah-masalah kalam.[1] Untuk lebih gamblangnya masalah ini, perlu perhatian terhadap penjelasan di bawah ini:

Masalah kebaikan dan keburukan, diungkap dalam hubungannya dengan maqâm penetapan dan maqâm kenyataan. Pada maqâm kenyataan dibicarakan tentang kebaikan dan keburukan dzâti (esensial), sedangkan dalam maqâm pembuktian dibahas tentang masalah kebaikan dan keburukan aqli (rasional). Pada maqâm pertama, pertanyaan dalam bentuk apakah amal dan perbuatan, esensial dan dalam maqâm realitas tersifati dengan baik dan buruk?

Dan pada maqâm kedua, pertanyaan berhubungan dengan epistemologi serta kemampuan akal dalam mengkonsepsi kebaikan dan keburukan perbuatan.

Adapun yang dimaksud dzâti (esensial) dalam baik dan buruk perbuatan, terdapat dua pandangan:

1. Sebagian memandang bahwa dzâti dalam pembahasan ini, adalah dzâti bab burhan, yakni keniscayaan dzat; dengan pengertian bahwa kebaikan dan keburukan terhitung sebagai kemestian dan keniscayaan dzâti perbuatan.[2]

2. Sebagian lain menyalahi pandangan di atas dan berkata bahwa keniscayaan kuiditas (mahiyah), merupakan suatu realitas di samping realitas lain; sementara di sisi lain, kebaikan dan keburukan merupakan suatu perkara iktibari (persepsi mental); oleh karena itu, yang dimaksud dengan dzâti dalam masalah ini, adalah aqli itu sendiri; yakni seseorang tanpa mengambil bantuan dari luar, mempersepsi kebaikan dan keburukan perbuatan.[3]

Menurut pandangan kami, dari pembahasan-pembahasan dan argumentasi penetapan atau penafian kebaikan dan keburukan dzâti dan aqli dalam karya-karya Asy'ariyah dan Mu'tazilah, dua maqâm kenyataan dan pembuktian dalam masalah ini adalah jelas; kendatipun kedua maqâm ini, dalam hal dimana keduanya bercampur maka esensial (dzâti) ditafsirkan dengan rasional (aqli), akan tetapi yang benar dalam masalah ini adalah pemisahan kedua maqâm ini. Dalam maqâm kenyataan, pembahasan berhubungan dengan apakah Syâri' Muqaddas (penetap hukum dan undang-undang, yakni Tuhan) mempertimbangkan dan memperhitungkan kebaikan dan keburukan bagi perbuatan ataukah perbuatan tidak diperhitungkan dengan sifat baik atau buruk? Dan dalam maqâm pembuktian, pembahasan berhubungan dengan metode pengetahuan, yaitu apakah dalam menyingkap kebaikan dan keburukan perbuatan kita butuh kepada teks agama? Apakah akal, tanpa butuh pada media lain mampu mengkonsepsi kebaikan dan keburukan perbuatan? Maka dari itu, masalah pertama berhubungan dengan maqâm pembuatan dan penetapan dan masalah kedua, berhubungan dengan maqâm penyingkapan dan pembuktian. Dengan demikian, dzâti tidak bisa ditafsirkan sebagai aqli; demikian pula tidak mungkin juga dikembalikan kepada dzâti bab burhan.

Penelitian kami dalam masalah ini menyimpulkan bahwa dzâti di sini, bermakna bahwa perbuatan-perbuatan yang tersifatkan dengan baik dan buruk, tidak butuh kepada perantara dalam "tsubût" (kenyataan) yaitu dzâti sebagaimana yang dibahas dalam bab burhan dan jika sebagian dari peneliti ushul fiqih menyanggah bahwa sangat banyak dari perbuatan-perbuatan, seperti mengambil harta lain yang dialamatkan dengan kebencian dan ketidakridaan, tersifatkan dengan sifat buruk dan berhak dicela, dan penyifatan perbuatan dengan buruk mengambil bentuk dengan perantara.[4] Harus dijawab bahwa peneliti bersangkutan telah salah-kaprah dalam meninjau subyek keburukan; sebab dalam contoh tersebut, terjadi pada subyek yang disebut sebagai "pencurian", bukan mengambil harta lain; meskipun dalam "unwân" (nama, alamat) pencurian, juga tersembunyi pengertian mengambil harta lain dan ketidakrelaan.

Para teolog Islam dalam masalah ini terbagi kepada dua kelompok; suatu kelompok yang mengingkari kebaikan dan keburukan dzâti dan aqli serta masyhur disebut kaum Asy'ariyah; kelompok lainnya yang menerima kebaikan dan keburukan dzâti dan aqli, disebut dengan kaum Adliyah.

Muhaqqiq Thusi dan teolog lainnya dari Adliyah, mengkonstruksi beberapa argument untuk membuktikan kebaikan dan keburukan dzâti dan aqli; sebagai contoh Muhaqqiq Thusi dalam Kitab "Tajrîd al-I'tiqâd", berkata: "Jika kebaikan dan keburukan adalah syar'i, dalam bentuk ini maka tidak akan tertetapkan kebaikan dan keburukan akal demikian juga kebaikan dan keburukan syar'i; sebab jika misalnya berdusta adalah bukan keburukan aqli, dan secara asumsi seorang nabi mengabarkan bahwa berdusta adalah buruk, darinya tidak dapat diterima berita tersebut; sebab mungkin saja pemberitaannya tentang keburukan berdusta, adalah dusta. Dengan demikian kenabian ia juga tidak terbukti; sebab berdasarkan atas asumsi, berbuat yang menyalahi hikmah, tidak buruk bagi Tuhan dan membenarkan pendusta juga adalah tidak buruk. Implikasi dari asumsi ini juga, mungkin saja seseorang mengkalim kenabian tentang dirinya dengan berdusta dan Tuhan memberlakukan mukjizat ditangannya, di samping itu tidak ada celaan jika nabi palsu ini mencegah orang-orang dari sesuatu yang diwajibkan Tuhan serta memerintahkan mereka pada sesuatu yang diharamkan Tuhan atas nama Tuhan.

Singkat kata, ketika berdusta bukanlah keburukan aqli maka seluruh kemungkinan-kemungkinan ini tentu saja menjadi hal yang dimungkinkan.[5] Dengan penjelasan lain, jika kebaikan dan keburukan aqli tidak diterima maka keluarnya mukjizat dari para pendusta dan nabi hakiki tidaklah dapat dibedakan dan dalam bentuk itu, tidak ada kemungkinan untuk menetapkan kenabian dan syariat.

Para pengusung Adliyah setelah menetapkan kebaikan dan keburukan dzâti serta akli, lantas menyandarkan berbagai masalah teologi khusus terhadap kaidah ini; masalah-masalah seperti makrifatullah atau keniscayaan pengenalan terhadap mun'im (pemberi nikmat), kemestian bersyukur kepada mun'im, kemestian menolak dharâr (kerugian) yang sangat berefek pada keselamatan, menyifatkan Tuhan dengan sifat adil dan hikmah, kemustahilan keluarnya keburukan dari Tuhan, kaidah lutf, keniscayaan pengutusan nabi-nabi, kebaikan taklif, pembenaran terhadap para penyeru kenabian, undang-undang tetap dalam dunia yang berubah, kelestarian akhlak dan topik-topik lain yang menjadi natijah dari masalah ini.[6]

Setelah pembuktian kebaikan dan keburukan dzâti, giliran berikutnya adalah pembuktian kebaikan dan keburukan aqli. Harus diperhatikan bahwa pertikaian dan perbedaan di antara Asy'ariyah dan Adliyah berada pada tataran bahwa pendukung kebaikan dan keburukan aqli (Adliyah) memiliki keyakinan bahwa akal mempunyai kemampuan dalam mengkonsepsi sebagian dari perbuatan-perbuatan Tuhan dan manusia.

Asas dan prinsip universal kebaikan dan keburukan perbuatan seperti kebaikan perbuatan adil dan dan keburukan perbuatan zalim serta sebagian yang partikular seperti keburukan menggunakan harta orang lain tanpa keridaannya, keburukan bohong, kebaikan jujur, kebaikan amanah dan perbuatan-perbuatan partikular lainnya, bagi semua orang adalah sudah jelas kedudukannya. Di samping itu Adliyah juga berkeyakinan bahwa untuk mengetahui dan menyingkap sebagian kebaikan dan keburukan, harus dengan perantara syariat suci yang datang dari Tuhan. Dalam berhadapan pandangan ini, mereka yang mengingkari kebaikan dan keburukan aqli. Menurut mereka (Asy'ariyah), akal secara mandiri sama sekali tidak mampu mengkonsepsi dan mengetahui kebaikan dan keburukan perbuatan, oleh karena itu berasaskan ini, untuk mengetahui seluruh perkara baik dan buruk perbuatan adalah dharuri dan niscaya merujuk kepada syariat.

Perbedaan yang jelas dalam norma dan kultur di antara bangsa-bangsa, tidak bertentangan dengan kebaikan dan keburukan aqli; sebab klaim Adliyah pada maqam pembuktian yang berhubungan dengan prinsip universal dan sebagian yang partikular, dimana pada poin-poin itu tidak terdapat perbedaan di antara suku-suku dan bangsa-bangsa. Jika seseorang mengkonsepsi subyek dan predikat masalah ini secara benar maka ia akan menghukuminya juga secara benar. Demikian juga penerimaan terhadap kebaikan dan keburukan dzâti serta aqli, tidak memestikan penentuan dan pembatasan kekuasaan Tuhan; sebab ketika dikatakan bahwa Tuhan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk; ini punya pengertian bahwa kesempurnaan wujud Tuhan secara tinjauan takwini meniscayakan perkara demikian ini dan akal juga menyingkap hubungan niscaya tersebut.

Hubungan akhlak dan agama mendapatkan pandangan yang berbeda berasaskan masing-masing dari pra asumsi-pra asumsi di atas. Berdasarkan prinsip Adliyah, akhlak dalam maqâm kenyataan tidak mempunyai hubungan dengan agama dan syariat serta masing-masing terlepas satu sama lain; sebab perbuatan-perbuatan, secara dzat tersifati dengan baik dan buruk, dan pada maqam itsbât (penetapan, pembuktian), dalam bagian universal dan sebagian dari bagian partikular juga terlepas dan mandiri dari agama dan syariat. Akan tetapi dalam masalah-masalah lain dari akhlak, terdapat hubungan yang erat dan dalam dengan agama dan syariat. Adapun berdasarkan prinsip Asy'ariyah, akhlak pada maqâm kenyataan dan penetapan mempunyai hubungan sinkritis dengan agama, dan akhlak secara kenyataan dan penetapan diperoleh dari agama serta merupakan bagian dari agama.


2. Pandangan Ustad Misbah Yazdi: Hubungan Organik Akhlak dan Agama
Ustad Misbah Yazdi, dalam kitab "Filsafat Akhlak", secara detail memasuki pembahasan hubungan gama dan akhlak. Ringkasan pandangannya antara lain berikut ini: Baik dan buruk akhlak, pada kenyataannya menjelaskan adanya hubungan antara perbuatan ikhtiar manusia dan natijah-natijah akhir dari itu dan kita dapat memahami bahwa perbuatan itu adalah baik ataukah buruk. Jika suatu perbuatan mempunyai hubungan positif dengan kesempurnaan akhir kita maka itu adalah baik dan jika hubungannya negatif maka itu adalah buruk.

Pada dasarnya, pandangan ini tidak diambil dari satupun keyakinan agama; yakni kemestian penerimaan pandangan ini tidak memestikan penerimaan wujud Tuhan atau hari kiamat dan atau perintah-perintah agama. Akan tetapi dalam masalah apakah kesempurnaan akhir itu? Dan bagaimana dapat disingkap hubungan antara perbuatan dan kesempurnaan akhir? Di sinilah timbul hubungan antara akhlak dengan agama.

Oleh karena itu, jika kita hanya meninjau prinsip asli dari pandangan ini maka kita tidak berakhir pada agama; akan tetapi ketika kita ingin memberi bentuk khusus dan tertentu tentang apa yang merupakan akhlak baik dan apa yang merupakan akhlak buruk, dalam hal ini akan mendapatkan hubungan dengan ushul agama dan kandungan wahyu serta kenabian. Ketika kita ingin menentukan kesempurnaan akhir manusia, kita terpaksa mengutarakan permasalahan Tuhan sehingga kita dapat menetapkan bahwa kesempurnaan akhir manusia adalah qurbah (dekat) pada Tuhan. Pada konteks inilah pandangan ini mendapatkan hubungan dengan keyakinan agama. Demikian pula untuk menentukan perbuatan-perbuatan baik dan hubungannya dengan kesempurnaan akhir manusia, harus kita tinjau masalah keabadian jiwa sehingga jika mendapatkan perbedaan dengan sebagian dari kesempurnaan-kesempurnaan materi serta bertentangan dengannya, kita dapat melebihkan salah satu di antara mereka dan berkata bahwa perbuatan X adalah buruk; bukan dikarenakan kita tidak mampu meraih kesempurnaan materi; akan tetapi dikarenakan bertentangan dengan salah satu dari kesempurnaan-kesempurnaan ukhrawi; maka dari itu harus juga ada keyakinan terhadap ma'âd (eskatalogi).

Di samping itu, apa yang dapat kita dapatkan dengan perantara akal dari hubungan antara perbuatan dan kesempurnaan akhir, satu seri pemahaman-pemahaman universal yang mana pemahaman-pemahaman ini, tidak seberapa berguna untuk menentukan mashâdiq (contoh-contoh) perintah akhlak. Misalnya kita memahami bahwa keadilan adalah baik atau menyembah Tuhan adalah baik; akan tetapi dalam permasalahan bahwa adil dalam setiap masalah meniscayakan apa dan bagaimana bertindak adil dalam setiap permasalahan, tidak jelas dalam banyak masalah serta akal dengan sendirinya tidak dapat menentukannya.

Sebagai asumsi, apakah dapat ditinjau dalam masyarakat hak-hak wanita dan laki-laki harus sama secara keseluruhan ataukah harus ada perbedaan-perbedaan di antara mereka? Ketika kita dapat menghukumi dengan adil suatu pandangan yang meliputi seluruh hubungan-hubungan perbuatan kita dengan tujuan dan natijah akhirnya, tetapi kita mengetahui bahwa pencakupan seperti ini tidak mungkin untuk akal biasa manusia; maka dari itu, agar kita dapat memperoleh mashâdiq (contoh-contoh) khusus perintah-perintah akhlak, kita tetap butuh kepada agama; artinya wahyulah yang akan menjelaskan perintah-perintah akhlak dalam setiap masalah khusus dengan batasan khususnya dan dengan syarat-syarat serta kemestian-kemestiannya, dan akal secara mandiri tidak dapat mengambil tanggung jawab ini. Oleh karena itu, pandangan kami juga dalam bentuk sempurnanya, butuh kepada prinsip-prinsip keyakinan agama (keyakinan pada Tuhan, Ma'ad dan Wahyu) dan juga dalam menentukan mashâdiq (contoh-contoh) kaidah akhlak butuh kepada kandungan wahyu dan perintah-perintah agama. Yang pasti sesuai dengan pandangan yang kami anggap benar, harus kami katakan bahwa akhlak tidak terpisah dari agama; tidak dari keyakinan-keyakinan agama dan tidak dari perintah-perintah agama. Dalam maqâm tsubût dan dalam maqâm itsbât, pandangan ini meyakini keberadaan hubungan akhlak dengan agama.[7]


3. Pandangan Doktor Sourush: Agama Minimum dalam Koridor Akhlak
Doktor Sourush dalam makalah "Agama Minimum dan Maximum" yang ditulis dalam konteks menjawab batasan agama dalam tema yang bermacam-macam seperti fikhi dan hak asasi, ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu humaniora, dan akhlak, menjelaskan hubungan agama dan akhlak serta memandang agama dinisbahkan dengan akhlak secara minimum.

Ringkasan pandangannya antara lain berikut ini:

· Salah satu yang paling penting penantian kita dari agama adalah mengajarkan kepada kita moralitas dan nilai-nilai moralitas; mengajarkan baik, buruk, kemuliaan, kehinaan, jalan kebahagiaan, dan jalan kesengsaraan.

· Moralitas terbagi atas dua kelompok besar: moralitas makhdûm dan moralitas khâdim. Kedua kelompok besar dari moralitas ini menjadi tinjauan kita terhadap hubungannya dengan kehidupan: yakni kita memiliki satu kelompok dari nilai-nilai akhlak dimana kehidupan untuknya dan kita mempunyai satu kelompok nilai-nilai dimana mereka itu untuk kehidupan. Nilai-nilai yang mana kehidupan untuknya, kita namakan nilai-nilai makhdûm; yakni kita berkhidmat kepada mereka; dan nilai-nilai yang untuk kehidupan atau berkhidmat pada kehidupan, kita namakan nilai-nilai khâdim. Pada dasarnya, volume besar ilmu-ilmu akhlak dibentuk dari nilai-nilai khâdim. 99 % adalah nilai-nilai khâdim dan 1% adalah nilai-nilai makhdûm. Memilih diam (tutup mulut) adalah adab kehidupan dalam sistem penindasan yang telah berlalu. Berkata benar dan berdusta adalah nilai-nilai umum akhlak; akan tetapi juga merupakan nilai-nilai khâdim; bukan makhdûm. Kehidupan tidak untuk berkata benar; tetapi berkata benar untuk kehidupan.

· Dalam dunia baru, akan diganti dengan nilai-nilai khâdim. Dalam pembahasan globalisasi dan modernitas, perubahan nilai-nilai pada dasarnya kembali kepada perubahan nilai-nilai khâdim; bukan kepada makhdûm. Akhlak yakni adab kedudukan, adab perang, adab khalwat, adab kelas, adab tabiat, dan lainnya bukanlah sesuatu yang relativ; ini adalah kemestian kedudukan; sebagaimana seorang anak kecil yang akan menjadi besar dan mengganti masyarakatnya, pengecualian-pengecualian moralitas adalah saksi terhadap perkara ini. Sesuai dengan pandangan para cendekiawan akhlak, berdusta pada kondisi tertentu diperbolehkan; mengapa? Sebab ketika kedudukan telah berganti, adab yang berhubungan dengannya juga berubah. Ini tidak bermakna bahwa akhlak adalah nisbi. Relativitas akhlak terjadi ketika relativitas di arahkan dalam nilai-nilai makhdûm.[8]

· Sekarang setelah diketahui bahwa nilai-nilai khâdim adalah adab-adab kedudukan, oleh karena itu dari satu sisi, setiap perubahan yang terjadi dalam kehidupan, mengharuskan terjadi juga perubahan dalam medan moralitas (yakni nilai-nilai Khâdim kehidupan); dari sisi lain, perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan, mempunyai hubungan langsung dengan perubahan pengetahuan kita dihubungkan dengan kehidupan dan manusia. Poin ini luar biasa penting; manusia hidup dengan kadar yang sesuai dengan pengetahuannya. Kehidupan hari ini jika adalah kompleks, dikarenakan pengetahuan mereka adalah kompleks dan kehidupan sederhana orang-orang dahulu, dikarenakan pengetahuan sederhana mereka tentang alam, masyarakat, dan manusia. Ringkasnya, ilmu-ilmu humaniora baru, juga merupakan cerminan kehidupan baru, juga yang melahirkan kehidupan baru. Demikian juga agama dihubungkan dengan ilmu-ilmu humaniora baru, mempunyai penjelasan minimal, sebab penjelasan agama dihubungkan dengan kehidupan dan adab-adab akhlak juga adalah minim.[9]


Kritik Terhadap Pandangan Doktor Sourush
Doktor Sourush, sejak zaman penyusunan teori Qabdh wa Basth Teorik Syariat, hingga kini telah banyak menuliskan dan mengungkapkan masalah-masalah yang berhubungan dengan pengetahuan agama dan agama. Ketika ia menuliskan Qabdh wa Basth, ia berakhir pada relativitas makrifat agama; sekarang pandangan-pandangan Doktor Sourush lebih banyak mengarah pada peminimalan dan pengurangan warna rukun-rukun agama dan bentuk pandangannya ini juga merambah pada bidang moralitas agama, dimana para pemikir Barat sekuleristik berusaha semaksimal mungkin mengkonstruksi serangan-serangan terhadap bidang ini.

Sekarang kami isyratkan beberapa isykalan, sanggahan dan kritik terhadap pandangan di atas:

a. Pertama kita tinjau pengklasifikasian akhlak dari penyusun; dari defenisi yang ia utarakan dan nisbahkan terhadap nilai-nilai khâdim serta ia memperkenalkannya sebagai nilai-nilai yang berkhidmat pada kehidupan masyarakat, ia pada dasarnya dalam wilayah parameter akhlak normatif, menemukan kecenderungan pandangan teleological.

Teori Teleologikal, memperkenalkan hukum-hukum akhlak secara keseluruhan bersandarkan atas efek dan natijah dari amal dan berdasarkan itu membawa perbuatan-perbuatan pada hukum baik dan buruk atau harus dan tidak boleh; sekarang natijah itu, merupakan keuntungan amal akhlak bagi pribadi pelaku, ataukah kecenderungan kelezatan atau sesuatu yang lain bagi individu dan masyarakat. Pandangan ini, secara lebih dalam diutarakan oleh tokoh-tokoh aliran empiris seperti Hume dan Stuart Mill; akan tetapi orang-orang yang dalam koridor parameter keharusan dan ketidakbolehan moralitas, mendeskripsikan tentang kesesuaian masalah-masalah akhlak dengan kesempurnaan manusia, kedekatan Tuhan dan dimensi agung manusia, juga pada dasarnya dalam suatu sisi berada pada pandangan dan teori teleologikal. Dalam berhadapan mereka, ungkapan teori dan pandangan deontologikal (yang memandang bahwa proposisi-proposisi akhlak itu memiliki realitas luaran) yang tidak membawa kebenaran dan ketidakbenaran atau keharusan dan ketidakbolehan amal pada hasil, tujuan, dan efek amal perbuatan; akan tetapi para pengikut teori ini berkeyakinan bahwa amal mempunyai kekhususan-kekhususan yang menampakkan kebaikan dan keburukan atau keharusan dan ketidakbolehan amal itu sendiri. Kant dan P. Richard merupakan tokoh utama dari aliran ini. Sekarang setelah kedua kelompok motif pendekatan ini dalam parameter masalah-masalah akhlak menjadi jelas, perhatian penulis makalah "agama minimum dan maximum" terhadap dua poin ini adalah perlu: pertama, pengklasifikasian akhlak kepada akhlak khâdim (proposisi akhlak yang diperuntukkan untuk kehidupan, akhlak di sini sebagai media) dan makhdûm (sebaliknya, kehidupan ditujukan untuk nilai-nilai akhlak), berdasarkan teori teleologikal adalah benar dan jika seseorang berpandangan teori deontologikal maka pasti ia sama sekali tidak menerima pengklasifikasian ini. Kedua, perubahan dan kenisbian nilai-nilai khâdim berdasarkan landasan aliran keuntungan dan aliran kelezatan serta sebagian dari teori teleologikal adalah benar; akan tetapi penjelasan akhlak seperti ini, tidak dapat diterima oleh orang yang mendasarkan pandangannya atas landasan kesesuaian akhlak dengan kesempurnaan manusia dan kedekatan Ilahi serta kelanggengan kesempurnaan akhir manusia.

b. Pertanyaan yang bisa kita tujukan pada penulis makalah "agama minimum dan maximum" adalah; dari jalan apa ia hasilkan pembagian persentase yang dinisbahkan terhadap nilai-nilai khâdim dan makhdûm serta pengkhususan 99% terhadap nilai-nilai khâdim dan 1% terhadap nilai-nilai makhdûm? Apakah diperoleh dengan jalan induksi sempurna dalam proposisi-proposisi akhlak, ataukah diperoleh dengan penelitian lapangan?

c. Tentang ungkapannya bahwa antara adab dan akhlak harus dipisahkan, ini tidak ada keraguan; akan tetapi terdapat nasehat-nasehat dari maksumin As yang berhubungan dengan ketiadaan pengajaran adab-adab terhadap anak-anak; tapi adapun komparisasi adab-adab atas nilai-nilai khâdim adalah tidak sempurna atau minimal tidak mempunyai dalil.

d. Penyusun makalah, mengutarakan pemisahan antara nilai-nilai khâdim dan makhdûm; akan tetapi ia tidak menyebutkan satupun contoh bagi nilai-nilai makhdûm; hal ini dikarenakan setiap nilai-nilai moralitas mempunyai hubungan dengan kehidupan dan pengarahannya kepada kehidupan dunia dan akhirat; dengan ungkapan penyusun; hatta nilai-nilai makhdûm juga berhubungan dengan kehidupan manusia; dengan dalil ini maka pemisahan yang dilakukannya adalah tidak sempurna.

e. Jika pengkhususan 99% terhadap nilai-nilai khâdim dan juga perubahannya kita terima dalam tatanan dunia baru dan modern serta berkembang, dalam bentuk itu kita harus menerima penghapusan bagian besar daripada agama (dimana ini semua adalah moralitas itu sendiri); dan kita tidak hanya terpaksa menghadapi minimalisasi terhadap akhlak akan tetapi kita juga terpaksa menghadapi minimalisasi terhadap al-Qur'an dan sunnah.

d. Penyusun, untuk membuktikan klaimnya, menganggap bahwa pengecualian-pengecualian akhlak dan kebolehan berdusta dalam sebagian kondisi sebagai bukti atas permasalahannya, sementara dengan wujud ini, pada saat yang sama ia menghindar dari kenisbian akhlak; akan tetapi pertama, ini sendiri adalah kenisbian akhlak; yakni 99% dari akhlak ditinjau dari segi ke-khâdim-annya adalah berubah dan nisbi; oleh karena itu, ini bukanlah jalan keluar dari relativisme. Kedua, pembolehan berdusta, tidak menunjukkan sama sekali bentuk pengecualian terhadap proposisi-proposisi akhlak; karena itu, dalam hal ini penyusun tidak mempunyai ketelitian yang cukup dalam subyek permasalahan. Jika subyek "tidak boleh dan buruk", adalah murni berdusta, tentu saja hukum itu dapat dikecualikan; akan tetapi ketika berdusta kita tinjau dengan seluruh syarat-syaratnya dan kita letakkan berdusta disertai dengan penyebaran kerusakan sebagai subyek, maka selamanya akan berlaku hukum tidak boleh dan buruk atasnya.

e. Poin penting lain yang penyusun lalai darinya adalah bahwasanya nilai-nilai khâdim juga terbagi atas dua bagian: pertama, nilai-nilai yang diperuntukkan kehidupan dan berhubungan dengan bagian kebutuhan-kebutuhan tetap kehidupan serta kebutuhan-kebutuhan abadi manusia, kedua, nilai-nilai khâdim yang berhubungan dengan bagian-bagian yang berubah dari kehidupan. Pembicaraan tentang perubahan nilai-nilai akhlak dikarenakan perubahan-perubahan kehidupan atau pengetahuan-pengetahuan kita tentang tabiat, manusia, masyarakat, dan ilmu-ilmu humaniora, hanya dikhususkan pada kelompok kedua dari nilai-nilai khâdim, yaitu yang adab-adab itu sendiri.

f. Dalam menentukan hubungan antara agama dan fenomena-fenomena lain, di antaranya akhlak, komprehensi-komprehensi kualitas seperti minimum dan maximum, tidak mengobati satupun dari penyakit serta tidak membuka satupun dari kekusutan problema keilmuan dan kemasyarakatan. Oleh karena itu kita harus mengungkapkan masalah-masalah seperti ini dalam bentuk yang jelas dan akurat, tidak malah melemparkan masalah yang ambigu (syubha) dan tidak jelas di tengah masyarakat.


4. Pandangan Pilihan
Dengan memperhatikan topik-topik yang telah lalu (tulisan pertama dan kedua ini), minimal pandangan yang jadi pilihan bagi pembaca sudah jelas; dan dalam bagian akhir ini kami akan berusaha mengungkapkannya secara lebih rinci lagi.

Pembahasan hubungan agama dengan akhlak dapat diobservasi dari dua sudut tinjauan; sudut tinjauan dalam agama dan sudut tinjauan luar agama. Dari sudut tinjauan luar agama, dengan tidak merujuk pada ayat dan riwayat, kontrak-kontrak akhlak terealisasikan dengan jaminan loyalitas terhadap tradisi-tradisi agama; dengan kata lain, keyakinan kepada Tuhan dan pahala serta siksa ukhrawi, mempunyai pengaruh kuat dalam terealisaasinya perintah-perintah akhlak. Akan tetapi para pengikut agama dalam level rendah, dengan bantuan keyakinan agama, secara khusus janji pahala dan ancaman siksa, membawa mereka loyal terhadap kontrak-kontrak akhlak dan dalam level yang lebih tinggi, motivasi dekat pada Tuhan, kesempurnaan akhir, dan keyakinan terhadap hubungan takwini antara amal-amal akhlak dan kesempurnaan manusia, berpengaruh dalam terealisasinya perintah-perintah akhlak. Di samping itu, keyakinan-keyakinan agama dalam mendeskripsikan proposisi-proposisi akhlak dan falsafah ketaatan terhadap perintah-perintah akhlak, juga mempunyai pengaruh yang cukup berarti.

Tentu saja kami dalam hal ini tidak menerima seluruh pandangan teleologikal dalam masalah-masalah akhlak; sebab (sesuai pandangan ini) keniscayaan-keniscayaan akhir akhlak adalah mutlak dan tidak bergantung pada agama dan tujuan-tujuan lain.

Agama dan doktrin-doktrin agama yang merupakan penjelasan atas program universal kehidupan dan dimensi-dimensi beragam hubungan kemanusiaan, mempunyai peran sentral dalam terwujudnya dan ditemukannya kandungan-kandungan akhlak; sebab meski dengan keberadaan akal amali dan hati nurani manusia yang mempunyai kemampuan mengkonsepsi prinsip-prinsip akhlak, namun dalam menentukan misdak-misdak dan menerapkan prinsip-prinsip (universal) atas misdak-misdak, akal dan nurani manusia tidak mampu melakukan hal tersebut. Dengan dalil ini, manusia dalam kehidupan duniawinya harus merujuk kepada metode langit dan Ilahi sebagai pelengkap akal praktis (amali) dan hati nurani, sehingga mereka dapat menyingkap apa yang "harus" dan "tidak boleh" yang lain.

Adapun jika dengan sudut pandang dalam agama kita merujuk kepada masalah hubungan agama dan akhlak, serta kita merujuk dengan teks-teks agama, yakni kita meletakkan kitab dan sunnah sebagai sentral dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan penting ini, tidak diragukan kita akan menyaksikan hubungan kandungan yang dalam antara akhlak dan agama. Bagian besar dari ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang kita miliki, mempunyai kekhususan pada masalah-masalah akhlak dan tentu saja perintah-perintah akhlak ini, berpengaruh dalam kebahagiaan kehidupan dunia serta berasaskan prinsip tajassum amaliyah, kebahagiaan akhirat juga lahir dari ketentuan kebahagiaan dunia.

Perlu kami ingatkan bahwa sebagian perintah-perintah akhlak, masuk pada bagian adab-adab yang berlaku secara temporal dan waktu tertentu serta para Maksumin As juga menasihatkan kepada kita bahwa: "Jangan kamu adabkan anak-anakmu dengan adab-adabmu". Akan tetapi ketika tidak terdapat dalil-dalil aqli dan naqli yang pasti, hal ini menunjukkan bahwa yang berlaku adalah kepermanenan prinsip-prinsip akhlak.

Agama Islam, di samping menjelaskan masalah-masalah akhlak dan misdak-misdak keadilan dan kezaliman, juga menjelaskan maksud dan tujuan nilai-nilai akhlak dan dikarenakan tidak satupun dari jalan-jalan hasil pemikiran manusia yang dapat menentukan jalan pencapaian terhadap tujuan yang agung, maka dari itu manusia harus merujuk kepada agama untuk mengenal maksud dan tujuan nilai-nilai itu.



Catatan Kaki:
[1] . Allamah Hilli, Kasyful Murâd fi Syarh Tajridul I'tiqâd, Hal. 302.

[2] . Mahdi Hâiri, Kâwesyhâ-e Akl-e Amali, Hal. 147-148.

[3] . Ja'far Subhâni, Husn wa Qubh Aqli, Hal. 21-23.

[4] . Muhammad Husain Isfahâni, Nihâyah ad-Dirâyah, Jld. 2, Hal. 8.

[5] . Allamah Hilli, Kasyful Murâd, Hal. 303.

[6] . Ja'far Subhani, Husn wa Qubh Aqli, Hal. 111-122.

[7] . Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Durûs Falsafah Akhlak, Hal. 197-199.

[8] . Abdul Karim Surusy, Majalah Kiyân: Agama Minimum dan Maximum, No: 41, Hal. 5.

[9] . Ibid, Hal. 5-6.


9
NEO-TEOLOGI I

Agama & Dunia [1]
Sejarah kehidupan manusia mencatat bahwa agama senantiasa menunjukkan peran dan pengaruh mendasar dalam berbagai dimensi kehidupan. Ajakan ke arah tauhid dan anjuran meninggalkan segala bentuk perbudakan merupakan tujuan terpenting diutusnya para nabi. Agama tidak saja memberikan pengaruh positif dalam kebahagiaan hidup manusia di akhirat kelak, melainkan juga memberikan pengaruh yang fundamental dalam kehidupan duniawi. Pertanyaan seputar interaksi antara agama dan dunia, fungsi agama, peran sentral agama dalam berbagai aspek kehidupan duniawi, dan begitu pula faktor-faktor epistemologi, sosiologi, dan kebudayaan merupakan persoalan-persoalan utama yang menyebabkan lahirnya kebangkitan renaissance di dunia Barat dan gerakan pemisahan antara agama dan dunia.

Sebelum kita membahas dan mengkaji permasalahan di atas, terdapat beberapa kata kunci yang perlu dijelaskan terlebih dahulu, seperti pengertian agama, pengertian dunia, defenisi sekularisme, dan sekularisasi. Agama didefinisikan sebagai sebuah majemuk dari makrifat-makrifat ketuhanan, hukum-hukum, dan akhlak. Dalam satu ungkapan bisa dikatakan bahwa agama merupakan segala sesuatu yang diturunkan Tuhan kepada para Nabi dan Rasul-Nya dalam bentuk wahyu dan kitab-kitab suci dengan tujuan mengarahkan dan memberi petunjuk kepada manusia. Secara etimologis, dunia berasal dari akar kata dunuww yang berarti dekat, atau dari akar kata danâ yang bermakna tercela atau eksistensi yang paling rendah.

Dalam istilah keilmuan Islam mempunyai tiga pengertian, pengertian pertama mencakup segala realitas eksistensi alam, seperti tanah, langit, manusia, binatang, batu, laut, daratan, gugusan bintang-bintang, dan lain sebagainya. Pengertian kedua adalah bergantung dan bersandar kepada selain Tuhan, lalai dalam berzikir kepada-Nya, terjebak dalam khayalan-khayalan non-aktual, dan melupakan hakikat Keberadaan Mutlak. Pengertian ini digunakan dalam ilmu tasawuf dan ilmu akhlak. Allamah Thaba-thabai dalam tafsir al-Mizân mengisyaratkan pada makna kedua, dan berkata: "Kehidupan dunia di samping bermakna sia-sia, juga sebagai sebuah permainan jika dilihat dari sisi aturan-aturan yang berlaku di dalamnya, karena dunia begitu cepat berlalu dan fana. Dunia ini ibarat sebuah permainan anak-anak yang dimulai dengan semangat menggelora akan tetapi dalam waktu singkat akan letih, selesai lalu berpisah satu sama lain. Dan sebagaimana dalam setiap permainan, anak-anak terkadang bertengkar, berkelahi, dan bahkan saling membunuh, sementara sumber pertengkaran mereka hanyalah sesuatu yang bersifat khayalan belaka. Masyarakat materialistik pun melakukan permusuhan dan peperangan satu sama lain dalam persoalan-persoalan duniawi. Dunia adalah sebuah panggung permainan dan sebuah komoditi yang dapat dinikmati."

Oleh karena itu, dunia yang didefenisikan dalam makna pertama sebagai langit, bumi, sahara, samudra, dan lain-lain tidak sama dengan makna kedua dunia. Makna pertama dunia tersebut tidak lain merupakan tanda-tanda dan ayat-ayat Tuhan.

Makna ketiga dari dunia adalah hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan duniawi, makna ini yang menjadi pokok bahasan kita. Dengan demikian, pertanyaan utama berhubungan dengan pembahasan di sini adalah apakah agama hanya difokuskan pada kesejahteraan dan kebahagiaan akhirat saja ataukah agama juga mempunyai konsep-konsep tentang kesejahteraan duniawi? Apakah agama hanya memberikan solusi untuk kebutuhan perorangan saja ataukah ajaran agama juga menawarkan jalan penyelesaian atas berbagai permasalahan sosial, politik, budaya, dan masyarakat?

Sekularisasi diartikan sebagai globalisasi kecenderungan non-religius. Sekularisasi bertujuan untuk menjauhkan manusia dari segala bentuk hubungan dengan realitas alam non-materi dan nilai-nilai suci agama. Sekularisasi bermaksud mengarahkan segenap pemikiran manusia hanya untuk membangun kemegahan dan kesejahteraan kehidupan duniawi. Ungkapan sekularisasi untuk pertama kali digunakan di Eropa pada pertengahan tahun 1648 M yang maksudnya adalah perpindahan kekuasaan politik dari penguasa gereja ke penguasa non-ruhani. Pemisahan antara sacred (suci, kudus dan keagamaan) dan secular (hal-hal duniawi) pada hakikatnya bersumber dari pemisahan konsep metafisika ajaran Kristen dari segala sesuatu yang dipandang sebagai "tidak suci", "rendah", dan "hina". Gagasan ini berangsur-angsur dianut secara global oleh masyarakat. Para pendeta dan ruhani yang memisahkan secara ekstrim antara urusan akhirat dan dunia memandang sekularisasi itu merupakan suatu bentuk "pengunduran diri" kaum ruhani dari pentas dunia dan perwujudan janji dan cita-cita mereka.

Sekularisme secara leksikal bermakna suatu pandangan yang menganggap duniawi sebagai hal yang prinsipal, kecenderungan kepada non-agama, dan pemisahan agama dari dunia, politik, dan sosial. Sebagian menafsirkan sekularisme sebagai pengaturan persoalan-persoalan kehidupan dunia yang mencakup pengajaran, pendidikan, politik, akhlak, dan dimensi-dimensi lain dari kehidupan manusia tanpa menempatkan keberadaan Tuhan dan agama sebagai landasan operasionalnya. Sebagian menuliskan bahwa sekularisme mempunyai makna: bertentangan dengan syariat dan harapan-harapan agama, kecenderungan duniawi, dan mendukung program-program duniawi. Sementara sekularis bermakna seorang yang menentang penerapan ajaran agama dan mendukung pemberdayaan infra struktur duniawi.

Sekularisme jika dipandang dari dasar, tujuan, dan sisi-sisi yang berbeda memiliki makna luas yang terbentang dari ateisme hingga monoteisme. Sebagian orang memandang agama hanya pada dimensi hubungan ritual manusia dengan Tuhan dan tidak meluaskannya pada aspek-aspek sosial, politik, dan kebudayaan. Sementara kelompok lain menentang keras agama dan mengusulkan penghapusan ajaran agama serta meniadakan pengaruh-pengaruhnya dalam semua aspek kehidupan manusia.

Dengan demikian sekularisme menjadi terbagi dua, sekularisme moderat dan sekularisme ekstrim. Sekularisme moderat membatasi ruang lingkup agama hanya pada kebutuhan spiritual individu, sedangkan sekurarisme ekstrim secara mutlak menentang keberadaan agama dalam kehidupan manusia. Di bawah ini akan disebutkan enam istilah sekularisme:

1. Sekularisme berhubungan dengan penghapusan agama. Lembaga-lembaga propaganda, pengajaran, dan pendidikan agama dilemahkan sedemikian sehingga masyarakat semakin jauh dan bahkan membenci agama itu sendiri.

2. Sekularisme dipahami sebagai upaya menjalin keharmonisan dengan kehidupan dunia. Keterasingan manusia dari nilai-nilai spiritual menjadikan manusia berupaya menjalin kembali kehidupan duniawi dengan nilai-nilai spiritual agama.

3. Sekularisme dipandang sebagai usaha memisahkan agama dari kehidupan sosial. Marginalisasi peran dan fungsi agama hanya pada wilayah individual dan menjauhkannya dari sisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

4. Sekularisme didefenisikan sebagai langkah-langkah praktis mengubah substansi ajaran agama. Ilmu, perbuatan, dan kodrat yang dulunya disandarkan kepada Tuhan sekarang ditafsirkan sebagai milik manusia dan di bawah kekuasaan manusia. Agama Tuhan berubah menjadi agama manusia, yakni manusialah yang membuat agama, bukan Tuhan.

5. Sekularisme diartikan sebagai upaya menghapus pengaruh faktor-faktor non-materi terhadap fenomena-fenomena alam materi. Semua kejadian yang berlaku di alam natural ini hanya dipandang dari aspek pengaruh material dan empiris.

6. Sekularisme diposisikan sebagai gerakan perubahan secara evolusional dari masyarakat religius ke arah masyarakat duniawi-materialistik. Pengaruh perubahan fundamental ini sebegitu efektif sehingga setiap individu yang mengambil langkah praktis meninggalkan ajaran agamanya dipandang sebagai suatu upaya yang sangat rasional dan pragmatis.


Faktor-Faktor Lahirnya Sekularisme
Sebelum kita mengutarakan beberapa pendapat dan dalil-dalil tentang sekularisme, pada kesempatan ini akan dikemukan faktor-faktor lahirnya sekularisme dan penyebab perkembangannya di Barat. Dapat dipastikan bahwa mustahil mengkaji akar sekularisme lewat pendekatan sejarah. Atas dasar ini, pertama-tama akan dikaji faktor-faktor pendukung munculnya renaissance dimana pencetus ide pemisahan agama dan dunia.

Analisa dan pembahasannya tentangnya akan memberikan kemampuan kepada para pembaca untuk menganalisa substansi, peran dan posisi agama Islam serta berkesimpulan bahwa apakah di masyarakat Timur terdapat kelayakan untuk tumbuh dan berkembangnya pemikiran sekularisme?


A. Saintisme (Scientism)
Perkembangan zaman renaissance begitu cepat dengan ilmu. Kemajuan ini awalnya dimotori - dimana kemunculannya pertama dalam bidang Matematika, Fisika, dan Astronomi - oleh ilmuwan, seperti Galileo dan Koopler, hadirnya banyak perubahan pada konsep dan pandangan pada zaman itu - seperti posisi dan keadaan matahari - dan lahirnya Isaac Newton (1642-1727) mengakibatkan perkembangan semakin mengerucut. Penemuan-penemuan unggul yang dicapai oleh Newton, seperti gravitasi bumi, matematika, teori cahaya, fisika, kimia, dan filsafat membuat banyak ilmuwan tertarik padanya.[1]

Pada awalnya, perkembangan ilmu yang begitu pesat tidak melahirkan gagasan tentang pertentangan ilmu dan agama, Newton sendiri yang mempunyai banyak andil dalam melahirkan penemuan baru dalam bidang keilmuan senantiasa menekankan aspek-aspek eksistensi alam non-materi dan nilai-nilai supranatural. Tetapi arah perubahan ke dimensi yang tidak diinginkan, mayoritas ilmuwan mendukung pemisahan ilmu dan agama serta menganggap bahwa nilai-nilai spiritual dan agama tidak utama dalam kehidupan dunia.[2]

Gagasan-gagasan Laplace yang berpijak pada teori Newton untuk perkembangan dan kemajuan ilmu disepakati oleh sebagian ilmuwan, ia juga beranggapan bahwa alam materi merupakan suatu sistem tan-jiwa dan tanpa tujuan. Menurutnya, apabila sebab-sebab materi memiliki pengaruh atas semua kejadian di alam natural ini, maka semestinya bisa dijelaskan lewat pendekatan ilmiah dan tidak lagi dihubungkan dengan pertolongan gaib, nilai-nilai spiritual, dan aspek-aspek supranatural. Dasar-dasar penelitian dan observasi ilmiah tidak lain adalah menggunakan metode empirikal.

Realitas pemikiran di atas menunjukkan secara jelas adanya gagasan pemisahan agama dan dunia, hubungan pemisahannya dengan ilmu, dan daya tarik manusia terhadap perkembangan ilmu. Namun pesona manusia ini berefek pada menurunnya perhatian manusia pada nilai-nilai agama dan memuncak pada marginalisasi pemimpin-pemimpin agama dalam ruang lingkup sosial dan politik.

Konklusi dari esensi pemikiran itu adalah tidak memandang keberadaan Tuhan dan kehendak-Nya di alam natural, dan karena pengaruh kemajuan ilmu lahir begitu banyak gagasan dan konsep para ilmuwan yang berindikasi pada pemisahan agama dan dunia.[3]

Apakah kemajuan ilmu dan pengetahuan berakibat lahirnya pandangan mandiri[4] atas fenomena-fenomena alam natural? Teori tentang sumber agama banyak dilontarkan, mereka menyatakan bahwa manusia-manusia pada abad permulaan tidak mengenal ilmu dan sebab-sebab materi. Atas dasar ini, seluruh kejadian alam disandarkan pada sebab-sebab supranatural dan maujud-maujud yang lebih tinggi, misalnya mereka menyatakan bahwa Tuhan yang menyebabkan gerhana matahari dan bulan, menimbulkan penyakit, menurunkan hujan, banjir, gempa bumi, dan bencana lainnya.

Dengan hadirnya ilmu dan pengetahuan, segala sebab-sebab dan pengaruh-pengaruh materi atas kejadian-kejadian di alam ini berhasil diungkapkan, dengan demikian manusia memahami bahwa sebab-sebab peristiwa bukan berasal dari non-materi tetapi sebab itu semuanya bersumber dari materi, empiris, dan terindera. Oleh karena itu, muncul anggapan bahwa keyakinan terhadap kekuatan dan kodrat supranatural hanyalah hayalan belaka yang tidak lain berasal dari kebodohan manusia akan sebab-sebab materi. Jadi Tuhan dan agama serta nilai-nilai supranatural tidak memiliki realitas hakiki.

Di bawah ini kita akan menganalisa ketidakbenaran pemikiran di atas dengan juga berpijak pada kemajuan ilmu dan pengetahuan.


Kritikan atas Saintisme (Scientism)
Realitas-realitas yang diungkapkan itu tidak lebih dari sebuah teori kemungkinan dan prasangka sejarah. Maka dari itu, tidak akan dibahas dalam koridor pengkajian logikal. Namun di bawah ini akan diisyaratkan hal-hal yang mendasar berkaitan dengan realitas itu:


1. Peran dan kedudukan sebab-sebab materi
Tidak diragukan lagi bahwa sebab-sebab materi memiliki andil dalam perwujudan fenomena-fenomena natural dan tidak satupun dari tokoh-tokoh agama yang memungkiri kenyataan ini. Siapakah manusia yang menolak bahwa awan, angin, uap, air, dan faktor lain yang tidak berperan dalam menciptakan hujan atau siapakah yang mengingkari bahwa penyakit-penyakit disebabkan oleh serangan bakteri, mikroba, dan faktor lain atas badan manusia? Dalam kitab suci al-Quran dan hadis Nabi ditekankan pula tentang pengaruh faktor-faktor tersebut dalam perwujudan berbagai peristiwa alam[5] dan diisyaratkan bahwa Tuhan dalam menghadirkan kejadian alam niscaya melibatkan sebab-sebab materi.[6]

Oleh karena itu, kemajuan ilmu hadir untuk membongkar kepalsuan sebagian hayalan, pemikiran, dan khurafat; bukan untuk mengganti kedudukan nilai-nilai spiritual dan agama. Di sini harus dibedakan antara khurafat dan agama. Khurafat adalah satu bentuk kepercayaan yang tidak sesuai dengan realitas hakiki, sementara nila-nilai agama bersandar pada kenyataan hakiki. Walaupun tidak semua agama benar, tapi hal ini tidak berarti bahwa tak satupun agama yang benar. Agama yang benar niscaya sesuai dengan ilmu dan pengetahuan. Apabila manusia meyakini suatu bentuk khurafat bahwa kejadian-kejadian alam tidak berhubungan dengan sebab-sebab materi, tapi bersumber dari sebab-sebab non-materi, maka hal ini sama sekali tidak berkaitan dengan ajaran-ajaran agama; karena hakikat agama Ilahi bukan hanya menerima sebab-sebab materi bahkan menekankan pengkajian atas pengaruh dan efeknya. Namun keberadaan sebab-sebab materi bukan berarti menafikan eksistensi sebab-sebab lain yang lebih tinggi dan sempurna.

Agama disamping menerima sebab-sebab natural juga menekankan eksistensi sebab-sebab perantara dan ketakmandirian sebab-sebab tersebut. Agama menyatakan bahwa apabila kalian melihat pengaruh ayah dan ibu dalam penciptaan manusia atau kalian memahami peran petani dalam pertumbuhan tanaman, maka janganlah memandang bahwa mereka itu merupakan sebab-sebab akhir, tapi pahamilah bahwa kesemuanya itu hanyalah sebab-sebab perantara yang berujung pada sebab akhir dan hakiki (Tuhan). Pada ayat al-Quran Tuhan berfirman, "Kami telah menciptakan kamu, Maka mengapa kamu tidak membenarkan? Maka Terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau kamikah yang menciptakannya?"[7] Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam. Kamukah yang menumbuhkannya atau kamikah yang menumbuhkannya? Kalau Kami kehendaki, benar-benar Kami jadikan Dia hancur dan kering, Maka jadilah kamu heran dan tercengang.[8]

Dengan demikian, agama tidak menolak sebab-sebab materi bahkan menekankan keberadaan dan pengaruhnya. Disamping itu agama tidak membatasi sebab-sebab hanya pada materi saja tapi juga meluaskannya pada sebab-sebab non-materi dan hakiki.


2. Hakikat dan tujuan ilmu
Karena perkembangan dan kemajuan ilmu, sebagian manusia memandang salah seluruh ajaran agama. Namun pasca penemuan sebab-sebab materi, pengaruh agama tak hanya semakin melemah bahkan semakin memperkuat dasar-dasar pandangannya, karena dengan mengenal sebab-sebab materi kita memahami keberadaan hukum-hukum yang mengatur alam semesta ini. Adanya keyakinan akan hukum-hukum ini lebih lanjut akan menyingkap keberadaan hakikat-hakikat supranatural yang menyertainya.

Oleh karena itu, penciptaan tidak hanya terbatas pada alam materi ini. Dengan pandangan ini, eksistensi alam-alam penciptaan akan mengantarkan manusia pada Sang Pemberi Keberadaan. Dari satu sisi, apabila ilmu senantiasa berjalan untuk mengungkap fenomena-fenomena, maka niscaya berhubungan dengan substansi dan esensi sebab-sebab yang diungkapkannya. Ilmu akan sampai pada satu kesimpulan fundamental bahwa mata rantai sebab-sebab mustahil bersifat mandiri dan tidak bergantung pada suatu realitas yang hakiki dan mandiri secara esensial. Eksistensi hakiki itu mesti bukan maujud materi atau maujud-maujud non-materi yang juga terbatas. Newton menemukan kenyataan tersebut dibalik observasi-observasinya, berkata, "Gravitasi atau gaya tarik bumi bersandar pada satu kekuatan tertinggi bernama Tuhan, gravitasi ini tidak bisa menciptakan dan mengarahkan segala sistem tata surya."[9]

Oleh karena itu, ilmu tak berimplikasi pada ketakbergantungan fenomena natural pada sebab akhir dan non-materi. Bahkan jika para ilmuwan memandang sistem alam ini dengan teliti dan jujur, maka niscaya mereka mendapatkan bahwa segala perkara di alam ini membutuhkan Pengatur yang mengarahkan pada suatu tujuan.

Al-Quran menekankan peran ilmu[10] dan memandang bahwa ilmu merupakan jembatan menuju makrifat Pencipta alam. Namun ketika ilmu manusia berkembang dan dengan perkembangan ilmu manusia memahami bahwa sistem alam beserta realitas yang ada di dalamnya memiliki keteraturan yang sempurna dan seimbang, hal ini semestinya mengantarkan manusia memakrifati Tuhan dan menyembah pada-Nya, tetapi yang terjadi malah sebaliknya yakni pengingkaran eksistensi dan nikmat-nikmat Tuhan.

Tuhan berfirman dalam al-Quran tentang orang berilmu yang angkuh, "Maka tatkala datang kepada mereka Rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa ketarangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu.[11] Kesombongan manusia akan ilmunya tidak sepadan dengan hakikat dan tujuan ilmu, karena hakikat ilmu ialah cahaya yang dengannya manusia dapat melihat hakikat-hakikat eksistensi, bukan malah denganya manusia berlaku sombong dan angkuh dengan mengingkari hakikat keberadaan.


3. Keterbatasan ilmu manusia
Para ilmuwan mengakui bahwa ilmu manusia dalam setiap disiplin dan cabang keilmuan hanya mampu mengungkap sebagian kecil dari hal-hal tidak diketahui, yang tidak diketahui masih jauh lebih banyak dari yang diketahui manusia. Di samping itu, sebagian yang diketahui juga masih berada dalam ketidakpastian ilmiah dan sebagian darinya hanya melampaui sedikit dari batasan asumsinya. Banyak penemuan-penemuan ilmiah yang diyakini kebenarannya oleh ilmuwan, namun setelah melampaui beberapa tahun lamanya penemuan tersebut dianggap tidak benar dan usang.

Perbedaan konsep di antara para ilmuwan menambah runyam persoalan sebelumnya, sedemikian sehingga dalam tataran ilmu-ilmu manusia, khususnya ilmu humaniora, tidak terdapat kesatuan teori dan pandangan. Perbedaan yang sedemikian tajam dan dalam ini akhirnya melahirkan dukungan yang berlebihan terhadap paham relatipisme di Barat. Dengan realitas seperti ini bagaimana manusia dapat bersandar dengan ilmu tersebut dalam melakukan penolakan dan pengingkaran ajaran-ajaran suci Ilahi? Bagaimana ia berjalan dengan ilmu yang tak pasti itu? Bagaimana ia dapat yakin dengan jalan-jalan yang tak pasti, tak tetap, dan senantiasa berubah yang berujung pada pengorbanan umur dan kehidupan manusia dimana ia merupakan harta paling berharga baginya? Apakah ajaran-ajaran suci Ilahi bukan merupakan jalan yang paling kokoh dan benar?

Berdasarkan perspektif di atas, bisa disimpulkan bahwa ilmu-ilmu manusia sangatlah terbatas; ilmu manusia tidak dapat secara tepat membahas kondisi-kondisi dan perkara-perkara alam ini dan juga tidak mampu menjawab begitu banyak pertanyaan tentang fenomena-fenomena alam dan rahasia kehidupan manusia. Soal-soal itu misalnya apa yang bakal terjadi pasca kematian, kemana perginya jiwa setelah meninggalkan badan, apakah alam barzakh itu, hubungan jiwa dengan alam itu, apa hari kebangkitan, apa makna perjumpaan dengan Tuhan, apa surga dan neraka itu, dan sebagainya, hal ini oleh ilmu manusia merupakan masalah-masalah yang tidak dapat dipahami apalagi menawarkan bentuk-bentuk penyelesaiannya.

Apakah hakikat alam akhirat bisa dipisahkan langsung dengan alam dunia dan apakah hanya dengan bantuan ilmu manusia yang bersifat materi itu bisa mengarahkan kehidupan manusia? Dengan sedikit perhatian kita mampu memahami bahwa ilmu manusia yang tidak meliputi alam akhirat secara riil tidak dapat menghakimi dunia dan permasalahan-permasalahan yang terpaut dengannya. Dengan demikian dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain:

1. Penemuan-penemuan yang dicapai dengan ilmu manusia masih sangat sedikit dibandingkan dengan realitas yang tidak diketahui.

2. Apa yang ditetapkan oleh ilmu manusia tak memiliki nilai pasti.

3. Ilmu manusia tidak bisa menentukan jalan dan konsep yang jelas dan pasti untuk mengantarkan manusia menggapai cita-citanya.

4. Hakikat alam akhirat tidak terjangkau oleh ilmu manusia.

Dengan ilmu manusia yang terbatas ini mustahil dapat menawarkan program-program yang jelas, bertahap dan membawa hasil bagi perjalanan kehidupan manusia di alam materi.

Adalah suatu kesalahan besar bila kita hanya membatasi ilmu hanya pada materi saja dan juga kita tidak memandang apa-apa yang dicapai oleh ilmu manusia. Ilmu manusia semakin bernilai bila diarahkan untuk berkhidmat pada agama. Ilmu dan akal mampu menawarkan metodologi efektif dan efisien dalam penerapan nilai-nilai agama dan membantu manusia mencapai kemajuan yang bisa mendukung terwujudnya tujuan hakiki kehidupan. Agama pun dapat merumuskan hukum-hukum fiqih yang justru memotivasi manusia untuk melakukan observasi keilmuan yang lebih mendalam.


Hubungan Ilmu Empiris dan Fiqih
Fiqih dan ilmu eksperimental merupakan dua cabang ilmu yang mesti dijelaskan bentuk hubungan keduanya. Sebagian menyatakan bahwa fiqih mengikuti ilmu empiris. Mereka berkata:

1. Fiqih berhubungan langsung dengan hukum-hukum.

2. Subyek hukum ditentukan oleh ilmu-ilmu empiris.

3. Seluruh hukum pasti mengikuti subyek hukumnya, karena subyeklah yang mencipta hukum dan ketiadaan subyek membuat ketiadaan hukum. Oleh karena itu, subyek lebih dahulu dari hukum dan hukum muncul setelah subyek serta mengikuti subyek. Dengan demikian mereka menyimpulkan bahwa fiqih mengikuti ilmu-ilmu empiris dan moderen, dan fakih secara otomatik mengikuti ilmuwan dan hanya ilmuwan-ilmuwan empirislah yang dapat meletakkan dan menentukan pondasi dan ruang lingkup kehidupan manusia. Para fukaha harus taklid pada pandangan dan konsep mereka.

Tentang argumentasi di atas dikatakan bahwa pendahuluan pertama dan kedua adalah benar. Tetapi mukadimah ketiga dan aplikasinya merupakan hal yang masih perlu didiskusikan, karena kesebaban subyek terhadap hukum bukan berarti bahwa subyek itu merupakan sebab pencipta ('illah fâ'il) hukum dan hukum sebagai akibat subyek, karena dengan keberadaan sebab dari subyek ini tak lagi memberikan tempat bagi keputusan Tuhan; seperti persoalan minuman keras dan faktor pengharamannya, di sini pengharaman minuman keras langsung bersumber dari Tuhan. Jadi yang dimaksud sebab di sini ialah sebab penerima (qâbil, recipient).

Begitu pula tentang hal-hal yang berhubungan dengan hukum adalah benar, bentuk sebab di sini juga sebab penerima. Penjelasan hal ini adalah apabila tidak terdapat minuman keras dan taklif di alam ini, maka tidak lahir juga pengharaman atasnya. Persoalan ini mengungkapkan kepada kita bahwa terdapat suatu sebab untuk subyek dan hal-hal yang berkaitan dengan hukum. Subyek dan hal-hal yang terkait dengan hukum ini tidak satupun merupakan faktor yang pasti dalam mewujudkan hukum, keduanya hanya menerima hukum yang diwujudkan oleh Sang Pencipta Hukum.

Dengan ungkapan lain, hukum bukan akibat dari subyek, tapi akibat langsung dari kehendak dan iradah Tuhan. Subyek dalam hal ini hanya menyiapkan lahan bagi penciptaan hukum dari sisi Tuhan.

Apabila persoalan di atas kita jabarkan secara filosofis, maka subyek dan hal-hal yang terkait dengan hukum diposisikan sebagai materi (maddah) dan hukum itu sendiri ditempatkan sebagai forma (shurah). Jika materi tiada, maka mustahil Sang Pencipta memberi forma. Namun ini tak berarti bahwa materi sebagai sebab pencipta forma, materi hanyalah menerima dan "mengusulkan" forma yang layak baginya. Sebenarnya yang membentuk materi adalah forma.

Oleh karena itu, sebab hakiki dari hukum adalah kehendak dan iradah suci Ilahi dan fiqih sebagai penjabaran hukum mengikuti kehendak Tuhan, bukan mengikuti ilmu-ilmu empiris. Fungsi ilmu-ilmu empiris adalah mengkaji subyek-subyek dan ruang lingkupnya kemudian menawarkan pada fiqih dan faqih mengeluarkan hukum-hukum berdasarkan ruang lingkup subyek-subyek ilmu empiris.


B. Rasionalisme
Pasca kemajuan dan perkembangan ilmu dan pengetahuan, muncul suatu penyikapan untuk memisahkan agama dari dunia dan bahkan secara ekstrim mengumumkan ketidakbutuhan manusia pada agama serta ajaran agama dipandang menghambat kemajuan manusia karena hanya mengandung nilai-nilai utopia dan khurafat. Sebagian manusia yang menolak agama berpijak pada akal dan rasionalitas, akal diyakini sangat mampu menyelesaikan segala persoalan dan permasalahan manusia dan peran agama dalam hal ini diambil alih oleh akal. Mereka kemudian menamai abad delapan belas ini sebagai era kebangkitan rasionalisme.

Di awal era kebangkitan rasionalisme, mereka tidak langsung mempertentangkan antara nilai-nilai akal dan ajaran agama, dan bahkan tokoh rasionalisme seperti Thomas Pin masih mempercayai eksistensi Tuhan dan berprilaku sesuai dengan etika agama. Namun karena pertentangan yang semakin tajam antara agama bumi (yang tidak memiliki wahyu dan kitab suci) dan kecenderungan rasionalisme pada akhirnya melahirkan suatu keraguan yang pasti atas fungsi dan peran agama dalam kemajuan manusia.[12]


Kritikan atas Rasionalisme
Para pengikut rasionalisme menempatkan akal berlawanan secara sine qua non dengan agama, maka dari itu dengan berpegang pada akal masyarakat manusia tidak lagi memerlukan agama dalam menapaki perjalanan hidup di dunia ini.

Mereka menolak agama dengan argumentasi bahwa ajaran agama dan wahyu suci apabila sesuai dengan akal, maka agama tidak lagi diperlukan, karena dengan melaksanakan kewajiban akal pada dasarnya masyarakat telah terbebas dari agama dan wahyu. Tapi apabila agama berlawanan dengan akal, maka agama yang tidak rasional niscaya akan tertolak. Dengan demikian, keberadaan akal menyebabkan masyarakat manusia tidak memerlukan agama.

Dengan menjelaskan hubungan akal dan wahyu akan nampak kelemahan dari argumentasi di atas. Justru dengan bersandar pada akal kita dapat menegaskan eksistensi Tuhan, kemestian wahyu dan kenabian, dan keniscayaan alam akhirat (hidup setelah mati). Juga dalam pancaran akal akan nyata bahwa manusia di dunia ini tidak memiliki kebebasan mutlak, tetapi ia memiliki kewajiban-kewajiban terhadap diri sendiri, makhluk lain, dan Tuhan. Dan bentuk pelaksanaan kewajiban-kewajiban ini mesti berdasarkan suatu sistem yang seimbang dan teratur. Apakah akal dalam hal ini bisa mengemban tugas untuk menjabarkan secara mendetail segala bentuk kewajiban utama manusia dengan penuh keseimbangan?

Akal mustahil melakukan hal-hal tersebut, karena indera dan pengetahuan akal atas kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan hanya bersifat universal dan tidak mencakup hal-hal yang partikular. Misalnya akal memahami adanya kewajiban manusia untuk bersyukur kepada Sang Pemberi Nikmat, namun akal tidak mengetahui bagaimana bentuk aktual prosesi rasa syukur itu. Dengan demikian, akal tidak dapat menolak hukum-hukum agama yang partikular, seperti shalat, puasa, haji, dan lain sebagainya.

Akal memahami secara universal bahwa kezaliman itu adalah buruk dan keadilan merupakan suatu kebaikan. Namun akal tidak dapat mengetahui mana di antara prilakunya yang bernuansa dan berujung pada keadilan dan kezaliman terhadap orang lain. Sebagai contoh akal tidak bisa menentukan bahwa riba dan berjudi adalah kezaliman, sebagaimana ia pun tidak dapat menegaskan tentang kebaikan pernikahan dan memilih pasangan yang layak baginya.

Oleh karena itu, akal mustahil bisa mengemban amanat untuk menentukan secara mendetail segala kewajiban manusia terhadap Tuhan, diri sendiri, makhluk lain, dan terhadap lingkungannya.


Hubungan Wahyu dan Akal
Wahyu mempunyai dua kewajiban mendasar terhadap akal, yakni mengesahkan akal dan menyempurnakannya. Di bawah ini akan kami akan jelaskan tentang dua kewajiban tersebut:

1. Wahyu melegitimasi fungsi akal. Legitimasi ini terjadi apabila akal dapat mengetahui keberadaan wahyu. Pada awalnya mungkin akan terkesan bahwa legitimasi akal oleh wahyu tidak bermanfaat dan apabila akal bisa mengetahui sesuatu, maka tidak memerlukan lagi legitimasi baru dari wahyu. Tapi perlu diketahui bahwa manusia dengan berbagai alasan sangat mungkin terjebak dalam kesalahan dan kekeliruan, disengaja atau tidak. Realitas ini merupakan hal yang tidak mungkin dapat dipungkiri oleh akal dan bahkan akal sendirilah yang mengesahkan kenyataan dan pengalaman ini. Namun pada kesempurnaan tertentu akal tidak mengalami suatu kesalahan dan kekeliruan, dan akal pada tingkatan ini tidaklah bertentangan dengan wahyu.[13] Tapi apakah seluruh manusia dapat mencapai tingkatan kesempurnaan itu dan senantiasa tetap pada derajat tersebut? Hadirnya berbagai keragaman pemikiran dan pandangan serta perbedaan konsep yang tajam dan bahkan saling bertolak belakang menandakan bahwa manusia secara mayoritas belum mencapai tingkatan kesempurnaan akal. Oleh karena itu, legitimasi dan pengesahan wahyu atas konsep dan pengetahuan yang dapat dicapai oleh akal menyebabkan terhindarnya manusia dari keraguan dan kebimbangan pemikiran serta membuat manusia menjadi yakin dan tentram atas apa yang telah dicapainya.

2. Wahyu mengarahkan dan menyempurnakan akal. Penyempurnaan akal dalam ruang lingkup dimana akal tidak mampu memahami suatu realitas dan memberikan keputusan secara langsung. Wahyu memiliki kemampuan menjelaskan segala hal-hal yang partikular yang mana hal tersebut tidak mungkin dilakukan oleh akal. Sebagian dari perkara-perkara partikular seperti bentuk-bentuk hubungan manusia dengan Tuhan dan amal-amal ibadah khusus manusia kepada-Nya. Misalnya hukum-hukum shalat, puasa, haji, dan zakat. Sebagian lagi berkaitan dengan hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan segala makhluk. Misalnya adab-adab pergaulan, perdagangan, hukum denda, jihad, qishas, dan masalah sosial dan politik pemerintahan. Jadi ketidakmampuan akal di sini bukan berarti pertentangan akal dengan ajaran-ajaran agama, karena tidaklah bermakna apabila akal berlawanan dengan sesuatu yang ia tidak capai. Dikatakan akal bertolak belakang dengan agama dan wahyu kalau ia memahami sesuatu dan memutuskannya lantas apa yang diputuskannya ini bertentangan dengan ajaran-ajaran agama dan wahyu. Begitu pula ketidakmampuan akal dalam memahami hal-hal yang partikular berkaitan dengan hukum-hukum agama, namun setelah penyampaian wahyu ini akal bukan hanya tidak menetang bahkan menyetujuinya. Hal ini dikarenakan hukum-hukum partikular itu telah keluar dari wilayah jangkauan pengetahuan akal. Persetujuan akal atas ajaran-ajaran ini didasari oleh pengetahuan universal akal bahwa nilai-nilai suci itu bersumber dari Wujud Yang Maha Sempurna. Jadi pandangan keliru tentang pertentangan akal dengan wahyu bisa dikatakan bahwa pertentangan seperti ini hanyalah bersifat lahiriah yang terkait dengan keterbatasan akal dan dengan memperhatikan keterbatasan akal ini - yang diakui oleh akal-akal menolak ikut campur dalam menilai persoalan yang berada di luar jangkauannya sendiri.


Akal Melayani Kemanusian
Agama Islam menempatkan akal pada kedudukan yang sangat tinggi dan mulia sedemikian sehingga dipandang sebagai salah satu sumber hukum agama selain al-Quran dan sunnah Nabi.

Akal sendiri sepakat bahwa akal dan pemikiran manusia mesti digunakan untuk melayani manusia dalam mengantarkannya pada hakikat penciptaan dan kesempurnaan hakiki wujudnya. Dengan akal, Tuhan disembah dan meraih kesempurnaan Ilahi. [14]

Seseorang yang menjadikan akal sebagai pelayan atas keinginan alami dan kecenderungan hawa nafsu yang rendah mustahil menggapai suatu hakikat-hakikat tinggi dan suci dan ketika manusia telah dikuasai oleh kecenderungan rendah jasmaninya maka pada hakikatnya ia bukan lagi manusia karena sudah jauh terpisah dari nila-nilai suci kemanusiaan, walaupun ia secara lahiriah berbentuk manusia.

Al-Qur'an mensifatkan orang tersebut seperti binatang ternak dan bahkan lebih buruk dan rendah dari pada binatang, Tuhan berfirman, "Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka Itulah orang-orang yang lalai."[15] Ayat ini menjelaskan hakikat manusia yang telah diselimuti oleh hawa nafsu dan kecenderungan rendah jasmani. Jadi batin orang-orang yang sudah terwarnai dengan sifat-sifat rendah itu adalah binatang, walaupun secara lahiriah berbentuk manusia.

Nabi Muhammad saw dalam menjelaskan ayat yang berbunyi, "Yaitu hari (yang pada waktu itu) ditiup sangsakala lalu kamu datang berkelompok-kelompok,[16] bersabda, "Pada hari kiamat, sebagian orang akan datang dalam bentuk binatang yang berbeda, sebagian berbentuk semut, monyet, ular, dan kalajengking.[17] Orang ini berbuat tidak berdasarkan kemanusiannya dan pada akhirnya telah menjadi sifat yang tetap baginya, seperti mencegah hak-hak masyarakat, menzalimi manusia, marah tidak pada tempatnya, dan syahwat pada hal-hal yang diharamkan. Prilaku ini akan lahir dan nampak di hari kiamat berwujud binatang-binatang tertentu.

Maka dari itu, selayaknya akal berkhidmat pada kemanusian dan membantu manusia menyelami hakikat-hakikat eksistensi dan hikmah-hikmah penciptaan. Jika tidak demikian, maka manusia hanya akan terjebak dalam kecenderungan kebinatangannya dan mengotori kemanusiaannya serta semakin jauh dari tujuan hidup dan hakikat penciptaannya. Dari sini, jelaslah bahwa orang-orang yang menempatkan agama itu sebagai perkara yang khurafat dan memposisikan akal sebagai lawan dari agama, sesungguhnya tidak mengetahui substansi akal, batasan, dan implikasinya. Agama Ilahi yang bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada hakikat penciptaannya dan menyempurnakan kemanusiaannya sama sekali tidak mendukung pemisahan antara akal dan agama, dengan akal manusia dapat memahami dengan benar peran dan posisi agama dan agama dalam hal ini mensuplai informasi yang mustahil dicapai secara mandiri oleh akal itu sendiri.


C. Humanisme
Sebagian manusia sangat menekankan peran strategis dan sentral ilmu dan akal, kedua hal ini diposisikan sebagai pengganti wahyu dan agama, oleh karena itu mereka beranggapan bahwa untuk menggapai suatu peradaban yang moderen dan kebahagiaan manusia tidak lagi membutuhkan wahyu dan agama. Sebagian lagi memandang bahwa kebebasan manusia, pandangan dan pemikiran manusia, kepentingan ekonomi, dan kekuasaan merupakan nilai-nilai yang mutlak dan berada di atas segala-galanya, kesemuanya ini diletakkan menduduki peran dan fungsi agama dan wahyu ilahi.

Sesungguhnya masih banyak lagi nilai-nilai yang merupakan produk pemikiran manusia yang mereka tempatkan sebagai pengganti peran agama dan wahyu. Mungkin dapat dikatakan bahwa nilai-nilai pengganti ini dipandang memiliki kelayakan sedemikian sehingga manusia dapat merasakan ketidakbutuhan atas nilai-nilai suci Ilahi, tapi yang terjadi sebenarnya kebalikan dari hal ini, bahwa perasaan tak butuh dan puas yang terdapat pada diri manusialah yang pada akhirnya membuat ia mengedepankan nilai-nilai seperti ilmu, akal, pandangan masyarakat, kebebasan, kekuasaan, dan ekonomi atas nila-nilai suci agama dan wahyu. Pada dasarnya manusia tidak menginginkan ada penghalang bagi kebebasan dan perwujudan segala keinginan dan kecenderungan alaminya. Dan karena agama dipandang sebagai tembok penghambat atas implementasi cita-cita duniawinya, maka dengan segala cara dan upaya mencari alasan agar dapat terbebas dari cengkeraman nilai-nilai suci Ilahi.

Kecenderungan ekstrim dari rasionalisme, saintisme, dan sekurarisme menyebabkan semakin berkembangnya humanisme ini sedemikian sehingga menempatkan seluruh keinginan, kehendak, dan kemashlahatan manusia di atas segala-galanya. Humanisme pertama kali muncul pada akhir abad ke 13 M di selatan Italia. Paham ini pada awalnya merupakan gerakan budaya dan selang beberapa waktu muncul sebagai gerakan politik dan pemikiran. Dan akhirnya paham ini menyebar dan berpengaruh di negara-negara seperti Jerman, Prancis, Spanyol, dan Inggris.

Pada kesempatan ini kami tak mengkaji panjang lebar segala pandangan dan konsep humanisme, kami cukupkan mengutarakan defenisi umum tentangnya agar dapat dipahami. Humanisme bisa didefenisikan sebagai suatu filsafat yang menempatkan nilai dan kedudukan manusia sebagai tolok ukur mutlak atas segala sesuatu. Dengan ungkapan lain, segala kecenderungan, kemashlahatan, kehendak, dan keinginan manusia diletakkan sebagai subyek utama dalam mengkaji, menilai, dan memutuskan kebenaran sesuatu.[18]

Dengan berpijak pada defenisi humanisme di atas, di bawah ini kami akan membedah dan menganalisanya dari dua aspek, yaitu aspek yang dipandang sangat berlebih-lebihan bagi manusia dan aspek yang memiliki kadar-kurang untuk manusia.



Catatan Kaki:
[1] . Târikh 'Ilm, bab keempat.

[2] . 'Ilm wa Din, hal. 71.

[3] . Târikh 'Ilm, bab keempat dan 'Ilm wa Din, hal. 70-79.

[4] . Yakni memisahkan pengaruh ketuhanan dan faktor-faktor supranatural.

[5] . Silahkan rujuk: Qs. al-Hijr: 22, Qs. Ibrahim:23, Qs. al-Fatir: 35

[6] . Ushul Kafi, jilid pertama, hal. 189.

[7] . Q.S. al-Waqi'ah: 57-59

[8] . Q.S. al-Waqi'ah: 63-65

[9] . Silahkan merujuk: Bar Ghuzide-ye Afkâr-e Rassel, hal 57.

[10] . Qs. al-Fathir: 28, al-Baqarah: 31-32, Isra': 39: al-Ankabut: 80, ar-Rum: 29, Yunus: 55, an-Nahl: 41.

[11] . Qs. al-Mu'min: 83

[12] . 'Ilm wa Din, hal. 75-77.

[13] . Pembahasan mendetail silahkan rujuk: Wahy wa Rahbar, hal. 281.

[14] . Ushul Kafi, jilid pertama, hal. 11.

[15] . Qs. al-A'raf: 179

[16] . Qs. an-Naba': 18

[17] . Tafsir Majmâ' al-Bayân, jilid kesembilan, hal. 642.

[18] . Paul Edward, Encyclopaedia of Philosophy, New York, Macmillian, 1976.

10
NEO-TEOLOGI I

Agama dan Dunia[2]

Analisa Terhadap Stetmen Sekularisme
Terdapat begitu banyak stetmen-stetmen yang telah dinukilkan sehubungan dengan teori sekularisme, dimana berlawanan dengan penampakan lahiriah dari pembahasan ini, stetmen-stetmen para penyanggah muncul dalam bentuk yang tidak begitu mencolok, sedemikian hingga kadangkala mereka telah merasa cukup dengan hanya mengajukan stetmen-stetmen kosong yang tak bermakna, dan tak jarang pula mereka meletakkan dan menjadikan ilusi dan khayalan sebagai landasan argumen, sedangkan hal tersebut sama sekali tidak otentik dan tidak valid, baik secara akal, teks suci ataupun historis.

Stetmen-stetmen yang diajukan oleh kelompok sekularisme ini terbagi ke dalam dua kelompok, kelompok pertama lebih banyak memaparkan prinsip dan asas dari stetmen itu sendiri, dan bukan mengenai argumennya. Dikarenakan bentuknya yang sangat mencolok yang merupakan pembentuk landasan pemikiran berbagai kelompok dalam memilih teori sekularisme dan juga merupakan cabang yang penting untuk mengenal berbagai kelompok sekuler, hal ini telah mendudukkannya pada posisi yang sangat penting, akan tetapi dari sisi karena mereka tidak memiliki bentuk yang argumentatif dan mendetail, telah menyebabkan penjelasan dan analisa terhadap stetmen-stetmen tersebut dilakukan hanya dalam bentuk yang singkat, ringkas dan disajikan hanya dalam kemasan sebagai pengenalan dan pendahuluan.

Sedangkan kelompok kedua, memiliki stetmen-stetmen yang bersifat argumentatif meskipun masih dalam tingkatan yang minimal. Dari sinilah sehingga perhatian dan analisa lebih banyak dilakukan pada kelompok yang disebutkan terakhir ini, kadangkala pula stetmen-stetmen tersebut bahkan telah diteliti dari berbagai dimensi. Oleh karena itu, bisa jadi dari sinilah sebagian jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang tak terungkap yang masih tertinggal dalam prinsip keraguan personal bisa ditemukan.

Bisa jadi dan terdapat asumsi bahwa sebagian dari keraguan-keraguan yang disebutkan, tidak seluruhnya diketengahkan dengan nama “Argumentasi Sekularisme”, melainkan dituangkan dan dikemas dalam bentuk yang lain; akan tetapi, analisa dan penelitian yang cermat terhadap hal-hal di atas menunjukkan bahwa apa yang mereka paparkan tak lain adalah merupakan penguat dan penegas teori sekularisme. Oleh karena itu, terdapat dua asumsi, pertama, bisa jadi mereka mengungkapkan pendapat dan teori, tanpa menyadari dan memahami kelengkapan dan konklusi dari pendapat mereka sendiri, atau kedua, secara sadar dan praktis mereka menjadi pendukung dari hasil pemikiran sekuler, akan tetapi mereka menyembunyikan dan tidak bersedia menampakkan keberadaan dan identitas dirinya. Dari sinilah sehingga hanya dengan adanya klaim ketidak-sekuleran seseorang, bukan merupakan dalil yang cukup untuk tidak memperhatikan dan mengesampingkan perkataan mereka, atau menyebabkan berhentinya analisa serta kritik terhadap pemikiran dan akidah mereka.


Pendapat Kelompok-kelompok Sekuler
Mereka yang dalam menjelaskan pendapatnya menyetujui bahwa keterpisahan antara agama dan dunia didasarkan pada motivasi, tujuan dan metode yang berbeda, terbagi ke dalam berbagai kelompok: sebagian meyakini adanya Tuhan dan meyakini bahwa kalam-Nya memberikan warna pada agama, sebagiannya lagi memperhatikan proposisi tersebut dengan pandangan ateis. Distingsi dan perbedaan ini bisa jadi muncul dari ketidakdewasaan, kerumitan prinsip teori atau dari konklusi yang mereka simpulkan dari argumen-argumen mereka sendiri, akan tetapi keseluruhan hal di atas memiliki kesetaraan, yaitu dalam masalah tolok ukur keterpisahannya dan keluarnya agama dari arena politik, pemerintahan dan masalah-masalah duniawi serta aspek social manusia. Berikut kami akan melakukan analisa terhadap stetmen dan kritik teori dari keempat kelompok yang merupakan kelompok-kelompok utama pendukung pemisahan agama dan dunia. Dan keempat kelompok tersebut adalah:

Kelompok pertama: adalah sebagian dari mereka yang memiliki pemikiran sekularis, yang menganggap agama adalah batil dan bahkan meletakkan nilai-nilai agama pada tataran fiksi dan dongeng belaka. Mereka menolak keikutsertaan dan peran global agama dalam arena pemerintahan dan kemasyarakatan, terutama dalam masalah politik, selanjutnya mereka juga menganggap bahwa melakukan hal tersebut merupakan sebuah langkah yang mutlak salah dan tak benar. Kelompok ini menganggap berbaurnya agama dengan persoalan sosial kemasyarakatan adalah sebagaimana berbaur dan bercampurnya sesuatu yang jelas (ma’lum) dengan sesuatu yang tak jelas (majhul) atau bercampurnya sesuatu yang hak dengan batil, selanjutnya mereka mengatakan bahwa sebuah perbauran dan percampuran yang diperoleh dari unsur-unsur yang tak harmoni pastilah akan menghasilkan sesuatu yang salah dan tak bermanfaat.

Kelompok kedua: adalah kelompok yang meyakini bahwa prinsip agama adalah hak dan benar, akan tetapi mereka membatasi wilayah dan teritorialnya. Kelompok ini meletakkan agama dan doktrin-doktrinnya hanya dalam batasan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan persoalan individu dan etika, dan peran agama hanya sebatas pada edifikasi dan perbaikan ruhani serta pembersihan jiwa saja. Dari sinilah sehingga kemudian keberadaan persoalan seperti pemerintahan, politik, perekonomian, dan lain sebagainya dinafikan dari doktrin dan pengajaran agama.

Kelompok ketiga: adalah mereka yang meyakini prinsip agama, juga meyakini keluasan domain dan jangkauan agama, dan bahwa agama akan membuahkan hasil yang cemerlang ketika dimanfaatkan untuk mengatur masyarakat dan mengarahkan hal-hal yang berkaitan dengan sosial kemanusiaan, akan tetapi mereka meyakini bahwa pengatur dan pemimpin agama ini harus dan hanya dari mereka yang memiliki kesucian batin dan terhindar dari segala bentuk kesalahan (ishmah), dan insan biasa yang tidak suci sama sekali tidak berhak dan tidak layak menjadi penyelenggara dan pemimpin agama dalam masyarakat. Mereka sepakat bahwa Rasul saw, Imam Ali As dan Imam Hasan As merupakan pemimpin-pemimpin Ilahi yang berperan utama pada masa awal pembentukan Islam dan bagi masyarakat pada eranya, dan mereka juga menyepakati bahwa Imam Mahdi As (Imam terakhir yang gaib) pada saat kehadiran dan kemunculannya kelak, merupakan pemimpin agama Ilahi. Akan tetapi, mereka ini melakukan pemisahan dalam strukturisasi agama yaitu membuat jurang pemisah antara pemimpin suci Ilahi (Imam Makshum) dan para ulama biasa, mereka mengatakan bahwa agama hanya harus diatur dan diawasi oleh insan Makshum –yang dalam struktur agama menduduki posisi inti dan tertinggi- sedangkan insan biasa –yang berada dalam posisi luar- tidak memiliki kelayakan sedikitpun untuk memegang tampuk keagamaan tersebut.

Kelompok keempat: adalah mereka yang meyakini bahwa prinsip agama merupakan sebuah persoalan yang suci dan muqaddas, selanjutnya mereka meyakini bahwa intervensi dan campur tangan agama dalam masalah duniawi hanya akan menyebabkan tercemar, terkontaminasi dan hilangnya kesucian yang dimilikinya, hal ini terjadi sebagaimana yang bisa disaksikan dalam sepanjang sejarah, ketika seseorang atau suatu kelompok melakukan intervensi dan campur tangan dalam persoalan kemasyarakatan dan pemerintahan, maka orang atau kelompok tersebut akan kehilangan posisi dan simpati dari masyarakat, bahkan bisa jadi hal tersebut akan menimbulkan pandangan yang negatif dan merugikan pihaknya. Demikian juga halnya apabila intervensi semacam ini dilakukan oleh agama dan kaum ulama, sudah pasti hal ini akan menyebabkan agama kehilangan wajah suci dan mulianya, yang kemudian akan berlanjut dengan munculnya pandangan negatif masyarakat terhadap agama, dan akhirnya akan mengotori dan mencemari kesucian dan citra agama. Oleh karena itu, persoalan-persoalan duniawi harus sepenuhnya diserahkan kepada mereka yang menginginkannya, sedangkan agama harus tetap dijaga dalam kedudukannya yang mulia.


Kritikan atas Stetmen Kaum Sekuler
Sebelum melakukan kritikan lebih lanjut terhadap stetmen-stetmen tersebut, kami akan mengisyaratkan pada rumusan global berikut bahwa “kejahilan dan kebodohanlah yang senantiasa menjadi sumber dari sikap yang ekstrim (baik sikap itu berlebihan atau berkekurangan)”. Dari sinilah sehingga dalam salah satu hadisnya, Amirul Mu’minin Ali As bersabda, “Kejahilan akan menyebabkan sikap yang berlebihan atau berkekurangan”.[1] Teori pemisahan agama dari dunia di atas dikatakan sebagai sikap yang berlebihan (ekstrim kanan), karena adanya stetmen yang menyatakan bahwa karena agama adalah persoalan langit dan suci, apabila dia berkecimpung dan memberikan perhatiannya pada masalah dan persoalan duniawi, maka hal ini akan menyebabkannya menjadi kotor, tercemar dan kehilangan kesucian …, dan dikatakan sebagai sikap yang berkekurangan (ekstrim kiri) dengan sebuah peryataan bahwa agama tidak muncul dari hakikat langit (malakuti) dan tidak pula dari realitas bumi, karena sebenarnya agama hanyalah khurafat, khayalan dan imajinasi belaka, dan selalu saja, apa yang dikatakan sebagai imajinasi dan khayalan pasti tak akan memiliki manfaat dan hanya merupakan kesia-siaan belaka. Karena itulah agama, tidak seharusnya dan tidak boleh melakukan intervensinya dalam masalah pribadi maupun sosial masyarakat.

Berikut ini akan diketengahkan analisa-analisa dan kritikan-kritikan atas perspektif kelompok-kelompok di atas:

Kelompok pertama: adalah kelompok yang merupakan sebagian dari pendukung teori sekularisme yang menganggap agama sebagai sebuah perkara yang batil dan khayalan belaka, mereka yang berada dalam kelompok ini menyangka bahwa intervensi agama terhadap dunia manusia hanya akan menyebabkan semakin banyaknya problem dan musibah saja. Pencetus asli dari teori ini harus dicari di era Renaissance. Sebenarnya, pada awal era Renaissance belum ada pihak yang mengetengahkan bahwa agama itu bersifat khayalan, para pelopor paham sekularisme ini, lebih banyak menampakkan stetmen mereka dalam bentuk sebagai pihak pemerhati, pembaharu dan penjaga agama, akan tetapi teori dan satetmen selanjutnya berkembang hingga menempatkan dirinya dalam posisi yang berlawanan secara utuh dengan prinsip agama.

Berdasarkan teori ini, agama dalam segala bentuk dan metodenya dianggap sebagai sebuah unsur penghalang dan tak memiliki manfaat sama sekali, mereka menyatakan bahwa sebenarnya akal manusia telah mencukupi untuk mencari solusi serta jawaban atas segala persoalan, baik persoalan individu maupun sosial, sedemikian sehingga yang pada awalnya agama memiliki peran, meskipun sangat lemah dalam membantu akal manusia, kini malah menjadi tak berdaya dan tak memiliki peran apapun.

Akan tetapi, harus diketahui bahwa apabila mereka ingin mengetengahkan teori-teori yang cerdas dan logis tentang persoalan universal, tidak seharusnya mereka mencukupkan diri dengan hanya memperhatikan salah satu dari realitas-realitasnya, akan tetapi paling tidak mereka harus meletakkan beberapa realitas yang berbeda untuk mengevaluasi persoalan universal tersebut. Sepertinya, mereka yang menganggap agama hanya sebagai khayalan dan imajinasi ini, tidak saja hanya mencukupkan diri pada salah satu dari realitas-realitas universal agama, melainkan mereka juga telah meletakkan realitas yang tak benar dan tak hakiki dari agama sebagai landasan untuk proses evaluasi itu. Mereka melihat dan menyaksikan sempitnya teori serta pandangan yang dimiliki oleh pihak gereja, juga mendeteksi pandangan-pandangan akidah yang mereka miliki, kemudian hanya dari satu pandangan dan visi seperti ini-lah mereka mengklaim dirinya telah mampu menghukumi dan menyimpulkan tentang agama. Tentu saja, pendapat, pandangan, visi dan pengevaluasian seperti ini tidak akan memiliki nilai logika dan akal.

Perlu diketahui bahwa analisa akal serta praktisi setiap maktab didasarkan pada norma dan aturan, yaitu apabila ingin menemukan hakikat yang sebenarnya, maka para pencari hakikat tersebut harus melakukan evaluasi dari berbagai realitas yang valid dan bisa dipercaya, lebih penting dari itu mereka juga harus melakukan analisa pada dasar-dasar realitas hakiki yang dimiliki oleh agama Islam, karena agama-agama Ilahi, seperti agama Masehi dan Yahudi, meskipun keduanya memiliki sumber wahyu, akan tetapi karena adanya distorsi dan penyimpangan serta masuknya khurafat-khurafat dalam doktrin-doktrinnya, telah menyebabkan keduanya tidak bisa menjadi cermin jernih yang mampu merefleksikan agama Ilahi secara sempurna. Dari sinilah sehingga dalam melakukan analisa dan evaluasi, mengarahkan rujukan kepada agama hakiki yang terlepas dari distorsi dan penyimpangan –dimana agama Islam merupakan contoh sempurna dari realitas tersebut- merupakan sebuah persoalan yang sangat signifikan. Demikian juga orang-orang yang menganggap agama sebagai sebuah imajinasi, khayalan dan batil, seharusnyalah mereka melakukan rujukan pula pada argumen-argumen yang berkaitan dengan filsafat agama. Dengan melakukan analisa semacam ini, sudah pasti mereka akan sampai pada hakikat agama, eksistensi hakiki Tuhan, dan kehidupan pasca alam materi (alam akhirat); demikian juga kebutuhan mereka terhadap adanya pembimbing dan penuntun ghaib akan menjadi terpenuhi. Al-Quran al-Karim menukilkan dan memberikan stetmen-nya terhadap apa yang dikatakan oleh kelompok-kelompok yang menganggap agama hanya sebagai sebuah imajinasi dan khayalan belaka, dengan salah satu firman-Nya, “Dan mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja. Kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja“[2]

Penjelasan dari apa yang dikatakan oleh para penentang serta jawaban yang diberikan oleh al-Quran bisa membuka kritikan terhadap Stetmen yang diungkapkan oleh kelompok pertama, akan tetapi, karena analisa penyimpulan agama yang seperti ini bukan merupakan topik bahasan kita, maka kami mencukupkan pembahasan hingga di sini.

Kelompok kedua: adalah mereka yang membatasi teritorial agama hanya sebatas pada persoalan individu dan ibadah saja. Dengan alasan inilah, meskipun mereka tidak menghalangi intervensi dan campur tangan agama yang bersifat reformasi serta pembaharuan, akan tetapi mereka menolak adanya intervensi agama dalam masalah hukum dan pelaksanaan agama pada persoalan duniawi –seperti politik dan pemerintahan- dan mereka menganggap hal ini sebagai sebuah intervensi yang tidak pada tempatnya. Stetmen yang dikeluarkan oleh kelompok ini bisa dianalisa dari dua arah:

1. Akal. Basanya mereka yang sepakat dengan personalitas aturan-aturan agama dan menganggap bahwa persoalan sosial masyarakat dan persoalan-persoalan duniawi berada di luar zona personalitas tersebut, akan menyandarkan diri pada akal; dan pola dari topik-topik bahasan semacam “Penantian Manusia terhadap Agama”, dan “Pandangan Eksternal atas Agama” merupakan penegas dari masalah ini.

Sekarang harus ditanyakan: Apakah perbedaan yang ada antara kebutuhan pribadi dengan kebutuhan sosial, sehingga hal tersebut telah menyebabkan manusia pada posisi pertama membutuhkan agama, dan akal memahami kebutuhan pribadinya terhadap agama; akan tetapi pada posisi kedua, tidak dapat disaksikan adanya kebutuhan semacam ini, dan akal mengetahui bahwa manusia dalam arena duniawi dan sosial sama sekali tidak membutuhkan kehadiran agama melainkan mandiri secara total?! Dengan sedikit melakukan kontemplasi maka bisa dipahami bahwa sebenarnya akal yang mengetahui bahwa manusia membutuhkan kehadiran pembimbing gaib dalam persoalan-persoalan pribadinya, ternyata juga memberikan fatwanya pada kebutuhan manusia terhadap kehadiran pembimbing dalam persoalan-persoalan hukum pemerintahan, pencaharian dan …, dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan semacam ini, bergantung pada keberadaan aturan yang sempurna dan mandat Ilahi, sebuah aturan yang di dalamnya memperhatikan seluruh nilai-nilai dan potensi-potensi manusia, dimana manfaatnya tidak hanya bergantung pada kelompok tertentu dan pelaksanaannya pun bisa dilakukan oleh seluruh kelompok masyarakat secara adil dan setara.

Kontemplasi dan perenungan dalam masalah sosial kemasyarakatan, menunjukkan adanya kerumitan yang lebih tajam dalam masalah ini, karena mengatur permasalahan-permasalahan sosial, dimana di dalamnya mengatur interaksi sebegitu banyak personal, apabila dibandingkan dengan manajemen permasalahan-permasahan pribadi, sudah pasti akan membutuhkan tenaga dan usaha yang lebih banyak dan lebih cermat. Dari sinilah sehingga apabila para penyetuju agama berkeyakinan bahwa dalam permasalahan pribadinya sendiri mereka membutuhkan kehadiran agama, maka mereka harus menerima pula bahwa pada permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan sosial dan politik pun mereka membutuhkan kehadiran agama, bahkan dalam porsi yang lebih besar.

Oleh karena itu, tidak ada perbedaan antara kebutuhan pribadi dengan kebutuhan sosial atau masyarakat –karena bahkan yang dibutuhkan oleh masyarakat lebih besar dari itu-, karena bahkan bisa diketahui dari sisi akal, dan bisa dibuktikan bahwa berkembang dan meluasnya agama senantiasa mencakup dan meliputi seluruh dimensi-dimensi manusia dari segala sisi, dan membatasi agama hanya pada permasalahan-permasalahan individu sama sekali tidak logis dan tidak bisa diterima oleh akal.

2. Teks Suci. Untuk melakukan analisa dan pemeriksaan terhadap sebuah agama atau aliran, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah merujuk pada agama atau aliran itu sendiri, lalu melakukan evaluasi secara langsung terhadap teks-teks suci yang dimilikinya.

Pengkajian terhadap teks-teks agama Islam menunjukkan bahwa tidak hanya Rasul saw saja yang memberi penegasan terhadap permasalahan-permasalahan duniawi, melainkan masalah ini telah merupakan sirah dan sunnah seluruh Nabi Ilahi, sebagaimana dalam al-Quran disebutkan bahwa tugas paling utama yang dipegang oleh Nabi Musa As adalah menentang sikap bengis Fir’aun dan menyingkirkan mereka dari tahta pemerintahan lalu menggiringnya ke dasar kehinaan, Tuhan berfirman, “Kemudian Kami utus Musa sesudah rasul-rasul itu dengan membawa ayat-ayat Kami kepada Fir’aun dan para pemuka kaumnya, lalu mereka menzalimi ayat-ayat itu. Maka perhatikanlah bagaimana akibat (yang dirasakan oleh) orang-orang yang membuat kerusakan”.[3] Demikian juga disebutkan bahwa langkah awal yang dilakukan oleh Nabi Isa As adalah memberikan pembenaran terhadap perlawanan sengit yang dilakukan oleh Nabi Musa As terhadap perbuatan zalim Fir’aun, Allah Swt berfirman, “Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi-nabi Bani Isra’il) dengan Isa putra Maryam, untuk membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat”.[4] Jadi, perjuangan dan kerja keras para pemimpin terdahulu dalam menentang kezaliman dan kesewenang-wenangan-lah yang telah menyebabkan mereka mampu memegang dan merebut kembali pemerintahan di muka bumi dari para perampasnya.

Sekarang yang harus ditanyakan adalah bagaimana perlawanan dan perjuangan melawan kaum zalim bisa dihubungkan dengan prinsip sekularisme? Apakah hanya karena para pemimpin dan para utusan Ilahi ini secara langsung mampu memasuki wilayah politik dan mengatur pemerintahan negara setelah menggulingkan kezaliman para penguasa masa itu lalu meletakkan hal tersebut pada teks-teks risalahnya?

Setelah Nabi Isa As yang membenarkan risalah Musa as, Nabi Muhammad saw merupakan sosok berikutnya yang membenarkan risalah Isa As. Dari sini, Allah Swt dalam salah satu ayat dari surah As-Shaff berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu para penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam yang telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia, “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Para pengikut yang setia itu berkata, “Kamilah para penolong agama Allah.” Lalu segolongan dari Bani Isra’il beriman dan segolongan (yang lain) kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang”.[5]

Pesan al-Quran menjelaskan bahwa tidak sebagaimana dengan yang ada dalam kebanyakan bagian-bagian penting agama Masehi sebagai pendahulu agama Islam, agama Islam mengkhususkan diri pada persoalan-persoalan pemerintahan, pencarian nafkah, perang, perdamaian dan persoalan-persoalan dunia lainnya, sedemikian sehingga berkaitan dengan masalah perlawanan dan perang, Allah Swt meletakkan kelompok Khawariyyun Isa al-Masih As sebagai teladan untuk kaum muslim.

Jadi, sirah yang kontinu dan berkesinambungan dari para anbiya, Nabi Muhammad saww dan dilanjutkan oleh para Imam Suci As, -yang merupakan sirah yang tidak memberikan kesempatan kepada orang zalim untuk berkuasa, melainkan mempertahankan hak-hak kaum tertindas- dengan sangat baik menjelaskan bahwa mereka tidak saja tak memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakatnya serta perkara-perkara sosial para pengikutnya, melainkan mereka menganggap bahwa campur tangan dan intervensi dalam masalah-masalah sosial merupakan salah satu dari tugas dan kewajibannya, dan kewajiban serta tugas ini pun telah diatur atas prinsip dan doktrin agama Tuhan dan mereka mengamalkannya supaya umat Islam mendapatkan manfaat dan keuntungan dari hal tersebut, bukannya dengan menawarkan dunia itu sendiri; maksudnya pengarahan dan pengaturan persoalan kehidupan dalam bentuk yang baik – yang tak lain merupakan proses kelanjutan dari agama- yang akan menyebabkan karakterisasi dunia menjadi lebih baik, pengaturan menjadi lebih baik serta perputaran politik berjalan lebih baik, adalah merupakan sebagian dari intervensi agama dalam keseluruhan tingkatan persoalan dunia.

Kelompok ketiga: menurut pendapat kelompok ini, dilema utama yang dihadapi oleh sebuah pemerintahan agama terletak dalam masalah bahwa seorang pemimpin itu haruslah suci dan tak pernah bersalah (maksum). Dengan perkataan lain, sebenarnya problem utama yang dihadapi oleh pemerintahan agama bukanlah terletak pada intervensi agama pada persoalan-persoalan sosial dan politik, melainkan kembali pada tiadanya kelayakan sosok yang non-makshum untuk memegang jabatan pemerintahan.

Analisa ringkas dan sinopsis terhadap teks-teks riwayat menunjukkan bahwa anggapan yang salah ini bersumber dari ketiadaan pengetahuan mereka terhadap asas dan pondasi agama. Harus diketahui bahwa agama Islam adalah agama yang abadi, dan keabadiannya –yang termanifestasi dalam kontinuitas doktrin-doktrin agama dan pelaksanaan hukum-hukum Tuhan- tidak hanya diperuntukkan dan khusus terdapat pada zaman para Imam Makshum As saja, melainkan kontinuitas dari sebagian agama dalam arena pengajaran dan pelaksanaannya pada masa ini yaitu masa kegaiban Imam Mahdi As –berdasarkan riwayat-riwayat yang masyhur- berada dalam tanggung jawab wakil-wakil Imam dan para fukaha yang adil, kompeten dan mengenal Islam secara baik.

Para fukaha yang adil dan kompeten ini, dengan usaha kerasnya dan ijtihadnya yang terus berkelanjutan, dari satu sisi bertugas untuk menjelaskan hukum-hukum universal syariat yang berkaitan dengan seluruh topik, baik mengenai topik-topik yang lama maupun yang baru, dan pada sisi lainnya dengan melaksanakan hukum-hukum yang telah ditetapkan berdasarkan ijtihad tersebut, mereka pun melanjutkan kepemimpinan masyarakat dan mengatur masyarakat muslim.[6]

Dengan demikian, apabila orang mengatakan bahwa: pemerintahan hanya untuk para Imam Makshum As, maka maksud sebenarnya sudah jelas bahwa tujuan sebuah pemerintahan bukanlah untuk memperluas kekuasaan dan teritorial negara, melainkan maksud mereka dari pemerintahan yang seperti ini adalah bagaimana mengevaluasi pelaksanaan hukum-hukum Tuhan, mengaplikasikan dan menyebarkan doktrin-doktrin suci Tuhan. Jelas, konsekuensi dari berhentinya pemerintahan seperti ini pada masa gaibnya Imam Mahdi As akan sama artinya dengan berhentinya pelaksanaan dan pengaplikasian hukum-hukum serta doktrin-doktrin suci Tuhan dalam kebanyakan perkara dan juga terpenggalnya suatu perjalanan sejarah, sebagaimana realitas yang saat ini telah terjadi. Begitu banyak hukum-hukum agama seperti hukum cambuk, diyah, dan sepertinya, yang tidak dapat diberlakukan dan diaplikasikan hanya dikarenakan ketiadaan pemerintahan Islam; dan pada prinsipnya tidak bisa pula diharapkan bahwa pemerintahan non-agamis -yang manapun juga- akan mampu melakukan pelaksanaan hukum-hukum agama –seperti qishash dan berbagai hukum cambuk-, sebuah hukum yang tidak bisa terwujud tanpa adanya suatu intervensi kekuasaan dan pemerintahan.

Oleh karena itu, ada dua alternatif yang harus dipilih, pertama tidak berjalan dan berhentinya hukum-hukum Tuhan dalam masa yang panjang –seperti masa gaibnya Imam Mahdi As- harus dianggap sebagai sebuah persolan yang bebas, wajar dan biasa, dimana persoalan ini dengan sangat tegas telah dinafikan dalam teks-teks agama; atau yang kedua, harus menerima bahwa sebenarnya pembentukan pemerintahan ditangan para non-Makshum pun tidak menjadi masalah. Sebenarnya, apabila kita perhatikan dengan seksama terhadap adanya interaksi tertutup antara pemerintahan dengan pelaksanaan hukum, maka bisa disimpulkan bahwa bukan saja persoalan di atas –yaitu pembentukan pemerintahan oleh para non-Makshum- tidak bermasalah, bahkan akal dan hadis pun menganggapnya sebagai sebuah kemestian yang wajib dan harus dilakukan.[7]

Kelompok keempat: Menurut pendapat kelompok ini, agama merupakan sebuah unsur yang suci dan muqaddas, dan intervensinya dalam persoalan sosial dan politik merupakan sebuah hal yang tidak layak baginya yang hanya akan menyebabkan munculnya pandangan negatif masyarakat kepada kesucian sebuah madzhab dan tercorengnya wajah agama serta tercemarnya kesucian agama tersebut.

Mencermati proses tercemar dan tercorengnya seseorang atau kepribadian seseorang, hampir senantiasa menunjukkan bahwa penyebab asli dari peristiwa tersebut kembali kepada persoalan-persoalan internal semacam kejahilan, kelalaian dan kedengkian; dan kadangkala dikarenakan masalah-masalah dan kondisi-kondisi internal seperti inilah, manusia menjadi benci dan tidak menyukai suatu persoalan.

Maka, untuk menjawab stetmen di atas harus dikatakan bahwa untuk meneliti penyebab pencemaran dan faktor-faktor yang memunculkan kebencian masyarakat terhadap agama, kita harus mencermati kedua poin di bawah ini:

a. Dalam lingkup kekuasaan Tuhan, persoalan-persoalan di atas dinafikan secara mutlak, karena wujud azali Tuhan, sebagaimana ilmu, adalah mutlak; dalam keluasan ilmu-Nya, Dia tidak memiliki keterbatasan, dan tidak ada sebutir ilmu-pun di alam penciptaan (takwini) ini yang bisa keluar dari lingkup ilmu-Nya, Dia berfirman: ” … dan kamu sekalian tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak akan luput dari pengetahuan Tuhanmu biar pun sebesar zarah (atom) di bumi atau pun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak ada (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfûzh)“.[8] Oleh karena itu, penisbahan kejahilan kepada zat-Nya merupakan hal yang absurd dan tak mungkin bisa dilakukan. Demikian juga, mustahil dan tidak mungkin terjadi kelalaian dan kealpaan dalam lingkup ilmu Tuhan, karena segala sesuatu senantiasa hadir di hadapan-Nya, berfirman: “Musa menjawab, “…, Tuhanku tidak akan salah dan tidak (pula) lupa“.[9]

Dari sisi yang lain, wajah-Nya adalah suci dan bersih, bahkan suci dari paling kecilnya aib dan cacat, lalu bagaimana mungkin kedengkian bisa dinisbahkan kepada-Nya. Jadi, ketika kita menerima bahwa dalam lingkup Tuhan, tidak mungkin terdapat sifat-sifat sebagaimana yang telah tersebut di atas, maka agama dan doktrin-doktrin Tuhan pun -yang muncul dari kehendak istimewa-Nya- pasti terlepas pula dari sifat-sifat tersebut, karena keseluruhannya merupakan sifat-sifat yang tidak ada pada Tuhan dan sifat-sifat yang meniadakan agama Tuhan.

b. Apabila relasi dari berbagai persoalan sebagai petunjuk bagi ketaksempurnaan dan kecacatan agama telah dinafikan, maka penafian sifat-sifat tersebut pasti bukan hanya untuk sebagian persoalan agama saja, melainkan berlaku untuk seluruh hal yang berkaitan dengan agama, dari masalah yang tertinggi hingga cabang-cabangnya, dengan demikian pada masing-masingnya tidak mungkin terdapat kecacatan dan ketaksempurnaan. Jadi, apabila kita menerima bahwa sebagian dari doktrin agama, berkaitan dan berhubungan pula dengan dunia dan persoalan-persoalan duniawi, berarti pada hubungan yang ini pun, tidak mungkin terdapat kecacatan; sebagaimana pula apabila kita menerima bahwa sebagian dari doktrin agama berkaitan dengan persoalan individu dan ibadah, maka bagian ini pun terbebas dari kecacatan dan ketaksempurnaan. Oleh karena itu, esensi agama dalam seluruh dimensinya terlepas dari ketaksempurnaan dan kecacatan yang manapun, -khususnya dari ketaksempurnaan-ketaksempurnaan yang tersebut di atas- baik dalam hukum-hukum individunya maupun yang berkaitan dengan sosial dan masyarakat, baik hukum-hukum duniawinya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukum akhirat.

Oleh karena itu, kita harus yakin bahwa agama dengan seluruh kesempurnaannya dalam berbagai arena kehidupan manusia dan juga dengan kesuciannya dari segala aib dan ketaksempurnaan, telah menjadikannya mampu mengambil tanggung jawab campur tangan dan intervensinya dalam seluruh sisi kehidupan manusia, dan dia akan menyelesaikan tanggung jawab yang diembannya ini dengan penuh kepercayaan dan kebanggaan. Pada hakikatnya, wajah agama yang memikat, akan muncul semakin memikat lagi ketika dia telah hadir pada beragam sisi kehidupan manusia dan telah berhasil menarik tangan mereka dan membimbingnya menuju ke arah dan tujuannya yang sesuai. Dengan analisis seperti ini, maka sudah pasti manusia tidak akan mengatakan, sungguh sayang bahwa agama telah memasuki arena percaturan politik sehingga membuat dirinya sendiri tercemari, melainkan dengan logis mereka akan mengatakan, sungguh sayang, apabila manusia diatur oleh selain agama.




Catatan Kaki:
[1] . Nahjul Balaghah, Hikmat 70.

[2] . Qs. Al-Jatsiyah: 24.

[3] . Qs. Al-A’raf: 103.

[4] . Qs. Al-Maidah: 46.

[5] . Qs. As-Shaff: 14.

[6] . Rujuklah: Wilayah Fakih, Ayatullah Jawadi Amuli, hal. 237.

[7] . Rujuklah: Hukumat-e Islami, Imam Khomeini ra, hal. 47.

[8] . Qs. Yunus: 61.

[9] . Qs. Thaha: 52.

11
NEO-TEOLOGI I

Agama dan Dunia [3]

Argumen-argumen Sekulerisme

1. Argumen Pertama: Ketakharmonisan Negara dengan Agama
Salah satu argumen yang dikemukakan oleh para pendukung aliran sekularisme ialah ketakharmonisan hubungan antara negara dan agama, dengan artian bahwa agama hanya berkaitan dengan akidah, keyakinan dan persoalan-persoalan kalbu manusia, dengan demikian ia hanya berkecimpung dengan masalah ruh dan hati manusia, serta hanya bertugas menggerakkan perasaan dan emosi manusia; akan tetapi berseberangan dengan hal itu, negara dan pemerintahan hanya memiliki tugas menjaga keteraturan, stabilitas, sistematisasi sosial yang ada dalam masyarakat, menjaga harta benda mereka, dan mengamankan harta maupun jiwa personal dan anggota masyarakatnya, tanpa harus berkecimpung dalam masalah spiritual, ruh maupun hati manusia.

Sebagiannya lagi, dengan lebih hiperbol, hanya mencukupkan pada ketiadaan interaksi antara agama dan pemerintahan lalu mengemukakan stetmennya tentang adanya kontradiksi antara keduanya, dengan artian bahwa seluruh kewajiban pemerintahan bisa diperspektifkan dengan menggunakan intensitas dan kehebatan kekuatan, hal ini disebabkan karena warna pemerintahan diletakkan dan didasarkan pada kekuatan dan kekuasaan, dengan demikian antara pemerintahan dan agama –yang dikatakan hanya berkaitan dengan masalah kalbu dan perasaan- sama sekali tidak bisa dilakukan perbandingan. Dengan kata lain, reaksi dan tanggapan agama ketika berhadapan dengan masyarakat muncul dalam bentuk yang lembut dan penuh kasih sayang, akan tetapi reaksi pemerintahan terhadap mereka adalah dengan kekuatan dan amarah; dengan demikian, keduanya bukan saja tidak memiliki interaksi, bahkan keduanya berada pada posisi diametrikal sempurna dan saling menafikan satu sama lain.

Sekarang, apabila seseorang ingin menghubungkan kedua masalah ini, maka konklusi dari interaksi yang tidak pada tempatnya ini akan menciptakan adanya suatu penindasan, karena berarti pemerintahan harus menggunakan kekuasaan dengan cara paksaan dalam mengarahkan masyarakat kepada kecenderungan dan keinginan mereka untuk beragama, dan karena masalah ini bertentangan dengan norma dan kecenderungan kepada persoalan-persoalan agama, maka seakan-akan pemerintahan hendak menggunakan dominasi kekuatan dan kekuasaannya pada sebuah masalah yang sama sekali bebas dan tidak pernah membutuhkan pemaksaan, dan hal semacam ini tak lain kecuali penindasan.

Dengan kata lain, para pelaksana negara dan pemerintahan bisa menggunakan otoritas, kekuasaan dan pemaksaan pada tempat dimana mereka layak untuk memanfaatkannya–seperti pada masalah-masalah politik, keamanan, sosial, dan lain sebagainya- dan memanfaatkan hal tersebut dengan keras dan sungguh-sungguh tidak akan memunculkan problem apapun; akan tetapi pada masalah-masalah yang tidak memerlukan kekerasan dan pemaksaan –seperti pada masalah-masalah keyakinan, etika, dan lain-lain- apabila mereka hendak menggunakan kekerasan, maka hal ini akan menyebabkan penindasan, dan penindasan sama sekali tidak sejalan dan berlawanan dengan norma agama.

Demikian juga, analisis terhadap interaksi tersebut –yang tidak pada tempatnya- dari perspektif agama menunjukkan bahwa selain intervensi pemerintahan ini akan menimbulkan kerugian yang banyak dan menjauhkan masyarakat dari agama, hal semacam ini pun merupakan perbuatan yang sia-sia dan sama sekali tidak memberikan manfaat bagi agama.

Pendapat seperti ini dikemukakan pula di Eropa, mereka menyatakan bahwa apabila perangkat kota dengan alasan untuk pensucian kalbu lalu memaksa penduduknya untuk mendatangi gereja, berarti mereka telah melakukan hal yang absurd dan sia-sia; karena pada dasarnya, apabila mereka memiliki keyakinan terhadap gereja, maka tanpa adanya pemaksaan pun, mereka tetap akan mendatangi gereja dengan suka rela dan senang hati, dan apabila mereka tidak meyakininya, kehadiran mereka di gereja tidak akan memberikan manfaat apa pun bagi mereka, dan selama belum ada niat baik meskipun sedikit, jenis penyembahan, pengampunan ruh, alasan yang sesuai untuk ilmu, maka kehadiran mereka sama sekali tidak akan memberikan dampak pada pengampunan dan ketakwaan mereka. Jadi, semua hal tersebut harus diserahkan kepada kehendak masyarakat dengan bebas.

Ringkasnya: 1. Agama dan negara, sama sekali tidak memiliki bentuk hubungan maupun kesamaan, 2. Dengan mencermati keduanya dengan lebih seksama bisa diketahui bahwa keduanya saling berkontradiksi dan berlawanan, 3. Apabila keduanya dihubungkan secara tidak pada tempatnya, maka tidak akan ada konklusi lain selain munculnya penindasan dan intervensi yang salah, dan hasil dari penindasan tak lain kecuali kebencian masyarakat kepada agama dan kecenderungan mereka kepada ateis atau menentang agama.


Substansi kritikan

Untuk menganalisa argumen pertama di atas, terdapat beberapa topik yang perlu mendapat penjelasan:

a. Dampak negara pada umat beragama
Mereka yang mengeluarkan pernyataan dan stetmen bahwa pemerintahan tidak lebih dari pengaturan, pengamanan dan pengawasan harta benda, lebih baik mereka mengemukakan stetmennya itu dengan mengatakan: kami menghendaki pemerintahan hanya untuk keteraturan, keamanan, dan lain sebagainya; dan kami tidak sepakat dengan intervensi negara ke dalam agama, etika dan keyakinan masyarakat. Apabila pernyataan tersebut dikemukakan seperti ini berarti mereka telah menginformasikan realitas diri yang sebenarnya dan dengan semakin jujurnya kemasan laporan ini, maka mereka akan semakin jauh dari kebenaran. Akan tetapi apabila mereka mengatakan: pada dasarnya adalah demikian bahwa pemerintahan tidak boleh dan tidak berhak melakukan campur tangan dan intervensi dalam etika dan keyakinan masyarakat dan dia juga tidak memiliki kemampuan serta dampak dalam religi maupun keimanan individu masyarakat; maka dengan pernyataan ini berarti mereka telah mengatakan sesuatu yang sama sekali tak benar.

Mencermati pemerintahan-pemerintahan yang telah lalu dan dengan sedikit melakukan kontemplasi terhadap situasi dan kondisi yang terdapat pada berbagai negara dan pemerintahan yang ada, menunjukkan bahwa berbagai demarkasi dan pemblokiran yang dilakukan oleh pemerintahan terhadap aturan-aturan dan norma-norma -bahkan metode pengamatan dan reaksi mereka terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan- memegang peran yang sangat besar dalam menentukan kuat dan lemahnya keyakinan masyarakat.

Bagaimana sebuah pemerintahan memiliki aliran sosialisme, atau menganut asas liberalisme, atau sejauh mana perangkat pemerintah memberikan perhatiannya terhadap aturan-aturan, atau sejauh mana pentingnya persoalan-persoalan perekonomian dan kemajuan teknologi bagi mereka, dan lain-lain, keseluruhannya memberikan dampak pada pemikiran, visi, perspektif dan tingkah laku masyarakat, sebuah dampak yang sama sekali tidak bisa dipungkiri.

Bisa jadi, menurut pendapat mereka yang berpikiran sederhana, yaitu para pengklaim yang menyetujui pemerintahan agamis, dampak dan efek sempurna pemerintahan terletak pada tingkat religiusitas masyarakat; akan tetapi klaim ini pun ditolak mentah-mentah dan hanya sedikit dari para pemikir agama yang sepakat terhadap dampak pasti, menyeluruh dan sempurna yang diberikan oleh pemerintahan semacam ini; akan tetapi apakah mereka bisa mengingkari adanya dampak nisbi dan mendalam, serta peran berpengaruh yang dimiliki oleh pemerintahan pada cara berpikir dan keyakinan masyarakat?! Dengan melakukan pengamatan secara global terhadap situasi dan kondisi pada berbagai komunitas yang berbeda, kita bisa menemukan bahwa pemerintahan yang mengklaim dirinya non blok -dalam masalah etika dan keyakinan yang dipegang kuat oleh masyarakat- pun tetap memiliki pengaruh dan dampak yang sangat pekat dalam warna etika masyarakat dan lingkup etika komunitas, sedemikian hingga mereka yang tidak perduli terhadap etika, kalangan yang tak peka atas lingkungan, orang-orang yang egosentris, dan lain-lain, hanya merupakan bagian kecil dari hasil klaim ini.

Oleh karena itu, apabila sebuah pemerintahan mengatakan kepada umum akan ketakberpihakannya kepada agama dan etika masyarakat, berarti secara tidak langsung dia memiliki masalah dengan keyakinan, pola pikir dan tingkah laku masyarakatnya, dengan demikian bagaimana dia merasa memiliki kewajiban untuk bertindak yang bermanfaat atau merugikan bagi agama, pola pikir dan etika tertentu, dimana apabila hal ini terjadi, sudah pasti dia akan mampu bertanggung jawab dalam memegang peran yang berpengaruh dalam pola pikir masyarakat umum, bahkan diapun akan mampu mengubah arah dan tujuan pemikiran umum serta menarik perhatian begitu banyak pendapat ke arahnya.


b. Negara dan cinta kasih agama
Kritikan lain, adalah adanya kontradiksi antara pemerintahan dan agama, dengan makna bahwa aksi dan aktivitas pemerintah diliputi oleh otoritas dan kekuatan, sedangkan agama muncul di atas pondasi penerimaan kalbu dan kehendak bebas (ikhtiyar) manusia, dari sinilah sehingga dikatakan keduanya saling berkontradiksi, dan apabila keduanya diletakkan secara berdampingan maka akan menciptakan penindasan dan pemaksaan.

Pendapat inipun mengandung penyimpulan yang salah terhadap hubungan negara dan agama, karena:

1. Dengan mencermati tugas-tugas yang ditanggung oleh berbagai pemerintahan –baik pemerintahan agama (teokrasi) maupun non-agama- kita bisa menyimpulkan bahwa tingkat otoritas, kekuatan, kekerasan dan tingkat pemaksaan mereka kepada masyarakat tidaklah sama, karena apabila dikatakan bahwa nada yang digunakan oleh pemerintah hanyalah nada pemaksaan, dan tidak ada kebebasan, kelemahlembutan dan lain sebagainya di dalamnya, maka konsekuensinya adalah bahwa kebanyakan dari aktivitas pemerintahan –yaitu sebagian dari tugas pasti pemerintahan yang tidak bisa dilakukan dengan memanfaatkan aksi kekerasan dan pemaksaan- seperti strategi pemerintah dalam masalah perekonomian, atau perlindungan finansial dari berbagai lapisan masyarakat –terutama lapisan masyarakat tak mampu-, dan program-program yang berkaitan dengan kultur dan kebudayaan, serta opini masyarakat, akan keluar dari lingkup kewenangan pemerintah. Tidak ada yang meragukan bahwa pemerintahan senantiasa diiringi dengan otoritas, kekuatan dan kemampuannya untuk melakukan pemaksaan, akan tetapi topik ini sangat berbeda dengan pendapat yang mengatakan bahwa aktivitas asli pemerintah adalah aktivitas yang diiringi dengan kekuatan dan pemaksaan.

Oleh karena itu, untuk menyajikan sebuah pandangan dan pendapat yang dimilikinya, pemerintah sangat bisa menuangkannya dengan berbagai metode, tanpa harus meminta bantuan dari kekerasan dan kekuatan. Metode-metode ini, bisa saja dilakukan dengan mengambil bantuan dari dakwah, propaganda, atau wacana-wacana pemikiran, bahkan terdapat pula kemungkinan untuk melakukannya dengan cara-cara yang lembut dan sentimental. Semuanya mengetahui bahwa pemerintah pasti mampu menjelaskan sebuah akidah dan keyakinan dengan cara yang benar, indah dan memikat tanpa harus menggunakan kekerasan.

2. Sebagaimana halnya menyimpulkan bahwa citra suatu negara dan pemerintahan adalah kekerasan merupakan ilustrasi dan penggambaran yang salah; penyimpulan bahwa agama memiliki kelemahlembutan mutlak dalam seluruh bagian-bagiannya, pun merupakan sebuah kesimpulan yang salah dan tak layak. Agama adalah sebuah program yang dikhususkan untuk kehidupan manusia yang mengantarkan kepada kebahagiaan abadi. Agama merupakan majemuk dari keyakinan dan akidah, etika, hukum dan norma-norma, yang disusun dan diletakkan dalam kewenangan manusia untuk memanajemen dan mengatur persoalan-persoalan individu dan sosial mereka. Dengan demikian, agama dengan makna ini, sama sekali tidak memiliki kesesuaian secara mutlak dengan kelembutan dan kasih sayang. Sepertinya, prinsip agama telah disalah artikan dengan iman dan religius. Maksud mereka adalah bahwa tidak ada pemaksaan dalam menerima agama ataupun kecenderungan terhadapnya, akan tetapi mereka mengatakan bahwa agama itu sendirilah yang merupakan sebuah hal yang penuh kelembutan dan kasih sayang, dan kesalahan ini telah terjadi pada banyak pemikir sehingga mereka keliru meletakkan religius dengan prinsip agama. Maktab Ilahi agama Islam pun, dalam penerimaan agama dan iman terhadap Tuhan dan prinsip atau ushul agama, menafikan apapun jenis pemaksaan. Bukan hanya tidak boleh dipaksa, bahkan tidak ada kemungkinan untuk memaksa, sebagaimana Allamah Thabathabai di bawah ayat, “Tiada paksaan untuk (memeluk) agama (Islam)” (Qs. Al-Baqarah: 156), mengingatkan bahwa dalam penerimaan agama dan keimanan seseorang kepada Tuhan tidak mungkin ada pemaksaan, dan seseorang tidak akan mampu memaksa pihak lain untuk sepenuh hati meyakini sebuah persoalan dan menerima sebuah masalah dari lubuk hati.[1]

Dari sini, para mukmin dan para muballigh agama ketika berhadapan dengan orang-orang yang hendak menerima agama atau mereka yang telah menerima agama dan tengah berada dalam praktek pengamalan, harus senantiasa bereaksi dengan lembut dan penuh kasih sayang, bercakap dengan baik dan sopan sehingga sambutan masyarakat –baik yang selama ini belum beragama, maupun keseluruhan muslim- dari agama, semakin hari akan menjadi semakin banyak, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. An-Nahl: 125)

Dalam ayat ini, Tuhan memberi perintah kepada Rasul saw supaya dalam mengajak masyarakat menggunakan tiga unsur berikut: kebijaksanaan atau kearifan, nasehat yang baik, dan dialog yang dilandasi dengan semangat mencari kebenaran. Dengan mencermati ketiga unsur di atas bisa disimpulkan bahwa menurut perspektif al-Quran dalam mengajak masyarakat ke arah agama, kita sama sekali tidak boleh menggunakan kekerasan, dan hal yang secara rasional dan logis bisa menarik dan mengajak masyarakat ke arah agama dan keimanan kepada Tuhan, hanyalah pesan, nasehat, dan percakapan yang konstruktif.

Demikian juga, Tuhan menganggap bahwa budi pekerti yang baik dan perilaku yang lemah lembut merupakan salah satu keistimewaan Nabi Muhammad saw dan merupakan rahasia kecenderungan masyarakat ke arahnya, sebagaimana dalam salah satu ayat-Nya berfirman, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Qs. Ali-Imran: 159)

Oleh karena itu, menurut perspektif Islam, jelas bahwa ketika berhadapan dengan masalah iman, keyakinan dan akidah masyarakat, kita harus menampakkan reaksi yang lemah lembut dan tenang.

Selanjutnya, dengan adanya kedua konklusi di atas, kita akan bisa sampai pada konklusi ketiga, sebagai berikut bahwa apabila lingkup pemerintahan tidak terbatas hanya pada kekerasan dan pemaksaan; dan keahlian mereka adalah lebih dari itu; yang berarti bahwa diapun memiliki keahlian untuk berperilaku lemah lembut; demikian pula jika penyebaran dan penjelasan agama harus diterapkan dengan metode yang lemah lembut, maka berarti sebenarnya pemerintah pun mampu pula menjadi penjelas agama yang menggunakan metode kasih sayang dan kelembutan. Dengan ibarat lain, apabila kita menerima bahwa sebuah pemerintahan mampu mewujudkan dan mengantarkan suatu hal pada tujuannya dengan cara damai dan bisa mempersiapkan lahan yang tepat tanpa membebani dan memaksa, maka tidak ragu lagi, berarti pemerintah itupun pasti mampu mempresentasikan agama dengan kaidah ini tanpa terkecuali; dengan demikian pemerintahan akan memiliki kemampuan untuk mempresentasikan agama dengan penuh kedamaian tanpa ada sedikitpun halangan.

Dengan alasan inilah sehingga dikatakan bahwa para fukaha agama dan perangkat pemerintahan yang diangkat oleh suatu pemerintahan agama (teokrasi) harus terlebih dahulu berusaha untuk menyebarluaskan agama dengan kelembutan, kasih sayang, cinta dan penuh ketenangan; demikian juga berusaha untuk memperjelas masalah-masalah keagamaan yang masih kabur dengan keakraban yang khas. Amirul Mukminin Ali As ketika menjelaskan tentang tugas pemimpin umat Islam –dimana pada tahap pertama beliau menyampaikan ikhtisar dari tugas beliau sendiri di kancah pemerintahan- terlebih dahulu mengisyarahkan pada saran dan nasehat berikut: “Tidak ada sesuatu yang menjadi tanggung jawab pemimpin selain apa yang diletakkan Tuhan dalam kedua pundaknya, yaitu: tidak sembarangan dalam memberikan pesan, berusaha dalam memberikan nasehat, menghidupkan sunnah dan melaksanakan batasan-batasan untuk mereka yang berhak, menyampaikan saham baitul mal ke mereka yang membutuhkan.”[2]

Sebenarnya sangat tidak pada tempatnya apabila hanya dengan mendasarkan pada pernyataan mereka yang memiliki gambaran bahwa pemerintahan agama hanya terbatas pada pemerintahan gereja Masehi dengan kitab-kitab Taurat dan Injil -yang telah mengalami distorsi dan penyimpangan-, lalu kita telah merasa mampu untuk menghukumi dan menyimpulkan tentang sebuah pemerintahan agama (teokrasi) lalu menyangka bahwa hakim-hakim agama memiliki wewenang untuk memaksa masyarakat menjadi manusia-manusia yang religius dan menghendaki personal-personal masyarakat menerima agama dengan terpaksa, padahal menurut perspektif agama, tanggung jawab pemerintahan dalam presentasi dan penyajian dakwah, sama sekali tidak boleh dengan melalui metode pemaksaan, melainkan yang menjadi kewajibannya adalah menyediakan lahan, dan masyarakat sendirilah yang secara logis, cerdas, damai dan tentram akan berjalan ke arah agama lalu menjadi masyarakat yang religius.


c. Nagara dan pelaksanaan norma-norma agama
Tidak ragu lagi, salah satu hal yang senantiasa dibutuhkan oleh setiap masyarakat adalah adanya norma hukum dan keniscayaan untuk melaksanakannya. Apabila dalam masyarakat tidak ada aturan atau –misalnya ada aturan, akan tetapi- masyarakat mengabaikan dan tidak memperdulikannya, maka sudah pasti dalam waktu yang relatif singkat infrastruktur masyarakat akan menjadi musnah dan akan terjadi kekacauan luar biasa yang pada akhirnya akan menghancurkan masyarakat dan negara.[3] Oleh karena itu, diperlukan adanya sebuah kekuatan supaya aturan-aturan tersebut mampu berkuasa di dalam masyarakat, kemudian mereka yang melakukan kesalahan dan melanggar hukum-hukum tersebut harus pula mengetahui tugasnya sendiri dan merasa puas dengan hak yang didapatkannya. Dan pelaksana kekuasaan ini senantiasa dan tak lain adalah sebuah pemerintahan. Perlu diketahui bahwa paling baiknya keteraturan adalah ketika personal-personal masyarakat yang berada dalam naungan pertumbuhan kultur dan budaya, menghormati segala aturan-aturan tanpa merasa terbebani dan bahkan mereka meletakkannya sebagai pondasi kehidupan; akan tetapi berharap bahwa seluruh lapisan masyarakat selalu dan senantiasa berperilaku sesuai dengan aturan, pun merupakan sebuah harapan yang terlalu muluk dan tidak mungkin tercapai.

Pada seluruh lapisan masyarakat, baik yang ada pada masa lampau maupun masyarakat saat ini, senantiasa saja terdapat kelompok-kelompok atau orang-orang yang mengabaikan dan tidak memperdulikan aturan-aturan serta hukum-hukum yang telah ditentukan, mereka melangkahkan kaki terlalu jauh, nasehat dan pengarahan tidak lagi memberikan pengaruh, dan bahkan mereka tidak bisa lagi dihadapi dengan bahasa halus. Hal-hal semacam inilah yang meniscayakan kepada sebuah pemerintahan dalam melaksanakan aturan-aturan yang telah ditentukannya, untuk tidak mencukupkan diri hanya pada pelaksanaan serta peringatan akan hukum-hukum tersebut, melainkan pada kasus-kasus tertentu, kadangkala dia harus pula memanfaatkan kekuatan yang dia miliki.

Topik terdahulu, yang mengatakan tentang urgensi keberadaan hukum dalam sebuah negara dan pelaksanaannya oleh pemerintah, meskipun kadangkala terpaksa harus dengan menggunakan kekuatan otoriter pun, tidak ada hubungannya sedikitpun dengan penerimaan masyarakat terhadap prinsip-prinsip akhlak, etika, agama maupun prinsip-prinsip hukum yang konstan; akan tetapi mereka, yaitu masyarakat dan individu-individu yang menentang etika dan prinsip konstan tersebut dan sepakat dengan aliran bebas liberalis atau mereka yang hanya menerima bahwa manajemen pemerintah hanya terbatas pada persoalan-persoalan yang menyenangkan, bersifat materialis dan memberikan keuntungan duniawi yang lebih banyak, pun menyepakati dan menegaskan tentang urgensinya keberadaan hukum-hukum dalam sebuah pemerintahan serta terdapatnya urgensi untuk melaksanakan hukum-hukum tersebut, meskipun dengan kekerasan.

Menjadi jelaslah bahwa pemerintahan yang bersandar pada agama dalam seluruh garis-garis pemerintahannya, sesungguhnya tidak terpisah dan tidak berbeda dari seluruh pemerintahan lainnya, apabila dia menghendaki keteraturan yang sesuai dalam masyarakatnya maka diapun harus menyajikan hukum-hukum untuk mereka lalu melaksanakannya. Demikian juga sebagaimana pemerintahan-pemerintahan yang lain, apabila di antara anggota masyarakatnya terdapat kelompok atau individu yang tidak taat pada aturan atau hukum, ingin melangkah terlalu jauh dari apa yang telah ditentukan, tidak bisa dihadapi dengan nasihat atau bahasa yang halus, maka konsekuensinya, pemerintahan inipun harus memilih bahasa lain sebagai alat komunikasi dengan kelompok dan orang-orang ini, yang bisa jadi alat komunikasi baru yang dipilih ini berupa kekerasan dan pemaksaan; poin asasi ini, dalam al-Quran al-Karim kadangkala direfleksikan dalam bentuk universal dan kadangkala pula dalam bentuk partikular; dalam bentuk universal misalnya terdapat dalam salah satu ayat-Nya yang berfirman, “Sebelumnya, manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan akibat meluasnya kehidupan sosial), Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan kitab (samawi) bersama mereka dengan benar untuk memberikan keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang-orang yang telah didatangkan kitab kepada mereka, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman dengan izin-Nya kepada (hakikat) kebenaran yang telah mereka perselisihkan itu. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Qs. Al-Baqarah: 213)

Berdasarkan ayat ini, keputusan dan hukum adalah solusi untuk menyelesaikan perbedaan, ikhtilaf, distingsi, kekacauan dan ketidakteraturan, yang keseluruhannya muncul karena ketiadaan perhatian terhadap hukum dan hak-hak asasi yang dimiliki oleh selainnya. Pada ayat ini Allah Swt meletakkan pesan dan nasehat sebagai bagian dari tugas asasi para Nabi, akan tetapi untuk menghilangkan ikhtilaf serta pelanggaran hak, tidak cukup hanya dengan mengandalkan kedua hal di atas. Apa yang dalam al-Quran diyakini sebagai sebuah hal yang sangat berperan dan berpengaruh dalam menghilangkan ikhtilaf dan kekacauan dalam pelaksanaan hukum adalah pelaksanaan hukum dan aturan-aturan secara kuat dan tegas sebagaimana yang terkandung dalam makna hukum di atas, yang hal ini hanya akan bisa terwujud melalui pemerintahan.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, masalah ini direfleksikan juga oleh al-Quran dalam bentuk partikular, sebagaimana dalam salah satu ayat-Nya yang berfirman, “Dan orang-orang yang menuduh istri mereka (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.“ (Qs. An-Nur: 6). Jadi, pemerintahan Ilahi dalam masalah bahwa dia tidak hanya mencukupkan diri dengan cara yang lembut, nasehat dan peringatan kepada para penentang hukumnya, tidak memiliki perbedaan dengan pemerintahan lain. Sekarang, akan muncul pertanyaan seperti ini, lalu kenapa kadangkala terdapat suatu persoalan yang pada seluruh pemerintahan merupakan hal yang bebas, akan tetapi persoalan yang sama menjadi terlarang dalam pemerintahan agama?!

Ringkasnya, meskipun pemerintahan agama ketika mengetengahkan agama tidak dengan menggunakan bahasa kekerasan, akan tetapi ketika terdapat pihak atau seseorang yang menjadi penghalang penyampaian agama, maka pemerintah tidak lagi akan menghadapinya dengan kelembutan, melainkan akan menyingkirkan penghalang tersebut dengan kekuatan. Face to face dan bertatap muka secara langsung dengan para penghalang dan penentang bukanlah bermakna menawarkan prinsip agama secara paksa, melainkan melaksanakan hukum dan aturan-aturan dimana agama itu sendiri melarang seseorang melangkahkan kakinya terlampau jauh dan melewati batas-batas yang telah ditentukan, dan topik inipun diterima oleh seluruh pemerintahan serta seluruh pemikir politik.


Penolakan Negara Agama (Teokrasi)
Pada akhir jawaban untuk argumentasi pertama, harus diisyaratkan terhadap satu point yang biasanya diketengahkan oleh para pendukung ketakharmonian hubungan antara agama dan pemerintahan, dimana mereka menyepakati bahwa ada perbedaan antara “pemerintahan agama” dan “agama pemerintahan”. Mereka berkata bahwa saat ini dalam pemerintahan agama, agama diletakkan sebagai elemen dan alat pemerintahan, dengan artian bahwa untuk melanggengkan pondasi kekuatannya, perangkat pemerintahan agama memanfaatkan sentimental, perasaan dan keyakinan masyarakat. Mereka meletakkan agama sebagai alat untuk mencapai keinginan duniawinya, padahal agama terlepas dari hal semacam ini. Agama, memiliki tujuan khusus dan kita tidak berhak memanfaatkannya untuk meraih tujuan duniawi, kekuatan maupun kekuasaan duniawi.

Dalam interaksi ini, perlu sekiranya –sekali lagi- dipertegas tentang kondisi interaksi antara agama dan pemerintahan. Pemerintahan, dimana di dalamnya diisyaratkan tentang ajaran dan doktrin-doktrin Islam, merupakan sebuah pemerintahan dan sebuah kekuatan yang berada dalam pengkhidmatannya kepada agama dan digunakan untuk membimbing manusia. Dikatakan bahwa agama memiliki begitu banyak hukum yang tanpa dimilikinya sebuah pemerintahan, maka hukum-hukum tersebut tidak mungkin akan bisa terwujud atau terlaksana. Jadi, untuk agama, pemerintahan berperan sebagai alat dan elemen yang digunakan untuk berkhidmat supaya masyarakat memiliki kemampuan dan kekuatan untuk melakukan hukum-hukum, aturan-aturan Ilahi dan doktrin-doktrin agama; dan berpegang erat padanya akan memberikan kesulitan yang lebih sedikit.

Agama mendapatkan keuntungan dari pemerintahan sehingga masyarakat –selain menarik mereka dari persoalan-persoalan pribadi ke arah ibadah dan interaksi individu dengan Tuhan dan mendekatkan diri kepada dzat suci Tuhan- dalam arena sosial mendapatkan kemungkinan untuk mendorong dan mengarahkan selainnya serta lingkup komunitasnya ke arah dan tujuan yang lebih tinggi, yaitu kesempurnaan dan kedekatan (taqarrub) kepada Ilahi. Oleh karena itu, pemerintahan senantiasa memiliki hukum sebagai “alat” supaya agama bisa muncul dalam bentuk yang lebih baik dan mencapai tujuannya, akan tetapi sebagian dikarenakan tujuan-tujuan dan kecenderungan tertentunya, berusaha sehingga seakan-akan mereka telah memanfaatkan agama dalam bentuknya sebagai alat dalam pemerintahan yang dimilikinya.

Apabila dikatakan bahwa agama sama sekali tidak boleh memegang peran sebagai alat, maka hal ini merupakan sebuah persoalan yang jelas. Apabila para hakim dan pemimpin agama, yang seharusnya dengan adanya kodrat dan kekuatan religius yang dimilikinya bertugas untuk mengajak dan membimbing masyarakat ke arah hidayah Tuhan, malah meletakkannya untuk mencari kesenangan dan ketamakan duniawi dan kekuatannya sendiri, maka sudah jelas, peristiwa selanjutnya yang akan terjadi adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Amirul Mukminin Ali As, dalam salah satu hadisnya, “Dan sesungguhnya agama, sebagaimana seorang tawanan berada di tangan orang jahat, yang dia gunakan untuk memuaskan hawa nafsu dan keserakahan dunia.”

Pada saat seperti ini, aturan dan hukum-hukum agama muncul dalam bentuk sebagaimana yang ditafsirkan dan diselewengkan oleh para penguasa, dan tidak akan muncul dalam bentuk hakikinya. Dengan demikian, sebagaimana halnya tawanan yang nasib dan akhir kehidupannya berada di tangan dan kewenangan penawannya, nasib agamapun akan jatuh di tangan para perangkat pemerintah dan akan menjadi bahan permainan di tangan penguasa, dan akhirnya pesan-pesan dan kandungan-kandungan riilnya menjadi pudar dan kehilangan warna.

Oleh karena itu, tanpa ragu lagi, seluruh perangkat dalam pemerintahan agama harus diposisikan untuk berkhidmat di dalam agama dan meletakkan tolok ukur seluruh prilaku, pendapat dan penolakan-penolakannya untuk kepentingan pemerintahan dan hukum-hukum agama, dan pandangan mereka terhadap agama haruslah sebagai seorang pelayan, bukan sebagai seorang pencari keuntungan dimana ketika dia mampu memanfaatkannya untuk mencari kesenangan dan memenuhi keserakahannya terhadap dunia serta untuk mencapai kekuatan dan posisi, maka dia akan mendekati dan memanfaatkannya, dan setelah kebutuhannya terpenuhi, dia akan meletakkan dan meninggalkannya.




Catatan Kaki:
[1] . Al-Mizan, J. 2, hal. 342.

[2] . Nahjul Balaghah, Khutbah 105.

[3] . Salah satu pemikir Barat dalam kaitannya dengan masalah ini mengatakan: “Tiada norma dan aturan berarti tiada keteraturan, dan tiada keteraturan sama artinya dengan masyarakat yang hidup dalam kebingungan dan tidak mengetahui arah maupun tujuan. Keberadaan sebuah silsilah yang sesuai dan interaksi yang teratur merupakan syarat pertama dalam kehidupan manusia, dalam tingkatan yang manapun. Mafhum masyarakat, pada tahapan pertamanya bergantung pada keberadaan aturan, bahkan tukang kebun, pencuri serta perampok pun memiliki aturan di antara mereka, dimana tanpa adanya aturan, tidak mungkin mereka memiliki kemampuan untuk melanjutkan aksi pencurian dan perampokan. Ilustrasi binatang-binatang liar yang berlari di tengah hutan tanpa aturan dan tujuan, merupakan sebuah mafhum yang sangat jelas. Sebenarnya binatang-binatang inipun tidak tak beraturan sama sekali, karena sebenarnya mereka sangat memegang kuat hukum-hukum yang ada di dalam rimba dan mereka menjalaninya sesuai dengan instink yang mereka miliki. Untuk penjelasan lebih lanjut, rujuklah: Jami’ah wa Hukumat, hal. 75.

12
NEO-TEOLOGI I

Agama dan Dunia [4]

2. Argumen Kedua: Agama menjadi Perkara Umum dan Kehilangan Kesakralannya
Sebagian mengatakan bahwa apabila agama dan persoalan-persoalan suci lainnya memasuki arena duniawi manusia, maka agama dengan segala norma yang dimilikinya akan kehilangan posisinya yang semula suci, dan kemudian berubah menjadi sebuah persoalan yang biasa dan umum, apabila agama yang suci hendak memasuki persoalan-persoalan manusia dan meletakkan persoalan-persoalan alami di bawah ini dalam pengawasannya, maka dia akan berhadapan dengan dua masalah asasi berikut:

1. Persoalan duniawi yang karena berbeda secara esensial dengan persoalan metafisika dan Ilahi maka sama sekali tidak memiliki bentuk yang suci. Pada prinsipnya, kedua persoalan itu adalah dua esensi yang berbeda, karena itu hal-hal yang bersifat duniawi tak akan mungkin menjadi sesuatu yang bersifat profan dan keagamaan, hal ini disebabkan karena sesuatu itu tidak bisa memiliki dua esensi dan dua zat, misalnya air senantiasa memiliki struktur atau zat tertentu, karena itulah sehingga kita tidak memiliki dua sesuatu yang dikatakan sebagai “air agama” dan “air non-agama”, atau “bir agama” dan “bir non-agama”. Demikian juga dengan persoalan yang berkaitan dengan keadilan, pemerintahan, ilmu, filsafat dan sepertinya, keseluruhannya tidak bisa diilustrasikan dalam kerangka agama atau non-agama.

2. Bukan saja persoalan duniawi itu tidak suci, bahkan apabila persoalan-persoalan suci memasuki arena dunia ini, maka dia akan kehilangan nilai dan kesuciannya, lalu akan berubah menjadi sebuah persoalan yang umum dan menduniawi, dengan artian bahwa segala sesuatu yang mendatangi alam dunia ini, dia pasti akan menjadi duniawi sehingga diapun akan dihampiri oleh debu dunia, begitu pula segala sesuatu yang memasyarakat, dia pun akan menerima warna kemasyarakatan. Dengan kata lain, dalam arena dunia dan komunitas manusia, kita tidak memiliki persoalan yang berhubungan dengan metafisika bagi dunia maupun metafisika bagi komunitas manusia, bahkan hakikat metafisika dunia pun ketika memasuki alam dunia, dia pun akan mengenakan jubah jasmani dan dunianya.

Kesimpulannya adalah bahwa agama yang suci dan ajaran-ajaran sucinya seharusnya tidak meletakkan kakinya melewati batasan-batasan dirinya, tidak menapakkan kakinya ke arena sosial, pemerintahan, kesejehteraan material, dan dalam satu kalimat bisa dikatakan, jangan menapakkan kakinya dalam arena percaturan politik manusia, karena pengaruh dualisme esensial antara dunia dan persoalan manusia yang bersifat duniawi, bukan saja telah membuat agama tidak bisa mengambil tanggung jawab untuk mensucikan persoalan-persoalan semacam ini, bahkan agama sendiripun akan kehilangan kesucian dirinya dan berubah menjadi persoalan yang umum dan duniawi.

Dari sinilah sehingga para pemerhati agama tidak perlu bersusah payah untuk mengagamakan persoalan-persoalan duniawi manusia, karena –selain jerih payah semacam ini akan sia-sia belaka- dengan hilangnya kesucian agama, prinsip religius dan keberagamaan masyarakat akan diperhadapkan dengan banyak masalah.


Substansi kritikan

Untuk menganalisa argumentasi kedua di atas, topik-topik di bawah ini perlu mendapat perhatian:

a. Pengertian kesucian
Menurut perspektif agama, setiap aktivitas atau persoalan yang memiliki dimensi Ilahi atau memiliki warna rububiyah adalah suci. Dan Allah Swt telah menetapkan bahwa warna yang terbaik yang dapat mencakup persoalan-persoalan alam dan dunia adalah warna Ilahi, Dia berfirman, “Terimalah warna (agama) Allah. Dan siapakah yang lebih baik warna-nya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.” (Qs. Al-Baqarah: 138). Dan segala sesuatu yang memiliki warna semacam ini, berarti dia merupakan sebuah hal yang muqaddas dan suci.

Allah Swt telah meletakkan amal perbuatan, norma-norma dan pendidikan agama sebagai cara manusia untuk menggapai-Nya dan manusia berkewajiban untuk memberikan warna agama dalam kehidupannya dengan mengamalkan dan memperhatikan hukum-hukum Ilahi dan menyesuaikan amal, perbuatan dan niat-niatnya dengan norma-norma agama yang benar. Dengan semakin besarnya penyesuaian ini, maka warna Ilahi-nya pun akan semakin kuat terlihat dan persoalan pertama yang akan menjadi suci dan Ilahi adalah persoalan-persoalan pribadi, setelah itu menyusul pada persoalan-persoalan sosial.

Untuk penjelasan lebih mendetail mengenai pengertian kesucian dalam persoalan-persoalan dunia, akan lebih baik apabila kita mengenal agama lebih jauh; agama, senantiasa mengajak masyarakat ke arah dua persoalan penting berikut:

1. Dari para pengikutnya menginginkan supaya mereka tidak terjerumus dalam amal dan perbuatan tercela, dan mengajak kepada amal-amal dan perbuatan-perbuatan terpuji. Dari sinilah al-Quran al-Karim hanya menganggap bahwa para mukmin yang layak mendapatkan suatu pandangan dan pengetahuan yang bersifat Ilahi serta pahala yang besar hanyalah mereka yang mengerjakan amal shaleh, bukannya mereka yang melakukan amal dan perbuatan yang tak terpuji dan bertentangan dengan keimanan, Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa mereka memiliki pahala yang besar.” (Qs. Al-Isra’:9)

2. Agama memerintahkan kepada manusia untuk meraih tujuan dan motivasinya dengan cara yang baik dan terpuji. Dengan alasan inilah, Tuhan meletakkan syarat diterimanya sebuah perbuatan yang baik adalah kebaikan pelaku itu sendiri, hal ini dimaksudkan supaya manusia memberikan perhatiannya dengan seksama terhadap aspek ruhani dan spiritual dalam perbuatannya. Ucapan-ucapan berharga semacam “Tiada terhitung sebagai amal kecuali dengan niat”[1] dan “Niat seorang mukmin lebih baik daripada amalannya”[2] pun berkaitan dengan masalah di atas. Dari sinilah, ketika melakukan dosa akan dikenai hukuman dan kelayakan dia untuk mendapatkan hukuman tidak bersyarat pada kekafiran pelaku dosa –melainkan juga para muslim yang melakukan perbuatan dosa pun akan mendapatkan siksaan-, akan tetapi melakukan perbuatan baikpun tidak lantas memperoleh pahala surga, melainkan sangat bergantung pada kebaikan dan keimanan pelaku. Oleh karena itu, semata-mata perbuatan baik yang terpancar dari seorang kafir, bukanlah alasan bahwa dia layak mendapatkan balasa surga.

Oleh karena itu, pesan yang ditekankan oleh agama tak lain adalah meraih dan mendapatkan dua tujuan besar yaitu “kebaikan perbuatan” dan “kebaikan sang pelaku”. Dengan demikian, manusia dengan segala kekuatan yang dimilikinya berkewajiban untuk mendekatkan dirinya kepada kedua tujuan mulia dan besar ini. Apabila makna di atas telah jelas, maka kita akan memahami bahwa kesucian persoalan-persoalan dunia, sama sekali tidak ada hubungannya dengan perubahan esensinya, dan setiap perbuatan yang memiliki dua kebaikan di atas niscaya mengambil warna Ilahi dan kesucian; dan perlu diingat bahwa kebaikan dan keburukan sesuatu dan segala perbuatan sama sekali tidak diletakkan sebagai esensi atau unsur-unsur esensinya sedemikian sehingga keberagamaan atau kesucian mereka akan mengubah esensinya, anggapan seperti ini adalah absurd dan mustahil.


b. Keluasan perkara-perkara Suci
Apabila segala sesuatu yang memiliki dimensi Ilahi dan warna rububiyyah adalah suci, demikian juga warna seperti ini tidak akan ada kecuali dengan memperhatikan doktrin dan ajaran yang telah diturunkan oleh Tuhan, maka seluruh persoalan dan masalah yang berada di bawah pengawasan dan aturan agama bisa dikatakan sebagai persoalan-persoalan yang suci, bahkan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan alamiahnya yang diperoleh dengan perjuangan dan jerih payah juga termasuk ke dalam persoalan-persoalan yang suci ini.

Mungkin ada sebagian yang beranggapan bahwa segala aktivitas dan perbuatan manusia yang karena merupakan konsekuensi dari kehidupan alami dan dunianya maka bisa dikatakan sebagai sebuah persoalan yang biasa dan umum, dengan demikian, dari aspek ini bertentangan dengan pengertian dan hakikat kesucian; akan tetapi dengan berkontemplasi dalam masalah agama dan hukum-hukumnya akan menunjukkan bahkan persoalan-persoalan ini pun secara sempurna mendapatkan warna dan shibghah Ilahi, religiusitas dan kesucian; sebagaimana Imam Shadiq As dalam salah satu hadisnya bersabda: “Seseorang yang bersusah payah untuk mencukupi kebutuhan keluarganya maka pahala yang didapatkannya setara dengan pahala berjuang di jalan Tuhan”[3], demikian juga Imam Baqir as bersabda: “Barang siapa berusaha untuk dunianya sehingga dia tidak bergantung dan membutuhkan orang lain, dan dia bisa memenuhi kebutuhan keluarganya, maka pada hari kiamat kelak tingkatan keberadaannya akan sampai pada batasan sehingga dia akan menemui Tuhan-Nya dengan wajah yang sangat indah”.[4] Hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa agama dengan intervensi dan campur tangannya terhadap persoalan-persoalan duniawi –bahkan dalam persoalan primer manusia sekalipun, seperti bagaimana mendapatkan penghasilan hidup- bisa menyebabkan terdapatnya hubungan antara persoalan duniawi manusia dengan persoalan-persoalan yang betul-betul suci –seperti berjuang di jalan Tuhan- dan membuatnya –persoalan-persoalan duniawi- pun menjadi bagian dari persoalan yang suci dan mentransenden, bahkan sebegitu tinggi mizan kesuciannya sehingga di alam akhirat kelak -dengan perantaraan segala upaya dan perjuangannya – manusia bisa berjumpa dengan-Nya dan mendapatkan derajat tertinggi manusia.

Jadi, tidaklah bisa dikatakan bahwa agama hanya menghendaki perbuatan-perbuatan tertentu dari manusia dan menganggap bahwa hanya perilaku tertentu -seperti berdoa – sajalah yang mendapatkan kelayakan sebagai perbuatan suci, melainkan kelayakan dan potensi kesucian terdapat dalam seluruh sisi dan dimensi kehidupan manusia, baik dalam perbuatan-perbuatan tertentu yang terdapat dalam teks-teks agama –seperti shalat, puasa, haji, dan …- maupun dalam perbuatan-perbuatan yang telah dianalisa melalui argumen-argumen akal dan berkaitan dengan persoalan kehidupan duniawi dan mata pencaharian masyarakat, keseluruhan hal tersebut bisa menjadi persoalan-persoalan yang suci.

Dalam kelompok dari perbuatan dan perilaku ini tidak ada sedikitpun perbedaan antara persoalan yang penting ataupun tidak penting, sedemikian sehingga perbuatan-perbuatan yang secara lahiriah kelihatan sepele –seperti makan, minum, bepergian, bersenang-senang, dan lain sebagainya- sampai pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan penentuan nasib masyarakat –seperti pemerintahan dan hukum-hukum kemasyarakatan- seluruhnya bisa menjadi bagian dari persoalan yang suci, meskipun tentu saja masing-masing memiliki derajat kesucian yang berbeda. Demikian juga kesucian –yang diperoleh melalui pengajaran dan doktrin agama- tidak hanya berhubungan dengan bagian tertentu dari agama, melainkan setiap pesan yang diketengahkan oleh agama bisa berpengaruh dalam hubungan dengan topik tertentu atau pekerjaan tertentu; dan kita mengetahui bahwa pesan dan doktrin agama tidak hanya teringkas dalam ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis saja.

Agama memiliki pesan-pesan lain -yang validitas dan urgensinya berada dalam deretan argumen-argumen tekstua (yakni berasal dari al-Quran dan hadis)l- yang dikenal dengan nama argumen-argumen rasional. Argumen-argumen dan pesan-pesan yang mengikuti argumen akal dan rasional ini merupakan bagian penting yang tak bisa dipisahkan dari agama. Dengan alasan inilah sehingga hukum-hukum akal –dimana memiliki validitas hukumnya sebagaimana seluruh bagian tekstual agama- bisa mensucikan kehidupan masyarakat dengan segala persoalan yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, sebagaimana halnya amalan yang berdasarkan teks-teks suci al-Quran dan hadis merupakan sebuah persoalan yang suci dan profan, maka amalan yang berpijak pada argumentasi akal akan pula memberikan warna suci bagi amal dan perbuatan manusia.

Ringkasnya, segala persoalan yang ada dalam kehidupan manusia, karena ia merupakan bagian dari hukum dan norma akal dan teks suci, maka dia tidak keluar dari agama, dan demikian pula keurgensian atau ketakurgensian, kealamian atau ketakalamian, tidak memiliki hubungan dengan prinsip perbuatan dalam perspektif agama, keseluruhannya bisa muncul dalam bentuknya yang suci dan religius. Jadi, tidak seharusnya persoalan-persoalan yang suci hanya dalam bentuk ibadah-ibadah dan ritual-ritual gereja maupun masjid, karena pada dasarnya keluasan pengertian kesucian itu melebihi hal-hal yang mereka gambarkan, bahkan persoalan-persoalan yang betul-betul duniawi seperti pemerataan kekayaan, penyediaan kemudahan bagi perekonomian rakyat, penyediaan pelayanan kesehatan dan penyembuhan, penjagaan keamanan internal maupun eksternal, dan lain-lain, seluruhnya bisa menjadi persoalan-persoalan yang suci, dengan syarat dilakukan dengan adil, rasional dan mengutamakan kepentingan masyarakat atas kepentingan pribadi dan juga keseluruhannya dilakukan untuk mendapatkan kedekatan dan keridhaan Tuhan.


c. Pijakan bagi perkara-perkara suci
Agama Islam dan setiap persoalan yang memiliki paradigma keagamaan dan kesucian senantiasa memiliki hubungan dengan hal-hal takwiniah[5]. Hubungan ini muncul dalam bentuk sedemikian rupa sehingga seluruh akidah, etika, hukum dan fikih terkait erat secara hakiki dengannya, dengan artian bahwa di dalam hukum dan doktrin agama senantiasa berpijak pada landasan takwiniah; dimana pada hakikatnya bahwa doktrin-doktrin suci agama tak lain adalah suatu realitas hakiki yang kemudian termanifestasi dalam bentuk yang tekstual; sedemikian rupa sehingga apabila agama ingin melepaskan jubah tekstualnya maka dia akan tampak dalam bentuk realitas hakiki itu.

Jadi, agama merupakan bentuk tekstual alam eksistensi ini, dan hakikatnya tidak lain adalah realitas eksternal alam semesta, sedemikian rupa sehingga agama bisa dipandang sebagai intepretasi dan tafsiran bagi alam eksistensi dengan seluruh bentuk yang dimilikinya. Dengan kata lain, agama tak seharusnya dimengerti hanya dalam bentuknya sebagai kaidah-kaidah dan aturan-aturan sistimatik dan otentik dengan tanpa adanya sedikitpun dukungan takwiniah; melainkan harus diketahui bahwa segala bagian agama memiliki pondasi dan sumber yang hakiki dan riil.

Jelas bahwa kenikmatan-kenikmatan surga –seperti dalam bentuk sungai-sungai yang di dalamnya mengalir madu dan buah kurma yang luar biasa lezat –bukanlah merupakan hasil dari substansi-substansi materi –seperti bunga, tumbuhan dan jerih payah lebah madu- melainkan merupakan hasil dari suatu akidah, keyakinan, akhlak dan amal perbuatan manusia yang sempurna, yang hal itu kemudian mampu menciptakan kenikmatan-kenikmatan dalam bentuk-bentuk ukhrawi seperti itu. Dengan alasan inilah, Allah Swt dalam salah satu ayat-Nya berfirman, ” … kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan” (Qs. At-Thur: 16; At-Tahrim: 71), yaitu tidak dikatakan bahwa kalian akan diberi balasan sesuai dengan perbuatan kalian, melainkan Tuhan berfirman, “Balasan kalian adalah perbuatan kalian sendiri, dan apa yang kalian saksikan tidak lain merupakan amal perbuatan kalian sendiri”.

Apabila seorang mukmin melakukan perbuatan yang baik atau membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh selainnya, atau …, hakikat dari amal perbuatan ini –yang telah dijelaskan dalam agama- di alam akhirat akan tampak dan termanifestasikan dalam bentuk kenikmatan-kenikmatan surga itu tadi. Demikian juga, apabila dia terjerumus dalam melakukan suatu perbuatan dosa, berkata bohong, mencuri atau melakukan kezalilman, atau …, hal inipun –yang agama telah mengharamkan dan melarangnya- akan muncul dan termanifestasi dalam bentuk azab dan siksaan berat, yang hal tersebut terbentuk karena perbuatan yang dilakukannya sendiri. Jadi, hukum-hukum agama, meskipun dia memiliki dimensi tekstual dan merupakan majemuk dari apa-apa yang dilarang dan yang diperintahkan, tetapi dia tetap bersumber dari realitas hakiki yang terbungkus dalam bentuk kebenaran-kebenaran tekstual tersebut, dimana tak lain adalah dukungan dan pijakan terhadap persoalan-persoalan tekstual agama itu.

Untuk penjelasan yang lebih mendetail, ada baiknya apabila kami isyarahkan tentang berbagai tahapan yang ada di dalam mekanisme takwini dan penciptaan. Tahapan-tahapan mekanisme penciptaan ini berada dalam garis menaik, antara lain: alam materi, alam mitsal (barzakh), alam akal, dan perjumpaan dengan Tuhan (liqa-ullah). Tahapan ini dimulai dari eksistensi yang tidak sempurna (alam materi) dan berakhir pada kesempurnaan (perjumpaan dengan-Nya). Tahapan ini menjelaskan tentang bagaimana lintas perjalanan manusia ke arah Tuhannya; sebuah lintasan perjalanan hakiki dan riil dimana manusia sebagai pesuluk harus melalui dan melewatinya satu persatu hingga sampai pada posisi liqa-ullah, yaitu perjumpaan dengan Tuhannya.

Keistimewaan dari tahapan ini adalah ketiadaan keterputusan dalam tahapan yang ada dalam perjalanan tersebut, masing-masingnya betul-betul saling berinteraksi, sedemikian sehingga setiap tahapan yang berada pada posisi lebih atas merupakan hakikat dari tahapan sebelumnya dan setiap tahapan yang berada pada posisi yang lebih rendah merupakan warna pudar dan bayangan dari tahapan di atasnya. Semuanya menjelaskan tentang sebuah sirathal mustaqim dan jalan lurus penciptaan yang di dalamnya tidak terdapat ruang kosong sedikitpun. Dalam kaitannya dengan masalah ini, dalam salah satu ayat-Nya, Allah Swt berfirman, “Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum berbentuk sesuatu yang dapat disebut?” (Qs. Al-Insan: 1), dalam artian bahwa pada awalnya manusia bukan merupakan sesuatu “yang bisa disebut”, akan tetapi pada proses selanjutnya mereka telah merupakan sesuatu “yang bisa disebut”; lalu pada saat itulah, Dia berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya kamu akan menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya.” (Qs. Al-Insyiqaq: 6).

Dengan mencermati kalimat dalam ayat di atas, “dengan kerja dan usaha yang sungguh-sungguh“, menunjukkan bahwa untuk dapat menjumpai Tuhan, hal tersebut hanya bisa terwujud dengan melintasi perjalanan yang tak berjeda dan tak terputus. Seandainya tidak ada jalan dari alam materi ke alam barzakh, atau dari alam mitsal ke alam akal, atau dari alam akal menuju liqa-ullah, maka al-Quran al-Karim tidak akan mengatakan, “dengan kerja keras dan sungguh-sungguh“, melainkan seharusnya dia menggunakan kalimat yang lain.

Jadi, kita berhadapan dengan mekanisme dan keteraturan alam penciptaan yang betul-betul saling berkaitan dan berinteraksi satu sama lain, dimana masing-masingnya merupakan hakikat atau bayangan dari yang lainnya. Untuk menjelaskan tentang kondisi interaksi yang dimiliki oleh tahapan ini antara satu dengan lainnya, al-Quran al-Karim memperkenalkan eksistensi-eksistensi dari alam yang lebih tinggi sebagai pengatur bagi alam yang di bawahnya dan al-Quran menamakannya dengan mudabbiratul amr yaitu pengatur segala perkara. Demikian juga seluruh eksistensi yang ada di alam penciptaan –baik di alam malakuti maupun di alam materi- dianggap sebagai “yang mensucikan” (musabbih), “yang bersujud” (sâjid), “yang berserah diri (muslim) dan “yang taat” (tha-i’) kepada Tuhan-nya. Oleh karena itu, maujud-maujud yang lebih sempurna dan yang berada di puncak tertinggi alam eksistensi adalah yang akan mengatur eksistensi-eksistensi dan maujud-maujud yang lebih rendah –dengan izin Tuhan-, dan eksistensi-eksistensi yang lebih rendah diliputi secara kausalitas dan esensial oleh eksistensi-eksistensi yang berada di atasnya, dengan mekanisme yang demikian ini, maka menjadi jelaslah interaksi antara bagian-bagian dan tingkatan-tingkatan di alam penciptaan.

Dengan memperhatikan topik pembahasan sebelumnya, bisa disimpulkan bahwa warna malakuti secara kuat dan erat melingkupi seluruh alam semesta dan berdasarkan hal ini di balik segala realitas -yang bisa jadi sebagian dari manusia menganggap dan menggambarkannya sebagai sebuah persoalan yang biasa-biasa saja- terdapat suatu dukungan dan pijakan hakiki yang tak nampak oleh mata lahiriah kita dalam segala penciptaan yang ada. Dari sinilah sehingga agama dan segala sesuatu yang memiliki dimensi keilahiyahan, tidak boleh disimpulkan bahwa perkara-perkara agama hanya berbentuk lahiriah saja, melainkan harus diyakini dan dipahami bahwa terdapat dukungan dan sandaran takwiniah bagi segala bentuk lahiriah agama tersebut. Dan dengan adanya dukungan takwiniah semacam ini, agama dan persoalan-persoalan suci yang berkaitan dengan keilahiyahan, dengan berperannya dia dalam segala dimensi kehidupan manusia, bukan saja tidak akan kehilangan kesuciannya, melainkan dia akan memberikan dampak kesucian yang dimilikinya tersebut ke dalam berbagai persoalan dan aspek kehidupan manusia.

Sebagai contoh, seluruh individu masyarakat melakukan aktivitas-aktivitas semacam duduk, berdiri, makan, minum dan lain sebagainya. Dan keseluruhan hal tersebut merupakan persoalan-persoalan lahiriah dan kehidupan sehari-hari mereka, akan tetapi hal yang sama yaitu duduk, berdiri, makan, minum, dan lain-lain, kadangkala karena adanya keterkaitan dengan realitas alam lain dan karena adanya interaksi dengan wilayah agama akan mendapatkan warna lain yang bersifat malakuti dan kesucian.

Berdasarkan hal inilah, sebagian dari sesuatu dan aktivitas, akan menjadi sangat berbeda secara esensial dengan sesuatu dan aktivitas-aktivitas lainnya, misalnya begitu banyak tanah di alam ini, akan tetapi sebagian dari tanah-tanah ini –sebagaimana tanah Sayyidussyuhada Imam Husain As- memiliki warna lain yang bersifat suci dan memberikan kesembuhan. Demikian juga dengan air, begitu banyak air di alam semesta ini, akan tetapi terdapat air seperti air zamzam yang berbeda secara esensial dengan air-air lainnya, dimana dikenal sebagai air penyembuh. Atau di alam natural dimana terjadinya percampuran dan pernikahan antara berbagai jenis realitas, misalnya pepohonan yang saling mengadakan penyerbukan, bahkan hewan-hewan sahara dan binatang-binatang laut pun saling berpasangan, akan tetapi penggabungan dan pernikahan tersebut hanya akan menjadi proposisi “An-nikahu sunnati (nikah adalah sunnahku)”[6] ketika yang melakukan pernikahan tersebut adalah dua orang muslim. Dan hakikat dari “Barang siapa menikah berarti dia telah mengamalkan separoh dari agamanya”[7] akan terwujud, hingga kemudian prosesi berkumpulnya seorang lelaki dengan perempuan akan menemukan bentuk kesuciannya karena adanya sebuah unsur yaitu tujuan untuk menggapai keridhaan-Nya, sebuah tujuan yang lebih tinggi dan lebih mulia dari sekedar memuaskan hawa nafsu.

Persoalan-persoalan muqaddas dan suci ini bukan merupakan sesuatu yang terpisah dari masyarakat, akan tetapi karena adanya interaksi dengan sumber hakiki Ilahi dimana hanya akan mewujud dengan perantaraannya, maka akan menyebabkan dicapainya kesucian, kedekatan dan taqarrub kepada Sumber Segala Hakikat (baca: Tuhan), sebagaimana air yang kur apabila terkena sesuatu yang najis, bukan saja dia tidak akan menjadi najis, bahkan dia akan mensucikan barang yang najis tersebut.

Contoh lain yang lebih menarik adalah perilaku para Imam-imam suci Ahlulbait As terhadap para fakir miskin. Karena para Imam As mengetahui bahwa fakir miskin adalah para utusan Tuhan, sebagaimana Imam Ali As dalam salah satu hadisnya bersabda, “Sesungguhnya orang-orang miskin adalah utusan Allah, maka barang siapa menghindarinya, berarti dia menghindari Allah dan barang siapa mengasihinya berarti dia mengasihi Allah”, ketika para fakir menginginkan sesuatu dari Imam, maka Imam akan meletakkan tangan sucinya di atas tangan para fakir, lalu dia akan memberikan sesuatu, setelah itu Imam akan mencium tangan para fakir, mengusapkan tangan itu ke kepala Imam lantas ke wajahnya sambil bersabda, “Tidakkah mereka mengetahui bahwasanya hanya Allah-lah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang?”(Qs. Taubah: 104), dengan artian bahwa Tuhan mengambil sedekah dari tangan para fakir, karena itulah sehingga tangan mereka yang biasa ini berubah menjadi berberkah. Demikian juga, apabila pada acara ritual doa setelah kita menengadahkan kedua tangan ke arah-Nya lalu pada akhir doa mengusapkannya pada wajah dan kedua mata kita, yaitu bahwa tangan biasa kita telah menjadi berberkah karena doa tersebut.

Ringkasnya, agama dan persoalan-persoalan suci lainnya – dikarenakan keterkaitan dan dukungannya dengan alam malakuti dan Sumber Penciptaan – yang memasuki segala dimensi kehidupan manusia tidak saja akan kehilangan kesucian yang dimilikinya, bahkan dia akan memberikan kesucian ke segala dimensi kehidupan manusia tersebut.


d. Perkara-perkara suci dan anggapan Masyarakat
Merupakan hal yang jelas bahwa pengenalan masyarakat terhadap hakikat agama adalah sebuah persoalan yang sangat berharga, dan pada prinsipnya, tujuan diutusnya para nabi dan rasul adalah supaya masyarakat memahami hakikat agama dengan baik untuk dapat membimbing mereka ke jalan yang lurus. Betapa banyak para mujahid –bahkan para nabi- yang mengorbankan nyawa dan mencapai kesyahidan demi memperkenalkan dan menjelaskan doktrin dan ajaran Tuhan kepada masyarakat supaya mereka mampu memahami secara benar pesan-pesan hakiki agama.

Oleh karena itu, pemahaman masyarakat yang benar mengenai agama dan juga sambutan serta terbimbingnya mereka adalah sangat penting dan berharga, sedemikian berharganya sehingga Allah Swt menyebut sambutan dan gairah masyarakat tersebut sebagai nasrullah (pertolongan Allah) dan karenanya Dia memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk mensyukuri nikmat dengan mengucapkan alhamdulillah dan tasbih, Dia berfirman, “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhan-mu … “ (Qs. An-Nashr:1-3)

Seluruh nilai dan urgensi yang diyakini agama Islam untuk membimbing serta memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat dan sambutan masyarakat ke arah Tuhan dan doktrin-Nya, demikian juga dengan kesucian dan nilai-nilai metafisika agama serta kesucian rububiyah-Nya sama sekali tidak pernah bersandar pada pandangan, pemahaman dan anggapan masyarakat terhadapnya. Tidaklah bisa dikatakan bahwa kesucian sebuah persoalan yang suci bergantung pada pendapat, perspektif dan kesepakatan masyarakat, sehingga dia akan menjadi lemah dan kehilangan kekuatannya karena pertentangan dan pendapat mayoritas mereka; karena keberadaan persoalan-persoalan suci –sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya- bukannya tanpa dasar dan pondasi, sehingga apabila masyarakat menganggapnya sebagai persoalan yang suci maka dia akan tetap menjadi suci, dan kapan saja dia kehilangan kesuciannya maka dia tidak akan memiliki perbedaan sedikitpun dengan persoalan-persoalan yang umum lainnya.

Metoda berpikir semacam ini muncul dari kesimpulan personal yang mengatakan bahwa persoalan-persoalan kesucian merupakan ilusi dan khayalan mayoritas masyarakat; dan terhadap kesucian-kesucian agama pun, mereka tidak menganggapnya lebih dari hal ini, sementara agama selain merupakan penjelas posisi dan pendukung kuat dari persoalan-persoalan suci, dalam masalah nilai dan kevalidan persoalan-persoalan suci dan segala sesuatu yang memiliki warna ketuhanan, sama sekali tidak terpengaruh dengan sambutan dan keyakinan ataupun kemalangan dan kesengsaraan masyarakat.

Dalam kaitannya dengan masalah ini kita bisa merujuk pada kisah duka syahadah Imam Husain As dan para sahabatnya. Masyarakat pada masa itu menganggap bahwa penghinaan dan kezaliman kepada Imam Husain dan Ahlulbaitnya merupakan sebuah hal yang bebas dan biasa, sehingga tidak tanggung-tanggung lagi dengan suka cita mereka menancapkan kepala mulia Imam Husain As dan para sahabatnya pada ujung-ujung tombak mereka dan meletakkan jasad-jasad suci para putra, saudara dan pengikut Imam Husain As di bawah tempat minuman kuda-kuda mereka, bukan hanya sampai di sini, bahkan merekapun tidak menguburkan jasad-jasad para syahid ini karena fitnahan mereka yang mengatakan bahwa Imam Husain As dengan seluruh pengikutnya bukanlah dari golongan orang-orang muslim yang layak untuk dikuburkan, naudzubillah. Mari kita lihat, apakah kekejian dan perbuatan mereka yang sangat hina ini telah mampu mengurangi nilai dan kesucian Imam Husain As? Sangat jelas bahwa kesucian Imam Husein As tidak menjadi berkurang hatta sebutir atom-pun dengan adanya perbuatan dan penghinaan yang dilakukan oleh masyarakat pada masa itu, karena tegak dan hancurnya pondasi sebuah kesucian tidak bergantung pada sambutan atau cercaan masyarakat; sedemikian sehingga seandainya pun masyarakat pada masa itu menampakkan perilaku yang baik kepada Ahlulbait dan memuliakannya, tetap saja wajah mulia Imam Husain As dan kesucian beliau tidak ada kaitannya sedikitpun dengan sambutan mereka itu. Para Bani Umayyah dengan perbuatan hinanya ini telah meletakkan dirinya dalam posisi orang-orang yang terlaknat di dunia dan di akhirat.

Oleh karena itu, meskipun dalam perspektif agama, sambutan masyarakat dan kepahaman mereka yang benar terhadap hakikat agama merupakan sebuah persoalan yang sangat penting dan berharga, akan tetapi kesucian dari doktrin-doktrin dan ajaran-ajaran agama sama sekali tidak bersandar dan tidak bergantung pada penyimpulan dan pemahaman yang mereka miliki.

Akhirnya, -berdasarkan penjelasan sebelumnya – bisa disimpulkan bahwa agama dengan adanya dukungan riil yang dimilikinya mampu memasuki arena dunia dan masyarakat serta memberikan warna kesuciannya, dan pada saat yang sama kesucian agama tetap terjaga dari segala ketidaksempurnaan yang ada dalam masyarakat tersebut. Jadi, pendapat yang mengatakan bahwa persoalan-persoalan yang semula suci dengan masuknya dia ke wilayah keduniawian dan kemanusiaan secara menyeluruh akan kehilangan warna kesucian, spiritual dan maknawinya, merupakan pendapat yang muncul dari keyakinan terhadap ketidakmandirian persoalan-persoalan suci agama dan adanya pengaruh hakiki anggapan masyarakat dalam perwujudan dan penafian persoalan-persoalan suci agama itu. Seluruh tuduhan dan anggapan keliru ini, dengan memperhatikan adanya dukungan-dukungan eksistensial dan hakiki dari agama, alam malakuti dan Tuhan itu sendiri menjadi tidak berdasar sama sekali.




Catatan Kaki:
[1] . Ushul Kafi, J. 1, hal. 70.

[2] . Ibid, J. 2, hal. 84.

[3] . Rujuklah: Wasail al-Syiah, J. 17, hal. 67.

[4] . Ibid; juga Biharul Anwar, J. 78, hal. 339.

[5] . Yang berhubungan dengan alam penciptaan atau eksistensi-eksistensi dan realitas-realitas hakiki

[6] . Biharul Anwar, J. 103, hal. 220.

[7] . Ibid, hal. 219.

13
NEO-TEOLOGI I

Agama dan Dunia [5]

Sebuah Keraguan; Kontradiksi antara Hukum Agama dan Kemaslahatan Masyarakat
Topik lain yang berkaitan dengan masalah ketidaksakralan agama adalah bagaimana arah perkembangan masyarakat di dunia modern saat ini. Dengan artian bahwa persoalan-persoalan suci sepanjang perguliran sejarah, telah kehilangan nilai dan urgensinya, posisinya telah diambil alih oleh kemashlahatan dan kemanfaatan rasional. Dengan ibarat lain, nilai-nilai kesucian hingga pada batasan tertentu mampu bertahan dalam menghadapi segala kemashlahatan umum, akan tetapi setelah beberapa lama kemudian –sebagaimana yang nampak di dunia Barat- masyarakat lebih mengutamakan nilai-nilai kemashlahatannya sendiri yang bersifat rasional.

Demikian juga dengan memperhatikan bahwa dunia saat ini kearah konsumerisme, pasar dan perdagangan, hal ini telah berangsur-angsur menambah percepatan perubahan nilai kearah kemashlahatan sentris, yang hal ini akan menyebabkan manusia jauh dari memandang nilai-nilai hakiki. Dari sinilah sehingga apabila agama ingin mempertahankan kesuciannya dan hukum-hukumnya, maka tidak seharusnya dia memasuki arena masyarakat secara luas sehingga tidak tercemar dan bertentangan dengan nial-nilai kemashlahatan, dengan demikian agama bisa mempertahankan nilai sucinya dalam wilayah yang khusus; atau apabila agama hendak memasuki segala aspek kemasyarakatan, untuk kelanjutan eksistensi agama, maka hendaklah memperhatikan kemashlahatan-kemashlahatan rasional, dan doktrin-doktrinnya senantiasa diletakkan sebagai bahan telaah dan analisa bebas bagi para pendukung paham kemashlahatan dengan tujuan bahwa peraturan dan hukum agama tidak berkontradiksi dengan kemashlahatan umum.


Jawaban Keraguan
Poin menonjol yang ada pada topik di atas mungkin terletak pada kontradiksi antara doktrin-doktrin dan hukum-hukum suci agama dengan kemashlahatan umum dimana bahwa apabila kontradiksi seperti ini tidak hilang dengan mengedepankan kemashlahatan umum atas agama maka akan menghadirkan kegelisahan.

Sebelum menjawab keraguan di atas, ada baiknya memperhatikan kedua topik berikut ini: yang pertama adalah makna kemashlahatan dan yang kedua adalah penjelasan masalah adanya benturan antara hukum-hukum Islam pada tingkat pengamalan dan pengaplikasian.


1. Makna Kemashlahatan.
Saat ini, kata kemashlahatan -sebagaimana kata-kata yang bermakna tak jelas lainnya- sangat banyak dipergunakan, akan tetapi sayangnya hanya sedikit yang memperhatikan makna dan kandungannya. Dari sinilah sehingga sebelum melakukan analisa terhadap klaim kontradiksi di antara keduanya, perlu untuk memberi penjelasan tentang makna kemashlahatan terlebih dahulu supaya realitas kontradiksi di atas menjadi lebih jelas. Untuk memahami makna kemashlahatan, kita bisa mengisyarahkan pada dua intepretasi berikut:

a. Kemutlakan keuntungan dan kemanfaatan. Berdasarkan makna ini, yang dimaksud dalam ungkapan keraguan di atas adalah bahwa pelaksanaan sebagian dari hukum-hukum agama dalam masyarakat –minimal untuk saat ini- tidak memiliki kemashlahatan dan tidak bermanfaat bagi manusia, dengan demikian pelaksanaan tersebut hanya akan meletakkan manusia pada posisi pihak yang dirugikan.

Tentu saja pengungkapan pernyataan dan pendapat seperti ini dari seseorang yang tidak meyakini agama merupakan sesuatu yang wajar, karena orang seperti ini tidak mengetahui tentang sari kehidupan dan nilai hakiki yang dimiliki oleh hukum-hukum Tuhan. Dia menyangka aturan-aturan agama ini yang diberikan oleh seseorang kepada masyarakat tanpa adanya sedikitpun tolok ukur hakiki dan ilmiahnya; selanjutnya mereka menyatakan bahwa hingga sekarang pun masih belum jelas apakah aturan-aturan agama ini memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat ataukah tidak; sangatlah jelas bahwa pendapat ini tidak sesuai dengan keyakinan terhadap Tuhan, hikmah serta ilmu-Nya yang tak terbatas, dimana agama suci ini ialah bersumber dari Sang Pencipta Alam ini. Bagaimana mungkin seseorang yang meyakini bahwa agama ini yang bersumber dari Zat Yang Maha Suci dimana Dia menurunkan ajaran-ajaran-Nya untuk menghidupkan ruh manusia dan bertujuan untuk kemaslahatan dan kebaikan seluruh alam pada setiap zaman dan tempat, akan tetapi pada saat yang sama dia pun meyakini bahwa sebagian ajaran-ajaran-Nya tersebut tidak memberikan manfaat dan mashlahat bagi manusia?!

Dalam al-Quran al-Karim dikatakan bahwa kerugian pelaksanaan hukum-hukum Tuhan tidak akan menghampiri manusia, bahkan keimanan atasnya dan mengamalkannya merupakan pondasi keselamatan manusia dari kerugian hakiki yang senantiasa dihadapi oleh manusia dalam sepanjang sejarah. Dan saat ini, nampak bahwa manusia menghadapi musibah-musibah tersebut melebihi yang telah lalu, Tuhan berfirman, “Demi masa sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, saling nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran, dan saling nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Qs. Ashr [103] : 1-3)

Tentu saja manusia jangan berpikir bahwa hukum-hukum Ilahi dapat memberikan keuntungan menyeluruh bagi manusia di dunia ini, karena pengetahuan manusia yang rendah terhadap kebaikan dan kemashlahatan hakikinya atau interaksi sebagian dari kemashlahatan hukum-hukum dengan hakikat alam akhirat -yang merupakan sebuah persoalan yang tak terpisahkan dari kehidupan duniawi dimana kebanyakan darinya merupakan rahasia yang tersembunyi bagi manusia- tersebut menjadikan manusia tidak mungkin atau absurd untuk dapat menjelaskan dan mengungkapkan setiap aspek-aspek kemashlahatan dari hukum-hukum Ilahi itu bagi dirinya sendiri.

Dari sinilah, pada kasus dimana kemashlahatan hukum tidak dapat dijelaskan secara sempurna –dalam kaitannya dengan seluruh individu dan tujuan- maka para pendukung maktab Ilahi yang karena menyadari tingkat pengetahuannya dan percaya terhadap ketakterbatasan ilmu-Nya, hal ini akan mendorong mereka untuk memberikan perhatian yang seksama dalam mengamalkan hukum-hukum dan norma-norma yang telah diturunkan oleh Tuhan, dan mereka menganggap hal tersebut sesuai dengan kemaslahatan, kebaikan dan manfaat dirinya. Begitu mereka menyadari ketiadaan kesanggupan untuk memahami kemaslahatan dan kebaikan segala persoalan kehidupan, mereka lantas tidak menghukumi secara langsung adanya kontradiksi hakiki antara hukum Ilahi dan kemaslahatan manusia; dan ketika mereka mengesampingkan adannya kenyataan kontradiksi di antara keduanya secara lahiriah, maka dalam hal ini mereka tidak bermaksud untuk berspekulasi, melainkan sebagaimana perilaku para intelektual ketika menghadapi kesulitan dalam sebuah persoalan, maka terlebih dahulu mereka telah merujuk kepada ahlinya dan pendapat para ahli tersebut akan mereka amalkan.

b. Keuntungan duniawi. Pengertian kedua dari kemaslahatan adalah keuntungan duniawi. Berdasarkan makna ini, yang dimaksud dalam ungkapan keraguan di atas tentang adanya kontradiksi antara kemaslahatan dan hukum-hukum agama adalah bahwa sebagian hukum-hukum Tuhan berada dalam posisi yang bertentangan dengan manfaat duniawi dan keuntungan-keuntungan materi masyarakat. Apabila tidak ada kontradiksi antara kemaslahatan (dalam pengertian yang pertama, poin a) dan hukum-hukum Ilahi serta kita menerima bahwa hukum-hukum Tuhan memiliki keuntungan dan manfaat hakiki, yakni kemaslahatan-kemaslahatan hakiki manusia sesuai dengan hukum-hukum Tuhan, maka sudah tentu sebagian hukum-hukum agama tidak sesuai dengan maslahat-maslahat dan manfaat-manfaat duniawi.

Untuk menganalisa pengertian kedua bagi kemashlahatan yaitu manfaat duniawi, hal ini memerlukan perhatian yang lebih seksama, karena manfaat dan keuntungan duniawi bersifat relatif, sebagian dari keuntungan itu kecil, dangkal dan sesaat dan sebagiannya lagi mendalam dan kontinu, seperti keadilan, kemuliaan, kebebasan, kemerdekaan, ketenangan, kerelaan terhadap kehidupan, dan lain sebagainya; demikian juga, kedua jenis manfaat duniawi ini memberikan kepada kita dua makna yang berbeda terhadap kemaslahatan dimana juga akan mewujudkan dua interaksi terhadap doktrin-doktrin agama.

Pendapat Islam berkaitan dengan manfaat yang tak abadi dan sesaat, sangat berbeda dengan pendapatnya mengenai manfaat yang mendalam dan abadi. Dari satu sisi, maktab ini sama sekali tidak memestikan dirinya bahwa doktrin-doktrinnya harus sesuai dengan manfaat-manfaat yang dangkal dan tak abadi. Oleh karena itu, kebanyakan dari doktrinnya –seperti kewajiban infak, jihad, puasa dan haramnya memakan riba, haramnya memandang non-mahram, dan sebagainya- tidak sesuai dengan kelezatan-kelezatan dan kesenangan-kesenangan sesaat, akan tetapi dari sisi lain, di dalam Islam tidak ditemukan adanya aturan dan hukum yang kontradiksi dengan manfaat yang mendalam dan abadi manusia, seperti tidak ada sebuah hukum pun di dalam Islam yang menginjak-injak harga diri manusia atau bertentangan dengan keadilan dan kebebasan hakiki manusia.

Dan selanjutnya, dengan melakukan kontemplasi dalam pembagian yang telah disajikan terdahulu untuk manfaat duniawi, dapat disimpulkan bahwa dua manfaat tersebut (dangkal dan mendalam) dalam kebanyakan kasus, masing-masing saling berkontradiksi dan menafikan satu sama lain, dimana Islam memberikan perhatiannya yang lebih terhadap manfaat yang mendalam dan abadi di atas manfaat yang dangkal dan tak abadi.

Agama sepakat bahwa manusia tidak seharusnya terikat pada satu manfaat saja sebagaimana sebuah bahan narkotika yang secara semu dan bohong mampu mencukupi kebutuhan manusia selama beberapa hari dan secara lahiriah akan menghilangkan kebutuhan-kebutuhan semu manusia atas dunia. Agama memandang suatu manfaat tidak hanya yang berkaitan pada masa sekarang, melainkan masa datang pun terangkum di dalamnya. Sebagai contoh, bisa jadi seseorang akan menjadi gembira dan terpukau dengan penampakan lahiriah yang kemilau ketika mendapatkan sebuah keuntungan dari sebuah tindakan kolonial dan penjajahan yang lakukannya, akan tetapi agama mengajarkan kepadanya bahwa dia tidak seharusnya melakukan penjajahan pada selainnya, melainkan dia harus menanggung kesulitan dan bersusah payah supaya tidak pernah kehilangan kemaslahatan abadi, kebebasan dan kemerdekaan hakiki. Oleh karena itu, Amirul Mu’minin Ali As dalam salah satu hadisnya bersabda, “Jangan engkau jadikan dirimu budak bagi selainmmu, karena sesungguhnya Allah telah meletakkanmu sebagai orang-orang yang bebas.”[1]

Dengan perkataannya ini, Imam Ali ingin menasehatkan bahwa orang yang cerdas –bahkan untuk meraih kehidupan duniawi yang lebih baik- senantiasa akan berhadapan dengan kesulitan hidup, akan tetapi kebebasan dan tidak berada dalam perbudakan selainnya lebih dia pilih daripada kemilau yang diiringi dengan penjajahan atas diri; karena dia mengetahui bahwa dengan mengikuti kemaslahatan duniawinya akan menjerumuskannya untuk melakukan kesalahan yang lebih mendalam dan lebih kontinu, karena manusia yang berakal tidak sebagaimana anak-anak kecil yang tertipu dengan kelezatan-kelezatan sesaat dan dangkal.

Oleh karena itu, apabila makna kemaslahatan itu adalah keuntungan duniawi maka hanya pada kasus-kasus yang ringan dan sesaat –dimana tolok ukurnya dalam kehidupan, dalam kebanyakan kasus tidak pula memberikan keuntungan yang terus menerus kepada manusia di dunia- dengan demikian sama sekali tidak ada kontradiksi antara keduanya, bahkan nada hukum-hukum Tuhan berhadapan dengan keuntungan-keuntungan duniawi yang halal dan mendalam mengandung penegasan dan dorongan, bukan celaan.

Kesimpulannya, dengan mencermati lebih mendalam hukum-hukum Tuhan, bisa disimpulkan bahwa kemaslahatan duniawi dan hukum-hukum Tuhan, bukan saja terbebas dari kontradiksi sebagaimana yang diyakini oleh sebagian kalangan, melainkan berdasarkan kedua makna kemashlahatan di atas, terdapat interaksi yang sangat mendalam dan mengakar di antara keduanya, sedemikian sehingga manusia dengan melalui agama Islam akan memperoleh kemaslahatan dan keuntungan yang tertinggi–yang tak lain adalah kebebasan-, Tuhan berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, rukuklah, sujudlah, sembahlah Tuhanmu, dan perbuatlah kebaikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (Qs. Hajj [22]: 77)

Demikian juga dengan adanya perlakuan yang benar terhadap agama, dia tidak akan tertinggal dari pencapaian terhadap keuntungan duniawi, bahkan diapun akan mendapatkan dunia yang lebih makmur dan lebih menguntungkan.

Perlu dikatakan bahwa topik di atas adalah berkaitan dengan masalah interaksi kemaslahatan dan hukum-hukum Tuhan apabila dilihat dari dimensi teoritis, selanjutnya perlu pula kiranya untuk menganalisa topik tersebut dari pandangan dimensi praktis dan aplikasi.


2. Benturan di antara Hukum-hukum Tuhan dalam tingkat praktis dan aplikasi.
Hukum-hukum Islam dalam dimensi teoritis merupakan sebuah majemuk yang saling berkaitan satu sama lain dan memiliki kebersamaan serta keharmonisan dalam semua dimensi, akan tetapi majemuk yang harmonis ini pada tingkat aplikasi dan penerapannya akan kehilangan keharmoniannya dimana sebagian dari hukum itu akan bersesuaian dengan sebagian persoalan dan sebagian hukum lainnya akan senada dengan persoalan lainnya, dan dengan alasan inilah sehingga dikatakan bahwa hukum-hukum Tuhan tersebut saling berbenturan satu sama lain pada tingkat aplikasi, sedemikian hingga pengapllikasian sebagian merupakan penghalang bagi pengaplikasian dan penerapan yang lain.

Sebagai contoh, apabila terdapat seseorang yang berada di ambang kematian dan untuk menyelamatkannya mengharuskan untuk menggunakan milik orang lain, dalam keadaan ini terdapat dua hukum yang harus dihadapi secara bersamaan yaitu pertama, “kewajiban untuk menyelamatkan seseorang dari kematian” dan yang kedua adalah “haram menggunakan milik orang lain tanpa izin”, dalam dimensi teoritis, pada kasus di atas terdapat dua kemaslahatan yang terpisah yang sama sekali tidak saling berkontradiksi satu sama lain, akan tetapi pada dimensi praktis, keduanya berada dalam posisi diametrikal dan para pelaku hanya memiliki kemampuan untuk melakukan dan menerapkan salah satu dari kedua hukum itu pada waktu yang sama.

Penyebab adanya kontradiksi semacam ini harus pula dicari dalam kekhususan alam tabiat, bukan dalam hukum-hukum Tuhan; karena apabila hukum-hukum Tuhan dalam dimensi praktisnya sendiri memiliki masalah maka demikian pula dalam dimensi teoritis, padahal hukum-hukum dalam perspektif teoritis betul-betul berada dalam keharmonisan. Oleh karena itu, dikarenakan adanya saling benturan dan saling menghalangi di antara benda-benda di alam tabiat ini, maka hal ini telah menciptakan adanya penghalang dalam keharmonisan dan kekompakan hukum-hukum Ilahi dalam wilayah praktis, sehingga kadangkala dua atau beberapa aturan agama tidak bisa terwujud secara serentak dalam waktu yang bersamaan, dan pelaksanaan terhadap salah satunya akan berakibat meninggalkan aturan yang lainnya.

Solusi yang ditawarkan oleh agama adalah bahwa pelindung dan pengayom atas masalah-masalah agama di dalam masyarakat harus mengutamakan dan mendahulukan sebuah hukum dari hukum lainnya dengan pengenalan yang dimilikinya terhadap hukum-hukum agama dan manfaatnya, juga dengan pengetahuan yang sempurna terhadap kondisi zaman, hal ini merupakan sebuah pengutamaan yang didasarkan pada kaidah akal yang biasa disebut dengan “mendahulukan yang lebih penting dari yang penting”. Berdasarkan hal ini, sebuah hukum agama dikarenakan kemaslahatannya yang lebih sedikit dibandingkan dengan kemashlatan hukum lainnya –yang berada berbenturan dengannya- akan dikesampingkan untuk sementara waktu.

Waktu pengesampingan hukum tersebut pun terbatas dengan waktu dimana terjadinya benturan di antara keduanya; ketika benturan dengan hukum yang memiliki maslahat lebih banyak tadi –dikarenakan suatu sebab- telah hilang, maka hukum yang sebelumnya telah ditinggalkan untuk sementara oleh pelaku itu akan kembali pada posisinya semula, sebagai contoh, hukum pengharaman tembakau yang diputuskan oleh ulama besar Ayatullah Mirza Syirazi merupakan solusi dan jalan keluar yang beliau ambil dalam menghadapi dua hukum berikut: “Penggunaan tembakau bersifat mubah” dan “kewajiban mempertahankan wilayah Islam dari penyusupan kekuasaan asing”, kedua hukum ini pada kondisi tertentu saling berbenturan satu sama lain. Dengan adanya hukum dari marja dan ulama yang kompeten ini, maka hukum “penggunaan tembakau yang bersifat halal dan mubah” yang berbenturan dengan persoalan yang lebih penting yakni mempertahankan wilayah Islam hingga pada batas tertentu dikesampingkan dahulu, akan tetapi ketika perjanjian para penjajah itu batal, maka hukum kehalalan dan kemubahan yang dari awal telah dimiliki oleh tembakau tadi, kembali lagi pada posisinya semula.

Mencermati apa yang telah kita bahas sebelumnya, menunjukkan bahwa tidak ada satupun dari hukum-hukum Islam, bahkan dalam tingkatan aplikasinya –berlawanan dengan yang digambarkan oleh sebagian- yang kosong dari kebaikan dan kemaslahatan, karena pada tingkatan dimana sebuah hukum diutamakan atas hukum lainnya, maka dikesampingkannya hukum –untuk sementara- yang tidak diutamakan bukan disebabkan karena hukum tersebut tidak memiliki maslahat, melainkan karena hukum itu memiliki tingkat kemaslahatan yang lebih rendah dibandingkan dengan hukum yang diutamakan tersebut.

Dengan demikian, kaidah rasional yang berlaku dalam masalah ini adalah kaidah “mendahulukan yang lebih penting dari yang penting”, dan di dalamnya sama sekali tidak ada pembicaraan mengenai penggantian hukum oleh “yang benar” atas “yang tidak benar” atau penyingkiran masalah-masalah yang tidak sah dari yang sah dimana dalam hal ini betul-betul memperhatikan masalah ketiadaan kemaslahatan dalam sebuah hukum.

Kesimpulannya, apabila perkembangan klaim masyarakat ke arah kemaslahatan hakiki betul-betul terjadi, maka harus diketahui dan diterima bahwa hukum-hukum Tuhan merupakan persoalan yang paling jernih dan jelas yang senantiasa berhadapan dengan dukungan-dukungan hakiki bagi manusia, begitu pula hukum-hukum Tuhan senantiasa memiliki kemaslahatan hakiki, baik dari dimensi teoritis maupun dimensi praktis; bahkan agama dengan metodenya mengutamakan sebuah hukum untuk menghilangkan benturan di antara hukum-hukum dalam tingkatan aplikasi, agama telah memberikan penegasan pada masalah duniawi dan ukhrawi manusia yang tertinggi, dengan demikian telah terbentuk jalan yang terbaik bagi manusia untuk mendapatkan keuntungan dunia dan akhirat.

Dari sinilah sehingga usaha dan jerih payah untuk menyesuaikan kemaslahatan-kemaslahatan manusia dengan hukum-hukum Tuhan menjadi ternafikan secara mendasar; hal ini disebabkan karena perolehan kemaslahatan hakiki, berada dalam lingkup aplikasi terhadap hukum-hukum Tuhan, dan filosofi penetapan hukum-hukum Ilahi pun berdasarkan pada hal ini. Oleh karena itu, untuk meraih kemaslahatan manusia, daripada berupaya mencari jalan untuk menghindari aturan-aturan yang telah ditentukan oleh agama, lebih baik bersandar secara hakiki pada agama dan ajaran-ajarannya lalu mencarikan solusi yang terbaik supaya masyarakat bisa mengenali agama secara sebagaimana mestinya dan bisa diamalkan secara baik.

Mungkin sebagian kelompok menginginkan agar kemaslahatan diarahkan ke dalam koridor untuk manfaat-manfaat yang dangkal dan sesaat, sedemikian sehingga mereka memaksakan kehendaknya dan mengatakan bahwa: masyarakat hanya mencari manfaat-manfaat dan kelezatan-kelezatan yang sesaat; dan hal tersebut mereka anggap sebagai bagian dari kemaslahatan-kemaslahatan kehidupan, jadi apabila nilai-nilai kesucian tidak sesuai dengan manfaat seperti ini, maka dia akan dikesampingkan dan tidak akan diperhatikan lagi. Oleh karena itu, para pendukung agama, apabila mereka menginginkan keberlanjutan dan kontinuitas agamanya hingga waktu mendatang, maka mereka harus menciptakan kesesuaian antara ajaran-ajaran dan aturan-aturan agama dengan manfaat-manfaat semacam ini.

Untuk memberikan jawaban atas pernyataan mereka ini, maka harus dikatakan bahwa:

a. Sebelum meneliti secara obyektif segala bentuk klaim, maka harus merujuk kepada pendapat para ahli dan dukungan data konkrit dan akurat; untuk membuktikan suatu klaim tidak hanya cukup menggunakan satu peristiwa sejarah, seperti berpijak pada sejarah dan latar belakang terwujudnya renaisance. Sangat mungkin dalam satu putaran zaman, keinginan manusia untuk meraih kesempurnaan mengalami suatu kemandekan dan stagnasi yang disebabkan oleh beragam kondisi dan keadaan, akan tetapi karena persoalan ini –yaitu stagnasi pencapaian kesempurnaan manusia- tidak sesuai dengan prinsip kefitrahan manusia, maka hal tersebut tidak akan berlangsung lama. Dengan demikian, stagnasi yang disebabkan oleh beragam kondisi itu tidak bisa dianggap sebagai asas dan prinsip universal bagi kehidupan keberagamaan manusia dan perkembangan yang pasti untuk seluruh masyarakat manusia.

b. Apabila diumpamakan bahwa para ahli memberikan penegasan kepada masyarakat supaya mereka mencari manfaat-manfaat yang sesaat dan tak berlangsung lama, dan menyuruh untuk tidak memperdulikan nilai-nilai kesucian agama, maka tugas-tugas agama, pelindung-pelindung dan pendukung-pendukungnya perlu untuk dikaji ulang. Apakah agama harus searah dengan individu-individu semacam ini dan mengubah arah agama karena saran-saran yang mereka ajukan, dan menciptakan keharmonian antara hukum-hukum yang dimilikinya dengan manfaat-manfaat yang sesaat dan tak abadi ini, dimana berdasarkan penjelasan sebelumnya bahkan tidak sesuai dengan manfaat-manfaat hakiki manusia di dunia dan di akhirat, bahkan juga dalam kebanyakan kasus, bertentangan dengannya?!

Seseorang yang memiliki pengenalan terhadap agama dan asas-asasnya dalam tingkatan yang sangat minim sekalipun, akan meletakkan hukum-hukumnya berdasarkan pada pokok-pokok yang mandiri dan asas-asas yang bernilai, bukannya pada manfaat-manfaat yang dangkal dan sesaat yang hal ini merupakan landasan dan nilai yang tidak bisa dipercaya dan dianut.

Islam, sama sekali tidak pernah menganggap tolok ukur persoalan-persoalan semacam ini sebagai tolok ukur yang sesuai untuk kehidupan hakiki manusia, dan agama juga senantiasa melarang dan menghalangi manusia dari melakukan kesibukan yang terus menerus untuk memperoleh keuntungan tak kekal dan manfaat-manfaat sesaat serta mashlahat duniawi, karena hal ini bisa melalaikan dia dari tujuan penciptaannya dan arah kehidupan hakikinya untuk meraih manfaat yang lebih tinggi dan abadi serta ukhrawi, lalu bagaimana mungkin persoalan-persoalan semacam ini –yaitu persoalan-persoalan yang menghasilkan maslahat yang dangkal dan sesaat- malah diletakkan sebagai dasar bagi perubahan hukum-hukum dan aturan-aturan agama. Agama dalam menghadapi masyarakat yang telah menjadi pendukung dan pengikut kelezatan-kelezatan sesaat dan manfaat-manfaat dangkal, melarang mereka dari kebergantungan hakiki pada manfaat-manfaat dangkal tersebut -seperti dalam mencari kesejahteraan duniawi dan materialisme-, dan mendorong mereka ke arah kemaslahatan-kemaslahatan hakiki bagi dunia dan akhirat mereka, bukannya menyediakan secara bebas fasilitas-fasilitas yang akan mendekatkan dan menjerumuskan mereka ke dalam kemashlahatan-kemashlahatan tak esensial semacam itu.


Catatan Kaki:
[1] . Nahjul Balaghah, khotbah 31.

14
NEO-TEOLOGI I

Agama dan Dunia [6]

1. Ketiadaan Partisipasi Menyeluruh
Para pendukung teori sekularisme menyepakati bahwa agama menyebabkan keterbatasan bahkan menyebabkan ketiadaan partisipasi dan kerjasama antara masyarakat dengan pemerintah dalam mengambil keputusan dan kebijakan negara, mereka menyatakan bahwa pemerintahan seperti ini sama artinya dengan otoriter; dengan arti bahwa pemerintahan non otoriter yang berbentuk keadilan sosial seharusnya melibatkan seluruh kelompok dan partisipasi segala lapisan yang ada dalam masyarakat, dengan tanpa memperhatikan akidah yang dimilikinya, tujuan, perilaku maupun madzhab yang dianutnya. Segalanya harus terlibat langsung dalam seluruh urusan sosial dan pengaturan kemasyrakatan.

Perlu bagi mereka untuk mengikuti seluruh persoalan yang berhubungan dengan segala pengaturan masyarakat, dan mempergunakan kemampuan dan kelayakan yang mereka miliki untuk berpartisipasi langsung dalam pemerintahan, yakni terlibat dari tingkatan pekerjaan yang paling rendah hingga pada posisi pemerintahan yang paling tinggi. Sekarang, pada sebuah pemerintahan yang warna manajemennya secara resmi didasarkan pada sebuah agama, karena pemerintahan tersebut memberikan perhatian yang khusus terhadap persoalan akidah dan madzhab tertentu dalam mengatur masyarakat, maka jalan bagi lapisan tertentu dari masyarakat untuk berpartisipasi langsung dalam pemerintahan menjadi terhalangi, dan tidak semua lapisan masyarakat dapat melakukan intervensi dan memberikan solusi dalam persoalan-persoalan negara maupun dalam memegang tanggung jawab yang layak.

Dengan kata lain, karena dalam pemerintahan keagamaan atau teokrasi, tidak ada jalan lain kecuali madzhab dan agama tertentu menjadi sebuah hal yang formal dan resmi, dan agama akan menjadi ruh dan metode yang dipilih untuk menangani persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pengaturan negara, wajar apabila hal ini menyebabkan sebagian –dimana jumlah mereka tidak bisa dikatakan sedikit- tidak mampu menyesuaikan diri dengan persoalan-persoalan semacam ini serta tidak mampu mengikuti metode serta tujuan madzhab yang dimiliki oleh pemerintah. Oleh karena itu, mereka akan merasa asing dari lingkungan masyarakat dan pemerintahan, terutama dari posisi-posisi resmi yang ada di atasnya, dan tidak mampu memanfaatkan saham dan aset-aset yang berkaitan dengan seluruh kepentingan masyarakat.

Sebaliknya, mereka yang sebenarnya tidak memiliki kemampuan dan kelayakan yang seharusnya, akan tetapi karena memperhatikan masalah-masalah agama –meskipun hanya secara lahiriah-, justru orang-orang dari golongan ini yang akan lebih mudah menempatkan dirinya dan mendapatkan posisi dalam rangkaian struktural di masyarakat dan mampu melakukan intervensinya secara aktif dalam keputusan-keputusan dan program-program yang direncanakan dan dirancang oleh pemerintah, dengan mudah mereka juga mampu berhadapan dengan medan dan kesempatan yang ada di dalam masyarakat dan dengan mudah pula akan mendapatkan keuntungan dari fasilitas-fasilitas dan aset-aset umum maupun pemerintahan.

Oleh karena itu, dengan mengaplikasikan pikiran-pikiran yang dimiliki oleh agama dalam pemerintahan dan arena kepengaturannya, sudah pasti persoalan-persoalan internal akan menempati posisinya dan menggantikan kelayakan-kelayakan yang hakiki; dan tangungg jawab-tanggung jawab yang pada hakikatnya merupakan bagian dari aset negara yang harus dibagikan kepada masyarakat dengan cara yang benar dan merata, hanya akan menjadi milik kelompok-kelompok tertentu dan milik mereka yang sebenarnya tak layak mendapatkannya.

Untuk melepaskan diri dari kesalahan semacam ini maka solusinya adalah, pemerintah harus menghindarkan diri dari menganut suatu warna agama arau mazhab tertentu, atau minimal terlepas dari kebergantungan terhadap sebuah agama tertentu dan tidak menerima sebuah agama pun sebagai bentuk resmi pemerintahan; maka dalam keadaan ini tolok ukur seharusnya didasarkan pada ilmu, pengetahuan, dan keterampilan individu, bukannya didasarkan pada ibadah-ibadah dan amal perbuatan semu para individu yang justru akan menjebak kita pada penampakan lahiriah yang menipu. Dengan kata lain, pemanfaatan ilmu, pengalaman dan keahlian merupakan tolok ukur untuk pelimpahan tanggung jawab dan pelibatan masyarakat dalam pemerintahan, siapa saja dan dari lapisan manapun, akan bisa ikut serta berpartisipasi dalam persoalan-persoalan masyarakat dan manajemennya dengan memanfaatkan pengalaman berharga dan ilmu-ilmu tinggi yang dimilikinya.


Substansi Kritikan
Untuk menganalisa argumentasi ketiga membutuhkan perhatian yang cermat pada dua tema asasi berikut: pertama, penjelasan tentang posisi partisipasi masyarakat dalam pemerintahan religius, dan kedua, penjelasan tentang iman dan kepemimpinan.


a. Penjelasan Posisi Partisipasi Masyarakat dalam Pemerintahan Agama
Partisipasi adalah intervensi dan campur tangan masyarakat dalam persoalan-persoalan sosial dan pengaturan masyarakat berdasarkan nila-nilai yang berharga dalam komunitas masyarakat. Saat ini, hanya sedikit orang yang mau menerima masyarakat tersebut dalam bentuknya yang tertutup dan statis, dan lebih mengedepankan suatu masyarakat sosial yang individu-individunya patuh dan hanya menurut perintah-perintah perangkat penguasa. Berdasarkan alasan ini, mayoritas para politikus dan penguasa-penguasa tertentu memanfaatkan perspektif umum ini dan mereka ini sekaligus menegaskan klaimnya bahwa partisipasi umum dan rasa tanggung jawab dari personal masyarakat itu akan menyebabkan munculnya dinamika dalam masyarakat.

Mengenai hal ini, penting sekiranya untuk menyinggung pertama-tama mengenai mizan penilaian yang dimiliki oleh perangkat pemerintah dalam pemerintahan agama dengan pemerintahan-pemerintahan lainnya dalam masalah partisipasi masyarakat, setelah itu baru menjelaskan tentang proses partisipasi masyarakat dalam mekanisme pemerintahan, sehingga kemudian akan terjawab suatu pertanyaan tentang apakah penegasan agama Islam dalam kaitannya dengan pemerintahan dan negara akan berkontradiksi dan berlawanan dengan penerimaan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan tersebut?


Kejujuran dalam Klaim
Telah dikatakan bahwa partisipasi masyarakat merupakan pilar yang penting dan asasi dalam agama. Pemerintahan seperti ini akan mendapatkan kekuatannya berdasarkan dukungan masyarakat; dan tanpa adanya hal tersebut, maka pemerintahan yang seperti ini tidak akan mungkin bisa terbentuk dan berkelanjutan. Berdasarkan penegasan teks-teks suci agama, maka kepenguasaan Tuhan dan pemerintahan agama hanya akan bisa terwujud ketika masyarakat juga menerima kekuasaan dan pemerintahan seperti itu. Dari sinilah sehingga dikatakan bahwa pemerintahan agama sama sekali tidak akan terwujud pada suatu masyarakat dimana seluruh orang-orang yang ada di dalamnya tidak menerima kehadirannya dan tidak memiliki kecintaan terhadapnya.

Interaksi antara pemerintahan dengan masyarakat menurut perspektif agama –yang didasarkan pada realitas rasional dan tesktual agama- menegaskan bahwa para penguasa-penguasa agama itu untuk memandang secara jujur permasalahan yang berkaitan dengan nilai partisipasi aktif masyarakat. Menurut mereka ini intervensi masyarakat itu dalam persoalan-persoalan sosial dan kemasyarakatan tidak saja dianggap sebagai sebuah persoalan yang mengikat dan wajib, melainkan hal tersebut juga merupakan pesan-pesan yang terambil dari doktrin-doktrin suci agama. Pandangan mereka terhadap peran penentu nasib masyarakat, bukan merupakan sebuah pandangan yang tidak berdasar dan bersifat lahiriah saja, melainkan mereka memandangnya sebagai sebuah tugas yang harus dilakukannya dengan memperhatikan kerelaan dan keridhaan masyarakat.

Dari sisi lainnya, sebagaimana bahwa tujuan amal dan perbuatan manusia yang beragama adalah menetapkan jalan dan metode yang benar untuk meraih segala tujuan mereka, para pemimpin agama pun untuk meraih tujuannya mesti terbebas dari segala tipu muslihat, yakni menjauhi segala tipu muslihat yang dipergunakan oleh sebagian politikus lainnya untuk menarik perhatian masyarakat dan rakyat. Untuk menarik partisipasi masyarakat, para pemimpin ini tidak boleh menampakkan diri selain dari apa yang mereka miliki, dalam perjalanan politik dan sosial hendaknya mereka juga menghindarkan diri dari klaim-klaim yang tak berdasar dan tak riil, atau menggunakan kekayaan untuk merebut simpati masyarakat.

Oleh karena itu, dalam pemerintahan agama, mendominasi aset dan sumber pemikiran masyarakat merupakan suatu tipu muslihat yang tak layak untuk dilakukan, sementara menurut pengakuan negara-negara besar Barat –yang senantiasa membicarakan tentang penghormatan dan penghargaan mereka terhadap pendapat yang diajukan oleh masyarakat- faktor pertama yang memberikan pengaruh pada pemikiran dan pendapat masyarakat adalah propaganda yang menyeluruh dimana arah dan tujuan mereka ditentukan oleh tangan-tangan perusahaan besar dan orang-orang kapitalis.

Tentunya terdapat satu poin penting yang harus dipandang secara jujur oleh pemimpin agama, dan poin tersebut adalah melihat kehendak hakiki rakyat dengan pandangan yang cermat dan seksama. Bisa jadi dikarenakan adanya beragam pembangunan, perubahan-perubahan pada situasi dan kondisi masyarakat, dan …, telah menjadikan rakyat tidak mampu meraih sebagian besar dari hakikat-hakikat yang seharusnya bisa mereka raih, dan pendapat mereka terpengaruh oleh aset dan propaganda yang negatif, yang hal ini akan mendorong mereka untuk terjatuh ke dalam kesalahan yang fatal. Dalam keadaan ini, pemimpin yang tidak hanya berpikir untuk mengambil simpati rakyat dalam amal dan perbuatannya, selain dia harus berusaha untuk menyadarkan masyarakat, dia juga harus mengokohkan kakinya untuk berusaha ke arah manfaat hakiki masyarakat dan menunjukkan kejujuran yang sebenarnya kepada masyarakat.

Pemimpin Ilahi senantiasa mencintai rakyatnya dari lubuk hati yang terdalam dan mencintai mereka sebagaimana dia mencintaai jiwanya sendiri. Oleh karena itu, meskipun dia akan kehilangan simpati dari rakyatnya, hal ini tidak akan menjadi suatu persoalan yang berarti baginya; akan tetapi di kalangan masyarakat Barat, perilaku seperti ini tidak sejalan dengan rasio yang berlaku di dalam masyarakat itu, karena menurut mereka, simpati –semahal apapun dan dalam bentuk yang bagaimanapun- merupakan kata kunci. Distingsi dan perbedaan penting inilah yang membedakan antara pemerintahan Islam dan Barat mengenai partisipasi masyarakat dalam pemerintahan, dengan artian bahwa meskipun menurut perspektif agama, kerelaan masyarakat merupakan pondasi yang penting untuk tegaknya sebuah pemerintahan, akan tetapi perhatian agama terhadap kerelaan masyarakat –yang mengarahkan pada terciptanya partisipasi masyarakat- merupakan sebuah persoalan yang riil, terbebas dari tipu muslihat dan pretensi; dalam satu kalimat bisa dikatakan perhatian agama terhadap kerelaan masyarakat merupakan sebuah perhatian yang jujur, dan hal ini sangat berbeda dengan pandangan yang dimiliki oleh Barat.

Tentunya apabila para penyelenggara dan pemimpim negara agama telah menspesifikasikan kepentingan-kepentingan hakiki rakyat dan telah berusaha untuk menyadarkan mereka, akan tetapi mereka tetap melakukan kesalahan-kesalahan, dan pemimpim itu telah melarang mereka -dengan segala bentuk- akan tetapi mereka malah membunuh para penguasa atau para pemimpin tersebut, menteror, menawan, mengasingkan, memenjarakan mereka baik dalam penjara negara maupun penjara rumah, maka dalam kondisi seperti ini, berarti rakyat tersebut, sebagaimana yang ada dalam salah satu firman-Nya, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”[1], telah menegasikan dan menafikan taufik Ilahi dari diri mereka sendiri, dan dalam keadaan inilah tiba masanya untuk melakukan semacam bentuk gerakan bawah tanah dan perlawanan yang tersembunyi, sebagaimana yang terjadi pada zaman Rasul saw, dikarenakan ketiadaan syarat-syarat pembentukan sebuah pemerintahan, selama 13 tahun di Mekkah Rasul saw tidak memiliki pemerintahan, demikian juga dalam masa 25 tahun setelah beliau wafat Imam Ali As tak mampu memegang tampuk pemerintahan, karena rakyatlah yang pada hakikatnya telah mengurung beliau di rumahnya sendiri, tak hanya itu, Imam Hasan As pun hanya mampu memegang pemerintahan tak lebih dari beberapa bulan saja, demikian pula dengan Imam-Imam Ahlulbait lainnya, pada masa beliau-beliau ini sama sekali tidak ditemukan kondisi yang mendukung untuk terwujudnya sebuah pemerintahan Islami, sehingga pada semua masa tersebut, para Imam Ahlulbait hidup dalam keadaan menyembunyikan keinginan membentuk negara.

Tentu saja, jika sebagian dari masyarakat berada dalam usahanya untuk merobohkan pondasi pemerintahan yang zalim, maka terdapat dua alternatif yang harus dilakukan, pertama apabila sumber kesalahan mereka muncul karena adanya keraguan ilmiah, maka para pendukung negara agama mesti menggunakan argumen-argumen yang jelas untuk menyirnakan keraguan-keraguan mereka itu, dan kedua, apabila sumber penentangan mereka berasal dari kesombongan maka harus dihadapi secara tegas.


Kemestian Berpartisipasi
Salah satu dari kejelasan yang ada dalam agama Islam adalah adanya ikatan yang kuat dan mendalam antara religiusitas masyarakat dengan kehendak mereka. Banyak dari ayat dan hadis, demikian juga sirah teoritis dan praktis dari para Nabi dan Imam-imam Ahlulbait yang keseluruhannya menunjukkan bahwa kecenderungan dan keinginan masyarakat ke arah agama sama sekali tidak akan pernah terwujud dengan adanya paksaan dan kekerasan. Dari sinilah sehingga sebagaimana agama diterima dengan kehendak dan keinginan bebas manusia dan sama sekali tidak ada paksaan di dalamnya, maka demikian juga pemerintahan yang berdiri di atas pondasi agama, hendaknya dan seharusnya dijauhkan dari segala bentuk pemaksaan dan kekerasan.

Dari sisi yang lain, argumen-argumen yang menunjukkan pada ketiadaannya pemaksaan dalam pemerintahan agama, bukan hanya merupakan penjelas bagi adanya intervensi kehendak rakyat dalam pembentukan pemerintahan, karena setelah pengambilan pendapat atau referendum untuk pembentukan sebuah pemerintahan, hingga akhir pun mereka perlu untuk mengamalkan segala keputusan sesuai dengan apa yang telah ditunjukkan oleh para pemimpinnya, bahkan dengan mencermati berbagai informasi yang ada dalam al-Quran, hadis dan rasionalitas, kita bisa menyimpulkan bahwa kehendak masyarakat dalam pemerintahan agama, bukan hanya berperan dalam awal pembentukan pemerintahan saja, melainkan dalam kelanjutan dan keabadiannya pun memiliki peran yang sangat asasi dan strategis.

Pada dasarnya, masyarakat bukan hanya merupakan faktor penggerak perputaran roda pemerintahan saja, melainkan mereka merupakan sebuah unsur yang senantiasa bersama dan sejalan dengan pemerintahan, dan penegasan serta dukungan mereka senantiasa menjadi sumber energi bagi kekuatan dan tegaknya pemerintahan Ilahi ini. Oleh karena itu, pemerintahan agama tidak bisa dikatakan sebagai sebuah pemerintahan yang disandarkan pada pengusaan dan pemaksaan, dan tanpa memperhatikan keinginan dan kehendak masyarakat segala urusan mereka ditentukan secara sepihak.


Pengaturan dalam Partisipasi
Dari penjelasan terdahulu –berlawanan dengan akidah sebagian- partisipasi tidak bisa disimpulkan dalam bentuk yang sangat sederhana atau sangat luas tanpa batasan. Sebagian menganggap, apabila pembentukan dan tegaknya pemerintahan rakyat bergantung pada dukungan rakyat, maka pemerintah ini pada setiap persoalan yang dihadapinya bisa merujuk pada opini dan pandangan rakyatnya secara mutlak dan tanpa perlu merasakan keraguan sedikitpun, dengan demikian tidak akan ada lagi masalah dan problem yang akan menghalangi berlangsungnya pengaturan terhadap masyarakat, dan opini serta pendapat rakyat tanpa diragukan lagi merupakan kunci penyelesaian bagi seluruh masalah.

Akan tetapi pandangan seperti ini hanya dimiliki oleh mereka yang masih belum mengenal dan belum mempunyai informasi lengkap mengenai realitas masyarakat dan bagaimana mengaplikasikan metode partisipasi masyarakat; karena mereka yang telah mengenal persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat pasti akan mengetahui bahwa di dalam masyarakat terdapat ratusan persoalan yang lebih panjang, lebih rumit dan lebih mendalam apabila dibandingkan dengan persoalan-persoalan yang ada dalam administrasi dan pengaturan masyarakat; memanfaatkan opini dan melibatkan secara mutlak partisipasi mereka merupakan problem tersulit, baik dalam wacana ilmu politik maupun ilmu sosial, dan kesulitan ini pun tidak ada kaitannya dengan asas partisipasi atau interaksi dengan jenis pemerintahan atau keber-agama-annya.

Merujuk pada mekanisme politik yang tengah berkembang di dunia menunjukkan bahwa pelibatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan manapun membutuhkan adanya pengawasan dan strategi yang mantap yang telah diperhitungkan secara matang sebelumnya, hal ini berbeda dengan pendapat awal yang mengatakan bahwa apapun yang terjadi di dalam masyarakat, harus segera diserahkan ke tangan rakyat itu sendiri untuk kemudian diputuskan berdasarkan opini dan pendapat mereka sendiri.

Oleh karena itu, klaim yang mengatakan bahwa dalam pemerintahan rakyat, seluruh masalah masyarakat akan terselesaikan dengan merujuk pada opini mereka dan tidak ada sedikitpun pengawasan selain opini itu sendiri, merupakan klaim yang salah dan keliru; bahkan pada kebanyakan pemerintahan yang klaim kerakyatannya lebih kental dari yang lain, pun tetap saja menganggap bahwa hal tersebut merupakan sebuah persoalan yang tidak berdasar dan tidak mungkin terwujud.


Penentuan Bentuk Partisipasi
Salah satu dari problematika ketidakterwujudan partisipasi dalam masyarakat adalah kesulitan terwujudnya kekompakan dan mekanisme yang teratur di dalam partisipasi tersebut. Rakyat, meskipun mereka memiliki kriteria dan tolok ukur untuk pilihan yang mereka tentukan, akan tetapi mereka tidak senantiasa mampu menentukan pilihannya tersebut berdasarkan argumen-argumen yang benar maupun berdasarkan proses yang jelas. Mungkin saja selera masing-masing mereka terhadap sebagian masalah saling berbeda, atau argumen-argumen awal yang kebanyakan mereka pergunakan untuk menentukan pilihan awal, yang semula mereka anggap benar, ternyata pada pilihan selanjutnya mereka anggap sebagai pilihan atau argumen yang tidak benar dan tidak mencukupi, atau mereka mengetahui bahwa argumen awal merupakan argumen yang benar dan mencukupi, akan tetapi mereka tidak meletakkannya sebagai poin yang mereka pilih. Oleh karena itu, sama sekali tidak bisa diharapkan bahwa seluruh rakyat akan memberikan pendapatnya secara kompak, sewarna, sama dan senada, dan senantiasa memperhatikan keharmonian dan kebersamaan dalam partisipasi mereka.

Dalam keadaan seperti ini, dengan bantuan kebijakan dari mereka yang profesional, partisipasi masyarakat ini harus diarahkan ke tujuan yang logis dan kompak, sehingga mampu memberikan keuntungan serta sistematisasi yang cermat dan meyakinkan dalam berbagai arena sosial –baik yang berkaitan dengan hukum, kebudayaan, sosial, agama dan …- karena hanya dengan menyandarkan pada opini dan pendapat, yang kadangkala berlawanan dan tidak sama ini, akan menghadapkan kita pada mekanisme yang buntu dan sama sekali tak akan pernah terlaksana. Dari sinilah sehingga tujuan yang logis untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam persoalan-persoalan sosial, merupakan suatu hal yang sangat menentukan, dan menjadi hal yang urgen bagi setiap sistem dan mekanisme pemerintahan yang menghendaki adanya nilai yang bisa diterapkan secara praktis.

Langkah pertama yang harus dilakukan oleh para ahli ini untuk menyelaraskan dan mengatur partisipasi rakyat adalah menentukan proses dan memperjelas struktur partisipasi itu. Dengan langkah ini, kebanyakan dari problem dan masalah akan bisa terselesaikan, demikian juga langkah ini akan mampu pula memperjelas bagaimana pemanfaatan opini masyarakat. Penentuan proses ini, dapat menetapkan suatu mobilitas yang didasrkan pada opini masyarakat, dan juga akan memperjelas proses pengaplikasian dan penerapan segala opini masyarakat dalam bentuk yang benar dan logis. Penentuan bentuk dan proses pelibatan partisipasi ini, yang biasanya hanya didasarkan pada satu maktab pemikiran tertentu yang dicapai melalui proses pemilihan opini umum, bukan hanya tidak bertolak belakang dengan partisipasi penuh masyarakat, bahkan juga persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan tidak secara buta mengikuti segala opini dan pendapat masyarakat yang sangat mungkin bertentangan dengan tujuan hakiki penciptaan manusia.

Maktab pemikiran yang telah diterima dan ditentukan oleh masyarakat sendiri melalui proses referendum, akan mampu menjelaskan kebanyakan sisi-sisi persoalan masyarakat dan penyelesaian berbagai masalah-masalah yang beragam, serta mendeskripsikan garis-garis umum seluruh kehidupan masyarakat manusia. Tentunya maktab dan bentuk proses yang dimaksud dalam masyarakat-masyarakat yang beragam, supaya memiliki kelayakan yang diperlukan untuk mengatur masyarakat harus memiliki nilai-nilai pemersatu, dengan demikian dia akan memiliki kemampuan dan kekuatan yang sesuai dan layak. Demikian juga dia mesti memiliki fleksibilitas yang sesuai untuk mengambil manfaat dalam penerimaan opini individu dan pandangan masyarakat dan tidak hanya membatasi pendapat-pendapat hanya pada perspektif satu kelompok tertentu.


Agama dan Bentuk Partisipasi
Analisa riil terhadap doktrin-doktrin Islam menunjukkan bahwa agama mampu menjadi struktur yang mantap dan profesional dalam mengarahkan dan memanfaatkan partisipasi masyarakat, sebuah struktur yang mampu menspesifikasikan berbagai dimensi kehidupan manusia dan memberikan arah dan tujuan yang logis pada partisipasi masyarakat.

Sebagai sebuah struktur yang memanfaatkan wahyu Ilahi, Islam akan mengatur masyarakat dengan menyajikan pandangan paling mendalam yang didasarkan pada kebutuhan hakiki mereka. Islam, terutama mazhab Ahlulbait, bukan hanya merupakan sebuah madzhab yang memiliki etika dan adab-adab yang khusus, akan tetapi juga merupakan sebuah maktab pemikiran yang istimewa. Dan maktab semacam ini memperkenalkan dirinya sebagai sebuah sistem yang sempurna dan lengkap berhubungan dengan masalah-masalah seperti sosial, hukum, kemiliteran, kebudayaan, perekonomian, dan lain sebagainya.

Meskipun demikian, Islam tetap menganggap bahwa untuk diterimanya maktab semacam ini dalam suatu masyarakat, pendapat dan opini masyarakat –dimana hal ini berpijak pada salah satu argumen yang meyakinkan- merupakan sebuah hal yang sangat mendasar dan fundamental, yang tanpa adanya opini masyarakat ini, langkah-langkah mazhab ini untuk masuk dan melakukan intervensinya ke dalam pemerintahan merupakan sebuah keinginan yang absurd dan tidak mungkin. Oleh karena itu, mazhab dan maktab Ahlulbait ini hanya akan menapakkan kakinya dan berpengaruh di arena politik dan pemerintahan dengan adanya bantuan riil masyarakat dan akan melanjutkan kegiatannya di semua aspek kemasyarakatan serta meraih keberhasilannya dengan adanya dukungan dan bantuan dari masyarakat.

Dari sisi yang lain, pendapat yang mengatakan bahwa agama Islam tidak memiliki fleksibilitas yang memadai dan tidak memberikan posisi yang spesifik pada opini dan pendapat masyarakat, betul-betul merupakan pendapat yang tidak bisa diterima. Berdasarkan syariat Islam, rakyat dengan mudah bisa memegang peranan dan posisi struktural dalam pemerintahan yang diatur berdasarkan pada agama ini. Dan wilayah yang bisa mereka masuki meliputi seluruh persoalan yang di dalamnya argumen-argumen tekstual agama tidak mengetengahkan pelarangan atau pengharusan tertentu, berdasarkan hal tersebut, dengan bersandar pada argumen-argumen rasional atau pengalaman berharga yang bisa dipercaya, rakyat bisa mendapatkan perannya dalam menentukan sebagian dari masalah-masalah negara atau pemerintahan. Dalam hal ini, kita dapat menyaksikan bagaimana pemerintahan Islam dapat berdiri dan terbentuk dengan berpijak pada dukungan dan pandangan masyarakat.

Dengan perspektif yang jujur terhadap pembahasan yang terdahulu menunjukkan bahwa pendeklarasian agama Islam dengan dukungan rakyat sebagai asas pemerintahan merupakan suatu hal yang logis dan sangat bisa diterima, dan sama sekali tidak pernah berkontradiksi dengan asas partisipasi. Selain itu, dengan memperhatikan visi agama dan kandungan yang dimilikinya, bisa disimpulkan bahwa mengaplikasikan agama –bahkan setelah adanya penerimaan dari masyarakat dan dalam sepanjang lintasan proses pengaturan pemerintahan- bukan saja hal ini tidak akan mencoreng intervensi rakyat dalam mengatur masyarakat, bahkan proses intervensi semacam ini akan diaplikasikan dan diarahkan dalam lintasan yang logis dan berharga, yang hal ini merupakan urgensi bagi sebuah pemerintahan yang praktis dan luhur. Di sini, kami akan mengingatkan beberapa poin penting berikut:

1. Setiap pemerintahan yang didasarkan pada agama atau mazhab tertentu akan menyiapkan dan meluaskan lapangan bagi para pemerhati dan para pengikut agama atau mazhab itu, dan hal seperti ini bukan hanya terkhusus bagi agama Islam saja.

2. Islam yang karena menganggap adanya keharmonisan antara alam penciptaan dan syariat, maka Islam memandang bahwa pengaturan akitvitas-aktivitas politik dan sosial masyarakat (dalam bentuk hukum dan syariat) juga didasarkan pada aturan-aturan alami yang ada di alam eksistensi.

3. Islam mengajak seluruh pihak tanpa terkecuali untuk mempelajari asas-asas teoritis agama dan keyakinan-keyakinan praktis secara serius.

4. Islam dalam proses ajakannya yang menyeluruh ini, menerima semua pihak secara setara dan tanpa membedakan. Merupakan suatu hal yang wajar, apabila individu atau sekelompok kecil yang tidak menjawab dan tidak memperhatikan panggilan dan ajakan Tuhan, secara sengaja akan menghindarkan diri dari memegang jabatan-jabatan yang penting.

5. Meskipun jabatan-jabatan yang penting diserahkan kepada mereka yang setia kepada Islam dan yang meyakini asas-asasnya, akan tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa pihak-pihak lainnya akan tersingkirkan, karena pemerintahan ini tetap akan memanfaatkan seluruh pendapat, pandangan, saran-saran yang argumentatif dan rasional, demikian juga akan memanfaatkan seluruh pengalaman-pengalaman berharga yang dimiliki oleh anggota masyarakatnya, meskipun yang mengajukan pendapat, saran atau yang memiliki pengalaman itu bukan dari mereka yang meyakini Islam, hal ini disebabkan karena terdapat perbedaan antara pendapat seseorang dalam masalah praktis tertentu dengan bentuk keyakinannya, dan hal yang penting dalam solusi suatu masalah praktis adalah pendapat itu sendiri, bukan orang yang memberikan pendapat.


b. Keimanan dan Kepemimpinan
Salah satu bagian dari ketiga argumen yang terkhusus pada tema ini adalah bahwa tidak ada metode lain dalam memilih para penyelenggara dan pemimpin pemerintahan agama kecuali berdasarkan pada keyakinan yang mereka anut dan perhatian mereka terhadap norma-norma lahiriah agama, akan tetapi masalah seperti ini selain akan menyebabkan terjebaknya pada hal yang lahiriah, akan pula diikuti dengan tidak dilakukannya pembagian fasilitas dan aset-aset negara dan pemerintahan secara benar dan merata. Oleh karena itu, sebenarnya, terwujudnya sebuah pemerintahan dengan berdasar pada agama atau mazhab tertentu merupakan suatu hal yang tidak layak dan tidak perlu dilakukan.

Untuk menjawab argumen ini, kita harus menganalisa dua masalah berikut, yaitu tentang:

1. Tolok ukur dan kriteria pemilihan pemimpin dan penyelenggara pemerintahan Islam;

2. Asas pemerataan pada pembagian fasilitas pemerintahan dan bahwa apakah dalam pemerintahan agama pembagian seperti ini didasarkan pada kriteria-kriteria agama?

Sebelum melangkah lebih lanjut pada pembahasan berikutnya, ada baiknya kalau terlebih dahulu kita menganalisa tentang masalah yang kedua, setelah itu baru menjelaskan tentang kriteria pemilihan metode-metode kepemimpinan dalam pemerintahan agama.


Proses Pembagian Fasilitas Negara
Untuk menganalisa tentang bagaimana melakukan pembagian aset dan fasilitas dalam masyarakat beragama, hal ini dititik beratkan pada kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh individu-individu masyarakat sebagaimana yang telah dijelaskan dalam doktrin dan teks-teks agama, setelah itu baru kita akan menemukan rumusannya. Berdasarkan ayat-ayat Ilahi, persoalan yang bisa menyebabkan kemuliaan dan keutamaan seseorang berada pada tingkat yang lebih tinggi dari selainnya, hanya terletak pada tingkat penjagaan dan pengontrolan hawa nafsu yang diiringi dengan kecenderungan praktisi[2] ketika menghadapi persoalan-persoalan yang hina dan tercela, penjagaan hawa nafsu ini selanjutnya disebut dengan taqwa, dalam kaitannya dengan masalah ini, Allah Swt dalam salah satu ayat-Nya berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa” (Qs. Hujarat: 13). Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa, siapapun yang melangkahkan kakinya dalam ketaatan dan ketaqwaan pada-Nya, maka sudah pasti dia akan mendapatkan keutamaan dan kemuliaan yang lebih di sisi-Nya.

Jadi, apabila Allah Swt menganggap bahwa sebagian manusia memiliki kemuliaan dan keutamaan yang lebih dibanding dengan yang lainnya, hal ini hanya disebabkan oleh tingkat ketaqwaan yang mereka miliki[3] dan bukan disebabkan oleh selain hal itu; karena alasan inilah sehingga Allah memuji dan menyanjung para malaikat muqarrabin, para Imam Ahlulbait, para Nabi Ilahi serta para syuhada di jalan Allah, karena mereka lebih mengutamakan keridhaan-Nya daripada gemerlap dan kilau dunia.

Oleh karena itu, pemberian label lebih mulia dan lebih utama hanya diberikan kepada seseorang berdasarkan pada tingkat keimanan dan ketakwaannya, sedangkan pemberian label ini karena kedudukan, pangkat, silsilah keturunan, warna kulit, kekayaan, kecantikan, dan lain sebagainya merupakan hal yang menyimpang dan tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.

Akan tetapi, tentang dimanakah hasil dari kemuliaan yang hanya terbatas dan khusus untuk orang-orang yang bertaqwa ini akan termanifestasi, dengan merujuk pada ayat-ayat Ilahi akan kita temukan bahwa imbalan-imbalan yang akan dikaruniakan oleh Tuhan karena ketaqwaan ini kebanyakan akan termanifestasi dan mentajalli pada sisi dunia yang lain, Dia berfirman, “Dan (di hari itu) didekatkanlah surga kepada orang-orang yang bertakwa” (Qs. As-Syu’ara: 90), dan kelebihan-kelebihan materi duniawi yang dalam al-Quran digambarkan sebagai sebuah permainan anak-anak, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, melainkan main-main dan senda gurau belaka” [4] sama sekali tidak akan mampu menjadi faktor bagi turunnya tingkat ketaqwaan mereka.

Dari sinilah sehingga begitu banyak para mukmin yang sanggup dan mampu menanggung beban dan cobaan sangat berat dalam kehidupan duniawi dan materinya karena ketaqwaan dan keimanan yang mereka miliki, akan tetapi mereka tidak mampu dan tidak pernah bersedia melepaskan keimanan dan religiusitasnya tersebut hanya untuk mendapatkan keindahan materi, contoh sangat jelas yang berkaitan dengan masalah ini adalah kehidupan para Nabi Ilahi dan para Imam Ahlulbait. Mereka bukan saja tidak menikmati kelezatan-kelezatan dunia dalam seluruh tingkat ketaqwaan dan keimanan yang mereka miliki, bahkan dalam ketaqwaan dan dalam perjalanannya menyampaikan risalah Ilahi, mereka malah menghindarkan diri dari sebagian besar fasilitas, keistimewaan dan kemilau duniawi, yang pada dasarnya bisa saja mereka peroleh.

Dari sinilah sehingga dikatakan bahwa taqwa merupakan sebuah kelebihan maknawi dan keistimewaan spiritual, akan tetapi seseorang yang memiliki tingkat lebih tinggi dalam hal ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan tingkat perolehan fasilitas, aset atau kekayaan negara, sehingga dikatakan “karena dia orang yang memiliki tingkat ketaqwaan lebih tinggi, maka dia harus mendapatkan keistimewaan dan fasilitas yang lebih pula”, karena dalam perolehan fasilitas baitulmal dan aset-aset negara, sama sekali tidak pernah ada perbedaan antara orang yang bertaqwa dan yang selainnya.

Dari sisi yang lain, setelah kita mengetahui bahwa taqwa dengan perannya dalam memberikan keistimewaan dan kelebihan hakiki pada seseorang tidak akan menyebabkan munculnya perbedaan individu dalam masyarakat yang terkait dengan masalah pembagian fasilitas-fasilitas materi, berarti kita pun mengetahui bahwa persoalan-persoalan lainnya yang memiliki keistimewaan dan kelebihan non hakiki -seperti kedudukan, kekayaan, keturunan, dan lain-lain- pun bisa ditentukan pula dengan metode pertama, yaitu keberadaan keistimewaan-keistimewaan di atas pada diri seseorang sama sekali tidak bisa dijadikan alasan untuk mendapatkan tingkat perolehan pelayanan dan fasilitas yang lebih tinggi, karena pada prinsipnya keistimewaan semacam ini tidak memiliki alasan yang rasional.

Kehidupan dan sirah Amirul Mu’minin Ali As merupakan teladan dan contoh obyektif yang paling sempurna dari pemerintahan agama ini, pada pemerintahan ini pemerataan fasilitas-fasilitas masyarakat dan baitulmal diaplikasikan dalam bentuk asas dan hukum kenegaraan. Dalam pembagian kekayaan umum, langkah pertama yang beliau laksanakan adalah menghilangkan peran keistimewaan-keistimewaaan nisbi dan imajiner (seperti kedudukan, keturunan, warna kulit, dan lain-lain) yang semula sangat mentradisi di kalangan masyarakat, dan pihak pertama yang menerapkan langkah ini adalah beliau sendiri. Meskipun dalam posisi khilafah dan kepemimpinan demikian juga dalam tingkat spiritual, beliau berada pada kedudukan yang lebih tinggi dari selainnya, akan tetapi beliau malah membatasi diri dan keluarganya untuk mengambil sesuatu dari kekayaan umum hanya dalam jumlah yang tak berarti.

Kadangkala masyarakat dibuat heran dan takjub ketika melihat sedemikian ketatnya Imam Ali As menerapkan metode ini untuk dirinya, sedemikian sehingga rasio mereka sangat sulit untuk menerima hal ini.[5] Dari sisi yang lain, beliau pun menempatkan keluarga beliau pada posisi sebagaimana pihak yang sama sekali tak memiliki kelebihan apapun, mereka menerima pembagian kekayaan baitulmal dengan perhitungan yang sangat cermat sebagaimana anggota masyarakat lainnya, sedemikian sehingga keluarganya tidak memiliki sedikitpun perbedaan dengan masyarakat lainnya.

Sebagai contoh, suatu hari keponakan lelakinya yang bernama Abdullah bin Ja’far mendatangi beliau dan menceritakan tentang kemiskinan yang dialaminya, dia menceritakan keadaannya dengan mengatakan, “Demi Allah, aku tidak memiliki barang sedikitpun, kecuali apabila aku menjual makanan cadangan binatang piaraanku”, setelah menceritakan hal ini, Abdullah meminta dari Imam Ali As untuk mengambilkan kekayaan dari baitul mal sedikit saja sebatas untuk menutupi kekurangannya. Akan tetapi dalam menjawab permintaan ini Imam Ali as bersabda, “Demi Allah, aku pun tidak memiliki sesuatupun untukmu, kecuali apabila kamu menyuruh pamanmu ini untuk mencuri lalu menyerahkan hasil curian itu kepadamu.”[6]

Pada tahapan selanjutnya, Amirul Mu’minin Ali As bahkan menghapuskan seluruh keistimewaan hakiki –seperti taqwa, adanya pengkhidmatan kepada Rasul saw pada masa kehidupan beliau, dan lain-lain- dari arena pembagian kekayaan baitulmal. Sebagaimana kita ketahui, khalifah-khalifah sebelum Imam Ali As memberikan perhatian dan keistimewaan-keistimewaan yang begitu banyak kepada para sahabat dan tokoh-tokoh pendahulu, akan tetapi pada masa pemerintahannya, justru Imam Ali As menghilangkan kebiasaan ini dari program pemerintahannya; dalam pemerataan pembagian kekayaan baitulmal, beliau menerapkan asas sama rata, dan sama sekali tidak tertipu dengan usaha dan muslihat yang dilakukan oleh pihak manapun. Dalam masalah ini beliau melangkah dengan langkah yang sangat pasti sehingga berpisahnya para sahabat dan orang-orang penting seperti Thalhah dan Zubair dari sisinya pun tetap tidak mampu menghalangi keberlanjutan program yang telah beliau canangkan.

Terhadap mereka yang terlalu berambisi, beliau bersabda, “Wahai para hamba Allah! Baitulmal adalah milik Allah yang harus aku bagikan di antara kalian dengan merata. Tidak ada seorangpun dari kalian, -bahkan bagi yang sebelum ini memiliki posisi yang dekat dengan Rasul saw sekalipun- yang akan mendapatkan keistimewaan lebih tinggi dari yang lainnya. Di akhirat kelak, hanya orang-orang yang bertaqwalah yang di sisi Allah akan memiliki kedudukan paling mulia dan paling baik, dan Allah tidak akan meletakkan dunia dan keistimewaan-keistimewaan materi sebagai imbalan dan pahala dari amal dan perbuatan mereka, dan bagi mereka (orang-orang yang bertaqwa), apa yang ada di sisi Allah adalah sebaik-baik pahala.”[7]

Oleh karena itu, dalam pemerintahan agama, kekayaan pemerintah dan fasilitas-fasilitas negara akan dibagikan di antara masyarakat tanpa ada pengecualian –baik karena keistimewaan imajiner maupun keistimewaan hakiki- dan perbedaan dalam pembagian kekayaan merupakan suatu hal yang menyimpang dari aturan agama. Tak seorangpun berhak -dengan segala alasan apapun- untuk menghindarkan atau tidak memberikan suatu fasilitas kepada salah satu dari anggota masyarakat dan memberikan keistimewaan dan fasilitas yang lebih pada anggota masyarakat lainnya.

Pada wacana ini ada baiknya jika kami mengingatkan dua point penting berikut:

1. Semua individu di hadapan hukum Tuhan adalah sama dan setara, meskipun secara hukum personal masing-masing mereka memiliki perbedaan berdasarkan kelayakan, manajerial, profesional, dan sebagainya.

2. Jalan untuk mendapatkan derajat dan kenaikan tingkat spiritual tersedia untuk semuanya, dan apabila terdapat seseorang yang karena keyakinannya atau etika tak terpujinya secara sengaja tidak menghendaki pengenalan dan makrifat agama lebih lanjut dan dia lebih berhasil dalam pengkhidmatannya kepada dunia, maka dia sendiri yang harus bertanggung jawab untuk memberikan penjelasan atas hal tersebut di hari kemudian.


Kriteria Pemilihan Pemimpin
Sebagaimana telah kita ketahui dari pembahasan terdahulu bahwa kekayaan negara, harus dibagikan secara merata di antara individu-individu masyarakat, dan memberikan pelayanan secara istimewa kepada satu pihak atau tidak mengindahkan pihak lainnya merupakan hal yang dilarang; akan tetapi sekarang muncul pertanyaan, apakah pemilihan dan pembagian kepemimpinan, pengaturan dan pertanggungjawaban terhadap persoalan-persoalan penting negara berada dalam jajaran yang sama dengan pembagian kekayaan dan fasilitas; yaitu apakah dalam masalah inipun harus terdapat pembagian yang sama dan merata di antara individu-individu masyarakat?

Akal sehat mengatakan bahwa pembagian dan pemilihan kepemimpinan semacam ini tidak bisa diterima. Setiap pemimpin yang cerdas yang menganggap masa depan rakyatnya sebagai sebuah masalah yang berharga, tidak akan mengaplikasikan asas pemerataan dalam masalah kepemimpinan negara ini di antara rakyatnya, melainkan senantiasa akan meletakkan dan menyerahkan pengaturan dan pertanggungjawaban persoalan-persoalan penting pada pihak-pihak yang memiliki kelayakan dalam masalah tersebut. Dari sini, dalam pemerintahan agama pun, “kelayakan” yang merupakan unsur profesionalisasi dan keyakinan agama, menjadi dasar kriteria dan tolok ukur untuk memilih para pelaksana dan pemimpin negara; dan hanya bersandar pada menetapnya seseorang dalam sebuah masyarakat, hal ini tidak bisa menjadi alasan bagi kebolehan dan kelayakan dipilihnya seseorang untuk memegang sebuah tanggung jawab dalam pemerintahan.

Dari sisi lainnya, jerih payah seseorang, latar belakang pengkhidmatan, kedudukan, kesuksesan dalam masyarakat dengan seluruh cabang-cabangnya, bukan merupakan tolok ukur dan kriteria murni dari suatu pemilihan, kecuali apabila di dalam persoalan semacam itu menunjukkan pula pada kelayakan dan kepantasannya, karena dalam doktrin agama, pemberian tanggung jawab dalam bentuk hadiah atau imbalan kepada individu yang tak layak memegangnya, merupakan persoalan yang jelas-jelas menyimpang; dan tidak ada seorang pun yang berhak menyerahkan tanggungjawab dan kepengaturan sebagian dari persoalan-persoalan kemasyarakatan kepada seseorang yang tidak memiliki kelayakan untuk memegangnya hanya karena kesuksesannya dalam suatu masalah, bahkan meskipun karena dia pernah membantu pemerintah atau agama.

Ilustrasi dan gambaran berikut merupakan suatu hal yang biasa terjadi pada masa pemerintahan sebagian dari khalifah terdahulu –seperti yang ada pula pada sebagian pemerintahan yang ada pada saat ini- dimana banyak masyarakat yang beranggapan bahwa mendapatkan kedudukan dan memegang suatu jabatan akan sama artinya dengan adanya kemungkinan dan kesempatan yang lebih banyak untuk memperoleh dan mengumpulkan kekayaan dan fasilitas materi; padahal sebenarnya menerima tanggung jawab untuk memegang sebuah jabatan, meskipun secara tidak langsung diiringi pula dengan didapatkannya kemudahan untuk memperoleh fasilitas materi, akan tetapi dalam pemerintahan agama, hal seperti ini bukan merupakan tujuan utama, pemerintahan Islam semacam ini tidak memandang jabatan atau kepemimpinan dalam sebuah posisi sebagai sebuah kesempatan untuk memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang ada dalam masyarakat, melainkan sebagai penerimaan sebuah amanat yang harus dijaga dengan baik supaya pada hari pertanggungjawaban kelak dia mengajukan jawaban yang tidak memalukan.

Dalam kaitannya dengan masalah ini, kepada gubernur Azerbaijan, Amirul Mu’minin Ali As bersabda, “Jabatan yang engkau pegang saat ini, bukan merupakan roti dan mentegamu, melainkan sebuah amanat yang diletakkan dalam tanggungjawabmu.”[8]

Dengan memperhatikan tema ini, mungkin bisa dipahami kenapa orang-orang yang religius dan memegang agamanya dengan kuat, ketika berhadapan dengan tawaran untuk memegang suatu jabatan pemerintahan tertentu, mereka akan senantiasa menunda dalam memberikan jawaban atau menolaknya. Mereka senantiasa meragukan kelayakan dan kepantasannya untuk menerima sebuah jabatan yang suatu hari kelak setiap detiknya harus dia pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Karena mereka takut tidak bisa memegang amanat Tuhan dengan baik, maka mereka akan menolak tawaran jabatan tersebut ketika merasa tidak berkewajiban untuk menerimanya dan ketika merasa dirinya tak layak untuk memegang tanggungjawab tersebut.

Setelah kita mengetahui bahwa tanggungjawab dan pengaturan kemasyarakatan bukan merupakan sumber pendapatan materi, melainkan tolok ukur dan kriterianya terletak pada “kelayakan” yang merupakan majemuk dari profesionalisasi keilmuan dan keyakinan agama, dan peran yang dicapai untuk menggunakan kesempatan dalam memanfaatkan dan mengumpulkan fasilitas, tidak ada dalam definisi kepemimpinan pemerintahan agama, maka kini tiba saatnya untuk mencermati dan melakukan kontemplasi yang lebih mendetail dalam pengertian “kelayakan” dari pemimpin dan pelaksana menurut visi pemerintahan agama dan doktrin-doktrin suci agama.

Sehubungan dengan masalah ini kami akan mengisyarahkan pada dua ayat al-Quran al-Karim, dalam salah satu ayat yang menceritakan tentang kehidupan Nabi Yusuf As, dikatakan bahwa Nabi Yusuf As dalam salah satu kalimatnya mengisyarahkan tentang kelayakan dirinya untuk memegang sebuah jabatan, berkata Yusuf, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”

Ayat kedua adalah ayat yang mengetengahkan tentang kalimat yang diungkapkan oleh putri Nabi Syuaib As, pada kesempatan ini putri Nabi Syuaib As menyarankan kepada ayahnya untuk meminta bantuan dari Nabi Musa As dalam memenuhi dan memegang tanggungjawab penghidupan. Argumen yang diajukan oleh putri Nabi Syuaib As sebagai alasan yang menunjukkan kelayakan Nabi Musa As untuk memegang tanggungjawab tersebut adalah karena tinggal di hadapan salah satu dari rasul Ilahi (Baca: Nabi Syuaib As), merupakan sebuah hal yang berharga, Tuhan berfirman. “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, “Wahai ayahku, ambillah ia (Musa as) sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”

Kedua ayat di atas, menjelaskan tentang kriteria-kriteria sosok penanggung jawab, mulai dari yang memegang kedudukan tertinggi (Nabi Yusuf As), yaitu pedagang, mentri, dan penanggungjawab permasalahan penghidupan warga negara Mesir; hingga sosok penanggung jawab dalam posisi terendah (Nabi Musa As), yaitu penanggungjawab untuk menjaga dan mengawasi ladang gembala milik Nabi Syuaib As. Oleh karena itu, dari sini bisa dipahami bahwa menurut perspektif wahyu, para penyelenggara masyarakat Islam –dari pemimpin hingga bawahannya- niscaya harus memiliki dua kriteria khusus tersebut yaitu profesionalitas atau keahlian, dan komitmen keimanan terhadap apa yang dilakukannya.


1. Profesionalitas
Dikatakan bahwa Nabi Yusuf As menganggap berilmu dan berpengetahuan merupakan salah satu alasan bagi kelayakannya untuk memegang sebuah tanggung jawab, “… sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”, tentu saja penyertaan ilmu dan pengetahuan dalam kriteria-kriteria kepemimpinan, bisa jadi dianggap merupakan sebuah persoalan yang aksioma dan sangat jelas, akan tetapi tentang dikatakannya dalam kalam wahyu bahwa di antara dua kriteria tersebut (yaitu pandai menjaga dan berpengetahuan) salah satunya mengkhususkan pada keberadaan ilmu, hal ini merupakan penjelas bagi peran utama dan asasinya ilmu dalam kekhususan profesionalitas seseorang. Seorang penanggungjawab, apabila dia tidak memiliki modal ilmu yang memadai dalam cabang ilmu yang dipegangnya, meskipun dia memiliki kelayakan pada bidang yang lain –seperti kewibawaan, kecerdasan, bahkan dalam komitmen dan religiusitas-, dia tetap tidak bisa dianggap sebagai pemimpin yang baik dalam bidang tersebut.

Oleh karena itulah, keberadaan ilmu dan pengetahuan termodern dalam diri para pemimpin masyarakat Islam, akan bisa menjadi nilai tambah untuk mendukung kemampuan mereka dalam melaksanakan tugas-tugas yang ada dalam tanggungjawabnya. Dengan demikian, kemampuan dan kodrat dalam melakukan kewajiban dan risalah kepemimpinan –yang dalam ayat diisyaratkan sebagai “ … orang yang kuat lagi dapat dipercaya …”- memiliki interaksi langsung dengan keluasan ilmu dan pengetahuan dalam cabang ilmu yang sesuai; sedemikian sehingga dengan semakin mendalamnya ilmu yang dimiliki seorang pemimpin dalam bidang yang ditekuninya, maka sudah pasti dia pun akan memperoleh keberhasilan yang semakin banyak dalam bidang kepemimpinannya dalam masyarakat.

Dengan memperhatikan penekanan seperti ini –yang bersumber dari teks dan wahyu Ilahi- pendapat yang menyatakan bahwa pada pemerintahan agama, seluruh perhatian hanya difokuskan pada kepercayaan dan komitmen yang dimiliki oleh seseorang tanpa memperhatikan keahlian dan ilmu yang dimilikinya, merupakan sebuah stetmen yang sama sekali tidak sesuai dengan realitas agama Islam, karena dalam perspektif agama, profesionalisasi dan keahlian merupakan kriteria urgen bagi seorang pemimpin, dan menyerahkan tanggungjawab kepada seseorang yang tidak memilikinya, merupakan langkah yang salah dan tidak sesuai.


2. Komitmen dan Tanggungjawab
Kriteria kedua yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dan penyelenggara pemerintahan adalah adanya sifat komitmen atau rasa bertanggungjawab dalam dirinya, dan hal ini telah dijelaskan secara tegas pada kedua ayat di atas. Kriteria ini -yang pada ayat tersebut muncul dalam bentuk kata orang yang menjaga (hafidh) dan orang yang dipercaya (amin)- menunjukkan bahwa dalam pemerintahan agama, masing-masing pemimpin yang duduk dalam eselon dan tingkatan yang berbeda-beda bertugas untuk menjaga aset-aset dan pendapatan negara, dan mereka harus melakukan tugasnya ini dengan baik sebagaimana dia harus menjaga sebuah amanat yang diletakkan dalam tanggungjawabnya, dengan baik.

Tentunya keurgensian dari kriteria ini memiliki tingkatan yang berbeda, bergantung pada jenis amanatnya. Dengan semakin berharganya sebuah amanat, penjaga amanat pun harus semakin kuat pula karena dia memiliki tanggungjawab yang semakin berat. Pertambahan nilai amanat ini kadangkala disebabkan karena keurgensian materi dan nilai perekonomian yang dimilikinya, dan kadangkala disebabkan karena nilai spiritual dan tingkatannya, dimana dalam bentuk yang terakhir pemegang amanat haruslah orang yang betul-betul kuat dan tahan goncangan, karena apabila tidak demikian, maka hal ini bisa memunculkan akibat yang akan mengancam ketenangan masyarakat.

Sebagai contoh, kadangkala tangunggjawab untuk menyampaikan ide dan pemikiran dari beberapa orang diserahkan kepada seseorang atau penyebaran agama pada sebuah wilayah diserahkan kepadanya, dalam kedua keadaan ini dia harus menjaga religiusitas dan ide-ide dari banyak orang, dan dia harus memperhatikan perkembangan dan kemajuan mereka dengan kecermatan dan motivasinya, dan hal seperti ini, dengan adanya nilai maknawi yang dimilikinya, telah menjadikannya sebagai sebuah persoalan yang jauh lebih penting daripada meletakkan tanggungjawab masalah kekayaan perkantoran atau yayasan pemerintahan kepada seseorang. Oleh karena itu, asas komitmen merupakan syarat wajib yang harus dimiliki oleh setiap penanggungjawab dalam masyarakat beragama dimana hal ini harus diperhatikan dengan sangat serius; demikian juga, perhatian semacam ini harus bergantung pada tingkat pertambahan nilai amanat tersebut.

Persoalan penting yang harus diperhatikan setelah kriteria komitmen adalah interaksi antara memegang amanat dengan baik (yang merupakan salah satu unsur dari tolok ukur komitmen) dengan iman. Beberapa riwayat dari Imam Ahlulbait menegaskan tentang adanya interaksi dua arah yang sangat kuat antara kedua unsur yang berharga ini, dari satu sisi, Imam Ridha As bersabda, “Barang siapa tidak memegang amanat dengan baik, berarti dia tidak memiliki iman”[9], dan dari sisi lainnya, Amirul Mu’minin Ali As dalam salah satu hadisnya bersabda, “Seseorang yang tidak beriman, maka sudah pasti diapun bukan orang yang bisa memegang amanat dengan baik.”[10]

Interaksi dan hubungan yang kuat antara kedua unsur ini, yaitu iman dan memegang amanat dengan baik, menunjukkan bahwa secara esensi, kedua unsur tersebut tidak memiliki perbedaan. Apa yang mendorong manusia untuk menjaga iman dan janji Tuhan tak lain adalah apa yang mengajaknya untuk menjaga dan mengawasi amanat orang lain dengan baik. Jadi, mengharapkan adanya salah satu dari dua hal tersebut dalam diri seseorang tanpa kehadiran yang satunya, merupakan sebuah harapan yang absurd dan tidak pada tempatnya.

Demikian juga, dengan melakukan kontemplasi dan perenungan yang lebih mendalam, kita akan menemukan bahwa hubungan antara iman dan memegang amanat dengan baik ini, tidak hanya bersandar pada argumen tekstual (nakli) saja, melainkan akal dan rasio pun mampu memahami interaksi ini dan memberikan argumen atasnya; yaitu karena kebanyakan masyarakat lebih percaya kepada orang yang memiliki keimanan dan keyakinan yang sehat, maka seorang individu –bahkan yang dia sendiri pun tidak memiliki keyakinan terhadap asas agama- ketika hendak menitipkan barangnya kepada pihak lain, maka dia akan berusaha untuk memilih orang yang memiliki keyakinan lebih kuat pada agama dan doktrin-doktrin suci Tuhan, dan dia akan mengesampingkan selainnya. Mereka menganggap bahwa iman –meskipun mereka sendiri tidak memiliki hal tersebut- merupakan faktor pendukung yang sangat kuat bagi dipercayanya seseorang; dan karena itulah mereka menyimpulkan bahwa orang-orang mukmin dengan keimanan yang mereka miliki, merupakan pihak yang lebih bisa dipercaya.

Kesemuanya ini merupakan penjelas poin berikut bahwa derajat dan tingkat keimanan dalam kriteria pemilihan penyelenggara pemerintahan bukan hanya didasarkan pada kereligiusan dan keberagamaan atau –sebagaimana pernyataan yang diajukan oleh mereka yang kontra- hanya didasarkan pada fanatisme madzhab saja, melainkan syarat asasi dan rasional yang harus mereka miliki juga adalah adanya kepercayaan masyarakat kepada mereka.

Pemerintahan sekuler dalam stetmen-nya menganggap bahwa pengawas dan bendahara memiliki peran yang lebih kental dan asasi dalam mengantisipasi dan menghindari adanya korupsi dan penyelewengan, akan tetapi mereka sama sekali tidak akan pernah mampu mengingkari keistimewaan iman dan keyakinan internal, karena para pengawas, meskipun mereka mahir dan ahli dalam bidangnya, tetap tidak akan mampu –minimal dalam sebuah manajemen raksasa- menggantikan pengawasan internal masing-masing personalnya. Selain itu, seorang pemimpin yang layak bukanlah mereka yang memegang amanat karena rasa takutnya, melainkan karakter untuk memegang amanat dengan baik ini muncul dari internal diri pemimpin dengan sendirinya, hal ini-lah yang kemudian menyebabkan dia mampu menerima amanat dengan senang hati dan suka rela, lalu menjaga dan mengawasinya dengan sungguh-sungguh.

Karena itulah sehingga dikatakan bahwa dalam pemerintahan agama, para penyelenggara pemerintahan yang terpilih, selain mereka harus memiliki profesionalisasi dan keilmuan, untuk menambah kelayakan mereka dalam menjaga amanat-amanat materi dan spiritual, mereka juga harus memiliki iman dan keyakinan yang sehat.

Sekarang, poin penutup yang perlu diketengahkan di sini adalah, bagaimanakah kita bisa menentukan bahwa seseorang itu merupakan pemimpin yang kompeten ataukah tidak. Dalam stetmen-stetmen terdahulu, kita menemukan adanya penegasan tentang tema berikut bahwa para penyelenggara dan pemimpin dalam pemerintahan agama hanya dipilih berdasarkan penampakan lahiriah mereka terhadap agama dan syariat, dimana hal ini hanya akan menyebabkan bermunculannya pihak-pihak yang hanya mencari pujian dan yang menyembunyikan identitas aslinya dengan bersikap munafik dan melakukan kepura-puraan. Selanjutnya mereka menyatakan, oleh karena itu, penegasan pada indikasi religiusitas para penyelenggara pemerintahan –yang merupakan persoalan kalbu dan internal seseorang- merupakan sebuah hal yang keliru dan tidak pada tempatnya.

Argumentasi di atas, mengisyaratkan pada tema bahwa kereligiusan para pelaksana pemerintahan dan pemimpin negara, bahkan jika hal tersebut merupakan persoalan yang benar dan berharga, karena hal tersebut berkaitan dengan masalah internal dan kalbu seseorang, maka tetap tidak ada dan tidak mempunyai metode untuk memastikan dan menentukannya; padahal pada kenyataannya tidaklah demikian, karena meskipun religiusitas dan komitmen merupakan persoalan kalbu, akan tetapi persoalan kalbu ini tidak mungkin akan terilustrasi keluar tanpa adanya efek-efek yang menyertainya. Kasih sayang atau kebencian-kebencian internal dan perbuatan atau reaksi-reaksi kalbu sama sekali tidak bisa disembunyikan hanya dalam batasan kalbu saja tanpa sedikitpun memperlihatkan reaksi eksternal, dan terlebih lagi, Tuhan dengan tegas tidak mengijinkan kepada para hamba-Nya yang beragama untuk melakukan hal ini; manusia tidak berhak untuk menyembunyikan dan membatasi imannya hanya dalam kalbunya, sebagaimana Tuhan juga melarang penampakan lahiriah yang membohongi.

Oleh karena itu, seorang mukmin yang meyakini Islam, hanya akan menampakkan amal dan perbuatannya dimana berdasarkan hal tersebut dia bisa dikenal sebagai seorang mukmin yang hakiki. Tentunya amalan-amalan syariat yang tampak secara lahiriah –seperti ikut serta dalam shalat Jumat, shalat jamaah dan meninggalkan dosa-dosa yang terlihat- hanya merupakan sebagian dari manifestasi-manifestasi kereligiusan, dan mereka yang memiliki tanggungjawab untuk melakukan pemilihan, tak seharusnya mencukupkan diri dengan masalah-masalah seperti ini. Dalam memilih para wakil dan penyelenggara pemerintahan, masyarakat tidak boleh terkecoh dengan penampakan lahiriah yang menipu, melainkan dengan bersandar pada pengamatan dan keahlian yang seharusnya, mereka selayaknya memilih individu-individu yang mengamalkan keimanan mereka secara lebih luas dari hanya sekedar penampakan lahiriah saja, demikian juga memiliki sifat-sifat malakuti yang merupakan kemestian dari keimanan yang mereka miliki kepada Tuhan, seperti:

1. Jujur. Amirul Mu’minin Ali As bersabda, “Tidak beriman seorang hamba sebelum meninggalkan kebohongan baik dalam kondisi bercanda dan serius.”[11]

2. Sehati dan memiliki solidaritas dan kecintaan yang tinggi terhadap rakyat. Bersabda Amirul Mu’minin Ali As, “Tidak sempurna keimanan seorang hamba sebelum mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.”[12]

3. Berakhlak baik dan berperilaku terpuji terhadap anggota masyarakatnya. Bersabda Iman Ali As, “Paling sempurnanya keimanan di antara kalian adalah yang paling sempurna akhlaknya.”[13]

4. Sabar, memiliki ide dan pemikiran yang cemerlang. Bersabda Imam Ali As, “Ada tiga hal yang jika seseorang memilikinya maka sempurnalah imannya: akal, kesabaran, dan ilmu.”[14]

Dengan mencermati kriteria-kriteria di atas, kita akan menemukan bahwa kereligiusan dan keberagamaan, tidak bisa hanya diringkaskan dalam aplikasi ibadah-ibadah lahiriah yang dilakukan dengan tujuan untuk menarik perhatian para pemilih, dimana hal ini kemudian akan diikuti dengan sikap munafik dan pura-pura, melainkan banyak sekali kriteria-kriteria yang bisa diletakkan untuk memilih seseorang, yang pada prinsipnya tidak bermakna kepura-puraan, seperti kontinuitas dalam memegang amanat, sederhana, senantiasa menghindari kemegahan, dan lain sebagainya.

Ringkasnya, argumentasi yang diutarakan tentang kriteria pemilihan pelaksana pemerintahan dan pemimpin negara yang hanya didasarkan pada keyakinan dan praktek lahiriah syariat, juga tentang tiadanya pembagian fasilitas-fasilitas dan aset negara secara benar, kedua argumentasi tersebut adalah batal, karena dalam pembagian kekayaan, aset dan fasilitas negara, tidak diterima adanya perbedaan, melainkan aset dan fasilitas negara ini harus dibagikan secara merata di antara anggota masyarakat tanpa memandang adanya keistimewaan-keistimewaan yang mereka miliki. Demikian juga, jabatan dan posisi untuk mengatur masyarakat tidak bisa dipandang sebagai sebuah aset yang bisa dibagikan dengan mudah dan secara merata kepada masyarakat; karena posisi pengaturan masyarakat merupakan sebuah tanggungjawab berat yang hanya bisa dipegang oleh orang-orang yang sanggup untuk memikulnya, dengan demikian masalah ini hanya harus diberikan kepada orang-orang yang memiliki kelayakan untuk itu, dan perlu diingat bahwa kelayakan para penyelenggara dan pemimpin pemerintahan agama bukan hanya terletak pada kereligiusan dan komitmennya saja, melainkan harus diiringi pula dengan profesionalisasi, keahlian dan ilmu, karena berdasarkan ayat-ayat al-Quran, seorang pemimpin yang layak selain dia harus memiliki komitmen dan iman yang benar, dia juga harus memiliki profesionalisasi, keahlian dan ilmu yang mencukupi. Demikian juga untuk mengetahui dan menentukan seorang penyelenggara dan pemimpin yang memiliki kelayakan dan kompeten ataukah tidak, selain hal ini bisa dilakukan dengan memperhatikan praktek-praktek ibadah dan lahiriah lainnya, banyak pula indikasi-indikasi berharga lainnya yang bisa menjadi kriteria dan tolok ukur yang menunjukkan adanya keimanan hakiki, yang hal tersebut tidak mungkin termanifestasi keluar hanya dalam bentuk lahiriah yang menipu.




Catatan Kaki:
[1] . Qs. Ar-Raad: 11.

[2] . Untuk penjelasan lebih lanjut tentang pembahasan kecenderungan praktisi ini, rujuklah Kitab Karamat dar Quran, hal. 41.

[3] . Ibid.

[4] . Qs. Al-An’am: 32.

[5] . Rujuklah Al-Gharat, hal. 36.

[6] . Ibid, hal. 43.

[7] . Syarh Nahjul Balaghah, Ibn Abi al-Hadid, J. 7, hal. 47.

[8] . Nahjul Balaghah, surat ke 5.

[9] . Biharul Anwar, J. 72, hal 198.

[10] . Ghurarul Hikam, bab al-amanah

[11] . Biharul Anwar, J. 78, hal. 252.

[12] . Kanzul Ummal, khutbah ke 106.

[13] . Biharul Anwar, J. 71, hal. 387.

[14] . Sharh Ghurar al-Hikam, hal. 1403.

15
NEO-TEOLOGI I

Agama Mencerahkan Kehidupan
Sejatinya, kontribusi agama dalam mencerahkan kehidupan lebih luas dan mendalam dari apa yang akan dibahas dalam makalah ini. Pada kesempatan ini, kami hanya akan jelaskan sebagian pengaruh menakjubkan dari agama yang juga diterima dikalangan para ilmuan seperti Albert Einstein dan selainnya.


Agama Sumber Kesempurnaan Pengetahuan
Dalam ranah ide ketuhanan, alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan yang Maha Kuasa dan Mahamengetahui. Tuhan menciptakan alam ini berdasarkan tatanan hikmah-Nya. Andai saja manusia mau merenungkan hal tersebut, betapa banyak penemuan baru yang akan dihasilkan dan dicapai oleh manusia.

Di ranah yang berseberangan, ide materialisme berada vis à vis dengan pemikiran ini. Baginya, alam semesta terjadi secara kebetulan. Pencipta alam, sama sekali tidak memiliki kemampuan, meskipun sebesar akal balita. Maka segala yang dihasilkannya, tidak rasional. Dengan demikian, pencipta tidak memiliki peran sedikit pun.

Seorang fisikawan kawakan seperti Einstein, memandang agama sebagai pemicu berbagai temuan pengetahuan, sebagaimana pengakuannya sendiri:

“Saya begitu meyakini bahwa agama merupakan motor penggerak terbaik dalam penelitian serta pengembangan pengetahuan. Hanya agamalah yang mampu memompa semangat serta kerja keras di luar batas kemampuan yang menyihir banyak ilmuan. Agama juga dapat membangkitkan motivasi luar biasa, menjadi pengawal ilmu yang membimbing para pencetus teori. Bahkan, agama mampu melahirkan kekuatan pembangkit yang bersumber dari fenomena menakjubkan dan penemu sejati kehidupan.”[1]

Keyakinan serta kecintaan apa yang mendorong Kepler dan Newton hingga bertahun-tahun sanggup berada dalam kesendirian dan kesunyian untuk menjelaskan kerumitan teori gaya gravitasi. Agama memberikan inspirasi kepada manusia yang bertahun-tahun mengabdikan hidupnya di jalan ini.

Kekuatan yang sama juga dianugerahkan kepada para pejuang. Meskipun berbagai bagian tubuhnya telah tercabik dan luka, namun tidak pernah pantang menyerah. Inilah naluri keagamaan yang teramat istimewa, sebagaimana yang dikumandangkan Einstein, “Pada era materialistik dewasa ini, pekerja yang sungguh-sungguh dan ilmuan sejati adalah mereka yang memiliki naluri keagamaan mendalam”[2]


Agama Menjamin Implementasi Undang-Undang
Suatu keniscayaan yang tak dapat dipungkiri bahwa manusia memerlukan undang-undang. Mustahil manusia menata masyarakat tanpa adanya sebuah aturan.

Barangkali, sebuah masyarakat dapat menikmati keamanan dan ketentraman sementara dan temporal melalui sistem trias politika berupa legislatif, eksekutif dan yudikatif. Mungkin juga, berbagai kekacauan dapat teratasi dengan membentuk pemerintahan militer. Bagaimanapun berbagai pemerintahan minus agama dan iman, meraih keamanan yang bersifat temporal dan sangat tentatif. Walaupun berbagai sistem tersebut tidak menghendaki terjadinya berbagai pelanggaran secara terang-terangan. Tetapi, pada dasarnya sulit mencegah berbagai pelanggaran yang dilakukan di luar jangkauan aparat keamanan.

Tidak ada yang lebih efektif untuk menangani para pelanggar hukum selain iman, rasa bertanggung jawab dan takut terhadap siksa Tuhan. Aura iman yang sedemikian kuat, tidak hanya mampu mengatasi para pelanggar hukum terang-terangan. Tetapi juga, dapat mencegah berbagai perbuatan dosa tersembunyi yang tidak diketahui oleh siapa pun. Agama tidak hanya mampu menjauhkan manusia dari perbuatan dosa. Bahkan, bisa menuntunnya untuk tidak berpikir tentang dosa.

Terlepas dari kontrol di atas, lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif masih menjadi problem di antara sekian persoalan pemerintahan minus agama. Karena, jika terjadi penyelewengan pada ketiga institusi tersebut, mekanisme apa lagi yang mampu mencegah masyarakat dari prilaku negatif. Komisi yang dibentuk khusus untuk meneliti merekapun terdiri dari manusia biasa yang memiliki sifat serakah, egois dan tamak. Maka, ketika terjadi kolusi dan pencemaran dalam institusi tersebut, apa lagi yang bisa diharapkan.


Agama Menuntun Insting Manusia
Keberadaan manusia merupakan kumpulan berbagai insting dan kecenderungan esoteris di mana kehidupan manusia begitu terikat dengannya. Berbagai insting tersebut, ketika difungsikan secara seimbang dan tepat sasaran, bisa mengantarkan manusia pada kebahagiaan. Misalnya saja sifat egois pada manusia, yang menjadi rahasia eksistensinya. Jika saja, kecintaan manusia terhadap kehidupan lenyap, berbagai aktivitas kehidupan jalan di tempat. Sebaliknya, jika berlebihan membiarkan sifat egoisme dalam diri manusia yang hanya mementingkan dirinya sendiri, maka akan menuai penderitaan dan penindasan dalam masyarakat.

Demikian halnya dengan sifat lain seperti marah yang merupakan karakter natural manusia. Sifat membela diri dalam situasi berbahaya mampu membangun kekuatan fisik maupun mental yang dapat melindunginya. Andai saja seseorang tidak memiliki kecenderungan seperti ini, hak individu dan bermasyarakatnya, akan dirampas oleh orang lain. Sebaliknya, jika berlebihan memperturutkan sifat ini, akan membuahkan berbagai kejahatan sosial.

Anda dapat menggunakan penjelasan di atas pada berbagai kecenderungan esoteris lainnya. Hasilnya, keberadaan insting pada dasarnya sebagai penopang kehidupan manusia. Tetapi ketika melebihi takaran, malah menjadi sumber malapetaka.

Kini, apa yang seharusnya dilakukan untuk mengajak masyarakat memposisikan instingnya secara benar dan seimbang? Metode terbaik untuk mengarahkan insting adalah mewujudkan rasa tanggung jawab pada diri seseorang. Sehingga individu atau masyarakat, setiap saat baik secara terbuka maupun tersembunyi, memahami tanggung jawabnya masing-masing. Mereka juga menyadari bahwa setiap penyelewengan, akan memperoleh balasan setimpal. Perasaan tanggung jawab tersebut, hanya ada pada areal agama dan keimanan kepada Tuhan yang Mahamengetahui dan Kuasa, Mahamelihat serta mendengar.

Saat kita menyaksikan sebagian kelompok yang hidup dalam kesulitan, mereka tidak menjarah harta orang lain. Atau saat nafsu menguasainya, mereka tidak merampas jabatan seseorang. Mereka juga tidak menempuh jalan kotor untuk mencapai kedudukan serta posisi duniawi lainnya. Mereka akan bersikap adil saat berhadapan dengan berbagai insting naturalnya. Upaya pengekangan diri tersebut, sebagai bukti keimanan kepada Tuhan, harapan akan pahala dan takut akan siksa.

Kini, saat keyakinan pada Tuhan berada dalam pengaruh berbagai kecenderungan negatif, terapi di atas begitu berpengaruh. Maka, sudah selayaknya kita menjaga keseimbangan insting natural kita masing-masing.


Agama Motivator Keluhuran Moral
Struktur manusia dibekali dengan berbagai kecenderungan terhadap keluhuran moral. Dalam kondisi tertentu, kecenderungan ini mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan. Kecenderungan menuju kebaikan serta menjauhi keburukan moral menjadi bagian dari karakter penciptaan manusia. Maka di dunia ini, seseorang yang menunaikan amanat, tidak pernah disebut buruk. Sebaliknya, yang mengkhianatinya tidak dianggap baik. Demikian halnya, orang yang jujur tidak akan dikategorikan kotor. Sebaliknya, yang culas tidak dinilai bersih. Maka, dalam kamus anak-anak sekalipun hanya ada kata jujur.

Berbagai kecenderungan tersebut, tidak senantiasa berada pada setiap kondisi dapat berkembang dengan baik. Tetapi, membutuhkan berbagai persyaratan. Bimbingan serta tuntunan guru-guru akhlak sedemikian besar pengaruhnya. Betapa sering akhlak terpental, ketika berhadapan dengan kepentingan pribadi. Dalam kondisi demikian, kecenderungan tersebut nyaris menipis bahkan hilang. Di sinilah, urgensi agama menampakkan perannya. Satu-satunya yang mampu memotivasi kecenderungan positif tersebut adalah agama serta keyakinan terhadap pahala dan siksa.

Berangkat dari hal ini, para pemikir meyakini bahwa akhlak bersandar pada agama. Karena jelas sekali, berbagai prinsip akhlak seperti menjaga diri, amanat, jujur, berbakti, menolong sesama dan sebagainya, seringkali berbarengan dengan kondisi yang tidak menyenangkan. Sebagaimana seseorang yang berupaya menjaga dirinya, ia terkadang tidak memperoleh keuntungan material. Bahkan, tidak sedikit kejujuran yang mendatangkan kerugian. Nampaknya tanpa spirit agama dan motivasi esoteris dalam diri manusia, sulit bagi seorang pun untuk melakukannya. Kecuali adanya sebuah keyakinan terhadap hari pembalasan. Perbuatan baik, akan mendapatkan pahala dari Tuhan. Sebaliknya, jika memperturutkan kenikmatan sesaat, azab pedih telah menanti.



Catatan Kaki:
[1] Einstein, Albert, Dunya-e Ke Mibinam, hal 59-61

[2] . Ibid


16
NEO-TEOLOGI I

Agama Mengatur Tatanan Sosial Manusia
Semakin meningkatnya grafik kehidupan sosial manusia serta menurunya kehidupan individual seseorang - yang tinggal di gurun-gurun sahara, gua-gua, hutan-hutan dan gunung-gunung - mengantarkan kita pada satu hakikat bahwa manusia memiliki kecendrungan hidup bermasyarakat, sehingga dengan saling membantu dan bekerja sama, mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya serta mampu mencapai kehidupan yang bahagia.

Banyak pandangan mengenai faktor kecendrungan manusia untuk hidup bersosial, dimana hal itu tidak akan kami utarakan di sini. Namun poin yang perlu kami tekankan ialah bahwa kehidupan sosial mengharuskan adanya seperangkat sistem yang dapat menjelaskan batasan-batasan kewajiban manusia. Sistem itu mesti memiliki kriteria sebagai berikut:

1. Sistem harus mampu menegaskan batasan-batasan serta tanggung jawab setiap individu dalam kehidupan sosial, karena seseorang - meskipun ia adalah pendamba keadilan yang selalu menjaga kewajibannya - tidak akan dapat menjalani tugas-tugasnya dengan baik dan menjaga hak-hak orang lain serta mewujudkan kehidupan yang damai, jika ia tidak mengetahui metode serta langkah-langkah yang harus dijalaninya.

2. Memiliki serentetan kebijakan serta hukum yang mampu meredam prilaku buruk, kesewenangan, sikap egois, serta pelanggaran terhadap hak-hak orang lain yang biasa dilakukan manusia.

Seperangkat sistem tersebut tidak lain adalah undang-undang yang menjadi pijakan bagi kehidupan sosial manusia, dimana saat ini kita akan menelusuri siapakah yang berhak merumuskan undang-undang - yang amat urgen ini - yang mampu melestarikan kehidupan manusia dan menjaga kestabilan kehidupan sosial mereka.

Berdasarkan kesimpulan rasional dan hasil observasi di lapangan, dapat kita katakan bahwa undang-undang semacam ini hanya dapat dirumuskan oleh pribadi yang memiliki kriteria sebagai berikut:

1. Mengenal esensi manusia dan masyarakat secara sempurna serta mengetahui segala kecendrungan, emosi, dan perasaan manusia secara akurat dan hakiki, sehingga undang-undang yang dihasilkan dapat meredam segala jenis kecendrungan manusia yang melampaui batas, ia pun harus mampu mengidentifikasi dengan baik seperangkat aturan yang dapat mengantarkan manusia kepada kesempurnaannya, ia juga dapat mendeteksi dengan cermat segala maslahat dan mudharat yang dapat dialami manusia secara individual atau sosial, serta benar-benar mengetahui segala pengaruh dan efek yang akan muncul dari kehidupan bermasyarakat.

2. Tidak memiliki sedikitpun kepentingan pribadi yang terselipkan dalam undang undang yang dirumuskannya, sehingga tidak akan muncul kecendrungan mengutamakan kepentingan pribadi dan sikap egoisme, dimana hal ini dapat memalingkan pemikirannya dan membuatnya lemah dalam mengidentifikasi manfaat dan maslahat bagi kepentingan bersama, karena seseorang yang memiliki kepentingan tertentu meskipun ia telah bertekad untuk merumuskan undang-undang secara adil dan bijaksana, tetap – tanpa disadari - ia akan dipengaruhi oleh kepentingan pribadinya yang dapat mengalihkannya dari jalan kebenaran dan keadilan.


Siapakah yang layak menyandang kriteria dan persyaratan tersebut secara sempurna?
Mengenai kriteria pertama kita katakan bahwa jika perumus undang-undang harus mengenal esensi dan substansi manusia secara sempurna, maka selain Tuhan tidak ada seorang pun yang mengenal manusia secara sempurna dan juga tak ada sesuatu pun yang mengetahui rahasia penciptaan melebihi Sang Penciptanya.[1]

Tuhan yang telah merekonstruksi unsur-unsur asli keberadaan manusia dan mewujudkan sel-sel tubuh yang tak terhitung jumlahnya serta mengkombinasikan perangkat-perangkat organ tubuhnya, sudah pasti Dia akan mengetahui segala rahasia keberadaan dan esensi manusia, seluruh kebutuhannya - yang tersembunyi maupun yang lahir - dan segala apa yang dapat bermanfaat dan mudharat baginya.

Adapun mengenai kriteria kedua, disini perlu kita garis bawahi bahwa hanya Tuhanlah yang tidak memiliki kepentingan terhadap kehidupan sosial yang kita jalani, Dia suci dari segala bentuk pengaruh dan kecendrungan (hawa nafsu) terutama dari sifat egoisme. Menurut ucapan Jean Jacques Rousseau, "Untuk menyingkap serentetan undang-undang yang paling efektif dan ideal untuk seluruh masyarakat dunia dibutuhkan "sosok" yang sangat mengenal hawa nafsu manusia namun ia sama sekali tidak dikendalikan olehnya, yang paling mengenal dunia namun ia tidak bergantung kepadanya, kebahagiaan yang diraihnya tidak bergantung kepada kita namun selalu bersedia membantu kita untuk mencapai kebahagian, ia merasa bangga dengan sesuatu yang hasilnya akan tampak di masa mendatang (berkhidmat di satu masa dan menuai hasilnya di masa mendatang). Oleh karena itu, hanya para Nabi lah yang mampu membawa undang-undang yang layak diterapkan ditengah-tengah masyarakat."[2]


Hukum Konstan dan Masyarakat yang terus Berubah
Salah satu pertanyaan yang diajukan dalam pembahasan ini ialah bahwa kita mengambil undang-undang dari naskah agama guna kita aplikasikan pada kehidupan sosial, lantaran universalitas dan sakralitas kandungan agama, undang-undang yang dibawanya pun menjadi permanen dan abadi. Jika demikian, maka patut kita tanyakan, bagaimana mungkin undang-undang yang tetap dapat menjadi pedoman dan pengatur kehidupan masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan? Bukankah sebaiknya manusia sendirilah - yang pemikirannya selalu berubah seperti halnya kehidupan masyarakat - yang merumuskan aturan-aturan yang berkenaan dengan kehidupan sosial mereka?

Orang yang melontarkan pertanyaan ini telah melupakan sisi lain dari hukum agama sehingga ia berasumsi bahwa syariat Islam hanya mengandung undang-undang yang tetap, padahal selain memiliki undang-undang yang permanen, Islam pun mempunyai hukum-hukum yang dapat berubah.

Untuk lebih jelasnya, kita akan membahas poin-poin berikut ini:

1. Undang-undang yang konstan, tetap, dan permanen ialah yang tidak akan mengalami perubahan.

2. Hukum-hukum serta aturan-aturan yang transformatif, yang dengan berubahnya situasi, kondisi, dan tuntutan tertentu akan mengalami perubahan.

Masalah yang harus kita bahas disini ialah mengenai kriteria serta perbedaan masing-masing dari kedua macam undang-undang tersebut.

Didalam kehidupan manusia terdapat sejumlah prinsip-prinsip akhlak (etika atau norma), undang-undang sipil, sosial dan hukum pidana yang bersumber dari kecendrungan serta fitrah manusia yang tidak akan pernah mengalami perubahan - dari mana dan di mana pun seseorang hidup bermasyarakat -, dikarenakan masalah-masalah ini merupakan sesuatu yang tetap dan paten, maka hukum-hukum Islam yang bersangkutan dengannya pun juga tetap dan tidak berubah.

Selain itu, kita pun memiliki sejumlah aturan dan hukum yang bergantung pada situasi, kondisi, ruang, dan masa tertentu dimana pada masing-masing kehidupan masyarakat memiliki tampilan yang berbeda. Untuk aturan dan hukum semacam ini, Islam telah menentukan ushul dan kaidah global yang para Fuqahalah yang bertugas untuk menelurkan hukum-hukum parsial guna diterapkan sesuai dengan tuntutan zaman, masa, serta kondisi masyarakat tertentu.


Contoh Hukum Permanen
Setiap manusia - kapan dan dimana pun ia berada - memiliki serentetan kecendrungan, hawa nafsu, dan keinginan-keinginan yang terkandung dalam jiwanya, segala dorongan dan perkara yang fitri ini merupakan bagian dari esensi manusia itu sendiri yang tidak akan pernah berubah seiring berubahnya zaman dan masa, misalnya:

1. Dorongan seksual. Kecendrungan ini tidak akan pernah mengalami perubahan yang pada kondisi tertentu setiap pria dan wanita saling menghendaki satu sama lainnya. Oleh karena itu, ajakan [agama] untuk membangun sebuah rumah tangga - guna kelestarian umat manusia serta menjaga kehormatannya - merupakan perkara fitrah yang tidak akan berubah dengan berputarnya masa, dan hukum Ilahi dalam masalah ini pun akan tetap dan permanen.

2. Kasih sayang orang tua terhadap anaknya juga merupakan perkara fitri, oleh karena itu hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah ini, seperti hak waris, mendidik anak dan sebagainya juga akan tetap dan abadi.

Dari kedua contoh ini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa perkara-perkara yang fitri - yang selalu melekat pada diri manusia dan tidak dapat terpisah darinya selama ia masih tetap manusia - mengharuskan adanya hukum-hukum yang tetap dan permanen, karena hukum yang ada harus sesuai dengan obyeknya, jika perkara yang berkaitan dengn fitrah menusia merupakan suatu yang paten maka undang-undangnya pun juga harus tetap dan permanen. Oleh karena itu, hukum dan undang-undang atas hak individual manusia seperti ikatan kekeluargaan, pernikahan dan lain-lain merupakan undang-undang tetap dan permanen.

3. Serentetan norma dan prilaku yang selalu menjadi sumber kerusakan, seperti dusta, khianat, pelanggaran, sikap apatis dan sebagainya, dimana prilaku seperti ini selalu dan akan terus menimbulkan kerugian dan kerusakan pada lingkungan masyarakat, maka dari itu hukum bagi perkara semacam ini pun harus tetap dan paten.

Segala prilaku semacam ini akan selalu dilarang dan diharamkan karena walaupun waktu dan masa terus berganti, kerugian dan kerusakan yang diakibatkan darinya tidak akan pernah berubah.

4. Seperangkat aturan yang bersangkutan dengan pensucian hati (tahdzibun nafs), menyandang akhlak mulia, dan pengorbanan, seperti rasa tanggug jawab, adil, kasih sayang, dan lain-lain, juga termasuk aturan yang tetap dan paten, karena sifat seperti keadilan untuk selamanya mulia dan dalam penegakan keadilan serta penghancuran kezaliman untuk selamanya memiliki metode yang sama.

Kesimpulannya, undang-undang dan hukum yang telah ditetapkan pada seribu empat ratus tahun yang lalu guna mengatur segala masalah yang berkenaan dengan fitrah dan kecendrungan manusia - yang dihasilkan dari pengenalan dan tinjauan sempurna atas esensi manusia -, tetap memiliki kompetensi untuk menjadi pedoman kehidupan masyarakat dewasa ini dan juga yang akan datang.


Hukum yang mengalami perubahan
Selain undang-undang tetap, syariat Islam pun memiliki sejumlah hukum yang dapat berubah seiring dengan berubahnya situasi dan kondisi. Pada dasarnya, perubahan yang terjadi bukan pada teks asli hukum Islam itu sendiri, namun pada penerapan hukum-hukum tersebut, dan perubahan yang terjadi pun senantiasa berpijak pada kaidah dan rumusan tersendiri. Sekarang mari kita lihat contoh-contoh berikut ini:

1. Dalam teks agama Islam terdapat hukum permanen yang terkait dengan membangun kekuatan dan memperkokoh sistem pertahanan terhadap serangan musuh, akan tetapi metode dan cara penerapannya selalu saja berubah. Islam tidak memiliki hukum dan pedoman khusus yang berbicara tentang metode memperkuat pertahanan, jenis senjata perang, cara membendung pengaruh musuh dan sebagainya. Akan tetapi dalam masalah ini, dengan meninjau situasi dan kondisi yang ada, pemerintahan Islam dituntut untuk menetapkan aturan-aturan serta sistem tertentu demi menjaga tujuan dan misi suci yang dibawa oleh Islam. Oleh karena itu, dalam memperkuat sistem pertahanan Islam cukup memberikan perintah secara global tanpa menentukan jenis senjata yang harus dipersiapkan serta taktik yang harus dipergunakan. Allah Swt berfirman, "persiapkanlah kekuatan semampu kalian untuk menghadapi mereka."[3]

Walaupun Ayat ini menyebutkan kuda sebagai salah satu kekuatan yang layak dipersiapkan, namun itu hanya sebagai penjelasan akan sarana umum yang digunakan pada masa turunnya ayat itu, karena kuda merupakan sarana transportasi dan kendaraan perang yang paling kuat pada zaman itu.

2. Islam pun tidak meletakkan aturan khusus yang berkaitan dengan permasalahan keamanan dalam negeri, seperti menjaga kestabilan, dan ketenteraman masyarakat. Segala permasalahan semacam ini, dipasrahkan kepada pemerintah Islam - sebagai lembaga yang menurut undang-undang Islam memiliki otoritas untuk mengatur dan memerintah - untuk merumuskannya.

3. Islam senantiasa menyeru dan mengajak untuk menggali ilmu yang bermanfaat, menyebarkan kebudayaan Islam, dan peradaban manusia, namun perlu dilihat bahwa sarana untuk mencari ilmu dan menyebarkannya selalu berubah dari masa ke masa sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

Patut diingat bahwa hanya para faqihlah yang memiliki otoritas untuk mengidentifikasi hukum-hukum yang konstan dan juga yang transformatif, dan tak seorang pun yang berhak mengutarakan pandangannya dalam masalah ini tanpa merujuk kepada para faqih dan mendapatkan legalitas dari mereka.

Kami akhiri pembahan ini sampai disini, namun kami yakin bahwa masalah ini butuh pembahasan yang lebih jauh dan mendalam lagi.

Ada satu poin yang patut kami ingatkan bahwa salah satu faktor ditetapkannya Islam sebagai agama penutup, karena meskipun Islam memiliki dasar-dasar hukum yang paten dan permanen namun penerapan akan hukum-hukum tersebut dapat berubah sesuai dengan kondisi tertentu, seandainya Islam hanya menampilkan satu model hukum, maka ia tidak akan mampu menjadi agama penutup.

Apabila anda menganalisa perubahan yang terjadi pada tatanan kehidupan sosial manusia – semenjak revolusi industri di Eropa hingga saat ini - maka anda akan mendapatkan segala perubahan yang hanya berkaitan dengan metode penerapan hukum-hukum. Adapun tatanan yang berkenaan dengan fitrah manusia dan juga yang berkaitan dengan suatu yang dapat bermanfaat atau merugikan masyarakat, maka hukum-hukum tetap dalam setiap kehidupan masyarakat.

Demikian pula dengan perubahan yang terjadi pada pola kehidupan wanita, bagaimanapun ia tidak akan dapat merubah kecendrungan dan fitrah yang ada pada diri seorang wanita. Untuk selamanya, ia akan tetap seorang wanita yang kelak akan menjadi seorang ibu serta dituntut untuk menjalani tugas-tuganya dengan baik. Jika seorang wanita menyalahi kodratnya maka kehidupannya pun akan sirna. Kehidupan rumah tangga yang dibangun oleh sepasang pria dan wanita merupakan miniatur kehidupan sosial yang mengharuskan adanya seorang pemimpin, lantaran kemampuan lebih yang umumnya dimiliki oleh seorang pria, maka ialah yang layak menjadi sang pemiimpin, pengecualian-pengecualian ini tidak perlu menjadi hal yang dipertentangkan.


Universalitas Hukum Islam
Jika persoalan sebelumnya beranjak dari satu asumsi bahwa undang-undang permanen tidak akan dapat mengatur kehidupan sosial manusia yang selalu berubah, namun permasalahan di sini berangkat dari satu pandangan bahwa undang-undang yang terbatas tidak akan mampu menjawab seluruh tuntutan masyarakat yang tidak ada batasannya dan selalu saja bertambah.

Masalah pertama berpijak pada satu dasar pemikiran bahwa undang-undang tetap berseberangan dengan masyarakat yang selalu berubah, adapun masalah kedua berpijak pada satu pandangan bahwa undang-undang yang terbatas tidak dapat menjadi pedoman bagi kehidupan yang luas dan tidak terbatas, hingga dikatakan: bagaimana mungkin undang-undang yang terbatas dapat menjawab masalah-masalah yang mencuat sangat luas dan tidak terbatas?

Pertanyaan ini bukan suatu hal yang baru, namun ia adalah bagian dari masalah "Islam sebagai agama penutup dan terakhir". Orang yang melontarkan pertanyaan ini sebenarnya telah menyamakan agama Islam dengan aliran-aliran dan agama-agama yang lain, ia beranggapap bahwa agama Islam tidak ada bedanya dengan agama Nasrani - yang ada saat ini - yang merasa cukup dengan membaca wirid-wirid dan berkehendak untuk mengatur masyarakat dengan segudang wejangan dan nasihat.

Seandainya sang penanya adalah seorang yang mengenal Islam dengan baik, maka ia tidak akan lagi meragukan luasnya kekayaan Syariat Islam yang mampu menjawab segala problematika yang ada dengan bersandar pada teks-eks al-Quran dan hadist. Hal ini dikarenakan Islam memiliki dua keutamaan yang tidak dimiliki oleh agama-agama lain, antara lain:

1. Islam memiliki hukum-hukum yang kokoh, hidup serta produktif, sehingga ia mampu menjawab sederet permasalahan atas fenomena yang terjadi, kompetensi humum-hukum Islam akan tampak jelas di mata seseorang yang mengenal baik al-Quran dan Sunnah Nabi.

2. Agama Islam memandang kehidupan manusia dengan pandangan yang sangat luas dan penuh dengan keluwesan, dan undang-undangnya sama sekali tidak terikat dengan masalah-masalah parsial yang senantiasa berubah yang dapat membuatnya bungkam untuk menjawab tuntutan-tuntutan zaman mendatang.

Dengan menganalisa sumber-sumber syariat, kedua keutamaan ini dapat tergambarkan.


Sumber Hukum menurut Perspektif Ulama Syiah

1. Otoritas akal dalam batasan tertentu
Salah satu keutamaan syariat Islam ialah turut andilnya akal dan pikiran dalam proses formulasi hukum, dimana dalam ruang-ruang tertentu ia diberikan otoritas untuk berintervensi dalam mencari putusan. Oleh karena itu, selain Kitab dan Sunnah akal pun merupakan sumber hukum syariat yang tidak dapat dipisahkan dari kedua sumber lainnya.

Orang-orang yang mengingkari kesempurnaan hukum-hukum Islam dan meragukan keuniversalitasnya, telah memisahkan akal dari jajaran sumber-sumber hukum dan telah memandangnya dengan sebelah mata.

Legalitas yang diberikan kepada akal dalam menelurkan undang-undang berada dalam ruang lingkupnya tersendiri, telah menjadikan Islam itu kekal dan abadi serta selaras dengan segala model peradaban manusia. Undang-undang Islam akan terus berkembang melalui langkah-langkah hukum akal dan segala putusan global yang dihasilkannya merupakan bagian dari syariat Islam.

Perlu ditegaskan bahwa otoritas dan validitas yang dimiliki oleh akal tidaklah mencakup segala permasalahan yang ada, namun ia memiliki ruang lingkup dan batasan tersendiri yang tidak akan bertentangan dengan hukum-hukum yang dihasilkan dari al-Quran dan Sunnah. Berikut ini kami akan bawakan contoh-contoh mengenai posisi akal dalam Islam. Hadist dari Imam ke empat (Ali bin Musa ar-Ridha as) ketika bersabda kepada Hisyam bin Hakam:

"Wahai Hisyam! Sesungguhnya Allah telah memberikan dua hujjah bagi manusia, hujjah yang lahir (eksternal) dan hujjah yang batin (internal), hujah yang lahir adalah para Nabi, Rasul dan Imam As, adapun hujjah yang batin adalah akal."[4]

Imam Shadiq as pun bersabda:

"Nabi merupakan hujjah Allah bagi para hamba-Nya dan akal merupakan hujjah antara para hamba dan Allah.” [5]

Salah satu faktor kehadiran akal dalam menformulasikan undang-undang ialah aturan-aturan Islam senantiasa terkait dengan substansi kehidupan manusia, dan tidak ada hukum Islam yang bertentangan dengan akal, justru Islam adalah agama akal dan rasio. Segala sesuatu yang dihukumi oleh akal tidak akan bertentangan dengan syariat dan segala sesuatu yang dihukumi oleh syariat mesti berpijak pada akal.

Para teolog Islam sejak masa lalu telah merumuskan satu kaidah yang berbunyi:

"Segala sesuatu yang dihukumi oleh akal maka syariat pun akan menerimanya, dan setiap yang dihukumi oleh syariat, maka akal pun akan menyetujuinya.” [6]

Dengan menerima peranan akal dalam memproduksi hukum, pada dasarnya Islam telah memberikan legalitas kepada akal untuk menetapkan aturan-aturan dalam cakupan yang luas dan juga menyetujui putusan-putusan yang dihasilkannya, contohnya:

1. Saat akal menilai baik dan buruk satu prilaku, ia pun akan memerintahkan untuk melakukan atau menjauhi prilaku tersebut. Dalam batasan ini, putusan akal juga dikatagorikan sebagai hukum agama.

Akhlak mulia yang diafirmasikan oleh Islam, juga berpijak pada hukum-hukum akal semacam ini, dimana akal mampu menilai tabiat satu prilaku, apakah ia terpuji atau tercela. Jika subyek hukum adalah prilaku tertentu yang bebas dari batasan ruang dan waktu, maka hukum prilaku itu akan tetap kekal dan abadi selama akal dan subyek hukum itu masih ada.

Allah Swt berfirman dalam kitab-Nya: "Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berlaku adil dan berbuat baik serta memberi (hak-hak) kepada kaum kerabat, dan melarang utuk berbuat keji dan kemungkaran serta kezaliman. Ia memberi nasihat kepada kalian agar kalian ingat.” [7]

Enam subyek hukum (prilaku) yang termaktub di ayat ini memiliki undang-undang tetap dan permanen, karena akal telah menilainya sebagai prilaku yang baik.

2. Dalam ilmu ushul fiqih, hukum akal merupakan pencetus prinsip dan kaidah yang mampu menelurkan beragam hukum, seperti kewajiban melaksanakan suatu amal ketika segala persyaratannya telah terpenuhi atau meninggalkan satu pekerjaan ketika segala prasarananya tak terjangkau. Dan masih banyak lagi kaidah semacam ini yang menurut istilah ushul fiqih disebut "kemestian rasional (mulazamah aqliah)" dimana para pakar ilmu fikih banyak memperoleh kontribusi dari putusan-putusan yang dihasilkannya.

3. Mengutamakan suatu yang "lebih penting" daripada yang "penting" (taqdimul aham alal muhim) juga merupakan salah satu prinsip akal, misalnya membedah jasad seorang muslim menurut hukum Islam adalah haram, karena badan seorang mukmin -baik yang hidup maupun yang mati - memiliki kehormatan tersendiri, namun terkadang menjaga kehormatan jasad seorang muslim berbenturan dengan kemaslahatan sosial, karena ilmu kedokteran saat ini terpusat pada praktek pembedahan, dan -menurut hukum akal - menjaga keselamatan sosial lebih patut diprioritaskan daripada menjaga kehormatan individual. Oleh karena itu, jika tidak memungkinkan ditemukannya badan seorang kafir, maka diperbolehkan untuk membedah tubuh seorang muslim, itupun dengan mendahulukan jasad seseorang muslim yang indetitasnya tidak dikenali.

Orang-orang yang menuduh Islam sebagai agama yang tidak sempurna, telah melupakan unsur urgen ini (peranan akal) dari syariat Islam, dan menganggap "ketidaksempurnaan" sebagai salah satu kriteria agama Islam. Kita katakan kepada mereka bahwa pandangan seperti ini “sungguh-sungguh hal (pembagian) yang tidak adil”[8]


2. Penetapan hukum berdasarkan Maslahat dan Mudharat
Kandungan ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang ada, menyatakan bahwa hukum-hukum Islam terlahirkan berdasarkan maslahat dan mudharat. Hukum-hukum Ilahi tidak pernah muncul begitu saja tanpa ada sebab tertentu, akan tetapi kemunculannya mesti dibarengi dengan tujuan-tujuan yang mendatangkan manfaat bagi seorang hamba (mukallaf). Di dalam beberapa kesempatan al-Quran dan hadist telah menyinggung masalah ini, disini kami cukup membawakan dua ayat dan satu hadist tersebut. Allah Swt berfirman: “sesungguhnya syaitan hanya ingin membangkitkan permusuhan dan kebencian diantara kalian dengan perantaraan minuman keras dan berjudi , dan menghalang-halangi kalian untuk mengingat Allah dan menunaikan shalat. Apakah kalian ingin menghentikan (perbutan itu)?”[9]

“Dan tegakkanlah shalat sesungguhnya shalat mencegah perbuatan keji dan munkar.“ [10]

Imam kedelapan (Ali bin Musa ar-Ridha as) bersabda:

“sesungguhnya Allah Swt tidak akan menghalalkan satu makanan atau minuman kecuali ia mengandung manfaat dan maslahat, dan tidak akan mengharamkannya kecuali ia mengandung mudharat dan dapat merugikan”

Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan unsur dan tujuan yang tetap, ia pun akan abadi dan tetap pula, sebagaimana hukum yang dihasilkan dari tinjauan akan dampak baik atau buruk yang ditimbulkan makanan atau minuman tertentu yang tidak terbatas dengan ruang dan waktu.

Disaat hukum-hukum Islam selalu mengikuti maslahat dan mudharat yang ada, maka segala hal yang baru - yang dapat merugikan atau menuntungkan masyarakat umum - dengan mudah dapat diketahui hukum syar’inya. Seperti:

1. Vaksinasi yang dilakukan untuk mencegah penyakit cacar, polio, campak dan lain lain yang bermanfaat untuk kesehatan masyarakat umum.

2. Pemakain obat-obatan terlarang seperti opium dan heroin yang dapat meruntuhkan bangunan rumah tangga seseorang serta menyebabkan kemandulan.

Hukum syar’i dari kedua realitas ini dengan jelas dapat diketahui.


3. Produktivitas Syariat Islam

Dalam fiqih Islam terdapat sejumlah prinsip yang dapat menjawab ribuan masalah dan tantangan zaman sebagaimana ia telah menjawab serentetan hukum-hukum permasalahan yang muncul selama empat belas abad ini.

Imam-Imam Ahlulbait As selalu memperingati para Faqih yang berpaling dari sunnah seraya bersabda, “segala apa yang dibutuhkan manusia hingga hari akhirat telah dijelaskan oleh Allah dalam kitab serta sunnah Nabi-Nya, dan Allah Swt telah memberikan hukum dan petunjuk bagi segala yang ada, barang siapa yang melanggarnya, maka Allah akan mengazabnya”[11]

Imam Shadiq as bersabda,

"Tidak ada suatu apa pun kecuali ia telah termaktub dalam kitab (al-qur’an) dan sunnah (Ahlulbait).

Fiqih Syiah merupakan luapan mata air yang telah dimanfaatkan selama empat belas abad dan berbagai ensiklopedia telah disusun untuk membahas masalah ini, seperti dalam kitab Jawahir al-Kalam yang mengandung berbagai permasalahan yang tak terhitung jumlahnya.

Pada masa kejayaan pemerintahan Islam yang menguasai batasan wilayah yang sangat luas, kaidah-kaidah fikihlah yang dijadikan pijakan untuk menjalani segala birokrasi dan organisasi yang ada saat itu. Oleh karena itu, fiqih Islam banyak dimanfaatkan oleh orang-orang barat dan mereka pun merasa terheran-heran akan kompetensi yang dimilikinya.


4. Ijtihad, Mekanisme Istinbat Hukum dari Sumbernya
Sekelompok ulama ahlus sunnah (Sunni) berpendapat, ketika akar satu permasalahan tidak dapat ditemukan dalam Nash (al-Quran dan hadist), maka usaha dan ijtihad seorang faqihlah sebagai pencipta hukum syar’i. Menurut pendapat mereka, hukum-hukum semacam ini (yang tidak terdapat dalam al-Quran dan sunnah) dipasrahkan kepada seorang faqih untuk menetapkannya. Adapun menurut fiqih Syi’ah Imamiah, segala permasalahan telah memiliki hukumnya tersendiri, ijtihad seorang faqih adalah sarana untuk menyingkap hukum-hukum tertentu dan bukan sumber hukum syar’i itu sendiri. Ijtihad dengan makna inilah yang telah menyumbangkan kontibusi besar terhadap ilmu fiqih sepanjang empat belas abad serta manjadikannya tetap hidup, aktif, dan selalu berjalan mengikuti langkah-langkah peradaban.

Ijtihad ala Syi’ah merupakan anugrah Ilahi yang telah menopang ilmu fiqih sehingga memiliki kompetensi untuk menjawab sederetan permasalahan kontemporer. Walaupun sistem ijtihad ini hanya menyodorkan kaidah-kaidah global dan tidak membahas permasalahan fiqih secara khusus, namun seorang mujtahid dengan berpegang kepada metode ijtihad, ia akan mampu mengeluarkan hukum-hukum akan permasalahan yang dihadapi dari sumber-sumbernya (al-Quran dan sunnah).

Penutupan pintu ijtihad yang terjadi dalam perjalanan fiqih ahlus sunnah merupakan problema yang serius yang menghalangi fiqih mereka untuk terus berkembang, problema semacam ini tidak pernah menimpa fiqih syiah. Pada tahun 655 mereka (para penguasa saat itu) membatasi mazhab-mazhab Islam hanya dengan empat mazhab, kemudian mereka pun melarang siapa saja untuk menyingkap hukum-hukum syariat dengan mengatasnamakan seorang mujtahid yang memiliki otoritas, akhirnya fiqih mereka pun mengalami stagnasi yang menjadi penghalang bagi kemajuannya.

Akhir-akhir ini, kelompok intelektual ahlus sunnah menyatakan akan pentingnya dibuka kembali pintu ijtihad, mereka menghendaki agar problema ini segera dipecahkan, namun masih panjang jalan yang harus mereka tempuh guna meraih keberhasilan.

Dengan memperhatikan empat poin di atas, maka sangatlah tidak adil seseorang yang menuduh Islam sebagai agama yang tidak sempurna dan tidak universal.

Di bawah ini kembali kami sebutkan poin-poin yang membahas unsur-unsur yang turut andil dalam menghidupkan fiqih Islam serta menjadikannya fleksibel dan universal, dan masing-masing dari point tersebut memerlukan pembahasan yang lebih luas.

1. Akal adalah salah satu pijakan ijtihad;

2. Hukum-hukum Islam selalu berdasarkan maslahat dan mudharat tertentu;

3. Fiqih Islam memiliki sejumlah prinsip dan kaidah umum yang produktif;

4. Seorang faqih dengan metode ijtihad dan analisa terhadap ayat dan hadits secara cermat dapat mengeluarkan hukum-hukum bagi segala permasalahan.




Catatan Kaki:
[1] Apakah Dia tidak mengenal siapa yang diciptakannya, dan Ia Maha halus dan Maha mengetahui” al-Mulk: 14.

[2] Qarardadhaye Ijtima’i, Jean Jacques Rousseau, terjemahan Ghulam Husain Zirak Zadeh, hal: 18.

[3] Al-Anfal: 60

[4] Usul al-Kafi jld 1 hal 16.

[5] Usul al-Kafi jld 1 hal 25

[6] Kaedah ini merupakan kaedah yang subtansial, dan kami telah membahasnya dalam kitab “at-Tahsin wa at-Taqbih al-Aqliyaan”

[7] An-Nahl: 90

[8] An-Najm: 22

[9] Al-Maidah: 91

[10] Al-Ankabut: 45

[11] Ushul al-Kafi jld: 1 hal: 49-62 Bab “ar-Rad ‘ala al-Kitab wa as-Sunnah”.


17
NEO-TEOLOGI I

Agama di Mata Para Tokoh Intelektualisme

Pendahuluan
Agama adalah sebuah fenomena yang dekat dalam kehidupan individu dan masyarakat. Demikian dekatnya, sehingga agama menjadi perangkat dalam seluruh ritual kehidupan kita. Begitu juga dengan para ilmuan, mereka tidak penah ketinggalan dalam mengomentari agama. Mulai dari ilmuan saintis hingga ilmuan lainnya, seperti psikolog, sosiolog bahkan seniman.

Pembahasan kita kali ini, berkaitan dengan salah satu pendekatan di antara beberapa pendekatan sosiologi dan antropologi dalam memahami agama. Pendekatan Intelektualisme adalah sebuah pendekatan yang mencoba memahami asal mula agama, perubahan agama dan menganalisa penyebab sebuah agama yang berjalan menuju kepunahan.

Sebelum kami masuk pada inti pembahasan, kami ingin menjelaskan terlebih dahulu mengenai Intelektualisme itu sendiri. Intelektualisme[1] yang dimaksud dalam pembahasan ini, adalah sebuah pendekatan atau teori yang menjelaskan tentang asal mula agama dan gerak evolusi agama berdasarkan benak atau proses pemikiran manusia. Para sosiolog dan antropolog Intelektualisme sangat dipengaruhi oleh Intelektualisme filsafat di abad 17 dan teori Evolusionisme di abad 19. Tokoh-tokoh aliran ini adalah Bapak sosiolog August Comte (1798-1857), Herbert Spencer (1820-1903) sosiolog klasik Inggris, Edward Burnett Tylor (1832-1917) dan Sir James George Frazer, keduanya adalah antropolog klasik Inggris.

Intelektualisme lebih menekankan pada akal dalam menemukan pengetahuan. Akal yang dimaksud dalam hal ini adalah sebuah potensi tafakkur dan berfikir, yang meneliti dan menganalisa fenomena-fenomena yang ada. Oleh sebab itu, kita tidak boleh salah dalam memahami makna lain dari Intelektualisme yang digunakan dalam terminologi filsafat atau peristilahan yang lain.

Analisa para ilmuan yang kami sebutkan di atas, selain memiliki pandangan yang sama, juga memiliki pandangan yang berbeda. Untuk mengawali pembahasan ini, kami ingin memaparkan terlebih dahulu sisi kesamaan pandangan-pandangan mereka. Selanjutnya kami juga akan memaparkan sisi perbedaan sebagian dari mereka.


Sisi Kesamaan Teori Substansi Agama
Agama memiliki definisi yang beragam, demikian banyaknya sehingga definisi agama semakin tidak jelas. Oleh karena itu, ada baiknya jika kita menelusuri pandangan Intelektualisme tentang definisi agama, juga membantu kita untuk mengetahui apa yang mereka inginkan dari agama. Di antara tokoh yang ada, Tylor memberikan definisi yang lebih jelas, Tylor mendefinisikan agama sebagai; kepercayaan kepada wujud-wujud spiritual. Dalam pandangannya, walaupun agama memiliki banyak perbedaan, namun mereka semua sama dalam hal ini, bahwa terdapat ruh-ruh di alam ini yang berfikir, bertindak dan merasakan seperti manusia.

Tokoh lainnya, sedikit banyaknya sependapat dengan definisi yang diutarakan oleh Tylor, termasuk Frazer dan Spencer. Namun dalam pandangan August Comte, walaupun ia sepakat dengan definisi tersebut, akan tetapi ia menganggapnya bahwa definisi tersebut tidak sempurna.

Comte dengan ciri khas pemikirannya yang meyakini tiga tahapan dalam evolusi agama, menerima definisi tersebut sebagai tahapan pertama dalam sebuah agama. Comte melangkah lebih jauh dari tahapan tersebut, dan menganggap bahwa agama sebagai rangkain akidah-akidah yang tersebar dalam bagian-bagian masyarakat, dan juga menganggapnya sebagai faktor koherensi masyarakat. Perhatian Comte pada faktor tersebut, secara perlahan-lahan menyimpulkan agama pada sisi tersebut. Apa saja yang menyebabkan koherensi dan menyatukan masyarakat, ia sebut sebagai agama. Agama positivistik yang dibangun oleh Comte, walaupun didalamnya tidak terdapat kepercayaan terhadap wujud-wujud spiritual, namun menurutnya, agama ini mampu menyatukan masyarakat. Singkatnya, Comte tetap menerima definisi yang dikemukan oleh Tylor dalam agama tahapan pertama. Oleh karena itu, bisa kita anggap bahwa definisi tersebut sebagai titik kesamaan di antara tokoh Intelektualisme, termasuk Comte.


Asal Mula Munculnya Agama
Untuk mengenal lebih jauh pemikiran Intelektualisme mengenai agama, kita harus mengenal terlebih dahulu pandangan mereka tentang manusia. Pada saat Rasialisme meyakini perbedaan mendasar di antara ras-ras yang ada, dan menganggap bahwa antara ras satu memiliki derajat yang lebih tinggi dari pada ras lainnya, para petualang -dengan pemikiran ini- ditimpa kejadian-kejadian yang tragis yang sangat disesalkan.

Para Intelektualisme bangkit dan menentang pandangan ini, kemudian meyakini bahwa manusia memiliki potensi-potensi yang sama. Tylor kemudian memaparkan apa yang disebut dengan “kesatuan psikis“, yang menyebabkan manusia memiliki potensi-potensi spiritual dan pikiran yang sama. Mereka sama dalam berpikir dan bertindak. Kesamaan-kesamaan yang kita saksikan di antara budaya-budaya diseluruh alam, bersumber dari kesamaan mendasar dalam benak manusia, karena kebanyakan budaya-budaya yang ada di berbagai tempat adalah hasil dari kreasi manusia. Prinsip “kesatuan psikis“ dalam pandangan Intelektualisme, memberikan sebuah asumsi bahwa agama dalam seluruh ruang dan waktu, selain perbedaan-perbedaan yang dimilikinya, juga memiliki fenomena yang sama, bahkan bersumber dari substansi yang satu.


Dari Politeisme ke Monoteisme
Dalam pandangan Tylor, manusia memiliki substansi yang sama. Sebuah eksistensi yang berfikir, yang senantiasa ingin mengetahui keberadaan di sekitarnya. Manusia primitif berusaha memahami dan menjelaskan berbagai fenomena-fenomena yang aneh, dan fenomena suara-suara yang dahsyat, melalui ruang lingkup pemikirannya, bahkan berusaha membangun alur-alur pemikirannya. Tentunya, pengetahuan yang mereka maksudkan bukan sekedar menyaksikan suatu fenomena yang aneh atau mendengarkan suara yang dahsyat, tapi pengetahuan dihasilkan ketika hal tersebut menjadi sebuah bingkai universal atau telah menjadi pandangan dunia yang khas, misalnya; sekedar mendengar petir tidak bisa disebut sebagai pengetahuan, tapi mendengar petir dan meyakininya sebagai murka Tuhan disebut sebagai pengetahuan.

Comte meyakini juga bahwa pengetahuan seperti ini dihasilkan pada tahapan pertama agama, yaitu pada tahapan teologi, karena manusia pada saat itu senantiasa berfikir secara sederhana, dan dengan pandangan teologi langsung dapat memberikan sebuah jawaban, walaupun jawaban tersebut dalam bentuk sederhana.

Manusia tidak begitu mengetahui tentang hakikat dirinya dan juga sekitarnya, akan tetapi ia senantiasa untuk mencoba mengetahuinya. Oleh karena itu, ia harus beranjak dari sebuah titik, dimana pengetahuannya terhadap hal tersebut melebihi dari yang lainnya. Jelas, tidak ada yang lebih jelas dari segalanya kecuali diri itu sendiri. Jika demikian, apakah yang diketahui manusia tentang dirinya sehingga dari pengetahuan tersebut ia bisa generalkan pada yang lainnya?

Dari pengalaman-pengalaman yang manusia dapatkan di antara hidup dan mati, di antara tidur dan sadar, ia kemudian membedakan adanya dua keberadaan yang berbeda; yaitu ruh dan badan atau jiwa dan materi. Ketika manusia primitif memperhatikan mimpinya akan seseorang yang berada di tempat yang sangat jauh, atau memperhatikan antara orang hidup dan orang mati, ia kemudian mengambil kesimpulan bahwa manusia memiliki dua substansi, dimana kedua hal tersebut berada dalam dirinya. Ketika manusia tidur dan jiwanya berpisah dari badannya, ia dapat berkunjung ke tempat yang jauh dan dalam tempo yang sangat singkat. Badan bisa dianggap hidup jika jiwa tersebut berada bersamanya, dan kapan saja jiwa berpisah dari badannya maka badan tersebut tidak memiliki aktivitas sama sekali, jiwalah yang merupakan sumber kehidupan dan aktivitas manusia.

Comte menyebut pandangan ini dengan “Fetishisme” yang merupakan tahap pertama dari sebuah agama, dan Tylor menyebut pandangan ini dengan “Animisme “.

Dalam pandangan Tylor, benak manusia senantiasa memiliki kecendrungan untuk menggeneralisasikan sesuatu. Kapan saja manusia mengetahui sifat-sifat dari sesuatu, ketika ia menemukan sesuatu yang mirip dengan sesuatu tersebut, maka sifat-sifat tersebut ia generalkan padanya. Manusia primitif yang meyakini bahwa manusia memiliki dua aspek, maka dengan kecenderungan benaknya untuk menggeneralisasikan sesuatu, maka keyakinannya akan dua aspek tersebut ia generalkan pada hal-hal yang alami, dan meyakini bahwa hal-hal tersebut memiliki jiwa yang merupakan sumber dari aktivitas-aktivitasnya. Ruh yang dimilikinya persis sama dengan ruh manusia yang memiliki sifat seperti; iradah dan niat dan lain-lain. Lambat laun manusia primitif menganggap bahwa segalanya memiliki ruh, segala fenomena yang ia saksikan dan yang ia dengar, mereka nisbahkan pada ruh, artinya dengan hal ini, manusia primitif dapat menafsirkan fenomena-fenomena yang ada disekitarnya-seperti banjir, gempa dan lainnya-dengan pandangan tersebut.

Setelah fenomena-fenomena tersebut ia nisbahkan pada ruh, untuk sampai pada tujuan-tujuan yang diinginkannya, mereka kemudian berfikir cara untuk bisa mempengaruhi fenomena tersebut, dengan jalan berhubungan dengan ruh-ruh yang menggerakkan dan mendatangkan fenomena tersebut. Benak manusia primitif tidak cukup sampai disini saja, benak mereka menggeneralisasi pada tempat yang lain, bahwa sebelumnya ia meyakini bahwa tiap fenomena memiliki ruh tertentu, namun kemudian untuk fenomena-fenomena yang memiliki kemiripan, ia yakini memiliki satu ruh yang sama, misalnya sebelumnya ia meyakini bahwa setiap pohon beringin, masing-masing memiliki ruh yang berbeda-beda, namun kemudian ia meyakini bahwa seluruh pohon beringin hanya memiliki satu ruh, karena semua pohon beringin memiliki karakter yang sama, lebih dari itu, karena semua pohon memiliki karakter yang sama, maka seluruh pohon hanya memiliki satu ruh. Dari sinilah awal mula pemahaman tentang Tuhan-Tuhan, ibadah dan penyembahan yang ada dalam agama.

Selanjutnya, manusia primitif meyakini bahwa di antara ruh-ruh, ada yang memiliki kekuasaan yang lebih di antara ruh-ruh yang lain. Oleh karena itu, manusia primitif terpaksa menyembah Tuhan yang banyak, untuk sampai pada tujuan yang diinginkannya, misalnya; ketika musim kemarau datang, maka mereka menyembah Tuhan hujan, ketika musim serangga datang, mereka menyembah Tuhan pembasmi, begitu juga dengan fenomena-fenomena lainnya. Tahapan ini disebut dengan Politeisme.

Tylor kemudian menambahkan bahwa benak manusia tidak berhenti pada tahapan tersebut, namun sebagaimana sebelumnya dari tahapan Animisme menuju Politeisme, dan dari Politeisme menuju Monoteisme. Dalam tahapan Monoteisme, mereka hanya menyembah satu Tuhan, yang menguasai seluruh keberadaan.

Sekarang kita mengetahui bersama bahwa Intelektualisme menganggap agama sebagai jawaban dari kebutuhan pengetahuan manusia. Menurut pandangan ini, agama adalah produk manusia primitif-mengutip kata Tylor; produk “filosof liar “- dalam menjelaskan fenomena sekitarnya. Akan tetapi pengetahuan ini, tidak berhenti pada tahap pertama saja, namun ia bergerak dari Anisme ke Politeisme dan kemudian ke Monoteisme, sesuai dengan kecendrungan evolusi benak manusia.


Agama, Sebuah Tahapan Evolusi Pemikiran Manusia
Para pemikir yang kami angkat dalam kesempatan ini, sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Evolusionisme abad 19, mereka menganggap bahwa perubahan-perubahan internal agama disebabkan oleh sebuah proses yang berevolusi, agama adalah salah satu tahapan dari beberapa tahapan evolusi manusia, yang bersandar pada evolusi alam mental atau akal manusia. Para pemikir di atas sepakat bahwa sejarah manusia bergerak menuju kesempurnaan, yang dimulai dari titik yang paling sederhana, hingga ke titik yang paling puncak, dan para pemikir ini sepakat bahwa faktor dan penyebab evolusi ini adalah akal dan benak manusia, akan tetapi para pemikir ini berbeda dalam mengambil sumber dan informasi. Masing-masing dari pemikir ini berbeda dalam menyebutkan tahapan-tahapan evolusi agama. Oleh sebab itu, ada baiknya jika kami kemukakan pandangan mereka secara singkat.

August Comte meyakini ada tiga tahapan dalam proses evolusi sejarah manusia; pertama, tahapan teologi. Menurutnya, dalam tahapan ini, masyarakat memiliki keyakinan bahwa di balik fenomena-fenomena alam ini, dikontrol oleh suatu keberadaan metafisik. Tahapan ini memiliki tiga cabang; cabang pertama disebut dengan Fetishisme. Manusia dalam tahapan Fetishisme ini meyakini bahwa segala fenomena alam-seperti dirinya-memiliki ruh atau jiwa, yang menggerakkan fenomena-fenomena tersebut. Cabang kedua adalah Politeisme, dalam tahapan ini mereka tidak berbicara mengenai ruh, namun meyakini akan keberadaan Tuhan-Tuhan yang mengontrol dan mengaturnya. Tuhan-Tuhan ini menguasai segalanya termasuk manusia, oleh karena itu, manusia mengadakan ritual dan penyembahan untuk meminta keridhaan tuhan-tuhan tersebut.

Penyembahan ini bagi mereka memiliki peranan yang sangat besar, sehingga mereka memilih tokoh spiritual tertentu sebagai penghubung antara dia dan tuhan-tuhan mereka, dan juga berfungsi untuk mengajarkan bagaimana menyembah yang benar. Cabang ketiga adalah Monoteisme, dalam tahapan ini manusia tidak lagi menyembah beberapa Tuhan, tapi hanya menyembah satu Tuhan, yang menguasai segalanya.

Tahapan kedua adalah tahapan filosofis, dalam tahapan ini manusia dalam menjustifikasi sesuatu tidak lagi berdasarkan pada kekuatan metafisik, tapi bersandar pada substansi sesuatu itu sendiri.

Tahapan ketiga adalah tahapan Positivisme. Dalam tahapan ini manusia tidak lagi menggunakan dua metode sebelumnya, tapi ia mulai mengobservasi fenomena tersebut, dan mencoba menentukan hubungan-hubungan yang teratur diantaranya. Comte meyakini bahwa fakultas-fakultas pengetahuan yang memiliki kerumitan tertentu akan sampai pada tahapan ini.

Tylor dan Frazer meyakini bahwa ketiga tahapan tersebut adalah magic, agama dan ilmu. Dalam pandangan mereka, aktvitas magic dilakukan berdasarkan prinsip analogi dan asosiasi. Frazer meyakini akan dua jenis magic, pertama; sebuah magic yang dilakukan berdasarkan kemiripan sesuatu, yaitu dengan melihat adanya kemiripan di antara dua obyek, obyek yang satu dapat mempengaruhi obyek yang lain, dengan mengoperasikan teknik-teknik magic tertentu pada salah satu obyek tersebut, misalnya untuk melukai seseorang, cukup dengan membuat patung atau boneka yang mirip dengan orang tersebut, dan kemudian ia tusukkan jarum pada boneka tersebut. Jenis kedua adalah magic menjalar, yang dapat dioperasikan dengan sentuhan tertentu atau menularkannya. Misalnya; jika kita mendapatkan salah satu bagian dari bekas anggota tubuh seseorang, seperti kuku dan rambut, kita dapat menyihir orang tersebut.

Setelah tahapan magic, selanjutnya masuk dalam tahapan agama. Sebagaimana yang diungkapkan sebelumnya bahwa dalam tahapan agama, mereka menjelaskan fenomena-fenomena alami dengan menyandarkannya pada ruh-ruh dan Tuhan-Tuhan. Untuk mempengaruhi seseorang mereka tidak menggunakan magic lagi, tapi cukup dengan bermunajat pada ruh-ruh atau Tuhan-Tuhan. Tahapan selanjutnya adalah tahapan ilmu, menurut Frazer, pengetahuan manusia pada fenomena-fenomena alam semakin hari akan semakin bertambah, penjelasan agama tidak lagi memuaskan seseorang dalam menjelaskan fenomena tersebut, manusia lebih menyandarkan pengetahuannya pada penemuan-penemuan ilmiah mereka. Dalam tahapan ini manusia sama sekali tidak butuh kekuatan metafisik, yang mereka gunakan adalah metode-metode eksperimentasi, dalam menemukan sebab-sebab dan factor-faktor fenomena tersebut.

Sebagaimana yang Anda perhatikan, teori Intelektualisme melirik agama sebagai sebuah metode dan pengetahuan dalam menjelaskan dunia, yang diawali dalam tahapan tertentu dari perkembangan pemikiran manusia. Oleh karena itu, karena pengetahuan manusia terhadap fenomena tersebut semakin hari sekamin bertambah, maka kebutuhan dia pada agama akan semakin berkurang, bahkan suatu saat nanti dia tidak membutuhkannya sama sekali.

Pertanyaan selanjutnya; apakah agama hanyalah sebuah tahapan dari sebuah pemikiran manusia, yang hilang secara tiba-tiba dan digantikan oleh ilmu dan metode ilmiah, ataukah perpindahan tahapan beranjak secara perlahan-lahan? Dengan kata lain, setelah tahapan selajutnya siap untuk menggantikan tahapan sebelumnya, apakah tahapan sebelumnya sirna sama sekali, ataukah terdapat unsur-unsur yang masih menetap dan bercampur dengan tahapan salanjutnya? Dalam menjawab pertanyaan ini, para analis Intelektualisme sepakat bahwa terdapat unsur-unsur dalam tahapan sebelumnya yang masih bertahan dalam tahapan selanjutnya, bahkan sampai waktu yang sangat panjang, yang disebabkan oleh faktor efisiensi. Tylor menggunakan pemahaman “survivals“ dalam menjelaskan unsur yang tetap bertahan tersebut.

Dalam pandangan Tylor, budaya yang berbeda-beda dan juga bagian dari sebuah budaya, semuanya tidak menyempurna secara bersamaan. Secara umum, sebagian dari bagian sebuah budaya tertentu, dimana dalam sebuah masa tertentu memiliki efisiensi yang baik, akan memungkinkan bagian sebuah budaya tersebut masih tetap bertahan walapun bagian lainnya telah mengalami perubahan, misalnya pada zaman dahulu, untuk berburu cukup dengan menggunakan panah dan busur, namun para pemburu modern tidak lagi menggunakan alat tersebut, mereka lebih memilih senjata dalam berburu, namun panah dan busur masih tetap terpelihara hingga saat ini, disebabkan karena memanah dilihat sebagai sebuah kemahiran dalam sebuah olah raga atau sebagai interaksi. Comte juga menerima adanya unsur-unsur dalam berbagai tahapan yang satu sama lain saling bercampur, namun Comte lebih banyak memperhatikan pada sisi sosialnya. Dalam pandangan Comte, ketiga tahapan alam mental manusia, akan menghasilkan keharmonisan dan kesatuan dalam sistem masyarakat, namun ketika unsur-unsur tersebut satu sama lain telah bercampur, akan menimbulkan problema dalam sistem masyarakat. Comte juga meyakini bahwa krisis yang melanda era modern disebabkan oleh hadirnya ketiga tahapan unsur tersebut secara bersamaan.


Pandangan Khas August Comte
August Comte adalah pendiri mazhab Positivisme, dia menginginkan seluruh fenomena-fenomena sosial dianalisa dan diobservasi, sama seperti kita mengobservasi dan menganalisa fenomena-fenomena alam. Selain pandangan di atas, Comte juga menerima pandangan lain yang disebut sebagai Fungsionalisme, yang menyelidiki fenomena-fenomena sosial berdasarkan fungsi-fungsinya. Selain kedua pandangan di atas, Comte juga menerima pandangan Evolusionisme, dan dengan ketiga pandangan tersebut ia mencoba meneliti dan menganalisa masyarakat.

Comte meyakini bahwa faktor mendasar sebuah perubahan dalam masyarakat adalah pengetahuan, dan tahapan-tahapan evolusi masyarakat dan pengkategorian pengetahuan merupakan titik fokus bangunan pemikirannya. Sekarang kita akan mencoba meringkas pandangannya mengenai agama.

1. Comte meyakini bahwa agama muncul dari sebuah tahapan tertentu dari sejarah manusia. Di sisi lain Comte meyakini bahwa masyarakat selamanya butuh pada agama, artinya bahwa dari satu sisi agama terancam kepunahan, karena agama berhubungan pada masa dahulu, dan sebab itu agama harus digantikan dengan sesuatu yang sesuai dengan masa kekinian. Di sisi lain masyarakat butuh pada sebuah sistem yang dapat menyatukan mereka, sebuah ide-ide umum dan universal, yang hanya dapat diberikan oleh agama.

Secara sepintas kita melihat adanya paradoks dalam pandangan Comte, namun Comte lebih jeli untuk bisa keluar dari lingkaran paradoks tersebut. Jika kita lebih teliti pada uraian-uraian yang dipersembahkan oleh Comte, kita akan menemukan bahwa agama yang mengalami kepunahan adalah sebuah agama yang berada dalam tahapan pertama evolusi manusia, yang mana pemikiran yang mendominasi dalam pandangan tersebut adalah sebuah pemikiran metafisik, yang menyerahkan seluruh fenomena pada Tuhan-Tuhan dan ruh-ruh. Namun dalam pandangan Comte, agama tidak terbatasi pada apa yang mendominasi dalam pemikiran tahapan pertama, bahkan dalam pandangan Comte, apa saja yang membuat keharmonisan dan dapat menyatukan masyarakat, ia sebut sebagai agama.

Oleh karena itu, dalam pandangan Comte, walaupun masyarakat modern butuh pada agama, namun agamanya haruslah dalam ruang lingkup ilmu, positivistik dan sesuai dengan masyarakat modern.

2. Walaupun unsur pengetahuan agama dalam perubahan agama memiliki peranan yang sangat penting, namun Comte tidak melupakan faktor sosiologi mengenai pranata-pranata sosial. Menurut Comte; “setiap tahapan-tahapan perubahan alam mental manusia, berkaitan erat dengan sebuah institusi sosial dan dominasi politik tertentu yang ia ciptakan. Tahapan teologi dibawah dominasi para tokoh spiritual dan dikomandoi oleh pria-pria militer . . . tahapan metafisika, berada pada masa abad pertengahan dan renasains, yang didominasi oleh para pastor dan hakim. Tahapan ketiga yang baru saja dimulai, di bawah dominasi para manager-manager industri dan diarahkan oleh etika para ilmuan “[2].

Artinya bahwa setiap tahapan dari evolusi pemikiran masyarakat, menciptakan sebuah institusi sosial yang sesuai dengan tahapan tersebut. Oleh karena itu, jika terdapat dua atau beberapa institusi yang hadir dalam masyarakat yang satu, mungkin saja akan menyebabkan sebuah krisis dalam masyarakat. Comte meyakini bahwa krisis sosial yang terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh bercampurnya system-sistem pemikiran klasik dan modern.

3. Sebagaimana yang Anda perhatikan bahwa dalam pandangan Intelektualisme, seluruh perhatian ia kerahkan pada pikiran dan pemikiran, instrumen perasaan hampir jarang disentuh, boleh dikata mereka telah melupakannya sama sekali. Pandangan ini bisa kita benarkan jika kita melihat analisis Comte mengenai agama, namun dalam beberapa hal, Comte sempat mengisyaratkan beberapa hal mengenai hal tersebut, bahwa salah satu kebutuhan manusia adalah cinta kepada sebuah eksistensi yang lebih mulia darinya, dan kebutuhan ini hanya bisa dipenuhi oleh agama, bahkan ketika manusia masuk dalam agama modern, manusia tetap tidak melupakan kebutuhan kemanusiaan ini. Kata Comte; manusia bisa saja letih dari bekerja dan berfikir, namun ia tidak akan pernah lelah dari cinta[3]. Dalam pandangan Comte, agama memiliki tiga dimensi. Pertama; dimensi akal, yaitu kepercayaan pada dogmatis agama. Kedua; dimensi perasaan yang menjelma dalam bentuk ibadah dan penyembahan. Ketiga; dimensi praktik, Comte menyebutnya dengan disiplin.


Edward Burnett Tylor
Tylor meyakini bahwa Animisme adalah pemahaman agama yang paling awal dan yang paling mendasar. Mereka menjelaskan asal mula dan perubahan agama melalui pandangan tersebut. Dalam pandangan Tylor, agama adalah sebuah jenis filsafat dan pandangan dunia, dimana manusia yang tidak memiliki pandangan ilmu, menjelaskan dan menafsirkan alam sekitarnya dengan agama tersebut.

Ia juga meyakini bahwa Animisme ini sampai mempengaruhi seluruh sendi-sendi kehidupan manusia, yang mengatur seluruh prilakunya, misalnya jika kita ingin tahu mengapa manusia-manusia primitif memberikan hadiah yang berharga pada orang mati, dan bahkan terkadang mengorbankan seorang manusia untuknya. Jawabannya ada pada Animisme. Dan juga jika kita ingin bertanya mengapa sebagain dari manusia primitif dapat berbicara dengan hewan, yang seolah-olah seperti bicara dengan manusia. Jawabannya juga ada pada Animisme, yaitu karena mereka juga seperi manusia memiliki ruh dan jiwa.

Dengan berbagai contoh yang dikemukakan oleh Tylor, membuktikan bahwa Animisme-yang secara sepintas kelihatannya nihil dan tidak bermakna-dapat dipahami dan masuk akal.

Pandangan Tylor yang berakar pada perkembangan dan evolusi alam mental dan pikiran manusia, meyakini bahwa ada tiga bentuk metode dalam memandang dunia, yaitu metode magic, metode agama dan metode ilmu[4]. Menurut Tylor, magic yang tidak meyakini pada ruh dan jiwa, namun meyakini akan sebuah kekuatan-kekuatan non-personal, namun secara mendasar aktivitas magic dilakukan berasarkan prinsip analogi dan asosiasi.

Para ahli magic berusaha mempengaruhi sesuatu dengan melakukan sebuah aktivitas magic pada sesuatu yang mirip dengan sesuatu tersebut. Dalam metode agama, mereka menisbahkan fenomena-fenomena alam pada ruh-ruh yang mengontrol di balik fenomena-fenomena tersebut. Oleh karena itu, untuk menghindar atau mendatangkan fenomena tersebut mereka melakukan penyembahan pada ruh-ruh tersebut. Dalam pandangan Tylor, perjalanan tahapan evolusi pikiran dan pemikiran manusia akan berakhir pada metode ilmu, dimana dalam tahapan tersebut tidak ada lagi tempat untuk magic dan agama.

Walaupun dalam pandangan Tylor meyakini bahwa agama bersifat rasional (akal), tapi agama berhubungan pada masa manusia primitif. Menurutnya, walaupun agama Animisme dilihat sebagai sebuah usaha manusia primitif dalam menjelaskan alam, dan dianggapnya sebagai sebuah usaha yang seiring dengan ilmu alam, namun jika dibandingkan dengan ilmu modern, agama lebih kuno, lebih primitif dan kurang ahli dalam menjelaskan fenomena alam. Menurut Tylor, walaupun kepercayaan kepada ruh-ruh merupakan salah satu bagian tahapan dari tahapan-tahapan evolusi, namun ketika kita telah masuk pada tahapan ilmu, kepercayaan tersebut tidak bisa lagi kita terima, karena saat ini, ilmuan sederhana pun mengetahui bahwa tidak ada satupun pohon yang memiliki ruh, dan mengetahui bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan hukum-hukum alam, bukan berdasarkan kecendrungan pada ruh-ruh.

Oleh karena itu, agama dalam periode tertentu telah membantu manusia dalam mengetahui alam, saat ini dengan kemajuan pemikiran manusia, dan bersandar pengetahuan ilmiah, tidak lagi membutuhkan agama dalam menjelaskan fenomena alam. Manusia modern dapat membuang agama kecuali sebagian dari anjuran-anjuran akhlaknya, dan sebagiannya lagi harus ditolak dan dibuang.

Selanjutnya, Tylor berhadapan dengan sebuah pertanyaan, mirip dengan pertanyaan yang kita ajukan pada Comte, bahwa jika saat ini telah masuk pada periode ilmu, mengapa keyakinan dan kepercayaan terhadap agama masih tetap ada? Atau dengan kata lain, mengapa unsur-unsur yang ada dalam agama, masih tetap ada dalam periode ilmu? Untuk menjawab persoalan ini, Tylor mengambil bantuan dari pemahaman “survival“. Maksud Tylor dari ”survival“ adalah tradisi-tradisi, ritual-ritual, pandangan-pandangan ataupun semacamnya, yang pindah pada masyarakt modern melalui “kebiasaan“[5].

Oleh karena itu, yang menyebabkan unsur-unsur dalam tahapan sebelumnya tetap ada dalam tahapan modern adalah “kebiasaan“. Pertanyaan selanjutnya bagaimana kita membedakan antara “survival“ dengan lainnya? Menurut Tylor dalam sebuah budaya, segala sesuatunya memiliki makna, dan jika makna sesuatu dalam budaya tersebut tidak dapat dipersepsi, maka hal tersebut adalah survival. Survival adalah perkara-perkara yang dalam bingkai budaya kekinian tidak memiliki makna tertentu. Namun jika ada orang yang mampu memaknai kembali terhadap makna ketika pertama kali hal tersebut ditemukan, maka hal tersebut kembali memiliki makna.

Misalnya pada periode Animisme masyarakat sangat meyakini ruh dan jiwa, salah satu kepercayaannya adalah ketika orang bersin, maka ruh keluar dari badannya, oleh karena itu, ketika ia bersin ia mengucapkan “semoga anda disembuhkan“. Namun saat ini tidak ada lagi yang meyakini hal tersebut. Bahkan saat ini perkataan di atas (semoga Anda mendapat kesembuhan) berubah menjadi tradisi yang nihil, yang mana tujuan asli dari pengucapan tersebut telah lama dilupakan. Dalam pandangan Tylor, sejarah manusia dipenuhi oleh khurafat-khurafat seperti ini, sebuah khurafat yang tetap tinggal dalam masyarakat. Agama juga termasuk salah satu dari “survival“ tersebut yang harus ditinggalkan.

Dari penjelasan di atas kita mengetahui bahwa setiap unsur dari unsure-unsur sebuah budaya memiliki makna tertentu, dan survival hanya dapat diketahui dengan merevisi kembali alam mental ruang lingkup budaya. Setelah itu kita harus mengetahui bagaimanakah seorang sosiolog dan antropolog dapat mengetahui seluruh budaya atau sebagian dari unsur-unsur budaya sebuah masyarakat asing? Apakah kita tidak dapat mengetahui hal tersebut kecuali jika kita masuk dalam budaya tersebut dan kemudian mengenal lebih dalam lewat mempelajari bahasa, adapt-istiadat dan etikanya?

Untuk menyelesaikan persoalan ini, Tylor menawarkan sebuah solusi yang mudah. Tylor meyakini bahwa manusia memiliki bentuk pikiran dan pemikiran yang sama, ia menamakan kesatuan ini dengan “kesatuan psikis." Karena seluruh manusia satu sama lain saling berargumentasi, oleh karena itu kita senantiasa dapat memahami maksud orang-orang yang hidup dalam budaya lain, bahkan sampai mengetahui niat-niat mereka. Oleh Karena itu, walaupun manusia-manusia primitif memiliki tingkat pengetahuan yang rendah, namun mekanisme alam mental mereka dengan mekanisme alam mental manusia modern adalah sama[6].

Tylor meyakini dirinya berada dalam tahapan ilmu. Oleh karena itu, ia merasa bertanggung jawab untuk menjelaskan fenomena-fenomena budaya, termasuk agama, berdasarkan metode-metode ilmiah. Menurutnya, setiap penjelasan dengan berbagai dalih seperti mukjizat, ilham dan lain-lain, tidak termasuk kategori ilmiah, karena itu hal tersebut harus disingkirkan, hanya penjelasan yang berdasarkan metode-metode ilmiah yang dapat diterima.


Analisa dan Kritik
Tidak diragukan bahwa teori Intelektualisme telah memberikan peranan yang begitu penting dalam analisis-analisis sosiologi dan antropologi agama. Di sisi lain, teori ini termasuk teori yang pertama dalam ilmu sosial modern, yang membahas mengenai agama, tidak heran jika banyak kita temukan kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu, saat ini kita akan membahas dan menganalisa dari berbagai sisi pandangan Intelektualisme tersebut. Layak kiranya jika kita membahas teori tersebut dengan analisa kritis, dan mengungkapkan sisi positif dan sisi negatifnya.

Di Barat, sebelum August Comte dan seluruh pemikir Intelektualisme, pada umumnya membahas agama dengan metode teologi dan sangat fanatik. Para teolog gereja yang sangat antusias dalam pembahasan-pembahasan seperti ini, seluruh usahanya dikerahkan untuk menetapkan doktrin gereja dan membatilkan agama lainnya. Metode yang mereka gunakan adalah metode teologi (kalam) yang bersandarkan pada filsafat dan kitab suci.

August Comte, Spencer dan Tylor yang merupakan pendiri ilmu-ilmu sosial modern datang dan menganalisa agama dan fenomena-fenomena agama dengan menggunakan metode-metode ilmiah dan positivistik. Mereka berusaha mengumpulkan bukti-bukti objektif dari agama-agama primitif dan masyarakat-masyarakat Badui. Melalui hal ini, mereka menjelaskan secara gamblang mengenai asal mula dan evolusi agama. Oleh karena itu, tawaran dalam menggunakan metode ilmiah dalam menganalisa secara teratur dan sistematik mengenai realitas agama, merupakan salah satu keunggulan aliran Intelektualisme.

Salah satu keunggulan yang lain dalam teori ini adalah adanya keterkaitan antara unsur yang satu dan unsur yang lainnya. Sebagaimana yang Anda perhatikan, teori ini dimulai dengan paradigma tentang manusia, yang meyakini bahwa benak manusia dan alam mental manusia adalah sama. Selanjutnya teori ini mulai menelusuri agama yang paling primitif, yang mereka sebut dengan Animisme, kemudian Politeisme hingga Monoteisme.

Keunggulan ketiga dari teori ini adalah senantiasa melihat agama dalam paradigma sejarah peradaban, yang senantiasa bersama dengan manusia, dan memperlihatkan pentingnya agama tersebut dalam kehidupan manusia. Berbeda dengan Marks yang menganggap agama sebagai candu.

Dari beberapa keunggulan yang telah kami utarakan, kami akan beralih untuk mencoba mengungkapkan kekurangan yang dimiliki oleh teori tersebut.

Salah satu kritikan yang bisa kita utarakan pada mereka adalah berkenaan dengan metodologi analisis mereka. Sebagaimana kita ketahui bahwa mereka ini adalah pencetus ilmu-ilmu sosial modern, yang meyakini bahwa dalam menjelaskan sebuah fenomena harus berdasarkan dengan data-data objektif. Namun secara praktik mereka menjalankan metode lain dalam menjelaskan agama, yang mana sosiolog dan antropolog saat ini tidak menerima lagi metode tersebut. Mereka tidak lagi menganalisa dan mensintesis data-data objektif, tapi yang mereka lakukan adalah dengan mengasumsikan manusia primitif, dan menjelaskan asal mula dan evolusi agama dengan menggunakan metode internalisme yang digunakan pada masa itu. Oleh karena itu, penjelasan dan analisa mereka, pada akhirnya tidak bersandar pada data-data objektif dan bukti-bukti sejarah, namun hanya bersandarkan pada metode internalisme semata.

Salah satu kritikan lain yang berkenaan dengan metodologi analisis mereka, bahwa; bahkan dalam batasan kemampuan mereka dalam menggunakan data dan informasi, berdasarkan sebuah asumsi kesatuan psikis dan alam mental manusia, mereka telah melupakan basis-basis sejarah dan budaya-budaya masyarakat, dan mereka memperoleh kesimpulan-kesimpulan universal melalui informasi-informasi yang terpisah-pisah dari masyarakat yang berbeda-beda. Metode seperti ini, tidak digunakan lagi dalam menganalisa ilmu-ilmu sosial masa kini, karena saat ini kita tidak bisa lagi memungkiri adanya keragaman budaya.

Oleh karena itu, boleh jadi beberapa dari adat-istiadat secara sepintas memiliki sisi kemiripan, namun pada hakikatnya memiliki makna dan tujuan yang berbeda. Walaupun para saintis saat ini meyakini prinsip kesatuan psikis manusia dalam artian bahwa manusia memiliki potensi yang sama dalam pikiran dan alam mental dari ras-ras yang berbeda, namun prinsip ini kemudian tidak memestikan bahwa manusia di mana saja akan menghasilkan sebuah budaya yang satu. Kemudian para analis Intelektualisme dengan mengasumsikan kesatuan psikis, yaitu kesatuan alam mental dan pemikiran manusia, mereka juga mengasumsikan akan kesatuan sejarah dan budaya-budaya seluruh manusia, dan atas dasar ini, mereka mengumpulkan sampel yang berbeda-beda, dan menganalisanya tanpa memperhatikan basis-basis sosial dan budaya.

Selanjutnya, kelemahan lain yang dimiliki teori ini adalah kurang akuratnya data dan informasi yang mereka dapatkan, dan bahkan keluar dari wilayah pembahasan. Hanya Tylor yang sempat berkunjung ke Meksiko dan mengamati dengan jelas masyarakat primitif yang ada di sana. Namun Spencer, Comte dan Frazer, tak satupun dari mereka yang menyempatkan dirinya berkunjung ke suatu tempat.

Kritikan lainnya adalah bahwa pandangan ini hanya membatasi agama pada dimensi akal saja, mereka melupakan instrument emosi yang merupakan instrument penting dalam agama.

Kritikan lain yang dikemukakan oleh Emile Durkheim; bahwa Animisme dan Fetishisme yang bersifat individualistik, tidak dapat menjelaskan agama sebagai sebuah fenomena sosial dan kelompok. Menurut Durkheim, Intelektualisme yang meyakini bahwa jelmaan pertama kali agama dalam bentuk kelompok adalah ritual nenek moyang, yang menyembah para ruh nenek moyang mereka. Jika memang demikian, persoalan selanjutnya yang muncul adalah bagaimanakah proses ruh ini yang merupakan sebuah fenomena individual, tiba-tiba berubah menjadi sebuah produk kelompok dan mendapatkan sakralisasi. Jika dikatakan bahwa kematian yang memunculkan fenomena tersebut, jawabnya adalah bahwa kematian hanya memberikan kebebasan yang lebih untuk berpindah-pindah. Kematian menyebabkan ruh tidak bergantung lagi pada badan, dan perbuatan-perbuatan yang selama ini hanya bisa dilakukan dalam mimpi, setelah ini bisa dilakukan untuk selamanya, namun jenis perbuatan yang dilakukan tidaklah berubah. Lantas mengapa mereka yang masih hidup, menganggap ruhnya berbeda dengan ruh-ruh nenek moyang mereka, hal tersebut seharusnya diteliti. Oleh karena itu, terdapat jarak psikologi dan logika antara pandangan yang berhubungan dengan kebebasan ruh dan pelaksanaan ritual untuknya. Namun jika kita mengetahui perbedaan antara dunia sakral dan dunia profan, maka jarak tersebut akan semakin jelas.

Kritikan selanjutnya yang dikemukakan oleh Durkheim; jika kita menerima argumen Animisme dalam menjelaskan agama, berarti kita harus menerima bahwa agama adalah sebuah perkara imajinativ, yang tidak punya dasar objektif sama sekali, dan keberadaan-keberadaan sakral pun adalah produk alam mental atau benak manusia[7].




Catatan Kaki:
[1] Dar Amadi Bar Nazariyeha_e_Din. Bahktiyari,Muhammad Aziz, p. 66

[2] . Kehidupan dan Pemikiran para Pembesar Sosilogi; Terjemahan Muhsin Tsulasi, hal. 30.

[3] Tahapan pemikiran dalam sosiologi ; Raymon ; terjemahan Baqir Parhom ; hal 118

[4] Morris, Brian ; Anthropological Studies of Religion, p. 101

[5] Ibid, p. 99

[6] Pals, Daniel ; Seven Theories of Religion ; p. 22

[7] Durkheim, Emile; The Elementary Forms of the Religion Life; trans. by Joseph Ward Swaim; p. 60 - 63.

18
NEO-TEOLOGI I

Agama dalam Pandangan Kaum Materialis
Kaum Materialis secara global berpendapat bahwa kecenderungan manusia terhadap agama dan Tuhan disebabkan oleh kondisi psikologis dan sosiologis penganutnya. Akan tetapi hingga saat ini, belum ada kesepakatan di antara mereka mengenai faktor muncunya agama itu sendiri, masing-masing tokoh dan aliran kelompok ini memiliki pandangan yang berbeda. Untuk membuktikan kelemahan pandangan ini, kita akan mengkaji sebagian pandangan mereka mengenai faktor munculnya agama.


Pandangan Pertama
Kemunculan agama berakar pada rasa takut akan fenomena alam yang mengerikan.

Seorang psikoanalis terkenal Freud menyakini bahwa faktor terbentuknya agama adalah didasari oleh rasa takut manusia terhadap fenomena alam yang mengerikan, ia berkata: Menurut keyakinan psikonalis keyakinan agama yang dimiliki manusia, berakar dari kondisi psikologis masa kecilnya, dimana seorang anak kecil selalu merasa ketakutan ketika berhadapan dengan fenomena alam yang mengerikan, disaat itu seorang ibulah yang menjaga dan melindunginya dari segala bahaya yang mengancamnya, dan dapat dikatakan bahwa sang ibulah yang menjadi pelindung pertama bagi anaknya. Tidak lama kemudian peranan ini pun diambil alih ayahnya yang akan terus menjaga sang anak hingga memasuki masa baligh. Saat sang anak telah memasuki usia baligh ia mulai mengenal dan mampu mengidentifikasi segala bahaya yang dapat mengancamnya, namun ia masih seperti dulu, tetap merasa kecil dan lemah saat menghadapi fenomena alam yang mencekam. Oleh karenanya ia pun masih tetap membutuhkan seorang pelindung yang dapat menggantikan posisi ayahnya yang selalu berada di dekatnya saat ia mengalami ketakutan, ia pun mulai mencari pelindung pengganti ayahnya yang dulu dianggap memiliki kekuasaan yang tak terbatas, pada akhirnya ia menggambarkan sosok pelindung tersebut adalah Tuhan yang memiliki kekuatan di atas kemampuan manusia.

Singkatnya, menurut pandangan ini keyakinan akan keberadaan Tuhan muncul dikarenakan rasa takut dan lemahnya manusia di hadapan berbagai fenomena dan bencana alam yang terjadi di sekitarnya. Masyarakat primitif yang tidak memiliki perangkat dan sarana yang memadai untuk menghadapi barbagai penyakit mematikan dan ganasnya bencana alam, setiap harinya menyaksikan bahwa ada unsur-unsur tertentu yang kejam dan tidak bersahabat yang menggiring mereka satu demi satu kepada kematian. Di saat kecemasan ini mencekam seseorang, dengan terpaksa agar ia terhindar dari fenomena yang mengerikan ini, ia mulai mencari sosok yang misterius yang dianggap dapat menyelamatkannya dan menenangkan hatinya, untuk dijadikan sebagai tempat berlindung. Dari sinilah muncul dalam benak dan pikiran mereka apa yang mereka sebut dengan Tuhan, malaikat dan lainnya.

Selain itu kehidupan yang penuh ketergantungan yang dijalani manusia di masa kecilnya hingga usia baligh -dimana saat itu ia selalu berada dalam perlindungan sosok yang dianggapnya sangat perkasa-, memiliki pengaruh pada kejiwaan seseorang yang akan mendorongnya untuk berfikir guna mencari sosok pelindung yang dapat menjaganya dari fenomena alam yang kejam, dan dikarenakan ia telah menjadi seorang dewasa, maka ia akan menggambarkan sang pelindung sebagai sosok Tuhan dan sosok kekuatan yang berada di atas kemampuan manusia.

Wild Durant menukil ucapan Luckartios Filosof Roma: “Kita selalu dihantui rasa takut kepada Tuhan dan yang paling mencekam adalah rasa takut akan kematian. Masyarakat zaman terdahulu sangat jarang mengalami kematian secara alami yang biasa tiba saat seseorang telah mencapai usia tua, kebanyakan dari mereka mati lantaran serangan dan pembantaian yang dilakukan suku lain atau dikarenakan terserang penyakit mematikan. Maka dari itu, mereka tidak menyakini kalau kematian adalah sebuah kejadian dan perkara yang alami, akibatnya mereka menggambarkan faktor yang metafisik di balik kematian yang selalu merenggut nyawa mereka.

Rasa takut akan kematian, takjub akan fenomena alam yang terjadi secara alami, kebodohan manusia akan faktor segala kejadian yang menimpanya, mengharapkan pertolongan ghaib dan rasa bersyukur saat mengalami kebahagian, merupakan sejumlah faktor yang menyebabkan munculnya keyakinan beragama pada diri manusia. [26]


Analisa Pandangan di Atas
Dengan merujuk kepada pembahasan sebelumnya serta menelaah kembali sejarah perjalanan agama, akan tampak jelas di mata kita bahwa pandangan di atas tidak lebih hanya tuduhan yang sama sekali tidak ada faktanya. Meskipun para penggagas pandangan ini berusaha menampilkannya dengan kemasan ilmiah yang seakan-akan ia berasal dari hasil penelitian intensif atas psikologi manusia, namun sebenarnya mereka tidak memiliki satupun bukti yang akurat yang mendukung pandangan ini. Sungguh ini hanya merupakan tuduhan keji yang dilemparkan kepada para penganut agama Ilahi.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa batasan ilmu psikologi dan sosiologi hanya mencakup pemikiran dan keyakinan yang tidak berbasis pada akal, logika dan fitrah manusia. Dalam ruang-ruang inilah pakar-pakar bidang ilmu tersebut layak memaparkan pendapat dan pandangan mereka, mereka dapat menafsirkan bahwa keyakinan-keyakinan semacam itu ditimbulkan akibat kondisi psikologi seseorang, seperti rasa takut akan bencana alam atau sikap kebergantungan kepada orang tua. Namun berkaitan dengan keyakinan yang muncul dari fitrah dan batin manusia, maka tidak ada lagi tempat bagi para psikolog dan sosiolog untuk mengutarakan pandangannya, karena pendapat yang mereka utarakan akan menyimpang dari fakta yang sesungguhnya.

Freud dan para pengikutnya bukan hanya mengingkari akan kefitrahan keyakinan beragama dan upaya mencari Tuhan, bahkan mereka pun memungkiri argumen keberadan Tuhan yang berpijak pada kaidah sebab dan akibat (hukum kausalitas).

Kita katakan kepada mereka, seandainya mayoritas orang yang beriman adalah mereka yang terbelakang dan buta huruf, baru kami akan menerima bahwa agama yang mereka yakini muncul akibat rasa takut mereka akan fenomena alam yang mengerikan, namun kenyataannya tidak sedikit dari orang-orang beriman yang memiliki ilmu dan kecerdasan yang tinggi, dimana mereka tidak hanya mengenal dengan baik segala fenomena alam yang terjadi, bahkan mereka mampu menjinakan bencana alam dan dapat memanfaatkan energi alam dengan baik.

Apakah dapat kita akan mengatakan bahwa keimanan Socrates, Plato, Aristoteles, Farabi, Ibnu Sina, ar-Razi, Ibnu Haitsam, Khwajah, Galileo, Descartes, Newton, Einstein dan ribuan filosof dan ilmuan besar lainnya, adalah akibat dari rasa takut mereka akan bencana alam dan fenomena alam yang mengerikan? Padahal merekalah para pencetus dan penggagas berbagai bindang ilmu pengetahuan.

Sejarah epistemologi menyatakan bahwa orang-orang beriman selalu mengemukakan kenyakinan mereka dengan kaidah ilmiah yang paling benar dan akurat, mereka pun selalu menyertakan pandangan mereka dengan argumen dan dalil yang kokoh.

Saat Socrates berdialog dengan Arestodem seorang materealis saat itu, ia membuktikan keberadaan Tuhan dengan keserasian, keselarasan dan keteraturan yang memenuhi dunia ini (Burhan Nazhm), berikut ini adalah cuplikan dialog mereka:

Socrates: Apakah Anda pernah tertarik terhadap sebuah hasil karya ilmu atau seni kemudian anda pun memuji dan mengagungkan keahlian pembuatnya?

Arestodem: Ya pernah!

Socrates: Tolong anda sebutkan nama sebagian darinya!

Kemudian Arestodem pun menyebutkan nama sebagian pemahat dan pematung yang karya mereka membuatnya terkagum.

Socrates: Antara seorang pemahat yang membuat patung tanpa ruh dan Dzat yang menciptakan manusia dan alam yang serba hijau dan indah ini, manakah yang lebih layak dikagumi dan dipuji?

Arestodem: Jelas jawabannya adalah yang kedua dengan syarat alam semesta ini tidak muncul secara kebetulan.

Socrates: Setiap bagian dari organ tubuh manusia menandakan bahwa ia diciptakan dengan tujuan tertentu, tampak masing-masing darinya dapat berinteraksi dengan dunia luar. Sebagai contoh coba kita perhatikan mata kita dengan baik, bagaimana ia dilengkapi dengan kelopak mata yang dapat terbuka dan tertutup sesuai kehendak kita, di tepinya terdapat bulu mata yang tidak akan menghalangi penglihatan seseorang namun ia dapat menghalangi masuknya debu ke bola mata, kemudian di atasnya di lengkapi dengan alis yang dapat mencegah keringat untuk mengalir ke bola mata. Apakah anda dapat mengatakan bahwa fenomena yang sangat teratur dan selaras seperti ini dapat muncul secara kebetulan?

Setelah itu Socrates pun menyebutkan keteraturan dan keserasian yang ada pada telinga, gigi dan organ tubuh lainnya, dan menjelaskan satu-persatu tujuan dari penciptaannya. Akhirnya ia sampai pada kesimpulan, apakah segala sesuatu yang penuh dengan keberaturan, keselarasan serta banyak mengandung rahasia ini tidak menandakan akan adanya Sang pencipta dan Pengatur di balik keberadaan manusia dan alam semesta ini?

Ini adalah cuplikan dialog yang terjadi antara dua pembesar kelompok beragama dan kelompok Materialis dua puluh empat abad silam (400 th SM), [27] dimana dari awal hingga akhir dialog, keduanya sama sekali tidak menyinggung akan rasa takut terhadap fenomena alam, kebodohan manusia dan mencari pelindung, sebagai faktor munculnya keyakinan beragama.

Selain itu, telah tersebar ribuan buku yang ditulis oleh para ilmuan beragama dalam upaya membuktikan keberadaan sang pencipta. Buku-buku tersebut terlihat sangat metodologis dan argumentatif dan di dalamnya sama sekali tidak membahas masalah rasa takut, misteri mencari pelindungan dan sebagainya. Setiap penulis memeliki metode dan argumen yang berbeda untuk mencapai titik kesimpulan.

Plato membuktikan akan keberadaan Sang Pencipta dengan keberadaan alam yang muncul dari ketiadaan (Burhan Huduts).

Aristoteles dari pergerakan alam dan seisinya, ia membuktikan akan adanya penggerak, ia berkata: Segala sesuatu yang bergerak butuh pada penggerak, oleh karenanya pergerakan general yang memenuhi alam materi, pasti memiliki penggerak yang bukan bagian darinya.[28]

Setelah revolusi sains (Renaisans) di Eropa, sekelompok penggagas ilmu Fisika membuktikan keberadaan Tuhan dengan argumentasi yang berbeda. Newton mengatakan: Sesuatu yang merupakan bagian dari alam materi ini tidak akan mampu mewujudkan keberagaman yang ada, keberagaman yang kita saksikan menunjukkan bahwa di balik alam materi ini ada satu kekuatan yang telah menjadikannya beragam.[29]

Setelah berhasil dalam uji cobanya, para perancang otak elektronik mengatakan: sebagaimana otak buatan tidak akan ada tanpa dirancang dan dibuat oleh seseorang, terlebih lagi dengan otak manusia yang memiliki berjuta kali keajaiban di atas otak buatan, sudah pasti keberadaanya memerlukan Pencipta.

Apakah dengan setumpuk argumen dan bukti yang dibawakan oleh para pakar berbagai ilmu pengetahuan, kita akan tetap mengatakan bahwa agama dan keyakinan kepada Tuhan muncul diakibatkan oleh rasa takut manusia akan fenomena alam yang mengerikan.

Selain itu betapa banyak para ilmuan di seluruh penjuru dunia yang hatinya tercerahkan dengan keimanan kepada Tuhan, apakah kita akan mengatakan bahwa keimanan mereka juga didasari oleh rasa takut kepada fenomena alam dan bencana?

Al-Quran saat mengajak umat manusia untuk beriman kepada Tuhan, ia sesalu berpijak pada kaidah-kaidah rasional, dimana hal ini banyak memberikan pencerahan terhadap pemikiran para filosof yang hidup pada masa setelah turunnya al-Quran.

Untuk menyadarkan manusia akan keberadaan Sang Pencipta segala keberadaan, Allah Swt berfirman:

“Apakah mereka diciptakan tanpa penyebab atau merekalah yang menciptakan” [30]

Ayat ini mengutarakan dua kemungkinan yang mustahil terjadi, apakah keberadaan manusia muncul dengan sendirinya atau mereka sendiri yang menciptakan diri mereka? Oleh karena itu tidak ada pilihan lain kecuali dengan menyakini keberadaan satu Kekuatan yang telah menciptakan manusia.

Dalam ayat lain Allah SWT menjadikan keberadaan langit dan bumi sebagai bukti akan keberadaan-Nya, Dia berfirman:

“Adakah keraguan akan keberadaan Allah yang menciptakan langit dan bumi”[31]

Pada ayat lainnya, tumbuhnya bermacam pepohonan dan beragam buah-buahan dari satu unsur, tanah serta air yang sama, diangkat sebagai bukti akan keberadaan-Nya.

“Dan di Bumi terdapat daerah-daerah yang berdampingan, kebun anggur, gandum dan pohon korma yang tumbuh dari satu akar atau akar yang berbeda, semuanya disirami dengan air yang sama, dan sebagian buahnya kami buat nelebihi sebagian yang lain, sesungguhnya dalam ini merupakan tanda dan bukt bagi kaum yang mengerti” [32]

Saat al-Quran dan kitab-kitab samawi lainnya membawakan arguman akan keberadaan Tuhan, sama sekali tidak pernah berpijak pada rasa takut manusia terhadap fenomena alam atau mencari perlindungan seperti yang dikatakan orang-orang Materialis. Walaupun mereka (Materialis) tidak mengakui bahwa al-Quran merupakan kitab Samawi, namun mereka mengakui bahwa al-Quran adalah kitab Tauhid yang terbesar bagi masyarakat agama, jika yang mereka katakan itu benar adanya, lantas mengapa di dalam kitab ini sama sekali tidak menyinggung segala takhayul yang mereka ucapkan itu.

Singkatnya selain fitrah dan hati nurani ada faktor lain yang telah mendorong manusia untuk menyakini keberadaan Tuhan, ia tidak lain adalah akal dan logika manusia itu sendiri. Melalui kaidah rasional sebab akibat yang sederhana, seseorang dapat meyimpulkan bahwa keberadaan alam beserta isinya ini butuh pada satu penyebab. Kaidah ini merupakan kaidah yang sangat sederhana yang dapat di tangkap oleh seluruh lapisan manyarakat di mana dan kapan pun mereka berada, masyarakat terdahulu tidaklah sedemikian bodoh sehingga tidak dapat menangkap dan memahami kaidah ini.

Seandainya ada sekelompok manusia yang hidup di surga yang di dalamnya telah tersedia segala apa yang diinginkan dan mereka pun terhindar dari segala bencana dan musibah, namun saat mereka menyaksikan keindahan dan keteraturan yang menghiasi surga tempat tinggal mereka, segera terlintas di pikiran mereka akan keagungan dan kebesaran Penciptanya, mereka akan bertanya-tanya; Siapakah yang telah menciptakan segala keindahan seperti ini? Selama mereka belum menemukan Pencipta yang sesungguhnya, mereka tidak akan merasa lega dan tenang.

Dengaan segala penjelasan dan argumen di atas, sangat tidak beralasan jika kita tetap bersikeras mengatakan bahwa keyakinan beragama muncul dari rasa takut manusia akan fenomena alam atau akibat dari pengaruh kondisi psikologis seseorang yang di masa kecilnya selalu mencari perlindungan.


Pendapat Kedua
Kelompok Marxisme menyakini bahwa munculnya keyakinan kepada Tuhan, agama dan berbagai hal yang berkaitan dengan metafisik, diakibatkan kerisis ekonomi dan penindasan yang dialami manusia. Mereka meyakini bahwa masyarakat yang fakir dan tertindas akan terdorong untuk menghibur hati mereka dengan keyakinan kepada Tuhan, agama dan pahala yang akan diraih setelah kematian. Dengan cara ini, mereka berharap dapat menenagkan hati mereka dan mengurangai kepedihan yang mereka alami akibat dari ketertindasan dan kesulitan ekonomi. Para penjajah dan penguasa pun selalu memanfaatkan pemikiran dan keyakinan semacam ini dan mereka berusaha untuk menyebarkannya ke penjuru wilayah lainnya, dengan harapan keyakinan seperti ini dapat membungkam dan meredam segala reaksi dan perlawanan yang akan dilakukan kaum tertindas.

Berkaitan dengan ini Lenin mengatakan: Agama merupakan alat yang dirumuskan untuk menekan jiwa para kaum pekerja (buruh) agar mereka rela untuk selalu bekerja keras demi orang lain dan hidup dalam kesengsaraan.[33]

Karl Marx mengatakan: Seluruh agama dan segala pergerakannya merupakan hasil karya para Borjuis yang bertujuan untuk menundukkan dan mengkelabui kaum buruh.[34]

Tekanan yang dilakukan para tuan kepada budaknya serta penindasan yang dilakukan kaum Arestokrat terhadap kaum buruh, meskipun telah mengakibatkan perlawanan dan revolusi, namun bersamaan dengan munculnya revolusi ini, pemikiran-pemikiran yang semula di formulasikan untuk melumpuhkan dan menguasai kelompok tertidas akhirnya mulai tersebar luas diantara masyarakat sehingga muncullah agama yang dapat meracuni jiwa manusia.

Dikarenakan kefanatikan yang berlebihan, sebagian mereka ada yang mengatakan bahwa kesabaran -yang merupakan nilai akhlak yang paling mulia dan kunci dari segala kemenangan- juga dilahirkan dari pemikiran yang aneh ini, mereka mengatakan: Agama mengajarkan masyarakat untuk sabar dan tabah di bawah penindasan para penjajah, dengan menganggapnya (penindasan) sebagai takdir yang tidak dapat dihindari, agama selalu saja menguntungkan dan menjaga kepentingan para penjajah.

Dalam buku Sosialis dan Agama, Lenin mengatakan: Agama adalah candu bagi masyarakat. Doktor Arani dalam buletin Irfan Wa Usule Maadi, menuliskan: Dalam negara-negara yang maju bidang industru dan ekonominya dimana masyarakat lemahnya telah merasakan kejayaan, maka pola pemikiran mereka akan bercorak materialis, namun ketika terjadi dekadensi dan krisis ekonomi kembali agama dan filsafat metafisik yang menjadi idola mereka.

Dengan kata lain, teori dan pandangan yang menafsirkan faktor kemunculan agama, keyakinan akan Tuhan dan segala yang metafisik, surga dan neraka, tidak lain adalah teori dan pandangan yang diutarakan berkaitan dengan masalah sosial ekonomi.

Karl Marx dan Fredrik yang seideologi dengannya, ingin menafsirkan seluruh fenomena baik pemikiran, psikologi, maupun sosial dengan metode seperti ini.

Menurut pendapat Marxis masyarakat memiliki dua struktur, sruktur bagian dasar (infrastuktur) dan struktur bagian atas (suprastruktur). Infrastruktur masyarakat yang merupakan bagian inti mereka, ialah sejumlah perangkat penghasil ekonomi dan industri, dan segala fenomena keyakinan dan kejiwaan yang muncul di dalam tubuh masyarakat seperti kebudayaan, kesenian, norma dan agama, merupakan suprastruktur masyarakat yang bukan bagian inti darinya. Menurut pandangan Marxis, faktor inti sejarah dan pemikiran manusia serta buah yang dihasilkannya disetiap masa, adalah kondisi ekonomi.

Hasil produksi, kompensasi, pendayagunaan kekayaan, dan hunbungan buruh dengan tuannya, sepanjang sejarah sangat berpengaruh pada dimensi kehidupan manusia lainnya seperti, agama, akhlak, filsafat, ilmu, sastera dan seni.

Relasi perdagangan dan industri akan membentuk bangunan ekonomi masyarakat, dan bangunan ekonomi inilah yang menjadi fondasi inti bagi rancangan hukum dan politik yang dapat merealisasikan beragam kecenderungan masyarakat.

Oleh karenanya faktor inti pergerakan dalam tubuh masyarakat adalah ekonomi, bahkan segala perubahan yang terjadi pada suprastruktur masyarakat tidak lain adalah akibat darinya.

Jika Hegel mengatakan bahwa bentuk pemikiranlah yang membangun peradaban manusia, namun sebaliknya Marxis mengatkan: Fondasi segala sesuatu bahkan ideologi dan pemikiran manusia sekalipun, adalah ekonomi dan perangkat industri.

Menurut idiologi Marksis, faktor yang menggerakkan perubahan sosial tidak dapat ditemukan dalam pemikiran manusia, akan tetapi ia harus dikaji dalam bidang industri dan perdagangan, dan membahasnya dalam kajian ekonomi.

Di saat yang sama ia juga mengatakan: Dengan pemikirannya, masyarakat tidak dapat merubah kondisi kehidupan mereka, akan tetapi kondisi kehidupanlah yang akan membentuk pemikiran dan ideologi mereka, pemikiran agama dan ideologi lainnya hanya merupakan sarana untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan hasil produksi.

Setelah Marxis membagi masa manusia dengan masa berburu, bertani, keterampilan (perdagangan) dan masa industri dan mesin, ia pun membagi masa-masa penting sejarah dan sosial dengan abad komunal pertama, masa perbudakan, fedual, kapitalis, sosialis dan masa komunis. Perbedaan lapisan masyarakat sangat sulit dihindari, kecuali pada abad pertama dimana manusia bekerja dan berindustri secara bersamaan dan penuh kedamaian kemudian hasilnya dibagikan dengan rata. Setelah berakhirnya masa ini -dimana segala sesuatu dinikmati bersama-, muncullah perbedaan dalam lapisan masyarakat, peperangan diantara mereka merupakan fenomena sosial yang paling mencolok, dan perseteruan yang tidak berbau ras atau kasta bukan termaksud peseteruan yang inti, ia hanya didisulut untuk memalingkan perhatian sebagian masyarakat.

Pada kondisi seperti ini, agama dianggap sebagai fenomena yang dimunculkan dalam jiwa dan benak kaum lemah dan miskin sebagai obat penenang bagi jiwa mereka yang tertekan. Dengan mengharapkan janji dan pahala Ilahi, mental mereka akan dilemahkan sehingga mereka tidak akan bangkit melawan para penindas dan kaum elit.

Kaum Materialis menafsirkan muculnya agama dengan asumsi seperti ini, kemudian interpretasi yang keliru ini di untarakan dengan berbagai macam pola dan metode, pada dasarnya mereka hanya mengulang-ngulang ucapan mereka, inti dari pandangan mereka tidak lebih dari apa yang telah di utarakan di atas.


Analisa atas Pandangan di Atas
Sebagaimana yang telah disebutkan, munculnya keyakinan beragama tidak memiliki lebih dari dua faktor, yang pertama dalah naluri atau fitrah dan yang kedua adalah rasio dan akal manusia (yang kemudian menimbulkan rasa ingin tahu dalam dirinya). Dengan terungkapnya dua faktor ini, maka tidak ada lagi celah bagi kita untuk mengkajinya dari sudut pandang sosiologi yang sarat dengan prediksi serta tidak berpijak pada argumen yang kokoh.

Pandangan di atas yang menyatakan bahwa agama merupakan hasil karya penguasa dan kaum elit, sama sekali tidak sesuai dengan fakta, yang terjadi sepanjang sejarah ialah para penzalim telah mengkambinghitamkan ajaran agama dan memanfaatkannya sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi mereka, dengan menyebarkan janji dan kabar gembira Ilahi, mereka berharap dapat meredam segala reaksi yang akan dilakukan masyarakat yang mereka tindas.

Kita harus membedakan antara penyalahgunaan ajaran agama dan penyebab kemunculan agama, justru mengkambinghitamkan ajaran agama yang dilakukan untuk membendung segala reaksi masyarakat merupakan bukti akan keberadaan agama sebelum adanya praktik tersebut. Oleh karenanya pendapat yang menyatakan bahwa agama merupakan hasil rumusan penguasa sama sekali tidak dapat dibenarkan, karena penyalahgunaan agama yang dilakukan para penguasa merupakan efek dan imbas dari keberadaan agama itu sendiri.

Di sini kita tidak akan menelusuri sebatas mana ajaran agama telah disalahgunakan, dan tidak menutup kemungkinan bahwa ajaran-ajaran tersebut telah mengakar dan dianggap benar oleh sebagian umat beragama. namun permasalahan yang akan menjadi kajian kita adalah seputar kemunculan pemikiran dan keyakinan beragama baik yang dimiliki masyarakat elit maupun masyarakat tertindas.

Kelompok Marxisme tidak pernah menyebutkan bukti sejarah atas apa yang mereka utarakan, mereka hanya menyebutkan bahwa kaum feudal dan aristokrat telah memanfaatkan ajaran agama untuk melumpuhkan semangat juang kaum buruh dan petani sehingga mereka tidak akan melakukan perlawanan dan pemberontakan. Akan tetapi mereka tidak mampu mengungkap faktor munculnya sebuah ideologi yang dapat menumbuhkan semangat juang masyarakat untuk melawan segala kezaliman dan penindasan, dan apa yang menyebabkan kenyakinan ini sedemikian merasup dalam hati dan jiwa mereka, sehinggga kelompok lemah sekalipun akan rela mengorbankan kepentingan materi mereka untuk memiliki dan mempertahankan ideologi ini.

Dengan kata lain para pekerja dan petani yang mengerahkan segenap kekuatan untuk menghancurkan kekuatan para elit, tuan dan majikan, mengapa tidak terpikir oleh mereka untuk memerangi agama dan keyakinan terhadap Tuhan? Padahal menurut ideologi Marksisme, agamalah yang menjadi penghalang kebangkitan dan perlawanan mereka terhadap para penindas.

Oleh karenanya tidak ada pilihan lain selain kita mengakui bahwa kemunculan agama memiliki faktor lainnya yang sangat mengakar dalam diri manusia, sehingga baik yang kehidupannya sejahtera maupun yang sengsara, tidak ingin melepaskan agama mereka dari kehidupan kesehariannya.

Seandainya orang-orang Marksis dapat menyuguhkan bukti sejarah yang menceritakan bahwa kaum fedual dan para elitlah yang pertama kali merancang agama sebagai alat untuk membendung aksi masyarakat tertindas, yang kemudian ideologi tersebut disebarkan agar pemikiran mereka teracuni. Dan bila para Marksis mampu membawakan saksi sejarahnya barulah kita akan menerima bahwa keyakinan terhadap Tuhan merupakan perangkat aturan yang dirancang untuk menjaga kepentingan kaum Feudal dan Borjuist.

Atau kita mempersilahkan mereka memaparkan fakta sejarah yang membuktikan ucapan mereka yang mengatakan bahwa “Kesewenangan dan penindasan yang dilakukan kaum fedual dan para majikan, telah mendorong kelompok tertindas untuk menciptakan sebuah pemikiran agama dengan harapan ia dapat menenangkan serta menghibur jiwa dan hati mereka yang selalu merasakan kepedihan dan kepahitan”. Jika mereka mampu membawakan fakta sejarahnya, maka kita pun akan menerima pandangan mereka

Para pengikut aliran Marxisme sama sekali tidak dapat membuktikan ideologi yang mereka yakini dengan membawakan fakta sejarah, dan tidak ada seorang Materialis pun yang membiarkan akalnya untuk menerima sesuatu fiktif dan menganggapnya sebagai sebuah kenyataan dan fakta.

Meskipun orang-orang Marxis telah mengerahkan berbagai upaya, namun hingga sekarang mereka belum dapat menbawakan satu bukti sejarah pun kecuali sebatas yang meriwayatkan bahwa “Pada suatu masa kaum elit sibuk menyebarkan ajaran agama di tengah masyarakat lemah guna mengibur dan mengalihkan hati mereka dari kehidupan materi, dan mereka (para elit) terus meramaikannya dengan berbagai sarana yang mereka miliki”. Fakta sejarah ini sama sekali tidak dapat membuktikan bahwa keyakinan beragama adalah hasil karya para elit yang dirancang untuk menghibur para masyarakat lemah.

Selain fakta sejarah di atas, untuk menguatkan pandangannya biasanya mereka juga membawakan sepenggal sejarah yang menceritakan bahwa “Di saat masyarakat merasa tertindas, mereka selalu memanfaatkan ajaran agama sebagai obat yang dapat menenangkan jiwa mereka." Sebagaimana sejarah di atas, lembaran sejarah ini pun tidak dapat membuktikan bahwa masyarakat tertindaslah yang telah menciptakan agama untuk menghibur hati mereka yang pedih.

Terlepas dari semua ini, seandainya pandangan Marxis benar adanya, maka konsekuensinya adalah tidak akan ada seorang kaya dan seorang penguasa pun yang menyakini agama dan Tuhan, padahal kenyataannya di sepanjang sejarah betapa banyak orang yang kaya raya telah menyumbangkan kekayaan demi tujuan dan kepentingan agama, bahkan sebagian besar kekayaannya di sumbangkan demi misi kudus ini. Fenomena semacam ini tidak hanya terjadi pada masa sekarang ini sehingga dapat dikatakan: “Bahwa dengan berlalunya masa, ajaran agama telah dianggap sebagai suatu yang suci dan sakral oleh para penganutnya baik yang kaya maupun yang miskin, oleh karenanya pengorbanan yang dilakukan oleh orang kaya demi kepentingan agama mereka, tidak dapat dijadikan bukti bahwa mereka pun melakukan hal demikian pada masa-masa awal kemunculan agama."

Sejarah membuktikan bahwa di sekeliling para nabi dan pemimpin agama Ilahi selalu terdapat kelompok yang rela mengorbankan jiwa dan harta mereka guna merealisasikan tujuan suci mereka, bahkan sebagian mereka ada yang mengorbankan seluruh hartanya di dalam misi ini. Jika keyakinan terhadap Tuhan dirancang untuk tujuan menguasai kaum lemah serta merampas hak mereka, maka selayaknya kaum tertindas tidak mengorbankan jiwa mereka dan orang kaya tidak menyumbangkan hartanya demi keyakinan ini di masa awal kemunculannya.


Kesalahan lain Yang Dialami Marksis
Ideologi Marksis mengatakan bahwa antara kemajuan ekonomi dan ajaran agama selalu terdapat pertentangan dimana keduanya tidak akan dapat tampil bersamaan. Kekeliruan ideologi ini tampak jelas secara kasat mata, karena kita menyaksikan peradaban manusia di masa lalu seperti peradaban Yunani kuno dan peradaban Islam, dimana kemajuan industri dan ekonominya berbarengan dengan tumbuhnya keyakinan beragama di dalam tubuh masyarakatnya.

Adapun berkenaan dengan revolusi industri dan ekonomi yang terjadi di Eropa, yang muncul berbarengan dengan menurunnya dorongan religius mesyarakat serta meningkatnya kecenderungan kepada materi, ia memiliki faktor lainnya yang akan kita bahas secara meluas saat menjawab kritikan Materialis.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa ada semacam pertentangan antara keyakinan beragama dan penyembahan terhadap materi dan hawa nafsu, namun hal ini tidak berarti keyakinan beragama adalah penyebab dari kemiskinan, yang dimaksud dengan pertentangan di atas ialah dengan mencintai materi secara berlebihan dapat menyebabkan nilai-nilai agama terlupakan, karena dengan memberi perhatian hanya kepada salah satu kecenderungan secara otomatis akan melemahkan kecenderungan lainnya.

Sebagai contoh setiap kali dorongan seksual menguasai seseorang maka dengan pasti kecenderungan lainnya seperti kecenderungannya terhadap harta, akan menjadi lemah dan menurun. Seperti yang dikatakan di atas, keyakinan beragama bukan akibat atau penyebab dari kemiskinan, akan tetapi sikap apatis terhadap ajaran agama adalah akibat dari ketamakan akan materi dan kekayaan, dan kebiasaan memenuhi satu kecenderungan dapat melemahkan kecenderungan lainnya. Dapat dibuktikan, seandainya ada seorang miskin yang hanya sibuk memenuhi hawa nafsunya, maka dengan sendirinya kecenderungan pritualnya akan melemah dan secara tidak disadari ia akan dikuasai dengan pola pemikiran materialis. Sebaliknya, jika ada seorang yang kaya raya namun ia tidak terlena dan tidak disibukkan dengan kesenangan duniawi, maka jiwanya akan lebih terdorong untuk memperhatikan masalah dan uruan agama.

Bersenang-senang dengan berlebihan selain dapat melemahkan dorongan religius pada diri sseorang -baik ia adalah orang kaya maupun orang miskin- ia pun dapat mengalihkan perhatian seseorang untuk berfikir seputar asal-usul keberadaannya (rasa keingintahuannya).

Lebih buruk lagi, kelompok Materialis abad dua puluh mepresentasikan kesabaran dan ketabahan sebagai kerelaan dan pangku tangan terhadap kezaliman, padahal sebenarnya nilai akhlak yang mulia ini merupakan simbol keteguhan seseorang untuk meraih cita-citanya, ia telah memberikan kekuatan kepada para pejuang untuk memberantas kebatilan dan menghancurkan kezaliman. Norma semacam ini merupakan modal kemenangan kaum tertindas dalam melawan para penjajah dan penindas.

Selain itu, agama Ilahi dan para Nabi selalu berpihak kepada kelompok yang lemah dan terzalimi dan menjadi pelindung terbaik bagi mereka. Maka dari itu para penzalim selalu mengerahkan segenap kemampuan politik dan ekonomi mereka, guna melenyapkan ajaran yang dibawa oleh para nabi, dan mereka tidak akan merasa tenang sebelum ajaran tersebut lenyap dari muka bumi, dengan demikian, bagaimana mungkin orang-orang beriman yang merupakan musuh para penindas dan penjajah dikatakan sebagai pion yang menjaga dan melindungi kepentingan mereka.

Di akhir pembahasan kita akan menyoroti poin dibawah ini;

Tidak diragukan lagi bahwa produk tekologi dan kondisi ekonomi memiliki pengaruh pada pola pemikiran manusia, namun mengiterpretasikan kemunculan peradaban, kebudayaan, aliran filsafat, akhlak, dan agama-agama dunia sebagi akibat dari kondisi ekonomi, industri dan teknologi tertentu, merupakan interpretasi yang tidak ilmiah dan tidak rasional (kekanak kanakkan). Kerena selain faktor ekonomi, kemunculan berbagai pemikiran dan ideologi memiliki faktor lain yang bersumber dari dalam jiwa manusia, seperti rasa ingin tahu, menghendaki ketenaran, mencintai harta dan jabatan. Jelas faktor-faktor internal akan memiliki pengaruh yang lebih besar dibanding faktor external lainnya.

Anggaplah kita menerima bahwa segala fenomena sosial merupakan akibat perubahan kondisi ekonomi, namun apa yang telah menyebabkan perubahan pada kondisi ekonomi itu sendiri? Menghadapi pertanyaan ini, puak-puak Marksis dan Materialis lebih memilih untuk berdiam diri.

Selain itu, jika seluruh pemikiran filsafat, ilmiah, sosial dan agama diakibatkan kondisi ekonomi, lantas mengapa dua orang atau dua komunitas masyarakat yang hidup dalam lingkungan dan kondisi ekonomi yang sama, dapat memiliki pola pemikiran dan keyakinan yang berbeda bahkan terkadang bertentangan, dimana keduanya selalu mamandang setiap permasalahan dari sisi dan sudut yang berbeda.

Dengan mengatkan bahwa “Seluruh fenomena pemikiran diakibatkan dari kondisi hidup manusia”, ini sama saja dengan membongkar fondasi pemikiran meraka sendiri dan menjadikan ideologi aliran ini kehilangan nilai ilmiah dan filsafatnya. Coba perhatikan! Jika ekonomi adalah satu-satunya penyebab kemunculan seluruh bentuk pemikiran, agama, aqidah, peradaban dan kebudayaan, berarti ideologi meraka pun dilahirkan dari kondisi ekonomi pada masa komunal, dikarenakan kondisi ekonomi pada masa ini telah mengalami perubahan, maka ideologi mereka pun juga harus dirubah.

Inilah sebuah pandangan dan hasil analisa yang tidak sempurna akan faktor timbulnya keyakinan beragama, dimana kajiannya hanya menyoroti sisi ekonomi dan pola kehidupan saja, padahal untuk mencapai konklusi yang benar, seharusnya fenomena ini dianalisa dari barbagai sisi. Dalam kasus ini para meterialis dan Marksis mirip seperti kelompok Freudian yang menganalisa jiwa, perasaan, psikologis, dan pemikiran manusia hanya dari sudut biologisnya saja, yang akhirnya mereka menyimpulkan bahwa manusia -yang memiliki kedudukan dan kemulian yang sangat tinggi- tidak lebih hanya merupakan mata-rantai dari permasalahan seksual.

Selain memiliki kemulian yang tinggi, manusia juga merupakan satu keberadaan yang tidak pernah diketahuai hakikatnya, oleh karenanya dalam menganalisa dan mengkaji sesuatu yang berkaitan dengan keberadaannya, jelas membutuhkan keahlian tersendiri. Para penggagas pandangan di atas dengan bermodalkan kesombongan ingin mencoba mengkaji salah satu unsur keberadaan manusia dengan sebelah mata (dari satu sisi saja), akhirnya mereka pun terperosok dalam kekeliruan dan kesalahan yang memalukan.


Pendapat Ketiga
Kemunculan agama adalah akibat kebodohan manusia akan faktor terjadinya fenomena alam.

Sebagian materialis mengatakan: Keyakinan terhadap Tuhan merupakan akibat dari kebodohan dan kejahilan manusia akan sebab terjadinya fenomena alam. Masyarakat terdahulu selain mereka tidak dapat mengetahui sebab terjadinya fenomena alam seperti gempa bumi, angin topan, gerhana matahari dan bulan, mereka pun meyakini hukum akal yang menyatakan “bahwa segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa adanya sebab," akhirnya mereka terpaksa mencari penyebab bagi setiap fenomena yang terjadi, namun lantaran mereka tidak dapat menemukan faktor yang sesungguhnya, maka tidak ada pilihan bagi mereka kecuali menganggap Tuhanlah sebagai sebab dari masing-masing fenomena yang terjadi dan Dialah sumber reaksi dan perubahan yang terjadi dialam ini. Di zaman modern ini berbagai sebab dari fenomena alam telah berhasil di ungkap dan masyarakat dewasa ini sedang terus mengkaji dan menyingkap sejumlah kejadian yang masih menjadi teka-teki mereka, oleh karena itu tidak ada lagi alasan bagi kita untuk menyakini khayalan seperti ini.

Sebagian dari mereka mengatakan:.

Di masa manusia belum menguasai ilmu pengetahuan dan segala faktor terjadinya fenomena alam belum terungkap, manusia selalu menghadapi kejadian yang besar yang tidak diketahui sebab dan rahasia di baliknya, di saat itu mereka dipengaruhi daya khayalan dan mengangap bahwa sebab dari segala fenomena yang terjadi adalah Tuhan atau sesuatu yang metafisik. Contohnya, saat mereka menyaksikan turunnya hujan atau salju dari langit yang bersamaan dengan suara gemuruh sambaran halilintar yang mengerikan, mereka tidak mengetahui bahwa faktor turunnya hujan dan salju disebabkan menguapnya air laut lantaran hempasan sinar matahari yang kemudian berubah menjadi tetesan hujan atau jika cuaca dingin ia akan turun dengan membentuk butiran salju. Begitu pula dengan halilintar yang merupakan akibat dari bertemunya aliran listerik yang positif dan negatif diantara dua gumpalan awan. Dikarenakan kebodohan mereka akan segal perkara ini, akhirnya mereka menggambarkan berbagai penyebab yang metafisik dibalik fenomena tersebut.

Namun dengan berlalunya masa, satu-persatu faktor terjadinya fenomena alam ini telah berhasil di ungkap, dengan sendirinya keyakinan akan Tuhan-Tuhan khayalan pun telah tersingkirkan dan kaidah-kaidah ilmulah yang berperan mengkaji rahasia dibalik fenomena ini .[35]


Sanggahan Terhadap Pandangan di Atas
Sebelum menjawab pandangan di atas, kita tanyakan kepada mereka, mengapa upaya untuk mencari satu-persatu faktor terjadinya fenomena alam Anda anggap sebagai penyebab munculnya keyakinan beragama, sedangkan kajian akan penyebab keberadaan dan keberaturan alam semesta secara keseluruhan tidak Anda anggap demikian. Padahal jika ingin menilai secara obyektif maka kita akan katakan bahwa bentuk kajian yang kedua (kajian akan faktor keberadaan alam secara keseluruhan) lebih layak untuk dianggap sebagai faktor munculnya keyakinan beragama.

Masyarakat primitif dengan pemikiran dan logika yang dimiliki, mereka dapat melihat bahwa alam semesta diciptakan berdasarkan aturan tersendiri serta dipenuhi dengan segala perhitungan dan rancangan yang selaras. Maka dari itu bagaimana mungkin pengetahuan mereka akan keberadaan dan aturan alam ini tidak mendorong mereka untuk menyakini Sang Pencipta sebagai faktor keberadaannya, namun hanya dengan menyaksikan sebagian fenomena yang terjadi -dikatakan- telah mendorong mereka untuk meyakini keberadaan Tuhan.

Pandangan diatas jelas tidak ada bukti faktanya, tidak ada seorang pun yang menyakini Tuhan akibat kebodohan seperti yang mereka sebutkan. Keimanan kepada Tuhan bukan berarti mengingkari adanya sebab-sebab materi yang mengakibatkan terjadinya sebagian fenomena alam, karena menurut pandangan orang-orang beriman sesuatu yang menjadi penyebab terjadinya sebagian fenomena alam (bukan penyebab keberadaan alam secara keseluruhan) atau penyebab yang memiliki posisi setara dengan unsur materi, maka mereka bukanlah Tuhan, akan tetapi penyebab-penyebab tersebut tidak lebih adalah makhluk sama seperti makhluk lainnya.

Yang dimaksud dengan Tuhan menurut agama para nabi adalah Kausa Prima keberadaan alam semesta ini, dimana mata rantai segala sebab materi dari seluruh kejadian di jagad raya akan berhujung kepada-Nya, Dialah penyebab diatas segala sebab yang ada.

Dengan kata lain, umat agama Ilahi selain meyakini akan adanya penyebab materi di balik segala fenomena yang terjadi dimana alam ini berjalan sesuai hukum kausalitas, dan merekajuga tidak memposisikan sebab-sebab materi tersebut sebagai Tuhan, melainkan semua itu adalah makhluk seperti halnya makhluk Tuhan lainnya, mereka pun menyakini bahwa dibalik alam materi beserta keserasiannya ini, dan di atas hukum kausalitas yang mengatur alam materi, terdapat Kausa Prima yang metafisik yang telah menciptakan alam yang menakjubkan berdasarkan ilmu, rancangan serta perhitungan yang matang.

Oleh karena itu, apa yang maksud Tuhan oleh kaum Materialis yang keyakinan akan keberadaan-Nya di katakan sebagai akibat dari kebodohan manusia, sama sekali tidak memiliki kriteria Tuhan yang menjadi keyakinan para pengikut agama Ilahi. Sungguh sangat memalukan jika seseorang menghakimi dan mendakwa seseorang namun ia tidak memiliki sedikit pun informasi tentang perkara dan kasus yang dilakukan oleh orang yang dihakiminya.

Jika keyakinan akan Tuhan dan agama dianggap sebagai sabuah gagasan atau teori, maka teori ini harus kita jelaskan demikian: Menurut keyakinan umat beragama fenomena yang terjadi di alam semesta dilahirkan dari sebab dan akibat yang berunsur materi yang juga merupakan bagian dari alam materi dan -masing-masing darinya- memiliki posisi yang setara. Namun di atas sebab-sebab tersebut terdapat Kausa Prima yang telah menciptakan alam materi dari ketiadaan, dimana berdasarkan gradasi wujud Ia menempati tinggkatan yang jauh di atas alam materi dan memiliki eksistensi yang jauh berbeda.

Dengan menerima teori ini tidak akan mencegah kita untuk mnyakini adanya sebab-sebab materi. Selain itu, keteraturan dan keselarasan yang menghiasi seluruh alam raya ini mengafirmasikan akan keberadaan Kausa Prima yang menempati tingkatan wujud yang tertinggi dan memiliki hakikat yang berbeda. Jika tidak demikian (tidak ada Kausa Prima di balik sebab-sebab materi), maka materi yang tidak memiliki perasaan dan penalaran tidak akan dapat mewujudkan keteraturan dan keserasian yang sangat menakjubkan.

Maka dari itu, apa yang dituduhkan kelompok materialis sama sekali tidak sesuai dan tidak ada kaitannya dengan Kausa Prima yang diyakini umat beragama. Selain tuduhan di atas ada sejumlah tuduhan lain yang mereka lontarkan terhadap umat beragama, semua ini disebabkan kedangkalan pemahaman mereka akan ideologi umat beragama, dimana tanpa merujuk kembali kepada buku teologi dan filsafat agama dan konfirmasi kepada para agamawan, mereka melukiskan gambaran yang keliru dan menisbatkannya kepada para penganut ajaran Ilahi, kemudian mereka pun mulai melontarkan keritikan yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan apa yang dimaksud dan diyakini umat beragama, ini menandakan ketidak fahaman mereka akan kandungan dan ajaran agama Ilahi.

Sebagai contoh, mereka mengatakan: Dengan segenap observasi dan riset yang dilakukan, tidak ada seorang ilmuan pun yang menemukan tanda-tanda akan keberadaan Tuhan, dan tidak akan ada sebuah penelitian pun yang dapat membuktikan keberadaan yang metafisik semacam ini.

Disaat menolak keberadaan ruh yang abstrak mereka mengatakan: Tidak ada satu pun praktek oprasi dan pembedahan atas tubuh manusia yang membuktikan keberadaan semacam ini.

Ucapan semacam ini sangatlah menggelikan, ini menunjukkan kedangkalan pemahaman mereka akan ideologi umat beragama, karena segala sesuatu yang dapat dibuktikan melalui eksperimen, jelas ia bukanlah Tuhan. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa segala macam eksperimen hanya terbatas pada penelitian sesuatu yang materi, dan hanya dapat menafikan dan membuktikan sesuatu yang jasmani? Sampai kapan pun dengan jalan eksperiman kita tidak akan dapat membuktikan atau menafikan sesuatu yang abstrak dan metafisik yang telah menciptakan alam materi, seluruh ilmuan yang melakukan uji coba, segala sarana dan obyek yang digunakannya bahkan yang telah menciptakan eksperiman itu sendiri.

Begitu juga dengan keberadaan ruh kita yang mujarrad yang biasa kita ungkapkan dengan ucapan “saya”, ia tidak mungkin dapat dibuktikan melalui oprasi dan pembedahan tubuh, karena perlengkapan medis yang materi tidak akan dapat menalar suatu yang abstrak.

Jawaban atas pandangan di atas akan tampak jelas jika kita menganalisa lebih mendalam pandangan kedua kelompok (yang beriman dan yang materialis), sehingga kita dapat membandingkan titik persamaan dan perbedaan kedua pandangan tersebut.


Titik Persamaan Antara Dua Pandangan
Baik umat beragama maupun kelompok Materialis keduanya menyakini kaidah sebab akibat (kausalitas), mereka meyakini dan mengakui bahwa tidak ada satu kejadian pun yang muncul tanpa sebab dan segala fenomena yang terjadi di alam ini merupakan akibat dari serentetan sebab yang juga merupakan bagian dari alam materi itu sendiri. Contohnya, kedua kelompok tersebut mengakui bahwa sakit yang dialami seseorang merupakan sebab masuknya mikroba dan virus ke aliran darah dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan Jin, Malaikat, Peri dan Tuhan secara langsung, demikian pula dengan turunnya hujan dan salju yang diakui sebagai akibat dari menguapnya air laut dan kemudian membentuk menjadi gumpalan awan, dan dikarenakan sebab tertentu ia akan turun ke dataran bumi dengan membentuk tetesan air atau butiran salju.

Kedua kelompok ini pun mengakui bahwa dengan berputarnya bumi mengelilingi matahari dan pergerakan pada poros bumi telah mengakibatkan datangnya siang dan malam serta empat musim (dingin, semi, panas dan gugur). Mereka juga meyakini bahwa kekuatan magnet telah menyebabkan bumi dan planet lainnya menetap dan terus berputar di udara, dimana tanpa kekuatan magnet ini, maka tidak akan ada lagi keteraturan dan keserasian di jagat raya ini.

Mereka bersepakat bahwa keberadaan manusia disebabkan bertemunya dua sel yang berbeda (sel pria dan sel wanita) dimana pada kondisi tertentu sel tersebut akan tumbuh dan membetuk seorang manusia.

Pepohonan dan tumbuhan pada kondisi tertentu akan tumbuh subur, selain menyerap bahan makanan dan air yang berada di dalam tanah ia pun akan menghirup oksigen guna pertumbuhannya.

Tidak ada seorang ilmuan pun baik yang beragama atau yang mulhid (atheis), yang mengingkari bahwa pembiakan pepohonan dikarenakan proses penyerbukan yang terjadi akibat bertemunya serbuk sari dan putik yang dengan sebab tertentu ia akan terus tumbuh membentuk sebuah pohon atau tumbuhan.

Hembusan angin, terjadinya badai, gempa bumi, tambang minyak dan logam, gelombang ombak di lautan, cuaca panas dan dingin, dan seluruh fenomena alam dari atom yang terkecil hingga galaxi yang terbesar, seluruhnya memiliki sebab materi yang juga merupakan bagian dari alam ini.

Kebohongan paling besar yang dilontarkan kepada umat beragama ialah tuduhan yang mengatakan bahwa para penyembah Tuhan menganggap segala kejadian di alam ini merupakan setuhan langsung dari Tuhan, dan mereka sama sekali tidak menyakini sebab materi yang berpengaruh dalam terjadinya fenomena alam. Sungguh ucapan yang didasari kebodohan dan tipu muslihat ini merupakan tuduhan yang keji terhadap sebuah ideologi yang banyak dianut oleh para penggagas ilmu fisika dan biologi yang tersebar di belahan timur dan barat.

Silahkan anda menelaah buku-buku ilmuan Yunani kuno dan kitab-kitab Filsuf Islam, niscaya anda akan menemukan bahwa mereka selalu menggandengkan kajian filsafat ketuhanan dengan kajian ilmu fisika, atau terkadang sebagian buku-buku tersebut mereka isi dengan kajian filsafat ketuhanan dan bagian lainnya mereka khususkan untuk pembahasan ilmu fisika.

Kitab-kitab filsafat dan fisika Ibnu Sina, Farabi, khwajah dan ilmuan muslim lainnya hingga saat ini diajarkan pada Hauzah-hauzah Ilmiah, dan mayoritas pembahasan yang ada dinukil dari buku-buku Yunani kuno khususnya tulisan Aristoteles dan Plato, dan patut diketahui, seluruh kitab ini memiliki dua bagian, bagian pertama membahas tentang ilmu alam yang mencakup beberapa bidang ilmu fisika dan bagian lainnya mengenai metafisika yang mengkaji tentang keberadaan Pencipta dan sifat-sifat-Nya. Dan guna memperkuat pemikiran para murid, tahap pertama mereka diajarkan ilmu-ilmu Fisika dan Matematika sebelum menyentuh kajian ketuhanan.


Sisi Perbedaan
Setelah menganalisa sisi persamaan antara kelompok beragama dan kelompok Materialis, kita akan membahas sisi perbendaan pendangan kedua kelompok ini.

Orang-orang Materialis mengatakan: Setelah dilakukannya berbagai uji coba kita dapat menyimpulkan bahwa alam yang ada ini merupakan akibat dari ledakan yang dahsyat (big bang) yang pada akhirnya terbentuklah alam semesta ini, setelah terjadinya ledakan, alam ini dipenuhi atom-atom kecil yang bergerak dan bertebaran di udara, setelah melalui serangkaian pergerakan, reaksi dan perubahan, secara alami terbentuklah tata surya yang kita saksikan ini.

Penganut agama Ilahi mengatakan: Memang benar bahwa alam semesta berasal dari molekul-molekul yang tersebar di penjuru alam, namun segala pergerakan, reaksi dan ledakan, dengan sendirinya dan tanpa campur tangan kekuatan besar yang memiliki daya nalar (persepsi), selamanya tidak akan mampu mewujudkan jagad raya ini beserta keberaturan dan keselarasannya yang sangat mengagumkan.

Menyakini bahwa alam semesta beserta keserasiannya merupakan akibat dari ledakan, tidak berbeda dengan kita menyakini bahwa di dalam tambang logam dengan sendirinya terjadi ledakan, dan akibat dari ledakan tersebut, tidak hanya memunculkan mesin-mesin dan huruf-huruf yang rapi dan apik bahkan huruf-huruf tersebut secara alami tersusun di atas lembaran kertas secara teratur sehingga terbentuklah seratus jilid kitab atau bait-bait syair Firdausi dan kamus Dekhoda, dan tanpa ada seoerang pekerja pun dengan sendirinya kitab-kitab tersebut akan terjilid dan tercetak.

Terjadinya ledakan di pertambangan memang akan mengakibatkan potongan-potongan logam berserakan ke berbagai arah, namun ia tidak akan menimbulkan keberaturan pada potongan-potongan logam tersebut, demikian pula halnya dengan ledakan yang terjadi di alam ini.

Kelompok Materialis mengatakan: Semulanya bumi dan planet lainnya yang kita saksikan ini, menyatu membentuk satu sentral galaksi yang memancarkan api, kemudian satu-persatu terpisah dan membentuk planet-planet tertentu, dengan berlalunya masa, pancaran api yang keluar dari planet-planet tersebut pun berkurang, akhirnya terbentuklah tata surya ini yang sebagian darinya memiliki bintang atau bulan.

Umat agama Ilahi mengatakan: Kami tidak mengingkari teori di atas, namun tanpa adanya campur tangan Dzat yang Maha kuasa dan Maha Mengetahui, segala proses terbentuknya alam ini selamanya tidak pernah akan terealisasi, planet-planet tidak akan berpisah satu dengan lainnya, masing-masing darinya tidak akan memiliki daya tolak dan daya tarik yang dapat menjaga keserasian dan kestabilanya, kekuatan magnet yang ada pun tidak akan memiliki reaksi sedemikan rupa sehingga planet-planet tersebut tetap terjaga pada posisinya dan terus berputar sesuai jalurnya serta tidak bertabrakan dengan planet lainnya, sungguh rancangan dan keteraturan alam yang sangat mengagumkan ini tidak akan terjadi begitu saja dengan sendirinya.

Dengan menerima logika kelompok materialis diatas, sama saja kita menerima logika yang mengatakan bahwa munculnya kilang minyak yang luas dan besar yang berada di Abadan serta pabrik pelebur besi yang berada di Amerika diakibatkan oleh gemba bumi yang terjadi di kawasan tambang logam , kemudian dengan sendirinya dari tambang tersebut keluarlah potongan-potongan besi, pipa, tiang-tiang, baut-baut, skrup-skrup dan secara otomatis, terbentuklah wadah-wadah besar, mesin-mesin dan berbagai alat lainnya, sehingga berdirilah kilang minyal dan pabrik yang sangat besar tersebut. Jika ucapan ini dapat dipercaya maka logika diatas pun juga dapat diterima.

Para materialis meyakini bahwa keberagaman yang ada pada tumbuhan dan hewan merupakan suatu yang baru, pada mulanya hewan dan tumbuhan hanya memiliki satu jenis, kemudian masing-masing dari hewan dan tumbuhan mengalami pergerakan dan perubahan sehingga melahirkan jenis pohon dan hewan yang berbeda, jenis yang baru pun akan melahirkan jenis yang berbeda pula, pada akhirnya keberagaman pun mewarnai tumbuhan dan hewan dimana pada awalnya tidak ada di alam ini kecuali hanya satu jenis pohon dan satu jenis hewan.

Pengikut ajaran Ilahi mengatakan: Proses penyempurnaan pada hewan dan pepohonan yang disampaikan di atas adalah salah satu teori ilmiah -yang dirumuskan oleh para ahli fisika- yang tidak didasari dengan bukti-bukti yang kuat, hingga saat ini teori tersebut hanya berupa wacana dan para penggagasnya pun mengakui bahwa teori ini memiliki banyak kekurangan dan keraguan. Dan seandainya pun teori ini dapat dibuktikan kebenarannya, ia tidak akan menguatkan pandangan kedua belah pihak, karena baik kelompok materealis maupun kelompok beragama kedua-duanya tidak mengingkari teori ini, bahkan para penggagas teori ini adalah orang-orang yang beragama Ilahi. Sungguh sangatlah eneh, mereka menukil teori ini dari ucapan orang-orang yang beragama kemudian mengkritik dan menuduh mereka sebagai sebagai kelompok bodoh yang menolak bukti-bukti ilmiah.

Menurut kami (umat beragama) segala keberagaman, pergerakan dan penyempurnaan harus ada di bawah pangawasan dan pengaturan Dzat yang maha kuasa, karena perputaran dan perubahan yang terjadi selama berabad-abad menandakan adanya keserasian antara yang melahirkan dan yang dilahirkan, baik dari jenis hewan maupun tumbuhan. Mata rantai perubahan yang ada ini, satu dengan lainnya memiliki ikatan sebab akibat, keterkaitan ini sangatlah kokoh dan teratur sehingga satu jenis tertentu dapat melahirkan jenis yang lebih sempurna darinya. Oleh karenanya menurut Furughy teori ini (proses penyempurnaan hewan dan tubuhan) bukan saja tidak bertentangan dengan ideologi dan keyakinan umat beragama, bahkan ia merupkan bukti bahwa segala fenomena di alam ini tidak akan terjadi kecuali berdasarkan aturan dan ketentuan yang telah digariskan, dan ini merupakan argumen yang kokoh bahwa alam semerta ini tidak terjadi secara kebetulan, dengan kata lain dunia ini ada yang menciptakannya.


Pandangan Keempat
Keyakinan beragama berakar dari dorongan seksual.

Menurut Freud awal munculnya agama berasal dari Oedipus (dorongan seksual anak laki-laki kepada ibunya (oedipus complex) dan rasa cemburu kepada ayahnya), ia mengatakan: Dalam masyarakat primitif yang dipimpin oleh kepala suku, terdapat putra-putra kepala suku yang mencintai ibunya sejak kecil, hari-demi hari raca cinta ini semangkin menguat sehingga mereka pun berniat untuk membunuh sang ayah dengan harapan mereka dapat leluasa menguasai sang ibu untuk memuaskan dorongan seksual mereka, namun setelah membunuh ayah, mereka merasa menyesal.

Perasaan dosa dan penyesalan yang mendalam, menjadikan mereka gelisah dan selalu mengingat jasa-jasa sang ayah serta kebaikan yang telah dicurahkan kepada mereka semasa hidupnya. Berupaya menenangkan hati mereka, mereka mulai memuliakan segala perintah dan ajaran sang ayah saat masa hidupnya, kemudian mereka pun mengagungkan kedudukan sang ayah dan memposisikannya seakan-akan ia adalah Tuhan dan Sang Pencipta, lama-kelamaan mereka pun mulai menyembahnya serta mengagungkannya sampai pada batas ketuhanan.

Berdasarkan asumsi ini Freud menyimpulkan bahwa keyakinan agama merupakan dampak dari penyesalan dan rasa bersalah yang dialami oleh anak-anak yang membunuh ayahnya.

Dengan kata lain Freud menyakini bahwa rasa bersalah dan berdosa merupakan faktor munculnya agama-agama.[36]


Teori Khayalan
Kerancuan yang dialami Freud dalam teorinya disebabkan penelitian sepihak yang dilakukannya, Freud hanya menganalisa satu sisi psikologis manusia tanpa menoleh pada sisi dan aspek lainya, inilah yang menyebabkannya selalu keliru dalam teori dan kesimpulan yang dicapainya.

Walaupun demikian, Freud dan orang-orang yang sepemikiran dengannya selalu berusaha megemas teori-teori semacam ini dengan corak ilmu pengetahuan, dan mengatakan “teori ini suatu yang ilmiah” sehingga berhasil memperdaya dan mempengaruhi pemikiran masyarakat saat itu, namun tanpa mereka sadari dengan terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan penelitian yang mencerahkan pemikiran, tampaklah kebohongan dan kekeliruan teori ini.

Pandangan di atas merupakan pandangan yang paling lemah dan paling keji dari sekian pandangan lainnya yang menafsirkan akan foktor kemunculan agama, meskipun penafsiran ini ditampilkan dengan kemasan dan istilah psikologis namun pada dasarnya ia tidak didasari kecuali oleh rasa sentimen dan kebencian Freud atas agama Yahudi yang dianutnya.[37]

Dengan teorinya, Freud telah menghempaskan manusia yang setelah berabad-abad mampu mencapai tingkatan psikologis yang tinggi, pada posisi dan derajat binatang.

Selain tidak memiliki kebenaran, teori ini pun memiliki dampak yang sangat buruk dan berbahaya. Banyak para pemikir yang menyatakan bahwa teori ini dapat melunturkan norma-norma mulia yang dimiliki manusia dan lebih bahaya lagi ia dapat membendung naluri manusia untuk menerima segala prilaku dan etika yang terpuji. Teori ini bukan hanya tidak mampu mengatasi problema yang ada, namun ia akan lebih memperkeruh dan menumpuk problematika kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pada dasarnya pandangan ini tidak layak disebut dengan teori apa lagi dinyatakan sebagai sebuah kajian yang ilmiah.

Bagaimana mungkin Freud sebagai seorang yang disebut ilmuan dapat memiliki pemikiran yang sangat naif dan tidak berdasar ini dan mengatakan bahwa dorongan seksuallah yang menyebabkan seseorang mencari Tuhannya, padahal para ilmuan dan pemikir besar, serta tumpukan buku-buku sejarah dan sosial menyatakan bahwa pengetahuan dan informasi yang kita dapati mengenai pola kehidupan masyarakat primitif sangatlah minim dan transparan.

Dalam buku “Sejarah Ilmu pengetahuan” -yang ditulis oleh puluhan ilmuan dan pakar sejarah-, ketika membahas tentang kehidupan kabilah-kabilah dan masyarakat primitif, disebutkan: “Saat ini kita telah mengakhiri pambahasan mengenai sejarah ekonomi manusia yang sandaran dan buktinya adalah hasil penemuan fosil-fosil dan sedimen-sedimen di dalam tanah. Yang patut diperhatikan ialah adanya kekosongan dan celah besar dan luas dalam informasi yang kita dapatkan mengenai kehidupan manusia terdahulu, dan apa yang telah kami jelaskan sebelumnya, tidak lebih dari beberapa lembar kertas yang teracak dari satu kitab yang telah hilang”.

Maka dari itu, teori sosiologis dan psikologis manakah yang dapat berdiri kokoh dengan berpijak pada asumsi dan prediksi seperti ini, terlebih lagi teori psikologis Freud”.

Freud selalu berusaha menganalisa dan mengkaji psikologis seseorang melalui beberapa fenomena yang sederhana, bahkan menurut sebagian sosiolog dan ahli sejarah, gagasan ini tidak lain hanya ungkapan dari kondiri psikologis Freud sendiri.

Meskipun Freud bersikeras mengatakan bahwa ideologi agama ditimbulkan dari rasa takut dan penyesalan, namun saat ia berhadapan dengan orang-orang yang beriman dan mendengar argumen mereka yang membuktikan bahwa naluri dan rasa bergantungan kepada Dzat yang Maha Kayalah yang telah menimbulkan keyakinan beragama pada hati para ilmuan dan pemimpin agama, ia membungkam dan tidak dapat menyanggahnya.

Ketika ia (Freud) mengenal kepribadian Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad As, para Urafa’ yang tersebar di belahan timur dan barat serta para penggagas ilmu dan peradaban yang beriman kepada Tuhan, saat itu dengan menundukkan kepala niscaya ia akan merubah teori khayalannya itu.

Seorang psikolog, Edcaries mengatakan: Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian orang dapat merasakan sebuah perasaan khusus yang tidak dapat mereka jelaskan dengan baik, mereka berbicara dari perasaan yang bersambung dengan keabadian, mereka mengeluhkan atas keterpisahan mereka dan menginginkan di satu masa dapat tersambung kembali.

Agama merupakan bentuk pemikiran yang dihasilkan dari perasaan yang abadi (fitrah), dan pengaruh perasaan ini dengan sangat jelas dapat dilihat pada seluruh pemikiran agama. Namun Freud meragukan keberadaannya dan menyatakan bahwa dari analisa psikologis yang dilakukannya, ia sama sekali tidak dapat menemukan perasaan semacam ini dalam dirinya, akan tetapi ia mengakui bahwa hal ini tidak dapat dijadikan sandaran baginya untuk mengingkari keberadaan perasaan tersebut pada diri orang lain.[38]

Seandainya Freud ingin menganalisa secara obyektif, maka ia tidak akan melontarkan gagasan semacam ini. Namun pengingkarannya akan naluri religius yang ada dalam batin manusia, telah mengkibatkan pandangannya menjadi sempit, dan kajian psikologinya yang hanya terfokus pada orang-orang yang memiliki problem kejiwaan tanpa melihat fenomena psikologis yang terjadi secara alami, telah menjadikannya lengah akan filsafat ketuhanan dan basis pemikiran umat agama Tauhid.



Catatan Kaki:
[26] Tarikh Will Durant , jilid 1, hal 89-90.

[27] Socrates hidup pada tahun 469-396 SM.

[28] Dairatul Ma’arif, Farid Wajdi, hal 499.

[29] Ibid, hal 459. al-Quran pun telah menyebutkan argumen ini dalam surat ar-Ra’d: 4.

[30] At-thur: 35

[31] Ibrahim: 10

[32] Ar-Ra’d: 4

[33] Materialisme Tarikhi, hal 61

[34] Ibid, hal 99

[35] Dinukil dari buku Usul Muqaddimati Falsafe Negaresy, tulisan George Paulstre dan Irfan wa Ushule Maadi, karangan Doktor Taqi Araani.

[36] Rawankawie pisik analiz, hal 194.

[37] Freud adalah seorang yang berketurunan Yahudi dimana pada masa hidupnya, bangsa Yahudi sangat dibenci dan dihinakan oleh penduduk Eropa, hal ini menimbulkan kebenciannya terhadap agama Yahudi yang dianggap sebagai penyebab kehinaan dirinya, akhirnya ia pun menggagas teori ini sebagai pembalasan atas dendamnya terhadap agama.

[38] Hunare Isyq Warzidan, hal 69.

19
NEO-TEOLOGI I

Penantian Manusia Terhadap Agama
Dewasa ini, isu seputar “Penantian Manusia terhadap Agama”, banyak diangkat oleh kalangan agamawan kontemporer di sejumlah media ilmiah maupun pusat-pusat kajian ilmu dan filsafat. Nampaknya, pembahasan tersebut tengah menjadi wacana hangat pada ranah teologi dan filsafat. Tidak mengherankan, jika berbagai pandangan mengemuka dan sejumlah tulisan bermunculan.

Dari sekian gagasan yang mencuat, barangkali belum ada yang menukik pada akar permasalahan. Berbagai pertanyaan mendasar masih belum dikaji serius seperti; kapan, di mana dan pada situasi seperti apa persoalan tersebut lahir? Lalu, setelah berapa masa sejak kemunculannya, kapan dan bagaimana gelombang persoalan tersebut singgah di pusat-pusat ilmu kita?[1]

Almarhum Ayatullah Agung Burujerdi (1292-1380 Hq) mencurahkan perhatian mendalam terhadap akar sejarah problematika fiqih. Hal ini pula yang menjadi salah satu prinsip dasar dalam memahami al-Quran dan Sunnah secara benar. Pada bidang Ushul, metode ini pun kerap digunakan.

Suatu hari, ia menjelaskan permasalahan masyhur dalam bidang Ushul, “Apakah takhshîs 'âm, menjadi sumber diperbolehkannya (sesuatu) atau tidak ?” Dengan pendekatannya yang khas, ia meneliti rentang perjalanan beberapa abad dari sejarah persoalan tersebut, sampai pada konklusi bahwa persoalan tersebut disistematikakan di Irak pada tahun 303 H. Bahkan, ia juga menyoroti pasang surut permasalahan tersebut sepanjang sejarah.

Tidak ada keraguan bahwa Barat dan dunia Kristen, menjadi tempat lahirnya berbagai pemikiran tentang filsafat agama. Di sisi lain, revolusi ilmu pengetahuan serta industri di dunia Barat telah memberikan perubahan besar pada persoalan kemanusiaan.

Berangkat dari fenomena tersebut, para pemikir membagi kebutuhan manusia terhadap agama ke dalam dua kategori:

Pertama, kalangan yang memandang bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman serta eksperimen menyebabkan manusia tidak lagi membutuhkan agama.

Kedua, kalangan yang berpendapat bahwa sebagian besar kebutuhan manusia dapat terpenuhi melalui ilmu serta pengetahuan. Hanya sebagian persoalan kecil saja, yang disandarkan di pundak agama.

Dalam hal ini, para pemikir mengamini pendapat yang berupaya meneliti kembali agama serta memanfaatkannya dalam batas yang memungkinkan.

Nampaknya, dengan mempertimbangkan berbagai pengaruh pencerahan agama terhadap kehidupan, mereka menuju resultan untuk mengembalikan agama kepada masyarakat serta mengambil pengaruh positif dari kekuatan spiritual. Mereka juga berupaya memberikan pengertian kepada para oposan agama serta para kritikus kalangan gereja bahwa agama masih memiliki peran di masyarakat. Maka dari itu, tidak sepatutnya ditinggalkan begitu saja. Dari sinilah para psikolog serta sosiolog menata penelitian agama dengan mengungkapkan berbagai pengaruh positif yang dapat diperoleh dari agama.


Peralihan Isu
Melalui pembahasan di atas, jelaslah bahwa isu “Penantian Manusia terhadap Agama” merupakan peralihan dari tema sebelumnya, “Kebutuhan Manusia terhadap Agama” serta “Dampak Pencerahan Agama”. Wacana ini mengemuka dengan motif-motif tertentu yang berlainan. Salah seorang pemikir yang mengkaji tentang penantian manusia terhadap agama, menulis:

"Penantian kita sebagai manusia terhadap agama adalah agama mampu memahami kesulitan dan penderitaan kita. Dalam terminologi yang lebih luas, agama diharapkan memberikan makna bagi kehidupan manusia. Dengan memahami penderitaan yang kita alami, agama akan menyelamatkan manusia serta mengantarkan kepada kondisi yang lebih baik. Maka, tidak salah jika kita mengklaim bahwa penantian manusia terhadap agama adalah manusia sampai pada kondisi yang diharapkan dari situasi buruk sebelumnya. Dari jalan inilah, diperoleh makna kehidupan dan menjauhkan manusia dari keadaan yang tidak diharapkannya”[2]

Apa yang mereka kemukakan sebagai “Penantian Manusia terhadap Agama”, sama halnya dengan penjelasan para psikolog dalam pembahasan “Kebutuhan Manusia terhadap Agama” serta “Dampak Pencerahan Agama”. Sejatinya, hal ini lebih disebabkan adanya spirit wacana yang hampir paralel. Hanya saja, wacana tersebut belakangan mengalami peralihan tema.


Dampak Pencerahan Agama: Kacamata Psikologi
Para psikolog berupaya mempelajari kejiwaan manusia di antara sekian fenomena alam yag tak terbatas. Dalam hal ini, mereka berpendapat bahwa kembalinya manusia pada agama, memiliki pengaruh yang dapat meringankan berbagai problematika kehidupan: Pertama, terbelenggunya sifat congkak dan membangkang, Kedua, menyelesaikan kesalah fahaman, memberikan metode berpikir positif di antara sesama manusia serta berbagai ketentuan lainnya. Ketiga, Terapi untuk mengatasi berbagai kesulitan dan penderitaan hidup.

Di satu sisi, dengan kembali pada agama, manusia memperoleh ketenangan dalam menghadapi berbagai guncangan dan bencana yang bersumber dari alam maupun takdir. Pada sisi lain, sebuah keyakinan juga dapat mencegah berbagai kerusakan yang berpangkal dari peradaban serta dapat memberikan ketenangan batin[3].

Gustav Yung, sependapat bahwa agama menghadiahkan ketenangan kepada pemeluknya. Selain itu, agama juga mampu memberikan makna keberadaan manusia. Terlebih, agama juga mengajarkan kepada manusia cara mengatasi berbagai persoalan[4].

William James meyakini bahwa dengan kembali pada agama, manusia akan memperoleh ketenangan dan kebahagiaan tertentu. Agama juga memotivasi munculnya kekuatan yang mampu mengubur kegetiran hidup. Kekuatan yang diperoleh manusia dari agama untuk mengatasi berbagai kesulitan tersebut, tidak akan pernah tergantikan oleh etika. Karena semangat yang diperoleh manusia melalui keyakinan keagamaan, sama sekali tidak mampu dihasikan dari etika[5].


Kebutuhan Manusia terhadap Agama: Kacamata Sosiologi
Para sosiolog yang mendasari telaahnya pada masyarakat, memposisikan individu sebagai entitas masyarakat. Kalangan ini memandang bahwa agama memiliki pengaruh dalam mengatasi berbagai konflik sosial.

Durkheim meyakini bahwa agama dalam implementasinya, dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain itu dikatakannya, keyakinan keagamaan memiliki peran vital dalam mewujudkan sistem ekonomi.[6]

M.Yinger berpendapat, untuk kelangsungan hidupnya, manusia memerlukan serangkaian nilai yang diyakininya. Nilai tersebut harus mampu menjawab berbagai persoalan akhir kehidupan, terutama misteri kematian. Terlebih, nilai tersebut juga harus dapat menjelaskan kepada manusia berbagai persoalan sosial, seperti: frustasi, musibah serta penderitaan lain.

Dalam hal ini, hanya agamalah yang mampu menjawab berbagai persoalan tersebut. Agama berupaya keras menjelaskan sesuatu yang tidak dapat diungkapkan oleh yang lainnya. Demikian, Yinger menuturkan.[7]

Penjelasan kedua pandangan tersebut, mampu menyingkap tabir problematika sebenarnya. Mereka juga menetapkan bahwa tujuan mempertimbangkan peran agama, untuk mengungkapkan berbagai sisi positifnya. Selain itu, untuk menunjukkan bahwa sampai saat ini pun kejayaan agama belum berlalu. Manusia masih memerlukan agama dalam kehidupannya, sebagai obat penenang.


Isu Yang Masih Mentah
Isu penantian manusia terhadap agama, mengingatkan pada peristiwa di sebuah dusun. Karena lokasinya yang jauh dari dokter serta balai pengobatan, Masyarakatnya sedemikian asing dengan berbagai jenis penyakit. Mereka selalu menanti kehadiran seorang dokter yang akan mengobati berbagai jenis penyakit di daerah itu. Pada saat dokter tiba di lokasi tersebut, ia berhadapan dengan ribuan pertanyaan yang tidak mungkin terjawab oleh satu atau dua orang dokter.

Demikian halnya kondisi sosial masyarakat kini, sebagaimana penduduk dusun tersebut. Harapan serta penantian mereka terhadap agama sedemikian besar, sehingga tidak mungkin seluruhnya dapat terjawab.

Analisis di atas, mengindikasikan bahwa isu pembahasan sebaiknya dirubah dan isu “Penantian Manusia terhadap Agama” tidak semestinya dibahas. Karena, penantian masyarakat terhadap agama, tidak memiliki standar serta aturan yang jelas. Setiap kelompok menghendaki permasalahannya dapat teratasi. Kalau pun pembahasan ini harus diangkat, terlebih dahulu memerlukan penyelesaian berbagai persoalan berikut:

1. Apa penantian agama terhadap manusia?

Jika agama merupakan sebuah fenomena yang informatif serta datang dari Tuhan, apa penantiannya terhadap individu maupun masyarakat?

2. Kalau pun persoalan tersebut tetap dibahasakan dalam format pertama, yaitu apa penantian manusia terhadap agama, sebelum menjawab masalah ini, problem lainnya harus dituntaskan terlebih dahulu, bagaimana mengetahui kemampuan agama dan kualifikasinya, barulah dapat berharap sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Karena selama agama tidak dapat tergambarkan secara benar serta tidak memiliki batasan yang jelas, kita tidak dapat berharap sesuai dengan harapan.

Cobalah Anda bayangkan, untuk rehabilitasi sebuah negara yang berada dalam peradaban terbelakang, para pakar diterjunkan mendatangi lokasi tersebut. Sehingga seluruh kebutuhan masyarakat terdata serta bantuan yang diberikan pun sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya.

Negara dengan kondisi demikian, tidak hanya memiliki satu atau dua permasalahan. Tetapi, menyimpan segudang persoalan yang perlu penyelidikan sebelumnya, kemudian barulah permasalahan tersebut dapat diatasi oleh berbagai tim yang memiliki keahlian di bidangnya masing-masing.

Pada kondisi seperti itu, masyarakat tidak selayaknya berharap pada seorang atau satu tim ahli, untuk dapat mengatasi seluruh persoalan. Tetapi, sebelumnya perlu dianalisis dengan cermat sesuai dengan bidang studi serta dasar keilmuannya, barulah harapan mereka akan terjawab selaras dengan kemampuannya.

Para penggagas ide ini, sebelum menyuguhkan pemahaman keagamaan, terlebih dahulu mengutarakan berbagai harapannya, baru kemudian menentukan batasan serta memberikan sejumlah ilustrasi. Seringkali harapan-harapan mereka itu, tidak berada dalam wilayah agama. Tetapi, dapat terpenuhi melalui pengetahuan individu maupun masyarakat.

Bagaimanapun, apakah persoalan ini memiliki orisinalitas ataukah ia merupakan distorsi dari wacana “Kebutuhan Manusia terhadap Agama” atau “Pengaruh membangun agama”, yang jelas dalam topik permasalahan ini, terkandung sejumlah ambiguitas dan berbagai kesulitan yang menghantui yang urgen untuk dipecahkan.


a. Agama sebagai Alat
Isu pembahasan di atas, mengidentifikasikan pandangan sebagian kalangan, alih-alih memandang agama dari aspek ibadah dan penyembahan, serta berupaya memahami hubungannya dengan manusia, maupun hubungan pencipta dengan ciptaannya. Sebaliknya, mereka malah memposisikan agama sebagai alat serta mensejajarkannya dengan berbagai fasilitas kehidupan lain yang dapat mengatasi kesulitan manusia.

Ketika dasar harapan manusia terhadap fasilitas kehidupan begitu jelas, maka demikian pula dengan dasar penantian manusia terhadap agama. Padahal, kedudukan agama lebih tinggi dan lebih baik ketimbang berbagai sarana dan fasilitas kehidupan. Di sinilah mereka meletakkan agama sebagai alat.

Agama dalam pengertian umum merupakan keyakinan terhadap ketergantungan manusia dan alam kepada wujud terbaik. Ketergantungan ini, memiliki konsekuensi berupa serangkaian tugas baik pada aspek keyakinan maupun perbuatan. Pada kondisi demikian, sudah semestinya kita menanti perintahnya, tidak hanya mengharap pelayanannya dalam area pemikiran maupun aktivitas kehidupan.


b. Humanisme
Kaum Materialis kontemporer, meremehkan aspek spiritualitas. Mereka menganggap yang ada hanyalah materi yang berujung pada penegasian setiap bentuk spiritualitas. Untuk menutupi kekosongan spiritualitas dalam kehidupan manusia, mereka berupaya melahirkan tiruan. Sehingga pandangan spiritual yang dianutnya, tidak terwarnai oleh pemahaman spiritualitas. Dari sini, lahirlah isu humanisme. Mazhab yang menjanjikan cinta sesama, kebahagiaan dan minus kerugian ini, berupaya mengambil alih peran spiritualitas serta keyakinan pada metafisik.

Mereka berpegang pada superioritas manusia dengan tujuan mengagungkannya. Humanisme pun lahir menambah deretan mazhab-mazhab materialisme. Sejatinya, mereka meyakini satu bentuk spiritualitas lain meringankan beban berat materialisme.

Dengan cara ini, kaum materialis berupaya membebaskan manusia dari penghambaan kepada Tuhan. Tetapi, pada akhirnya malah menyeret manusia pada pendewaan ekonomi serta alat produksi. Sebagaimana disitir kalangan Marxisme, sarana produksi merupakan pembangun sejarah, sedang manusia berada dalam arena permainannya. Kemuliaan apa yang diperoleh manusia, ketika dia tidak lagi memiliki pilihan. Ke manapun alat produksi melangkah, ke arah itu pula manusia berjalan.

Pelecehan pada manusia, ternyata tidak hanya terjadi dalam mazhab Marxisme. Tetapi juga, ditemukan dalam mazhab Kapitalisme. Meski dalam opini publik mereka menghormati manusia baik sebagai individu maupun kelompok. Tetapi, lagi-lagi opini publik tersebut, telah dikuasai kaum borjuis. Mereka merancang kegiatan sedemikian rupa untuk kepentingannya sendiri. Kemudian, seluruh manusia digiring menjadi kapitalis.

Para Penggagas isu penantian manusia terhadap agama, secara tidak sadar terpengaruh oleh paham humanisme yang memandang agama dari kaca mata manusia. Apapun selainnya diposisikan sebagai pemuas kebutuhan. Oleh karena itu, mereka menyebutkan: “Penantian kita terhadap agama adalah ini dan itu”

Padahal kenyataanya, dalam pandangan seorang agamis, Tuhan sebagai poros dan selainnya adalah pelayan serta hamba. Kemendasaran hanya milik Tuhan serta agama, bukan manusia. Barangkali dalam terminologi yang lebih tepat, manusia berkhidmat pada agama, bukan agama yang berkhidmat pada manusia. Sebagaimana penjelasan al-Quran:

"Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, melainkan akan menghadap Tuhan yang maha pemurah, sebagai seorang hamba"[8]

Resultan dari kupasan isu di atas, menjelaskan kebutuhan manusia bukan kemuliaan agama.


c. Segitiga Ambigu
Dalam tema pembahasan di atas, tersusun segitiga ambigu. Sejatinya, para penggagas masalah ini, menuntaskan berbagai kesamaran dan kerancuan pembahasan serta menjelaskan pemahaman ketiga unsur berikut: masyarakat, agama dan penantian atau pemuas kebutuhan.

Unsur pertama perlu diperjelas, apa yang dimaksud dengan manusia? Peradaban manusia telah melewati lebih dari sepuluh ribu tahun. Apakah yang dimaksud adalah manusia jaman batu? Ataukah manusia setelahnya yang dijelaskan dalam berbagai format? Pembagian masyarakat yang dilakukan Marx berbeda dengan pemetaan yang dihasilkan para sosiolog lainnya. Namun, keduanya bertemu pada titik bahwa manusia masa kini berhadapan dengan berbagai gelombang pasang surut. Mereka sama sekali berbeda dari sisi pemikiran, kehidupan maupun kebutuhannya.

Kini, kita akan meneliti unsur kedua, apakah pengertian agama hanya dikhusukan pada agama langit, yang dikenal dengan agama Ibrahimi, ataukah termasuk berbagai aliran mistisme seperti Brahmana, Budha dan Hindu? Jika yang dimaksud adalah pengertian pertama, apakah ruang lingkupnya hanya meliputi agama yang tidak terdistorsi, ataukah termasuk juga agama yang mengalami penyimpangan? Misalnya agama yang menyebutkan bahwa Tuhan turun dari langit ke kemah Ya’kub untuk bergulat bersamanya, dan melalui pukulan dasyat, akhirnya menang. Ataukah agama yang menyebutkan, suatu hari al-Masih menghadiri pesta pernikahan. Saat persediaan minuman untuk para tetamu tidak mencukupi, al-Masih merubah air menjadi minuman melalui mukjizat. Di sebutkan pula: “Al-Masih juga meminum minuman keras, ia pun seorang pemabuk”.


Benar dan Salah Bukan Parameter
Ketika pemuas kebutuhan menjadi poros dalam kehidupan manusia, benar dan salah tidak lagi dianggap sebagai parameter. Meskipun, pemuas kebutuhan itu berupa pandangan keliru, tetap saja harus disebut sebagai agama dan wajib mensucikannya. Misalnya, dalam agama Hindu dan Budha terdapat ajaran reinkarnasi. Mereka meyakini bahwa manusia mengalami kematian berulang kali, kemudian kembali ke alam dunia. Manusia memperoleh balasan pahala atau siksa sesuai dengan perbuatan yang dilakukan dalam kehidupan sebelumnya.

Keyakinan semacam ini, menjestifikasi adanya perbedaan kelas serta ketidak adilan melalui institusi agama. Seorang fakir yang tiada daya, menganggap bahwa kefakiran yang menimpanya saat ini, akibat perbuatan tercela yang dilakukan di kehidupan sebelumnya. Sebaliknya, manusia yang hidup makmur, berkat perbuatan baik yang dilakukan sebelumnya.

Nampaknya, keyakinan ini kontradiksi dengan kepercayaan terhadap kehidupan manusia pada masa mendatang, setelah kematiannya di dunia mengurangi kegetiran kaum fakir, mensejahterakan kelompok hedonis. Hal ini pada akhirnya, menghambat kelas proletar untuk melakukan berbagai gerakan revolusi buruh menentang golongan borjuis.

Tentu saja, jalan keluar yang ditawarkan agama yang telah terdistorsi, sama sekali berbeda dengan penyelesaian yang dilakukan oleh agama murni. Dengan penjelasan lain, penantian kita terhadap keduanya, pastilah tidak sama.

Adapun berkenaan dengan unsur ketiga, yaitu pemuas kebutuhan, perlu penjelasan lebih lanjut, apa yang dimaksud dengan kebutuhan? Apakah kebutuan yang bersifat materi ataukah maknawi? Kebutuhan permanen ataukah tentatif? Kebutuhan individu atau sosial? Kebutuhan absolut atau sekedar maya?

Jika yang dimaksud adalah berbagai kebutuhan absolut, maka agama harus dapat memenuhi seluruh kebutuhan, termasuk kebutuhan maya sekali pun. Pada akhirnya, akan melahirkan konklusi bahwa agama memenuhi dua kebutuhan yang kontradiktif. Misalnya saja, seorang Yahudi pecinta dunia, mengharapkan kebutuhannya dalam menumpuk harta terpenuhi. Sementara, seorang Kristiani yang jujur juga menanti keinginannya terkabul, yaitu kesendirian serta menjauh dari kenikmatan dunia.

Seorang pemuda suci Kristen yang menolak berbagai kenikmatan biologis seksual, dengan alasan Tuhan melarangnya, memiliki penantian tertentu terhadap agama. Sedangkan kelompok yang berseberangan dengannya pun, memiliki kebutuhan yang berbeda pula.

Jika yang dimaksud adalah kebutuhan sejati, bukan maya. Maka, parameter apa yang digunakan untuk menilai kebutuhan benar dan salah?

Pada akhirnya, para penggagas isu ini, menempatkan agama sebagai pemuas seluruh kebutuhan. Nampaknya, perlu membagi kebutuhan ke dalam dua bagian: Pertama, kebutuhan yang dapat dipenuhi melalui pemikiran individu maupun masyarakat. Kedua, kebutuhan di luar kemampuan individu maupun masyarakat. Penantian masyarakat, berkenaan dengan bagian kedua. Padahal, untuk meninjau kembali dua kebutuhan tersebut memerlukan kriteria yang jelas.


Pemuas Kebutuhan atau Cinta Pada Kesempurnaan Absolut
Setiap kali mendiskusikan isu tentang penantian manusia terhadap agama dalam area filsafat agama serta memposisikannya pada kavling filsafat, secara spontan kekudusan agama akan sirna. Karena dalam konteks demikian, manusia hanya akan meyakini agama ketika ia mampu memuaskan kebutuhannya. Padahal, penggerak manusia dalam beragama adalah cinta pada kesempurnaan mutlak yang keindahannya mampu menyihir manusia.

Dengan kata lain, pembahasan di atas hanya mengungkap hubungan materi manusia dengan Tuhan. Sedikit pun tidak dipengaruhi oleh tujuan kesempurnaan absolut.


Rasionalitas Mendahului Wahyu
Dalam analisis di atas, rasionalitas diposisikan lebih utama ketimbang wahyu dan keinginan manusia dianggap sesuatu yang prima. Padahal sejatinya, dalam penantian agama terhadap manusia tidak demikian.

Akhirnya, para deklarator isu ini, dengan kebingungan tanpa mengenal hubungan manusia dengan Tuhan dan memahami tujuan beragama, tengah menanti giliran kebutuhannya dapat terpuaskan. Kini, kita lihat, apa saja penantian mereka. Perlu diingat kiranya, bagaimana penjelasan wahyu berkenaan dengan penantian seperti itu.

Seandainya kebenaran memperturutkan hawa nafsu mereka, maka binasalah langit, bumi serta semua yang ada di dalamnya[9].


Harapan Para Deklarator Penantian Manusia Terhadap Agama
Pada pembahasan yang lalu, telah dibuktikan bahwa pertanyaan “Apa penantian manusia terhadap agama itu?” merupakan sebuah pertanyaan yang jungkir balik, keliru. Sejumlah faktor mental maupun sosial, menyebabkan terjadinya perubahan dari pertanyaan sebenarnya, tentang “apa penantian agama terhadap manusia”.

Kini, apabila kita berasumsi, dengan mengabaikan berbagai kritik beragam yang menghujani bahwa skema pertanyaan dalam format pertama adalah benar, kita lihat apa harapan para deklarator ide ini terhadap agama. Pada realitasnya, persoalan tersebut diungkap oleh pelbagai kalangan dengan membawa ciri khasnya masing-masing. Dari seluruh pandangan di atas, ditarik sejaumlah konklusi ke dalam lima aspek:

1. Agama tidak layak melakukan intervensi ke dalam persoalan duniawi seseorang. Karena tujuan di utusnya nabi untuk kebahagiaan akhirat bukan dunia;

2. Agama tidak pada tempatnya mengintervensi ke berbagai dimensi kehidupan sosial manusia. Karena, agama hanya mengatur persoalan individu;

3. Konklusi diterimanya kedua proposisi di atas, melahirkan pandangan sekularisme dan pemisahan agama dari politik. Maka, sistem politik ilahiah tidak selayaknya memerintah;

4. Agama merupakan pegangan yang tanpa arah, sama sekali tidak pernah menampilkan arahnya yang khusus;

5. Agama adalah sesuatu yang bisu dan diam.

Selanjutnya, tulisan ini akan menyusuri pandangan-pandangan tersebut dan menyuguhkan analisis terhadapnya.


Pendapat Pertama
Salah seorang tokoh lama[10] menuliskan pandangannya berkenaan dengan persoalan di atas:

Tidak selayaknya menanti pada agama Islam, Kristen mapun Yahudi untuk memberikan kepada kita berbagai konstitusi dan undang-undang serta berbagai ketentuan secara sempurna dalam ideologi, politik, ekonomi, berbagai disiplin ilmu terapan, kedokteran dan kesehatan. Sebagaimana tidak disampaikannya ilmu memasak, menjahit, bangunan, ilmu keterampilan hidup serta berbagai penemuan lainnya.

Dalam pandangan di atas, terdapat mixing antara substansi agama dengan kulitnya yang merupakan bentuk penerapan hukum. Karena agama, di samping memiliki undang-undang yang tetap dan kekal. Ia juga memuat formulasi universal tentang politik, ekonomi, persoalan sosial serta akhlak yang sejalan dengan fitrah penciptaan manusia. Bentuk realisasinya yang disebut konstitusi dan lainnya, diserahkan kepada pemikiran masyarakat.

Misalnya, untuk memperkuat situasi pertahanan, agama menawarkan prinsip universal. Dari awal hingga saat ini, tidak akan hilang keuniversalannya, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka apa saja yang kalian sanggupi[11]

Tetapi, penerapannya tergantung pada para pemikir yang menangani masalah pertahanan. Mereka memiliki persenjataan khusus pada masanya.

Agama dapat memberikan pandangan tentang prinsip universal ekonomi sesuai dengan fitrah kemanusiaan dan hukum akal. Melimpahkan otoritas untuk melakukan transaksi sesuai kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak,[12] mengharamkan praktik riba[13] dan melarang berbagai jenis kontrak yang mengandung spekulasi maupun penipuan.

Tetapi, bentuk penerapan prinsip-prinsip ini, dengan melihat di sepanjang masa disertai dengan perubahan, diserahkan kepada pemikiran masyarakat. Pada wilayah ini, tidak akan pernah terjadi intervensi.

Prinsip serupa juga dapat diterapkan dalam ruang lingkup politik serta keluarga. Di sini agama menyajikan berbagai prinsip universal yang membentuk bangunan ekonomi serta politik. Adapun yang diserahkan pada pemikiran masyarakat, berupa penerapan konstitusi serta undang-undang.


Kontradiksi Pandangan
Nampak amat menarik di sini, ketika sang narator menyampaikan pemikiran tersebut di akhir kehidupannya. Karena, ia berada pada situasi kekalahan politik dan naiknya pemerintahan agama. Padahal pada masa sebelumnya, yaitu pra revolusi Islam, ia menyerukan pemikiran yang sama sekali berbeda. Berikut beberapa contoh petikannya. Ia menuliskan demikian dalam bukunya:

“Islam mendesain aturan serta metode tertentu untuk semua perbuatan yang bersifat individu. Prinsip-prinsip tersebut sebelumnya diterapkan oleh kaum muslimin. Sehingga mampu mengarahkan seluruh pemikiran, kejadian serta perbuatan. Mereka juga memahami bahwa kebahagian dunia serta keselamatan akhirat terdapat pada prinsip-prinsip tersebut ”[14]

Pada bagian lain, ia menyebutkan:

Batu ujian (kitab) al-Qur’an sedemikian detail hingga mencakup berbagai persoalan besar maupun kecil. Menentukan pahala serta siksa setiap perbuatan, memuat aturan kenegaraan, memposisikan tinggi ilmu dan penelitian. Memberikan petuah tentang cara berbakti pada ayah dan ibu, berbuat baik pada keluarga serta orang lain. Meletakkan aturan kemasyarakatan dalam bidang kebersihan, menentukan waktu perdamaian serta peperangan, menawarkan konsep mu’amalah dalam bentuk fiqih dan berbagai syariat[15].

Ia juga dalam bukunya yang lain “Ihtiyâj Ruz” menuliskan:

Pada masa permulaan Islam, masjid dan jama’ah merupakan pusat perencanaan berbagai kegiatan serta pengambilan keputusan bersama. Di tempat itu pula, berbagai persoalan diselesaikan. Para khalifah serta Imam, seusai melaksanakan shalat jama’ah, berpidato di atas mimbar serta menyampaikan berbagai persoalan terbaru dan yang diperlukan oleh masyarakat. Para jama’ah juga memberikan sumbangsih pendapatnya serta mengikat janji bersama.

Di sana pula, perdamaian dan peperangan diputuskan. Tak jarang, barisan shalat jama’ah berganti menjadi barisan perang serta pertahanan. Para prajurit berangkat dari masjid untuk bertempur ke medan laga. Betapa banyak, para pejuang Islam dari berbagai tempat serta medan perang, memasuki masjid dengan pakaian kotor. Kemudian, melaporkan berbagai operasi militernya kepada masyarakat, sebelum akhirnya mereka kembali ke rumahnya masing-masing.”[16]

Kesimpulan dari berbagai pandangan di atas, agama memiliki pesan untuk setiap tema pembahasan. Di antaranya adalah persoalan duniawi, politik serta kenegaraan. Pembahasan ini, bertentangan dengan dua hipotesis sebelumnya yang menyebutkan bahwa agama terpisah dari politik dan tujuan diutusnya para nabi hanya untuk kebahagiaan akhirat. Coba Anda lihat, begitu jauh jarak perbedaannya.

Untuk membuktikan klaimnya, yang kebanyakan berbicara seputar pemisahan agama dari politik[17], penulis buku tersebut berupaya mengajukan berbagai argumentasi yang cukup mengejutkan bagi sosoknya sebagai seorang peneliti dan agamis[18]. Tentu saja, sampai saat ini kondisi spiritualnya terpengaruh oleh berbagai argumentasi tersebut. Dengan mempertimbangkan pengaruh serta berbagai pidatonya yang berharga, kiranya perlu memandang hal ini sebagai sejumput kesalahan yang hinggap di akhir hidupnya.

Dalam kesempatan ini, hanya akan difokuskan pada dua sampel argumentasi. Sehingga jelas, sejauh mana kekuatan metode berpikir seperti ini?


Argumentasi Pertama
Agama diturunkan untuk mengatasi berbagai persoalan ilmu dan amal akhirat. Bukan untuk menyelesaikan berbagai penderitaan hidup serta persoalan duniawi. Jika atas nama agama, ideologi serta pemerintahan agama terbentuk, maka pastilah para pemimpin agama tidak akan sukses mengatasi persoalan sosial. Hasilnya, masyarakat mukmin, terutama para pemuda yang penuh semangat, akan berperasangka negatif terhadap keyakinan keagamaannya.


Analisis
Argumentasi yang ditawarkan oleh si penulis yang mengemukakan gagasan tersebut, bersandar pada prinsip yang tidak tepat. Sehingga, konklusi yang dihasilkannya pun akan keliru. Penawaran ideologi serta pembentukan pemerintahan agama oleh kalangan agamawan, tidak berarti meliburkan aktivitas ilmiah dan pemikiran serta berbagai usaha sosial dengan hanya mencukupkan ketentuan dan aturan umum agama saja.

Menjadi kesepakatan nampaknya, setiap kategori yang dipresentasikan oleh ideologi dan pembentukan pemerintahan, yang menjadikan manusia diasumsikan tidak lagi membutuhkan ilmu dan pengetahuan serta kerja keras. Hal ini, hanya sekedar menegaskan kesimpulan yang telah disampaikan penulis saja. Di sini, para pemimpin agama dalam area pemerintahan akan mengalami prustasi, sehingga menyebabkan para pemuda menjauh dari agamanya.

Namun, tidak ada seorang pemimpin agama pun yang menyampaikan ideologi untuk membentuk pemerintahan dengan pemikiran seperti itu. Bahkan sebaliknya, dalam ketentuan berbagai aturan Islam, masyarakat didorong menuju kutub ilmu, pengetahuan, kesungguhan, dialog dan pertukaran gagasan serta memanfaatkan seluruh potensi lainnya. Disepakati kiranya, pandangan ideologi dan terbentuknya pemerintahan seperti itu, keduanya akan mengalami keberhasilan. Ketika terjadi kegagalan pada penerapannya, bisa jadi disebabkan oleh faktor lain.

Ketika pemerintahan Rasulullah dan Alawi berhasil melaksanakan tugas-tugasnya, hal ini berdasarkan prinsip dan kriteria tersebut.


Argumentasi Kedua
Penelitian historis membuktikan bahwa setiap agama dan pemerintahan yang berada di tangan pemimpin agama, menimbulkan banyak kerugian dalam masyarakat. Di sini, Bazargan membuktikannya dengan berbagai fakta tentang pemerintahan ribuan tahun kekuasaan Paus dan pemerintahan gereja, pemerintahan Umawi, Abasi dan Ustmani, Kesultanan Shafawi dan Qajar.


Analisis
Kekeliruan dari argumentasi ini sangat jelas. Karena, adanya perbedaan antara realitas agama dan penyalahgunaaan agama di sisi lain. Jika kenyataannya, agama Tuhan bergandengan dengan politik dan melakukan intervensi dalam urusan sosial. Ketika terjadi penyalahgunaan agama oleh para pemimpin dan aparat, maka- jika hal tersebut dianggap benar sekalipun- tidak bisa menjadi dalil bagi terpisahnya agama dan politik. Sebagai contoh, para pakar sebuah bangsa menentukan undang-undang dasarnya dengan seteliti dan seholistik mungkin untuk pemerintahan mendatang. Namun, jika pemerintah ada kalanya menyalahgunakan undang-undang tersebut, hal ini bukan dalil bagi lemahnya hukum, tetapi argumentasi bagi rapuhnya penerapan hukum tersebut.

Pada akhirnya pandangan seperti ini, alih-alih mengkaji al-Quran dan sunnah hingga posisi agama dan relasinya dengan berbagai persoalan sosial dan politik diketahui. Malah, memilih jalan lain dengan menyandarkan pada pendapat pribadi. Agama dipersepsi menurut pandangannya sendiri, dikatakannya agama harus begini dan tidak begitu. Padahal harus dikaji bagaimana sumber agama berbicara mengenai persoalan tersebut.


Pendapat kedua
Beberapa kalangan, melihat kehadiran agama dalam kancah politik dan arena sosial, harus diminimalisasi dan disempitkan perannya, hanya pada individu dan moral saja. Di sini, mereka mengemukakan pra justifikasi tertentu sebagai berikut:

Agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia, terdiri dari dua karakter penting. Pertama, pada posisi praktis seperti ”tali” tidak mempunyai arah. Kedua, pada posisi teoritis sebagaimana alam “diam” dan “bisu”. Maka definisi deskriptif yang tepat, agama merupakan sebuah tali yang diam.

Maksud dari makna “tali” adalah tidak “berarah”. Artinya, pada dasarnya dalam dataran praktis siapapun dengan tujuan dan arah apa pun tidak ditetapkan. Namun maujud yang memiliki arah dan tujuanlah yang menggunakan baik atau buruknya. Manusia yag bertakwa dapat menggunakan tali ini untuk keluar menyelamatkan diri dari jurang. Sementara manusia yang tidak bertakwa, mempergunakan media tersebut untuk menuruni dan terjun ke dalam jurang tersebut.[19]


Analisis
Menyoroti pandangan ini, terdapat beberapa kritik mendasar antara lain:

Pertama, jika dikatakan oleh beberapa kalangan bahwa pada dasarnya agama tidak bisa di tarik oleh siapa pun ke arah mana pun. Di sini, arah tidak memiliki makna.

Muncul pertanyaan di benak kita apa maksud penulis, agama tidak ditarik pada arah tertentu ? Jika yang dimaksud adalah bukan “agama dalam format potensi deterministik yang menarik manusia.” Pandangan ini walau pun benar, tetapi tidak ada kaitannya dengan pembahasan kita. Tidak ada agamawan yang meyakini bahwa agama dengan potensi konstrainnya secara praktis menarik manusia. Jika realitas agama demikian, di dunia ini tidak ada orang yang tidak beragama. Tentu saja hal ini, tidak bernilai. Karena, secara praktis sebuah tindakan harus dilandasi pilihan. Pada akhirnya manusia berada dalam dua jalan, mengikuti perintah Tuhan atau mendahulukan hawa nafsunya. Al-Quran mengisyaratkan tentang iman dengan ikhtiar bukan iman dengan keterpaksaan. Allah Swt berfirman: “Dan Jika Tuhan-mu menghendaki, semua manusia di atas bumi ini beriman pada-Nya, apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?” [20]

Dalam ayat ini, Tuhan tidak menginginkan iman deterministik karena tidak bernilai.

Jika maksud dari pembahasan penafian arah pembagian adalah memberikan arah aturan dan penjelasan, maka tidak diragukan lagi, agama Islam memiliki kategori arah pembagian yang dimaksud dan melalui jalan tersebut arah kehidupan menjadi jelas.

Tuhan menyampaikan perintah kepada Nabi dalam firman-Nya: “Katakanlah, inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata. Maha suci Allah dan aku bukan termasuk orang-orang Musyrik”[21]

Al-Quran di dalam ayat lain, menceritakan kalangan yang mengimaninya sebagai petunjuk hidup. Allah Swt berfirman: “...Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Quran yang menakjubkan, yang memberikan petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman padanya. Kami sekali-kali tidak akan memepersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami” [22]

Pandangan yang mengatakan bahwa “agama sebagaimana tali dan tiada berarah, yang dengannya bisa keluar dan masuk ke dalam jurang” sepenuhnya mengalami fallacy. Karena, al-Quran tidak pernah mengibaratkan agama dengan tali. Tetapi al-Quran memperkenalkannya dengan tali Tuhan atau “hablullah”. Dengan jelas, hal tersebut menunjukan posisinya sebagai sumber keselamatan dari jurang, bukan jatuh ke dalamnya. Oleh karena itu, agama adalah bersambungnya sarana untuk menggapai kesempurnaan dan kebahagiaan, serta keluar dari jurang kebodohan.

Al-Quran dalam posisi memuji persatuan kaum muslimin, menggunakan terma hablullah, sebagaimana firman-Nya: “ Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah padamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya padamu, agar kamu mendapat petunjuk.” [23]

Apabila hablullah al-Matin ini dalam kenyatannya merupakan sebuah tali yang tak bertujuan, tanpa nilai dan seni, mengapa al-Quran mendeskripsikannya dengan “fa anqa dzakum minha”, yakni kamu sebelumnya dalam api, kemudian tali ini menyelamatkan kamu dari jilatan api.

Kedua, jika yang dimaksud dengan ideologisasi agama, -sebagaimana yang diyakini oleh beberapa kalangan- bahwa agama hadir dalam domain memiliki arah, dalam bentuk ternafikan kondisi keterikatan darinya dan kemungkinan penyalahgunaannya, dengan tinjauan ini pada dasarnya syarat “takwa” telah terhapus dengan sendirinya. Jika seseorang menginginkan keyakinan langit dan illahi ini ditawarkan dalam suatu format dimana format itu secara otomatis memiliki tujuan serta darinya hanya dapat diaplikasikan dalam satu model, maka di samping tidak mungkin, juga telah menghapuskan syarat taqwa dan iman.

Analisis seperti ini, beranjak dari adanya tumpang tindih antara hidayah takwini dan hidayah tasyri’i. Keberadaan yang tidak memerlukan takwa adalah hidayah takwini, bukan tasyri’i.

Adanya tujuan sesuatu bermakna hidayah takwini, yang jelas menunjukkan bahwa hal ini tidak memerlukan takwa. Sebagai contoh, itik yang lahir dari sebutir telur, kemudian keluar mencari butiran makanan. Hidayah seperti ini tidak diperlukannya sama sekali, kecuali kecenderungan fitri.

Hidayah tasyri’i memerlukan takwa dan takut kepada Tuhan. Karena, ia tidak akan keluar dari area nasehat dan bahasa. Maka, keberadaan manusia tidak secara otomatis ada dengan sendirinya, karena ia tetap memerlukan sebab yang menghentikan dan menggerakannya.

Tujuan agama dengan ketakwaan, secara penuh seiring sejalan. Dengan adanya tujuan di jalan ini, agama menempatkan takwa berupa keadaan takut kepada Tuhan pada posisi sebagai kekuatan internal, yang menyebabkan manusia ditarik menuju arah tertentu, dan menghindar dari penyimpangan ke kiri maupun kanan.


Pendapat Lainnya
Syariat, sesuatu yang ‘diam’ dan ‘bisu’, bermakna bahwa dalam batinnya tidak mudah berada pada setiap orang. Maka tidak setiap orang yang mengkaji Kitab-Nya dan hadis Rasulullah Saw serta para hadis Imam akan memahaminya. Dengan demikian, diperlukan mata dan akal yang jernih terhadap berbagai prinsip dan pertanyaan yang terkait.

Syariat diam dan bisu, namun tidak berarti tanpa kata dan bahasa. Perkataan sendiri ditawarkan kepada yang hadir dan bertanya. Ketika tiada pertanyaan maupun tidak mengetahui apa yang diperlukan, sedikit memperoleh manfaat darinya. Pertanyaan manusia pada setiap zaman senantiasa baru.


Analisis
Pada prinsipnya, perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dari syariah yang diam dan berakal budi. Dari sini, diamnya al-Qur'an dan syariah ditafsirkan ke dalam dua perspektif.

Pertama, para alim yang mumpuni terhadap penguasaan al-Qur'an dan Sunnah. Ketika merujuk pada kedua sumber tersebut, maka apa yang singgah dalam hatinya tidak akan diutarakan. Dengan demikian, mereka akan terdiam untuk menyampaikan risalahnya.

Jika seperti itu, jelas sekali hipotesis ini gugur. Dengan ini, makna dari turunnya al-Qur'an sebagai petunjuk, tidak memiliki manfaat sama sekali dan tertolak dengan sendirinya.

Kedua, Adanya beberapa kalangan yang bukan spesialisasinya, yang tidak menguasai kajian terhadap kitab dan sunnah melakukan penilaian terhadap agama dan syariah dan mengambil manfaat dari keduanya. Mereka, bukan hanya tidak mendapatkan manfaat dari al-Qur'an dan sunnah. Bahkan, al-Qur'an menolak dan menutup jalannya. Karena, tanpa kelayakan dalam kriteria pemahaman agama dan syariah, al-Qur'an dan sunnah tidak mengungkapkan rahasianya sendiri. Dalam makna ini, al-Qur'an diam. Bukan untuk kalangan pertama, tetapi bagi kalangan kedua.

Sejatinya, jika al-Qur'an yang berhadapan dengan kelompok pertama diam, lalu apa makna dari penyataan tersebut.

Dalam al-Quran, Allah Swt berfirman, "... (al-Qur'an) membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab selain itu...”[24]

“Sesungguhnya al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa mereka mendapatkan pahala yang besar”[25]

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur'an sebagai pelajaran, maka adakah orang-orang yang mengambil pelajaran ?”[26]

Nampaknya terjadi kontradiksi antara pemahaman al-Qur'an yang mudah dipahami, dengan pengertian al-Qur'an yang diam.

Al-Qur'an tidak hanya menjadi petunjuk bagi kaum muslimin, tetapi sumber yang merupakan neraca antara hak dan batil bagi kitab terdahulu. Ketika para ulama Yahudi dan Kristen, mengharapkan Taurat dan Injil bebas penyimpangan yang memasukinya. Kedua kitab tersebut, harus dikonfirmasikan dengan al-Qur'an, hingga menemui kebenaran. Maka, jelaslah al-Qur'an tidak hanya untuk kaum muslimin. Bahkan, bagi kaum kafir sekalipun, terdapat pesan di dalamnya.

Jika kita berkaca pada sabda Imam Ali As, sebagai sosok Imam yang berbicara sedangkan al-Qur'an sebagai imam yang diam. Maka, al-Qur'an secara mandiri merupakan peran yang tertulis dalam kertas. Sedangkan para alim sejati dan orang-orang yang mengenal lisan wahyu, mengungkapkannya. Di sini, Imam Ali As dalam salah satu khutbahnya menjelaskan:

Inilah al-Quran yang akan berbicara, selamanya ia sendiri tidak berbicara[27]

Dalam pengadilan, terdapat undang-undang sangat banyak, namun hanya dengan adanya peraturan saja tidak cukup. Tetapi, harus ada hakim yang memutuskannya, hingga aturan tersebut memiliki peran.

Berangkat dari sini, selain al-Qur'an terdapat alim natiq yang menyampaikannya. Hal ini, di luar al-Qur'an yang diam, sehingga tidak cukup diperoleh manfaat darinya.


Pendapat Akhir
Benar kiranya, pandangan yang meyakini bahwa dunia ini dikelola secara rasional oleh orang-orang yang berakal. Dalam realitasnya, hingga saat ini pun demikian. Fiqih program, tidak pernah memperlihatkan hasilnya. Bahkan, program fiqhi hanyalah sebuah kontradiksi yang kontras. Padahal, hanya fiqih yang menjadi wajah paling ril dan dekat hubungannya dengan unsur-unsur agama dalam kehidupan. Dalam hal ini, fiqih merupakan ilmu tentang cabang hukum. Maka jelas sekali, fiqih menjadi penjamin berbagai ketentuan hukum, perintah dan larangan untuk seluruh perilaku sosial maupun individual.

Siapa pun yang menyakini bahwa agama memiliki program untuk kehidupan dunia ini, akan menyandarkannya pada ketentuan fiqih yang berkaitan dengan ekonomi dan politik. Namun, pandangan ini masih bisa diperdebatkan.

Di sini, kita menjadikan fiqih sebagai titik tekan dan analisis, meskipun dalam area akhlak dan akidah tidak demikian.[28]

Pandangan yang meyakini bahwa alam harus diatur dan dikelola secara rasional oleh orang-orang yang berakal, merupakan pendapat yng kuat. Namun, yang menjadi pertanyaan, hal ini berada dalam lingkup hukum dan prinsip aturan yang mana? Di sinilah, kedua kalangan terpisah. Para penganut agama Islam, mengatakan bahwa orang-orang yang berakal, harus menyusun dan merencanakannya berdasarkan prinsip aturan Ilahi.

Jika dikatakan bahwa fiqih hanyalah hukum, bukan program. Nampaknya, hal ini tidak penting. Benar, fiqih merupakan hukum, namun program sebagai jubah implementasinya. Dalam prinsip hukum, fiqih sangat urgen dan kami sudah menyampaikan keberatan dengan adanya pemisahan antara keduanya.


Penantian Agama Terhadap Manusia
Mengikuti alur penjelasan ketiga isu sebelumnya,[29] nampaknya tidak perlu lagi mengupas isu keempat, tentang “Penantian Tuhan terhadap Manusia”. Karena, dengan penjelasan tujuan di utusnya para Nabi, yang hakikatnya berujung simpul pada kebahagiaan dunia dan akhirat, penantian agama terhadap manusia menjadi jelas.

Terma “agama” dalam diskursus yang lalu, kembali pada rahasia pemilik agama itu sendiri, yaitu Tuhan pencipta manusia serta alam semesta. Terminologi “Penantian Tuhan terhadap manusia”, jika memang tepat digunakan, mengandung pengertian bahwa Tuhan mengharapkan manusia menempuh jalan kesempurnaan, melalui jalan tauhid dan manifestasi sifat-sifat-Nya. Dialah Tuhan yang maha mengetahui dan kuasa, maha melihat dan mendengar, maha adil serta bijaksana. Manusia juga menjadi manifestasi sifat-sifat Tuhan tersebut, sesuai dengan kapasitas eksistensi mungkinnya sendiri.

Penantian agama terhadap manusia adalah berbagai upaya menerapkan hukum-hukum Tuhan dalam mencapai kebahagiaan dunia sebagai pengantar menuju kebahagiaan akhirat, mengindahkan tapal batas agama serta tidak memperturutkan hawa nafsu.

Kami akan menuntaskan pembahasan sampai di sini. Barangkali, tema ini dapat dikembangkan hingga persoalan sebenarnya menjadi jelas.



Catatan Kaki:
[1] Doktor Abdullah Nashri merupakan salah seorang penulis mumpuni di Iran, ia menulis sebuah buku dengan tema serupa setebal 303 halaman yang diterbitkan oleh Yayasan Kebudayaan, Ilmu dan Pemikiran kontemporer. Penulis tidak hanya mengutip berbagai gagasan para pemikir, bahkan ia juga melakukan analisis dan kritik terhadap beragam pendapat tersebut.

[2]. Jame'eh Syenâsi Din hal. 205.

[3] A^yandeh Yek Fendâr, hal. 179.

[4] Fard wa Jâme'eh-hâye Imruzi hal. 7-9.

[5] Din Dardân hal 178.

[6] Majalah Naqd wa Nazar, edisi 6, hal 35.

[7] Tafakkur dini dar Qarn-e Bistum, hal 233-249

[8] Qs. Maryam, 19:93

[9] Qs. Al-Mu’minun, 23: 71.

[10] A^gha-ye Muhandes Bazargân

[11] Qs. al-Anfal, 8: 60.

[12] Qs. al-Baqarah, 2: 275.

[13] Qs. al-Baqarah, 2:275.

[14] Muhandes Bazargan, Mazahib dar Eropa Tabriz, Penerbit Soroush, , 1343 Hs: hal 17

[15] Ibid

[16] Ihtiyaj Ruz cetakan ketiga hal. 39-40

[17] ibid

[18] Di antara kebanggaan sejarah yang melekat padanya adalah untuk pertama kalinya pasca peristiwa bulan Syahrivar 1320 Hs, ia mengobarkan semangat keagamaan di kampus.

[19] A^khirat, Khodâ, wa Bi'tsat-e Anbiyâ, hal. 6, 80, 97, 98,102.

[20] Qs. Yunus, 10 :99

[21] Qs. Yusuf, 12:108

[22] Qs. al-Jin, 72:1-2

[23] Qs. ali-Imran, 3:103

[24] Qs. al-Maidah, 5 :48.

[25] Qs.al-Isra, 17 :9.

[26] Qs.al-Qamar, 54 :17.

[27] Nahj al-Balaghah Khutbah 158.

[28] Mudara va Mudiriyat hal. 253

[29] Pertama, Penantian Manusia terhadap agama. Kedua, Agama Mencerahkan Kehidupan. Ketiga, Duta Tuhan ke atas Manusia.

20