AKIDAH SYI'AH

AKIDAH SYI'AH0%

AKIDAH SYI'AH pengarang:
Kategori: Ushuludin
Halaman: 7

AKIDAH SYI'AH

pengarang: AYATULLAH MAKARIM SYIRAZI
Kategori:

Halaman: 7
Pengunjung: 90126
Download: 685

Komentar:

AKIDAH SYI'AH
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 7 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 90126 / Download: 685
Ukuran Ukuran Ukuran
AKIDAH SYI'AH

AKIDAH SYI'AH

pengarang:
Indonesia
PROLOG AKIDAH SYI'AH


PENGARANG: AYATULLAH MAKARIM SYIRAZI

PROLOG

Bismillahirrahmânirrahîm

Maksud dan Tujuan Penulisan Buku
1. Dewasa ini kita tengah menyaksikan perubahan spektakuler yang berasal dari agama samawi terbesar, Islam. Umatnya telah menemukan kembali jatidirinya, setelah cukup lama tersesat dalam ideologi asing yang justeru tidak dapat menyelesaikan persoalan­-persoalan yang mereka hadapi. Tapi kini rnereka telah sadar dan kembali lagi ke Islam urrtuk menemukan solusi atas masalah­-masalah rnereka. Ya, Islam telah lahir kembali pada zaman kita ini.

Bagaimana bisa demikian? Faktor apa yang menyebabkan semua ini? Itu adalah pembahasan tersendiri. Tapi penting untuk kita ketahui bahwa dampak dari perubahan ini sangat terasa di dunia Islam, bahkan di luar dunia Islarn sekalipun. Karenanya banyak pihak yang ingin tahu, apa solusi Islam dan risaah baru apa yang dibawanya untuk masyarakat dunia?

Oleh karena itu, pada situasi yang amat sensitif seperti ini, adalah kewajiban kita untuk menjelaskan Islam apa adanya, tanpa bumbu-bumbu, dan dengan bahasa yang jelas dan mudah dipa­hami oleh umum, sehingga dengan demikian, kita dapat memenuhi kehausan orang-orang yang ingin tahu lebih banyak tentang Islam dan mazhab-rnazhabnya, sementara itu pada saat yang sama, tidak memberikan kesempatan kepada orang luar untuk berbicara dan mengambil keputusan-keputusan atas nama kita.

2. Adalah sesuatu yang tidak dapat diingkari bahwa - seperti juga pada agama-agama lain - terdapat berbagai aliran dalam Islam. Masing-masing memiliki kekhususannya sendiri, baik pada sisi aqidah, keyakinan, maupun pada sisi praktek keagarnaannya. Meskipun demikian, perbedaan-perbedaan antara aliran-aliran Islam itu tidak sampai pada tingkat yang dapat menghalangi mereka untuk melakukan kerjasama yang erat. Apalagi melalui kerjasama ini, mereka dapat memelihara eksistensi mereka dari gempuran gencar Barat dan Timur, dan pada waktu yang sama, tidak memberi peluang kepada musuh bersama mereka untuk menjalankan niat busuknya. Akan tetapi, tentu saja, untuk mewujudkan kerjasarna dan saling pengertian ini, memperkokoh dan mempereratnya, memerlukan pemenuhan beberapa syarat. Antara lain, dan ini yang paling penting, masing-masing aliran hendaknya mengenal aliran lainnya dan kekhususan-kekhususan yang ada padanya dengan baik, karena hanya dengan saling mengenal itulah banyak kesalahpahaman dapat dijernihkan, dan itu berarti membuka jalan bagi kerjasama.

Jalan terbaik untuk saling mengenal ini ialah dengan cara mempelajari ajaran setiap mazhab, baik ushûl maupun furû’, langsung dari ulama-ulama terkemuka mazhab tersebut. Sebab, jika melalui orang-orang yang tidak mengerti atau melalui pihak­pihak yang memusuhi mazhab tersebut, pasti tidak akan mencapai sasaran. Malah dapat merubah sikap saling pengertian menjadi kebencian dan permusuhan.

3. Berdasarkan dua hal di atas, maka kami mencoba menghimpun pokok-pokok ajaran Syi'ah Imamiyah, baik akidah maupun furu’ dan menuangkannya ke dalam buku kecil ini dengan karakteristik sebagai berikut:

1) Padat dan merupakan intisari dari persoalan-persoalan utama sehingga para pembaca tidak perlu repot-repot mencarinya di berbagai buku.

2) Gamblang dan jelas. Bahkan untuk menjaga agar tidak terjadi kekaburan, kami sengaja menghindarkan penggunaan istilah-istilah tehnis yang hanya dipahami kalangan ilmiah dan pusat-pusat kajian agama, hauzah, tanpa sedikitpun mengurangi kedalaman masalah yang dibahas.

3) Sekedar penjelasan ajaran, bukan bersifat argumentatif. Akan tetapi, pada masalah-masalah yang dianggap penting, sesuai dengan kapasitas yang ada pada tulisan padat semacam ini, kami juga menyertakannya dengan dalil-dalil tertentu, baik dari al-­Qur’an, Sunnah, maupun akal.

4) Jauh dari basa-basi, diplomasi, dan vonis awal, sehingga apa yang dikemukakan itulah adanya.

5) Memelihara kesopanan dan etika penulisan terhadap semua mazhab pada semua kajiannya.

Terakhir, kitab kecil ini, dengan karakteristik di atas, disusun pada saat pelaksanaan haji, di mana hati dan jiwa seseorang biasanya lebih bersih dan lebih tulus, kemudian dilan­jutkan dengan diskusi-diskusi mendalam bersama sejumlah ahli, sehingga akhirnya dapat disempurnakan dengan izin Allah SWT. Harapan kami, kiranya maksud dan tujuan seperti yang telah kami utarakan di atas dapat tercapai serta merupakan tabungan kami di akhirat nanti.

رَبَّنّا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِيْ لِلإِيْمَانِ أَنْ آمِنُوْا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَ كَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَ تَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ


Tuhan kami! Kami telah mendengar peryeru yang menyeru kepada keaimanan: "Hendaklah kamu beriman kepada Tuhanmu'; maka kami beriman. Tuhan kami! Ampunilah kami atau dosa-dosa kami, hapuskanlah keburukan-keburukan kami dari diri kami, dan wafatkanlah kami bersama abrâr, orang-orang saleh. (QS, A^li ‘Imrân: 193)

Qum, Muharram 1417 H.

Madrasah al-Imam Amirul Mukminin

Nashir Makarim Syirazi

1
BAB I : MA’RIFATULLAH DAN TAUHID BAB I : MA’RIFATULLAH DAN TAUHID

1. Adanya Yang Mahakuasa Mahatinggi
Syi'ah meyakini bahwa Allan SWT adalah pencipta alam semesta. Keagungan ilmu dan kekuasaan-Nya tampak dengan jelas pada seluruh jagad raya, dalam diri rnanusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, bintang-bintang di langit, alam metafisik nan mahatinggi, dan di mana saja.

Syi'ah meyakini bahwa semakin kita mengamati rahasia alam semesta, maka kita akan semakin rnenyadari kebesaran, keluasan ilmu dan kekuasaan-Nya. Dan, semakin ilmu pengeta­huan manusia berkembang, maka pintu-pintu baru ilmu dan hikmah-Nya semakin terbuka bagi kita sehingga pikiran kita semakin luas. Dengan demikian, kecintaan dan kedekatan kita kepada-Nya semakin bertambah, dan kita akan diliputi oleh cahaya jalâl dan jamâl-Nya.

Allah berfirman: “Dan di bumi ada tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang yakin. Juga di diri kamu sendiri. Apakah kamu tidak melihat”. (QS. Adz-Dzâriyât 20-21)

Allah berfirman: “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan pada pergantian siang dan malam ada tanda-tanda kebesaran Tuhan bagi orang-orang yang berpikir, yaitu orang-orang yang mengingat Allah saat berdiri, duduk, atau berbaring, dan bertafakkur tentang penciptaan langit dan bumi. (Mereka berkata:) “Tuhan kami! Engkau tidak ciptakan ini sia-sia”. (QS. 3:190-191)

2. Sifat Jamal dan Jalal-Nya
Syi'ah meyakini bahwa Allah SWT bersih dari segala cela dan kekurangan. Ia bersifat dengan segala sifat kesempumaan. Bahkan Ia adalah kesempurnaan itu sendiri dan mutlak sempurna, mutlaq al-kamal wa kamal al-rnutlaq. Dengan kata lain, seluruh kesempurnaan dan keindahan yang ada di alam semesta ini berasal dari diri-Nya Yang Mahasuci.

“Dialah Allah, yang tiada Tuhan selain Dia. Mahapenguasa, Mahasuci, Mahasejahtera, Mahapemberi keamanan, Mahpemelihara, Mahaperkasa, Mahakuasa, Mahabesar, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah Yang Mahapencipta, Mahamengadakan, Mahapembentuk, bagi-Nyalah nama-nama yang baik, bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi, dan Dia Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”. (QS. 59:23-24)

3. Dzat Yang Tak Terbatas
Syi'ah meyakini bahwa Allah adalah Dzat Yang Tak Terbatas dari segala sisi: ilmu, kekuasaan, keabadian, dan sebagainya. Oleh karena itu, Dia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, karena keduanya terbaras. Tetapi pada waktu yang sama, hadir di setiap ruang dan waktu karena Dia berada di atas keduanya.

“Dan Dialah yang di langit adalah Tuhan dan di bumi juga Tuhan. Dia Mahbijaksana lagi Mahamengetahui”. (QS. 43:84)

“Dan Dia bersama kamu di mana pun kamu berada, dan Dia Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS.57:4)

Ya, memang Dia lebih dekat kepada kita dari pada kita ke­pada diri kita sendiri. Bahkan Dia ada di dalam diri kita d~ur di mana saja, tapi pada saat yang sama tidak menempati ruang.

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehenya sendiri”. (QS. 50:16)

Dialah Yang Mahapertama dan Mahaterakhir. Yang Mahatampak dan Mahatersemburyi. Dia Mahamengetahui segala sesuatu. (QS.57:3)

Adapun ayat-ayat semacam “Ia adalah pemilik singgasana lagi Mahamulia” (QS. 85:1), ataupun ayat “Tuhan Yang Mahapengasih bersemayam di atas singgasana”[1] (QS. 20:5), ayat-ayat di atas sama sekali tidak menunjukkan bahwa Allah menempati ruangan tertentu, karena maksud dari kata ‘arsy atau singgasana dalam ayat ini bukan dalam pengertian fisik, melainkan bahwa kekuasaan-Nya mencakup alam fisik dan meta-fisik sekaligus. Dalam pada itu, jika kita katakan bahwa Allah menempati ruang, maka sesungguhnya kita telah membatasi-Nya dan memberi-Nya sifat makhluk sehingga tak ubahnya seperti makhluk, padahal Dia adalah “Tida ada sast pun yang serupa dengan-Nya” (QS. 42:11), dan “Tidak satu pun yang menyamai-Nya” (QS. 112:4)

4. Allah Bukan Jasmani dan Tidak Dapat Dilihat
Syi’ah meyakini bahwa Allah Swt tidak dapat dilihat dengan kasat mata, sebab sesuatu yang yang dapat dilihat dengan kasat mata adalah jasmani dan memerlukan ruang, warna, bentuk, dan arah, padahal semua itu adalah sifat-sifat makhluk, sedangkan Allah jauh dari segala sifat-sifat makhluk-Nya. Oleh karena itu, meyakini bahwa Allah dapat dilihat dapat membawa kepada kemusyrikan.

Dia tidak dapat dijangkau oleh penglihatan sedang Dia menjangkau penglihatan, dan Dia Mahahalus lagi Mahatahu. (QS. 6:103)

Dan ketika Bani Israil menuntut Nabi Musa as agar mereka dapat melihat Allah SWT sebagai syarat keimanan mereka dengan mengatakan; “Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah secara langsung” (QS. 2:55), Nabi Musa membawa mereka ke bukit Tur dan menyampaikan permintaan mereka kepada Allah. Tapi malah mendapat jawaban dari Allah: “Sekali-kali engkau tidak akan melihat-Ku. Tapi lihatlah gunung itu. Jika ia masih berada di tempatnya maka engkau akan melihat-Ku. Maka tatkala Tuhannya bertajalli; menampakkan diri; bagi gunung itu, gunung itu hancur lebur dan Musa jatuh pingsan. Ketika ia siuman, ia berkata: "Mahasuci Engkau. Aku kembali pada-Mu, dan aku orang pertama yang beriman”. (QS.7:143)

Ini menunjukkan bahwa Allah mutlak tidak dapat dilihat.

Adapun adanya beberapa ayat atau pun riwayat yang menengarai adanya kemungkinan melihat Allah, maka yang dimaksud bukan rnelihat-Nya secara kasat mata, tapi melalui penglihatan batin atau mata hati, sebab al-Quran tidak saling bertentangan, tapi justeru saling rnenafsirkan, al-Qurn yufassiru ba'dhuhu ba'dhan.[2]

Karena itu, ketika seseorang bertanya kepada Amirul Mukminin Ali Ibn Abi Thalib: "Apakah engkau pernah melihat Tuhanmu?" Amirul Mukminin menjawab, "Bagaimana aku bisa menyem­bah Tuhan yang tidak kulihat?" Tapi buru-bur Amirul Mukminin menyempurnakan kalimatnya, "Tapi Dia tidak dapat dilihat oleh mata. Dia hanya dapat dijangkau oleh kekuatan hati yang penuh dengan iman". (Nahjul Balaghah, Khutbah 179)

Syi'ah meyakini bahwa memberikan sifat-sifat makhluk kepada Allah seperti ruang, arah, fisik, atau dapat dilihat akan membuat seseorang tidak dapat mengenal Allah dan dapat rnem­bawa kepada kemusyrikan

Mahasuci Allah dari sifat-sifat makhluk. Sesungguhnya Ia tidak serupa dengan apa pun.

5. Tauhid Adalah Jiwa Ajaran Islam
Syi'ah meyakini bahwa di antara persoalan-persoalan paling penting dalam kaitannya dengan ma'rifUtulhah atau menge­nal Allah ialah pengetahuan akan tauhid dan keesaaan Tuhan. Tauhid tidak hanya merupakan salah satu prinsip agama, tapi ia adalah ruh dan jiwa seluruh ajaran Islam, baik pokok-pokok ajarannya (ushuluddin) maupun cabang-cabangnya (furu’) meng­kristal dalam tauhid. Seluruhnya dikaitkan dengan tauhid dan keesaan. Keesaan Dzat Yang Mahasuci, keesaan sifat-sifat dan perbuatan-Nya, bahkan keesaam (baca: kesatuan) misi para nabi, agama Ilahi, kiblat, kitab, hukurn, dan peraturan hukum bagi seluruh umat manusia. Demikian pula persatuan Muslimin dan satunya hari kebangkitan.

Oleh karena itulah, maka setiap penyimpangan dari tauhid dan kecondongan ke syirk dianggap oleh al-Quran sebagai dosa yang tak terampuni. “Sesungguhrrya Allah tidak mengampuni jika Dia disekutukan, tapi mengarrpuni selain itu, bagi yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa meryekutukan Allah sungguh telah melakukan dasa besar. (QS. 4:48) Dan “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-­orang sebelummu bahwa jika engkau menyekutukan Tuhan niscaya amalmu akan terhapus dan masuk dalam golongan orang-orang rugi”. (QS. 39:65)

6. Sub-Tauhid
Syi'ah meyakini bahwa tauhid memiliki balgian-bagian, antara lain empat hal berikut:

1) Tauhid Dzat.

Yaitu bahwa Dzat Allah itu esa. Tidak ada yang serupa dengan-Nya. Tidak ada tandingan dan tidak ada yang menyamai-­Nya.

2) Tauhid Sifat.

Yaitu bahwa sifat-sifat seperti ilmu, kuasa, keabadian dan sebagainya rnenyatu dalam Dzat-Nya, bahkan adalah Dzat-Nya sendiri. Sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat-sifat makhluk, yang masing-masing berdiri sendiri dan terpisah dari yang lainnya.

Hanya saja, untuk menyelami hakikat kesatuan Dzat dan sifat-sifat-Nya ini menuntut kejelian dan kedalaman berpikir.

3) Tauhid Afal atau Perbuatan

Yaitu bahwa segala perbuatan, gerak, dan wujud apapun pada alam semesta ini bersumber dari keinginan dan kehendak-­Nya.

Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu”. (QS. 39:62)

Dia memiliki kunci-kunci langit dan bumi. (QS. 42:12)

Memang tidak ada yang menentukan dalam wujud, alam semesta ini, kecuali Allah. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa kita terpaksa dalam perbuatan-perbuatan kita (determinis). Sama sekali tidak. Kita justru bebas memilih dan memngambil keputusan.

Sesungguhnrya Kami telah memberikan petunjuk kepada manusia. Ada yang bersyukur dan ada pula yang ingkar. (QS. 76:3)

Sesungguhnya munusia tidak rrrendapatkan apa-apa kecuali apa yang telah diusahakannya. (QS. 53:39)

Kedua ayat di atas dengan tegas rnenjelaskan bahwa manusia bebas dalam kehendaknya (free will). Akan tetapi, karena kebebasan dan kemampuan kita untuk mengerjakan sesuatu datangnya dari Allah, maka perbuatan-perbuatan kita disandarkan kepada Allah, namun tanpa sedikitpun mengurangi tanggung­jawab kita terhadapnya.

Tuhan memang yang telah menghendaki kita bebas dalam perbuatan-perbuatan kita, karena Dia ingin menguji dan memba­wa kita ke jalan kesempurnaan. Sebab manusia tidak akan men­capai kesempurnaan kecuali dengan kebebasan berkehendak ~'ree will) dan mengikuti jalan kebenaran melalui pilihannya sendiri; itu karena perbuatan yang dipaksakan dan di luar kemauan sese­orang tidak menggarnbarkan apakah ia baik atau buruk.

Jika kita terpaksa dalam perbuatan-perbuatan kita, maka tidak ada artinya pengutusan para nabi, turunnya kitab-kitab samawi, ajaran agama, pengajaran, pendidikan, dan sebagainya. Demikian pula tidak ada artinya pahala dan azab Tuhan.

Inilah yang diajarkan madrasah Ahlubait bahwa tidak jabr (mutlah terpaksa) dan ridak pula tafwidh (bebas mutlak), tapi di antara keduanya.

Sesungguhnya tidak jabr dan tidak pula tafwidh, tapi di antara keduanya (Ushul al-Kafi, I, hal.160)

4) Tauhid Ibadah:

Yaitu bahwa ibadah hanya ditujukan kepada Allah SWT semata dan tidak ada yang patut disembah kecuali Allah SWT. Sub Tauhid Ibadah ini adalah sub tauhid yang paling utama dan yang paling rnendapat perhatian para Nabi.

Sesungguhnya mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah, semata-mata taat kepada-Nya, hanif, lurus dan bersih, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus. (QS. 98:5)

Dan tauhid seseorang akan semakin dalam jika ia menempuh tahapan-tahapan perjalanan kesempurnaan akhlak dan irfan sehingga ia akan mencapai suatu kedudukan atau maqam di mana hatinya hanya terpaut pada Allah swt semata, selalu mencari-Nya kapan dan di manapun, tidak memikirkan apa-apa keduali Dia, dan selalu sibuk dengan-Nya.

“Segala sesuatu yang membuatmu lupa kepada Allah ia adalah berhalamu”.

Syi'ah meyakini bahwa sub-sub tauhid tidak hanya terba­tas pada empat sub yang kami sebutkan di atas, tapi masih ada sub-sub lainnya, seperti tauhid kepemilikan (tauhid milkiyyah).

Apayang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah. (QS. 2: 284) dan tauhid keputusan, tauhid hakimiyyah,

Barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang telah diturunkan Allah, maka sesunguhnya mereka adalah orang-orang kafir (QS. 5:44)

7. Mukjizat Para Nabi Seizin Allah
Syi’ah meyakini bahwa melalui tauhid af’al, tauhid perbuatan, akan semakin menegaskan kebenaran bahwa mukjizat para nabi dan peristiwa-peristiwa luara biasa di alam terjadi karena izin Allah Swt, sebagaimana dilansir al-Quran dalam kisah Isa as:

Dan engkau menyembuhkan penderita butasejak lahir dan penderita belang dengan izin-Ku, dan ingatlah ketika engkau menghdiupkan orang mati. (QS. 5:110)

Atau kisah salah seorang menteri Nabi Sulaiman,

Berkatalah orang yang memiliki ilmu dari al-Kitab, “Aku akan mendatangkannya kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihatnya sudah berada di hadapannya, ia berkata, “Ini merupakan karunia Tuhanku”. (QS. 27:40)

Dengan demikian, menisbahkan penyembuhan penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau menghidupkan orang mati kepada Nabi Isa as, dengan izin Allah, tidak bertentangan dengan tauhid, bahkan itulah tauhid itu sendiri.

8. Malaikat
Syi'ah meyakini bahwa malaikat itu ada dan masing-­masing menerima tugas khusus. Ada yang bertugas menyampai­kan wahyu kepada para nabi, mencatat amal perbuatan manusia, mencabut nyawa, membantu orang-orang beriman yang istiqamah, membantu kaum mukminin yang berada di medan perang, meng­hukum para pembangkang, dan sebagainya yang berhubungan dengan alam semesta ini. Adanya tugas-tugas malaikat itu sama sekali tidak menyalahi prinsip tauhid perbuatan, tauhid af’al, atau tauhid pemeliharaan, tarhid rububi. Malah sebaliknya, justru men­dukung tauhid, karena semuanya dengm izin Allah, kekuatan­-Nya, dan atas perintah-Nya.

Dari sini dapat kita lihat bahwa adanya syafaat para nabi, imam, dan malaikat sama sekali tidak bertentangan dengan tauhid, bahkan adalah tauhid itu sendiri, sebab terjadi seizin-Nya.

Tidak ada yang memberi syafaat kecuali setelah mendapat izin-Nya. (QS. 10: 3)

Penjelasan lebih luas tentang masalah ini dan masalah tawassul akan kami uraikan pada pembahasan kenabian.

9. Ibadah Hanya untuk Dia
Syi'ah meyakini bahwa ibadah hanya untuk Allah SWT semata, sebagaimana telah kami singgung dalam pembahasan Tauhid Ibadah. Oleh karena itu, barangsiapa menyembah selain Allah, dia adalah musyrik.

Inilah pula misi para nabi, sebagaimana banyak dikutip al-­Quran dari lisan para nabi.

Sembahlah Allah semata. Kamu tidak mempunyai Tuhan selain Dia. (QS. 7:59, 65, 73, 85)

Menarik bahwa dalam shalat-shalat kita, ketika membaca surah al-Fatihah, kita selalu mengulang-ulangi perinsip ini melalui ayat:

Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu pula kami memohon pertolongan. (QS. 1:5)

Dengan demikian, jelas bahwa meyakini adanya syafaat para nabi dan para malaikat atas izin Allah, sebagaimana disebut­kan dalam al-Quran, bukan merupakan perbuatan menyembah atau beribadah kepada mereka. Sama sekali tidak. Demikian pula bertawassul kepada para nabi, sama sekali tidak dapat digolongkan sebagai ibadah kepada mereka, dan sama sekali tidak bertentangan dengan tauhid perbuatan atau tauhid ibadah, sebab yang dilakukan hanyalah meminta kepada mereka agar memohon kepada Allah supaya mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Pembahasan me­ngenai ini akan diuraikan pada kajian Nubuwah.

10. Dzat Tuhan Tidak Dapat Dijangkau
Syi'ah meyakini bahwa betapapun jejak-jejak wujud Tuhan begitu banyaknya di alam semesta ini, namun tidak seorang pun yang mengetahui hakikat Allah sebenarnya atau dapat men­jangkau-Nya, sebab dzat Tuhan tak terbatas, sedangkan kita, dari sisi apa pun, terbatas dan berujung. Oleh karena itu, kita tidak dapat menjangkau-Nya, tapi Dia menjangkau segala sesuatu.

Ketahuilah! Sesungguhnya Dia menjangkau segala sesuatu. (QS. 41:54)

Dan Sesungguhnya Allah menjangkau mereka semua. (QS. 85:20)

Dalam sebuah hadis Nabi bahkan disebutkan,

Kami tidak menyembah-Mu sebenar-benarnya penyembahan dan tidak pula mengetahui-Mu sebenar-benanya pengetahuan. (Bihar al­Anwar, 68:23)

Namun ini ridak berarti bahwa ketika kita tidak dapat mengetahui hakikat Allah secara detail, berarti kita juga tidak dapat mengetahui hakikat-Nya secara umum, ilm ijmali, sehingga kita harus meninggalkan upaya kita untuk rnengenal-Nya dan cukup puas dengan melafalkan lafal-lafal yang kita sendiri tidak memahaminya. Sama sekali tidak demikian, karena hal ini dapat menghambat kita untuk mengenal Allah, sesuatu yang tidak dapat diterima oleh Syi'ah dan tidak pula diyakini, karena al-Quran dan kitab-kitab suci lainnya justeru turun untuk memperkenalkan Allah, sehingga kita dapat mengenal-Nya.

Dalam hal ini, banyak hal vang dapat dijadikan contoh, misalnya ruh. Kita tidak mengetahui apa hakikat ruh sebenarnya, tapi kita mengetahui secara umum bahwa ruh itu ada dan kita melihat tanda-tandanya.

Imam Muhammad Al-Baqir dalam salah satu haditsnya mengatakan:

Setiap kali kamu menggambarkan Tuhan dengan pikiranmu yang paling dalam sekalipun, tetap saja itu adalah makhluk dan ciptaan seperti kamu, yang dikembalikan kepadamu. (Bihar al-Anwar, 66:293)

Dalam hadits lain, dengan redaksi yang sangat indah dan jelas, Imam `Ali as telah menjelaskan cara mengenal Allah. Imam berkata:

Allah tidak memberitahu akal bagaimana cara menjangkau sifat-­sifat-Nya, tapi pada saat yang sama tidak menghalangi akal untuk mengetahui-Nya. (Nahjul-balaghah: khutbah 49)

11. Tidak Ta'thil dan Tidak Pula Tasybih
Syi'ah meyakini bahwa ta'til ma'rifatullah atau anggapan tidak ada jalan untuk mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya adalah pendirian yang keliru. Demikian pula tasybih atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Bahkan tasybih adalah perbuatan yang sesat dan syirik. Dengan kata lain, kita tidak dapat mengatakan bahwa Allah SWT sama sekali tidak dapat diketahui dan jalan untuk mengenal-Nya tertutup. Demikian pula kita tidak dapat menga­takan bahwa Allah mempunyai keserupaan dengan mahkluk-Nya. Kedua jalan pikiran ini berlebih-lebihan, ifrath dan tafrith.

[1] Berdasarkan beberapa ayatal-Quran dapat dipahami bahwa “Kursi”-Nya meliputi alam materi. Firman Allah, “Kursi-Nya mencakup langit dan bumi”. (QS. 2:225)

[2] Ungkapan di atas sangat populer dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Sementar itu, dalam kitab Nahjul Balaghah diriwayatkan pula dari Amirul Mukminin as dengan redaksi yang berbeda, yaitu “Sesungguhnya al-Quran, satu sama lainnya saling membenarkan”.

2
BAB II : KENABIAN BAB II : KENABIAN


12. Falsafah Pengutusan Nabi
Syi'ah meyakini bahwa tujuan Allah mengutus para nabi dan rasul ialah untuk membimbing umat manusia dan menuntun mereka mencapai kesempurnaan hakiki dan kebahagiaan abadi. Seandainya para nabi itu tidak diutus maka tujuan penciptaan manusia tidak akan tercapai dan manusia akan tenggelam dalam kesesatan.

(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa kabar gembira dan peringatan supaya manusia tidak punya alasan (atas penyimpangan-penyimpangannya) terhadap Allah sesudah diutusnya para rasul (QS. 4:165)

Syi'ah meyakini bahwa di antara para rasul itu ada "ulul-azmi" atau lima rasul pembawa syariat dan kitab suci yang baru, yaitu, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan terakhir Nabi Muhammad saw.

Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian daripara nabi dan dari darimu serta Nuh, Ihrahim, Musa, dan Isa putra Maryam. Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang berat. (QS. 33:7)

Bersabarlah sebagaimana para rasul ului-azni bersabar. (QS. 46:35)

Syi'ah meyakini bahwa Nabi Muhammad saw adalah nabi terakhir dan penutup para rasul. Tidak ada nabi atau rasul sesudahnya. Syanatnya ditujukan kepada seluruh umat manusia dan akan tetap eksis sampai akhir zaman, Dalam arti bahwa universalitas ajaran dan hukum Islam marnpu menjawab kebutuhan manusia sepanjang zaman, baik jasmani maupun rohani. Kemudian, siapa pun yang mengklaim dirinya sebagai nabi atau membawa risalah baru sesudah Nabi Muhammad saw, sesat dan tidak dapat diterima.

Muhammad bukan bapak siapa pun di antara kamu. Tapi ia adalah utwan Allah dan penutup para nabi. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui segala sesuatu. (QS. 33:40)

13. Hidup Rukun dengan Pemeluk Agama Samawi Lain
Betapa pun Syi'ah menganggap bahwa Islam adalah satu-satunya agama resrni Ilahi saat ini, tetapi Syi'ah meyakini bahwa wajib hukumnya hidup rukun dan damai dengan perneluk agama samawi lain, apakah mereka hidup di negeri Islam atau di tempat lain, kecuali jika mereka memerangi Islam.

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangimu dalam agama dan tidak mengusirmu dan negerimu. Sesungguhhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. 60:8)

Syi'ah meyakini bahwa melalui kajian-kajian rasional, Islam dapat dijelaskan dengan baik kepada seluruh dunia; dan melalui daya tarik Islam yang luar biasa, Syi'ah percaya bahwa jika Islam dijelaskan dengan baik, maka banyak pihak yang akan cenderung ke Islam, lebih-lebih dewasa ini, dimana banyak pihak yang tertarik pada Islam.

Oleh karena itu Syi'ah meyakini bahwa Islam tidak dapat didakwahkan secara paksa.

Tidak ada pemaksaan dalam beragama. Sesungguhnya telah jelas mana yang benar dan mana yang salah.(QS. 2:256)

Pada saat yang sama Syi'ah juga meyakini bahwa kepatuhan kaum Muslimin kepada ajarannya merupakan cara lain untuk menjelaskan Islam, sebagaimana sabda Imam Ja'far as:

Jadilah pendakwah-pendakwah tidak dengan lidahmu.

Dengan demikian tidak periu kekerasan atau pemaksaan.

14. Kemaksuman Para Nabi
Syi'ah meyakini bahwa semua nabi maksum, yakni terpelihara dan perbuatan salah, keliru, dan dosa sepanjang hidup mereka, baik sebelum masa kenabian maupun sesudahnya. Sebab jika seorang nabi melakukan kesalahan atau dosa, maka kepercayaan yang diperlukannya untuk posisi kenabian dengan sendirinya sirna dan orang tidak mempercayainya lagi sebagai penghubung mereka dengan Tuhan. Orang-orang juga tidak akanlagi menganggapnya sebagai panutan hidup mereka.

Oleh karena itu Syi'ah meyakmi bahwa adanya sejumlah ayat yang mengesankan seolah-olah sejumlah nabi pernah berbuat dosa sama sekali tidak dapat difahami dalam pengertian telah betul-betul melakukan perbuatan dosa. Tidak demikian maksud ayat-ayat tersebut. Tapi semacam tark al-awla atau perbuatan meninggalkan yang utama. Maksudnya, di antara dua perbuatan baik, nabi bersangkutan justru memilih yang manfaatnya lebih sedikit, padahal ia lebih pantas memilih yang lebih utama. Atau dengan kata lain, termasuk dalam kategori:

Perbuatan bcak untuk maqam abrar, orang-orang baik, adalah buruk untuk maqam muqarrabin, orang-orang dekat.

Karenanya setiap orang dituntut melakukan perbuatan sesuai dengan maqamnya.

15. Para Nabi Adalah Hamba-hamba Allah
Syi'ah meyakini bahwa keagungan para nabi dan rasul terletak pada keberadaan mereka sebagai hamba-hamba yang taat kepada Allah. Oleh karena itu, dalam shalat-shalat kita, kita selalu mengulang-ulangi ikrar bahwa Nabi Muhmamad saw adalah hamba Allah dan utusan-Nya:

Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.

Kami meyakini bahwa tidak seorang nabi pun yang pernah mengaku sebagai tuhan atau mengajak orang lainmenyembah dirinya.

Tidak patut bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya kitab, hikmah, dan kenabian, lalu berkata kepada orang-orang: "Jadilah hamba-hambaku, bukan Allah. (QS. 3:79)

Termasuk Nabi Isa as. la tidak pernah mengajak orang agar menyembah dirinya. Malah selalu menyatakan dirinya adalah hamba dan utusan Tuhan.

Isa al-Masih tidak pernah enggan untuk menjadi hamba Allah. Demikian pula para malaikat muqarrabin, yang amat dekat dengan Allah. (QS. 4:172)

Adapun masalah trinitas, yaitu kepercayaan adanya tiga tuhan, sejarah modern Nasrani sendiri membukukan bahwa hal itu tidak pernah ada pada abad pertama Masehi, tapi baru muncul sesudah itu.

16. Mukjizat dan Pengetahuan Ghaib
Status para nabi sebagai hamba-hamba Alah tidak menghalangi mereka untuk mengetahui perkara-perkara masa lalu, sekarang, dan atau yang akan datang, dengan izin Allah.

Allah Mahamengetahui yang ghaib. Dia tidak akan memberitahukan rahasia keghaiban-Nya kepada siapa pun kecuali kepada rasul yang dipilihnya. (QS. 72:26-27)

Kita mengetahui bahwa di antara mukjizat Nabi Isa as ialah mengungkapkan hal-hal yang tersembunyi:

Dan aku beritahukan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. (QS. 3:49)

Demikian juga Rasulullah saw. labanyak menginformasikan berita-berita ghaib melalui wahyu Allah:

Itu adalah berita-berita ghaib yang Kami wahyukan kepadamu. (QS. 12:102)

Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menolak bahwa para nabi dapat menginformasikan hal-hal ghaib yang diperolehnya dari wahyu dan dengan izin Allah Swt. Adapun adanya ayat yang menyatakan bahwa Rasulullah saw tidak memiliki pengetahuan ghaib, yaitu ayat:

Dan aku tidak mengetahui yang ghaib dan tidak pula mengatakan bahwa aku adalah malaikat. (QS. 6:50)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa pada dasamya Rasulullah saw memang tidak memiliki pengetahuan ghaib. Tetapi tidak berarti bahwa dia tidak memperolehnya dan Allah Swt. Karena ayat-ayat al-Quran saling menafsirkan satu sama lainnya.

Syi'ah meyakini bahwa para nabi mampu mengerjakan perkara-perkara luar biasa serta mukjizat-mukjizat besar dengan izin Allah Swt. Keyakinan ini sama sekali tidak syirik dan tidak pula bertentangan dengan status kehambaan para nabi itu. Nabi Isa as misalnya, sebagaimana diungkapkan dalam al-Quran, dengan tegas mengatakan bahwa atas izin Allah ia telah menghidupkan orang mati dan menyembuhkan penyakit kusta dan belang.

Dan aku menyembuhkan penyakit kusta dan belang dan aku menghidupkan orang mati, dengan izin Allah. (QS. 3:49)

17. Maqam Syafaat Para Nabi
Syi'ah meyakini bahwa para nabi, apalagi Nabi Muhammad saw, memiliki kewenangan memberi syafaat. Mereka akan memberi syafaat kepada golongan pendosa tertentu, tentu setelah memperoleh izin dari Allah Swt.

Tidak ada pemberi syafaat kecuali setelah mendapat izin-Nya. (QS. 10:3)

Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa seizin-Nya (QS. 2:255)

Dengan demikian, jika di beberapa ayat al-Quran terkesan ada penafian syafaat secara mutlak seperti ayat:

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dan rezeki yang telah Kami berikan kepada kamu sebelum datang hari yang ketika itu tidak ada lagi jual beli, tidak ada persahabatan yang akrab, dan tidak ada syafaat; dan orang-orang kafir itulah yang orang-orang yang zaim." (QS. 2:254)

Yang dimaksud bukan syafaat sebagaimana yang kita jelaskan di atas, tapi syafaat yang bersifat independen dan tanpa izin Allah, atau syafaat orang-orang yang belum mencapai tingkat kewenangan memberi syafaat. karena seperti yang kita tegaskan berkali-kali, ayat-ayat Al-Quran saling menjelaskan satu sama lain.

Syi'ah menyakini bahwa syafaatt adalah sarana yang sangat penting bagi pendidikan dan pengembalian orang-orang yang tergelincir ke jalan yang lurus, memotivasi mereka kepada kesucian dan takwa, serta menghidupkan kembali harapan di hati mereka, sebab syafaat bukan perkara tanpa aturan. Ia hanya diberikan kepada orang-orang yang memenuhi syarat untuk menerimanya, yaitu para pendosa yang dosa-dosanya tidak membuatnya putus hubungan dengan para pemberi syafaat. Dengan demikian, syafaat merupakan peringatan kepada orang-orang yang tergelincir agar tidak menutup jalan dan tetap memberikan ruang untuk kembali ke jalan yang benar agar tidak kehilangan kesempatan mendapatkan syafaat.

18. Tawassul
Syi'ah meyakini bahwa masalah tawassul serupa dengan masalah syafaat, yaitu bahwa orang-orang yang menghadapi berbagai problema, apakah problema duniawi atau ruhani, dapat bertawassul atau meminta kepada Allah melalui para kekasih-Nya agar problema yang mereka hadapi, dengan izin-Nya, dapat diatasi. Dengan kata lain, dan satu sisi, ia memohon langsung kepada Allah, tapi dari sisi lain, menjadikan para kekasih-Nya sebagai perantaranya.

Dan seandainya ketika mereka menzalimi diri mereka (berbuat dosa) datang kepadamu, lalu minta ampun kepada Allah dan dimintakan ampun oleh Rasul, tentulah mereka akan dapati Allah Mahapengampun lagi Mahapengasih." (QS. 4:64)

Dalam kisah Nabi Yusuf, kita melihat betapa saudara-saudara Yusuf as meminta ayahnya, Nabi Ya'qub as, bersedia menjadi perantara mereka kepada Allah seraya berkata:

Ayah, mohonkan ampunan buat kami atas dosa-dosa kami. Kami adalah orang-orang yang bersalah" (QS. 12:97)

Dan Nabi Ya'kub as pun menerima permintaan mereka dan bersedia menjadi perantara dengan mengatakan:

Aku akan mohonkan ampun buat kamu kepada Tuhanku." (QS. 12:98)

Ini adalah bukti bahwa tawassul dilakukan oleh umat terdahulu. Tapi harus diingat bahwa tawassul tidak boleh melewati atas yang diizinkan, yaitu dengan menganggap para kekasih Allah itu dapat melakukan sesuatu tanpa izin Allah, karena perbuatan demikian dapat membawa kepada kemusyrikan. Demikian pula tidak boleh dilakukan dalam bentuk ibadah kepada para kekasih Allah itu, karena perbuatan demikian syirik dan kafir; karena para kekasih Allah itu tidak dapat mendatangkan kebaikan atau keburukan tanpa izin Allah.

Katakanlah aku tidak dapat mendatangkan suatu manfaat buat diriku dan tidak pula dapat mencegah suatu mudharat dari diriku, kecuali yang dikehendaki Allah. (QS. 7:188)

Namun harus diakui terdapat sikap berlebih-lebihan pada sebagian kalangan awam di semua aliran Islam sehingga kita harus selalu membimbing dan menuntun mereka.

19. Kesatuan Da'wah Para Nabi
Syi'ah meyakini bahwa semua nabi mempunyai tujuan yang sama, yaitu membawa manusia kepada kebahagiaan yang hakiki melalui iman kepada Allah dan hari akhir, pengajaran dan pendidikan agama yang benar serta memperkokoh prinsip-prinsip akhlak. Oleh karena itu, kami menghormati semua nabi, seperti yang diajarkan al-Quran kepada kita:

Kami tidak membeda-bedakan seorang pun sesama utusan-Nya" (QS. 2:285)

Namun demikian, agama-agama samawi itu berkembang secara bertahap, seiring dengan kesiapan manusia menerima ajaran-ajaran Tuhan. Semakin ke sini semakm sempurna dan semakin dalam, hingga tiba giliran agama Islam yang merupakan agama terakhir dan tersempurna.

Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Aku cukupkan kepada kamu nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagi Kamu. (QS.5:3)

20. Pemberitaan Nabi-Nabi Terdahulu
Kami meyakini bahwa banyak di antara para nabi terdahulu telah mengabarkan kedatangan nabi-nabi sesudahnya. Misalnya, Nabi Musa as dan Isa as telah mengabarkan kedatangan Nabi Muhammad saw. Bahkan buku-buku mereka masih merekam hal itu hingga saat ini. Al-Quran sendiri berkata:

Mereka yang mengikuti nabi yang ummi. (QS. 7:157)

Oleh karena itu, sejarah mencatat bahwa sebelum agama Islam lahir, banyak warga Yahudi yang sengaja datang ke kota Madinah untuk berjumpa dengan Nabi Muhammad saw, karena kitab-kitab mereka mengabarkan bahwa dari kota inilah akan muncul seorang nabi yang membawa agama baru. Tapi ketika nabi yang mereka harap-harapkan itu betul-betul datang, sebagian mereka beriman kepadanya, tapi sebagian lain mengingkarinya karena kepentingan mereka terancam.

21. Para Nabi dan Perbaikan Keadaan Hidup
Syi'ah meyakini bahwa agama-agama samawi yang diturunkan kepada para nabi, terutama agama Islam, tidak hanya datang untuk memperbaiki kehidupan individu atau terbatas pada masalah-masalah maknawiyah dan akhiak saja, tapi sekaligus untuk rnemperbaiki dan menyempurnakan seluruh aspek kehidupan sosial. Bahkan banyak di antara pranata ilmu dan pengetahuan moderen yang sangat dibutuhkan oleh kehidupan dewasa ini justeru di.peroleh dari para nabi, sebagaimana yang diisyaratkan al-Quran pada beberapa ayatnya.

Syi'ah juga meyakini bahwa di antara tujuan utama para nabi ialah tegaknya keadilan sosial dalam masyarakat manusia.

Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang jelas dan Kami turunkan bersama mereka al-kitab dan al-mizan agar mereka dapat menegakkan keadilan dalam mayarakat. (QS. 57:25)

22. Menolak Rasialisme
Syi'ah meyakini bahwa para nabi, terutarna nabi terakhir, Muharnmad saw, menolak dengan keras segala bentuk rasialisme, apakah berdasarkan darah atau warna kulit. Dalam pandangan para nabi itu, semua umat manusia, dari suku, bahasa, dan ras apapun adalah sama. Al-Quran menyeru semua kelompok manusia dengan firman-Nya:

Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu hersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal. Sesungsuhnya orang yang paling mulia di sisi Aliah adalah yang paling bertaqwa. (QS. 49: 13)

Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa ketika Nabi saw berada di Mina, saat menunaikan ibadah haji, la berseru kepada orang-orang yang berkumpul di sekelilingnya:

Hai sekalian manusial Sesungguhnya Tuhan kamu satu dan nenek moyang kamu juga satu. Ketahuilah! Tidak ada kelebihan bangsa Arab atas Ajam atau Ajam atas Arab. Tidak ada kelebihan berkulit hitam atas berkulit merah atau berkulit merah atas berkulit hitam. Mereka semua sama, kecuali dengan taqwa. Nabi berkata: "Bukankah telah kusampaikan?" Mereka menjawab: "Ya". Nabi kemudian melanjutkan: ''Pesan ini harus disampaikan oleh orang-orang yang hadir di sini kepada mereka yang tidak hadir. (Tafsir al Qurtubi, 9 : h 162)

23. Islam dan Fitrah Manusia
Syi'ah meyakini bahwa secara fitrah, di dasar hati yang paling dalam, setiap manusia memiliki bibit-bibit keimanan kepada Allah, tauhid, dan pokok-pokok ajaran para nabi. Para nabi kemudian menyirami bibit-bibit yang ada itu dengan air wahyu Ilahi dan menjauhkannya dari hama-hama kemusyirkari dan penyimpangan.

la merupakan fitrah Allah yang telah difitrahkannya pada manusia. Sesungguhnya tidak dda perubahan pada dptaan Allah. Dan itu adalah agama yang lurus, tapi sebagian besar manusia tidak mengetahui. (QS. 30:30)

Oleh karena itu, agama selalu menyertai manusia sepanjang sejarah. Ada pun sikap tidak beragama praktis sangat jarang terjadi dan merupakan pengecualian, demikian tegas sejarawan. Terbukti bahwa bangsa-bangsa yang mendapat tekanan propaganda gencar agar meninggalkan agama, begitu mendapatkan kebebasan, segera kembali ke agamanya.

Tapi kita juga tidak dapat mengingkari bahwa rendahnya tingkat intelektualitas pada banyak umat terdahulu menyebabkan tercampurnya pemikiran keagamaan mereka dengan khurafat; dan para nabi berperan besar menghilangkan khurafat-khurafat itu dari kehidupan beragama mereka.

3
BAB III : AL-QURAN DAN KITAB-KITAB SAMAWI BAB III : AL-QURAN DAN KITAB-KITAB SAMAWI


24. Falsafah Turunnya Kitab Samawi
Syi'ah meyakini bahwa Allah Swt telah menurunkan sejumlah kitab samawi untuk menuntun umat manusia ke jalan yang lurus, antara lain: Sahifab Ibrahim dan Nuh, Taurat, Injil, dan al-Quran, yang merupakan kitab paiing sempurna. Jika kitab-kitab ini tidak turun, maka manusia akan tersesat dalam perjalanannya menuju ma'rifatullah dan dalam beribadah kepada-Nya. Manusia juga akan kehilangan dasar-dasar taqwa, akhlak, pendidikan, dan aturan-aturan sosial yang dibutuhkannya.

Kitab-kitab samawi ini menyirami rohani manusia bagaikan hujan yang mengguyur bumi dan menumbuhkan di dalamnya bibit-bibit taqwa, akhlak, ma'rifatullah, pengetahuan, dan al-hikmah.

Rasul beriman atas apa yang telah diturunkan Tuhannya kepadanya. Demikian pula orang-orang beriman. Mereka semuanya beriman pada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan para utusan-Nya. (QS. 2:285)

Tapi sayang, banyak di antara kitab-kitab samawi itu, telah diselewengkan oleh tangan-tangan jahil dan orang-orang bodoh serta disusupi pikiran-pikiran yang menyesatkan, kecuali al-Quran, yang oleh sebab-sebab yang akan kami jelaskan nanti pada tempatnya tidak dapat diyangkau oleh tangan-tangan kotor untuk diselewengkan. Al-Quran laksana matahari yang memancarkan cahaya sepanyang zaman menerangi hati manusia.

Telah datang dari sisi Allah kepada kamu cahaya dan kitab yang jelas. Melaluinya, Allah memberi petunjuk jalan-jalan keselamatan kepada orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya. (QS.5:15-16)

25. Al-Quran Mukjizat Terbesar
Syi'ah meyakini bahwa al-Quran adalah mukjizat utarna Nabi Mijhammad saw. Tapi bukan hanya dan sisi kefasihan, keanggian bahasa, keindahan keterangan-keterangannya, dan kesempurnaan maknanya semata, melainkan juga mencakup aspek-aspek lainnya. Untuk mengetahui hal ini lebih jauh silahkan baca buku-buku aqidah dan ilmu kalam.

Karena itu Syi'ah meyakini bahwa tidak seorang pun dapat membuat kitab seperti al-Quran atau bahkan sebuat surat sekalipun. Al-Quran men.antang siapa saja, bahkan secara berulang-ulang, agar mereka membuat seperti al-Quran. Tapi tidak seorang pun yang mampu memenuhi tantangan ini.

Katakanlah, seandainya manusia dan jin bekerjasama untuk membuat yang seperti al-Quran, niscaya mereka takkan dapat membuat Yang sepertirya, sekalipun mereka sa!ing mendukung satu sama lainnya. (QS. 17:88)

Dan jika kamu ragu tantang apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami, maka buatlah sebuah surah yang seperti al-Quran dan ajaklah orang-orangmu, selain Allah, untuk membantumu, jika memang kamu benar. (QS. 2:23)

Syi'ah meyakini bahwa al-Quran tidak akan surut dengan berlalunya zaman. Malah kemukjizatannya semakin berkibar dan keagungannya semakin tampak.

Dalam sebuah hadis dari Imam Ja'far Shadiq as dikatakan bahwa:

Sesungguhnya Allah swt tidak menjadikan al-Quran hanya untuk suatu masa atau suatu kelompok manusia saja. Tapi ia aktual untuk setiap zaman dan cocok untuk setiap masyarakat hingga hari kiamat. (Bihar al-Anwar, 2:280, hadis no: 44)

26. Al-Quran Tidak Mengalami Perubahan
Syi'ah meyakini bahwa al-Quran yang ada di tangan kaum Muslimin saat ini adalah al-Quran yang sama dengan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, tanpa sedikitpun mengalami penambahan atau pengurangan.

Para penulis wahyu telah membukukan al-Quran sejak hari-hari pertama turunnya wahyu. Kaum Muslimin senantiasa membacanya siang dan malam dan pada saat melakukan shalat limawaktu. Banyak di antara mereka yang hafal al-Quran di luar kepala. Dalam hal ini, para penghapal dan pembaca al-Quran memperoleh kedudukan khusus dalam masyarakat muslim. Banyak hal menyebabkan al-Quran terpelihara dari penyimpangan dan perubahan, di samping itu, Allah sendiri telah menjamin akan menjaganya sampai kapanpun. Oleh karena itu, al-Quran tidak akan mengalami penyimpangan atau perubahan.

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Quran dan Kami pula yang akan memeliharanya. (QS. 15:9)

Para pakar dan ulama-ulama terkemuka Islam, baik Sunni maupun Syi'ah, sepakat bahwa al-Quran terpelihara dengan baik dan tidak mengalami sedikitpun perubahan atau tahrif. Kalau toh ada yang berpandangan bahwa telah terjadi tahrif, baik dan pihak Syi'ah atau Sunni, itu hanya oleh segelintir orang, yang nota bene hanya bersandarkan kepada beberapa riwayat, yang oleh ulama kedua belah pihak telah dinyatakan palsu, maudhu', dan ditolak mentah-mentah, atau dipahami dalam arti perubahan yang bersifat maknawi, al-tahrif al-maknawi, yang berarti telah terjadi penyimpangan terhadap makna ayat al-Quran, bukan redaksinya. Atau paling tidak, telah terjadi pencampuradukan antara tafsir ayat di satu pihak dan teks asli al-Quran di pihak lain.

Dengan demikian, orang-orang yang berpikiran sempit, yang senantiasa menuding Syi'ah atau Sunni telah meyakini tahrif, padahal ulama-ulama terkemuka kedua aliran ini telah menolak mentah-mentah adanya tahrif itu. Sesungguhnya di satu sisi, dengan bodoh telah menohok al-Quran, dan di sisi lain, telah membuat celah untuk mempertanyakan keabsahan kitab samawi nan agung ini. Selain itu, telah memberikan pengabdian besar kepada musuh dan orang-orang yang mengincar Islam.

Selain itu, rnengarnati perjalanan sejarah pembukuan al-Quran, jam'ul-qur’an, sejak zarnan Nabi saw dan perhatian besar yang diberikan kaum Muslimin untuk menulis al-Quran, menghafalnya, dan membacanya, serta adanya penulis-penulis wahyu sejak hari-hari pertama turunnya al-Quran, mengungkapkan kepada kita suatu kebenaran yang tidak dapat diingkari bahwa tangan-tangan jahil tidak akan mampu menjamah al-Quran untuk melakukan tahrif sampai kapanpun.

Dalam pada itu Syi'ah tidak mempunyai al-Quran lain selain yang beredar luas di tangan kaum Muslimin. Untuk menelusuri hal ini, bukanlah sesuatu yang sulit. Rumah-rumah kami, masjid, perpustakaan, dan sebagainya penuh dengan al-Quran. Bahkan berbagai musium malah menyimpan manuskrip-manuskrip al-Quran kuno yang berumur ratusan tahun. Semuanya sama, sedikitpun tidak ada perbedaan. Dan jika dulu penelusuran ini dirasa sulit, tapi masa kita sekarang ini, sama sekali tidak ada kesulitannya, bahkan setiap orang bisa melakukannya dengan baik dan ia akan sampai pada kesimpulan bahwa tudingan-tudingan itu semuanya palsu.

Maka berilah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan kemudian mengikuti apa yang terbaik daripadanya.(QS. 39:17-18)

Dewasa ini, institusi-institusi pendidikan agama kami, Hauzah, aktif mengkaji ilmu-ilmu al-Quran secara luas, yang salah satu kajian pentingnya ialah kajian tentang tidak adanya tahrif dalam al-Quran.

27. Al-Quran dan Kebutuhan Materi Rohani Manusia
Syi'ah meyakini bahwa segala kebutuhan manusia, apakah materi atau rohani, prinsip-prinsip dasarnya telah dijelaskan oleh al-Quran. Al-Quran telah menjelaskan pokok-pokok pikiran tentang pohtik dan pemerintahan, hubungan antar masyarakat prinsip-prinsip pergaulan, perang, damai, hukum, ekonomi, dan sebagainya, yang jika diterapkan pasti akan membawa kesejahteraan dalam kehidupan manusia.

Dan Sesungsnhnya Kami telah turunkan al-Quran sebagai penjelasan bagi segala sesuatu, petunjuk, rahmat, dan pembawa kabar gembira bagi orang-orang Islam. fQS. 16: 89)

Karena itu Syi'ah yakin bahwa Islam selamanya tidak dapat dipisahkan dari masalah pemerintahan dan politik. Bahkan menyeru pemeluknya agar memegang kendali urusan mereka sendiri supaya dapat menghidupkan nilai-nilai Islam yang tinggi dan mendirikan masyarakat yang Islami, yang menegakkan keadilan sejati, terhadap kawan maupun lawan.

Hai orang-orang yang beriman, jadilah penegak-penegak keadilan dan saksi-saksi untuk Allah walaupun atas dirimu sendiri, kedua orang tua, atau keluarga dekat. (QS. 4: 135)

Dan jangan sekali-sekali kebencianmu kepada suatu kaum mmdorongmu untuk tidak berlaku adil. Berlakulah adil, sesungguhnya keadilan itu lebih dekat kepada taqwa. (QS. 5:8)

28. Membaca, Mengkaji, dan Mengamalkan
Syi'ah meyakini bahwa membaca al-Quran merupakan salah satu ibadah yang paling utama di antara ibadah-ibadah lainnya, karena membaca al-Quran dapat membantu pembacanya melakukan telaah dan kajian terhadap al-Quran. Sedangkan telaah dan kajian itu sendiri merupakan sumber amal saleh. Allah menyeru nabi-Nya:

Bangunlah pada malam hari kecuali sedikit, yaitu separuhnya atau kurangi sedikit, atau tambahkan sedikit, dan bacalah al-Quran secara tartil. (QS. 73:2-4)

Dan menyeru seluruh kaum Muslimin:

Bacalah apa wng mudah dari al-Quran. (QS. 73:20)

Akan terapi, seperti vang telah kami singgung di atas, bacaan tersebut harus dapat mengantarkannya melakukan telaah dan kajian terhadap al-Quran, baik terhadap makna maupun kandungannya, kemudian menjadikannya mukaddimah bagi pengamalannya.

Apakah mereka tidak menelaah al-Quran? Ataukah hati mereka terkunci? (QS. 47: 24)

Dan Kami telah permudah Al-Quran untuk pelajaran, maka apakah ada yang mau mmgambil pelajaran? (QS. 54:17)

Dan adalah kitab yang Kami turunkan, penuh berkah, maka ikutilah ia. (QS. 6: 155)

Maka, orang-orang yang membatasi diri pada bacaan dan hafalan saja dan tidak mengikutinya dengan perngkajian dan pengamalannya suungguh rugi besar, karena betapa pun ia telah mengamalkan salah satu di antara tiga rukun utama, tetaapi sesungguhnya ia telah menyia-nyiakan dua rukun lainnya yang lebih utama.

29. Pembahasan Menyimpang
Syi'ah meyakini bahwa ada tangan-tangan jahat yang berusaha mengalihkan kaum Muslimin dari melakukan kajian terhadap ayat-ayat al-Quran dan pengamalannva. Pada masa Umayyah dan Abbasiyyah misalnya, tangan-tangan itu menyibukkan kaum Muslimin dengan isu keqadiman dan kebaharuan al-Quran sehingga membuat umat Islam pecah menjadi dua kelompok yang saling berseteru, yaitu antara pendukung keqadiman al-Quran dan pendukung kebaharuannya, hingga jatuh korban besar di kedua belah pihak.[1] Padahal perdebatan masalah ini sama sekali tidak didasarkan pada prinsip yang benar, yang berhak mendapatkan perhatian sebesar itu, sampai pertengkaran segala, karena jika yang dimaksud dengan kalam Allah adalah huruf-huruf dan lembaran-lembaran kertasnya, maka sudah pasti ia adalah baharu, tetapi jika yang dimaksud adalah ilmu Allah, maka ia qadim sebagaimana Dzat-Nya. Namun para penguasa dan khalifah-khalifah tiran pada masa itu terus membesar-besarkan rnasalah ini sehingga kaum Muslimin terlena selama bertahun-tahun, dan tangan-tangan jahat itu, sampai saat ini pun, terus berusaha dengan berbagai cara mengalihkan kaum Muslimin dari pengkajian al-Quran dan pengamalannya.

30. Kaidah Penafsiran al-Quran
Syi'ah meyakini bahwa ayat-ayat al-Quran harus difahami sesuai pengertian umum dan makna harfiyah yang dikandungnya, kecuali jika ada indikasi rasional, qarinah aqliyah, atau tertulis, qarinah naqliyah, di dalam atau di luar ayat, yang menunjukkan makna lain. Akan tetapi qarinab atau indikasi yang dimaksud tidak boleh bersifat meragukan atau masykukah. Demikian pula tidak boleh menafsirkan al-Quran hanya berdasarkan asumsi dan perkiraan.

Sebagai contoh, kita yakin bahwa maksud kata al-'ama atau buta dalam ayat, Barangsiapa buta di dunia akan buta pula di akhirat, (QS. 17:72), sudah pasti bukan dalam arti buta fisik, sebagaimana makna harfiyah, karena banyak sekali orang buta, tapi baik dan salih. Dengan demikian, maksud buta pada ayat di atas ialah buta hati atau nurani. Mengapa kita tafsirkan seperti itu? Karena demikianlah indikasi rasional atau qarinah aqliyahnya.

Demikian pula ketika al-Quran menggambarkan sekelompok musuh Islam sebagai:

Tuli, bisu, buta. Sesungguhnya mereka tidak berakal (QS. 2:171)

Jelas sekali bahwa yang dimaksud al-Quran dengan sifat-sifat tersebut di atas bukan sifat-sifat fisik, tapi sifat-sifat batin. Pemahaman seperti ini berdasarkan qarinah yang ada.

Demikian pula ketika Allah berfirman, Tetapi kedua tangan-Nya terbentang. (QS. 5:64), atau, Dan buatlah kapal dengan mata Kami. (QS. 11:37), sama sekali tidak dapat dipahami dalam arti mata atau tangan fisik, karena setiap fisik mempunyai bagian-bagian dan memerlukan ruang, waktu, dan arah sehingga ia akan punah, sedangkan Allah mustahil demikian. Kalau begitu, maka makna yang paling tepat untuk kata "kedua tangan-Nya" pada ayat di atas ialah kekuasaan-Nya yang besar, di mana semua alam tunduk pada-Nya. Sedangkan makna "mata", ialah pengetahuan-Nya terhadap segala sesuatu.

Oleh karena itu Syi'ah tidak dapat membenarkan sikap Jumud atau kaku terhadap kalimat-kalimat di atas, baik yang menyangkut sifat-sifat Allah atau bukan, demikian pula sikap tidak mengindahkan qarinah aqliyah dan naqliyah, karena patuh kepada qarinah merupakan sikap para uqala', orang-orang berakal, bahkan al-Quran pun menganut sikap ini, seperti vang ditegaskan-Nya:

Kami tidak mengirim seorang rasul kecuali dengan bahasa kaumnya. (QS. 14:4)

Hanya saja perlu diingat bahwa qarinah yang dimaksud harus jelas dan pasti, seperti yang telah kami singgung sebelum ini.

31. Bahaya Tafsir bi al-Ra'yi
Syi'ah percaya bahwa tafsir bi al-ra'yi atau menafsirkan al-Quran berdasarkan pandangan sendiri merupakan salah satu hal yang paling riskan terhadap al-Quran. Hadis-hadis menggolongkannya sebagai salah satu dosa besar, kabirah, sedangkan pelakunya diusir dari hadirat Allah Swt. Misalnya dalam sebuah hadis qudsi disebutkan bahwa Allah Swt berfirman:

Tidaklah beriman kepada-Ku orang yang menafsirkan ucapan-Ku dengan pandangannya sendiri. (Wasail, 28:18, hadis no. 22)

Ini amat jelas karena seorang mukmin yang baik tidak akan menafsirkan ucapan Allah semaunya. Dalam hadis lain, yang banyak dimuat oleh kitab-kitab utama hadis seperti Turmuzi, Nasai, Abu Daud, dan sebagainya disebutkan bahwa:

Barangsiapa mengatakan sesuatu pada Al-Quran dengan pandangannya sendiri atau dengan sesuatu yang ia tidak ketahui, maka tempatnya adalah neraka. (Mabahits fi Ulumil-quran : 304)

Adapun yang dimaksud dengan tafsir bi al-ra'y atau menafsirkan al-Quran dengan pandangannya sendiri lalah menafsirkan al-Quran semaunya, sesuai kepentingan dirinya atau kepentingan kelompoknya, tanpa disertai qariah atau bukti yang menyertai makna ayat itu. Penafsir seperti ini pada dasarnya bukan mengikuti al-Quran, tapi bermaksud agar al-Quran mengikutinya. Dan tentu saja, orang yang memiliki iman yang utuh kepada al-Quran tidak akan melakukan hal ini.

Selain itu, jika pintu tafsir bi al-ra'yi ini dibuka, maka al-Quran akan kehilangan jati dirinya, sebab setiap orang akan menafsirkannya semaunya dan menerapkan al-Quran atas berbagai aqidah yang menyimpang.

Dengan demikian, tafsir bi al-ra'yi ialah penafsiran yang menyimpang dari kaidah bahasa, sastra, dan pemahaman pemilik bahasa, serta menerapkan al-Quran atas pandangan-pandangan yang sesat, kemauan-kemauan pribadi dan kelompok, sesuatu yang dapat mengakibatkan penyimpangan makna al-Quran.

Masih terdapat beberapa bentuk tafsir bi al-ra'yi. Salah satunya ialah memilih ayat-ayat yang sesuai dengan pandangannya saja. Misalnya, ketika ia menjelaskan masalah syafaat, tauhid, imamah, dan sebagainya, maka ia hanya memilih ayat-ayat terkait yang sesuai dengan pandangannya saja dan meninggalkan ayat-ayat lain yang tidak sesuai dengan pandangannya, yang justeru dapat berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat lain.

Singkat kata, jumud atau kaku terhadap ayat-ayat al-Quran dan tidak mengindahkan qarinah aqliyah dan naqliyah yang benar merupakan bagian dari penyimpangan terhadap al-Quran. Demikian pula tafsir bi al-ra'yi. Keduanya membuat kita jauh dan ajaran dan nilai-nilai al-Quran yang amat tinggi.

32. Sunnah Yang Diilhami Al-Quran
Syi'ah meyakini bahwa seseorang tidak dapat mengatakan, kafana kitabullah, cukup bagi kami kitab Allah saja, dan bersikap masa bodoh kepada hadis Nabi yang berfungsi menafsirkan kebenaran-kebenaran al-Quran, menjelaskan nasikh dan mansukb, khas dan 'am, serta menerangkan pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, karena, ayat-ayat al-Quran sendiri menjadikan sunnah Nabi dan sirahnya sebagai hujjab bagi Muslimin dan sumber utama untuk memahami agama dan menyimpulkan hukum, istinbath al-ahkam.

Dan apa yang dibawa oleh Rasul kepadamu terimalah, dan apa yang dicegahnya jauhilah. (QS. 59:7)

Tidak ada hak bagi seorang mukmin, laki maupun perempuan, jika Allah dan rasul-Nya memutuskan suatu perkara mengambil pilihan lain dari urusan mereka. Maka barangsiapa menentang Allah dan rasul-Nya sungguh telah sesat sesesat-sesatnya. (QS. 33:36)

Maka, orang yang tidak peduli kepada al-Sunnah sesungguhnya telah memalingkan diri dari al-Quran.Tentu saja al-Sunnah harus diambil dari jalur-jalur yang benar, muktabarah, karena tidak semua yang dikatakan dari Nabi adalah betul-betul dari Nabi, karena banyak yang berbohong atas nama Nabi saw. Imam 'Ali as dalam salah satu khutbahnya mengungkapkan: ... (Bagian ini tidak tercetak dalam buku!)

Kedua, pernyataan para imam Ahlulbait as bahwa semua ucapan mereka adalah hadis Nabi saw dan apa pun yang mereka ucapkan sesungguhnya sampai kepada mereka dan orang tua mereka hingga ke Nabi saw.

Ya, Rasulullah saw memang mengetahui masa depan umatnya dan problema-problema yang akan menghadang mereka. Karena itu, ia memberikan jalan keluar kepada mereka yang tercermin dalam mengikuti al-Quran dan imam-imam Ahlulbait as.

Jika demikian, apakah pada tempatnya mengacuhkan hadis penting ini dan menganggapnya sebagai angin lalu? Karena itu, kami percaya bahwa jika persoalan ini mendapat perhatian lebih besar, maka sebagian problema yang dihadapi kaum Muslimin dewasa ini, yakni dalam masalah aqidah, tafsir, dan fiqh tidak akan pernah muncul.

[1] Pada beberpa buku sejarah disebutkan bahwa Khalifah Ma'mun dengan bantuan salah seorang qhodinya menetapkan bahwa siapa yang percaya bahwa al-Quran bukan makhluk dicopot dari jabatan dan kesaksiannya tidak dapat diterima. (Lihat Tarikh ]ami'il- Qur'an, h. 260)


4
BAB IV : HARI AKHIR DAN KEHIDUPAN SESUDAH KEMATIAN BAB IV : HARI AKHIR DAN KEHIDUPAN SESUDAH KEMATIAN


33. Tidak Ada Arti Kehidupan Tanpa Hari Akhir
Syi’ah meyakini bahwa suatu hari nanti seluruh umat manusia akan dibangkitkan dari kubur dan dilakukan hisab atau evaluasi atas perbuatan-perbuatan mereka di dunia. Yang berbuat baik akan mendapatkan sorga, sementara yang berbuat keburukan dicernplun.gkan ke nereka.

Allah, tiada Tuhari selain-Nya. Ia pasti akan mengumpulkan kamu pada hari kiamat yang tidak dapat diragukan kedatangannya. (QS. 4:87)

Adapnn orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan duniawi, neraka adalah tempat tingga/nya, sedangkan yang takut pada kebesaran Tuharinya dan mencegah dirinya dari mengikuti hawa nafsu, sorga adalah tempat tinggalnya. (QS. 79:37-41)

Syi’ah meyakini bahwa dunia ini adalah jembatan yang harus dilewati oleh manusia untuk sampai ke tempatnya yang abadi. Atau dengan kata lain, dunia adalah sekolah, pasar, atau ladang bagi hari akhir. Iniam ‘Ali as berkata tentang dunia:

Sesungguhnya dunia adalah kampung kebenaran bagi yang benar dalamnya..., kampung kekayaan bagi yang membekali dirinya, kampung belajar bagi yang mengambil pelajaran, masjid kekasih Allah, mushalla para malaikat Allah, tempat turunnya wahyu, dan tempat berniaganya kekasih-kekasih Allah. (Nahjul-balaghah, mutiara-mutiara pendek no. 131)

34. Bukti-bukti Hari Akhir Nyata
Syi’ah meyakini bahwa bukti-bukti tentang hari akhir sangat jelas. Itu karena:

Pertama,kehidupan dunia tidak mungkin merupakan tujuan akhir penciptaan manusia, karena apalah artinya kehidupan jika ia hariya datang untuk beberapa saat, bahkan hariis menghadapi berbagai macam persoalan yang menghadangnya, kemudian mati dan berakhirlah segala sesuatu? Tidak mungkin.

Apakah kamu mengira bahwa Kami ciptakan kamu sia-sia dan kamu tidak kembali kepada Kami? (QS. 23:115)

Pada ayat ini ada isyarat bahwa kehidupan dunia akan menjadi sia-sia jika tanpa hari akhir.

Kedua,keadilan Ilahi menuntut pemisahari orang-orang saleh dari orang-orang bejat, supaya masing-masing mendapat ganjaran yang setinipal.

Apakah orang-orang yang berbuat maksiat mengira bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang berinian dan berbuat baik, sama antara hidup dan mati mereka? Sungguh buruk kesinipulan mereka. (QS. 45:21)

Ketiga, Kasih sayang Allah Swt yang luas menuntut tidak terputusnya kucuran anugrah-Nya dan kontinuitas proses kesempumaan manusia, al-takamul al-basyari, bagi orang-orang yang siap dan pantas mendapatkannya.

Dan telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang. Dia pasti akan mengumpulkan kamu pada hari kiamat yang tidak dapat diragukan lagi kedatangannya. (QS. 6:12)

Al-Quran berbicara kepada orang-orang yang meragukan hari akhir:

Mereka berkata: "Apabila kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang haricur, apakah kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk baru?" Katakan: "Jadilah batu, besi, atau makhluk lain yang kamu anggap tidak mnngkin." Maka mereka akan berkata: "Siapakah yang menghidupkan kami?" Katakan: "Dialah Jang telah menciptkan kamu pada kali pertama. (QS. 17:49-51)

Maka, apakah Kami letih dengan penciptaan pertama? Sungguh mereka dalam keraguan tentang penciptaan baru. (QS. 50:15)

Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami tapi lupa dengan penciptaannya sendiri dan berkata: "Siapakah yang dabat menghidupkan tulung-tulang yang telah kancur-lebur ini?" Katakan: Yang pertama kali menciptakannya, Dialah yang akan menhidupkannya". Sungguh Dia Maha Mengetahui tentang ciptaan-Nya. (QS 36:78-70)

Selain itu, penciptaan manusia bukan sesuatu yang sulit bila dibandingkan dengan penciptaaan langit dan bumi. Tuhari yang mampu menciptakan alam luas ini, yang mengandung aneka keajaiban dan kelebihari tentu saja mampu menghidupkan orang mati.

Apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Dia tidak merasa payah karena menciptakannya kuasa menghidupkan orang mati. Ya, sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. 46:33)

35. Kebangkitan Jasmani
Syi’ah meyakini bahwa tubuh dan jiwa atau ruh manusia bersama-sama akan dibangkitkan di akhirat dan bersama-sama pula akan menempuh kehidupan baru, sebab keduanya telah bersama-sama hidup di dunia. Karena itu bersama-sama pula harus menerinia balasan yang setinipal, pahala atau hukuman.

Di samping itu, sebagian besar ayat-ayat al-Quran yang berbicara mengenai kebangkitan justru mengisyaratkan tentang kebangkitan jasmani, seperti jawaban al-Quran atas kebingungan orang-orang yang menentang kebangkjtan jasmani, yang mempertanyakan bagainiana tulang-tulang yang telah haricur dapat kembali hidup, bahwa:

Katakanlah, yang menghidupkannya adalah yang pertama kali menciptakannya. (QS. 36:79)

Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan tulang belulangnya? Tentu Kami bisa, dan Kami kuasa mengumpulkan jarijemarinya dengan sempuma. (QS. 75:3-4)

Ayat-ayat di atas dan yang sejenisnya dengan jelas menunjukkan adanya kebangkitan jasmani. Demikian pula ayat-ayat yang berbicara mengenai kebangkitan dari kubur. Ya, rnemang sebagian besar ayat-ayat yang berbicara mengenai hari kebangkitan menegaskan adanya kebangkitan jasmani dan ruharii.

36. Alam Sesudah Mati
Syi’ah meyakini bahwa apa yang ada di dunia sana, alam sesudah mati, kiamat, sorga, dan neraka jauh dari apa yang kita ketahui di kehidupan dunia yang terbatas ini.

Tidak seorang pun mengetahui sesuatu yang menyenangkan pandangan mata yang disembunyikan bagi mereka sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan. (QS. 32:17)

Dalam hadis qudsi disebutkan bahwa Allah Swt berfirman:

Kupersiapkan bagi hamba-hamba-Ku yang salih sesuatu yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didingar oleh telinga, dan belum pernah terbersit dalam hati seseorang.[1]

Kehidupan kita di dunia ini, bila dibandingkan dengan kehidupan di akhirat, ibarat kehidupan janin dalam rahini ibunya, yaitu serba terbatas dan tidak dapat menangkap apa yang ada di luar. Janin tidak mengetahui apa itu matahari, bulan, udara, bunga, deburan ombak di laut, dan sebagainya, meskipun si janin anggaplah memiliki akal dan kecerdasan. Demikian pula kita, bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat.

37. Hari Kebangkitan dan Amal Ibadah
Syi’ah meyakini bahwa pada hari kiamat nanti setiap orang akan menerinia buku catatan amalnya. Orang saleh akan menerinianya dengan tangan kanannya, sementara orang fasik akan menerinia dengan tangan kirinya.

Ada pun orang yang menerinia kitabnya dengan tangan kanannya, maka ia berkata "Bacalah kitabku. Aku yakin akan sampai pada hisab amalku." Ia berada dalam kehidupan yang diridhai, dalam sorga yang tinggi, yang buah-buaharinya amat dekat dengannya. (QS. 69:19-23)

Sementara orang yang menerinia kitabnya dengan tangan kirinya berkata: "Wahai, alangkah baiknya jika aku tidak menerinia kitabku dan tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. (QS. 69:25-26)

Akan tetapi, bagainiana bentuk buku catatan itu dan bagainiana ia ditulis, yang data-datanya tidak dapat diingkari oleh siapa pun adalah sesuatu yang tidak jelas buat kita. Seperti yang sudah kita singgung, hari kebangkitan mengandung banyak misteri yang ddak dapat dijangkau oleh manusia. Hariya saja kita tidak dapat mengingkari keberadaannya.

38. Kesaksian di Hari Kiamat
Syi’ah meyakini bahwa Allah Swt menyaksikan semua perbuatan kita. Demikian pula halnya dengan tangan, kaki, kulit, bumi yang kita huni, dan sebagainya adalah saksi-saksi lain di luar Allah Swt.

Hari ini Kami tutup mulut mereka sementara tangan-tangan mereka berbicara kepada Kami dan kaki-kaki mereka bersaksi atas apa yang mereka perbuat. (QS. 36:65)

Dan mereka berkata kepada kulit-kulit mereka: "Mengapa kalian bersaksi atas kami?" Kulit-kulit itu berkata: "Allah yang telah membuat segala sesuatu berbicara, Dialah yang telah membuat kami berbicara. (QS. 41:21)

Hari itu bumi menceritakan berita-beritanya karena Tuhanmu telah memerintahkannya. (QS.99:4-5)

39. Siratal Mustaqini dan Tinibangan Amal
Syi’ah meyakini bahwa di akhirat nanti akan ada tinibangan amal dan jembatan siratal-mustaqini, yaitu jembatan yang terbentang di atas neraka, yang akan dilalui oleh setiap orang. Jalan ke sorga pun harus dengan melintas di atas neraka.

Setiap kamu pasti akan mendatangi neraka. Bagi Tuhanmu hal itu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami menyelamatkan orang-orang yang taqwa dan membiarkan orang-orang yang tersungkur di dalamnya. (QS. 19:71-72)

Akan tetapi untuk mampu melewati jalan yang berbahaya ini tergantung pada amal perbuatan manusia itu sendiri, sebagainiana ujar sebuah hadis:

Di antara mereka ada yang berjalan seperti kilat. Di antara mereka ada yang berjalan seperti larinya kuda. Di antara mereka ada yang berjalan merangkak. Di antara mereka ada yang berjalan kaki. Di antara mereka ada yang berjalan bergantung, kadang disambar api dan kadang lepas dari sambaran api.[2]

Sedang yang disebut tinibangan itu, sebagainiana namanya, ialah alat untuk meninibang amal manusia. Pada hari itu, semua amal manusia akan ditinibang dan dihisab satu persatu;

Dan Kami akan memasang tinibangan yang akurat pada hari kiamat. Tidak seorangpun akan dirugikan. Dan meskipun seberat biji sawi, Kami tetap akan memberikan ganjaran padanya. Cukuplah Kami sebagai penghitung. (QS. 21:47)

Adapun orang yang tinibangannya berat, maka ia akan berada dalam kehidupan yang menyenangkan. Tetapi orang yang tinibangannya ringan, maka tempatnya adalah neraka. (QS. 101:6-9)

Ya, Syi’ah meyakini bahwa keselamatan manusia pada hari itu tergantung amalnya. Khayalan dan angan-angannya sama sekali tidak dapat menyelamatkannya dari panasnya api neraka. Ia hariya dapat berharap dari ketaqwaan dan kesucian dirinya.

Tiap orang bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. (QS. 74:38)

Demikianlah penjelasan singkat mengenai siratal-mustaqini dan tinibangan amal. Adapun rinciannya, kita sama sekali tidak mengetahuinya, karena alam akhirat jauh lebih tinggi dan lebih luas dari alam dunia kita. Karena itu adalah sangat sulit bahkan mustahil bagi kita untuk dapat memahami permasalahan yang berkaitan dengan alam itu.

40. Syafaat di Hari Kiamat
Syi’ah meyakini bahwa para nabi, iniam maksum, dan wali-wali Allah akan memberi syafaat kepada sebagian pendosa dengan izin Allah, sebagai bagian dari pemberian maaf Allah kepada hamba-hamba-Nya. Akan tetapi jangan lupa bahwa izin itu hariya diberikan kepada orang-orang yang tidak memutus hubungan dengan Allah dan para kekasih-Nya. Dengan demikian, syafaat tidak berlaku mudak, tapi dengan syarat-syarat tertentu, yang ada hubunganya dengan amal dan niat kata.

Mereka tidak akan memberikan syafaat kecuali terhadap orang yang diridhai Allah (QS21:28)

Syafaat, seperti yang pernah kita singgung, adalah sebuah metoda pendidikan dan alat untuk mencegah seseorang bergeliniang dalam dosa serta putus hubungan dengan para kekasih Allah, sekaligus mendorongnya meninggalkan perbuatan dosa dan kembali kepada Allah.

Tidak dapat diragukan baliwa maqam syafaat agung adalah untuk Rasulullah saw; baru kemudian para nabi, iniam-iniam yang suci, para ulama, syuhada, mukminin, bahkan Quran, dan amal salih.

Diriwayatkan dari Iniam Shadiq:

Tidak seorangpun, baik dari generasi awwalin, orang-orang pertama, maupun generasi akhirin, orang-orang kemudian, kecuali memerlukan syafaat Nabi Muhammad saw pada hari akhir. (Bihar al-Anwar, VIII: 42)

Dalam riwayat lain dari Nabi saw:

Pemberi syafaat ada linia kelompok, yaitu Quran, kasih sayang, amanah, nabi kamu, dan Ahlubait nabiniu. (Kanzul-ummalYN :390,hadis 39-41)

Pada hadis lain dari Iniarn Shadiq:

Jika hari kiamat tiba, Allah bangkitkan orang berilmu, ulama, dan ahli ibadah (al-dbid). Ketika keduanya bersinipuh di hadapan Allah, kepada al-abid dikatakan: ''Masuklah ke sorga'', sementara itu kepada ulama dikatakan: "Berdirilah di sini dan berikan syafaat kepada orang-orang karena baiknya pengajaranmu kepada mereka. (Bihar al-Anwar, VIII :56, hadis 66)

Dalam hadis ini terkandung filsafat syafaat yang menarik.

41. Alam Barzakh
Syi’ah meyakini bahwa di antara alam dunia dan alam akhirat ada alam ketiga yang disebut dengan alam barzakh, yaitu alam di mana ruh manusia bersemayam di sana sesudah kematian hingga datang hari kiamat.

Dan di belakang mereka ada alam barzikh sampai hari mereka dibangkitkan. (QS. 23:100)

Tetapi pengetahuan kita tentang alam ini sebetulnya tidak banyak, kecuali bahwa arwah orang-orang salih akan bersemayam di tempat yang mulia dan mendapat nikmat yang berlinipah.

Jangan kamu kira orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, tapi sesungguhnya mereka hidup di sisi tuhan mereka dan mendapat rezeki. (QS. 3:169)

Sementara arwah orang-orang yang zalini, para tiran, dan pendukung-pendukungnya akan tersiksa, sebagainiana yang dinyatakan Allah tentang Fira'un dan keluarganya.

Kepada mereka ditayangkan neraka pagi dan petang, dan pada saat datangnya hari kiamat (ia berkata): "Masukkan keluarga Firaun dalam siksa yang paling berat. (QS. 40:46)

Selain kedua kelompok di atas, ada kelompok lain yang tidak termasuk salah satu dari keduanya, yaitu mereka yang dosa-dosanya tidak sebesar kelompok kedua. Mereka tidak mendapat siksaan, tapi juga tidak memperoleh kenikmatan. Mereka seakan tidur dan baru bangun ketika kiamat tiba.

Dan pada saat datangya hari kiamat, orang-orang berdosa bersumpah bahwa mereka tidak tinggal dalam kubur kecuali sebentar. (QS. 30:55)

Dan orang-orang yang diberi ilmu dan inian berkata (kepada para pendosa): "Kamu telah tingga! (di dalam kubur) atas ketetapan Allah hingsa hari kebangkitan. Dan ini adalah hari kebangkitan, tapi kamu tidak tahu. (QS. 30:56)

Dalam sebuah hadis Nabi saw disebutkan:

Kuburan itu boleh jadi merupakan taman dari taman-taman sorga atau lubang dari lubang-lubang api neraka.[3]

42. Balasan Spritual dan Material
Syi’ah meyakini bahwa pembalasan di hari kiamat mencakup dua sisi, material dan spiritual. Karena kebangkitan mengandung sisi material dan spiritual.

Ada pun yang tertera di dalam al-Quran dan hadis-hadis Nabi tentang sorga, bahwa sungai-sungai mengalir di bawahnya:

Allah telah menyediakan surga untuk mereka yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar. (QS. 9:89)

Makanan yang tak putus-putus dan keteduhari yang tems menerus.

Perumpamaan sorga yang dtjanjikan kepada orang-orang yang taqwa (ialah surga) yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, makanannya abadi (tak habis-habisnya) begitupun naungannya. Itulah kesudahan orang-orang yang bertaqwa sedang kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka.(QS.13:35)

Bidadari-Bidadari (pasangan-pasangan) yang suci bagi orang-orang yang beriman,

Katakanlah, "Apakah kamu ingin aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikilan itu?" Yaitu untuk orang-orang yang bertaqwa pada sisi Tuhan mereka ada surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya; mereka itu kekal di dalamnya, dan ada pasangan-pasangan yang suci serta keridhaan dari Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (QS. 3:15)

Dan tentang neraka, "Jilatan apinya sangat menyakitkan." Semua itu menunjukkan dimensi material pembalasan di hari akhir. Akan tetapi yang lebih penting dari pada itu semua ialah balasan spiritual, yang tercermin dalam pancaran cahaya ma'rifat Ilahi, kedekatan rohani pada al-Khaliq, dan penampakan keindahari dan keagungan-Nya, tajaliyah al-jamal wa al-jahl, suatu kenikmatan yang tiada tara, yang tidak dapat dilukiskan oleh kata-kata maupun pena.

Di beberapa ayat al-Quran, setelah menyebutkan tentang sejumlah kenikmatan material sorga, al-Quran mengungkapkan bahwa:

Ridha Allah lebih besar dan bahwa itulah keuntungan yang agung. (QS. 9:72).

Ya, memang tiada kenikmatan yang lebih besar dari pada mendapatkan diri bahwa Allah ridha kepadanya. Dalam hadis qudsi dari Iniam 'Ali Ibn Husain as disebutkan bahwa Allah Swt berfirman:

Ridha-Ku dan cinta-Ku kepadamu lebih baik dan lebih besar dari apa yang kamu miliki sekarang. (Tafsir al-Mizan, IX, Ayat QS. 9:72)

Sungguh, tidak ada yang lebih nikmat dari pada diseru oleh Allah Swt:

Wahai jiwa yang tenang, kembalilah pada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke sorga-Ku. (QS. 89:27-30).

[1] Hadis ini dirwayatkan oleh Bukhari Muslim dan lain-lain serta dicantumkan oleh para mufassir dalam kitab-kitab mereka seperti Tabarsi, Alusi, dan Qurtubi.

[2] Hadits di atas diriwayatkan oleh Syi’ah maupun Ahlus Sunah dengan sedikit perbedaan redaksi, seperti dapat dilihat pada: Kanzul Ummal, hadits nomor 39036, Qurtubi jilid VI h. 4175 di bawah ayat 71 surah Maryam, dan Shoduq dalam kitab Amali dari Imam Ja'far Shodiq hal. yang sama, juga dapat dilihat pada Shahih Bukhari, VIII h. 146 di bawah judul “Al-Shirath Jembatan Neraka”.

[3] Hadits di atas dapat dilihat pada Shohih Turmuzi, IV Kitab Sifat al-Qiyamah, bab 67 hadits nomor 246. Sementara itu dalam sumber-sumber Syi’ah hadits di atas kadang diriwayatkan dari Imam Ali ibn abi Thalib dan kadang dari Ali ibn Husain. (Lihat Bihar al-Awar, VI, h. 214 dan 218.)

5
BAB V : IMAMAH BAB V : IMAMAH


43. Keniscayaan Imamah
Syi’ah meyakini bahwa kebijaksanaan Tuhan (al-hikmah al-ilahiah) menuntut perlunya pengutusan para rasul untuk membimbing umat manusia. Demikian pula mengenai imamah, yakni bahwa kebijaksanaan Tuhan juga menuntut perlunya kehadiran seorang imam sesudah meninggalnya seorang rasul guna terus dapat membimbing umat manusia dan memelihara kemurnian ajaran para nabi dan agama Ilahi dari penyimpangan dan perubahan. Selain itu, untuk menerangkan kebutuhan-kebutuhan zaman dan menyeru umat manusia ke jalan serta pelaksanaan ajaran para nabi. Tanpa itu, tujuan penciptaan, yaitu kesempurnaan dan kebahagiaan, al-takamul wa al-sa'adah, sulit dicapai, karena tidak ada yang membimbing, sehingga umat manusia tidak tentu arah dan ajaran para nabi menjadi sia-sia.

Oleh karena itu kami meyakini bahwa sesudah Nabi Muhammad saw, ada seorang imam untuk setiap masa.

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bergabunglah bersama orang-orang yang benar, al-shadiqin.(QS. 9:119)

Ayat ini tidak berlaku untuk satu masa saja, tapi untuk seluruh zaman. Seruan agar orang-orang beriman bergabung dalain barisan orang-orang benar, al-shadiqin, pertanda adanya imam maksum yang harus diikuti pada setiap zaman, sebagaimana disebutkan oleh banyak mufassir Sunni dan Syi’ah terhadap makna ayat ini.[1]

44. Hakikat Imamah
Syi’ah meyakini bahwa imamah bukan sekedar jabatan politik atau kekuasaan formal, tetapi sekaligus sebagai jabatan spiritual yang sangat tinggi. Selain menyelenggarakan pemerintahan Islam, Imam bertanggung jawab membimbing umat manusia dalain urusan agama dan dunia mereka. Imam juga membimbing pikiran dan rohani masyarakat. Memelihara syariat Nabi Muhammad saw agar tidak menyimpang atau berubah serta memperjuangkan tcrcapainya tujuan pengutusan Nabi Muhammad saw.

Jabatan tinggi ini diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim as setelah Ibrahim melewati fase kenabian dan nsalah, dan setelah lulus dan sejumlah ujian berat. Ibrahim as. meminta kepada Allah agar jabatan ini diberikan juga kepada sebagian keturunannya, tetapi Allah menegaskan kepada Ibrahim bahwa orang-orang zalim dan para pendosa tidak akan mencapai posisi mi.

Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat lalu ia menyempumakannya. Tuhan berfirman kepadanya: "Aku angkat engkau sebagai imam bagi umat manusia." Ibrahim berk.ata: "Berikan pula kepada keturunanku". Tuhan berfirman: "Ketetapan-Ku ini tidak akan mengenai orang-orang zalim." (QS. 2:124)

Jelas sekali bahwa kedudukan yang demikian tinggi ini tidak dapat diterjemahkan sebagai jabatan pemerintahan formal. Dengan demikian, jika imamah tidak diterjemahkan sebagaimana yang telah kami gambarkan di atas, maka ayat di atas tidak mempunyai pengertian yang jelas.

Syi’ah mevakini bahwa para nabi utama, ulul-azmi, terutama Nabi Muhammad saw, adalah sekaligus sebagai imam-imam yang memiliki otoritas kepemimpinan spiritual ruhaniah dan kepemimpinan formal material. Dengan demikian, Nabi Muhammad saw tidak sekedar menyampaikan ajaran Allah, tapi sekaligus memimpin umat manusia, dan jabatan imamah ini diberikan kepada Nabi saw sejak awal kenabiannya.

Syi’ah juga meyakini bahwa garis imamah sesudah Rasulullah saw dilanjutkan oleh orang-orang suci dan dzuriyatnya, keturunannya.

Dan batasan di atas mengenai imamah tampak bahwa untuk mencapai kedudukan ini dituntut syarat-syarat yang sangat berat, baik dari sisi taqwa, yaitu telah mencapai tingkat ishmah, terpelihara dari perbuatan-perbuatan dosa, maupun dari sisi ilmu dan pengetahuan yang mencakup seluruh bidang pengetahuan dan aturan agarna serta pengetahuan tentang manusia dan kebutuhannya untuk setiap zaman.

45. Keterpeliharaan Imam dari Dosa dan Kesalahan
Syi’ah meyakini bahwa seorang imam wajib bersifat ma'shum, terpelihara dari perbuatan dosa dan kesalahan, karena, disamping makna ayat di atas, seorang yang tidak maksum tidak dapat dipercaya sepenuhnya untuk diambil darinya prinsip-prinsip agama maupun cabang-cabangnya. Oleh karena itu Syi’ah meyakini bahwa ucapan seorang imam maksum, perbuatan, dan persetujuannya, adalah hujjah syar'iyyah, kebenaran agama, yang mesti dipatuhi.

Yang Syi’ah maksud dengan persetujuan imam maksum atau taqrir al-Ma'shum ialah sang imam tidak menegur suatu perbuatan yang berlangsung di hadapannya, bahkan membiarkannya saja.

46. Imam Pemelihara Agama
Syi’ah meyakini bahwa seorang imam tidak membawa syariat baru. Kewajibannya hanyalah menjaga agama Islam, memperkenalkan, mengajarkan, menyampaikannya, dan membimbing manusia kepada ajaran-ajaran yang luhur.

47. Imam Orang Paling Tahu tentang Agama
Syi’ah meyakini bahwa seorang imam harus menguasai dan memiliki pengetahuan yang utuh terhadap semua pokok agama Islam, cabang-cabangnya, hukum, peraturan, dan tafsir al-Quran. Pengetahuan ini bersifat rabbani, suci dan di dapat dan Nabi saw, supaya sang imam mendapat kepercayaan penuh dan umat dan dapat diandalkan dalain memahami hakikat Islam.

48. Nash atas Imam
Syi’ah rneyakini bahwa seorang imam, penerus Rasulullah saw, harus ditetapkan melalui nash atau pengangkatan yang jelas oleh Rasulullah saw atau oleh imam sebelumnya. Dengan kata lain, seorang imam, seperti halnya Nabi saw, ditetapkan oleh Allah Swt, tetapi melalui Nabi saw, sebagaimana keterangan al-Quran dalain pengangkatan Ibrahim as sebagai imam:

Sesungguhnya Aku mengangkatmu sebagai imam bagi umat manusia. (QS. 2:124)

Dalain pada itu, penentuan tingkat taqwa, seseorang telah mencapai tingkat ishmah dan telah mencapai tingkat pengetahuan seluruh hukum dan ajaran Allah Swt tanpa ada kesalahan sedikitpun tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah dan rasul-Nya. Oleh karena itu, penentuan bahwa seseorang telah mernenuhi sifat ishmah datangnya dan Rasulullah saw.

Dengan demikian, Syi’ah meyakini bahwa keimaman para imam maksum tidak diperoleh melalui pemilihan masyarakat.

49. Penetapan para Imam oleh Nabi saw
Syi’ah meyakini bahwa Nabi Muhammmad saw-lah yang telah menetapkan para imam sesudahnya, sebagaimana yang telah dilakukannya dalain hadits populer al-tsaqalain. Diriwayatkan dalain Shahih Muslim bahwa suatu hari Nabi berpidato di sebuah oase yang bemama Khum, terletak antara Mekkah dan Madinah. Nabi saw bersabda:

... Aku hanyalah seorang manusia, yang jika utusan Tuhanku datang kepadaku akan kupenuhi. Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berat. Pertama, kitab Allah. Di dalainnya terdapat petunjuk dan cahaya... (Kedua) Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada A.llah tentang Ahlubaitku. (Shahih Muslim, 4: 1873)

Hadis yang sama juga diriwayatkan dalain Shahih Turmuzi. Bahkan pada Shahih Turmuzi terdapat pernyataan tegas Nabi saw yang mengangkat imam sesudahnya dan lingkungan keluarganya. Demikian pula hadis-hadis yang diriwayatkan dalain Sunan al-Darimi, Khasaish al-Nasai, Musnad Ahmad, dan sumber-sumber utama Islam terkenal lainnya.[2]

Hadits Tsaqalain atau hadis Dua Pusaka ini sedikitpun tidak dapat diragukan kebenarannya, oleh siapa saja, karena la terrnasuk hadits mutawatir yang tidak dapat diingkan atau dipersoalkan kebenarannya oleh seorang muslim.Oleh karena itu, dan beberapa riwayat dapat dilihat betapa Nabi saw telah mengulangi hadis ini berkali-kali dan di berbagai tempat yang berbeda.

Tentu saja tidak semua kerabat Nabi memangku jabatan tinggi ini, sebagai pendamping al-Quran. Dengan demikian, maka yang dimaksud hanyalah para imam maksum dari dzuriyat Rasul saw.

Perlu disebutkan di sini bahwa dalain beberapa riwayat terdapat redaksi "Sunnati" atau Sunnahku sebagai ganti dari redaksi "Ahlubaiti", Ahlubaitku. Akan tetapi riwayat ini dhaif, diragukan kebenarannya, dan tidak dapat diandalkan.

Pada sisi lain, terdapat hadis lain yang populer dan sahih, yang diriwayatkan oleh banyak kitab hadis utama seperti: Sahih Bukhari, Muslim, Turmuzi, Abu Daud, Musnad Ibn Hanbal, bahwa Nabi saw bersabda:

Agama ini akan terus tegak hingga datangnya hari kiamat atau datang kepada kamu dua belas orang khalifah, (imam) semuanya berasal dan suku Quraisy. (Muslim, III, h. 1453, Bukhari, m, h. 101, Turmuzi, IV, h. 501 dan Abu Daud, IV, bab al-Mahdi)

Syi’ah meyakini bahwa ddak ada tafsiran yang paling tepat mengenai dua belas Imam yang dimaksud Nabi pada hadis di atas kecuali apa yang diyakini oleh kaum Syi’ah Imamiyyah. Ya, apakah ada tafsiran lain yang lebih tepat? Tidak ada. Renungkan!

50. Pengangkatan Ali oleh Nabi saw
Syi’ah meyaikini bahwa Nabi Muhainmad saw, atas perintah Allah, telah menunjuk dan mengangkat 'Ali as sebagai khalifah sesudahnya. Ia lakukan itu berkali-kali dan dalain berbagai kesempatan yang berbeda. Di Ghadir Khum, dekat dengan Juhfah, misalnya, Nabi saw membacakan khutbahnya yang sangat populer di depan para sahabatnya, sepulangnya dari menunaikan Haji Wada'. Nabi bersabda:

Wahai orang-orang! Bukankah aku lebih utama atas dirimu daripada kamu sendiri? Mereka berkata: "Betul". Nabi melanjutkan: "Barangsiapa yang aku adalah pemimpinnya, maulahu, maka 'Ali adalah pemimpinnya."[3]

Karena kami tidak bermaksud menguraikan masalah ini panjang lebar atau melakukan argumentasi terhadap keyakinan ini, kiranya cukup dengan mengatakan bahwa adalah mustahil kita lewati hadis di atas begitu saja atau menafsirkannya sebatas pada cinta kepada 'Ali, padahal Nabi saw begitu memperhatikan masalah ini.

Bukankah hadis di atas sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibn al-Atsir dalain kitabnya al-Kamil bahwa di awal kenabiannya, atas penntah Allah:

Dan berilah peringatan kepada keluarga dekatmu. (QS. 26: 214)

Nabi Muhammad saw mengumpulkan segenap keluarganya dan menawarkan kepada mereka agama Islarn. Pada kesempatan itu Nabi bersabda:

Siapakah di antara kamuyang bersedia membantuku dalain urusan ini sehingga ia menjadi saudaraku, washiku, dan khalifahku pada kamu. Tidak seorang pun yang menyambutnya kecuali ‘Ali yang berkata kepada Nabi saw: Aku wahai Nabi Allah yarig akan membantumu

Kemudian Nabi bersabda: Inilah ('Ali) saudaraku, washiku, dan khalifahku pada kamu.[4]

Bukankah ini pula yang diinginkan Rasulullah saw pada saat-saat terakhir kehidupannya, sebagaimana yang diriwayatkan Bukhan bahwa Rasulullah saw berkata:

Bawakan aku kertas supaya aku tuliskan buat kamu wasiat yang dengannya kamu tidak akan sesat sesudahku nanti"

Tapi sayang, sebagian menentang penulisan wasiat ini, mencegah Nabi melakukannya, bahkan mengucapkan kalimat-kalimat yang merendahkan Nabi saw. (Sahih Bukhari, V, hal. 11, Muslim, III, hal. 1259)

Sekali lagi, tujuan penulisan buku ini hanya sekedar menguraikan aqidah dengan sedikit dalil; kalau tidak, tentu berbeda penguraiannya.

51. Penegasan Tiap Imam atas Imam Sesudahnya
Syi’ah meyakini bahwa setiap imam dari dua belas imam telah diangkat dengan tegas, nash, oleh imam sebelumnya. Imam pertama adalah ‘Ali Ibn Abi Thalib, kemudian secara berturut-turut, (2) Hasan Ibn ‘Ali al-Mujtaba, (3) Husain Ibn ‘Ali Sayyidus-syuhada, penghulu para syuhada, (4) ‘Ali Ibn Husain, (5) Muhammad Ibn ‘Ali al-Baqir, (6) Ja'far Ibn Muhammad al-Shadiq, (7) Musa Ibn Ja'far, (8) 'Ali Ibn Musa al-Ridha, (9) Muhammad Ibn ‘Ali al-Taqi, (10) 'Ali Ibn Muhammad al-Naqi (11) Hasan Ibn ‘Ali al-Askari, dan terakhir, (12) Muhammad Ibn Hasan al-Mahdi. Syi’ah meyakini bahwa Imam Muhammad Ibn Hasan al-Mahdi masih hidup.

Keyakinan kepada Imam Mahdi yang akan memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi dengan kezaliman dan kekejaman tidak terbatas pada kaum Syi’ah saja, tetapi seluruh kaum Muslirnin. Untuk itu banyak ulama Ahlussunnah yang menulis buku tentang kemutawatiran hadis-hadis tentang Imam Mahdi ini. Bahkan Rabithah Alain Islarni pemah mengeluarkan nsalah yang menyatakan bahwa kedatangan Imam Mahdi merupakan urusan musallainmat dalain agama atau sesuatu yang tidak dapat ditolak kebenarannya.[5] Rabitah mengutip banyak hadis Nabi tentang al-Mahdi dan kitab-kitab utama. Hanya saja, sebagian ulama Ahlussunnah percaya bahwa al-Mahdi yang dimaksud baru akan lahir di akhir zaman, sementara Syi’ah meyakini bahwa al-Mahdi yang dimaksud adalah imam kedua belas, masih hidup dan akan muncul dengan izin Allah untuk menegakkan keadilan dan mengadili para tiran.

52. 'Ali Sahabat Utama
Syi’ah meyakini bahwa 'Ali adalah sahabat Nabi paling utama. Kedudukannya dalain Islam langsung di bawah Nabi saw. Pada saat yang sama Syi’ah menganggap bahwa sikap ghuluw, berlebih-lebihan kepada ‘Ali haram hukumnya. Dalain pada itu Syi’ah meyakini bahwa menganggap ‘Ali sebagai Tuhan atau serupa dengan itu kafir hukumnya dan keluar dari barisan Muslimin. Syi’ah berlepas diri dari orang dan aqidah semacam itu. Tapi sayang, sebagian pihak terjebak dalain kekeliruan, sehingga menyamaratakan Syi’ah dengan kelompok-kelompok menyimpang ini, padahal ulama-ulama Syi’ah justeru menganggap kelompok ini keluar dan Islam.

53. Sahabat di Hadapan Hukum Akal dan Sejarah
Syi’ah meyakini bahwa di antara sahabat Nabi terdapat pnbadi-pribadi agung yang telah disebutkan keutamaannya oleh al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi tidak berarti bahwa semua Sahabat tidak ada yang salah atau perbuatan-perbuatan mereka benar semuanya tanpa kecuali. Pada banyak ayat al-Quran, teru-tama pada suratal-Bara`ah, al-Nur, dan al-Munafiqin, al-Quran bercerita tentang kaum munafik yang notabene adalah sebagian sahabat itu sendiri, dan mengecam mereka dengan keras, meskipun mereka adalah sahabat Nabi saw. Selain itu, terdapat pula di antara sahabat Nabi, orang yang telah menyulut api fitnah sehingga pecah perang sesama kaum Muslimin sesudah wafat Nabi saw, melanggar baiat yang telah diberikan kepada khalifah, dan menumpahkan darah ribuan kaum Muslimin. Apakah pantas orang-orang seperti itu kita anggap bersih dan suci?

Dengan kata lain, bagaimana mungkin kita dapat memutuskan kedua belah pihak yang terlibat percekcokan, misalnya pihak-pihak yang terlibat dalain perang Jamal dan Siffin, bahwa semuanya benar? Sungguh keputusan yang kontradiktif dan tidak dapat diterima. Adapun alasan pihak yang dapat menerima sikap kontradiktif ini, yang merujuk kepada persoalan ijtihad, bahwa memang ada yang benar dan ada yang salah, akan tetapi karena kedua-duanya telah mengamalkan ijtihad, maka yang keliru sekalipun, tetap mendapat pahala, karena ia telah melakukan ijtihad. Sedangkan kekeliruannya, dimaafkan. Cara berpikir seperti ini tidak dapat diterima.

Bagaimana mungkin kita dapat membenarkan seseorang yang melanggar baiatnya kepada khalifah Rasulullah dengan alasan ijtihad, tapi kemudian sengaja menyulut api peperangan dan menumpahkan darah orang-orang saleh? Jika dosa penumpahan darah dapat dimaafkan karena alasan ijtihad, itu berarti semua perbuatan dosa dapat dimaafkan karena alasan ijtihad. Nauzubillah.

Dengan terus terang kanni katakan bahwa Syi’ah meyakini bahwa seorang manusia, meskipun sahabat Nabi, tergantung pada amalnya, sesuai prinsip al-Quran yang menyatakan:

Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. (QS. 49:13)

Berdasarkan hal ini, maka untuk menentukan kualitas sahabat, kita juga harus mengukurnya dari amal perbuatan mereka, supaya keputusan yang kita ambil logis dan dapat diterapkan pada semuanya.

Maka siapa saja di antara sahabat Nabi yang selaina bersama Nabi ikhlas dan terus dalain garis ini dalain menjaga Islam dan kesetiaan kepada al-Quran sesudah wafatnya, Syi’ah akui dia dan mengkategorikannya sebagai orang saleh. Tetapi Sahabat yang munafiq di zaman Rasul dan selalu mengganggu Rasul atau berubah sesudah Nabi meninggal dunia, dan yang telah merugikan Islam dan kaum Muslimin, tentu Syi’ah tidak akan mencintainya sedikitpun. Allah berfirman:

Engkau takkan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir mencintai orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, meskipun mereka adalah omng tua mereka sendiri, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, atau keluarga dekat mereka. Mereka adalah orang-orang yang telah ditetapkan iman oleh Allah dalain hati mereka. (QS. 58:22)

Ya, orang-orang yang menentang atau mengganggu Rasul, baik pada masa hidupnya atau sesudah wafatnya, menurut keyakinan Syi’ah, sedikitpun tidak pantas mendapat pujian atau penghormatan.

Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa sejumlah sahabat Nabi telah berjuang habis-habisan untuk menyebarkan agama Islam sehingga Allah memuji mereka dan memuji para penerus mereka, tabiin, yang mengikuti jalan para Sahabat yang saleh; pujian yang juga diberikan kepada siapa saja berjalan di jalan yang lurus hingga hari akhir.

Para pemeluk Islam awal-awal sekali, al-sabiqun al-awalum, dari golongan Muhajirin dan Anshar dan para pengikut mereka dengan kebaikan, Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah. (QS.9:100)

Demikianlah keyakinan Syi’ah tentang Sahabat secara ringkas.

54. Ilmu Imam-imam Ahlubait Berasal dari Nabi
Syi’ah meyakini bahwa ucapan para imam, perbuatan, dan taqrir, persetujuan mereka, yang dapat dilihat dari tidak adanya teguran mereka terhadap suatu perbuatan yang berlangsung di hadapan mereka, adalah hujjah, kebenaran yang harus diikuti, dan merupakan sanad, pegangan bagi Syi’ah. Karena Nabi saw, sebagaimana hadis mutawatir, telah memerintahkan agar kita berpegang teguh kepada kitab Allah dan keluarganya. Di samping itu, mereka adalah orang-orang suci, ma'shum, yang telah diselainatkan Allah dari perbuatan dosa dan kesalahan. Karena itu, maka salah satu sumber fiqh Syi’ah, setelah al-Quran dan Sunnah Nabi, ialah ucapan para imam dari Ahlulbait, perbuatan, dan taqrir mereka.

Jika kita perhatikan bahwa para irnam as itu hanya menukil hadisnya dari nenek moyang mereka hingga ke Rasulullah saw, maka hadis-hadis mereka sesungguhnya adalah hadis-hadis Rasulullah saw juga. Dan kita tahu bahwa periwayatan oleh seorang tsiqah, yang dapat dipercaya, diterima oleh seluruh ulama Islam.

Imam Muhammad Ibn 'Ali al-Baqir berkata kepada Jabir:

Jabir, jika yang kami ucapkan kepada kalian itu adalah pandangan kami sendin dan dilandasi hawa nafsu, maka kami akan celaka. Tapi ketahuilah, yang kami ucapkan kepada kalian itu adalah hadis-hadis Rasulullah saw. (Jami' Ahadits Syi’ah: I, hal. 18)

Dalain riwayat lain disebutkan bahwa Seseorang bertanya kepada Imam Ja'far Shadiq tentang suatu masalah dan Irnarn memberikan jawabannya, namun orang itu kemudian bertanya lagi: "Bagaimana jika masalah ini begini dan begitu, apa pendapatmu?' Imam berkata: "Ketahuilah Tidak satu jawaban pun yang kuberikan kepadamu kecuali dari Rasulullah saw. Kami sama sekali bukan termasuk dalain kelompok orang yang dapat ditanya "Apa pendapatmu". (Ushul Kafi, 1, hal. 58)

Dalain pada itu, perlu kami sebutkan di sini bahwa Syi'ah juga memiliki kitab-kitab hadis utama yang kami percayai validitasnya, sepera al-Kafi, al-Tahzib, al-Istibshar, dan Man la Yahduruhul-faqih. Akan tetapi tidak berarti bahwa Syi’ah menerima begitu saja seluruh riwayat yang disebutkan dalain kitah-kitab tersebut, karena, selain kitab-kitab hadis, Syi’ah juga mempunyai kitab-kitab rijal yang berfungsi mengungkap keadaan para perawi pada semua level sanad. Jika para perawinya, pada semua level sanad, dapat dipercaya, tsiqat, Syi’ah terima hadis tersebut. Tapi jika tidak, Syi’ah akan menolaknya. Dengan demikian, Syi’ah baru dapat menerima riwayat-riwayat yang terdapat dalain kitab-kitab utama tersebut, jika ia memenuhi kriteria di atas.

Selain itu, boleh jadi ada riwayat yang dari segi sanad dapat dikategorikan sebagai riwayat mu'tabarah, dapat diterima, tetapi karena ada cacat-cacat lain pada riwayat tersebut, para ulama dan fuqaha Syi’ah, dari dahulu hingga sekarang, mengabaikannya. Riwayat semacam ini Syi’ah namakan riwayat mu'radh anha atau riwayat yang diabaikan, dan sudah barang tentu tidak mendapat tempat di kalangan Syi’ah.

Dari sini tampak bahwa jika seseorang ingin mendapat keterangan tentang aqidah Syi’ah, maka sangat keliru sekali jika hanya bersandarkan pada sebuah atau beberapa riwayat yang terdapat pada buku-buku tersebut tanpa melakukan penelitian sanadnya.

Dengan kata lain, pada sebagian mazhab Islam, terdapat kitab-kitab hadis yang disebut al-sihah. Parapenyusunnya tidak ragu sedikitpun mengkategorikan seluruh riwayat yang terdapat pada kitab-kitab tersebut sahih, demikian pula anggapan lainnya. Namun tidak demikian sikap Syiah terhadap kitab-kitab muktabarahnya. Kitab-kitab itu memang betul disusun oleh orang-orang tsiqat, dapat dipercaya, akan tetapi untuk menentukan kesahihan hadits-haditsnya hanis dikembalikan ke llm al-rijal untuk dilakukan penelitian terhadap para perawinya.

Jika poin ini diperhatikan, ia dapat menjelaskan banyak permasalahan dan keraguan yang diarahkan ke aqidah Syi’ah. Tetapi jika diabaikan, berakibat pada banyak kekeliruan dan kesalahpaharnan terhadap aqidah Syi’ah.

Ringkasnya, hadis-hadis para Imam Dua Belas menempati posisi yang sangat tinggi di mata ajaran Syi’ah, yaitu setelah al-Quran dan sunnah Nabi, tetapi dengan catatan, bahwa hadis-hadis tersebut pasti datangnya dari para imam dengan jalan diakui.

[1] Fakhrul-Razi, setelah pembahasan panjang tentang ayat di atas demikian berkomentar; "Ayat ini menjelaskan bahwa setiap orang yang jaiz al-khatha, dapat melakukan kesalahan, harus bergabung dan mengikuti orang yang telah dijamin kebenarannva atau al-Ma'shum. Mereka adalah orang yang dimaksud oleh Allah sebagai orang-orang yang benar di atas, as-shodiqun. Dengan demikian wajib bagi setiap orang yang jaiz al-khatha untuk menyelamatkannya dan kesalahan. Prinsip ini bukan hanya berlaku pada satu masa saja, tapi untuk sepanjang masa. Dengan demikian, pada setiap masa pasti ada al-Ma'shumin (lihat Tafsir al-Kabir, jilid XVI, h. 221)

[2]Lihat pada: Sahih Turmuzi, V, h. 662, Sunan Darimi, II, h. 432 Khasais Nasai h. 20, Musnad Ahmad, V, h. 182 dan Kanzul-Ummah, I, h. 185 hadits nomor 945.

[3] Hadits di atas diriwayatkan dengan banyak jalan. Perawinya mencapai jumlah 110 Sahabat, 84 Tabi'in, dan tidak kurang dan 360 sumber Islam utama telah menukilnya. (lihat Payame Qur'an jilid 9, h. 181 dst)

[4] Lihat al-Kamil Ibnu Atsir, II, h. 63, Musnad Ahmad, I, h. 11, Ibnu Abil-Hadid dalam Syarah Nahjul Balaghah, XIII, h. 210 dan lain sebagainya.

[5] Risalah tertanggal 24 Syawal 1396 H ini ditandatangani oleh pimpinan 'Idarah Majma' al-Fiqh al-Isiami", Muhammad al-Muntashir al-Khatami.

6
BAB VI : BERBAGAI MASALAH BAB VI : BERBAGAI MASALAH

Di samping kajian-kajian terdahulu yang menjelaskan pokok-pokok aqidah Syi'ah, terdapat pula beberapa aqidah lain yang akan kami bahas pada bab ini.

55. Baik Buruk Secara Rasional
Syi'ah meyakini bahwa akal manusia dapat mengetahui hal-hal yang baik dan buruk; hal itu karena Allah Swt telah menganugerahkan pada manusia suatu daya yang dengannya dapat menangkap mana yang baik dan mana yang buruk. Karena itu, meskipun pada saat agama Ilahi belum turun, tapi manusia sudah mengetahui berbagai masalah melalui akalnya; inisalnya, baiknya keadilan dan berbakti, buruknya perbuatan zalim dan aniaya, baiknya jujur, amanat, berani, dan dermawan, buruknya dusta, khianat, dan kikir, dan sebagainya. Hanya saja akal manusia tidak dapat menangkap semua persoalan, karena keterbatasan ilmu manusia. Oleh karena itu Allah mengutus para nabi dan menurunkan kitab-kitab-Nya agar dapat menyempurnakan potensi ini, sehingga dengan Demikian, di satu sisi mendukung kemampuan akal, dan di sisi lain, menjelaskan sisi-sisi yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia.

Jika kita menolak secara total kemampuan akal untuk menentukan kebenaran, maka dengan sendirinya kita tidak akan dapat menetapkan adanya Allah, pengetahuan kepada-Nya, atau legalitas ajaran para nabi, sebab semua itu ditetapkan melalui akal. Selain itu, adalah sangat jelas bahwa penjelasan-penjelasan agama baru dapat diterima jika prinsip tauhid dan nubuwwah sudah ditetapkan terlebih dahulu oleh akal, karena penetapan kedua prinsip ini tidak dapat dilakukan hanya melalui argumentasi syar'iy.

56. Keadilan Tuhan
Oleh karena itu Syi'ah meyakini keadilan Tuhari. Mustahil Allah berbuat zalim kepada hamba-hamba-Nya. Mustahil pula menghukum seseorang atau memaafkannya tanpa alasan. Mustahil Allah melanggar janji-Nya sendiri atau memilih seseorang yang bejat, pembuat kesalahari, dan pendusta untuk jabatan kenabian dan kerasulan. Mustahil pula membiarkan hamba-hamba-Nya, yang Dia ciptakan untuk membuat mereka bahagia, tanpa seorang pembimbing atau peinimpin, karena semua perbuatan-perbuatan ini buruk, sedangkan Allah mustahil melakukan perbuatan buruk.

57. Kebebasan Manusia
Berdasarkan alasan yang sama, maka Syi'ah meyakini bahwa Allah Swt telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang bebas dan berbuat sesuatu atas kemginan dan piliharinya sendiri, karena jika manusia majbur, terpaksa, atau tidak punya peran dalam perbuatan-perbuatannya, maka konsekuensinya adalah bahwa hukuman kepada para penjahat merupakan perbuatan yang buruk sedang memberi ganjaran kepada pelaku kebaikan tidak ada gunanya sama sekali. Tentu saja hal ini mustahil bagi Allah Swt.

Ringkasnya, keyakinan adanya kebaikan dan keburukan yang bersifat rasional serta kemampuan akal manusia untuk mengetahui banyak kebenaran merupakan prinsip dasar agama, syariat, dan keimanan kepada kenabian dan kitab-kitab samawi. Akan tetapi, sebagaimana yang telah kami tegaskan, kemampuan akal manusia terbatas, sehingga tidak mampu menjangkau semua kebenaran yang dapat membawa manusia kepada kebahagiaan dan keSempurnaan. Oleh karena itu, manusia membutuhkan para nabi dan kitab-kitab samawi.

58. Dalil Aqli Sumber Hukum
Berdasarkan apa yang telah kami smggung di atas, Syi'ah meyakini bahwa dalil aqli atau argumen rasional tergolong salah satu sumber utama agama. Yang kami maksud dengan dalil aqli di sini ialah bahwa akal manusia mengetahui dengan pasti beberapa hal dan dapat melakukan penilaian terhadapnya. Maka, jika seandainya pun kita tidak temukan dalil yang tegas dalam al-Quran dan Sunnah, bahwa perbuatan-perbuatan zalim, khianat, dusta, membunuh, mencuri, dan merampas hak orang lain adalah perbuatan haram, terlarang, kita tetap akan mengharamkan perbuatan-perbuatan tersebut, sebab Demikianlah penilaian akal kita. Kita yakin sepenuhnya bahwa Allah yang Mahamengetahui lagi Mahabijaksana itu pasti memutuskan hal yang sama dan ddak akan pernah menyetujui perbuatan-perbuatan tersebut. Ini cukup menjadi hujjah Ilahi buat kita.

Sementara itu, al-Quran penuh dengan ayat-ayat yang menyatakan pentingnya akal dan argumentasi rasional. al-Quran mengajak orang-orang yang berakal agar mengamati tanda-tanda kebesaran Tuhari di langit dan buini sebagai cara menyeru ke jalan tauhid.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan buini serta perselisihan malwn dan siang terdapat tanda-tanda bagi orag-orang yang berakal. (QS. 3:190)

Pada kesempatan lain, al-Quran menganggap bahwa tujuan dari penjelasan tanda-tanda kebesaran Tuhari ialah untuk menambah kemampuan daya tangkap manusia.

Lihatlahl bagaimana Kami datangkan silih berganti tanda-tanda kebesaran supaya mereka mengerti. (QS. 6:65)

Al-Quran juga menyeru semua umat manusia agar membedakan kebaikan dari keburukan, untuk itu hendaknya menggunakan kekuatan berpikir.

Katakan, apakah sama antara orang buta dengan orang melihat? Apakah kamu tidak berpikir? (QS. 6:50)

Terakhir,

Sesungguhnya sejelek-jeieknya makhluk di sisi Allah adalah tuli, bisu, yang tidak berpikir. (QS. 8:22)

Dan ayat-ayat lainnya yang serupa.

Dengan penegasan yang Demikian kuat tentang peran akal, bagaimana mungkin kita dapat mengabaikan peran akal dan tidak mendudukkannya pada posisi yang semestinya.

59. Kembali kepada Keadilan Tuhan
Telah kami singgung sebelumnya bahwa Syi'ah meyakini keadilan Tuhari dan bahwa Allah tidak berbuat zalim kepada hamba-hamba-Nya karena perbuatan zalim itu buruk, dan Allah jauh dan melakukan hal yang buruk.

Tuharimu tidak. berbuat zalim kepada siapapun. (QS. 18:49)

Karena itu, jika ada sebagian yang menerima hukuman, baik di dunia maupun di akhirat, itu akibat perbuatannya sendiri.

Sekali-kali Allah tidak berbuat zalim kepada mereka, tapi mereka sendiri yang menzaliini diri mereka. (QS. 9:70)

Prinsip ini tidak hanya berlaku pada manusia, tapi mencakup semua makhluk.

Dan Allah tidak pernah menghendaki kezaliman pada semua alam. (QS. 3:108).

Dengan Demikian, ayat-ayat di atas berupa penegasan atas hukum akal dan petunjuk kepadanya.
Menolak Taklif Di luar Kemampuan

Dalam pada itu, berdasarkan prinsip yang telah disebutkan terdahulu, Syi'ah meyakini bahwa Allah Swt tidak akan menugasi manusia, taklif, sesuatu yang tidak mampu dilakukannya.

Allah tidak akan mmugasi suatu jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya. (QS. 2:286)

60. Falsafah Bencana
Berdasarkan prinsip yang sama pula Syi'ah meyakini bahwa berbagai bencana alam yang menimpa umat manusia seperti gempa buini, angin ribut, dan sebagainya, kadang mengandung unsur hukuman, sebagaimana yang terjadi pada kaum Luth,

Maka ketika datang perkara Kami, "Kami balikkan negeri kaum Luth,", yaitu yang bagian atasnya ke bawah, dan Kami hujani dengan batu dari tanah yang terbakar secara bertubi-tubi. (QS. 11:82)

Atau yang terjadi pada kaum Saba,

Mereka berpaling, maka Kami kirim banjir besar kepada mereka. (QS. 34:16)

Tapi kadang pula sebagai peringatan kepada umat manusia agar mereka kembali ke jalan yang benar.

Telah tampak kerusakan di darat maupun di laut karena ulah tangan-tangan manusia, maka Allah akan membuat mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali. (QS. 30: 41)

Tentu bencana semacam ini adalah bagian dari kasih sayang-Nya. Sedangkan yang berupa hukuman, itu karena kesalahari manusia sendiri dan karena kejahilannya.

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum sampai kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka. (QS. 13:11)

Apa yang nenimpamu berupa kebaikan datangnya dari Allah, dan apa yang menimpamu berupa keburukan datangnya dari dirimu sendiri. (QS. 4:79)

61. Alam Semesta Tatanan Paling Sempurna
Syi'ah meyakini bahwa alam semesta merupakan tatanan yang paling sempurna. Semua berjalan sesuai tata tertib yang telah ditetapkan. Tidak ada penyimpangan, ketidakadilan, atau kejahatan. Kalau toh ada keburukan-keburukan pada masyarakat manusia, itu karena ulah manusia sendiri.

Sekali lagi kami tegaskan bahwa Syi'ah meyakini bahwa keadilan Ilahi merupakan prinsip dasar pandangan dunia Islam. Tanpa itu, tauhid, kenabian, dan hari akhir akan terancam.

Imam Ja'far al-Shadiq berkata:

Sesungguhnya prinsip dasar agama itu ialah tauhid dan keadilan.

Imam menambahkan:

Adapun tauhid ialah jangan membolehkan sesuatu pada Tuhari yang engkau sendiri tidak boleh melakukannya, sedang keadilan ialah jangan menisbahkan sesuatu kepada Penciptamu yang engkau sendiri dikecam karenanya. (Bihar al- Anwar, V: 17) Renungkan!.

62. Dasar Hukum Islam Yang Empat
Seperri telah kami singgung sebelumnya, dasar hukum Islam atau fiqh yang dipercayai Syi'ah ada empat:

Pertama, al-Quran, kitab Allah, yang merupakan sumber utama hukum dan pengetahuan Islam.

Kedua, sunnah Rasul saw dan para Imam yang suci.

Ketiga, Ijma' atau kesepakatan para ulama dan fuqaha yang mengungkapkan adanya ketetapan al-ma'shum padanya.

Keempat, Dalil Aqli atau argumentasi rasional. Yang dimaksud ialah akal yang pasti atau yang disebut dengan dalil al-aql al-qat'iy. Adapun dalil al-aql al-zharini, atau dalil akal yang berlandaskan kepada perkiraan-perkiraan rasional, seperti qiyas dan istihsan, tidak dapat diterima oleh fiqh Syi'ah dalam masalah apa pun. Karena itu betapa pun seorang faqih melihat ada maslahat tertentu pada suatu masalah, tapi karena tidak ada dasar hukumnya dalam al-Quran dan al-Sunnah, ia tidak dapat menganggapnya sebagai hukum Allah. Kami juga tidak dapat memberiarkan qiyas yang bersifat zharini itu atau apa saja yang serupa dengannya sebagai sarana untuk menyingkap adanya hukum agama.

Adapun dalam keadaan-keadaan pasti, seperti buruknya perbuatan zalim, dusta, mencuri, khianat dsb, maka hukum akal di sini mencerininkan hukum agama, sesuai dengan kaidah.

Setiap sesuatu yang telah diputus oleh akal maka Demikian pula keputusan agama.

Sebetulnya, riwayat-riwayat yang ada pada Syi'ah, baik dari Nabi saw maupun dari para Imam yang suci, sudah lebih dari cukup untuk berbagai kebutuhari umat: ibadah, politik, ekonoini, sosial, dan lain sebagainya. Karena itu tidak perlu merujuk ke dalil-dalil yang bersifat zhanni. Bahkan Syi'ah yakin, persoalan-persoalan baru sekalipun telah termasuk dalam prinsip-prinsip dasar dan garis-garis besar, kulliyat, yang terdapat pada al-Kitab, sunnah Rasul, dan sunnah para Imam maksum, sehingga kita tidak perlu merujuk ke dalil-dalil yang zharini, tapi cukup dengan merujuk ke garis-garis besar.

63. Pintu Ijtihad Selalu Terbuka
Syi'ah meyakini bahwa pintu ijtihad terbuka lebar untuk semua persoalan agama. Parafuqaha yang kompeten dapat melakukan istinbath atau yurisprudensi hukum dari empat sumber hukum di atas dan menyajikannya kepada pihak yang belum memiliki kemampuan istinbath, meskipun pandangan mereka mungkin berbeda dengan pandangan fuqaha sebelumnya. Syi'ah juga meyakini bahwa seseorang yang belum mencapai otoritas istinbath hukum hendaknya merujuk atau bertaqlid kepada para fuqaha hidup yang menguasai persoalan zaman dan masyarakat.

Bagi Syi’ah, persoalan merujuk kepada para ahli oleh orang-orang awam dalam masalah fiqih atau taqlid merupakan persoalan yang amat jelas dan disadari oleh semua orang awam. Akan tetapi taqlid harus dilalkukan terhadap orang yang masih hidup, tidak boleh kepada orang yang telah meninggal dunia, kecuali jika sebelumnya memang ia telah bertaqlid kepadanya. Hal ini supaya fiqih terus berkembang di diriainis.

Maka para fuqaha yang dijadikan tempat rujukan oleh orang-orang awam disebut marja’ taqlid, atau tempat rujukan dalam taqlid.

64. Tidak Ada Kefakuman Hukum dalam Islam
Syi’ah meyakini bahwa tidak ada kefakuman hukum dalam Islam, dalam arti bahwa Islam telah menjelaskan semua permasalahari yang dibutuhkan mamnusia hingga hari akhir; kadang bersifat khusus dan kadang yang lain tercakup dalam hukum umum. Yang mereka lakukan hanya mengungkap hukum Ilahi dari sumber hukum yang empat dan menyajikannya kepada umat.

Lalu, bagaimana agama dapat kita katakan sempurna jika tidak mencakup semua hukum untuk sepanjang masa, padahal Allah telah menegaskan dalam kitab-Nya:

Hari ini Kusempurnakan bagimu agamamu dan Kulengkapkan atasmu nikmat-Ku dan Aku merestui Islam sebagai agama bagimu. (QS. 5-3)

Dan Nabi saw sendiri menyatakan ketika Haji Wada’.

Wahai manusia, Deini Allah, tidak satupun yang mendekatkan kamu ke sorga dan menjauhkan kamu dari neraka kecuali sudah kuperinntahkan kepadamu, dan tidak satupun yang mendekatkan kamu ke neraka dan menjauhkan kamu dari sorga kecuali sudah kularang kamu melakukannya. (Ushul al-Kafi, 11/74 dan Bihar al-Anwar, jilid 67 hal. 96)

Dalam hadis populer lain, Imam Ja'far Shadiq as menyebutkan bahwa:

Sesungguhnya tidak ada permasalahari hukum kecuali sudah dtjelaskan oleh A!i as dalam kitabnya, termasuk hukum membayar diyat atas goresan kecil di tubuh (Jaini al-Ahadits, 1/18)

Dengan Demikian, maka tidak perlu merujuk ke dalil-dalil zanni seinisal qiyas dan istihsan.

65. Taqiyyah dan Falsafahnya
Syi'ah meyakini bahwa jika seseorang berada di tengah-tengah lingkungan orang-orang fanatik, keras kepala, dan tidak bisa diajak berpikir rasional, sehingga akan membahayakan keselamatan dirinya jika dia menampakkan aqidah yang dianutnya, sementara itu tidak ada manfaat berarti yang dapat diperolehnya dan penampakan aqidahnya itu, dalam situasi seperti ini ia harus menyembunyikan aqidahnya dari menyelamatkan dirinya. Sikap semacam ini Syi'ah menyebutnya taqiyyah, yang berlandaskan pada dua ayat al-Quran dan dalil aqli.

Pertama,berkaitan dengan seorang mukrnm dari keluarga Fira'un. Al-Quran menegaskan:

Dan seorang mukinin dari keluarga Fira'un yang menyembunyikan imannya berkata: "Apakah kalian akan membunuh seseorang yang berkata Allah adalah Tuhariku padahal ia telah membawakan kalian kebenaran-kebenaran dari Tuhari kalian." (QS. 40:28)

Kalimat yaktumu imanah, menyembunyikan imannya, jelas-jelas menegaskan masalah taqiyyah. Maka apakah bijaksana jika mukinin dan keluarga Fira'un itu terang-terangan menyatakan imannya, padahal dapat membahayakan keselamatannya? Selain itu tidak ada manfaat yang dapat diperolehnya.

Kedua, berkaitan dengan sekelompok pejuang mukinin pada masa awal Islam yang hidup di tengah-tengah kaum musyrikin fanatik. Kepada mereka Allah memerintahkan taqiyyah dengan firman-Nya:

Orang-orang beriman tidak boleh menjadikan orang-orang kafir sebagai peinimpin-peinimpin mereka dengan meninggalkan orang-orang beriman. Barangsiapa melakukan itu, maka putus hubungannya dengan Allah kecuali jika ada sesuatu yang kamu takuti dari mereka. (QS. 3:28)

Definisi taqiyyah ialah menyembunyikan keyakinan atau aqidah di hadapan lawan fanatik dan keras kepala yang dapat membahayakan keselamatan diri, harta dan kehormatannya, di samping tidak ada hasil memadai yang dapat diraih. Dalam keadaan seperti ini seseorang tidak boleh mencelakakan dirinya dan menyia-nyiakan potensinya. Ia harus menjaganya untuk digunakan pada keadaan-keadaan yang diperlukan. Imam Ja'far Shadiq berkata:

T'aqiyyah itu tamengnya orang mukinin. (Wasail Syiah XI/461[1])

Ungkapan bahwa taqiyyah adalah tameng merupakan perumpamaan yang sangat menarik yang menggambarkan bahwa taqiyyah adalah alat pertaharian diri menghadapi lawan. Dalam catatan sejarah telah populer bahwa Sahabat Ammar Ibn Yasir telah bertaqiyyah di hadapan kaum musyrik dan mendapatkan pembenaran dari Nabi Muhammad saw.

Selain itu, apa yang biasa dilakukan para tentara saat berperang, melawan musuh, seperti bersembunyi dan menyimpan rahasia perang pada dasamya merupakan bagian dari taqiyyah yang lazim terjadi pada kehidupan manusia.

Secara urnum, taqiyyab ialah menyembunyikan sesuatu yang apabila menampakkannya dapat berakibat buruk dan dapat mencelakakan diri, di samping tidak memperoleh sesuatu hasil yang memadai.

Sikap seperti ini logis sekali dan dibenarkan oleh syariat. Bukan saja orang Syi'ah yang melaksanakannya, tapi seluruh kaum Muslimin, bahkan seluruh orang-orang berakal, yaitu ketika hal itu diperlukan. Karena itu amat mengherankan jika ada sebagian pihak menganggapnya khas Syi'ah kemudian menjadikannya sasaran tembak terhadap Syi'ah, padahal masalahnya sangat jelas, berakar pada al-Quran dan Sunnah, diamalkan para sahabat, dan dibenarkan oleh semua orang-orang berakal.

66. Posisi Haram Taqiyyah
Syi'ah percaya bahwa sebab utama kesalahfahaman ini adalah kurangnya informasi yang cukup tentang aqidah Syi'ah atau mendapatkannya dari musuh-musuh Syi'ah. Kami berharap, melalui keterangan yang kami berikan ini persoalannya menjadi jelas.

Namun Demikian, kami harus tegaskan bahwa pada beberapa keadaan, taqiyyah haram hukumnya, yaitu ketika dasar agama, Islam, Quran, atau tatanan Islam dalam bahaya. Dalam situasi seperti ini, seseorang harus menampakkan aqidahnya, meskipun nyawa sebagai taruharinya. Karena itulah Syi'ah meyakini bahwa kebangkitan Imam Husain di Karbala merupakan penvujudan dan tujuan mulia ini, sebab penguasa Bani Umaiyah telah sangat rnembahayakan dasar Islam. Kebangkitan Imam Husain telah menggagalkan niat jahat Bani Umayyah dan telah menyelamatkan Islam dari marabahaya.

67. Ibadah Islam
Syi'ah meyakini dan menunaikan semua amal ibadah yang diperintahkan al-Quran dan al-Sunnah, seperti shalat lima, yang merupakan bcntuk hubungan paling utama antara seorang hamba dengan Tuharinya, dan puasa Ramadhari, yang merupakan sarana terbaik untuk memperkuat iman, pensucian diri, taqwa, dan melawan hawa nafsu.

Syi'ah meyakini bahwa haji yang merupakan sarana sangat efektif untuk mewujudkan rasa taqwa, memperkokoh silaturrahini, dan sebab bagi kejayaan kaum Muslimin wajib hukumnya bagi orang yang mampu, paling tidak sekali dalam hidupnya. Demikian pula zakat, khumus, amar ma'ruf, nahi munkar, dan jihad menghadapi musuh-musuh Islam dan musuh-musuh kaum Muslimin. Semua itu wajib hukurnnya, meskipun harus diakui terdapat perbedaan-pcrbedaan antara Syi'ah dengan mazhab-mazhab lain mengenai rincian perkara-perkara di atas, sebagaimana perbedaan arara sesama mazhab empat dalam masalah ibadah maupun lainnya.

68. Menggabungkan Dua Shalat
Di antara perbedaan-perbadaan itu ialah Syi'ah meyakini bahwa antara shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya boleh dijamak atau digabung dalam satu waktu. Meskipun Demikian, meinisahkannya lebih utama daripada menggabungkannya.

Syi'ah meyakini bahwa hukum bolehnya menggabungkan dua shalat itu datang dan Nabi saw sendiri untuk memudahkan umatnya. Dalam Sahih al-Turmudzi disebutkan balswa Ibn Abbas berkata:

Sesungiuhnya Rasulullah saw menggabungkan antara shalat Zhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya' di dalam kotaMadiriah dan tanpa rasa takut atau karena faktor hujan.

Ibn Abbas ditanya, untuk apa Rasululah saw melakukan itu? Ia menjawab: "Rasulullah ingin agar umatnya tidak jatuh dalam kesulitan. (Sunan al Turmudzi 1/354 dan Sunan Baihaqi III/167)

Maksud hadis di atas ialah jika shalat secara terpisah dirasa berat, lebih-lebih pada kondisi kehidupan sosial dewasa ini, terutama kehidupan di pusat-pusat industri, dimana keterikatan dengan lima waktu malah membuat sebagian orang tidak shalat sama sekali, maka rukhsah, kemudahari yang diberikan Rasul ini patut dilaksanakan. Dengan Demikian ia dapat menunjang penegakan shalat secara utuh. Renungkan!

69. Sujud di atas Tanah
Syi'ah meyakini bahwa ketika seseorang sujud dalam shalat ia harus melakukannya dengan meletakkan dahinya di atas tanah atau segala sesuatu yang merupakan bagian dari buini, atau yang tumbuh dari buini, seperti daun, dahari, dan seluruh tumbuh-tumbuhari, kecuali tumbuhari-tumbuhari yang dikonsumsi untuk makanan atau pakaian. Karena itu, Syi'ah tidak memberiarkan sujud di atas sajadah yang terbuat dari kain.

Selain itu, Syi'ah menganggap bahwa sujud di atas tanah lebih afdal dari sujud di atas jenis buini apa pun. Oleh karena itu, agar lebih mudah, banyak penganut Syi'ah yang membawa-bawa lempengan tanah kering yang suci, biasa disebut turbah, untuk digunakan saat sujud dalam shalat. Dasar hukum Syi'ah ialah hadis Rasulullah saw yang menyatakan:

Buini dijadikan untukku sebagai masjid dan pensuci.

Kata masjid disini maksudnya ialah tempat sujud. Hadis ini diriwayatkan oleh kitab-kitab Sihah dan lain sebagainya.[2]

Akan tetapi boleh jadi ada yang menafsirkan kata masjid di sini bukan dalam arti tempat sujud, tapi tempat shalat, yang berarti boleh shalat di mana saja di muka buini ini. Pandangan ini bertolak belakang dengan pandangan yang membatasi shalat hanya pada tempat-tempat tertentu saja. Akan tetapi karena pada riwayat itu digunakan kata tahur, yang berarti tanah itu mensucikan, maksudnya dengan tayammum, maka ia lebih tepat diartikan sebagai tempat sujud daripada tempat shalat, sehingga maknanya menjadi tanah itu mensucikan dan sekaligus sebagai tempat sujud.

Selain hadis di atas, terdapat banyak sekali riwayat-riwayat Ahlubait yang menegaskan bahwa sujud itu harus di atas tanah, batu, dan sejenisnya.

70. Ziarah Kubur Para Nabi dan Imam
Syi'ah meyakini bahwa ziarah ke makam Nabi Muhammad saw, para Imam Ahlubait, wali-wali Allah, dan segenap syuhada merupakan amal yang sangat dianjurkan, sunnah muakkadah. Kitab-kitab Ahlussunnah dan Syi'ah penuh dengan riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang keutamaan ziarah ke makam Nabi saw, sehingga jika riwayat-riwayat ini dikumpulkan akan melahirkan kitab tersendiri.

Dalam perjalanan panjang sejarah, para ulama besar dan segenap lapisan kaum Muslimin, sangat menaruh perhatian pada masalah ziarah ini, sehingga banyak sekali buku yang ditulis mengenai berbagai pengalaman ruharii yang diperoleh para penziarah Nabi dan tokoh-tokoh besar lainnya, sehingga dapat kita katakan bahwa masalah ziarah ini merupakan masalah yang disepakati oleh seluruh kaum Muslimin.

Namun, tentu saja seseorang harus membedakan antara ziarah dan ibadah. Ibadah atau menyembah hanya dilakukan untuk Allah Swt semata, sementara ziarah dimaksudkan untuk memuliakan para pembesar Islam dan memohon syafaatnya di sisi Allah Swt. Bahkan Rasulullah saw sendiri sering berziarah ke kuburan Baqi dan mengucapkan salam kepada penghuni kubur.

Dengan Demikian, seseorang tidak perlu meragukan keabsahari amal ini.

71. Upacara Berkabung dan Falsafahnya
Syi'ah meyakini bahwa memperingati hari-hari kematian para syuhada Islam, terutama syuhada Karbala, merupakan bagian dari upaya menghidupkan nama besar, perjuangan, dan pengorbanan mereka untuk Islam. Oleh karena itu Syi'ah selalu memperingati hari-hari bersejarah itu sepanjang tahun, terutama hari-hari Asyura, yakni sepuluh hari pertama bulan Muharram. Pada hari itu, al-Imam Husain, putra ‘Ali Ibn Abi Thalib, putra Fathimah al-Zahra, cucu Rasulullah saw dan "penghulu para pemuda sorga", sebagaimana sabda Nabi saw, syahid membela Islam. Syi'ah memperingati hari kesyahidannya dan para syuhada yang berjuang bersamanya, menguraikan sejarah hidup, perjuangan, kepahlawanan, dari cita-cita suci mereka, kemudian membacakan doa untuk mereka.

Syi'ah meyakini bahwa Bani Uinayyah telah membangun pemerintahan yang amat membahayakan Islam, merubah, dan merusak syariat Islam, bahkan berusaha menghapus nilai-nilai Islam. Yazid adalah salah seorang dari mereka. Ia adalah penguasa yang zalim, bejat, pembuat maksiat, dan jauh dari nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, Imam Husain bangkit menentangnya, yaitu pada tahun 61 H. Tapi Imam dan seluruh pembelanya gugur di buini Karbala, sementara kaum perempuan Ahlulbait Nabi diperlakukan sebagai tawanan.

Namun Demikian, pengorbanan ini telah menyadarkan kaum Muslimin dewasa itu betapa bejatnya Bani Umayyah dan sekaligus membangkitkan semangat perlawanan yang luar biasa terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Pemberontakan deini pemberontakan menentang kezaliman Bani Umayyah muncul silih berganti, hingga pada akhimya berhasil meruntuhkan pilar-pilar kezaliman mereka dan menghapus nama mereka dari muka buini untuk selama-lamanya. Uniknya, pada setiap pemberontakan menentang Bani Umayyah pasca Asyura, bahkan hingga masa kekuasaan Bani Abbasiyah yang otoriter, para pemberontak justeru menggunakan semboyan:

menuntut balas untuk menyenangkan atau mendapat keridhaan keluarga Muhammad

atau semboyan:

Menuntut balas atas terbunuhnya Husain.

Bagi masyarakat Syi'ah dewasa ini, Kebangkitan atau Revolusi Imam Husain as. merupakan simbol perlawanan menentang segala bentuk kesewenang-wenangan, kezaliman, dan ketidakadilan. Semboyan

Kami pantang Menghinakan diri, dan Hidup adalah ideologi dan jihad.

Dan lain sebagainya yang diajarkan oleh madrasah Karbala senantiasa mendorong kami untuk selalu menentang penguasa-penguasa yang zalim dan melepaskan diri dari cengkraman mereka, dengan berteladan kepada perjuangan Sayyidus-syuhada, penghulu para syuhada, Imam Husain dari sahabat-sahabatnya.

Singkat kata, peringatan hari-hari bersejarah para syuhada Islam, terutama syuhada Karbala, akan membangkitkan dalam diri kita semangat perjuangan, keberanian, pengorbanan, dan syahadah di jalan aqidah dan iman. Pada saat yang sama memberikan pelajaran yang sangat berharga tentang harga diri dan ketidaktundukan kepada kezaliman. Inilah filosofi peringatan hari-hari bersejarah para syuhada yang dilangsungkan setiap tahun.

Boleh jadi ada yang tidak mengerti Sama sekali makna peringatan-peringatan itu sehingga menganggapnya sebagai peristiwa masa lalu yang telah ditelan oleh debu sejarah. Tapi kaum Syi'ah merasakan betul betapa peringatan itu sangat berpengaruh pada sejarah masa lalu, hari ini, dan esok pagi.

Tentu kita tidak lupa upacara bcrkabung yang dilakukan Nabi dan kaum Muslimin saat pamannya Hamzah gugur di medan perang Uhud, seperti direkam oleh semua buku sejarah ternama, yaitu bahwa ketika Nabi saw lewat di dekat rumah salah seorang Anshar, beberapa hari setelah tragedi Uhud, ia mendengar isak tangis dan ratapan. Nabi lalu menangis dan bersedih: "Tapi kasihan Hamzah, tidak ada penangis-penangis untuknya". Saad Ibn Muaz mendengar itu dan segera bergegas ke pemukiman Bani Abdul-asyhal. Ia perintahkan kaum perempuan pergi ke rumah Hamzah dan mengadakan upacara berkabung. (al-Kamil Ibn Atsir, II, h. 163 dan Sirah Ibn Hisyam, III, h. 104)

Tentu saja mendirikan upacara berkabung tidak hanya untuk Hamzah, tapi untuk semua syuhada, supaya generasi-generasi sesudahnya terus mengingat dan menghargai jasa-jasa mereka, sehingga senantiasa memacu semangat kaum Muslimin. Dan secara kebetulan, saat saya menulis baris-baris ini, bertepatan dengan hari Asyura, 10 Muharram 1417 H. Sungguh hari yang luar biasa. Dunia Syi'ah tenggelam dalam keharuan yang sangat dalam. Laki, perempuan, tua, muda, semua mengenakan pakaian hitam, larut dalam suasana berkabung atas peristiwa yang menimpa Imam Husain dan syuhada Karbala. SeDemikian besar pengaruhnya, sehingga jika mereka diininta untuk memerangi musuh-musuh Islam saat itu juga, pasti mereka segera bangkit menyerbu medan jihad dan memberikan apa saja yang dapat mereka berikan, seakan darah kesyahidan mengalir di sekujur tubuh mereka dan seakan tengah berada di medan Karbala bersama-sama Imam Husain, bergumul melawan musuh-musuh Islam dengan semangat tinggi.

Lirik-Lirik syair yang dilantunkan pada upacara agung ini penuh dengan nilai-nilai heroisme: menentang segala bentuk kolonialisme dan keangkuhan, pantang menyerah kepada kezaliman, dan lebih mengutamakan mati dalam kemuliaan daripada hidup penuh kehinaan.

Syi'ah meyakini bahwa ini merupakan modal besar yang harus terus dipelihara guna terus menghidupkan Islam, iman , dan taqwa.

72. Nikah Mut'ah
Syi'ah meyakini bahwa nikah ada dua macam, (1) daim, permanen, dan (2) muwaqqat, temporer. Nikah daim dilakukan untuk waktu yang tak terbatas, sementara nikah muwaqqat atau yang dalam istilah fiqh lebih dikenal dengan sebutan nikah mut'ah masa berlakunya ditetapkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Nikah mut’ah halal hukumnya dan memiliki banyak kesamaan dengan nikah daim. Antara lain: (1) perlunya mahar, (2) tidak adanya penghalang pada pihak perempuan, (3) ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan masalah anak, di mana anak-anak yang lahir buah nikah mut'ah sama posisinya dengan anak-anak yang lahir hasil nikah daim, sedikitpun tidak berbeda, dan (4) kewajiban iddah sesudah perpisahan. Semua ketentuan di atas diyakini Syi'ah dengan sepenuhnya. Dengan kata lam, nikah mut'ah adalah nikah dalam arti sebenarnya.

Akan tetapi tentu saja ada perbedaan-perbedaannya dengan nikah daim, yaitu antara lain: (1) suami tidak wajib memberi nafkah lahir kepada isteri dan (2) kedua-duanya, suaini-isteri, tidak saling mewarisi. Adapun anak-anak, mereka mewarisi kedua orang tuanya, Demikian pula sebaliknya.

Apa pun persoalannya, kehalalan nikah mut'ah ini dipahami Syi'ah dari al-Quran yang berkata:

Perempuan-perempuan yang kamu nikmati, (menikahinya secara mut'ah) berikanlah maharnya kepada mereka, sebagai suatu kewajiban atasmu.(QS. 4:24)

Mengomentari ayat ini, banyak ahli hadis terkemuka dan mufassir temarna menegaskan bahwa ayat tersebut memang menerangkan kehalalan nikah mut’ah. Antara lain dapat dilihat pada kitab Tafsir Thabari yang banyak mengutip riwayat-riwayat Nabi saw yang menegaskan kehalalan nikah mut’ah ini. Demikian pula kesaksian sejumlah besar sahabat Nabi saw. Hal yang sama juga dapat dilihat pada kitab Tafsir al-Durr al-Mantsur dan Sunan Baihaqi, di mana keduanya banyak mengutip riwayat-riwayat tentang kehalalan nikah mut’ah. Bahkan dalam kitab Shahih Bukhari, Musnad Ahmad, Shahih Muslim, dan kitab-kitab hadis lainnya, banyak diriwayatkan hadis-hadis tentang berjalannya nikah mut’ah pada masa Rasulullah saw, meskipun harus diakui terdapat pula riwayat-riwayat yang berseberangan.

Sejumlah fuqaha Sunni percaya bahwa nikah mut’ah memang halal di zaman Rasulullah saw, tapi kehalalannya sudah dibatalkan atau mansukh. Sebagian lainnya percaya bahwa hingga akhir hayat Rasulullah saw, hukum nikah mut’ah tidak pernah dimansukh, tetap halal. Tetapi kemudian haram karena Khalifah Umar telah membatalkannya. Populer pemyataan Umar:

Dua mut’ah yang dulu halal di zaman Rasulullah, aku haramkan dan akan kuhukum pelakunya, yaitu mut’ah perempuan dan mutab haji.[3]

Dengan demikian ada tiga pendapat di kalangan Sunni mengenai kehalalan nikah mut’ah ini. Pertama, menganggap nikah mut’ah telah dibatalkan kehalalannya sejak zaman Rasulullah saw. Kedua, pembatalannya terjadi pada masa kekhalifahan Umar Ibn al-Khattab. Dan ketiga, menolaknya sama sekali; tapi pendapat ketiga ini praktis sedikit sekali.

Perbedaan pandangan seperti ini, sangat lumrah dalam ilmu fiqh. Akan tetapi fuqaha Syi'ah sepakat bahwa nikah mutali halal hukurnnya dan tidak pernah dibatalkan kehalalannya, baik di zaman Rasulullah, apalagi sesudah wafatnya. Bahkan tidak boleh membatalkan suatu hukum yang telah ditetapkan kehalalannya oleh Rasulullah saw.

Syi'ah meyakini bahwa jika kehalalan nikah mut'ah tidak disalahgunakan ia akan memberikan solusi yang sangat baik bagi berbagai problerna sosial, khususnya orang-orang muda yang karena sesuatu dan lain hal belum dapat membina rumah tangga permanen dan para musafir yang terpaksa berpisah dengan keluarganya untuk waktu yang lama karena pekerjaan-pekerjaan mereka. Mengharamkan nikah mut’ah buat kelompok-kelompok ini akan mendorong mereka melakukan perbuatan-perbuahin maksiat; lebih-lebih di era kita saat ini, dimana usia perkawinan semakin meningkat dan pengumbar-pengumbar syahwat semakin meraja-lela. Karena itu, jika jalan ini ditutup maka pasti akan semakin membuka jalan maksiat.

Tapi kehalalan hukum nikah mut'ah ini tidak boleh disalahgunakan. Tidak boleh dijadikan alat untuk mengumbar hawa nafsu atau menyeret perempuan ke lembah kemaksiatan dan kenistaan. Syiah sangat menentang hal ini dan menentang keras segala praktik macam ini. Tapi penyalahgunaan oleh beberapa budak nafsu tidak dapat dijadikan alasan untuk menghapus hukum ini dari akarnya. Itu tidak mungkin. Karena itu, yang perlu kita lakukan adalah bagaimana mencegah penyalagunaan kehalalan hukum nikah ini, bukan menghapusnya.

73. Latar Belakang Syi'ah
Syi'ah meyakini bahwa tasyayyu atau syiahisme sudah dimulai sejak zaman Rasulullah saw dan melalui ungkapan-ungkapan beliau sendiri. Banyak bukti akurat tentang hal itu. Antara lain, riwayat-riwayat yang banyak, yang menyebutkan bahwa maksud orang-orang beriman dan beramal salih dalam ayat:

Sesungsuhnya orang-orang beriman dan beramal saleh adalah sebaik-baiknya mahkluk. (QS. 98:7)

Para mufassir menyebutkan bahwa yang dimaksud orang yang beriman dan beramal saleh dalam ayat ini adalah ‘Ali dan para pengikutnya, ''Ali wa syiatuhu.

Mufassir terkenal al-Suyuthi dalam kitabnya al-Dur ul-Mantsur meriwayatkan sebuah hadits yang dikutipnya dari Ibn Asakir yang meriwayatkan dari Sahabat Jabir Ibn 'Abdillah bahwa:

Suatu hari kami bersama-sama Rasulullah saw. Tiba-tiba 'Ali datang. Rasulullah menunjuk 'Ali dan berkata: "Demi yang diriku berada di tangan-Nya! Sesungguhnya ini ('Ali, pen) dan para pengikutnya, sungguh merupakan orang-orang yang beruntung di hari kiamat". (al-Dur al-Mantsur, VI/379)

Lalu turunlah ayat:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk (QS. 98:7)

Maka sejak itu, jika ‘Ali datang, para Sahabat menyambutnya dengan mengucapkan, “Makhluk paling baik datang”.

Makna yang sama, dengan sedikit perbedaan, juga diriwayatkan oleh Ibn Abbas, Abu Barzah, Ibn Mardawaih, dan Atiyyah al-'Ufi.

Dengan Demikian kita lihat bahwa pemberian nama Syi'ah pada orang-orang yang memiliki hubungan khusus dengan ‘Ali telah terjadi pada masa Rasulullah saw, bahkan Nabi sendiri yang memberikan nama itu kepada mereka; bukan pada zaman khulafa, Safawi, atau lain sebagainya.

Syi'ah sangat menaruh hormat kepada mazhab-mazhab lain, ikut shalat berjamaah bersama-sama mereka dalam satu shaf, mengerjakan ibadah haji pada waktu dan tempat yang sama, serta bahu membahu mewujudkan cita-cita mulia Islam. Tapi pada waktu yang sama, Syi'ah meyakini bahwa mengikuti ‘Ali as memiliki keunggulan-keunggulan dan mendapatkan perhatian khusus dari Rasulullah saw. Karena itu kaum Syi'ah memilih menjadi penganutnya.

Namun Demikian, sekelompok penentang Syi'ah terus memaksakan pendapatnya seakan Syi'ah memiliki hubungan dengan 'Abdullah Ibn Saba, seorang Yahudi yang kemudian masuk Islam, dan mengikuti ajaran-ajarannya. Sungguh pandangan yang aneh. Sebab Syi'ah sama sekali tidak pernah berhubungan dengan orang ini. Bahkan di kitab-kitab rijal mereka disebutkan bahwa orang bemama 'Abdullah Ibn Saba adalah sesat dan menyimpang. Malah ada beberapa riwayat Syi'ah yang menyatakan bahwa Imam ‘Ali telah memerintahkan hukuman mati terhadap 'Abdullah Ibn Saba karena ia telah murtad dan keluar dari agama Islam.

Terlepas dari semua itu, sebetulnya tokoh dengan nama 'Abdullah Ibn Saba ini diragukan keberadaannya. Sebagian ahli percaya bahwa tokoh ini fiktif dan tidak pernah ada dalam sejarah, apalagi sebagai pendiri Syi'ah. Tapi anggaplah bahwa 'Abdullah Ibn Saba ini memang ada, namun menurut Syi'ah ia adalah seorang yang sesat dan menyimpang.

74. Peta Mazhab Syi'ah
Penting untuk disinggung di sini bahwa pusat Syi'ah tidak selalu di Iran. Di abad-abad pertama Islam, justeru Syi'ah sangat kuat di negeri-negeri seperti Kufah, Yaman, dan Madinah. Bahkan di Syam sendiri, yang nota bene merupakan basis utama Bani Umayyah yang senantiasa menjelek-jelekkan Syi'ah terdapat beberapa pusat Syi'ah, meskipun tidak seluas di Irak. Di Mesir selalu ada komunitas Syi'ah, dan bahkan Mesir pernah diperintah oleh penguasa-penguasa Syi'ah, yaitu pada masa kekhalifahan Fatimiyah.

Dewasa ini Syi'ah tersebar di seantero dunia, termasuk Saudi Arabia, khususnya di wilayah timur. Di sana hidup ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan kaum Syi'ah. Selain itu, orang-orang Syi'ah hidup rukun dan damai dengan saudara-saudaranya dan mazhab-mazhab lain, betapapun musuh-musuh Islam senantiasa menabur benih permusuhan, syakwasangka, saling curiga, menyulut api perselisihan dan peperangan antara penganut Syi'ah dengan golongan Islam lainnya. Tujuannya supaya kedua kelompok sama-sama lemah. Lebih-lebih dewasa ini, dimana Islam telah menjelma sebagai kekuatan besar dunia yang berani berhadap-hadapan dengan Barat dan Timur. Bahkan mampu menarik masyarakat dunia yang telah jenuh dan putus asa dengan peradaban materialistik ke dalam dirinya.

Maka salah satu harapan besar musuh-musuh Islam agar mereka dapat memporakporandakan kekuatan Islam dan menjegal laju Islam ke seluruh dunia ialah dengan cara menyulut api perpecahan antara mazhab-mazhab Islam sehingga umat Islam sibuk dengan diri mereka sendiri. Tapi jika umat Islam menyadari hal ini dan tidak terpancing provokasi musuh-musuh Islam, sudah pasti konspirasi jahat ini tidak akan berhasil.

Dalam pada itu meskipun tidak ada data rinci mengenai jumlah penganut Syi'ah dan perbandingannya dengan penganut mazhab Islam lainnya, akan tetapi berdasarkan beberapa catatan, dapat dikatakan bahwa jumlah penganut Syi'ah di seluruh dunia sekitar 25 % dari total jumlah kaum Muslimin atau sekitar 200 hingga 300 juta jiwa.

75. Warisan Ahlulbait
Para penganut mazhab Syi'ah meriwayatkan banyak hadis Nabi saw dari jalur imam-imam Ahlulbait, sebagaimana juga meriwayatkan banyak hadits Imam ‘Ali dan para imam lainnya. Dewasa ini, hadis-hadis tersebut merupakan sumber utama fiqh Syi'ah dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Hadis-hadis tersebut antara lain dapat ditemukan pada empat kitab hadis utama yang dikenal dengan nama al-Kutub al-Arbaah atau Kitab Ernpat, yaitu al-Kafi, Man La Yahduruhul-faqih, al-Tahzib, dan al-Istibshar. Akan tetapi sekali lagi perlu ditegaskan bahwa betapa pun hadis-hadis tersebut diriwayatkan oleh kitab-kitab utama tersebut di atas atau oleh kitab-kitab mu'tabar, diakui, lainnya, namun tidak berarti bahwa hadis tersebut dengan sendirinya telah diakui kebenarannya atau valid. Sama sekali tidak Demikian. Tetapi setiap hadis mem-liki sanad, dan untuk menentukan validitasnya perlu diteliti status para perawinya satu persatu. Jika semuanya orang-orang yang dapat dipercaya baru kita anggap hadis tersebut sahih. Diluar itu, hadis tersebut masuk dalam katagori hadits masykuk, yang diragukan, atau hadits dha’if, lemah. Pekerjaan ini biasa dilakukan para ulama, ahli hadis, dan pakar rijal hadis.

Dari sini dapat kita lihat bahwa terdapat perbedaan antara Syi'ah dan Ahlussunnah dalam menghimpun atau jam’ al-ahadits, yaitu bahwa kitab-kitab hadis yang dikenal dengan nama kitab-kitab hadis sahih atau al-sihah, terutama Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, dihimpun oleh para penyusunnya dengan keyakinan bahwa hadis-hadis tersebut sahih, sehingga setiap hadis yang terdapat pada kitab-kitab tersebut dapat mencerminkan aqidah Ahlussunnah. Tapi tidak demikian dengan hadis-hadis Syi'ah. Para penyusunnya sekedar menghimpun hadis-hadis yang disebut berasal dan Ahlubait. Adapun soal sahih dan tidaknya diserahkan kepada ilm ar-rijal untuk menelitinya. Renungkan!

76. Dua Kitab Utama
Di antara sumber-sumber utama Syi'ah lainnya yang merupakan warisan agung Ahlubait adalah kitab Nahjul-balaghah, yang menghimpun pidato-pidato, surat-surat, dan untaian kata-kata mutiara Imam 'Ali Ibn Abi Thalib. Kitab ini disusun oleh Syarif al-Radhi lebih dari seribu tahun lalu.

Kitab Nahjul-balaghah adalah kitab yang sangat luar biasa. Kandungan maknanya sangat dalam. Bahasanya sangat tinggi dan tutur katanva sangat indah, sehingga membuat setiap pembacanya, apa pun latar belakang agama dan mazhabnya, pasti terjerat ke dalam daya tariknya yang sangat luar biasa. Betapa indahnya jika kitab ini juga dibaca oleh selain orang Islam sehingga mereka dapat mengenal ajaran luhur Islam di bidang tauhid, mabda, hari permulaan, ma'ad, hari akhir, politik, akhlak, dan sosial.

Warisan agung lainnya adalah kitab al-Sahifah al-Sajjadyah, yaitu kumpulan doa-doa terbaik, terindah, dan terfasih, dengan kandungan makna yang sangat dalam dan tinggi, yang pada hakikatnya, meskipun dengan metoda yang berbeda, melakukan fungsi yang sama dengan kitab Nahjul-balaghah, mengajarkan nnanusia pelajaran-pelajaran baru melalui kalimat demi kalimatnya, mengajarinya bagaimana cara berdoa dan bermunajat kepada Allah serta membuat ruh dan jiwa manusia terang benderang dan bersih.

Sesuai dengan namanya, al-Sajjadyah, doa-doa yang terdapat dalam kitab ini merupakan kumpulan doa-doa Imam keempat Syi'ah, ‘Ali Zainal 'Abidin, yang dikenal dengan sebutan al-Sajjad, yang selalu sujud kepada Allah. Setiap kali kaum Syi'ah menginginkan penghayatan makna doa dan lebih dekat kepada Allah serta memiliki kerinduan kepada-Nya, maka mereka segera menuju doa-doa ini. Niscaya jiwa mereka akan segar kembali sebagaimana tumbuh-tumbuhan yang segar dengan kucuran hujan di musim semi.

Hadis-hadis Syi'ah, yang jumlahnya mencapai puluhan ribu, sebagian besar diriwayatkan dari Imam Muhammad al-Baqir dan Imam Ja'far Ibn Muhammad al-Shadiq, imam kelima dan keenam. Selain itu, dari Imam 'Ali Ibn Musa al-Ridha, imam kedelapan, juga diriwayatkan jumlah yang cukup banyak. Demikian itu karena ketiga imam ini hidup pada masa tekanan-tekanan penguasa Bani Umayyah, Bani Abbas, dan lawan-lawan mereka lainnya terhadap Syi'ah berkurang, sehingga mereka lebih leluasa menyampaikan hadis-hadis yang mereka dengar dari nenek moyang mereka, dari Rasulullah saw, dalam semua bidang ilmu dan fiqh. Penyebutan mazhab Syi'ah dengan mazhab Ja'fari tidak lain karena sebagian besar hadis-hadis dalam Syi'ah diriwayatkan dari Imam Ja'far Ibn Muhammad al-Shadiq, yang hidup pada masa peralihan dari Bani Umayyah yang mulai lemah kepada Bani Abbas yang belum mendapatkan kekuatan penuh, sehingga praktis tekanan-tekanan terhadap Syi'ah berkurang.

Dalam pada itu populer bahwa Imam Ja'far Shadiq telah menghasilkan empat ribu murid dalam ilmu-ilmu hadis, fiqh, dan pengetahuan Islam. Imam mazhab Hanafi, Abu Hariifah, menggambarkan Imam Ja'far Shadiq dalam sebuah ungkapan sebagai berikut;

Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih ahli dalam agama daripada Ja'far Ibn M.uhammad. (Tadzkiratul-Huffazh, 1/166)

Sementara itu Imam Malik Ibn Anas mengungkapkan:

Untuk waktu beberapa lama aku kerap berkunjung ke rnmah Ja'far Ibn muhammad. Setiap kali aku datang ke rumahnya kudapati ia antara tiga keadaan, shalat, puasa, atau membaca al-Qur'an. Sungguh aku tidak melihatnya berbicara kecuali dalam keadaan suci. (Tahdzib at-Tahdzib, II/104)

Sebetulnya banyak sekali kesaksian para ulama Islam tentang kebesaran para imam Ahlubait, tetapi karena sempitnya ruang, kesaksian-kesaksian itu tidak dapat direkam disini.

77. Peran Syi'ah dalam Pengembangan Ilmu-Ilmu Islam
Syi'ah meyakini bahwa mereka punya peranan yang sangat nyata dalam kelahiran dan perkembangan ilmu-ilmu Islam, bahkan sebagian percaya justeru Syi'ahlah sumber ilmu-ilmu Islam. Untuk itu mereka menunjukkan berbagai karya yang ditulis tentang ini dan data serta bukti yang mendukung pandangan mereka. Akan tetapi kami berpendapat bahwa paling tidak, Syi'ah tidak dapat diingkari telah berperan besar dalam kelahiran ilmu-ilmu Islam. Berbagai kitab yang disusun ulama-ulama Syi'ah di berbagai bidang ilmu adalah bukti paling nyata tentang ini. Ada ribuan karya fiqh dan ushul-fiqh, yang sebagiannya bahkan merupakan karya-karya luar biasa dan tidak ada bandingannya. Ribuan karya tafsir dan ulumul-qur'an, ilmu-ilmu al-Quran. Ribuan karya aqidah dan ilmu kalam, dan ribuan lagi karya-karya lainnya. Banyak dari karya-karya tersebut yang hingga kini masih tersimpan dengan baik di berbagai perpustakaan Syi'ah dan perpustakaan terkenal dunia. Setiap orang dapat melihatnya dan membuktikan kebenaran klaim kami ini. Bahkan seorang ulama terkenal Syi'ah telah mendata karya-karya tersebut yang hasilnya adalah 26 buku jilid besar tentang karya ulama Syi'ah masa lalu.

Pantas disebutkan disini bahwa beberapa dekade terakhir ini terlihat usaha-usaha senus untuk menghidupkan kembali karya-karya para ulama Syi'ah masa lalu itu mengungkap naskah-naskah kuno, dan kemudian menerbitkannya; sebagaimana juga telah disusun ratusan ribu karya baru dalam berbagai bidang ilmu-ilmu keislaman.

78. Jujur dan Amanat Dua Sendi Utama Islam
Syi'ah meyakini bahwa kejujuran, arnanat, dan ikhlash merupakan sendi-sendi utama Islam. Allah berfirman:

Allah berfirman: "Inilah hari dimana kejujuran bermanfaat bagi orang-orang jujur. (QS. 5:119)

Bahkan dari beberapa ayat dapat ditangkap bahwa balasan yang akan diterima manusia di hari akhirat nanti tergantung pada kejujuran dan keikhlasannya, yaitu dalam iman, kepatuhan kepada aturan-aturan Allah Swt, dan dalam semua aspek kehidupan.

Agar Allah memberikan pahala kepada orang-orang jujur karena kejujurannya. (QS. 33: 24)

Sebagairnana telah disinggung sebelum ini, sesungguhnya al-Quran memerintahkan kita agar bersikap jujur dan selalu bersama orang-orang suci dan jujur.

Hai orang-orang yang beriman bergabunglah bersama orang-orang jujur.(QS. 9:119)

Begitu pentingnya masalah ini sehingga Allah Swt memerintahkan nabi-Nya agar meminta-Nya supaya dalam segala hal masuk dengan cara yang bersih, jujur, dan keluar dengan cara yang bersih, jujur.

Dan katakanlah: "Tuhan! masukkanlah aku dengan cara yang baik, benar, dan keluarkanlah aku dengan cara yang baik, benar. (QS. 17:80)

Selain itu, sebagaimana yang ditegaskan hadits-hadits Islam, Allah tidak mengutus seorang rasul kecuali bersikap jujur dan menyampaikan amanat kepada orang baik maupun bejat.

Sesungguhrya Allah swt tidak mengutus seorang rasul kecuali dengan kebenaran ucapan dan penyampaian amanat kepada yang baik maupun yang bejat. (Bihar al-Anwar68:2 dan 2:104)

Menyadari hal itu maka kami berusaha sekeras mungkin kiranya kajian-kajian yang kami lakukan pada kitab ini penuh kejujuran dan jauh dari segala bentuk pelanggaran kebenaran dan khianat. Kami berharap, dengan pertolongan Allah, telah melaksanakan tugas dengan baik. Sesungguhnya Dia sebaik-baiknya penolong.

79. Penutup
Apa yang telah kami jelaskan pada kitab ini merupakan ikhtisar aqidah mazhab Ahlubait atau Syi'ah dalam masalah ushuluddin, pokok-pokok agama, dan furu', cabang-cabang agama.

Sedikitpun tidak ada perubahan atau pembelokan. Pada saat yang sama kami juga telah mengemukakan alasan-alasan sekedarnya, baik berupa ayat-ayat al-Quran, al-Sunnah, atau karya ulama-ulama terkemuka Islam, meskipun sempitnya ruang sebetulnya tidak memungkinkan kami untuk mengemukan semua sumber, karena, sekali lagi, tujuan kami memang menulis secara ringkas.

Tapi kami percaya bahwa kajian-kajian yang ada dalam kitab ini:

1) Dapat menjadi sumber yang baik untuk mengetahui aqidah Syi'ah secara benar, karena meskipun ringkas, tapi keterangan-keterangannya jelas dan teliti. Karena itu, para penganut mazhab-mazhab Islam, bahkan non Islam, dapat merujuk ke kitab ini untuk mengetahui garis-garis besar aqidah penganut mazhab Ahlubait langsung dan tangan pertama.

2) Dapat dijadikan hujjah ilahyah, kebenaran Ilahi yang harus diterima, atas orang-orang yang kadang-kadang, karena kebodohannya, menghakimi Syi'ah atau mengambilnya dari anasir yang tidak jelas dan patut dicungai, atau dan sumber-sumber yang tidak diakui.

3) Dengan menyimak aqidah Ahlulbait sebagaimana dipaparkan dalam kitab ini tampak jelas bahwa perbedaan antara aqidah mazhab Ahlulbait dengan mazhab-mazhab Isiami lainnya bukanlah sesuatu yang dapat menghambat hubungan baik dan kerja sama antara mereka, karena persamaan-persamaan antara mazhab-mazhab Islam jauh lebih banyak. Apalagi mereka memiliki musuh bersama yang selalu mengancam mereka.

4) Kami percaya bahwa ada tangan-tangan jahil yang selalu berusaha membesar-besarkan perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam mazhab-mazhab Islam, supaya umar Islam berperang satu sama lain. Dengan Demikian mereka dapat menghambat gerak laju Islam yang begitu cepat dewasa ini ke seluruh pelosok dunia untuk mengisi kekosongan akibat runtuhnya komunisme dan semakin menumpuknya problema yang diwariskan tatanan matenalistik kapitalisme.

Umat Islam harus waspada dan tidak memberikan kesempatan sedikitpun kepada musuh-musuhnya untuk menjalankan rencana busuk mereka, sehingga peluang yang begitu baik ini untuk melakukan dakwah Islamiyah ke seluruh dunia tidak terbuang percuma.

5) Kami percaya jika ulama-ulama Islam dan berbagai mazhab duduk berSama dan membahas persoalan-persoalan yang diperselisihkan dengan penuh ketulusan, jujur, ikhlash, dan jauh dan suasana permusuhan atau sikap ngotot, maka peluang mengurangi perbedaan terbuka sangat lebar. Kami tidak mengklaim dapat menghapus semua perbedaan, tapi paling tidak, dapat menguranginya, seperti yang terjadi akhir-akhir im di Zahedan, Iran, dimana ulama-ulama Syi'ah duduk serneja dengan ulama-ulama Sunni, yang berakhir dengan keberhasilan mereka mengurangi banyak perbedaan di antara mereka.

Akhimya kami memanjatkan doa kepada Allah:

Tuhan! Ampunilah kami dan saudara-saudara kami seiman yang telah mendahului kami. Janganlah engkau jadikan di hati kami perasaan iri kepada orang-orang yang beriman. Tuhan! Sungguh Engkau Mahapengasih lagi Mahapenyayang.[]

BIOGRAFI
Beliau adalah salah seorang faqih terkenal kota Qom dan mengajar di jenjang tertinggi fiqih (bahtsul kharij), memiliki karya tulis yang cukup banyak dan yang tersohor dengan karyanya, "Tafsir-e Nemuneh". Beliau lahir pada tahun 1345 H. di kota Syiraz. Ayah beliau bernama Ali Muhammad Makarim. Pendidikan dasar dan menengah beliau selesaikan di kota Syiraz dan pada umur 14 tahun, beliau memulai pelajaran agama di madrasah Aqa Babakhan. Pada umur 18 tahun beliau memasuki hauzah ilmiyah Qom dan berguru pada Ayatullah Al-Uzhma Burujerdi dan ulama-ulama besar lainnya. Pada tahun 1349 H, beliau belajar di hauzahNajaf Al-Asyraf di bawah bimbingan Ayatullah Al-Uzhma Hakim, Ayatullah Al-Uzhma Khu'i, Ayatullah Sayid Abdul Hadi Syirazi. Pada bulan Sya'ban tahun 1370 H, beliau kembali ke Iran dan mulai mengajar ilmu ushul fiqih dan haih tingkat tinggi (bahtsul kharij). Beliau adalah pendiri beberapa pusat pendidikan dan pengkajian ilmiah, seperti Madrasah Amirul Mu'ininin a.s., Madrasah Imam Hasan Mujtaba a.s., dan Madrasah Imam Husein a.s.

Karya-karyanya
1. Anwarul Ushul

2. Anwarul Faqahah

3. Tafsir-e Nemuneh (28 jilid)

4. Ta'liqat 'alal 'Urwatil Wutsqa

5. Risalah Taudhihul Masa'il

6. Manasik Hajj

7. Manasik-e Umreh-e Mufradeh

8. Mudiriyat wa Farmadehi dar Islam

9. Zubdatul Ahkam

10. Majmu'ehe-e Estefta' at-e Jadid

11. Payam-e Qur'an (10 jilid)

12. Ahkam-e Noujawanan

13. Islam wa Azadi-e Bardeqan

14. Ma'ad wa Jahan-e Pas az Marg

15. Ushul-e Aqa'id

16. I'tiqad-e Ma

17. Zendegi dar Partu-e Akhlaq

18. Hukumat-e Jahani

19. Musykelat-e Jinsi-e Jawanan

20. Mu'ammay-e Hasti

21. Dar Justeju-e Khoda

22. 'Aqideh-e Yek Musalman

23. Jelweh-e Haqq

24. Yek Sad wa Panjah Dars-e Zendegi

25. Taqiyeh

26. Tarh-e Hukumat-e Eslami

27. Anwar-e Hidayat

[1] Di beberapa Riwayat, bunyi hadis di atas demikian: tursullah fil ardh, tamengnya Allah di muka bumi.

[2] Antara lain Bukhari dalam Shahihnya dari Jabir ibn Abdillah, bab tayammum, jilid I, hal. 91; Nasai dalam Shahihnya dari Jabir ibn Abdillah, bab tayammum dengan permukaan tanah. Demikian pula Musnad Ahmad dari ibn Abbas (lihat jilid I, hal. 301). Riwayat yang sama juga diriwayatkan dalam kitab-kitab Syiah.

[3] Hadis di atas dengan redaksi yang sama atau redaksi lain yang tidak berbeda dari segi makna dapat Anda lihat pada banyak sumber, antara lain Sunan Baihaqi, jilid VII, hal.206. Sementara itu, penulis al-Ghadir dalam kitabnya mencatat ada 25 kitab sahih dan musnad yang menukil hadis tentang mut’ah bahwa nikah mut’ah halal hukumnya dalam Islam dan bahwa pada masa Nabi saw, Khalifah Abu Bakar, dan beberapa tahun masa kekhalifahan Umar telah berjalan dengan lazim. Hanya saja Umar kemudian mengharamkannya pada akhir usianya. (Lihat al-Ghadir, jilid II, hal.322)

7