• Mulai
  • Sebelumnya
  • 18 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 89705 / Download: 531
Ukuran Ukuran Ukuran
Peradaban Syiah dan Ilmu Keislaman

Peradaban Syiah dan Ilmu Keislaman

pengarang:
Indonesia
Peradaban Syiah dan Ilmu Keislaman Peradaban Syiah dan Ilmu Keislaman


OLEH: Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr

Pengantar: Prof. Dr. Sulaiman Dunya

Penerjemah: Ammar Fauzi

1
Kisah Para Nabi Allah

DAFTAR ISI:
Prakata Penerbit ¯ 7

Pengantar oleh Sulaiman Dunya ¯ 12

Tentang Penulis oleh Syarafuddin Al-Musawi ¯ 27

Kelahiran dan Masa Kanak-kanak ¯ 27

Menuju Najaf ¯28

Menuju Samarra ¯ 30

Sekelumit Ihwal Sang Guru ¯ 33

Kembali ke Kadzimain dan Beberapa Kegiatan di Sana ¯ 43

Ihwal Forum-forum Ilmiah ¯46

Derajat Keilmuan ¯ 46

Perdebatan demi Kebenaran ¯ 47

Talenta Sastra ¯ 47

Karya Limiah ¯ 48

Perpustakaan Pribadi ¯61

Guru-guru Riwayat ¯ 63

Penampilan Lahiriah ¯ 64

Watak dan Karakter ¯ 65

Para Pencatat Riwayat Hidupnya ¯ 66

Para Penerima Ijazahnya ¯68

Hari Wafat, Pemakaman Jenazah dan Majelis Duka ¯ 69

Media Massa Irak dan PeringatanWafat ¯ 71

Media Massa Lebanon ¯ 77

Pendahuluan ¯ 86


Bab Pertama: Kepeloporan Syi’ah dalam Ilmu-ilmu Al-Quran ¯ 89

1. Tentang Orang Pertama yang Mengarang Kitab Mengenai Ilmu Tafsir Al-Quran ¯ 90

2. Tentang Orang Pertama yang Mengarang di Bidang Qiroah dan Merumuskannya Sebagai Ilmu, dan Orang Pertama yang Menghimpun Bacaan-bacaan Al-Quran ¯ 92

3. Tentang Orang Pertama yang Mengarang di Bidang Ilmu Ahkamul Quran ¯ 96

4. Tentang Orang Pertama yang Mengarang di Bidang Ilmu Gharibul Quran ¯ 96

5. Kepeloporan Syi’ah dalam Penyusunan Ilmu Ma’anil Quran ¯ 98

6. Tentang Tokoh-tokoh Ilmu Al-Quran dari Kaum Syi’ah ¯103

7. Tentang Tafsir Pertama yang Menghimpun Ilmu-ilmu Al-Quran ¯ 114


Bab Kedua: Kepeloporan Syi’ah dalam Ilmu-ilmu Hadis ¯ 116

1. Tentang Orang Pertama yang Mengumpulkan Hadis dan Menyusunnya ke dalam Bab-bab ¯ 117

2. Tentang Orang Pertama dari Kaum Sahabat yang Syi’ah yang Mengumpulkan Hadis di dalam Satu Bab dan Satu Judul ¯ 118

3. Tentang Orang Pertama yang Menyusun Kata-kata Hikmah Para Tokoh Tabi’in Syi’ah ¯ 119

4. Tentang Orang Pertama Penghimpun Hadis di Pertengahan Abad Kedua ¯124

5. Tentang Orang Pertama dari Kaum Syi’ah yang Menyusun Kitab Hadis Setelah Pertengahan Abad Kedua ¯ 125

6. Tentang Jumlah Kitab yang dikarang oleh Orang Syi’ah tentang Hadis dari Jalur Ahlul Bait, Sejak Masa Imam Ali bin Abi Thalib Sampai Masa Imam Hasan Al-Askari a.s. ¯ 126

7. Tentang Generasi Berikut yang Menjadi Tokoh Ilmu Hadis dan Penyusun Kitab-kitab Induk yang Hingga Kini Menjadi Rujukan Hukum-hukum Syar’i Kaum Syi’ah ¯ 126

8. Kepeloporan Kaum Syi’ah dalam Menggagas Ilmu Dirayah dan Membaginya ke Beberapa Cabang Utama ¯ 130

9. Tentang Orang Pertama yang Menyusun Ilmu Rijal dan Riwayat Hidup Para Perawi ¯ 132

10. Tentang Orang Pertama yang Mengarang Kitab Mengenai Ilmu Thobaqot ¯135


Bab Ketiga: Kepeloporan Syi’ah dalam Ilmu Fiqih ¯ 137

1. Tentang Orang Pertama yang Pengarang Kitab di Bidang Ilmu Fiqih, Merumuskan dan Menyusun Bab-babnya ¯ 137

2. Tentang Tokoh-tokoh Tersohor dari Fuqoha Generasi Pertama Syi’ah ¯ 139

3. Tentang Banyaknya Jumlah Nama Faqih dari Generasi Pertama yang Mengarang Kitab Berdasarkan Mazhab Imam Ja’far ibn Muhammad Ash-Shadiq a.s. ¯140

4. Tentang Sebagian Kitab-kitab Induk Fiqih yang Dikarang oleh Sahabat-sahabat Para Imam Ahlul Bait dari Generasi Pasca Tabi’in ¯ 142


Bab Keempat: Kepeloporan Syi’ah di Bidang Ilmu Kalam ¯ 143

1. Tentang Orang Pertama yang Menulis dan Merumuskan Ilmu Kalam ¯ 143

2. Tentang Orang Pertama dari Syi’ah Imamiyah yang Berdebat Seputar Mazhab Syi’ah ¯ 144

3. Tentang Tokoh-tokoh Besar Ilmu Kalam dari Syi’ah ¯ 146


Bab Kelima: Kepeloporan Syi’ah dalam Ilmu Ushul Fiqih ¯ 161


Bab Keenam: Kepeloporan Syi’ah di Dunia Islam dalam Ilmu Firoq ¯164


Bab Ketujuh: Kepeloporan Syi’ah dalam Ilmu Akhlak ¯ 166


Bab Keselapan: Kepeloporan Syi’ah dalam Ilmu Siroh ¯ 169


Bab Kesembilan: Kepeloporan Syi’ah dalam Penyusunan Sejarah Islam ¯ 171

1. Tentang Orang Pertama yang Mengarang di Bidang Sejarah Islam ¯ 171

2. Tentang Orang Pertama yang Menulis Tentang Semua Macam Sejarah Islam ¯ 172

3. Kepeloporan Syi’ah di Bidang Geografi ¯ 176

4. Tentang Tokoh-tokoh Lain yang Mengarang Kitab di Bidang sejarah, Kisah dan Arkeologi dari Kaum Syi’ah Menurut Kesaksian Para Ulama ¯ 177

5. Tentang Orang Pertama yang Mengarang di Bidang Ilmu Klasik (Awail) ¯ 189


Bab Kesepuluh: Kepeloporan Syi’ah dalam Ilmu Bahasa Arab ¯ 190

1. Tentang Orang Pertama yang Membatasi dan Menghimpun Ucapan Orang Arab ke dalam Sebuah Cabang Ilmu, lalu Menjelaskan Strukturnya dalam Bentuk Huruf Hijaiyah dan Urutannya ¯ 190

2. Tentang Sebagian Pakar Termasyhur Ilmu Bahasa Arab dari Syi’ah yang Mengungguli Selain Mereka ¯ 192

3. Kepeloporan Syi’ah di Bidang Ilmu Insya’ (Seni Karang) ¯199

4. Kepeloporan Syi’ah dalam Seni Tulis di Dunia Islam ¯199

5. Generasi Lain dari Tokoh-tokoh Syi’ah dalam Seni Karang ¯ 209


Bab Kesebelas: Kepeloporan Syi’ah Di Bidang Ilmu Ma’ani, Bayan, Fashahah dan Balaghah ¯ 218

1. Tentang Orang Pertama yang Meletakkan Ilmu Ma’ani dan Bayan ¯ 218

2. Tentang Sebagian Karya yang Disusun oleh Kaum Syiah Berkenaan dengan Ilmu Ma’anie dan Ilmu Bayan Pasca Peletakkannya ¯ 220

3. Seputar Ilmu Badi’e ¯ 221


Bab Kedua Belas: Kepeloporan Syi’ah dalam Ilmu ‘Arudh ¯ 223

1. Tentang Orang Pertama yang Meletakkan Ilmu ‘Arudh ¯ 223

2. Tentang Orang Pertama yang Mengarang Kitab di Bidang ‘Arudh Pasca Al-Khalil ¯ 226

3. Tentang Kitab ‘Arudh yang Dikarang oleh Kaum Syi’ah ¯ 227


Bab Ketiga Belas: Kepeloporan Syi'ah dalam Bidang-bidang Seni Puisi di Dunia Islam ¯ 229


Bab Keempat Belas: Kepeloporan Syi'ah di Bidang Ilmu Sharaf ¯ 241

1. Tentang Peletak Pertama Ilmu Sharaf dalam Islam ¯241

2. Tentang Orang Pertama yang Mengarang di Bidang Ilmu Sharaf ¯ 242

3. Tentang Kitab-kitab Sharaf yang Ditulis oleh Orang Syi'ah untuk Pertama Kalinya ¯ 243


Bab Kelima Belas: Kepeloporan Syi'ah dalam Ilmu Nahwu ¯ 244

1. Tentang Peletak Pertama Ilmu Nahwu untuk Bangsa Arab ¯ 244

2. Tentang Orang Pertama yang Menyusun Ilmu Nahwu ¯ 245

3. Penyelidikan atas Sebab yang Mendorong Amiril Mukminin Hingga Meletakkan Kaidah-kaidah Ilmu Nahwu dan Mem-batasi Cakupannya, dan Penyelidikan atas Sebab yang Membuat Abul Aswad Menyusun Ilmu Nahwu ¯ 253

Penutup ¯ 262

4. Tentang Orang Pertama yang Belajar Nahwu pada Abul Aswad ¯ 263

5. Tentang Orang Pertama di Kota Basrah dan Kufah yang Mengembangkan Ilmu Nahwu dan Mengurai Rincian Tema-temanya serta Memperkaya Argumentasinya ¯ 264

6. Tentang Tokoh-tokoh Besar Ilmu Nahwu dari Kaum Syi’ah ¯ 265

2
Kisah Para Nabi Allah

PRAKATAPENERBIT
Berpolemik dan berbeda pendapat merupakan tabiat manusia. Sebagai Sang Pencipta Yang Maha Bijak, Allah swt. menghendaki tabiat dan fitrah ini tetap berjalan di atas keimanan yang benar. Oleh karena itu, adanya sebuah tolok ukur yang kelak menjadi rujukan semua pihak adalah satu keniscayaan yang tidak dapat dielakkan lagi. Allah swt. telah menurunkan kitab pedoman dengan kebenaran yang akan menjadi penengah bagi umat manusia dalam pelbagai hal yang diperselisihkan (QS.2:213).

Tanpa bekal ini, kehidupan yang sehat tidak akan dapat berlangsung. Ini adalah ketentuan yang telah ditegaskan oleh Al-Quran dan dilandaskan di atas asas Tauhid yang absolut. Lalu, penyimpangan, mitos dan kebohongan mulai dan terus menerus dilakukan oleh anak cucu Adam, hingga akhirnya mereka mulai menjauh dari asas yang kuat ini.

Dari sini jelas, bahwa manusia tidak akan sanggup menjadi penengah antara kebenaran dan kebatilan selagi mereka masih menjadi abdi hawa nafsu dan kesesatan. Al-Quran telah datang, namun hawa nafsu telah mencabik-cabik manusia ke pelbagai arah. Ambisi, obsesi, keresahan dan kesesatan telah melemahkan seseorang dalam menerima hukum dan arahan Al-Quran dan memalingkan mereka dari merujuk kepada kebenaran yang telah jelas.

Menurut Al-Quran, kedurhakaan adalah hal yang telah menggiring manusia kepada pertikaian, kecongkakkan dan ketidakacuhan (Ibid). Selain itu, kebodohan juga merupakan faktor lain dari timbulnya polemik dan perpecahan. Hanya saja, bukankah telah dipesankan bahwasanya seorang jahil hendaknya bertanya kepada orang yang tahu (QS.21:7, 16:43). Oleh karena itu, tindakan menerjang yang dilakukan oleh seorang yang bodoh terhadap asas yang diterima akal dan diterapkan oleh para akil ini adalah pelanggaran terhadap kaidah dan metode paling jelas dalam rangka menutup retak perselisihan.

Islam adalah agama yang abadi yang terangkum dalam teks-teks Al-Quran dan hadis Rasul saw.; sosok yang tak pernah mengucapkan satu kata pun dari mulutnya kecuali wahyu Tuhan semata. Allah swt. dan Rasul-Nya saw. telah mengetahui bahwa umatnya akan berbeda pendapat setelah kepergian beliau, sebagaimana hal tersebut telah terjadi saat beliau masih hidup dan berada di tengah-tengah mereka.

Atas dasar ini, Al-Quran telah menurunkan obor kepada umat yang dapat digunakan selepas kepergian Rasulullah; pelita yang dapat menuntun manusia sehingga mengikuti jejak yang pernah ditinggalkan oleh beliau, dan dapat mem-bantu mereka dalam memahami dan menafsirkan arahanarahannya. Obor itu tak lain adalah Ahlul Bait a.s. Mereka adalah pribadi-pribadi yang telah disucikan dari segala kotoran dan noda, manusia-manusia agung yang kepada kakek mereka Al-Quran diturunkan. Mereka menerima langsung ajaran ilahi dari beliau dan memahaminya dengan penuh kesadaran, amanah dan tanggung jawab. Mereka telah dianugerahi hal-hal yang tidak diberikan kepada siapa pun.

Sebagaimana Rasulullah saw. telah secara umum mene-gaskan kepemimpinan mereka dalam hadis Tsaqalain yang sangat masyhur, mereka telah berupaya semaksimal mungkin menjaga syariat Islam dan Al-Quran dari pemahaman dan interpretasi yang keliru. Mereka juga tekun menjelaskan konsepkonsep agung agama. Maka itu, mereka adalah rujukan umat Islam.

Ahlul Bait a.s. telah menepis segala kerancuan, menyam-but pertanyaan, meredam pelbagai provokasi dengan penuh ketabahan dan kemurahan hati. Sejarah dan perilaku der-mawan mereka adalah bukti perlakuan mereka yang luar biasa baiknya terhadap para penanya, sebagaimana sejarah juga menunjukkan ketajaman dan kedalaman jawaban-jawaban mereka sebagai bukti atas kepemimpinan unggulmereka di bidang intelektualitas.

Khazanah Ahlul Bait a.s.¯yang tersimpan utuh dalam madrasah mereka dan hingga sekarang tetap terjaga dengan baik¯merupakan universitas lengkap yang meliputi pelbagai cabang ilmu-ilmu Islam. Madrasah ini telah mampu mendidik jiwa-jiwa yang siap menggali pengetahuan dari khazanah itu dan mengetengahkannya kepada umat dan ulama-ulama besar Islam. Madarasah ini pula yang tampil sebagai pembawa risalah Ahlul Bait a.s. yang mampu men-jawab secara argumentatif segala keraguan dan persoalan yang dilontarkan oleh pelbagai mazhab dan aliran, baik dari dalam maupun dari luar Islam.

Berangkat dari tugas-tugas yang diamanatkan, Majma’ Jahani Ahlul Bait (Lembaga Internasional Ahlul Bait) senan-tiasa berusaha mempertahankan kemuliaan risalah dan hakikatnya dari serangan pelbagai golongan dan aliran yang memusuhi Islam; dengan cara mengikuti jejak Ahlul Bait a.s. dan penerus mereka yang berusaha menjawab pelbagai tantangan dan tuntutan, serta senantiasa berdiri tegak di barisan ter-depan perlawanan sepanjangmasa.

Khazanah yang terpelihara di dalam kitab-kitab ulama Ahlul Bait a.s. itu tidak ada tandingannya, karena kitab-kitab tersebut disusun di atas logika dan argumentasi yang kokoh, bebas dari sentuhan hawa nafsu dan fanatisme buta. Kepada kalangan ulama, pemikir dan pakar, mereka pun mengetengahkan pelbagai karya ilmiah yang dapat diterima oleh akal dan fitrah yang bersih.

Berbekal kekayaan pengalaman, Lembaga Internasional Ahlul Bait berupaya mengajukan metode baru kepada para pencari kebenaran melalui pelbagai tulisan dan karya ilmiah yang disusun oleh para penulis kontemporer yang komit pada khazanah Ahlul Bait a.s., dan oleh para penulis yang mendapatkan karunia Ilahi untuk mengikuti ajaran mulia mereka.

Di samping itu, Lembaga Internasional Ahlul Bait juga melakukan penelitian ilmiah dan menyebarkan tulisan dan karya ulama Syi'ah terdahulu, agar kekayaan ilmiah ini menjadi mata air bagi pencari kebenaran yang mengalir ke segenap penjuru dunia di era kemajuan intelektual yang telah mencapai kematangannya, sementara interaksi antar-individu semakin terjalin demikian cepatnya, hingga terbuka pintu hatinya untuk menerima kebenaran tersebut melalui madrasah Ahlul Bait a.s.

Akhirnya, kami mengharap kepada para pembaca yang mulia; kiranya sudi menyampaikan pelbagai pandangan dan kritik konstruktif demi kemajuan lembaga ini di masa-masa mendatang. Begitu juga, Kami mengajak kepada semua lembaga kebudayaan, ulama, penulis dan penerjemah untuk bekerja sama dengan kami dalam upaya menyebar-luaskan ajaran dan khazanah Islam yang murni.

Semoga Allah swt. berkenan menerima usaha yang sederhana ini, melimpahkan taufik-Nya, serta senantiasa menjaga Khalifah-Nya, Imam Mahdi afs. di muka bumi ini. Kami ucapkan terima kasih banyak dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr yang telah berupaya menulis buku ini. Demikian juga kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Sdr. Ammar Fauzi yang telah bekerja keras menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Indonesia. Tak lupa, kami sampaikan pula rasa syukur yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah terlibat.


DEPARTEMEN KEBUDAYAAN MAJMA' JAHANI AHLULBAIT AS



KATAPENGANTAR
Oleh: Prof. Dr. Sulaiman Dunya

Segala puji dan syukur hanya kepada Allah; Tuhan alam semesta. Shalawat dan salam atas Rasulullah, sebaik-baiknya makhluk, dan atas keluarganya yang suci nun mulia, serta atas segenap sahabatnya.

Amma ba'du. Beberapa waktu yang lalu, saya telah menulis sebuah risalah sederhana di bawah judul “Antara Syi’ah dan Ahli Sunnah”; risalah yang menyimpan harapan yang besar dan keinginan yang kuat agar terjalin pertalian antara Syi’ah dan Ahli Sunnah atas dasar prinsipprinsip persaudaraan, pertalian cinta-kasih dan solidaritas, sekaligus mencerabut benih-benih perpecahan yang telah ditanamkan oleh musuh-musuh kedua mazhab ini ke dalam jiwa-jiwa setiap penganutnya. Masih di dalam risalah yang sama, saya menyerukan supaya setiap mazhab memandang perspektif mazhab lainnya selayaknya orang alim yang sedang mencari kebenaran, dan menyadari bahwa hanya kebenaranlah yang sepatutnya diikuti.

Telah saya katakan di sana, bahwa bila semangat yang kita warisi dari orang-orang soleh kita yang terdahulu itu telah menekankan keharusan komitmen pada kebenaran di mana pun, dan menerangkan bahwa kebanaran adalah pusaka berharga seorang mukmin yang hilang yang akan ia ambil di mana pun ia menemukannya, meskipun jatuh dari mulut orang kafir. Mereka menegaskan kepada kita bahwa orang yang berakal tidak akan menentukan kebenaran atas dasar figur seseorang, akan tetapi atas dasar bukti dan argumentasi. Maka dengan mengenal kebenaran, ia juga akan mengenal orang-orang yang benar.

Oleh karena itu, telah menjadi keharusan atas kita sebagai generasi penerus mereka, supaya senantiasa mencari kebenaran, berpegang teguh padanya, mempersiapkan diri dalam rangka menyampaikan pesan-pesannya dan bergerak di sekitar porosnya, tanpa lagi memandang siapa yangmenyerukannya kepada kita.

Tentunya, dapat dimaklumi oleh orang-orang yang berakal bahwa perkara-perkara yang secara yakin masih belum diketahui selalu menjadi titik silang pendapat. Begitu pula, sikap saling menghormati setiap pendapat oleh setiap pengkaji dalam segala persoalan yang membuka pelbagai macam benturan pemikiran adalah sebuah keharusan dan tuntutan. Maka itu, mereka dapat berselisih pandangan dan, pada saat yang sama, duduk sejajar sebagai sahabat-sabahat yang baik.

Semoga Allah swt. melimpahkan rahmat kepada seseorang yang mengatakan: "Selisih pendapat tidaklah meng-ancam jalinan cinta". Sesungguhnya Islam adalah agama yang menjunjung semangat toleransi dan keterbukaan sebegitu tingginya. Al-Quran menyatakan: "Dan berserulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan sebaik-baiknya cara". Maka, bila seseorang ingin menikmati kebebasan dirinya dan mengekspresikan hasil-hasil kajian dan pikirannya, tidaklah sepatutnya memungkiri hak kebebasan pada orang lain untuk berbicara dan mengungkapkan hasil-hasil pemi-kiran dan pencarian intelektualnya.

Dan cukuplah sebuah kebanggaan bagi kaum Muslim tatkala mereka bersatu dan mufakat di atas prinsip-prinsip agama. Tampak begitu jelas; bagaimana prinsip ketuhanan menempati puncak sakralitas di dalam jiwa-jiwa Muslim, bagaimana prinsip Hari Kebangkitan, prinsip Kenabian dan kebergantungan umat manusia kepada prinsip-prinsip ini serta penutupan silsilah kenabian oleh Tuan umat manusia, Muhammad bin Abdillah saw., bagaimana mereka semua mempercayai kebenaran Al-Quran Al-Karim dan hadis-hadis sahih dari Rasulullah saw. Semua prinsip kepercayaan agama ini terpatri kuat di dalam dada dan jiwa segenap umat Islam.

Kehormatan dan sakralitas tiap-tiap prinsip itu tak terimbangi oleh sakralitas dan fanatisme agama apapun pada jiwa para penganutnya. Semua di atas tadi telah saya sampaikan¯bahkan lebih intensif lagi¯dalam risalah sederhana "Antara Syi’ah dan Ahli Sunnah", meskipun di dalam risalah ini saya belum sempat menuliskan apa yang ingin aku ungkapkan lantaran pertimbangan kondisi proses penyetakan kala itu.
* * *
Dan kini adalah sebuah kebahagian besar bagi saya; yaitu diberi kesempatan guna membubuhkan kata pengantar untuk sebuah karya Sayyid Hasan Abu Muhammad, yang berjudul "Peradaban Syi’ah dan Ilmu Keislaman". Di dalamnya, beliau membuka sebentang cakrawala yang barangkali masih asing bagi kebanyakan masyarakat Ahli Sunnah.

Pada mulanya, saya ingin sekali mempelajari buku ini secara objektif, sehingga berdasarkan sejumlah data dan argumentasi, akan tampak jelas nilai kebenaran duduk persoalan yang tengah diupayakan oleh penulisnya untuk ditangani. Namun, saya mendapatkan buku ini justru di atas kapasitas dan kualifikasi saya sendiri, sebab penulis ra. memiliki wawasan pengetahuan yang luas dan kekayaan data yang melimpah, sehingga beliau mampu memetakan semua ilmu-ilmu Islam dan Arab, memberikan klaim dan penilaian selayaknya seorang yang menguasai seluk beluknya, menggali kandungan rahasianya, membongkar faktor-faktor kelahirannya dan melacak tahaptahap perkembangannya.

Pada dasarnya, setiap jenjang ilmiah di atas menuntut keterlibatan sejumlah kelompok pakar dalam setiap ilmu tersebut, sehingga masing-masing pakar meneliti materi penelitiannya, lalu penulis yang mulia menerimanya atas dasar bukti, sebagaimana ia pun dapat menolaknya atas dasar bukti pula. Dan seandainya saya tidak lagi sempat berkecimpung di bidang ini dan mencermati subjek buku ini secara kritis lantaran kepercayaan saya pada kesungguhan para pakar yang begitu besar dalam mempelajari buku ini, tentu saya akan kecewa bila saja saya kehilangan kesempatan guna menorehkan sebuah kalimat yang saya anggap sebagai pendalaman atas apa yang telah tertulis di dalam risalah saya; "Antara Syi’ah dan Ahli Sunnah". Kalimat itu ialah bahwa penulis yang mulia ra. mengklaim Syi’ah sebagai pelopor dalam merintis ilmu-ilmu agama dan Arab, lalu beliau membawakan bukti-bukti pendukung. Oleh sebab itu, buku ini berkisar pada penguraian klaim ini dan pema-paran argumentasinya.

Sementara di hadapan klaim tersebut, pembaca berada di antara dua sikap: Sikap pertama adalah sikap kaum pelajar, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap peletak dan penggagas suatu bidang ilmu, dan hanya sibuk mempelajari materi-materi ilmu itu sendiri. Bagi mereka, tidaklah penting identitas para penggagas ilmu-ilmu; apakah ilmu itu hasil kreatifitas Muslim Syi’ah saja, atau hasil kreatifitas Muslim Sunni saja, atau hasil kerja sama mereka berdua.

Sikap kedua adalah sikap kaum terpelajar, yaitu mereka yang selain mempelajari ilmu-ilmu itu sendiri, juga mengamati kelahiran dan para penggagasnya serta tahap-tahap per-kembangan yang dilaluinya. Karena, semua bidang ilmu mempunyai awal pembentukan dan perumusannya, persis dengan awal kelahiran tokoh-tokoh besar. Maka dari itu, setiap ilmu memiliki latar belakang sejarah sebagaimana akar sejarah kelahiran para tokoh besar tersebut.

Kepada kaum terpelajar saya katakan, bahwasanya buku ini merupakan usaha keras yang patut disyukuri. Penulisnya telah mengetengahkan buku tersebut kepada dunia Islam sebagai langkah partisipasi dalam mengemban tugas yang semestinya dipikul oleh para ulama Islam. Itulah sejarah ilmu-ilmu keislaman dan sejarah ilmu-ilmu lain yang ditu-runkannya.

Untuk itu, tidaklah pantas membalas budi usaha keras dan besar ini dengan cara pandang yang dangkal yang berdasar pada sikap acuh atau sinis. Tidaklah sepatutnya kita mengatakan, misalnya, bahwa usaha ini hanyalah fanatisme, atau penantangan, atau apa saja yang senada dengan kata-kata ini, sebagaimana yang digunakan sebagai alasan pembenaran diri oleh orang yang tidakmengingin-kan dirinya terlibat di dalam jerih penelitian.

Sekali lagi, tidaklah sepatutnya kita beranggapan bahwa hanya ini, tidak ada selainnya. Sebab, tidak ada alasan untuk bersikap fanatik, pun tidak ada dalih untuk berlaga menantang, karena Syi’ah sebagaimana Ahli Sunnah; mereka adalah Muslimin. Perselisihan pendapat mereka dengan Ahli Sunnah hanya seputar persoalan-persoalan yang masih berada di bawah dataran prinsip agama. Maka itu, Syi’ah adalah saudara Muslim seiman, dan kepeloporan mereka dalam merintis sebagian bidang ilmu tak ubahnya dengan keunggulan seorang saudara di atas saudara lainnya. Dan bagaimanapun, fakta ini menumbuhkan semangat bersaing dan gairah kompetisi, tanpa menciptakan dampak negatif semacam kecurigaan, permusuhan dan pertikaian. Oleh kerena itu, kita tidak punya selain dua pilihan berikut ini:

Pertama, menundukkan kepala sebagai rasa syukur dan penghargaan atas usaha keras yang telah dicurahkan oleh penulis yang mulia, dan atas hasil-hasil penelitian yang telah dicapainya.

Kedua, membalas usaha keras penulis dengan cara dan kerja serupa, serta menawarkan hasilhasil penilitian yang diraih, berikut bukti-bukti yang kuat dan argumentasi yang dapat diterima.

Selanjutnya, saya menghadapkan diri kepada Allah; Dzat Yang Maha Kuasa, sambil berharap semoga Dia menyucikan jiwa-jiwa dari noda-noda yang mencemari mereka dan menggantikannya dengan benih-benih cinta, ketulusan dan persaudaraan, mengembalikan persatuan kepada Muslimin, memahamkan agama kepada mereka, mengingatkan akibat dari setiap urusan mereka, memberikan taufik-Nya kepada mereka sehingga tertuntun di bawah hidayah Islam dalam kehidupan pribadi dan sosial mereka, dan mengaruniakan inayah-Nya pada mereka agar dapat menyampaikan ajaran agama kepada umat manusia dengan mengamalkannya dan menjaga hukum-hukumnya sebagai bukti yang kuat atas keindahan dan kesempurnaannya.
* * *
Pada kesempatan ini, saya ingin sekali menyinggung salah satu keunggulan dan kegemilangan kaum Muslimin yang patut kita angkat dan kita banggakan, yaitu karya-karya Sayyid Muhammad Baqir Ash-Ashadr. Saya tidak mengira bahwa dunia sekarang dapat menciptakan semacamnya di tengah-tengah kondisi yang mempersulit penyusunannya. Kecerdasan beliau yang luar biasa telah menghasilkan dua karya besar; yaitu "Falsafatuna" dan "Iqtishoduna". Itulah karya-karya yang mengetengahkan akidah Islam dan sistem sosialnya, dengan tetap mengoreksi pandangan-pandangan yang digagas oleh arus ateis Barat dan para antek-antek mereka yang seringkali memakai jubah Islam sedangkan Islam sendiri tampak jauh dari mereka.

Itulah pandangan-pandangan laksana tumbuhan kesembuhan yang sempat mengapung di permukaan laut lalu tenggelam hilang seakan tak pernah muncul. Untuk itu, kepada mereka yang mengoleksi pelbagai teori palsu di dalam kepala, saya menganjurkan agar menelaah karya-karya itu, dengan harapan mereka dapat menyucikan diri dari kotoran dan najis kebatilan dengan air suci kebenaran, dan menangkap cahaya wujud dari balik hati nurani mereka setelah tersesat di tengah arus alienasi, serta dapat menemukan diri mereka setelah menyia-nyiakannya.

Dan kepada kaum remaja Muslim yang terkecoh oleh sebersit janji peradaban yang palsu, saya menganjurkan agar meluangkan waktu guna membaca karya-karya tersebut. Pada saat yang sama, saya pun sadar bahwa bagaimana membaca karya-karya itu menjadi terasa sukar bagi mereka yang hidup dengan gaya hedonistik dan serbapuas, hilang kesungguhan, lebih kerap dengan kebatilan daripada dengan kebenaran. Sebab, kebatilan dan hidup bersenang-senang adalah dua kendala yang telah menyelimuti akal, naluri dan hati sehingga mereka lalai dari kesungguhan dan kebenaran.

Begitu pula saya menganjurkan kepada para guru agar mempelajari karya-karya tersebut sehingga dapat membina jiwa-jiwa yang telah rusak, hati-hati yang telah gelap, akal-akal yang telah lumpuh dan terhina di mata para pecandu dunia lantaran mereka tidak mengecap betapa besar berkah dan fungsinya, dan pada gilirannya mereka pun tidak lagi mengenal nilai yang sesungguhnya. Dengan begitu, keadaan mereka tak menentu, kehidupan mereka menyimpang dan harapan-harapan mereka kabur, dan akhirnya mereka jatuh ke dalam kondisi yang perlu diciptakan kembali dari awal.
* * *
Di akhir pengantar ini, tidak ada yang layak saya sampaikan selain ungkapan terima kasih kepada saudara yang terhormat, Sayyid Murtadha Ar-Radhawi, pemilik perpustakaan An-Najah di kota Najaf-Republik Irak, atas usaha-usahanya yang mulia dalam menebarkan ilmu dan memperkenalkan khazanah-khazanah yang selama ini terpendam, juga atas kesempatan yang diberikan kepada saya sehingga saya dapat mengetahui karya ilmiah yang berharga ini [Peradaban Syi’ah dan Ilmu Keislaman].

Saya percaya bahwa buku ini akan menjadi subjek penelitian yang amat berarti bagi kaum pelajar dan terpelajar seketika edisi penerbitan terbarunya sampai di tangan mereka, insyaallah.

Sulaiman Dunya

Guru Besar Filsafat dari Fakultas Usuluddin

di Universitas Al-Azhar, Cairo-Mesir

20 Ramadhan 1386 / 1 Januari 1967

3
Kisah Para Nabi Allah

TENTANG PENULIS
Oleh: Abdul Husein Syarofuddin Al-Musawi


Kelahiran dan Masa Kanak-kanak
Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr lahir di Kadzimain pada siang hari Jumat, 29 Ramadan 1272 H. Di kota Irak itulah ia tumbuh di bawah asuhan orang yang paling disegani saat itu, yaitu ayahanda yang bijak dan mulia. Beliau mencurah-kan segenap upayanya dalammendidik sang anak, membina pekerti dan memupuk potensi-potensinya secara matang, serta membimbingnya di atas laras akal dan menitikannya sampai ke puncak hidayah.

Dalam rangka itu, pertama-tama ia mengenyam ilmu-ilmu bahasa dan sastra secara mendalam dan teliti, sehingga belum lagi mencapai usia lima belas tahun ia sudah mampu secara cermat menguasai Sharaf, Nahwu, Ma'ani, Bayan, Badi'e. Begitu pula ia telah mempelajari ilmu Mantiq secara sempurna. Semua ilmu-ilmu tersebut ia peroleh dari guru-guru yang ahli dan saleh yang dipilihkan oleh sang ayah di antara ulama-ulama kota Kadzimain, seperti Syeikh Allamah Baqir ibn Hujjatul Islam Muhammad Alu-Yasin, dan Allamah Sayyid Baqir ibn Al-Muqoddas As-Sayyid Haidar. Pada kedua ulama ini, beliau belajar Nahwu dan Sharaf. Beliau menyelesaikan ilmu Bayan pada Syeikh Allamah Ahmad Al-'Aththar. Sedangkan ilmu Mantiq, beliau menamatkannya pada seorang guru besar masa itu, yaitu Syeikh Muhammad ibn Haji Kazim dan Mirza Baqir As-Salmasi.

Dalam setiap pelajarannya, sang ayah selalu menemaninya di samping guru-guru tersebut. Beliau tak henti-hentinya memberikan semangat intelektual dan gairah berlatih dan memupuk kekuatan niat serta tekadnya dalam menekuni pelajaran dan meneliti persoalan.

Di awal-awal masa pertumbuhannya, telah tampak pada diri Sayyid Hasan Ash-Shadr hasrat yang besar, kehendak yang kuat dan kecenderungan yang dalam untuk mencapai tahap-tahap kesempurnaan. Ia amat bergairah dalam beramal dan antusias dalam belajar, sehingga tampil menonjol dan mengungguli anak-anak seusianya.

Belum lagi usianya genap delapan belas tahun, ia telah berhasil menamatkan kuliah tingkat tinggi di bidang Fiqih dan Ushul Fiqih di bawah asuhan langsung sang ayah secara lengkap dan cermat. Dan sangat mungkin ia telah menda-lami kedua bidang ilmu itu pada selain ayahnya dari ulama-ulama besar kota Kadzimain. Prestasi pendidikannya menjadi buah bibir banyak kalangan warga kota. Ketika itu, ia sudah terpandang sebagai seorang alim yang cerdas, terhormat, bijak dan berbudi pekerti luhur. Sungguh ia telah menjadi teladan bagi kaum remaja dalam memupuk kemuliaan keluarga, kesucian jiwa, keindahan rupa dan kesempurnaan akhlak.


Menuju Najaf
Kota Najaf merupakan pusat ilmu pengetahuan dan basis pendidikan ulama, terhitung dari sejak hijrahnyaSyeikhAth-Thaifah Imam Abu Ja'far ibn Hasan Ath-Thusi pada tahun 448 H. ke sana. Sampai sekarang, kota yang mulia ini senantiasa menjadi tujuan para penuntut ilmu-ilmu agama, pusat perkumpulan parapakarpelbagaiilmu,ibukotaagamaIslamdan mazhab Syi’ah Imamiyah.

Najaf merupakan perguruan tinggi yang menjadi kota pelabuhan dan pasar besar ilmu yang menumbuhkan pel-bagai harapan dan penantian bagi para penuntutnya, sehingga terbuka lebar dan meriahnya beragam kuliah pertukaran ilmu-ilmu aqli dan naqli. Banyak ulama besar yang dipersembahkan kota itu kepada umat. Ilmu dan hidayah mereka menebar ke pelbagai pelosok dunia laksana bintang-bintang yang bertaburan di langit, memberikan janji kemuliaan sekaligus ancaman sebagaimana tradisi para nabi Bani Israil.

Kala itu, Sayyid Hasan Ash-Shadr telah menjadi bagian terdepan dari jajaran ulama-ulama besar itu. Pengalaman berharga ini dimulai dari hijrahnya ke Najaf atas perintah sang ayah pada tahun 1290 H., dengan bekal tekad yang bulat guna mencapai tingkat kesempurnaan dalam ilmuilmu, hasrat yang meluap untuk berusaha semaksimal mungkin dan bertahan sabar dalam menekuni hazanah fiqih para imam Ahlul Bait a.s. dan akidah serta segenap ilmu-ilmu mereka.

Semua itu dituntutnya dari guru-guru besar agama pada masa itu. Di samping semua itu, Sayyid Hasan Ash-Shadr telah mempelajari Filsafat dan Kalam pada Maula Muhammad Baqir Asy-Syikie. Tatkala guru yang mulia ini wafat, beliau menyempurnakan dua cabang ilmu itu pada Maula Syeikh Muhammad Taqie Al-Gulpaigaini dan Syeikh Abdunnabi Ath-Thabarsi.

Demikianlah Sayyid Hasan berusaha bertahan di Najaf Asyraf guna menuntut kesempurnaan, giat dalam menimba pelbagai pelajaran dari kuliah guru-guru dan kelas ulamaulama terkemuka, tekun dalam penelitian dan bahkan dalam perannya sebagai pengajar, penulis, orator dan pembicara dalam forum-forum perdebatan dan diskusi ilmiah, sampai akhirnya ia berhijrah ke kota Samarra. Tokoh-tokoh agama di sana sudahmendengar nama harumnya dari gurugurunya dan mengagumi derajat ilmu dan budi pekertinya seraya memberi kesaksian atas keberhasilannya dalam mencapai derajat ijtihad, yakni kelayakannya dalam menyimpulkan hukum far'ie syariat dari dasar-dasarnya yang terinci. Segala puja dan puji bagi Allah Yang Maha Kuasa atas nikmat yang dianungerahkan kepadanya.


Menuju Samarra
Tatkala Imam Asy-Syirazi, sang pemimpin dan pembaharu syari’at itu meninggalkan Najaf menuju Samarra, tepatnya pada tahun 1291 H., sejumlah besar ulama Hauzah Ilmiyah memburunya ke sana. Mereka ingin hidup dekat dengan Imam Asy-Syirazi, seolah bintangbintang dalam sebuah galaksi, atau lingkaran pecah yang tak dapat lagi ditentukan sisi dan ujungnya.

Tampak pada diri Imam Asy-Syirazi antusiasme besar yang diikuti oleh kegemasan ilmiah ulama-ulama yang menyertainya. Padanya mereka menuntut ilmu, meluangkan waktu pagi mereka hingga petang, dan malam mereka hingga siang hari, hanya untuk mendalami dan menekuni ilmu. Mereka tidak merasa jemu dan lelah. Bagaimana akan lelah sementara jiwa-jiwa mereka disesaki oleh ruh suci Sang Guru Pembaharu yang dapat mengasah tabiat dan bakat, membeningkan pikiran, membedah dada-dada mereka lalu mengisinya dengan ilmu dan amal. Pada gilirannya, pende-ngaran mereka menjadi begitu tajam, kandungan kalbu mereka terbongkar sehingga mudah menyerap apa yang disampaikan Sang Guru Pembaharu, yaitu aneka ragam khazanah kebenaran dan cabang-cabang ilmu; aqli maupun naqli.

Dalam keadaan inilah kegairahan ilmu mendidih dan menguap di Samarra. Di kota itu pula mulai bermunculan wajah-wajah baru yang disegani. Samarra amat mempesona, keunggulan dan keistimewaannya melampaui pusat-pusat pendidikan agama di kota lain. Samarra menjadi tujuan setiap musafir dan penuntut, termasuk para tokoh besar, para pakar dan pemuka-pemuka ilmu dan agama. Di antara mereka adalah Sayyid Hasan Ash-Sadr ini. Tak syak lagi, ia termasuk orang yangmenyelami kedalaman samudera ilmu Samarra dan menimba khazanah pengetahuannya.

Segera Sayyid Hasan Ash-Shadr meninggalkan Najaf menuju Samarra pada tahun 1297 H. Ia telah membulatkan kekuatan tekad dan menancapkan keteguhan kehendak dan mempersiapkan segenap tenaganya untuk menekuni ilmu dan mempelajari semua bidang dari Sang Pembaharu; guru besar dan pendidik arif yang dunia jarang melahirkan sepertinya.

Bersama ulama-ulama tersohor, Sayyid Hasan Ash-Shadr giat menghadiri kuliah-kuliah Imam Asy-Syirazi, menerobos lapisan-lapisan pandangannya, menyentuh isyarat-isyaratnya, tanpa kenal lelah atau menyia-nyiakan peluang. Sebaliknya, Imam Asy-Syirazi mencurahkan perhatian khusus kepadanya dan membantunya untuk mencapai cita-citanya dan meng-ubah bayangan idealnya menjadi kenyataan.

Di lingkungan Hauzah Ilmiyah di Samarra, pilar-pilar cinta dan persahabatan menjerat hubungan sosial Sayyid Hasan Ash-Shadr dan ulama-ulama sejawatnya. Serat tali ketulusan begitu kuat mengikat mereka, hingga syarat-syarat saling percaya semakin lengkap. Di antara mereka, yang berkuasa hanyalah persaudaraan seiman. Mereka saling mencintai, duduk bersama-sama di bawah ajaran guru mereka, dan serempak bangkit menutup kuliah setiap malam. Tak ada yang tersisa kecuali resah akan aktivitas penelitian, pengkajian tanda-tanda ilmu dan penggalian kunci rahasia-rahasianya serta penguasaan atas dasar-dasar dan rincian-rincian detailnya. Mereka senantiasa melakukan ini bersama guru mereka di jam-jam kuliah atau pun di luar kelas, namun lebih banyak dengan cara diskusi dan mudzakarah di antara mereka sendiri; baik dengan yang selevel atau yang di bawah kelas mereka. Demikianlah tradisi belajar Sayyid Hasan Ash-Shadr sejak guru-guru besar itu menginjakkan kaki mereka di Samarra hingga akhir hidup mereka.

Sayyid Hasan menetap di Samarra selama kurang lebih tujuh belas tahun. Selama itu pula mantelnya tidak pernah kering, dan tidak satu celah peluang yang tersia-siakan. Kebiasaannya adalah menepaki jejak-jejak Imam Asy-Syirazi dan guru-gurunya yang lain, sembari menelusuri wawasan tokoh-tokoh pilar Hauzah Ilmiyah di Samarra, menyelidiki metode-metode ulama terdahulu Syi’ah Imamiyah sehingga ia dapat mengenali cara mereka dalam memulai riset dan analisis, serta cara mereka dalam menuntaskan suatu masalah, termasuk metode mereka dalam melakukan kritik, penghakiman dan penyimpulan hukum.

Dengan demikian, ia bisa mengadopsi metode mereka yang terbaik dan paling produktif, sebagaimana firman Allah swt.: “Merekalah yang mendengarkan suatu ucapan lalu mengikuti yang terbaik darinya. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang diberi hidayah oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang berakal lurus”.

Waktu emas Sayyid Hasan Ash-Shadr dibagikan di antara duduk dalam kuliah tinggi Imam As- Syirazi, berdiskusi bersama sejawatnya, mengisi kelas-kelas yang diadakannya sendiri untuk murid-muridnya, dan menulis karya ilmiah yang jarang dilakukan oleh seangkatannya, khusyuk beriba-dah dan bermunajat di mihrabnya. Adalah dua belas tahun, serentang waktu yang tidak pendek dijalaninya untuk berdiskusi dan bertukar pikiran dengan Imam Al-Muqoddas Mirza Muhammad Taqie Asy-Syirazi secara intensif; setiap hari pada waktu-waktu khusus.1 Di kota Samarra, Sayyid Hasan berkembang pesat dan matang sebagai mujtahid dan tokoh ilmu dan amal, lalu kembali ke kota kelahirannya, Kadzimiyah, yaitu setelah wafat Sang Guru, Imam Asy-Syirazi, dua tahun sebelumnya.


Sekelumit Ihwal Sang Guru
Sang Imam, Pembaharu, Hujjatul Islam, bernama Sayyid Syarif Mirza Muhammad Hasan ibn Mirza Mahmud ibn Mirza Ismail Al-Husaini Asy-Syirazi. Ia tumbuh di sebuah keluarga yang sudah lama dikenal mulia dan terhormat di kota Syiraz-Iran.

Imam Mirza Asy-Syirazi lahir di kota Syiraz pada bulan Jumadil Ula 1230 H. Di kota itu pula ia memulai pendidi-kannya. Kemudian berhijrah ke Ishfahan pada masa dua syarif yang mulia; Sayyid Muhammad Baqir Ar-Rasyti dan Sayyid Shadruddin Al-‘Amili. Di sana ia menjumpai banyak ulama besar.2 Pada mereka, ia belajar pelbagai ilmu. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan di Najaf pada tahun 1259 H. Ia begitu cepat akrab dengan para ulama di sana, dan tak henti-hentinya menekuni kuliah-kuliah mereka. Demikian itu dijalaninya hingga ia meraih ijazah ijtihad3 mutlak dari gurunya; pemimpin Syi’ah dan pengarang kitab besar dan induk fiqih, Al- Jawahir.

Di samping itu, Imam Mirza Asy-Syirazi memiliki kelas khusus di bawah bimbingan imam para muhaqqiq; Syeikh Murtadha Al-Anshari. Begitu cepat ia melampaui keunggulan segenap kawan-kawannya. Segera ia berguru pada Syeikh Al-Anshari selama bertahun-tahun sampai sang guru menemui ajalnya. Pada saat itulah masyarakat Syi’ah berada dalam kebingungan dalam menentukan pemimpin umum agama pasca Syeikh Al-Anshari, hingga akhirnya Imam Mirza Asy-Syirazi dinilai oleh tokoh-tokoh besar dari murid-murid terbaik beliau4 sebagai ulama yang paling layak memegang kedudukan tertinggi itu.

Pada tahun 1288 H., Sang Pembaharu Imam Mirza Asy-Syirazi menunaikan ibadah Haji ke Baitul Haram Mekkah dan mendapatkan kehormatan ziarah ke tanah suci Madinah dan pusarapusara nun suci di sana.

Dan pada tahun 1291 H, ia berhijrah ke Samarra. Bersama sahabat-sahabat dan murid-murid lulusannya, ia tinggal di kota itu dan mengubahnya bak oase di gurun sahara; menjadi tempat tujuan para penuntut ilmu5 dan persinggahan alim ulama. Sejumlah ulama besar dan tokoh utama agama yang menimba ilmu darinya. Nama-nama mereka begitu banyaknya sehingga tidak mencukupi luang catatan pengantar ini, selain sebuah bait syair yang dapat melukiskan derajat mereka:

Merekalah ulama, imam dan sang bijak

Di bawah cahaya mereka bintang terbimbing

Mereka turut menyebarkan ilmunya melalui forum-forum dan kuliah-kuliah ilmiah, serta mencatatnya di dalam karya-karya mereka yang hingga kini masih mudah ditemukan. Semoga Allah swt. membalas mereka dan kita semua dengan semulia-mulianya balasan atas kaum muhsinin.6

Sejak itu, Imam Mirza Asy-Syirazi tampil aktif sebagai pemimpin tinggi masyarakat Syi’ah. Beliau mengelola dan menangani urusan-urusan sosial-politik mereka. Sementara itu, kalangan tokoh masyarakat dan agama membulatkan kesepakatan mereka atas kesucian jiwa, keluasan ilmu, kekuatan tabah dan hikmatnya. Di antara mereka, tidak ada perselisihan untuk mengagungkan dan mendahulukannya di atas selainnya dan membatasi kewajiban taklid hanya pada dirinya.

Pada saat-saat itu, umat seakan mendapatkan ayah yang penyayang. Mereka terpesona akan kelembutan kasihnya, dan tak segan-segan mencurahkan isi hati mereka kepadanya. Sedangkan Islam dan Syi’ah Imamiyah seolah ditopang oleh kepemimpinan yang bijak, yang menggagas pandangannya demi kepentingan agama dan mazhab ini, dan membiarkan hatinya tetap terjaga demi melindungi keduanya.

Imam Mirza Asy-Syirazi kaya akan sifat-sifat mulia. Ia seorang ulama yang tanggap, peka intuisi, tajam pandangan, kuat hapalan, disiplin dalam segenap perkara, pengayom kepentingan masyarakat, berperangai agung, lapang dada, penyantun yang bijaksana, serbazuhud dalam urusan dunia, mencintai apa yang diridhai oleh Allah sedalam-dalamnya. Ia adalah pemimpin agung yang disegani oleh penguasa sombong dan berwibawa di hadapan kaisar perkasa. Dalam bait-bait ratsa’ dari sebagian ulama syarif, digambarkan:

Para penguasa tunduk bak kuda menyingkir

Selain taat pada Tuhan, tak ada lagi kekang kendali

Padamu mereka tumpahkan patuh terpaksa

Punggung mereka dipecut memar bila membangkang

Esok hari tak kan ada takut di dada umat

Biarkan mereka berbuat sesuka hati

Sungguh umat ini penuh percaya dan iman

Dalam rangka membuktikan bait-bait ini, ‘Kasus Tembakau’ adalah referensi yang cukup memadai. Di dalamnya Inggris melakukan kontrak dagang yang mengikat pemerintahan Iran pada masa dinasti Qajar, yaitu Sultan Nashiruddin Syah. Kasus ini membuat Imam Mirza Asy-Syirazi bangkit lantaran kuatir akan ancaman kekuatan luar yang merusak kemerdekaan, independensi dan kedaulatan Iran. Untuk itu, ia mengeluarkan fatwa yang mengharamkan konsumsi tem-bakau dan rokok; sebagai salah satu upaya perlawanan dan cara menunjukkan kemarahannya atas kontrak yang disepa-kati oleh kedua pemerintahan; Iran dan Inggris.

Berkat fatwa tersebut, gelombang perlawanan masif dari pelbagai lapisan rakyat Iran datang menggoncang dan menggetarkan bumi Persia. Secara serentak, bangsa Iran memboikot segala bentuk transaksi dan konsumsi tembakau. Dalam pandangan mereka, segala bentuk kontrak atas barang ini tak ubahnya dengan tawar-menawar minuman keras yang dilakukan oleh para wali Allah. Mereka begitu komit pada fatwa Imam Mirza Asy-Syirazi sehingga kedua pemerintah terdesak, dan akhirnya membatalkan kontrak serta kesepakatan tersebut dengan menanggung segenap kerugian material dan politis. 7

Demikianlah Allah swt. menjawab kejahatan orang-orang kafir sehingga tidak mendapatkan sedikit pun keuntungan, dan hanya Dia yang membela kaum mukminin dalam pertempuran. Sesungguhnya Allah swt. Dzat YangMahakuasa. Jasa besar Imam Mirza Asy-Syirazi tersebut disambut limpahan rasa syukur yang terukir melalui tinta dalam buku-buku. Melalui kekuatan tangannya, Allah swt. telah membukakan pintu-pintu rahmat dan kekayaan alam kaum Muslimin dan meledakkan kandungan-kandungan tambang bumi. Namun, jiwanya yang suci tidak menyentuhnya lantaran kebenciaannya terhadap pujian dan kezuhudannya terhadap barang duniawi serta pengorbanannya dalam memenuhi kepentingan umum dan kemaslahatan umat.8

Dalam pengelolaan harta kekayaan, Imam Mirza Asy-Syirazi mengutamakan dua golongan; pertama, pelajar dan terpelajar agar dapat menyampaikan kebenaran dan melak-sanakan tugas dakwah secara penuh selekas mereka menamatkan pendidikan di sekolah-sekolah agama, dan kedua adalah orang-orang lemah dan terlantar dari kaum Syi’ah yang menjumpainya dari pelbagai pelosok dunia, seperti anak-anak yatim, kaum fakir miskin dan orang-orang yang terlantar dalam perjalanan.

Dua golongan yang berada di dalam kota Samarra ini, mereka semua¯dengan pelbagai kebutuhan mereka¯telah menjadi tanggungan nafkah hidupnya sendiri. Ia begitu mudah dan lapang dada dalam melayani urusan mereka. Adapun dua golongan yang hidup di kota-kota lain yang menyalurkan urusan perpajakan kepadanya, ia menetapkan tunjangan tetap yang diberakan kepada mereka setiap bulan, di mana pun mereka berada. Dengan demikian, pusat kekayaan umat mengalir ke lembah-lembah mereka; dimana golongan yang cukup bisa menyertakan golongan yang ter-tinggal, sehingga setiap nikmat yang diberikan senantiasa menyempurnakan limpahan rahmat dan melipatkan gan-jaran kebaikan.

Begitu pula, Imam Mirza Asy-Syirazi menerima dengan senang hati utusan-utusan yang datang untuk mencari per-lindungan di bawah kemurahannya dan menanti baktinya. Ia tak segan-segan memberi lebih banyak dan memuaskan harapan mereka sehingga mereka sendiri terdesak untuk senantiasa mengingat budi baiknya dan menyampaikan rasa syukur kepadanya, selaksa syukur bunga pada hujan. Sejatinya, syukur adalah pengikat nikmat yang ada dan pemancing karunia yang hilang.

Saya pribadi sempat menjumpai masa-masa hidup Imam Mirza Asy-Syirazi, yaitu tatkala melakukan hijrah ilmiah ke Samarra pada tahun 1310 H. Masa-masa itu adalah periode keemasan dari kehidupan beliau; periode yang mencatat kemakmuran umat dan negeri, dan membelah samudera ilmu dan menghamparkan padang kekuatan agama. Samarra menjadi kediaman yang menaunginya dan ulama-ulama besar di sana di bawah satu atap. Ikatan tali keimanan membentuk mata rantai yangmelingkari mereka dan umat.

Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri begitu banyaknya sifat-sifat mulia Imam Mirza Asy-Syirazi yang telah saya perkenalkan di sini. Namun, selain yang saya lihat adalah sifat-sifat agungnya yang saya saksikan dengan kedua telingaku secara mutawatir dari pelbagai pengakuan para ulama-ulama besar dan unsur-unsur masyarakat. Para khatib menyanjungnya, para penyair melantunkan bait-bait syair pujian untuknya. Kalaulah semua sanjungan itu dikumpulkan, akan terbit sebuah koleksirium besar.

Dalam kesempatan yang amat terbatas ini, maka untuk hal ini saja Anda dapat menyimak kesaksian sebagian ulama besar dari keturunan Nabi saw. sekaitan dengan wafat Sang Guru dan Pemimpin Umat ini.

Pelbagai utusan yang datang percaya penuh

Lembahmu hamparan luas dan aliran hujan deras

Kepadamu tlah bergegas dari setiap pelosok

Darat dan laut membawa kafilah dan bahtera

Merebah di pangkuanmu lepaskan rasa

Selaksa orang gila liar yang penuh kedamaian

Seketika singgahkan kaki di negeri subur

Dan pergi untukmu tinggalkan kesan syukur

Tak terhinakan air wajah pengunjung oleh baktimu

Tak ada rasa yang dibebankan oleh budimu

Seakan anak yatim yang mendapat warisan kaya

Memegang kunci karun terpendam di Samarra

Membukakan pintu karunia tanpa jerih

Bagai gurun lebatkan peluh awan mendung

Demikianlah Allah swt. memuliakan Imam Mirza Asy-Syirazi melalui ulama-ulama Hauzah yang membantunya secara tulus. Mereka adalah orang-orang cerdas dan ber-pandangan cermat, terlebih semangat berbakti yang mengungguli setiap pikiran yang luas dan hati yang sigap.

Di antara mereka, Sayyid Hasan Ash-Shadr merupakan pusat kecermatan dan referensi pandangan mereka tatkala diuji oleh guru besar mereka. Sudah barang tentu, mereka selalu mendapatkan pem-bimbing yang jujur dan tulus serta penuh kasih sayang. Keterpercayaan Imam Mirza Asy-Syirazi segera menguasai kepercayaan mereka dan melibatkan mereka dalam pelbagai urusan dan wewenang kepemimpinan tingginya kepada mereka. Pada saat yang sama, mereka pun memberikan segenap kesetiaan dan berusaha keras menuangkan ide terbaik untuknya. Tugas kepemimpinan Imam Mirza Asy-Syirazi dilakukan dalam bentuk musyarawah dengan mereka, sehingga ia dan mereka secara kompak bekerja dan mencapai keutuhan kerja sama dalam pengelolaan urusan hidup dunia dan akhirat.

Dan di antara mereka, Sayyid Hasan Ash-Shadr adalah pembantu terdekat Imam Mirza Asy-Syirazi. Ia menuluskan jiwanya dengan kecintaan kepadanya. Oleh sang guru, ia dipandang secara khusus dan ditempatkan menjadi bagian hatinya dan tempat pengaduan rahasianya sebelum dike-mukakan di meja musyawarah. Imam Mirza Asy-Syirazi begitu percaya pada ketulusan itikad dan ketajaman pandangannya, kemudian ia menawarkan keputusannya kepada musyawarah sebagai majelis kebijakan dalam menangani kepentingan umum dan tugas sosial.

Bersama sahabat-sahabat pembantunya, ia adalah sosok teladan yang nyata dari firman Allah swt.: “Dan mereka yang menyambut seruan Tuhan mereka dan mendirikan shalat, sementara urusan mereka adalah musyawarah di antara mereka, lalu menyedekahkan dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka” (QS:38.42).

Demikianlah masa-masa keemasan sepanjang kepemim-pinan tertinggi agama dan umat Imam Mirza Asy-Syirazi. Demikian pula ihwal sahabat-sahabatnya yang mulia dan bekerja secara tulus demi keridhaan Allah swt, sehingga mereka menghadap-Nya di dalam kesucian dan keikhlasan iman.

Akhirnya, Imam Mirza Asy-Syirazi wafat di Samarra pada malam Rabu, 24 Sya’ban 1312 H. Iringan jenazahnya berjalan dari Samarra sampai ke Najaf. Setiap warga kota-kota dan desa-desa di sepanjang iringan menyambut jenazah Sang Guru Pembaharu secara bersambung silih berganti dan bergerak seolah limpahan deras dari lautan manusia yang tak ada taranya. Setiap orang berebut celah untuk dapat menyentuh dan mendapatkan kehormatan dan berkah dari jenazah yang mulia. Secara serempak, semua mengumandangkan “Al-Wafa’, Al-Wafa’”, seakan teriakan kawanan besar gembala yang kehausan. Dari empat penjuru jenazahnya, mereka mengukuhkan ikrar kesetiaan kepada para pemilik pusara-pusara suci. 9

Di empat haram Imam-Imam Maksum a.s., mereka senantiasa memanjatkan shalawat dan salam untuknya. Pemandangan ini tampak khidmat dan mengharukan tatkala warga di Baghdad, kota-kota Haram Imam-Imam Maksum dan sekitarnya, khususnya warga kota Najaf menyambut kedatangan jenazah. Jajaran terdepan dari jenazah adalah para ulama-ulama terkemuka, tokohtokoh masyarakat, lalu sesepuh-sesepuh suku dan kepala-kepala kabilah, kemudian masyarakat umum.

Sungguh, pawai iringan jenazah itu melumpuhkan kekuatan lidah untuk melukiskan kenyataan yang sesungguhnya. Pemakaman jenazah Sang Pembaharu, Imam Mirza Asy-Syirazi, dilaksanakan pada hari Kamis kedua dari bulan Ramadhan di madrasahnya yang bersebelahan dengan hala-man suci Syarif Al-Haidari. Orang yang turun ke liang lahatnya adalah murid terbaik, yaitu Sayyid Hasan Ash-Shadr. Kemudian didampingi oleh ayahku; Al-Muqoddas, yang ketika itu sedang berziarah ke makam-makam datuk-datuknya; para Imam Suci a.s.


Kembali ke Kadzimain dan Beberapa Kegiatan di Sana
Pada tahun 1314 H., Sayyid Hasan Ash-Shadr¯semoga Allah swt. meninggikan derajat di sisi- Nya¯kembali ke kota kelahirannya; Kadzimain.10 Keberangkatannya dari Samarra bertepatan dengan hari wafat Sang Datuk, Imam Ali Ar-Ridha a.s. Di sana ia membagi jadwal waktunya antara mihrab, perpustakaan, kursi kuliah, mengarang, meneliti dan membimbing umat.

Bila ia berdiri di mihrab menghadap Tuhan Yang Mahaagung, Anda akan menemukannya seolah Imam Ali Zainal Abidin, penghulu pesujud, menyembah penuh khusyuk dengan segenap hati, penglihatan dan pende-ngaran. Ia fokuskan segenap indera, gerak lahir dan batinnya pada Dzat YangMahakuasa. Bila ia berada di perpustakaan; sebuah khazanah ilmu yang amat bernilai, Anda dapat mengamati bagaimana ketelitian dan ketekunannya dalam menelusuri karya-karya para pakar dan pemikir dari ulama terdahulu dan terakhir, menghimpun persoalan-persoalan, memeriksa pelbagai dimensinya hingga menyentuh lapisan dasar dan meliput cakupannya serta membongkar poin-poin inti pandangan mereka.

Bila ia duduk di depan ruang kuliah dan menyampaikan pelajaran, Anda akan mengatakan: “Sungguh ia bukanlah manusia, melainkan malaikat yangmulia”. Bila dicermati apa yang ditorehkan oleh penanya, Anda akan mengatakan: “Sungguh ini puncak kesempurnaan sebuah karya tulis”. Dan bila menyelami suatu tema dan tekun dalam mendalaminya, ia mampu mengeluarkan poin-poin inti dari lapisan batinnya, menyibak taburan debu tanda tanya yangmenutupinya dan menguak isyarat-syarat yang terpendam di dalamnya.

Sekembalinya ke Kadzimian atau Kadzimiah pada masa hidup sang ayah, Sayyid Hasan Ash- Shadr bersamanya memulai aktivitas penelitian atas pelbagai isu ilmiah dan persoalan krusial dari pelbagai disiplin. Mereka berdua menumpahkan segenap kehendak dan tekad di jalannya sebagaimana yang selama ini mereka lakukan sebagai tradisi yang kuat setiap kali mereka berkumpul; yakni sejak Sayyid Hasan Ash-Shadr tumbuh dewasa hingga memasuki usia tua. Jika ia menyampaikan pengarahan dan ceramah, Allah swt. memecahkan sumber-sumber hikmah dari tangannya dan mengalirkan butir-butir kebenaran dari lisannya. Berkat taufik Ilahi ini, Sayyid Hasan Ash-Shadr sanggup me-ngendalikan keinginan hati-hati, membangun keseimbangan syahwat-syahwat yang liar, menenangkan ronta hawa-hawa nafsu dan meluruskan penyimpangan dan kesesatan jiwa-jiwa, sehingga tunduklah mata-mata hati karena ketakutan dan kelembutan.

Belum genap dua tahun menetap dan beraktivitas di Kadzimiah, Sayyid Hasan Ash-Shadr diuji dengan kematian sang ayah; Al-Muqoddas. Pengalaman ini tampak begitu berat baginya sehingga ia memikul segenap tugas-tugas keagamaan dan sosial almarhum. Pada mulanya, Sayyid Hasan Ash-Shadr¯sejak wafat guru terbesarnya¯menolak desakan kepercayaan masya-rakat pada kepemimpinan tertinggi mazhab dan otoritas fatwanya. Ia merujukkan setiap orang kepada sepupunya; Sayyid Ismail Ash-Shadr. Tatkala Sayyid Ismail wafat pada tahun 1338 H., ia mengantikan posisinya dan melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan Syi’ah.

Barulah ia menerbitkan risalah amaliyah-nya (koleksium fatwa) yang terbatas pada poin utama dari sejumlah permasalahan penting. Ia juga menulis komentar atas kitab At-Tabshiroh karya Allamah Al-Hilli, Najatul ‘Ibad, Al-‘Urwatul Wutsqo’. Kemudian kumpulan komentarnya itu dijadikan sebagai sumber fatwa untuk para mukallidnya. Atas dasar itulah mereka beramal dan men-dekatkan diri kepada Al-Khaliq. Dan selama memikul tampuk kepemimpinan tinggi mazhab, dan bahkan sebe-lumnya, Sayyid Hasan Ash-Shadr adalah pecinta tulus Ahlul Bait Nabi saw. Ia termasuk ulama yang amat hati-hati dan menjaga hukum-hukum syariat, dan amat menyayangi anak-anak yatim keturunan Nabi saw.11

Dengan segenap tenaga dan usaha, Sayyid Hasan Ash-Shadr mencurahkan usahanya dalam memperjuangkan hak dan martabat Ahlul Bait a.s., dan mewakafkan hidupnya demi menghidupkan ajaran mereka. Dalam rangka ini, ia tak kenal lelah, tidak pula menyia-nyiakan kesempatan berbakti sampai menyusul ruh nun suci mereka di sisi Allah swt.


Ihwal Forum-forum Ilmiah
Forum-forum ilmiah Sayyid Hasan Ash-Shadr merupakan kelas pendidikan yang menjadi aksis pemecahan persoalan sekaligus safari intelektual, sebagaimana layaknya manusia yang mencapai derajat kesempurnaan pelbagai ilmu dan seluk beluk kebijakan. Bimbingan dan petuahnya melabuhkan seseorang ke alam malakut dan menggabungkannya bersama arwah suci nun mulia, sehingga ia tampak seperti yang dilukiskan sebuah bait syair:

Di atas bumi sebuah wujud bendiawi yang fana

Dan di alam malakut wujud ruhani yang baka

Metode dan keterampilan penyampaiannya memudahkan pemahaman, memadatkan kalimat. Ia berbicara jelas, tegas dan mengalir dengan tutur kata yang indah. Isyarat-isyarat kalimatnya menembus kedalaman hati segenap lapisan masyarakat. Kepada mereka, ia berbicara sesuai dengan kapasitas masing-masing.


Derajat Keilmuan
Sayyid Hasan Ash-Shadr kaya akan pengalaman ilmu dan amal. Sungguh ia sosok mujtahid besar di bidang fiqih, penuntun umat menuju keridhaan Allah swt., pelengkap bukti, pelebur dalam agama, dan amat disiplin serta ketat dalam melaksanakan hal-hal sunnah. Ia aktif sebagai kepercayaan umat dalam fatwa dan taklid, titik rujukan dalam pengkajian hadis, pakar sejarah, peristiwa, nasab Quraisy dan semua bangsa Arab, khususnya kabilah Bani Hasyim, pemuka Ushul Fiqih, Rijal dan Dirayah.

Sayyid Hasan Ash-Shadr amat menguasai Tafsir dan ilmu-ilmu Al-Quran dan Hadis, begitu pula ilmu-ilmu sastra Arab seperti Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, Badi’e, dan teks Arab. Selain itu, Sayyid Hasan Ash-Shadr adalah guru di bidang Mantiq, Filsafat, Kalam, Matematika dan Astronomi. Ia laksana samudera akhlak yang tak tersentuh dasar dan tepinya.


Perdebatan demi Kebenaran
Sejak mata ini berkedip, saya tidak pernah menjumpai seorang pun setangguh Sayyid Hasan Ash- Shadr. Ia berdiri teguh dan duduk tenang di forum-forum debat dalam mempertahankan kebenaran agama Islam dan membela mazhab Syi’ah. Ia tak ubahnya pejuang sejati, pemberani, tegar, tak kenal lelah dan mundur, cakap dalam menjawab, menukas dan membantah, tajam menggugat dan tangkas menepis serangan kritis. Di balik kekuatan penyampaian dan keindahan gaya bahasa, ia amat sabar dan tekun menyimak dan mengikuti penjelasan lawan. Kelihaian dan keandalan talenta debat Sayyid Hasan Ash-Shadr semakin tampak tatkala ia menumbangkan klaim musuh-musuhnya dan menghancurkan argumentasi mereka.


Talenta Sastra
Bagi Sayyid Hasan Ash-Shadr, sastra Arab merupakan bakat karuniawi dan bawaan estetik cita bahasa yang tinggi. Ia termasuk penggemar yang fanatik dan penanti isyarat-isyarat sastra, tanpa kehilangan kecermatan pengamatan, ketepatan pandangan dan ketajaman kritik. Namun di balik semua ini, Sayyid Hasan Ash-Shadr tidak begitu tertarik kepada irama puitik dan merangkai matra-matra syair. Ini dapat dimaklumi karena ia lebih mengutamakan bobot pengetahuan ketimbang bentukan syair, sejak ia masih kanak-kanak hingga detik-detik akhir hidupnya.

Keindahan yang ditemukan dari sastra tidak membuatnya terpesona dan memuaskan gelinjang hasrat ilmunya, sebab semangat dan idealismenya sebegitu tinggi hingga melampaui tirai-tirai kelembutan sebuah sastra.

Dalam hal ini, Sayyid Hasan Ash-Shadr seperti Al-Khalil ibn Ahmad Al-Farahidi. Meski Al-Khalil dikenal sebagai tokoh utama sastra yang paling pandai bersyair, namun ia tidak merangkai satu bait pun. Ia pernah ditanya: “Gerangan apakah yang membuatmu enggan mencipta syair?” Ia menjawab: “Apa yang kuinginkan tidak kutemukan di dalamnya, dan apa yang kutemukan darinya pun tidak kuinginkan”. Di sisi lain, Sayyid Hasan Ash-Shadr tampak seperti Al-Ashma’ie, yang pada ketinggian derajatnya dalam sastra Arab, masih saja menyatakan: “Karena keindahannya, pandanganku justru terpaling darinya”, yaitu tatkala orang-orang menanyakan: “Mengapa kau tak pernah merangkai syair?!”


Karya Ilmiah
Sayyid Hasan Ash-Shadr memiliki keistimewaan yang menonjol dan kekuatan yang luar biasa dalam seni karang. Pada karya-karya ilmiahnya, Ia mampu menggabungkan penguraian detail dan pengkajian yang dalam. Karangan-karangannya terbagi ke dalam banyak bidang ilmu. Ini menunjukkan kekayaan materi, keluasan wawasan, kete-litian kajian, ketepatan metode, keharmonisan seni tulisnya. Berikut ini beberapa judul karya Sayyid Hasan Ash-Shadr, sejauh yang saya ketahui:


1. Ushuluddin
- Ad-Durar Al-Musawiyah fi Syarhil ‘Aqoidul Ja’fariyah. Karya teologis ini adalah syarah atas butir-butir akidah Syeikh Akbar Kasyiful Ghitha’. Di antara butir-butir itu, Syeikh membuktikan prinsip Tauhid dan prinsip Keadilan Ilahi melalui tanda-tanda dan kesankesan penciptaan Allah swt., seperti penciptaan langit dan bumi, pergantian siang dan malam, atau tanda-tanda kebesaran Allah swt. lainnya. Selebihnya, beliau meninggalkan bidang penjelasan untuk ulama. Keis-timewaan syarah Sayyid Hasan Ash-Shadr adalah cakupannya yang amat luas sehingga meliput rincian pelbagai dimensi tanda-tanda kebesaran ciptaan tersebut, termasuk hukum-hukum, rahasia-rahasia dan hikmahhikmahnya, sesuai dengan metode ahli kalam. Syarah ini mengulas argumentasi atas prinsip Wahdaniyyah secara lebih kokoh, tajam dan gamblang daripada sinar matahari di siang hari. Melalui syarah ini pula, ia memaparkan pandangannya mengenai prinsip Imamah (kepemimpinan pasca Rasul saw.) para Imam Suci a.s. secara argumentatif dengan mengandalkan dalil-dalil dari para pengingkarnya.

- Kitab Sabil Ash-Sholihin, sebuah karya tentang sair-suluk dan jalan ibadah. Di dalamnya, Sayyid Hasan Ash-Shadr menerangkan tujuh jalan ibadah dan suluk ruhani.

- Kitab Ihya’ An-Nufus bi Adabi Ibni Thawus. Karya ini menghimpun keterangan Sayyid Jamaluddin Ali ibn Thawus Al-Hasani dari karya-karyanya. Sayyid Hasan Ash-Shadr menyusun tema-temanya ke dalam tiga bab: bab pertama mengenai hubungan hamba dengan Tuhannya, bab kedua mengenai hubungan hamba dengan para pemimpinnya sebagai perpanjangan kekuasaan Allah di bumi, dan bab ketiga tentang hubungan hamba dengan malaikat dan sesama manusia.


2. Fiqih
- Sabil Ar-Rasyad fi Syarh Najatil ‘Ibad. Sayyid Hasan Ash-Shadr menyusunnya secara argumentatif. Dari kitab ini diterbitkan sebuah kitab tebal khusus mengenai bab air dan hukum-hukum.

- Tabyinu Madari As-Sidad lilMatn wal Hawasyi min Najatil ‘Ibad. Banyak tema ‘At-Taharah’ dan sebagian besar tema Shalat dibahas di sana. Dan yang dimak-sud dari hawasyi (catatan pinggir) ialah catatan pinggir Syeikh Murtadha Al-Anshari dan catatan Sayyid Mirza Al- Husaini Asy-Syirazi; guru Sayyid Hasan Ash-Shadr.

- Kitab Tahshilul Furu’ Ad-Diniyah fi Fiqhil Imamiyah, sebuah karya yang dikarang untuk tingkat awam dan tingkat praijtihad (muhtath). Dari kitab ini, diterbitkan dua kitab secara terpisah; yaitu Kitab At-Taharah dan Kitab Ash-Sholah; yang diawali oleh sebuah pengantar mengenai permasalahan taklid secara detail.

- Al-Masaiul Muhimmah; sebuah risalah yang bagus tentang hukum-hukum ibadah bagi para mukallid.

- Al-Masail An-Nafisah; sebuah risalah yang secara khusus membahas isu-isu beberapa tema Fiqih dan hukum-hukum yang ganjil.

- Risalah Hawasyi ‘alal ‘Urwatul Wutsqo.

- Risalah Hawasyi ‘alal Ghayatul Qushwa.

- Risalah Hawasyi ‘ala Najatul ‘Ibad.

- Risalah Hawasyi ‘ala At-Tabshirah.

- Risalah Hawasyi ‘ala Al-Fushul dalam bahasa Persia.

- Al-Ghaliyah li Ahlil Andzarul ‘Aliyah; sebuah risalah dalam dua bahasa; Arab dan Persia, khusus membahas haram-nya mencukur jenggot.

- Tabyin Ar-Rasyad fi Labs As-Sawad ‘alal Aimmatil Amjad, dalam bahasa Persia.

- Hahj As-Sidad fi Hukmi Arodhi As-Sawad.

- Ad-Durr An-Nadim fi Masalat At-Tatmim; sebuah risalah tentang keutuhan air kur meski dengan air yang najis.

- Luzumu Qodho’u ma Fata min As-Shoum fi Sanatil Fawat.

- Tabyinul Ibahah; risalah tentang sahnya shalat dengan diperbolehkannya memakan hewan yang diragukan kemubahan hukum.

- Ibanatu Ash-Shudur; risalah tentang riwayat Maqufah ibn Adzinah yang berkenaan dengan warisan ibu keempat yangmempunyai anak.

- Kasyful Iltibas ‘an Qo’idati An-Nas, risalah tentang sebuah kaidah fiqih yang menyatakan bahwa setiap orang berkuasa atas milik kekayaan mereka sendiri.

- Al-Ghurar fi Nafyi Adh-Dhiror wa Adh-Dhoror; risalah penting yang memuat kajian-kajian mendalam. Di dalamnya juga dibahas makna al-hukumah dan al-wurud.

- Ahkam Asy-Syukuk Al-Ghoir Manshushoh; risalah yang mendiskusikan kajian redaksional sejumlah riwayat yang menunjukkan asumsi praktis atas yang ter-banyak dalam keadaan ragu mengenai jumlah rakaat shalat.

- Risalah fi Hukmi Adz-Dzann bil Af’al wa Asy-Syakk fiha.

- Ar-Rasail fi Ajwibatul Masail; risalah yang menghimpun fatwa-fatwa Sayyid Hasan Ash-Shadr yang semula merupakan jawaban-jawaban atas pertanyaan para mukallidnya tentang hukum-hukum syar’ie.

- Sabil An-Najat fil Mu’amalat.

- Ta’liqoh ‘ala Risalah At-Taqiyah li Syeikh Al-Anshari.

- Ta’liqoh ‘ala MabahitsulMiyah; dari kitab At-Taharah karya Syeikh Al-Anshari.

- Ar-Risalah fi HukmiMa’ Al-Ghusalah.

- Risalatun fi TathhirilMa’.

- Risalatun fi Masalati Taqwal ‘Ali bil As-Safil.

- Ta’liqotul Mabsuthoh ‘ala ma Katabahu Syeikh Al-Anshari fi Shalatil Jama’ah.

- Risalatun fi Syurut Asy-Syahadah.

- Risalatun fi Ba’dhi Masail Al-Waqf.

- Risalatun fi Hukm Ma’ Al-Istinja’.

- Risalatun fil Ma’ Al-Mudhaf.

- Risalatun Mujazah; sebuah risalah sederhana tentang riwayat yang menunjukkan pembacaan empat tasbih tanpa suara pada rakaat ketiga dan keempat.

- Muna An-Nasik filManasik; sebuah risalah besar tentang manasik haji dan umrah serta tata cara memasuki kota suci Mekkah dan Madinah. Risalah ini dicetak di Baghdad pada 1341 H.


3. Hadis
- Kitab Syarh Wasail Asy-Syi’ah ila Ahkam Asy-Syi’ah; sebuah kitab yang terbaik di bidangnya. Di dalamnya, penulis membawakan hadis lalu meletakkan sub-sub judul seperti redaksi (matn), bahasa (lughah), sanad dan simiotika (dalalah). Pada subjudul redaksi, ia membahas perbedaan naskah dan pencatatan literal. Pada subjudul bahasa, ia mengkaji kosa kata dan filologi. Pada subjudul sanad, ia meneliti ihwal pribadi para perawi hadis. Dan pada subjudul simiotika, ia menelaah kandungan hadis dan mengukur sejauh mana dapat dijadikan sebagai dalil atas sebuah hukum syar’ie, serta mendiskusikan hadis-hadis yang menen-tangnya lalu mengkompromikan (jam’e) pertentangan itu atau mengutamakan (tarjih) salah satunya. Metode ini dilakukannya sebegitu cermat seakan belum pernah dilakukan oleh ulama sebelumnya. Kitab ini sungguh lengkap dan menghimpun pelbagai disiplin ilmu seperti Hadis, Fiqih, Ushul Fiqih, Rijal, dan telah dicetak dalam beberapa jilid.

- Tahiyatu Ahlil Qubur bil Ma’tsur; disusun sebanyak sepuluh bab dan diakhiri dengan sebuah epilog.

- Majalisul Mu’minin fi Wafiyyatil Aimmatil Ma’shumin. Kitab ini disusun dalam beberapa bab, yang masing-masing babnya berkaitan dengan salah satu nama dua belas Imam Maksum a.s., dan membahas keutamaan, karomah dan ihwal wafat mereka menurut riwayat-riwayat tanpa membawakan sanadnya, sehingga ia menjadi sebuah prosa dan biasa dibacakan di atas mimbar untuk mengenang hari-hari wafat mereka a.s. Sayyid Hasan Ash-Shadr mengakhiri kitab ini dengan sebuah pasal mengenai anak-anak dan keturunan para Imam Maksum a.s.

- Miftah As-Sa’adah wa Maladz Al-‘Ibadah; kitab yang mencakup hal-hal penting dari ritual ibadah siang dan malam, sepekan, sebulan dan setahun, dan hal-hal yang menyangkut ziarah dan adabnya.

- Kitab Ta’rifil Jinan fi Huquqil Ikhwan; sebuah risalah indah yang memuat masalah-masalah, nasehat-nase-hat dan hikmah-hikmah yang tidak ditemukan di kitab-kitab lainnya.

- Risalatun fil Manaqib; disusun berdasarkan urutan huruf Hijaiyah dan disadur dari kitab Al- Jami’e Ash-Shoghir karya As-Suyuthi. - Kitab An-Nushushul Ma’tsur; kitab yang ditulis dalam rangka membuktikan Imam Mahdi a.s. atas dasar riwayat-riwayat Ahli Sunnah. Penulisan kitab ini tidak tuntas. Mungkin kitab inilah yang disinggung oleh pengarang Adz-Dzari’ah (juz 5, hal. 38) dengan judul Akhbarul Ghaibah.

- Shahihul Khabar fil Jam’e Baina Ash-Sholatain fil Hadhar. Sayyid Hasan Ash-Shadr membatasi dalil dan argu-mentasinya hanya pada kitab-kitab induk Ahli Sunnah, yakni Shihah Sittah, yang memuat riwayat-riwayat yang menegaskan shalat jamak Nabi saw. dalam keadaan normal; tidak dalam perjalanan, sakit, atau-pun hujan. Lalu, ia membawakan pendapat para ulama dan fuqoha Ahli Sunnah yang menegaskan hukum shalat jamak menurut Syi’ah Imamiyah.

- Al-Haqoiq fi Fadhoil Ahlil Bait a.s., sebuah kitab untuk menegaskan keutamaan dan kedudukan tinggi Ahlul Bait a.s. melalui riwayat-riwayat Ahli Sunnah. - Kitab Ahadits Ar-Raj’ah.

- Hidayat An-Najdain wa Tafshilul Jundain; sebuah risalah yang menyarahi hadis “Junudul ‘Aql wa Junudul Jahl” dari kitab Al-Kafi.


4. Dirayah
- Kitab Hidayat Ad-Dirayah; sebuah kitab syarah yang menghimpun keterangan ringkas Syeikh Bahaie. Di dalamnya, Sayyid Hasan Ash-Shadr mengkaji ilmu Dirayah secara rinci dan teliti, mengurut secara cermat persoalan-persoalannya, termasuk macam-macam hadis dan pembahasan ‘Al-Jarh wa At-Ta’dil’. Di sepanjang pembahasannya, terdapat banyak kesimpulan penting yangmenarik untuk diamati.


5. Jalur-jalur Penukilan Hadis
- Bughyatul Wu’at fi Thuruqi Thabaqot Masyayikhil Ijazat. Kitab ini mencakup sepuluh generasi perawi, dibuka dengan sebuah mukaddimah yang amat penting. Di dalamnya, Sayyid Hasan Ash-Shadr membawakan ijazah (sertifikat pengakuan) dari Sayyid Muhammad Murtadha Al-Jahanburi Al-Hindi yang untuknya Allamah An-Nuri menyusun kitab Al-Lu’lu’ wal Marjan. Selain itu, ia juga memegang beberapa ijazah dari sekelompok ulama-ulama besar semasanya; sebagian tertulis secara singkat, sebagian lagi secara rinci.


6. Rijal
- Kitab Mukhtalaf Ar-Rijal. Sayyid Hasan Ash-Shadr menulis kitab Rijal ini secara sistematis, mulai dari pembahasan definisi, subjek utama, tujuan, dasar-dasar konseptual dan proposional, serta perdebatan seputar nama dan pribadi para perawi dan tokoh.

- ‘Uyun Ar-Rijal; kitab yang mencatat nama tokoh-tokoh yang dinyatakan keterpercayaan mereka oleh lebih dari satu ahli hadis, dan menyebutkan ihwal kedu-dukan mereka dalam tingkatan kelas mereka. Sayyid Hasan Ash-Shadr menutup kitab ini dengan sebuah silsilah generasi para perawi dan ijazah terperinci yang diberikan kepada sebagian ulama terkemuka keturunan Ali ibn Abi Thalib, serta menyebutkan banyak judul karya-karya mereka.

- Kitab Nukat Ar-Rijal; sebuah kitab yang memuat catatan pinggir paman Sayyid Hasan Ash- Shadr; Sayyid Shadruddin, atas kitab Ar-Rijal karya Syeikh Abu Ali. Sejatinya, kitab ini adalah salah satu karya pamannya.

- Intikhabul Qorib min At-Taqrib; kitab yang secara khusus mengkaji ihwal para perawi dan tokoh yang dinyatakan kesyi’ahan mereka oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani di dalam kitab At- Taqrib.

- Sebuah risalah yang mengulas riwayat hidup Al-Muqoddas Al-Muhaqqiq Al-Husaini Al-‘A’raji, penga-rang kitab Al-Maqshud. Sayyid Hasan Ash-Shadr menamainya dengan judul Dzikrol Muhsinin.

- Bahjat An-Nadie fi Ahwal Abil Hasan Al-Hadi.

- Takmilatu Amalil Amil; atau lebih dikenal juga dengan nama A’yan Asy-Syi’ah. Dalam ilmu Rijal, kitab ini tak ada bandingannya. Sayyid Hasan Ash-Shadr meng-ulas nama-nama yang tidak tercatat dalam kitab Amaul Amil, baik mereka yang mendahului kitab ini, atau yang semasanya, atau yang datang kemudian sampai sekarang. Ia menyusunnya setebal tiga jilid. Jilid pertama khusus mendiskusikan bagian pertama yang berkaitan dengan tokoh-tokoh dari ulama Jabal ‘Amil-Lebanon, dan jilid kedua dan ketiga memuat bagian kedua yang mengkaji nama-nama ulama di negeri-negeri lainnya.

- Al-Bayan Al-Badi’e; kitab yang membuktikan bahwa Muhammad ibn Ismail yang dibawakan di bagian awal sanad-sanad Al-Kafi tidak lain adalah Buzai’e.


4
Kisah Para Nabi Allah

7. Autobiografi, Seni Karang dan Klasifikasi
- Ta’sisusy Syi’ah Al-Kirom li ‘Ulumil Islam; kitab yang tak ada bandingannya di bidang ini. Di dalamnya, Sayyid Hasan Ash-Shadr menelusuri pelbagai ilmu keis-laman, menggali akarakarnya, meneliti nama-nama para peletak dan penyusunnya, dan mengkaji secara cermat generasi dan kelas para pengarang. Sepanjang pembahasan, ia mampu membawakan semua itu secara argumentatif dan menegaskan fakta yang nyata bahwa Syi’ah Imamiyah tampil sebagai pelopor di semua bidang ilmu keislaman. Dari sisi inilah kitab ini karya perdana yang dikarang dalam kategori ini.

- Asy-Syi’ah Wa Fununil Islam; kitab yang begitu bagus dan menarik, ukurannya kecil namun kaya akan data dan informasi. Kitab ini adalah saduran ringkas dari kitab di atas tadi.

- Fashlul Qodho’ fil Kitab Al-Masyhur bi Fiqh Ar-Ridho’. Melalui kitab ini, Sayyid Hasan Ash-Shadr berusaha menyingkap ihwal identitas kitab Fiqh Ar-Ridho’, dan menyimpulkan bahwa kitab ini adalah nama lain dari At-Ta’lif; karya Ibnu Abil ‘Azaqir Asy-Syalamghani. Ia juga berusaha menjelaskan sebab-sebab kesalahpaha-man yang terjadi atas kitab ini.

- Sebuah risalah yang berusaha membuktikan bahwa pengarang kitab Mishbah Asy-Syari’ah tidak lain adalah Sulaiman Ash-Shahrasyti; murid Sayyid Al-Murtadha. Sulaiman menulis kitab itu sebagai ringkasan dari karya Syaqiq Al-Balkhi.

- Al-Ibanah ‘an Kutubil Khazanah; risalah yang mengulas ihwal perpustakaan pribadi Sayyid Hasan Ash-Shadr. Ia mendata kitab-kitab yang dimilikinya, dan me-nyebutkan nama ilmuilmu yang atas dasar inilah ia mengklasifikasi kitab-kitab di perpustakaan pribadi-nya. Ia juga mendata judul-judul kitab yang unik dan langka ditemukan. Risalah ini dibubuhi sebuah pengantar penulis yang membahas seni karang dan seni klasifikasi serta pengoleksian dan pencarian kitab-kitab, lalu mengurut nama-nama ilmu dan pakar yang berkedudukan tinggi.


8. Akhlak
- Sabil Ash-Sholihin. Sekaitan dengan dua kitab ini, saya telah memberikan keterangan sebelumnya.

- Ihya’ An-Nufus.

- Risalah Wajizah fil Muroqobah.

- Risalatun fi As-Suluk.


9. Seni Debat
- Qothi’atu Al-Lujaj fi Tazyifi Ahlil I’wijaj. ‘Ahlil I’wijaj’ adalah Akhbariyah, yakni aliran dalam Ushul Fiqih yang mengingkari ijtihad dan taklid, dengan alasan bahwa hadis-hadis yang datang dari para Imam Suci a.s. sudah cukup jelas, baik dari segi sanad periwa-yatan maupun dari segi kandungan konseptualnya.

- Al-Barahin Al-Jaliyyah fi Dholali Ibni Taimiyyah; sebuah kitab yang tebal. Di dalamnya, Sayyid Hasan Ash-Shadr membuktikan kesesatan Ibnu Taimiyah dengan merujuk kepada pelbagai statemen, perilaku dan kesaksian ulama Ahli Sunnah serta penilaian mereka atas kesesatannya itu. Ia juga membawakan pelbagai fakta, dampak buruk dari kekeliruannya terhadap umat Islam. Melengkapi pembahasan ini, Sayyid Hasan Ash-Shadr menyinggung ihwal Ibnu Qoyyim dan kaum Wahabi dan menerangkan keadaan mereka yang sebenarnya serta menampilkan sisi-sisi kesesatan mereka.

- Al-Firqoh An-Najiyah. Di dalam risalah ini, Sayyid Hasan Ash-Shadr hendak membuktikan bahwa ‘firqoh najiyah’ (golongan yang selamat) itu adalah Syi’ah Imamiyah.

- ‘Umar wa Qouluhu ‘Hajaro’; risalah ilmiah tentang hadis shahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.12 Suatu ketika ia meratap: “Oh, hari Kamis! Betapa memilukan!”, dan menangis hingga air matanya membasahi jenggot-nya yang lebat seraya berkata: “Pada hari itulah keadaan sakit Nabi saw. semakin parah, lalu beliau berkata: ‘Bawakan kepadaku sehelai lembar, aku akan menuliskan untuk kalian sebuah surat yang dengannya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya!’ Sekelas itu, orang-orang yang hadir malah bertengkar, ribut dan gaduh, padahal tidak sepatutnya mereka bertengkar dan ribut di depan seorang nabi, bahkan mengatakan: “Nabi telah ngigau”. Maka, beliau pun berkata: “Pergilah kalian dariku...!”

- Risalatun fi Ar-Radd ‘ala Fatawa AL-Wahabiyyin;13 yaitu fatwa kaum Wahabi yang mengharamkan pem-bangunan di atas makam orang-orang suci dan mewajibkan penghancuran apa saja yang dibangun oleh Muslimin di atasnya. Sungguh risalah ini paling bagus di antara kitab-kitab yang ditulis mengenai subjek ini. Setelah membaca risalah ini, saya hanya bisa mengatakan: “Kebenaran telah datang, maka hancurlah kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu sangat rapuh”.


10. Ushul Fiqih
- Al-Lawami’e; kitab Ushul Fiqih yang menghimpun buah-buah pikiran dua guru besar; Syeikh Al-Anshari dan Sayyid Syi-Syirazi serta pandangan murid-murid mereka. Lalu, Sayyid Hasan Ash-Shadr, menyisipkan pandangan-pandangan khas ke dalamnya.

- Ta’liqoh ‘ala Ar-Rasail li Syeikh Murtadha Al-Anshari.

- Al-Lubab fi Syarh Risalatil Istishhab, dalam ukuran tebal.

- Risalatun di Ta’arudhil Istishhabain.

- Hadaiqul Ushul; kitab yangmenghasilkan aneka ragam permasalahan baru dari isu-isu Ushul Fiqih.

- At-Ta’adul wa At-Ta’arudh wa At-Tarjih; sebuah ri-salah yang berbeda dengan catatan pinggirnya atas Ar-Rasail karya Syeikh Al-Anshari di atas itu.


11. Nahwu
- Khulashoh An-Nahw; kitab yang menyederhanakan ilmu Nahwu sesuai urutan tematik Alfiyah IbnuMalik.


12. Sejarah
- Nuzhatu Ahlil Haramain fi ‘Imaratil Masyhadain; Masyhadi Amiril Mu’minin wa Masyhadi Abi Abdillah Al-Husein Alaihi As-Salam; sebuah risalah yang mengulas ihwal orang pertama yang mendirikan bangunan di pusara suci Imam Ali ibn Abi Thalib a.s. dan Imam Husein a.s., dan orang pertama yang memperbaharui pembangunan dua pusara suci ini. Di dalam risalah ini, Sayyid Hasan Ash-Shadr juga menyebutkan tanggal pembangunan dan pembaharuan serta nama-nama insinyurnya, termasuk nama orang pertama dari keturunan Imam Ali a.s. yang tinggal di sekitar bangunan pusara tersebut.14

- Wafiyyatul A’lam min Asy-Syi’atul Kirom; kitab sejarah sebagaimana yang tampak dari judulnya. Sayyid Hasan Ash-Shadr menyusunnya berdasarkan urutan masa dan generasi, mulai dari tokoh-tokoh abad pertama, abad kedua, abad ketiga dan abad keempat.

- Muharibullahi Warosulihi Yaum Ath-Thufuf; risalah yang secara khusus meneliti jumlah orang yang memerangi Imam Husein a.s. di hari Asyura’, dan membuktikan bahwa mereka berjumlah tiga puluh ribu atau lebih.

- Al-Matha’in; kitab yang memuat gugatan sebagian ulama Ahli Sunnah atas sebagian ulama Ahli Sunnah lainnya.

- An-Nasi’; sebuah risalah yang menerangkan hakikat nasi’ sebagai salah satu norma tradisi kaum Jahiliyah. Allah swt. telah menyatakannya sebagai nilai lebih kekufuran. Dalam risalah ini pula Sayyid Hasan Ash-Shadr membantah kritik atas hari kelahiran Rasulullah saw. yang jatuh pada bulan Rabi’ul Awwal, yakni dengan merujuk pada masa kehamilan ibunda beliau yang berawal darimalam-malam Tasyriq.

- Kasyf Adz-Dzunun ‘an Khiyanatil Ma’mun; sebuah risalah yang membuktikan pengkhianatan keji khalifah dinasti Abbasiyah yang bernama Al-Ma’mun, yaitu meracuni Imam Ali Ar-Ridha a.s.

- Mahasin Ar-Rasail fi Ma’rifatil Awail; kitab ini terdiri dari lima belas bab.


Perpustakaan Pribadi
Sejak masih belia hingga masa-masa tua, Sayyid Hasan Ash-Shadr gemar mengoleksi kitab dan mencintainya sebegitu dalam. Dalam rangka itu, ia berhasil memiliki kitab-kitab terbaik dari pelbagai bidang seni dan ilmu, baik ilmu aqli maupun ilmu naqli. Tak mengherankan lagi bila ia lebih mementingkan usaha mencari dan memiliki daripada nafkah hidup kesehariannya, sampaisampai ia menjual barang-barang yang bisa ditawarkan demi maksud tersebut. Namun demikian, Sayyid Hasan Ash-Shadr mendapatkan kekayaan yang banyak berkat usaha pengoleksian buku, baik yang sudah tercetak atau masih berupa manuskrip. Man jadda wajada!

Perpustakaan Sayyid Hasan Ash-Shadr kaya akan kitab-kitab manuskrip yang amat langka dan tidak dapat dijumpai di kebanyakan perpustakaan besar, bahkan boleh jadi terdapat kitabkitab berharga yang sulit atau tidak ditemukan di selain perpustakaannya. Karena inilah perpustakaan Sayyid Hasan Ash-Shadr menjadi terkenal dan diminati oleh banyak orang.

Perpustakaan ini juga sempat disinggung oleh seorang peneliti besar bernama Jurji Zaidan,15 dimana dalam kitabnya; Ta’rikh Adab Al-Lughah Al-‘Arabiyyah, di mana ia mendata semua perpustakaan di Irak dan menempatkan perpustakaan Sayyid Hasan Ash-Shadr di urutan teratas. Sayyid Hasan Ash-Shadr sedemikian besar mencu-rahkan perhatiannya pada perpustakaannya. Untuk itu, ia menulis sebuah kitab daftar dan klasifikasi buku yang dinamainya dengan judul Al-Ibanah ‘an Kutubil Khazanah, dengan cara penyusunannya yang cermat dan indah.

Di dalamnya, ia meresensi kitab-kitab perpustakaan sebagai bukti atas penguasaannya atas kandungan-kandungannya, sebagaimana yang telah saya singgung ihwal kitab ini di atas tadi. Perpustakaan ini menjadi lebih penting lagi tatkala ia berfungsi sebagai pusat penelitian Sayyid Hasan Ash-Shadr; di mana ia mengisi ruangnya dengan pengkajian, merujuk kitabkitabnya secara teliti dan seksama.

Dalam rangka menerangkan riwayat hidup Sayyid Hasan Ash-Shadr, salah satu muridnya yang terbaik sekaligus keponakan dari saudara perempuannya, Allamah Syeikh Murtadha Al Yasin, mengatakan: “Sungguh aku telah mendengar langsung dari Sayyid Hasan Ash-Shadr, bahwa ketika masih muda dan kuat, ia hampir tidak menghabiskan malamnya untuk tidur dalam rangka mendapatkan kitab.

“Pengalaman ini juga dijalaninya pada siang harinya. Namun, alih-alih aku menyaksikan kenyataan apa yang kudengar ini di masa mudanya, sungguh aku telah melihat dengan mata kepalaku sendiri, bahwa ia masih menjalani pekerjaan tersebut pada masa-masa tuanya, dan perpus-takaannya¯yang menjadi tempat tinggalnya di waktu-waktu malam dan siang, dan duduk di sana dengan pena di tangan kanannya dan kertas di tangan kirinya¯merupakan saksi tunggal yang menyatakan bahwa kedua mata pemiliknya selalu terbuka di malam hari, dan tidak memejamkan matanya lantaran rasa kantuk di siang hari. Bila rasa kantuk datang menyerangnya, ia hanya meng-halaunya dengan menekuk-nekuk tubuh dan melenturkan persendian, sehingga tak lama kemudian rasa itu hilang...”.

Guru-guru Riwayat
Di bidang periwayatan hadis, guru-guru Sayyid Hasan Ash-Shadr dapat dibagi kepada dua kelompok; kelompok yang dari mereka ia meriwayatkan hadis hanya dengan cara belajar dan mendengar, tanpa ijazah periwayatan, dan kelompok yang ia juga meriwayatkan dari mereka melalui ijazah umum untuknya. Guru-guru kelompok pertama Sayyid Hasan Ash-Shadr adalah Hujjatul Islam Mirza Muhammad Hasan Asy-Syirazi Al-Gharawi Al-‘Askari; guru terbaiknya yang wafat pada 1312 H., Syeikh Al-Muhaqqiq Sang Perintis Mirza Habi-bullah Ar-Rasyti Al-Gharawi, pengarang kitab Bada’iul Ushul yang wafat pada 1313 H., tokoh besar Fiqih; Syeikh Muhammad Hasan ibn Syeikh Hasyim Al-Kadzim An-Najafi; penyarah kitab Asy-Syara’ie yang wafat pada 1308 H., Al-Fadhil Al- Maula Muhammad Al-Irwani An-Najafi yang wafat pada awal abad keempat belas, Syeikh Muhammad Hasan Alu-Yasin Al-Kadzimi; pengarang kitab Asrorul Faqohah yang wafat pada 1308 H., dan ayah-andanya sendiri yangmulia, Sayyid Hadi, yang wafat pada 1316 H.

Adapun guru-guru kelompok kedua Sayyid Hasan Ash-Shadr ialah tokoh-tokoh besar ulama Syi’ah seperti; Al-Maula Syeikh Mulla Ali ibn Mirza Khalil Ar-Razi Al-Gharawi yang wafat pada 1297 H., Sayyid Al-Mahdi Al-Qazweini Al-Hilli Al-Gharawi yang wafat pada 1300 H., Al-Maula Al-Muhaqqiq Mirza Muhammad Hasyim ibn Zainal ‘Abidin Al-Ishfahani yang wafat pada 1318 H. di Najaf. Sayyid Hasan Ash-Shadr telah memaparkan semua riwayat hidup mereka masingmasing secara lengkap di dalam dokumen-dokumen ijazahnya yang panjang.


Penampilan Lahiriah
Sesungguhnya Allah swt. telah membina Sayyid Hasan Ash-Shadr di atas neraca kesempurnaan, dan membentuk kepribadiannya di atas arasy kemuliaan, kewibawaan dan keluhuran. Allah telah menciptakannya sebagai manusia yang tampan lahiriahnya, yang suci fitrahnya, kuat fisiknya, perawakannya besar dan gagah, dadanya bidang, pipinya lembut, kening dan hidungnya halus, matanya bening, alisnya tebal, penampilannya bersih, kulitnya putih dan lembut, inderanya tajam, perasaannya jujur, busananya rapih. Allah swt. telah menghiasinya dengan kecintaan; senyumnya mengundang simpati para pemandang, sikap-nya menguasai rasa segan audiens.

Maha Suci Allah yang telah mengaruniainya kesempurnaan ilmu dan raga, mena-namkan pada dirinya bakat retorika dan kefasihan lisan, dan menyempurnakan dengan kekuatan argumentasi!


Watak dan Karakter
Allah swt. telah menciptakan Sayyid Hasan Ash-Shadr dari silsilah keturunan yang terhormat, dari bentukan tanah yang mulia, tumbuh besar di dalam suasana kesucian. Ia adalah keluhuran yang mengungkapkan segi-segi kebesaran jiwa, sementara kesatriaan menjelma dalam tutur kata dan sikapnya. Saya tidak pernah menyaksikan seorang manusia yang lebih mulia dari akhlaknya, lebih murni dari fitrahnya. Ia seorang lelaki pemberani, teguh dalam membela kebenaran dan tegar dalam menghadapi kesulitan.

Sayyid Hasan Ash-Shadr adalah seorang yang amat fanatik pada harga dirinya, sangat berjiwa besar, tidak tunduk pada segala bentuk tindak pemaksaan, tidak pula sabar terhadap kezaliman.

Di samping itu, ia selalu berada di bawah kursi kesombongan, dan menyingkir dari kecenderungan merasa besar. Ia berwatak lemah lembut, bersahaja, amat ramah dan murah senyum. Ia dikenal sebagai orang yang dermawan dan pemurah. Demikian ini lantaran ia lahir dari keluarga yang memecahkan tambang-tambang kebajikan dan titik akhir kebaikan dan ketulusan. Ia adalah ulama yang cerdas dan brilian. Ia berpikiran tajam, berdedikasi tinggi, berwawasan luas, peka dan tanggap terhadap suatu gejala, dan tangkas dalam berkreasi dan merespon suatu masalah. Hatinya lembut dan menyejukkan kaum mukmin, tegas dan keras menyikapimusuh-musuh Allah.

Dalam membela agama Allah, ia tidak akan lemah hanya dengan kecaman dan ancaman seseorang. Ia kaya akan tekad yang kuat, cita-cita yang tinggi, jiwa yang besar dalam meniti kesempurnaan dan jenjang kedekatan diri kepada Allah swt.


Para Pencatat Riwayat Hidupnya
Masih pada masa hidupnya, riwayat hidup Sayyid Hasan Ash-Shadr telah dicatat oleh lebih dari seorang ahli yang terpercaya, seperti Allamah Syeikh Murtadha Al Yasin. Syeikh Murtadha mengulas pribadi dan kehidupannya sedemikian indah, dan menampilkannya sebagai sosok figur dan teladan yang menuntun para pecinta ilmu menuju tangga-tangga kesempurnaan mereka.

Riwayat hidup Sayyid Hasan Ash-Shadr juga dicatat di dalam kitab A’yan Asy-Syi’ah. Namanya akan selalu dikenang karena ilmunya yang abadi selama keabadian karya-karyanya, insya-Allah! dan karena ia adalah seorang guru besar pemberi ijazah pada abadnya, maka ia merupakan salah satu bukti sejarah hingga akhir masa. Demikian ini juga dinyatakan oleh Syeikh Abbas ibn Syeikh Ridha Al-Qummi, yaitu tatkala ia mengulas riwayat hidup datuknya; Sayyid Syarafuddin Al-‘Amili.16 Selain itu, terdapat sebagian orang Barat yang turut membubuhkan ulasan mengenai pribadi Sayyid Hasan Ash-Shadr. Tokoh utama ruhaniawan17 dan sebagian orientalis memperke-nalkannya sebagai filosof.

Pasca wafatnya, Allamah Al-Hujjah Sayyid Naqie Naqawie mengulas seluk beluk riwayat hidup Sayyid Hasan Ash-Shadr secara detail. Di dalamnya terdapat bait-bait syair bermatra ‘Raiyyah’ yang dibubuhkan Allamah Naqawie sebagai senandung duka cita atas ketiadaannya. Pada dasarnya, ulasan riwayat hidup ini mengalir menurut jadwal bait-bait syair itu, sehingga tampak lengkap dan mencakup tiga periode hidup ilmiah dan amaliahnya, dimulai sejak saat ia dilahirkan sampai wafatnya.

Di dalam riwayat hidup ini juga dibawakan nama-nama besar para ulama dari garis keturunan datuk-datuk Sayyid Hasan Ash-Shadr, satu persatu dan berakhir pada nama besar Syarafuddin. Ayahnya bernama Zainal Abidin, datuknya bernama Nuruddin, ayah datuknya bernama Nuruddin, dan datuk-datuknya bernama Al-Husein ibn Ali ibn Muhammad ibn Abul Hasan Tajuddin Al-Musawi. Riwayat hidup ini juga menghimpun nama tokoh-tokoh terdahulu maupun terakhir dari keluarga besar Sayyid Hasan Ash-Shadr; termasuk mereka yang tinggal di Jabal ‘Amil dan di Irak, dan mengangkat sisi-sisi keunggulan duniawi dan ukhrawi mereka, serta menyebutkan tanggal wafat mereka masing-masing.

Masih dalam riwayat hidup ini, Allamah Naqie Naqawie mengetengahkan derajat keilmuan Sayyid Hasan Ash-Shadr, kedudukannya di tengah umat, daftar sejumlah nama guru-gurunya dan nama para guru yang berguru padanya, sederet judul karya-karyanya di pelbagai bidang pengetahuan dan seni. Lalu ia menyinggung ihwal wafatnya, penggiringan dan pemakaman jenazahnya dan majelis-majelis duka yang diadakan untuknya di Irak, Jabal Amil-Lebanon, Iran, India dan di negara-negara lainnya.


Para Penerima Ijazahnya
Allamah Naqie Naqawie mengatakan: “Dalam periwayatan hadis, Sayyid Hasan Ash-Shadr adalah guru terbesar yang menjadi pusat pertimbangan ahli-ahli dari kelas atas ilmu Hadis pada masa itu. Banyak dari tokoh Hadis yang meri-wayatkan hadis darinya. Di antara mereka adalah seke-lompok ulama menonjol seperti: Ayatullah Uzma Sayyid Abul Hasan Al-Ishfahani An- Najafi, Ayatullah Syeikh Muhammad Husein Al-Ishfahani, pengarang Al-Hasyiyah ‘alal Kifayah, Ayatullah Syeikh Muhammad Kadzim Asy-Syirazi, Ayatullah Syeikh Hadi Al Kasyiful Ghitha’, Syeikh Muhammad Ridha Al Yasin, Syeikh Ali AL-Qummi, Sayyid Ridha Al-Hindi, Mirza Muhammad Ali Al-Uradbadi di Najaf Al-Asyraf, Sayyid Mirza Hadi Al-Khurasani di Karbala, Syeikh Al-Muhsin yang dikenal dengan nama Agha Buzurgh At-Tehrani; pengarang kitab Adz- Dzari’ah ila Tashanif Asy-Syi’ah dan kitab-kitab lainnya di Samarra, Sayyid Abdul Husein Aal Syarafuddin di Jabal Amil-Lebanon, Sayyid Shadruddin Ash-Shadr di Masyhad-Iran, ayahku yang bernama Allamah Sayyid Abul Hasan An-Naqawie di Locknow-India, Allamah Sayyid Syubair Hasan di Faidz Abad, dan ulama-ulama besar lainnya”.18

Saya pribadi meriwayatkan hadis darinya dengan ijazah yang diberikannya kepadaku pada 11 Syawal 1346 H. Sungguh, Sayyid Hasan Ash-Shadr adalah guru besar pertama yang kumintai ijazahnya, maka ia pun memberiku ijazah mutlak yang mencakup pelbagai kitab dari bidang ilmu yang kumiliki seperti kitab-kitab hadis, tafsir dan ilmu-ilmu lainnya.


Hari Wafat, Pemakaman Jenazah dan Majelis Duka
Allamah Sayyid Naqawie mengatakan: “Sayyid Hasan Ash-Shadr wafat di ibukota Irak; Baghdad¯mengingat sudah tinggal di sana dalam beberapa hari untuk berobat19¯pada pertengahan Rabiul Awal 1354 H.20 Kepergiannya mening-galkan kesan yang dalam dan memilukan.Masyarakat merasakan kehilangan besar. Arus besar lebih dari setarus ribu orang dari pelbagai lapisan masyarakat mengiringi jenazahnya sampai ke kota Kadzimiah, tempat kelahiran dan pemakamannya.

“Pada upacara pengiringan dan pemakaman itu, Raja Ghazi pun turut hadir melalui utusannya, juga perdana menteri, anggota kabinet, pejabat dan deputi dari pelbagai departemen negara, tokoh-tokoh masyarakat dan sesepuh-sesepuh kabilah. Di jajaran terdepan, tampil para ulama kaum Muslimin dari pelbagai mazhab, khusyuk mengiringi jenazah hingga memasuki kota Kadzimiah.

“Sayyid Hasan Ash-Shadr dimakamkan di sekitar pusara suci Imam Musa ibn Ja’far Al-Kadzim a.s., persis di sebelah makam ayahnya; Al-Muqoddas, di kamar mereka yang terletak di sekitar halaman suci Al-Kadzimi. Hingga hari ini, makam mereka menjadi tempat ziarahBerita wafatnya Sayyid Hasan Ash-Shadr begitu cepat menyebar ke semua kota di Irak, khususnya Najaf. Di kota inilah didirikan majelis-majelis fatihah. Majelis fatihah yang terbesar diadakan masih di kota itu selama tiga hari berturut-turut oleh pemimpim besar Syi’ah, Ayatullah Sayyid Abul Hasan Al-Ishfahani”. Allamah Sayyid Naqawie melanjutkan: “Tak ayal lagi, Kematian Sayyid Hasan Ash-Shadr telah menciptakan kesan yang dalam pada dunia Islam, khususnya negeri Syam dan Jamal ‘Amil sebagai tanah leluhur dan basis kegiatannya dalam waktu yang amat panjang, apalagi daerahdaerah Shur yang menjadi tempat tinggal keluarga besar Syarafuddin dan tokoh utama mereka; Hujjatul Islam Sayyid Abdul Husein (sepupu saya dari pihak ibu). Di kawasan Shur itu, majelismajelis duka, kesedihan dan tahlil didirikan selama tujuh hari, tanpa henti dan surut suasana syahdu di dalamnya.

“Tak lama setelah itu, kami menerima sebuah surat undangan guna memperingati wafat Sayyid Hasan Ash-Shadr di masjid jami’e di sana, pada hari Ahad, jam dua siang, 12 Rabiul Awal 1354 H. / 13 Juni 1935 M. Dalam surat undangan tersebut, tercantum susunan acara, termasuk daftar nama para pembicara dan penceramah, di antara mereka adalah Allamah Hujjatul Islam Syeikh Abdul Husein Shodiq, Hujjatul Islam Abdul Husein Nuruddin, Prof. Dr. Khoiruddin Beik Al-Ahdab, Allamah Syeikh Ahmad Ridha dan sejumlah nama sastrawan ternama. Begitu pula, para ulama dan warga Muslim di India mengadakan acara dan majelis fatihah yang besar. Suratsurat kabar meliput berita wafat Sayyid Hasan Ash-Shadr secara luas dan digam-barkan sebagai peristiwa yang menghentakkan. Demikian pula di negeri-negeri Islam lainnya. Tentunya, ketiadaan seorang ulama merupakan sebuah kekosongan di dunia Islam yang tidak akan terisi oleh sesuatu pun hingga Hari Kiamat”.


Media Massa Irak dan Peringatan Wafat
Salah satu contoh dari pelbagai liputan atau artikel yang dimuat oleh surat-surat kabar di Irak adalah sebuah artikel yang termuat di dalam surat kabar Al-Karkh, nomor 312, tahun 7, Senin 30 Rabiul Awal 1354 H / 1 Juli 1935 M, dengan judul ‘Sayyid Hasan Ash-Shadr; Figur Unggul”. Berikut ini selengkapnya: Hanya akan sia-sia bila penulis di sini bermaksud untuk menyingkapkan betapa kerugian yang ditang-gung oleh umat Islam akibat kehilangan pemimpin besar mereka, Imam Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr. Wafatnya mengakibatkan kerugian umat ini begitu besar, kegelisahannya begitu berat, penderi-taannya begitu memilukan. Bagaimana tidak demikian sementara mereka harus menerima ketiadaan seorang pemimpin yang besar, tonggak yang kuat dan rujukan utama yang kepadanya umat mempercayakan urusan dunia dan agama mereka, yang di bawah naungannya mereka berteduh, dan di dalam bentengnya yang kokoh mereka berlindung.

Imam Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr adalah figur ilmu yang tak ada duanya. Sejarah pun tidak melaporkan padanannya di masa-masa sekarang ini. Ia merupakan model sempurna dari keutamaan ilmu dan kemuliaan amal sepanjang tiga periode kehidupannya: periode remaja, periode pratua dan periode tua. Pada periode remaja, Imam Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr adalah seorang pemuda cemerlang dalam meniti puncak kepribadian dan kematangan. Pada periode pertama, ia tampil sebagai alim tunggal di tengah para ulama dan tokoh. Dan pada periode tua, ia aktif sebagai pemimpin umat yang kepadanya mereka menyerahkan pelbagai persoalan sosial dan politik.

Imam Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr murah senyum dan tampil ceria. Ia tangguh dalam berargu-mentasi dan indah dalam bertutur kata. Jika ia berbicara, kalimatnya begitu lancar dan deras mengalir laksana banjir, tanpa kata terbata atau suara terpatah. Ia amat tangkas membalas dalil dengan dalil. Ia amat pandai mengetengahkan topik yang rumit kepada Anda hingga menjadi begitu tampak sederhana. Namun, kefasihan lisan, kejelasan argumentasi, daya pikat gaya bahasa, dan kekuatan metodenya. Semua itu dapat membuat Anda hingga hanyut menikmati-nya, puas mendengarnya, seakan segala sesuatu berjalan enteng.

Perkumpulan dan perjumpaan dengannya bak kelas tinggi yang menebar ilmu, sastra, dan aneka ragam subjek dan keterampilan retorika. Imam Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr akan selalu tampil dengan pelbagai warna sikap; sebanyak keragaman dan keunikan orangorang, demi menjaga tuntutan keadaan dan kapasitas mereka masing-masing. Bila berada di depannya, Anda akan menemukan diri Anda seolah Anda hidup di suatu masa yang menelan Anda ke dalam dunianya dan mengabarkan segala sesuatu tentangnya kepada Anda. Pada suatu saat, ia bercerita tentang Jibril yang turun membawa wahyu, seakan Anda melihat sosoknya dan mendengar suaranya. Di saat lain, ia bercerita tentang Rasulullah saw., seolaholah Anda menyaksikan risalahnya, melihat kebesaran mukjizatnya, dan menyimak sabdasabda dan mutiara-mutiara hikmahnya dari dekat. Sebegitu rupa Anda terkesima acapkali melemparkan pandangan dari satu fokus berita ke fokus berita lain lantaran refleksinya yang cermat dan narasinya yang indah, lalu Anda keluar dari dunianya¯kendati pun jiwa Anda enggan¯dengan akal yang kuat, pikiran yang tertata rapih dan wawasan yang terhampar luas.

Berikut ini penuturan filosof ruhaniawan dari aliran Farika di dalam Mulukul ‘Arab, juz 2, hal. 273: “Aku pernah menemui Sayyid Hasan Ash-Shadr di kediamannya di kota Kadzimiah. Sungguh, aku telah mendapatkannya layaknya seorang lelaki yang indah paras dan mulia perangai. Keningnya lebar bersinar, janggutnya putih lebat, tutur katanya bagai sabda, matanya bak dua bola bintang yang tajam memancar, pipinya dua kuntum mawar, bahunya lebar, lengannya kekar, posturnya besar tinggi, tampak begitu gagah. Ia mengenakan serban hitam dan besar, busana gamis yang tersingkap dadanya dan longgar di bagian tangannya hingga tampak lengannya tatkala menggerakkan kedua tangannya di sela-sela per-cakapan.

“Di sepanjang petualanganku di negeri-negeri dan semenanjung Arab, aku tidak pernah melihat seorang pun seperti lelaki agung Syi’ah ini; yang menuntun ingatan sampai di tepi gambaran para nabi sebagai-mana yang dilukiskan oleh sejarah dan diungkapkan oleh penyair dan seniman. Betapa indah kehidupan dan lingkungannya yang sarat dengan kesederhanaan dan kealakadaran. “Tatkala melangkah ke dalam rumahnya, seakan-akan aku sedang memasuki kediaman salah satu pembantunya. Aku menjumpainya duduk di atas sehelai tikar di sebuah ruangan yang tidak dihampari selain oleh tikar itu dan beberapa potong bantal sandaran. Aku baru menyadari betapa fatwa lelaki ini dinantikan dan dipatuhi oleh lebih dari jutaan orang, dan betapa angka besar dari Rupee dan Riyal yang dilimpahkan oleh kaum mukminin dari India dan Iran lalu ia mengelolanya di jalan kebajikan dan kepedulian pada umat. Pada saat yang sama, ia tetap hidup ala kadar dan serbazuhud. Ia tidak pernah menyentuh satu keping Rupee yang datang kepadanya untuk selain kepentingan umat.

Demikianlah seseorang akan menjadi besar di nama pun nilai-nilai kebesaran itu berada. Dan, aku sungguh berharap seandainya ada segelintir orang-orang sepertinya di antara tokohtokoh pemimpin agama kita yang berjalan angkuh bersama bangsawan dan jarang melakukan kebajikan”. Hal serupa juga disampaikan oleh Dr. Amin; ia seorang figur yang luar biasa sebagaimana dikehen-daki kebenaran dan dipastikan oleh penelitian serta kemurnian hati. Sedikit sekali ulama sepertinya. Ia telah menjadi tempat pertemuan para peneliti dan kaum orientalis. Mereka mengajukan pelbagai per-soalan yang sulit dipecahkan dan disambut secara tangkas dengan argumentasi yang gamblang dan bukti yang meyakinkan sampai mereka kembali ke tempat asal dengan meninggalkan rasa syukur dan kata kagum. Mereka menghitung butir-butir keistimewaan-nya dan mengenangnya dengan pujian. Tidak sekali mereka terperanga tatkala menyimak kepandaiannya dalam menyederhanakan persoalan yang rumit sambil melengkapinya dengan kekayaan data-data dan akurasi bukti-bukti sejarah.

Secara singkat, Imam Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr adalah pemimpin besar umat. Fatwa dan kebijakannya merupakan fokus kepatuhan Muslimin dan pusat penghormatan bangsa-bangsa di Timur maupun di Barat. Ia adalah ulama terkemuka yang mengungguli ulama-ulama semasanya di bidang Fiqih, Ushul Fifih, Tafsir, Hadis, Rijal, dan bidang-bidang keislaman yang lain. Ilmu pengetahuannya seringkali dijadikan model utama di masa gurunya; Imam Sayyid Muhammad Hasan Asy-Syirazi.

Sang guru pernah menugaskan Imam Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr untuk meneliti beberapa permasalahan dan isu ilmiah dan ia menyanggupinya. Segera ia menulis sebuah risalah penelitian atas isu-isu tersebut, lalu mengajukannya kepada sang guru besar. Belum lagi tuntas membaca risalah itu, Imam Asy-Syirazi mengangkat tangannya ke langit sebagai panjatan doa untuk sang murid, kemudian berkata: “Aku akan merasakan ketenangan hati dan kepuasan jiwa bila aku mati hari ini. Sungguh aku telah mene-mukan salah satu muridku yang dapat mengajukan hasil penelitiannya kepadaku; layaknya kedalaman penelitian Al-Muhaqqiq Al-Bahbahani”. Nama besar ulama terakhir ini adalah guru Ayatullah Bahrul ‘Ulum Sayyid Mahdi yang masyhur akan ketelitian penelitiannya. Ini merupakan kesaksian terbasar dari gurunya; kesaksian yang menyuguhkan kepada kita gambaran yang nyata dari keagungan dan kedudukan ilmu Imam Ayatullah Hasan Ash-Shadr.

Seorang imam, andaikan tak ada kata tidak

Kan kukatakan dialah nabi

Menerima hukum kebenaran

Dari sebaik-baiknya sumber hukum21

Tak syak lagi, Imam Sayyid Hasan Ash-Shadr senantiasa hidup dengan amal salehnya, hidup dengan keabadian karya-karyanya. Ia meninggalkan banyak karya ilmiah berharga yang jumlahnya mencapai seratus,22 ter-masuk kitab terbaik yang ditulis oleh para ulama, sebagaimana yang akan dipaparkan pada kesempatan lain.

Ia juga akan tetap ada dan hidup dengan wujud kedua putranya; Sayyid Muhammad Ash-Shadr sebagai ketua majelis ulama yang mulia, dan Sayyid Ali Ash-Shadr; pemimpin keluarga besar Shadr, tokoh besar Irak, otak pemikir negeri, figur ilmu penge-tahuan dan politik.

Kepemimpinan tunduk menghampirinya

Mendekatinya sambil menyeret derai perniknya

Kepemimpinan tidaklah layak tanpanya

Dan ia tak kan sempurna tanpanya

Setelah wafat sang ayah, Sayyid Ali-lah yang menduduki posisi kepemimpinan umat. Semua mata mengarahkan penantian padanya, jiwa-jiwa umat menyambut wujud, ilmu dan hidayahnya. Semoga Allah swt. memberi mereka berdua umur panjang dan melapisi mereka dengan kesabaran serta mencurahkan pahala ke atas mereka.

Inilah isi dan nada penuturan sebuah surat kabar di Irak yang menjadi topik utama selama berlangsungnya majelis tarhim dan duka cita di negeri ini. Penurutan yang sama juga dapat dijumpai di media-media massa Iran, Afghanistan, India, Suriah, Mesir dan negara-negara lainnya, diuraikan antara penyesalan dan penghargaan.


Media Massa Lebanon
Adapun surat-surat kabar di Lebanon, headline mereka disesaki oleh gambar Imam Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr. Dalam peringatan hari wafatnya, mereka memuat sekelumit biografi yang dikeluarkan oleh Panitia Majelis Kabung yang dibentuk oleh kami di kawasan Shur, yaitu sebagai berikut:


Wafat Imam Ash-Shadr sebagai Petaka Islam
Sekilas tentang riwayat hidup, sifat, ilmu dan pribadi Imam Ayatullah Sayyid Hasan Ash- Shadr, dan sebesar jarak dua daun bibir, diulas secara ringkas. Melalui arah pikiran siul Bulbul yang memecah angkasa, ke segenap lapisan masyarakat luas Islam, kami turut sampaikan sengal pilu petaka Irak, Islam dan Arab atas ketiadaan pemimpin besar mereka; Imam Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr.

Sang imam telah kembali ke Hadirat Ilahi sambil meninggalkan kekuatiran yang tak diduga, kepanikan yang tak dinantikan, dan keruntuhan yang tak terbangunkan lagi, kecuali Allah swt. menghadirkan seorang imam sepertinya; peduli pada segenap lapisan umat, menangani kepentingan umum secara teliti dan bijak; yaitu ketelitian dan kebijakan pengelolaan perkara yang menandingi kualitas ilmu, amal, buah pikiran, dan keinginan yang besar dalam menjaga kehormatan setiap jiwa, mengembangkan kandungan akal, menanamkan prinsip-prinsip akidah dan ketuha-nan ke dalam jiwa umat dengan metode yang lurus.

Selaras dengan ini, sebelum yang lain, umat Islam, bangsa Arab dan masyarakat seni karang dan karya tulis mengadukan kepedihan musibah ini dan menahan kegetiran petaka; tidak tertidur kecuali barang sesaat, tidak pula mengecap keteduhan dan kedamaian di bawah awan hitam akibat ketiadaan Sang Imam Pembaharu yang mencerminkan kebesaran Allah swt. di dada-dada kaum mukmin, dan menam-pilkan model ketulusan, kebaikan dan kesempurnaan sosok para nabi dan kaum setia dengan segenap anasir makna yang terkandung di dalam kata-kata ini.

Dan, kami memohon kepada Allah Yang Maha Bijak; semoga menggantikan kerugian besar atas umat ini dengan satu dari pembimbing ilahi ke arah kebaikan dan kebajikan, pelaku khidmat demi kemas-lahatan umat, pengamal ilmu, pemilik kecermatan pendapat dan ketajaman pikiran. Seyogyanya kita menguraikan sekilas kehidupannya sebagai kewajiban yang tak akan gugur kecuali dengan melaksanakannya dan memenuhi hak seorang imam yang harus kita penuhi.


Hari Kelahiran
Imam Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr lahir pada hari Jumat, 29 bulan Ramadhan 1272 H di Kadzimiah; kota pemakaman dua datuknya yang sekaligus imam yang maksum; Imam Musa Al-Kadzim a.s. dan Imam Muhammad Al-Jawad a.s. Kadzimiah adalah kota suci yang strategis, terletak di sekitar enam kilometer sebelah utara ibukota Baghdad.


Nama dan Nasab
Pabila tlah lengkap, ia berdiri sendiri

Lembaran sinar mentari pun sirna sia-sia

Demikianlah perihal Imam Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr. Ia pribadi yang lengkap sehingga berdiri dengan sendirinya. Ia sendiri adalah nasab yang pendek namun kaya akan pusaka dan lahiriah. Meski begitu, tradisi demokratis tidak memperkenankan seorang pencatat riwayat hidup selain menyebutkan silsilah nasab; tanpa membedakan antara tokoh besar dan orang biasa di dalamnya. Di samping itu, ia memiliki nasab yang tidak bisa dikaburkan oleh Hari Kiamat; nasab yang kembali ke puncak mata silsilah yang tidak ada lagi puncak kemuliaan di atasnya.

Seuntai nasab berawal dari surya

Memancar lebih dari sinar mentari

Tegak lebih lurus dari bintang pagi

Ia adalah Abu Muhammad Al-Hasan ibn Syarif Al-Hadi ibn Syarif Muhammad Ali ibn Syarif Shaleh ibn Syarif Muhammad ibn Syarif Ibrahim yang masyhur dengan nama Syarafuddin ibn Zainal Abidin ibn Ali Nuruddin ibn Nuruddin Ali ibn Al-Husein ibn Muhammad ibn Al- Husein ibn Ali ibn Muhammad ibn Tajuddin yang terkenal dengan nama Abul Hasan ibn Muhammad ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Hamzah ibn Sa’dullah ibn Hamzah ibn Muhammad ibn Abdullah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhammad ibn Thahir ibn Al-Husein ibn Musa ibn Ibrahim Al-Murtadha ibn Imam Musa Al-Kadzim ibn Imam Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq ibn Imam Abu Ja’far Muhammad Al-Baqir ibn Imam Ali Zainal Abidin ibn Abu Abdillah Al-Husein Sayyidusy Syuhada’ cucunda penghulu para nabi, ananda Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra; penghulu kaum wanita semesta alam.
Mereka adalah pemimpin umat di masa-masa hidup mereka. Datuk-datuk dan ayah-ayah leluhurnya mengalirkan darah suci kepadanya.


Bakat, Pembawaan dan Pertumbuhan
Allah swt. telah menciptakan almarhum dengan sebaik-baiknya penciptaan. Dia swt. telah memilih kesempurnaan untuk seorang manusia yang tak ber-ishmah namun memuliakannya dengan kemurnian fitrah, kekuatan daya hafal, kecepatan daya paham dan ketajaman daya nalar. Dia swt. telah meleng-kapinya dengan keutuhan pribadi, kepekaan jiwa, kebesaran wibawa dan harga diri, kematangan akal, keakraban dan keramahan sikap. Kepadanya Allah swt. telah menganugrahkan kekuasaan lisan dalam menyampaikan argumentasi yang kokoh, bukti yang akurat dan pola pikir yang lurus. Anda akan mendapatkan di balik tutur baha-sanya kelembutan yang memikat kelegaan jiwa dan mengalirkan ruh makna ke setiap persendian. Ia tahu benar cara mengendalikan hati, menundukkan jiwa, melalui hikmah-hikmah yang menenteramkan kalbu dan menyegarkan gairah hidup.

Imam Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr tak pernah merasa puas dengan sisi-sisi lahiriah segala sesuatu. Ia senantiasa melampaui serat-serat luar sebuah subjek hingga menyentuh lapisan inti dan jantung batinnya. Seketika sampai di dua lapisan luar dan dalam, ia akan memilih mana yang lebih bisa diterima oleh akalnya yang matang, lebih sejiwa dengan cita rasa ilmiahnya.

Demikianlah ia tumbuh dibesarkan oleh Tuhan-nya; kaya akan pelbagai bakat dan potensi sejak masih belia. Ia tumbuh dewasa di penggalan sejarah yang penemuan seorang pun tak akan diloloskan oleh jaman kecuali setelah diuji oleh penyelidikan panjang. Adalah wajar bila ia telah melampaui tangga kelu-huran dan keabadian hakiki, mengingat dukungan komposisi yang utuh dari setiap kesempurnaan dan yang murni dari aneka warna kompleksitas dan kerumitan.

Ia tumbuh besar di sebuah lingkungan seperti rumah ayah almarhum; Sayyid Al-Hadi; rumah yang aktif bak pusat kaderisasi pengetahuan, kedisiplinan dan kuliah tingkat tinggi yang mewajibkan kepada siswa-siswanya kekompakkan dan menghimpun nilai-nilai keutamaan, ketulusan, iman dan akhlak dalam bentuk ideal.

Pakar pendidikan dan ulama akhlak merumuskan bahwa rumah adalah institusi pertama dan fondasi utama bagi pertumbuhan dan pendewasaan anak-anak dan kaum remaja. Oleh karerna itu, diperlukan kebijakan dan seni dalam meletakkan fondasi utama agar bangunan itu berdiri secara tegak, lurus dan berkeseimbangan; antara kekuatan, ketahanan dan keindahan. Di dalam kondisi demikian ini, seorang anak akan tumbuh dan melangkah dengan segenap kandungan potensinya ke arah pencapaian model kepribadian yang unggul, dan berpindah dari satu masa ke masa berikutnya. Sehingga, jika berada dalam kesulitan, ia tidak akan mengeluhkan kekurangan, tidak pula menderita kegelapan.

Lalu, siapakah selain Sayyid Al-Hadi yang lebih cermat dalam meletakkan fondasi utama ini? Dan siapakah selain almarhum yang lebih memadai kapasitasnya dalam menyerap akar pendidikan dan pedoman hidup yang membangun dan abadi? Ya, ia pantas menerobos langit yang tinggi dan luas ini, dan menempuh derajat para pejuang sejati dan imam-imam suci.


Karakter dan Kepribadian
Imam Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr adalah cermin perlakuan yang hangat dan lembut. Ia teman setia, pemimpin yang peduli pada kepentingan umat. Ia tidak mendekati seseorang karena cinta, tidak menjauhinya karena benci, tidak pula menghormati-nya karena kebesarannya. Norma perilaku dan sikapnya dalam semua itu adalah iman dan kebajikan yang tampak pada setiap orang. Ia pernah ditemui oleh seorang filosof ruhaniwan dari aliran Farika dalam Mulukul ‘Arab, dan dilukiskan sebagai sosok yang Anda akan mudah memahaminya, dan dari pembicaraannya Anda akan mudah menerima po-sisinya sebagai basis di negeri-negeri Arab dan dunia Islam. Anda pun akan dapat memahami kezuhudan, takwa dan pandangannya mengenai dunia yang fana dari dimensi murni spiritual, layaknya pandangan nabi-nabi dan manusia-manusia besar pembaruan.


Keilmuan dan Karya
Bersama saya, Anda dapat menyimpulkan bahwa Imam Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr adalah seorang ulama brilian dan pemimpin terbesar para tokoh di abad kedua puluh.

Umumnya, para ulama dan tokoh-tokoh besar intelektual senantiasa cende-rung kepada spesialisasi pada salah satu seni, sastra dan ilmu, seakan-akan setiap orang dari mereka memandang dirinya sebagai filosof yang bijak, atau mempersiapkan diri menjadi seorang faqih ushuli, atau memulai pembelajaran diri pada bidang sastra sampai menjadi sastrawan besar.

Oleh karena itu, mereka menekuni setiap lembar Filsafat dan mempelajari tema-tema pembagian ‘Aql, macam Ma’qul, Jauhar dan A’radh, atau menekuni setiap lembar Fiqih dan mempelajari pengadilan, waris, perniagaan dan topik-topik Fiqih lainnya, atau menekuni pelbagai masalah Ushul Fiqih seperti prinsip-prinsip Bara’ah dan Istishab, kaidah-kaidah Isytighal, Ta’adil wa Tarajih, topik-topik Al-Qoth’e wa Dzann, dan subjudul-subjudul prinsip literal dan rasional, atau ulet menelaah sastra Arab, sejarah, teks-teks bahasa, dengan berbasis pada sebagian teks literal syair Jahiliyah, Umawiyah, Abbasiyah, dan mengenali ihwal tokohtokoh sastra pada masing-masing masa tersebut, sehingga dapat diklasifikasikan setiap cabang ilmu ini dan model-model peradabannya, sembari menyelaminya secara gigih untuk mencapai salah satu tujuan dasarnya.

Namun, Imam Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr tidak berhenti di atas satu batas, ruang lingkup atau pun tujuan dasar suatu ilmu. Ia menghendaki dadanya sebagai khazanah ensiklopedia yang kaya danmenam-pung poin-poin inti setiapmasalah dari pelbagai bidang. Dalam rangka itu, ia berusaha secara sungguh-sungguh hingga mampu mengerjakannya secara tuntas. Pada setiap ilmu terdapat kunci yang dapat digunakannya kapan pun ia menginginkan, lalu menarik dari muatan akal dan tradisi setiap untaian berlian yang indah dan meluluhkan pandangan mata.

Sungguh Anda akan terpesona bila dihadapkan pada karya-karyanya yang melebihi seratus kitab; sebagian darinya berupa kitab tebal berjilid-jilid. Lagi-lagi Anda akan terkesima saat menutup setiap karyanya dalam keadaan penuh yakin dan percaya, bahwa penulisnya adalah spesialis di bidangnya. Lalu Anda membukanya untuk kali kedua dan ketiga, ia tampak di hadapan Anda begitu ahli dalam mena-ngani setiap tema dan aspek-aspek di dalamnya, seakan mereka adalah anak-anak perempuannya. Kelak, kami akan menulis kitab yang menerangkan betapa usahanya dalam rangka mengarang dan memberikan konstribusi ilmiah kepada umat.


Berita Wafat
Imam Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr wafat pada 11 Rabiul Awal 1354 H. Berita wafatnya menggem-parkan rakyat Iran, Afghanistan, India, Irak, Jabal ‘Amil dan negeri-negeri Islam lainnya. Segera mereka mendirikan majelis-majelis kabung, fatihah dan tahlil di pelbagai ibukota, kota-kota daerah, pedesaan dan perkampungan.

Di kota Shur (Lebanon Selatan), telah diadakan majelis kabung yang besar dan khusyuk selama tujuh hari berturut-turut. Kami memohon kepada Allah swt.; semoga mencurahkan ketabahan kepada umat. Kami persembahkan kabungan yang terdalam kepada penerusnya; Yang Mulia, Imam Umat, Tokoh Utama Irak, dan kepada segenap anggota keluarga besarnya, semoga mereka semua mendapatkan karunia kese-hatan dan umur panjang. Akhirnya, kami haturkan pula keprihatian kami kepada umat Islam, dan berharap supaya mereka mentauladani kehidupan mendiang yang mulia dan menapaki jejaknya, sehingga akan lahir putra-putra umat seperti dirinya yang dapat dipercayai sebagai pemegang amanat secara tulus dan teguh, pengibar bendera kemenangan dan penyelenggara kehidupan yang penuh dengan kesadaran dan kesabaran. Maka, hanya dari Allah swt. kita mendapatkan taufik, dan kepadanya kami berserah diri!


Hari Wafat
Sekelompok sastrawan mengabadikan tahun wafat Imam Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr melalui syair dalam bahasa Arab dan Persia. Jumlah syair itu banyak hingga mencapai dua pulu jumlahnya. Hanya terdapat beberapa bait syair yang masih saya ingat sekarang ini adalah syair guru saya, seorang faqih Allamah Hujjatul Islam Syeikh Murtadha Al Yasin, yaitu:

Kau tlah tiada tak kan ada hati padamkan apinya

Sama sekali tak kan ada mata didihkan airnya

Andai kau lepaskan kehangatan ini

Sungguh kau tlah pisahkan ruh ini dari tubuhnya

Kau tempati alam abadi betapa bahagia

Demi Allah, sungguh kebahagian tempat sejati

Bila kau menghilang dari mataku

Dua matamu menatap mata-mata dunia

Kau tlah tiada dan sejak itu kebenaran meratapimu

Sungguh telah pergi manusia suci nun mulia

134, 1003, 68, 149

1354 H.

5
Kisah Para Nabi Allah

PENDAHULUAN
Puji dan syukur bagi Allah swt. yang telah membukakan pintu-pintu ilmu dengan meletakkan ilmu-ilmu keislaman, yang telah memuliakan kita dengan nama Syi’ah Imamiyah. Kami memanjatkan puji ke hadirat-Nya yang mendahului para pemohon ridha-Nya dan memberikannya sesuai hara-pan mereka.

Shalawat dan salam tercurahkan ke atas sebaik-baiknya makhluk dan semulia-mulianya ciptaan Allah, Muhammad ibn Abdillah, sang penghulu para rasul, pembawa syariat samawi, yang diutus dengan seagung-agungnya kitab suci, penutup kenabian yang terdahulu, pembuka gerbang masa yang akan datang, dan ke atas keluarganya nun mulia; di tangan merekalah kunci khazanah ilmu-ilmu keislaman.

Amma ba'du. Tatkala saya menulis buku yang mendedah fakta; bagaimana tokoh-tokoh Syi’ah yang mulia merintis dan membangun ilmu-ilmu keislaman, yaitu Ta'sisusy-Syi’ah li Fununil Islam, saya menatanya berdasarkan pasal-pasal yang menghimpun pelbagai disiplin-disiplin ilmu yang digagas oleh ulama Syi’ah untuk pertama kalinya di tengah umat Islam.

Pada setiap bab dari buku itu, saya menyusun pasal-pasal yang menerangkan ihwal orang pertama yang menggagas dan yang menyusun suatu disiplin ilmu, ihwal orang-orang yang membidani sebuah cabang dari ilmu tersebut dan menyusunnya, juga perihal orang pertama yang menggagas sebuah istilah baru yang kemudian mentradisi, dan ihwal orang pertama yang meletakkan dan menyusun sebuah cabang ilmu secara terpisah, serta hal-hal lain semacam ini.

Lalu, saya juga menghimpun sebuah pasal yang khusus memperbincangkan pakar-pakar terkenal suatu ilmu dan tokoh-tokoh utamanya yang terdahulu. Di sana saya sebutkan nama-nama mereka menurut urutan masa hidup mereka masing-masing, tidak atas dasar urutan huruf Abjad, misalnya. Ini dilakukan demi menghargai kedudukan mereka yang lebih dahulu berusaha dalam kerja yang besar ini, sesuai dengan hukum ‘keutamaan yang terdahulu di atas yang terakhir’, dan ‘kemuliaan panutan di atas pengikut’.

Sebelum ini, belum ada orang yang mendahului saya dalam melakukan rencana ini, berfikir tentangnya, ataupun upaya-upaya untuk mengingkarinya. Untuk itu, cobalah membaca apa yang saya tulis dengan kesadaran akan tanggung jawab untuk menjelaskan suatu masalah secara argumentatif. Hasilnya, terbitlah sebuah buku yang cukup tebal lantaran sejumlah data dan liputan pelbagai informasi yang langka mengenai identitas tokoh-tokoh. Oleh sebab itu, sebagian ulama dari keluarga meminta saya agar meringkas buku itu sehingga seimbang dengan maksud penyusunan buku. Mereka pun menyarankan agar saya memberi judul “Peradaban Syi’ah dan Ilmu Keislaman”.

Demi memenuhi harapan mereka, saya beristikharah kepada Allah swt. Berangkat dari hasil positif istikharah, segera saya pun mengerjakan proses penyederhanaan buku. Hanya saja, saya tidak lagi terikat oleh susunan pembahasan sebagaimana pada mulanya buku itu, tetapi saya menyusun bab-bab di dalamnya dengan mengacu pada urutan kemuliaan ilmu, tidak pada urutan penggagasan dan pembentukkan ilmu-ilmu.[]



Bab Pertama

Kepeloporan Syi’ah dalam Ilmu-ilmu Al-Quran
Sebelum memulai pembahasan, perlu diingatkan kedudu-kan Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. sebagai pemula dan pelopor dalam mengembangkan pelbagai ilmu Al-Quran.

Sesungguhnya beliau telah mendiktekan enam puluhan cabang ilmu Al-Quran, dan menyebutkan contoh yang khas untuk setiap cabang. Semua itu terhimpun dalam sebuah buku yang kami riwayatkan dari beliau melalui bebarapa jalur yang ada pada kami sampai sekarang ini. Buku itu adalah pedoman pokok bagi setiap orang yang telah menulis mengenai macam-macam cabang ilmu Al-Quran.

Mushaf atau kitab pertama yangmenghimpun ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan urutan masa penurunannya pasca wafat Nabi saw. adalah mushaf Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.

Terdapat sejumlah riwayat mengenai hal ini dari jalur Ahlul Bait secara mutawatir, dan dari jalur Ahli Sunnah secara mustafidz (satu tingkat di bawah mutawatir, pent.). Sebagiannya telah kami singgung di dalam kitab asli kami; Ta'sisusy-Syi’ah li Fununil Islam. Di sana kami telah melakukan kritik atas pandangan Ibnu Hajar Al-Asqolani.


Pasal Pertama

Tentang Orang Pertama yang Mengarang Kitab Mengenai Ilmu Tafsir Al-Quran
Orang pertama yang mengarang buku seputar ilmu Tafsir ialah seorang tabi'in bernama Said ibn Jubair r.a. Kala itu, ia adalah orang yang paling ahli di bidang Tafsir di antara para tabi'in, sebagaimana yang dilaporkan oleh As-Suyuthi dalam Al-Itqon dari riwayat Qotadah seraya menyebutkan tafsirnya. Juga Ibnu Nadim menyinggung nama Said di dalam Al-Fehrest tatkala menyebutkan karya-karya yang dikarang seputar tafsir Al-Quran. Sementara itu, sebelum Said, belum ada tafsir yang pernah dinisbahkan kepada selainnya.

Said meninggal dunia pada tahun 94 H. Tak syak lagi, ia adalah salah satu Syi’ah yang tulus. Ulama-ulama kami telah memberikan kesaksian ini secara tegas di dalam kitab-kitab ilmu Rijal, seperti Allamah Jamaluddin ibn Al-Muthahhar di dalam Al-Khulashah dan Abi Amr Al-Kasyi di dalam Kitabun fir-Rijal. Yang terakhir ini di dalam kitabnya meriwayatkan sejumlah riwayat dari Imam-imam a.s. mengenai sanjungan mereka kepadanya, kesyi’ahannya dan ketulusannya pada Syi’ah. Al-Kasyi mengatakan: "Alasan pembunuhan Hajjaj ibn Yusuf atas Said tidak lain adalah karena persoalan ini, yakni kesyi’ahannya, pada tahun 94 H.".

Dan perlu diketahui bahwa sekelompok dari tabi'in Syi’ah telah memulai mengarang di bidang tafsir Al-Quran setelah Said ibn Jubair. Di antara mereka adalah As-Sudi Al-Kabir Ismail ibn Abdurrahman Al-Kufi Abu Muhammad Al-Qurasyi yang wafat pada 127 H. Dalam Al-Ithqon, As-Suyuthi mengatakan: “Karya tafsir terbaik adalah tafsir Ismail As-Sudi. Darinyalah para imamimam mazhab menukil banyak riwayat.”

Saya katakan bahwa selain As-Suyuthi, An-Najasyi pun telah menyebutkan tafsir As-Sudi. Begitu pula Syeikh Abu Ja'far Ath-Thusi di dalam Asma' Mushannifis Syi'ah. Adapun Ibnu Qutaibah secara tegas memberikan kesaksiannya atas kesyi’ahan As-Sudi di dalam Kitabul Ma'arif, juga Ibn Hajar Al-'Asqolani di dalam At-Taqrib dan Tahzibut Tahzib. Ismail As-Sudi adalah salah satu sahabat Imam Ali ibn Husein, Imam Muhammad Al-Baqir dan Imam Ja'far Ash-Shadiq a.s. Di antara mereka adalah Muhammad ibn As-Saib ibn Bisyr Al-Kalbi, pengarang tafsir yang terkenal itu, seba-gaimana yang telah disebutkan oleh Ibnu Nadim tatkala ia mengurut nama kitab-kitab yang dikarang berkenaan dengan tafsir Al-Quran. Ibn Uday dalam Al-Kamil-nya mengatakan: “Al-Kalbi mempunyai hadis-hadis yang sahih dan khas (Syi’ah, pent.) yang diriwayatkannya dari Abu Soleh, dan ia terkenal pandai di bidang tafsir. Bahkan, tak seorang pun yangmengarang tafsir setebal dan seindah tafsir Al-Kalbi.”

As-Sam'ani berkata: “Muhammad ibn As-Saib, penga-rang tafsir, adalah warga kota Kufah. Ia menganut ajaran Raj'ah. Anaknya bernama Hisyam yang bernasab mulia dan penganut mazhab Syi’ah yang kuat.”

Saya katakan bahwa Ibn Saib adalah seorang Syi’ah dan sahabat dekat Imam Ali Zainal Abidin dan Imam Muha-mmad Al-Baqir a.s. Ia wafat pada tahun 146 H. Di antara mereka adalah Jabir ibn Yazid Al-Ja'fi, seorang tokoh besar di bidang tafsir Al- Quran. Ia mempelajari ilmu ini dari Imam Muhammad Baqir a.s. dan ia termasuk orang-orang yang dekat dengan beliau. Jabir telah mengarang kitab tafsir Al-Quran dan kitab-kitab lainnya.

Tercatat pada tahun 127 H., ia meninggal dunia. Tafsir Jabir tidaklah sama dengan tafsir Imam Al- Baqir a.s. yang telah disebutkan oleh Ibnu Nadim tatkala ia mengurut nama kitab-kitab yang dikarang di bidang tafsir. Ibnu Nadim mengatakan: “Kitab Muhammad ibn Ali ibn Husein Al- Baqir a.s. telah diriwa-yatkan oleh Abul Jarud Ziyad ibn Munzir, Imam mazhab Jarudiyah Zaidiyah.”

Saya katakan bahwa terdapat sekelompok dari perawi-perawi terpercaya Syi’ah seperti: Abu Bashir Yahya ibn Qosim Al-Asadi dan selainnya, yang telah menukil kitab Imam Al-Baqir a.s. tersebut dari Abul Jarud di masa-masa kemurnian kesyi’ahannya; yakni sebelum ia menganut mazhab Zaidiyah.


Pasal Kedua

Tentang Orang Pertama yang Mengarang di Bidang Qiroah dan Merumuskannya Sebagai Ilmu, dan Orang Pertama yang Menghimpun Bacaan-bacaan Al-Quran

Perlu dicatat bahwa orang pertama yang merumuskan ilmu Qiroah adalah Aban ibn Taghlab Ar-Ruba'ie Abu Said. Ia juga biasa dipanggil dengan nama nasabnya; Abu Umaimah Al-Kufi. An- Najasyi dalam Asma' Mushannifis Syi'ah menga-takan: “Sesungguhnya Aban rahimahullah adalah pelopor di pelbagai bidang ilmu Al-Quran, Fiqih dan Hadis. Aban juga memiliki bacaan tersendiri yang masyhur di kalangan para pembaca (qori’) Al-Quran.” An-Najasyi dalam periwayatan kitab tafsir Aban mengurut sanadnya dari Muhammad ibn Musa ibn Abu Maryam, pengarang kitab Al- Lu'lu', sampai ke Aban. Di sana Aban mengatakan: “Pertama-tama itu sebagai pelatihan.”

Ibnu Nadim dalam Al-Fehrest menyebutkan karangan Aban mengenai ilmu Qiroah. Ia mengatakan: “Di antara karya-karya Aban ialah kitab Ma'anil Quran yang indah, Kitabul Qiroah dan Kitab minal Ushul mengenai ilmu Riwayat menurut mazhab Syi’ah.” Setelah Aban adalah Hamzah ibn Habib, salah seorang pencipta tujuh bacaan, yang mengarang kitab Al-Qiroah. Ibnu Nadim mengatakan di dalam Al-Fehrest: “Al-Qiroah adalah kitab yang ditulis oleh Hamzah ibn Habib; salah seorang dari tujuh sahabat terdekat Imam Ja'far Ash- Shadiq.”

Sementara itu, Syeikh Thaifah Abu Ja'far Ath-Thusi telah mengulas ihwal Hamzah ini di dalam Kitabur Rijal seputar sahabat-sahabat Imam Ash-Shadiq a.s. Dan telah ditemukan catatan yang ditulis oleh Syeikh Syahid Muhammad ibn Makki dari Syeikh Jamaluddin Ahmad ibn Muhammad ibn Al-Haddad Al-Hilli, yaitu demikian: “Al-Kisaie telah belajar Al-Quran pada Hamzah, dan Hamzah pada Abu Abdillah Ja'far Ash-Shadiq, dan Ash-Shadiq pada ayahnya, dan ayahnya pada ayahnya, dan ayahnya pada ayahnya, dan ayahnya pada Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib”.

Saya katakan bahwasanya Hamzah juga belajar pada Al-A'masy dan Himran ibn A'yan; yang keduanya adalah tokoh besar Syi’ah, sebagaimana yang akan kita kenal. Hingga kini, belum ada nama yang dikenal selain Aban dan Hamzah dalam pengarangan kitab di bidang ilmu Qiroah. Misalnya, Adz-Dzahabi dan selainnya yang menulis kitab tentang generasi para pembaca Al-Quran, mencatat bahwa orang pertama yang mengarang di bidang Qiroah adalah Abu 'Ubaid Al-Qosim ibn Salam yang wafat pada 224 H. Menurut catatan ini, jelas Aban telah memulai lebih dahulu, sebab Adz-Dzahabi sendiri di dalam Al-Mizan dan As-Suyuthi di dalam Ath-Thabaqot menuliskan tahun wafat Aban pada 141 H. Maka itu, Aban 83 tahun lebih dahulu mengarang daripada Abu Ubaid.

Begitu pula sekaitan dengan Hamzah ibn Habib. Adz-Dzahabi dan As-Suyuthi menuliskan tahun kelahirannya pada 80 H. dan tahun wafatnya pada 156 H. Ada yang mengatakan wafatnya pada 154 H., ada pula yangmen-catatnya pada 158 H., kendati tahun yang terakhir ini tidak tepat.

Ala kulli hal, dapat disimpulkan bahwa kaum Syi’ah adalah pelopor di bidang penyusunan ilmu Qiroah. Fakta ini tidaklah luput dari ketelitian sang Penghafal Al-Quran; Adz-Dzahabi, dan sang penghafal Al-Quran dari Suriah; As-Suyuthi. Hanya saja, mereka hendak menunjukkan Muslim pertama di antara Ahli Sunnah yang mengarang kitab di bidang Qiroah, bukan di antara umat Islam secara umum.

Di samping itu, dalam perihal penyusunan ilmu Qiroah, terdapat sekelompok Syi’ah selain yang telah saya sebutkan, seperti; Ibn Sa'dan Abu Ja'far ibn Sa'dan Adh-Dhurair. Ia aktif sebagai penyusun ilmu Qiroah sebelum Abu Ubaid. Pada tema ‘Pembaca-pembaca Syi’ah’, Ibnu Nadim dalam Al-Fehrest menuliskan: “Ibn Sa'dan adalah guru kaum Ahli Sunnah, salah seorang pembaca menurut bacaan Hamzah, lalu ia memilih bacaan untuk dirinya sendiri. Ia lahir di Baghdad, bermazhab Kufah (di bidang Nahwu), dan wafat pada 131 H di hari Arafah. Di antara karyakaryanya ialah Kitabul Qira'ah, Mukhtasharun Nahw. Dan ia pun memiliki kumpulan definisi, semacam kumpulan definisi Al-Farra’.”

Seperti juga Ibn Sa'dan adalah Muhammad ibn Al-Hasan ibn Abu Sarah Ar-Rawasi Al-Kufi, guru Al-Kisaie dan Al-Farra’. Ia adalah salah seorang sahabat dekat Imam Muhammad Al-Baqir a.s. Abu Amr Ad-Danie telah menye-butkannya di dalam Thabaqotul Qurra', dan mengatakan: “Muhammad ibn Al-Hasan telah meriwayatkan ilmu Huruf dari Abu Amr dan belajar pada Al- A’masy; seorang ulama Syi’ah. Ia mempunyai mazhab yang khas dalam ilmu Qiroah yang juga dianut oleh sebagian orang. Darinyalah Khallad ibn Khalid Al-Manqori dan Ali ibn Muhammad Al-Kindi belajar ilmu Huruf. Darinya pula Al-Kisaie dan Al-Farra’ meriwayatkan ilmu tersebut.”

Muhammad ibn Al-Hasan wafat pada belasan tahun setelah seratus Hijriyah. Di antara karyakaryanya ialah Kitabul Waqf, Al-Ibtida' dalam edisi besar dan kecil, dan Kitabul Hamaz sebagaimana yang dicatat oleh An-Najasyi di dalam Asma' Mushannifis Syi'ah dan oleh selainnya. Di sini perlu juga dibubuhkan nama Zaid, sang syahid. Ia mempunyai qiroah datuknya, Amiril Mukminin Ali bin Abu Thalib a.s., sebagaimana telah dinukil oleh Umar ibn Musa Ar- Rojhi. Di pembukaan kitab Qiroatu Zaid, Umar mengatakan: “Aku telah mendengar qiroah ini dari Zaid ibn Ali ibn Al-Husein ibn Ali ibn Abi Thalib a.s. Sungguh aku tidak pernah menemukan orang yang paling mengerti tentang Al-Quran, ayat-ayat nasikh dan mansukh-nya, struktur dan tata bahasanya, selain Zaid ibn Ali.” Zaid mati syahid pada tahun 122 H. di masa khalifah Bani Umayyah, Hisyam ibn Abdul Malik. Di saat wafat, ia berusia 42 tahun, lantaran ia lahir pada 82 H.

Semua nama-nama yang telah saya bawakan di atas tadi benar-benar telah memulai lebih dahulu dalam penyusunan dan perumusan ilmu Qiroah (pembacaan Al-Quran) daripada Abu Ubaid Al-Qosim ibn Salam. Dengan ini, dapat dibuktikan kepeloporan kaum Syi’ah dalam menggagas ilmu Qiroah.


Pasal Ketiga

Tentang Orang Pertama yang Mengarang di Bidang Ilmu Ahkamul Quran
Ketahuilah bahwasanya orang pertama yang mengarang di bidang Ahkamul Quran¯ilmu tentang ayat-ayat hukum syariat¯adalah Muhammad ibn As-Saib Al-Kalbi; seorang sabahat Imam Muhammad Baqir a.s., sebagaimana telah saya singgung namanya sebelum ini. Dalam rangka meng-himpun nama kitab-kitab yang ditulis berkenaan ilmu Ahkamul Quran, Ibnu Nadim dalam Al-Fehrest mengatakan: “Kitab Ahkamul Quran yang ditulis oleh Al-Kalbi telah diriwayatkannya sendiri dari Ibn Abbas.”

Telah Anda ketahui, bahwa Ibnu As-Saib Al-Kalbi wafat pada tahun 146 H. Atas dasar ini, maka pendapat As-Suyuthi yang menyatakan bahwa Imam Asy-Syafi'ie adalah orang pertama yang menulis di bidang ilmu Ahkamul Quran, dapat diragukan kebenarannya. Sebab, Imam Asy- Syafi'ie wafat pada 204 H., pada usia 54 tahun.

Begitu juga pendapat lain As-Suyuthi dalam Tobaqotun Nuhat; ia memastikan bahwa orang pertama yang menulis kitab tentang Ahkamul Quran ialah Al-Qosim ibn Ishbagh ibn Muhammad ibn Yusuf Al-Bayani Al-Qurthubi; seorang ulama Ahli Hadis dan pakar bahasa dari Andalusia. Pendapat ini tampak lemah mengingat Al-Qosim wafat pada 340 H.


Pasal Keempat

Tentang Orang Pertama yang Mengarang di Bidang Ilmu Gharibul Quran
Ketahuilah bahwasanya orang pertama yang mengarang di bidang ilmu Gharibul Quran (ilmu tentang makna-makna ayat Al-Quran yang tampak ganjil) adalah tokoh Syi’ah tersohor yang bernama Aban ibn Taghlab. Ulama-ulama besar Syi’ah telah memberikan kesaksian atas hal ini. Kita juga dapat menyimak kesaksian dari Yaqut Al-Humawi dalam Mu'jamul Udaba' dan Jalaluddin As-Suyuthi di dalam Bughyatul Wu'at. Mereka semua menyatakan Aban wafat pada tahun 141 H.

As-Suyuthi di dalam Al-Awail mengatakan bahwa orang pertama yang mengarang di bidang Gharibul Quran ialah Abu Ubaidah Muammar ibn Al-Mutsanna. Dan ia menya-takan secara tegas akan tahun wafatnya, yaitu pada 209 H. Sebagai mengatakan 208 H., sebagian lagi mengatakan 210 H., ada pula yang mencatat 211 H. Namun, saya tidak menyangka bahwa As-Suyuthi lalai akan apa yang dia sebutkan sendiri tentang riwayat hidup Aban bin Taghlab, dan menurut kesaksiannya bahwa Aban mempunyai kitab Gharibul Quran. Hanya saja, di sini As-Suyuthi hendakmenunjukkan orang pertama yangmengarang di bidang ilmu ini dari warga Basrah.

Namun, perlu ditegaskan bahwa Abu Ubaidah bukanlah dari kaum Ahli Sunnah sehingga perlu diberi pembenaran bahwa As-Suyuthi hendak menyebutkan orang pertama yang mengarang di bidang Gharibul Quran dari kaum Ahli Sunnah, karena Abu Ubaidah sendiri dari kelompok Khawarij Shafuriyyah, sebagaimana hal ini dikuatkan oleh kesaksian Al-Jahidz dalam kitabnya, Al-Hayawan yang baru saja dicetak pada akhir-akhir ini di Mesir.

Selanjutnya perlu diketahui bahwa para pengarang kitab di bidang Gharibul Quran setelah Aban bin Taghlab adalah sekelompok kaum Syi’ah. Di antara mereka ialah Abu Ja’far Ar-Rawasi.

Ia sendiri sudah lebih dahulu muncul daripada Abu Ubaidah. Selain Abu Ja’far adalah Abu Utsman Al-Mazani yang wafat pada tahun 248 H. Lalu Al-Farra’ yang wafat pada tahun 207 H., dan Ibnu Duraid Al-Kufi; seorang ahli sastra Arab yang wafat pada 321 H., dan Ali ibn Muhammad As-Simsathi. Dan akan dibawakan riwayat-riwayat hidup mereka masing-masing pada pasal ilmu Nahwu dan pasal ilmu Bahasa, serta bukti-bukti atas kesyi’ahan mereka.


Pasal Kelima

Kepeloporan Syi’ah dalam Penyusunan Ilmu Ma’anil Quran
Ketahuilah bahwasanya orang pertama dari kaum Syi’ah yang menulis di bidang Ma’anil Quran (makna-makna Al-Quran) ialah Aban bin Taghlab yang wafat pada tahun 141 H. Kitab Aban yang berkaitan dengan bidang ini telah dicatat oleh Ibnu Nadim dalam kitabnya, Al-Fehrest, dan An- Najasyi di dalam kitabnya, Asma’Mushannifisy Syi’ah, dan selain mereka berdua. Saya sendiri tidak menemukan satu orang pun yang menyusun sebuah kitab berkenaan dengan Ma’anil Quran sebelum Aban.

Perlu diakui bahwa terdapat selain Aban dari kelompok Syi’ah yang menyusun ilmu Ma’anil Quran, yaitu Ar-Rawasi dan Al-Farra’. Ibnu Nadim mengatakan: “Kitab Ma’anil Quran yang dikarang oleh Ar-Rawasi dan kitab Ma’anil Quran yang disusun oleh Al-Farra’ untuk Umar ibn Bakar. Kedua penulis ini adalah dari kaum Syi’ah.”

Dan orang pertama yang mengarang kitab di bidang ilmu Nasikh Mansukh ialah Abdullah ibn Abdurrahman Al-Ashamm Al-Masma’ie dari warga Basrah. Ia adalah seorang tokoh besar Syi’ah dan sahabat dekat Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. Dan setelahnya adalah Darim ibn Qubaishah ibn Nahsal ibn Majma’, Abul Hasan At-Tamimi Ad-Darimi, seorang tokoh utama Syi’ah. Ia berumur panjang sehingga dapat menjumpai Imam Ali Ar-Ridha a.s. dan wafat pada akhir-akhir abad kedua. Ia mempunyai kitab Al-Wujuh wan Nadzair, dan kitab An-Nasikh wal Mansukh. Dua kitab itu telah disebutkan oleh An-Najasyi di dalam Asma’ Mushannisy Syi’ah.

Pengarang setelah mereka berdua di atas ialah Al-Hasan ibn Ali ibn Al-Fidhal; sahabat dekat Imam Ali ibn Musa Ar-Ridha. Ia wafat pada tahun 224 H. Lalu Syeikh Al-A’dham Ahmad ibn Muhammad ibn Isa Al-Asy’ari Al-Qummi; yang juga sabahat dekat Imam Ali Ar-Ridha a.s. Ia berusia cukup panjang hingga menjumpai Imam Hasan Al-Askari a.s.

Dan berdasarkan apa yang disimpulkan dari tulisan Jalaluddin As-Suyuthi, bahwa orang pertama yang menga-rang di bidang Ma’anil Quran ialah Abu Ubaidah Al-Qosim ibn Salam yang wafat pada tahun 224 H., dan hidup semasa dengan Al-Hasan ibn Ali ibn Fidhal yang juga mengarang kitab di bidang yang sama, dan muncul jauh setelah Al-Masma’ie, bahkan setelah Darim ibn Qubaishah.

Ala kulli hal, kaum Syi’ah adalah pelopor-pelopor di bidang penyusunan ilmu Ma’anil Quran. Dan orang per-tama yang menyusun berkenaan dengan Nawadirul Quran (Kelangkaan kata-kata Al-Quran) ialah Ali ibn Husein ibn Fidhal. Ia adalah seorang tokok Syi’ah di abad ketiga. Di dalam Al-Fehrest, Ibnu Nadim mengatakan: “Dan Syeikh Ali ibn Ibrahim ibn Hasyim yang menyusun kitab tentang Nawadirul Quran adalah seorang Syi’ah. Ali ibn Hasan ibn Fidhal yang menulis kitab di bidang yang sama juga dari kaum Syi’ah. Begitu pula, Abu Nashr Al-‘Ayyasyi yang juga mengarang di bidang tersebut adalah seorang Syi’ah.”

Saya katakan bahwa Ahmad ibn Muhammad Al-Yasari; penulis dari warga Basrah juga mempunyai kitab Nawadirul Quran. Pada waktu itu, Al-Yasari menuliskan kitab itu untuk Sultan Thahir di jaman Imam Hasan Al-Askari a.s. Begitu juga Abdul Hasan Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad yang terkenal juga dengan nama Al-Haritsi mempunyai kitab Nawadir Ilmil Quran.

An-Najasyi menga-takan: “Abdul Hasan Muhammad ibn Ahmad ialah salah seorang sahabat kami yang masyhur dalam keterper-cayaannya.”

Lalu, orang pertama yang mengarang di bidang ilmu Mutasyabihul Quran (tentang maknamakna yang tidak jelas di dalam Al-Quran) adalah Hamzah ibn Habib Az-Ziyad Al-Kufi. Ia adalah pengikut sekaligus salah seorang sahabat setia Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. Ia wafat pada tahun 156 H. di Halwan. Ibnu Nadim mengatakan: “Kitab Mutasyabihul Quran adalah karya Hamzah ibn Habib, dan ia adalah salah satu dari tujuh sahabat dekat Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s.”

Begitu juga Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi menggolongkannya sebagai salah satu sahabat dekat Imam Ash-Shadiq a.s. Jauh sebelum kesaksian Ibnu Nadim dan Syeikh Ath-Thusi adalah Ibnu ‘Uqdah yang telah menganggap Hamzah sebagai salah seorang sahabat dekat Imam a.s. di dalam kitab Ar-Rijal. Dan terdapat sekelompok kaum Syi’ah ter-dahulu kami yang mengarang kitab di bidang Mutasyabihul Quran, seperti Muhammad ibn Ahmad Al-Wazir yang hidup semasa dengan Syeikh Ath-Thusi. Ia menulis kitab Mutasyabihul Quran. Selain Al-Wazir ialah Syeikh Rasyiduddin Muhammad ibn Ali ibn Syarasyub Al-Mazandarani yang wafat pada tahun 288 H. Ia mempunyai kitab Mutasyabihul Quran.

Lalu, orang pertama yang mengarang kitab tentang ilmu Maqthu’ul Quran wa Maushuluhu (sambungan dan putusan ayat-ayat Al-Quran) ialah Hamzah ibn Habib. Muhammad ibn Ishaq yang terkenal dengan nama Ibnu Nadim telah menyebutkan di dalam kitab Al-Fehrest bahwa sebuah kitab Maqthu’ul Quran wa Maushuluhu adalah karya Hamzah ibn Habib; seorang dari tujuh sahabat dekat Imam Ja’far Ash-Shadiq.

Lalu, orang pertama yang meletakkan titik-titik huruf dan tanda-tanda baca (i’rab) serta menjaganya dari tahrif (distorsi) di pelbagai banyak buku adalah Abul Aswad, dan di sebagian buku adalah Yahya ibn Ya’mur Al-‘Udwani; yaitu murid Abul Aswad sendiri. Namun yang pertama lebih tepat. Walhasil, siapapun mereka itu, bisa dikatakan bahwa keutamaan dan nilai kepeloporan berada pada kaum Syi’ah, sebab Abul Aswad maupun Yahya adalah dua orang Syi’ah, sebagaimana kesaksian mufakat dari para ulama. Dan telah kita bawakan pelbagai macam teks serta bukti kesaksian atas kesyi’ahan mereka di dalam kitab asli saya, yaitu Ta’sisusy Syi’ah li fuinunil Islam.

Lalu, orang pertama yang menyusun kitab di bidang Majaz Al-Quran (Metaforika Al-Quran) sejauh yang saya ketahui, ialah Al-Farra’. Nama lengkapnya adalah Yahya Ibn Ziyad yang wafat pada tahun 207 H., sebagaimana yang akan dibawakan riwayat hidupnya pada pembahasan mengenai tokoh-tokoh ilmu Nahwu. Dan Al-Maula Abdullah Afandi di dalam Riyadul ‘Ulama menyatakan secara tegas bahwa Yahya ibn Ziyad Al-Farra’ ialah seorang syi’ah. Ia mengatakan: “Dan apa yang dikatakan oleh As-Suyuthi mengenai kedekatan Al-Farra’ pada Mu’tazilah mungkin berawal dari kerancuan sebagian besar ulama Ahli Sunnah dalam memilah prinsipprinsip Syi’ah dan prinsip-prinsip Mu’tazilah. Padahal, Al-Farra’ itu sendiri ialah seorang penganut Syi’ah Imamiyah.”

Selain itu, ada sekelompok orang Syi’ah yang menulis kitab berkenaan dengan Majaz Al- Quran. Di antara kara-ngan yang terbaik sekaitan dengan ilmu ini adalah kitab Majazatul Quran; karya Syarif Radhi Al-Musawi, saudara Syarif Al-Murtadha.

Lalu, orang pertama yang mengarang kitab di bidang Amtsalul Quran (pribahasa-pribahasa Al-Quran) ialah Syeikh Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Junaid. Ibnu Nadim di dalam kitab Al-Fehrest, yaitu tatkala sampai di akhir bagian ulasannya atas kitab-kitab yang dikarang mengenai pelbagai makna Al-Quran, menyebutkan: “Kitab Amtsalul Quran adalah karya Ibnu Junaid.”

Di sini, saya sendiri sejauh ini tidak menemukan seo-rang pun yang mengarang kitab tentang ilmu ini sebelum Ibnu Junaid. Lalu, orang pertama yang mengarang kitab di bidang Fadhailul Quran (keutamaan-keutamaan Al-Quran) ialah Ubay ibn Ka’ab Al-Anshari, seorang sahabat Nabi saw. Dalam Al-Fehrest, Ibnu Nadim juga menyatakan hal ini. Dan sepertinya, Jalaluddin As-Suyuthi tidak mengetahui keutamaan Ubay ini sebagai pelopor penyusunan ilmu ini. Oleh karena itu, dapat dimaklumi bila ia mengatakan bahwa orang pertama yang menulis kitab tentang Fadhailul Quran ialah Imam Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’ie yang wafat pada tahun 204 H.

Juga Sayyid Ali ibn Sadruddin Al-Madani, pengarang As-Salafah, telah menyatakan kesyi’ahan Ubay ibn Ka’ab di dalam kitab Ath-Thabaqot. Nama lengkap kitab ini ialah Ad-Darajatur Rafi’at fi Thabaqot Syi’ah. Di sana, Sayyid Al-Madani membawakan pelbagai bukti atas kesyi’ahan Ubay. Dan dalam kitab Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah menambahkan bukti-bukti lain atas hal itu.

Dan ada sekelompok dari kaum Syi’ah juga mengarang di bidang yang sama. Di antara mereka ialah Al-Hasan ibn Ali ibn Abu Hamzah Al-Bathayini dan Muhammad ibn Khalid Al- Barqi. Kedua-duanya hidup di masa Imam Ali Ar-Ridha a.s. dan Ahmad ibn Muhammad Al- Yasari, Abu Abdillah seorang penulis dari Basrah yang hidup di jaman Khalifah Dzahir dan Imam Hasan Al-Askari a.s. Ada pula nama-nama selain mereka, yaitu Muhammad ibn Mas’ud Al- ‘Ayyasyi, Ali ibn Ibrahim ibn Hasyim, Syeikh Al-Kulaini dan Ahmad ibn Muhammad ibn Ammar Abu Ali Al-Kufi yang wafat pada tahun 346 H., serta mana-nama lain dari ulama besar terdahulu Syi’ah.

Lalu, orang pertama yang mengarang kitab di bidang Asba’ul Quran (Tujuh Bacaan Al-Quran) ialah Hamzah ibn Habib Al-Kufi Az-Ziyab; salah seorang dari tujuh tokoh qori’ Syi’ah.

Sebagaimana telah saya bawakan kesaksian atas kesyi’ahannya dari tokoh-tokoh terkemuka Islam. Di dalam Al-Fehrest, Ibnu Nadim telah menyebutkan kitab Asba’ul Quran dan kitab Hudud Ayil Quran, dan mengatakan bahwa kitab tersebut adalah karya Hamzah. Dan sejauh ini, saya tidak mengetahui seorang pun yang mendahului Hamzah dalam mengarang kitab tentang ilmu ini.


6
Kisah Para Nabi Allah

Pasal Keenam

Tentang Tokoh-tokoh Ilmu Al-Quran dari Kaum Syi’ah
Di antara mereka adalah Abdullah ibn Abbas. Ialah orang pertama dari kalangan ulama Syi’ah yang mendiktekan tafsir Al-Quran. Seluruh ulama kami telah memberikan kesaksian mereka atas kesyi’ahan Ibnu Abbas. Mereka juga memberikan keterangan riwayat hidupnya secara baik, seperti Sayyid Ali ibn Sadruddin Al-Madani di dalam kitab Ad-Darajat Ar-Rafi’at fi Thabaqot Syi’ah.

Dan saya sendiri telah membahas perihal pribadinya ini di dalam Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam secara memadai. Ibnu Abbas wafat pada tahun 67 H. di kota Thaif, dan menjelang wafatnya, ia berikrar di dalam doanya; “Ya Allah, Sungguh aku memohon kedekatan diriku kepadamu dengan kesetiaanku pada kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib alahissalam.”

Di antara mereka adalah Jabir ibn Abdullah Al-Anshari; seorang sahabat mulia Nabi saw. Sebagaimana yang dicatat oleh Abul Khair di dalam Tabaqotul Mufassirin, Jabir tergolong sebagai bagian dari jajaran pertama para mufassir. Fadhl ibn Syadzan An-Naysaburi; seorang sabahat Imam Ali Ar-Ridha a.s. mengatakan bahwa Jabir ibn Abdullah Al-Anshari ra. adalah dari generasi pertama yang merujuk kepada Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. Masih berkaitan dengan ihwal pribadi Jabir, Ibnu ‘Uqdah menga-takan: “Ia begitu tulus kepada Ahlul Bait”. Dan saya sendiri telah menyebutkan dalam Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam beberapa keterangan tambahan mengenai dirinya. Jabir ibn Abdullah meninggal di Madinah pada tahun 70 H., yakni pada usia 94.

Di antara mereka adalah Ubay ibn Ka’ab; pemuka para qori’ (pembaca bacaan khas Al- Quran). Para ulama dan ahli sejarah mencatatnya berada di jajaran pertama dari silsilah kedudukan para mufassir. Ia adalah seorang sahabat Nabi saw. Dan ia sebagaimana yang sudah diketahui, adalah seorang Syi’ah. Riwayat hidup Ubay dicatat secara memadai oleh Sayyid Ali ibn Sadruddin Al-Madani di dalam Ad-Darajatur Rafi’at fi Thabaqot Syi’ah. Dan secara rinci lagi, saya telah membawakan riwayatnya di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam.

Termasuk dari tokoh-tokoh ilmu Al-Quran yang datang setelah nama-nama sahabat di atas ialah para tabi’in. Di antara mereka ialah Sa’id ibn Jubair; seorang tabi’in yang paling ulung di bidang tafsir. Ini berdasarkan kesaksian Qotadah atas hal ini. Begitu pula kesaksian pengarang Al- Itqon, yaitu As-Suyuthi. Dan telah saya bawakan bukti-bukti lain atas kesyi’ahan Sa’id.

Di antara para Tabi’in adalah Yahya ibn Ya’mur; seo-rang tabi’in dan tokoh kaun Syi’ah di bidang ilmu Al-Quran. Ibnu Khalkan mengatakan: “Yahya adalah salah satu qorie; imam bacaan Al-Quran dari Basrah, dan kepadanya Abullah ibn Ishaq belajar qiroah (bacaan Al-Quran). Ia amat menguasai Al-Quran, ilmu Nahwu dan pelbagai cabang ilmu bahasa Arab. Yahya mempelajari Nahwu pada Abul Aswad Ad-Duali. Dan ia dikenal sebagai seorang tokoh dari generasi pertama kaum Syi’ah yang mengakui kedudukan tinggi Ahlul Bait a.s., tanpa merendahkan orang mulia selain mereka. Dan saya telah menyebutkan sebagian riwayat hidupnya di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, yaitu ketika membahas tokoh-tokoh ilmu Nahwu.

Di antara para Tabi’in ialah Abu Soleh. Ia dikenal pula dengan panggilan nama nasabnya. Abu Soleh merupakan murid Ibnu Abbas di bidang tafsir Al-Quran. Nama asli Abu Soleh sendiri adalah Mizan Bashri. Tak syak lagi, ia adalah seorang tabi’in Syi’ah. Syeikh Mufid Muhammad ibn Nu’man di dalam Al-Kafiah fi Ibtholi Taubatil Khotiah, telah memberikan kesaksian atas kesyi’ahan dan keterpercayaan Abu Soleh, yaitu tatkala Syeikh Mufid menyinggungnya setelah mengulas ihwal Ibnu Abbas. Abu Soleh wafat pada tahun 100 H.

Di antara para tabi’in ialah Thawus ibn Kisan Abu Abdillah Al-Yamani. Ia mempelajari tafsir pada Ibnu Abbas. Syeikh Ahmad ibn Taimiyah menganggapnya sebagai orang yang paling menguasai tafsir, sebagaimana yang dicatat pula di dalam Al-Itqon oleh Jalaluddin As-Suyuthi. Ibnu Qutaibah dalam kitab Al-Ma’arif juga memberikan kesaksian atas kesyi’ahan Thawus. Dalam cetakan Mesir, hal. 206, dia mengatakan: “Dari kaum Syi’ah adalah Al-Harts Al-A’war, Sha’sha’ah ibn Shuhan, Ashbagh ibn Nabatah, Athiyah Al-‘Aufi, Thawus dan Al-A’masy”. Thawus meninggal di Mekkah pada tahun 106 H. Dan ia dikenal sebagai oang yang amat setia pada Imam Ali ibn Husein As-Sajjad a.s.

Di antara para tabi’in adalah Al-A’masy Al-Kufi Sulaiman ibn Mehran Abu Muhammad Al-Asadi. Dan sebagaimana yang telah lalu, Ibnu Qutaibah telah mem-berikan kesaksian atas kesyi’ahannya. Begitu pula Syahristani di dalam kitab Al-Milal Wan Nihal serta selain mereka berdua. Adapun dari ulama kami yang memberikan kesaksian yang sama ialah Syeikh Syahid Tsani Zainuddin dalam Hasyiyatul Khulashah dan Muhaqqiq Bahbahani di dalam At-Ta’liqoh dan Mirza Muhammad Baqir Ad-Damad di dalam Ar-Rawasyih. Dan saya telah membawakan teksteks yang menyatakan kesak-sian mereka atas kesyi’ahan Al-A’masy di dalam kitab Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam. Di sana yang menambahkan beberapa kesaksian lain. Al-A’masy Al-Kufi meninggal pada tahun 148 H. pada usia 88.

Di antara pata tabi’in ialah Sa’id ibn Al-Musayyab. Ia belajar tafsir pada Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. dan Ibnu Abbas. Ia tumbuh cerdas di bawah didikan guru pertamanya. Sa’id senantiasa menyertainya dan tidak pernah berpisah dengannya. Ia telah ikut bertempur dalam perbagai peperangan secara langsung. Imam Ja’far Ash-Shadiq dan Imam Ali Ar-Ridha a.s. telah memberikan kesaksian atas kesyi’ahan Sa’id, sebagaimana yang tercatat di dalam juz ketiga dari kitab Qurbul Isnad, karya Al-Humairi. Sa’id ibn Al-Musayyab adalah imam qiroah di Madinah dan telah dinukil dari Ibnu Al-Madaini bahwa “Aku tidak mengenal dari kaum tabi’in yang lebih luas ilmu dan wawasannya daripada Sa’id ibn Al-Musayyab.” Sa’id wafat pada tahun 70 H., yaitu ketika ia berusia lebih dari 80 tahun.

Di antara para tabi’in ialah Abu Abdurrahman As-Sulami; seorang tokoh qiroah ‘Ashim. Ibnu Qutaibah mengatakan: “Ia adalah salah satu sahabat dekat Imam Ali ibn Abi Thalib a.s., dan ia adalah seorang pembaca Al-Quran yang baik, dan ia mempunyai wawasan fiqih yang luas”.

Saya katakan bahwa Abu Abdurrahman telah belajar qiroah Al-Quran pada Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. sebagaimana yang dicatat oleh Ath-Tabarsi dalam kitab tafsir Majma’ul Bayan. Dan Al-Barqi dalam kitab Ar-Rijal fi Khowashi Ali, telah menggolongkannya ke dalam sahabat-sahabat Ali dari kabilah Mudhar. Abu Abdurrahman wafat pada tahun 70 H.

Dan di antara para sahabat ialah As-Sudi; seorang ahli tafsir yang masyhur, sebagaimana telah disebutkan seke-lumit riwayat hidupnya pada bab pertama. Di antara mereka ialah Muhammad ibn As-Saib ibn Bishr Al-Kalbi; pengarang tafsir besar yang telah disebutkan ihwal hidupnya di bab pertama.

Di antara mereka ialah Himron ibn A’yan. Dia adalah saudara Zurarah ibn A’yan Al-Kufi dan sesepuh keluarga Syaiban. Himron adalah seorang tokoh bacaan khas Al-Quran yang belajar pada Imam Ali Zainal Abidin dan Imam Muhammad Al-Baqir a.s. Ia wafat kurang lebih pada tahun 100 H.

Di antara mereka ialah Aban ibn Taghlab sebagaimana telah saya sebutkan ihwal riwayat hidupnya. Ia seorang Muslim yang terdepan di setiap bidang ilmu. Aban belajar qiroah pada Al- A’masy; salah seorang sahabat Imam Ali Zainal Abidin a.s. dan Imam Muhammad Al-Baqir a.s. Ia wafat pada tahun 141 H.

Di antara mereka ialah ‘Ashim bin Bahd. Ia adalah salah seorang tujuh tokoh qiroah Al- Quran, belajar pada Abu Abdurrahman As-Sulami yang ia sendiri belajar qiroah pada Amiril mukminin Ali ibn Abi thalib a.s. Oleh karena itu, qiroah ‘Ashim adalah qiroah yang diminati oleh ulama-ulama Syi’ah. Syeikh Al-Jalil ibn Al-Jalil Ar-Razi yang wafat pada tahun 556 H., memberikan kesaksiannya atas kesyi’ahan ‘Ashim di dalam kitabnya, Naqdhul Fadhoih.

‘Ashim adalah salah seorang tokoh Syi’ah dan wafat pada tahun 128 H. di Kufah, atau di Samaweh menurut sebuah pendapat, yaitu dalam perjalanannya menuju Syam dan dimakamkan di sana. Ia tidak dapat melihat seperti juga Al-A’masy. Al-Qodhi Nurullah Al-Mar’asyi di dalam Majalisul Mu’minin, memberikan kesaksian atas kesyi’ahan ‘Ashim, dan menempatkannya di kelas pertama ulama Syi’ah.

Setelah mereka di atas, muncullah tokoh-tokoh qiroah dari pengikut tabi’in. Di antara mereka ialah Abu Hamzah Ats-Tsumali. Nama lengkapnya adalah Tsabit ibn Dinar; salah seorang tokoh Syi’ah di Kufah. Abul Faraj Muhammad ibn Ishaq ibn Abu Ya’qub yang masyhur dengan nama nasabnya; Ibnu Nadim, di dalam Al-Fehrest mengukuhkan ihwal kitab tafsir Abu Hamzah Ats- Tsumali dan salah satu sahabat dekat Imam Ali Zaibal Abidin a.s. Ia amat dihor-mati, tepercaya dan bersahabat dekat dengan Imam Muhammad Al-Baqir a.s. Abu Hamzah wafat pada tahun 150 H.

Di antara pengikut tabi’in ialah Abul Jarud Ziyad ibn Al-Mundzir. Ia telah meriwayatkan kitab Imam Muhammad Al-Baqir berkenaan dengan tafsir Al-Quran, yaitu sebelum ia menjadi pengikut mazhab Zaidiyah. Abul Bashir Al-Asadi telah belajar tafsir ini darinya, sebagaimana telah dising-gung sebelum ini. Abul Jarud wafat pada 150 H.

Di antara mereka adalah Yahya ibn Al-Qosim Abu Bashir Al-Asadi. Ia adalah Muslim pelopor di bidang fiqih dan tafsir. Ia juga memiliki karya terkenal di bidang tafsir sebagaimana yang telah disebutkan An-Najasyi, dan sanadnya bersambung sampai periwayatan tafsir tersebut. Yahya wafat pada masa hidup Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s., tepatnya pada 148 H.

Di antara mereka ialah Al-Bathayini Ali ibn Salim yang dikenal dengan nama Ibnu Abu Hamzah Abul Hasan Al-Kufi; tuan kaum Anshar. Ia mempunyai karya di bidang tafsir Al-Quran yang telah dipelajarinya dari Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s., Imam Musa Al-Kadzim a.s. dan Abu Bashir yang telah disebutkan di atas tadi. Dan di antara mereka adalah Al-Hashin ibn Makhariq Abu Junadah As-Saluli. Ibnu Nadim mengatakan: “Ia adalah orang Syi’ah dari kelas pertama. Ia mempunyai beberapa karya, di antaranya kitab tasir, kitab Jamui’ul Ulum.” Dan An-Najasyi telah menyebutkan bahwa Al-Hashin mempu-nyai kirab tafsir dan kitab qiroah serta sebuah kitab besar.

Dan di antara mereka ialah Al-Kisaie; salah seorang imam qiroah. Ia banyak mempelajari pelbagai bidang ilmu. Ia amat dikenal pada masa itu sebagai orang yang pandai di bidang ilmu Nahwu dan ilmu Gharib dan ilmu-ilmu Al-Quran. Al-Kisaie adalah keturunan persia yang telah menjadi warga Irak. Dan saya telah mengurut nasabnya di dalam Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam.

Dan ada beberapa teks sejarah yangmenegaskan kesyi’ahannya. Al-Kisaie meninggal di kota kecil bernama Rey (bagian selatan Teheran-Iran) atau di Thus (di sebelah barat daya Iran), yaitu pada masa ia menjadi kepercayaan Harun Ar-Rasyid pada tahun 189 H., atau 183 H., atau 185 H., atau 193 H. menurut perbedaan beberapa pendapat. Namun, tahun yang paling akurat adalah pendapat pertama. Ia hidup dalam usia 70 tahun.

Kemudian, setelah nama-nama tersebut di atas, muncul generasi ketiga yang diwakili oleh tokoh-tokoh besar, seperti Ibnu Sa’dan Ad-Dhurair Abu Ja’far ibn Muhammad ibn Sa’dan ibn Al- Muborak, dari warga Kufah yang ahli di bidang Nahwu. Ia seorang tokoh yang disegani. Ibnu Sa’dan mengarang Al-Jami’e, Al-Musyajjar dan kitab-kitab lainnya. Ia mempunyai qiroah khas Al- Quran yang sesuai dengan bacaan yang umum digunakan. Ibn Sa’dan adalah perawi yang saleh dan tepercaya. Ia mengarang buku mengenai bahasa Arab dan macam-macam qiroah.

Dalam Al-Fehrest, Ibnu Nadim menyebutkan ihwal Ibnu Sa’dan di dalam kelompok tokoh qiroah Syi’ah. Ia lahir di Baghdad, bermazhab Syi’ah, dan wafat pada tahun 231 H. di hari Arafah. Yaqut dan As-Suyuthi secara rinci menjelaskan perihal hidupnya di dalam kitab Al-Mu’jam dan kitab Ath-Thabaqot. Yaqut menyebutkan bahwa ia lahir pada tahun 161 H. dan meninggal pada hari raya Idul Adha tahun 231 H. Ia mempunyai seorang putra bernama Ibrahim. Masih dari Yaqut, dikatakan bahwa Ibnu Sa’dan adalah seorang penulis dan perevisi. Ia juga seorang pemikir, peneliti dan perawi serta pengarang kitab-kitab yang bagus, di antaranya kitab Huruful Quran.

Selain mereka tersebut di atas, ada juga sekelompok kaum Syi’ah yang menulis tafsir. Mereka adalah sahabat-sahabat dekat Imam Musa Al-Kadzim dan Imam Ali Ar-Ridha a.s. Di antara mereka adalah Wahid ibn Hafsh Abu Ali Al-Hariri; berasal dari kabilah Bani Asad, dan Yunus ibn Abdurrahman Abu Muhammad; seorang guru besar Syi’ah di jamannya, dan Al-Husein ibn Said bin Hammad ibn Mehran; budak Ali ibn Husein Abu Muhammad Al-Ahwazi. Kami telah membawakan riwayat-riwayat hidup mereka di dalam Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam.

Selain mereka adalah Abdullah Ash-Sholt Abu Thalib At-Taimi yang dikenal juga dengan panggilan nasabnya; Ibnu Tsa’labah. Ia adalah seorang tokoh besar ilmu tafsir, dan ia mengarang kitab tafsir yang ia pelajari dari Imam Ali Ar-Ridha a.s. Di antara mereka ialah Ahmad ibn Subaih Abu Abdillah Al-Asadi Al-Kufi; seorang ahli tafsir. Dan di antara mereka ialah Ali ibn Aswath ibn salim Abul Hasan Al-Maqri, berasal dari Kufah.

Perlu di catat bahwa Ali ibn Mehziyar Al-Ahwazi adalah salah satu tokoh ilmu hadis dan tafsir, dan menga-rang kitab di dua bidang tersebut. Setelah mereka di atas, muncul generasi lain seperti Al-BarqiMuhammad ibn Khalid Al-Barqi. Ia menulis kitab At-Tanzil dan kitab At-Tafsir. Al-Barqi sempat menjumpai Imam Musa Al-Kadzim dan Imam Ali Ar-Ridha a.s. Oleh para ulama Syi’ah, ia digolongkan sebagai perawi yang tsiqoh.

Saudaranya yang bernama Al-Hasan ibn Khalid Al-Barqi juga menulis kitab, di antaranya At- Tafsirul Kabir sebanyak 120 jilid yang didiktekan oleh Imam Hasan Al-Askari a.s., sebagaimana disebutkan oleh Ibn Syahrasyub Al-Mazan-darani Rasyiduddin dalam Ma’alimul ‘Ulama’.

Dan setelah tokoh-tokoh di atas, muncul generasi lain Syi’ah yang mengarang kitab tafsir di abad ketiga Hijriyah. Di antara meraka ialah Ali ibn Hasan ibn Fidhal, Ibrahim ibn Muhmmad ibn Said ibn Hilal ibn ‘Ashim ibn Said ibn Mas’ud Ats-Tsaqofi, berasal dari Kufah dan wafat pada tahun 383 H. Ada juga Ali ibn Ibrahim ibn Hasyim dari warga Qum-Iran; seorang guru besar Syi’ah pada masanya. Ia menulis kitab tafsir yang sudah dicetak.

Di antara mereka ialah Ali ibn Al-Husein ibn Musa ibn Babaweih yang juga di kota Qum. Ia menulis kitab At-Tafsir. Sebagaimana sekelompok ulama Syi’ah telah meriwayatkan dari kitab terdapat sebuah naskah berkaitan dengan perumpamaan ini. Muhammad adalah perawi yang banyak dirujuk oleh Al-Kulaini di dalam kitab Al-Kafi. Dan Muhammad bin Al-Abbas ibn Ali ibn Marwah yang dikenal pula dengan Ibnul Hijam dengan panggilan nasabnya; Abu Abdillah, telah menulis beberapa kitab di antaranya ialah kitab Ta’wilu ma Nazala fin Nabi, Ta’wilu ma Nazali fi Ahlilbait wa ma Nazala fi Syi’atihim, Ta’wilu ma Nazali fi a’dai Ahlil Bait, At-Tafsirul Kabir, An-Nasikh wal Mansukh, Qiroah Amiril Mu’minin, dan kitab Qiroah Ahlul Bait.

Semua judul kitab ini dituturkan oleh Abu Muhammad Harwan ibn Musa At-Tal’akbari pada tahun 328 H. Dan At-Tal’akbari ini telah mendapatkan ijazah periwayatan darinya.

Dan di antara mereka yang menulis di bidang-bidang ilmu Al-Quran adalah sekelompok lain dari kaum Syi’ah. Misalnya, Mu-hammad ibn Al-Hasan Asy-Syibani; guru Syeikh Mufid. Ia mengarang kitab Nahjul Bayan fi Ma’anil Quran, di dalamnya ia menjelaskan pelbagai macam ilmu Al-Quran dan menghitungnya sampai 60 macam. Asy-Syibani telah menyusun semua itu di dalam sebuah kitab yang diberi judul dengan nama Khalifah dinasti Abbasiyah masa itu, yaitu Al- Mustanshir. Dan Sayyid Al-Murtadha telah menukil hadis darinya dan mencatatnya di dalam kitab Al-Muhkam wal Mutasyabih.

Selain Asy-Syibani adalah Syeikh Mufid sendiri. Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Nu’man yang dikenal pada masa itu dengan gelar ‘Ibnul Mu’allim’ (putra guru besar). Ia adalah guru besar Syi’ah yang mempunyai kedudukan ilmiah yang begitu tinggi di kalangan ulama Syi’ah. Ia menulis beberapa karya yang tercatat di dalam kitabnya sendiri; yaitu Al-Fehrest, di antaranya Kitabul Bayan fi Anwa’i Ulumil Quran. Syeikh Mufid wafat pada bulan Muharram 409 H, sebagaimana telah disebutkan oleh Al-Khatib di dalam kitab sejarahnya yang besar, Tarikh Al-Baghdadi.

Dan terakhir ialah Muhammad ibn Ahmad ibn Ibrahim ibn Sulaim Abul Fadhl Ash-Shuli Al- Ja’fi dari warga Kufah, yang terkenal dengan panggilan Ash-Shobuni. Ia menulis kitab Al-Fakhir fil Lughah, Tafsir ma’ani Tafsiril Quran dan Tasmiyatu Ashnafil Kalamihil Majid. Ash-Shobuni adalah salah satu ulama besar Syi’ah. Ia tinggal diMesir dan meninggal di sana pada tahun 300 H.


Pasal Ketujuh

Tentang Tafsir Pertama yang Menghimpun Ilmu-ilmu Al-Quran
Ketahuilah bahwa tafsir pertama yangmenghimpun seluruh ilmu-ilmu Al-Quran adalah kitab Ar- Raghib fi Ulumil Quran, karya Abu Abdillah Muhammad bin Umar Al-Waqidi. Ibnu Nadim telah menyebutkan kitab ini di dalam Al-Fehrest, dan memberikan kesaksiannya atas kesyi’ahan pengarangnya.

Lalu, kitab At-Tibyan yang mencakup semua ilmu-ilmu Al-Quran di dalam sepuluh jilid besar, karya Syeikh Thaifah Abu Ja’far Muhammad ibn Hasan ibn Ali Ath-Thusi; seo-rang tokoh besar Syi’ah yang lahir pada tahun 385 H. dan wafat di Al-Ghurey pada tahun 460 H. Di di dalam kitab tersebut, ia mengatakan bahwa dialah orang pertama yang melakukan penghimpunan seluruh ilmu-ilmu Al-Quran.

Lalu, kitab Haqoiqut Tanzil wa Daqoiqut Ta’wil. Kitab ini sebesar kitab tafsir At-Tibyan, karya Sayyid Syarif Ar-Radhi, saudara Sayyid Al-Murtadha. Di dalamnya, ia mengung-kapkan pelbagai keunikan, keajaiban, kerumitan Al-Quran, dan menjelaskan teka-teki, rahasia-rahasia dan kedalaman makna riwayat-riwayatnya. Sayyid Syarif Ar-Radhi juga berusaha menyelami hakikathakikat dan butir-butir takwil (makna-makna batin, -pent.) Al-Quran; sebuah upaya ilmiah yang belum pernah terfikirkan atau dilakukan oleh seorang pun. Namun, kitab ini tidak mencakup seluruh ilmu Al-Quran.

Di samping itu, Sayyid Syarif Ar-Radhi juga memiliki kitab Al-Mutasyabih fil Quran dan kitab Majazatul Quran. Usianya tidak melebihi empat puluh tujuh tahun. Dan saya di dalam Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam, membawakan riwayat hidupnya secara panjang lebar. Syarif Ar-Radhi wafat pada tahun 406 H.

Selain itu, terdapat kitab Raudhul Jinan fi Tafsiril Quran yang dikarang sebanyak 60 jilid, oleh Sang Imam Panutan, Syeikh Abul Futuh Ar-Razi. Nama lengkapnya ialah Al-Hasan bin Ali ibn Muhammad ibn Ahmad Al-Khuza’i Ar-Razi An-Naysaburi. Ia wafat pada abad kelima. Raudhil Jinan adalah sebuah kitab tafsir yang menghimpun pelbagai macam ilmu Al-Quran. Abul Futuh datang setelah Syeikh Thaifah Ath-Thusi.

Ada juga kitab Majma’ul Bayan fi Ulumil Quran seba-nyak sepuluh jilid karya Syeikh Aminuddin Abu Ali Al-Fadhl ibn Hasan ibn Al-Fadhl Ath-Thabarsi yang wafat pada tahun 540 H.

Kitab ini mencakup semua ilmu Al-Quran. Hanya saja, ia menegaskan di pembukaannya, bahwa ia amat berhutang budi pada kitab At-Tibyan karya Syeikh Ath-Thusi.

Kemudian terdapat kitab berjudul Khulashotut-Tafasir sebanyak dua puluh jilid, karya Syeikh Qutbuddin Ar-Rawandi. Kitab ini penuh dengan hakikat dan rahasia makna-makna Al-Quran. Inilah kitab yang paling baik yang dikarang oleh ulama-ulama setelah Syekh Ath-Thusi.[]

7
Kisah Para Nabi Allah

Bab Kedua

Kepeloporan Syi’ah dalam Ilmu-ilmu Hadis
Sebelum memasuki serangkaian pasal dari bab ini, kami akan mengajak pembaca untukmengenal alasan kepelo-poran kaum Syi’ah dalam ilmu-ilmu hadis. Di sini, saya hendak menyatakan bahwa di antara para sahabat dan para tabi’in terdapat perselisihan besar tentang penulisan ilmu. Banyak dari mereka enggan melakukan penulisan dan penyusunan ilmu, meski ada sebagian dari mereka yang melakukannya, di antaranya ialah Ali ibn Abi Thalib a.s. dan putra beliau yang pertama; Hasan Al-Mujtaba a.s .

Sebagaimana yang dikatakan oleh As-Suyuthi di dalam Tadribur Rawi, bahwa Nabi saw. telah mendiktekan kepada Ali bin Abi Thalib seluruh yang terkumpul di dalam sebuah kitab besar, dan Al-Hakam ibn ‘Uyainah telah melihat kitab tersebut berada di tangan Imam Muhammad Al-Baqir, yaitu ketika di antara mereka berdua terjadi perselisihan pen-dapat tentang suatu masalah, lalu Imam Al-Baqir a.s. mengeluarkan kitab itu dan menjelaskannya lalu menga-takan kepada Al- Hakam: “Ini adalah tulisan tangan Ali ibn Abi Thalib yang didiktekan oleh Rasulullah, dan inilah kitab pertama yang menghimpun ilmu-ilmu pada masa hidup Rasulullah saw.” Maka, kaum Syi’ah mengetahui bagai-mana penyusunan ilmu itu sebegitu rapihnya. Lalu, mereka segera menapaki langkah imam pertama mereka.

Sementara itu, terdapat sekelompok dari selain Syi’ah yang justru melarang penyusunan ilmu ke dalam sebuah kitab, sehingga mereka tertinggal. Al-Jahidz As-Suyuthi di dalam Tadribur Rawi mengatakan: “Karya-karya yang mun-cul pada jaman sahabat dan kaum tabi’in belum tersusun secara rapih, mengingat hafalan mereka yang kuat, selain juga sebelum itu mereka melarang upaya penulisan ilmu-ilmu, sebagaimana yang disinyalir di dalam Shahih Muslim, lantaran kekuatiran mereka terhadap pencampuradukan hadis dengan ayat-ayat Al-Quran. Di samping itu juga karena sebagian besar darimereka tidakmampu menulis.”

Saya katakan bahwa hal ini terjadi pada selain sahabat dan tabi’in besar Syi’ah. Adapun sahabat dan tabi’in dari Syi’ah, mereka sudah merumuskan ilmu dan menyusunnya, sebagaimana usaha ini telah dimulai oleh AmirilMukminin Ali ibn Abi Thalib a.s.


Pasal Pertama

Tentang Orang Pertama yang Mengumpulkan Hadis dan Menyusunnya ke dalam Bab-bab
Di antara orang Syi’ah yang pertama kali melakukan proses pengumpulan dan penyusunan itu ialah Abu Rafi’e; budak Rasulullah saw. An-Najasyi di dalam Asma’ Mushannifisy Syi’ah, mengatakan: “Dan Abu Rafi’e budak Rasulullah saw. mempunyai kitab As-Sunan wal Ahkam wal- Qodhoya”. Lalu ia menyebutkan sanad-sanadnya sampai periwayatan kitab secara bab per bab; mulai dari bab shalat, puasa, haji, zakat dan tema-tema muamalah. Kemudian dia menyatakan bahwa Abu Rafi’e telah menjadi Muslim secara lebih dahulu di Mekkah lalu hijrah ke Madinah dan ikut bersama Nabi saw. dalam banyak peperangan, dan setelah wafat beliau, ia menjadi pengikut setia Ali ibn Abi Thalib a.s.

Abu Rafi’e tergolong sebagai orang Syi’ah yang saleh, dan turut terjun di dalam peperangan bersama Ali ibn Abi Thalib a.s. Ia juga dipercayai sebagai pemegang kunci Baitul Mal di masa kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib di Kufah.

Abu Rafi’e meninggal pada tahun 35 H., sesuai dengan kesaksian Ibnu Hajar di dalam At- Taqrib, di mana ia telah membenarkan tahun wafatnya di awal kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib a.s.

Atas dasar ini, menurut ijma’ para ulama, tidak ada orang yang lebih dahulu dari Abu Rafi’e dalam upaya mengumpulkan hadis dan menyusunnya secara bab perbab. Karena, nama-nama yang disebutkanmengenai penghimpun hadis, semuanya muncul di pertengahan abad kedua. Sebagaimana yang dicatat di dalam At-Tadrib oleh As-Suyuthi dan dinukil oleh Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari, bahwa orang pertama yang mengumpulkan dan menyusun hadis-hadis berdasarkan perintah Umar ibn Abdul Aziz adalah Ibnu Syahab Az-Zuhri. Segera Ibnu Syahab memulai tugasnya di awal abad kedua Hijriyah, lantaran Umar ibn Abdul Aziz menjadi khalifah pada tahun 98 H. atau 99 H., dan meninggal pada tahun 101 H. Di dalam kitab Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam, kami secara khusus memberikan catatan-catatan kritis terhadap apa yang diterangkan oleh Ibnu Hajar Asqolani.


Pasal Kedua

Tentang Orang Pertama dari Kaum Sahabat yang Syi’ah yang Mengumpulkan Hadis dalam Satu Bab dan Satu Judul
Mereka adalah Abu Abdillah Salman Al-Farisi dan Abu Dzar Al-Ghifari. Rasyiduddin ibn Syarhasub di dalam kitab Ma’alim Ulamau Syi’ah, telah memberikan kesaksiannya atas hal ini.

Begitu pula Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi, guru besar Syi’ah, dan Syeikh Abu Abbas An-Najasyi di dalam kitab-kitab mereka, yaitu Asma Mushannifis Syi’ah, ketika mengulas ihwal Abu Abdillah Salman Al-Farisi dan Abu Dzar Al-Gifari. Mereka melacak dan mampu menemukan sanadsanadnya sampai periwayatan kitab Salman dan kitab Abu Dzar. Kitab Salman adalah kitab hadis Al-Jatsliq dan kitab Abu Dzar adalah sebuah surat khotbah yang di dalamnya menjelaskan pelbagai perkara dan peristiwa yang terjadi setelah wafat Rasulullah saw.

Sayyid Al-Khunsari di dalam kitab Ar-Raudhah fi Ahwalil ‘Ulama’ wa As-Sadat, menerangkan sebuah kitab yang dinukil dari kitab Az-Zinah karya Abu Hatim di juz ketiga; bahwa kata ‘syi’ah’ pada masa Rasulullah saw. adalah nama untuk empat sahabat, yaitu Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Miqdad Ibnul Aswad Al-Kindi dan Ammar ibn Yasir. Demikian ini telah disebutkan juga di dalam kitab Kasyful Dzunun dan kitab Az-Zinah karya Abu Hatim Sahal ibn Muhammad As-Sajastani yang wafat pada tahun 205 H.


Pasal Ketiga

Tentang Orang Pertama yang Menyusun Kata-kata Hikmah dari Para Tokoh Tabi’in Syi’ah
Para tokoh tabi’in Syi’ah itu melakukan penyusunan di satu masa, hanya saja saya tidak tahu mana di antara mereka yang melakukan hal ini lebih dahulu. Di antara mereka ialah Ali ibn Abi Rafi’e; sahabat Ali ibn Abi Thalib a.s sekaligus sebagai sekretaris dan pemegang kunci BaitulMal. An-Najasyi di dalam Asma Mushannifisy Syi’ah, pada bab nama-nama generasi pertama Syi’ah yang mengarang kitab, mengatakan: “Ali ibn Abu Rafi’e adalah seorang tabi’in dari Syi’ah yang soleh yang bersahabat dekat dengan Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. Ia juga sekretaris beliau dan menghafal banyak hal dan menyusun sebuah kitab yang menghimpun pelbagai bab Fiqih, seperti Wudhu, Shalat, dan bab-bab hukum lainnya. Lalu ia menyambungkan sanadnya sampai ke Ali ibn Abi Thalib a.s.

Dan saudara Ali ibn Abu Rafi’e bernama Ubaidillah ibn Abu Radfi’e adalah sekretaris Ali ibn Abi Thalib a.s. Ia mengarang kitab Kitabul Qodho Amiril Mu’minin dan kitab Tasmiyatu Man Syahida ma’a Amiril Mu’minin Al-Jamala wash Shiffin wan Nahrawan minal Shohabah (kitab yang mencatat nama-nama para sahabat yang ikut bertempur bersama Imam Ali a.s. di perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan, pent.). Sebagaimana disebutkan di dalam kitab Al-Fehrest Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi dan di At-Taqrib karya Ibnu Hajar, bahwa Ubaidillah adalah sekretaris Ali ibn Abi Thalib dan perawi yang terpercaya.

Selain dua bersaudara di atas, adalah Ashbagh ibn Nubatah Al-Majasyi’ie. Ia sahabat khusus Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. dan berumur panjang hingga masih hidup setelah wafatnya Ali ibn Abi Thalib. Ashbagh telah meriwayatkan surat Ali ibn Abi Thalib tentang pelantikan Malik Al-Asytar sebagai gubernur Mesir. An-Najasyi berkata: “Surat itu adalah surat yang amat masyhur, juga sebagai wasiat Imam Ali ibn Abi Thalib kepada putranya yang bernama Muhammad ibn Hanafiyah.” Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi menambahkan dalam Al-Fehrest, bahwa Ashbagh ibn Nubatah juga mempunyai kitab Maqtalul Husein ibn Ali, yang darinya Ad-Dauri telah meriwayatkan.

Lalu di antara mereka ialah Sulaim ibn Qois Al-Hilali Abu Shadiq, sahabat dekat Ali ibn Abi Thalib. Ia menulis kitab yang sangat bagus. Di dalamnya ia meriwayatkan hadis-hadis dari Imam Ali ibn Abi Thalib, Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Miqdad, Ammar ibn Yasir, dan sekelompok dari sahabat besar Nabi saw.

Syeikh Imam Abu Abdillah An-Nu’mani, yang perihal dirinya telah diulas pada pasal tokohtokoh tafsir terdahulu, di dalam kitab Al-Ghaibah, tepatnya setelah menukil sebuah hadis dari kitab Sulaim ibn Qois, mengatakan: “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dan perawi kaum Syi’ah tentang bahwa kitab Sulaim ibn Qois adalah salah satu kitab induk yang banyak dinukil hadis dan riwayatnya oleh para ulama dan perawi hadis Ahlul Bait. Dan kitab itu merupakan kitab rujukan kaum Syi’ah.” Sulaim ibn Qois wafat di awal pemerintahan Hajjaj ibn Yusuf di kota Kufah.

Lalu di antara mereka ialah Maitsam ibn Yahya Abu Soleh At-Tammar. Ia adalah salah satu sahabat dekat Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. dan pemegang rahasia-rahasia beliau.

Maitsam menulis kitab yang bagus mengenai hadis. Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi, Syeikh Abu Amr Al-Kisyi dan Ath-Thabari di dalam Bisyarotul Musthafa, banyak menukil hadis dari kitab Maitsam ini. Maitsam wafat di Kufah karena dibunuh oleh Ubaidillah ibn Ziyad lantaran kesyi’ahannya.

Lalu di antara mereka ialah Muhammad ibn Qois Al-Bajali. Ia mengarang sebuah kitab yang diriwayatkan dari Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. Para tokoh tabi’in Syi’ah telah menyebutkan kitab tersebut. Mereka juga banyak meriwayatkan hadis-hadis darinya. Adapun Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi di dalam Al-Fehrest dari Ubaid ibn Muhammad ibn Qois mengatakan:

“Saya mengajukan kitab ini kepada Abu Ja’far Imam Muhammad Al-Baqir a.s., lalu beliau berkata: ‘Kitab ini adalah perkataan Ali ibn Abi Thalib a.s.’. Dan di awal-awal kitab itu, diriwayatkan bahwa jika seseorang hendak melakukan shalat, katakanlah di awal shalatnya... Begitu selanjutnya hingga akhir kitab.”

Ya’la ibn Murroh mempunyai satu naskah kitab itu yang diriwayat-kannya dari Ali ibn Abi Thalib a.s. An-Najasyi di dalam Al-Fehrest telah membawakan sanad kesaksian atas keberadaan naskah tersebut dari Ya’la.

Lalu di antara mereka ialah Ibnul Hurr Al-Ja’fi. Ia seorang tabi’in Kufah dan penyair Persia. Ia memiliki sebuah naskah hadis yang diriwayatkan dari Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. Al- Ja’fi wafat di masa kekuasaan Al-Mukhtar. An-Najasyi telah menempatkannya dalam jajaran pertama dari tokoh-tokoh pengarang Syi’ah.

Lalu di antara mereka ialah Tabi’ah ibn Sami’ie. Ia menulis sebuah kitab tentang bab zakat. An-Najasyi menyebutkan nama ini di generasi pertama dari tokoh-tokoh pengarang Syi’ah. Ia termasuk dari kaum tabi’in.

Lalu Harts ibn Abdillah Al-A’war, dari kota Hamadan. Ia termasuk sahabat Ali ibn Abi Thalib a.s. Harts meri-wayatkan pelbagai permasalahan yang disampaikan oleh Imam Ali a.s. kepada seorang Yahudi, kemudian Ammar ibn Abil Miqdad meriwayatkannya dari Abi Ishaq As-Sami’ie yang ia sendiri meriwayatkannya dari Harts Al-A’war, dan yang terakhir ini meriwayatkan dari Ali ibn Abi Thalib a.s., sebagaimana yang termaktub di dalam Al-Fehrest karya Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi. Harts wafat pada masa kekuasaan Ibnu Zubeir.

Namun, Syeikh Rasyiduddin Ibn Syahrasyub di awal kitabnya, Ma’alimul ‘Ulama’, membawakan sebuah daftar kitab mengenai jawaban yang disampaikan oleh Al-Ghazzali, bahwa kitab pertama yang dikarang di dalam Islam ialah kitab Ibnu Juraij tentang hadis dan tafsir hurufhuruf dari Mujahid dan ‘Atha’ di Mekkah, lalu kitab Mu’ammar ibn Rafi’e Ash-Shan’ani di Yaman, lalu kitab Al-Muwaththa’ karya Malik ibn Anas, lalu kitab Al-Jami’e karya Sufyan Ats- Tsauri.

Kemudian Ibnu Syahrasyub mengatakan: “Namun yang benar ialah bahwa orang pertama yang mengarang kitab di bidang ini dalam Islam ialah Amiril Mukiminin Ali ibn Abi Thalib lalu Salman Al-Farisi, lalu Abu Dzar Al-Ghifari, lalu Ashbagh ibn Nubatah, lalu Ubaidillah ibn Abu Ra’fi’e, lalu Shohifah Kamilah Sajjadiyyah dari Imam Ali Zainal Abidin a.s.”

Syeikh An-Najasyi menyatakan bahwa generasi pertama adalah para pengarang, sebagaimana telah disebutkan, tanpa menerangkan siapa yang lebih dahulu, juga tidak menjelaskan urutanurutan mereka. Begitu pula Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi menyebutkan nama-nama mereka tanpa menerangkan urutan yang tegas. Mungkin Ibnu Syahrasyub telah menemukan sesuatu yang tidak mereka temukan.

Sebuah catatan di akhir pasal ini ialah bahwa Al-Jahidz Adz-Dzahabi tatkala menyinggung riwayat hidup Aban ibn Taghlab, memberikan kesaksian bahwa mazhab Syi’ah di kalangan tabi’in dan generasi setelah tabi’in amat berkembang dan dikenal dengan ketaatan, warak dan kejujuran. Lalu mengatakan: “Jika ucapan-ucapan mereka itu ditolak, maka akan banyak hadis-hadis Nabi saw. yang tercampakkan. Ini sebuah konsekuensi yang jelas keliru dan merugikan.”

Saya katakan, renungkanlah kesaksian Al-Jahidz ini, dan ketahuilah kemuliaan pada kepeloporan nama-nama mereka yang telah kami bawakan di sini dan nama-nama yang akan kami sebutkan setelah ini, yaitu dari kaum tabi’in Syi’ah dan generasi Syi’ah setelah mereka.


Pasal Keempat

Tentang Orang Pertama Penghimpun Hadis di Pertengahan Abad Kedua
Dari kaum Syi’ah yang menyusun kitab-kitab, pokok-pokok akidah dan perincian hukum-hukum yang diriwayatkan dari jalur Ahlul Bait adalah mereka yang hidup di masa-masa orang yang disebutkan berkenaan dengan orang pertama yang mengumpulkan riwayat dari kalangan Ahli Sunnah. Mereka meriwayatkan hadis-hadis dari Imam Ali Zainal Abidin a.s. dan dari putranya; Imam Muhammad Al-Baqir a.s. Di antara mereka adalah Aban bin Taghlab. Ia telah meriwayatkan tiga puluh ribu hadis dari Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s.

Ada pula Jabir ibn Yazid Al-Ja’fi yang meriwayatkan tujuh puluh ribu hadis dari Imam Muhammad Al-Baqir a.s., dari ayah-ayah beliau hingga Nabi saw. Jabir mengatakan: “Aku memiliki lima puluh ribu hadis yang belum aku sampaikan. Semuanya dari Nabi saw. dari jalur Ahlul Bait a.s.”

Terdapat nama-mana lain yang melakukan penghimpunan dan periwayatan hadis sebanyak di atas tadi, seperti Abu Hamzah, Zurarah ibn A’yan, Muhammad ibn Muslim Ath-Thaifi, Abu Bashir Yahya ibn Al-Qosim Al-Asadi, Abdul Mu’min ibn Al-Qosim ibn Qois ibn Muhammad Al- Anshari, Bassam ibn Abdullah Ash-Shairafi, Abu Ubaidah Al-Hidzaie Ziyad ibn Isa Abu Raja’ Al- Kufi, Zakaria ibn Abdullah Al-Fayyad Abu Yahya, Jahdar ibn Al-Mughirah Ath-Thaie, Hajar ibn Zaidah Al-Hadhrami Abu Abdillah, Muawiyah ibn Ammar ibn Abi Muawiyah, Khabbab ibn Abdillah, Al-Mutthalib Az-Zuhri Al-Qurasyi Al-Madani, dan Ab-dullah ibn Maimun ibn Al- Aswad Al-Qoddah. Saya telah singgung kitab dan riwayat hidup mereka masing-masing di dalam Ta’sisusy Sy’ah li Fununil Islam.

Sementara itu, Tsaur ibn Abu Fakhitah Abu Jaham telah meriwayatkan hadis-hadis dari sekelompok sahabat Nabi saw. Dan ia memiliki sebuah kitab yang masih utuh dari Imam Muhammad Al-Baqir a.s.


Pasal Kelima

Tentang Orang Pertama dari Kaum Syi’ah yang Menyusun Kitab Hadis Setelah Pertengahan Abad Kedua
Terdapat sekelompok sahabat Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. yang meriwayatkan hadis dari beliau dan menghimpunnya ke dalam empat ratus kitab dengan judul Al-Ushul. Syeikh Imam Abu Ali Al-Fadhl ibn Al-Hasan Ath-Thabarsi dalam kitabnya, A’lamul Wara’, mengatakan: “Dinukil secara hampir mutawatir oleh banyak kalangan, bahwa orang-orang yang meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. adalah mereka yang tergolong dari tokoh-tokoh besar yang jumlah mereka mencapai empat ribu. Lalu, mereka menyusun hadis-hadis tersebut ke dalam empat ratus kitab yang dikenal di tengah kaum Syi’ah dengan nama Al-Ushul. Kemudian, kitab ini diriwayatkan oleh sabahat-sahabat Imam Ash-Shadiq a.s. dan oleh para sahabat putra beliau; Imam Al-Kadzim a.s.”

Abul Abbas Ahmad ibn ‘Uqdah telah menulis sebuah buku terpisah dengan judul Kitabu Rijali Man Rowa ‘an Abi Abdillah Ash-Shadiq. Kitab ini secara khusus menghimpun nama-nama mereka yang meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. Bahkan, Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi menyebutkan dan menghitung karangan-karangan mereka masing-masing dalam bab ‘Ashabu Abi Abdillah Ash-Shadiq’ dari kitabnya; Ar-Rijal, yaitu kitab yang disusun menurut nama-nama sahabat setiap dua belas imam a.s.


Pasal Keenam

Tentang Jumlah Kitab yang Dikarang oleh Orang Syi’ah tentang Hadis dari Jalur Ahlul Bait, Sejak Masa Imam Ali bin Abi Thalib Sampai Masa Imam Hasan Al-Askari a.s.
Ketahuilah bahwa jumlah kitab-kitab itu melampaui angka 6600, sebagaimana yang dicatat oleh Syeikh Al-Jahidz Muhammad ibn Al-Hasan Al-Hurr, penulis Al-Wasail, dan ia menyatakan jumlah tersebut secara tegas pada bab keempat dari kitabnya yang besar tentang hadis, yaitu Wasailusy Syi’ah ila Ahkamisy Syari’ah. Tentang semua ini, saya juga telah membawakan data-data yang menguatkan jumlah di atas tadi dalam kitab saya yang berjudul Nihayatud Dirayah fi Ushuli Ilmil Hadis.


Pasal Ketujuh

Tentang Generasi Berikut yang Menjadi Tokoh Ilmu Hadis dan Penyusun Kitab-kitab Induk yang Hingga Kini Merupakan Rujukan Hukum-hukum Syar’i Kaum Syi’ah
Ketahuilah bahwa tiga Muhammad pertama adalah tokoh terdepan dalam penyusunan empat kitab induk hadis. Yang pertama ialah Muhammad ibn Ya’qub Al-Kulaini, penyusun kitab Al- Kafi. Ia wafat pada 328 H. Di dalam kitab tersebut, Al-Kulaini telah mencatat sebanyak 16099 hadis beserta sanad-sanadnya. Kedua ialah Muhammad ibn Ali ibn Al-Husein ibn Musa ibn Babaweih Al-Qummi yang wafat pada tahun 381 H. Ia dikenal juga dengan panggilan nasab Abu Ja’far Ash-Shaduq. Ia telah menyusun 1400 kitab tentang ilmu hadis. Yang terbesar di antara kitab-kitab Ash-Shaduq adalah kitab Man La Yahdhuruhul Faqih yang memuat 9044 hadis menge-nai hukum-hukum syariat dan sunah-sunah.

Ketiga adalah Muhammad ibn Al-Hasan Ath-Thusi yang terkenal dengan gelar Syeikh Ath-Thoifah. Ia telah menulis kitab Tahdzibul Ahkam, dan menyusunnya ke dalam 393 bab, dan mencatat hadis sebanyak 13590. Kitab Ath-Thusi lainnya adalah Al-Istibshor yang memuat 920 bab sehingga mencakup 5511 hadis. Inilah empat kitab induk yang menjadi rujukan utama kaum Syi’ah.

Kemudian tibalah peran tiga Muhammad terakhir yang juga tergolong sebagai tokoh kitab induk hadis. Pertama ialah Imam Muhammad Al-Baqir ibn Muhammad At-Taqie. Ia terkenal dengan nama Al-Majlisi. Kitab besar yang ditulis Al-Majlisi adalah kitab Biharul Anwar; fil Ahaditsil Marwiyyah ‘anin Nabi wal Aimmah min Alihil Ath-har. Kitab ini disusun sebanyak 26 jilid tebal. Dapat dikatakan bahwa kitab ini telah menjadi pegangan kaum Syi’ah. Sebab, tidak ada kitab induk hadis yang paling lengkap selain kitab Biharul Anwar. Sehingga Tsiqotul Islam Allamah An-Nurie menulis sebuah kitab yang berjudul Al-Faidhul Qudsi fi Ahwalil Al-Majelisi dan dicetak di Iran, yakni sebuah kitab yang secara khusus mengulas ihwal kehidupan Al-Majlisi.

Kedua ialah Muhammad ibn Murtadha ibn Mahmud, seorang tokoh besar ilmu hadis dan guru utama di dua bidang ilmu aqli dan naqli. Ia lebih dikenal dengan nama Muhsin Al-Kasyani dan julukan ‘Al-Faydh’. Kitab hadis yang ditulis olehnya berjudul Al-Wafi fi Ilmil Hadis, yang ketebalannya mencapai 14 jilid, dan setiap jilidnya merupa-kan kitab tersendiri. Kitab Al-Wafi menghimpun hadis-hadis yang tercatat di dalam empat kitab induk terdahulu berke-naan dengan akidah, hukum syariat, akhlak dan sunah-sunah. Usia Muhsin Al-Kasyani mencapai 84 tahun dan wafat pada tahun 1091 H. Dalam usainya yang panjang itu, ia telah mengarang kurang lebih dua ratus kitab dari pelbagai bidang ilmu.

Ketiga ialah Muhammad ibn Al-Hasan Al-Hurr Asy-Syami Al-‘Amili Al-Masyghari, seorang ulama hadis yang mayshur di kalangan ahli hadis dengan gelar Syeikhusy Syuyukh (guru para guru). Ia menulis kitab Tafshil Wasailsy Syi’ah ila Tahshil Ahadits Asy-Syari’ah, dan penyusunannya mengacu pada kitab-kitab Fiqih.

Di antara kitab-kitab induk hadis, kitab hadis Al-‘Amili ini tergolong sebagai kitab yang paling banyak diakses oleh ulama. Di dalamnya telah tercatat hadis-hadis yang dinukil dari 80 kitab induk hadis, 70 dari jumlah itu dinukil dengan perantara, dan dicetak berkali-kali di Iran. Bisa dikatakan bahwa kaum Syi’ah sekarang lebih berkutat pada kitab ini. Muhammad Al-‘Amili dilahirkan pada bulan Rajab 1033 dan wafat pada tahun 1204 H. di Thus-Khurasan (sebuah propinsi di bagian barat Iran) Dan Syeikh Allamah Tsiqotul Islam Al-Husein ibn Allamah An-Nurie telah menghimpun hadis-hadis yang tidak dicatat oleh penulis Wasailusy Syi’ah, dan menyu-sunnya di dalam sebuah kitab berjilid berdasarkan susunan bab-bab kitab Wasailusy Syi’ah, dan meletakkan judul Mustadrokul Wasail wa Mustanbatul Masail padanya. Secara umum, kitab ini bentuk lain dari kitab Wasailusy Syi’ah. Dan dapat dikatakan bahwa kitab Syeikh An-Nurie ini meru-pakan kitab hadis Syi’ah yang paling besar, di mana Syeikh telah menyelesaikannya pada tahun 1319 H. Ia wafat pada 28 Jumadil Akhir 1320 H.

Dan masih banyak kitab-kitab induk hadis yang disusun oleh ulam-ulama besar hadis Syi’ah. Di antaranya ialah kitab Al-‘Awalim sebanyak 100 jilid, karya seorang ahli hadis yang tersohor bernama Syeikh Abdullah ibn Nurullah Al-Bahrani. Ia hidup semasa dengan Allamah Al-Majlisi, pengarang kitab Biharul Anwar yang telah kami singgung di atas tadi.

Selain Al-‘Awalim adalah kitab Syarhul Istabshor fi Ahaditsul Aimmatil Athhar yang disusun Syeikh Qosim ibn Muham-mad ibn Jawad ke dalam beberapa jilid besar, mirip dengan kitab Biharul Anwar. Syeikh Qosim dikenal dengan panggilan Ibnu Al-Wandi dan panggilan Faqih Al-Kadzimi. Ia hidup semasa dengan Syeikh Muhammad ibn Al-Hasan Al-Hurr; pengarang kitab Wasailusy Syi’ah sebagaimana telah dising-gung. Syeikh Qosim adalah salah seorang murid utama datuk saya, Allamah Sayyid Nuruddin; saudara Sayyid Muhammad pengarang kitab Al-Madarik.

Selain itu adalah kitab Jami’ul Akhbar fi Idhohil Istibshor. Kitab ini tergolong kitab hadis yang besar yang disusun ke dalam banyak jilid oleh Syeikh Allamah Abdullatif ibn Ali ibn Ahmad ibn Abu Jami’ Al-Haritsi Al-Hamadani Asy-Syami Al-‘Amili. Ia menimba ilmu dari Syeikh Al-Hasan ibn Abu Mansur ibn Asy-Syahid Syeikh Zainuddin Al-‘Amili, penulis kitab Al-Ma’alim dan Al- Muntaqo, dan salah seorang ulama abad kesepuluh Hijriyah.

Selain itu adalah kitab induk besar yang berjudul Asy-Syifa fi Hadis Alil Mushtafa. Kitab ini mencakup beberapa jilid tebal, disusun oleh seorang ulama peneliti hadis yang ulung, yaitu Syeikh Muhammad Ar-Ridha, putra seorang ahli fiqih; Syeikh Abdullatif At-Tabrizi. Ia telah menuntaskan penulisan kitab tersebut pada tahun 1158 H.

Selain itu adalah kitab Jami’ul Ahkam yang tercetak hingga mencapai 25 jilid besar, disusun oleh Allamah Abdullah ibn Sayyid Muhammad Ar-Ridha Asy-Syubbari Al-Kadzimi. Pada masa itu, ia dikenal sebagai guru besar kaum Syi’ah dan penulis unggul. Dapat dikatakan bahwa setelah era Allamah Al-Majlisi, tidak ada ulama yang mengarang kitab lebih banyak daripada karya-karyanya. Sayyid Muhammad Ar-Ridha wafat di Kadzimain pada tahun 1242 H.


Pasal Kedelapan

Kepeloporan Kaum Syi’ah dalam Menggagas Ilmu Dirayah dan Membaginya ke Beberapa Cabang Utama
Orang pertama yang memulai perintisan dan penggagasan ilmu ini ialah Abu Abdillah Al-Hakim yang lahir di Naysabur (Khurasan-Iran). Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Abdullah. Ia wafat pada 405 H. Semasa hidupnya, Al-Hakim telah mengarang sebuah kitab yang berjudul Ma’rifatu Ulumil Hadis setebal lima jilid, lalu membagi ilmu-ilmu hadis ke lima puluh cabang.

Kitab Kasyful Dzunun telah menyatakan kesaksiannya atas kepeloporannya dalam penggagasan ilmu Dirayah, dan mengatakan: “Orang pertama yang memulai penggagasan dan pembagian ilmu Hadis ialah Muhammad ibn Abdullah dari Naysabur, kemudian diikuti oleh Ibnu Ash-Shalah.”

Sementara itu, Al-Jahidz As-Suyuthi menyebutkan dalam kitab Al-Wasail fil Awail, bahwa orang pertama yang menyu-sun macam-macam ilmu Hadis dan membaginya menjadi beberapa cabang yangmasih dikenal sampai sekarang ialah Ibnu Ash-Shalah. Ia wafat pada tahun 643 H.

Data ini tidaklah bertentangan dengan apa yang baru saja kami bawakan. Sebab, Al-Jahidz hendak menyebutkan orang pertama yang mengerjakan hal itu dari kaum Ahli Sunnah, sedangkan Abu Abdillah Al-Hakim adalah seorang Syi’ah berdasarkan kesepakatan para ulama Ahli Sunnah dan Syi’ah. Syeikh As-Sam’ani di dalam Al-Ansab, Syeikh Ahmad ibn Taimiyah dan Al-Jahidz Adz-Dzahabi di dalam Tadzkirotul Huffadz telah menyatakan secara tegas kesyi’ahan Al-Hakim.

Bahkan dalam Tadzkirotul Huffadz, misalnya, Adz-Dzahabi menuturkan kesaksian Ibnu Thahir yang mengatakan: “Aku bertanya kepada Abu Ismail Al-Anshari perihal Al-Hakim. Ia berkata: ‘Ia adalah perawi yang terpercaya di bidang hadis dan seorang Syi’ah yang penyimpang’”. Lalu Adz- Dzahabi mengatakan: “Lalu Ibnu Thahir berkata: ‘Abu Abdillah Al-Hakim adalah seorang syi’ah yang fanatik dalam taqiyah-nya, namun ia menampakkan kesunniannya dalam permasalahan khilafah dan khalifah pertama setelah Nabi saw. Ia berseberangan dengan Muawiyah dan sanak keluarganya seraya menampakkan pengakuannya pada mereka; suatu hal yang tidak bisa diterima pendiriannya ini.’”

Pada hemat saya, ulama-ulama kami, Syi’ah, juga telah menyatakan kesaksian mereka atas kesyi’ahan Abu Abdillah Al-Hakim, seperti Syeikh Muhammad ibn Al-Hasan Al-Hurr di akhirakhir kitab Wasailusy Syi’ah. Di dalam Ma’alimul Ulama di bab ‘Al-Kuna’, ia menukil dari Ibnu Syarasyub yang menilai Al-Hakim sebagai salah seorang pengarang Syi’ah, dan ia memiliki kitab tentang keutamaan-keutamaan Ahlul Bait serta sebuah kitab khusus tentang keutamaankeutamaan Imam Ar-Ridha a.s. Mereka juga menyebutkan sebuah kitabnya khusus berkenaan dengan keutamaan-keutamaan Fatimah Az-Zahra a.s.

Bahkan, Abdullah Afandi telah menerangkan riwayat hidup Al-Hakim secara rinci dalam kitabnya; Riyadul ‘Ulama, di bagian pertama yang secara khusus membahas Syi’ah Imamiyah. Begitu juga, Afandimenyebutkan nama-nya dan memberikan kesaksian atas kesyi’ahannya di bab ‘Al-Alqob’ dan di bab ‘Al-Kuna’. Di dalam kitab itu, ia menyebutkan dua kitab Al-Hakim yang berjudul Ushul Ilmil Hadis dan Al-Makhal ila Ilmish Shohih. Afandi mengatakan: “Dan Al-Hakim telah mencatat hadis-hadis tentang Ahlul Bait yang tidak termaktub di dalam Shahih Al-Bukhari, seperti hadis ‘Ath-Thoirul Masywi’ dan hadis ‘Man Kuntu Maulahu.’”

Setelah Abu Abillah Al-Hakim, terdapat sekelompok tokoh ilmu Hadis dari kaum Syi’ah yang mengarang di bidang Dirayah. Di antara mereka ialah Sayyid Jamaluddin Ahmad ibn Thawus Abul Fadhail. Dialah peletak istilah-istilah hadis Syi’ah Imamiyah berkenaan dengan pembagian hadis kepada empat macam; shahih, hasan, muwatssaq dan dzaif. Ibnu Tawus wafat pada tahun 673 H.

Dan di antara mereka ialah Sayyid Allamah Ali ibn Abdul Hamid Al-Hasani. Ia mengarang kitab Syarh Ushul Dirayatul Hadis. Ia juga melaporkan dari Syeikh Allamah Al-Hilli ibn Al-Muthahhar dan Syeikh Zainuddin yang masyhur dengan gelar Syahid Tsani (sang syahid kedua), sebuah kitab bernama Ad-Dirayah fi Ilmid Dirayah dan syarahnya yang berjudul Ad-Dirayah.

Dan di antara mereka ialah Syeikh Al-Husein ibn Abdul Shomad Al-Haritsi Al-Hamadani; pengarang kitab Wushulul Akhyar ila Ushulil Akhbar, Syeikh Abu Mansur Al-Hasan ibn Zainudin Al-‘Amili; pengarang kitab Muqod-dimatul Muntaqo dan Ushul Ilmil Hadis, dan Syeikh Bahauddin Al- ‘Amili pengarang kitab Al-Wajizah fi Ilmi Diroyahtul Hadis. Saya telah menyarahi kitab terakhir ini dalam sebuah kitab yang saya namai dengan judul Syarah Nihayatud Dirayah, dan dicetak di India sampaimenjadi kurikulum di sekolah-sekolah pen-didikan agama.


Pasal Kesembilan

Tentang Orang Pertama yang Menyusun Ilmu Rijal dan Riwayat Hidup Para Perawi
Ketahuilah bahwa Abu Abdillah Muhammad ibn Khalid Al-Barqi Al-Qummi adalah seorang sahabat Imam Musa ibn Ja’far Al-Kadzim a.s., sebagaimana Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi mencatat hal ini di dalam kitab Ar-Rijal. Dan Abul Faraj Ibnu Nadim di dalam Al-Fehrest, di awal bagian kelima pasal keenam mengenai riwayat tokoh-tokoh fiqih Syi’ah menyebutkan karya Al-Barqi di bidang ilmu Rijal. Di sana ia mengatakan: “Dan di antara karya-karya Al-Barqi adalah Al-‘Awidh, At-Tabshiroh dan Ar-Rijal. Di dalam kitab terakhir ini, ia menyebutkan nama-nama yang meriwayatkan hadis-hadis dari Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.”

Setelah Al-Barqi ialah Abu Muhammad Abdullah ibn Jablah ibn Hayyan ibn Abhar Al-Kinani. Ia mengarang kitab Ar-Rijal. Abdullah Al-Kinani berusia panjang dan wafat pada tahun 219 H. As-Suyuthi dalam Al-Awail mengatakan: “Orang pertama yang membahas ilmu Rijal ialah Syu’bah.” Jelas, bahwa Syu’bah datang setelah Abdullah ibn Jablah, karena yang pertama wafat pada tahun 260 H. Bahkan setelah Abdullah ibn Jablah dan sebelum Syu’bah, terdapat sahabat Imam Al-Jawad a.s. yang bernama Abu Ja’far Al-Yaqthini. Ia menulis Kitabur Rijal, sebagaimana yang dicatat oleh An-Najasyi di dalam Al-Fehrest dan Ibnu Nadim di dalam Al-Fehrest.

Saya bubuhkan di sini, bahwa Abu Abdillah Muhammad ibn Khalid Al-Barqi juga seorang sahabat imam Ahlul Bait, yaitu Imam Musa Al-Kadzim a.s. dan Imam Ali Ar-Ridha a.s. Bahkan, ia juga sempat menjumpai Imam Muhammad Al-Jawad a.s. Kitab Al-Barqi masih terjaga utuh dan tersedia sampai sekarang. Di dalamnya disebutkan nama perawi-perawi yang meriwayatkan hadis dari Ali bin Abi Thalib a.s. dan perawi-perawi setelah mereka. Kitab itu juga memuat tema penting Rijal mengenai Al-Jarah wat Ta’dil (penilaian kritis atas ihwal kehidupan para perawi), sebagaimana yang juga dibahas oleh semua kitab Rijal.

Lalu, Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad ibn Khalid Al-Barqi yang mengarang kitab Ar-Rijal dan kitab Ath-Thabaqot. Abu Ja’far wafat pada tahun 274 H. Lalu, Syeikh Abul Hasan Muhammad ibn Ahmad ibn Dawud ibn Ali Al-Qummi yang dikenal juga dengan Ibnu Dawud; seorang ulama terkemuka Syi’ah. Ia mengarang kitab Al-Mamduhin wal Madzmumin minar Ruwat, dan wafat pada tahun 368 H.

Lalu, Syeikh Abu Ja’far Muhammad ibn Babaweih Ash-Shoduq yang mengarang kitab Ma’rifatur Rijal dan Kitabur Rijalil Mukhtarin min Ashabin Nabi saw. Ia wafat pada tahun 381 H. Lalu, Syeikh Abu Bakar Al-Ji’ani yang dinyatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ia merupakan salah seorang ulama besar Syi’ah. Al-Ji’ani mengarang kitab Asy-Syi’ah min Ashabil Hadits wa Thabaqotuhum. Tentang kitab ini, An-Najasyi mengatakan bahwa kitab itu dikarang dalam ukuran besar.

Lalu, Syeikh Muhammad ibn Baththah yang mengarang kitab Asma’ Mushannifisy Syi’ah, dan wafat pada tahun 274 H. Lalu, Syeikh Nashr ibn Ash-Shabah Abul Qosim Al-Balkhi; guru Syeikh Abu Amr Al-Kasyi. Ia mengarang kitab Ma’ri-fatun Naqilin min Ahlil Miah Tsalitsah. Ia wafat pada tahun pada abad ketiga Hijriyah. Lalu, Ali ibn Al-Hasan ibn Fidhal; pengarang kitab Ar-Rijal. Ia berada di generasi sebelum Syeikh Nashr Al-Balkhi.

Lalu, Sayyid Abu Ya’la Hamzah ibn Al-Qosim ibn Ali ibn Hamzah ibn Al-Hasan ibn Ubaidilah ibn Al-Abbas ibn Ali ibn Abu Thalib a.s., yang mengarang kitab Man Rowa ‘an Ja’far ibn Muhammad minar Rijal. An-Najasyi mengatakan: “Kitab ini bagus, dan At-Tal’akbari meriwayatkan sertifikat pengakuan dan pengesahan darinya”. Hamzah ibn Qosim adalah ulama Syi’ah abad ketiga Hijriyah.

Lalu, Syeikh Muhammad ibn Al-Hasan ibn Ali Abu Abdillah Al-Maharibi yang menyusun kitab bagus yang berjudul Ar-Rijal min Ulama Tsalitsah. Lalu, Al-Musta’thof Isa ibn Mehran; pengarang Kitabul Muhadditsin. Isa termasuk ulama terdahulu Syi’ah, demikian dicatat oleh Syeikh Ath-Thusi di dalam Al-Fehrest. Berikutnya, di dalam kitab Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah mengulas karangankarangan Syeikh Ath-Thusi, An-Najasyi, Al-Kasyi, Allamah ibn Al-Muthahhar Al-Hilli, Ibnu Dawud dan generasi-generasi yang mengarang kitab tentang ilmu Rijal. Dan hingga kini, semua karya mereka masih menjadi rujukan dalam upaya menilai kualitas pribadi para perawi (Al-jarah wa Ta’dil).

Perlu dibubuhkan di sini, bahwa Abul Faraj Al-Qannani Al-Kufi; guru An-Najasyi, mempunyai karangan di bidang ini, berjudul Kitab Mu’jam Rijalil Mufadhal, dan menyusunnya sesuai dengan urutan huruf Hijaiyah.


Pasal Kesepuluh

Tentang Orang Pertama yang Mengarang Kitab Mengenai Ilmu Thabaqot
Ketahuilah bahwasanya orang pertama yang mengarang kitab di bidang Thabaqot (Ilmu tentang generasi dan kelas para perawi hadis) ialah Abu Abdullah Muhammad ibn Umar Al-Waqidi yang lahir pada tahun 103 H. Usianya mencapai 78 tahun. Dalam Al-Fehrest, Ibnu Nadim memberi-kan kesaksian tegas atas karangan Al-Waqidi di bidang ini, tepatnya di pasal keempat dari bab kedelapan sebagaimana akan datang uraian rincinya.

Ada pula Ibnu Al-Ju’abi Al-Qodhi Abu Bakar Amr ibn Muhammad ibn Salam ibn Al-Barra’. Ia masyhur dengan nama nasabnya; Ibnu Ju’abi. Ibnu Al-Ju’abi menulis Kitabusy Syi’ah min Ashabil Hadis wa Thabaqotihim dengan ukurannya yang besar dan tebal.

Ibnu Al-Ju’abi juga menulis kitab Al-Mawali wal Asyraf wa Thabaqotuhum, Man Rowal Hadits min Bani Hasyim wa Mawalihim, Akhbaru Ali Abi Thalib, dan kitab Akhbaru Baghdad wa Thabaqotuhum wa Ashabul Hadits. Ibnu Nadim mengatakan di dalam Al-Fehrest: “Ibnu Al-Ju’abi adalah seorang ulama terhormat Syi’ah. Ia telah menjumpai penguasa masa itu, yaitu Saifuddaulah, dan mendekatinya hingga menjadi orang khususnya.”

Saya katakan bahwa sejumlah ulama besar Syi’ah telah meriwayatkan hadis dari Ibnu Al-Ju’abi, seperti Syeikh Mufid. Ibnu Al-Ju’abi wafat pada abad keempat, tepatnya pada tahun 355 H. Ulama Syiah lain yang mengarang kitab di bidang ilmu Thabaqot ialah Syeikh Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad ibn Khalid Al-Barqi, penulis Al-Mahasin. Ia mengarang Kitabut Thabaqot, Kitabut Tarikh, Kitabur Rijal. Abu Ja’far Al-Barqi wafat pada tahun 274 H, dikatakan pula pada tahun 280 H.[]

8
Kisah Para Nabi Allah

Bab Ketiga

Kepeloporan Syi’ah dalam Ilmu Fiqih

Pasal Pertama

Tentang Orang Pertama yang Pengarang Kitab di Bidang Ilmu Fiqih, Merumuskan dan Menyusun Bab-babnya
Ketahuilah bahwasanya orang pertama yang mengarang kitab di bidang ilmu Fiqih dan merumuskannya ialah Ali ibn Abu Rafie; budak Rasul saw. An-Najasyi di dalam mengulas generasi pertama pengarang dari syi’ah Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.: “Ali ibn Abu Rafie, budak Rasulullah saw. adalah seorang Tabi’in dan pengikut setia Syi’ah. Ia memiliki hubungan persahabatan yang dekat dengan Imam Ali ibn Abi Thalib a.s.”

Ali ibn Abu Rafi’e adalah sekretaris Ali ibn Abi Thalib. Ia menyimpan banyak dokumen, dan menulis sebuah kitab tentang pelbagai bab Fiqih, seperti bab Wudhu, bab Shalat dan bab-bab lainnya. Ia belajar pada Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Penyusunan kitab itu dilakukannya pada masa hidup sang guru yang mulia, dimulai dari bab Wudhu. Termaktub di dalamnya bahwa jika salah satu dari kalian hendak berwudhu, maka memulailah dari bagian kanan ke kiri dari badannya”.

An-Najasyi menambahkan: “Para Ulama menghormati kitab ini. Dia (Ali bin Abu Rafie) adalah orang pertama dari kaum Syi’ah yangmengarang di bidang Fiqih.” Dan Jalaluddin As-Suyuthi menyatakan: “Orang pertama yang mengarang di bidang Fiqih ialah Imam Abu Hanifah.” Maksudnya ialah orang pertama dari kalangan Ahli Sunnah, sebab penyusunan kitab fiqih telah dilakukan oleh Ali ibn Abu Rafie di masa hidup Imam Ali ibn Abi Thalib a.s., beberapa puluh tahun sebelum kelahiran Abu Hanifah.

Bahkan terdapat sekelompok ahli fiqih dari Syi’ah yang mengarang kitab di bidang Fiqih sebelum Abu Hanifah, seperti seorang tabi’in bernama Al-Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakar dan Sa’id ibn Al-Musayyab; seorang ahli fiqih keturunan bangsa Quraisy dari Madinah, dan salah satu dari enam pakar fiqih. Sa’id wafat pada tahun 94 H. Sementara, Al-Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakar wafat pada 106 H. Ini berdasarkan pendapat yang benar. Ia adalah datuk tuan kami; Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. dari pihak ibu beliau, yaitu Farwah binti Al-Qosim. Al-Qosim ini menikah dengan anak perempuan Imam Ali Zainal Abidin a.s. Di samping itu, Abdullah Al-Humairi di dalam kitabnya, Qurbul Isnad, yakni tatkala ia mengulas ihwal Al-Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakar dan Sa’id ibn Al-Musayyab, mengatakan:

“Kedua-duanya adalah Syi’ah.” Sementara Al-Kulaini dalam Al-Kafi, bab kelahiran Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s., menukil dari Yahya ibn Jarir, bahwa Yahya mengatakan: “Berkata Abu Abdillah (Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s.) bahwa Sa’id ibn Al-Musayyab, Al-Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakar dan Abu Khalid Al-Kalibi termasuk dari perawi-perawi terpercaya Ali ibn Husein a.s. (Imam Ali Zainal Abidin). Bahkan dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa Sa’id dan Al-Qosim adalah dua hawari (sahabat dekat) Ali ibn Husein a.s.”


Pasal Kedua

Tentang Tokoh-tokoh Tersohor dari Fuqoha Generasi Pertama Syi’ah
Nama-nama mereka telah dicatat oleh Syeikh Abu Amr Al-Kasyi dalam kitabnya yang terkenal; Rijalul Kasyi, yang hidup semasa dengan Abu Ja’far Al-Kulaini; ahli hadis di abad ketiga. Al-Kasyi mengatakan: “Sekaitan dengan nama-nama fuqoha dari sahabat Imam Al-Baqir dan Imam Ash- Shadiq a.s., para ulama telah sepakat atas derajat ilmu kaum pelopor dari sahabat-sahabat dua imam suci ini. Kepada merekalah para ulama itu merujuk dalam masalah fiqih. Mereka mengatakan bahwa yang terutama di antara mereka adalah enam sahabat Imam, yaitu Zurarah ibn A’yan, Ma’ruf ibn Kharbudz, Buraid, Abu Bashir Al-Asadi, Al-Fudhail ibn Yasar dan Muhammad ibn Muslim Ath-Thoifi. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang benar ialah Abu Abshir Al-Muradi, yakni Laits ibn Al-Bakhtari, bukan Abu Bashir Al-Asadi. Mereka juga mengatakan bahwa yang paling alim di antara enam sahabat ini ialah Zurarah.”

Al-Kasyi lebih lanjut mengatakan: “Mengenai nama-nama fuqoha dari sahabat Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s., para ulama telah bersepakat untuk menyatakan shahih atas hadis-hadis shahih yang diriwayatkan oleh mereka, mem-benarkan apa yang mereka katakan, dan mengakui fiqih selain mereka berenam yang telah kami sebutkan di atas tadi. (Selain) mereka itu adalah enam orang; yaitu Jamil ibn Darraj, Abdullah ibn Miskan, Abdullah ibn Bakir, Hammad ibn Isa, Hammad ibn Utsman dan Aban ibn Utsman. Mereka (para ulama) juga mengatakan bahwa seorang faqih besar bernama Abu Ishaq; yaitu Tsa’labah ibn Maimun, menilai bahwa yang paling alim di antara mereka berenam ialah Jamil ibn Darraj. Enam orang itu adalah sahabat-sahabat muda Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s.”

Masih oleh Al-Kasyi dinyatakan: “Mengenai nama-nama fuqoha dari sahabat Abu Ibrahim dan Abul Hasan (Imam Ali Ar-Ridha a.s.), bahwa ulama kami telah sepakat dalam menilai shahih hadis-hadis yang diriwayatkan oleh mereka, membenarkan ucapan mereka serta mengakui ilmu dan fiqih mereka. Mereka itu ialah enam orang yang datang selain eman orang sahabat Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. yang telah kami sebutkan di atas tadi; yaitu Yunus ibn Abdur-rahman, Shafwan ibn Yahya Bayya’ As-Sabiri, Muhammad ibn Abi Umair, Abdullah ibn Al-Mughirah, Al- Hasan ibn Mahbub dan Ahmad ibn Muhammad ibn Abi Bashar. “Menurut sebagian ulama itu, yang benar bukanlah Al-Hasan ibn Mahbub, tetapi Al-Hasan ibn Ali ibn Fidhal dan Fudhalah ibn Ayyub. Sebagian mereka lagi menempatkan Utsman ibn Isa di posisi Fudhalah. Disepakati bahwa yang paling alim di antara mereka ialah Yunus ibn Abdurrahman dan Shafwan ibn Yahya”.
Demikianlah kesaksian Al-Kasyi yang menjelaskan tokoh-tokoh tersohor dari fuqoha Syi’ah.


Pasal Ketiga

Tentang Banyaknya Jumlah Nama Faqih dari Generasi Pertama yang Mengarang Kitab Berdasarkan Mazhab Imam Ja’far ibn Muhammad Ash-Shadiq a.s.
Ketika membahas ihwal Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s., Syeikh Abul Qosim Ja’far ibn Sa’id yang terkenal dengan gelar Al-Muhaqqiq mengatakan dalam kitabnya yang berjudul Al-Mu’tabar: “Dia (Imam Ash-Shadiq) telah mengajar untuk sekelompok besar dari ulama dan ahli fiqih terkemuka. Dari jawaban-jawaban beliau atas pelbagai persoalan yang diajukan, mereka menulis 400 kitab.”

Pada hemat saya, kitab-kitab di atas ini merupakan hasil penyusunan para ulama dan ahli fiqih tersebut. Namun, perlu dicatat bahwa Syeikh Syamsuddin Muhammad ibn Makki Asy- Syahid menyatakan di awal kitab Adz-Dzikra’: “Jawaban-jawaban Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. atas masalah-masalah fiqih telah ditulis oleh 4000 orang dari warga Irak, Hijaz, Khurasan dan Syam.

Nama-nama kitab mereka tercatat dalam kitab-kitab katalogia kitab Syi’ah, seperti kitab Fehrest Syeikh Abul Abbas An-Najasyi, Fehrest Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi, Fehrset Syeikh Abul Faraj Ibnu Nadim, kitab Al-‘Uqaili karya Ibnu Al-Ghadhoiri.”

Pada kesempatan membahas ihwal Imam Ash-Shadiq a.s., Syeikh Mufid di dalam Al-Irsyad mengatakan: “Begitu banyak orang yang menukil dari beliau sehingga menjadi pusat tujuan perjalanan dan menebar sanjungan kepadanya di pelbagai pelosok negeri. Para ulama tidak menimba hadis dan ilmu beliau dari salah satu anggota keluarga beliau. Para ahli hadis mencatat nama para perawi terpercaya yang meri-wayatkan dari beliau, meski terdapat perbedaan pendapat di antara mereka. Jumlah mereka mencapai 4000 orang.”

Saya katakan bahwa Syeikh Abul Abbas Ahmad ibn ‘Uqdah Az-Zaidi telah mengoleksi nama-nama tersebut sebanyak 4000 orang, lalu menghimpunnya secara terpisah di dalam sebuah kitab, sebagaimana yang dilaporkan oleh Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi di awal bab ‘Sahabatsahabat Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s.’ dari kitabnya, Ar-Rijal. Untuk lebih lengkapnya, silakan merujuk!


Pasal Keempat

Tentang Sebagian Kitab-kitab Induk Fiqih yang Dikarang oleh Sahabat-sahabat Para Imam Ahlul Bait dari Generasi Pasca Tabi’in
Seperti kitab induk fiqih bernama Jami’ul Fiqh yang dikarang oleh Tsabit ibn Hurmuz Al-Miqdam dari Imam Ali Zainal Abidin a.s., dan kitab Syara’iul Iman, karya Muhammad ibn Al-Mu’afi; budak Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. yang sekaligus belajar pada Imam Musa Al-Kadzim dan Imam Ali Ar- Ridha a.s. Muhammad wafat pada tahun 265 H. Lalu, kitab Jami’ Abwabil Fiqh, karya Ali ibn Abu Hamzah; murid Imam Ash-Shadiq. Adalah Abdullah ibn Al-Mughirah menulis tiga puluh kitab tentang bebarapa bab fiqih, sebagaimana dicatat oleh An-Najasyi. Ia sahabat Imam Al-Kadzim a.s. Lalu, kitab Al-Fiqh wal Ahkam yang dikarang oleh Ibrahim ibn Muhammad ibn Abu Yahya Al- Madani Al-Aslami. Ia wafat pada tahun 184 H.

Lalu, kitab Al-Jamie fi Abwabil Fiqh karya Al-Hasan ibn Ali ibn Abu Muhammad Al-Hijal. Lalu, Al-Jamiul Kabir fil Fiqh, karya Ali ibn Muhammad ibn Syireh Al-Kasyani Abil Hasan yang aktif mengarang kitab.

Lalu, sebuah kitab yang disusun menurut urutan bab fiqih yang dikarang oleh Shafwan ibn Yahya Al-Bajali. Ia wafat pada tahun 210 H. Lalu, kitab Al-Masyikhakh yang disusun berdasarkan arti fiqih oleh Abu Ali Al-Hasan ibn Mahbub As-Sarrad; seorang guru besar Syi’ah dan sahabat Imam Ali Ar-Ridha a.s. Ia wafat pada tahun 224 H.

Dan terakhir adalah kitab Ar-Rahmah; sebuah kitab tebal yang menghimpun pelbagai cabang ilmu Fiqih dari jalur Ahlul Bait a.s.[]


Bab Keempat

Kepeloporan Syi’ah dalam Ilmu Kalam

Pasal Pertama

Tentang Orang Pertama yang Menulis dan Merumuskan Ilmu Kalam
Ketahuilah bahwa Isa ibn Raudhah adalah seorang Tabi’in Syi’ah Imamiyah yang mengarang kitab mengenai prinsip Imamah. Usianya panjang hingga hidup di jaman khalifah Abbasiyah; Abu Ja’far Al-Mansur, bahkan ia menjadi orang kepercayaannya. Demikian ini lantaran ia adalah budak Bani Hasyim. Dan Isa pula yang menyingkapkan wajah asli Al-Mansur, dan membongkar jati diri, maksud dan sikapnya. Ahmad ibn Abu Thahir telah menyebutkan ciri-ciri kitab kalam Isa di dalam Ta’rikhul Baghdad. Sejauh pengakuannya, Ahmad telah melihat kitab tersebut; sesuai dengan apa yang digambarkan oleh An-Najasyi.

Kemudian, Abu Hasyim ibn Muhammad ibn Ali ibn Abu Thalib a.s. mengarang sebuah kitab di bidang ilmu Kalam. Bisa dikatakan bahwa Abu Hasyim adalah seorang tokoh Syi’ah dan diakui sebagai peletak ilmu Kalam. Beberapa saat sebelum wafatnya, ia menyerahkan kitab-kitabnya kepada Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas; seorang Tabi’in dari Abi Hasyim. Sejak itu kaum Syi’ah merujuk kepadanya, sebagaimana dicatat oleh Ibnu Qutaibah dalam Al-Ma’arif.

Tentunya, Isa ibn Raudhah dan Abu Hasyim sudah lebih dahulu menulis kitab mengenai ilmu Kalam dibandingkan dengan Abu Hudzaifah dan Washil ibn ‘Atha’; seorang imam mazhab Mu’tazilah yang diyakini As-Suyuthi sebagai orang pertama yangmengarang di bidang ini.


Pasal Kedua

Tentang Orang Pertama dari Imamiyah yang Berdebat Seputar Syi’ah
Abu Utsman Al-Jahidz berkata: “Orang pertama yang ber-debat tentang mazhab Syi’ah ialah seorang penyair tersohor yang bernama Al-Kumait ibn Zaid;. Ia pandai membangun argumentasi.

Sekiranya dia tidak melakukan itu, sungguh ulama tidak banyak mengenal pelbagai macam argumentasi dan seluk beluknya”. Saya katakan bahwa dalam hal ini, bahkan Abu Dzar Al-Ghifari ra. telah lebih dahulu melakukannya. Yaitu tatkala ia tinggal di Damaskus selama beberapa waktu. Di sana ia berdakwah dan menyebarkan kesetiaan dan mazhabnya pada kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib dan akidah-akidah Syi’ahnya. Lalu, terdapat sekelompok masyarakat dari dalam Syam yang menerima dakwahnya. Kemudian Abu Dzar pergi ke Sharfand dan Mies; dua daerah di Jabal ‘Amil dan mengajak penduduknya kepada Syi’ah hingga dianut oleh mereka.

Justru di dalam kitab Amalul Amil disebutkan, bahwa tatkala Abu Dzar bergerak menuju Syam lalu menetap di sana beberapa waktu, tak lama kemudian sekelompok masyarakat Syam memilih Syi’ah. Karena itu, Muawiyah mengusirnya dari kota itu ke Al-Qira’, sampai akhirnya ia singgah di Jabal ‘Amil. Lagi-lagi masyarakat di sana juga menerima dakwah syi’ahnya, dan sampai sekarangmereka tetap sebagai orang-orang Syi’ah.

Abul Faraj Ibnu Nadim di dalam Al-Fehrest mengatakan: “Orang pertama yang berdebat mengenai mazhab Syi’ah Imamiyah ialah Ali ibn Ismail ibn Maitsam At-Tammar. Ia adalah seorang sahabat terhormat Imam Ali ibn Abi Thalib a.s. Di antara karya-karya Ali adalah Kitabul Imamah dan Kitabul Istihqoq”. Saya katakan dan telah Anda ketahui, bahwasanya Isa ibn Raudhah jauh lebih dahulu daripada Ali, apalagi bila dibandingkan dengan Al-Kumait. Karena, Ali hidup sejaman dengan Al-Hisyam ibn Al-Hakam. Ia tinggal di Baghdad. Di sana ia berdebat dengan Abu Hudzail dan Dhirar ibn Amr Adh-Dhobiy tentang masalah Imamah. Ali berdebat juga dengan An-Nidzam sampai membungkamnya di pelbagai kesempatan, sebagaimana dikisahkan oleh Al-Murtadha di dalam Al-Fushulul Mukhtarah.

Oleh karena, bisa dikatakan bahwa Ali ibn Ismail adalah salah seorang tokoh ilmu Kalam dari kaum Syi’ah, bukan orang pertama dari Syi’ah yang membahas masalah Imamah. Sebab, terdapat bebarapa sahabat seperti Abu Dzar dan sebelas kawannya, yaitu Khalid ibn Sa’id ibn Al-Ash, Salman Al-Farisi, Al-Miqdad ibn Al-Aswad Al-Kindi, Buraidah Al-Aslami, Ammar ibn Yasir, Ubai ibn Ka’ab, Khuzaimah ibn Tsabit, Abul Haitsam ibn At-Tihan, Sahal ibn Hanif dan Abu Ayyub Al-Anshari ra. Mereka itu telah mendahului Ali ibn Ismail dalam mendiskusikan prinsip Imamah, sebagai-mana yang termuat dalam hadis ‘Al-Ihtijaj’ yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarsi dalam kitabnya; Al-Ihtijaj.

Pasal Ketiga

Tentang Tokoh-tokoh Besar Ilmu Kalam dari Syi’ah
Telah kami sebutkan nama-nama mereka dari generasi yang berbeda, seperti Kumail ibn Ziyad dai kota Kufah. Ia adalah murid terpandang Ali ibn Abi Thalib a.s. di pelbagai ilmu. Sang guru telah mengabarkan akan kematian sang murid di tangan Hajjaj ibn Yusuf. Nyatanya, pada tahun 83 H., Kumail dibunuh oleh Hajjaj di Kufah.

Lalu, Sulaim ibn Qois Al-Hilali. Ia seorang Tabi’in yang senantiasa dikejar-kejar Hajjaj, dan tidak pernah tertangkap. Ia wafat masih di masa Hajjaj. Sebagaimana telah dipaparkan, Sulaim merupakan sahabat khusus Ali ibn Abi Thalib a.s. Lalu, Al-Harits Al-A’war Al-Hamadani, pengarang kitab Al-Munadzarat fil Ushul. Ia telah belajar penuh pada Imam Ali ibn Abi Thalib a.s. Al-Harits wafat pada tahun 65 H. Dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya membawakan riwayat hidup Al-Harits secara memadai.

Berikutnya adalah Jabir ibn Yazid ibn Al-Harits Al-Ja’fi Abu Abdillah Al-Kufi. Ia amat menguasai secara mendalam tema-tema usuluddin maupun ilmu-ilmu agama lainnya. Jabir belajar pada Imam Muhammad Al-Baqir a.s. dan lulus sebagai salah satu murid unggul beliau. Setelah mereka di atas, muncullah generasi kedua dari tokoh ilmu Kalam. Di antara mereka adalah Qois Al-Mashir; salah seorang ulama terkemuka ilmu Kalam di jamannya, sehingga menjadi pertemuan para penuntut ilmu dari pelbagai negeri. Qois belajar Kalam pada Imam Ali ibn Husein Zainal Abidin a.s. Sementara itu, Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. telah memberikan kesaksian atas kepandaiannya di bidang ini. Beliau berkata: “Kamu dan Al-Ahwal itu dua orang yang cerdas dan tangkas.”

Nama lengkap Al-Ahwal adalah Abu Ja’far Muhammad ibn Ali ibn Nu’man ibn Abi Thuraifah Al-Bajali Al-Ahwal. Ia mempunyai sebuah toko yang terletak di gudang barang di Kufah, dan hanya menerima transaksi kontan. Maka itu, ia dicemooh dengan sebutan ‘setan gudang’. Al-Ahwal belajar pada Imam Ali Zainal Abidin a.s., dan menulis kitab If’al la Taf’al, kitab Al-Ihtijaj fi Imamati Amiril Mu’minin Alaihissalam, Mujalasatun ma’al Imam Abi Hanifah wal Murjiah, Al-Ma’rifah, dan kitab Ar-Rodd ‘alal Mu’tazilah.

Selain mereka ialah Himran ibn A’yan, saudara Zurarah ibn A’yan. Ia belajar Kalam pada Imam Ali Zainal Abidin a.s. Lalu Hisyam ibn Salim, salah seorang guru besar Syi’ah di bidang Kalam. Lalu Yunus ibn Ya’qub yang juga amat cakap di bidang yang sama. Imam Ja’far Ash- Shadiq a.s. berkata kepadanya: “Engkau berjalan di atas makhluk dengan Kalam hingga menemukan kebenaran.”

Terakhir di sini adalah Fidhal ibn Al-Hasan ibn Fidhal Al-Kufi, seorang ahli Kalam yang tersohor. Ia tidak berdebat dengan satu pun dari musuh-musuhnya kecuali mendesak mereka hingga tak lagi berkutik. Dalam Al-Fushulul Mukhtarah Sayyid Al-Murtadha menuturkan sebagian perdebatan Fidhal dengan lawan-lawannya.

Alhasil, semua nama-nama yang saya sebutkan di atas ini hidup di satu masa, dan semua meninggal di pertengahan abad kedua Hijriyah. Setelah mereka semua, muncul generasi ketiga Syi’ah dari tokoh ilmu Kalam. Di antara mereka adalah Hisyam ibn Al-Hakam. Tentangnya Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. menya-takan kebanggaannya: “Inilah pembela kami dengan hati, lisan dan tangannya.” Hisyam telah melakukan debat dengan segenap pemuka mazhab dan aliran, dan membuat mereka bungkam dan tak lagi berkutik. Ia mempunyai forum-forum debat dengan lawan-lawan ahli Kalam. Ia sempat menulis kitab tentang ilmu Kalam. Akan tetapi, orang-orang tidak menyukainya lantaran iri pada ketajaman argumentasinya dan ketinggian derajat ilmunya, sehingga menjadi sasaran tuduhan keji dan pencitraan buruk. Padahal, ia seorang yang bersih dari segala keburukan yang ditu-jukan kepadanya. Dan dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah mendata karangankarangannya.

Hisyam wafat pada tahun 179 H. Di antara mereka ialah As-Sakkak Muhammad ibn Khalil Abu Ja’far Al-Baghdadi, sahabat setia Hisyam ibn Al-Hakam sekaligus muridnya, di mana ia belajar banyak ilmu Kalam darinya. As- Sakkak mempunyai karangan tentang ilmu ini, sebagaimana telah saya singgung dalam kitab Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam.

Di antara mereka ialah Abu Malik Adh-Dhahhak Al-Hadhrami. Ia adalah tokoh utama di bidang Kalam dan ulama besar Syi’ah. Abu Malik hidup semasa dengan Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. sampai masa Imam Musa Al-Kadzim a.s.

Di antara mereka ialah keluarga besar Naubakht. Ibnu Nadim di dalam Al-Fehrest mengatakan: “Keluarga Naubakht terkenal dengan kepercayaan dan kesetiaan penuh mereka pada keimamahan Ali bin Abi Thalib dan (sebelas belas) keturunannya.” Dinyatakan pula di dalam Riyadhul ‘Ulama, bahwa keluarga Naubakht adalah sebuah kelompok yang dikenal sebagai para ahli kalam Syi’ah.

Saya katakan bahwa Naubakht sendiri adalah seorang Muslim berkebangsaan Persia (Iran) yang dihormati berkat penguasaannya di bidang ilmu Al-Awail. Ia menjadi teman dekat Khalifah Al-Manshur dari dinasti Abbasiyah lantaran kemampuannya membaca peredaran bintangbintang.

Akan tetapi, ketika persahabatannya dengan Al-Manshur melemah, segera posisinya digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Sahal ibn Naubakht. Ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Al-Fadhl, dan tumbuh maju begitu pesat dalam mencapai derajat ilmu dan keutamaan. Sebagian ulama Syi’ah mengatakan bahwa ia adalah seorang filosof, muta-kallim dan sufi. Ia juga dikenal sebagai satu-satunya orang yang secara penuh menguasai ilmu Al-Awail.

Pada masa itu, Al-Fadhl dikenal sebagai seorang cendi-kiawan termasyhur. Ia banyak menerjemahkan karya-karya para filosof Pahlevi (Iran Kuno) tentang filsafat Iluminisme dari bahasa Persia ke bahasa Arab. Ia mengarang kitab tentang pelbagai macam filsafat. Ia juga mempunyai kitab di bidang filsafat dan kitab yang amat tebal tentang prinsip Imamah. Ia juga mengarang kitab di pelbagai cabang ilmu Nujum lantaran minat masyarakat yang begitu besar terhadap ilmu tersebut pada jaman itu.

Al-Fadhl terhitung sebagai salah satu ulama besar di masa kekuasaan Ar-Rasyid Harun ibn Al-Mahdi; khalifah dinasti Abbasiyah. Bahkan, ia menjadi kepala perpustakaan besar ‘Al-Hikmah’ milik Ar-Rasyid. Ia mempunyai anak-anak yang juga ulama-ulama yang terhormat. Al-Quthafi dalam kitab Akhbarul Hukama’ mengatakan: “Al-Fadhl ibn Naubakht Abu Sahal Al-Farisi disebut-sebut secara masyhur sebagai salah satu tokoh kaum mutakallim.” Nama Al-Fadhl banyak tercantum dalam kitab-kitab Kalam. Dan Muhammad ibn Ishaq Nadim serta Abi Abdullah Al- Marzbani telah mengurai nasabnya secara rinci.

Di antara anak-anak Nuabakht yang unggul di pelbagai cabang ilmu ialah Ishaq ibn Abu Sahal ibn Naubakht. Ia menamatkan ilmu-ilmu aqli dan cabang-cabang ilmu Al-Awail pada ayahnya sendiri. Lalu ia menggantikan posisi sang ayah sebagai kepala perpustakaan ‘Al- Hikmah’ milik Harun Ar-Rasyid. Ishaq mempunyai anak-anak yang alim dan pandai di bidang ilmu Kalam, seperti Abu Ishaq Ismail ibn Ishaq ibn Abu Sahal ibn Naubakht, pengarang kitab Al- Yaqut fi Ilmil Kalam yang disyarahi oleh Allamah ibn Al-Muthahhar Al-Hilli. Di awal-awal syarahnya, Allamah Al-Hilli mengatakan: “Inilah kitab karya guru besar terdahulu kita dan imam terbesar kita, Abu Ishaq ibn Naubakht.”

Dalam Riyadhul ‘Ulama’ dikatakan: “Nama Ibnu Naubakht terkadang dilekatkan pada Syeikh Ismail ibn Ishaq ibn Abu Ismail ibn Naubakht, seorang alim mutakallim yang terkenal, tokoh terdahulu Syi’ah Imamiyah, dan pengarang kitab Al-Yaqut fi Ilmil Kalam”. Masih dari kitab yang sama dinyatakan: “Ismail ibn Naubakht seoang mutakallim yang hidup semasa dengan penyair Abu Nawas.”

Dua saudara Ismail bernama Ya’qub dan Ali ibn Ishaq ibn Abu Sahal ibn Naubakht. Mereka berdua termasuk anak terhormat keluarga besar Nuabakht dan tokoh utama ilmu Kalam dan ilmu Nujum. Dari Ali, lahir anak-anak yang alim dan disegani. Di antara mereka ialah Abu Ja’far Muhammad ibn Ali ibn Ishaq ibn Abu Sahal ibn Naubakht. Ia tergolong seorang mutakallim terkemuka dan disegani. Ibnu Nadim menyebut namanya di dalam daftar para mutakallim Syi’ah.

An-Najasyi mengatakan: “Ia adalah guru besar di kalangan mutakallim dari ulama Syi’ah kami di Baghdad, dan paling unggul dan terkemuka di antara keluarga besar Naubakht pada masa itu”. Ibnu Nadim mengatakan: “Abu Ja’far adalah salah ulama terbesar Syi’ah, mutakallim yang disegani.” Abu Ja’far mempunyai majelis ta’lim yang dihadiri oleh sekelompok besar dari kaum mutakallim. Ia adalah paman Al-Hasan ibn Musa Abu Muhammad An-Naubakhti; seorang mutakallim tersohor. Ibnu Nadim mengatakan: “Al-Hasan ibn Musa adalah seorang mutakallim dan filosof.” Sementara itu, An-Najasyi mengatakan: “Ia guru besar kami dan seorang mutakallim yang terpandang pada masanya, yakni sebelum abad ketiga dan setelahnya”.

Telah saya katakan di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, bahwa mereka semua mempunyai karangan-karangan di bidang Kalam dan Filsafat ataupun bidang lainnya. Begitu pula kepandaian jumlah besar dari anak-anak keluarga besar Naubakht. Sejauh ini, belum ditemukan seorang pun yangmengarang sebegitu banyak kitab sebagaimana yang ditulis oleh keluarga besar Naubakht.

Di antara tokoh ilmu Kalam dari generasi ketiga tersebut ialah Abu Muhammad Al-Hijal. Al- Fadhl ibn Syadzan berkata: “Ia adalah seorang mutakallim dari ulama Syi’ah kami, berbicara indah dan fasih serta tangkas berdialog”.

Di antara mereka ialah Abdurrahman ibn Ahmad ibn Jabruweih Abu Muhammad Al-Askari. An- Najasyi menuturkan: “Ia seorang mutakallim yang menyihir tutur bahasanya, indah karyanya, terkenal dengan budi pekerti yang luhur. Ia pernah berdebat seputar isu-isu ilmu kalam dengan ‘Ibad ibn Sulaiman dan dengan para mutakkalim yang segenerasi. Di antara kitab-kitab Abdurrahman yang tersisa di tangan kita ialah Al-Kamil fil Imamah; sebuah kitab yang bagus”.

Di antara mereka ialah Muhammad ibn Abu Ishaq. Ia seorang ahli kalam yang terhormat. Ibnu Baththah dalam Al-Fehrest-nya menyebutkan namanya berserta judul karangan-karangannya yang banyak. Saya katakan bahwa Muhammad adalah seorang ulama yang hidup di masa Imam Ali Ar- Ridha a.s. dan Khalifah Abbasiyah Al-Ma’mun. Al-Barqi juga banyak meriwayatkan hadis darinya.

Di antara mereka ialah Ibnu Mumallik Muhammad ibn Abdullah ibn Mumallik Al-Ishfahani Abu Abdillah; seorang yang mulia di antara ulama Syi’ah yang tinggi derajatnya. Ia pernah bermazhab Mu’tazilah, lalu beralih ke Syi’ah di tangan Abdurrahman ibn Ahmad ibn Jabruweih yang baru saja saya singgung di atas tadi. Ibnu Mumallik mempunyai karangan yang banyak; saya telah mendatanya dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam. Ia hidup semasa imam kalam Mu’tazilah yang bernama Al-Jubaie, dan membubuhkan catatan-catatan kritis atas kitabnya.

Di antara mereka ialah Ibnu Abu Dajah, yaitu Ibrahim ibn Sulaiman ibn Abu Dajah Abu Ishaq warga kota Basrah. Ia merupakan salah satu tokoh terpandang di bidang Fiqih, Kalam, sastra dan syair Arab. Al-Jahidz meriwayatkan hadis dari Ibnu Abu Dajah dan mengulas riwayat hidupnya dalam kitab-kitabnya. Di antara mereka ialah Syeikh Al-Fadhl ibn Syadzan dari negeri Naysabur. Ia termasuk guru besar para mutakallim Syi’ah dan menguasai pelbagai cabang ilmu. Al-Fadhl telah mengharang 180 kitab. Ia termasuk sabahat Imam Ali Ar-Ridha a.s. dan berumur panjang hingga meninggal di masa Imam Hasan Al-Askari a.s., yakni setelah kelahiran Imam Muhammad Al-Mahdi, ‘Ajjalallahu farajahu!

Di antara mereka ialah Abul Hasan Ali ibn Washif yang berpostur kecil. Ibnu Nadim menyebutkan namanya di dalam kelompok mutakallim Syi’ah Imamiyah dan menge-nalkan sebuah kitab miliknya tentang Imamah. Berkata Ibnu Katsir dalam Fawatul Wafiyyat: “Abul Hasan adalah seorang tokoh Kalam yang pandai dan ulama besar Syi’ah.”

Saya katakan bahwa Abul Hasan telah belajar ilmu Kalam pada Abu Sahal Ismail ibn Ali ibn Naubakht. Dan ia termasuk dari generasi tokoh sastra Arab, syair dan Kalam. Abul Hasan lahir di Baghdad, tinggal di dekat gerbang kota. Ia dibunuh dan mati sebagai syahid, mayatnya dibakar, sebagaimana dicatat oleh Ibnu Syahrasyub dalam Ma’alimul ‘Ulama’.

Ibnu Khalkan di Al-Wafiyyat menuturkan bahwa penyair Arab, Al-Mutanabbi, pernah menghadirimajelis taklim Ali ibn Washif dan menulis dikte pelajarannya. Di antara mereka ialah Al-Fadhl ibn Abdurrahman dari warga Baghdad; mutakallim yang pandai, penulis Al-Imamah; sebuah kitab besar dan bagus yang ada pada Abu Abdullah Al-Husein ibn Ubaidillah Al-Ghadhoiri.

Dan di antara mereka ialah Ali ibn Ahmad ibn Ali Al-Khazzaz dari kota Rey (kota kecil di selatan Teheran-Iran, pent.). Ia seorang mutakallim ternama dan mengarang kitab di bidang Kalam dan Fiqih. Salah satu karyanya berjudul Kifayatul Atsar fin Nushush alal Ai-mmatil Itsna ‘Asyar. Ali Al-Khazzaz dipanggil juga dengan nama Abul Qosim atau Abul Hasan. Ia hidup sejaman dengan Ibnu Babaweih Ash-Shoduq. Dan di dalam Kifayatul Atsar fin Nushush alal Aimmatil Itsna ‘Asyar, ia meriwayatkan dari Ash-Shaduq. Ali wafat di kota kelahirannya.

Dan di antara mereka ialah Ibnu Qubbah Abu Ja’far Ar-Rozi Muhammad ibn Abdurrahman. Ibnu Nadim mencatat bahwa ia termasuk mutakallim besar Syi’ah dan orang-orang pandai mereka. Ibnu Nadim juga mendata karya-karyanya. Begitu pula An-Najasyi dan selainnya dari tokoh Rijal telah menyebutkan ihwal pribadinya. Ibnu Qubbah berada pada generasi Syeikh Abu AbdillahMufid dan Syeikh Ash-Shoduq ibn Babaweih.

Dan di antara mereka ialah Al-Busanjardi Muhammad ibn Bisyr Al-Hamduni dari keluarga Mahdun, dipanggil juga dengan nama Abul Hasan. Al-Busanjardi termasuk tokoh besar dari ulama Syi’ah dan di antara yang terbaik dalam ilmu Kalam. Ia juga telah menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah dengan berjalan kaki sebanyak 50 kali. Al-Busanjardi mempunyai karangan di bidang ilmu Kalam. Ia sempat menjumpai Abu Ja’far Ibnu Qubbah dan Abul Qosim Al-Balkhi dan sekelompok dari generasi mereka. Salah satu kitabnya berjudul Al-Muqni’e fil Imamah.

Dan di antara mereka ialah Ali ibn Ahmad Al-Kufi. Ibnu Nadim telah memasukkannya ke dalam kategori mutakallim terkemuka dan ulama Syi’ah Imamiyah yang disegani. Ia juga menyebutkan sebuah kitab miliknya yang bernama Kitabul Aushiya’. Saya sendiri telah membawakan riwayat hidup Ali Al-Kufi berikut karangan-karangannya di pelbagai cabang ilmu dalam kitab Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam. Ali Al-Kufi wafat pada tahun 352 H.

Dan di antara mereka ialah Abdullah ibn Muhammad Al-Balwi, dari kabilah Balw di Mesir. Dalam Al-Fehrest, Ibnu Nadim mencatat namanya sebagai seorang mutakallim besar Syi’ah. Ibnu Nadim juga menyebutkan karya-karyanya, dan menegaskan bahwa Al-Balwi adalah seorang ulama, ahli fiqih dan orator yang ulung.

Dan di antara mereka ialah Al-Ja’fari, yaitu Abdur-rahman ibn Muhammad. Ia termasuk guru besar tokoh mutakallim ternama Syi’ah Imamiyah. Ibnu Nadim mencatat namanya dalam kelompok mutakallim Syi’ah, juga mela-porkan bahwa ia menulis dua kitab; Al-Imamah dan Al-Fadhail.

Generasi yang muncul setelah mereka di atas itu adalah nama-nama cemerlang di bidang Kalam. Di antaranya ialah Abu Anshr Al-Farabi, filosof pertama yang di dunia Islam mencapai puncak derajat guru besar.

Dikatakan bahwa Al-Farabi dalam hal ini berbagi kursi ‘Guru Ilmu’ dengan Al-Muallimul Awwal; Aristoteles. Dan saya telah membawakan riwayat hidupnya yang mulia dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam. Masih di dalam kitab yang sama, saya juga telah menyebutkan judul karyakaryanya.

Al-Farabi wafat pada tahun 339 H. Dan di antara mereka ialah Abu Bisyr Ahmad ibn Ibrahim ibn Ahmad Al-Qummi. Ibnu Nadim telah menempatkannya dalam kelompok mutakallim Syi’ah. Abu Bisyr juga termasuk penyusun ilmu Fiqih dan ilmu Kalam dan pengarang kitab di dua bidang tersebut. Ia mempelajari semua itu dari Al-Jaludi. Di antara karya-karyanya ialah kitab Mihanul Anbiya’ wal Aushiya’. Abu Bisyr Wafat pada tahun 350 H.

Dan di antara mereka ialah Dzahir; seorang imam ilmu Kalam. Ibnu Nadim dan penulis katalogia tokoh dan ulama lainnya telah menyebutkan nama Dzahir dalam kelompok mutakallim Syi’ah. Mereka juga mengungkapkan sanjungan kepadanya. Padanya Syeikh Mufid belajar.

Dikatakan pula bahwa Dzahir adalah seorang budak Abul Jaisy Al-Mudzaffar ibn Al-Khurasani. Ia hidup di abad ketiga Hijriyah. Dan di antara mereka ialah Ali ibn Washif; si tubuh kecil yang amat masyhur dalam Kalam.

Kepiawaiannya di bidang tersebut menjadi buah bibir masyarakat. Ibnu Nadim menggolongkannya ke dalam jajaran tokoh kalam Syi’ah. Ali juga terkenal sebagai salah seorang penyair ulung Ahlul Bait a.s. Di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, riwayat hidupnya dipaparkan cukup rinci.

Dan di antara mereka adalah Abu Shoqr Al-Mushili, seorang ahli kalam Syi’ah Imamiyah. Dia pernah berdebat dengan Ali ibn Isa Ar-Rumani tatkala masuk Baghdad dan sanggup menaklukkannya. Guru besar kaum Syi’ah, Ibnul Mu’allim, dalam kitab Al-‘Uyun wal Mahasin menceritakan ihwal forum diskusi Abu Shaqr, di mana ia sendiri sempat menghadiri forum tersebut.

Dan di antara mereka ialah guru besar Syi’ah dan ‘Sang Penghidup syari’at’, Syekh Mufid Abu Abdillah Muham-mad ibn Muhammad ibn An-Nu’mani, yang dikenal pula dengan nama Ibnul Mu’allim. Ibnu Nadim mengatakan: “Padanyalah puncak ketokohan para mutakallim Syi’ah berakhir, terdepan dalam ilmu kalam di kalangan ulama besar Syi’ah, memiliki kecerdasan yang luar biasa dan daya hafal yang amat kuat. Aku telah melihat langsung dan menjumpainya.

Kudapatkan dia sebagai seorang yang begitu pandai”. Saya katakan bahwa Syeikh Mufid adalah imam ulama di jamannya dalam segenap ilmu keislaman. Ia hidup di antara tahun 338 H. dan 409 H. Dan di antara mereka ialah Abu Ya’la Al-Ja’fari Muha-mmad ibn Al-Hasan ibn Hamzah, pengganti Syeikh Mufid. Ia seorang mutakallim, faqih dan pengelola urusan hukum kedua mazhab; Syi’ah dan Ahli Sunnah. Abu Ya’la wafat pada tahun 463 H.

Dan di antara mereka ialah Abu Ali ibn Sina; guru utama filsafatMasysyaiyah (Paripatetisme). Kepribadian dan derajat ilmunya lebih terkenal dari sekadar untuk disebutkan di sini. Al-Qodhi Al-Mar’asyi dalam kitabnya yang berbahasa Persia; Ath-Thabaqot, membawakan argumen-tasi yang begitu banyak atas kesyi’ahan Imamiyah Ibnu Sina. Sementara saya sendiri belum melakukan penelitian dalam hal ini. Namun perlu diakui bahwa ia lahir di atas fitrah Syi’ah, lantaran ayahnya adalah seorang Syi’ah Ismailiyah. Ibnu Sina wafat pada tahun 428 H. pada usia lima puluh delapan.

Dan di antara mereka ialah Abu Ali ibn Miskaweih. Ia asli warga Rey, hanya berdomisili dan dimakamkan di Ishfahan. Ia mempelajari banyak bidang ilmu dan menjadi tokoh pada setiap bidang tersebut, bahkan mempunyai karangan tentang masing-masing bidang itu. Di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah membawakan riwayat hidupnya dan data karyakaryanya.

Ibnu Miskaweih pernah menjadi teman menteri Al-Mahlabi, ‘Adhudud-daulah ibn Baweih, Ibnu ‘Amid, dan anak laki-lakinya. Mereka semua adalah penganut Syi’ah. Banyak dari ulama peneliti yang memberikan kesaksian atas kesyi’ahan Ibn Miskaweih, seperti Mir Muhammad Baqir Ad-Damad, Al-Qodhi Al-Mar’asyi di dalam Tabaqot berbahasa Persia, dan Sayyid Al-Khunsari di dalam Ar-Raudhat. Tahun wafatnya jatuh pada 431 H., dan makamnya terletakmasyhur di sebuah kawasan Khaju di Ishfahan.

Dan di antara mereka ialah Syarif Al-Murtadha Alamul Huda. Ia mempunyai karya yang banyak di bidang Kalam yang menjadi pegangan dan rujukan. Padanyalah ketokohan Syi’ah dalam agama berporos. Selain Al-Murtadha, belum ditemukan seorang pun yang memiliki kedalaman telaah dan wawasan ilmu di semua bidang ilmu keislaman. Di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, telah saya bawakan riwayat hidupnya yang cemerlang berikut nama karya-karyanya. Al- Murtadha lahir pada Rajab 355 H., dan wafat pada Rabiul Awal 436 H.

Salah satu budak beliau, yaitu Dzubay ibn ‘A’yan, adalah seorang ahli kalam yang hebat. Dzubay mengarang kitab kalam yang berjudul ‘Uyunul Adillah dalam dua belas jilid; sebuah ukuran yang besar yang tidak ada kitab kalam lain yang sebanding dengannya. Dan di antara mereka ialah Syeikh Allamah Abul Fath Al-Karajiki; guru besar kaum mutakallim dan menguasai filsafat berikut cabang-cabangnya, fiqih dan hadis. Ia menu-lis kitabkitab besar dan kecil di semua bidang tersebut. Dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah mendata semua karangan-karangannya. Dan dalam kitab Bughyatul Wu’at fi Thabaqotul Masyayekhil Ijazat, saya meneliti semua nama guru-gurunya. Syeikh Abul Fath Al-Karajiki wafat pada tahun 449 H.

Dan di antara mereka ialah Ibnul Farisi Muhammad ibn Ahmad ibn Ali An-Naysaburi, seorang mutakallim terhormat, faqih, saleh dan ahli akhlak. Ibnul Farisi mati dibunuh oleh Abul Mahasin Abdurrazzaq, penguasa Naysabur. Ia memi-liki banyak karangan yang amat masyhur, di antaranya Raudhatul Wa’idzin. Ibnul Farisi hidup semasa dengan Sayyid Syarif Al-Murtadha, dan belajar qiroah (bacaan Al-Quran) pada ayah Al-Murtadha; yakni Ali Al-Murtadha.

Generasi yang datang setelah mereka semua diawali oleh nama Syeikh Sa’id Ali ibn Sulaiman Al-Bahrani; teladan para filosof dan imam ulama. Ia menulis Al-Isyarat fil Kalam yang kemudian disyarahi oleh muridnya sendiri, ‘Al-Muhaqqiq Ar-Rabbani’ Syeikh Maitsam Al-Bahrani, sebagaimana yang akan datang penjelasan tentang dirinya. Syeikh Sa’id Al-Bahrani juga menulis Risalatun fil Ilm yang kemudian disyarahi oleh Nashiruddin Ath-Thusi.

Lalu, Sadiduddin ibn ‘Azizah Salim ibn Mahfudz ibn ‘Azizah Al-Hilli. Ia menjadi rujukan ilmu Kalam dan filsafat dan ilmu-ilmu Al-Awail. Beberapa murid terbaiknya ialah Al-Muhaqqiq Al-Hilli; penulis kitab Asy-Syarai’e, Sadiduddin ibn Al-Muthahhar dan sekelompok ulama besar. Sadidu-ddin Al-Hilli mengarang Al-Minhaj fi Ilmil Kalam yang ter-masuk sebagai referensi utama dalam ilmu Kalam.

Lalu, Syeikh Kamaluddin Maitsam ibn Ali ibn Maitsam Al-Bahrani. Ia berada di jajaran terdepan di semua ilmu-ilmu keislaman, filsafat, kalam, dan rahasia-rahasia irfan. Bahkan, para ulama Islam berijma’ akan keunggulannya di bidang itu semua. Dan saya telah menukil pengakuan sejumlah ulama besar akan kedudukan ilmunya dalam kitab Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam. Di antara karya-karya Maitsam adalah Al-Mi’raj As-Samawi dan tiga jilid Syarah Nahjul Balaghah yang masing-masing berukuran besar, sedang dan kecil. Di dalamnya, ia melakukan kajian mendalam yang belum pernah dilakukan sepertinya dalam beberapa abad. Kajiannya itu sungguh bukti atas keunggulan Maitsam di pelbagai cabang ilmu.

Selain dua kitab itu adalah Syarah Kitabul Isyarat karya guru Maitsam; Al-Muhaqqiq Al-Bahrani yang baru saja diulas di atas tadi. Syarah itu ditulisnya berdasarkan kaidah-kaidah filsafat dan metode kaum filosof yang arif (sufi). Maitsam Al-Bahrani juga mengarang kitab Al-Qowa’id fil Ilmil Kalam yang dituntaskannya pada bulan Rabiul Awal 676 H., Al-Barrul Khidham, Risalah fil Wahyu wal Ilham, Syarah Miah Kalimah (setarus kata mutiara Ali ibn Abi Thalib yang dikumpulkan oleh Al-Jahidz), An-Najat fil Qiyamah di Amril Imamah, Istiqshaun Nadzar fi Imamatil Aimmatil Itsna ‘Asyar, dan Risalah fi Adabil Bahts. Maitsam Al-Bahrani wafat pada tahun 679 H. di desa Hilnan di propinsi Ma’khuz di Bahrain.

Lalu, Nashiruddin Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Hasan Ath-Thusi; guru besar para filosof dan mutakallimin, pembela agama dan umat. Riwayat hidupnya telah diuraikan secara rinci dalam kitab saya, Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam. Dalam kitab ini pula saya sebutkan karyakaryanya di bidang-bidang ilmu aqli dan naqli yang disusunnya sesuai dengan mazhab Syi’ah Imamiyah. Sejumlah besar ulama telah muncul dari kuliahnya. Nashiruddin Ath-Thusi lahir pada tahun 597 H., dan wafat di Baghdad pada tahun 673 H. Makamnya yang mulia terletak di halaman haram Imam Musa Al-Kadzim a.s. Salam sejahtera atas para peziarahnya! Lalu, Allamah Jamaluddin ibn Al-Muthahar Al-Hilli; guru besar kaum Syi’ah yang terkenal dengan gelar Ayatullah dan Allamah ‘alal Ithlaq. Sungguh dua gelar ini layak disandang olehnya.

Allamah Al-Hilli laksana samudera ilmu, penguak setiap makna inti, guru di atas guru. Ia mengarang kitab di pelbagai bidang ilmu lebih dari 400 kitab. Saya sendiri telah menghitung karya-karyanya di dua bidang Filsafat dan Kalam sebanyak 40 kitab. Dan secara total, dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya mendata karya yang masih tersisa pada masyarakat umum, dan jumlahnya mencapai 90 kitab. Allamah Al-Hilli wafat pada akhir tengah malam Sabtu, 20 Muharram 726 H., pada usia 78. Makamnya terletak di kamar Iwanuzzahab di haram Al- Haidariyah, yang selalu menjadi tujuan peziarah. Dan terakhir ialah Asy-Syarif Jamaluddin An-Naysaburi Abdullah ibn Muhammad ibn Ahmad Al-Husaini, warga kota Halab-Syiria. Ia adalah salah satu tokoh utama ilmu Kalam, demikian Ibnu Hajar menyebutkan dalam kitab Ad-Durarul Kaminah fi ‘Ayanil Miah Tsaminah. Ia mengatakan: “Asy-Syarif Jamaluddin begitu pandai di bidang usuluddin, sastra Arab, membuka kuliah di kawasan Asadiyah di Halab. Ia adalah salah seorang imam ilmu aqli, tampil sebagai pemuda yang mulia, dan bermazhab Syi’ah. Jamaluddin wafat pada tahun 776 H.” Demikianlah penukilan As-Suyuthi dari Ibnu Hajar dalam kitab BughyatulWu’at.[]

9
Kisah Para Nabi Allah

Bab Kelima

Kepeloporan Syi’ah dalam Ilmu Ushul Fiqih
Ketahuilah bahwasanya orang pertama yang membuka pintu ilmu ini dan merumuskannya ialah ‘Sang Pembongkar Ilmu’; Imam Muhammad ibn Ali Al-Baqir a.s., lalu putra beliau, yaitu Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. Mereka yang mulia telah mendiktekan pelbagai kaidah dan permasalahan Ushul Fiqih kepada sekelompok murid mereka, yang pada gilirannya mereka (para murid) itulah yang mengumpulkan semua itu, lalu ulama-ulama yang datang setelah mereka menyusunnya sesuai dengan kerangka pembahasannya, seperti Ushul Ali Rasul, Al-Fushulul Muhimmah fi Ushulil Aimmah dan Al-Ushul Al-Ashilah. Semua kitab ini dilengkapi dengan riwayat para perawi yang terpercaya dan semua sanadnya bersambung sampai kepada Ahlul Bait a.s.

Bisa dikatakan bahwa orang pertama yang secara khusus menyusun sebagian pembahasan ilmu Ushul Fiqih ke dalam sebuah kitab ialah Hisyam ibn Al-Hakam; guru besar kaum mutakallim, murid utama Imam Ja’far ibn Muhammad Ash-Shadiq a.s. Ia mengarang sebuah kitab dengan judul Al-Alfadz. Di dalamnya ia merumuskan sejumlah masalah yang merupakan tema-tema pokok ilmu tersebut.

Setelah Hisyam ialah Yunus ibn Abdurrahman; budak keluarga Yaqthin, murid utama Imam Musa Al-Kadzim a.s. Ia mengarang kitab Ikhtilaful Hadits, yang di dalamnya terdapat pembahasan penting seperti ‘Ta’arudh Dalilain’ dan ‘At-Ta’adul wa Tarjih bainahuma’ (sebuah topik Ushul Fiqih yang membahas pertentangan antardalil hukum dan metode mengkompromikan dan memprioritaskan di antara dalil-dalil tersebut, -pent.).

As-Suyuthi dalam Al-Awail mengatakan: “Orang pertama yang mengarang kitab di bidang Ushul Fiqih ialah Asy-Syafi’ie, berdasarkan ijma para ulama.” Maksudnya, Imam Asy-Syafi’ie adalah orang pertama di antara empat imam mazhab Ahli Sunnah. Yang mirip dengan kitabnya dari segi ukurannya yang kecil dan susunan pembahasannya, adalah kitab Ushulul Fiqih karya Syeikh Mufid Muhammad ibn Muhammad ibn An-Nu’man yang terkenal dengan gelar ‘Ibnul Mu’alim’ dan ‘Syeikhusy Syi’ah’. Kedua kitab mereka itu telah dicetak.

Namun, kitab Ushul Fiqih yang dikarang oleh generasi pertama ialah Adz-Dzari’ah fi Ilmi Ushulusy Syari’ah, karya Syarif Al-Murtadha. Meskipun ukurannya amat sederhana, kitab ini meliput pembahasan ilmu tersebut secara lengkap dalam dua jilid. Selain itu, Syarif Al-Murtadha juga mengarang banyak kitab di bidang ini, dan kitab Adz-Dzari’ah merupakan kitabnya yang paling sederhana sekaligus paling baik.

Namun, dapat dikatakan bahwa terdapat sebuah kitab yang lebih baik darinya, yaitu Al-‘Iddah karya Syeikh Abu Ja’far Muhammad ibn Al-Hasan ibn Ali Ath-Thusi. Kitab Al-‘Iddah ini sungguh kitab terbaik yang pernah dikarang di bidangnya di masa-masa sebelumnya. Itulah kitab yang amat sederhana sekaligus bukti atas ketelitian dan kecermatan sang penulisnya.

Perlu juga saya sampaikan di sini bahwasanya ulama-ulama Ushul Fiqih Syi’ah telah mencapai puncak pengkajian di bidang ilmu ini, dan dalam pendalaman serta analisis yang ketat terhadap masalah-masalahnya secara mentradisi dari satu generasi ke generasi lainnya. Bahkan, mereka mengarang kitab berjilid-jilid, yang secara khusus mengulas sebagian masalah Ushul Fiqih, apalagi bila mereka mengulas semua masalah dan topiknya. Hanya saja, saya memandang tidak cukup kesempatan di sini untuk menyebutkan nama-nama dan membicarakan riwayat hidup mereka. Saking banyak jumlahnya, tidaklah begitu berarti lagi upaya mengklasifi-kasi ihwal generasi mereka.[]


Bab Keenam

Kepeloporan Syi’ah di Dunia Islam dalam Ilmu Firoq
Muslim pertama yang merumuskan ilmu Firoq (ilmu yang membahas ihwal mazhab dan aliran) dan mengarang kitab tentangnya atau tentang agama-agama bangsa Arab ialah Hisyam ibn Muhammad Al-Kalbi yang wafat pada tahun 206 H., sebagaimana yang dicatat oleh Ibnu Nadim di dalam Al-Fehrest. Dalam bidang yang sama, seorang filosof terke-muka pada masa-masa sebelum abad ketiga, yaitu Hasan ibn Musa An-Naubakhti, juga mengarang kitab Kitabul Ara’ wad Diyanat dan kitab Al-Firoq.

Tentu, Al-Hasan An-Naubakhti lebih dahulu daripada pengarang lainnya di bidang ini, seperti Abu Anshar Abdul Qodir ibn Thahir Al-Baghdadi yang wafat pada tahun 429 H., Abu Bakar Al-Baqillani yang wafatnya jatuh pada tahun 403 H., Ibnu Hazm yang wafat pada tahun 456 H., dan Ibnu Furak Al-Ishfahani yang wafat pada tahun 451 H. Dan kira-kira pada tahun ini pula Abu Al-Mudzaffar Thahir ibn Muhammad Al-Asfarani wafat. Tokoh yang muncul setelah mereka semua ialah Syahrustani yang wafat pada tahun 548 H.

Sejauh ini, saya tidak mengenal satu nama pun yang mendahului Hisyam Al-Kalbi atau pun Hasan An-Naubakhti dalam menyusun ilmu Firoq. Karangan mereka berdua di bidang ini telah dibenarkan oleh Ibnu Nadim, An-Najasyi dan ulama-ulama yang lain, yaitu tatkala membahas riwayat hidup dan daftar karya-karya mereka. Dan kitab Al-Firoq karya An-Naubakhti hingga kini ada pada kami. Salah satu temanya berkenaan dengan aliran-aliran di dalam mazhab Syi’ah.

Lebih dari itu, ada sekelompok Syi’ah yang juga telah mengarang di bidang Firoq lebih dahulu daripada mereka (selain Al-Kalbi dan An-Naubakhti). Di antara mereka ialah Nashr ibn Ash-Shabah, guru Abu Amr Al-Kasyi pakar ilmu Rijal. Nashr telah mengarang kitab Firoq Asy- Syi’ah.

Kemudian, Abul Mudzaffar Muhammad ibn Ahmad An-Na’imi yang juga mengarang di bidang ini. Kemudian, Abul Hasan Ali ibn Al-Husein Al-Mas’udi yang wafat pada tahun 346 H. Ia mengarang kitab Al-Maqolat fi Ushul Ad-Diyanat dan kitab Al-Ibanah fi Ushul Ad-Diyanat. Al-Mas’udi merupakan guru besar Syi’ah, sebagaimana telah ditegaskan oleh Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi dalam Al-Fehrest dan oleh An-Najasyi dalam Asma’ Mushannifisy Syi’ah.

Mereka mengakui bahwa Al- Mas’udimenulis beberapa kitab seperti; Al-Bayan fi Asmail Aimmah dan Itsbatul Washiyyah fi Imamatil Aimmatil Itsna ‘Asyar. Di sini menjadi tampak jelas kekeliruan At-Tajie As-Sabki yang telah menempatkannya di dalam silsilah ulama mazhab Syafi’iyah, sebagaimana yang juga dilakukan oleh Syeikh Abu Ja’far Ath- Thusi. Mengenai riwayat hidup Al-Mas’udi, saya telah membahas secara terinci dalam Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam.[]


Bab Ketujuh

Kepeloporan Syi’ah di Dunia Islam dalam Ilmu Akhlak
Ketahuilah bahwasanya Muslim pertama yang mengarang di bidang ini ialah Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. Beliau telah menulis sebuah kitab yang memuat ilmu Akhlak, yaitu dalam perjalanannya dari Shiffin lalu mengi-rimkannya kepada putranya; Imam Hasan a.s. atau kepada Muhammad ibn Hanafiyah. Kitab yang berukuran besar itu mengandung pelbagai pasal ilmu ini, termasuk di dalamnya ialah metode-metode berperilaku mulia, serangkaian sifat-sifat luhur, letak-letak keselamatan dan kecelakaan, dan cara-cara melepaskan diri dari kecelakaan.

Para ulama Syi’ah dan Ahli Sunnah telah meriwayatkan kitab tersebut dan memujinya sebagaimana layaknya. Al-Kulaini juga telah meriwayatkan dari bebarapa jalur di dalam kitab Ar- Rasail. Imam Abul Hasan ibn Abdullah ibn Said Al-Askari juga telah memberitahukan kitab itu dan menyalinnya secara lengkap dalam kitab Az-Zawajir wal Mawa’idz. Ia berkata: “Seandainya ada kebenaran yang harus ditulis dengan cairan emas, maka di dalam kitab inilah.” Sekelompok ulama juga telah menyebutkan ihwal kitab Imam Ali a.s. ini kepadaku, beserta jalur-jalur pemberitaan akan keberadaannya.

Hanya saja, orang pertama dari Syi’ah yang mengarang kitab di bidang ilmu Akhlak ialah Ismail ibn Mehran ibn Abu Nashr Abu Ya’qub As-Sukuni. Kitabnya berjudul Shifatul Mu’min wal Fajir. Ismail juga menyusun sebuah kitab yang mencatat kumpulan khotbah-khotbah dan katakata mutiara Ali ibn Abu Thalib a.s. Kedua kitabnya diberitakan oleh Abu Amr Al-Kisyi dan Abul Abbas An-Najasyi di dalam Asma Mushannifisy Syi’ah. Para ulama menyatakan bahwa Ismail telah meriwayatkan hadis dari sejumlah sahabat Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s., dan dianugerahi umur panjang hingga dapat menjumpai Imam Ali Ar-Ridha a.s. serta meriwayatkan hadis dari beliau. Ia termasuk ulama abad kedua Hijriyah.

Selain mereka, terdapat ulama-ulama besar Syi’ah yang mengarang kitab di bidang Akhlak. Di antara mereka ialah Abu Muhammad Hasan ibn Ali ibn Al-Hasan ibn Syu’bah Al-Harrani ra. Ia adalah seorang ulama yang hidup di abad ketiga Hijriyah. Al-Harrani mengarang kitab Tuhaful ‘Uqul. Di dalamnya terdapat kata mutiara, nasihat dan keterangan mengenai sifat-sifat mulia akhlak yang datang dari Ahlul Bait a.s. Kitab Al-Harrani ini sebuah kitab yang mulia, yang belum pernah dikarang sepertinya. Banyak dari guru ulama-ulama Syi’ah yang merujuk kepadanya, seperti Syeikh Mufid yang telah banyak meriwayatkan hadis darinya. Sebagian ulama Syi’ah mengatakan: “Kitab Tuhaful ‘Uqul tidak mengizinkan jaman untuk mendatangkan sepertinya.”

Lalu, Ali ibn Ahmad Al-Kufi yang mengarang kitab Al-Adab dan kitab Makarimul Akhlaq. Ia wafat pada tahun 352 H. Lalu, Abu Ali ibn Miskaweih yang telah saya singgung sebelum ini. Ia telah mengarang Tahdzibul Akhlaq wa Tathirul A’raq; sebuah kitab yang mencakup enam bagian, yang bila dicermati sungguh tak ada bandingannya. Sekali lagi, saya telah menyinggung ihwal Ibn Miskaweih. Dan dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya juga telah menyebutkan generasi-generasi para tokoh ilmu Akhlak serta karya mereka satu persatu.[]


Bab Kedelapan

Kepeloporan Syi’ah dalam Ilmu Siroh
Orang pertama yang meletakkan ilmu ini ialah Ubadillah ibn Abu Rafi’e; budak Rasulullah saw. Ia telah mengarang kitab berkenaan dengan ilmu Siroh (sejarah hidup Nabi saw.) pada masa kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib a.s. Ubaidillah juga bekerja sebagai sekretaris tersetia beliau. Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi di dalam Fehrest Kutubusy Syi’ah berkata: “Ubaidillah ibn Abu Rafi’e adalah sekretaris Amiril Mukminin Ali a.s. Ia menulis kitab Qodhoya Amiril Mu’minin dan kitab Tasmiyatu Man Syahida ma’a Amiril Mu’minin Al-Jamal wash Shiffin wan Nahrawan minal Shohabah. Penyusunan kitab ini dilakukan oleh Ubadillah lebih dahulu daripada sebuah karangan yang dinisbahkan kepada Urwah ibn Zubair.”

Namun, menurut pendapat yang kuat, orang pertama yang menulis kitab tentang siroh Nabi saw. ialah Muhammad ibn Ishaq Al-Mithlabi; sesepuh kabilah Mithlab Al-Madani. Dikatakan dalam Kasyfudz Dznunun, bahwa orang pertama yang mengarang kitab di bidang Siroh ialah imam yang terkenal dengan nama Muhammad ibn Ishaq; bapak ilmu Al-Maghazi; yaitu ilmu tentang peperangan yang diikuti oleh Nabi saw. Ia wafat pada tahun 151 H. Sungguh, Ibnu Ishaq telah menyusunnya dan mengatakan di bab ‘Huruf Mim’; ‘Ilmu Al-Maghazi dan ilmu Siroh; Peperangan-peperangan Rasulullah saw. yang dicatat oleh Ibnu Ishaq untuk pertama kalinya.”

Dan dikatakan pula bahwa orang pertama yang menulis kitab di bidang ini ialah Urwah ibn Zubair. Saya katakan bahwa nama ini tidak masyhur di kalangan tokoh sejarah. Adapun alasan yang membuat As-Suyuthi di dalam Al-Awwaliyyat hingga mengubah pendapat awalnya dari Muhammad ibn Ishaq ke Urwah ibn Zubair¯padahal nama terakhir ini syadzdz (pendapat yang asing di antara yang masyhur)¯ialah karena yang pertama seorang tokoh Syi’ah sebagaimana disenyalir oleh Ibnu Hajar di dalam At-Taqrib-nya. Begitu pula ulama-ulama kami telah menyatakan secara tegas akan kesyi’ahan Muhammad ibn Ishaq di dalam kitab-kitab Rijal mereka.[]


Bab Kesembilan

Kepeloporan Syi’ah dalam Penyusunan Sejarah Islam

Pasal Pertama

Tentang Orang Pertama yang Menulis di Bidang Sejarah Islam
Ketahuilah bahwasanya orang pertama yang menulis kitab di bidang sejarah Islam ialah Aban ibn Utsman Al-Ahmar; seorang tabi’in yang wafat pada 140 H. Ia telah menulis kitab yang amat tebal yang menghimpun sejarah permulaan Islam, peperangan-peperangan Nabi saw., kejadiankejadian wafat dan pembangkangan.

Data di atas ini ini telah ditegaskan oleh An-Najasyi di dalam kitab Asma’ Mushannifisy Syi’ah. Ia mengatakan bahwa Aban ibn Utsman pernah menganut mazhab Nawusiyyah, kemudian beralih ke Syi’ah Imamiyah. Ia mempunyai relasi khusus dengan Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. Aban berasal dari kota Basrah, dan tokoh masyarakat di Jilah. Ia tinggal di Kufah dan meninggalkan banyak karangan.

Pasal Kedua

Tentang Orang Pertama yang Menulis di Semua Cabang Sejarah Islam
Ketahulilah bahwasanya orang pertama yang menulis kitab di segenap bidang-bidang sejarah Islam¯sejauh riset yang telah dilakukan¯ialah Hisyam ibn Muhammad ibn As-Saib ibn Bisyr ibn Zaid Abul Munzir Al-Kalbi.


Macam Pertama
Hisyam telah menulis kitab tentang dalapan macam sejarah. Macam pertama adalah sejarah perjanjian. Di dalamnya ter-dapat bab tentang perjanjian Abdul Muthalib dan Khuza’ah, bab Perjanjian Hilful Fudhul dan Kisah Al-Ghazal, bab Pakta Bani Kalb dan Bani Tamim, bab Perjanjian Bani Aslam dan Quraisy.


Macam Kedua
Hisyam juga telah menulis kitab sejarah yang mencakup beberapa bab. Di antaranya ialah bab Berbangga-banggaan Nasab, bab Aneka Bangunan suku Quraisy, bab keutamaan Qois Ghilan, bab Persahabatan, bab Pertikaian, bab Aneka Bangunan Suku Rabi’ah, bab Kunyah, bab Berita-berita Abbas ibn Abdul Muthalib, bab Khotbah Ali ibn Abu Thalib a.s., bab Kemuliaan Qushay ibn Kilab dan Keturunannya di Era Jahiliyah dan Islam, bab Julukan Suku Rabi’ah, bab Julukan Suku Yaman, bab Al-Matsalits, bab An-Nawafil yang memuat adat-adat istiadat suku Quraisy, suku Kinanah, suku Asad, suku Ayad, suku Rabi’ah, suku Yaman dan suku Al-Qodha’ah, bab yang bercerita tentang nama-nama yang terbunuh dari suku kaum ‘Ad, kaum Tsamud, kaum ‘Amaliq, suku Jurhum dan Bani Israil Arab, dan kisah Hujras dan nama-nama kabilah mereka, bab Klaim Ziyad Muawiyah, bab ihwal Ziyad ibn Abih, bab Industri Suku Quraisy, bab Pertikaian, bab Saling Memfitnah, bab Saling Menghujat, bab Saling Menyulut Kerusuhan, bab Raja-raja Suku, bab Rajaraja Kindah, bab Bangunan-bangunan suku Yaman, bab Raja-raja Suku Yaman dari Kabilah Tababi’ah, bab Perpi-sahan keturunan Nizar, bab Perpecahan Suku ‘Idad dan Thasam serta Judais, bab Pelantun Bait Syair Lalu Menis-batkan pada Dirinya, bab Tokoh-tokoh Wanita Quraisy.


Macam Ketiga
Hisyam juga menulis kitab yang menghimpun bab Per-cakapan Nabi Adam dengan Anakanaknya, bab Kaum ‘Ad yang Pertama dan yang Terakhir, bab Penyebaran Kaum ‘Ad, bab Ashabul Kahfi, bab Pengangkatan Nabi Isa a.s. dari Bumi, bab Yang Yerkutuk Sebagai Binatang dari Bani Israil, bab Al-Awail, bab Kata Mutiara Humair, bab Ular Adh-Dhahhak, bab Percapakan Burung, bab Ghazyah, bab Bahasa-bahasa Al-Quran, bab Orang-orang yang Berusia Panjang, bab Arca-arca, bab busur panah, bab gigi gergaji, bab agama-agama Arab, bab Penguasa-penguasa Arab, bab Wasiat-wasiat Arab, bab Pedang Arab, bab Kuda Perang, bab Harta Karun, bab Nama-nama Jawara Arab, bab Kurban, bab Perdukunan, bab Jin, bab Kisra Memungut Jaminan Arab, bab Tradisi yang masih Dianut Jahiliyah dan Sesuai dengan Hukum Islam, bab Ubay ‘Itab Rabi’e ditanya tentang Al-Waish, bab ‘Uday ibn Zaid Al-‘Ibadi, bab Ad-Dausi, bab Percakapan Baihas dan Saudara-saudaranya, bab Marwan Al-Qirth, bab Pedang.


Macam Keempat
Hisyam juga menulis kitab sejarah tentang kedekatan Islam dengan ihwal Jahiliyah. Di dalamnya terdapat bab Kabilah Yaman dan Perihal Pedang, bab Pernikahan Istri-istri Bangsa Arab, bab Delegasi, bab Istri-istri Nabi saw., bab Zaid ibn Haritsah dan Kecintaan Nabi saw., bab Pengantar atas Berita-berita Para Penyair, bab Orang Quraisy yang Bangga dengan Paman-paman dari Ibu, bab Yang Hijrah Bersama Orang Tua, bab Berita-berita Al-Hurr dan Syair-syairnya, bab Pertemuan Jarir dengan Al-Hijah, bab Berita-berita Amr ibn Ma’di Karb.


Macam Kelima
Hisyam juga mengarang kitab tentang sejarah Islam dan Muslimin. Di dalamnya terdapat bab-bab seperti bab Sejarah, bab Sejarah Berita Para Khalifah, bab Sifat-sifat Para Khalifah, bab Pelaku Shalat.


Macam Keenam
Hisyam juga menulis kitab tentang sejarah negeri-negeri. Di dalamnya terdapat bab Negeri-negeri Besar, bab Negeri-negeri Kecil, bab Nama Orang-orang yang Hidup di Dataran Hijaz dan Dusundusun Arab, bab Nama Kawasan-kawasan, bab Sungai-sungai, bab Lalu Lalang, bab Iklim, bab Jual Beli, bab Perjalanan, bab Nasab ‘Ibadain.


Macam Ketujuh
Hisyam juga menulis kitab tentang sejarah syair dan pelbagai peristiwa bangsa Arab. Di dalamnya terkandung bab nama-nama yang tersebut di dalam syair Amr Al-Qois; yaitu namanama lelaki, perempuan, nasab mereka, daerah dan kawasan, gunung, sumber air, bab Pelantun syair lalu meng-klaimnya, bab Munzir; seorang raja Arab, bab Dahis dan Paceklik, bab Kehidupan Fazaroh dan Peristiwa Bani Syaiban, bab Peristiwa Suku Dhabab dan Fazaroh, bab Hari Saniyu, bab Al-Kilab; yaitu peristiwa Sanabis, bab Kehidupan Bani Hanifah, bab Kehidupan Qois ibn Tsa’labah, bab Peristiwa-peristiwa besar, bab Musailamah Al-Kadzdzab (pengaku nabi yang bohong).


Macam Kedelapan
Begitu juga Hisyam menulis kitab tentang sejarah kisah dan percakapan. Di dalamnya terdapat bab Empat Pemuda, bab Percakapan Malam, bab Statemen-statemen, bab Petikan-petikan Kalimat, bab Habib Al-‘Aththar, bab Keajaiban Laut.

Delapan macam cabang sejarah dengan urutan di atas ini berdasarkan data Ibnu Nadim di dalam Al-Ferhrest. Ia sendiri menukil dari tulisan tangan Abul Hasan ibn Al-Kufi. Adapun penguasaan Hisyam atas ilmu Nasab dan karangannya di bidang ini untuk pertama kalinya adalah fakta yang lebih masyhur untuk sekedar disebut di sini. Ibnu Khalkan ketika menyinggung nama Hisyam, mengatakan: “Ia adalah orang yang paling pandai dalam ilmu Nasab. Ia juga salah satu penghafal yang termasyhur”. Adz-Dzahabi juga mengatakan: “Hisyam telah menghafal seluruh Al- Quran dalam tiga hari. Ia seorang juru berita dan sangat alim.” Hisyam wafat pada tahun 206 H.

Masih dari Ibnu Khalkan dilaporkan bahwa karya-karya Hisyam melebihi 150 kitab. Karyanya yang terbaik dan paling banyak dirujuk orang ialah kitabnya yang terkenal dengan judul Al- Jamharah fi a’rifatil Ansab. Sejauh pengetahuan saya, belum ada kitab yang dikarang sebaik itu. Adapun kitabnya yang berjudul Al-Manzil fin Nasab lebih besar dari Al-Jamharah. Hisyam juga mempunyai kitab Al-Mujaz fin Nasab dan kitab AL-Farid fil Ansab yang ditulisnya untuk Al- Ma’mun, khalifah Abbasiyah, dan kitab Al-Muluki fin Nasab yang ditulis untuk Ja’far ibn Yahya Al-Barmaki. berdasarkan riwayat Ibnu Sa’ad, Hisyam juga menulis kitab Jamharatul Jamharah, sebagaimana dicatat oleh Ibnu Nadim.


10
Kisah Para Nabi Allah


Pasal Ketiga

Kepeloporan Syi’ah di Bidang Geografi
Telah kita ketahui bahwa Hisyam ibn Muhammad Al-Kalbi adalah salah seorang sahabat Imam Muhammad Al-Baqir a.s. Ia telah mengarang kitab Al-Aqolim, Al-Buldan Al-Kabir, Al-Buldan Ash- Shoghir, Tasmiyatul Ara-dhin, Al-Anhar, Al-Hairoh, Manazilul Yaman, Al-‘Ajaibul Arba’ah, Aswaqul Arab, dan kitab Tasmiyatul Bai’e wal Ad-Dirayat, sebagaimana telah disebutkan oleh Abul Faraj Ibnu Nadim dalam Al-Fehrest, yaitu tatkala ia mendata judul-judul karangan Hisyam.

Ironisnya, Al-Himawi di dalam Mu’jamul Buldan hanya mengatakan: “Hisyam Al-Kalbi adalah seorang penulis kitab yang ia namai dengan judul Isytiqoqul Buldan.” Padahal, Al- Himawi¯menurut klaimnya sendiri¯telah meneliti semua generasi pengarang Muslim di bidang ini; yaitu mereka yang telah mendata pelbagai negeri dan kawasan lalu mengukur jarak tempuh dan rute perjalanan. Di sana ia juga menyatakan bahwa mereka itu datang setelah Hisyam ibn Muhammad Al-Kalbi. Begitu juga, mereka yang telah beru-saha mendata nama tempat-tempat bangsa Arab ataupun persinggahan-persinggahan kaum Arab Baduwi adalah dari generasi tokoh sastra, dan mereka semua ini datang setelah Hisyam ibn Muhammad Al-Kalbi. Ini amat jelas dan tak bisa diragukan lagi.

Perkataan Al-Himawi pun tidak bisa dimaknai sebagai “sejauh yang dia ketahui”, sebab ia mengatakan sesuatu dari aspek duduk persoalannya Selain itu, Abu Sa’d As-Sirofi telah memberi data tentang sebuah karya Hisyam mengenai semenanjung Arab, bahkan saya menemukannya sebegitu tegas menyatakan ihwal kitab-kitab yang diketahuinya itu. Sungguh terdapat seke-lompok karya ulama Syi’ah yang lalai atau fanatik terhadap hal ini. Hanya saja, saya percaya pada kitab-kitab seperti kitab Al-Aradhin karya Hisyam Al-Kalbi dan kitab Al-Buldan karya Abu Ja’far Muhammad ibn Khalid Al-Barqi; seorang sahabat Imam Musa Al-Kadzim a.s.

Ibnu Nadim menyatakan dalam Al-Fehrest, bahwa anaknya yang bernama Ahmad ibn Muhammad ibn Khalid Al-Barqi telah mengarang kitab yang berjudul Al-Buldan. Ibnu Nadim juga menambahkan bahwa kitab ini lebih besar dari kitab ayahnya. Ada juga kitab Al-Buldan karya Al-Ya’qubi yang wafat pada tahun 278 H. Kitab ini telah dicetak di Leiden-Belanda. Juga kitab Al-Kharaj karya Qudamah ibn Ja’far, seorang penulis ternama yang wafat pada tahun 310 H. Kitab ini juga telah dicetak di Leiden-Belanda. Juga kitab Asmaul Jibal wal Miyah wal Awdiyah karya oleh Hamdun; guru Taghlab dan Ibnul A’rabi. Ia hidup di abad kedua Hijriyah.

Setelah itu, kitab Al-Adyiroh wal-A’mal fil Buldan wal Aqthar. Kitab yang berukuran tebal ini karya Abul Hasan As-Simsathi; seorang ahli Nahwu. Di dalamnya tercatat sebanyak 300 lebih kawasan dan propinsi. Abul Hasan As-Simsathi adalah guru ulama-ulama Syi’ah yang hidup pada abad ke tiga Hijriyah. Kemudian, kitab Al-Masalik wal Mamalik karya Al-Mas’udi Ali ibn Al-Hasan. Ia wafat pada tahun 346 H. Dan terakhir ialah kitab besar yang bernama Ad-Diyarot. Kitab ini juga karangan Abul Hasan Ali ibn Muhammad As-Simsathi.

Pasal Keempat
Tentang Tokoh-tokoh Lain yang Mengarang di Bidang Ilmu Sejarah, Kisah dan Arkeologi dari Kaum Syi’ah, Menurut Kesaksian Para Ulama

Ibnu Nadim mengatakan: “Aku telah membaca tulisan tangan Ahmad ibn Al-Harits Al-Khuza’ie, termaktub bahwa para ulama mengatakan bahwa Abu Mikhnaf telah menulis kitab tentang negeri Irak, berita-berita dan kejayaan-kejayaannya, Al-Madaini tentang negeri Khurasan, India dan Persia, dan Al-Waqidi tentang Hijaz dan Siroh. Dua pengarang terakhir ini, yakni Al-Madaini dan Al-Waqidi, sama-sama menulis tentang kejayaan-kejayaan negeri Syam.”

Saya katakan bahwa di antara tiga tokoh di atas ini, Abu Mikhnaf dan Al-Waqidi adalah dari Syi’ah. Dan telah saya bawakan kesaksian dari Ibnu Khalkan, bahwa Hisyam ibn Muhammad Al- Kalbi adalah orang yang paling menguasai ilmu Nasab. Telah saya singgung pula sekelumit riwayat hidupnya. Nah, berikut ini data singkat Abu Mikhnaf dan Al-Waqidi serta tokoh-tokoh lain yang telah mengungguli sejawat mereka.

Abu Mikhnaf Al-Azdi Al-Ghamidi adalah guru besar ahli sejarah dan peristiwa dari kaum Syi’ah. Ia terbilang sebagai pemuka mereka. Nama aslinya adalah Luth ibn Yahya ibn Said ibn Mukihnaf ibn Salim ibn Sulaiman atau Sulaim. Ayahnya, yaitu Yahya, adalah salah satu sahabat Imam Ali ibn Abu Thalib a.s. Sedangkan kakeknya, yaitu Mikhnaf, adalah sahabat mulia yang meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah saw, kemudian menjadi sahabat Imam Ali a.s. Di perang Shiffin, Mikhnaf terjun bersama pasukan beliau sebagai pemegang bendera suku Azd, dan gugur syahid di ‘AinulWardah pada 64 H, sebagaimana dalam At-Taqrib.

Adapun Abu Mikhnaf, sang cucunda, telah meriwa-yatkan banyak hadis dari Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. Atau menurut sebuah pendapat, ia meriwayatkan dari Imam Muhammad Al- Baqir a.s. Namun, tokoh-tokoh besar tidak mendukung pendapat ini. Sungguh disesalkan adanya sebagian orang yang menyatakan bahwa Abu Mikhnaf adalah seorang sahabat Ali bin Abu Thalib a.s. Sebab, ia tidak pernah hidup semasa dan berjumpa dengan beliau.

Abu Mikhnaf banyak menulis kitab, di antaranya kitab Ar-Riddah, Futuhusy Syam, Futuhul ‘Iroq, Al-Jamal, Shiffin, Ahlin Nahrawan wal Khawarij, Al-Gharat, Al-Harts ibn Rasyid wa Bani Najiyah, Maqtal ‘Ali, Maqtal Hijir ibn ‘Ady, Maqtal Muhammad ibn Abu Bakar wal Asytar wa Muhammad ibn Abu Hadzaifah, Asy-Syura wa Maqtal Utsman, Al-Mustaurid ibn ‘Alqomah, Maqtalul Husein a.s., Wafatu Muawiyah wa Wilayatu Ibnihi Yazid, termasuk di dalamnya peristiwa Al-Hurrah dan pengepungan Ibnu Zubair, kitab Al-Mukhtar Ibnu Abu Ubaidah, Sulaiman ibn Shurrad wa ‘Ainul Wardah, Marjun Rahith wa Ba’atu Marwan wa Maqtal Dhahhak ibn Qois, Mushab wa Wilayatul ‘Iraq, Maqtal Abdullah ibn Zubair, Maqtal Said ibn Al-‘Ash, Haditsu Bakhmari atau Maqtal Ibnul Asy’ats, Bilal Bilal Al-Khoriji, Najdah Abu Fil, Haditsul Azariqoh, Haditsu Rustaqbadz, Syubaib Al-Khoriji wa Solih ibn Misraj, Mutharraf ibn Al-Mu’aimir, Dirul jamjim wa Khal’e Abdurrahman ibnul Asy’ats, Yazid ibn Al-Muhlab wa Maqtahulu bil ‘Aqr, Khalid ibn Abdullah Al-Qisri wa Yusuf ibn Hisyam wa Wilayatul Walid, Yahya, Adh- Dhahhak Al-Khariji, Al-Khothbah Az-Zahra’ li Amiril Mu’minin a.s., Futuhatul Islam, Akhbaru Ibnul Hanafiyah, Akhbaru Ziyad, Maqtalul Hasan As-Sibth, Akhbarul Hujjaj, Futuhu Khurasan, Al-Hakamain, dan kitab Aal Mikhnaf ibn Sulaim.

Di antara mereka adalah Al-Waqidi. Nama lengkapnya ialah Abu Abdillah Muhammad ibn Umar, tokoh dua orang Aslamain, yaitu dari Saham ibn Aslam. Ia berasal dari kota Madinah, lalu pindah ke Baghdad. Dan di sana ia menjabat sebagai hakim di masa Khalifah Ma’mun. Al-Waqidi amat menguasai ihwal peperangan Nabi saw., Siroh dan sejarah penaklukan-penaklukan negeri, serta tentang perselisihan ulama seputar hadis, fiqih, hukum dan sejarah.

Ibnu Nadim mengatakan: “Ia adalah seorang Syi’ah yang setia, dan selalu bertaqiyah”. Ibnu Nadim melanjutkan: “Al-Waqidi juga meriwayatkan bahwa Ali ibn Abu Thalib adalah salah satu mukjizat Nabi saw., sebagaimana tongkat Nabi Musa a.s. dan dihidupkan lembali mayat-mayat oleh Nabi Isa a.s., juga berita-berita lainnya”.

Al-Waqidi lahir pada tahun 103 H dan hidup dalam usia 78 tahun. Banyak karya yang telah ditinggalkan olehnya. Di antaranya, At-Tarikh wal Maghazi wal Mab’ats, Akhbaru Mekkah, At-Tabaqot, Futuhu Syam, Futuhul Quran, Al-Jamal, Maqtalul Husein a.s., As-Siroh, Azwajun Nabi saw., Ar-Riddah wad-Dar, Harbul Aus wal Khazraj, Shiffin, Wafatun Nabi, Amrul Habasyah wal Fil, Al-Manakih, As- Saqifah wa Bai’atu Abi Bakr, Dzkrul Quran, Sirotu Abi Bakr wa Wafatuhu, Mada’ie Quraisy wal Anshar fi Qatha’ie; yang di dalamnya mencatat bagaimana Umar ibn Khattab membuat kantor-kantor, mengklasifikasi kabilah-kabilah, menentukan kedudukan dan nasab mereka, kitab Ar-Raghib fi Ulumil Quran dan Ghalthul Rijal, Maulidul Hasan wan Husein wa Maqtalul Husein a.s., Dhorbud Dananir wad Darohim, Tarikhul Fuqoha, Al-Adab, At-Tarikhul Kabir, Ghalatul Hadits, As-Sunnah wal Jama’ah wa Dzammul Hawa wa Tarkul Khawarij fil Fitan, dan kitab Al-Ikhtilaf yang memuat perselisihan ulama Madinah dan ulama Kufah tentang bab Syuf’ah, bab Sedekah, bab Titipan, bab Pinjaman, bab Modal, bab Mudorabah, bab Ghasab, bab Mencuri, bab Hadd dan Kesaksian, disusun menurut penyusunan kitab-kitab Fiqih.

Ibnu Nadim mengatakan: “Setelah wafatnya, Al-Waqidi telah meninggalkan 600-an karung kitab. Setiap karungnya diangkat oleh dua orang. Ia mempunyai dua budak yang menuliskan untuknya sepanjang siang dalam malam. Dan sebelum itu, ia menjual kitab-kitabnya seharga dua ribu dinar.”

Lalu di antara mereka ialah Ahmad ibn Muhamamd ibn Khalid Al-Barqi; penulis kitab Mahasinul Majalis, imam ilmu hadis dan ucapan sahabat. Ia menulis banyak karya. Di antara karya-karyanya yang masuk dalam pasal ini ialah kitab At-Tabaqot, At-Tarikh, Ar-Rijal, Asy-Syi’r wasy Syu’aro’, Al-Aradhin, Al-Buldan, Al-Jamal, Al-Maghazi, At-Taghazi, dan kitab At-Tahani. Di dalam Asma’ Mushannifisy Syi’ah, An-Najasyi telah mendata semua kitabnya. Ahmad Al-Barqi wafat pada tahun 274 H., atau 280 H. menurut sebuah pendapat.

Lalu, di antara mereka ialah Nashr ibn Muzahim Al-Minqori, dipanggil juga dengan nama nasabnya; Abul Fadhl Al-Kufi. Ia adalah ahli besar dalam sejarah, peristiwa dan peperangan Nabi saw. dan banyak meriwayatkan dari Abu Mikhnaf Luth ibn Yahya. Sebagaimana di dalam Al- Fehrest Ibnu Nadim, dia berada di generasi Abu Mikhnaf. Di antara karya-karya Nashr ialah Al- Jamal, Shiffin yang telah dicetak di Iran, Maqtalul Husein a.s., ‘Ainul Wardah, Akhbarul Mukhtar ibn Abu Ubaidah, Al-Manaqib, An-Nahrawan, Al-Gharat, Akhabr Muhammad ibn Ibrahim Thabathaba wa Abi Saraya, dan kitab Maqtalul Hijir ibn ‘Ady.

Lalu, di antara mereka ialah Ibrahim ibn Muhammad ibn Sa’d ibn Hilal ibn ‘Ashim ibn Sai’d ibn Mas’ud Ats-Tsaqofi dari warga Kufah. Pada awal hidupnya, Ibrahim adalah penganut Zaidiyah, lalu beralih mazhab ke Syi’ah Imamiyah. Ia wafat pada tahun 283 H. Dikenal bahwa Ibrahim adalah imam sejarah dan peristiwa pada masanya, dan banyak karya yang telah dikarangnya, di antaranya ialah kitab Al-Maghazi, As-Saqifah, Ar-Riddah, Maqtalu Utsman, Asy- Syura’, Bai’atu Amiril Mul’minin Ali a.s., Al-Jamal, Shiffin, Al-Hakamain, An-Nahr, Al-Gharat, Maqtalu Amiril Mu’minin a.s., Rasail Amiril Mu’minin a.s. yang menghimpun surat-surat, pengalamanpengalaman dan peperangannya selain yang di atas, kitab Qiyamuil Husein ibn Ali, Maqtalul Husein a.s., At-Tawwabin wa ‘Ainul Wardah, Akhbarul Mukhtar, Fadak, Al-Hujjah fi Fi’lil Mukromin, As-Sarair, Al-Mawaddah fi Dzil Qurba’, Al-Ma’rifah, Al-Haudh wa Asy-Syafa’ah, Al-Jami’e Al-Kabir fil Fiqh, Al- Jami’e Ash-Shoghir, Ma Nazala Minal Quran fi Amiril Mu’minin a.s., Fadhlul Kufah wa man Naza-laha minal Sohabah, kitab besar Fil Imamah, kitab kecil Fil Imamah, Al-Janaiz, Al-Washiyah, Al-Mubtada’, Akhbaru Umar, Akhbaru Utsman, Ad-Dar, Al-Ahdats, Al-Harura’, Al-Istinfar wal Gharat, As-Sair Akhabar Yazid, Ibnu Zubair, At-Tafsir, At-Tarikh, Ar-Ru’ya, Al-Asyribah yang kecil dan yang besar, Muhammad wa Ibrahim, Man Qutila min Aali Muhammad, Al-Khuthob wal Mu’arrobat, Ma’rifatu Fadhlul Afdhal, dan kitab Al-Muttaqin.

Ibrahim wafat di Ishfahan-Iran pada tahun 283 H. Ia sempat pindah dari Kufah ke Ishfahan, lalu tinggal di sana lantaran sebuah alasan yang telah saya bawakan dalam kitab Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam.

Adapun Sa’d ibn Mas’ud yang disebutkan dalam silsilah Ibrahim, adalah pengarang kitab tentang data-data hidup para ulama. Sa’d adalah saudara Abu Ubaidah ibn Mas’ud, paman Al- Mukhtar ibn Ubaidah yang diangkat oleh Amiril Mukminin sebagai gubernur di Madain. Dan dia pula yang kepadanya Al-Husein ibn Ali a.s. berlindung pada Hari Sabat di Madain.

Lalu, di antara mereka ialah Abdul Aziz Al-Jaludi. Nama lengkapnya adalah Abu Ahmad ibn Yahya ibn Ahmad ibn Isa Al-Jaludi dari warga Basrah. Ibnu Nadim mengatakan dalam AL-Fehrest: “Abdul Aziz adalah seorang ulama besar Syi’ah Imamiyah dan perawi hadis, kalimat sahabat dan siroh Nabi saw.”

Saya katakan bahwa ia adalah guru besar di Basrah dan ulama sejarah di sana. Tsiqotul Islam ibn Al-Muthahhar di dalam AL-Khulashah mengatakan: “Abu Ahmad Al-Jaludi adalah seorang warga Basrah, perawi yang tepercaya, penganut mazhab Syi’ah Imamiyah.” Saya katakan bahwa Jalud adalah sebuah desa di Bahrain. Sebagian ahli keliru menisbatkannya ke sebuah suku dari bangsa Azd, sebab para ahli ilmu Nasab tidak mengenal nama itu di sana. Perlu dicatat bahwa Isa Al-Jaludi, kakek pertama dalam silsilah Abdul Aziz, termasuk sahabat Imam Muhammad Al-Baqir a.s.

Abdul Aziz adalah pengarang riwayat hidup para tokoh dan ulama. Ia hidup pada abad ketiga Hijriyah atau sedikit setelah itu. Abdul Aziz dari generasi Ja’far ibn Qulaweih dan Abu Ja’far Al-Kulaini. Ia banyak menulis kitab, di antaranya Musnad Amiril Mu’minin Ali a.s., Al-Jamal, Shiffin, Al-Hakamain, Al-Gharat, Al-Khawarij, Bani Najiyah, Hurub Ali a.s., Ma Nazala fil Khomsah a.s., Al- Fadhail, Nasabun Nabi saw., Tazawaja Fathi-mah, Dzikru Ali di Hurubin Nabi saw., Muhibbu Ali wa Dzkru Buhair, Man Ahabba Aliyan wa Abghadhahu, Hadits Dhaghain fi Shuduri Qoumin, At-Tafisr ‘an Ali, Al-Qiroat, Ma Nazala fihi Minal Quran, Khuthabu Ali, Syi’ru Ali, Khilafatu Ali, ‘Ummalu Ali wa Wulatuhu, Qulu Ali fisy Syura’, Ma Kana Baina Ali wa Utsman minal Kalam, Dzikru Syi’ah yang membahas para sahabat yangmenyebut atau mencintai mereka, kitab Qodhou Ali a.s., Rasail Ali, Man Rowa ‘Anhu minal Sohabah, Mawa’idh Ali, Dzikru Kalamuhu fil Malahim, Ma Qila fihi Minal Syi’r wa Min Madh, Maqtalu Ali, Ilmu Ali, Qosamu Ali, Ad-Du’a ‘an Ali, Al-Libas ‘an Ali yang membicarakan pakaian, minuman dan sifat-sifat Imam Ali a.s., kitab Al-Adab ‘an Ali, An-Nikah ‘an Ali, Ath-Tholaq ‘an Ali, At-Tijarot ‘an Ali, Al-Janaiz wad Diyat ‘an Ali, Adh-Dhohaya wadz-Dzabaih wash-Soid wal Iman wal Kharaj, Al-Faroid wal ‘Itq wwat Tadbir wal Mukatabah ‘an Ali, Al-hudud ‘an Ali, kitab Ath-Thaharoh ‘an Ali, Ash-Sholah ‘an Ali, Ash-shiyam ‘an Ali, Az-Zakah ‘an Ali, Dzikru Khadijah wa Fadhlu Ahlil Bait a.s., Fathimah wa Abi Bakr, Dzikrul Husein a.s., dan kitab Maqtalul Husein a.s.

Adapun kitab-kitab Abdul Aziz Al-Jaludi yang sanadnya bersambung kepada Abdullah bin Abbas ialah At-Tanzil ‘an Ali, At-Tafsir ‘an Ali, Al-Manasik ‘an Ali, An-Nikah wath Thalaq ‘an Ali, Al- Faroidh ‘an Ali, At-Tafsir ‘anil Shohabah, Al-Qiroat ‘an Ali, Ma Asnadahu ‘anil Shohabah, Marowahu min Ro’yil Shohabah, Tatimmatun Fil Thaharoh, Az-Dzabaih wal Ath’imah wal-Libas, Al-Fataya wasy Syahadah wal Aqdhiyah wal Jihad wa Syaroi’il Islam, Al-Qoul fid Du’a yang di dalamnya membahas tentang doa dan isti’adzah, tentang kebaikan dan keutamaan pahala perbuatan, pengobatan dan tentang ilmu Nujum, kitab Al-Qoul fi Qital Ahlul Qoblah wa Inkar Roj’ah wa Al-Amr bil Ma’ruf, Fil Adab wa Dzikrul Anbiya’, Baqiyyatul Kalam fil Arab wa Quraisy wash Shahabah At-Tabi’in wa man Dzammahu, Al-Qoul fi Syi’ati Ali a.s., Baqiyatul Rasail Ali wa Khithabihi wa awwalu Muhadzir lahu, dan kitab Baqiyatu Muhadzrihi yang juga menyebutkan nama-nama istri dan anak para lawan dialog Imam Ali a.s. Inilah kitab terakhir Ibnu Abbas.

Kitab-kitab sejarah lain yang ditulis oleh Abdul Aziz ialah Akhbarul Tawwabin wa ‘Ainul Wardah, Akhbarul Mukhtar ibn Abi Mubaidah Ats-Tsaqofi, Akhbaru Ali ibn Al-Husein a.s., Akhbaru Abi Ja’far Muhammad ibn Ali a.s., Akhabrul Mahdi, Akharul Zaid ibn Ali, Akhbaru Umar ibn Abdul Aziz, Akhabru Muhammad ibnul Hanafiyah, Akhabrul Abbas, Akhbaru Ja’far ibn Abi Thalib, Akhbaru Ummi Hani, Akhbaru Muhammad ibn Abdillah, Akhabru Ibrahim ibn Abdillah ibnul Husein, Akhbaru Man ‘Asyiqo Minal Syu’aro’, Akhbaru Luqman ibn ‘Ad, Akhbaru Luqman Al-Hakim, Syarul Fuqoha, Man Khothoba ‘alal Mimbar bi Syi’rin, Akhbaru Ta’abbatho Syarron, Akhabrul Arab, Akhbaru Quraisy wal Ashnam, Fil Hayawan, Qobail Mizar wa Harb wa Tsaqif, Ath-Thibb, Thabaqotul ‘Arab wasy Syu’aro’, An- Nahwu, As-Sihr, Ath-Thoir, Zajruth Thoir, Ma Roaa Bihin Nabi saw., Ar-Ru’ya, Akhbaru As-Sudan, Al- ‘Audz, Ar-Riqo’, Al-Mathor, As-Sahab war Ra’d wal Barq, Akhbaru Amr ibn Mu’di Karb, Umayyah ibn Abi Shalt, Akhbaru Abil Aswad Ad-Duali, Akhbaru Aktsam ibn Shoifi, Akhbaru Abdurrahman ibn Hisan, Akhbaru Khalid ibn Shofwan, Akhbaru Abi Nawas, Akhbarul Mudznibin, Al-Ath’imah, Al-Asyribah, Al- Lubab, Akhbarul ‘Ijaj, An-Nikah, Ma ja-a fil Hammam, Akhbaru Ru’bah ibn Al-‘Ijaj, Ma Ruwiya fi Asy- Syathranj, Syi’ru ‘Ibad ibn Basysyar, Akhbaru Abi Bakr wa Umar, Man Ausho bisy Syi’r Jam’ahu, Man Qola Syi’ron fi Washiyyatih, Khuthobin Nabi saw., Khuthob Abi Bakr, Khuthobu Umar, Khuthobu Utsman ibn ‘Affan, Kutubun Nabi saw., Rasail Abi Bakr, Rasail Umar, Rasail Utsman, Hadits Ya’qub ibn Ja’far ibn Sulaiman, Ar-Rayahin, At-Tamtsil bil Syi’r, Qotho’iu Nabi saw., Qotho’iu Abi Bakr wa Umar wa Utsman, Al-Jinayat, Ad-Dananir wad Darahim, Akhbarul Akhnaf, Akhbaru Ziyad, Al-Wufud ‘alan Nabi saw. wa Abi Bakr wa Umar wa Utsman, Akhbarul Furs, Akbaru Abi Dawud, Maqtalu Muhammad ibn Abi Bakr, As- Sakha’ wal Karom, Al-Iqtidha’, Al-Bukhl wasy Syuhh, Akhbaru Qonbar, Al-Alwiyah war Rayat, Rayatul Azd, Akhbaru Syuraih, Akhbaru Hisan, Akhbaru Ghafin Nisabah, Akhbaru Sulaiman, Akhbaru Hamzah ibn Abdul Muthalib, Akhbarul Hasan, Akhbaru Ash-Sho’sho’ah ibn Shuhan, Akhbarul Hujjaj, Akhbaru Farazdaq, Az-Zuhd, Ad-Du’a, Al-Qishosh, Adz-Dzikr, Al-Wa’dz, Akhbaru Ja’far ibn Muhammad a.s., Akhbaru Musa ibn Ja’far a.s., Muna-dzaratu Ali ibn Musa Ar-Ridha a.s., Akhbaru ‘Aqil ibn Abi Thalib, Akhbaru As-Sayyid ibn Muhammad Al-Humairi, Akhbaru Bani Marwan, Akhbarul ‘Arab wal Furs, Akhbaru Tarojim, Hudyah ibn Hasyram, Al-Muhadditsin, Akhbaru Sudaif, Maqtalu Utsman, Akhbaru Ayas ibn Muawiyah, Akhbaru ibn Thufail, Akhbarul Ghaz, dan kitab Al-Qurud.

Lalu, di antara mereka ialah Al-Ya’qubi Ahmad ibn Abu Ya’qub ibn Wadhih. Ia wafat pada tahun 278 H. Al-Ya’qubi menulis sebuh kitab sejarah yang dikenal dengan nama At-Tarikh Al- Ya’qubi. Kitab ini telah dicetak di Leiden-Belanda dalam dua jilid. Jilid pertama berkenaan dengan sejarah Nabi Adam a.s. hingga kemunculan Islam, dan jilid kedua berkaitan dengan sejarah Islam sampai tahun 259 H, yaitu jaman Khalifah Mu’tamid ‘Alallah. Al-Ya’qubi juga menulis kitab Al- Buldan yang telah disinggung di pasal ketiga dari bab ini.

Lalu di antara mereka ialah Abu Abdillah Muhammad ibn Zakaria ibn Dinar. Ia sesepuh Bani Ghilab Al-Bashri. Ibn Dinar adalah imam tokoh sejarah, peristiwa, siroh dan syair. An-Najasyi mengatakan: “Ibn Dinar adalah salah satu ulama terkemuka kaum Syi’ah di Basrah. Ia seorang pakar sejarah yang berwawasan luas. Ia mengarang kitab yang banyak, di antaranya Al-Jamalul Kabir, Al-Jamalul Mukhtashor, Shiffin Al-Kabir, Shiffin Al-Mukhtashor, Maqtalul Husein a.s., An-Nahr, Al-Ajwad, Al-Wafidin, Maqtalu Amiril Mu’minin a.s., Akhbaru Zaid, Akhbaru Fathimah wa Mansyauha wa Mauliduha, dan kitab Al-Khail”. Abu Abdillah Muhammad ibn Zakaria ibn Dinar wafat pada tahun 298 H.

Lalu, di antara mreka ialah Abu Abdullah Al-Hakim An-Naysaburi yang lebih dikenal pula dengan panggilan Ibnul Bay’, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Al-Jahidz Adz-Dzahabi mengatakan di dalam Tadzkirotul Huffadz: “Al-Hakim, sang penghafal besar Al-Quran, imam para ahli hadis, Abu Abdillah Muhammad ibn Abdillah ibn Muhammad ibn Hamduweih ibn Nu’eim Adh-Dhobiy Ath-Thihani, seorang warga Naysabur yang masyhur dengan nama Ibnul Bay’. Ia pengarang banyak kitab. Ibnul Bay’ lahir pada Rabiul Awwal 321 H. Ia giat mempelajari hadis sejak usia dini di bawah asuhan ayah dan paman dari ibunya. Di usia belasan tahun, ia berangkat menuju Irak, lalu menunaikan manasik haji di Mekkah. Kemudian Ibnul Bay’ menelusuri negeri Khurasan dan Mawara Nahr. Di sanalah ia menemukan banyak hadis yang ia dengar dari sekitar dua ribu guru hadis.”

Al-Khatib Abu Bakar berkata: “Abu Abdillah Al-Hakim adalah seorang perawi yang terpercaya dan condong kepada mazhab Syi’ah.” Dan Abul Ghafir ibn Ismail mengatakan: “Abu Abdillah Al-Hakim adalah imam ahli hadis pada masanya. Ia benar-benar menguasai hadis secara penuh. Padanya ditemukan banyak karya ilmiah yang bisa mencapai kurang lebih seribu jilid tentang pelbagai bidang ilmu seperti kitab Takhrijush Shohihain, Tarikh Naysabur, Mazkal Akhbar, Al-Madkhal ila Ilmish Shohih, Al-Iklil, Fadhail Asy- Syafi’ie, dan kitab-kitab lainnya.

“Dan aku sungguh telah mendengar dari guru-guruku tentang kehidupan Abu Abdillah Al- Hakim. Dalam penilaian mereka, ulama-ulama terkemuka semasa Al-Hakim seperti; Ash-Sha’luki, Imam Ibnu Furak dan imam-imam yang lain, telah mengutamakannya di atas diri mereka sendiri, bahkan menghormati kedudukan ilmu dan mengakui nama besarnya secara penuh.”

Al-Hafidz Adz-Dzahabi telah mengulas kebesaran dan keutamaan Al-Hakim secara panjang lebar, dan mengatakan: “Ini semua hanyalah sekelumit dari riwayat hidupnya yang mulia dan kedudukannya yang tinggi. Dan siapa saja yang mencermati kalimat-kalimat di dalam karyakaryanya dan pendalamannya atas jalur-jalur periwayatan hadis, tentu ia akan menyadari keluasan ilmu dan keunggulannya di atas ulama-ulama terdahulu, serta keutamaannya di atas ulama-ulama yang datang setelahnya. Al-Hakim hidup mulia. Pada masanya, tidak ditemukan orang sepertinya.”

Kemudian, Adz-Dzahabi meriwayatkan sebuah sanad dari Al-Hafidz Muhammad ibn Thahir, bahwa ia bertanya kepada Sa’ad ibn Ali Az-Zanjani di Mekkah tentang orang yang paling kuat di antara empat tokoh penghafal Al-Quran; Ad-Darulquthni, Abdul Qhanie, Ibnu Mundah dan Al- Hakim. Sa’d menjawab bahwa Al-Hakim adalah yang terbaik dalam karangan di antara mereka.

Ibn Thahir berkata: “Aku bertanya kepada Abu Ismail Al-Nashari tentang Al-Hakim, ia menjawab bahwa Al-Hakim adalah perawi yang tsiqoh (terpercaya) dalam bidang hadis, namun seorang rafidhi yang busuk”. Lalu Ibnu Thahir berkata: “Al-Hakim dikenal sebagai orang yang sangat fanatik pada Syi’ah dalam batinnya, namun ia menampakkan kesunnian dalam perkara khilafah dan mendahulukan Abu Bakar dan Umar di atas Ali ibn Abi Thalib. Ia juga menolak Muawiyah dan keluarganya, meskipun menampakkan pengakuan pada mereka secara lahiriah.

Pendirian ini tidak bisa dimaklumi.” Saya katakan bahwa ihwal penolakan Al-Hakim terhadap musuh-musuh Ali bin Abi Thalib a.s. adalah fakta yang jelas dan tidak perlu diperdebatkan, adapun terhadap Abu Bakar dan Umar, bagaimanapun ia menghormati dua sahabat ini. Maka itu, Al-Hakim adalah seorang syi’ah, bukan rafidhi.

Al-Hafidz Abu Musa berkata: “Suatu ketika, Al-Hakim memasuki sebuah permandian. Selekas mandi, ia keluar lalu berkata lirih: “Aah...” Seketika itu pula, ia meninggal dalam keadaan memakai ‘abaah (gamis dalam) dan belum sempat mengenakan jubahnya. Kemudian Al-Qodhi Abu Bakar Al-Hairi menyolatinya. Al-Hakim wafat pada Shafar 405 H.

Demikianlah yang disebutkan dalam Tadzkirotul Huffadz karya Adz-Dzahabi, dan telah saya bawakan sebagian hal yang berkenaan dengan ihwal Al-Hakim pada pasal kedua dari bab kedua. Di sana, tampak jelas perihal kesyi’ahannya bagi para ahli.


11
Kisah Para Nabi Allah


Pasal Kelima

Tentang Orang Pertama yang Mengarang di Bidang Ilmu Klasik (Al-Awail)
Ketahuilah! Bahwa orang pertama yang mengarang kitab di bidang ini ialah Hisyam bin Muhammad ibn As-Saib Al-Kalbi. Ia wafat pada tahun 205 H. Sebagian ahli mengatakan bahwa orang yang pertama kali menyusun ilmu Al-Awail ialah Abu Hilal Al-Askari, penulis Kitab Ash-Shina’atain, dan wafat pada tahun 390 H. Kitab itu diringkas oleh As-Suyuthi dan dinamainya dengan judul Al-Wasail, yaitu ringkasan Al-Wasail tentang Al-Awail. Namun, ini tidaklah benar, karena Ibnu Nadim dalam Al-Fehrest telah menyebutkan bahwa kitab Al-Awail adalah salah satu karya Hisyam Al-Kalbi.

Silakan merujuk ke sana! Lagi pula, kepeloporan dalam penyusunan kitab di bidang itu tetap saja berada pada kaum Syi’ah, karena Abu Hilal Al-Askari juga dari kaum Syi’ah, sebagaimana yang telah saya analisa di dalam catatan kaki atas Ath-Thabaqot karya As-Suyuthi. Silakan merujuk ke sana!

Dalam kitab Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah membawakan nama-nama sekelompok dari para pakar ilmu Arkeologi, Rijal dan Sejarah. Di sini, untuk menyederhankan buku, saya tidak melakukan itu.[]


Bab Kesepuluh

Kepeloporan Syi’ah di Bidang Sastra Arab

Pasal Pertama

Tentang Orang Pertama yang Membatasi dan Menghimpun Ucapan Orang Arab ke dalam Sebuah Cabang Ilmu, lalu Menjelaskan Strukturnya dalam Bentuk Huruf Hijaiyah danUrutannya
Ketahuilah! Sesungguhnya orang pertama yang menggagas sastra Arab¯menurut pendapat yang benar¯ialah seorang ulama besar, guru besar dan pamungkas sastra, pengurai lisan Arab, Yang Mulia, Abul Shafa’ Al-Khalil ibn Ahmad Al-Azdi Al-Yahmadi Al-Farahidi. Mengenai Al-Khalil ibn Ahmad Al-Farahidi, tidak ada perselisihan pendapat di antara pakar sastra Arab. Al-Azhari dalam pengantar kitab At-Tahzib mengatakan: “Saya tidak menemukan perselisihan di antara para pemuka ilmu dan pakar bahasa, bahwa pengagasan awal di permulaan kitab Al-‘Ain dilakukan oleh Abu Abdurrahman Al-Khalil ibn Ahmad, sedangkan Ibn Mudzaffar menyempurnakan kitab tersebut setelah Al-Khalil mendiktekannya kepadanya. Dan saya tahu benar bahwa tidak ada seorang pun yang mendahului Al-Khalil dalam penggagasan dan penjabaran ilmu tersebut.”

Saya katakan bahwa tidak ada perdebatan tentang orang pertama yang memetakan ilmu bahasa Arab, yaitu Al-Khalil ibn Ahmad. Dialah orang pertama yang menyusun kitab di bidang ini. Hanya saja, perdebatan terjadi seputar sebuah karangan yang beredar di masyarakat umum, yaitu kitab Al-‘Ain yang dinisbahkan kepada Al-Khalil ibn Ahmad. Ada yang menafikan keabsahan penisbahan itu, ada pula yang menegaskannya. Lalu, di antara para penegas, ada yang menegaskan seluruh kitab tersebut, ada juga yang hanya menegaskan sebagiannya. Saya telah berusaha menukil sejumlah statemen dari para pakar bahasa Arab dan dalil-dalilnya di dalam Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam. Di dalam kitab ini, saya juga memberikan pengadilan ilmiah terhadap kalimat-kalimat mereka dan memeriksa yang benar. Selain itu, saya mempunyai sebuah naskah yang lengkap dan indah dari kitab Al-‘Ain.

Dapat dipastikan bahwa Al-Khalil ibn Ahmad Al-Farahidi adalah seorang ulama Syi’ah. Guru besar Syi’ah, Jamaluddin ibn Al-Muthahhar dalam kitab Al-Khulashah mengatakan: “Al-Khalil ibn Ahmad adalah seorang ulama terdepan dan bapak sastra Arab. Pendapatnya adalah bukti yang kuat. Ia merumuskan sistem ‘Arudh dalam sastra Arab. Popularitas keunggulannya lebih masyhur dari sekedar diungkapkan. Dan ia adalah penganut mazhab Syi’ah Imamiyah.”

Al-Maula Abdullah Afandi dalam kitab Riyadul Ulama’ mengatakan: “Al-Khalil sungguh tinggi kedudukannya, besar kemuliaannya. Ia adalah orang yang paling utama di bidang sastra Arab. Ia adalah pengikut mazhab Syi’ah Imamiyah. Kepadanya ilmu ‘Arudh dinisbahkan. Al-Khalil hidup pada masa Yang Mulia Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s., bahkan pada masa Imam Muhammad Al- Baqir a.s.” Dalam Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah paparkan riwayat hidupnya.

Pasal Kedua

Tentang Sebagian Pakar Termasyhur Bahasa Arab dari Syi’ah yang Mengungguli Selain Mereka
Di antara mereka adalah Ibnu Sikkit. Abul Abbas Tsa’lab berkata: “Ulama-ulama Syi’ah bersepakat bahwa tidak ada orang yang paling menguasai ilmu bahasa setelah Ibnu Al-‘A’rabi daripada Ibnu Sikkit.”

Saya katakan bahwa Ibnu Sikkit tewas dibunuh oleh Al-Mutawakkil lantaran kesyi’ahannya. Ia amat terkenal sebagai penganut Syi’ah. Usia Ibnu Sikkit mencapai 58 tahun dan meninggal sebagai syahid pada malam Senin, 5 Rajab 244 H., sebagian mengatakan 246 H., ada pula yang mengatakan 243 H. Iamengarang bebarapa kitab, di antaranya ialah Ishahul Mantiq. Tentang kitab ini, Al-Mubarrad mengatakan sebuah kalimat yang tertera di atas jembatan Baghdad, bahwa kitab Fil Lughah mirip dengan kitab Ishlahul Mantiq.

Selain itu, Ibnu Sikkit juga mengarang kitab Al-Alfadz, Az-Zubruj, Al-Amtsal, Al-Maqshur wal Mamdud, Al-Mudzakkar wal Muannats, kitab berukuran besar Al-Ajnas, Al-Farq, As-Sarj wal-Lijam, Al- Wuhusy, Al-Ibil, An-Nawadir, Ma’anisy Syi’r yang besar dan kecil, kitab Sariqotusy Syu’ara’, Fi’l wa If’al, Al-Hasyarat, Al-Ashwat, Al-Adhdad, dan kitab Asy-Syajar wal Ghabat. Coba amati karya-karya ini! Bagaimana ia menulis semua itu dalam usianya yang relatif singkat. Selain di atas ini, terdapat hadishadis yang diriwayatkannya dari Imam Ali Ar-Ridha, Imam Muhammad Al-Jawad dan Imam Ali Al-Hadi a.s.

Di antara mereka ialah Abul Abbas Al-Mubarrad Al-Azdi. Dia seorang pakar bahasa Arab dari Basrah. Afandi di dalam Riyadul ‘Ulama’ di bab ‘Al-Alqob’ mengatakan: “Al-Mubarrad adalah seorang guru besar yang disegani. Nama lengkapnya ialah Muhammad ibn Yazid ibn Abdul Akbar. Pada masanya, ia dikenal sebagai imam sastra Arab dan Nahwu, dan seorang ulama terkenal Syi’ah Imamiyah. Pendapatnya diterima oleh kedua mazhab; Syi’ah dan Ahli Sunnah. Al- Mubarrad adalah penulis kitab Al-Kamil dan kitab-kitab lainnya. Saya telah melihat kitab Al-Kamil di kota Costantinopel di departemen wakaf. Kitab itu membuka wawasan yang amat berguna. Al- Mubarrad wafat di Baghdad pada tahun 285-6 H.” Kesaksian yang sama juga dibawakan oleh penulis kitab Ar-Raudhat.

Tentang Al-Mubarrad, banyak sumber yang dinukil dari sebagian imam Ahlul Bait a.s. yang memberikan kesaksian atas kesyi’ahannya. Di dalam Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah memaparkan semua itu. Ia lahir pada tahun 220 H dan wafat pada 285 H. Di antara karya-karya Al-Mubarrad ialah kitab Ma’anil Quran, Nasabu Adnan wa Qohthan, Ar-Radd ‘ala Sibaweih, Syarah Syawahidul Kitab, Dharuratusy Syi’r, Al-‘Arudh, Man Ittafaqo Lafduhu wakhtalafa Ma’nahu, Thabaqotul Bashariyyin, dan kitab-kitab lainnya.

Di antara mereka ialah Abu Bakar ibn Duraid Al-Azdi, seorang imam Bahasa Arab. Ia termasuk ulama terkemuka di pelbagai bidang ilmu selama 60 tahun. Ibnu Duraid lahir di Basrah pada 223 H. Di kota itu pula ia tumbuh dewasa. Tatkala Basrah ditaklukkan oleh bangsa Zanj, Ibnu Duraid melarikan diri ke Oman dan tinggal di sana selama 12 tahun, lalu kembali ke tanah kelahirannya. Tak lama kemudian, ia bergerak menuju Iran sampai ke Bani Miekal. Di sanalah ia dihormati dan dipercayai sebagai pengawas majelis.

Setelah dipecat oleh Bani Miekal, Ibnu Duraid pergi ke Baghdad pada tahun 308 H. Di sana ia berhubungan dekat dengan Ibnu Furat yang saat itu menjabat sebagai menteri Khalifah Al- Muqtadir Billah. Segera ia menjadi kepercayaan Khalifah dan ditunjang setiap bulan kurang lebih 50 Dinar. Demikianlah Ibnu Duraid selalu dihormati dan dimuliakan hingga menemui ajalnya pada bulan Sya’ban 321 H. Usainya mencapai 98 tahun.

Di antara karya-karya Ibnu Duraid ialah kitab As-Sarj wal-Lijam, Al-Muqtabas, Zuwwarul Arab, Al-Lughat, As-Silah, Gharibul Quran, Al-Wisyah, dan kitab Al-Jamharah fil Lughah sebesar enam jilid. Saya hanya dapat memiliki dua jilid dari kitab itu; yaitu jilid ketiga dan jilid keempat yang dicetak di masa hidup penulisnya. Selain itu, Ibnu Duraid juga mem-punyai beberapa penggalan syair, qosidah dalam bentuk maqshur dan mamdud. Ia juga membuat qasidah pendek yang kaya akan makna hikmah dan sastra dan menjadi fokus syarah para ulama. Bahkan Syeikh Rasyiduddin ibn Syahrasyub Al-Mazandarani dalam Ma’alimul ‘Ulama’ mengategorikannya ke dalam penyair Ahlul Bait a.s. dan salah seorang pembela hak-hak mereka.

Di antara bait-bait syair Ibnu Duraid yang menyatakan kesetiaannya pada Ahlul Bait a.s. ialah:

Kucintai Nabi Muhammad, sang washi Ali

Dua anaknya dan putrinya Al-Batul nun suci

Merekalah pemilik wilayah

Demi wilayah mereka di Akhirat

Kuharap selamat dan merdeka

Kuyakini cinta penganut keutamaan mereka

Sebuah syarat pelindung dari kesesatan dan dosa

Dengannya kuharap keridhaan Tuhan semata

Di hari Wuquf di bawah terik membara

Kesyi’ahan Ibnu Duraid telah tercatat dalam kitab Riyadhul Ulama’, Ma’alimul Ulama’, Amalul Amil, dan Thabaqotusy Syi’ah karya Al-Qodhi Al-Mar’asyi. Dalam Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah membawakan redaksi kesaksian mereka. Di antara mereka ialah Abu Amr Az-Zahid. At-Tannuhi mengatakan: “Selama ini, aku tidak menemukan orang yang paling kuat hafalannya selain Abu Amr. Ia mendiktekan hafalannya sebanyak 3000 lembar.”

Abu Amr lahir pada tahun 261 H. dan wafat pada tahun 345 H. Ia mengarang kitab, di antaranya kitab Manaqib Ahlul Bait yang diringkas oleh Ibnu Thawus, dan diriwayatkan sejumlah hadis dari kitab itu dalam kitab Sa’dus Sa’ud. Begitu pula, penulis kitab Tuhfatul Abrar, Sayyid Syarif Husein ibn Musa’id Al-Husaini Al-Hairi meriwayatkan hadis dari kitab Manaqib Ahlul Bait karya Abu Amr. Husein ibn Musa’id juga memberikan kesaksian atas kesyi’ahannya. Kitab Abu Amr lainnya adalah Asy-Syura’ sebagaimana tercatat di dalam Kasyfu Dzunun dan Al-Yawaqit, Syarah Al-fashih faitul Fashih, Gharib Musnad Ahmad, Kitabul Marjan Al-Muwasyah, Tafsir Asmausy Syi’ara, Faitul Jamharah, Faitul ‘Ain, Al-Madkhal, Ma ankarohul A’rab ‘ala Abi Ubaidah.

Afandi dalam Riyadul ‘Ulama’ menyatakan bahwa Abu Amr adalah ulama Syi’ah Imamiyah dan ia menulis kitab Al-Lubab. Ibnu Thawus menukil dari kitab Abu Amr riwayat yang banyak di pelbagai karyanya, seperti kitab Al-Manaqib. Sebagian ulama terakhir meriwayatkan hadis dalam kitab-kitab mereka darinya; yakni riwayat yangmengungkapkan keutamaan Ahlul Bait a.s.

Saya katakan bahwa tak syak lagi, Abu Amr adalah seorang syi’ah dari warga Tabar. Ia dikenal juga dengan nama Shohib Taghlab dan Ghulam Taghlab, meskipun saya belum menelitinya. Dalam Bughyatul Wu’at disebutkan riwayat hidupnya secara rinci. Di antara mereka ialah Ahmad ibn Faris ibn Zakaria ibn Muhammad ibn Habib Abul Hasein, seorang pakar bahasa Arab termasyhur dari mazhab Kufah. Ahmad ibn Faris adalah penulis kitab Al-Mujmal fil Lughah, dan kitab Fiqhul Lughah yang dikenal pula dengan nama Ash-Shohibi lantaran dikarang untuk Ash-Shohib ibn ‘Ibad. Riwayat hidup Ahmad ibn Faris disebutkan di dalam Al- Wafiyyat dan Bughyatul Wu’at.

Namun, As-Suyuthi telah melakukan kerancuan saat ia mengatakan: “Ahmad pernah menganut mazhab Syafi’iyah lalu beralih ke mazhab Malikiyah.” Sebab, Ahmad adalah penganut Syi’ah Imamiyah sebagaimana dicatat oleh Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi dalam kitabnya; Fehrest Al-Mushannif minal Imamiyyah. Di dalam kitab ini pula terdaftar karya-karyanya. Hal yang sama juga dibawakan oleh Mirza Al-Istarabadi di dalam kitabnya yang besar, Minhajul Maqol, Sayyid Al- Bahrani Hasyim At-Taubali dalam Raudhatul ‘Arifin bi Wilayati Amiril Mu’minin a.s., dan oleh penulis kitab Tsaqibul Manaqib. Dari Ahmad-lah diriwayatkan sebuah hadis tentang Syeikh Al- Hamadani yangmelihat Imam Al-Mahdi Al-Muntadzar ibn Imam Hasan Al-Askari a.s.

Secara singkat, bisa dipastikan bahwa Ahmad ibn Faris adalah seorang syi’ah, hanya mungkin ia selalu merahasiakan keyakinannya dengan lahiriahnya sebagai penganut mazhab Syafi’iyah dan Malikiyah. Ahmad wafat pada tahun 395 H.

Di antara mereka ialah Ash-Shohib ibn ‘Ibad, seorang menteri Fakhruddaulah. Ia mengarang kitab di bidang tata bahasa Arab, yaitu kitab Al-Muhith fil Lughah sebanyak sepuluh jilid. Kitab ini disusunnya menurut huruf Hijaiyah; membawakan begitu banyak statemen dan sedikit bukti-bukti referensial. Kitab lainnya ialah Jauharotul Jamharah. Kedua kitab ini berada pada saya.

Begitu pula, ia mengarang kitab di bidang sastra, yaitu kitab Al-A’yad, kitab Al-Quzara’, kitab Al-Kasyf ‘an Masawil Mutanabbi, serta beberapa risalah mengenai seni penulis yang disusunnya dalam lima belas bab. Ash-Shohib juga menyusun sebuah diwan syair dan sebuah kitab tentang ilmu Kalam, yaitu Asmaullah Ta’ala wa Shifatuhu, Al-Anwar fil Imamah, dan kitab Al-Ibanah ‘anil Imam. Dialah orang pertama dari para menteri yang memberikan pujian dalam bentuk syair sebanyak seratus ribu bait qosidah dalam bahasa Arab dan Persia. Al-Hasan ibn Ali Ath-Thabarsi dalam kitab Al-Kamil Al- Bahaie mengatakan: “Ash-Shohib ibn ‘Ibad mempunyai sepuluh ribu bait syair sanjungan atas kemuliaan Ahlul Bait a.s.”

Pada hemat saya, Ash-Shohib ibn ‘Ibad lahir pada bulan Dzilqo’dah 324 H. Ia belajar sastra Arab pada Ahmad ibn Faris dan Ibnu ‘Amid, dan menjabat sebagai menteri selama 18 tahun satu bulan di masa kekuasaan Muayyiduddaulah dan saudaranya; Fakhruddaulah ibn Ruknuddin ibn Buweih. Ia wafat pada malam Jumat, 24 Shafar 385 H. Terdapat bait-bait syair sendu dari Syarif Ar-Radhi untuk kematiannya.

Di antara mereka ialah Ibnu Kholaweih Al-Hamadani, seorang pakar tersohor di setiap cabang ilmu dan sastra. Ketika itu, ia menjadi pusat pencarian ilmu dari pelbagai negeri. Ibnu Khalaweih adalah pengarang kitab Kadza wa Laisa Kadza; yaitu kitab yang disusun dari awal sampai akhirnya dari hal-hal yang bukan dari akar kata bahasa Arab.

Ibnu Kholaweih masuk ke Baghdad untuk menuntut ilmu pada tahun 314 H. Di kota itu ia belajar Nahwu dan sastra Arab pada Ibnu Duraid dan Abu Amr Az-Zahidi dan selain mereka berdua. Lalu ia mengarang kitab Al-Jumal fin Nahw, Al-Isytiqoq, Athroghusy fil Lughah, Al-Qiroat, Syarah atas Al-Maqshurah karya Ibnu Duraid, Al-Maqshur wal Mamdud, Al-Alghaz, Al-Mudzakkar wal Muannats, dan kitab Al-Aal yang di dalamnya membuktikan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib a.s. dan sebelas keturunannya sebagaimana yang disebutkan oleh An-Najasyi.

Al-Yafi’ie dalam Miratul Jinan berkata: “Ibnu Kholaweih juga mengarang kitab indah yang berjudul Al-Aal. Di awal-awal kitab ini, ia menyebutkan rincian makna-makna al-aal, kemudian membahas dua belas imam dari keluarga (al-aal) Nabi Muhammad saw., sejarah kelahiran dan wafat mereka, serta ayah-ayah dan ibu-ibu mereka”. Ibnu Khalkan menuturkan: “Sesuatu yang membuatnya membahas mereka (dua belas Imam) ialah tatkala ia mengatakan bahwa di antara aneka makna al-aal adalah aal (keluarga)Muhammad; yaitu Bani Hasyim.”

Pada hemat saya, Ibnu Khalkan sendiri tidak mengenal Ibnu Kholaweih sebagai orang syi’ah. Barangkali ia keliru lantaran kesamaan nama panggilan nasab, di mana Afandi dalam Riyadul ‘Ulama’ mengatakan bahwa panggilan nasab Ibnu Kholaweih digunakan pada sekelompok ulama yang di antara mereka terdapat nama Syeikh Abu Abdillah Al-Hasan; seorang ulama penganut mazhab Ahli Sunnah-Syafi’iyah. Ia meriwayatkan hadis dari Imam Asy-Syafi’ie melalui dua perantara, dan mengarang kitab Ath-Thariqoh.

Masih menurut Afandi, panggilan Ibnu Khalaweih juga digunakan pada Abu Abdillah Al- Husein ibn Ahmad ibn Khalaweih Al-Hamadani, seorang pakar Nahwu bermazhab Syi’ah Imamiyah, tinggal di Halab (Suriah). Ia hidup semasa dengan Ash-Shohib ibn ‘Ibad dan sejawatnya.

Selain itu, panggilan nasab itu juga dinisbahkan pada Syeikh Abul Hasan Ali ibn Muhammad ibn Yusuf ibn Mahjur Al-Farisi yang dikenal pula dengan nama Ibnu Kholaweih, juga seorang penganut Syi’ah Imamiyah.

Saya katakan bahwa guru-guru besar Syi’ah Imamiyah telah memberikan kesaksian mereka atas kesyi’ahan Ibnu Kholaweih; bahwa ia bermazhab Syi’ah Imamiyah, seperti dalam kesaksian Abul Abbas An-Najasyi, Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi, Jamaluddin ibn Al-Muthahhar Al-Hilli di dalam Al-Khulashoh, dan selain mereka.

Pasal Ketiga

Kepeloporan Syi’ah di Bidang Ilmu Insya’ (Seni Karang)
Orang pertama yang meletakkan rumus-rumus Insya’ dan menggagasnya sebagai sebuah disiplin ilmu ialah Abul Hasan Ahmad ibn Faris, seorang tokoh bahasa Arab yang telah disinggung di atas tadi. Ia telah menulis karangan semacam risalah yang kemudian dikembangkan oleh para pakar sastra Arab, dan disusun secara harmonis oleh murid pertamanya yang bernama Badi’uzzaman Al- Hamadani, seperti yang akan datang pembahasan seputar ihwal dirinya pada pasal keempat. Ia mengadopsi sistematika seni karang gurunya dan meletak-kan rumus-rumusnya.

Oleh karena itu, Al-Hamadani juga memiliki keutamaan sebagai pelopor di bidang ini. Ia adalah penganut Syi’ah. Di antara tokoh ilmu Insya’ dari kaum Syi’ah ialah Ibnu ‘Amid, Ash- Shohib ibn’Ibad, Abu Bakar Al-Khorazmi dan beberapa kelompok ahli yang akan saya ulas pada pasal keempat.


12
Kisah Para Nabi Allah


Pasal Keempat

Kepeloporan Syi’ah dalam Seni Tulis di Dunia Islam
Orang pertama yang menulis untuk Rasulullah saw. adalah kaum Syi’ah, sebab Khalid ibn Said ibn Al-‘Ash adalah orang pertama yang menulis untuk beliau saw. Sebagaimana yang dicatat oleh Sayyid Ali ibn Shadruddin Al-Madani di dalam Ad-Darajat Ar-Rafi’ah fi Thabaqot As-Syi’ah, Khalid termasuk di dalam kategori generasi pertama dari Syi’ah. Sementara Sayyid Al-A’raji memasukkannya ke dalam kelompok tokoh Syi’ah dari sahabat Nabi saw., begitu juga Al-Qodhi Nurullah Al-Mar’asyi di dalam Thabaqot Asy-Syi’ah.

Tatkala membahas ihwal Khalid, Allamah An-Nuri dalam Al-Mustadrak mengatakan: “Ia adalah orang mulia dari Bani Umayyah terdahulu dan termasuk dari para pemegang setia hak kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib a.s. Rasulullah saw. mempercayakan kepadanya urusan zakat di Yaman. Dan ia senantiasa dalam tugasnya sampai mendengar wafat Rasul saw., lalu meninggalkan tugasnya dan bergegas menuju Madinah dan menemani Ali a.s. Ia tidak memberikan baiat kepada Abu Bakar sampai Ali mendesaknya untuk berbaiat, maka ia pun berbaiat kepada Abu Bakar.”

Yakni, Khalid termasuk salah satu dari dua belas sahabat yang menolak Abu Bakar dan mendebat hak kekhalifahannya di hari Jum’at tatkala ia berdiri di atas mimbar, sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadis mulia di dalam kitab Al-Khishal dan Al-Ihtijaj”. Data yang sama juga dibawakan oleh Syeikh Abu Ali di dalam kitabnya, MuntahalMaqol fi Ahwal Ar-rijal.

Dan orang yang pertama kali menulis untuk Ali bin Abi Thalib a.s. ialah Ubaidillah ibn Abu Rafi’e; budak Rasulullah saw. Ibnu Qutaibah dalam Al-Ma’arif berkata: “Ia senantiasa menulis untuk Ali ibn Abi Thalib sepanjang masa kekhali-fahannya”. Ibnu Hajar dalam At-Taqrib mengatakan: “Ibnu Abu Rafi’e adalah penulis Ali dan satu dari tiga orang yang terpercaya.”

Tentang riwayat hidup Ubaidillah Abu Rafi’e, An-Najasyi mengatakan: “Dan kedua anaknya; Ubaidillah dan Ali adalah penulis Ali ibn Abi Thalib a.s.” Saya katakan bahwa kedua nama ini telah disinggung secara rinci sebelum ini. Tentunya, Ibnu Abu Rafi’e pantas disebut sebagai sekretaris, jauh sebelum Dinasti Abbasiyah menyebutnya sebagaimenteri.

Dan terdapat sekelompok Syi’ah yang telah menduduki kementerian kesekretariatan; yang pertama di antara mereka ialah seorang warga Kufah yang bernama Abu Salamah Al-Khallal Hafsh ibn Salman Al-Hamadani. Ia adalah menteri pertama yang menjabat di awal pemerintahan Abbasiyah. Abu Salamah dikenal dengan kefasihannya yang murni dan wawasannya yang luas tentang sejarah, hadis, syair, siroh, seni debat, tafsir. Ia cakap dalam berargumentasi, pemurah dan wibawa.

Tatkala Harun Ar-Rasyid As-Saffah ditahbiskan sebagai khalifah, ia mengangkat Abu Salamah sebagai menterinya dan mempercayakan urusan negara kepadanya, termasuk dinasdinas pemerintahan. Maka, Abu Salamah pun dijuluki sebagai menteri Aal (keluarga) Muhammad. Namun ia sendiri menyimpan maksud-maksud tertentu. Ketika ia bergaul dan mengenal baik ihwal kehidupan Bani Abbasiyah, segera ia membelot dari mereka ke Bani (keluarga) Ali a.s.

Perubahan sikap ini disampaikannya kepada tiga mata-mata mereka. Tak lama kemudian, As- Saffah membunuh Abu Salamah lantaran kesyi’ahannya. Di antara mereka ialah Abu Abdillah Ya’qub ibn Dawud, seorang menteri Khalifah Abbasiyah, Al-Mahdi. Ash-Shouli mengatakan: “Ketika itu, sang ayah; Dawud dan saudara-saudaranya menjadi sekretaris Nashr ibn Yasar, gubernur Khurasan. Ya’qub ibn Dawud sendiri adalah seorang Syi’ah.

Pada mulanya, ia condong kepada keluarga Abdullah ibn Al-Hasan ibn Al-Hasan, dan terjadi percakapan intensif dengan mereka, sehingga Khalifah Al-Mahdi yakin akan kesyi’ahannya. Keadaan itu demikian berlangsung sampai Khalifah Ar-Rasyid berkuasa, lalu mengusirnya. Ya’qub segera pergi ke Mekkah. Belum lama menetap di sana, ia mening-gal pada tahun 186 H.”

Di antara mereka ialah keluarga Sahal. Mereka adalah menteri-menteri khalifah Al-Ma’mun. Orang pertama dari mereka ialah Al-Fadhl ibn Sahal, sang pemilik dua keutamaan lantaran padanya terhimpun dua kekuatan pedang dan pena. Dan ketika Al-Ma’mun mengalihkan khilafah ke keluarga Ali, Al-Fadhl ibn Sahal bekerja sebagai panitia peralihan ini dengan sangat teliti dan waspada. Namun, Al-Ma’mun pun segera mengetahui penolakan keras keluarga Abbasiyah di Baghdad atas peralihan tersebut sampai mereka menurun-kannya dari kekhalifahan lalu membaiat pamannya yang bernama Ibrahim.

Tak ayal lagi, Al-Ma’mun pun kalut dan bingung, hingga menghasut sekelompok orang untuk melakukan konspirasi atas Al-Fadhl ibn Sahal. Al-Fadhl tewas dibunuh oleh mereka di permandian. Setelah itu, Al-Ma’mun membunuh Imam Ali Ar-Ridha a.s. dengan racun, kemudian mengirimkan kabar ke Baghdad bahwa perkara Ali ibn Musa (Ar-Ridha) yang kalian tolak telah aku tuntaskan.

Peristiwa ini terjadi pada tahun 204 H. Kemudian, Al-Ma’mun mengangkat Al-Hasan ibn Sahal sebagai menterinya. namun, tak lama kemudian, Al-Ma’mun mengalami kegelisahan yang berat akibat kesedihannya atas keadaan saudaranya, sampai ia mengurung diri di dalam rumahnya untuk memulihkan kondisi mental. Ia meminta salah satu sekretarisnya seperti Ahmad ibn Abi Khalid, Ahmad ibn Yusuf dan selain mereka untuk menggantikan posisinya. Al-Hasan ibn Sahal wafat pada tahun 236 H. di masa pemerintahan Al-Mutawakkil.

Di antara mereka ialah Ibnu Abi Al-Azhar Muhammad ibn Mazid ibn Mahmud ibn Abi Al-Azhar An-Nausyaji, salah seorang sekretaris Khalifah Al-Muntashir dan penulis kitab Al-Haraj wal Maraj; kitab yang mengungkapkan penga-laman Khalifah Al-Musta’in dan Khalifah Al-Mu’tazz serta kisah orang-orang gila yang pintar. Guru-guru besar Syi’ah telah menyebutkan keberadaan kitab ini di kalangan sahabat Imam Ali Ar-Ridha, Imam Muhammad Al-Jawad dan Imam Ali Al- Hadi a.s. Ibnu Abi Al-Azhar wafat pada tahun 235 H di usianya yang kesembilan puluh lebih.

Di antara mereka ialah Abul Fadhl Ja’far ibn Mahmud Al-Iskafi, seorang menteri di masa Khalifah Al-Mu’tazz dan Khalifah Al-Muhtadi. Di antara mereka ialah Abul Hasan Ali ibn Al-Furat. Ia memangku jabatan kementerian sebanyak tiga kali pada masa Khalifah Al-Muqtadir. Ash-Shouli mengatakan: “Keluarga Al-Furat termasuk keluarga termulia di tengah masyarakat, mereka dikenal dengan kemurahan, kecerdasan, kesetiaan, kewibawaan dan kebesaran jiwa. Hari-harinya selalu menjadi rujukan masyarakat. Ia senantiasa berpindah-pindah dari satu dinas ke dinas kementerian lainnya, sampai kali ketiga ia tertangkap dan dibunuh. Ini terjadi pada tahun 312 H.”

Selain Abul Hasan, ada pula dari keluarga Al-Furat yang menjabat sebagai menteri Khalifah Al- Muqtadir, yaitu Abul Fadhl Ja’far. Pada masa kementeriannya, Al-Muqtadir tewas terbunuh. Lalu, putranya yang bernama Abul Fath Al-Fadhl ibn Ja’far ibn Al-Furat diangkat sebagai menteri Khalifah Ar-Radhi Billah. Lalu, Abu Syuja’ Dhahiruddin Muhammad ibn Hasan Al-Hamadani menjadi menteri Khalifah Al-Muqtadi dan dipecat dari jabatannya atas permintaan Jalaluddaulah Malik Syah kepada Al-Muqtadi. Abu Syuja’ dipecat karena bermazhab Syi’ah. Setelah itu, ia hidup serbazuhud dan memilih tinggal di Madinah sampai menemui ajalnya di sana pada tahun 513 H.

Di antara mereka ialah Syeikh Abul Ma’ali Hibatullah ibn Muhammad ibn Al-Muthalib. Ia adalah menteri Khalifah Al-Mustadzhir, dan salah satu ulama dari jajaran menteri. Di antara para menteri, Abul Ma’ali adalah yang terbaik dan paling disegani. Di dalam Jami’ At-tawarikh, ia disebut sebagai penganut Syi’ah. Penulisnya mengatakan: “Karena mazhab-nya ini, Muhammad ibn Malik Syah tidak menyukai posisi kementeriannya. Segera ia mengirim surat kepada khalifah dan mempertanyakannya; bagaimana mungkin Abul Ma’ali menjadi menteri khalifah sementara dia penganut Syi’ah. Berkali-kali ia mengirim surat dengan isi yang sama, hingga akhirnya Khalifah Al-Mustadzhir pun memecat Abul Ma’ali.

Setelah menerima keputusan ini, Abul Ma’ali mendatangi Sultan Muhammad ibn Malik Syah dan menemuinya dengan perantara Sa’dul Mulk Al- Auji; menteri Sultan. Ia memohon kepada sultan dan berusaha keras meyakinkannya. Sultan pun mengabulkannya dengan satu syarat; bahwa ia tidak boleh keluar dari mazhab Ahli Sunnah wal Jama’ah selama menjabat sebagai menteri. Selekas itu, Sultan Muhammad mengirimkan surat kepada Khalifah Al-Mustadzhir supaya mengembalikan Abul Ma’ali ke posisinya semula. Tatkala kekhalifahan berganti, ia bertolak ke Isfahan dan bekerja di lingkungan istana Sultan Muhammad ibn Malik Syah sampai akhir hayatnya.”

Di antara mereka ialah Syeikh Anu Syirwan ibn Khalid ibn Muhammad Al-Kasani. Ia adalah menteri Khalifah Al-Mustarsyid. Ibnu At-Thaqthaqi berkata: “Abu Syirwan adalah seorang tokoh dan lelaki terhormat di tengah masyarakat. Ia menjabat sebagai menteri pada beberapa kesultanan dan kekhalifahan.” Ibnu Katsir di dalam Ta’rikh-nya menyatakan kesyi’ahan Anu Syirwan dan berkata: “Ibnu Al-Hariri menulis untuknya kitab Al-Maqomat Al-Haririyah dan menyanjungnya melalui bait-bait qosidah yang panjang. Nama Anu Syirwan juga disebutkan dalam Ta’rikhul Wuzara’ dan dikatakan: “Ia sungguh terunggul dalam segenap bidang ilmu dan sastra Arab, penguasai penuh seluk beluk sastra dan bahasa Arab. Anu Syirwan menghabiskan sebagian besar usianya dalam menelaah ilmu-ilmu aqli dan naqli.” Anu Syirwan wafat pada tahun 532 H.

Di antara mereka ialah Muayyiduddin Muhammad ibn Muhammad ibn Abdul Karim Al- Qummi, seorang ulama bermazhab Syi’ah Imamiyah, dari keturunan Miqdad ibn Al-Aswad. Muayyiduddin menjabat kementerian pada masa Khalifah An-Nashir, Khalifah Adz-Dzahir dan Khalifah Al-Mustanshir sampai hari wafatnya pada tahun 629 H.

Di antara mereka ialah Syeikh Muayyiduddin Abu Thalib Muhammad ibn Ahmad ibn Al- ‘Alqomi Al-Asadi, seorang menteri Khalifah Al-Musta’shim. Ia telah mengarang untuk khalifah kitab Ash-Shoghoni Al-Lughawil ‘Ibab; sebuah kitab yang indah dalam sastra Arab. Selain Muayyiduddin ibn Al-‘Alqomi, ‘Izzuddin ibn Abil Hadid juga mengarang untuk khalifah Al-Mu’tashim kitab Syarah Nahjul Balaghah. Khalifah Al-Musta’shim mengganjar mereka berdua dengan hadiah yang banyak. Sejak saat itu, Muayyiduddin ibn Al-‘Alqomi menjadi pujian para penyair, tempat rujukan ulama. Namun, ia didzalimi oleh sebagian ulama Ahli Sunnah; mereka menuduhnya sebagai penghianat kepada-nya, padahal ia tidak melakukan kebusukan tersebut.

Dalam rangka menerangkan berapa keteledoran Khalifah Al-Musta’shim dan kelengahannya, Ibnu Ath-Thaqthaqi me-nuturkan: “Al-Musta’shim memiliki seorang menteri bernama Muayyiduddin ibn Al-‘Alqomi yang mengetahui persoalan yang sebenarnya. Ia mengingatkan Khalifah agar selalu sigap, waspada dan siaga penuh. Namun Khalifah malah bertambah lengah, sebab orang-orang di sekelilingnya selalu meyakin-kannya bahwa tak ada ancaman yang berarti dalam masalah tersebut, hanya sang menteri saja yang membesar-besarkan masalah supaya dia mendapatkan perhatian khusus dan impahan kekayaan dari Khalifah, sehingga dengan begitu ia dapat menggalang pasukan untuk menggulingkan Khalifah...” Tentunya, Muayyiduddin ibn Al- ‘Alqomi adalah orang ter-pandang dan termulia di jamannya.

Di antara mereka ialah Muhammad ibn Ahmad, seorang menteri dan anak seorang menteri Muhammad Abu Sa’ad ‘Amidi. Ia juga ketua perhimpunan seni karang di Mesir sebanyak dua kali. Muhammad ibn Ahmad termasuk tokoh ilmu Bahasa Arab dan Nahwu. Yaqut mengatakan: “Ia adalah seorang tokoh Nahwu, sastra, pengarang, tinggal di Mesir, dan mengetuai perhimpunan seni karang lalu sempat dipecat, walaupun kemudian memimpin kembali perhimpunan. Ia mengarang kitab Tanqihul Balaghah, Al-‘Arudh, Al-Qowafie, dan lain-lain.”

Muhammad ibn Ahmad wafat pada hari Jumat, 5 JumadilAkhir 433 H. Saya katakan bahwa Muntajabuddin ibn Babaweih telah membawakan riwayat hidup Muhammad dalam Fehrest Al-Mushonnifin minal Syi’ah. Dalam Kasyf Adz-Dzunun disebutkan tahun wafatnya jatuh pada 423 H., yaitu ketika penulisnya membahas kitab Tanqihul Balaghah. Di antara mereka ialah Abul Qosim Al-Husein ibn Ali ibn Al-Husein ibn Muihammad ibn Yusuf, seorang menteri dari negeri Maroko dari keturunan Bals ibn Behram Kur. Ibunya bernama Fatimah binti Abu Abdillah Muhammad ibn Ibrahim ibn Ja’far An-Nu’mani, penulis kitab Al- Ghaibah, sebagaimana yang dicatat oleh An-Najasyi di dalam Asma’ Mushannifisy Syi’ah, dan Ibnu Khalkan di dalam Al-Wafiyyat. Kedua ulama ini mendata sejumlah karya-karyanya.

Abul Qosim lahir pada tahun 307 H. Ia menjadi menteri pada pemerintahan Khalifah Mu’tamidaulah di Mushil, lalu pada pemerintahan Khalifah Syarafudaulah Al-Buweihi di Baghdad, lalu pada pemerintahan sultan Ahmad ibn Marwan di kawasan Bakar dan tinggal di sana dan wafat di daerah Miya Fariqain pada tahun 418 H. Atas dasar wasiatnya, mayat Abul Qosim dibawa ke Najaf, sebagaimana yang terdapat dalam riwayat hidupnya yang bagus dari Wafiyyatul A’yan.

Di antara mereka ialah seorang menteri bernama Ibn ‘Amid Muhammad ibn Al-Husein ibn ‘Amid Abul Fadhl. Ia penulis yang tersohor dan menteri Ruknudaulah Al-Buweihi. Ibnu ‘Amid wafat pada tahun 359 H. atau 360 H. Riwayat hidupnya diulas secara terinci dalam kitab-kitab ulama Syi’ah ataupun selain mereka. Di antara mereka ialah putra Ibnu ‘Amid, ‘Empu Dua Kecapakan’; Abul Fath Ali yang menjadi menteri Khalifah Ruknudaulah Hasan ibn Baweih; menggantikan jabatan sang ayah.

Riwayat hidupnya tercatat di dalam Al-Yatimah secara indah. Di antara mereka ialah Abul Qosim Ismail ibn ‘Ibad yang masyhur itu, sebagaimana yang telah saya singgung sebelum ini. Dia tlah warisi kementerian besar dari orang besar Merangkai silsilah berita dengan penuh percaya ‘Ibad meriwayatkan kementerian Dari Al-Abbas, dan Ismail dari ‘Ibad Di antara mereka ialah Abul A’la ibn Baththah. Abdul Jalil Ar-Razi berkata: “Abul A’la ibn Baththah adalah seorang menteri Khalifah ‘Adhdudaulah, penganut Syi’ah yang lurus keyakinannya. Ia mempunyai bait-bait qosidah pujian untuk Ahlul Bait a.s.” Di bagian akhir qosidah itu, dilantunkan:

Ibn Baththah akan disyafa’ati di Akhirat Kemuliannya adalah tanah Abu Turab (Ali) Di antara mereka ialah Al-Hasan ibn Mufadhal ibn Sahlan Abu Muhammad Ar-Ramehmarzi. Ia menteri Sultanudaulah Ad-Dailami. Ia pula yang mendirikan dinding-dinding haram Imam Husein a.s. sebagaimana terdapat dalam Tarikh-nya Ibnu Katsir Asy-Syami. Al-Hasan tewas dibunuh pada tahun 412 H.

Di antara mereka ialah ‘Amidul Mulk Abu Nasr Al-Kindi, seorang menteri Taghral Beik. Ia bermazhab Syi’ah Imamiyah menurut kesaksian Ibnu Katsir dalam Tarikh-nya. Di antara mereka ialah Sa’dul Mulk, seorang menteri di masa Sultan Muhammad Saljuki. Dan Tajul Mulk Abul Ghanaim Al-Qummi adalah seorang syi’ah dan menteri Sultan Maliksyah. Begitu pula, Syarafuddin Abu Thahir ibn Sa’d Al-Qummi diangkat oleh Maliksyah sebagai menteri. Di antara mereka ialah Abul Hasan Ja’far ibn Muham-mad ibn Fathir, seorang penulis dan menteri yang terkenal itu. Ibnu Katsir menyinggungnya bahwa ia adalah salah satu menteri di kesultanan dan penulis Syi’ah di Irak.

Masih dari Ibnu Katsir dinyatakan: “Tatkala kesyi’ahan Ibnu Fathir telah dikenal luas, datang seseorang kepadanya dan berkata: ‘Sungguh aku berjumpa dengan Amiril Mu’minin Ali ibn Abi Thalib a.s. di dalam mimpiku, beliau menyuruhku; “Temuilah Ibnu Fathir dan katakan kepadanya, ia akan memberimu sepuluh Dinar”. Maka, Abu Fathir bertanya: “Kapan kau melihatnya?”. Orang itu menjawab: “Di permulaan malam”. “Kau benar”, demikian tukas Ibnu Fathir, “Sebab aku melihat beliau di akhir malam dan berpesan kepadaku; bila seorang pengemis menjumpaimu dengan ciri-ciri demikian ini dan meminta sesuatu darimu, maka berilah...” Saya juga telah menukil kisah ini melalui satu perantara dari Tarikh-nya Ibnu Katsir, yaitu melalui kitab Thabaqotul Qodhi Al-Mar’asyi dalam bahasa Persia.

Di antara mereka ialah Mu’inuddin Abu Nashr Ahmad Al-Kasyi, seorang penulis dan menteri Sultan Mahmud ibn Muhammad ibn Maliksyah. Setelah Mu’inuddin, putranya yang bernama Fakhruddin Thahir Al-Kasyi menjadi menteri Sultan Aleb Areslan ibn Thaghral ibn Muhammad ibn Malik Syah. Kemudian, kementerian dilanjutkan oleh sang cucunda; Mu’inuddin ibn Fakhruddin Al-Kasyi.

Di antara mereka ialah keluarga Juwein. Salah satunya adalah Sahabat Agung, Syamsuddin Muhammad Al-Juweini yang bergelar sebagai penguasa majelis tinggi kesultanan Muhammad Khorazm Syah dan kesultanan Jalaluddin. Begitu pula saudaranya; ‘Alauddin ‘Athaul Mulk Al- Juweini, lalu ‘Sahabat Mulia nan Bijak’ Bahauddin Muhammad ibn Syamsuddin Al-Juweini.

Dalam hal ini, Syeikh Maytsam Al-Bahrani mengarang Syarah Nahjul Balaghah dengan nama Bahauddin, juga Hasan ibn Ali Ath-Thabarsi mengarang Al-Kamil fi Tarikh dengan namanya lalu menamai karyanya ini dengan judul Al-Kamil Al-Bahaie.

Setelah mereka adalah saudara Bahauddin yang bernama Syarafuddin Harun Al-Juweini. Ia menguasai penuh pelbagai cabang ilmu, bahkan ilmu Musik sebagaimana disebutkan di dalam Majalisul Mu’minin karya Al-Mar’asyi. Kemudian ia menggantikan posisi saudaranya sebagai menteri.


Generasi Lain dari Tokoh-tokoh Seni Karang Kaum Syi’ah
Di antara mereka ialah Ahmad ibn Yusuf ibn Ibrahim. Ibnu Syahrasyub telah menyinggungnya di dalam Syu’ara’ Ahlul Bait. Riwayat hidupnya tercatat secara rinci dalam Mu’jamul Udaba’ karya Yaqut. Ayahnya bernama Abu Ya’qub Yusuf ibn Ibrahim, juga salah seorang tokoh seni tulis, banyak menulis untuk Ibrahim ibn Al-Mahdi Al-Abbasi. Ia adalah murid guru besar Syi’ah Imamiyah, Ismail ibn Abi Sahal ibn Naubakh, pengarang kitab Al-Yaqut fil Kalam. Di antara mereka ialah Abul Abbas Ahmad ibn Muham-mad ibn Tsawabah ibn Khalid, penulis di masa kekuasaan Khalifah Al-Mahdi. Di dalam kitab Mu’jamul Udaba’, Yaqut memberikan kesaksiannya atas kesyi’ahan Abul Abbas. Ia wafat pada tahun 277 H. atau pada tahun 273 H. Di dalam Al-Mu’jam, riwayat hidupnya diulas secara panjang lebar.

Dan di antara mereka ialah Abu Ahmad Ubaidillah ibn Abdullah ibn Thahir ibn Al-Husein ibn Mush’ab ibn Zuraiq ibn Maha Al-Khuzaie, seorang penguasa di Baghdad yang bermazhab Syi’ah Imamiyah. Kekuasaannya melebar sampai ke Khurasan. Abu Ahmad dikenal sebagai ulama, terhormat, penyair, cerdas dan penulis yang trampil. Tak mengheran-kan bahwa ia adalah putra ayahnya dan cucunda Thahir.

Ketika membahas Abu Ahmad, Al-Khatib mengatakan: “Ia seorang yang alim, sastrawan, penyair dan fasih. Ayahnya bernama Abdullah, seorang penyantun dan dermawan, juga penyair yang pandai. Dan datuknya bernama Thahir, ulama yang tidak perlu lagi dikenalkan keutamaannya. Ia adalah salah satu dari tiga orang yang tentang mereka Al-Ma’mun berkata:

“Merekalah orang-orang utama kerajaan dunia dan agama. Mereka telah menegakkan keadilan, yaitu Alexander, Abu Muslim Al-Khurasani dan Thahir.” Kemudian Al-Khatib juga menambahkan: “Thahir bermazhab syi’ah, sama seperti cucundanya. Abu Ahmad meninggal dunia pada malam Ahad, 12 Syawal 300 H.” Al-Khatib menuturkan ini dari kitab Nasamatus Sahar, karya Dhiyauddin.

Mirip dengan Abul Abbas ialah Ahmad ibn Ibrahim Adh-Dhobie. Dialah salah satu tokoh besar seni tulis, seba-gaimana tersebut dalam Ma’alimul Ulama’, karya Rasyiduddin Al- Mazandarani. Ia seperti Ali ibn Muhammad ibn Ziyad Ash-Shoimari; ipar Ja’far ibn Mahmud. Ali adalah seorang tokoh Syi’ah yang terpercaya, dan termasuk pelopor dalam seni tulis, sastra dan pelbagai bidang ilmu. Hal ini ditegas-kan oleh Al-Mas’udi di dalam Itsbatul Washiyah; kitab yang ditulis pada masa khalifah Abbasiyah Al-Musta’in.

Dan di antara mereka ialah Ahmad ibn Alawiyah yang dikenal juga dengan panggilan Abul Aswad Al-Kirani Al-Isfahani. Yaqut mengatakan: “Abul Aswad adalah ahli bahasa dan turut mengembangkan sastra Arab. Ia juga terampil mencipta syair. Ia pernah bersahabat dengan Lafdzah lalu berteman dekat dengan Ahmad Abu Dalf. Abul Aswad menulis beberapa risalah pilihan dan sebuah risalah tentang masa tua dan semir, dan sebuah qosidah sepanjang seribu bait qofiyah yang menyatakan Syi’ah sebagai mazhabnya. Ia menghadiahkan qosidah itu kepada Abu Hatim Sajastani hingga membuatnya terkagum-kagum dan berkata: ‘Wahai warga Basrah, sungguh orang Isfahan telah menaklukkan kalian.’ Abul Aswad hidup dalam usia seratus tahun lebih, dan wafat pada 320-an H.”

Dan di antara mereka ialah Ibrahim ibn Abu Ja’far Abu Ishaq. An-Najasyi menyebutkan namanya dalam kitab Asma’ Al-Mushonnifin minal Syi’ah. Ia adalah guru besar dari sahabat Abu Muhammad Al-Hasan ibn Ali ibn Muhammad ibn Ali Ar-Ridha a.s. Ibrahim adalah salah satu penulis abad ketiga Hijriyah, sebab wafatnya jatuh pada tahun 260 H.

Dan di antara mereka ialah Ahmad ibn Muhammad ibn Sayyar Abu Abdillah, seorang penulis dari kota Basrah, dari keluarga besar Thahir. Ia lebih dikenal dengan nama Al-Yassari sebagaimana telah disinggung sebelumnya pada tema kepe-loporan Syi’ah di bidang ilmu-ilmu Al-Quran. Ahmad termasuk salah satu sahabat Imam Abul Hasan Ali Al-Hadi dan Imam Hasan Al-Askari a.s.

Dan di antara mereka ialah Ishaq ibn Naubakh, seorang penulis yang berjumpa langsung dengan Imam Mahdi Al-Muntadzar afs. Ia adalah putra Ismail; pengarang kitab Al-Yaqut; Ibnu Ishaq ibn Naubakh. Ishaq adalah salah satu karib Imam Abul Hasan Ali Al-Hadi a.s. di jaman Khalifah Al-Mutawakkil dan setelahnya sampai setelah tahun 300 H.

Dan di antara mereka ialah Muhammad ibn Ibrahim ibn Ja’far Abu Abdillah, seorang penulis dari kabilah Nu’man. Nama ini telah dibahas di pasal tafsir. Dan di antara mereka ialah Abu Abdillah Muhammad ibn Abdullah. Menurut sebuah data, ia bernama Muhammad ibn Ahmad, seorang penulis dari Basrah, penyair, pakar Nahwu. Ia terkenal dengan nama Al-Mufji’ (sang tragis), karena ia lebih banyak menggubah syairnya untuk Ahlul Bait a.s. dan ia merintih atas pembunuhan mereka hingga ia dinamai “Sang Tragis”. Ibnu Nadim dalam kitab Al-Fehrest menyatakan kesaksiannya atas kesyi’ahan Abu Abdillah, juga Yaqut di dalam Mu’jamul Udaba’, As-Suyuthi di dalam Ath-Thabaqot, dan An-Najasyi di dalam Asma’ Al- Mushonnifin minal Syi’ah.

Dan di antara karya-karya Abu Abdillah ialah kitab Al-Marjan fi Ma’ani Syi’r, Al-Munqidz fil Iman yang mirip dengan Al-Malahin karya Ibnu Duraid yang hidup semasa dengannya, Qosidatul Asybah fi Madhi Amiril Mu’minin; yaitu sebuah qosidah yang membandingkan Ali bin Abi Thalib a.s. dengan nabi-nabi terdahulu, Siqotul ‘Arab, Gharaibul Majalis, At-Tarjuman, Sa’dul Madih, Haddul Bukhl, Al-Haja’, Al-Mathoya’, Asy-Syajar, An-Nabat, Al-i’rob, Al-Lughah, Asy’arul Harob, ‘Aroisul Majalis, Gharibu Syi’r Zaid Al-Khail, Syarah Qosidah Nafthiyyah fi Gharibul Lughah, Asy’arul Hawari, dan kitab Zaid Al-Khail Ath-Thaie. Abu Abdillah wafat pada 320 H.

Dan di antara mereka ialah Al-Iskafi Muhammad ibn Abu Bakar Hammam ibn Sahal yang masyhur dengan nama Al-Katib Al-Iskafi. Dia adalah guru besar Syi’ah, terkemuka di setiap bidang ilmu dan mempunyai karya di semua bidang. Riwayat hidupnya tercatat secara panjang lebar di dalam kitab-kitab autobiografi ulama-ulama Syi’ah. Al-Iskafi lahir pada hari Senin, 7 Dzul Qo’dah 258 H., dan wafat pada harimalam Kamis, 11 Jumadil Akhir 330 H.

Dan di antara mereka ialah Al-Khazin Abu Muhammad Abdullah ibn Muhammad, seorang penulis dari Isfahan dan penyair yang tersohor. Ia pernah menjadi sekretaris dan bendaharawan Ash-Shohib ibn ‘Ibad. Di dalam Nasamatus Sahar, tepatnya pada pembahasan ‘Orang-orang yang ber-mazhab Syi’ah’, riwayat hidup Al-Khazin dibawakan secara indah.

Dan di antara mereka ialah Abu Bakar Ash-Shouli, ahli seni tulis terkenal dengan permainan caturnya. Di dalam Riyadhul Ulama’, ia adalah seorang Syi’ah. Riwayat hidupnya dicatat secara baik dalam Tarikh Ibnu Khalkan dan dikatakan: “Ash-Shouli wafat pada 335-6 H di Basrah dalam keadaan taqiyah (merahasiakan kesyi’ahan), sebab ia meriwayatkan sebuah hadis berkenaan dengan hak kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib a.s. Lalu sebagian ulama Ahli Sunnah menuntutnya agar dihukum mati, hanya saja mereka gagal”.

Saya katakan bahwa keterangan di atas ini membuktikan validitas pendapat Syeikh Rasyiduddin ibn Syahrasyub Al-Mazandarani dalam kitabnya; Ma’alim Ulama’ Syi’ah, bahwa Ash- Shouli termasuk Syi’ah yang tulus dalam melantunkan syairnya untuk Ahlul Bait a.s. Dan di antara mereka ialah Tuan Ibrahim ibn Abbas ibn Muhammad ibn Soultakin As-Shouli.

Ia adalah paman ayah Abu Bakar Ash-Shouli Muhammad ibn Yahya ibn Abdullah ibn Abbas yang baru saja disinggung di atas tadi. Ibrahim adalah figur kebanggaan masyarakat di jamannya dan paling pandai bersyair di antara para penulis lainnya. Rasyiduddin ibn Syahrasyub dalam Ma’alim Ulama’Syi’ah memasukkannya ke dalam para penyair yang membuat-buat dalam memuji Ahlul Bait a.s.

Ibnu Khalkan menukil dari kitab Al-Waraqoh, bahwa ia mempunyai hubungan khusus dengan Al-Fadhl ibn Sahal, kemudian berpindah ke kantor Kesultanan dan departemen-departemennya hingga akhir hidupnya. Ia sempat mengelola departemen Nafkah dan Pembangunan di Samarra pada pertengahan Sya’ban 243 H. Tentangnya, Da’bal ibn Ali Al-Khuzai berkata bahwa seandainya Ibrahim ibn Abbas mencari keuntungan dari pekerjaan bersyair, sungguh aku tidak akan mennghargainya senilai apapun. Demikianlah nukilan dari kitab Al-Waraqoh.

Dan di antara mereka ialah Abul Abbas Ahmad ibn Ubaidillah ibn Muhammad ibn Ammar Ats-Tsaqofi. Ia pernah menjadi wakil Al-Qosim ibn Ubaidillah dan putranya, dan bersahabat dengan Abu Abdillah Muhammad ibn Al-Jarah serta meriwayatkan hadis-hadis darinya. Ia juga memiliki majelis ta’lim dan majelis kisah. Al-Khatib menyebut namanya dan memberikan kesaksian atas kesyi’ahannya. Abul Abbas Ats-Tsaqofi juga terkenal dengan julukan Himar ‘Uzair (Keledai Uzair).

Sekaitan dengan pribadinya, Yaqut memaparkan riwayat hidupnya secara panjang lebar, termasuk juga kisah-kisah, pengalaman dan majelis-majelisnya. Tentangnya, Ibnu Nadim berkata: “Abul Abbas meninggal pada tahun 319 H.” Ada-pun Yaqut menyebutkan tahun wafatnya pada 314 H.

Abul Abbas memiliki sejumlah karya ilmiah, di antaranya kitab Al-Mabidhah fi Akhbari Maqotil Aali Abi Thalib, Al-Anwa’, Matsalib Abi Kharasy, Akhbaru Sulaiman ibn Abi Syeikh, Az-Ziyarot fi Akhbaril Wuzara’, Akhbaru Hijir ibn ‘Adie, Risalatun fi Bani Umayyah, Akhbaru Abi Nawas, Akhbaru Ibn Ar-rumi wal Ikhtibaraot min Syi’rih, Risalatun fi Tafdhilil Bani Hasyim wa Auliyauhum wa Dzammi Bani Umayyah wa Atba’uhum, Risalatun fi Amri Ibn Al-Muhraz Al-Muhdats, Akhabru Abil ‘Atahiyah, Al- Munaqodhot, dan Akhbaru Abdillah ibn Muawiyah ibn Ja’far.

Di antara mereka ialah Abul Qosim Ja’far ibn Qudamah ibn Ziyad, seorang penulis dan salah satu tokoh dan guru besar seni tulis. Abul Qosim amat kaya akan sastra dan berpenge-tahuan luas. Ia wafat pada tahun 319 H., dan akan tiba ulasan seputar anaknya yang bernama Qudamah ibn Ja’far pada pembahasan ilmu Badi’e.

Di antara mereka ialah Syeikh Abu Bakar Al-Khorazmi Muhammad ibn Abbas, guru besar sastra Arab dan ulama terkemuka di jamannya di pelbagai ilmu bahasa Arab. Ats-Tsa’alibi dalam Al-Yatimah mengatakan: “Ia begitu brilian dan manusia tercerdas di masanya, samudera ilmu; ilmu Nadzam (sajak), ilmu Natsr (prosa puitik).”

Abu Bakar Al-Khorazmi juga pandai mengamati keadaan dan keutamaan. Bahkan, ia mampu menghimpun prestasi estetika dan kefasihan bahasa pada dirinya, dan seringkali menyampaikan cerita-cerita bangsa Arab, ihwal kehidupan mereka dan diwan-diwan syair mereka. Ia giat mempelajari sumber-sumber sastra, nahwu, syair, dan berbicara sesuatu yang benar-benar baru, dan merangkai sejumlah fragmen prosa. Sesungguhnya ia telah mencapai puncak kesempuraan sastra Arab”. Abu Bakar Al-Khorazmimeninggal dunia pada bulan Ramadhan 383 H.

Terdapat beberapa bait syair Abu Bakar Al-Khorazmi yang termaktub dalam kitab Mu’jamul Buldan adalah:

Di Amul-lah kudilahirkan dan Bani Jarir

Merekalah paman-pamanku

Biarlah seseorang berkisah tentang pamannya

Inilah aku rafidhi dari peradaban

Sedang selainku rafidhi lantaran warisan

Dan di antara mereka ialah Al-Qonanni Abul Hasan, salah seorang pakar bahasa, sastra dan nahwu. Ia mengarang kitab Nawadirul Akhbar dan kitab Thuruq Khabarul Wilayah Tsalatsah ‘Asyar wa Arbamiah. Riwayat hidupnya dibawakan secara baik oleh Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi di dalam Al-Fehrest dan An-Najasyi di dalam Asma’ Mushan-nifin minal Syi’ah. Semua telah saya nukil dalam Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam. Dan di antara mereka ialah kebanggaan para pemuka seni tulis; Tuan Abu Ismail Al-Husein ibn Ali ibn Muhammad ibn Abdul Shamad Al-Isfahani. Ia dikenal dengan gelar ‘Ath-Thughraie’ (monografer), karena ia menyisipkan Ath-Thughra’ (monogram) di pembukaan konstitusi kesultanan, yaitu pada saat Mas’ud ibn Muhammad Saljuki menjabat sebagai menteri Sultan di Mosil. Abu Ismail Al-Isfahani tewas dibunuh oleh saudara Sultan Mas’ud pada tahun 515 H.

Banyak kitab-kitab ulama besar kita memaparkan riwayat hidupnya secara detail, seperti Riyadhul Ulama’, Thabaqot Syi’ah karya Al-Mar’asyi, dan kitab Amalul Amil karya Syeikh Hurr Al-‘Amili. Ia juga merangkai bait Lamiyatul ‘Ajam dan me-nuntaskannya di Baghdad pada tahun 505 H. Ketika itu, ia sudah berusia 57 H. Ibnu Khalkan telah menuturkan hal ini ketika mengulas riwayat hidupnya, dan saya sendiri telah membawakan beberapa penjelasan di dalam Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam.

Dan di antara mereka ialah Sa’ad ibn Ahmad ibn Makki An-Naili, seorang sastrawan dan penulis yang terkenal dan penyair yang tersohor. Dia amat pandai di bidang sastra, nahwu dan bahasa Arab. Demikian ini disebutkan oleh Al-‘Imad Al-Katib. Ia mengatakan: “Sa’ad ibn Ahmad adalah seorang yang berlebihan dalam kesyi’ahan, berakhlak warak, pandai akan sastra, guru besar di pusat perguruan seni tulis, terdepan dalam fanatisme. Usianya panjang hingga melebihi batas kerentaan, sementara matanya tak dapat melihat lagi. Hampir saja keberadaannya sebanding dengan ketiadaannya. Usianya melampaui sembilan puluhan. Dan perjumpaanku yang terakhir dengannya berlangsung di gerbang Sholeh di Baghdad pada tahun 592 H.” Setelah itu, Al-‘Imad menukil beberapa bait syair Sa’d.

Dan di antara mereka ialah Ibnu Ziyadah Abu Thalib Yahya ibn Abul Faraj Said ibn Abul Qosim Hibatullah ibn Ali ibn Qaz’ali ibn Ziyadah Asy-Syaibani, seorang pakar seni tulis dari Baghdad. Ibnu Khalkan berkata: “Ia termasuk tokoh besar dan pakar terkemuka. Kepada Ibnu Ziyadahlah pelajar sastra merujuk seni tulis dan seni karang serta ilmu matematika.”

Di samping itu, Ibnu Ziyadah juga mendalami ilmu Fiqih, Tauhid dan selainnya, sebagaimana tercatat dalam Nasamatus Sahar di bawah tema ‘Mereka yang Syi’ah dan Penyair’. Di dalamnya, ia disanjung sebegitu tinggi. Ibnu Ziyadah wafat pada tahun 574 H. dan dimakamkan di haram Imam Musa Al-Kadzim a.s. sebagaimana dilaporkan oleh Ibnu Khalkan dalam kitabnya. Ia lahir pada bulan Shafar 522 H.

Dan di antara mereka ialah Ali ibn Isa Al-Arbali ibn Abul Fath Ash-Shohib Bahauddin Al-Amir Fakhruddin Al-Arbali, seorang sekretaris dan penulis yang terampil. Ibnu Syakir menyingung pribadinya dalam Fawatul Wafiyyat, sebagaimana telah saya bawakan sebelum ini. Ibnu Syakir berkata: “Ali ibn Isa mempunyai bait syair dan keahlian dalam tarossul (seni penulisan surat). Ia adalah tokoh masyarakat dan menulis surat-surat penguasa Arbal; Ibnu Shalaba. Lalu, ia masuk Baghdad dan mengelola majelis seni karang di masa Khalifah ‘Alauddin. Ali ibn Isa wafat pada tahun 692 H.”

Saya katakan bahwa ia adalah pengarang kitab Kasyful Ghummah fi Imamatil Aimmah yang dicetak di Iran.Makamnya menjadi pusat ziarah dari arah barat. Dan di antara mereka ialah ‘Alauddin Al-Kindi Ali ibn Al-Mudzaffar, pengarang kitab At- Tadzkirah sebanyak lima puluh jilid, sebagaimana tercatat dalam Nasamatus Sahar pada pasal ‘Mereka yang Syi’ah dan Penyair’.

Dalam Fawatul Wafiyyat, Ibnu Syakir berkata: “’Alauddin adalah seorang sastrawan yang handal dan kreatif, penulis dan pengarang. Ia pernah menjadi sekretaris Ibnu Wada’ah yang terkenal dengan panggilan Al-Wada’ie. ‘Alauddin lahir pada tahun 640 H dan wafat pada tahun 710 H.” Bersama Ash-Shafadi dalam Ta’rikh-nya, Ibnu Syakir juga menegaskan identitas kesyi’ahannya.[]



13
Kisah Para Nabi Allah

Bab Kesebelas

Kepeloporan Syi’ah dalam Ilmu Ma’ani, Bayan, Fashahah dan Balaghah

Pasal Pertama

Tentang Orang Pertama yang Meletakkan Ilmu Ma’ani dan Bayan
Ia adalah Imam Al-Marzabani Abu Abdillah Muhammad ibn ‘Imran ibn Musa ibn Said ibn Abdullah Al-Marzabani Al-Khurasani Al-Baghdadi. Ia mengarang sebuah kitab yang berjudul Al- Mufashshal fi Ilmil Bayan wal Fashahah. Ibnu Nadim di dalam Al-Fehrest mengatakan: “Kitab itu setebal kurang lebih 300 halaman.” Al-Jahidz As-Suyuthi berkata: “Orang pertama yang mengarang kitab di bidang ilmu Bayan dan Fashahah ialah Abul Qohir Al-Jurjani.”

Namun, seperti yang telah Anda ketahui, bahwa Abu Abdillah Al-Marzabani wafat pada tahun 378 H., sedangkan tahun wafat Al-Jurjani jatuh pada 444 H. Dan Al-Yafi’ie telah mencatat dalam Ta’rikh-nya, yaitu tatkala dia membawakan riwayat hidup Al-Marzabani, bahwa dia belajar ilmu-ilmu sastra Arab pada Ibnu Duraid dan Ibnu Al-Anbari. Al-Yafi’ie berkata: “Abu Abdillah Al- Mazandaranimengarang banyak kitab yangmasyhur, ensiklopedia yang langka dan periwa-yatan sastra Arab. Ia juga termasuk perawi hadis yang tsiqoh, bermazhab Syiah, syairnya sedikit tapi indah.” Lalu, Al-Yafi’ie menukil beberapa fragmen syair Al-Marzabani.

Di samping itu, Ibnu Khalkan juga mengulas ihwal Al-Marzabani yang mirip dengan apa yang dicatat oleh Al-Yafi’ie. Ia bahkan memberikan kesaksian atas kesyi’ahannya, dan menghormatinya dengan gelar ‘Al-‘Allamah’ di dalam Kasyful Dzunun, yaitu tatkala ia menyinggung transkripsi Al-Marzabani atas teori-teori para mutakallim. Dan saya telah membawakan riwayat hidupnya secara detail dalam Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam. Di sana, saya mendata semua daftar karya-karyanya. Saya juga menulis hari kelahirannya jatuh pada bulan Jumadil Akhir 297 H., dan wafat pada hari Jumat, 2 Syawal 384 atau 387 H. di bagian timur Baghdad. Jenazahnya dishalati oleh Syeikh Abu Bakar Al-Kharazmi ra.

Bahkan, terdapat sejumlah pakar bahasa lain dari Syi’ah yang mendahului Abdul Qohir dalam penyusunan ilmu Bayan. Di antara mereka ialah Muhammad ibn Ahmad Al-Wazir ibn Muhammad Al-Wazir Abu Sa’id Al-‘Amidi yang wafat pada tahun 423 H. Ia mengarang Tanqihul Balaghah seperti yang tercatat dalam Kasyfu Dzunun.

Begitu pula, Muntajabuddin Ibnu Babaweih menyebutkan ihwal dirinya dalam kitab Asma’ Mushannifin minal Syi’ah Imamiyyah. Yaqut berkata: “Muhammad adalah seorang pakar Nahwu, sastrawan dan menulis banyak karya. Ia tinggal di Mesir dan mengetuai majelis seni karang, lalu dipecat, lalu mengelola kembali majelis tersebut dan menulis kitab Tanqihul Balaghah, kitab Al-‘Arudh wal Qowafie dan lain-lain. Ia wafat pada hari Jumat, 5 Jumadil Akhir 433 H.” Yang tepat, tahun wafatnya adalah apa yang telah saya sebutkan.

Pasal Kedua

Tentang Sebagian Karya yang Disusun oleh Kaum Syiah Berkenaan dengan Ilmu Ma’anie dan Bayan Setelah Peletakkannya
Seperti kitab Tajridul Balaghah karya Al-Muhaqqiq Al-Bahrani Maytsam ibn Ali ibn Maytsam yang hidup sejaman dengan As-Sakkaki pengarang kitab Al-Miftah. Nama ini telah saya bahas pada topik kaum mutakalim Syi’ah.

Lalu kitab syarah atas Tajridul Balaghah yang berjudul Tajwidul Bara’ah fi sarh Tajridul Balaghah. Kitab ini dikarang oleh Al-Fadhil As-Sayuri Al-Miqdad ibn Abdullah. Ia adalah seorang ulama besar Syi’ah.

Lalu syarah atas Al-Miftah, karya Syeikh Hussamuddin Al-Muadzdzini. Ia menuntaskan penulisan syarah tersebut pada tahun 742 H. di kota Jurjan (Khorazm-Iran). Kitab ini telah disebutkan dalam Kashfudz Dzunun, tetapi tidak dijelaskan masa penulisannya, karena riwayat hidup penulisnya tidak diuraikan kecuali dalam kitab-kitab ulama Syi’ah.

Lalu, kitab Syarah Al-Miftah karya Syeikh ‘Imaduddin Yahya ibn Ahmad Al-Kasyi. Dalam Riyadhul ‘Ulama’ dikatakan: “’Imaduddin adalah ulama Syi’ah yang menghimpun pelbagai cabang ilmu. dirinya juga disinggung oleh sebagian murid Syeikh Ali Al-Karaki dalam risalahnya yang terkenal itu, yaitu tatkala ia membahas nama guru-guru besar Syi’ah. Namun, aku tidak tahu pasti riwayat hidupnya.” Pengarang Tadzkirotul Mujtahidin memberikan kesaksiannya atas kesyi’ahan ‘Imaduddin. Kendati menyinggung Syarah Al-Miftah itu, tetapi pengarang ini tidak mengulas hidupnya. Demikian juga yang dilakukan oleh penulis Kasyful Dzunun.

Lalu, kitab Syarah Al-Miftah karya Syeikh Imam Allamah, Malikul Ulama wal Muhaqqiqin, Quthbul Millah wal al-Din, Muhammad ibn Muhammad Ar-Razi Abu Ja’far Al-Buweihi; salah seorang anak Ibnu Babaweih Al-Qummi, sebagaimana dalam keterangan Riyadhul ‘Ulama’, dan ditegaskan kitab syarah ini di dalam Amalul Amil. Saya telah membawakan riwayat hidupnya secara lengkap di dalam Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam. Muhammad Ar-Razi Al-Buweihi wafat pada tahun 766 H.

Pasal Ketiga

Seputar Ilmu Badi’e
Ketahuilah bahwa orang pertama yang membuka pintu ilmu ini ialah Ibnu Heram Ibrahim ibn Ali ibn Salmah ibn Mermah; seorang penyair Ahlul Bait a.s. Di dalam Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah membawakan riwayat hidupnya.

Selain itu, orang pertama yangmengarang kitab tentang ilmu Badi’e ialah dua tokoh besar yang hidup sezaman, yaitu Qudamah ibn Ja’far Al-Katib dan Abdullah ibn Al-Mu’tazz. Sejauh ini, tidak dijumpai orang lain yangmendahului upaya kepeloporan mereka berdua di bidang ini. Dalam pengantar atas syarah Al-Badi’iyyah, Shofiyyuddin Al-Hilli mengatakan: “Di antara semua yang disusun oleh Al-Mu’tazz terdapat tujuh belas bab. Tokoh semasanya ialah seorang sekretaris bernama Qudamah ibn Ja’far. Qudamah berhasil menyusun dua puluh bab; tujuh bab di antaranya sama dengan yang disusun oleh Al-Mu’tazz. Oleh karena itu, pertambahan beberapa bab yang berbeda di antara mereka mencapai tiga belas bab. Jadi, secara total, semua bab yang disusun oleh mereka berdua berjumlah tiga puluh. Setelah itu, tokoh-tokoh yang lain mengikuti mereka dalam upaya penyusunan kitab Al-Badi’e.”

Qudamah ibn Ja’far adalah seorang syi’ah. Ia memiliki sebuah karya berjudul Naqdusy Syi’r, yang lebih dikenal juga dengan nama Naqd Qudamah. Adapun mengenai karangan Al-Mu’tazz, saya belum meneliti selain keawalannya dalam meletakkan nama Al-Badi’e atas ilmu ini. Saya juga telah memeriksa tulisannya di pengantar kitabnya, bahwa tidak seorang pun sebelumku (Al- Mu’tazz) yang menghimpun cabang-cabang ilmu sastra Arab, tidak pula seorang pun selainku yang mengarang di bidang ilmu Badi’e. Namun sejauh yang diperintahkan oleh Allah swt. untuk memeriksa setiap data dan berita, saya tidakmelihat tanda kebenaran pada berita ini.[]



Bab Kedua Belas

Kepeloporan Syi’ah dalam Ilmu ‘Arudh

Pasal Pertama

Tentang Orang Pertama yang Meletakkan Ilmu ‘Arudh
Ia adalah Al-Khalil ibn Ahmad yang telah dibahas sebelum ini pada bab ilmu bahasa Arab. Tidak ada seorang pun yang mendebat bahwa Al-Khalil adalah orang pertama yang menyimpulkan ‘Arudh dan meletakkan syair-syair Arab ke dalam kerangkanya, sehingga ia dikenal dengan nama ‘Arudhie. Seandainya kita hendak membawakan kesaksian tokoh-tokoh atas fakta ini, tentu akan menyita banyak waktu kita di pasal ini. Di dalam Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah menukil sekelumit kesaksian tersebut.

Di dalam Ash-Shahibi, Ibnu Faris secara tegas mengklaim bahwa sesungguhnya ilmu ‘Arudh telah ada sejak dahulu, hanya saja waktu datang silih berganti sehingga menjadi langka dan asing di tengah orang Arab. Ketika itulah Al-Khalil hadir dan memperbaharui ilmu tersebut. Ibnu Faris mendasarkan keterangannya ini pada perkataan Al-Walid ibn Al-Mughirah tentang Al-Quran:

“Aku telah membacakan apa yang dibaca oleh Muhammad untuk dibandingkan dan dinilai segenap segi-seginya dengan komposisi-komposisi syair Arab, namun aku tidak mendapatkan sesuatu pun yang menyamainya. Bahkan, tidak ada ucapan dari tradisi Arab terdahulu yang mendukungnya, tidak pula laporan sejarah atau kesimpulan yang benar.”

Keterangan Ibnu Faris di atas ini hanyalah dugaan dan perkiraan yang hanya dia yang mengatakannya. Maka itu, ia tidak ada nilai validitasnya bagi para ahli sejarah dan tradisi.

Adapun Al-Walid adalah orang yang¯berdasarkan karakter dan talenta puitiknya¯hanya dikenal sebagai ahli rima syair Arab. Sebagaimana ia juga mengetahui bahasa secara baik.

Namun, ini tidaklah sama dengan bagian dan macam yang dirumuskan oleh Al-Khalil Al- Farahidi ke dalam lima balok dan menguraikannya hingga lima belas matra.

Hamzah ibn Al-Hasan Al-Ishfahani di dalam At-Tanbih mengatakan: “Dengan demikian, sesungguhnya negeri Islam tidak melahirkan orang yang lebih awal menciptakan cabang-cabang ilmu yang sebelumnya tidak dimiliki oleh tokoh-tokoh Arab kecuali Al-Khalil. Tidak ada pula dalil yang lebih kuat dan lebih jelas atas hal ini selain keberadaan ‘Arudh; ilmu yang oleh Al- Khalil tidak dirumuskan dari seorang bijak pun dan tidak dikembangkan dari sebuah gagasan yang sudah ada sebelumnya.”

Kesaksian di atas ini juga telah saya nukil dalam kitab Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam. Abul Faraj Muhammad ibn Ishaq ibn Abu Ya’qub An-Nadim, tatkala membahas nama Al- Khalil, mengatakan: “Ia adalah orang pertama yang membidani ilmu ‘Arudh dan meletakkan batasan-batasan kaidah pada syair-syair Arab.” Begitu pula Ibnu Qutaibah menuturkan: “Al- Khalil adalah pencipta ilmu ‘Arudh.”

Pasal Kedua

Tentang Orang Pertama yang Mengarang Kitab di Bidang ‘Arudh Pasca Al-Khalil
Ketahuilah bahwasanya dia adalah Abu Utsman Al-Mazani Bakr ibn Habib; seorang tokoh besar Nahwu yang wafat pada 248 H. Abu Utsman adalah salah satu budak Ismail ibn Maytsam; imam kaum mutakallim Syi’ah sebagaimana yang dilaporkan oleh Abul Abbas Al-Mubarrad. Di dalam Fehrest Asma’ Mushonnifisy Syi’ah, Abul Abbas An-Najasyi berkata: “Abu Utsman Al-Mazani adalah tokoh utama di atas para ahli Nahwu, bahasa dan sastra Arab di kota Basrah. Ihwal kepeloporannya di cabang-cabang ilmu ini sudah sangat masyhur.”

Hal senada juga disampaikan oleh Jamaluddin ibn Al-Muthahhar Al-Hilli dalam Al-Khulashoh, dan ia menegaskan bahwa Abu Utsman Al-Mazani bermazhab Syi’ah Imamiyah. As-Suyuthi dalam kitab Ath-Thabaqot mengatakan: “Ia adalah imam dalam bahasa Arab, berwawasan luas dalam riwayat hadis. Ia percaya pada mazhab Murji’ah dan tidak pernah berdebat dengan seseorang kecuali ia taklukkan lantaran kekuatannya dalam berbicara. Suatu hari, ia pernah berdebat dengan Al-Afkhasy dan membuatnya terdesak hingga tak lagi berkutik.” Abul Abbas Al- Mubarrad berkata: “Setelah Sibaweih, tidak ada orang yang lebih pandai dalam ilmu Nahwu dari Abu Utsman Al-Mazani.”

Abu Utsman Al-Mazani menulis beberapa kitab, seperti Fil Quran, ‘Ilal An-Nahw, Tafasir Kitab Sibaweih, Ma Yalhanu Fihil ‘Ammah, Al-Alif wa Al-Lam, At-Tashrif, Al-‘Arudh, Al-Qowafie, dan Ad- Dibaj. Semua judul kitab-kitab ini dibenarkan oleh Ibnu Nadim, As-Suyuthi, Al-Himawi dan tokohtokoh lainnya. Kitab terakhir ini, yakni Ad-Dibaj, adalah kitab besar Abu Utsman, sebagaimana yang juga dicatat oleh pengarang kitab Kasyful Dzunun.

Pasal Ketiga

Tentang Kitab ‘Arudh yang Dikarang oleh Kaum Syi’ah
Terdapat karya-karya selain judul-judul di atas tadi yang dikarang oleh orang-orang Syi’ah. Di antaranya kitab Al-Iqna’e fil ‘Arudh; karya Kafil Kufat Ash-Shohib ibn ‘Imad yang telah kita bahas sebelum ini.

Lalu, kitab Shan’atusy Syi’r fil ‘Arudh wal Qowafie; karya Al-Husein ibn Muhammad ibn Ja’far ibn Muhammad ibn Al-Husein Ar-Rafi’ie yang terkenal dengan julukan Al-Khali’e (Sang Pemecat). Ia wafat pada pertengahan abad keempat. Di dalam Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam, riwayat hidupnya dibawakan secara terinci. Di sini, dapat dipastikan bahwa Al-Husein ibn Muhammad Ar- Rafi’ie adalah seorang penganut Syi’ah Imamiyah.

Lalu, kitab ‘Ayarusy Syi’r, kitab Tahdzibuth Thab’e, kitab Al-‘Arudh. Semua kitab ini karya Syarif Abul Hasan Muham-mad ibn Ahmad Ath-Thabathabai Al-Ishfahani sebagaimana yang dinyatakan dalam Nasamatus Sahar pada tema “Orang yang Bermazhab Syi’ah dan Bersyair.” Ia lahir pada tahun 322 H. Pengarang kitab Ma’ahid At-Tanshish menyebutkan data ini lalu memujinya.

Ia menyebutkan judul kitab terakhir Syarif Abul Hasan itu, Al-‘Arudh, dan mengenangnya: “Itulah kitab yang tidak ditemukan padanannya.” Syarif Abul Hasan juga pencipta beberapa bait syair yangmasyhur itu:

Duhai dia yang melukiskan

Bagai embun begitu lembut

Sedang hatinya keras selaksa batu

Ah! Andai nasibku busana pada tubuhmu

Wahai satu dari bangsa manusia

Akankah kalian dikejutkan

Orang yang melepas baju tidur

Saat ia tlah kaitkan

Butir-butir kancingnya pada rembulan

Lalu, kitab Al-‘Arudh wal Qowafie; karangan Muhammad ibn Ahmad Al-Wazir sebagaima telah dibahas sebelum ini. Lalu, kitab Al-Kafie fi Ilmil ‘Arudh wal Qowafie dan kitab Nadzmul ‘Arudh; karangan Sayyid Abu Ridha Fadhlullah Ar-Rawandi ra. yang hidup pada tahun 548 H. Riwayat hidupnya dibawakan secara indah di dalam Ad-Darojat Ar-Rofi’ah fith Tabaqot Asy-Syi’ah.

Lalu, sebuah risalah Ar-‘Arudh wal-Qowafie; karangan Al-Hakim Al-Anwari, seorang penyair yang wafat pada masa-masa keruntuhan dinasti Abbasiyah. Lalu, kitab Al-‘Arudh; karya Raja Para Tokoh Nahwu. Ia juga pengarang Al-‘Umdah fin Nahw sebagaimana disebutkan dalam Kasyful Dzunun. Masih dalam kitab ini, ia dinyatakan sebagai orang syi’ah. Akan tiba keterangan lebih rinci ihwal dirinya pada pembahasan ‘Tokoh-tokoh Besar Ilmu Nahwu’, Insyaallah! Lalu, kitab Al-Iklil At-Tajie fil ‘Arudh, Qurratu ‘Ainul Khalil fi syarh An-Nadzm Al-Jalil li ibn Hajib, dan kitab Syarh Qoshidah Shadruddin As-Sawi fil ‘Arudh. Semua kitab ini karya Syeikh Taqiyyuddin Al-Hasan ibn Ali ibn Dawud Al-Hilli, penulis kitab Ar-Rijal. Ia terkenal dengan nama Ibnu Dawud, murid Sayyid Ibnu Thawus yang telah diulas dalam pembahasan mengenai ulamaulama ilmu “Al-Jarh wat Ta’dil”.[]



Bab Ketiga Belas

Kepeloporan Syi'ah dalam Bidang-bidang Seni Puisi di Dunia Islam
Ketahuilah! Sesungguhnya merekalah orang-orang pertama yang bersinggungan dengan pelbagai subjek yang kemudian disambut dan dianut oleh para penyair. Maka, orang pertama di antara mereka yang bersemi di dada-dada kaum Muslimin adalah Al-Farazdaq. Al-Jarir mengatakan: “Sumber inspirasi syair berasal dari lisannya.” Yakni, dialah penyair terpandai di dunia Islam.

Namun, orang Syi'ah yang men-dahuluui Al-Farazdaq ialah Al-Ja'die yang menggubah peristiwa perang Shiffin demikian indahnya:

Sungguh tlah mengenal dua kota dan Irak

Bahwa Ali-lah pahlawan utama dan pembebas

Lebih mulia dari pengelana dunia

Mereka menghampirimu tanpa sadar

Mereka melesat dan kau pun melesat

Kau tlah menempuh jalan kebenaran

Mereka tempuh tanah yang tak berakar

Selain Al-Ja'die adalah Ka'ab ibn Zuhair, penyair bait yang terkenal dengan nama Banat Su'adu, di antaranya:

Menantu Nabi adalah sebaik-baiknya manusia

Setiap orang bangga dengan membanggakannya

Dialah pertama yang shalat bersama Nabi yang ummi

Sebelum hamba-hamba dan Tuhan manusia dikafirkan

Lalu, Lubaid ibn Rabi'ah Al-'Amirie, sebagaimana tersebut di dalam Riyadhul 'Ulama' fi Syu'ara Syi'ah, dan Abu Thufail 'Amir ibn Wailah, seorang sahabat Nabi saw. dan penyair ternama. Abul Faraj Ishfahani berkata: “Abu Thufail adalah salah satu tokoh Syi'ah.” Termasuk di antara mereka ialah Abul Aswad Ad-Duali. Ibnu Bethriq dalam Al-'Umdah mengatakan: “Ia adalah salah seorang alim yang amat fasih bertutur bahasa dari generasi pertama penyair Syi'ah. Abul Aswad adalah pengikut setia Ali ibn Abi Thalib a.s.”

Namun, tidak ada nama yang lebih tersohor pada abad kedua dari Al-Hasan Abu Nawas lalu Abu Tamam Habib dan Al-Buhturi. Pada masa itu, dua orang terakhir ini telah menaklukkan lima ratus penyair hebat, sebagaimana dicatat dalam Al-'Umdah karya Ibnu Rasyiq. Sampai-sampai seorang penyair berkata:

Bila kau penunggang kuda

Jadilah sehebat Ali

Bila kau penyair

Jadilah sepandai Ibnu Hani

Dan orang pertama yang syairnya dikenal dengan nama silsilah dzahab (untaian emas) ialah Al- Buhturi. Lalu, orang pertama yang syairnya dikenal dengan nama shaiqolul ma'ani (sepuhan mutiara makna) ialah Abu Tamam. Ia pula yang menyusun perbab-bab kumpulan pilihan dari bait-bait syair bangsa Arab hingga mencapai delapan bab. Bab pertama adalah hamasah (kepahlawanan).

Popularitas mereka berdua diikuti oleh Ibnu Rumi. Alhasil, mereka semua adalah orang-orang Syi'ah. Riwayat hidupmereka terdapat dalam Ta'sisusy Syi'ah li Fununil Islam. Dan di antara para penyair termasyhur dari Syiah yang seangkatan dengan Abu Nawas ialah Abu Syaish, Al-Hasan ibn Dhahhak Al-Khali'e, Da'bal Al-Khuza'ie, dan penyair yang lain.

Adapun penyair Syi'ah yang seangkatan dengan Habib dan Al-Buhturi ialah Diek Al-Jinn. Ia penyair dari warga Syam. Suatu saat, rumahnya pernah dihampiri oleh Da'bal Al-Khuza'ie. Maka, ia pun menghindar dan menyembunyikan diri lantaran takut dari isyaratnya yang tajam dan sindiran yang mengigit. Segera Da'bal berkata: “Gerangan apakah Diek bersembunyi sedangkan ia lebih cakap bersyair dari bangsa jin dan manusia. Bukankah dia sendiri yang pernah mengatakan:

“Berkatnya tak kan menderita pulihkanlah keledainya

Sandingkan daranya dengan petang kerentaan

Dan bencilah konvoi begitu besar jikalau kusebut

Kan gemetar dua penjaga neraka dari baranya”

Segera Diek pun muncul ke hadapannya seraya memohon maaf Da'bal dan menyambut kedatangannya dengan sebaik-baiknya pelayanan. Perlu diketahui bahwa Diek dan Da’bal termasuk penyair yang tidak memanfaatkan talenta puitisnya untuk berusaha mendekati satu pun dari khalifah, penguasa, atau siapapun saja.

Sungguh mereka berdua telah meraih kemuliaan diri di antara para penyair sekelasnya. Semua nama penyair yang baru saja disebutkan di atas ini adalah orang-orangMuslim pertama yangmenggagas dan merumuskan ilmu Ma'ani. Ibnu Rasyiq berkata: “Gagasan dan rumusan yang paling banyakmembentuk ilmuMa'ani ialah bait-bait syair indah yang dirangkai oleh sang brilian Abu Tammam dan Ibnu Rumi.”

Perlu saya tegaskan bahwa Abu Tammam adalah sang penyepuh ilmu Ma'ani, sementara Ibnu Rumi adalah ilmu Ma'ani itu sendiri yang belum didahului oleh selainnya; menyelami kedalaman makna-makna lembut yang langka, menggali dan mengeluarkannya dari muatan khazanahnya lalu mengemasnya ke dalam bentuk yang begitu indah. Ibnu Rumi tidak pernah meninggalkan sebuah makna sampai ia mencermatinya secara seksama dan teliti. Maka itu, dalam seni Ma'ani, ia tidak lagi menyisihkan popularitas untuk selainnya, yakni dalam menempatkan makna sebuah kata dan kalimat. Ibnu Rumi lahir di Baghdad pada tahun 221 H. dan wafat pada 283 H.

Selain mereka adalah Kumait ibn Ziyad Al-Mudhirri Al-Asadi. Ibnu Ikrimah Adh-Dhobiy mengatakan: “Seandainya tidak ada syair Kumait, sungguh tak ada penjabar bagi ilmu tata bahasa, dan tak akan ada lisan bagi ilmu Bayan.” Tatkala Abu Muslim ditanya ihwal Kumait, mengatakan: “Ia paling pandai di antara para penyair yang terdahulu dan yang akan datang.”

Pada hemat saya, dalam kitab Al-'Ayan yang baru saja dicetak di Mesir, terdapat banyak nukilannukilan yangmelampaui penilaian-penilaian semacam ini. Adapun orang yang memperpanjang syair sanjungan banyak sekali. Ibnu Rasyiq berkata: “Ibnu Abi Ishaq, pakar pendahulu yang masyhur, ulama yang jeli dan teliti itu, mengatakan bahwa begitu banyaknya penyair pandai di era Jahiliyyah dan di antara kaum Muslimin.” Lalu Ibnu Rasyiq menambahkan: “Pendapat ini berlebihan dalam menyatakan yang sebenarnya.

Namun demikian, mereka semua sepakat bahwa Ibnu Abi Ishaqlah orang pertama yang memperpan-jang syair sanjungan.” Saya katakan bahwa dengan keterangan di atas, jelaslah keterdahuluan Syi'ah dalam hal ini.

Adapun orang pertama yang memperbanyak syair dalam satu makna ialah Sayyid Al-Humairi. Ibnu Mu'tazz di dalam At-Tadzkirah mengatakan: “Sayyid Mu'tazz memiliki empat anak perempuan. Setiap dari mereka menghafal empat ratus bait qosidah ayah mereka. Ia sendiri mengarang frasa-frasa acapkali mendengar keutamaan Ali a.s., persis dengan frasa sebuah hadis, dan setiap qosidahnya dirangkai secara terurai panjang. Sayyid Mu’tazz adalah seorang yang secara terbuka menunjukkan kesyi’ahannya, padahal kedua orang tuanya bukan penganut Syi'ah.

Mereka berasal dari daerah Humair-Syam. Ia pernah mengatakan: ‘Rahmat ilahi telah tercurahkan ke atasku sehingga aku menjadi seolah mukmin keluarga Fir'aun.” Sayyid Mu'tazz wafat pada tahun 173, atau 193, atau 199 H.

Perlu dicatat bahwa mereka yang telah merangkum syair ke dalam satu makna yang mengandung pujian kepada Ahlul Bait a.s. dan menyusun bait-bait keutamaan mereka adalah sekelompok kaum Syi'ah dari para penyair dan ahli hadis terdahulu. Nama-nama mereka telah kami bawakan dalam Ta'sisusy Syi'ah li Fununil Islam. Di antaranya adalah seorang yang fenomenal di masanya dalam menciptakan seni puisi komedik, seperti Ibnul Hajjaj Al-Husein ibn Ahmad Al-Katib dari warga Baghdad. Tidak ada seorang pun yang mendahuluinya dalam mengagas seni ini dengan segenap keindahan kata dan keutuhan syairnya dari pemaksaan.

Kumpulan syairnya sebanyak sepuluh jilid, lalu Sayyid Syarif Radhi menarik beberapa pilihan darinya ke dalam sebuah kitab yang berjudul Al-Hasan min Syi'ril Husein, kemudian disusun secara apik oleh penyair tersohor Badi’ul Usthurlabi Hibatullah ibn Hasan menjadi 141 bab, lalu setiap babnya diletakkan sebagai satu seni syair. Ia menamainya dengan judul Durratut Taj fi Syi'ri Ibnul Hajjaj. Ibnu Hajjaj wafat pada tahun 391 H. dan dimakamkan di sekitar pusara Imam Musa Al- Kadzim a.s. sedangkan Badi’ul Usthurlabi wafat pada tahun 434 H.

Dan orang pertama yang mencipta seni puisi terzarima ialah penyair ternama Shofiyyuddin Al- Hilli yang wafat pada 750 H. Belum ada penyair sebelumnya yang melakukan ini. Ia telah menghimpun syair-syairnya ke dalam tiga jilid yang semuanya terhitung sempurna dan indah. Dan orang pertama yang begitu produktif dan kreatif dalam merangkai syair ialah Syarif Ar- Radhi; saudara Al-Murtadha. Dia orang pertama yang dijuluki sebagai penyair terulung dari Quraisy dan penyair terpandai dari Bani Thalib. Tidak satu pun dari nama penyair terdahulu atau terakhir yang disandingkan dengan namanya. Salah satu murid terbaik Syarif Ar-Radhi ialah budaknya yang bernama Mehyar Ad-Dailami. Ia termasuk penyair yang langka di jamannya. Kumpulan syairnya setebal empat jilid, berisikan bait-bait yang indah dan tiada taranya. Mehyar mempunyai seorang anak laki-laki yang setingkat dengan kepandaiannya. Riwayat hidupnya diulas dalam Dimyatul Qoshr. Anak Mehyar ini dikenal sebagai pemilik bait-bait Al-Haiyyah, di antaranya:

Hai desir angin pagi dari Kadzimiyah

Alangkah keras mengecam udara dan siksa

Nama lengkap anak Mehyar ialah Abu Abdillah Al-Husein ibn Mehyar ibn Marzaweih Al- Kisrawi. Sang ayah, Mehyar, wafat pada tahun 428 H.

Di antara mereka semua terdapat penyair yang mendapat kesaksian Al-Mutanabbi atas kepeloporan dan kehebatannya, dimana Al-Mutanabbi sering memihaknya dan segan untuk tampil menantangnya dan beradu syair dengannya. Dialah Abu Nawas Al-Harts ibn Hamdan. Tidak satu nama pun dari penyair akan disejajarkan dengan nama Abu Nawas kecuali Abu Thayyib seorang.

Dan telah dibawakan kesaksian Abu Thayyib atas kepandaian Abu Nawas, sebagaimana yang dicatat oleh Ats-Tsa'alibi dalam kitab Al-Yatimah, di mana ia meriwayatkan dari Ash-Shohib ibn 'Ibad yang mengatakan: “Pembuka syair dengan kerajaan dan penutup syair juga dengan kerajaan adalah Amrul Qois dan Abu Nawas yang wafat pada 320 H.”

Dan di antara mereka ialah penyair dari Maroko yang disegani oleh semua ulama secara mutlak. Ia bernama Abul Qosim Muhammad ibn Hani Al-Andalusi Al-Maghribi, dari mazhab Syi'ah Imamiyah yang wafat pada tahun 362 H. Ibnu Khalkan mengatakan: “Tidak satu pun dari penyair Maroko terdahulu dan terakhir yang setinggi kelasnya. Dialah penyair terpandai secara mutlak di antara mereka. Bagi orang Barat, ia seperti Al-Mutanabbi di dunia Timur. Kedua-duanya hidup pada satu masa.”

Di antara mereka ialah penyair yang berjuluk Kusyajim; diserap dari empat kata seorang sekretaris, penyair, teolog, astrolog, sang handal di pelbagai bidang ilmu, sebagaimana ia pun mulia dari pelbagai sifat dan perangai, tak ada duanya di masanya. Dia bernama Abul Fath/Abul Futuh, Mahmud/Mu-hammad ibn Al-Hasan/Al-Husein ibn As-Sundi ibn Syahik/q, pengarang kitab Al- Mashoid wal Mathorid minal Syi'ah. Rasyi-duddin di dalam Ma'alimul 'Ulama' memasukkan Kusyajim ke dalam daftar penyair Ahlul Bait a.s. Dialah sosok nyata dari firman Allah swt.:

"Mengeluarkan yang hidup dari yang mati", sebab As-Sundi (sang kakek) adalah pelaku langsung dalam meracuni Imam Musa ibn Ja'far Al-Kadzim a.s., yaitu ketika beliau berada dalam tahanannya. Kusyajim wafat pada tahun 350 H.

Dan orang pertama yang menadaptkan gelar An-Nasyi' (sang pencipta) dari kaum Syi'ah ialah Ali ibn Abdullah ibn Washif. As-Sam'ani berkata: "Nasyi’ adalah sebuah kata yang digunakan pada orang yang menggagas sebuah cabang seni syair dan ia menjadi populer dengan nama ini. Dan orang yang akrab dikenal dengan nama ini ialah Ali ibn Abdullah; sang penyair tersohor. Ia hidup di masa kekuasaan Khalifah Al-Muqtadir, Al-Qodir, Ar-Radhi dan khalifah-khalifah yang lain. Ali ibn Abdullah berasal dari Baghdad dan menetap di Mesir.” Demikian ini dinyatakan oleh Ibnu Katsir dalam kitab Tarikh-nya seraya menegaskan bahwa ia seorangmutakallim Syi'ah.

Begitu pula Ibnu Nadim menilainya sebagai mutakallim Syi'ah Imamiyah. Ibnu Khalkan berkata: "Ali ibn Abdullah adalah salah seorang tokoh Syi'ah, sebagaimana dilaporkan dalam Nasamatus Sahar. Ia memiliki keunggulan di atas Al-Mutanabbi; di mana yang kedua ini belajar seni syair dari yang pertama. Hanya saja, kekuatan syair An-Nasyi' serta kedu-dukannya sebagai tokoh pendahulu telah merendahkan derajat Al-Mutannabi.”

Saya katakan bahwa Ibnu Khalkan telah membawakan sebuah qosidah dan mengatakan bahwa Al-Mutanabbi telah menukil beberapa bait dari qosidah itu dalam menyanjung Khalifah Saifuddaulah. Qosidah itu diawali oleh bait-bait berikut ini:

Berkat Keluarga Muhammad, kebenaran tampak

Di rumah-rumah mereka wahyu diturunkan

Merekalah bukti-bukti Tuhan atas manusia

Karena mereka dan datuk mereka tak ada keraguan

Terutama Abul Hasan Ali

Padanya martabat kemuliaan berwibawa

Sasaran panahnya adalah jantung musibah

Baginya titisan darah peringatan menjadi arak

Seakan mata busurnya yang layu adalah hati

Maka tak kan ada hilang dari hati

Ketegasannya bak menawar bintang

Posisinya laksana pengawas bagi makhluk

Dialah tangisan di mihrab malam

Dialah periang bila perang memuncak

Dialah Berita Besar dan bahtera Nuh

Pintu Allah maka tertutuplah dialog

An-Nasyi' lahir pada 271 H. dan wafat pada 366 H., yakni pada usia 95 tahun. Dan orang pertama yang mendapatkan kebanggaan di semua bidang seni syair sehingga dijuluki sebagai Az-Zahi (Sang Pembangga) ialah Ali ibn Ishaq ibn Khalaf; penyair dari Baghdad yang sulit ditemukan orang sepertinya. Riwayat hidupnya diulas oleh Al-Khathib dan Abu Sa'id ibn Abdur-rahman dalam Thabaqotusy Syu'ara', Ibnu Khalkan di dalam Al-Wafiyyat, Al-Qodhi di dalam Thabaqotusy Syi'ah dan Ibnu Syahrasyub dalam Ma'alimul 'Ulama', lalu mengatakan: “Ali ibn Ishaq termasuk penyair yang secara terbuka melantunkan syair pujian atas Ahlul Bait a.s.”

Ali ibn Ishaq lahir pada tahun 318 H. dan wafat pada 352 H. Ia dimakamkan terletak di sekitar pusara Imam Musa ibn Ja'far Al-Kadzim a.s., tepatnya di pemakaman Quraisy.

Dan orang buta huruf pertama yang dikaruniai talenta mukjizat dalam syair ialah Nashr ibn Ahmad Al-Khabzaruzi Abul Qosim; seorang penyair yang masyhur dengan ghazal; puisi cinta yang menduniakan popularitasnya. Riwayat hidup Nashr dibawakan di pelbagai kitab autobiografi dan sejarah. Pengarang Al-Yatimah juga mengulas ihwal kehidu-pannya dan beberapa bait dari syairnya, lalu mengatakan: “Ia seorang syi'ah”. Ibnu Khalkan memastikan tahun wafatnya jatuh pada tahun 317 H.

Buta huruf lainnya adalah seorang penyair yang terkenal dengan panggilan ‘Si Tukang Roti Negeri’. Nama lengkapnya ialah Abu Bakar Muhammad ibn Ahmad ibn Hamdan. Sungguh ia penyair yang tersohor. Di dalam Al-Yatimah, Ats-Tsa'alibi mengangkatnya sebagai simbol perhiasan dunia dan mengatakan: “Yang lebih menakjubkan lagi, ia seorang buta huruf sementara syairsyairnya sebegitu renyah, sedap, mengalir dan menghibur. Fragmen syairnya sarat dengan makna lembut dan mutiara hikmah yang berkembang luas. Ia juga penghafal Al-Quran dan tidak sekali memetik ayat-ayatnya untuk disisipkan ke dalam syairnya.”

Ats-Tsa'alibi melanjutkan: “Abu Bakar adalah penganut Syi'ah dan menunjukkan kesetiaannya pada mazhab ini di dalam syairnya, sebagaimana yang tampak pada beberapa baitnya secara gamblang.”

Dan orang pertama yang meletakkan seni tauriyah (paronomasia) dan menggunakannya secara natural dan harmonik ialah ‘Alauddin Al-Wida'ie Al-Kindi Ali ibn Al-Mudzaffar ibn Ibrahim ibn Umar ibn Zaid, penulis kitab At-Tadzkirah yang lebih dikenal pula dengan judul At- Tadzkirah Al-Kindiyah setebal lima puluh jilid yang mencakup pelbagai macam seni sastra. Seperti juga dicatat dalam Nasamatus Sahar, ‘Alauddin adalah penganut Syi'ah dan penyair yang pandai. Di samping itu, penulis Nasamatus Sahar juga menukil sejumlah keterangan Syeikh Taqiyuddin ibn Hujjah di dalam Kasyful Liam mengenai tauriyah dan istikhdam, termasuk syair yang dipelajari oleh Ibnu Nabatah dari Syeikh 'Alauddin Al-Wida'ie tersebut. Masih dalam kitab tersebut dikatakan: "Dan sejumlah keistimewaan Syeikh 'Alauddin terkandung dalam kitab berjilid-jilid.

Singkatnya, Ibnu Nabatah yang tersohor itu bahkan berhutang budi padanya.” Riwayat hidup Syeikh 'Alauddin dicatat secara menarik dalam kitab Fawatul Wafiyyat. Saya pun telah menukilnya dalam Ta'sisusy Syi'ah li Fununil Islam. Dalam riwayat hidup tersebut, dinyatakan kesyi'ahannya secara tegas, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Hafidz Adz-Dzahabi. Syeikh 'Alauddin wafat tahun pada 716 H.

Adapun orang yang selama dua abad sebelumnya tidak ditemukan seorang pun yang menandingi keunggulannya ¯berdasarkan kesaksian Ibnu Khalkan¯ialah cucunda Ibnu Ta'awidzi; sang penyair masyhur yang bernama Abul Faraj Muhammad ibn Ubaidillah Abdullah Al-Katib. Ibnu Khalkan berkata: “Ia adalah penyair di jamannya. Syairnya mengolah dua unsur kefasihan bahasa, keindahan kata, kecermatan dan kelembutan makna.”

Sementara, saya percaya bahwa pada jaman Abul Faraj, benar-benar tidak ditemukan seorang pun yang menandingi keunggulannya. Penulis Nasamatus Sahar menuturkan: “Saya telah menjumpai sebuah kitab kumpulan syairnya; sungguh patut pendapat sanjungan dari Ibnu Khalkan.” Ia adalah salah satu tokoh Syi'ah. As-Sam'ani berkata: “Aku pernah bertanya kepada Ibnu Khalkan tentang kelahirannya, ia menjawab: ‘Abul Faraj lahir pada tahun 476 H. di Karkh dan wafat pada bulan Jumadil Tsani 553 H.”

Terdapat penyair yang sepadan dengan Abul Faraj, yaitu Syarif Abul Hasan Ali Al-Hammani dari warga Kufah, putra seorang penyair yang bernama Syarif Muhammad ibn Ja'far penyair ibn Muhammad ibn Zaid ibn Ali ibn Al-Husein ibn Ali ibn Abi Thalib a.s., sebagaimana yang disebutkan secara terhormat dalam Nasamatus Sahar. Yaqut mengatakan: “Al-Hammani di lingkungan keluarga Ali ibn Abi Thalib terkenal sebagai penyair, sastrawan dan berakhlak mulia. Dia mirip dengan Abdullah ibn Al-Mu'tazz di lingkungan keluarga Abbasiyah. Ia pernah mengatakan: ‘Akulah penyair, ayahku penyair, juga kakek-kakekku sampai Abu Thalib, mereka semua adalah penyair.”

Saya katakan bahwa Al-Hammani adalah penyair paling pandai di antara para penyair di masa khalifah Abbasiyah Al-Mutawakkil. Ini berdasarkan kesaksian Imam Abul Hasan Al-Hadi ibn Ar-Ridha a.s. dalam sebuah hadis yang diriwa-yatkan oleh Al-Baihaqi di bab Mahasin Iftikhar bin Nabi wa Alihi dari kitab Al-Mahasin wal Masawi. Ini juga telah saya bawakan dalam kitab Ta'sisusy Syi'ah li Fununil Islam. Di sana, saya mencuplik sebuah fragmen dari syairnya. Ia termasuk salah satu penyair yang dihormati dalam dua kitab; Al-Yatimah dan Al-Aghani. Sementara itu, Abu Tammam memasukkannya ke dalam kelompok penyair hamasah, sebagaimana dicatat oleh Sayyid Al-Murtadha dalam Al-Musyfi dan menukil beberapa bait syairnya.

Termasuk penyair Bani Hasyim seorang penyair bernama Al-Fadhl ibn Abbas ibn 'Utbah ibn Abu Lahab. Sebagaimana disebutkan Sayyid Al-Madani dalam Ad-Darajat Ar-Rafi'ah fi Thabaqotusy Syi'ah dan Nasamatus Sahar, bahwa Al-Fadhl ibn Abbas adalah penyair Syi'ah. Abul Faraj telah membawakan riwayat hidupnya secara mengesankan.

Dan di antara penyair Quraisy yang syi'ah, sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Hushun Al-Mani'ah, ialah Abu Dahbal Al-Jamhi Wahab ibn Rabi'ah. Ini juga didukung oleh Ibnu Qutaibah di dalam Asy-Syi'r wasy Syu'ara', dan Sayyid Al-Murtadha di dalam kitab Al-Amali. Az-Zubair ibn Bakkar menyatakan bahwa Abu Dahbal termasuk penyair yang dipilih oleh Abu Tammam di dalam kumpulan syair hamasah. Dalam kitab Ta'sisusy Syi'ah li Fununil Islam, saya telah menukil sebagian bait syairnya mengenai ratapan atas kesyahidan Abu Abdillah Husein ibn Ali a.s.

Selain nama-nama di atas, masih banyak lagi kelompok dari penyair Syi'ah. Saya telah cantumkan riwayat-riwayat hidup mereka di dalam Ta'sisusy Syi'ah li Fununil Islam.[]


14
Kisah Para Nabi Allah

Bab Keempat Belas

Kepeloporan Syi'ah dalam Ilmu Sharaf

Pasal Pertama

Tentang Peletak Pertama Ilmu Sharaf dalam Islam
Ketahuilah bahwasanya orang pertama yang meletakkan ilmu Sharaf adalah Muslim Ma'adz Al- Harra’ ibn Muslim ibn Abu Sarah dari Kufah, budak Al-Anshar yang masyhur sebagai pakar Nahwu. Ini ditegaskan oleh Jalaluddin As-Suyuthi dalam Al-Mazhar, juz kedua, dan dalam Bughyatul Wu'at, yaitu tatkala dia membawakan riwayat hidup Abu Muslim Al-Harra' dan mengatakan bahwa ia adalah guru sastra Abdul Malik ibn Marwan, bahkan dia menyatakan bahwa Abu Muslim adalah seorang penganut Syi'ah. Dalam Al-Wasail wal Awail, dikatakan bahwa orang pertama yang meletakkan ilmu Tashrif (Sharaf) ialah Ma'adz Al-Harra’.

Allamah Al-Bahrani dalam Al-Bulghah mengatakan: “Ma'adz Al-Harra' adalah pencipta ilmu Sharaf sebagaimana ditegaskan oleh kesaksian sekelompok ahli sastra Arab seperti Khalid Al- Azhari.”

Saya katakan bahwa Al-Kisaie dan ulama lainnya telah belajar Sharaf pada Abu Muslim. Ia juga mengarang kitab berkenaan dengan Nahwu dan Hadis. Dalam kitab-kitab bibliografi karya ulama-ulama Syi'ah, terdapat riwayat hidupnya yang panjang. Ibnu Khalkan juga membawakan riwayat hidupnya, bahkan perjumpaannya dengan Kumait ibn Zaid yangmenunjukkan persahabatan iman mereka.

Tak syak lagi, Abu Muslim adalah seorang Syi'ah dan sahabat besar Imam Ja'far ibn Muhammad Ash-Shadiq a.s., sebagaimana dikukuhkan oleh Syeikh Mufid dalam Al-Irsyad dan oleh ulama-ulama besar lainnya. Abu Muslim meninggal dunia pada tahun 187 H. Lantaran usianya yang panjang, ia melapisi giginya dengan emas.

Pasal Kedua

Tentang Orang Pertama yang Mengarang di Bidang Ilmu Sharaf
Ketahuilah, bahwasanya orang pertama yangmengarang di bidang ilmu ini ialah Abu Utsman Al-Mazani ra. Ini yang bisa dipahami dari kesaksian Abul Khair, bahwa orang pertama yang membukukan ilmu Sharaf ialah Abu Utsman Al-Mazani. Berdasarkan penukilan Kasyful Dzunun, bahwa sebelum ini, ilmu Sharaf disusun di dalam ilmu Nahwu.

Dalam Fehrest Asma' Mushannifisy Syi'ah, Abul Abbas An-Najasyi berkata: “Abu Utsman Al-Mazani Bakar ibn Muhammad ibn Habib ibn Baqiyah Al-Mazani, dari Bani Mazan, dari keturunan Syaiban ibn Dzahal ibn Tsa'labah ibn 'Ukamah ibn Mus'ab ibn Ali ibn Bakar ibn Wail. Ia adalah pemuka para pakar Nahwu dan sastra Arab di Basrah. Kekepolorannya dalam ilmu Sharaf sudah masyhur.” Begitu pula, Abul Abbas Muhammad ibn Yazid Al-Mubarrad, seorang ulama Syi'ah Imamiyah, mengatakan: “Abu Utsman Bakar ibn Muhammad adalah salah satu pelayan Ismail ibn Maitsam; tokoh besar mutakallim Syi'ah.”

Saya katakan bahwa Allamah Jamaluddin ibn Mutha-hhar Al-Hilli juga telah mengulas pribadinya dalam Al-Khulashah dalam bentuk yang mirip dibawakan oleh An-Najasyi tentang dirinya. Ismail mempunyai banyak karya yang sebelum ini telah saya ketengahkan.

Pasal Ketiga

Tentang Kitab-kitab Sharaf yang Ditulis oleh Orang Syi'ah untuk Pertama Kalinya
Yaitu kitab Al-Isytiqoq karya Ibnu Khalaweih, At-Tashrif karya Ath-Thabari, Ilmil Sharf karya Wazir Al-Maghribi, At-Tibyan fil Tashrif karya Ahmad ibn Ali Al-Mahabadi, Al-Muqtashid fit Tashrif karya Malik Muhat, Syarah Asy-Syafiyah fil Sharf karya Najmul Aimmah Muhammad ibn Hasan Al- Istarbadi, Syarah Asy-Syafiyah fi Ilmil Sharf karya Sayyid Jamaluddin Abdullah Al-'Ajmi Naqreh Kour yang dinyatakan oleh Muha-qqiq Al-Karaki di dalam Hasyiyah Adz-Dzikra', bahwa ia adalah salah seorang ulama Syi'ah. Syarah kitab Sayyid Jamaluddin ini dilakukan oleh Syeikh An-Nasaie Kamalu-ddin Muhammad ibn Mu'inuddin; sebuah kitab syarah yang sungguh lengkap sehingga sulit ditemukan padanannya di bidang ini. Selain kitab-kitab di atas, masih banyak lagi kitab-kitab masyhur yang telah saya bawakan dalam kitab Fehrest Asma'Mushannifisy Syi'ah.[]


Bab Kelima Belas

Kepeloporan Syi'ah dalam Ilmu Nahwu

Pasal Pertama

Tentang Peletak Pertama Ilmu Nahwu untuk Bangsa Arab
Ketahuilah, bahwasanya orang pertama yang menciptakan, mengembangkan ilmu ini dan mendiktekan rumus-rumus dan kaidah-kaidahnya ialah Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. Kesepakatan bulat atas fakta ini dibawakan oleh Kamaluddin Ali ibn Yusuf Al-Qifthi dalam kitabnya; Ta'rikh An-Nuhat dan Al-Marzabani dalam AL-Muqtabas. Ibnu Juney dalam Al- Khashoish, bab Shidqun Naqlah mengatakan: “Pertama yang perlu diketahui ialah bahwa Amiril Mukminin Ali a.s. adalah peletak, perumus, pengembang dan pengurai pertama ilmu Nahwu.”

Begitu juga, Abdul Hamid ibn Abil Hadid mengatakan: “Hal ini telah diakui oleh semua orang.” Saya katakan bahwa semua pakar Nahwu bahkan telah menisbahkan kenyataan ini secara langsung tanpa melalui sanad. Dalam kitab Ta'sisusy Syi'ah li Fununil Islam, saya telah mencantumkan semua kesaksian mereka yang menegaskan kebenaran klaim atas kesepakatan bulat tersebut.

Maka itu, jelaslah kelemahan pendapat yang mengklaim bahwa orang pertama yang meletakkan ilmu Nahwu ialah Abudurrahman ibn Hurmuz, sebab Abdurrahman ini belajar Nahwu pada Abul Aswad Ad-Duali atau¯menurut sebagian ahli¯pada Maimun Al-Aqran yang pada gilirannya ia pun belajar pada Abul Aswad. Karena, semua riwayat mengenai hal ini berakhir pada Abul Aswad yang ia sendiri menimba ilmu ini pada Ali ibn Ali Thalib a.s. Masih di dalam Ta'sisusy Syi'ah li Fununil Islam, saya telah membawakan riwayat Abul Aswad berkenaan dengan fakta ini dari pelbagai jalur yang mutawatir, sebagaimana Anda akan menyimak seba-giannya pada lembaran-lembaran berikut ini.

Pasal Kedua

Tentang Orang Pertama yang Menyusun Ilmu Nahwu
Ketahuilah, bahwasanya orang pertama yang menyusun ilmu tersebut ialah Abul Aswad Ad- Duali atau Ad-Dili; bernisbah kepada Ad-Dual atau Ad-Dil ibn Bakar ibn Abdi Manaf ibn Kinanah. Abu Ali Al-Ghiyaie dalam kitab Al-Qori'e berkata: “Al-Ashma’ie, Sibaweih, Al-Akhfasy, Ibnu Sikkit, Abu Hatim, Al-'Adawi dan yang lain pengatakan bahwa kepanjangan Abul Aswad adalah Ad-Duili, namun dibaca fathah menjadi Ad-Duali lantaran nama keluarga, sebagaimana nama An-Namari yang huruf mim-nya dibaca fathah juga nama As-Sulami yang huruf lam-nya juga dibaca fathah.”

Al-Ashma'ie berkata: “Nama itu pernah dibaca kasrah (menjadi Ad-Dili) oleh Isa ibn ‘Amr dalam ilmu Nasab lantaran sesuai dengan asal katanya.” Ini juga dinukil oleh Munus dan selainnya dan mengatakan bahwa penyesuaian nama tersebut dengan asal katanya adalah fenomena yang tidak lumrah (syadzdz) dalam penyesuaian.

Abu Ali berkata: “Al-Kisa'ie, Abu Ubaidah, Muhammad ibn Habib meyakini bahwa Abul Aswad bernisbah kepada Ad-Dil. Nama aslinya ialah Dzalim ibn Dzalim atau Dzulaim ibn Dzulaim.

Ada yang mengatakan, ‘Amr ibn Utsman ibn ‘Amr. Ada yang mengatakan, Dzalim ibn Umar ibn Dzalim, dan ada pula yang mengatakan, Ibnu Sufyan ibn “Amr ibn Khulais ibn Nafaah ibn ‘Adiy ibn Ad-Duil ibn Bakar ibn Kinanah.”

Namun, yang lebih tepat ialah Duali lantaran nisbahnya kepada Duil dan berubah menjadi Dual karena konsekuensi perubahan pada teknik penisbahan sebuah nama sebagai nama marga.

Dan menurut pendapat orang banyak yang paling masyhur, nama Asli Abul Aswad Ad-Duali ialah Dzalim ibn ‘Amr Ad-Duali yang bernisbah kepada Ad-Dual ibn Bakar ibn Abdi Manaf ibn Kinanah; salah seorang tokoh tabi'in dan sahabat setia Imam Ali ibn Abi Thalib a.s. Abu Thayyib Abdul Wahid ibn Ali, seorang ahli bahasa Arab yang wafat pada 351 H., di dalam kitabnya Maratibun Nahwiyyin mengatakan: “Sesungguhnya orang pertama yang merumuskan Nahwu ialah Abul Aswad Ad-Duali, di mana ia sendiri telah mempelajarinya dari Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s.

” Begitu pula, Ibnu Qutaibah di dalam Al-Ma'arif mengatakan: “Nama lengkap Abul Aswad Ad-Duali adalah Dzalim ibn ‘Amr ibn Jandal ibn Sufyan ibn Kinanah. Ibunya berasal dari Bani Abduddar ibn Qushoy. Ia adalah seorang yang cerdas, tegas dan bakhil. Ia juga orang pertama yang meletakkan tata bahasa Arab, dan termasuk penyair kelas atas. Dalam kitab Asy-Syi'r wasy Syu'ara’, Abul Aswad digolongkan dalam jajaran para penyair, tabi'in, ahli hadis, bakhil, lumpuh, pincang. Ia seorang ahli Nahwu, karena dia orang pertama yang mengarang kitab tentang Nahwu pasca Ali ibn Abi Thalib a.s. Ia menjadi pembantu Ibnu Abbas di Basrah dan wafat di sana dalam usianya yang begitu lanjut.”

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Al-Ishobah sekaitan dengan riwayat hidup Abul Aswad mengatakan: “Abu Ali Al-Qoli berkata bahwasanya Abu Ishaq Az-Zujaj berkata bahwa Abul Abbas Al-Mubarrad berkata, bahwa dialah orang pertama yang meletakkan sastra dan tata bahasa Arab, dia pula yang meletakkan titik-titik pada huruf-huruf Al-Quran. Tatkala Abul Aswad ditanya orang tentang guru yang mengajarinya metode tersebut, ia mengatakan: ‘Aku telah menerimanya dari Ali ibn Abi Thalib a.s.’ Abu Ali Al-Qoli melanjutkan: ‘Dan ‘Amr ibn Syubbah dengan sanadnya meriwayatkan dari ‘Ashim ibn Bahdalah, bahwa peletak pertama Nahwu ialah Abul Aswad.’”

Dan dinukil dari Al-Jahidz bahwa ia mengatakan bahwa Abul Aswad termasuk golongan Tabi'in, fuqoha, ahli hadis, penyair, terpandang, pandai menunggang kuda, cerdik, ahli Nahwu, tangkas menjawab, penganutmazhab Syi'ah, bakhil, botak, dan bernafas bau. Demikian ini juga dituturkan oleh Al-Jahidz Abul Faraj dalam Al-Aghani dan As-Suyuthi di dalam Bughyatul Wu'at. Ar-Raghib di dalam Al-Muhadharat dalam rangka membahas ihwal Abul Aswad mengatakan: “Dialah orang pertama yang meletakkan titik-titik pada huruf-huruf Al- Quran dan merumuskan kaidah-kaidah dasar ilmu Nahwu di bawah asuhan Ali ibn Abi Thalib a.s. Ia juga termasuk lelaki yang tajam pendapat dan pikirannya. Abul Aswad adalah seorang syi'ah, penyair, tangkas menjawab, perawi tsiqoh dalam hadis...”

Al-Yafi'ie dalam Miratul Jinan berkata: “Dzalim ibn ‘Amr Abul Aswad Al-Bashri adalah salah satu tokoh terkemuka tabi'in dan sahabat Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. Ia turut terjun bersama beliau dalam perang Shiffin. Ia salah seorang yang sempurna pandangan dan akalnya. Dia pula yang pertama kalimenyusun ilmu Nahwu di bawah arahan Ali a.s.”

Imam Baihaqi dalam Al-Mahasin wal Masawi mengatakan: “Yunus ibn Habib, seorang pakar Nahwu berkata: ‘Orang pertama yang merumuskan tata bahasa Arab dan menyusun bab-babnya serta menerangkan metodologinya ialah Abul Aswad Ad-Duali. Nama lengkapnya ialah Dzalim ibn 'Amr.”

Abul Barakat Abdurrahman ibn Muhammad Anbari di pembukaan kitab Nazhatul Auliya' menulis: “Abu Ubaidah Mu'ammar ibn Al-Mutsanna' dan tokoh lainnya mengatakan bahwa Abul Aswad Ad-Duali telah belajar Nahwu pada Ali ibn Abi Thalib a.s.”

Abu Hatim As-Sajastani mengatakan bahwa Abul Aswad lahir di jaman Jahiliyah dan belajar Nahwu pada Ali ibn Abi Thalib a.s. Sementara itu Abu Salamah Musa ibn Ismail meriwayatkan dari ayahnya bahwa Abul Aswad adalah orang pertama yangmeletakkan ilmu Nahwu di Basrah.

Lalu Ibnu Anbari mengatakan bahwa orang pertama yang meletakkan tata bahasa Arab, merumuskan kaidah-kaidah dan mendefinisikan tema-tema ialah Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s., adapun Abul Aswad belajar dari beliau. Di dalam Al-Khoshoish pada bab Shidqun Naqlah, Ibnu Juney berkata: “Hal pertama yang perlu dikatahui ialah bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah peletak, perumus, pengembang dan pengurai pertama ilmu Nahwu, kemudian diikuti oleh Ibnu Abbas. Adapun Ali a.s. sendiri mengajarkan ilmu tersebut kepada Abul Aswad.”

Dan Abu Hilal Hasan ibn Abdullah Al-'Askari dalam Al-Awail mengatakan bahwa orang pertama yang meletakkan ilmu Nahwu ialah Ali ibn Abi Thalib a.s., sebagaimana yang dibawakan oleh Az-Zujaji dalam Al-Amali dari Al-Mubarrad. Abu Ubaidah mengatakan: “Peletak pertama tata bahasa Arab ialah Abul Aswad lalu Maimun Al-Aqran lalu ‘Anbasah Al-Fil lalu Abdullah ibn Ishaq.”

Saya tegaskan bahwa urutan ini tentu setelah Abul Aswad mempelajari ilmu itu dari Ali a.s., sebagaimana kesaksian Abu Ubaidah sendiri atas hal tersebut. Ini juga dikuatkan oleh nukilan Ibnu Anbari dari Abu Ubaidah. Ibnu Abil Hadid dalam Syarah Nahjul Balaghah berkata: “Ali ibn Abi Thalib a.s. adalah pencipta Nahwu lalu mendiktekan kaidah-kaidah dan rumus-rumusnya kepada Abul Aswad.” Begitu juga, Abul Fadhl ibn Abul Ghanaim dalam Syarah Al-Mufashshal berkata: “Telah diriwayatkan bahwa Abul Aswad belajar Nahwu pada Ali a.s. Beliau menyuruhnya untuk meletakkannya dalam ilmu Kalam.”

Abdul Qodir Al-Baghdadi dalam Khazanatul Adab pada saat membahas Abul Aswad mengatakan: “Dia peletak ilmu Nahwu berkat pengajaran Imam Ali a.s.” Hal senada juga disampaikan oleh Ad-Dumairi di dalam Hayatul Hayawan fi Dual, bahwa dialah orang pertama yang meletakkan ilmu Nahwu di bawah arahan Imam Ali ibn Abi Thalib a.s. Ibnu Nadim dalam Al-Fehrest mengatakan: “Abu Ja'far ibn Rustam Ath-Thabari berkata: ‘Ilmu Nahwu itu disebut nahwu karena Abul Aswad Ad-Duali menyatakan kepada Ali a.s. bahwa ia telah menerima beberapa kaidah Nahwu lalu berkata: ‘Lalu aku memohon izin kepada beliau agar aku merumuskan nahw (semacam) apa yang telah beliau letakkan’. Oleh karena itu, rumusan Abul Aswad dinamai Nahwu.’”

Ibnu Nadim berkata: “Saya telah menemukan data yang menunjukkan bahwa ilmu Nahwu berasal dari Abul Aswad. Pada mulanya, ilmu ini tersusun dalam empat lembaran buatan Cina. Di dalamnya terdapat tema ‘Tentang Fa'il dan Maf'ul’ dari Abul Aswad dengan tulisan tangan Yahya ibn Ya'mur, dan di bawah tulisan itu terdapat tulisan tangan yang tampak tua dari Nadhr ibn Syumail.”

Ibnu Khalkan dan Ibnu Al-Anbari menuturkan dari Abu Harb ibn Abul Aswad Ad-Duali, bahwa bab pertama yang disusun ayahku adalah bab ‘Ta'ajjub’. Ibnu Al-Anbari berkata: “Abu Harb telah menulis kitab Al-Mukhtashar yang dinis-bahkan kepada Abul Aswad setelah ia meletakkan titik-titik pada huruf Arab di masa Ziyad”. Ibnu Al-Anbari dalam An-Nuzh menambahkan:

"Peletak pertama ilmu Nahwu ialah Ali ibn Abi Thalib a.s., sebab semua riwayat yang datang berakhir pada Abul Aswad yang ia sendirimenisbatkan ilmu tersebut kepada Ali a.s.” Ibnu Al-Anbari membawakan sebuah riwayat dari Abul Aswad, bahwa ia ditanya: “Dari siapakah engkau menerima ilmu Nahwu?” Ia menjawab: “Aku telah menerima kaidah-kaidahnya dari Ali bin Abi Thalib a.s.”

Imam Fakhrurrazi dalam Manaqib Asy-Syafi'ie berkata: “Al-Khalil ibn Ahmad telah belajar pada Isa ibn Umar yang belajar pada Abu ‘Amr ibn Al-‘Ala’ yang belajar pada Abdu-llah ibn Ishaq Al-Hadhrami yang belajar pada Abu Abdillah Maimun Al-Aqran yang belajar pada ‘Anbasah Al-Fil yang ia sendiri belajar pada Abul Aswad Ad-Duali yang akhirnya ia belajar pada Ali ibn Abi Thalib a.s.”

Rasyiduddun ibn Syahrasyub Al-Mazandarani dalam kitab Al-Manaqib mengatakan bahwa Al-Khalil ibn Ahmad meriwayatkan ilmu Nahwu dari Isa ibn ‘Amr Ats-Tsaqofi yang belajar pada Abdullah ibn Ishaq Al-Hadhrami yang belajar pada tokoh besar Nahwu Abu ‘Amr Al-‘Ala’ yang belajar pada Maimun Al-Aqran yang belajar pada 'Anbasah Al-Fil yang belajar pada Abul Aswad yang akhirnya ia belajar pada Imam Ali a.s. Hal serupa juga ditegaskan Al-Azhari dalam Tahdzibul Lughah, Ibnu Mukarram dalam Lisanul Arab, Ibnu Sayyidah dalam Al-Muhkam, Ibnu Khalkan dalam Al-Wafiyyat, begitu juga sekelompok tokoh Nahwu lainnya.

Ruknuddin Ali ibn Abu Bakar Al-Haditsi dalam Ar-Rukni mengatakan: “Sesungguhnya peletak pertama ilmu Nahwu ialah Abul Aswad Ad-Duali; guru Imam Hasan dan Imam Husein a.s., yang ia sendiri belajar pada Ali a.s.” Ruknu-ddin menambahkan: “Dari Abul Aswad, lima tokoh besar telah belajar Nahwu, yaitu kedua putranya ‘Atha’ dan Abul Harits, ‘Anbasah, Maimun dan Yahya ibn Nu'man. Pada merekalah belajar Abu Ishaq Al-Hadhrami, Isa Ats-Tsaqofi dan Abu ‘Amr ibn Al-‘Ala’. Sedangkan Al-Khalil belajar pada Isa Ats-Tsaqofi. Lalu Sibaweih belajar pada Al-Khalil dan menjadi guru Al-Afkhasy. Sejak itu, barulah para tokoh sastra Arab terpecah kepada dua mazhab utama; mazhab Kufah dan mazhab Basrah.”

Al-Kaf'ami, salah seorang ulama besar Syi'ah Imamiyah, di dalam Mukhtashor Nuzhatu Ibn Anbari mengatakan: “Abul Aswad Ad-Duali adalah peletak pertama tata bahasa Arab. Ia mempelajari ilmu ini pada Ali a.s.” Saya katakan bahwa data-data di atas ini cukup memadai bagi siapa saya yang berminat melakukan pemeriksaan fakta yang sesungguhnya.

Dan saya menambahkan di sini, bahwa Ibnu Faris dalam Ash-Shohibi yang dikenal pula dengan judul Fiqhul Lughah mengatakan: “Jika seseorang mengklaim bahwa telah dinukil secara mutawatir bahwa Abul Aswad adalah orang pertama yang meletakkan tata bahasa Arab, dan bahwa Al- Khalil adalah orang pertama yang membahas ilmu 'Arudh, maka dapat dikatakan kepadanya bahwa kita tidakmengingkari semua ini, hanya saja kedua ilmu ini telah ada sejak dahulu, namun dengan berlalunya masa menjadi langka dan asing di tengah masyarakat Arab sampai kemudian muncul dua tokoh tersebut dan bekerja dalam memperbaharui dua ilmu itu.”

Saya katakan bahwa secara dzahir, pendapat ini tak beda dengan ucapan orang Afrika. Jelas bahwa Arab Jahiliyah tidak perlu pada ilmu Nahwu lantaran mereka dilahirkan dengan kodrat bahasa Arab sehingga mereka tidak dapat berbicara sesuatu yang menyalahi ilmu tersebut lalu perlu mempelajari ilmu yang menjadi bawaan bahasa mereka. Di samping itu, terdapat pelbagai riwayat yang telah dinyata-kan kualitas kemutawatirannya. Di antaranya ialah riwayat-riwayat yang menerangkan sebab upaya Imam Ali a.s. dalam meletakkan ilmu Nahwu, dan alasan usaha Abul Aswad yang searah dengannya (nahw).

Poin riwayat-riwayat tersebut ialah rusaknya bahasa dan dialek generasi muda bangsa Arab yang lahir dari darah campuran dan dari budak-budak di era kenabian dan pasca kenabian, sehingga mereka menguatirkan pengaruh negatif terhadap keutuhan bahasa Arab. Oleh karena itulah mereka merumuskan ilmu Nahwu demi memelihara apa yang pada awalnya terbina secara utuh dan lurus menurut kodrat dasar bahasa Arab.

Singkatnya, data sejarah dan argumentasi membuktikan kelemahan pendapat Ibnu Faris di atas. Dan secara umum, pendapat ini tampak ganjil; hanya ia yang membawakannya. Anda bisa mencermati catatan-catatan saya yang melawan argumentasinya. Entah alasan apa yang membuatnya hingga mengungkapkan pendapat itu. dengan ini, kita hanya akan menerima laporan fakta yang diriwayatkan dan melepaskan dugaan yang ia bawakan.

Adapun kekeliruan pandangan Ibnu Faris mengenai pelopor di bidang ilmu 'Arudh, saya telah memaparkan tanggapan kritis terhadapnya yang saya kiranya tidak perlu lagi diulang di sini.


15
Kisah Para Nabi Allah

Pasal Ketiga

Penyelidikan atas Sebab yang Mendorong Amiril Mukminin Hingga Meletakkan Kaidah-kaidah Nahwu dan Membatasi Cakupannya, dan Penyelidikan atas Sebab yang Membuat Abul Aswad Menyusun Ilmu Nahwu
Sesungguhnya para ulama berselisih pendapat mengenai dua sebab ini. Mengenai sebab pertama, sebagian menyebutkan penafsiran-penafsiran, di antaranya apa yang dibawakan oleh Ibnu Al- Anbari dalam pembukaan Syarah Kitab Sibaweih dan mengatakan: "Sesungguhnya Rasulullah saw. pada suatu hari telah mendengar seseorang membaca ayat; Innallaha bariun minal musyrikina wa rosulahu, yakni dengan mengkasroh huruf lam pada rosulahu sehingga dibaca rosulihi. Seketika itu, Rasul saw. marah dan memberi isyarat kepada Ali ibn Abi Thalib a.s. agar meletakkan sebuah An- Nahw (cara) dan merumuskan kaidah sehingga dapat mencegah kekeliruan demikian itu. Maka, Amiril Mukminin Ali a.s. meminta Abul Aswad Ad-Duali dan mengajarinya segala macam kata dan bentuk 'amil dan rabith, dan menjelaskan definisi akan ucapan orang Arab, macam-macam i'rob dan bina'.

“Abul Aswad adalah lelaki yang cerdas dan pandai. Lalu ia menyusun pelajaran tersebut. Jika menemukan kesulitan, ia menanyakannya kepada Amiril Mukminin Ali a.s. sehingga ia dapat menuntaskan penyusunan dan pengembangan ilmu itu. Barulah ia menemui Amiril Mukminin dan menyerah-kan hasil usahanya kepada beliau yang disambut pujian sang guru. Ali a.s. berkata: ‘Inilah sebaik-baiknya yang telah kau nahwu-kan (maksudkan). Maka, demi mendapatkan berkah dari pujian Ali a.s. ini, dinamailah ilmu ini dengan Nahwu.’”

Tak syak lagi, bahwa kata nahwu, sejauh yang dikandung dalam konteks kisah di atas, telah diucapkan untuk pertama kalinya dari lisan Nabi saw., bukan dari perkataan Ali a.s., sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Al-Anbari sendiri. Namun, yang diakui secara luas oleh para tokoh mengenai sebab penamaan ilmu Nahwu adalah apa yang dinyatakan oleh Ibnu Al- Anbari itu, bukan apa yang terdapat dalam kisah ini; kisah yang mirip dengan kisah-kisah tukang dongeng. Dan para ahli sejarah pun tidak melaporkan kejadian nyata dari kisah ini di jaman Nabi saw. Dan hanya Ibnu Al-Anbari yang menukil kisah ini sejauh yang saya ketahui, sebab saya sendiri tidak menemukan satu orang pun sebelumnya yang menceritakan kisah ini. Betul, bahwa sebagian tokoh terakhir telah membawakan kisah ini dan saya telah mendaftar nama-nama mereka dalam Ta'sisusy Syi'ah li Fununil Islam.

Sebab kedua ialah yang disebutkan oleh Rasyiduddin Ali ibn Syahrasyub Al-Mazandarani dalam Al-Manaqib, bahwa sebab atau alasan yang membuat Amiril Mukminin Ali a.s. untuk meletakkan ilmu Nahwu, yaitu tatkala orang-orang Quraisy mulai terbiasa menikah dengan bangsa Mesir, lalu lahirlah generasi muda yang telah rusak bahasa dan dialek mereka. Sampaisampai anak perempuan Khuwailid Al-Asadi menikah di sana dan berkata salah: "Inna abuya mata wa taroka 'alayya malan katsiro." Ketika Amiril Mukminin Ali a.s. mendapatkan rusaknya bahasa dan dialek mereka, segera ia meletakkan ilmu Nahwu.

Dan dalam kitab Ar-Rukni karya Ruknuddin Ali ibn Abu Bakar Al-Haditsi diceritakan, “bahwa seorang perempuan menjumpai Muawiyah di masa Khalifah Utsman dan berkata: “Abuya mata wa taroka malan.” Mendengar itu, Muawiyah pun memperoloknya. Kejadian ini terdengar oleh Ali a.s. Tak pelak lagi, beliau segera menuliskan sebuah rumusan di atas sebuah lembaran tentang kaidah-kaidah ilmu Nahwu dan memberikannya kepada Abul Aswad...” Saya katakan bahwa di antara dua riwayat (kisah) ini, tidak ada pertentangan.

Sebab ketiga disebutkan bahwa ada seorang baduwi Arab yang mendengar seorang pedagang di pasar membaca ayat; Innallaha bariun minal musyrikina wa rosulihi. Seketika itu pula ia terperanjat dan gundah lalu mengadukannya kepada Ali ibn Abi Thalib a.s. Di hadapan beliau, si peda-gang itu berkata: “Dalam bacaannya, dia telah kafir kepada Allah.” Namun, Ali a.s. menjawab: “Sesungguhnya dia tidak sengaja membaca demikian.” Selekas itu, beliau meletakkan dasar-dasar ilmu Nahwu di atas sebuah lembaran dan mem-berikannya kepada Abul Aswad. Riwayat ini dibawakan oleh Rasyiduddin.

Syamsuddin Muhammad ibn Sayyid Syarif Jurjani dalam kitabnya yang masyhur; Ar-Rasyad fi Syarah Al-Irsyad, sebuah syarah atas karya Allamah Taftazani, dalam menerangkan sebab penamaan ilmu Nahwu mengatakan: “Suatu ketika, Abul Aswad mendengar seseorang membaca ayat Innallaha bariun minal musyrikina wa rosulihi, padahal kata terakhir ayat ini semestinya dibaca rosuluhu atau rosulahu. Segera saja ia menceritakan pengalamannya itu kepada Amiril Mukminin Ali a.s. Beliau berkomentar: ‘Itu lantaran perkawinan dengan orang Ajam (non-Arab)’. Lalu beliau berkata: ‘Ada tiga macam kata; isim, fi'il dan harf’. Lantas beliau memberikan penjela-san sampai akhir lembaran.’”

Imam Maytsam Al-Bahrani dalam Bidayatul Amr berkata: “Abul Aswad pernah mendengar seorang lelaki membaca ayat Innallaha bariun minal musyrikina wa rosulihi. Maka, ia terkejut dan memperingatkannya: “Aku berlindung kepada Allah swt. dari khur ba'dal kur”, yakni dari kekurangan iman setelah kelebihannya. “Lalu ia bergegas menemui Amiril Mukminin Ali a.s. dan mengadukan kejadian tersebut.

Beliau berkata: ‘Aku telah ber-nahwu (bermaksud) untuk meletakkan sebuah alat ukur yang dengannya orang-orang dapat berbicara secara benar.’ Kemudian Ali a.s. mengatakan kepadanya, bahwa kata itu tiga macam; isim, fi'il dan harf. Adapun isim... Demikian hingga akhir lembaran. Baliau juga menyuruh: ‘Arahkanlah dia, wahai Abul Aswad, nahwa-hu (ke arah alat ukur itu) dan tuntunlah dia tentang cara peletakkan itu, lalu ajarilah dia!” Saya katakan bahwa riwayat ini juga tidaklah berbeda dengan yang sebelumnya, kecuali perbedaan pada identitas orang yangmendengar ayat Innallaha bariun minal musyrikina wa rosulihi.

Sebab keempat ialah apa yang dibawakan oleh Ibrahim ibn Ali Al-Kaf'ami Asy-Syami. Ia mengatakan: “Dan telah diriwayatkan bahwa sebab diletakkannya ilmu Nahwu oleh Ali a.s. ialah lantaran beliau mendengar seorang lelaki membaca sebuah ayat menjadi; Alla ya'kuluhu illal khotiin.” Sebab kelima ialah apa yang ditulis oleh Rasyiduddin, bahwa sebab peletakkan tersebut ialah saat Abul Aswad berjalan di belakang jenazah. Tiba-tiba seorang lelaki berkata kepadanya: “Manil Mutawaffi.” “Allah!”, demikian jawab Abul Aswad. Lalu ia menceritakan hal itu kepada Ali a.s.

Maka, beliau merumuskan ilmu Nahwu kemudian memberikannya kepada Abul Aswad dalam ukuran sehelai lembar sambil mengatakan: “Alangkah indahnya nahwu (model) ini! Aku akan menuntaskan tema-temanya.” Oleh sebab itu, dinamailah ilmu ini dengan nama nahwu. Sebab keenam ialah riwayat yang dibawakan oleh Sayyid Al-Murtadha 'Alamul Huda Ali ibn Al-Husein Al-Musawi dalam kitab Al-Fushulul Mukhtarah dari kitab Al-'Uyun wal Mahasin karya Syeikh Abu Abdillah Al-Mufid Muhammad ibn Muhammad ibn An-Nu'man yang masyhur dengan gelar Ibnul Mu'allim (putra guru besar). Ia mengatakan bahwa telah memberitahukanku Syeikh Abu Abdillah dari Muhammad ibn Salam Al-Jamhi bahwa suatu ketika, Abul Aswad Ad- Duali menemui Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. Tiba-tiba beliau menyodorkan sehelai lembar yang di dalamnya tercantum; ‘Bismillahirrahmanirrahim. Ucapan terdiri dari tiga macam; isim, fi'il dan harf. Isim ialah kata yang menunjukkan sesuatu, dan fi'il ialah kata yang menunjukkan gerak sesuatu, sedangkan harf ialah kata yangmewujudkan makna pada kata selainnya’.

Abul Aswad berkata: “Hai Amiril Mukminin! Catatan ini sungguh bagus sekali. Maka, apa yang engkau perintahkan kepadaku agar aku mengerjakannya akan aku kembangkan dengan cara menekuninya.”

Amiril Mukminin Ali a.s. berkata: “Aku telah mendengar kesalahan bahasa yang begitu parah di negerimu ini sehingga membulatkan keinginanku untuk menulis sebuah kitab; orang yang merujuk kepadanya dapat membedakan mana ucapan orang Arab dan mana ucapan mereka (non-Arab). Maka itu, mantapkanlah niatmu!”

Abul Aswad menjawab: "Semoga Allah mengaruniakan taufiq keberhasilan kepadaku berkat jasamu ini, wahai Amiril Mukminin!".

Rasyiduddin menuturkan bahwa Ibnu Salam Al-Jamhi berkata: "Setelah diserahkan dan disalin catatan-catatan Ali ibn Abi Thalib, mereka merasa tidak mempu melanjutkan. Mereka berkata: ‘Abu Thalib adalah sebuah nama kunyah (panggilan nasab), dan nama ini adalah komposisi (dua kata) seperti darahina dan Hadhramaut’. Az-Zamakhsyari di dalam Al-Faiq mengatakan bahwa nama itu telah dibiarkan dalam keadaan jarr, meski secara lafadh dibaca rofa’, karena ini yang lebih masyhur dan dikenal secara luas lalu menjadi pribahasa yang tidak lagi mengalami perubahan.

Abul Qosim Az-Zujaj dalam Al-Amali mengatakan dari Abu Ja'far Ath-Thabari dari Abu Al- Hatim As-Sajastani dari Ya'qub ibn Ishaq Al-Hadhrami dari Sa'id ibn Al-Muslim Al-Bahili dari ayahnya dari datuknya lalu dari Abul Aswad Ad-Duali, bahwa ia mengatakan: “Suatu saat, aku menjumpai Ali ibn Abi Thalib a.s. dan aku mendapatkannya dalam keadaan merenung dengan kepala tertunduk.

“Aku bertanya kepadanya: ‘Amiril Mukminin! Apakah yang tengah kau pikirkan?’ Beliau menjawab: “Sungguh Aku telah mendengar di negeri ini sebuah kesalahan bicara, maka aku bermaksud untuk menulis sebuah kitab tentang dasar-dasar bahasa Arab”. Aku berkata: ‘Jika engkau lakukan ini, sungguh engkau pun telah menghidupkan dan mengabadi-kan kami dengan bahasa ini.’

“Selang tiga hari kemudian, aku menemuinya lagi. Tiba-tiba beliau menyodorkan sebuah kitab kepadaku; di dalamnya termaktub demikian: ‘Bismillahirrahmanirrahim. Kalam (ucapan) ¯apapun itu¯adalah isim, fi’il dan harf. Isim ialah kata yang menunjukkan sesuatu, dan fi’il ialah kata yang menunjuk-kan gerak sesuatu, sedangkan harf adalah kata yang menun-jukkan makna yang bukan isim juga bukan fi’il.’

“Kemudian beliau berkata kepadaku: ‘Kembangkan dan tambahkan dengan apa yang kau temukan! Ketahuilah wahai Abul Aswad! Sesuatu itu tiga macam; dzahir, mudhmar, dan sesuatu yang bukan dzahir juga bukan mudhmar.”

Abul Aswad melanjutkan: “Segera aku pun menghimpun pelbagai cara pengembangan dari pelajaran dasar beliau lalu mengajukannya kepada beliau. Di antara pengembangan itu ialah katakata harf nashib, seperti anna, an, laita, la’alla, dan kata ka-anna. Namun, aku tidak mencantumkan kata lakin. Maka, Amiril Mukminin segera menegurku: ‘Mengapa kau tidak mencantumkan harf ini?’

“Menurutku lakin tidak termasuk harf nashib.” Demikian jawabku.

“Beliau menegaskan: ‘Justru kata ini termasuk dalam harf. Maka itu, bubuhkanlah!’” Sekian riwayat yang dinukil dalam kitab Al-Amali karya Az-Zujaj.

Saya katakan bahwa berkat penguraian yang masih global kepada tema-tema rinci dan jelas, dan penjelasan atas yang umum atau yang mutlak melalui isyarat dan catatan kait yang melingkupinya, tampaklah konklusi dari riwayat di atas ini; bahwa kekeliruan dan kerusakan yang terdengar oleh Amiril Mukminin Ali a.s. sekaitan dengan keutuhan lisan dan bahasa orangorang Arab lantaran pergaulan mereka dengan orang-orang Ajam telah mendesak beliau untuk meletakkan kaidah-kaidah dasar itu, lalu memerintahkan Abul Aswad dan murid-muridnya agar menelusuri nahwa-hu (arahnya). Semua data-data ini juga secara tegas membantah pendapat Ibnu Faris di akhir pasal ketiga dari bab ini.

Adapun riwayat-riwayat yang menerangkan sebab yang mendorong Abul Aswad sampai menyusun ilmu Nahwu juga tidak terdapat pertentangan di antara semua riwayat tersebut. Abu Said pernah bercerita tentang perjumpaan Sa’ad dengan Abul Aswad. Sa’ad adalah lelaki asal Persia (Iran) dari suku Zand Khan. Suatu saat, ia datang ke kota Basrah bersama sekelompok dari sukunya. Lalu mereka langsung menemui Qudamah ibn Madznun dan mereka mengaku telah masuk Islam di bawah tangannya, karena itulah mereka termasukmurid Qudamah.

Dalam pada itu, Sa’ad yang sedang menuntun kudanya berpapasan dengan Abul Aswad. Abul Aswad menyapanya: “Hai Sa’d, gerangan apakah sehingga kau tidak menunggangi kudamu?”: “Inna Farosi Dholi’an aroda dholi’un”, demikian jawab Sa’ad. Mendengar bahasa Arab warosulihi, maka ia menyusun bab ‘‘Al-‘Athaf wan Na’et’.

Pengalaman ini disusul dengan apa yang dia dengar dari perkataan anak perempuannya pada suatu saat: “Yâ abati, mâ ahsanu al-samâ’!” (Hai ayahku! Betapa indahnya langit itu!). Lantaran kata ahsan dibaca dommah/rofa’ (menjadi ahsanu), Abul Aswad mengira ucapan ini sebuah kalimat istifham (interogatif yang artinya; manakah benda yang terindah di langit itu?). Maka, ia pun segera menyahutnya: “Nujumuha” (bintang-bintangnya).

“Aku ini sedang terkangum-kagum dengan penciptaan langit itu, ayah!”, begitu tukas sang anak. Abul Aswad cepat menegurnya: “Kalau begitu, katakan: ‘Ma ahsana al-sama’, yakni ucapkan akhir kata ahsan dalam keadaan fathah/nashb (menjadi ahsana)!”. Selekas itu, Abul Aswad menyusun bab ‘Ta’ajjub wal Istifhâm’.

Tentu kita semua tahu bahwa tidak ada pertentangan di antara riwayat-riwayat di atas, karena semua itu menjelaskan satu sebab dan alasan di balik upaya Abul Aswad dalam menyusun beberapa tema Nahwu.

Namun, ada tanggapan atas apa yang dibawakan oleh Ibnu Nadim dalam kitab Al-Fehrest dan Syeikh Abul Hasan Sulamah ibn ‘Ayan ibn Ahmad, seorang pakar Nahwu dari Syam, di awal kitab Al-Mishbah fin Nahw yang mengatakan: “Para tokoh telah berselisih pendapat tentang sebab yangmendorong Abul Aswad untuk menyusun ilmu Nahwu.”

Sebagai contoh, Abu Ubaidah berpendapat bahwa Abul Aswad belajar ilmu Nahwu pada Ali ibn Abi Thalib a.s. Sesungguhnya ia merumuskan suatu kaidah baru yang dipelajarinya dari Ali a.s. dan diajarkannya kepada seseorang, sampai-sampai Ziyad berpesan kepadanya agar mengerjakan sesuatu yang kelak menjadi pedoman bagi masyarakat luas dan sebagai alat untuk membaca dan memahami Al-Quran. Namun ia tidak menyanggupinya. Sampai pada suatu hari, ia mendengar seseorangmembaca ayat; Innallâha bariun minal Musyrikina warosulihi. Dalam batinnya, Abul Aswad berkata: “Aku tak mengira kekeliruan orang-orang ini sampai sebegini parahnya!”

Karena itu, ia pun kembali menemui Ziyad dan menyatakan: “Aku akan mengerjakan apa yang telah kau pesankan itu. Untuk itu, siapkan seorang sekretaris yang akan menuliskan apa-apa yang aku katakan!”

Sejak itu, Abul Aswad dibantu oleh seorang sekretaris dari Bani Abdul Qois, namun ia tidak puas dengan cara kerjanya sehingga digantikan oleh sekretaris yang lain. Abul Abbas Al- Mubarrad berpendapat bahwa sekretaris ini juga masih dari Bani Abdul Qois. Abul Aswad berkata kepadanya: “Jika kau melihat aku membuka (fatahtu) mulutku dengan bunyi sebuah huruf, maka buatlah titik di atas huruf itu, jika aku membulatkan (dhomamtu) mulutku dengan bunyi suatu huruf, maka buatlah titik di depan huruf itu, dan jika aku menarik keluar (kasartu) mulutku dengan bunyi suatu huruf, maka buatlah titik di bawah huruf itu!’ Demikianlah titik-titik yang dibuat oleh Abul Aswad.’”

Pada hemat saya, kisah ini tidak ada kaitannya dengan subjek yang sedang kita bahas di sini. Pembahasan kita kali ini ialah berkenaan dengan sebab penyusunan ilmu Nahwu, bukan penyusunan kitab. Anehnya, kedua pakar ini malah membawakan kisah di atas ini untuk menerangkan sebab penyusunan ilmu Nahwu. Coba perhatikan secara baik!
* * *

Penutup
Yaitu tentang arti dari nama nahwu dan bahasa Arab secara lingustik. Arti perkataan Imam Ali ibn Abi Thalib a.s.: “Unhu nahwahu!”, adalah ‘Tempuhlah jalannya!’. Al-Baihaqi berkata: “Nahwu ialah istiqomah (jalan yang lurus). Maka itu, Nahwu adalah sebuah metode yang meluruskan tutur bahasa bangsa Arab.” Sekelompok pakar berpendapat bahwa kata ‘nahwu’ berarti nahiyah (arah).

Abu Utsman Al-Mazani berkata: “An-Nahw adalah arah pembicaraan.” Nahwu juga berarti contoh, seperti pada saat Anda mengatakan: “Hadza ‘ala nahwihi”, (ini sesuai dengan contohnya). Al-Khalil berkata: “Nahwu yaitu tujuan. Arti ini muncul ketika Ali a.s. mendengar seseorang berbicara keliru, dan menyuruh Abul Aswad Ad-Duali: ‘Buatlah sebuah pedoman untuk bahasa Arab! Sungguh telah ditemui banyak penda-tang dan keturunan dari pernikahan dengan orangorang non-Arab.’ Tatkala Abul Aswad telah meletakkan pedoman itu, Amiril Mukminin Ali a.s. mengatakan: ‘Sungguh indah nahwu yang kau kembangkan di dalamnya!’ Maksud beliau dari kata ‘nahwu’ di sini ialah arah dan cara. Kemudian beliau memerintahkan kepada anak-anak keturunan Arab: ‘Unhu nahwahu!”, yakni ikutilah arahnya dan jalanilah caranya!’” Saya katakan bahwa arti kata ‘nahwu’ ialah arah yang dituju. Misalnya, Anda mengatakan:

“Naha nahwahu”, yakni dia telah menuju ke arahnya. Adapun arti dari ucapan Imam Ali a.s., bahwa tujulah arah orang Arab dan Arabiyyah, yaitu nama bahasa Arab. Dikatakan bahwa Arabiyyah yaitu bahasa Arab yang yang baik, benar, fasih dan jelas. Dan seorang Arab itu disebut sebagai orang Arab lantaran ia arobul alfadz, yakni orang yang berbicara jelas.

Al-Ashma’ie mengisahkan: “Seorang bapak menasihati anak laki-lakinya: ‘Anakku! Perbaiki tata dan tutur bahasamu! Karena lelaki yang diwakili oleh seorang perempuan harus pandai berdandan dan merias wajah, lalu ia bisa meminjam pakaian dari ayah atau saudaranya, akan tetapi dia tidak menemukan seorang pun yang akan meminjamkan lisannya.’”

Pasal Keempat

Tentang Orang Pertama yang Belajar Nahwu pada Abul Aswad
Ketahuilah, bahwa orang pertama yang belajar Nahwu pada Abul Aswad Ad-Duali ialah putranya sendiri yang bernama ‘Atha’ ibn Abul Aswad lalu Yahya ibn Ya’mur Al-‘Udwani, sebagaimana yang ditegaskan oleh Abu Hatim As-Sajastani dan Abu Thayyib, seorang tokoh bahasa Arab, dalam kitab Marotib An-Nahwiyyin. Dua nama ini adalah imam dalam ilmu Nahwu pasca Abul Aswad. Ibnu Qutaibah dalam kitab Al-Ma’arif mengatakan: “Abul Aswad memiliki dua anak laki-laki, yaitu ‘Atha dan Abu Harb. Bersama Yahya ibn Ya’mur Al-‘Udwani, ‘Atha’ menekuni tata bahasa Arab setelah Abul Aswad. ‘Atha tidak mempunyai keturunan. Sedangkan Abu Harb ibn Abul Aswad adalah anak yang cerdas dan penyair yangmahir.”

Yang masih menjadi perdebatan ialah bahwa ‘Atha’ dan Abu Harb adalah dua nama untuk dua orang. Dalam Fehrest Asma’ Mushannifisy Syi’ah; karya Abul Abbas An-Najasyi, nama panggilan nasab ‘Ahta’ adalah Abu Harb. Maka, nama lengkapnya ialah Abu Harb ‘Atha ibn Abul Aswad Ad-Duali. Ia adalah guru Al-Ashma’ie dan Abu Ubaidah. Ibnu Hajar dalam At-Taqrib mengatakan: “Abu Harb ibn Abul Aswad Ad-Duali Al-Bashri adalah seorang perawi yang terpercaya. Menurut sebagian pendapat, nama aslinya ialah Muhjan, sebagian lain mengatakan, ‘Atha’. Ia meninggal pada 108 H.” Sementara itu, Ruknuddin Ali ibn Abu Bakar di dalam Ar-Rukni fin Nahw menyatakan: “Ada lima orang yang belajar Nahwu pada Abul Aswad, di antara mereka adalah kedua putranya yang bernama ‘Atha’ dan Abul Harits.”

Pasal Kelima

Tentang Orang Pertama di Kota Basrah dan Kufah yang Mengembangkan Ilmu Nahwu dan Mengurai Rincian Tema-temanya serta Memperkaya Argumentasinya
Orang pertama dari Basrah ialah tokoh besar, bukti sastra dan lisan bangsa Arab, Abu Shofa Al- Khalil ibn Ahmad. Dialah yang menyusun dan menata ilmu Nahwu setertib dan seapik mungkin hingga mencapai titik inti kesempur-naannya dan berakhir di puncak tertinggi dari sebuah ilmu. Dia pula yang memberi inspirasi-inspirasi inovatif kepada Sibaweih berupa ketelitian dan kecermatan teorinya dan buah-buah pikirannya dan kelembutan mutiara-mutiara kihmahnya. Semua itu dikoleksi oleh Sibaweih dalam Al-Kitab-nya; yakni sebuah kitab yang sekaligus dapat menunjukkan kelemahan orang-orang sebelum Al-Khalil, sebagaimana juga dapat meluluhleburkan tekad orang-orang yang datang setelahnya dalam berkreasi dan melakukan terobosan baru.

Dari sebagian kesaksian para pakar, dapat disimpulkan bahwa Al-Khalil tidaklah mengarang kitab mengenai ilmu Nahwu. Namun, Ibnu Khalkan dan sebagian pakar yang lain menisbahkan kitab Al-‘Awamil kepadanya. Sementara itu, As-Suyuthi meyakini kitab Al-jumal wal Syawahid sebagai salah satu karyanya. Mereka semua menyatakan bahwa Sibaweih telah meriwayatkan ilmu Nahwu dari Al-Khalil ibn Ahmad sebanyak seribu lembar, sebagaimana yang dilaporkan oleh As-Suyuthi dalam kitab Ath-Thabaqot.

Adapun orang pertama dari kota Kufah ialah Syiekh Abu Ja’far Ar-Rawasi; tokoh utama dan bapak mazhab nahwu Kufah. Nama lengkapnya ialah Muhammad ibn Al-Hasan ibn Abu Sarah Al- Kufi. Jalaluddin As-Suyuthi¯tatkala mengulas riwayat hidupnya dalam kitab Ath- Thabaqot¯mengatakan: “Ar-Rawasi adalah orang pertama dari mazhab Kufah yang mengarang kitab di bidang Nahwu. Ia juga guru Al-Kisaie dan Al-Farra’. Kepadanya Al-Khalil pernah mengirim utusan dan meminta karangannya. Ar-Rawasi pun memenuhinya dan mengirimkan karyanya kepada imam mazhab Basrah itu. Al-Khalil membacanya dan mendapatkannnya bahwa semuanya sama dengan apa yang tercantum dalam kitab Al-Kitab Sibaweih. Dan tatkala dibicarakan pendapat mazhab Kufah, maksudnya adalah Ar-Rawasi ini.” Kitabnya dikenal dengan judul Al-Faishal, sebagaimana telah ditegaskan oleh pengarang Al-Mazhar.

Syeikh Abu Ja’far Ar-Rawasi adalah salah seorang ulama Syi’ah. Riwayat hidup dan judul karya-karyanya terdapat dalam kitab Fehrest Asma’ Mushonnifisy Syi’ah. Ia adalah salah satu sahabat Abu Ja’far Muhammad Al-Baqir a.s. dan Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq a.s. Dan dia adalah bintang ilmu dan sastra. Riwayat hidupnya telah dibawakan secara terinci dalam Ta’ssisusy Syi’ah li Fununil Islam.


16
Kisah Para Nabi Allah

Pasal Keenam

Tentang Tokoh-tokoh Besar Ilmu Nahwu dari Kaum Syi’ah
Di antara mereka ialah ‘Atha’ ibn Abul Aswad. Nama ini telah kami singgung secara memadai di pasal keempat.

Di antara mereka ialah Yahya ibn Ya’mur Al-‘Udwani Al-Wasaqi Al-Mudhorri dari warga Basrah dari kabilah ‘Adnan ibn Qois ibn Ghilan ibn Mudhor, mirip dengan seseorang dari kabilah Bani Laits ibn Kinanah. Yahya adalah salah satu imam qiroah (bacaan Al-Quran) dari Basrah, dan padanya Abdullah ibn Ishaq belajar ilmu Qiroah. Ibnu Khalkan mengatakan: “Ia seorang alim yang menguasai Al-Quran, Nahwu dan pelbagai bahasa. Ia belajar Nahwu pada Abul Aswad Ad- Duali. Dan ia termasuk Syi’ah generasi pertama yang meyakini keutamaan Ahlul Bait a.s. tanpa menjatuh-kan keutamaan selain mereka.” Saya katakan bahwa data serupa juga dilaporkan oleh Al-Hakim dalam kitab Ta’rikh Naysabur.

Di sana, ia memuji dan mengagungkan Yahya sedemikian tingginya. Sebagian pujian atas Al- Hakim telah saya nukil dalam Ta’ssisusy Syi’ah li Fununil Islam. Di dalamnya juga saya telah membawakan apa yang tercatat dalam Ar-Raudh Az-Zahir, yaitu diskusinya dengan Hajjaj ibn Yusuf. Di hadapannya, ia membuktikan bahwa Hasan dan Husein adalah dua putra Rasulullah saw. yang tersinggung dalam firman; “Wa wahabna lahu Ishaqo wa Ya’quba”, sampai firman; “Wa Isa wa Ilyas” (QS.6:84-85).

Yahya ibn Ya’mur berkata kepada Hajjaj: “Dalam ayat ini, siapakah ayah Nabi Isa, sedangkan setelah namanya, Allah swt. membawakan keturunan Nabi Ibrahim, dan di antara Nabi Isa dan Nabi Ibrahim tidak lebih banyak dari di antara Hasan, Husein dan NabiMuhammad saw.?” Hajjaj menjawab: “Sungguh aku tidak mendapatkanmu selain telah menarik suatu kesimpulan dan membawakan ayat itu sebagai bukti yang kuat dan argumentasi yang jelas.” As-Suyuthi dalam Bughyatul Wu’at menyatakan bahwa Yahya ibn Ya’mur wafat pada tahun 129 H.

Sementara di dalam At-Taqrib, ia mengatakan tahun wafatnya jatuh pada tahun sebelum masuk abad kedua, dan sebagian pendapat mengatakan setelah masuk abad kedua. Di antara mereka ialah Muhammad ibn Al-Hasan ibn Abu Sarah Abu Ja’far, tokoh kaum Anshar. Ia terkenal dengan nama Ar-Rawasi Al-Kufi, imam mazhab nahwu dan bahasa di Kufah. Di antara tokoh mazhab Kufah, Ar-Rawasi adalah orang pertama yang menulis tentang Nahwu, sebagaimana yang baru saja dibahas di pasal kelima. Ia wafat pada tahun setelah setarus Hijriyah. Di dalam Ta’ssisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah mencatat riwayat hidup dan karya-karyanya secara lengkap.

Di antara mereka ialah Al-Farra’, nama besar dan disegani di dunia Nahwu. Nama lengkapnya adalah Yahya ibn Ziyad yang bertangan buntung dari warga Kufah. Tangan sang ayah ditebas dalam peristiwa Fakh. Ziyad ibn Abdullah berada di barisan Husein ibn Ali ibn Hasan Ketiga ibn Hasan Kedua ibn Hasan cucunda Rasul saw. Dalam kitab Riyadhul ‘Ulama’ dikatakan: “Catatan As-Suyuthi mengenai kecenderungan Al-Farra’ kepada mazhab Mu’tazilah mungkin berawal dari kekeliruannya dalam memilah dasar-dasar mazhab Syi’ah dan mazhab Mu’tazilah. Sebab, sejatinya ia adalah seorang penganut Syi’ah Imamiyah, sebagaimana telah ditegaskan di atas tadi.”

Dinukil dari Abul Abbas Taghlab: “Seandainya Al-Farra’ tidak ada, bahasa Arab pun tidak akan pernah ada. Karena, dialah yang memurnikan dan mencatatnya sebegitu cermat.” Abul Abbas melanjutkan: “Seandainya Al-Farra’ tidak ada, bisa dipastikan bahasa Arab akan punah, sebab bahasa ini selalu menjadi pusat perselisihan dan persaingan klaim oleh setiap orang yang ingin bicara. Mereka membicarakan bahasa ini begitu gampang dengan pelbagai kadar pikiran dan cita rasa mereka, lalu kita pun membuat mazhab baru.”

Saya katakan bahwa di dalam Ta’ssisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah mencatat riwayat hidup dan bebarapa karya Al-Farra’, dan bahwa ia wafat pada tahun 207 H., yaitu dalam perjalanan menuju Mekkah pada usia 63 tahun.

Di antara mereka ialah Abu Utsman Bakar ibn Muham-mad ibn Habib ibn Baqiyyah Al-Mazani dari Bani Mazan dari keturunan Syaiban ibn Dzahal ibn Tsa’labah ibn ‘Ukabah ibn Sha’b ibn Ali Bakr ibn Wail, pemuka para tokoh Nahwu dan bahasa Arab di Basrah. Kepeloporannya di bidang ini sudah sangat masyhur. Abu Utsman adalah seorang ulama Syi’ah Imamiyah. Saya telah mengulas nama ini pada pembahasan ilmu Sharaf. Menurut pendapat yang paling kuat, ia wafat pada tahun 248 H.

Di antara mereka ialah Imam Ibnu Hamdun, sekretaris dan penasehat dekat khalifah yang tersohor akan nahwunya. Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Ibrahim ibn Ismail ibn Dawud ibn Hamdun. Yaqut berkata: “Abu Ja’far Al-‘Alawi di dalam Mushonnifil Imamiyah telah membahas nama ini dan menyatakan bahwa ia adalah guru besar para pakar bahasa Arab. Ibnu Hamdun juga adalah guru Abul Abbas Taghlab. Sebelum Ibnu ‘A’rabi, Abul Abbas telah lebih dahulu belajar padanya dan keluar sebagai murid unggul di kelasnya.”

Saya katakan bahwa data ini juga terdapat dalam Fehrest Mushannifisy Syi’ah, karya Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi dan Fehrest Asma’ Mushonnifisy minal Imamiyah, karya An-Najasyi, sebagaimana dilaporkan oleh Yaqut. Saya juga telah mem-bawakannya dalam Ta’ssisusy Syi’ah li Fununil Islam dengan beberapa tambahan.

Di antara mereka ialah Abul Abbas Al-Mubarrad. Nama lengkapnya ialah Muhammad ibn Yazid ibn Abdul Akbar ibn ‘Umair Ats-Tsumali Al-Azdi, seorang warga Basrah, tokoh bahasa dan nahwu yang masyhur. Di jamannya, ia adalah imam bahasa Arab. Al-Mubarrad belajar ilmu-ilmu bahasa Arab pada Imam Abu Utsman Al-Mazani hingga lulus di bawah asuhannya. ihwal kesyi’ahan Al-Mubarrad, saya telah membawakan kesaksian dan sejarah hidupnya. Di antara mereka ialah Tsa’labah ibn Maimun; Abu Ishaq; sesepuh kabilah Bani Asad lalu menjadi tokoh di kabilah Bani Salamah.

Ketika itu, ia adalah imam bahasa Arab di Kufah. Berdasarkan catatan dari kitab Fehrest Asma’ Mushannifisy karya An-Najasyi, Tsa’labah berperangai mulia, serbazuhud dan ahli ibadah. Kemudian, An-Najasyi mence-ritakan satu dari sekian kisahkisahnya, yaitu ketika penguasa Abbasiyah; Harun ibn Muhammad Ar-Rasyid memasuki kota Kufah. Ia juga telah meriwayatkan dari Imam Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq dan Imam Musa Al-Kadzim a.s., sampai ia menulis kitab di bidang hadis. Saya telah memaparkan semua ini di dalam Ta’ssisusy Syi’ah li Fununil Islam.

Di antara mereka ialah Abul Qosim Al-Jurji; seorang warga Kufah dan tokoh Nahwu ternama. Nama lengkapnya adalah Sa’id ibn Muhammad ibn Sa’id Al-Jurji. As-Sam’ani dalam kitab Al- Ansab mengatakan: “Ia adalah salah satu imam ilmu nahwu, dan dikenal kejujurannya. Al-Jurji juga begitu fanatik dan berlebihan dalam kesyi’ahannya.”

Di antara mereka ialah Ya’qub ibn Sufyan, salah satu tonggak sastra, mujtahid dalam setiap bidang ilmu-ilmu keislaman, khususnya ilmu-ilmu bahasa Arab. Ibnu Atsir di dalam Al-Kamil mengatakan: “Ia termasuk ulama dan tokoh Syi’ah”. Ya’qub wafat pada 277 H. Di antara mereka ialah Qutaibah An-Nahwi Al-Ja’fi dari warga Kufah dan salah satu imam ilmu Nahwu dan bahasa. An-Najasyi dalam kitabnya; Fehrest Asma’ Mushonnifisy Syi’ah menggambarkan dirinya sebagai seorang niktalopik (rabun malam) dan beradab tinggi. Panggilan nasabnya adalah Abu Muhammad Al-Maqorri, tokoh di negeri Azd, sebagaimana yang disebutkan oleh As-Suyuthi di dalam Ath-Thabaqot.

Berdasarkan data Az-Zubaidi, As-Suyuthi memasukkan Qutaibah Al-Ja’fi ke dalam daftar imam para pakar Nahwu dari mazhab Kufah, dan mengatakan: “Ketika salah seorang sekretaris Khalifah Al-Mahdi menjumpai nama dusun-dusun Arab, ia menambahkan tanda baca tanwin pada akhir nama setiap dusun, namun Syubaib ibn Syaibah memprotesnya. Maka, sekretaris itu menanyakan hal ini kepada Qutaibah. “Jika yang dimaksudkan adalah dusun-dusun Hijaz, maka nama-nama itu tidak bisa di-tanwin, sebab semua itu berstatus ghairu munshorif. Adapun nama dusun-dusun Sudan, bisa di-tanwin, karenamereka berstatus munshorif”, demikian jawab Qutaibah.

Di antara mereka ialah As-Sayyari. Nama aslinya adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Sayyar, Abu Abdillah; seorang sekretaris, tokoh Nahwu, bahasa, syair dan sastrawan dari mazhab Basrah. An-Najasyi mengatakan: “Ia adalah salah satu sekretaris Khalifah Ath-Thahir di jaman Imam Abu Muhammad Hasan Al-Askari a.s.” As-Sayyari mempunyai banyak karangan yang semuanya telah saya sebutkan dalam Ta’ssisusy Syi’ah li Fununil Islam.

Di antara mereka ialah Abu Bakar Ash-Shouli. Ia belajar pada Al-Mubarrad. Pribadi ini telah dibahas pada bab-bab sebelum ini. Di antara mereka adalah Abu Ja’far. Nama lengkapnya ialah Muhammad ibn Salamah ibn Nabil Al-Yasykari, tokoh Nahwu dan disegani di kalangan ulama Syi’ah dari mazhab Kufah. Ia juga seorang faqih yang handal dan ahli bahasa. Abu Ja’far Al-Yasykari seringkali keluar ke perkampungan baduwi. Ia bergaul dan belajar banyak dari orang-orang Arab di sana. Padanyalah Ya’qub ibn Sikkit dan Muhammad ibn Abduh An-Naib belajar.

An-Najasyi menuturkan: “Dan rumah Al-Yasykari adalah rumah yang kaya akan ilmu dan keutamaan. Di dalamnya lahir penulis-penulis sampai jaman sekarang ini.” Lalu, An-Najasyi mendaftar judul karya-karyanya, dan saya sendiri telah membawakan semua itu dalam kitab Ta’ssisusy Syi’ah li Fununil Islam. Di antara mereka ialah Abu Ja’far, seorang tokoh Nahwu yang terkenal dengan panggilan Abu ‘Ashidah. Nama aslinya adalah Ahmad ibn Ubaid ibn Nashih ibn Balanjar, tokoh Bani Hasyim, berasal dari daerah Dailam-Kufah. Ia adalah salah satu imam bahasa Arab dan guru sastra Khalifah Al-Mu’tazz ibn Al-Mutawakkil. Abu ‘Ashidah belajar pada Al-Ashma’ie hingga sejajar dengan kelasnya. Ia juga meriwa-yatkan hadis dari Al-Waqidi dan menurunkannya kepada Al-Qosim Anbari.

Bahkan melaluinya, sekelompok perawi meriwayatkan hadis-hadis keutamaan Ahlul Bait a.s. dari Al-Waqidi dan yang lain. Dikisahkan bahwa Abu ‘Ashidah pernah mendapatkan kesempatan bersama Al-Mu’tazz untuk membunuh Khalifah Al-Mutawakkil. Kisah ini dinukil oleh Nurullah Al-Mar’asyi dalam Thabaqotusy Syi’ah, pada tema riwayat Abu ‘Ashidah.

Di antara mereka ialah guru besar sastra; Abu Ali Al-Farisi. Nama aslinya adalah Al-Hasan ibn Ali ibn Ahmad ibn Abdul Ghaffar ibn Muhammad ibn Sulaiman ibn Aban Al-Qoswi. Dialah imam Nahwu di jamannya. Malah dikatakan bahwa Nahwu dirintis oleh orang Persia (Iran), dan oleh orang Persia pula ilmu Nahwu dituntaskan secara sempurna. Yakni dirintis oleh Sibaweih dan dituntaskan oleh Abu Ali Al-Farisi. Ia pernah menjumpai Saifuddaulah di Halab pada tahun 331 H. dan menetap di selama beberapa waktu, lalu melanjutkan perjalanan hingga menemui ‘Adhduddaulah ibn Baweih di negeri Persia. Di sana, dia disambut dan dilayani secara terhormat.

Berdasarkan data dari Riyadhul ‘Ulama’ dan kitab-kitab lainnya, Abu Ali Al-Farisi adalah seorang penganut Syi’ah Imamiyah. Sungguh keliru anggapan sebagian peneliti yang menisbahkannya kepada mazhab Mu’tazilah. Dalam Ta’ssisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah bawakan riwayat hidupnya secara lengkap, termasuk karya-karyanya. Tahun kelahiran Abu Ali Al-Farisi jatuh pada 288 H. dan wafat pada hari Ahad, 17 Rabiul Tsani, 377 H.

Di antara mereka ialah Al-Arjani Faris ibn Sulaiman; Abu Syuja’ Al-Arjani. An-Najasyi mengatakan: “Ia adalah salah satu guru besar para ulama Syi’ah, kaya akan khazanah sastra dan hadis. Ia pernah bersahabat dengan Yahya ibn Zakaria At-Termosyiri dan Muhammad ibn Bahar Ar-Rahbi. Pada kedua orang ini Al-Arjani belajar. Ia mengarang kitab musnad Abu Nawas, Hajar, Asy’ab, Buhlul dan Ja’faran.”

Di antara mereka ialah Ibnu Kufi Ali ibn Muhammad ibn Ubaid Az-Zubair, berasal dari Bani Asad, dan bermazhab Syi’ah Imamiyah. Ia termasuk tokoh-tokoh besar dari sahabat Abul Abbas Taghlab, dan pemuka dalam bidang bahasa dari mazhab Kufah.

An-Najasyi dalam kitab Fehrest Asma’ Mushonnifisy Syi’ah menyebutkan nama Ibnu Kufi dan memujinya. Begitu pula Sayyid Bahrul ‘Ulum di dalam Al-Fawaid Ar-Rijaliyah, sementara Yaqut dalam Al-Mu’jam dan As-Suyuthi dalam Ath-Thabaqot menerangkan riwayat hidupnya. Dan saya telah menukil beberapa statemen Ibnu Kufi dalam Ta’ssisusy Syi’ah li Fununil Islam. Ibnu Kufi mengarang Al-Faroid wal Qolaidfil Lughah, Ma’anisy Syi’r dan kitab Al-Hamz. Ia lahir pada tahun 254 H. dan wafat pada Dzul Qo’dah, 348 H.

Di antara mereka ialah Al-Akhfasy Pertama. Dia wafat pada 250 H. Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Imran ibn Salamah Al-Ilhani. Nama panggilan nasabnya adalah Abu Abdillah. Setelah menuliskan riwayat hidup Akhfasy, Yaqut mengatakan: “Dan dia mempunyai banyak syair mengenai Ahlul Bait a.s. Di antaranya:

“Sungguh keturunan Fatimah yang berkah

Manusia-manusia suci dari titisan nun mulia

Musim semi kita di tahun terkutuk

Mereka semua bak mahligai surga”

Di dalam kitab Ar-Rijal, syair ini juga dinukil oleh Sayyid Bahrul ‘Ulum Ath-Thabathabai. Di sana ia menegaskan bahwa Al-Akhfasy termasuk penyair Ahlul Bait. Ketulusan cintanya pada keluarga suci Nabi saw. tidak diragukan lagi. Ia berasal dari Syam, namun berhijrah ke Irak guna menuntut ilmu, lalu bergerak menuju Mesir, kemudian menuju Thabariyah. Al-Akhfasy sempat berteman dengan Ishaq ibn Abdus. Dia mengajarkan sastra kepada anaknya di Thabariyah.

Di antara mereka ialah Marzakkeh. Nama aslinya adalah Zaid. Ia berasal dari Mushil. Marzakkeh adalah salah seorang imam dalam ilmu Nahwu dari kaum Syi’ah. Demikian ini juga dinyatakan oleh As-Suyuthi di dalam Thabaqotun Nuhat. Ash-Shofadi mengatakan: “Ia adalah seorang tokoh Nahwu, penyair, sastrawan rafidhi. Adapun Ibnu Nadim mengenalkan Marzakkeh sebagai penyair dan mutakallim Syi’ah.”

Di antara mereka ialah Ibnu Abu Azhari; seorang tokoh Nahwu ternama dari ulama besar Syi’ah. Di dalam kitab-kitab autobiografi pengarang-pengarang Syi’ah, riwayat hidup dan karya-karyanya diterangkan. Ini juga dibawakan oleh para ahli sejarah, termasuk oleh Al-Khatib dalam Ta’rikh Al-Baghdadi dan selainnya. Ibnu Abu Azhari wafat pada 325 H. pada usia sambilan puluh lebih.

Di antara mereka ialah Abu Abdillah Muhammad ibn Abdullah, seorang menulis bermazhab Basrah, tokoh Nahwu dan penyair yang terkenal dengan Al-Mufji’e, sebagaimana telah dibahas sebelum ini. Yaqut mengatakan: “Ia salah satu tokoh besar Nahwu, penyair cemerlang dari kaum Syi’ah.” An-Najasyi menuturkan: “Ia dihormati oleh kalangan tokoh bahasa, sastra dan hadis.”

Saya katakan bahwa Abu Abdillah mempunyai riwayat hidup yang panjang sebagaimana tersebut dalam Ta’ssisusy Syi’ah li Fununil Islam. Di antara mereka ialah Ibnu Kholaweih; seorang imam bahasa dan sastra serta cabang-cabang ilmu sastra lainnya. Nama ini telah dipaparkan sebelum ini. Di dalam Ta’ssisusy Syi’ah li Fununil Islam, terdapat riwayat hidup dan daftar judul karya-karyanya yang dicatat secara cermat. Ibnu Kholaweih wafat di Halab pada tahun 370 H. Di antara mereka ialah Al-Kholi’e; seorang pakar Nahwu. Nama lengkapnya ialah Husein ibn Muhammad ibn Ja’far ibn Muhammad ibn Al-Husein Ar-Rofi’ie. Ash-Shofadi ber-kata: “Ia adalah tokoh besar para ahli Nahwu. Ia belajar pada Al-Farisi dan As-Sirofi, sebagaimana disebutkan oleh An-Najasyi dalam kitab Fehrest Asma’ Mushonnifisy Syi’ah. Di dalamnya, An-Najasyi juga mendata karya-karyanya, seperti kitab Sha’atusy Syi’r, Ad-Darojat, Amtsalul ‘Ammah, Takhayyulat Al- ‘Arab, Syarah Syi’r Abi Tammam, dan kitab Al-Adwiyah wal Jibal wal Ar-Rummal. Husein ibn Muhammad Ar-Rofi’ie hidup pada sekitar tahun 380-an H.”

Di antara mereka ialah Al-Marzebani Muhammad ibn Imran, seorang penulis dari Baghdad sebagaimana yang telah dibahas sebelum ini. Ia termasuk tokoh besar dalam pelbagai ilmu sastra Arab, belajar pada Ibnu Duraid dan Ibnu Anbari. Dan kepadanyalah Abu Abdillah Ash-Shoimari, Abul Qosim At-Tanukhi, Abu Muhammad Al-Jauhari dan pakar bahasa lainnya. Di dalam Ta’ssisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah membawakan daftar judul karya-karyanya secara lengkap.

Di antara mereka ialah Abul Fatah Muhammad ibn Ja’far ibn Muhammad Al-Hamadani Al- Muraghi An-Nahwi. Yaqut mengatakan: “Ia penghafal kuat Al-Quran, tokoh Nahwu dan sastrawan kelas tinggi.” Begitu pula At-Tauhidi menuturkan: “Di masanya, Abul Fatah merupakan model unggul dalam ilmu Nahwu dan sastra meskipun usianya masih amat muda. Selama ini aku tidak menemukan orang sepertinya.”

Dalam kitab Fehrest Asma’ Mushonnifisy Syi’ah, An-Najasyi mengatakan: “Abul Fatah adalah imam besar ilmu Nahwu dan bahasa Arab dari Baghdad, kuat hafalan, perawi sthiqoh riwayatriwayat yang shahih. Abu dan ia amat meminati analisis kalimat.” Ia wafat pada tahun 371 H. Saya telah telah memaparkan karya-karyanya dalam kitab Ta’ssisusy Syi’ah li Fununil Islam.

Di antara mereka ialah Al-Husein ibn Muhammad ibn Ali Al-Azdi Abu Abdillah, seorang tokoh Nahwu dari Kufah. An-Najasyi mengatakan: “Ia adalah seorang perawi tepercaya dari ulama Syi’ah. Ilmu-ilmu yang tampak lebih dikuasai-nya ialah Siroh, Sastra dan Syair. Di antara karyakarya Al-Husein ibn Muhammad Al-Azdi ialah kitab Al-Wufud ‘ala An-Nabi saw. dan kitab Akhbaru Ibn Abi ‘Aqob wa Syi’ruhu.” Ia wafat di akhir abad ketiga Hijriyah. Di antara mereka ialah Ahmad ibn Ismail ibn Abdullah Abu Ali Al-Bajali, seorang pemuka bahasa Arab yang lebih dikenal dengan nama Samkah Al-Qummi. Dia guru Ibnu Al-‘Amid; salah seorang tokoh utama sastra Arab dan Nahwu.

Ahmad Al-Bajali belajar sastra pada Ahmad ibn Abu Abdillah Al-Barqi dan selainnya. An-Najasyi mengatakan bahwa dia menulis kitab-kitab yang tidak ditemukan padanannya. Kemudian, An-Najasyi menyebutkan judulnya satu persatu, sebagaimana saya juga menukilnya dalam Ta’ssisusy Syi’ah li Fununil Islam. Di antara mereka ialah Abul Hasan As-Simsathi. Pada masa itu, ia adalah tokoh utama di setiap bidang sastra dan bahasa Arab. Hampir di setiap bidang ilmu, ia mempunyai karangan ilmiah. Saya telah membawakan daftar seluruh karyanya dalam Ta’ssisusy Syi’ah li Fununil Islam.

An-Najasyi mengatakan: “Dialah guru besar kami di Jazirah Arab, ulama terkemuka di masanya dan sastrawan tersohor.” Kemudian An-Najasyi menyebutkan judul karya-karyanya. Saya katakan bahwa As-Simsathi juga menulis surat-surat untuk Saifuddaulah. Tepatnya, ia berada sekelas dengan Al-Kulaini.

Di antara mereka ialah Syeikh Ibnu ‘Abdun yang pada masanya terkenal dengan nama; Ibnul Hasyir. Nama aslinya adalah Ahmad ibn Abdul Wahid ibn Ahmad Al-Bazzaz. Adapun nama panggilan nasabnya yaitu Abu Abdillah. Ibnul Hasyir merupakan tokoh besar di bidang sastra, fiqih dan hadis. Ia banyak mengoleksi kisah dan riwayat.

An-Najasyi mengatakan: “Guru besar kami yang masyhur dengan nama Ibnu ‘Abdun adalah pakar besar dalam sastra. Ia telah mempelajari kitab-kitab sastra pada guru-guru besar di jamannya. Ia juga pernah berjumpa dengan Abul Hasan Ali ibn Muhammad Al-Qurasyi yang terkenal dengan pang-gilan nasab Ibnu Zubair. Pada saat yang sama, Ibnul Hasyir adalah penganut kepercayaan akan kekhalifahan Imam Ali ibn Abi Thalib a.s. Ia mengarang banyak kitab, seperti Akhbaru As-Sayyid ibn Muhammad, At-Ta’rikh, Tafsir Khutbah Fathimah a.s., Al-Jumu’ah, dan kitab Al-Haditsiyyin Al-Mukhtalifin.”

Saya katakan bahwa Ibnul Hasyir juga mengarang kitab Adabul Khulafa’. Ia wafat pada tahun 323 H. Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi meriwayatkan hadis darinya dan mendapatkan ijazah periwayatan semua hadis yang diriwayatkannya.

Di antara mereka ialah Ibnu Najjar, tokoh Nahwu dari Kufah. Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Ja’far ibn Muhammad ibn Harun ibn Fauqoh Abul Husein At-Tamimi. Ia adalah pengarang kitab Al-mukhtashar fim An-Nahw dan kitab Al-Malih wan Nawadir. Yaqut mengatakan: “Ibnu Najjar dilahirkan di Kufah pada tahun 303 H. atau 311 H. Lalu ia datang ke Baghdad dan belajar hadis pada Ibnu Duraid dan Nafthaweih. Ia adalah seorang perawi yang terpercaya dan pembaca terindah Al-Quran.”

Dan pada hemat saya, Ibnu Najjar termasuk guru besar An-Najasyi; penulis kitab Fehrest Asma’ Mushonnifisy Syi’ah. Ia sendirinya menyebut namanya dengan penuh hormat dan sanjungan, selain juga menyebut-kan karya-karyanya seperti: kitab Ta’rikh Al-Kufah. Di samping itu, tak diragukan lagi bahwa Ibnu Najjar, selain nama panggilan untuk orang yang kita bicarakan ini, juga nama panggilan seseorang yang bernama Muhibuddin Muhammad ibn Mahmud ibn Hasan ibn An-Najjar; penulis kitab At-Tahshil wat Tadzlil, sebagaimana laporan dari Ta’rikh Al-Baghdadi.

Muhibuddin adalah seorang ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah, sedangkan Ibnu Najjar yang kita bicarakan di sini adalah seorang ulama Syi’ah Imamiyah. Ibnu Najjar wafat pada tahun 420 H. atau 460 H. Di antara mereka ialah Abul Faraj Al-Qannani, pakar ilmu Nahwu dari Kufah. Ia adalah penjual kertas, sebagai-mana disebutkan oleh An-Najasyi di dalam Fehrest Asma’ Mushonnifisy Syi’ah. Di sana, An-Najasyi juga mendata nama karya-karyanya. Sesungguhnya Abul Faraj adalah salah satu guru An-Najasyi. Di dalam Ta’ssisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya membahas nama ini di antara ulama abad keempat Hijriyah.

Di antara mereka ialah Abul Faraj Muhammad ibn Abu Imran Musa ibn Ali ibn Abdurabbah Al-Qazweini. Ia penulis dan tokoh Nahwu dari mazhab Kufah, sebagaimana yang dinyatakan oleh An-Najasyi yang hidup semasa dengannya, hanya saja ia tidak mendapatkan kesempatan untuk bertukar ilmu dan pikiran dengannya. Abul Faraj Al-Qazweini hidup di abad keempat Hijriyah.

Di antara mereka ialah Abul Hasan Ar-Rab’ie. Nama aslinya adalah Ali ibn Isa ibn Al-Faraj ibn Shaleh Ar-Rab’ie. Ibnu Katsir Asy-Syami di dalam At-Ta’rikh berkata: “Pada mulanya, Ar- Rab’ie belajar ilmu-ilmu bahasa Arab pada As-Sirofi, lalu pada Abu Ali Al-Farisi dan secara intensif dan penuh berguru padanya selama dua puluh tahun hingga mencapai puncak kematangan dan ketinggian ilmu.”

Ibnu Katsir melanjutkan: “Suatu hari, ia jalan-jalan di tepi sungai Dajlah. Sementara itu, Syarif Al-Murtadha dan Syarif Ar-Radhi berada di sebuah sampan di sekitar tepi sungai tersebut. Bersama mereka adalah Utsman ibn Janey Abu; Fath. Ali ibn Isa berkata kepada mereka berdua: ‘Hal yang paling mengherankan dari kalian berdua ialah bagai-mana Utsman bisa bersama kalian sedangkan Ali berjalan di tepi Dajlah dan jauh dari kalian?!’” Ali ibn Isa wafat pada tahun 420 H.

Di antara mereka ialah Abu Ishaq Ar-Rifa’ie Ibrahim ibn Sa’d ibn Tayyib Ar-Rifa’ie, seorang tokoh Nahwu. Abu Ghalib Muhammad ibn Muhammad ibn Sahal ibn Bisyran An-Nahwi berkata:

“Sungguh aku tidak pernah melihat orang yang lebih pandai dari Abu Ishaq Ar-Rifa’ie.” Abu Ishaq Ar-Rafi’ie seorang buta, belajar Nahwu pada As-Sirofi dan mempelajari Syarahnya atas kitab Al-Kitab karya Sibaweih. Dinukil bahwa ia mengarang beberapa kitab bahasa Arab dan koleksium syair. Ia pernah keluar dari kota Baghdad menuju Wasith. Padahal, sebelum kedatangannya di Baghdad, ia singgah diWasith dan belajar Al-Quran di sana pada Abdul Ghaffar Al-Hishni. Ia selalu duduk di bagian depan masjid jami’ seraya membacakan Al-Quran untuk para jamaah masjid. Kisah demikian ini dibawakan oleh Yaqut dan dikatakan: “Kemudian ia singgah di Az-Zaidiyah. Di sanalah ia menemukan mazhab Rafidhah dan ‘Alawiyah. Karena itu, ia seringkali dinisbahkan ke mazhab ini. Sungguh ini sebuah fitnah dan kezaliman terhadap dirinya.” Abu Ishaq Ar-Rifa’ie wafat pada tahun 411 H.

Di antara mereka ialah Abdul Salam ibn Al-Husein Abu Ahmad, seorang ahli Nahwu dari mazhab Basrah, sebagai-mana yang dicatat An-Najasyi dan digambarkannya sebagai guru besar sastra dari Basrah. Pada dasarnya, Abdul Salam adalah salah satu guru An-Najasyi di Kufah. Di antara mereka ialah Syarif Yahya ibn Muhammad ibn Thabathaba Al-‘Alawi. Panggilan nasabnya ialah Abul Mu’izz dan Abu Muhammad. Ia belajar Nahwu pada Ar-Rab’ie dan Asy- Syimas, dan padanya Ibnu Syajar belajar. Yaqut berkata: “Ibnu Syajar senantiasa bangga dengan nama Syarif Yahya.”

Ibnu Nadim di dalam Al-Fehrest mengatakan: “Yahya Al-‘Alawi Abu Muhammad An-Naysaburi adalah seorang ahli Kalam dan pengarang banyak kitab.” Ia pernah ditemui oleh sekelompok pakar yang lalu belajar padanya, sebagaimana dicatat oleh As-Suyuthi dalam kitab Thabaqotun Nuhat, dan dikisahkan bahwa Syarif Yahya adalah seorang syi’ah.

Saya katakan bahwa data ini juga ditegaskan oleh Syeikh Syi’ah Allamah Ibnu Muthahhar dalam Al-Khulashoh. Di sana ia mengatakan: “ Syarif Yahya adalah seorang faqih, alim dan mutakallim yang hebat. Ia tinggal di Naysabur.” Demikian ini juga dibawakan oleh An-Najasyi, Syeikh Ibnu Dawud dan tokoh-tokoh lainnya. Dalam Ta’ssisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah menukil redaksi kesaksian-kesaksian mereka.

Di antara mereka ialah Tsabit ibn Aslam ibn Abdul Wahhab Abul Hasan, seorang ahli Nahwu dari Halab. As-Suyuthi dalam Thabaqotun Nuhat mengatakan: “Adz-Dzahabi berkata: ‘Tsabit adalah salah satu tokoh besar Nahwu. Ia bermazhab Syi’ah. Ia mengarang sebuah kitab tentang ana-lisis atas bacaan Al-Quran ‘Ashim. Pada masa pemerintahan Saifuddaulah, ia menjabat sebagai kepala perpustakaan. Sementara itu, kaum Ismailiyyah menilai bahwa langkahnya itu malah akan merusak misi dakwah mereka, sebab ia mengarang sebuah kitab yang menyingkapkan rahasiarahasia buruk mereka dan memulai dakwah kepada mereka. Maka itu, ia culik ke Mesir dan disalib di sana.’” Tsabit wafat pada kisaran 460 H.

Di antara mereka ialah Abul Qosim At-Tanukhi. Nama lengkapnya Ali ibn Al-Muhsin ibn Ali ibn Muhammad ibn Abul Jaham. Pengarang Nasamatus Sahar pada tema ‘Mereka yang Bermazhab Syi’ah dan Penyair’, berkata: “Abul Qosim adalah seorang ulama besar, penyair dan sastrawan ulung, persis dengan ayah dan datuknya. Dia belajar bahasa Arab pada Abul ‘Ala’ Al-Ma’arri. Ia juga banyak meriwayatkan syair. Lain dari itu, Abul Qosim pernah menduduki jabatan sebagai hakim di beberapa negeri.”

Saya katakan bahwa Abul Qosim At-Tanukhi juga pernah belajar Nahwu pada Sayyid Syarif Al-Murtadha. Muhammad ibn Syakir dalam Fawatul Wafiyyat mengatakan: “Dia adalah seorang syi’ah yang percaya pada Mu’tazilah.” Pendapat ini hanyalah kekeliruan dari Muhammad ibn Syakir. Sejatinya, Abul Qosim At-Tanukhi bermazhab Syi’ah Imamiyah. Ia lahir pada hari Selasa, pertengahan Sya’ban, 355 H, dan wafat pada 447 H. Al-Qodhi Al-Mar’asyi dalam Thabaqot Asy-Syi’ah memberikan kesaksian atas kesyi’ahan dirinya dan kesyi’ahan ayahnya; Al-Muhsin, serta datuknya; Al-Qodhi At-Tanukhi.

Di antara mereka ialah Ali ibn Ahmad Al-Fanjkari. Dia berasal dari Fanj Kurd, yaitu sebuah daerah di Naysabur. Dia seorang sastrawan besar yang meraih mahkota syair Arab dan kebanggaan Syi’ah, yaitu syair Amiril Mukminin Ali a.s. Al-Maydani mengarang kitab As-Sami fil Asami fil Lughah dalam bahasa Persia. Di dalamnya, ia menyinggung nama Ali ibn Ahmad Al- Fanjkari dan memuji ketinggian ilmu, kemuliaan akhlak dan sastra Arabnya. Al-Qodhi Al-Mar’asyi dalam kitabnya; Thabaqotusy Syi’ah, mengatakan: “Ia seorang sastrawan hebat, berperangai mulia, cerdas dan seorang mukmin yang sempurna. Ia mempunyai syair-syair yang indah yangmenyanjung Ahlul Bait a.s. Al-Mar’asyi membawakan bebarapa bait darinya.” As-Suyuthi mengatakan: “Ali Al-Fanjkari berada di kelas para sastrawan terunggul, pencipta komposisi syair dan prosa puitik yang berkembang luas dan mengalir deras. Ia belajar bahasa Arab pada Ya’qub ibn Ahmad; sang sastrawan besar. Di bawah asuhannyalah ia mematangkan talenta puisinya.”

Pengarang kitab Al-Wasysyah, tatkala sampai di nama Ali Al-Fanjkari, mengatakan: “Ia dijuluki sebagai guru besar para pakar, mukjizat jaman, bukti para ahli.” Ia wafat pada 512 H. pada usia 80. Dalam kitab As-Siyaq tercatat tahun wafatnya jatuh pada 13 Ramadhan 503 H. Saya pun telah membawakan beberapa bait syairnya dalam Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam. Ali Al- Fanjkari hidup semasa dengan Az-Zamakhsyari, dan terdapat banyak kisah tentang pengala-man dua tokoh ini.

Di antara mereka ialah raja para tokoh Nahwu bernama Al-Hasan ibn Shofie ibn Nizar ibn Abul Hasan. Dalam Kasyful Dzunun dinyatakan bahwa panggilan nasabnya adalah Abu Nizar. Penulisnya mengatakan: “Sebuah pilar Nahwu berada di tangan Abu Nizar; pemuka Rafidhah dan tokoh Nahwu. Nama aslinya adalah Hasan ibn Shofie Bardun dari bangsa Turki.” Abu Nizar wafat pada tahun 798 H.

Namun, telah terjadi kekeliruan di dalam Ta’rikhul Wafat mengenai hari kelahiran dan wafat tokoh besar nahwu ini. Kekeliruan serupa juga dilakukan oleh As-Suyuthi tatkala ia mengatakan bahwa Abu Nizar wafat di Damaskus pada hari Selasa, 9 Syawal 568 H., dan hari kelahirannya jatuh pada tahun 489 H. Karena, sesungguhnya ia wafat pada tahun 463 H., sebagaimana yang dicatat di dalam Al-Khalal As-Sindiyah, dan ini dibenarkan oleh Ibnu Khalkan. Sang raja para tokoh ini belajar Nahwu pada Al-Fashihi yang bermazhab Syi’ah Imamiyah. Di bawah arahan guru ini, Abu Nizar mencapai kesempurnaan ilmunya. Lalu ia mengarang kitab Al-Hawi, Al-‘Umdah, Al- Maqshad fit Tashrif, Al-‘Arudh, At-tadzkirah As-Sanjariyah, Al-Maqomat, Al-Masailul ‘Asyr Al- Mu’ammayat, dan sebuah kitab kumpulan syair.

Abu Nizar lahir di Baghdad lalu bertolak menuju kota-kota di Iran seperti Khurasan, Kirman dan Ghaznah. Sampai akhirnya ia tiba di negeri Syam lalu tinggal dan wafat di sana. Di dalam Ta’ssisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya menukilkan beberapa baitnya. Di antara mereka ialah Ali ibn Muhammad ibn Ali ibn Abu Zaid Al-Fashihi. Nama Al-Fashihi adalah sebuah nisbah kepada kitab Al-Fashih lantaran ia membacanya berulang kali. Ia berasal dari Istarabad di propinsi Jurjan. Al-Fashihi belajar pada Abul Qodir Al-Jurjani, dan padanyalah sang raja para tokoh itu, Abu Nizar, belajar Nahwu. Ia adalah imam di setiap bidang ilmu bahasa Arab dan membuka kuliah Nahwu di pusat pendidikan Nidzamiyyah di kota Baghdad di masa pasca Al-Khathib At-Tabrizi.

Tak lama kemudian, masyarakat di sana mulai mengetahui mazhab Syi’ahnya. Tatkala berita ini disampaikan kepada-nya, ia mengatakan: “Aku tak akan menolak, aku seorang Syi’ah dari ubunubun sampai ujung kaki.” Karena itu, segera Abu Manshur Al-Jawaliqi memecatnya dan menyediakan posisi lain untuknya. Al-Fashihi wafat di Baghdad pada hari Rabu, 13 Dzul Hijjah, 516 H.

Di antara mereka ialah Ibnu Syajari; guru Ibnu Anbari. dia orang pandai yang langka di masanya dan unggul dalam bahasa Arab, penguasaan bahasa dan syair-syair Arab. dia banyak menghafal sejarah bangsa Arab, menekuni sastra dan mempunyai akhlak yang sempurna. Data ini juga dibawa-kan oleh As-Suyuthi, Ibnu Khalkan, Yaqut, Ibnu Al-Anbari.

Dari ulama Syi’ah yang melaporkan data ini ialah Syeikh Muntakhabuddin dalam kitab Fehrest Asma ‘Ulama’ Syi’ah Al-Muta’akhkhirin. Ia sendiri menukil data tersebut dari Syeikh Ath-Thusi, dan Syeikh Sayyid Ali ibn Shadruddin Al-Madani dalam Ad-Darajat Ar-Rafi’ah fi Thabaqot As-Syi’ah. Sungguh As-Suyuthi telah melakukan kekeliruan dalam memaparkan nasab Ibnu Syajari, sebagaimana hal yang sama dilakukan oleh Yaqut dalam menafsirkan ihwal namanya, sebab nama aslinya ialah Hibatullah ibn Ali ibn Muhammad ibn Hamzah ibn Ahmad ibn Ubaidillah ibn Muhammad ibn Abdurrahman Asy-Syajari (bernisbah kepada Syajar, yaitu sebuah desa di salah satu daerah Madinah) ibn Al-Qosim ibn Al-Hasan ibn Zaid ibn Al-Hasan; cucunda yang mulia Nabi saw., putra tercinta Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. Ibnu Syajari wafat pada tahun 537 H. Dalam Ta’ssisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah mendata karya-karyanya.

Di antara mereka ialah Yahya Ibnu Abu Thayyi Ahmad ibn Dzahir Ath-Thaie Al-Kalbi Al- Halabi, seorang pakar besar Nahwu. Nama panggilan nasabnya ialah Abul Fadhl. Yaqut mengatakan: “Ia adalah salah satu tokoh sastra dan menekuni fiqih Syi’ah Imamiyah. Ia pengarang banyak karya di pelbagai bidang ilmu. Ibnu Abu Thayyi Al-Halabi hidup pada kisaran abad keenam Hijriyah.”

Saya katakan bahwa penulis Kasyful Dzunun menegaskan bahwa kitab Akhbaru Syu’ara’ As- Sab’ah adalah karya Ibnu Abu Thayyi Yahya ibn Humaidah Al-Halabi yang wafat pada 335 H. Ia menyusun bab-bab kitab itu berdasarkan urutan huruf Abjad. Dan saya mengira keterangan ini tidak-lah benar. Yang tepat, kelahirannya jatuh pada bulan Syawal 575 H.

Di antara mereka ialah Ahmad ibn Ali ibn Mu’qil Abul Abbas Al-Maqorri Al-Malhabi Al- Hamdhi, seorang sastrawan dari kabilah Azd. Ia adalah seorang pakar yang langka pada jamannya di bidang sastra dan bahasa Arab.

As-Suyuthi mengatakan: “Adz-Dzahabi berkata: ‘Ahmad ibn Ali Al-Maqorri lahir pada tahun 567 H. Ia pergi menuju Irak. Di sana, dia menganut mazhab Rafidhah sambil belajar Nahwu pada Abul Baqo’ Al-‘Akbari dan Al-Wajih Al-Wasithi. Dia juga belajar ilmu itu di Damaskus pada Abul Yaman Al-Kindi dan menjadi pakar dalam bahasa Arab dan ‘Arudh hingga ia menulis kitab tentang dua ilmu ini. Ia merangkai syair sebegitu indah dan menata prosa puitik dan catatan penyempurnaan atas karya Al-Farisi. Ia melakukan semua itu secara baik dan mampu mengadakan hubungan dengan Al-Malik Al-Amjad dan mendapatkan kemuliaan di sisinya. Al- Maqorri hidup dengannya di sekitar kaum rafidhi di daerah itu.’”

Ahmad ibn Ali Al-Maqorri amat kaya akan kekuatan dan keluasan pikirannya, berlebihan dalam kesyi’ahannya, dan pezuhud dunia. Dia wafat pada 25 Rabiul Awal 644 H. Di antara mereka ialah Ahmad ibn Muhammad Abul Al-Abbas Al-Asybili dari kabilah Azd. Dia terkenal juga dengan nama Ibnul Hajj. Ia termasuk salah satu imam ilmu Nahwu dan bahasa Arab. Ia belajar dan lulus dari bimbingan Asy-Syalubin dan tokoh-tokoh sekelasnya sampai menjadi imam dalam bahasa Arab, penguasa perbagai bahasa, dan tokoh besar dalam ‘Arudh.

Pengarang kitab Al-Badrul Safir mengatakan: “Dia cemerlang dalam pengasaan bahasa Arab hingga tidak lagimenyisakan derajat di atas atau di sam-pingnya untuk seorang pun.” Majduddin di dalam Al-Bulghah mengatakan: “Ibnul Hajj pernah mengatakan: ‘Jika aku telah mati, Ibnu ‘Unfur akan melakukan intervensi atas Al-Kitab Sibaweih sesuka hatinya.” Ia sendiri mempunyai catatan atas kitab Sibaweih ini. Ia juga mengarang sebuah kitab tentang mazhab Syi’ah Imamiyah; sebuah kitab yang bagus yang membuktikan keimamahan dua belas imam Ahlul Bait a.s., sebagaimana yang telah ditegaskan dalam kitab Ma’alimul ‘Ulama’.

Selain itu, Ibnul Hajj juga menulis kitab tentang Ulumul Quran, ringkasan atas Khashoish Ibnu Junay, kitab Hikam As-Sima’, Mukhtashorul Mustashfa’ karya Al-Ghazzali di bidang Ushul Fiqih, An-Nuqud ‘alal Shihah, dan kitab Al-Irodat ‘alal Maghrib. Ia pun mempunyai catatan pinggir atas kitab Al-Musykilat karya Al-Ghazali, catatan pinggir atas kitab Sirr Ash-Shina’ah dan atas Al-Idhah. Ibnul Hajj wafat pada tahun 647 H. Ibnu Abdul Malik mengatakan bahwa ia wafat pada tahun 561 H. Namun, yang tepat adalah yang pertama tadi.

Di antara mereka ialah bintang para imam Nahwu, Ar-Ridha Al-Istarabadi. As-Suyuthi di dalam Thabaqot An-Nuhat mengatakan: “Ar-Ridha adalah tokoh besar yang masyhur, pengarang kitab Syarhul Kafiyah; sebuah syarah untuk Al-Kafiyah karya Ibnul Hajib. Kitab ini tidak ada padanannya dalam ukuran umumnya sebuah kitab Nahwu, baik dari segi cakupan, ketelitian maupun analisisnya. Orang-orang banyak menekuni kitabnya ini, bahkan dijadikan bahan diskusi dan buku pelajaran dan rujukan bagi tokoh-tokoh sejamannya. Gelarnya adalah ‘Bintang Para Tokoh’, hanya saja saya tidak mengetahui nama aslinya atau pun riwayat hidupnya.”

Al-Fadhil Al-Baghdadi pada pembukaan kitab Khazanatul Adab fi Syarhi Syawahid Syarh Ar- Ridha mengatakan: “Dan aku telah melihat di akhir naskah kuno dari syarah-syarah ini. Redaksi dari naskah itu berbunyi: ‘Ia adalah tuan, imam, alim, raja ulama, pemuka para ahli, mufti golongan-golongan, faqih yang besar, bintang agama dan bangsa, Muhammad ibn Al-Hasan Al- Istarabadi. Ia telah mendikte-kan syarah ini di Hadzrat YangMulia Al-Gharawi pada Rabiul Awal 688 H.”

Saya katakan bahwa saya sendiri telah melihat tulisan tangan seorang alim dari Isfahan yang masyhur dengan nama Al-Fadhil Al-Hindi di balik lembaran syarah Ar-Ridha atas kitab Asy- Syafiyah fil Sharf. Berikut ini bunyi redaksi itu: “Inilah syarah kitab Asy-Syafiyah karya Syeikh Ar- Ridha Al-Murdhi, bintang agama, lambang kebenaran dan hakikat, Tuan Al-Istarabadi, yang menjulangkan kalimatnya sebegitu tingginya hingga melampaui bintang-bintang di langit dan menguraikannya secara lebih deras dari membuka bendu-ngan air. Bila ia mengucapkan sesuatu, hasrat akan ber-getar. Bila ia berbicara sebuah kalimat, pendengaran akan terpatri untuk menyimak. Dialah yang di tengah para tokoh tampil bagai raja yang ditaati, di hadapan pendukung dan menentangnya, di segenap negeri dan kawasan.”

Saya tegaskan kembali bahwa di akhir-akhir syarahnya atas kitab Al-Kafiyah, yakni sebelum menjelaskan hukum Ha’ As-Sakt, Ar-Ridha mencantumkan tanggal penulisan syarah itu. Ia mengatakan: “Inilah akhir syarah atas Al-Muqoddimah. Segala puji bagi Allah atas segala nikmat dan kemurahan-Nya secara sempurna, dan shalawatnya atas Muhammad dan keluarganya yang termulia. Dan telah tuntas serta tamat kalimat akhir syarah ini di Haram Hadzrat Yang Suci Al- Gharawi. Maka, atas pemilik dan pengawas Haram, sebaik-baiknya salam Tuhan keperkasaan pada Syawal 686 H.”

Di antara mereka ialah Sayyid Ruknuddin, pengarang Al-Mutawassith; syarah Muqoddimah Ibnu Hajib ke dalam tiga syarah; yang paling masyhur di antara tiga syarah ini adalah syarah Al- Mutawassith. As-Suyuthi mengatakan: “Ibnu Rafi’e di akhir Ta’rikh Baghdad membubuhkan: ‘Ruknuddin tiba di Marogheh dan bekerja untuk Yang Mulia Nashiruddin Ath-Thusi. Ia tampak begitu mendidih lantaran kecerdasan yang luar biasa. Karena itu, Nashiruddin mengajukannya sebagai pemuka ulama di Marogheh. Ia giat mengajar filsafat dan menulis catatan pinggir atas kitab At-Tajrid dan atas kitab-kitab lainnya. Untuk anak Nashiruddin, ia juga menuliskan sebuah syarah atas Qowaidul ‘Aqoid karya Nashiruddin.”

Tatkala Nashiruddin berhijrah ke Baghdad pada tahun 672 H., ia turut menyertainya ke sana. Sampai ketika tahun itu Nashiruddin wafat, dia berpindah ke Musil dan menetap di sana lalu mengajar di Madrasah Nuriyyah. Di sana, dia dipercayai untuk mengelola harta-harta wakaf madrasah. Dalam pada itu, Ruknuddin menulis syarah atas kitab Al-Muqoddimah karya Ibnu Hajib sebanyak tiga syarah; yang palingmasyhur di antara tiga syarah ini adalah syarah Al-Mutawassith. Ia juga berkecimpung secara tekun di bidang Ushul Fiqih dan belajar pada As-Saif Al-Amadi, sehingga ia dipercayai untukmembuka sendiri kuliah mazhab Syafi’iyah di kawasan Sultaniyah.

Ash-Shofadi mengatakan: “Ruknuddin sangat tawadhu. Dia akan senantiasa bangit berdiri di hadapan setiap orang sebagai penghormatan, bahkan kepada penghidang air. Dia begitu penyabar, mulia dan wibawa. Ia menulis syarah atas kitab Al-Mukhtashar karya Ibnu Hajib Al- Ashli dan atas Asy-Syafiyah fi At-Tashrif. Usianya mencapai tujuh puluh tahun lebih.” Pengarang Riyadhul ‘Ulama’ mengatakan: “As-Sayyid ibn Syaraf Syah adalah Sayyid Ruknuddin Al- Istarabadi, yaitu Abu Muhammad Al-Hasan ibn Muhammad ibn Syaraf Syah Al-Husaini. Ia mengarang kitab Manhaj Asy-Syi’ah fi Fadhail Washiy Khatam Asy-Syari’ah, atas nama Sultan Uweis Bahadur Khan.”

Saya pribadi juga memiliki beberapa karya Ruknuddin, di antaranya syarah atas kitab Qowaidul ‘Aqoid karya Khajeh Nashiruddin Ath-Thusi, gurunya sendiri. Penulis Raudhatul Jinan menyatakan: “Ruknuddin adalah tokoh besar Syi’ah. Sekelompok ulama telah memberikan sejumlah kesaksian atas kesyi’ahannya dan menyebutkan karya-karyanya, termasuk kitab Manhaj Asy-Syi’ah. Ruknuddin wafat pada 718 H. Bagi sebagian ahli, hari wafatnya jatuh pada 14 Shafar 715 H.”

Demikianlah kitab ini ditulis tuntas dengan segenap puji dan syukur atas hadirat Allah swt., oleh penulisnya; seorang hamba yang mengharap penuh akan kemurahan Tuhannya; Dzat Yang Maha Pengasih, Abu Muhammad Al-Hasan yang masyhur dengan nama Sayyid Hasan Shadruddin ibn Sayyid Hadi Al-Kadzim, pada hari Sabtu, 15 Jumadil Akhir 1330 H.[]



17
Kisah Para Nabi Allah


Catatan Kaki:
1. Ini menurut keterangan perawi tepercaya, Syeikh Abbas Al-Qummi tentang Ahwalul Qoani, juz 3, hal. 36 dari kitab Al-Kuna wal Alqob. Pada saat saya memulai hijrah ilmiah ke Samarra pada tahun 1310 H, saya mendapatkan Imam Al-Muqoddas Mirza Muhammad Taqie Asy-Syirazi menjumpai Sayyid Hasan di rumahnya setiap hari untuk berdiskusi lalu memulai kuliah umum yang dihadiri para pelajar dan ulama-ulama besar.

2. Seperti Allamah Sayyid Syarif Hasan Al-Mudarris, Allamah Syeikh Muhammad Ibrahim ibnMuhammad Hasan Al-Kalbasi.

3. Ijazah ini dinyatakan dalam sebuah surat pengarang Al-Jawahir yang dikirmkannya kepada sebagian gubernur di Iran.

4. Seperti Mirza Hasan Al-Asytiyani, Mirza Habibullah Ar-Rasyti, Syeikh Abdullah ibn Ni’mah Al-‘Amili Al- Juba’ie, Syeikh Ja’far Asy-Syusytari, Agha Hasan At-Tehrani, Mirza Abdurrahim Nahawandi, dan ulama teras atas yang lain.

5. Di antara mereka ialah sepupu beliau yang bernama Sayyid Mirza Ismail Al-Husaini Asy-Syirazi, Sayyid Ismail Ash-Shadr Al-Musawi Al-‘Amili, Sayyid Muhammad Al-Husaini Al-Fasyariki AL-Ishfahani, Sayyid Kadzim Al- Husaini Ath-Thabathabai Al-Yazdi, Sayyid Hasan ibn Sayyid Hadi Ash-Shadr Al-Musawi Al-‘Amili Al-Kadzimi pengarang kitab Al-‘Unwan, Sayyid Abdul Majid Al-Husaini Al-Karusi, Sayyid Ibrahim Ad-Damghani Ad-Darudi, AghaMir SayyidHuseinAl-Qummi.

6. Nama-nama besar lain yang memberikan kesaksian mereka atas keu-tamaan Sayyid Mirza Asy-Syirazi di atas ulama yang ada di antaranya adalahMirzaMuhammad Taqir Asy-Syirazi, Akhund SyeikhMula Kadzim Al-Khurasani, Syeikh Agha Ridha Al-Hamadani, Syeikh Mirza Husein An-Nuri, Syeikh Fadhlulllah Asy-Syahid An-Nuri At- Tehrani, Syeikh Mula Fath Ali Sultan Abadi, Syeikh Hasan Ali At-Tehrani, Syeikh Mirza Ibrahim Asy-Syirazi, Al- Maula Ali An-Nahawandi, Syeikh Ismail At-Tursyizi, Syeikh Mirza Abul Fadhl At-Tehrani, Syeikh Mirza Husein As- Sabzawari, Al-Maula Syeikh Muhammad Taqie Al-Qummi, Syeikh Hasan Al-Karbalaie, Mirza Musein An-Naini, dan nama-nama besar lainnya. Banyak ulama-ulama Hauzah Ilmiyah dan seni karya mereka berkembang di bawah asuhannya. Ia sendiri mewakafkan segenap umurnya guna mencerdaskan mereka sehingga dapat berbuat sebaik mungkin. Semoga balasanmuliaAllah tercurahkan ke atas mereka, kita dan umat Islam!

7. Ketika itulah Sayyid Mirza Asy-Syirazi mengumumkan bahwa fatwa pengharaman tembakau, baik dalam rangka menanam, berjual beli, merokok dan bentuk-bentuk penggunaan lainnya, hanya bersifat aksidental, bukan substansial. Dan, karena sebab pelarangannya telah hilang, maka hukum haram ini tidak berlaku lagi, dan masyarakat menjadi bebas dalam mengkonsumsi tembakau. Sejak itu, mereka kembali melakukan kebiasaan merokok.

8. Seperti membangun sekolah dan masjid. Di kota Samarra, ia telah membangun dua sekolah yang besar yang memakan biaya yang besar. Masih di kota yang sama, ia membangun jembatan yang menghu-bungkan dua tepi sungaiDajlah yang menelan anggaran sebesar puluhan ribu Lira emas Utsmaniyah atau bahkan lebih. Hanya saja pemerintahan dinasti Utsmaniyah yang berkuasa kala itu tidak melakukan perawatan selayaknya, kini jembatan tersebut tidak menyisakan batangan atau bekas sedikit pun, sehingga banyak pasukan tentara dinasti yang menghadapi kesulitan. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un!

9. Keterangan ini hanyalah sebetik kelupas dari butir dan setetes dari samudera keagungan pribadi Sayyid Mirza Asy-Syirazi. Tentu kita akan menyimpang jauh dari maksud utama catatan ini bila kita membawakan rinciannya. Tentang ihwal pribadi dan kehidupan beliau, Syarif Allamah Muhammad Al Fadhlullah Al-Hasani Al-‘Amili mengarang sebuah risalah yang amat bagus. Di sana ia menuturkan kisah perjalanan dan pawai iringan jenazah Sayyid Mirza Asy-Syirazi dari Samarra sampai ke Najaf, termasuk upacara kabung dan kidung kesedihan atas kemangkatan orang besar. Silakan dirujuk risalah itu oleh siapa saja yang ingin mengenali kebesaran seorang sosok manusia dengan personifikasinya yang paling jelas.

10. Ketika itu, sepupunya yang bernama Sayyid Ismail, seorang ulama terkemuka, meninggalkan Samarra pada tahun yang sama, lalu diikuti oleh sekelompok besar dari ulama-ulama dan tokoh-tokoh utama kota tersebut. Dan Sayyid Hasan Ash-Shadr adalah salah satu di antara mereka, sebagaimana yang telah saya terangkan sekaitan dengan ihwal kehidupan Sayyid Ismail ra.

11. Sesungguhnya kita semua, kaum Syi’ah, anak-anak yatim Ahlul Bait yang mulia a.s.

12. Dinukil secara harfiyah dari Shahih Al-Bukhari, bab ‘Jawaizul Wafd’, bagian ‘Al-Jihad wa As-Siyar’, juz 2, hal. 118.

13. Berdasarkan redaksi Shahih Al-Bukhari pada bab ‘Jawaiz Al-Wafd’,

14. Kitab ini dicetak di Locknow-India pada tahun 1354 H dari anggaran biaya redaksi majalah Ar-Ridhwan Al-Gharra’, dengan kata pengantar dari Allamah Sayyid Ali Naqie Taqawie tentang riwayat hidup penulis.

15. Lihat juz 4, hal. 120.

16. Yaitu di dalam kitab Al-Kuna wal Alqob, juz 2, hal. 322. dalam kitab Muntahal Amal, bab yang membahas anak keturunan Imam Mahdi a.s.

17. Silakan merujuk pernyataannya di dalam kitab Mulukul ‘Arab, cetakan pertama, juz 2, hal. 273.

18. Kutipan dari akhir catatannya mengenai riwayat hidup Sayyid Hasan Ash-Shadr yang dicetak di Loknow menjadi satu dengan kitabnya; Nuzhatu Ahlil Haramain fi ‘Imarotil Masyhadain, hal.12.

19. Beberapa hari sebelum wafatnya, putranya yang terbesar meng-inginkan agar ia tinggal di rumahnya di Darussalam-Baghdad selama membutuhkan perawatan dokter, mengingat lebih dekat dan lebih mudah menghubungi para dokter kapan saja diperlukan. Maka, selekas beristikharah, Sayyid Hasan Ash-Shadr menerima saran putranya itu. Namun selang beberapamalam, ajal menjemputnya di sana.

20. Tepatnya, Kamis sore, 11 Rabiul Awal 1354 H. / 12 Juni 1935 M.

21. Bait-bait syair ini dirangkai oleh ‘Raja Syair’ dan ulama besar, Hujjatul Islam Syeikh Abdul Husein Shodiq Al-‘Amili, khusus mengenai pribadi Imam Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr.

22. Saya telah menghitung sebagian jumlah ini sebanyak delapan puluh dua karya, sebagaimana yang telah lalu.

18