Artikel
-
Al Qur'an Al Karim
Artikel: 560, Kategori: 4 -
Akidah
Artikel: 44, Kategori: 5 -
Rasulullah & Ahlulbait
Artikel: 345, Kategori: 15 -
Hadits & Ilmu Hadits
Artikel: 7, Kategori: 4 -
Fiqih & Ushul Fiqih
Artikel: 19, Kategori: 2 -
Sejarah & Biografi
Artikel: 98, Kategori: 3 -
Bahasa & Sastra
Artikel: 12, Kategori: 2 -
Keluarga & Masyarakat
Artikel: 1746, Kategori: 3 -
Akhlak & Doa
Artikel: 242, Kategori: 3 -
Filsafat & Irfan
Artikel: 292
Islam dan Rasionalitas (3)
- Dipublikasi pada
-
- pengarang:
- Mohammad Adlany Ph. D.
Kesimpulannya, Islam dan rasionalitas bukanlah dua kutub yang saling meniadakan. Wahyu dapat diibaratkan sebagai cahaya, dan akal sebagai mata: tanpa cahaya, mata tidak berguna; tanpa mata, cahaya tak terlihat. Seorang Muslim sejati adalah dia yang menyatukan kekuatan hati, akal, dan amal. Dengan demikian, iman tidak berhenti sebagai keyakinan buta, tetapi menjadi kesadaran yang hidup, mendalam, dan bermanfaat bagi kehidupan.
Fatimah adalah pencipta sejarah
- Dipublikasi pada
-
- pengarang:
- Ali Syariati
Syariati melihat keterhubungan langsung antara Fatimah dan gerak sejarah yang akhirnya memuncak di Karbala. Baginya, Fatimah adalah awal dari garis kesyahidan yang ditutup oleh Husain. Apa yang diperjuangkan Fatimah dalam rumah kecil itu ditumpahkan Husain di padang Karbala dengan darah.
Sayyidah Fatimah dan Kesyahidan yang Tidak Berdarah
- Dipublikasi pada
-
- pengarang:
- Ali Syariati
Ali Syariati membedakan dua jenis kesyahidan: 1. Syahadah dalam perang – kematian dalam medan fisik. 2. Syahadah dalam kehidupan – ketika seseorang hidup dalam penderitaan demi mempertahankan kebenaran.
Islam dan Rasionalitas (2)
- Dipublikasi pada
-
- pengarang:
- Mohammad Adlany Ph. D.
Ta‘aqqul berarti menggunakan akal secara konsisten dalam berpikir dan bertindak. Orang yang benar-benar berakal tidak akan bersikap munafik: memerintahkan kebaikan tetapi meninggalkan kewajiban sendiri. Jadi, pesan utama ayat ini adalah konsistensi akal dengan amal.
Pengorbanan Sayyidah Fatimah: Kesunyian yang Menyala
- Dipublikasi pada
-
- pengarang:
- Ali Syariati
Syariati menegaskan bahwa pengorbanan Fatimah bukanlah pengorbanan yang mencari simpati. Ia tidak menangis untuk meminta belas kasihan. Kesunyian Fatimah setelah kepergian Nabi adalah kesunyian seorang pejuang yang mengetahui bahwa ia telah ditinggalkan oleh umat yang lupa janjinya.
Islam dan Rasionalitas (1)
- Dipublikasi pada
-
- pengarang:
- Mohammad Adlany Ph. D.
Seorang Muslim sejati adalah dia yang menyatukan kekuatan hati, akal, dan amal. Dengan demikian, iman tidak berhenti sebagai keyakinan buta, tetapi menjadi kesadaran yang hidup, mendalam, dan bermanfaat bagi kehidupan.
Fatimah: Cinta, tetapi Bukan Pasrah
- Dipublikasi pada
-
- pengarang:
- Ali Syariati
Ali Syariati mengingatkan bahwa cinta Fatimah bukan cinta yang sentimental. Ia tidak mencintai Rasulullah karena ia adalah ayahnya. Ia mencintainya karena Nabi adalah kebenaran, dan karena Islam adalah jalan pembebasan manusia. Maka ketika Nabi wafat, cinta itu tidak berubah menjadi air mata yang melemah, melainkan menjadi api kesadaran yang menyala.
Pahala Abadi Bagi Yang Berdoa Untuk Keselamatan Imam Al Mahdi as
- Dipublikasi pada
-
- pengarang:
- Habib Ali Umar Al-Habsyi
Karenanya, berdo’a untuk Sang Juru Selamat Akhir Zaman adalah kebaikan yang berbuah kebahagiaan abadi dengan derajat tinggi di Surga; Rumah Keabadian. Semoga kita tergolong orang yang selalu merindukan kehadiran Imam Al Mahdi as. Âmîn.
Fatimah adalah Fatimah
- Dipublikasi pada
-
- pengarang:
- Ali Syariati
Ketika Ali Syariati berbicara tentang Sayyidah Fatimah az-Zahra as dalam karya monumentalnya “Fatimah adalah Fatimah”, ia tidak sekadar menuliskankan seorang perempuan yang hidup di bawah bayang-bayang ayahnya, Rasulullah saw. Ia tidak menghadirkan Fatimah sebagai sosok ideal yang hanya dipuji dalam syair-syair, atau sekadar teladan domestik yang terbatas pada ruang keluarga.
Tingkatan-Tingkatan Syirik (5)
- Dipublikasi pada
-
- pengarang:
- Syahid Muthahhari
Al-Qur’an menegaskan bahwa kekuasaan tirani juga merupakan bentuk syirik sosial. Ketika Fir‘aun menindas Bani Israil, ia menjadikan mereka sebagai “budak-budaknya” bukan dalam arti ritual penyembahan, melainkan penundukan total terhadap sistem kezaliman.