Islam dan Fenomena Pembaharuan
Sekilas memperhatikan alam semesta, akan tampak sesuatu yang paling menonjol dibanding hal lain yaitu gerakan dan perubahan. Gerakan benda-benda di langit dan bumi dalam skala yang besar dan unsur-unsur pembentuk wujud (yaitu atom dan elektron) dalam skala yang lebih kecil, semuanya mengacu pada fakta bahwa alam semesta tidak lepas dari perubahan dan gerakan. Berlalunya musim dingin dan tibanya musim semi yang membawa pesan kehidupan dan semangat, menampilkan keberagaman dan perubahan. Musim panas dan gugur juga merupakan lembaran indah dari keberagaman dan perubahan. Musim-musim dalam kehidupan manusia juga dimulai dengan musim semi di masa kecil dan remaja, kemudian melalui periode masa muda dan paruh baya, sampai akhirnya berakhir di masa tua. Perjalanan itu juga tidak lepas dari perubahan dan keberagaman dalam kehidupan manusia.
Jelas bahwa adanya perubahan dan keanekaragaman itu bukan tanpa tujuan. Perubahan merupakan sebuah fenomena alami dan pasti, akan tetapi tidak setiap perubahan itu baik. Manusia tidak selalu merasa senang dengan setiap perubahan. Ketika musim semi tiba, manusia merasakan semangat dan keceriaan tersendiri, akan tetapi sebagian manusia akan merasakan sebaliknya ketika tiba musim gugur dan dingin. Ketika manusia senang melihat berubahnya tunas menjadi buah, manusia juga akan sedih menyaksikan perubahan buah yang segar menjadi busuk.
Dengan demikan ada dua perubahan, yaitu perubahan positif dan perubahan negatif. Lalu bagaimana dengan pandangan Islam menyikapi perubahan itu? Ketika Islam menyebut manusia merugi jika dua harinya berlalu sama dan tidak ada perubahan, maka ini cukup menjadi bukti pesan terbaik dan sempurna yang terkandung dalam agama langit ini. Islam bukan hanya menerima perubahan sebagai sebuah sunnah ilahi di alam semesta dan dunia; bahkan mendorong manusia untuk terus berubah. Menurut Islam, dunia dan manusia tidak diciptakan tanpa tujuan, melainkan penciptaan manusia dan dunia memiliki tujuan pasti dan semuanya bergerak mengarah pada tujuan.
Menurut pandangan Islam, manusia sempurna yang memiliki semua sifat tinggi, adalah tujuan dari pergerakan manusia dalam kehidupan individunya, dan masyarakat ideal yang di dalamnya terdapat semua elemen dan unsur sebuah masyarakat yang ideal, menjadi tujuan gerakan dalam dimensi sosial. Oleh karena itu menurut Islam, setiap perubahan tidak selalu baik. Perubahan yang mengarah pada tujuan luhur dan kesempurnaan manusia, baik dan diterima. Di sisi lain, perubahan atau pembaruan bukan berarti gerakan yang meninggalkan masa lalu dan bergerak di ruang yang tidak jelas dan tidak pasti. Islam menghormati masa lalu yang layak dihormati, begitu juga kemunculan ajaran baru ini yang meliputi program gerakan manusia. Dalam hal ini, kita harus menekankan bahwa dua pusaka yang ditinggalkan Rasulullah Saw untuk umat Islam yaitu kitab Al-Quran dan keluarganya Ahlul Baitnya (as), akan selalu abadi dan akan selalu menjadi pelita penerang jalan bagi manusia di setiap masa.
Risalah dunia Islam dan pentingnya keabadiannya sebagai agama langit terakhir, menuntut adanya kapasitas besar dalam perubahan dan pembaruan dengan syarat sejalan dengan ajaran Al-Quran, Rasulullah Saw dan Ahlul Bait as. Dengan kata lain, dalam perubahan dan pembaruan yang diacu oleh Islam, agama tidak pernah termarginal, melainkan selalu menjadi poros perubahan tersebut dan bahkan menjadi motor penggerak. Namun poin pentingnya adalah bahwa dalam Islam, kemajuan, perkembangan dan pembaruan, jangan sampai membuat manusia terbelenggu dengan kecenderungan hawa nafsu dan masalah-masalah duniawi, melainkan itu semua justru membantunya dalam menggapai kesempurnaan.
Sejarah Islam menunjukkan bahwa sirah Nabi Saw dan Ahlul Bait as menggunakan sebuah metode selektif dalam menyikapi fenomena baru. Artinya, mereka selain memberikan telaah baru kepada masyarakat, juga sesuai dengan tuntutan masa mereka menawarkan solusi dalam menyikapi fenomena baru dalam masyarakat.
Imam Ja'far Shadiq as berkata, "Orang yang mengetahui tuntutan masanya, dia akan selamat dari serangan penyimpangan." (Tahiful Uqul halaman 356)
Imam Ali as dalam hal ini juga menyatakan, "Sebaiknya manusia yang berakal menambah pandangannya dengan pendapat orang-orang yang berilmu dan menambah ilmunya dengan ilmu para ulama." (Ghurarul Hikam halaman 384)
Imam Ali as juga mengatakan, "Pengalaman manusia tidak akan berakhir dan pengetahuan orang yang berakal akan selalu bertambah melalui pengalaman."
Pembaruan dalam pandangan Islam harus memiliki sejumlah kriteria. Termasuk di antaranya adalah tujuan luhur dan bernilai serta mampu memenuhi tuntutan hakiki manusia. Pembaruan juga harus sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai Islam. Pembaruan dan perubahan harus menjamin tuntutan duniawi dan kebahagiaan akhirat manusia, atau setidaknya bukan menjadi penghalang pergerakan manusia menuju kesempurnaan. Menurut Islam, pembaruan dan perubahan akan negatif jika tidak memiliki tujuan yang jelas dan hanya sekedar memenuhi keinginan manusia untuk menikmati keragaman. Jika pembaruan bertentangan dengan kepentingan masyarakat dan bertentangan dengan tujuan luhur manusia, maka jenis pembaruan itu dicela oleh Islam.
Berlandaskan pada poin-poin tersebut, terkait pemanfaatan capaian ilmiah dan teknologi Barat di masa sekarang oleh masyarakat Islam, harus dikatakan bahwa pemanfaatan itu jangan sampai beralasan meniru akan tetapi berdasarkan wawasan dan kesadaran serta sesuai dengan nilai dan prinsip Islam. Dalam sejarah kontemporer, penyikapan terhadap peradaban Barat memiliki dimensi yang berbeda-beda dalam umat Islam. Sebagian menerima Barat seutuhnya dan sebagian lain menolak mentah-mentah peradaban Barat. Akan tetapi sikap logis dan proporsional menghadapi peradaban Barat adalah yang dibarengi dengan uraian analisa. Islam menentang sikap terlalu berlebih-lebihan dan ekstrim.
Pemanfaatan ilmu dan teknologi merupakan salah satu poin yang sangat ditekankan oleh Islam. Dalam Islam, apapun yang tidak bertentangan dengan ajaran Allah Swt dan dapat dibela secara logis dan ilmiah, dapat dimanfaatkan dalam kehidupan. Contohnya jika pemikiran sekulerisme atau humanisme di Barat bertentangan dengan ajaran Islam, hal itu tidak menyebabkan larangan penggunaan listrik, telepon dan media massa mereka. Penggunaan sarana tersebut secara tidak benar yang juga pasti bertentangan dengan ajaran Islam, tidak menjadi dalih pelarangan pemanfaatan berbagai kemajuan yang telah dicapai peradaban Barat.
Sejarah membuktikan bahwa masyarakat Islam dalam menyikapi peradaban Barat dan fenomena pembaruan, menempuh jalan berliku panjang. Termasuk di antaranya pada tahap ketika dalam proses penyerapan sebagian dari metode Barat dilabel westernisme. Kecenderungan seperti ini pada awalnya muncul bukan terkesima atas capaian masyarakat Barat, melainkan untuk memanfaatkan sebagian dari kemanuan Barat demi kemajuan dan perkembangan ilmiah dan industri umat Islam. Akan tetapi, ada pula pembaruan yang cenderung pada westernisme yang berarti meniru dan mengkopi secara utuh apapun yang datang dari Barat. Ketika itu, para pemuda Muslim yang diutus belajar ke Eropa, kembali ke negara mereka dan merebut kekuasaan dengan bantuan para penjajah asing.
Para pemuda yang pulang dari Barat dan dikenal sebagai cendikiawan ini mendominasi kancah politik, manajemen ekonomi, administrasi, budaya, sastra, ilimiah dan pendidikan. Pada hakikatnya, para penjajah berada di balik layar aktivitas para cendikiawan westernis tersebut. Karena mereka yang menjadi corong propaganda peradaban Barat kepada masyarakat untuk mengikuti budaya Barat.
Contoh dari westernisme itu dapat dilihat dari pemerintahan Iran sebelum Revolusi Islam yang mengakibatkan penjajahan budaya, politik dan ekonomi negara. Pada masa itu para pemimpin umat seperti Imam Khomeini ra bangkit berjuang menghidupkan kembali nilai-nilai agama dan memikul panji resistensi. Imam Khomeini meminta umat Islam untuk merevisi kembali perilaku dan sikap mereka serta memperingatkan ancaman imperialisme dan kolonialisme yang datang dengan alasan pembaruan.
Imam Khomeini ra juga menawarkan pembaruan akan tetapi dengan menggunakan perkembangan secara positif, tidak bergantung serta mempertahankan independensi dan kebebasan umat Islam. Dengan bimbingan beliau warga Muslim Iran berhasil menggapai independensi politik, budaya dan ekonomi meski melalui perjalanan panjang yang sangat terjal. Dan kini perjalanan untuk mencapai puncak-puncak pembaruan iptek oleh bangsa Iran dipimpin Ayatullah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei.(IRIB Indonesia)