Islam dan Program Kesejahteraan Umat
Salah satu program tersebut adalah pembayaran khumus (seperlima bagian) dan zakat sebagai sebuah solusi yang tepat untuk pemerataan kekayaan dan indikasi dari cinta antar-sesama. Manusia mengeluarkan sebagian dari pendapatannya kepada kaum miskin dengan niat mendekatkan diri kepada Tuhan dan mencapai kesempurnaan insani serta membantu orang lain. Menurut aturan pembayaran khumus, seorang Muslim berkewajiban untuk membayar 20 persen dari kelebihan harta yang diperoleh setelah dikurangi seluruh kebutuhan hidup dalam setahun. Dana itu diserahkan kepada para maraji' yaitu orang-orang yang paling berkompeten dalam parkara agama, paling bertakwa, dan paling bijak. Mereka – sebagai wakil terpercaya – akan menggunakan harta itu untuk kemaslahatan umat.
Membayar khumus dan zakat merupakan sebuah kewajiban. Salah satu syarat diterimanya amal ibadah – seperti shalat dan haji – tergantung pada pengeluaran zakat kepada kaum miskin di tengah umat Islam. Berkenaan dengan hal ini, Imam Jakfar Shadiq as berkata, "Orang yang tidak mengeluarkan zakat hartanya, Tuhan akan mengurungnya pada hari kiamat di tanah yang rata dan amblas. Dia akan mengirim sebuah ular berbisa yang siap mematuknya, sementara orang tersebut berlari darinya, tapi ia tidak punya jalan untuk kabur. Ular itu kemudian menerkam orang tersebut dan menjadi kalung di lehernya seperti firman Allah, 'Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat.'" (QS. 3:180)
Islam juga memiliki program-program lain untuk pemerataan harta selain zakat dan khumus. Program itu mencakup infak, sedekah, hibah, dan lain-lain. Salah satu kewajiban kaum Muslim menurut al-Quran adalah membantu orang lain. Salah satu sifat orang-orang bertakwa dalam surat adh-Dhariyat adalah mengalokasikan sebagian dari hartanya kepada mereka yang membutuhkan dan kaum miskin. Ketika mensifati orang-orang yang shalat dalam surat al-Maarij ayat 23-25, Allah Swt berfirman, "Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)."
Imam Jakfar Shadiq as ketika menafsirkan kata-kata Hakkun Maklum (tersedia bagian tertentu) berkata, "Hakkun Maklum adalah selain zakat wajib dan itu adalah harta atau bantuan yang dikeluarkan oleh seseorang kepada fakir-miskin, di mana jumlahnya sesuai dengan kadar kemampuan dan kemapanan orang tersebut."
Infak merupakan program lain Islam untuk pemerataan kekayaan. Puncak kesempurnaan infak akan dicapai ketika seseorang merelakan harta yang dicintainya. Sebagian beranggapakan bahwa kegiatan membantu orang lain baru boleh dilakukan ketika manusia tidak lagi membutuhkan harta tersebut. Menurut mereka, membantu orang lain tidak dibenarkan pada saat yang bersangkutan masih butuh. Padahal untuk mencapai derajat hakiki orang-orang yang baik, mereka harus menginfakkan harta yang dicintainya kepada orang lain.
Kecintaan hakiki kepada Tuhan dan penghormatan terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan dan moral akan tampak ketika manusia berada di persimpangan jalan. Dari satu sisi, ada harta dan jabatan yang sangat ia cintai dan di sisi lain, ada Tuhan, nilai kemanusiaan, dan perbuatan baik untuk sesama. Di sini, manusia harus membuktikan kecintaan hakikinya kepada Tuhan dengan memilih jalan yang benar. Dalam surat Ali Imran ayat 92, Allah Swt berfirman, "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai." Dengan kata lain, kita dituntut untuk lebih mencintai orang lain dan memberikan harta yang kita cintai kepada mereka.
Di sisi lain, al-Quran menganggap sikap bakhil di tengah masyarakat sebagai sebuah sifat yang tercela dan buruk. Rasul Saw bersabda, "Aku memperingatkan kalian dari kebakhilan, karena nenek moyang kalian binasa disebabkan oleh sifat buruk itu, kekikiran mereka telah mendorong pertumpahan darah antar-sesama dan menghalalkan apa-apa yang haram."
Kebaikan dan cinta sesama merupakan cita-cita moral kehidupan manusia. Al-Quran sudah sering mengingatkan bahwa orang-orang yang baik adalah kekasih Tuhan. Rahmat Tuhan juga dekat dengan para pelaku kebajikan. Dalam surat an-Nisa ayat 36, Allah Swt juga menjadikan semua umat manusia di alam ini sebagai tetangga satu sama lain. Dia menjadikan kebaikan dalam bingkai persahabatan dengan tetangga bersama dengan tauhid. Allah Swt berfirman, "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri."
Kata "tetangga" dalam ayat tersebut memiliki makna yang lebih luas dan mencakup semua umat manusia. Oleh karena itu, bagi seorang Muslim, kegiatan membantu antar-sesama tidak memandang ras serta agama dan juga tidak terfokus pada letak geografis tertentu. Dia menganggap dirinya berkewajiban untuk membantu semua umat manusia.
Berdasarkan budaya al-Quran dan tradisi Ahlul Bait as, tidak ada perbedaan antara fakir-miskin Muslim atau non-Muslim. Fakta ini dapat dilihat dari peristiwa yang direkam dalam surat al-Insan. Di sana, Imam Ali as, Fatimah az-Zahra as, Hasan dan Husein as melakukan puasa nazar dan memberikan hidangan berbukanya kepada tiga jenis manusia. Mereka adalah orang miskin, anak yatim, dan tawanan. Poin penting ayat tersebut terletak pada perkara membantu tawanan. Dengan memperhatikan perang yang terjadi antara pasukan Islam dan kaum kafir pada masa itu, jelas bahwa tawanan yang dimaksud adalah orang kafir yang ingin menghancurkan Islam dan menghunuskan pedangnya kepada kaum Muslim. Akan tetapi, ketika manusia memerlukan kebutuhan-kebutuhan dasarnya, Ahlul Bait as menghadiahkan hidangannya kepada tawanan non-Muslim itu meskipun mereka sendiri dalam keadaan butuh.
Al-Quran menyebut ada dua bentuk pemberian bantuan dan sedekah yaitu secara tersembunyi dan terang-terangan, di mana Tuhan memuji kedua bentuk tersebut. Bantuan yang diberikan dengan terbuka akan mendorong orang lain untuk berbuat baik. Selain itu juga akan membahagiakan orang-orang fakir dan miskin. Sementara dampak sedekah dan bantuan yang diberikan secara tertutup akan menjauhkan seseorang dari riya' dan juga menjaga harga diri orang miskin. Singkat kata, cara pertama punya dampak yang lebih besar, sementara cara kedua tampak lebih ikhlas dan lebih bersih. Namun mengingat agama Islam dibangun di atas landasan keikhlasan, maka setiap perbuatan dengan kadar keikhlasan yang tinggi, tentu akan memiliki keutamaan yang lebih besar. Oleh sebab itu, Tuhan lebih mengutamakan sedekah yang diberikan secara sembunyi-sembunyi daripada terang-terangan.
Dalam pandangan Islam, harta merupakan sarana untuk kebaikan. Individu yang memiliki kemampuan finansial dapat segera meraih keridhaan Tuhan dengan membantu antar-sesama. Tentu saja, ia perlu menjauhkan dirinya dari penyakit-penyakit yang menghancurkan pahala ibadah. Salah satu dari penyakit itu adalah mengungkit-ungkit pemberian atau menyakiti perasaan si penerima. Dalam surat al-Baqarah ayat 264, Allah Swt berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)."
Menariknya, Islam sangat menganjurkan pemberian sedekah dan infak secara sembunyi-sembunyi, di mana tangan kanan memberi, tapi tangan kiri tidak mengetahuinya.