Konsep Cinta dalam Doktrin Ahlul Bait(1)
KECINTAAN merupakan konsep yang paling sublim dan agung dalam mazhab Syi'ah secara khusus dan kultur dalam Islam secara umum. Mahabbah atau hubb dan kalimat yang relevan seperti mawaddah dan wilayah memainkan peranan signifikan dan vital dalam kredo mazhab Syiah. Sehingga dapat ditegaskan di sini bahwa kecintaan atau cinta merupakan asas keimanan seseorang. Nabi saw dalam satu hadis masyhur bertanya pada para sahabat tentang apakah iman yang sejati itu, sahabat tidak mampu menjawab pertanyaan itu lalu Rasulullah saw bersabda:
Iman yang sejati ialah mencintai semata-mata karena Allah, membenci semata-mata karena Allah, menjadikan kekasih Allah sebagai kekasihnya, dan membenci sesuatu yang dibenci-Nya.
Dalam hadis yang lain, Fudhail bin al-Yasar, salah seorang murid Imam Ja'far al-Shadiq as bertanya pada Imam tentang apakah cinta dan benci berasal dan keimanan. Imam bersabda:
Apalagi iman itu, kalau bukan cinta dan benci?
Dikatakan juga bahwa Imam al-Baqir as menyatakan bahwa:
Agama adalah cinta dan cinta adalah agama.
Pernyataan dan hadis di atas menunjukkan bahwa betapa pentingnya peranan cinta dalam doktrin mazhab Syi'ah. Maka dari itu perkara ini menuntut perhatian lebih dari kita untuk menguak makna hakiki dari konsepsi cinta ini.
Beberapa pertanyaan yang muncul ke permukaan adalah, cinta seperti apakah yang ditekankan oleh Islam secara umum dan mazhab Syi'ah secara khusus? Siapakah yang menjadi pusat kecintaan kita? Mengapa dan untuk tujuan apa orang-orang beriman harus memiliki kecintaan seperti ini?
Dalam doktrin Syi'ah, kecintaan mensyaratkan tiga kategori yang saling berkaitan satu sama lain: pertama ialah kecintaan pada Tuhan; kedua kecintaan pada Nabi dan keluarganyaj dan ketiga kecintaan pada orang-orang beriman.
Kecintaan pada Tuhan
Tuhan merupakan objek kecintaan yang paling puncak dan pamungkas dalam ajaran Islam. Berdasarkan hal ini Qur'an al-Karim menyatakan:
Katakanlah: Jika bapak-bapak dan anak-anakmu. saudara-saudara dan istri-istrimu, kerabat-kerabat dan harta yang kau kumpulkan, pemiagaan yang kau takutkan kerugiaannya dan rumah-rumahmu lebih kau cintai daripada Allah, Rasul dan berjuang di jalannya, maka tinggallah keputusan Allah dan Allah sekali-kali tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (QS. 9:24)
Ayat ini secara eksplisit menunjukkan bahwa kecintaan pada Tuhan menisbikan segalanya dan apa saja yang menjadi objek kecintaan manusia dalam kehidupannya. Lebih jauh, al-Qur'an mensinyalir dalam beberapa ayat lainnya bahwa kecintaan orang-orang mukmin kepada Tuhan hendaknya lebih besar dari segala-galanya. Akan tetapi beberapa kelompok anak Adam mencintai hal-hal tertentu sebanyak kecintaan mereka pada Tuhan:
Dan ada di antara orang-orang yang menyembah tandingan- tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman sangat kuat cintanya pada Allah. (QS. 2:165)
Artinya, Tuhan merupakan sumber segala kecintaan karena Ia adalah sumber dari segala yang ada, dari segala mahkluk hidup, makro dan mikrokosmos. Kecintaan merupakan atribut Tuhan yang ditegaskan secara gamblang oleh banyak ayat al-Quran. Maka konsekuensi logisnya adalah kecintaan pada Tuhan merupakan asas fundamental dari keimanan, asas yang mana manusia dituntut untuk mengerangkanya dalam kehidupan mondialnya. Logika semacam ini juga dapat ditegaskan oleh nalar dan akal sehat kita. Patut untuk diperhatikan bahwa: pertama, karakter fitri manusia mendambakan kesempurnaan dan keindahan. Tuhan merupakan kesempurnaan mutlak dan keindahan azali, maka adalah suatu hal yang fitrah dan wajar bilamana manusia mencintai Tuhan. Kedua, manusia sebagai hamba Tuhan secara fitrah mencintai siapa saja yang berbuat kebajikan kepada mereka dan mereka akan mengapresiasi kebaikan dan kemurahan itu, sebagaimana sabda Imam ali as:
Kemurahan dan kebaikan memperbudak manusia.
Kini, ketika kita mengatakan bahwa Tuhan merupakan sumber dan segala wujud yang ada; dengan segala kemurahan dan kebaikan-Nya maka manusia berdasarkan kefitriannya mencintai Tuhan. Nabi saw bersabda:
Cintailah Allah karena Ia telah bermurah hati dan telah menganugerahkan segala kebaikan padamu.
Diceritakan bahwa Tuhan berfirman ketika mendeklarasikan perintah-Nya pada Musa as dan Daud as: Cintailah Aku dan bimbinglah manusia untuk mencintal-Ku. Ketika ditanya bagaimana mereka dapat membimbing manusia untuk mencintal-Mu, Tuhan menjawab: Ingatkan manusia akan kemurahan dan nikmat yang Aku berikan pada mereka karena mereka tidak akan menikmati kemurahan-Ku tanpa rasa syukur.
Hubungan cinta antara manusia dan Sang Pencipta adalah suatu hubungan resiprokal. Semakin tinggi intensitas cinta manusia pada Tuhan, semakin tinggi pula intensitas cinta Tuhan padanya, sebagaimana diindikasikan oleh ayat berikut ini:
Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintal-Nya. (QS. 5:54)
Kecintaan ini menandaskan bahwa ada hubungan spritualitas antara Tuhan dan para pecinta Tuhan yang bersamanya. Mereka tersadarkan akan kemahamurahan dan pengasihnya Tuhan padanya. Dinyatakan dalam satu hadis qudsi bahwa ketika Tuhan mencintai seseorang maka Ia akan menjelma menjadi pendengaran hamba yang dicintai-Nya, penglihatan hamba yang dicintai-Nya, lisan dan tangan hamba yang dicintai-Nya:
Jika Aku mencintai seseorang maka Aku akan menjadi telinga yang dengannya ia mendengar, menjadi mata dengan mana ia melihat, menjadi lisan dengan mana ia berkata, menjadi tangan dengan mana ia meraih. Bila ia meminta padaku maka akan kupenuhi permintaannya!
Terlepas dan kenyataan bahwa orang yang dicintai Tuhan akan dibalas cinta-Nya, cinta sejati pada Tuhan meniscayakan seseorang untuk berperforma sebaik mungkin. Nalar dan kausalitas menyatakan bahwa jika seseorang benar-benar mencintai Tuhan maka ia akan bertindak menurut apa yang diridhoi-Nya. Berkaitan dengan masalah ini, al-Quran menandaskan:
Katakan1ah: Jika engkau mencintai Allah, maka ikuti aku (Muhammad) dan Allah akan mencintai engkau dan memaafkan segala dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Pemurah. (QS. 3: 13)
Ayat ini menyiratkan interrelasi antara cinta, sebagai suatu keadaan yang hakiki, dan mencontoh Rasulullah dalam realisasi visual keseharian kita. Maka dari itu, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada seorangpun yang boleh melalaikan kewajiban agamanya dengan dalih sebagai perwujudan cinta kepada Tuhan.