konsep cinta dalam doktrin Ahlul Bait (2)
Kecintaan pada Nabi
Setelah kecintaan pada Allah, Rasulullah saw dan Ahlulbaitnya merupakan objek kecintaan kita. Nampak nyata bahwa kecintaan pada Rasul adalah ramifikasi dari kecintaan pada Tuhan. Dalam salah satu hadis Ahlulbait as dikatakan bahwa Allah mencintai Nabi dan Ahlulbaitnya sebagai puncak kesempurnaan manusia. Maksud penciptaan semesta, nirwana dan segala yang ada di dalamnya adalah merupakan manifestasi cinta Tuhan pada Nabi dan Ahlulbait as. Dalam hadis al-Kisa yang dinarasikan oleh Fathimah as disebutkan:
Ketika mereka, Ahlulbait, berhimpun dalam suatu kisa (kain), Allah Yang Mahakuasa berfirman: Agar menjadi khazanah pengetahuanmu, malaikat dan segala apa yang ada di dalam nirwana bahwa tidak aku ciptakan nirwana, semesta dan segala isinya kecuali karena kecintaan-Ku pada kelima manusia suci dalam Kisa.
Nabi saw dan Ahlulbaitnya berkata kepada para pengikutnya:
Cintailah aku semata-mata karena kecintaan pada Allah.
Kita mencintai Nabi saw karena ia merupakan kekasih Allah Swt dan Ia membimbing kita untuk mencintai Rasulullah. Demikian juga Ahlulbaitnya. Inilah alasan yang pertama dan utama mengapa kita mesti mencintai Nabi saw. Kedua, karena Nabi Muhammad adalah insan paripurna dan personifikasi dari ketinggian derajat seperti kepemurahan, keagungan, akhlak yang mulia dan kearifan puncak. Oleh karena itu, wajar jika manusia terpesona dengan kesempurnaan wujud Muhammad dan kemudian mencintainya. Dan yang ketiga, Muhammad telah membimbing kita pada anugerah yang paling esensial dan signifikan bagi kemaslahatan kita pada kehidupan mondial hari ini dan kehidupan ukhrawi esok hari nanti serta pengetahuan tentang hakikat hidup yang sejati.
Karena atas alasan ini, firman Tuhan yang prolifik, hadis Rasul dan hadis para Imam yang menandaskan kemestian cinta kita pada Rasul saw dan Ahlulbait as; sudah merupakan kewajiban seluruh muslim untuk mencintai mereka sebagaimana cinta pada diri mereka sendiri atau bahkan lebih dari pada itu, sebagaimana dikutip al-Quran:
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin lebih dari mereka sendiri. (QS.33:6)
Kecintaan pada Ahlulbait
Kecintaan pada Ahlulbait Nabi saw merupakan suatu kemestian yang bersifat conditio sine qua non sebagaimana kemestian cinta kita pada Rasulullah saw. Bahkan suatu bukti kecintaan pada Ahlulbait Nabi saw ditegaskan dalam suatu hadis bahwa hal yang mula-mula ditanyakan pada hari hisab kelak adalah tentang kecintaan pada Ahlulbait as.
Karena kecintaan ini bercorak mesti dan penting maka terdapat tiga ratusan ayat suci al-Quran dan hadis yang bersumber baik dari Syi'ah maupun Sunni. Konklusinya adalah mereka menunjukkan bahwa peran utama dari kecintaan ini adalah menumbuhkan benih-benih spritualitas dan keimanan kita. Diceritakan bahwa Rasulullah saw dan Ahlulbait as bersabda:
Setiap benda memiliki poros utama, dan poros utama Islam adalah kecintaan mereka kepada kami, yakni aku dan keluargaku.
Dalam hadis yang lain dikatakan bahwa:
Bagi mereka yang ingin mengambil peranan dari keimanan yang sejati hendaknya menisbatkan kecintaannya pada Ali dan Ahlulbaitku.
Nabi saw juga berkata:
Kecintaan kalian terhadap keluargaku merupakan simbol keimanan dan kebencian terhadapnya merupakan simbol paganisme. Siapa saja yang mencintai Ahlulbaitku pertanda mencintai aku dan mencintai Allah Swt. Dan siapa saja yang membencinya pertanda membenci aku dan membenci Allah Swt.
Dikisahkan bahwa Imam al-Shadiq as berkata:
Setiap bentuk ibadah senantiasa ada yang mengunggulinya dan kecintaan pada keluarga Rasul merupakan suatu kemestian dalam keimanan seorang muslim.
Lebih jauh ditegaskan dalam kitab suci bahwa kecintaan pada Ahlulbait Rasulullah merupakan manifestasi rasa syukur kita atas turunnya risalah kenabian. Tuhan berfirman:
Katakanlah (Muhammad): Aku tidaklah meminta upah atas risalah yang aku bawa kecuali kecintaan kalian pada sanak kerabatku.(QS. 42: 23)
Ketika Nabi saw ditanya oleh para sahabat tentang siapakah yang dimaksud sanak kerabatnya, Rasul menjawab: Mereka yang oleh Allah diwajibkan pada seluruh muslim untuk mencintainya yaitu Fatimah, ALi, Hasan dan Husain.
Menurut aqidah mazhab Syi'ah, merujuk pada ayat ini, setiap kaum muslimin dituntut untuk mencintai Ahlulbait sebagai konsekwensi ketundukannya pada hukum Islam. Karena Tuhan, pada ayat ini, menginstruksikan pada manusia untuk mencintai mereka. Mereka merupakan panutan agung dalam rangka untuk taat pada perintah-perintah Tuhan. Maqam mereka yang begitu tinggi di hadapan Tuhan dan suci dari segala bentuk politeisme, dosa dan segala sesuatu yang mendeprivasi manusia dari rahmat Tuhan.
Pendeknya, jika Tuhan menginstruksikan kepada manusia untuk mencintai sekelompok manusia maka merekalah niscaya yang terbaik, terutama dan teragung di antara makhluk-makhluk-Nya. Kalau tidak, mereka di luar hukum kepatutan untuk dicintai. Dan Tuhan mustahil merekomendasikan kecintaan pada seseorang tanpa alasan yang masuk akal atau melebihkan seseorang tanpa adanya keutamaan pada diri mereka.
Bagaimanapun, boleh dipertanyakan apakah kecintaan itu bercorak emosional yang mampu memproduksi hasil-hasil yang optimal saja, ataukah mampu memotivasi kita untuk berakhlak mulia dan beramal saleh. Menurut pendapat kami, cinta tidak hanya mampu beroperasi pada tataran emosional saja. Lebih dari itu, ia dapat menjadi lokomotif yang menggerakkan mesin jiwa dan raga kita untuk beramal saleh.
Cinta sejati yang ditekankan oleh Quran dan Sunnah tidak hanya berwujud hubungan emosional antara pencinta dan objek yang dicintai tanpa adanya relevansi aktual pada tindakan hidup si pencinta. Cinta adalah suatu mesin yang memproduksi amal kebajikan dan mendorong pencinta untuk berakhlak mulia sebagaimana dituntut dalam ajaran Islam yang luhur. Dalam hadis dikatakan bahwa:
Jangan sampai karena keasyikanmu mencintai Ahlulbait Rasulullah melalaikanmu dalam berbuat amal saleh. Dan jangan pula karena kesibukanmu beramal saleh dan menjalankan ibadah melalaikanmu untuk mencintai Ahlulbait Rasulullah, karena kedua hal itu saling terkait satu sama lain.
Imam al-Shadiq as bersabda:
Orang yang memuja seseorang akan berjuang untuk meniru pujaannya.
Dengan demikian, hukum Ilahi meniscayakan keimanan seseorang dalam mencintai Ahlulbait Rasulullah saw dan untuk mendapatkan patron agar mereka dapat menjalankan hukum Ilahi dengan jalan meniru Imam dari keluarga Nabi saw. Dalam hubungan ini Rasulullah saw bersabda:
Siapa saja yang mendambakan untuk menjalani kehidupan mondial ini sesuai dengan way of life Rasulullah, menjemput maut dengan caraku, memasuki surga denganku dan mendapatkan pedoman hidupnya sebagaimana yang telah dititahkan Tuhan padaku maka hendaklah berpanut pada Ali bin Abi Thalib dan para Imam setelahnya, karena mereka tidak pernah akan menjerumuskan kalian pada kesesatan dan penyimpangan. Jangan menggurui mereka, karena mereka lebih a'lim ketimbang kalian. Dan aku telah meminta pada Tuhanku untuk tidak memisahkan mereka dengan al-Quran hingga kalian berdua denganku di Telaga Haud...
Berkenaan dengan masalah ini Imam al-Shadiq as bersabda:
Allah Azza wa Jalla telah menitahkan wilayat kepada kami dan menjadikan kecintaan manusia pada kami sebagai suatu kewajiban agama. Demi Allah, kami tidak berkata-kata berdasarkan hawa nafsu dan tidak bertindak berlandaskan pada pendapat kami pribadi melainkan apa yang telah difirmankan oleh Tuhan, Yang Mahakuasa dan Mahaperkasa.
Padanyalah Tuhan memberikan otoritas dan memerintahkan manusia untuk menaati para Imam Ahlulbait as. Mereka adalah saksi bagi manusia dan merupakan garda terdepan dalam meniti jalan menuju Tuhan, pedoman mengarungi samudra titian Ilahi, penjaga ilmu-Nya, penafsir kitab suci-Nya, tonggak ajaran Keesaan Ilahi dan pengawal kearifan Tuhan. Kitab suci al-Quran berkata atas keistimewaan mereka:
Hamba-hamba Allah yang dimuliakan, mereka tidak mendahuluinya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya. (QS.21:26-27)
Oleh karena itulah mengapa Tuhan mensyaratkan keimanan seseorang dengan mencintai mereka, meneladani serta mematuhi ajaran-ajaran Ahlulbait as. Dengan mengakrabi segala sesuatu yang menjadi kecintaan para Imam Ahlulbait kaum muslimin akan dipandu dalam pemenuhan kewajiban-kewajiban agama sebagaimana yang diperintahkan dalam al-Quran. Cinta sejati mendorong para pencinta untuk berlaku sesuai dengan hasrat dan damba kekasihnya. Dengan demikian, bila kaum muslimin meneladani kehidupan keluarga Rasulullah saw maka ia akan menjadi mukmin sejati. Ganjaran yang dijanjikan atas risalah kenabian ini pada akhirnya akan diraih oleh kaum mukminin sendiri sebagaimana yang dijanjikan dalam al-Quran:
Katakanlah (Muhammad): Upah yang aku minta kepada kamu maka itu untuk kamu sendiri. Upahku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu ganjaran apa saja yang saya mintakan padamu. (QS.34:47)
Kita boleh berkonklusi bahwa cinta memainkan peran yang sangat vital dalam keimanan menurut aqidah Syi'ah dan cintailah yang menyatukan konsep-konsep universal agama Islam. Selama ini kita telah melihat dengan jelas bahwa prinsip ini mampu mengintegrasikan konsep religius Islam yang berspektrum sangat luas di mana satu sama lainnya saling berkaitan. Dan totalitas seperti ini akan mendorong manusia pada suatu format sempurna dalam kehidupannya.
Prinsip cinta semacam ini akan memberikan emansipasi pada kaum muslimin dalam penghambaannya pada Tuhan, melepaskan kekecewaan dari suatu keadaan yang bebas nilai (lifeless state). Prinsip cinta ini juga akan menginspirasi manusia dengan semangat juang yang tinggi. Inilah makna dari hadis Nabi saw yang berbunyi:
Wahai hamba Allah, jadikan kecintaan dan kebencianmu semata-mata karena Allah, karena tidak seorang pun yang mampu meraih wilayah Allah dan dapat menikmati manisnya iman tanpa keikhlasan dan ketulusan semata karena Allah Azza wa Jalla, meskipun ia banyak mengerjakan shalat dan puasa.
Kami ingin menutup pembahasan kita kali ini dengan sebuah konklusi dengan menyitir hadis dan Imam Ali as yang berkata:
Sesungguhnya puncak dari segala kenikmatan di dalam surga adalah kecintaan Allah Swt dan kecintaan semata karena-Nya serta keagungan Ilahi Rabbi. Allah yang Maha kuasa dan Maha mulia berfirman: Doa mereka di dalamnya ialah: "subhanakallahuma", dan salam penghormatan mereka ialah: "salam". Dan doa penutup mereka ialah: "Alhamdulillahi Rabbil alamin" (QS. 10:10).