Bersama Kafilah Ramadhan (5)
Salah satu ciri khas syariat Islam adalah kemudahan dan
keringanan hukum-hukumnya. Allah Swt mempertimbangkan
kapasitas dan kemampuan manusia serta kepastian
terlaksananya hukum syariat yang ditetapkan.Landasan
hukum Islam adalah untuk kebaikan dan maslahat serta
menolak keburukan dan mafsadat. Jelas bahwa hukum yang
selaras dengan fitrah manusia akan diterima dan hati
nurani juga terdorong untuk melaksanakannya.Jika individu
tertentu menentang hukum Islam karena kepentingan pribadi
atau kebodohan dan mencegah penerapannya, maka pihak lain
akan bangkit membela dan mencela orang-orang yang menolak
hukum Allah Swt.
Puasa Ramadhan merupakan bagian dari ajaran Islam yang
selaras dengan fitrah. Puasa bagi mereka yang hobi makan
akan sedikit berat dan ini bisa menjadi ajang
latihan.Iya, menahan lapar dan haus tidak sejalan dengan
tuntutan hawa nafsu, tapi kondisi ini sama seperti
ketidakcocokan obat dengan selera pasien, rasa obat yang
pahit bertentangan dengan selera pasien. Namun, fitrah
dan akal sehat menerima obat tersebut dan ia siap dengan
segala kepahitannya. Dalam puasa, Allah Swt juga tidak
menginginkan kesulitan dan kepayahan bagi umatnya. Surat
al-Baqarah ayat 185 berbunyi, “…Barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.”
Ternyata puasa sudah dikenal oleh umat-umat terdahulu.
Bangsa Romania, India, dan kemudian Yunani dan Mesir,
merupakan suku bangsa yang sudah mengenal puasa. Beberapa
filosof Yunani seperti, Pythagoras dan Plato juga percaya
bahwa puasa akan menciptakan nuansa religius dalam jiwa
dan ini merupakan tahap awal untuk mendapatkan ilham.
Suku-suku di benua Amerika juga meyakini bahwa puasa
efektif untuk memperoleh petunjuk dari Ruh Besar dan
menyebabkan penyucian jiwa.
Puasa juga sudah dipraktekkan di tengah pemeluk agama
Yahudi dan Nasrani. Dalam ajaran Yahudi, salah satu cara
populer untuk mendekatkan diri kepada Tuhan adalah
berpuasa. Puasa merupakan bagian dari ibadah umat Yahudi
dan hal ini disinggung beberapa kali dalam kitab Taurat.
Nabi Musa as sebelum menerima 10 Perintah Tuhan,melakukan
ritual puasa selama 40 hari di Gunung Sinai dan menahan
diri dari makan dan minum. Saat ini, puasa merupakan
sebuah perkara yang sangat umum di tengah umat Yahudi
dunia dan dilakukan dalam bentuk kewajiban atau anjuran.
Di agama Nasrani, puasa tercatat dalam kalender Gereja
dan merupakan bagian dari tradisi keagamaan mereka. Dalam
kitab Injil disebutkan bahwa Isa al-Masih memerintahkan
para pengikutnya untuk berpuasa. Puasa sudah menjadi ciri
khas para Hawariyun dan penyebar ajaran Isa al-Masih.
Allah Swt telah menanamkan fitrah dalam diri manusia.
Fitrah adalah sifat asal dan sebuah kencenderungan di
mana Tuhan menciptakan manusia atasnya. Pada
dasarnya,Allah Swt telah membekali manusia dengan
kecintaan kepada-Nya pada saat meniupkan ruh ke jasad
mereka. Sebenarnya, jika kita sudah memahami hakikat
insan dengan benar dan juga mengerti kaitannya dengan
alam malakut, maka bulan Ramadhan bukan lagi perkara
sulit dan halangan bagi kita. Kita akan menganggap
Ramadhan sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri dan
mencapai kesempurnaan.
Puasa merupakan sejenis latihan agar manusia mampu
mengontrol dirinya dan memerangi hawa nafsu, sehingga
bisa sampai pada tujuan utama dan filosofi penciptaan
manusia yaitu, kesempurnaan dan mendekatkan diri kepada
Allah Swt. Salah satu perintah yang tegas dalam agama
Islam adalah kewajiban berpuasa. Dengan mewajibkan puasa,
Allah Swt ingin memberikan sebuah kesempatan emas kepada
manusia sehingga mereka bisa mengaktualisasikan potensi-
potensinya untuk mencapai kedekatan dengan Sang Pencipta
dan meraih posisi utamanya sebagai khalifah Tuhan di muka
bumi. Kewajiban ini disertai dengan menahan diri dari
segala hal yang bisa membatalkan puasa.
Manfaat puasa yang disebut dalam sejumlah riwayat sangat
mengagumkan. Dikatakan bahwa untuk mencapai kesempurnaan
hakiki, tidak ada jalan lain kecuali mengurangi porsi
makan dan berpuasa. Rasul Saw bersabda, “Barang siapa
yang menahan rasa lapar, daya pikirnya akan meningkat dan
meraih pencapaian makrifat.” (Mizan al-Hikmah, jilid
5).Dalam sebuah riwayat dari Nabi Daud as dikisahkan
bahwa Tuhan berfirman kepadanya, “Wahai Daud! Aku
menetapkan lima perkara dalam lima perkara. Akan tetapi,
umat sibuk mencari lima perkara yang lain dan mereka
tidak menemukannya. Salah satu dari lima hal itu adalah
ilmu, Aku menempatkannya dalam rasa lapar dan usaha,
sementara umat mencarinya dalam keadaan kenyang dan
santai dan mereka tidak mendapatinya.” (Bihar al-Anwar,
jilid 75)
Berpuasa dan membiarkan perut kosong memiliki banyak
manfaat dan berkah. Salah satunya adalah manusia bisa
meraih ilmu pengetahuan dan hikmah. Ketika perutpenuh
terisi makanan, organ-organ tubuh harus bekerja ekstra
untuk mencerna makanan dan pada akhirnya pikiran dan daya
pikir manusia tidak beraktivitas dengan baik. Namun
ketika perut kosong dari makanan, mereka akan memiliki
kekuatan prima. Alkisah, seseorang mendatangi rumah
ulamauntuk belajar tata cara ibadah. Ulama itu kemudian
bertanya, “Bagaimana cara engkau menyantap makanan?”
Orang itu menjawab, “Aku makan sebanyak mungkin sampai
aku kenyang.” Sang ulama heran dan berkata, “Ini adalah
kebiasaan hewan. Engkau harus terlebih dahulu belajar
cara makan dan kemudian belajar tata cara ibadah.”
(Dikutip dari buku Bahr al-Maarif, karya Abdul Samad
Hamedani)
Bulan Ramadhan merupakan sebuah momentum untuk
membersihkan dan menyucikan jiwa sehingga manusia
terbebas dari cengkraman hawa nafsu. Mereka harus
memanfaatkan bulan ini untuk menggantikan kegelapan
syahwat dengan cahaya dan kenikmatan mengikuti perintah
Allah Swt. Di bulan Ramadhan, pintu-pintu rahmat terbuka
lebar dan taubat para hamba diterima. Pada dasarnya
dengan segala berkah yang ditawarkan Ramadhan, manusia
bisa meningkatkan derajatnya dan melangkah meraih
kesempurnaan.
Bapak Pencetus Revolusi Islam, Imam Khomeini ra adalah
sosok ulama revolusioner, ahli fikih, filsafat, teologi,
dan irfan. Beliau juga dikenal sebagai seorang arif dan
teladan ketakwaan. Berkenaan dengan bulan Ramadhan, Imam
Khomeini ra berkata, “Ini adalah sebuah undangan dari
sisi Allah. Ini adalah sebuah nikmat dan rahmat dari
Allah kepada hambanya yang lemah dan hina sehingga ia
bisa meningkatkan derajatnya.” Beliau meneruskan,
“Bersungguh-sungguhlah meraih berkah Ramadhan dan jangan
biarkan berlalu begitu saja. Nuansa religius yang
dirasakan selama Ramadahan harus tetap dijaga untuk
menjalani bulan-bulan selanjutnya.”
Imam Khomeini ra di berbagai ceramahnya selalu menyeru
masyarakat pada ketaatan dan ibadah kepada Allah Swt.
Selama bulan Ramadhan, beliau menghabiskan banyak
waktunya untuk berdoa dan bermunajat dengan Sang Khalik
dan berusaha untuk memanfaatkan kesempatan emas ini
dengan maksimal. Imam Khomeini ra kadang harus berpuasa
selama 18 jam di tengah teriknya suhu udara di kota Najaf
yang mencapai 50 derajat Celcius. Beliau tidak menyantap
hidangan berbuka sebelum menunaikan shalat magrib dan
isya serta ibadah sunnah.
Imam Khomeini ra juga senantiasa menunaikan shalat dzuhur
dan asar berjamaah di Madrasah Ayatullah Burujerdi di
Najaf. Sebelum shalat dimulai, beliau menyempatkan diri
untuk melaksanakan ibadah sunnah. Pembacaan ayat-ayat
yang panjang dalam shalat dan kegiatan berzikir
setelahnya terbilang sebagai rutinitas yang memberatkan
para santri muda. Namun, keteladanan yang ditunjukkan
Imam Khomeini ra memberi pengaruh besar pada diri santri
dan menumbuhkan semangat baru pada diri mereka.
Mengenai kegiatan Imam Khomeini ra di bulan puasa,
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah Sayid Ali
Khamenei mengatakan, “Beliau biasanya tidak punya agenda
pertemuan selama Ramadhan kecuali keperluan mendesak.
Namun setelah bulan puasa, orang-orang yang bertemu Imam
Khomeini ra menemukan beliau lebih bercahaya. Orang-orang
di sekitar merasakan hal itu. Dengan usia 90 tahun, Imam
Khomeini raaktif selama satu bulan penuh dan beliau
bergerak maju. Beliau selalu bergerak maju, tapi di bulan
Ramadhan gerakan itu meningkat dan lebih giat, karena
momentum ini adalah sebuah kesempatan yang sangat tepat.”