Pelajaran dari Nabi Luth dan kaum Sodom
Jika membaca sejarah Anbiyah As dan kaumnya, maka yang
paling tragis akhir hidupnya adalah kaum Sodom.
Kemaksiatan yang mereka lakukan tidak pernah dilakukan
oleh umat-umat sebelumnya, itu sebabnya azab yang
menimpa juga sedemikian dasyhatnya. Dosa mereka adalah,
yang laki-laki mendatangi [berhubungan badan dengan]
laki-laki dan yang perempuan mendatangi perempuan,
dalam bahasa sekarang kita menyebutnya, mereka
melakukan praktik homo seksual dan lesbian.
Allah Swt telah menciptakan manusia dari dua jenis
kelamin, laki-laki dan perempuan, yang kemudian dari
keduanya [setelah melakukan interaksi seksual yang
paling intim] lahirlah keturunan-keturunannya. Jadi
seks bukan hanya melulu menyangkut kenikmatan dan
kesenangan syahwat saja, melainkan memiliki tujuan yang
luhur, yaitu melanjutkan generasi manusia. Karena
tujuan yang luhur itu pula, interaksi seksual harus
sebelumnya diikat dalam ikatan pernikahan antara laki-
laki dan perempuan. Seks dalam agama Islam adalah
sesuatu yang mulia, agung dan suci sehingga tidak bisa
dilakukan serampangan dan tanpa aturan.
Kaum Sodom menerjang batasan-batasan itu. Mereka bukan
hanya melakukan hubungan seksual diluar ikatan
pernikahan namun juga melakukan hubungan seksual dengan
sesama jenis, sebuah perbuatan keji yang belum pernah
dilakukan oleh umat-umat sebelum mereka. Nabi Luth As
sampai harus diutus untuk mengingatkan mereka, agar
meninggalkan perbuatan keji itu. Bahkan dari salah
satu fragmen perjalanan dakwahnya, Nabi Luth As sampai
harus terpaksa menawarkan putri-putrinya agar dinikahi,
daripada kalangan laki-laki kaum Sodom tetap
bergelimang dosa besar tersebut [baca Qs. al-HIjr: 71].
Menawarkan putrinya untuk dinikahi adalah usaha
terakhir Nabi Luth As untuk mengembalikan kaumnya pada
fitrah. Semua usaha yang mungkin telah ia jalankan. Ia
tuntaskan dakwahnya dengan hendak mengorbankan putrinya
[yang tentu perempuan baik-baik] dan perasaannya
sebagai seorang ayah yang begitu menyayangi putrinya,
asal kaumnya bisa kembali ke jalan yang benar.
Sayang, tawaran itupun ditampik. Kaum Sodom tetap
cenderung pada kesenangan yang diharamkan, tetap
cenderung pada sesama jenisnya. Agar penyimpangan
mereka tidak menyebar ke kaum yang lainnya, maupun
generasi setelahnya, maka satu-satunya jalan, adalah
Kaum Sodom harus dihabisi sampai tak bersisa. Tetap
pada kedurhakaan adalah pilihan mereka sendiri, setelah
sekian lama Nabi Luth As mendakwahi mereka. Bahkan
balasan yang didapat Nabi Luth As adalah cacian,
permusuhan dan ancaman pengusiran. Iapun disebut sok
suci karena menentang apa yang Kaum Sodom nikmati.
Silahkan baca kisahnya dalam surah Huud ayat 77 sampai
83. Sangat dramatis, ketika malaikat meminta Nabi Luth
meninggalkan kota lewat tengah malam, karena subuh
harinya, kota itu akan dihancur leburkan. Allah Swt
memilih menurunkan azabnya di waktu subuh, karena saat
itu semua penduduk kota dalam keadaan lalai, yaitu
masih dalam keadaan tertidur, sehingga tidak satupun
dari mereka yang bisa sempat untuk menyelamatkan diri.
Karena memang niatnya turun azab itu, agar mereka semua
musnah tak bersisa, terkubur bersama dosa-dosa mereka.
Nabi Luth As beserta keluarga dan pengikutnya yang
tidak seberapa bergegas meninggalkan kota. Kecuali
istrinya, karena memang memilih tinggal. Tepat diwaktu
subuh, azab Allah Swt pun datang dengan azab yang tidak
pernah menimpa kaum sebelum mereka, tidak juga kaum
setelahnya. Kota Sodom dibalikkan, yang diatas ke
bawah, dan tidak cukup dengan itu. Kota itu juga
diterjang dengan batu yang terbakar dengan bertubi-tubi
dari langit.
Tamatlah kisah kaum Sodom. Hanya menyisakan pelajaran,
betapa syahwat yang diperturutkan tanpa mengindahkan
rambu-rambu Ilahi hanya akan melahirkan kedurhakaan dan
pembangkangan.
Saking kejinya perilaku homo seksual dan lesbian, Allah
Swt sampai harus mengirimkan azab yang sedemikian
dasyhat. Fir’aun yang bahkan mengaku tuhan dan telah
melakukan kerusakan besar di muka bumi dengan
pembunuhan dan kezaliman, ‘hanya’ dimusnahkan melalui
proses tenggelam di laut merah, tidak sampai harus
merasakan terjangan batu api yang bertubi-tubi dari
langit, demikian pula dengan kaum Nabi Nuh As. Abrahah
dan pasukannya, yang hendak menyerang Ka’bah dan
meratakannya dengan tanah, dimusnahkan ‘hanya’ dengan
lontaran kerikil-kerikil yang merusak tubuh mereka,
tidak sampai harus merasakan dasyhatnya gempa dan
bagaimana bumi itu di balik.
Istri Nabi Luth As, bukanlah pelaku dan bagian dari
Kaum Sodom yang berbuat keji itu, namun ia tidak
menunjukkan kebencian dan penolakan terhadap kelakuan
Kaum Sodom yang menyimpang. Bahkan, meski azab sudah
didepan mata, ia tetap memilih tinggal, untuk
menunjukkan konsistensinya membela hak Kaum Sodom untuk
menuntaskan naluriah seksualnya pada sejenisnya. Kalau
sekiranya, ia ada sekarang, mungkin termasuk aktivis
yang mendukung legalisasi pernikahan antar sejenis,
meski tidak termasuk yang mempraktikkannya. Namun, di
sisi Allah Swt, sekedar mendukung pun sudah dimasukkan
dalam golongan yang berbuat keji itu, sehingga istri
Nabi Luth As termasuk yang merasakan pedih dan
dasyhatnya azab Allah Swt.
Sayang, termaktubnya kisah dimusnahkannya kaum Sodom
yang durhaka tanpa sisa didalam kitab-kitab suci agama
Samawi sebagai pelajaran, dengan maksud tidak ada lagi
generasi setelahnya yang melakukan hal keji yang
serupa, oleh sebagian orang menjadi tidak ubahnya
cerita dongeng pengantar tidur. Meski mengimani kisah
tersebut, atas nama pembelaan terhadap HAM mereka
terang-terangan memberikan dukungan terhadap legalisasi
pernikahan sejenis.
Mari melakukan sebagaimana yang dilakukan Nabi Luth As
atas mereka, yaitu meningatkan, mendakwahi, meluruskan,
mencegah dan menyelamatkan mereka yang memiliki
kecenderungan seksual terhadap sesama jenis dan bagi
yang telah terjebak didalamnya yang dilakukan adalah
menyembuhkannya, bukan membiarkannya. Mendukung
legalisasi pernikahan sejenis itu tidak ubahnya
mendorong mereka untuk jatuh lebih dalam pada jurang
kesalahan. Membiarkan orang lain tetap pada
penyimpangannya, bukanlah pengejewantahan dari cinta
melainkan ketidakpedulian.
Sebaliknya pula, sebelum melakukan serangan verbal yang
penuh kebencian, mengumpat dan memaki para pelaku
homoseksual maupun yang mendukungnya, dan melecehkan
mereka dengan sebutan-sebutan yang keji harusnya
bertanya, apa usaha yang telah dilakukan untuk
menyelamatkan dan meluruskan mereka telah maksimal?.
Ataukah umpatan itu menunjukkan ketidakmampuan
meneladani Nabi yang mendakwahi mereka sampai puluhan
tahun lamanya?.
Ketika membaca ayat ini, saya merasakan ada kepedihan
dan amarah yang tertahan didalamnya ketika terlontar
dari lisan suci Nabi Luth As, “Hai kaumku, inilah
puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka
bertakwalah kepada Allah … Tidak adakah di antaramu
seorang yang berakal?" [Qs. Huud: 78]. Tentu sangat
berat mengucapkan itu. Tapi tidak ada lagi jalan lain
bagi Nabi Luth As kala itu. Itu adalah upayanya yang
paling penghabisan, menawarkan putrinya untuk dinikahi
laki-laki keji agar mau meninggalkan perbuatan keji
itu.
Mari bertanya, apa yang telah kita lakukan untuk
saudara kita, yang terjebak pada dosa besar ini?. Apa
pengorbananmu untuk mereka sebelum kau menjatuhkan
vonis ancaman mati?. Perlu diketahui, tidak sedikit
dari mereka yang terjebak pada ‘kenikmatan’ itu bukan
karena keinginannya dari awal, tapi juga menjadi korban
pelecehan seksual di masa lalunya.
Sama dengan jasad Fir’aun yang dibiarkan utuh oleh
Allah Swt, sejumlah jasad dari penduduk kota Pompeii
[yang juga melakukan penyimpangan seksual sebagaimana
Kaum Sodom] pun tetap awet sampai saat ini, untuk
menjadi pelajaran bagi umat-umat setelahnya.
Tidak jugakah kita mau belajar?.