Kenalilah Tuhanmu
Salah satu prinsip yang memiliki akar terpenting dalam
pandangan dunia (word view), pengenalan manusia,
ideologi, dan wacana filsafat adalah pengenalan
terhadap Sumber Eksistensi dan Sang Pencipta.
Karena pengetahuan tentang Sang Pencipta sebagai
pengetahuan tertinggi maka pandangan dunia yang tidak
didasarkan padanya merupakan sebuah pandangan yang
tidak rasional dan rendah. Korelasi-korelasi yang
terdapat pada bagian-bagian partikular dari sistem
mekanisme universal alam semesta yang dipandang terjadi
secara kebetulan dan tanpa tujuan adalah bersumber dari
suatu pandangan bahwa maujud-maujud alam tidak memiliki
tujuan penciptaan, hal ini berkonsekuensi pada
pengingkaran Sang Pencipta. Walaupun ada sebagian
pemikir yang memandang bahwa Tuhan pernah ada secara
azali dan Dia lah yang menciptkan alam semesta ini
beserta sistemnya yang maha sempurna, namun ragu akan
keberadaan Tuhan yang bersifat abadi. Nah, kelompok
pemikir seperti ini tetap kita golongkan sebagai
pengingkar Tuhan.
Manusia yang meyakini keberadaan Sang Pencipta dengan
orang yang tidak meyakininya adalah dua hakikat yang
berbeda secara fundamental. Dari sinilah sehingga
pengenalan terhadap Sang Pencipta memiliki peran yang
sangat signifikan dalam pengenalan dan pertumbuhan
kesempurnaan manusia. Pengenalan kepada Sang Pencipta
adalah inti dan substansi pembentukan hakikat manusia.
Demikian juga, pembahasan tentang ketuhanan memiliki
saham yang sangat besar dalam pembahasan epistemologi.
Gagasan-gagasan para pemikir dan filosof Ilahi dalam
pembahasan epistemologi sangat berbeda dengan
pendapat-pendapat kaum ateis, bahkan kadangkala sangat
kontradiktif.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pembahasan secara
cermat dan mendetail terhadap berbagai pikiran dan
pendapat tentang ketuhanan serta menghindarkan diri
dari segala fanatisme dan taklid-buta serta sebisa
mungkin melakukan observasi atasnya, karena menganggap
remeh persoalan ini akan berujung pada kelemahan
keimanan, merusak pilar keagungan manusia, dan
menghancurkan kemuliaan akhlak manusia.
Disamping pengkajian filosofis tentang ketuhanan adalah
sesuatu yang sangat urgen dan fundamental, seluruh
agama Ilahi secara nyata memberikan perhatiannya
terhadap persoalan pengenalan kepada Tuhan dan
mengarahkan perhatian manusia kepada realitas bahwa
Tuhan merupakan sumber dari segala eksistensi, penyebab
seluruh kebaikan, dan seluruh yang terjadi di alam ini
merupakan kehendak-Nya. Agama Ilahi hadir untuk
membangunkan fitrah-fitrah manusia, menekankan
argumentasi-argumentasi akal atas fenomena ontologi,
epistemologi, kosmologi, dan eskatologi, serta
memberikan nasehat-nasehat kepada umat manusia untuk
lebih mendekatkan diri kepada Sumber Hakikat.
Prinsip utama agama adalah keyakinan kepada eksistensi
Tuhan yang menciptakan segala realitas. Perbedaan
mendasar antara pandangan dunia Ilahi dan pandangan
dunia Materialisme terletak pada ada atau tidaknya
keyakinan kepada Tuhan. Maka dari itu, langkah pertama
yang harus dilakukan oleh seorang pencari kebenaran
menegaskan eksistensi Tuhan.
Untuk menegaskan eksistensi Tuhan itu, langkah umum
yang harus dilakukan adalah dengan pendekatan akal dan
argumen-argumen rasional, karena jalan ini diterima
oleh semua manusia. Semua manusia memiliki akal dan
menggunakannya dalam rutinitas kehidupannya. Tidak satu
pun manusia yang mengingkari akal dan fungsinya.
Untuk mengenal Tuhan, terdapat dua bentuk pengetahuan
yaitu pengetahuan hudhuri dan pengetahuan hushuli.
Pengetahuan hudhuri adalah mengenal Tuhan dengan hati,
yakni tanpa perantara pemahaman yang bersifat
konseptual di pikiran. Orang yang memiliki pengetahuan
hudhuri mengenai Allah, tidak membutuhkan argumentasi
rasional.
Namun, pengetahuan hudhuri tidak dialami oleh semua
manusia tanpa sebelumnya membentuk jiwanya melalui
perjalanan spiritual yang islami. Adapun tingkatan
terendah dari pengetahuan ini, walaupun dapat dicapai
oleh semua orang, namun karena tidak dilandasi oleh
kesadaran rasional maka tidaklah cukup untuk membentuk
pandangan dunia yang universal.
Mengenal Tuhan melalui pengetahuan hushuli adalah
berkaitan dengan konsep-konsep universal yang terbentuk
dalam pikiran manusia. Semua pengetahuan yang
didapatkan manusia dari kajian rasional dan argumentasi
filosofis tergolong ke dalam pengetahuan hushuli ini.
Pengetahuan ini pada hakikatnya merupakan dasar bagi
lahirnya pengetahuan hudhuri.
Disamping dua bentuk pengetahuan di atas, terdapat
pengetahuan lain yang umum digunakan dalam pembahasan
teologis, yakni pengetahuan fitriah. Untuk mengetahui
bentuk pengetahuan ini, pertama-tama kita mesti
mengenal kata fitrah. Kata ini berasal dari bahasa Arab
yang berarti “sebuah bentuk penciptaan”. Sesuatu itu
dikatakan bersifat fitrah ketika hakikat penciptaan
suatu realitas menuntut akan hal itu.
Tiga sifat pada perkara-perkara fitriah:
1. Perkara-perkara fitriah bagi makhluk-makhluk satu
spesis adalah sama, walaupun kualitasnya berbeda, ada
yang lemah dan kuat;
2. Perkara-perkara fitriah bersifat tetap dalam diri
manusia dan tidak mengalami perubahan dalam rentangan
zaman;
3. Perkara-perkara fitriah itu adalah bagian dari
penciptaan makhluk, karena itu itidak diperoleh melalui
proses pembelajaran, namun diperlukan bimbingan untuk
memperkuat dan mengembangkannya.
Perkara-perkara fitriah yang ada pada manusia terbagi
dua macam:
1. Pengetahuan-pengetahuan fitriah yang dimiliki oleh
setiap orang yang tanpa memerlukan proses belajar;
2. Kecenderungan-kecenderungan fitriah.
Mayoritas pemikir agama memandang pengetahuan tentang
Tuhan (ma’rifatullah) sebagai pengetahuan fitriah. Dan
kecenderungan kepada Tuhan, menghamba kepada-Nya dan
kesadaran beragama yang ada pada setiap manusia sebagai
kecenderungan fitriah.
Perlu diperhatikan bahwa pada setiap individu terdapat
derajat pengenalan fitriah kepada Tuhan. Oleh karena
itu, mungkin setiap orang akan meyakini adanya Allah
hanya dengan merenung sejenak atau dengan bernalar
secara sederhana. Kemudian ia meningkatkan dan
memperkokoh pengenalan kepada-Nya sampai pada tingkat
tersingkap mata batin dan musyahadah. Namun, potensi-
potensi fitriah pada orang biasa tidak sebegitu kuat
disadari. Maka dari itu, mereka memerlukan argumentasi
rasional dan pembahasan rasional untuk dapat mengenal
Tuhan secara pasti dan sadar. Disamping itu,
argumentasi rasional sangat urgen bagi orang-orang yang
sudah tertutup mata hatinya ataukah orang-orang yang
sudah terjebak dalam pemikiran materialisme atau isme-
isme lain yang anti ketuhanan.
Tentang Pandangan Dunia
Pandangan dunia manusia terbagi empat:
1. Pandangan dunia empiris, yaitu pandangan yang
hanya berpijak pada data inderawi, fisikal, dan
empiris;
2. Pandangan dunia filosofis, yaitu pandangan yang
bersandar pada analisis rasional dan penalaran akal;
3. Pandangan dunia religius, yaitu pandangan yang
diperoleh lewat kepercayaan kepada para pemimpin agama
dan pada ucapan-ucapan mereka;
4. Pandangan dunia irfani (gnostik),yaitu pandangan
yang dicapai melalui alur kasyf (penyingkapan batin)
dan syuhudi (penyaksian batin).
Wilayah pengetahuan empirik hanya terbatas pada
fenomena-fenomena alam materi, maka dari itu tidak
mungkin bisa mengetahui secara menyeruluh dasar-dasar
penciptaan alam semesta dan menyelesaikan berbagai
persoalan yang bersangkutannya. Persoalan-persoalan
fundamentasl alam semesta di luar jangkauan ilmu-ilmu
empiris, karenanya, ilmu empiris manapun tidak bisa
menolaknya atau menegaskannya. Misalnya, kita tidak
mungkin dapat membuktikan keberadaan Tuhan melalui
observasi di laboratorium. Indra lahiriah tidak dapat
menilai ada tiadanya sesuatu di luar alam materi.
Pada sisi yang lain, berbagai perkara-perkara hudhuri
dan syuhudi yang ingin dijabarkan dengan kata-kata dan
konsep mesti memerlukan kemampuan nalar tertentu yang
tidak dapat dicapai kecuali dengan dasar-dasar analisis
rasional dan filosofis.
Lagi pula, sering terjadi kekeliruan men-syuhud atau
“menyaksikan”, gambaran-gambaran khayalan dipandang
sebagai hakikat realitas .
Seseorang tidak mungkin mencapai berbagai hakikat batin
kecuali setelah melakukan sair–suluk irfani (menapaki
jalan spiritual) bertahun-tahun lamanya. Sementara
persoalan-persoalan tentang Sang Pencipta dan
keberadaan alam semesta ini adalah hal yang urgen dan
harus segera ditegaskan demi menetapkan langkah awal
dalam proses keberimanan seseorang. Dari satu sisi,
sair suluk irfani itu adalah sesuatu yang bersifat
praktis bukan teoritis, yakni sebelum memasuki sair
suluk itu semestinya seseorang harus meyakini secara
teoritis tujuan sair suluk-nya, yakni wujud Tuhan itu
sendiri dan pengetahuan tentang-Nya. Nah, penetapan
teoritis wujud Tuhan hanya dapat dilakukan secara
maksimal dengan analisis rasional dan observasi akal.
Kesimpulannya, satu-satunya cara bagi seseorang yang
berupaya mencari solusi terhadap masalah-masalah
substansial pandangan dunia dan pengetahuan yang benar
tentang Sang Pencipta adalah jalur logika dan metode
rasional. Maka dari itu, pandangan dunia yang hakiki
adalah pandangan dunia filosofis.
Mustahil Mengenal Hakikat Tuhan
Hakikat zat Tuhan tidak bisa dikenali. Tak
terjangkaunya masalah ini oleh pikiran manusia bisa
digambarkan sebagai berikut: karena Tuhan merupakan
sebuah hakikat tak terbatas yang dalam
ketakterbatasan-Nya pun tak terbatas. Dia adalah Esa,
tanpa ada yang serupa dengan-Nya, dan tanpa ada yang
mampu menandingi-Nya, maka:
1. Hakikat zat yang tak terbatas ini sama sekali tidak
akan bisa ditangkap oleh pikiran manusia yang terbatas
dan tak akan bisa berada dalam lingkup pikiran
seseorang, karena apa yang ada dalam lingkup pikiran
dan bisa dikuasai oleh akal adalah terbatas; dan segala
sesuatu yang digapai – yang selain Tuhan – adalah
terbatas;
2. Dalil ini bisa dipaparkan sebagai berikut bahwa tak
bisa diragukan lagi bahwa manusia adalah makhluk dan
akibat Tuhan, dan suatu akibat tidak akan pernah bisa
melingkupi sebabnya;
3. Demikian juga bisa dipaparkan dengan metode ketiga,
yaitu tidak ada sebuah maujudpun di alam ini yang mampu
mengetahui hakikat zat Tuhan, melainkan seluruh
pengenalan yang dimiliki oleh manusia hanya terbatas
pada aksiden-aksiden dan sifat-sifat benda. Apabila
kita mendefinisikan air, maka kita akan mengatakan
bahwa air adalah sebuah benda cair tak berwarna dan tak
berasa yang memiliki massa tertentu. Pada prinsipnya,
seluruh yang kita utarakan berkaitan dengan benda
adalah penjelasan mengenai sifat-sifatnya, akan tetapi
tentang apa substansi dan hakikat air itu sendiri
hingga sekarang ini belum terlontarkan. Demikian juga
apabila kita menjelaskan air sebagai sesuatu benda cair
yang terbentuk dari dua unsur tertentu (yaitu oksigen
dan hidrogen), maka permasalahan yang sama akan kita
temukan pada kedua unsur tersebut dimana kitapun harus
mendefinisikan tentang kekhususan, aksiden, dan sifat-
sifat yang dimiliki oleh kedua unsur tersebut.
Meskipun makna dan pengertian ‘wujud’, ‘keberadaan’,
dan ‘eksistensi’ adalah sangatlah jelas dan pemahaman
tentang ‘wujud’ itu sendiri tidak membutuhkan satupun
penjelasan semantik, akan tetapi mengenai hakikat zat
Tuhan tidaklah demikian, karena zat Tuhan benar-benar
berada di luar jangkauan akal-pikiran manusia. Ilmu
manusia terhadap “hakikat-hakikat” alam adalah tidak
pasti. Jadi, apabila hakikat maujud-maujud alam ini
tidak bisa ditangkap oleh pikiran dan tidak berada
dalam kewenangan akal, lantas bagaimana hakikat
Pencipta alam ini apakah bisa dipahami oleh akal dan
diketahui?
Perlu ditegaskan bahwa pengenalan akal dan filsafat
kepada Sang Pencipta dan maujud-maujud alam semesta
adalah bersifat universal dan tidak menyentuh wilayah
hakikat zat. Walaupun akal tidak dapat menjangkau
hakikat zat segala sesuatu, namun pengenalannya yang
bersifat universal itu sangatlah berarti dan merupakan
langkah awal bagi manusia untuk melakukan perjalanan
spiritual dan menggapai puncak kesempurnaannya. Tanpa
pengenalan awal ini mustahil manusia mampu meniti jalan
spiritual secara pasti dan berkelanjutan. Agamapun
tidak berada dalam koridor memberikan pengenalan hakiki
tentang zat Tuhan, walaupun agama menjelaskan tentang
sifat-sifat Ilahi pada batas-batas tertentu secara
partikular, namun manusia tetap tidak dapat menjangkau
dan meliputinya secara hakiki. Karena pada dasarnya,
pengenalan hakiki adalah meliputi zat dan sifat sesuatu
secara utuh dan menyeluruh dengan tidak meninggalkan
sedikitpun keraguan tentangnya.
Argumen Rasional Keberadaan Tuhan
Argumentasi terbentuk dari dua premis yang memiliki
korelasi khusus dan melahirkan sebuah konklusi. Apabila
kita mengatakan “Socrates adalah manusia” dan “Setiap
manusia pasti akan mati”, maka kesimpulannya pasti
adalah, “Socrates pasti akan mati”. Sekarang apabila
kita mengetahui bahwa Tuhan adalah Pencipta manusia,
sementara dalam hal ini manusia dan kedua premis
argumentasi beserta korelasi antara keduanya dan
kesimpulan yang dihasilkannya pada dasarnya adalah
“akibat-akibat” dari Tuhan itu sendiri. Dengan
demikian, hakikat argumentasi yang tidak lain adalah
‘hubungan’ itu sendiri kepada Tuhan, tidak akan mampu
secara mandiri menjadi bukti dan dalil sempurna atas
hakikat zat Tuhan. Hasil maksimal yang dicapai dari
bentuk argumen seperti ini adalah keberadaan Tuhan
secara global.
Pengenalan hakiki tentang zat Tuhan adalah sebagaimana
seseorang yang berada di dalam matahari dan kemudian
melihat terangnya alam, baginya, zat matahari adalah
dalil bagi munculnya sinar yang terang itu, bukan
sebaliknya, terangnya alam yang menjadi dalil atas
keberadaan matahari.
Nah, pengenalan dalam wilayah hakiki ini memang tidak
berada dalam tanggung jawab filsafat dan wewenang akal,
tapi berhubungan dengan wilayah pengetahuan irfani.
Mula Sadra berkata, “Dia tidak membutuhkan dalil,
melainkan Dia adalah dalil atas segala sesuatu”.[1]
Apa yang diungkapkan oleh para filosof dan teolog dalam
bentuk argumentasi atas pembuktian wujud Tuhan, pada
hakikatnya sebagai bentuk peringatan atas kelalaian-
kelalaian manusia dan untuk membangunkan manusia dari
“tidur”nya.
Argumentasi-argumentasi filosofis dan teologis
disamping hanya sebagai bentuk peringatan bagi manusia
juga untuk menjawab berbagai keraguan-keraguan
filosofis dan kritikan-kritikan akal yang diajukan oleh
manusia tentang eksistensi Tuhan, misalnya berbagai
sanggahan yang diajukan oleh kaum Ateisme seputar
masalah-masalah ontologi. Dalam hal ini, argumentasi
rasional dan filosofis tentang ketuhanan tetap
bermanfaat bagi kehidupan keberagamaan manusia,
meskipun masing-masing argumentasi yang ada itu
memiliki kelemahan dan kekuatan yang berbeda.
Dari seluruh argumentasi yang ada, argumentasi yang
paling sempurna adalah yang berangkat dari pengenalan
“sebab” kepada “akibat”nya dan kalimat yang
menghubungkan (middle term) dua premis argumen (minor
dan mayor) adalah sebab hakiki bagi premis mayor,
sebagaimana ketika kita mengatakan, “Darah orang ini
terinfeksi, dan setiap orang yang memiliki darah
terinfeksi akan memiliki suhu badan yang sangat tinggi,
jadi orang ini memiliki suhu badan yang sangat tinggi”,
dimana middle term-nya adalah “darahnya terinfeksi”
yang juga merupakan sebab hakiki untuk premis mayor
yakni “memiliki suhu badan tinggi”. Argumentasi semacam
ini dinamakan a priori demonstration (burhan limmy,
argumentasi dari sebab ke akibat). Akan tetapi,
argumentasi yang berangkat dari “akibat” ke “sebab”
yang disebut dengan posterior demonstration (burhan
inny) menduduki tingkatan yang lebih rendah,
sebagaimana kalau kita ingin membuktikan orang yang
pernah melewati suatu jalan dengan melihat bekas tapak
kaki yang ditinggalkannya.
Sebenarnya bisa dikatakan bahwa kita belum sampai pada
argumentasi yang sempurna, karena ketika melihat suatu
akibat dan menyifatinya sebagai bentuk keakibatan
lantas hal itu ditempatkan sebagai dalil, sementara
belum dibuktikan bahwa hal itu benar-benar suatu akibat
dari sebab tertentu, dan secara langsung ditetapkan
keberadaan sebab dari akibat tersebut. Bagaimana hal
ini bisa diyakini bahwa akibat itu secara hakiki adalah
akibat dari sebab tertentu? Dengan demikian, sekedar
penyipatannya sebagai suatu akibat tidak bisa dijadikan
dalil untuk membuktikan suatu sebab tertentu.
Selama kita tidak menemukan sebab hakikinya mustahil
diketahui akibatnya.
Tentunya posterior demonstration ini memiliki bagian
lain yang mirip dengan a priori demonstration[2], yakni
berangkat dari satu keniscayaan mengarah pada
keniscayaan yang lain, seperti ketika kita mengatakan,
“Alam adalah realitas yang mengalami perubahan (dari
potensi ke aktual), dan setiap realitas yang berubag
adalah baru-tercipta (hadits, yakni pernah tiada
kemudian mengada). Jadi, “alam adalah baru-tercipta
(hadits)”. Dalam argumentasi ini, perubahan dan
keterciptaan pada dasarnya merupakan dua hal yang
saling meniscayakan, yakni perubahan berkonsekuensi
atau meniscayakan suatu keterciptaan. Argumentasi ini,
meskipun tidak sekuat a priori demonstration, akan
tetapi dalam filsafat, ilmu logika, fisika, kimia, dan
ilmu matematika sangatlah penting dan bermanfaat.
Tentunya sebagian dari argumentasi yang telah diuraikan
untuk membuktikan eksisitensi Tuhan adalah argumentasi
yang mirip dengan a priori demonstration, sebagaimana
argumentasi wujub dan imkan yang sangat penting dan
mempunyai peran khas dalam mengkontruksi asas-asas
makrifat, akan tetapi dalam argumentasi shiddiqin akan
mengantarkan kita dari suatu ‘keberadaan’ kepada
‘keberadaan murni’. Dalam argumentasi ini, yang ada
hanyalah kemutlakan wujud. Terutama penjabarannya
Allamah Thabathabai yang serupa dengan syair yang
berbunyi: Matahari adalah dalil bagi wujud matahari itu
sendiri.
Referensi:
[1] . Rujuklah: kitab Asfar, jilid 6.
[2] . Rujuklah: kitab Asfar, jilid 6, hal. 177.