Tauhid dan Monoteisme
Salah satu faktor utama yang melahirkan pandangan Panteisme dan keyakinan pada banyaknya Tuhan adalah keragaman maujud dan kejamakan realitas di langit dan bumi. Mereka berkeyakinan bahwa setiap maujud dan realitas berada di bawah pengaturan Tuhan tertentu. Misalnya, seluruh kebaikan berasal dari Tuhan Kebaikan, dan seluruh keburukan bersumber dari Tuhan Keburukan. Mereka percaya bahwa alam semesta ini memiliki dua atau lebih pengatur dan penciptanya.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah adanya tujuan para penguasa zalim, sombong, dan tamak yang memanfaatkan keyakinan masyarakat awam untuk memenuhi ambisi mereka, mengokohkan dan memperluas kekuasaan mereka. Untuk hal inilah, mereka menebarkan keyakinan-keyakinan keliru dengan menegaskan bahwa kekuasan alam makhluk dan pengaturan alam diberikan kepada mereka, kemudian menjadikan raja-raja zalim sebagai wakil-wakil Tuhan dan disembah sebagai bagian dari upacara religius. Realitas sejarah ini bisa disaksikan pada raja-raja di Cina, India, Iran, Mesir, dan negeri-negeri yang lain.
Kepercayaan-kepercayaan syirik itu sudah tumbuh di tengah umat manusia dengan faktor yang beragam. Lantas, keyakinan-keyakinan itu tersebar luas sehingga menjadi penghalang berat bagi proses kesempurnaan hakiki umat manusia yang proses ini hanya dapat dicapai melalui ajaran Ilahi, keesaan Tuhan, Monoteisme, dan tauhid. Dalam sejarah, para nabi dan rasul serta wali-wali Ilahi mengerahkan segenap upayanya untuk memberantas syirik dan ajaran sesat lainnya.
Tauhid dalam Dzat Tuhan (Tauhid Dzati)
Keyakinan dan pandangan akan banyaknya Tuhan (Panteisme) bagi alam semesta ini tidak keluar dari asumsi berikut ini:
1. Kita mengharuskan bahwa setiap realitas dan maujud di alam ini sebagai akibat atau diciptakan oleh seluruh Tuhan itu.
2. Setiap bagian atau kumpulan tertentu di alam ini adalah akibat dan diciptakan oleh Tuhan-Tuhan yang berbeda.
3. Segala maujud di alam diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, sementarta Tuhan-Tuhan yang lain hanya berperan sebagai pengatur.
Asumsi bahwa setiap maujud di alam memiliki banyak Tuhan sebagai pencipta adalah hal yang mustahil, karena kepercayaan ini berarti memestikan terdapat dua Tuhan atau lebih sebagai pencipta. Yakni, setiap Tuhan itu menciptakan setiap maujud di alam. Konsekuensinya, setiap maujud itu memiliki Tuhan-Tuhan sebanyak bilangan maujud yang diasumsikan, sementara setiap maujud dari aspek “wujudnya itu sendiri” (dengan tidak melihat bentuk dan sifat-sifatnya yang berbeda) hanya memiliki satu wujud saja (yakni kesatuan dan wujud dan keragaman dalam maujud). Karena kalau tidak demikian, maka setiap hakikat maujud tidak lagi tunggal. Misalnya manusia dan hewan, kedua maujud ini berbeda dari aspek bentuk, esensi, dan sifat-sifatnya, namun keduanya satu dari dimensi hakikatnya yakni wujudnya.
Adapun asumsi bahwa setiap Tuhan menciptakan satu makhluk atau sekelompok makhluk tertentu, berarti bahwa masing-masing makhluk itu bergantung hanya kepada penciptanya saja dan tidak butuh kepada maujud yang lain, kecuali dalam hal-hal yang kebutuhannya itu berakhir kepada penciptanya. Dan ini menegaskan adanya kebutuhan yang khas bagi makhluk-makhluknya (karena penciptnya berbeda). Dengan kata lain, asumsi kedua itu mengharuskan pula adanya sistem yang beragam di alam, dan setiap sistem ini mandiri dan terpisah dari yang lain, sementara kita saksikan bahwa di alam ini hanya memiliki satu sistem. Sebagaimana ada korelasi di antara makhluk-makhluk di alam pada satu zaman yang setiap mereka perlu kepada yang lain. Kenyataan ini menegaskkan bahwa ada hubungan di antara maujud-maujud sebelumnya dengan makhluk-makhluk yang ada sekarang ini. Demikian pula, antara maujud-maujud yang ada di zaman ini berhubungan dengan makhluk-makhluk pada zaman yang akan datang, dan setiap realitas yang lalu sebagai prasyarat bagi kehadiran maujud berikutnya. Dengan begitu, alam yang terdiri dari bagian-bagian ini saling berkaitan satu sama lain, tidak mandiri, dan diatur dalam satu sistem. Oleh karena itu, kesatuan sistem ini mustahil sebagai akibat dari beberapa sebab atau beberapa Tuhan.
Begitu pula tidaklah benar apabila diasumsikan bahwa pencipta segala makhluk hanya satu Tuhan, sedangkan “Tuhan-Tuhan” lain bertugas mengatur alam. Hal ini karena seluruh hakikat makhluk dan perbuatannya bergantung mutlak kepada sebab yang mengadakannya (yakni kepada Tuhan Yang Maha Esa) dan tidak ada sedikitpun kemandirian maujud lain (Tuhan-Tuhan lain) untuk berpengaruh dalam urusan makhluk, selain interaksi antara sesama akibat-akibat dari satu sebab; yang tentunya seluruh akibat ini sepenuhnya berpijak kepada Sebab Pengada (Tuhan Yang Maha Esa) mereka, tidak keluar dari wilayah kekuasaan-Nya, dan satu pun tidak akan terjadi kecuali dengan izin-Nya. Adalah benar kalau dikatakan bahwa “Tuhan-Tuhan” lain itu adalah perpanjangan dari Tuhan Yang Maha Esa, dengan demikian, “Tuhan-Tuhan” lain itu pada hakikatnya bukan Tuhan, namun makhluk-makhluk khusus yang diberikan wewenang dalam pengaturan dan pengurusan makhluk-makhluk lainnya. Dalam istilah Islam, makhluk-makhluk khusus ini dinamakan malaikat, nabi, imam, rasul, dan wali. Sebagaimana firman-Nya, “Dan (malaikat-malaikat) yang mengatur suatu urusan.” (Qs. An-Nazi’at: 5).
Begitu pula tentang adanya wilayah takwiniyah (kekuasaan cipta) pada sebagian hamba yang saleh, hal ini tidak menafikan keimanan terhadap keesaan Tuhan. Wilayah ini tidak bermakna penciptaan yang bersifat mandiri. Ataukah tentang wilayah tasyri’iyah (kekuasaan hukum) pada nabi dan rasul, hal ini juga tidak menafikan pengaturan mutlak Tuhan Yang Maha Tunggal.
Zat Tuhan merupakan satu-satunya hakikat yang keesaan dan kemanunggalan-Nya tidak sebagaimana kemanunggalan yang ada pada seluruh maujud, karena kemanunggalan yang ada pada masing-masing maujud alam masih menerima suatu asumsi atas keberadaan realitas lain secara potensial yang serupa dengan masing-masing maujud tersebut. Sebagai contoh, dalam tata surya, hanya ada satu matahari demikian juga hanya ada satu planet bumi, akan tetapi apabila kita asumsikan bahwa suatu hari nanti terdapat matahari lain dan bumi lain, maka hal ini bisa diterima dan dimungkinkan oleh akal serta tidaklah mustahil, meskipun saat ini matahari dan bumi lain belum terwujud secara aktual.
Akan tetapi, mengenai wujud Tuhan adalah mustahil diasumsikan keberadaan wujud lain yang bernama Tuhan. Wujud Dia adalah satu-satunya yang tidak akan pernah memiliki wujud kedua, karena Dia adalah sebuah wujud yang tak terbatas, dan di alam eksternal keberadaan dua wujud yang tak terbatas adalah mustahil, karena jika ada dua wujud yang tak terbatas di alam eksternal ini maka wujud yang dikatakan tak terbatas itu pada hakikatnya adalah terbatas (yakni dibatasi oleh wujud yang lain).
Jadi zat Tuhan yang tak terbatas hanya ada satu dimana keberadaan wujud selain-Nya sama sekali tidak bisa kita bayangkan, karena jika kita memisalkan dan menggambarkan secara cermat keberadaan suatu realitas tak terbatas maka kita akan menegaskan bahwa mustahil kita
mengumpamakan adanya realitas lain. Apabila dalam tauhid zat kita sepakat dengan keesaan Tuhan, hal ini tidaklah berarti bahwa Dia adalah satu dalam kuantitas bilangan, karena satu dalam bilangan memungkinkan adanya dua, tiga, empat, dan seterusnya. Dia adalah Esa dan Tunggal yang memustahilkan kehadiran realitas yang lain.
Wujud Tuhan tidak terkomposisi dari enam hal dibawah ini:
1. Tidak terkomposisi dari unsur-unsur kuantitas;
2. Tidak terkomposisi dari unsur-unsur alam-pikiran (spesis dan diferensia);
3. Tidak terkomposisi dari unsur-unsur benda eksternal (materi dan bentuk);
4. Tidak terkomposisi dari wujud dan tiada;
5. Tidak terkomposisi dari wujud dan kuiditas;
6. Tidak terkomposisi dari substansi dan aksiden.
Secara leksikal, kata tauhid berarti “menganggap suatu adalah satu”. Menurut istilah kaum filsuf, teolog, ulama akhlak, dan ahli irfan, tauhid digunakan dalam arti yang beragam. Masing-masing arti terfokus pada keesaan Tuhan dari sisi tertentu.
Di sini kami akan menyebutkan beberapa istilah dan arti yang lebih popular:
1. Negasi terhadap Keberbilangan
Istilah pertama yang umum dari tauhid adalah meyakini keesaan Allah, menafikan keberbilangan dari dzat-Nya. Arti ini merupakan lawan dari syirik yang nyata, yaitu keyakinan pada dua Tuhan atau lebih; dengan pengertian bahwa masing-masing Tuhan itu memiliki wujud mandiri dan terpisah dari yang lain.
2. Negasi terhadap Kebersusunan
Ini adalah istilah kedua dari Tauhid. Yakni meyakini keesaan dzat Tuhan, dan ketiadaan rangkapan pada dzat-Nya dari bagian-bagian yang aktual (bil fi’li) maupun potensial (bil quwwah).
Tauhid dalam Sifat Tuhan (Tauhid Sifati)
Di antara pembahasan tauhid yang sangat mendalam adalah tauhid dalam sifat Tuhan. Dikatakan bahwa jumlah sifat Tuhan sebanyak jumlah makhluk-makhluk-Nya, yaitu setiap makhluk memiliki karakteristik khusus dan tercipta berdasarkan karakteristik khusus itu. Dalam Irfan dikatakan bahwa setiap nama dan sifat Tuhan memiliki manifestasinya. Sifat Tuhan tidak terbatas karena dzat-Nya tidak terbatas. Dari dimensi lain, makhluk adalah manifestasi sifat-sifat Ilahi, karena itu kuantitas makhluk pun tidak terbatas.
Akan tetapi, kita harus memperhatikan salah satu hadits Imam Ali As yang bersabda, “Kesempurnaan tauhid adalah tidak memandang sifat-sifat Tuhan sebagaimana sifat-sifat ciptaan-Nya, karena pada makhluk, sifat adalah selain yang tersifati (baca dzat) dan yang tersifati adalah selain sifat“.[1] Sifat Tuhan tidak “menempel” pada ‘yang tersifati’ (baca: dzat Tuhan) dan dzat Tuhan bukan tempat “menempel” sesuatu (baca: sifat). Dzat dan sifat Tuhan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sifat-sifat yang mesti ada pada Tuhan pasti ada secara azali dan bersifat abadi, hal ini berbeda dengan sifat sempurna yang ada pada manusia. Manusia di awal kelahirannya tidak memiliki sifat yang sempurna. Sifat sempurna yang jika ada padanya pastilah bersumber dari ikhtiar dan upaya keras manusia, misalnya manusia untuk memiliki sifat berilmu haruslah berupaya menuntut ilmu.
Tuhan dalam al-Quran dipuji dengan begitu banyak sifat-sifat, seperti Maha Mengetahui, Maha Agung, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dan sifat-sifat lainnya, dan kita mengenal-Nya dari sifat-sifat ini, akan tetapi tentunya kita harus mengetahui bahwa Tuhan tidaklah seperti kita yang telah berilmu setelah bodoh. Jika Tuhan memiliki sifat Yang Maha Penyayang itu tidak berarti bahwa Dia sebelumnya tidak memiliki sifat itu dan kemudian karena suatu kondisi aksi-reaksi dan pengaruh eksternal tertentu Dia memilikinya. Letak kesulitan manusia paling besar dalam mengenal Tuhan karena ia tidak bisa menggambarkannya dengan benar tanpa melihat dan memahaminya dengan panca indera.
“Tauhid Sifati” adalah sifat-sifat Tuhan manunggal dengan dzat-Nya, sifat-sifat-Nya menyatu dengan dzat-Nya, dan menafikan sifat-sifat Tuhan mandiri dari dzat-Nya.
Dalil Tauhid Sifati
Seandainya masing-masing sifat Allah adalah realitas yang mandiri, persoalannya tidak keluar dari beberapa hal berikut ini:
1. Kita meng-asumsikan bahwa realitas sifat-sifat itu berada di dalam dzat Allah. Asumsi semacam ini mengharuskan tersusunnya dzat Allah dari bagian-bagian. Hal ini adalah suatu kemustahilan.
2. Kita mengasumsikan bahwa sifat Allah berada di luar dzat-Nya. Di sini, kita bisa andaikan sifat ini ke dalam dua hal: Sifat ini sebagai wajibul-wujud yang tidak butuh kepada pencipta, atau sebagai mumkinul-wujud yang diciptakan oleh Allah swt. Bila kita ambil yang pertama, bahwa sifat-sifat Allah adalah wajibul-wujud, berarti bahwa dzat Allah itu berbilang, dan ini adalah syirik yang nyata. Atau kita asumsikan sifatnya sebagai mumkinul-wujud, ini justru memestikan bahwa dzat Ilahi –dalam keadaan tidak memiliki sifat-sifat ini –menciptakan sifat-sifat tersebut kemudian Dia membutuhkan sifat-sifat yang dibuat-Nya sendiri.
Misalnya, ketika secara substansial dzat Allah tidak memiliki sifat hayat (hidup), kemudian Dia menciptakan sesuatu maujud yang dinamakan hayat (hidup), setelah itu barulah Dia tersifati dengan sifat hayat ini. Begitu juga dengan sifat Ilmu, kuasa dan lainnya. Padahal, mustahil apabila sebab pengada itu secara substansial tidak memiliki kesempurnaan yang ada pada makhluk-Nya. Lebih ganjil lagi, jika kita meya-kini bahwa Pencipta itu memperoleh sifat hidup, ilmu, dan kuasa dari makhluk-makhluk-Nya, lalu Dia disifati dengan seluruh sifat kesempurnaan berkat makhluk-nya tersebut.
Dengan gugurnya asumsi-asumsi di atas, tampak jelas bahwa masing-masing sifat Ilahi itu bukanlah realitas yang mandiri dan terpisah dari dzat-Nya. Pada hakikatnya, semua sifat itu merupakan konsep-konsep yang dicerap oleh akal dari satu realitas yang sederhana (basith), yaitu dzat Allah Yang Suci.
Tuhan Pencipta segala alam merupakan zat yang tak dikenal secara mutlak dan tak bisa digambarkan. Seluruh penglihatan bagi-Nya merupakan suatu hal yang jelas dan dari sinilah kita menyebut Yang Maha Melihat (al-bashîr). Seluruh maujud yang ada di alam sangat gamblang dalam pandangan-Nya dan tak ada satupun realitas yang tak jelas bagi-Nya, dan kita menyebut-Nya dengan Yang Maha Mengetahui (al-Alîm). Dari sisi bahwa Dia menciptakan segala sesuatu sesuai dengan keadaan dan kondisi masing-masing, kita menyebutnya Maha Bijaksana (al-Hakîm). Karena Dia menciptakan seluruh eksistensi dari ketiadaan, maka Dia adalah Maha Pencipta (al-Khâlik). Akan tetapi, seluruh sifat tersebut sama sekali tidak akan pernah menafikan keesaan zat-Nya, melainkan zat-Nya tetap merupakan suatu hakikat tunggal yang hadir dalam berbagai sifat-sifat tersebut, hanya saja kita memahami secara beragam sifat-sifat tersebut, yakni dalam konteks pemahaman, sifat-sifat tersebut berbeda satu dengan yang lain, namun dari sisi realitas eksternal, semua sifat tersebut menyatu dalam zat Tuhan secara manunggal.
Untuk memperjelas masalah ini, marilah kita mengamati seseorang yang memiliki berbagai sifat, misalnya pemurah, ahli matematik, sastrawan, filosof, dan dokter. Di antara para filosof dia adalah seorang filosof terkenal, di kalangan para ahli matematik dia adalah seorang yang handal dalam memecahkan persoalan-persoalan matematik, di juga dikenal sebagai seorang sastrawan yang mumpuni, sedangkan di kalangan para dokter dia dikenal sebagai seorang dokter yang ahli dalam bidangnya. Keragaman sifat-sifat yang dimiliki oleh orang tersebut sama sekali tidak memecah ketunggalan wujudnya (yakni menjadikan dia menjadi sosok-sosok yang beragam), melainkan dia tetap sosok tunggal yang memiliki berbagai sifat istimewa tersebut.
Tuhan pun demikian halnya, dengan seluruh sifat dan asma yang tak terbatas jumlahnya, Dia sama sekali tidak memiliki keragaman dalam zat-Nya, melainkan Dia tetap dalam wujud-Nya yang esa dan tunggal.
Perbedaan Asma dan Sifat
Apabila sifat yang kita nisbatkan kepada Tuhan dalam bentuk kata pelaku (ism al-fâ’il), yakni zat bersama dengan sifatnya, maka disebut sebagai ‘nama-nama (asma)’ Tuhan, misalnya alîm, hakîm, dan qâdir, atau samî’, bashîr, rahîm, karîm. Dan apabila kita hanya menisbatkan sifat semata kepada Tuhan, maka disebut sebagai ‘sifat-sifat’ Tuhan, seperti kodrat (al-qudrah), ilmu (al-‘ilm), hikmah (al-hikmah), dan lain-lain.
Asma, Sifat DZat, dan Sifat Perbuatan
Setiap kali kita menisbatkan asma atau sifat kepada Tuhan dimana nisbat ini mengharuskan keberadaan suatu maujud di luar zat, maka asma dan sifat ini merupakan sifat perbuatan. Sebagaimana ‘Maha Pemberi Rezki’ (ar-razzaq) yang memestikan keberadaan ‘sesuatu yang menerima rezki’ (al-marzuq), khalik menuntut adanya makhluk, sementara Pemberi Ampun (al-ghafur) dan Penyayang (ar-rahim) menuntut adanya orang yang bisa diampuni dan diberi kasih sayang. Jadi, asma dan sifat ini akan terwujud apabila orang yang membutuhkan rezki dan yang membutuhkan pengampunan serta rahmat terwujud di alam eksternal.
Dan setiap kali nama dan sifat yang kita nisbatkan kepada-Nya tidak membutuhkan kemestian maujud di luar zat, maka kita namakan dengan sifat zat yang menyatu dengan zat itu sendiri, seperti sifat hidup, berilmu, wujud, nur, kaya, dan lain-lain, yang seluruhnya merupakan asma zat dan menyatu dengan zat Tuhan, dan dalam kehadirannya tidak membutuhkan sesuatupun di luar zatnya, seperti sifat Maha Kuat (al-qâdir) yang bermakna pemilik kekuatan dan sumber keberadaan, makna sifat ini ada pada Tuhan meskipun Dia tidak menciptakan sesuatupun.
Perlu diingat bahwa asma dan sifat Tuhan merupakan kemestian zat, karena Dia adalah Maha Pemberi Kesempurnaan (fayyadh bi adz-dzat) dan pasti Dia menciptakan segala sesuatu dengan suapaya asma dan sifat-sifat-Nya termanifestasi.
Penyifatan Tuhan dalam Al-Quran dan Hadis
Sebagaimana yang telah kami katakan, mustahil bagi manusia untuk mengenal hakikat dzat Tuhan dan pengenalan atas-Nya hanya bersifat universal lewat makrifat asma dan sifat-sifat-Nya. Atas dasar ini, salah satu tujuan utama al-Quran yang dalam berbagai ayatnya berbincang tentang sifat-sifat Tuhan adalah melakukan re-konstruksi, memperdalam, dan memperluas pengenalan manusia terhadap Tuhan. Ratusan ayat al-Quran kadangkala secara langsung membahas tentang sifat-sifat Tuhan dan menyebutkan tentang asma Tuhan. Dari sebagian ayat bisa pula ditemukan adanya prinsip-prinsip universal dalam penyifatan Tuhan.
Meskipun demikian, perlu diingat bahwa mengenali Tuhan melalui sifat-sifat-Nya merupakan cara yang sangat rumit karena membutuhkan ketelitian dan kecermatan yang tinggi, karena sedikit saja kita salah menganalisanya bisa jadi akan mengarahkan kita kepada pen-tasybih-an dan penyerupaan yang membuat kita kehilangan sebagian dari makrifat al-Quran. Salah satu hal yang mendasar untuk dilakukan adalah berpegang pada ayat-ayat yang muhkam dan jelas tentang sifat-sifat Ilahi untuk menafsirkan ayat-ayat yang mutasyabiyah dan tidak jelas (seperti ayat-ayat yang secara lahiriah menyifati Tuhan dengan sifat-sifat makhluk-Nya).
Di sini kita akan melakukan pengamatan sepintas terhadap perspektif al-Quran dalam penyifatan Tuhan dan metode manusia mengenali sifat-sifat-Nya, sedangkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat khusus akan kami bahas pada bab yang berkaitan dengannya.
Dengan merujuk pada literatur-literatur hadis, pembahasan sifat Tuhan juga mengikuti langkah al-Quran. Dalam sebuah hadis yang berkaitan dengan makna ayat 110 surah Thaha, Imam Ali as bersabda, “Semua makhluk mustahil meliputi Tuhan dengan ilmu, karena Dia meletakkan tirai di atas mata hati, tak satupun pikiran yang mampu menjangkau dzat-Nya dan tak ada satu hatipun yang bisa menggambarkan batasan-Nya, oleh karena itu, jangan kalian menyifati-Nya kecuali dengan sifat-sifat yang diperkenalkan oleh-Nya, sebagaimana Dia berfirman, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.”[2]
Imam Ali as menjelaskan bahwa tidak ada satupun makhluk yang meliputi dzat Tuhan. Secara lahiriah, maksud dari “meletakkan tirai pada mata hati” adalah keterbatasan pengenalan makhluk yang menyebabkan ketidakmampuannya meliputi dzat Tuhan yang tak terbatas itu. Imam Ali as menegaskan bahwa dalam menyifati Tuhan kita harus mencukupkan diri dengan menggunakan sifat-sifat yang telah Dia perkenalkan kepada kita.
Dalam Khutbah Asybâh beliau bersabda, “Sesungguhnya berbohonglah mereka yang meletakkan sesuatu yang setara bagi-Mu, mereka menyerupakan-Mu dengan patung-patung sembahan dan memakaikan pakaian makhluk kepada-Mu dengan khayalannya dan menganggap-Mu sebagaimana benda jasmani yang memiliki organ dan mereka menisbahkan indera-indera makhluk kepada-Mu sesuai dengan pikirannya”[3]
Dengan demikian, metode pensucian al-Quran yang tidak tasybih dan tidak pula ta’thil telah jelas dalam sebagian hadis itu. Mungkin salah satu dalil yang paling tegas untuk klaim ini adalah perkataan Imam ‘Ali as yang bersabda, “Akal-akal tidak dapat menjangkau semua sifat-Nya dan tidak pula terhalang memahami sebagian dari sifat-Nya untuk memakrifat-Nya.”[4]
Selain itu, sebuah hadis yang dinukilkan dari Rasulullah saw dan ahluibaitnya dalam masalah makrifat Tuhan, dalam hadis itu dijelaskan mengenai makrifat berharga atas sifat-sifat Tuhan dan jelas bahwa makrifat ini bersandar pada realitas bahwa manusia pada batas tertentu mampu mengenali Tuhan melalui pengenalan sifat-sifat-Nya.
Al-Quran pada satu sisi menegaskan bahwa pengenalan terhadap hakikat dzat Tuhan merupakan hal yang mustahil bagi manusia, Tuhan bersabda, “Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.”[5] (Qs. Thahaa: 110)
Dari sisi lain, dalam berbagai ayat telah dijelaskan bahwa Tuhan tidak memiliki sedikitpun kemiripan dengan maujud lain dan tidak ada sesuatupun yang bisa digambarkan setara dengan dzat suci-Nya. Ayat ini pada dasarnya merupakan ayat muhkam yang menegaskan kesalahan berpikir aliran Tasybih dan segala konsep yang memandang ada kemiripan antara Tuhan dengan makhluk-Nya. Dia bersabda, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (Qs. As-Syura:11)
Pada pembahasan Tauhid dipahami bahwa ayat-ayat tersebut berkaitan dengan tauhid dzat, akan tetapi sepertinya ayat-ayat tersebut selain menafikan kemiripan maujud lain dengan dzat Tuhan, juga menafikan kemiripan antara sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat selain-Nya. Sebenarnya ayat itu menceritakan bahwa baik dari sisi dzat mutlak Tuhan maupun dari sifat-sifat-Nya tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya dan tidak ada pula sesuatu yang bisa digambarkan mempunyai kemiripan dan kesamaan dengan-Nya. Makna ayat ini bisa ditemukan pula dalam sebagian ayat seperti pada ayat terakhir surah at-Tauhid.[6]
Ayat al-Quran di atas dalam posisinya menjelaskan kesalahan maktab Tasybih, selain itu juga menafikan segala bentuk kemiripan dan kesetaraan Tuhan dengan eksistensi lain dalam dzat dan sifat. Pada ayat-ayat yang lain juga mengetengahkan tentang sifat-sifat salbi Tuhan seperti penafian kebinasaan dan keterikatan dengan ruang dan waktu dimana akan dibahas kemudian dalam tema “sifat-sifat negasi dan salbi Tuhan”.
Demikian juga, al-Quran meninggikan dzat Tuhan dari segala bentuk penyerupaan dan pen-tasybih-an. Pada banyak ayat setelah menukilkan pemikiran-pemikiran keliru dari para musyrikin tentang Tuhan, al-Quran menegaskan poin bahwa penyifatan mereka atas Tuhan adalah tidak layak untuk maqam suci ketuhanan (uluhiyat), Dia bersabda, “Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, Padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan): “Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan”, tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan.”[7] (Qs. al- An’am: 100). “Mereka tidak Mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha Perkasa.”[8] (Qs. al-Hajj: 84).
Ketika berhadapan dengan kelompok ayat seperti di atas, bisa jadi kita menyangka bahwa al-Quran hanya memiliki makrifat Tuhan secara terbatas dan tidak memberikan makrifat atas-Nya kepada manusia lewat penjabaran akal serta pemahaman rasional. Akan tetapi kesimpulan seperti ini merupakan sebuah kesimpulan yang tergesa-gesa dan tidak benar, dengan melakukan kontemplasi terhadap ayat-ayat yang lain akan menjadi jelas bahwa al-Quran selain menegaskan pensucian Tuhan secara mutlak dari sifat-sifat makhluk, juga menekankan tentang adanya kemungkinan untuk mengenali-Nya.
Ayat-ayat yang bisa menjadi saksi paling baik untuk klaim ini sangat banyak dimana di dalamnya menyebutkan tentang asma dan sifat-sifat Tuhan. Dengan memperhatikan bahwa al-Quran mengajak manusia untuk berfikir dan berkontemplasi tentang ayat-ayat-Nya maka tidak bisa diterima bahwa penyebutan asma Tuhan secara berulang pada ayat-ayat yang berlainan murni hanya sekedar sebuah bacaan tanpa memberikan makna.[9]
Oleh karena itu, al-Quran dalam masalah penyifatan Tuhan menolak mutlak metode tasybih maupun metode ta’thil lalu mengambil jalan tengah antara keduanya, dari satu sisi metode ini meletakkan sifat-sifat jamal dan jalal-Nya pada jangkauan pemahaman manusia, dan di sisi lain menegaskan ketakserupaan Dia dalam dzat dan sifat dengan makhluk serta mengingatkan bahwa sifat-sifat Tuhan jangan dipahami sedemikian sehingga menyebabkan pen-tasybih-an dengan selain-Nya, tapi seharusnya makna-makna dari sifat-sifat Ilahi ini dilepaskan dari warna kemakhlukan dan keterbatasan serta diletakkan sebagaimana selayaknya untuk dzat suci Tuhan.
Tentunya jumlah ayat-ayat yang secara tegas menafikan pandangan tasybih lebih banyak dari ayat-ayat yang menolak pandangan ta’thil, hal ini muncul mungkin karena para penganut teisme lebih sering terkontaminasi dengan pandangan tasybih dibandingkan dengan pandangan ta’thil.
Tauhid dalam Perbuatan (Tauhid Fi’li)
Dikatakan bahwa Tuhan tidak memerlukan kepada sesuatu selain-Nya dalam segala tindakan dan perbuatan-Nya, dan tidak mungkin ada satu maujud pun yang memberikan bantuan kepada-Nya dalam segala tindakan-Nya.
Tauhid ini bisa buktikan melalui sifat khas-Nya, yaitu qayyumiyyah, ketika dikaitkan dengan seluruh akibat-Nya. Sifat ini bermakna bahwa akibat (makhluk) yang terwujud dari sebab (Tuhan) bergantung mutlak kepada-Nya. Dalam filsafat Mulla Sadra, akibat ini tidak lain adalah “hubungan kebergantungan” itu sendiri kepada sebabnya, yakni ia tidak memiliki kemandirian wujud sedikit pun, akibat bukan sesuatu yang memiliki keberadaan yang kemudian bergantung sepenuhnya kepada sebabnya.
Dengan kata lain, segenap yang dimiliki oleh akibat murni pemberian dari Sebab Pengada, tunduk di bawah kekuasaan cipta dan kepemilikan-Nya yang hakiki. Adapun kekuasaan dan kepemilikan selain Allah adalah kepanjangan dari kekuasaan-Nya.
Dua kekuasaan vertikal ini tidaklah berbenturan, layaknya kepemilikan harta yang bersifat konvensional yang diperoleh seorang budak melalui usaha. Harta itu merupakan kepanjangan dari kepemilikan majikannya. Jika diri budak dan apa yang dimilikinya adalah milik majikannya, bagaimana mungkin Allah membutuhkan bantuan kepada selain-Nya yang seluruh wujud dan urusannya bergantung kepada-Nya?
Istilah Tauhid dalam perbuatan ini berarti kemandirian dalam memberi pengaruh dan efek, yakni bahwa seluruh makhluk dalam segala tindakannya mustahil tidak memerlukan kepada Tuhan, bahwa segala bentuk interaksi pengaruh di antara makhluk berlangsung hanya karena izin Allah dan di bawah kekuasaan yang dianugerahkan kepada mereka.[10] Pada hakikatnya, Tuhan Yang Maha Kuasa adalah realitas yang mutlak mandiri dan tanpa butuh kepada selain-Nya serta memberikan pengaruh pada sesuatu yang lain dalam setiap kondisi. Adapun seluruh tindakan dan pengaruh selain Allah adalah perpanjangan dari tindakan dan pengaruh-Nya serta berada di bawah kekuasaan-Nya.
Atas dasar inilah al-Quran menisbahkan “pengaruh” makhluk seperti malaikat, jin, dan manusia. Misalnya, menisbahkan turunnya hujan, tumbuhnya tumbuh-tumbuhan dan berbuahnya pepohonan. Banyak ayat yang mendesak manusia agar mencermati penisbahan ini, dan merenungkan hubungan vertikal antara pengaruh Tuhan dan pengaruh sebab-sebab selain-Nya.
Sebuah ilustrasi atas masalah ini: seorang pengawai melakukan sebuah tindakan yang diperintahkan oleh atasannya. Tentu, tindakan itu dinisbahkan kepada atasan tersebut, meski pada saat yang sama dilakukan oleh pegawainya.
Pelaku dalam tata cipta juga memiliki rangkaian mata rantai. Mengingat bahwa setiap pelaku itu bergantung kepada kehendak Allah, semisal bergantungnya wujud bayangan di benak kepada diri pemiliknya, maka pengaruh-pengaruh sebab-akibat yang muncul dari setiap pelaku dan pemberi pengaruh –pada mata rantai tertingginya– bergantung dan bernisbah kepada izin dan kehendak Tuhan. (La Haula wa la Quwwata illa bil-Lahil Aliyyil Adhim; tiada daya dan kekuatan kecuali karena Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung).
Dua Konsekuensi Penting
Konsekuensi pertama dari tauhid dalam perbuatan ialah manusia
tidak memandang realitas apa pun yang berhak disembah selain Tuhan.
Konsekuensi kedua dari tauhid ini adalah bahwa manusia harus bersandar dan bertawakal kepada Tuhan dalam segala keadaan, memohon perto-longan kepada-Nya dalam segala urusan, tidak meminta bantuan kecuali kepada-Nya, dan tidak mengharap kecuali kepada-Nya sedemikian sehingga jika sebab-sebab yang biasa tidak memenuhi keinginannya, maka ia tidak putus asa dan kecewa, karena Dia mampu memenuhi kebutuhannya melalui jalur-jalur dan sebab-sebab yang tidak biasa. Keadaan seperti ini membuat jiwa manusia menjadi tenang. Sebagaimana firman-Nya, “Ketahuilah, sesungguhnya awliya Allah itu tidak pernah merasa khawatir dan bersedih hati” (Qs. Yunus:62). Dan ayat yang sering dibaca ketika shalat, “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon perlindungan.” (Qs. Al-Fatihah: 5)
Sebuah Keraguan
Jika tauhid dalam perbuaan ini mengharuskan manusia tidak memohon pertolongan kepada selain Allah, maka bertawassul kepada para wali Allah adalah perbuatan yang tidak benar.
Jawaban: jika yang dimaksud dari “tawassul” itu ialah pengakuan terhadap “kekuasaan mutlak dan mandiri” para wali untuk menolong maka tawassul seperti ini tidak sesuai dengan tauhid. Adapun tawassul dalam pengertian bahwa Allahlah yang menjadikan para wali-Nya itu sebagai wasilah untuk mencapai rahmat-Nya, dan Dia pun memerintahkan tawassul melalui mereka maka tawassul seperti ini tidak bertentangan dengan tauhid, justru sebuah manifestasi tauhid dalam ibadah dan ketaatan, karena tawassul ini dilakukan atas perintah Tuhan.
Mengapa Tuhan menetapkan wasilah-wasilah ini? Mengapa Dia memerintahkan manusia bertawassul kepada para wali-Nya? Perintah Ilahi ini memiliki hikmah dan manfaat sebagaimana di bawah ini:
1. Memperkenalkan derajat tinggi yang telah dicapai oleh hamba-hamba-Nya yang saleh.
2. Mendorong mereka kepada ibadah dan ketaatan yang dapat mengantarkannya kepada derajat yang tinggi itu.
3. Mencegah mereka dari memandang dirinya unggul dan merendahkan orang lain karena merasa paling benar ibadahnya, merasa bahwa dirinya telah mencapai derajat tertinggi dan kesempurnaan insani yang teragung.
Referensi:
[1] . Nahjul Balaghah, khutbah pertama.
[2]. Al-Hawizi, Tafsir Nur ats-Tsaqalain, jilid 3, hal. 394, hadis 117. Riwayat ini melegitamasi bahwa dhamir “bihi” pada ayat “La yuhithuna bihi ‘ilman” kembali kepada Tuhan.
[3]. Nahjul Balaghah, khutbah 91.
[4] . Nahjul Balaghah, khutbah 49.
[5]. Tentunya, penyimpulan ayat bersandar pada bahwa dhamir pada “bihi” kembali kepada Tuhan, akan tetapi terdapat pula kemungkinan bahwa dhamir di atas kembali pada perbuatan orang-orang yang bersalah.
[6]. “… Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”, Qs. at-Tauhid: 5
[7]. Juga rujuk: surah Anbiya: 22, Mukminun: 91 dan Az-Zuhruf: 82.
[8]. Ayat seperti ini terdapat pula pada surah al-An’am: 91, Az-Zumar: 67.
[9]. Qs. An-Nisa: 82, Muhammad: 24, as-Shad: 29.
[10] . Kaum Urafa’ menggunakan istilah “Tauhid Tindakan” dengan pengertian ini