Peristiwa-peristiwa yang terjadi sepeninggal Rasulullah saw
Pertanyaan logis yang perlu dikemukakan dengan intens dan secara terus-menerus adalah meskipun telah ada penegasan tentang kekhalifahan Ali bin Abi Thalib as dalam hadis-hadis Nabi saw yang sangat banyak, bagaimana mungkin wasiat Nabi saw ini diabaikan, dan selanjutnya hak Ali disingkirkan?
Dengan merenungkan kejadian-kejadian sejarah sesaat setelah wafatnya Nabi saw, akan tampak secara jelas jawaban atas pertanyaan di atas.
Pada saat itu terdapat beberapa individu yang berambisi keras untuk mewujudkan cita-citanya. Maka, setiap kali terjadi benturan antara kecenderungan mereka dengan petunjuk Nabi saw, mereka melakukan pembangkangan dan berupaya melakukan penekanan untuk mengalihkan Nabi saw dari pemikiran dan perintahnya.
Al-Quran Al-Karim telah menunjukkan fenomena ini dalam firman Allah Ta’ala untuk memperingatkan akan hal tersebut, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”[1]
Keadaan Sosial Sesudah Wafatnya Nabi saw
Dunia Islam sesudah wafatnya Nabi saw dihadapkan pada situasi kesewenang-wenangan dan kediktatoran. Banyak sahabat yang dihadapkan pada krisis kebenaran dalam menentukan dua pilihan, yaitu: kebenaran dan kepentingan Ketika itu hawa nafsu telah menguasai kebanyakan orang sehingga pilihan pada kepentingan lebih didahulukan daripada kebenaran.
Ketika itu berkembang pemikiran atas nama kepentingan Islam dan kaum Muslim, padahal yang sebenamya adalah mendahulukan kepentingan Quraisy saja. Kemudian perkembangan pemikiran kepentingan ini berfokus pada “urusan kekhalifahan”. Ini tampak secara jelas pada majelis syura yang dibentuk (oleh Umar bin Al-Khaththab) untuk memilih satu di antara enam orang yang dicalonkan untuk menjadi khalifah ketiga. Sebelumnya telah berlangsung perdebatan yang sengit dalam menentukan pilihan antara Ali dan Utsman. Ketika itu keputusan ada di tangan Abdurrahman bin Au£ Abdurrahman maju menghampiri Ali untuk membaiatnya menjadi khalifah dengan syarat dia mau mengikuti Sunnah Abu Bakar dan Umar. Akan tetapi, jawaban Ali adalah bahwa dia hanya akan mengikuti Sunnah Rasulullah saw.
Dari sini, terlihat secara jelas bahwa terdapat keterputusan antara Sunnah Abu Bakar dan Umar dengan Sunnah Rasulullah saw. Dalam kali yang lain lagi, masyarakat Muslim memilih orang lain yang tidak berjalan berdasarkan Sunnah Rasulullah saw.
Kasus tersebut bukan hanya dalam distorsi sejarah Nabi sekaitan dengan strategi dan politiknya saja akan tetapi juga melingkupi ranah hukum-hukum syariat agama yang dibawa oleh Nabi saw. Inilah beberapa contoh pelanggaran yang terjadi setelah meninggalnya Nabi saw.
Sebagian Penyimpangan
Terdapat beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh sebagian sahabat pada masa hidup Rasulullah saw. Sejarah telah mencatat sebagian penyimpangan itu, di antaranya terlihat jelas dalam misi pengiriman tentara yang ditunjuk oleh Nabi saw untuk menyerang tentara Romawi. Nabi saw telah menegaskan keharusan pengiriman pasukan dan keharusan bergabungnya beberapa sahabat beliau di bawah pimpinan seorang pemuda, yaitu Usamah bin Zaid. Sebelumnya Zaid, ayah Usamah, telah gugur sebagai syahid di daerah Mu’tah yang terletak di ujung utara jazirah Arab. Akan tetapi, temyata banyak dari sahabat ini lebih memilih untuk mengutamakan tetap tinggal di Madinah dan membangkang terhadap perintah Nabi saw yang sangat jelas ini.[2]
Meskipun Nabi saw sedang merasakan penderitaan yang luar biasa karena penyakitnya, tetapi beliau tetap memaksakan diri untuk keluar dari kamar. Beliau naik di atas mimbar untuk menjelaskan seputar kepemimpinan Usamah dan kritikan yang ditujukan atas kepemimpinannya itu.
Nabi saw bersabda, “Wahai orang-orang, ucapan apakah itu yang telah sampai kepadaku yang berasal dari sebagian kalian tentang penunjukanku kepada Usamah untuk memimpin pasukan? Sekiranya kalian mencela penurjukanku kepada Usamah untuk memimpin pasukan, maka sesungguhnya kalian juga telah mencelaku atas penurjukan kepada ayahnya untuk memimpin pasukan sebelumnya. Demi Allah, sesungguhnya dia (Zaid) benarbenar pantas dengan kepemimpinan ini, demikian juga anaknya, dia benar-benar pantas memegang kepemimpinan itu.”[3]
Umar pemah meminta kepada Abu Bakar setelah dia (Abu Bakar) menjadi khalifah untuk mencopot Usamah dari kedudukannya sebagai panglima pasukan. Berikut ini kami ketengahkan sebagian contoh pelanggaran yang terjadi sesudah wafatnya Rasulullah saw:
1. Pembantaian yang dilakukan oleh Khalid bin Al-Walid terhadap Malik bin Nuwairah dan beberapa orang dari sukunya. Kemudian Khalid memperkosa istri Malik dalam malam pembantaian itu juga. Khalifah pertama (Abu Bakar) menolak untuk menghukum Khalid atas pelanggaran itu meskipun Umar terus-menerus meminta untuk menghukum Khalid. Abu Bakar berdalih bahwa tindakan yang dilakukan oleh Khalid itu adalah berdasarkan ijtihad, tetapi dia keliru dalam ijtihad itu. Abu Bakar juga menganggap bahwa pedang Khalid adalah pedang Tuhan yang tidak layak dimasukkan ke dalam sarungnya.
2. Pengharaman mut’ah yang merupakan syariat Tuhan yang telah dikerjakan pada masa Nabi saw. Akan tetapi, ketika Umar bin Al-Khaththab menjadi khalifah, dia menghararnkan mut’ah. Umar mengumurnkan pelarangan mut’ah dan menetapkan hukuman seperti layaknya hukuman zina bagi yang sudah menikah, yaitu hukum rajam.[4]
Umar mengatakan, “Ada tiga hal yang dikerjakan pada masa Rasulullah dan aku melarang ketiganya, yaitu: mut’ah wanita (kawin mut’ah), haji mut’ah (tamattu’), dan (ucapan), ‘Hayya ‘ala khairil ‘amal (dalam azan).”[5]
3. Talak: Dalam masa Rasulullah, kekhalifahan Abu Bakar, dan tiga tahun masa kekhalifahan Umar bahwa seorang laki-laki jika menalak istrinya dalam satu kesempatan dengan tiga kali talak sekaligus, maka talak semacam ini digolongkan satu talak. Akan tetapi, kemudian Umar mengumumkan bahwa talak semacam itu dihitung sebagai talak tiga (sehingga si suami tidak bisa lagi merujuk istrinya itu kecuali jika istrinya telah menikah dengan laki-laki yang lain kemudian ditalak oleh suaminya yang kedua itu).[6]
4. Menciptakan Perbedaan Status Sosial: Khalifah kedua (Umar bin Al-Khaththab) menghapuskan sistem pembagian yang sama dalam pembagian harta (dari baitul mal), sebaliknya dia menciptakan perbedaan dalam pembagian harta itu berdasarkan urutan siapa yang paling dahulu masuk Islam dan strata sosial (kesukuan).
Dia memberikan orang-orang yang dahulu memeluk Islam dengan keistimewaan yang besar dalam pemberian itu, sebagaimana dia mengutamakan orang-orang Quraisy daripada orangorang Arab selain mereka, dan mengutamakan orang-orang Arab daripada orang-orang ajam (selain Arab).[7]
Kemudian Umar menyadari dampak pahit yang ditimbulkan oleh sistem pembagian harta yang dia ciptakan itu, lalu dia pun mengumumkan tekadnya untuk menarik kembali sistem pembagian harta itu jika dia masih hidup di tahun itu.[8]
5. Tidak Melaksanakan Hukum Kisas: Setelah Ubaidullah bin Umar bin Al-Khaththab (khalifah kedua) melakukan pembunuhan terhadap Hurmuzan, seorang pemimpin dari Persia, dengan alasan bahwa orang ini mendorong dilakukan pembunuhan atas Umar, yang terbunuh di tangan budak Al-Mughirah bin Syu’bah, hukuman kisas tidak dilaksanakan atasnya.
Dan ketika Khalifah Utsman dituntut untuk melaksanakan hukuman kisas atas Ubaidullah yang melakukan pembunuhan itu, dia berdalih bahwa dia tidak dapat melaksanakan hukuman kisas terhadap seorang yang baru kemarin ayahnya dibunuh.
Perlindungan Mutlak bagi para Khalifah
Ketika itu khilafah menjadi kedudukan dalam pemerintahan yang memfasilitasi pemangku jabatan itu kekuasaan untuk mengubah prinsip-prinsip syariat, sebagaimana juga diberikan kepadanya hak yang luas untuk menciptakan hukum-hukum baru.
Dalam masa itu, berkembang pemikiran bahwa ijtihad adalah hak bagi setiap sahabat. Akibatnya, seorang sahabat bertindak sesuai pendapat pribadinya. Jika tindakannya benar, dia mendapat pahala; dan jika tindakannya salah, maka dia tidak dikenai hukuman. Bahkan, pemikiran ijtihad ini menjadikan pelakunya (sahabat) mendapat pahala secara mutlak, sekalipun dalam keadaan salah. Adapun jika tindakannya benar, maka dia memperoleh pahala secara berlipat.
Dari sini, mulilah berkembang teori keadilan sahabat melalui pemalsuan riwayat yang dikatakan berasal dari Nabi saw bahwa beliau bersabda, “Sahabat-sahabatku laksana bintang-bintang; kepada siapa saja di antara mereka kalian mengikuti, maka kalian pasti mendapatkan petunjuk.”
Apakah Terdapat Jaminan Al-Quran tentang Keadilan para Sahabat?
Sesungguhnya pemuliaan al-Quran al-Karim kepada sebagian sahabat tidak berarti menyucikan mereka dari setiap bentuk penyimpangan dan kerusakan selama hidup mereka. Sebab, keridhaan Allah dan kebahagiaan yang abadi hanya akan diperoleh bagi orang yang terus-menerus berada dalam keimanan dan amal saleh. Al-Quran Al-Karim telah berbicara kepada Nabi saw dalam frrman-Nya, “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, ”Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi…”[9]
Ia adalah pesan yang sama yang ditujukan kepada Ibrahim as dan keturunannya, “Dan itulah hujah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui. Dan Kami telah menganugerahkan Ishaq dan Ya’qub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk, -dan kepada Nuh sebelum itu ijuga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian dari keturunannya (Nuh), yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf; Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Zakariyya, Yahya, Isa, dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh, dan Isma’il, Alyasa’, Yunus, dan Luth. Masing-masing Kami lebih lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya). Dan (Kami lebihkan pula derajat) sehagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka. Dan Kami tetah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus. Itutah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang utah mereka kerjakan.”[10]
Sebagaimana sejarah juga telah mencatat kebalikan dan apa yang dilontarkan oleh teori keadilan (seluruh) sahabat. Buku-buku sejarah banyak sekali mencatat bukti-bukti penyimpangan yang telah dilakukan oleh sebagian sahabat. Demikian pula buku-buku hadis mencatat hal yang sama, yang paling terkenal adalah hadis Haudh.
Diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Nabi saw bersabda, “…dan sesungguhnya beberapa orang dari sahabatku dimasukkan ke dalam golongan kiri (yang digiring ke dalam neraka). Maka, aku katakan, ‘Sahabatku? Sahabatku?’ Allah berfirman, ‘Sesungguhnya mereka murtad semenjak engkau tinggalkan mereka.’ Maka, aku katakan sebagaimana yang dikatakan oleh seorang hamba yang saleh (Isa as), “Dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. (QS Al-Ma’idah [5]: 117)”[11]
At-Tiftazani berkata, “Sesungguhnya apa yang terjadi di antara para sahabat berupa peperangan dan perselisihan, sebagaimana yang tercantum dalam buku-buku sejarah dan buku-buku hadis, menujukkan secara jelas bahwa sebagian mereka telah menyimpang dari jalan kebenaran, bahkan telah mencapai batas kezaliman dan kefasikan.
Semua ini didorong oleh unsur kedengkian dan kedurhakaan, hasad dan permusuhan, ambisi kekuasaan dan kecenderungan pada dorongan hawa nafsu. Sebab, tidak semua sahabat itu maksum, dan tidak pula setiap yang berjumpa dengan Nabi saw disifati dengan kebaikan.”[12]
Sesungguhnya memberikan label kesucian bagi para sahabat dan memberikan justifikasi atas setiap perbuatan dan tindakan mereka serta menafsirkannya dengan ijtihad, yang pelakunya mendapatkan pahala, baik itu benar maupun salah, telah membukakan kepada mereka pintu pelanggaran. Banyak di antara mereka yang berani berupaya merealisasikan segala ambisi pribadi mereka dengan mengatasnamakan Islam. Di antara mereka adalah: Muawiyah bin Abi Sufyan, Amr bin Ash, Khalid bin Al-Walid, Al-Mughirah bin Syu’bah, Sa’id bin Al-Ash, dan Busr bin Arthah.
Bahkan, di antara mereka ini ada yang menjadi terbiasa melakukan pembunuhan, intimidasi, dan tindakan kekerasan. Bukankah Hurqush bin Zuhair telah murtad dari agama Allah, padahal dia adalah seorang sahabat? Bukankah Rasulullah saw telah bersabda tentangnya, “Sesungguhnya dia terlepas (murtad) dari agamanya, sebagaimana terlepasnya anak panah dari busurnya.”
Contoh yang lain adalah Abdullah bin Jahsy. Dia termasuk sahabat Nabi saw yang turut berhijrah ke Habasyah (Etiopia). Kemudian dia murtad dari agama Islam dan memeluk agama Nasrani.
Dari sini, kita mengetahui bahwa tidak ada jaminan berkesinambungan ridha Allah bagi seseorang kecuali dengan berkesinambungan iman secara terus-menerus dalam dadanya.
Maka, penyimpangan, kesesatan, dan perbuatan dosa akan mengilangkan amal-amal saleh seseorang. Amal-amal salehnya adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang.
Stagnasi Aktivitas Intelektual
Di antara fenomena-fenomena yang muncul setelah wafatnya Nabi saw adalah stagnasi aktivitas intelektual serta matinya kebebasan dan kebekuan kajian yang bersifat rasional. Masa awal Islam telah menjadi saksi, terutama pada era khalifah pertama, penjumudan aktivitas budaya ini, dan muncul anggapan bahwa hal itu adalah bid’ah.
Sejarah telah mencatat bahwa ada seseorang yang mendebat khalifah kedua, dalam rangka menolak anggapan tadi (bid’ah) akhirnya ia diancam akan dipecut sampai kulitnya terkelupas.
Begitu pula diriwayatkan bahwa khalifah kedua menafsirkan ayat al-Quran dengan penafsiran jabr. Ada salah seorang yang mendebat, lantas khalifah mengancam akan membunuhnya kalau saja sebagian yang hadir tidak turut campur dan menenangkannya dari ancaman khalifah.
Perlakuan ini telah melumpuhkan metode rasional dalam berargumentasi dan memperlemah asas-asas rasional dalam ilmu kalam. Hal ini telah menyempitkan metode pengukuhan akidah hanya dengan cara taklid dan ijma yang pada kenyataannya hanyalah ijma ummat, bahkan hanya ijma segelintir ulama tertentu saja. Demikianlah maka bagi setiap sekte memiliki ijma dalam rangka mengukuhkan akidahnya. Dan berakibat pada pengabaian argumen-argumen hakiki tersebut yang menimpa wilayah rasio dan al-Quran serta sunnah.
Dampak Suasana Sosiologis setelah Nabi saw
Kecenderungan yang menggejala setelah wafatnya Nabi saw menimbulkan dampak yang tragis bagi umat Islam. Hal ini nampakjelas dalam:
Terhapusnya kesucian masyarakat Islam. Paras umum untuk mewujudkan kemashlahatan umum hanya terbatas pada al-Quran dan Sunnah yang mulia. Namun, muncul kepentingan pribadi yang ditancapkan dalam kehidupan sosial dengan didahulukan dari al-Quran dan Sunnah, yang kemudian menjadikan masyarakat Islami menjadi masyarakat materialis. Kasus ini jelas sekali nampak pada penempatan kebijakan penguasa dan khalifah menggantikan kepentingan Islam dan kaum Muslimin.
Kebijakan tersebut sesuai dengan pandangan pribadi khalifah, sehingga kalau seandainya kebijakan tersebut bertabrakan dengan sunnah saw, maka pada saat itu khalifah melakukan ijtihad.
Tindakan ini telah menggoncangkan dasar-dasar masyarakat Islam, hingga kita menyaksikan empat khalifah pertama memiliki metode hukum sendiri. Dan ketika tiba periode Mu’awiyah maka keadaan berubah lebih mirip dengan kudeta militer dan perobohan tatanan Islami dalam rangka memantapkan kedudukan diktatorialnya.
Juga terdapat kemiripan politik antara khalifah yang pertama dan yang kedua dan kemudian khalifah yang ketiga memiliki strateginya sendiri, yang kemudian diikuti oleh khalifah yang keempat yang juga memiliki kebijakan politik yang berbeda dengan pendahulunya.
Strategi politik Mu’awiyah lebih mendekati strategi politik diktator penindas.
Sebenarnya situasi telah memberikan lampu kuning dan ditambah dengan penyimpangan tatanan Islam, yang terdiri dari dua hal:
1. Munculnya kelas-kelas dalam masyarakat yang sebenaranya ingin dicairkan oleh Islam secara maksimal.
2. Penyimpangan fokus pemerintahan Islam kepada ekspansi dan penaklukan serta hegemoni kekuasan serta dari pelaksaan tujuan-tujuan Islam yang mulia dalam mendidik umat dan menyempumakan masyarakat.
3. Perubahan hukum-hukum Islam. Hal ini telah kami bahas di muka.
4. Pelarangan aktivitas penulisan dan hilangnya Sunnah Nabi saw.
Bisa dikatakan bahwa aktivitas penulisan hadis telah dimulai pada saat Nabi saw masih hidup. Beliau saw mendorong para sahabatnya untuk menghapal dan menuliskan hadis.
Yang terjadi setelah wafatnya Nabi adalah bahwa penguasa telah melarang dengan keras kegiatan penulisan. Keadaan seperti ini terus berlangsung hingga masa akhir pemerintahan Umayyah.
Sebenamya khalifah yang pertama telah berinisiatif untuk mengumpulkan hadits Nabi dan kemudian membakarnya. Lantas khalifah yang kedua bertindak lebih tegas lagi dan mengancam yang melawan dengan hukuman yang sangat berat. Konsekuensinya sebagian besar warisan Nabi saw lenyap bersamaan dengan kematian sejumlah besar sahabat yang pada gilirannya membuka pintu lebar-lebar bagi gerakan perlawanan berupa pemalsuan hadits. Pasar hadits palsu melonjak tajam pada zaman Muawiyah yang mengeluarkan harta yang banyak demi kegiatan berbahaya ini. Penukilan hadits semakin mengarah ke arab yang berbahaya.
Muawiyah telah merancang strategi sesuai dengan target-target yang telah ditentukan. Ia mendorong penukilan hadits yang mengungkapkan keutamaan tiga khalifah yang pertama, terutama sekali berkenaan dengan khalifah yang ketiga dengan alasan nepotisme kesukuan murni. Dan pada saat yang sama mengeluarkan kebijakan hukum yang mengancam dengan keras terhadap setiap orang yang berani menyebutkan keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib atau menurut istilah penguasa saat itu; Abu Turab.
Demikianlah hadits cenderung semakin jauh mengarah dari syariat dan hanya berkisar pada pengagungan khalifah yang ketiga.
Sementara dari sejumlah dua belas ribu sahabat yang hidup setelah Nabi selama kurang lebih satu abad, para sejarawan hanya menukil dari mereka sebanyak 500 hadits saja berkaitan dengan fikih, dengan demikian rata-rata setiap 24 sahabat hanya meriwayatkan satu hadits saja!
Kondisi ini mencapai puncak yang sangat mengkhawatirkan ketika kita kehilangan sanad (sandaran) yang kokoh bagi sebagian Sunah Nabi saw berkaitan dengan problem-problem harian yang berulang kali dilakukan dalam sehari, seperti aktivitas wudhu dan salat.
Bahkan ikhtilaf, kerancuan dan pertentangan diantara mazhab- mazhab masih berlangsung hingga hari ini berkaitan dengan problem-problem tersebut. Tak satupun mazhab yang mampu mengemukakan dalil yang kuat dan sikap yang ajeg bagi pandangan-pandanganya.
Demikianlah meskipun perlu ditekankan bahwa kondisi sosial masyarakat Muslimin yang memilukan tersebut tidak hanya terbatas pada hal-hal barusan saja.
Perjuangan Kaum Syi’ah dalam Membela Kebenaran Telah disebutkan sebelumnya bahwa keadaan memilukan tersebut hanya terjadi di kalangan non-Syi’ah, yang tidak berakidah Ahlu Bait as.
Dalam sejarah Islam kalangan Syi’ah dari semenjak awal kemunculannya telah menaruh perhatian yang sangat besar terhadap al-Quran dan ‘itrah Nabi saw. Mereka berjalan dengan setia di jalan ‘itrah berdasarkan hadits-hadits yang sahih dan Nabi saw yang menyerukan untuk berpegang teguh dengan dua pusaka berharga (ats-tsaqalayn) secara bersamaan, yaitu Kitabullah dan ‘Itrah suci dan kepada perahu yang akan tenggelam orang yang tidak menaikinya dan seterusnya… jalan yang dijaga kemumian dan ruh serta hati Islam yang selalu hidup.
CATATAN :
[1] QS. an-Nur [24]: 63.
[2] Sirah Ibn Hisyam, 4/228.
[3] Thabaqat Ibn Sa’d, 2/249.
[4] Sirah lbn Hisyam, 4/33.
[5] Al-Ghadir, 6/22.
[6] Shahih Muslim, 4/183-184.
[7] Syarh Ibn Abilhadid, 8/11.
[8] Tarikh Al-Ya’qubi.
[9] QS. az-Zumar [39]: 65.
[10] QS. al-An’am [6]: 83-88.
[11] Shahih Al-Bukhari, 9/63, 64, bah “Fitnah”
[12] Syarhul Maqoshid