Nabi Muhammad saw dan masa depan umat Islam
Rasulullah saw mengetahui secara pasti bahwa umat akan
berselisih sepeninggalnya. Sentimen kesukuan masih
senantiasa menguasai pemikiran sosial masyarakat Muslim
yang baru dilahirkan ini. Begitu pula perseturnan
antarsuku juga masih mengakar dalam masyarakat Arab di
Jazirah Arab dan terus membayangi masa depan eksistensi
Islam.
Rasulullah saw telah mengabarkan bahwa umat Islam akan
berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan; yang
selamat hanyalah satu, sedangkan yang lain, semuanya
akan masuk ke dalam neraka.
Pokok perpecahan yang menghadang perjalanan Islam ini
adalah masalah kepemimpinan dan identitas penguasa
Muslim. Jika masalah kepemimpinan umat ini tergolong
masalah yang sangat berbahaya dan sumber utama dalam
perpecahan eksistensi Islam, maka apakah logis jika
Rasulullah saw mengambil posisi tidak peduli di hadapan
masalah besar ini, padahal beliau dikenal sangat
antusias terhadap keselamatan umat Islam?
Apakah juga mungkin kita mempercayai bahwa Rasulullah
saw yang begitu besar perhatiannya terhadap penyebaran
Islam dan mengibarkan bendera negara Islam akan
mengabaikan suatu perkara yang mengancam masa depan
Islam?
Pastilah bahwa hal ini tidak sejalan dengan sejarah
perjalanan Rasulullah saw. Kita semua mengetahui bahwa
khalifah pertama telah mengambil sikap yang diketahui
semua orang. Sebelum memejamkan matanya yang terakhir
kali, Abu Bakar telah mengangkat seorang yang
menggantikannya dalam mengatur negara dan urusan
kekuasaan.
Begitu pula khalifah kedua (Umar bin Al-Khathab) juga
mengambil posisi penting dalam urusan pemerintahan ini
sebelum meninggalnya. Dia membentuk majelis syura untuk
memilih seorang yang akan menggantikannya dalam
mengatur roda pemerintahan dan kekhalifahan sesudahnya.
Dan dalam situasi yang kacau dan gawat akibat
terbunuhnya khalifah yang ketiga (Utsman bin Affan),
terpaksa Imam Ali as menerima untuk memikul tanggung
jawab memegang tampuk pemerintahan.
Imam Ali as telah mengungkapkan kekhawatirannya bahwa
banyak orang akan murtad dari agama mereka karena
mereka masih baru dalam ke-Islaman mereka. Oleh karena
itu, penerimaan tanggung jawab kekhalifahan ini demi
rasa tanggung jawabnya terhadap masa depan Islam.
Setelah melihat bukti-bukti ini, maka bagaimana mungkin
kita akan membenarkan diri kita untuk menggambarkan
bahwa Rasulullah saw tidak peduli terhadap masalah yang
paling penting ini?
Nabi saw Telah Mengumumkan Seorang Pengganti dalam
Kepemimpinan
Persoalan kekhalifahan dan kepemimpinan ini merupakan
salah satu persoalan yang paling penting yang mendapat
perhatian yang besar dari Nabi saw. Persoalan
kekhalifahan ini bukanlah termasuk pemikiran yang baru
(muncul) dalam kehidupan Nabi saw, bahkan ia telah
mengiringi kehidupan beliau sejak dakwah beliau yang
pertama.
Ya, persoalan kekhalifahan ini telah mengiringi
kehidupan Nabi saw sejak peristiwa dakwah pertama di
rumah beliau di Makkah, yaitu pada hari beliau
menyerukan kepada kerabatkerabat beliau yang terdekat
untuk menerima dan membantu dakwah beliau, sampai
hari-hari terakhir dari umur beliau yang penuh dengan
keberkahan. Menjelang hari-hari beliau meninggalkan
dunia yang fana ini, beliau bersabda, “Berikanlah
kepadaku pena dan kertas agar aku menuliskan kepada
kalian sebuah surat yang kalian tidak akan tersesat
sesudahku selamanya.”[1]
Langkah terakhir ini adalah upaya Nabi saw dalam
menentukan masa depan Islam Permintaan Nabi saw
tersebut tidak datang dari kehampaan, tetapi ia lahir
karena kekhawatiran dan kecemasan beliau pada masa
depan risalah Islam dan masa depan pemerintahan
sepeninggal beliau.
Akan tetapi, sangat disayangkan permintaan Nabi saw
pada hari-hari terakhir beliau ini mendapat
pertentangan dari sebagian sahabat beliau, bahkan
menimbulkan perdebatan dan kegaduhan (di kamar beliau)
sehingga beliau mengusir mereka semua dari kamar
beliau, setelah sebelumnya beliau menegaskan secara
lisan hadis tsaqalain dan arti pentingnya bagi masa
depan Islam.
Sebelum terjadi peristiwa di kamar Nabi saw tersebut,
pada 18 Dzulhijjah beliau telah mengumumkan di hadapan
jamaah haji dalam jumlah yang sangat besar di sebuah
tempat yang terkenal dengan nama “Ghadir Khum” bahwa
Ali adalah khalifah beliau sepeninggal beliau.
Peristiwa bersejarah tersebut merupakan hari raya bagi
kaum Muslim karena dengannya Allah telah menyempurnakan
agama Islam, mencukupkan nikmat-Nya, dan telah meridhai
Islam sebagai agama bagi seluruh kaum Muslim.
Para penyair pun telah mengabadikan peristiwa penting
ini. Dan semua orang pun tahu bahwa Rasulullah saw
mengum umkan Ali menjadi “wali” ini bahwasanya yang
beliau maksud itu adalah pemimpin dan khalifah beliau
dalam kepemimpinan umat ini.
Rasulullah saw telah mengumumkan wilayah (kepemi
mpinan) Ali ini secara berulang kali, beliau bersabda,
”Ali dariku dan aku dari Ali … dan tidak ada yang boleh
menyampaikan dariku kecuali Ali. “[2]
Rasulullah saw menganggap mengikuti Ali sebagai
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah saw
bersabda, “Barang siapa yang menaatiku, maka dia telah
menaati Allah; barang siapa yang menentangku, maka dia
tel ah menentangku, – barang siapa yang menaati Ali,
maka dia telah menaatiku; dan barang siapa yang
menentang Ali, maka dia telah menentangku.”[3]
Kedudukan Ali as di Sisi Nabi saw
Nabi Saw tidak hanya mengumumkan kedudukan Ali as di
Ghadir Khum saja, meskipun pengumuman di Ghadir Khum
ini lebih luas cakupannya dan disampaikan dalam
kesempatan yang sangat penting dalam sejarah Islam.
Kedudukan Imam Ali as telah mengkristal dalam beberapa
kesempatan yang berbeda dan semenjak dakwah Islam yang
pertama yang disampaikan oleh Nabi saw dalam upaya
beliau menanamkannya dalam hati orang-orang Islam, di
antaranya:
1. Hadis Peringatan;
Yaitu ketika turunnya ayat, “Dan berilah peringatan
kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat!”
Setelah turunnya ayat tersebut, Nabi saw memerintahkan
Ali as untuk mengundang empat puluh orang dari tokoh-
tokoh Bani Hasyim, Bani Abdil Muththalib, dan Bani Abdi
Manaf. Dalam pertemuan tersebut, tampaklah kemukjizatan
Nabi saw berupa keberkahan makanan sedikit yang dapat
mengeyangkan dan memuaskan mereka semuanya.
Kemudian, setelah adanya kesempatan, Nabi saw bersabda
kepada mereka, “Sesungguhnya aku, demi Allah, tidak
tahu bahwa ada seorang pemuda Arab yang datang kepada
kaumnya dengan membawa sesuatu yang lebih utama
daripada yang aku bawa kepada kalian. Demi Allah, aku
telah datang kepada kalian dengan membawa kebaikan di
dunia dan akhirat. Sungguh, Allah Ta’ala telah
memeritahukanku untuk menyerukan dakwahku kepada
kalian. Maka, siapakah di antara kalian yang akan
membantuku dalam urusan ini yang dia akan menjadi
saudaraku dan pengemban wasiatku serta khalifahku di
antara kalian?”
Akan tetapi, mereka semua enggan menerima ajakan Nabi
saw itu. Maka, aku (Ali as) berkata, sedangkan
sesungguhnya aku adalah orang yang paling muda di
antara mereka, “Aku, wahai Nabi Allah yang akan menjadi
pembantumu dalam urusan ini.”
Maka, Nabi saw memegang leherku, kemudian beliau
bersabda, “Sesungguhnya orang ini (Ali) adalah
saudaraku, pengemban wasiatku (washiyyi), dan
khalifahku di antara kalian, maka dengarkanlah
perkataannya dan taatilah dia.”[4]
Jika kita perhatikan dengan seksama firman Allah Ta’ala
berkenaan dengan Nabi saw, “Dan tiadalah yang
diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyuukan (kepadanya).”[5]
Maka, kita akan mengetahui bahwa apa yang terjadi pada
hari saat seruan beliau kepada para kerabatnya yang
terdekat di rumahnya itu dan bahwa pengumuman Nabi saw
itu adalah berdasarkan perintah Allah Swt, yaitu beliau
ingin mengumumkan kenabian dan imamah pada hari yang
sama.
2. Kekhalifahan adalah berdasarkan perintah Tuhan;
Akhnas bin Syarif, dia adalah seorang pemuka Arab yang
terkenal, pernah mensyaratkan bahwa dia akan
mengumumkan keimanannya kepada Nabi saw dan keislaman
dengan imbalan bahwa kepemimpinan kabilahnya hams
dipegang olehnya sepeninggal beliau.
Maka, Nabi saw menjawab, “Sesungguhnya urusan ini
(kepemimpinan) adalah milik Allah, Allah-lah yang
memilih siapa saja yang dikendaki-Nya yang dipandang
layak untuk itu.”[6]
Akhnas bin Syarif pun menolak hal itu. Dia mengirimkan
utusan kepada Nabi saw yang membawa pesan bahwa dia
tidak dapat menerima beban (kewajiban) yang dipikulkan
Islam kepadanya, serta imamah dan kepemimpinan yang
dipemntukkan bagi selainnya.
Dari sini, kita mengetahui bahwa bukanlah termasuk hak
Nabi saw untuk menentukan imamah dan kekhalifahan
kecuali dengan seizin Allah Swt dan wahyu dari-Nya.
3. Hadis Manzilah;
Hadis manzilah ini datang pada situasi yang sangat
sensitif, yaitu situasi yang genting yang karenanya
Nabi saw harus mengumumkan mobilisasi pasukan dan
memberangkatkan tentara Islam di utara jazirah Arab.
Sebelumnya, Nabi saw mendengar berita seputar
berkumpulnya pasukan Romawi dalam jumlah yang sangat
besar dengan tujuan menghancurkan negara Islam yang
ham saja tumbuh.
Nabi saw juga mendengar bahwa kaum munafik, dan orang
orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, hendak
mengambil kesempatan dengan melaksanakan rencana jahat
mereka terhadap Islam dan para pemeluknya pada waktu
ketidakhadiran beliau di Madinah.
Di sinilah kita melihat bahwa Nabi saw memilih Ali as
untuk kali yang pertama mengatur pemerintahan dan
menjaga keamanan dalam Kota Madinah.
Pada saat itu orang-orang munafik menyebarkan isu bahwa
sesungguhnya Nabi menyuruh Ali untuk menggantikan
beliau di Madinah karena beliau tidak menyukai Ali.
Maka, Ali as ingin menghentikan berkembangnya isu
tersebut dengan segera menyusul Nabi saw, dengan tujuan
menawarkan dirinya untuk ikut bergabung dalam pasukan
Islam yang hendak memerangi tentara romawi itu.
Di sinilah Nabi saw mengumumkan sabdanya yang
bersejarah itu, “Wahai Ali, apakah engkau tidak ridha
bahwasanya kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan
Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi
sesudahku?”[7]
Jika kita merenungkan ayat 29-32 dari Surah Thaha, dan
bagaimana Allah Swt telah mengabulkan doa Nabi Musa as
untuk menjadikan Harun sebagai pembantunya dalam
penyampaian risalah, maka kita akan mendapatkan posisi
yang krusial yang dikehendaki Nabi saw bagi Ali as. Ia
bukanlah suatu perkara yang sebenamya mempakan kehendak
Nabi saw pribadi karena kehendak beliau pada dasarnya
adalah kehendak Allah Azza wa Jalla.
Oleh karena itu, ditegaskan dalam poin penting dalam
akhir hadis tersebut, yaitu bahwasanya Ali as
memperoleh segala keistimewaan yang didapatkan oleh
Harun as kecuali kenabian. Pengecualian ini disebabkan
oleh satu sebab, yaitu bahwasanya Nabi Muhammad saw
adalah penutup para nabi dan fenomena kenabian dan
wahyu berakhir dengan wafatnya Nabi saw.
Sa’d bin Abi Waqqash adalah termasuk salah seorang yang
menentang Ali as dalam kekhalifahannya. Akan tetapi,
walaupun demikian, dia menolak permintaan Mu’awiyah bin
Abi Sufyan untuk mencaci Ali. Bahkan, secara tegas dia
mengatakan bahwa dia sangat berangan-angan jika saja
dia dapat memiliki walaupun hanya satu keutamaan di
antara tiga keutamaan yang dimiliki Ali.
Pertama, sabda Rasulullah saw kepada Ali as, ”Kedudu
kanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa,
hanya saja tidak ada lagi nabi sesudahku. 11
Kedua, sabda Nabi saw malam hari sebelum kejatuhan
benteng Khaibar pada keesokan harinya: ”Aku benar-benar
akan memberikan bendera ini besok pagi kepada seorang
lakilaki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan dia
dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. ”
Ketiga, pada hari mubahalah. Peristiwa ini terjadi
ketika utusan Nasrani dari Najran mendebat Nabi saw
tentang kisah Isa as lalu turunlah ayat mubahalah,
“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah
datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah
(kepadanya), “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan
anak-anak kamu, istri-istri kami dan istriistri kamu,
diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita
bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat
Allah ditimpakan kepada orang-orangyang dusta.”[8]
Maka, Nabi saw keluar dan ikut bersamanya: Ali,
Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain untuk bermubahalah
dengan utusan Najran.[9]
4. Hadis Bahtera Nuh;
Ini termasuk salah satu hadis yang mutawatir yang
diriwayatkan oleh para perawi hadis dan kalangan Ahlus
Sunnah dari Nabi saw.
Diriwayatkan dari Abu Dzarr Al-Ghifari bahwa Rasulullah
saw bersabda, “Perumpamaan Ahli Baitku di tengah-tengah
kalian seperti bahtera Nuh; barang siapa menaikinya,
maka dia akan selamat, dan barang siapa tertinggal
darinya (tidak menaikinya), maka dia akan tenggelam dan
binasa.”[10]
Informasi hadis ini sangat jelas. Ketika kedudukan
Ahlul Bait seperti bahtera Nuh, yang merupakan satu-
satunya perantara untuk selamat dari ketenggelaman
dalam badai yang sangat besar (yang tetjadi di masa
Nabi Nuh as) dan akibat yang buruk (membinasakan), maka
ini berarti bahwa Ahlul bait adalah jalan satu-satunya
untuk selamat dari penyimpangan, kesesatan, danjatuh
dalam lembah kebinasaan.
Tanda Tanya (?)
Tidak pemah disebutkan bahwa Khalifah pertama (Abu
Bakar) mendapatkan pertentangan dalam mencalonkan
khalifah kedua (Umar bin Al-Khathab).
Di hadapan peristiwa tersebut perlu diberikan tanda
tanya besar, yaitu: Bukankah hadis-hadis Nabi saw
seputar masa depan kekhalifahan dan pemerintahan sangat
jelas, yaitu ketika Nabi saw mengumumkan identitas
khalifah yang akan datang, yang dia tergolong
kepanjangan Nabi saw dalam garis perjalanannya?
Apakah ucapan khalifah pertama yang keluar dari
lisannya, sedangkan dia dalam keadaan tidak sadar lebih
jelas daripada hadis-hadis Nabi saw sepanjang lebih
dari dua puluh tahun?
Apakah khalifah pertama lebih peduli akan tanggung
jawab daripada penutup para nabi?
Dan bagaimana mungkin beramal dengan fatwa-fatwa mazhab
yang empat dan menaati para imamnya adalah suatu
keharusan yang diwajibkan, padahal tidak diriwayatkan
satu hadis pun dari Nabi saw yang membolehkan (umat
Islam) mengikuti mereka? Kemudian mengikuti mazhab
Ahlul Bait bukan suatu kewajiban, sementara hadis-hadis
Nabi saw secara gamblang mengharuskan umat Islam untuk
menaati Ahlul Bait?
Selain itu, hadis-hadis para imam Ahlul Bait as adalah
kepanjangan dari hadis-hadis Nabi saw dan riwayat dari
beliau, sementara mazhab yang empat hanya mencerminkan
pendapat-pendapat pribadi dari empat imam tersebut.
5. Hadis Tsaqalain;
Hadis ats-tsaqalain tergolong hadis yang paling sahih
dan tepercaya di kalangan ulama Islam, bahkan ia adalah
hadis yang telah mencapai derajat mutawatir.
Ia adalah sabda Nabi saw, “Wahai manusia, sesungguhnya
telah dekat masanya aku hendak dipanggil (wafat), maka
aku pun akan memenuhi panggilan itu. Sesungguhnya aku
telah meninggalkan kepada kalian dua peninggalan yang
sangat berharga (ats- tsaqalain), yaitu Kitabullah dan
keturunanku, Ahli Baitku.”[11]
Rasulullah saw juga bersabda, “Ali bersama al-Quran,
dan al-Quran bersama Ali.”[12]
Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa Nabi saw sering
mengulang-ulang hadis ats-tsaqalain dalam beberapa
kesempatan. Nabi saw menyebutkan hadis tersebut dalam
haji Wada’ di Arafah, ketika beliau sakit di Madinah
yang membawa pada kewafatannya, dan di Ghadir Khum,
serta ketika beliau kembali dari Thaif.
Ibn Hajar mengomentari pengulangan hadis ats-tsaqalain
ini dalam beberapa kesempatan bahwa hal itu sama sekali
tidak bertentangan. Sebab, Nabi saw mengulang-ulang
hadis atstsaqalain tersebut karena pentingnya al-Quran
dan keturunan beliau yang suci.[13]
Sesungguhnya penggabungan antara al-Quran al-Karim dan
Ahlul Bait as menunjukkan bahwa al-Quran membutuhkan
penafsiran dari Ahlul Bait, dan juga menunjukkan
keterikatan yang kuat antara keluarga Rasulullah as
dengan al-Quran al-Karim, ia adalah ikatan yang kukuh
yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
Berdasarkan hal ini, maka sesungguhnya penafsiran al-
Quran yang jauh dari penafsiran Ahlul Bait as akan
berakibat pada penyimpangan dan kesesatan.
Sebab, penggabungan antara al-Quran al-Karim dan Ahlul
Bait as menunjukkan bahwa keduanya berjalan pada garis
yang sama dan tujuan yang sama pula.
Oleh karena itu Nabi saw bersabda, “…dan sesungguhnya
keduanya (al-Quran dan Ahlul Bait) tidak akan pernah
berpisah hingga menjumpaiku di Haudh.”
Berdasarkan hal ini, berpegang hanya dengan salah
satunya sama halnya dengan menyingkirkan keduanya
sekaligus. Dan dari sini pula kita dapat mengetahui
bahaya perkataan, “Cukuplah bagi kita Kitabullah” yang
diucapkan pada situasi yang peka dalam sejarah Islam.
Kandungan hadis ats-tsaqalain ini juga mengungkapkan
makna penting seputar Ahlul Bait as, yakni kemaksuman
dan kesucian mereka sesuci-sucinya.
6. Hadis Dua Belas Khalifah;
Nabi saw telah menegaskan bilangan khalifah beliau
dalam hadis yang terkenal yang diriwayatkan oleh dua
kelompok besar Muslim, Syi’ah dan Ahlus Sunnah. Nabi
saw bersabda, “Sesungguhnya khalifahkhalifahku sama
dengan bilangan para pemimpin Bani Israil, dua belas
pemimpin. Mereka semuanya berasal dari Quraisy.”[14]
Syaikh Sulaiman Al-Qunduzi Al-Hanafi berkata, “Sebagian
ahli tahkik mengatakan, “Sesungguhnya hadis-hadis yang
menunjukkan bahwa bilangan khalifah Rasulullah saw
sepeninggal beliau ada dua betas khalifah telah
terkenal dan diriwayatkan dalam jalur riwayat yang
banyak. Maka, dengan penjelasan (berjalannya) waktu
serta pembatasan alam dan tempat, aku mengetahui bahwa
yang dimaksudkan oleh Rasulullah saw dalam hadisnya
tersebut adalah para imam dua belas dari Ahlul Bait dan
keturunan beliau. Sebab, tidak mungkin hadis ini
diterapkan pada para khalifah sepeninggal beliau dari
kalangan sahabatnya karena sedikitnya jumlah mereka
yang kurang dari dua belas.
Tidak mungkin pula diterapkan pada raja-raja dari
kalangan Bani Umayyah karena jumlah mereka yang
melebihi dua belas dan juga karena kezaliman mereka
yang melampaui batas kecuali Umar bin Abdi! Aziz, juga
karena mereka bukan dari kalangan Bani Hasyim. Sebab,
Nabi saw bersabda, ‘Semuanya dari Bani Hasyim.’
Dalam riwayat Abdul Malik dari Jabir dan pelirihan
suara Nabi saw dalam ucapan ini menguatkan riwayat ini.
Sebab, mereka tidak menyukai kekhalifahan Bani Hasyim.
Demikian pula hadis dua belas khalifah ini tidak dapat
diterapkan pada raja-raja dari kalangan Bani Abbas
(Abbasiyyah) karena bilangan mereka yang melebihi dua
belas orang dan karena kurangnya perhatian mereka
terhadap Ahlul Bait. Padahal Allah Swt telah berfirman,
“Katakanlah, ‘Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah
pun atas seruanku kecuali kecintaanmu kepada
keluargaku.”[15] dan hadis kisa’.
Oleh karena itu, hadis dua belas ini harus diterapkan
pada para imam dua belas dari Ahli Bait Nabi saw dan
keturunan beliau. Sebab, mereka adalah orang-orang yang
paling pandai dan paling mulia pada zamannya. Mereka
paling wara: paling bertakwa, dan paling luhur nasab
mereka. Mereka adalah orang-orang yang paling mulia di
sisi Allah. Ilmu mereka bersumber dari leluhur mereka
yang hersambung dengan kakek mereka, Nabi saw, dan dari
warisan serta ilmu laduni.”[16]
CATATAN :
[1] Musnad Ahmad, 1/344.
[2] Sunan At-Tirmidzi, 5130.
[3] Mustodrak Al-Hakim, 3/131.
[4] Tarikh Ath-Thabari, 2/320, dan Musnad Ahmad, 1/111.
[5] QS. an-Najm [53]: 3-4
[6] Tarikh Ath-Thabari, 2/172
[7] Shahih Al-Bukhari, 3/58.
[8] QS. Ali Imran [3]: 61
[9] Shahih Muslim, 7/120
[10] Kanzul Ummal, 1/250
[11] Shohih Muslim, 7/122.
[12] Yanabi’ul Mawaddah, 32, 40.
[13] Ash-Shawa’iqul Muhriqah, bab 11, hal. 89.
[14] Shahih Muslim, 612.
[15] QS. asy-Syu’ara [42]: 23.
[16] Yanabi’ul Mawaddah, hal. 446.