Taubat Yazid
Tanya: Apakah setelah kejadian tersebut Yazid
bertaubat? Sebenarnya apakah taubat seseorang seperti
dia dapat diterima?
Jawab: Untuk menjawab pertanyaan ini kita membutuhkan
dua pembahasan; pembahasan seputar sejarah dan juga
pembahasan ilmu kalam. Pembahasan kedua dalam menjawab
pertanyaan ini bergantung dengan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan seperti apakah mungkin orang
seperti ini mendapatkan taufiq untuk bertaubat setelah
melakukan dosa luar biasa tersebut? Jika memang ia
bertaubat, apakah taubatnya memang benar-benar atau
hanya sekedar berpura-pura? Dengan membaca ayat-ayat
dan riwayat yang menerangkan bahwa segala dosa dapat
diampuni, apakah sebenarnya ada pengecualiannya? dan
pertanyaan-pertanyaan lain seperti itu… Pertanyaan ini
pada dasarnya adalah pertanyaan yang muncul dari
jawaban pertanyaan yang lain, yaitu pertanyaan “Apakah
Yazid benar-benar bertaubat dan membayar dosanya?”
Jika pertanyaan tersebut terjawab dengan jawaban “ya”,
maka barulah kita bertanya kembali “Apakah taubatnya
bisa diterima?”. Tapi jika terbukti dalam sejarah
Yazid sama sekali tidak menyesali perbuatannya, maka
jelaslah permasalahannya.
Hampir semua sejarawan, ulama dan ahli hadis Islam
meyakini Yazid sebagai seorang pendosa besar yang
patut dikecam, terutama setelah terbukti ialah yang
menciptakan peristiwa Asyura. Akan tetapi ada juga
sebagian tokoh seperti Ghazali dalam Ihyaul Ulum-nya
yang melarang kita melaknat Yazid karena mungkin dia
telah bertaubat.
Ghazali yang dengan ketenarannya itu tidak diterima
pendapatnya mengenai pembelaan terhadap Yazid. Banyak
yang menentang pendapatnya, seperti Ibnu Jauzi (597
H.) yang sampai menulis satu kitab yang berjudul
Arraddu Alal Mu’tashib Al Anid.
Akan tetapi di sepanjang masa sering terdengar bisik-
bisik mengenai adanya kemungkinan Yazid bertaubat,
khususnya dari para orientalis seperti Lamens, seorang
Yahudi, dalam Maqalatu Dairatul Ma’arif Al Islam
(cetakan pertama). Di kalangan Muslimin juga akhir-
akhir ini sering terdengar hal yang sama. Dengan
demikian kita merasa permasalahan ini sangat penting
sekali untuk dibahas.
Di sini kita akan membawakan beberapa potong teks yang
terdapat dalam beberapa sumber yang dijadikan oleh
banyak orang sebagai dalil adanya kemungkinan Yazid
bertaubat setelah peristiwa Asyura:
1. Ibnu Qutaibah dalam Al Imamah wal Siyasah[1]
menulis: “Setelah kejadian-kejadian itu berlangsung di
istana Yazid, ia menangis begitu lama sehingga hampir
saja nyawa melayang dari tubuhnya karena kesedihan
yang dirasa.”
2. Ketika kepala-kepala para syuhada dan juga para
tawanan dihadirkan di istana Yazid, Yazid terharu dan
menuding Ibnu Ziyad sebagai pelaku kejahatan lalu
berkata, “Semoga Allah melaknat Ibnu Marjanah
(Ubaidillah bin Ziyad) yang mencoreng mukaku di
hadapan Muslimin sehingga aku dibenci oleh mereka!”[2]
Dalam sumber yang lain disebutkan bahwa sebenarnya ia
tidak ingin bersikap keras terhadap Imam Husain as.
atas pertentangannya terhadap dirinya. Ia sama sekali
tidak menerima terbunuhnya Al Husain as. lalu menuduh
Ibnu Ziyad sebagai pembunuh Imam Husain as. yang
sebenarnya.[3]
3. Ketika rombongan keluarga dan sahabat Imam Husain
as. sedang bergerak menuju Madinah, Yazid berkata
kepada Imam Sajjad as., “Semoga Allah melaknat Ibnu
Marjanah. Sumpah demi Allah, jika seandainya aku yang
berada di hadapan Al Husain as., maka aku akan
memenuhi apapun yang ia minta dan aku tidak akan
membiarkannya terbunuh meskipun apa yang kulakukan itu
menyebabkan kematian anak-anakku sendiri.”[4]
Jika anggap saja kita mau menerima riwayat-riwayat di
atas tanpa peduli dengan sanadnya, maka kita akan
mendapatkan beberapa poin berikut ini:
Pertama, pelaku pembunuhan Imam Husain as. yang
sbenarnya adalah Ibnu Ziyad dan Yazid sama sekali
tidak memberikan perintah kepada Ibnu Ziyad untuk
memenggal kepala beliau.
Kedua, Yazid sangat marah dan melaknat Ibnu Ziyad
akibat perbuatannya.
Ketiga, Yazid sangat terharu dan menyesali terbunuhnya
Imam Husain as.
Mengenai hal pertama, dalam sejarah dengan teramat
jelas tercatat bukti-bukti kejahatan yang telah Yazid
lakukan; dan dengan demikian jika Yazid mengaku tidak
bersalah maka artinya adalah kebohongan yang nyata.
Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, begitu tahta
pemerintahan jatuh di tangan Yazid setelah kematian
ayahnya, ia menuliskan sebuah surat yang diperuntukkan
kepada Walid bin Utbah yang isinya, “Begitu suratku
sampai di tanganmu, maka bergegaslah bawa Husain bin
Ali dan Ibnu Zubair ke hadapanmu, mintalah baiat dari
mereka berdua, dan jika mereka menolak, penggallah
kepala mereka berdua dan bawa kepadaku.”[5]
Dalam sumber-sumber yang lain juga disebutkan bahwa
begitu Yazid mengetahui keberadaan Imam Husain as. di
Makkah, ia mengirimkan beberapa orang utusannya dan
mereka ditugasi untuk membunuh beliau di saat
melaksanakan ibadah hajinya.[6] Hal ini juga
disinggung oleh Ibnu Abbas dalam suratnya yang ditulis
untuk Yazid.[7] Juga pernah disebutkan juga bahwa
ketika Imam Husain as. bergerak menuju Iraq, Yazid
dengan segera menuliskan suratnya kepada Ibnu Ziyad
untuk bersikap keras terhadap beliau[8] dan pada
akhirnya Ibnu Ziyad sendiri mengaku bahwa Yazid memang
memerintahkannya untuk membunuh Imam Husain as.[9]
Abdullah bin Abbas menulis sepucuk surat untuk Yazid
dan dalam surat itu Ibnu Abbas menyebutnya sebagai
pembunuh Imam Husain as. dan para pemuda keturunan
Abdul Muthalib. Ia mencaci Yazid dengan berkata,
“Jangan pernah kau kira aku lupa bahwa engkau telah
membunuh Husain dan para pemuda keturunan Abdul
Muthalib!”[10]
Kejahatan Yazid begitu jelas sekali. Anaknya sendiri
yang bernama Mu’awiyah bin Yazid pada suatu hari pergi
ke atas mimbar Masjid Jami’ Damaskus dan berbceramah
sambil memaki ayahnya dengan berkata, “…dia telah
membunuh keturunan Rasulullah saw.!”[11]
Kesimpulannya, kenyataan bahwa Imam Husain as. dibunuh
atas perintah Yazid tidak dapat diingkari lagi dan
tercatat jelas dalam sejarah.[12]
Adapun mengenai kemarahan Yazid ketika mendengar Ibnu
Ziyad memenggal kepala Imam Husain as., tak lain dan
tak bukan hanyalah kebohongan semata. Terbukti dalam
buku-buku sejarah bahwa ketika ia mendengar
terbununhnya Imam Husain as. ia justru merasa bahagia
dan bahkan memberikan acungan jempol kepada Ibnu
Ziyad. Dalam kitabnya, Sibth bin Jauzi menceritakan
pujian-pujian Yazid kepada Ibnu Ziyad, hadiah-hadiah
berharga yang ia berikan kepadanya, pesta semalaman
dengan acaara meminum minuman keras sekeluarga dan
lain sebagainya. Ia juga menukilkan syair-syair Yazid
yang kandungannya adalah dukungan serta pujiannya
terhadap Ibnu Ziyad yang telah membunuh cucu nabi.[13]
Sejarah juga menceritakan bahwa Yazid sama sekali
tidak punya niatan untuk menurunkan jabatan yang
disandang Ibnu Ziyad di Iraq. Ibnu Ziyad tetap di
jabatannya hingga tahun 63 H. dan saat Ibnu Zubair
memimpin gerakan perjuangannya, Yazid meminta Ibnu
Ziyad untuk ikut berperang melawannya.[14]
Oleh karenanya, jika seandainya ia menunjukkan
kemarahannya atas terbunuhnya Imam Husain as., maka
itu pasti karena ia berpura-pura. Saat itu banyak
orang terbawa ucapan Zainab as. dan Imam Sajjad as.
sehingga mereka membenci Yazid. Untuk menghilangkan
kebencian inilah Yazid berpura-pura tidak terima akan
perbuatan Ibnu Ziyad.
Adapun Yazid sangat bersedih dan menyesali kepergian
Imam Husain as., ini juga jelas-jelas bohong. Dalam
sejarah disebutkan dengan jelas bahwa ketika kepala-
kepala para syuhada dan para tawanan dihadirkan ke
hadapan Yazid di Damaskus, ia menampakkan
kegirangannya lalu memukul gigi-gigi Imam Husain as.
dengan tongkat kayu![15]
Ia juga tidak lupa membacakan syair-syairnya yang
menandakan kebencian keluarga Umayah terhadap Bani
Hasyim[16] karena pada suatu hari neneknya yang
bernama Hindun, saudaranya Walid, dan beberapa orang
dari keluarganya terbunuh di tangan para sahabat
Rasulullah saw.
Dalam syairnya terdapat kata-kata yang menggambarkan
kedangkalan pikirannya. Ia menganggap kenabian sebagai
alasan untuk mendapatkan kekuasaan duniawi. Ia
berkata, “Bani Hasyim telah bermain-main dengan
kekuasaan ini. Sungguh tidak ada yang namanya kenabian
dan juga tidak pernah turun yang namanya wahyu.”[17]
Ya, ia pasti menunjukkan kesedihannya saat itu; karena
jika ia menunjukkan kegembiraannya di saat orang-orang
di sekitarnya sedih pasti ia akan dihajar masa.
Sebagai penutup pembahasan ini, kami ingin menjelaskan
dua permasalahan:
Pertama, kita pasti bisa membaca bahwa ketika ia
menunjukkan rasa sedih atau kemarahan atas terbunuhnya
Imam Husain as., di saat-saat seperti itu maka
kenyataan yang sesungguhnya adalah kebalikannya. Ia
hanya bersiasat. Sama sekali tidak ditemukan tanda-
tanda ia menyesal dan bertaubat secara tulus. Oleh
karena itu, kita musti menganalisa sikap Yazid
tersebut dalam segi politik. Karena sikap yang
demikian tidak dapat disebut dengan taubat sehingga
kita musti bertanya-tanya lagi setelah itu, “Apakah
boleh kita melaknat Yazid jika ia telah bertaubat?”
Kedua, jika Yazid benar-benar bertaubat, mari kita
buktikan dengan melihat sikap dan perbuatannya setelah
taubat itu. Dengan jelas sejarah menceritakan
perilakunya sepanjang hidup yang jelas-jelas
bertentangan dengan taubat. Dua tahun sebelum
kepemimpinannya berakhir, ia melakukan dua kejahatan
yang lain:
1. Membantai warga Madinah dan menghalalkan harta
benda mereka untuk pasukannya selama tiga hari. Banyak
para sahabat nabi yang terbunuh di kota itu. Kejadian
ini dikenal dengan kejadian Harrah.[18]
2. Ia memerintahkan pasukannya untuk menyerang Makkah
dan menginjak-injak kehormatan Ka’bah dengan cara
membakarnya.[19]
Jika kita membaca sejarah, kita akan dapati bahwa
Yazid bukan hanya tidak menyesali perbuatannya, bahkan
ia terus melakukan kejahatan sesuka hatinya. Oleh
karena itu, tidak ada larangan untuk melaknat Yazid.
CATATAN :
[1] Al Imamah wal Siyasah, jilid 2, halaman 8.
[2] Sibth Ibnu Jauzi, Tadzkiratul Khawash, halaman
256.
[3] Al Kamil fi At Tarikh, jilid 2, halaman 578.
[4] Ibid.
[5] Tarikh Ya’qubi, jilid 2, halaman 241.
[6] Luhuf, halaman 82.
[7] Tadzkiratul Khawash, halaman 275 yang mana Ibnu
Abbas berkata kepada Yazid, “Apakah engkau lupa bahwa
engkau pernah mengirimkan utusanmu menuju Makkah untuk
membunuh Al Husain as.?”; Tarikh Ya’qubi, jilid 2
halaman 249.
[8] Ibnu Abdur Rabbah, Al Aqdul Farid, jilid 5,
halaman 130; Suyuthi, Tarikhul Khulafa, halaman 165.
[9] Tajarubul Umam, jilid 2, halaman 77
[10] Tarikh Ya’qubi, jilid 2, halaman 248.
[11] Ibid, jilid 2, halaman 254.
[12] Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut,
silahkan rujuk Arrikabul Husaini fis Syam wa minhu
ilal Madinah Al Munawarah, jilid 6, yang merupakan
bagian dari satu kumpulan Ma’ar Rikabil Husaini Minal
Madinah Ilal Madinah, jilid 6, halaman 54-61.
[13] Tadzkiratul Khawash, halaman 29.
[14] Tajarubul Umam, jilid 2, halaman 77.
[15] Tarikh Ya’qubi, jilid 2, halaman 245.
[16] Ibnu Abil Hadid, Syarah Nahjul Balaghah, jilid
14, halaman 280.
[17] Maqtal Khwarazmi, jilid 2, halaman 58;
Tadzkiratul Khawash, halaman 261.
[18] Al Kamil, Ibnu Atsir, jilid 2, halaman 593.
[19] Ibid, halaman 206.