Kedermawanan para Imam
Seorang murid berdialog dengan gurunya
tentang Imam-Imam maksum yang dikenal begitu
dermawan:
Murid: “Dalam riwayat sering sekali
disebutkan kisah-kisah kedermawanan para
Imam. Apakah semua riwayat itu sahih dan
benar?”
Guru: “Ada kemungkinannya sebagian riwayat-
riwayat itu tidak benar. Namun karena riwayat
tentang kedermawanan para Imam sangat banyak
sekali, kita tidak bisa menolak semuanya.
Sebagai contoh, perhatikan riwayat-riwayat
berikut ini:
1. Abdurrahman Salami megajarkan surah Al
Fatihah kepada anak Imam Husain as, lalu
beliau memberinya seribu Dinar dan pakaian-
pakaian baru.[1]
2. Seorang musafir yang kehabisan bekal
mendatangi Imam Ridha as dan berkata, “Aku
seorang musafir yang kehabisan bekal. Berilah
aku biaya agar bisa kembali ke rumahku. Aku
berjanji nanti aku akan bersedekah kepada
orang-orang fakir sebanyak yang kamu beri.”
Imam Ridha as bangkit dan masuk ke dalam
rumah. Beliau membawa sekantung uang yang
berisi dua ratus Dirham lalu memberinya
kepada musafir itu seraya berkata, “Ambillah
ini. Tidak perlu kau bersedekah sebanyak yang
kuberi.”[2]
3. Imam Sajjad memberi dua belas ribu Dirham
kepada Farazdaq, seorang penyair yang hidup
di dalam penjara seraya berkata, “Terimalah
uang ini demi aku.” Lalu Farazdaq pun
menerimanya.[3]
4. Di’bil, seorang penyair yang sering
menciptakan syair-syair mengenang syahidnya
para Imam, pernah dikirim sekantong keping
emas oleh Imam Ridha as yang berisi seratus
Dinar. Di’bil menjual keping-keping itu
kepada orang-orang Iraq, yang mana tiap
kepingnya terjual sebanyak seratus Dirham.[4]
Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat yang
lainnya…”
Murid: “Jika riwayat-riwayat itu memang
benar, lalu mengapa ada riwayat lain yang
menjelaskan bahwa para Imam sangat berhati-
hati dalam menggunakan uang Baitul Mal?
Misalnya diriwayatkan bahwa saat Aqil,
saudara Imam Ali as, meminta jatah yang lebih
dari Baitul Mal, Imam Ali as menolaknya dan
mendekatkan besi panas ke wajahnya sambil
berkata, “Engkau saja ketakutan dengan api di
dunia ini, bagaimana kamu mau menyeretku ke
api neraka dengan perbuatanmu?”[5]
Guru: “Jangan salah, jangan kamu pikir satu-
satunya pemasukan Imam hanyalah Baitul Mal
semata, sehingga bagimu kenyataan ini
terlihat bertentangan. Para Imam memiliki
sumber pencaharian yang bermacam-macam. Yang
bersangkutan dengan Baitul Mal, ya Imam
sangat berhati-hati, seperti apa yang
dilakukan Imam Ali as. Namun pendapatan para
Imam tidak terbatas pada Baitul Mal saja,
misalnya selama 25 tahun Abu Bakar, Umar dan
Utsman menjadi khalifah, beliau melihat para
pengikutnya berada dalam tekanan ekonomi.
Oleh karena itu beliu sibuk berladang dan
membuat perkebunan korma, yang hasilnya
beliau berikan kepada para pengikutnya. Lalu
beliau akhirnya mewakafkan ladang tersebut
supaya digunakan anak cucunya sebagai mata
pencaharian yang hasilnya dapat diberikan
kepada para pengikut Ahlul Bait as yang
butuh.
Imam Ja’far Shadiq as, Imam Baqir as, Imam
Kadzim as, dan Imam-Imam lainnya juga
memiliki pertanian dan peternakan, terkadang
juga mereka mengirim sebagian sahabatnya
untuk berdagang. Karena mereka tahu jika
pengikutnya tertekan karena kesulitan ekonomi
bisa jadi satu per satu mengulurkan tangan
meminta-minta kepada musuh. Oleh karenanya
para Imam berusaha mencari bantuan dari jalan
yang halal untuk memenuhi kebutuhan mereka.”
Murid: “Jadi pemasukan mereka tidak hanya
terbatas pada Baitul Mal saja. Bisakah anda
menyebutkan beberapa riwayat lagi mengenai
pemasukan mereka selain dari Baitul Mal?”
Guru: “Ya, misalnya:
1. Imam Ali as memiliki dua ladang yang
beliau serahkan kepada Abu Naizar untuk
dikelola. Dengan demikian salah satu
ladangnya bernama Ladang Abu Naizar dan
satunya lagi Bughaibughah.
Abu Naizar berkata, “Pada suatu hari, Imam
Ali as memasuki ladang dan bertanya, “Apakah
kamu punya makanan?”
Aku berkata, “Ya aku punya sedikit makanan
yang kuambil dari hasil ladang ini.” Lalu
beliau memakannya, setelah itu beliau
mengambil cangkul dan menggali perairan
ladang agar lebih baik. Beliau terus
mencangkul hingga badannya berlumuran
keringat, dan akhirnya perairan ladang
memiliki air lebih banyak dari sebelumnya.
Setelah itu beliau berkata, “Demi Tuhan aku
ingin mewakafkan ladang ini.” Ia meminta pena
dan kertas untuk menulis perjanjian wakaf.
Diriwayatkan bahwa Imam Husain as pernah
berhutang. Mu’awiyah pun mendengar kabar itu,
lalu mengirim dua ratus ribu Dinar kepada
beliau seraya berkata, “Juallah perkebunan
itu padaku.” Imam Husain as menolak dengan
berkata, “Ayahku telah mewakafkannya agar
kelak wajahnya aman dari api neraka. Aku
tidak akan pernah bersedia menjualnya.”[6]
2. Imam Baqir as sedag sibuk mencangkul dan
menyiapkan tanah untuk ditanami. Datang
seorang yang berlaga zuhud, yang bernama
Muhammad bin Munkadir, dan mengkritik Imam
dengan menyebutnya sebagai orang yang rakus
harta dunia. Ia berkata kepada Imam, “Jika
engkau mati dalam keadaan seperti ini, engkau
pasti akan dihisab dengan susah payah.” Namun
Imam Baqir as menjawab, “Demi Tuhan jika aku
mati dalam keadaan seperti ini berarti aku
mati di jalan ketaatan kepada Allah. Dengan
usaha dan jerih payah aku tidak mau meminta-
minta padamu dan siapapun. Aku hanya takut
mati dalam keadaan berdosa.”[7]
Riwayat serupa pun penah ditukil berkaitan
dengan Imam Shadiq as.[8]
3. Abu Hamzah berkata, “Ayahku pernah
berkata, “Aku pergi ke sebuah ladang, lalu
aku melihat Imam Kadzim as sedang sibuk
mencangkul. Badannya berlumuran dengan
keringat. Aku bertanya, “Di manakah pekerja-
pekerjamu yang lainnya? Mengapa anda
mencangkul sendiri?” Beliau menjawab, “Mereka
yang lebih baik dari aku dan ayahku, semuanya
bekerja dengan tangannya sendiri.” Lalu aku
bertanya, “Siapakah mereka?” Beliau menjawab,
“Mereka adalah Rasulullah saw, Amirul Mukinin
Ali as, kakek-kakeku, dan para nabi; semuanya
bekerja keras dengan tangan mereka sendiri,
dan inilah pekerjaan hamba-hamba Allah swt
yang saleh.”[9]
Murid: “Wah, menakjubkan sekali. Aku suka
mendengar lebih banyak dari anda jika ada
yang mau anda sampaikan.”
Guru: “Di jaman para Imam, pengikut-pengikut
Ahlul Bait as benar-benar dizalimi,
diasingkan dan hak-hak mereka tidak diberikan
oleh pemerintah zalim. Oleh karena itu para
Imam as bekerja keras untuk memudahkan hidup
mereka. Ya, uang Baitul Mal memang bisa
digunakan denga sangat hati-hati demi
terjaganya umat Islam; dan mereka, para Imam
berhak menggunakannya dalam tujuan ini. Namun
mereka tidak hanya memanfaatkan Baitul Mal,
mereka juga bekerja dengan keringat sendiri.
Semua itu dilakukan demi terjaganya umat dan
kemudahan hidup bersama.[10]
CATATAN :
[1] Manaqib Aali Abi Thalib, jilid 4, halaman
66.
[2] Furu’ Kafi, jilid 4, halaman 23 dan 24.
[3] Anwarul Bahiyah, halaman 125.
[4] Uyunu Akhbari Ridha, jilid 2, halaman
263.
[5] Nahjul Balaghah, khutbah 224.
[6] Mu’jamul Buldan, jilid 4, halaman 176.
[7] Irsyad Syaikh Mufid, halaman 284;
Mustadrak Al Wasail, jilid 2, halaman 514.
[8] Furu’ Kafi, jilid 5, halaman 74.
[9] Ibid, halaman 75.
[10] Seratus Satu Dialog, Muhammad Muhammadi
Isytihardi, halaman 337.