Sejarah Hijab
Pengetahuan saya tentang sejarah tidaklah sempurna. Kita baru bisa memberikan pandangan tentang berbagai budaya suku dan bangsa yang ada sebelum munculnya Islam, ketika kita memiliki pengetahuan dan wawasan sejarah yang sempurna. Namun ada satu hal yang telah diterima oleh semua kalangan yaitu bahwa sebelum kedatangan agama Islam budaya hijab telah ada pada sebagian suku dan bangsa.
Pada berbagai sumber yang telah saya baca berkenaan dengan hal ini, dijelaskan bahwa telah terdapat hijab di Iran Kuno dan kaum Yahudi. Begitu pula di India, terdapat kemungkinan adanya hijab. Namun hijab yang terdapat di semua kaum ini lebih ketat dari hijab yang terdapat dalam hukum Islam. Adapun di kalangan kaum Arab Jahiliyah tidak terdapat hijab, karena hijab muncul di kalangan Arab melalui perantaraan agama Islam.
Will Durant dalam The History of Civilization (Sejarah Peradaban) tentang kaum Yahudi dan kitab Talmud menuliskan: “Apabila seorang wanita melanggar ketentuan-ketentuan hukum Yahudi, seperti keluar rumah tanpa mengenakan sesuatu yang menutupi kepalanya…dan berkumpul dengan orang-orang atau mengungkapkan perasaannya pada laki-laki atau berbicara dengan suara keras sehingga terdengar oleh tetangga maka suaminya berhak mentalaknya tanpa memberikan mahar.“[1]
Oleh karena itu, hijab yang terdapat pada kaum Yahudi lebih keras dan lebih berat dari hijab Islam—sebagaimana yang akan dipaparkan pada pembahasan berikutnya secara terperinci.
Dalam buku yang sama, berkaitan dengan masyarakat Iran Kuno, Will Durant berkata: “Di zaman Majusi—Zoroaster(penyembah api)—wanita mempunyai kedudukan yang tinggi, mereka berinteraksi dengan masyarakat dengan bebas dan wajah tanpa penutup…“[2]
Lantas ia melanjutkan perkataannya: “Setelah zaman Darwisy kedudukan wanita menjadi rendah, khususnya mereka yang berasal dari kalangan elit (kaya). untuk Para wanita miskin terpaksa harus keluar rumah bekerja, berkumpul dengan orang-orang dan harus melindungi diri mereka sendiri. Sedangkan kebiasaan para wanita mengurung diri di dalam rumah ketika sedang haid terus berlangsung sehingga akhirnya aktivitas sosial mereka terhenti dan hal inilah yang kemudian dianggap sebagai penyebab munculnya hijab di kalangan kaum muslimin. Para wanita dari kalangan sosial atas juga tidak berani untuk keluar rumah kecuali dengan memakai penutup muka. Mereka tidak pernah diberi izin untuk berhubungan dengan laki-laki secara terang-terangan. Bahkana para wanita yang telah bersuami tidak berhak melihat laki-laki lain walaupun laki-laki itu adalah ayah atau saudara laki-laki mereka sendiri. Dari peninggalan lukisan-lukisan Iran Kuno tidak terlihat satu pun paras muka seorang wanita, begitu pula namanya…“[3]
Berdasarkan penjelasan Will Durant ini, maka jelaslah bahwa hijab yang sangat ketat berlaku di Iran Kuno sehingga ayah dan saudara laki-laki sekalipun dianggap bukan muhrim bagi wanita yang telah bersuami. Lebih jauh, Will Durant berpendapat bahwa peraturan keras adat dan agama Majusi tentang wanita yang harus dikurung di dalam kamar selama masa haid dan diasingkan dari semua orang, adalah penyebab munculnya budaya hijab di zaman Iran Kuno. Peraturan dan adat seperti ini juga dikenakan bagi wanita haid di kalangan penganut agama Yahudi.
Tetapi, apakah maksud Will Durant dari pernyataan: ”Perkara ini (mengurung wanita haid) merupakan sebab diwajibkannya hijab di kalangan wanita penganut agama Islam?”. Apakah yang dimaksud adalah bahwa sebab munculnya hijab di dalam Islam adalah peraturan keras yang terjadi pada para wanita haid? Kita mengetahui bahwa tidak pernah ada peraturan seperti ini di dalam ajaran Islam. Wanita haid dalam Islam hanya mendapatkan dispensasi untuk tidak melakukan beberapa ibadah seperti shalat dan puasa serta larangan berhubungan seksual dengan suaminya selama masa haid. Dan tidak ada larangan baginya dalam hal interaksi dengan orang lain sehingga ia terpaksa harus mengurung diri pada saat itu.
Dan jika yang dimaksud Will Durant dari pernyataan tersebut adalah munculnya hijab di kalangan wanita muslim merupakan penularan dari adat dan kebiasaan penduduk Iran setelah mereka memeluk Islam, adalah sebuah analisa yang tidak benar. Karena sebelum orang-orang Iran masuk Islam, ayat-ayat yang berkaitan dengan hijab telah diturunkan.
Dari ucapannya yang lain, dapat dipahami bahwa Will Durant berpendapat bahwa hijab muncul dan berkembang di antara kaum muslimin melalui perantaraan orang-orang Iran yang masuk Islam dan larangan berhubungan seksual dengan wanita haid cukup memberikan pengaruh dalam perintah mengenakan hijab bagi para wanita muslimah, atau paling tidak dalam pengasingan mereka di saat haid. Ia melanjutkan:
Hubungan antara Iran dan Arab adalah salah satu penyebab meluasnya hijab dan homoseks di wilayah Islam. Laki-laki Arab pada waktu itu takut akan rayuan wanita tetapi mereka selalu tergila-gila akan hal itu. Maka mereka berusaha membalasnya dengan menutupi pengaruh alami wanita melalui sikap mendua yang biasa dimiliki para lelaki berkaitan dengan kesucian dan keutamaan wanita.[4] Sahabat Umar berkata pada kaumnya: “Bermusyawarahlah dengan wanita akan tetapi kerjakanlah yang berbeda dengan pendapat mereka.” Pada abad pertama, para wanita muslim tidak memakai hijab, laki-laki bisa bertemu dengan mereka, berjalan, pergi ke mesjid dan shalat bersama. Hijab baru ditetapkan pada zaman Walid Kedua (126-127 H).
Pengurungan terhadap wanita muncul setelah adanya larangan bagi suami untuk berhubungan seksual dengan wanita pada saat-saat haid dan nifas mereka.“[5]
Di halaman lain, Will Durant menuliskan: “Rasulullah telah melarang wanita memakai baju longgar, akan tetapi sebagian orang-orang Arab tidak melaksanakan perintah ini. Pada saat itu, semua kalangan memiliki perhiasan. Para wanita memakai baju pendek dengan sabuk yang berkilauan, pakaian lebar dan berwarna-warni. Mereka mengurai rambut atau mengikatnya dengan indah dan kadang-kadang mereka memakai celak dan benang sutra hitam pada rambutnya. Biasanya mereka merias dirinya dengan permata atau bunga. Kemudian pada tahun 97 Hijriah mereka memakai penutup (cadar) wajah dari bawah mata mereka dan setelah itu kebiasaan ini menjadi meluas di kalangan mereka.“[6]
Sedangkan dalam karyanya tentang orang Iran Kuno, Will Durant menyatakan: “Tidak ada larangan dalam nikah mut’ah. Nikah mut’ah ini sama seperti kesenangan di kalangan orang-orang Yunani dan bebas untuk dilakukan. Bahkan mereka terang-terangan melakukan dan memperlihatkannya pada masyarakat dan mereka (para wanita) hadir di perjamuan para lelaki sedangkan istri resminya dikurung di dalam rumahnya. Adat kebiasaan Iran kuno tersebut akhirnya menyebar ke dalam Islam.“[7]
Will Durant berbicara sedemikian rupa seolah-olah di zaman Rasulullah tidak ada secuilpun peraturan tentang hijab wanita dan beliau hanya melarang wanita memakai baju lebar! Dan sampai akhir abad pertama dan awal abad kedua para wanita muslim berinteraksi tanpa memakai hijab. Tentu saja hal ini tidak benar dan sejarah pun telah membuktikannya. Tidak bisa diragukan bahwa wanita pada zaman jahiliah memang seperti yang dipaparkan oleh Will Durant, namun Islam telah mengadakan perombakan besar-besaran dalam hal ini. Aisyah selalu memuji-muji para wanita Anshar dan berkata demikian: “Keselamatan bagi para wanita Anshar. Setelah ayat-ayat surah Nur turun, tidak terlihat seorang pun dari mereka keluar rumah seperti sebelumnya. Mereka menutupi kepalanya dengan jilbab hitam, seolah-olah ada burung gagak bertengger di kepalanya.“[8]
Kent Gubino, dalam bukunya Tiga Tahun di Iran, meyakini bahwa hijab yang sangat keras di zaman Dinasti Sasani masih tersisa ketika Islam masuk di kalangan orang-orang Iran. Ia juga berkeyakinan bahwa hijab yang ada di Iran Sasani bukan hanya penutup bagi wanita tetapi menyembunyikan dan mengasingkan wanita di dalam rumah. Di saat yang sama, para raja dan keluarganya memperlakukan wanita dengan semena-mena. Apabila mereka melihat wanita cantik di suatu rumah, maka mereka akan mengambil dan membawanya dengan paksa.
Adapun Jawahir Nehru, mantan perdana menteri India, juga berkeyakinan bahwa hijab dalam Islam muncul melalui bangsa-bangsa non muslim seperti Roma dan Iran kuno. Dalam karyanya yang berjudul Menilik Sejarah Dunia pada jilid pertama halaman 328, selain memuji-muji peradaban Islam dan perubahan yang muncul setelah Islam, ia menyatakan: “Berkaitan dengan kondisi para wanita, telah terjadi sebuah perubahan besar dan sangat menakjubkan secara berangsur-angsur. Sebelumnya, tidak adat kebiasaan hijab di kalangan para wanita Arab. Mereka hidup dalam kondisi yang tidak terpisah dan tersembunyi dari kaum laki-laki. Mereka hadir di tempat umum, pergi berlalu lalang ke masjid dan pengajian, bahkan kadang mereka sendiri yang memberikan pelajaran dan petuah. Tetapi, setelah bangsa Arab mencapai kemajuan, secara berangsur-angsur mereka meniru adat kebiasaan dua emperatur tetangga yaitu Romawi dan Persia. Bangsa Arab telah mengalahkan emperatur Roma dan mengakhiri kekuasaan emperatur Persia. Tetapi malah mereka sendiri yang tertular kebiasaan dan adat buruk kedua emperatur ini. Menurut beberapa sumber, adat kebiasaan pemisahan wanita dari laki-laki dan hijab yang terdapat di kalangan Arab muncul karena pengaruh emperatur Konstatinopel dan bangsa Persia”.
Adalah tidak benar jika dikatakan bahwa hanya karena pengaruh interaksi muslim Arab dengan muslim non Arab yang memeluk Islam setelahnya, hijab menjadi lebih ketat dari yang ada di zaman Rasulullah saww.
Dari ungkapan Nehru dapat diambil kesimpulan bahwa dalam bangsa Romawi juga terdapat hijab (mungkin berasal dari pengaruh bangsa Yahudi) dan adat memiliki selir berasal dari bangsa Romawi dan Persia yang kemudian menyebar di kalangan para khalifah Islam.
Di India pun, hijab sangat ketat dan keras. Akan tetapi belum jelas, apakah hijab di India telah ada sebelum masuknya Islam atau setelah masuknya Islam ke India? Dan apakah orang-orang Hindu menerima hijab karena pengaruh kaum muslimin khususnya kaum muslimin Iran? Namun yang pasti adalah bahwa hijab orang-orang India sangat ketat dan keras sekali, seperti hijab orang Iran Kuno.
Will Durant juga menyatakan bahwa hijab di India muncul melalui perantaraan kaum muslimin Iran.[9] Sedangkan Nehru berkata: “Sangat disesalkan, tradisi buruk ini sedikit demi sedikit menjadi bagian dari Islam. Dan penduduk India mempelajari hal itu sewaktu orang-orang Islam mendatangi wilayahnya”.
Nehru berkeyakinan bahwa hijab muncul di India melalui perantaraan kaum muslimin yang datang ke India. Namun, jika kita menerima bahwa salah satu sebab munculnya hijab ialah karena kecenderungan untuk bertapa dan meninggalkan segala bentuk kenikmatan, maka hijab di India telah muncul sejak masa-masa sebelum datangnya Islam. Karena kawasan India merupakan pusat lama pertapaan dan pengkebirian segala bentuk kenikmatan materi.
Sementara itu, Bernard Russel dalam karyanya Pernikahan dan Etika, pada halaman 135 menyatakan: “Etika seksual yang terdapat pada masyarakat beradab (maju) bersumber pada dua hal. Pertama kecenderungan untuk konsisten pada jiwa kebapakan, kedua keyakinan para pertapa tentang tercelanya cinta. Etika seksual pada masa sebelum munculnya agama Masehi dan di kalangan para raja di kawasan Timur Jauh, hingga kini hanya bersumber pada hal pertama. Kecuali India dan Iran Kuno karena kehidupan pertapaan muncul dari sana dan kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia”.
Dengan demikian hijab telah ada sebelum kemunculan Islam dan Islam bukanlah pelopor pertama hijab. Sekarang, yang menjadi pertanyaan adalah apakah batasan hijab dalam Islam sama dengan batasan hijab dalam bangsa-bangsa kuno atau tidak? Begitu juga, apakah sebab dan filsafat hijab dalam pandangan Islam sama persis dengan sebab dan falsafah hijab dalam pandangan non Islam? Hal ini akan dijelaskan dalam pembahasan-pembahasan berikutnya.
CATATAN :
[1] Will Durant , The Story of Civilization, jilid 12, hal 30.
[2] Ibid, jilid 1, hal 552.
[3] Ibid.
[4] Ibid, jilid 11, hal 112.
[5] Ibid.
[6] Ibid, hal 111.
[7] Ibid, jilid 11, hal 223.
[8] Kasyaf, di bawah penjelasan surah Nur ayat 31.
[9] Ibid, jilid 2.
[2] Ibid, jilid 1, hal 552.
[3] Ibid.
[4] Ibid, jilid 11, hal 112.
[5] Ibid.
[6] Ibid, hal 111.
[7] Ibid, jilid 11, hal 223.
[8] Kasyaf, di bawah penjelasan surah Nur ayat 31.
[9] Ibid, jilid 2.