Manusia Sampai Rela Mati
Imam Muhammad Baqir as dalam sebuah riwayat yang pernah saya baca, ketika beliau berjalan disapa oleh seseorang, Hai baqar (sapi)!.
Mendengar sapaan itu, beliau turun dari tunggangannya, menghampiri orang itu dan berkata kepadanya, Saya bukan baqar, tapi nama saya Bâqir (pembelah ilmu).
Itu bukan hal yang biasa, tak ada angin tak ada hujan, tak kenal pula siapa orang itu, tiba-tiba menyebut beliau dengan sebutan nama binatang! Benar kata orang-orang, bahwa tak kenal maka tak sayang. Lebih jauh lagi, orang bijak mengatakan: Manusia adalah budak kebaikan. Sebagian orang terkadang berubah menjadi sangat baik setelah diberi. Menjadi nurut setelah dipenuhi perutnya.
Alakullihal. Tema di sini bukan soal reaksi dan aksi, atau tentang etika meski bisa dikaitkan dengannya. Melainkan tentang sebuah hakikat pada setiap manusia dan cara pandangnya terhadap kehidupan yang dia jalani.
Pandangan manusia tak lepas dari pengetahuan dan kecenderungan pada dirinya, yang menjadi dasar atas keputusan yang dia ambil dan motifasi dalam melakukan suatu tindakan. Seperti, mengapa Anda memilih untuk beragama -atau tidak beragama? Lalu menjadi atau memilih beragama Islam ketimbang memeluk agama-agama, dan sampai bermazhab ini di antara mazhab-mazhab lainnya. Sampai pada soal untuk apa Anda sampai mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri Anda sendiri?
Pengetahuan dan Kecenderungan
Di dalam logika dikatakan bahwa manusia itu se-genus dengan haiwan (yang hidup bergerak dengan keinginannya. Dari sisi ini, ia tak beda dengan binatang yang juga mempunyai pengetahuan dan kecenderungan. Ialah pengetahuan akan alam sekitarnya, dan bergerak mencari apa yang dia inginkan. Namun di sisi lain, manusia mempunyai pengetahuan dan kecenderungan yang khas. Jadi, pada diri manusia terdapat kesamaan dan kebedaan dengan binatang.
Syahid Mutahari dalam bukunya, Muqademei bar Jahanbini-e Islami, menerangkan cirikhas pengetahuan dan kecenderungan yang dimiliki binatang -yang ada pada manusia:
Pertama, pengetahuan pada binatang tentang alam ini diperolehnya melalui indera lahiriahnya. Oleh karena itu pengetahuannya:
1-Sebatas permukaan dan bersifat lahiriah.
2-Partikular (juz`i; konsep yang tak lebih dari satu eksten).
3-Seputar lingkungan hidupnya.
4-Terkait masa sekarang.
Empat hal itulah yang membatasi jangkauan pengetahuannya. Sekiranya lebih dari itu, pengetahuan pada binatang bukan atas pilihannya, melainkan bersifat natural.
Kedua, kecenderungannya juga demikian:
1-Bersifat material; tak lebih dari pangan, papan, main, kawin dan tidur. Kecenderungan spiritual dan beretika tak berlaku baginya.
2-Bersifat personal; hanya berkaitan dengan dirinya, tempat tinggal atau pasangan dan anak-anaknya.
3-Terbatas oleh ruang lingkup yang mengitarinya.
4-Terkait dengan masa berlangsung.
Pengetahuan dan Kecenderungan Manusia
Manusia juga demikian dalam semua hal tersebut. Namun, pada saat yang sama memiliki tingkat pengetahuan dan kecenderungan yang jauh lebih luas dan keluar dari semua keterbatasan di atas. Diferensi manusia (yaitu keberakalannya) memiliki kualitas dan level jauh lebih tinggi dari spesis-spesis haiwan lainnya. Bahwa, pengetahuan dan kecenderungannya:
Pertama, lebih dari apa-apa yang tampak (lahiriah). Pencapaiannya sampai pada esensi dan subtansi, dan apa saja yang tak lepas dari sesuatu yang dijangkau oleh inderanya.
Kedua, dengan akalnya memiliki konsep-konsep universal.
Ketiga, tak terbatas oleh ruang dan waktu. Pengetahuannya melampaui sesuatu di balik kehidupan yang mengitarinya.
Keempat, mampu mencapai pengetahuan tentang masa lalu (sejarah) dirinya dan alam ini, dan berfikir atau memikirkan tentang masa datang, sampai pada soal keabadian.
Tingkat kecenderungannya pun sedalam, seluas dan setinggi jangkauan pengetahuannya tersebut. Bahwa, manusia adalah makhluk pencari nilai, pendamba kebahagiaan dan pengejar kesempurnaan. Bukan kebahagiaan atau kepentingan material yang dia cari, atau yang tak hanya untuk dirinya sendiri, bahkan untuk isteri dan anak-anaknya. Tetapi yang meliputi semua orang dan tak sebatas di ruang dan waktu tertentu.
Terkadang nilai keyakinan dan kepentingannya itu lebih dari apapun, sehingga hal mengabdi kepada orang banyak atau kemanusiaan menjadi lebih penting dari kepentingannya sendiri. Ia menjadi merasa sedih dan gembira, atau suka dan dukanya, karena orang lain dalam kesedihan atau kegembiraan. Demi kepentingan yang suci dan apa yang dia yakini, ia sumbangkan kekayaannya, sampai pada batas rela mati mengorbankan jiwanya.
Referensi:
-Muqademei bar Jahanbini-e Islami/Murtadha Muthahari