APA DAMPAK BURUK MEMBACA AL-QURAN TIDAK TARTIL?
Dalam Al-Qur’an surat Al Muzammil ayat 4 Allah berfirman “…dan bacalah Al-Qur’an secara tartil…”. Setelah bulan Ramadhan yang sudah banyak diisi dengan tadarus Al-Qur’an, tentu saja kita berharap bahwa di bulan-bulan setelah Ramadhan aktivitas tersebut bisa terus dilanggengkan, bahkan diperbaiki. Salah satu caranya adalah belajar membaca Al-Qur’an secara tartil sebagaimana ayat yang disebutkan di atas. Lantas bagaimanakah bacaan Al-Qur’an yang tartil itu?
Contoh penjelasan yang mudah tentang memahami pentingnya tartil Al-Qur’an adalah berdasarkan keterangan Gus. H. Kamal Fauzi Syifa’, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ulum, Kota Malang. Kepada seluruh santri dan jamaah, secara turun-temurun dan konsisten, beliau jelaskan bahwa pada dasarnya membaca Al-Qur’an itu secara tartil sebagaimana perintah Al-Qur’an.
Kiai alumnus Pesantren Sidogiri dan banyak pesantren di Jawa ini mengutip penjelasan Sayyidina Ali bin Abi Thalib bahwa tartil adalah “tajwidul huruf, wa ma’rifatul wuquf (mengindahkan bacaan huruf, dan mengetahui tentang hukum waqaf-nya.”
“Tartil itu penting karena berperan besar ke makna bacaan. Keliru membaca Al-Qur’an itu, bisa karena sebab makharijul huruf-nya tidak terpenuhi, bacaan pendek yang dibaca panjang atau sebaliknya, juga cara berhenti memenggal bacaan ayat dan kalimat yang tidak pas,” ujar Gus Fauzi, begitu beliau biasa dipanggil.
“Contoh bacaan yang kurang tepat makhraj-nya: semisal Anda membaca di Surat Al Ghasyiyah,
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ
Artinya adalah: “Tidakkah mereka melihat kepada Unta, bagaimana ia diciptakan?”. Padahal ayat ini sangat hebat, yaitu perintah kepada manusia untuk memerhatikan unta yang diciptakan begitu hebat sebagai hewan yang tangguh di padang pasir. Tapi kalau membacanya seperti ini:
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ حُلِقَتْ
Bacaan kha’ pada khuliqat menjadi ha’, karena kurang tepat cara bacanya, bisa bermakna begini: “Tidakkah mereka melihat kepada Unta, bagaimana ia dicukur?”
Kemudian beliau mencontohkan bacaan pendek yang menjadi panjang, yang perlu diperhatikan. Seperti dalam lafal ألله أكبر, huruf ba’ dibaca pendek, artinya Allah Maha Besar. Kalau dibaca panjang, maka menjadi ألله أكبار, artinya ‘Allah adalah beberapa gendang’. أكبار adalah bentuk kata banyak dari كَبَرٌ, yang artinya gendang. Bacaan panjang dan pendek ini perlu diperhatikan saat membaca Al-Qur’an.
“Lalu yang terakhir, mengapa memahami letak berhenti dan memulai bacaan, al waqf wal ibtida’ itu penting? Ini seperti ketika Anda keliru memenggal kalimat. Saya beri contoh: ‘Tentara hijau bajunya membawa senapan’. Anda bisa tepat memahami kalimat ini jika tepat pemenggalannya: ‘Tentara/ hijau bajunya / membawa senapan’. Jika keliru memenggal kalimat ‘Tentara hijau/ bajunya membawa senapan’, jadi sulit dipahami kalimat ini. Nah, begitu pun dalam membaca Al-Qur’an. Hal ini untuk menjaga makna Al-Qur’an,”. Demikianlah yang selalu beliau sampaikan dalam pelbagai forum pengajian bersama santri dan masyarakat sekitar, dari masa ke masa.
Hal yang beliau juga tekankan mengenai urgensi dan manfaat belajar Al-Qur’an secara tekun dan sabar dikutip dari sebuah hadis, bahwa orang yang membaca Al-Qur’an, akan selalu mendapat kebaikan. Begitu juga orang yang membaca dan belajar, meskipun terbata-bata, akan mendapat dua kebaikan: ganjaran atas bacaan Al-Qur’an-nya serta balasan kebajikan atas usahanya belajar membaca Al-Qur’an. Selagi masih ada kesempatan, mari kita selalu berusaha memperbaiki bacaan Al-Qur’an kita. Semoga ibadah kita semakin berkualitas selalu. Wallahu a’lam.