Lapisan Peradaban
Peradaban mengandung tiga lapisan. Lapisan yang pertama, yaitu lapisan yang terluar, adalah lapisan yang paling tampak, terobservasi, teramati, terdeteksi yang memiliki bentuk pejal, material, dan fisik. Infrastruktur, jalan-jalan, mall, parkir, taman-taman, toko-tokoh, pasar, bioskop adalah lapisan luar dari peradaban manusia.
Lapisan kedua yang menjadi basis dari lapisan luar yaitu aturan, regulasi, kebijakan, policy, konstitusi, kesepakatan sosial, hukum, perda dan sebagainya. Lapisan kedualah yang melahirkan lapisan pertama. Infrastruktur kota dan desa dibangun karena lahir dari izin-izin yang menjadi bagian dari kebijakan dan policy. Seorang pengusaha yang nakal dan pejabat yang korup mungkin saja bisa memanipulasi izin dan juga prosedur kebijakan yang akan mengganggu keselarasan antara lapisan kedua dan lapisan yang pertama.
Lapisan yang ketiga yaitu yagn lebih subtil dan lebih abstrak dari yang kedua apalagi yang lapisan luar yaitu paradigma, pandangan hidup, ideologi dan sejenisnya. Antara lapisan kedua dan ketiga mungkin saja terjadi overlaps dan relasi yang masih tidak belum jelas dikonstruksikan. Sebagian peradaban mungkin hanya mengadopsi dua lapisan saja yang dapat disederhanakan dengan lapisan teoretis dan lapiasn praktis atau pragmatis.
Lapisan yang paling dalam yaitu yang paling abstrak adalah yang menentukan dan merekatkan peradaban-peradaban fisik, material yang sekarang telah menjadi lingkungan tempat dimana manusia melakukan aktifitas di tempat kerja, di jalanan, di sekolah, di pasar, di masjid dan sebagainya. Tempat itu adalah manifestasi dari paradigma atau pandangan hidup.
Pandangan hidup yang lebih luas, lebih komprehensif, lebih holistik dan multidimensional selayaknya melahirkan tata ruang fisik yang membebaskan, menginspirasi, dan menjadikan hidup lebih egaliter, harmonis dengan sesama manusia, dan juga dengan lingkungan hidupnya.
Tata ruang di Indonesia yang telah mengalami perkembangan yang mengejutkan yang diprediksi dalam menggerus kearifan-kearifan lokal dan nusantara dan juga menciptakan manusia-manusia kotak yang lebih senang bersembunyi, lebih suka menjustifikasi individualisme dan kurang aktif di luar menimbulkan banyak pertanyaan. Apa yang menjadi latar belakang semua ini? Apakah di lapisan kedua atau di ketiga ataukah terjadi manipulasi prosedur dan oknum-oknum yang menjual belikan kebijakan kepara para pemiki kapitas besar?
Di sisi lain, manusia-manusia Indonesia terutama yang tinggal di kota mulai kehilangan ruangan untuk berkreasi, mengeksplorasi, dan membebaskan diri dari kungkungan situasi. Tapi tempat itu sekarang ditempati oleh barang-barang, oleh komoditas, oleh kendaraan dan oleh kekuatan yang bisa memisahkan manusia dari lingkungan, yang dapat memisahkan manusia dari sinar matahari, dari sumber air, dari pepohonan, dari hutan, dari keluarga, dari teman dan dari dirinya sendiri.
Manusia tidak bisa hidup tanpa tempat, karena apa arti manusia sebagai makhluk sosial jika tidak ada ruang untuk bertemu, ruang yang cukup luas untuk berdiskusi dan berbicara, ruang untuk melakuakan konsolidasi, pertemuan , ruangan untuk bermain anak-anak dan ruangan untuk melakukan zikir dan munajat?
Ruang atau tempat adalah area yang pasti terkait dengan tanah. Dan Islam memberikan perhatian yang serius dalam urusan tanah. Menurut Sayyid Mufid Husayni al-Kawtsari, Mengelola tanah sehingga menjadi subur dan menghidupkan potensi-potensi suatu wilayah adalah perintah Allah swt . Allah Swt memerintahkan manusia agar mengelola tanahnya dengan baik.
….هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَ اسْتَعْمَرَكُمْ فيها ………..
Ialah yang menciptakan kalian dari tanah dan Ia juga memerintahkan kalian agar memakmurkan tanah!” (QS Hud : 61)
Menurut Imam Ali mengelola tanah menjadi subur adalah perintah tuhan, karena tuhan tahu di tanah yang subur akan tumbuh hal yang dibutuhkan bagi keberlangsungan hidup spesies manusia. Di dalam riwayat lain diungkapkan bahwa ciri-ciri pemimpin yang baik adalah kebijakan yang memihak pengelolaan tanah. Mengelola tanah menjadi subur adalah salah satu strategi untuk membangun sebuah kota. Strategi lain yaitu membangun pusat-pusat peternakan, industri dan pusat-pusat perdagangan .
Di zaman para imam sebenarnya sudah dikenal istilah yang dekat dengan istilah sekarang yaitu kemajuan. Para imam menyebutnya dengan istilah menghijaukan tanah atau menyuburkan kota. Produktifitas dan pengembangan kekayaan alam menjadi sumber kehidupan manusia dalam batas-batas kebutuhan manusia, bukan untuk mengekploitasi secara berlebihan atau bermewah-mewahan.
Di tempat lain Sayyid Mufid Husayni al-Kawtasi juga mengingatkan bahwa Imam Ali sendiri memperingatkan ancaman Allah swt dalam hadisnya:
“Sesiapa yang memiliki aset air dan tanah tapi tetap miskin maka Allah akan menjauhinya.”[1]
Islam adalah agama yang banyak memberikan perhatian yang serius terhadap pengelolaan aset-aset tanah, Islam sangat membenci pengelolaan tanah yang asal-asalan, atau membiarkan tanah menjadi mati dan tidak bermanfaat. Allah swt dalam ayat al-Quran mengingatkan bahwa :
ia yang menciptakan kalian dari tanah dan Ia memerintahkan kalian untuk memakmurkan tanah!
Rasulullah saw mengatakan :
“Siapa yang memiliki aset tanah maka manfaatkanlah atau serahkan pengurusannnya terhadap saudaramu tapi jangan mengambil upah darinya!”
CATATAN :
[1] Biharul Anwar