Hakikat Wahyu (Bagian Pertama)
Wahyu Dalam Bahasa
Para peneliti kosa kata berkeyakinan bahwa wahyu adalah suatu kaidah untuk penyampaian ilmu, makrifat, dan lainnya. Kekhususan dan spesifikasi dari wahyu di antaranya adalah: isyarat cepat terhadap penulisan dan risalah, pemberitahuan terhadap misteri dan simbol, terkadang dalam bentuk tak berkomposisi, isyarat terhadap sebagian anggota-anggota badan, dan terkadang dalam artian ilham dan ungkapan rahasia serta tersembunyi. Oleh karena itu, rahasia, cepat, dan misteri merupakan pilar-pilar asli dari wahyu.
Wahyu Dalam Al-Qur’an
Wahyu kebanyakan dari jenis ilmu dan kognisi, bukan dari jenis amal dan perbuatan; dan ilmu merupakan dimensi khusus dari wujud yang tidak terlaburi mahiyah; kendatipun mahiyah senantiasa menyertainya. Oleh sebab itu, wahyu adalah sebuah komprehensi yang digali dari eksistensi. Dari sisi ini maka wahyu tidak mempunyai kuiditas dan tidak mungkin didefinisikan dengan jalan genus, difrensia, definisi, dan deskripsi. Jadi wahyu bersih dari semua itu yang berada di bawah kategori-kategori popular kuiditas, dan komprehensi wahyu –seperti pengertian eksistensi– mempunyai wujud luar (ekstensi), dimana misdaknya sendiri mempunyai tingkatan yang berbeda dan beragam.
Penjelasan tentang masalah ini:
1. Setiap ” wujud mungkin” terangkap dari wujud dan mahiyah.
2. Sesudah diurai akal dan dipisahkan mahiyah dari wujud, meskipun masing-masing dari mahiyah dan wujud ini adalah “mungkin” (possible), tetapi tidak satupun secara sendirian terangkap dari wujud dan mahiyah; yakni sesudah diurai oleh akal, meskipun masing-masing harus disertai lainnya, akan tetapi dalam atmosfir analisa, tidak satupun dari keduanya adalah berkomposisi.
3. Wahyu ilmi adalah dari jenis ilmu, dan ilmu adalah dari tipe wujud; apakah ia itu ilmu husuli ataukah ia ilmu huduri.
4. Wahyu adalah dari tipe ilmu huduri, bukan dari jenis ilmu husuli; akan tetapi dari bagian spesifik ilmu huduri, bukan mutlak ilmu tersebut.
5. Mungkin saja kadang suatu matlab terlontar dalam hati dalam bentuk ilmu husuli dan merupakan bagian dari wahyu.
Dalam kultur al-Qur’an semua maujud-maujud mendapatkan saham dari ilmu dan kesadaran serta semuanya dapat mengambil manfaat dari jenis wahyu dan ilham. Seluruh alam ciptaan dalam sistem eksistensi berada di bawah pengelolaan Tuhan serta Tuhan adalah pengajar mereka, dan ini memungkinkan bahwa Tuhan terkadang dari jalan wahyu atau ilham melontarkan dan memahamkan suatu hakikat kepada manusia, malaikat, hewan, tumbuhan, bahkan hatta bebatuan; meskipun pada dasarnya terdapat juga jalan-jalan selain jalan pewahyuan dalam masalah ini.
Maka dari itu:
a. Karena wahyu galibnya dari jenis ta’lim yang memiliki kekhususan tersembunyi, cepat, dan misteri maka pengajaran terang-terangan, dihadiri orang lain, lambat, bertahap, dan tanpa simbol tidaklah masuk dalam kunci dan gembok wahyu.
Simbol atau sandi, bukanlah ambigu dan global, sebab dalam perkara global dan ambigu tersimpan kegelapan dan ketidaktahuan, tetapi ungkapan yang bersandi memiliki isyarat terhadap makna-makna, yang mana dalam perkara wahyu, gembok dan kuncinya berada di tangan para nabi As.
Pengetahuan global berbaur dengan kejahilan dan ilmu ijmâl (ilmu global dalam ilmu ushul fikh), yaitu percampuran dari beragam ketidaktahuan dengan satu ilmu.
Kendatipun wahyu galibnya dari tipe ilmu dan kognisi, tetapi terkadang ia juga dari jenis keputusan dan resolusi ilmu; dalam berhadapan dengan doktrin dan dogma. Terkadang iradah (kehendak) melakukan pekerjaan diperoleh dari wahyu, seperti: “Kami wahyukan kepada ibu Musa…” dan “Kami wahyukan kepada mereka perbuatan kebaikan…” , dimana dalam masalah-masalah ini yang menjadi perkara diwahyukan adalah iradah, keputusan, dan pergerakan dalam diri, yang mana tidak satupun dari mereka ini termasuk dari kategori mafhum dzihni.
b. Demikian pula wahyu, bukanlah munajat dan pembicaraan bisik-bisik serta sembunyi-sembunyi. Dalam Islam sejati, seluruh al-Qur’an, adalah wahyu Tuhan: “…dan al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku agar dengan itu aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang yang sampai (al-Qur’an kepadanya)” ; “Kami menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya engkau sebelum itu dinisbahkan kepadanya adalah orang yang tidak mengetahui” .
Oleh karena itu, jika seseorang melakukan perenungan, pemikiran, dan tadabbur dalam ayat-ayat al-Qur’an, dia akan mengenal satu sudut dari rahasia-rahasia wahyu; sebab al-Qur’an adalah kalam Tuhan dan kalam Tuhan adalah wahyu-Nya. Dia adalah pengajar yang berbicara dengan manusia dengan perantara wahyu, dan seluruh alam eksistensi serta manusia mendapat pengajaran serta mendengarkan kalam Ilahi. Di samping itu, manusia sendiri juga adalah kalam Tuhan. Sebagai petunjuk bahwasanya Tuhan berbicara dengan manusia dengan kalam-Nya, al-Qur’an menyetir firman Tuhan dalam ayat-ayatnya: “…dan Allah bebicara (kallama) kepada Musa dengan pembicaraan (taklîman)” ; “…di antara mereka ada yang (langsung) Allah berbicara dengannya dan sebagian lagi ada yang ditinggikan-Nya beberapa derajat.”
Jadi pada hakikatnya kita dapat meneliti seukuran kapasitas akal, kemampuan memahami dan mempersepsi diri kita terhadap wahyu dan kalam Tuhan; sebagaimana dapat juga dengan seukuran kapasitas itu melakukan penjelajahan intelektual dalam wilayah dzat, asmâ (nama-nama) dan sifat-sifat-Nya.
Dalam al-Qur’an karim terdapat banyak ayat-ayat yang berbicara tentang wahyu, dimana masing-masing dari ayat-ayat itu mengandung pesan-pesan kepada alam pemikiran, makrifat, dan ilmu. Sebelum kami utarakan beberapa aplikasi dari sebagian ayat-ayat al-Qur’an yang mengupas tentang wahyu, perlu kiranya beberapa poin berikut ini diketahui:
– Kendatipun makna totalitas wahyu adalah satu dan terpaparkan dalam bentuk musytarak maknawi (bukan musytarak lafzhi), akan tetapi dikarenakan di antara misdak-misdak terjadi perbedaan yang dalam dan jarak yang curam maka hal ini menjadi pangkal timbulnya praduga dan kemungkinan akan persepsi musytarak lafzhi di antara mereka, dan ini adalah penyebab dinamakannya makna seperti ini dengan nama musyakkik; sebab mengarahkan pendengar pada syak dan keraguan bahwa makna lafazh (kata) ini dari tipe musytarak lafzhi ataukah musytarak maknawi; sementara itu kesatuan komprehensi adalah dalil dari isytirâk maknawi, sedangkan perbedaan yang dalam di antara misdak-misdak adalah sanad akan isytirâk lafzhi. Dengan segala tinjauan, dapat dinyatakan bahwa hakikat makna wahyu adalah satu dan musyakkik.
– Wahyu para nabi As mempunyai kekhususan tersendiri dan tidak boleh salah dipersepsikan dengan misdak-misdak lainnya, hatta dengan pengalaman keagamaan para urafa terkemuka.
– Wahyu tasyrii para nabi berbeda degan wahyu takwini mereka; apatah lagi dengan misdak-misdak wahyu lainnya (maksudnya lebih jelas perbedaannya).
– Topik wahyu –sebagaimana topik ilmu– bisa saja hakikatnya adalah satu, dan nisbahnya terhadap faktor pelaku dan faktor penerima telah menyebabkan timbulnya topik-topik yang beragam; seperti hakikat ilmu yang jika dinisbahkan kepada faktor pelaku maka ia adalah ta’lîm, dan jika dinisbahkan terhadap faktor penerima maka ia adalah ta’allum; kendatipun perbedaan tipis di antara tiga macam topik dan istilah ini (ta’lîm, ta’allum, dan ilmu) tetap terpelihara. Disini juga peristiwa pewahyuan, penerimaan wahyu, dan wahyu bisa saja ditilik dimensi keragamannya dan pada saat yang sama menjaga dimensi kesatuannya.
Lontaran-lontaran Setan
Telah diisyaratkan (dalam pembahasan kenabian) bahwa wilayah bersih memori dan ingatan para nabi adalah suci dari terlaburi kebusukan-kebususkan lontaran dan hembusan setani; sebab iblis tidak mempunyai kemampuan merasuk ke dalam harîm muqaddas (wilayah suci) qalbu mereka. Pancaran sempurna ishmah dan kesucian meliputi dan menyelimuti hati-hati mereka dan puncak yang tinggi serta sinaran akal mereka tidak tergapai dan terjangkau oleh wâhimah (imaginative) dan khayalan-khayalan setani; akan tetapi pada person dan pribadi yang tidak maksum tentu saja setan mempunyai kemampuan untuk menembus dan melontarkan bisikan-bisikan dan perkataan-perkataan Ahriman (Tuhan keburukan dalam agama Zoroaster); sebagaimana al-Qur’an mengisyaratkan hal ini dalam beberapa ayatnya, seperti:
“Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka melontarkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan.”
“Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu.”
Dunia ini adalah tempat berniaga, sebagian orang dapat mengambil keuntungan untuk akhirat mereka dan sebagian lainnya hanya mendapatkan kerugian; sebagian orang memanfaatkan usianya dan dalam berhadapan dengannya memperoleh ilmu, makrifat, pengorbanan, kemanusiaan, kebaikan, dan kemuliaan. Mereka berniaga dengan orang yang karîm dan mulia serta tidak bermajlis dengan orang-orang rendah akhlak dan hina moral. Dalam berniaga dengan pribadi karîm dan mulia, bisa saja harga barang dan barang keduanya kembali kepada sipeniaga.
Sekelompok orang juga berbarter dengan setan dan dalam perdagangan ini, modal, harga, barang, dan seluruh miliknya habis tak tersisa sedikitpun serta mereka juga kehilangan umur, amal, akidah, iman, dan air muka. Setan dalam bermuamalah dengan manusia, tidak akan pernah membuka jalan keberuntungan bagi lawan niaganya. Ia akan merenggut seluruh modal dan investasi manusia dan menggiring mereka ke jurang curam kerugian; seperti sinar matahari panas yang mencairkan es dagangan seorang pedagang es hingga membuatnya jadi rugi.
Turunnya wahyu untuk memperingatkan manusia akan akibat malang menerima bisikan dan godaan setan: “…al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku agar dengan itu aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang yang sampai (al-Qur’an kepadanya)” , sehingga setan tidak mampu mempermalukan seseorang dan menghilangkan harga dirinya.
Setan memenjarakan manusia dalam lingkaran pengaruhnya dan memerintahkan tahanan-tahanannya menyebarkan racun akhlak serta melontarkan syubhat-syubhat dalam pemikiran lewat pena dan tulisan, bahasa dan retorika, informasi dan penerbitan, serta kitab, majalah, dan koran, sehingga masyarakat mengalami kegelapan dan kekaburan. Dan ini merupakan cikal bakal tersemainya ketidak beragamaan dan penipisan iman sehingga dengan sekali sentakan mereka terjatuh ke jurang kehancuran kekafiran dan kefasikan: “Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dai surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”.
Oleh karena itu, setan, memasukkan kedalam hati seseorang dengan jalan rahasia, sembunyi, cepat , dan misterius berbagai bentuk wahyu syubhat, yang kemudian dari situlah masuk ke dalam atmosfir masyarakat. Virus berbahaya ini, pertama mencegah manusia yang dimasukinya dari amal mustahab dan selanjutnya diapun meringan-ringankan amal wajib; sampai dia pada akhirnya menjadi misdak dari yat ini: “Kemudian, akibat yang lebih buruk adalah kesudahan bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan. Karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-olokkannya.”
Kebanyakan ideologi dan mazhab buatan sesat yang ada merupakan dampak dan pengaruh dari syubhat-syubhat setan serta ayat-ayat setani yang pada awalnya hinggap dalam hati para cendekiawan dan ilmuan cinta dunia dan selanjutnya mendapat jalan masuk ke dalam jantung masyarakat. Jumlah orang yang berperan nabi-nabi palsu atau gadungan tidak lebih sedikit dari jumlah para nabi hakiki, dan karya serta pengaruh ulama buruk tidak lebih minim dari karya dan pengaruh ulama rabbani. Para nabi Ilahi datang sebagai utusan Tuhan untuk memberi hidayah bangsa-bangsa dan masyarakat, sementara para nabi palsu dan ilmuan buruk menerima lontaran-lontaran setani untuk membuat aliran, mazhab, dan ideologi yang menyesatkan masyarakat.
Setan pada awalnya menipu manusia dan kemudia membuatnya menjadi yakin dan percaya serta pada akhirnya menggambarkan bahwasanya tidak ada yang benar selain ini (buatan pikirannya): “Katakanlah (Muhammad), “Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya?” (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya.”
Setan adalah maujud beringas yang hatta terhadap dirinyapun tidak punya kasih. Ia beribadah enam ribu tahun dan kemudian menghancurkan dirinya untuk selamanya dalam neraka. Amirul Mukminin As berkata: Tidak diketahui bahwa enam ribu tahun itu adalah perhitungan tahun duniawi ataukah ukhrawi. Maujud berbahaya dan beringas seperti ini, bagaimana mungkin mengasihi yang lainnya dan membuka jalan kebenaran pada mereka serta tidak menyergap secara tiba-tiba atas mereka?
Memang, lontaran-lontaran beracunnya adalah cepat, rahasia, dan misterius. Ia dengan para pengikutnya bersembunyi serta merealisasikan kehendak-kehendak busuknya yang terkadang lewat ujung pena-pena mereka. Ia menampakkan lampu hijau dan membuat janji-janji, akan tetapi tidak satupun dari janji itu akan ia penuhi dan tepati.
Berasaskan ini, terkadang manusia menyangka ia telah mendapatkan tongkat Musa atau cincin Sulaiman; mereka lupa bahwasanya tongkat Musa dan cincin Sulaiman tidak dapat dimiliki dan berguna di tangan orang lain. Sebab tongkat tanpa nabi Musa As tidak akan berubah menjadi ular dan pedang dzulfikar tanpa hadhrat Ali As tidak akan menang serta baju tanpa pesan hadhrat Yusuf As tidaklah akan menyebabkan mata buta dapat melihat.