Hati Nurani dan Peradaban(1)
Rorty mengatakan, bertindak sesuai dengan moral tidak perlu dicari dasar-dasar filosofis, religius, atau ideologisnya! Kriteria moral hanya satu: tekad untuk tidak bersikap kejam (Rorty, 1989). Secara implisit Rorty mengajak kita menganalisa lagi sumber terpenting yang sementara ini terlupakan, yaitu dasar moral yang dimiliki oleh semua lapisan manusia dari berbagai bangsa,etnis dan agama.
Agama dan hati nurani
Agama alih-alih turun dari langit hakikatnya adalah datang dari suara-suara hati nurani. Tuhan yang menanamkan dorongan-dorongan pada kesempurnaan karenan itu Tuhan juga menyambutnya dengan menurunkan tuntunan dari langit. Hati nurani saja tidak cukup, karena masih konseptual, abstrak dan tidak detail. Hati nurani membutuhkan tuntutan yang mendetail dan praktis.
Hati nurani membutuhkan agama yang dapat merespon dorongan-dorongan instrinsiknya. Yang kedua agama memang untuk manusia secara universal. disinilah pertemuan antara yang transendental dan humanisme. Jadi hati nurani tidak mungkin menafikan peranan agama sebagaimana agama juga tidak mungkin mengabaikan dorongan-dorongan universal manusia.
Agama tidak mungkin bertentangan dengan nurani universal ini, sebab agama untuk manusia dan bukan untuhan tuhan, Tuhan menurunkan agama karena dalam diri manusia ada keinginan untuk menyempurnakan diri, ada keinginan untuk dalam perspektif tasawuf untuk meniru tuhan, menyerap nama-nama-Nya dalam dirinya. Dalam hal ini kita dapat membaca pemikir Fayerbach dalam perspetif ini ,sepertinya manusia menciptakan agama, karena memang potensi untuk menciptakan agama yang itu sudah disuarakan oleh hati nurani sendiri.
Hati nurani selayaknya dijadikan parameter untuk mengevaluasi setiap tindakan atas nama agama. Sementara ini parameter hatin nurani dikesampingkan dan bahkan dibungkam tidak dijadikan evaluasi untuk melihat tindakan-tindakan atas nama agama yang sangat melukainya. .
Sebagian yang mengaku agamawan membius para pengikutnya dengan data-data ayat-ayat suci parsial untuk membenarkan segala tindakan destruktifnya. Tanpa parameter hatinurani maka setiap orang akan menjadi penguasa kitab suci dan menghegemoni setiap tafsiran lain.
Wahyu dari langit jika ditafsirkan seperti itu pasti paling menjadi tidak peka dengan aspek kemanusiaan yang universal. Agama dalam tanda kutip tidak peka dengan ketidakadilan, sosial, kemiskinan, kebodohan dan penistaan perempuan dan anak-anak.
Andaikata kita mau mengeksplor fitrah ini maka kita harus merenung lagi dengan produk-produk atas nama agama yang justeru sebenarnya bertentangan dengan nilai-nila universal agama. Agama yang sesuai dengan fitrah adalah agama yang menyambut seruan fitrah.
Agama sangat menghargai dan ingin menyempurnakan kecenderungan manusia kepada keindahan, karena itu agama sangat menganjurkan agar manusia memperhatikan keindahan, baik secara lahiriyah maupun batiniyah, Agama juga mengharga kecenderungan manusia kepada kebaikan moral.Agama yang benar tentu saja akan mengapresiasi hati nurani dan menjadikan sebagian bagian dari sumber keagamaan itu sendiri,
Apa yang dilakukan kelompok radikal akhir-akhir ini sudah tidak bisa lagi ditolelir oleh agama sendiri bahkan oleh hari nurai seluruh manusia, kelompok ini menjadi musuh bersama (common enemy) seluruh agama dan peradaban. Hanya segelintir orang yang terbius oleh ayat-ayat parsial secara verbatim yang masih mendukungnya.
Artinya sepatutnya para tokoh agama menempatkan nurani universal ini sebagai parameter untuk mengevaluasi setiap tindakan dan perintah baik itu fatwa, atau hukum yang diatasnamakan sebagain suara Islam. Yang kita lihat tindakan-tindakan dan fatwa destruktif dan biadab dianggap sebagai suara tuhan padahal bertentangan dengan nurani unversal. Pemerkosaan terhadap kaum yang lemah, ancaman dengan cara-cara yang biadab, perang yang dinyalakan kepada siapa saja dengan cara apa saja sekalipun sambil mengutip ayat-ayat suci adalah tidak islami karena dibenci oleh nurani universal ini.
Ali bin Abi Thalib dalam nasihatnya untuk gubernunya malik al-Astar menginformasikan bahwa rakyat hanya ada dua yaitu yang setara dalam keyakinan ada juga yang setara dalam keterciptaanya. Artinya orang lain itu berbeda bungkusan agamanya tapi tetap setara dari sisi sebagai makhluk yang diciptaka oleh tuhan dengan desain tertentu yang memiliki kecenderungan-kecederungan kepada kesempurnaan.
Keserakahan, arogansi, niat-niat yang jahat, dan kebodohan bisa saja menguburkan dan membunuh hati nurani. Kelompok yang menggunakan simbol-simbol agama untuk melegalkan tindakan destruktif dan non manusiawi sebenarnya telah menyayat-nyayat hati nurani sendiri dan hati nurani yang lain, karena itu mengapa selalu direspon negatif oleh seluruh umat dari agama manapun.
Hati nurani sebagai kecenderungan dan pengetahuan universal manusia jika disatukan dan dihimpun akan menjadi monitor dan penggerak peradaban. Karena dibelakang aksi ada ide dan dibelakang ide mengendap pandangan dunia tertentu dan pandangan dunia itu berkembang dari dorongan-dorongan hati nurani. Peradaban itu seperti kulit bawang. Lapisan terluarnya berbentuk karya dan kreasi fisik manusia seperti gedung-gedung, jalan raya, mall, desain kota, arsitek gedung, infrastruktur, atau non fisik seperti regulasi, konstitusi, kebijakan, undang-undang, peraturan dan sejenisnya. Lapisan tengahnya adalah aspirasi, ide, konsep dan lapisan yang paling dalam dan inti adalah pandangan dunia. Pandangan dunia ini atau ideologi terumuskan secara tidak langsung oleh kecenderungan murni dan alami hati nuraninya.
Hati nurani bisa menular dalam suatu momen dan menjadi nurani publik. Karena itu mengapa Angela Merkel dari jerman akhirnya didukung oleh rakyatnya meskipun mengambil kebijakan yang tidak populer diawalnya yaitu menolong kaum pengungsi . Hati nurani publik yang cinta dengan kemanusiaan, dan kebajikan lebih primordial ketimbangan pertimbangan-pertimbangan regional dan nasional. Hati nurani itu pula yang menggerakan bantuan-bantuan internasional tanpa pamrih dari berbagai agama dan bangsa untuk masyarakat Aceh yang terkena dampak sunami.