Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Sumber Syariat Menurut Syiah dan Hadis-hadis Para Imam Ahlulbait as

0 Pendapat 00.0 / 5


Syi'ah Imamiyah - sebagaimana bersumber pada al-Kitab dan sunnah dalam masalah-masalah akidah dan syariat juga merujuk pada hadis-hadis ahlul bait. Syi'ah memandang ucapan, perbuatan, dan persetujuan mereka sebagai dalil atau hujah. Ini tidak berarti bahwa hadis-hadis mereka merupakan dalil sekunder di samping al-Kitab dan sunnah. Hal itu juga tidak berarti bahwa mereka itu para nabi yang menerima wahyu, seperti yang seringkali diduga oleh orang yang tidak memahami akidah dan ushul mereka melainkan karena keluarga suci itu adalah orang-orang yang memelihara ilmu Nabi saww, para penjaga sunnahnya, dan para khalifah sepeninggalannya. Maka ucapan, perbuatan, dan persetujuan mereka meniru sunnah nabi yang mulia. Oleh karena itu, berdalil dengan hadis-hadis mereka pada dasamya adalah berdalil dengan hadis dan ucapan Nabi saww. Agar masalah ini menjadi jelas, berikut kami kemukakan perinciannya.


Syi'ah Imamiyah - sebagaimana bersumber pada al-Kitab dan sunnah dalam masalah-masalah akidah dan syariat juga merujuk pada hadis-hadis ahlul bait. Syi'ah memandang ucapan, perbuatan, dan persetujuan mereka sebagai dalil atau hujah. Ini tidak berarti bahwa hadis-hadis mereka merupakan dalil sekunder di samping al-Kitab dan sunnah. Hal itu juga tidak berarti bahwa mereka itu para nabi yang menerima wahyu, seperti yang seringkali diduga oleh orang yang tidak memahami akidah dan ushul mereka melainkan karena keluarga suci itu adalah orang-orang yang memelihara ilmu Nabi saww, para penjaga sunnahnya, dan para khalifah sepeninggalannya. Maka ucapan, perbuatan, dan persetujuan mereka meniru sunnah nabi yang mulia. Oleh karena itu, berdalil dengan hadis-hadis mereka pada dasamya adalah berdalil dengan hadis dan ucapan Nabi saww. Agar masalah ini menjadi jelas, berikut kami kemukakan perinciannya.


Para imam Syi'ah adalah para washi Nabi saww. Para ulama Syi'ah sepakat bahawa para imam dua belas adalah para washi (orang yang menerima wasiat tentang kepemimpinan) Rasulullah saww. Mereka adalah para imam umat ini dan salah satu dari tsaqalayn ( dua hal yang berat) yang telah diwasiatkan Rasulullah saww di beberapa tempat. Beliau bersabda, " Aku tinggalkan untuk kalian tsaqalayn, iaitu Kitab Allah dan keluargaku."

Hadis ini mutawatir, tetapi tidak perlu kami sebutkan sumber- sumbernya. Dalam hal ini, cukuplah apa yang diterbitkan Dar at-Taqrib Bayna Al-Madzahib Al-Islamiyyah di Cairo.

Syi'ah Imamiyah, seperti kaum Muslim lainnya, meyakini keuniversalan risalah Nabi saww, sebagaimana mereka juga meyakini risalahnya sebagai risalah penutup. Kedua hal itu ditunjukkan dengan firman Allah SWT:

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi- nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al- Ahzab [33]: 40)

Dan sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah kitab yang mulia, yang tidak datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha bijaksana lagi Maha Terpuji. (QS. Fushshilat [41]: 41-42)

Serta beberapa ayat dan hadis yang lain. Keberadaan risalah Nabi saaw sebagai risalah penutup termasuk prinsip-prinsip ajaran agama. Hal itu dijelaskan oleh Al-Qur'an dan hadis-hadis yang mencapai tingkat mutawatir. Di antaranya adalah sabda Rasulullah saww ketika pergi menuju Perang Tabuk. Ketika itu ' Ali as bertanya, "Bolehkah aku ikut?" Beliau menjawab, "Tidak." Maka 'Ali pun menangis. Kemudian Rasulullah saww berkata kepada ' Ali, "Tidakkah engkau rela dengan posisimu di sampingku seperti kedudukan Harun as di sisi Musa as. Namun, tidak ada nabi sesudahku."

Amirul Mukminin ' Ali, imam pertama dari dua belas imam, ketika memandikan jenazah Rasulullah saww berkata, "Ibu bapakku sebagai tebusanmu, dengan kematianmu terputuslah apa yang tidak terputus oleh kematian orang selainmu. Yaitu, kenabian, berita, dan kabar dari langit."

Dalam kesempatan lain, ‘Ali as pemah berkata, "Rasulullah saw adalah penutup para nabi. Tidak ada nabi dan rasul sesudahnya. Rasulullah menutup para nabi hingga hari kiamat."

Pembahasan ini kami cukupkan sampai di sini. Siapa saja yang ingin mengetahui dalil-dalil dari para imam tentang berakhimya kenabian, terputusnya wahyu, dan tertutupnya pintu pensyariatan setelah wafat Nabi saww, silakan merujuk pada bagian ketiga buku kami Mafahim Al-Qur'an. Dalam buku itu kami menukil sebanyak 134 nas dari Nabi saww dan para imam ahlul baitnya yang suci tentang hal tersebut.

Para ulama mazhab Syi’ah menghukumi murtad kepada orang yang mengingkari risalah itu sebagai risalah yang universal dan penutup. Oleh karena itu, faham-faham Al-Babiyah dan Al-Baha’iyah, demikian pula Al-Qadiyaniyah, menurut mereka adalah murtad fithri atau kadang-kadang murtad milli. Hal ini termuat dalam kitab-kitab fiqih mereka dalam bab Al-Hudud, Ahkam Al-Murtad, dan lain-lain.

Kami kira penjelasan ringkas ini sudah cukup untuk menjelaskan akidah Syi’ah berkenaan dengan kerasulan Rasulullah saww. Selain itu, sejak moyang mereka meyakini risalah Rasulullah saww sebagai risalah yang universal dan penutup. Mereka tidak menyimpang dari garis ini sejengkal pun. Hal itu tampak pada kitab-kitab akidah yang ditulis sejak permulaan abad ke-3 Hijriah hingga sekarang. Mereka telah menulis ratusan kitab dan risalah, bahkan kamus-kamus besar tentang akidah-akidah Islam baik berupa manuskrip maupun cetakan yang tersebar di seluruh dunia. Dalam kitab-kitab, perpustakaan-perpustakaan, universitas-universitas," khutbah-khutbah, dan edaran-edaran rasmi mereka tidak ditemukan kata yang menunjukkan adanya nabi selain Nabi Muhammad saww atau turunnya wahyu kepada orang lain. Maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa pandangan keliru ini dideduksi sebagian orang dari hal-hal yang tidak menunjukkan pada apa-apa yang mereka ragukan. Tidak ada salahnya kalau ditunjukkkan beberapa hal yang menjadi sebab munculnya dugaan tersebut. Beberapa sarjana masa kini yang menuruti hawa nafsu hanya melihatnya sekilas. Hal itu tidak melampaui dua masalah berikut:

Pertama, kehujahan hadis-hadis dan perbuatan mereka.

Kedua, pendapat tentang kemaksuman mereka dari dosa dan kesalahan.

Berikut ini kami bentangkan analisis kedua masalah tersebut.



I. Syi'ah dan Kehujahan Ucapan Keluarga Suci



Syi 'ah memandang hadis-hadis dari Keluarga Suci seperti memandang hadis-hadis Nabi saww. Kalau mereka bukan nabi atau penerima wahyu, bagaimana hadis-hadis mereka bisa dijadikan hujah?

Jawab: Syi’ah Imamiyah mengambil ucapan-ucapan mereka karena hal-hal berikut:

Pertama, Nabi saww memerintahkan kaum Muslim agar berpegang pada ucapan keluarga suci itu. Beliau bersabda, " Aku tinggalkan untuk kalian tsaqalain (dua hal yang berat). Iaitu Kitab Allah dan keluargaku, ahlul baitku."

Berpegang pada hadis-hadis dan ucapan-ucapan mereka merupakan pengamalan sabda Nabi saww yang tidak bersumber kecuali dari Al-Haqq. Barangsiapa yang mengambil Tsaqalayn, ia telah berpegang pada sesuatu yang akan menyelamatkannya dari kesesatan. Sebaliknya, siapa yang hanya mengambil salah satu saja darinya, ia telah menentang Nabi saaw.

Kedua, kami memandang bahwa Nabi saww memerintahkan kepada umat ini agar bersalawat kepada keluarga Muhammad saww dalam salat-salat fardu dan sunnah. Selain itu, kaum Muslim di segala penjuru bumi menyebut keluarga itu setelah menyebut nama Nabi saww dalam tasyahud mereka. Kaum Muslim juga bersalawat kepada mereka seperti bersalawat kepada Rasulullah saww. Para fukaha, kendati berselisih pendapat tentang redaksi tasyahud itu, mereka sepakat tentang wajibnya bersalawat kepada Nabi dan keluarganya. Tentang hal itu, Imam asy-Syifi'i berkata:

Hai ahlulbait Rasulullah,

mencintaimu kewajiban dari Allah dalam Al-Quran yang diturunkan. Cukuplah keagungan bagi kalian

siapa yang tidak bersalawat padamu tidaklah sah salatnya.



Kalau keluarga itu tidak memiliki kedudukan dalam memberikan hidayah kepada umat ini dan keharusan mengikuti mereka, lalu apa artinya menjadikan salawat kepada mereka sebagai amalan wajib dalam tasyahud dan mengulang-ulangnya dalam seluruh salat siang dan malam baik fardu maupun sunnah?

Ini menunjukkan adanya rahsia yang tersembunyi dalam perintah Nabi saww dalam masalah ini. Iaitu, bahwa keluarga Muhammad itu memiliki kedudukan khusus dalam urusan-urusan duniawi dan terlebih lagi dalam kepemimpinan Islam. Ucapan dan pendapat mereka adalah hujah bagi kaum Muslim. Mereka juga memiliki kedudukan sebagai rujukan utama ( Al-Marja'iyyah Al-Kubra ) setelah wafat Rasulullah saww baik dalam masalah akidah dan syariat maupun dalam masalah-masalah lain.

Ketiga, Rasulullah saww mengibaratkan Keluarga Suci itu dengan bahtera Nuh as. Barangsiapa yang menaikinya, ia selamat. Tetapi siapa yang meninggalkannya, ia tenggelam. Ini menunjukkan kehujahan ucapan dan perbuatan mereka.

Masih banyak lagi wasiat-wasiat yang berkenaan dengan keluarga itu yang dinukil dalam kitab-kitab Shahih dan Musnad Siapa yang mau mengkajinya, silakan merujuk para sumber-sumbernya.

Setiap Muslim mengimani kesahihan wasiat-wasiat ini tidak meragukan kehujahan ucapan-ucapan keluarga Nabi, baik ia diberitahu tentang sumber-sumber ilmu mereka maupun tidak diberitahu. AIlah swt berfirman, "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. " (QS. Al-Ahzab [33]: 36)

Di samping itu semua; kami tunjukkan beberapa sumber ilmu mereka sehingga menjadi jelas bahwa kehujahan ucapan mereka tidak menunjukkan bahwa mereka itu nabi atau diserahkan kepada urusan pensyariatan.



1. Mendengar dari Rasulullah saww

Para imam memandang bahwa hadis-hadis Rasulullah saww itu didengar dari beliau baik tanpa perantara maupun dengan perantaraan moyang mereka. Oleh karena itu, dalam banyak periwayatan tampak bahwa Imam ash-Shadiq as berkata, "Menyampaikan kepadaku bapakku dari Zain Al-'Abidin dari bapaknya Al- Husain bin' Ali dari ' Ali Amirul Mukminin dari Rasulullah saw. Periwayatan semacam ini banyak terdapat dalam hadis-hadis mereka.

Diriwayatkan dari Imam ash-Shodiq as bahawa ia berkata, "Hadisku adalah hadis bapakku. Hadis bapakku adalah hadis kakekku." Melalui cara ini mereka menerima banyak hadis dari Nabi saww dan menyampaikannya tanpa bersandar kepada para rahib dan pendeta, orang-orang bodoh, atau peribadi-peribadi yang menyembunyikan kemunafikan. Hadis-hadis seperti itu tidak sedikit jumlahnya.

Sebagian hadis lain mereka ambil dari kitab Imam Amirul Mukminin yang diajarkan secara intensif oleh Rasulullah saww dan dicatat oleh Imam ‘Ali as. Para penulis kitab-kitab Shahih dan Musnad telah menunjukkan beberapa kitab ini.

Imam ‘Ali as memiliki buku khusus untuk mencatat apa yang diajarkan secara intensif oleh Rasulullah saww. Para anggota keluarga suci telah menghafalnya, merujuk padanya tentang banyak topik, dan menukil teks-teksnya tentang berbagai pemasalahan. Al-Hurr Al-'Amili dalam kitabnya Al-Mawsu'ah Al-Haditsiyyah telah menyebarluaskan hadis-hadis dari kitab tersebut menurut urutan kitab-kitab fiqih dari bab bersuci (thaharah) hingga bab diyat (denda). Barangsiapa yang mahu menelaahnya, silakan merujuk pada kitab Al- Mawsu'ah Al-Haditsiyyah.

Imam ash-Shodiq as, ketika ditanya tentang buku catatan itu, berkata, "Di dalamnya terdapat seluruh apa yang dibutuhkan manusia. Tidak ada satu permasalahan pun melainkan tertulis di dalamnya hingga diyat cakaran."

Kitab Imam ' Ali as merupakan sumber bagi hadis-hadis keluarga suci itu yang mereka warisi satu persatu, mereka kutip, dan mereka jadikan dalil kepada para penanya.

Abu Ja'far Al-Baqir as berkata kepada salah seorang sahabatnya yakni Hamrin bin A'yan-sambil menunjuk pada sebuah rumah besar, "Hai Hamran, di rumah itu terdapat lembaran (shahifah) yang panjangnya tujuh puluh hasta berisi catatan 'Ali as dan segala hal yang diajarkan secara intensif oleh Rasulullah saww. Kalau orang-orang mengangkat kami sebagai pemimpin, nescaya kami menetapkan hukum berdasarkan apa yang Allah turunkan. Kami tidak akan berpaling dari apa yang terdapat dalam lembaran ini."

Imam ash-Shadiq as memperkenalkan kitab ' Ali as itu dengan mengatakan, "la adalah kitab yang panjangnya tujuh puluh hasta berisi hal-hal yang diajarkan secara intensif oleh Rasulullah saw dan' Ali bin Abi Thalib mencatat dengan tangannya sendiri. Demi Allah, di dalamnya terdapat semua hal yang diperlukan manusia hingga hari kiamat, bahkan diyat cakaran, cambukan, dan setengah cambukan."

Sulaiman bin Khalid berkata: Saya pernah mendengar Ibn ‘Abdillah berkata, “Kami memiliki sebuah lembaran yang panjangnya tujuh puluh hasta berisi hal-hal yang diajarkan secara intensif oleh Rasulullah saww dan dicatat oleh ‘Ali as dengan tangannya sendiri. Tidak ada yang halal dan haram melainkan termuat di dalamnya hingga diyat cakaran."

Abu Ja.far Al-Baqir as berkata kepada seorang sahabatnya, "Hai Jabir, kalau kami berbicara kepada kalian menurut pendapat dan hawa nafsu kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang celaka. Melainkan kami berbicara kepada kalian dengan hadis- hadis yang kami warisi dari Rasulullah saww.”



2. Istinbath dari Al-Qur'an dan Sunnah

Sumber ketiga bagi ucapan mereka adalah pemahaman dan pengkajian mereka terhadap Al-Qur'an dan sunnah. Dari kedua sumber utama ini mereka menyimpulkan segala hal yang khusus berkaitan dengan akidah dan syariat secara mengagumkan yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Inilah yang menjadikan mereka istimewa di tengah kaum muslim dalam hal kesedaran, serta kedalaman ilmu dan pemahaman. para imam fiqih di berbagai tempat tunduk kepada mereka. Sehingga Imam Abu Hanifah setelah berguru kepada Imam ash-Shadiq as (selama dua tahun) mengatakan, "Kalau tidak ada dua tahun itu, tentu binasalah an- Nu’man." Sebab, dalam banyak hukum, mereka berdalil dengan Al-Qur'an dan sunnah. Mereka mengatakan, "Tidak ada sesuatu apa pun melainkan memiliki landasan dalam Kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya."

al-Kulaini meriwayatkan hadis melalui sanadnya dari 'Umar bin Qais dari Abu Ja'far as: Saya pemah mendengar ia berkata, "Sesungguhnya Allah SWT tidak membiarkan sesuatu yang diperlukan ummat melainkan Dia menurunkannya dalam Kitab-Nya dan menjelaskannya kepada Rasul-Nya, serta memberikan batasan bagi setiap sesuatu. Dia jadikan atasnya dalil yang menunjukkannya dan menetapkan hukuman bagi siapa saja melanggar batasan itu."

al-Kulaini juga meriwayatkan hadis melalui sanadnya dari Abu ‘Abdillah as: Saya pernah mendengar ia berkata. " Tidak ada bagi setiap sesuatu melainkan di dalamnya ada ketentuan dari Kitab dan sunnah”.

Ia juga meriwayatkan hadis dari Suma'ah dari Abu Al-Hasan Musa as: Saya bertanya kepadanya as, " Apakah bagi setiap sesuatu ada ketentuannya dalam Kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya, atau anda berpendapat sendiri dalam masalah itu?" Imam as menjawab. "Sama sekali tidak. Melainkan bagi setiap sesuatu ada ketentuannya dalam Kitab Allah dan sunah Nabi-Nya."

Barangsiapa yang memperhatikan hadis-hadis dari mereka, tentu akan mengetahui bagaimana mereka berdalil dalam hukum- hukum Ilahi dari kedua sumber itu dengan pemahaman khusus dan kesedaran istimewa yang mencengangkan orang-orang yang berakal dan mengundang ketakjuban. Kalau tidak merasa khawatir akan berpanjangan dalam pembahasan ini, tentu saya akan menukil contoh-contoh lainnya. Tetapi kami cukupkan dengan penjelasan dua hal berikut:

1. Seorang Nasrani yang menzinai seorang perempuan Muslim dihadirkan di hadapan Al-Mutawakkil. Al-Mutawakkil hendak menerapkan hukuman Allah kepadanya. Tetapi kemudian orang Nasrani itu masuk Islam. Maka Yahya bin Aktsam berkata. "Keimanan menghapus apa yang ada sebelumnya." Tetapi sebagian fukaha berkata, "la harus dikenai hudud dengan tiga kali cambukan." Kemudian Al-Mutawakkil menulis surat kepada Imam Al-Hadi untuk menanyakan hal itu. Ketika membaca surat itu, Imam Al-Hadi membalasnya, " la harus dirajam hingga mati." Tetapi para fukaha menolak hal itu. Karenanya Al-Mutawakkil menulis lagi surat kepada Imam Al-Hadi untuk menanyakan alasannya. Imam Al-Hadi membalasnya. "Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. “ Maka tatkala mereka melihat azab Kami, mereka berkata, 'Kami beriman hanya kepada Allah saja dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah. ' Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami. Itulah sunnah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir: " (QS. Al-Mu.min [40]: 84-85)

Maka Al-Mutawakkil memerintahkan dilaksanakan hukuman tersebut. Kemudian orang Nasrani itu dirajam hingga mati.

Imam Al-Hadi as dengan penjelasannya ini menempuh jalan khusus dalam istinbath hukum dari AI-Qur'an, sebuah jalan yang tidak ditempuh para fukaha sezamannya. Mereka mengatakan bahawa sumber-sumber hukum syariat adalah ayat- ayat yang jelas dalam lingkup fiqih yang tidak lebih dari 300 ayat. Dengan demikian ia menjelaskan bentuk khusus kedalilan Al-Qur'an. la tidak berpaling kecuali kepada orang-orang di rumahnya turun Al-Qur'an. Kemunculan hadis ini bukanlah sesuatu yang asing, bahkan hal serupa sering terungkap dalam ucapan-ucapan Imam as dan lain-lain dari moyangnya hingga anak-cucunya as.

2. Ketika Al-Mutawakkil keracunan, ia bernazar kepada Allah, bahwa kalau Allah menganugerahi kesembuhan ia akan bersedekah dengan harta atau wang yang banyak. Ketika ia sembuh, pada fukaha berbeda pendapat dalam mengertikan “ harta yang banyak " itu. Al-mutawakkil tidak mendapatkan penyelesaian dari mereka. Kemudian ia mengutus seseorang kepada Imam ‘Ali Al-Hadi untuk menanyakan hal itu. Imam as menjawab, “ Hendaklah ia bersedekah dengan wang 83 dinar." ketika Al- Mutawakkil menanyakan, dari mana ia memperoleh kesimpulan seperti itu, Imam as menjawab, “ Dari firman Allah SWT, " Sesungguhnya Allah telah menolong kamu ( hai orang-orang yang beriman ) di medan peperangan yang banyak ( mawathin katsirah ) " ( QS. at-Tawbah [9]: 25 )

Mawathin katsirah inilah yang menjadi pokok permasalahan. Sebab, Nabi saww melakukan peperangan sebanyak 27 kali dan beliau mengirim 55 detasmen, dan peperangan terakhirnya adalah di Hunain. Al-Mutawakkil dan para fukaha merasa takjub mendengar jawaban ini.

Dalam hadis lain diriwayatkan bahwa Imam as mengatakan 80, bukan 83. hal itu karena jumlah medan perang tempat Allah memberikan pertolongan kepada kaum Muslim hingga saat turun-nya ayat ini kurang dari 83.



3. Isyraqat Ilahiyyah ( Pancaran Cahaya Ilahi )

Sumber ketiga hadis-hadis mereka dinyatakan sebagai isyraqat itahiyyah. Tidak ada halangan bagi Allah SWT untuk mengistimewakan sebagian hamba-Nya dengan ilmu-ilmu khusus yang manfaatnya kembali kepada masyarakat umum tanpa menjadikan mereka sebagai nabi dan tidak termasuk para rasul. Allah SWT mengisahkan beberapa orang sahabat Nabi Musa as, " Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami “ ( QS. Al-Kahf [18]: 65 ) . Padahal, sahabat nabi Musa itu bukan seorang nabi, melainkan seorang wali di antara wali-wali Allah SWT yang ilmu dan makrifatnya telah mencapai tingkatan tertentu. Sehingga Musa as seorang nabi yang diutus membawa syariat berkata kepadanya, " " Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu ? " ( QS. Al-Kahf [18]: 66 )

Allah SWT juga mengisahkan sahabat Nabi Sulaiman as yang bernama Ashif bin Barkhiya-dengan firman-Nya, " BerkatAlah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-kitab, " Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip. " Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata, “ Ini termasuk karunia Tuhanku " ( QS. an-Naml [27]: 40 )

Sahabat Nabi Sulaiman as itu bukan seorang nabi. Akan tetapi, ia memiliki ilmu pengetahuan dari al-Kitab. la tidak memperolehnya dengan cara biasa yang dilakukan anak-anak dan remaja di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi-perguruan tinggi. Melainkan ilmu itu merupakan ilmu nahi yang dilimpahkan kepadanya untuk menjernihkan hati dan ruhnya. Oleh karena itu, ilmunya dinisbatkan kepada Tuhannya dan ia berkata, " Ini adalah karunia dari Tuhanku “.

Banyak riwayat yang menunjukkan bahwa di tengah umat Islam seperti ummat-ummat sebelumnya ada orang-orang ikhlas yang diajak bicara ( oleh Allah ) dan dilimpahi hakikat-hakikat alam ghaib walaupun mereka bukan nabi. Jika anda ragu dalam hal itu, silakan merujuk pada hadis-hadis yang diriwayatkan Ahlul Sunnah tentang masalah ini.

Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan: " Di tengah kaum Bani Israil sebelum kami terdapat orang-orang yang diajak bicara ( oleh Allah ) padahal mereka bukan nabi. Jika di tengah umatku ada orang seperti mereka, 'Umarlah orangnya."

Al-Qasthalani berkata, " Sabdanya ‘jika ada bukanlah karena keraguan, melainkan sebagai penegasan seperti ucapan anda, jika aku punya teman, si fulanlah orangnya “ Sehingga yang dimaksud adalah mengistimewakannya dengan persahabatan yang sempurna tanpa menafikan sahabat yang lain."

Jika telah terbukti bahwa orang seperti ditemukan pada selain ummat yang diberi keutamaan ini, tentu keberadaannya dalam ummat yang utama ini adalah lebih pantas.

Al-Bukhari juga di dalam Shahih-nya, setelah meriwayatkan hadis tentang gua ( Hira' ) , meriwayatkan dari Abu Hurairah sebuah hadis marfu’. " Di tengah umat-umat sebelum kamu terdapat orang- orang yang diberi berita ( oleh Allah ). Jika di tengah umatku ada orang seperti mereka, tentu 'Umar bin al-Khathab orangnya " .

Al-Qasthalani dalam Syarh-nya berkata, "Penulis itu berkata, " Pada lidah mereka mengalir kebenaran yang bukan kenabian."

AI-Khithabi berkata, " Sesuatu tersirat dalam hatinya. Kemudian ia mengira dan benarlah perkiraannya. Sesuatu tersirat dalam pikirannya, sesuatu itu pun terjadi. Itu merupakan darjat (manzilah) tertinggi di antara darjat-darjat para wali. "

Muslim dalam Shahih-nya bab Fadha'il 'Umar, meriwayatkan hadis dari ' Aisyah dari Nabi saw: " Di tengah ummat sebelummu terdapat orang-orang yang diberi berita ( oleh Allah ). Jika di tengah ummatku ada orang seperti mereka, tentu ia adalah ' Umar bin Al-Khaththab."

Ibn al-Jawzi meriwayatkannya dalam Shifah ash-Shafwah, kemudian ia berkata, " Hadis ini muttafaq 'Alaih ( disepakati oleh semua perawi hadis )."

Abu Ja'far ath-Thahawi meriwayatkannya dalam Musykil Al-Atsar melalui banyak sanad dari 'Aisyah dan Abu Hurairah. Ia juga meriwayatkan bacaan Ibn 'Abbas: " Dan tidaklah Kami mengutus sebelummu seorang rasul, tidak pula seorang nabi dan pembawa berita. Ia berkata, "Makna firman-nya: muhaddatsun adalah mulhamun (mereka yang diberi ilham)." Karenanya 'Umar berkata dengan sesuatu yang telah diilhamkan kepadanya."

An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim berkata: Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud muhaddatsun. Ibn Wahb berkata, “Artinya adalah mulhamun (mereka yang diberi ilham)." Ada juga yang berpendapat bahwa kata itu artinya mereka yang benar apabila mengira-ngira. Seakan-akan mereka itu diberi suatu berita lalu mengatakannya. Ada pula yang berpendapat bahwa kata itu bererti mereka yang diajak bicara oleh para malaikat. Dalam sebuah riwayat disebutkan mukallamun (mereka yang, diajak bicara). AI-Bukhari berkata, “Kebenaran mengalir pada lidah mereka. Hal itu menegaskan karamah para wali."

AI-Hafizh Muhibbuddin ath-Thabari dalam ar-Riyadh berkata, “Makna muhaddatsun-tentu Allah Maha Mengetahui adalah mereka yang diilhami kebenaran. Boleh mengertikannya secara lahiriah, iaitu mereka yang diajak bicara oleh para malaikat tetapi bukan wahyu, melainkan sesuatu yang biasa disebut perkataan (hadis). Itu merupakan keutamaan yang amat besar."

AI-Qurthubi berkata, " Muhaddatsun adalah ism maf’ul bentuk jamak dari muhaddats, yakni yang diberi ilham atau yang benar perkiraannya. Ke dalam dirinya diberikan sesuatu berupa pengilhaman dan penyingkapan dari al-mala'al-a’la (Alam arwah). Atau, orang yang tanpa sengaja mengalirkan kebenaran pada lisannya. Atau, orang yang diajak bicara oleh para malaikat tetapi bukan nabi. Atau, orang yang apabila berpendapat atau memperkirakan sesuatu, seakan-akan hal itu telah diberitahukan kepadanya dan ditempatkan ke dalam hatinya dari alam malakut. Kemudian muncul dalam bentuk yang sebenarnya. Ini merupakan karamah yang dengannya AIlah memuliakan siapa saja di antara hamba- hamba-Nya yang Dia kehendaki. Ini merupakan darjat ( manzilah) yang tinggi di antara darjatt-darjat para wali."

Jika di tengah umatku ada orang seperti mereka, tentu ‘Umar orangnya, seakan-akan beliau menjadikannya sandingan yang terputus. Seakan-akan ia seorang nabi. Oleh karena itu, beliau menyebutkannya dengan menggunakan kata in (jika) seakan-akan menunjukkan keraguan. aI-Qadhi berkata, “Pertalian seperti ini dalam dilalah adalah untuk menegaskan dan mengkhususkan, seperti ucapan anda, Jika aku punya teman, tentu Zaid orangnya'. Padahal, orang yang mengatakannya tidak bermaksud meragukan persahabatannya, melainkan untuk menunjukkan kelebihan bahwa persahabatan itu dikhususkan kepadanya. tidak diberikan kepada orang lain.

Jika di tengah umat-umat terdahulu terdapat orang-orang seperti itu, mengapa di tengah umat Islam tidak terdapat orang-orang yang diliputi pertolongan Ilahi. Kemudian mereka menguasai Al-Quran dan sunnah secara sempurna. Mereka memenuhi segala kebutuhan ummat dalam bidang akidah dan syariat.

Kerananya, orang yang mengatakan bahwa limpahan karunia seperti ini menyerupai kenabian dan risalah, ia telah mencampuradukan yang umum dengan yang khusus. Kenabian adalah kedudukan dari Allah untuk menerima wahyu, ia mendengar firman Allah dan melihat utusan pembava wahyu. la bisa pembawa syariat tersendiri atau bisa juga penerus syariat sebelumnya.

Imam adalah penyimpan ilmu-ilmu kenabian dalam segala hal yang diperlukan ummat tanpa menerima wahyu, mendengar firman Allah SWT, atau melihat malaikat pembawa wahyu. Dalam menguasai ilmu-ilmu kenabian, ia memiliki banyak cara seperti yang telah kami tunjukkan.

Adalah keliru jika menyebut setiap orang yang diberi ilham oleh Allah SWT atau diajak bicara oleh malaikat sebagai nabi dan rasul. Padahal al-Qur'an memperkenalkan orang-orang yang diberi ilham dan melihat malaikat padahal mereka tidak ada kaitannya dengan kenabian dalam segala tindakannya.

Tentang ibunda Nabi Musa as, Allah swt berfirman, "Dan kami ilhamkan kepada ibunda Musa, " Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, kerana sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya ( salah seorang ) daripara rasul. ". (QS. Al-Qashash [28]: 7)

Apakah kerana pengilhaman ini ibunda Nabi Musa as seorang nabi?

Tentang Maryam Al-batul yang diajak bicara oleh para malaikat padahal ia bukan seorang nabi, Allah SWT berfirman, "Dan ingatlah ketika malaikat ( Jibril ) berkata, ' Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu atas segala perempuan di dunia ( yang semasa dengan kamu ). Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu " (QS. Ali .Imran [3]: 42-43)

Maryam mencapai suatu tempat di mana ia melihat utusan Tuhannya yang menjelma kepadanya dalam rupa manusia. Allah SWT berfirman, "Maka ia mengadakan tabir ( yang melindunginya ) dari mereka, lalu kami mengutus ruh Kami kepadanya. Maka ia menjelma di hadapannya ( dalam bentuk ) manusia yang sempurna. Maryam berkata, sesungguhnya aku berlindung daripadamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah jika kamu seorang yang bertakwa. la ( jibril ) berkata,’ sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci. ' Maryam berkata, ' Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan ( pula ) seorang penzina. ' Jibril berkata, ' Demikianlah Tuhanmu berfirman, "Hal itu adalah mudah bagi-Ku, dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami, dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan. “ (QS. Maryam [19]: 17-21)

Kita lihat bahwa Maryam Al-batul melihat malaikat itu dan mendengar ucapannya, tetapi ia tidak menjadi seorang nabi dan tidak pula menjadi seorang rasul. Barangsiapa yang mengkaji al-Quran dan sunnah akan mengetahui para abdal yang diliputi pertolongan Tuhan mengetahui rahsia syariat dan ajaran-ajaran agama yang tersembunyi dengan karunia dari Allah SWT tanpa menjadikan mereka sebagai nabi.



II. Kemaksuman Imam Dua Belas



Pendapat tentang kemaksuman imam dua belas menjadi wahana bagi mereka untuk mengatakan bahwa mereka adalah para nabi. Mereka mengatakan bahwa kemaksuman itu sama dengan kenabian. Mereka lupa bahwa kemaksuman itu lebih luas pengertiannya daripada kenabian, Berikut ini penjelasannya.

'lshmah adalah kekuatan yang mencegah pemiliknya jatuh ke dalam kemaksiatan dan kekeliruan. Sehingga ia tidak meninggalkan yang wajib dan tidak mengerjakan yang haram dengan memiliki kemampuan untuk meninggalkan dan mengerjakannya. Jika tidak memiliki kemampuan untuk meninggalkan dan mengerjakannya, ia tidak berhak mendapatkan pujian dan pahala. Jika mahu, Anda dapat mengatakan bahwa orang yang maksum itu ialah orang yang telah mencapati suatu tingkat ketakwaan yang tidak memungkinkan dirinya dikuasai oleh syahwat dan hawa nafsu. Dan telah mencapai pengetahuan tentang syariat dan hukum- hukumnya suatu martabat yang menjadikannya tidak mungkin melakukan kesalahan lagi untuk selama-lamanya. Kemaksuman itu bukan sesuatu yang dibuat-buat oleh kaum Syi’ah. Melainkan terhadap kebenaran keluarga yang suci itu mereka berdalil dengan Kitab Allah dan sunanh Rasul-Nya. Dalil-dalil al-Quran sebagai berikut.

Allah SWT berfirman, “ Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlulbait, dan membersihkanmu sebersih-bersihnya" (QS. Al-Ahzab [33]: 33). Kotoran ( ar-rijs ) di sini adalah kotoran maknawi, yang utamanya adalah kefasikan.

Adapun dalil-dalilnya dari sunnah, kami sebutkan sebagian saja sebagai berikut:

1. Rasulullah saww bersabda, “ ’Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama 'Ali. la berputar bersamamya ke mana saja ia berputar." Barangsiapa yang selalu bersama kebenaran, mustahil ia berbuat kemaksiatan atau berbuat kesalahan.

2. Tentang keluarga suci itu, Rasulullah saww bersabda, “Aku tinggalkan bagi kalian tsaqAlain (dua beban yang berat), iaitu Kitab Allah dan keluargaku. Jika kalian berpegang padanya, kalian tidak akan tersesat untuk selama-lamanya." Karena keluarga suci itu merupakan sandingan al-Qur'an maka mereka itu maksum seperti al-Qur'an. Masing-masing dari keduanya tidak bertentangan dengan yang lainnya ". Pendapat tentang kemaksuman keluarga suci itu tidak lebih menakjubkan daripada pendapat bahwa seluruh sahabat itu adil.

Saya kira tidak seorang pun meragukan apa yang saya jelaskan. Bahkan merupakan keharusan mengenal Ahlul baitnya Melalui nas-nas dari Rasulullah saww kerananya kami bertanya, apakah keluarga suci dan ahlulbait itu?

Saya kira, orang yang membaca hadis dan sejarah tidak akan ragu bahwa yang dimaksudkan dengan keluarga suci ( ‘itrah ) dan Ahlul bait adalah sekelompok tertentu dari keluarganya. untuk mengetahui hal itu, cukuplah merujuk pada hadis-hadis yang telah dihimpun oleh Ibn Al-Atsir dalam kitabnya Jami' ash- Shahah. Dari sejumlah besar hadis itu, kami cukupkan dengan mengutip beberapa di antaranya :

At-Tarmidzi meriwayatkan hadis dari Sa'ad bin Abi Waqqash: Ketika turun ayat, "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu “." (QS. Ali 'Imran [3]: 61). Rasulullah saww memanggil 'Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. Kemudian beliau berkata, " Ya Allah, mereka adalah keluargaku."

Ia juga meriwayatkan hadis dari Ummu Salamah ra, "Ayat ini turun di rumahku, "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. " (QS. Al-Ahzab [33]: 33)

Selanjutnya, Ummu Salamah berkata, " Ketika itu aku sedang duduk di depan pintu. Kemudian aku bertanya, ' Wahai Rasulullah, bukankah aku juga termasuk ke dalam ahlulbait?' Beliau menjawab, ' Engkau berada dalam kebaikan. Engkau termasuk istri-istri Rasulullah."' Kemudian perawi itu berkata, "Di dalam rumah itu ada Rasulullah, ‘Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. Beliau menutup mereka dengan jubahnya ( Al-kisa ) . Lalu beliau berdoa, "Ya Allah, mereka adalah ahlulbaitku. Karenanya, hilangkanlah kotoran dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya."

la juga meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik: Rasulullah saww lalu di depan pintu rumah Fathimah apabila pergi hendak salat ketika turun ayat ini kira-kira selama enam bulan. Kemudian beliau berkata, " Salatlah, hai ahlulbait. ' Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul bait, dan membersihkankanmu sebersih-bersihnya ”.

Muslim meriwayatkan hadis dari Zaid bin Arqam: yazid bin hayyan berkata, " Aku, Hushain bin Sabrah, dan 'Umar bin Muslim pergi ke rumah Zaid bin Arqam. Ketika kamu duduk, Hushain berkata kepadanya, 'Wahai Zaid, Anda telah memperoleh kebaikan yang banyak. Anda pernah melihat Rasulullah saww, mendengar hadisnya, berperang bersamanya, dan salat di belakangnya. Wahai Zaid, anda telah memperoleh kebaikan yang banyak. Wahai Zaid, ceritakanlah kepada kami apa yang pernah anda dengar dari Rasulullah saww."

Zaid menjawab, " Wahai putra saudaraku, demi Allah, usiaku telah sangat tua dan yang dijanjikan kepadaku hampir datang. Karenanya, apa yang aku beritahukan kepada kalian, ambillah. Sedangkan apa yang tidak aku beritahukan kepada kalian, janganlah kalian membebani aku dengannya." Selanjutnya, ia berkata, "pada suatu hari Rasulullah saww berdiri di tengah kami untuk menyampaikan pidatonya di sebuah telaga bernama Khum, terletak di antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji dan menyanjung Allah, kemudian memberi nasihat dan berzikir. Kemudian beliau bersabda,

‘Amma ba'd. Wahai manusia, ketahuilah bahawa aku adalah manusia. Sebentar lagi akan datang utusan Tuhanku, dan aku akan menyambutnya, aku tinggalkan kepada kalian tsaqalain. Yang pertama adalah Kitab Allah, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka ambillah Kitab Allah itu dan berpeganglah padanya. beliau memberikan dorongan untuk membaca dan mencintai Kitab Allah, dan yang kedua adalah ahlul baitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah melalui ahlul baitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah melalui ahlul baitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah melalui ahlul baitku,”

Kemudian kami bertanya, "Siapakah ahlulbaitnya? Apakah istri-istrinya?. la menjawab, "Demi Allah, perempuan ( istri ) itu ada bersama laki-laki ( suami ) hanya beberapa saat saja. Kemudian mungkin laki-laki itu menceraikannya dan mengembalikannya kepada bapak dan keluarganya. Sedangkan ahlul baitnya adalah nasab dan keluarganya yang diharamkan menerima sedekah sepeninggalnya ”.

3. Para ahli hadis meriwayatkan hadis dari Nabi saww: " Perumpamaan Ahlul baitku di tengah ummatku adalah seperti bahtera nabi Nuh as. Barangsiapa yang menaikinya akan selamat dan siapa yang meninggalkannya akan tenggelam ”.

Beliau saww mengumpamakan ahlul baitnya dengan bahtera Nuh as, bahwa siapa yang berlindung kepada rnereka dalam urusan agama lalu mengambil ushul dan furu’nya dari mereka, ia akan selamat dari siksaan api neraka. Sebaliknya, siapa yang berpaling dari mereka, ia seperti orang yang mencari perlindungan ke atas gunung pada saat terjadi banjir besar untuk melindunginya dari keputusan Allah. Hanya saja itu tenggelam di dalam air, sedangkan ini dalam api yang menyala-nyala.

Jika demikian kedudukan para ulama ahlul bait, ke mana lagi kalian berpaling?

Ibn Hajar dalam Shawa'iq-nya berkata, "Alasan mereka diumpamakan.dengan bahtera itu karena siapa yang mencintai dan memuliakan mereka sebagai rasa syukur akan nikmat kemuliaan mereka dan mengambil petunjuk dari ulama mereka, ia akan selamat dari kegelapan penyimpangan. Barangsiapa yang berpaling dari mereka, ia akan tenggelam dalam samudera kekufuran terhadap nikmat dan binasa di tengah padang kezaliman. "



Kemaksuman Imam Menurut Al-Qur'an



Di antara yang menunjukkan kemaksuman imam adalah kemutlakan firman Allah SWT, “ taatilah Allah dan taatilah Rasulnya, dan Ulil amri di antara kamu. " ( QS. an-Nisa' [4]:59)

Argumentasi itu didasarkan pada dua tonggak berikut:

1. Allah SWT memerintahkan ketaatan kepada ulil amri secara mutlak, yaitu dalam semua zaman dan tempat, serta dalam segala keadaan dan karekteristik. Hal itu tidak disyaratkan dengan kewajiban melaksanakan perintah-perintah dan larangan-larangan mereka akan sesuatu, seperti yang dituntut dalam ayat tersebut.

2. Adalah merupakan kepastian bahwa Allah SWT tidak meredai kekafiran dan kemaksiatan bagi hamba-hamba-Nya: "... dan Dia tidak meredai kekafiran bagi hamba-hamba-nya" ( QS. az- Zumar [39] : 7) tanpa membedakan antara hamba itu melakukannya sebelum ada perintah atau larangan dan melakukannya setelah ada perintah dan larangan dari ulil amri. Mengkompromikan kedua hal ini adalah wajibnya ketaatan kepada ulil amri secara mutlak dan haram mentaati mereka apabila mereka memerintahkan kemasiatan. Ulil amri yang wajib ditaati secara mutlak itu harus memiliki integriti dan pertolongan llahi yang mencegah mereka memerintahkan kemaksiatan dan melarang ketaatan. Ini merupakan ungkapan lain bahwa mereka harus maksum. Jika tidak, mereka tidak mendapat pertolongan itu padahal benar ketaatan kepada mereka secara mutlak dan benar pula perintah ketaatan itu tanpa ikatan dan syarat apa pun. Dari kemutlakan perintah ketaatan itu akan menyingkapkan bahwa syarat itu mencakup suatu karekteristik yang mencegahnya dari perintah ketidaktaatan.

Ayat ini menunjukkan kemaksuman orang-orang yang diperintahkan Allah untuk ditaati dan tidak menentukan substansi orang yang maksum yang wajib ditaati itu. Akan tetapi, umat sepakat tentang tidak adanya kemaksuman pada selain Nabi dan para imam dua belas. Tidak dapat dimungkiri, kesesuaian substansi orang maksum itu dengan mereka adalah agar ayat itu tidak luput dari substansinya.

Di antara orang-orang yang menjelaskan kedalilan ayat itu terhadap kemaksuman adalah Imam ar-Razi dalam tafsimya. Sebaiknya saya mengutip teksnya sehingga mereka yang merindukan kebenaran dapat meyakininya.

" Allah SWT memerintahkan ketaatan kepada ulil amri secara pasti dalam ayat itu. Orang yang Allah perintahkan untuk ditaati secara pasti itu harus seorang yang maksum atau terpelihara dari kesalahan. Sebab, kalau ia tidak maksum dari kesalahan, kemungkinan akan melakukan kesalahan, lalu Allah memerintahkan untuk mengikutinya, hal itu berarti Allah memerintah untuk melakukan kesalahan itu. Kesalahan dalam kapasitinya sebagai kesalahan adalah sesuatu yang dilarang. Hal ini menyebabkan berkumpulnya perintah dan larangan dalam satu perbuatan dan satu tingkatan. Tetapi hal itu mustahil. Kerananya ditegaskan bahwa Allah SWT memerintahkan ketaatan kepada ulil amri secara pasti, dan ditegaskan bahwa setiap orang yang diperintahkan Allah untuk ditaati secara pasti haruslah seorang yang maksum dari kesalahan karena itu, sudah pasti ditegaskan bahwa ulil amri yang disebutkan dalam ayat itu haruslah seorang yang maksum."