Makna Wilâyah (1)
Makna wilâyah (ولاية) secara bahasa diterangkan dalam:
1-“Mishbah al-Munir”, merupakan asal kata (mashdar) bagi kata kerja waliya-yalî (ولي – يلي) atau walâ-yalî (ولى – يلي). Misal dalam kalimat: وليت على الصبي والمرأة; walîtu ‘alash shabiy wal mar`ah; aku telah menjadi wali atas anak dan isteri. Subyeknya adalah wâlin (وال; jamaknya ialah wulât; ولاة), sedangkan anak dan isteri disebut sebagai muwallâ ‘alaih (yang diperwalikan).
2-“Shahah al-Lughah”, al-walyu (الولي) berarti kedekatan. Misal dalam kalimat: تباعد بعد ولي; tabâ’ada ba’da walyin; menjauh setelah dekat. كل مما يليك; kul mimmâ yalîka; makanlah apa yang di dekatmu. Waliy (ولي) sebagai antonim musuh. Juga sebutan bagi orang yang menangani urusan seseorang. Kata “maulâ” (مولى) ditujukan pada seorang yang membebaskan, yang dibebaskan, anak paman, penolong dan tetangga. Wilâyah (ولاية) berarti kekuasaan, pertolongan.
3-“Majma’ al-Bahrain”, (misal) kalimat dalam QS: Al Imran 68, إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْراهيمَ; inna awlan nâsi bi ibrâhîma, artinya “orang yang paling dekat dengan Ibrahim..”. Kata “awlâ” (أولى) berasal dari walyun (ولي) yang berarti kedekatan.
Walâyah -dengan fathah- dalam QS: al-Kahfi 44, هُنالِكَ الْوَلايَةُ لِلَّهِ الْحَقِّ; hunâlikal walâyatul haq, ialah bermakna rubûbiyah. Yakni, pada masa itu semua di bawah wilayah (pemeliharaan) Allah, beriman kepada-Nya dan menjauhi apa saja di dunia disembah. Ia juga berarti cinta. Kalau dengan kasrah (wilâyah) -juga kata wilâ` (ولاء) menurut Ibnu Sikkit- berarti tawliyah (kekuasaan).
Makna Waliy
Kata “waliy” (ولي) dan “wâli” (والى) dikatakan kepada seorang yang memegang dan menanggung urusan orang lain. Waliy adalah kata bagi seorang yang darinya pertolongan dan bantuan, juga yang mengatur urusan, dan di tangan dia serta menurut pandangannya hal menjalankan sesuatu. Karena itu arti kalimat
فلان ولي المرأة; fulân waliyul mar`ah, nikahnya perempuan itu menurut pandangan fulan. Waliy dam (darah) sebutan bagi seorang yang berhak menuntut diyat (denda) kepada yang membunuh atau melukai korban. Penguasa atau pemerintah rakyat disebut waliy amr ra’iyah. Terkait demikian, Kumait seorang penyair mengungkapkan tentang Amirul mu`minin Ali:
و نعم ولي الأمر بعد وليه – و منتجع التقوى و نعم المقرب
Artinya, “Ali sebaik-baik pemerintah yang menangani urusan umat sesudah Rasulullah saw sebagai pemerintah pertama. Ia sebaik-baik yang menunjuki takwa di jalan gersangnya kebodohan, dan sebaik-baik yang mendekatkan umat kepada Allah.”
Thuraihi dalam kitabnya, Majma al-Bahrain, sampai pada penjelasan tentang QS: al-Maidah 55,
إِنَّما وَلِيُّكُمُ اللهُ وَ رَسُولُهُ وَ الَّذينَ آمَنُوا الَّذينَ يُقيمُونَ الصَّلاةَ وَ يُؤْتُونَ الزَّكاةَ وَ هُمْ راكِعُونَ
Maknanya, Abu Ali menerangkan: “Yang berwenang mengurusi kalian dan menanggung wilayah (otoritas) urusan kalian adalah Allah, Rasulullah dan orang-orang yang bersifat: beriman, mendirikan salat dan dalam keadaan ruku’ menunaikan zakat.”
Lalu Thuraihi membawakan riwayat: “Sejumlah sahabat Rasulullah saw datang berkumpul di dalam Masjid Madinah. Lalu sebagian mereka mengatakan, “Jika kita mengingkari ayat ini berarti kita juga mengingkari semua ayat Alquran. Jika kita mengimani ayat ini, kita diserukan pada teks dan kandungannya. Akan tetapi,
نتولى ولا نطيع عليا فيما أمر; kita menerima wilayah Ali. Tapi mengenai apa yang dia perintahkan kita tidak menaatinya.” Kemudian turunlah ayat dalam QS: an-Nahl 83, yang artinya: “Mereka mengetahui nikmat Allah kemudian mereka mengingkarinya.”
Makna Awlawiyah
Mengenai ayat (QS: al-Ahzab 6), النَّبِيُّ أَوْلى بِالْمُؤْمِنينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ, diriwayatkan dari Imam Baqir: Awlawiyah (prioritas) Rasulullah saw –bahwa beliau lebih utama- terhadap mu`minin daripada diri mereka sendiri, adalah turun berkenaan urusan pemerintahan. Oleh karena itu, Nabi saw dalam suatu keperluan dapat memanfaatkan seorang bawahan (dalam wewenang beliau), apabila atasannya (pemilik wewenang) memerlukan sesuatu darinya.
Masih mengenai “awlawiyah” ini, diterangkan dalam riwayat bahwa: “Nabi saw lebih utama terhadap seorang mu`min daripada dirinya sendiri, demikian halnya Ali sesudah beliau.”
Dalam QS: al-Isra 111, firman Allah swt: وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ; “waliy” di sini dikatakan pada yang menempati posisi seseorang dalam urusan-urusan khususnya yang dia sendiri tak mampu menjalankannya, seperti wali anak, wali orang gila.
Dengan demikian, siapa yang mempunyai wali, dia memerlukannya. Namun (dalam makna ini) bagi Allah swt Mahakaya, mustahil Dia memiliki wali. Mustahil pula jika dikatakan, pertama bahwa Wali itu juga memerlukan Dia, karena daur (bahwa Dia memerlukan sekaligus diperlukan). Kedua bahwa wali itu tidak memerlukan Dia, maka menjadi sekutu-Nya.
Referensi:
Velayate Faqih dar Hukumate Islam (1)/Allamah Ayatollah Sayed Muhammad Husain Husaini Tehrani