Kenangan di Gereja Marsarkis Iran
Pagi yang cerah di pertengahan musim gugur 2018, setelah semalaman hujan mengguyur kota Qom. Sebuah kabar gembira menghampiriku lewat pesan di ponsel. Pihak kampus tempat saya belajar, akan menyelenggarakan kunjungan ke sebuah gereja bersejarah di propinsi Azarbaizan Barat, Iran.
Sudah lama saya ingin melihat dari dekat kehidupan kelompok minoritas di negeri ini. Maka, tanpa ragu, saya segera mendaftarkan diri.
Pukul empat dini hari, 19 Nopember 2018. Kendaraan yang kami tumpangi tiba di Urmia, ibu kota propinsi Azarbeijan Barat, setelah menempuh kurang lebih 10 jam perjalanan. Kami beristirahat di sebuah masjid untuk menunaikan shalat subuh. Udara di kota ini terasa jauh lebih dingin.
Namun, keramahan para penjaga masjid memberikan kehangatan tersendiri. Mereka menjamu kami dengan roti tradisional dilengkapi keju dan madu. Matahari pagi menjadi saksi perbincangan hangat kami di serambi masjid, pagi itu.
Sebelum berkunjung ke gereja, kami mengikuti beberapa agenda di kota Urmia. Salah satunya, seminar yang bertajuk “Dialog dan Pendekatan Praktis untuk Kesatuan Masyarakat dan Agama” yang diselenggarakan oleh Universitas Urmia.
Hadir dalam acara tersebut, berbagai tokoh lintas agama. Kebahagian tersendiri bagi saya dapat menyaksikan upaya mendekatkan berbagai kelompok minoritas.
Acara berlanjut dengan bertandang ke museum antropologi kota Urmia. Sedikit memberi bekal tentang sejarah masyarakat kota ini. Karena kunjungan ke gereja baru akan dilaksananakan esok hari, malam harinya kami menginap terlebih dahulu di hotel Morvarid.
Malam itu, kami terlelap di tengah cuaca yang begitu dingin. Kehangatan baru terasa saat pagi menjelang dan matahari mulai mengintip dari balik jendela kamar. Setelah sarapan, kami berkemas untuk perjalanan yang sangat dinantikan.
Gereja Marsarkis yang terletak di kaki bukit Sir, berjarak sekitar 60 km dari kota urmia. Kami berangkat dengan menggunakan jeep-jeep gunung, karena medan yang ditempuh cukup terjal. Jalanan yang belum beraspal dan penuh bebatuan, cukup menyulitkan kami untuk segera tiba di lokasi. Baru setelah menempuh tiga jam perjalanan, kami sampai di gereja bersejarah tersebut. Sambutan hangat para Pastor seolah mengobati rasa lelah kami.
Pendirian gereja ini diprakarsai oleh putri raja Armenia bernama Syirin. Ia ingin mengenang Sarkis, sang pendeta ternama dari kalangan Kristian yang dibunuh oleh kaisar romawi Maximilianos (210-230M), karena tetap berpegang pada keyakinannya dan enggan menghamba pada istana.
Penamaan gereja Marsarkis, berawal dari kata Mar yang dalam bahasa Yunani kuno bermakna Baginda. Jadi, gereja Marsarkis itu sendiri adalah tempat bersemayam jasad suci Nabi Sarkis. Karena letaknya di atas bukit Sir, masyarakat setempat kerap memanggilnya dengan sebutan gereja Sir.
Gereja Marsakis yang dibangun pada era Sasanian sekitar abad ketujuh ini memiliki berbagai kelebihan, di antaranya, bangunan yang begitu kokoh. Menurut keterangan yang saya dengar, seluruh dinding dan atapnya tersusun dari bebatuan yang ditempel secara tak beraturan. Sehingga menyebabkan satu batu dan lainnya saling terkunci. Bahkan, ketebalan dindingnya saja mencapai dua meter.
Di antara keunikan gereja ini, pada ruangan utama, terdapat pintu masuk yang relatif pendek. Konon, ukuran pintu tersebut sengaja dibuat lebih kecil, agar setiap orang yang masuk membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan.
Keunikan lainnya, di atap ruangan terdapat lubang-lubang yang tersambung ke ruang mihrab. Fungsinya, jika pastor berdoa, siapa pun yang berada di ruang utama dapat mendengarnya dengan baik.
Selain memliki nilai historis yang sangat tinggi, gereja Marsakis juga menjadi tujuan utama ziarah suci bagi para pemeluk agama Kristen, baik etnis Armenia, Assyria, maupun para penganut Katolik dan Protestan. Bahkan, komunitas Kristen yang tinggal di Urmia dan desa-desa sekitarnya sangat menghormati. Hampir tiap tahun, dari bulan Juni sampai Nopember, diselenggarakan beberapa upacara keagamaan. Penduduk setempat juga ikut berpartisipasi dalam berbagai acara.
Tak terasa matahari kian condong ke barat, saatnya berpisah dengan gereja bersejarah ini. Saya pribadi merasakan aura yang sangat menyentuh hati. Terutama, ketika menempelkan telinga sambil memejamkan mata di bagian pintu mihrab kudus yang selalu dijaga oleh Pastor dan tidak bisa dimasuki siapapun. Alasannya hanya orang suci saja yang bisa membuka dan memasuki mihrab tersebut.
Dalam perjalanan kembali ke kota Urmia, saya teringat pesan Darvis Aziziyan, pemimpin gereja Santa Maria, Urmia dalam seminar lalu:
“Seorang Nabi diutus untuk menyebarkan kebaikan dan persahabatan. Maka, diharapkan siapapun Anda dan dari kelompok manapun, Jika benar-benar memuliakan kelahiran Rasul, perlu terus menyuarakan kebaikan dan persahabatan”