Filosofi Hukum dalam Islam (1)
Bulan Ramadhan adalah bulan mensucikan diri, ibadah dan penghambaan.
Dari zaman dahulu dan di antara para pengikut semua agama, pertanyaan selalu muncul dalam benak manusia bahwa apa tujuan dan filosofi dari hukum seperti puasa, shalat, zakat dan sejenisnya?
Apakah kita manusia dengan pengetahuan terbatas dan mengingat bahwa semua perintah ilahi memiliki maslahat yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Bijaksana dan Yang Maha Tahu dengan tujuan pertumbuhan dan kesempurnaan manusia, apakah kita berhak untuk bertanya filosofi hukum?
Masalah ini dapat dijawab dari tingkat yang berbeda, termasuk fakta bahwa pencipta alam semesta telah menganugerahi umat manusia dengan akal. Karena akal menjadi nikmat yang paling tinggi. Menggunakan akal, berpikir dan kontemplasi dalam sistem penciptaan dan perundangan akan membuat manusia memahami kebijaksanaan dan tujuannya.
Karenanya, bukan hanya boleh bertanya tentang filosofi hukum, tetapi jika seseorang secara sadar melakukan kewajiban keagamaannya, ia akan melakukan kewajibannya dengan motivasi dan antusiasme yang lebih besar. Mungkin inilah mengapa Imam Ali as berkata kepada Kumail, "Tidak ada gerakan (aksi dan program), kecuali Anda memerlukan pengetahuan dan makrifat." (Tuhaf al-Uqul: 171)
Meskipun perlunya makrifat dan pengetahuan sangat bernilai dan penting dalam semua urusan dan bidang, ia memiliki tempat khusus dalam semua masalah agama, terutama aturan ibadah. Menurut sebuah hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw, "Satu jam perenungan bernilai lebih dari enam puluh tahun ibadah (tanpa berpikir dan kesadaran)."
Menurut riwayat yang sama dalam budaya konstruktif Islam, yang sangat penting dalam masalah agama adalah kualitas. Apalagi jika ada proses berpikir di baliknya. Imam Ridha as berkata, "Ibadah bukan masalah banyaknya shalat dan puasa, tetapi ibadah adalah berpikir dalam masalah Tuhan." (Al-Kafi, volume 2, halaman 55)
Lebih jauh, akal mendorong kita untuk bertanya kepada para pakar, cendekiawan, dan para ahli di bidang apa pun di mana kita tidak memiliki pengetahuan atau kesadaran tentang satu masalah. Seperti yang dikatakan al-Quran surat al-Nahl ayat 43, "... maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui."
Alasan lain yang memungkinkan manusia untuk bertanya tentang filosofi hukum adalah cara dan metode al-Quran dan cara praktis para nabi, Rasulullah Saw dan Ahlul Bayt as. Dengan kata lain, beberapa ayat telah menjelaskan filosofi hukum seperti shalat, puasa dan jihad. Buku-buku hadis penuh dengan pertanyaan yang diajukan orang di setiap masa kepada para Imam yang dipilih Allah dan mereka menjawabnya dengan argumen logis.
Sebagai kelanjutan dari metode dasar ini, para ulama dan cendekiawan Islam selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan dari orang-orang pada zaman mereka. Beberapa di antaranya telah dikompilasi dalam bentuk buku. Saat ini, di dunia maya yang begitu luas dan tidak punya batas, bukan saja dalam masalah filosofi hukum tetapi juga di semua bidang akidah, sosial, historis, politik, moral, yurisprudensi, teologis dan filsafats, banyak situs pusat keagamaan yang menjawab berbagai pertanyaan ini.
Dengan semua alasan ini, kita harus tahu bahwa ilmu pengetahuan manusia, menurut al-Quran, sangat kecil dan terbatas, dan ia tidak pernah dapat memahami semua dimensi dari perintah-perintah ilahi. Di sisi lain, kita harus yakin bahwa hukum-hukum agama dari sisi Allah telah disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. Dengan demkian, semuanya dari segala sisi adalah bijak dan bertujuan, semua maslahat dunia dan akhirat dan kebahagiaan dan kesempurnaan kita di kedua dunia bergantung penuh pada pelaksanaan mutlak seluruh hukum Allah.
Selain itu kita harus mengetahui dan yakin bahwa di markas putaran seluruh harus dan tidak harus ilahi menjadikan prinsip penting adalah prinsip “penghambaan” yang menerangi jalan para ahli tauhid, arif dan pencinta Allah Swt. Ini juga yang mengilhami dan memberi harapan kepada mereka yang mengambil langkah teguh dan tak tergoyahkan dalam penghambaan kepada Allah Sang Pencipta dan Tuhan semesta alam.
Imam Ali as yang bersinar bak permata yang bersinar di pusat ibadah dan penghambaan mengatakan, "Cukup bagiku sebuah kemuliaan untuk menjadi hamba-Mu dan cukup bagiku sebuah kebanggaan Engkau menjadi Tuhanku." Kemudian Ali as untuk menunjukkan bahwa ungkapan pengabdian ini telah muncul dari kedalaman wujudnya dan mengungkapkan cinta serta kesadaran batinnya, seraya berkata, "Kamu sedemikian rupa sehingga aku mencintai-Mu. Jadi buat aku sedemikian rupa sehingga aku menjadi kecintaan-Mu."
Dengan demikian, meskipun tanggung jawab ini sangat membebani, di mana dengan pertanyaan dan pengetahuan kita merealisasikan hukum-hukum ilahi di semua bidang. Tetapi di atas semua itu, kita harus menganggap diri kita hamba yang, selain mengetahui kebijaksanaan dan maslahat, memiliki iman dan kepastian bahwa semua hukum berasal dari Allah Yang Maha Bijaksana dan kami akan menerapkannya tanpa syarat apa pun dan dengan niat yang ikhlas untuk melaksanakannya. Hanya karena Allah telah memerintahkannya, dan dengan demikian untuk melembagakan budaya "penghambaan ilahi" dalam diri kita dan tatanan masyarakat.