Filosofi Hukum dalam Islam (3)
Perbuatan ibadah harus dilandasi oleh dua pilar penting yaitu dikerjakan dengan makrifat dan kearifan, serta keikhlasan di hadapan Tuhan dengan memperlihatkan diri sebagai seorang hamba yang taat dan tulus.
Hari ini, kita akan mengkaji tentang kedudukan shalat di mata para aulia Allah Swt dan peran shalat dalam membentuk spiritualitas manusia. Rasulullah Saw selalu terlihat antusias dan memiliki keinginan yang besar untuk berkhalwat dengan Allah Swt.
Rasulullah bersabda, "Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang mencintai ibadah dan mendekapnya karena kecintaan yang besar, dan mencintainya dari lubuk hati."
Husein bin Ali as – imam ketiga Syiah – menghabiskan malam Asyura di Karbala dengan bermunajat kepada Allah Swt meskipun sedang dikepung oleh pasukan musuh. Ia berkata kepada Abul Fadhl Abbas, "Jika engkau sanggup mintalah mereka untuk menunda perang hingga esok hari dan beri kesempatan kami malam ini untuk bermunajat kepada Allah dan melaksanakan shalat. Allah Swt tahu aku sangat mencintai shalat dan membaca kitab-Nya."
Jadi, tidak berlebihan jika kita berkata bahwa filosofi terbesar shalat adalah menumbuhkan tunas kecintaan manusia kepada Tuhan dan kecintaan ini menembus lubuk hatinya, di mana kenikmatannya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Al-Quran menggambarkan kecintaan suci ini dengan berkata, "Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah…" (QS. Al-Baqarah, ayat 165)
Rasulullah adalah manifestasi sempurna dari wujud kecintaan dan kerinduan akan ibadah. Beliau dalam sebuah sabdanya tentang shalat berkata, "Allah Swt menjadikan shalat sebagai penyejuk mataku dan kesukaanku, sebagaimana menjadikan makanan sebagai dambaan orang lapar dan air dambaan orang dahaga. Orang lapar akan kenyang ketika makan dan orang yang dahaga akan terobati ketika minum, tetapi aku tidak pernah merasa puas (cukup) dari shalat dan beribadah kepada Allah."
Perlu dicatat bahwa salah satu titik kesamaan para nabi dan ajaran yang mereka terletak pada shalat. Mereka menjadikan shalat sebagai sarana untuk membangun puncak kedekatan dengan Allah serta menampakkan puncak penghambaan dan kekhusyukannya.
Dengan demikian, para nabi telah memberikan sebuah keteladanan praktis kepada pengikutnya sehingga mereka dapat mempelajari cara beribadah serta menjauhkan dirinya dari syirik dan penyimpangan.
Nabi Ibrahim as – salah satu pengibar panji tauhid – mengangkat tangannya kepada Allah sambil memohon, "Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. (QS. Ibrahim, ayat 40)
Nabi Isa as – ketika berada di gendongan ibunya, Sayidah Maryam as – berbicara untuk memberikan kesaksian atas kebesaran Allah dan kesucian ibunya, seraya berkata kepada masyarakat, "Berkata Isa, "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup." (QS. Maryam, ayat 30-31).
Allah Swt memerintahkan Nabi Isa untuk mendirikan shalat dan memintanya menunaikan kewajiban ini hingga akhir hayatnya, ini menunjukkan betapa pentingnya shalat. Sebab, shalat adalah perintah langsung Tuhan dan manusia tunduk pasrah di hadapannya serta memandang hubungannya dengan Tuhan sebagai hubungan makhluk yang sangat kecil dengan sebuah Dzat Yang Maha Besar.
Salah satu nabi lain yang banyak dipuji dalam al-Quran adalah Nabi Ismail as, sosok yang besar di bawah asuhan dan bimbingan Ibrahim as. Allah Swt berfirman kepadanya, "Dan ia menyuruh keluarganya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya." (QS. Maryam, ayat 55)
Ada dua poin menarik dalam ayat tersebut yaitu: Pertama, Nabi Ismail as senantiasa memerintahkan keluarganya mendirikan shalat dan membayar zakat. Jadi, dapat dipahami bahwa budaya shalat harus dimulai dari keluarga dan keteladanan ini kemudian diterapkan di tengah masyarakat.
Kedua, salah satu objek keridhaan Tuhan adalah mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Orang yang telah mencapai derajat penghambaan yang tulus, maka tidak ada hal lain yang lebih tinggi selain mencari keridhaan Ilahi.
Mengenai upaya para nabi dalam membudayakan shalat di tengah masyarakat, al-Quran berkata, "Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah." (QS. Al-Anbiya, 73)
Dapat disimpulkan bahwa shalat memiliki kedudukan khusus dan seluruh para nabi dan pemuka agama – dengan makrifat dan kecintaan – selalu mengerjakannya dengan seluruh kekuatan dan wujud mereka.