Dalil Teori Baik-Buruk Rasional
Teori ini berargumen dengan beberapa alasan, di antaranya, pertama yang disebutkan di dalam “Talkhis Muhadharat fi al-Ilahiyat” ialah bahwa:
Baik dan buruk atas penilaian akal, ia mengetahui kebaikan jujur dan keburukan dusta secara mandiri, terlepas dari apa yang syariat katakan itu adalah baik dan buruk. Karena akal menilai bahwa dusta itu buruk, dan pembawa syariat adalah suci dari perbuatan buruk.
Sekiranya akal tidak memiliki kemandirian dalam hal itu, lalu syariat mengabarkan bahwa perbuatan ini dan itu adalah baik atau buruk, kita tidak dapat memastikan kebenarannya sebelum tersingkap dan diyakini bahwa kabarnya itu benar demikian. Karena di dalam kabarnya terdapat kemungkinan tidak benarnya, bahwa dusta belum kukuh keburukannya.
Pengukuhan bagi dusta sebagai yang buruk melalui pemberitahuan syariat, meniscayakan daur (circular reasoning; sesuatu sebagai sebab bagi dirinya sendiri dengan satu atau beberapa perantara). Bahwa, untuk mengetahui baik atau buruknya suatu perbuatan bergantung pada kabar dari syariat, sementara kebenarannya bergantung pada pengetahuan baik dan buruknya perbuatan.
Ibarat orang mengatakan, “Apa yang saya katakan itu benar, karena saya orang jujur.” Untuk mengetahui kebenaran ucapannya bergantung pada pengetahuan kejujurannya. Pada saat yang sama, untuk mengetahui kejujurannya bergantung pada kebenaran ucapannya.
Argumen tersebut kemudian dikomentari oleh Fadhil Qusyji dengan mengatakan: “Kita tidak menjadikan perintah dan larangan (syar’i) sebagai dalil baik dan buruk.. Tetapi, baik ialah perbuatan itu terkait perintah dan pujian. Sedangkan buruk adalah perbuatan itu terkait larangan dan celaan.”
Perkataan tersebut mendapat kritikan, bahwa baik dan buruk tak tersingkap secara syariat dengan hanya mendapati perintah dan larangannya terkait sesuatu. Karena kemungkinan adanya kesia-siaan di dalam perintah dan larangan syariat. Sekiranya tiada kesia-siaan, belum kukuh kemungkinan tiadanya. Sebab, bisa saja itu iseng atau gurauan, bahkan dusta.
Dengan demikian, akal kita mandiri dalam menilai keburukan berdusta, sehingga ia dapat mengetahui apa yang dikabarkan syariat mengenai perbuatan yang diperintahkannya adalah baik, dan yang dilarangnya adalah buruk. Inilah maksud yang dikatakan oleh Muhaqqiq Thusi bahwa: Sekiranya akal tak mandiri dalam menilai perbuatan, niscaya kebaikan dan keburukan takkan pernah kukuh.
Referensi:
Talkhish Muhadharat fi al-Ilahiyat/Ayatullah Syaikh Subhani.