Syarat-syarat Pembuat Hukum Dan keniscayaan Wahyu
Tidak dapat dipungkiri bahwa Manusia adalah makhluk sosial di mana banyak hal dari kebutuhannya hanya dapat terpenuhi dengan adanya interaksi sosial dengan sesama. Di sisi lain manusia merupakan ciptaan yang memiliki ego tinngi yang menngiringnya untuk mendapatkan segala sesuatu untuk kepentingan pribadinya. Sifat ini jika dibiarkan akan berakhir pada rusaknya tatanan masyarakat, oleh karena itu keberadaan hukum yang mengatur hubungan sosial merupakan keniscayaan.
Jawadi Amuli dalam hal ini mengatakan: “Manusia tidak punya pilihan selain menjalani kehidupan sosial; Karena dalam mencapai berbagai kebutuhan alamiahnya, diperlukan kehidupan kolektif dan kerja sama. Namun hal ini akan melahirkan dan memperlebar akar ketidakadilan, pemaksaan, pembunuhan, eksploitasi, ekspansionisme, keegoisan, dan lain-lain. Di sinilah kemudian manusia membutuhkan “hukum”; Hukum yang komprehensif, mencakup semua, lengkap dan mampu melahirkan kebahagiaan.[1]”
Di tempat lain beliau pernah berkata: Kadang-kadang dikatakan bahwa karena manusia secara alami adalah makhluk sosial serta membutuhkan interaksi, kontrak sosial dan komunikasi timbal balik antar sesama, maka harus ada hukum dan undang-undang yang berfungsi untuk mengaturnya. dan tidak ada seorangpun selain allah Swt. Yang berhak untuk menetapkan hukum dan undang-undang. Dan Tuhan Yang Maha Kuasa memenuhi kebutuhan ini melalui kenabian.[2]
Dan dalam buku “Al-Muhadharat fi Al-Ilahiyat” dijelaskan: Tidak ada seorang filsuf dan ahli yang membahas tentang kehidupan manusia yang meragukan bahwa manusia butuh kehidupan sosial dan budaya. Begitu juga tidak ada yang meragukan bahwa masyarakat memerlukan aturan. Pasalnya manusia mencintai dirinya sendiri, hal ini akan menggiringnya untuk menguasai segalanya untuk dirinya tanpa mempedulikan hak orang lain. Hal ini didukung oleh adanya perlombaan dan pertikaian diantara masyarakat yang berujung pada buntunya kehidupan dan rusaknya tatanan bermasyarakat. Oleh karena itu pondasi sosial tidak akan tegak kecuali dengan penetapan aturan yang teliti, kokoh dan sempurna yang berfungsi untuk menjelaskan kewajiban dan hak setiap individu.[3]
Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa pertama: manusia adalah makhluk sosial dan ke dua manusia membutuhkan hukum untuk mencegah kekacauan dalam kehidupan sosialnya; Dan tanpanya dia tidak bisa hidup bermasyarakat. Tapi pertanyaan yang kemudian muncul adalah siapakah yang memiliki wewenang untuk membuat undang-undang serta menetapkan hukum dan peraturan tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengkaji syarat-syarat legislator atau pembuat undang-undang.
Para teolog dalam hal ini menyebutkan dua syarat untuk legislator atau pembuat undang-undang, dan sesuai dengan kedua syarat serta barometer yang disebutkan, hanya Tuhanlah yang memiliki otoritas untuk membuat aturan. dan selainNya tidak memiliki otoritas tersebut karena cacat persyaratan. Kedua syarat itu adalah:
Syarat pertama: memahami manusia dan kebutuhannya secara utuh: yaitu, pembuat undang-undang harus mengetahui hakikat keberadaan manusia dan kebutuhannya secara lengkap dan tepat guna menetapkan hukum yang sesuai untuknya. Berkaitan dengan hal ini, Ayatollah Ostadi menulis dalam bukunya: “Karena tujuan pembuat undang-undang adalah untuk memenuhi kebutuhan fisik dan mental manusia, ia harus secara akurat memahami semua rahasia baik fisik maupun mentalnya, karena resep seorang dokter, tidak peduli seberapa akurat dan sempurna diracik, hanya akan bermanfaat ketika dokter benar-benar mengetahui kondisi pasien lalu kemudian menyesuaikan resep dengan mood serta kondisi tubuh dan pikiran pasien, jika tidak maka tidak akan resep tersebut berguna.[4]
Jafar Sobhani menulis dalam bukunya “Masayel-e Jadid-e Kalami: “Legislator haruslah seorang yang mengenal manusia secara utuh baik sebagai individu maupun sosial. Ia harus mengenal manusia sebagia individu untuk menyadari naluri dan emosinya sehingga ia mampu sepenuhnya mengidentifikasi dan memimpin perasaan dan nalurinya.
Legislator juga harus Menjadi sosiolog untuk menyadari dengan baik tugas individu dan kepentingan mereka dalam kehidupan sosial dan hubungan sesama manusia. Dia juga mesti mengetahui dengan baik dampak dari perilaku sosial yang berbeda untuk dapat menjaga dan melindungi kepentingan masyarakat yang berbeda.[5]
Dan dalam buku “Rahnema Syenasi” disebutkan: Untuk membuat undang-undang, legislator undang-undang harus menyadari sepenuhnya kehidupan sosial dan individu manusia serta kecendrungannya dalam kehidupan…. Sebagai mana halnya legislator harus memahami seluruh dimensi manusia dia juaga mesti memahami makhluk lain yang memiliki hubungan kompleks dengan manusia.[6]
Syarat kedua: Syarat kedua yang disebutkan para ulama untuk pembuat undang-undang adalah legislator tidak boleh mengedepankan ambisi pribadinya atau tujuan orang-orang yang terkait dengannya. Artinya, undang-undang yang ditetapkan harus adil dan tidak memihak serta bebas dari diskriminasi dan kepentingan pribadi atau kelompok.
Dalam hal ini, disebutkan dalam kitab “Amuzesy-e Kalam_e Islami”: kepentingan pribadi atau kelompok dari pembuat undang-undang seharusnya tidak berperan dalam pembuatan undang-undang[7]. Dan dalam kitab “‘Aqaid_e Islami” disebutkan: “Legislator hendaknya tidak memiliki kepentingan sedikitpun dalam menyusun dan mengatur hukum, sehingga rasa mengambil keuntungan dan naluri “cinta terhadap diri” tidak menjadi penghalang yang tebal bagi akal budi, sebab hal itu akan menjauhkannya dari memutuskan aturan yang bermanfaaat buat manusia secara umum.[8]”
Dan Reza Mohammadi menulis dalam bukunya tentang masalah ini: “Legislator harus jauh dari faktor-faktor yang menyesatkan seperti ambisi, keegoisan dan keinginan buruk lainnya.[9]”
Mengingat dua persyaratan yang telah disebutkan, harus diakui bahwa pembuatan undang-undang berada di luar kemampuan dan kapasitas manusia. Oleh karena itu, satu-satunya legislator atau pembuat syariat dan perundang-undangan hanya Allah Swt. Pasalnya dua syarat tersebut hanya terealisasi pada Allah Yang Maha Esa dan bukan selainNya.
Hal ini mengingat bahwa Kecerdasan teoritis yang dimiliki manusia sering salah dalam berpikir serta menganalisa dan kecerdasan praktisnya juga tidak jarang salah dalam motivasi dan tekad, karena tertawan oleh nafsu dan amarah.
Catatan:
[1] Jawadi Amuli, Abdullah, Wahy Wa Nubuwwat Dar QorAn, hal:21, cet: Markaz-e Nashr-e Isra, Qom, 1381 HS
[2]Ibid, hal: 37
[3] Rabbani Gulpaigani, Ali, Muhadharat Fi Al- Ilahiyat, hal:248, cet: Muassasah Imam Shadiq, Qom, 1381 HS
[4] Ustadi, Redza, Ushul-e Aqaid Widze-e Thullab Wa Danesyjuan, hal177, cet: Dalil-e Ma, Qom, 1386 HS
[5] Subhani, Ja’far, Masail-e Jadid-e Kalami, hal:592, cet: Muassase-e Imam Shadiq, qom, 1390 HS
[6] Muhammadi, Redha, Rahnema Syenasi ( Nubuwwat Wa Imamat), hal:25, cet: Andisye-e Muashir, Tehran, 1389 HS
[7] Saidi Mehr, Muhammad, Amuzesy-e Kalam-e Islami, cet: ketab-e Thaha, Qom, 1381 HS
[8] Subhani, Ja’far, Aqaide Islami, hal: 230, cet: muassase-e Bustan-e Kitab, qom, 1386 HS
[9] Muhammadi, Redha, Rahnema Syenasi ( Nubuwwat Wa Imamat), hal:25, cet: Andisye-e Muashir, Tehran, 1389 HS